Rahasia 180 Patung Mas 5

Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Bagian 5


bolehlah kau pulang saja ke Thian-ti."
Terpaksa Oh-tok-hong menahan sakit pada lukanya, ia dapatkan sebatang ranting kayu untuk digunakan sebagai tongkat, lalu terpincang-pincang meninggalkan hutan itu.
Sesudah Oh-tok-hong pergi jauh, dengan suara tertahan Sai-hoa-to tanya Kiam-eng, "Kau belejeti pakaiannya, apakah kau ingin menyamar sebagai dia untuk menyelundup ke Thian-ti?"
Kiam-eng mengangguk, "Ya, memang begitulah maksudku."
"Tindakan ini mungkin sangat berbahaya," ujar Sai-hoa-to dengan kening berkerenyit. "Tok-pi-sin-kun bukan orang yang mudah direcoki. Istana putarnya juga bukan sembarangan tempat yang dapat diterobos begitu saja, apabila ... "
"Kalau tidak masuk sarang harimau cara bagaimana bisa memperoleh anak macan?" tukas Kiam-eng dengan tersenyum.
Setelah termenung sejenak, akhirnya Sai-hoa-to berkata, "Kan lebih baik aku saja yang pergi ke sana.
Jika tiada bersama diriku toh dia takkan pergi ke selatan, maka dapat aku gunakan diriku untuk tawar menawar dengan dia."
"Tidak, tadi Lo-cian-pwe sudah bergebrak dengan Pek-hui-hou Ji-Liang, tentu Tok-pi-sin-kun takkan percaya lagi kepada kesungguhan hati Lo-cian-pwe, maka lebih baik aku saja yang pergi ke sana dengan menyamar sebagai Oh-tok-hong, aku kira harapan untuk berhasil akan lebih besar."
"Tapi cara bagaimana kau mampu masuk ke istananya yang hebat itu?" tanya Sai-hoa-to.
"Menurut pengakuan Oh-tok-hong tadi, biar pun anak murid Tok-pi-sin-kun juga diperlukan perintah langsungnya baru diperbolehkan masuk ke istana putar itu."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Tapi ia pun mengatakan Tok-pi-sin-kun tidak pernah menerima anak muridnya di kamar tidur nya. Lalu cara bagaimana kamu dapat memasuki kamarnya untuk mencari peta?"
"Biarlah aku lihat gelagatnya nanti untuk bertindak seperlunya," ujar Su-Kiam-eng.. Mungkin juga pada waktu aku dekati Tok-pi-sin-kun, secara di luar dugaan dapat aku atasi dia dan memaksanya menyerahkan peta."
Sai-hoa-to tetap menggeleng tanda tidak setuju, katanya, "Namun tetap aku rasakan tindakan demikian terlampau besar risikonya ... "
"Bila Lo-cian-pwe juga ingin pergi ke Thian-ti maka harus kita atur sedemikian rupa, yaitu pada saat Wan-pwe tertawan umpamanya, saat itulah baru Lo-cian-pwe menampilkan diri untuk bertemu dengan dia dan minta kebebasanku sebagai syarat imbalan membawa mereka ke hutan purba di selatan. Dengan begitu tentu keselamatanku pun akan terjamin."
"Bagus juga cara ini," ujar Sai-hoa-to, "Cuma, cara bagaimana supaya aku tahu kamu tertawan musuh?"
"Boleh kita gunakan batas waktu tiga hari," tutur Kiam-eng. "Selewatnya tiga hari dan Wan-pwe belum ke luar dari istana Tok-pi-sin-kun, itu menandakan aku telah ditawan mereka."
"Baiklah, boleh kita coba," kata Sai-hoa-to. "Namun satu hal harus selalu kau ingat, Tok-pi-sin-kun adalah iblis yang membunuh orang tanpa berkedip. Bilamana asal-usulmu diketahui dan tertangkap, hendaknya cepat kau katakan kau datang bersamaku. Dengan begini tentu dia tidak berani membunuhmu.
"Baik, akan aku ingat pesan Lo-cian-pwe ini," sahut Kiam-eng.
Lalu Sai-hoa-to memandang Ih-Keh-ki dan bertanya, "Dan bagaimana dengan nona Ih?"
"Setiba di dekat Thian-ti, kalau dia masuk istana Tok-pi-sin-kun dengan menyamar sebagai Oh-tok-hong, dengan sendirinya aku tinggal bersamamu," jawab Keh-ki.
Sai-hoa-to menggeleng, "Tidak, lebih baik nona Ih pulang saja sekarang!"
"He, ada apa?" tanya Keh-ki kurang senang. "Lo-cian-pwe tidak suka padaku?"
"Bukan begitu soalnya." jawab Sai-hoa-to. "Kamu ini putri kesayangan Hong-hun-kiam-hiap, apabila terjadi sesuatu halangan atas dirimu, wah, aku tidak berani bertanggung jawab."
"Hmm, tampaknya aku perlu juga menulis suatu surat pernyataan suka rela padamu," ujar Keh-ki dengan tertawa.
"Surat pernyataan apa maksudmu?" tanya Sai-hoa-to bingung.
"Sebab aku sudah menulis suatu surat pernyataan untuk dia," kata Keh-ki sambil menuding Kiam-eng.
Sai-hoa-to tidak mengerti ia coba tanya Su-Kiam-eng, "Sesungguhnya bagaimana persoalannya?"
"Begini," tutur Kiam-eng dengan tertawa "Tempo hari ketika ia tahu aku hendak pergi ke wilayah selatan, ia ribut dan minta ikut bersamaku. Aku bilang tidak berani menjamin keselamatannya. Lalu ia menulis sepucuk surat pernyataan untukku bilamana kelak harus berhadapan dengan ayahnya, supaya ayah ibunya tahu kepergiannya adalah atas kehendaknya sendiri dan tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku. Karena itulah terpaksa aku terima permintaannya untuk ikut serta."
Sai-hoa-to tampak serba susah, katanya kemudian, "Ai, sebenarnya untuk apa kamu ikut menyerempet bahaya ke daerah purba di selatan sana."
"Karena aku suka," ujar Keh-ki dengan tertawa.
"Apakah kau kira hutan purba itu sangat menyenangkan?" kata Sai-hoa-to. "Ai, sebenarnya tempat itu sangat berbahaya, setiba di sana tentu kamu akan tahu rasa ... "
"Biarlah, sekalipun tempat itu berbentuk gunung berapi juga tetap aku mau pergi," kata Keh-ki cepat.
"Jika begitu, aku pun minta diberi surat pernyataanmu," ujar Sai-hoa-to sambil mengangkat bahu.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Baik, pada waktu bermalam di hotel tentu akan aku berikan surat pernyataanku," kata Keh-ki dengan girang.
Lalu Sai-hoa-to berkata kepada Su-Kiam-eng, "Masih ada persoalan ingin aku tanya padamu. Jika kamu harus menyamar sebagai Oh-tok-hong, apakah tidak kau kuatirkan Oh-tok-hong akan pulang ke Thian-ti dan membongkar rahasia penyamaran?"
"Hal ini sudah aku pertimbangkan lebih dulu," sahut Kiam-eng. "Sekarang Oh-tok-hong sudah cacat, biarpun dia pulang ke Thian-ti juga sukar memperoleh kepercayaan Tok-pi-sin-kun, maka aku yakin dia takkan pulang lagi ke Thian-ti."
"Hal ini sukar dipastikan," ujar Sai-hoa-to "Betapa kejinya Tok-pi-sin-kun masa tega membunuh lagi anak murid yang jelas sudah cacat?"
"Ya, memang, tapi sekalipun Oh-tok-hong pulang ke Thian-ti, sekarang dia baru terluka dan memerlukan waktu untuk merawat lukanya itu, bilamana sembuh barulah dia dapat meneruskan perjalanan, dengan begitu sedikitnya memakan waktu belasan hari. Sebaliknya keberangkatanku menggunakan kuda cepat, sekalipun dia segera berangkat dengan menyewa kereta, sedikitnya aku akan sampai di tempat tujuan beberapa hari lebih dulu."
Sai-hoa-to pikir uraian Su-Kiam-eng itu cukup beralasan, katanya kemudian, "Baiklah, jika begitu, ke tiga orang di dalam kereta itu pun boleh dibereskan sekalian."
Segera Kiam-eng menyeret keluar si kakek baju hitam yang tertutuk pingsan itu, ia buka hiat-to nya dan menutuk pula membuatnya lumpuh. Tak lama kemudian kakek itu pun siuman dan membuka mata, lalu Kiam-eng tanya dengan tertawa, "Apakah kau kenal aku?"
Kakek baju hitam itu adalah orang pertama yang disergapnya hingga pingsan maka dia tidak tahu segala apa yang terjadi kini setelah melihat jelas yang berdiri di depannya adalah Su-Kiam-eng yang anak murid Kiam-ho-Lok-Cing-hui dan Sai-hoa-to yang semula ditawan dan disembunyikan dalam peti mati itu, keruan dia terkejut tak terhingga dan menjerit kaget, "Hahh ... ka ... kalian ... "
Ia hanya sanggup mengucapkan "kalian" saja lalu terlongong-longong seakan-akan sangsi apakah dirinya bukan dalam mimpi.
Untuk menguji apakah pengakuan Oh-tok-hong itu benar atau dusta, Kiam-eng memutuskan akan memeriksa juga dan mengorek keterangan si kakek baju hitam ini. Maka dengan tertawa ia berkata,
"Mungkin sampai kini kau belum lagi jelas induknya perkara biarlah sekarang juga aku beritahukan padamu seluk-beluk apa yang terjadi. Dalam perjalanan tanpa sengaja kami menemui rahasia kalian maka aku lantas menyamar sebagai Peng-Tai-siu dan menyusup ke tempat parkir ini untuk merobohkan dirimu. Habis itu kalian ber enam juga dapat kami tawan satu per satu.
"Tadi Oh-tok-hong ber empat sudah mengaku segala sesuatu yang mereka lakukan dan sesudah kami musnahkan kung-fu nya kini mereka sudah kami lepaskan. Kini tersisa dirimu yang terakhir. Jika, kau mau mati segera juga dapat aku kirim dirimu ke tempat nenek moyangmu. Bilamana kau ingin hidup maka kamu harus menjawab terus terang pertanyaanku. Nah, katakan sekarang, kau mau mati atau ingin hidup?"
Ke dua mata si kakek baju hitam terbelalak serunya dengan bingung, "Hah, apa betul kami ber enam telah kalian tawan seluruhnya?"
"Betul," Kiam-eng mengangguk. "Nah, katakan, kamu she Ca atau she Coh?"
"Coh," jawab si kakek. "Coh-Jian-po, itulah namaku."
"Bagus, dan sekarang bagaimana keputusanmu, mau mati atau ingin hidup?"
"Jika benar Oh-tok-hong ber empat sudah memberi pengakuan duduknya perkara, untuk apa pula aku banyak omong. Cuma, cara bagaimana supaya aku percaya pada apa yang kau katakan?"
"Kamu tidak perlu sangsi, cukup percaya sepenuhnya saja," ujar Kiam-eng.
"Kan ke empat kawanku sudah memberi pengakuan yang sebenarnya, buat apa kau tanya lagi padaku?"
"Aku suka kepada orang yang jujur, jika apa yang kau katakan sama dengan pengakuan mereka itu Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
menandakan kamu memang orang jujur dan segera akan aku bebaskan dirimu."
Meski Coh-Jian-po ini bukan tokoh persilatan kelas wahid, tapi ia pun cukup berpengalaman urusan dunia kang-ouw, ia tahu apa yang diuraikan Su-Kiam-eng itu pasti ada sebagian tidak benar, tapi demi mencari selamat, ia memutuskan akan memberi pengakuan yang sebenarnya, maka jawabnya,
"Baiklah, boleh kau tanya."
"Pertama, mengenai peta pusaka, peta yang ditemukan su-heng ku itu, cara bagaimana bisa jatuh di tangan Tok-pi-sin kun?" tanya Kiam-eng dengan tersenyum.
"Peta itu didapatkan Ji-Liang di hutan dekat Thian-ti." tutur Coh-Jian-po. "Secara kebetulan ia lihat seekor burung merpati hinggap di atas pohon pada kaki burung terikat sebuah bumbung bambu mini, ia tahu itulah merpati pos, maka burung itu ditimpuknya dengan batu dan ditangkapnya."
Kiam-eng mengangguk dan bertanya pula, "Dan sekarang peta itu berada di mana?"
"Kalau tidak selalu dibawa oleh Sin-kun kami tentu tersimpan di kamar tidurnya," tutur Coh-Jian-po.
"Jawabanmu semuanya cocok," ujar Kiam-eng dengan tertawa sambil melolos belati. "Sekarang bolehlah aku beri jalan hidup bagimu."
Coh-Jian-po mengira orang hendak membunuhnya, ia ketakutan hingga muka pucat, teriaknya "Tapi semua ... semua itu memang betul, aku tidak dusta. Apabila pengakuan mereka tidak sama dengan keteranganku, itu menandakan mereka lah yang bohong dan bukan ... diriku!"
Kiam-eng tertawa, "Jangan cemas, aku cuma memusnahkan saja kung-fu mu dan tidak bermaksud membunuhmu."
Habis berkata, langsung goloknya memotong urat kaki orang.
Maka Coh-Jian-po pun menjadi orang cacat selamanya, dengan pincang ia pun pergi menerima nasib.
Yang tersisa sekarang adalah Jing-liong-ong si kakek she Cah. Tanpa memeriksa mereka lagi segera Kiam-eng memusnahkan juga ilmu silat mereka dan melemparkan mereka di bawah pohon, lalu mendekati si kusir tua yang berjongkok di sana dengan gemetar itu, tanyanya, "Kalian sudah menerima ongkos sewa kereta belum?"
Ke dua kusir kereta itu menyembah berulang-ulang dan menjawab dengan suara gemetar, "Ti ... tidak, belum ... cuma kami ini tidak berani minta lagi, kami hanya mohon ... mohon jiwa kami diampuni saja!"
Kiam-eng mengeluarkan belasan tahil perak dan dilemparkan kepada mereka, ucapnya dengan tertawa,
"Ambil dan bagilah uang perak ini, sekarang kalian boleh pergi atau mau bermalam dulu di sini boleh terserah kalian, kami sendiri segera akan pergi."
Kedua kusir itu terkejut girang dan bingung, tanya mereka, "Jadi ... jadi benar Tuan sudi mengampuni jiwa kami?"
"Aneh, kalian sudah sebegini tua, masakah masih tidak tahu urusan," kata Kiam-eng dengan kurang senang.
Cepat kedua kusir tua itu menyembah lagi, lalu memungut belasan tahil perak pemberian Kiam-eng itu dan cepat berlari pergi untuk membenahi keretanya, kemudian menyelamatkan diri dengan girang.
Kiam-eng lantas mengeluarkan alat rias dan diserahkan kepada Sai-hoa-to, katanya dengan tertawa,
"Silakan Lo-cian-pwe menyaru sekadarnya, kalau tidak bilamana dalam perjalanan nanti kepergok orang-orang yang ingin rebut peta itu, bisa jadi mereka akan mengincar dirimu lagi."
Sai-hoa-to sendiri juga menyadari dirinya sangat bernilai bagi orang persilatan sekarang, maka ia terima tawaran Kiam-eng itu dan mulai menyamar.
Setiap tokoh dunia persilatan umumnya tidak asing terhadap ilmu rias, maka tidak seberapa lama selesailah Sai-hoa-to menyaru sebagai seorang kakek yang tidak menarik. Lalu ia membuat kotor bajunya, kedua lengan baju digulung pula, katanya dengan tertawa, "Coba lihat macam orang apa sekarang diriku ini?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Kiam-eng merasa tabib sakti sekarang lebih mirip seorang jongos, cuma dia tidak enak untuk bicara terus terang. Sebaliknya Keh-ki yang ceplas-ceplos itu lantas menanggapi dengan tergelak, "Haha, engkau mirip seorang jongos!"
"Betul," kata Sai-hoa-to dengan tertawa. "Maka mulai malam ini jadilah diriku budak pribadi nona."
Keh-ki jadi melengak malah, ucapnya dengan rikuh, "Ah, mana ... mana boleh jadi?"
"Tidak apa," ujar Sai-hoa-to. "Kalau bicara tentang kung-fu, mungkin aku pun belum memenuhi syarat untuk menjadi jongosmu."
"Begini saja," tukas Kiam-eng dengan tertawa. Di depan umum, bolehlah Lo-cian-pwe mengaku sebagai budaknya, tapi dalam hubungan pribadi Lo-cian-pwe adalah kakek angkatnya, dengan demikian kedua pihak sama-sama tidak dirugikan."
"Boleh juga," kata Keh-ki dengan tertawa. Tapi sekarang masih kekurangan seekor kuda, lalu bagaimana baiknya?"
"Biarlah besok jika kita melewati sesuatu kota bolehlah kita membeli kuda untuk Sim-lo-cian-pwe," ucap Kiam-eng. Lalu ia berpaling dan berkata kepada Sai-hoa-to, "Dari sini menuju ke Thian-ti kira-kira memerlukan berapa hari perjalanan?"
"Kuda tunggangan kalian adalah kuda pilihan apabila perjalanan dilakukan secara biasa saja mungkin setengah bulan akan tiba di sana," jawab Sai-hoa-to.
"Dan bagaimana bila menggunakan kuda biasa?" tanya Kiam-eng pula.
"Untuk itu diperlukan beberapa hari lebih lama," sahut si tabib sakti.
"Jika demikian, biarlah aku berangkat lebih dulu, nanti setelah Lo-cian-pwe sudah membeli kuda bolehlah berangkat bersama nona Ih. dengan begitu, tiga-empat hari setelah aku tiba di Thian-ti tentu Lo-cianpwe berdua juga akan menyusul tiba."
Diam-diam Keh-ki merasa gugup karena Kiam-eng menyatakan hendak berangkat lebih dulu, cepat ia berkata "Buat apa begitu" Apa salahnya kita bertiga berangkat bersama saja?"
"Kalau berangkat bersama, bilamana Oh-tok-hong menyewa kereta dan pulang ke Thian-ti, tentu kita akan ketinggalan mencapai tempat tujuan," ujar Kiam-eng.
"Asalkan perjalanan kita dipercepat sedikit, masakah kita kuatir ketinggalan?" kata Keh-ki.
"Kudamu dapat diandalkan, tapi kuda yang akan dibeli untuk Sim-lo-cian-pwe apakah dapat mengikuti lari kudamu?"
"Tapi bila perjalananmu terlampau cepat dan mendahului Ji-Liang dan Tong-hong-Bing, hal ini kan juga ganjil dan tidak masuk akal bukan?" ujar Keh-ki.
Kiam-eng melengak dan membenarkan alasan si nona, pikir pada waktu Ji-Liang berdua kabur tadi sudah mengetahui Oh-tok-hong berempat tertawan olehku, apabila begitu saja aku dahului mereka sampai di Thian-ti dengan menyamar sebagai Oh-tok-hong, akibatnya tentu runyam ..."
Sai-hoa-to juga merasa ucapan Ih-Keh-ki itu cukup beralasan, katanya dengan serba susah, "Ai terlampau cepat perjalanan kita, dikuatirkan akan mendahului Ji-Liang berdua malah. Terlalu lambat kuatir lagi disusul oleh Oh-tok-hong, bicara kian kemari, soalnya terletak pada kesalahan kita kenapa tidak membunuh saja si kumbang hitam berbisa itu. Apabila tadi kita bereskan dia, tentu takkan timbul persoalan sulit begini."
Su-Kiam-eng tidak menyesal Oh-tok-hong tidak dibunuhnya tadi, baginya membunuh seorang yang tidak mampu melawan terasa bukan perbuatan seorang lelaki sejati.
Melihat pemuda itu mengalami kesulitan oleh soal itu, padahal Keh-ki sangat ingin perjalanan bersama Su-Kiam-eng, maka dalam hati ia merasa senang, namun ia berlagak berkata dengan serius, "Sudahlah, biarlah kita bertiga tetap menempuh perjalanan bersama saja. Setiba di Thian-ti, apabila jelas Oh-tok-hong belum lagi tiba di sana barulah engkau menyaru sebagai dia."
Tiba-tiba Sai-hoa-to tertawa, katanya, "Begini, ada akalku yang lebih bagus."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Akal bagus apa?" tanya Kiam-eng cepat.
"Kau pernah berkunjung ke Thian-ti tidak?" tanya si tabib sakti.
"Belum pernah," Kiam-eng menggeleng kepala. "Tapi aku tahu jalan menuju ke sana."
"Baiklah jika begitu," ujar Sai-hoa-to. "Di dekat Thian-ti ada sebuah kota besar, namanya Kun-ming. Di tengah kota ada sebuah hotel besar bernama Kun-ming-lau-can, dahulu pernah aku tinggal di hotel itu, sekali ini aku pikir juga mondok saja di hotel itu ... "
Kiam-eng merasa ucapan si tabib sakti ada sedikit aneh, ia melengong dan bergumam, "Wah, lantas bagaimana selanjutnya."
"Maksudku, rasanya tidak mungkin dapat aku beli kuda sebagus kuda kalian itu," ujar Sai-hoa-to dengan tersenyum. "Sebaliknya jika membeli seekor kuda biasa, sukar pula untuk menempuh perjalanan bersama kalian. Sebab itulah aku putuskan takkan menjadi pengikut nona Ih, biarlah kalian berdua meneruskan perjalanan lebih dulu setelah aku dapatkan kuda baru menyusul ke sana. Setiba di sekitar Thian-ti nanti boleh kalian bersembunyi dulu, apabila melihat Ji-Liang berdua sudah pulang barulah kau temui Tok-pi-sin-kun dalam penyamaran sebagai Oh-tok-hong, sedangkan nona Ih tetap sembunyi di sekitar Thian-ti, kalau melihat Oh-tok-hong juga pulang ke sana, boleh langsung kau bekuk dia habis itu nona boleh menungguku di hotel Kun-ming-lo-can."
Keh-ki berseru girang, "Aha, bagus! Cara ini paling baik, syukur Sim-lo-cian-pwe dapat memikirkannya."
Diam-diam Sat-hoa-to merasa geli ucapnya penuh arti, "Aku kan orang tua yang sudah berpengalaman, masakah tidak dapat memikirkannya?"
Muka Keh-ki menjadi merah, dengan malu-malu ia melirik sekejap si tabib sakti, lalu menunduk tanpa bicara lagi.
Sai-hoa-to tergelak, mendadak ia menjauh ke sana dan berlari pergi secepat terbang.
Melihat kelakuan si tabib sakti betapapun Kiam-eng paham juga arti ucapannya tadi tanpa terasa mukanya pun merah, katanya kemudian terhadap Ih-Keh-ki, "Marilah kita pun berangkat!"
Segera mereka mencemplak ke atas kuda masing-masing dan dilarikan ke selatan di bawah sinar bulan purnama.
Sepanjang jalan mereka tidak menemukan jejak Ji-Liang dan lain-lain, juga tidak timbul perkara lagi.
Setengah bulan kemudian sampailah mereka di kota Kun-ming, dari kota ini ke Thian-ti sudah sangat dekat jaraknya.
Sampai di tengah kota, dengan mudah mereka mendapatkan Kun-ming-lo-can yang disebut Sai-hoa-to itu.
"Sekarang lebih dulu kita masuk hotel atau pergi ke Thian-ti?" tanya Keh-ki.
"Masuk hotel saja lebih dulu," ujar Kiam-eng. "Aku pikir Ji-Liang berdua tentu sudah jauh kita tinggalkan di belakang, paling cepat dua hari lagi baru mereka dapat tiba di sini."
Begitulah mereka hendak berhenti di depan hotel dan menyerahkan kuda kepada pelayan, lalu masuk ke hotel.
Waktu itu sudah malam hari, setelah pesan dua kamar dan cuci badan serta makan, Kiam-eng melihat dandanan penduduk setempat agak berbeda dengan orang Tiong-goan, segera ia panggil pelayan agar membelikan dua perangkat pakaian.
Setelah pelayan pergi, dengan tertawa Keh-ki berkata, "Aku lihat kota ini cukup ramai, kenapa kita tidak beli baju sendiri, sekaligus dapat melancong dan menikmati keramaian kota."
"Tidak," kata Kiam-eng. "Kota ini terlalu dekat dengan Thian-ti, bisa jadi anak buah Tok-pi-sin-kun banyak berkeliaran di sini, nanti setelah kita ganti baju baru yang dibelikan si pelayan barulah kita ke luar melancong."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Entah Ji-Liang berdua akan lalu di sini atau tidak kalau mereka pulang ke Thian-ti?" gumam Keh-ki.
"Besar kemungkinan akan lalu di sini," ujar Kiam-eng. "Cuma mulai besok pagi, lebih baik kita menunggu mereka saja di dekat Thian-ti sana."
"Bila mana melihat mereka sudah pulang, segera engkau akan mulai operasi?" tanya si nona.
"Tidak, harus aku tunggu lagi satu-dua hari baru akan pergi ke sana dengan menyamar sebagai Oh-tok-hong."
"Aku dapatkan suatu akal baik, entah kau setuju atau tidak?"
"Apabila kau minta ikut masuk ke istana putar musuh, maka lebih baik jangan kau katakan saja,",ujar Kiam-eng dengan tertawa.
"Huh, sok pintar," Keh-ki mencibir. "Mau tidak mendengarkan?"
"Baiklah coba katakan," kata Kiam-eng.
Dengan suara tertahan Keh-ki bertutur, "Kita tunggu dulu bilamana sudah jelas Oh-tok-hong takkan pulang ke Thian-ti barulah engkau menyamar sebagai Oh-tok-hong dan aku menyaru sebagai anak gadis yang kau culik ... "
Cepat Kiam-eng menggeleng kepala dan memotong, "Tidak, tidak mungkin, nonaku yang baik!"
Keh-ki memohon dengan sangat, "Memangnya kenapa" Masakah kurang baik cara begitu" Apabila aku ikut masuk istana putar itu bersama-mu, jika ada bahaya kan dapat aku bantu?"
"Tidak mana boleh jadi," Kiam-eng tetap menggeleng.
"Ini tidak, itu pun tidak lalu apa alasanmu?" omel Keh-ki.
"Alasanku cuma satu, yaitu kamu tidak boleh ikut menyerempet bahaya."
"Engkau pergi sendirian, bukankah itu pun menyerempet bahaya?"
"Ada kepentinganku untuk menyerempet bahaya kamu tidak," ujar Kiam-eng.
"Mengapa tidak," jawab Keh-ki. "Aku kuatirkan bahaya yang akan menimpa dirimu, maka ingin aku bantu."
Mendadak Kiam-eng merangkul si nona dan berbisik di tepi telinganya, "Keh-ki, aku paham maksudmu, namun perlu kau pikirkan, apabila penyamaranku ketahuan, sekalipun kamu berada di sampingku, apakah dapat kau tolong diriku?"
Walaupun sejauh ini Keh-ki sangat mengharapkan "pernyataan perasaan" Su-Kiam-eng terhadap dirinya, sekarang mendadak anak muda itu merangkulnya, betapapun ia merasa malu juga cepat ia berseru, "He, apa-apaan ini, lekas lepaskan."
Namun Kiam-eng merangkulnya semakin erat ucapnya dengan tertawa, "Tidak, harus menyatakan takkan ribut lagi baru aku lepaskan kamu."
Meski ingin melepaskan diri, namun tenaga merasa sukar dikerahkan, Keh-ki menjadi gugup, serunya dengan muka merah, "Ayolah lepaskan kalau tidak segera aku berteriak."
"Silakan berteriak, aku tidak takut," kata Kiam-eng dengan tertawa.
"Berani kau ganggu diriku, akan aku minta ayah menghajarmu," ancam si nona.
Kiam-eng dapat melihat si nona cuma main manja saja, maka rangkulannya bertambah kencang katanya, "Kau lapor kepada kakek gurumu pun aku tidak takut. Yang penting, kamu harus berjanji lebih dulu."
"Berjanji apa?" Keh-ki berlagak pilon.
"Kamu harus berjanji takkan ribut dan ingin ikut ke istana putar musuh."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Tidak!" jawab si nona.
"Kalau begitu, terserah. Aku kira si pelayan sudah hampir pulang."
Baru selesai ucapan Kiam-eng, benar juga di luar kamar terdengar suara langkah orang.
Keh-ki menjadi gugup, ia meronta-ronta dan berteriak tertahan, "Lekas lepaskan! Kalau dilihat si pelayan kan malu!"
"Kamu berjanji dulu." kata Kiam-eng tertawa.
"Tek-tek-tek", terdengar pintu kamar diketuk orang.
Muka Keh-ki menjadi pucat, cepat ia berkata, "Baik, aku berjanji takkan ribut lagi."
Barulah Kiam-eng melepaskan si nona, lalu berseru, "Siapa itu?"
Terdengar pelayan menjawab di luar kamar, "Hamba sudah pulang membeli pakaian!"
"Masuk!" sahut Kiam-eng.
Pintu terdorong dan si pelayan melangkah masuk serta menyerahkan sebungkus pakaian kepada Su-Kiam-eng, sisa uang perak pun akan dikembalikan, namun Kiam-eng memberi tanda agar ambil saja sisa uang itu.
Dengan tertawa gembira si pelayan mengucapkan terima kasih dan mohon diri.
Kiam-eng membuka bungkusan pakaian dan memberikan baju orang perempuan kepada Keh-ki, katanya, "Nah, boleh coba kau pakai, apakah cocok atau tidak."
"Aku tidak mau." omel Keh-ki dengan lagak marah.
"Hee ada apa?" Kiam-eng melengak.
"Kau ganggu aku," ucap si nona dengan menggigit bibir.
Kiam-eng tertawa, ia menggeser ke belakang orang dan memegang pundaknya perlahan, ucapnya,
"Mengapa kau bilang aku ganggu dirimu."
"Habis kau ... kau rangkul sebegitu erat, apa namanya kalau bukan mengganggu?" kata Keh-ki.
"Jika hal itu kau anggap sebagai mengganggu, baiklah selanjutnya aku takkan mengganggumu cara begitu, sekarang silakan kau coba memakai baju ini."
"Tidak aku tidak mau." jawab Keh-ki dengan lagak manja.
"Lantas, kamu tidak ingin melancong dan melihat keramaian kota?"
"Mengapa tidak, tentu saja aku mau!"
"Jika mau ikut, lekaslah ganti baju ini," ujar Kiam-eng.
"Coba katakan dulu, mengapa kau rangkul diriku," pinta Keh-ki.
Terpaksa Kiam-eng berbisik pula di tepi telinga si nona. "Soalnya aku ... aku suka padamu."
Keh-ki sangat girang, cepat ia berpaling menghadapi anak muda itu dan menegas dengan tertawa, "Apa betul ucapanmu ini?"
"Tentu saja betul," jawab Kiam-eng.
Keh-ki sangat gembira, langsung ia memeluk Kiam-eng dan membenamkan kepala di depan dadanya dan berkata, "Aku juga, ketika untuk pertama kali aku lihat dirimu lantas suka padamu."
Kiam-eng juga tergiur, tanpa tertahan ia menunduk dan mengecup perlahan pada leher si nona yang Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
lembut itu, ke dua nya saling peluk dengan mesra dibuai asmara.
Selang agak lama, perlahan Keh-ki mengangkat wajahnya yang agak malu-malu, ucapnya dengan tatap mesra, "Engkau sudi ... sudi berdampingan selamanya denganku?"
"Mengapa tidak?" jawab Kiam-eng dengan tertawa riang. "Aku kuatir ayahmu yang keberatan dan bisa jadi akan menghajarku ..."
"Mana bisa ayah menghajarmu?" kata Keh-ki dengan melengak.
"Kalau ayahmu tidak suka padaku, bukankah aku bisa dihajarnya?"
"Tidak, tidak, ayah pasti sangat suka padamu dan takkan menghajarmu!"
Kiam-eng menyodorkan lagi pakaian tadi katanya, "Nah lekas ganti dan segera kita pesiar ke luar."
Keh-ki tidak segera menerima baju itu, katanya dengan tertawa manis. "Nanti dulu, aku bicara lagi."
"Ai, apa yang hendak kau katakan lagi?" omel Kiam-eng.
"Bagaimana kalau kita saling tukar tanda mata lebih dulu?" ucap si nona dengan bergairah.
Kiam-eng melengong, jawabnya kemudian dengan tertawa, "Ai, mengapa perlu berbuat demikian."
"Aku merasa perlu," kata si nona dengan serius. "Dengan saling tukar tanda mata untuk menandakan kesungguhan hati kita."
"Akan tetapi padaku sekarang tidak terbawa sesuatu benda tanda mata apa pun yang berharga." ujar Kiam-eng.
"Ada, boleh gunakan pedangmu sebagai tanda mata. Kau beri pedangmu dan aku beri pedangku."
"Baiklah, boleh begitu," ujar Kiam-eng dengan suka ria.
Maka kedua orang lantas saling tukar pedang dengan begitu barulah Keh-ki mendorong Kiam-eng keluar kamar, katanya dengan tertawa, "Ayo keluar, kau pun kembali ke kamarmu untuk ganti pakaian."
Setelah keduanya ganti baju, lalu mereka meninggalkan hotel dan pesiar menyusuri kota, kemudian keluar kota, menuju ke Se-san atau bukit barat,
Se-san terletak di tepi danau Thian-ti, pepohonan purba menjulang tinggi dengan lebatnya, di atas bukit ada bangunan kelenteng, pemandangan indah permai, merupakan salah satu tempat tamasya terkenal di kota Kun-ming.
Malam belum larut, angin meniup semilir, ke dua orang melangkah ke atas bukit. Sebelum meninggalkan hotel Kiam-eng sudah mencari keterangan kepada pelayan hotel tentang berbagai tempat tamasya termashur di sekitar kota, maka ia tahu di Se-san ada biara terkenal bernama Hoa-ting-si yang indah, langsung ia lantas menuju ke biara tersebut.
Setiba di depan biara itu, ternyata bangunan memang sangat megah dengan cat warna emas yang cemerlang dan tidak kalah dibandingkan biara besar di daerah Tiong-goan.
Di depan pintu gerbang biara itu ada dua patung penjaga pintu, di dalam pintu terdapat Su-tai-thian-ong, empat malaikat raksasa, di ruang tengah ada patung Budha gemuk dan Wi-to si pengawal. Pada ruang pendopo terpuja 500 patung Lo-han yang mengelilingi patung Budha bercat emas setinggi belasan meter, tinggi patung lain rata-rata juga beberapa meter semua tiang dan bendera biara terukir gambar kisah sejarah yang menarik, sungguh bangunan dengan arsitektur yang mengagumkan.
Para hwesio penghuni biara tidak ambil pusing terhadap tetamu pelancong, suasana terasa khidmat sehingga kawanan hwesio itu pun serupa Budha hidup yang agung.
"Sekitar Thian-ti ini adalah wilayah kekuasaan Tok-pi-sin-kun, mengapa di atas gunung ini terdapat sebuah biara semegah ini dengan penghuni para hwesio sebanyak ini?" kata Keh-ki dengan tidak mengerti.
"Istana putar Tok-pi-sin-kun terletak di selatan Thian-ti, dari sini masih berjarak lebih seratus li Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
jauhnya," tutur Kiam-eng.
"Oo, marilah kita coba pesiar ke Thian-ti," ajak Keh-ki.
Sekeluarnya dari biara megah itu dan turun ke bawah bukit melalui sebuah jalan setapak, di kaki gunung itulah terletak danau Thian-ti yang teramat luas.
Thian-ti adalah sebuah danau alam luas sekelilingnya lebih dari 500 li, pemandangan di sekitar danau teramat indahnya, di permukaan danau yang dekat banyak perahu kecil meluncur kian kemari didayung oleh tukang perahu yang terdiri dari nona cantik. Penumpang perahu kebanyakan adalah tetamu yang sengaja ke luar pesiar di malam hari.
Keh-ki sangat tertarik, serunya, "Kakak Eng, marilah kita pun menyewa sebuah perahu pesiar, mau?"
Dengan sendirinya Su-Kiam-eng tidak membantah, segera ke dua orang menaiki sebuah perahu kecil yang berlabuh di tepi danau dan minta di dayung ke tengah danau.
Semalaman mereka pesiar dengan puas, sampai jauh malam barulah mereka pulang ke hotel.
Esok paginya, mereka tetap memakai baju penduduk setempat, muka agak dirias lain, lalu berangkat keluar kota, ke dua nya mengawasi dua tempat penting yang ramai dilalui orang.
Lewat lohor hari ke dua, selagi Kiam-eng berjongkok dan mengawasi orang lalu lalang di suatu tempat, tiba-tiba Ih-Keh-ki yang mengawasi di tempat lain berlari mendekati Kiam-eng dan memberi laporan,
"Kakak Eng, sudah aku lihat mereka!"
Semangat Kiam-eng terbangkit, tanyanya sambil berdiri, "Kau maksudkan Ji-Liang dan Tong-hong-Bing?"
"Betul," jawab Keh-ki. "Mereka baru saja lewat dengan memegang kuda, tampaknya langsung menuju ke Thian-ti."
"Mereka tidak melihat dirimu?" tanya Kiam-eng.
"Tidak, aku sembunyi di atas pohon besar di tepi jalan, siapa pun tidak dapat melihatku," tutur si nona.
"Bagus, sekarang marilah kita pulang ke hotel," ajak Kiam-eng.
Setiba di hotel, baru saja mereka duduk di dalam kamar, segera terdengar pintu diketuk orang. Kiam-eng menyangka pelayan membawakan teh, segera ia berseru, "Masuk!"
Begitu pintu terbuka, yang melangkah masuk ternyata seorang kakek berambut putih, bermata besar dan berdahi lebar.
Keruan Kiam-eng terkejut, serentak ia berdiri dan menegur, "Hei, siapa engkau ini?"
Si kakek merapatkan pintu kamar, lalu menjawab dengan tertawa, "Jangan tegang, aku bukan musuh!"
Dari suaranya Kiam-eng dapat menduga si kakek pasti seorang tokoh persilatan kelas tinggi diam-diam ia terkejut dan siap siaga, katanya pula, "Maaf, selama ini rasanya belum pernah aku kenal kamu."
"Tapi aku justru kenal kalian berdua," ujar kakek dengan tersenyum. "Juga aku tahu maksud kedatangan kalian ke Thian-ti sini."
Keh-ki meraih pedang yang tertaruh di atas meja dan siap melolos senjata, katanya dengan melotot.
"Sesungguhnya kamu ini siapa?"
Dengan tertawa si kakek menjawab, "Aku Sam-bi-sin-ong Pak-li-Pin!"
Tergetar hati Kiam-eng, serunya, "Oo, engkau inilah Sam-bi-sin-ong Pak-li-Pin?"
Sejak terbukti Li-hun-nio-nio bukan penculik su-heng nya sebagaimana pernah diduganya semula, rasa curiga Kiam-eng lantas berpindah terhadap Sam-bi-sin-ong si kakek trisakti. Sebab di dunia persilatan hanya Li-hun-nio-nio dan Sam-bi-sin-ong saja yang mahir membuat granat tabir asap maka kemunculan Sam-bi-sin-ong secara mendadak sekarang dengan sendirinya membuat Kiam-eng terkejut dan juga senang.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Sam-bi-sin-ong Pak-li-Pin mengangguk atas pertanyaan Ih-Keh-ki, ia tunjuk bangku batu di dalam kamar dan berkata, "Bolehkah aku duduk di situ?"
"Ya, silakan duduk!" ucap Kiam-eng. ia memang ingin mencari keterangan apakah si kakek ini penculik su-heng nya atau bukan"
"Kedatanganku tanpa diundang ini tentu sangat di luar dugaan kalian bukan?" ucap si kakek setengah duduk.
"Tidak, sedikit pun tidak di luar dugaan." jawab Kiam-eng.
"Oo, apa betul?" si kakek tertawa.
"Betul," jawab Kiam-eng ketus. "Sebab selama ini memang sudah aku pikirkan dirimu."
Si kakek tampak merasa tidak mengerti "Masa aku ini orang yang selalu kau pikirkan?"
"Sudahlah, Jangan berlagak pilon lagi sesungguhnya su-heng dan su-so ku telah diapakan olehmu?"
tanya Kiam-eng langsung.
"Apa katamu" Jadi aku kau curigai sebagai orang yang menculik su-heng mu?" si kakek menegas dengan mata terbelalak.
"Memangnya bukan?" jengek Kiam-eng.
Si kakek menarik muka jawabnya, "Berdasarkan apa kau tuduh diriku sebagai penculik su-heng mu?"
"Berdasarkan granat tabir asap itu." jawab Kiam-eng. "Di dunia persilatan jaman ini, orang yang mahir membuat Yan-mo-tan (granat tabir asap) hanya Li-hun-nio-nio dan dirimu. Sedangkan Li-hun-nio-nio sudah aku selidiki dengan jelas bukanlah orang yang menculik su-heng ku."
Sam-bi-sin-ong tampak melengak demi mendengar istilah Yan-mo-tan atau granat tabir asap ucapnya,
"Hah, jadi su-heng mu diculik orang di bawah ledakan granat bertabir asap tebal itu?"
Tujuan Kiam-eng menuduh si kakek sebagai penculik su-heng nya sebenarnya cuma suatu cara untuk memancing pengakuan orang saja, kini melihat air muka orang menampilkan rasa kejut dan penasaran secara wajar diam-diam ia merasa kecurigaan sendiri kembali salah sasaran lagi.
Walaupun anak kecewa, namun ia tetap tanya dengan ketus, "Betul. Jenis Yan-mo-tan itu dapat membuat orang pingsan, kalau tidak begitu masakah su-heng dan su-so ku dapat kau culik begitu saja."
Sam-bi-sin-ong berkerenyit kening, ucapnya, "Seharusnya pernah kau dengar Yan-mo-tan buatanku itu hanya ada tiga jenis, yaitu yang menyiarkan bau harum, busuk dan pedas."


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika kamu dapat membuat ke tiga jenis granat itu, apa sulitnya bila membuat lagi sejenis granat tabir asap yang dapat membuat orang pingsan?" ujar Kiam-eng.
Si kakek mengetuk tongkatnya dengan marah ucapnya, "Omong kosong! Meski aku bukan manusia bersih dan lelaki sejati, sedikitnya tidak nanti melakukan hal-hal yang kotor dan rendah."
"Jika bukan dirimu, lantas siapa lagi di dunia persilatan ini yang mampu membuat Yan-mo-tan?" tanya Kiam-eng.
"Setahuku, masih ada lagi seorang yang mampu membuatnya," tutur Sam-bi-sin-ong setelah termenung sejenak.
"Cuma, rasanya orang itu pun bukan sasaran yang pantas kau curigai."
"Oo, siapa dia?" tanya Kiam-eng dengan girang.
"Tidak dapat aku katakan," jawab si kakek. "Sebab, kalau aku kau curigai masih ada alasannya sedangkan orang itu sama sekali tidak pantas kau curigai."
"Jika begitu, apa halangannya kau sebutkan saja," pinta Kiam-eng.
"Soalnya aku kuatir anak muda serupa dirimu ini akan sembarangan bicara dan bertindak," ujar Sam-bi-Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
sin-ong. Kiam-eng tertawa geli, katanya, "Hihi, jangan kau kira aku ini anak muda yang tidak dapat membedakan baik dan busuk. Jika Sam-bi-sin-ong sama bersihnya serupa Kiam-ong Ciong-Li-cin, tentunya aku pun takkan mencurigai dirimu."
Tiba-tiba si kakek juga tersenyum dan berucap, "Perkataanmu tidak salah, orang yang aku maksudkan justru adalah Kiam-ong Ciong-Li-cin."
Kiam-eng terkejut, ia berpaling dan tanya Keh-ki, "Hah, apa betul" Masa kakek guru kamu juga mahir membuat Yan-mo-tan?"
Ia merasa granat tabir asap itu biarpun bukan benda kotor, tapi juga tidak dapat dikatakan sebagai barang yang bermanfaat bagi umum. Sebab itulah ia kaget dan heran ketika mendengar Kiam-ong Ciong-Li-cin juga dapat membuat Yan-mo-tan.
Keh-ki tampak melengong, mendadak ia lolos pedang dan membentak sambil menuding Sam-bi-sin-ong,
"Tua bangka, kamu berani sembarangan mengoceh" Mana mungkin kakek guru membuat Yan-mo-tan segala" Apakah kamu ..." sampai di sini tampaknya segera ia hendak melabrak si kakek.
Namun Sam-bi-sin-ong tetap duduk saja dengan tenang jawabnya kemudian dengan tersenyum "Sabar dulu, nona Ih, dengarkan lagi penjelasanku."
Kiam-eng merasa kalau urusan tidak benar betapapun Sam-bi-sin-ong tidak berani memfitnah Kiam-ong Ciong-Li-cin, maka cepat ia cegah Keh-ki dan berkata, "Sabar sebentar nona Ih, dengarkan dulu penjelasannya."
"Baik, coba katakan, berdasarkan apa kau berani menuduh kakek guru juga mahir membuat Yan-mo-tan."
"Ini bukan tuduhan kosong melainkan kenyataannya memang begitu ..." sahut Sam-bi-sin-ong dengan tersenyum.
"Kentut! Apabila kakek guru mahir membuat Yan-mo-tan, mengapa selama ini aku tidak tahu?" omel Keh-ki.
"Juga bukan kentut, sebab kepandaian membuat Yan-mo-tan kakek gurumu itu justru adalah ajaranku,"
tutur Sam-bi-sin-ong dengan tertawa.
"Hah, engkau yang mengajarnya?" Keh-ki menegas dengan bingung.
"Betul," kata si kakek. "Itu kejadian 30 tahun yang lalu. Waktu itu kakek gurumu belum menjadi tokoh nomor satu di dunia, hubungannya denganku tidak terlampau jelek, pada suatu hari ia menyaksikan aku halau beberapa musuh dengan meledakkan Yan-mo-tan, ia merasa tertarik dan tanya padaku cara bagaimana membuat granat berasap itu. Karena bangga, tanpa pikir lantas aku beritahukan padanya resep membuat Yan-mo-tan ..."
Sampai di sini, ia merandek sejenak, lalu menyambung, "Cuma, meski kakek gurumu dapat membuat Yan-mo-tan, namun belum pernah dia terdengar menggunakan ... Makanya aku berani bilang dia bukan sasaran yang pantas dicurigai."
"Sudah tentu, mana aku berani mencurigai beliau," tukas Kiam-eng dengan mengangguk.
Rasa marah Keh-ki seketika lenyap demi mendengar sang kekasih tidak menaruh curiga lagi, segera ia tanya pula, "Kau bilang mempunyai hubungan tidak jelek dengan kakek guruku, mengapa selama ini tidak pernah aku dengar cerita beliau?"
Sam-bi-sin-ong tampak merasa terharu, tuturnya, "Aku bilang hubungan kami tidak jelek, itu kan peristiwa 30 tahun yang lampau. Kemudian nama kakek gurumu tambah lama tambah cemerlang, pribadinya juga semakin jujur dan lurus, mau-tak-mau aku rasa diriku tidak sepadan dengan dia dan lambat-laun aku pun menjauhi dia. Sampai sekarang, sudah belasan tahun tidak pernah berjumpa dengan kakek gurumu."
"Benar juga, lantaran pribadi kurang lurus, dengan sendirinya kakek guru pun tidak mau bergaul lagi denganmu," ujar Keh-ki dengan tertawa.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Haha, memang begitulah, makanya selama ini pula tidak berani aku ceritakan pada siapa pun bahwa Kiam-eng Ciong-Li-cin pernah menjadi sahabatku," kata si kakek dengan tergelak, lalu ia pandang Kiam-eng dan menyambung, "Nah, bila aku tidak kau curigai lagi sebagai penculik su-heng mu, maka bolehlah kita mulai berunding suatu bisnis."
"Tapi tidak pernah aku nyatakan tidak curiga lagi," jawab Kiam-eng dingin.
Si kakek tampak kurang senang, "Jika benar aku culik su-heng mu, untuk apa aku cari dirimu lagi?"
"Dengan sendirinya disebabkan su-heng ku tidak mau memberitahukan di mana letak kota emas yang misterius itu," ucap Kiam-eng.
"Lantas cara bagaimana baru kau mau percaya aku ini bukan penculik su-heng mu?" tanya si kakek dengan aseran.
"Entah, sukar aku katakan, namun tidak mungkin aku tidak curiga," kata Kiam-eng.
"Ya, masa bodohlah, kau mau curiga boleh terserah padamu, yang penting sekarang ingin aku rundingkan suatu bisnis denganmu."
"Apakah urusan Sai-hoa-to, karena dia telah jatuh ke dalam cengkeramanmu?" tanya Kiam-eng.
"Betul." sahut Sam-bi-sin-ong dengan tertawa "Sejak kamu menyamar sebagai Sai-hoa-to dan kemudian berada di bawah tawanan Hu-kui-ong hingga kalian dapat membekuk anak murid Tok-pi-sin-kun, semua itu dapat aku saksikan dengan baik karena sejauh itu diam-diam aku kuntit di sekitarmu. Hari itu aku lihat Sai-hoa-to meninggalkan kalian dan hendak datang sendiri ke Thian-ti namun aku rasakan ketinggian kung-fu nya tidak cukup kuat untuk membantu usahamu, maka telah aku ajak dia istirahat ke suatu tempat, aku putuskan akan menggantikan dia untuk membantumu."
Dengan sendirinya Kiam-eng tahu apa yang telah terjadi atas diri Sai-hoa-to, jengeknya kemudian,
"Lantas cara bagaimana akan kau gantikan Sai-hoa-to?"
"Begini," tutur Sam-bi-sin-ong. "Boleh kau masuk ke istana putar musuh dengan menyamar sebagai Oh-tok-hong, sementara itu aku dan nona Ih berjaga di tempat yang penting untuk menghalangi kepulangan Oh-tok-hong ke tempat gurunya itu. Kemudian bila dengan lancar dapat kau curi peta pusaka, hasilnya aku cuma minta satu per tiga bagian saja, dan segera aku bebaskan Sai-hoa-to. Jika malang kamu tertawan musuh, maka menjadi kewajibanku untuk menyerbu ke istana putar musuh untuk menolongmu. Bilamana terjadi demikian maka bagianku untuk kota emas itu adalah separuhnya. Nah, bagaimana pendapatmu, setuju?"
"Hm, jika benar aku tertawan musuh, apakah kamu mampu menyerbu ke istana musuh untuk menolongku?" jengek Kiam-eng.
"Rasanya sanggup," sahut Sam-bi-sin-ong dengan mengangguk. "Sebab aku pun ada hubungan cukup baik dengan Tok-pi-sin-kun, dapat aku gunakan kesempatan masuk ke istananya dan berdaya menyelamatkan dirimu ke luar.
Kiam-eng tahu sekali Sai-hoa-to sudah jatuh di tangan orang, kalau dirinya tidak menerima tawarannya tentu urusan bisa runyam, namun ia belum rela menerima begitu saja, katanya pula, "Gagasanmu juga tidak jelek, cuma sayang aku sudah berjanji pada Li-hun-nio-nio bila aku temukan kota emas itu nanti, seluruh kekayaan kota emas itu akan aku dermakan kepadanya untuk biaya Li-hun-to."
Sam-bi-sin-ong tertawa, katanya, "Sungguh aku sangat kagum terhadap keluhuran budimu, cuma aku kira, asalkan kau sumbangkan separuh hasil usahamu, ribuan perempuan cacat penghuni Li-hun-to itulah yang dapat merasakan hidup bahagia."
"Bagaimana kalau aku tolak tawaranmu?" tanya Kiam-eng.
"Jika begitu, terpaksa aku dekati Tok-pi-sin-kun untuk bekerja sama dengan dia," kata Sam-bi-sin-ong.
"Kau pikir Tok-pi-sin-kun mau bekerja sama denganmu?" dengus Kiam-eng.
"Pasti mau, sebab padaku ada suatu kartu penentu, yaitu Sai-hoa-to," kata si kakek.
"Jika begitu, mengapa kamu tidak langsung pergi mencari Tok-pi-sin-kun saja?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Itu adalah dua sebab," jawab Sam-bi-sin-ong dengan tertawa. "Pertama, biasanya aku sangat kagum terhadap pribadi gurumu, aku tidak ingin bermusuhan dengan kalian guru dan murid. Ke dua kendatipun aku bukan orang baik-baik, namun terkadang aku pun tidak suka bergaul dengan orang busuk. Akan tetapi bila kamu tidak suka menerima tawaranku, terpaksa aku pergi bergabung dengan Tok-pi-sin-kun."
Kiam-eng berlagak berpikir sejenak, lalu mengangguk dan berkata, "Baiklah, aku terima ... Dan sekarang Sai-hoa-to berada di mana?"
"Nanti kalau peta sudah kau dapatkan, dengan sendirinya akan aku bawa dia ke sini," kata si kakek.
Sejenak kemudian ia sambung pula dengan tertawa. "Sesudah peta kau dapatkan, hendaknya kau potong peta itu menjadi dua, sebagian diserahkan padaku, dengan begitu barulah aku bebaskan Sai-hoa-to."
"Hm, kau kira aku akan mungkir janji?" jengek Kiam-eng.
"Ini kan cuma suatu pertimbangan keamanan belaka. Tujuannya yang utama bila sebagian peta itu aku simpan, kalau ada orang hendak merebutnya kan tidak akan berguna baginya?"
Kiam-eng pikir bila benar peta itu sudah diperolehnya, tentu dapat dibacanya dulu hingga apal di luar kepala, habis itu baru dipotong sebagian untuk diserahkan kepada kakek sialan ini dengan demikian tentu pula takkan kuatir lagi si kakek akan main gila. Maka ia pun mengangguk dan menjawab, "Baiklah, aku terima semua permintaanmu."
"Lalu kapan kau mau masuk ke tempat Tok-pi-sin-kun?" tanya si kakek dengan tertawa senang.
"Lewat lohor esok segera aku berangkat," jawab Kiam-eng.
"Baik, tiga hari kemudian, apabila kamu belum juga pulang, itu menandakan kamu tertangkap musuh, dan segera akan aku pergi ke sana untuk menolongmu," habis berkata si kakek membuka pintu dan tinggal pergi.
Keh-ki melongok ke luar, hanya sekejap saja bayangan kakek itu sudah menghilang, ucapnya dengan gemas, "Hm, alangkah licinnya tua bangka ini!"
"Memangnya hendak kau buntuti dia untuk menolong Sai-hoa-to?" tanya Kiam-eng.
"Ya, masa tidak baik?" ujar Keh-ki.
"Kurang baik," kata Kiam-eng. "Sebab biarpun Sai-hoa-to dapat kita bebaskan dari tawanan Sam-bi-sin-ong, kan dia dapat segera memberitahukan kepada Tok-pi-sin-kun untuk menggagalkan operasi kita?"
"Ai, sungguh runyam, mengapa Sai-hoa-to bisa tertawan olehnya?" kata Keh-ki dengan gegetun.
"Ilmu pengobatan Sim-lo-cian-pwe maha sakti kalau bicara tentang kung-fu jelas dia bukan tandingan Sam-bi-sin-ong," tutur Kiam-eng.
"Ya, aku rasakan juga tua bangka ini tidak boleh diremehkan," ujar Keh-ki. "Lahirnya kelihatan ramah tamah. namun sesungguhnya dia lebih sukar dilayani daripada Bu-lim-sam-koai dan Kui-kok-ji-bu-siang.
Ia bilang pada waktu Hu-kui-ong menculikmu diam-diam ia sudah mulai mengikuti setiap kejadian, akan tetapi baru sekarang dia muncul, dari sini sudah dapat diketahui betapa licik dan licinnya rase tua ini."
"Kendati begitu, namun tindak kejahatannya tidak sebanyak Bu-lim-sam-koai dan Kui-kok-ji-bu-siang,"
kata Kiam-eng. "Malahan pernah aku dengar terkadang ia pun suka berbuat kebaikan."
"Dan bagaimana dengan kung-fu nya?" tanya Keh-ki pula.
"Konon sangat tinggi, terkenal sebagai tokoh ke lima di dunia persilatan jaman ini."
"Hah, jika begitu, gabungan tenaga kita berdua juga bukan tandingannya" Keh-ki menegas dengan terkesiap.
"Betul, malahan dia juga mempunyai senjata rahasia tiga macam Yan-mo-tan yang berbau harum, busuk dan pedas. Kalau kita bergebrak dengan dia, yang kecundang pasti kita."
"Su-kong (kakek guru) diakui sebagai tokoh nomor satu jaman ini, gurumu adalah tokoh nomor dua dan Tok-pi-sin-kun nomor tiga, tadi kau bilang Sam-bi-sin-ong adalah tokoh ke lima, lantas siapakah tokoh Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
nomor empat itu?"
"Yaitu Kai-pang Pang-cu It-sik-sin-kai Ang-Pek-ko," tutur Kiam-eng.
"Seorang kepala pengemis saja masa begitu lihai?" ujar Keh-ki.
"Jangan kau pandang rendah Kai-pang," kata Kiam-eng. "Di antara berbagai aliran dan golongan di dunia persilatan jaman ini yang paling berpengaruh justru adalah Kai-pang."
"Bagamana pula kung-fu ke-18 tokoh yang dahulu terbunuh di Hwe-liong-kok itu?"
"Di antara ke-18 tokoh itu, 12 orang di antaranya adalah penjabat ketua berbagai aliran dunia persilatan jaman ini dengan sendirinya kung-fu mereka pun terhitung kelas satu. Cuma kalau dibandingkan Sam-bisin-ong, mungkin mereka masih selisih sedikit di bawahnya."
"Jika kung-fu mereka tidak begitu tinggi mengapa mereka disebut sebagai ke-18 tokoh terkemuka dunia persilatan?" tanya Keh-ki.
"Sebabnya mereka disebut tokoh terkemuka konon berawal setelah pertemuan besar dunia persilatan belasan tahun yang lalu itu, ke-18 tokoh itu berturut-turut dikalahkan oleh kakek gurumu dan guruku, tapi lantaran mereka adalah ketua atau pemimpin sesuatu aliran atau golongan tersendiri, dengan sendirinya mereka kehilangan muka oleh kekalahan tersebut, maka ada orang mengusulkan agar mereka bersama-sama mempelajari sejurus ilmu pedang untuk menghadapi ilmu pedang kakek gurumu dan guruku yang sukar ditandingi itu."
Chapter 8. Rahasia 180 Patung Mas
"Gagasan itu ternyata mendapatkan kata sepakat di antara mereka, maka sejak tahun itu ke-18 tokoh itu lantas sering berkumpul, biasanya setiap bulan bertemu satu kali untuk mendiskusikan hasil pemikiran masing-masing atas ilmu pedang gabungan itu. Siapa tahu baru sempat berkumpul dua kali saja, entah sebab apa, pertemuan serupa lantas bubar begitu saja."
"Untung juga mereka bubarkan pertemuan begitu, kalau tidak, bukankah kakek guru dan gurumu akan dikalahkan oleh mereka?" ujar Keh-ki.
"Bisa jadi," sahut Kiam-eng dengan tertawa.
"Cuma terhadap pertemuan mereka yang sengaja mendiskusikan ilmu pedang sakti itu tidak menimbulkan permusuhan guruku, sebaliknya beliau sangat senang, sebab di pandang dari sudut mengembangkan ilmu silat secara murni, diskusi begitu memang sangat bermanfaat."
Ia merandek sejenak, lain menyambung, "Sebaliknya, biarpun titik sasaran diskusi mereka itu adalah ingin mengalahkan kakek gurumu dan guruku, namun mereka pun tetap sangat menghormati ke dua beliau, sedikitnya tidak ada rasa permusuhan dan dendam. Bahkan Bu-tek-sin-pian In-Giok-san, satu di antara ke-18 tokoh terkemuka itu, tetap menjadi sahabat karib guruku."
"Kemudian mereka sekaligus diracun dan gugur seluruhnya di Hwe-liong-kok, aku pikir pengganas yang membunuh mereka itu sangat mungkin ialah Tok-pi-sin-kun Pau-Thian-bun!" kata Keh-ki.
"Guruku juga menyaksikan hal ini, cuma sebelum diperoleh bukti nyata, betapapun tidak boleh sembarangan menuduh orang."
"Besok pada kesempatan kau masuk ke istana putar, kan sekaligus dapat kau selidiki hal tersebut. Bila berhasil menemukan bukti bahwa Tok-pi-sin-kun benar adalah pengganas yang membunuh ke-118 tokoh itu, hendaknya segera kita beritahukan kepada kakek guru dan gurumu untuk bersama-sama menumpasnya. Dengan begitu untuk mendapatkan Jian-lian-hok-leng itu tentu bukan soal dan tidak penting lagi."
"Tidak, biarpun sebelum penyakit ling-lung In-Ang-bi disembuhkan sudah diketahui siapa pengganas di Hwe-liong-kok itu, tetap juga akan aku dapatkan Jian-lian-hok-leng untuk mengobati penyakit In-Ang-bi," ucap Kiam-eng tegas.
"Su-heng mu juga berusaha hendak menyembuhkan penyakitnya, akibatnya dia sendiri menjadi cacat total, memangnya kamu tidak takut mengalami nasib serupa su-heng mu?" kata Keh-ki.
"Dalam kehidupan perguruan kami selalu tidak kenal apa artinya takut, asalkan urusan yang kami pandang pantas dilakukan, tentu kami laksanakan tanpa pamrih," ujar Kiam-eng.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Bagus, memang sudah aku ketahui kamu ini orang hebat," kata Keh-ki dengan tertawa. "Kelak bilamana penyakit In-Ang-bi sudah sembuh semoga aku tidak kau sepak begitu saja."
"Tampaknya kau sangka aku ada maksud tertentu terhadap In-Ang-bi," kata Kiam-eng tersenyum.
Keh-ki tertawa, untuk menandakan penyesalannya, mendadak ia menjatuhkan diri ke pangkuan anak muda itu dan bercumbu rayu dengan dia.
Sehari itu mereka tidak meninggalkan hotel melainkan cuma bermesraan di dalam kamar.
Esok paginya datanglah Sam-bi-sin-ong mengajak Keh-ki ke luar kota untuk mengamati Oh-tok-hong ber empat. Walaupun merasa berat berpisah dengan Su-Kiam-eng, terpaksa Keh-ki ikut pergi bersama Sambi-sin-ong.
Menyusul Kiam-eng pun meninggalkan hotel dengan membawa pakaian Oh-tok-hong, lebih dulu ia membeli seekor kuda di dalam kota, lalu ke luar kota dan mencari suatu tempat sepi, ia keluarkan alat keperluan rias dan mulai menyamar.
Ia merencanakan akan berangkat lewat lohor ia taksir menjelang magrib sudah dapat tiba di istana putar musuh. Sebab "pulang" ke istana putar pada waktu malam tentu lebih sulit diketahui penyamarannya oleh anak murid Tok-pi-sin-kun. Dengan sendirinya ia menyamar dengan sangat teliti, lebih dari satu jam ia merias diri baru terasa puas.
Kemudian ia duduk mengaso di situ, setelah lewat lohor barulah ia menjeplak ke atas kuda dan dilarikan cepat ke Thian-ti.
Waktu asap dapur sudah banyak mengepul di rumah penduduk, sampailah dia di sekitar istana putar musuh.
Soan-kiong atau istana putar adalah bangunan yang megah menghadapi danau dan membelakangi bukit.
Dipandang dari bentuknya serupa sebuah gedung besar orang kaya raya. Sepanjang mata memandang gedung susun berderet-deret, sedikitnya berjumlah ratusan. Tapi bila diamati lebih deretan bangunan itu ternyata bersambung satu sama lain, tidak ada satu pun yang berdiri sendiri sendiri. Sebab itulah bila dipandang begitu saja sangat mirip sebuah sarang tawon raksasa.
Di sekeliling istana putar itu banyak pepohonan tinggi besar dan menghijau permai.
Jalan yang menembus pintu gerbang istana putar itu dilandasi batu mengkilap, kedua samping jalan ada barisan tiang lampu yang rajin dan terasa kereng pula suasananya.
Sungguh, bagi orang yang tidak tahu seluk-beluknya tentu akan mengira majikan istana putar itu pasti seorang tokoh yang kereng luar biasa dan berwibawa.
Kiam-eng terus melarikan kudanya ke depan, diam-diam ia pun terkesiap melihat kemegahan kompleks bangunan istana putar itu.
Tiba-tiba pintu gerbang istana putar terbuka, dari dalam berlari ke luar tujuh penunggang kuda dengan cepat, segera pula Kiam-eng dapat mengenali dua di antara ke tujuh penunggang kuda itu adalah murid ke dua dan ke tiga Tok-pi-sin-kun, yaitu Ji-Liang dan Tong-hong-Bing.
Waktu diamati lagi, terlihat dua di antara rombongan itu adalah dua orang perempuan genit.
Segera pula Kiam-eng dapat memastikan mereka juga anak murid Tok-pi-sin-kun, cepat ia menunduk dan berlagak orang yang lelah dalam perjalanan jauh serta menyongsong rombongan mereka itu.
Ketika sudah agak dekat, mendadak terdengar Ji-Liang berteriak kaget, "Hei, bukankah itu Si-te (adik ke empat) sudah pulang?"
Dengan lagak lesu Kiam-eng mengangkat kepala dan memandang mereka sekejap, lalu pura pura kehabisan tenaga dan terperosot ke bawah kuda.
Ji-Liang bertujuh berseru kaget dan kuatir, serentak mereka melompat turun dari kuda masing-masing dan memburu maju untuk menolong.
Yang pertama mendekati Kiam-eng adalah Ji-Liang, cepat ia memayangnya bangun dan hanya kuatir Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Engkau kenapa, Su-te?"
Kiam-eng menampilkan senyum getir, ucapnya dengan suara yang dibikin lemah, "Ti ... tidak apa, aku cuma ... cuma mengalami sedikit luka dalam dan ... dan menempuh perjalanan selama belasan hari, maka ... "
"Oo, lalu cara bagaimana kau lari pulang?" tanya Ji-Liang cepat. "Dan bagaimana pula dengan Toa-suheng dan lain-lain?"
Kiam-eng tidak menjawab, ia cuma menghela napas panjang dan menunduk lemas, lagaknya itu seakan-akan hendak menyatakan sekarang jangan tanya dulu, biarlah aku mengaso sebentar.
Sebab itulah Tong-hong-Bing lantas menyambung, "Ji-ko, aku kira Si-te perlu istirahat dulu, marilah kita membawanya menemui Su-hu saja."
Ji-Liang mengangguk setuju dan segera mengangkat Kiam-eng dan dibawa jalan cepat ke arah istana putar.
Setelah menambat kuda masing-masing di tiang lampu, ke enam orang yang lain juga cepat menyusul di belakang Ji-Liang.
Dalam keadaan begitu, dengan sendirinya Kiam-eng tidak leluasa untuk memandang kian kemari, maka pemandangan sesudah memasuki pintu gerbang kompleks bangunan istana putar hampir tidak jelas lagi baginya. Waktu masuk ke dalam istana, yang terlihat cuma batu marmer belaka, baik lantai, dinding dan di mana-mana hampir melulu batu marmer yang bercahaya mengkilat.
Cuma, dari pajangan dalam bangunan yang terlintas di bawah pandangannya sudah cukup membuatnya terkesima, dilihatnya segala sesuatu di dalam istana putar itu sungguh teramat mewah, sama sekali tidak kalah dibandingkan istana raja.
Selagi heran, Ji-Liang yang memondongnya itu tiba-tiba berhenti di sebuah kamar batu marmer.
Entah cara bagaimana pula komunikasi diadakan, hanya sebentar saja Ji-Liang berada di situ, segera berkumandang suara seorang yang sangat dingin dari luar kamar, "Siapa itu?"
"Te-cu Ji-Liang adanya!"
"Oo, ada apa kau putar kembali ke sini?"
"Lapor Su-hu, Si-te Ki-Se-ki dapat pulang ke mari."
"Oo, cara bagaimana dia dapat lari pulang?"
"Te-cu belum sempat tanya padanya, sebab Si-te mengalami luka dalam, waktu bertemu dengan kami segera ia jatuh terperosot dari kudanya."
"Dan sekarang?"
"Sudah te-cu bawa kemari."
"Baik, coba bawa dia menemuiku di Cip-gi-tia (ruang pendopo pertemuan)."
Baru saja Ji-Liang mengiakan, mendadak dinding marmer di depan terpentang bagian tengah sehingga berwujud sebuah pintu.
Berturut-turut Ji-Liang bertujuh lantas masuk ke ruangan sana dengan mengusung Su-Kiam-eng.
Di balik pintu adalah sebuah jalan lorong yang panjang sempit, atas bawah dan kanan kiri jalan seluruhnya terdiri dari batu marmer, meski jarak sepuluh langkah tentu tergantung sebuah lampu gelas yang indah, namun tetap terasa suasana yang seram.
Sebelum berada di tempatnya tentu takkan merasakan bahaya nya. Sekarang Su-Kiam-eng mulai merasakan dirinya seperti memasuki neraka, secara mendalam dirasakannya sekalipun dirinya berhasil menemukan peta rahasia kota emas, untuk kabur keluar istana putar yang aneh ini mungkin jauh lebih sulit daripada terbang ke langit.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Sungguh, meski pengetahuannya dalam hal pesawat rahasia sangat sedikit, namun ia tahu di sekitar lorong sempit itu pasti banyak terpasang pesawat rahasia yang mengerikan di seluruh istana putar itu, mungkin cuma jalan lorong yang dilaluinya sekarang yang tidak terpasang perangkap. Akan tetapi lorong sempit ini paling-paling cuma seperseribu daripada seluruh luas istana putar, nanti bila dirinya berhasil mendapatkan peta lantas cara bagaimana akan dapat lolos dari tempat bahaya melalui jalan aman yang cuma seperseribu ini"
Selagi benak Kiam-eng diliputi berbagai tanda tanya itu tahu-tahu Ji Liang sudah berhenti di ujung lorong itu. Segera Kiam-eng merasa tegang pikirnya, "Ah, sudah sampai di tempat tujuan. Segera akan dapat aku lihat bagaimana wujud si iblis besar Tok-pi-sin-kun Pau-Thian-bun!"
Namun di luar dugaannya, ketika dinding marmer di kanan ujung lorong itu mulai terbuka dengan perlahan, yang terlihat olehnya bukanlah ruang pendopo segala melainkan ada sebuah lorong lagi.
Seketika perasaan Kiam-eng tertekan, pikirnya "Wah, rupanya masih jauh!"
Memang tidak salah, setelah lorong ke dua ini ditelusuri ternyata masih ada lorong yang lain lagi, akhirnya mereka masuk ke sebuah kamar batu yang kecil, mendadak kamar batu itu mengapung ke atas dengan perlahan, entah berapa tinggi kamar itu naik ke atas, ketika berhenti, sebuah pintu terbuka secara otomatis, baru sekarang mereka benar-benar sampai di ruangan pendopo.
Cip-gi-tia atau ruang pendopo itu juga sebuah ruang batu marmer yang sangat luas, semuanya teratur indah dan megah, jauh untuk bisa dibandingi dengan ruang tamu umumnya. Cirinya yang khas adalah semua meja kursi di ruang ini juga terbuat dari batu marmer.
Sebuah kursi marmer besar di tengah ruang saat itu diduduki seorang lelaki setengah umur berwajah putih cakap. Di belakang orang setengah baya ini berdiri dua pelayan gadis jelita berdandan seperti dayang keraton.
Kalau tidak melihat lengan baju kiri orang setengah umur itu ternyata kosong tanpa lengan, hampir Su-Kiam-eng tidak percaya bahwa orang inilah Tok-pi-sin-kun Pau-Thian-bun yang namanya mengguncangkan dunia persilatan itu.
Menurut bayangan Su-Kiam-eng, selama ini ia sangka Tok-pi-sin-kun si malaikat sakti lengan tunggal pasti seorang kakek yang berwajah bengis dan aneh, sama sekali tak terduga bahwa tokoh termashur justru seorang lelaki setengah baya dengan wajah cakap dan sikap lembut.
Dengan sendirinya sebelumnya ia sudah tahu umur Tok-pik-sin-kun sudah melebihi 70, tapi tampaknya sekarang usia orang serupa setengah baya saja, diam-diam ia pikir pasti tokoh lengan satu itu mahir merawat diri dan banyak makan obat kuat awet muda.
Sekarang, begitu Tok-pi-sin-kun melihat Ji-Liang masuk dengan memondong satu orang, langsung ia lantas menegur, "Apakah parah lukanya?"
Dengan hormat Ji-Liang menjawab, "Seperti tidak terlalu parah, namun akibat kelelahan dalam perjalanan selama belasan hari sehingga kehabisan tenaga ... "
"Ya, taruh dia di lantai," potong Tok-pi-sin-kun sambil mengangguk.
Perlahan Ji-Liang menurunkan Su-Kiam-eng.
Tok-pi-sin-kun berbangkit perlahan dan mendekati Kiam-eng ia berjongkok dan memegang urat nadinya sejenak lalu berucap dengan kening berkerenyit, "Ehm, hanya jantungnya berdenyut agak terlampau cepat yang lain semuanya normal."
Pada saat itu jantung Su-Kiam-eng memang berdebar terlebih keras daripada biasanya, ini disebabkan pikirannya diliputi ketegangan yang sangat.
Maklumlah, apa yang dihadapinya ini kan detik yang menentukan sukses atau gagal serta hidup dan matinya.
Untung juga ketegangannya itu menimbulkan denyut nadinya yang terlebih keras dari pada biasanya sehingga menambah kesungguhannya, dari sikap Tok-pi-sin-kun sesudah memeriksa nadinya, dapatlah Kiam-eng mengetahui dirinya telah berhasil mengelabui lawan.
Perlahan ia memandang lurus ke arah Tok-pi-sin-kun, dengan lagak ada napas tanpa tenaga ia berseru, Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Su ... Su-hu ... "
Tok-pi-sin-kun mengiakan perlahan. "Padamu kan selalu terbawa Tai-hoan-po-beng-tan (pil sakti pelindung nyawa), mengapa tidak kau minum barang satu biji?"
"Tai-hoan-po-beng-tan ... pil itu telah ... telah hilang sewaktu te-cu bertempur," jawab Kiam-eng lemah.
Tok-pi-sin-kun berdiri lalu berpaling dan berkata terhadap Ji-Liang, "Beri minum sebiji Tai-hoan-po-beng-tan untuk Si-su-te mu!"
Si harimau terbang Ji-Liang cepat mengeluarkan sebuah botol porselen kecil, dituangnya ke luar satu biji pil sebesar kedelai kuning terus dijejalkan ke mulut Su-Kiam-eng.
Pernah juga Kiam-eng mendengar Tai-hoan-po-beng-tan adalah obat mujarab penyembuh luka dalam buatan khas Tok-pi-sin-kun, obat mujarab yang ces-pleng, maka setelah minum obat, sejenak kemudian ia pura-pura sembuh mendadak terus duduk.
Tok-pi-sin-kun duduk kembali di kursi batu marmer, katanya, "Sekarang coba ceritakan pengalamanmu."
Kiam-eng berlagak menyesal dan malu, tuturnya, "Cara bagaimana te-cu jatuh ke dalam cengkeraman Su-Kiam-eng mungkin Su-hu sudah mendapat laporan?"
Tok-pi-sin-kun mengangguk. "Ehm, aku dengar Su-Kiam-eng menyaru sebagai Peng-Tai-siu dan memukulmu hingga pingsan, kemudian bagaimana?"
"Entah berselang berapa lama setelah te-cu pingsan, ketika perlahan te-cu siuman kembali, te-cu merasa anggota badan kaku tak bisa bergerak, rupanya hiat-to kelumpuhan te-cu ditutuk orang sehingga tak sanggup berkutik. Segera te-cu menyadari apa yang terjadi, maka te-cu sengaja berlagak masih belum sadar dan diam-diam mengerahkan tenaga dalam untuk membuka hiat-to yang tertutuk ..."
Melihat penuturan "Oh-tok-hong" mendadak berhenti, Tok-pi-sin-kun tidak sabar, bentaknya, "Lalu bagaimana, teruskan!"
"Pada saat itulah te-cu mendengar ada suara, orang bicara di samping te-cu, yaitu seorang tua, seorang pemuda dan seorang nona, tatkala itu cuma mendengar suara orang tua itu adalah Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho, namun tidak tahu siapa anak muda dan si nona. Cuma setelah mengenali suara Sai-hoa-to segera te-cu menyadari terjadi sesuatu di luar dugaan ..."
"Apa yang dibicarakan mereka waktu itu?" tanya Tok-pi-sin-kun.
"Te-cu dengar si nona berkata, "Kakak Eng, cara bagaimana akan membereskan ke empat orang ini".
Pemuda yang dipanggil kakak Eng itu menjawab, "Ke empat orang ini adalah murid Tok-pi-sin-kun, seharusnya mereka dihukum mati saja, cuma kita masih perlu menuju ke istana putar musuh untuk merebut kembali peta pusaka, untuk menjaga kemungkinan di luar dugaannya, agaknya kita perlu mengatur langkah mundur ... "
"Lalu te-cu mendengar Sai-hoa-to menukas, "Betul, Tok-pi-sin-kun itu terhitung seorang gembong iblis yang berhati keji dan ringan tangan. Jika ia tahu kalian membunuh anak muridnya, tentu dia takkan melepaskanmu begitu saja. Maka aku kira untuk sementara ini jangan membunuh ke empat orang ini.
Biarlah sekarang kita kurung dulu mereka, kemudian kalian menuju ke istana musuh untuk mencuri peta. Jika berhasil tentu tidak menjadi soal lagi, sebaliknya bila gagal, ke empat orang ini kan berguna dijadikan sandera untuk memeriksa Tok-pi-sin-kun menyerahkan peta."
"Lantas terdengar si pemuda menanggapi. 'Betul, memang begitulah maksudku.' Dan si nona pun setuju, katanya, 'Jika begitu, lantas ke empat orang ini akan dikurung di mana"' "
"Sai-hoa-to menjawab, "Kan di sini ada kereta kuda yang tersedia, biarlah aku bawa mereka ke Hoai-hoa, ada seorang sahabatku tinggal di kota itu.' "
"Pemuda itu menegas, 'Sim-lo-cian-pwe mempunyai sahabat yang tinggal di Hoai-hoa" dan Sai-hoa-to menjawab, Ya, namanya Tian-Hong berjuluk Cau-siang-hui (si terbang di atas rumput), seorang tokoh tua yang sudah lama mengasingkan diri, ada hubungan akrab antara dia dan aku.'
"Si pemuda menyatakan setuju, habis itu mereka bicara lagi sebentar kemudian baru te-cu tahu bahwa anak muda itu bernama Su-Kiam-eng, murid kedua Kiam-ho Lok-Cing-hui sedangkan si nona adalah cucu murid Kiam-ong Ciong-Li-cin, putri Hong-hun-kiam-hiap Ih-Kik-pin, namanya Ih-Keh-ki ..."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Kemudian cara bagaimana kamu dapat lolos dan pulang ke sini?" tanya Tok-pi-sin-kun.
"Sesudah te-cu tahu siapa anak muda dan si nona, meski hiat-to sudah berhasil aku jebol, namun te-cu merasa tidak mampu kabur di depan ke tiga musuh itu maka te-cu tetap berlagak pingsan. Tidak lama kemudian Su-Kiam-eng dan Ih Keh-ki lantas berangkat pada malam itu juga, menyusul Sai-hoa-to melemparkan kami ber empat ke dalam kereta dan menyuruh kusir membawa kereta ke luar kota menuju ke Hoai-hoa.
"Te-cu tunggu setelah beberapa li kereta meninggalkan kota barulah melompat turun dari kereta, tak terduga ketika akan meloloskan diri Sai-hoa-to sempat melancarkan suatu pukulan kepada te-cu meski tidak terlampau keras, namun te-cu tambah tidak sanggup menolong Toa-su-heng dan kedua kawan yang lain terpaksa te-cu kabur ke dalam hutan di tepi jalan."
"Kemudian ada maksud te-cu hendak mengejar ke sana untuk menolong Toa-su-heng bertiga, namun setelah te-cu pikir Su-Kiam-eng dan Ih-Keh-ki berdua sudah berangkat menuju ke tempat Su-hu, kalau te-cu tidak lekas pulang untuk memberi lapor kepada Su-hu bisa jadi tempat kita ini akan kebobolan karena sama sekali tidak menduga akan disusupi musuh. Maka te-cu telah membeli seekor kuda siang dan malam membedal pulang kemari ... "
Sampai di siu, Tok-pi-sin-kun manggut-manggut tanda puas, katanya, "Ehm, seharusnya kamu mesti menyusul ke sana untuk menolong Toa-su-heng mu sebab ke dua su-heng mu yang lain kan tidak tertawan oleh Su-Kiam-eng bila mereka keburu pulang, memangnya kuatir akan kebobolan oleh datangnya Su-Kiam-eng berdua?"
Kiam-eng berlagak gugup dan menjura, "Ya, te-cu memang kurang pikir. Cuma te-cu mengira Ji-su-heng dan Sam-su-heng tidak tahu akan kedatangan Su-Kiam-eng ke Thian-ti sini, maka ... maka ..."
"Sudahlah," potong Tok-pi-sin-kun, "syukurlah jejak Toa-su-heng mu bertiga sudah diketahui, maka aku pun tidak mau menyalahkanmu lagi."
"Terima kasih atas kemurahan hati Su-hu," cepat Kiam-eng menjawab.
Lalu Tok-pi-sin-kun berkata terhadap Ji-Liang bertujuh, "Sekarang kalian sudah tahu jejak Toa-su-heng mu bertiga, maka aku beri batas waktu 40 hari, betapapun kalian harus berhasil membawa mereka pulang dengan selamat."
Cepat Ji-Liang mengiakan dengan hormat katanya, "Cuma te-cu merasa, apabila Toa-su-heng benar dibawa ke tempat kediaman Cau-siang-hui Tian-Hong dan dikurung di sana oleh Sai-hoa-to, kini cukup kita mengirim tiga kawan saja ke sana." rasanya te-cu bertujuh tidak perlu ikut pergi seluruhnya."
"Betul juga," Tok-pi-sin-kun mengangguk. "Maka boleh kau pergi bersama Tong-hong-Beng dan Ke-it-liong saja."
Ji-Liang, Tong-hong-Beng dan murid ke lima Tok-pi-sin-kun, Hwe-pian-hok Ke-It-liong, si kelelawar kelabu, ke tiga nya mengiakan dengan hormat dan mengundurkan diri.
Sorot mata Tok-pi-sin-kun yang tajam menyapu pandang sisa ke empat muridnya yang masih di situ katanya dengan bengis. "Aku yakin sekarang Su-Kiam-eng dan Ih-Keh-ki sudah sampai di Thian-ti, maka mulai malam ini kalian harus lebih waspada, bilamana melihat orang yang mencurigakan mendekati istana, harus cepat memberi laporan!"
Ke empat orang serentak mengiakan dengan sangat hormat, "Baiklah, sekarang kalian boleh ke luar,"
kata Tok-pi-sin-kun.
Maka Su-Kiam-eng lantas ikut ke empat su-te dan su-moai mengundurkan diri dari Cip-gi-tia dan masuk ke kamar batu kecil tadi untuk turun ke bawah, kemudian ke luar menelusuri lorong-lorong panjang itu.
Sekarang Su-Kiam-eng mulai menghadapi masalah kedua.
Ia tahu ke empat "su-te dan su-moai" yang bersamanya sekarang, yang seorang bernama Hoa-oh-tiap Yap-Hui, si kupu-kupu belang, seorang lagi bernama Tok-kiat Im-Som-hiong, si kalajengking berbisa.
Adapun ke dua yang lain adalah su-moai (adik seperguruan perempuan), yang seorang bernama Goat-he-bi-jin Tiau-Soat-lan, si cantik bulan purnama, dan yang lain bernama Giok-bin-lo-san Lo-Giok-bi, si hantu bermuka putih.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Masalahnya sekarang adalah, siapa di antara mereka itu yang bernama Hoa-oh-tiap Yap-Hui" Dan yang mana lagi yang bernama Giok-he-bi-jin Tiau-Soat-lan dan seterusnya.
Bilamana sekarang ia tidak dapat menyebut nama mereka dengan tepat, tentu kepalsuannya akan ketahuan juga.
Selain itu, ia masih harus memahami segala kebiasaan Oh-tok-hong, yang perlu segera diketahuinya adalah di mana letak kamarnya sendiri.
Untuk memancing keterangan, terpaksa Kiam-eng mengada-ada dan mengajak bicara mereka, tiba-tiba ia telah didahului, "Eh, Si-ko, aku dengar Su-Kiam-eng itu sangat ganteng dan cakap, apa betul?"
Yang bertanya ini adalah satu di antara ke dua su-moai itu usianya kira-kira 23 atau 24 alisnya lentik matanya jeli bibir merah dan gigi putih rajin bak biji ketimun, lagak lagunya genit senyumnya juga menggiurkan orang.
Dengan tak acuh Kiam-eng menjawabnya, "Oo, kau dengar dari siapa?"
Nona genit itu menjawab dengan tertawa, "Dari cerita Sam-su-ko ia menantangku berani memikat Su-Kiam-eng atau tidak maka perlu aku cari keterangan dulu mengenai orangnya."
"Jadi kamu bermaksud memikat Su-Kiam-eng itu."
"Betul," jawab si nona genit. "Sam-ko mengira aku si cantik bulan purnama ini tidak berani mengusik orang she Su itu, maka sengaja aku terima tantangannya, aku akan beraksi biar dia tahu kemampuanku."
Diam-diam Kiam-eng merasa girang, ia pikir sungguh kebetulan, selagi kebingungan karena tidak tahu siapa siapa di antara kalian sekarang kamu mengaku sebagai si cantik bulan purnama Tiau-Soat-lan maka dengan sendirinya kawanmu itu adalah Giok-lo-sat Lo-Giok-bi.
Dengan tertawa ia pun menanggapi, "Kau ingin memikat Su-Kiam-eng, aku kira harapanmu sukar terkabul. Sebab di samping pemuda she Su itu aku lihat selalu ada seorang nona cantik namanya Ih-Keh-ki."
"Hm, budak sekecil itu tahu apa?" jengek Tiau-Soat-lan. "Anak ingusan seperti itu masakah aku pandang sebelah mata?"
Sementara itu satu di antara su-te juga ikut bertanya, "Eh, ya, Si-ko, sesungguhnya betapa cantiknya nona she Ih itu?"
Su-Kiam-eng berlagak mendengus dengan tertawa, "Hm, tampaknya kau pun menaksir anak gadis orang?"
Pemuda itu tertawa dan menjawab, "Ah, masakah Si-ko kuatir aku jatuh hati terhadap nona keluarga Ih itu?"
"Betul," jawab Kiam-eng sungguh sungguh, "Ih-Keh-ki itu putri kesayangan Hong-hun-kiam-hiap Ih-Kik-pin, coba bayangkan, betapa tinggi ilmu pedangnya ajaran raja pedang Ciong-Li-cin itu" Jadi nona Ih itu boleh diibaratkan setangkai mawar berduri"
"Haha, apabila Si-ko takut, biarlah aku si-kupu-kupu belang saja yang mengerjai dia," seru pemuda tadi dengan tergelak.
Diam-diam Kiam-eng gembira, sebab sekarang ia sudah kenal siapa mereka berempat ini. Ia pikir sekarang tinggal berusaha menemukan kamar Oh-tok-hong saja, lalu dapatlah ia melaksanakan operasinya dengan bebas di lingkungan istana putar musuh ini.
Dengan tertawa ia berkata pula "Jika Lak-te menaksir nona Ih biarlah aku mengalah tapi bila kamu berbalik tertusuk oleh duri mawar yang tajam itu kelak jangan mengeluh."
Hoa-oh-tiap tertawa senang ucapnya, "Tidak mungkin terjadi. Soalnya sekarang adalah Ih-Keh-ki itu benar cantik atau tidak" Bila wajahnya cuma biasa-biasa saja, kan tiada gunanya bagiku."
"Biarpun tidak aku ketahui bagaimana wajahnya tapi dari suaranya yang merdu itu aku kira tidaklah Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
jelek," ujar Kiam-eng.
Si cantik bulan purnama ikut menimbrung. "Eh, Si-ko engkau belum lagi menjawab pertanyaanku tadi.
Su-Kiam-eng itu cakap benar atau tidak?"
"Waktu itu aku sendiri jatuh pingsan pada hakikatnya tidak tahu jelas wajah Su-Kiam-eng, dari mana aku tahu dia cakap atau tidak?" tutur Kiam-eng.
Si cantik bulan purnama menarik alis, ucapnya dengan tertawa renyah "Aku yakin dia pasti sangat ganteng kalau tidak masakah Ih-Keh-ki itu mau mengikuti dia kian kemari."
Tengah bicara, mereka pun sudah keluar dari lorong panjang itu dan sampai di suatu serambi kecil.
Serambi ini terletak di tengah istana putar, luasnya antara beberapa meter, sekelilingnya adalah kamar berloteng, seluruhnya lima tingkat dan tingginya 20-30 meter. Setiap tingkat ada pintu yang menghadap ke arah serambi bawah. Jelas tempat inilah merupakan jantung istana putar atau tempat kediaman Tok-pi-sin-kun.
Waktu Kiam-eng bersama ke empat "su-te dan su-moai" memasuki serambi tengah itu, mendadak terdengar di bagian atas ada seorang nenek berseru, "He, Si-kong-cu sudah pulang?"
Kiam-eng mendongak dan melihat di depan loteng tingkat tiga ada seorang nenek berambut ubanan, tulang pipinya menonjol, sedang memandang ke bawah, ia tahu nenek itu tentulah salah seorang pembantu andalan Tok-pi-sin-kun, yaitu Tok-po-po Biau-Kim-ki.
Dengan tertawa ia lantas menjawab, "Betul engkau belum tidur?"
Nenek itu memang betul Biau-Kim-ki, si nenek berbisa, salah satu pembantu Tok-pi-sin-kun yang disegani. Ia tertawa mendengar jawaban Kiam-eng, serunya, "Tidur" Hih, bilakah kau lihat nyonya tua tidur sedini ini" Ayolah naik kemari, lekas ceritakan pengalamanmu cara bagaimana kamu dapat lari pulang."
Kiam-eng menjadi ragu dan serba salah apakah harus naik ke atas untuk bicara seperti apa yang diminta itu. Tengah sangsi, terlihat ke empat "Su-te dan Su-moai" tadi telah terpencar dan masuk ke kamar masing-masing, bahkan diketahui mereka sama sekali tidak menggubris terhadap Tok-po-po Biau-Kim-ki.
Karena itulah Kiam-eng merasa dirinya pun tidak perlu menggubris permintaan nenek itu, segera ia berkata dengan menggeleng, "Biarlah bicara besok saja, aku sangat lelah karena menempuh perjalanan jauh, aku harus istirahat dulu!"
Sembari bicara ia pun melangkah ke arah kamar di depan serambi sana.
Sebabnya dia menuju ke kamar itu karena menurut perhitungannya kamar Hoa-oh-tiap terletak nomor dua di sebelah kiri, sedangkan kamar Giok-bin-lo-sat, Goat-he-bi-jin dan lain-lain berurut-urutan dengan kamar Hoa-oh-tiap, ini menandakan kamar mereka pun terletak berurutan menurut urutan tua muda mereka.
Dan kalau begitu, Oh-tok-hong diketahui murid ke empat, sedang Hoa-oh-tiap nomor enam, itu berarti kamar Oh-tok-hong terletak ke dua di sebelah kiri Hoa-oh-tiap, sebab itulah ia langsung menuju kamar yang diincar.
Waktu ia tolak pintu kamar, terlihat alat perabot di dalam kamar sangat indah, kasur selimut di tempat tidur rajin teratur, ia yakin ini kamar Oh-tok-hong, maka tanpa ragu ia masuk ke situ.
Selagi ia hendak merapatkan pintu kamar tiba-tiba sebuah tangan mendorong pintu yang hampir merapat itu, waktu ia pandang, kiranya Tok-po-po Biau-Kim-ki adanya. Terkesiap hati Kiam-eng ia berlagak tersenyum getir dan berkata, "Sudah aku katakan aku lelah dan ingin istirahat dulu."
Si nenek terus melangkah ke dalam kamar ucapnya dengan menyengir, "Aku justru ingin tahu dulu pengalamanmu kabur pulang ke sini."
"Baru saja aku minum satu biji Tai-hoan po-beng-tan sehingga dapat berjalan," tutur Kiam-eng.
Si nenek tampaknya memang Sok usilan, bukannya pergi ia berbalik duduk di sebuah bangku batu di dalam kamar ucapnya dengan tertawa. "Boleh kau ceritakan dengan rebah di tempat tidurmu."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Kiam-eng pura-pura kesal, ia duduk di tepi tempat tidur dan membuka sepatu lalu berbaring tanpa buka baju dengan malas ia berkata, "Aku terjungkal habis-habisan apanya yang berharga aku ceritakan?"


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku dengar kamu ditawan Su-Kiam-eng, kemudian cara bagaimana kamu berhasil kabur pulang," tanya si nenek.
Dari gelagatnya Kiam-eng dapat menilai si nenek ini pasti seorang perempuan ceriwis, perempuan bawel, ia pikir biarlah omong kosong sedikit juga tidak menjadi soal, maka ia ulangi ceritanya seperti apa yang dikatakan pada Tok-pi-sin-kun tadi. Akhirnya ia menyengir dan menambahkan, "Coba lihat, begitulah caraku lari pulang ke sini, lucu bukan?"
"Betapapun dapatlah kamu menyelamatkan jiwa, memangnya kamu tidak bersyukur?"
"Akan tetapi sebenarnya kesempatan itu ingin aku gunakan untuk menyelamatkan Toa-su-heng bertiga, akhirnya gagal sama sekali," kata Kiam-eng.
"Sekarang Ji-su-heng dan Sam-su-heng mu sudah memburu ke sana tentu keselamatan Toa-su-heng mu tidak menjadi soal lagi ... Eh, coba jawab, barang yang aku pesan itu sudah kau belikan atau tidak?"
Kiam-eng terkejut dan bingung, cepat jawabnya dengan menggeleng, "O, ya, belum, lupa."
"Huh, kalau main perempuan tentu kamu tidak lupa," jengek si nenek kurang senang.
"Jangan sembarang omong," ujar Kiam-eng, "Kepergianku ke Tiong-goan ini sama sekali tidak pernah menjamah orang perempuan. Pengawasan Toa-su-heng teramat ketat."
"Ah, aku tidak percaya," kata si nenek. "Satu hari tanpa teman tidur orang perempuan, mana Oh-tok-hong bisa tidur nyenyak. Masih juga berani kau bilang tidak pernah main perempuan."
"Betul soalnya Toa-su-heng mengawasi kami dengan ketat, selain itu juga sukar mendapatkan perempuan cantik maka sekali saja tidak pernah main."
"Cis, omong kosong," omel si nenek. "Tiong-goan seluas itu, masakah seorang perempuan cantik saja tidak dapat kau temukan?"
"Ya, mungkin nasib lagi jelek," ujar Kiam-eng. "Cuma, bicara sesungguhnya, setelah aku lihat ke sana dan pandang kemari aku rasa betapa cantiknya perempuan Tiong-goan tetap tidak melebihi beberapa nona yang mendampingi Su-hu itu."
"Busyet, tampaknya kamu lagi menaksir si kundai emas yang meladeni gurumu itu?" goda si nenek dengan tertawa.
"Omong kosong," cepat Kiam-eng membantah, "Maksudku kan cuma untuk perumpamaan saja."
Mendadak Tok-po-po berdiri dan tertawa ngekek, katanya, "Sin-kun, silakan masuk menemui muridmu."
Selagi Kiam-eng melengak bingung, tahu-tahu pintu kamar didorong orang, ternyata yang melangkah masuk itu memang betul Tok-pi-sin-kun adanya. Di belakang sang guru bahkan ikut pula dua orang tua, seorang gemuk dan seorang lagi kurus.
Melihat wajah Tok-pi-sin-kun yang menampilkan senyum dingin, diam-diam Kiam-eng merasa gelagat tidak enak, cepat ia melompat turun dan memberi hormat, sapanya, "Su-hu, mengapa engkau datang sendiri ke kamar te-cu?"
"Hehe, kan boleh aku datang menjenguk murid kesayanganku," sahut Tok-pi-sin-kun dengan terkekeh.
"Gurumu dapat menerima murid Kiam-ho Lok-Cing-hui menjadi murid sungguh aku sangat bangga dan gembira."
Keruan Kiam-eng terkejut, seketika ia melongo dan tidak sanggup menjawab.
Sama sekali tak terduga olehnya bahwa belum seberapa lama ia masuk ke istana putar musuh seketika juga kedoknya lantas terbuka.
Ia coba merenungkan ucapan Tok-po-po yang terakhir tadi jelas nenek itu diperintah Tok-pi-sin-kun untuk menjajaki kepalsuan dirinya. Ia tidak habis mengerti dengan cara bagaimana Tok-pi-sin-kun dapat mengetahui penyamarannya"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Jangan-jangan Oh-tok-hong berhasil lari pulang ke sini" Rasanya toh tidak mungkin. Andaikan Oh-tok-hong dapat pulang dengan selamat sedikitnya akan terlambat dua-tiga hari daripada dirinya yang menunggang kuda pilihan.
Habis ciri kelemahan apa yang dapat dilihat Tok-pi-sin-kun"
Selagi termenung bingung, mendadak Tok-pi-sin-kun menengadah dan bergelak tertawa, ia tuding kedua kakek gemuk kurus di belakangnya dan berkata "Begini, apabila kamu sanggup terka siapa di antara mereka ini Thian-ti-it-koai Bau-Hai-san dan siapa Hiat-pit-kui-su Uh-Bun-an maka bolehlah aku akui dirimu sebagai muridku."
Kiam-eng menyadari urusan bisa makin runyam bila dirinya tetap berlagak pilon, sedapatnya ia tenangkan diri dan segera mengusap mukanya sehingga kembali pada wajah aslinya, lalu berkata dengan tertawa, "Aha, rupanya Anda sudah tahu siapa diriku, buat apa mesti banyak omong kosong lagi!"
"Haha, bagus!" seru Tok-pi-sin-kun dengan tergelak. "Ahli waris Kiam-ho Lok-Cing-hui memang berani dan pandai. Kamu Su-Kiam-eng memang jauh lebih gesit daripada kesembilan muridnya."
"Ah, panglima yang kalah masa berani bicara tentang keperkasaannya," ujar Kiam-eng dengan tertawa.
"Cuma ingin aku tanya, cara bagaimana Anda dapat melihat penyamaranku."
"Bukan melihat melainkan dapat aku cium," ucap Tok-pi-sin-kun dengan tertawa.
"Dapat mencium?" Kiam-eng menegas dengan melengong.
"Ya, sebab dapat aku cium bau khas badan ke sembilan muridku itu," tutur Tok-pi-sin-kun dengan bangga. "Tadi waktu aku pegang urat nadimu, aku rasakan bau badanmu tidak benar, seketika timbul rasa curigaku. Namun kepandaianmu merias muka memang hebat sehingga tidak berani aku pastikan hal itu, maka sengaja aku suruh Co-hou-hoat wakil pertama pembela agama, maksudnya si nenek Tok-po-po untuk menyelidiki dirimu. Hasilnya membuktikan kamu memang barang palsu, sebab pada hakikatnya Co-hou hoat tidak pernah pesan minta dibelikan barang segala, juga di sampingku tidak ada pelayan yang bernama si kundai emas."
Bicara sampai di sini segera Tok-pi-sin-kun melangkah ke luar kamar sambil memberi perintah, "Bawa dia ke luar!"
Tok-po-po lantas memberi tanda pada Su-Kiam-eng, katanya, "Ayo jalan, ke luar sana"
Diam-diam Kiam-eng sudah mengamati keadaan, ia tahu tiada gunanya membantah, maka dengan bersitegang leher ia ikut ke luar.
Sementara itu di halaman tengah tadi sudah berdiri menunggu Hoa-oh-tiap, Tok-kat Giok-bin-lo-sat dan Goat-he-bi-jin berempat, bahkan ke tiga orang yang disuruh ke Hoai-hoa yaitu Pek-hui-hou, Kim-ci-pa dan Hwe-pian-hok juga hadir di situ.
Air muka Hoa-oh-tiap berempat tampak mengunjuk rasa heran dan bingung, ini menandakan mereka pun baru saja diberi tahu bahwa Oh-tok-hong adalah gadungan, makanya mereka kaget dan bingung.
Tok-pi-sin-kun berdiri di depan ke tujuh orang itu dengan air muka masam diliputi hawa membunuh, agaknya bila Su-Kiam-eng tidak memberi pengakuan sejujurnya, seketika dia akan turun tangan membunuhnya.
Kiam-eng pun berdiri beberapa langkah di depan mereka, wajah tetap dihiasi senyuman santai, sebab sebelumnya sudah dirancangnya jawaban apa yang akan diberikan.
Melihat ketenangan anak muda itu, Tok-pi-sin-kun mendengus, "Nah, bicaralah, telah kau apakan ke empat muridku itu?"
"Sudah dibawa pergi oleh Sai-hoa-to dan nona Ih." jawab Kiam-eng.
"Dibawa ke mana?" tanya Tok-pi-sin-kun dengan menarik muka.
"Hal ini menyangkut mati-hidupku, mana boleh aku beritahukan begitu saja?" jawab Kiam-eng tenang.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Sorot mata Tok-pi-sin-kun menampilkan napsu membunuh yang berkobar, ucapnya dengan tertawa dingin, "Jadi kamu berkenan tidak mau mengaku?"
"Ya, tidak!" jawab Kiam-eng tegas.
"Kau kira dengan sikap keras kepalamu ini nyawamu akan dapat dipertahankan?" jengek Tok-pi-sin-kun.
Kiam-eng tersenyum, "Ya, aku kira seharusnya begitu, sebab yang kau kehendaki ialah Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho, jika aku kau bunuh lalu ke mana akan kau cari dia?"
"Akan tetapi bila kamu tetap tidak mau mengaku, untuk apa pula aku biarkan kamu hidup?" ujar Tok-pi-sin-kun.
"Apabila aku katakan terus terang aku takkan kau bunuh?" tanya Kiam-eng.
"Betul, yang aku kehendaki adalah kota emas itu, bilamana kau katakan di mana beradanya Sai-hoa-to, setelah aku kirim orang dan membawa dia kemari segera juga akan aku bebaskan dirimu."
Kiam-eng menggeleng kepala, ucapnya, "Akan tetapi, maaf, aku tidak percaya terhadap janjimu."
Tok-pi-sin-kun mengangkat alis, "Jadi kamu bertekad ingin mati saja?"
"Dengan sendirinya tidak," ujar Kiam-eng. "Memangnya ada orang bosan hidup benar-benar?"
"Habis, sesungguhnya apa kehendakmu?" tanya Tok-pi-sin-kun dengan gemas.
"Aku harap kau berikan kembali peta pusaka itu dan membebaskan diriku, segera pula akan aku bebaskan ke empat muridmu itu," jawab Kiam-eng.
Tidak kepalang gusar Tok-pi-sin-kun mendadak ia berputar dan menuju ke suatu pintu dan membentak,
"Bawa dia ke kamar pelaksana hukuman!"
Segera Su-Kiam-eng digusur ke suatu kamar batu yang penuh berserak berbagai macam alat siksaan.
Begitu memasuki kamar batu itu, segera Tok-pi-sin-kun duduk di suatu kursi marmer dan membentak,
"Nah, copot seluruhnya!"
Dua orang lelaki kekar yang berjaga di kamar siksaan itu segera mendekati Su-Kiam-eng dan mulai membelejeti pakaiannya.
Anak muda itu tahu sukar terhindar dari siksaan, namun ia tetap tenang saja tanpa melAWAN sebab ia maklum, jangankan cuma Tok-pi-sin-kun saja yang sukar dilawannya, bahkan cukup anak muridnya, asalkan maju dua orang sAja sudah cukup membuatNya mati kutu. Apalagi sekarang dirinya berada di tengaH isTana putar yang penuh perangkap itu, kalau Melawan bErarti akan menambah siksaan belaka.
Akan tetapi, ketika kedua lelaki kekar itu membelejeti dia hingga cuma tersisa sehelai celana dalam saja, mau-tak-mau ia mulai gugup, teriaknya, "Hei, masakah celana dalam ini juga akan kalian buka?"
Ucapannya menimbulkan gelak tertawa Pek-hui-hou bertujuh.
Tok-pi-sin-kun lantas memberi aba-aba, "Baiklah, boleh seret ke sana dan ikat sekencangnya!"
Segera ke dua lelaki tadi menyeret Kiam-eng ke atas sebuah bangku panjang yang disebut bangku harimau, dengan tali kulit kerbau seluruh tubuh diikat dengan erat.
"Maju!" perintah pula Tok-pi-sin-kun.
Seorang lelaki kekar segera mendongkel lutut Su-Kiam-eng, kawannya mengambil sepotong bata dan dijejalkan sekuatnya ke bawah paha.
Kiam-eng menjerit kesakitan.
Rupanya apa yang disebut bangku harimau itu adalah sejenis alat siksa yang lihai. Lebih dulu bagian kaki dan lengan korban diikat erat, lalu bagian lutut diganjal dengan batu bata, lutut bisa terbetot hancur dan sakitnya tak terperikan.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Mendengar jeritan Su-Kiam-eng, Tok-pi-sin-kun tertawa senang, ucapnya dengan bengis, "He-he, sekarang mau mengaku atau tidak?"
Kiam-eng tetap tidak bicara dengan menahan rasa sakit, ia pikir untuk membohong diperlukan menderita sedikit, kalau tidak pihak lawan tentu tidak mau percaya.
"Baik, tambah lagi sepotong," perintah Tok-pi-sin-kun ketika melihat Kiam-eng hanya diam saja.
Segera lelaki kekar tadi menjejalkan lagi sepotong bata ke bawah kaki Kiam-eng sehingga rasa sakitnya berlipat, tak tertahankan lagi Kiam-eng pun menjerit.
"Bicara tidak?" bentak Tok-pi-sin-kun.
Namun Kiam-eng tetap menggertak gigi dan tidak mau bersuara, butiran keringat tambah menitik dari dahinya.
"Tambah lagi satu potong!"
Dan begitulah siksaan terus berlangsung, sampai tambahan batu bata ke delapan, sungguh Kiam-eng tidak tahan lagi, teriaknya, "Aduhh! Baik, aku akan bicara!"
Tok-pi-sin-kun menyeringai, "Nah, kalau begitu bicaralah lekas, Sai-hoa-to dan ke empat muridku itu berada di mana sekarang?"
Napas Kiam-eng kelihatan ngos-ngosan, katanya dengan terputus-putus. "Lepaskan ... lepaskan dulu diriku baru aku katakan!"
Dengan murka Tok-pi-sin-kun berteriak "Tambahi lagi sepotong!"
Keruan Kiam-eng ketakutan, cepat ia berseru "Baik, baik, akan aku katakan. Sai-hoa-to saat ini berada di luar kota Kiu-yang ... "
"Di tempat mana di luar kota Kui-yang?" tanya Tok-pi-sin-kun.
"Di ... di Pek-she-su, sebuah rumah berhala pekuburan luar kota Kiu-yang."
"Apa betul" Tidak dusta?"
"Betul!"
"Ke empat muridku juga berada di sana?"
"Ya."
"Mengapa anak muridku pun kalian bawa ke sana?" tanya Tok-pi-sin-kun.
Mestinya hendak kami gunakan sebagai sandera untuk memaksamu menyerahkan peta."
"Baik sekarang juga akan aku kirim orang ke Pek-she-su itu, kalau tidak menemukan Sai-hoa to dan anak-muridku segera juga akan aku hukum mati kamu si bocah keparat ini."
"Tentu ada di sana. Sekarang lepaskan diriku!" seru Kiam-eng.
Tok-pi-sin-kun lantas memberi tanda agar ke dua lelaki kekar tadi melepaskan Su-Kiam-eng, lalu ia memberi perintah kepada Pek-hui-hou Ji-Liang, "Kalian bertiga segera berangkat ke Kiu-yang, jangan lupa membawa merpati pos, kalau tidak menemukan sesuatu di rumah berhala itu hendaknya memberi kabar lebih dulu dengan merpati pos!"
Ji-Liang Tong-hong-Beng dan Ke-It-liong bertiga sama mengiakan dengan hormat lalu mengundurkan diri.
Mendengar Pek-hui-hou Ji-Liang disuruh membawa merpati pos, ternyata Kiam-eng tidak merasa gelisah sebab menurut perhitungannya, sekalipun mereka pergi dengan memacu kudanya, paling cepat juga diperlukan lima hari baru akan sampai di Kiu-yang, dan merpati pos yang dilepaskan di Kiu-yang paling cepat juga perlu dua hari baru dapat pulang sampai di Thian-ti, jadi pergi-pulang memerlukan waktu tujuh hari, selama tujuh hari, rasanya jauh daripada cukup bagi Sam-bi-sin-ong untuk datang Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
menolongnya. Sementara itu Yu-hou-hoat, wakil pertama pembela agama, yaitu Thiau-ti-it-koai Bau-Hai-san, mendadak bicara dengan tertawa, "Sin-kun, aku kira pengakuan bocah ini pasti tidak jujur, tujuannya tidak lain hanya untuk mengulur waktu saja."
Tok-pi-sin-kun menoleh dan bertanya, "Berdasarkan apa Co-hou-hoat berpendapat demikian?"
Thian-ti-it-koai Bau-Hai-san tertawa, "Berdasarkan dia ini murid Kiam-ho Lok-Cing-hui."
"Hm, memangnya kau anggap mereka guru dan murid adalah manusia yang lebih suka mati daripada menyerah?" jengek Tok-pi-sin-kun.
"Betul," Thian-ti-it-koai mengangguk. "Sin-kun sendiri tentu jauh lebih kenal watak Lok-Cing-hui daripada ku, masakah Sin-kun tidak sependapat bahwa antara mereka guru dan murid sama-sama memiliki watak yang kepala batu?"
Tok-pi-sin-kun mengangguk, katanya dengan tertawa, "Walaupun betul, sukar untuk dimengerti untuk apa bocah ini sengaja mengulur waktu?"
"Maksudnya mengulur waktu dengan sendirinya ingin berdaya untuk meloloskan diri, atau sambil menunggu kedatangan gurunya untuk menolongnya," tutur Thian-ti-it-koai.
"Hahaha, mungkin betul juga," seru Tok-pi-sin-kun tergelak. "Cuma, apakah kau anggap bocah ini mampu lolos ke luar dari istana putar kita ini?"
"Dengan sendirinya dia tidak mampu, cuma ..."
"Kau kira Kiam-ho Lok-Cing-hui mampu memasuki istana putar kita ini?" potong Tok-pi-sin-kun.
Thian-ti-it-koai Bau-Hai-san berpikir sejenak, katanya kemudian, "Ini sukar untuk dikatakan, cuma Kiam-ho Lok-Cing-hui juga bukan kaum keroco, dia ... "
Tapi aku justru yakin, biarpun seratus orang Lok-Cing-hui juga jangan harap akan masuk ke istana putar kita ini," jengek Tok-pi-sin-kun.
Thian-ti-it-koai menyengir serba salah, katanya kemudian dengan tergegap, "Be... betul juga, namun kita pun perlu berjaga ... "
Tok-pi-sin-kun mengangguk setuju, lalu jengeknya terhadap Su-Kiam-eng, "Anak keparat, jika pengakuanmu tadi tidak benar, sebaiknya dalam beberapa hari ini kamu harus berusaha kabur dari tempat ini. Hm, kalau tidak, bilamana diketahui pengakuanmu cuma dusta belaka, maka, hehe, ingin aku lihat cara bagaimana akan kau tahan siksaanku."
Kiam-eng menghela napas panjang, katanya, "Jarak dari sini ke Kiu-yang tidak terlampau jauh, pergi-pulang paling lama hanya tujuh hari, benar atau tidak keteranganku boleh kau lihat saja nanti."
Tok-pi-sin-kun tertawa, katanya terhadap ke dua lelaki kekar tadi, "Bawa dia ke dalam Te-sim-lo (kamar tahanan pusar bumi)."
Kedua orang itu mengiakan dengan hormat, lalu menyuruh Kiam-eng memakai baju, kemudian menggusurnya masuk ke suatu pintu kecil ke kamar siksaan itu.
Begitu melangkahi pintu kecil itu, segera Kiam-eng merasakan kamar itu pun sebuah kamar batu marmer kecil, ia dengar kedua lelaki kekar di belakangnya tidak ikut masuk ke situ. Waktu ia menoleh, terlihat pintu batu sedang merapat dengan perlahan dan ke dua orang itu memang benar berdiri di luar sana.
Namun ia lantas tahu duduknya perkara, sebab sesudah pintu batu itu merapat, kamar batu yang kecil itu lantas mulai menurun ke bawah, ini menerangkan bahwa dengan tangan naik-turun otomatis itu dia akan langsung dikirim ke penjara pusar bumi yang disebut Tok-pi-sin-kun tadi.
Ruang naik-turun itu masih terus menurun, karena dalam ruangan tidak tembus hawa, maka sukar baginya untuk mengukur berapa dalam turunnya, yang jelas pasti sangat dalam. Dan dari istilah "Penjara Pusar Bumi" dapat dibayangkan tempat tahanan itu tentu di bawah tanah dan bukan di permukaan tanah.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Tidak lama kemudian, ruang naik-turun itu tergetar sedikit dan berhenti. Menyusul pintu batu terbuka perlahan dengan sendirinya, di luar pintu adalah kamar penjara yang kelihatan lembab, gelap dan seram.
"Masuk!" terdengar suara perintah berkumandang dari atas.
Tidak ada pilihan lain bagi Su-Kiam-eng terkecuali melangkah keluar tangga turun-naik itu dan masuk ke penjara pusar bumi.
Pada saat ia melangkah ke ruang penjara itu, terdengar bunyi "blang" yang keras di belakang, dari atas anjlok sebuah pagar jeruji besi dan tepat menghalangi pintu penjara.
Kiam-eng membalik tubuh dan memegang pagar jeruji itu dan bermaksud mengangkatnya sekuatnya, siapa tahu pagar besi yang kelihatannya cuma beberapa ratus kati itu ternyata berbobot beberapa ribu kati, biarpun dia mengeluarkan segenap tenaga juga tidak mampu mengangkatnya sedikit pun.
Ia tahu pagar besi itu pasti digerakkan oleh sesuatu tombol, segera ia tinggalkan maksud mengangkat pagar besi itu melainkan berputar untuk mengamati keadaan sekeliling kamar penjara.
Terlihat kamar penjara ini luasnya cuma dua-tiga meter persegi, dinding sekeliling terbuat dari batu, mungkin karena terlalu dalam dari permukaan bumi, maka dinding tampak basah, lantai bahkan pecomberan belaka, untung di dalam kamar ada sebuah dipan batu yang dapat digunakan duduk dan rebah, selain dipan batu ini tiada terdapat barang lain.
Ia duduk di dipan batu itu, mau-tak-mau timbul juga semacam rasa takut mati, diam-diam ia tanya diri sendiri apakah mulai sekarang dirinya hanya bisa menunggu kedatangan Sam-bi-sin-ong yang akan menolongnya"
Namun djawabnya sendiri dengan tidak, hal ini tak dapat diandalkan, sebab seperti apa yang dikatakan Tok-pi-sin-kun seratus orang Kiam-ho Lok-Cing-hui saja jangan harap akan dapat memasuki istana putarnya. Jika begitu biarpun Sam-bi-sin-kun memahami sedikit seluk-beluk istana putar, mungkin juga tidak dapat menolongnya ke luar. Apalagi antara Sam-bi-sin-ong dan dirinya cuma ada hubungan kepentingan materi saja dan tidak ada hubungan batin. Bilamana menemukan kesulitan tidak mungkin orang mau menolongnya dengan mengorbankan diri sendiri. Bahkan bisa jadi timbul perubahan pendiriannya dan berbalik bekerja sama dengan Tok-pi-sin-kun untuk mengerjainya.
Sebab itu, cara bagaimana baiknya meloloskan diri dari istana putar musuh, jalan paling baik adalah mengandalkan usaha sendiri.
Namun urusan yang jauh tidak perlu dibicarakan yang jelas, sekarang saja sudah sulit, cara bagaimana dirinya bisa lolos dari kamar tahanan putar bumi ini"
Begitulah sembari berpikir ia pun mengamat-amati sekitarnya, tanpa terasa ia tertawa getir. Ternyata tempat ini bukan kamar penjara biasa, kalau tidak ada bantuan dari luar selama hidup jangan harap akan dapat lari keluar.
Akan tetapi, bantuan dari luar yang diharapkan itu kecuali Sam-bi-sin-ong saja, memangnya siapa lagi"
Gurunya" Pada hakikatnya sang guru tidak tahu dia terkurung di istana putar musuh.
Apakah Sai-hoa-to" Dia kan berada dalam cengkeraman Sam-bi-sin-ong, mungkin ada niatnya menolong, namun apa daya, tenaga tak sampai.
"Blang-blang blang", tiba-tiba terdengar tiga kali suara aneh yang perlahan dan membuyarkan lamunannya. Ia tersentak sadar, sorot matanya memancarkan cahaya aneh, cepat ia mencari dinding sekeliling kamar, tercetus suaranya, "Siapa itu yang mengetuk dinding?"
Tidak ada jawaban. Tapi berselang tak lama, kembali terdengar suara ketukan lagi tiga kali.
Sekali ini Kiam-eng dapat mendengar suara itu datang dari dinding sebelah kanan, berbareng itu pun dapat diduganya timbulnya suara itu sangat mungkin datang dari sebuah kamar tahanan yang sama di sebelah situ. Jadi suara ketukan dinding itu sengaja dilakukan oleh seorang tahanan.
Berpikir begitu, ia menjadi girang, cepat ia melompat sebelah sana, sambil meraba dinding ia berteriak,
"Hai! Hai! Engkau siapa"!"
Tetap tidak ada jawaban atau reaksi. Serentak ia pun paham duduknya perkara ia pikir bilamana pihak Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
sana dapat mendengar suaranya, tentu orang itu tidak perlu mengetuk dinding lagi. Karena itu, segera ia pun menggunakan telapak tangan untuk memukul dinding tiga kali.
Blang-blang-blang!
Ternyata benar, segera datang suara jawaban. Kiam-eng sangat gembira, kembali ia pukul dinding empat kali. Ia pikir jika orang di sebelah sana juga orang tawanan. tentu orang akan menjawabnya dengan empat kali ketukan juga.
Dan "blang-blang-blang-blang", ternyata betul pihak sana juga balas menepuk dinding empat kali.
Girang Kiam-eng luar biasa, sudah ia ingin bisa lekas mengadakan pembicaraan dengan pihak sana. Tapi ia pun tahu kalau tidak mengorek dulu sebuah lubang yang menembus ke sebelah sana sebagai sarana komunikasi tentu sukar bicara dengan pihak sebelah. Sebab itulah cepat ia melolos keluar sebilah belati yang tersembunyi di sepatunya. Sekuatnya ia tancapkan belati ke celah-celah batu dinding.
Mungkin Tok-pi-sin-kun yakin biarpun tumbuh sayap pun anak muda ini takkan mampu kabur dari tempat tahanan ini, maka sejauh itu tidak merampas barang bawaannya. Dan sekarang belati yang digunakan Su-Kiam-eng ini adalah satu di antara barang perbekalannya.
Dengan hati-hati Kiam-eng mengorek sekitar sepotong batu dinding, lama-lama celah batu pun mengendur dan makin mendalam ketika kemudian ia mendorong ke depan sekuatnya, berturut-turut ia tolak dua-tiga kali, akhirnya batu dinding itu bergerak, "srakk", batu itu ambles beberapa senti ke sebelah sana.
"Bagus! Dorong lagi, lekas dorong lagi!" terdengar suara seorang tua serak berkumandang dari tempat sebelah.
Kiam-eng sangat girang ke dua tangan digunakan sekaligus dan mendorong sekuatnya, maka terdengar suara "brak", sepotong batu terlempar ke ruang sebelah sama.
Untung tepat pada waktunya orang di sebelah sana sempat menangkap batu itu dan berkata dengan tertawa, "Wah, hampir saja terlempar ke lantai!"
Batu itu lebarnya 20-an senti dan panjang setengah meter, setelah batu ini terbongkar seketika dinding seperti terbuka sebuah lubang jendela.
Waktu Kiam-eng mengintip ke ruang sebelah, dilihatnya orang itu adalah seorang tua berwajah kotor dengan rambut semrawut, keruan ia melengak dan menegur, "Engkau siapa?"
"Dan kamu sendiri siapa?" orang tua itu pun melengak dan bertanya.
"Aku Su-Kiam-eng Kiam-ho Lok-Cing-hui ialah guruku, numpang tanya siapa Lo-tiang bapak yang mulia?"
Seketika air muka si kakek menampilkan rasa girang dan bersemangat, katanya, "Apa katamu" Siapa nama gurumu?"
"Kiam-ho Lok-Cing-hui!" jawab Kiam-eng.
"Jika begitu, jadi saudara cilik ini orang yang mahir kung-fu?" tanya si kakek.
"Betul, memangnya Lo-tiang sendiri bukan orang persilatan?" terkesiap juga Su-Kiam-eng.
"Ya, sama sekali aku tidak paham ilmu silat," tutur kakek itu.
"Kalau Lo-tiang tidak mahir ilmu silat, mengapa Tok-pi-sin-kun mengurungmu di sini?"
Si kakek tersenyum getir, "Wah, panjang sekali kalau aku ceritakan. Meski aku tidak paham ilmu silat, namun Tok-pi-sin-kun justru sangat takut padaku."
"Memangnya mengapa?" tanya Kiam-eng tidak mengerti.
"Aku she Pen bernama Cong-hun, pernah kau dengar namaku tidak?"
"Tidak ... "
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Ya, aku maklum. Usiaku masih muda, apabila kamu berumur lebih 50 tentu tahu siapa aku ini."
Kiam-eng tidak menanggapi melainkan menunggu cerita orang lebih lanjut.
Kakek itu menghela napas menyesal tuturnya pula, "Aku ini keturunan Pan-Ji, yaitu arsitek yang termashur di jaman dahulu. Agaknya bakat keturunan, aku mahir teknik bangunan dan terkenal sebagai Sin-jio (ahli teknik) ... "
Sebutan "Sin-jio" itu mengingatkan Kiam-eng kepada cerita yang pernah didengarnya dari sang guru bahwa di jaman ini ada seorang ahli teknik termashur bernama "Sin-jio Pan-Cong-hun" dan pernah diserahi tugas membangun istana raja serta bertugas mengatur berbagai alat pesawat yang rumit, sungguh seorang teknik yang jarang ada bandingannya.
Maka dengan terkejut ia menegas, "Oo, jadi Lo-tiang ini Sin-jio Pan-Cong-hun adanya?"
Betul, rupanya kau pun pernah dengar namaku?" jawab si kakek dengan tertawa.
"Memang, pernah guruku bercerita padaku tentang Lo-tiang." tutur Kiam-eng. "Katanya Lo-tiang adalah seorang ahli teknik yang tidak ada bandingannya di jaman ini... Dan kenapa Lo-tiang bisa dikurung di sini oleh Tok-pi-sin-kun?"
Kakek itu menghela napas, "Dua puluh tahun yang lain, aku dimintai oleh Tok-pi-sin-kun untuk membangun istana putar ini. Setelah bangunan selesai berdiri, rupanya Tok-pi-sin-kun kuatir aku bocorkan rahasia bangunannya ini, mestinya dia hendak membunuhku untuk menghilang
Dendam Iblis Seribu Wajah 4 Bara Naga Karya Yin Yong Pendekar Laknat 4
^