Kisah Si Rase Terbang 4

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 4


g perkataannya: "Tan Toaya,
bilanglah: Apakah dalam keteranganku ada bagian yang memfitnah
kau?" Darah Tio Poan San naik tinggi. Ia maju be-berapa tindak
seraya membentak: "Dari dulu sampai sekarang, siapa yang
ingin memperdalam ilmu, ha-rus berusaha sendiri untuk
mencari guru yang pan-dai. Belum pernah aku mendengar
adanya manusia vang berhati binatang seperti kau ini!"
"Jangan bergerak!" teriak Tan Ie sembari memencet dan Lu
Siauw Moay lantas saja berteriak kesakitan.
Benar saja Tio Poan San tidak berani bergerak pula.
"Orang she Tio," kata Tan Ie pula. "Jika kau mau mencari
aku, datanglah di gedung Hok Ong-hu. Hari ini, kau mesti
memerintahkan dia minggir."
Tio Poan San berdiam beberapa saat dan akhir-nya, dengan
sangat terpaksa, ia berkata: "Sun Su-heng, kau minggirlah!"
Sun Kong Hong menjadi bingung. "Kau... kau mau
mengampuni dia?" tanyanya dengan suara ter-putus-putus.
"Sun Suheng, legakanlah hatimu," Tio Poan San membujuk.
"Sesudah aku mencampuri urusan ini, aku tentu akan
mencampuri dari kepala sampai di buntut."
Sun Kong Hong jadi semakin bingung, mukanya pucat.
"Kau... kau..." katanya.
"Minggirlah," kata pula Poan San. "Jika aku tidak dapat
membereskan urusan ini, aku akan mengutungkan kedua
tanganku sendiri dan mem-bayarnya kepada kau."
Perkataan itu dikeluarkan dengan nada tak bisa berubah
lagi, sehingga mau tak mau, Sun Kong Hong segera
menyingkir dari tengah pintu sembari mengawasi Tan Ie
dengan sorot mata membenci dan gusar.
Pada paras muka Tan Ie lantas saja terlihat sinar
kegirangannya. la sudah mengambil keputusan, bahwa begitu
terlolos, ia akan kabur ke tempat jauh dan menyembunyikan
diri. ia mengawasi Tio Poan San dan berkata: "Tio Samya, tak
salah apa yang dikatakan oleh Sun Supeh. Dengan
sesungguhnya, aku ingin sekali mempelajari Loan-hoan-koat
dan Im-yang-koat dari Thay-kek-bun kita. Jika kau da-tang di
Pakkhia, aku akan minta kau memberi petunjuk-petunjuk."
Tio Poan San tidak menyahut, tapi mendengar ejekan itu,
tentu saja ia merasa panas sekali.
Tan Ie tidak berani memutarkan badan. Setin-dak demi
setindak ia mundur sambil menyeret Lu Siauw Moay. Ketika
melewati Sun Kong Hong, ia mesem-mesem secara mengejek.
Semua kejadian itu tentu saja diperhatikan oleh Ouw Hui
yang turut merasa gusar melihat kelicikan Tan Ie. "Tio Samya
telah menolong aku dan sekarang, aku pun tak dapat melihat
saja sambil berpeluk tangan," pikirnya. Ia cerdik dan nakal.
Dalam sekejap, ia sudah mendapatkan suatu daya bagus.
Pada saat Tan Ie tiba di pintu, ia menghampiri sambil
menyeret kursi. "Tan Ie," ia memanggil. "Ada suatu urusan
yang ingin kubicarakan dengan kau."
Tan Ie terkejut sejenak, tapi demi melihat yang
memanggilnya adalah Ouw Hui, hatinya menjadi lega dan ia
tidak meladeni.
Ouw Hui mendorong kursi itu, loncat ke atas-nya,
menyingsing celana dan lantas kencing! Air kencingnya
ditujukan ke arah mata Tan Ie.
Dapat dibayangkan kegusaran Tan Ie pada wak-tu itu.
Dalam kalapnya, ia tak dapat berpikir pan-jang-panjang.
Sembari menedengi matanya dengan tangan kiri, ia menikam
dada Ouw Hui dengan pisaunya yang dicekal di tangan kanan.
Sebelum kencing, Ouw Hui sudah menghitung masak-masak
apa yang harus dibuatnya. Begitu pisau itu ber-kelebat, kedua
tangannya mencekal belakang kursi dan sekali ia melompat,
badannya sudah berada di tengah udara, sedang kursi itu
menimpa kepala Tan Ie.
"Bangsat!" bentak Tan Ie, sembari menyampok kursi itu
dengan tangan kirinya.
Sebelum hinggap di atas lantai, Ouw Hui sudah menubruk
Lu Siauw Moay dan dengan sekali menggulingkan diri, ia
sudah terpisah kira-kira setengah tombak dari Tan Ie.
Tan Ie terbang semangatnya. Bagaikan kalap, ia
menerjang. Tapi Ouw Hui, yang sudah siap sedia, lantas
memapakinya dengan suatu tendangan hebat sembari
meloncat bangun. Hampir disaat itu juga, dengan ilmu Kongchiu
Jip-pe-to (Dengan tangan kosong masuk di ratusan
goiok), ia merebut pisau Tan Ie.
Tan Ie pecah nyalinya. Ia memutarkan badan dan lari
ngiprit ke pintu. Tapi... dengan kedua tangan menolak
pinggang, Tio Poan San sudah berdiri di tengah-tengah pintu!
Ouw Hui tertawa terbahak-bahak. "Kencingku belum
habis!" katanya.
Apa yang dilakukan oleh Ouw Hui benar-benar diluar
dugaan. Perbuatan Ouw Hui sudah menam-bah kebencian
Siang Loo-tay, memperdalam rasa cemburu Ong-sie Heng-tee,
membikin malu Ma Heng Kong dan menggusarkan In Tiong
Shiang. Tapi, tak perduli bagaimana reaksi mereka, dalam hati
kecilnya, semua orang merasa kagum akan kecerdikan bocah
nakal itu. Besar sekali rasa terima kasih Tio Poan San terhadap Ouw
Hui, akan tetapi, ia tidak mem-perlihatkan perasaan itu. Ia
berpaling kepada Tan Ie dan berkata dengan suara tawar:
"Hanya gara-gara Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat, kau
sudah membinasakan dua manusia. Sebenarnya, tak usah kau
berbuat begitu. Kedua Ko-koat (teori ilmu silat yang digubah
seperti sajak lagu) itu belum terhitung mustika yang terlalu
berharga dalam partai Thay-kek-bun. Meskipun bukan seorang
pintar, aku masih dapat menghafalkannya. Tadi, kau
mengatakan ingin belajar dariku, bukan" Baiklah, sekarang
saja aku menurunkan kedua Ko-koat itu."
Semua orang menjadi terperanjat. Mereka benar-benar
tidak mengerti maksud Tio Samya.
"Sekarang lebih dulu aku menghafal Loan-hoan-koat,"
katanya. "Dengarkanlah dengan hati-hati."
Sehabis berkata begitu, benar saja ia lantas menghafal Kokoat
itu dengan suara nyaring: Ilmu Loan-hoan paling sukar
dimengerti, atas bawah bisa bersatu, kelihayannya tiada
batasnya, (jika) musuh masuk ke dalam barisan Loan-hoan,
tenaga empat tail dapat melontarkan tenaga seribu kati.
Tangan kaki maju berbareng, yang lurus menghantam yang
miring. Dalam gerakan Loan-hoan, pukulan tak pernah jatuh di
tempat kosong. Jika ingin menyelami intisari ilmu ini,
seseorang harus mengerti titik bergerak dan titik turun."
Sun Kong Hong dan Tan Ie saling mengawasi tanpa
mengeluarkan sepatah kata. Mereka tahu. bahwa apa yang
diucapkan oleh Tio Poan San, memang benar adalah Loanhoan-
koat dari Thay-kek-bun. Diwaktu kecil, Tan Ie pernah
mendengar Ko-koat tersebut dari mulut ayahnya, tapi sedikit
pun ia tidak mengerti apa maksudnya. dan ia tak nyana,
bahwa pada hari itu, ia akan dapat mendengar pula Ko-koat
tersebut dari mulut Tio Poan San.
Demikianlah, tanpa menghiraukan lagi soal mati hidupnya,
lantas saja ia menanya: "Apakah Tio Samya sudi memberi
petunjuk mengenai maksud dari Ko-koat itu?"
"Dalam ilmu silat partai Thay-kek-kun kita, setiap pukulan
merupakan lingkaran (hoan)," Tio Poan San mulai dengan
penjelasannya. "Itulah sebabnya, mengapa teori (ko-koat) ini
dinamakan Loan-hoan-koat (Teori lingkaran kalut, Loan berarti
kalut, Hoan berarti lingkaran dan Koat berarti teori). Harus
diketahui, bahwa meskipun pukulan-nya mempunyai bentuk
yang tertentu, tapi, per-ubahannya tergantung kepada
kecerdasan orang (yang melakukan pukulan itu). Begitu juga,
wa-laupun setiap gerakan tangan merupakan lingkaran, akan
tetapi, dalam lingkaran itu, terdapat perbe-daan tinggi rendah,
maju mundur, keluar masuk, menyerang dan membela. Di
samping itu, juga terdapat lingkaran besar, lingkaran kecil,
lingkaran rata, lingkaran berdiri, lingkaran miring, lingkaran
yang mempunyai bentuk dan lingkaran yang tiada bentuknya.
Dalam menghadapi musuh, kita harus bisa merubuhkan yang
besar dengan yang kecil, menjatuhkan yang lurus dengan
yang miring dan menaklukkan yang berbentuk dengan yang
tidak berbentuk. Setiap pukulan yang dikeluarkan, harus
mengandung tenaga dalam yang melingkar."
Sembari memberi keterangan, ia memberi con-toh-contoh
dari macam-macam lingkaran.
Sesudah berdiam beberapa saat, ia segera menyambung
keterangannya: "Dalam pertempuran, kita menggunakan
tenaga yang berbentuk bundar untuk mendorong musuh ke
dalam garisan kita yang tiada bentuknya. Sesudah musuh
masuk ke dalam garisan tersebut, kita mau dia ke kiri, dia
lantas ke kiri, kita mau dia ke kanan dia lantas ke kanan.
Sesudah itu barulah dengan menggunakan tenaga empat tail,
kita menghantam musuh yang bertenaga seribu kati. Intisari
ilmu silat Thay-kek-kun adalah: Mencari titik gerakan lawan
dan menghantam titik turunnya musuh."
Semua orang yang berada di dalam ruangan itu, adalah
ahli-ahli silat. Keterangan tipis yang disertai dengan contohcontoh,
didengarkan oleh semua hadirin dengan penuh
perhatian. Harus diketahui. bahwa ceramah tentang ilmu silat
yang seperti itu sungguh-sungguhjarang terdapat dalam
Rimba Per-silatan. Apa yang diuraikan oleh Tio Poan San
adalah teori dari ilmu silat Thay-kek. Bermula, Ong-sie Hengtee
Siang Loo-tay dan yang Iain-lain tidak begitu
memperhatikan, karena Thay-kek-kun adalah berlainan
dengan ilmu silat mereka. Tapi, semakin lama mereka jadi
semakin ketarik, sebab banyak bagian ceramah Tio Poan San
sudah mem-buka pikiran mereka.
Sesudah selesai menerangkan Loan-hoan-koat, Tio Poan
San segera berkata: "Kouw-koat (teori yang diucapkan secara
lisan) tidak panjang-panjang, ringkas saja. Tapi, apakah bisa
menggunakan itu atau tidak, tergantung kepada latihan kita.
Apakah kau mengerti?"
Bertahun-tahun Tan Ie mengilar, baru sekarang
keinginannya terkabul. Bukan saja ia sudah menda-patkan
Kouw-koat itu, tapi ia juga mengerti mak-sudnya, berkat
penjelasan Tio Poan San. Ia yakin, dengan memiliki Kouw-koat
tersebut, bahwa dalam belasan tahun saja, ia sudah akan
menjadi guru besar dalam Rimba Persilatan.
Bukan main girang hatinya dan buru-buru ia memohon
pula: "Bisakah Tio Samya memberi penjelasan tentang Imyang-
koat?" "Im-yang-koat juga terdiri dari delapan sajak," kata Tio
Poan San. "Dengarlah."
Antara para hadirin, In Tiong Shianglah yang mencurahkan
perhatiannya kepada uraian itu. la mendengarkan Tio Poan
San seperti sedang men-dengarkan gurunya sendiri. Maka itu,
ketika Tio Poan San menanya, tanpa merasa ia menjawab:
"Baik. Teecu (murid) akan memperhatikannya." Be-gitu
mengucapkan perkataan tersebut, ia terkesiap dan paras
mukanya menjadi merah. Tapi, karena yang Iain-lain juga
sedang memusatkan perhatian mereka kepada Tio Poan San,
terpelesetnya lidah In Tiong Shiang tiada yang
memperhatikannya.
"Dengarkanlah!" Tio Poan San mulai. "Im-yang dari Thaykek
sedikit sekali dipelajari orang. Di antara menelanmemuntahkan
membuka-menutup terdapat kekerasan dan
kelembekan. Tengah-su-dut, menerima-melepas boleh sesuka
hati. Perubah-an dalam bergerak-berdiam, tak usah dipikirkan.
Menghidupkan dan membinasakan, kedua ilmu, di-gunakan
dengan berbareng. Berkelit maju dilaku-kan diwaktu bergerak.
Tapi bagaimana dengan be-rat-enteng, berisi-kosong" Dalam
berat kelihatan enteng dapat dipertahankan lama."
Im-yang-koat adalah suatu teori yang Tan Ie belum pernah
mendengar dari siapapun juga. Tapi ia sekarang sudah tidak
sangsi lagi dan terus mendengarkan dengan penuh perhatian.
Sesudah menghafal Kouw-koat, sembari mem-beri contoh
dengan gerakan-gerakannya, Tio Poan San berkata pula:
"Dalam segala apa di dunia ini terdapat dua unsur: Im dan
Yang. Im-yang dalam dunia silat adalah lembek-keras, lurusbengkok,
atas-bawah, kiri-kanan, depan-belakang dan
sebagainya (Im-yang berarti negatif positif). Lurus adalah
Yang, bengkok adalah Im, atas adalah Yang, bawah adalah
Im. Jika memencarkan tangan, yang paling penting adalah
Tun-hoat (Ilmu menelan). Kita mengguna-kan tenaga keras
untuk memukul, seperti cara-cara seekor ular menelan
mangsanya. Jika merangkap-kan tangan, yang paling penting
adalah Touw-hoat (ilmu memuntahkan). Kita menghantam
musuh dengan tenaga lembek, seperti seekor kerbau
memuntahkan rumput. Leng (dingin), Kie (cepat). Koay
(lincah, gesit) dan Cui (getas, nyaring) adalah empat bagian
dari Chia-hong (tengah-tengah). Hie berarti empat sudut atau
empat pinggiran. Maka itu, dalam pertempuran, kita harus
menghantam bagian Hie (pinggiran atau sudut) dari musuh
dengan menggunakan Chia (tengah-tengah) kita. Jika Chia
dilawan dengan Chia, yaitu artinya kekerasan dilawan dengan
kekerasan, seorang yang masih ber-usia muda dan belum
cukup tenaganya, tentu akan mendapat kekalahan."
Mendengar keterangan Poan San yang terakhir, Ouw Hui
terkesiap. "Apakah perkataannya itu di-tujukan kepadaku?"
tanyanya di dalam hatinya. "Apakah tak mungkin, ia ingin
menunjukkan ke-keliruanku, bahwa dalam pertempuran
melawan Ong Kiam Eng, sebenarnya tak boleh aku
menggunakan kekerasan untuk melawan kekerasan?"
Tapi mata Tio Poan San sama sekali tidak melirik-lirik Ouw
Hui dan dengan sikap tenang, ia terus memberi penjelasanpenjelasan
dengan contoh-contohnya.
Kata Poan San: "Jika kita menggunakan Sudut untuk
melawan Sudut, maka dalam ilmu silat, cara itu dilukiskan
dengan kata-kata begini: Enteng la-wan enteng, semua gagal.
Maka itu, apa yang kita harus lakukan adalah: Dengan Berat
kita memukul keentengan musuh, dengan Enteng kita
mengelit Beratnya musuh. Mengenai San-cin (berkelit maju)
dapatlah dijelaskan seperti berikut: Di waktu kita mengelit
serangan musuh, dengan berbareng, kita harus maju
menyerang. Begitu juga, di waktu kita maju menyerang,
dengan berbareng kita juga harus berkelit dari majunya
(serangan) musuh. Inilah yang dinamakan: Hong-san-pit-cin,
Hong-cin-pit-san (Berkelit sembari maju, maju sembari
berkelit). Demikianlah dapat dikatakan, Berkelit adalah Maju,
Maju adalah Berkelit. Seseorang yang sudah dapat


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membedakan arti menyerang dan membela diri, adalah
seorang yang sudah memperoleh ilmu silat kelas utama."
Mendengar penjelasan itu, Ouw Hui seolah-olah baru
mendusin dari tidurnya. "Jika aku sudah mengetahui intisari
ilmu silat itu, belum tentu aku dikalahkan oleh kedua saudara
Ong," katanya di dalam hati.
Tio Poan San yang agaknya sedang bergembira, lantas saja
menyambung ceramahnya: "Dalam ilmu silat, Tenaga (Lek)
mempunyai laksaan perubahan. Tapi, dalam garis besarnya,
ada tiga macam tenaga, yaitu enteng, berat dan kosong. Lebih
baik menggunakan tenaga enteng daripada yang berat, lebih
baik menggunakan tenaga kosong daripada tenaga enteng.
Dalam Kun-koat terdapat kata-kata seperti berikut: Sepasang
berat, jalan buntu. Satu berat, selalu berhasil.
"Apakah artinya itu" Sepasang berat berarti tenaga diadu
dengan tenaga, atau dengan perkataan lain, kedua belah
pihak menggunakan tenaganya yang sebesar-besarnya. Dalam
pertandingan sema-cam itu, orang yang bertenaga lebih besar
tentu akan dapat mengalahkan lawannya yang bertenaga lebih
kecil. Satu berat mempunyai arti begini: Dengan
menggunakan tenaga kita yang kecil, kita menghantam bagian
musuh yang tidak ada tenaganya. Memukul secara begitu,
setiap pukulan tentu mesti berhasil. Seorang ahli silat adalah,
seorang yang bisa membikin tenaga musuh yang besar selalu
jatuh di tempat kosong."
Dengan teliti, Tio Poan San memberi contoh-contoh,
antaranya banyak sekali pukulan dan ge-rakan yang
digunakan dalam pertempuran antara Ong Kiam Eng dan Ouw
Hui. la memberi contoh, dengan cara apa, pukulan musuh
dapat digagalkan dan bagaimana dengan suatu pukulan,
musuh dapat dirubuhkan.
Mendengar dan melihat sampai di situ, Ouw Hui mendadak
sadar. la sekarang yakin, bahwa Tio Poan San sebenarnya
sedang menurunkan pelajar-an kepadanya.
Memang juga, adalah sangat ganjil jika benar Poan San
mau menurunkan rahasia ilmu silat Thay-kek-kun kepada
seorang murid murtad seperti Tan Ie. Ketika menyaksikan
pukulan-pukulan Ouw Hui, ia segera mengetahui, bahwa,
biarpun bocah itu mempunyai pukulan-pukulan aneh,
sedalam-dalam-nya ia belum dapat menyelami pokok dasar
ilmu silat. la menduga, bahwa bocah itu belum mendapat
petunjuk-petunjuk guru yang pandai.
Dalam Rimba Persilatan terdapat banyak sekali peraturan,
misalnya, seorang ahli silat tak akan mau memberikan
petunjuk kepada murid partai lain atau cabang. Lantarannya
adalah bahwa guru dari murid tersebut bisa merasa
tersinggung dan sebagai aki-batnya, sering sekali terjadi
ganjalan atau ben-trokan.
Tio Poan San tentu saja tidak mengetahui, bahwa Ouw Hui
tidak mempunyai guru dan seluruh kepandaiannya didapatkan
berkat usahanya sendiri dengan mempelajari Kun-keng yang
diwariskan oleh mendiang ayahnya. Hati Tio Poan San yang
mulia merasa sayang sekali, bahwa ibarat batu giok, Ouw Hui
adalah giok yang belum digosok. Maka dengan menggunakan
kesempatan itu, yang muncul dari permintaan Tan Ie, ia
segera memberikan penjelasan mengenai Loan-hoan-koat dan
Im-yang-koat. Setiap perkataannya dan setiap gerakannya di-tujukan
kepada Ouw Hui. Ia menduga, bahwa sebagai orang yang
cerdas, Ouw Hui tentu dapat menangkap maksudnya. Dan
dugaannya tidak meleset. Mengenai Ong Kiam Eng, Ma Heng
Kong dan yang Iain-lain, ia merasa, bahwa berhubung dengan
usia mereka yang sudah lanjut, belum tentu mereka bisa
menarik banyak keuntungan dari ke-terangan itu.
Dengan adanya petunjuk itu, dikemudian hari Ouw Hui
menjadi ahli silat kelas utama dalam jamannya.
Sesudah selesai, Tio Poan San segera berkata kepada Tan
Ie: "Bagaimana" Apakah keteranganku benar?"
"Sesudah diberi petunjuk, otakku jadi terbuka," jawabnya.
"Jika siang-siang aku mengetahui bakal terjadi kejadian seperti
di hari ini, aku tentu tak akan memohon-mohon kepada Sun
Supeh dan Lu Susiok."
"Ya," kata Tio Poan San dengan suara tawar. "Jika kau
sudah tahu siang-siang, kau tentu tak merasa perlu untuk
mengambil jiwa dua orang ma-nusia."
Tan Ie terkesiap. Perkataan itu seolah-olah segayung air
dingin yang mengguyur punggungnya. "Barusan baik-baik ia
menurunkan ilmu kepadaku, kenapa ia menimbulkan lagi soal
itu?" ia menanya diri sendiri. Ia mengawasi Ong-sie Heng-tee,
In Tiong Shiang dan yang Iain-lain, tapi mereka itu tidak
memberi sambutan apapun juga.
"Tan-ya," kata Poan San. "Kedua Kun-koat itu telah
diturunkan kepadamu olehku sendiri. Aku khawatir kau belum
mengerti, bagaimana cara menggunakannya. Maka itu,
marilah kita tui-chiu (adu tangan, berlatih)."
Tui-chiu adalah semacam latihan yang biasa digunakan
oleh orang-orang partai Thay-kek-bun. Tan Ie merasa takut,
tapi ia tidak berani menolak. "Tio Samya," katanya. "Ilmu
silatku adalah ilmu pasaran. Harap kau suka berlaku murah
hati." Paras muka Tio Poan San lantas saja berubah
menyeramkan. "Lu Hie Hian, ahli nomor satu dari Thay-kekbun
cabang Utara, sudah binasa dalam tangan tuan," katanya.
"Bagaimana bisa dikatakan, ilmu tuan adalah ilmu pasaran.
Siaplah!" Sembari berkata begitu, ia menyerang dengan
pukulan Chiu-hui-pipee (Dengan tangan menabuh pipee,
sema-cam alat musik seperti gitar).
Buru-buru Tan Ie membela diri, tapi baru saja beberapa
jurus, silatnya sudah kena ditindih. Meski-pun dalam Thaykek-
bun terdapat perbedaan ca-bang, yaitu cabang Utara dan
cabang Selatan, akan tetapi, pada pokoknya kedua cabang itu
berakar satu, sehingga menang kalahnya kedua orang itu
diputuskan oleh tinggi rendahnya keahlian mereka. Lewat lagi
beberapa jurus, kedua tangan Tan Ie seolah-olah sudah
"lengket" di tangan Tio Poan San.
Ketika itu, Sun Kong Hong merasa lega sekali, seolah-olah
sebuah batu besar yang menindih ulu hatinya sudah
disingkirkan. "Sun-heng," kata Tio Poan San. "Kau kata, Lu Hie Hian
binasa karena serangan In-chiu, bukan?"
"Benar," jawabnya. "Ketika memeriksa jenazah Lu Sutee,
aku mendapat kenyataan, bahwa ia binasa sebab kehabisan
tenaga." Tan Ie jadi semakin ketakutan. "Tio Samya," katanya
dengan suara gemetar. "Aku bukan tan-dinganmu. Berhentilah
saja." "Baiklah," kata Poan San. "Sambut lagi satu seranganku."
Sembari berkata begitu, ia membuat suatu lingkaran besar
dengan tangan kirinya dan pada saat itu juga, lantas muncul
semacam tenaga berputar di sekitarnya. Itulah ilmu In-chiu
dari Thay-kek-bun yang gerakannya susul menyusul, lingkaran
demi lingkaran. Itulah pukulan yang digunakan Tan Ie untuk
mengambil jiwa Lu Hie Hian. Pada detik itu, di depan mata
Tan Ie terbayang penderitaan paman gurunya sebelum
binasa. Lu Hie Hian telah memohon belas kasihan berulangulang,
tapi ia tidak menggubris dan mendesak terus, sehingga
akhirnya paman guru itu menghembuskan napasnya yang
penghabisan karena kehabisan tenaga. Mengingat itu, keringat
Tan Ie lantas saja mengucur bagaikan hujan.
Melihat paras ketakutan yang terlukis di muka manusia keji
itu, Tio Poan San yang berhati mulia lantas saja merasa tidak
tega. Ia mengendorkan tekanan tenaganya dan berkata
dengan suara halus: 'Seorang laki-laki berani berbuat harus
berani juga menanggung segala akibatnya. Perbuatan jahat
ten-tu akan mendapat pembalasan yang jahat pula. Pikirlah
baik-baik." Untuk kekejamannya, Tan Ie memang harus
dihukum mati, tetapi ia merasa tidak tega untuk
membinasakannya dengan cara Tan Ie sendiri, ketika
mengambil jiwa Lu Hie Hian.
Ia segera menghentikan serangannya dan sesudah
memutarkan badan, sambil menggendong kedua tangannya,
ia mendongak dan berkata: "Mes-kipun tidak mampu
membantu tanah air dan bangsa, seorang yang belajar silat
harus melakukan per-buatan-perbuatan baik dan menolong
sesama manusia. Jika dengan ilmu silat seseorang melakukan
kejahatan, lebih baik dia jangan belajar silat dan hidup miskin
sebagai petani."
Kata-kata itu sebenarnya ditujukan kepada Ouw Hui. Ia
khawatir, bahwa dikemudian hari, hocah itu akan
menyeleweng karena kepandaiannya Jan kecerdasannya.
Selama hidup, belum pernah ia nertemu dengan bocah yang
mempunyai sifat-sifat begitu mulia seperti Ouw Hui dan dalam
hatinya timbul rasa sayang terhadap anak itu. Ia berdiam di
tempat yang sangat jauh dan belum tentu bisa bertemu lagi.
Maka itu, Sesudah memberi petunjuk dalam ilmu silat, ia
mengeluarkan kata-kata itu sebagai bekal Ouw Hui di hari
nanti. Ouw Hui cerdas luar biasa, tentu saja ia dapat menangkap
maksud Poan San. "Orang she Tan!" ia membentak. "Biarpun
tidak dihukum, sesudah melakukan kejahatan, seorang
manusia seharusnya menggorok lehernya sendiri untuk
menebus dosa, agar tidak menodakan nama baik leluhurnya."
Kata-kata itu pun ditujukan kepada Tio Poan San.
Tio Poan San girang sekali, ia melirik si bocah dengan sorot
mata menyayang. Ouw Hui juga melirik, sehingga dua pasang
mata mereka lantas ke-bentrok. Sorot mata Ouw Hui penuh
dengan rasa terima kasih.
Selagi kedua pendekar - seorang tua dan seorang muda -
mengutarakan rasa cinta mereka tanpa bicara, Tan Ie melihat
suatu kesempatan baik. Ketika itu, punggung Tio Poan San
terbuka dan jarak antara Tan Ie dan Poan San belum cukup
dua kaki jauhnya. "Kalau kau tidak mampus, akulahyang
mati," kata Tan Ie di dalam hatinya. Ia segera mengerahkan
seantero tenaga dalamnya ke lengan kanannya dan meninju
punggung Tio Poan San sekeras-kerasnya. Pukulan itu adalah
pukulan ne-kat. Tan Ie mengerti, jika Tio Poan San tidak
binasa karena satu pukulan itu, dialah yang akan mati.
Pada detik yang sungguh-sungguh berbahaya itu,
mendadak saja Tio Poan San membungkuk dengan gerakan
Hay-tee-loo-goat (Didasar laut menjumput bulan) dan tinju
Tan Ie jatuh di tempat kosong! Dengan sekali menggoyangkan
pinggang. Tio Poan San memutarkan badannya dan mendorong
dengan kedua tangannya. Sesaat itu juga, tenaga
tangan Tan Ie sudah tertindih.
Tan Ie lantas saja mengerahkan seantero te-naganya untuk
bertahan. Ketika menyambut do-rongan tangan Tio Poan San,
ia merasakan, bahwa tenaga musuh tidak begitu besar. Tapi
begitu lekas ia menambah tenaga, tekanan musuh lantas saja
bertambah dua kali lipat. Dalam kagetnya, ia mengendorkan
tenaganya dan tenaga Tio Poan San juga lantas berkurang.
Tapi, dengan menggunakan cara apapun, tak bisa ia terlolos
dari "kurungan" kedua tangan Tio Poan San.
Sambil mengingat-ingat Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat
yang barusan diturunkan kepadanya, Ouw Hui
memperhatikanjalannyapertempuran itu. Ia mendapat
kenyataan, bahwa setiap serangan Tan Ie - biar bagaimana
hebat pun - dengan mudah saja dapat dipunahkan, sedang
Tan Ie sendiri tidak bisa menyingkir dari "kurungan". Ia
mengerti, bahwa keadaan itu adalah apa yang dikatakan:
Menarik musuh ke dalam garisan Loan-hoan, tenaga empat
tail dapat melontarkan tenaga seribu kati.
Sesudah memperhatikan beberapa saat lagi, lantas saja ia
berkata sembari tertawa: "Tan Ie Loo-heng, kau sekarang
sudah masuk ke dalam garisan Loan-hoan. Kurasa, hari ini kau
bakal pu-lang ke dunia baka!"
Tan Ie yang sedang memusatkan seluruh per-hatiannya
kepada pertempuran itu, seolah-olah tidak mendengar
perkataan Ouw Hui. Sesudah lewat satu dua jurus, Tan Ie
membuat kesalahan dalam gerakannya.
"Tio Pehpeh, dadanya terbuka, kenapa tidak dihantam!"
seru Ouw Hui. "Benar," jawab Poan San sembari tertawa dan lantas
mengirimkan pukulan ke dada Tan le.
Buru-buru Tan le berkelit.
"Hajar pundak kanannya!" teriak Ouw Hui.
"Baik!" kata Poan San sembari menghantam pundak kanan
Tan le. Tan le miringkan pundaknya dan menyampok dengan
tangannya. "Sekarang bagaimana?" tanya Poan San.
"Tendang pinggangnya!" seru Ouw Hui.
Benar-benar Poan San menendang pinggang lawan.
Demikianlah, Poan San melancarkan serangan-serangannya
menurut komando si bocah.
"Saudara kecil, komandomu benar-benar te-pat!" puji Poan
San. Mendadak Ouw Hui berteriak. "Hantam punggungnya!"
Pada saat itu, kedua belah pihak justru sedang berhadaphadapan.
Poan San kaget. "Ah, kali ini dia salah," pikirnya.
"Aku sedang berhadapan dengan musuh bagaimana bisa
memukul punggung-nya?" Ia bersangsi, tapi segera juga
mendusin. "Ah, anak nakal! Agaknya dia mau mencoba aku
dengan suatu teka-teki sulit," katanya di dalam hati.
Ia miringkan badannya dan menyabet dengan tangan
kanannya. Tan le juga mencenderungkan badan untuk
menyambutnya. Begitu musuh ber-gerak, Poan San
mendorong dengan tangan kirinya, sehingga tubuh musuh
lebih miring beberapa derajat dan punggungnya terbuka.
Tanpa menyia-nyiakan waktu, bagaikan kilat Poan San
menepuk punggung Tan le. Untung juga, ia tidak menggunakan
banyak tenaga. Sedikit saja ia menambah tenaganya,
Tan le tentu sudah binasa. Dalam ka-getnya, Tan le
memutarkan badannya dan mukanya menjadi pucat seperti
kertas. "Benar tidak?" tanya Poan San sembari ber-paling ke arah
Ouw Hui. Si bocah bertepuk tangan dan berteriak: "Ba-gus! Sungguh
indah!" Sesudah terlolos dari lubangjarum, jantungTan le memukul
keras. Tapi sebagai seorang ahli, ia segera dapat melihat,


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa diwaktu bicara dengan Ouw Hui, bagian bawah Tio
Poan San agak terbuka. "Biarlah aku melakukan dua serangan
mati-matian dan kemudian melarikan diri," pikirnya.
Memikir begitu, ia lantas menendang dengan gerakan
Coan-sin-teng-kak (Menendang sambil memutar badan). Poan
San miringkan badannya dan mundur setindak. Tan le
membentak dan mengirimkan pukulan Chiu-hui-pipee ke arah
pundak kiri Tio Poan San. Kedua serangan itu dilanjutkan
susul menyusul dan hebatnya luar biasa. Tujuan Tan le bukan
untuk melukai Poan San, tapi untuk men-desak musuhnya
mundur lagi setindak, agar ia bisa kabur. Ia merasa, bahwa
dengan usianya yang lebih muda, ia bisa lari lebih cepat
daripada musuhnya yang berbadan gemuk.
Tapi, begitu dirinya ditendang, Poan San sudah menduga
maksud musuh. Maka, ketika diserang Jcngan pukulan Chiuhui-
pipee, sebaliknya dari mundur, ia maju setindak dan
menyerang, juga dengan pukulan Chiu-hui-pipee. Itulah
kekerasan melawan kekerasan.
Dalam Thay-kek-bun adu tenaga seperti itu sangat tidak
disuka, karena pihak yang kalah tenaga tentu akan rubuh.
Tapi, diluar dugaan, dengan sekali membalikkan tangan,
tangan kiri Tan le sudah mencengkeram pergelangan tangan
kanan Tio Poan San dan sekali ia menggentak, tubuh Poan
San terangkat naik.
"Celaka!" seru Sun Kong Hong dan Lu Siauw Moay.
Sedang tubuhnya masih di tengah udara, Poan San berkata
di dalam hatinya: "Tak heran, jika Thay-kek cabang Utara
semakin lama jadi semakin meluas. Sun Kong Hong adalah
Ciangbun (Pe-mimpin) suatu cabang persilatan, tapi
pengetahuan-nya masih belum dapat menandingi
pengetahuan bocah cilik."
Bukan main girangnya Tan le. Bermimpi pun ia tak pernah,
bahwa ia akan berhasil mengangkat tubuh Tio Poan San.
Tapi... dilain detik, begitu dibalikkan dengan suatu gerakan
kilat tangan Tio Poan Sanlah yang berbalik mencengkeram
pergelangan tangan Tan le!
Tan le terkesiap dan memukul dengan tangan kanannya.
Dari atas, Poan San memapaki dengan tangan kirinya dan,
setelah beradu, kedua tangan itu lantas melekat, satu pada
yang lain, seperti dilem.
Umumnya, seorang yang tubuhnya berada di tengah udara
tidak dapat mengerahkan tenaga begitu besar, seperti orang
yang menginjak bumi. Tapi Poan San adalah seorang yang
mengenal diri sendiri dan mengenal pula keadaan musuhnya.
Ia sudah menghitung masak-masak, bahwa tenaga dalamnya
banyak lebih unggul daripada Tan le. Itulah sebabnya, kenapa
ia berani menghadapi bahaya. Tujuannya yang terutama
adalah untuk memper-lihatkan dan memberi petunjuk kepada
Ouw Hui tentang ilmu silat kelas utama.
Demikianlah, tangan kiri Poan San melekat pada tangan
kanan Tan le, sedang tangan kanannya menempel di tangan
kiri musuh. Dengan meng-gunakan rupa-rupa cara, Tan le
coba melontarkan musuhnya, tapi mana ia bisa berhasil"
Berat badan Tio Poan San yang gemuk, hampir dua ratus
kati dan berat badan itu menekan kedua lengan Tan le.
Bermula, Tan le tidak begitu berat merasakannya, tapi
semakin lama tekanan itu jadi semakin berat. Dengan tubuh di
tengah udara, kedua kaki Poan San jadi merdeka dan kedua
kaki itu kadang-kadang menendang muka Tan le.
Lewat beberapa saat lagi, keringat Tan le mulai mengucur.
Mendadak ia maju beberapa tindak, ke arah sebuah tiang. Ia
mengerahkan seantero te-naganya dan membenturkan badan
musuh ke tiang itu. Tapi Poan San bukan anak kemarin dulu.
Ia melonjorkan kaki kanannya dan menekan tiang tersebut.
Selagi seluruh tubuhnya berada di tengah udara, Poan San
hanya dapat menindih Tan le dengan berat badannya. Tapi
sekarang, dengan sebelah kaki menekan tiang, tindihannya
lantas saja bertambah berlipat ganda. Sesaat itu juga, Tan le
merasakan seolah-olah gunung Thaysan menindih-nya,
sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan suara krotokan.
"Celaka!" ia berseru, sembari menyingkir dari tiang itu.
Keringatnya mengucur terus, sehingga pakaian-nya
menjadi basah kuyup.
Melihat betapa lihaynya Tio Poan San, Ouw Hui girang
berbareng kagum. Sementara itu, keringatnya terus
mengucur, sehingga lantai di ba-wahnya menjadi basah.
Berkeringatnya Tan Ie, dianggap Ouw Hui sebagai kejadian
biasa saja, yaitu karena kecapaian. Tapi Ma Heng Kong, Ong
Kiam Eng dan beberapa ahli lainnya mengetahui, bahwa setiap
tetes ke-ringat yang keluar itu berarti musnahnya sebagian
kepandaian orang she Tan itu. Begitu lekas ke-ringatannya
habis, bagaikan pelita yang kehabisan minyak, dia akan
binasa. Tan Ie sendiri, tentu saja tahu nasib apa yang sedang
dihadapinya. Ia merasakan seluruh badan-nya lemas dan
dadanya seakan-akan kosong melompong. Sesaat itu, disaat ia
hampir menebus dosa, di depan matanya terbayang
penderitaan Lu Hie Hian yang telah dibinasakannya dengan
ilmu silat In-chiu juga. Yang disaat itu dirasakannya, ketakutannya
dan penderitaannya, tentu juga telah
dirasakanoleh Lu Hie Hian. Itulahyangdinamakan: Hutangjiwa
membayar jiwa. Mengetahui bahwa jiwanya tak akan bisa di-tolong lagi,
habislah sudah seantero keberaniannya. Tiba-tiba saja ia
menekuk kedua lututnya seraya berkata, dengan suara
gemetar: "Tio Samya... am-punilah aku!"
Begitu lawannya menyerah, Tio Poan San melompat dan
berdiri tegak di atas lantai. "Manusia semacam kau tak ada
gunanya dibiarkan hidup lebih lama lagi," katanya sembari
mengulurkan tangan kanannya untuk menepuk kepala Tan Ie.
Tapi, sebelum tangannya menghantam, ia melihat paras muka
Tan Ie yang pucat pias disebabkan ketakutan.
Sebagaimana diketahui, Tio Poan San adalah seorang yang
berhati mulia. Semenjak berkelana di ka-langan Kang-ouw, ia
selalu memusuhi manusia-manusiajahat. Akan tetapi, jika
orang itu sadar akan kekeliruannya dan memohon ampun,
kebanyakan ia melepaskan orang itu sesudah diberi nasehat.
Demikianlah, melihat paras muka Tan Ie, di dalam hatinya
segera timbul rasa kasihannya. Kepandaian orang she Tan itu
sudah musnah seanteronya, tak beda dengan seorang
bereacad. An-daikata dia tak dapat mengubah hatinya yang
buruk, tapi tanpa ilmu silat, ia tak akan dapat mencela-kakan
manusia lain. Mengingat itu, tangannya ber-henti di tengah
udara. Ia menengok kepada Sun Kong Hong seraya berkata: "Sunheng,
ilmu silatnya sudah musnah sama sekali. Kau boleh
menghukum sesukamu, siauwtee hanya mempunyai satu
permintaan, yaitu: Biarlah dia hidup terus."
Tanpa menyahut, Sun Kong Hong mengawasi Tio Poan San
dan kemudian mengawasi juga Tan Ie. Ia bersangsi, tak tahu
hams berbuat bagaimana. Ketika ia menengok kepada Lu
Siauw Moay, ia melihat sepasang mata anak itu berapi-api dan
tengah mengawasi Tan Ie dengan penuh kebencian.
Mendadak Sun Kong Hong membuang diri di atas lantai dan
berlutut di hadapan Poan San. "Tio Samya," katanya. "Hari ini
kau sudah membereskan rumah tangga Thay-kek-bun cabang
Utara. Budi itu tak akan dilupakan olehku selama-lamanya."
Sem-bari berkata begitu, ia manggutkan kepalanya ber-ulangulang.
Buru-buru Tio Poan San turut berlutut untuk membalas
penghormatan yang sangat besar itu. "Sun-heng," katanya.
"Jangan kau memakai terlalu banyak peradatan. Menghunus
senjata untuk mem-bereskan keganjilan, adalah tugas orangorang
sebangsa kita. Apa pula kau adalah sesama anggota
separtai. Maka itu, tak usah Sun-heng mengucap-kan terima
kasih." Sun Kong Hong berbangkit, mulutnya meng-gigit sebilah
pisau tajam. Tio Poan San lantas turut bangun. Ia terkejut melihat pisau
itu. Pisau itu adalah pisau Tan Ie yang telah di-gunakan untuk
mengancam Lu Siauw Moay. Di-waktu turun tangan, Ouw Hui
merebut pisau itu yang kemudian dilemparkannya di atas
lantai. Ka-rena munculnya beberapa kejadian yang susul
menyusul dengan cepat tadi, ia tak sempat mengambil pulang
senjatanya itu.
Sebagaimana diketahui, Sun Kong Hong tidak mempunyai
tangan dan ia menggigit pisau itu di. waktu manggutkan
kepala di atas lantai. Sekarang ia menghampiri Lu Siauw Moay
dan menyodorkan senjata tajam itu kepada si nona. Siauw
Moay yang tak mengerti maksudnya, lantas saja mengulurkan
tangannya dan mengambil pisau itu dari mulutnya.
"Tio Samya," kata Sun Kong Hong. "Apa juga yang
dikatakan olehmu, tak berani aku memban-tahnya. Tapi, ayah
Lu Siauw Moay telah dibinasa- kan oleh bangsat itu, adiknya
juga dibunuh tangan manusia jahat itu. Menurut pendapatku,
di dalam dunia ini, dia adalah orang satu-satunya yang dapat
memutuskan: Apakah orang she Tan itu boleh diberi ampun
atau tidak. Tio Samya, bagaimana pendapatmu?"
Poan San menghela napas panjang, ia meng-angguk
beberapa kali. Sesudah mendapat persetujuan itu, Sun Kong Hong segera
berkata pula dengan suara keras: "Siauw Moay! Jika kau mau
membalas sakit hati, kalau kau berani, bunuhlah dia! Kalau
kau takut, lepaskan padanya!"
Semua mata dengan serentak mengawasi si nona cilik.
Sekujur badan Siauw Moay bergemetar, tapi di dalam
hatinya tak terdapat kesangsian apapun juga. Dengan nekat,
ia menghampiri musuh besarnya. Karena Tan Ie bertubuh
tinggi besar, tak dapat ia menikam dada manusia itu. Ia
mengangkat pisau itu dan menikam kempungan orang.
Melihat sambaran senjata itu, sembari menge-luarkan
teriakan ketakutan, Tan Ie memutarkan badan dan terus
kabur dengan tindakan sempo-yongan. Begitu tikamannya
jatuh di tempat kosong dan musuhnya melarikan diri, si nona
lantas saja mengejar.
Tan Ie lari ke arah pintu. Tiba-tiba, ia ber-hadapan dengan
pintu tertutup! Buru-buru, dengan kedua tangannya, ia
mendorong pintu itu. Tapi... begitu tangannya menempel pada
daun pintu, begitu juga terdengar suara "ceesss"! dibarengi
dengan keluarnya asap putih dan... kedua tangannya terus
melekat pada pintu itu! Ternyata, pintu tersbut panas
bagaikan api! dalam kagetnya, sekuat te-naganya ia coba
menarik pulang sepasang tangan-nya itu. Tapi, karena sudah
tak bertenaga sedi-kitpun, ia jadi sempoyongan dan...
badannya jatuh, melekat pada pintu! Sekali ia berteriak
perlahan dan selanjutnya ia terus diam.
Itulah kejadian yang tak diduga-duga. Semua orang jadi
kesima, mereka mengawasi dengan mulut ternganga. Asap
putih mengepul dari badan Tan Ie dan hidung mereka
mengendus bau daging dibakar! Pintu itu ternyata adalah
pintu besi, entah siapa yang membakarnya dari luar.
Sesudah mengetahui apa yang terjadi, rasa ka-get mereka
lantas saja bertambahkan rasa ketakut-an.
"Teehu!" teriak Ong Kiam Eng. "Apakah akhir-nya ini?"
Tapi Siang Loo-tay tidak menjawab dan, ketika Kiam Eng
menengok, ia tidak mendapatkan Siang Loo-tay di antara
mereka lagi. Bukan saja Siang Loo-tay dan puteranya, tapi
semua pelayan juga sudah tak kelihatan mata hidungnya. Ong
Kiam Eng segera berlari-lari ke ruangan dalam. Ia menjadi
lebih kaget karena pintu ruangan daiam juga sudah ditutup.
Pintu itu yang di tengah-tengahnya dihiasi dengan lukisan Patkwa,
hitam warnanya, seperti warna besi.
Sesudah melihat contoh Tan Ie, tak berani Kiam Eng
sembarangan mendorong pintu itu. Ia maju beberapa tindak
lagi dan mendadak ia merasa-kan hawa yang sangat panas.
Pintu itu juga sudah dibakar dari luar!
"Teehu!" ia berteriak. "Jangan main gila! Lekas keluar!"
Suara Kiam Eng keras dan kedengarannya lebih keras lagi,
karena kumandangnya. Tanpa merasa, semua orang
mendongak. Sekarang, baru mereka tahu, bahwa ruangan itu
tidak berjendela. Sesudah pintu depan dan pintu belakang
ditutup, hawa udara tidak mengalir lagi dan biarpun seekor
lalat, tak nanti bisa terbang keluar!
Semua orang saling memandang dengan mata
mencerminkan ketakutan hebat.
Ternyata, di waktu membuat ruangan itu, Siang Kiam Beng
mempunyai maksud tertentu. Ruangan itu tidak berjendela,
pintunya pintu besi dan tem-boknya tebal luar biasa. Ma Heng
Kong mengangkat sebuah bangku panjang dan sembari
mengerahkan tenaga dalamnya, ia menghantam dinding
sekuat tenaganya. Bangku itu patah dua, kapur tembok rontok
dan ternyata tembok itu terbuat dari batu-batu gunung.
Semua orang bingung bukan main. Kiam Eng dan Kiam Kiat
tiada hentinya berteriak-teriak memanggil Siang Loo-tay, tapi
tak mendapat jawaban apa pun juga. Semua orang mengasah
otak untuk mencari jalan keluar, tapi mereka tak tahu harus
berbuat bagaimana.
Pada waktu itu, sembilan orang berada dalam ruangan
tersebut, yaitu Tio Poan San, Ouw Hui, Sun Kong Hong, Lu
Siauw Moay, kedua saudara Ong, Ma Heng Kong, Cie Ceng
dan In Tiong Shiang. Selain mereka, terdapat mayat Tan Ie.
Kecuali Lu Siauw Moay, mereka semua adalah ahli-ahli. Tapi,
bagaimana tinggi pun kepandaian mereka, pada saat itu
kepandaian itu tak berguna. Mereka hanya dapat saling
memandang, tanpa mengetahui harus ber-buat bagaimana.
Tiba-tiba, dari sebelah luar terdengar suatu suara
menyeramkan yang masuk dari lubang di bawah. Suara itu
adalah suara Siang Loo-tay. "Hei! Orang-orang gagah!" ia
berteriak. "Hari ini kamu jangan bermimpi bisa meloloskan diri
dari Siang-kee-po. Ruangan besi ini dibuat oleh mendiang
suamiku, Siang Kiam Beng. Walaupun sudah lama meninggal
dunia, ia masih bisa membinasakan kamu semua. Apakah
sekarang kamu menyerah kalah?" Sehabis berkata begitu, ia
tertawa terbahak-bahak.
Semua orang bergidik, bulu roma mereka ba-ngun semua.
Mereka mendapat kenyataan, bahwa suara Siang Loo-tay
masuk dari lubang anjing, di kaki tembok.
Ong Kiam Eng berlutut dan melongok keluar lewat lubang
itu. "Teehu!" ia berseru. "Kami berdua saudara dengan Kiam
Beng Sutee adalah saudara seperguruan. Kita tidak


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai ganjalan apa pun juga. Tapi kenapa kau juga
mengurung kami di dalam ruangan ini?"
Siang Loo-tay kembali tertawa berkakakan. Di luar lapatlapat
terdengar merotoknya kayu kering yang sedang dibakar.
"Suamiku Kiam Beng sudah dibunuh oleh bang-sat Ouw It
To," Siang Loo-tay berseru pula. "Jika kamu benar-benar
saudara seperguruannya, siang-siang kamu harus berusaha
membalaskan sakit hati-nya. Tapi, malam ini bertemu anak
musuh itu, kamu hanya berpeluk tangan karena takut
terhadap orang luar. Guna apa manusia yang tak berbudi
seperti kamu, hidup lama-lama di dunia?"
Gusar dan bingung, Ong Kiam Eng menumbuk-numbuk
lantai. Selagi ia mau membuka suara, dari lubang anjing itu,
mendadak kelihatan sebatang anak panah menyambar musuh.
Untung juga Ong Kiam Kiat keburu menendang pergi panah
itu, sehingga Kiam Eng terluput dari bahaya.
Sedari pedangnya dipatahkan Tio Poan San, In Tiong
Shiang tak mengucapkan sepatah kata. Ia mengeluh, hatinya
penasaran, bahwa ia harus turut membuang jiwa, sedang ia
sendiri sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan urusan
itu. "Siapa yang mau dicelakakan oleh Siang Kiam Beng dalam
ruangan ini?" tanyanya.
"Sedari masih belajar ilmu silat kepada mendiang ayahku,
manusia itu memang bukan orang baik," kata Kiam Eng
dengan suara gusar. "Hanya orang yang berhati busuk, akan
mau membuat ruangan seperti ini."
"Siang Kiam Beng tentunya membuang ruangan ini untuk
mencelakakan ayahku karena ia merasa tak ungkulan
melawan ayahku," kata Ouw Hui di dalam hatinya. "Tak
tahunya, ia toh mampus juga dalam tangan ayahku." Hatinya
memikir begitu, tapi ia tidak berkata suatu apa.
Apa yang dipikir Ouw Hui, hanya benar sebagian. Siang
Kiam Beng sama sekali tidak mengenal Ouw It To. Ia
mempunyai permusuhan besar dengan Biauw Jin Hong dan ia
pun mengetahui, bahwa Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu
adalah seorang yang berkepandaian sangat tinggi. Ia merasa,
bahwa suatu waktu Biauw Jin Hong tentu akan mencari ia.
Dengan mempunyai ruangan itu, kalau kalah dalam
pertandingan, ia berniat akan memancing Biauw Jin Hong ke
dalam ruangan tersebut untuk dianiaya. Tapi siapa sangka,
yang mencari ia adalah Ouw It To. Siang Kiam Beng yang
sangat sombong, sedikit pun tak memandang pendekar
Liaotong itu. Tapi dalam pertempuran, sebelum sempat
menggunakan ruangan besinya, ia sudah dibinasakan di
bawah golok Ouw It To.
Sakit hati itu belum pernah dilupakan oleh nyonya Siang. Di
luar dugaan, Ouw It To sudah meninggal dunia, sedang anak
musuh itu juga mempunyai kepandaian yang luar biasa
tingginya. Dalam jengkelnya, selagi semua orang
memperhatikan pertempuran antara Tio Poan San dan Tan Ie,
diam-diam ia keluar bersama puteranya dan orang-orang-nya.
Ia segera menutup kedua pintu besi itu dan memerintahkan
orang-orangnya membakar ruangan tersebut.
Bagaikan kawanan harimau dalam kerangkeng, orangorang
itu jalan mundar-mandir di dalam ruangan. Untung juga
ruangan itu sangat luas, sehingga biarpun dua-dua pintu besi
itu sudah ter-bakar merah, masih dapat mereka
mempertahankan diri.
"Saudara-saudara," kata Tio Poan San. "Tak bisa kita
mandah mati dengan berpeluk tangan. Marilah kita beramairamai
menggali terowongan."
"Bagaimana bisa?" kata In Tiong sembari mengerutkan
alisnya. "Tak ada cangkul, tak ada sekop."
Cie Ceng yang sedang kebingungan memikir-kan jiwa dan
keselamatan tunangannya, lantas saja berteriak: "Tio Samya,
benar katamu! Lebih baik mencoba daripada menerima mati
secara konyol." Ia menghunus goloknya dan mengorek ubin.
Mendadak, hawa panas menghembus ke atas, sehingga ia
buru-buru loncat menyingkir. Dengan goloknya, ia memukul
ke tempat keluarnya hawa panas itu. "Tang!" suara logam
beradu. Semua orang menjadi heran sekali.
"Apakah di bawah ubin ini terdapat lapisan besi?" tanya
Ong Kiam Eng. Sehabis berkata begitu, dengan Pat-kwa-tonya ia mengorek
beberapa ubin yang terbuat dari batu hijau.
Dugaan Ong Kiam Eng tidak meleset, di bawah ubin
terdapat lapisan besi. Dengan demikian, usah dicoba lagi. Apa
yang membikin semua orang menjadi lebih kaget adalah
menghebatnya hawa panas yang keluar dari lantai besi.
"Bangsat!" teriak Cie Ceng. "Di bawah lantai juga dibakar!
Ruangan ini seperti sebuah kuali raksasa."
"Benar," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Bang-sat tua itu
mau memanggang kita sembilan orang untuk digegares."
Ong Kiam Eng kembali berlutut di depan lu-bang anjing tadi
dan berteriak: "Teehu! Lepas-kanlah kami. Kami dua saudara
akan membantu kau mengambil jiwa anak capeay itu."
Mendengar itu, Ouw Hui segera mendupak pantat Ong
Kiam Eng. Baik juga Tio Poan San keburu membentot
tangannya, sehingga dupakan itu jatuh di tempat kosong.
"Sekarang kita harus bersatu padu, tak boleh bertengkar
dengan kawan sendiri," Poan San berbisik.
"Jiwa si anak capeay sudah berada dalam ta-nganku, tak
perlu kau berlagak baik hati," kata Siang Loo-tay. "Lagi
setengah jam, kamu semua akan menjadi arang! Ha-ha! Anak
capeay! Bangsat tua she Ma! Nikmatilah sejuknya hawa!"
Ma Heng Kong tidak menjawab. Sesudah ter-tawa
terbahak-bahak, Siang Loo-tay berteriak pula: "Hei, tua
bangka she Ma! Anakmu akan diurus olehku. Jangan khawatir.
Aku bisa menolong men-carikan seribu atau selaksa menantu
yang baik!"
Hati Ma Heng Kong seperti diiris-iris. la sudah berusia
lanjut, jiwanya sendiri, ia tak pikirkan. Tapi ia hanya
mempunyai seorang puteri dan jika anak itu sampai disiksa
oleh Siang Loo-tay, benar-benar ia penasaran.
Sementara itu, Ong Kiam Eng mendekati adik-nya dan
bicara bisik-bisik, sedang Kiam Kiat meng-angguk beberapa
kali. Sesudah itu, Kiam Eng meng-hampiri Tio Poan San dan
berkata sembari menyoja: Tio Samya, dalam saat sama-sama
menderita, aku mohon mengeluarkan kata-kata yang mungkin
ku-rang enak didengarnya."
Poan San menarik tangan Ouw Hui dan berkata: "Segala
apa, kecuali satu, aku bersedia menurut perkataan Ong
Toako. Jika kau ingin men-celakakan saudara kecil ini, aku
menentang."
Begitu melihat kedua saudara Ong berkasak-kusuk, Poan
San sudah menduga, bahwa mereka berniat membinasakan
Ouw Hui untuk menolong iwa mereka sendiri.
Paras muka Ong Kiam Eng lantas saja berubah
rnenyeramkan. "Tio Samya!" ia membentak. "Musuh Siang
Loo-tay hanya seorang, yaitu bocah she Ouw ini. Siapa
berhutang harus membayar. Tak adil jika kita semua harus
turut mampus, gara-gara seorang anak kecil." la berpaling
kepada semua orang dan berteriak: "Bagaimana pikiran
sekalian saudara-saudara?"
"Kecuali bocah itu, kita semua tidak ada sang-kut pautnya
dengan urusan ini," jawab In Tiong Shiang.
"Ma Loopiauwtauw, bagaimana pendapatmu?" tanya Kiam
Eng. Antara Ma Heng Kong dan Siang Loo-tay ter-dapat ganjalan
hati, sehingga belum tentu nyonya itu suka melepaskan dia
dan muridnya. Akan tetapi, dalam keadaan mendesak, yang
terutama adalah coba meloloskan diri dari ruangan itu. Jika
orang mau mengorbankan Ouw Hui, sedikit pun ia tidak
merasa berkeberatan. Maka itu lantas saja ia menyahut:
"Benar. Dengan orang lain, urusan ini tak ada sangkut
pautnya." "Sun Toako, bagaimana pikiranmu?" tanya Ong Kiam Eng.
"Orang she Tan itu sudah binasa, sakit hatimu dan Lu Siauw
Moay sudah terbalas impas.
Sun Kong Hong menganggap perkataan itu sangat
beralasan, tapi ia merasa tidak enak terhadap Tio Poan San
yang sudah membuang budi besar terhadapnya. Maka itu, ia
segera coba membujuk: "Tio Samya, bukan aku tidak
mengenal pribudi. Tapi...."
"Tutup mulut!" bentak Poan San dengan gusar sekali.
"Kamu berenam, kami berdua. Lihat saja! Apa kami si orang
she Tio dan orang she Ouw yang mati lebih dulu, atau kamu
enam orang yang lebih dulu mampus!" Sembari berkata
begitu, ia mengha-dang di depan Ouw Hui, paras mukanya
angker, siap sedia untuk bertempur.
Ong-sie Heng-tee tidak berani lantas mener-jang. Mereka
merasa jeri terhadap Cian-chiu Jielay yang berkepandaian
tinggi dan mereka juga merasa malu terhadap diri sendiri
karena sudah memper-lihatkan sikap seorang rendah. Tapi,
dalam saat-saat berbahaya itu, manusia sukar menutup sifatsifatnya
yang asli. Semakin lama, lantai menjadi semakin panas, sehingga
semua orang tidak dapat menginjak lantai itu lagi. Mereka
berdiri di atas bangku atau kursi.
Tiba-tiba, Ong Kiam Kiat mengebaskan Pat-kwa-tonya
sambil berseru: "Tio Samya! Hari ini aku terpaksa harus
membentur kau!" Ia mengulapkan tangan kirinya ke arah In
Tiong Shiang, Ma Heng Kong dan Cie Ceng sembari berseru:
"Hayolah!" Ia yakin, bahwa Sun Kong Hong tidak membantu
pihaknya, tapi ia merasa, bahwa dengan berlima, pihaknya
sudah cukup kuat untuk merubuhkan Tio Poan San dan Ouw
Hui. Jantung Ouw Hui yang kecil memukul keras. "Ah! Karena
gara-garaku beberapa orang akan menjadi korban," pikirnya.
"Mampusnya Ong-sie Heng-tee dan yang Iain-lain tak usah
dibuat sayang. Tapi Tio Samya adalah ksatria sejati.
Bagaimana aku bisa membiarkan dia mati konyol. Andaikata
Tio Samya dan aku dapat membinasakan mereka semua,
akhirnya kita berdua toh akan binasa juga. Benar juga. Hanya
jika aku sudah binasa dalam tangan Siang Loo-tay, baru jiwa
Tio Samya bisa tertolong."
Sesaat itu, suasana sudah tegang bukan main. Kedua belah
pihak belum bergebrak karena masing-masing sungkan turun
tangan lebih dulu.
Sesudah mengambil keputusan, Ouw Hui segera berteriak:
"Jangan bertempur!" Ia meloncat ke lubang anjing itu,
berlutut dan menyesapkan ke-palanya ke dalam lubang.
"Siang Loo-tay!" ia berteriak. "Hayo hantam aku dengan piauw
dan ke-mudian lepaskan Tio Samya!"
Siang Loo-tay mendongak dan tertawa ber-gelak-gelak.
"Kiam Beng! Kiam Beng! Hari ini dengan tangan sendiri aku
membalas sakit hatimu!" ia berseru sembari mengayun
tangannya dan melepas-kan sebatang Kimpiauw ke arah
lubang anjing itu. Ouw Hui meramkan kedua matanya.
Hatinya rela dan puas! Dengan perbuatannya itu, ia dapat
menolong jiwa Tio Samya.
Tapi... pada detik yang sangat berbahaya itu, mendadak
saja Ouw Hui merasakan kakinya dibetot keras dan badannya
menggelantung di tengah udara, akan kemudian diturunkan
pula dengan perlahan. Ternyata, yang merebut kembali
jiwanya adalah Tio Poan San sendiri yang sebelah tangannya
sudah mencekal sebatang Kimpiauw.
Bukan main gusarnya Ong Kiam Eng. "Orang she Tio!" ia
membentak. "Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan kau.
Dia sendiri rela binasa, kenapa masih saja kau mencampuri
urusan mereka?"
Tio Poan San bersenyum, tetapi tidak menya-hut. Ia
berpaling kepada Ouw Hui dan menanya: "Saudara kecil,
bukankah tadi kepalamu sudah bisa keluar lubang?"
"Benar," jawabnya. Melihat ketenangan dan paras girang
yang terlukis di muka Tio Poan San, Ouw Hui merasa orang
gagah itu sudah mempunyai daya yang baik. "Tio Pehpeh,"
katanya. "Perintah apa yang kau hendak berikan kepadaku?"
"Kepala adalah keras, tak dapat diperkecil," kata Tio Poan
San. "Pundak dan badan adalah lembek."
Ouw Hui yang cerdas lantas saja dapat menangkap maksud
Tio Poan San. "Benar!" ia ber-teriak. "Kepala sudah bisa
keluar, badan pun mesti bisa." Ia membuka baju kapasnya
dan menggulung baju itu yang kemudian diikatkan di atas
kepalanya untuk menjaga serangan Siang Loo-tay.
"Mundur dulu," kata Poan San. "Biar aku membuka jalan."
"Mana bisa?" kata Cie Ceng. "Badanmu begitu gemuk,
mana bisa kau molos ke luar?"
Tio Poan San tak menggubris orang tolol itu, ia hanya
tertawa geli. Sembari membungkuk, ia mengayun tangannya
dan sebatang panah tanah menyambar keluar lubang. "Aduh!
Kakiku!" teriak seorang pegawai Siang-kee-po. Agaknya,
kakinya kena dilanggar panah itu. Poan San mengayun tangan
kirinya dan Kimpiauw Siang Loo-tay melesat keluar.
Sekali ini tak terdengar teriakan, mungkin sekali semua
orang sudah menyingkir dari muka mulut lubang.
"Tutup saja mulut lubang!" seru seorang.
"Tidak!" bentak Siang Loo-tay. "Aku mau men-dengarkan
teriakan-teriakan mereka sebelum mam-pus. Kamu minggir
saja. Senjata tak bisa mem-belok."
Tio Poan San mengayun kedua tangannya ber-turut-turut
dan belasan senjata rahasia menyambar-nyambar keluar
lubang. Sesudah melepaskan ku-rang lebih dua puluh senjata
rahasia, Poan San mendorong Ouw Hui yang lantas saja
berlutut di mulut lubang dan mendorong keluar baju kapasnya
yang sudah digulung.
Di bawah sinar api, begitu melihat munculnya sebuah
benda hitam, Siang Loo-tay segera mem-bacok dengan Patkwa-
tonya. Tapi yang dibacoknya adalah benda empuk. Ia
kaget dan menarik pulang goloknya. Tapi Ouw Hui sudah
mendahuluinya. Tangan kanannya menyambar dan
mencengkeram pergelangan tangan Siang Loo-tay dan
berbareng dengan itu, kepalanya sudah molos ke luar dari
lubang. Siang Loo-tay menjerit. Siang Po Cin memburu dan
membacok! Pada detik itu, pundak Ouw Hui sudah molos
keluar, tapi karena sempitnya lubang itu, tangan kiri dan
dadanya masih terjepit. Sungguh besar nyali putera Liaotong
Tayhiap Ouw It To. Dalam detik berbahaya itu, ia tak menjadi
bingung. Sambil mengerahkan tenaga dalamnya, ia


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendorong tangan Siang Loo-tay yang dicekalnya. "Trang!"
Golok ibu dan anak itu beradu. Itulah ilmu "Meminjam tenaga
melawan tenaga" yang ia baru saja dapat dari Tio Poan San.
Sebagai orang yang cerdas luar biasa, begitu mendapat, ia
lantas bisa meng-gunakannya di dalam praktek.
Mendengar bunyi bentrokan senjata itu dan melihat Ouw
Hui belum bisa molos ke luar, Poan San segera mengerahkan
tenaga "lembek"nya dan mendorong lutut bocah itu. Begitu
didorong, badan Ouw Hui lantas saja melesat ke luar, justru,
pada saat bacokan Siang Po Cin yang kedua tengah
menyambar. Siang Po Cin telah menghantam de-ngan
seantero tenaganya, tapi untung, badan Ouw Hui telah lebih
dulu melesat keluar, sehingga golok itu menghantam tembok.
Melihat musuhnya seakan-akan lolos dari lu-bang jarum,
dada Siang Loo-tay seperti mau meledak dan dengan mata
merah melotot, ia menyerang kalang kabutan. Dengan ilmu
Kong-chiu-jip-pek-to (tangan kosong masuk antara ratusan
golok), Ouw Hui membalas menyerang secara tidak kurang
hebatnya. Di lain saat, dengan suatu ben-takan keras, Siang
Po Cin sudah menerjang untuk membantu ibunya.
Ouw Hui bingung bukan main. Ia tahu, bahwa ruangan besi
itu semakin lama jadi semakin panas dan dalam tempo cepat,
jiwa Tio Poan San dan yang Iain-lain akan tidak dapat ditolong
lagi. Ia mengerti, bahwa jiwa delapan orang itu tergantung
kepada kemampuannya merubuhkan Siang Loo-tay dan kawan-
kawan dalam tempo secepat mungkin. Dalam
bingungnya, lantas saja ia menyerang secara nekat-nekatan.
Di lain pihak, Siang Loo-tay dan puteranya juga yakin, bahwa
pertempuran itu adalah pertem-puran untuk menentukan mati
hidup mereka dan oleh sebab itu mereka menyerang secara
mati-matian. Di dalam ruangan, Ong-sie Heng-tee dan yang
Iain-lain menempelkan kuping mereka di ping-gir lubang untuk
mendengarkan jalannya pertempuran. Kedua saudara Ong itu
sangat membenci Ouw Hui, tapi sekarang, harapan mereka
tiada bedanya dengan harapan Tio Poan San, yaitu supaya
Siang Loo-tay dan puteranya lekas dapat dibinasa-kan.
Sementara itu, hawa di dalam ruangan itu juga sudah
semakin panas. Hampir berbareng dengan lumernya semua
lilin, gambar-gambar dan lukisan-lukisan perhiasan tembok
terbakar seanteronya!
"Saudara Ouw!" Kiam Eng mendadak berteriak. "Seranglah
bagian bawah Siang Loo-tay!" Sebagai seorang ahli Pat-kwa-to
yang mempunyai latihan puluhan tahun, dengan mendengar
suara sabetan golok saja, ia sudah mengetahui kelemahan
Siang Loo-tay. Mendengar petunjuk itu, Ouw Hui menjadi girang dan
sembari membungkuk, ia meninju lutut nyonya Siang.
Sebaliknya dari berkelit, Siang Loo-tay bahkan menghantam
punggung Ouw Hui dengan Pat-kwa-tonya. Dalam nekatnya,
ia tak meng-hiraukan lagi pembelaan diri, ia rela binasa bersama-
sama. Ouw Hui mengegos, mengelit bacokan itu, tapi
bacokan kedua sudah menyusul. Mengha-dapi seorang nekat,
untuk sementara si bocah menjadi repot juga.
Perlahan-lahan, walaupun dikerubuti berdua, Ouw Hui
berada di atas angin, tapi merubuhkan kedua lawan itu bukan
pekerjaan gampang.
Sementara itu, dari dalam Ong Kiam Eng tak hentinya
berteriak-teriak untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada
Ouw Hui. Bukan main gusarnya Siang Loo-tay yang
menganggap Ong Kiam Eng mengkhianati orang separtai, tapi
ia tak ingat, bahwa orang she Ong itu sudah terpaksa
membantu Ouw Hui untuk menolong jiwanya sendiri. Dalam
gusarnya, Siang Loo-tay berkata di dalam hatinya:
"Anak capeay ini berkepandaian tinggi dan mungkin akan
sukar untuk aku membunuh dia. Biarlah aku membinasakan
saja manusia-manusia pengkhianat itu untuk memuaskan
sedikit rasa mendeluku." Memikir begitu, lantas saja ia
meneriaki orang-orang-nya untuk menambah bahan bakar
secepat dan sebanyak mungkin.
Di sebelah dalam, delapan orang itu sudah seperti semut
digoreng. In Tiong Shiang mem-banting-banting kaki,
mengatakan Ouw Hui tiada berguna.
"Tio Samya," kata Ong Kiam Eng. "Coba kau membantu
dengan senjata rahasia."
Sedari tadi, Tio Poan San memang sudah meng-genggam
belasan senjata rahasia dalam kedua tangannya. Akan tetapi,
karena mereka bertempur di pinggir lubang, Poan San tak
dapat menggunakan senjata rahasia yang tak bisa terbang
membelok. Selain itu, setiap senjata rahasia yang
dilepaskannya mungkin akan mengenai Ouw Hui, karena
mereka bertiga bertempur dengan rapat. Sebagai anak cerdik,
Ouw Hui pun sudah memikirkan bantuan senjata rahasia.
Beberapa kali ia coba memancing Siang Loo-tay ke tempat
yang berhadapan dengan lubang, tapi nyonya itu, yang juga
takut akan senjata rahasia Tio Poan San, tidak kena dipancing.
Hawa panas semakin menghebat, rambut, ku-mis dan
jenggot sudah mulai menjadi kering! Lu Siauw Moay jatuh
pingsan, sedang Cie Ceng menumbuk-numbuk tembok dengan
kedua tinjunya, seperti orang edan.
"Aha!" Ong Kiam Kiat mendadak berseru, seperti orang
baru mendusin dari tidurnya. "Jika Ouw Hui mempunyai
senjata, Siang Loo-tay lebih mudah dirubuhkan. Kenapa aku
tak ingat sedari tadi?"
Ia membungkuk dan menjumput goloknya yang ia
lemparkan ke lantai. Tapi, begitu mencekal ga-gang, begitu ia
melepaskan lagi sembari berteriak kesakitan. Ternyata, golok
itu panas bukan main. Buru-buru ia merobek ujung baju yang
lalu di-gunakan untuk membungkus gagang golok. "Ouw Hui!"
ia berteriak. "Senjata datang! Sambutlah!" Sembari berteriak,
ia melontarkan Pat-kwa-tonya keluarlubang.
Ouw Hui loncat, disusul oleh Siang Po Cin yang juga ingin
merebutnya. Tiba-tiba, hampir berbareng mereka menjerit dan
dua batang golok serentak jatuh di tanah. Ternyata, golok
yang dilemparkan oleh Ong Kiam Kiat, sudah direbut lebih
dulu oleh Ouw Hui. Tapi, begitu menangkap gagangnya, ia
menjerit dan melepaskannya lagi, karena gagang itu panas
bukan main. Di lain pihak, begitu Siang Po Cin meloncat ke
depan lubang, sebatang piauw yang dilepaskan oleh Tio Poan
San, menancap di per-gelangan tangannya, sehingga dia juga,
sembari menjerit melepaskan goloknya.
Di lain saat, golok Siang Loo-tay sudah meng-ancam
punggung Ouw Hui. Buru-buru Ouw Hui meloncat ke arah
Siang Po Cin dan bagaikan kilat, tangan kanannya menyambar
leher pemuda itu. Siang Po Cin jatuh berlutut. Sembari
mengerahkan tenaga dalamnya, Ouw Hui menekan terus. Jika
ia melawan, tulang lehernya pasti akan patah, maka, mau tak
mau, kepalanya terus menunduk dan ia jadi mencium tanah,
atau lebih benar mencium golok Ong Kiam Kiat. Berbareng
dengan suara "cess!"
Siang Po Cin menjerit keras dan sebagian mukanya yang
cakap sudah menjadi hangus!
Jeritan itu sangat menggirangkan hati semua orang.
Mereka tahu, Siang Po Cin sudah dilukakan. Pada detik itu,
Siang Loo-tay agak ragu-ragu. Mana yang lebih berat:
Membalaskan sakit hati suaminya atau menolong jiwa
anaknya. Jika ia menyerang, puteranya yang sudah
dicengkeram Ouw Hui bisa lantas binasa. Dalam sedetik itu, ia
sudah mengambil keputusan. Tanpa menghiraukan keselamatan
puteranya, ia mengayun Pat-kwa-tonya dan
membacok pundak Ouw Hui.
Tangan Ouw Hui bergerak dan suatu sinar golok berkelebat
"Trang!" dua golok telah beradu keras. Ternyata, golok yang
digunakan Ouw Hui untuk menangkis, adalah golok Siang Po
Cin. Dalam kegelapan dan dalam keadaan setengah mati, suara
bentrokan golok itu memberi harapan kepada orang-orang
yang terkurung di dalam ruang-an itu. Mereka mengetahui,
bahwa Ouw Hui sudah bersenjata dan sudah mulai melakukan
serangan pembalasan.
"Bacok pundak kanannya! Pundak kanan!" te-riak Ong Kiam
Eng. "Bunuh dulu orang-orang yang menambah kayu bakar!"
seru Ma Heng Kong.
"Jangan bertempur terus-terusan!" Sun Kong Hong
mengeluh. "Paling penting cari jalan untuk membuka pintu."
"Aduh! Panas! Pa... nas!" Cie Ceng menjerit.
Demikian mereka berteriak-teriak.
Tentu saja Ouw Hui mengetahui, bahwa tugas nya yang
terpenting adalah membuka pintu. Tapi ia "diikat" erat-erat
oleh Siang Loo-tay yang bertempur mati-matian. Dalam
keadaan yang luar biasa itu, dalam usianya yang masih begitu
muda, ia sukar bisa berkelahi dengan hati tetap. Beberapa
kali, ia mendapat kesempatan baik untuk merubuhkan musuh,
tapi Siang Loo-tay selalu dapat menolong diri dengan
caranya yang nekat.
Sesudah bertempur lagi tujuh delapan jurus, Siang Loo-tay
berkelahi sembari mundur. Semen-tara itu, Siang Po Cin sudah
menerjang pula dengan golok yang diambilnya dari tangan
seorang pe-gawainya.
Melihat sang majikan terdesak mundur dengan rambut
teriap-riap, sembari berteriak-teriak para pegawai Siang-keepo
segera lurut mengepung Ouw Hui. Walaupun mereka tidak
mempunyai ke-pandaian yang tinggi dan dalam sekejap sudah
ada beberapa orang yang mendapat luka, mereka ternyata
bandel sekali dan sungkan mundur. Suara teriakan, suara
beradunya senjata dan suara merotoknya kayu bakar
bereampur aduk menjadi satu.
Mendengar itu, hampir semua orang yang ber-ada di dalam
ruangan besi, jadi putus harapan. Ada yang mencaci, ada
yang menghela napas dan ada juga yang mengucurkan air
mata. Mereka meng-anggap, biar bagaimana gagah pun
adanya, Ouw Hui sebagai anak kecil, ia tak akan dapat
melayani seluruh anggota Siang-kee-po.
"Ouw Hui, dengar!" mendadak terdengar teriakan Tio Poan
San. "Dengan Im-yang-koat, seranglah musuh yang terutama!
Dengan Loan-koan-koat, serang semua pengikutnya!" Di
antara suara ramai, setiap perkataan itu terdengar nyata
sekali. Mendengar petunjuk Tio Poan San, Ouw Hui yang
sedang kepayahan lantas saja terbangun semangatnya. Ia
mengerahkan tenaganya dan mengi-rimkan tiga bacokan
beruntun ke dada Siang Loo-tay. Golok yang digunakan
olehnya adalah golok Siang Po Cin yang sudah menjadi
gompal ketika membacok tadi. Tapi biarpun gompal, jika kena,
Siang Loo-tay pasti akan terjungkal. Melihat sam-baran golok
itu yang sangat hebat, buru-buru Siang Loo-tay menangkis.
Dua kali beruntun, kedua golok mereka kebentrok. Ketika
membacok untuk ketiga kalinya, dari mengerahkan tenaga
"keras", Ouw Hui berbalik menggunakan tenaga "lembek" dan
secara mendadak, pergelangan tangannya membuat tiga
lingkaran. Baru saja ia memutarkan tangannya dua kali, Siang Loo-tay
sudah tak dapat menahan lagi sakit di lengannya dan mau tak
mau, Pat-kwa-tonya terlepas dari tangannya.
Sesudah berhasil dengan Im-yang-koat, Ouw Hui segera
membacok pundak Siang Loo-tay.
Di waktu goloknya tinggal terpisah kira-kira setengah kaki
dari pundak nyonya itu, melihat ram-but Siang Loo-tay yang
sudah putih terurai di pun-daknya, sedang mukanya
berlepotan darah, Ouw Hui jadi merasa tak tega.
"Sungguh kasihan nyonya tua ini," pikirnya. "Bagaimana
aku bisa membinasakannya?" Buru-buru ia membalikkan
tangannya dan hanya meng-hantam dengan belakang golok
itu. Tapi, di luar dugaan, Siang Loo-tay yang sudah tidak
memikir untuk hidup dan ingin mati bersama-sama dengan
musuhnya, ia terus menyeruduk tanpa coba berkelit daripada
bacokan itu. Dengan sebelah tangannya, ia mencengkeram
jalan darah Sin-hong-hiat di dada musuhnya, sedang
tangannya yang sebelah lagi mencengkeram jalan darah
Tiong-cu-hiat di kempungan Ouw Hui.
Si bocah terkesiap, belakang goloknya meng-hantam
pundak Siang Loo-tay yang tulangnya lantas saja hancur.
Nyonya itu mengeluarkan suara "heh!" tapi tanpa
menghiraukan kesakitan hebat itu, ia mencengkeram terus
dan menggait dengan kaki tangannya, sehingga dengan
berbareng, mereka berdua rubuh di atas lantai. Baru sekarang
Ouw Hui tahu, bahwa dalam keadaan nekat seseorang dapat
melakukan perbuatan yang tidak dinyana-nyana. Ia berontak
sekuat tenaganya, sedang Siang Loo-tay menggigit bajunya di
bagian dada. Mereka ber-gulingan ke arah tumpukan api!
"Lepas!" teriak Ouw Hui. "Apa kau mau mam-pus?"
Dalam bingungnya, ia melupakan ilmu Kin-na-chiu-hoat
untuk meloloskan diri. Sesudah ber-gulingan lagi dua tiga kali,
masuklah mereka ke dalam api.
"Ibu!" teriak Siang Po Cin sembari memburu dan
menghantam kepala Ouw Hui dengan gagang golok. Si bocah
menolong diri dengan memiringkan kepala, tapi tak urung
gagang golok itu masih juga mengenai dagunya, sehingga
hampir-hampir ia jadi pingsan. Karena khawatirkan
keselamatan ibunya, dengan cepat Siang Po Cin menyeret
mereka keluar dari tumpukan api, kemudian ia membacok
pung-gung Ouw Hui.
Pada saat yang sangat berbahaya itu, putera Liaotong
Tayhiap Ouw It To tidak kehilangan ke-cerdasan otaknya. la
menendang pergelangan ta-ngan Siang Po Cin. Ketika sesaat
lagi tendangan kedua menyusul, badan Siang Po Cin terpental
lima enam tombak jauhnya, untuk sementara pemuda she
Siang itu tak bisa bangun lagi.
Dengan pakaian menyala dan dagu dirasakan sakit bukan
main, sembari membentak keras, Ouw Hui berontak dan kali
ini, ia berhasil. la bergulingan untuk memadamkan api di
bajunya, sedang Siang Loo-tay sudah rebah dalam keadaan
pingsan. Sementara itu para pegawai Siang-kee-po pada memburu
untuk menolong majikan mereka. Dengan hati mendongkol
atas kegoblokannya sendiri, ia menyerbu. "Ah, sungguh tolol!"
pikirnya. "Dalam pertempuran untuk menentukan mati hidup,
aku masih main kasihan. Bahwa tadi aku tidak sampai
mampus, adalah semata-mata karena masih dilin-duhgi


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuhan." Demikian, tanpa sungkan-sungkan lagi, ia merebut
sebatang golok dan menyerang sehebat-hebatnya. Terjangan
Ouw Hui, seperti juga terjangan seekor harimau kepada
kawanan kam-bing. Dalam sekejap, para pegawai Siang-keepo
sudah kabur tunggang langgang, tanpa ada seorang yang
ketinggalan. Ouw Hui buru-buru memungut sebatang gaitan yang
menggeletak di lantai dan dengan itu, secepat mungkin ia
menyingkirkan potongan-potongan kayu yang berkobar-kobar
di depan pintu.
Di lain saat, ia terkejut bukan main, karena pintu besi itu
sudah berwarna merah. "Celaka," ia mengeluh. "Jika kedua
daun pintu itu melekat menjadi satu, tak dapat aku
membukanya lagi."
Tanpa berpikir lama-lama lagi, ia mengerahkan seantero
tenaganya dan membacok kunci pintu tersebut. Dengan
berbunyi nyaring, kunci itu jatuh di lantai tapi goloknya sudah
menjadi bengkok. Ia melemparkan senjata itu dan dengan
gaitan tadi ia menggait gelang-gelangan pintu itu. Kembali ia
harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk mem-betot. Tapi
kedua daun pintu masih juga tidak bergerak!
Jantung Ouw Hui memukul keras. Sambil memohon kepada
Tuhan Yang Maha Esa, sekali lagi ia mengerahkan tenaga
dalamnya dan membetot dengan seantero tenaganya. "Kree...
kek...."sebelah daun pintu terbuka dengan perlahan...
dibarengi dengan keluarnya asap dan api dari mulut pintu!
Sedikit pun ia tak menduga, bahwa ruangan itu terbakar
begitu hebat. "Tio Pehpeh!" ia berteriak. "Lekas keluar!" Dari antara asap
yang menggolak, segera keli-hatan seorang meloncat keluar.
Orang itu adalah Ong Kiam Eng, diikuti oleh In Tiong Shiang,
Cie Ceng, Ma Heng Kong dan Sun Kong Hong. Yang muncul
paling belakang adalah Tio Poan San yang mendukung Lu
Siauw Moay. Pakaian mereka ha-ngus di sana sini dan tak
usah dikatakan lagi, keadaan mereka sungguh-sungguh
menyedihkan. Sesaat itu, segala apa yang berada di dalam ruangan
tersebut, seperti balok-balok dan kursi meja, sudah terbakar.
Pertolongan Ouw Hui datang pada saat yang tepat sekali dan
jika terlambat sedikit saja, mereka tentu sudah tidak bernyawa
lagi. Melihat Tio Poan San keluar dengan selamat, Ouw Hui
jadi kegirangan seperti orang kalap. la menubruk serabari
berteriak dengan suara meng-harukan. "Tio Pehpeh...! Tio
Pehpeh...!"
Kumis dan alis Poan San sudah setengah ha-ngus, tapi
paras mukanya tetap tenang. la mesem dan berkata: "Anak!
Sungguh mulia hatimu"!" Per-kataan ksatria itu terhenti di
tengah jalan, karena terharunya.
Mendadak, terdengar teriakan Ong Kiam Eng: "Kiam Kiat!
Dimana kau"!"
Poan San memandang ke sekitarnya dan benar saja, Ong
Kiam Kiat tidak di antara mereka. "Apa-kah belum keluar?" ia
menanya dengan kaget.
"Belum!" Kiam Eng berteriak pula. "Saudaraku belum
keluar!" Di saat itu, sebuah balok penglari jatuh dengan berkobarkobar.
Meskipun Kiam Eng merasa jeri untuk menerjang
masuk. Ia hanya berteriak-teriak di luar: "Kiam Kiat! Kiam
Kiat! Lekas keluar!"
"Kalau dia bisa keluar sendiri masakah dia tidak keluar?"
demikian pikir Poan San dan Ouw Hui. Kemuliaan kedua orang
itu adalah kemuliaan yang wajar. Sesaat itu, tanpa berpikir
lagi, hampir ber-bareng mereka meloncat masuk ke dalam
lautan api! Karena lantai ruangan itu sudah demikian pa-nasnya, Ouw
Hui melompat-lompat tak hentinya. "Anak," kata Poan San
dengan suara menyayang. "Kau keluarlah."
"Tidak, Tio Pehpeh," sahutnya. "Pehpeh keluarlah, biar aku
mencarinya sendiri." Di lain saat, ia berseru: "Di sini!" Ia
membungkuk, menarik tubuh Kiam Kiat yang lalu diseretnya
sembari lari ke luar.
Ternyata, Kiam-kiat tak tahan merasakan hawa panas, tadi
Kiam Kiat memasukkan kepalanya ke dalam lubang anjing
untuk menyedot hawa yang lebih segar. Tapi mendadak ia
disambar asap dan lantas jatuh pingsan.
Sembari batuk-batuk, Ouw Hui menyeret tubuh Kiam Kiat
keluar pintu. Selagi ia mendekati pintu, semua orang yang
berada di luar, sekonyong-ko-nyong mengeluarkan teriakan
kaget. Ternyata, sekerat balok yang berkobar-kobar sedang
melayang ke bawah, ke arah kepala Ouw Hui. Bocah itu
mempereepat tindakannya, tapi untuk dapat menyingkir,
agaknya sudah tidak keburu lagi.
Pada detik yang sangat berbahaya itu, tanpa bersangsi
sedikit pun juga, Poan San meloncat dan menahan jatuhnya
balok itu dengan tangan ka-nannya. Berat balok itu tidak
kurang dari lima ratus kati dan ditambah dengan tenaga
jatuhnya serta hawa panasnya, dapatlah dibayangkan
kehebatan-nya. Tapi kuda-kuda Tio Poan San sedikit pun tidak
bergeming. Begitu balok itu sampai di tangan ka-nannya, ia
mendorong ke atas, tangan kirinya mem-bantu mendorong
dengan sekuat tenaganya. Ba-gaikan seekor naga api, balok
itu terpental belasan tombak dan jatuh gedubrakan.
Semua orang jadi kesima. Mereka ternganga, akan
kemudian bersorak-sorai. Para pegawai Siang-kee-po juga
turut merasa kagum, mereka bertepuk tangan dan bersorak
dari kejauhan. Dengan perasaan sangat malu, Kiam Eng menolong
saudaranya dan memadamkan api yang berkobar-kobar di
baju Kiam Kiat.
Begitu terlolos dari neraka ruangan besi itu, Ma Heng Kong
dan Cie Ceng segera celingukan men-cari It Hong yang tidak
kelihatan mata hidungnya. "Tak bisa salah lagi, dia tentu main
gila dengan bocah she Siang itu," kata Cie Ceng dalam
hatinya. "Suhu, biar aku mencarinya," katanya sembari berlari-
lari ke arah hutan.
Bukan main lelahnya Ma Heng Kong, badannya lemas dan
matanya berkunang-kunang. Ia lalu menuju ke tempat yang
lebih adem untuk mengaso. Tapi, baru saja berjalan beberapa
tindak, mendadak ia merasakan kesiuran angin tajam di
belakangnya. Itulah suatu pukulan yang sangat dahsyat.
Karena tidak keburu menangkis atau berkelit lagi, ia menahan
napas untuk menyambut pukulan itu di pung-gungnya. "Buk!"
badannya bergoyang-goyang, matanya gelap dan badannya
lemas. Pukulan itu disusul dengan tendangan dan tubuh Ma
Heng Kong ter-pental masuk ke dalam lautan api!
Sayup-sayup, ia mendengar suara tertawa dan teriakan
Siang Loo-tay. "Kiam Beng! Akhirnya da-pat juga aku
membalaskan sedikit sakit hatimu...!" Sesudah itu, ia tak tahu
suatu apa lagi....
Tio Poan San yang sedang menolong Lu Siauw Moay,
menyaksikan bokongan Siang Loo-tay ter-hadap Ma Heng
Kong, tapi ia sudah tak dapat menolong lagi. Di lain saat, ia
melihat nyonya itu masuk ke dalam ruangan besi yang sudah
seakan-akan sebuah dapur raksasa itu.
"Keluar! Apakah kau mau mencari mampus?" teriak Poan
San tanpa merasa.
Baru saja ia berteriak begitu, kembali sekerat balok besar
jatuh bergedubrakan dan menutupi pintu. Sembari memeluk
Pat-kwa-tonya dan dengan wajah tertawa, Siang Loo-tay
duduk di tengah-tengah api. Pakaian dan rambutnya sudah
dijilat api, tapi ia seolah-olah tidak merasakan panas.... Ia
tertawa berkakakan dan berseru: "Kiam Beng! Aku sudah
berada dekat sekali dengan kau...."
Tio Poan San menghela napas. Ia melengos agar tidak
menyaksikan kejadian yang seram serta mengenaskan itu. Di
samping harus mengalami beberapa kejadian yang
menjengkelkan, ia menganggap perjalanannya sekali ini tidak
tersia-sia, karena ia bisa berkenalan dengan seorang ksatria
sejati. Selagi orang lain repot, ia berpaling kepada Ouw Hui
seraya berkata: "Saudara kecil, mari kita berangkat."
"Baiklah," jawab Ouw Hui dan mereka berdua lantas saja
meninggalkan neraka Siang-kee-po.
Malam itu, banyak sekali Ouw Hui si kecil mendapat
pengalaman. Sembari berjalan bergan-dengan tangan dengan
Tio Poan San, di depan matanya terbayang segala kejadian,
segala bahaya, yang baru dialaminya. Sesudah melalui kirakira
satu li, mereka menengok dan melihat sinar api yang
berkobar-kobar menjulang ke atas. Tanpa merasa, mereka
menghela napas berulang-ulang.
"Saudara kecil," kata Tio Poan San. "Kejadian sepanjang
hari ini sangat menyedihkan, bukan" Adat Siang Loo-tay...
ah!" Ia menggeleng-geleng-kan kepala dan tidak meneruskan
perkataannya. "Tio Pehpeh..." kata si bocah. Tio Poan San
menengok dan berkata dengan suara sungguh-sungguh:
"Saudara kecil, hari ini, secara kebetulan sekali kita bisa
bertemu. Kita sama-sama mengetahui, bahwa jiwa kita berdua
adalah cocok sekali. Walaupun aku berusia lebih tua, tapi
melihat pribudimu yang sangat tebal, sung-guh-sungguh aku
merasa kagum. Di kemudian hari, aku berani memastikan,
namamu akan menggetar-kan seluruh dunia. Guna apa aku
mengagulkan diri sebagai seorang yang lebih tua."
Ketika itu, fajar mulai menyingsing dan di sebelah timur
sudah terlihat sinar yang terang ke-merah-merahan. Ouw Hui
si kecil mendongak. la melihat paras muka Tio Poan San yang
angker dan bersungguh-sungguh.
Mendengar kata-kata ksatria itu, muka Ouw Hui yang kotor
dan berlepotan darah, lantas saja menjadi merah. "Tio
Pehpeh..." katanya.
Tio Poan San menggoyangkan tangan seraya berkata:
"Saudara kecil, mulai saat ini, Tio Pehpeh, tiga perkataan
janganlah keluar lagi dari mulutmu! Biarlah sekarang juga kita
mengangkat saudara! Bagaimana pikiranmu?"
Bayangkanlah! Bayangkanlah. Chian-chiu Jie-lay Tio Poan
San, seorang kenamaan yang ber-kedudukan tinggi yang
namanya telah meng-getarkan seluruh Rimba Persilatan,
menawarkan diri untuk mengangkat saudara dengan seorang
bocah yang baru berusia belasan tahun! Tio Poan San bukan
mengagumi ilmu silat Ouw Hui, tapi menghormati jiwa ksatria
dalam tubuh bocah itu yang rela berkorban apapun juga,
untuk menolong sesama manusia. Ouw Hui masih kanakkanak,
tapi perbuatannya tidak berbeda dengan saudara-saudaranya
dari Ang-hoa-hwee.
Mendengar tawaran itu, bukan main terharunya hati Ouw
Hui. Kedua matanya menjadi merah dan air matanya
mengucur deras. Tiba-tiba ia membuang diri di atas tanah dan
berlutut sambil berkata: "Tio.... Tio...."
Tio Poan San segera berlutut seraya berkata: "Hiantee
(adik), mulai sekarang kau panggil saja Samko (kakak
ketiga)." Demikianlah kedua ksatria itu, seorang tua dan
seorang muda, di tengah-tengah belukar, menjalankan
upacara mengangkat saudara dengan menggunakan cabangcabang
kering sebagai hio yang ditancapkan di atas tanah.
Girang sekali hati Poan San. Sesudah beres mengangkat
saudara, ia bersiul panjang dan nyaring. Di lain saat, seekor
kuda putih mendatangi seperti terbang.
"Sungguh bagus kuda itu," puji Ouw Hui.
"Sungguh sayang kuda ini bukan milikku, tapi milik Su-teehu
yang menyayangnya seperti menyayang jiwanya sendiri,"
katanya di dalam hati. "Kalau bukan begitu, aku tentu sudah
mengha-diahkannya kepada adikku."
Ia mesem dan menanya: "Hiantee, apakah kau masih
mempunyai urusan yang belum dibereskan?"
"Biarlah aku memberi kabar dulu kepada Peng-sie-siok,"
jawabnya. "Sesudah itu barulah aku meng-antar Samko
sampai berapa jauh." Poan San yang juga merasa berat untuk
segera berpisah dengan saudaranya itu, lantas saja berkata:
"Baiklah." Dan sembari menuntun kuda, ia jalan berendeng
dengan Ouw Hui si kecil.
Sesudah membelok di suatu tanjakan, di sebelah jauh, di
belakang pohon kui, kelihatan seseorang yang sedang
melongok-longok, seperti te-ngah mengintip apa-apa.
"Cie Ceng!" Ouw Hui berbisik, yang merasa heran sekali
melihat lagak pemuda itu. "Biar aku lihat," katanya sembari
menghampiri dengan tindak-an perlahan. Cie Ceng yang
sedang menumplek perhatiannya ke jurusan depan, tidak
mengetahui, bahwa dirinya juga sedang diintip orang.
Di lain saat, Ouw Hui mengetahui apa yang sedang diincar
oleh Cie Ceng. Terpisah kira-kira dua puluh tombak dari pohon
kui itu, di bawah sebuah pohon yang-liu, seorang lelaki dan
seorang wanita sedang bereinta-cintaan. la segera menge-nali,
bahwa yang lelaki adalah Hok Kongcu, sedang yang
perempuan ternyata bukan lain daripada Ma It Hong, yang
sedang merebahkan diri di atas pang-kuan Hok Kongcu
dengan lagak aleman.
"Bangsat! Aku mampuskan kau!" mendadak Cie Ceng
berteriak sambil menghunus goloknya dan memburu ke arah
kedua kecintaan itu.
Tak usah dikatakan lagi, kedua orang muda itu jadi terkejut
bukan main dan bangun dengan serentak.
Begitu berhadapan, Cie Ceng segera mengayun goloknya
dan membacok sekuat tenaganya. Hok Kongcu yang tidak
mngerti ilmu silat, meloncat mundur secepat mungkin dan
golok Cie Ceng am-blas di pangkal pohon.
"Kenapa kau" Kenapa kau?" tanya Ma It Hong dengan
gugup. "Kenapa aku" Aku mau mampuskan bocah bangsat itu!"
teriak Cie Ceng. Sembari memaki, ia membetot goloknya
sekuat tenaganya. Karena menggunakan tenaga terlalu besar,
di waktu goloknya tereabut, golok itu menghantam janggutnya
sendiri. "Hati-hati! Sakit?" tanya Ma It Hong.
"Jangan berlagak baik hati!" bentak Cie Ceng sembari
mengangkat goloknya dan memburu Hok Kongcu.
Ma It Hong biasanya sangat disegani oleh Cie Ceng dan
perkataannya belum pernah dibantah.
Tapi sekarang, Suheng itu yang sudah menjadi kalap, tak
takut lagi kepadanya. Dengan perasaan malu tereampur
bingung, Ma It Hong menyelak di depan Hok Kongcu dan
berkata semban menolak pinggang: "Suko, jika kau mau
membunuh orang, bunuhlah aku lebih dulu."


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat si nona melindungi Hok Kongcu, Cie Ceng menjadi
semakin kalap. "Dia lebih dulu, baru aku mampuskan kau!" ia
berteriak, sembari men-dorong pundak Ma It Hong yang jadi
terhuyung dan hampir-hampir terguling di atas tanah. Buruburu
It Hong menjumput sebatang kayu yang lalu di-gunakan
untuk menangkis golok Cie Ceng. Ia menengok kepada Hok
Kongcu dan berkata: "Lekas lari!"
Si kongcu "mahal" yang tidak mengetahui, bahwa It Hong
adalah tunangan Cie Ceng, segera lari ngiprit sembari
berteriak: "Hati-hati! Orang itu manusia edan!"
Menahan dua tiga bacokan, kayu yang dicekal It Hong
sudah patah. "Jika kau tidak minggir, aku tak akan berlaku
sungkan lagi!" bentak Cie Ceng.
It Hong lalu melemparkan potongan kayu yang masih
dicekalnya dan sembari memanjangkan leher, ia berkata:
"Suko, biar bagaimanapun juga, aku tak bisa menjadi isterimu.
Jika kau mau bunuh, bunuhlah!"
"Kau... kau...!" teriak Cie Ceng, tangan kirinya
mencengkeram pundak si nona. Dalam kalapnya, ia tak bisa
berkata-kata lagi.
Melihat keadaan genting itu, Ouw Hui khawatir Cie Ceng
turun tangan. Sekali melompat, ia sudah berada di antara
mereka dan kemudian mendorong dada Cie Ceng dengan
tangan kirinya. Begitu di-dorong, Cie Ceng terhuyung ke
belakang beberapa tindak.
"Cie Toako," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Siapa juga
yang ingin melanggar sehelai rambut Nona Ma, lebih dulu dia
mesti membinasakan aku."
Cie Ceng terkejut. "Kau... kau, anakyang masih berbau
susu, juga main gila dengan dia?" ia menanya dengan mata
melotot. "Plok!" pipi Cie Ceng digampar telak oleh si nona.
Ouw Hui menjadi bingung. Ia tak mengerti maksud
perkataan Cie Ceng dan juga tidak mengerti, kenapa Ma It
Hong menjadi marah. Bahwa dia harus menolong si nona, oleh
Ouw Hui dianggap sebagai suatu kewajiban mutlak untuk
membalas budi. Sebagaimana diketahui, diwaktu Ouw Hui
digantung oleh Siang Po Cin, It Hong pernah ber-usaha untuk
menolong dirinya. Meskipun per-tolongan itu sebenarnya tidak
perlu, tapi sebagai ksatria, Ouw Hui tak dapat melupakan
kebaikan orang.
Sesudah menyaksikan pertempuran antara Ouw Hui dan
Ong-sie Heng-tee, Cie Ceng mengetahui, bahwa
kepandaiannya masih kalah terlalu jauh jika dibandingkan
dengan bocah itu. Tapi dalam kalapnya, mana ia ingat lagi
soal menang atau kalah. Sambil menggereng, ia lantas saja
membacok kalang kabutan.
Baru saja beberapa gebrakan Ouw Hui sudah
mencengkeram pergelangan tangan Cie Ceng dan terus
merebut goloknya, yang kemudian diserahkan kepada Ma It
Hong. Cie Ceng yakin, tak guna ia melawan terus. Ia menghela
napas dan mendadak mengeluarkan te-riakan yang
menyayatkan hati: "Suhu! Sungguh mengenaskan cara
kebinasaanmu!" Ia memutarkan ba-dan dan terus berlalu
dengan tindakan lebar.
"Apa kau kata?" tanya Ma It Hong dengan hati terkesiap.
Si nona memburu, tapi Cie Ceng tidak menyahut dan
berjalan terlebih cepat.
"Kenapa ayahku" Mali?" seru It Hong yang terus mengejar.
Hok Kongcu yang berdiri agak jauh, tidak dapat menangkap
apa yang dikatakan mereka, tapi melihat si nona mengejar
terus, ia lantas saja berteriak: "Hong-moay! Hong-moay!
Balikjanganladenidia!"
Tapi Ma It Hong yang sedang khawatirkan nasib ayahnya,
tidak menggubris. Melihat golok sudah dicekal oleh
kecintaannya, hati Hok Kongcu jadi lebih mantap dan segera
turut mengejar.
Tapi, baru saja ia mengejar belasan tindak, dari belakang
sebuah pohon besar tiba-tiba muncul seseorang yang berusia
kira-kira lima puluh tahun dan berbadan agak gemuk. Begitu
melihat orang tersebut, yang bukan lain daripada Cian-chiu
Jielay Tio Poan San, paras muka Hok Kongcu lantas berubah
pucat. "Hok Kongcu! Selamat bertemu!" Poan San menegur.
Dengan apa boleh buat, Hok Kongcu menyoja segera
berkata: "Tio Samya, selamat bertemu." Sehabis berkata
begitu, tanpa memperdulikan lagi Ma It Hong, ia memutarkan
badan dan terus lari secepat mungkin. Ia lari ke arah utara,
sedang Cie Ceng dan Ma It Hong menuju ke selatan. Dalam
tempo sekejap, mereka sudah tak kelihatan bayangbayangannya
lagi. "Samko," kata Ouw Hui. "Kau kenal Hok Kongcu" Dia
kelihatannya sangat takut kepadamu."
"Benar," jawabnya sembari tertawa. "Dia pernah jatuh ke
dalam tangan kami dan pernah merasakan sedikit asam
garam." Hok Kongcu, atau Hok Kong An, adalah orang yang paling
dicinta oleh Kaisar Kianliong. Menurut kabar angin, pemuda itu
sebenarnya adalah putera kaisar tersebut. Untuk memaksa
Kianliong mem-perbaiki gereja Siauw-lim-sie dan tidak
menyeteru-kan lagi Ang-hoa-hwee, orang-orang gagah
perkumpulan tersebut pernah menawan Hok Kong An.
Peristiwa itu sudah terjadi beberapa tahun berselang dan
sekarang secara tiba-tiba ia bertemu dengan pemimpin ketiga
dari Ang-hoa-hwee. Ia beranggapan, bahwa orang-orang
gagah Ang-hoa-hwee kembali meluruk ke wilayah Tionggoan
dan meskipun ia dilindungi oleh ahli-ahli silat kelas satu, ia
merasa jago-jagonya bukan tandingan orang-orang Ang-hoahwee.
Itulah sebabnya, mengapa ia jadi ketakutan setengah
mati dan tak berani men-cari-cari Ma It Hong lagi. Begitu
berkumpul dengan Ong Kiam Eng dan Iain-lain, buru-buru ia
kembali ke Pakkhia.
Dengan jalan berendeng Tio Poan San dan Ouw Hui lalu
meneruskan perjalanan mereka. Sesudah berjalan kurang
lebih satu li, mereka tiba di sebuah warung teh.
"Hiantee," kata Poan San, "Orang sering mengatakan,
bahwa dalam mengantar orang, biarpun kita mengantar seribu
li, akhirnya kita mesti ber-pisah juga. Maka itu, biarlah di sini
saja kita ber-pisah."
Ouw Hui merasa berat sekali untuk berpisah dengan
kakaknya itu, tapi sebagai seorang gagah, lantas saja ia
berkata: "Baiklah. Samko, beberapa tahun lagi, Sesudah aku
lebih besar, aku tentu akan pergi ke Huikiang untuk
menyambangi kau."
Tio Poan San mengangguk dan berkata: "Biarlah aku
menunggu kedatanganmu."
Sehabis berkata begitu, ia mengeluarkan sekun-tum bunga
merah yang dibuat dari sutera dan tali merah.
"Hiantee," katanya, "Orang-orang gagah di seluruh
kalangan Kang-ouw, semua mengenal bunga ini sebagai milik
kakakmu. Jika kau menemui urus-an penting yang
memerlukan bantuan tenaga ma-nusia atau uang, gunakanlah
bunga ini untuk meminta bantuan dari kawan-kawan."
Ouw Hui menerima hadiah itu dengan perasaan kagum. Ia
merasa, bahwa dikemudian hari, baginya tidak terlalu sukar
untuk menyusul kepandaian kakaknya, tapi untuk mempunyai
pergaulan yang begitu luas benar-benar bukannya gampang.
Tio Poan San lalu menuang dua mangkok teh, semangkok
diangsurkan kepada Ouw Hui. "Hiantee, biarlah teh ini
menggantikan arak," katanya.
"Marilah kita meminumnya kering sebagai selamat
berpisah."
Sesudah masing-masing minum teh itu, Poan San lantas
saja berdiri untuk segera berangkat. Sebelum menyemplak
tunggangannya, ia berkata pula: "Hiantee, sebelum berpisah,
kakakmu ingin mengajukan satu pertanyaan."
"Pertanyaan apa?" tanya Ouw Hui si kecil. "Selain keluarga
Siang, apakah Hiantee mem-punyai musuh lain yang lihay?"
tanyanya. Ouw Hui terkejut. "Musuh yang membunuh ayahku adalah
Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu," pikirnya. "Jika aku
memberitahukan Samko, tentu-lah juga ia akan mencari Biauw
Jin Hong untuk coba membalaskan sakit hatiku. Sakit hati
serupa itu tak boleh dibalaskan oleh lain orang dan di samping
itu, Biauw Jin Hong berkepandaian sangat tinggi, sehingga tak
bisa aku membiarkan Samko menempuh bahaya."
Ouw Hui masih kanak-kanak, tapi ia mempunyai
keangkuhan. Maka itu, sembari mendongak, ia segera
menyahut: "Samko tak usah buat pikiran.
Andaikata ada musuh, siauwtee masih bisa melayaninya."
Poan San tertawa terbahak-bahak. "Bagus!" katanya sambil
mengangkat jempol. Ia loncat ke punggung kuda dan
mengedut les. Baru jalan belasan tindak, mendadak ia
berpaling sembari berseru: "Hiantee! Bungkusan kecil di atas
batu adalah pemberian kakakmu untuk kau."
Ouw Hui menengok dan benar saja, di atas sebuah batu
besar terdapat sebuah bungkusan kecil. Ia membuka
bungkusan itu yang isinya ternyata adalah dua puluh potong
emas masing-masing dari dua puluh tail, atau semuanya
empat ratus tail.
Ouw Hui tertawa besar. "Aku miskin, Samko kaya," katanya
di dalam hati. "Pemberian itu tak bisa ditolak. Samko agaknya
khawatir, jika aku menolak, tapi dengan berlaku begitu, benarbenar
ia meng-anggap aku sebagai anak kecil."
Demikianlah sembari bernyanyi-nyanyi, ia segera
meneruskan perjalanannya dengan tindakan lebar.
Ouw Hui membagi dua ratus tail emas kepada Peng Ah Sie
dengan permintaan supaya dia suka berdiam di Ciangciu untuk
mengurus kuburan ayah-nya. Sesudah itu, ia sendiri berkelana
ke berbagai tempat dengan setiap had terus melatih ilmu silatnya.
* * * Dalam beberapa tahun saja, tubuhnya yang kurus kecil
sudah berubah menjadi tinggi besar, sedang kecerdasannya
dan ilmu silatnya juga men-dapat kemajuan yang berimbang.
Di sepanjang jalan, tak hentinya ia melakukan perbuatan
mulia, menolong sesama manusia yang perlu mendapat
pertolongan. Tangannya sangat terbuka dan dalam tempo yang tidak
terlalu lama, dua ratus tail emas itu sudah digunakan habis.
Ia sering mendengar cerita orang, bahwa propinsi Kwitang
adalah tempat yang kaya raya dan banyak orang gagahnya.
Maka itu, pada suatu hari, dengan menunggang seekor kuda
kurus, seorang diri ia menuju ke kota Leng-lam.
Sesudah berjalan beberapa lama, ia tiba di kota Hud-santin,
salah satu empat kota terbesar di wi-layah Tiongkok. (Tiga
lainnya adalah Cui-sian-tin, Keng-tek-tin dan Hankow).
Ouw Hui masuk ke dalam kota kira-kira tengah hari dan ia
merasa lapar sekali. Selagi mencari-cari tempat menangsal
perut, ia melihat sebuah restoran besar di pinggir jalanan yang
ramai dan memasang merek Eng-hiong-lauw (Restoran orang
gagah) dengan huruf-huruf emas yang besar. "Merek restoran
itu agak luar biasa," kata Ouw Hui di dalam hatinya. Ia
meraba sakunya ternyata hanya mempunyai seratus lebih
uang tembaga, tak cukup untuk makan dan minum arak.
"Biarlah aku makan saja semang-kok mie," pikirnya sembari
menambat tunggangan-nya pada tambatan kuda.
Sesudah itu, dengan menggondol bungkusan-nya,
perlahan-lahan ia naik ke loteng. Melihat baju pemuda itu
yang butut, seorang pelayan lantas saja menghadang di
tengah jalan seraya berkata: "Tuan tamu, makanan di atas
loteng mahal sekali!"
Ouw Hui lantas saja naik darah. Mendadak ia tertawa besar
dan berkata dengan suara nyaring: "Asal makanan enak dan
arak sedap, berapa mahal aku tak hiraukan!"
Si pelayan minggir dan dengan rasa sangsi, ia mengawasi
Ouw Hui yang terus mendaki tangga loteng.
Ruangan loteng itu besar, bersih dan diperlengkapi dengan
perabotan yang halus dan indah. Para tamu yang sedang
makan minum, hampir rata-rata berpakaian mentereng,
sebagai tanda bahwa mereka itu adalah orang-orang beruang.
Seperti ka-wannya yang menghadang di bawah loteng,
pelayan di atas loteng pun memandang rendah kepada Ouw
Hui yang berpakaian compang-camping. Sesudah beberapa
lama duduk di situ, masih saja tak seorang pelayan datang
menghampirinya.
Ouw Hui jadi semakin mendongkol. Selagi ia memikirkan
harus berbuat bagaimana, di tengah jalan tiba-tiba terdengar
suara ribut, disusul dengan suara tertawa seorang wanita.
Ouw Hui yang duduk di pinggir jendela, lantas saja
melongok ke bawah. Ia melihat seorang pe-rempuan dengan
rambut terurai dengan muka serta pakaian berlepotan darah,
sedang menandak-nan-dak di tengah jalan sambil mencekal
sebatang golok, sebentar menangis dan sebentar tertawa.
"Ah, orang gila," kata Ouw Hui dalam hati.
Lalu lintas terhenti, banyak orang menonton dari sebelah
jauh, ada yang ketakutan, ada pula yang kelihatannya merasa
kasihan, tapi tak seorang pun yang berani mendekati
perempuan edan itu.
Mendadak ia menuding merek Eng-hiong-lauw dan
bertepuk tangan sembari tertawa terpingkal-pingkal. "Hong
Looya!" ia berteriak. "Biarlah kau berusia seratus tahun, kaya
dan mulia lengkap semuanya. Aku si tua berlutut di sini,
supaya Langit yang mempunyai mata, melindungi kau seumur
hi-dup." Ia berlutut dan membenturkan kepalanya di atas
tanah, sehingga jidatnya mengeluarkan darah. Tapi agaknya
sedikit pun ia tak merasa sakit.
la terus manggut-manggutkan kepala sembari berteriakteriak:
"Hong Looya! Diwaktu siang, biar-lah kau mendapat
segantang emas, diwaktu malam segantang perak. Kaya
besar, kaya raya, ratusan anak, ribuan cucu."
Dari dalam restoran itu sekonyong-konyong keluar seorang
lelaki yang tangannya memegang sebatang huncwee (pipa
panjang). Dilihat dari ge-rak-geriknya, lelaki itu mestinya
pengurus rumah makan.
"Ciong Sie-so!" ia membentak. "Kalau mau jual lagak gila,
pergilah ke tempatmu. Pergi! Jangan mengacau di sini."
Wanita itu tak menggubris bentakan orang, ia masih terus
berlutut sembari sesambatan. Si pengurus restoran
mengulapkan tangannya dan dari rumah makan itu lantas saja


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar dua orang lelaki yang bertubuh kekar. Seorang merebut
golok Ciong Sie-so, sedang yang seorang lagi mendorongnya
dengan keras, sehingga wanita itu berjumpalitan ke tepi jalan.
Ia berdiri terpaku dengan mulut ternganga, untuk
sementara tak mengeluarkan sepatah kata. Mendadak ia
memukul dadanya dengan tinjunya dan berteriak sembari
menangis: "Oh! Mustikaku yang ketiga! Sungguh menyedihkan
cara kebina-saanmu. Langit mempunyai Mata. Kau tidak mencuri
dan gegares daging angsa orang!"
"Kubacok kau, jika kau masih terus rewel!" bentak si lelaki
yang barusan merampas goloknya.
Ciong Sie-so tak menjadi jeri, ia menangis semakin keras.
Si pengurus restoran melirik semua penonton dan ia mendapat
kenyataan, bahwa mereka semua menunjukkan wajah tak
puas. Ia meng-hisap huncweenya dan sesudah mengebulkan
asap beberapa kali dari mulutnya, ia mengulapkan tangannya
dan masuk kembali ke dalam Eng-hiong-lauw bersama dua
kaki tangannya.
Melihat dua lelaki gagah menghina seorang wanita lemah,
Ouw Hui sebenarnya sudah ingin menyelak. Akan tetapi,
mengingat wanita itu adalah seorang gila, sedapat mungkin ia
menahan sabar. Sekonyong-konyong ia mendengar pembicara-an antara
dua tamu yang duduk pada meja sebelah belakang. "Dalam
urusan ini, Hong Looya keter-laluan," kata seorang antaranya
dengan perlahan. "Apakah dia merasa enak hati, sesudah
mengambil jiwa manusia yang tewas karena gencatannya?"
Ouw Hui terkejut.
"Tak dapat kita terlalu menyalahkan Hong Looya," kata
seorang lain. "Jika seorang kehilangan apa-apa, tentu saja ia
akan menanyakannya. Siapa suruh perempuan itu berotak
miring, membelek perut anaknya sendiri?"
Ouw Hui tak dapat menahan sabar lagi. Mendadak ia
menengok ke belakang dan kedua orang itu lantas saja
berhenti bicara.
Mereka itu, yang satu gemuk dan yang lain kurus,
mengenakan thungsha sutera yang mahal harganya dan
dilihat dari dandanan mereka, mereka adalah orang-orang
hartawan. Ouw Hui mengetahui, bahwa kaum pedagang paling
sungkan banyak urusan dan jika ia menanya secara biasa,
mereka tentu tak mau memberikan keterangan. Memikir
begitu, ia segera berdiri dan berkata sembari memberi
hormat: "Sedari berpisahan di Kwiciu, sudah berapa tahun kita
tak pernah bertemu muka. Apa selama itu, Jie-wie (kedua
tuan) memperoleh banyak keuntungan?"
Tentu saja mereka merasa heran, karena mereka memang
tak mengenal Ouw Hui. Tapi sebagaimana biasa, seorang
pedagang selalu bersikap ramah tamah. Maka itu, lantas saja
mereka mem-balas hormat. "Boleh juga, terima kasih," jawab
mereka. "Kali ini siauwtee datang di Hud-san dengan membawa
selaksa tail perak," kata pula Ouw Hui. "Tujuanku adalah
untuk membeli barang, tapi karena belum mempunyai
kenalan, sedang aku sendiri sangat asing dengan keadaan di
sini, aku masih merasa sangsi. Sekarang sungguh kebetulan,
aku bertemu dengan kalian, sehingga aku dapat minta
pertolongan."
Mendengar "selaksa tail perak", wajah kedua orang itu
lantas saja berseri-seri. "Tentu saja, tentu saja!" kata mereka,
yang lalu mengundang Ouw Hui pindah meja untuk makan
minum bersama. Ouw Hui tak berlaku sungkan-sungkan lagi. "Barusan ketika
Jie-wie bereakap-cakap, aku mendengar kata-kata tentang
mengambil jiwa manusia karena gencatan," kata Ouw Hui
sembari men-cegluk cawannya. "Bolehkah aku mengetahui,
urus-an apakah itu?"
Paras muka mereka lantas saja berubah. Selagi mereka
mau menolak, Ouw Hui sudah mengulurkan kedua tangannya
dan memencet tangan mereka. Hampir berbareng, kedua
orang itu mengeluarkan teriakan tertahan, sedang muka
mereka jadi pucat pias. Mendengar teriakan itu, beberapa
pelayan dan tetamu segera menengok ke arah mereka.
"Tertawa!" bentak Ouw Hui dengan suara per-lahan.
Mereka tak berani membantah dan lantas tertawa meringis.
Melihat, bahwa di situ tidak ter-jadi apa-apa yang luar biasa,
semua orang tidak memperhatikan mereka lagi.
Kedua orang itu mengeluarkan keringat dingin, tangan
mereka seolah-olah dijepit dengan jepitan besi.
"Dulu, aku sebenarnya adalah seorang peram-pok besar
yang bisa membunuh manusia tanpa berkesip," kata Ouw Hui
dengan suara bengis. "Sekarang aku sudah menjadi orang
baik-baik dan ingin berusaha secara halal. Aku memerlukan
selaksa tail perak untuk membeli barang, tapi sayang aku tak
mempunyai uang. Maka itu, aku ingin meminjam dari Jie-wie,
seorang lima ribu tail."
Mereka terperanjat. "Aku... aku... tak punya!" jawab
mereka hampir berbareng.
"Baiklah," kata Ouw Hui. "Tapi kalian harus menceritakan
kepadaku, bagaimana manusia itu yang dipanggil Hong Looya
mengambil jiwa orang dengan menggunakan gencatan. Siapa
yang menceritakan paling jelas, aku membebaskannya dari
tugas meminjamkan uang. Aku akan mencari orang lain
sebagai gantinya."
"Baiklah, baiklah," jawabnya, terburu-buru.
Ouw Hui mesem, hatinya geli bukan main. Melihat si gemuk
agak lebih pandai bicara, ia lantas saja berkata: "Yang gemuk
bicara lebih dulu, baru yang kurus. Siapa yang ceritanya tidak
jelas, ialah yang harus meminjamkan uang kepadaku."
Sehabis berkata begitu, ia melepaskan cengkeramannya
dan membuka bungkusannya, yang antara lain berisi sebilah
golok yang bersinar berkere-depan. la mengambil sepasang
sumpit gading dari atas meja dan sekali ketukan pada mata
golok, sumpit itu sudah menjadi empat potong.
Kedua orang itu saling mengawasi dengan mu-lut
ternganga dan hati berdebar-debar. Sesudah menggertak
begitu, perlahan-lahan Ouw Hui mem-bungkus pula goloknya.
"Siauwya," kata si saudagar gemuk, "Jangan khawatir, aku
akan menceritakan seterang-terang-nya. Tanggung...
tanggung lebih jelas dari dia...."
"Mana bisa," memotong si kurus. "Kasihlah aku yang
menceritakan lebih dulu."
"Diam!" membentak Ouw Hui. "Lebih dulu aku mau dengar
ceritanya, mengerti kau?" "Baik, baik," kata si kurus
ketakutan. "Kau harus dihukum karena sudah melanggar
perintahku!" kata Ouw Hui dengan suara menyeramkan.
Semangat si kurus terbang, sedang kawannya kelihatan
senang sekali. "Bukan begini caranya orang menghormat te-tamu," kata
Ouw Hui. "Makanannya tak enak, arak-nya seperti air tawar.
Lekas perintahkan pelayan menyediakan semeja santapan
kelas satu."
Mendengar hukuman yang enteng, si kurus jadi girang dan
buru-buru dia memanggil pelayan untuk memesan makanan
semeja dan arak kelas satu seharga lima tail perak.
Ketika melihat Ouw Hui pindah ke meja dua saudagar itu si
pelayan merasa sangat heran. Tapi mendengar pesanan
istimewa ia menjadi girang dan menyampingkan rasa
herannya. Ouw Hui melongok ke bawah. Ia melihat Ciong Sie-so
sedang duduk di tepi seberang jalan dan sembari
mendongakkan kepala, mulutnya kemak-kemik, seperti
seorang sedang berdoa.
"Siauwya," kata si gemuk. "Biarlah aku mulai. Tapi aku
mengharap, supaya ceritaku dirahasiakan, jangan sampai
diketahui oleh orang lain."
"Jika kau takut, sudahlah! Biar dia saja yang bereerita,"
kata Ouw Hui. Sembari berkata begitu, ia berpaling kepada si
kurus. "Cerita, aku cerita..." kata si gemuk dengan suara gugup.
"Orang yang biasa dipanggil Hong Looya itu bernama Hong Jin
Eng, orang paling kaya dalam kota Hud-san-tin ini. Dia
mempunyai juluk-an, yaitu...."
"Lam-pa-thian," celetuk si kurus.
"Siapa suruh kau bicara?" Ouw Hui membentak dengan
suara bengis. Si kurus menundukkan kepalanya dan tidak berani
membuka suara lagi.
"Di Hud-san-tin, ia membuka rumah gadai besar, yang
dinamakan Pegadaian Enghiong," si gemuk melanjutkan
ceritanya. "Disamping itu, ia membuka sebuah rumah makan,
yaitu rumah makan ini yang diberi nama Eng-hiong-lauw dan
sebuah tempat judi yang dikenal sebagai Enghiong Hweekoan.
Ia adalah seorang kaya yang berpengaruh besar, luas
pergaulan dan dianggap sebagai ahli silat nomor satu di
seluruh propinsi Kwitang. Dalam kota ini banyak orang
berbisik-bisik, bahwa setiap bulan ia menerima uang
kehormatan dari Kwitang timur, Kwitang barat dan Kwitang
utara. Katanya dia adalah Ciangbunjin (pemimpin) dari Ngohouw-
pay (Partai lima harimau) dan anggota-anggota yang
beruang dari partai itu, harus membagi sedikit hartanya
kepada Hong Looya. Tapi hal itu adalah soal kalangan Kangouw,
yang tidak begitu dimengerti olehku."
"Ya, aku mengerti," kata Ouw Hui. "Dia kaya raya dan dia
juga perampok besar."
Kedua saudagar itu saling mengawasi. "Benar, kau adalah
rekannya!" kata mereka di dalam hati.
Ouw Hui sudah dapat membaca pikiran mereka. "Orang
sering berkata, sama-sama sepencarian ber-arli musuh,"
katanya sembari tertawa. "Aku dan Hong Looya bukan
sahabat. Dia baik, katakan baik. Dia jahat, katakan jahat. Tak
usah kau coba-coba menyembunyikan."
"Gedung Hong Looya sebenarnya sudah cukup besar dan
luas," si gemuk melanjutkan penuturan-nya. "Tapi belakangan
ini, sesudah mempunyai gun-dik yang ketujuh, ia ingin
mendirikan sebuah gedung pula yang diberi nama Cit-honglauw
(Rang-gon tujuh Hong), untuk dijadikan tempat tinggal
gundik ke tujuh itu. Ia berniat mendirikan gedung baru itu di
belakang gedungnya yang sudah ada dan tanah yang ia
penuju adalah kebun sayur Ciong Sie-so. Kebun sayur itu
adalah warisan dari kakek moyangnya dan luasnya kira-kira
tiga bauw. Kebun itu adalah satu-satunya sumber mencari
nafkah Ciong A-sie dan keluarganya yang berjumlah lima
orang. Hong Looya telah memanggil Ciong A-sie dan
mengatakan, bahwa mau membeli tanah itu dengan lima tail
perak. Tentu saja Ciong A-sie menolak. Hong Looya
menambah dan menambah lagi jumlah uang itu sampai
sepuluh tail, tapi ia tetap menolak. Menurut ia, uang adalah
sangat manis, biar seratus tail, sebentar saja akan habis
dimakan. Tapi kebun sayur tak habis. Asal mau mengeluarkan
tenaga, keluarganya tak akan mati kelaparan. Hong Looya
menjadi gusar dan mengusir dia. Dan ke-marin muncullah
peristiwa mencuri angsa."
"Peristiwa itu adalah seperti berikut: Di pekarangan
belakang gedung Hong Looya, dipiara sepuluh ekor angsa.
Kemarin, ia telah ke-hilangan salah seekor. Bujang-bujang
Hong Looya mengatakan, bahwa pencuri angsa itu adalah
Siauw-jie-cu (putera kedua) dan Siauw-sam-cu (putera ketiga)
dari keluarga Ciong. Mereka mencari di kebun sayur dan benar
saja, di situ kedapatan ba-nyak bulu angsa. Mentah-mentah
Ciong Sie-so menolak tuduhan itu. Ia mengatakan, bahwa
kedua puteranya adalah anak-anak baik dan tak mungkin,
mereka mencuri barang orang lain. Ia balas menuduh, bahwa
bulu angsa itu sudah sengaja dilemparkan dari dalam tembok
gedung Hong Looya."
"Orang-orang Hong Looya lantas saja mencari Siauw-jie-cu
dan Siauw-sam-cu, tapi mereka tak mengaku mencuri angsa.
'Eh, apakah pagi ini kau sudah makan"' tanya Hong Looya.
Siauw-sam-cu manggut-manggut dan menjawab dengan suara
pe-lo: 'Cia-o -cia-o.' (Cia-o bisa berarti: Makan angsa) 'Anak
itu sudah mengaku, kau masih berkeras mengatakan: tidak!'
teriak Hong Looya sembari meng-gebrak meja. Lantas saja ia
mengadu kepada Tie-koan di Lamhay, yang lantas
memerintahkan be-berapa opas menangkap Ciong A-sie.
"Ciong Sie-so yang yakin seyakin-yakinnya, bah-wa kedua
puteranya tak nanti mencuri angsa itu, lantas pergi ke gedung
Hong Looya untuk mencari keadilan. Tapi apa yang ia dapat
adalah tendangan dari Hong Looya. Ia lalu pergi kepada
Tiekoan di Lamhay untuk mencari keadilan, tapi paduka
Tiekoan, yang sudah makan uang suapan, malah ber-balik
menyiksa Ciong A-sie dengan alat mengom-pes.
"Dengan susah payah, Ciong Sie-so bisa juga menengok
suaminya di penjara. Suami itu berle-potan darah, sekujur
badannya babak belur dan sudah tak dapat bicara lagi
sebagaimana biasa. "Ja... ngan jual... jangan... tidak... curi...
tidak," katanya dengan suara tak jelas.
Ciong Sie-so jadi mata gelap. Begitu pulang, dengan
membawa Siauw-sam-cu dan sebilah golok sayur, sambil
memanggil tetangga-tetangganya, ia pergi ke kuil leluhur.
Tetangga-tetangga yang men-duga nyonya itu ingin
bersumpah dan ingin minta mereka menjadi saksi, lantas saja
mengikut. "Di depan Cinta Bernoda Darah 2 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 21
^