Romantika Sebilah Pedang 4

Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Bagian 4


atangan kami bukan untuk
mencarimu berkelahi."
"Bukan?"
"Kami hanya berharap kau bersedia ikut kami pergi
sejenak." "Aaai...." Cong Hoa menghela napas panjang,
agaknya dia merasa sangat kecewa.
"Kau jangan menganggap kami adalah manusia
yang takut berkelahi!" kembali lelaki itu berseru keras,
"Sayangnya tauke kami bersikeras ingin bertemu
denganmu, memaksa kami harus membawamu pulang
dalam keadaan hidup, jika sampai patah lengan atau
kakinya, dia tentu akan merasa sangat tidak senang
hati." "Siapa tauke kalian?"
"Setelah bertemu nanti kau akan tahu sendiri."
Seorang lelaki diantaranya segera mengeluarkan
secarik kain hitam.
"Buat apa kain hitam itu?" tanya Cong Hoa.
"Kain hitam dipakai untuk menutup mata, tanggung
tidak bakal bisa melihat apa pun."
"Mau dipakai untuk menutup mata siapa?"
"Kau!"
"Ohh, jadi kalian tidak membiarkan aku mengetahui
jalan?" "Kelihatannya kali ini kau lebih pintar."
"Kalau aku menolak ditutup matanya atau menolak
untuk pergi?"
Lelaki kekar itu tertawa dingin, mendadak dia
mengayunkan tinjunya dan menghantam sebatang
pohon besar yang tumbuh ditepi jalan.
"Kraaaak!" sebuah lubang besar segera muncul
diatas dahan pohon itu.
"Lihay! Sungguh lihay!" seru Cong Hoa sambil
bertepuk tangan.
Lelaki itu mendengus angkuh, sambil membelai
tinjunya dia berkata lagi, "Kalau sudah tahu kelihayanku,
lebih baik ikut saja dengan kami tanpa melawan."
"Kepalanmu tidak merasa sakit?" tanya Cong Hoa
seakan menaruh perhatian.
Lelaki itu nampak sangat bangga, terlihat seorang
rekannya tidak mau unjuk kelemahan sendiri, mendadak
dia berjongkok sambil melancarkan sebuah sapuan,
sebuah bangku batu yang tertanam lebih kurang dua
depa diatas tanah seketika terangkat berikut akarnya.
"Woouw, hebat, hebat, kakimu tidak sakit?" seru
Cong Hoa seakan makin terkejut.
"Jika kau menolak untuk ikut pergi, kau yang bakal
kesakitan, bahkan seluruh tubuhmu akan kesakitan."
"Bagus sekali!"
"Apa maksudmu berkata bagus sekali?"
"Bagus sekali artinya sekarang aku sudah mempunyai
alasan untuk berkelahi."
Begitu selesai dia berkata, tangan Cong Hoa sudah
bekerja keras, sebuah jotosan menghancurkan hidung
seorang lelaki, sebuah tamparan membuat rekannya
kehilangan tujuh biji gigi, lalu sambil membalik tangan,
sikutnya menghajar patah lima kerat tulang iga lelaki
ketiga. Kakinya juga tidak tinggal diam, dengan satu
tendangan dia menyepak tubuh seseorang hingga
menggelinding bagaikan bola, rekan yang lain kena
dijejak perutnya sampai terbongkok-bongkok tubuhnya
lantaran kesakitan, bukan Cuma tubuhnya yang
terbung-kuk, air mata, ingus serta keringat dinginnya ikut
bercucuran keluar.
Sisanya yang seorang hanya bisa berdiri kaku tanpa
mampu bergerak, dia jadi kaku lantaran kaget
bercampur ngeri, saking lemasnya seluruh tubuh sampai
basah kuyup oleh keringat.
Cong Hoa mulai tertawa terkekeh kekeh.
Lelaki kekar itu pingin tertawa, namun tertawanya
jauh lebih jelek ketimbang menangis.
"Aku rasa tertawamu merupakan tertawa paling jelek
yang pernah kujumpai tahun ini," ujar Cong Hoa sambil
menatapnya. Lelaki itu seketika terbungkam, tidak berani tertawa
lagi. "Apakah sekarang kalian masih ingin memaksaku
untuk ikut pergi?"
Lelaki itu segera menggeleng, menggeleng kuat-kuat.
"Bagus sekali!"
Begitu mendengar perkataan tersebut, paras muka
lelaki itu seketika berubah jadi pahit bagaikan buah
paria. "Kenapa kali ini kau tidak bertanya kepadaku, bagus
sekali itu apa artinya?"
"Aku... hamba..."
"Kau tidak berani bertanya?"
Lelaki itu segera mengangguk, mengangguk kuatkuat.
"Tidak berani pun tidak bisa," mendadak Cong Hoa
menarik wajahnya sambil melotot besar, "Kalau tidak
bertanya berarti ingin digebuk!"
"Aku..." terpaksa lelaki itu harus keraskan kepala dan
bertanya dengan suara tergagap, "ba... .bagus sekali itu
apa artinya?"
"Bagus sekali itu artinya sekarang aku sudah siap ikut
kalian pergi," kata Cong Hoa tertawa.
Ternyata Cong Hoa benar-benar menyingkap tirai
kereta dan siap naik keatas kereta itu, mendadak
serunya lagi sambil berpaling, "Bawa kemari."
"Aa...apanya yang bawa kemari?" lelaki itu
terperanjat. "Kain hitam itu, yaaa...kain hitam yang berada dalam
genggamanmu itu, kain untuk menutupi mata."
Lelaki itu segera menggunakan kain hitam itu untuk
menutup matanya sendiri.
"Hey, kenapa kau menutup mata mu sendiri" Bawa
kemari, tutup mataku!" teriak Cong Hoa lagi.
Lelaki itu jadi melongo, untuk sesaat dia tidak tahu
apa yang harus diperbuat. Dia tak tahu sebenarnya
gadis ini orang gila atau orang goblok"
Cong Hoa segera merampas kain hitam itu dari
tangan lelaki tadi dan benar benar ditutupkan keatas
mata sendiri, setelah itu dia melompat naik ke dalam
kereta, duduk dengan santai dan menghela napas
panjang. "Tampaknya menutupi mata dengan kain hitam
memang enaknya luar biasa..." gumamnya.
Cong Hoa tidak edan, diapun tidak goblok.
Tapi jika orang lain ingin memaksanya untuk
melakukan sesuatu, biar tubuhnya dilubangi enam tujuh
belas tempat pun dia tidak bakal mau melakukannya.
Selama hidup dia hanya melakukan pekerjaaan yang
dia ingin lakukan dan senang melakukannya. Dia mau
duduk didalam kereta kuda itu karena dia merasa
pekerjaan ini selain penuh kemisteriusan juga sangat
menarik. Maka sekarang, biar orang lain melarangnya
ikut pun dia tetap memaksa akan ikut.
Kereta bergerak sangat cepat, tiba-tiba dia teringat
kembali dengan Cong Hui-miat.
Cong Hoa bukannya tidak pernah bertemu dengan
orang-orang dari kalangan atas, dalam sepanjang
hidupnya, tempat semegah dan semewah apapun
sudah pernah dia kunjungi.
Maka sewaktu berada dalam kereta, dia pun mulai
menduga-duga kereta itu akan membawanya menuju
ke tempat macam apa.
Padahal tempat seperti apa pun sudah dia
bayangkan semua, tapi dia tidak pernah menyangka
akan "tempat semacam ini".
Mimpi pun dia tidak akan menyangka kalau kereta itu
akan membawanya menuju ke "tempat semacam ini."
Ketika angin berhembus lewat, kabut tebal berwarna
abu-abu telah menyelimuti seluruh angkasa.
Salju terasa dingin membeku, kabut sangat tebal, di
sebuah rumah yang terpencil tidak nampak seorang
manusia pun, bahkan setan pun tidak kelihatan.
Ternyata kereta itu membawa Cong Hoa menuju ke
sebuah tanah pekuburan.
Langit diselimuti warna putih kelabu, cahaya sang
surya yang baru saja masih bersinar kini sudah
bersembunyi dibalik awan, yang nampak saat itu hanya
selapis kabut yang amat tebal, apa pun tidak terlihat.
Perlahan-lahan Cong Hoa melepaskan kain hitam
penutup matanya dan turun dari kereta, kendatipun
apa yang kemudian terlihat membuat perasaan hatinya
terkejut namun sekulum senyuman masih menghiasi
bibirnya. Biarpun dihati kecilnya merasa ngeri bercampur
seram, perasaan tersebut tak nanti akan diperlihatkan
diwajahnya. ... siapa pun itu orangnya, asal pernah mengalami
kejadian seperti apa yang dia alami, sudah semestinya
dia telah belajar bagaimana menyembunyikan setiap
perubahan perasaan hatinya di dalam dasar hati yang
terdalam. Angin yang berhembus ditanah pekuburan seolah
jauh lebih dingin daripada ditempat lain, sedemikian
dinginnya hingga mirip sebilah pisau, pisau tajam yang
menyayat kulit wajah Cong Hoa, juga menyayat tanah
pekuburan, menyayat batu nisan di depan gundukan
tanah itu. Batu nisan ada yang sudah tumbang, ada pula yang
sudah dilapisi salju tebal, membuat tulisan yang tertera
disitu sama sekali tidak terbaca.
...Siapa saja yang telah dikubur di tanah pekuburan
itu" Tidak seorang pun yang menggubris, tidak seorang
pun yang menaruh perhatian. Ketika mereka masih
hidup dulu, orang-orang itupun memiliki kebanggaan,
kenistaan, kegembiraan dan kepedihan.
Dan kini" Mereka tidak memiliki apa-apa, tidak satu
pun yang dimilikinya lagi.
...Lalu sebagai manusia hidup, buat apa mereka
selalu mengingat semua kebanggaan, semua kenistaan,
semua kegembiraan dan semua kepedihan"
Cong Hoa menghela napas panjang. Pada saat
itulah dia seakan merasa lapisan kabut yang ada
dihadapannya mulai menipis.
Lamat-lamat dari balik lapisan kabut, dia menyaksikan
ada tiga buah tenda besar yang didirikan ditengah
tanah pekuburan itu.
Bentuk tenda itu sangat aneh, berapa bagian mirip
tenda peternak Mongol yang biasa digunakan dipinggir
perbatasan, tapi berapa bagian mirip juga dengan
tenda yang digunakan tentara.
Didepan tenda itu terlihat seonggok api unggun. Tiga
buah tenda dengan tiga onggok api unggun.
Dengan sorot mata yang tajam Cong Hoa
mengawasi ketiga buah tenda itu. Tiba-tiba dari tenda
bagian tengah terlihat ada seseorang berjalan keluar.
Orang itu adalah seorang kakek yang mengenakan
baju berwarna hitam, seluruh tubuhnya dibungkus kain
hitam, wajahnya sedingin salju dan rambutnya telah
beruban, dalam genggamannya dia membawa
selembar kartu undangan berwarna merah.
Selangkah demi selangkah dia berjalan menuju ke
hadapan Cong Hoa, lalu dengan sorot mata yang tajam
mengawasinya. "Hoa toa-siocia?"
"Cong Hoa!"
"Disini ada selembar kartu undangan yang khusus
dihantar kemari untuk mengundang Hoa toa-siocia."
"Ada orang mengundang aku makan?"
"Benar."
"Kapan?"
"Sekarang!"
"Di mana?"
"Di tempat ini?"
"Waaah, kalau begitu tidak usah repot-repot!" seru
Cong Hoa sambil tertawa.
"Benar, memang tidak usah repot-repot, asal Hoa
toa-siocia maju berapa langkah saja ke depan,
maka kau sudah sampai di tempat tujuan."
"Lalu siapa tuan rumahnya?"
"Tuan rumah sudah menunggu, asal Hoa toa-siocia
masuk ke situ, kau pasti akan bertemu dengannya."
"Kalau memang begitu, buat apa kau mesti mengirim
surat undangan?"
"Tata krama tidak boleh diabaikan, surat undangan
itu penting, silaukan Hoa toa-siocia menerimanya."
Sekali kakek berbaju hitam itu mengang-kat
tangannya, surat undangan itupun perlahan-lahan
melayang kedepan, melayang sangat tenang, sangat
lambat, seakan akan ada sebuah tangan tidak
berwujud yang menyunggih dibawahnya dan dihantar
ke depan. Cong Hoa tertawa, dia segera menerimanya,
kemudian baru ujarnya hambar, "Ooh, rupanya kau
sengaja datang kemari mengirim surat undangan
karena ingin aku saksikan kehebatan tenaga khikang
mu?" "Hoa toa-siocia mentertawakan."
Ternyata tuan rumah adalah Liong Ngo dari
Kwangtong. Liong Ngo duduk diatas kursi malas berlapis kulit
macannya sambil menatap tajam wajah Cong Hoa,
begitu tajam pandangan matanya seolah dia hendak
membuat dua buah lubang diatas wajah gadis itu.


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan saat ini Cong Hoa sendiripun merasa kalau
diatas wajahnya telah bertambah dengan dua buah
lubang. Selama hidup belum pernah dia saksikan sorot mata
setajam ini, juga belum pernah berjumpa dengan
manusia seperti ini.
Dalam bayangannya, Liong Ngo dari Kwangtong
tidak seperti ini.
Lalu seperti apakah Liong Ngo dari Kwangtong"
Dia pasti tinggi besar, sangat berwibawa, sangat
kekar berotot, mungkin rambutnya sudah beruban
namun pinggangnya pasti masih tegak dan selurus toya,
tampangnya mirip dengan dewa penjaga pintu yang
sering dilihatnya dalam lukisan.
Suaranya sewaktu berbicara pun pasti senyaring
genta, yang dapat membuat kendang telingamu terasa
sakit, apalagi jika dia sudah naik pitam, cara yang
terbaik adalah menyingkir sejauh jauhnya dari orang
tersebut. Cong Hoa benar-benar pingin sekali melihat tampang
wajahnya ketika sedang marah, pingin mendengar
auman teriakannya sewaktu naik pitam.
Sayang apa yang dia bayangkan semuanya keliru
besar. Begitu berjumpa dengan Liong Ngo, dia segera tahu
bahwa tidak gampang untuk membuat naik pitam
orang semacam ini.
... Hanya orang yang tidak pernah naik darah
merupakan manusia yang betul betul sangat
menakutkan. Paras mukanya pucat pasi, rambutnya jarang,
kumisnya kelimis, tapi semuanya terawat dan ditata
sangat rapi dan bersih, sepasang tangannya juga
terpelihara dengan baik, membuat orang lain susah
untuk percaya kalau tangan semacam ini pernah
digunakan untuk membunuh banyak orang.
... Sama seperti ada sementara orang desa yang
tidak percaya kalau pelacun pun dulunya pernah jadi
gadis perawan. Pakaian yang dia kenakan sangat sederhana, karena
dia sendiripun tahu, tanpa mengenakan baju mewah,
perhiasan mahal, intan permata, Mutu manikam pun
orang sudah tahu kalau dia kaya raya dan berstatus
sosial tinggi. Didalam tenda yang amat besar itu suasana terasa
amat sepi, kecuali Cong Hoa dan Liong Ngo, tidak ada
orang ketiga yang ikut hadir di situ.
Sudah cukup lama Cong Hoa masuk ke dalam tenda,
namun dia hanya mengucapkan empat patah kata,
"Aku adalah Cong Hoa!"
Sebaliknya tak sepatah kata pun yang diucapkan
Liong Ngo, bila berganti orang lain, dia pasti
menganggap orang ini tidak mendengar perkataannya
tadi. Tapi Cong Hoa sama sekali tidak berpikir begitu.
Ada semacam orang yang selamanya tidak pernah
salah bicara, jelas dia termasuk manusia macam ini.
... anehnya, justru manusia semacam inilah yang
sering salah bicara sepuluh laksa patah kata namun dia
tetap menganggapnya benar.
Cong Hoa tahu, dia pasti sedang mengambil sikap
sebelum akhirnya buka suara, maka dia menunggu.
Menunggu dalam posisi berdiri.
Mendadak Liong Ngo menggerakkan jari tangannya
menunjuk ke arah sebuah bangku beralas kulit serigala
yang berada dihadapannya.
"Duduk!"
Lalu dia menuding lagi ke arah sebuah poci arak
yang ada diatas meja kecil. "Arak!"
Cong Hoa menuang secawan dan langsung diteguk
hingga habis. Liong Ngo mengangkat juga cawan porselen
dihadapannya dan pelan-pelan meneguk satu tegukan,
lalu dia alihkan sorot matanya yang tajam menatap
wajahnya. "Apakah kau tahu, siapa aku?"
"Memangnya dikolong langit terdapat Liong Ngo
lebih dari satu?" sahut Cong Hoa sambil tertawa.
"Kau tidak takut?"
"Kenapa aku harus takut?" suara Cong Hoa semerdu
burung nuri, "Apalagi kau yang mengundangku kemari,
aku adalah tamu, mana ada tuan rumah membunuh
tamunya?" "Sudah tahu kenapa kuundang kau datang kemari?"
"Masalah Cong Hui-miat?" balik bertanya.
Perlahan-lahan sorot mata Liong Ngo yang tajam
mulai melemah, tapi dia masih menatap gadis itu tanpa
berkedip. "Aku suka orang yang berterus terang, akupun suka
orang pintar, kebetulan kau memiliki keduanya."
"Terima kasih!"
"Bolehkah aku berjumpa dengannya?"
"Tidak boleh!"
"Kenapa?"
"Sebab aku sendiripun tidak tahu berada di mana dia
sekarang!"
Kembali berkilat sorot mata Liong Ngo, bahkan lebih
tajam dari sebilah golok.
"Bukankah kau yang membawanya keluar dari
penjara bawah tanah?" tegurnya.
"Benar!"
"Apakah dia yang membawamu ke kota Say-cu-tin?"
Ternyata kota dimana Cong Hui-miat lenyap bernama
Say-cu-tin. "Benar."
"Lantas kenapa kau masih mengatakan tidak tahu
dia berada dimana sekarang?"
"Sebab setibanya di kota Say-cu-tin, dia telah diculik
orang." "Siapa yang telah menculiknya?"
"Perkumpulan naga hijau!"
"Perkumpulan naga hijau?"
"Benar!" Cong Hoa mengangguk.
Kembali Liong Ngo menatapnya tanpa berkedip, dia
seakan sedang memeriksa apakah jawaban dari Cong
Hoa itu jujur. Cong Hoa balas menatapnya, sikap maupun gerakgeriknya
sangat tenang. Ketiga buah tenda raksasa itu
didirikan persis ditengah tanah pekuburan liar itu.
Kini langit semakin kelam, awan kelabu menyelimuti
seluruh bumi. Lama sekali Liong Ngo mengawasi wajah Cong Hoa,
berapa saat kemudian dia baru mengambil cawan
kemalanya dan pelan-pelan menghirup setegukan arak.
"Perkataanmu sulit untuk dipercaya orang lain,"
katanya, "Tapi aku percaya!"
"Apa yang kukatakan memang kejadian yang
sesungguhnya."
Kini Liong Ngo membuang pandangan matanya ke
tempat kejauhan, katanya kemudian, "Tampaknya
pertarunganku melawan perkumpulan naga hijau sudah
tidak terelakkan lagi."
"Bagaimana kalau kau tunggu sampai aku selesaikan
dulu perhitungan hutang piutangku dengan mereka
kemudian baru bertindak?"
"Kau juga ingin bertarung melawan perkumpulan
naga hijau?"
"Bukan ingin, tapi pasti!" tukas Cong Hoa, "Mereka
telah melarikan Cong Hui-miat persis di hadapanku, jelas
tindakan mereka sama sekali tidak memberi muka
kepadaku, mana mungkin aku bisa berpeluk tangan
dan menyudahi begitu saja peristiwa ini?"
"Bila kau masih ingin hidup berapa tahun lebih lama,
lebih baik urungkan pikiran seperti itu."
"Maksudmu, kungfuku masih belum memadai?"
"Benar."
"Hmm!" kontan Cong Hoa tertawa dingin. "Tahun ini
berapa usiamu?" mendadak Liong Ngo bertanya lagi.
Walaupun Cong Hoa tidak tahu apa maksudnya
menanyakan soal umur, tapi jawabnya juga, "Dua puluh
tahun." "Sejak usia berapa kau berlatih silat"'
"Tiga tahun."
"Itu berarti kau baru tujuh belas tahun berlatih silat,
mana mungkin bisa menandingi kemampuan
perkumpulan naga hijau?"
"Sekalipun baru belajar silat selama satu hari, aku
tetap akan menantang perkumpulan naga hijau untuk
bertarung habis-habisan."
"Bagus! Punya nyali, punya semangat!" mendadak
Liong Ngo mendongakkan kepalanya dan tertawa
nyaring. Ditengah gelak tertawanya yang keras, tiba tiba
tubuhnya melambung ke tengah udara, tubuhnya
melayang seolah ada tangan tak nampak yang sedang
mengangkat dan menahan tubuhnya di tengah udara.
Tanpa sadar Cong Hoa bangkit berdiri, dia kenali
gerakan jurus ini sebagai Thian-liong-ngo-si (lima
gerakan naga langit) yang sering didengarnya.
Gerakan pertama Cian-liong-sin-thian (naga
mendekam terbang ke langit).
Tapi dia sama sekali tidak menyangka kalau ternyata
dikolong langit ada orang yang bisa menguasahi ilmu
meringankan tubuh sedemikian sempurna.
Mendadak terdengar Liong Ngo berseru lagi, "Hati
hati jalan darah Cing-leng-hiat kiri dan kananmu."
Jalan darah Cing-leng-hiat berada sepertiga didalam
tekukan ketiak orang, jika tertotok maka sepasang
lengannya sama sekali tidak mampu diangkat, tapi
pabila kau tidak mengangkat sepasang lenganmu,
mustahil orang lain akan menotok kedua buah jalan
darahmu itu. Cong Hoa tertawa dingin, pikirnya, "Sekalipun aku
bukan tandinganmu, tapi bila ingin menotok jalan darah
Cing-leng-hiat ku, jangan harap bisa kau lakukan
dengan gampang."
Dia memutuskan dalam keadaan seperti apa pun, dia
tidak akan mengangkat sepasang lengannya.
Dengan status dan kedudukan Liong Ngo dalam
dunia persilatan, setelah mengatakan akan menotok
jalan darah Cing-leng-hiat nya, tidak nanti dia akan
menyerang bagian lain.
Diiringi deruan angin kencang tahu-tahu Liong Ngo
sudah tiba dihadapan Cong Hoa, deruan angin dahsyat
membuat pakaian yang dikenakan berkibar kencang.
Buru-buru gadis itu memutar tubuhnya, baru saja dia
ingin menggunakan gerakan tersebut untuk
memunahkan kekuatan yang tiba, mendadak tangan
kanan Liong Ngo sudah ditebas ke jalan darah Ciancing-
hiat di bahu kiri kanannya.
"Plaak, plaaak!" tahu-tahu kedua lengan tersebut
sudah tidak sanggup diangkat kembali.
Entah sejak kapan Liong Ngo sudah berbaring lagi
diatas ranjang empuknya, dia masih kelihatan santai,
seolah belum pernah menggerakkan tubuhnya.
Merah padam selembar wajah Cong Hoa saking
jengkelnya, dengan lantang teriaknya, "Jalan darah
yang kau totok itu jalan darah Cian-cing-hiat, bukan
Cing-leng-hiat."
"Tidak usah kau jelaskan, masa aku tidak bisa
membedakan mana jalan darah Cian-cing-hiat, mana
Cing-leng-hiat?"
"Hey, janjimu bisa dipercaya tidak?"
"Kapan aku mengatakan akan menotok jalan darah
Cing-leng-hiatmu?"
"Tadi jelas kau mengatakan begitu"
"Aku hanya suruh kau menaruh perhatian, jika sedang
bertarung melawan orang, setiap jalan darah
ditubuhmu harus kau perhatikan dengan seksama," cara
bicara Liong Ngo seperti seorang guru sedang memberi
nasehat kepada muridnya, "Apalagi ilmu silat memang
digunakan untuk menghadapi segala perubahan yang
terjadi, selain cekatan, otak juga harus encer, karena
tidak bisa menotok jalan darah Cing-leng-hiat mu, tentu
saja aku harus menotok jalan darah Cian-cing-hiat mu."
Setelah meneguk secawan arak, kembali lanjutnya,
"Hasilnya toh sama saja, kedua lenganmu sudah tidak
bisa digerakkan lagi, buat apa aku mesti susah susah
mengarah jalan darah Cing-leng-hiat mu" Kalau teori
semacam ini saja tidak kau pahami, biar harus berlatih
seratus tujuh puluh tahun lagi pun jangan harap kau bisa
menjadi seorang jagoan tangguh."
Saking mendongkolnya Cong Hoa tidak sanggup
mengucapkan perkataan apapun.
"Kenapa" Kau tidak puas?"
"Tentu saja tidak puas!" jawab Cong Hoa sambil
menggigit bibirnya.
"Baik."
Tampak dia mengayunkan tangannya, entah benda
apa yang disambitkan keluar, tahu-tahu jalan darah Sinhong-
hiat ditubuh Cong Hoa sudah kena ditimpuk.
Cong Hoa segera merasakan ada segulung kekuatan
muncul dari dadanya dan menyebar ke empat anggota
tubuhnya, dalam waktu singkat kedua lengannya sudah
dapat digerakkan lagi.
Menimpuk udara menghajar jalan darah merupakan
ilmu silat langka yang jarang dijumpai dalam dunia
persilatan, sungguh tidak disangka Liong Ngo bahkan
bisa menggunakan ilmu menimpuk udara
membebaskan jalan darah.


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baru saja Cong Hoa dapat menggerakkan kedua
lengannya, mendadak kembali terasa segulung angin
hangat berhembus lewat, jalan darah Cing-leng-hiat di
kiri kanan ketiaknya mendadak jadi kaku dan kedua
lengan tersebut kembali jadi kaku dan tidak bisa
digerakkan. Ketika berpaling ke arah Liong Ngo, tampak dia
sudah berbaring kembali di tempat semula, sikapnya
tetap amat santai.
Cong Hoa menengok sekejap ke arahnya, mendadak
dia tertawa tergelak.
"Apa yang kau tertawakan?" Liong Ngo tampak
melengak. "Aku sedang mentertawakan ilmu silatmu."
"Ilmu silatku tidak bagus?"
"Bagus, bagus sekali!" sahut Cong Hoa sambil
tertawa, "Tapi sayang, biarpun pemimpin perkumpulan
naga hijau memiliki kungfu sepuluh kali lipat lebih
lihay dari kungfu mu pun, aku tetap akan pergi
mencarinya."
"Kau tidak takut mati?"
"Takut, takut setengah mati. Cuma... takut adalah
satu persoalan, mencari balas adalah persoalan lain."
"Jadi kau tetap nekad akan pergi mencarinya?"
"Benar."
Cerita tentang Opium.
Disudut timur laut Pesanggrahan pengobatan Coansin-
ie-khek terdapat sebuah bangunan rumah, biasanya
jarang ada orang yang muncul disitu.
Penghuni pesanggrahan pengobatan sebisa mungkin
tidak berjalan menuju ke rumah tersebut, bila perlu pun
biasanya akan muncul dengan terburu-buru, begitu
selesai dengan tugasnya tergesa-gesa pula pergi
meninggalkan rumah itu.
Rumah itu hanya diurus seorang kakek yang tuli lagi
bisu, penghuni pesanggrahan memanggilnya paman
bisu. Diatas pintu rumah tergantung sebuah papan nama,
diatas papan itu tertera tiga huruf besar: Tay-peng-uh
(rumah ketenangan/aman).
Tempat itu memang selalu aman, karena orang yang
dikirim ke tempat itu biasanya memang aman aman
saja, mereka jarang ribut, jarang berkelahi, juga tiada
luapan perasaan maupun napsu.
... Orang mati memang tidak pernah ribut, tidak
pernah berkelahi, mereka pun tiada luapan perasaan
maupun napsu. Oleh sebab itu orang mati selalu aman, selalu damai
dan tenang. Yang dimaksud rumah ketenangan tidak lain adalah
ruangan untuk meletakkan layon orang yang telah mati.
BAB 12. Jenasah Tu Bu-heng, Un-hwee sianseng serta Lan Itceng
semuanya disimpan dalam ruangaitu.
Paman bisu dengan membawa segenggam hio yang
sudah disulut berjalan masuk ke dalam rumah
ketenangan. Biarpun waktu itu masih pagi hari, namun
suasana dalam rumah ketenangan terasa dingin
menyeramkan, cahaya disitu pun terasa sangat redup.
Bila kelewat lama berada dalam ruangan itu, meski
kau kenakan pakaian tebal sepuluh lapis pun, sepasang
kakimu tetap akan gemetaran.
Paman bisu hanya mengenakan satu stel pakaian
kasar, dia berjalan masuk ke dalam ruangan dan
terlihatlah tubuh Tu Bu-heng, Un-hwee serta Lan It-ceng
dibaringkan diatas sebuah altar yang berbentuk
panjang. Tanpa perubahan mimik muka paman bisu
menancapkan dua batang hio diujung kaki Lan It-ceng,
kemudian menuju ke depan Tu Bu-heng dan
menancapkan lagi dua batang hio.
Menanti dia sudah menancapkan dua batang hio
didepan Un-hwee sianseng, dengan tanpa perubahan
mimik muka paman bisu berlalu dari situ.
Enam batang hio didepan tiga sosok tubuh manusia,
perlahan lahan mengepulkan asapnya ke udara.
Sekalipun semasa hidup kau adalah seorang
enghiong atau seorang hohan atau bahkan seorang
pengemis, pembesar atau rakyat jelata, setelah mati,
semuanya adalah sama. Yang diperoleh waktu itu
hanya dua batang hio serta sebuah gundukan tanah
pekuburan. Oleh sebab itu buat apa hidup sebagai manusia
harus berpikiran picik dan berhati sempit"
Ditengah keheningan dan suasana seram yang
menyelimuti rumah ketenangan, mendadak terdengar
suara gemerutuk yang sangat perlahan bergema
memecahkan keheningan.
Menyusul suara tersebut, altar panjang yang dipakai
untuk membaringkan tubuh Un-hwee tiba-tiba
tenggelam ke bawah.
Tidak selang berapa saat kemudian tubuh Un-hwee
sudah sama sekali tenggelam ke bawah tanah dan
tidak terlihat lagi.
Ke mana perginya tubuh Un-hwee"
Didalam rumah yang amat "tenang" ini, mengapa
bisa terjadi peristiwa seperti ini"
Kalau orangnya sudah mati, apa mungkin junasahnya
masih punya nilai untuk dipergunakan lagi" Kenapa
jenasahnya amblas ke bawah" Apakah dibawah sana
masih terdapat rahasia lain"
Kalau memang ada rahasianya, rahasia macam
apakah itu"
Dibawah sana memang ada rahasia, semacam
rahasia yang bisa membuat orang tidak percaya.
Ternyata dibawah rumah ketenangan masih terdapat
sebuah ruangan lagi yang aneh sekali bentuknya.
Didalam ruangan itupun terdapat sebuah altar
panjang, altar itu bukan terbuat dari kayu melainkan
dibuat dari besi putih. Disisi altar panjang yang terbuat
dari besi putih itu terdapat pula berapa buah meja kecil
yang terbuat dari besi putih juga.
Diatas meja kecil tersedia aneka macam benda yang
aneh, ada pisau kecil, ada penjepit, ada tang, ada
kapak kecil juga ada gergaji kecil, anehnya disitu pun
terdapat gunting, jarum dan benang.
Diatas meja kecil yang lain terletak aneka macam
botol dan guci kecil, ada yang tinggi, ada yang pendek,
bulat, gepeng bahkan ada botol botol berbentuk aneh.
Didalam aneka botol itu tersimpan aneka macam
cairan yang berwarna-warni.
Biarpun ruangan itu terletak di bawah tanah, namun
suasananya jauh lebih benderang ketimbang ruang
atas, disekeliling tempat itu tergantung berapa buah
lampu kristal. Selain itu terendus pula bau semerbak obat
obatan yang amat tebal.
Tubuh Un Hwee yang barusan amblas dari ruang atas,
kini berbaring membujur diatas altar panjar terbuat dari
besi putih itu.
Apa kegunaan ruangan ini"
Kenapa terdapat begitu banyak barang aneh disitu"
Disekeliling ruangan tidak tampak jendela, juga tak
nampak pintu. Pada saat itulah dari dinding ruangan sebelah kiri
mendadak muncul sebuah "pintu". Pintu itu muncul dari
balik dinding, ketika lapisan dinding bergerak naik ke
atas maka muncullah sebuah lubang pintu disitu.
Menyusul kemudian tampak seseorang berjalan keluar
dari balik pintu.
Hong Coan-sin dengan mengenakan baju panjang
berwarna hijau rumput dan menutup lubang hidung dan
mulutnya dengan secarik kain berwarna hijau pula
berjalan keluar dari pintu dan mendekati altar tersebut.
Rambutnya tampak ditutup juga dengan kain hijau,
bahkan tangannya mengenakan sarung tangan yang
tembus pandang.
Perlahan-lahan dia menghampiri altar itu, wajahnya
serius namun tidak menutup rasa girangnya yang
meluap, dia menatap tubuh Un Hwee tanpa berkedip.
Dia mulai melepaskan seluruh pakaian yang
dikenakan Un-hwee, tidak selang berapa saat kemudian
Un-Hwee sudah berada dalam keadaan telanjang
bulat. Hong Coan-sin mengeluarkan sebilah pisau kecil,
kemudian dengan menggunakan tangan yang lain dia
mulai menekan perut jenasah itu.
Ketika dia sudah puas menekan, pisau kecilnya baru
mulai digunakan untuk membelah perut Un-hwee.
Biarpun pisau itu kecil namun tajamnya luar biasa, tanpa
mengeluarkan banyak tenaga dia sudah membelah
perut Un-hwee hingga terbelah lebar.
Hong Coan-sin meletakkan kembali pisau kecilnya,
lalu mengambil sebuah tang dan mulai menjepit usus
yang ada didalam perut, tangan yang lain mengambil
gunting dan dia mulai memotong usus tersebut. Usus
yang sudah tergunting dia masukkan ke dalam sebuah
kotak bulat yang berisi cairan berwarna merah.
Tidak sampai setengah jam kemudian, seluruh isi perut
Un-hwee sudah dikeluarkan oleh Hong Coan-sin dan
masing-masing dimasukkan ke dalam pelbagai tempat
yang berbentuk aneh itu. Setelah itu dia baru
menghembuskan napas panjang, dengan perasaan
puas ditatapnya kotak kotak berisi isi perut tadi.
Hong Coan-sin berjalan ke depan sebuah lampu
kristal, menekan sebuah tombol pada lampu tadi dan
dari sisi lentera itupun muncul sebuah lemari.
Didalam almari itu tersimpan puluhan buah kotak
kecil, Hong Coan-sin mengambil sebuah kotak yang
berisi bubuk berwarna coklat dan segera dituang ke
dalam perut Un-hwee. Kemudian setelah menyimpan
kembali kotak kecil itu, dia mengambil jarum dan mulai
menjahit bekas luka di perut itu.
Gulungan kain perban berada disebuah tongkat
yang lembut lagi panjang, Hong Coan-sin menarik ujung
perban itu kemudian mulai membungkus kaki Un-hwee
dengan kain perban itu, tidak selang berapa saat
kemudian seluruh tubuh Un-hwee sudah terbalut oleh
kain perban itu hingga keadaannya mirip dengan
sebuah mummi. Kembali Hong Coan-sin memutar sebuah lampu
lentera, lagi lagi dari balik dinding muncul sebuah almari
besar. Dari balik almari yang besar itu Hong Coan-sin
mengeluarkan sebuah peti sebesar tubuh manusia,
membuka penutupnya, membopong tubuh Un-hwee
dan memasukkan ke dalam peti.
Setelah merapatkan kembali peti itu, Hong Coan-sin
baru memberi tanda diatas peti itu dengan nomor urut
serta tanggal. Peti itu bernomor tujuh puluh tiga dan
tertanggal bulan sepuluh tanggal lima.
Bulan sepuluh tanggal lima adalah hari ini.
Lantas nomor tujuh puluh tiga melambangkan apa"
Apakah mayat ke 73 yang di otopsi olehnya" Atau
akan disimpan selama 73 hari"
Kini peti panjang itu sudah diletakkan kembali di
tempat semula. Hong Coan-sin memandang sekejap
sekeliling tempat itu, ketika merasa puas dia baru
membalikkan tubuh sambil memutar lampu lentera yang
lain. Kembali muncul sebuah pintu rahasia, dengan tubuh
yang penat dia berlalu dari situ, perlahan-lahan
bayangan tubuhnya lenyap dibalik kegelapan.
Walaupun hari ini tidak nampak cahaya matahari,
namun udara tidak sedingin kemarin.
Pakaian yang dikenakan Tay Thian jauh lebih sedikit
dibandingkan kemarin. Saat ini dia sedang duduk saling
berhadapan dengan Hong Coan-sin. Diantara kedua
orang itu dipisahkan sebuah meja besar, sebuah meja
yang berben-tuk melengkung.
Meja itu terbuat dari kayu wangi, besar lagi bagus
ukirannya, dalam sekilas orang akan tahu kalau meja
tersebut tidak ternilai harganya.
Ruangan ini digunakan Hong Coan-sin sebagai ruang
kerja, biasanya disitu juga dia menerima kunjungan
"tamu agung".
"Sudah diketahui racun penyebab kematian Tu Buheng
sekalian?" Tay Thian membuka pembicaraan.
"Didekat negara kita terdapat sebuah wilayah yang
disebut orang segitiga emas, ditempat itu dihasilkan
sejenis tanaman yang disebut bunga opium," Hong
Coan-sin menjelaskan, "Mereka menyebutnya sebagai
buah kejahatan."
"Bunga opium merupakan sejenis bahan obat yang
sangat aneh, bila kadar penggunaannya sedikit dia
akan menjadi obat yang mustajab, dapat mencegah
kau kesakitan, tapi bila kau gunakan dalam kadar
banyak, maka bibit bencana segera akan menempel
ditubuhmu, kau akan selamanya diperbudak obatobatan
sampai akhirnya mati secara mengenaskan."
"Jadi Tu Bu-heng dan Un-hwee tewas karena bunga
opium itu?" tanya Tay Thian.
"Benar!" Hong Coan-sin membenarkan.
"Mereka menelannya sendiri" Atau dipaksa orang?"
"Semuanya bukan," perlahan Hong Coan-sin
mengalihkan pandangan matanya ketempat kejauhan,
nada suaranya pun seolah datang dari tempat yang
jauh. "Pengaruh bunga opium yang menyerang mereka
bukan lewat makanan, tapi melalui semacam hawa
tubuh." "Hawa tubuh?"


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar, hawa tubuh yang menyusup masuk melalui
pori-pori kulit, kemudian tanpa disadar mereka
keracunan dan mati."
"Maksudmu bunga opium itu diolah menjadi
semacam hawa tubuh, kemudian menyebarkan hawa
tersebut di udara, asal ada orang tersentuh hawa
beracun itu maka serbuk racun akan menembusi poripori
badan dan menyebabkan kematian?"
"Benar."
"Siapa yang memiliki kepandaian sehebat itu, dapat
mengubah racun itu menjadi sejenis hawa tubuh?"
"Pernah dengar tentang bubuk pemabuk Ngo-masan?"
"Bubuk pemabuk Ngo-ma-san?" seru Tay Thian, "Obat
yang dibuat dari resep rahasia Hoa Tuo" Bukankah
setelah kematian Hoa Tuo, resep itu turut lenyap?"
"Tapi ada seseorang yang bertekad akan
mempelajari kembali resep rahasia itu, dia telah
menghabiskan waktu selama enam belas tahun untuk
mempelajarinya, bukan saja telah memburu pelbagai
rumput obat yang ada di kolong langit, bahkan
tidak segan menggunakan istri dan putrinya sebagai
kelinci percobaan."
"Dia berhasil?"
"Betul, dia berhasil," Hong Coan-sin mengangguk,
"Tapi putrinya telah menjadi buta sementara istrinya
edan." Dari balik kelopak mata Hong Coan-sin seakan
terlintas perasaan yang sendu, lanjutnya, "Konon
putranya menjadi orang pertama yang berkorban
karena terkena bubuk racun Ngo-ma-san itu."
"Siapakah orang itu" Dari marga apa?"
"Aku kurang tahu, tapi menjelang dia terjun ke sungai
untuk bunuh diri, resep rahasia ini telah dia wariskan
kepada seseorang."
"Dia melompat ke sungai, bunuh diri?" tanya Tay
Thian terperanjat.
"Seandainya bini dan putrimu berubah jadi seperti
mereka, aku yakin kau pun akan terjun ke sungai untuk
bunuh diri."
Tay Thian berpikir sebentar kemudian mengangguk
tanda setuju, tanyanya lagi, "Resep rahasia itu dia
wariskan kepada siapa?"
"Seseorang dari marga Toan, bernama Toan Capsa."
"Toan Capsa?"
"Dia memiliki tiga belas bilah pisau, semuanya
merupakan pisau menolong nyawa."
"Aneh, kenapa belum pernah aku dengar tentang
orang ini?"
"Sebab selama Yan Capsa masih hidup, dia tidak
akan berani tampilkan diri."
"Maksudmu Toh-mia si pencabut nyawa Yan Capsa?"
"Benar!"
"Yan Capsa sudah mati, kenapa Toan Capsa belum
berani menongolkan diri?"
"Karena Toan Capsa pun sudah mati!"
"Toan Capsa sudah mati?" Tay Thian semakin
tercengang, "siapa yang telah membunuhnya?"
"Yan Capsa."
"Aaah, makin bicara semakin membingungkan,
bukankah Toan Capsa selalu bersembunyi dari Yan
Capsa" Kenapa dia malah mati ditangan Yan Capsa?"
"Karena Toan Capsa adalah Yan Capsa."
Matahari telah condong ke barat, sang surya nampak
sangat merah. Aneka bunga dalam pesanggrahan
pengobatan sedang mekar dan menyiarkan bau harum
semerbak, membuat suasana di senja itu nampak lebih
cantik menawan.
Sesaat menjelang tibanya kegelapan yang
mencekam seluruh jagad, langit selalu meninggalkan
secercah sinar yang amat terang, seakan seperti orang
yang menjelang kematiannya, dia akan selalu tampil
lebih bijak, lebih pintar dan lebih segar. Itulah kehidupan.
Bila kau benar benar memahami arti dari hidup maka
banyak kesedihan bisa kau abaikan, hidup pun akan
bertambah senang dan bahagia.
Tiba tiba sorot mata tajam berkilat dari balik mata Tay
Thian, dia menghembuskan napas panjang dan
bergumam, "Mengerti aku sekarang, mengerti aku
sekarang..."
"Aku tahu, kau pasti mengerti!" kata Hong Coan-sin
pula sambil menghela napas panjang.
"Bila seseorang ingin menjadi seorang pendekar
pedang yang sejati, dia harus tidak punya perasaan,"
kata Tay Thian, "Tapi orang itu sebelum melompat ke
sungai untuk bunuh diri telah menyerahkan rahasia
pertabibannya kepada dia, hal ini sama artinya dia
telah menanamkan bibit "perasaan" dihatinya."
Hong coan-sin setuju dengan pandangan itu,
karenanya dia manggut-manggut.
"Oleh sebab itulah muncul manusia yang bernama
Toan Cap-sa. Yan Capsa gemar membunuh orang,
sementara Toan Capsa gemar menolong orang. Dua
orang dengan karakter yang bertolak belakang, tidak
heran kalau Toan Capsa selalu harus menghindari Yan
Capsa." "Betul!"
"Pertarungan antara Yan Capsa melawan Sam sauya
Cia Siau-hong harus tetap diselenggarakan," kembali
Tay Thian memandang ke tempat kejauhan, "Dalam
pertarungan itu Cia Siau-hong terkena racun, sebetulnya
racun itu susah dipunahkan, tapi Toan Capsa telah
selamatkan jiwanya."
"Padahal hanya bubuk Ngo-ma-san yang bisa
digunakan untuk menyelamatkan nyawa Sam sauya!"
"Aku dengar ilmu pedang paling lihay yang dimiliki
Yan Capsa bukan Toh-mia Capsa-kiam (tiga belas jurus
pedang pencabut nyawa) nya, melainkan perubahan
ke lima belas yang ada diluar tiga belas jurus
pedangnya itu," kata Tay Thian lagi, "Konon jarang ada
yang mampu menghindarkan diri dari serangan
mautnya itu."
"Apakah Sam sauya sendiripun tidak mampu?"
"Tidak mampu."
"Tapi dia tidak menggunakan jurus serangan
andalannya untuk membunuh Sam sauya?"
"Jika dia gunakan jurus serangan tersebut, dapat
dipastikan Sam sauya akan segera tewas," Tay Thian
menghela napas panjang, "Sayang hingga detik
terakhir, dia tidak sanggup menggunakan jurus serangan
itu lagi!"
"Kenapa?"
"Karena dia sudah kehilangan hawa napsu untuk
membunuh."
"Bukankah Yan capsa sangat bernapsu ingin
membunuh Sam sauya" Kenapa sampai detik yang
terakhir justru dia kehilangan napsu untuk membunuh?"
"Karena Toan Capsa pernah selamatkan nyawa Sam
sauya, sekalipun antara Toan Capsa dan Yan Capsa
merupakan watak dua orang manusia yang bertolak
belakang, tapi bibit "perasaan" yang tertanam dalam
hatinya sudah mulai tumbuh sebagai kecamba."
"Jika kau pernah selamatkan nyawa seseorang, maka
sulit bagimu untuk melakukan pembunuhan," kata Hong
Coan-sin, "Sebab kau sudah mempunyai perasaan
terhadap orang yang pernah kau tolong itu."
"Betul!" Tay Thian manggut manggut, "Perasaan
semacam ini memang sulit diterangkan dengan
perkataan, karena hanya manusia yang bisa merasakan
perasaan seperti itu, justru karena hanya manusia yang
bisa merasakan maka manusia tetaplah manusia."
"Sekalipun Yan Capsa tidak tega membunuh Sam
sauya, dia sendiri toch tidak perlu harus mati!"
"Sebetulnya aku sendiripun tidak mengerti, kenapa
dia harus mati!"
"Dan sekarang kau telah memahaminya?"
"Waktu itu, meski dihati kecilnya dia tidak ingin
membunuh Sam sauya, namun pikirannya sudah tidak
mampu mengendalikan pedang yang berada dalam
genggamannya," kata Tay Thian, "Karena kekuatan
yang timbul pada pedangnya merupakan suatu
kekuatan yang tidak mungkin bisa dikendalikan oleh
manusia manapun, asal dilancarkan, pasti ada orang
akan mati diujung pedangnya."
...Setiap manusia pasti pernah menghadapi sebuah
persoalan yang diri sendiripun susah mengendalikan, diri
sendiripun susah memahaminya. Karena di dunia ini
memang terdapat suatu kekuatan misteri yang sukar
dikendalikan oleh kekuatan manusia.
"Sebetulnya yang ingin dia musnahkan bukan diri
sendiri, melainkan pedangnya," Tay Thian melanjutkan.
"Bukankah pedang itu merupakan ilmu pedang yang
tiada duanya di kolong langit, ilmu pedang yang sudah
mencapai tingkatan kesempurnaan" Kenapa dia ingin
memusnahkannya?"
"Karena secara tiba-tiba dia menjumpai bahwa yang
didatangkan pedang tersebut hanya kepunahan dan
kematian, dia tidak ingin membiarkan ilmu pedang
semacam ini tetap berada di dunia ini, dia tidak ingin
menjadi manusia paling berdosa dalam dunia
persilatan."
"Tapi.... bukankah perubahan serta kekuatan yang
ditimbulkan pedang tersebut sudah tidak bisa dia
kendalikan lagi?" kata Hong Coan-sin.
"Yaa, kondisinya saat itu seperti seseorang yang
memelihara seekor ular, tiba-tiba diketahui olehnya
bahwa ular tersebut ternyata seekor ular berbisa,
sekalipun melingkar ditubuhnya namun tak mau
mentaati perintahnya, bahkan mau dibuang ke tanah
pun susah dilepaskan, akhirnya dia pun hanya bisa
menunggu sampai ular berbisa itu menggigitnya,
menghisap darahnya dan merenggut nyawanya."
Sekilas perasaan duka melintas dibalik mata Tay Thian,
terusnya, "Oleh sebab itu terpaksa dia harus
memusnahkan diri sendiri."
"Yaa, sebab nyawa dan tubuhnya telah melebur jadi
satu dengan ular berbisa itu, karena ular berbisa tersebut
tidak lain adalah inti kekuatan yang dimiliki dalam
tubuhnya, maka bila ingin memusnahkan ular berbisa itu,
dia harus memusnahkan dulu diri sendiri.
Peristiwa semacam ini selain tragis juga sangat
mengerikan, dipenuhi pelbagai misteri dan teror namun
mengandung juga makna serta falsafah yang tinggi.
Biarpun sekilas pandang cerita ini kelewat tak masuk
diakal, namun sesungguhnya merupakan sebuah
kenyataan, tidak ada orang yang bisa memastikan
keberadaannya. Pendekar pedang yang termashur di seantero jagad
Yan Capsa telah menghabisi nyawa sendiri, oleh sebab
itu Toan Capsa pun ikut mati.
Jurus pedang pencabut nyawa yang diciptakan Yan
Capsa pun turut musnah bersama kematiannya, resep
mestika Ngo-ma-san pun ikut lenyap bersama kematian
Toan Capsa. Beginilah kehidupan seorang manusia. Manusia
memang hidup dalam suasana serba salah, antara
memperoleh dan kehilangan selalu susah dijelaskan
secara nyata. Jago pedang kenamaan memang sudah lenyap,
namun pedangnya masih utuh.
Bagaimana dengan ilmu pertabiban" Bagaimana
dengan resep mustajab"
"Apakah bubuk Ngo-ma-san diolah dari sari bunga
opium?" tanya Tay Thian kemudian sambil menatap
tajam wajah Hong Coan-sin.
"Benar!"
"Jago pedang telah mati, ilmu pedang telah punah,
resep Ngo-ma-san juga telah kembali ke bumi, siapa
pula yang kini mulai berusaha menggalinya kembali?"
Tidak menanti Hong Coan-sin menang-gapi, kembali
Tay Thian melanjutkan, "Apakah sejarah akan terulang
kembali" Haruskah ada bini yang jadi gila, anak
perempuan yang jadi kalap sebelum resep obat itu
berhasil tercipta?"
"Entahlah!"
... Hingga saat ini tidak seorang manusia pun dapat
menjawab pertanyaan itu.
Daun berguguran diterpa hembusan angin yang
dingin. Mengawasi daun yang berguguran, Tay Thian tampak
masgul dan murung.
"Andaikata orang mati masih bisa merasakan, saat ini
apakah Yan capsa akan berpikir lebih baik dia yang
hidup dan membiarkan Sam sauya yang mati?" gumam
Hong Coan-sin seorang diri.
Pertanyaan semacam inipun tidak ada yang bisa
menjawab. Angin musim gugur berhembus kencang, perasaan
hati Hong Coan-sin terasa murung dan bergelombang
seakan terhembus oleh angin.
"Benarkah Yan Capsa bisa mati tanpa menyesal?"
"Benar!" jawab Tay Thian.
"Kau yakin ular beracun yang telah membunuh
dirinya, tidak akan hidup lagi ditubuh orang lain?"
"Bisa, mungkin juga tidak bias!"
"Jawaban macam apa itu?"
"Bila di kolong langit saat ini masih ada orang yang
mampu menggunakan jurus pedang tersebut, orang itu
sudah pasti Sam sauya."
"Oleh sebab itu ketika mata pedang menggorok
tenggorokan Yan Capsa, sorot matanya sudah tidak


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperlihatkan lagi perasaan takut dan ngeri, saat itu
sorot matanya berubah jadi tenang sekali," kata Hong
Coan-sin sambil memandang ke tempat kejauhan,
"Karena dia telah menanamkan bibit "ular beracun" itu
didalam hati Sam sauya."
...Bibit yang ditanam itu suatu saat pasti akan tumbuh,
bila saatnya telah tiba maka ular beracun itupun akan
bangkit dan hidup kembali.
Mungkinkah ular berbisa itu akan tumbuh dan hidup
dalam tubuh Sam sauya"
Kalau memang hingga detik terakhir Yan Capsa
enggan membunuh Sam sauya yang pernah
ditolongnya, mengapa dia justru menanamkan bibit
tersebut di dalam hati Sam sauya"
Kenapa" BAGIAN - 2 Bertemu lagi Kait perpisahan.
BAB 1. Manusia persilatan.
Ada sementara orang sama persis seperti senjata
tajam yang terbuat dari baja asli, sekalipun lenyap dari
peredaran namun masih ada wujudnya.
Di dunia memang selamanya terdapat dua jenis
manusia. Jenis pertama adalah manusia yang hidup untuk
membakar diri, untuk menempa diri, karena dengan
membakar diri dia baru tampak bercahaya.
....Sekalipun cahaya tersebut hanya memancar
sekilas. Jenis kedua adalah manusia yang selamanya
menyaksikan orang lain membakar diri, menyaksikan
orang lain menempa diri, membiarkan cahaya yang
muncul dari tubuh orang lain menyinari dirinya sendiri.
Manusia semacam inikah yang disebut manusia
pintar" Padahal perubahan jurus pedang ke lima belas yang
dimiliki Yan Capsa bukan hanya Sam sauya seorang
yang pernah menjumpainya.
Tatkala Yan Capsa mengggunakan jurus serangan
tersebut, secara diam-diam Thiat Kay-seng berdiri
menonton disisi arena.
Thiat Kay-seng terhitung salah satu orang yang
"pernah" mendapat petunjuk dari Yan Capsa, namun
tidak pernah diakui sebagai "murid"nya.
..."Dia pasti sangat ingin bertemu denganmu, sebab
walaupun kau bukan muridnya namun kaulah satu
satunya ahli waris yang pernah memperoleh petunjuk
darinya, dia pasti berharap dapat melihat pedangmu
untuk terakhir kalinya."
Perkataan itu disampaikan Sam Sauya kepada Thiat
Kay-seng dikemudian hari. Oleh sebab itu orang yang
bisa menggunakan jurus ke lima belas hasil gubahan Yan
Capsa bukan hanya Sam sauya seorang.
Thiat Kay-seng pun bisa.
Seandainya "ular berbisa" akan muncul kembali,
belum tentu itu terjadi di tubuh Sam sauya.
"Sekali kau menjadi orang persilatan, selamanya kau
akan menjadi seorang manusia persilatan," perkataan
itu diucapkan Sam sauya kepada Thiat Kay-seng.
"Sekali kau menjadi Cia Siau-hong, selamanya kau
tetap Cia Siau-hong!" inilah jawaban dari Thiat Kay-seng.
Padahal hidup sebagai orang persilatan, walaupun
mereka bagaikan daun yang gugur terhembus angin,
daun teratai diatas permukaan air. Walaupun mereka
tidak berakar, namun orang-orang itu mempunyai
semangat, memiliki jiwa setia kawan.
Sekalipun mereka kerap berada dalam kesulitan
namun tidak pernah mengeluh kepada langit, tidak
pernah mengeluh pada bumi. Mereka tetap memiliki
penghidupan yang penuh warna-warni, penghidupan
yang senang dan bahagia.
Jalan raya yang membentang dalam dunia persilatan
walaupun tidak pernah bisa diramalkan, tapi hidup
sebagai orang persilatan, mereka tetap akan
merindukan semua kejadian yang ada dalam dunia
kangouw. "Jika ada orang dapat menemukan kembali resep
Ngo-Ma-San berarti ada orang yang dapat
menciptakan juga hawa tubuh," kata Tay Thian sambil
menatap Hong Coan-sin.
"Banyak kejadian di dunia ini yang sukar untuk
diramalkan, ada orang rela terjun ke sungai, ada pula
yang senang bunuh diri."
Tay Thian menghela napas panjang, sambil
membalikkan tubuh ujarnya, "Kuburlah mereka baik
baik!" Yang dimaksud adalah Tu Bu-heng serta Un-hwee.
"Pasti!" jawab Hong Coan-sin serius, "Memang
begitulah peraturan yang berlaku dalam Pesanggrahan
pengobatan Coan-sin."
Benarkah begitu"
Ada saat matahari terbit, ada saat matahari
terbenam, oleh sebab itu ada malam hari.
Ada orang jahat, ada pula orang baik, maka muncul
orang yang bertugas menegakkan hukum. Semuanya itu
bukan berubah dalam waktu sekejap, semenjak
kehidupan dimulai, semuanya pun dimulai.
Tapi ada satu hal yang sudah ada, sudah ditentukan
sejak adanya kehidupan, yaitu ... kejahatan tidak akan
bisa memenangkan kebenaran.
Selamanya hukum itu berlaku, dari dulu hingga nanti.
Istana raja muda Lam-ong sangat lebar, luas dan
megah. Apalagi bila malam telah menjelang tiba, orang
selalu merasakan hawa menyeramkan yang tidak
terlukiskan dengan perkataan.
Orang tidak tahu kenapa bisa muncul perasaan
seram seperti ini, mungkinkah lantaran bangunan
istananya kelewat luas" Atau karena suasananya
kelewat hening"
Malam semakin larut, udara pun terasa makin
membeku, kedipan bintang bertaburan diseluruh
angkasa. Cu congkoan sudah belasan tahun bertugas di istana
raja muda Lam-ong, diawali dari seorang kacung hingga
kini menjabat seorang congkoan, suatu perjalanan karier
yang tidak mudah.
Sekalipun sudah amat lama dia berdiam disitu,
namun jika malam tiba, dia sendiripun tidak berani
berjalan seorang diri dalam kebun yang luas itu.
Cu congkoan bernama Cu Liok, liok yang berarti hijau.
Dia mempunyai tiga orang saudara, semuanya
menggunakan warna sebagai namanya, lotoa bernama
Cu Lan (biru), loji bernama Cu Pek (putih), losam
bernama Cu Liok (hijau) dan si buncit bernama Cu Cing
(hijau pupus). Walaupun Cu Liok bernama si hijau (liok), dia justru
paling benci mengenakan pakaian berwarna hijau,
tentu saja dia terlebih tidak suka bila mesti mengenakan
topi berwarna hijau, (mengenakan topi hijau artinya
punya bini yang selingkuh).
Dalam hal ini, asal dia seorang lelaki, hampir
semuanya tidak suka dengan hal tersebut.
Malam ini Cu congkoan mengenakan jubah
berwarna biru tua, dengan susah payah dia telah
meronda satu putaran disekeliling gedung Lam-ong-hu.
Itulah tugas yang harus dia selesaikan setiap malam
menjelang naik ranjang untuk tidur.
Tidak mungkin ada pencuri berani mencuri barang
dalam istana raja muda, dalam hal ini Cu congkoan
sangat paham, namun setiap malam dia tetap harus
melakukan perondaan.
Selesai meronda di loteng Teng-gwee-siau-lo,
perlahan-lahan Cu Liok menghembuskan napas lega,
dia memutuskan sekembalinya ke kamar nanti dia akan
menyuruh bininya menyiapkan berapa macam
hidangan untuk teman minum arak.
Malam sudah semakin kelam, suasana pun
bertambah sepi, semua orang sudah mulai terlelap tidur
di kamar masing masing.
Sejak tadi Hoa U-gi sudah naik ke pembaringannya,
dia tinggal di loteng Teng-gwee-siau-lo.
Raja muda selatan Nyoo Cing berdiam di
pesanggrahan pengobatan untuk merawat lukanya,
Thay suya mendampingi disisinya.
Inilah kesempatan bagi anak buah yang bekerja di
istana Lam-ong-hu untuk mengendorkan
kewaspadaannya, sebagian ada yang sudah kabur,
sebagian sudah molor.
Tidak heran kalau suasana dalam istana itu sangat
hening, sepi dan tidak kedengaran sedikit suarapun.
Ditengah keheningan yang mencekam itulah
mendadak terlihat sesosok bayangan manusia
berkelebat masuk ke balik pepohonan.
Bayangan itu ramping dan langsing, mirip sekali
dengan tubuh seorang wanita.
Dia mengenakan pakaian Ya-heng-ie berwarna
hitam, wajah berikut kepalanya ditutup dengan kain
kerudung hitam sehingga yang nampak hanya
sepasang matanya yang jeli.
Begitu tiba dalam hutan, dia menengok sekeliling
tempat itu sekejap kemudian dengan cekatan
menyelinap ke balik kegelapan. Sekali lagi dia melayang
turun didepan pintu kamar tidur raja muda, setelah
menyapu sekeliling tempat itu sebentar, perlahan dia
mendorong pintu dan menyelinap masuk ke dalam.
Suasana dalam kamar itu gelap gulita, tapi
perempuan itu tetap melakukan penggeledahan
diseluruh ruangan. Gerak-geriknya cekatan, teliti dan
terlatih, sekilas pandang dapat diketahui kalau dia
adalah seorang jago yang sudah mendapat latihan
ketat. Tidak selang berapa saat kemudian dia sudah selesai
menggeledah seluruh ruangan, tapi kelihatannya benda
yang dicari tidak berhasil ditemukan.
Dengan cepat orang itu melakukan penggeledahan
lagi, satu ruangan demi satu ruangan, hampir semuanya
diperiksa dengan seksama.
Sebenarnya apa yang sedang dia cari"
Tampaknya orang itu semakin gundah bercampur
gelisah, baru saja akan menerobos jendela untuk
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba dari luar sana
meluncur lagi sesosok bayangan manusia. Sungguh
cekatan orang itu, sepasang tangannya yang tajam
bagai golok secepat kilat membacok ke arah tubuh si
pendatang. Serangkaian serangan berantai dilancarkan bertubi
tubi, selain cepat, serangannya pun ganas dan
telengas. Dia tidak ingin rahasianya ketahuan pihak lain,
maka dia harus menghabisi nyawa si pendatang
secepatnya. Sudah tiga puluh enam jurus serangan yang dia
lancarkan, namun jangan lagi melukai musuhnya,
menyentuh ujung bajunya pun tidak mampu.
Baru saja si penjalan malam itu siap melancarkan
serangan mematikan, tiba tiba terdengar orang itu
berkata, "Seharusnya, sejak awal melancarkan serangan
tadi kau sudah menggunakan ilmu andalanmu."
Begitu mendengar perkataan tersebut, si pejalan
malam segera menghentikan serangannya, dengan
pandangan keheranan dia berseru, "Kau adalah......."
"Langit bening bagai air, naga terbang di angkasa."
"Bulan berapa tanggal berapa?" si pejalan malam
segera membalas.
"Bulan tiga tanggal tujuh."
Jelas bukan nama seseorang tapi suatu tanggal,
mungkin juga bukan nama tanggal tapi sebuah kode
rahasia. Tapi kode rahasia itu kini melambangkan seseorang,
melambangkan salah satu anggota dari suatu organisasi
rahasia yang sangat besar.
Dalam empat ratus tahun terakhir belum pernah di
dalam dunia persilatan terdapat sebuah organisasi
rahasia yang sedemikian besarnya melebihi
perkumpulan Cing-liong-hwee (perkumpulan naga
hijau). Anak buahnya terdapat di tiga ratus enam puluh
buah cabang yang tersebar di seantero jagad dengan
penanggalan Imlek sebagai kode rahasianya.
"Sa-gwee-je-jit" atau bulan tiga tanggal tujuh hanya
melambangkan seorang Toucu dari sebuah kantor
cabang. "Kau?" kedengaran si pejalan malam berseru kaget.
"Kau pasti tidak menyangka kalau aku adalah Sagwee
Je-jit bukan?"
Ketika cahaya bintang memancar masuk melalui
jendela dan menerangi wajah orang itu, terlihatlah
selembar wajah yang cantik, bersih dan sama sekali
polos. Ternyata orang ini tidak lain adalah Siau-tiap.
Sambil tertawa dia awasi pejalan malam itu kemudian
katanya, "Jarang sekali ada orang yang tahu kalau aku
adalah anggota perkumpulan naga hijau."
"Yaa, memang sama sekali tidak kuduga," kata orang
itu sambil menghela napas, "Bahkan mimpi pun aku
tidak pernah menyangka."
Siau-tiap tertawa cekikikan.
"Akupun tidak mengira kalau kau akan turun tangan
pada malam ini," katanya.
"Bila melewati malam ini, mungkin kita sudah tidak
akan menemukan kesempatan baik seperti ini lagi."


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selewat malam ini, sang ular pun telah diusik, mana
mungkin bisa dijumpai kesempatan baik lagi?" dibalik
senyuman Siau-tiap terselip nada menyindir.
"Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Ketika pertama kali masuk kemari, waktu itu aku
masih berusia enam belas tahun, sama seperti kau,
akupun ingin cepat cepat mencetak pahala dengan
segera melakukan tindakan," Siau-tiap menghela napas
panjang, "Aaai! Akhirnya nyaris aku kehilangan nyawa."
"Oya?"
"Sepintas lalu Nyoo Cing kelihatan seperti orang polos
yang tidak punya akal, jika kau menganggapnya begitu,
kuanjurkan lebih baik cepat-cepatlah siapkan peti mati
untuk dirimu."
Setelah menarik napas panjang, dia melanjutkan,
"Terlebih manusia yang bernama Tay Thian itu, dia
adalah seorang jagoan yang harus diwaspadai."
"Benarkah?"
"Tidak perduli pada saat apa, dimana dan berada
dalam suasana apapun, asal kau berbincang dengan
Tay Thian maka secara diam-diam dia akan mencatat
semua pembicaraannya dalam sebuah buku catatan,"
ujar Siau-tiap, "Mungkin dia akan mengarsip data
tersebut dan tidak pernah akan digunakan untuk
selamanya, tapi bila suatu ketika kau berhadapan
dengannya sebagai lawan, maka catatan itu akan
menjadi titik kelemahanmu."
Pejalan malam itu mendengarkan dengan seksama.
Kembali Siau-tiap berkata, "Semua orang yang
pernah bersua dengannya pasti ada data didalam buku
catatannya, termasuk data tentang dirimu maupun
aku." "Bagaimana dengan Nyoo Cing" Apakah dia pun
menyimpan data raja muda?"
"Benar."
"Aku pikir aku sudah memiliki kelemahan dari Tay
Thian," kata orang itu sambil memandang ke tempat
kejauhan. "Kau keliru."
"Kenapa?"
"Jika kau anggap karena dia menyimpan data
tentang Ong-ya maka hal ini bisa kau jadikan titik
kelemahannya, pemikiranmu itu keliru besar."
"Lantas apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Balik ke kamarmu dan segera tidur, anggap saja
tidak pernah terjadi apa-apa."
"Hanya begitu?"
"Benar."
"Baiklah," pejalan malam membalikkan badan dan
berlalu. Dengan tenang Siau-tiap mengawasi pejalan malam
itu hingga lenyap dari pandangan, sekulum senyuman
dingin tiba-tiba tersungging diujung bibirnya.
Dia menutup kembali daun jendela lalu membuka
pintu dan berjalan keluar dari situ, setelah itu dia
merapatkan kembali pintu ruangan.
Suasana dalam ruang baca itupun pulih kembali
dalam keheningan. Betulnya sangat hening"
Tidak lama sepeninggal Siau-tiap, dari balik kamar
baca yang hening tiba-tiba terdengar suara langkah
kaki manusia. Langkah itu sangat lirih, meski lirih namun masih bisa
diketahui kalau suara itu memang langkah kaki manusia.
Dari balik sudut ruangan yang gelap muncul
seseorang, dia menuju ke depan jendela, menghentikan
langkahnya kemudian baru menengok ke arah luar.
Cahaya bintang menyinari wajahnya membuat raut
muka orang itu kelihatan sangat jelas, ternyata dia
adalah Cu congkoan, Cu Liok.
Sejak tadi Cu Liok bersembunyi di dalam kamar baca,
mengapa Siau-tiap dan pejalan malam itu tidak
menyadari kehadirannya"
Padahal ilmu silat yang dimiliki Siau-tiap berdua
sangat tangguh, mengapa mereka tidak sadar kalau
didalam kamar masih terdapat orang ketiga"
Apakah ilmu silat yang dimiliki Cu Liok jauh lebih
tangguh dari mereka"
Atau ketajaman pendengaran mereka tidak setinggi
kungfu yang mereka miliki"
Kedua duanya bukan!
Siau-tiap bisa diutus perkumpulan naga hijau menjadi
mata-mata ditempat itu, jelas kepandaiannya pasti
hebat, ketajaman pendengarannya pasti luar biasa.
Mereka tidak berhasil menemukan jejak Cu Liok
karena Cu congkoan sangat sederhana. Sedemikian
sederhana dan bersahajanya sehingga walau dia
berada disisimu pun kau tetap tidak menyadari.
Sedemikian sederhananya sehingga kau tidak
memperhatikannya.
Oleh karena dia kelewat sederhana maka kau tidak
berdaya untuk memperhatikannya.
BAB 2. Kait perpisahan yang tidak berdaya.
Siau-tiap berjalan menuju ke balik hutan kemudian
berhenti, dengan tenang diawasinya loteng Teng-gweesiau-
lo. Entah berapa saat kemudian, senyuman dingin
tersungging diujung bibirnya yang mungil.
Berapa saat setelah itu tangannya berge-rak
perlahan di udara, melakukan sebuah gerakan yang
sangat aneh. Belum selesai gerakan aneh itu dilakukan,
entah sejak kapan, dihadapannya telah muncul
seseorang. Seorang pemuda berbaju hijau telah memberi hormat
kepadanya sambil berbisik, "Sa-gwee-je-jit cu-si (bulan
tiga tanggal tujuh jam Cu) datang melapor!"
Terhadap anak buahnya yang mampu bekerja,
biasanya Siau-tiap menaruh kepercayaan sangat besar,
dia segera menurunkan perintah, "Ajak serta Yu-si dan
Su-si, masuk ke kamar tidur Nyoo Cing serta kamar baca
dan ciptakan keonaran."
"Baik!"
"Harus pakai cara kerja seorang ahli!"
"Baik."
Dengan rasa puas Siau-tiap mengangguk, orang
berbaju hijau itupun lenyap dibalik kegelapan.
Malam semakin gelap, di langit tidak nampak cahaya
rembulan, tidak ada bintang, yang ada hanya awan
gelap yang menyelimuti seluruh angkasa.
Pada malam yang sama, disebuah tempat yang jauh
sekali dari gedung raja muda.
Di tempat itu sebenarnya terdapat sebuah bangunan
rumah kayu yang kecil dan reyot, sekarang pun
terdapat sebuah rumah kayu yang sama, tapi tidak
reyot pun tidak kuno, bangunan itu nampak masih baru.
Meskipun bangunan rumah itu sudah dirobohkan oleh
Seng Sam dan anak buahnya, namun dengan cepat
Tay Thian telah memerintahkan orang untuk
membangunnya kembali.
..... Ada orang pandai membongkar rumah, ada pula
yang pandai membangun rumah, di dunia ini memang
tersedia pelbagai macam kejadian, tinggal kau pilih apa
yang hendak dilakukan.
Bangunan baru ini tidak jauh berbeda dengan bentuk
bangunan lama, bahkan bahan yang digunakan untuk
membangun pun sama, balok balok kayu besar.
Tentu saja semua perabotan dan dekorasi yang ada
didalam rumah kecil itu pun tidak jauh berbeda.
Sekalipun Tay Thian telah berusaha dengan sepenuh
tenaga untuk membangun kembali rumah ini, tapi
sayang ada satu hal yang tidak mungkin bisa dia
tampilkan kembali.
Dia tidak mungkin bisa mengembalikan kenangan.
Kenangan yang tertinggal di rumah kayu itu,
kenangan yang sudah lewat bertahun-tahun lamanya.
Seperti misal di depan pintu rumah tergantung
sebuah gembokan yang telah berkarat, kini gembokan
itu sudah diganti dengan yang baru.
Meja kursi, ranjang, mangkuk, lentera serta anglo
yang ada dalam rumah pun sebenarnya diliputi debu
dan terkesan kuno, tapi sekarang semuanya nampak
bersih dan baru.
Sekalipun semuanya serba baru, masih untung ada
sebuah tempat yang masih menyimpan benda lama,
sebuah tempat yang sangat rahasia dalam rumah kecil
itu. Dibalik tanah terdapat sebuah peti besi yang penuh
dengan debu, pasir dan karat.
Dalam peti besi yang karat itu masih tersimpan
pemetik api serta sebilah senjata yang dulu pernah
menghebohkan dunia persilatan.
Kait perpisahan.
"Aku tahu kait adalah sejenis senjata, berada dalam
urutan ke empat dari urutan daftar senjata, tapi
mengapa disebut Kait perpisahan?"
"Sebab senjata kait tersebut, bila mengaet bagian
mana pun pasti akan menciptakan perpisahan, jika dia
menggaet tanganmu maka tangan akan berpisah
dengan pergelangan, bila menggaet kakimu, kaki pun
akan berpisah dengan pangkal paha."
"Jika leherku yang terkait, bukankah aku akan
berpisah dengan dunia ini?"
"Benar."
"Mengapa kau harus menggunakan senjata yang
brutal dan keji semacam ini?"
"Sebab aku tidak ingin dipaksa orang untuk berpisah
dengan orang yang kucintai."
"Aku mengerti maksudmu."
"Kau benar-benar mengerti?"
"Kau menggunakan kait perpisahan tidak lain karena
ingin berkumpul terus."
"Benar."
Tapi kini"
Kait perpisahan telah terkunci kembali di dalam peti
besi itu. Nyoo Cing tetap Nyoo Cing.
Bagaimana dengan Lu Siok-bun" Di manakah dia
sekarang" Ketika dia mengeluarkan kait perpisahan dulu,
bukankah tujuannya agar mereka selalu berkumpul
menjadi satu" Tapi bagaimana hasilnya"
Kait perpisahan masih tetap seperti sedia kala, tetap
terkunci didalam peti besi yang telah karatan, tetap
disimpan dalam tempat yang sangat rahasia.
Apakah suatu saat nanti dia akan muncul kembali
dalam dunia persilatan"
Sekalipun senjata itu amat tersohor, namun bila ada
ada orang yang menggunakannya, benda itu tidak
beda jauh dengan sebatang balok kayu.
Malam semakin larut.
Sepanjang apapun malam hari akhirnya harus berlalu
juga. Sinar fajar sudah mulai muncul di ufuk timur,
menembusi ranting pepohonan dan kebetulan
menyinari wajah Siau-tiap.
Angin pagi menggoyangkan ranting,. Membuat
cahaya sang surya seakan sedang melompat, seperti
juga detak jantungnya saat ini, berdetak sangat cepat.
Dia tahu hari ini gedung raja muda akan luar biasa
sibuknya. Semalam ada tiga orang tamu tidak diundang telah
menyusup masuk ke dalam kamar tidur serta kamar
baca raja muda.
Siau-tiap tersenyum lebar, tiga orang tamu diundang
itu adalah anak buahnya, dia yang mengutus mereka
untuk membuat keonaran.
Ketiga orang tamu tidak diundang itu pasti akan
tertangkap, karena memang itulah tujuannya yang
terutama. Jika tertangkap mereka pasti akan disiksa, cara Tay
Thian menghadapi para tawanannya paling tidak ada
tiga puluh tiga macam.
Cara manapun yang akan dipergunakan sudah lebih
dari cukup untuk mengungkap seluruh rahasia yang
dimiliki mereka, ketiga orang tamu tidak diundang itu
pasti tidak akan kuat menahan siksaan, mereka pasti
akan mengakui kalau mereka diutus oleh perkumpulan
Cing-liong-hwee.
Mereka hanya akan mengakui sebagai anggota
Cing-liong-hwee, tidak akan mengakui kalau diutus oleh
Siau-tiap. Semalam, pejalan malam telah menyusup ke dalam
kamar tidur dan kamar baca, walaupun cara kerjanya
bersih tanpa meninggalkan jejak, tapi dia percaya tidak
bakal bisa lolos dari ketajaman mata si rase tua Tay
Thian. Padahal rahasia identitas pejalan malam tidak boleh
terbongkar, oleh sebab itu harus ada orang lain sebagai
kambing hitamnya.
Itulah salah satu tujuan Siau-tiap mengutus ketiga
orang anak buahnya, tujuan yang paling utama adalah
membiarkan mereka tertangkap.
Tay Thian pasti akan mengompas mereka, pasti akan
memaksa mereka untuk mengakui, mengapa malam
malam menyatroni gedung raja muda.
Dan diapun pasti akan peroleh jawabannya, ingin
mencuri kait perpisahan.
..... Tujuan terutama kedatangan Siau-tiap dan
pejalan malam itu memang bertujuan untuk
mendapatkan kait perpisahan.
Tay Thian pasti dapat mengetahui kalau jawaban dari


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para tamu tidak diundang itu adalah jawaban yang
jujur. Tentu sajajawaban mereka adalah jawaban yang
sejujurnya. Asal Tay Thian percaya maka tujuan mereka pun
sudah tercapai.
Dia percaya Tay Thian pasti akan melakukan suatu
tindakan, asal dia melakukan satu tindakan,
bagaimanapun hati hatinya dia, bagaimana pun
rahasianya gerak-geriknya, Siau-tiap pasti dapat
menyelidikinya.
Sudah cukup lama perkumpulan Cing-liong-hwee
mengawasi gerak-gerik Nyoo Cing, tujuannya tidak lain
adalah untuk mengincar kait perpisahan.
Sehari kait perpisahan masih berada ditangan Nyoo
Cing, sehari pula perkumpulan Cing-liong-hwee tidak
berani bergerak, oleh sebab itu kait perpisahan
merupakan benda yang harus didapatkan mereka.
Nyoo Cing pasti mengetahui juga akan hal ini, dan
dia pasti akan menyimpan senjata itu tidak jauh dari
tempat tinggalnya, dia pasti menyimpan benda tersebut
disuatu tempat yang mudah diambil bilamana perlu.
Sekalipun Tay Thian belum tentu mengetahui letaknya,
yang pasti dia akan melaporkan kejadian ini kepada
Nyoo Cing. Mungkin saja Nyoo Cing tidak akan melakukan
sesuatu tindakan, tapi dia tentu akan menaruh curiga,
mungkinkah senjata kait perpisahannya telah tercuri
orang" Jika timbul kecurigaan dalam hati Nyoo Cing, maka
tujuan perkumpulan Cing-liong-hwee pun tercapai.
Pagi ini, Siau-tiap bangun dari tidurnya dengan penuh
pengharapan, selesai menyisir rambut dia berjalan
keluar dari kamarnya, menembusi udara dingin yang
membekukan badan.
Dari kamarnya bila ingin menuju ke ruang depan, dia
harus melalui Taman bunga Soat-lu, baru saja dia tiba di
depan taman, Siau-tiap segera menjumpai ada
seseorang baru saja berjalan keluar dari situ.
Cu Liok dengan membawa sebongkok bunga bwee
berjalan keluar dari Soat-lu dengan amat santainya,
begitu bertemu Siau-tiap, dia segera menyapa sambil
tersenyum, "Selamat pagi nona Siau-tiap."
"Selamat pagi, waah.... kelihatannya Cu congkoan
suka bunga, sepagi ini sudah menggunting bunga
Bwee, mau ditaruh ke mana?"
"Sekalipun aku suka bunga, sayang aku hanya
manusia biasa, bukan aku yang menggunting bunga
Bwee itu, mana mungkin aku memiliki kepandaian
seperti itu."
"Lalu siapa yang mengguntingnya?"
"Sebetulnya aku ingin minta tolong nona Siau-tiap,
siapa tahu ketika tiba disini, kulihat toa-siocia sudah
berada disini."
"Hoa toa-siocia?"
"Benar."
"Jadi dia yang membantumu menggunting bunga
Bwee ini?"
"Benar." Hoa U-gi muncul dari dalam taman bunga.
"Seharusnya pekerjaaan semacam ini adalah
tugasku," buru buru Siau-tiap berkata, "Tapi semalam
tidurku kelewat nyenyak hingga bangun agak
siangan........"
"Aaaah, siapa pun yang mengerjakan sama saja,"
tukas Hoa U-gi, "Apalagi pagi ini aku memang
bermaksud membawa bunga untuk menjenguk ke
pesanggrahan pengobatan."
"Kebetulan juga Tay Thian baru memberi kabar
kepadaku untuk mengirim bunga bwee ke
pesanggrahan pengobatan, maka akupun datang
kemari," Cu Liok menimpali.
"Sebetulnya tugas itu merupakan tanggung
jawabku," kata Siau-tiap, "sekalipun ditengah malam
buta pun, tetap akan kukerjakan."
"Aku sendiripun baru memperoleh pemberitahuan
pagi tadi," kata Cu Liok.
"Pagi tadi" Cu congkoan tidur sampai pagi?"
"Benar, semalam tidurku amat nyenyak."
"Tidak ada peristiwa apa-apa semalam?" tanya Siautiap
lagi agak tertegun.
"Tidak ada!" mendadak Cu Liok menarik kembali
senyumannya, "Apakah menurut nona Siau-tiap,
semestinya semalam telah terjadi sesuatu peristiwa?"
"Aaah mana mungkin," buru buru Siau-tiap menutupi
kelengahan yang baru saja dia lakukan, "Aku hanya
merasa seperti mendengar sesuatu ditengah malam
buta tadi!"
"Seperti?"
"Maksudku, dalam tidurku aku seperti mendengar
sesuatu, atau mungkin aku sedang bermimpi?"
"Betul, terkadang aku pun mengalami hal yang
sama," Hoa U-gi segera menimpali, "Memangnya dalam
istana telah terjadi sesuatu" Tidak mungkin bukan?"
"Betul, seharusnya tidak mungkin," kata Cu Liok sambil
tertawa, "Ooh ya, aku masih ada urusan lain, sampai
jumpa!" "Ayoh kita jalan bersama!" seru Hoa U-gi, "Kebetulan
aku pun hendak menuju ke ruang depan."
"Baik."
Hoa U-gi manggut-manggut ke arah Siau-tiap
kemudian bersama Cu Liok beranjak pergi dari situ,
tinggal Siau-tiap seorang masih berdiri melongo.
Mana mungkin tidak terjadi apa-apa"
Dia cukup memahami kemampuan yang dimiliki anak
buahnya, tapi, kemana perginya ketiga orang anak
buahnya itu"
Kenapa tidak terjadi sesuatu dalam istana raja muda"
Mungkinkah perbuatan yang dilakukan anak buahnya
kelewat "ahli" sehingga tidak diketahui siapa pun"
Mustahil, perintah yang harus mereka lakukan bukan
begitu. Atau mungkin Tay Thian sengaja merahasiakan
kejadian ini" Kalau memang begitu, seharusnya rahasia
tersebut hanya berlaku untuk orang luar, bukankah Siautiap
bukan orang luar"
Jangan jangan...... jangan jangan mereka sudah
mengetahui rahasianya"
Mustahil. Sudah enam tujuh tahun lamanya Siau-tiap
bergabung di istana raja muda, tidak mungkin rahasia
identitasnya terbongkar, apalagi cara kerja Tay Thian
selalu berpegangan pada prinsip, jika dia sudah
mengetahui rahasia penyamarannya, mustahil orang itu
masih bisa bersikap begitu tenang.
Lalu apa yang sebenarnya telah terjadi" Siau-tiap
menjumpai dirinya seakan sudah terperosok ke dalam
jurang sedalam ribuan kati, dia merasa tubuhnya seolah
sudah terjebak dalam kobaran api neraka.
Dia benar benar tidak habis mengerti apa yang telah
dikerjakan ketiga orang anak buahnya semalam, ke
mana mereka telah pergi" Dia mulai sadar, pagi ini
bukan pagi yang dipenuhi dengan pelbagai harapan.
Baginya mungkin tidak ada pengharapan, tapi tidak
demikian bagi orang lain, apalagi bagi mereka yang
berbaring sakit.
Nyoo Cing berbaring sambil mengawasi bunga bwee
yang memenuhi ruang tidurnya, tentu saja Tay Thian
yang mengirim bunga itu ke situ, hasil petikan Hoa U-gi.
"Sudah selesai dibangun?" tanya Nyoo Cing sambil
mengawasi bunga Bwee dalam kamarnya.
"Sudah."
"Rumah yang roboh bisa dibangun kembali, bunga
yang layu bisa tumbuh kembali.........kalau manusia telah
berpisah?" nada suara Nyoo Cing kedengaran amat
sendu. "Pasti akan berkumpul kembali," sahut Tay Thian,
"Bukankah kalau ada perpisahan baru ada
perjumpaan?"
"Berpisah biasanya hanya untuk berkumpul dengan
orang lain," ucap Nyoo Cing sambil tertawa getir.
Perkataan ini memang sangat tepat, sejak dulu
hingga kini, bila seseorang berpisah dengan seseorang,
biasanya dia akan berkumpul dengan orang lain.
Tanpa perpisahan dari mana datangnya
perjumpaan" Tapi...
Tanpa perjumpaan, darimana pula datangnya
perpisahan"
Sebenarnya berapa jauh jarak antara perjumpaan
dan perpisahan" Berapa kesulitan dan kesedihan yang
harus dialami"
Ada orang bilang, berkumpul itu susah, ada juga
yang bilang berpisah itu susah. Bagaimana denganmu"
Kalau menurut aku, yang susah itu menjadi manusia,
setuju dengan pendapat ini"
"Aku tidak setuju!" Tay Thian langsung menjawab.
Tampaknya Nyoo Cing sudah menduga kalau dia
akan bicara begitu, maka wajahnya sama sekali tidak
tercengang. "Kenapa?" tanyanya.
"Biasanya berpisah karena akan berjumpa dengan
orang lain, beda dengan kau."
"Kenapa?" sekali lagi Nyoo Cing bertanya.
"Biarpun senjata kaitan yang kau gunakan bernama
kait perpisahan, tapi dalam kenyataan kau berbuat
begitu karena ingin selamanya berkumpul dengan
orang yang dicintainya, kalau tiada perpisahan dari
orang itu, bagaimana mungkin kalian bisa berkumpul?"
Kembali sebuah ucapan yang sangat masuk akal.
Bukankah berkumpulnya kalian merupakan
perpisahannya orang lain" Oleh sebab itu
perpisahannya kalian akan merupakan kegembiraan,
karena berkumpulnya orang lain.
Berpisah kenapa harus sedih" Bertemu kenapa harus
digirangkan"
Asal kau bisa memandang lebih terbuka, dapat
berpikir lebih terbuka, persoalan apa lagi yang bisa
mendatangkan penderitaan bagimu"
"Tidak ada orang lain yang berpisah, mana mungkin
kalian dapat berkumpul?" gumam Nyoo Cing.
Dia mengulang perkataan itu sekali, dua kali..... entah
sudah berapa kali, entah sudah berapa lama, tiba-tiba
dia tertawa, tertawa sangat riang, tertawa sangat kalap,
tertawanya pun nampak sangat menderita.
Gelak tertawa segera memenuhi seluruh ruangan.
"Bagus sekali," suara Nyoo Cing kedengaran agak
sedih, "Benar-benar sebuah perkataan yang amat
bagus." Tidak menunggu Tay Thian bicara, dia kembali
katanya lagi, "Berpisah" Berkumpul" Kalau memang
tidak ada perjumpaan, dari mana datangnya
perpisahan?"
Matahari di musim dingin kendatipun nampak indah
dan menyenangkan, sayang tidak dapat mengusir
hawa dingin yang menggidikkan hati.
"Kalau memang tidak pernah ada perjumpaan, dari
mana datangnya perpisahan?" kata Nyoo Cing.
"Kalau memang ada perpisahan, pasti akan ada
perjumpaan," kata Tay Thian, "Ada sementara
perjumpaan sesungguhnya hanya terjadi di dalam hati,
tidak pernah terwujud."
"Dalam hati" Nyoo Cing mengulang sepatah demi
sepatah, "Perjumpaan di hati, perpisahan pun di hati?"
"Benar, walaupun kalian berkumpul, namun bila
hatinya tetap renggang, darimana kau bisa nikmati
indah dan gembiranya suatu perjumpaan?"
Atau dengan perkataan lain ... "Walaupun kalian
berpisah, selama dihati tetap berkumpul, tetap
bersatu, kenapa kau mesti menderita karena
perpisahan?"
Nyoo Cing tertawa, benar-benar tertawa yang
muncul dari sanubari hatinya.
Biarpun berpisah, asal bertemu dan bersatu didalam
hati, mengapa mesti risaukan deritanya suatu
perpisahan"
Dalam dua puluh tahun terakhir, baru kali ini semua
kemasgulannya tersapu bersih oleh sepatah perkataan
itu. Dengan pandangan berterima kasih dia tatap wajah
Tay Thian. Ganjalan yang selalu menyesakkan napasnya selama
dua puluh tahun terakhir, bila secara tiba tiba hilang
tidak berbekas, tentu saja Nyoo Cing merasa sangat
gembira. Angin fajar meski dingin namun membawa bau tanah
lembab yang harum, mendatangkan pula harapan
musim semi yang datang lebih awal.
Nyoo Cing berbaring diatas pembaringan dengan
wajah berseri, sorot matanya kelihatan lebih lembut dan
hangat. "Tampaknya musim semi tahun ini akan datang lebih
awal," katanya.
"Bukan datang lebih awal, tapi sudah dating!" jawab
Tay Thian. "Sudah datang?"
"Benar."
"Sejak kapan datangnya?"
"Sejak semalam!"
"Berapa orang?"
"Tiga orang di tempat terang dan dua orang
ditempat gelap."
"Cukup besar?"


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yang seorang sudah kita ketahui sejak awal," kata
Tay Thian, "Yang seorang lagi tidak dikenali Cu Liok."
"Kenapa?"
"Bukan saja dia mengenakan pakaian Ya-Heng-ie
(pakaian berjalan malam), tampaknya dengan ilmu Sutkut-
kang (ilmu penyusut tulang) dia sengaja
memperkecil tubuhnya dan bicara dengan
menggunakan ilmu perut dari negeri Thian-tok."
"Oya?" Nyoo Cing kelihatan seperti termenung
sebentar, "Lalu tiga yang terang?"
"Sudah disekap dalam penjara bawah tanah di ruang
baca!" Hembusan angin tentu pernah terasa hangat,
curahan hujan tentu pernah lembut dan manusia pun
pasti pernah muda.
..... Karena manusia ada yang muda, tentu ada pula
yang tua. Jika musim dingin telah datang, musim semi
sudah tidak jauh menunggu.
Mengawasi udara musim dingin yang membeku,
Nyoo Cing bergumam, "Jika musim dingin telah berlalu,
musim semi segera akan menjelang tiba bukan?"
"Betul."
"Kalau begitu, marilah kita sambut datangnya musim
semi!" "Benar benar akan menyambut datangnya musim
semi?" Tay Thian seakan tidak percaya.
"Benar," sahut Nyoo Cing hambar, "kau anggap
terlalu awal?"
"Tidak."
Dengan perasaan puas Nyoo Cing mengangguk,
katanya sambil menghembuskan napas lega, "Musim
dingin kali ini betul betul kelewat membekukan badan,
jika musim semi bisa datang lebih awal, kenapa kita
mesti menolak kehadirannya?"
"Benar."
"Ayoh kita tinjau rumah kayu kecil ditengah hutan
bunga bwee!"
BAB 3. Tiga belas bilah pisau tipis.
Kabut sangat tebal, air mengalir dengan lembutnya,
bunga bwee masih tampak mekar dan menyiarkan
harum semerbak. Ternyata kabut pada malam ini sangat
tebal. Kabut melayang diatas air yang mengalir lembut,
menyelimuti hutan bunga bwee, menyusup ke dalam
bangunan rumah kayu kecil itu.
Air selokan mengalir perlahan ditengah kegelapan
malam, bunga bwee bergoyang lembut diterpa angin
lembut, kabut diatas bukit masih tebal bagaikan asap.
Malam terasa begitu sendu, sungai pun sendu,
bahkan udara pun serasa sendu. Tidak berbeda suasana
di dalam bangunan rumah kayu itu.
Cong Hoa berjalan masuk menembusi hutan bunga
bwee, melalui tepi sungai kecil, mendekati bangunan
rumah kayu itu dan menghentikan langkahnya sambil
mengawasi bangunan itu dengan termangu.
Dia awasi bangunan itu dengan khusuk, dengan
seksama, mengawasinya dengan penuh perasaan.
.......Sedemikian berperasaannya dia menatap,
pancaran perasaan yang tebal segera muncul dari balik
matanya, begitu tebal bagai musim gugur. Padahal dia
sama sekali tidak punya hubungan apa-apa dengan
bangunan rumah itu, diapun baru pertama kali ini
datang kemari, mengapa dari balik matanya terpancar
sinar perasaan yang begitu tebal"
Angin berhembus lewat, membuyarkan kabut tebal
yang mengelilingi sekitar tubuhnya, tapi dengan cepat
menyelimuti kembali seputar bangunan rumah kayu itu.
Selangkah demi selangkah Cong Hoa mendekati
bangunan rumah itu, tangannya mulai meraba dinding
kayu diseputarnya. Dia meraba dengan sangat lambat,
meraba dengan sangat lembut. Sikapnya seakan
seseorang yang sudah lama merindukan desa
kelahirannya, dan kini dia sudah muncul kembali di
rumah kenangan, dia seolah ingin meraba dan
mengenali kembali suasana disekeliling situ.
Suatu perubahan mimik muka yang sulit dilukiskan
dengan perkataan lambat laun muncul diwajah Cong
Hoa, tangannya mulai gemetar keras. Kenapa"
Mengapa dia tunjukkan sikap seperti itu"
Perlahan-lahan tangan Cong Hoa mulai meraba pintu
rumah, memegang sebuah gembokan sementara
tangan lain mengeluarkan sebuah anak kunci. Dia
segera membuka pintu itu lebar lebar.
Pemandangan didalam rumah kayu itu masih seperti
semula, hanya ada sebuah meja, sebuah pembaringan,
sebuah bangku, sebuah mangkuk kasar, sebuah lentera
dan sebuah anglo yang terbuat dari tanah liat.
Cong Hoa masuk ke dalam, suasana dibalik ruangan
gelap gulita, tapi dia seakan sangat hapal dengan
keadaan disitu, berjalan menghampiri bangku dan
pelan-pelan terduduk. Walaupun diatas meja tersedia
lampu, dia tidak ingin menyulutnya, dia tidak ingin
menerangi suasana disitu.
Kabut tebal menyusup masuk ke dalam ruangan
melalui pintu yang terbuka lebar, membuat ruangan
makin kabur, menyelimuti pula seluruh tubuh Cong Hoa.
Ditengah kegelapan yang mencekam dia awasi
setiap sudut ruangan itu, seolah sedang mengawasi
desa kelahirannya.
Waktu berlalu sangat cepat, namun sikap Cong Hoa
masih belum berubah, dia tetap duduk pada posisi
semula, hingga sepasang kakinya mulai terasa
kesemutan, dia baru menghela napas panjang, bangkit
berdiri, menuju ke sudut dinding sebelah kiri dan kembali
berjongkok. Malam semakin kelam, walaupun lentera dimeja
penuh berisi minyak, dia tidak menyulutnya, karena itu
suasana di dalam ruangan tetap gelap gulita.
Cong Hoa yang berjongkok seakan sedang
memikirkan sesuatu, seakan juga sedang
mempertimbangkan sesuatu, tapi akhirnya dia
membuka selembar kayu yang ada diatas tanah.
Kemudian dari bawah papan kayu itu dia
mengeluarkan sebuah peti besi yang telah berkarat,
ditatapnya peti itu tanpa berkedip.
Sepasang matanya seakan bintang timur ditengah
kegelapan. Perlahan dia membuka peti besi itu. Didalam
peti terdapat pematik api, akhirnya dia mengambil
pematik itu dan membuat obor. Cahaya terang segera
memancar ke empat penjuru, menyinari wajah Cong
Hoa, menyinari bangunan rumah itu, menyinari juga peti
besi itu. Cahaya lentera bersinar terang di dalam ruangan,
begitu terangnya seakan berada di siang hari saja.
Walaupun Nyoo Cing sedang mengajukan
pertanyaan kepada Tay Thian, namun sorot matanya
masih mengawasi luar jendela tanpa berkedip.
"Da sudah ke sana?"
"Benar," jawab Tay Thian.
"Berapa bagian kemungkinannya untuk menang?"
"Empat bagian."
"Empat bagian" Kelewat besar!" sahut Nyoo Cing
masih mengawasi luar jendela.
"Tidak berlebihan, pun tidak kurang, pas sekali!"
"Ooya" Kenapa?"
"Jika dia memiliki peluang sepuluh bagian untuk
meraih kemenangan, maka rencana kita pasti akan
gagal total, bila dia hanya memiliki dua bagian
kesempatan maka rencana kitapun akan gagal," Tay
Thian menerangkan, "Apakah perkumpulan Cing-lionghwee
mau percaya kalau kau hanya mengutus seorang
manusia macam dia untuk mengambil kait perpisahan?"
Nyoo Cing mengangguk dengan perasaan setuju.
"Setiap orang pandai membuat ca sawi, tapi
masalah enak atau tidak masakannya, kemampuan
setiap orang berbeda," kata Tay Thian lebih jauh.
Nyoo Cing mengalihkan sorot matanya mengawasi
luar jendela, mengamati bintang yang bertaburan di
angkasa, namun pikiran dan perasaan hatinya justru
tidak ada disitu, dia sedang memikirkan seseorang
disuatu tempat yang amat jauh...
Ketika cahaya api memancar ke empat penjuru,
terlihatlah sebuah senjata berbentuk sangat aneh
tersimpan rapi didalam peti besi itu, senjata aneh yang
memancarkan cahaya dingin, begitu dingin
menggidikkan hati membuat kening Cong Hoa langsung
berkerut. Tidak kuasa gadis itu gemetar perlahan. Entah karena
hawa yang kelewat dingin, atau... Cong Hoa awasi
senjata kait perpisahan yang berada dalam
genggamannya dan bergumam, "Kait perpisahan
wahai kait perpisahan... ada orang mengharapkan
kehadiranmu di dunia ini demi suatu perjumpaan, tapi
yang kau hadirkan justru hanya perpisahan..."
Kait perpisahan tidak menyahut, tapi pancaran hawa
dinginnya semakin menguat, seakan dia sedang
memprotes atas perkataan tersebut.
"Kalau toch kau sudah mati selama dua puluh tahun,
mengapa masih ada orang yang mengharapkan
kebangkitanmu kembali?"
Dibawah cahaya api, kait perpisahan itu seakan
memancarkan kepedihan yang tipis.
"Mungkinkah kebangkitanmu kali ini akan
mendatangkan suatu perjumpaan" Suatu pertemuan?"
"Tidak mungkin!" Cong Hoa menjawab sendiri
pertanyaannya, "Yang kau hadirkan hanya
penderitaan, ketidak berdayaan, kesedihan dan
kepedihan yang menyayat hati."
Seandainya kait perpisahan bisa berpikir, dapat
berbicara, akankah dia bantah perkataan dari Cong
Hoa itu" Cong Hoa masih menatapnya, mengawasinya
dengan tenang, mengawasinya sangat mendalam.
"Semestinya sekarang, dia sudah dapatkan kait
perpisahan itu bukan?" kali ini Nyoo Cing menatap
tajam wajah Tay Thian.
Memandang sekejap suasana malam diluar jendela
sana, sahut Tay Thian perlahan, "Bila ditinjau dari
waktunya, sekarang seharusnya dia sudah pergi
meninggalkan bangunan rumah itu."
"Maksudmu, andaikata terjadi penyerangan,
seharusnya pertempuran sengit sudah berlangsung di
saat ini?"
"Benar."
Cahaya api sudah padam, yang tersisa di alam jagad
hanya kabut yang sangat tebal.
Cong Hoa berjalan keluar dari rumah kayu itu,
mengunci kembali pintu depan. Dalam bopongannya
terlihat sebuah peti besi yang sudah berkarat.
Tiada suara ataupun sesuatu yang aneh diseputar
hutan bunga Bwee, air masih mengalir tenang, bunga
bwee masih bergoyang dipermainkan angin.
Kabut yang tebal pun masih menyelimuti seluruh
jagad. Dengan langkah perlahan Cong Hoa melalui tepi
sungai, berjalan masuk ke tengah hutan bunga bwee.
Tiba tiba... setitik cahaya terang seolah sedang
bergoyang dibalik permukaan air, seakan berkilauan
dari ujung selokan sana.
....... Aneh, darimana munculnya cahaya berkilauan
itu" Dalam suasana dan situasi semacam ini, darimana
munculnya sinar itu"
Tampaknya Cong Hoa tidak menyadari akan
munculnya setitik cahaya terang itu, dia masih
melanjutkan perjalanannya memasuki hutan bunga
bwee. Kabut yang menyelimuti hutan itu semakin pekat,
sedemikian tebalnya hingga susah melihat ke lima jari
tangan sendiri, tapi Cong Hoa masih melanjutkan
langkahnya, berjalan menelusuri jalan setapak dalam
hutan. Dimana ada tikungan, dia pun berbelok, di mana ada
batu yang menghadang, dia pun jalan berputar.
Dia masih berjalan terus menembusi kabut ditengah
hutan, langkahnya begitu mantap dan tenang seakan
sedang berjalan di dalam rumah sendiri, biar tanpa
lampu pun hapal diluar kepala.
Suasana makin hening, makin sepi. Cong Hoa
berjalan terus menembusi keheningan.......
Mendadak terdengar suara aneh berkumandang dari
balik tebalnya kabut, suara yang amat ringan, amat
lembut, langsung mendekati kepala Cong Hoa.
Sedemikian lembut dan lirihnya suara itu membuat
orang tidak menaruh perhatian, tapi Cong Hoa segera
mendengarnya, dengan penuh kewaspadaan dia
mendongakkan kepalanya.
Kecuali kabut, di udara tiada benda lain, dia sama
sekali tidak menjumpai sesuatu apa pun.
Cong Hoa segera melejit ke tengah udara,
menerobos kabut langsung menghampiri sumber
berasalnya suara itu.
Baru saja tubuhnya melejit ke udara, mendadak dari
sisi kirinya berkumandang suara desingan angin tajam,
"Sreeet!" menyusul kemudian muncul segumpal bola api
yang langsung menerjang tempat di mana Cong Hoa
berdiri tadi, lalu terlihatlah semburan api yang sangat
ganas membakar sekeliling tempat itu.
Gumpalan demi gumpalan api itu membara
membakar apapun yang dijumpai, lingkarannya pun


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makin lama menyusut makin mengecil, akhirnya
gumpalan api yang paling atas membakar persis
ditempat Cong Hoa berdiri tadi.
Rupanya berapa puluh lingkaran bola api itu
membentuk sebuah kerucut yang pada ujungnya persis
menghimpit tempat dimana Cong Hoa berada tadi.
Sewaktu tubuh Cong Hoa melambung ke udara tadi, dia
segera menyaksikan datangnya bola api tersebut, maka
ketika api mulai membakar, dia pun melayang turun
kembali ke bawah.
Kenapa dia harus melayang turun" Kenapa
bukannya menyingkir ke tempat lain"
Sebetulnya Cong Hoa ingin menyingkir ke tempat lain,
tapi tatkala tubuhnya melejit ke udara tadi, kepalanya
segera menyentuh ujung sebuah lingkaran tali yang
sudah menghadang diatasnya.
Begitu menyentuh ujung tali, dia pun sadar tiada
harapan lagi baginya untuk menerobos keluar dari situ,
sebab lingkaran tali itu merupakan sejenis rotan yang
tumbuh di seputar wilayah Biau, bila kulit rotan diambil
kemudian direndam dalam arak selama delapan kali
delapan, enam puluh empat hari, maka tali yang
terbentuk akan ulet dan sangat alot.
Tali jenis ini bukan saja susah dipotong dengan golok
maupun pedang, lagipula tahan dibakar. Sekali kau
sudah terjerat tali jenis ini, biar meronta dengan cara
bagaimana pun jangan harap bisa terlepas dengan
gampang. Maka bila kau yang dihadapkan situasi
seperti apa yang dialami Cong Hoa sekarang, hanya
ada satu jalan yang bisa ditempuh membiarkan
tubuhmu terbakar hangus oleh kobaran api dahsyat itu.
Api makin lama berkobar makin membesar, lingkaran
yang terbakar pun kian lama kian bertambah ciut.
Tampaknya sebentar lagi tubuh Cong Hoa akan
terbakar hangus, tapi dia sama sekali tidak gelisah.
..... Aneh kalau orang tidak gelisah dalam keadaan
seperti ini. Dia tengok ke sekeliling tempat itu, memeriksa
apakah ada peluang untuk melarikan diri. Ternyata tidak
ada. Setitik peluang pun tidak dijumpai.
Kobaran api yang membara dibalik tebalnya kabut
seakan datang dari neraka!
Cahaya api yang memancar dari balik lampu kristal
amat cerah, tidak heran seluruh ruangan terang
benderang. Mengawasi bara api dibalik lentera Nyoo Cing
berkata lirih, "Seandainya melakukan sergapan secara
tiba-tiba, entah cara apa yang mereka pergunakan?"
Tay Thian berpikir sejenak, kemudian sahutnya, "Kait
perpisahan merupakan senjata yang diincar
perkumpulan Cing-liong-hwee, mereka bersumpah akan
mendapatkan benda tersebut dengan cara apapun,
meski Cong Hoa hanya seorang gadis, tapi hingga kini
belum seorang manusia pun pernah menyaksikan
kepandaian sesungguhnya yang dia miliki, semisal aku
harus bertarung melawannya, terus terang, aku
sendiripun agak takut."
Dia tatap wajah Nyoo Cing sekejap, kemudian
lanjutnya, "Andaikata Cing-liong-hwee bertekad ingin
mendapatkan benda tersebut, aku yakin cara yang
digunakan pasti dapat membuat Cong Hoa kaget
setengah mati."
Disambut dengan kobaran api yang membara
memang cukup membuat Cong Hoa terperanjat.
Lingkaran api yang makin lama makin mengecil
membuat Cong Hoa merasakan hawa panas yang
menusuk tulang, lamat lamat diapun mulai mengendus
bau hangusnya rambut.
Nyoo Cing menghembuskan napas panjang,
berpaling memandang kegelapan malam yang
membentang di angkasa.
"Aku sangat menikmati manusia macam Cong Hoa,"
katanya sambil tertawa, "Dalam banyak hal, dia mirip
sekali dengan diriku."
Tay Thian tidak menjawab, dia tahu Nyoo Cing pasti
akan melanjutkan perkataannya.
"Perasaan hatiku sekarang seolah seperti
memperoleh sesuatu tapi terasa pula seakan kehilangan
sesuatu," dia tertawa lebar, "Aku harap sambutan yang
diberikan Cing Liong Hwee kali ini tidak membuat dia
tersiksa."
Cong Hoa bersumpah dalam hati kecilnya, lain kali
dia tidak akan sudi makan ikan panggang lagi, sekarang
dia baru tahu bagaimana rasanya kalau menjadi ikan
panggang. Berapa bagian bajunya sudah mulai terbakar, buruburu
dia memadamkannya. Dengan tangan sebelah
membopong peti besi, tangan yang lain memadamkan
jilatan api, gerak-geriknya betul betul sangat tidak
leluasa. Peti besi.
Mendadak Cong Hoa teringat dengan peti besi yang
berada dijepitannya, menyusul kemudian sekulum
senyuman menghiasi bibirnya, senyuman yang disertai
air mata. Begitu senyuman mulai menghiasi bibirnya, dia sudah
mengangkat peti besinya tinggi-tinggi, melampaui
kepalanya, kemudian tubuhnya ikut menerjang ke atas,
menerjang ke ujung lingkaran api itu.
Ketika peti besi itu membentur ujung lingkaran api,
Cong Hoa pun menembus keluar dari kepungan api itu
sambil meluncur ke arah lain. Tubuhnya dengan
membawa kobaran api langsung terjun ke dalam sungai
yang penuh berisi air.
"Cessss....!" diiringi suara desisan panjang, asap putih
mengepul keluar dari permukaan sungai, gelembung air
pun bermunculan diseputar permukaan.
Tidak selang berapa saat kemudian Cong Hoa telah
muncul kembali dari dasar sungai, menarik napas
panjang dan menggeleng dengan penuh kepuasan.
"Lo Kay-sian memang keji, dia sukanya memanggang
ikan." Cong Hoa menggunakan tangannya memeras
rambutnya yang basah kuyup, ketika sudah agak
mengering dia baru berjalan menuju ke tepi sungai.
Baru berjalan tiga langkah, rasa sakit mendadak
muncul diwajah Cong Hoa, diikuti kemudian kaki kirinya
menekuk ke depan, darah segar segera berhamburan
membasahi permukaan air.
Dia menggertak gigi kuat kuat, kaki kanannya
menjejak dan tubuhnya segera melompat ke tepi
sungai. Tampak sesosok bayangan manusia mengikutinya
dari balik sungai, sebuah golok panjang model Jepun
berada dalam genggamannya, kini golok tersebut
sedang menyapu ke pinggang Cong Hoa.
Begitu menyentuh pinggir sungai, Cong Hoa segera
menggelinding ke depan, meloloskan diri dari babatan
maut itu. Orang itu tidak tinggal diam, dengan tangan kiri
menahan diatas permukaan, tangan kanan
menggenggam golok, dia berdiri dengan kaki kiri
setengah berjongkok, sepasang matanya mengawasi
gadis itu lekat-lekat.
Dengan cepat Cong Hoa menjumpai sebuah luka
memanjang membekas di kaki kirinya, darah masih
mengalir keluar dengan derasnya.
Dari dandanan dan gerak-gerik sang pembunuh, dia
segera tahu kalau orang itu adalah seorang ninja dari
negeri Hu-Siang (Jepang).
"Jangan-jangan dia adalah salah satu ninja dari
negeri Hu-Siang yang tersohor dengan ilmu "membunuh
dalam air" nya?" pikir Cong Hoa dalam hati, "aneh,
kenapa aku belum pernah mendengar kalau di daratan
Tionggoan pun ada orang yang berhasil mempelajari
ilmu sesat dari negeri manusia kate itu?"
Cong Hoa menggigit bibir menahan rasa sakit yang
luar biasa, berhadapan dengan musuh tangguh, dia
tidak berani bersikap gegabah.
Gegabah berarti kematian, maka sambil menatap
tajam ninja itu, tegurnya, "Kau datang dari negeri Hu-
Siang?" "Benar!" jawabannya sama dinginnya dengan wajah
ninja tersebut.
"Siapa namamu?"
"Thian-hong Capsi-long!"
"Thian-hong Capsi-long?" seru Cong Hoa terperanjat.
Dulu di dalam dunia persilatan kedatangan seorang
ninja yang berasal dari lembah Giho di negeri Hu-Siang,
dia datang ke daratan Tionggoan dengan mengajak
kedua orang putranya, mula-mula dia menantang ketua
Kay-pang untuk berduel, tapi akhirnya terhajar sebuah
pukulan. Menyusul kemudian diapun menantang ketua
Siau-lim-pay, Thian-hong thaysu untuk berduel.
Ninja tersebut mengaku bernama Thian-hong Capsilong.
"Tiga puluh tahun berselang pernah muncul seorang
ninja yang sangat hebat dan tiada tandingan,
cianpwee kah ninja tersebut?" tanya Cong Hoa sambil
menatap tajam ninja itu.
"Benar."
"Boleh tahu apa maksud kedatangan cianpwee
pada malam ini?"
"Untuk menagih hutang sebuah pukulan tinju dan
sebuah pukulan telapak tangan di masa lalu."
"Sayang Jin locianpwee dan Thian-hong Thaysu
sudah wafat, harapan cianpwee sulit untuk terpenuhi."
"Tidak perlu mereka berdua!"
"Tidak perlu mereka berdua?"
"Benar, kau bisa mewakili mereka berdua."
Cong Hoa melengak tapi segera tertawa lebar.
"Sayang hari ini aku ada urusan penting hingga tidak
bisa memenuhi harapanmu, lain waktu saja kita bertemu
kembali," katanya.
Mendadak Thian-hong Capsi-Long mendongakkan
kepalanya dan tertawa seram, suaranya nyaring dan
memekik telinga, membuat bunga bwee yang tumbuh
disekeliling tempat itu berguguran ke tanah.
Kembali Cong Hoa tercengang, dia tidak mengerti
apa yang sedang ditertawakan"
"Apa lain waktu bertemu lagi?" jengek ninja itu sambil
tertawa seram, "ketika termakan sebuah jotosan dan
sebuah pukulan telapak tangan dulu, aku pulang ke
negeri Hu-Siang dengan membawa malu, aku
bersumpah ketika muncul lagi di daratan Tionggoan,
aku pasti akan menghajar sebelas ribu seratus orang."
Kemudian sambil menatap tajam wajah Cong Hoa
dengan sorot mata setajam pisau lanjutnya, "Kau
adalah orang ke delapan puluh tiga."
"Kau adalah orang ke delapan puluh tiga."
Begitu ucapan tersebut selesai diucapkan, terlihat
sekilas cahaya tajam meluncur keluar dari bawah ketiak
kiri ninja itu.
Cong Hoa merasa cahaya tajam yang amat
menyilaukan mata melintas dihadapannya, sekilas
cahaya perak seperti paruh burung elang telah muncul
persis dihadapannya dengan kecepatan bagaikan
sambaran petir.
Dengan cepat dia memutar tubuhnya sambil
bergeser tujuh kaki dari posisi semula, siapa tahu cahaya
perak tersebut seakan mempunyai mata, bagaikan
bayangan tubuh saja segera ikut bergeser pula ke
samping. Cong Hoa menjejakkan kakinya bergantian,
bayangan tubuh berkelebat lewat, beruntun dia
menghindar sebanyak tujuh kali, tapi cahaya perak itu
ibarat bintang ditengah malam buta, mau dihindari
dengan cara apapun tetap mengikutinya.
Mendadak Cong Hoa menggerakkan tangan
kanannya ke muka, dari kiri berputar ke kanan
membetuk sebuah garis lingkaran, dari balik gerak
melingkar yang dibentuk tahu-tahu melesat keluar dua
titik cahaya bintang berwarna gelap.
"Criiing!" cahaya perak yang menyelimuti angkasa itu
tahu-tahu hilang lenyap tidak berbekas.
"Kurang ajar! Tidak nyana kau berhasil
menghancurkan ilmu gulungan maut ku!" umpat ninja itu
penuh amarah, "Hmmm! Bagus, sekarang rasakan
kehebatan ilmu ketulusan hatiku!"
Ninja itu membalikkan tubuhnya sambil mengayunkan
tangan, selapis kabur asap berwarna ungu bagaikan
gulungan ombak samudra langsung menghantam ke
arah Cong Hoa. Dibalik tebalnya asap kabut itu terselip setitik cahaya
bintang berwarna ungu. Begitu kabut ungu meliputi
udara, tubuh Cong Hoa segera mundur ke belakang
kemudian melejit ke tengah udara.
"Blaaamm!" ledakan dahsyat menggelegar di
angkasa, bagaikan petir yang menyambar bumi, asap
ungu itu dengan cepat menyebar ke empat penjuru.
Sebatang pohon bwee yang tumbuh persis di
belakang Cong Hoa seketika hancur berkeping-keping,
hanya dalam waktu yang amat singkat pohon itu layu
kemudian mati, putik bunga yang semula putih
bagaikan salju kini berubah jadi kuning layu.
"Waaah, ternyata ilmu membunuh yang dimiliki kaum
ninja memang mengerikan hati!" pekik Cong Hoa
terperanjat. Tiba-tiba dari balik mata ninja itu terpancar keluar
cahaya seperti gembira, seperti juga berduka, dia tatap
wajah Cong Hoa tanpa berkedip. Lambat laun cahaya
mata itu memancarkan sejenis sinar yang aneh, seolah


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

olah mengandung daya hipnotis yang mengerikan.
Biarpun senyuman masih menghiasi ujung bibir Cong
Hoa, namun secara diam diam dia tingkatkan
kewaspadaannya, tanpa berkedip dia awasi terus golok
samurai yang berada di tangan ninja itu.
Samurai yang sudah terangkat melampaui alis mata
perlahan lahan diangkat tegak lurus keatas, tangan
kirinya ditempelkan diatas gagang samurai lalu sambil
menggenggam, mengerahkan tenaga, dia memutar
senjatanya secepat kilat.
Cahaya hijau yang menusuk tulang segera terpancar
keluar dari tubuh samurai itu.
"Inikah jurus Eng-hong-it-to-cian (menyongsong angin
sekali tebasan)?" tanya Cong Hoa dengan kening
berkerut. "Benar," ninja itu menyeringai seram, "Jurus Eng-hongit-
to-cian merupakan seluruh inti sari dari ilmu pedang
yang ada, begitu serangan dilancarkan, korban pasti
tewas mengenaskan."
Mata samurai telah tertuju ke arah Cong Hoa,
dengan sorot mata siluman ninja itu awasi lawannya
tajam-tajam. Cahaya samurai dan sinar matanya telah
mengepung sekujur tubuh Cong Hoa.
Samurai sama sekali tidak bergerak, biar tidak
bergerak namun hawa membunuh yang ter
Kisah Sepasang Rajawali 7 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Hikmah Pedang Hijau 8
^