Kisah Pedang Di Sungai Es 9

Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Bagian 9


sebat menarik tangannya hingga telapak tangannya
tidak sampai buntung terkutung.
Keruan Po Lo-hou berjingkrak-jingkrak saking murka, tapi
iapun tidak berani menempur Kang Hay-thian lagi, cepat ia
putar tubuh dan angkat langkah seribu.
Auyang Tiong-ho menjadi gusar, mendadak ia mengisar
kebelakang Hay-thian, ia membentak sambi! menghantam
kepuaggung pemuda itu dengan pukulan geledek.
Hoa Thian-hong terkejut dan kuatir, tapi ia sendiri telah
kera-cunan dan kedua kakinya sudah terasa kaku, hendak
menolong juga tidak mampu lagi. Maka terdengarlah suara
"biang" sekali, punggung Hay-thian tepat kena dihantam.
Pukulan geledek "Pi-lek-ciang" dari Auyang Tiong-ho itu sebanding
dengan pukulan sakti "Kim-kong-tiiang" dari Siau-Limpay,
sama-sama mengutamakan kekuatan tenaga. Maka
sewaktu melontarkan pukulan itu. diam-diam Auyang Tiong-ho
sudah ambil keputusan akan mampuskan Kang Hay-thian
supaya tidak mengganggu pikiran anak perempuannya sendiri
itu. Siapa tahu hantaman yang tepat kena sasaranriya itu tidak
membuat Kang Hay-thian ter-ungkal. sebaliknya pemuda itu
dengan cepat masih dapat memutar balik.
Keruan kejut Auyang Tiong-ho tak terkatakan, ia sangka
Kang Hay-thian sudah berhasil meyakinkan ilmu weduk yang
kebal, seketika ia menjadi tertegun.
Kiranya Auyang Tiong-ho salah duga. Hay-thian belum lagi
kebal, tapi kebetulan ia mengenakan Pek-giok-kah, yaitu salah
satu benda pusaka tinggalan Kiau-Pak-beng, baju kutang itu
se-benarnya akan diberikannya kepada Kok Tiong-lian, maka
sepanjang jalan tidak pernah dipakainya hingga tempo hari
mengalami cidera oleh pukulan "Sin-coa-ciang" dari Im Sengkoh.
Dengan pengalaman itu, malam ini ia telah mengenakan
baju pusaka itu untuk membantu Hoa Thian-hong menghadapi
Po Lo-hou yang terkenal lihay dengan pukulannya yang
berbisa, tak tersangka baru sekali gebrak Po Lo-hou sudah
ngacir, sebaliknya dalam menghadapi Auyang Tiong-ho, baju
pusaka itu telah unjukan kasiatnya.
Namun begitu, betapapun Auyang Tiong-ho tergolong tokoh
ahli dan lebih berpengalaman dan. tabah daripada Po Lo-hou,
meski tertegun sedetik, tapi cepat ia dapat bertindak pula,
dikala Kang Hay-thian baru membalik tubuh, segera Auyang
Tiong-ho menutuk dengan jarinya hingga tepat mengenai
pergelangan tangan Kang Hay-thian yang sedang hendak
menusuk dengan pedang nya itu
Seketika Kang Hay-thian merasakan tangannya seperti
terbakar, "trang", pedangnya terjatuh dari cekalannya. Dan
pada saat yang sama, cepat Auyang Tiong-ho juga putar
tubuh untuk melarikan diri. Tapi pada detik lain, sekonyongkonyong
ia sadar, ia merasa heran mengapa senjata pemuda
itu bisa jatuh sendiri" Padahal hantamannya tadi tidak
mempan, mengapa sekarang tutukannya membawa hasil"
Segera timbul pula pikirannya untuk mencoba-coba lagi. ia
putar balik hendak bertempur pula.
Dalam pada itu dengan langkah yang kaku dan
sempoyongan Hoa Thian-hong juga sedang memburu
kearahnya. Namun Auyang Tiong-ho tahu keadaan Thian-hong
sudah sangat payah, asal Kang Hay-thain dapat ditawannya,
tentu dapat dipakai sebagai tameng untuk menghadapi Hoa
Thian-hong, apalagi dalam keadaan keracunan, betapapun
tinggi ilmu silatnya, asal tertunda lama, akhir-nya tentu akan
roboh. Dan karena sedikit ragu-ragu itulah, sementara itu Kang
Hay-thian sudah memburu maju lebih dulu. Dilain pihak Hoa
Thian-hong juga merangsang maju dengan seluruh sisa
tenaganya. Tanpa ayal lagi Auyang Tiongho mulai menyerang,
telapak tangannya memotong kearah Hoa Thiam-hong, jarinya
menutuk Kang Hay-thian.
Sebenarnya kalau satu melawan satu tidaklah sulit bag;
Auyang Tiong-ho untuk menangkan Hoa Thian-hong atau
Kang Hay-thian, repotnya sekarang ia harus melawan dua
orang. Meski pergelangan tangan Hay-thian terluka ringan,
tapi gerak-geriknya masih gesit, demi melihat Auyang Tiongho
begitu jahat, ia menjadi gusar juga. dengan "Thian-lopoh-
hoat" yang hebat, mendadak ia mengitar kebelakang
Auyang Tiong-ho, sekali membentak, tahu-tahu Auyang Tiongho
merasa lemas lumpuh dan dilain saat telah kena ditangkap
oleh Hoa Thian-hong.
Kiranya tadi waktu Hay-thian tertawan didalam jaring,
diam-diam ia telah memperhatikan permainan silat Auyang
Tiong-ho dan dapat menyelami kelemahan "Siau-yang-cing-gi"
yang dilatihnya itu belum lagi sempurna benar-benar. Maka
dengan sebat sekali ia telah dapat menutuk "Bwe-lu-hiat"
dipunggung musuh itu dengan It-ci-sian-kang yang lihay.
Ketika Hay-thian periksa tangan sendiri, ia lihat jari yang
dipakai menutuk dan pergelangan tangan yang keserempet
tadi telah merah bengkak bagai terbakar. Diam-Diam ia
terkejut dan ber-syukur: "Untung sebelumnya gembong iblis
ini sudah mengalami pertarungan sengit dahulu, kalau tidak,
mungkin aku takkan melulu terluka seringan ini. Dan syukurlah
sekarang Hoa-locianpwe sudah dapat menangkapnya".
Dan sesudah Kang Hay-thian menjemput kembali
pedangnya, Tiba-Tiba dilihatnya langkah Hoa Thian-hong agak
sempoyongan. Selagi ia hendak maju untuk membantu
memegangi Auyang Tiong-ho, mendadak dilihatnya Hoa
Thian-hong tertegun dan menjerit: "Pik-ji, mengapa engkau?".
berbareng itu terdengar juga suara seruan "ayah" yang
melengking kaget menggema diangkasa untuk kemudian
lantas lenyap. Sambil masih memegang "Tay-cui-hiat" dipunggung Auyang
Tiong-ho, bagaikan orang kalap hampir-hampir Hoa Thian_-
hong menerjang maju. Dan pada saat itulah terdengar suara
tertawa Auyang-jinio dengan terbahak-bahak, lalu wanita itu
membentak dengan nada mengancam: "Hoa Thian-hong, jika
engkau berani melangkah maju lagi, katakanlah puterimu ini
mati kau inginkan atau tidak?"
Dibawah sinar bulan Kang Hay-thian melihat Auyang-jinio
berdiri dibawah pohon sana sambil memegang jaringnya tadi,
ternyata Hoa In-pik sudah menggantikan tempatnya didalam
jaring itu. Kiranya Kang Hay-thian tadi hanya menutuknya dengan
garac pedang dan tidak menutuk dengan ilmu Tiam-hiatnya
yang paling lihay, siapa duga dalam ilmu "Siau-yang-cing-gi"
Auyang-jinro juga sudah mencapai tingkatan yang lumayan,
maka tidak antara lama Hiat-to yang tertutuk itupun dapat
dipunahkannya sendiri. Pada saat itulah tiba-tiba Hoa In-pik
sedang mendatangi dengan berindap-indap hendak mencari
ayahnya, kesempatan itu segera dipergunakan Auyang-jinio
untuk menyergapnya secara mendadak hingga gadis itu dapat
ditangkap dengan mudah.
Begitulah maka terdengar sahutan Hoa Thian-hong dengan
suara serak, "Dan engkau sendiri masih menginginkan
suamimu tidak?"
"Suami?" jengek Auyang-jinio, "Hm, suami masih dapat
dicari lagi. Tapi kalau putrimu ini, apakah masih ada gantinya
pula?" Saking gusar dan gugupnya hingga seketika Hoa Thianhong
tak dapat menjawab. Sebaliknya dengan senang
Auyang-jinio berkata pula, "Bagiku tidaklah menjadi soal
apakah engkau akan melepaskan dia atau tidak, masa bodoh,
terserah padamu."
"Encim Auyang, ucapanmu ini bukankah salah?" timbrung
Hay-thian tiba-tiba. "Tidaklah menjadi soal bagimu untuk ganti
satu atau tukar sepuluh suami, tapi putra-putrimu apakah
takkan repot bila saban-saban mesti ganti ayah" Makanya
menurut pendapatku ada lebih baik engkau tetap mempunyai
seorang suami ini saja."
Kang Hay-thian tidak pandai bicara, maka terdengar sangat
lucu ucapannya itu, tapi nadanya sungguh-sungguh.
Maka Auyang-jinio berpikir sejenak, kemudian katanya
dengan tersenyum, "Ada benarnya juga perkataanmu tadi,
Kang-siangkong. Jika begitu, Hoa-loji, apakah kira-kira kau
sanggup menjadikan perdagangan adil ini?"
"Bagus, kita boleh mengadakan 'barter', aku melepaskan
suamimu dan engkau membebaskan putriku," sahut Thianhong.
"Tidak, cara begitu kurang adil," kata Auyang-jinio dengan
mengekeh tawa. "Lalu bagaimana kehendakmu?" tanya Thian-hong dengan
gusar. Saking marahnya hingga kepalanya menjadi pusing dan
mata berkunang-kunang. Meski dia sendiri seorang tabib sakti,
tapi mengingat keselamatan sang putri hingga tak sanggup
menahan perasaannya yang meluap.
Sebaliknya Auyang-jinio sengaja pura-pura berpikir sejenak
pula, kemudian katanya, "Putrimu sedikitpun tidak terluka,
sebaliknya suamiku terluka parah, seorang sehat baik-baik
mesti ditukar dengan seorang terluka, mana dapat hal ini
disebut adil?"
"Lantas bagaimana barulah dapat dianggap adil menurut
pendapatmu?" tanya Hoa Thian-hong dengan mendongkol.
"Ada dua jalan," ujar Auyang-jinio. "Pertama, aku pun
menghajar dulu putrimu hingga luka parah, habis itu barulah
kita saling tukar tahanan."
"Mana boleh jadi! Benar-benar tidak masuk akal!" seru Kang
Hay-thian tak tahan.
"Aku justru menganggap cara ini paling masuk akal," sahut
Auyang-jinio dengan tertawa. "Habis, kalau menurut kau, cara
bagamana lebih masuk akal?"
Namun Hoa Thian-hong cukup berpengalaman, ia tahu tipu
licik Auyang-jinio yang sengaja mengulur tempo, maka cepat
katanya, "Benar atau salah tidak perlu dicekcokkan sekarang.
Hayolah, lekas engkau katakan cara yang kedua."
Auyang-jinio sengaja berhenti sebentar, lalu katanya pula
dengan perlahan-lahan, "Baiklah, cara pertama engkau tidak
setuju, bolehlah kusarankan cara yang kedua, putrimu ini tidak
terluka apa-apa, sedangkan suamiku telah terluka, aku tahu
engkau sangat pandai ilmu pengobatan, aku sendiri tidak
sanggup mengobati dia, maka bolehlah engkau
menyembuhkan suamiku dulu, lalu kita bertukar tawanan."
"Darimana aku mempunyai tempo untuk mengobati
suamimu?" ujar Thian-hong. "Tapi jangan kuatir, suamimu
takkan mampus begini saja, boleh pulang ke rumah untuk
merawat sendiri. Sebaliknya putriku tidak dapat tertahan di
tanganmu."
"Haha, mumpung ada tabib pandai di depan mata, kalau
tidak menggunakan kesempatan ini untuk minta obat,
bukankah terlalu bodoh?" ujar Auyang-jinio dengan tertawa.
"Jadi engkau menginginkan obat?" tanya Thian-hong.
"Itulah gampang, biarlah kuberikan padamu."
"Tapi obat dan obat ada dua, obat lain aku tidak mau, yang
kuinginkan adalah Siau-hoan-tan," kata Auyang-jinio.
Mau tak mau Hoa Thian-hong berkerut kening oleh
permintaan itu. Kiranya Siau-hoan-tan adalah semacam pil
yang dibuatnya dari racikan 13 macam bahan-bahan obat
yang susah diperoleh. Padanya sekarang cuma terdapat tujuh
butir yang dibawanya dari rumah untuk persediaan kalau
keracunan, tadi sebelum bertempur melawan Po Lo-hou sudah
ditelannya sebutir, sesudah kena racun pukulan Po Lo-hou, ia
taksir setiap hari harus minum pula sebutir, dengan demikian
sesudah tujuh hari dapat diharapkan kesembuhannya dari
racun itu. Dan sekarang bila permintaan Auyang-jinio itu
dipenuhi, berarti dirinya akan mengalami kesulitan sendiri.
Melihat jago Hoa-san-pay itu berkerut kening, segera
Auyang-jinio menarik muka juga, katanya, "Bagaimana, apa
engkau keberatan" Jika begitu, boleh juga kita batalkan."
Dengan mendongkol terpaksa Hoa Thian-hong
mengeluarkan tiga butir Siau-hoan-tan dan menyuruh Kang
Hay-thian membawanya ke hadapan Auyang Tiong-ho.
Setelah menjilatnya dengan lidah pada tiap-tiap pil itu, lalu
Auyang Tiong-ho berkata, "Ya, ini Siau-hoan-tan yang tulen.
Harap bantuanmu untuk membungkusnya dengan baik dan
masukkan ke kantong bajuku. Tapi bungkuslah di depanku
sini, jangan engkau main gila."
Hay-thian menjadi gusar, semprotnya, "Memangnya engkau
anggap aku ini manusia begitu rendah?"
"Ayah Wan-ji, engkau jangan kuatir, Kang-siangkong
seorang laki-laki sejati, kalau tidak, masakah Wan-ji kita sudi
memujinya setinggi langit!" seru Auyang-jinio dengan tertawa.
Dengan mendongkol Kang Hay-thian lantas membungkus
dan memasukkan ketiga butir Siau-hoan-tan itu ke saku
Auyang Tiong-ho.
"Sekarang kalian hendaklah berdiri di tempat semula dan
jangan sembarangan bergerak, setelah aku menghitung
sampai sepuluh, kedua pihak berbareng melepaskan tawanan
masing-masing," kata Auyang-jinio kemudian.
Sungguh dongkol Kang Hay-thian tak terkatakan, ia gemas
benar-benar terhadap kedua suami-istri yang licik itu. Sudah
tentu ia tidak tahu bahwa Auyang-jinio justru sengaja
mengulur tempo agar Hoa Thian-hong tidak dapat tenang
untuk mengobati keadaan sendiri yang parah itu, jika dapat
mengulur tempo lebih lama, racun yang meresap di tubuh Hoa
Thian-hong itu tentu akan bertambah hebat.
Maka mulailah Auyang-jinio berhitung dari satu sampai
sepuluh, ia sengaja memperlambat hitungannya, dengan tak
sabar ketika Hoa Thian-hong menunggu Auyang-jinio selesai
mengucapkan hitungan sepuluh, perlahan-lahan ia tepuk
punggung Auyang Tiong-ho dan berkata, "Pergilah kau!"
Tanpa ayal lagi Auyang Tiong-ho terus berlari ke depan.
Meski agak sempoyongan langkahnya, tapi masih cukup cepat.
Dan baru sekarang Kang Hay-thian tahu ilmu silat iblis itu
belum dapat dipunahkan, walaupun Siau-yang-cing-gi dapat
dirusaknya tadi.
Rupanya Hoa Thian-hong seperti tahu perasaan pemuda
itu, maka katanya dengan tersenyum, "Kang-hiantit engkau
dapat memecahkan Siau-yang-cing-ginya sudah boleh dikata
hebat. Sekarang kalau dia ingin memulihkan keuletannya
semula, mungkin sedikitnya ia harus melatih tiga tahun lagi."
Namun Hay-thian masih kuatir kalau-kalau Auyang-jinio
main gila lagi, tapi waktu dia memandang ke sana, tertampak
Auyang-jinio telah menyingkap jaringnya dan Hoa In-pik juga
sedang berlari mendatangi, tampaknya sehat-sehat saja dan
tiada tanda-tanda terluka sesuatu.
Hanya sekejap saja In-pik sudah berlari sampai di depan


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayahnya, dengan air mata meleleh terus saja ia merangkul
sang ayah, sambil memanggil.
"Nanti dulu!" mendadak Thian-hong berseru dengan muka
murka. Dengan bingung In-pik memandangi sang ayah, namun
Thian-hong sudah lantas berkata dengan tertawa dingin,
"Auyang-jinio, jangan engkau senang-senang dulu, apabila
putriku menjadi cacad di dalam waktu tiga bulan, maka
suamimu sudah pasti takkan mampu bertahan lebih lama dari
tujuh hari. Nah, lekas katakan, engkau telah tutuk Unhiat
(Hiat-to rahasia) yang mana?"
Mendengar istilah "Un-hiat", Kang Hay-thian terperanjat.
Kiranya di tubuh manusia terdapat dua macam Hiat-to, yang
semacam adalah di permukaan tubuh dan dapat dicapai
dengan jari, sedangkan yang lain di dalam tubuh yang tak
kelihatan. Bila Un-hiat yang tertutuk, yang terkena takkan
merasakan sesuatu yang aneh, dari luar juga tidak kelihatan,
setelah beberapa bulan kemudian barulah penyakitnya akan
bekerja, mungkin menderita sakit aneh, boleh jadi menjadi
gendeng dan penyakit-penyakit lain yang keji. Dan karena
tutukan itu tidak kelihatan dari luar, maka si penderita sendiri
tidak tahu mana yang terkena, kecuali kalau si penutuk yang
mengaku sendiri.
Begitulah Auyang Tiong-ho menjadi kaget juga demi
mendengar ucapan Hoa Thian-hong tadi. Cepat ia
mengerahkan pernapasannya, benar juga ia merasa iganya
rada kesakitan, ia menjadi gusar dan memaki, "Bagus, Hoa
Thian-hong, engkau benar-benar tidak kenal malu, apa yang
telah kau lakukan di atas badanku?"
"Hm, melakukan apa?" jengek Thian-hong. "Aku cuma
berbuat menurut kesukaan lawan saja, perempuanmu itu
berani main gila atas diri putriku, aku tidak berani hutang,
makanya kontan kubayar kembali atas dirimu. Dan bila engkau
ingin hidup lebih lama, hayolah suruh perempuanmu itu
mengaku lebih dulu." Kiranya pada waktu melepaskan Auyang
Tiong-ho tadi, dengan perlahan-lahan Thian-hong telah
menepuk punggungnya dan karena itulah diam-diam ia telah
menutuk ketiga Un-hiat bagian isi perut musuh.
"Kenapa harus aku mengatakan lebih dulu," ujar Auyangjinio
tidak rela. "Maklum, aku tidak dapat mempercayai engkau lagi," sahut
Thian-hong. "Dan terserahlah padamu mau mengatakan atau
tidak. Engkau cukup tahu siapa diriku, biarpun aku tak dapat
membuka Hiat-to putriku yang tertutuk, paling tidak aku masih
sanggup menolong jiwanya. Sebaliknya, ha, jiwa suamimu
mungkin segera akan melayang ke akhirat."
Karena gertakan Hoa Thian-hong itu, rasa sakit iga Auyang
Tiong-ho menjadi tambah terasa, berulang-ulang ia mendesak
sang istri agar lekas mengatakan saja. Maka terpaksa Auyangjinio
mengaku lebih dulu, "Aku telah menutuk Beng-ih-hiat di
bagian paru-parunya."
Segera Thian-hong berkata kepada Hay-thian, "Kanghiantit,
apakah engkau masih sanggup menggunakan It-cisian-
kang?" Jari tengah Kang Hay-thian telah bengkak dan kesakitan,
maka dengan muka kecut sahutnya, "Aku masih dapat
menggunakan jari kiri, cuma tenaga mungkin sudah
berkurang, paling-paling hanya setengah daripada biasanya."
"Kalau ada setengahnya sudah lebih dari cukup, harap
engkau menolong membukakan Hiat-tonya, yaitu melalui
tulang iga ketiga dipinggangnya," demikian kata Hoa Thanhong.
Ia sendiri sudah kehabisan tenaga dan tidak sanggup
mengerahkan Lwekang lagi.
Keruan Kang Hay-thian ragu-ragu, sebab cara membuka
Hiat-to begitu berarti jarinya harus menyentuh tubuh In-pik.
Namun demi-keselamatan gadis itu, terpaksa ia beranikan diri,
pelahan-lahan ia singkap baju luar In-pik dan gunakan jari
tengah kiri untuk menekan tulang iga ketiga dipinggangnya.
Selang tak lama, tenggorokan Hoa In-pik kedengaran
berkeruyukan, lalu muntahkan darah hitam. In-pik ketakutan,
namun Hay-thian lantas menghiburnya: "Ini adalah tandatanda
yang mesti ada, engkau tidak perlu kuatir." segera iapun
tarik kembali jarinya.
"Engkau sangat mahir, Kang-hiantit," puji Thian-hong
kemudian. Habis itu iapun memberitahukan tempat-tempat Hiat-to
rahasia yang ditutuknya ditubuh Auyang-Tiong-ho itu kepada
Auyang-jinio. Benar juga, setelah nyonya itu menurut
petunjuknya, Auyang Tiong-ho juga memuntahkan darah mati
seperti Hoa In-pik. Habis itu, cepatan saja Auyang-jinio
mengajak sang suami berlalu dari situ.
Melihat musuh sudah pergi, Hay-thian menarik napas lega,
ka-tanya: "Belum pernah kulihat wanita seculas ini, bahkan
lebih ke-ji daripada Im-lothaypo itu".
"Pik-ji," kata Thian-hong kemudian, "aku sudah suruh kau
jangan keluar, mengapa kau melanggar pesanku?"
Tapi belum lagi In-pik menjawab, tiba-tiba dilihatnya sang
ayah terhuyung-huyung hendak roboh In-pik berseru kuatir:
"Engkau kenapa, ayah?"
"Tak mengapa, lekas bawa aku kembali ketempat kita",
sahut Thian-hong dengan suara lemah, keringat berketesketes
dari jidatnya sebesar kedelai dan parasnya juga bersemu
hitam. Waktu In-pik mengusap keringat sang ayah, terasa air
keringat itu sangat panas, diam-diam In-pik berkuatir. Sebagai
puteri tabib sakti, la tahu sang ayah waktu itu sedang
mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan rangsangan
racun. Dan kalau melihat gelagatnya, agaknya racun sudah
menyesap sangat mendalam, betapapun tinggi Lwekang sang
ayah juga susah melenyapkan semua racun itu.
Melihat kekuatiran sigadis itu. Kang Hay-thian menjadi
gugup juga. Cepat ia membantu memayang Hoa Thian-hong
kembali kegua semula.
Setiba didalam gua, Thian-hong minum dulu sebutir Siauboan-
tan lagi sambil menjalankan pula Lwekangnya, lambatlaun
air mukanya berubah merah kembali dan tenaganya agak
pulih. Ia menghela napas dan berkata dengan tersenyum:
"Haha, Po Lo-hou, percuma engkau mengaku sebagai Tok-jiuthian-
cun, sekali ketemu dengan Hoa-san-ih-un, apa yang
dapat kau perbuat lebih banyak" Pik-ji, ambilkan kantong
obatku?"?" mendadak ucapannya terputus ketika ia tidak
melihat kantong obat yang semula ditaruhnya disitu. Temyata
barang didalam gua itu sudah morat-marit, terang sudah
pernah dijamah orang.
Setelah tertegun sejenak, segera Thian-hong berseru pula:
"Siapakah yang telah menggerayang kesini" Di mana kantong
obatku?" "Ampun ayah, anak pantas kalau dihukum mati, kantong
obat ayah telah kena direbut orang," sahut In-pik dengan
suara gemetar. "Direbut orang" Siapa yang merebut?" tanya Thian-hong
cepat. "Direbut perempuan siluman itu, anak telah melukainya,
tapi tak dapat menangkapnya," tutur In-pik. Jawabannya ini
tidak ditujukan kepada sang ayah, tapi ia berkata kearah Kang
Hay-thian. Pemuda itu terkesiap, cepat ia menanya: "Perempuan
siluman yang manakah?"
"Yang mana lagi, ialah sobat baikmu Auyang Wan itu."
sahut In-pik dengan mendongkol.
Seketika Kang Hay-thian seperti disambar petir rasanya
hingga badannya gemetar. Ia menggumam sendiri dengan
suara tak lancar "Apa?"?"" apa benar dia?"
"Masakah aku sengaja mempitenah dia?" ujar In-pik. "Mata
ku belum lagi buta, aku dapat mengenali dia dengan baik."
Sungguh Kang Hay-thian sangat cemas dan terpukul
perasaan nya, ia tidak menduga akan perbuatan Auyang Wan
yang keji itu. Selama beberapa bulan mengembara ini, sudah
banyak kejadian-kejadian yang dialami Kang Hay-thian dan
setiap peristiwa selalu ada sangkut-pautnya dengan Auyang
Wan, tapi kejadian paling akhir inilah yang paling
mengguncangkan perasaannya.
Ia meragukan martabat Auyang Wan apakah sudah
sedemikian jahatnya" Padahal dahulu gadis itu mestinya sekali
tusuk dengan mudah dapat membunuhnya, mengapa malah
memberikan obat penawar padanya, bahkan menangis dan
menyatakan penyesalannya" Apakah semuanya itu cuma purapura
saja" Dan terjebaknya diriku kedalam jaring malam ini
apa betul-betul juga dia sengaja mengatur" Tapi mengapa
kemudian ia menangis dan tidak membenarkan perbuatan
ayah-bundanya" Apakah cuma pura-pura saja untuk menipu
diriku" Mendadak Hay-thian putar tubuh hendak bertindak pergi.
"Kang-hiantit, hendak kemana kau?" tanya Thian-hong
cepat. "Aku hendak mencari kembali kantong obatmu itu dan
membekuk perempuan siluman itu ?"" sahut Hay-thian
dengan nada gemas.
"Usahamu akan sia-sia saja, Hiantit," ujar Thian-hong.
"Mereka sudah mengatur sebelumnya untuk menghadapi kita,
cara bagaimana engkau mampu mendapatkan dia lagi" Pula
mereka bertiga, biarpun sudah ketemu juga engkau seorang
diri akan repot melayani mereka."
"Tapi ... tapi perasaanku sangat cemas, sungguh aku tidak
menyangka akan terjadi begini," ujar Hay-thian.
"Ini toh bukan salahmu," kata Thian-hong tertawa. "Apa
lagi tadi engkau sudah menolong diriku, kalau ada yang salah,
itulah salahku sendiri yang tidak membawa serta kantong obat
itu atau menyimpannya di tempat yang baik."
Sudah tentu orang tua itu tidak dapat meraba perasaan
Kang Hay-thian. Biarpun apa yang terjadi adalah perbuatan
Auyang Wan, tapi hal itu benar-benar sangat menyakiti hati
pemuda itu. Dalam pada itu In-pik sudah tenang kembali, tanyanya,
"Apakah ayah juga tidak membawa kitab obat dan persediaan
obat mujarab lain?"
"Kitab pusaka sudah tentu selalu kubawa serta, Siau-hoantan
juga masih ada padaku," sahut Thian-hong. "Ehm, engkau
tidak perlu gugup. Dalam beberapa hari ini janganlah engkau
berpisah denganku."
Kang Hay-thian tidak dapat memahami apa arti ucapan
terakhir si orang tua itu, tapi In-pik sudah dapat menangkap
maksud perkataan sang ayah, serunya kuatir, "Tia, sesudah
minum Siau-hoan-tan, apakah masih susah disembuhkan?"
"Mati atau hidup sudah takdir Ilahi, sudah tentu aku ingin
hidup terus," sahut Thian-hong. "Namun begitu kita harus
berjaga terhadap segala kemungkinan di luar dugaan. Pada
kesempatan ini aku ingin bicara sedikit dengan kalian. Pik-ji,
ini adalah kitab obat dan kitab ilmu pedangku Liu-in-kiam-boh,
engkau harus giat melatihnya dengan baik. Po Lo-hou sudah
terluka oleh pukulanku, mungkin keadaannya lebih payah
daripada diriku, andaikan tidak mati juga takkan mampu
berbuat jahat lagi. Auyang Tiong-ho memperoleh Siau-hoantan
dariku dan jiwanya juga dapat diselamatkan, tapi siksaan
itu juga sudah cukup baginya. Maka bila terjadi apa-apa atas
diriku, tidak perlu engkau membalaskan sakit hatiku kepada
mereka. Yang kuharapkan ialah engkau belajar ilmu
pengobatan dan ilmu pedang ini untuk menolong sesama dan
bukan untuk menuntut balas. Aku sendiri percuma telah
mempelajari kedua macam kepandaian ini, tapi selama ini
cuma mengasingkan diri menghindari musuh, maka jarang
menggunakan kepandaianku ini untuk menolong sesama.
Maka dari itu kuharap engkau dapat menggantikan
kewajibanku ini. Nah, pahamkah engkau" Sudahlah, jangan
menangis, harap engkau dapat memahami maksudku ini."
Namun air mata In-pik sudah bercucuran, katanya dengan
suara parau sambil merangkul sang ayah, "Tia, jangan ...
jangan engkau meninggalkan aku!"
Perlahan-lahan Thian-hong membelai rambut putrinya,
katanya dengan suara halus penuh kasih, "Aku pun tidak ingin
meninggalkan kau, tapi aku sendiri tidak berkuasa, tergantung
kepada kemurahan Ilahi. Anakku, bangunlah, dengarkanlah
perkataanku, Kang-hiantit, harap engkau juga majulah
kemari." Segera Hay-thian mendekati orang tua itu, ia lihat wajah
Thian-hong tersenyum simpul dan sedang berkata pula, "Ada
sesuatu ingin kuharap bantuanmu, entah sudikah Hiantit
menerima?"
"Silakan bicara, apapun akan kulakukan dengan sekuat
tenaga," sahut Hay-thian tanpa ragu-ragu.
"Rasanya aku tidak dapat menyertai engkau ke Kim-engkiong
lagi, dan sudikah engkau bersedia menjaga Pik-ji?"
tanya Thian-hong.
Ucapan Thian-hong ini sebenarnya sudah jelas ingin
menyerahkan diri putrinya itu kepada Kang Hay-thian, tapi
pemuda itu terlalu polos, ia tidak paham maksudnya itu,
sebaliknya dengan rasa terharu, tanpa pikir ia lantas
menjawab, "Kenapa Laupek berkata demikian. Begini baik
Laupek (paman) kepadaku, sudah pasti aku akan menjaga Inpik
sebisanya. Bahkan bila Laupek tidak mencela diriku, aku
bersedia..."
"Anak baik, engkau bersedia apa" Katakanlah," ujar Thianhong
demi melihat Hay-thian merandek.
"Aku bersedia mengaku paman sebagai Gihu (ayah angkat),
seterusnya aku dan In-pik menjadi seperti saudara sendiri
saja," sahut Hay-thian.
"Begitukah?" kata Thian-hong dengan napas memburu,
tiba-tiba matanya tertutup terus roboh ke belakang.
Rupanya keadaan orang tua itu sebenarnya sudah sangat
lemah, ia hanya ingin mendengarkan sesuatu ucapan Kang
Hay-thian, dan apa yang dikatakan pemuda itu ternyata
bukanlah seperti apa yang diharapkannya, dalam kecewanya
ia pun tidak tahan lagi keadaan badannya yang lemah itu.
Sesaat itu In-pik menjadi termangu-mangu kaget. Dan
belum lagi sempat menangis, tiba-tiba Hay-thian telah
memburu maju, ia merangkul Hoa Thian-hong, jari jempol
kirinya menekan 'Thian-cu-hiat' di punggung orang tua itu,
menyusul ia terus menggigit pundaknya.
Dalam bingungnya hampir In-pik menjerit pada apa yang
dilakukan Kang Hay-thian itu, tapi ia seorang yang paham ilmu


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengobatan, segera ia pun sadar maksud pemuda itu, serunya
dengan terharu, "O, Hay-ko, mana boleh engkau berbuat
begitu" Bukankah akan membikin susah dirimu sendiri?"
Kiranya Kang Hay-thian sedang menggunakan Lwekang
sendiri untuk menyedot darah beracun di tubuh Hoa Thianhong.
Maka tidak antara lama, ketika Hay-thian memuntahkan
sekumur darah hitam dan berkata dengan tertawa: "Selesailah
sudah. Aku sendiri tidak akan keracunan, akupun punya Pikling-
tan." namun begitu sebenarnya lidahnya juga sudah
terasa kaku, suaranya menjadi rada samar-samar.
Meski Hay-thian tidak paham ilmu pengobatan, tapi pernah
juga ia mendengar cara pertolongan pertama dari gurunya
dengan Lwekang yang tinggi, maka begitu darah beracun itu
dapat disedot keluar, jiwa Thian-hong tidak perlu dikuatirkan
lagi. Hay-thian sendiri sesudah mengisap darah beracun itu
lantas minum sebutir Pik-ling-tan tinggalan Kang Lam yang
dahulu diperolehnya dari Kim Si-ih, maka sisa-sisa racun
dimulutnya itupun tidak berbahaya lagi
Sejenak kemudian, pelahan-lahan Thian-hong sadar
kembali, ia tercengang waktu melihat bibir Hay-thian masih
berlepotan darah, segera iapun tahu duduknya perkara,
katanya dengan gegetun: ,Ai, buat apa Hiantit berbuat begini.
Usiaku sudah lanjut, maupun tidak perlu disayangkan lagi,
mengapa engkau mesti membuang tenaga dalam sendiri
untuk menyambung umurku yang tinggal tidak seberapa lama
ini." "Perkataanmu ini tidak benar, Laupek," kata Hay-thian tibatiba.
"Mengapa tidak benar," tanya Thian-hong terkesiap.
"Bukankah tadi engkau menyesalkan kepandaianmu ini belum
pernah digunakan untuk menolong sesamanya?" tanya Haythian.
"Meski enci Pik telah mendapat didikanmu. tapi untuk
dapat mencapai kepandaian seperti engkau masih diperlukan
waktu sangat lama, dan mengapa engkau sendiri tidak ingin
hidup terus" Apa yang engkau dapat dan mampu melakukan
mengapa mesti dibebankan kepundak puteri sendiri" Hal ini
bukankah sengaja mengelakkan tanggung-jawab namanya?"
Thian-hong termangu-mangu oleh kata-kata Hay-thian itu.
Maka segera In-pik lantas menambahi juga: "Ya, waktu ayah
mengajarkan ilmu pengobatan kepada anak, bukankah engkau
pernah mengatakan, asalkan sipenderita masih ada sedikit
harapan saja, maka kita harus berdaya sebisanya untuk
menyembuhkan dia. Seorang tabib tidak boleh ragu-ragu,
sebaliknya harus ambil tindakan tegas dan cepat. Mengapa
engkau sekarang tidak berusaha mencari jalan untuk
mengobati diri sendiri?"
Thian-hong termenung-menung sampai lama, air matanya
tampak meleleh dlkedua sisi pipiny"a, namun rasa putus
asanya tadi sudah lenyap sama sekali sekarang. Katanya
dengan tertawa: "Mendengar kata-kata kalian ini. mungkin aku
terpaksa mesti memeras otak mtuk mencari akal. Bila tidak,
tentu akan mengsia-siakan maksud baik Kang-hiantit." Dan
ketika sekelas dilihatnya jari Hay-thian masih merah bengkak,
segera katanya pula kepada Iri-pik: "Pik-ji, cara pendarahan
dengan tusuk jarum sudah kau pahami, sekarang bolehlah kau
coba mengobati jari Hay-thian itu."
Habis berkata, orang tua itu pejamkan matanya seperti
sedang memikir sesuatu.
Segera In-pik mengajak Hay-thian menyingkir kesamping
sana. ia pegang jari tengah pemuda yang bengkak itu, tapi
gadis itu tidak lantas mengobatenya, sebaliknya sikapnya
kikuk dan muka merah.
Dengan sendirinya Hay-thian tidak berani mendesak gadis
itu lekas mengobati jarinya. Sampai agak lama barulah In-pik
berkata dengan suara pelahan. "Hay-ko, engkau sangat baik
kepada kami. sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus
membalas budimu ini. Aku tidak pandai bicara, dalam gugupku
tadi aku telah omong kasar padamu, harap engkau jangan
marah." "Memangnya aku yang salah dan bukan salahmu," ujar
Hay-thian. "Aku keliru bersahabat dengan orang, jahat,
sungguh aku sangat menyesal. Kelak bila aku bertemu dengan
perempuan siluman itu, tentu akan membalas sakit hati
paman." "Apa betul?" In-pik menegas dengan wajah berseri-seri.
"Mung-kin sesudah bertemu engkau menjadi tidak tega lagi."
Dan selagi Kang Hay-thian hendak menjawab, namun In-pik
sudah mendahului pula: "Sudahlah, aku cuma bergurau saja,
jangan Hay-ko anggap sungguh-sungguh. Orang Kangouw
jarang yang dapat dipercaya. setiap pengalaman juga berarti
menambah pengetahuan. Asalkan engkau sudah dapat kenal
watak asli perempuan siluman itu dan selanjutnya harap saja
berlaku hati-hati."
Sambil mendengarkan ucapan In-pik itu, diam-diam dalam
benak Hay-thian timbul bayangan Auyang Wan, ia menjadi
ragu-ragu pula apakah benar Auyang Wan sudah terperosot
sebegitu jauh kealam kejahatan"
Dalam pada itu In-pik lantas mengeluarkan sebatang jarum
perak dan menusuk sekali ujung jari Hay-thian, ia pencet
keluar darah hitam, lalu menusuk pula tiga tempat Hiat-to
dibagian siku. Habis itu, tangan tay-thian menjadi segar
rasanya dan tidak sakit lagi. "Terima kasih." katanya.
"Ah, kenapa engkau masih sungkan padaku, hanya urusan
sekecil. ini juga pakai terima kasih segala, sebaliknya entah
cara bagaimana aku harus berterima kasih padamu?" ujar Inpik.
"Eh. bilakah engkau dilahirkan?"
Pertanyaan itu sangat tiba-tiba hingga Hay-thian
tercengang sejenak, kemudian sahutnya: "Tanggal 21 bulan
tiga." "Aku sendiri dilahirkan tanggal 8 bulan empat, jika
demikian, engkau lebih tua dariku, aku harus memanggil
engkau kakak" kata In-pik. Tentang usia mereka sama-sama
16 tahun memang gadis itu sudah mengetahui.
Tiba-Tiba terdengar Thian-hong sedang batuk-batuk
pelahan, waktu Hay-thian menoleh, ia lihat orang tua itu
sedang membuka matanya. sinar matanya mengarah kepada
mereka dengan tanda berseri-seri seperti telah menyelesaikan
sesuatu persoalan sulit.
"Tia," sapa In-pik sambil mendekati sang ayah. "Aku sudah
selesai mengobati luka Hay-ko, dan engkau sendiri
bagaimana?""
"Lukaku tidak dapat diobati disini," sahut Thian-hong
tertawa. "Tadi aku menjadi ingat kira-kira ratusan li disekitar
sini ada suatu dusun bernama Cui-in-hiang, disitu tinggal
suatu keluarga In. Bolehlah kalian menghantar aku kesana
dan minta pondokan padanya. Aku dapat minta bantuannya
untuk membelikan obat dan merawat lukaku disana Sesudah
mendekati sembuh, dapat pula aku minta mereka menghantar
aku pulang."
"Siapakah orang she In itu?" tanya In-pik.
"Suatu keluarga persilatan turun temurun," sahut Thianhong.
"Konon kakek-moyang mereka adalah pendekar besar
In Tiong dijamannya Thio Tan-hong. Sesudah kerajaan Beng
terguling, keluarga mereka telah mengungsi dan tinggal dikaki
gunung Ki-lian-san dan mendirikan pedusunan Cui-in-hiang
itu. Cengcu (kepala kampung) sekarang bernama In Ciau, ilmu
pukulan keturunan Tay-lik-kim-kong-ciang mereka tiada
bandinganuya didunia ini."
"Tia, apakah dia adalah sobat baikmu" Mengapa aku tidak
pernah mendengar ceritamu?" tanya In-pik.
"Selamanya aku belum kenal dia" sahut Thian-hong
"Jika begitu, apakah tidak terlalu gegabah kita minta
mondok pada mereka?" tanya In-pik ragu-ragu.
"Setiap kesatria Kangouw paling mengutamakan setia
kawan, asal masing-masing sudah kenal nama, mengapa
mesti kenal orang dulu?" ujar Thian-hong tertawa. "In Ciau itu
adalah seorang yang dapat dipercaya, kita tidak perlu raguragu.
hayolah hantar aku kesana."
"Ya, akupun pernah mendengar cerita Suhu tentang diri In
Ciau itu, katanya dia adalah seorang laki-laki sejati," kata Haythian.
"Laupek, tempatnya itu memang sangat tepat untuk
menyembuhkan lukamu, marilah biar aku menggendong
engkau." "Eh, bukankah tadi engkau menyatatakan akan mengangkat
ayah sebagai bapa angkat, mengapa masih memanggil
demikian?" ujar In-pik dengan tertawa.
"Ya, tapi entah Hoa-locianpwe sudi menerima aku atau
tidak?" sahut Hay-thian.
"Hahaha, mungkin rejekiku yang tidak sanggup menerima
seorang putera angkat sebagai engkau." kata Thian-hong
dengan terbahak.
Terus saja Kang Hay-thian berlutut dan menyembah kepada
Hoa Thian-hong sambil memanggil ayah angkat padanya.
Kemudian Hay-thian saling memberi hormat kepada In-pik dan
untuk selanjutnya juga saling menyebut sebagai kakak dan
adik. Walaupun hal ini tidak seluruhnya memuaskan Hoa Thianhong,
namun juga sudah cukup menggemblrakannya. In-pik
sendiri masih terlalu muda, yang terpikir olehnya ialah Kang
Hay-thian itu seorang kakak yang sangat menyayangkan
baginya, hakikatnya dalam benaknya tidak terlintas tentang
clnta segala. "Marilah adik Pik, lekas engkau bebenah, sekarang juga kita
lantas berangkat," ajak Hay-thian kemudian.
Begitulah segera Kang Hay-thian menggendong Thian-hong
untuk berangkat, karena tidak berani berlari cepat, pula jalan
pegunungan Ki-lian-san itu berliku-liku. setelah setengah
harian barulah mereka mendekati lembah pegunungan yang
lapang. "Awas, ada orang datang, lekas sembunyi," tiba-tiba Thianhong
peringatkan. Kebetulan dltepi jalan ada semak rumput alang-alang yang
cukup lebat, cepat Hay-thian membawa Thian-hong ketengah
semak-semak rumput itu diikuti oleh In-pik.
Selang sebentar, benar juga ada suara orang berjalan dari
jauh dengan cepat sekali, diam-diam Hay-thian kagum kepada
Thian-hong, biarpun dalam keadaan terluka. namun
ketajaman telinga-nya ternyata tidak berkurang. Bahkan dari
suara berjalan kedua orang pendatang Itu. agaknya ilmu silat
mereka takkan dibawah Auyang Tlong-ho atau Po Lo-hou.
Hanya sekejap saja kedua bayangan orang itu sudah
melayang lewat disamping semak rumput. Thian-hong bertiga
menahan napas agar tidak sampai diketahui oleh orang-orang
itu. Dari bayangan perawakan mereka itu dapat dibedakan
bahwa kedua orang itu terdiri dari seorang pria dan seorang
wanita, hanya muka mereka tidak jelas tertampak.
Terdengar yang wanita sedang berkata: "Menurut Po Lohou,
katanya yang tua itu sudah terluka, kita taksir tentu
mereka takkan pergi jauh dari sini, mengapa masih belum
kelihatan bayangan-nya?"
"Tentang sltua itu tak perlu kita hiraukan, tapi bocah she
Kang itu harus kita bekuk dulu," ujar yang priya.
Diam-Diam Kang Hay-thian mendongkol, rupanya kedua
orang itu bukan sekomplotan dengan Po Lo-hou, tapi justeru
sengaja datang hendak membekuk dirinya.
Lalu terdengar yang pria itu sedang menyambung pula:
"Bok-toaci. engkau juga terlalu ganas, jelek-jelek Po Lo-hou
juga telah memberikan kabar baik kepada kita, tapi sekali
tabas engkau telah mampuskan dia."
"Ah, toh dia sudah terluka parah, tidak dibunuh juga dia
takkan hidup lama, buat apa mesti banyak mengambil risiko,
siapa berani menjamin dia takkan katakan pada orang lain
pula jika diberi hidup?" sahut yang wanita dengan tertawa.
Habis itu bayangan merekapun makin remang-remang dan
akhirnya lenyap dalam pandangan.
"Kembali seorang wanita keji!" demikian Hay-thian
mengomel pelahan. "Aku toh tidak punya permusuhan apaapa
dengan mereka, entah sebab apa mereka selalu mencari
perkara padaku?"
Dalam pada itu Hoa Thian-hong sedang mendekam ditanah
untuk mendengarkan, tiba-tiba ia berkata: "Kedua orang itu
sudah sampai dllembah gunung sana, he, dari sana juga
sedang mendatangi dua orang lagi, agaknya mereka segera
akan bertemu."
Belum selesai Thian-hong berkata, mendadak sudah
terdengar suara siwanita tadi sedang membentak: "Siapa
kalian, berhenti, jangan bergerak!"
Maka terdengarlah suatu seorang wanita muda telah
menjawab: "Sungguh aneh. Kami berjalan sendiri, peduli apa
dengan urusan kalian" Kau ini kutu macam apa, berani kau
berlagak di-sini?"
Karena kata-kata kedua wanita itu diucapkan dengan keras,
rupanya sama-sama tidak mau mengalah, maka dapatlah
didengar Hay-thian bertiga dengan jelas. Bahkan habis itu
terus terdengar suara "blang" sekali.
"Cepat benar gerakan wanita muda itu, ia sudah
menghindarkan sekali serangan hingga pukulan lawannya
mengenai batu karang." ujar Thian-hong dengan suara bislkbislk.
Menyusul lantas terdengar pula bentakan seorang pemuda:
"Perempuan keparat, kau berani menyerang orang?"
"Orang jahat semacam ini tidak perlu sungkan-sungkan lagi
padanya," kata siwanita muda pertama tadi. "Lihat serangan,
perempuan jahanaml"
Habis itu lantas terdengar suara keras bagai gemuruh
halilintar melempam.
Diam-Diam Hay-thian merasa heran, pikirnya: "Mengapa
kedua wanita itu sama-sama memakai pukulan dengan tenaga
keras yang umum-nya cuma digunakan oleh kaum laki-laki?"
Dalam pada itu Hoa Thian-hong telah berkata dengan
tertawa: "Ha, perempuan jahat itu telah mengalami
kecundang sedikit, dapatkah kalian mendengarnya?"
"Benar," ujar Hay-thian, "gadis itu cuma tergentak mundur
dua-tiga langkah, sebaliknya perempuan jahat itu tersentak
mundur lima tindak, bahkan seperti tertumbuk benda apaapa."
"Dibawah lembah situ banyak terdapat batu karang dau
pohon, tapi suara benturan itu bukan tertumbuk pada bendabenda
keras itu, boleh jadi yang laki-laki telah memayangnya,"
ujar Thian-hong.
Benar saja lantas terdengar laki-laki itu sedang membentak:
"Siapa kalian, jangan salahkan kami turun tangan keji jika
tidak lekas mengaku terus terang."


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sigadis yang memaki "perempuan keparat" tadi telah
menjawab dengan tertawa dingin: "Hm, kami justeru tidak
mau bilang, kalian bisa apakan kami?"
"Jangan kau anggap ilmu silatmu hebat, lalu berkepala
batu. Hm, nku masih belum sudi untuk berkelahi dengan kau.
tahu?" kata laki-laki itu. "Baiklah, engkau tidak mau
memperkenalkan diri juga terserah. Tapi aku ingin tanya
kalian, apakah kalian ada melihat tiga orang. yang seorang
adalah kakek berjenggot dan terluka, kedua lainnya adalah
sepasang muda-mudi belasan tahun?"
"Untuk apa kau menanyakan mereka?" balas tanya sigadis.
"Nona, engkau tidak perlu ikut tahu urusan orang lain." ujar
Laki-Laki yang menanya itu. "Cukup engkau mengatakan telah
melihat mereka atau tidak, habis itu kami lantas silakan kalian
lewat." "Huh. kulihat kalian ini tentu bukan manusia baik," jengek
sigadis "Mungkin engkau telah melukai orang tua itu. lalu
hendak merebut pula anak gadisnya, bukan" Em, biarpun aku
melihat mereka juga takkan Kukatakan padamu."
Karuan laki-laki pertama tadi menjadi gusar, teriaknya:
"Ngaco-belo tak keruan, kalau engkau bukan dara ingusan
tentu kutempiling kaul"
"E-eh, Yap-kongcu" "masakah engkau masih pandai
sayangi dara cantik, ha!" demikian seru siwanita yang dimaki
tadi. "Bangsat, kau berani menghina adikku, rasakan golokku
ini!" mendadak suara pemuda tadi membentak- Dari suararya
itu rasa-nya cum? seorang pemudi berusia 16 atau 17 tahun
saja. Tapi dari suara sambaran goloknya yang membacok itu,
ternyata kerasnya bukan kepalang, jauh diatas tenaga adik
perempuannya tadi.
"Kiam-hoat bagus" To-hoat hebat!" puji Thian-hong dengan
pelahan. Kiranya dalam sekejap itu saja sudah terdengar serentetan
suara gemerincing yang ramai, diam-diam Hay-thian juga
telah menghitung bhw dalam sekejap itu senjata kedua pihak
sudah saling beradu 7-8 kali. Bahkan diantara suara nyaring
beradunia Senjata tajam itu tersellng pula deru samberan
angin pukulan yang dahsyat. Karena kepandaian Kang Haythian
dalam hal mendengarkan dengan mendekam ditanah
masih belum sempurna, maka ia sudah takdapat membedakan
lagi suara pertempuran itu Sebaliknya Hoa Thian-hong masih
terus mendengarkan dengan cermat.
Tidak lama kemudian, Thian-hong telah goyang-goyang
kepala dan berkata: "Celaka, sepasang muda-mudi bersaudara
itu telah terdesak dibawah angin."
Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong terdengar
bentakan menggelagar slpemuda, menyusul siperempuan
yang dipanggil sebagai "Bok-toaci tadi lantas menjerit sekali.
Menyusul pula sipemuda lantas menanya juga dengan suara
kuatir: "Bagaimana kau, Moay-moay?"
Dengan terheran-heran In-plk menanya kepada sang ayah:
"He, mengapa keadaan menjadi kacau tak keruan"
Sebenarnya siapakah yang terluka?"
"Kedua wanita itu sama-sama terluka," sahut Thian-hong.
"Adik perempuan pemuda itu lebih parah lukanya, makanya
sampai menjeritpun tak bisa. Mungkin karena adik
perempuannya terluka, makanya pemuda itu menjadi nekat
dan balas melukai perempuan jahanam itu."
Benar juga lantas terdengar laki-laki pertama lagi telah
membentak: "Bocah kurangajar, kau berani melukai Boktoaciku
dan sekarang hendak menggeloyor pergi begini saja?"
Menyusul mana terdengarlah suara "trang" sekali,
berbareng terdengar pula suara gemuruh tertahan, rupanya
kedua orang telah saling gebrak dengan senjata bersama
pukulan sekaligus untuk mengarah jiwa masing-masing.
"Laki-Laki itu teramat lihay, pemuda itu bukan
tandingannya", demikian komentar Thian-hong.
Dan pada saat itu juga tiba-tiba terdengar siperempuan
iang dipanggil sebagai "Bok-toaci" itu merintih keras-keras dan
se-akan sedang berkata apa-apa, cuma samar suaranya, maka
tidak terdengar jelas Tapi segera terdengar silelaki menyahut:
"Baiklah segera kudatang!" " menyusul terdengar pula
"biang-biang" dua kali disertai bentakan laki-laki itu: "Bocah
kurangajar, biarlah kau hidup lebih lama dua hari lagi, boleh
kau pulang saja untuk menunggu ajalmul"
Selang sejenak, terdengarlah suara tindakan orang berlari
dengan tergesa-gesa.
"Ehm. kedua muda-mudi itu telah lari pergi," kata Haythian.
Sebentar kemudian, suara rintihan siperempuan jahat juga
makin menjauh. Rupanya laki-laki she Yap itu juga telah
membawa pergi "Bok-toaci"nya itu.
"Perempuan jahat itu biarlah mati, tapi sepasang mudamudi
itu adalah orang baik," ujar Hay-thian.
"Hoa-loclanpwe, dari nada ucapan orang she Yap itu,
agaknya sepasang muda-mudi Itu cuma dapat bertahan hidup
beberapa hari lagi, apakah betul begitu?"
"Hay-ji, kecuali engkau, Suhumu apakah pernah menerima
murid lain?" tiba-tiba Thian-hong menanya malah.
Sudah tentu Hay-thian terheran-heran. "Tidak!" sahutnya.
"Mengapa ayah angkat menanyakan hal ini?"
"Jahanam she Yap itu agaknya belum banyak umurnya, tapi
tenaga pukulannya ternyata serba llhay, suaranya juga sangat
aneh. aku menjadi curiga jangan-jangan ilmu pukulannya itu
adalah Tay-seng-pan-yak-ciang tinggalan Kiau Pak-beng itu,",
ujar Thian-hong. "Meski aku tidak pernah melihat Bu-kang-pitkip
(kitab rahasia iimu silat) tinggalan Kiau Pak-beng itu, tapi
aku pernah mendengar cerlta bahwa dahulu waktu di Bin-san,
pernah Beng Sin-thong menggunakan kedua tangannya
melawan keroyokan Thong-sian Siangjin dari Siau-limpay dan
Kim-kong Taysu dari Go-bi-pay, dan ilmu pukulan yang dia
gunakan waktu itu adalah Tay-seng-pan-yak-kang ini."
"Ya, memang benarlah demikian," kata Hay-thian. "Waktu
aku mendengar suara pukulan itu tadi, akupun merasa heran
dan tidak berani yakin itu adalah Tay-seng-pan-yak-kang. Jika
begitu, wah, celaka, dan aneh sekali".
"Celaka tentang apa dan aneh bagaimana?" tanya In-pik.
"Celakanya, sebab Tay-seng-pan-yak-ciang itu adalah
semacam pukulan yang maha hebat, dldalam kitab pelajaran
Kiau Pak-beng itu terdapat tujuh macam ilmu pukulan yang
lihay, dan Tay-seng-pan-yak-ciang ini cuma dibawahnya Siulo-
im-sat-kang. Orang yang terkena pukulan itu, seketika akan
berkeringat terus-menerus, dalam waktu tiga sampai tujuh
hari badan penderita akan kurus kering dan akhirnya binasa."
"Jika begitu, kedua muda-mudi bersaudara itu pastilah akali
mati. benar-benar celaka," kata In-pik.
"Dan anehnya, mengapa jahanam she Yap itu dapat memahami
ilmu sakti itu?" tutur Hay-thian lebih jauh.
"Setahuku, kitab ilmu silat warisan Kiau Pak-beng itu selain
guruku dan Le Seng-lam yang pernah membacanya secara
lengkap, hanya Hukau cu dari Thian-mo-kau yang juga dapat
memahami sedikit secara tak teratur, tapi mereka semua tidak
pernah berhasil meyakinkan Tay-seng-pan-yak-ciang dengan
baik. Bahkan guruku juga kurang paham ilmu itu. tapi beliau
sendiri tidak pernah melatihnya."
"Sebab apa?" tanya In-pik.
"Sebab menurut Suhu, ilmu silat dari aliran Sia yang terlalu
kejam itu tidak membawa manfaat bagi yang meyakinkannya,
bahkan dapat menyesatkan jalan pikiran orang yang
bersangkutan, maka lebih baik jangan melatihnya cukup asal
tahu cara bagaimana menghadapmya."
"Jika begitu, apakah engkau sudah dapat menghadapi Tayseng-
pan-yak-ciang itu?" tanya In-pik.
"Melihat kepandaian orang she Yap itu baru mencapai duatlga
bagian saja, rasanya aku masih sanggup melawannya,
jika dia sudah mencapai setengah dari tingkatan paling
sempurna, maka aku tidak berani menghadapinya lagi."
"Sudahlah, sekarang marilah kita berangkat," ajak In-pik.
"He, apa yang sedang engkau pikirkan, ayah?"
Kiranya Hoa Thian-hong sedang termenung-menung
sendiri, ketika ditegur, pelahan-lahan ia menjawab: "Aku
sedang memikirkan, pabila kedua muda-mudi itu minta
pengobatan padaku, cara bagaimana aku harus mengobati
mereka?" "Habis, sudah ayah ketemukan caranya belum?" tanya Inpik.
"Belum," sahut Thian-hong. "Terluka oleh pukulan Tayseng-
pan-yak-ciang, urat nadinya mengalami cidera semua,
hal ini benar-benar susah disembuhkan."
"Sudahlah, ayah sendiri sedang sakit, janganlah banyak
menggunakan otak lagi untuk mengurus orang lain," ujar Inpik.
"Pula kita tidak kenal siapa mereka, andaikan ayah dapat
menemukan cara pengobatannya juga takkan berguna bagi
mereka." "Akupun tahu apa yang kau katakan itu," sahut Thian-hong.
"Tapi sudah menjadi watakku, asal ketemu sesuatu
pengobatan, aku lantas ingin memeras otak untuk
menemukan jawabannya. Sama halnya seperti orang belajar
.silat, kalau melihat sesuatu -ilmu pukulan aneh, tentu ingin
memikirkan suatu cara peme-cahannya untuk mengalahkan."
"Tapi ayah sendiri masih lemah, biarlah kelak boleh
dipikirkan lagi," ujar In-pik.
"Benar juga katamu, marilah kita berangkat. Mungkin kedua
jahanam itu kini juga sudah sampai dibawah gunung," kata
Thian-hong. Meski In-pik minta sang ayah jangan banyak memeras otak,
tapi sebenarnya iapun sangat sayangkan nasib kedua mudamudi
bersaudara itu. Begitu pula perasaan Kang Hay-thian.
Walaupun masing-masing tidak saling mengenal, tapi bila
ingat kedua muda-mudi itu beberapa hari lagi jiwanya akan
melayang, betapapun mereka merasa menyesal.
Sementara itu sang surya sudah menggeser kebarat.
Dilembah pegunungan itu menjadi sunyi dan adem. Waktu
lewat ditempai terjadinya pertempuran tadi, tertampak d situ
penuh batu kerikil, didinding batu karang tertampak jelas
banyak bekas bacokan seajata, ditanah juga ada tltik-tltik
darah, diangkasa beberapa elang sedang mengitar, mungkin
karena mencium bau darah, binatang-binatang itu mengira
ada bangkai Yang dapat dijadikan mangsa. Dari pemandangan
ditempai itu, dapatlah dibayangkan betapa dabsyatnya
pertarungan tadi.
Melihat elang-elang itu terbang sangat rendah, In-pik pikir
hendak menyambitnya dengan batu, ia coba jemput beberapa
potong batu kecil. Tapi begitu batu-batu itu terpegang, segera
remuk hancur batu-batu itu menjadi bubuk.
"Batu-Batu itu telah terkena getaran pukulan Tay-seng-panyak-
ciang, makanya tak dapat dipegang lagi," ujar Hay-thlan.
Sungguh kejut In-pik tidak kepalang, katanya: "Jahanam itu
cuma mempunyai latihan dua-tiga bagian saja sudah selihay
ini. kalau sampai dia tamat meyakinkan ilmu itu, wah. betapa
hebat-nya?"
Sekali ujurig kaki Hay-thian mencukit. dua potong batu kecil
lantas mencelat katas dan dapat disambarnya dengan tangan.
Katanya: "Batui ini mungkin adalah pecahan kena pukulan
Kim-kong-ciang tadi dan masih bisa digunakan." " menyusul
ia terus sambitkan kedua batu itu kearah elang-elang yang
terbang paling rendah hingga binatang-binatang itu bercuitan
dengan bulu rontok berhamburan, lalu terbang meninggi
melarikan diri.
Ketika mendengar Kang Hay-thian menyebut tentang "Taylik-
kim-kong-ciang", tiba-tiba Hoa Thian-hong membuka
matanya dengan air muka tergerak. Cuma dia digendongan
Hay-thian, maka pemuda itu tidak mengetahui sikap orang tua
itu. Tidak jauh kemudian, tiba-tiba Thian-hong berkata: "Hay-jl,
biarlah Pik-ji menggantikan kau menggendong diriku."
"Tidak usah, toh aku belum lagi lelah," sahut Hay-thian.
"Hay-ko," sela In-pik. "kau telah mengaku ayah angkat dan
ayah masih juga belum kasih hadiah apa-apa padamu, tapi
engkau sudah mengabdikan diri seberat ini kepadanya. Maka
biarlah aku menggantikan kau sebentar menggendong beliau."
Hay-thian merasa tidak enak menolaknya lagi, terpaksa ia
memindahkan gendongannya kepada gadis itu.
"Tia, apa yang engkau pikirkan lagi." tanya In-pik kemudian
ketika sekian lamanya tiada mendengar sang ayah bicara.
"Tak pikirkan apa-apa". sahut Thian-hong. "Disini adalah
tanah lapang, kau boleh jalan sedikit cepat."
-"Aha, berjalan cepat atau lambat sama saja bagi, kalian, toh kalian
takkan dapat lolos dari sini!' tiba-tiba Yap-kongcu yang sudah menghilang
tadi muncul kembali-
Belum lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar suara tertawa
seorang: "Berjalan pelahan atau cepat juga tiada gunanya. toh
kalian takkan dapat meloloskan diri! Eh. kau Inikah Kang Haythian?"
Berbareng dengan ucapan itu. mendadak dari balik batu
karang sana telah melompat keluar satu orang. Itulah dia
silelaki yang dipanggil sebagai "Yap-kongcu" oleh wanita she
Bok itu. Kiranya setelah menaruh kawannya yang terluka itu
disuatu tempat lain, lalu ia telah kembali lagi.
Tadi ketika melihat bayangan perawakan orang she Yap itu.
Kang Hay-thian menyangka orang itu pasti bermuka jahat, kini
sesudah berhadapan, mau-tak-mau ia terkesiap. Justeru di
luar dugaannya, air muka orang itu tidak bengis dan jahat. sebaliknya
tampan dan halus, bahkan masih muda pula seperti
pute-ra kaum bangsawan. Bahkan lebih mengherankan lagi
ialah begitu melihat, segera Kang Hay-thian merasa seperti
sudah kenal wajah orang, hingga sesaat Itu tanpa merasa
timbul rasa suka Hay-thian kepadanya.
Tapi demi teringat orang itu telah menggunakan pukulan
kedi-untuk melukai sepasang muda-mudi itu dan sekarang
hendak membikin susah pada dirinya, segera rasa suka
Haythlan lenynp pula. Dengan gusar segera iapun menjawab:
"Benar, memang aku inilah Kang Hay-thian dan Kang Haythian
adalah aku sendiri, apa kehendakmu?"
"Aku tiada tempo untuk banyak blcara dengan kalian,
pendek kata hanya ada dua pilihan bagi kalian, pertama, kau
Kang Hay-thian ikutlah pergi bersama aku. jangan takut kau,
aku akan anggap engkau sebagai tamu undanganku. Kedua,
kau Hoa Thian-hong, kutahu engkau membawa Siau-hoan-tan:
maka aku ingin minta, hanya sebutir saja sudah cukup, nah,
lekaslah engkau berikan." demikian sahut Yap-kongcu itu.
Karena kuatir ayahnya yang sudah terluka Itu terancam


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula. hakikatnya In-pik tidak gubris kepada apa yang
dikatakan Yap-kongcu itu. tapi terus saja ia putar tubuh
membawa lari sang ayah digendongannya sambil berseru
kepada Hay-thian: "Hay-ko, kenapa engkau masih belum lolos
pedangmu?"
"Ha. rupanya kakan tidak mau halusan. tapi minta
kekerasan." jengek Yap-kongcu itu dan sekali melesat, secepat
panah ia sudah memburu kebelakang Hoa In-plk.
"Bangsat, jangan main ganas!" bentak Hay-thian sambil
memburu terus menghantam.
"Siapa bilang aku main ganas" Aku sungguh-sungguh
mengundang tamu dan benar-benar mohon diberi obat." sahut
Yap-kongcu itu sambil membaliki tangannya untuk menangkis.
Karena kuatir orang menggunakan Tay-seng-pan-yuk-ciang
pula, maka begitu menyerang, segera Kang Hay-thian
menggunakan It-ci-sian-kang yang paling jitu untuk
mematahkan tenaga murni lawan.
Melihat begitu, wajah Yap-kongiyu itu berubah gusar,
bentaknya: "Kang Hay-thian. Keji amat dan engkau sendirilah
yang ganas!"
Mendadak Hay-thian merasa tenaga pukulan musuh itu
bukan Tay-seng-pan-yak-ciang, namun cepat sekali serangan
lawan sudah berganti, kedua tangannya telah menyerang pula
berbareng. Tangan pertama datangnya sangat pelahan dan
tidak bersuara, menyusul pukulan yang lain membawa suara
gemuruh bagai guntur mejen. Serangan pertama itu ternyata
adalah Bian-ciang dan pukulan kedua yang benar-benar Tayseng-
pan-yak-clang. Yang dikuatirkan Kang Hay-thian sebenarnya adalah
pukulan Pan-yak-ciang. diluar dugaan kena dihantam oleh
Blan-ciang yang lunak, tapi dahsyatnya mampu menghancur
leburkan batu. Untung Kang Hay-thian memakai baju pusaka
tinggalan Kian Pak-beng hingga tidak sampai terluka, tapi toh
karena pukulan hebat itu. tanpa tertahan tubuhnya sampai
memutar sekali baru dapat mengelakkan tenaga hantaman
lawan. Sebaliknya orang she Yap itupun tidak lebih unggul,
begitu ia hendak ganti serangan tadi. It-ci-sian-kang yang
dilontarkan Kang Hay-thian itu juga telah mendesak-nya
hingga mundur beberapa langkah.
Dan belum lagi Hay-thian bersiap, kembali Yap-kongcu Itu
sudah merangsang maju lagi sambil menjengek: "Kang Haythian.
dengan baik-baik aku mengundang kau", tapi engkau
tidak mau, terpaksa aku akan membekuk kau saja."
"Hm, jika kau mampu, boleh kau coba-coba bekuk, siapa
sudi menjadi tamu undanganmu segala." sahut Hay-thian
dengan gusar. Sekonyong-konyong pemuda she Yap itu menggeser
kesamping dengan gerak langkah "Boan-Mong-jiau-poh atau
naga melingkar menggeser langkah, cepat kaki kirinya
menendang "Koan-tiau-hlat" di-lutut Kang Hay-thian.
berbareng tangan kanan memotong tulang iga dan tangan"
kiri menyikut dadanya. Sekali bergerak tiga serangan itu
dilakukan dengan sangat cepat dan lihay luar biasa.
Syukur Hay-thian dapat menghindar dengan menggunakan
Thian lo-poh-hoat yang cepat pula. Narnun begitu juga
terdengarlah suara "plak", dadanya telah kena disikut sekali
oleh siku lawan hingga teresa kesakitan meski dia meinpuhyai
Hou-tok-sin-kang atau ilmu pelindung "badan yang sakiti.
"Kalau aku tidak keluarkan serangan mematikan, mungkin
tak kan mampu melawannya," demikian pikir Hay-thian.
"Sret". segera ia lolos pedangnya.
"Aku memang sudah tahu engkau mempunyai Pokiam, tapi
apa yang kutakutkan padamu?" jengek Yap-kongcu itu.
Dalam pada itu Hay-thian telah menyerang dengan tipu
"Hong-in-toan-hong" atau awan mengepung memotong
puncak. pedang nya terus membabat. Tapi dasar jlwanya
memang berbudi, serangannya itu tidak dimaksudkan untuk
mematikan lawan, melainkan digunakan untuk memotong
pergelangan orang.
"Kalau diberi tidak membalas itu kurang hormat, lihat
pedang ku!" seru Yap-kongcu, itu. Mendadak iapun mencabut
pedangnya disertai mengisar kesamping, bukan saja serangan
Kang Hay-thian itu dihindarkan, bahkan ia terus putar
kebelakang Hay-thian dan balas menusuk ke Hong-hu-hiat
dipundak dengan tipu "Li-kong-sia-ciok" atau Li Kong
memanah batu. Melihat Hay-thian terancam bahaya, tanpa merasa In-pik
menjerit kuatir. Namun. Hay-thian sudah lantas memutar balik
pe-dangnya untuk menangkis. Rupanya Yap-kongcu itu kenal
pedang pusaka lawan yang llhay, cepat ia menggeser tempat
pula sambil membabat kekaki lawan.
Begitulah serang-menyerang kedua orang itu dilakukan
dengan sama cepatnya, ?sal salah satu pihak sedikit Yengah,
pastilah akan terbinasa seketika. Hanya sekejap saja mereka
sudah saling gebrak sampai belasan jurus.
Sampai disini terpaksa Kang Hay-thian harus mengeluarkan
antero kepandaiannya. Sayang waktu serangan pertama tadi
ia tidak menyerang seganas-ganasnya hingga memberi
kesempatan pada lawan untuk balas mendahului menyerang,
maka untuk dapat merebut kembali posisinya sudah tentu
akan sangat banyak mengeluarkan tenaga pula. Apalagi Yapkongcu
itu ternyata sangat berpengalaman didalam
pertempuran, sebaliknya Kang. Hay-thian baru untuk pertama
kali ini bertanding pedang dengan lawan tangguh, biarpun ia
memegang pedang pusaka, namun perbandingannya tetap ia
dibawah angin. "Sret". dalam pertarungan sengit itu mendadak pedang Yapkongcu
itu menggesek lewat diatas batang Pokiam lawan.
Kang Hay-thian tidak pernah melihat pertempuran cara
demikiaa, tanpa kuasa lagi lengan bajunya tercapas. sebagian
dan hampir-hampir mengenai tangannya. Segera Kang Haythian
balas menghantam dengan sebelah tangannya. Namun
Yap-kongcu itu seperti sudah menduga akan tindakan
demikian, ia membaliki tangannya untuk memapak, "cret",
tepat sekali telapak tangan Kay-thian kena tersabet oleh
tangan lawan hingga penderitaannya lebih hebat daripada
serangan pertama tadi.
"Pik-moay, lekas kau lari membawa ayah," seru Hay-thian
kuatir. Tak terduga In-pik malah terus berhenti dan memutar balik.
Pada saat lain lantas terdengar seruan Hoa Thian-hong:
"Geser ke Bu-bong, masuk ke Kui-yong!"
Kiranya apa yang diserukan Hoa Thian-hong itu adalah
nama-nama tempat dalam perhitungan Pat-kwa. Dasar otak
Kang Hay-thian memang cukup tajam, begitu mendengar
petunjuk itu, tanpa pikir lagi ia menurutkan lompat yang
disebut itu. Dan benar juga. begitu pedangnya menusuk,
segera pundak Yap-kongcu itu terancam.
Namun orang she Yap itu sudah banyak berpengalaman,
meski terancam bahaya ia tidak menjadi gugup, cepat ia
mendakan tubuh hingga tusukan Hay-thian itu luput tapi
karena gebrakan itu kini Hay-thian sudah dapat mendahului
menyerang pula.
"Serang bagian bawah, tusuk dia punya Yanq-pok-hiat!"
kembali Thian-hong berseru.
Tentang Kang Hay-thian banyak mempelajari berbagai ilmu
silat dari aliran terkemuka, hal ini sudah dapat dilihat Thianhong,
maka sebenarnya tidaklah mungkin Kang Hay-thian
kalah daripada lawannya. soalnya cuma kurang
berpengalaman dalam pertempuran. Makanya Hoa Thian-hong
tidak perlu menyebutkan tipu serangan Yang harus digunakan,
sebab bicara tentang tipu serangan mungkin ia sendiripun
kalah daripada Hay-thian. maka cukup ia memberltahukan
tempat mana yang harus diambil dan cara bagaimana harus
menyerang Benar juga, begitu Hay-thian mengisar, segera pedangnya
menyambar dengan tipu "Seng-Hong-in-hong" atau
menumpang naga memancing burung hong, segera jidat Yapkongcu
itu ditusuknya, lebih dulu ia mengurung lawan
dibawah sinar pedangnya.
Mendadak Yap-kongcu itu menunduk kebawah sambil
berjongkok dalam gerakan "Tiat-gu-keng-te" atau kerbau baja
meluku sawah, segera pedangnya hendak menusuk keperut
Hay-thian. Tapi karena mendapat petunjuk dari Hoa Thianhong,
begitu menyerang tidak kena. segera Hay-thian
menggeser pula dan kembali menyerang dari arah belakang,
cepat ia menghantam kebagian bahwa musuh hingga tepat
mengenai bokong lawan, "plak", kontan Yap-kongcu itu
terpental beberapa meter jauhnya.
Namun Yap-kongcu itu benar-benar lihay, biarpun terguling
seberat itu. sekali lompat ia telah bangun kembali tanpa
menderita luka apa-apa. Bahkan dengan gusar ia terus
mendamperat: "Biar kubunuh dulu tua bangka yang cerewet
seperti kau ini!" " Habis bekata ia terus memburu kearah Hoa
Thian-hong yang digendong In-pik itu.
In-pik menjadi ketakutan dan hendak lari. Tapi dengan
tenang Thian-hong berkata dengan tersenyum: "Haha. Yapkongcu,
apa engkau sudah tidak sayang jiwamu sendiri lagi?"
Yap-kongcu terkesiap, segera didengamya dari belakang
ada sambaran angin pukulan yang dahsyat. Kiranya secepat
itu pula Kang Hay-thian sudah menyusulnya dan menyerang.
Tanpa pikir lagi Yap-kongcu membalik! tangannya untuk
menangkis. Namun sekali ini Kang Hay-thian sudah benci
kepada maksud jahat lawan yang hendak mencelakai orang
tua, maka pukulannya telah dilontarkan dengan sepenuh
tenaga. Maka terdengarlah suara "blang" sekali. Hay-thian
menggeliat dan Yap-kongcu itu kembali terpental jatuh lagi
hingga terguling-guling, begitu melompat bangun ia terus
melarikan diri.
Diam-Diam Hay-thian tercenggang menyaksikan
ketangkasan lawan itu, berulang dua kali ia telah menyerang
dengan pukulan "Tay-si-mi-ciang-lik" yang dahsyat, tapi sama
sekali belum dapat melukai-nya. Kemudian Hay-thian
menghaturkan terima kasih atas petun-juk Thian-hong tadi.
"Sudahlah, lebih baik kita lekas melanjutkan perjalanan,
setibanya dirumah keluarga ln barulah kita dapat merasa
aman," ujar Thian-hong.
Sementara itu mereka sudah berada ditanah datar, mereka
dapat berjalan lebih cepat. Dibawah sinar bulan yang remangremang,
mereka menempuh perjalanan terus dimalam hari.
Ditengah jalan pernah juga sekali Thian-hong pingsan, tapi
segera In-pik memberi minum sebutir Siau-hoan-tan hingga
orang tua itu siuman kembali.
Kira-Kira tengah malam, tiba-tiba pandangan mereka
berbeliak, didepan mereka terdapat sebuah telaga yang
berkilauan airnya tersorot sinar bulan Telaga itu sekelillngnya
dihimpit oleh lereng bukit, di-tepi telaga penuh pohon Liuyang
indah, dibalik lereng bukit lapat-lapat tertampak ada rumah
tinggal orang. "Ai, Cui-in-hiang benar-benar indah," puji Hay-thian kagum.
Segera mereka mendekati rumah diatas bukit, didepan
sebuah gedung tertampak sepasang singa-singaan batu, pintu
gerbang bercat merah, sungguh megah sekali bangunan
gedung itu. "Tentu inilah kediaman In-tayhiap," kata Hay-thian dengan
girang, segera ia maju untuk mengetok pintu.
Tapi sampai sekian lamanya tetap tiada sesuatu suara
sahutan didalam. Karena tidak sabar lagi segera Hay-thian
berseru: "Hoa Thian-hong dari Hoa-san mohon berjumpa
dengan In-cengcu!"
Saking tidak sabar lagi Hay-thian terus menggedor pintu
lebih keras. "Sebenarnya engkau tidak perlu sebut namaku juga Incengcu
yang berbudi akan menerima kita, dengan menyebut
namaku ke-dengarannya menjadi kurang enak malah," ujar
Thian-hong. Dan sesudah agak lama lagi, pelahan-lahan tampak daun
pintu dibuka, maka tertampaklah 7-8 orang laki-laki bersenjata
lengkap sambil membawa obor, ditengah berdiri seorang tua
kira-kira berumur 50 tahun, mukanya kuning kurus, badan
agak bungkuk. Hal ini benar-benar rada diluar dugaan. Kang
Hai-thian, pikirnya: "Masakah In Cau yang namanya tersohor
ini ternyata beginilah macamnya" Danorang-orang yang
bersenjata ini apakah anak murldnya" Mengapa mereka
bersiap siaga seperti lagi menghadapi musuh besar?"
Walaupun ragu-ragu, namun Hay-thian melangkah maju
dan mem beri hormat juga, katanya: "Wanpe Kang Hay-thian
memberi hormat kepada In-cengcu. Yang ini adalah ayah
angkatku Hoa Thian-hong".
Orang tua yang disangka In Ciau itu batuk sekali sambil
mengamat-amati ketiga tamunya itu, lalu sahutnya dengan
pelahan: "Kang-congsu telah salah paham. Aku bukan Incengcu,
tapi hanya Koau keh (kepala pengurus) dislni." " dan
setelah merandek sejenak, lalu ia menanya pula: "Numpang
tanya, tengah malam kalian berkunjung kemari entah ada
urusan apakah?"
"Gihuku terluka, maka ingin minta mondok ditempat kalian
ini untuk merawat lukanya," sahut Hay-thian.
Koankeh itu tampak mengkerut kening, jawabnya "Sungguh
sangat tidak kebetulan! Cengcu kami sedang pergian. kami
sendiri tidak berani sembarangan menerima tamu."
Seketika Hay-thian seperti diguyur air dingin rasanya hingga
ia termanggu-manggu sejenak. ia menggumam sendiri:
"Biasanya In-keh-ceng terkenal suka terima tamu, maka kami
berani datang kemari minta mondok, Gihuku sedang sakit
parah, biarpun Cengcu tidak dirumah, toh tiada halangannya
memberikan suatu tempat meneduh."
"Apakah Losiansing inikah Hoa-san-ih-un Hoa Thian-hong?"
tanya Koankeh itu.
"Benar, memang aku adanya," sahut Thian-hong. Karena
terluka parah dan, sangat letih tanpa mengaso dalam
perjalanan, maka suaranya menjadi sangat lemah.
"Lihatlah betapa berat sakit Gihuku ini, maka sesungguhnya
kami sangat memerlukan suatu tempat untuk merawat
lukanya," ujar Hay-thian. "Maka tolonglah Koankeh suka
membantu sebisanya."
Namun sikap Koankeh itu sangat dingin, ia pandang Thianhong
pula sekejap, lalu katanya: "Sudah lama kudengar ilmu
pengobatan Hoa-san-ih-un sangat hebat, jlka beliau sendiri
sakit, tentunya dapat mengobati diri sendiri, pasti takkan


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhalangan apa-apa. Cengcu tidak dirumah kami tidak berani
sembarangan menerima tamu. Disini ada sedia 50 tahil perak,
jlkalau kalian kekurangan sangu dan perlu untuk membeli
obat, haraplah suka menerimanya. Kira-Kira 30 li didepan sana
ada sebuah kota kecil, disana ada rumah penginapan dan
rumah obat, kalian akan mendapatkan apa yang diperlukan.
Apa yang aku dapat membantu hanya sekian saja. harap
kalian memaafkan."
Ternyata Hay-thian bertiga dianggap sebagai kaum
Kangouw yang datang untuk minta bantuan ongkos perjalanan
saja. Maka tampak Koankeh itu memberi tanda pula, segera
seorang laki-laki dibelakangnya tampil kedepan dengan
membawa sebuah baki, di-tengah baki tertarah sepotong
perak Mendadak Thian-hong berkata denqan kurang senang:
"Hay-thian. janganlah kita memaksa kehendak orang, marilah
kita pergi saja".
"Hahaha," tiba-tiba Hay-thian terbahak. "Katanya orang she
In paling suka menerima tamu, tak tahunya cuma begini-saja.
Banyak terima kasih atas hadiahmu ini, biarlah kami terima
didalam hati snja." " berbareng ia pegang lantakan perak
yang berbentuk sisir itu hingga perak itu seketika kena
diremas menjadi untir-untir "Trang", ia lapar kembali lantakan
perak itu ketengah baki, lalu tinggal pergi bersama Thian-hong
dan In-pik tanpa menoleh lagi.
Setelah pintu gedung itu dltutup. lapat-lapat terdengar
suara orang mencaci-maki kalang-kabut didalam, antaranya.
ada seorang telah berkata: "Pabila bukan telah dipesan Suhu,
sungguh aku ingin memberi hajaran kepada bocah kurangajar
itu. Hm, nama In-keh-ceng kita siapa yang tidak segan, tapi
dia berani kurangajar!"
Hati Hay-thian tergerak, katanya dengan gemas: "Yang
bicara itu tentu muridnya In Ciau. Hm, In-cengcu itu kiranya
ada dirumah, tapi sengaja menolak menerima tamu".
"Sudahlah, Hay-ko, didunla ini masakah tiada tempat
pondokan lain kecuali keluarga In itu?" ujar In-pik. "Jika
mereka tidak mau terima, buat apa kita memaksa?"
"Aku cuma gemas terhadap sikap mereka," kata Hay-thian
dengan penasaran.
Walaupun begitu, tapi dimalam gelap, penyakit Hoa Thianhong
sesungguhnya membutuhkan suatu tempat istirahat,
yang lebih menguatirkan lagi ialah setiap saat mungkin akan.
muncul pula musuh ganas. Karena itu, perasaan Kang Haythian
dan In-pik sebenaraya sangat tertekan.
Sejak tadi Thian-hong cuma diam saja, kira-kira setengah
jam kemudirin, setelah mereka melintasi bukit, mereka
bermaksud mencarl suatu keluarga pemburu dipegunungan
situ untuk minta mondok, namun seketika itu ternyata susah
diketemukan. Tiba-Tiba Thian-hong berkata: "Urusan ini tampaknya agak
mencurigakan."
"Sudah terang In Ciau itu sengaja tidak mau menerima kita.
apa yang mesti disangsikan lagi?" ujar Hay-thian.
Belum lagi lenyap suaranya. tiba-tiba tertampak sesosok
bayangan orang sedang memburu datang secepat terbang
sambil membentak: "Kalian jangan lari! Hm, apakah In-kehceng
begitu gampang membiarkan orang pergi-datang
sesukanya?"
Hay-thian menjadi gusar juga, sahutnya lantang: "In-kehceng
tidak sudi menerima kami biarlah sudah. Tapi apakah
kalian masih ingin merintangi kebebasan kami?"
Dan pada saat itu juga dengan cepat sekali seorang tua
yang berbadan tinggi besar sudah berlari sampai dihadapan
Kang Hay-thian, begitu melihat muka pemuda itu. mendadak
matanya merah membara sambil memaki: "Ya, engkau
bangsat cilik inilah orangnya!" " menyusul terus saja ia
menghantam sekuatnya."
Cepat Hay-thian menangkis, ia merasa tenaga pukulan
lawan itu luar biasa hebatnya hingga napasnya terasa sesak.
"Apakah In-tayhlap yang datang ini?" seru Hoa Thtnn-hcsiig
sekuatnya, "biasanya In-tayhiap terkenal berbudi, mengapa
belum kenal orang lalu menyerang?"
"Apalagi yang dapat dibicarakan dengan kalian?" sahut
orang tua tegap itu. Menyusul ia menyerang pula dua kali
beruntun, Dengan Thiaa-lo-poh-hoat cepat Hay-thian mengegos dan
berkelit. Ternyata ilmu pukulan In Ciau memang sangat lihay.
begitu serangannya luput, mendadak ia melompat keatas.
beruntun ia menghantam pula hingga beberapa meter seputar
situ seakan-akan terkurung dibawah tenaga pukulannya.
Betapapun cepat gerakan Kang Hay-thian juga susah
menghindarkan diri.
Terpaksa Kang Hay-thian melawan mati-matian, "plak". ia
sodokan tangan kanan untuk memapak pukulan" la wan.
berbareng jari tangan kiri terus menutuk pergelangan tauyan
orang yang lain. Sekejap itu tertampak dua sosok bayangan
orang terus terpisah. Hay-thian tampak terhuyung-huyung
mundur beberapa langkah, untung tidak sampai jatuh.
Kiranya sekaligus Kang Hay-thian telah menggunakan Taysi-
mi-ciang-lik bersama It-ci-sian-kung. Lwekangnya
sebenarnya sudah cukup untuk menandingi jago kelas satu.
ditambah lagi ilmu pukulan Tay-si-mi-ciang itu adalah suatu
ilmu pukulan menjaga diri yang paling kuat, biarpun musuh
lebih tangguh dari dia, sesaat juga susah hendak
mengalahkannya.
Tapi ilmu pukulan In Ciau yang disebut Tay-lik-kim-kongciang
tiada bandingannya didunia persilatan, pengalaman
Kang Hay-thian terlalu cetek pula, ketika pukulan In Ciau
dilontarkan dan merasa tenaga tangkisan Hay-thian sangat
kuat, mendadak In Ciau menarik kembali daya serangannyn.
Sebaliknya Kang Hay-thian masih hijau, ia tidak dapat ganti
siasat disaat penting, ketika mendadak tenaga serangan
musuh hilang, tanpa kuasa tubuhnya lantas mendoyong
kedepan. Dan pada saat itulah pukulan kedua kalinya dari In
Ciau telah tiba, makanya Hay-thian sampai tergentak mundur
beberapa tindak.
Dalam pada itu dengan cepat sekali In Ciau sudah lantas
memburu maju pula. Hay-thian menjadi gusar: "In Ciau, aku
menghormati engkau sebagai seorang pendekar angkatan tua.
maka tidak ingin menempur kau mati-matian. Tapi engkau
ternyata begini kasar, apa benar-benar ingin memaksa aku
mengadu jlwa dengan engkau?"
"Bangsat cilik, kepandaian apa yang kau milik", keluarkanlah
seluruhnya, tidak perlu banyak mulut! Yang pasti aku harus
marn-puskan kau!" bentak In Ciau.
Setelah mengadu pukulan tadi dan dirinya cuma terhuyung
mundur saja. maka Hay-thian sudah dapat berlaku banyak
lebih tenang. Namun serangan in Ciau ternyata makin gencar
hingga Hay-thian terpaksa menggunakan berbagai kepandaian
Mwy aja-ran Kim Si-ih untuk menangkis.
Diam-Diam In Ciau merasa heran juga: "Darlmanakah
datangnya bocah ini" Ilmu silat yang dipelajari ternyata
macam-macam dan sangat lihay pula. Orang jahat begini
kalau diberi, kesempatan hidup sampai tua, entah dosa apa
yang akan dibuatnya lagi." berpikir begitu, maksudnya
membunuh Kang Hay-thian menjadi tambah bulat. Ia
menyerang lebih kencang hingga Kang Hay-thian kelabakan
melayani. "Hay-ko, cabutlah pedangmu, Mengapa engkau tidak
menggunakan pedang?" seru In-pik mengingatkan.
"Tidak," sahut Hay-thian dalam segala kerepotannya itu. "ia
berbeda daripada bangsanya P? Lo-hou Itu. Apalagi dia
bertangan kosong, masakah aku harus memakai senjata?"
Dan karena sedikit ayal itu waktu bicara, hampir ia kena
pukulan In Ciau.
"Hay-ji, lemparkan pedangmu kemari!" tiba-tiba Thian-hong
berseru. "Hay Thian menyangka orang tua itu hendak minta
pedangnya untuk menjaga diri, maka dengan suatu gerakan
indah "Toat-bau-kay-kah" atau melepaskan jubah
menanggalkan baju, ia menglsar kesamping sambil menangkis
sekali serangan In Ciau, menyusul pedang yang tergantung
dipinggangnya sudah dapat di-tanggalkannya dan dilemparkan
kearah Hoa Thian-hong.
Sementara itu In-pik sudah menaruh ayahnya ketanah.
segera ia tangkap pedang yang dilemparkan Hay-thian itu
terus melolosnya hendak maju membantu.
"Tahan. Pik-ji, hendak apa kau?" seru Thian-hong
mendadak. "Dengan pedang pusaka ini, bukankah aku dapat
membantu Hay-ko?" tanya In-pik keheranan.
"Tidak, bukan maksudku suruh kau membantu Hay-ji, tapi
ingin kusuruh kau tunjukan perbawa Pokiam itu agar Incengcu
melihatnya sendiri." ujar Thian-hong.
In-pik tercengang sejenak, tapi segera ia paham maksud
sang ayah: "Ya, orang she In yang kasar ini tentu mempunyai
salah paham pada Hay-ko."
Segera ia putar pedang pusaka itu dan menabas
sekenanya. "crat". dimana batu karang yang kena
bacokannya, seketika terbelah hancur dengan debu kerikil
berhamburan. Sungguh bukan main tajamnya pedang pusaka
itu. Sebagai seorang jago terkemuka, mata telinga In Ciau
sudah tentu sangat tajam. Melihat betapa lihaynya Pokiam itu.
mau-tak-mau iapun terkejut. Diam-Diam ia membatin;
"Kepandaian bocah ini sangat hebat, bila dia memakai pedang,
meski aku belum tentu dapat dilukai olehnya, tapi paling tidak
iapun takkan kalah. Dan mengapa dia tak mau menggunakan
pedang?" Tadi ia anggap Kang Hay-thian adalah bangsa penjahat
yang kejam, kini menjadi ragu terhadap pendapat sendiri itu,
karena itu daya serangannya menjadi agak keudor.
Kesempatan itu segera digunakan Kang Hay-thian untuk
menanya pula: "In-cengcu, selamanya aku tidak punya
permusuhan apa-apa dengan kau. bahkan kenalpun tidak,
mengapa engkau menyerang sedemikian dahsyatnya
kepadaku?"
Pertanyaan Hay-thian ini kembali mengobarkan amarah In
Ciau, dengan mata mendelik ia membentak: "Bangsat cilik,
engkau sendiri berbuat, engkau tentu tahu sendiri, tidak perlu
kau pura-pura bodoh!" berbareng pukulannya yang lihay
dilontarkan pula hingga Kang Hay-thian terdesak mundur dan
tidak sempat bicara lagi.
"He. Hay-ji, mengapa engkau tidak menggunakan Tayseng-
pan-yak-ciang" tiba-tiba Thian-hong berseru.
Sudah tentu Hay thian tercengang oleh seruan itu,
sebaliknya In-pik sudah lantas mewakilkan menjawab. "Tia,
bukankah Hay-ko telah menyatakan tidak mahir ilmu itu, ia
hanya paham cara memecahkan ilmu itu. Mengapa engkau
lupa?" demikian diam-diam In-pik menjadi kuatir janganjangan
luka sang ayah bertambah parah hingga pikirannya
menjadi tidak waras lagi.
Maka terdengar Hoa Thian-hong menggumam sendiri:
"Ehm. memang aku telah pikun rupanya. Tapi, ha, ternyata
ada orang yang lebih pikun daripadaku."
"Kau berkata apa. Tin?" tanya In-pik dengan bingung. Maka
Thian-hong telah melanjutkan: "Sebagai seorang tokoh
persilatan, seharusnya dia tahu bahwa Tay-seng-pai-yak-ciang
dapat melukai urat nadi setiap lawannya. Jika terluka oleh
pukulan itu. dia tidak pergi menguber sipenjahatnya,
sebaliknya merecoki seorang yang tidak paham tentang ilmu
pukulan itu. Hal ini bukankah jauh lebih pikun daripada
pikiranku tadi?"
Mendadak In Ciau tersadar, pikirnya: "Benar, dlbawah tekanan
setanganku sehebat ini. kalau dia mahir Tay-seng-pan-yak
ciang. seharusnya sejak tadi sudah dikeluarkannya!" karena
pikiran ini, tanpa merasa ia berhentikan serangannya sambil
melompat keluar kalangan dan berseru: "Baiklah, mungkin aku
memang pikun, biar aku ingin tanya lagi lebih jelas."
Sembari ganti napas, terus saja Hay-thian mendahului
mencetuskan isi hatinya, segera ia menegur: "In-cengcu,
engkau tadi mengatakan aku tahu sendiri telah berbuat apaapa,
tetapi aku sungguh-sungguh tidak tahu apa yang telah
kulakukan" Kami minta mondok dltempatmu dan ditolak,
memang aku telah mengeluarkan ucapan-ucapan yang
mengandung rasa penyesalan. apakah kesalahan begitu saja
mesti dihajar sampai mati?"
Dengan mata membelalak In Ciau mengamat-amati Haythian
pula. lalu katanya: "Koankeh kami telah menolak
kedatangan kalian, tapi kalian juga tidak seharusnya
sembarangan masuk ke-tempat kami untuk melakukan
penyerangan gelap. Numpang tanya. ada permusuhan apakah
antara putera-puteriku dengan kalian hingga beberapa kali
kalian hendak membinasakan mereka".
Hay-thian terheran-heran dan cepat menjawab: "Waktu
kami tidak diterima ditempat kalian, dengan segera kami
tinggal pergi, bilakah kami pernah mendatangi kediamanmu
lagi" Pula. tentang putera-puterimu, jangankan hendak
membunuhnya segala, sedangkan kenal merekapun kami tidak
pernah". In Ciau tampak mengkerut kening dengan ragu-ragu. tibatiba
ia berkata kepada Thian-hong: "Siapakah engkau "
Darimana engkau tahu tentang orang terluka pukulan Tayseng-
pan-yak-ciang segala" Baiklah, sementara aku dapat
mempercayai bahwa bocah ini bukan penjahatnya lalu siapa
gerangan penjahat yang sebenarnya?"
"Aku she Hoa bernama Thian-hong. memang puteraputerimu
mengalami cidera dikaki gunung Ki-Iian-san sana,
kebetulan kami waktu itu juga berada didekat situ. kami
sembunyi ditempat yang tidak kelihatan, walaupun tidak
menyaksikan sendiri, tapi juga mendengarnya. Cuma Lohu
sendiri terluka parah, sayang tak dapat memberi bantuan apaapa.
Tentang asal-usul penjahatnya kamipun tak dapat
menerangkan."
In Ciau terkejut. "Engkau benar-benar Hoa-san-ih-un Hoa
Thi-in-hong?" ia menegas.
"Hoa Thian-hong toh bukan manusia yang luar biasa,
mengapa aku mesti memalsukan namanya!" sahut Thian-hong
dengan tersenyum.
Sekonyong-konyong In Ciau terus menubruk maju kearah
Hoa Thian-hong. Keruan In-pik terkejut. cepat ia ayun


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedangnya terus menusuk.
Segera Hay-thian juga bermaksud ambil tindakan, tapi
mendadak didengarnya bentakan Thian-hong: "Tahan, Pik-ji!"
Namun sudah terlambat sedikit, dimana lengan baju In Ciau
mengebas disertai gemerlapannya sinar pedang, tahu-tahu
sebagian lengan baju In Ciau sudah terpapas, menyusul
terdengar suara, "trang" sekali, pedang In-pik juga
tergetar jatuh ketanah.
Dalam pada itu pukulan In Ciau tampak sudah menuju kedada
Thian-hong dengan lihay sekali. Sungguh kejut Hay-thian
bukan kepalang, untuk menolong sudah terang terlambat,
segera ia hendak memaki, tapi belum lagi ia bersuara tiba-tiba
tertampak In Ciau sedang memberi hormat kepada Hoa Thianhong
sambil berkata: "Harap maafkan kekasaranku. engkau
memang benar-benar terluka dan memang benar pula adalah
Hoa-san-ih-im Hoa Thinn-hengi"
Kiranya In Ciau memang seorang ahli silat, pula seorang
tokoh Kangouw yang sudah kawakan, maka dalam pukulannya
yang di lontarkan itu tadi belum lagi mengenai sasarannya.
segera ia sudah dapat mengetahui tulen atau palsunya Hoa
Thian-hong. Pertama, sebagai seorang kesatria. Thian-hong
telah mencegah puterinya menyerang dan membiarkan dirinya
dijajal: Kedua, pukulannya yang tidak ditangkis itu sudah
dapat mengetahui tenaga Thian-hong memang benar-benar
sudah hilang dan bukan pura-pura terluka. Maka begitu
hantamannya hampir mengenai Thian-hong cepat ia tarik
kembali mentah-mentah. Ketiga, begitu jarinya menyentuh
badan Thian-hong. segera ia merasa tangannya panas seperti
dibakar, sebagai seorang ahli segera ia tahu Thian-hong
terluka oleh pukulan berbisa Po Lo-hou dan dapatlah ia
mempercayai orang memang benar adalah Hoa-san-ih-un Hoa
Thian hong, Sebab kalau orang lain tidak mungkin sanggup
menahan racun sehebat itu dan masih dapat hidup sekian
lamanya. Dan sesudah dapat mengetahui siapa diri Thian-hong,
terhadap Kang Hay-thian toh In Ciau masih ragu-ragu, maka
tanyanya: "Dan kedua muda-mudi ini siapa lagi, Hoalosiansing?"
"Ini adalah puteriku, In-pik." sahut Thian-hong. "Dan itu
adalah anak angkatku, dia adalah murid Kim Si-ih pula,
namanya Kang Hay-thian. Sejak kemarin mereka berdua
tidak pernah meninggalkan aku barang selangkahpun."
"Ah. kiranya adalah muridnya Kim-tayhiap," seru In Ciau
begitu tahu siapa Kang Hay-thian. Ia lantas menggumam
sendiri pula: "Jika demikian, urusan ini benar-benar sangatlah
aneh. Aku yakin mataku belum lagi lamur, lantas siapakah
gerangan orang yang kulihat itu?"
Hay-thian menjadi heran, selagi ia hendak tanya. tiba-tiba
ter dengar In Ciau telah membentak: "Siapa itu?"
Ketika itu juga mendadak dari balik rimba sana melesat
keluar suatu bayangan orang sambil membentak: "Keparat,
kiranya kau disini. biarlah aku orang she Han mengadu jiwa
dengan kau" berbareng dua benda hitam lantas mendahului
menyambar kearah Kang Hay-thian dengan cepat dan kuat.
Dari suara sambaran itu. teranglah penyambitnya itu adalah
seorang ahli Am-gi yang jempolan.
Selagi Hay-tliian hendak menghindari dengan Thian-lu-pohhoat.
namun In Ciau sudah lantas mewakilkan menangkap
kedua senjata gelap itu. Sekalipun dia punya Tay-Iik-kunkong-
ciang tiada bandingannya didunia ini. tapi untuk
menangkap kedua benda itu. mau-tak-mau badannya juga
tergetar beberapa kali. Waktu ia periksa, kiranya benda-benda
itu adalah sepasang Tiat-yau-yang atau merpati besi "Apakah
yang datang adalah Han-jiya?" seru In Ciau segera. Mengenali
In Ciau, pendatang itu menjadi heran dan girang, cepat ia
menjawab: "Memang benar adalah Siaute, Han Soan adanya.
In-cengcu. menempa engkau berada bersama, dengan bocah
ini?" "Nanti dulu. sabarlah," sahut In Ciau. "Ada urusan apakah
kau dengan engkoh cilik ini, coba ceritakan dulu."
Tadi ia sebut Kang Hay-thian sebagai "bangsat cilik", dan
sekarang telah memanggilnya sebagai Engkoh cilik, nyata rasa
per musuhannya sudah lenyap.
"Kalau dlceritakan takkan selesai dalam waktu singkat,"
sahut Han Soan. "Biarlah kukatakan kejadian tadi saja.
Beberapa waktu berselang, baru saja dia melukai teman
hidupku yang tua itu."
"Hm, itu dia. bangsat wanita itupun begundalnya.
Eh?"?"" aneh?"?"?"".
"Aneh apa?" cepat In Ciau menegas.
"Nona ini?" nona ini?"?" sahut Han Soan geligapan.
"Nona ini tidak menyerupai bangsat wanita itu, bukan?"
tiba-tiba ln Ciau menyambungnya.
"Benar, darimana engkau dapat tahu. In-cengcu?" tanya
Hau Soan malah.
"Kau bilang barusan Kang-siauko ini telah bertempur
dengan kalian suami-lsteri," kata In Ciau. "Cobalah katakan
yang lebih jelas, "barusan" yang kau maksudkan Itu sudah
berselang berapa lama" Adakah setengah jam?"
"Barusan belasan jurus dia bergebrak dengan kami dan
melukai temanku yang tua itu, lalu dia melarikan diri. rasanya
toh belum ada setengah jam yang lalu." sahut Han Soan
sesudah memikir sejenak.
"Jika begitu, terang kau telah salah mengenali orang." kata
In Ciau. "Didalam setengah jam ini Kang-siauko justeru lagi
bergebrak dengan aku, tidak mungkin dia dapat bertempur
dengan kalian pula."
Sedang bicara, dari rimba sana tampak muncul pula
seorang lagi, yaitu seorang wanita tua, tangannya membawa
Thi-pi-pe (senjata yang menyerupai rebab) dan jalannya agak
sempoyongan sembari mendatangi ia terus berteriak-teriak
dengan marah; "Kembali kepergok bangsat cilik ini! Hayo,
mengapa masih belum labrak dia"
"Sabarlah dulu, marilah menemui In-cengcu." ujar Han
Soan. sang suami.
"O. kiranya In-loeng-hiong juga berada disini?" kata wanita
tua itu. "Hm. kebetulan, memangnya kami lagi hendak minta
bantuan padamu Aku telah dilukai oleh bangsat cilik ini."
Isteri Han Soan itu biasanya dipanggil orang sebagal Hanjiso,
bersama In Ciau, mereka adalah sobat lama.
"Han-jiso," demikian sahut In Ciaa. "Urusan ini agak aneh."
"Aneh tentang apa?" sahut Han-jiso. "Dia telah melukai aku.
biarpun dia dibakar menjadi abu juga aku masih kenal dia."
"Tadi aku sendiripun yakin mataku sendiri belum lagi lamur,
tapi sekarang aku tidak berani kepala batu lagi", ujar In Ciau.
"Se-jam yang lalu, dirumahku juga direcoki seorang yang
wajahnya mirip benar dengan Kang-siauko ini dan hendak
menyerang anak-anak ku Khing-ji dan Bik-ji. Mungkin aku
telah menguber kejurusan yang salah hingga dapat menyusul
Kang-saiuko ini Bahkan didalam setengah jam ini aku sudah
bergebrak dengan dia secora ngawur."
"Kenapa mesti diherankan." tiba-tiba Thian-hong menyela,
"ilmu menyamar Lohu sendiri juga bisa. Rupanya bangsat she
Yap itu sangat cerdik, kemarin ia telah bergebrak dengan Haythian
dan menduga kami pasti akan datang ke In-keh-ceng
untuk minta mondok. makanya telah menyamar dan merecoki
tempat In-loenghiong. Sungguh sayang?"?""
"Ya, memang sayang Koankeh kami itu punya mata tapi tak
dapat mengenali orang baik hingga tidak menerima kalian
ketempat kami." ujar In Ciau dengan rasa kikuk. "Coba kalau
kalian jadi menginap ditempat kami, pastilah akan terjadi
lakon kembar yang menarik. Cuma, Koankeh kami itu juga tak
dapat disalahkan sepenuhnya, sebab disitu masih ada
alasannya. Ah, lebih baik kalian silakan datang kediaman kami
untuk bicara lebih jauh. Hoa-losiansing, terimalah permintaan
maafku ini, harap engkau diangan marah dan sudilah
menolong menyembuhkan anak-anakku itu."
"Ah, In-cengcu terlalu merendah diri," sahut Thian-hong.
"Lohu justcru ingin bantuan In-cengcu sendiri, pabila Lohu
dapat men-curahkan sedikit tenagaku, sudah tentu akan
kulakukan sebisa-nya."
Mendengar itu, Han Soan terkejut, ia tanya: "In-cengcu,
putera-puterimu telah dilukai siapa?"
.Sampai saat ini aku masih belum tahu dengan pasti," sahut
In Ciau. "Tapi hesar kemungkinan adalah jahanam yang juga
melukai Han-jiso itu.:"
Begitulah rombongan" Han Soan dan Thian-hong lantas ikut
ketempatnya In Ciau.
Ditengah jalan barulah In Ciau menceritakan apa yang telah
terjadi dikediamannya itu.
Kiranya kemarin kedua muda-mudi yang dipergoki "Yapkongcu"
ditengah jalan itu bukan iain adalah putera-puterinya
In Ciau yang bernama In Khing dan In Bik. Setelah mereka
dilukai Tay-seng-pan-yak-ciang. In Klhing yang lebih kuat,
masih tahan untuk menggendong adik perempuannya pulang
kerumah Tapi sampai di rumah iapun tidak kuat lagi, hanya
bicara dua kalimat sudah lantas roboh tak sadarkan diri. Yang
sempat diurapkan itu adalah:
"Balaskan sakit hati kami ayah, musuh itu adalah seorang
pemuda belasan tahun dan seorang wanita?"?"" adapun
bagaimana paras dan usia wanita tak sempat dikatakan lagi.
Sepenuh tenaga In Ciau telah berusaha mengobati luka
putera-puterinya. tapi tiada berhasil. Dalam keadaan keluarga
dirundung malang dan tidak tenteram, saat itulah Kang Haythian
bertiga datang hendak minta pondokan. Oleh karena diri
mereka sedang menghadapi peristiwa malang, maka Koankeh
yang menyambut keluar itu tidak ingin banyak mengganggu
pikiran In Ciau lagi, apalagi Kang Hay-thian adalah pemuda
belasan tahun, hal ini menimbulkan rasa curiga Koankeh itu,
makanya ia telah mengambil keputusan sendiri untuk menolak
permintaan Hay-thian habis itu baru, dilaporkan kepada
majikannya. Bahkan Koankeh itu juga tidak percaya bahwa
Hon Thian-hong adalah "Hoe-san-lh-un" yang dikatakan itu, ia
menyangka mereka sengaja pura-pura sakit dan hanya untuk
menipu supaya bisa menyelundup kedalam rumah keluarga In.
Setelah mendapat laporan Koankeh itu. In Ciau seudiri juga
menyangsikan Kang Hay-thian adalah pemuda yang telah
melukai puteranya itu. Sebenarnya In Ciau terus akan
mengudak keluar, tapi demi untuk menjaga keselamatan
anak-anaknya, ia tidak jadi meninggalkan pergi.
Siapa duga pada saat didalam rumah sedang sibuk
membicara-kan diri Kang Hay-thian itu, tiba-tiba mereka telah
diserbu oleh dua orang, satu pemuda dan satu wanita. Melihat
sipemuda yang didepan itu, si Koankeh lantas menjerit kaget.
kiranya paras pemuda itu dikenalnya tak lain adalah Kang
Hay-thian yang barusan saja hendak minta mondok itu.
Sedang wajah siwanita dibelakang tidak jelas dilihatnya.
Dalam pada itu In Ciau terus saja menyerang dengan "Pikkhong-
ciang". ilmu pukulan dari jauh, dengan angin
pukulannya itu ia sampok jatuh beberapa Am-gi yang
ditimpukkan sipemuda. Dan karena melihat tuan rumahnya
berjaga-jaga cepat pemuda penyantron itu balas sekali dengan
hantaman dari jauh lalu melarikan diri bersama siwanita.
Sungguh diluar dugaan bahwa pemuda belia Itu ternyata
begitu tangguh dan dapat menangkis hantaman yang keras
itu. Dan karena kesalahan penilaiannya iiu ia menjadi
terlambat untuk mengudak musuh, ketika ia mengejar keluar,
sementara itu kedua penyatron itu sudah menghilang.
Terpaksa ia menguber menurutkan jejak tapak kaki musuh
hingga akhimya keliru bertempur dengan Kang Hay-thian.
"In loenghiong," kata In-pik dengan tertawa, "waktu
engkau bergebrak dengan Hay-ko, apakah engkau sudah
mengetahui bahwa aku bukanlah wanita yang kau maksudkan
itu?" "Justeru karena aku ragu-ragu, makanya aku menempur
Kang-siauko sepenuh tenaga, tapi sama sokali tidak
menyerang padamu. " sahut In Ciau.
"Raut muka wanita itu bukankah berhentak daun sirih,
alisnya lentik, rada genit, " tanya In-pik pula.
"Benar, meski aku tidak jelas apakah dia genit atau tidak,
Yang terang raut mukanya memang bulat telur." sahut In-
Ciau. "Nona, agaknya engkau seperti sudah tahu siapakah
wanlta jahat itu?"
"Menurut perkiraanku, wanita itu pastilah Auyang Wan."
ujar In-pik. Memangnya Kang Hay-thian juga sedang curiga.
mendengar ucapan In-pik itu, ia menjadi lebih gelisah dan
murung "Auyang Wan" Apakah orang keluarga Auyang di Cong-lamsan?"
tanya In Ciau. "Benar, Auyang Wan itu justeru adalah puterinya Auyang
Tiong-ho," kata Hoa Thian-hong. "Pik-ji, boleh juga kau ceritakan
pengalaman kita kepada In-ceng-cu."
Segera In-pik mulai menceritakan tentang penghadangan
Po Lo-hou dan Auyang Tiong-ho ditengah jalan, kemudian
Auyang Wan telah merebut kantong obat dan akhirnya
ditengah jalan mereka bersembunyi disemak alang-alang
untuk mendengarkan pertarungan In Khing dan In Bik
melawan Yap-kongcu bersama wanita yang di panggil Boktoaci
itu Habis itu In-pik menambahkan dugaannya: "Mungkin
kemudian Yap-kongcu itu telah bertemu dengan Auyang-jinio
bersama anak gadisnya, lalu orang she Yap itu telah menyerahkan
kawannya yang terluka itu kepada Auyang-jinio.
sebaliknya minta Auyang Wan menyamar sebagai diriku dan
dia sendiri menyaru seperti Hay-ko, mereka lantas datang
kesini dengan muslihat keji untuk mempitenah kami".
"Ya, Auyang-jinio memang seorang yang culas dan keji,
tentu puterinya bukan seorang baik-baik pula, tentu ini adalah
perbuatan meteka," ujar In Ciau. "Tapi untung aku dapat
bertemu dengan kalian hingga peristiwa ini sedikit banyak
sudah dapat dibikin terang. Nanti kalau anak-anakku sudah
sembuh, Lohu sendiri akan datang ke Cong-Iam-san, kepada
Auyang Tiong-ho aku ingin minta pertanggungan-jawobnya
tentang orang she Yap itu."
"Kawan wanita orang she Yap itu bagaimana mukanya?"
tiba-tiba Han Soan ikut menanya. "Apakah seorang wanita
setengah umur" Bagaimana sebutan antara orang she Yap itu
dengan dia?"
"Wajahnya kami tidak tahu, tapi dari suaranya serta
perawakan nya kami menduga memang seorang wanita
setengah umur," sahut In-pik. "Dia dipanggil laki" she Yap itu


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai "Bok-toaci".
"Benarlah jika begitu," kata Han Soan sambil bertepuk
tangan "Tadi waktu kami bergebrak dengan kedua laki-laki
perempuan jahanam itu memangnya aku sudah curiga, sebab
usia bangsat wanita itu tidak seharusnya begitu muda, juga
ilmu silatnya lebih rendah."
"Han-jiko, cara bagaimana kalian bermusuhan dengan
mereka7" tanya In Ciau. "Menurut ceritamu tadi. agaknya
kalian toh baru pertama kali saling gebrak, lalu darimana
kalian mengetahui tinggi-rendah ilmu silat bangsat wanita itu?"
"Sebenarnya kami mengusahakan Piaukiok di Pakkhia
dengan merek Tin-wan-piau-kiok", tutur Han Soan. "Tahun
yang lalu perusahaan kami menghantar satu partai obatobatan
kepada kepala suku didaerah Orsir dan ditengah jalan
telah dibegal. Diantara orang-orang kami itu, kecuali dua
Piausu yang berasal dari Tanliu. selebihnya telah menjadi
korban keganasan begal-begal itu. Dan pembegalnya bukan
lain adalah bangsat wanita she Bok itu Demi untuk membalas
sakit hati para saudara Piaukiok kami, sudah lebih setahun
kami mencari jejak bangsat wanita itu."
"Apa betul terjadl begitu" Dengan nama kebesaran Tin-wan
piau-kiok, kini juga telah mengalami bencana?" ujar In Ciau
"Tapi ada sesuatu yang aku merasa bingung, mengapa kedua
Piau su berasal dari Tanliu itu bisa terhindar dari kematian?"
"Ya, aku sendiripun tidak tahu." sahut Han Soan. "Sesudah
mereka tertawan, wanita she Bok itu memerintahkan mereka
mengangkut barang-barang obat-obatan kesuatu pangkalan
mereka, pada waktu itulah telah datang bangsat she Yap itu.
Ketika mendengar suara kedua Piausu itu berlogat Tanliu,
orang she Yap itu lantas membebaskan mereka. Menurut
cerita kedua Piausu itu, logat bicara bangsat cilik itupun
seperti orang Tanliu. mungkin mengingat sama-sama suatu
kampung, makanya telah membebaskan mereka."
Walaupun Han Soan sendiri merasa bingung oleh peristiwa
itu. tapi demi mendengar cerita itu perasaan Kang Hay-thian
lantas tergetar. Cerita pembegalan itu dahulu sudah pernah
didengaroya dari Pek-Eng-kiat. diam-diam ia membatin:
"Konon 12 tahun yang lalu. Yap Kun-san. itu jago silat
Tanliukoan mendadak meninggal, sedangkan anak pungutnya
juga tiba-tiba lenyap secara mengherankan. Menurut dugaan
Pek Eng-kiat, boleh jadi pemuda she Yap itu adalah putera
pungut Yap Kun-san yang bilang itu. Ai, celaka. jika begitu,
"Yap-kongcu" yang kutemukan kemarin itu bukankah adalah
saudara kembarnya Kok Tiong-lian, pantas aku merasa
mukanya seperti sudah kukenal." " Lalu pikirnya pula:
"Pantas juga begitu berjumpa dengan aku. dia lantas
menyatakan tidak bermaksud jahat padaku, tapi cuma ingin
menanya sesuatu padaku Tentu dia maksudkan akan menanya
kabar berita tentang adik perempuannya. Sayang sikapnya
terlalu kasar dan aku menganggapaya sebagai kaum penjahat
pula, maka terjadilah saling gebrak."
Begitulah Hay-thian menjadi bimbang dan risau. Tapi
karena hal itu menyangkut rahasia asal-usul dirinya Kok Tionglian,
hal mana Kok Ci-hoa pernah minta Kim Si-ih jangan
dikatakan kepada siapapun dan Kim Si-ih telah pesan pula
kepada Hay-thian sekali-sekali jangan mengatakan rahasia itu
kepada orang lain. Apalagi pemuda she Yap itu sekarang telah
melukai putcra-puter"nya In Ciau dan isterinya Han Soan,
dengan sendirinya Hay-thain juga tidak berani membicarakan
siapa adanya pemuda itu. Cuma ia ikut merasa cemas karena
Kok Tiong-lian mempunyai seorang saudara yang demikian itu.
Begitulah dilain pihak setelah mendengar cerita Han Soan
tadi. segera In Ciau berkata: "Jika demikian, meski bangsat
cilik she Yap itu sangat ganas, namun dia toh bukan musuh
Piaukiok kalian".
"Benar, maka sesudah Piaukiok kami tutup, segera kami
menye-lidiki kedaerah Sepak (barat laut) sini, maksudnya juga
cuma ingin menuntut balas kepada bangsat wanita itu,"
demikian sahut Han Soan. "Kemarin waktu kami mendapat
kabar tentang mun-culnya musuh, cepat-cepat kami menyusul
kemari, tak terduga musuh yang kami cari tidak ketemu,
sebaliknya malah pergoki bangsat cilik she Yap itu."
Menyusul Han Soan mcnyambung pula: "Tatkala itu sinar
bulan remang-remang, karena terlalu napsu ingin membalas
dendam, begitu kepergok lantas saja saling gebrak. Baru
kemudian aku merasa usia kawannya yang wanita itu tidak
cocok. Namun untuk berhenti sudah tidak dapat lagi."
"Apa sebegitu jauh kalian tidak bicara dengan pihak lawan?"
tanya In Ciau. "Malahan mereka sudah kenal kami lebih dulu." sahut Han
Soan. "Begitu muncul bangsat she Yap itu "lantas membentak:
Kalian adalah Tiat-wan-yang bukan" Utang jiwa orang-orang
Tiu-wan-pisu-kiok kalian boleh menagih padaku saja dan tiada
sang-kutpautnya dengan dia. dan tanpa menunggu jawaban
kami terus saja ia mendahulu menyerang. Karena dia sudah
berterus terang dan mulai menyerang. terpaksa akupun
mengadu jiwa dengan dia."
"Waktu itu aku sendiri tidak pikirkan apakah wanita kawannya
itu orang yang kita cari atau bukan," sambung isterinya
Han Soan, "maka begitu engkau menyambitkan Tiat-wanyang,
segera akupun menyerangnya dengan Tiat-wan-yangl"
Tiat-wan-yang atau merpati besi yang dimaksudkan itu
adalah sematiam senjatn rahasia yang sangat lihay, bentuknya
seperti burung, kepala lancip. ekor panjang. perut kosong dan
terisi ja-rum halus. Satu benda tiga guna, kepala yang lancip
itu dapat menembus badan orang bagai pusut, ekor yang
panjang itu dapat terbuka dan menutup bagai gunting, sedang
jaruni didalam perut burung-burungan itu dapat menyembur
keluar untuk menyerang musuh. Suami isteri Han Soan paling
mahir menggunakan Am-gi itu. maka orang Kangouw
memberikan julukan kepada mereka sebagai Tiat-wan-yang.
Kang Hay-thian pernah mendengar cerita gurunya tentang
macam-macam Am-gi dari berbagai aliran dan cukup
mengetahui betapa lihaynya Tiat-wan-yang. Maka dengan
kuatir cepat ia menanya: "Dan penjahat wanita itu terluka
atau tidak?"
In-pik melototinya sekali, ia merasa mendongkol pemuda
itu masih memperhatikan keadaan Auyang Wan.
Namun Han-jisu sudah lantas menjawah: "Tidak nyana
kalau ilmu silat orang she Yap itu ternyata sangat hebat, sekali
hantaman dari jauh ia telah menyapu bersih jarum-jarum yang
berhambur keluar dari Tiat wan-yang, bahkan senjataku itu
kena ditangkapnya terus disambitkan kembali kearahku. Dan
kakiku ini justeru terluka oleh serangannya itu. Untung dia
tidak pandai menggunakan Tiat-wan-yang kami itu hingga aku
cuma terluka ringan saja. Hm apabila bukan laki-laki she Yap
itu yang menangkiskan jangankan cuma terluka. mungkin jiwa
perempuan itapun sudah melayang."
"Dan bagaimana luka penjahat wanita itu?" In-pik ikut
tanya. "Hanya daun telinga terluka lecet sedikit dan dia lantas
melarikan diri, maka yang lelaki itupun ikut ngacir," uyar Han
Soan "Bila tidak, mungkin kita takkan mampu menghadapi
bangsat cilik itu."
Begitulah sambil bicara tanpa merasa mereka sudah sampai
didepan rumah tinggal keluarga In. Koankeh tua dan beberapa
murid In Ciau sudah menunggu disitu dengan membawa obor.
Ketika melihat In Ciau pulang bersama Kang Hay-thian dan
lain-lain, hamba tua itu menjadi keheran-heranan.
"Lau Kau. ada apa kau mendelik padaku. Apa tidak kenal
lagi padaku?" tegur Han Soan ketika melihat koankeh itu
terbelalak. "Hah dia sendiri tadi tidak punya mata. maka tidak kenal
lagi pada orang baik-baik seperti Hoa-losiansing dan Kangsiauhiap,"
seru In Ciau dengan terbahak-bahak habis berkata,
menyusul ia pesan pula kepada Koankeh itu agar selanjutnya
biar siapapun. juga yang datang minta pertolongan kau harus
laporkan kepadaku dulu, jangan kau tolak begitu saja. sebab
orang yang sudi kemari, itu berarti mereka suka menghargai
kita. Dengan kemalu-maluan Koankeh itu lantas minta maaf
kepada Han Thian-hong.
"Sebagai koankeh sudah seharusnya engkau berlaku hatihati
terhadap orang asing. Dalam hal inipun takdapat
menyalahkan engkau," ujar Thian-hong "Eh. bagaimana
keadaan Kongcu dan Siocia kalian. Apa sudah baikan?"
"Masih belum sadarkan diri dan berkeringat dingin saja."
sahut Koankeh itu.
"Han-jiko. Kau adalah sobat lama. berada dirumahku,
janganlah kalian sungkan-sungkan," ujar In Ciau kemudian.
Tentu kau sudah lelah, pula Jiso terluka, maka bolehlah kalian
pergi mengaso dahulu. Kau Gi, engkau harus melayani Hanjiya
sebaik-baiknya."
Sebenarnya Han Soan ingin ikut menyambangi puteraputeri
tuan rumah yang katanya terluka itu. tapi dirinya tidak
paham ilmu pengobatan, pula memang sudah letih, maka
iapun tidak memaksa dan pergilah mengaso.
"Hoa-losiansing?"?" kata In Ciau pula.
Tapi sebelum lanjut Thian-hong sudah lantas menyela:
"Sudah tentu aku ingin melihat keadaan luka putera-puterimu
itu, marilah kau dengan baik-baik, tapi sekarang sudah mesti
bikin capek dulu padamu, sungguh aku merasa tidak enak
sekali," kata In Ciau.
"Mengapa In-cengcu berkata demikian, harap anggaplah
kita sebagai orang sendiri," sahut Thian-hong.
Segera Kang Hay-thian menggendong Thian-hong
mengikuti In Ciau masuk kesebuah kamar, dialas ranjang
tampak merebah satu pemuda dengan keringat bercucuran,
mukanya pucat bagai kertas.
"Ini adalah puteraku In Khing," kata In Ciau "Puteriku In Bik
berada dikamar dalam, keadaannya serupa saja. Hoa-losiansing,
menurut kau. apakah mereka masih dapat ditolong?"
Segera ada seorang pelayan mengambil sebuah kursi untuk
tempat duduk Thian-hong. Maka berkatalah tabib sakti itu:
"In-ceng-cu jangan kuatir, meski puteramu terluka parah,
namun masih dapat disembuhkan."
Meski In Ciau bukan ahli pengobatan, tapi adalah seorang
jago silat, ketika ia pegang urat nadi sang putera, mau-takmau
dengan kuatir ia menanya: "Urat nadinya ini hampir
seluruhnya terhenti, apakah Ho-losiansing tidak perlu
memeriksa keadaannya lebih dulu?"
"Penyakit demikian diwaktu dahulu memang susah
disembuhkan, tapi tidak perlu dikuatirkan lagi," kata Thanhong
dengan tersenyum. "Disini Lohu sudah sediakan dua
butir pil, setiap orang minum sebutir, harap engkau minumkan
kepada mereka."
Mendengar sang ayah akan memberikan sisa obat itu
kepada orang lain, sedangkan orang tua itu sendiri lari
menderita luka, mau-tak-mau In-pik bersuara heran.
In Ciau tertegun juga demi melihat sikap tak wajar sigadis
itu. Pikiraya: "Menurut kabar, katanya Siau-hoan-tan buatan
Hoa-san-ih-un mempunyai kasiat yang sangat tinggi, janganjangan
obat yang hendak dia berikan padaku ini adalah Siauhoan-
tan hingga puteri-nya merasa sayang obat itu diberikan
kepada orang lain?"
Rupanya Thian-hong tahu akan isi hati puterinya, maka
cepat ia bersuara:
"Pik-ji, janganlah kuatir Kerjakanlah Su-hiat-liau-siang" seperti
apa yang sudah pernah kuajarkan kepadamu. Suruhlah
Hay-thian membantu menyumbangkan darahnya. Cara
penyaluran darah mi dapat kau menurut petunjuk gambar ke-
16 dari Hoa-to-sin-pak. lebih dulu kau tutup Beng-lun-hiat dan
Siu-sit-hiat, lalu me nyombung pipa saluran dan gunakan cara
pemijatan, tentu akan lancar jalannya. Badan Hay-thian cukup
sehat, cuma mengeluarkan sedikit darah takkan menjadi soal."
"Apakah "Su-hiat-liau-siang" (menyulurkan darah untuk
penyembuhan, transfusi darah) itu?" tanya In Ciau kuatir.
"Apakah mesti dipotong."
"Tidak, jangan kuatir," sahut Thian-hong tertawa. "Dahulu
Hoa To (tabib sakti dijaman Sam Kok) pernah mengobati
Kwan Kong dengan cara operasi, bahkan pernah memberi
saran kepada Co Kho agar otaknya dioperasi waktu yang
tersebut belakangan itu menderita sakit kepala. Sebaliknya Suhiat-
liau-saing ini juga menyalurkan darah segar kebadan
sipenderita, cara ini dalam ilmu pertabiban Hoa To hanya
termasuk satu cara pengobatan sepele saja."
Begitulah orang tua itu telah menutupi sikap tak wajar sang
puteri, berbareng memberi petunjuk pula cara mengobati
penderita-penderita itu. In-pik adalah gadis cerdik, dengan
segera ia dapat menangkap, maksud ayahnya, maka iapun
tidak merasa kuatir lagi.
"Jika perlu bantuan darah orang, tidaklah lebih baik darahku
saja?" ujar In Ciau.
"Minumkan dulu pil itu, nanti kita bicarakan lagi." sahut
Thian-hong. Tanpa ragu-ragu lagi In Ciau lantas minumkan kedua pil Itu
kepada putera-puterinya. Habis itu ia berunding pula dengan
Hoa Thian-hong, ia berkeras tidak ingin Kang Hay-thian
mengorbankan darah.
Namun Thian-hong telah berkata: "In-cengcu, selanjutnya
kami bernaung dltempat kalian ini, waktu yang diperlukan
untuk perlindunganmu masih sangat panjang. Meski ada
banyak halangan nya dengan mengeluarkan sedikit darah, tapi
juga perlu mengaso barang beberapa hari, pabila dalam waktu
itu kedatangan musuh, betapapun akan lebih baik kalau Incengcu
sendiri dapat menghadap
Kekaisaran Rajawali Emas 1 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Raja Naga 7 Bintang 3
^