Kisah Si Rase Terbang 8

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 8


mengebaskan koksong-
pangnya dan bergerak untuk menerjang.
"Toako, tahan!" kata Tiauw-eng sembari merogoh sakunya
dan mengeluarkan empat potong perak. "Empat potong perak
ini lebih dari tiga ratus tahil," katanya. "Ambillah!"
"Jietee! Apa artinya ini?" teriak Tiauw-bun. Ciong-sie Samhiong
(Tiga Jago she Ciong) adalah orang-orang ternama yang
disegani dalam kalangan Kang-ouw. Ia sungguh penasaran
melihat adiknya memperlihatkan kelemahan yang keterlaluan
di hadapan seorang bocah. Tapi Tiauw-eng mempunyai alasan
lain. Untuk mengejar Lauw Ho-cin, mereka harus bertindak
secepat mungkin. Meskipun ia yakin, bahwa dengan tiga
melawan satu, pihaknya akan bisa merobohkan pemuda itu,
akan tetapi, sedikit kelambatan saja, urusan besar itu bisa
menjadi gagal. Itulah sebabnya, mengapa, walaupun
mendongkol bukan main, ia terpaksa mengalah.
Sikap Tiauw-eng benar-benar di luar dugaan Ouw Hui. Tapi
lantas saja ia menggelengkan kepala. "Terima kasih, terima
kasih!" katanya. "Menurut Ciong Loosu, berat empat potong
itu melebihi tiga ratus tahil. Tapi permintaanku adalah seratus
tahil dari seorang, jadi tiga ratus tahil dari tiga orang. Lebih
aku tak mau, kurang pun aku tak menerima. Begini saja,
Marilah kita bersama-sama pergi ke kota, ke toko perak, untuk
menimbangnya!"
Sampai di situ, habislah kesabaran Tiauw-eng yang terkenal
sabar. Ia masukkan pula perak itu ke dalam sakunya dan
berkata, "Toako, Samtee, pergilah kalian jalan lebih dulu." Ia
berpaling kepada Ouw Hui seraya membentak, "Hunuslah
senjatamu!"
Ouw Hui mengetahui, bahwa ia sedang menghadapi lawan
berat dan hatinya mendongkol karena goloknya telah direbut
Wan Cie-ie. Saat itu, Tiauw-bun dan Tiauw-leng sudah
bergerak untuk kabur lewat di kedua sampingnya. Tindakan
apa harus diambilnya"
Mendadak ia maju dua tindak dan menghantam kepala
kuda Tiauw-eng dengan tinjunya. Pukulan itu adalah pukulan
terhebat dari Ouw-kee Kun-hoat. Begitu kena, hewan itu
bergemetar tubuhnya dan roboh tanpa berkutik lagi.
Ciong-sie Sam-heng-tee jadi kesima bahana kagetnya.
Dengan menggunakan kesempatan itu, Ouw Hui membetot
tali sepasang sanggurdi kuda itu yang lantas saja menjadi
putus. "Maaf! Maaf!" katanya. "Karena tidak membawa senjata,
terpaksa aku meminjam sanggurdi ini." Berbareng dengan
perkataannya, sebuah sanggurdi menyambar muka Tiauwbun,
sedang yang satu lagi menghantam pundak Tiauw-leng.
Dengan demikian, mereka terpaksa meloncat mundur dan
gagal menerobos.
Sebagaimana diketahui, dulu ketiga saudara itu bersenjata
poan-koan-pit. Tapi, sedari delapan tahun berselang, yaitu
semenjak dirobohkan Biauw Jin-hong, karena malu, mereka
tidak menggunakan lagi poan-koan-pit dan lalu melatih diri
dengan senjata-senjata baru yang aneh. Selama delapan
tahun, mereka telah mendapat kemajuan pesat dan mereka
ingin sekali menjajal pula kepandaian Kim-bian-hud. Tapi tak
dinyana, sebelum bertemu dengan Biauw Jin-hong, di daerah
pegunungan itu, mereka sudah dibikin malu oleh seorang
bocah yang belum hilang bau popoknya.
Serentak mereka menerjang dengan masing-masing
senjatanya yang mengeluarkan kesiuran angin menderu-deru.
Ouw Hui pun segera memutar kedua sanggurdi itu, yang
digunakannya sebagai liu-seng-tui (banderingan) untuk
melayani ketiga lawannya.
Dengan cepat, mereka sudah bertempur kurang lebih tiga
puluh jurus. Begitu bergebrak, Ciong-sie Sam-hiong yang
berpengalaman luas, coba menebak asal usul ilmu silat Ouw
Hui. Melihat sambaran sanggurdi di tangan kanan Ouw Hui,
mereka segera menduga, bahwa pukulan itu yang mirip
dengan Pek-hong-koan-jit (Bianglala Putih Menembus
Matahari), adalah pukulan dari Thio-kee Tui-hoat (ilmu
banderingan dari keluarga Thio) di Ceng-ciu, Provinsi
Shoatang. Menurut kebiasaan Thio-kee Tui-hoat, Sesudah
Pek-hong-koan-jit, banderingan yang satunya lagi akan
menyabet dari samping. Sesaat itu, Kok-song-pang Ciong
Tiauw-bun tengah menyontek dari bawah ke atas dan di
bagian kepala Tiauw-bun terdapat suatu lowongan. Dengan
cepat Ouw Hui mengedut tali sanggurdi yang lalu menyambar
kepala Tiauw-bun.
Ciong-sie Sam-hiong kaget berbareng heran.
"Silat apakah ini" Kenapa, sebaliknya dari menyabet dari
samping, dia menghantam dari atas?" mereka menanya diri
sendiri. Melihat Tiauw-bun menangkis dengan toyanya, Ouw Hui
segera menyapu Tiauw-leng dengan sanggurdi yang di tangan
kanannya. Ciong-sie Sam-heng-tee mengangguk-angguk. Tak bisa
salah lagi, itulah pukulan Yang-bie-touw-kie (Menggerakkan
Alis Memuntahkan Hawa) dari Tie Sip Tui di Yanciu, Provinsi
Siam-say. Sesudah Yang-bie-touw-kie, kedua sanggurdi itu
pasti akan menghantam dada. Memikir begitu, mereka bertiga
lantas saja melintangkan senjata mereka di depan dada, untuk
menyambut kekerasan dengan kekerasan.
Tapi, di luar semua perhitungan, sebaliknya dari menyerang
dada, Ouw Hui menyapu kaki mereka dengan kedua
senjatanya. Dengan kaget, Ciong-sie Sam-hiong melompat
tinggi-tinggi. "Eh-eh!" seru seorang antaranya. "Kenapa Hoanthian-
hok-tee (Membalikkan Langit dan Bumi)?"
Sembari melompat, Ciong Tiauw-leng menanya, "Eh, masih
pernah apakah kau dengan Liu-seng-kan-goat Tong-loosu dari
Thaygoan-hu?"
Tong-loosu atau ahli silat she Tong dari Thaygoan-hu di
Provinsi Shoasay adalah seorang ahli dalam menggunakan
sepasang liu-seng-tui (liu-seng-tui berarti martil bintang sapu
atau banderingan). Oleh karena itu, ia mendapat julukan Liuseng-
kan-goat (Bintang sapu mengejar bulan). Dengan Ciongsie
Sam-hiong, Tong-loosu mempunyai hubungan yang sangat
rapat. Pukulan Hoan-thian-hok-tee adalah salah satu pukulan
yang paling lihai dari ahli silat tersebut dan yang sukar ditiru
oleh orang lain.
Mendengar pertanyaan itu, sembari tertawa Ouw Hui
menjawab, "Tong-loosu adalah suteeku (adik seperguruan)."
"Fui! Jangan ngaco belo!" bentak Tiauw-leng dengan suara
gusar. Demikianlah, keheranan Ciong-sie Sam-heng-tee jadi
semakin besar. Sesudah berkelana di seluruh negeri, mereka
mengenal semua ilmu liu-seng-tui yang terdapat dalam Rimba
Persilatan. Tapi cara Ouw Hui bersilat yang aneh, sudah
membikin mereka bingung.
Dalam suatu pertempuran yang sungguh-sungguh, Ciongsie
Sam-hiong sebenarnya bisa merobohkan Ouw Hui tanpa
menampak banyak kesukaran. Tapi, karena kebingungan
mereka, ditambah dengan rasa jeri sebagai akibat dari
pukulan terhadap tunggangan mereka, mereka jadi gentar dan
kegentaran ini sudah digunakan sebaik-baiknya oleh Ouw Hui.
Sesudah lewat puluhan jurus, barulah ketiga saudara itu
insaf, bahwa ilmu silat banderingan Ouw Hui tidak terlalu lihai.
Hati mereka jadi lebih mantap dan mereka menyerang dengan
ilmu mereka yang sudah dilatih selama delapan tahun itu.
Thie-pay Ciong Tiauw-eng, yang terbuat dari besi, digunakan
untuk menyerang dengan tenaga "keras". Sekarang Ouw Hui
mendapat kenyataan, bahwa empat huruf yang tertulis di atas
pay itu adalah "It-kian-seng-cay" (Begitu bertemu begitu
makmur). Bendera ciauw-hun-hoan dari Ciong Tiauw-leng
digunakan untuk melancarkan serangan tenaga "lembek".
Ouw Hui tak tahu, dari bahan apa bendera itu dibuat, bukan
kain dan juga bukan kulit. Setiap kali terpukul sanggurdi "kain"
bendera itu dirasakan "lembek", tapi jika bendera itu lewat di
dekat badannya, Ouw Hui merasakan kulitnya pedas sekali.
Kok-song-pang Ciong Tiauw-bun menyerang dengan tenaga
yang sedang-sedang yaitu di antara tenaga "keras" dan
tenaga "lembek". Demikianlah ketiga senjata itu menyerang
Ouw Hui dengan tiga macam tenaga yang bekerja sama.
Dalam sekejap, Ouw Hui sudah keteter. Sesudah lewat lagi
beberapa jurus, tiba-tiba ia meloncat ke luar dari gelanggang
seraya berseru, "Tahan! Sebenarnya dengan tulus hati aku
ingin membujuk Samwie dan sama sekali tidak punya niat
bermusuh. Tanpa senjata, aku tentu tak dapat melawan
Samwie dan sekarang aku menyerah kalah saja." Sembari
berkata begitu, ia meloncat minggir ke tepi jalan.
Ciong-sie Sam-hiong mengetahui, bahwa dengan kata-kata
itu Ouw Hui bermaksud membikin panas hati mereka. Tapi
karena adanya urusan penting dan mereka harus berangkat
secepat mungkin, Ciong Tiauw-leng lantas saja berkata,
"Baiklah. Lain kali, dengan senjata yang biasa kau gunakan,
kau boleh mencoba-coba lagi." Berbareng dengan
perkataannya, ia lantas menghampiri tunggangannya.
"Lain kali?" kata Ouw Hui sembari tertawa menyindir.
"Bagus! Lain kali saja. Tak dinyana, Ciong-sie Sam-heng-tee
adalah manusia-manusia yang begitu saja."
"Apa kau kata?" bentak Ciong Tiauw-bun. "Siapa menyuruh
kau tidak membawa senjata?"
"Sebenarnya aku sudah mempunyai suatu cara yang adil,"
kata Ouw Hui dengan tenang. "Hanya, aku khawatir kalian tak
berani." Ciong-sie Sam-hiong tak dapat bersabar lagi. "Hayo
katakan!" mereka berseru hampir berbareng.
Sebelum Ouw Hui keburu membuka mulut, Ciong Tiauweng
sudah berkata pula, "Kedua saudaraku akan melayani kau
di sini, sedang aku mau berangkat lebih dulu." Sehabis
berkata begitu, ia menggenjot badannya terus melompat.
Hampir berbareng dengan itu, Ouw Hui yang terus
berwaspada turut melompat ke atas sambil mementang kedua
tangannya untuk menghalang-halangi musuh itu kabur.
Tiauw-eng yang tidak menduga, bahwa pemuda itu bisa
bergerak begitu cepat, lantas saja menghantam dengan thiepaynya.
Tanpa berkelit, selagi badannya masih berada di
tengah udara, tangan kanan Ouw Hui menyambar
pergelangan tangan musuhnya, sehingga thie-pay itu hampirhampir
kena direbut. Dengan terkejut, Tiauw-bun dan Tiauw-leng menubruk dari
kiri-kanan, tapi pemuda itu sudah meloncat ke belakang
sembari mengeluarkan tertawa nyaring dan kemudian
memotes sebatang cabang pohon siong yang lurus. "Jika
kalian mempunyai nyali," ia menantang, "mari menjajal-jajal
ilmu golokku."
Meskipun senjatanya tidak sampai kena direbut, Tiauw-eng
merasakan pergelangan tangannya sakit sekali, akibat
cengkeraman Ouw Hui tadi. "Pemuda ini benar-benar bukan
sembarangan orang," pikirnya. "Jika aku sendiri mengejar
Lauw Ho-cin dan membiarkan kedua saudaraku berdiam di
situ, aku benar-benar merasa khawatir. Biarlah lebih dulu kita
bertiga merobohkan dia dan kemudian baru mengejar lagi
orang she Lauw itu." Memikir begitu, lantas saja ia berkata,
"Kami bersedia melayani ilmu golok Tuan, hanya menyesal
kami tidak membawa golok."
"Antara kita sama kita tidak ada permusuhan atau
ganjalan," kata Ouw Hui. "Bahkan kita belum pernah saling
mengenal. Maka itu, tak perlu kita bertempur mati-matian.
Begini saja, kita berjanji, siapa yang tersentuh, dia yang kalah.
Apakah Samwie setuju?"
"Setuju kami setuju," sahut Tiauw-bun.
Ouw Hui lalu memetik daun-daun yang menempel pada
cabang itu, sehingga yang ketinggalan hanyalah sebatang
dahan yang lurus dan bersih. "Biarlah aku menggunakan
cabang siong ini sebagai golok," katanya. "Samwie boleh
menyerang dengan berbareng. Lebih dulu kita berjanji, bahwa
setiap pukulan dari cabang ini harus dianggap sebagai
bacokan golok. Apakah aku bisa mendapat janji Ciong-sie
Sam-heng-tee?"
Mendengar kata-kata itu, darah Ciong-sie Sam-hiong jadi
semakin meluap. "Sebelum kau terlahir, nama Ciong-sie Samhiong
yang selalu memegang janji, sudah dikenal di seluruh
Kang-ouw," kata Tiauw-bun dengan suara keras.
"Kalau begitu, sambutlah!" kata Ouw Hui sembari menebas
dengan senjatanya. Dalam sekejap, mereka sudah bertempur
seru. Ouw-kee To-hoat benar-benar lihai. Dalam tangan Ouw
Hui, cabang pohon yang kecil lurus itu menyambar-nyambar
bagaikan kilat cepatnya, disertai dengan kesiuran-kesiuran
angin yang dahsyat. Dalam serangan-serangannya, senjata
Ouw Hui tak pernah kebentrok dengan senjata musuh tapi
setiap pukulannya ditujukan ke bagian badan musuh yang
berbahaya. Memang benar, walaupun kena terpukul, pukulan
itu tidak membahayakan jiwa. Akan tetapi, karena adanya
perjanjian, Ciong-sie Sam-hiong harus menjaga supaya badan
mereka tidak kena dicolek dengan cabang itu.
Tak lama kemudian, ketiga saudara itu sudah terdesak.
Dalam gusarnya, begitu melihat kesempatan, Tiauw-bun
menyabet betis Ouw Hui dengan toyanya. Dalam pertempuran
Ciong-sie Sam-heng-tee selalu bekerja sama secara erat
sekali. Begitu lekas Ouw Hui melompat untuk berkelit dari toya
musuh, ciauw-hun-hoan, senjata Ciong Tiauw-leng, sudah
menyambar kepalanya, dan hampir berbareng, thie-pay
Tiauw-eng menghantam pinggang kanannya. Sekali ini,
sebaliknya dari berkelit atau meloncat mundur, dengan berani
Ouw Hui maju setindak dan secepat kilat ujung cabang siong
itu menyambar pundak kiri Tiauw-bun.
Serangan itu bukan saja cepat, tapi juga hebat luar biasa.
Jika senjata Ouw Hui itu sebilah golok tajam, lengan Tiauwbun,
sebatas pundak, tentu sudah terpisah dari tubuhnya.
Wajah Tiauw-bun lantas saja berubah pucat bagaikan
kertas. "Sudahlah! Sudahlah!" ia berseru sambil melemparkan
kok-song-pangnya dan meloncat ke luar dari gelanggang.
Tiauw-eng dan Tiauw-leng terkejut bukan main. Dengan
serentak mereka lalu menyerang seperti harimau edan dengan
pengharapan bisa merobohkan lawan, supaya pertandingan
itu menjadi seri. Tapi, baru saja belasan jurus, sebaliknya dari
berhasil, mereka sendiri yang kena dirobohkan musuh, Tiauweng
kena disabet lehernya, Tiauw-leng dibabat lututnya.
Muka kedua saudara itu jadi berwarna ungu, bahana malu


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan gusar. Dengan berbareng, mereka melemparkan senjata
mereka. "Uah!" Tiauw-eng memuntahkan darah hidup dari
mulutnya. Melihat ketiga saudara itu memegang janji, Ouw Hui jadi
menghargakan mereka. Ia merasa syukur, bahwa barusan ia
tidak menurunkan tangan jahat dan ia yakin, bahwa Tiauweng
memuntahkan darah, bukan disebabkan luka, tapi karena
kejengkelan yang melampaui batas. Dengan perasaan
menyesal, ia merangkap kedua tangannya untuk memberi
hormat, tapi sebelum ia keburu membuka mulut, Tiauw-leng
sudah mengeluarkan suara di hidung. "Hm!" katanya. "Tuan
memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan aku merasa kagum.
Hanya sayang, sungguh sayang, Tuan yang masih begitu
muda, tidak mengambil jalan yang lurus!"
Ouw Hui terkesiap. "Kenapa aku tidak mengambil jalan
yang lurus?" tanyanya dengan tereengang.
"Samtee!" kata Tiauw-bun dengan suara gusar. "Guna apa
banyak-banyak bicara dengan dia?" Sehabis berkata begitu, ia
segera membantu Tiauw-eng naik ke punggung kuda dan
mereka lalu berangkat tanpa menengok pula dan tanpa
memungut senjata mereka yang dilemparkan di atas tanah.
Melihat cara-cara ketiga saudara itu, mau tak mau, Ouw
Hui merasa kagum. Ia berdiri seperti patung sambil
mengawasi tiga senjata itu dan bangkai kuda yang
menggeletak di atas tanah. Berselang beberapa saat, baru ia
kembali ke kuil itu dengan tindakan perlahan.
Setibanya di bio itu, ia mendapat kenyataan bahwa suami
istri Lauw Ho-cin sudah berlalu. Mengingat, bahwa barusan ia
telah melakukan pekerjaan mulia, hatinya merasa terhibur.
"Di mana adanya Biauw Jin-hong?" tanyanya di dalam hati.
"Orang itu bergelar Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu. Berapa
tinggikah ilmu silatnya?" Mengingat, bahwa Kim-bian-hud
mempunyai sangkut paut yang sangat rapat dengan mendiang
ayahnya, ia ingin sekali menemui orang gagah itu. Tapi di lain
pihak, ia juga tak bisa melupakan Hong Jin-eng yang sudah
bisa meloloskan diri dari cengkeramannya. Jika ia gagal dalam
usahanya membalaskan sakit hati keluarga Ciong A-sie, ia
bukan laki-laki. Pada saat itu, ia sangat ragu-ragu. Apakah ia
harus pergi menemui Biauw Jin-hong atau mengejar Hong Jineng"
Sembari menimbang-nimbang, ia berjalan kembali ke
tempat, di mana barusan ia bertempur dengan Ciong-sie Samhiong.
Begitu tiba di situ, hatinya merasa heran oleh karena
senjata ketiga saudara Ciong itu, yang tadi menggeletak di
atas tanah, sekarang tak ketahuan ke mana perginya. Yang
masih terdapat di tempat itu hanyalah bangkai kuda itu.
"Fajar baru saja menyingsing dan belum ada manusia lain
yang lewat di sini," katanya di dalam hati. "Apakah Ciong-sie
Sam-hiong kembali lagi untuk mengambil pulang senjata
mereka?" Ouw Hui tak gampang mau menerima dengan begitu saja,
jika menghadapi suatu teka-teki. Semakin sulit, ia semakin
penasaran. Demikianlah ia terus menyelidiki keadaan di sekitar
situ. Berapa saat kemudian, matanya yang sangat tajam
melihat sebuah tapak kaki berlumpur di cabang pohon besar
yang terpisah kurang lebih tiga puluh tombak dari tempat
pertempuran. Tapak itu terdapat di cabang yang tingginya
kira-kira tiga tombak dari muka bumi dan pasti tak akan dapat
dilihat mata orang biasa. Sesudah memeriksa secara lebih
teliti, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa tapak itu
berukuran kecil dan masih agak basah, sehingga ia segera
menarik kesimpulan, bahwa yang barusan berdiri di situ
adalah seorang wanita.
Jantung Ouw Hui memukul keras. "Apakah dia?" ia
menanya dirinya sendiri dan ia segera melompat naik ke
pohon itu. Benar saja, di cabang itu terdapat dua tapak sepatu
wanita dan beberapa cabang kecil telah terinjak patah.
"Tak mungkin, tak mungkin Nona Wan," pikir Ouw Hui.
"Orang yang mempunyai ilmu mengentengkan badan seperti
ia, tak nanti menginjak cabang-cabang kecil itu sehingga
patah. Tapi, siapa dia?" Dengan penasaran ia manjat lebih
tinggi lagi dan di sebatang cabang yang besar, ia kembali
mendapatkan sepasang tapak kaki, agaknya ditinggalkan
seorang laki-laki.
Sekarang ia tak sangsi lagi. Kedua orang itu sudah pasti
bukan lain daripada Lauw Ho-cin dan istrinya yang telah
bersembunyi di pohon dan menonton ia bertempur. Tapi
berbareng dengan kesimpulan itu, pertanyaan-pertanyaan lain
segera muncul dalam otak Ouw Hui. Bagaimana, mereka,
yang agaknya mendapat luka berat, bisa memanjat pohon
yang tinggi itu" Dan kenapa, sesudah Ciong-sie Sam-hiong
berlalu, mereka tidak memanggilnya" Di lain saat, ia
mendapat suatu pikiran lain. "Ah! Sikap mereka tak salah,"
pikirnya. "Mereka tadinya tidak tahu, bahwa aku paham ilmu
silat dan tentu saja mereka bereuriga, di waktu mendapat
kenyataan, bahwa aku dapat merobohkan Ciong-sie Samhiong.
Dalam dunia Kang-ouw memang banyak gelombang
dan badai, setiap orang harus berlaku sangat hati-hati. Dalam
bereuriga, mereka tentu saja tidak berani muncul. Di samping
itu, mereka juga mempunyai suatu tugas yang harus
diselesaikan secepat mungkin." Hati Ouw Hui menjadi lega
dan ia segera meloncat turun. Ia mendapat kenyataan, bahwa
tapak-tapak kaki itu menuju ke arah timur laut dan oleh
karena ingin menyelidiki lebih lanjut, ia segera mengikutinya.
Sesudah hujan dan jalan jadi berlumpur, Ouw Hui tidak
mengalami banyak kesukaran dalam usahanya mengikuti jejak
dua orang itu. Sesudah mengejar kurang-lebih satu jam,
tibalah ia di sebuah kota kecil. Sampai di situ, jejak suami istri
Lauw Ho-cin sukar dikenali lagi, karena tersamar dengan
tapak-tapak orang lain.
"Sesudah semalaman tak makan, mereka tentu lebih dulu
menangsel perut," pikir Ouw Hui. "Tapi mungkin juga, mereka
hanya membeli bakpauw dan lantas meneruskan perjalanan.
Jika demikian, tak akan gampang menyusul mereka." Memikir
begitu, ia lantas saja membeli sepotong baju hujan dan
sebuah tudung lebar yang lalu dipakainya. Dengan
penyamaran itu, ia lalu menyelidiki di rumah-rumah makan.
Sesudah memerhatikan beberapa rumah makan, orangorang
yang dicarinya belum juga kelihatan bayang-bayangnya.
Kota itu adalah sebuah kota kecil dan tak lama kemudian, ia
sudah tiba di ujung pasar. Selagi mau memutarkan badan
untuk kembali guna menangsel perut, tiba-tiba kupingnya
mendengar suara seorang wanita. "Toako, tolong pinjam
jarum dan benang," kata wanita itu. Hati Ouw Hui berdebar.
Suara itu adalah suara Ong Tiong-peng.
Dari bawah tudungnya yang lebar, Ouw Hui melirik dan
mendapat kenyataan, bahwa suara itu keluar dari rumah
seorang penduduk. Ia mengetahui, bahwa kedua suami istri
itu tidak berani menginap di dalam hotel, khawatir
diketemukan musuh-musuhnya. "Dilihat begini," pikir Ouw
Hui, "selain Ciong-sie Sam-hiong, mereka masih mempunyai
musuh-musuh lain. Biarlah, karena sudah telanjur, aku akan
terus melindungi mereka sampai surat itu sudah diserahkan ke
dalam tangan Biauw-tayhiap."
Memikir begitu, Ouw Hui segera mengambil kamar di
sebuah hotel yang berdekatan, dari mana ia terus
memerhatikan rumah yang ditumpangi suami istri Lauw Hocin.
Sampai magrib, Lauw Ho-cin dan istrinya belum juga
muncul. "Orang tua itu benar hati-hati," pikir Ouw Hui.
"Mereka tentu ingin berangkat di waktu malam." Benar saja,
kira-kira tengah malam barulah kedua suami istri itu keluar
dari rumah tersebut dan berlari-lari dengan kecepatan luar
biasa, bukan seperti orang yang sedang terluka.
"Ah! Kalau begitu mereka berpura-pura," kata Ouw Hui
dalam hatinya. "Pandai sungguh mereka bersandiwara,
sehingga bukan saja Ciong-sie Sam-hiong, tapi aku pun sudah
kena dikelabui." Tanpa membuang tempo lagi, Ouw Hui
segera menguntit. Dari kejauhan, ia melihat Lauw Ho-cin
mengempit sebuah bungkusan yang berbentuk agak panjang,
entah bungkusan apa.
Ilmu mengentengkan badan Ouw Hui memang jauh lebih
tinggi daripada suami istri Lauw Ho-cin, sehingga dengan
mudah ia dapat menguntit terus tanpa diketahui mereka.
Sesudah berlari-lari kurang-lebih lima li, mereka berhenti di
depan sebuah rumah kecil yang terpencil. Lauw Ho-cin segera
memberi isyarat dan istrinya lalu menyembunyikan diri di
antara alang-alang yang tinggi. Sesudah itu ia mendekati
rumah tersebut dan berkata dengan suara nyaring, "Apakah
Kim-bian-hud Biauw-tayhiap ada di rumah" Seorang kawan
dari tempat jauh datang berkunjung."
"Sahabat dari mana?" terdengar pertanyaan dari dalam.
"Maafkanlah aku Biauw Jin-hong tak dapat mengenalinya."
Suara itu tak keras, tapi terdengar tegas sekali.
"Aku she Ciong," jawab Lauw Ho-cin. "Atas perintah Kuikian-
ciu Ciong-sie Heng-tee, aku datang mengantarkan surat
untuk Biauw-tayhiap."
"Masuklah!" Biauw Jin-hong mengundang.
Dalam rumah itu lantas saja kelihatan terang, disusul
dengan dibukanya pintu. Ouw Hui yang bersembunyi di atas
sebuah pohon besar segera melihat, bahwa seorang yang
berbadan jangkung kurus berdiri di tengah pintu, dengan
tangan kanan mencekal ciak-tay (tancapan lilin yang biasanya
dibuat dari kuningan).
Mendengar perkataan Lauw Ho-cin, Ouw Hui jadi bingung
dan heran. "Kenapa dia mengatakan surat itu dari Ciong-sie
Sam-hiong, sedang Ciong-sie Sam-hiong sendiri coba
merintangi disampaikannya surat tersebut?" ia menanya
dirinya sendiri.
Sementara itu, Lauw Ho-cin sudah merangkap kedua
tangannya dan segera masuk ke dalam.
"Kenapa dua sahabat yang lain tidak turut masuk?" tanya
Biauw Jin-hong.
Lauw Ho-cin tak mengerti maksud pertanyaan itu dan ia
lantas saja memberi jawaban samar-samar.
Begitu lekas kedua orang itu masuk ke dalam, Ouw Hui
segera meloncat turun dari atas pohon dan mengintip dari
jendela. Ia terkesiap mendengar pertanyaan Kim-bian-hud
tentang, "dua sahabat lain". "Ah! Biauw-tayhiap benar-benar
lihai," katanya di dalam hati. "Tindakan kakiku begitu enteng,
tapi ia masih mendengar juga, bahwa yang berkunjung
berjumlah tiga orang."
"Delapan tahun berselang, Ciong-sie Heng-tee telah
menerima pelajaran dari Biauw-tayhiap dan mereka semua
merasa kagum atas kepandaian Tayhiap," demikian terdengar
suara Lauw Ho-cin. "Sekarang mereka sudah berlatih dengan
tiga macam senjata baru dan minta aku terlebih dulu datang
ke sini untuk memperlihatkan ketiga benda itu kepada Biauwtayhiap,
supaya dalam pertempuran yang akan datang,
Tayhiap tidak mendapat kesan, bahwa mereka hendak
menarik keuntungan dari senjata mereka yang luar biasa."
Sehabis berkata begitu, ia membuka bungkusan yang
dikempitnya dan mengeluarkan tiga buah senjata Ciong-sie
Sam-heng-tee. Dapat dimengerti, jika Ouw Hui jadi semakin heran.
Biauw Jin-hong hanya mengeluarkan suara di hidung dan
melirik ketiga senjata itu yang diletakkan di atas meja.
Di lain saat, Lauw Ho-cin merogoh sakunya dan
mengeluarkan sepucuk surat untuk diserahkan kepada Kimbian-
hud dengan kedua tangan. "Biarlah Biauw-tayhiap
membaca surat ini," katanya. "Sekarang tugasku sudah selesai
dan aku minta permisi berlalu." Ia menyoja dan lantas
mengundurkan diri.
"Perlahan sedikit," kata Biauw Jin-hong. "Sesudah
membaca surat ini, aku ingin memesan beberapa perkataan
kepada Saudara untuk disampaikan kepada Ciong-sie Samheng-
tee." Ia yakin, bahwa surat itu adalah surat tantangan
dan ia segera merobek amplopnya.
Selagi Biauw Jin-hong membaca, Ouw Hui memerhatikan
wajahnya yang sangat angker. Ia mendapat kenyataan,
bahwa dibanding dengan delapan tahun berselang ketika
mereka bertemu muka di Siang-kee-po, Kim-bian-hud
kelihatan banyak lebih tua dan pada mukanya terdapat garisgaris
yang mencerminkan penderitaan selama itu. Tapi,
sekonyong-konyong, wajah yang berduka itu berubah menjadi
merah padam, kedua alisnya berdiri dan dari kedua matanya
keluar sinar berkilat-kilat. Itulah keangkeran Tah-pian Thianhee
Bu-tek-chiu yang wajar. Ouw Hui menjadi keder dan ia
mengangkat kaki untuk mengundurkan diri.
Mendadak, dengan kedua tangannya Biauw Jin-hong
merobek surat itu. Dan berbareng dengan itu, asap yang
berwarna kuning mengembus ke atas dari robekan itu!
"Aduh!" teriak Kim-bian-hud sembari menekap muka
dengan kedua tangannya. Pada saat yang sama, Lauw Ho-cin
meloncat mundur setombak lebih.
Semua kejadian itu sudah terjadi dalam sekejap mata. Dan
dalam sekejap itu, Ouw Hui sudah mengerti duduknya
persoalan. "Kalau begitu, si tua bangka sengaja
membubuhkan racun pada surat itu untuk membutakan mata
Biauw-tayhiap," pikirnya dengan gusar.
"Bangsat! Jangan lari kau!" bentak Ouw Hui sembari
menubruk orang she Lauw itu. Dengan cepat Lauw Ho-cin
menghunus goloknya dan segera membacok. Ouw Hui berkelit
sambil mengangsurkan tangannya untuk merebut senjata
musuh. Pada saat itu, suatu kesiuran angin yang sangat
dahsyat menyambar punggungnya, sehingga mau tak mau,
Ouw Hui terpaksa memutarkan badan untuk menyambut
serangan tersebut dengan kedua tangannya.
Ia mengetahui, bahwa dalam gusarnya, serangan Biauw
Jin-hong tentu hebat luar biasa. Oleh karena itu, lantas saja ia
menggunakan ilmu Lian-hoan-koat dari Thay-kek-kun, yang
didapatnya dari Tio Poan-san, untuk memunahkan tenaga
pukulan Kim-bian-hud. Tapi, begitu lekas kedua tangannya
kebentrok dengan tenaga pukulan Biauw Jin-hong, matanya
berkunang-kunang dan dadanya sesak, sehingga ia terhuyung
ke belakang beberapa tindak. Ternyata, ia hanya dapat
memunahkan sebagian dari tenaga Kim-bian-hud yang luar
biasa itu. "Biauw-tayhiap!" berseru Ouw Hui. "Aku ingin membantu
kau membekuk bangsat itu ...."
Sementara itu, Lauw Ho-cin sendiri sudah melarikan diri.
Kedua mata Biauw Jin-hong sakit bukan main, seperti juga


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditusuk-tusuk ratusan jarum. Begitu lekas tangannya
kebentrok dengan tangan Ouw Hui, ia mengetahui bahwa
lawannya bukan orang sembarangan. Sesudah kedua matanya
buta, ia merasa pasti hari itu jiwanya akan melayang. Dalam
bingungnya dan gusarnya, ia tak dapat menangkap perkataan
Ouw Hui. Melihat suami istri Lauw Ho-cin kabur ke jurusan barat,
Ouw Hui segera memutarkan badan untuk mengejar. Tapi
baru saja ia melangkah, dari kejauhan tiba-tiba muncul tiga
orang yang mengenakan pakaian berkabung dan mereka itu
bukan Lain daripada Ciong-sie Sam-heng-tee.
Melihat penderitaan Kim-bian-hud, dalam hati Ouw Hui
lantas saja timbul rasa kasihan. Ia ingin mendekati untuk coba
menolong, tapi khawatir dihantam. "Biauw-tayhiap," katanya
dengan suara nyaring. "Walaupun aku bukan sahabatmu, tapi
aku tak akan mencelakakan kau. Apakah kau pereaya?"
Suara itu yang bernada memohon dan keluar dari hati
setulusnya, segera meredakan kekalapan Biauw-tayhiap.
Meskipun kedua matanya tak dapat melihat wajah orang,
hatinya yakin, bahwa pemuda yang mengeluarkan suara
begitu, bukan seorang jahat. Kata orang, enghiong mengenal
enghiong. Demikian juga, suara Ouw Hui itu adalah seolaholah
kesiuran angin sejuk pada darah Biauw Jin-hong yang
sedang mendidih. "Baiklah," katanya. "Tolong cegat manusiamanusia
jahat yang berada di luar pintu." Dengan kata-kata
itu, Kim-bian-hud sudah menerima Ouw Hui sebagai
sahabatnya. Di lain pihak, suara Biauw Jin-hong yang tulus
jujur diterima Ouw Hui dengan rasa hangat.
Entah bagaimana, ia merasa, bahwa suara itu yang
meresap dalam lubuk hatinya, adalah suara seorang kesatria
besar, untuk siapa ia bersedia mengorbankan jiwanya jika
perlu. Dengan kupingnya yang terlatih, ia mengetahui bahwa
Ciong-sie Sam-hiong masih berada dalam jarak kurang-lebih
dua puluh tombak dari rumah itu. Dengan cepat ia pergi ke
dapur dan kembali lagi dengan membawa semangkuk air
bersih. "Cucilah dulu mata Cianpwee dengan air ini," katanya
sembari mengangsurkan mangkuk air itu.
Biarpun matanya sakit luar biasa, pikiran Kim-bian-hud
tetap terang seperti biasa. Ia mengetahui, bahwa dari depan
dari jalan raya, mendatangi tiga orang, sedang dari belakang,
empat orang sudah melompat naik ke atas genting. Begitu
menyambut mangkuk air itu, ia melompat ke dalam kamar dan
keluar lagi dengan mendukung seorang nona cilik. Sesudah
itu, baru ia mencuci kedua matanya. Tapi, racun itu ternyata
luar biasa hebatnya, karena semakin dicuci, rasa sakit semakin
menjadi-jadi. Dalam keadaan setengah pulas dan setengah sadar, nona
itu berkata, "Thia-thia, apakah kau mau mengajak #Lan mainmain?"
"Hm! Lan-jie," katanya dengan suara halus. "Thia ingin
mendukung kau, tidurlah dengan tenang."
"Apakah anjing hutan itu benar-benar tak makan si
kambing putih?" tanya pula si nona.
"Tidak, tentu saja tidak," jawab sang ayah. "Pemburu
keburu datang dan binatang itu lantas kabur."
Si nona menghela napas, ia bersenyum puas dan segera
menyesapkan mukanya yang kecil di dada ayahnya yang
lebar. Mendengar tanya jawab antara ayah dan anak itu, Ouw
Hui merasa sangat terharu.
Sesaat itu, Ciong-sie Sam-heng-tee sudah berada dalam
jarak sepuluh tombak dari depan pintu. Hampir berbareng dari
atas genting, dua orang melompat turun di ruangan belakang.
Dengan cepat Ouw Hui mengunci pintu depan dan
mengganjalnya dengan sebuah meja besar, supaya Ciong-sie
Sam-hiong tak bisa lantas masuk, agar mereka jangan sampai
diserang dari depan dan dari belakang. Sesudah itu, dengan
sekali mengebas, ia memadamkan api lilin.
Melihat padamnya penerangan, dua orang yang baru turun
itu, tidak berani masuk ke dalam.
"Biarkan empat-empatnya masuk," berbisik Biauw Jin-hong.
"Baiklah," sahut Ouw Hui sembari menyalakan lagi lilin itu.
Sementara itu, di luar pintu sudah terdengar seruan Ciong
Tiauw-bun, "Biauw-tayhiap! Tiauw-bun, Tiauw-eng, dan
Tiauw-leng dari Ouwpak Utara ingin berjumpa dengan Biauwtayhiap
untuk memberitahukan suatu urusan penting!" Biauw
Jin-hong tak menyahut, ia hanya menggerendeng.
Kedua musuh yang masuk dari ruangan belakang, merasa
girang sekali di waktu melihat Kim-bian-hud tak bisa membuka
matanya lagi. Tapi mereka itu, yang masing-masing mencekal
golok dan sam-ciat-kun, tidak berani lantas masuk ke dalam.
Orang yang memegang golok lantas menggapai ke atas dan
berseru, "Matanya sudah buta!"
Dua kawannya tertawa girang dan lantas saja meloncat
turun juga. Melihat gerakan mereka, Ouw Hui mengetahui,
bahwa kepandaian mereka lebih tinggi dari kedua orang yang
turun lebih dulu.
Dengan beberapa lompatan kilat, Ouw Hui sudah berada di
belakang dua orang itu. "Masuk!" ia membentak sambil
mendorong. Mendengar kesiuran angin yang tajam, kedua orang itu
tidak berani menyambut kekerasan dengan kekerasan. Mereka
meloncat minggir dan masuk ke dalam kamar tetamu dengan
melompat langkan. Ouw Hui menarik napas dan sekali
meniup, api lilin yang berada dalam jarak beberapa tombak,
lantas saja menjadi padam. Empat orang itu terkejut, tapi
dengan serentak mereka lalu menyerang Kim-bian-hud
dengan senjata masing-masing.
"Thia, suara apa itu?" tanya si nona cilik yang tadi
mendusin karena riuhnya gemerencing senjata. "Apakah
anjing hutan itu datang lagi?"
"Bukan, bukan anjing hutan," sahut sang ayah. "Hanya
empat cecurut kecil."
Pada detik itu, sebatang sam-ciat-kun menyambar kepala
Biauw Jin-hong. Dengan mendengarkan kesiuran angin, Kimbian-
hud menangkap senjata itu, yang lalu dibetotnya. Begitu
dibetot, lengan orang itu kesemutan dan senjatanya terlepas.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, dengan tangannya Biauw Jinhong
menghantam pinggang orang itu, yang lantas saja roboh
terguling dalam keadaan pingsan. Tiga kawannya, yang dua
mencekal golok dan yang satu memegang thie-pian (pecut
besi), lantas saja menyerang tanpa mengeluarkan sepatah
kata. "Thia," kata si nona cilik. "Apakah cecurut bisa menggigit?"
"Bangsa cecurut hanya berani menggigit orang di tempat
gelap," jawab sang ayah. "Tapi begitu melihat kucing, dia
lantas kabur."
"Thia, suara apa itu?" tanya pula si nona. "Apakah angin
besar" Thia, apakah akan turun hujan?"
"Benar," sahut Biauw Jin-hong. "Sebentar bakal ada
geluduk." "Luikong Posat (Malaikat Geluduk) hanya menghantam
orang jahat, bukan?" tanya lagi si gadis cilik.
"Tak salah," jawabnya. "Luikong Posat sangat mencintai
anak yang baik."
Sembari bereakap-cakap dengan putrinya, dengan sebelah
tangan Kim-bian-hud melayani ketiga musuhnya. Seperti
seekor kucing mempermainkan cecurut, dengan tenang ia
memunahkan setiap serangan dan sebegitu jauh, ia masih
belum menurunkan tangan yang membinasakan.
Sesudah bertempur beberapa lama, seorang antaranya
yang bersenjata golok, timbul rasa takutnya, ia segera
berteriak, "Angin keras, hayo angkat kaki!" Sehabis berteriak
begitu, ia melompat ke luar pintu.
Ouw Hui yang sedari tadi menunggu di luar, segera
menyapu dengan kakinya dan orang itu lantas saja terjungkal
di atas lantai, sedang goloknya terlempar.
"Lan-jie," kata Kim-bian-hud dengan suara halus.
"Dengarlah! Ini suara geluduk." Berbareng dengan
perkataannya, ia menghantam dengan tinjunya yang tepat
mengenai musuh yang bersenjata thie-pian. "Duk!" tubuh
orang itu terbang melewati kepala Ouw Hui dan kemudian
jatuh ngusruk di ruangan belakang.
Orang yang ketiga, yang menggunakan golok, ternyata
berkepandaian lumayan. Dua kali beruntun ia bisa mengelit
tinju Biauw Jin-hong. Sesudah mengirimkan dua pukulan itu,
Biauw Jin-hong khawatir putrinya jadi ketakutan, Biauw Jinhong
tidak menyerang lagi dan segera duduk di atas kursi.
Sekarang orang itu mengetahui, bahwa meskipun sudah
buta, Biauw Jin-hong masih tetap lihai dan ia tak akan dapat
melawannya. Ia juga tahu, bahwa orang yang menjaga di pintu juga
lawan yang berat, sehingga ia seperti juga seekor kura-kura
yang sudah masuk ke dalam kuali. Mendadak ia membacok
sekuat tenaganya dan selagi Biauw Jin-hong berkelit, ia
melompat masuk ke dalam kamar tidur dan menyalakan
bahan api yang lantas dilemparkannya ke dalam pembaringan.
Sesudah itu, ia meloncat ke luar dari jendela, naik ke atas
genting. Dalam sekejap api sudah berkobar-kobar dan asapnya
menggolak naik ke atas.
Sementara itu, ketiga saudara Ciong yang berada di luar
pintu, sudah mengetahui, bahwa di dalam rumah sedang
berlangsung suatu pertempuran. Sesudah menunggu
beberapa lama, Ciong Tiauw-eng berseru, "Biauw-tayhiap!
Kami bertiga sebenarnya datang untuk meminta pengajaran
lagi. Akan tetapi, kami tak nanti mengganggu di waktu kau
sedang berada dalam bahaya. Biauw-tayhiap! Legakanlah
hatimu." Baru saja Tiauw-eng berkata begitu, asap yang mengebul
sudah terlihat dari luar rumah.
"Kebakaran!" teriak Tiauw-bun.
"Bangsat itu sungguh jahat!" berseru Tiauw-leng. "Toako!
Mari kita memadamkan api!"
Ketiga saudara itu segera loncat ke atas genting untuk
mencari air. Ouw Hui mengetahui, bahwa ilmu silat Ciong-sie Sam-hiong
tak dapat dibandingkan dengan kepandaian empat orang yang
datang duluan. Dengan kedua mata tak bisa melihat dan
sebelah tangannya mendukung anak, Biauw Jin-hong pasti
akan dapat dirobohkan. Maka itu, lantas saja ia membentak,
"Manusia tak punya malu! Jangan masuk kau!"
Sementara itu, api berkobar-kobar semakin besar.
"Thia," kata si nona. "Panas betul!"
Dengan cepat Kim-bian-hud menggeser meja dan
menendang pintu yang lantas saja jadi terpental. Ia
menggapai ke atas genting seraya berkata, "#Martian! Di sini
saja kita bertempur." Ia berkata begitu dengan suara perlahan
karena khawatir mengagetkan putrinya.
Pada detik itu, tanpa merasa Biauw Jin-hong ingat kejadian
itu, delapan tahun berselang. Seperti sekarang, dulu pun
dengan badan terluka, ia harus melayani Ciong-sie Sam-hiong
dalam rumah yang sedang terbakar. Perbedaannya adalah,
pada waktu itu, yang menemani ia bukan seorang nona cilik,
tapi seorang wanita cantik yang belakangan menjadi istrinya.
Tidak! Dia tidak menemani terus, karena pada saat yang
berbahaya, dia sudah kabur lebih dulu ....
Melihat api semakin menghebat dan menaksir, bahwa
untuk akan dapat mempertahankan diri, Ouw Hui segera
mengambil putusan untuk lebih dulu coba memadamkan api.
Ia berlari-lari ke dapur dan dengan girang ia melihat, bahwa di
pinggir dapur berdiri berjejer tiga jambangan batu besar yang
semuanya terisi air. Ia memeluk sebuah antaranya dan
dengan mengerahkan lweekangnya, dapat juga ia
mengangkat jambangan itu yang beratnya lebih dari enam
ratus kati. Biarpun memiliki tenaga yang sangat besar, tak
urung tindakannya agak sempoyongan. Dengan mengeluarkan
seantero tenaganya dan menahan napas, bisa juga ia berjalan
sampai di dalam kamar tidur itu sambil memeluk jambangan
yang lalu dilemparkannya ke tengah pembaringan.
Api itu lantas saja menjadi reda, tapi belum padam
seluruhnya. Buru-buru Ouw Hui pergi lagi ke dapur dan
mengangkat pula sebuah jambangan. Tapi baru saja ia
melangkah pintu kamar, suatu kesiuran angin tajam
menyambar punggungnya. Ternyata, orang yang tadi
dijatuhkannya, telah memungut goloknya dan membokong ia
dari belakang. Ketika itu, dengan kedua tangan memondong
jambangan, Ouw Hui tak dapat berkelit atau menangkis lagi.
Pada detik yang sangat berbahaya, cepat bagaikan kilat, kaki
Ouw Hui menendang ke belakang sembari manggut ke depan.
Itulah tendangan aneh yang pada berapa tahun berselang
pernah digunakan oleh Giam Kie di Siang-kee-po, sehingga
seorang ahli silat seperti Ma Heng-kong masih tak dapat
memunahkannya. Tendangan tersebut mengenai kempungan
orang itu yang badannya lantas saja terbang melewati kepala
Ouw Hui dan jatuh tepat di dalam jambangan! Kejadian luar
biasa itu telah terjadi oleh karena berbareng dengan
tendangannya, Ouw Hui juga menggaet ke depan.
Begitu lekas tubuh orang itu tereebur, Ouw Hui mendorong
dan melemparkan jambangan itu yang lantas saja terbelah
dua dan airnya memadamkan sisa api yang masih ketinggalan.
Orang itu turut jatuh mengusruk dengan luka-luka dan
pakaian basah kuyup.
Sesudah berhasil memadamkan kebakaran, Ouw Hui segera
memutarkan badan untuk membantu Biauw Jin-hong.
Sekonyong-konyong ia mendengar suara bentakan-bentakan
yang disusul dengan bunyi beradunya senjata. Didengar dari
suaranya, orang yang membentak bukan lain daripada Lauw
Ho-cin. "Bangsat!" ia berteriak. "Aku sudah kena ditipu
olehmu!" "Dengan siapa dia bertempur?" tanya Ouw Hui dalam
hatinya. "Dia adalah orang yang berdosa paling besar dan
paling baik aku lebih dulu membekuk dia." Memikir begitu,
Ouw Hui segera berlari-lari ke pekarangan belakang, ke arah
suara itu. Segera juga ia melihat, bahwa dengan tangan
kosong, Lauw Ho-cin sedang bertempur dengan seorang lelaki
yang bersenjata golok. Dari gerakan-gerakannya, Ouw Hui
mengenalinya sebagai penjahat yang tadi melepaskan api di
kamar tidur. Ouw Hui jadi semakin heran. Terang-terang mereka berdua
berkawan, tapi kenapa sekarang mereka berbalik bertempur
hebat" Ouw Hui tak sempat memikir panjang-panjang dan


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali menggenjot badan, ia menyerbu ke dalam gelanggang
pertempuran. Cepat bagaikan kilat, dengan ilmu Toa-kin-nachiu,
kedua tangannya berhasil menutuk jalan darah di
punggung kedua orang itu yang lantas saja tak dapat
bergerak lagi. Bahwa dengan sekali bergebrak saja Ouw Hui
sudah berhasil, adalah karena mereka berdua sedang
memusatkan seantero perhatian mereka kepada pertempuran
mereka yang sedang sengitnya.
Ouw Hui berdiam sejenak dan memasang kuping. Ia
girang, karena di depan rumah belum terjadi pertempuran,
tapi ia tetap khawatir, jika Biauw Jin-hong mendapat celaka
dalam tangan Ciong-sie Sam-hiong. Maka itu, lantas saja ia
menenteng tubuh Lauw Ho-cin dan orang itu, yang lalu
dicemplungkan ke dalam sumur yang berada di dapur. Untuk
menjaga supaya kedua tawanan itu tidak kabur, ia
mengangkat jambangan ketiga itu, yang lalu digunakan
menutup mulut sumur. Sesudah itu, dengan mengambil jalan
memutar, ia berlari-lari ke pekarangan depan.
Sesaat itu, Ciong-sie Sam-hiong, yang masing-masing
menggenggam sepasang poan-koan-pit, sudah berhadapan
dengan Biauw Jin-hong, tapi mereka belum menyerang. Ouw
Hui mendekati seraya berkata, "Biauw-tayhiap, serahkanlah
putrimu kepadaku."
Walaupun sikapnya tenang, Kim-bian-hud sedang berduka.
Ia yakin, bahwa dengan mata tidak dapat melihat, andai kata
ia berhasil memukul mundur Ciong-sie Sam-hiong malam itu,
akhirnya ia akan binasa juga dalam tangan musuh-musuhnya.
Sebagai seorang kesatria, ia selalu memandang kematian
sebagai soal yang remeh. Akan tetapi, pada waktu itu, masih
ada apa-apa yang diberatinya, yang membikin ia sungkan mati
begitu cepat. Yang dipikirkannya adalah Lan-jie, putrinya yang
sebiji mata. Barusan, dengan kupingnya yang sangat tajam, ia sudah
mendengar segala sepak terjang Ouw Hui, yang sudah
berhasil memadamkan kebakaran dan berhasil pula
membekuk dua orang penjahat. Ia merasa kagum akan
peribudi dan kecerdikan pemuda itu. Itulah sebabnya,
mengapa begitu mendengar permintaan Ouw Hui, ia segera
menanya, "Saudara kecil, apakah aku boleh mendengar she
dan namamu yang mulia?"
Ouw Hui yang masih belum mengetahui, apakah benar
ayahnya telah binasa dalam tangan Biauw Jin-hong, merasa
sangsi untuk memberitahukan namanya secara terus terang.
Maka itu, lantas saja ia menyahut. "Dalam perhubungan
antara laki-laki dan laki-laki, yang penting adalah peribudi.
Soal nama adalah soal kecil. Manakala Biauw-tayhiap
memereayai aku, biarpun badanku hancur lebur, aku berjanji
akan melindungi putrimu yang tereinta."
"Bagus!" kata Biauw Jin-hong. "Biauw Jin-hong adalah
seorang sebatang kara. Selama hidupnya, ia hanya
mempunyai dua sahabat, yang satu adalah Liaotong-tayhiap
Ouw It-to, sedang yang lain adalah kau sendiri, seorang
saudara kecil yang entah siapa namanya." Sembari berkata
begitu ia menyerahkan putri tunggalnya kepada pemuda itu.
Bukan main girangnya Ouw Hui setelah mendengar
perkataan Biauw Jin-hong yang mengatakan, bahwa ayahnya
adalah sahabat kesatria itu. Ia menyambuti si nona cilik yang
berusia kira-kira tujuh tahun dan yang sedang pulas nyenyak,
dengan mulut menyunggingkan senyuman.
Melihat Ouw Hui dan mendengar pembicaraannya dengan
Kim-bian-hud, Ciong-sie Sam-hiong jadi tereengang.
Di lain saat, Biauw Jin-hong sudah merobek tangan bajunya
yang lalu digunakan untuk membebat kedua matanya.
"Manusia tak mengenal malu!" ia membentak. "Hayolah!
Majulah dengan berbareng! Anakku sedang pulas, kamu
jangan bicara keras-keras."
Ciong Tiauw-bun maju setindak dan berkata dengan suara
gusar, "Biauw-tayhiap! Dulu, muridku telah binasa dalam
tanganmu dan kami bertiga telah datang untuk minta
perhitungan. Belakangan kami mengetahui, bahwa murid itu
adalah manusia jahat yang serakah, yang pantas sekali
mendapat hukumannya. Dalam hal itu, kami sebenarnya harus
mengaturkan banyak terima kasih kepadamu yang sudah
membersihkan rumah tangga kami dari kutu busuk."
"Hm!" gerendeng Kim-bian-hud. "Perlahan sedikit.
Kupingku tidak tuli."
Tiauw-bun jadi semakin gusar dan lalu berkata pula,
"Waktu itu, meskipun kau terluka, kami ternyata masih bukan
tandinganmu. Maka itu, sekarang kami datang berkunjung lagi
untuk meminta pengajaran pula. Akan tetapi di tengah jalan
kami mengetahui, bahwa sekomplotan manusia keji sedang
memasang jaring untuk mencelakakan kau. Bahwa kami
menyusul kemari untuk memberi tahu kau, supaya kau bisa
berjaga-jaga. Sekarang, sedang kawanan manusia jahat itu
sudah kabur semuanya, terserahlah kepada kau, apa kau sudi
memberi pelajaran kepada kami" Apa perlunya kau menutup
kedua matamu. Apakah kau menganggap kami bertiga begitu
tak punya guna, sehingga bisa dirobohkan olehmu dengan
mata tertutup?"
Biauw Jin-hong terkejut. Dari kata-kata itu ternyata Ciongsie
Sam-hiong tak mempunyai sangkut paut dengan
komplotan penjahat yang sudah membutakan kedua matanya.
"Kedua mataku buta," katanya dengan suara
menyeramkan. "Astaga!" teriak mereka dengan serentak. "Kalau begitu,
kami sudah keliru menafsirkan sikap Biauw-tayhiap," kata
Ciong Tiauw-bun. "Delapan tahun lamanya, kami bertiga
melatih diri, tapi ternyata kami tak mendapat kemajuan suatu
apa, sehingga soal meminta pengajaran boleh tak usah
disebut-sebut lagi. Apakah Biauw-tayhiap mengenal seorang
dari partai Wie-to-bun yang bernama Lauw Ho-cin" Di antara
orang-orang yang tadi diusir, tak terdapat orang she Lauw itu.
Menurut pengetahuan kami, dalam satu-dua hari ini, orang itu
pasti akan berkunjung dengan suatu maksud yang tidak baik.
Maka itu, sedang kedua matamu tak begitu sehat, jika
bertemu dengan orang itu, sebaiknya Tayhiap berlaku hatihati."
"Ciong-toaya!" celetuk Ouw Hui. "Apakah benar-benar kau
tidak mengetahui ketika tadi Lauw Ho-cin menyebar racun?"
"Ah! Kau juga berada di sini?" kata Tiauw-bun. "Aku ingin
sekali mendapat kepastian, di pihak mana kau berdiri" Apakah
kau kawan atau lawan" Jika kau seorang kawan, kenapa kau
berbalik membantu Lauw Ho-cin, di waktu kami coba
mencegatnya?"
"Dalam hal ini, aku sungguh merasa malu," Ouw Hui
mengakui kekeliruannya. "Persoalan ini mempunyai latar
belakang yang sungguh membingungkan. Baik juga, manusia
itu Lauw Ho-cin, sudah kena dibekuk olehku dan sekarang
kukurung di dalam sumur. Marilah kita memeriksa dia untuk
menyelidiki persoalan ini." Sehabis berkata begitu, ia berpaling
kepada Kim-bian-hud dan menanya, "Biauw-tayhiap, apakah
Ciong-sie Sam-hiong orang baik atau orang jahat?"
Ciong Tiauw-bun tertawa dingin dan berkata, "Kami tak
pernah melakukan pekerjaan kesatria dan juga belum pernah
menolong sesama manusia. Mana bisa dihitung sebagai
manusia baik?"
"Aku tahu, Ciong-sie Sam-hiong bukan sebangsa manusia
rendah," kata Kim-bian-hud dengan suara tetap.
Mendengar pujian itu, ketiga saudara Ciong merasa senang
sekali. Tanpa berkata suatu apa, Tiauw-bun dan Tiauw-leng
lantas saja pergi ke belakang dan mengangkat jambangan
besar yang menutupi mulut sumur.
"Naiklah!" mereka membentak.
Sebaliknya dari jawaban, mereka mendengar suara ributribut
di dalam sumur, seperti juga dua orang sedang
berkelahi. Tiauw-bun segera menurunkan timba dan berseru,
"Peganglah timba ini! Aku akan menarik kamu ke atas." Di lain
saat, Tiauw-bun merasakan timba itu sudah dipegang orang
dan dengan perlahan ia mengangkat dua orang yang basah
kuyup. Begitu kakinya hinggap di bumi, Lauw Ho-cin menghantam
orang yang satu lagi itu dengan tinjunya. Orang itu sudah
payah sekali agaknya, sudah kenyang minum air dan
mendapat gebukan di dalam sumur. Melihat pukulan Lauw HoTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
cin bisa mengambil jiwa orang itu, buru-buru Tiauw-bun
menangkis. "Jangan bergerak!" bentak Tiauw-leng sembari
menekan kedua-dua punggung Lauw Ho-cin dan orang itu
dengan poan-koan-pit. "Sekali bergerak, jiwamu melayang!"
Demikian, masing-masing seorang kedua saudara Ciong itu
menyeret dua tawanan itu masuk ke ruangan dalam. Ketika
itu, Ouw Hui sudah mengembalikan si nona cilik kepada
ayahnya dan sebatang lilin sudah dinyalakan. Oleh karena
kamar putrinya sudah tak dapat digunakan lagi, Biauw Jinhong
segera mendukung si nona ke kamarnya sendiri. Ketika
ia kembali ke ruangan depan, kedua saudara Ciong sudah
masuk dengan menyeret dua tawanan tadi.
Biauw Jin-hong menghela napas seraya berkata, "Sedari
dua puluh tahun berselang aku sudah mendengar nama Wieto
Song-ho. Dalam kalangan Kang-ouw, Ban-loosu dan Lauwloosu
mempunyai nama yang cukup harum."
"Biauw-tayhiap," kata Lauw Ho-cin. "Aku sudah ditipu oleh
manusia jahat dan aku sungguh-sungguh merasa menyesal.
Apakah kedua matamu mendapat luka berat?"
Mendengar pertanyaan itu, Ciong-sie Sam-hiong
mengeluarkan seruan kaget. Sekarang baru mereka
mengetahui, bahwa rusaknya kedua mata Biauw Jin-hong
baru saja terjadi.
"Apakah kau murid Tian Kui-long?" tanya Kim-bian-hud
kepada orang yang tadi bertempur dengan Lauw Ho-cin. "Ilmu
silatmu cukup tinggi, sedikitnya kau sudah memahami tujuh
bagian dari seluruh silat Thian-liong-bun."
Orang itu bergemetar sekujur badannya dan ia menekuk
kedua lututnya sembari mengangguk-angguk. "Biauwtayhiap,"
katanya dengan suara memohon dikasihani. "Aku
yang rendah hanya menerima perintah orang. Aku mohon
belas kasihan Loojinkee."
"Bangsat!" teriak Lauw Ho-cin sambil menuding wajahnya.
"Sungguh hebat kau menipu aku!" Sembari berkata begitu, ia
meloncat dan mengayun tangannya. Tiauw-eng buru-buru
mengadang di tengah-tengah dan berkata, "Sabar! Apa yang
sekarang kita inginkan, adalah penjelasan tentang duduknya
persoalan."
Lauw Ho-cin adalah seorang ternama dalam Rimba
Persilatan. Bahwa ia sudah kena diperdayai orang secara
mentah-mentah sehingga berakibat celakanya seorang
kesatria, sudah membikin ia menyesal tiada habisnya dan
bahwa sebagai seorang kenamaan, ia sudah dicemplungkan
ke dalam sumur, adalah kejadian yang sungguh-sungguh
memalukan. Maka itu, matanya berkunang-kunang dan ia
jatuh terduduk di sebuah kursi. "Sudahlah! Sudahlah!" katanya
dengan suara sedih. "Biauw-tayhiap! Aku tak tahu bagaimana
aku harus menebus dosa."
"Selama hidupnya, manusia sukar terlolos dari tipu muslihat
kawanan manusia keji," kata Kim-bian-hud dengan suara
tenang. "Itulah kejadian yang lumrah dalam dunia ini. Loosu
tentunya sudah ditipu olehnya, sehingga mau mengantarkan
surat itu kepadaku."
Bukan main kagumnya Ouw Hui dan Ciong-sie Sam-hiong
setelah mendengar perkataan Biauw-tayhiap yang bebas dari
rasa dendam. Harus diingat, bahwa pada ketika itu, kedua
mata Kim-bian-hud sudah buta sama sekali. Dalam keadaan
yang sama, seorang kesatria tanggung-tanggung pasti tak
akan bisa mengeluarkan perkataan begitu.
"Aku bermula mengenal manusia itu di Hong-yap-chung,"
kata Lauw Ho-cin. "Dia mengaku bernama Thio Hui-hiong dan
menurut katanya, oleh karena pernah menanggung budi Bansutee,
maka begitu mendengar berita tentang meninggalnya,
buru-buru ia datang ke Hong-yap-chung untuk menyatakan
turut berdukacita."
"Kalau begitu Ban Ho-seng Loosu sudah meninggal dunia?"
tanya Kim-bian-hud.
"Benar," jawabnya. "Belakangan karena menganggap dia
seorang baik, aku berjalan bersama-sama dengan dia ke
daerah utara. Ketika berpapasan dengan Ciong-sie Sam-hengtee
di tengah jalan, dia kelihatan ketakutan. Malam itu, aku
tidur sekamar dengan ia. Tengah malam, ia berlagak
mengigau dan antara lain dia mengatakan, bahwa jika surat
itu tidak dapat disampaikan kepada alamatnya, sejumlah besar
orang-orang gagah yang budiman akan melayang jiwanya.
Mendengar begitu, lantas saja aku mengambil keputusan
untuk mencampuri urusan itu. Besok paginya, aku
menanyakan tentang igaunya. "Lauw-loosu," sahutnya.
"Sesudah menyaksikan sikapmu terhadap sie-wie Kerajaan
Ceng itu, aku tahu, bahwa kau adalah seorang gagah tulen
dan tak usah aku menyembunyikan rahasia ini." Ia
mengeluarkan sepucuk surat dan mengatakan, bahwa surat
itu harus disampaikan kepada Biauw-tayhiap, supaya beliau
bisa menolongnya. Jika tidak, banyak sekali orang gagah akan
menjadi korban kaki tangan Kerajaan Ceng. Selanjutnya ia
memberitahukan, bahwa Ciong-sie Sam-hiong, yang
mempunyai ganjalan dengan Biauw-tayhiap, tentu akan coba
merintangi disampaikannya surat itu. Dia mengaku tak
sanggup melawan ketiga saudara Ciong dan meminta
bantuanku. Mengingat maksudnya yang mulia, lantas saja aku
menyanggupi. Di tengah jalan, aku telah bertempur dengan
Ciong-sie Sam-hiong dan kena dikalahkan. Istriku membantu,
tapi kami berdua masih tak bisa melawan ketiga saudara itu.
Maka itu, dengan mendapat luka enteng, kami melarikan diri
dengan membawa surat itu. Secara sangat kebetulan, di kuil
Siang Hui, kami bertemu dengan saudara kecil itu. Dalam
pertandingan di Hong-yap-chung, saudara kecil itu pernah
menolong aku dan sesudah menyaksikan pertempuran di
dalam kuil itu, aku tahu, bahwa ia mempunyai kepandaian
yang sangat tinggi. Begitulah, kami segera berpura-pura
terluka berat dan menjalankan siasat untuk memancing
bantuannya. Benar-benar, ia kena ditipu. Aku menipu saudara
kecil itu, tanpa mengetahui, bahwa aku sendiri pun sudah
kena ditipu orang." Sehabis berkata begitu, jenggotnya
bergerak-gerak, napasnya tersengal-sengal dan dengan mata
mendelik ia mengawasi Thio Hui-hiong.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ouw Hui mendengarkan cerita itu tanpa berkata suatu apa.
"Dia tak berdusta," katanya di dalam hati. "Kalau begitu,
pertempuran dengan Wan Cie-ie sudah dilihatnya." Mengingat
Wan Cie-ie, hati Ouw Hui lantas saja berdebar. "Tapi, Lauwloosu,"
katanya. "Perlu apa kau mengambil senjatanya Ciongsie
Sam-hiong?"
"Kedatangan Ciong-sie Sam-hiong untuk membalas
dendam, belum tentu diketahui oleh Biauw-tayhiap,"
sahutnya. "Maka itu, aku merasa perlu untuk memberitahukan
kepadanya, supaya ia bisa berjaga-jaga. Bahwa aku sudah
mengambil tiga senjata itu dan memperlihatkannya kepada
Biauw-tayhiap, adalah untuk mendapat kepereayaannya.
Mungkin kau juga kepingin tahu, kenapa aku sudah
mengatakan, bahwa surat itu adalah kiriman Ciong-sie Samhiong.
Saudara kecil perkataanku itu sebenarnya ditujukan
kepada kau. Aku tahu, bahwa kau menguntit di belakangku
dan aku khawatir kau akan segera menyerang. Dengan
berkata begitu, kau tentu akan menjadi bingung dan dalam
bingungmu, kau tentu tak akan lantas turun tangan. Aku
menganggap, bahwa yang kukatakan itu tidak penting. Yang
penting, adalah isi surat itu. Aku mengira, bahwa begitu
membaca, Biauw-tayhiap tentu akan mengerti maksud surat
tersebut yang memohon bantuannya untuk menolong jiwa
orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan. Tapi ... siapa ...
nyana ... siapa ... nyana ...."
Sampai di situ dadanya menyesak, tak dapat ia bicara lagi.
"Secara kebetulan kami bertiga sudah dapat mendengar
akal busuk orang she Thio itu," kata Tiauw-bun. "Belakangan
kami mengetahui, bahwa dia kasak-kusuk dengan Lauw-loosu,
untuk mencelakakan Biauw-tayhiap. Maka itu, kami lalu
berusaha untuk mencegatnya, tanpa mengetahui bahwa
urusan ini mempunyai latar belakang yang berbelit-belit.
Biauw-tayhiap, bagaimana dengan matamu?"
Biauw Jin-hong tak menyahut. Sesaat kemudian dengan
perlahan ia menggoyangkan sebelah tangannya yang lebar
dan besar. "Sudahlah," katanya. "Yang sudah tinggal sudah,
tak guna dibicarakan lagi."
Dengan kedua matanya Ouw Hui menyapu seluruh ruangan
itu untuk mencari surat yang beracun itu. Segera juga ia
melihat, bahwa dua robekan kertas tadi, masih menggeletak di
pojok ruangan. Ia tak berani datang terlalu dekat dan hanya
memandangnya dari kejauhan. Pada dua potong kertas itu
hanya terdapat tiga baris huruf, setiap hurufnya sebesar biji
engtho. Sesudah memerhatikan beberapa saat, ia mendapat
kenyataan, bahwa surat itu bertuliskan seperti berikut:
Saudara Jin-hong. Putrimu cantik dan lemah lembut.
Tak cocok ia berada pada kau, manusia goblok yang hanya
mengenal ilmu silat. Maka itu, aku mengirim orang untuk
menyambutnya supaya nona itu bisa dipelihara sebagaimana
mestinya olehku.
Hormatku, Tian Kui-long
Seperti diketahui, Kim-bian-hud mencintai putrinya lebih
daripada jiwanya sendiri. Sesudah membawa kabur istrinya,
sekarang orang she Tian itu maui juga putrinya yang sebiji
mata. Mana mungkin, darahnya tak jadi meluap" Bisa diduga,
bahwa sesudah melakukan perbuatan berdosa, manusia itu
tak enak makan dan tak enak tidur karena khawatir
pembalasan. Maka itu, ia sudah mengatur siasat itu, suatu
siasat yang sangat busuk dan kejam.
Semakin lama, Lauw Ho-cin jadi semakin gusar dan
menyesal. "Orang she Thio!" ia berteriak dengan kalap.
"Sesudah mendapat perintah gurumu untuk mencelakakan
Biauw-tayhiap, kenapa kau tidak mengantarkan sendiri surat
itu dan sudah menyeret tanganku?"
"Aku ... takut ..." jawabnya dengan suara terputus-putus.
"Aku ... takut ... Biauw-tayhiap dapat mengenali, bahwa aku
... adalah murid Thian-liong-bun ...."
"Kau takut tak keburu lari, jika akal busukmu ketahuan,
bukan"!" bentak Lauw Ho-cin. "Binatang! Benar-benar
binatang!" Ia berpaling kepada Biauw Jin-hong dan berkata
dengan suara gemetar, "Biauw-tayhiap, bolehkah aku
memohon kerelaanmu" Serahkanlah binatang itu kepadaku!"
"Lauw-loosu," kata Kim-bian-hud dengan suara tenang.
"Guna apa kita meladeni kawanan manusia rendah. Thio Huihiong!
Di dalam pekarangan dua kawanmu masih
menggeletak dengan luka yang tidak enteng. Pergilah!
Tolonglah mereka dan pergi dari sini! Kuharap kau suka
memberitahukan suhu (guru) dan subomu ...." ia tak dapat
meneruskan perkataannya dan berdiri bengong dengan mata
mendelong. (Subo berarti istri guru, istri Tian Kui-long, yaitu
Lam-lan, bekas istrinya sendiri yang dibawa kabur oleh Tian
Kui-long). Beberapa saat kemudian, ia mengebaskan
tangannya dan menambahkan, "Sudahlah! Tak ada apa-apa
lagi. Pergilah!"
Itulah suatu kejadian yang sungguh-sungguh di luar
dugaan Thio Hui-hiong. Sesudah membutakan kedua mata
Kim-bian-hud, ia menganggap, bahwa jiwanya tak akan dapat
ditolong lagi. Tapi tak dinyana-nyana, Biauw Jin-hong sudah berlaku
begitu murah hati dan tidak menghukumnya. Bukan main rasa
terima kasihnya dan ia manggutkan kepalanya berulang-ulang.
Dengan berempat, ia menyatroni rumah Biauw-tayhiap. Begitu
lekas kedua mata Kim-bian-hud buta, mereka bermaksud
membinasakan kesatria itu dan kemudian membawa kabur
putrinya. Tapi, benar juga orang berujar, manusia berusaha,
Allah berkuasa. Di luar semua perhitungan, muncullah Ouw
Hui, sehingga tipu busuk itu hanya berhasil sebagian. Antara
tiga kawannya, seorang, yaitu yang dilemparkan Ouw Hui
dalam kamar tidur, lagi masih menggeletak dengan luka berat.
"Hm! Biauw Jin-hong berlagak murah hati dan pura-pura
melepaskan tiga orang itu," kata Lauw Ho-cin di dalam
hatinya. "Tak tahu, penganiayaan apa yang hendak
dilakukannya terhadap diriku."
Harus diketahui, bahwa sebagai orang yang
berpengalaman, ia sudah sering menyaksikan cara-cara orang
Kang-ouw menghukum musuh-musuhnya itu disiksa pergi
datang, sebelum dibinasakan.
Di lain saat, Thio Hui-hiong sudah membangunkan kedua
suteenya dan segera berjalan ke luar dengan memapah
mereka. Tak lama kemudian, mereka sudah menghilang di
tempat gelap, tapi benar-benar mengherankan, Biauw Jinhong
tetap tidak bergerak.
"Biauw-tayhiap," kata Lauw Ho-cin yang sudah tak bisa
bersabar lagi. "Sekarang kau sudah boleh membekuk mereka
kembali. Mereka sangat licin, aku khawatir mereka benarbenar
kabur." "Untuk apa dibekuk lagi?" tanya Kim-bian-hud. "Bukankah
aku sudah mengampuni mereka?" Ia berdiam sejenak.
"Mereka sama sekali tidak mengenal aku. Mereka hanya
menjadi alat orang lain."
Rasa malu dan menyesal yang melampaui batas, mengaduk
dalam dada Lauw Ho-cin. Mendadak ia meloncat bangun.
"Biauw-tayhiap!" katanya dengan suara nyaring. "Selama
hidup, belum pernah aku melakukan perbuatan yang berdosa.
Hari ini, kedua mataku benar-benar tak berbiji, tak bisa
mengenali seorang kesatria yang budiman dan penuh welas
asih. Biauw-tayhiap! Karena gara-garaku, sungguh hebat
penderitaanmu."
Berbareng dengan perkataannya, ia mementang dua jeriji
tangan kirinya yang lalu disodokkan kedua matanya sendiri!
Ouw Hui coba menolong, tapi ia terlambat. Ciong-sie Samhiong
kesima dan kemudian meloncat bangun dengan
serentak. "Lauw-loosu," kata Biauw-tayhiap dengan suara terharu.
"Kenapa kau berbuat begitu. Sedikit pun aku tidak
menyalahkan kau."
Lauw Ho-cin tertawa terbahak-bahak dan berjalan ke luar
dengan tindakan lebar. Setibanya di luar rumah, ia memotes
sebatang cabang pohon yang lalu digunakan sebagai tongkat
penunjuk jalan.
Untuk beberapa lama, kelima orang itu yang masih berada
di dalam rumah Biauw Jin-hong, tak mengeluarkan sepatah
kata. Mereka geregetan berbareng terharu. Geregetan
mengingat akal busuk Tian Kui-long dan terharu karena
peristiwa itu berakibat hebat, yaitu butanya dua orang kesatria
yang jarang ada tandingannya.
"Saudara kecil," Kim-bian-hud memecahkan kesunyian.
"Kau sudah berjanji untuk melindungi putriku. Kuharap kau
jangan melupakan janjimu itu."
"Perkataan laki-laki tak akan ditarik kembali," sahut Ouw
Hui dengan suara nyaring. "Hanya aku menyesal dengan cara
Lauw-loosu. Dengan mempersakiti diri sendiri, liangsimnya
memang terhibur. Tapi apa gunanya?"
"Benar," kata Tiauw-eng sambil menghela napas. "Tapi biar
bagaimana juga, Lauw-loosu adalah seorang laki-laki sejati."
Lama juga mereka duduk diam tanpa mengeluarkan
sepatah kata. Akhirnya Ouw Hui yang memecahkan kesunyian
dengan berkata, "Biauw-tayhiap bagaimana dengan matamu"
Coba cuci lagi dengan air."
"Tak usah," jawab Biauw Jin-hong. "Sakitnya luar biasa."
Sehabis berkata begitu, ia berbangkit dan berpaling kepada
Ciong-sie Sam-hiong. "Aku sungguh merasa malu, bahwa aku
tak mempunyai apa-apa untuk menyambut Samwie yang dari
tempat jauh sudah datang ke sini," katanya sembari
membungkuk. "Aku ingin rebahan sebentar, harap Samwie
sudi memaafkan."
"Silakan," kata Tiauw-bun. "Jangan Biauw-tayhiap berlaku
sungkan." Ia lalu memberi tanda kepada dua saudaranya yang
lantas saja berpencar dan menjaga di pintu depan dan di pintu
belakang. Tiauw-bun sudah berbuat begitu karena khawatir
kalau-kalau Tian Kui-long mengirim lagi kaki tangannya untuk
menyerang. Ouw Hui sendiri lalu mengambil ciak-tay dan
mengikuti Biauw Jin-hong sampai di kamarnya. Sesudah Kimbian-
hud merebahkan diri, Ouw Hui segera mengambil selimut
dan menyelimuti tubuh orang gagah itu. Si nona cilik sendiri
sedang pulas nyenyak, sama sekali ia tidak mengetahui,
bahwa tadi, rumahnya dikacau orang dan kedua mata
ayahnya sudah menjadi buta.
"Saudara kecil," kata Kim-bian-hud. "Di atas penglari
terdapat sebuah kotak besi. Coba ambil!"
"Baiklah," kata Ouw Hui sembari menggenjot badannya
yang lantas saja melesat ke atas. Dengan tangan kiri
mencekal penglari, tangan kanannya meraba-raba. Benar saja,
di atas balok, ia mendapatkan sebuah kotak besi yang lalu
diambilnya. Begitu turun, ia meletakkan kotak itu di atas kasur, di dekat
tangan Biauw Jin-hong. Sebelum Kim-bian-hud bisa membuka
mulut, sekonyong-konyong terdengar tindakan orang yang
berlari-lari, disusul suara bentakan Ciong Tiauw-leng,
"Binatang! Kau datang lagi?" Bentakan itu disusul pula bunyi
beradunya senjata.
"Tahan!" demikian terdengar teriakan Thio Hui-hiong. "Aku
tak mempunyai maksud jahat. Aku datang untuk berbicara
sedikit dengan Biauw-tayhiap."
"Biauw-tayhiap sudah tidur," kata Tiauw-leng dengan
perlahan. "Kalau mau bicara, besok saja kau datang lagi."
"Tak usah," kata Hui-hiong. "Sekarang saja aku
memberitahukan kepadamu. "Aku sekarang mendapat
kenyataan, bahwa Biauw-tayhiap adalah seorang kesatria
budiman yang sangat mulia. Aku berdosa besar, tapi dengan
sukarela beliau sudah mengampuni jiwaku dari kebinasaan.
Maka itu, tak bisa tidak, aku mesti membuka rahasia ini.
Racun yang digunakan untuk membutakan mata Biauwtayhiap
adalah rumput Toan-chung-co (rumput memutuskan
usus), yang telah dicuri oleh guruku dari tempat Tok-chiu Yoong
(Raja Obat Tangan Beracun). Di sepanjang jalan, Siauwjin
(aku yang rendah) memikirkan kecelakaan yang menimpa
Biauw-tayhiap. Mungkin sekali, jika ada orang yang pergi
kepada Tok-chiu Yo-ong dan memohon pertolongannya,
kedua mata Biauw-tayhiap masih bisa ditolong. Sebenarnya,
Siauwjin sendiri yang harus berusaha untuk mendapatkan
obat itu. Akan tetapi, Siauwjin adalah seorang yang tidak
ternama, sehingga sukar sekali bisa melakukan tugas yang
seberat itu."
"Oh, begitu?" kata Tiauw-leng. Di lain saat, Thio Hui-hiong
sudah memutarkan badan dan berjalan pergi.
Mendengar itu, bukan main girangnya Ouw Hui. Ia berlarilari
ke luar sembari berteriak, "Di mana tempat tinggal Tokchiu
Yo-ong?" "Ia hidup menyembunyikan diri di pinggir Telaga Tongteng,"
Tiauw-eng menerangkan. "Tapi ... tapi ...."
"Tapi kenapa?" tanya Ouw Hui.
"Meminta pertolongan orang aneh itu, bukannya
gampang," jawabnya dengan suara perlahan.
"Biar bagaimana juga, kita mesti mengundang dia datang
ke sini," kata Ouw Hui dengan bernafsu. "Kita berikan apa saja
yang dimintanya."
Tiauw-eng menggeleng-gelengkan kepala sembari menarik
napas. "Yang paling sukar, orang itu sama sekali tidak
memerlukan sesuatu apa," katanya.
"Jika tak bisa dengan jalan halus, kita boleh menggunakan
jalan kasar," kata pula Ouw Hui.
Tiauw-eng berdiam sambil menunduk.
"Kita tidak boleh terlambat sedikit pun juga," Ouw Hui
mendesak. "Sekarang juga Siauwtee akan berangkat. Untuk
sementara waktu, aku mengharap, supaya Samwie berdiam di
sini dulu, untuk menjaga kalau manusia keji itu mengirim pula
kaki tangannya."
Ia berlari-lari ke kamar Biauw Jin-hong dan berkata,
"Biauw-tayhiap! Aku mau pergi untuk mengundang tabib."
Kim-bian-hud menggelengkan kepala dan berkata dengan
suara perlahan, "Kau mau mencari Tok-chiu Yo-ong" Ah! Kau
hanya membuang-buang tenaga secara pereuma. Tak usah,
kau tak usah pergi!"
"Tidak!" kata Ouw Hui dengan suara tetap. "Dalam dunia
ini tak ada apa-apa yang tidak bisa dilakukan." Tanpa
menunggu jawaban, ia memutarkan badan dan berjalan keluar
dari kamar Kim-bian-hud.
"Ciong-toaya," ia berseru. "Siapa nama Yo-ong itu" Jalan
apa yang harus diambil untuk pergi ke tempat tinggalnya?"


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah!" kata Ciong Tiauw-bun. "Begini saja, aku
mengawani kau untuk pergi bersama-sama! Tentang orang
aneh itu, baik kita bicarakan perlahan-lahan di sepanjang
jalan." Demikianlah, tanpa berkata suatu apa lagi, kedua orang
gagah itu lantas saja berlari-lari ke jurusan utara dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan. Di waktu pagi,
mereka tiba di sebuah kota kecil dan segera membeli dua ekor
kuda yang lalu dikaburkan sekeras-kerasnya. Sesudah berjalan
beberapa belas li, mereka tiba di jalan yang bereagak tiga.
Mereka agak bingung, tapi baik juga, di sebidang kebun sayur
terdapat seorang petani tua yang sedang menggarap tanah.
Mereka lalu menanyakan jalan ke Thogoan dan begitu
mendapat petunjuk, kedua tunggangan itu lalu dibedal pula.
Demikianlah, untuk menolong seorang kesatria, terusmenerus
Tiauw-bun dan Ouw Hui membedal kuda. Kecuali
memberi rumput dan air kepada tunggangannya, mereka tak
berani mengaso, bahkan tak berani masuk di rumah makan
untuk menangsel perut. Jika merasa lapar, mereka berhenti
turun dari pelana.
Tak lama kemudian, mereka sudah melalui enam puluh li
lebih. Tiauw-bun dan Ouw Hui adalah orang-orang yang
berkepandaian tinggi dan bertubuh kuat. Jika perlu, mereka
bisa berjalan dua hari dua malam terus-menerus. Tapi, sedang
sang penunggang masih cukup kuat, adalah tunggangan
mereka yang sudah kepayahan. Sesudah lari lagi beberapa
jauh, kedua hewan itu tersengal-sengal dan tindakan mereka
jadi semakin limbung.
"Saudara kecil," kata Tiauw-bun. "Kurasa, kedua hewan ini
mesti diberi ketika untuk mengaso juga."
"Baiklah," kata Ouw Hui.
Mengingat kuda, tanpa merasa ia jadi ingat kepada Si
Putih, tunggangan Wan Cie-ie. "Kalau aku menunggang kuda
putih Nona Wan, sekarang mungkin aku sudah tiba di Telaga
Tong-teng," katanya di dalam hati. Mengingat Wan Cie-ie, ia
merogoh sakunya dan mengusap-usap giok-hong (burung
hong dari giok), pemberian si nona. Ia merasakan betapa
hangatnya batu giok itu dan kehangatan itu terus menembus
sampai di hatinya.
Mereka lalu duduk mengaso di pinggir jalan, di bawah
pohon liu yang besar. Tunggangan mereka makan rumput dan
turut mengaso di tegalan. Ciong Tiauw-bun duduk termenung
tanpa mengeluarkan sepatah kata. Kedua alisnya berkerut dan
mukanya kelihatan masygul. Ouw Hui mengetahui, bahwa
kejengkelan kawan itu, disebabkan oleh kekhawatiran, bahwa
perjalanan mereka akan mengalami kegagalan.
"Ciong-toaya," ia menegur. "Orang apakah, sebenarnya
Tok-chiu Yo-ong?"
Tiauw-bun tak menjawab, seolah-olah tak mendengar
pertanyaan Ouw Hui. Lewat sejenak, ia kelihatan terkejut dan
berbalik menanya, "Apa kau kata?"
Ouw Hui mengerti apa yang barusan dipikirkan Ciong
Tiauw-bun. Ia tentu sedang memikirkan keadaan Biauw Jinhong.
Diam-diam Ouw Hui merasa kagum terhadap orang she
Ciong itu, yang meskipun wajahnya menakutkan, mempunyai
hati yang sangat mulia. Dengan Biauw Jin-hong, sebenarnya
ia mempunyai ganjalan yang tidak kecil. Tapi sekarang,
dengan melupakan segala sakit hatinya, tanpa mengenal lelah,
ia rela melakukan suatu perjalanan yang mungkin penuh
dengan bahaya. Memikir begitu, Ouw Hui segera berkata,
"Ciong-toaya, setiap mengingat kesalahanku kemarin, aku jadi
merasa sangat malu. Jika Boanpwee mengetahui, bahwa
Samwie adalah kesatria-kesatria yang berbudi tinggi, biarpun
mempunyai nyali yang bagaimana besar juga, Boanpwee tentu
tak akan berani melanggar Samwie."
Tiauw-bun tertawa terbahak-bahak. "Jangan rewel,"
katanya sembari mengawasi Ouw Hui dengan sorot mata
simpatik. "Biauw-tayhiap adalah seorang kesatria besar pada
zaman ini. Jika melihat ia menghadapi bahaya, kami tak
menolong, kami bertiga sungguh bukan manusia lagi. Saudara
kecil! Kalau dibanding-banding, peribudimu masih lebih luhur
daripada kami. Walaupun tak pernah mengikat tali
persahabatan dengan Biauw-tayhiap, kami sudah pernah
bertemu satu kali. Tapi kau sendiri" Di masa yang lalu, belum
pernah kau bertemu dengan beliau."
Ciong Tiauw-bun tidak mengetahui, bahwa beberapa tahun
berselang, Ouw Hui sudah pernah melihat wajah Kim-bian-hud
di Siang-kee-po. Tapi dalam pertemuan itu, meskipun Ouw Hui
tahu siapa sebenarnya Biauw Jin-hong, Biauw Jin-hong sendiri
sama sekali tidak memerhatikannya, seorang bocah kurus
kering. Ciong Tiauw-bun lebih-lebih tidak mengetahui, bahwa
delapan belas tahun berselang, ketika Ouw Hui baru saja
berusia satu hari, Biauw Jin-hong pernah melihatnya di dalam
sebuah rumah penginapan kecil di Kota Ciang-ciu, Provinsi
Hopak. Pertemuan itu masih diingat oleh Kim-bian-hud, tapi
tentu saja tidak diketahui oleh Ouw Hui sendiri. Dan Biauw
Jin-hong sendiri tentu tidak pernah bermimpi, bahwa kesatria
muda yang sedang berusaha untuk menolong dirinya, adalah
bayi itu yang pernah dilihatnya delapan belas tahun berselang.
Ouw Hui menunduk, ia merasa agak jengah mendengar
pujian kawannya itu. Beberapa saat kemudian, Ciong Tiauwbun
menanya pula, "Eh, kau tanya apa tadi?"
"Aku menanyakan hal Tok-chiu Yo-ong," jawab Ouw Hui.
"Dia itu, sebenarnya manusia bagaimana?"
"Secara terus terang, aku tak tahu," sahut Tiauw-bun.
"Tak tahu?" Ouw Hui menegas.
"Dalam kalangan Kang-ouw, aku mempunyai banyak sekali
kawan," kata Tiauw-bun. "Tapi di antara mereka itu, tak satu
pun mengetahui, orang apa sebenarnya Tok-chiu Yo-ong."
Ouw Hui jadi merasa masygul. Tadinya ia menduga, bahwa
Ciong Tiauw-bun mengetahui asal usul Si Raja Racun. Jika
bukan begitu, ia tentu sudah menanyakan terlebih jelas
kepada Thio Hui-hiong.
Ciong Tiauw-bun seperti juga dapat membaca pikirannya,
karena ia segera berkata, "Kurasa, Thio Hui-hiong pun tak
tahu." "Oh," kata Ouw Hui yang tak berkata suatu apa lagi.
"Orang hanya tahu, bahwa Tok-chiu Yo-ong bertempat
tinggal di Pek-ma-sie (Kelenteng Kuda Putih), di pinggir Telaga
Tong-teng," Tiauw-bun menerangkan.
"Pek-ma-sie?" Ouw Hui menegas. "Dia tinggal di
kelenteng?"
"Bukan," jawabnya. "Pek-ma-sie adalah nama sebuah kota
kecil." "Mungkin sekali orang tidak mengenal ia, karena ia tak
pernah keluar dari kelenteng itu," Ouw Hui menduga-duga.
Tiauw-bun menggelengkan kepala seraya berkata, "Salah!
Banyak orang pernah bertemu dengan dia. Dan justru, karena
itu tak ada yang mengetahui ia sebenarnya manusia
bagaimana. Orang tak tahu, apakah ia gemuk atau kurus,
cakap atau jelek, she Thio atau she Lie."
Ouw Hui jadi semakin tak mengerti.
"Ada yang mengatakan, bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah
seorang sastrawan yang berparas cakap sekali," kata pula
Tiauw-bun. "Katanya, ia bertubuh jangkung dan gerakgeriknya
seperti seorang siu-cay. Tapi ada juga yang
bereerita, bahwa Tok-chiu Yo-ong berbadan katai gemuk,
seperti tukang potong babi. Di lain pihak, sejumlah orang
berani bersumpah, bahwa Si Raja Racun sebenarnya seorang
hweeshio tua, tua sekali, dan usianya hampir seratus tahun."
Sesaat Tiauw-bun memandang Ouw Hui dan kemudian
menyambung lagi perkataannya, "Tapi perbedaan keterangan
belum habis sampai di situ. Beberapa orang malah
menyatakan, bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah seorang wanita,
wanita bungkuk!"
Benar-benar Ouw Hui "ubanan". Ia kepingin tertawa, tapi
tertawanya tak bisa keluar.
"Orang itu bergelar Yo-ong atau Raja Obat," kata pula
Tiauw-bun. "Kenapa ia dikatakan seorang wanita" Tapi yang
mengatakan begitu, adalah seorang ternama dalam Rimba
Persilatan yang pasti tak berdusta. Orang-orang lain, yang
mengatakan Si Raja Obat sebagai seorang sastrawan, sebagai
tukang potong babi atau hweeshio, rata-rata adalah orangorang
gagah yang mulutnya boleh dipereaya. Pikirlah! Aneh,
tidak?" Di waktu berangkat dari rumah Biauw Jin-hong, Ouw Hui
yakin seyakin-yakinnya, bahwa ia tak akan menghadapi
banyak kesulitan. Asal bisa bertemu dengan Tok-chiu Yo-ong,
biar bagaimana juga, ia akan berusaha supaya Si Raja Obat
bisa datang ke rumah Biauw Jin-hong untuk mengobati kedua
mata kesatria itu. Paling sialnya, ia akan membawa pulang
obat pemunah racun.
Tapi sekarang, sesudah mendengar penuturan Tiauw-bun,
sebagian besar pengharapannya lantas saja menjadi hilang.
Kepada siapa ia harus mencari keterangan" Sesudah bengong
beberapa saat, ia berkata, "Agaknya orang itu pandai
menyamar. Ia selalu keluar dengan penyamaran yang
berubah-ubah, sehingga orang tak bisa mengenal rupanya
yang sejati."
"Kawan-kawan dalam kalangan Kang-ouw juga
beranggapan begitu," kata Tiauw-bun. "Mungkin sekali, garagara
racunnya yang tiada bandingannya dalam dunia, ia
mempunyai banyak sekali musuh dan terpaksa menyamar
berganti-ganti supaya orang tak dapat mencarinya. Hanya
satu hal aku tidak mengerti, ia bertempat tinggal di Pek-masie,
satu tempat yang tidak terlalu sepi. Sebenarnya, tidak
terlalu sukar untuk orang pergi menemuinya."
"Berapa banyak orang sudah binasa karena racunnya?"
tanya Ouw Hui. "Rasanya banyak sekali," sahut Tiauw-bun. "Hanya,
menurut apa yang kudengar, orang-orang yang binasa dalam
tangannya, semua memang pantas mendapat kebinasaan itu.
Mereka semua terdiri atas penjahat-penjahat besar, jagoanjagoan
yang sewenang-wenang terhadap rakyat atau
hartawan-hartawan kejam. Belum pernah aku mendengar ia
membinasakan orang-orang gagah yang baik-baik. Tapi
karena namanya terlalu besar, di mana saja ada orang yang
binasa akibat racun hebat, dialah yang dituduh. Misalnya dua
orang yang masing-masing tempat tinggalnya terpisah jauh,
satu dengan yang lain, satu di Inlam, satu di Liaotong, mati
berbareng akibat racun, maka orang di Hunlam lantas saja
mengatakan Tok-chiu Yo-ong datang ke Hunlam, sedang
orang di Liaotong pun menyatakan, bahwa Si Tangan Beracun
sudah menyatroni daerah Liaotong. Maka itu, kau lihat,
seseorang yang namanya sudah terlalu besar, harus menerima
segala akibat nama besar itu. Segala perbuatan jahat atau
perbuatan baik semuanya ditumpahkan di atas kepalanya.
Sudah lama aku tak pernah mendengar nama Tok-chiu Yo-ong
disebut-sebut orang. Tak dinyana, kecelakaan yang menimpa
diri Biauw-tayhiap juga bersangkut paut dengan dia. Hai! Jika
racun itu benar adalah racun Yo-ong, aku khawatir ... aku
khawatir ...." ia tak dapat meneruskan perkataannya, ia hanya
menggelengkan kepala.
Mendengar penuturan itu, Ouw Hui jadi sangat berduka. Ia
berotak sangat cerdas, tapi sekali ini ia tak dapat memikirkan
jalan yang sempurna. Beberapa saat kemudian, Tiauw-bun
berbangkit seraya berkata, "Hayolah kita berangkat! Saudara
kecil, sekarang aku ingin memesan suatu hal yang tak boleh
diabaikan. Begitu tiba di daerah Pek-ma-sie, dalam jarak tiga
puluh li dari tempat tinggal Yo-ong, kau tak boleh minum atau
makan apa juga. Biar bagaimana haus, biar bagaimana lapar,
seceguk air atau sebutir nasi tidak boleh masuk ke dalam
mulutmu." Melihat paras orang yang sungguh-sungguh, Ouw Hui
lantas saja manggutkan kepalanya. Sesaat itu, ia ingat bahwa
ketika mereka mau berangkat dari rumah Biauw Jin-hong,
wajah Tiauw-eng dan Tiauw-leng bukan saja menunjuk rasa
khawatir tapi juga rasa takut. Sekarang ia baru yakin, bahwa
Tok-chiu Yo-ong benar-benar disegani orang dan perjalanan
mereka adalah perjalanan yang penuh bahaya. Saat itu ia baru
merasa, bahwa sebagai seorang yang kurang pengalaman, ia
sudah terlalu memandang enteng segala urusan.
Segera ia bangkit juga dan sembari menuntun kuda, ia
berkata, "Tujuan kita, hanya untuk mengundang ia mengobati
Biauw-tayhiap atau meminta obatnya. Terhadap ia, sama
sekali kita tak mempunyai maksud kurang baik. Paling banyak
ia menolak dan kita pun tidak dapat memaksanya. Perlu apa ia
mencelakakan jiwa kita?"
"Saudara kecil," kata Tiauw-bun. "Usiamu masih sangat
muda dan kau belum mengerti cara-cara orang Kang-ouw.
Kau kata, kau tidak mempunyai maksud jahat. Tapi, ia belum
pernah mengenal kau. Bagaimana ia bisa pereaya, bahwa kau
tidak mengandung maksud kurang baik" Lihatlah contoh yang
baru saja terjadi. Lauw Ho-cin sedikit pun tidak mempunyai
maksud jahat terhadap Biauw-tayhiap. Tapi akhirnya, di luar
keinginannya sendiri, ia sudah menjadi gara-gara."
Ouw Hui tak berkata suatu apa, ia merasa perkataan
Tiauw-bun sangat beralasan. Sesudah berdiam sejenak,
Tiauw-bun berkata pula, "Sebagaimana diketahui, Tok-chiu
Yo-ong mempunyai banyak sekali musuh, antaranya terdapat
orang-orang yang tiada sangkut pautnya dengan itu.
Bagaimana ia bisa mengetahui, bahwa kau bukan murid atau
sahabat dari musuhnya" Orang itu beradat aneh dan
tangannya sangat beracun. Jika tak begitu, ia tentu tidak
mendapat gelaran sebagai Tok-chiu Yo-ong."
"Benar," kata Ouw Hui. "Perkataan Ciong-toaya memang
benar sekali."
"Saudara kecil," kata Tiauw-bun. "Kalau kau benar-benar
menghargai aku dan tidak mencela kepandaianku yang sangat
cetek, mulai dari sekarang, janganlah kau menggunakan
istilah "toaya" (tuan besar). Aku akan merasa syukur jika kau
sudi menganggap diriku sebagai saudaramu."
"Ah!" kata Ouw Hui dengan paras muka bersemu merah.
"Kau adalah seorang gagah dari tingkatan lebih atas, sedang
aku hanya seorang dari tingkatan bawah, cara ...."
"Fui! Saudara kecil!" Tiauw-bun memotong perkataan Ouw
Hui dengan suara keras. "Untuk bicara sejujurnya, kami
bertiga sangat mengagumi kau, sesudah kita bertempur. Tapi,
sudahlah! Jika kau tidak menganggap aku sebagai sahabat,


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku pun tak bisa berbuat suatu apa."
Ouw Hui adalah seorang yang beradat polos dan jujur.
Melihat kesungguhan Tiauw-bun, lantas saja ia tertawa
berkakakan dan berseru, "Ciong-toako! Jika kau tidak
menganggap aku sebagai anak kurang ajar, biarlah aku
menurut segala keinginanmu!"
Tiauw-bun menjadi girang sekali dan segera melompat naik
ke atas punggung kuda. "Jika kedua binatang ini tidak ngadat
di tengah jalan, di waktu magrib kita sudah akan tiba di
daerah Pek-ma-sie," katanya. "Saudara kecil, jangan lupa
pesanku. Jangankan dalam hal makan minum, sedang
mengusap sumpit saja, kau harus berhati-hati. Saudara kecil,
sungguh sayang jika kau, yang mempunyai kepandaian begitu
tinggi, mesti binasa dengan badan berwarna hitam."
Ouw Hui insaf, bahwa dengan berkata begitu, Ciong Tiauwbun
bukan hendak menakut-nakuti ia. Ia yakin, bahwa sebagai
seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan, Tiauw-bun tidak
bernyali kecil. Bahwa ia sudah memesan secara begitu, adalah
suatu bukti, bahwa Tok-chiu Yo-ong benar-benar tidak boleh
dibuat gegabah.
Sesudah mengaso, tunggangan mereka menjadi segar lagi
dan kembali bisa lari cukup keras. Benar saja, di waktu
magrib, mereka sudah tiba di Kota Pek-ma-sie. Oleh karena
sempitnya jalan dan khawatir menubruk orang yang berlalu
lintas, mereka segera turun dan berjalan sambil menuntun
kuda. Ciong Tiauw-bun berjalan dengan kepala tegak, tak
berani ia menengok ke kiri-kanan. Tapi Ouw Hui bersikap
tenang, ia mengawasi warung-warung dan toko-toko yang
berjajar di kedua tepi jalan. Ketika tiba di suatu tikungan ia
melihat sebuah toko obat yang memasang merek "Cee-sietong
Loo-tiam". Sekonyong-konyong, ia menarik keluar golok
bersama-sama sarungnya yang terselip di pinggangnya.
"Ciong-toako," katanya. "Mana poan-koan-pitmu" Berikanlah
kepadaku."
Tiauw-bun terkesiap. Apa Ouw Hui sudah gila" Kenapa dia
mengeluarkan senjata" Tapi karena berada di daerah
berbahaya, di mana tentu terdapat banyak sekali mata-mata
Yo-ong, ia tak berani menanya dan segera mengeluarkan
senjatanya yang lantas diserahkan kepada Ouw Hui. "Hatihati!"
ia berbisik. "Jangan membikin gara-gara."
Ouw Hui manggut dan lantas saja berjalan masuk ke dalam
toko obat itu. Ia mendekati meja tinggi yang biasa digunakan
untuk menimbang obat, dan berkata, "Tuan! Kami berdua
ingin menemui chungcu (majikan) dari Yo-ong-chung. Karena
merasa tak pantas membawa-bawa senjata pergi menjumpai
beliau, kami mohon izin tuan untuk menitipkan senjata ini di
sini. Sesudah menemui chungcu, kami akan mengambilnya
kembali." Muka si orang tua yang duduk di belakang meja, lantas
saja menunjukkan perasaan heran. "Kalian mau pergi ke Yoong-
chung?" ia menegas.
Tanpa memedulikan, ia meluluskan atau tidak, buru-buru
Ouw Hui meletakkan senjata-senjata itu di atas meja,
mengangkat kedua tangannya dan segera berjalan keluar.
Setiba di luar kota yang sepi, Tiauw-bun mengacungkan
jempolnya dan berkata, "Saudara kecil! Siasatmu tadi sungguh
luar biasa. Aku si orang she Ciong merasa kagum sekali."
"Ya," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Aku terpaksa berbuat
begitu, karena tak ada jalan lain yang lebih baik." Harus
diketahui, bahwa Ouw Hui telah menduga, bahwa toko obat di
dalam kota itu tentu mempunyai hubungan rapat dengan TokTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
chiu Yo-ong, Si Raja Obat Tangan Beracun. Tindakannya tadi,
yang membuktikan, bahwa mereka tidak mengandung maksud
kurang baik terhadap Yo-ong, tentu akan segera dilaporkan
kepada orang aneh itu. Dengan melepaskan senjata, bahaya
yang sudah besar, akan menjadi lebih besar lagi. Tapi, jika
ditimbang-timbang dalam keseluruhannya, risiko itu ada
harganya untuk diambil.
Dengan mengikuti jalan raya, mereka terus menuju ke
utara. Selagi mencari-cari penduduk di situ untuk menanyakan
jalanan ke Yo-ong-chung, tiba-tiba mereka melihat satu tebing
di atas gunung sebelah barat dan di atas tebing itu terdapat
seorang tua yang sedang menggali rumput obat dengan pacul.
Setelah datang lebih dekat, mata Ouw Hui yang sangat tajam
segera dapat melihat, bahwa penggali itu adalah seorang
setengah tua yang bertubuh jangkung kurus dan mengenakan
pakaian sastrawan.
Hati Ouw Hui berdebar. "Apakah dia Tok-chiu Yo-ong?" ia
menanya dirinya sendiri. Buru-buru ia menghampiri dan
sesudah memberi hormat, ia berkata dengan suara nyaring,
"Aku mohon petunjuk Siangkong (tuan), jalan mana harus
diambil untuk pergi ke Yo-ong-chung. Kami berdua ingin
menemui chungcu untuk memohon pertolongan."
Orang itu tetap menunduk dan terus memacul. Berapa kali
Ouw Hui menanya tanpa diladeni, agaknya orang itu tuli.
Selagi Ouw Hui mau menanya lagi, Tiauw-bun memberi
tanda dengan lirikan mata, sehingga pemuda itu
mengurungkan niatnya dan bersama Tiauw-bun, ia berjalan
pergi. Sesudah berjalan kurang-lebih satu li, Ouw Hui berkata,
"Ciong-toako, kurasa orang itu adalah Yo-ong. Bagaimana
pendapatmu?"
"Aku pun menduga begitu," jawabnya. "Tapi kita tak boleh
bicara sembarangan, kecuali, kalau dia mengaku sendiri.
Dalam kalangan Kang-ouw, sembarang menerka nama
seseorang, merupakan pelanggaran besar. Sekarang, tak ada
jalan lain daripada pergi ke Yo-ong-chung."
Sesudah menikung beberapa kali, tiba-tiba mereka melihat
sebidang taman bunga yang terpisah beberapa puluh tombak
dari pinggir jalan. Di tengah-tengahnya terdapat seorang
wanita dusun yang mengenakan pakaian hijau dan sedang
merawat bunga sambil membungkuk. Ouw Hui mendapat
kenyataan, bahwa di belakang taman itu berdiri tiga rumah
atap dan di sekitar tempat itu, tidak terdapat lagi rumah lain.
Ia maju menghampiri dan berkata sembari menyoja,
"Nona, tolong tanya, jalan mana yang harus diambil untuk
pergi ke Yo-ong-chung?"
Nona itu mengangkat kepala dan memandang Ouw Hui
dengan kedua matanya. Ouw Hui terkejut, karena kedua mata
itu dengan biji mata yang hitam jengat, bersinar tajam luar
biasa. "Ah!" kata Ouw Hui dalam hatinya. "Kenapa sinar
matanya begitu luar biasa?" Ouw Hui mengawasi sejenak dan
mendapat kenyataan bahwa nona itu bukan seorang wanita
yang berparas cantik.
Kulitnya kering kuning dan mukanya agak pucat, seperti
kekurangan makan. Rambutnya juga kekuning-kuningan dan
tumbuhnya jarang, kedua pundaknya tinggi dan tubuhnya
kurus, semua itu menunjukkan, bahwa nona itu adalah
seorang gadis miskin dari daerah pedusunan. Dilihat dari
mukanya, ia kira-kira berusia enam belas atau tujuh belas
tahun, tapi karena tubuhnya kurus kecil, kelihatannya seperti
kanak-kanak yang baru berusia tiga belas atau empat belas
tahun. "Nona," kata Ouw Hui pula. "Numpang tanya, ke mana
jalannya kalau mau pergi ke Yo-ong-chung, ke timur laut atau
ke barat laut?"
"Tak tahu," jawabnya dengan suara dingin dan ia segera
menundukkan kepala.
Melihat sikap itu yang agak kasar, Tiauw-bun jadi
mendongkol. Akan tetapi, mengingat, bahwa tempat itu
sangat berdekatan dengan Yo-ong-chung, sebisa-bisanya, ia
menahan jengkelnya. "Saudara kecil," katanya. "Hayolah kita
berangkat! Yo-ong-chung adalah tempat terkenal di Pek-masie.
Biar bagaimanapun juga, kita pasti akan dapat
mencarinya."
Tapi Ouw Hui tidak sependapat dengan kawannya. Melihat,
bahwa hari sudah menjadi sore dan mereka mungkin
menemui kejadian yang tidak enak jika sampai salah jalan di
waktu malam, dengan sabar ia menanya pula, "Nona, apakah
ayah dan ibumu di rumah" Mereka tentu mengetahui jalan
yang menuju ke Yo-ong-chung." Gadis itu tetap tidak
meladeni. Ia terus mencabut rumput sembari menunduk.
Hati Ciong Tiauw-bun jadi semakin panas. Dengan kedua
lututnya, ia menjepit perut kuda yang lantas saja mulai
bertindak ke depan. Oleh karena sempitnya jalanan, kedua
kaki kanan kuda itu menginjak jalan, tapi kedua kakinya yang
sebelah kiri telah menginjak tanaman bunga. Tiauw-bun tidak
jahat, tapi ia beradat kasar. Ditambah dengan rasa
mendongkolnya dan keinginan untuk berangkat selekas
mungkin, ia sama sekali tidak menghiraukan, bahwa
tunggangannya menginjak tanaman kembang si nona.
Melihat sebaris tanaman itu akan segera terinjak hancur,
buru-buru Ouw Hui menjambret les yang lalu ditariknya. "HatiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hati!" katanya. Karena itu, tanaman bunga tersebut jadi
terhindar dari kehancuran.
"Saudara kecil, hayolah!" kata Tiauw-bun. "Guna apa
berdiam lama-lama di sini?" Sembari berkata begitu, ia
mengeprak tunggangannya yang lantas saja lari dengan cepat.
Sebagai seorang yang semenjak kecil hidup dalam
penderitaan, di dalam hati Ouw Hui terdapat rasa kasihan
yang wajar terhadap orang-orang miskin. Maka sebaliknya dari
gusar, ia merasa kasihan kepada nona itu. Ia merasa, bahwa
tanaman bunga itu adalah mata pencarian keluarga si gadis.
Dengan adanya perasaan itu, perlahan-lahan ia menuntun
kudanya, supaya hewan itu tidak menginjak tanaman.
Sesudah berada di luar kebun, baru ia melompat ke atas
punggung kudanya.
Tiba-tiba gadis itu mengangkat kepala dan menanya,
"Untuk apa kau pergi ke Yo-ong-chung?"
Ouw Hui menahan les dan menjawab, "Seorang sahabatku
telah buta kedua matanya karena terkena racun. Kami sengaja
datang kemari untuk memohon obat dari Yo-ong."
"Aku hanya pernah mendengar namanya, tapi belum
pernah bertemu muka dengan orang tua itu," kata si nona.
"Apakah kau kenal kepadanya!"
"Tidak," jawab Ouw Hui sembari menggelengkan kepala.
Perlahan-lahan si nona melempangkan badannya dan
memandang Ouw Hui dengan matanya yang bersinar sangat
tajam. "Bagaimana kau tahu, bahwa ia akan suka memberi obat
kepadamu?" tanya si nona. Wajah Ouw Hui lantas saja
menjadi guram. "Ya, aku hanya menduga begitu," jawabnya
sembari menghela napas. Di lain saat, ia mendapat suatu
ingatan. "Karena bertempat tinggal di sini, dia mungkin
mengenal adat Yo-ong," pikirnya. Memikir begitu, Ouw Hui
lantas saja turun dari tunggangannya dan berkata sembari
menyoja, "Nona, itulah sebabnya, kenapa aku memohon
petunjukmu." Kata "petunjuk" ia mengandung dua maksud,
yaitu minta keterangan tentang jalan ke Yo-ong-chung dan
minta petunjuk tentang cara-cara untuk memohon obat.
Gadis itu tak menyahut. Ia mengawasi Ouw Hui dari kepala
sampai di kaki. Berselang beberapa lama, tiba-tiba ia
menuding dua tahang air seraya berkata, "Pergi ke kolam air,
isikan setengah tahang, bawa tahang itu ke selokan dan isi
penuh dengan air. Sesudah itu, siramlah petakan ini!"
Ouw Hui terkesiap kata-kata itu sungguh di luar
dugaannya, terlebih pula sebab perkataan si nona merupakan
perintah seorang majikan terhadap kulinya. Biarpun melarat,
sedari kecil Ouw Hui belum pernah mengerjakan pekerjaan
itu. Sesudah memberi perintah, gadis tersebut lalu
membungkuk dan terus mencabuti rumput lagi.
Sesudah hilang kagetnya, dalam hati Ouw Hui lantas saja
timbul rasa kasihan. "Dia begitu kurus kering, memang juga,
mana kuat dia mengangkat tahang yang begitu besar,"
pikirnya. "Seorang laki-laki yang kuat memang harus
menolong yang lemah. Biarlah, aku membantunya." Ia
menambat kudanya pada pohon liu dan segera melakukan apa
yang diperintahkan si nona.
Sementara itu, sesudah melarikan kudanya beberapa puluh
tombak dan Ouw Hui belum juga muncul, Ciong Tiauw-bun
segera menengok ke belakang. Ia heran melihat pemuda itu
sedang menghampiri selokan sembari memikul sepasang
tahang tahi. "Saudara kecil, kau sedang mengerjakan apa?" ia
berseru. "Membantu nona itu melakukan sedikit pekerjaan," sahut
Ouw Hui dengan suara nyaring. "Ciong-toako! Jalan saja
duluan, sebentar aku menyusul."
Tiauw-bun menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benarbenar
pusing menghadapi seorang muda yang selagi
menjalankan tugas begitu penting, masih sempat mencampuri
urusan orang lain. Tanpa berkata suatu apa, ia segera
melarikan kudanya perlahan-lahan.
Sesudah mengisi kedua tahang itu dengan air selokan, Ouw
Hui segera kembali dan menyiram tanaman kembang yang
ditunjuk, dengan menggunakan gayung kayu. Baru saja ia
menyiram satu dua kali, si nona mendadak berkata, "Salah!
Terlalu kental. Kembangnya bisa lantas layu."
Ouw Hui mengawasi si nona dengan bengong, ia tak tahu
harus berbuat bagaimana.
"Sekarang kau pergi lagi ke kolam, tuang isinya dan
tinggalkan saja separuh," perintah gadis itu. "Sesudah itu, kau
tambahkan lagi air selokan sampai penuh. Dengan campuran
begitu, barulah sedang encernya."
Ouw Hui jadi agak mendelu, tapi ia menahan sabar dengan
mengingat, bahwa jika ingin menolong, harus menolong
sampai di akhirnya. Maka itu, lantas saja ia melakukan
perintah si nona.
"Awas!" kata si nona selagi ia menyiram. "Bunganya dan
daunnya jangan sampai terkena air!"
"Baiklah," sahut Ouw Hui. Sembari menyiram pelan-pelan,
ia memerhatikan bunga itu yang berwarna biru dan tua dan
harum luar biasa, tapi ia tak tahu, bunga apakah itu. Tak lama
kemudian, isi kedua tahang itu sudah habis digunakan.
"Bagus," kata si nona. "Coba tolong sepikul lagi."
Ouw Hui berbangkit dan berkata dengan suara halus,
"Sahabatku sedang menunggu aku dan ia tentu merasa
sangat tidak sabar. Begini saja, sepulangnya aku dari Yo-ongchung,
aku akan mampir lagi di sini untuk membantu kau."


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lebih baik kau berdiam di sini untuk menyiram bunga,"
kata si nona. "Karena melihat, bahwa kau seorang baik, baru
aku meminta kau menyiram pohon-pohon itu."
Mendengar kata-kata yang aneh itu, Ouw Hui jadi semakin
heran. Sesudah telanjur terlambat, ia segera mengambil
putusan untuk membantu terus. Demikianlah ia memikul lagi
dua tahang air kotoran dan dengan sabar ia menyiram,
sehingga semua tanaman di kebun itu sudah disiramnya.
Sementara itu, matahari sudah turun di balik gunung, tapi
sinarnya yang berwarna kuning emas masih menyoroti bungabunga
biru itu, sehingga memberikan pemandangan yang
indah luar biasa. "Sungguh bagus bunga itu," puji Ouw Hui
berulang-ulang.
Selagi si nona hendak bicara, mendadak kelihatan Ciong
Tiauw-bun mendatangi dengan mengaburkan tunggangannya.
"Saudara kecil!" ia berteriak sesudah datang cukup dekat.
"Belum juga kau berangkat?"
"Ya," balas Ouw Hui berteriak. "Sekarang! Sekarang juga!"
Sehabis berkata begitu, ia mengawasi gadis dusun itu dengan
sorot mata memohon.
Wajah gadis itu lantas saja berubah keren. "Kau membantu
aku dengan maksud meminta petunjuk, bukan?" tanyanya.
Ditanya begitu, Ouw Hui lantas saja berkata di dalam
hatinya. "Memang, memang aku membutuhkan petunjukmu.
Tapi bantuanku yang diberikan barusan, adalah karena
merasa kasihan. Sudahlah! Jika aku memohon sekarang,
seperti juga aku menagih budi." Memikir begitu, ia tertawa
seraya berkata, "Ah! Indah benar bunga-bunga itu, bukan?" Ia
lalu membuka tambatan kudanya dan meloncat ke
punggungnya. "Tahan!" kata si nona.
Ouw Hui menengok dengan rasa tak sabar. Gadis itu
membungkuk dan memetik dua kuntum bunga. "Kau kata,
bunga ini indah sekali," katanya sembari melemparkan kedua
bunga itu. "Nih, kuberi dua tangkai."
"Terima kasih," kata Ouw Hui yang lalu menyambuti dan
memasukkan kedua-duanya ke dalam sakunya.
"Dia she Ciong, kau she apa?" tanya gadis dusun itu.
"She Ouw," jawabnya.
Si nona mengangguk dan berkata, "Jika kalian mau ke Yoong-
chung, lebih baik mengambil jalan ke timur laut."
Tadi, Ciong Tiauw-bun mengambil jalan ke barat laut.
Sesudah menunggu lama dan Ouw Hui tak muncul-muncul, ia
menjadi jengkel dan segera kembali. Tapi begitu mendengar
perkataan si nona, kejengkelannya lantas saja menjadi hilang.
"Saudara kecil," ia berbisik sembari tertawa. "Baik juga ada
kau, sehingga aku tak usah menyasar terlalu jauh."
Tapi sebaliknya, Ouw Hui sendiri merasa curiga. "Jika
rumah Yo-ong berada di sebelah timur laut, sebenarnya ia
dapat menerangkannya secara tegas," katanya di dalam hati.
"Kenapa ia menggunakan "lebih baik mengambil jalan ke utara
timur?"" Tapi, walaupun bereuriga, ia sungkan mendesak lebih
jauh dan segera berangkat bersama Tiauw-bun dengan
mengambil jalan yang ditunjuk si nona.
Baru saja berjalan enam-tujuh li, di hadapan mereka
mengadang sebuah telaga yang sangat luas. Jalan satusatunya
yang terdapat di situ adalah sebuah jalan kecil yang
menjurus ke sebelah barat.
"Kurang ajar perempuan itu!" Tiauw-bun memaki. "Kalau ia
tak suka memberitahukan, kita juga tidak memaksa. Biarlah!
Kalau lewat lagi di situ, kita hajar dia!"
Ouw Hui juga merasa heran. Setelah ia berbuat baik,
kenapa wanita itu masih mempermainkannya" "Ciong-toako,"
katanya. "Kurasa wanita itu mempunyai hubungan dengan Yoong-
chung." "Apakah kau melihat tanda-tanda mencurigakan?" tanya
Tiauw-bun. "Kedua matanya bersemangat dan bersinar luar biasa,"
sahutnya. "Aku merasa, bahwa ia bukan seorang wanita dusun
yang belum pernah melihat dunia."
"Benar," kata Tiauw-bun. "Lebih baik kau melemparkan dua
tangkai kembang pemberiannya itu."
Ouw Hui merogoh sakunya dan mengeluarkan kedua bunga
itu. Melihat warnanya yang sangat indah, tak tega ia
membuangnya. "Kembang yang begini indah belum tentu bisa
mencelakakan orang," pikirnya. Ia memasukkan lagi bungabunga
itu ke dalam sakunya sambil melarikan tunggangannya
ke jurusan barat.
"Hei! Hati-hati sedikit!" seru Tiauw-bun sembari menyusul
dari belakang. Ouw Hui mengiakan sambil mencambuki
kudanya yang lantas saja kabur seperti terbang.
Waktu itu sudah magrib. Sedari tiba di Pek-ma-sie, hati
mereka selalu kebat-kebit. Di siang hari masih mending, tapi
di waktu siang sudah berganti malam, hati mereka semakin
kedat-kedut. Sesudah berjalan lagi beberapa lama, mereka
mendapat kenyataan, bahwa semakin jauh, pohon-pohon dan
rumput-rumput jadi semakin berkurang, sehingga akhirnya
mereka tiba di suatu tempat yang tanahnya gundul sama
sekali. Jantung Ouw Hui memukul keras dan sembari menahan
les, ia berkata, "Ciong-toako, coba lihat! Selembar rumput tak
terdapat di tempat ini. Sungguh mengherankan!"
"Benar," sahut Tiauw-bun. "Andai kata semua tumbuhtumbuhan
di sini dibabat manusia, sedikitnya masih kelihatan
bekas-bekasnya. Aku khawatir ...." ia tidak meneruskan
perkataannya, kedua matanya mengawasi Ouw Hui dengan
sorot mata khawatir. Sesaat kemudian, ia berbisik, "Tempat
tinggal Yo-ong tentu berada dekat dari sini. Mungkin sekali,
ialah yang menyebar racun, sehingga tak selembar rumput
tumbuh di sini."
Ouw Hui mengangguk, ia menjadi lebih takut. Tiba-tiba ia
membuka buntelannya dan mengeluarkan beberapa helai kain
yang lalu digunakan untuk membebat mulut kuda Tiauw-bun
dan tunggangannya sendiri. Tiauw-bun mengawasi dengan
rasa kagum terhadap pemuda itu yang ternyata sangat hatihati.
Ia mengerti, bahwa Ouw Hui berbuat begitu karena
khawatir, jika kedua hewan itu akan makan rumput beracun.
Dengan waspada, mereka lalu meneruskan perjalanan. Tak
lama kemudian, jauh-jauh mereka melihat sebuah bangunan
atau sebuah rumah, yang bentuknya aneh sekali. Rumah itu
seperti juga sebuah kuburan besar, tanpa pintu dan tanpa
jendela, sedang warnanya hitam mulus, sehingga kelihatannya
menyeramkan sekali. Dalam jarak beberapa tombak, itu
dikitari pohon-pohon katai yang daunnya berwarna merah
darah, seperti daun pohon hong di musim rontok.
Ciong Tiauw-bun adalah seorang jago yang sudah kenyang
mengalami kejadian-kejadian menyeramkan di kalangan Kangouw.
Pakaian dan senjata Ciong-sie Sam-hiong sendiri sudah
cukup menakutkan. Akan tetapi, pada saat itu, Tiauw-bun
yang bernyali besar tak urung mengeluarkan juga keringat
dingin. "Bagaimana pikiranmu?" ia berbisik.
"Kita memohon secara sopan santun," jawab Ouw Hui,
"Dan melihat perkembangan selanjutnya." Ia majukan
kudanya sampai di dekat pohon-pohon merah itu. Kemudian ia
melompat turun dan sembari mencekal les, ia berteriak,
"Ciong Tiauw-bun dari Ouwpak Utara dan Ouw Hui, seorang
yang tingkatannya rendah dari Liaotong ingin menyampaikan
hormat kepada Yo-ong."
Ia mengeluarkan suara itu dengan mengerahkan tenaga
dalamnya. Suaranya tidak seberapa keras, tapi "tajam" sekali,
sehingga pasti akan dapat didengar oleh siapa juga yang
berada di dalam rumah itu.
Rumah itu tetap sunyi senyap, tak terdengar suara apa pun
juga dari dalamnya. Ouw Hui berteriak lagi beberapa kali, tapi
ia tetap tidak memperoleh jawaban. Pemuda itu jadi agak
mendongkol dan ia segera berteriak sekuat suaranya. "Kimbian-
hud Biauw-tayhiap terkena racun hebat! Racun itu telah
dicuri dari rumah Cianpwee oleh seorang jahat. Maka itu, kami
memohon Cianpwee sudi memberikan obat." Tapi teriak itu
pun berhasil nihil.
Cuaca jadi semakin gelap. "Ciong-toako, tindakan apa
harus diambil?" bisik Ouw Hui.
"Apakah kita mesti pulang dengan tangan kosong dan
membiarkan Biauw-tayhiap buta untuk selama-lamanya?" kata
Tiauw-bun. "Benar," kata Ouw Hui dengan bersemangat. "Biar mesti
terjun ke dalam sarang naga atau ke gua harimau, kita harus
berdaya upaya." Sesaat itu, dalam hati mereka lantas saja
timbul keinginan untuk menggunakan kekerasan. Mereka
menganggap, bahwa meskipun Yo-ong lihai dalam hal
menggunakan racun, ilmu silatnya belum tentu terlalu tinggi.
Memikir begitu, sesudah melepaskan tunggangan mereka,
Tiauw-bun dan Ouw Hui lalu mendekati pohon-pohon merah
itu. Ternyata, pohon-pohon tersebut sangat lebat cabang dan
daunnya, sehingga tak dapat diterobos dengan begitu saja.
Tanpa berpikir panjang, Tiauw-bun segera bergerak untuk
melompati pagar pohon itu. Selagi badannya masih berada di
tengah udara, tiba-tiba ia mengendus bau wangi. Sesaat itu
juga, kedua matanya gelap, kepalanya pusing dan ia roboh di
antara pohon-pohon itu. Ouw Hui terkejut bukan main dan
segera melompat menyusul. Seperti Tiauw-bun, ia juga
mengendus bau wangi itu dan dadanya lantas saja dirasakan
sesak. Begitu kedua kakinya hinggap di bumi, buru-buru ia
membangunkan Tiauw-bun memeriksa keadaannya. Kedua
mata Tiauw-bun tertutup rapat, tangan dan mukanya dingin,
tapi ia masih bernapas.
Ouw Hui menjadi bingung tereampur duka. "Ah," ia
mengeluh di dalam hati. "Sedang obat untuk Biauw-tayhiap
belum didapat, Ciong-toako juga sudah terkena racun. Aku
sendiri pun sudah mengisap hawa beracun dan tinggal tunggu
tempo saja." Karena pikiran itu, ia menjadi nekat dan lalu
mendekati rumah aneh itu.
"Yo-ong Cianpwee!" ia berteriak. "Dengan tangan kosong,
Boanpwee datang ke sini untuk memohon pertolongan. Sama
sekali Boanpwee tidak mengandung maksud yang kurang baik.
Jika Cianpwee tetap tak sudi menemui Boanpwee, Boanpwee
terpaksa bertindak secara kurang ajar."
Sambil berteriak, ia meneliti keadaan bangunan itu. Ia
mendapat kenyataan, bahwa dari atas sampai di bawah,
rumah tersebut berwarna hitam seluruhnya. Seperti juga
bukan terbuat dari bahan kayu. Di samping itu, ia pun
mendapat kenyataan, bahwa bangunan itu bersih luar biasa,
tanpa sepotong kayu atau sebutir batu. Untuk beberapa saat,
ia berdiri bengong sembari mengasah otak. Tak berani ia
menyentuh dinding rumah itu, karena khawatir akan racun.
Sejenak kemudian, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan
sepotong perak yang lalu digunakan untuk mengetuk dinding
itu. Beberapa kali suara "tring" lantas terdengar dan sekarang
ia mendapat kepastian, bahwa bangunan itu dibuat dari
logam. Ia lalu memasukkan perak itu ke dalam sakunya lagi.
Selagi berbuat begitu, ia menunduk dan seketika itu, serupa
bau wangi yang sejuk menyambar kedua hidungnya. Dan ...
hampir berbareng, dadanya lega dan otaknya menjadi lebih
terang. Dengan terkejut, ia menunduk lagi dan sekali lagi, ia
mengendus wangi-wangian yang menyegarkan itu.
Ternyata bau wangi itu keluar dari dua kuntum bunga biru
pemberian si gadis dusun. "Ah!" kata Ouw Hui dalam hatinya.
"Kalau begitu, bunga ini mempunyai khasiat untuk menolak
racun. Sekarang terbukti, bahwa gadis itu adalah seorang
penolong."
Sembari berpikir begitu, Ouw Hui berlari-lari mengitari
rumah aneh itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa jangankan
pintu dan jendela, sedang lubang kecil saja tidak terdapat di
seluruh bangunan itu. "Apakah benar-benar rumah ini tiada
penghuninya?" tanyanya di dalam hati. "Tanpa hawa udara,
manusia tentu tak bisa berdiam lama-lama di dalamnya." Oleh
karena tidak bersenjata, tentu saja ia tidak berdaya terhadap
bangunan yang terbuat dari logam itu. Sesudah berpikir
sejenak, ia segera mengeluarkan kedua bunga biru itu yang
lalu ditempelkan pada lubang hidung Tiauw-bun. Benar. Ben
Pukulan Si Kuda Binal 3 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Pendekar Kelana 11
^