Kisah Pedang Bersatu Padu 1

Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt Bagian 1


"Kisah Pedang Bersatu Padu (Liang Kiam Hong In)
(Lian Kiam Hong In)
Karya : OKT (Oey Kim Tiang)
I. Kabar penting
Kira-kira jam tiga pagi ketika sang Puteri Malam, yang sudah doyong ke arah barat, masih menyinari sebuah bangunan yang berukiran dengan jendela-jendela hijau dan pintu-pintu merah indah. Sang malam pun sunyi sekali. Gedung itu ialah yang dikenal sebagai Kunmahu, gedung menantu Bhok Kokkong.
Malam sudah larut demikian rupa akan tetapi sampai itu waktu di dalam istana itu, di atas loteng. Ada seseorang yang masih belum tidur, dia bahkan " sambil menyender kepada loneng"tengah memandangi sebilah pedang dengan pikirannya bergelombang.
Siapakah dia"
Tak lain tak bukan, dialah Kunma, menantu yang manis, dari Bhok Kokkong ialah Tiat Reng Sim.
Keluarga Bhok itu bertugas melindungi keselamatan dan kesejahteraan propinsi Inlam, sebuah wilayah ditapal batas, dan telah turun temurun kedudukannya adalah sebagai kokkong atau hertog.
Semenjak Kaisar Beng Thaycouw yang bernama Cu Goan Ciang, Bhok Eng telah ianugerahkan gelaran raja muda Kimleng Ong, lalu puteranya, yang menjadi generasi kedua, memperoleh gelaran kokkong itu, terus turun temurun. Hingga tiba pada okkong yang sekarang ini, sudah berjalan tujuh turunan. Hertog yang sekarang bernama Cong dan ia memangku pangkatnya itu sudah dua puluh tahun.
5 Bhok Cong telah berulangkah mendirikan jasa, hingga
dia dihargakan rajanya. Sebab raja pun hendak
mengambil hatinya, walaupun kedudukannya sebagai
hertog belum dinaiki, disebabkan leluhurnya pernah
menjadi raja muda (ong), dia diperkenankan
menggunakan tata cara sebagai raja muda itu.
Bhok Cong ini mempunyai dua orang anak, satu lakilaki,
satu lagi wanita. Sang putera diberi namaLin, dan
sang puteri, Yan. Dan Tiat Keng Sim telah menikah sama
Bhok Yan. Maka itu. menurut tata krama kaum pangeran
(ong), dia menjadi kunma.
Adalah wajar, siapa menjadi kunma. mestinya dia
berbahagia sekali. Dia berkedudukan mulia, makan
pakainya melebihkan segala kecukupan. Bahkan untuk
Keng Sim ada kelebihannya lagi, ialah isterinya cantik
dan sangat menyinta padanya. Kenyataannya tapinya
tidaklah demikian. Dia merasakan suatu kekurangan dan
karenanya dia seperti kehilangan kegembiraannya.
Kenapakah" Adakah dia mencelah isterinya"
Tidak! Bhok Yan cantik dan manis bagaikan bidadari, ia
mengerti ilmu surat dan ilmu silat, ia sembabat bila
dibanding sama Keng Sim. Sifat mereka pun hampir
bersamaan. Dapat mereka menabu khim di bawah sinar
rembulan atau main catur di ranggon mereka, ataupun
bersama-sama melukis gambar di dalam taman. Lebih
daripada itu, mereka pun saling menyintai. Tapi justeru
segala kecukupan itu, semua penghidupan yang manis
itu, yang mengganggu hatinya. Ia merasa, oleh karena
hidup bahagia dan mewah itu, hidup tenteram tetapi
6 menganggur, cita-citanya yang luhur, semangatnya yang
menyala-nyala seperti mendapat rintangan.
Demikianlah seorang diri itu, di malam yang indah
tetapi sunyi itu, ia seperti menggadangi si Puteri Malam.
Ia pun mengawasi pohon-pohon bunga. Sambil
menghela napas, ia berkata seorang diri: "Dengan tahun
ini maka sudah tujuh musim semi aku lalui di dalam
istana Kunmahu ini... Selama tujuh tahun itu, kecuali
membuat syair dan karangan, ada apakah lagi?"
Maka terkenanglah ia kepada masanya ia masih
merdeka, bagaimana ia mundar-mandir dalam dunia
kangouw, bagaimana itu menggembirakannya.
Tengah ia ngelamun itu, tiba-tiba di otaknya
berbayang wajahnya seorang nona. Maka menyeringailah
dia. Katanya di dalam hatinya: "Sin Cu menyamakan aku
dengan bunga mawar di Kanglam. Sekarang ini benar
bukannya di Kanglam. tetapi dengan berdiam di dalam
istana kokkong. bukankah aku seperti bunga mawar
juga?" Masih kunma ini ngelamun tatkala ia merasakan
hidungnya mengendus bau yang harum, hingga dengan
sebat ia memutar tubuhnya, berbalik ke belakang, karena
dari belakang datangnya bau semerbak itu. Maka itu
melihatlah ia isterinya. yang berdiri dengan wajah
tersenyum manis serta mata mengawasi kepadanya.
"Ah, adik Yan," ia menanya, "kenapa kau masih belum
tidur?" Bhok Yan tertawa.
"Karena aku memikirkan kau!" sahutnya, bunga
hatinya. "Sekarang sudah jam tiga, mengapa kau masih
7 menggadangi rembulan" Eh ya, apakah kau mendapat
suatu ilham untuk membuat sebuah syair yang indah?"
Keng Sim menyeringai.
"Selama yang belakangan ini aku merasakan
kemunduranku," ia menyahut. "Apa yang telah aku tulis,
aku sendiri melihatnya muak. Mana bisa aku mendapat
ilham?" Bhok Yan mengawasi suaminya itu.
"Keng Sim, adakah sesuatu yang kau pikirkan?"
tanyanya sesaat kemudian. Ia menghela napas perlahan.
"Ada kau yang menemani aku seumur hidupku, ada
apa lagi yang membuatnya aku tidak puas?" si suami
balik menanya. Bhok Yan masih mengawasi, tajam. Ia tertawa.
"Keng Sim, jangan kau dustai aku!" katanya.
"Adik Yan, siapa... siapakah yang tidak mengagumi
kita sebagai keluarga yang sangat berbahagia?" tanya
Keng Sim. "Aku... aku mana mempunyai pikiran lain?"
Isteri itu tertawa.
"Keng Sim, kau salah mendengar aku!" katanya. "Aku
bukannya membilang hatimu berubah. Hanya selama
beberapa tahun ini. kau ada sangat kesepian. Cuma ada
aku seorang yang menemani kau. cuma aku seorang
yang dapat berbicara denganmu... Tanpa kau
mengutarakannya, aku sudah tahu kesepian dalam
hatimu itu. Kau tunggu sampai lewat hari raya Cengbeng
nanti, aku akan menemani kau pergi ke Tali, untuk
pesiar, di sana kau nanti dapat pasang omong dengan
8 guruku sekalian kau mencari tahu tentang sahabatsahabatmu."
Kiamkek. yaitu ahli pedang, nomor satu di jaman itu,
Thio Tan Hong, pernah mengajarkan ilmu silat selama
tiga bulan kepada Bhok Yan, benar ia tidak diterima
resmi sebagai murid, tetapi puteri pangeran itu selalu
memanggil guru kepada gurunya itu. ia menyebut guru
baik di depan maupun di belakang, Tan Hong menjadi
Tayhiap, orang gagah dan penyinta negara juga, akan
tetapi waktu itu, kedudukannya beda daripada yang
sudah-sudah. Saking terpaksa, pernah ia mengacau di
istana hingga karenanya dia hendak ditawan raja, karena
mana, disebabkan tak dapat menaruh kaki lagi di
Kanglam, dia pergi ke Tali di mana dia menetap di
gunung Chongsan. Ketika itu wilayah Tali berada di
bawah kekuasaannya Toan Teng Chong, kepala suku
Pek. Namanya saja Teng Chong menghamba kepada
kerajaan Beng, nyatanya ia berdiri sendiri. Tan Hong
bersahabat kekal dengan Teng Chong, dia tinggal di
Chongsan itu, sebenarnya, atas permintaannya "raja" Tali
itu. Keng Sim ketahui baik tentang Thio Tan Hong itu,
makajuga hatinya bercekat mendengar perkataan
isterinya itu, hingga ia mau menduga apa isteri itu
tengah memancing jawabannya. Ia berdiam sekian lama,
baru ia menyahuti.
"Thio Tayhiap itu tak bergaul rapat dengan aku,"
jawabnya bersenyum. "Laginya. ayahmu menjadi
kokkong yang melindungi wilayah Inlam ini. dari itu
kuranglah bagus kalau kita berkunjung ke Tali. Tentang
pesiar ini baiklah belakangan saja kita bicarakan pula."
9 Di mulut Keng Sim mengatakan demikian, di hatinya ia
berpikir lain. Tak dapat dicegah yang pikirannya itu
melayang pada peristiwa tahun dulu itu di kaki gunung
Chongsan atau di telaga besar yang dinamakan
"laut" Ji May Di telaga itu, pada suatu malam terang
bulan, ia telah bermain perahu bersama-sama Sin Cu.
Seng Lim dan lainnya. Adalah di malam itu yang ia
memperoleh kenyataan Sin Cu diam-diam menyintai
Seng Lim sedang Nona Bhok Yan jatuh hati kepadanya.
"Aku tahu kau tidak puas," berkata pula Bhok Yan
sambil tertawa. "Aku tahu guruku itu sangat menghargai
Yap Seng Lim. sebaliknya dengan kau ia kurang
perhatian. Sebenarnya mana dapat Seng Lim nempil
denganmu" Seruas syair pun belum tentu ia mengerti"
Aneh adalah enci Sin Cu, ia bolehnya penujui dia!"
Keng Sim merasakan kulit mukanya panas dan hatinya
berdenyutan. Biasanya, kalau ia bicara sama Bhok Yan,
ia selalu menjauhkan diri dari pembicaraan mengenai Sin
Cu. tak ingin ia menyebut namanya Nona Ie, siapa tahu
kali ini bicara hal niat pesiar ke Tali itu. justeru Bhok Yan
yang menyebutkannya. Tapi hatinya lega juga melihat
isteri itu bicara wajar, bukannya dengan niat
menyinggung atau mengejek padanya.
"Sesuatu orang ada jodohnya sendiri." ia menyahut
sembarangan. "Benarkah itu?" tanya Bhok Yan bersenyum. Ia
berhenti sebentar, lalu ia menambahkan. "Sayang enci
Sin Cu tidak berada di Chongsan. Kabarnya, habis
menikah, ia turut suaminya pesiar tanpa tujuan, bahkan
sampai sekarang ini belum ketentuan tempat tinggalnya
lagi juga tidak ada kabar ceritanya Kau tahu. pada bulan
10 yang lalu adik Lin telah pergi secara diam-diam ke Tali.
untuk menemui suhu, baru beberapa hari yang lalu ia
kembali. Aku belum sempat menanya dia, hingga belum
diketahui ia dapat mendengar kabar atau tidak tentang
enci Sin Cu itu."
Baru si nyonya menutup mulutnya, atau terlihat
datangnya seorang ke arah mereka dan datangnya
secara tergesa-gesa.
Keng Sim dapat melihat orang itu, ia tertawa.
"Baru kita menyebut Co Coh atau Co Coh telah
datang!" katanya. "Kau lihat, apakah itu bukannya adik
Lin?" Bhok Yan heran.
"Tengah malam buta rata dia datang ke mari. apakah
perlunya?" bilangnya.
Yang datang itu benar Bhok Lin. Setibanya di taman,
ia lantas berlari-lari naik ke loteng. Pula segera terdengar
suaranya yang nyaring, yang penuh dengan
kegembiraan: "Enci! Cihu! Ada warta sangat penting
untukmu!" "Memang biasa kau berisik tidak keruan!" kata Bhok
Yan sang enci, tertawa. "Ah sampai kapankah kau bisa
buang tabiatmu yang kekanak-kanakan ini?"
Mukanya Bhok Lin bersemu merah.
"Kali ini aku tidak mendustai kau, enci!" katanya rada
jengah. "Inilah benar satu kabar sangat penting yang di
luar dugaan!"
"Apakah ayah telah menegurmu?" tanya Bhok Yan.
11 "Enci, kau selamanya suka menggoda aku!" kata sang
adik, tidak puas.
"Kau mencuri pergi ke Tali, apakah ayah tidak
memarahi kau?"
"Memang ayah tidak senang tetapi ia tidak mengatai
aku. Apakah enci kira aku tetap bocah cilik" Sudah, enci,
jangan kau, memotong perkataanku. Kabar ini benarbenar
kabar sangat penting."
Bhok Yan tertawa.
"Nah kau bilanglah, kabar sangat penting bagaimana
itu!" "Kabar sangat penting, sangat besar, hingga
menggemparkan dunia!"
Kakak itu menjadi ragu-ragu.
"Mari masuk, duduk di dalam!" ia panggil adiknya itu.
"Baik, sekarang kau bicaralah, hendak aku mendengar,
kabar apa itu yang menggemparkan dunia..."
"Enci tahu, raja yang sekarang telah wafat pada bulan
yang baru lalu," Bhok Lin memberitahu.
Mendengar itu, Bhok Yan tertawa geli.
"Matinya seorang raja, apakah artinya?" katanya. "Itu
bukanlah kejadian sangat penting, tak usah kau
kelabakan tidak keruan!" Tapi ia menoleh kepada
suaminya dan membilang: "Hanya kalau kabar ini sampai
kepada enci Sin Cu. dia tentulah akan bergirang luar
biasa." Ayah Sin Cu adalah Ie Kiam, menteri yang pintar, setia
dan berjasa, pernah dia menolongi kerajaan Beng dari
12 keruntuhan, tetapi bukan raja menghargai jasanya itu ia
justeru dihukum mati. Inilah sebabnya kenapa Bhok Yan
mengatakan demikian.
Mukanya Bhok Lin merah.
"Enci, kau belum mendengar habis omonganku!" ia
menegur. "Nah, kau bicaralah!" kata enci itu, acuh tak acuh. la
mengeringi cawan tehnya.
"Setelah raja wafat, putera mahkota segera naik di
singgasana kerajaan," sang adik berkata pula,
meneruskan kabar yang dia katakan sangat penting itu
hingga menggemparkan dunia. "Putera mahkota ini,
sebagai raja baru, lantas mengubah tahun kerajaan
menjadi tahun Senghoa, maka mulai tahun ini ialah
tahun Senghoa yang pertama."
Bhok Yan menganggap kabar itu sangat lucu hingga ia
kesimpatan air tehnya, yang ia terus semburkan, sembari
tertawa, dia berkata: "Kalau raja yang lama wafat, sudah
tentu mesti ada raja yang baru yang naik di tahta,
setelah raja yang baru naik di tahta, sudah tentu dia
akan mengubah nama tahun kerajaannya. Nah, apakah
yang aneh dengan kabarmu yang sangat penting ini"
Sebenarnya apakah yang menggemparkan dunia?"
"Tapi aku belum bicara habis enci!" sang adik berseru.
"Jikalau kau tetap main potong omonganku, aku tidak
hendak bicara lagi!..."
Sang enci menukar lain cawannya, ia menghirup pula


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tehnya itu. 13 "Adikku, apakah aku tidak kena menyembur bajumu
hingga basah?" katanya. "Baiklah, aku tidak akan
memotong lagi omonganmu. Hayo. kau bicara, kau
bicaralah!"
"Tentang raja yang baru naik di tahta, kabarannya
baru kemarin sampai di sini," Bhok Lin melanjuti.
"Tempat kita ini jauh di selatan, di tapal batas,
jalannya banyak gunungnya dan sangat sukar,
perhubungan jadi sulit," menjelaskan Bhok Yan. "Kabar
dari kota raja sampai di sini dalam tempo satu bulan
lebih, itu pun sudah lekas sekali."
"Aku bukan bicara dari hal kecepatan," kata adik itu.
"Kau dengar!"
"Memangaku mendengari!" sang kakak tertawa.
"Kau benar, enci, akan membilang perjalanan sukar
dan sulit, tetapi aku tidak maksudkan itu. Aku hanya mau
mengatakan, di Tionggoan sendiri, pelbagai propinsi
telah menerima pelbagai laporan."
"Itulah wajar. Semua propinsi itu, setiap gubernurnya,
ada mempunyai wakilnya di kota raja, Pakkhia. Bahkan
mungkin, sebelum tibanya laporan resmi, mereka sudah
mengetahui terlebih dulu. Mereka dapat mengirimkan
kabar istimewa cepat."
"Benar! Satu hari kaisar, satu hari menteri! Siapakah
yang tidak hendak mendapat muka dari rajanya yang
baru" Demikian, begitu maklumat diumumkan, gubernur
pelbagai propinsi sudah lantas berlomba mengirimkan
pemberian selamat mereka serta bingkisan pula.
bingkisan yang mereka mengumpulinya dengan susah
14 payah, dalam rupa barang-barang berharga atau batu
permata." Bhok Yan mengangguk.
"Itu pun sudah wajar," ia membenarkan. "Tak usahlah
itu dibuat heran."
"Tak usah dibuat heran?" kata Bhok Lin, separuh
berseru. "Justeru di sinilah keheranannya! Semua
bingkisan dari pelbagai propinsi itu, sebelumnya semua
tiba di kota raja. sudah kena orang rampas!"
Bhok Yan terperanjat.
Keng Sim berdiam saja semenjak tadi, ia cuma
bersenyum-senyum menontoni itu kakak dan adik
mengadu mulut, akan tetapi, mendengar kata-kata yang
paling belakang ini, ia pun terperanjat.
"Begitu?" ia bertanya.
Bhok Lin menunjuki romannya sangat puas. Ia sudah
menang! "Nah. bilanglah, apakah ini bukannya urusan sangat
besar yang menggemparkan dunia?" ia tanya. "Sampai
sebegitu jauh yang telah diketahui, bingkisan yang telah
dirampas itu ada barang-barang dari sembilan propinsi
Shoasay, Siamsay. Kamsiok, Hoolam, Hoopak. Shoatang,
Ouwpak, Anhui dan Ciatkang. Yang dari lain-lain propinsi
masih dalam perjalanan, apa semua itu juga telah
dibegal atau tidak, masih belum diketahui..."
"Siapakah perampas itu?" tanya Keng Sim, "Adakah
dia pria atau wanita?"
"Tentang pria atau wanita, inilah tidak jelas bagiku.
Warta itu datangnya dari kota raja, di kirim sebagai
15 warta kilat yang dinamakan 'kaburnya kuda delapan
ratus li.' Maka juga warta itu tiba berbareng sama
maklumat naik di tahtanya raja yang baru. Yang
dicurigakan pemerintah ialah guru kita, karena mana
ayah telah diberikan titah rahasia untuk secara diamdiam
menyelidiki gerak-gerik suhu, terutama untuk dicari
tahu, benar atau tidak suhu telah meninggalkan Tali.
Pada setengah bulan yang lalu itu aku masih melihat
suhu di Chongsan. kalau dihitung-hitung dengan saatnya,
terang sudah ada hadiah dari beberapa propinsi yang
kena dirampas, dengan begitu nyatalah perampasan itu
bukan pekerjaan suhu. Karena itu aku telah
memberitahukan ayah agar ayah tak usah mencapaikan
hati lagi menyelidikinya suhu. Memang aku mencuri pergi
ke Tali tanpa perkenan ayah, akan tetapi kebetulan
sekali, aku jadi dapat memberikan keterangan yang
berarti, dari itu walaupun ayah tidak puas. ayah toh tidak
menegur atau mendamprat aku."
Bhok Lin berhenti sebentar, lalu dia menambahkan:
"Gubernur dari Hoolam, Hoopak, Shoatang dan Ciatkang
adalah sahabat-sahabat ayah, mereka itu pun pada
mengirimkan kabar kilat, kabaran mereka itu terlebih
jelas daripada kabar dari pihak pemerintah itu. Hadiah
dari Siamsay, Shoasay dan Kamsiok, dirampasnya di
Louwkauwkio. Hadiah-hadiah dari Shoatang. Hoolam dan
Hoopak, dibegalnya di Pootong. Dan hadiah dari
Ciatkang, Ouwpak dan Anhui, dikerjakannya di Cio
keechung. Dalam tempo tiga hari, dan di tiga tempat
berbareng, telah dilakukan perampasan atas barangbarang
dari sembilan propinsi itu, maka kabar dari semua
kejadian itu tidak melainkan membikin gempar kota raja
16 juga membuatnya semua gubernur dari pelbagai propinsi
itu jadi kaget dan kelabakan, bingung bukan buatan!"
Bhok Yan tertawa cekikikan.
"Apakah kau melihatnya sendiri mereka kelabakan,
bingung bukan buatan?" ia menanya, menggoda.
"Sungguh hebat caramu bicara ini!"
Bhok Lin tidak mengambil mumat yang ia digodai, la
hanya kata: "Aku berada di kamar tulis ayah, aku
melihatnya sendiri ayah mundar-mandir seraya menghela
napas panjang pendek. Ayah mengatakan, karena raja
baru naik di tahta, hadiah itu ialah hadiah yang tak dapat
ditiadakan, bahkan kita. yang menjadi kokkong turun
temurun. sudah layaknya kita mengirim hadiah yang
terlebih banyak daripada propinsi-propinsi lainnya. Tetapi
telah terjadi perampasan itu, ayah menjadi bingung
sekali. Bagaimana kalau hadiah kita pun dibegal di
tengah jalan" Maka kau lihat, enci, apakah aku omong
berlebihan" Ayah pernah mengalami pelbagai ancaman
bencana, ayah toh masih berkuatir. apalagi itu segala
gubernur, bagaimana mereka tidak menjadi kelabakan
dan bingung bukan buatan?"
Sang kakak itu tertawa pula. "Agaknya kau girang
akan ancaman bahaya itu?" katanya.
Sementara itu, Keng Sim berpikir: "Memang inilah
kabar penting yang menggemparkan dunia. Pada sepuluh
tahun yang lalu Pit Kheng Thian lelah merampas uang
negara sejumlah tiga puluh laksa tail. uang dari Ouwlam
dan Ouwpak, perampasan itu menerbitkan badai dan
gelombang dahsyat, tetapi kalau itu dibanding sama
perampasan sekarang ini. sungguh tidak ada artinya.
Sebenarnya siapakah yang telah makan hati serigala dan
17 nyali harimau maka dia berani melakukan perampasan
yang menggemparkan dunia ini?"
Tengah ia berpikir demikian, Keng Sim ditanya
iparnya: "Cihu, aku hendak memohon sesuatu
kepadamu!" la menjadi heran, hingga ia tercengang.
"Engku, kau menghendaki apa?"
Bhok Lin menyahuti dengan lantas. Katanya, "Hadiah
dari ayah bakal lekas diberangkatkan ke kota raja, maka
itu. aku pikir, hendak aku meminta tugas untuk
mengantarkan itu."
Keng Sim heran, sedang Bhok Yan tertawa lebar.
"Jangan kau ngimpi!" kata kakak ini. "Mana ayah akan
memberikan ijinnya untuk kau satu Toasiauwya yang
manja pergi ke kota raja menempuh bahaya?"
"Ini pun sebabnya kenapa aku hendak minta bantuan
cihu. supaya cihu yang membicarakannya sama ayah!"
sang adik menjelaskan. "Biasanya ayah mendengar
katanya cihu. Di samping itu, bukankah ilmu silatku
melebihi segala guru silat atau pahlawan yang berada di
dalam kantor ayah" Cuma kau sendiri yang menyebutnya
aku Toasiauwya yang dimanjakan! Mereka itu sebaliknya
membilang, orang dengan ilmu silat semacamku ini.
untuk dunia kangouw sudah langka." Enci itu menutupi
mulutnya untuk mencegah tertawanya, saking geli ia
sampai terbungkuk-bungkuk.
"Enci. kau selalu memandang enteng padaku!" kata
adik itu. "Mana aku berani, mana aku berani..." berkata enci
itu. "Apakah kau menginginkan aku memuji kau seperti
itu segala guru silat" Baiklah. Nah. kau dengarlah! Di
18 dalam kokkonghu. jikalau semua pintu dikunci, kaulah si
orang gagah nomor satu di kolong langit ini, tetapi di
sini, di kunmahu. kau ialah..."
"Tentunya orang gagah nomor dua di kolong langit
ini!" Bhok Lin menambahkan, tertawa. Tapi ia tertawa
hanya sebentaran. lantas ia mengasi lihat roman
sungguh-sungguh. Ia kata' "Memang benar ilmu silatku
tak dapat dibandingkan dengan ilmu silat cihu. akan
tetapi di dalam dunia kangouw, orang dengan
kepandaian sebagai cihu ini, bukankah tak seberapa
gelintir" Di samping itu. selama aku pergi ke Chongsan
secara diam-diam itu, di sana pun suhu telah mengajari
aku semacam ilmu silat pedang. Enci, kau bukannya
seorang pria. kau tidak dapat mengerti. Cita-citanya
seorang laki-laki ialah di empat penjuru dunia! Maka itu
kau ijinkanlah aku pergi keluar, untuk merantau, guna
mendapatkan pengalaman!"
"Ah!" seru si kakak sambil tertawa. "Jadinya kau juga
hendak minta bantuanku untuk bicara sama ayah?"
Di mulut puteri pangeran ini mengatakan demikian, di
hatinya ia berpikir lain. Ia jadi ingat sikap suaminya.
Pikirnya: "Ya. cita-citanya seorang laki-laki ialah di empat
penjuru dunia! Bukankah adik Lin pun mengatakan aku
tidak tahu hatinya seorang laki-laki" Keng Sim senantiasa
lenyap kegembiraannya, mungkinkah itu disebabkan dia
selalu seperti disekap di dalam rumah?"
Tengah isteri ini ngelamun demikian itu. Keng Sim
menekan meja sambil ia berbangkit berdiri.
"Adik Yan, aku pun hendak memohon sesuatu dari
kau," katanya.
19 Isteri itu terkejut. Tapi ia rasanya dapat menerka.
Maka ia tertawa.
"Bilanglah." katanya. "Asal yang aku sanggup, tentu
aku bersedia untuk menerimanya dengan baik."
"Bingkisan ayahmu itu tidak dapat tidak diantar,"
berkata Keng Sim. "Tapi sekarang telah terjadi itu
pelbagai perampasan, sungguh itu suatu ancaman
bahaya besar dan sangat menyulitkan kita. Aku berterima
kasih kepada ayahmu, yang menghargai aku. maka itu,
mana dapat aku tidak memikirkan soal itu" Ingin aku
membagi kesulitannya itu..." *
Bhok Yan tunduk.
"Kiranya kau, seperti adikku, ingin aku menjadi juru
bicaramu." katanya perlahan. "Benarkah?"
"Oleh karena di sini tidak ada lain orang yang terlebih
cocok," berkata pula Keng Sim, "maka biarlah aku yang
pergi mengantarkan, untuk ini satu kali saja."
Bhok Lin lantas menepuk-nepuk tangan, ia tertawa.
"Bagus'" katanya. "Kalau cihu yang pergi mengantar
sendiri, pasti ayah akan meluluskan! Cihu. kaulah
pemimpin pengantar itu dan aku wakilmu!"
Selagi sang adik girang bukan kepalang, kakaknya
sendiri mengerutkan kening, landanya ia masgul. Sekian
lama ia berdiam saja. kemudian dengan perlahan ia kata:
"Keng Sim, karena kau telah berkeputusan tetap, baiklah,
aku tidak mau menghalang-halangi kau."
"Kau pun tak usah berkuatir, adik," kata Keng Sim
juga perlahan. 20 "Asal di dalam hatimu ada aku. mustahil aku
berkuatir?" kata isteri itu.
Keng Sim sebenarnya hendak mengutarakan
berbahayanya penghidupan dalam dunia Sungai Telaga,
tetapi mendengar perkataan islerinya itu. ia membatalkan
itu. Ia kata perlahan: "Asal hatimu ditukar menjadi
hatiku, kita pasti akan menginsafinya dengan baik. Suami
isteri ada bagaikan satu tubuh, dua hati menjadi satu.
dari itu. apa perlunya hati kita ditukar lagi?"
Bhok Lin sudah membuka mulutnya, hampir tertawa,
baiknya kakaknya keburu mendelik mata kepadanya, la
jadi berdiam. "Kau telah pergi ke Chongsan dan dapat menemui
suhu." berkata Bhok Yan. "habis kau dengar kabar apa
lagi?" "Baru tahun yang lalu. Siauw Houw Cu telah keluar
dari rumah perguruan." sang adik menyahut.
"Dia telah merantau, katanya dia sudah mulai
mendapat nama..."
"Ada apa lagi?"
"Ouw Bong Hu suami isteri sudah kembali dari
Kanglam. selama di Hayleng mereka telah melihat Yap
Seng Lim bersama Ie Sin Cu berada di antara orang
banyak tengah menonton gelombang laut."
"Sungguh besar nyali mereka!" kata Keng Sim tanpa
merasa, saking heran.
"Memang mereka terlalu berani!" Bhok Yan tertawa,
"Umpama kata mereka ketahuan dan kena ditawan,
21 bukankah mereka bakal membualnya capai hati pada Tiat
Kongcu yang mesti pergi menolonginya?"
Keng Sim bersenyum. Ia tahu ia tengah digodai isteri
itu tetapi ia tidak menjadi gusar atau kurang senang.


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada tujuh tahun dulu pernah ia menolongi Seng Lim.
II. Keluar pula
Bhok Lin tidak berdiam lama bersama kakak dan
iparnya itu. dengan lekas ia mengundurkan dari, maka
itu Bhok Yan dan Keng Sim kembali berada berduaan. Di
antara sinar api. mereka saling pandang.
Setelah tujuh tahun hidup bersama, rukun dan manis,
sekarang datang saatnya untuk berpisahan. walaupun itu
bukanlah perpisahan untuk selama-lamanya, meskipun
benar sang suami mungkin akan menerjang bahaya..."
Mengamar piauw bukannya suatu pekerjaan ringan.
Maka itu. mereka berpikir masing-masing.
Beberapa saat pula lewat ketika Bhok Yan berkata
dengan perlahan: "Kau hendak membikin perjalanan,
baiklah. Orang dulu pun membilang, membaca kitab
selaksa jilid tak sama dengan membuat perjalanan
selaksa li. Aku harap sedikitnya kau akan memperoleh
bahan untuk membuat syair!"
"Adik Yan, sungguh kau baik sekali." kata Keng Sim
dengan terharu. "Bagaimana aku beruntung mempunyai
isteri semacam kau!"
22 Isteri itu tertawa dan berkata: "Ya, sekarang ini
mulutmu manis sekali, aku kuatir. setelah berada di
luaran, kau nanti bertemu entah Lihiap siapa..."
"Ah, adik Yan!" Keng Sim memotong. "Kenapa kau
mengucap begini. Apakah kau tidak percaya aku"..."
Bhok Yan mengulur tangannya membekap mulut
suaminya itu. "Aku cuma main-main," katanya. "Mustahil aku tidak
percaya kau" Nah, sekarang pergilah kau tidur, aku akan
mempersiapkan segala keperluanmu."
Suami itu mengangguk.
"Biarlah aku pergi berlatih samedhi." kata dia. "Hendak
aku lihat apakah aku telah tidak menterlantarkan
latihanku..."
Isteri itu mengangguk, walaupun sebenarnya, hatinya
kurang tenteram.
Keng Sim pergi ke kamar latihannya, di sana ia duduk
bersamedhi, seperti isterinya, hatinya pun berpikir.
Mereka bakal berpisahan. entah untuk berapa lama, dari
itu, sulit untuknya mententeramkan hatinya. Ia juga
memikirkan soal perampasan hadiah untuk kaisar itu.
"Hadiah pelbagai propinsi kena dirampas di tengah
jalan, benarlah ini ada soal yang menggemparkan
seluruh negeri," demikian pikirnya. "Apakah Ie Sin Cu
dan Yap Seng Lim ambil bagian dalam urusan ini" Dan
bagaimana dengan guruku, yang tidak ketahuan di mana
adanya" Apakah suhu pun ada sangkut pautnya" Pada
tiga puluh tahun dulu, suhu pernah mencuri pedang di
istana kaisar..."
23 Dengan memikirkan Sin Cu, kunma ini jadi ngelamun.
"Entah Sin Cu masih memikirkan aku atau tidak..."
demikian otaknya kacau. Karena ini. latihan jadi
terganggu. Sudah tujuh tahun ia seperti terkeram di
dalam kunmahu, tidak heran kalau ia seperti putus
hubungannya dengan dunia luar. Maka itu sekarang yang
ia bakal keluar pula. hatinya ruwet berbareng
bergoncang, bergoncang karena kegembiraan. Ia
mengharap nanti dapat bertemu sama Sin Cu..."
Tengah ia berpikir banyak itu, Keng Sim mendapat
dengar suara berkelisik di atas genteng, di atas
wuwungan. "Inilah orang yang membuat perjalanan malam."
pikirnya. "Ah, ia berkepandaian tak rendah... Siapakah
ia" Mau apa ia datang ke mari?"
Kaget dan heran. Keng Sim bersedia untuk berbangkit.
Hendak ia pergi keluar, untuk melihat orang itu. Adakah
dia orang jahat atau orang yang dikenal" Demikian ia
berpikir terus.
Di saat menantu hertog ini hendak berlompat ke luar
jendela, tiba-tiba ia mendengar satu suara sambaran
senjata rahasia, disusul sama senjata rahasianya sendiri,
yang mengasi lihat cahaya gemerlap, lalu disusul pula
dengan suaranya senjata itu nancap di meja!
Segera Keng Sim maju untuk mencabut senjata itu,
ialah sebuah pisau belati, yang ujungnya diberikutkan
sehelai kertas.
"Siapakah main-main sama aku?" ia berpikir. Inilah
kebiasaan orang kangouw mengirim surat dengan
perantaraan pisau belati...
24 Tanpa memperhatikan dulu kertas itu. Keng Sim
menjejak dengan kakinya, untuk mencelat ke jendela,
guna berlompat keluar, maksudnya ialah buat melihat,
siapa orang itu. Ketika ia tiba di luar. ia hanya dapat
melihat suatu bayangan tubuh, yang melesat melintasi
gunung-gunungan.
Samar-samar ia menampak punggungnya seorang
perempuan, mungkin seorang wanita muda.
"Sin Cu!" demikian hendak ia berseru atau di saat
yang tepat, ia dapat membatalkan niatnya memanggil
itu. Ia mendapat kenyataan, bayangan itu bertubuh kecil
dan kurus, tak miripnya dengan potongan tubuhnya
Nona Ie. "Ah. benar-benar aku gila!" sejenak kemudian ia
berpikir pula. Rupanya karena aku sangat memikirkan
dia. lantas aku menduga sembarangan...
"Tetapi, siapakah dia" Apa perlunya dia mengirim
surat secara begini padaku?" ia berpikir lagi, menerkanerka
itu surat dan pisaunya. Ia mengingat-ingat wanita,
yang mirip dengan bayangan itu, tetapi ia tidak berhasil
mengingatnya siapa juga. Karena ini, ia lantas lari ke
arah gunung-gunung itu, untuk menyusul.
"Aku mesti lewati dia," pikirnya lebih jauh selagi ia
mendekati. Ia hendak pegat orang itu. Atau mendadak ia
mendengar: "Keng Sim! Keng Sim!" Itulah suara
panggilannya Bhok Yan, sang isteri. Suara datangnya
dari atas loteng dan agaknya puteri kokkong itu dalam
keadaan kaget. "Ya!" ia menyahuti, lekas dan keras.
25 Justeru itu bayangan yang ia kejar itu terlihat
mencelat naik ke atas batu Thayouw cio di sebelah
depan, gerakannya sangat lincah, lantas dia naik di
tembok dari mana terdengar suara tertawanya, tertawa
geli. "Heran," kata Keng Sim di dalam hatinya. Sekarang ia
dapat melihat terlebih tegas. Paling banyak dia baru
berumur lima belas tahun, kenapa ilmu ringan tubuhnya
sudah begini mahir"... Baru beberapa tahun aku
menyekap diri, tidak tahunya dalam dunia kangouw telah
muncul orang-orang baru..."
Ketika itu bayangan itu telah lenyap, maka Keng Sim.
yang tidak mengejar lebih jauh. bahkan ia pun tidak
lantas menghampirkan isterinya, lantas periksa pisau
belati di tangannya, untuk melihat suratnya.
Di kertas itu ada kedapatan enam baris huruf. Dengan
suara tak terdengar, Keng Sim membaca:
"Harimau mengaung, macan tutul menderum
Burung hong berbunyi di lembah sunyi
Mulut harimau berbelas kasihan Macan tutul keramat
mendeliki mata Kalau lancang memasuki dunia
Sungai Telaga Menoleh kembali itu artinya
bahagia..."
Dua baris yang paling belakang itu terang berarti
nasihat untuk Keng Sim. supaya ia jangan sembarangan
memasuki dunia Sungai Telaga, dunia kangouw. atau
26 lebih tegas lagi, ia dilarang mengantar piauw yang
berupa hadiah bingkisan untuk kaisar. Hanya tentang
dua baris paling atas. di mana ada disebut-sebut
harimau, macan tutul dan burung hong, entahlah itu
diartikan tiga orang atau bukan. Dan, apa artinya dua
baris yang di tengah itu" Kenapa disebut "mulut harimau
berbelas kasihan" dan "Macan tutul mendeliki mata?"
Karena mesti berpikir, Keng Sim berdiri diam, hingga
ia tidak segera pergi kepada isterinya. Di lain pihak, Bhok
Yan sudah lantas tiba padanya.
"Keng Sim, ada terjadi apakah?" tanya isteri itu. lagu
suaranya menandakan hatinya berkuatir.
"Tidak apa-apa," sang suami menyahut sambil
bersenyum. Surat dan pisau belati itu ia telah lantas
simpan. "Habis bersamedhi, aku mencoba berlatih berlari
pesat." Seingatnya belum pernah Keng Sim mendustai
isterinya, inilah yang penama kali dan ia lakukannya pun
dengan terpaksa. Kalau Bhok Yan ketahui tentang
adanya si orang-orang jalan malam, tidak banyak sedikit
mesti isteri itu berkuatir, bahkan bisa terjadi. ia bakal
dicegah keberangkatannya. Walaupun ada itu "nasihat."
ia tidak memikir untuk membatalkan niatnya.
Mendengar jawaban suaminya, isteri yang manis itu
tertawa. "Kau tidak mengabaikan ilmumu ringan tubuh, aku
sebaliknya, hatiku jadi semakin kecil!" katanya. "Maka itu
ingatlah olehmu, nanti di waktu kau mengantar bingkisan
ke kota raja. umpama kata di tengah jalan kau bertemu
orang jahat, jikalau jumlah mereka lebih besar, jangan
27 kau lawan mereka itu. lebih baik barang hilang daripada
kau menempuh bahaya."
"Itulah urusan kaum kangouw, adikku," sahut Keng
Sim menghibur. "Aku tahu apa yang aku harus lakukan,
kau baiklah jangan kuatir, kau tetapkan saja hatimu."
Bhok Yan percaya suaminya ini, maka ia tidak
membilang apa-apa lagi hanya ia ajak sang suami
pulang. Besoknya pagi, Keng Sim pergi menemui Bhok
Kokkong, mentuanya. Ia sudah menduga, ada
kemungkinan ia mesti omong banyak, untuk membujuki
mentua itu. Di luar dugaannya, ia menghadapi kejadian
yang melegakan hatinya. Dengan segala senang hati.
mertuanya itu memberikan perkenannya.
Nyatanya ialah tadi pagi-pagi. Bhok Lin sudah
menghadap ayahnya itu, untuk membicarakan urusan
mengantar bingkisan itu. Ia minta supaya cihu-nya. yaitu
Keng Sim, diijinkan pergi melindungi, dengan ia turut
bersama. Memang mulanya Bhok Kokkong berkeberatan,
tetapi setelah ia ingat, bingkisan toh mesti di kirim, ia
tidak menentangi lagi puteranya itu. Ia tahu Keng Sim
gagah, karena mana, ia mendapat serupa harapan.
Bagaimana bagus andaikata
Keng Sim berhasil tiba di kota raja dengan tidak
kurang suatu apa. Tentu raja melihatnya dan akan
menghargai menantunya itu. Pula, setelah puteranya
mulai meningkat usianya, pantaslah putera ini membuat
perjalanan, guna mencari pengalaman. Bhok Lin adalah
putera satu-satunya, yang di belakang hari bakal
mewariskan kedudukannya sebagai Kokkong. Sudah
selayaknya saja apabila sang putera dapat menghadap
28 kaisar. Lain ketika baik sebagai ini sukar dicarinya Satu
hal lain lagi ialah Kokkong ini tidak menguatirkan
keselamatan puteranya itu. Bukankah, sebegitu jauh
diketahui, penjahat cuma merampas bingkisan, tidak
mengganggu jiwa" Ada baiknya sang putera bisa tiba di
kota raja. Syukur kalau bingkisan sampai dengan
selamat, kalau tidak, tidak apa hilang barang berharga, ia
toh tidak bakal dipersalahkan. Bukankah ia sudah
mengirim bingkisan" Ini saja sudah bukti kuat yang ia
menjunjung dan menghargai junjungannya itu. Oleh
karena ia berpikir begini, Bhok Kokkong jadi
bersependapat dengan puterinya, bingkisan boleh hilang
asal diri selamat.
Demikian, setelah memberikan ijinnya, Bhok Kokkong
lantas memberi pesan dan nasihatnya pada mantunya. Ia
bilang bahwa bingkisan sudah disiapkan rapi, dari itu
besok dapat mantu dan puteranya itu mulai berangkat.
Keng Sim girang bukan main. habis mengucap terima
kasih, ia lantas mengundurkan diri. katanya untuk siap
sedia. Di luar ia bertemu Bhok Lin. Sang ipar sudah
lantas menarik ia ke samping.
"Cihu, tadi malam aku menemui kejadian yang aneh!"
demikian kata-katanya yang pertama. Dan tanpa
menantikan orang menanya jelas, ia merogo ke sakunya
akan menarik keluar sebatang pisau belati pada mana
ada terlampir sehelai kertas. Ia angsurkan itu.
Keng Sim menyambuti. Ia tidak usah memeriksa lama
akan mendapatkan pisau itu sama dengan pisau belati
yang semalam ia terima.
29 "Kiranya tadi malam kau bertemu seorang nona muda
belia yang meninggalkan kau pisau belati ini berikut
surat," katanya.
Bhok Lin terkejut.
"Apa, cihu?" tanyanya. "Kenapa kau ketahui itu"
Benarkah nona itu seorang yang masih muda belia"
Cantikkah dia?"
Memang, pengalaman putera Kokkong itu tadi malam
sama dengan pengalamannya Keng Sim, ia pun sudah
lari-lari keluar untuk mengejar, tetapi karena ia kalah
lincah, tidak dapat ia menyandak, ia melainkan melihat
punggung orang, bayangan orang itu lenyap di tempat
gelap, hingga tak dapat ia mengenali, orang pria atau
wanita. "Cantik, sungguh cantik!" menyahut Keng Sim, untuk


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggoda. Agaknya Bhok Lin girang sekali.
"Ia pun meninggalkan syair" katanya pula.
"Aku tahu," kata Keng Sim, memotong. "Tidak usah
kau keluarkan, aku sudah tahu bunyinya." Dan ia
membacakan syair itu, yang ia ingat di luar kepala.
Putera Kokkong itu tercengang.
"Ha!" seru ia sesaat kemudian. "Kau pun tentunya
menerima pisau dan surat sama seperti aku!"
Keng Sim mengangguk.
"Ya. Dan ia menasihati aku untuk jangan membuat
perjalanan mengantar bingkisan itu." ia menerangkan.
"Adik Lin, kau takut atau tidak?"
30 "Sungguh menarik! Sungguh menarik!" berseni orang
yang ditanya, yang tidak menjawab apa yang ditanyakan.
"Apakah yang menarik hati?" menanya Keng Sim,
tertawa. Ia menduga orang tergila-gila si nona tukang
keluar malam itu...
"Sebab si perampas piauw hadiah untuk kaisar itu,
suatu hal yang menggemparkan dunia, adalah seorang
nona!" sahut si anak muda. "Atau, kalau toh si perampas
bukannya dia, dia mesti salah satu orang yang turut
ambil bagian! Tidakkah menarik yang satu nona dapat
merobohkan orang-orang kosen pilihan dari pelbagai
propinsi itu?"
Mendengar begitu. Keng Sim tertawa.
"Ha. kau lupa satu hal. engku yang baik!" ia berkata.
"Kau lupa bahwa semua perampasan telah terjadi di
dalam wilayah propinsi Hoopak! Umpama benar nona itu
turut di dalam perampasan itu, bagaimana dia dapat
dengan begini lekas tiba di Inlam sini untuk mengirimkan
nasihatnya itu yang berupa pisau belati dan syair" Lagi
pula. sebenarnya hal itu tidak perlu sama sekali."
Bhok Lin berdiam. Ia berpikir.
"Habis," katanya kemudian, "apa artinya ia mengirim
surat menasihati kita jangan mengantar piauw itu?"
"Aku tidak dapat berlaku sebagai kau," ada
jawabannya sang cihu, "kau main duga-duga saja. Aku
tidak dapat membade pikiran orang..."
Mukanya putera Kokkong itu menjadi merah. Tapi
tidak lama, ia tertawa pula.
31 "Sungguh aneh!" katanya. "Belum lagi kita berangkat,
kita sudah menghadapi kejadian aneh ini. maka itu di
belakang hari, sesudah merantau, entah kita bakal
menemui berapa banyak orang aneh dan urusan yang
tidak-tidak! Walaupun demikian, aku percaya, seandai
kita tidak dapat mengantar barang sampai di kota raja,
sedikitnya mata kita bakal terbuka! Tidakkah itu akan jadi
sangat menarik hati?"
Sifatnya putera Kokkong ini beda dengan sifat
kakaknya, kalau sang kakak puas akan kedudukannya
yang sekarang ini. cukup segala apa, penghidupan tak
kekurangan, derajat tinggi, sang adik bercita-cita, ia
dapat berkhayal, tak suka diam saja, bahkan ia ketarik
sama segala apa yang aneh. Ini pun sebabnya kenapa
sebagai siauwkongtia. ialah Kokkong cilik, ia minta
ayahnya mengijinkan ia pergi ke kota raja, bahkan ia tak
jerikan kisikan pisau belati dan syair dari nona yang tidak
dikenal itu. Keng Sim tidak dapat menemani lama-lama iparnya
itu, maka sampai di situ mereka berpisahan. Ia balik
dengan lekas kepada isterinya. untuk menyampaikan
kabar girang yang Kokkong sudah meluluskan
permintaannya, guna bersiap terlebih jauh.
Juga Bhok Lin perlu berkemas.
Besoknya, Bhok Kokkong benar telah menyiapkan
bingkisannya untuk raja, ialah sebuah giokjiie. dua belas
butir mutiara yabengcu serta sepotong batu marmer
yang atasnya ada lukisannya yang wajar, seperti juga
ukirannya orang pandai. Batu semacam ini, dalam
beberapa ratus, tak ada sebuah juga, dari itu dapat
dimengerti harganya yang tak terkirakan, sebagaimana
32 harga giokjiie dan mutiara itu pun mirip dengan harganya
sebuah kota... Untuk berlaku hati-hati, Bhok Kokkong titahkan
rombongan pengantar bingkisan ini bukan berangkat
seperti kantor piauwkiok lagi mengantar piauw yang
berharga, hanya Keng Sim dan Bhok Lin, puteranya itu,
diperintah menyamar sebagai mahasiswa yang hendak
pergi ke kota raja untuk turut dalam ujian ilmu surat.
Dua guru silat, atau pahlawan, dimestikan menyamar
sebagai budak atau kacungnya dua mahasiswa itu, dan
mereka mesti memikul peti yang termuatkan pakaian dan
buku. Ketiga barang berharga itu dicampur di dalam peti
buku. Kedua pahlawan itu ialah Thio Po dan Yo Gi,
mereka tidak lihay tetapi luas pengetahuannya mengenai
dunia kangouw. Demikianlah Keng Sim berempat pamitan dari
Kokkong semua, untuk meninggalkan kota Kunbeng,
guna memulai dengan perjalanannya ke kota raja.
Jalanan yang diambil bukan jalanan yang memasuki
propinsi Sucoan terus ke Siamsay, terus lagi ke Hoolam,
akan tiba di Hoopak hanya jalanan lain. ialah jalanan dari
propinsi Kuiciu ke Kwisay dan Kwitang. sepanjang pesisir
laut, sampai di propinsi Hoopak. Jalanan yang diambil itu
ada banyak pegunungannya tetapi di situ telah disiapkan
sesuatu untuk menggampangi perjalanan.
Di sepanjang jalan Bhok Lin nampak gembira sekali. Ia
tidak kenal takut, bahkan ia bersedia andaikata ada
orang jahat yang hendak memegat, untuk merampas
bingkisan di bawah perlindungannya itu. Hari lewat hari,
ia tetap bergembira. Selama sepuluh hari, jangan kata
begal besar, begal kecil pun tak ada di tengah jalan itu.
33 Setelah ini, selagi kedua pahlawan girang bukan main,
Bhok Lin sebaliknya menjadi lenyap kegembiraannya...
Pada suatu hari tibalah mereka di tapal batas Inlam
dan Kuiciu, di tempat yang disebut kecamatan Thianngo.
Di situ Yo Gi, yang menghela napas lega, berkata: "Untuk
Kuiciu, jalanan di sini paling sukar, banyak orang
jahatnya. Di sini termasuk wilayah suku bangsa Biauw.
Syukur sampai sebegitu jauh kita tidak nampak halangan
apa-apa. Selewatnya Kwisay, kita akan sampai di
Kwitang. Di Kwitang ini. gubernur jenderalnya adalah
sahabat kongtia. Di harian kita mau berangkat, gubernur
jenderal itu telah mengasi warta pada kongtia bahwa
bingkisan dari Kuiciu dan Kwisay sudah sampai di Kwiciu
dan tengah menantikan rombongan dari Inlam ini, untuk
nanti dari Kwiciu mereka berangkat bersama menuju
lebih jauh ke kota raja. Kitalah yang diminta suka
berangkat bersama-sama. Dari itu, tinggal sedikit lagi.
maka ke empat rombongan akan bertemu dan
berkumpul. Dengan jalan bersama, kita tak usah takuti
lagi segala orang jahat."
"Fui!" Bhok Ling mengasi dengar suaranya apabila ia
telah mendengar perkataannya pahlawan itu. "Kenapa
kamu bernyali kecil sekali" Kenapa kamu mau
mengharapi bantuan tenaga lain orang?"
"Oh. siauwkongtia," kata Thio Po. tertawa. "Untuk
kami. kami cuma mengharapi barang sampai di kota raja
dengan tidak kurang suatu apa. dengan begitu kau bakal
jadi si Enghiong kecil. Selama di dalam perjalanan, kami
minta dengan sangat janganlah Siauwkongtia membawa
tingkah temberang..."
34 Anak muda itu lagi tidak gembira. Ia tidak mau
melayani bicara.
Maka mereka berjalan terus.
Di waktu magrib, mereka sudah mendekati kota
kecamatan tinggal kira-kira enam puluh li lebih. Kedua
pahlawan mengusulkan untuk singgah, supaya mereka
tak usah jalan malam. Usul itu diterima baik. Begitulah
mereka mondok di sebuah dusun di situ di mana ada
pondokan dengan tiga kamar atas. kamar yang satu
sudah ada penyewanya.
Bhok Lin mengajaki Keng Sim mengambil sebuah
kamar, sebuah kamar lagi buat kedua pahlawan, tetapi
mereka ini menyamar sebagai budak, mereka pun ingin
leluasa menjagai piauw, mereka mengalah, dari itu
mereka minta sebuah kamar bawah saja.
Habis bersantap sore, orang hendak lantas
beristirahat. Justeru itu, di luar terdengar berisiknya
suara kuda meringkik dan orang bicara, kemudian
terlihat masuknya serombongan orang yang membawa
bendera dari kantor sunbu propinsi Kuiciu. Mereka itu
hendak menumpang bermalam, jumlah mereka belasan.
Orang yang menjadi kepala ialah seorang Biauw asli,
tubuhnya tinggi dan besar, dandanannya ialah seragam
militer kelas empat. Kelihatannya ia keren dan garang.
Begitulah setibanya di dalam, ia mengasi dengar
suaranya yang nyaring: "Pemilik pondokan, lekas
bersihkan kamar atas untuk kami beramai!"
Pemilik pondokan muncul dengan lantas, terus dia
menekuk lututnya.
35 "Kamar kami cuma tiga, dua sudah ada yang isi,
tinggal yang satu lagi." ia berkata, menerangkan.
"Hamba mohon Tayjin suka maklum saja."
Pembesar Biauw itu benar-benar garang.
"Perduli apa aku dengan tetamu-tetamu itu!"
bentaknya, "Suruh mereka pergi!"
"Hebat ini pembesar cilik!" kata Bhok Lin.
Keng Sim tidak membilang apa-apa, hanya ia
mengintai di sela pintu. Ia terkejut setelah ia melihat si
pembesar bangsa Biauw itu, sebab ia kenali orang adalah
Poan Thian Lo murid kepala dari Ci Hee Tojin. Ia tahu dia
gagah, sedang pada belasan tahun yang lalu bahkan
Yang Cong Hay, adik seperguruannya, terhitung satu di
antara sutay kiamkek. empat ahli silat pedang yang
terbesar, yang namanya sama kesohornya seperti nama
Thio Tan Hong, Ouw Bong Hu dan Cio Keng To. Sebagai
kakak seperguruan, orang bilang, dia lebih lihay daripada
Yang Cong Hay. Ia pernah ketemu Poan Thian Lo ini di
gunung Ciat Hee Nia di Hangciu. ketika dia membantui
Yang Cong Hay dan rombongannya hendak menangkap
Yap Seng Lim, itu waktu dia telah dua kali digaplok Siauw
Houw Cu, siapa berbuat begitu atas titahnya Thio Tan
Hong. Tentu sekali. Poan Thian Lo sebaliknya tidak
mengenali ianya.
Melihat murid Ci Hee ini. Keng Sim jadi heran sekali.
"Kenapa jahanam ini memangku pangkat militer?" ia
tanya dirinya sendiri. "Dengan mengandali pengaruh adik
seperguruannya, dia dapat menjadi pahlawan kelas satu
di dalam istana, kenapa sekarang dia lebih suka jadi opsir
36 kelas empat, menjadi orang sebawahan di kantor sunbu
di Kuiciu?"
Di belakang Poan Thian Lo ada seorang yang
romannya luar biasa, macamnya seperti orang asing
akan tetapi dandanannya seperti orang Biauw, sedang di
kedua lengannya ada digantungi lima buah kelenengan
perak, selagi dia berjalan, kelenengan itu berbunyi
memperdengarkan suaranya.
"Dialah tentu Bong Goan Cu, adik seperguruan dari
Poan Thian Lo," kata Keng Sim dalam hatinya. Ia telah
mendengar dari Sin Cu halnya Siauw Houw Cu di wilayah
orang Biauw ditipu hingga menikah sebab muridnya Ci
Hee Tojin ingin mempelajari ilmu yoga dari bocah itu.
Bong Goan Cu ini ber-ibu orang Biauw dan berbapak
orang asing, maka juga demikian macamnya dan
dandanannya. Di belakang Bong Goan Cu ada dua opsir kelas tujuh,
sebagaimana ternyata dari seragam mereka. Mereka ini
masing-masing memondong sebuah peti besi ukuran
sekaki persegi, rupanya peti itu berat sekali, sebab
jalannya mereka seperti setindak demi setindak.
Keng Sim lantas menduga, isinya peti mesti logam
sebangsa emas dan jumlahnya banyak.
"Dia berpangkat rendah tetapi tugasnya pasti sama
dengan tugas kita," kata si anak muda kepada Bhok Lin.
Ia bicara perlahan sambil tertawa.
Putera Kokkong itu tidak mengerti maksud orang.
"Siapa sejalan dengannya?" katanya. "Apakah kau
artikan mereka pun hendak pergi ke kota raja?"
37 Keng Sim tertawa, ia tidak menyahuti. Ia lebih
memperhatikan suasana di luar. Ia ingat pada kejadian
sepuluh tahun dulu ketika Ci Hee Tojin dan kawankawannya
pergi ke Chongsan di Tali di mana dia hendak
mengadu pedang dengan Hian Ki Itsu tetapi dia
dikalahkan murid-muridnya Hian Ki. sedang setahun
kemudian, Yang Cong Hay, kena dipecundangi Hok Thian
Touw, ahli pedang dari Thiansan. hingga Cong Hay
kehilangan juga pedangnya, karena mana saking malu
orang she Yang ini meletakkan jabatannya sebagai
congkoan istana kaisar dan ikut guru dan kakak
seperguruannya pulang ke gunungnya untuk belajar lebih
jauh. Adalah sekarang, setelah lewat beberapa tahun,
mereka itu mulai bergerak pula. Kebetulan sekali sunbu
dari Kuiciu hendak mengantar bingkisan untuk kaisar dan
lagi mencari orang kosen sebagai pengantarnya. Cong
Hay ketahui hal itu. tetapi kesehatannya belum pulih,
maka ia ajukan Poan Thian Lo.
Poan Thian Lo ada orang Biauw, orang Biauw biasanya
tidak suka memangku pangkat, tetapi Thian Lo beda.
dari kebanyakan orang bangsanya itu, sudah kurang
pikir, ia pun ingin sekali menjabat pangkat, tidak heran,


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan datangnya ini saat baik. ia lantas terima usulnya
Cong Hay, hingga kejadian ia bekerja pada sunbu.
Sebagai permulaan, iadikasi kedudukan tingkat ke empat.
Ia percaya, dengan kepandaiannya itu, ia bakal tiba
dengan selamat di kota raja bersama harta yang berada
di bawah perlindungannya itu. Ia telah membayangi,
bagaimana namanya jadi kesohor setibanya ia di kota
raja, bagaimana ia akan naik pangkat. Untuk
kepergiannya ini. ia ajak Bong Goan Cu bersama. Hanya,
dasar orang kurang pikir, di sepanjang jalan dia berlaku
38 temberang Demikian sudah terjadi, di tempat penginapan
ini dia bersikap bengis terhadap pemilik pondokan.
"Aku tidak perduli mereka siapa!" katanya keren.
"Suruh mereka pergi!"
"Tetapi, Tayjin," kata tuan rumah sambil berlutut dan
mengangguk-angguk, suaranya pun menggetar, "bagi
kami pemilik pondokan, tetamu ada bagaikan ayah dan
ibu kami, yang memberi kami makan dan pakai. Ini...
ini..." "Hm!" bersuara Poan Thian Lo, yang tidak perdulikan
keberatan orang, bahkan kakinya lantas melayang
kepada tuan rumah itu. Dia pun berseru: "Anak kamu
boleh turun tangan sendiri!"
Bhok Lin mendongkol sekali. Justeru itu. pintu
kamarnya menjeblak dan dua orang serdadu nerobos
masuk. Ia menjadi gusar bukan main. Ia menyambuti
mereka, setelah mencekal, ia lemparkan mereka ke luar
kamar! Bong Goan Cu. yang mengikuti kedua serdadu itu,
mendapat lihat mereka dilemparkan terpelanting, ia jadi
murka. Lantas ia lompat maju. Tapi ia segera menjadi
heran. Sebab di depannya ia melihat seorang muda belia
yang cakap romannya, yang dandan sebagai anak
sekolah, melainkan wajah orang nampak keren.
"Apakah di sini orang dapat main gila! Mana wet
negara (hukum negara)?" demikian suara si anak muda,
ialah Bhok Lin, habis dia melontarkan dua serdadu itu.
Sebagai siauwkongtia, hertog cilik, dia mempunyai juga
keangkarannya seorang pangeran.
39 Bong Goan Cu tercengang. Tapi ia berada di depan
orang-orangnya, ia malu kalau ia tidak beraksi terus. Ia
pun sudah biasa berlaku galak dan garang. Maka ia kata
dengan tertawa dingin: "Di sini wet negara (hukum
negara)-padaku!" Sambil berkata, ia menggeraki kedua
tangannya, diulur ke arah si anak muda, untuk
menyambar anak muda itu.
Bhok Lin berontak untuk meloloskan dirinya. Ia
menggunakan tipu silat "Melepaskan bunga meloloskan
pakaian perang." Ia pernah belajar silat dari Tan Hong,
ilmu silatnya itu tidak sembarang, tetapi dibanding sama
Bong Goan Cu. ia masih kalah jauh. Maka itu, tak dapat
ia meronta meloloskan dirinya. Cekalan lawan kuat
bagaikan jepitan besi.
Tial Keng Sim menyaksikan itu, ia bersenyum, sembari
bersenyum, ia bertindak keluar. Terus ia menjura kepada
Bong Goan Cu seraya berkata: "Seorang budiman, dia
menggeraki mulutnya, tidak tangannya jikalau tayjin
hendak ada bicara silahkan bicara dengan baik-baik.
Segala macam urusan masih dapat didamaikan..."
Belum lagi perkataan ini diucapkan habis, mendadak
Bong Goan Cu menjerit, cekalannya terlepas.menyusul
mana, Bhok Lin sudah lantas mengayun tinjunya ke arah
muka lawannya itu, mengeluarkan tangan kirinya, untuk
mencegah, sedang dengan tangan kanannya, ia
menahan Bong Goan Cu.
"Segala apa dapat dibicarakan dengan baik-baik,"
katanya pula, bersenyum. "Dengan memandang mukaku,
aku minta tuan berdua sudilah menahan tangan kamu."
Ia bicara kepada dua Goan Cu dan Bhok Lin.
40 Goan Cu mendorong orang yang menghalanginya itu,
ia tidak dapat menolak tangan orang, tubuh siapa pun
tidak bergeming. Ia juga merasakan tangannya sakit.
Lekas-lekas ia tunduk, untuk melihatnya. Di luar tahunya,
telapakan tangannya telah terluka tergores. Ia tidak
merasa bahwa tadi, selagi Keng Sim menjura kepadanya,
tangan si anak muda telah menyentuh tangannya itu,
kukunya menggoresnya. Ia menjadi kaget berbareng
gusar. "Kau siapa?" ia membentak.
Sementara itu Poan Thian Lo kaget di dalam hatinya
Ia rada sembrono tetapi ia lebih lihay daripada adik
seperguruannya itu. dengan matanya yang tajam ia bisa
melihat Keng Sim mestinya lihay, cuma romannya saja
Keng Sim seperti anak sekolah yang lemah. Ia pikir.
"Rasanya aku pun belum tentu dapat mengalahkan
dia..." Tengah Poan Thian Lo bersangsi, Keng Sim sudah tak
menghalangi lagi tangannya Bong Goan Cu. Ia
membungkuk dan berkata pula: "Aku adalah siucay
miskin yang mau pergi ke kota raja untuk turut dalam
ujian, kalau sekarang tayjin mengusir aku, celakalah aku
ini. Aku tidak punya uang untuk menyewa kamar di lain
pondokan, bahkan mungkin aku bakal tidak mendapati
lainnya pondokan lagi. Di samping itu aku bangsa anak
sekolah, tidak dapat aku tidur di udara terbuka, maka itu,
aku minta sukalah tayjin mengasihani aku dan
memaafkannya."
Poan Thian Lo melirik si anak muda, lalu mendahului
Goan Cu, ia berkata: "Dengan memandang kau satu
siucay, baiklah, kami tidak usir padamu." ia terus
41 menoleh kepada dua opsir rendah lainnya, ia kata:
"Lekas bereskan itu dua kamar, sore ini biarlah kita tidur
sedapatnya."
Bhok Lin mengawasi orang dengan mata mendelik
tandanya ia masih panas hatinya.
"Adik Lin, jangan kita menerbitkan gara-gara." Keng
Sim membujuk, perlahan. Ia menarik tangan orang,
untuk diajak masuk. Meski begitu, ia tidak merapati
pintu, untuk melihat apa yang masih dapat terjadi.
Bong Goan Cu masih mendongkol, ia menghampirkan
kamar yang kedua dan menendangnya, setelah pintu
menjeblak. dua opsir rendahan yang dititahkan Poan
Thian Lo lantas saja nerobos masuk tanpa perdulikan
siapa yang berada di dalam kamar itu.
Tiba-tiba dari dalam kamar itu terdengar suara plakplok
beruntun-runtun. kemudian terlihat dua nona muda
belia berlompat keluar, gerakannya sangat sebat. belum
orang sempat mengawasi padanya, mereka sudah
sampai kepada Bong Goan Cu, lalu tahu-tahu "Plakplok!
Plakplok!" terdengarlah suara nyaring, atau si orang
galak itu kena digaplok empat kali oleh mereka itu.
mengenai kupingnya, menyusul mana, mereka memutar
tubuh, untuk menendang kedua opsir rendah itu. hingga
keduanya terpelanting setombak jauhnya.
Keng Sim melihat itu semua, ia kaget dan heran.
Kedua nona muda itu dandan serupa, baju mereka
berwarna kuning gading, rambut di kedua pinggirannya
dibikin model kupu-kupu. Mereka bertubuh kurus. Satu di
antaranya, mirip dengan potongan tubuh si nona yang
meninggalkan pisau belati berikut surat...
42 Bong Goan Cu bukanlah seorang lemah, akan tetapi
datangnya serangan sangat mendadak dan cepat luar
biasa, maka itu ia menjadi kurban gaplokan berantai itu.
Tentu sekali ia menjadi murka bukan buatan. Dalam
murkanya segera ia menyerang dengan pukulannya ilmu
silat Toasut payciu. Bahwa pukulan ini hebat sudah bisa
diduga dari menyambarnya angin yang keras sekali.
Kedua nona itu tidak takut, bahkan mereka saling
memandang dan tertawa. Kata yang satunya: "Apakah
kau hendak menghina orang dengan mengandali saja
tenaga kerbaumu" Hm!"
Diserang hebat, mereka lantas perlihatkan kelincahan
mereka. Senantiasa mereka main berkelit indah
gerakannya, bagaikan kupu-kupu selang-seling di antara
bunga-bunga atau cecapung memain di air. Ruang
sempit dan di situ pun ada kursi meja akan tetapi mereka
masih dapat bergerak dengan leluasa. Mereka tidak mau
berada berduaan saja, selalu mereka memisahkan diri,
tubuh mereka licin seperti ikan berenang pergi datang di
dalam air. Sia-sia belaka Bong Goan Cu mengeluarkan
Seluruh kepandaiannya, ia tidak memperoleh hasil,
bahkan melanggar saja ujung baju si nona-nona, ia tidak
mampu. Celakanya ialah kalau ia diserang berbareng dari
kiri dan kanan. Saking sengitnya, ia tendang kursi meja
hingga jadi jumpalitan, dengan begitu ia membuatnya
ruang jadi lebih lega sedikit, tetapi juga sekarang ini, ia
tidak berhasil menghajar nona-nona itu, yang tetap
berlaku lincah, hingga akhirnya ialah yang matanya
kabur dan kepalanya pusing...
Poan Thian Lo menyaksikan itu dengan masgul.
"Sute, kau mundur!" akhirnya ia berkata.
43 Kakak seperguruan ini belum menutup mulutn>a, atau
kupingnya mendengar suara plak plok dua kali, suaranya
nyaring-nyaring halus. Sebab Bong Goan Cu kembali
kena digaplok di kiri dan kanan!
"Siapa guru kamu?" Poan Thian Lo menanya nyaring.
"Apakah orang berkelahi mesti mencari gurunya?"
balik tanya nona yang di sebelah kiri.
Nona yang di kanan tertawa, ia berkata: "Apakah kau
hendak memperdayai kami supaya kami mencari guru
kami, supaya kamu dapat ketika untuk lari mengangkat
kaki" Haha! Jikalau kau tidak berani, ya sudah saja,
cukup asal kamu menghaturkan maaf sambil berlutut dan
mengangguk-angguk tiga kali. Ingat, kamu mesti
membungkuk hingga kepalamu mengenai batu dan
berbunyi nyaring!"
Po Thian Lo tidak niat memancing nona-nona itu, ia
hanya hendak mengetahui guru orang, guru yang lihay
mestinya. Dengan mengajukan pertanyaan, ia tidak
berbuat sembrono, ia bisa menyingkirkan keruwetan di
belakang hari. Maka adalah di luar sangkaannya ia pun
dipermainkan nona-nona itu. hingga ia menjadi gusar.
Dengan lantas ia mengulur kedua tangannya, semua
sepuluh jarinya dibuka, untuk menjambak. Kuat sepuluh
jarinya itu, kuat seperti gaetan
Dengan satu gerakan "Burung Hong menggoyang
kepala", nona yang di kiri lompat ke samping, lalu dari
situ ia maju untuk menggaplok. Ia berkelit lincah sekali,
ia pun menyerang dengan dahsyat. Ia percaya dengan
kelitannya itu ia akan berhasil menyelamatkan dirinya.
Dan ia benar-benar berhasil. Hanya ketika ia membalas
menyerang, kesudahannya ia kaget luar biasa. Selagi ia
44 menduga, musuh tidak bakal bisa menyambar pula
padanya, sekonyong-konyong tangan lawan sampai
kepadanya. Aneh gerakannya Poan Thian Lo. tangannya
seperti terulur lebih panjang daripada semestinya. Pasti
si nona tidak ketahui kepandaian orang itu. kepandaian
yang menjadi warisan istimewa dari Ci Hee Tojin. Itulah
yang dinamakan "Thongpek Wankang," atau ilmu silat
"Orang hutan tangan panjang."
Syukur untuk si nona. ia tidak menjadi gugup, ia
lantas menyingkirkan diri, sedang kawannya, si nona di
sebelah kanan, membarengi menyerang dengan "Dewi
mengantar anak." yang disusul sama serangan "Bidadari
melemparkan torak." Tangan dan jari tangannya
menyerang berbareng.
Poan Thiau Lo repot juga, dari itu tak sempat ia
menyerang terus pada si nona di sebelah kiri itu, hingga
nona itu dapat membebaskan diri!
Kedua nona itu, setelah bebas dari ancaman
berbahaya, pada tertawa.
"Kau nyata terlebih pandai daripada si tolol dan
gerubuk itu!" kata mereka, menggoda, sikapnya Jenaka.
Hanya meski demikian, selanjutnya mereka tidak mau
alpa seperti tadinya. Menghadapi lawan yang kosen,
mereka berlaku waspada. Kembali mereka menggunakan
kelincahan tubuh mereka, kelit sana dan kelit sini.
Mulanya Poan Thian Lo menelad adik seperguruannya,
ia menggunakan kekerasan, ia menggunakan tenaga dari
Toasut payciu, habis itu, ia mengubah itu, ia
menggunakan jurus-jurus dari Kimnahoat, untuk dapat
menangkap kedua nona itu. Ia menang tenaga dalam
dari Bong Goan Cu, ia bisa berkelahi dengan ulat.
45 Demikian sudah terjadi, kedua nona kena didesak,
hingga mereka dapat membela diri, tidak bisa mereka
melakukan penyerangan membalas...
Pikirannya Tiat Keng Sim bersamaan dengan
pikirannya Poan Thian Lo. Yang paling penting ialah
melindungi bingkisan hingga di kota raja dengan tidak
kurang suatu apa. Di belakang hari, di kota raja. mereka
toh bakal bertemu pula. Jadi dia tidak ingin berkelahi.
Maka dia memikir untuk memperkenalkan diri, untuk
menyudahi perselisihan itu. Siapa tahu, Poan Thian Lo itu
si gerubuk, karena murkanya, ia telah menantang,
omongannya tidak menyedapkan telinga yang
mendengarnya. Di sebelah itu. dia dibuatnya panas oleh
kata-katanya kedua nona itu.
Terpaksa dia menghunus pedangnya.
"Kalau begitu," berkata Keng Sim, tertawa, "aku harus
tidak mengenal diriku, aku mohon pengajaran dari Poan
Tayjin, untuk beberapa jurus saja. Aku mohon sukalah
Tayjin berlaku murah hati."


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Poan Thian Lo sebaliknya membentak.
"Boleh jikalau kita tidak turun tangan, kalau kita turun
tangan juga, tidak ada soal murah hati lagi!" demikian
suaranya yang katak. "Siapa kesudian berdamai
denganmu?"
Dia menyangka benar-benar Keng Sim jeri. Tapi dia
telah melihatnya orang memperlihatkan kepandaiannya
tadi, dia mengetahui orang bukanlah musuh yang ringan.
Maka dia geraki cambuknya, menyerang ke bawah
dengan jurusnya "Laosu poankin" atau Pohon tua
gempur akarnya," Bahkan dia membulang-baling terus
46 tiga kali, hingga benar-benar dia tidak mau berlaku
murah hati. Mau atau tidak, Keng Sim mendongkol juga. Tentu
sekali, ia juga ingin mempertunjuki kepandaiannya. Maka
ketika cambuk hampir mengenai kakinya, sesudah ia
berkelit beruntun dua kali. ia membabat ke bawah,
memapaki cambuk itu.
Keng Sim menggunakan pedangnya Cio Keng To,
gurunya, pedang curian dari istana kaisar, yang diberi
nama Cihong kiam atau Pedang Bianglala pedang yang
tajam luar biasa, dapat menahas besi dan memutuskan
rambut yang ditiupkan ke arah tajamnya. Dari itu, ketika
kedua senjata bentrok, terdengarlah suara "Sret! Sret!"
sedang sinarnya berkelebatan.
Kesudahan dari bentrokan itu membuatnya Poan
Thian Lo kaget dan akhirnya menjadi gusar sekali, la
bukannya berhasil menyapu orang, hanya gigi-gigi mirip
gergaji dari cambuknya itu kena dipapas putus. Sambil
menjerit, ia menyerang pula dengan hebat, dengan tipu
silatnya "Angin puyu membuatnya pohon liu menari."
cepatnya bagaikan hujan angin dahsyat.
Keng Sim tidak perdulikan hebatnya serangan lawan,
ia melawan dengan tidak kalah bengisnya. Ia
menggunakan jurus "Hujan angin di empat penjuru,"
salah sebuah tipu silat dari Keng To Kiamhoat, ilmu
pedang "Keng To" (Gelombang). Di antara sinarnya yang
berkilauan, terdengarlah suara nyaring berirama.
Kedua nona tadi lantas tertawa, tangannya ditepuktepuk.
47 "Merdu suara tetabuan ini, sungguh sedep
didengarnya!" mereka memuji.
Suara itu ialah suara pedang yang tajam membabat
giginya cambuk, si nona-nona menganggap suara itu
merdu... Untuk Poan Thian Lo, suara itu sebaliknya mengiris
hati. "Sungguh celaka!" dia menjerit dalam murkanya yang
sangat. Sebab hanya dalam beberapa jurus, habis sudah
semua gigi cambuknya itu, semua habis terpapas pedang
lawan. C iehong kiam tidak mengasi hati pada gigi-gigi
itu. Tiat Keng Sim sebaliknya tertawa.
"Poan Tayjin, suka kau berlaku murah, bukan?"
katanya. Poan Thian Lo sebaliknya menjadi seperti kalap.
"Akan aku mengadu jiwa denganmu!" bentaknya. Dan
ia menyerang pula, dengan hebat sekali, dengan
cambuknya yang sudah tidak bergigi lagi. Hebat
serangan ini. sebab dalam ilmu kepandaian, si Tayjin
memang tak ada di bawahan Keng Sim.
Keng Sim juga tidak berani memandang enteng,
dengan gigih ia membuat perlawanan, cuma sekarang ia
tidak bisa berbuat seperti tadi. dengan cepat
meruntuhkan semua gigi cambuk. Sekarang cambuk itu,
yang dimainkan dengan lincah, tak gampang untuk
dibabat kutung. Cambuk itu memang terbuat dan otototot
harimau, keras bisa keraskan lempang bagaikan
48 toya, lunak bisa dilunakkan hingga dapat dililitkan di
pinggang. Pula celaka siapa kena dihajar atau dilibat.
Keng Sim seperti dipaksa menggunakan ilmu silat
pedangnya, Keng To Kiamhoat itu, maka ia membikin
pedangnya itu benar-benar seperti "gelombang yang
mengagetkan" (kengto). Karena Cio
Keng To terhitung salah satu dari empat kiamkek, ahli
silat terbesar, bisa dimengerti dia hanya berada di
bawahan Thio Tan Hong.
Sebagai murid, Keng Sim telah paham ilmu pedang
itu. ditambah sama latihannya sudah tujuh atau delapan
tahun, ia dapat mempergunakannya dengan mahir. Ia
pun murid yang paling disayang.
Di mana dua orang bagaikan berkelahi mati-matian,
tidak heran pertempuran mereka jadi seru sekali,
keadaan mereka pun berimbang. Maka sampai sekian
lama, mereka masih sama tangguhnya, tidak ada yang
mau menyerah kalah.
Kedua nona nonton perkelahian belum lama,
keduanya mendaki bukit, lalu mereka duduk berendeng
di atas sebuah batu besar. Dari atas dengan leluasa
mereka dapat memandang ke bawah, sikap mereka
tenang Mereka lalu merundingkan tentang dua orang
yang lagi mengadu jiwa itu. suara tertawa mereka sabansaban
dibawa angin gunung hingga ke kupingnya si anak
muda. Keng Sim menjadi tidak senang hati.
"Aku berkelahi untuk mereka, mereka justeru
menjauhkan diri," katanya di dalam hati. "Aku bukannya
mengharap bantuan mereka, hanya aku tidak puas untuk
49 sikapnya. Kenapa mereka menganggapnya enteng sekali
kepada orang yang menolongi mereka?"
Poan Thian Lo sendiri sudah mulai bingung. Sia-sia
belaka desakannya itu, ia tidak berhasil mengalahkan
lawannya ini, yang tadinya ia tidak pandang terlalu
tinggi. Juga Keng Sim, ia mulai mendongkol.
"Dia tidak mengenal keadaan, buat apa aku menaruh
belas kasihan terhadapnya?" ia berpikir. Maka ia berseru,
ia menggeraki pedangnya hebat sekali. Ia melawan keras
dengan keras. "Kena!" ia berseru kemudian. Ia bukannya
membabat cambuk, hanya setelah cambuk lewat di
atasan kepalanya, untuk mana ia mendak, selagi bangun
berdiri pedangnya diarahkan ke dada orang, di jalan
darah Tantiong hiat.
Tidak ampun lagi, Poan Thian Lo menjerit keras, lalu
tubuhnya roboh.
Habis merobohkan musuhnya, yang membuatnya lega
hati. Keng Sim mengangkat kepala melihat ke atas bukit.
Ia menampak kedua nona tertawa seraya bertepuk-tepuk
tangan. "Terima kasih!" terdengar suara mereka itu, nyaring
tetapi halus. "Inilah tidak berarti!" berkata Keng Sim. "Orang Biauw
galak ini telah aku robohkan, kamu boleh turun
sekarang!"
"Terima kasih yang kau telah menolongi kami
merobohkan dia!" berkata satu nona. ia tertawa begitu
pun kawannya. "Kedua enci-ku mungkin sudah berhasil
50 dengan pekerjaan mereka, kami hendak pergi
menyambut mereka itu. dari itu tidak dapat kami
menemanimu lebih lama pula..."
Mendengar itu. Keng Sim terkejut.
"Oh, jadi benar kamu berkomplot untuk merampas
bingkisan!" katanya
Dua nona itu kembali tertawa.
"Orang membilangnya Tiat Kongcu cerdas, benarlah
dugaanmu itu!" kata mereka.
Keng Sim kaget bukan main. Hebat jawaban itu, yang
melebihkan cacian, la menganggapnya dirinya pintar, ia
toh kena dipermainkan kedua nona-nona itu. Ia telah
dipancing dengan tipu daya. "Memancing harimau turun
dari gunung." Bukankah mereka memincuk Poan Thian
Lo keluar dari pondokan, lalu ia pergi menolongi mereka
dengan begitu pondokan jadi kosong, lalu bekerjalah
konco mereka" Siapa bisa melawan mereka itu"
Anak muda ini menjadi serba salah. Ingin ia mengubar
ke atas, kepada kedua nona itu, ia kuatir barangnya
sendiri nanti hilang. Selagi ia diam mengawasi, nonanona
itu tertawa pula, tertawa geli sekali. Sembari
mengulap-ulapkan tangannya, mereka berkata: "Di
dalam gudangnya si raja ada bertumpuk emas dan
kumala, segala macam permata pun ada, toh kamu
masih hendak menghadiahkan kepadanya! Maka kalau
kami mengambil bingkisan ini. tidak ada artinya, bukan?"
Segera setelah ucapannya itu, mereka mengangkat
kaki. lari naik semakin tinggi ke atas bukit, hingga
sebentar kemudian, mereka sudah melewati bukit itu.
51 Karena tidak ada harapan untuk mengejar. Keng Sim
lari balik ke hotel. Selagi mendekatin, kupingnya sudah
mendengar suara berisik sekali dari arah hotelnya. Ia
heran dan kaget, maka ia berlari-lari keras.
"Rupanya kawanan perampas belum mengangkat
kaki," ia menduga-duga.
Dengan cepat pemuda ini sampai di depan hotel, di
mana ia menampak segala apa kalang kabutan. Serdaduserdadu
pengiring pada roboh menggeletakan, bekas
dihajar perampas. Bong Goan Cu, dengan mulut
berkaokan, lagi melayani satu nona muda belia, sedang
seorang nona lainnya lagi menggerayangi kedua peti besi
yang memuat bingkisan.
Kedua peti kecil tetapi berat, sebagai ia
mengetahuinya, dua opsir rendahan. yang membawa itu,
telah termege-mege karena mesti menggunakan tenaga
berlebihan setiap peti itu beratnya mungkin seratus kati.
Sebaliknya nona itu, memegang peti dengan masingmasing
tangannya, dia seperti tidak menggunakan
tenaga. Dua-dua nona itu berumur masing-masing baru empat
atau lima belas tahun, mereka mirip dengan dua yang
tadi. hingga mulanya Keng Sim menduga mereka itulah
yang telah mendahului ia tiba di hotel, setelah ia
mengawasi, ia mendapat kenyataan mereka ini lebih
gemuk sedikit, cuma pakaian mereka berempat sama.
ialah warna kuning gading dan di kepala mereka ada
kupu-kupunya. Juga senjata mereka serupa yaitu golok
pendek dengan kepala naga-nagaan.
Kemudian si nona yang merampas bingkisan itu
tertawa dan berkata sendirinya: "Aku mengira benda apa
52 y ang berharga luar biasa, kiranya cuma dua patung
Buddha dari emas!" Suaranya itu menyatakan ia sangat
tidak memandang mata kepada dua patung emas itu.
Sebenarnya pada waktu itu. Kuiciu ialah sebuah
propinsi yang miskin, sampai ada pepatah yang berbunyi:
"Langit tidak ada tiga hari yang terang jernih, di bumi
tidak ada tiga hari yang aman tenteram, dan di antara
manusia, tak ada yang mempunyai emas tiga hun saja."
Toh telah terbukti, sunbu dari Kuiciu telah berhasil
membuat tiga patung Buddha yang berat itu, dari itu
dapat dimengerti bagaimana dia sudah memeras
rakyatnya. Bong Goan Cu mencaci kalang-kabutan, tetapi dia
menggunakan bahasa Biauw.
Keng Sim melihat ke sekitarnya. Di mana si nona cuma
ada berdua, ia mau percaya barangnya sendiri belum
sampai kena dirampas, karena itu. hatinya menjadi
sedikit lega. Karenanya, ia merasa lucu juga mendengar
ocehannya Bong Goan Cu itu. Meski begitu, ia beraguragu.
Ia memikir-mikir, apa baik ia membantui Bong
Goan Cu merampas pulang kedua patung emas itu.
Pertempuran berlangsung terus, selagi Keng Sim
mengawasinya, mendadak ia melihat si nona telah
menggores jidatnya Bong Goan Cu, hingga darahnya
lantas keluar, mengalir turun.
Atas kejadian itu, yang membikin ia merasa sakit dan
semakin gusar, Bong Goan Cu menggeraki kedua belah
tangannya, melontarkan sepuluh gelang perak di
lengannya itu. Sebab gelang-gelang itu adalah senjata
rahasia suku bangsa Biauw.
53 Hebat menyambarnya senjata rahasia itu, sampai hati
Keng Sim terkesiap, karena ia sekarang menguatirkan
keselamatannya si nona tanggung itu...
Si nona kecil tidak menjadi bingung. Ia mengayunkan
tangannya menerbangkan dua batang pisau belati.
Segera terdengar menyusulnya suara tangtingtong, suara
yang tak hentinya.
Ternyata sembilan gelang dari Poan Thian Lo telah
terpapas kutung menjadi dua potong, belum lagi buyar,
sudah kena dihajar pisau belati itu. semuanya menjadi
kacau tujuannya, menjadi saling bentrok sendiri. Tidak
ada sebuah pecahan juga yang mengenai tubuh si nona.
yang main berkelit dengan lincah.
Nona yang lainnya telah menyambar kedua peti besi
itu, untuk dibawa lari dengan pesat. Dia justeru lari lewat
di sampingnya Keng Sim. Kalau ia mau, Keng Sim bisa
mengulur tangannya, menyambar, merampas peti besi
itu, atau ia hanya memegat, untuk merintangi. Belum dia
sempat berpikir, si nona sudah berkata dengan perlahan:
"Masing-masing baiklah menyapui saja salju di depan
rumahnya sendiri, jangan perdulikan es di genting rumah
lain orang!"
Tercengang Keng Sim mendengar suara itu. ialah
pemberian ingat untuk ia jangan usilan, supaya ia jangan
mencampuri sepak terjangnya nona-nona itu.
Justeru itu terdengar teriakan berulang-ulang dari


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bhok Lin dari pondokannya: "Cihu, lekas! Lekas ke mari!"
Sebab ipar itu pun telah melihat sesuatu.
Oleh karena menguatirkan barang yang dilindunginya
sendiri nanti lenyap, Keng Sim lantas lari pulang. Dengan
54 begitu ia menjadi membiarkan si nona lari terus. Ketika ia
tiba di muka pondokan, dengan sekali melirik saja, ia
telah melihat muka Bong Goan Cu mandi darah, karena
dia telah dihajar roboh si nona cilik.
Di rumah penginapan itu orang pada bersembunyi
dengan tubuh mereka bergemetaran. Tidak ada seorang
juga yang berani mengasi dengar suaranya. Cuma Bhok
Lin yang gembira sekali, ia memegang tangan cihu-nya
untuk ditarik masuk ke dalam kamar.
"Cihu," katanya tertawa setibanya di dalam, "banyak
pengalamanmu dalam dunia kangouw tetapi kali ini kau
salah mata, justeru terkaankulah yang benar! Nona-nona
itu benarlah orang-orang yang merampas bingkisan
untuk kaisar! Dan terhadap kita, mereka itu memandang
mata, mereka melepas budi!"
Keng Sim menutup pintu kamar.
"Kenapa mereka melepas budi?" ia tanya iparnya itu.
"Kau lihat!" sahut Bhok Lin, tangannya menunjuk.
Keng Sim segera memandang ke arah yang ditunjuk
itu, ialah peti buku mereka di dalam mana disimpan
bingkisan mereka. Di situ menancap sebatang pisau
belati, yang ditusukkan sehelai kertas. Tidak usah ditanya
lagi, pastilah itu kertas dan pisau belati dari si nonanona.
"Mereka itu, begitu mereka masuk, lantas plak mereka
menimpuk dengan pisau belati mereka," Bhok Lin
menerangkan, "dan mereka mengatakannya supaya kita
jangan usilan. Sebenarnya aku berniat menempur
mereka, akan tetapi karena mereka sudah lantas
memakai cara kaum kangouw, aku membatalkan niatku
55 itu, aku membiarkan mereka merdeka. Bukankah suatu
keharusan, jikalau orang menghormati kita satu kaki, kita
membalasnya hormat itu dengan satu tombak?"
Keng Sim tertawa dan mengatakannya. "Aku kuatir
justeru lain oranglah yang membiarkan kau!"
Lantas pemuda ini mencabut pisau belati itu. untuk
mengambil suratnya. Di situ ada coretan beberapa huruf
yang tak keruan, bunyinya begini: "Kamu membelai apa
yang tak adil, kami suka berbuat baik. Jikalau kamu tidak
kenal keadaan. ketahuilah, bingkisanmu sukar sampai di
kota raja!"
Habis membaca, Keng Sim berkata: "Mana ini
pemberian muka untuk berlaku baik kepada kita" Inilah
ancaman belaka!"
"Bukankah barang kita tak disentuh sama sekali?"
tanya Bhok Lin.
"Mereka hanya membilang, kali ini mereka tidak
merampas, lain kali mereka akan mengulurkan tangan
mereka," Keng Sim menjelaskan.
"Tapi kita tidak takut!" berkata Bhok Lin, berani. "Kita
empat orang dewasa, mustahil kita tidak dapat melawan
empat orang nona bocah itu?"
Keng Sim berpikir. Melihat kepandaian si nona, dengan
sebatang pedangnya, ia sanggup melayani mereka itu, ia
percaya, ia tidak bakal dikalahkan, tetapi yang ia
kuatirkan ialah orang-orang di belakang nona-nona
cerdik itu, mereka itu mestinya orang-orang yang lihay.
Kalau mereka tidak lihay, cara bagaimana mereka berani
merampas bingkisan hadiah untuk raja"
56 "Cihu, kau pikirkan apa?" Bhok Lin menanya, melihat
cihu itu diam saja. "Apakah benar-benar kau kasi dirimu
kena digertak mereka" Benarkah kau takut?"
Keng Sim tertawa.
"Aku bukannya takuti mereka itu," ia menyahut, "aku
hanya kuatir Poan Thian Lo sadar dan datang ke mari
hingga dia melihat kita. Mana enak menghadapi
pertemuan itu" Maka baiklah kita lekas berangkat!"
Benar-benar orang she Tiat ini bertindak. Ia menyuruh
kedua busu siap sedia, ia sendiri melakukan pembayaran
kepada pemilik rumah penginapan. Maka di lain saat
mereka sudah mulai dengan keberangkatan mereka.
0oo0 III. Ketemu "Harimau Kuniala." Melihat "Naga
Sakti." Perjalanan dilakukan Keng Sim selekas bisa. Ia
menginsafi ancaman bahaya di sepanjang jalan itu. Bhok
Lin sebaliknya, dia bahkan gembira sekali membicarakan
urusan perampasan itu. Agaknya dia menyesal yang dia
tidak dapat ketika akan mencoba-coba dengan ke empat
nona cilik itu.
"Ah, siauwkongtia-ku yang baik." berkata Thio Po si
guru silat yang usianya sudah lanjut, "untuk kita paling
benar kitajangan bertemu pula dengan mereka itu!"
Di perjalanan itu mereka tidak menemui sesuatu,
maka itu setelah melewati dua puluh hari lebih, mereka
sudah melalui batas propinsi Kwisay dan sudah
57 memasuki wilayah propinsi Kwitang. Juga di sini mereka
umpama kata tidak bertemu sama "setengah penjahat"
jua. Kedua guru silat mentaati pesan Bhok Kokkong,
mereka minta Tiat Keng Sim menghadap congtok dari
Liangkong, dari propinsi Kwisay dan Kwitang, yang
gubernur jenderalnya hanya satu orang, supaya mereka
dapat menggabungkan diri dan berjalan bersama-sama
rombongan dari Kwisay-Kwitang itu, dengan begitu
jumlah mereka jadi banyakan, tenaga mereka pun
bertambah kuat.
Bhok Lin tidak senang dengan usul itu, akan tetapi itu
adalah titah ayahnya, ia tidak berani membantahnya.
Dengan terpaksa ia pergi menjumpai Liangkong congtok.
Dengan mengunjungi congtok itu, mereka menjadi
mendapat tahu rombongan pengantar bingkisan dari
Kwisay sudah tiba beberapa hari lebih dulu dan mereka
itu bahkan tengah menantikan mereka ini.
Congtok menyambut dan melayani Keng Sim dan Bhok
Lin dengan manis budi, karena ia mengetahui mereka itu,
yang satu ialah menantunya Bhok Kokkong dan yang
lainnya putera hertog itu. Sebaliknya ialah sikap dari
busu atau guru-guru silat yang melindungi bingkisan dari
kedua propinsi itu, di depan mereka menunjuki hormat
mereka, di belakang mereka memandang enteng, hal
mana ternyata dari air muka mereka.
Busu dari dua propinsi itu adalah ahli-ahli silat yang
kenamaan, di mata mereka itu Keng Sim dan Bhok Lin
adalah dua kongcu belaka, yang pasti tidak punya guna
dan melainkan bertingkah saja, untuk menjual lagak.
Sebaliknya mereka mau percaya si kedua guru silat
58 pengantarnya barulah orang-orang yang berarti, maka
itu senang mereka bergaul dengan dua busu ini, yang
mereka anggap ada sesamanya, gembira mereka
memasang omong.
Keng Sim berdua Bhok Lin singgah dua hari di kantor
congtok, lantas mereka pamitan untuk melanjuti
perjalanan. Mereka menjadi tiga rombongan yang
menjadi satu, jumlah pengatarnya atau busu ada tujuh
delapan orang dan pengiringnya empat atau lima puluh
serdadu. Dengan jumlah yang besar, mereka itu
nampaknya mentereng sekali.
Melihat itu. Keng Sim kurang puas. Itulah terlalu
mencolok mata. Busu yang mengepalai rombongan dari Kwitang
bernama Coa Hok Ciang, dialah keluaran Siauwlim Si, di
masa mudanya pernah dia pesiar ke Utara, ke kota raja.
di mana dia pernah bertempur sama guru-guru silat dari
barisan pahlawan Kimiewi, beruntun dalam satu hari dia
berhasil mengalahkan tujuh guru silat. Sekarang dalam
usia mendekati enam puluh, dia nampaknya masih
gagah. Guru silat dari Kwisay ialah Wi Kok Ceng, umurnya
lebih kurang empat puluh tahun, kedudukannya sebagai
congpiuwtauw, kepala sersi dari kantor sunbu. Ia pandai
bersilat di atas kuda dan menggunakan panah, sedang
senjatanya sendiri ialah toya cibiekun. Dalam kalangan
Bulim atau Rimba Persilatan di Kwisay, ia berkenamaan.
Di sepanjang jalan dua guru silat ini gembira sekali
membicarakan urusan ilmu silat, tentang hidup mereka.
Kelihatan nyata mereka sama-sama memamerkan diri
sendiri. Bhok Lin tidak senang mendengar suara orang,
59 kalau bukannya Keng Sim mencegah, tentulah ia sudah
memukul sindir mereka itu.
Pada suatu hari rombongan yang besar ini tiba di
Ciauwleng, tapal batas propinsi Hokkian. Di sini mereka
memasuki daerah pegunungan, maka dengan sendirinya
mereka berlaku tambah berhati-hati.
Di waktu tengah hari, selagi Sang Surya ada di
tengah-tengah langit, karena panas terik, manusia letih
dan kuda lelah dan berdahaga, mereka mampir di tepi
jalan di mana ada sebuah warung teh. Coa Hok Ciang
memberi ijin akan semua pengiring beristirahat, ia sendiri
mengajak Keng Sim semua masuk ke dalam warung akan
duduk berkumpul di dua buah meja.
Wi Kok Ceng, guru silat dari Kwisay, ada membekal
panah, senjata itu tidak pernah lepas dari tangannya,
selalu ia bawa-bawa. demikian memasuki warung teh, ia
terus bawa busurnya itu. Bhok Lin jail, ia pegang busur
itu, untuk mencoba-coba beratnya.
"Hati-hati, siauwkongtia!" berkata Kok Ceng, tergesa,
"jaga jangan kau merusak kesehatanmu!"
Bhok Lin tertawa haha-hihi, ia mengangkatnya.
"Mungkin busur ini beratnya lima atau enam puluh
kati. " katanya. "Untuk mementang busur yang sangat
besar ini, mesti diperlukan tenaga yang besar!"
Wi Kok Ceng heran mendapatkan si hertog muda kuat
mengangkat busurnya itu.
"Ah, tak usah juga memakai tenaga besar!" katanya
kemudian, tertawa. "Busurku ini ialah dinamakan ngocio
kiangkong. asal kedua lengan tangan mempunyai tenaga
60 lima enam ratus kati juga sudah kuat untuk
menggunakannya!"
Yang disebut ngocio kiangkong, atau busur yang berat
lima karung adalah busur nomor satu, sengaja Wi Kok
Ceng menyebut itu, guna membanggakan dirinya
bertenaga besar.
Keng Sim bersenyum mendengar perkataan orang itu.
"Mempunyai tenaga lima atau enam ratus kati sudah
bukannya terhitung tenaga kecil lagi!" berkata Bhok Lin,
yang seperti tak tahu apa-apa.
Wi Kok Ceng agak tercengang.
"Hertog muda ini besar mulut," pikirnya. "Tenaga lima
enam ratus kati katanya bukan kecil lagi..." Tapi ia
tertawa dan berkata, "Tenaga memanah adalah yang
kedua, yang paling penting yaitu tepatnya incaran. Ada
satu waktu yang aku memasuki sebuah gunung
mengejar serombongan berandal, mereka berjumlah
sembilan belas orang, panahku ada delapan belas
batang. Satu demi satu anak panahku itu menemui
sasarannya, delapan belas berandal roboh karenanya.
Yang ke sembilan belas lari kabur. Dia beruntung tidak
sampai binasa. Kemudian aku mendapat tahu dialah
kepala dari kawanan berandal yang bertempat di selatan
Kwisay. Semenjak itu bubarlah rombongannya tidak lagi
dia berani melakukan usaha tanpa modal itu!"
Di sebelah meja mereka ada sebuah meja lain di mana
ada berkumpul beberapa tetamu lainnya, mereka itu
mendengar perkataannya guru silat ini, mereka agaknya
heran dan kagum, hingga kedengaran pujian mereka,
hanya nadanya bercampur sama penyesalan.
61 Coa Hok Ciang luas pengalamannya, mendengar suara
mereka itu, ia merasa hatinya tidak tenang, tetapi ia
dapat mengusai diri, ia tidak menuruti Kok Ceng bicara
besar itu, ia bahkan sengaja menghela napas. Ia
mengangkat cawan tehnya.
"Hebat, hebat!" katanya. "Mendengar perbuatan
gagah itu, marilah dengan secawan teh ini menggantikan
arak aku memberi selamat!"
Ia lantas mengeringi air tehnya itu, kemudian ia
menurunkan cawannya dengan separuh dibanting,
mulutnya masih mengasi dengar pujiannya: "Hebat,
hebat!" Warung teh ini memakai cawan bukan dari gelas
hanya dari logam, yaitu tembaga, sebabnya ialah agar
cawannya tak gampang pecah. Hok Ciang membanting
cawannya itu, maka tempo ia mengangkatnya pula, di
meja ada bekas melesaknya tiga dim.
"Ah!..." katanya, ketika ia melihat meja celong itu,
"aku melupakan diriku hingga aku membuatnya meja ini
rusak, aku menyesal."
Ia lantas merogo sakunya, mengeluarkan uang dua
renceng, katanya sebagai pengganti kerugian.
Wi Kok Ceng melihat perbuatannya Coa Hok Ciang ini,
diam-diam ia merasa yang rekannya itu bertenaga lebih
besar daripadanya, tetapi ia tidak takut, bahkan ia
memikir nanti satu waktu mencari ketika untuk
mempertontonkan ilmu panahnya yang lihay itu, yang
menganggapnya tanpa tandingan. Ingin ia membikin Hok
Ciang turun derajat...
62 Orang-orang di meja satunya itu pada bungkam,
sesaat kemudian barulah terdengar seorang mengatakan,


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di dalam dunia ini ada kepandaian demikian lihay,
sunggah kita si orang-orang desa bisa mati kaget..."
Tapi meskipun mereka mengatakan demikian, nada
mereka mengandung sindiran.
CoaHok Ciang lantas melirik. Ia dapat kenyataan,
orang yang berbicara itu adalah seorang muda dengan
sepasang alis gompiok dan bermata besar, sedang tiga
yang lain mirip dengan petani-petani. Habis minum teh,
mereka itu berlalu lekas-lekas.
Wi Kok Ceng mendapat lihat kelakuan orang itu, ia
menjadi curiga, tetapi ia tidak takut, memandangi
belakang orang, ia kata sambil tertawa dingin: "Jikalau
aku ketemu orang jahat, akan aku kasih rasa mereka
anak-anak panahku!" Ia bicara dengan suara keras, ia
sengaja supaya mereka itu mendapat dengar.
Sesudah dapat beristirahat, rombongan pengantar
bingkisan ini mulai pula dengan perjalanan mereka.
Wi Kok Ceng sengaja jalan di paling depan, tangannya
memegang busurnya, sikapnya gagah.
Keng Sim bersama Bhok Lin jalan di sebelah belakang
busu itu, sikap mereka biasa saja.
CoaHok Ciang jalan di belakang, selaku pengiring atau
pembantu. Segera juga mereka telah melalui perjalanan belasan
li. Justeru itu mereka mulai memasuki mulut sebuah
gunung. Mendadak terdengar seman di sebelah depan,
lalu seorang penunggang kuda nampak lari mendatangi
63 ke arah rombongan mereka itu. Dia mendatangi sembari
tertawa berkakak, kepalanya dilenggakkan. Nyata dialah
si anak muda alis gompiok dan mata besar yang di
warung teh tadi.
"Eh, kau bikin apa?" Wi Kok Ceng menegur. "Jikalau
kau tidak lekas turun dari kudamu, nanti aku panah
padamu!" Anak muda itu tertawa pula, ia tidak turun dari
kudanya. "Aku justeru hendak mencoba panahmu!" katanya
menantang. "Kau ada membawa berapa batang anak
panah?" Menyusuli berhentinya perkataan si anak muda, yang
suaranya keras, dari lamping gunung lantas terdengar
suara berisik sekali, lalu tertampak munculnya
serombongan orang jahat. Mereka itu rupanya telah
menyembunyikan diri semenjak tadi.
Keng Sim mengawasi, ia melihat sejumlah empat atau
lima puluh orang. Ia lantas berpikir: "Melihat jumlah kita
adalah berimbang, hanya aku kuatir ini beberapa busu
bukannya lawan mereka itu..."
Wi Kok Ceng gusar bukan main sampai napasnya
menghembus dari hidungnya.
"Ini hari tuan besarmu membawa anak panah cukup
untuk kamu menerimanya, satu orang satu!" katanya
nyaring. "Kau juga ada bagianmu!"
Kata-kata ini disusul sama persiapan, tangan kiri
memegang kayu busur, tangan kanan bersama anak
panah menarik talinya, hingga busur itu tertarik
64 melengkung sebagai bulan purnama. Melihat sikapnya
itu, benarlah dia seorang ahli panah. Lantas saja
terdengar suara menjepret dan anak panah itu meluncur
ke depan, ke arah tenggorokan si anak muda
penunggang kuda itu.
Luar biasa si anak muda, ia tertawa dengan tubuhnya
tak bergeming. Ketika anak panah hampir pada
sasarannya, barulah sebelah tangannya digeraki. Luar
biasa sebat gerakan tangan itu, belum lagi Kok Ceng
tahu apa-apa, anak panahnya itu telah kena ditangkap si
anak muda, untuk diteruskan dipatahkan!
"Ilmu panah semacam ini mau dipertontonkan, hm!"
mengejek anak muda itu, yang tertawa seraya
menggeleng-geleng kepalanya.
Wi Kok Ceng jumawa, maka bisalah dimengerti kalau
hatinya jadi panas sekali diperhina secara demikian.
Tanpa mengatakan apa-apa, ia melepaskan anak
panahnya yang kedua, disusul sama yang ketiga!
Bhok Lin menyaksikan cara orang menggunakan
panah itu. ia kata dalam hatinya: "Pantas dia jumawa,
dia benar ada mempunyai kepandaian!"
Cepat memanahnya Kok Ceng, sebat tangannya si
anak muda. Dua batang anak panah itu kena disambuti.
kena terus dibikin patah.
Dalam penasarannya. Kok Ceng memanah terus
menerus. "Satu! dua tiga! empat! lima!" si anak muda berseruseru
selagi ia menyambuti tiap anak panah itu. "Enam!
tujuh! delapan! sembilan! sepuluh'"
65 Dan ia masih menghitung terus sebab Wi Kok Ceng
juga memanah dia tak hentinya, dengan kesehatannya
yang luar biasa. Hingga sebentar kemudian ia sudah
menghitung hingga tiga puluh enam, yang mana berarti
juga tiga puluh enam batang anak panah telah
disanggapi dan dibikin patah!
Muka dan kupingnya Wi Kok Ceng menjadi merah. Ia
serba salah. Anak muda itu tertawa berkakak.
"Masih ada berapa batang lagi?" ia menanya, sikapnya
menantang. Dalam murkanya yang sangat. Kok Ceng menarik pula
tali besarnya, menjepretkan tiga batang anak panahnya
yang terakhir. Ia mengerahkan tenaganya, ia mengincar
dengan tepat, bahkan ia melepaskan berbareng tiga
batang panah itu. Inilah kepandaiannya yang istimewa.
Meski dilepaskan berbareng, anak panah itu tetapi
menjurus ketiga tempat, ialah tenggorokan, dada dan
pusar. Selagi dipanah, anak muda itu tertawa dan berkata:
"Demikian anak panah telah dilepaskan, ini tiga yang
terakhir boleh juga!" Kalau tadi dia bertubuh tegak,
secara gampang saja dia menghalau ancaman bahaya,
kali ini dia menggeraki tubuhnya. Selagi dia memutar
tubuh, tangannya digeraki berputar juga. Tepat sekali,
ketiga batang anak panah kena dia sambar dan cekal
semuanya! "Apakah kau telah memanah habis?" bertanya anak
muda itu, tertawa. "Jikalau ada kedatangan tidak ada
kepergian. itulah namanya bukan kehormatan, maka itu
66 tiga batang anak panah ini dengan segala kehormatan
aku membayarnya kembali!" Dan ia segera menggeraki
tangannya, bagaikan orang membandering.
Tiga batang anak panah itu meluncur ke arah
pemiliknya. Wi Kok Ceng terkejut, tetapi ia masih sempat berkelit
dengan kelitannya "Menyembunyikan diri di dalam
pelana." Meski begitu, ia cuma dapat lolos dari sebatang
panah, dua yang lain terus mengancam padanya. Di saat
ia tidak berdaya itu, mendadak "traang triing!" maka
kedua batang panah itu kacau dari tujuannya, melewati
perut kuda. jatuh di tanah.
Kok Ceng tidak tahu bahwa secara diam-diam Keng
Sim sudah membantu meloloskan jiwanya dari marah
bahaya, karenanya ia mendongkol sekali kepada si anak
muda. Setelah duduk pula tetap di atas kudanya, ia
menarik toyanya, toya cibiekun yang terbuat dari
tembaga, ia menyerang si anak muda sambil ia
berlompat turun dari kudanya, setelah kudanya itu ia
kasih maju mendekati lawannya. Ia menghajar kepala
orang. Si anak muda mengangkat tangannya sambil tertawa
dan berkata: "Toya ini banyak lebih susah dibekuknya
daripada anak panah..." Dengan sebat tangannya itu
menanggapi toya, yang terus ia cekal keras dan menarik
sambil berseru: "Lepaslah!"
Gagal serangannya Kok Ceng itu, toyanya kena
dipegang lawan, ketika ia menahan tarikan keras itu,
hampir ia menjerit. Ia kesakitan karena telapakan
tangannya itu terluka. Dengan bandel ia pegang erat-erat
toyanya itu, tidak perduli tangannya borboran darah.
67 Masih si anak muda tertawa.
"Mustika apakah ini hingga kau sayang melepasnya?"
katanya tertawa terus. Ia tidak menarik lagi seperti tadi,
hanya ia kerahkan tenaga dari dua tangannya, maka
selagi Kok Ceng menahan, toyanya itu lantas perlahanlahan
mulai bengkok melengkung.
Mukanya Kok Ceng menjadi merah. Dengan paksakan
diri, ia memegang terus dengan keras toyanya itu.
Matanya lantas menjadi berkunang dan kepalanya
pusing. Ia tahu, ia bakal roboh tak sadarkan diri, bahwa
ia bakal terluka di dalam, tetapi kepala besarnya sungkan
mengalah, terus ia bertahan. Ia lebih suka terbinasa
daripada mendapat malu, maka ia cekal keras matimatian
toyanya itu. Keng Sim menjadi bersangsi walaupun sebenarnya ia
hendak maju untuk menolongi busu itu. Justeru itu Coa
HokCiang menghampirkan ia untuk memberi hormat
sambil menjura seraya berkata: "Tiat Kongcu, pandai kau
membawa dirimu, akan tetapi kali ini barang-barang
hadiah ini cuma mengandal kau seorang untuk
melindunginya! Di dalam rombongan begal itu mesti ada
orang-orang yang lihay lainnya, dari itu aku mohon
sukalah kau melindungi, nanti aku si orang tua pergi
melayani mereka itu."
Ketika tadi Keng Sim menolongi Kok Ceng dengan
menimpuk panah dengan butir-butir batu kecil, ia dapat
mengelabuhi semua orang lainnya tetapi tidak busu she
Coa itu seorang. Karena Hok Ciang merasa pasti, Keng
Sim ada jauh terlebih lihay daripada mereka semua, ia
menjadi sudah minta bantuannya itu.
68 Keng Sim melihat bahaya mengancam, ia
mengangguk. Ia merasa Coa Hok Ciang cukup tangguh
akan melayani musuh, maka untuk mencegah ada
penjahat yang membokong, ia terpaksa memikul
tanggung jawab atas keselamatannya semua bingkisan
berharga itu. Ketika itu toyanya Wi Kok Ceng sudah melengkung
betul-betul, jiwanya si busu yang berkepala batu itu
sudah terancam bahaya maut. tetapi justeru si anak
muda tertawa dan berkata kepadanya: "Melihat kepada
kebandalanmu ini, suka aku mengasih ampun. Nah, kau
pergilah!"
Selagi anak muda itu berkata, dari rombongan busu
maju dua orang dengan gerakan tubuh mereka gesit
sekali. Itulah Coa Hok Ciang, yang dibarengi Bhok Lin si
hertog muda. Putera Bhok Kokkong ini penasaran untuk
tingkah laku si berandal muda itu.
Di antara dua orang ini, Bhok Lin adalah yang sampai
terlebih dulu, maka berkelebatlah pedangnya, bagaimana
bianglala panjang, menyambar tenggorokan si berandal.
Putera hertog ini belum lihay tetapi tusukan pedangnya
itu ada buah pengajarannya Thio Tan Hong, maka itu.
hebat penyerangannya itu.
"Traang!" demikian satu suara nyaring. Sebab dengan
mengangkat toya musuh yang bengkok itu, si anak muda
telah menangkis tikaman pedang. Dengan begitu juga,
Wi Kok Ceng menjadi tertolong dari ancaman bahaya.
Hanya celaka untuk ia, tanpa pegangan toya lagi,
tubuhnya menjadi limbung, sambil terhuyung ia
memuntahkan darah hidup. Meski begitu, ia tetap masih
mencekal toyanya. Ia tahu Bhok Lin yang menolongi
69 padanya, ia lantas menjura kepada putera hertog itu
seraya berkata. "Siauwkongtia, terima kasih!"
Biarpun kalah, busu ini tidak mendapat malu besar,
sebab senjatanya tak terampas musuh, ia masih
memegangnya erat-erat.
Ketika itu Bhok Lin dan si penjahat muda sudah
bertempur hingga tiga jurus, dan pertempuran mereka
masih dilanjuti.
Coa Kok Ciang tidak terus maju untuk membantu si
hertog muda. ia hanya mempepayang Wi Kok Ceng,
untuk diajak balik ke dalam rombongan mereka Ia kaget
berbareng girang. Kaget sebab ia tidak menyangka
musuh lihay sekali. Ia girang karena ia tidak menduga
putera hertog itu, yang masih begitu muda nyata gagah
perkasa. Demikian juga Tiat Keng Sim. Tadinya ia
melihatnya cuma dua anak sekolah yang lemah.
Coa Hok Ciang menyaksikan pertempuran itu.
Si berandal muda melayani dengan sepasang tangan
kosong. Benar Bhok Lin bersenjatakan pedang, setelah
beberapa jurus, ternyata ia tidak dapat berbuat banyak,
Coa Hok Ciang mendapat kenyataan, meski hertog muda
itu lebih gesit daripada dia ia masih kurang latihan,
kurang pengalaman. Karena ini, busu ini menjadi
berkuatir. Bagaimana kalau si hertog muda terlukakan
penjahat" Maka terpaksa dia mengambil putusannya
Tapi, selagi dia hendak maju, Tiat Keng Sim menarik
lengannya Kalau Hok Ciang berkuatir Bhok Lin nanti terluka, Keng
Sim sendiri terbenam dalam kesangsian, hingga ia
menjadi heran dan curiga. Ia pun dapat melihat Bhok Lin
70 tidak bisa berbuat apa-apa terhadap musuh muda dan
lihay itu, hertog muda ini kalah di dalam segala hal. Tapi
anehlah si anak muda. Di saat dia mendapat menahan
pedang Bhok Lin-yang mana terjadi beberapa kalibukannya
dia terus membalas menyerang, untuk


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menurunkan tangan jahat, hanya dia menyerang depan
berdepan, menurut cara yang biasa. Di mata orang
biasa, bisa disangka si anak muda takut menghadapi
pedang, di matanya Keng Sim adalah lain. Maka Keng
Sim tidak mengerti, kenapa orang agaknya menaruh
belas kasihan kepada kawannya itu.
Bhok Lin sendiri tidak dapat melihat musuh melayani
ia secara separuh bermain-main itu, tetapi ia menginsafi
yang ia menemukan lawan yang tangguh, karena hatinya
lantas saja memukul, karena ia menjadi berkuatir. Tapi ia
berkepala besar, di depan orang banyak itu, tidak suka ia
mengalah, maka ia berkelahi terus dengan sengit sekali.
Ia menggunakan semua kepandaiannya, ia mengarah
segala bagian anggauta yang berbahaya di tubuhnya si
anak muda Sembari berkelahi, si anak muda bersenyum. Ia terus
melayani dengan tenang tetapi gesit. Sekarang ia
berdaya untuk dapat merampas pedangnya si putera
hertog. Bhok Lin bertambah bingung, serangannya menjadi
terlebih cepat. Biar bagaimana ia berdaya, tetap ia tidak
berhasil menikam lawannya itu. Orang ada lincah sekali
bagaikan naga, tubuhnya seperti berputaran di
depannya. Saking bingung, ia menjadi mulai kacau
permainan pedangnya.
71 Sekarang hertog muda ini kena didesak lawan, saking
bingung, ia menjadi nekat, maka menyeranglah ia
dengan tipu silatnya, "Menarik gelang berantai." Ia
mengarah dada lawannya tanpa ia menghiraukan lagi
pembelaan diri.
Coa Hok Ciang kaget melihat kenekatannya si hertog
muda, lupa pada cegahannya Tiat Keng Sim, ia lompat
untuk memberikan bantuannya.
Si anak muda tapinya tertawa. Ia bukannya membalas
menyerang, ia hanya berkelit dari tikaman dahsyat.
Dengan gampang ia membebaskan dirinya dengan tipu
silatnya, "Angin besar meniup rontok bunga." Tiga kali ia
berkelit, lalu mendadak ia merapatkan diri, kedua
tangannya bergerak berbareng, ke sikut lawan, ke arah
gagang pedang. "Lepas!" ia pun berseru.
Hampir di saat itu juga, pedang terlepas dari tangan
Bhok Lin, pindah ke tangan lawannya, siapa kembali
tertawa. Tapi juga menyusul itu. pedangnya itu
diangsurkan ke arahnya.
Bhok Lin kaget dan bingung, saking tidak mengerti, la
terdiri menjublak.
Coa Hok Ciang, yang baru tiba di dekat mereka, pun
heran, hingga ia tercengang. Cuma sebentar saja. ia
lantas maju. "Siauwkongtia. silahkan balik," ia berkata. Sambil
mengucap itu, ia berlompat maju kepada si anak muda,
tangan kanannya mengancam, mulutnya bersuara:
"Tuan, kau lihay sekali! Sukalah aku si orang tua
menerima pengajaran dari kau!"
72 Pukulan itu ada pukulan Siauwlim Si, walaupun itu
hanya ancaman belaka, si anak muda telah melihatnya,
maka itu sikapnya segera menjadi lain.
"Pantaslah, jahe makin tua makin panas!" ia berkata.
"Coa Suhu, karena kau yang meminta, baiklah, aku
mengiringinya "
Sembari berkata, ia melesat ke samping Bhok Lin,
sebelum anak hertog ini tahu apa-apa, pedangnya sudah
dikasih masuk ke dalam sarungnya!
Melihat orang berlompat, Hok Ciang kaget. Itulah
lompatan yang gesit luar biasa. Karena ini ia lantas
menyerang, maksudnya untuk menolongi Bhok Lin.
Si anak muda memutar tubuhnya, untuk menghadapi
busu itu. Ia membuka kedua tangannya, tangan kiri
untuk menangkis, tangan kanan untuk menghantam
lengan si anak muda. Anak muda itu sebaliknya berkelit,
untuk terus membalas menotok ke nadi. Atas itu Hok
Ciang menarik tangannya, lalu ia mengajukan duaduanya,
untuk kembali menyerang.
Siauwlim Kun, yaitu ilmu silat Siauwlim, dipecah dalam
enam bagian, yaitu kesatu Cim Siauwlim, kedua Teklouw
Siauwlim, ketiga Bun Siauwlim, ke empat Yauwpou
Siauwlim, ke lima Bu Siauwlim, dan ke enam, Sinhoa
Siauwlim. Di antara itu, yang pertama yang paling
tangguh, ialah Cim Siauwlim, artinya "Serbuan Siauwlim."
Ilmu ini terdiri daripada tiga puluh tujuh jurus, dan jurus
yang pertama yaitu "Chiongthian pauw" atau "Terjangan
meriam." Maka itu si bandit muda tidak berani lawan
keras dengan keras, ia berkelit seraya memutar
tubuhnya, sambil mendak juga. tempo ia berbalik,
sebelah tangannya bagaikan angin cepatnya membabat
73 ke lutut lawannya. Itu dia yang dinamakan pukulan
Harimau Mendekam.
Coa Hok Ciang melonjorkan lutut kiri seraya menekuk
lutut kanan, dengan begitu ia bebas dari babatan
lawannya, berbareng dengan itu, ia pun menyerang.
Dengan cara ini. berkelit sambil menyerang, ia bisa
menghalau ancaman bahaya itu.
Ketika itu Bhok Lin telah kembali ke damping Keng
Sim. Ia lesu dan tunduk.
"Jangan kecil hati." sang ipar menghibur. "Inilah
pertempuranmu yang pertama kali, biarpun
kesudahannya begini rupa, ialah orang mengalah
terhadapmu, lumayan untukmu."
Bhok Lin heran dan bertambah malu mendengar sang
cihu membilangnya bahwa orang mengalah terhadapnya.
"Sebenarnya ilmu silatmu tidak buruk," kata pula sang
cihu tertawa. "Hanya tadinya kau cuma berlatih
sendirian, itu mirip orang bicara tentang taktik perang di
atas kertas, sekalinya orang berperang, segera ternyata
banyak kekosongannya Satu atau dua kali orang gagal,
nanti setelah delapan atau sepuluh kali, orang akan jadi
berpengalaman. Jangan kau berduka. Nah, kau lihat itu
Coa Suhu, dia bersilat dengan ilmu silat Siauwlim Kun
yang umum, tetapi tenaganya mantap, dia membuatnya
Kimnaciu dari si anak muda kewalahan."
Ketika itu Siauwlim Kun tersiar luas. hampir tak ada
orang yang tak mengetahuinya, cuma banyak orang
yang mengenal luarnya saja, baru belajar beberapa j
urus, sudah banyak tingkah. Tidak demikian dengan Coa
Hok Ciang. Dia benar telah memahamkan Siauwlim Kun
74 bagian Cim Siauwlim itu, latihannya sudah sepuluh tahun
lebih, ia mahir sebenarbenarnya.
Tiat Keng Sim juga pernah meyakinkan Cim Siauwlim
itu, maka untuk menghibur terus pada Bhok Lin, sang
engku atau ipar, selagi Hok Ciang bertempur terus, ia
memecahkan artinya beberapa jurus yang telah
digunakan. Bhok Lin memasang mata, saban-saban ia
menyaksikan tepatnya petunjuk cihu-nya itu, ia jadi
menginsafi sarinya ilmu silat itu, bahwa ia sendirinya
baru mengerti kulitnya, belum isinya.
Keng Sim pun menonton dengan perhatian, maka
kemudian ia merasa, sebab kedua pihak berkelahi secara
demikian hati-hati, entah kapan akhirnya perkelahian
mereka itu. Itu waktu, sang matahari turun terus tanpa
memperhatikan mereka yang lagi bertarung, turunnya
makin rendah, hingga datanglah sang magrib. Perubahan
sang waktu ini membuatnya semua busu menjadi
bingung. Kalau sang malam datang, bukankah keadaan
mereka jadi semakin berbahaya"
Juga Coa Hok Ciang, dia sendiri bergelisah. Ia menang
di atas angin tetapi ia tidak sanggup lantas merobohkan
lawannya itu. Lawan muda itu, lama-lama ia bisa kalah
ulat, ia nanti keburu letih. Di sana pun masih ada banyak
kawannya si begal, mereka itu telah pada mengambil
kedudukan mereka dan ada juga yang sudah mensiapkan
anak panah tinggal dilepaskan saja.
"Tahan!" tiba-tiba ia berseru seraya lompat keluar dari
dalam gelanggang.
75 "Ada apa, Coa Suhu?" tanya si begal muda sembari
tertawa sikapnya sangat tenang.
"Kita ada orang-orang terhormat, kita tidak usah
omong dusta," berkata Hok Ciang. "Tentang tugas kami
ini, tuan-tuan telah mengetahuinya dengan jelas. Juga
aku si orang tua, aku kiranya dapat membade maksud
tuan-tuan."
Begal itu tertawa lebar.
"Karena kita kedua pihak sudah sama-sama mengerti,
maka baiklah kitajangan omong mutar-mutar lagi!"
katanya. "Kamu melindungi barang bingkisan untuk
kaisar, kami hendak merampasnya, untuk menyingkirkan
pertempuran, silahkan bingkisan untuk kaisar itu kamu
serahkan pada kami. Untuk kami, sebegitu saja cukup!"
"Melihat kepandaian kau, laotee, tidak dapat aku tidak
mengasi muka kepadamu," kata Hok Ciang, yang
menahan sabar, "cumalah dalam urusan ini, aku tidak
dapat berkuasa sendiri."
Pemuda itu tertawa.
"Bicara pergi pulang, kita toh mesti bertempur juga!"
katanya. "Jikalau tuan-tuan paksa hendak merampasnya," kata
Hok Ciang, "kami sebagai orang-orang kangouw sejati,
tidak berani kami turun tangan, tetapi karena tuan-tuan
memaksa, mari kita mengambil suatu cara."
"Bagaimana itu?" si begal muda tanya.
"Hari ini kita bertempur di sini untuk suatu keputusan,"
berkata Hok Ciang, "mari kita bertempur satu sama satu.
Dengan kesetujuan kedua pihak, kita menetapkan
76 beberapa giliran. Kalau apa untung kami yang menang,
kami minta tuan-tuan menaruh belas kasihan untuk
membiarkan kami lewat di sini."
Si begal muda tertawa nyaring. "Jikalau kamu yang
kalah?" ia tegaskan.
Hok Ciang tertawa menyeringai. Katanya, "Jiwa kami
sudah dipertanggungkan kepada bingkisan yang kami
lindungi ini, maka kalau kami yang kalah, terserah
kepada keputusan kamu!"
Coa Hok Ciang telah memikir dalam ketika ia
mengajukan usulnya ini. Ia tidak menghendaki
pertempuran kacau. Kalau satu sama satu, ia harap ia
memperoleh kemenangan dan Tiat Keng Sim pun
menang. Beberapa busu pun gagah, kalau satu sama
satu, mungkin mereka tidak sampai kalah.
Keng Sim memuji di dalam hati kepada Coa Hok
Ciang, yang ternyata sangat sabar dan pandai memikir
jauh. Permintaan itu pantas sekali, cocok dengan
kebiasaan kaum kangouw. permintaan itu lazimnya tak
dapat ditolak. Memang, kalau mereka berkelahi secara kacau,
gampang saja bingkisan dibawa lari kawanan begal itu.
"Ha, begitu?" kata si begal muda, tertawa. "Percuma
kau menjelaskannya itu padaku. Sebenarnya aku hanya
satu kacung!"
Mendengar itu, Hok Ciang heran, hingga ia melengak.
Pemuda itu demikian gagah tetapi dia menyebut dirinya
cuma seorang kacung. Siapa sangka bahwa di samping
dia masih ada orang lainnya"
77 Di antara rombongan berandal terdengar seorang
berseru: "Sang waktu sudah tidak siang lagi, kenapa
mesti banyak omong saja" Kalau orang bertempur satu
sama satu, sampai kapan itu habisnya" Pihak pembesar
tentera banyak akal muslihatnya, jangan kamu kena
dipedayakan mereka!"
Penjahat yang berbicara itu pun bergelisah sendirinya
karena si anak muda tidak memperoleh kemenangan, ia
kuatir pihak sana tentu keburu datang bala bantuannya,
dari itu ia pikir baiklah mereka meluruk saja.
Mendengar itu, Coa Hok Ciang tertawa saja
"Aku menyangka tuan-tuan adalah orang-orang Rimba
Hijau yang kenamaan, siapa sangka kamu sebenarnya
segala kurcaci!" katanya mengejek. "Baiklah, kalau kamu
main keroyok, aku pun tidak takut! Nah, kamu majulah
sebagai tawon gerumutan!"
Kawanan berandal jadi gusar sekali, mereka merasa
dihinakan. Lantas mereka menghunus senjata mereka.
Pihak busu pun siap sedia untuk menyambut serbuan.
Di saat sangat genting itu, dari atas gunung terdengar
teriakan: "Congtocu datang! Saudara-saudara, sabar!"
Begitu mendengar teriakan itu, semua berandal
menghentikan tindakannya, sedang si begal muda
lompat keluar dari gelanggang, dengan mengasi turun
kedua tangannya, ia berdiri di samping untuk
menyambut dengan hormat pada pemimpinnya itu. Pihak
berandal lantas jadi sunyi senyap.
Semua busu dan pengiringnya berdiri diam, dengan
mata dibuka lebar mereka memandang ke depan, untuk
78 mendapat ketahui siapa itu si kepala penjahat, yang
nampaknya demikian dihormati.
Segera juga nampak kabur mendatanginya tiga
penunggang kuda, dua yang di depan sambil membawa
sebuah bendera besar, di bendera mana ada dilukiskan
sekor harimau loreng yang
Cinta Bernoda Darah 17 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 10
^