Kisah Si Rase Terbang 18

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 18


dia icaget. "Celaka! Budak itu
tentu sudah meng-hafal isinya dan hilangnya kitab itu tidak
menjadi soal baginya," pikirnya. Karenanya ia lantas saja
berteriak: "Tahan!" Ia mengirim pukulan dan angin pukulan itu
dalam sekejap sudah memadamkan api.
"Eh-eh, aku benar-benar tidak mengerti," kata Leng So.
"Kalau ilmu Cio Cianpwee lebih unggul daripada guruku, perlu
apa ia membaca kitab Siansu. Jika ilmu Cio Cianpwee lebih
rendah daripada Siansu, mengapa beliau berani menerima aku
sebagai murid?"
"Ilmu Suhu mamang tidak berada di sebelah bawah
Siansu," kata Boh-yong Keng Gak. "Tapi Yo-ong Sin-pian
adalah hasil jerih payah Siansu selama bertahun-tahun. Ada
baiknyajuga jika Suhu membacanya sambil lalu, supaya beliau
bisa menun-jukkan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan
dalam kitab itu."
Leng So manggut-manggutkan kepalanya. "Toasuko, makin
lama pengetahuanmu jadi makin ting-gi," katanya dengan
nada mengejek. "Ha-ha! Dua orang bersembunyi di belakang
pintu, yang ketiga di kolong ranjang, untuk membokong Ouw
Toako dan aku. Cio Cianpwee, boanpwee ingin minta
penjelasanmu mengenai suatu hal. Jika Cianpwee bisa
memberikan keterangan yang memuaskan, maka dengan
kedua tangan boanpwee akan menyerahkan Yo-ong Sin-pian.
Selain itu, boanpwee pun akan memohon supaya Cianpwee
sudi menerima boanpwee sebagai murid."
Cio Ban Tin terkejut. Ia tahu, bahwa per-tanyaan yang
akan diajukan itu pasti pertanyaan sulit yang belum tentu
dapat dijawabnya. Tapi ka-rena melihat Yo-ong Sin-pian
berada dalam tangan Leng So yang bisa segera
memusnahkannya, maka ia tak mau menggunakan kekerasan
yang dapat menggusarkan nona itu. "Soal apa yang mau
diajukan olehmu?" tanyanya.
Nona Thia tersenyum dan berkata: "Di antara suku Biauw
di propinsi Kwiciu terdapat serupa racun yang dinamakan Pekcam
Tok-kouw...." (Pek-cam Tok-kouw = Kupu-kupu beracun
dari ulat sutera hijau).
Mendengar "Pek-cam Tok-kouw", paras Cio Ban Tin lantas
saja berubah. Sementara itu, Leng So meneruskan perkataan-nya:
"Dengan menggilas telur kupu-kupu itu, sehingga menjadi
tepung, suku Biauw membuat semacam ra-cun yang sangat
hebat. Jika racun itu disebar di pakaian atau di perabot
makan, maka orang yang menyentuhnya akan segera
keracunan. Racun itu adalah salah satu dari tiga macam racun
terhebat dari suku Biauw. Cio Cianpwee, bukankah begitu?"
"Benar," jawabnya sambil mengangguk. "Budak kecil, kau
mempunyai pengetahuan yang agak luas."
* * * Sekembalinya di Tionggoan dari Gunung Orang Hutan, Cio
Ban Tin segera mendengar, bahwa Bu-tin Taysu sudah
meninggal dunia. karena belum dapat membalas sakit hati,
maka ia lalu mencari murid-murid Bu-tin untuk melampiaskan
nafsu amarahnya.
Apa mau, yang ditemuinya paling dulu adalah Boh-yong
Keng Gak, manusia berjiwa kecil yang bersifat licik. Begitu
dijatuhkan, si orang she Boh-yong lalu meminta-minta. ampun
dan mengatakan, bahwa mendiang gurunya meninggalkan
sejilid ki-tab Yo-ong Sin-pian yang jatuh ke dalam tangan Leng
So. Ia menyatakan bersedia untuk meng-angkat Cio Ban Tin
sebagai guru dan berjanji akan berlaku sebagai penunjuk jalan
untuk mencari Leng So dan merampas kitab tersebut.
Cio Ban Tin sangat membenci suhengnya, tapi ia pun jeri
terhadap kelihayan kakak seperguruan itu. Mendengar Bu-tin
meninggalkan sejilid kitab, ia merasa pasti, bahwa kitab itu
berisi pelajaran yang luar biasa. Oleh sebab itu, ia lantas saja
menerima Boh-yong Kong Gak sebagai murid.
Belakangan atas anjuran murid baru itu, ia menyerang
rumah besi Kiang Tiat San dan mem-bunuhnya sekalian. Sie
Kiauw menakluk kepadanya dan dia juga diterima sebagai
murid. Sebelum Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw menakluk serta
Kiang Tiat San dibunuh, Cio Ban Tin pernah bertempur dengan
ketiga murid Bu-tin itu. Ia merasa, bahwa ilmu silat ketiga
orang itu tidak seberapa tinggi, sedang ilmu mereka dalam
menggunakan racun juga kalah jauh dari Bu-tin Taysu. Ia
mendengar bahwa murid Bu-tin yang keempat, yaitu Thia
Leng So, adalah seorang wanita yang baru berusia delapan
belas atau sembilan belas tahun. Dengan mengukur
kepandaian ketiga murid Bu-tin yang lain, ia sedikit pun tidak
memandang kepandaian nona Thia. Ia menganggap, bahwa
sekali ia menggerakkan tangan, nona itu akan segera bisa
dibekuk. Tapi dalam Ciangbunjin Tayhwee, ia dijatuhkan oleh nona
Thia. Ia gu?ar dan merasa penasaran. Ia menganggap, bahwa
kekalahannya adalah karena lamurnya, sehingga ia tidak
dapat melihat racun Cek-kiat-hun dan Sam-go Ngo-mo-yan.
Tapi ia jeri terhadap Ouw Hui yang tinggi ilmu silatnya. Karena
itu, ia hanya berani menguntit dengan diam-diam. Ketika Ouw
Hui dan Leng So pergi ke To-jian-teng untuk menemui Bu-tim
Tootiang, bersama kedua muridnya, ia bersembunyi dalam
kelenteng Sin-long-bio itu. Tujuan mereka yang terutama
adalah merebut Yo-ong Sin-pian.
Melihat banyaknya orang-orang Ang-hoa-hwee, mereka
terus bersembunyi di ruangan belakang dan tak berani
muncul. Waktu rombongan Tan Kee Lok berangkat pulang dan
berpamit dari Ouw Hui dan Leng So di luar kelenteng, mereka
lantas masuk dan bersembunyi dalam kamar Ma It Hong.
Sesudah menyebar racun, mereka menunggu Ouw Hui dan
Leng So yang mau dijadikan korban. Tapi di luar dugaan, nona
Thia sangat lihay dan pada detik yang sangat berbahaya, ia
dapat mengendus jebakan yang dipasang.
* * * Mendengar "Pek-cam Tok-kouw", Cio Ban Tin kaget dan
heran. Ia tak pernah menduga, bahwa nona itu sedemikian
luas pengetahuannya. Ia segera mengawasi Leng So dengan
penuh kewaspadaan dan menunggu pertanyaan yang akan
diajukan dengan jantung berdebar keras-keras.
Leng So berkata pula: "Kalau tepung telur Pek-cam Tokkouw
disebar di perabot makan atau barang-barang lain, maka
racun itu tidak mem-perlihatkan warna dan juga tidak
mengeluarkan bau, sehingga sukar diketahui oleh calon
korban. Tapi, untuk bisa membunuh manusia, racun itu harus
masuk ke dalam badan lewat darah dan da-ging. Dalam dunia
ini tiada yang sempurna. Begitu menyentuh daging, racun
tersebut lantas saja mem-perlihatkan warna hijau.
"Cio Cianpwee, jika kau hanya menyebar racun Pek-cam
Tok-kouw di pakaian jenazah Ma Kouw-nio, siapa pun jua tak
akan mengetahuinya. Tapi kau ingin bekerja lebih sempurna
dan sudah menye-barnya juga di muka dan tangannya."
Mendengar itu, Ouw Hui baru mengerti. Siasat itu sungguh
busuk dan kejam. Kalau mata si adik tidak cukup jeli, ia pasti
sudah keracunan, sebab tepat dengan perhitungan Cio Ban
Tin, ia mesti memondong jenazah Ma It Hong untuk
mengubur-kannya. "Bangsat tua!" ia mencaci. "Kau mau mencelakakan
orang, tapi mungkin kau sendiri yang akan celaka."
Si tua tidak menggubris cacian Ouw Hui. Sambil
mengibaskan tongkatnya, ia berkata: "Budak kecil! Matamu
lihay. Kau sudah bisa mengenali Pek-cam Tok-kow. Di antara
orang Han, hanya aku dan kau yang mengenal itu. Bagus! Kau
sungguh lihay! Semua saudara seperguruanmu tak ada yang
bisa menandingi kau."
"Cianpwee memuji terlalu tinggi," kata Leng So seraya
membungkuk. "Mana bisa boanpwee menandingi Suheng dan
Suci" Dalam hal racun Pek-cam Tok-kouw, ada sesuatu yang
boanpwee masih ku-rang paham. Dalam Yo-ong Sin-pian
disebutkan, bahwa sebenarnya tidak sukar untuk menghilangkan
warna hijau racun itu di kulit manusia. Aku tak mengerti,
mengapa Cianpwee tidak menggunakan cara itu?"
Cio Ban Tin mendelik. "Omong kosong!" ben-taknya. "Suku
Biauw adalah leluhur Pek-cam Tok-kouw, tapi mereka sendiri
belum mampu meng-hilangkan warna racun di kulit manusia.
Gurumu belum pernah datang di daerah suku Biauw. Tahu
apa dia?" "Kalau Cianpwee mengatakan begitu, boan-pwee tentu
tidak bisa tidak pereaya," kata Leng So. Tapi dalam buku yang
ditulis Siansu memang ter-dapat petunjuk mengenai itu. Ku
tak tahu siapa yang benar, apa Cianpwee atau guruku."
"Bagaimana caranya?" tanya si tua. "Coba beri-tahukan
kepadaku."
"Jika boanpwee hanya memberitahukan dengan mulut,
Cianpwee belum tentu pereaya," jawabnya. Tapi kalau dijajal,
benar tidaknya segera bisa ter-bukti."
"Bagaimana menjajalnya?" tanya pula Cio Ban Tin.
"Cianpwee boleh menaruh sedikit Pek-cam Tok-kouw di
tangan seseorang dan boanpwee sendiri sesuai dengan
petunjuk Siansu, akan menaruh obat di tangan itu," jawab
Leng So. "Kita nanti lihat, apa benar warna hijau di tangan
orang itu bisa menghilang."
Si tua sangat bersangsi, ia setengah pereaya, setengah
tidak. Sesudah berdiam sejenak, karena didorong dengan
keinginan mendapat tahu benar tidaknya keterangan Leng So,
ia lantas saja bertanya pula: "Tapi tangan siapa yang harus
digunakan untuk menjajalnya?"
"Terserah kepada Cianpwee," jawabnya.
Sekali lagi Cio Ban Tin bersangsi. "Kalau ditaruh di
tanganmu, kau tentu akan menolak," pi-kirnya. "Jika ditaruh di
tangan pemuda yang galak itu, lebih-lebih tak bisa kejadian."
Sesudah memikir beberapa saat, ia berpaling kepada Bohyong
Keng Gak seraya berkata: "Keluarkan tangan kirimu!"
Murid itu melompat bahna kagetnya. Dengan mata terbuka
lebar, ia berkata: "Ini... ini Suhu... jangan kena diakali oleh
perempuan busuk itu!"
Sang guru lantas saja gusar. "Keluarkan tangan kirimu!"
bentaknya. Melihat kegusaran gurunya Boh-yong Keng Gak tidak berani
membantah lagi. Dengan bergemetaran ia mengangsurkan
tangan kirinya. Tapi segera ia ingat, bahwa meskipun belum
tentu mati, ia pasti bakal mengalami penderitaan hebat dan
mengingat begitu, tanpa merasa ia menarik pulang lagi
tangan-nya. "Baiklah!" kata Cio Ban Tin sambil tertawa dingin. "Kalau
kau tidak menurut perintah guru, terserah!"
Mendengar perkataan itu, paras muka Boh-yong Keng Gak
berubah pucat pasi. Pada waktu mau mengangkat guru, ia
telah bersumpah, bahwa ia akan menurut segala perintah Cio
Ban Tin dan manakala ia tidak menurut perintah, ia rela
menerima hukuman. Kata-kata "menerima hukuman"
kedengarannya sederhana sekali, tapi sebagai orang-orang
yang biasa menggunakan racun, perkataan itu mengandung
arti yang sangat hebat, sehingga oleh karenanya, Boh-yong
Keng Gak lantas saja meng-gigil sekujur badannya.
Baru saja ia mau mengangsurkan lagi tangan-nya, tiba-tiba
Sie Kiauw berkata: "Suhu, biar aku saja yang mencoba-coba."
Seraya berkata. begitu, dengan tenang ia melonjorkan tangan
kirinya. "Tidak! Aku tak perlu kau," bentak sang guru. "Aku mau
lihat apa sebagai lelaki dia punya nyali atau tidak."
"Suhu aku bukan takut," Boh-yong Keng Gak coba
membela diri. "Tapi karena kutahu sumoay itu banyak akalnya
dan dia tentu tidak mengandung maksud baik, maka kita
harus berhati-hati, jangan sampai terjebak.
"Toasuko memang lihay," kata Leng So sambil manggutmanggutkan
kepalanya. "Dulu, Siansu pun kadang-kadang
naik darah sebab sepak terjangmu. Sekarang, sesudah
mempunyai guru baru, kau meng-ulangi lakon murid lebih
pintar daripada guru."
Cio Ban Tin mengerti, bahwa Leng So coba merenggangkan
perhubungan antara guru dan murid. Tapi sebab Boh-yong
Keng Gak memang benar sudah membantah perintahnya,
maka dengan sorot mata mendongkol ia terus mengawasi
murid itu, yang dengan ketakutan perlahan-lahan mengangsurkan
pula tangannya.
Dari sakunya si tua lalu mengeluarkan sebuah kotak emas,
yang ketika dibuka, di dalamnya ter-nyata berisi tiga ulat
sutera warna hijau yang ber-gerak-gerak tak hentinya.
Dengan menggunakan satu sendok kecil, yang terbuat
daripada emas, ia menyendok sedikit bubuk hijau yang lalu
ditaruh di telapak tangan muridnya. Lengan kiri Boh-yong
Keng Gak bergemetaran makin keras, paras muka-nya
menunjukkan perasaan takut, gusar dan mem-benci, sedang
matanya mengeluarkan sinar mata binatang buas, yang
seolah-olah mau menerkam korbannya.
"Biar bagaimanapun jua, tindakan Jie-moay ini sudah
menanam bibit permusuhan hebat antara guru dan murid itu,"
kata Ouw Hui di dalam hati. "Kalau ada kesempatan, Boh-yong
Keng Gak pasti akan membalas sakit hati ini."
Dalam sekejap, bubuk hijau itu meresap masuk ke dalam
daging dan di atas kulit telapak tangan terlihat sedikit warna
hijau. "Bocah! Sekarang kau boleh coba menghilang-kan warna
hijau itu," kata Cio Ban Tin.
Leng So tidak meladeni. Ia menengok kepada Ouw Hui dan
berkata: "Toako, waktu kita baru bertemu di kelenteng Pekma-
sie, di tepi telaga Tong-teng, aku telah ajukan tiga
permintaan ke-padamu. Apa sekarang kau masih ingat tiga
syarat itu?"
"Ingat," jawabnya. Ia ingat, bahwa si adik telah minta
supaya ia tidak bicara, tidak bertempur dan tidak terpisah dari
Leng So lebih tiga tindak.
"Baguslah jika Toako masih ingat," kata Leng So. "Hari ini
kau harus memperhatikan ketiga syarat itu."
Ouw Hui lantas saja mengangguk.
"Cio Cianpwee," kata Leng So, "Antara Iain-lain racun, kau
pasti membawa juga Ho-teng-hong dan Kong-ciak-tan *) Jika
kedua racun itu digunakan bersama-sama Pek-cam Tok Kouw,
maka warna hijau yang terdapat di kulit Toasuko akan menghilang,
karena ketiga racun itu saling menentang
*) Ho-teng-hong = Bagian merah di atas burung Ho. Kongciak-
tan = Nyali burung merak. Menurut kepereayaan keduaduanya


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat diolah menjadi racun.
dan juga saling membantu. Jika Cianpwee tidak pereaya
bacalah lebih dulu apa yang tertulis dalam Yo-ong Sin-pian."
Seraya berkata begitu, ia mem-buka halaman kitab itu dan lalu
mengangsurkannya kepada Cio Ban Tin.
Si tua lantas saja membaca sebaris huruf yang berbunyi:
"Jika Ho-teng-hong dan Kong-ciak-tan digunakan bersamasama
telur Pek-cam, maka war-na dan baunya lantas saja
hilang, hanya bekerjanya terlebih perlahan." Ia mau membaca
terus, tapi nona Thia sudah menutupnya.
"Bangsat Bu-tin benar-benar luas pengetahuan-nya," caci
Cio Ban Tin dalam hatinya. "Hal ini harus dijajal olehku. Kalau
terbukti kebenarannya, maka Yo-ong Sin-pian itu bukan kitab
palsu." Selama hidupnya Cio Ban Tin mempelajari soal racun dan
hampir dua puluh tahun ia membuat penyelidikan dan
pereobaan secara mati-matian, dalam usaha untuk
mengalahkan kakak sepergu-ruannya. Ia jadi keranjingan
racun. Sekarang, de-ngan timbulnya dugaan, bahwa kitab
yang diper-lihatkan Leng So bukan kitab palsu, maka baginya,
kitab itu adalah lebih berharga daripada harta apa-pun juga di
dalam dunia. Di samping sifatnya yang kejam, antara dia dan
Bo-yong Keng Gak sama sekali tak ada kecintaan guru dan
murid. Selain itu, ia pun mengerti, bahwa sesudah menyebar
Pek-cam Tok-kouw di tangan murid itu, jika mendapat kesempatan,
Boh- yong Keng Gak tentu akan mem-berontak
terhadapnya. Maka itu, ia segera mengambil keputusan untuk
menjajal ketiga macam racun itu di badan Boh-yong Keng
Gak. Dengan sekali mementil kuku telunjuk tangan kanannya,
semacam uap merah lantas saja masuk ke telapak tangan
Boh-yong Keng Gak. Hampir berbareng, ia mementil jari
tengah dan kali ini yang masuk ke tangan muridnya adalah
uap yang ber-warna hitam.
Melihat si tua bisa menyebar racun dengan hanya mementil
kuku, Leng So jadi kagum bukan main. Tapi dengan
memperhatikan gerak-gerik si tua, ia segera bisa menebak
rahasianya. Ia mendapat kenyataan, bahwa ikat pinggang Cio
Ban Tin dijahit begitu rupa, sehingga terbagi jadi kotakankotakan
dan pada ikat pinggang itu terdapat kira-kira tujuh
puluh atau delapan puluh kotakan. Ia menduga, bahwa di
dalam setiap kotakan tersimpan serupa racun. Dengan latihan
yang seksama, sekali ta-ngannya bergerak, tanpa diketahui
manusia, ia sudah mengambil sedikit racun yang
diinginkannya dengan kukunya.
Demikianlah, tahu-tahu kedua racun itu sudah masuk ke
dalam telapak tangan Boh-yong Keng Gak. Sebenarnya,
sesudah mendengar pembicaraan antara Cio Ban Tin dan Leng
So, dia segera mengambil keputusan untuk melawan. Ia lebih
suka menakluk kepada Leng So dan mereka bertiga bersatu
padu untuk melawan guru kejam itu, daripada menderita
penderitaan yang lebih hebat. Ta"pi di luar dugaan, sebelum
bergerak, Ho-teng-hong dan Kong-ciak-tan sudah masuk ke
tangannya. Benar saja, begitu lekas uap merah dan hitam itu meresap
masuk, warna hijau yang tadi melekat di telapak tangan lantas
saja menghilang.
"Bagus!" seru si tua dengan suara girang dan tangannya
menjambret Yo-ong Sin-pian yang dicekal Leng So. Nona Thia
tidak menarik pulang tangannya, ia hanya tersenyum simpul.
Tapi, sebelum lima jarinya menyentuh kitab itu, dalam otak si
tua mendadak berkelebat serupa ingatan. "Cela-ka! Apa bisa
jadi di kitab itu tidak tersembunyi sesuatu yang hebat?"
pikirnya. Cepat bagaikan kilat, ia menarik pulang tangannya.
"Cio Ban Tin, Cio Ban Tin!" ia mengeluh dalam hatinya. "Jika
kau memandang rendah bocah itu, biarpun kau punya sepuluh
jiwa, kau akan mampus dalam tangannya." Sementara itu,
telapak tangan Boh-yong Keng Gak sudah mulai baal dan
gatal. Rasa gatal menusuk sampai di jantung, seolah-olah
berlaksa semut menggigit isi perutnya.
"Siauwsumoay," katanya dengan suara berge-metar. "Lekas
keluarkan obat pemunah."
"E-eh, Toasuko, apakah kau lupa pesan Siansu?" tanya
Leng So. "Apa adanya sembilan macam racun yang tidak
boleh digunakan, sebab tidak ada obat pemunahnya?"
Boh-yong Keng Gak mengeluarkan keringat dingin. "Hoteng-
hong dan Kong.... Kong-ciak-tan juga... juga termasuk
dalam sembilan macam racun itu," katanya. "Sumoay,
mengapa... mengapa kau meracuni aku dengan kedua racun
itu" Bukankah kau melanggar pesan Suhu?"
"Toasuko, bahwa kau masih ingat Suhu dan masih ingat
pula pesan Suhu sungguh-sungguh di-luar dugaanku," kata
nona Thia dengan suara tawar. "Adakah Pek-cam Tok-kouw
disebar olehku" apakah Ho-teng-hong dan Kong-ciak-tan
ditaruh olehku di badanmu" Siansu telah memesan, bahwa
orang-orang dari golongan kita, biarpun sedang menghadapi
bahaya mati hidup, sekali-kali tidak boleh menggunakan racun
yang tak ada obat pemunahnya. Inilah larangan terutama dari
partai kita. Cio Cianpwee, Toasuko dan Samsuci yang sudah
keluar dari partai kita, tentu saja boleh tak usah
memperhatikan larangan itu. Tapi Siauwmoay sendiri tak
boleh melupakannya."
Selama Leng So bicara, dengan tangan kanan Boh-yong
Keng Gak menekan nadi kirinya untuk menahan naiknya
racun. Muka dan badannya mengeluarkan keringat dan ia
tidak dapat mengeluarkan sepatah kata lagi.
Sie Kiauw buru-buru mencabut golok pendek dan membuat
goresan tapak jalak di telapak tangan suaminya, supaya
sebagian racun bisa mengalir keluar bersama-sama darah. Ia
mengerti, bahwa goresan itu tidak dapat menolong jiwa, tapi
sedikitnya bisa mengurangi kehebatan racun. "Siauwsumoay
apa yang ditulis dalam kitab Suhu?" tanyanya. "Sesudah
menyebutkan cara menggunakan tiga macam racun itu, beliau
tentulah juga menulis tentang cara memunahkannya."
"Suhu yang mana?" tanya Leng So. "Apakah Suhu
Siauwmoay yang bernama Bu-tin Taysu, atau-kah Suhu kalian
yaitu, Cio Cianpwee?"
Mendengar ejekan itu, Sie Kiauw sangat gusar, tapi demi
kepentingan suaminya, sebisa-bisa ia menekan hawa
amarahnya. "Kami berdua memang pantas mendapat
hukuman mati," katanya dengan suara gemetar. "Tapi, aku
mengharap, dengan mengingat kecintaan dahulu hari dan
dengan memandang muka siansu, Siauwsumoay sudi
menolong selembar jiwanya.
Leng So segera membalik-balik lembaran Yo-ong Sin-pian
dan sambil menunjuk dua baris huruf, ia berkata: "Sucie,
lihatlah sendiri. Dalam hal ini, kau tidak dapat menyalahkan
aku." Sie Kiauw mengawasi yang ditunjuk Leng So dan membaca
huruf-huruf yang berbunyi begini: Kalau Pek-cam Tok-kouw,
Ho-teng-hong dan Kong-clak-tan digunakan bersama-sama
maka tak ada obat yang dapat memunahkannya. Racun itu
tidak boleh digunakan, tidak boleh digunakan."
Sie Kiauw marah besar. Ia menengok kepada Cio Ban Tin
dan berkata dengan suara keras. "Suhu! Dalam kitab itu ditulis
terang-terang, bahwa ketiga racun itu tak ada obat
pemunahnya. Mengapa kau masih menjajalnya di badan Keng
Gak?" Ia masih memanggil "Suhu," tapi suaranya kaku dan
matanya berapi-api. Dua baris huruf itu sebenarnya tidak
dapat dibaca oleh Cio Ban Tin, tapi andaikata dia
membacanya, dia pun tak akan bersangsi untuk menyebar
racunnya di telapak tangan Boh-yong Keng Gak.
Mendengar teguran muridnya, tentu saja ia sungkan
mengaku salah. "Berikan buku itu kepada-ku," katanya. "Aku
mau lihat ada keanehan apa lagi yang ditulis di situ."
Sie Kiauw gusar tak kepalang. Ia mengerti, bahwa jika ia
bersangsi-sangsi, jiwa suaminya tak akan bisa ditolong lagi.
Dengan cepat ia mengayun golok dan mengutungkan lengan
Boh-yong Keng Gak sebatas pundak.
Ketiga racun itu bukan main hebatnya, tapi karena
digunakan bersama-sama maka bekerjanya agak perlahan.
Selain begitu, karena masuk dari telapak tangan yang tak
terluka, maka racun tidak masuk ke dalam pembuluh darah,
sehingga dengan kutungan lengannya, jiwa Boh-yong Keng
Gak dapat ditolong.
Sebagai murid Bu-tin Taysu, Sie Kiauw mem-punyai
kepandaian tinggi dalam mengobati luka. Dengan cepat dan
secara ahli, ia menaruh obat dan membalut luka suaminya.
Sesudah luka Boh-yong Keng Gak selesai di-balut, dengan
paras sungguh-sungguh Leng So berkata: "Toasuko, Samsuci,
aku bukan sengaja ingin mencelakakan kau. Kamu berdua
berdosa besar. Dengan mengkhianati partai sendiri dan
mengang-kat seorang musuh guru kita sebagai guru, kamu
berdua sudah pantas untuk mendapat hukuman mati. Di
samping itu, kamu juga sudah membinasa-kan Jiesuko dan
puteranya. Itulah perbuatan yang sangat terkutuk, sehingga
bukan saja manusia, tapi malaikat pun mengutuk kamu.
Siauwmoay adalah ahli waris dari partai kita. Jika aku tidak
menghukum kamu, apakah aku boleh membiarkan nama
besarnya Siansu dirusak oleh musuhnya dan muridnya sendiri"
Sesudah Jiesuko dan puteranya bi-nasa dalam keadaan yang
mengenaskan, jika Siauwmoay tidak menghukum kamu,
apakah Siauwmoay boleh membiarkan roh Jiesuko dan
puteranya te-rus-menerus merasa penasaran di dunia baka?"
Leng So adalah seorang wanita yang lemah dan kurus
badannya, sedang usianya pun masih sangat muda. Tapi
waktu mengucapkan perkataan itu, suaranya berpengaruh dan
sikapnya angker sekali. Ouw Hui manggut-manggutkan
kepalanya dan berkata dalam hatinya: "Memang, mereka
memang pantas dihukum mati."
Sesudah berdiam sejenak, nona Thia berkata pula dengan
suara lebih halus: "Akan tetapi, biarpun kalian sudah
mengkhianati partai, kalian adalah kakak seperguruanku.
Seumur hidup Siauwmoay belum pernah membunuh orang
dan Siauwmoay tak ega untuk membinasakan saudara
seperguruan sendiri. Biarpun lengan Toasuko sudah dikutungkan,
tapi sebab racun itu sudah naik ke jantung, maka di
dalam tempo sebulan, racun akan meng-amuk dan tidak dapat
diobati lagi. Sekarang aku ingin memberikan tiga butir Sengseng
Cauw-hoa-tan kepada Toasuko. Pel ini adalah hasil jerih
payah Siansu selama beberapa tahun. Dengan memberani-kan
hati, Siauwmoay mewakili Siansu untuk meng-hadiahkan
ketiga pel itu kepada Toasuko. Setiap butir dapat
memperpanjang umur selama tiga tahun. Sesudah
menelannya kuharap kau ingat budi Siansu yang sangat besar.
Kuharap juga kau akan menanya diri sendiri: Siapa yang
memperlakukan kau terlebih baik, apa guru lama atau guru
baru?" Sehabis berkata begitu, ia mengeluarkan tiga butir pel
merah dari sakunya.
Selagi Sie Kiauw mau menyambuti, Cio Ban Tin tertawa
dingin dan berkata: "Lengan sudah kutung, mana bisa racun
menyerang jantung" Kalau pel pembetot jiwa itu ditelan,
barulah racun menyerang jantung."
"Kalau kalian pereaya omongan guru yang baru, pel ini
boleh tak usah digunakan," kata Leng So. Tangannya bergerak
untuk memasukkannya ke dalam saku.
"Tidak...! Tidak!" teriak Boh-yong Keng Gak tergesa-gesa.
"Sumoay, berikaniah kepadaku."
Sie Kiauw mendekati sumoaynya dan seraya mengambil
ketiga pel itu, ia berkata: "Terima kasih atas kebaikan
Sumoay. Mulai dari sekarang, kami berdua akan mengambil
jalan yang lurus." Seko-nyong-konyong tubuh Sic Kiauw
bergoyang-goyang dan berteriak dengan suara gusar: "Cio
Ban Tin...! Kau sungguh kejam...!" Hampir berbareng dengan
teriakannya, ia roboh terguling.
Leng So dan Ouw Hui kagct. Mereka tak lihat gerakan Cio
Ban Tin. Bagaimana dia menyebar racunnya" Leng So
membungkuk dan coba mem-balikkan si bongkok untuk
memeriksa apa dia masih bisa ditolong. Mendadak, di luar
dugaan, perge-langan tangan kanannya diccngkeram Sie
Kiauw. Leng So terkesiap - ia tahu, bahwa ia sudah terjebak.
Ia mau menghantam kepala manusia curang itu, tapi
badannya sudah lemas dan ia tak bisa bergerak lagi.
Sambil menempelkan ujung golok di dada nona Thia, Sie
Kiauw membentak: "Serahkan Yo-ong Sin-pian!"
Leng So sangat berduka. Karena baik hati, ia celaka.
Dengan apa bolch buat, ia melemparkan kitab itu di tanah.
Ouw Hui mau menerjang, tapi ia tak berani sebab ujung
golok menempel di dada adiknya, sehingga kalau ia bergerak,
si adik pasti akan binasa terlebih dahulu.
Sambil mencekal tangan nona Thia erat-erat, Sic Kiauw
berkata: "Suhu, teecu baniu kau merebut Yo-ong Sin-pian.
Coba Suhu menaiuh Pek-cam Tok-kouw, Ho-teng-hong dan
Kong-ciak-tan di tangan perempuan hina ini. Aku mau lihat
apa dia tak akan menolong jiwanya sendiri."
Cio Ban Tin tertawa girang. "Murid yang baik, siasatmu
sungguh bagus," ia memuji. la mengeluar-kan kotak emas dan
mengambil sedikit tepung Pek-cam Tok-kouw dan lalu
bergcrak untuk menye-barnyadi tangan LengSo. Ho-tenghongdan
Kong-ciak-tan sudah berada dalam kukunya.
Itulah detik yang sangat, berbahaya bagi jiwanya Leng So!
Ketika itu, Boh-yong Keng Gak sedang men-derita kesakitan
hebat. Ia tahu, bahwa detik itu sangat penting bagi jiwanya.
Sesudah kena racun, jika memiliki obat pemunah, Leng So
tentu akan segera mengeluarkan obat tersebut. Dia
mengambil keputusan untuk merebut obat itu dari tangan
nona Thia. Andaikata Leng So benar tak punya obat pemunah,
ia boleh merasa puas juga, sebab hal itu berarti pembalasan
sakit hati. Memikir begitu, sam bil menahan sakit ia
menghampiri dan menghadang di depan Ouw Hui untuk
mencegah pertolongan pemuda itu.
Tapi Ouw Hui sudah mata gelap. Bagaikan kilat, tinjunya
menyambar dan menghantam muka Boh-yong Keng Gak. Dia
coba menangkis, tapi dalam nekatnya, mana Ouw Hui mau
memberi kesempatan kepadanya. Tinjunya berkelebat dan
mampir tepat di dada Boh-yong Keng Gak yang lantas saja
terpental dan menubruk Sie Kiauw. Ditubruk begitu, Sie Kiauw
terguling, tapi tangan-nya masih tetap mencekal pergelangan
tangan Leng So. Ouw Hui melompat dan menendang
punggung Sie Kiauw yang bongkok, sehingga sambil


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan teriakan hebat, dia melepaskan cekaiannya.
Kejadian itu sudah terjadi dalam sekejapan mata saja.
Hampir berbareng tangan Cio Ban Tin sudah menyambar.
Sebab khawatir tangan si tua yang tentu sudah menggenggam
racun menyentuh tubuh adiknya. buru-buru Ouw Hui
mendorong pundak-nya. Cio Ban Tin membalik tangannya dan
coba mencengkeram tangan kanan Ouw Hui. "Mundur!" teriak
Leng So. Kalau Ouw Hui menyambut dengan mengguna-kan
Kin-na-chiu, ia bisa mematahkan tangan si tua. Tapi mana ia
berani" Ia tahu, bahwa di kuku ma-nusia itu tersimpan racun
hebat. Buru-buru ia melompat ke belakang.
Melihat cengkeramannya gagai, Cio Ban Tin segera
menimpuk dengan sendok emasnya yang berisi racun Pek-cam
Tok-kouw dan berbareng, ia mementil kukunya. Bagaikan nap,
bubuk-bubuk racun itu menyambar belakang tangan Ouw Hui.
Pemuda itu, yang masih tak tahu bahwa dirinya sudah kena
racun, lantas saja membasmi ketiga manusia jahat itu. Ia
menyerang bagaikan harimau edan dan tidak main sungkansungkan
lagi. Cio Ban Tin coba melawan dengan tongkatnya.
Tiba-tiba ia mengeluarkan teriakan tertahan, ia merasakan kesakitan
hebat dan darah menyembur dari tangannya sebab
tiga jerijinya kena dibabat putus. Hatinya mencelos dan sekali
lagi ia mementil kukunya yang lantas saja mengeluarkan
semacam uap. "Toako mundur!" teriak pula Leng So. Ouw Hui
berdiri di depan adiknya dan meng-awasi ketiga manusia itu
yang kabur secepat-ce-patnya.
Sesaat kemudian, dengan hati seperti disayat ribuan pisau,
Lcng So mencckal tangan kakaknya. Ia sendiri terlolos dari
kebinasaan, tapi sang kakak dalam usaha untuk menolong
jiwanya, sudah kena racun. Ia tahu, bahwa belakang tangan
Ouw Hui sudah kena Pek-cam Tok-kouw, Ho-teng-hong dan
Kong-ciak-tan yang tidak dapat dipunahkan dengan obat apa
punjua. Apakah ia harusmengikuticontoh Sie Kiauw -
mengutungkan lengan sang kakak - dan kemudian
memberikannya beberapa Seng-seng Tiauw-hoa-tan, supaya
jiwanya bisa disambung dengan beberapa tahun" Apa ia harus
berbuat begitu"
Dalam dunia yang lebar ini, Ouw Hui adalah manusia satusatunya
yang dicintainya dengan segenap jiwa raga. Sesudah
berkumpul beberapa lama, ia sudah menaruh kepentingan
Ouw Hui di atas kepentingannya sendiri. Apakah manusia
yang sedemikian mulia hanya akan hidup di dunia beberapa
tahun lagi - sembilan tahun lagi, dengan pertolongan tiga butir
Seng-seng Tiauw-hoa-tan"
Leng So tak perlu memikirkan panjang-pan-jang. Dalam
sekejap ia sudah mengambil keputusan apa yang harus
dilakukannya. Ia mengeluarkan sebutir pel warna putih dan sambil
menaruhnya di mulut sang kakak, ia berkata dengan suara
gemetar: "Telanlah!"
Ouw Hui segera menelannya. Mengingat peng-alaman tadi,
ia berkata: "Sungguh berbahaya! Jic-moay, sungguh
berbahaya!" Sambil mengawasi Yo-ong Sin-pian yang
menggeletak di tanah dan yang beberapa lembarannya
bergoyang-goyang karena ditiup angin musim rontok, ia
berkata pula: "Jie-moav. sungguh sayang mereka terlolos, tapi
untung juga buku itu tidak kena dirampas mereka. Jic-uioay.
kalau kau kena tiga racun, ceiakalah!"
Leng So merasa seolah-olah ususnya dipotong-potong. Ia
mau menangis, ia mau sesambal, tapi air matanya kering,
mulutnya tidak bisa mengeluarkan sepatah kata.
Melihat muka adiknva pucat pasi, Ouw Hui berkata dengan
suara lemah lembut: "Jie-moay, kau capai. Mengasolah!"
Si nona jadi terlebih duka lagi dan berkata: "Aku... aku...."
Tiba-tiba Ouw Hui merasa belakang tangan kanannya agak
baa! dan gatai. Selagi ia mau meng-garuknya, Leng So
mencekal tangan kirinya dan berkata dengan suara gemetar:
"Jangan!"
"Jie-moay mengapa kau?" tanya Ouw Hui dengan rasa
heran sebab merasa tangan adiknya dingin bagaikan es. Baru
saja ia berkata begitu, sekonyong-konyong matanya gelap dan
ia roboh terjengkang.
Biarpun tidak bisa berkutik, otak Ouw Hui tetap lerang. Ia
merasa belakang tangan kanannya makin baal dan gatal dan
ia kaget bukan main. "Apa aku kena racun...?" tanyanya.
Air mata Leng So mengucur deras dan jatuh menetes di
pakaian kakaknya. Perlahan-lahan tan-pa mengeluarkan
sepatah kata, ia manggut rnang gutkan kepalanya. Melihat
kesedihan adiknya, Ouw Hui mengerti, bahwa racun yang
berada dalam tubuhnya tak dapat dipunahkan lagi. Sesaat itu,
di clepan matanya terbayang pula kejadian-kejadian pada
masa yang sudah silam - pertemuannya dengan Tio Poan San
di Siang-kee-poyang berakhir dengan angkal saudara,
peristiwa mengenaskan di kelenteng Pak-tee-bio di Hud-santin,
pertemuan dengan Wan Cie Ie, pertemuan dengan Leng
So, Ciang-bunjin Tayhwee, rombongan Ang-hoa-hwee, Cio
Ban Tin... semua berkelebat-kelebat di depan mata-nya.
Sesaat kemudian. badannya mulai kaku, sedang ujung
tangan dan ujung kaki mulai dingin. "Jie-moay, hidup atau
mati adalah takdir dan kau tak usah terlalu berduka," katanya
dengan perlahan. "Aku hanya menyesal. bahwa kau akan
hidup sendiri di dalam dunia dan sebagai kakak, aku tak dapat
melihat-lihat kau lagi. Meskipun Kim-bian-hud Biauw Jin Hong
seorang musuhku yang telah mem-bunuh ayahku, tapi
menurut pendapatku, ia seorang gagah yang jujur dan bersih.
Sesudah aku mati, kau harus pergi kepadanya untuk
melindungi diri...." Berkata sampai di situ, lidahnya kaku dan
ia tak dapat bicara terus.
Sambil berlutut di samping kakaknya, si nona berkata:
"Toako, kau jangan takut. Kau kena tiga macam racun yang
sangat hebat, tapi aku masih mempunyai daya untuk
memunahkannya. Bahwa kau tak bisa bergerak dan tak bisa
bicara adalah akibat pel putih yang tadi diberikan olehku."
Mendengar perkataan si adik, Ouw Hui jadi birang.
Leng So segera mengeluarkan sebatang jarum etnas yang
lalu digunakan untuk menusuk pem-buluh darah di belakang
tangan kakaknya. Sesudah itii tanpa merasa sangsi sedikit pun
jua, ia meng-hisapnya.
Ouw Hui terkesiap. "Dengan menghisap darah beracun,
bukankah kau sendiri akan kena racun juga?" katanya di
dalam hati. Ia ingin memberontak, tapi tak bisa berkutpe,
sedang hawa dingin perlahan-lahan naik ke atas.
Nona Thia menghisap dan membuang darah beracun di
lantai. Sesudah mengulangi kira-kira cmpat puluh kali, darah
yang dihisap sudah ber-warna merah dan hatinya baru
menjadi lega. Ia membuang nafas dan berkata dengan suara
halus. "Toako, kau dan aku sama-sama harus dikasihani. Kau
mencintai Wan Kouwnio, tapi ia mencukur rambut, sedang
aku... aku...."
Sambil mengawasi Ouw Hui dengan sinar mata penuh
kecintaan, perlahan-lahan ia bangun berdiri dan mengeluarkan
dua rupa obat bubuk yang lalu diusapkan di belakang tangan
kakaknya. Sesudah ilu ia mengambil sebutir pel warna kuning
dan memasukkannya ke dalam mulut Ouw Hui. "Toako,"
bisiknya, "Suhu mengatakan, bahwa orang yang kena tiga
rupa racun itu, tak bisa ditolong lagi. Beliau mengatakan
begitu karena di dalam dunia tak ada tabib yang rela
mengorbankan jiwa sendiri untuk menolong si sakit. Toako,
beliau tak tahu, bahwa aku... aku bisa berkorban untukmu...."
Sehabis berkata begitu, si nona lalu membuka buntalannya
dan mengeluarkan Giok-hong (bu-rung-burungan hong yang
terbuat daripada batu giok) yang telah diberikan kepadanya
oleh Wan-seng. Sesudah mengawasi perhiasan itu dengan
sorot mata duka, ia rnembungkusnya dengan sapu tangan dan
kemudian memasukkannya ke dalam saku Ouw Hui. Ia
mengeluarkan sebatang lilin yang lalu ditancapkan di ciak-tay
yang berada di atas meja sembahyang. Di lain saat, ia
kelihatannya mendapat lain ingatan. la mengeluarkan bahan
api dan menyulul tilin itu dan kemudian, sesudah lilin tersebut
terbakar sebagian, ia membawa balik, menaruh ciak-tay di
atas meja sembahyangdan mencabut lilin itu yang lalu
dilctakkan di samping ciak-tay. Akhir-nya ia mengeluarkan lilin
baru dan menancapkan-nya di ciak-tay.
Dengan rasa heran Ouw Hui menyaksikan tin-dakan
adiknya. Ia tak tahu apa maksudnya itu semua.
"Toako," kata Leng So. "Ada sesuatu yang sebenarnya aku
sungkan menyebut-nyebut karena khawatir kau berduka. Tapi
pada saat kita hampir berpisahan, tak dapat tidak aku mesti
membuka mulut. Waktu Susiokku yang jahat bertemu dengan
lian Kui Longdalam Ciangbunjin Tayhwee, apakah Toako
melihat sesuatu yang mencurigakan" Dari sikap mereka, aku
merasa pasti. bahwa meieka kenalan lama. Aku menduga,
bahwa Toan-chung-co vang digunakan Tian Kui Long untuk
membutakan mata Biauw Jin Hong adalah pemberian Cio Ban
Fin. Aku juga menaksir, bahwa racun yang di-kenakan kepada
kedua orang tuatnu, adalah racun dari Cio Ban Tin."
Ouw Hui terkesiap. "Benar!" teriaknya di dalam hati.
"Pada waktu ayah dan ibumu meninggal dunia, siauwmoay
belum dilahirkan," kata pula Leng So. Beberapa saudara
seperguruanku pun belum be-lajar pada Siansu. Pada waktu
itu, manusia yang pandai menggunakan racun hanyalah
Siansu dan Cio Ban Tin sendiri. Biauw Tayhiap menduga,
bahwa racun itu diberikan oleh guruku dan oleh karena
adanya dugaan itu, ia bertempur dengan Siansu. Tapi kalau
guruku mengatakan 'tidak' tentulah tidak. Sudah lama aku
menaruh kecurigaan atas did Susiok itu, tapi aku tidak
mempunyai bukti. Sebenarnya, perlahan-lahan aku ingin
menyelidiki dan kalau benar, aku akan berusaha untuk
membalas sakit hatimu. Tapi sekarang, sesudah keadaan
men-jadi begini, biar bagaimanapun jua, aku harus membinasakan
dia...." Tiba-tiba racun yang mengeram dalam
badannya mengamuk, badannya bergoyang-goyang dan ia
roboh di samping Ouw Hui.
Dengan hati seperti disayat ribuan pisau, Ouw Hui melihat
adiknya pelan-pelan menutup mata dan dari mulutnya keluar
sedikit darah. "Jie-moay! Jie-moay!" ia sesambat di dalam hati.
Jenazah Leng So dan Ouw Hui rebah beren-deng di lantai,
dari pagi sampai sore dan dari sore sampai magrib. Tiga rupa
racun itu memang hebat luar biasa. Biarpun Leng So sudah
menghisap dan mengeluarkan darah yang beracun, tapi sebab
racun itu sudah masuk ke dalam badan, maka tubuh Ouw Hui
akan terus kaku selama satu hari dan satu malam. Betapa
hebat penderitaan dan kedukaan pemuda itu sukar dilukiskan.
Cuaca mulai gelap. Ouw Hui coba melihat jenazah adiknya,
tapi kepalanya tak bisa bergerak. Selang beberapa jam, di
sebelah kejauhan seko-nyong-konyong terdengar suara
burung kokok be-luk yang sangat menyeramkan. Beberapa
lama ke-mudian, kupingnya menangkap suara tindakan
beberapa orang, yang dengan indap-indap mendekati
kelenteng itu. "Sie Kiauw, coba kau masuk lebih dulu," tibatiba
terdengar suara seseorang, yang bukan lain daripada Cio
Ban Tin. Hati Ouw Hui mencelos, "Sudahlah!" pikirnya. "Aku tak bisa
bergerak, aku harus menerima nasib. Jie-moay! Jie-moay!"
Untukku kau telah mengorban-kan jiwa. Tapi kau telah
memberi obat yang terlalu keras, sehingga, sedang musuh
sudah datang, aku masih belum bisa bergerak. Sekarang tak
bisa lain daripada mengikut kau ke alam baka. Aku bukan
takut mati, hanya aku merasa menyesal, sakit hati ini tidak
bisa dibalas lagi." Ia tak tahu bahwa tenaga obat yang
diberikan Leng So sudah habis dan kaku tubuh-nya
disebabkan oleh tiga rupa racun itu.
Perlahan-lahan Sie Kiauw masuk ke halaman kelenteng. Ia
bersembunyi di belakang pintu dan mengawasi ke dalam.
Ruangan itu gelap gulita, tapi ia tidak berani menyalakan api.
Ia memasang ku-ping, tapi tak dengar suara apa pun juga. Ia
keluar lagi dan lalu memberi laporan kepada gurunya.
Cio Ban Tin manggut-manggutkan kepalanya. "Bocah she
Ouw itu sudah kena tiga rupa racun yang sangat hebat,"
katanya. "Kalau dia tidak mampus, lengannya tentu sudah
dikutungkan. Sekarang hanya ketinggalan perempuan hina itu
dan kita boleh tak usah merasa khawatir." Biarpun bicaranya
cu-kup gagah, hatinya masih keder. Sambil melintang-kan
tongkat di depan dadanya, indap-indap ia ber-tindak masuk.
Waktu tiba di ruangan sembahyang, lapat-lapat ia melihat
dua sosok tubuh yang menggeletak di lantai. Ia tidak berani
mendekati, lalu mengambil sebutir batu dan menimpuknya.
Dua orang itu tidak bergerak. Hatinya jadi lebih besar dan lalu
menyalakan bahan api. Segera juga ia mendapat kenyataan,
bahwa kedua sosok tubuh itu adalah je-nazah Ouw Hui dan
Leng So yang kaku.
Si tua girang tak kepalang. Jenazah Leng So sudah dingin
dan waktu ia memeriksa Ouw Hui, pemuda itu menahan
napas. Cio Ban Tin ternyata cukup berhati-hati. Untuk
mendapat kepastian, ia mengeluarkan sebatang jarum emas
dan menusuk telapak tangan Leng So dan Ouw Hui. Leng So
memang sudah mati, sedang Ouw Hui biarpun masih hidup,
kaku otot-ototnya, sehingga meskipun ia sendiri merasakan
kesakitan hebat, otot-ototnya tidak memberi reaksi apa pun
jua. Boh-yong Keng Gak mengeluarkan suara di hi-dung.
"Perempuan hina itu telah menghisap da-rah beracun dari
kecintaannya," katanya dengan suara membenci. "Tapi dia
bukan saja tidak berhasil menolong kecintaannya, malah ia
sendiri turut mengantarkan jiwa."
Dengan menggunakan segulung kertas yang menyala Cio
Ban Tin berusaha mencari Yo-ong Sin-pian.
Sesudah mencari beberapa lama, gulungan kertas itu sudah
hampir terbakar habis, maka ia segera menghampiri ciak-tay
untuk menyulut lilin. Tapi sebelum api menyentuh sumbu, ia
menarik pulang tangannya dan berkata dalam hatinya: "Ah!
Lilin ini lilin baru, mungkin sekali bukan lilin wajar." Tiba-tiba
ia melihat sebatang lilin yang sudah terbakar sebagian, di
bawah ciak-tay. "Nah, lilin ini, yang sudah digunakan, pasti
bukan lilin beracun," pikirnya. Ia lantas saja mencabut lilin
baru dan mengambil lilin bekas itu yang sesudah ditancapkan
di ciak-tay, lalu disulut.
Ruangan sembahyang lantas saja berubah te-rang
benderang dan mereka segera melihat, bahwa Yo-ohg Sinpian
mengggeletak di lantai. Cio Ban Tin lalu merobek tangan


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bajunya dan dengan tangan di alas robekan itu, ia mengambil
kitab tersebut. Di bawah sinar lilin, ia membalik-balik
lembarannya dan membacanya sepintas lalu. Ternyata, kitab
itu memang kitab tulen, tapi di dalamnya sebagian besar terisi
dengan cara-cara mengobati berbagai penyakit dan
keterangan mengenai sifatnya macam-macam obat. Mengenai
racun hanya terdapat keterangan singkat tentang cara
mengobatinya. Keterangan tentang cara menggunakan racun
menanam rumput beracun dan memiara binatang beracun,
sangat ringkas dan pendek.
Pada waktu menulis kitab itu, di dalam hati Bu-tin Taysu
penuh dengan rasa menyesal, bahwa dengan racun, ia telah
mencelakakan terlalu banyak manusia, sehingga dalam dunia
Kang-ouw, ia di-juluki sebagai "Tok-chiu Yo-ong". Maka itu, di
dalam kitab Yo-ong Sin-pian yang hendak diturun-kan kepada
muridnya, ia sengaja menulis ilmu peng-obatan untuk
menolong sesama manusia.
Dalam usaha untuk merebut Yo-ong Sin-pian, Cio Ban Tin,
Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw membayang-bayangkan,
bahwa kitab itu adalah sejilid Tok-keng (kitab mengenai
racun) yang lengkap dan luar biasa. Sekarang, begitu
mengetahui, bahwa Yo-ong Sin-pian adalah kitab ilmu
ketabiban, Cio Ban Tin merasa sangat kecewa, karena biarpun
isinya merupakan ilmu pengobatan yang sangat tinggi, bukan
itu yang dicarinya dan baginya, kitab tersebut dapat dikatakan
tiada faedahnya.
Sesudah berdiam beberapa saat, ia menengok kepada Sie
Kiauw seraya berkata: "Coba kau periksa sakunya. Bisa jadi
masih ada lain buku. Buku ini hanya berisi ilmu ketabiban
yang tidak begitu ber-guna." Sambil berkata begitu, ia
melemparkan Yo-ong Sian-pian di atas meja.
Sie Kiauw segera menggeledah semua saku Leng So, tapi ia
tidak menemukan lain buku. "Tak ada," lapornya.
Mendadak, Boh-yong Keng Gak ingat sesuatu dan ia segera
berkata: "Suhu bisa menulis huruf-huruf yang bersembunyi
apa tak bisa jadi...." Ia tidak meneruskan perkataannya,
karena baru mengata-kan begitu, ia sudah merasa sangat
menyesal. "Ce-laka!" ia mengeluh di dalam hati. "Mengapa
aku begitu tolol" Mengapa aku tidak membiarkan dia
menganggap buku itu tidak berguna" Alangkah baiknya jika
aku bisa membawa pulang kitab itu dan memeriksanya
seorang diri. Benar-benar aku go-blok." Tapi Cio Ban Tin
bukan seorang bodoh. Ia lantas saja tersadar dan berkata:
"Kau benar." Sambil berkata begitu, ia mengambil lagi Yo-ong
Sin-pian dari atas meja.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong Boh-yong Keng Gak
dan Sie Kiauw merasa badan mereka lemas luar biasa. Di lain
saat, perlahan-lahan lutut mereka menekuk, muka mereka
seperti orang sedang tertawa, tapi bukan tertawa, dan paras
muka mereka kelihatannya sangat aneh.
Cio Ban Tin mencelos hatinya. "Mengapa?" tanyanya
dengan mata membelalak. "Celaka! Ah! Cit-sim Hay-tong" Citsim
Hay-tong" Apa perem-puan hina itu sudah berhasil
menanam Cit-sim Hay-tong" Lilin...! Lilin itu...!"
Bagaikan kilat, dalam otaknya berkelebat satu kejadian
pada masa yang lampau. Pada suatu ma-lam, waktu ia masih
muda dan berguru bersama-sama Bu-tin Taysu, guru mereka
telah memberi keterangan tentang semacam racun yang
dikenal sebagai rajanya semua racun. Sang guru mengatakan,
bahwa Ho-teng-hong, Kong-ciak-tan, liur ular berbisa dan
Iain-lain racun hebat tak bisa menan-dingi raja racun itu, yang
dinamakan Cit-sim Hay-tong. Karena tak berwarna dan tak
berbau, maka orang yang sangat berhati-hati pun dapat dirobohkan
dengan mudah saja. Pada paras muka kor-ban Cit-sim
Hay-tong selalu terlukis senyuman, seolah-olah ia mati dengan
rasa bahagia. Dari seberang lautan, guru mereka pernah
membawa bibit pohon racun itu. Tapi sesudah dicoba dengan
ber-bagai cara, bibit itu tak juga tumbuh. Pada malam itu,
sang Suheng dan ia sendiri masing-masing minta sembilan
biji-biji bibit Cit-sim Hay-tong untuk di-tanam. Sambil
menyerahkan bibit itu, sang guru berkata: "Baik juga Cit-sim
Hay-tong sukar tumbuh. Kalau bukan begitu, manusia di
dalam dunia tentu tak bisa hidup tentram."
Melihat paras muka Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw
yang tersungging dengan senyuman, Cio Ban Tin lantas saja
ingat kejadian pada malam itu. Cepat-cepat ia menahan napas
dan menekap hi-dung. Baru saja ia ingin menyelidiki dari
mana datangnya racun, mendadak kedua matanya gelap, tak
bisa melihat apa pun jua. Semula ia masih menduga, bahwa
kegelapan itu adalah akibat pa-damnya lilin. Tapi di lain saat ia
mengerti, bahwa matanya sudah menjadi buta.
Ia tahu, bahwafjiwanya terlolos dari kebinasaan, karena
sebelum masuk ke dalam kelenteng, ia sudah menelan pel
untuk memunahkan racun, sehingga racun Cit-sim Hay-tong
tidak bisa masuk ke dalam isi perutnya. Tapi kedua matanya
ternyata tidak dapat bertahan terhadap racun yang sangat
hebat itu. Ouw Hui, yang sudah lebih dulu diberikan obat pemunah
oleh adiknya, dapat menyaksikan segala kejadian. Bermula ia
lihat robohnya Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw, kemudian
ia lihat Cio Ban Tin memukul-mukul udara dengan kedua
tangannya, kemudian kabur sambil berteriak-teriak: "Cit-sim
Hay-tong...!" Di tengah malam buta jeritan itu ke-dengaran
sangat menyeramkan. Makin lama suara itu makin jauh dan
sesaat kemudian menghilang dari penderangan.
Api lilin berkedip-kedip, sebentar gelap, sebentar terang,
menurut tiupannya angin. Ouw Hui sekarang berada di antara
tiga jenazah, yang satu orang yang tereinta, yang dua adalah
orang-orang yang hidup tersesat dan mengalami nasib buruk.
Dengan hati tertindih kedukaan hebat, ia rebah di situ....
Akhirnya, lilin terbakar habis. Tiba-tiba terang-benderang
dan "pesss!" semua gelap.
"Jie-moay adalah seperti sebatang lilin," kata Ouw Hui di
dalam hati. "Sesudah terbakar habis, sesudah memancarkan
sinar terang, dia padam dengan mendadak. Jie-moay sungguh
pintar. Ia sudah menghitung segala apa secara jitu. Ia tahu,
bahwa ketiga manusia itu bakal datang lagi. Ia tahu, bahwa
sebagai seorang yang sangat berhati-hati, Cio Ban I'm pasti
tak akan berani menyulut lilin yang baru, sehingga, untuk
menjebaknya, ia lebih dulu mem-bakar sebagian lilin Cit-sim
Hay-tong yang lalu ditaruh di bawah ciak-tay. Ya! Selama
hidup, Jie-moay belum pernah mengambil jiwa manusia.
Sesudah mati, barulah ia membersihkan rumah per-guruannya
dan membalas sakit hatinya.
Jie-moay sangat mencintai aku, sangat mem-perhatikan
aku. Apakah kebaikanku" Dan akhirnya ia mengorbankan jiwa
sendiri untuk menolong jiwa-ku. Hai! Sebenarnya, ia tak usah
berbuat begitu. Ia boleh mengutungkan lenganku dan dengan
menelan pel dari gurunya, aku masih bisa hidup selama
sembilan tahun. Bukankah, selama sembilan tahun itu, kita
bisa hidup bersama-sama dengan bahagia"
"Tapi... bahagia" Apa benar aku bisa hidup bahagia
dengannya selama sembilan tahun" Jie-moay tahu, bahwa aku
mencintai Wan Kouwnio dan meskipun aku sudah tahu dia
seorang pendeta, rasa cintaku masih belum berubah.
Apakah... apakah... hari ini ia sengaja mengorbankan jiwa,
karena itu?"
Dalam kegelapan, rupa-rupa pikiran meng-amuk dalam
otak Ouw Hui. Banyak sekali yang diingatnya. Setiap gerakgerik
Leng So yang tidak diperhatikannya, sekarang diingatnya
pula. Baru sekarang, ia bisa melihat, bahwa setiap gerak-gerik
itu mengandung rasa cinta yang tiada batasnya. Baru
sekarang ia mengerti....
Fajar menyingsing... tak lama kemudian, mata-hari musim
rontok mulai memancarkan sinarnya yang gilang gemilang.
Dunia mulai hangat, tapi hati Ouw Hui dingin bagaikan es.
Akhirnya, otot-ototnya mulai lemas lagi. Perlahan-lahan ia
dapat menggerakkan kaki tangannya. Perlahan-lahan ia
rperangkak bangun. Dengan mata yang berwarna merah, ia
mengawasi jenazah si adik. Lama sekali ia berdiri terpaku.
Tiba-tiba darah dalam dadanya bergolak-golak. "Sudahlah!"
katanya di dalam hati. "Perlu apa aku hidup lebih lama lagi di
dalam dunia" Jie-moay mencintai aku begitu sangat, tapi aku
sendiri memperlakukannya secara tidak berbudi. Sudahlah!
Paling baik aku menyusul Jie-moay ke dunia lain!"
Tapi di lain saat, ia melihat jenazah Boh-yong Keng Gak
dan Sie Kiauw dan pada saat itu juga, ia mendapat pikiran
lain. "Sakit hati kedua orang tuaku masih belum terbalas,"
pikirnya. "Cio Ban Tin, yang mencelakakan Jie-moay, masih
hidup. Jika aku mati sekarang, apakah jalan itu jalan yang
diambil oleh laki-laki yang bertanggung jawab?"
Memang, memang jarang ada manusia sepintar Leng So.
Perubahan dalam pikiran Ouw Hui juga adalah berkat
tindakannya yang sudah diperhitung-kan secara sangat tepat.
Ia sudah menduga, bahwa sebelum masuk ke dalam
kelenteng, Cio Ban Tin pasti akan menelan dulu obat
penjagaan. Tapi obat itu tidak berguna jika menggunakan lilin
istimewa. Maka itu, ia hanya menggunakan lilin yang racunnya
tidak begitu keras, supaya Cio Ban Tin tidak sampai binasa. Ia
sudah menghitung, bahwa sebegitu lama musuh itu belum
binasa, Ouw Hui pasti tak akan membunuh diri. Ia juga tahu,
bahwa sesudah paman guru itu buta, Ouw Hui boleh tak usah
merasa jeri lagi terhadapnya.
Sebelum meninggal dunia, nona Thia sudah sengaja
mengatakan, bahwa racun yang mencelakakan kedua orang
tuanya Ouw Hui, mungkin sekali diberikan oleh Cio Ban Tin.
Dugaan itu bisa jadi benai, bisa jadi juga hanya tebakan
belaka. Tapi dengan mengatakan begitu, Leng So mengingatkannya
pula sakit hati kedua orang tuanya, sehingga dengan
demikian, ia tentu tak akan gampang-gam-pang membunuh
diri sendiri. Thia Leng So bisa menghitungsegala apa. Hanya satu saja
yang tak dapat diperhitungkan olehnya, yaitu: Pada detik
berbahaya, Ouw Hui melanggar janji dan menyerang musuh.
Sebagaimana diketahui, Ouw Hui telah berjanji untuk tidak
bicara, tidak bertempur dan tidak berpisah jauh dari adiknya.
Dan karena melanggar janji, ia sudah kena racun.
Tapi mungkin sekali, bahkan hal itu juga sudah
diperhitungkan oleh nona Thia. Ia tahu bahwa Ouw Hui tidak
mencintai dia seperti dia mencintainya. Maka itu, bukankah
lebih baik mati secara begitu" Mati dengan mengorbankan diri,
dengan menghisap racun dari badan sang kecintaan. Memang
benar, kejadian itu adalah kejadian yang sangat menduka-kan.
Tapi, bukankah lebih baik mati secara begitu"
Kalau benar hal itu sudah diperhitungkan Leng So,
sungguh-sungguh tak kecewa dia menjadi murid Tok-chiu Yoong.
Sungguh-sungguh tidak kecewa dia menjadi majikan Citsim
Hay-tong, raja dari semua racun!
Hati wanita memang sukar ditebak. Hati wanita seperti
Leng So lebih-lebih sukar ditebak.
*** Sesaat itu, barulah Ouw Hui mengerti, mengapa Tan Congto-
cu mengucurkan air mala di To-jian teng. Pada malam itu,
dalam hati kecilnya ia mencela Tan KeeLok yang dianggapnya
seperti seorang nenek atau bocah yang masih suka menangis.
Tapi sekarang. sekarang ia mengerti, betapa pedihnya
ditinggal oleh seseorang yang dicintai untuk selama-lamanya.
Sesudah kenyang memeras air mata, ia segera memondong
jenazah Leng So dan Ma K Hong ke pekarangan belakang,
mengumpulkan kayu-kavu kering dan menumpuknya di dua
tempat dan lalu membakar kedua jenazah itu. Dengan hati
kosong melompong, ia mengawasi api yang berkobar-kobar,
seolah-olah badannya sendiri akan turut dibakar menjadi abu.
Lama ia berdiri terpaku, seperti orang hilang ingatan.
Kemudian, sesudah mengucurkan lagi banyak air mata, ia
menggali sebuah lubang yang besar dan mengubur jenazah
Boh-yong Keng Gak dan isterinya.
Biarpun sudah tak makan sehari dan semalam, perutnya
tetap kenyang. Pada waktu matahari men-doyong ke barat,
kedua jenazah sudah menjadi abu. Ouw Hui lalu mencari dua
buyung dan mengisinya dengan abu dan (ulang.
"Aku akan menanam abu Jic-moay di samping kuburan
kedua orang tuaku," pikirnya. "Biarpun ia bukan adik kandung,
tapi kecintaannya melebihi kecintaan saudara kandung sendiri.
Sesudah itu, aku harus pergi ke Kongsui, propinsi Ouwpak.
untuk menanam abu Ma Kouwnio di dekat kuburan suaminya."
Ia balik ke kamar samping dan melihat buntalan Leng So,
sekali lagi ia menangis segak-seguk. Selang Selang beberapa
lama barulah ia membuka buntalan itu dan melihat alat-alat
penyamaran, ia berkata dalam hatinya: "Jika aku berjalan
tanpa menyamar, belum sehari mungkin aku sudah dicegat
oleh kaki tangan Hok Kong An. Biarpun belum tentu aku
merasa takut, tapi kalau diganggu terus-menerus, aku bakal
berabe sekali." Memikir begitu, ia lantas saja meng-gunakan
obat untuk mengubah warna dan memasang jenggot palsu.
Sesudah selesai berdandan, sambil menggendong kedua
buyung yang berisi abu dan tulang, ia segera meninggalkan
kelenteng itu. Dengan penuh kedukaan, Ouw Hui berjalan ke jurusan
selatan. Tengah hari itu ia tiba di Tin-koan-tun dan karena
perutnya lapar, ia mampir di sebuah rumah makan. Baru saja
ia duduk, di luar terdengar suara tindakan sepatu dan di lain
saat, empat orang perwira kerajaan Ceng bertindak masuk.
Yang paling dulu seorang yang bertubuh tinggi besar dan Ouw
Hui segera mengenali, bahwa ia bukan lain daripada Can Tiat
Yo, tokoh Eng-jiauw Gan-heng-bun. Ouw Hui kaget, buru-buru
ia miringkan ke-palanya.
Walaupun sudah menyamar, ia khawatir si orang she Can
masih mengenaiinya. Para pelayan lantas saja repot melayani
keempat tamu itu.
"Mungkin sekali perjalanan mereka bersangkut paut
denganku," kata Ouw Hui di dalam hati. "Coba-lah aku
mendengari pembicaraan mereka." Tapi sesudah memasang
kuping beberapa lama, ia tidak mendengar hal yang penting,
sehingga ia merasa sebal dan berniat segera berlalu.
Tapi sebelum ia berbangkit, sekonyong-konyong terdengar
suara ketukan tongkat di sepanjang jalan, vang menandakan,
bahwa seorang buta sedang mendatangi.
Begitu lekas orang itu masuk, jantung Ouw Hui memukul
keras, karena dia adalah Cio Ban Tin yang sedang dicarinya.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pakaian musuh itu compang-camping, mukanya pucat, sedang
tangannya men-cekal tongkat yang biasa dibawa oleh seorang
tabib keliling.
Dengan meraba-raba, Cio Ban Tin menemukan sebuah
kursi yang perlahan-lahan Ialu didudukinya. "Pelayan, berikan
aku sebotol arak," serunya.
Melihat pakaiannya yang seperti pengemis, seorang
pelayan merasa sangsi dan bertanya: "Apa kau punya uang?"
Cio Ban Tin merogoh saku dan mengeluarkan sepotong
perak yang lalu ditaruh di atas meja.
"Baiklah, tunggu sebentar," kata si pelayan sambil
tersenyum. Begitu lekas Cio Ban Tin masuk, Can Tiat Yo dan kawankawannya
saling memberi isyarat untuk membekuknya.
Sebagaimana diketahui, karena perbuatan Leng So,
Ciangbunjin Tayhwee menjadi kacau dan semua orang sakit
perut. Para orang gagah menduga, bahwa sakit perut itu
disebabkan racun yang disebar oleh Hok Kong An, sedang
pihak Hok Kong An sendiri menaksir, bahwa kejadian itu
adalah karena perbuatan "Tok-chiu Yo-ong".
Maka itulah, pem-besar tersebut kemudian mengirim
sejui.ilah perwira dan Wie-su ke Tiongkok Selatan untuk menjalankan
tiga tugas: Tugas pertama yang paling penting, ialah menangkap
orang-orang Ang-hoa-hwee, Ouw Hui, Thia Leng So dan Ma It
Hong serta merebut pulang kedua puteranya.
Tugas ke dua menangkap Cio Ban Tin yang dianggap sudah
mengacau dan membubarkan Ciangbunjin Tayhwee dalam
keadaan kalang kabut.
Tugas ke tiga ialah menangkap Tong Pay dan Wan-seng
yang sudah mengetahui rahasia Hok Kong An.
Melihat Cio Ban Tin sudah menjadi buta, Can Tiat Yo jadi
sangat girang. Sebab khawatir "Tok-i hiu Yo-ong" berpurapura,
ia lantas saja berbang-kit dan berkata: "Pelayan,
mengapa meja kursi be-gitu sedikit" Di mana aku bisa
duduk?" Sambil berkata begitu, ia memberi isyarat supaya si
pelayan jangan membantah.
"Thio Ciangkui, selamat bertemu!" menyam-bungi seorang
perwira. "Dagang apa kau sekarang" Ada urusan apa kau datang di
Tin-koan-tun?" (Ciangkui = Kuasa Toko).
"Aha! Lie Ciangkui bagaimana kau?" kata Can Tiat Yo.
"Banyak untung" Aku sekarang berdagang berat."
"Untung apa?" kata perwira itu. "Cukup saja untuk
melewati hari."
Sesudah omong kosong beberapa saat, Can Tiat Yo
berkata: "Semua meja penuh. Biarlah kita duduk bersamasama
Tayhu (tabib)." Sehabis berkata begitu ia menarik kursi
lalu duduk pada meja Cio Ban Tin.
Melihat Cio Ban Tin berdiam saja, hati Can Tiat Yo dan
rekan-rekannya jadi makin besar. Sekarang terbukti, bahwa si
tua benar-benar buta. Sambil menggapai kedua kawannya,
Can Tiat Yo berkata: "Tio Ciangkui, Ong Ciangkui, mari duduk
di sini! Kali ini siauwtee menjadi tuan rumah."
"Baik, baiklah," jawab mereka yang lalu meng-hampiri dan
duduk di dekat Cio Ban Tin.
Meskipun matanya buta, kecerdasan si tua tidak berkurang.
Dari nada suara keempat orang itu, ia tahu, bahwa mereka
adalah penduduk Pakkhia.
Dari pembicaraan mereka ia sudah bisa menebak siapa
adanya mereka itu. Ia lantas saja berbangkit dan berkata:
"Pelayan perutku mendadak sakit. Sudahlah! Takjadi aku
makan minum."
Ia segera berbangkit, tapi Can Tiat Yo menekan pundaknya
seraya berkata sambil tertawa: "Tayhu, jangan pergi dulu.
Sesudah minum, baru kau boleh pergi."
Si tua tahu, bahwa ia tak bisa meloloskan diri lagi. Sambil
tertawa dingin, ia lalu duduk lagi.
Beberapa saat kemudian, pelayan pelayan meng-antarkan
sayur-sayur dan arak. Sesudah menuang secawan arak, Can
Tiat Yo berkata: "Tayhu, mari kita minum."
"Bagus, bagus!" kata si tua yang lalu menceguk kering
cawan yang diangsurkan kepadanya. "Aku pun ingin mengajak
kalian minum," katanya seraya mengangkat poci arak dengan
tangan kanannya, sedang tangan kirinya meraba-raba cawan
keempat perwira itu. Selagi menuang arak, ia mementii kukunya
dan racun lantas saja turul masuk ke dalam cawan.
Gerakan tangannya cepat dan wajar, sehingga tak dapat
dilihat oleh manusia biasa.
Tapi, sesudah menyaksikan kelihayan "Tok-chiu Yo-ong",
Can Tiat Yo dan rekan-rekannya tentu saja tak berani minum
arak yang disuguhkan oleh si tua. Perlahan-lahan Can Tiat Yo
mengangkat cawannya dan menukarnya dengan cawan si tua.
Perbuatan itu dilihat oleh semua orang, kecuali Cio Ban Tin
sendiri. Ouw Hui menghela napas dan berkata dalam hatinya:
"Sesudah buta, kau masih juga mau men-celakakan manusia.
Sekarang aku tak perlu turun tangan lagi." Ia segera
berbangkit dan membayar uang makanan.
"Hayolah, keringkan cawan!" mengajak Can Tiat Yo sambil
tertawa. "Hayolah!" menyambungui ketiga kawannya, tapi tangan
mereka tidak menyentuh cawan. Cio Ban Tin, yang tidak
menyangka jelek, lantas saja mengangkat cawan yang berisi
racun dan lalu men-ceguknya sehingga kering. Sesudah
minum, pada kedua bibirnya tersungging senyuman
menyeram-kan karena ia merasa pasti, bahwa sebentar lagi
keempat orang itu akan menjadi mayat.
Melihat begitu, Ouw Hui berduka. Pada detik penghabisan,
ia merasa kasihan terhadap orang tua yang jahat itu, tapi
yang bernasib sangat buruk. Dengan tindakan lebar ia segera
bertindak ke luar.
* * * Beberapa hari kemudian, tibalah Ouw Hui di Cong-ciu, di
mana kedua orang tuanya dikuburkan. Di waktu masih kecil,
beberapa tahun sekali Peng Sie-siok mengajaknya ke situ
untuk berziarah. Pada tiga tahun berselang, ia pun datang ke
situ. Setiap kali berkunjung, untuk beberapa hari, berjam-jam ia
berdiri terpaku di depan kuburan, dengan pikiran melayanglayang.
Betapa beruntungnya jika sekarang kedua orang tuanya
masih hidup... jika kedua orang tua itu bisa menunggu sampai
dia besar... jika mereka bisa menyaksikan ilmu silatnya yang
sudah begitu tinggi.
Hari itu, waktu ia tiba di kuburan, cuaca sudah mulai gelap.
Dari sebelah kejauhan ia melihat seorang wanita yang
mengenakan pakaian warna hijau muda, berdiri di samping
kuburan. Karena di sekitar itu tidak terdapat kuburan lain,
maka wanita ter-sebut sudah pasti datang untuk berziarah di
kuburan kedua orang tuanya. "Apa dia sanak ayah ibuku?"
tanyanya di dalam hati.
Dengan rasa heran, perlahan-lahan ia men-dekati.
Ternyata wanita itu seorang setengah tua yang berparas
sangat cantik. Mukanya potongan kwaci, hanya sayang, muka
yang seayu itu keli-hatannya sangat pucat, seolah-olah tidak
ada da-rahnya. Melihat Ouw Hui, ia pun kaget dan sambil
mendongak, ia mengawasi pemuda itu.
Tiongciu terpisah jauh dari Pakkhia dan sebab tak khawatir
pengejaran, Ouw Hui sudah tidak mengenakan alat
penyamaran lagi.
Tapi sesudah melalui perjalanan jauh, pakaiannya sangat
kotor dan mukanya berdebu.
Melihat seorang pemuda yang tak dikenal, wanita itu tidak
memperdulikan lagi dan lalu memutar kepalanya. Ouw Hui
terkesiap. Ia segera mengenali, bahwa dia bukan lain daripada
isteri Biauw Jin Hong yang lari mengikuti Tian Kui Long.
Banyak tahun berselang, di Siang-kee-po, ia turut
menyaksikan peristiwa yang menyayat hati. Ia telah
menyaksikan cara bagaimana puteri Biauw Jin Hong berteriakteriak
memanggil-manggil "ibu" dan minta digen-dong, tapi
wanita itu tidak meladeni dan lalu memutar kepalanya. Cara
dia memutar kepala yang tak dapat dilupakan Ouw Hui.
"Biauw Hujin, bikin apa kau di sini seorang diri?" tanyanya
dengan suara dingin.
Mendengar perkataan "Biauw Hujin", nyonya itu menggigil.
Dengan paras muka terlebih pucat, ia memutar badan dan
berkata dengan suara gemetar: "Kau...! Bagaimana kau
tahu...." Ia menunduk dan tak dapat meneruskan
perkataannya. "Baru saja aku terlahir liga hari, ayah dan ibuku sudah
mengaso di sini untuk selama-lamanya." kata Ouw Hui dengan
suara parau. "Seumur hidup aku tak mengenal kecintaan
orang tua, tapi biarpun begitu... meskipun begitu, aku banyak
lebih berun-lung daripada puterimu. Hari itu, di Siang-kee-po,
aku telah menyaksikan kerasnya hatimu. Kau cukup tega
untuk menolak permintaan puterimu yang ber-teriak-teriak
minta didukung.... Benar! Aku banyak lebih beruntung
daripada puterimu."
Tubuh Lam Lan bergoyang-goyang, seakan-akan ia mau
jatuh terjungkal. "Kau... siapa kau?" tanyanya.
Sambil menunjuk kuburan, Ouw Hui menja-wab: "Aku
datang di sini untuk memanggil 'ayah! ibu!' Tapi mereka tak
dapat bicara denganku, tak bisa mendukung aku."
"Apakah kau... putera Tayhiap Ouw It To?" tanya pula
nyonya itu. "Benar," jawabnya. "Aku she Ouw bernama Hui. Aku
pernah bertemu dengan Kim-bian-hud Biauw Tayhiap. Aku
juga pernah bertemu dengan puterimu."
"Apa mereka... mereka baik?" tanya Lam Lan dengan suara
hampir tidak kedengaran.
"Tidak!" jawabnya.
Lam Lan mundur setindak. "Kenapa mereka?" tanyanya.
"Ouw Siangkong, kumohon... kumohon kau sudi
memberitahukan kepadaku."
"Biauw Tayhiap telah dicelakakan oleh manusia busuk,
sehingga kedua matanya buta," katanya dengan suara
mendongkol. "Biauw Kouwnio hidup tanpa rawatan."
Lam Lan terkejut dan berkata dengan mata membelalak:
"Ilmu silatnya begitu tinggi.... Bagaimana ia bisa...."
Ouw Hui naik darahnya. "Di hadapanku kau masih coba
berpura-pura!" bentaknya. "Tipu keji yang dijalankan oleh Tian
Kui Long apa bukan keluar dari otakmu" Sungguh mujur kau
berada di depan kuburan kedua orang tuaku. Kalau bukan
begitu, dengan sekali tebas, aku akan mengambil jiwamu!
Pergilah!"
"Dengan sebenar-benarnya aku tak tahu," kata Lam Lan.
"Ouw Siangkong, apa matanya dapat disembuhkan?"
Melihat paras muka nyonya itu yang penuh kedukaan
tereampur dengan sorot mohon dika-sihani, hati Ouw Hui jadi
lemas. Tapi di lain saat ia ingat, bahwa perempuan semacam
Lam Lan pandai sekali berpura-pura dan mengingat begitu,
sesudah mengeluarkan suara di hidung, ia segera memutar
badan dan berjalan pergi.
"Ouw Siangkong...!" Lam Lan sesambat. "Matanya buta....
Bagaimana dengan Lanjie...! Lan-jie...! Kau sungguh tak
beruntung...." Tiba-tiba kedua matanya gelap dan ia roboh
tanpa ingat orang lagi.
Mendengar suara gedubrakan, Ouw Hui kaget dan
menengok. Ia bersangsi sejenak, tapi akhirnya ia kembali dan
memegang nadi nyonya itu. Ia men-dapat kenyataan, bahwa
Lam Lan bukan berlagak pingsan.
Ketukan nadi sangat lemah dan jika tidak ditolong, ia bisa
segera binasa. Itulah kejadian yang tidak disangka-sangka.
Buru-buru Ouw Hui menekan bibir Lam Lan dan mengurut
iganya. Selang beberapa lama, barulah dia tersadar. "Ouw
Siang-kong," katanya dengan suara lemah, "Mati hidupku tak
menjadi soal. Aku hanya ingin memohon supaya kau sudi
memberitahukan sebenar-benarnya, apa yang sudah terjadi
atas dirinya dan atas diri Lanjie."
"Apa benar kau masih memikir mereka?" tanya Ouw Hui.
"Pengakuanku mungkin tak dipereaya olehmu," jawabnya.
"Tapi selama beberapa tahun, siang dan malam aku selalu
ingat mereka. Aku tahu, bahwa aku tidak bisa hidup lama lagi
di dalam dunia ini. Aku hanya mengharap, supaya pada
sebelum menutup mata, aku bisa bertemu lagi dengan
mereka. Tapi, mana aku punya muka untuk pergi menemui
mereka" Hari ini aku datang ke mari, sebab dulu, waktu baru
menikah, Biauw Tayhiap telah meng-ajak aku berziarah di
kuburan ini, untuk bersem-bahyang di hadapan mendiang
ayah dan ibumu. Biauw Toako mengatakan, bahwa selama
hidupnya, orang yang dikaguminya hanya Ouw tayhiap berdua
isterinya. Dulu, waktu berada di sini, dia telah bicara banyak
sekali denganku...."
Sekarang Ouw Hui yakin, bahwa Lam Lan tidak berpurapura.
Sebagai seorang mulia yang hatinya lembek, rasa
kasihannya lantas saja muncul. "Baik-lah," katanya, "Aku akan
meneceritakan apa yang terjadi atas diri Biauw Tayhiap dan
puterinya." Ia segera menuturkan cara bagaimana kedua mata
Biauw Jin Hong kena racun, cara bagaimana musuh-musuhnya
dipukul mundur dan sebagainya. Mengenai perannya yang
sudah menolong pendekar itu, ia hanya memberitahukan
sepintas lalu. Sehabis ia bereerita, Lam Lan segera meng-hujani dengan
rupa-rupa pertanyaan. Bagaimana makan pakainnya ayah dan
anak itu" Lan-jie mengenakan pakaian apa" Apa sutera, apa
kain kasar" Apa pakaian itu dibeli dari toko atau dibuat oleh
penjahit" Ouw Hui menghela napas. "Mana aku tahu?" katanya. "Jika
kau begitu memikiri mereka, mengapa...." Ia lantas saja
berbangkit dan berkata: "Sekarang aku mau cari rumah
penginapan. Hari ini sebenarnya aku ingin mengubur abu dan
tulang Jie-moayku. Tapi karena sudah magrib, biarlah be-sok
saja aku datang lagi."
"Baiklah, besok aku pun akan datang lagi ke mari," kata
nyonya itu. "Jangan," Ouw Hui mencegah, "Tak ada apa-apa lagi yang
bisa diberitahukan kepadamu." Ia berdiam sejenak seperti
orang berpikir dan kemudian ber-tanya: "Biauw Hujin, apakah


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua orang tuaku binasa dalam tangan Biauw Jin Hong?"
Lam Lan mengangguk. "Dia pernah memberitahukan hal itu
kepadaku..." katanya.
Sesaat itu tiba-tiba terdengar teriakan orang:
A-lan...! A-lan...! Di mana kau?" paras muka Ouw Hui
lantas saja berubah, karena orang yang ber-teriak adalah Tian
Kui Long. "Dia cari aku!" kata Lam Lan. "Besok lohor harap kau
datang ke mari. Aku akan menceritakan hal kedua orang
tuamu!" "Baiklah, besok lohor kita bertemu lagi di sini," kata Ouw
Hui Karena sungkan bertemu dengan si orang she Tian, ia
segera menyembunyikan diri di belakang kuburan. "Besok aku
akan menyelidiki sebab musabab kematian ayah dan ibu,"
katanya di dalam hati. "Jika Tian Kui Long turut tersangkut,
aku pasti tak akan mengampuni dia. Mungkin Biauw Hujin
akan coba melindunginya. Tapi dengan pe-nvelidikan
seksama, kupereaya aku akan bisa mengorek rahasia. Apa
perlunya Tian Kui Long datang di Congciu?"
Sementara itu, Lam Lan sudah berjalan pergi, tapi
tindakannya tidak ditujukan ke arah Tian Kui Long, yang
masih terus memanggil-manggil. Sesudah berjalan beberapa
puluh tombak, barulah ia menjawab: "Di sini!"
"Ah!" demikian terdengar suara si orang she Tian yang lalu
menghampiri Lam Lan dengan ber-Iari-lari.
"Jalan-jalan saja tidak boleh," kata Biauw Hujin. Mengapa
kau menilik aku begitu keras?"
"Siapa yang menilik kau?" demikian sayup-sa-vup terdengar
suara Tian Kui Long. "Karena, Sesudah menunggu lama, kau
masih juga belum mun-ul. aku memikir keselamatanmu.
Tempat ini sangat sepi..." Mereka berjalan pergi dan
pembicaraan mereka tidak kedengaran lagi.
"Ah, lebih baik aku menemani ayah dan ibu semalaman,"
pikir Ouw Hui. "Kalau menginap di kota, mungkin aku bertemu
dengan manusia she Tian itu." Ia segera membuka
buntalannya dan mengambil makanan kering untuk menangsal
perut. Sambil memeluk lutut, ia duduk di samping kuburan
dengan pikiran melayang-layang.
Angin musim ron-tok meniup dengan kerasnya, sehingga ia
merasa sangat dingin dan daun-daun kuning jatuh menimpa
tubuhnya sesudah menari-nari di tengah udara.
Tak lama kemudian, sang retnbulan muncul dan ia lalu
merebahkan badan di pinggir kuburan.
Kira-kira tengah malam, tiba-tiba ia disadarkan oleh suara
kaki kuda yang mendatangi dari tempat jauh. "Siapa yang
datang di tengah malam buta?" tanyanya di dalam hati. Kuda
itu dikaburkan dengan kecepatan luar biasa, tapi sesudah
beiada dalam jarak dua tiga li, suara tindakannya berubah
lambat, menghampiri kuburan setindak-setindak.
Mungkin sekali si penunggang kuda sudah turun dari tunggangannya
dan sedang mencari sesuatu sambil menuntun
binatang itu. Karena suara tindakan menuju ke arahnya, maka Ouw Hui
segera menyembunyikan diri di antara alang-alang.
Tak lama kemudian, dengan bantuan sinar bu-lan sisir, ia
melihat bayangan manusia yang ber-tubuh langsing kecil,
yang mendatangi sambil menuntun kuda.
Waktu orang itu beiada dalam jarak belasan tombak,
mendadak jantung Ouw Hui memukul keras, karena orang
yang rnengenakan jubah pertapaan itu bukan lain daripada
Wan-seng. Dengan hati berdebaran, ia mengawasi si nona. Ia ingin
memanggilnya, tapi lidahnya seperti terkancing. "Perlu apa ia
datang ke sini?" tanyanya di dalam hati. "Apa ia tahu aku
berada di sini" Apa ia datang untuk mencari aku?"
Beberapa saat kemudian, Wan-seng berdiri te-gak di depan
kuburan dan dengan suara perlahan ia membaca huruf-huruf
di atas batu nisan: "Kuburan Liao-tong Tayhiap Ouw It To
bersama isteri". Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula: "Di
de-pan kuburan tidak terdapat abu kertas. Kalau begitu ia
belum datang di sini...." Mendadak ia batuk-batuk, batuknya
keras dan tak henti-hentinya.
Ouw Hui terkejut, "Dia sakit. Sakit berat," katanya di dalam
hati. Sesudah batuk itu mereda dan kemudian ber-henti, Wanseng
menghela napas berulang-ulang dan berkata dengan
suara perlahan: "Kalau dulu aku tidak bersumpah di hadapan
Suhu, selama hidup aku bisa mengikuti kau, bersama-sama
mengelilingi dunia untuk menolong sesama manusia. Ah!
Kalau bisa kejadian begitu, sungguh beruntung diriku ini. Ouw
Toako, kau menderita, tapi kau tak tahu, bahwa
penderitaanku, sepuluh kali lebih he-bat daripada kau."
Dalam beberapa kali pertemuan dengan Ouw Hui, Wanseng
selalu memperlihatkan sikap yang sukar ditebak. Kalau
bukan berada di tempat yang sepi itu di tengah malam buta, si
nona pasti tak akan mengeluarkan rahasia hatinya. Sesudah
berkata begitu, ia batuk-batuk lagi dan coba mempertahankan
din dengan memegang batu nisan.
Sampai di sini Ouw Hui tak dapat menahan sabar lagi. Ia
melompat ke luar dari tempat sem-bunyi dan berkata dengan
suara halus: "Mengapa kau datang ke sini" Kau harus bisa
menjaga diri."
Wan-seng kaget tak kepalang. Ia mundur setindak, kedua
telapak tangannya dilintangkan di depan dada. Begitu melihat
pemuda itu, paras mukanya lantas saja berubah merah.
"Kau...!" ben-taknya dengan suara gusar. "Berani sungguh kau
bersembunyi dan mendengari pembicaraan orang!"
Dengan rasa cinta yang meluap-luap, Ouw Hui jadi nekat
dan ia segera berkata dengan suara nyaring: "Wan Kouwnio,
bahwa aku mencintai kau dengan segenap jiwa dan raga,
adalah hal yang sudah diketahui olehmu. Perlu apa kau
menderita sendirian" Marilah kita bersama-sama pergi menemui
gurumu dan menceritakan segala apa kepada beliau,
supaya kau bisa kembali lagi ke dunia biasa. Dengan
demikian, kita akan bisa hidup bersama-sama sampai di hari
tua. Apakah kau setuju?"
Sekali lagi Wan-seng batuk-batuk, lebih keras daripada tadi.
Ia membungkuk sampai memegang batu nisan. Bukan main
rasa kasihannya Ouw Hui.
Ia mendekati dan berkata dengan suara lemah Iem-but:
"Sudahlah! Kau jangan bersusah hati...." Mendadak, diiring
dengan batuk, si nona muntahkan darah!
Ouw Hui terkesiap. "Kau terluka?" tanyanya.
"Dilukai oleh bangsat Tong Pay,", jawabnya.
"Di mana dia sekarang?" tanya p/ula Ouw Hui. "Sekarang
juga aku akan cari padanya."
"Dia sudah dibinasakan olehku," kata Wan-seng.
Pemuda itu girang. "Aku memberi selamat, bahwa kau
sudah dapat membalas sakit hati," katanya. Sejenak
kemudian, ia bertanya lagi: "Di bagian mana kau terluka"
Mengasolah."
Sesudah Wan-seng duduk, Ouw Hui berkata pula: "Sesudah
terluka, sepantasnya kau harus ba-nyak mengaso. Mengapa di
tengah malam buta kau datang ke mari dengan menunggang
kuda?" Wan-seng memutar kepala dan mengawasi pe-muda itu. Di
dalam hati ia berkata: "Aku memang perlu mengaso.
Kedatanganku ke mari adalah untuk kepentinganmu." Sesudah
mengawasi dengan mata tajam, tiba-tiba ia bertanya: "Mana
adik Thia" Mengapa ia tidak bersama-sama kau?"
Air mata Ouw Hui lantas saja mengucur. "Dia... dia;.. sudah
meninggal dunia," jawabnya terputus-putus.",. ., ,:,
Wan-seng kaget tak kepalang. Sambil bangkit, ia menegas:
"Meninggal dunia" Bagaimana... bisa begitu?" :
Dengan suara parau Ouw Hui menuturkan segala kejadian,
cara bagaimana Leng So sudah mengorbankan. jiwa untuk
menolong dirinya. men-dengar cerita itu, air mata si nona
mengalir turun dari kedua pipinya yang pucat. Lama mereka
berdiri terpaku tanpa mengeluarkan sepatah kata. Dalam otak
mereka berkelcbat-kelcbat pula kejadian-ke-jadian di masa
lampau, mereka ingat pula sepak terjang nona Thia yang
penuh dengan jiwa seorang ksatria.
Makin lama hawa jadi makin dingin. Waktu angin meniup
keras, Wan-seng menggigil. Ouw Hui segera membuka jubah
luarnya dan menyelimuti punggung si nona. "Kau tidurlah,"
bisiknya. "Tidak," kata Wan-seng, "Sesudah bicara, aku... aku akan
segera berlalu."
"Kau mau pergi ke mana?" tanya Ouw Hui dengan suara
kaget. Sambil menatap wajah pemuda itu, si nona berkata: "Ouw
Toako, kita tidak boleh berdiam lama-lama di sini. Di tengah
jalan aku mendapat warta dan buru-buru kudatang ke mari."
"Warta apa?" tanya Ouw Hui.
"Waktu Tong Pay kabur dari Ciangbunjin Tay-hwee, aku
lalu mengejarnya," ia menerangkan. "Bangsat itu sangat lihay,
aku tak berhasil menyusulnya. Aku ingat, bahwa sesudah
digusari Hok Kong An, dia tentu akan buru-buru pulang ke
rumahnya di Ouwpak untuk menyuruh keluarganya kabur ke
tempat lain."
"Bagus, kau bisa memikir tepat sekali," memuji Ouw Hui.
Wan-seng tersenyum dan berkata pula: "Sebagai seorang
yang bergelar Kam-lim-hui-cit-seng, dia tentu mempunyai
banyak sekali kenalan. Tapi kuanggap, karena pada
hakekatnya dia manusia licik, belum tentu dia mempunyai
sahabat sejati. Dalam
bahaya, belum tentu ada orang yang berani menolongnya.
Maka itu, menurut pendapatku, dia sendiri mesti pulang untuk
menyampaikan warta kepada keluarganya dan mengatur
segala sesuatu. Demikian aku lalu mengejar ke jurusan barat
daya. Tiga hari kemudian, di Ceng-hong-tiam aku berhasil
menyusul dia. Kita bertempur di sawah kaoliang dan aku telah
dapat membinasakannya, tapi aku sendiri terluka."
Ouw Hui menghela napas.
Sesudah berdiam sejenak, si nona melanjutkan
penuturannya: "Beberapa hari aku mengaso di sebuah rumah
penginapan untuk mengobati luka. Apa mau, aku bertemu
dengan beberapa busu Hok Kong An yang juga kebetulan
menginap di situ dan di-antara mereka terdapat Ciu Tiat
Jiauw. Aku segera menegurnya dan menjanjikan satu tempat
untuk bicara dengannya."
"Kau terluka, apa kau takut?" tanya Ouw Hui sambil
tersenyum. "Aku menghadiahkannya dengan sebuah jasa yang sangat
besar." jawab si nona. "Andaikata ia masih membenci aku,
dengan diberikannya hadiah itu, kebenciannya akan segera
menghilang. Aku memberitahukan kuburan Tong Pay
kepadanya. Dengan memenggal kepala si orang she Tong dan
membawanya kepada Hok Kong An, bukankah dia membuat
sebuah jasa besar" Benar saja ia merasa sangat berterima
kasih. Kata aku: 'Ciu Toaya, jika kau menangkap aku, kau
memang akan mendapat pahala. Tapi Ouw Toako pasti tak
akan berpeluk tangan dan segala rahasiamu akan pecah.' Dia
be-nar-benar seorang pintar. 'Aku merasa takluk ter-hadap
Ouw Toako," katanya. 'Sudan pasti aku tak akan berani
membuat kedosaan terhadapnya. Ku-harap kau suka
memberitahukan Ouw Toako, bah-wa bersama tiga puluh
lebih jagoan istana, Tian Kui Long akan datang di Ciongcu
untuk coba menang-kapnya di kuburan kedua orang tuanya.'
Sesudah begitu, ia lantas berlalu."
Ouw Hui kaget bukan main. "Mereka mau coba menangkap
aku di sini?" ia menegas.
Si nona mengangguk. "Benar," katanya. "Aku merasa
bingung karena khawatir tidak keburu memberitahukan kau.
Hai! Atas berkah Tuhan, akhirnya aku bertemu dengan kau di
sini...." Sambil mengawasi muka Wan-seng yang kurus dan pucat,
Ouw Hui berkata dalam hatinya: "Untuk menolong jiwaku,
entah berapa hari dan malam ia tak tidur."
"Bagaimana Tian Kui Long tahu kuburan kedua orang
tuamu berada di sini?" tanya Wan-seng. "Juga, bagaimana dia
tahu bahwa kau bakal datang ke mari. Ouw Toako, seorang
gagah tak dapat melawan musuh yang berjumlah terlalu
besar. Maka itu, untuk sekarang sebaiknya kau menyingkir
dulu." "Siang tadi aku bertemu dengan Biauw Hujin dan aku telah
berjanji untuk bertemu pula besok lohor," kata Ouw Hui.
"Siapa Biauw Hujin?" tanya si nona.
Dengan ringkas Ouw Hui segera menceritakan riwayat Lam
Lan. "Ouw Toako, perempuan itu tak boleh diper-caya," kata
Wan-seng dengan suara khawatir. "Sua-mi dan puterinya
sendiri, ia tak perdulikan. Kau harus menyingkir secepat
mungkin." Ouw Hui segera memberitahukan, bahwa menurut
pendapatnya, Lam Lan tidak main gila.
Di samping itu, ia pun sangat ingin tahu sebab musabab
dari kebinasaan kedua orang tuanya. Karena itu, demikian
katanya, ia ingin bertemu lagi dengan nyonya itu.
"Ouw Toako, Tian Kui Long sudah berada di sekitar tempat
ini, sehingga mungkinkah Biauw Hujin tidak
memberitahukannya tentang pertemu-an antara dia dan kau,"
kata Wan-seng dengan suara jengkel. "Ouw Toako, mengapa
kau tak mau dengar perkataanku. Malam-malam aku datang di
sini. Apakah kau tidak memandang aku, sedikit pun jua?"
Ouw Hui kaget dan buru-buru ia berkata: "Kau benar.
Akulah yang salah."
"Aku bukan ingin kau mengaku bersalah," kata si nona.
Ouw Hui segera menghampiri tunggangan Wan seng dan
sambil mencckal lcs, ia berkata: "Baiklah. Kau naiklah. Kita
pergi ke jurusan barat."
Sebelum Wan-seng melompat ke punggung kuda, tiba-tiba
di empat penjuru terdengar suara teriakan dan sorak-sorak.
Sudah kasep! Musuh ternyata sudah mengu-rung kuburan
itu. "Perempuan itu ternyata sudah menjual aku," kata Ouw Hui
dengan gusar. "Mari kita mencrjang ke barat." Di dalam hati ia


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa bingung, sebab didengar dari suara teriakan-teriakan
itu, jumlah musuh pasti bukan keciL Jika Wan-seng tidak terluka,
dengan mudah mereka akan dapat meloloskan diri. Tapi
sekarang ia merasa keder.
"Ouw Toako, kau menerjang saja ke arah barat, tak usah
perdulikan aku," kata si nona. "Aku sendiri mempunyai akal
untuk meloloskan diri."
Darah Ouw-Hui bergolak. "Jangan rewel!" ben-taknya. "Mali
atau hidup kita bersama-sama. Ikut aku!"
Dibentak begitu si nona malah merasa berun-tung. Karena
tak kuat menggunakan senjata pe-cutnya, maka ia lantas saja
mengedut les dan meng-ikuti pemuda itu dari belakang.
Baru saja mereka lari beberapa tombak, di sebelah depan
sudah menghadang lima musuh. "Kalau mau selamat, aku
tidak bolch sungkan-sungkan lagi," kata Ouw Hui di dalam
hati. Dengan waspada dan tangan mencckal golok, ia maju
terus. Di lain saat, dua orang busu dari gedung Hok Kong An,
yang satu bersenjata pecut besi, yang lain Kwie-tauw-to
(golok kepala setan), menerjang dari kiri dan kanan. Begitu
melihat gerakan mereka, Ouw Hui tahu, bahwa mereka bukan
lawan enteng dan kalau sampai bertempur, paling sedikit ia
harus melayani dalam delapan jurus,:
Biarpun menang, mereka tentu sudah dikurung oleh lebih
banyak musuh dan sukar meloloskan diri lagi.
Maka itu, sambil melompat tinggi, ia membacok musuh
yang berdiri di ujung kiri.
Busu itu, yang bersenjata pedang, lantas saja mengangkat
senjata-nya untuk menangkis.
Selagi badannya masih ber-ada di tengah udara, Ouw Hui
mengerahkan Lwee-kang ke badan golok dan berbareng,
bagaikan kilat ia mencndang dada busu yang keempat, yang
begitu kena, lantas saja terpental dan muntahkan darah. Busu
yang bersenjata pedang - begitu lckas pe-dangnya kebentrok
dengan golok Ouw Hui - tiba-tiba merasakan tekanan
semacam tenaga yang sa-ngat hebat, dari lengan terus ke
jantungnya, seolah-olah disodok toya besi, sehingga tanpa
mengeluar-kan suara, ia roboh pingsan.
melihat lihaynya pemuda itu, semua busu jadi kagum dan
keder. "Ouw Toaya!" bentak busu yang bersenjata golok Kwietauw-
to. "Aku, Sutouw Lui, meminta pengajaran."
"Cia Put Tong juga memohon petunjuk dari Ouw Toaya,"
menyambungi kawannya yang bersenjata pecut besi.
"Bagus!" kata Ouw Hui sambil memutar go-loknya dan
mengirim tiga serangan dengan berun-tun-runtun. Kedua
musuh itu tidak berani menang-kis, mereka menyelamatkan
diri dengan berkelit dan melompat mundur.
"Ouw Toaya!" teriak busu yang ketiga. "Aku Koan...." la tak
dapat meneruskan perkataannya, karena belakang golok Ouw
Hui sudah keburu mampir di batok kepalanya yang jadi remuk
dan dia roboh tanpa berkutik lagi.
Sutouw Lui dan Cia Put Tong melompat mundur beberapa
kali, tapi mereka tetap menghadang di depan Ouw Hui. Di lain
saat, dengan diiring teriakan-teriakan, empat busu lainnya
sudah berdiri di belakang Sutouw Lui dan Cia Put Tong.
Sejenak kemudian, jumlah musuh bertambah lebih besar.
Ouw Hui mengeluh.
Dengan jurus Ya-cian Pat-hong Cong-to-sit, yaitu dengan
menggunakan kaki kiri sebagai as, sambil memutar golok, ia
memutar badan beberapa kali.
Dengan beberapa putaran itu, ia sudah menghitung jumlah
musuh: Di sebelah barat, enam orang, sebelah timur tiga
orang, sebelah selatan dan utara masing-masing lima orang,
sehingga semuanya sembilan belas orang.
Sekonyong-konyong terdengar tertawa yang panjang dan
nyaring, diikuti dengan suara seorang: "Saudara Ouw, selamat
bertemu! Makin lama ke-pandaianmu makin tinggi. Tak salah
kata orang, kalau mau cari jago, carilah di antara orang-orang
muda!" Orang yang bicara itu bukan lain daripada Tian Kui
Long. Biarpun hatinya panas, Ouw Hui tidak mela-deni. Dengan
mata tajam, ia mengawasi enam musuh yang berdiri di
sebelah barat. Empat orang lantas saja memperkenalkan diri:
"Aku yang rendah Thio Leng!" "Touw Bun Houw meminta
pengajaran!" "Ouw Toaya, untuk kedua kalinya Teng Bun Cim
bertemu denganmu!"
"Huh-huh! Loohu Tan Keng Thian!" Cepat bagaikan kilat,
Ouw Hui menerjang. Sebelum berhadapan dengan keenam
musuh itu, men-dadak ia membelok ke utara.
Dengan jeriji tangan kiri, ia menotok dada busu kedua yang
berdiri di sebelah utara.
Orang yang bersenjata Poan-koan-pit itu adalah ahli tiamhiat
(ilmu menotok jalan darah). Melihat sambaran jari tangan,
ia menda-hului menotok jalan darah Coat-pee-hiat, di bahu
kanan Ouw Hui, dengan Poan-koan-pityangdicekal dalam
tangan kanannya.
Itulah jurus lihay, membela diri dengan menyerang. Ouw
Hui menyerang lebih dulu, tapi karena Poan-koan-pit lebih
panjang, maka senjata itu sudah mendahului menotok bahunya.
Di luar dugaan, pada saat ujung pit baru menyentuh kulit,
sekonyong- konyong Ouw Hui membalik tangannya dan
mencengkeram badan pit yang lalu disodokkan ke depan.
Dengan menge-luarkan suara "huh!" senjata makan tuan, pit
itu amblas di tenggorokan majikannya.
Hampir berbareng di belakang Ouw Hui terdengar suara
dua orang yang memperkenalkan diri. "Aku Oey Ciauw!" "Ngo
Kong Coan minta pelajaran!" Angin menyambar dan dua
batang golok meluncur ke punggung Ouw Hui. Dengan cepat
pe-muda itu melompat ke depan, sehingga kedua senjata itu
membacok angin. Sambil memutar badan, Ouw Hui
membabat, dari bawah ke atas, untuk memutuskan
pergelangan tangan Oey Ciauw.
Ba-batan itu adalah salah satu jurus terlihay dari Ouw-kee
To-hoat dan sukar dapat dielakkan biarpun oleh seorang ahli
silat yang berkepandaian tinggi.
Apa mau, Oey Ciauw adalah ahli dalam ilmu Toa-kin-nachiu
(ilmu menangkap dan mencengkeram). Di samping itu, ia
mempunyai mata yang sangat jeli dan otaknya bisa berpikir
cepat. Demikianlah, be-gitu melihat sambaran golok ke arah
pergelangan tangannya, dalam keadaan kesusu, ia segera
melemparkan goloknya, membalik tangannya dan
mencengkeram belakang golok Ouw Hui.
Muka Oey Ciauw tak karuan macam - kumisnya seperti
kumis tikus, kepalanya kecil, matanya sipit.
Tapi si muka jelek sangat lihay, gerakannya malah lebih
cepat dari gerakan Ouw Hui.
Sebelum Ouw Hui tahu apa yang terjadi, belakang goloknya
sudah dicengkeram dengan lima jeriji yang seperti cakar
ayam. Dengan mengandalkan tenaganya yang besar, ia
membacok terus.
Tapi tenaga Oey Ciauw tak kurang be-sarnya. Bukan main
kagetnya Ouw Hui, karena goloknya tidak bergerak.
Bahna kagetnya, untuk sejenak pemuda itu berdiri terpaku.
Dalam tempo yang sependek itu, tiga musuh sudah
menyerang dari belakang.
Pada saat yang sangat berbahaya, Ouw Hui menghitunghitung
apa yang harus diperbuatnya.
Sebelum ketiga musuh yang menyerang dari belakang bisa
melukai dirinya, ia masih mempunyai tempo sedetik dua detik.
Ia masih mempunyai tempo "membereskan" Oey Ciauw. Ia
mengerti, bahwa dirinya sedang menghadapi bahaya besar,
dikurung olch banyak orang. Musuh yang berada di depannya.
yaitu Oey Ciauw, adalah musuh berat.
Kalau ia dapat merobohkannya, tekanan atas dirinya jadi
banyak berkurang.
Memikir begitu, ia lantas saja melepaskan goloknya yang
dicengkeram dan menghantam dada musuh dengan kedua
telapak tangannya. "Buk!" tubuh Oey Ciauw bergoyanggoyang,
tapi ia tak sampai jatuh, hanya golok terlepas dari
cengke-ramannya.
Dengan cepat Ouw Hui menangkap ga-gang golok,
memutar tubuh dan menangkis tiga senjata yang sudah
menyambar punggungnya.
Ketiga busu itu ialah Ngo Kong Coan, Tan Keng Thian dan
seorang lagi yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata toya
lembaga, yang beratnya empat puluh kali lebih.
Begitu goloknya kebentrok dengan tiga senjata musuh,
Ouw Hui merasa dadanya menyesak dan baru saja ia mau
melompat ke samping, dari kiri kanan sudah menerjang dua
musuh lain. Dalam kerepotan mengurung Ouw Hui, para busu tidak
memperhatikan Wan-seng yang menung-gang kuda. Dengan
hati berdebar-debar Wan-seng memperhatikan jalannya
pertempuran. Begitu melihat keadaan Ouw Hui yang sangat berbahaya, ia
segera mengedut Ies dan selagi tunggangannya lorn-pat
menerjang, ia mengayun cambuk dan menghantam leher
seorang busu. Musuh itu justru sedang menyerang sambil
memperkenalkan dirinya: "Aku Him It Lek minta...." Ia tidak
bisa meneruskan perkataannya, sebab lehernya keburu dilibat
cambuk. Biarpun bertenaga besar, tapi karena napasnya
menyesak dan tak dapat menahan terjangan kuda, ia segera
roboh terjengkang dan diinjak tunggangan Wan-seng. Thio
Leng yang berada di dekatnya juga turut terpelanting.
Sesudah dua musuh roboh, Ouw Hui menyerang hebat dan
dengan beruntun ia menjatuhkan Touw Bun Houw dan Teng
Bun Cim. Baru saja ia mau melompat untuk menyerang lain
musuh, sekonyong-konyong di belakangnya menyambar kesiuran
angin yang sangat hebat.
Tanpa memutar badan, ia menangkis dengan goloknya
dengan jurus Go-houw Koay-bong Hoan-sin (Harirnau dan ular
besar membalik badan). "Trang!" ia merasa senjata-nya
berubah enteng - kena dibabat putus dengan senjata musuh
yang seketika itu sudah membacok lagi! Ia terkesiap, kaki
kirinya menolol bumi dan tubuhnya lantas saja melesat
setombak lebih jauh-nya. Tapi meskipun begitu, pundak
kirinya sakit dan ia tahu bahwa senjata musuh sudah
menggores badannya.
Begitu lekas kaki kanannya hinggap di bumi, tangan kirinya
menepuk, tangan kanannya meng-gaet dan ia sudah berhasil
merebut sebilah golok dari tangan seorang busu. ltulah
gcrakan dari ilmu Kong-chiu Jip-pek-to (Dengan tangan
kosong ma-suk dalam rimba golok) yang dijalankan dengan
kecepatan luar biasa. Sedikit saja ia terlambat, punggungnya
tentu sudah kena dibacok dengan golok mustika Tian Kui Long
yang terus mengejar dari belakang.
Di lain detik, ia sudah memutar badan untuk menghadapi
manusia busuk itu.
Tentu saja ia tidak berani mengadu senjata dengan golok
mustika si orang she Tian yang dikenal sebagai mustika partai
Thian-liong-bun. Sambil melompat ke sana sini dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan, ia melayani jago
Thian-liong-bun itu.
Baru saja bertempur tujuh delapan jurus, belasan musuh
sudah meluruk dan menge-pungnya, sedang tiga musuh
lainnya menyerang Wan-seng. Karena memikiri keselamatan si
nona. perhatian Ouw Hui jadi terpecah dan "Trang!" golok
yang dicekalnya kembali terbabat putus.
Si orang she Tian jadi girang sekali. Dengan tekad untuk
mengambil jiwa pemuda itu, ia menyerang makin hebat,
dibantu olch kaki tangan Hok Kong An.
Ouw Hui berkelahi mati-matian tapi keadaannya makin
lama jadi makin jelek. "Cres!" pundak kirinya kembali digores
pedang seorang busu.
"Orang she Ouw lekas menakluk!" teriak seorang.
"Kau seorang gagah perlu apa kau mengorban-kan jiwa
secara cuma-cuma?" menyambungi yang lain.
Beberapa busu lain, yang rupanya merasa sa-yang akan
kegagahan Ouw Hui, juga coba mem-bujuk. Tapi Tian Kui
Long sendiri terus menyerang sehebat-hebatnya tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
Semangat Ouw Hui mulai runtuh. Ia merasa, bahwa ajalnya
sudah tiba. Mendadak, mendadak saja, dari sebelah kejauh-an
terdengar seruan seorang wanita: "Tian Toako, jangan
binasakan jiwa pemuda itu!" Ouw Hui mengertak gigi karena
ia segera mengenali, bahwa orang yang berteriak itu adalah
Lam Lan. "Tak perlu kau berlagak mulia!" bentaknya.
Hampir berbareng, karena lengah, pinggangnya kena
ditendang. Ia gusar tak kepaiang, tangan ka-nannya
menyambar bagaikan kiiat dan menangkap kaki musuh yang
menendang itu. Dengan gemas ia memutar badan musuh yang digunakan
sebagai sen-jata, sehingga kawan-kawannya tidak berani
terlalu mendesak. Orang itu adalah Thio I eng, yang sebab
dibulang-balingkan, sudah tak ingat orang lagi.
Sementara itu, Wan-seng pun berada dalam bahaya besar.
Ia menerjang kian ke mari dan kuda-nya yang sudah kena
beberapa bacokan meringkik tak henti-hentinya. Sambil
menenteng Thio Leng, Ouw Hui menerjang dan mendekati si
nona. "Ikul
aku," katanya.
Wan-seng melompat turun dari tunggangannya dan mereka
lari ke kuburan Ouw It l'n.
Di samping kuburan terdapat sebuah pohon pek yang
sudah tua dan dengan membelakangi pohon itu, mereka
mem-pertahankan diri. Untuk sementara musuh tidak bisa
berbuat banyak.
Sambil mengangkat tubuh Thio Leng tinggi-tinggi, Ouw Hui
membentak: "Hei! Kamu mau kawanmu ini mampus atau
hidup" Katakan saja!"
Selagi para busu bersangsi, si orang she Tian berteriak:
"Siapa yang dapat membinasakan peng-khianat Ouw Hui akan
mendapat hadiah besar dari Hok Thayswee!" Dengan berkata
begitu, ia ingin menunjukkan, bahwa mati hidupnva Thio Leng
tidak menjadi soal. Tapi busu-busu itu yang sedikitnya masih
mempunyai rasa setia kawan, tetap bersangsi untuk segera
menyerang. Melihat begitu, sambil memutar goloknya Tian Kui
Long mulai membuka serangan.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ouw Hui terkejut. Ancamannya sudah tidak berguna lagi. Ia
tahu, bahwa jalan satu-satunya untuk meloloskan diri ialah
coba menangkap Biauw Hujin untuk dijadikan semacam
"barang tanggung-an". Tapi nyonya itu berdiri jauh, terpisah
belasan tombak dari tempat berdirinya. Melihat kedatangan
Tian Kui Long, ia segera meraba-raba tubuh Thio Leng untuk
mencari senjata. Tiba-tiba tangannya menyentuh kanlong
piauw. Dengan tangan kiri ia menotok jalan darah busu itu,
sedang tangan ka-nannya mencopot kantong piauw. Ia
mengambil sebatang piauw dan sambil mengerahkan
Lweekang ia menirnpuk kempungan si orang she Tian
sekeras-kerasnya.
Senjata rahasia itu menyambar dengan kece-patan luar
bias,! dan waktu Kui Long tahu dirinya diserang, piauw Mjdah
berada dalam jarak setengah kaki dari kempungannya.
Secepat kilat ia menyam-pok dengan goloknya dan piauw itu
terbabat putus jadi dua potong. Tapi potongan piauw
menyambar terus dan menggores betis kanannya. Sesaat itu
terdengar teriakan menyayat hati dan seorang busu
terjengkang dengan sebatang piauw menancap di lehernya.
"Bangsat kecil!" caci Kui Long dengan gusar. "Aku mau lihat
apa hari ini kau masih bisa meloloskan diri." Tapi biarpun
begitu, untuk sementara ia tidak berani terlalu mendesak dan
hanya memerintahkan supaya semua busu mengurung dari
sebelali kejauhan.
Busu yarsg dikirim oieh Hok Kong An untuk membinasakan
Ouw Hui semuanya berjumlah dua puluh dua orang. Dalam
pertempuran tadi yang sangat dahsyat, sembilan antaranya
sudah mati atai terluka, sedang Ouw Hui sendiri pun terluka
berat. Sampai pada saat itu, yang mengurung Ouw Hui dan
Wan-seng adalah tiga belas busu. Di antara mereka ada
beberapa yang merasa sayang akan kegagahan pemuda itu
dan beberapa kali mereka menganjurkan supaya Ouw Hui
menakluk. Dalam keadaan putus asa, Ouw Hui mencekal tangan Wanseng
dan berkata: "Wan Kouwnio, biar-lah kita binasa
bersama-sama di samping kuburan kedua orang tuaku."
Perlahan-lahan Wan-seng menarik tangannya. "Aku... aku...
seorang pertapaan," katanya terputus-putus. "Jangan
memanggil aku Wan Kouwnio. Aku bukan she Wan.
Pemuda itu sangat berduka. la merasa, bahwa nona yang
dicintainya itu terlalu keras kepala. Pada detik menghadapi
kebinasaan, ia masih bersikap begitu keras.
Sementara itu, sambil memutar golok bagaikan kitiran,
seorang busu maju mendekati. Ouw Hui menjumput sebutir
batu dan menimpuk sinar putih yang berkelebat-kelebat. Busu
itu menangkis batu dengan goloknya. Tanpa menyia-nyiakan
kesem-patan baik, Ouw Hui mengayun tangannya dan
sebatang piauw menancap tepat di dada busu itu.
Tian Kui Long jadi lebih gusar. "Kawan-kawan bangsat kecil
itu terlalu kurang ajar!" teriaknya. "Man kita serbu bersamasama
dengan berbareng. Aku mau lihat apa dia mempunyai
tiga kepala enam lengan."
"Inilah saatnya!" mengeluh Ouw Hui. Ia mendo-ngak dan
mengawasi bintang-bintang di langit. Ia merasa, bahwa di lain
saat, ia akan bertempur untuk penghabisan kali, ia akan
membinasakan tiga atau empat orang dan sesudah itu.... Oh,
bintang-bintang! Selamat tinggal!
Dengan serentak di bawah pimpinan Tian Kui Long, para
busu bergerak. Tapi, sebelum mereka menerjang, mendadak, mendadak
saja Biauw Hujin maju sambil berteriak: "Tian Toako, tahan!
Ada beberapa perkataan yang kuingin sampaikan kepada
pemuda itu."
Kui Long mengerutkan alisnya. "A-lan, mun-dur!" katanya.
"Bangsat kecil itu sudah gila. Kau bisa celaka dalam
tangannya."
Tapi Biauw Hujin sangat kukuh. "Dia bakal lantas mati,"
katanya. "Halangan apa jika aku bicara beberapa patah
dengannya?"
Kui Long tak bisa Tnembantah lagi. "Baiklah," katanya.
"Katakanlah apa yang ingin dikatakan olehmu."
"Ouw Siangkong," kata Lam Lan. "Apakah kau rela mati
sebelum mengubur abu dalam guci itu?"
"Jangan campur urusanku!" bentak Ouw Hui. "Aku tak bisa
mencaci seorang wanita. Pergilah!"
Tapi Lam Lan sangat bandel. "Aku sudah ber-janji untuk
memberitahukan persoalan ayahmu," katanya pula. "Apakah
kau masih mau mendengar-nya, sebelum mati?"
"A-lan, jangan rewel!" bentak si orang she Tian. "Tahu apa
kau?" Tapi Lam Lan tidak meladeni. "Aku hanya akan bicara tiga
patah perkataan," katanya lagi. "Per-kataan-perkataan itu ada
sangkut pautnya dengan ayahmu. Apa kau mau dengar?"
"Ya," jawab Ouw Hui. "Memang, aku tidak boleh binasa
sebelum mengetahui teka-teki itu. Katakanlah!"
"Aku hanya bisa memberitahukan kepada kau seorang, lain
orang tidak boleh mendengarnya," kata Lam Lan. "Tapi kau
tidak boleh menggunakan kesempatan untuk menawan aku
dan menjadikan aku sebagai barang tanggungan. Apakah kau
suka berjanji" Kalau kau tidak memberi janji, aku tak akan
memberitahukan hal itu kepadamu."
"Bahwa kau sudah sudi untuk membuka teka-teki itu pada
sebelum aku mati, aku sudah merasa sangat berterima kasih,"
kata Ouw Hui. "Mana bisa aku berbalik mencelakakanmu" Di
dalam dunia masih terdapat banyak laki-laki. Apakah kau kira
semua manusia sama busuknya seperti Tian Kui Long.?"
Paras muka Kui Long jadi lebih tak enak ke-lihatannya.
la tak tahu apa yang mau dikatakan oleh Lam Lan, tapi ia
sudah tidak dapat mencegahnya. "Tak perduli apa yang bakal
dikatakannya, pasti tak baik bagi diriku," pikirnya. "Memang
lebih baik jika tidak didengar oleh orang lain."
Sementara itu Lam Lan sudah mendekati Ouw Hui dan lalu
bicara bisik-bisik di dekat kupingnya: "Tanamlah guci itu
dalam jarak tiga kaki di belakang batu nisan. Galilah tanahnya
dalam-dalam. Kau akan menemukan sebatang golok mustika."
Sehabis berkata begitu, ia segera berlalu dan sambil ber-jalan,
ia berkata pula dengan suara nyaring; "Hal itu hanya
bersangkut paut dengan Kim-bian-hud Biauw Jin Hong.
Sesudah kau mengetahui rahasia itu, kau bisa mati tanpa
penyesalan. Tanamlah guci itu, supaya yang sudah mati bisa
mengaso dengan tenteram. Dan kau sendiri, sesudah
mewujudkan niatanmu, bisa mati dengan hati senang."
Ouw Hui jadi bingung.
Ia tak mengerti apa maksudnya bisikan Lam Lan.
Tapi ia merasa, bahwa nyonya itu tidak main gila. "Tak
perduli bagai-manapun jua, paling benar aku mengubur dulu
abunya Jie-moay," pikirnya. Memikir begitu, dengan
menggunakan tangan, ia segera menggali tanah sesuai
dengan petunjuk Biauw Hujin, yaitu dalam jarak tiga kaki di
belakang batu nisan.
Tian Kui Long mengawasi Ouw Hui sambil tersenyumsenyum.
Ia menduga, bahwa dengan bisikan itu, Lam Lan
memberitahukan, bahwa ayah-nya pemuda itu telah
dibinasakan oleh Biauw Jin Hong.
Selagi Ouw Hui menggali, enam belas busu mengawasi
sambil mencekal senjata erat-erat. Begitu lekas Ouw Hui
selesai menanam guci, mereka akan segera menerjang.
Sementara itu, sambil membaca doa dan merangkap kedua
tangannya, Wan-seng berlutut di samping Ouw Hui dengan
menghadapi lubang yang sedang digali.
Sambil menahan sakit, Ouw Hui terus menggali dengan
kedua tangannya. Melihat Wan-seng berlutut sambil membaca
doa, tiba-tiba ia tersadar. "Sesudah ia rela mengabdi kepada
Sang Buddha secara mutlak, mana bisa aku memaksanya
untuk kembali menjadi orang biasa?" katanya di dalam hati.
"Untung juga ia menolak. Jika tidak, dalam tnenghadapi
kebinasaan, hati kita berdua bisa ku-rang tenteram."
Mendadak, kedua tangannya menyentuh sesuatu yang
keras dingin dan dalam otaknya lantas saja berkelebat
perkataan Lam Lan: "Golok mustika".
Dengan paras tak berubah. ia meraba-raba. Benar! Sebilah
golok di dalam sarung. Ia segera mencekal gagangnya dan
menarik kira-kira satu dim. Golok itu ternyata tidak berkarat.
"Biauw Hujin mengatakan, bahwa hal ini bersangkut paut
dengan Biauw Jin Hong," katanya di dalam hati. Apakah golok
ini ditanam oieh Biauw Tayhiap, sebagai peringatan untuk
mendiang ayahku?"
Ouw Hui tidak menebak salah.
Tapi ia tak tahu, bahwa Biauw Jin Hong dan Biauw Hujin
telah menikah karena golok itu. Ia pun tak tahu, bahwa
terpecah belahnya suami isteri itu juga karena gara-gara golok
tersebut. Ditanamnya golok itu di ku-buran Ouw It To hanya
diketahui oleh Lam Lan seorang. Dalam dunia ini, tak ada
orang lain yang mengetahuinya.
Sambil mencekal gagang golok, Ouw Hui meng-awasi
Biauw Hujin. Nyonya itu menghela napas dan berkata seorang
diri: "Tidak mudah untuk dapat menyelami hati orang lain!"
Seraya berkata begitu, ia berjalan terus dengan tindakan
perlahan. "A-lan!" teriak Tian Kui Long. "Tunggu aku di rumah
penginapan. Sesudah aku membunuh bang-sat kecil itu,
ramai-ramai kita makan minum." Lam Lan tidak menyahut, ia
berjalan terus tanpa meladeni manusia busuk itu.
Tian Kui Long menengok kepada Ouw Hui dan membentak:
"Bangsat kecil! Lekas tanam gucimu! Kami tidak bisa
menunggu terlalu lama!"
"Baiklah, aku pun tidak dapat menunggu terlalun lama!"
jawabnya. Mendadak, mendadak saja sehelai sinar hijau berkelebat
dan dalam tangan pemuda itu sudah bertambah sebilah golok!
Kagetnya Tian Kui Long dan para busu bagaikan disambar
petir. Ouw Hui sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik.
Selagi semua orang tertegun, ia menerjang bagaikan kilat.
"Trang! Trang! Trang...." tiga senjata tersebut putus dan dua
orang busu ter-luka. Tian Kui Long mengangkat goloknya dan
mem-bacok. Kali ini, sambil mengerahkan Lweekang. Ouw Hui
menampik golok itu dengan senptanya. 'Trang...!" suara
bentrokan golok nyaring luar biasa dan kedua lawan melompat
mundur dengan berbareng.
Dengan bantuan sinar rembulan, mereka memeriksa
senjata sendiri.
Ternyata kedua-duanya tetap utuh - golok mustika bertemu
dengan golok mustika.
Semangat Ouw Hui terbangun.
Sekarang ia tak usah takuti lagi senjata musuh.
Bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayap, ia segera
menyerang dengan menggunakan Ouw-kee To-hoat dan
dalam sekejap, ia sudah melukai tiga busu lagi.
Dilain saat, ia sudah bertempur dengan Tian Kui Long.
Biarpun senjata si orang she Tian tidak kalah dari senjata
Ouw Hui, tapi ilmu silat goloknya kalah jauh dari Ouw-kee Tohoat.
Andaikata ia menggunakan pedang mustika, ia masih
belum bisa menandingi pemuda itu.
Apalagi sekarang, ia menggunakan golok yang tidak biasa
digunakannya, sedang Ouw Hui sendiri menggunakan senjata
yang cocok bagi dirinya. Demikianlah baru saja bertempur
beberapa jurus, lengan dan betis si orang she Tian sudah
digores golok dan kalau tidak dilindungi oleh para busu, siangsiang
ia sudah binasa dalam tangan pemuda itu yang
menyerang seperti harimau edan.
Sesudah bertempur beberapa lama, jumlah busu yang
masih bisa berkelahi sudah tidak seberapa lagi, antaranya
beberapa orang sudah tidak bersenjata lagi.
Karena sungkan melukai terlalu banyak orang, Ouw Hui
berseru: "Tuan-tuan adalah orang-orang gagah dari Rimba
Persilatan. Perlu apa kalian mengantarkan jiwa dengan cumacuma?"
Melihat gelagat kurang baik, Tian Kui Long yang licik buruburu
kabur, diikuti oleh kawan-kawannya. Sesudah berada di
ternpat yang selamat, tak satu pun yang tahu, dari mana Ouw
Hui men-dapat golok mustika itu.
Mulai dari waktu itu, di dalam dunia Rimba Persilatan Ouw
Hui mendapat julukan "Hui-ho" (si Rase Terbang), sebagai
pujian untuk pemuda itu yang lihay luar biasa dan tidak dapat
ditaksir gerak-geriknya.
Sesudah musuh tak kelihatan mata hidungnya lagi, dengan
rasa terima kasih yang sangat besar, Ouw Hui memasukkan
golok mustika ke dalam sarungnya dan kemudian
menguburkannya iagi, supaya senjata tersebut terus
mengawani kedua orang tuanya.
Sesudah itu, dengan air mata berlinang-linang, ia
mengubur guci yang berisi abunya Leng So.
Selagi ia mengangkat guci sambil merangkap kedua
tangannya, Wan-seng membaca doa:
Budi dan kecintaan membuat pertemuan.
Dalam dunia tak ada yang abadi,
Dalam penghidupan banyak kekhawatiran.
Jiwa manusia bagaikan setetes embun pagi
Cinta menimbulkan kejengkelan,
Cinta menyebabkan ketakutan,
Dengan meninggalkan cinta,
Terbebaslah dari kejengkelan dan ketakutan."
Sehabis mendoa, tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia
segera melompat ke atas punggung tunggangannya yang lalu
dilarikan ke jurusan barat.
Ouw Hui berdiri terpaku. Dengan mata mengembang air, ia
mengawasi bayangan Wan-seng yang makin lama jadi jauh. Ia
mengawasi bagaikan orang hilang ingatan, sedang dalam
kupingnya terus berkumandang doa yang barusan diucapkan
oleh si jiwa hati.
TAMAT Jodoh Rajawali 32 Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Harpa Iblis Jari Sakti 21
^