Kisah Si Rase Terbang 3

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 3


iauw-kiok di Pakkhia.
Mendengar orang itu mengaku she Ong dan ilmu silatnya
adalah ilmu silat Pat-kwa-bun, ia merasa pasti, bahwa mereka
berdua benar adalah Supeh dan Susioknya sendiri. Akan
tetapi, sebagai seorang yang hati-hati, ia masih merasa perlu
untuk menanya: "Pernah apa kedua Cianpwee dengan Wie-cin
Ho-sok Ong Loo-piauwtauw?"
"Ia adalah mendiang ayah kami," jawab orang tua itu.
"Apakah kau masih belum mau pereaya" Di mana adanya
Siang Sutee (adik seperguruan)?"
Sekarang Siang Po Cin tidak bersangsi lagi. Ia segera
menjatuhkan diri di atas tanah sambil memanggil Supeh dan
Susiok. "Ayahku sudah mening-gal dunia," katanya. "Apakah
Supeh dan Susiok tidak menerima warta?"
Orang tua itu bernama Ong Kiam Eng, sedang adiknya
adalah Ong Kiam Kiat, kedua-duanya pu-tera Ong Wie Yang.
Dulu, dengan sepasang ta-ngannya dan sebilah golok Patkwa-
to, Ong Wie Yang sudah menggetarkan seluruh kalangan
Rimba Hijau (Liok-lim) di sebelah utara Sungai Hongho,
sehingga dalam kalangan Hek-to (Kalangan pen-jahat)
terdapat kata-kata yang seperti berikut: "Le-bih baik bertemu
dengan Giam Lo-ong (Raja Akhe-rat) daripada bertemu
dengan Loo-ong (orang tua she Ong)." Dari kata-kata ini
dapatlah dibayangkan besarnya nama Ong Wie Yang pada
jaman itu. Tapi pada saat itu ia sudah meninggal dunia banyak
tahun berselang.
Meskipun menjadi murid, perhubungan Siang Kiam Beng
dengan gurunya tidak begitu baik. Sesudah meninggalkan
rumah perguruan, dia jarang sekali surat-menyurat. Kedua
saudara Ong, yang belakangan bekerja di dalam istana, juga
tidak ter-lalu memperhatikan adik seperguruan mereka dan
itulah sebabnya, mengapa, walaupun letak Shoa-tang tidak
terlalu jauh dari kota raja, mereka berdua sama sekali tidak
mengetahui tentang kebinasaan Siang Kiam Beng.
Ong Kiam Eng menghela napas dan berbicara bisik-bisik
dengan si kongcu yang, sembari melirik Ma It Hong, lantas
saja manggut-manggutkan ke-palanya.
"Apakah rumahmu jauh dari sini?" tanya Kiam Eng. "Aku
dan saudaraku ingin sekali bersembah-yang di meja abu
mendiang ayahmu. Kita sudah berpisahan dua puluh tahun
lebih lamanya, tak nyana tidak bisa bertemu muka lagi."
Ia kembali menghela napas dan berkata pula sambil
menunjuk kongcu yang cakap itu: "Hayolah memberi hormat
kepada Hok Kongcu. Kami berdua bekerja di bawah
perintahnya."
Melihat pakaian dan sikap kongcu itu yang agung, apalagi
sesudah mendengar bahwa kedua saudara Ong adalah kaki
tangannya, Siang Po Cin mengetahui bahwa dia itu tentu juga
seorang "kongcu mahal" di kota raja. Lantas saja ia memberi
hormat dengan berlutut.
Hok Kongcu tidak membalas hormat. Ia hanya mengangkat
kedua tangannya seraya berkata: "Ba-ngunlah!"
Siang Po Cin agak mendongkol. "Sombong sungguh kau!"
katanya di dalam hati. "Apakah kau Hongtee (kaisar)?"
Ketika mereka tiba di Siang-kee-po, orang sudah
mengetahui tentang kaburnya Ouw Hui dan sedang
mencarinya. Siang Po Cin segera masuk dan memberitahukan
ibunya. Mendengar kunjungan kedua saudara seperguruan
mendiang suaminya, Siang Loo-tay kaget berbareng girang
dan buru-buru keluar menyambut. Dalam kerepotannya, ia
menyampingkan soal larinya Ouw Hui.
Ong Kiam Eng lalu memperkenalkan kawan-kawannya
kepada nyonya Siang. Ternyata di antara sembilan orang itu.
ada lima orang yang termasuk ahli silat kelas satu dari Rimba
Persilatan. Di sam-ping kedua saudara Ong, tiga ahli lainnya
adalah: Tan Ie dari Thay-kek-bun, Ouw Poan Jiak dari Siauwlim-
pay dan In Tiong Shiang dari Thian-liong-bun cabang
Selatan. Tan Ie dan In Tiong Shiang sudah lama mendapat
nama besar dalam kalangan Kang-ouw, sedang Ouw Poan
Jiak, walaupun masih muda, kelihatannya bersemangat sekali
dan dari kedua tangannya yang keras dan ber-tenaga, dapat
diketahui, bahwa dia bukan orang sembarangan. Tiga orang
lainnya adalah orang ke-pereayaan Hok Kongcu. Si orang tua
yang kena dihantam Siang Po Cin dikenal sebagai Thio Congkoan
(Cong-koan berarti pengurus), orang yang berkuasa
dalam gedung Hok Kongcu.
Demikianlah, satu demi satu Ong Kiam Eng
memperkenalkan kawan-kawannya. Mengenai "kongcu mahal"
itu, Kiam Eng hanya menyebut "Hok Kongcu" dan sama sekali
tidak menjelaskan, siapa sebenarnya dia.
Ketika kedua saudara Ong menanyakan hal ihwal
meninggalnya Siang Kiam Beng, nyonya siang
memberitahukan, bahwa suaminya meninggal dunia karena
sakit. la memberikan jawaban begitu karena kesombongannya
dan ia sungkan mengakui, bahwa Siang Kiam Beng telah
dibinasakan oleh Ouw It To. Selain itu, ia juga sudah
mengambil keputusan, bahwa sakit hati itu harus dibalas
dengan tangan sendiri dan tak boleh meminta pertolongan
orang lain. Selagi nyonya rumah asyik bereakap-cakap dengan para
tetamunya, Ma It Hong masuk ke dalam dan memberitahukan
segala pengalamannya ke-pada sang ayah.
Mendengar bahwa A-hui adalah putera Ouw It To, Ma Heng
Kong kaget bukan main. Tapi ia agak kurang pereaya, bahwa
bocah kurus itu mempunyai kepandaian yang lebih tinggi dari
pada Siang Po Cin, Cie Ceng yang berada di situ, hanya tutup
mulut. Sesudah bereakap-cakap beberapa lama, Ma It Hong
segera meninggalkan kamar ayahnya untuk kembali ke
kamarnya sendiri.
Cie Ceng mengikuti dan memanggil: "Sumoay!"
"Apa?" tanya si nona yang mukanya lantas saja berubah
merah. Cie Ceng mengulurkan tangannya untuk men-cekal tangan
tunangannya. Ma It Hong mundur sembari berkata: "Nanti
dilihat orang. Kau tidak malu?"
"Malu?" Cie Ceng menegas. "Tengah malam buta kau pergi
keluar bersama-sama bocah she Siang itu. Bikin apa kau?"
Si nona naik darah. "Apakah maksud per-kataanmu?"
tanyanya dengan suara gusar.
"Aku tanya: Apakah maksudnya kamu keluar berdua-dua?"
kata Cie Ceng. Sebenarnya dalam hari-hari sebelumnya Cie Ceng selalu
berlaku manis terhadap Sumoaynya. Sekarang ia tak dapat
menahan sabar lagi karena rasa curiga dan iri hatinya.
Dilain pihak, karena khawatir diomeli ayahnya, Ma It Hong
tidak berani bicara sejujurnya, bahwa ia keluar dengan
maksud meminta Siang Po Cin melepaskan Ouw Hui.
Tapi Ma Heng Kong sendiri, sesudah mendengar
pembicaraan antara Siang Loo-tay dan pu-teranya, menduga
keras, bahwa kedua orang muda itu telah sengaja membuat
pertemuan di waktu tengah malam. Ia tidak mau menegur
puterinya, karena Cie Ceng berada bersama-sama dengan
mereka. Dalam sengketa itu, dapat dimengerti, jika Ma It Hong naik
darah. Beda dengan biasanya dan secara tak dinyana, baru
saja ayahnya merangkap jodoh mereka, Suko itu lantas saja
berlaku sedemikian kasar. Kalau sekarang saja sudah begitu,
bagaimana jika sudah menjadi suami isteri"
Sebenar-benarnya, jika It Hong mau bicara terus-terang
dengan mudah Cie Ceng dapat dibikin mengerti. Tapi, karena
sudah ketelanjur marah-marah, si nona sungkan mengalah
lagi. "Dengan siapa aku suka pergi, aku merdeka untuk pergi,"
katanya sambil melotot. "Kau punya hak apa untuk
mencampuri urusan pribadiku?"
Seorang yang sudah timbul iri hatinya dalam soal
pereintaan, tak akan dapat menggunakan lagi otaknya secara
tenang. Seluruh muka Cie Ceng lantas berubah merah. "Dulu
memang tidak, tapi sekarang aku mempunyai hak penuh!" ia
berteriak. It Hong merasakan dadanya seakan-akan mau meledak
dan seperti biasanya, jika seorang wanita gusar, mengucurnya
air mata tak dapat ditahan lagi.
"Sekarang kau sudah begitu," katanya sesenggukan. "Apa
lagi nanti?"
Melihat tunangannya menangis, Cie Ceng merasa kasihan.
Tapi rasa kasihan itu lantas saja ter-tutup rasa cemburunya. Di
depan matanya ter-bayangkan,bagaimana tunangannya
berada berdua-dua dengan Siang Po Cin. Hinaan itu sungguh
tak dapat ditelan olehnya.
"Kau bikin apa?" ia berteriak pula. "Bilang! Hayo, bilang!"
Tapi semakin dikerasi, si nona jadi semakin kepala batu.
Pada saat itu, secara kebetulan, atas perintah ibunya, Siang
Po Cin masuk ke dalam untuk meng-undang Ma Heng Kong
menjumpai kedua saudara Ong. Melihat Cie Ceng dan Ma It
Hong sedang bertengkar, tanpa merasa ia menghentikan tindakannya.
Kedatangan Siang Po Cin adalah seolah-olah ular mencari
penggebuk. Cie Ceng yang sedang mata gelap dan diliputi
rasa cemburu, lantas saja menumpahkan amarahnya di atas
kepala pemuda she Siang itu. "Biar aku mampuskan kau, anak
anjing!" ia berteriak sembari menerjang.
Siang Po Cin menjadi gelagapan. "Eh-eh! Ke-napa
kau?"tanyanya.
Karena diserang secara tidak diduga-duga, dadanya kena
dihajar telak oleh tinju Cie Ceng. Ia terhuyung dan sesudah
lawannya mengirimkan pu-kulan ketiga, baru ia dapat
membela diri. Di lain saat, mereka sudah bertempur dengan
serunya. Ma It Hong yang sedang mendongkol dan pe-nasaran,
lantas saja berjalan pergi tanpa memper-dulikan bagaimana
kesudahan pertempuran itu. Dengan pikiran kusut, ia menuju
ke taman bunga yang terletak di belakang gedung dan duduk
terpekur di sebuah kursi batu. "Apakah seumur hidup aku
harus menyerahkan nasibku ke dalam tangan seorang yang
begitu macam?" katanya di dalam hati. "Sekarang saja,
sedang ayah masih hidup, ia sudah berani berbuat begitu.
Apalagi nanti, jika ayah sudah menutup mata?" Mengingat
begitu, tanpa merasa air matanya turun berketel-ketel di
kedua pipinya. Entah berapa lama ia sudah duduk bengong di situ, ketika
tiba-tiba, kupingnya menangkap bunyi seruling yang keluar
dari semak-semak pohon bunga. Dalam suasana sunyi senyap,
sungguh merdu terdengarnya bunyi seruling itu. Hati si nona
jadi berdebar-debar. Semakin didengar, tiupan lagu itu
semakin merdu. Perlahan-lahan ia berdiri dan ber-jalan ke
arah bunyi itu. Ternyata, yang meniup seruling adalah seorang
lelaki yang duduk di bawah sebuah pohon Hay-tong. Ia
mengenakan thungsha (jubah panjang) warna biru, sedang
serulingnya vang terbuat dari batu Giok berwarna sama
dengan kedua tangannya yang putih halus. Lelaki itu bukan
lain daripada Hok Kongcu.
Sambil terus meniup serulingnya, Hok Kongcu
mengangguk, maksudnya agar si nona maju terlebih dekat.
Sikap pemuda itu, yang menarik tereampur angker, seolaholah
mempunyai tenaga besi berani vang tak dapat ditolaknya.
Paras muka It Hong lantas saja bersemu dadu dan perlahanlahan
ia menghampiri. Sembari mendengarkan permainan
seruling yang merdu merayu itu, tanpa merasa tangan si nona
memetik sekuntum bunga mawar yang lalu ditempelkan pada
hidungnya. Seruling... mawar... suasana senja yang hening
suci dan seorang pemuda yang cakap, halus serta agung.
Dalam suasana bagaikan dalam impian, It Hong mendadak
teringat akan Cie Ceng yang kasar. Di-rendengkan dengan
Hok Kongcu, perbedaannya adalah seperti antara langit dan
bumi. Dengan sorot mata halus, It Hong mengawasi kongcu
mahal" itu. Ia tak ingin menanya siapa dia, tak ingin
mengetahui apa dia sudah kawin atau belum. Ia hanya
merasakan, bahwa berhadapan dengan pemuda itu, hatinya
senang sekali. Jika ingin menggunakan kata-kata tanpa
tedeng-tedeng: Ma It Hong sekarang sudah jatuh cinta!
Puteri Ma Heng Kong ini adalah seorang gadis yang masih
sangat hijau. Ia menganggap, beradanya si kongcu dalam
taman bunga itu, sudah terjadi secara kebetulan saja, dan
juga, bahwa Hok Kongcu sama sekali tidak mengambil inisiatif
untuk mengilik-ngilik hatinya.
Tentu saja, ia tidak mengetahui, bahwa jika bukan karena
kecantikannya, Hok Kongcu pasti tidak akan mampir di rumah
Siang Kiam Beng. Apakah artinya Siang Kiam Beng bagi
seorang kongcu yang semahal dia" Tentu saja, Ma It Hong
tidak mengetahui, bahwa jika ia tidak duduk be-ngong di
taman bunga, Hok Kongcu pasti tidak meniup serulingnya.
Harus diketahui, bahwa di kota raja, bukan main kesohornya
kepandaian meniup seruling Hok Kongcu. Raja-raja muda dan
orang-orang "mahal" lainnya tak gampang- gampang bisa
mendengar tiupan serulingnya itu.
Dan sebagai seorang yang ahli dalam hal menaklukkan
wanita, sikapnya yang lemah lembut dan sinar matanya yang
redup halus, banyak lebih ber-harga daripada ribuan katakata.
Dilain saat, Hok Kongcu berhenti meniup serulingnya dan
tanpa mengeluarkan sepatah kata ia mengulurkan sebelah
tangannya untuk memeluk pinggang Ma It Hong. Dengan
kemalu-maluan si nona menyingkir. Tapi ketika si kongcu
mengang-surkan tangan untuk kedua kalinya, It Hong tidak
kuat menolak lagi.
Ah! Cinta adalah mulia dan suci bersih! Tapi berapa banyak
perbuatan kotor sudah terjadi dalam dunia ini, dengan
menggunakan "cinta" sebagai kedoknya"
Otak Ma It Hong yang sudah kacau, tak bisa bekerja lagi
seperti biasa. la tak ingat lagi akan segala akibat, ia tak
memikirkan lagi, apakah tidak mungkin, jika ada orang yang
secara kebetulan akan masuk ke dalam taman bunga itu. Tapi,
si kongcu "mahal" sendiri, sebelum masuk ke taman, sudah
memperhitungkan itu semua. Lebih dulu, ia memerintah Tan
Ie menemani Ma Heng Kong, kedua saudara Ong
diperintahnya "mengikat" Siang Loo-tay dan puteranya, ia
menugaskan Ouw Poan Jiak menempel Cie Ceng dan akhirnya,
ia memerintah In Tiong Shiang menjaga di pintu taman
dengan pesan: Siapa pun tak boleh masuk!
Dan tentu saja, tak seorang manusia masuk ke situ.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianlah, pada hari kedua sesudah ditu-nangkan, puteri
tunggal Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong sudah menjadi gulagula
si kongcu "mahal"!
Malam itu, di Siang-kee-po diadakan pesta be-sar untuk
menghormati kunjungan Hok Kongcu dan rombongannya.
Oleh karena nyonya rumah dan para tetamu semua terdiri dari
orang-orang Rimba Persilatan, maka tak ada perbedaan antara
lelaki perempuan dan Siang Loo-tay serta Ma It Hong duduk
bersama-sama dengan yang lain.
Dulu, Ma Heng Kong mengenal Ong Wie Yang sebagai
seorang rekan dalam perusahaan sejenis (Piauw-kiok). Akan
tetapi, sesudah Ong Wie Yang meninggal dunia, Tin-wan
Piauw-kiok ditutup dan kedua saudara Ong bekerja kepada
pembesar ne-geri, Kiam Eng dan Kiam Kiat tak bisa disebut
rekan lagi. Tapi, kedua saudara Ong juga sudah lama
mendengar nama besar Ma Heng Kong, sehingga mereka
masih mengindahkan orang tua itu.
Ma It Hong duduk dengan muka bersemu dadu. Kedua
matanya bersinar luar biasa, seperti tengah memandang
sesuatu yang jauh, jauh sekali. Ia memandang semua orang,
tapi ia tidak melihat Pak-khia. Dapat diduga, bahwa hatinya
sedang meng-ingat kejadian itu magrib tadi.
Tiba-tiba, seorang kee-teng (pelayan atau bujang)
menghampiri Siang Loo-tay dengan tindakan terburu-buru dan
berkata dengan suara perlahan: "Loo-tay-tay, bangsat she
Peng itu sudah ditolong orang."
Nyonya Siang terkejut, tapi parasnya sedikit pun tidak
berubah dan ia terus melayani para tamu-nya.
Sekonyong-konyong, bagaikan halilintar di tengah hari
oolong, dengan suatu suara gedubrakan, dua belah daun
pintu depan terpental dan jatuh di lantai! Sebelum orang
mengetahui apa yang terjadi, seorang bocah kecil kurus
berdiri di tengah-tengah pintu, sambil menolak pinggang!
Dalam tugas melindungi keselamatan Hok Kongcu,
meskipun berada di meja perjamuan, kedua saudara Ong dan
yang Iain-lain tetap membekal senjata. Begitu daun pintu
terpental, mereka serentak meloncat bangun dan berdiri di
sekitar kongcu mereka. Tapi setelah melihat, bahwa yang
mun-cul hanya seorang bocah kurus yang tidak membawa
kawan, mereka semua saling memandang dengan perasaan
heran. "Apa bisa jadi, bocah itu yang menghantam daun pintu
sehingga terpental?" tanya mereka di dalam hati.
Bocah kurus kecil itu tentu saja bukan lain daripada Ouw
Hui. Sesudah menyelamatkan Peng Ah Sie dan Siang dari
Siang-kee-po, hatinya masih tetap menggerodok. Ia ingat
cambukan Siang Po Cin dan ingat pula kelicikan Siang Loo-tay.
Maka itu, lantas saja ia kembali ke Siang-kee-po untuk
melampiaskan amarahnya.
"Siang Loo-tay!" ia membentak dengan nyaring. "Jika kau
mempunyai kepandaian, sekaranglah coba-coba kau pegang
diriku!" Badannya kecil kurus, suaranya masih seperti suara
anak-anak, tapi sikapnya adalah sikap ksatria.
Begitu melihat anak musuh besarnya, kedua mata nyonya
Siang seperti juga mengeluarkan api.
"Kau potong jalan mundurnya jangan membiar-kan dia
lari," ia berbisik di kuping puteranya. Sesudah itu, ia
menengokdan berkata kepada seorang pelayannya: "Ambil
golokku." Perlahan-lahan, Siang Loo-tay berdiri. "Siapa yang
melepaskan kau?" ia membentak. "Apakah Ma Loo-kun-su?"
Sedikitpun ia tidak pereaya, bahwa Ouw Hui dapat
melepaskan dirinya sendiri.
"Bukan," jawab Ouw Hui sembari menggeleng-kan kepala.
"Apakah dia?" nyonya Siang menuding Cie Ceng.
Ouw Hui tetap menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu, tentu nona... nona itu," kata Siang Loo-tay
sembari menunjuk It Hong.
Ouw Hui tertawa sembari manggut. "Tak salah," ia
berteriak. "Nona itu adalah penolong jiwaku!"
Maksud satu-satunya dari pengakuan Ouw Hui adalah
untuk mengutarakan rasa terima kasihnya kepada It Hong. Ia
sama sekali tidak menduga. bahwa kata-katanya itu hampirhampir
saja meng-ambil jiwa nona Ma.
Dengan muka menyeramkan, Siang Loo-tay melirik It Hong.
"Ayahmu, Ouw It To, kenapa tidak datang sendiri?"
tanyanya pula. Mendengar itu, kedua saudara Ong terkesiap.
"Sudah lama ayahku meninggal dunia," jawab Ouw Hui
dengan tenang. "Jika kau ingin membalas sakit hati, balaslah
terhadap aku."
Paras muka Siang Loo-tay menjadi pucat ba-gaikan mayat.
"Apakah benar?" tanyanya.
"Jika ayahku masih hidup, kau berani memukul aku?" kata
Ouw Hui. Sembari mengangkat Pat-kwa-to itu tinggi-ting-gi,
sekonyong-konyong Siang Loo-tay menangis ke-ras. "Ouw It
To! Ouw It To!" ia berteriak. "Kenapa kau buru-buru mampus"
Tak boleh kau mampus begitu cepat!"
Ouw Hui menjadi bingung. Otaknya yang masih sederhana
tidak mengerti, kenapa nyonya itu men-dadak menangisi
kematian ayahnya.
Sesudah berteriak beberapa kali, mendadak nyonya Siang
berhenti menangis.
Ia menyusut air matanya dengan tangan baju, maju
setindak dan dengan sekali memutarkan ba-dan, ia menyabet
leher Ouw Hui dengan Pat-kwa-tonya.
Itulah serangan yang tidak diduga-duga, sehing-ga semua
orang jadi terkesiap.
Sabetan itu, yang dinamakan Hui-sin-pek-shoa-to (Sabetan
menghantam gunung sembari memutarkan badan, adalah
salah satu pukulan terhebat dari ilmu golok Pat-kwa-to.
Menurut perhitungan, ja-ngankan seorang bocah, sekalipun
ahli silat yang berkepandaian tinggi akan sukar meloloskan
diri. Tapi, diluar semua perhitungan, dengan sekali mengegos
Ouw Hui sudah berhasil mengelit serangan itu dan berbareng
dengan itu, mengulurkan ta-ngannya untuk mengetok
pergelangan tangan Siang Loo-tay. Melihat bocah itu bukan
saja bisa menyelamatkan diri, tapi juga dapat melakukan
serangan pembalasan, tak ada seorang pun yang tidak
terperanjat. Harus diketahui, bahwa Siang Loo-tay adalah seorang isteri
yang sangat mencinta suaminya. Bahwa dia tidak menggorok
lehernya sendiri untuk mengikuti sang suami berpulang ke
alam baka, adalah karena ia ingin membalas sakit hati itu
dengan tangan sendiri. Sekarang, setelah menge-tahui musuh
besarnya sudah meninggal dunia, bukan main rasa kecewa
dan menyesalnya. Tujuan satu-satunya adalah membinasakan
bocah itu, pu-tera tunggal Ouw It To. Maka itu, lantas saja ia
menyerang dengan mata merah dan setiap setangannya
adalah serangan yang membinasakan.
Selama hidupnya, inilah untuk pertama kalinya Ouw Hui
menghadapi musuh dan musuh yang sung-guh-sungguh
berat. Tapi, tak usah malu Ouw Hui menjadi putera tunggal
Liao-tong Tayhiap Ouw It To. Dengan memiliki nyali besar,
bukan saja ia tidak menjadi gentar, semangatnya malah
meluap-luap. I a bukan hanya membela diri, ia balas
menyerang dengan tangan kosong, menggunakan ilmu Kinna-
chiu (Ilmu menangkap) dan Liong-heng-jiauw (Ilmu kuku
naga). Ketika melihat Siang Loo-tay membuka serangan dengan
menggunakan pukulan istimewa ilmu Pat-kwa-to, kedua
saudara Ong merasa agak menyesal, bahwa dalam
menghadapi seorang bocah, nyonya itu sudah menggunakan
ilmu simpanan. Tapi semakin heran. Ilmu Pat-kwa-to yang
dike-luarkan oleh Siang Loo-tay boleh dibilang sudah
sempurna dan ditambah kenekatannya, serangan-serangan itu
sudah cukup untuk merubuhkan ahli silat kelas utama. Tapi,
tak dinyana-nyana, sebalik-nya dari keteter, bocah itu malah
berada di atas angin. Di lain saat, Siang Loo-tay sudah
dikurung dengan pukulan-pukulan aneh yang menyambarnyambar
bagaikan hujan dan angin. Mendadak, dengan
berbunyi nyaring, pipi kiri nyonya Siang kena digaplok, disusul
suatu tamparan pada pipi kanannya.
"Soso (isteri kakak)! Coba mundur dulu!" seru Ong Kiam
Kiat. "Biar aku yang melayani bocah itu." Sembari berseru,
dengan menenteng golok, ia meloncat ke dalam gelanggang.
Tapi, baru saja kedua kakinya hinggap di lantai, suatu sinar
hijau berkelebat menyambar mukanya, dibarengi dengan
teriakan "A-ya!" dan rubuhnya Siang Loo-tay. Buru-buru Ong
Kiam Kiat menyam-pok sinar hijau itu yang ternyata adalah
sebilah golok tapi dengan kecepatan luar biasa, golok itu
berubah arah, dari membacok dari atas jadi mem-babat dari
samping. Diserang secara begitu, Ong Kiam Kiat menjadi repot
sekali. Ternyata, sesudah menggampar dua kali, Ouw Hui merasa
puas. Dengan menggunakan ilmu Kin-na-chiu, ia
mencengkeram pergelangan tangan siang Loo-tay dan
merebut Pat-kwa-tonya, diba-rengi dengan suatu tendangan,
sehingga nyonya itu jungkir balik dan rubuh terpelanting di
atas lantai. Sebelum Ong Kiam Kiat datang dekat, ia sudah
mendahului dengan tiga serangan kilat, sehingga lawannya
menjadi repot. Harus diketahui, bahwa Ong Kiam Kiat adalah ahli kelas
utama dari partai Pat-kwa-bun dan ilmu silatnya pada waktu
itu, sedikit pun tidak berada di sebelah bawah Siang Kiam
Beng. Tapi, karena memandang rendah musuhnya, ia kena
didahului dan menjadi gelagapan.
Sesudah lewat tiga serangan berantai itu, baru ia bisa
menetapkan hatinya dan membela diri se~ rapat-rapatnya,
untuk lebih dulu menyelidiki ilmu golok si bocah.
Salah seorang penonton yang paling memper-hatikan
pertempuran itu, adalah Hok Kongcu. Bu-kan main herannya
kongcu "mahal" itu, setelah menyaksikan, bagaimana seorang
bocah yang baru berusia belasan tahun, dapat menandingi
jagoan kelas satunya. Selagi mengawasi dengan penuh perhatian,
mendadak hidungnya mengendus bau wangi pupur. Ia
melirik dan melihat It Hong berdiri di dekatnya. Dengan
berani, ia mengulurkan tangan-nya untuk mencekal bahu si
nona. Oleh karena semua mata ditujukan ke arah gelanggang
pertempuran, perbuatannya itu tidak dilihat orang.
Sembari bertempur, Ong Kiam Kiat terheran-heran. Ia
adalah seorang ahli berpengalaman yang mengenal macammacam
ilmu dari berbagai partai atau cabang persilatan. Dan
ia sungguh tereengang, bahwa sesudah bertanding lama juga,
ia belum dapat meraba ilmu apa yang digunakan Ouw Hui.
Apakah ilmu keras" Apakah ilmu lembek" Mungkinkah Gwakee
(Ilmu luar)" Atau Lwee-kee (Ilmu da-lam)" Sedikitpun ia
tak dapat merabanya. Yang merupakan kenyataan adalah:
Bocah itu teguh ba-gaikan gunung, lunak seperti air dan cepat
laksana kilat. Sesudah lewat lagi beberapa saat, Kiam Kiat menjadi
bingung. Dalam gedung Hok Kongcu, ia mempunyai
kedudukan tinggi. Tapi sekarang, menghadapi seorang bocah
saja, ia belum bisa men-dapat kemenangan sesudah
bertempur puluhan jurus. Andaikata belakangan ia berhasil
juga mem-binasakan Ouw Hui, tapi jika ia memerlukan tempo
terlalu lama, di mana ia dapat menempatkan muka-nya"
Memikir begitu, lantas saja ia merubah cara bersilatnya.
Sembari mencekal goloknya erat-erat, badannya berputarputar
dengan kecepatan luar biasa.
Harus diketahui, bahwa Pat-kwa Yoe-sin-ciang (Ilmu
pukulan Pat-kwa sembari berlari-lari) adalah ilmu yang
kesohor di seluruh wilayah Tiong-goan. Dalam menggunakan
ilmu tersebut, orang harus bertempur sembari lari berputarputar,
dengan ke-dua kakinya tetap berada dalam garis-garis
Pat-kwa. Diserang secara begitu, si musuh tentu saja harus
turut berputar-putar. Jika musuh tidak turut memutarkan
badan, ia akan kena diserang dari be-lakang. Demikianlah,
bagi orang yang tidak terlatih, dalam tempo cepat, matanya
akan berkunang-ku-nang. Ilmu itu adalah salah satu ilmu yang
paling lihay dalam Rimba Persilatan.
Di bawah pimpinan ayahnya setiap pagi Ong Kiam Kiat
harus berlatih tiga kali dan saban kalinya, ia harus lari
berputaran lima ratus dua belas kali.
Sebelum tidur, ia juga harus berlatih tiga kali. Dengan
begitu, saban hari ia harus berputar-putar di dalam lingkaran
besar, lingkaran menengah dan lingkaran kecil lebih dari tiga
ribu kali. Latihan tersebut dilakukannya terus-menerus selama
dua puluh tahun lebih, maka tidak mengherankan, jika
gerakan kakinya sudah menjadi wajar dan tak usaha
diperhatikan lagi. Yang masih memerlukan per-hatiannya
hanyalah kedua tangannya yang mengi-rimkan pukulanpukulan
ke arah musuh. Dalam sekejap Ouw Hui sudah terkurung di tengah-tengah
bayangan golok. Ia mengenal ba-haya, sembari mengempos
semangatnya, ia menge-luarkan ilmu mengentengkan
badannya. Dengan kegesitan dan kelincahannya, loncat kian
kemari untuk meloloskan diri dari serangan-serangan yang
luar biasa itu.
Ma Heng Kong mengawasi dengan rasa kaget dan heran.
"Sungguh malu!" katanya di dalam hati. Tak dinyana,
bayangan yang kulihat adalah bayangan bocah itu. Jika tidak
bertemu dia, aku tentu tidak mengetahui kebusukan Siang
Loo-tay. Macan yang bersembunyi di Siang-kee-po ternyata
bukan lain daripada anak kurus itu. Ah! Seumur hidupku aku
berkelana di dunia Kang-ouw, tapi masih bisa salah mata."
Sembari berpikir begitu, kedua matanya menyapu seluruh
ruangan. Mendadak ia mendapat kenyataan, bahwa puterinya
dan muridnya tidak berada di dalam ruangan tersebut. "Benar
gila!" katanya dengan mendongkol. "Selama hidup, be-rapa
kali orang bisa menyaksikan pertandingan yang begini seru"
Tapi orang muda hanya mengingat soal pereintaan. Kalau
sudah menjadi suami isteri, bu-kankah masih ada banyak
tempo untuk bereakap-cakap siang-hari-malam?"
Tapi Ma Loopiauwtauw salah menduga. Memang benar Ma
It Hong keluar untuk bereinta-cintaan, tapi tidaklah benar ia
bereinta-cintaan dengan tunangannya.
Sekonyong-konyong, berbareng dengan suatu bunyi
nyaring, lelatu api berhamburan ke empat penjuru, akibat
bentrokan golok kedua orang yang sedang bertempur itu.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu kedua golok mereka kebentrok, Ong Kiam Kiat
menjadi girang. "Ah!" katanya di dalam hati. "Meskipun ilmu
silatnya cukup tinggi, tenaga bocah ini masih terlalu kecil.
Dengan beberapa bentrokan lagi, aku pasti akan dapat
membikin goloknya terpental." Memikir begitu, lantas saja ia
memperhebat serangannya sambil mengerahkan tenaga
dalamnya, sehingga mau tidak mau, Ouw Hui terpaksa
menyambut kekerasan dengan kekerasan. Baru saja goloknya
beradu lima enam kali, lengan-nya sudah kesemutan.
Sedari bermula, pertandingan itu berjalan secara pincang.
Tubuh Ong Kiam Kiat tinggi besar, sedang badan Ouw Hui
kurus kecil, tingginya belum sampai pada leher lawan. Yang
satu menunduk dan menyabet dengan goloknya dari atas ke
bawah, yang lain mesti mendongak untuk menyambut sabetan
itu. Kepincangan itu menyolok sekali. Andaikata kepandaian
dua lawan itu setanding, Ouw Hui akan masih berada di
bawah angin juga, karena tubuhnya yang begitu kecil dan
kate. Dalam keadaan berbahaya itu, otak Ouw Hui yang sangat
cerdas mendadak mengingat sesuatu. Ia meloncat keluar dari
gelanggang seraya ber-teriak: "Tahan!"
Dengan Ouw Hui, Ong Kiam Kiat sebenarnya tidak
merapunyai permusuhan apa-apa. Sesudah melihat kelihayan
bocah itu, tanpa merasa di dalam hatinya timbul perasaan
simpathi. Maka, lantas saja ia berkata: "Baiklah. Jika kau
mengaku kalah, aku suka mengampuni jiwamu."
"Siapa mengaku kalah?" tanya Ouw Hui, dengan tertawa.
"Kau menang badan yang sebesar kerbau dan menarik
keuntungan dari tubuhku yang kecil. Sama sekali bukan
karena kepandaianmu. Tunggu-lah."
Sehabis berkata begitu, ia mengambil sebuah bangku
panjang (seperti bangku sekolah) yang ke-mudian
ditempatkannya di tengah ruangan. "Hayo! Kita bertempur
lagi!" ajaknya.
Ong Kiam Kiat merasa geli berbareng men-dongkol
"Sahabat!" kata pula Ouw Hui. "Sebelum mulai, kita berjanji
dulu. Kau tidak boleh menendang bangku ini. Kalau kau
menendang, kaulah yang dihitung kalah."
"Fui!" bentak Ong Kiam Kiat. "Dalam dunia, mana ada cara
berkelahi yang begitu macam?"
"Aku masih kecil, badanku tidak setinggi badan mu,' kata
Ouw Hui sembari menyengir. "Jika kau tak sudi, biarlah kau
tunggu saja lima tahun. Sesudah lewat lima tahun, sesudah
aku setinggi kau, kita boleh ber tempur lagi."
Walaupun ia masih kekanak-kanakan, otak Ouw Hui penuh
dengan daya upaya. Sesudah meyakinkan dan mempelajari
kitab ilmu silat pening-galan ayah andanya, Ouw Hui mengira,
bahwa dalam dunia, ia sudah tidak mempunyai tandingan lagi.
Tapi, begitu bertemu musuh, ia kena ditotok oleh Siang Lootay
dan dihajar habis-habisan. Dalam kejadian itu, masih boleh
dikatakan, dialah yang tolol sendiri. Sekarang, sesudah
bergebrak dengan Ong Kiam Kiat, baru ia mengerti, bahwa
meskipun ilmu goloknya banyak lebih unggul daripada
kepandaian musuh, tapi tenaganya masih kalah jauh sekali.
Maka itu, ia coba menggunakan tipu untuk meloloskan diri.
Tapi, diluar dugaan, karena sungkan kehilang-an muka dan
juga karena yakin akan memperoleh kemenangan, Ong Kiam
Kiat lantas saja memben-tak: "Kunyuk! Kau rasa aku takut
kepada syaratmu" Kau kira aku tak dapat mampuskan kau?"
Berbareng dengan caciannya, ia menyabet pinggang Ouw Hui
dengan goloknya.
Ouw Hui segera menangkis dan mereka lalu bertempur
pula. Sekarang kedua lawan itu sudah kira-kira sama
tingginya. Karena panjang bangku itu tidak kurang dari lima
kaki, maka Ong Kiam Kiat sukar menggunakan pula Pat-kwa
Yoe-sin-ciangnya yang harus digunakan sambil lari berputarputar.
Ia sekarang menyerang dengan golok dan tangan kosong
dengan berbareng, untuk merubuhkan si bocah dari
bangkunya. Dilain pihak, Ouw Hui melayaninya sembari
meloncat kian kemari, dari ujung ke lain ujung bangku, ia
sama sekali tidak berani menyambut kekerasan dengan
kekerasan. Sesudah lewat belasan jurus, dengan gemas Ong Kiam Kiat
mengubah pula cara bersilatnya. Kini ia menggunakan taktik
membabat ke kiri-ke kanan, setiap babatannya ditujukan ke
lutut Ouw Hui. Berselang beberapa saat, Ouw Hui mendadak
meloncat tinggi-tinggi untuk meloloskan diri dari suatu
sabetan yang luar biasa hebatnya. Sebelum si bocah hinggap
lagi di bangku, Ong Kiam Kiat sudah membabat ke kiri kanan
di atas bangku itu. Dengan demikian, jika Ouw Hui berani
turun ke bangku itu, kakinya tentu akan kena babatan golok.
Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri, adalah turun di
atas lantai. Tapi tak pereuma Ouw Hui menjadi putera tunggal Liaotong
Tayhiap Ouw It To! Pada detik yang sangat berbahaya, ia
segera tahu apa yang harus dilakukannya. Sekali ia
menggoyangkan ba-dan di tengah udara, tubuhnya melayang
turun ke ujung kiri bangku itu. Dengan ujung kakinya, ia
menotol ujung kiri bangku tersebut dan sekai lagi badannya
melesat ke atas. Ditotol dengan ujung kaki, bangku itu
terangkat, ujung kanannya melonjak ke atas, dan berdiri
lempang. Selagi terangkat ke atas, pinggiran bangku itu
menghantam janggut Ong Kiam Kiat yang jadi terasa sakit
sekali. Dilain saat, Ouw Hui sudah hinggap di ujung bangku
yang mengacung ke atas itu, darimana ia lalu menyabet ke
bawah berulang-ulang, dengan lagak yang lucu, sehingga
semua orang jadi tertawa besar.
Bukan main gusarnya Ong Kiam Kiat yang lantas saja
membalas, menyerang dengan pukulan berantai. Akan tetapi,
karena si bocah berada di kedudukan yang lebih
menguntungkan, ia tidak bisa berbuat banyak. Dalam
gusarnya, tanpa menghirau-kan janjinya, ia menendang
bangku itu, yang tentu saja lantas terpental, dan berbareng
dengan itu, ia mengirimkan bacokan ke dada Ouw Hui.
Sebelum badannya hinggap di lantai, Ouw Hui masih sempat
menyampok golok yang menyambar ke jurusannya dan
dengan meminjam tenaga bentrokan kedua golok itu,
tubuhnya melesat kurang lebih setombak. Selagi badannya
melesat, tangan kirinya menyembat bangku tadi yang lalu
digunakannya sebagai tameng untuk menjaga serangan
musuh. Demikianlah dengan tangan kiri mencekal "tameng"
dan tangan kanan memegang golok, Ouw Hui melakukan
serangan-serangan pembalasan yang dahsyat.
Melihat saudaranya belum juga dapat meru-buhkan bocah
itu, Ong Kiam Eng mengerutkan alisnya dengan perasaan
cemas. Orang-orang seperti Tan Ie, In Tiong Shiang, Ma Heng
Kong dan yang Iain-lain adalah ahli-ahli silat yang berpengalaman.
Dilihat dari jalannya pertempuran, siang-siang Ouw
Hui seharusnya sudah dapat dirubuhkan. Tapi sungguh
mengherankan. Walaupun Ong Kiam Kiat berusaha sekuat
tenaganya dengan mengirimkan pukulan-pukulan
simpanannya, ia masih tetap belum bisa menjatuhkan bocah
cilik itu. Dengan menggunakan dua rupa senjata, ke-adaan Ouw Hui
jadi terlebih baik. Bangku itu ter-buat dari kayu merah yang
kuat dan ulet. Beberapa bacokan hebat yang dikirimkan oleh
Ong Kiam Kiat tak dapat memutuskan bangku tersebut. Dilain
pi-hak, dengan bersembunyi di belakang tameng itu, Ouw Hui
melakukan serangan-serangan pembalasannya.
"Kunyuk!" bentak Ong Kiam Kiat. "Kau mesti diajar
mengenal kelihayan tuan besarmu!" Sembari membentak, ia
membabat dengan sepenuh tenaga-nya. "Crok!" goloknya
menancap di bangku yang hampir-hampir menjadi putus.
Buru-buru Kiam Kiat menarik pulang senjatanya, tapi kayu
merah yang keras itu seakan-akan menggigit goloknya. Ia
terkesiap dan segera mengerahkan tenaga dalam-nya untuk
membetot sekali lagi. Pada detik itulah, tanpa menyia-nyiakan
kesempatan baik ini, Ouw Hui menikam kempungan lawannya.
Bukan main terkejutnya Ong Kiam Kiat. Golok Ouw Hui yang
menyambar bagaikan kilat dari jarak yang sangat dekat, tak
dapat dikelitnya lagi, sedang senjatanya sendiri masih
menancap di bangku. Pada saat yang berbahaya itu, Kiam Kiat
tidak mempunyai jalan lain daripada melepaskan senjatanya
dan loncat mundur secepat mungkin.
Ong Kiam Kiat merasakan dadanya seperti mau meledak.
Gusar dan malu bereampur menjadi satu. Dengan mata
merah, lantas saja ia menyerang dengan tangan kosong
secara nekat-nekatan.
Harus diakui, bahwa Ong Kiam Kiat adalah seorang ahli
silat yang sangat lihay. Menghadapi serangannya yang datang
bertubi-tubi, Ouw Hui yang bertenaga kecil, lantas saja jadi
keteter. Dengan mencekal bangku, gerakannya jadi agak lambat
dan sesudah lewat belasan jurus, pundaknya kena dipukul
sehingga ia terhuyung dan hampir-hampir terguling di atas
lantai. Melihat jago cilik itu kepukul, tanpa merasa para penonton
mengeluarkan seruan tertahan.
Sambil menahan sakit, Ouw Hui melepaskan bangku itu
dan tangannya menyambar gagang golok yang menancap di
kayu itu. Sekali ia menendang, golok itu copot dan bangku
tersebut terpental menyambar Ong Kiam Kiat. Dengan gemas,
Kiam Kiat menggunakan kedua tangannya untuk memapaki
bangku itu yang lantas saja patah menjadi dua. Dilain pihak,
dengan mencekal dua batang golok, Ouw Hui lantas saja
menyerang sehebat-hebatnya.
Dengan tangan kosong menghadapi dua batang golok,
sedikit pun Ong Kiam Kiat tidak menjadi gentar. Beberapa saat
kemudian, berbareng dengan terdengarnya suatu teriakan,
golok Ouw Hui yang di tangan kiri, sudah kena dirampas. Kiam
Kiat melemparkan senjata itu ke lantai dan tetap menyerang
dengan tangan kosong.
Dengan mempunyai latihan dua puluh tahun lebih, ilmu
silat tangan kosong Ong Kiam Kiat sungguh-sungguh dahsyat.
Siang Po Cin mengawasi pertempuran itu dengan perasaan
kecewa teream-pur girang. Kecewa, oleh karena sesudah
belajar bertahun-tahun dan menduga ilmunya sudah cukup
tinggi, pada hari itu ia mendapat kenyataan, bahwa
dibandingkan dengan kepandaian paman gurunya, apa yang
dimilikinya, sama sekali tidak berarti. Ia girang karena melihat
lihaynya ilmu silat Pat-kwa-bun. Ia merasa, bahwa jika ia
belajar terus dengan giat, suatu waktu, benar-benar ia akan
mempunyai kepandaian yang tinggi.
Tiba-tiba, berbareng dengan bentakan "Pergi"!, Pat-kwa-to
yang dicekal Ouw Hui, terbang ke atas dan bocah itu sendiri
meloncat mundur.
Sambil merangkapkan kedua tangannya, Ong Kiam Kiat
segera bergerak untuk melancarkan serangan-serangan yang
membinasakan. Ouw Hui tahu, bahwa ia tak dapat bertahan lebih lama lagi.
Tapi, sebagai seorang yang banyak tipu dayanya, sekonyongkonyong
ia tertawa ter-bahak-bahak sembari menuding
lawannya. Ong Kiam Kiat heran, gerakan tangannya lantas saja
berhenti. "Bocah! Kenapa kau tertawa?" tanya-nya.
"Bala bantuanku datang!" jawabnya, sembari tertawa.
"Sekarang aku tidak takut lagi kepada kamu semua."
Ong Kiam Kiat terkejut dan sebelum ia dapat memikir lebih
lanjut, Ouw Hui sudah berkata: "Aku mau menyambut bala
bantuanku. Kamu boleh tung-gu! Jangan lari!" Selagi Kiam
Kiat bersangsi, dengan tindakan lebar ia menuju ke pintu,
untuk segera melarikan diri.
Ketika itu, Siang Loo-tay sudah memungut Pat-kwa-tonya
yang dilemparkan Ouw Hui. Dengan sekali melompat, ia
menghadang di tengah jalan.
"Anak capeay!" ia memaki. "Kau mau lari"!" Tapi ia tak
berani terlalu mendesak, karena rae-ngetahui bahwa ilmu silat
Ouw Hui masih lebih tinggi daripada kepandaiannya.
Pada saat itu, lapat-lapat terdengar tindakan kuda yang
dikaburkan ke arah Siang-kee-po. Dalam suasana yang sunyi,
walaupun jauh, bunyi menderap itu kedengaran nyata sekali.
Semua orang mema-sang kuping. Tindakan kuda itu deras
bagaikan turunnya air hujan. Semua orang yang berada di situ
adalah ahli-ahli silat yang selalu selulup timbul dengan senjata
dan kuda. Mendengar bunyi yang luar biasa itu, di muka
mereka lantas saja terlukis keheranan mereka.
Dalam sekejap, kuda itu sudah tiba di depan gedung. Di
luar lantas saja terdengar suara ben-takan para pegawai
Siang-kee-po, suara terbukanya pintu pekarangan depan,
suara beradunya senjata dan jatuhnya beberapa tubuh
manusia. Sedang semua orang masih tereengang, di depan
pintu ruang-an pesta sudah muncul seorang yang baru
datang. Dengan serentak, semua mata ditujukan ke arah orang itu.
Dia adalah seorang yang berusia lima puluh tahun,
thungshanya gerombongan, di atas bibirnya terdapat kumis
pendek, rambutnya putih, tingginya sedang dan badannya
agak gemuk. Dengan tangan kanan menuntun seorang gadis
yang berusia kira-kira dua belas tahun, ia tertawa dengan
paras muka yang simpatik sekali. Dilihat sekelebat-an,
macamnya seperti seorang hartawan dari pe-dusunan atau
seorang saudagar kecil.
Ketika Ouw Hui menyebutkan bala bantuan, ia hanya bicara
sembarangan, dengan harapan supaya dapat meloloskandiri,
bila perhatian Siang Loo-tay dan lain-lain tertarik ke jurusan
lain. Tapi di luar dugaan, secara kebetulan, benar-benar ada
tetamu baru yang berkunjung ke Siang-kee-po. Selagi semua
orang memperhatikan tetamu itu, perlahan-lahan ia mendekati
pintu. Kalau orang lain melupakan Ouw Hui, adalah Siang Loo-tay
tak melupakannya. Begitu melihat musuhnya mencoba kabur,
ia meloncat dan meng-hantam punggung Ouw Hui dengan
pukulan Pwee-sim-teng (Paku di punggung), salah satu
pukulan yang membinasakan dari Pat-kwa-ciang. Kalau kena,
isi perut Ouw Hui tentu akan menjadi rusak dan ia akan binasa
seketika itu juga dengan muntahkan darah.
Melihat nyonya itu menurunkan tangan yang sedemikian
kejamnya terhadap anak kecil, tetamu gemuk itu
mengeluarkan seruan tertahan. Selagi ingin bergerak untuk
menolong, Ouw Hui sudah bergerak lebih dulu. Sembari
mengegos, Ouw Hui mengangkat tangan kirinya dan


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membetot tangan musuhnya yang sedang menyambar. Siang
Loo-tay terhuyung beberapa tindak, hampir-hampir ia jatuh
terguling. Si gemuk heran bukan main, melihat bocah yang kecil
kurus itu dapat memunahkan serangan yang begitu hebat.
Ong Kiam Eng yang mempunyai pergaulan luas, merasa
bahwa ia mengenal tetamu gemuk itu, tapi tak ingat lagi siapa
sebenarnya dia. Sembari merangkap kedua tangannya, lantas
saja ia menanya: "Bolehkah aku mengetahui she dan nama
saudara yang mulia" Dan untuk apa, malam-malam saudara
datang berkunjung?"
"Siauwtee (adik) she Tio," jawabnya, sambil membalas
hormat. "Ah!" berseru Ong Kiam Eng. "Kalau begitu, tak salah lagi,
saudara adalah Tio Samya (tuan ketiga) dari Ang-hoa-hwee
(Perkumpulan bunga merah) Harap dimaafkan, yang siauwtee
tak bisa mengenali terlebih siang."
Mendengar, bahwa tetamu itu adalah Cian-chiu Jieiay (Jielay-
hud yang bertangan seribu) Tio Poan San, salah seorang
pemimpin besar dari Ang-hoa-hwee, semua orang jadi
terkesiap. Harus diketahui, bahwa tujuh tahun sebelum-nya, bersamasama
dengan para paderi Siauw-lim-sie jago-jago Ang-hoahwee
telah membakar istana Yong-ho-kiong dan mengacau di
Kota terlarang. Kejadian itu adalah suatu kejadian yang menggemparkan
seluruh Rimba Persilatan dan diketahui oleh rakyat
di seluruh Tiongkok.
Sesudah peristiwa itu, Ang-hoa-hwee lalu menghilang.
Menurut kata orang-orang Kang-ouw, jago-jago perkumpulan
tersebut telah menyingkir ke Huikiang untuk sementara waktu.
Tak terduga, Tio Poan San mendadak muncul di situ. Diwaktu
masih muda, Kiam Eng pernah bertemu dengan Poan San di
Piauw-kiok mendiang ayahnya, tapi pertemuan itu sudah
berselang dua puluh tahun lebih dan paras muka Poan San
sudah banyak ber-ubah, sehingga ia tidak lantas dapat
mengenalinya. Sembari memperlihatkan paras muka girang, Kiam Eng
segera berkata pula: "Apakah Tio Samko datang di Shoatang
sendirian atau beramai-ramai dengan para enghiong (orang
gagah) lainnya" Di waktu masih hidup, mendiang ayahku
sering sekali menyebutkan kelihayan para enghiong dari Anghoa-
hwee yang sangat dikaguminya."
Tio Poan San adalah seorang yang beradat sabar dan
berhati mulia serta bisa bergaul dengan siapapun juga.
Mendengar pertanyaan itu, lantas saja ia menjawab dengan
sikap simpatik: "Siauwtee datang seorang diri untuk suatu
urusan pribadi. Bolehkah aku menanya, siapa ayah saudara?"
Setelah mengetahui, bahwa Poan San datang seorang diri,
hati Kiam Eng menjadi lebih lega. Ia membungkuk dan
menjawab: "Ayahku adalah pemimpin dari Tin-wan Piauwkiok...."
"Ah!" Poan San memotong perkataan orang. "Kalau begitu,
saudara adalah putera Ong Loo-piauwtauw. Aku dengar, Ong
Loopiauwtauw sudah meninggal dunia. Apakah benar?" la
mengucapkan kata-kata itu dengan wajah berduka.
"Mendiang ayahku telah meninggal dunia enam tahun
berselang," sahut Kiam Eng. "Yang itu adalah adikku Kiam
Kiat." la berpaling kepada adiknya dan menyambung
perkataannya: "Thay-kek-kun dan Thay-kek-kiam Tio Samya
tiada bandingannya dalam dunia. Sungguh beruntung, bahwa
had ini kita bisa bertemu muka."
Sesudah berkata begitu, ia segera memperke-nalkan semua
hadirin kepada Tio Poan San. Ong Kiam Kiat yang mulutnya
loncer lantas menunjuk Tan Ie sembari berkata: "Tan-heng
juga, adalah orang partai Thay-kek-bun. Apakah kalian sudah
mengenal satu kepada yang lain?"
"Hm!" gerendeng Poan San yang mukanya men-dadak
berubah menyeramkan. Ia mengawasi Tan Ie dari kepala
sampai di kaki dan dari kaki sampai di kepala. Melihat
perubahan paras Poan San, hati Tan Ie merasa tidak enak.
Sesudah diawasi secara begitu, ia lebih-lebih merasa
mendongkol. Sekonyong-konyong, si gadis kecil yang ditun-tun Tio Poan
San menuding Tan Ie sembari ber-teriak: "Tio Sioksiok! Benar
dia! Benar dia!" Sua-ranya yang nyaring penuh dengan
kegusaran. Tan Ie kaget berbareng heran. Belum pernah ia bertemu
dengan gadis cilik itu yang berkulit agak hitam. Lantas saja ia
menengok kepada Kiam Kiat seraya berkata: "Tio Samya
adalah dari Thay-kek-bun di Oenciu, cabang Selatan. Aku
sendiri adalah dari Thay-kek-bun di Kongpeng. Kami berdua
ha-nya sama-sama menjadi anggota satu partai dan bukan
dari satu cabang. Tio Samya adalah tertua kami yang sangat
dikagumi olehku." Ia mendekati sambil mengangsurkan
tangan. Tapi Poan San meng-gerakkan kedua tangannya ke
belakang, seolah-olah tidak melihat angsuran tangan itu, dan
memutarkan badan ke arah Kiam Eng seraya berkata:
"Saudara Ong, hari ini siauwtee datang mengacau dan lebih
dulu siauwtee ingin meminta maaf kepada saudara-saudara
sekalian."
Ia menyoja kepada semua orang yang lantas
membalasnya. "Janganlah Tio Samya berlaku begitu sungkan,"
kata mereka. Dapat dimengerti jika sikap Tio Poan San seakan-akan
segayung air dingin yang mengguyur kepala Tan Ie. "Lagi
kapan aku berdosa terha-dapmu?" katanya di dalam hati.
"Namamu memang besar, tapi, apakah kau kira aku takut
padamu?" Sesudah memperkenalkan semua orang, Kiam Eng
menunjuk Ouw Hui sembari berkata: "Saudara kecil itu
mempunyai sedikit ganjalan dengan Tee-huku (isteri adik).
Ganjalan itu telah dibuat oleh ayahnya. Sekarang, sedang
Suteeku sudah meninggal dunia lama sekali, dengan
memandang muka Tio Samya, urusan ini lebih baik jangan
disebut-sebut lagi. Bagaimana kalau kita sudahi saja?" Ia
menutup keterangannya dengan tertawa besar.
Harus diketahui, bahwa Ong Kiam Eng dan Siang Kiam
Beng memang tidak begitu akur. Ia sebenarnya sama sekali
tidak mempunyai minat untuk membalaskan sakit hati saudara
seperguruan itu. Dan sekarang, di hadapan Tio Poan San, ia ingin
menunjukkan kebaikan hatinya. tapi Tio Poan San yang tidak
mengerti duduknya persoalan, tentu saja merasa heran.
Dilain pihak, Siang Loo-tay lantas saja naik darah. "Tak
perduli Tio Poan San atau Tio It San (Poan San berarti
setengah gunung, It San berarti satu gunung), tak boleh
menjual lagak di Siang-kee-po!" ia berteriak.
"Apakah arti perkataan Ong-heng?" tanyanya. "Siauwtee
sama sekali tidak mengerti."
"Tee-huku adalah seorang perempuan, jangan-lah Tio
Samya tersinggung karena kata-katanya," kata Kiam Eng.
"Mari, mari! Siauwtee ingin mem-beri selamat datang kepada
Tio Samya dengan secangkir arak." Sembari berkata begitu, ia
segera menuang arak.
Ouw Hui mengetahui, bahwa jika mereka bicara terus,
kedoknya akan segera terbuka. Maka itu, lantas saja ia
berseru: "Tio Samya! Mulut kawanan kantong nasi itu besar
sekali. Itulah urusan mereka sendiri. Tapi dalam
temberangnya, mereka menga-takan, orang-orang Ang-hoahwee
tolol semuanya. Mereka mengagul-agulkan ilmu silat
Pat-kwa-ciang dan sesumbar, bagaimana, dengan sebilah Patkwa-
to, Looenghiong mereka sudah merubuhkan semua orang
gagah dari Ang-hoa-hwee. Karena tak tahan, aku sudah
menyemprot mereka. Mereka menjadi gusar dan mau
menghajar diriku. Tio Samya! Coba kau pikir: Jengkel atau
tidak" Dalam urusan ini, aku mengharapkan pertimbanganmu
yang adil."
Tio Poan San yang tidak mengetahui apa yang sedang
diributi mereka, jadi terlebih bingung. Tapi memang benar,
dulu Ong Wie Yang pernah ke-bentrok dengan Ang-hoa-hwee.
Tapi urusan itu sudah dibereskan oleh pihaknya dengan
mengguna-kan tipu, sehingga Ong Wie Yang mengaku kalah,
tanpa bertempur. Maka, bukanlah suatu keheranan, jika pada
waktu itu, kedua saudara Ong meng-agulkan kepandaian
ayahnya. Ia lantas saja tertawa dan berkata: "Kepandaian Ong
Loopiauwtauw memang sangat tinggi dan kami semua
saudara merasa sangat kagum."
Tiba-tiba, sorot matanya yang seperti kilat mengawasi Tan
Ie. "Tan Suhu," katanya. "Harap kau suka mengikut aku keluar
untuk membicarakan suatu urusan."
Tan Ie tereengang dan segera menjawab: "Aku dan Tio
Samya belum pernah saling mengenal. Ada urusan apa yang
mau dibicarakan" Semua orang yang berada di sini adalah
bangsa ksatria. Kalau ada sesuatu, baiklah Tio Samya bicara di
sini saja."
Tio Poan San tertawa dingin dana berkata: "Urusan yang
mau dibicarakan adalah urusan yang memalukan partai Thaykek-
bun. Guna apa orang luar turut mendengar?"
Paras muka Tan Ie berubah pucat. la mundur setindak dan
berkata dengan nyaring: "Kau adalah orang dari Thay-kek di
Oenciu, sedang aku adalah dari Thay-kek di Kongpeng. Kita
hanya separtai dan bukan secabang. Aku tidak boleh campur
tangan dalam urusanmu, sedang kau pun tak boleh mencampuri
urusanku."
"Karena tangan Tan-heng terlalu lihay dan da- lam
kalangan Thay-kek-bun di Kongpeng, tak ada orang yang
berani keluar, maka tanpa memperdulikan perjalanan laksaan
li, dari Huikiang aku datang ke sini," kata Tio Poan San. "Lebih
dulu siauwtee pergi ke Pakkhia dan mendengar Tan-heng
pergi ke Shoatang, maka aku segera menyusul. Benar juga
orang kata, bahwa jala langit besar sekali."
Mendengar perkataan "jala langit besar sekali", semua
orang jadi terkejut dan menanya di dalam hati, kedosaan apa
yang sudah dilakukan Tan Ie, sehingga Tio Samya mencarinya
dari tempat yang begitu jauh.
Tan Ie yang bertubuh jangkung kurus, mem-punyai
kepandaian yang cukup tinggi dan sudah lama mendapat
nama besar dalam kalangan Kang-ouw. Walaupun namanya
tidak semashur Tio Poan San, tapi ia adalah salah seorang
tokoh terkemuka dari Thay-kek-bun cabang Utara. Ditambah
dengan Hok Kongcu sebagai sanderanya, sedikit pun ia tidak
merasa keder terhadap Tio Samya.
Maka itu, lantas saja ia membentak: "Tio Poan San! Aku
menghormati kau sebab usiamu yang lebih tua. Kau dan aku,
dari cabang Selatan dan Utara, masing-masing mempunyai
keunggulan sendiri. Ja-ngan kau coba-coba menggencet aku."
Berbareng dengan perkataannya, ia menghantam pundak Tio
Poan San dengan pukulan Dewi Menenun Kain. Pukulan Thaykek
cabang Utara itu, yang dalam "kelembekan" mengandung
"kekerasan", memang hebat luar biasa. Tapi ketika itu, ilmu
silat Tio Poan San sudah dilatih sampai di puncak
kesempurnaan. Begitu tangan musuh menyambar, ia
berjongkok dan menyambut dengan pukulan In-chiu (Tangan
awan). Ia menangkap pergelangan tangan Tan Ie yang lantas
dibetot ke sebelah kanan. Pada saat itu juga, Tan Ie tak bisa
berdiri tegak, separuh badannya kesemutan.
Antara jago-jago Hok Kongcu, adalah In Tiong Shiang yang
mempunyai perhubungan paling rapat dengan Tan Ie. Sedan
Tan Ie dan Tio Poan San bertengkar, ia sudah menghunus
pedangnya dan berwaspada. Demikianlah, berbareng dengan
ru-buhnya si kawan, sembari membentak "lepas"! ia meloncat
dan menikam punggung Tio Poan San. Tanpa menengok,
pada detik yang tepat, Tio Samya menghunus pedang Tan Ie
yang segera disabetkan ke belakang. Dengan suatu suara
"trang"! pedang si pembokong sudah kutung dua!
Melihat Tan Ie sudah dirubuhkan dalam sejurus saja dan
pedang In Tiong Shiang dipatahkan dengan sekali
menyampok, paras muka jago-jago Hok Kongcu menjadi pucat
bagaikan mayat.
"Bagaimana sekarang?" Poan San menanya Tan Ie. "Kau
ikut atau tidak?"
Orang she Tan itu tidak menyahut, mukanya sebentar
merah, sebentar biru.
Selagi semua mata mengawasi Tio Poan San dan
pecundangnya, tiba-tiba tujuh buah Kimpiauw dengan
berkeredepan menyambar saling susul ke arah Ouw Hui.
Ternyata, tujuh Kimpiauw itu dilepaskan oleh Siang Lootay.
Melihat semua orang, terhitung Ouw Hui, sedang
memperhatikan Tio Poan San dan Tan Ie, nyonya Siang
sungkan menyia-nyiakan kesem-patan yang baik ini dan lantas
saja melepaskan tujuh piauw itu dengan kedua tangannya.
Jarak antara Ouw Hui dan Siang Loo lay hanyalah kira-kira
lima kaki dan senjata rahusia itu dilepaskan di Suar dugaan,
sehingga biarpun seorang yang berkepan-daian lebih tinggi
daripada Ouw Hui, jangan harap bisa meloloskan diri dari
ketujuh piauw itu.
Dalam usahanya membalaskan sakit hati suami-nya, Siang
Loo-tay mengetahui, bahwa Biauw Jin Hong dan Ouw It To
mempunyai kepandaian yang luar biasa tingginya, sehingga
dalam pertempuran berhadapan satu lawan satu, sukar sekali
ia bisa memperoleh kemenangan. Maka itu, setiap rnata
Kimpiauw sudah lebih du!u dipoles dengan racun yang sangat
hebat. "Celaka!" teriak Ouw Hui sembari membuang diri. Gerakan
itu yang cepat iuar biasa, dapat meng-egos tiga buah piauw
yang menyambar di sebelah atas, tapi empat piauw yang
terbang ke arah kem-pungan dan kedua kakinya tak akan
dapat di-elakkannya lagi.
Pada detik yang sungguh-sungguh berbahaya itu, Tio Poan
San mendadak mengulurkan tangannya. Dan sekali tangannya
bergerak, tujuh buah piauw itu sudah berada dalam
tangannya! Tio Poan San mendapai julukan Cian-chiu. Jielay. Julukan
"Jielay atau Jielay-hud (Sang Buddha) diberikan kepadanya
oleh karena mukanya yang simpatik dan hatinya yang sangat
mulia. Ge-iaran "Cian-chiu" (Seribu tangan) didapatnya karena
mempunyai kepandaian istimewa dalam menyambut ruparupa
senjata rahasia.
Dibawah sinar iilin, ia melihat, bahwa setiap mata piauw
berwarna merah tua. Ia mencium dan benar saja, mengendus
bau-bauan wangi, yang menandakan, bahwa piauw tersebut


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengandung racun. Sebagai seorang ahli senjata rahasia, Tio
Poan San paling membenci orang yang menggunakan senjata
beracun. Dalam kalangan Rimba Persilatan terdapat perkataan
yang berarti begini "Senjata rahasia adalah senjata terhormat.
Meski bentuknya yang kecil, senjata ini dapat menghantam
musuh yang berada di jarak jauh. Maka itu di samping kaki
tangan dan senjata biasa, senjata rahasia merupakan salah
satu dari Tiga Alat Persilatan. Hanya karena ada orang-orang
rendah yang membubuhkan racun kepada senjata rahasia,
maka belakangan senjata itu dipandang rendah." Demikian
komentar dalam Rimba Persilatan, mengenai senjata rahasia.
Dengan sorot mala gusar, Tio Poan San melirik Siang Lootay
dan berkata: "Ong Wie Yang adalah seorang ksatria.
Apakah mengajarkan orang menggunakan senjata beracun"
Apakah ia mengajarkan orang membokong musuh" Apa pula
musuh itu tak lebih dari seorang bocah!" Kala-kata itu yang dikeluarkan
dengan bernafsu, sudah membikin kedua saudara
Ong malu sekali.
Melihat Ong-sie Heng-tee (dua saudara Ong) menundukkan
kepalanya, nyonya Siang lantas saja berteriak: "Siapa kau"
Berani menghina orang di Siang-kee-po! Sayang! Sungguh
sayang, suamiku sudah meninggal dunia, sehingga dalam Patkwa-
bun tidak terdapat lagi orang yang dimalui. Yang
ketinggalan adalah anak setengah piatu dan janda tua.
Biarlah! Biarlah kami menelan segala hinaan!"
Mendadak ia menangis keras. "Ah! Siang Kiam Beng!" ia
berteriak. "Sesudah kau mati, dalam Pat-kwa-bun hanya
ketinggalan sekawanan anjing yang hanya tahu bagaimana
harus membungkuk terha-dap orang luar. Tak ada lagi
manusia yang mem-punyai tulang punggung, yang bisa
membela partai kita. Siang Kiam Beng! Mulai besok, aku akan
menyuruh anakmu masuk Thay-kek-bun, supaya jangan
dihina orang seumur hidup. Ah, Siang Kiam Beng! Dulu, kau
begitu gagah perkasa. Jika kutahu bakal mengalami kejadian
seperti hari ini, aku tentu sudah masukkan Pat-kwa-to ke
dalam peti matimu!"
Sembari sesambat, ia mencaci dan lalu melem-parkan Patkwa-
to, yang kemudian diinjak-injak dan diludahinya. Muka
kedua saudara Ong menjadi merah padam, bahna gusar dan
malu, akan tetapi mereka tak berani bertengkar dengan Siang
Loo-tay di hadapan orang banyak.
Sebenarnya, Tio Poan San ingin lekas-lekas berlalu dengan
membawa Tan Ie. Tapi, Sesudah menyaksikan kekejaman
Siang Loo-tay terhadap Ouw Hui, ia yakin, bahwa begitu lekas
ia berlalu, bocah itu tentu celaka. walaupun ia tidak mengenal
bocah itu, tapi, sebagai ksatria, mana bisa ia tak menolong"
Demikianlah, sembari menyoja kepada Ong-sie Heng-tee, ia
berkata: "Aku juga ingin membawa bocah itu. Biarlah di lain
hari, aku meng-. haturkan terima kasih pula atas kebaikan
kedua saudara."
Sebelum Kiam Eng menjawab, Siang Loo-tay sudah
sesambat lagi. "Oh, Siang Kiam Beng!" ia berteriak. "Baik juga
kau mati siang-siang, supaya tak usah melihat kejadian yang
memalukan. Sutee-mu adalah pentolan Pat-kwa-bun, tapi
bocah be-lasan tahun saja, dia masih belum mampu
rubuhkan. Lebih celaka lagi, goloknya sampai kena direbut orang!
Suhengmu (dimaksudkan Ong Kiam Eng) lebih takut lagi
terhadap anak itu. Dia mengharap-kan, supaya bocah itu
lekas-lekas pergi, lebih lekas. lebih baik...."
"Diam!" bentak Ong Kiam Eng yang sudah tak dapat
menahan amarahnya lagi. Ia berpaling kepada Tio Poan San
dan berkata: "Tio Samya, kurasa kau sudah mendengar
semua perkataan Tee-huku. Hari ini, bukan aku tak sudi
memberi muka kepada Tio Samya. Akan tetapi, jika bocah itu
diijinkan berlalu dengan begitu saja, Pat-kwa-bun sukar
menancap kaki lagi dalam dunia Kang-ouw, sedang kami berdua
juga tak mempunyai muka lagi untuk menjadi manusia."
Tio Poan San menganggap perkataan Ong Kiam Eng
memang ada benarnya. Ia menengok kepada Ouw Hui seraya
berkata: "Bocah, kedosaan apakah yang kau sudah lakukan
terhadap kedua suhu ini" Lekaslah berlutut untuk meminta
maaf dan kemudian ikut aku pergi."
Tio Poan San sudah mempunyai banyak peng-alaman, tapi
sekali ini, ia salah raba. Ia tidak tahu. bahwa bocah kecil kurus
itu mempunyai darah pah-lawan yang tak nanti mau
gampang-gampang tun-duk terhadap siapapun juga. "Tio-ya,"
kata Ouw Hui sembari tertawa. "Sungguh menyesal, tak dapat
aku meluluskan permintaanmu untuk berlutut terhadap dia."
Mendengar jawaban itu, Tio Poan San jadi tereengang.
Di pihaknya, Ong Kiam Eng sudah menghitung, bahwa
begitu lekas Ouw Hui meminta maaf, ia akan segera cuci
tangan. Tapi jawaban si bocah sudah menggusarkan hatinya.
"Saudara kecil," katanya. "Ilmu silatmu memang tinggi dan
tak heran, jika kau jadi lupa daratan. Mari, mari! Aku Ong
Kiam Eng meminta peng-ajaranmu." Dengan sekali mengenjot
badan, Ouw Hui sudah berada di tengah ruangan dan
menghantam hidung Ong Kiam Eng dengan tinjunya. Sembari
mesem, Kiam Eng menyambut serangan itu dan membaias
menyerang. Diwaktu telapakan tangan Ong Kiam Eng baru turun,
pukulan itu kelihatannya enteng sekali. Tapi di tengah jalan,
pukulan itu berubah berat dan menghantam muka Ouw Hui
dengan kesiuran angin yang dahsyat.
Tio Poan San terkejut. "Orang she Ong ini benar lihay,"
pikirnya, sembari siap sedia untuk menolong jika perlu. Tapi di
luar dugaan, gerakan badan Ouw Hui sungguh-sungguh
mengherankan. Dengan miringkan badannya sedikit, ia telah
mem-buat tangan Ong Kiam Eng jatuh di tempat kosong. Tapi
orang she Ong itu adalah ahli terutama dari Pat-kwa-bun.
Begitu tangan kirinya meleset, tangan kanannya sudah
membabat. Ouw Hui menyambut dengan kedua tinjunya
dan.... "Plak!" telapakan tangan Ong Kiam Eng jatuh lepat di
atas tinju. "Aduh!" teriak Ouw Hui. Sekonyong-konyong, dengan
gerakan Tin-ciu-kin-na (Menurunkan sikut dan menangkap), ia
coba mencengkeram jalan da-rah Kie-tie-hiat di tangan kiri
Ong Kiam Eng. Pukulan ini adalah salah satu pukulan aneh
dari ilmu silat keluarga Ouw. Ong Kiam Eng terkesiap dan
meloncat mundur beberapa tindak.
Siang Loo-tay dan Ma Heng Kong saling meng-awasi.
Mereka merasa heran, kenapa bocah itu juga memiliki pukulan
tersebut. Harus diketahui, bahwa Tin-ciu-kin-na adalah salah
satu dari belasan pukulan yang dipunyai oleh Giam Kie. Pada
waktu bertempur melawan Ma Heng Kong, berulang kali Giam
Kie telah menggunakan pukulan tersebut.
Begitu mundur, Ong Kiam Eng segera maju menyerang
pula. Dengan gerakan sebagai seekor harimau, ia menubruk
dan menghantam lengan kiri Ouw Hui. Sembari memutarkan
badan, Ouw Hui mengirimkan tendangan hebat dengan
gerakan Kauw-tui-hoan-tui (Menekuk lutut menendang ke
belakang). Tendangan itu juga merupakan tendangan rahasia
yang hanya dimiliki oleh keluarga Ouw. Dengan demikian,
bukan saja Ma Heng Kong dan yang Iain-lain, tapi malah Tio
Poan San yang ber-pengalaman, juga turut merasa heran.
Melihat pukulan-pukulan Ouw Hui yang aneh agaknya
mengandung ejekan, Ong Kiam Eng jadi mendongkol. "Jika
kau tidak diberi sedikit hajaran, orang bisa memandang
rendah partai Pat-kwa-bun," pikirnya.
Harus diketahui, bahwa dalam pertandingan itu, sama
sekali ia tidak memandang sebelah mata kepada lawannya.
Setiap gerakannya dan setiap pukulannya adalah untuk
diperlihatkan kepada Tio Poan San, seorang ahli yang
mempunyai nama sa-ngat besar. Maka itu saban gcrakannya
dilakukan dengan hati-hati, agar sesuai dengan derajat
seorang ahli silat ternama.
Dengan adanya pikiran begitu, tujuan dari pu-kulanpukulannya
adalah untuk memperlihatkan keindahan dan
kesempurnaan dan bukan untuk membinasakan musuh. Dari
sebab dapat, tak dapat ia merubuhkan Ouw Hui dalam tempo
cepat. Di lain pihak, Siang Po Cin yang mengawasi pertempuran
itu, jadi merasa gusar. Ia melihat pa-man gurunya hanya
mempergunakan pukulan-pu-kulan Pat-kwa-ciang yang paling
cetek dan ia segera menarik kesimpulan, bahwa, karena takut
terhadap Tio Poan San, sang Supeh sungkan bersungguhsungguh
dalam usaha membalaskan sakit hati men-diang
ayahnya. Siang Po Cin tentu saja, tidak mengetahui, bahwa berlaku
latihan puluhan tahun, dengan pu-kulan-pukulan yang biasa
itu, Ong Kiam Eng ingin merubuhkan lawannya dengan
perlahan. Dalam tempo tidak terlalu lama, Ouw Hui sudah
tertindih di bawah "angin pukulan". Ketika itu, jika mau,
dengan mudah Ong Kiam Eng bisa melukai Ouw Hui. Tapi ia
bukan bermaksud begitu.
Dengan disaksikan oleh Tio Poan San, ia ingin
menghabiskan tenaga Ouw Hui, sehingga anak itu berlutut
memohon ampun, sedang ia sendiri tetap segar dan tenang,
seolah-olah sedikit pun tidak pernah membuang tenaga.
Memang juga, dalam ilmu silat, yang paling. sukar
dipelajari adalah: Mengangkat barang berat seperti
mengangkat barang enteng dan mengguna-kan tenaga seperti
juga tidak menggunakan tenaga. Setiap ahli silat ternama
harus mempunyai kepandaian begitu. Seorang yang
bertempur dengan na-pas tersengal-sengal dan keringat
mengucur, bukan seorang yang dinamakan ahli silat.
Tio Poan San yang dapat membaca pikiran Ong Kiam Eng,
tidak khawatir lagi akan keselamatan bocah itu dan sekarang
ia justru ingin mengetahui, sampai di mana Ouw Hui bisa
mempertahankan diri.
Beberapa saat kemudian, Ouw Hui kelihatan sudah payah
benar. Sekonyong-konyong, sesudah jungkir balik, dengan
tangan kanan menekan lantai, ia menyapu dengan kedua
kakinya. Sapuan itu juga merupakan suatu pukulan aneh. Baru
saja Ong Kiam Eng ingin meloncat mundur, Ouw Hui sudah
duduk di atas lantai, sedang kedua kakinya menen-dang ke
atas secara berantai. Dalam sekejap, ia sudah mengirim tujuh
delapan tendangan kilat, sehingga Ong Kiam Eng menjadi
repot. Ma Heng Kong dan Siang Loo-tay kembali saling
mengawasi. Tendangan berantai itu tidak dimiliki oleh Giam
Kie dan sekarang ternyata, bocah itu mempunyai kepandaian
yang jauh lebih tinggi daripada perampok she Giam itu.
Sesudah menendang, dengan sekali memutar-kan badan, ia
berdiri dan kedua sikutnya menyikut ke belakang. Pada saat
itu, punggungnya berhadap-hadapan dengan punggung Ong
Kiam Eng. Oleh karena badannya kate, kedua sikutnya itu
meng-hantam pantat Ong Kiam Eng, sehingga semua
penonton tidak dapat menahan tertawanya lagi.
Ong Kiam Eng menjadi gusar bukan main. Sembari
memutarkan badan, ia menghajar dada Ouw Hui dengan
pukulan yang sangat hebat. Sekarang ia sudah tidak
memperdulikan lagi derajat dan keagungannya. Kalau dapat,
dengan sekali memukul, ia ingin membinasakan si bocah cilik
yang dianggapnya kurang ajar sekali.
Melihat begitu, Tio Poan San menghela napas.
"Ah! Putera Wie-cin Ho-sok Ong Wie Yang dalam banyak
hal masih belum dapat menyamai ayahnya!" katanya di dalam
hati. Sementara itu, selama memperhatikan pertem-puran itu, ia
selalu mengawasi Tan Ie untuk menjaga jangan sampai dia
merat. Melihat musuhnya sekarang menyerang bagai-kan angin
dan hujan, Ouw Hui menjadi gentar. Dengan mengandalkan
pukulan-pukulan yang di-dapatkannya dalam Kun-keng (kitab
ilmu silat), untuk sementara waktu ia dapat mempertahankan
diri. Sebenarnya, pukulan-pukulan aneh itu hanya untuk
digunakan dalam latihan. Pukulan-pukulan untuk bertempur
tereatat di bagian belakang dari kitab tersebut. Karena latihan
dan tenaga Ouw Hui belum mencukupi, maka sampai sebegitu
jauh, ia belum dapat menyelami pukulan-pukulan yang
tereatat di bagian belakang kitab itu. Maka itu, dalam
menghadapi musuh, ia hanya dapat memperguna-kan
pukulan-pukulan aneh yang sebenarnya di-gubah untuk
latihan. Dapat dimengerti, bahwa sebagai seorang Tayhiap
(pendekar besar), Ouw It To tentu sungkan menggunakan
pukulan-pukulan seperti lelucon yang bisa ditertawai orang.
Sesudah bertempur lagi belasan jurus, Ouw Hui mulai
terhuyung kian kemari. Mendadak, sambil mengegos ke kanan
untuk mengelit pukulan Ouw Hui, Ong Kiam Eng membabat
dengan tangan ka-nannya dengan gerakan Yoe-kong-tamjiauw
(Men-cengkeram di udara), semacam pukulan yang
sangat hebat. Buru-buru Ouw Hui membungkuk, sehingga
tenaga pukulan itu berkurang tujuh bagian. Tapi walaupun
begitu, begitu kena, ia lantas terguling di atas lantai.
Tanpa merasa semua penonton mengeluarkan teriakan
tertahan. Ong Kiam Eng yang belum merasa puas, segera
menghantam lagi dengan telapak-an tangannya.
Tio Poan San gusar bukan main. Sebagai ahli kenamaan,
tidak pantas ia menurunkan tangan ja-hat terhadap seorang
bocah yang sudah rubuh. Dalam gusarnya, Tio Poan San siap
sedia untuk menolong pada detik yang terakhir.
Tiba-tiba berbareng dengan berkelebatnya sesosok sinar
hijau, Ong Kiam Eng menarik pulang tangannya dan meloncat
mundur beberapa tindak. Ternyata, di waktu terguling, Ouw
Hui menemukan pedang In Tiong Shiang yang kutung. Dalam
ke-adaan terdesak, ia menjumput senjata itu yang lalu
digunakan untuk memapaki tangan Ong Kiam Eng. Kalau Ong
Kiam Eng tidak berlaku cepat, telapakan tangannya tentu
sudah ditobloskan senjata itu.
Begitu berhasil dengan pukulannya, Ouw Hui yang cerdik
segera menggulingkan badan, menjumput serupa benda dari
atas lantai dan kemudian memotong ujung bajunya yang
digunakan untuk membungkus ujung mata pedang yang
tajam. "Ong Toaya," katanya sembari tertawa. "Ta-nganku
pendek, tanganmu panjang, sehingga per-tempuran ini jadi
agak pincang. Maka itu, aku menyambung tangan kananku
supaya menjadi lebih panjang. Jika kau takut, pergilah ambil
Pat-kwa-to."


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semenjak Hui-thian Ho-lie (si Rase Terbang) muncul dalam
Rimba Persilatan, di setiap jaman, jago-jago keluarga Ouw
semua terdiri dari orang-orang yang mempunyai kecerdasan
luar biasa. Ouw Hui mengetahui, bahwa dengan tangan
kosong, tak dapat ia menandingi musuhnya. Maka itu, ia
meng-ambil keputusan untuk menggunakan senjata yang
diapatnya secara kebetulan. Tapi ia khawatir Ong Kiam Eng
juga menggunakan senjata dan ia men-duluinya dengan katakata
mengejek. Sebagai seorang ternama, Ong Kiam Eng
tentu saja sungkan kehilangan muka di hadapan banyak
orang. Tanpa menyahut, ia segera menyerang dengan kedua
tangan kosongnya.
Dengan bantuan senjata kutung itu, Ouw Hui lalu mulai
membela diri lagi. Selagi terputar-putar melayani musuh,
tangan kirinya sekonyong-konyong membuka topinya.
"Tangan kananku memegang pe-dang, tangan kiri mencekal
tameng," katanya sem-bari tertawa. "Aku mau melihat,
apakah kau masih bisa mendesak diriku." Sembari berkata
begitu, ia mengangkat tangannya yang mencekal topi kulit itu
untuk memapaki serangan musuh.
"Anak bau!" Ong Kiam Eng memaki dalam hatinya.
"Dengan memapaki begitu, pergelangan tanganmu pasti akan
patah." Ia mengempos semangatnya untuk menambah tenaga
dalamnya dan menghantam!
Mendadak, begitu pukulannya mampir di atas topi, Ong
Kiam Eng berteriak: "Ah!" Teriakan itu adalah teriakan
kesakitan dan kegusaran. Sembari berteriak, ia loncat mundur
setombak lebih.
Semua orang kaget dan memandangnya dengan heran.
Ternyata, telapakan tangan kirinya menge-luarkan sedikit
darah. Semua penonton menjadi bingung, mereka tak tahu,
sebab apa Ong Kiam Eng mendapat luka.
Ong Kiam Eng gusar bukan main. "Kau... kau!" ia berteriak
sambil menuding. "Apa yang kau sem-bunyikan di bawah
topi?" Ouw Hui meletakkan pula topinya di kepala dan
mengacungkan tangan kirinya. Yang berada di tangannya itu,
ternyata adalah sebatang Kimpiauw!
"Inilah senjata rahasia Pat-kwa-bunmu!" jawab-nya
sembari menyengir. "Bukan aku yang mem-bawa-bawa
kemari. Barusan aku memungutnya dari lantai untuk dibuat
main. Salahmu sendiri! Siapa suruh kau mencari tahu isi
topiku. Baiklah! Apa bagusnya Kimpiauw ini?" Sembari berkata
begitu, ia mengayunkan tangannya ke arah dada Ong Kiam
Eng. Ong Kiam Eng berkelit ke samping dan meng-ulurkan
tangannya untuk menyambuti senjata rahasia itu. Bahwa ia
lebih dulu berkelit, membukti-kan yang jago tua itu segani si
bocah cilik. Ia khawatir Ouw Hui mempunyai ilmu menimpuk
yang aneh, sehingga jika sambutannya meleset, Kimpiauw itu
bisa mengenai dadanya. Tapi... ia menangkap angin. Tak ada
piauw yang menyambar dia.
Ternyata, selagi mengayunkan tangan ke de-pan, Ouw Hui
mengerahkan tenaga dalamnya ke jeriji dan menyentil piauw
itu ke belakang.
Siang Loo-tay yang sedang berdiri di belakang Ouw Hui,
jadi terkesiap melihat menyambarnya suatu sinar kuning.
Secepat mungkin, ia menun-dukkan kepalanya, tapi tak urung,
piauw itu menancap di kondenya! Siang Po Cin meloncat
menubruk ibunya seraya menanya dengan suara ge-metar:
"Ibu! Apakah kau terluka?"
Melihat cara-cara si bocah cilik yang aneh-aneh dan
bagaimana nyonya Siang lolos dari lubang ja-rum, semua
orang jadi terperanjat. Tio Poan San mesem sembari
memelintir kumisnya. la juga mahir daiam ilmu melepaskan
senjata rahasia yang baru-san diperlihatkan oleh Ouw Hui.
Kalau ia yang melepaskannya, sepuluh Siang Loo-tay juga
tentu sudan binasa. Akan tetapi, cara anak itu yang dalam
kelucuannya mengandung kecerdikan luar biasa, tak dapat
ditiru olehnya sendiri.
Sesudah dapat menetapkan hatinya, Siang Loo-tay lantas
saja berteriak: "Toasuheng, pencet nadi-mu! Piauw itu
beracun!" "Aku ambil obat!" seru Siang Po Cin sembari lari ke ruangan
dalam. Sifat Ong Kiam Eng yang telengas, tidak banyak berbeda
dengan mendiang ayahnya. Buru-buru ia merobek bajunya
yang lalu digunakan untuk meng-ikat nadinya. Melihat begitu,
Ong Kiam Kiat segera mendekati untuk membantu.
"Minggir!" bentak saudara tua itu sembari men-dorong
keras, sehingga Kiam Kiat terhuyung be-berapa tindak.
"Toako...!" seru si adik.
Kiam Eng tidak menyahut. Sembari meloncat, ia
menghantam kepala Ouw Hui dengan pukulan Pat-kwa Yoesin-
ciang. la sekarang sudah lupa da-ratan. Jika mungkin,
dengan sekali pukul, ia ingin mengambil jiwa bocah yang licik
itu. Semenjak belajar silat, baru di Siang-kee-po Ouw Hui
mendapat pengalaman dalam pertem-puran yang
sesungguhnya. Pertama, ia bergebrak dengan Siang Po Cin,
kemudian dengan Siang Loo-tay dan Ong Kiam Kiat dan
sekarang dengan Ong Kiam Eng, ahli nomor satu dalam Patkwa-
bun. Dalam empat kali bertempur, semakin lama hatinya
jadi semakin mantap. Dengan ilmunya yang luar biasa, ia
berusaha menambal kekurangan tenaga-nya.
Yoe-sin Pat-kwa-ciang sudah dikenalnya, selama ia
bertempur melawan Ong Kiam Kiat. Dalam pertempuran itu,
hampir-hampir ia binasa. Tapi sekarang, ia sudah mengetahui
kelihayan ilmu ter-sebut yang menyerang dengan berputarputar.
Ia mengetahui, jika ia turut berputar-putar, silatnya
akan menjadi kalut dan matanya berkunang-ku-nang.
Sekonyong-konyong ia ingat, bahwa dalam Kun-keng terdapat
semacam ilmu yang dinamakan Su-siang-po (Tindakan empat
penjuru), yang mes-kipun sederhana, rasanya dapat
digunakan untuk menghadapi Yoe-sin Pat-kwa-ciang. Ia tak
sempat memikir lama-lama lagi, sebab Ong Kiam Eng sudah
berada di belakangnya. Dengan cepat ia maju setindak dan
pada detik itu, tangan Ong Kiam Eng sudah menyambar
punggungnya. Melihat bagian belakang Ouw Hui terbuka, semua orang
jadi khawatir. Tapi di luar dugaan, pukulan Ong Kiam Eng
jatuh di tempat kosong, karena tindakan majunya Ouw Hui.
Yoe-sin Pat-kwa-ciang adalah pukulan berantai yang
dilancarkan susul menyusul sembari berlari-lari. Tak perduli
pukulan itu mengenai sasaran atau tidak, yang memukul itu
terus lari berputar-putar, sembari melancarkan pukulan
berantai. Di lain detik, Ong Kiam Eng sudah berada di sebelah
kanan Ouw Hui. Pada detik itu, Ouw Hui maju setindak ke
sebelah kiri. Gerakan tersebut tepat sekali dengan
menyambarnya pukulan Ong Kiam Eng, yang untuk kedua
kalinya, jatuh pula di tempat kosong.
Harus diketahui, bahwa Su-siang-po dan Pat-kwa-ciang
keluar dari sumber yang sama. Dalam Kun-keng, Su-siang-po
adalah ilmu untuk melatih gerakan kaki dan bukan untuk
melukakan musuh.
Semakin lama, Ouw Hui semakin mahir meng-gunakan ilmu
tersebut, sampai akhirnya, ia dapat melayani musuh sambil
menoiak pinggang dengan kedua tangannya. Kedua matanya
yang jeli hanya mengawasi gerakan kaki Ong Kiam Eng, tanpa
memperdulikan segala pukulannya. Begitu musuh-nya berada
di kiri, ia maju setindak ke kanan, kalau musuhnya berada di
depan, ia mundur setindak ke belakang dan begitu seterusnya.
Pulang pergi, ia hanya menggunakan empat tindakan, yaitu:
Setindak ke depan, setindak ke belakang, setindak ke kiri dan
setindak ke kanan. Apa yang luar biasa, gerakan Su-siang-po
sangat cocok dengan gerakan Pat-kwa-ciang. Setiap pukulan
Pat-kwa-ciang menyambar tepat pada saat yang sama dengan
tindakan Su-siang-po.
Bagian pertama dari Yoe-sin Pat-kwa-ciang berisi tiga puluh
dua macam pukulan. Dalam ke-gagalannya itu, semakin lama
Ong Kiam Eng jadi semakin bingung.
Melihat cara berkelahinya Ong Kiam Eng, diam-diam Tio
Poan San menghela napas panjang. "Dalam mewarisi ilmu
ayahnya, Ong Kiam Eng hanya mengenai ilmu yang mati,"
katanya di dalam hati. "Diwaktu menghadapi musuh yang
tangguh, sama sekali dia tidak dapat membuat perubahan
untuk menyesuaikan diri. Sungguh sayang! Keli-hayan Ong
Wie Yang kelihatannya tiada yang mewarisi."
Dengan cepat, bagian pertama Yoe-sin Pat-kwa-ciang
sudan digunakan seanteronya.
Pada saat itu, Siang Po Cin keluar dengan membawa obat.
"Toasupeh!" ia berseru. "Makan obat dulu, baru bereskan
bocah itu."
Ketika itu, lengan kiri Ong Kiam Eng sudah tidak menurut
perintah lagi dan racun sudah be-kerja hebat. Lantas saja ia
meloncat ke luar dari gelanggang untuk makan obat dulu.
"Ong-heng," kata Tio Poan San. "Aku lihat...."
Poan San tak dapat meneruskan kata-katanya, oleh karena
Kiam Eng sudah menggoyangkan ta-ngan dan menerjang
pula. Ia mengetahui, bahwa Tio Poan San tentu bemaksud
untuk mendamaikan dan jika ia sampai mesti menolak
permintaan Cian-chiu Jielay, ia seolah-olah tidak mau
"memberi muka" kepada Tio Samya. Maka itu baru Poan San
membuka mulut, ia sudah mendahului menerjang.
Sekarang Ong Kiam Eng mengubah cara ber-silatnya dan
menyerang dengan tindakan-tindakan yang sangat pendek,
sedang setiap pukulannya be-rat luar biasa. Itulah Lwee Patkwa
Ciang-hoat (Pukulan Pat-kwa Dalam) yang paling lihay
dari Pat-kwa-bun. Sebagaimana diketahui, tanpa menggunakan
kedua tangannya, dengan hanya meng-gunakan
tindakan-tindakan Lwee Pat-kwa Ciang-hoat, Ong Kiam Kiat
sudah membikin Siang Po Cin tidak berdaya. Dan sekarang,
sudah Yoe-sin Pat-kwa-ciang dipunahkan dengan Su-siang-po,
mau tak mau, Ong Kiam Eng terpaksa menggunakan ilmu
simpanan itu. Baru saja menyambut tiga pukulan. Ouw Hui
sudah merasa tak tahan lagi.
"Celaka!" ia mengeluh. Ia menunduk dan melihat kaki
lawannya sedang bergeser ke kiri. Dengan berani, ia menjejak
kaki kiri Ong Kiam Eng.
"Apa kau mau cari mampus!" bentak Kiam Eng sembari
menarik pulang kakinya. Dengan berbuat demikian, kaki
kanannya tidak menginjak lagi ga-risan Pat-kwa.
Di waktu mengajar kedua puteranya, Ong Wie Yang
berlaku bengis sekali. Setiap tindakan dan setiap pukulan tak
boleh salah sedikit pun. Dengan mendapat didikan begitu,
ditambah lagi dengan sifatnya yang sangat kukuh, dalam
pertempuran, Ong Kiam Eng sangat memperhatikan
kedudukan kedua kakinya dan ia tak akan mengirimkan
pukulan, jika kedua kakinya tidak berada di kedudukan yang
tepat. Dan di waktu kedua kakinya sudah menginjak pula garis
Pat-kwa, Ouw Hui kem-bali menjejak salah satu kakinya.
Diganggu secara begitu ilmu silat Ong Kiam Eng segera
menjadi kacau. Melihat kesempatan baik itu, dengan menggunakan
seantero tenaganya, Ouw Hui menghan-tam kempungan
musuh. "Bagus!" seru Kiam Eng sembari menyambut dengan kedua
tangannya. Itulah sambutan keras melawan keras. Ouw Hui merasakan
sekujur badannya bergoncang keras, tapi tangan kirinya
menahan terus kedua telapakan tangan musuh, yang semakin
lama jadi semakin berat. Pada detik itu, sedikit saja ia
mundur, isi perutnya akan mendapat luka hebat. Karena itu,
dengan mati-matian ia mempertahankan diri.
Melihat si bocah sudah kalah dan jiwanya ber-ada dalam
bahaya, Tio Poan San tertawa seraya berkata: "Anak, kau
sudah kalah. Guna apa mati-matian?"
Sembari berkata begitu, ia menepuk pundak Ouw Hui.
Heran sungguh, bagaikan arus listrik, semacam tenaga yang
luar biasa mengalir dari ta-ngan Poan San ke tubuh Ouw Hui.
Dan pada saat itu juga, Ong Kiam Eng merasakan kedua
tangannya kesemutan dan dadanya sesak, sehingga buru-buru
ia meloncat mundur.
"Ong-heng," kata Tio Poan San. "Tenaga da-lammu jauh
lebih tinggi daripada bocah itu. Guna apa bertanding terus?"
Sehabis berkata begitu, ia menepuk-nepuk pundak Ouw Hui
seraya berkata pula: "Sungguh hebat! Dalam tempo lima
enam tahun lagi, aku pun sudah bukan tandinganmu lagi."
Dengan perkataan lain, pada waktu itu, Ong Kiam Eng lebihlebih
bukan tandingan Ouw Hui.
Muka Ong Kiam Eng menjadi merah seperti kepiting
direbus. Ia ingin sekali mengucapkan be-berapa perkataan
untuk menolong sedikit mukanya, tapi ia tak tahu, apa yang
harus dikatakannya. Maka itu, ia hanya berdiri bengong tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
Melihat telapakan tangan kiri kakaknya ber-warna hitam
akibat racun, Ong Kiam Kiat berpaling ke arah Siang Loo-tay
dan menanya: "Apakah tak ada obat luar?"
Nyonya Siang tak menyahut, ia hanya meng-gelenggelengkan
kepalanya. Dari sakunya, Tio Poan San segera mengeluarkan sebuah
botol kecil yang berwarna merah dan berkata sembari
membuka tutupnya: "Secara kebetulan aku membawa obat
bubuk ini yang agak manjur."
Ong Kiam Kiat menjadi girang sekali. Ia tahu, bahwa Tio
Poan San adalah ahli senjata rahasia, sehingga obat itu tentu
juga bukan obat semba-rangan. Buru-buru ia menyodorkan
telapak tangannya dan Poan San lalu menuang sedikit obat
bubuk itu di atas telapaknya.
Sesudah menerima budi itu, menurut peraturan dalam
kalangan Kang-ouw, Ong-sie Heng-tee tak boleh mengganggu
lagi Ouw Hui yang berada di bawah perlindungan Tio Poan
San. Sesudah memberi obat, sembari menggendong kedua
tangannya, Poan San berjalan mundar-man-dir di ruangan itu.
"Kita yang belajar ilmu silat, ada yang lebih tinggi
kepandaiannya dan ada juga yang lebih rendah," katanya
dengan suara nyaring. "Bagi seorang manusia, yang terutama
adalah hati yang mulia dan perbuatan yang baik. Jika kita
dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang tak mem-bikin


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita malu terhadap Langit dan Bumi, maka tinggi ceteknya
ilmu silat tidak menjadi soal. Mem-punyai kepandaian tinggi,
tentu saja sangat baik, tapi walaupun kita hanya mempunyai
kepandaian cetek, kita toh akan tetap dihormati orang. Aku, si
orang she Tio, paling membenci perbuatan yang tak mengenal
malu, paling membenci manusia rendah yang menjual sahabat
untuk memperoleh ke-mewahan." Suaranya semakin keras,
sedang kedua matanya mengawasi Tan Ie yang terus
menunduk untuk menghindari bentrokan mata.
Selagi menunduk, sekonyong-konyong Tan Ie terkesiap
bagaikan dipagut ular dan bulu romanya bangun semua.
Kenapa" Ternyata, sesudah menyambut tujuh piauw yang
dilepaskan oleh Siang Loo-tay, Tio Poan San melemparkan
semua piauw itu di atas lantai. Salah satu di antara bendabenda
itu diambil Ouw Hui untuk melukai Ong Kiam Eng,
sedang enam yang lainnya masih tetap berhamburan. Di
waktu ber-jalan mundar-mandir, Tio Poan San sengaja
mengerahkan tenaga dalamnya ke dua kakinya dan menginjak
enam buah piauw itu yang lantas saja melesak masuk ke
dalam ubin! Itulah lantarannya Tan Ie jadi bergidik. Dengan
berbuat begitu, Tio Poan San bermaksud memperingatkan
Siang Loo-tay supaya dia jangan menggunakan lagi senjata
beracun dan memperingatkan semua orang supaya jangan
mencampuri urusannya dengan Tan Ie.
Tan Ie mengawasi ke sekitar ruangan. Ong-sie Heng-tee
sedang repot membungkus luka, Siang Loo-tay dan Siang Po
Cin berdiri bengong dengan muka pucat, Ma Heng Kong
tengah memanggut-manggutkan kepalanya, sedang In Thiong
Shiang menggertak gigi dengan paras muka ketakutan.
Ia mengerti bahwa sudah tak ada kawan yang berani
membantu padanya. Dalam bingungnya, ia menjadi nekat.
"Baiklah!" ia berteriak. "Dalam waktu senang, banyak saudara,
banyak sahabat. Tapi had ini, selagi aku si orang she Tan
didesak oleh seorang bangsat besar, tak seorang sahabat
yang berani muncul. Orang she Tio! Kita tak usah pergi ke
luar. Di sini saja kita bergebrak."
Baru saja Tio Poan San ingin menjawab "baik", sekonyongkonyong
ia merasakan suatu kesiuran angin di belakangnya.
Ia tahu, itulah sambaran senjata rahasia. "Bagus!" Ia berseru
dan tanpa menengok, sebelah tangannya diulur ke belakang.
Di lain detik, dua jerijinya sudah menjepit sebatang Huito
(golok terbang) yang kecil. Ketika sedang menjepit, ia
merasakan sambaran tenaga Yang-kong (tenaga "keras" dan
sesudah menjepit, Huito itu agak tergetar di antara kedua
jerijinya. Itulah timpukan yang agak berbeda dari timpukan
Siauw-lim-pay di Hokkian.
"Sahabat!" katanya sembari tertawa. "Ternyata kau adalah
Siauw-lim-sie di Siongsan. Siapakah gurumu?"
Orang yang menimpuk itu benar saja adalah Ouw Poan
Jiak, seorang ahli silat dari Siauw-lim-pay di Siong-san! Bahwa
tanpa menengok dan tanpa melihat penimpuknya, Tio Poan
San sudah dapat menangkap Huito itu dan mengetahui siapa
yang melepasnya, benar-benar sudah mengejutkan semua
orang. Setelah dibokong, Tio Poan San jadi berpikir. "Baru saja
Ang-hoa-hwee menyingkir ke Hui-kian beberapa tahun,
namanya sudah tak begitu ce-merlang lagi seperti dulu,"
pikirnya. "Dalam usaha melindungi seorang bocah dan
mengajak keluarnya seseorang, aku terus dihalang-halangi.
Jika tidak memperlihatkan ke-angkeran, bisa-bisa orang akan
memandang rendah seluruh Ang-hoa-hwee."
Memikir begitu, lantas saja ia berseru: "Sahabat! Berdirilah
biar tegak dan jangan bergerak!"
Sebelum Ouw Poan Jiak sempat menyahut, Tio Poan San
mengayun kedua tangannya beberapa kali, kemudian
memutarkan badannya dan meng-ayunkan pula tangannya
berulang-ulang. Dan... ber-bareng dengan terayunnya tangan
itu, macam-ma-cam senjata rahasia, seperti Huito, Kimpiauw,
pa-nah tanah, batu Hui-hong-sek, Thie-lian-cie, Kim-chiepiauw
dan sebagainya, menyambar-nyambar ke arah Ouw
Poan Jiak! Ong Kiam Eng terperanjat. "Tio-heng!" ia ber-teriak.
"Jangan menurunkan tangan yang kejam!"
"Benar," sahutnya. "Aku pun tidak ingin berlaku kejam."
Ketika semua mata ditujukan ke arah Ouw Poan Jiak,
semua orang jadi terpaku dan ternganga. Ternyata, Ouw Poan
Jiak berdiri mepet di tembok dan di sekitar tubuhnya tertancap
macam-macam senjata rahasia itu, tapi tidak satu pun yang
mengenakan kulit badannya. Ouw Poan Jiak sendiri jadi
terbang semangatnya dan sesudah beberapa saat, barulah ia
menyingkir dari tembok itu. Ketika menengok, ia melihat
puluhan senjata rahasia itu yang menancap di tembok,
merupakan peta badan manusia.
Sukar sekali dilukiskan perasaan Ouw Poan Jiak diwaktu itu,
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia menyoja dalam-dalam
di hadapan Tio Poan San dan kemudian, ia keluar dari pintu
dengan tindakan lebar, tanpa meminta did dari siapa pun
juga. Kejadian itu sekaan-akan merupakan keputus-an hukuman
mati untuk Tan Ie. Siapa lagi yang berani membantu dia"
Setelah mengetahui jiwanya tak akan tertolong lagi, Tan Ie
menjadi nekat. "Sedari dulu, pembesar negeri dan kawanan pe-rampok
memang tak dapat menginjak bumi ber-sama-sama," katanya
dengan suara keras. "Biarlah aku mati untuk membalas budi
Hok Kongcu."
Tio Poan San menjadi gusar sekali. Ia menengok ke arah
Ong Kiam Eng dan berkata: "Bahwa dalam Thay-kek-bun
muncul manusia keji, itu ada-lah suatu kejadian yang sangat
memalukan bagi partai kami. Sebenarnya-benarnya, urusan ini
hen-dak kuselesaikan secara diam-diam, tanpa diketahui oleh
orang luar. Tapi binatang itu agaknya mau mendesak supaya
aku berterus terang terhadap dunia luar."
Dengan sebenarnya, Tan Ie sendiri tidak mengetahui,
kedosaan apa yang telah dibuatnya terhadap Tio Poan San.
Dia adalah seorang yang berhati-hati dan sangat licik, tak
gampang-gampang mau menanam permusuhan dengan
siapapun juga. Maka itu, lantas saja ia menyambungi: "Benar!
Dalam dunia, yang paling terutama adalah keadilan. Biarlah
kau menyebutkan segala kesalahanku, supaya semua orang
dapat mempertimbangkannya."
"Hm!" gerendeng Cian-chiu Jielay sembari menunjuk gadis
cilik yang dibawanya. "Apakah kau kenal adik kecil ini?"
tanyanya. Tan Ie menggelengkan kepalanya, "Tak kenal, belum
pernah aku bertemu dengan dia," jawabnya.
"Tapi kau tentu kenal ayahnya," kata pula Tio Poan San.
"Dia adalah puteri Lu Hie Hian, di Kongpeng."
Begitu tiga perkataan "Lu Hie Hian" itu keluar dari mulut
Tio Poan San, paras muka Tan Ie menjadi pucat seperti
kertas. "Oh!" kata beberapa orang dan semua mata segera
ditujukan kepada gadis itu.
Gadis itu bam saja berusia dua belas atau tiga belas tahun,
tapi parasnya diliputi awan pende-ritaan. la menuding Tan Ie
dan berteriak: "Kau tak kenal aku" Tapi aku kenal kau! Malam
itu, ketika kau membunuh saudaraku, ayahku, aku mengintip
di luar jendela. Setiap malam dalam mimpi, aku selalu melihat
cecongormu!" Setiap perkataan yang keluar dari mulut si
nona, tandas setandas-tan-dasnya. Sebagai orang yang
berdosa, Tan Ie hanya dapat mengeluarkan beberapa
perkataan, "Ah"!.
Tio Poan San lalu menyoja kepada semua ha-dirin dan
berkata dengan suara nyaring: "Apa yang dikatakan oleh
manusia she Tan ini, adalah tepat sekali. Dalam dunia, yang
paling terutama adalah keadilan. Sekarang, ijinkanlah aku
menuturkan segala kejadian dari kepala sampai di buntut,
agar sekalian saudara dapat mempertimbangkannya. Sebagai
kalian tahu, di antara tiga Suheng-tee (saudara seperguruan)
dari Thay-kek-bun di Kongpeng, adalah Lu Hie Hian, yang
paling kecil, yang mem-punyai kepandaian paling tinggi. Eh,
orang she Tan! Pernah apakah kau dengan Lu Hie Hian?"
Tan Ie menunduk dan menjawab dengan suara perlahan:
"Susiokku!" (paman guru. Sembari menjawab begitu, ia
mengasah otak untuk mencari jalan kabur).
"Benar," kata Tio Poan San. "Lu Hie Hian adalah Susioknya.
Aku sendiri tidak kenal padanya. Dia adalah Kauwcu-ya (tuan
guru) dari Cin-ong-hu (gedung raja muda) di Pakkhia. Kami,
orang-orang dusun, mana bisa berkenalan dengan orangorang
besar?" kata-katanya mengesankan, bahwa di dalam
hatinya, ia merasa sangat tidak senang. Akan tetapi, sebagai
se orang mulia, dengan memandang muka si gadis cilik, ia
hanya berkata sampai di situ.
Sesudah berdiam beberapa saat, Poan San menyambung
penuturannya: "Semenjak hidup meng-asingkan diri di
Huikiang, aku tidak mengetahui pula segala sengketa dalam
Rimba Persilatan di daerah Tiong-goan. Tapi, pada suatu hari,
nona ini datang kepadaku dan sembari berlutut serta
menangis, ia meminta bantuanku. Nona! coba ke-luarkan dua
rupa barang itu supaya dapat dilihat oleh para paman."
Gadis itu segera menurunkan sebuah bung-kusan yang
digendong di punggungnya. Dengan hati-hati ia membuka
bungkusan itu. Begitu bung-kusan itu terbuka, semua orang
jadi terkejut. Di bawah sinar lilin, mereka melihat sepasang
tangan manusia yang sudah kering dan selembar kain putih
dengan tulisan darah!
"Coba ceritakan segala kejadiannya, supaya bisa diketahui
oleh semua orang," kata Poan San pula dengan suara kasihan.
Sembari mencekal kedua tangan manusia yang kering itu,
air mata si nona mengucur deras. "Pada suatu malam," ia
mulai. "Selagi ayahku rebah di pembaringan dengan
menderita sakit, manusia she Tan itu datang dengan
mengajak tiga kawan yang bertubuh tinggi besar. Ia
mengatakan, bahwa atas perintah Ongya (raja muda), ia ingin
mendapatkan rahasia Kiu-toa-koat (sembilan teori) dari Thaykek-
kun. Entah bagaimana, mereka jadi bertengkar. Adik
lelakiku menangis karena ketakutan. Manusia she Tan itu
segera mencengkeram adikku dan sambil membalingbalingkan
pedangnya, ia menggentak ayah. Katanya, jika ayah
tak meluluskan permin-taannya, ia akan membinasakan adik.
Ayah menge-luarkan beberapa perkataan yang tidak
dimengerti olehku. Dan... dia... dia lantas membunuh adik!"
Kata-kata itu ditutup dengan suara sesambat yang memilukan
hati. "Manusia begini jahat, kenapa tidak lantas di-mampuskan!"
teriak Ouw Hui tanpa merasa.
Sesudah menyusut air matanya, si nona berkata pula:
"Belakangan, ayah bertempur dengan mereka. Tapi, karena
mereka berjumlah lebih besar, ayahku kalah dan dibinasakan.
Belakangan lagi, Sun Peh-peh datang berkunjung dan aku lalu
mencerita-kan...."
"Sun Pehpeh itu adalah Sun Kong Hong, Ciang-bunjin
(Pemimpin) dari Thay-kek-bun di Kong-peng," celetuk Tio
Poan San. Sun Kong Hong adalah nama yang tidak kecil dan
dikenal oleh semua orang, yang lantas saja memanggutmanggut-
kan kepala mereka.
"Sesudah berpikir beberapa hari," si nona menyambut
penuturannya. "Sun Pehpeh memanggil aku. Mendadak,
dengan golok ia membacok putus tangan kirinya. Dengan
darahnya sendiri, ia menulis surat di atas kain putih itu.
Sesudah itu, ia rae-letakkan golok itu di atas meja dan
membenturkan tangan kanannya ke mata golok, sehingga
tangan itu menjadi putus. Ia... ia menyuruh aku pergi ke
Huikiang untuk mempersembahkannya kepada Tio Pehpeh. Ia
berkata... dalam Thay-kek-bun, hanya Tio Pehpeh seorang
yang bisa menolong mem-balaskan sakit hati itu...."
Semua orang jadi saling mengawasi dengan mulut
ternganga. Itulah kejadian yang hebat dan menyedihkan,
mereka semua merasa kasihan ter-hadap gadis cilik itu.
"Sun Kong Hong memang kukenal," kata Tio Poan San.
"Dulu, karena memandang rendah ke-padaku, ia pernah
datang di Unciu untuk mengadu silat. Tak dinyana,
pertandingan itu sudah mem-bikin ia ingat akan diriku." Dari
keterangan tersebut, orang bisa menarik kesimpulan, bahwa
Sun Kong Hong sudah dirubuhkan dalam pertandingan
tersebut. "Dalam surat darahnya, Sun Kong Hong mem-beritahukan,
bahwa ia adalah Ciangbun (pemimpin) dari Thay-kek-bun di
Pakkhia," Tio Poan San menerangkan pula. "Ia mengatakan,
bahwa kepan-daiannya tidak cukup tinggi untuk memberi hukuman
kepada murid murtad she Tan itu. Dari sebab itu, ia
mengutungkan kedua tangannya untuk dipersembahkan
kepadaku, si orang she Tio. Akhir-nya, dengan disertai pujian,
ia meminta bantuanku. Hm! Sesudah menerima sepasang
tangan itu dan sebuah topi besar (pujian), walaupun
andaikata, aku tak mengenal padanya, aku masih membantu
juga." Muka Tan Ie pucat seperti kertas, tapi ia masih coba
membela diri: "Surat darah itu belum tentu ditulis oleh Sun
Supeh. Coba kulihat." Sembari berkata begitu, ia menghampiri
Nona Lu untuk meneliti surat darah tersebut.
Mendadak, di luar dugaan semua orang, ba-gaikan kilat ia
menghunus sebilah pisau belati yang lantas saja ditodongkan
ke punggung si nona. "Baiklah kita mampus bersama-sama!"
ia berseru. Ituiah perubahan yang benar-benar mengejut-kan. Tio
Poan San meloncat untuk menolong, tapi Tan Ie
mencengkeram erat-erat leher Lu Siauw Moay dan
membentak: "Maju lagi setindak, kaulah yang membinasakan
jiwa anak ini."
Diluar kehendaknya, Poan San mundur setindak. Ia
bingung, tak tahu harus berbuat apa. "Ah! Jika Cit-tee (adik
ketujuh) berada di sini, ia tentu tahu, tindakan apa yang harus
diambil," katanya di dalam hati. Harus diketahui, bahwa
sebagai manusia yang berhati tulus, Tio Poan San kebanyakan
kalah jika berhadapan dengan kaum siauwjin (manusia
rendah). Maka itu, dalam bingungnya, ia ingat kepada adik
ketujuhnya Bu Cukat Cie Thian Hong (karena pintarnya, Cie
Thian Hong mendapat ge-laran Bu Cukat, yaitu Cukat Liang
yang kesohor pandai di jaman Samkok).


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tan Ie menekankan pisaunya, sehingga merobek baju Lu
Siauw Moay dan mata pisau mengenai kulit anak itu. Dengan
demikian Tio Poan San tidak dapat memukul jatuh pisau itu
dengan senjata rahasianya.
Kemudian sembari mengawasi Poan San, ia berkata: "Tio
Samya, kau dan aku sebenarnya tidak mempunyai ganjalan
suatu apa. Meskipun kau menimpuk kedua mataku dengan
senjata rahasia, aku tak akan membalasnya."
Ketika itu, Poan San mencekal dua buah piauw dalam
tangannya dan memang benar ia sedang menimbang-nimbang
untuk menimpuk kedua mata Tan Ie. Asal Tan Ie mengegos
atau menyampok, ia bisa membarenginya begerak untuk
menolong Lu Siauw Moay. Tapi, tak dinyana, orang she Tan
itu sudah dapat membaca pikirannya.
Sesaat itu, seluruh ruangan menjadi sunyi senyap.
Dengan kedua mata tetap mengawasi Tio Poan San, Tan
Iebicara kepada kedua saudara Ong. "Ong Jieko," katanya.
"Apakah kalian tahu, sebab apa hari ini Tio Samya mendesak
aku sampai begitu hebat?" Sebagai rekan yang bekerja
kepada satu ma-jikan, meskipun tidak bisa dikatakan
bersahabat, kedua saudara Ong itu mempunyai hubungan
yang baik juga dengan Tan Ie.
Kalau bukan karena merasa jeri, sedari tadi juga mereka
tentu sudah coba membujuk.
Maka itu, mendengar pertanyaan Tan Ie, Ong Kiam Eng
lantas saja berkata: "Menurut keterangan Tio Samya, ia pun
diminta tolong oleh orang lain. Belum tentu, ia sendiri
mengetahui duduknya per-soalan sejelas-jelasnya. Memang
mungkin sekali, dalam hal ini terselip salah mengerti."
Tan Ie tertawa dingin. "Salah mengerti sih tak ada,"
katanya. "Ong Toako, sebagaimana kau tahu, sebelum bekerja
pada Hok Kongcu, lebih dulu aku bekerja di gedung Heng Cinong."
"Benar," kata Ong Kiam Eng. "Adalah Heng Cin-ong yang
memujikan kau kepada Hok Kongcu." Tan Ie manggutkan
kepalanya dan berkata pula: "Seperti yang dikatakan Tio
Samya, memang benar aku sudah melukai ayah nona itu.
Akan tetapi, aku berbuat begitu atas perintah Ongya. Kau dan
aku sama-sama menjadi kuli orang. Jika majikan memerintah,
apakah kau bisa membantah?"
"Ah, kalau begitu, tak bisa terlalu menyalahkan kau," Kiam
Eng membantu. Harus diketahui, bahwa sesudah menerima su-rat darah,
bersama Lu Siauw Moay, Tio Poan San segera pergi ke
Kongpeng. Oleh karena tidak dapat mencari Sun Kong Hong di
kota itu, mereka terus menuju ke kota raja. Sesudah
menyelidiki sekian lama, baru Poan San mendengar, bahwa
Tan Ie turut mengiring Hok Kongcu ke Tiongkok Selatan.
Kuda yang ditunggangi Poan San adalah kuda Lok Peng,
yaitu Gin-song Tui-tian-kauw (si Arus listrik berwarna perak)
yang larinya cepat luar biasa. Dalam dua hari saja, dari
Pakkhia ia sudah mengejar sampai di Siang-kee-po. Maka itu,
duduknya per-soalan yang sejelas-jelasnya, ia masih belum
tahu. Di tengah jalan, beberapa kali ia coba mencari tahu dari
Lu Siau Moay. Tapi, baru mengucapkan beberapa patah, gadis
cilik itu yang tidak pandai menurut, sudah keburu menangis,
sehingga Poan San tidak tega menanya terlalu terbelit-belit.
Sekarang, mendengar Tan Ie bersedia untuk memberikan
penjelasan, hatinya merasa senang. "Baiklah," katanya. "Kau
tadi berkata, bahwa dalam dunia ini, yang paling terutama
adalah keadilan. Kau sudah mengakui, bahwa Lu Hie Hian
adalah paman gurumu. Sepantasnya, biarpun ia berdosa
besar, tak boleh kau membinasakan padanya."
Sesaat itu, keberanian Tan Ie sudah pulih kem-bali. Ia
merasa pasti, bahwa dihari ini, ia akan bisa meloloskan diri.
Akan tetapi, ia yakin, bahwa jika hatinya tidak dibikin puas,
Tio Poan San tentu akan merasa penasaran dan akan terus
mengejar-ngejar dirinya. Maka itu, tujuannya yang terutama
adalah memuaskan Tio Poan San, supaya ia tidak merupakan
bahaya lagi di hari kemudian.
"Tio Samya," katanya. "Kau adalah seorang ksa-tria yang
tulus dan bersih. Terus-terang aku ingin memberitahukan,
bahwa sekali ini kau sudah kena ditipu Sun Kong Hong!"
Tio Poan San terkejut. "Apa?" ia menegas.
"Dulu," Tan Ie menerangkan. "Sun Couwsu (kakek guru)
dari Thay-kek-bun di Kongpeng mem-punyai tiga orang murid.
Sun Supeh murid pertama, ayahku murid kedua, sedang Lu
Susiok murid ke-tiga. Mereka bertiga tidak akur. Aku rasa, Tio
Samya sudah mengetahui hal ini."
Sebenarnya Tio Poan San tidak mengetahui, tapi sebagai
orang yang sudah mencampuri urusan itu, ia merasa jengah
untuk mengakuinya. Maka itu, ia hanya berkata: "Habis
bagaimana?"
"Lu Susiok adalah pentolan Thay-kek-bun ca-bang Utara,"
Tan Ie meneruskan penuturannya. "Aku sendiri sangat
mengagumi kepandaiannya. Ia menjadi guru silat di gedung
Heng-ong, tapi rahasia Thay-kek-kun sedikit juga ia tidak
turunkan kepada Ongya (raja muda). Heng-ong adalah
seorang yang suka sekali kepada ilmu silat. Melihat liciknya Lu
Susiok, raja muda itu jadi merasa mendongkol. Beberapa kali
ia mendesak dan oleh karena terlalu didesak, Lu Susiok lantas
saja minta berhenti. Maka itu, Heng-ong telah mencari aku
dan minta aku menjelaskan arti Loan-hoan-koat dan Im-yangkoat
(dua teori silat) dari Thay-kek-kun. Hanya sungguh
menyesal, mendiang ayahku tidak mempunyai ke-pandaian
yang tinggi dan siang-siang sudah meninggal dunia, sehingga
bisa dikatakan, bahwa ia sama sekali tidak mewariskan
kepandaian apa-apa kepadaku. Heng-ong lantas saja
memerintahkan, supaya aku meminta penjelasan dari Lu
Susiok." Tio Poan San manggut-manggutkan kepalanya. "Menurut
peraturan Thay-kek-bun cabang Selatan dan cabang Utara,
rahasia ilmu silat dari partai tersebut tidak boleh diturunkan
kepada orang bang-sa Boan," katanya di dalam hati. "Bahwa
Lu Hie Hian sungkan menurunkan rahasia itu kepada Hengong,
adalah keterangan yang rasanya benar."
Sembari menarik paras muka sungguh-sungguh. Tan Ie
melanjutkan penuturannya: "Sesudah men-dapat perintah,
bersama tiga sahabat, aku berkun-jung ke rumah Lu Susiok.
Waktu itu, Lu Susiok sedang sakit berat dan ia jadi
berangasan sekali. Sesudah bertengkar sedikit, mendadak ia
memukul dengan pukulan yang membinasakan. Tio Samya,
coba kau pikir: Dengan ilmu silatku yang sangat cetek, mana
mungkin aku dapat mencelakakan ahli silat nomor satu dari
Thay-kek-kun di Kongpeng?"
"Tapi kenapa ia jadi mati?" tanya Tio Poan San.
"Sebagaimana Tio Samya mengetahui, Lu Susiok memang
lagi sakit," jawabnya. "Dalam per-cekeokan itu, secara tidak
sengaja, aku sudah mengeluarkan kata-kata yang agak berat.
Ia menjadi sangat gusar, diwaktu mau menyerang, kakinya
ter-peleset dan lantas jatuh. Aku coba menolong, tapi sudah
tidak keburu."
Kentara sekali, bahwa dalam karangan Tan Ie terdapat
bagian-bagian yang lemah. Baru saja Tio Poan San ingin
mendamprat, Lu Siauw Moay sudah berteriak sekuat
suaranya: "Ayahku binasa dipukul olehnya! Ayahku...." Ia tak
bisa meneruskan per-kataannya, karena lehernya dipencet
keras oleh Tan le.
Tio Poan San menjadi gusar bukan main. "Dusta!" ia
membentak. "Di satu pihak, kau mengatakan Susiokmu
sedang menderita penyakit berat, tapi dilain pihak, kau
mengaku tak bisa menandingi Susiokmu yang sedang sakit
berat. Apakah mungkin begitu" Disamping itu, apakah dosa
anak kecil itu yang sudah dibinasakan juga olehmu" Hayo,
lepas!" "Tio Samya," kata Tan le. "Kau bertempat ting-gal di
tempat yang jauhnya laksaan li. Mana kau tahu urusan dalam
kalangan kita" Aku merasa, paling baik kita masing-masing
mengurus urusan sendiri."
Sembari bicara, perlahan-lahan ia mendekati pintu. Kedua
mata Tio Poan San seolah-olah mengeluarkan api bahna
gusarnya, tapi ia tidak berani merintangi karena khawatir Lu
Siauw Moay dilukai.
Harus diketahui, bahwa sesudah melalui perja-lanan begitu
jauh dengan bersama-sama menung-gang seekor kuda, Tio
Poan San sudah memandang gadis cilik itu seperti puterinya
sendiri. Walaupun masih berusia sangat muda, Lu Siauw Moay
mem-punyai adat yang keras dan kukuh. Seorang diri, tanpa
memperdulikan segala penderitaan, ia pergi ke Huikiang untuk
mencari Tio Poan San. Ke-sukaran-kesukaran yang dialaminya
dalam perjalan-an, jangankan seorang gadis cilik, malah
seorang lelaki gagah pun belum tentu dapat mengatasinya.
Bahwa Tio Poan San sudah bersedia untuk men-campuri
urusan itu, sebagian tentu saja disebabkan oleh dua tangan
manusia itu, tapi sebagian lagi disebabkan oleh kebaktian Lu
Siauw Moay. Dan semakin lama bergaul, semakin besar
cintanya ter-hadap gadis cilik itu.
Sementara itu, jika Tan le mundur lagi berapa tindak, ia
akan sudah berada di luar pintu. Kedua kantong Tio Poan San
terisi penuh dengan rupa-rupa senjata rahasia, tapi sebatang
pun ia tidak berani melepaskan. Sedari tadi, ia menimbangnim-
bang untuk menimpuk kepala Tan le dengan pusut kepala
ular yang paling berat. Pusut itu sudah pasti akan mengambil
jiwa Tan le, tapi jika sebelum mati, ia mendorong tangannya,
Lu Siauw Moay juga akan turut menjadi korban.
Lagi-lagi Tan le mundur setindak.
Pada saat itu, suatu "kembang lilin" mendadak meletus,
sehingga penerangan lilin mendadak menjadi guram dan di
lain saat begitu api lilin sudah menyala lagi sepergi biasa, di
belakang Tan le kelihatan berdiri seorang tua.
Orang itu mengenakan jubah panjang warna hijau, kedua
matanya dalam, paras mukanya pucat dan apa yang
mengejutkan adalah kedua tangannya buntung. Ketika Tan le
menengok, orang itu meng-angkat lengannya yang tidak
bertangan, sehingga, dalam kagetnya, Tan le meloncat
mundur setindak sembari berteriak, "Sun Supeh, kau!"
Orang itu tidak menyahut, ia maju beberapa tindak dan
segera berlutut di hadapan Tio Poan San. "Tio Samya,"
katanya dengan suara terharu. "Budimu yang sangat besar,
biarlah aku Sun Kong Hong membalasnya dilain penitisan."
Tio Poan San segera membalas hormat, tapi matanya terus
mengincar Tan le.
"Kau sudah mengambil jiwa, dua orang dari keluarga Lu,"
kata Sun Kong Hong. "Aku si orang she Sun sudah tidak
memikir untuk hidup terus." la menengok kepada Tio Poan
San dan meneruskan perkataannya: "Tio Sam-ya, apa yang
dikatakan oleh manusia ini, sudah kudengar semua.
Semuanya dusta belaka. Lu sutee telah binasa, gara-gara
Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat."
Tio Poan San melirik Tan Ie dan berkata: "Kalau begitu,
Tan-ya sudah mahir dalam kedua Pit-koat (teori ilmu silat) itu.
Aku ingin sekali menerima pengajaranmu."
"Bukan, bukan begitu," kata Sun Kong Hong. "Dia belum
memiliki kedua Pit-koat itu. Dia mengetahui, bahwa dalam
Thay-kek-kun terdapat sem-bilan Pit-koat dan Loan-hoan-koat
serta Im-yang-koat merupakan bagian yang terpenting. Hanya
sayang, siang-siang ayahnya sudah meninggal dunia sehingga
tidak keburu mewariskan Pit-koat itu ke-padanya. Dengan
menggunakan rupa-rupa akal, dia membujuk aku dan Lu
Sutee supaya suka menurunkan pelajaran itu kepadanya. Akan
tetapi, kami selalu menolak karena mengetahui, bahwa dia
adalah seorang busuk. Belakangan, dia coba menggunakan
pengaruh Heng-ong-ya untuk memaksa, tapi Lu Sutee tetap
tak sudi memberikannya. Akhir* nya, selagi Lu Sutee sakit,
malam-malam dia menyatroni dan mengancam akan
membunuh anak Lu Sutee, jika permintaannya tidak
diluluskan. Dan secara luar biasa kejamnya, ia membacok
anak yang tidak berdosa itu.... Orang she Tan! Katakanlah:
Aku bicara benar atau tidak!"
Muka Tan Ie menjadi biru keungu-unguan, sepatah pun ia
tidak menyahut. Bukan main menyesalnya, bahwa pada detik
ia hampir dapat meloloskan diri, Sun Kong Hong sudah
menghadang di tengah jalan.
Sementara itu, Sun Kong Hong sudah berkata pula:
"Demikianlah seorang bocah yang mungil, sudah menjadi
korban goloknya. Dalam sakitnya, Lu Sutee sudah melawan
dia mati-matian dan akhir-nya ia roboh binasa diserang ilmu
In-chiu (Tangan awan). Tio Samya, sungguh aku merasa
malu, sebagai Ciangbun, aku tak mempunyai kemampuan,
sedang dalam Thay-kek-bun, cabang Utara tidak terdapat
orang berkepandaian tinggi. Maka itu, dengan menebalkan
muka, aku memohon bantuan cabang Selatan." Ia berpaling
kepada Tan Ie dan menyambun
Sepasang Pedang Iblis 17 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Cinta Bernoda Darah 6
^