Rahasia 180 Patung Mas 8

Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Bagian 8


pat menolong su-heng nya suami-istri. Sebab itulah ia mengejar sekuat tenaga, sekali lompat beberapa meter jauhnya, sungguh secepat terbang.
Hanya sekejap saja lawan sudah tersusul dan cuma beberapa meter saja di belakangnya. Dan pada saat itu juga mereka sudah sampai di ujung puncak itu, bila maju lagi berarti akan terjerumus ke dalam jurang yang tak ketahuan betapa dalamnya.
Tentu saja Kiam-eng sangat girang, pikirnya "Hm, coba mau lari ke mana kamu" Kecuali bila kamu dapat terbang!"
Memang begitulah. Ujung puncak itu tidak cuma menghadapi jurang yang tak terperikan dalamnya, bahkan jarak dengan puncak tebing di sebrang sana juga beberapa puluh meter jauhnya, jarak sejauh ini, sekalipun Kiam-oh dan Kiam-ong juga tidak sanggup melintasinya, maka dalam keadaan demikian, kecuali kalau pihak lawan dapat terbang, kalau tidak, terpaksa harus menyerah atau melawan secara mati-matian.
Siapa duga, pada saat itulah tiba-tiba orang berkedok itu berjongkok dan meraih seutas tali di tanah, lalu serupa main akrobat saja ia terus mengayun ke puncak tebing di sebrang sana.
Kiranya sebelumnya dia sudah mengatur jalan mundurnya, yaitu mengikat seutas tambang besar di Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
antara ke dua puncak tebing. Maka ketika Kiam-eng mengejar sampai di puncak tebing, lebih dulu lawan sudah melayang belasan meter jauhnya, bahkan dalam sekejap sudah mencapai puncak tebing di sebrang sana.
Sama sekali Su-Kiam-eng tidak menduga akan langkah pihak lawan tersebut, sungguh ia sangat mendongkol dan mencaci-maki.
Keh-ki yang menyusul tiba itu tidak sempat menyaksikan adegan tadi, dengan bingung ia tanya "Ada apa" Apakah dia terjun ke dalam jurang?"
"Tidak." sahut Kiam-eng dengan gusar. "Bangsat itu mengikat seutas tali di puncak sebrang sana, waktu aku buru ia sudah melayang lewat ke sana."
Keh-ki terbelalak memandang ke sebrang, ucapnya dengan terkesiap. "Hah, bisa terjadi demikian ... "
Melihat pihak lawan sudah menghilang di sebrang puncak sana, Kiam-eng tahu untuk mencari orang di lereng gunung seluas ini jelas sangat sulit dan serupa mencari jarum di dasar lautan. Maka ia menghela napas gegetun dan menyimpan kembali pedangnya, katanya sambil memberi tanda kepada Keh-ki.
"Marilah kita pergi saja kita kembali ke sana untuk memeriksa ke dua bangsat tadi."
"Mereka sudah mati," ujar Keh-ki.
"Aku tahu," kata Kiam-eng. "Tapi mungkin dari wajah mereka dapat kita menemukan tanda-tanda pengenal siapakah bangsat yang lolos itu."
Ke dua orang lantas kembali ke hutan batu padas tadi, terlihat ke dua orang berkedok hitam tadi memang benar sudah berhenti bernapas dan menggeletak di situ bermandikan darah.
Kiam-eng mendekati mereka dan membuka kain kedoknya, tanpa terasa ia berteriak kaget, "Hah, kiranya mereka!"
Ke dua orang itu berusia sebaya, yaitu sekitar 50-an, seorang berkepala besar dan mata bulat, seorang lagi berwajah tirus serupa tikus, jelas bukan manusia baik-baik.
"Siapa ke dua orang ini?" tanya Keh-ki cepat.
Kiam-eng masih terheran-heran dan sangsi, katanya sambil menunjuk si kakek berkepala besar itu,
"Orang ini bernama Lau-bu-lai (si bajingan tua tengik) Te Long ..."
Lalu ia tuding kakek bermuka tirus, "Dan yang ini bernama Gip-hiat-kui (si setan penghisap darah) Oh-Kong. Keduanya dikenal sebagai sampah masyarakat dunia persilatan Tiong-goan, perbuatan mereka kotor dan tidak tahu malu, suka memeras, mencuri dan sebagainya."
"Dari mana kau kenal mereka?" tanya Keh-ki pula.
"Soalnya ke dua orang ini juga tamu langganan Bu-lim-teh-co, sepanjang hari mereka suka ngendon di rumah minum itu," tutur Kiam-eng, "Apabila ada orang yang mudah ditipu atau digertak mereka, maka mereka lantas operasi. Waktu aku bekerja sebagai pelayan di rumah minum itu pernah aku saksikan sendiri mereka menggunakan akal licik untuk menipu harta benda seorang tua yang lugu."
"Jika begitu, apakah sudah kau ketahui siapa pula yang sempat lolos tadi?" tanya Keh-ki.
"Tidak tahu." jawab Kiam-eng. "Yang membuat tidak habis mengerti justru hal ini. Padahal kedua sampah dunia persilatan ini biasanya sangat jarang meninggalkan Bu-lim-teh-co, sepantasnya orang yang berhasil kabur itu juga salah seorang langganan rumah minum itu. Akan tetapi orang yang biasa bercokol di sana kecuali ke dua kakek itu, selebihnya aku tahu adalah orang yang bersih dan bisa menjaga diri. Sungguh tak dapat aku pikir sesungguhnya siapakah dia.
"Pula, hanya Wi-ho Lo-jin seorang saja yang tahu penyamaran sebagai pelayan rumah minum itu, bahkan hal kepura-puraanku mati tertimpuk oleh jarum berbisa Ih-Wan-hui juga cuma diketahui rahasiaku sehingga mereka sempat menyamar sebagai orang berkedok untuk menculik su-heng ku sehabis mengikuti jejakku waktu aku temui su-heng ku dengan menyamar sebagai Sai-hoa-to,"
"Tentu ke dua orang ini sudah mengetahui rahasia mu barulah dia menculik su-heng mu." ujar Keh-ki.
"Tapi dari siapa mereka mendapat tahu tentang rahasia penyamaranku?" gumam Su-Kiam-eng sambil Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
termenung. "Mungkin kawanan pelayan rumah minum di sana yang membocorkan rahasia mu," kata Keh-ki.
"Tidak, tidak mungkin," kata Kiam-eng. "Sebab para pelayan itu juga tidak tahu aku ini murid Kiam-ho Lok-Cing-hui, terlebih tidak tahu aku menyamar sebagai Sai-hoa-to untuk berusaha menyelamatkan suheng ku."
"Habis, mungkin Wi-ho Lo-jin yang terlena dan membocorkan rahasia mu?"
"Mutlak tidak mungkin," Kiam-eng menggelengkan kepala.
"Apa mungkin Sai-hoa-to sendiri?"
"Juga tidak. Aku kenal dia bukanlah seorang yang suka banyak bicara."
"Kalau bukan begitu, bisa jadi lantaran ke dua orang ini mengetahui kepura-puraan kematianmu tertimpuk jarum berbisa itu, karena ingin tahu, maka diam-diam mereka mengawasi gerak-gerikmu.
Akhirnya mengetahui kamu adalah Su-Kiam-eng, kemudian mengerti tujuanmu hendak menyelamatkan su-heng mu, maka mereka sengaja menyaru sebagai orang berkedok untuk menculik su-heng mu dan istrinya."
"Ya, hanya dugaan dugaan demikian terlebih masuk akal," Kiam-eng mengangguk setuju. "Akan tetapi orang yang berhasil kabur itu pasti juga langganan Bu-lim-teh-co. Lantas siapakah dia?"
"Boleh kau ingat-ingat lagi, coba di antara pengunjung Bu-lim-teh-co itu, siapa kiranya yang biasanya bergaul dengan kedua orang ini!" ujar Keh-ki.
"Tidak ada, satu pun tidak ada," tutur Kiam-eng. "Ke dua tua bangka ini termasuk orang yang tidak disukai, siapa pun merasa sebal terhadap mereka, hanya orang yang belum kenal watak mereka yang mau bergabung dengan mereka."
"Wah jika begitu aneh ..."
Kiam eng termenung lagi sejenak, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata, "Bila dugaan kita tingkatkan, bahwa hari ini tiba-tiba ke tiga orang ini memasang perangkap di sini, jelas tujuan mereka juga ingin mendapatkan peta rahasia kota emas. Ini menandakan bahwa su-heng ku belum lagi memberitahukan kepada mereka letak kota ... "
"Ya, Ini sangat baik," ujar Keh-ki tertawa.
"Akan tetapi, ini pun menandakan bahwa su-heng ku dan istrinya tentu telah dicelakai oleh mereka,"
ucap Kiam-eng dengan sedih.
Keh-ki pikir benar juga perkiraan Kiam-eng ini, dengan prihatin ia berkata, "Ya, sayang serangan kita tadi terlampau keras sehingga mereka binasa seketika, mestinya kita tangkap hidup-hidup salah seorang di antaranya ..."
"Aku kira setelah membunuh ke dua orang ini kita masih dapat menawan orang yang satunya lagi, tak terduga dia ternyata sudah menyiapkan jalan lari yang bagus," kata Kiam-eng menyesal.
Keh-ki menghiburnya, "Sudahlah, tidak apa. Sekali ini dia tidak berhasil merampas peta pusaka tentu dia takkan berhenti begini saja. Selanjutnya kita harus tambah hati-hati, bila menemukan tanda jejak kita dibuntuti dia, harus kita cari akal untuk menawannya."
Kiam-eng merasa selain jalan ini memang tidak ada cara lain yang lebih baik, segera ia berdiri dan berkata, "Baiklah, marilah kita turun ke bawah."
Setelah turun dari puncak gunung, mereka terus menuju ke depan menyusuri jalan sempit, lereng gunung itu makin jauh makin tinggi, juga makin terjal. Terkadang menemui binatang buas melintas di dekat mereka, namun yang membuat mereka gembira adalah hawa pegunungan yang sejuk, rasa gerah selama beberapa hari terakhir ini kini terasa lenyap seluruhnya.
Setelah menempuh perjalanan setengah harian tiba-tiba Keh-ki bertanya, "Kakak Eng, kau bilang di pegunungan ini banyak gas racun, mengapa sejauh ini tidak pernah kita temui"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Di tempat ini masih ada jalan setapak yang dapat dilalui, bilamana sudah sampai di bagian yang tidak ada jalan yang dapat ditelusuri, aku kira di situ nanti akan timbul gas racun."
Maksudmu, tempat yang terdapat penduduk takkan ada gas racun," tanya Keh-ki.
"Betul," Kiam-eng mengangguk, "Coba pikir, siapa yang mau tinggal di tempat yang terdapat gas racun?"
"Akan tetapi di sekitar sini kan tidak kita temui penduduk?" ujar Keh-ki sambil memandang sekelilingnya.
"Ada, bilamana tidak ada penduduknya, tentu takkan ada jalan setapak begini." ujar Kiam-eng tertawa.
"Kau kira ... eh, dengarkan, suara apa Itu?"
Tiba-tiba terdengar suara "dung-dung" yang sayup-sayup berkumandang dari kelebatan hutan yang jauh sana.
Keh-ki melengak, katanya, "Kedengarannya seperti bunyi gendang, betul tidak?"
Kiam-eng mendengarkan sejenak dengan cermat, katanya kemudian sambil mengangguk. "Ya, betul, itulah bunyi gendang perang suku setempat."
"Gendang perang apa maksudmu?" tanya Keh-ki heran.
"Menurut cerita Sai-hoa-to, katanya di daerah selatan sini ada semacam suku bangsa Kawa, dari suku ini terbagi lagi menjadi Kawa liar dan Kawa jinak, suku Kawa jinak sudah mulai berbaur dengan bangsa Han kita. Sedangkan Kawa liar masih hidup seperti dalam jaman purba yang primitif, mereka juga tahu bercocok tanam segala, namun sukar menggunakan kepala manusia sebagai sesajen untuk malaikat yang menjadi kepercayaan mereka. Setiap kali bilamana mereka hendak melakukan pemburuan kepala manusia, lebih dulu mereka menabuh genderang perang. Entah bunyi genderang sekarang ini berasal dari suku Kawa atau bukan?"
Bunyi genderang itu ternyata makin lama makin riuh, suaranya terkadang meninggi dan terkadang rendah penuh rasa misteri. "Tanpa terasa Keh-ki menjadi takut, katanya. "Hm, kamu menakut-nakuti aku ya?"
Kiam-eng melengong, "untuk apa aku menakut-nakutimu?"
"Habis, untuk apa mereka menggunakan kepala manusia sebagai sesajen?" ujar Keh-ki.
"Soalnya, menurut cerita, pada jaman Sam-Kok, ketika Cu-kat-Liang alias Kong-Beng memadamkan pemberontakan suku bangsa daerah selatan ini, ia lihat kehidupan suku Kawa ini sangat miskin dan menderita, maka ia telah mengajarkan mereka cara menanam padi. Kemudian diketahui pula tabiat suku ini terlampau kejam dan sukar ditundukkan, maka Kong-Beng lantas menguraikan suatu akal mengadu domba agar di antara sesama suku Kawa mereka saling membunuh dengan kejam untuk memusnahkan suku ini.
"Untuk itu Kong-Beng memberikan benih padi yang sudah direbus lebih dulu kepada suku Kawa, dengan sendirinya benih yang ditaburkan ini takkan bersemi. Waktu mereka datang lagi menegur. Kong-Beng lantas menjawab bahwa agar tanaman padi dapat tumbuh dengan subur diperlukan sesajen kepala manusia lelaki.
"Tahun berikutnya, Kong-Beng memberinya benih yang masih segar, berbareng ia mengajarkan cara memotong kepala seorang suku bangsa mereka untuk sesajen, hasilnya sangat memuaskan, biji padi tumbuh dengan baik. Tentu saja suku bangsa Kawa sangat senang sehingga untuk seterusnya setiap kali hendak melakukan tanam padi, lebih dulu mereka mencari korban untuk dipotong kepalanya dan digunakan sebagai sesajen.
"Karena tradisi yang turun temurun itu, akibatnya kaum lelaki dalam suku bangsa Kawa pun semakin berkurang. Akibatnya lambat-laun dapat dirasakan juga oleh mereka, merasa gelagat tidak baik, mereka mengubah tradisi yang sudah turun temurun itu, kini yang dijadikan korban oleh mereka adalah suku bangsa Han atau bangsa lain. Hasilnya ternyata tidak mempengaruhi panenan padi mereka. Maka seterusnya, setiap tahun menjelang panen padi, mereka lantas membentuk tim ksatria pencari kepala, untuk memburu kepala
MISSING PAGES 23-34
"Apakah kita akan diketahui mereka?" tanya Keh-ki dengan tegang.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Mungkin tidak," ujar Kiam-eng. "Bilamana sampai kepergok, hendaknya kamu berlaku hati-hati, biasanya panah dan tombak mereka dilumuri racun jahat, sekali-kali jangan sampai terluka oleh senjata mereka."
Dalam pada itu beratus orang Kawa itu sudah lari mendekati, tampaknya mereka akan lari lewat di bawah tempat sembunyi Kiam-eng berdua mendadak seorang kawa yang menjadi kepala kelompok itu berhenti di tempatnya, ia angkat tombaknya dan menuding ke belakang berbareng hidungnya tampak berkerut-kerut seperti sedang mengendus kian kemari dengan mulut komat-kamit entah apa yang dibicarakan.
Beberapa orang Kawa di belakang kepala kelompok itu juga lantas menarik hidung dan mengendus ke sana-sini, akhirnya pandangan mereka sama terpusat ke arah batu raksasa tempat sembunyi Kiam-eng dan Keh-ki itu, lalu mereka berteriak-teriak gembira.
Agaknya daya cium mereka teramat peka sehingga dapat mengendus bau orang asing yang sembunyi di balik batu"
Ketika kawanan orang Kawa itu berhenti di bagian bawah dan tidak meneruskan perjalanan mereka, segera Kiam-eng dan Keh-ki merasa gelagat tidak enak, maka perlahan mereka pun melolos pedang dan siap tempur.
"Aneh, cara bagaimana mereka dapat mengetahui beradanya kita di sini?" tanya Keh-ki dengan gelombang suara.
"Mungkin mereka dapat mencium bau kita," jawab Kiam-eng. "Coba dengarkan, mereka sudah mulai merambat ke atas sini."
Benar juga, ada seratusan orang Kawa tampak sedang mendaki dinding tebing, diam-diam mereka melakukan pengepungan terhadap Kiam-eng berdua.
Cepat Keh-ki mendesis lagi, "Wah celaka, Cara bagaimana harus kita hadapi mereka?"
"Tunggu nanti bila mereka mendekat, serentak kita terjang ke tengah gerombolan mereka, kita binasakan beberapa di antaranya secepat kilat, habis itu ... Hm, jika mereka berani mendesak maju lagi, segera kita terjang pula!"
Habis berkata, mendadak Kiam-eng berdiri dan melompat maju dari sisih batu raksasa itu. Menyusul Keh-ki juga melompat keluar dari sisi lain.
Dan begitu mereka mengunjuk diri, serentak mereka terjang ke tengah gerombolan orang Kawa itu, pedang mereka bekerja cepat tanpa kenal ampun.
Agaknya kawanan orang Kawa itu tidak menyangka Su-Kiam-eng dan Ih-Keh-ki mahir kung-fu setinggi itu dan cukup berpengalaman tempur karena tidak berjaga-jaga, segera orang terkena pedang dan roboh terguling. Seketika suasana menjadi panik, beramai-ramai mereka menyurut mundur.
Ke empat orang Kawa yang membunuh tadi, setelah roboh tertusuk pedang Kiam-eng berdua, tubuh mereka lantas tergelincir ke bawah bagai kayu gelondong sehingga banyak kawannya yang di bawah terguling diterjang oleh ke empat sosok mayat itu.
Sesudah kawanan Kawa yang lain menyurut mundur, segera mereka pun menyadari apa yang terjadi, beramai-ramai mereka berteriak dan menerjang maju lagi dengan kalap, golok dan tombak mereda menyerang serabutan.
Kiam-eng tertawa panjang, sedikit mendak, secepat kitiran pedangnya berputar, beberapa senjata lawan yang menyambar tiba sama mencelat, menyusul ia menebas lagi sehingga tiga orang dibunuhnya pula.
Keh-ki juga memperlihatkan ketangkasannya beberapa "ksatria pencari kepala" itu dirobohkannya.
Pedang ke dua orang tidak pernah bergerak percuma, masuk dibuat kocar-kacir tidak keruan.
Kiranya kawanan orang Kawa itu memang tangkas dan pemberani, namun kung-fu mereka terlampau rendah, hanya menguasai beberapa gerak serangan sederhana saja, untuk menghadapi suku bangsa lain mungkin boleh juga, jika digunakan melayani orang yang berkepandaian agak tinggi tentu akan mati kutu. Sikap itulah meski yang depan dirobohkan dan yang belakang segera menggantikannya, namun tetap sukar mendekati Kiam-eng berdua.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Betapapun Kiam-eng tidak ingin banyak membunuh orang tak berdosa, katanya kemudian "Keh-ki, marilah kita tinggal pergi saja!"
"Sembari bicara segera ia mendahului melompat beberapa meter tingginya dan meninggalkan kalangan pertempuran.
Menyusul Keh-ki pun melompat ke luar, dengan gin-kang yang gesit mereka lari ke depan menelusuri pinggang gunung.
Kawanan suku Kawa itu segera menyambitkan tombak dan melepas panah yang menjadi senjata andalan mereka. Biasanya untuk menyerang musuh atau membunuh binatang buas hampir tidak pernah meleset, tapi keadaan sekarang justru terbalik. Tombak dan panah mereka pada hakikatnya sukar mengikuti laju Kiam-eng dan Keh-ki yang melayang ke depan secepat terbang itu.
Hanya dalam sekejap saja Kiam-eng berdua sudah meninggalkan musuh cukup jauh, waktu mereka menoleh dan tidak melihat dikejar musuh, mereka merasa lega.
"Kakak Eng, ternyata orang liar ini sedemikian tak berguna, selanjutnya aku takkan takut lagi terhadap mereka," ucap Keh-ki dengan tertawa.
"Menghadapi sebarisan orang liar sekian dengan sendirinya tidak sukar bagi kita untuk menghajar mereka," ujar Kiam-eng dengan tertawa.
Tapi bila mereka datang dalam jumlah banyak bagai lautan manusia, betapapun kita pasti kerepotan."
"Oo, masakah mereka dapat mengerahkan orang sebanyak itu untuk menyerang kita?" kata Keh-ki kuatir.
"Ini pasti akan terjadi, sebagai kita sudah membunuh puluhan orang mereka." ucap Kiam-eng.
"Wah, lantas bagaimana baiknya?" tanya Keh-ki.
"Tidak perlu kuatir. Mereka harus pulang ke kampung mereka untuk mengumpulkan segenap laskar tempur mereka, untuk ini masih diperlukan waktu cukup lama, asalkan kita dapat lari ke luar wilayah kekuasaan mereka tentu tidak perlu takut lagi."
"Kita perlu lari berapa jauh lagi baru dapat terbebas dari wilayah pengaruh mereka?" tanya Keh-ki pula.
"Wah, dari mana aku tahu," jawab Kiam-eng "Biarlah kita lari saja sejauhnya."
Begitulah mereka lantas berlari secepat terbang hingga 50-90 li jauhnya, setelah melintasi beberapa lereng gunung, lambat-laun mereka tiba lagi di dataran rendah, hawa kembali terasa gerah lagi.
Bahkan mulai sekarang yang muncul di depan mereka adalah rimba raya purba yang sukar dijajaki berapa luasnya.
Kiam-eng mengeluarkan peta dan coba mempelajarinya, katanya kemudian dengan tertawa getir, "Keh-ki, mulai sekarang kita harus menyusuri hutan lebat!"
Si nona tidak kenal betapa berbahayanya hutan purba itu, tanyanya dengan tertawa. "Memangnya kenapa?"
Kiam-eng menyimpan kembali petanya dan berkata. "Aku pun tidak tahu apa yang akan terjadi, cuma ingin aku peringatkan padamu, mulai sekarang baru kita benar-benar akan merasakan pahit-getirnya perjalanan.
Dengan tertawa binal dan penuh arti Keh-ki berucap, "Asalkan berada bersamamu, apa pun yang akan terjadi takkan aku takuti."
Kiam-eng tidak menanggapi lagi, ia mendahului menuju ke tengah rimba raya itu.
Setelah berada di dalam hutan, yang terlihat hanya pepohonan lebat belaka sehingga sinar matahari pun tidak tembus, maka keadaan dalam hutan itu terasa dingin dan seram sekali.
Berbagai pepohonan itu selain tinggi besar, bahkan berbentuk macam-macam dan aneh dan sukar Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
dilukiskan. Ada dahan pohon yang mencuat miring berpuluh meter panjangnya serupa ular raksasa. Ada batang pohon bulat lingkar belasan meter, ada dahan pohon yang saling melingkar satu sama lain, semuanya berusia ribuan tahun sehingga bentuknya aneh dan ajaib, sungguh pemandangan yang menarik juga.
Selain itu di atas pohon banyak kawanan kera di tanah banyak ular dan binatang kecil lain ada pula suara raungan binatang buas berkumandang dari kejauhan.
Keh-ki merasa tertarik dan juga takut, katanya, "Kakak Eng, jika dalam hutan tidak ada ular, sungguh suatu tempat tamasya yang menyenangkan."
Kiam-eng menggunakan pedang untuk menebas rintangan tetumbuhan dan melangkah ke depan, katanya dengan tertawa, "Memangnya kau kira di tengah purba begini hanya ular saja yang menakutkan?"
Tidak soalnya aku cuma takut pada ular. selain ular tidak ada lagi yang aku takuti," kata Keh-ki.
"Oo, kenapa bisa begitu?" tanya Kiam-eng heran.
"Sukar juga untuk aku jelaskan," kata Keh-ki. "Pendek kata, asalkan melihat ular, tubuhku lantas lemas, sungguh sangat menakutkan."
Sembari bicara mereka terus maju ke depan. Kira-kira beberapa li jauhnya, mendadak Kiam-eng berhenti dan berucap. "Eh, Keh-ki, adakah kau rasakan sesuatu?"
"Rasakan apa?" tanya Keh-ki bingung.
"Merasa tidak enak dalam dada?" tanya Kiam-eng.
Keh-ki coba menarik napas panjang, lalu mengangguk, "Ya, betul rasanya aku cium semacam bau harum yang aneh."
Cepat Kiam-eng mengeluarkan botol obat dan menuang satu biji pil kepada si nona, "Ini, telan lekas!"
"Hah, apakah kita kena gas racun?" tanya Keh-ki kuatir.
Kiam-eng juga minum satu biji pil itu, katanya, "Betul, pasti gas racun."
"Nah, gas racun apa itu?" Keh-ki menegas setelah minum pil tadi.
"Entah, meski aku tahu banyak nama gas racun, namun sukar untuk dibeda-bedakan satu sama lain.
Sai-hoa-to hanya mengajarkan padaku menggunakan obat ini bagi gas racun apa pun dan dijamin pasti takkan berhalangan."
Benar juga, tidak lama setelah minum obat, rasa enek dalam dada mereka lantas longgar dan terasa segar, lenyaplah rasa tidak enak tadi. Segera mereka melanjutkan perjalanan lagi.
Tapi baru ratusan langkah, tiba-tiba Kiam-eng berhenti lagi, sorot matanya yang tajam menatap ke sebelah kiri hutan yang lebat itu.
Keh-ki ikut berhenti dan bertanya, "Ada apa?"
Kiam-eng mendesis, "Awas, aku rasakan di sebelah sana ... "
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara mendengus, sesosok benda besar menubruk tiba dari kelebatan hutan sebelah kiri sana.
Kiranya seekor harimau besar. Keruan Keh-ki terkejut, cepat ia mengegos dan melompat jauh ke samping.
Sebaliknya Kiam-eng tidak menghindar, sebelum harimau menubruk tiba, ia mendak ke bawah dan pedang menusuk ke atas.
Karena tidak sempat menghindar, kontan perut harimau itu terbedah, sambil meraung keras, binatang buas itu roboh terguling dan binasa.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Melihat cara anak muda itu membunuh harimau dengan sekali jadi, Keh-ki berkeplok memuji, "Bagus sekali, kakek Eng, caramu ... auhh!"
Yang membuatnya menjerit mendadak itu karena mendadak ada seekor ular sawa sebesar gelas mendadak menggelantung turun dari dahan pohon di atas kepalanya dan langsung membelit pinggangnya.
Sungguh adegan yang mendebarkan, apalagi pada dasarnya Keh-ki memang takut ular, kini mendadak dibelit seekor ular besar, keruan nyalinya hampir pecah dan sukma hampir terbang meninggalkan raganya.
Untung, betapapun dia juga seorang nona yang mahir kung-fu tinggi, begitu merasa dililit ular, cepat ke dua tangannya bekerja, dengan tepat leher ular dicekiknya dan digosok-gosokkan pada batang pohon sekuatnya sembari menjerit kuatir "Tolong, kakak Eng!"
Tentu saja Kiam-eng tidak ayal, cepat melompat ke sana, sedang bekerja, kontan kepala ular ditebasnya hingga putus.
Meski ular itu sudah mati, namun tubuhnya yang panjang masih membelit pinggang Ih-Keh-ki, cepat Kiam-eng membebaskan si nona, dan setelah menarik napas lega, akhirnya Keh-ki duduk lemas di tanah.
Kiam-eng berjongkok dan tanya si nona, "Bagaimana, apakah terluka?"
Keh-ki menggeleng kepala, mendadak pecah tangisnya, teriaknya, "Oo, sungguh menakutkan ...aku ... "
Cepat Kiam-eng menghiburnya, "Ssst, jangan menangis, lihatlah, bukankah sekali tebas sudah aku binasakan ular besar ini?"
"Tidak, tadi aku ketakutan setengah mati, aku ingin menangis sepuasnya," ucap si nona.
"Sudahlah, bila kamu menangis lagi, mungkin akan memancing kedatangan ular sawah besar yang terlebih banyak," ujar Kiam-eng dengan tertawa.
Keh-ki melonjak kaget, cepat ia berhenti menangis dan memelototi anak muda itu, omelnya, "Hm, jangan sembarangan menakutiku."
"Benar, sebab ular paling suka dan juga paham seni suara, caramu menangis itu dapat disangka sedang menyanyi oleh ular ... "
Mau-tak-mau Keh-ki percaya oleh ucapan Kiam-eng itu, ia melompat bangun dan berseru, "Sudahlah, jangan mengoceh lagi, mari lekas kita tinggalkan tempat ini."
Begitulah mereka lantas meneruskan perjalanan di tengah rimba raya itu. Sudah lebih satu jam mereka tidak menemui serangan binatang buas lagi hanya satu soal yang mereka hadapi sekarang, yaitu malam, sebab hari sudah mulai gelap.
Padahal rimba raya lebat yang terpampang di depan mereka sekarang seperti tidak ada batasnya, dari mula sampai akhir tetap tidak terlihat sebuah tempat apa pun yang sekiranya dapat dibuat tempat berteduh.
Sembari berjalan Kiam-eng juga memperhatikan perubahan cuaca, katanya kemudian. "Keh-ki, mungkin malam ini harus kita lalui di tengah hutan ini."
"Cara bagaimana kita dapat bermalam di tempat macam ini?" ujar Keh-ki sedih.
"Coba kita melanjutkan perjalanan lagi sekian jauhnya, bilamana tetap tidak menemukan sesuatu gua atau tempat lain, terpaksa kita tidur di atas pohon," kata Kiam-eng.
"Wah, selama hidup belum pernah aku tidur di atas pohon." ujar Keh-ki. "Kau sendiri bagaimana, pernah?"
"Aku pun tidak pernah," tutur Kiam-eng. "Tapi di tengah rimba raya seperti ini, tidur di atas pohon akan lebih aman."
"Ai, baru sekarang aku tahu bahwa rimba raya di daerah selatan ini memang benar tidak enak dirasakan
... " Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Apakah kamu menyesal?" tanya Kiam-eng.
"Tidak, aku cuma bilang tidak enak menjelajahi tempat semacam ini, tapi aku tidak menyesal."
"Baiklah jika begitu. Sesudah begini, aku harap membangkitkan ketabahanmu untuk mencapai kota emas itu bersamaku."
Malam semakin gelap. Di tengah hutan lebat itu sudah gelap gulita, ke lima jari sendiri saja tidak terlihat jelas. Terpaksa mereka merambat ke atas pohon dan duduk pada sebuah dahan yang besar.
Keseraman rimba raya dalam kegelapan malam sungguh sukar dilukiskan. Suara raungan binatang buas sahut menyahut, banyak pula suara aneh entah bunyi makhluk apa, ada yang melengking bagai pekikan setan. Dan yang paling sukar ditahan adalah nyamuk, beribu bahkan juta ekor nyamuk seakan-akan memenuhi hutan dengan suara mendenging yang tak terputus-putus di tepi telinga.
Sungguh Kiam-eng dan Keh-ki tidak tahan oleh gangguan nyamuk, mereka gunakan baju untuk menutupi muka. Walaupun begitu, banyak juga nyamuk, menerobos baju dan menyerang dengan ganasnya.
Tiada hentinya Keh-ki berkeluh-kesah, katanya, "Kakak Eng, harap carilah suatu akal untuk mengusir kawanan nyamuk ini, sungguh aku tidak tahan."
"Ai. enak saja kau bicara," sahut Kiam-eng dengan menyengir, "Kalau aku punya akal untuk mengusir nyamuk, kan sudah sejak tadi aku gunakan, masakah perlu kau minta?"
"Jika tidak bisa, marilah kita mencari suatu tempat tidur lain yang tidak ada nyamuknya, aku kira pasti ada sementara tempat yang tidak terdapat nyamuk."
Tiba-tiba benak Kiam-eng terkilas setitik sinar harapan, serunya, "Betul, marilah kita merambat lebih ke atas, aku kira di tempat tinggi tentu bebas dari nyamuk."
Habis bicara, ia singkap baju yang mengerudungi kepala dan merambat lagi ke pucuk pohon.
Segera Keh-ki meniru dan merambat ke atas.
Setiba di pucuk pohon yang paling tinggi, benar juga tidak terdengar lagi denging nyamuk.
Gembira sekali si nona, serunya, "Aha, bagus sekali! Dari mana kau tahu di tempat ketinggian ini tidak ada nyamuk?"
"Hanya dugaan saja," sahut Kiam-eng tertawa. "Aku pikir di tempat ketinggian tentu angin terlebih keras dan nyamuk pasti tidak berani terbang kemari."
"Hebat juga caramu berpikir. Akan tetapi meski di pucuk pohon ini tidak ada nyamuk lagi cara bagaimana kita dapat rebah dan tidur?"
"Biarlah kita duduk saja sampai pagi, toh di bawah juga tidak dapat tidur ... Eh, kau lihat, apa itu?"
"Apa maksudmu?" tanya Keh-ki kaget.
Kiam-eng menyingkap ranting pohon dan menuding kejauhan sana, katanya, "Lihatlah, itu cahaya api bukan?"
Kiranya di tempat beberapa li jauhnya ternyata ada gemerdep titik-titik api yang sedang bergerak-gerak kian kemari.
Girang sekali Keh-ki, serunya, "Aha, itu pasti pedusunan penduduk setempat mari kita coba menjenguk ke sana."
"Baik juga, hanya dikuatirkan pedusunan itu adalah tempat bermukim suku Kawa." kata Kiam-eng setelah termenung sejenak.
"Tidak menjadi soal," ujar Keh-ki. "Biarlah kita merunduk ke sana, jika tempat bermukim suku Kawa, boleh lekas kita mundur kembali. Apabila suku bangsa yang ramah baru kita tampil untuk minta mondok dan bermalam."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Setelah berpikir lagi, akhirnya Kiam-eng mengangguk, "Boleh juga. Marilah kita gunakan gin-kang melintas ke sana di tempat ketinggian."
Setelah bicara segera ia mendahului melayang jauh ke sana dan segera disusul oleh Ih-Keh-ki, mereka hinggap dari pucuk pohon yang satu ke pucuk pohon yang lain, dengan ringan bagai burung mereka melayang ke arah tempat gemerdep api tadi.
Tidak lama mereka sudah sampai di dekat tempat yang di tuju, saat itu terdengar suara seruling dan orang bernyanyi berkumandang ke angkasa, sekaligus mereka pun dapat melihat tempat itu memang betul sebuah tempat pemukiman suku bangsa terasing.
Agaknya penduduk di situ seperti sedang berpesta-pora merayakan sesuatu, ada ratusan orang sedang menarik dan bernyanyi di tengah lapangan dengan membawa obor, inilah gemerdep titik api yang dilihat Kiam-eng dari kejauhan tadi.
Sesudah lebih dekat dan jelas terlihat apa yang berada di situ, tanpa terasa keduanya menarik napas dingin.
Ternyata memang betul tempat itu adalah pedusunan suku bangsa Kawa yang kejam itu.
Kiam-eng berhenti di atas pohon yang berjarak puluhan meter dari pedusunan itu, katanya kepada Keh-ki, "Coba lihat, memang betul tempat pemukiman orang Kawa."
Dengan mata terbeliak Keh-ki tanya, "Apa yang sedang mereka lakukan?"
"Mungkin mereka berhasil memburu kepala manusia dan sedang merayakannya dengan menari dan bernyanyi," tutur Kiam-eng.
"Ahh, betul, aku lihat mereka sedang melempar kian kemari sebuah kepala manusia" seru Keh-ki kaget dengan suara tertahan.
Memang benar, di antara beberapa ratus orang Kawa yang terdiri dari tua-muda dan laki-perempuan itu sedang mengelilingi sebuah cagak kayu sambil bernyanyi dan menari. Beberapa orang di antaranya sedang bermain melempar kian kemari sebuah kepala manusia, ada yang menjejali mulut kepala manusia itu dengan makanan, ada lagi yang memberi ciuman ketika menerima lemparan kepala itu.
Ketika seorang perempuan Kawa menerima lemparan kepala itu, dengan mesra ia cium pipinya dengan tertawa, lalu berkata dengan bahasa Han yang kaku, "Hehe, tentu kamu sangat senang di sini ya" Coba betapa mesranya kami terhadapmu. Di kampung halaman sendiri belum tentu akan mendapat perlakuan semesra ini, hendaknya kamu tinggal saja di sini dengan tentram ... "
Hampir tumpah Keh-ki menyaksikan adegan yang memualkan itu, cepat ia menarik Su-Kiam-eng dan berkata, "Sungguh menakutkan, kakak Eng, marilah kita pergi saja!"
"Nanti dulu," jawab Kiam-eng. "Di cagak sana teringat tiga orang Han, kau lihat tidak?"
Keh-ki coba memandang kian kemari, tanyanya, "Di mana?"
Waktu Kiam-eng menuju ke sebelah kamar lapangan, benar juga Keh-ki dapat melihat tiga orang kakek yang berwajah tidak biasa terikat di cagak, katanya dengan terkejut, "Hei, dari dandanan mereka tampaknya mereka serupa orang persilatan?"
"Betul, bukan saja orang persilatan, bahkan nama mereka pun cukup terkenal," sahut Kiam-eng sambil mengangguk.
"Oo, kau kenal mereka?" si nona menegas.
"Ya, pernah bertemu satu kali dengan mereka," jengek Kiam-eng- "Mereka terhitung tokoh Kong-tong-pai, yang tengah itu bernama Khu-Bu-peng berjuluk It-ji-kiam, yang sebelah kiri bernama Yang-pian Bok-Tat dan kakek sebelah kanan bernama Im-pian Bok-Tian, ke tiga orang itu pernah menguntit Li-hun-nio-nio dan bermaksud merampas peta, kemudian peta palsu dapat dibawa lari Kui-kok-ji-bu-siang, maka ke tiga orang ini bersama tokoh berbagai perguruan besar lain lantas mengejar mereka ..."
Setelah berhenti sejenak, kemudian ia melanjutkan dengan mengejek, "Huh, kedatangan mereka di rimba raya ini memang sudah dalam dugaanku, cuma dengan kepandaian ilmu silat mereka ternyata Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
dapat ditawan begini saja oleh orang Kawa, sungguh kejadian ini agak mengherankan."
"Inilah akibat ketamakan mereka," ujar Keh-ki. "Bila mereka sudah jatuh di tangan orang Kawa kan berarti juga menghemat tenaga bagi kita untuk menghadapi mereka."
"Tidak, kita harus menolong mereka," ujar Kiam-eng.
Tentu saja Keh-ki melengak, "Hah, apakah kamu sudah gila" Mereka kan juga ingin berebut kota emas, untuk apa kau tolong mereka?"
Biarpun maksud tujuan mereka tidak baik, namun mereka belum terhitung manusia jahat yang tak terampunkan, maka ..."
"Tapi setelah mereka kau selamatkan, apakah kamu tidak kuatir mereka akan membalas air susu dengan air tuba dan berbalik berebut peta pusaka kota emas denganmu?"
"Bukannya aku tidak kuatir, soalnya ... "
"Soal apa?" sela si nona dengan tidak mengerti.
"Di pandang dari segi kemanusiaan, kita tidak dapat menyaksikan kematian orang tanpa memberi pertolongan, betul tidak?" ujar Kiam-eng tertawa.
"Tapi mereka kan hendak berebut peta denganmu" Lalu apa tindakanmu?"
"Boleh kita beri nasihat, apabila mereka tetap bandel barulah kita turun tangan dan menumpas mereka,"
kata Kiam-eng tenang.
"Kau yakin sanggup menumpas mereka?" tanya Keh-ki.
"Rasanya masih sanggup," kata Kiam-eng. "Baiklah, terserah kepadamu. Cuma sekarang mereka dikerubungi orang Kawa sebanyak itu yang sedang bernyanyi dan menari, cara bagaimana engkau akan turun tangan?"
"Tentu aku ada akal," ujar Kiam-eng. "Boleh kau tunggu di atas pohon sini dan saksikan cara kerjaku."
Habis berkata ia lantas melompat turun dengan lincah, dengan merunduk ia mendekati pedusunan orang Kawa itu.
Ia mengitari beberapa rumah gubuk, ia berjongkok dan bersembunyi di belakang sebuah rumah gubuk yang berjarak ratusan langkah dari lapangan, lalu mengeluarkan alat ketikan api untuk membakar rumah gubuk itu. Habis itu segera ia menyusup kembali ke dalam hutan untuk kemudian mengitar kembali ke sebelah lapangan yang lain.
Rumah gubuk sangat mudah terbakar, baru saja ia lari beberapa langkah gubuk itu sudah berkobar-kobar dengan hebat.
Begitu api menyala, seketika juga mengejutkan orang Kawa yang sedang nyanyi dan menari di lapangan itu. Seketika suasana kacau-balau, segenap orang Kawa sama lari ke tempat kebakaran.
Dalam sekejap saja lapangan itu hanya tersisa ke tiga orang tawanan yang terikat di cagak dan kepala manusia yang tergantung pada sebuah tiang yang terpancang di tengah lapangan.
Dan memang detik demikian inilah yang sedang dinantikan Su-Kiam-eng.
Secepat kilat ia melompat ke belakang It-ji-kiam Khu-Bu-peng bertiga, terlihat ke tiga orang itu sama diikat erat dengan tali kulit, kecuali bagian kepala yang masih dapat bergerak, sekujur seakan-akan penuh diikat oleh tali kulit itu sehingga sama sekali tak bisa berkutik.
Cepat Kiam-eng melolos pedang, lebih dulu ia potong tali kulit yang mengikat tubuh It-ji-kiam Khu-Bu-peng.
Sungguh mimpi pun Khu-Bu-peng tidak pernah membayangkan akan kedatangan penolong, keruan ia kegirangan seperti mau gila, ia menoleh dan memandang Kiam-eng dengan gembira, ucapnya, "Banyak terima kasih atas pertolonganmu, mohon tanya siapa nama saudara cilik yang mulia?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Su-Kiam-eng," jawab Kiam-eng dengan ketus.
Terbangkit semangat It-ji-kiam, serunya gembira, "Aha, kiranya engkau murid Kiam-ho Lok-Cing-hui!"
Kiam-eng hanya mengangguk tak acuh, sesudah memotong tali kulit yang membelit tubuh It-ji-kiam, lalu ia bergantian memotong tali kulit Yang-pian Bok-Tat.
Begitu terbebas dari ringkusan tali kulit, serentak Khu-Bu-peng berlari ke sebuah gubuk yang berdekatan dan menyerbu ke dalam rumah, diambilnya sebatang pedang dan dua ruyung baja, lalu lari kembali dengan cepat.
Tapi pada saat yang sama mendadak seorang Kawa lari masuk lapangan, sekilas ia lihat Su-Kiam-eng sedang menolong tawanan, ia terkejut dan menjerit aneh, cepat ia lari ke tempat kebakaran sana, sembari lari sembari berteriak.
Dalam pada itu Kiam-eng sudah berhasil membebaskan Im-yang-siang-pian Bok-Tat dan Bok-Tian. Ia tahu orang Kawa segera akan memburu tiba, maka cepat ia berkata terhadap It-ji-kiam Khu-Bu-peng,
"Jiwa kalian bertiga boleh dikatakan berhasil diketemukan kembali, selanjutnya tidak mungkin lagi mengalami nasib sebaik ini. Jika kalian tidak ingin terkubur di tengah rimba raya ini, maka lekas saja kalian pulang ke Tiong-goan."
Habis berucap, cepat ia meninggalkan lapangan itu dan menyusup masuk ke tengah hutan lebat.
It-ji-kiam melemparkan senjata kepada Im-yang-siang-pian, lalu memburu ke arah Su Kiam-eng sambil berteriak. "Hai, tunggu dulu. Su-siau-hiap!"
Su-kiam-eng berlagak tidak dengar, langsung ia menyusup ke tengah hutan semula dan melompat ke pucuk pohon, desisnya kepada Keh-ki. "Lekas ikut padaku!"
Habis itu segera ia gunakan gin-kang yang tinggi dan mendahului melayang ke depan dari pucuk pohon satu ke pucuk pohon yang lain.
Apa yang terjadi sudah disaksikan Keh-ki dengan sembunyi di atas pohon, ia tahu anak muda itu bermaksud menghindari It ji-kiam bertiga, maka tanpa bicara ia terus menyusul ke arah Kiam-eng.
Dengan ringan mereka "terbang" di atas pohon dan ditaksir sudah cukup jauh meninggalkan tempat pemukiman suku Kawa itu barulah mereka hinggap dan berhenti mengaso di atas dahan sebuah pohon besar.
Betapapun Keh-ki merasa lelah juga, dengan napas tersengal ia tanya, "Apakah mereka menyusul kemari?"


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, cuma di tengah hutan selebat ini mungkin sukar bagi mereka untuk menemukan kita,"
"Dan bagaimana dengan orang-orang Kawa itu?" tanya Keh-ki pula.
"Jika mereka tahu tawanan telah dibawa lari orang, mustahil mereka tidak segera mengejar!?"
"Untung juga di tengah malam gelap sehingga mereka tidak dapat menemukan kita, betul tidak?"
"Ya," Kiam-eng mengangguk. "Sudahlah, jangan bicara lagi, kita harus istirahat sebaik-baiknya.
Tadi si nona sudah menyaksikan sendiri dengan sangat mudah Kiam-eng dapat menyelamatkan Khu-Bu-peng bertiga, maka terhadap kecekatan dan kecerdikan anak muda itu makin dikaguminya, dengan sendirinya ia menuruti pesan Kiam-eng dengan suka hati, maka ia lantas memejamkan untuk menghimpun tenaga.
Malam yang panjang itu akhirnya dapat dilalui dengan aman.
Baru saja fajar menyingsing, segera terdengar suara riuh ramai berkumandang dari jauh, agaknya serombongan orang sedang memburu ke arah sini.
Mendengar suara itu, segera Kiam-eng tahu orang Kawa sedang mengejar kemari. Cepat bersama Keh-ki mereka meninggalkan tempat itu, tetap dengan menggunakan gin-kang mereka main "terbang" di antara pucuk pepohonan.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Kepandaian "terbang melayang" begitu termasuk cara yang paling menguras tenaga, maka dalam keadaan biasa, kalau tidak sangat terpaksa tidak mau sembarangan menggunakan gin-kang semacam itu.
Semalam mereka sudah menggunakan gin-kang yang makan tenaga ini, sekarang demi menyelamatkan diri dari kejaran orang Kawa terpaksa mereka "terbang" lagi. Tapi lantaran mereka tidak mendapatkan makan minum yang baik, maka baru beberapa li mereka sudah merasa payah.
"Wah, kakak Eng, perutku kelaparan, jika lari lagi seperti ini, bisa jadi aku akan jatuh ke bawah " seru Keh-ki.
Segera Kiam-eng melayang turun ke bawah pohon, katanya. "Keluarkan rangsum dan makan sekadarnya, sambil makan kita dapat sembari lari."
"Tapi mulutku terasa kering dan sangat haus, sukar menelan rangsum kering," ucap si nona.
"Jika begitu, marilah lari lagi lebih lanjut, setelah menemukan sumber air barulah kita makan rangsum,"
ujar Kiam-eng. Segera mereka menerobos hutan dan berlari pula sekian jauhnya, akhirnya dapatlah menemukan sebuah sumber air.
Baru sehari semalam mereka berada di tengah rimba raya, tapi kini demi melihat sumber air, rasa mereka serupa menemukan oasis di tengah gurun pasir. Serentak ke dua orang menubruk ke tempat air dan bertiarap terus minum sepuas-puasnya.
Sehabis cukup minum air, mereka mengeluarkan rangsum, sembari makan mereka meneruskan perjalanan ke depan.
Setelah satu-dua li lagi tiba-tiba Kiam-eng melihat di depan sana, di bawah pohon menggeletak tiga sosok tubuh orang. Jelas mereka adalah It-ji-kiam Khu-Bu-peng dan Im-yang-siang-pian Bok-Tat dan Bok-Tian.
Terkejut juga Kiam-eng, cepat ia menarik Keh-ki dan mendesis, "Ssst, lihat, mereka menggeletak di sana."
Si nona juga sudah melihat ke tiga orang itu, katanya kuatir, "Cepat, mumpung mereka lagi terlelap dalam tidurnya, cepat kita mengitar lewat ke sana."
"Tidak," kata Kiam-eng. "Coba kau lihat air muka mereka berubah guram, jelas mereka kena gas racun dan bukan lagi tidur."
Waktu Keh-ki mengamati lebih cermat, benar juga terlihat air muka ke tiga orang itu berwarna gelap kebiruan, ucapnya terkejut, "Hah, apakah mereka sudah mati?"
"Tidak, hanya kena gas racun takkan mati dengan cepat ... Mari kita lihat keadaan mereka sembari bicara," segera Kiam-eng mendahului mendekat ke sana.
"Kembali akan kau tolong mereka lagi?" gumam Keh-ki dengan kening berkerenyit.
"Ya, tetap seperti alasan semula, kita tak dapat menyaksikan orang sekarat tanpa memberi pertolongan,"
kata Kiam-eng. MISSING PAGES 55-56
mungkin tetap sukar terhindar dari serangan gas racun, maka .... "
"Setelah kalian minum obat yang aku berikan dalam waktu dua hari kalian tidak perlu kuatir akan keracunan lagi, padahal dalam dua hari aku kira kalian akan dapat ke luar dari hutan ini. Mengenai kawanan orang Kawa, dengan kepandaian kalian bertiga aku yakin tidak sulit untuk meloloskan diri dari kejaran mereka."
"Wah, jurus kawanan orang Kawa itu jauh lebih berbahaya daripada gas racun," ujar It-ji-kiam sambil menyengir. "Su-siau-hiap, bagaimana keadaan kami waktu tertawan tentu sudah kau lihat sendiri dan terbukti ucapanku bukan omong kosong belaka."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Ya, cara bagaimana kalian sampai tertawan oleh mereka?" tanya Kiam-eng.
"Begini," tutur It-ji-kiam. "Siang kemarin, selagi kami duduk mengaso di tengah hutan, mendadak kami disergap secara diam-diam oleh serombongan besar orang Kawa dari berbagai penjuru. Baru saja kami berdiri hendak lari, tahu-tahu berpuluh tombak sudah dilemparkan ke sekitar kami sehingga berwujud sebuah kurungan besar yang mengepung kami di tengah.
"Menyusul orang Kawa yang berjumlah dua-tiga ratus orang lantas muncul, mereka membawa tombak dan panah, ada yang nongkrong di atas pohon, ada yang siaga di bawah, semua siap tempur dan setiap saat dapat memuntahkan senjata mereka. Coba Su-siau-hiap pikir, dalam keadaan begitu, apabila kami sembarangan bergerak, dapatkah bebas dari serangan beratus tombak dan panah
"Makanya tanpa perlawanan kalian menyerah untuk ditawan?" Kiam-eng menegas.
"Ya," It-ji-kiam mengangguk. "Sama sekali kami tak berdaya, Ini pun membuat kami tahu betapa lihainya orang Kawa, maka bila Su-siau-hiap menyuruh kami kembali ke sana ini kan sama dengan menyuruh kami mengantar kematian belaka."
"Betapapun lihainya orang Kawa itu, namun bila kalian kembali ke sana kan tidak pasti akan dipergoki mereka?" ujar Kiam-eng. "Apalagi kalian dapat mengitari tempat pemukiman mereka. Dengan ketangkasan dan kecerdikan kalian bertiga aku yakin tidak sulit untuk menghindari serangan orang Kawa."
"Ah, tidak terjamin, kami tidak berani menyerempet bahaya lagi," ucap It-ji-kiam.
"Habis apakah kalian bertekad tak akan pulang ke Tiong-goan untuk selamanya?" tanya Kiam-eng.
"Maaf akan kelancanganku, ingin aku tanya suatu hal terhadap Su-siau-hiap," kata It-ji-kiam dengan tertawa.
"Silakan bicara saja, jangan sungkan." jawab Kiam-eng.
Dengan senyuman bersahabat It-ji-kiam berkata, "Yang ingin aku ketahui adalah urusan peta mestika itu, apakah sudah diperoleh Su-siau-hiap!"
"Betul, peta kota emas itu memang berada padaku," sahut Kiam-eng.
"Jika begitu, apakah Su-siau-hiap tahu bahwa saat ini banyak orang Bu-lim telah memasuki rimba raya purba di daerah selatan ini?" kata Khu-Bu-peng dengan cengar-cengir.
"Oo, memangnya ada berapa banyak orang yang datang ke rimba ini?" tanya Kiam-eng berlagak tidak tahu.
"Tidak terhitung kami bertiga, sedikitnya masih ada likuran orang yang sudah berdiri di sini," tutur Khu-Bu-peng.
"Oo, siapa saja mereka itu?" tanya Kiam-eng.
"Mereka adalah para ketua Hoa-san-pai, Tiam-jong-pai, Thai-kek-bun dan tokoh terkemuka berbagai perguruan besar yang lain," tutur It-ji-kiam.
"Kedatangan mereka sama hendak membuntuti diriku?" jengek Kiam-eng.
"Ya, meski mereka sama menyatakan tidak berani mengusik Su-siau-hiap dan cuma ingin ikut menemukan kota emas serta mendapat bagian rejeki, namun hati manusia sukar diduga, siapa berani menjamin di antara mereka tidak ada yang berniat jahat" Maka kalau sekiranya Su-siau-hiap tidak menolak, kami bertiga bersedia membantu perjalanan Su-siau-hiap hingga menemukan kota emas itu.
Soal nanti setelah tiba di tempat tujuan, berapa banyak Su-siau-hiap hendak memberi bagian kepada kami, sungguh kami takkan mempersoalkannya."
"Tidak," jawab Kiam-eng. "Maksud baik kalian biar aku terima dalam hati saja, soalnya aku tidak memerlukan bantuan orang lain."
Air muka It-ji-kiam menjadi merah, ucapnya dengan menyengir kikuk, "Kung-fu Su-siau-hiap maha tinggi, mungkin tidak perlu bantuan orang juga akan sampai di kota emas itu. Tapi setiba di sana, cara bagaimana Su-siau-hiap akan menghadapi berbagai tokoh terkemuka dunia persilatan yang selalu Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
mengincar dirimu itu?"
Tentang kota emas itu memang bukan milikku sendiri, asalkan mereka tidak mengganggu diriku, apa yang akan dikerjakan mereka tentu juga takkan aku urus," ujar Kiam-eng.
"Oo, jadi maksud Su-siau-hiap, asalkan orang tidak mengganggu dirimu, maka siapa pun bebas berebut dan mengambil emas yang terdapat di kota emas itu?" It-ji-kiam menegas dengan sinar mata bersinar.
"Betul, kecuali sepotong Jian-lian-hok-leng yang disembunyikan su-heng ku di sana dilarang diambil, barang lain boleh silakan siapa pun untuk mengambilnya."
Dengan girang Khu-Bu-peng berseru. "Hah, jika begitu, jadi kami ..."
"Ya, dengan sendirinya kalian bertiga juga boleh ambil secara bebas" tukas Kiam-eng. "Cuma satu hal, kalian dilarang keras membuntuti kami, bilamana hal ini ketahuan, jangan menyesal bila aku tidak kenal ampun."
Khu-Bu-peng melengong sejenak, lalu berkata pula dengan tertawa, "Ya, ya, mulai hari ini kami akan berusaha mencari sendiri dan pasti takkan membuntuti Su-siau-hiap."
Kiam-eng mendengus, katanya sambil memberi tanda kepada Keh-ki, "Mari kita pergi, Keh-ki!"
Habis bicara ia terus mendahului melangkah ke depan.
Dengan cepat ke dua orang menelusuri hutan lebat, tidak lama kemudian, tiba-tiba terlihat pepohonan di depan mulai jarang-jarang, sebaliknya di tanah banyak genangan air kotor.
Segera Kiam-eng berhenti dan berkata, "Wah Keh-ki, tampaknya kita kesasar ke daerah rawa rawa."
Keh-ki memandang sekeliling tempat itu dan benar tidak terlihat sebidang tanah yang kering, mau-tak mau ia merasa cemas, katanya, "Lantas bagaimana baiknya."
"Coba kita lanjutkan ke sana, apabila air rawa tidak dalam, biarlah kita melintas ke sebrang sana."
Begitulah mereka melangkah ke depan lagi. Beberapa puluh langkah kemudian, air rawa mencapai sebatas lutut, pepohonan pun semakin jarang sehingga sukar menggunakan gin-kang untuk "terbang" di pucuk pohon. Terpaksa mereka mundur kembali.
"Tampaknya rawa-rawa di sini sangat luas, jika kita ingin menyebrang ke sana mungkin hanya ada satu jalan!" ujar Kiam-eng.
"Cara bagaimana?" tanya Keh-ki.
"Menebang pohon dan membuat rakit," kata Kiam-eng.
"Wah, apakah tidak terlampau merepotkan?" Keh-ki berkerut kening.
"Habis, selain cara ini memangnya ada akalmu yang lebih baik?"
"Mengapa kita tidak coba-coba mengitar dulu ke sana, bisa jadi akan menemukan tempat yang tidak berawa"
"Aku kuatir akan tersesat," ucap Kiam-eng. "Sekarang kita menempuh perjalanan menurut petunjuk dalam peta, jika main mengitar segala, bisa jadi akan kesasar."
Keh-ki pikir betul juga gagasan anak muda itu, tanyanya kemudian, "Untuk membuat sebuah rakit atau sampan diperlukan waktu berapa lama?"
"Asalkan kita bekerja keras, mungkin satu hari pun cukup."
"Akan tetapi dengan halangan ini, bukankah orang-orang yang membuntuti kita itu akan menyusul tiba?"
tanya si nona. "Tidak menjadi soal. Mungkin mereka belum lagi berani berebut peta dan obat yang aku bawa ini secara terang-terangan. Padahal tanpa obat yang kita siapkan ini, lambat atau cepat mereka akan mati kena gas racun."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Segera Keh-ki menurunkan rangsal yang digendongnya dan berkata, "Baiklah, jika begitu boleh segera kita bekerja."
Chapter 13. Rahasia 180 Patung Mas
Mereka mendapatkan sebatang pohon agak besar, dengan pedang mereka segera pohon itu ditebangnya.
Pedang sebenarnya senjata yang ringan, sekarang digunakan sebagai kapak untuk menebang pohon, dengan sendirinya sangat memakan tenaga. Maka mereka terpaksa kerja keras, setelah menebang lebih satu jam barulah batang pohon itu ditumbangkan. Padahal setelah menebang pohon, bagi pembuatan sebuah sampan, pekerjaannya itu paling banter baru terselesaikan satu bagian kecil saja.
Namun mereka tidak kenal lelah, menjelang petang ketika sang surya hampir terbenam, akhirnya sebuah sampan yang kasar dapat mereka selesaikan. Sementara itu mereka benar-benar sudah kehabisan tenaga dan lemas lunglai.
Cuma sekarang mereka sudah dapat mengatasi cara menyebrangi rawa-rawa itu, betapapun hal ini membangkitkan semangat mereka. Segera Kiam-eng membawa ransel ke dalam sampan, katanya,
"Ayolah, kita dorong sampan ini ke dalam rawa!"
Namun Keh-ki lagi duduk lemas di samping sana, keluhnya, "Oo, biarlah aku mengaso sebentar lagi, sungguh melelahkan sekali?"
Sebenarnya Kiam-eng juga merasa letih tidak kepalang dan sangat ingin istirahat dulu, cuma ia merasa sampan sudah jadi, betapapun harus lekas-lekas meninggalkan tempat rawan ini. Maka ucapnya,
"Berada di atas sampan kan juga dapat istirahat. Ayolah naik kemari!"
Keh-ki menghela napas perlahan, selagi ia hendak berdiri, tiba-tiba di tengah hutan sebelah sana ada orang berseru, "Aha, apabila nona Ih merasa lelah, bagaimana kalau aku bantu!"
Di tengah suara ucapan itu, bayangan orang berkelebat dan muncul tiga orang dari sana. Siapa lagi mereka kalau bukan It-ji-kiam Khu-Bu-peng dan Im-yang-siang-pian Bok-Tat dan Bok-Tian.
Air muka Kiam-eng berubah kurang senang omelnya, "Hm, apakah kalian sudah lupa pada apa yang aku katakan pagi tadi?"
Kemunculan It-ji-kiam sekarang sudah bersikap lain daripada pagi tadi, ia menarik kening dan terbahak,
"Haha, sesungguhnya kami tidak sengaja membuntuti Su-siau-hiap, bahwa kembali kita bertemu lagi di sini hanya secara kebetulan belaka."
"Hm, jika begitu, silakan kalian pergi dari sini!" jengek Kiam-eng.
Akan tetapi It-ji-kiam malah menyeringai, katanya, "Su-siau-hiap dan nona Ih sudah sangat kelelahan, dengan tulus hati kami memang sengaja hendak membantu, kenapa kalian tolak maksud baik kami?"
Sembari berkata ia terus mendekati Su-Kiam-eng dan Ih-Keh-ki.
Tentu saja Kiam-eng marah, ia lolos pedang dan membentak, "Berhenti! Bila berani maju lagi jangan menyesal bila pedangku tidak kenal ampun lagi."
It-ji-kiam terkekeh beberapa kali, sekonyong-konyong ia pun melolos pedang yang tersandang di punggungnya terus menusuk Su-Kiam-eng.
Pada saat yang sama Im-yang-siang-pian juga mendesak maju ke arah Ih-Keh-ki. Tentu saja si nona was-was juga gusar, cepat ia siapkan pedangnya dan siap tempur, bentaknya nyaring, "Bagus kalian kawanan anjing yang tidak tahu budi dan suka ingkar janji, lihatlah apakah nonamu mau mengampuni kalian lagi ..."
Im-yang-siang-pian tertawa ngakak, berbareng ruyung mereka lantas menyerang. Cepat Keh-ki angkat pedangnya untuk menangkis. Ia sangka hanya dua lawan kelas rendahan saja, cukup beberapa gebrakan tentu dapat membereskan mereka.
Siapa duga, baru saja pedang membentur ruyung lawan, kontan ia merasakan tangan tergetar sakit, pedang pun mencelat terbentur ruyung Bok Tat.
Rupanya dia sudah kelelahan seharian sehingga tidak ada tenaga lagi untuk bertempur.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Dan karena sedikit ayal, menyusul ujung ruyung Bok-Tian sempat menutuk hiat-to kelumpuhan.
Keadaan Kiam-eng tidak banyak lebih baik daripada Keh-ki sebenarnya dengan kepandaiannya boleh dikatakan terlampau mudah untuk membereskan lawan semacam It-ji-kiam. Tapi sekarang lantaran tenaga belum pulih, maka baru bergebrak beberapa jurus saja, serupa nasib Ih Keh-ki, pedangnya juga terbentur mencelat oleh senjata lawan.
Setelah membentur lepas pedang anak muda itu, It-ji-kiam tidak melancarkan serangan lebih lanjut, berbalik ia melompat mundur dan berucap "Nah, jika Su-siau-hiap tidak ingin menyaksikan cederanya nona Ih, aku harap sekarang juga kita sudahi pertempuran ini."
Sungguh tidak kepalang rasa murka Su-Kiam-eng, tapi ia pun tahu dalam keadaan tiada tenaga untuk mengatasi musuh, akan lebih baik kalau bersabar dan terima hinaan untuk sementara, kalau tidak mungkin jiwa sendiri pun akan melayang.
Maka sebisanya ia menahan rasa gusar dan mendengus, "Hm, bagus sekali, kalian yang menang. Lantas apa kehendak kalian, coba katakan!"
It-ji-kiam tertawa, "Apa pun juga kami harus mengaku utang budi kepada Su-siau-hiap, sudah dua kali Su-siau-hiap menyelamatkan jiwa kami bertiga, mana berani kami berbuat sesuatu yang tidak pantas terhadapmu. Kami hanya minta agar Su-siau-hiap sudi memberikan peta dan obat yang kau bawa, dan itu pun sudah cukup."
Kiam-eng menggertak gigi saking gemasnya, ucapnya, "Oo, jadi Khu-tai-hiap merasa cukup asalkan sudah mendapatkan peta dan obat yang aku bawa, apakah tidak terlalu murah hati caramu ini?"
Sama sekali It-ji-kiam tidak merasa malu, katanya, "Ya, memang cuma itulah yang aku minta. Jika orang lain, mungkin tidak cuma itu saja yang dikehendaki."
"Dan bagaimana lagi kalau tidak aku beri?" tanya Kiam-eng.
"Hehe, kalau begitu, maka yang pertama akan celaka dengan sendirinya ialah nona Ih," ucap It-ji-kiam dengan terkekeh.
Melihat Keh-ki yang menggeletak tak berkutik itu, Kiam-eng pikir ke tiga orang lawan sudah khilap karena pengaruh daya tarik harta karun, apa yang dikatakan bukan mustahil juga dapat dilakukannya.
Jalan yang paling aman adalah memenuhi saja permintaannya dan nanti dapat mencari akal lagi untuk merebutnya kembali.
Segera ia melemparkan sebotol obat kepada It-ji-kiam dan berkata, "Baiklah, ambil ini!"
Cepat It-ji-kiam menyambar botol obat itu dan dimasukkan ke saku, ucapnya dengan tertawa "Dan mana lagi peta itu?"
"Suruh kalian agak menjauhi nona Ih dan segera aku beri peta yang kau minta," jengek Kiam-eng.
Terpaksa It-ji-kiam berkata kepada Im-yang-siang-pian, "Baiklah, ke dua su-te, boleh kalian menyingkir dulu."
Im-yang-siang-pian menurut dan menyingkir jauh ke samping sana.
Lalu Kiam-eng mendekati Keh-ki dan mengeluarkan peta, sembari membentang peta ia pun berkata,"Sesudah Khu-tai-hiap mendapatkan peta ini, perlu hati-hati sedikit, kalau tidak, bisa mendatangkan bencana maut ..."
Bicara sampai di sini, mendadak ia robek, sebagian peta itu.
Keruan It-ji-kiam kaget, bentaknya gusar, "Kurang ajar, berani kau robek peta itu?"
Pedang bergerak dan segera ia hendak menyerang.
Namun Kiam-eng berdiri tenang saja, jengeknya, "Jangan terburu marah dulu, Khu-tai-hiap aku kan tidak merusak peta ini."
"Habis apa yang kau robek?" teriak It-ji-kiam sambil menahan gerak serangannya.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Kiam-eng memperlihatkan ujung peta yang dirobeknya dan berkata, "Ujung peta ini adalah tulisan suheng ku yang menerangkan tempat sembunyi Jian-lian-hok-leng, yang kalian cari kan emas dan bukan Jian-lian-hok-leng, maka ujung peta dengan tulisan ini perlu aku robek dan aku gunaksn sendiri."
Habis berucap, ujung peta yang dirobeknya itu dihancurkannya dan dibuangnya, lalu sisa peta dilemparkan kepada It-ji-kiam.
Cepat Khu Bu-peng menangkap peta itu dan memberi tanda kepada Im-yang-siang-pian, "Ayo, berangkat!"
Ke tiga orang serentak bergerak dan melompat ke arah sampan yang dibuat Su-Kiam-eng itu lalu diangkat dan dibawa lari ke arah rawa.
Akan tetap baru saja mereka lari beberapa langkah, sekonyong-konyong terdengar suara mendesir beberapa kali, dari dalam hutan melayang ke luar tiga sosok bayangan orang dan tepat menghadang di depan mereka.
Ke tiga orang ini ternyata adalah ketua Hoa-san-pai Poan-ti-lo-jin Oh-Lok-thian, ketua Tiam-jong-pai Bu-si-soh Lau-Kong-liang dan ketua Thai-kek-bun Ting-Go.
Keruan It-ji-kiam bertiga terkejut, cepat mereka mereka melemparkan sampan yang digotong itu dan melompat mundur, serentak mereka melolos senjata dan siap tempur.
"Hm, ke tiga Ciang-bun-jin mendadak muncul di sini, entah ada petunjuk apa?" jengek Khu-Bu-peng.
Ketua Hoa-san-pai, Poan-ti-lo-jin, si kakek setengah tahu, berkata dengan terbahak, "Haha, kalau sudah tahu mengapa Khu-tai-hiap sengaja tanya lagi" Dengan sendirinya kedatangan kami bertiga tiada urusan lain kecuali demi peta mestika itu."
It-ji-kiam menarik muka masam. dengusnya, "Hm, tindak-tanduk kalian bertiga apa takkan menurunkan derajat kedudukan kalian sebagai pimpinan perguruan terkemuka?"
Bu-si-soh, si kakek tanpa jenggot, ketua Tiam-jong-pai, ikut menimbrung, "Aha, aku justru ingin minta penjelasan padamu, di mana ada tanda menurunkan derajat kami hanya karena kemunculan kami menghadang perjalanan kalian di sini?"
"Betul," tukas Ting-Go, ketua Thai-kek-bun. "Kami bertiga kan tidak main rampas milik orang selagi orang lain dalam keadaan tak berdaya seperti perbuatan Khu-tai-hiap, kenapa kau bilang tindakan kami kurang pantas?"
Air muka It-ji-kiam berubah pucat, jawabnya, "Selama ini cukup baik hubungan antara kita, sekarang hanya lantaran secarik peta, lantas ke tiga Ciang-bun-jin tak mau kenal lagi pada sahabat lama, begitu?"
"Jika Khu-tai-hiap mau bicara tentang hubungan baik, sesungguhnya hubungan baik kami dengan Khu-tai-hiap kan tidak lebih baik daripada hubungan Khu-tai-hiap dengan Su-siau-hiap," ujar Bu-si-soh, si kakek tanpa jenggot.
"Betul," sambung Kian-kun-jiu Ting-Go, "Pernah dua kali Su-siau-hiap menyelamatkan jiwa kalian bertiga, kalian tidak tahu balas budi, sebaliknya malah merebut peta pada saat Su-siau-hiap keletihan dan kehabisan tenaga. Caramu yang kotor dan rendah serta memalukan itu masakah pantas untuk bicara tentang persahabatan segala dengan kami?"
"Habis, apa kehendak ke tiga Ciang-bun-jin," ucap It-ji-kiam dengan muka merah, dari malu menjadi gusar.
"Terhadap manusia yang rendah dan kotor, setiap orang boleh membunuhnya," jengek Poan-ti-lo-jin, si kakek setengah ling-lung.
Begitu habis ucapannya, serentak ia melompat maju dan sebelah tangan ketua menghantam.
It-ji-kiam menyadari bukan tandingan ke tiga lawan itu, maka begitu serangan lawan tiba, cepat, ia melompat mundur sambil berteriak, "Nanti dulu!"
Cepat Poan-ti-lo-jin menahan serangannya tanyanya dengan tertawa, "Khu-tai-hiap mau bicara apa lagi?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Hm, yang dikehendaki ke tiga Ciang-bun-jin kan peta dan obat, karena aku tidak ingin cek-cok dengan kalian, biarlah aku berikan apa yang kau minta, ini," jengek It-ji-kiam.
"Jika betul begitu, lemparkan kemari obat dan petanya," kata Poan-ti-lo-jin.
Segera It-ji-kiam mengeluarkan peta dan obat serta dilemparkan kepada Poan-ti-lo-jin, lalu ia memberi tanda kepada Im-yang-siang-pian, "Ke dua su-te, marilah kita pulang saja!"
Habis bicara segera ia mendahului angkat kaki.
Siapa duga Poan-ti-lo-jin berbalik tidak membiarkan mereka pergi begitu saja, mendadak ia melompat ke sana dan menghadang di depan It-ji-kiam Khu-Bu-peng, ucapnya dengan tertawa, "Ehh, barangkali Khu-tai-hiap belum lagi mengerti makna ucapanku tadi ..."
Keruan air muka Khu-Bu-peng berubah hebat, cepat ia menyurut mundur dan melolos pedang, bentaknya, "Sesungguhnya apa kehendak Oh-ciang-bun-jin?"
"Tadi kan sudah aku katakan, manusia yang rendah dan kotor, setiap orang boleh membunuhnya, apa yang aku katakan bukan cuma untuk main-main saja ... "
Kejut dan gusar pula It-ji-kiam. "Hm, kenapa Oh-ciang-bun-jin tidak bicara terus terang saja bahwa kamu hendak membunuh orang untuk menghilangkan saksi."
"Hehe, boleh juga jika Khu-tai-hiap hendak bilang demikian, yang jelas hari ini tiada satu pun di antara kalian yang dapat pergi lagi," Poan-ti-lo-jin terbahak-bahak.
Habis bicara, tangan bergerak, kembali ia menghantam dengan telapak tangan.
"Sekali ini, It-ji-kiam merasa tiada jalan lain terkecuali mengadu jiwa belaka."
Begitulah, dalam sekejap ke dua orang lantas saling gebrak dengan sengit di tengah hutan.
Serentak Bu-si-soh dan Kian-kun-jiu juga menemukan tandingan, yaitu bertarung dengan Im-yang-siang-pian sehingga terjadilah pertempuran tiga partai terdiri dari enam orang.
Saat itu hiat-to kelumpuhan Ih-Keh-ki yang tertutuk tadi sudah dibuka oleh Su-Kiam-eng. Karena tenaga ke dua orang belum lagi pulih, sebab itulah mereka hanya duduk menonton di samping.
Keh-ki berpendapat apa yang terjadi sekarang adalah gara-gara Su-Kiam-eng yang berhati terlalu welas-asih, maka berulang ia menggerundel "Coba lihat, semuanya gara garamu, karena kamu bermaksud baik dan menolong mereka bertiga, kalau tidak dan membiarkan mereka mampus, tentu takkan terjadi seperti sekarang ini."
"Mungkin betul ucapanmu," kata Kiam-eng dangan menyengir. "Syukurlah hukum karma segera akan terjadi juga. Kau lihat, malam ini mereka bertiga pun takkan lolos dari kematian."
"Tapi bagaimana dengan peta dan obatmu?" tanya Keh-ki.
"Lihat saja nanti, barangkali ke tiga Ciang-bun-jin itu mau mengembalikannya kepadaku ..."
"Aduuhh!" mendadak suara jeritan seorang memotong ucapan Kiam-eng.
Kiranya perut Bok-Tat terkena tusukan pedang ketua Tiam-jong-pai si kakek tanpa jenggot, dengan jeritan ngeri itu kontan ia pun terguling dan binasa.
Tentu saja It-ji-kiam Khu-Bu-peng dan Im-pian Bok-Tian menjadi gugup, segera mereka bermaksud kabur. Akan tetapi kesempatan itu tidak disia-siakan oleh lawan, dengan tepat punggung It-ji-kiam kena pukulan dahsyat Poan-ti-lo-jin sehingga isi perut hancur. Sedangkan Bok-Tat terhantam batok kepalanya oleh Ting-Go sehingga remuk dan mampus.
Setelah membereskan It-ji-kiam bertiga, Poan-ti-lo-jin lantas berpaling dan bicara terhadap Kiam-eng,
"Su-siau-hiap, kami bertiga telah menumpas ke tiga manusia yang tidak tahu budi ini, cara bagaimana engkau akan berterima kasih pada kami?"
Kiam-eng berdiri dan memberi hormat, ucapnya, "Apabila Oh-ciang-bun-jin sudi mengembalikan peta Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
dan obat padaku, sungguh selama hidup takkan aku lupakan kebaikanmu ini."
"Eh, jangan Su-siau-hiap bergurau denganku," ucap Poan-ti-lo-jin dengan tertawa. "Kau lihat sendiri peta dan obat ini aku rebut langsung dari It-ji-kiam sendiri."
"Betul, tapi peta dan obat itu semula adalah barang milikku," kata Kiam-eng.
"Oo, akan tetapi Su-siau-hiap sendiri kan tidak sanggup merebutnya kembali dari tangan It-ji-kiam?"
"Jika begitu cara bicara Oh-ciang-bun-jin, maka urusan ini tidak perlu disebut-sebut lagi," jengek Kiam-eng.
"Tidak kita masih harus bicara lebih lanjut ingin aku rundingkan sesuatu urusan dengan Su-siau-hiap,"
ujar Poan-ti-lo-jin.
"Hm, apakah maksudmu hendak menyuruh kami menjaga rahasia bagi kalian?" jengek Kiam-eng. "Yaitu agar jangan menyiarkan peristiwa kalian membunuh It-ji-kiam bertiga ini ke dunia kang-ouw, begitu bukan?"
"Memang betul," Poan-ti-lo-jin mengangguk "Untuk itu, jika Su-siau-hiap mau berjanji, segera kalian dapat ikut bersama kami ke kota emas."
"Maaf rasanya kami tidak tertarik oleh tawaranmu ini" Kiam-eng menggeleng kepala.
"Ehh, apakah Su-siau-hiap sudah tidak menghendaki lagi Jian-lian-hok-leng itu?" tanya Poan-ti-lo-jin.
Dengan ketus Kiam-eng menjawab, "Jian-lian-hok-leng itu memang menjadi sasaran kedatanganku ke wilayah selatan yang masih liar ini, mengapa kau bilang tidak aku kehendaki lagi?"
"Jika demikian, jadi Su-siau-hiap bermaksud menyiarkan peristiwa terbunuhnya It-ji-kiam oleh kami ini?"
tanya Poan-ti-lo-jin dengan menarik muka.
"Hm, memangnya aku tidak ada pekerjaan dan terlampau iseng sehingga perlu banyak jual omong?"
jawab Kiam-eng tak acuh.
"Jika begitu, mengapa Su-siau-hiap tidak mau ikut pergi ke kota emas bersama kami?" tanya Poan-ti-lojin.
"Soalnya aku tidak suka berada bersama orang yang tidak aku suka." jawab Kiam-eng tegas.
Muka Poan-ti-lo-jin menjadi merah, ucapnya dengan terkekeh, "Hehe, Su-siau-hiap ternyata berjiwa serupa gurumu, sungguh sangat mengagumkan. Cuma, bilamana peta dan obat sudah tidak kau pegang lagi, cara bagaimana engkau akan menemukan kota emas itu?"
"Dari sini ke kota emas itu masih berjarak sepuluh hari perjalanan, dalam sepuluh hari ini aku yakin ada jalan untuk merebut kembali peta dan obatku itu."
"Hahaha" Poan-ti-lo-jin tergelak, lalu katanya kepada kedua kawannya "Nah, kalian dengar tidak, tampaknya tidaklah mudah bila kita ingin bersahabat dengan Kiam-ho Lok-Cing-hui guru dan murid."
Bu-si-soh berdehem perlahan, tanyanya kemudian sambil menatap tajam Su-Kiam-eng, "Jadi benar-benar Su-siau-hiap tidak sudi ikut pergi ke kota emas itu bersama kami?"
"Betul, watakku sudah terbiasa keras dan kukuh, pendirianku sukar berubah," Kiam-eng mengangguk.
"Kalau begitu, kita harus bicara di muka sejelas-jelasnya," ujar Bu-si-soh. "Peta dan obat ini kami rebut dari tangan It-ji-kiam Khu-Bu-peng, maka antara kami dan Su-siau-hiap boleh dikatakan tiada persengketaan apa pun. Hal ini diakui Su-siau-hiap atau tidak?"
"Ya, dapat aku akui," jawab Kiam-eng.
"Bagus, selanjutnya, kami bertiga telah membunuh Khu-Bu-peng dan ke dua su-te nya, sedikit banyak hal ini dapat dikatakan kami ikut mengurangi rasa dendam Su-siau-hiap. Untuk ini kan sepantasnya Su-siau-hiap perlu berterima kasih kepada kami dan dengan sendirinya tidak pantas bila kau siarkan peristiwa terbunuhnya Khu-Bu-peng bertiga oleh kami, betul tidak?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Kan sudah aku katakan tadi, tidak ada waktu iseng bagiku untuk menjual cerita urusan ini," kata Kiam-eng.
"Jika begitu maaf, kami ingin mendahului berangkat sekarang. Bila Su-siau-hiap yakin akan dapat merebut kembali peta dan obat, boleh silakan menyusul saja nanti," ujar Bu-si-soh dengan tertawa. Lalu ia memberi tanda kepada ke dua kawannya dan langsung menuju ke arah sampan.
Ke tiga orang menggotong sampan ke rawa, lalu naik ke atas sampan dan didayung, segera sampan itu meluncur ke depan dan dalam sekejap saja sudah menghilang dalam kegelapan malam.
Tidak kepalang gemas Keh-ki menyaksikan ke tiga orang itu pergi dengan merampas sampan yang mereka buat itu, makinya. "Hm, ke tiga tua bangka ini kan serupa bandit saja yang sengaja merampas milik orang. Huh, lagaknya saja tokoh pimpinan perguruan ternama, namun perbuatan kotor dan memalukan seperti ini tidak segan-segan dilakukannya."
"Sudahlah, tidak perlu memaki lagi," cepat Kiam-eng menghiburnya. "Bahwa mereka tidak mengganggu kita sudah harus bersyukur."
Keh-ki mengentak kaki, dijemputnya kembali pedangnya dan bertanya, "Lantas bagaimana selanjutnya, apa yang akan kau lakukan?"
Kiam-eng mengangkat bahu, katanya, "Sama sekali tak berdaya!"
"Bukankah tadi kau bilang ada jalan untuk merebut kembali peta dan obat yang dirampas mereka itu?"
tanya Keh-ki dengan mendongkol.
"Ah, itu kan cuma basa-basi saja untuk sekadar menjaga muka ... "
"Jika tidak ada jalan untuk merebut kembali peta itu, mengapa tadi tidak kau terima tawaran mereka untuk pergi bersama?"
"Soalnya aku benar-benar tidak suka berkumpul dengan kawanan tua bangka yang licin dan licik itu,"
ujar Kiam-eng. "Sungguh aku tidak mengerti, mengapa caramu bertindak sesuatu sedemikian bandel dan kepala batu tanpa memikirkan soal untung dan rugi?" tanya Keh-ki sambil memandang anak muda itu dari samping.
"Kepala batu memang betul," ujar Kiam-eng dengan tertawa. "Sebabnya guruku mau menerimaku sebagai muridnya dahulu justru lantaran beliau suka pada watakku ini."
"Huh, betul apa segala, yang betul tanpa peta itu tentu takkan menemukan kota emas itu," jengek Keh-ki.
Kiam-eng merangkul bahu si nona, ucapnya dengan gelisah, biarlah aku katakan terus terang padamu, apa yang terlukis dalam peta itu sudah aku apalkan di luar kepala."
"Hah, apa betul?" si nona menegas dengan melengong.
"Betul, sebelumnya memang sudah aku bayangkan ada kemungkinan peta itu akan dirampas orang, maka lebih dulu sudah aku apalkan semua petunjuk yang terlukis dalam peta itu."
"Wah, jika begitu, biarpun peta telah direbut mereka, kita tetap dapat menemukan kota emas bukan?"
"Betul, asal kita membuat lagi sebuah sampan dan segera kita dapat berangkat," kata Kiam-eng sambil mengangguk.
"Tapi tanpa membawa obat anti gas racun tetap sulit juga bagi kita,"
Kiam-eng mengangkat lengan baju kiri dan berkata. "Dalam lengan bajuku masih tersimpan sepuluh biji pil anti racun."
Girang sekali Keh-ki, ia peluk anak muda itu dengan erat dan berseru, "Aha, kiranya engkau masih punya akal simpanan, kenapa tidak kau katakan sejak tadi, bikin aku sedih saja."
"Sekarang marilah kita tidur lagi semalam di atas pohon esok kita bekerja keras membuat sampan pula,"
kata Kiam-eng. Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Esoknya tidak lama setelah lewat lohor mereka sudah selesai membuat sampan ke dua yang cukup apik.
Kuatir akan datang lagi musuh lain untuk merampas sampan itu, dengan menahan lapar langsung mereka mendorong sampan itu ke rawa, dengan menumpang sampan mereka mendayung sekuatnya meluncur ke depan.
Setelah memasuki rawa yang luas, melihat si nona agak pucat dan lesu, Kiam-eng tidak sampai hati, katanya, "Keh-ki, berikan dayungmu padaku, boleh kamu rebah dan mengaso dulu."
"Tidak, aku tidak lelah, aku cuma kelaparan sekali," jawab Keh-ki.
Kiranya dua kantung rangsum yang mereka bawa semula, kemarin oleh Kiam-eng telah ditaruh dalam sampan, kemudian sampan itu dibawa lari Poan-ti-lo-jin bertiga sehingga sisa rangsum pun ikut digondol pergi.
Kiam-eng menghela napas oleh keluhan si nona, ucapnya, "Jika begitu, harap tahan lagi sementara, setelah menyebrangi rawa ini, nanti kita menangkap satu-dua ekor binatang kecil untuk sekadar menangsal perut."
Keh-ki juga menghela napas, ucapnya lemah, "Entah betapa luas rawa ini, jika selama beberapa kali dan malam luas rawa ini tak tersebrangi, bukankah kita akan mati kelaparan di atas sampan ini?"
"Aku kira tidak segawat itu, tampaknya paling banter ... Hei, barang apakah itu?" seru Kiam-eng mendadak.
Keh-ki memandang ke sana sambil tanya, "Barang apa?"
Kiam-eng menuding sepotong benda serupa kayu hitam yang mengapung di permukaan sebelah kanan sana dan berkata, "Coba lihat, itu potongan kayu atau bukan?"
Waktu Keh-ki memandang ke sana, terlihat bonggol kayu itu sedang meluncur ke arah sampan mereka, keruan ia terkejut dan berseru, "Hah masakah bonggol kayu dapat berenang" Mungkin semacam makhluk aneh entah apa?"
Sementara itu bonggol kayu hitam itu sudah meluncur mendekat, waktu Kiam-eng mengamati lebih cermat, seketika ia menjerit, "Wah, celaka seekor buaya!"
Muka Keh-ki berubah pucat karena gugupnya cepat ia mendayung sekuatnya sambil berseru, "Ayo lekas dayung, jangan sampai tersusul!"
Mereka mendayung sekuatnya, namun kecepatan laju sampan tetap kalah cepat daripada renang buaya, hanya dalam sekejap saja buaya itu sudah menyusul sampai di samping sampan.
Cepat Kiam-eng mengayun pengayuh dan mengepruk sekerasnya pada kepala buaya itu. "Blang", dengan tepat kepala buaya kena dikemplang. Akan tetapi kulit buaya memang sangat tebal, agaknya buaya itu tidak mengalami cedera apa pun, ia cuma berguling satu kali di dalam air, lalu menerjang lagi ke arah sampan dengan cepat sekali.
Keh-ki juga menirukan cara Su Kiam-eng, ia angkat pengayuh dan mengemplang kepala buaya namun tetap tidak ada gunanya setelah berguling dalam air buaya itu mengejar lagi terlebih pesat.
Cepat Kiam-eng melolos pedang dan berkata, "Coba kau hantam lagi sekali kepalanya!"
Tanpa ayal Keh-ki angkat pengayuh dan mengepruk lagi kepala buaya, kembali buaya bergulingan di dalam air.
Selagi tubuh buaya itu terbalik di dalam air, kesempatan itu cepat digunakan oleh Kiam-eng untuk menusuk tenggorokan buaya dengan pedangnya. Serangan itu tempat mengenai titik lemah buaya itu, tertampak badan buaya yang besar itu berguling kian-kemari di dalam air, dari bagian luka di tenggorokan itu tersembur ke luar darah segar, setelah meronta sekian lama, akhirnya buaya itu tidak bergerak lagi dan tenggelam ke bawah.


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keh-ki menghela napas lega, ucapnya "Busyet, selama hidup tidak pernah aku lihat buaya sebesar ini."
Kiam-eng memandang sekeliling rawa, dilihatnya dari kanan-kiri sana kembali meluncur tiba pula dua ekor buaya, cepat ia berseru. "Awas, dua ekor buaya datang lagi."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Haya, sekali ini celakalah kita!" keluh Keh-ki kuatir.
"Jangan takut," ucap Kiam-eng. "Lekas lolos pedangmu, kita bunuh mereka menurut cara tadi!"
Belum lenyap suaranya, ke dua ekor buaya itu sudah meluncur sampai di samping perahu mereka.
Dengan tangan kanan Kiam-eng memegang pedang dan tangan kiri mengangkat pengayuh ia incar benar hidung buaya terus mengemplang sekerasnya.
Siapa tahu buaya ini berbeda dengan buaya tadi, meski kena dikepruk kepalanya, dia tidak bergulingan di dalam air, sebaliknya cepat ia menyelam ke bawah air, setelah berputar di bawah air lalu ia menerjang lagi ke arah sampan.
Agaknya buaya itu hendak menggunakan siasat menumbuk terguling sampan itu, habis itu baru akan pesta makan daging manusia.
Buaya yang menjadi lawan Keh-ki itu juga sama licinnya, sejak awal tidak mau memperlihatkan bagian kelemahannya, meski beberapa kali Keh-ki menghantam kepala buaya itu, tetap buaya tidak mau membalik tubuh.
Seketika nona itu menjadi kehabisan akal, teriaknya kuatir, "wah, kakak Eng, buaya ini tidak mau membalik tubuh, sukar untuk menusuk tenggorokannya, bagaimana baiknya ini?"
Cepat Kiam-eng menjawab, "Tahan saja dengan sabar, tunggu setelah aku bereskan dulu buaya ini, nanti aku bantu ..,. "
Ia tidak meneruskan ucapannya, sebab dayungnya mendadak digigit buaya lawannya.
Cuma perbuatan buaya ini justru memberi kesempatan kepada Kiam-eng untuk menyerang bagian kelemahannya, segera ia tarik sekuatnya dayungnya dan karena buaya itu tidak rela melepaskan gigitnya, dengan sendirinya sebagian tubuhnya ikut terseret ke atas air sehingga tenggorokannya terlihat dengan jelas.
Cepat Kiam-eng menusuk dengan pedangnya dan tepat mengenai tenggorokan buaya, lalu ia lepaskan dayung dari gigitan buaya dan cepat berputar ke sebelah sana, katanya kepada Keh-ki, "Jangan memukul dia lagi, biarlah dayungmu digigit olehnya"
Keh-ki masih gugup dan bingung, ia tidak tahu cara bagaimana Kiam-eng membunuh buaya lawannya, maka ia menjawab dengan heran.
"Biarkan buaya menggigit dayungku bagaimana! Wah, kan bisa celaka" Jangan-jangan aku akan terseret ke dalam air"
Sembari bicara ia masih terus mengemplang kepala buaya dengan pengayuh.
"Jangan kuatir, biarlah dayungmu digigitnya olehnya, serupa memancing ikan nanti kau tarik dia ke permukaan tadi!" kata Kiam-eng.
Keh-ki memang gadis cerdas, segera ia paham maksud Kiam-eng, cepat ia menuruti petunjuknya ia sodorkan pengayuhnya ke arah buaya, dengan sendirinya buaya itu tidak tahu akan akal manusia kontan ia membuka mulut dan menggigit pengayuh sekuatnya dan segera pula Keh-ki menarik pengayuhnya sehingga kepala buaya ikut terbetot ke atas.
Tanpa ayal pedang Kiam-eng lantas menusuk dan tepat mengenai leher buaya ... "
Begitulah tiga ekor buaya dapat mereka binasakan dalam waktu yang singkat.
Akan tetapi keadaan mereka sekarang menjadi letih sekali dan lemas lunglai," Keh-ki menaruh pedang dan pengayuhnya, katanya dengan menghela napas panjang. "Oo, bisa mati lemas aku."
"Kalau datang lagi dua ekor buaya mungkin aku tidak sanggup melawannya lagi."
Kiam-eng tahu di sekitar rawa pasti masih banyak mengintai kawanan buaya yang lain, maka ia tidak berani berhenti di situ, cepat ia mendayung sekuatnya sehingga sampan itu meluncur lagi ke depan.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Mungkin nasib mereka lagi baik sehingga tidak diketahui kawanan buaya yang lain, maka perjalanan selanjutnya dirawa-rawa itu dapat dilalui dengan aman.
Malam tiba pula, akhirnya sampan mereka pun mencapai ujung rawa-rawa sana.
Di dekat tepi rawa sana mereka menemukan sampan pertama yang ditumpangi Poan-ti-lo-jin itu Kiam-eng menduga mereka tentu sudah pergi jauh dan sukar disusul lagi.
"Coba kau duduk menunggu sebentar di sini biar aku cari di sekitar sini, barangkali dapat menangkap seekor kelinci atau binatang kecil lain," kata Kiam-eng kepada Keh-ki.
"Jangan kau pergi jauh-jauh, berada sendirian di sini sungguh aku agak takut," ujar si nona.
"Baiklah, aku hanya akan mencari sejauh ratusan meter di sekitar sini, bilamana terjadi sesuatu bahaya, boleh kamu berteriak dan segera aku buru kembali."
Habis berkata ia lantas menuju ke tengah hutan yang hebat.
Ia berputar sebentar di tengah hutan dan ternyata tiada menemukan sejenis binatang kecil yang sekiranya dapat dimakan. Ia tahu setelah malam tiba, binatang kecil umumnya tentu sudah sembunyi di sarangnya dan sukar dicari lagi. Segera ia ganti haluan dan mencari buah-buahan di atas pohon.
Akan tetapi, hasilnya tetap nihil, tiada menemukan buah apa pun.
Ia menghela napas dan terpaksa putar balik ke tempat semula. Namun dilihatnya Ih-Keh-ki tidak berada lagi dalam sampan, keruan ia terkejut dan cepat berteriak, "Keh-ki, di mana kamu, Keh-ki!"
Namun keadaan sekitar sunyi senyap, mana ada suara jawaban Ih-Keh-ki"
Tentu saja Kiam-eng bingung dan tegang, kembali ia berteriak, "Keh-ki, di manakah kau, Keh-ki"!"
Tetap tidak ada jawaban. Ada juga suara jawaban, namun jelas itulah suara auman binatang buas sebangsa harimau.
Keruan hati Kiam-eng terkesiap, pikirnya kuatir, "Celaka, jangan-jangan dia kena digondol lari harimau?"
Terpikir demikian, sungguh tidak terperikan bingung pikirannya, segera ia melolos pedang dan menerjang ke tengah hutan secepat terbang, ditujunya tempat suara harimau mengaum itu.
Baru beberapa puluh langkah ia lari, sekonyong-konyong ia dipapak sesosok bayangan besar yang menerjangnya dari depan. Ia tidak peduli apakah bayangan ini harimau atau singa, sebelum bayangan besar itu menubruk tiba, cepat ia mendak setengah berjongkok ke bawah, pedang dipegang erat dengan ke dua tangan dan sekuatnya menusuk ke atas.
Binatang yang menubruk tiba itu memang benar seekor harimau buas, lantaran Su-Kiam-eng mendadak berjongkok ke bawah, harimau itu tidak keburu menahan daya tubruknya, pada saat dia menyambar lewat di atas kepala Kiam-eng itulah perutnya tepat tertusuk oleh pedang.
Maka terdengarlah suara raungan yang mengerikan, bagian perut harimau terobek dan tubuh yang besar itu terbanting di belakang Kiam-eng, ke empat kaki berkelojotan sebentar, lalu tidak bergerak lagi.
Menghadapi situasi begitu, sikap Su-Kiam-eng tidak kalah buasnya daripada binatang, serentak ia membalik tubuh dan melompat ke depan bangkai harimau, sekuatnya ia pentang mulut harimau dan ternyata tiada terdapat bekas darah pada gigi binatang buas itu, hatinya rada lega.
Segera ia berlari lagi kian kemari untuk mencari si nona, berulang ia pun berteriak, "Keh-ki, di mana kau?"
Hampir satu jam anak muda itu mencari ubek-ubekan dan hampir menjelajahi setiap jengkal tanah beberapa ratus meter di sekitar situ, namun bayangan si nona tetap lenyap tanpa bekas, Keh-ki telah menghilang secara misterius.
Semangat Su-Kiam-eng sekarang sungguh runtuh seluruhnya, dengan langkah yang berat ia putar kembali ke tepi rawa-rawa sana dan duduk di tepi sampan. Ia patah semangat dan berduka, ke dua matanya memandang nanar kegelapan malam yang menyelimuti jagat raya sambil bergumam perlahan,
"Keh-ki, O, Keh-ki, ke mana kau pergi" Ke mana kau pergi?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Tanpa terasa air mata pun bercucuran membasahi pipinya.
Di tengah hutan yang gelap dan menakutkan itu, seorang nona yang selama ini selalu berdampingan dengan dia telah menghilang secara mendadak, tidak perlu disangsikan bagaimana nasibnya. Maka biarpun watak Su-Kiam-eng biasanya sangat teguh pendirian dan kuat imannya, sekarang pun goyah dan sukar menahan perasaannya.
Mengapa mendadak Ih-Keh-ki bisa menghilang"
Apakah benar nona itu digondol binatang buas dan mengalami nasib malang"
Tidak, Keh-ki adalah nona yang mahir kung-fu cukup tinggi, biarpun dalam keadaan lapar dan letih sekalipun datang seekor harimau buas juga si nona cukup kuat untuk menghadapinya, paling tidak ia pun dapat berteriak minta tolong. Akan tetapi Kiam-eng sendiri tidak terlalu jauh meninggalkan si nona, andaikan Keh-ki pernah berteriak minta tolong, rasanya dirinya pasti akan dapat mendengarnya.
Jika begitu, apakah Keh-ki juga masuk ke dalam hutan untuk mencari makanan"
Juga tidak. Meski dia menguasai kung-fu tinggi namun nyalinya kecil, di tengah hutan yang gelap ini jelas dia tidak berani sendirian masuk ke tengah hutan pula, seumpama benar ia sendiri masuk ke dalam hutan untuk mencari makanan, tadi Kiam-eng sendiri sudah berteriak-teriak memanggilnya, seharusnya si nona dapat mendengar dan memburu kembali ke sini.
Atau jangan-jangan ia diculik orang"
Berpikir demikian, seketika semangat Kiam-eng terbangkit. Tapi setelah dipikir lagi, kembali ia menunduk lesu. Sebab ia pun merasa Keh-ki tidak mungkin diculik orang, alasannya, bilamana Keh-ki diculik orang, tentu tujuan orang itu adalah peta kota emas dan obat anti racun. Padahal peta dan obat sudah lebih dulu dirampas oleh Poan-ti-lo-jin bertiga.
Kejadian itu sepantasnya tidak sama sekali tidak diketahui oleh pihak lawan, lalu untuk apa lagi dia menculik Keh-ki" Pula, andaikan pihak lawan tidak tahu bahwa peta dan obat telah dibawa lari oleh Poan-ti-lo-jin, sekarang setelah lawan menguasai Keh-ki, seharusnya lawan memperlihatkan dirinya untuk mengancam Kiam-eng agar menyerahkan peta dan obat. Dan mengapa sejauh ini lawan tidak pernah menampakkan diri?"
Oleh karena itu, setelah dipikir bolak-balik, ia merasa lebih besar kemungkinan Ih-Keh-ki digondol oleh binatang buas.
Hal ini membuat hati Kiam-eng serasa disayat-sayat sembilu, begitu pedih hingga sekujur badan sampai gemetar.
Perlahan ia berdiri, ia kumpulkan seikat rumput kering, ia keluarkan alat ketik api dan menyalakan rumput kering Itu, berkat cahaya obor itu ia coba mencari lagi di sekitar situ.
Sekali ini yang diperhatikan oleh Kiam-eng adalah permukaan tanah, sebab ia pikir bila Keh-ki benar digondol binatang buas, tentu akan meninggalkan bekas darah di permukaan tanah.
Meski obor itu sudah habis terbakar, namun tetap tidak menemukan sesuatu tanda.
Ia masih penasaran, menyusul ia membuat lagi segebung rumput untuk obor, begitulah berturut-turut ia membakar lima gebung obor dan untuk kedua kalinya ia mengelilingi tempat itu seluas ratusan meter dan hasilnya tetap sia-sia belaka.
Ia menghela napas panjang dan putar balik ke tempat sampan, ia duduk termenung. Kini ia benar-benar lelah lahir batin, ia pikir semoga hari lekas terang ...
Dan akhirnya fajar menyingsing juga, pagi sudah tiba dan hari terang.
Ia mulai mencari lagi dengan lebih teliti, dari pagi melacak hingga siang, lingkungan pencarian diperluas sekali lipat hasilnya ditemukan sebuah gua.
Tiba-tiba terlihat bayangan orang berkelebat di mulut gua, Kiam-eng kegirangan, cepat ia memburu ke sana.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Setiba di depan gua ia berhenti dan membentak menegur, "Siapa itu yang sembunyi di dalam gua?"
Namun tiada suara jawaban di dalam gua.
Segera Kiam-eng melolos pedangnya, perlahan ia melangkah ke dalam gua.
Ternyata gua itu sebuah gua alam dengan jalanan yang berliku dan melingkar makin ke dalam makin lebar, di dinding atas penuh batu dinding berbentuk payudara, stalaktit, cahaya di dalam gua agak guram, namun Su-Kiam-eng sangat berani, ia masuk terlebih dalam, kira kira sekian puluh meter jauhnya, mendadak di depan muncul sebuah terowongan raksasa, di sekitar terowongan yang luas itu penuh dinding batu yang berlapis-lapis seperti bangunan berlingkar, ternyata di situ ada lagi sebuah gua raksasa yang aneh.
Kiam-eng memeriksa sekeliling kaki dinding gua raksasa itu, setiba di bawah sebuah kaki dinding, mendadak ditemukan seorang gadis bertiarap di situ.
Gadis ini ternyata seorang suku Pek-ih, usianya sekitar 17-an, wajah cantik, terlihat dia bertiarap di kaki dinding dengan wajah ketakutan dan minta dikasihani.
Meski setiap saat Kiam-eng selalu waspada, tidak urung ia terkejut juga ketika mendadak menemukan gadis itu, cepat ia menyurut mundur dua langkah, lalu menegur, "Hei, kamu siapa?"
"Ssst!" gadis itu, memberi tanda agar jangan bersuara, lalu berucap lirih, "Jangan bersuara keras mereka akan mencari ke sebelah sini."
"Siapa yang akan mencari kemari?" tanya Kiam-eng bingung.
"Orang Santo," jawab si gadis.
Kiam eng tahu orang Santo adalah suatu rumpun suku bangsa yang masih biadab, wataknya jauh lebih kejam dan buas daripada orang Kawa. Ia terkesiap oleh keterangan gadis Pek-ih, cepat ia tanya, "Apakah orang Santo hendak menangkap dirimu?"
Nona itu mengangguk, "Ya, Sinba, putra kepala suku Santo hendak merampas diriku ..."
Dengan sangsi Kiam-eng mengamati gadis suku Pek-ih yang jelita itu, tanyanya pula, "Apakah kamu ini gadis Pek-ih?"
Kembali nona itu mengangguk dan menjawab "Ya, namaku Kalina!"
Diam-diam Kiam-eng merasa heran ketika mengetahui nama si nona mirip dengan nama istri su-heng nya, yaitu Kalana. Ia coba tanya lagi "Sebab apa orang Santo hendak menangkapmu"
"Mereka hendak merampas diriku dan bukan hendak menangkapku," tutur gadis Pek-ih yang mengaku bernama Kalina itu.
"Memangnya apa bedanya merampas dan menangkap?" tanya Kiam-eng dengan tidak mengerti.
"Soalnya Sinba hendak merampas diriku untuk dijadikan istrinya, sekarang kau paham tidak?" kata Kalina.
"Oo, kiranya begitu," seru Kiam-eng setelah tahu duduknya perkara. "Sebab apakah ia perlu pakai merampas segala?"
"Semula mereka datang melamar secara baik-baik," tutur Kalina. "Namun ayahku tidak suka aku menjadi istri orang Santo, aku sendiri tidak suka pada Sinba, maka lamarannya telah kami tolak. Sinba sangat marah, ia mengancam hendak merampas atau menculik diriku. Maka ayah menyuruhku bersembunyi, sudah tiga hari aku sembunyi di sini."
"Aneh, mengapa orang Santo tidak tahu aturan?" ucap Kiam-eng penasaran.
"Tidak, memang ada kami ada peraturan boleh kawin paksa, apabila aku sampai direbut oleh Sinba, mau tak mau aku harus menurut untuk menjadi istrinya," tutur Kalina.
"Ahh, kiranya ada adat istiadat seaneh itu," ujar Kiam-eng. "Dan waktu dia hendak merebut dirimu, apakah kalian tidak dapat melawannya?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Lawan memang bisa, namun kami bukan tandingan orang Santo, terpaksa aku lari dan bersembunyi,"
kata Kalina. Kiam-eng manggut-manggut, tanyanya pula "Ada berapa jauh dari sini ke tempat tinggalmu?"
"Kira-kira 50 li lebih."
"Jika begitu, mungkin setiap saat Sinba dapat menemukan dirimu."
"Betul, makanya aku minta engkau jangan bicara dengan suara keras ... Eh, apakah engkau bangsa Han?" tanya Kalina tiba-tiba.
"Ya, namaku Su-Kiam-eng ..."
"Untuk keperluan apa kau datang ke tempat seperti ini?"
"Mencari bahan obat-obatan ... Oya, numpang tanya, apakah kau lihat ada seorang nona lewat di sini?"
"Seorang nona ..." Kalina bergumam dengan melengong.
"Betul ia datang bersamaku, semalam mendadak dia menghilang."
"Aku tidak melihat dia. Mungkinkah dia dimangsa harimau?"
"Semula aku pun berpikir begitu, akan tetapi sudah sekian lama aku cari dia dan tidak menemukan sesuatu tanda bekas darah ..." Kiam-eng menghela napas, lalu meneruskan, "Entah apakah diculik oleh orang Santo atau tidak?"
"Tidak bisa jadi," ujar Kalina, "Meski orang Santo memang buas, namun mereka tidak berani memasuki rimba raya itu pada waktu malam hari."
Kembali Kiam-eng menghela napas, dengan lesu ia duduk di samping si nona.
Kalina menatapnya sejenak, lalu tanya pula, "Nona itu ada hubungan apa dengan dirimu?"
"Dia kawan baikku," jawab Kiam-eng lesu "Cuma diam-diam kami sudah mengikat janji, apabila dia tidak meninggal, pada suatu hari tentu dia akan menjadi istriku."
Kalina bersuara simpatik, ia coba menghibur.
"Mungkin ia cuma tersesat jalan saja, nanti tentu akan kau temukan dia." Kiam-eng cuma menyengir saja tanpa menanggapi. Ia pikir kecuali Ih-Keh-ki hanya diculik orang saja, kalau tidak jelas dirinya takkan bertemu lagi dengan dia untuk selamanya.
Dan sekarang betapa dia berharap Keh-ki hanya diculik orang, dengan begitu si nona masih ada harapan tetap hidup di dunia ini. Akan tetapi apakah benar Keh-ki hanya diculik orang saja" Siapa yang menculiknya"
Mungkinkah orang Santo yang menculik Keh-ki"... Tapi Kalina bilang orang Santo tidak berani keluyuran pada waktu malam, apa lagi masuk ke dalam hutan lebat itu. Maka Keh-ki pasti bukan diculik oleh suku bangsa yang masih biadab itu.
Kalau dikatakan nona itu diculik oleh orang persilatan Tiong-goan yang ikut berusaha mencari kota emas itu, ini pun tidak masuk di akal, sebab tujuan menculik Ih-Keh-ki tiada lain kecuali hendak digunakan sebagai sandera untuk memaksa Kiam-eng menyerahkan peta dan obat. Sekarang si nona sudah diculik, mengapa pihak penculik belum lagi memperlihatkan diri untuk mengajak berunding dengan dia"
Melihat anak muda itu diam saja, Kalina coba tanya, "Sebenarnya obat apa yang kalian cari di tengah rimba raya ini?"
"Jian-lian-hok-leng," tutur Kiam-eng.
"Hah, jadi kalian juga hendak mencari Jian-lian-hok-leng?" Kalina menegas dengan heran dan kejut.
Terbangkit semangat Kiam-eng demi mendengar nada suara Kalina yang kejut dan heran itu, cepat ia Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
tanya, "Jadi kau pun tahu obat yang mana Jian-lian-hok-leng?"
"Tahu," Kalina mengangguk. "Sebelum kalian sudah ada seorang bangsa Han juga pernah datang kemari untuk mencari Jian-lian-hok-leng ..."
"Oo. siapakah orang itu?" berdebur jantung Kiam-eng dan cepat tanya.
Tiba-tiba Kalina menghela napas duka, tuturnya, "Ia bernama Gak-Sik-lam, kalau dibicarakan ini masih terhitung kakak iparku."
Kiam-eng melonjak girang, serunya, "Aha, kiranya kamu ini adik Kalana?"
Kalina juga melengak, ucapnya dengan terkesiap, "Dari ... dari mana kau kenal kakak perempuanku itu?"
"Ya, aku kenal dia, sebab Gak-Sik-lam adalah su-heng ku dan dengan sendirinya kakak perempuanmu juga kakak iparku," kata Kiam-eng.
Kalina seperti belum percaya kepada apa yang didengarnya, perlahan ia berdiri dan bertanya pula setengah bergumam, "Apakah ... apakah benar engkau su-te Gak-Sik-lam?"
"Betul," Kiam-eng mengangguk. "Atas perintah guruku, su-heng ku sengaja mendatangi daerah yang masih terasing ini untuk mencari Jian-lian-hok-leng. Kemudian, entah mengapa dia mengalami cacat totol kaki dan tangan, Jian-lian-hok-leng yang berhasil ditemukannya disembunyikannya disembunyikan di kota emas. Kedatanganku sekarang justru hendak mencari kota emas itu untuk mengambil Jian-lian-hok-leng."
"Jika sudah pernah kau lihat kakakku, mengapa engkau tidak tahu sebab musabab cacatnya su-heng mu?"
"Soalnya setelah su-heng ku pulang ke Tiong-goan, hanya secara kebetulan di suatu tempat pernah berjumpa sejenak dengan mereka suami-istri ... ai, beginilah ihwalnya ..."
Begitulah lalu ia menceritakan sejak ia menyamar sebagai Sai-hoa-to untuk mencari su-heng kemudian banyak mengalami berbagai peristiwa dan akhirnya su-heng dan Kalana diculik pula oleh musuh, semuanya ia ceritakan dengan jelas.
Bercucuran air mata Kalina mengikuti kisah sedih itu, katanya kemudian dengan tersendat "Sungguh malang nasib kakak, semua ini gara-gara per ... perbuatan Sinba."
"Sinba?" Kiam-eng menegas dengan bingung "Maksudmu orang Santo yang hendak merebut dirimu untuk dijadikan istrinya itu?"
"Betul," Kalina mengangguk. "Semula yang diincar Sinba adalah kakak, maka kakak lari ke tengah hutan, apa yang terjadi serupa yang aku alami sekarang. Waktu itu kaki su-heng mu luka tergigit ular berbisa dan merangkak masuk ke dalam gua, kebetulan kakak juga sembunyi di gua itu maka kakak berusaha menolong su-heng mu dengan menghisap racun ular dari lukanya. Kemudian mereka pun jatuh cinta dan kawin di dalam gua.
"Ketika ayah mengetahui kakak mendapatkan suami seorang Han, ayah juga sangat gembira. Tapi kuatir Sinba akan mencari perkara lagi pada kakak, maka ayah menyuruh mereka tinggal sementara dulu di dalam gua dan diam-diam menyuruh orang membawakan makanan kepada mereka. Akan tetapi selang tidak lama, entah dari mana Sinba mendapat laporan rahasia itu ia bawa beberapa ratus orang Santo ke gua itu dan hendak membunuh su-heng mu ..."
Berkisah sampai di sini, Kalina mengusap air matanya dengan lengan baju, lalu menyambung lagi,
"Ternyata su-heng mu sangat lihai, beberapa ratus orang Santo itu dilabrak su-heng mu hingga kocar-kacir. Namun kemudian entah sebab apa, mendadak su-heng mu roboh terguling dan tertawan oleh Sinba."
"Maksudmu su-heng ku tidak mampu melawan mereka?" Kiam-eng menegas dengan sangsi.
"Tidak," Kalina menggeleng. "Menurut cerita su-heng mu kemudian, katanya selagi dia melabrak orang Santo itu, tiba-tiba ia tersambit oleh sepotong batu dan kena hiat-to kelumpuhannya. Ia yakin orang Santo tidak mahir ilmu silat, yang menyerangnya secara menggelap itu sangat mungkin orang dari Tiong-goan."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Su-heng ku tidak melihat siapa orang yang menyerangnya itu?" tanya Kiam-eng.
"Ya, tidak. Waktu itu ia sedang bertempur dengan gagah perkasa, pada hakikatnya ia tidak menduga ada orang kosen bersembunyi di sekitar situ."
"Aneh juga," ucap Kiam-eng sambil berpikir. "Waktu itu su-heng sudah menemukan letak kota emas itu belum?"
"Belum, kota emas itu baru ditemukannya sesudah dia cacat total." tutur Kalina.
"Jika begitu, mengapa dia dibuntuti oleh orang persilatan Tiong-goan?"
"Ya, su-heng mu juga tidak habis mengerti, maka ia pun sangsi jangan-jangan batu itu secara kebetulan saja dibentur oleh senjata orang Santo melejit serta tepat mengenai hiat-to kelumpuhannya ... "
"Aku tidak percaya, mana mungkin terjadi hal demikian?" Kiam-eng menggeleng kepala.
"Mungkin Sinba tahu duduk perkara yang sebenarnya," ujar Kalina. "Boleh coba kau tanya dia ..."
Kiam-eng mengangguk, tanyanya pula, "Kemudian kaki dan tangan su-heng ku lantas dikutungi oleh Sinba?"
"Tidak," tutur Kalina lebih lanjut. "Sinba menawan dan membawanya pulang ke tempat bermukim sukunya, ia memberi perintah anak buahnya menindih kaki dan tangan su-heng mu dengan empat potong batu besar. Konon setiap potong batu itu bobotnya melebihi dua-tiga ratus kati ... "
Kiam-eng pikir bilamana hiat-to su-heng tidak tertutuk jangankan cuma batu sebesar dua-tiga ratus kati, biarpun batu ribuan kati juga takkan berguna.
Tapi dalam keadaan hiat-to tertutuk, batu dua-tiga ratus kati pun cukup untuk menindih remuk tulang kaki dan tangannya.
Maka cerita itu membuat Kiam-eng sangat murka, ucapnya dengan menggertak gigi, "Hm, kejam amat si Sinba itu, sungguh ingin aku mampuskan dia!"
Terdengar Kalina melanjutkan ceritanya, "Ketika ayahku mendengar berita tertawannya su-heng mu oleh Sinba, ayah tahu urusan bisa celaka, segera ia memilih ribuan pemuda tangkas dan kuat, pada malam itu juga diam-diam diselundupkan ke tempat pemukiman orang Santo dan berhasil menyelamatkan su-heng mu. Akan tetapi kaki dan tangan su-heng mu sudah hancur tertindih batu, ia bilang kalau dalam tiga hari dapat menemukan Som-ong (raja kolesom), Ho-siau-oh atau Jian-lian-hok-leng, mungkin cacat tangan dan kakinya dapat disembuhkan."
"Maka ayah sendiri lantas membawa sepuluh orang pemuda pilihan dan kakak dengan menggotong suheng mu menjelajahi rimba raya untuk mencari obat yang diperlukan itu. Dua hari kemudian, dapatlah sebatang Jian-lian-hok-leng ditemukan, namun su-heng mu menolak lagi untuk makan obat mujarab itu, katanya boleh ditunda satu hari dengan harapan akan menemukan pula sebatang Jian-lian-hok-leng.
Apabila berhasil menemukan lagi Jian-lian-hok-leng yang lain barulah dia mau makan obat itu ... "
Kiam-eng paham sebab apa sang su-heng tidak mau makan Jiau-lian-hok-leng itu, saking terharu ia mencucurkan air mata, katanya, "Kemudian berhasil menemukan Jian-lian-hok-leng yang lain atau tidak?"
"Tidak," jawab Kalina lemah. "Memangnya kau kira Jian-lian-hok-leng itu gampang dicari?"
"Dan pada hari ke tiga, su-heng ku tetap tidak mau makan Jian-lian-hok-leng itu bukan?" Kiam-eng menegas dengan gegetun.
"Betul, dan kebetulan pada hari ke tiga juga mereka tiba di kota emas itu," tutur Kalina. "Tentang kota emas itu sebenarnya sudah lama kami mengetahuinya. Cuma sejak aku mulai remaja, tidak pernah aku dengar ada orang berani masuk ke kota emas itu, sebab menurut cerita, kota emas itu pernah dihuni setan iblis, barang siapa masuk ke sana tiada seorang pun pernah keluar lagi dengan hidup ... "
"Apakah benar terjadi begitu?" tanya Kiam-eng kuatir.
"Aku sendiri tidak tahu apakah benar atau tidak," jawab Kalina. "Yang jelas, di sini, biarpun suku Santo yang paling ganas itu pun tidak berani masuk ke kota kuno itu. Semua orang sama memandang kota emas sebagai setan iblis, konon di dalam kota kuno itu masih terdapat banyak benda-benda yang Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
menakutkan."
"Jika begitu, mengapa ayahmu berani membawa su-heng ku ke sana?" tanya Kiam-eng.
"Itu atas permintaan su-heng mu," tutur Kalina. "Mungkin hal itu disebabkan rasa ingin tahu su-heng mu saja. Cuma ia bilang di dalam kota emas pasti ada Jian-lian-hok-leng dan obat-obat mujarab yang lain.
Dengan harapan menyembuhkan cacat tubuh su-heng mu ke kota misterius itu. Sesudah masuk ke sana, su-heng mu minta semua orang berusaha mencari Jian-lian-hok-leng ke berbagai arah, hanya tersisa seorang saja untuk menjaganya ... "
"Lalu apa yang terjadi," tanya Kiam-eng.
"Orang yang disisakan untuk menjaganya adalah seorang yang agak bodoh."
"Oo, orang itu melalaikan tugasnya menjaga su-heng ku?"
"Tidak. Soalnya mengenai Jian-lian-hok-leng yang dipegang su-heng mu itu, pada waktu semua orang sudah pergi, su-heng mu menyuruh penjaga yang bodoh itu agar menyembunyikan Jian-lian-hok-leng itu. Kemudian, ayah dan lain-lain tidak berhasil menemukan lagi barang lain di dalam kota kuno itu, mereka putar balik dan minta su-heng agar makan Jian-lian-hok-leng yang tersedia itu.
"Dengan sendirinya su-heng mu menolak. Maka ayah bertekad akan memaksanya makan obat itu, namun Jian-lian-hok-leng itu sudah hilang. Setelah ditanya akhirnya baru diketahui obat mujarab itu telah disembunyikan oleh su-heng mu. Penjaga itu pun mengaku dia yang menyembunyikannya atas permintaan su-heng mu, akan tetapi karena dia orang bodoh, ia tidak ingat lagi di mana ia menyembunyikan Jian-lian-hok-leng itu."
"Ai, apakah kau tahu sebab apa su-heng ku tidak mau makan Jian-lian-hok-leng itu?" tanya Kiam-eng.
"Pernah ia katakan bahwa Jian-lian-hok-leng itu akan dibawanya pulang untuk mengobati penyakit hilang ingatan seorang nona. Apa betul?"
"Betul. Jian-lian-hok-leng itu adalah obat mujarab yang sukar dicari boleh dikata cuma dapat diperoleh secara kebetulan dan sukar diperoleh jika sengaja dicari. Sebab itulah su-heng ku rela dirinya berubah cacat dari pada makan Jian-lian-hok-leng yang sangat berharga itu ... "
"Eh, mengapa engkau menangis!" tanya Kalina.
"Masa tidak kau rasakan kebesaran jiwa su-heng ku itu?" kata Kiam-eng.
"Ya, memang. Kakakku bilang su-heng mu rela mengorbankan diri sendiri demi keselamatan orang lain, sungguh kebesaran jiwanya sangat mengharukan dan harus dipuji. Maka kemudian meski ke dua kaki dan ke dua tangannya dipotong supaya tetap bertahan hidup, cinta kakak terhadap su-heng mu juga tambah kuat dan rela mendampingi dan melayaninya selama hidup."
"Kemudian mengapa su-heng ku tidak membawa pulang Jian-lian-hok-leng itu?" tanya Kiam-eng.
"Setelah ayahku memotong ke dua tangan dan ke dua kakinya, tiba-tiba diterima laporan bahwa Sinba dan anak buahnya menyusul tiba. Cepat ayah membawa su-heng mu meninggalkan kota emas secara tergesa-gesa. Waktu itu su-heng mu dalam keadaan tak sadar, maka tidak sempat lagi membawa serta Jian-lian-hok-leng itu."
"Dan begitulah ayahmu lantas membawa su-heng ku meninggalkan rimba raya purba ini!"
"Ya, ayah merasa jalan paling
Hati Budha Tangan Berbisa 2 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bentrok Para Pendekar 5
^