Kisah Si Rase Terbang 9

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 9


ar saja, berselang beberapa saat, Tiauw-bun berbangkis dan
mendusin. Ouw Hui menjadi girang sekali dan lantas saja mengambil
putusan untuk kembali kepada gadis dusun itu untuk
memohon petunjuk lebih jelas. Ia lalu menancapkan setangkai
bunga biru di baju Tiauw-bun dan mencekal yang setangkai
lagi, di dalam tangannya. Sesudah itu, sambil mendukung
Tiauw-bun, ia segera melompati pohon-pohon merah yang
sangat beracun itu.
Baru saja kedua kakinya hinggap di atas tanah, dari dalam
rumah itu mendadak terdengar bentakan, "Hei!" Suara itu
yang sangat menyeramkan mengandung nada kegusaran.
Ouw Hui memutarkan badan dan menghadapi rumah itu.
"Yo-ong Cianpwee!" ia berseru. "Apakah Cianpwee sudi
menerima kami?" Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban dan
tetap tak mendapat jawaban, sesudah ia mengulangi
seruannya beberapa kali.
Tiba-tiba kesunyian sang malam dipecahkan suatu bunyi,
"bruk!", seolah-olah serupa benda berat jatuh di tanah. Ouw
Hui menengok ke arah bunyi itu dan dengan hati mencelos, ia
mendapat kenyataan bahwa kedua tunggangan mereka sudah
roboh terguling. Dengan sekali menggenjot badan, ia sudah
mendekati kedua hewan itu, yang sudah putus napasnya
dengan mulut mengeluarkan liur warna hitam, tapi pada
badannya tidak terdapat tanda-tanda luka.
Sampai di situ, habislah keberanian kedua orang gagah itu.
Sesudah berdamai dengan suara perlahan, mereka mengambil
putusan untuk kembali ke kebun si gadis dusun, untuk
memohon pertolongan atau petunjuk-petunjuk.
Sesudah terkena racun, kedua kaki Tiauw-bun agak lemas,
sehingga mereka berjalan sembari sebentar-sebentar
mengaso. Kira-kira jam dua, lewat tengah malam, baru
mereka tiba di depan gubuk si gadis dusun. Di antara
kesunyian sang malam, bunga-bunga biru yang sedang mekar
di tengah kebun, menyiarkan bau yang harum luar biasa.
Mengendus itu, dada Tiauw-bun menjadi lega dan
semangatnya dengan segera pulih kembali.
Sekonyong-konyong di jendela rumah gubuk itu muncul
sinar penerangan. "Brak!" pintu terbuka dan si nona kelihatan
muncul. "Jiewie, masuklah," ia mengundang. "Di kampung
yang melarat, aku tak dapat menyuguhkan santapan yang
pantas kepada tamu. Paling banyak, teh yang tawar dan nasi
yang kasar."
Buru-buru Ouw Hui merangkap kedua tangannya dan
berkata sembari membungkuk, "Kami sungguh merasa malu,
bahwa di tengah malam buta, kami terpaksa mengganggu
Nona." Si nona mesem dan segera bertindak ke samping, supaya
kedua tetamunya bisa masuk. Begitu masuk, Ouw Hui
mendapat kenyataan, bahwa gubuk itu diperaboti secara
sangat sederhana sekali, tiada bedanya seperti rumah orang
miskin. Tapi ada suatu hal yang aneh, yaitu, seluruh ruangan
luar biasa bersihnya, seolah-olah tak ada sekelumit debunya.
Jantung Ouw Hui memukul semakin keras. Kebersihan gubuk
ini mirip dengan kebersihan rumah aneh yang dikitari pohon
beracun itu. "Ciong-ya, Ouw-ya, duduklah," si nona mengundang
sembari masuk. Beberapa saat kemudian, ia membawa keluar
dua mangkuk kosong, dua pasang sumpit, tiga piring sayur,
semangkuk kuah, dan dua mangkuk besar nasi putih yang
masih mengepul. Tiga macam sayur itu adalah tahu-ca,
rebung ca-taoge dan peheay-ca, sedang semangkuk kuah
adalah sayur asin dimasak kuah. Semua santapan adalah
santapan orang ciacay, tapi baunya sangat sedap sehingga
menimbulkan nafsu makan.
Sesudah melalui perjalanan jauh, tak usah dikatakan lagi,
mereka berdua sudah merasa sangat lapar. "Terima kasih,"
kata Ouw Hui sembari tertawa dan lalu mengambil mangkuk
dan sumpit. Di lain saat, ia sudah makan dengan bernafsu
sekali. Tapi Tiauw-bun tak berani bergerak, karena hatinya
sangat bereuriga. "Semua makanan itu tentunya sudah
disiapkan olehnya terlebih dulu," katanya di dalam hati. "Dia
tentu sudah memastikan, bahwa kita berdua akan kembali.
Hati orang Kang-ouw sukar dijajaki. Aku harus berhati-hati,
lebih baik lapar daripada mampus diracuni orang."
Karena curiganya, selagi si nona pergi ke dapur, ia melirik
Ouw Hui dan berbisik, "Saudara kecil, bukankah aku sudah
memesan, supaya dalam jarak tiga puluh li dari rumah Yoong,
kau tak boleh makan apa pun juga. Apakah kau lupa?"
Tapi Ouw Hui berpendapat lain. Ia menganggap, bahwa
jika si nona mengandung maksud kurang baik, dia tentu tidak
akan menghadiahkan dua bunga itu. Di samping itu, jika
makanan yang sudah disediakan tidak dimakan, si nona tentu
akan merasa tersinggung. Selagi ia mau bicara, si gadis dusun
sudah keburu keluar lagi dengan membawa sebuah penampan
kayu di atas mana terdapat tahang kayu kecil yang penuh
dengan nasi putih.
Ouw Hui bangkit seraya berkata, "Terima kasih banyak
untuk budi Nona yang sangat besar. Bisakah kami memberi
hormat kepada ayah dan ibu Nona?"
"Kedua orang tuaku sudah meninggal dunia," jawabnya.
"Aku hidup sebatang kara."
"Ah!" Ouw Hui mengeluarkan seruan tertahan. Tapi tanpa
berkata suatu apa, ia lantas duduk pula dan terus makan lagi.
Semua makanan itu dibuat dari sayur-mayur segar dan
rasanya memang lezat sekali. Tanpa sangsi-sangsi, Ouw Hui
makan segala apa yang disuguhkan dan untuk menyenangkan
hati si nona, sembari makan, tak hentinya ia memuji santapan
itu. Dengan menghela napas perlahan, Tiauw-bun mengawasi
Ouw Hui yang makan terus tanpa mengenal bahaya. "Jika kau
sungkan mendengar nasihatku, aku juga tak dapat berbuat
apa-apa," katanya di dalam hati. "Biar bagaimana juga sama
mati dirobohkan orang." Untuk mencegah tersinggungnya
perasaan si gadis dusun, ia berkata, "Nona, harap kau suka
memaafkan aku. Karena tadi terkena racun, perutku rasanya
tak enak sekali. Aku tak ingin makan apa-apa."
Si nona lalu menuang secangkir teh dan sambil
mengangsurkan cangkir itu kepada Tiauw-bun, ia berkata,
"Kalau begitu minum teh saja."
Tiauw-bun menyambut dan melirik air teh yang berwarna
kehijau-hijauan. Ia sebenarnya haus sekali, tapi, sesudah
dicekal beberapa saat, ia menaruh cangkir itu di atas meja
tanpa diminum. Si gadis dusun bersikap tenang-tenang saja, sama sekali ia
tidak menunjukkan perasaan jengkel. Melihat Ouw Hui makan
seperti macan kelaparan, si nona jadi merasa girang dan
kegirangannya terlihat pada sorot matanya. Ouw Hui adalah
seorang yang cerdas luar biasa dan sorot mata si gadis dusun
tidak terluput dari pengawasannya. Ia makan sesudah
memperhitungkan untung-ruginya. Sesudah mengambil
putusan untuk makan, jika santapan itu mengandung racun,
makan sedikit atau makan banyak, akibatnya adalah sama.
Maka, ia lalu "membuka perut" sebesar-besarnya,
menghabiskan empat mangkuk nasi dan menyikat semua
santapan yang berada di atas meja. Sesudah ia selesai makan,
si gadis dusun lalu bergerak untuk membenahkan piring
mangkuk kosong itu, tapi Ouw Hui mendahuluinya. Ia
menyusun semua perabot makan itu di atas penampan dan
membawa semua itu ke dapur untuk kemudian dicucinya.
Sesudah bersih, ia memasukkan semua piring mangkuk
tersebut ke dalam lemari, sedang si nona sendiri lalu menyapu
sisa makanan yang berantakan di atas lantai. Melihat, bahwa
air dalam jambangan hanya tinggal sedikit, Ouw Hui lalu
mengambil dua tahang dan pergi mengambil air di selokan
kecil. Sesudah mengisi air dalam jambangan itu, Ouw Hui
kembali ke ruangan depan tadi. Ia mendapat kenyataan,
bahwa Tiauw-bun sudah pulas nyenyak dengan mendekam di
atas meja. "Maaf, Ouw-ya," kata si nona. "Dalam rumahku ini tidak
ada kamar tamu. Ouw-ya hanya bisa mengaso dengan
merebahkan diri di atas bangku panjang."
"Nona, banyak terima kasih untuk segala budimu," kata
Ouw Hui sembari tertawa. "Jangan kau berlaku begitu
sungkan." Gadis dusun itu tidak berkata apa-apa lagi dan segera
masuk ke ruangan dalam sesudah merapatkan pintu yang
tidak dikuncinya. Diam-diam Ouw Hui mengagumi gadis itu
yang walaupun hidup seorang diri di tempat yang begitu sepi,
masih berani menerima dua orang laki-laki menumpang.
Perlahan-lahan ia mendorong pundak Tiauw-bun dan berbisik,
"Ciong-toako, pindahlah ke bangku panjang."
Di luar dugaan, begitu didorong, badan Tiauw-bun miring
dan terguling di atas tanah. Dengan kaget, Ouw Hui buru-buru
membangunkannya. Segera juga ia mendapat kenyataan,
bahwa muka Tiauw-bun panas seperti api. "Ciong-toako, kau
kenapa?" tanyanya dengan perasaan bingung.
Buru-buru ia mengambil pelita dan meneliti keadaan
kawannya itu. Selebar muka Tiauw-bun berwarna merah,
seperti mabuk arak, sedang mulutnya berbau arak. "Eh-eh!"
kata Ouw Hui dalam hatinya. "Air teh saja ia tak berani
minum. Kenapa bisa jadi mabuk arak?"
Sementara itu, dalam keadaan setengah sadar, Tiauw-bun
mengoceh, "Tidak! Aku tidak mabuk. Mari, mari! Mari kita
minum tiga mangkuk lagi!"
Ouw Hui menduga, bahwa semua itu tentu juga perbuatan
si gadis dusun yang mungkin tersinggung karena Tiauw-bun
menolak makanan dan minumannya. Ia khawatir tereampur
heran dan ia tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Apakah
ia harus membangunkan si nona untuk memohon pertolongan,
ataukah membiarkan saja sampai Tiauw-bun sadar sendiri. Di
lain saat, ia mendapat pikiran lain. "Ah!" pikirnya. "Ciongtoako
bukan mabuk sewajarnya. Ia tentu terkena racun."
Selagi hatinya sangat bimbang, di kejauhan mendadak
terdengar jeritan sekawanan binatang liar yang sangat
menyeramkan. Dalam kesunyian sang malam, suara itu sudah
membangunkan bulu romanya. Didengar dari bunyinya jeritan
itu adalah jeritan kawanan serigala. Tapi, daerah di sekitar
Telaga Tong-teng adalah tanah datar, sehingga meskipun ada
juga seekor dua ekor serigala, rombongan yang besar
jumlahnya tak mungkin terdapat di tanah datar itu. Dengan
hati berdebar Ouw Hui memasang kuping. Semakin lama,
pekikan-pekikan itu jadi semakin dekat, kadang-kadang
tereampur dengan jeritan beberapa kambing hutan. Selagi ia
mau menengok lagi keadaan Tiauw-bun, tiba-tiba pintu
ruangan dalam terbuka dan si nona menampakkan diri dengan
mencekal ciaktay (tempat menancapkan lilin) dan dengan
paras yang agak ketakutan. "Itulah kawanan serigala,"
katanya. Ouw Hui mengangguk. Ia mengawasi gadis itu dan sambil
menunjuk Tiauw-bun, ia berkata, "Nona ...."
Di lain saat, jeritan-jeritan itu, sudah terdengar semakin
dekat. Wajah Ouw Hui lantas saja berubah pucat. Tiauw-bun
sedang berada dalam keadaan pingsan, sedang sikap nona itu
masih diragukannya, belum terang, apakah dia lawan atau
kawan. Apakah yang harus dilakukannya" Selagi ia berada
dalam kebingungan, di antara jeritan itu terdengar juga bunyi
tindakan kuda yang tengah mendatangi dengan kecepatan
luar biasa. Buru-buru Ouw Hui membungkuk dan sesudah mendukung
Tiauw-bun, ia melompat ke dapur untuk mencari golok. Tapi
karena gelap gulita, golok itu tak gampang dicarinya.
"Apakah kau dari keluarga Beng?" demikian terdengar
bentakan si gadis dusun. "Perlu apa kau datang di tengah
malam buta?"
Mendengar bentakan itu yang sangat angker, hati Ouw Hui
menjadi lebih lega. Sedikitnya ia mengetahui, bahwa si
penunggang kuda bukan kawan gadis dusun itu. Dengan
cepat ia menerobos ke luar dan masuk di pekarangan
belakang. Sesudah menjumput seraup batu-batu kecil, ia
melompat ke atas sebuah pohon liu dan meletakkan tubuh
Tiauw-bun di antara dua cabang besar.
Di bawah sinar bintang, ia melihat, bahwa seorang laki-laki
yang mengenakan pakaian abu-abu sudah memajukan
kudanya sampai di depan pintu. Di belakangnya, sambil
mengeluarkan geraman dan jeritan menyeramkan, datang
belasan serigala itu, meluruk bagaikan kelaparan. Dilihat
sekelebatan seperti juga orang itu sedang dikejar binatangbinatang
buas itu. Tapi di lain saat, Ouw Hui mendapat
kenyataan, bahwa orang itu menyeret seekor kambing putih
yang terus menjerit-jerit di belakang kudanya.
Bukan main herannya Ouw Hui. Apakah dia seorang
pemburu yang mau menangkap serigala dengan
menggunakan tunggangannya ke dalam kebun bunga. Dengan
dikejar oleh kawanan serigala itu, dari timur ia melarikan
kudanya ke barat dan dari barat ke timur. Dalam sekejap,
seluruh tanaman bunga itu sudah terinjak hancur. Orang itu
sungguh pandai menunggang kuda, karena sesudah beberapa
putaran, kawanan anjing itu masih belum bisa menerkam si
kambing putih yang diseret di belakang kuda.
"Ah!" Ouw Hui mendusin. "Dilihat begini, orang itu agaknya
memang sengaja mau merusak kebun bunga ini! Sekarang tak
dapat aku berpeluk tangan." Dengan sekali menggenjot
badan, kedua kakinya sudah hinggap di atas atap rumah.
Tapi, sebelum ia keburu berbuat apa-apa, mendadak
terdengar suara teriakan, "aduh!", disusul dengan kaburnya si
penunggang kuda ke arah utara. Kambing itu yang
ketinggalan di tengah-tengah kebun, lantas saja diterkam,
dirobek dan terus dimakan oleh kawanan serigala itu.
"Jahat benar orang itu," pikir Ouw Hui sembari
menimpukkan dua butir batu. Dengan serentak, dua ekor
anjing roboh terguling dengan kepala hancur. Sekali lagi, Ouw
Hui menyambit dengan dua butir batu. Kali ini, batu yang
digunakannya agak kecil, yang sebutir mengenai perut seekor
serigala dan yang sebutir lagi menghajar pundak seekor
serigala lain. Meskipun tak sampai mati, kedua binatang itu
lantas saja menjerit-jerit kesakitan.
Kawanan binatang buas itu agaknya mengerti, bahwa
musuh mereka berada di atas atap rumah. Mereka mendongak


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menggeram sambil mengawasi pemuda itu, dengan mata
berapi. Melihat kegalakan kawanan binatang itu, Ouw Hui
bergidik. Tanpa bersenjata ia merasa tak ungkulan melawan
kawanan serigala itu.
Sekali lagi ia mengayun tangannya untuk menimpuk seekor
serigala jantan yang paling besar. Bagaikan kilat batu
menyambar tenggorokan binatang itu yang lantas sudah
terguling-guling dan terkaing-kaing, akan kemudian kabur
sekeras-kerasnya. Seekor serigala lain, yang perutnya sudah
kenyang, lantas saja turut kabur, disusul oleh serigala ketiga,
keempat, dan begitu seterusnya. Dalam sekejap mereka sudah
kabur jauh meninggalkan kebun bunga yang sudah hancur.
Ouw Hui segera melompat turun sembari berkata, "Sungguh
sayang!" Ia merasa sayang, bahwa capai lelahnya si nona menanam
dan merawat tanaman-tanaman yang begitu indah, telah
dimusnahkan dalam sekejapan mata. Ia menduga, bahwa si
gadis dusun tentu bukan main gusarnya.
Tapi di luar dugaan, si nona sama sekali tidak menyebutnyebut
kerusakan kebunnya dan berkata sembari tertawa,
"Ouw-toako, terima kasih banyak untuk bantuanmu."
"Aku sungguh merasa sangat malu," jawab Ouw Hui. "Aku
sangat menyesal, bahwa aku tidak turun tangan terlebih
siang. Jika tadi aku merobohkan si penunggang kuda sebelum
dia masuk kebun, tanaman bunga itu tentu akan dapat
diselamatkan."
Si nona bersenyum manis dan berkata dengan suara
tenang, "Andai kata tidak dirusak anjing hutan, beberapa hari
lagi bunga-bunga itu tentu akan layu sendiri."
Ouw Hui terkejut, karena ia merasa, bahwa gadis dusun itu
sudah mengeluarkan kata-kata aneh, yang seolah-olah
merupakan ramalan. "Sesudah menerima budi yang begitu
besar, aku belum mengetahui she Nona yang mulia," kata
Ouw Hui dengan sikap menghormat.
Wajah si nona lantas saja berubah angker. "Aku she Thia,"
jawabnya. "Di hadapan orang lain, harap kau jangan
menyebut-nyebut sheku itu." Ia mengucapkan kata-kata itu
dengan nada seolah-olah Ouw Hui adalah anggota
keluarganya sendiri.
Ouw Hui menjadi sangat girang dan ia maju setindak lagi.
"Tapi, apakah aku boleh mengetahui nama Nona?"
tanyanya lagi. "Kau sangat baik," kata si nona. "Sudah telanjur biarlah aku
sekalian memberitahukan namaku kepadamu. Aku bernama
Leng-so. Leng dari leng-kie dan So dari so-bun."
Walaupun tidak mengetahui, bahwa leng-kie dan so-bun
adalah nama dua kitab obat, Ouw Hui merasa nama itu enak
sekali didengarnya dan ia semakin yakin, bahwa gadis dusun
itu bukan sembarang orang.
"Kalau begitu," katanya sembari tertawa. "Biarlah aku
panggil kau Leng-kouwnio (Nona Leng)."
Si nona tertawa manis dan berkata, "Kau sungguh ramah
tamah." Jantung Ouw Hui mendadak berdebar keras. Gadis
dusun itu bukan seorang gadis cantik. Akan tetapi, lagu
bicaranya dan tertawanya yang manis mempunyai serupa
daya penarik yang luar biasa.
Selagi ingin menanyakan keadaan Tiauw-bun, si nona
sudah mendahului. "Keadaan Ciong-toakomu sama sekali tidak
berbahaya. Besok pagi, ia akan sadar dari mabuk araknya.
Sekarang aku ingin pergi menemui beberapa orang. Apakah
kau mau turut?"
Sekali lagi Ouw Hui merasa heran. Siapa yang ingin
dijumpainya di tengah malam buta" Ia tak berani
menanyakannya. Satu hal ia memastikan, tindakan si gadis
dusun tentu mempunyai arti yang sangat penting. "Aku ikut,"
jawabnya tanpa berpikir panjang-panjang lagi.
"Baik," kata si nona. "Tapi sebelum kita berangkat, kau
harus membuat dulu tiga perjanjian. Pertama, kau tak boleh
bicara dengan orang lain ...."
"Akur," kata Ouw Hui. "Aku akan berlagak gagu."
"Tak usah," kata Leng-so sembari tertawa. "Dengan aku,
tentu saja kau boleh bicara. Kedua, kau tak boleh bertempur,
tak boleh melepaskan senjata rahasia atau menutuk jalan
darah orang. Semua tak boleh. Ketiga, kau tidak boleh
terpisah lebih dari tiga tindak dari sampingku."
Dengan merasa sangat girang, Ouw Hui lantas saja
mengiakan. Ia yakin, bahwa si nona akan membawa dia
kepada Tok-chiu Yo-ong. "Apakah kita berangkat sekarang?"
tanyanya. "Kita harus membawa sedikit barang," jawabnya sembari
masuk ke dalam kamarnya. Lewat kira-kira seminuman teh, ia
keluar lagi dengan memikul dua keranjang bambu yang
tertutup, sehingga tak dapat diketahui apa isinya.
"Biarlah aku yang memikulnya," kata Ouw Hui sembari
mengambil pikulan itu yang segera dilintangkannya. Segera
juga ia mendapat kenyataan, bahwa kedua keranjang itu tak
mudah dipikulnya, karena yang sebelah sangat berat, kira-kira
seratus tujuh puluh kati beratnya, sedang yang lain sangat
enteng. Ia heran, tapi tak mengatakan suatu apa.
Sebelum berangkat, ia menengok ke arah Tiauw-bun yang
sedang menggeros dengan mengeluarkan hawa arak dari
mulut dan hidungnya.
Sesudah Leng-so mengunci pintu, mereka lalu berangkat
dengan si nona berjalan di depan. "Leng-kouwnio," kata Ouw
Hui. "Bolehkah aku menanyakan suatu hal?"
"Boleh saja jika aku dapat menjawabnya," sahut si nona.
"Jika kau tak bisa, dalam dunia ini tiada orang lain yang
bisa menjawabnya," kata Ouw Hui. "Kau sendiri tahu, Ciongtoako
tidak minum setetes air atau menelan sebutir nasi. Tapi,
kenapa dia sampai jadi mabuk begitu rupa?"
Gadis dusun itu tertawa geli. "Dia mabuk justru karena tak
minum dan tak makan," jawabnya.
"Ah! Inilah benar-benar suatu hal, yang aku tak mengerti,"
kata pula Ouw Hui. "Ciong-toako adalah seorang yang sudah
kawakan dalam dunia Kang-ouw. Kui-kian-ciu Ciong-sie SamTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hiong di Ouwpak Utara adalah orang-orang yang terhitung
mempunyai ilmu silat tinggi dalam Rimba Persilatan. Di lain
pihak, aku adalah seorang yang berkepandaian sangat cetek.
Tapi siapa nyana, sedang ia begitu berhati-hati, ia justru ...."
ia tak bicara terus dan berhenti sampai di situ.
"Bicara saja terus terang," kata si nona. "Kau tentu ingin
mengatakan, bahwa ia begitu berhati-hati, tapi tak urung
dapat kurobohkan. Bukankah begitu" Apakah kau mengira,
bahwa orang yang berhati-hati selamanya akan selamat"
Justru orang seperti kau, yang sukar mendapat bahaya."
"Kenapa begitu?" tanya Ouw Hui.
"Disuruh memikul tahi, kau pikul, disuruh makan, kau
lantas makan," jawabnya sembari tertawa. "Terhadap bocah
yang begitu menurut, mana orang tega menurunkan tangan
jahat?" "Oh, kalau begitu, menjadi manusia harus mendengar
kata," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Tapi caramu
mencelakakan orang benar-benar luar biasa. Sehingga
sekarang, aku masih belum bisa menebak, bagaimana kau
melakukannya."
"Baiklah, kepadamu, aku rela membuka rahasia," kata si
nona. "Apakah kau melihat kembang putih kecil, yang berada
di ruangan tengah?"
Karena bunga itu tidak mencolok mata dan agaknya hanya
perhiasan belaka, Ouw Hui tidak memerhatikannya. Sekarang
ia ingat bahwa di samping meja makan, terdapat sebuah meja
kecil, di atas mana telah ditempatkan sebuah jambangan
kembang, dengan sekuntum bunga putihnya.
"Bunga itu dinamakan Tek-ouw-hiang," si nona
menerangkan. "Yang dapat memabukkan orang adalah
baunya yang harum. Siapa juga yang mengendusnya, pasti
akan roboh dengan tanda-tanda seperti orang mabuk arak.
Dalam makanan dan air teh, aku sudah mencampurkan obat
pemunahnya."
Mendengar keterangan itu, Ouw Hui menjadi kagum
berbareng jeri. Menurut kebiasaan, cara meracuni orang
adalah mencampurkannya ke dalam minuman atau makanan.
Tapi cara si gadis dusun masih jauh lebih lihai sehingga
seorang Kang-ouw kawakan seperti Ciong Tiauw-bun masih
kena dirobohkan juga.
"Sebentar, begitu pulang, aku akan segera memberikan
obat pemunahnya kepada kawanmu itu," kata Leng-so. "Tak
usah kau khawatir."
Perkataan si nona sudah membikin Ouw Hui teringat suatu
hal. "Nona ini pandai menggunakan racun dan pandai pula
menyembuhkan penyakit akibat racun," pikirnya. "Mungkin
sekali, ia juga dapat menyembuhkan kedua mata Biauwtayhiap.
Jika benar begitu, tak usah aku capai-capai pergi
menemui Tok-chiu Yo-ong." Memikir begitu, lantas saja ia
menanya, "Leng-kouwnio, bisakah kau mengobati penyakit
akibat racun Toan-chung-co?"
"Sukar dikatakan," sahutnya.
Mendengar jawaban itu, Ouw Hui tak berani mendesak lagi.
Sambil mengikuti di belakangnya, ia melihat bahwa tindakan si
nona enteng luar biasa, tapi bukan karena menggunakan ilmu
mengentengkan badan. Tak lama kemudian, mereka sudah
melalui enam-tujuh li. Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa
mereka sedang menuju ke arah timur dan bukan ke jurusan
Yo-ong-chung. Mendadak, ia mengingat suatu hal dan lantas
saja menanya, "Leng-kouwnio, aku ingin mengajukan
pertanyaan lain. Tadi, sebelum aku dan Ciong-toako berangkat
ke Yo-ong-chung, kau telah mengatakan, "lebih baik jalan ke
timur laut." Kau sudah menyesatkan kami, sehingga kami
mesti berjalan memutar, yang lebih panjang kira-kira dua
puluh li daripada semestinya. Kenapa kau sudah berbuat
begitu" Sampai sekarang aku masih belum mengerti."
Si nona tertawa. "Sudahlah! Janganlah menanya berbelitbelit,"
katanya. "Kau tentu ingin menanya, rumah Yo-ong
terletak di barat daya, kenapa kita sekarang menuju ke timur"
Bukankah itu yang kau ingin menanyakan?"
Muka Ouw Hui jadi bersemu merah. "Benar, kau telah
menebak tepat sekali," katanya dengan suara perlahan.
"Kita tidak berjalan menuju ke Yo-ong-chung, karena kita
memang bukan mau pergi ke Yo-ong-chung," kata gadis
dusun itu. Ouw Hui terkejut, karena pernyataan itu adalah di luar
dugaannya. "Ah!" ia mengeluarkan seruan tertahan.
"Apakah kau tahu, kenapa siang tadi aku meminta kau
menyiram pohon-pohon bunga?" tanya Leng-so. "Pertama,
untuk mencoba-coba hatimu dan kedua, untuk memperlambat
perjalananmu. Sesudah itu, aku sengaja menunjukkan jalan
memutar yang lebih panjang kira-kira dua puluh li daripada
semestinya. Dengan berbuat begitu, aku juga bermaksud
untuk memperlambat perjalananmu, supaya kau tiba di Yoong-
chung di waktu malam. Kenapa aku berbuat begitu" Kau
harus mengetahui, bahwa pohon-pohon merah yang mengitari
Yo-ong-chung kurang beracunnya di waktu malam, sehingga
bisa dilawan dengan bunga biru yang kuberikan kepadamu."
Mendengar penjelasan itu, bukan main kagumnya Ouw Hui.
Ia sekarang merasa takluk dan berterima kasih kepada nona
dusun itu yang ternyata sudah menolong ia dengan
sesungguh hati. Maka itu, tanpa menanya suatu apa lagi, ia
segera mengikuti Leng-so berjalan ke arah timur.
Sesudah berjalan lagi lima enam li, mereka masuk ke dalam
hutan yang lebat. "Sudah tiba, tapi mereka belum datang,"
kata Leng-so. "Biarlah kita menunggu di sini. Tolong, letakkan
keranjang ini di bawah pohon itu." Sembari berkata begitu,
Leng-so menunjuk sebuah pohon besar. Ouw Hui lantas saja
melakukan apa yang diminta.
Sesudah itu, si nona mendekati gerombolan rumput tinggi
yang terpisah kira-kira sembilan tombak dari pohon besar
tersebut. "Tolong, bawalah kemari keranjang yang satunya lagi,"
kata Leng-so sembari masuk ke dalam gerombolan. Tanpa
berkata suatu apa, Ouw Hui menenteng keranjang itu dan
turut masuk ke dalam rumput-rumput tinggi tersebut. Ia
mendongak, mengawasi langit dan memandang sang bulan
yang sudah tenggelam di barat. Waktu sudah tengah malam,
di dalam hutan yang sunyi hanya terdengar bunyi kutu-kutu
kecil, diseling dengan suara burung-burung malam.
Beberapa saat kemudian, si nona memberikan sebutir pil
kepada Ouw Hui sambil berbisik, "Isaplah ini dalam mulutmu,
jangan ditelan." Tanpa ragu-ragu, Ouw Hui memasukkan pil
itu yang rasanya sangat pahit, ke dalam mulutnya.
Dengan menahan napas, mereka menunggu. Antara
mereka berdua, adalah Ouw Hui yang tak mengetahui, apa
atau siapa yang sedang ditunggu. Ia mengingat, bahwa
selama sehari dan semalam, pengalamannya sungguh luar
biasa. Dan dalam lamunannya, tiba-tiba ia teringat Wan Cie-ie.
"Ah. Di mana ia sekarang?" ia menghela napas. "Jika sekarang
yang berada di sampingku adalah dia, entah apa yang akan
dikatakannya." Memikir begitu, tanpa merasa ia merogoh saku
dan mengusap-usap burung hong dari giok, pemberian nona
Wan. Sesudah menunggu kurang-lebih setengah jam, tiba-tiba
Leng-so menarik ujung bajunya dan menuding ke suatu
jurusan. Ouw Hui memandang ke jurusan itu dan melihat sinar
teng (lentera) di kejauhan. Umumnya, api teng bersinar
merah, tapi api itu hijau sinarnya. Teng itu bergerak cepat luar
biasa dan dalam sekejap, sudah berada dalam jarak belasan
tombak. Dari sinar api, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa
yang menenteng teng itu, adalah seorang wanita bungkuk dan
jalannya terpincang-pincang diikuti seorang laki-laki di
belakangnya. Jantung Ouw Hui memukul keras. Ia ingat
keterangan Tiauw-bun, bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah
seorang perempuan yang berbadan bungkuk.
Ia melirik Leng-so tapi dalam kegelapan malam, tak dapat
ia melihat muka si nona. Apa yang dapat dilihatnya hanyalah
sepasang matanya yang bersinar, sedang mengawasi kedua
orang itu, dengan sifat tegang. Pada detik itu, timbullah rasa
kesatria dalam lubuk hati Ouw Hui. "Jika Tok-chiu Yo-ong
mengganggu Leng-kouwnio, walaupun mesti mati, aku tentu
akan menolong," katanya di dalam hati.
Kedua orang itu berjalan semakin dekat. Ternyata,


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meskipun bereacat, wanita itu berparas cantik, tapi yang lakilaki
beroman jelek dan sifatnya galak sekali. Usia mereka kirakira
sebaya, kurang-lebih empat puluh tahun. Dengan
pengalaman dan kepandaiannya yang tinggi, tak pernah Ouw
Hui merasa keder, menghadapi jagoan yang bagaimana besar
juga namanya. Tapi, pada saat itu, dalam suasana
menyeramkan, hatinya berdebar-debar. Ia merasa, bahwa
terhadap orang-orang aneh itu, ia tak bisa mengandal kepada
ilmu silatnya saja.
Ketika hanya tinggal terpisah tujuh-delapan tombak dari
tempat persembunyian Ouw Hui dan Leng-so, kedua orang itu
mendadak membelok ke kiri dan berjalan lagi, belasan
tombak, akan kemudian menghentikan tindakannya. Yang
laki-laki mendongak ke atas dan berseru dengan suara
nyaring, "Bok-yong-suheng! Menurut perjanjian. Kami berdua
suami-istri sudah tiba di sini. Hayolah keluar!"
Teriakan itu tak mendapat jawaban.
"Bok-yong-suheng!" seru si wanita bungkuk dengan suara
halus. "Jika kau sungkan menampakkan diri, kami terpaksa
akan berlaku kurang ajar terhadapmu." Teriakan itu juga
berhasil nihil.
Ouw Hui merasa geli dan berkata di dalam hatinya, "Inilah
yang dinamakan balas-membalas. Tadi kau tak meladeni aku,
sekarang kau yang tak digubris."
Sesaat kemudian, wanita itu merogoh sakunya dan
mengeluarkan seikat rumput yang lalu dinyalakan di api teng.
Dalam sekejap, di sekitar situ sudah penuh dengan asap putih
yang berbau wangi.
Mendengar perkataan "terpaksa berlaku kurang ajar", Ouw
Hui mengetahui, bahwa asap itu tentulah asap beracun. Ia
juga mengerti, bahwa ia tidak mendapat gangguan karena
khasiat pil pemberian si nona. Ia melirik Leng-so yang
kebetulan sedang memandang ke arahnya, dengan sorot mata
penuh kekhawatiran. Besar sekali rasa terima kasih Ouw Hui.
Ia tersenyum dan manggut beberapa kali.
Semakin lama, asap itu jadi semakin tebal.
Sekonyong-konyong, dari dalam keranjang yang berada di
bawah pohon, terdengar suara orang berbangkis. Ouw Hui
terkesiap, karena baru sekarang ia mengetahui, bahwa tadi ia
telah memikul seorang manusia hidup. Bahwa ia tidak
mengenal soal-soal racun, adalah hal yang bisa dimengerti.
Akan tetapi, dengan kepandaiannya yang cukup tinggi,
sungguh ia tak mengerti, mengapa ia sudah memikul manusia
hidup, tanpa mengetahuinya. Menurut pantas, manusia hidup
harus bernapas dan pernapasan itu mesti didengarnya.
Sementara itu, orang yang berada di dalam keranjang,
sudah berbangkis beberapa kali dan di lain saat tutup
keranjang itu terbuka, disusul keluarnya seorang laki-laki
sambil melompat. Orang itu, yang mengenakan jubah panjang
dan memakai ikat kepala sebagai sastrawan, ternyata bukan
lain daripada si orang tua yang pernah diketemui Tiauw-bun
dan Ouw Hui di atas gunung. Begitu kedua kakinya menginjak
bumi, ia mengawasi kedua suami istri itu dengan mata melotot
dan membentak, "Bagus! Kiang-sutee, Sie-sumoay. Bertahuntahun
kita tak pernah bertemu dan kelihatannya, makin lama
tanganmu jadi semakin kejam!"
Suami istri itu mengawasi si orang tua yang pakaiannya tak
rapi dan ikat kepalanya miring ke samping. "Kau mengatakan
kami kejam?" kata yang laki-laki dengan suara dingin. "Siapa
yang tahu, kau bersembunyi di dalam keranjang" Bok-yongsuheng
...." Baru saja ia berkata begitu, si orang tua mengendus-endus
udara beberapa kali dengan wajah berubah dan buru-buru ia
mengeluarkan sebutir pil yang lalu dimasukkan ke dalam
mulutnya. Sementara itu, si wanita bungkuk sudah memadamkan
rumput racunnya yang kemudian dimasukkan kembali ke
dalam sakunya. "Bok-yong-suheng!" katanya. "Sudah tak
keburu lagi! Sudah terlambat!"
Wajah orang tua itu menjadi pucat bagaikan mayat, ia
duduk di tanah dan berselang beberapa saat, baru ia berkata,
"Baiklah, aku kalah. Mulai dari sekarang, aku tak akan
membuntuti kamu lagi."
Laki-laki yang beroman jelek itu, segera mengeluarkan
sebuah botol kecil yang berwarna merah. Ia mengacungkan
botol itu seraya berkata, "Inilah obat pemunah untuk Toanchung-
co. Sutitmu (anak dari saudara seperguruan) telah
dicelakakan dengan racunmu. Maka itu, kau juga harus
memberikan obat pemunahnya."
"Dusta!" bentak si orang tua. "Apakah kau maksudkan
Siauw-tiat" Beberapa tahun aku tak pernah bertemu dengan
ia. Jangan bicara sembarangan."
"Apakah kau menjanjikan kami datang ke sini hanya untuk
mengatakan begitu?" tanya si wanita bungkuk dengan suara
gusar. Ia berpaling kepada suaminya dan berkata pula, "Tiatsan,
hayolah kita berangkat!" Ia memutarkan badan dan
segera berjalan pergi.
Tiat-san tak bergerak, ia kelihatan sangat bersangsi.
"Siauw-tiat ...." katanya.
Wanita bungkuk itu menghentikan tindakannya dan
menengok, "Dia sangat membenci kita," katanya. "Dia
agaknya lebih suka mati daripada mengampuni Siauw-tiat.
Apakah kau masih belum bisa melihat kenyataan itu?"
Tiat-san masih juga belum mau berlalu. Ia mengawasi si
orang tua dan berkata, "Bok-yong-suheng, sudah dua puluh
tahun kita saling mendendam. Apakah sekarang belum tiba
waktunya untuk menghilangkan semua ganjalan itu" Siauwtee
ingin mengajukan suatu usul, yaitu kita sekarang saling
menukar obat dan mengakhiri segala permusuhan." Ia
mengucapkan perkataan itu dengan suara memohon,
sehingga hati si orang tua terpengaruh juga.
"Sie-sumoay," katanya. "Siauw-tiat terkena racun apa?"
Si wanita bungkuk tidak menjawab, ia hanya tertawa
dingin. "Bok-yong-suheng," kata pula Tiat-san dengan suara
mendongkol. "Sampai di sini, tak usah kita berpura-pura lagi.
Siauwtee memberi selamat, bahwa kau sudah menanam Citsim
Hay-tong (Bunga Hay-tong Tujuh Hati) ...."
"Siapa menanam Cit-sim Hay-tong?" teriak si orang tua.
"Apakah Siauw-tiat terkena racun Cit-sim Hay-tong" Bukan
aku! Tentu saja bukan aku!" teriaknya penuh dengan suara
ketakutan, sedang wajahnya menjadi pucat sekali.
"Sudahlah, Bok-yong-suheng," kata wanita itu. "Tak usah
kita membicarakan yang tak perlu. Aku hanya ingin menanya,
untuk apa kau menjanjikan kami datang ke sini?"
"Tidak, sama sekali aku tak pernah minta kamu datang ke
sini," jawabnya sembari menggelengkan kepala. "Aku sungguh
tak mengerti. Kamu, yang sudah membawa aku kemari,
berbalik mengatakan akulah yang meminta kamu datang ke
sini." Sesudah berkata begitu, dengan gusar ia menendang
keranjang bambu itu yang lantas terpental beberapa tombak
jauhnya. "Apakah surat ini bukan ditulis olehmu?" tanya si wanita
dengan suara mengejek. "Bok-yong-suheng, mataku belum
lamur. Aku cukup mengenal gaya tulisanmu." Ia merogoh
sakunya dan mengeluarkan sehelai kertas yang lalu
diangsurkannya kepada orang tua itu.
Selagi si orang tua mau menyambuti, tiba-tiba saja ia
mendapat suatu ingatan dan lalu mengebas dengan telapakan
tangannya, sehingga kertas itu terpental dan melayang-layang
di tengah udara. Hampir berbareng dua jeriji tangan kirinya
menyentil dan sebatang touw-kut-teng (paku penembus
tulang) menyambar dan memaku kertas itu di batang pohon.
Hati Ouw Hui berdebar. "Sungguh berbahaya berurusan
dengan orang-orang begini," pikirnya. "Setiap detik kita harus
berhati-hati. Si tua agaknya tak berani memegang kertas itu
yang dikhawatirkan ada racunnya."
Si wanita bungkuk mengangkat tinggi-tinggi teng yang
dipegangnya. Di atas kertas itu terdapat dua baris huruf-huruf
besar yang berarti seperti berikut:
Kiang dan Sie, kedua saudara. Harap datang di Hek-houwlim
(Hutan Harimau Hitam) sesudah jam tiga. Ada urusan
penting yang ingin didamaikan.
Huruf-huruf itu berbentuk tinggi kurus, mirip sekali dengan
bentuk badan si orang tua. "Ah!" ia mengeluarkan teriakan
heran. "Bok-yong-suheng, kenapa?" tanya si laki-laki jelek.
"Itu bukan tulisanku," jawabnya.
Kedua suami istri itu saling memandang dan pada bibir
mereka tersungging senyum menyindir.
"Heran, sungguh heran!" kata si orang tua. "Hurufhurufnya
memang mirip dengan tulisanku." Ia mengusap-usap
jenggotnya dan mendadak berteriak dengan suara gusar,
"Binatang! Dengan maksud apa, kamu memasukkan aku ke
dalam keranjang dan membawa aku kemari" Aku sudah
bersumpah, bahwa selama hidupku, tak sudi aku melihat lagi
cecongormu!"
"Sudahlah, jangan berpura-pura!" si wanita bungkuk balas
membentak. "Siauw-tiat terkena racun Cit-sim Hay-tong.
Katakan saja, kau mau mengobati atau tidak?"
"Kau tahu pasti?" tanya si orang tua. "Kau tahu pasti, Citsim
... Cit-sim Hay-tong?" ketika mengatakan "Cit-sim Haytong",
suaranya bergemetar seperti ketakutan.
Perlahan-lahan Ouw Hui mengerti duduknya persoalan. Ia
menduga, bahwa seorang yang berkepandaian sangat tinggi
memainkan peran dalam peristiwa ini. Tapi siapakah orang
itu" Tanpa merasa ia melirik Leng-so. Mungkinkah gadis kurus
kering ini yang sudah mengerjakan semua itu"
Selagi Ouw Hui sangsi, sekonyong-konyong terdengar
suara bentakan, "uuh!" yang menyeramkan dan aneh
kedengarannya. Ia berpaling dan mendapat kenyataan, bahwa
suara tersebut dikeluarkan si orang tua dan kedua suami istri
itu sembari mendorong kedua tangan mereka ke depan.
Dalam sekejap, kesunyian sang malam dipecahkan oleh suara,
"uuh, uuh, uuh" yang tiada henti-hentinya.
Mendadak, suara-suara itu berhenti, disusul berkelebatnya
suatu sinar dingin dan padamnya api teng. Ternyata, lilin teng
itu telah dipadamkan dengan paku touw-kut-teng yang
dilepaskan oleh si tua. Di lain saat terdengar teriakan "aduh"
dari si laki-laki bermuka jelek yang rupa-rupanya sudah dilukai
dengan senjata rahasia si orang tua.
Ketika itu, dalam kegelapan, keadaan sungguh
menyeramkan, seolah-olah setiap jengkal tanah dalam hutan
Hek-houw-lim diliputi bahaya besar. Tanpa merasa, darah
kesatria Ouw Hui meluap-luap. Ia mencekal tangan Leng-so
yang lalu ditariknya ke belakang, sedang ia sendiri maju ke
depan, siap sedia untuk mengorbankan jiwanya guna gadis
itu. Sesudah teriakan lelaki itu, keadaan kembali sunyi senyap.
Yang didengar Ouw Hui hanyalah bunyi kutu-kutu kecil dan
suara "ku-ku" dari burung-burung malam. Tiba-tiba, sebuah
tangan kecil halus mencekal tangannya yang besar kasar. Ia
terkejut. Tangan itu seolah-olah tangan seorang anak kecil
yang sedang meminta perlindungan. Barusan ia menduga,
bahwa Leng-so memainkan peran dalam peristiwa ini. Tapi
sekarang ia merasa, bahwa si nona sendiri berada dalam
ketakutan. Di antara kesunyian itu, sekonyong-konyong muncul dua
gulung asap, segulung putih dan segulung berwarna abu-abu,
yang seperti dua ekor ular, menyambar ke depan dari kiri dan
kanan. Munculnya asap itu disusul dengan suara "fuh-fuhfuh",
seperti orang meniup api. Ouw Hui membuka kedua
matanya lebar-lebar dan samar-samar, ia dapat melihat dua
sinar api, di sebelah kiri dan kanan. Di belakang sinar api yang
satu adalah si orang tua, sedang di belakang sinar yang lain
adalah si wanita bungkuk. Mereka sedang membungkuk
sembari meniup-niup titik api itu yang mengeluarkan asap.
Sekarang Ouw Hui mengerti, bahwa mereka tengah
menggunakan asap serupa rumput beracun untuk saling
merobohkan. Semakin lama, sekitar tempat itu diliputi asap yang semakin
tebal. Ouw Hui mencekal erat-erat tangan Leng-so yang agak
bergemetar. Mendadak, dari sebuah pohon terdengar suara
aneh. Ouw Hui mendongak dan mengawasi. Ternyata pohon
itu adalah pohon, di mana kertas tadi terpaku dengan touwkut-
teng. Ia terkesiap karena kertas itu mengeluarkan sinar
terang dan dengan pertolongan sinar itu terlihatlah beberapa
baris huruf. Si orang tua dan si wanita juga sudah melihat perubahan
aneh pada kertas itu. Mereka berhenti meniup api dan
mengawasi. Dalam kegelapan, huruf-huruf itu kelihatan tegas
sekali dan terbaca seperti berikut:
Surat ini adalah untuk ketiga muridku, Bok-yong Keng-gak,
Kiang Tiat-san, dan Sie Kiauw
Dengan melupakan kecintaan saudara seperguruan, kamu
saling mencelakakan. Kejadian itu sangat mendukakan aku.
Maka itu, mulai dari sekarang, kamu harus segera
memperbaiki segala kekeliruanmu dan menuntut penghidupan
sesuai dengan keinginanku. Segala sesuatu mengenai
berpulangnya aku ke alam baka, kamu bisa mengetahui dari
muridku Leng-so.
Pesan terakhir dari aku, si padri Bu-tin.
Si orang tua dan si wanita mengeluarkan seruan kaget.
"Apakah Suhu sudah wafat?" kata mereka serentak. "Thiasumoay!
Di mana kau?"
Dengan perlahan Leng-so meloloskan tangannya dari
genggaman Ouw Hui dan mengeluarkan sebatang lilin yang
lalu dinyalakannya dengan bahan api. Sesudah itu, baru ia
berjalan keluar dengan tindakan tenang.
Paras muka si orang tua, yang bernama Bok-yong Kenggak,
dan si wanita bungkuk, yang bernama Sie Kiauw, lantas
saja berubah. "Sumoay!" mereka membentak. "Mana Yo-pian
(Kitab Malaikat Yo-ong)" Kaulah yang menyimpannya?"
"Bok-yong-suheng, Sie-suci," kata Leng-so sembari tertawa
dingin. "Kamu sungguh tak mempunyai perasaan. Budi Suhu
yang sudah mengajar dan memelihara kamu adalah sebesar
gunung. Sebaliknya dari memerhatikan mati-hidup beliau,
yang kamu ingat hanyalah peninggalan beliau. Kiang-suheng!
Bagaimana pendapatmu?"
Mendengar pertanyaan Leng-so, Kiang Tiat-san yang rebah


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedari tadi, mengangkat kepalanya dan berteriak dengan
suara gusar, "Lekas keluarkan Yo-ong Sin-pian! Siauw-tiat
tentu kau yang melukai! Tak bisa salah lagi, segala kejadian
sepanjang malam ini adalah kerjaanmu sendiri!"
Leng-so mengawasi saudara seperguruannya tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
"Suhu memilih kasih," kata Bok-yong Keng-gak. "Sudah
pasti, ia menyerahkan kitab itu kepadamu!"
"Sumoay keluarkanlah kitab itu," bujuk Sie Kiauw. "Marilah
kita beramai-ramai mempelajarinya."
Dengan kedua matanya yang sangat tajam, untuk
beberapa lama Leng-so mengawasi ketiga orang itu. "Benar,"
akhirnya ia berkata. "Memang benar, Suhu telah
menghadiahkan Yo-ong Sin-pian kepadaku." Ia merogoh
sakunya dan berkata pula, "Inilah surat wasiat Suhu. Bacalah."
Sembari berkata begitu, ia mengangsurkan selembar kertas
kepada Sie Kiauw yang lalu bergerak untuk menyambutinya.
"Awas!" seru Kiang Tiat-san.
Sie Kiauw sadar, ia melompat mundur sambil menuding
satu pohon. Leng-so menghela napas dan mencabut sebatang tusuk
konde perak dari rambutnya. Ia menusuk kertas itu dan
dengan sekali mengayun tangan, ia membuat pantek konde
itu dengan kertasnya sudah terpaku di pohon yang ditunjuk
Sie Kiauw. Ouw Hui kagum melihat timpukan itu. "Sungguh tak
dinyana, gadis dusun yang kurus kering ini mempunyai
kepandaian yang begitu tinggi," katanya di dalam hati. Ia
mengawasi kertas yang terpaku di pohon itu dan dengan
bantuan sinar lilin Leng-so, dapatlah ia membaca tulisan itu
yang berarti seperti berikut:
Surat wasiat ini diberikan kepada muridku Leng-so.
Sesudah aku meninggal dunia, kau boleh segera
memberitahukan kejadian itu kepada suheng dan sucimu. Kau
hanya boleh memperlihatkan Yo-ong Sin-pian kepada orang
yang menunjukkan kecintaan seorang murid kepadaku, si
padri tua. Murid yang sama sekali tidak menunjukkan rasa
duka dan rasa cinta, tak kuaku sebagai murid lagi,
perhubungan antara aku dan dia sudah menjadi putus
karenanya. Inilah pesanku kepadamu.
Surat terakhir dari gurumu, si padri Bu-tin
Sesudah membaca surat wasiat itu, Keng-gak, Tiat-san,
dan Sie Kiauw saling mengawasi dengan mulut ternganga. Tak
dapat mereka membantah, bahwa kelakuan mereka barusan
bukanlah kelakuan yang pantas dari seorang murid terhadap
gurunya. Sesudah mengetahui, bahwa sang guru meninggal
dunia, sedikit pun mereka tak berduka dan sepatah pun
mereka tak menanyakan hal meninggalnya guru itu. Yang
mereka ingat, hanyalah peninggalan sang guru. Untuk
beberapa saat, mereka seperti orang terkesima. Tiba-tiba,
sambil berteriak, mereka menerjang dengan serentak.
"Leng-kouwnio, awas!" seru Ouw Hui sembari melompat
dari tempat sembunyinya. Sesaat itu, kedua tangan Sie Kiauw
sedang menyambar ke arah muka Leng-so. Cepat bagaikan
kilat, Ouw Hui menangkis dengan sebelah tangannya dan
berbareng dengan bunyi "plak!" tubuh Sie Kiauw terpental dua
tombak jauhnya. Begitu berhasil, ia membalikkan tangannya
dan menjambret pergelangan tangan Tiat-san, dan kemudian,
dengan menggunakan Loan-hoan-koat dari Thay-kek-kun, ia
mendorong dengan meminjam tenaga musuh.
Tubuh Tiat-san yang tinggi besar lantas saja terpental
beberapa tombak dan ambruk di atas tanah.
Sekarang ia mendapat kenyataan, bahwa kedua suami istri
itu yang lihai dalam menggunakan racun, tidak seberapa tinggi
ilmu silatnya. Buru-buru ia memutarkan badan untuk
menghadapi Bok-yong Keng-gak. Tapi, sebelum ia keburu
bergerak, mendadak badan orang tua itu bergoyang-goyang
dan kemudian roboh sendiri terguling di atas tanah tanpa
bergerak lagi. "Sumoay," kata Sie Kiauw sembari meringis. "Benar lihai
kawanmu. Siapa dia?"
"Aku she Ouw, bernama Hui," kata Ouw Hui dengan suara
nyaring. "Jika kamu suami istri merasa penasaran, carilah aku
saja ...."
"Sudah! Jangan rewel!" bentak Leng-so sembari
membanting kaki. Ouw Hui terkejut dan tidak berkata suatu
apa lagi. Sementara itu, Kiang Tiat-san dan istrinya sudah
berbangkit, dan setelah mengawasi Ouw Hui dengan sorot
mata membenci, mereka segera berjalan pergi dengan
tindakan cepat.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Leng-so meniup lilinnya
yang lalu dimasukkan ke dalam sakunya.
"Leng-kouwnio," kata Ouw Hui, "Kenapa Bok-yang
Suhengmu roboh?"
Si nona hanya menggerendeng. "Huh!" Ouw Hui menanya
lagi, tapi tetap tak mendapat jawaban. Berselang beberapa
saat, ia berkata dengan suara perlahan, "Kenapa" Apakah kau
merasa tak senang terhadapku?"
"Ah!" Leng-so menghela napas. "Semua pesanku, tak satu
pun yang kau perhatikan."
Ouw Hui kaget. Ia baru ingat tiga janjinya kepada Leng-so
dan yang semua sudah dilanggarnya. Ia berdiri terpaku
dengan rasa jengah. "Harap kau sudi memaafkan," katanya
dengan suara memohon. "Karena melihat serangan ketiga
orang itu yang sangat hebat, aku khawatir kau terluka dan
dalam bingung, aku sudah melupakan semua pesanmu."
"Fui!" bentak si nona sembari tertawa. "Kalau begitu,
semua perbuatanmu itu adalah karena memikirkan aku.
Pandai benar kau mencari-cari alasan! Kau sendiri yang
bersalah, sekarang kau berbalik coba membebankan semua
kesalahanmu di atas pundakku! Eh, Ouw-toako, kenapa kau
memberitahukan namamu kepada mereka" Mereka pasti tak
akan melupakan dendam ini dan tentu akan terus
menyeterukan kau. Dalam pertarungan, mereka memang tak
bisa menang. Tapi mereka akan berusaha untuk membokong
kau dengan racun. Ouw-toako, mulai dari sekarang, kau harus
berlaku sangat hati-hati." Leng-so berkata begitu dengan
suara lemah lembut dan penuh kekhawatiran akan
keselamatan pemuda itu.
Bulu roma Ouw Hui bangun semua. Tapi sebagai kesatria
sejati, segera juga ia dapat menetapkan hatinya.
"Kenapa kau memberitahukan she dan namamu kepada
mereka?" Leng-so mendesak.
Pertanyaan itu hanya dijawab dengan tertawa oleh Ouw
Hui. "Sesudah kau merobohkan mereka, kau khawatir, jika
mereka akan menumpahkan kegusaran mereka kepadaku
bukan?" tanya si nona. "Dan kau sengaja memikul semua itu
di atas pundakmu sendiri. Ouw-toako, kenapa kau begitu baik
terhadapku?" Kata-kata yang terakhir ini diucapkannya dengan
suara terharu, sehingga Ouw Hui merasa sangat terpengaruh
oleh kehalusan dan budi pekerti si nona. "Kau sendirilah yang
terus memerhatikan keselamatanku," katanya dengan
perasaan berterima kasih. "Berkat perlindunganmu, aku
terlolos dari bahaya. Kita harus berbuat baik kepada orang
yang berbuat baik kepada kita. Maka itu, sudah semestinya
jika aku memandang kau sebagai sahabatku."
Leng-so menjadi girang bukan main. "Benarkah, kau
menganggap aku sebagai sahabatmu?" tanyanya sembari
tertawa. "Kalau begitu, biarlah lebih dulu aku menolong
selembar jiwamu."
"Apa?" Ouw Hui menegas.
"Nyalakan dulu penerangan," kata Leng-so. "Mana teng
itu?" Ia membungkuk untuk mencari tengloleng yang
dilemparkan Sie Kiauw, tetapi karena gelap, ia tak dapat
menemukannya. "Bukankah dalam sakumu masih ada sebatang lilin?" tanya
Ouw Hui. "Kau mau mati?" kata si nona sembari tertawa. "Lilin itu
dibuat dari Cit-sim Hay-tong ... Ah! Inilah dia." Ternyata ia
sudah berhasil mendapatkan teng itu yang lalu dinyalakannya.
Sesudah mendengar pembicaraan antara suami istri Kiang
Tiat-san dan Bok-yong Keng-gak, Ouw Hui yakin, bahwa Citsim
Hay-tong adalah semacam racun yang sangat hebat.
Sesaat itu, dengan pertolongan sinar tengloleng, ia mendapat
kenyataan, bahwa Bok-yong Keng-gak menggeletak di atas
tanah seperti mayat. Mendadak seperti baru mendusin dari
tidurnya, ia mengeluarkan seruan tertahan. "Aha!" katanya.
"Sekarang baru aku mengerti! Jika aku tidak berlaku
sembrono dan menerjang ke luar, Kiang Tiat-san dan istrinya
tentu sudah dapat kau taklukkan."
Leng-so bersenyum seraya berkata, "Tapi tindakanmu itu
telah didorong oleh maksud yang sangat baik. Ouw-toako, biar
bagaimanapun juga, aku merasa berutang budi terhadapmu."
Ouw Hui mengawasi si nona yang bertubuh kurus kering itu
dengan perasaan kagum dan malu. "Usianya masih lebih
muda daripadaku, tapi otaknya penuh dengan tipu daya,"
katanya di dalam hati. "Aku yang biasa menganggap diri
sendiri pintar, sungguh harus merasa malu."
Sekarang ia sudah mengerti latar belakang kejadian tadi.
Lilin Leng-so sangat beracun dan sesudah dinyalakan, hawa
racun yang dikeluarkan lilin itu tidak berbau dan tidak berasap.
Maka itu, jangankan orang biasa, sedangkan Keng-gak dan
suami istri Kiang Tiat-san, yaitu ahli-ahli dalam menggunakan
racun, masih kena dikelabui. Jika ia tidak berlaku sembrono,
dalam tempo cepat, kedua suami istri itu tentu juga sudah
roboh seperti Bok-yong Keng-gak. Tapi, di lain saat, ia ingat,
bahwa waktu itu Tiat-san dan istrinya sudah menyerang
dengan pukulan-pukulan kilat yang sangat hebat. Dari sebab
itu, terdapat kemungkinan besar, bahwa Leng-so sudah lebih
dulu celaka, sebelum mereka berdua roboh.
Thia Leng-so rupa-rupanya dapat membaca pikiran Ouw
Hui. "Ouw-toako," katanya. "Coba kau menutuk pundakku
dengan jerijimu."
Ouw Hui tak mengerti maksud si nona, tapi ia segera
menutuk pundak Leng-so perlahan dengan telunjuknya. Begitu
menyentuh pundak si nona, telunjuk itu dirasakannya panas
seperti terbakar, sehingga dengan terkejut, Ouw Hui
melompat mundur beberapa tindak.
Leng-so tertawa cekikikan. "Lihatlah!" katanya. "Kedua
suami istri itu akan merasakan kepahitan yang sama, jika
mereka menyentuh pakaianku."
"Benar hebat," kata Ouw Hui sembari menggoyang-goyang
telunjuknya yang pedas perih. "Racun apa yang kau
gunakan?" "Bukan barang luar biasa, hanya Cek-kiat-hun (Tepung
Kalajengking Merah)," kata Leng-so.
Dengan pertolongan sinar api teng, Ouw Hui mendapat
kenyataan, bahwa jerijinya sudah melepuh. "Ah, baik juga tadi
aku tidak menyentuh pakaiannya."
"Ouw-toako," kata si nona. "Aku bukan ingin menyakiti kau.
Maksudku adalah supaya kau berhati-hati, jika di lain kali kau
berpapasan dengan ketiga saudara seperguruanku. Dalam
ilmu silat, kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada mereka.
Tapi, lihatlah telapakan tanganmu."
Ouw Hui mengawasi telapak tangannya, tapi tak melihat
suatu apa yang luar biasa.
"Coba lihat di dekat api teng," kata Leng-so.
Ouw Hui lantas saja jadi terkejut, karena mendapat
kenyataan, bahwa pada telapakan tangannya terdapat sinar
hitam. "Apa ... apa mereka mempunyai Tok-see-ciang (Tangan
Pasir Beracun)?" tanyanya.
"Apakah kau kira muridnya Tok-chiu Yo-ong tidak
mempelajari Tok-see-ciang?" kata si nona.
"Ah!" Ouw Hui mengeluarkan seruan tertahan. "Kalau
begitu Bu-tin Thaysu adalah Tok-chiu Yo-ong yang tulen. Tapi
kenapa kalian saudara-saudara seperguruan jadi saling
cakar?" Si nona tak menjawab pertanyaan itu, ia hanya menghela
napas. Kemudian ia mencabut pantek kondenya dan paku
touw-kut-teng yang menancap di pohon dan melipat dua
lembar surat peninggalan gurunya yang lalu dimasukkan ke
dalam sakunya. Ketika itu, huruf-huruf yang bersinar terang
pada surat pertama, sudah menghilang.
"Apakah surat itu ditulis olehmu?" tanya Ouw Hui.
"Benar," sahut si nona. "Di tempat Suhu terdapat sebuah
kitab obat yang ditulis oleh Toasuheng, sehingga aku paham
dengan gaya tulisannya. Hanya tiruanku agak kurang
sempurna, aku berhasil meniru bentuknya, tapi tak dapat
menyelami jiwanya. Tulisan Toasuheng yang tulen masih lebih
indah dari tiruanku."
Ouw Hui adalah seorang yang tak paham ilmu surat, maka
keterangan si nona mengenai ilmu menulis, tak dikomentari
olehnya. Sesudah berdiam sejenak, Leng-so lalu berkata pula, "Surat
wasiat Suhu ditulis dengan menggunakan larutan tanah,
sehingga untuk membacanya, surat itu harus dipanggang di
api. Belakangan, aku memoles huruf-huruf surat itu dengan
sumsum harimau sehingga bersinar terang di tempat gelap.
Kau lihatlah!" Sembari berkata begitu, ia memadamkan api lilin
dan benar saja, pada kertas itu muncul sinar terang. Begitu
lekas lilin itu dinyalakan pula, sinar terang itu segera
menghilang dan yang kelihatan hanyalah huruf-huruf tulisan
Leng-so sendiri, yang ditulis di antara huruf-huruf surat wasiat
Bu-tin Thaysu. Dengan demikian, di atas selembar kertas itu
terdapat dua rupa tulisan, dalam keadaan terang, terlihatlah
tulisan Leng-so, sedang dalam kegelapan, yang terlihat adalah
tulisan Bu-tin Thaysu.
Sesudah diterangkan, hal itu memang juga tidak
mengherankan. Akan tetapi, waktu tadi Bok-yong Keng-gak,
Tiat-san, dan Sie Kiauw sedang bertempur, mereka kaget
bukan main, ketika dengan mendadak mereka melihat surat
wasiat gurunya di atas pohon. Berbareng dengan itu, Sesudah
menyalakan lilin beracun, Leng-so munculkan diri. Bok-yong
Keng-gak bertiga yang tengah menumpahkan perhatian
mereka kepada persoalan kitab Yo-ong Sin-pian, sedikit pun
tak menduga, bahwa sang sumoay sedang melepaskan racun
dengan lilinnya.
Sesudah mengetahui latar belakang peristiwa tadi, Ouw Hui
jadi girang sekali dan paras mukanya berseri-seri.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa begitu kegirangan, sedang kau kena Tok-seeciang?"
tanya Leng-so. "Bukankah kau sudah berjanji akan menolong jiwaku,"
jawab Ouw Hui. "Dengan murid Yo-ong di sampingku, guna
apa aku berkhawatir?"
Si nona tertawa dan mendadak ia meniup api lilin sehingga
keadaan kembali berubah gelap gulita. Sesudah itu, ia
menghampiri keranjang bambu, di mana segera terdengar
suara keresekan. Ouw Hui tak tahu, ia sedang melakukan apa,
tapi beberapa saat kemudian, ia kembali dan menyalakan lagi
lilin teng. Di bawah sinar lilin, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa
Leng-so sudah bertukar pakaian. Sekarang ia mengenakan
baju putih, celana biru.
"Di pakaianku ini tidak terdapat lagi tepung Cek-kiat-hun,"
katanya sembari tertawa. "Tak usah kau ketakutan lagi."
"Kau dapat memikirkan segala apa," kata Ouw Hui sembari
menghela napas. "Usiaku lebih tua daripada kau, tapi aku tua,
tua kejemur. Aku sudah bersyukur jika mempunyai
sepersepuluh kecerdasanmu."
Leng-so mengawasi pemuda itu dan berkata dengan suara
jengkel, "Sesudah belajar menggunakan racun, apa yang
setiap hari dipikiri olehku adalah bagaimana harus
menyebarkan racun tanpa diketahui orang dan bagaimana
harus melindungi diri sendiri. Coba kau pikir, apa enaknya
orang hidup begitu" Mana aku bisa menyayangi kau yang
hidup bebas di alam yang bebas pula." Ia menghela napas
panjang sebagai tanda dari kedukaan hatinya.
Sesaat kemudian, ia menarik tangan Ouw Hui dan menusuk
setiap jeriji tangan itu dengan pantek konde peraknya.
Kemudian ia mengurut telapakan tangan Ouw Hui dengan
menggunakan dua jempol tangan. Di lain saat, dari lubangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lubang bekas tusukan pantek konde itu, keluar darah yang
bersemu ungu. Waktu jerijinya ditusuk, Ouw Hui sama sekali tidak merasa
sakit dan beberapa saat kemudian, darah yang mengalir dari
jarinya sudah tidak berwarna ungu lagi.
Sesaat itu, tubuh Bok-yong Keng-gak yang menggeletak di
tanah tiba-tiba bergerak. "Dia mendusin!" kata Ouw Hui.
"Tak mungkin!" kata si nona. "Paling sedikit masih ada tiga
jam lagi."
"Tadi, waktu aku memikulnya, sedikit pun dia tidak
bergerak, sehingga aku tidak mengetahui, bahwa aku sedang
memikul manusia hidup," kata Ouw Hui sembari tertawa.
"Benar-benar aku tolol."
Leng-so tersenyum simpul seraya berkata, "Hm! Orang
yang mengatakan dirinya tolol, biasanya justru seorang yang
pintar sekali."
Ouw Hui tak menjawab, ia hanya tertawa. Sesaat
kemudian, barulah ia berkata pula, "Eh, tadi mereka telah
menanyakan Yo-ong Sin-pian. Apakah Yo-ong Sin-pian kitab
obat-obatan?"
"Benar," jawab Leng-so. "Kitab itu adalah hasil jerih payah
guruku. Apakah kau ingin melihatnya?" Ia merogoh saku dan
mengeluarkan satu barang kecil yang dibungkus kain. Dalam
bungkusan kain itu terdapat bungkusan kertas minyak dan
setelah kertas minyak itu dibuka, barulah terlihat sejilid kitab
warna kuning yang panjangnya enam dim dan lebarnya empat
dim. Dengan menggunakan pantek konde, si nona membuka
lembaran-lembaran kitab yang tertulis penuh dengan hurufhuruf
kecil. Tak usah dikatakan lagi, bahwa setiap lembaran
kertas itu sangat beracun dan orang tentu akan celaka jika
berani sembarang membukanya dengan jeriji tangan.
Melihat kepereayaan Leng-so yang begitu besar terhadap
dirinya, Ouw Hui jadi merasa senang sekali. Sesudah
membungkus rapi Yo-ong Sin-pian dan memasukkannya
kembali ke dalam sakunya, si nona lalu mengeluarkan satu
botol kecil dan menuang sedikit isinya, yaitu semacam bubuk
warna ungu, yang lalu dipoleskan di jeriji-jeriji Ouw Hui yang
tadi ditusuk dengan pantek konde. Ia mengurut tulang-tulang
jeriji itu beberapa kali dan bubuk itu lantas saja tersedot
masuk dari lubang-lubang tusukan.
"Benar-benar lihai kau!" memuji Ouw Hui. "Seumur
hidupku, belum pernah aku menyaksikan tabib yang seperti
kau." "Kepandaianku sama sekali tak ada artinya," si nona
merendahkan diri. "Jika kau menyaksikan kepandaian guruku,
membelek dada dan perut serta menyambung tulang, barulah
benar-benar kau akan merasa kagum."
"Benar," kata Ouw Hui. "Di samping mahir dalam
menggunakan racun, gurumu tentu juga pandai mengobati
penyakit. Jika tak begitu, ia tentu tak akan mendapat julukan
Yo-ong (Raja Obat)."
"Jika Suhu masih hidup, ia tentu akan merasa girang
mendengar perkataanmu itu," kata si nona. "Hanya sayang ...
ia sekarang sudah tak ada lagi di dunia ini." Kata-katanya
yang terakhir dikeluarkan dengan suara duka dan kedua
matanya kelihatan mengembang air.
"Sucimu tadi mengatakan, bahwa gurumu memilih kasih
dan hanya menyayang murid yang paling kecil," kata Ouw Hui.
"Aku rasa, perkataannya ada benarnya juga. Memang juga,
hanya kau seorang yang sangat mencintai gurumu."
"Suhu mempunyai empat murid yang semuanya sudah
diketemui olehmu pada malam ini," kata Leng-so. "Bok-yong
Keng-gak adalah toasuheng, Kiang Tiat-san jiesuheng, sedang
Sie Kiauw adalah samsuci. Sesudah mempunyai tiga murid,
sebenarnya Suhu tak ingin menerima murid lagi. Akan tetapi,
sesudah melihat, bahwa ketiga saudara seperguruanku itu
bermusuhan keras dan karena khawatir, sesudah ia meninggal
dunia, tak ada orang yang akan dapat menaklukkan mereka,
maka dalam usianya yang sudah lanjut, ia mengambil aku
sebagai muridnya yang keempat."
Sesudah berdiam sejenak, si nona berkata pula, "Mereka
bertiga sebenarnya bukan orang jahat. Hanya karena Samsuci
menikah dengan Jiesuheng, maka Toasuheng jadi merasa
sakit hati dan mereka jadi bermusuh, sehingga akhirnya tak
dapat dibaikkan lagi."
Ouw Hui manggutkan kepalanya. "Toasuhengmu juga
mencintai samsucimu, bukan?" tanyanya.
"Urusan itu sudah terjadi lama sekali, sehingga aku pun tak
tahu terang bagaimana sebenarnya," menerangkan si nona.
"Aku hanya mengetahui, bahwa dulu Toasuko mempunyai
istri. Karena menyukai Toasuko, Samsuci telah meracuni Suko,
sehingga menjadi matinya."
Ouw Hui mengeluarkan seruan tertahan, bulu romanya
bangun semua. Ia merasa bahwa seorang yang pandai
menggunakan racun, jadi kejam hatinya dan sedikit-sedikit
lantas saja menggunakan racun.
"Dalam gusarnya, Toasuko juga lantas meracuni Samsuci,
sehingga Suci bereacat, ia menjadi bungkuk berbareng
pincang," kata Leng-so pula. "Di lain pihak, Jiesuko yang
mencintai Samsuci, tak menjadi kurang cintanya, karena
bereacatnya Suci. Dengan demikian, mereka lalu menikah.
Entah bagaimana, sesudah pernikahan itu, Toasuko ingat lagi
kebaikan-kebaikan Samsuci di waktu dulu dan ia lalu
mengganggu Suci. Suhu jadi sangat jengkel dan beberapa kali
ia telah menasihati mereka, tapi tak ada hasilnya, malah
permusuhan mereka makin lama jadi makin hebat. Jiesuko
adalah seorang baik dan kecintaan terhadap istrinya tetap
tidak berubah. Belakangan, mereka membuat Yo-ong-chung,
yang dibuat dari besi, di tepi Telaga Tong-teng, sedang di
sekitar rumah itu, mereka menanam Hiat-ay-lie (nama pohon
merah yang sangat beracun). Semula rumah itu dan Hiat-aylie
adalah untuk menjaga-jaga kedatangan Toasuheng. Tapi
belakangan, karena musuh mereka jadi semakin banyak, maka
Yo-ong-chung jadi berubah tempat bersembunyi Jiesuko dan
Samsuci." "Oh, kiranya begitu?" kata Ouw Hui, sambil manggutmanggutkan
kepalanya. "Tak heran jika dalam kalangan Kangouw
terdapat banyak sekali cerita yang berbeda-beda
mengenai Tok-chiu Yo-ong. Ada yang berkata, bahwa Tokchiu
Yo-ong adalah seorang sastrawan, ada yang mengatakan,
bahwa ia seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar, ada pula
yang mengatakan, bahwa ia adalah seorang wanita bungkuk
dan sebagainya."
"Kami sendiri juga tidak tahu siapa sebenarnya yang berhak
mendapat julukan itu," kata Leng-so. "Satu hal yang sudah
pasti adalah guruku tidak menyukai gelaran itu. Katanya,
"Dipergunakannya racun olehku adalah untuk menolong orang.
Tapi aku merasa malu dan tak dapat menerima gelaran Yoong
(Raja Obat). Mengenai julukan Tok-chiu (Tangan
Beracun), aku menolak sekeras-kerasnya. Apakah orang
mengira, bahwa Bu-tin, si hweeshio tua, adalah manusia yang
suka membunuh orang secara serampangan?" Akan tetapi,
oleh karena racun kami memang benar sangat lihai dan juga
sebab ketiga saudara seperguruanku sering sekali
menggunakan itu secara sembarangan, sehingga beberapa
orang baik tak luput menjadi korban, maka dalam kalangan
Kang-ouw, julukan Tok-chiu Yo-ong jadi sangat kesohor. Di
samping itu, guruku juga melarang ketiga saudara
seperguruanku memperkenalkan diri dan nama mereka di
dunia luar. Itulah sebabnya kenapa dalam setiap peristiwa
yang mempunyai sangkut paut dengan racun, orang lantas
saja menuding kepada Tok-chiu Yo-ong. Ouw-toako, cobalah
kau pikir, penasaran atau tidak?"
"Tapi kenapa gurumu tak mau menampakkan diri untuk
membersihkan nama?" tanya Ouw Hui.
"Aah, sukar, hal itu sukar dilakukan," kata si nona. "Orang
akan semakin salah mengerti atau tak mau mengerti ..."
berkata sampai di situ, pengobatan tangan Ouw Hui sudah
selesai. Si nona bangkit seraya berkata, "Malam ini masih ada
dua urusan yang harus dikerjakan. Pertama, kita harus
mengambil obat untuk memunahkan racun Toan-chung-co
dan kedua, mengobati Siauw-tiat, putra Jiesuko. Jika tidak ...."
ia tersenyum dan tidak meneruskan perkataannya.
"Jika tidak dirintangi oleh kebandelanku, dua urusan itu
akan jauh lebih gampang dibereskannya," menyambungi Ouw
Hui. "Bukankah kau ingin mengatakan begitu?"
"Ya," kata si nona. "Baguslah jika kau tahu. Mari kita
berangkat sekarang!"
"Apakah dia harus dimasukkan lagi ke dalam keranjang?"
tanya Ouw Hui sembari menuding Bok-yong Keng-gak yang
menggeletak di atas tanah.
"Benar, kau tolonglah," jawabnya.
Ouw Hui segera mengangkat tubuh Keng-gak dan
memasukkannya ke dalam keranjang bambu yang lalu
dipanggul di punggungnya.
Leng-so berjalan ke jurusan selatan daya dan sesudah
melalui kira-kira tiga li, tibalah mereka di depan sebuah rumah
kecil. "Ong-toasiok (paman Ong), hayolah!" berteriak si nona.
Pintu terbuka, dan dari dalam ke luar seorang lelaki yang
kulitnya hitam dan memikul satu pikulan.
"Hm! Lagi-lagi satu manusia aneh!" kata Ouw Hui dalam
hatinya, tapi ia tak berani menanyakan siapa adanya orang
itu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia mengikuti si nona
dalam jarak tiga tindak, sedang Leng-so sendiri sekali dua kali
menengok ke belakang sembari tertawa, sebagai tanda,
bahwa ia sekarang merasa puas karena Ouw Hui mendengar
kata. Si lelaki yang kulitnya hitam juga mengikuti di belakang
mereka tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Dari rumah Ong-toasiok, Leng-so membelok ke jurusan
utara. Kira-kira jam empat pagi, mereka tiba di depan Yo-ongchung.
Leng-so lalu mengeluarkan tiga ikat bunga biru dari dalam
keranjang, seikat diberikan kepada Ouw Hui, seikat kepada si
lelaki kulit hitam dan seikat lagi dipegangnya sendiri. Sesudah
mereka melompati Hiat-ay-lie, ia berteriak, "Jiesuko! Samsuci!
Apakah kamu mau membuka pintu atau tidak?" Tiga kali ia
menanya, tapi tak mendapat jawaban.
Sesudah menunggu beberapa saat lagi, Leng-so lalu
manggutkan kepala kepada si lelaki kulit hitam. Orang itu
segera meletakkan pikulannya di atas tanah dan
mengeluarkan alat-alat tukang besi, seperti hongshio (alat
penyemprot angin), dapur kecil, besi hancuran, dan
sebagainya. Ia menyalakan api dan mulai menarik hongshio
untuk melumerkan besi hancuran itu. Sesudah besi itu
menjadi lumer, ia lalu menyolder bagian-bagian yang
renggang di atas rumah bundar itu. Ouw Hui lantas saja
mengetahui, bahwa ia sedang menutup pintu dan jendela dari
rumah besi tersebut. Rupanya, karena tak ungkulan melawan
sumoay mereka yang sangat lihai, Kiang Tiat-san dan Sie
Kiauw tak berani keluar untuk merintangi.
Setelah si tukang besi selesai dengan pekerjaannya,
sehingga orang-orang yang berada di dalam rumah itu tak
akan bisa keluar lagi, Leng-so menggapai Ouw Hui. Sesudah
melompati Hiat-ay-lie, dengan diikuti Ouw Hui, Leng-so
berjalan ke jurusan barat laut sambil menghitung setiap
tindakannya. Sesudah berjalan puluhan tombak, ia membelok
ke timur beberapa tindak pula.
"Di sinilah!" kata si nona sembari menyalakan lilin teng.
Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa di antara dua batu
besar terdapat satu lubang yang besarnya kira-kira sama
dengan mangkuk nasi dan yang atasnya ditedengi dengan
satu batu. "Inilah lubang untuk mereka bernapas," berbisik Leng-so
sambil mengeluarkan lilin racun yang lalu disulut dan ditaruh
di mulut lubang. Dibantu dengan tiupan angin, perlahan-lahan
asap lilin itu masuk ke dalam.
Melihat tindakan Leng-so yang dianggapnya sangat kejam,
Ouw Hui jadi bergidik dan berbareng merasa kasihan pada
orang-orang yang terkurung dalam rumah besi itu. Apakah ia
harus mengawasi saja dengan berpeluk tangan"
Beberapa saat kemudian, si nona mengeluarkan satu kipas
bundar yang berbentuk kecil dan lalu mulai mengipas lilin itu,
sehingga semua asapnya masuk ke dalam lubang. Ouw Hui
tak dapat bersabar lagi dan ia berdiri seraya berkata, "Lengkouwnio,
apakah dengan suheng dan sucimu, kau mempunyai
dendam yang tak dapat didamaikan lagi?"
"Tidak," jawabnya dengan tawar.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah gurumu memberi perintah untuk kau
membersihkan rumah tanggamu?" tanya pula Ouw Hui.
(Membersihkan rumah tangga berarti menghukum murid atau
anggota partai yang berdosa).
"Belum sampai begitu jauh," sahutnya.
"Tapi ... tapi ...." kata Ouw Hui dengan suara terputusputus,
karena ia tak tahu, bagaimana harus menerangkan isi
hatinya. Leng-so mendongak dan menanya dengan suara dingin,
"Kenapa kau jadi begitu bingung?"
"Jika suko dan sucimu mempunyai kedosaan yang sangat
besar, biarlah sekali ini kau memberikan kesempatan agar
mereka bisa mengubah sifat mereka yang jelek dan menebus
dosa," kata Ouw Hui sesudah menetapkan hatinya yang
berguncang. "Ya," kata si nona. "Guruku pun pernah mengatakan
begitu." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula,
"Sayang sekali sekarang guruku sudah berada di alam baka.
Jika ia masih hidup, ia tentu akan merasa cocok dengan
segala pendapatmu." Sedang mulutnya berkata begitu,
tangannya terus mengipas api lilin itu.
Ouw Hui menggaruk-garuk kepala. Ia menunjuk lilin dan
berkata, "Asap beracun itu ... asap beracun itu ... Bukankah
asap itu membinasakan manusia?"
"Ah! Kalau begitu Ouw-toako yang berhati mulia sedang
menduga-duga, bahwa aku mau mengambil jiwa manusia,"
kata si nona sembari tersenyum simpul. Paras muka Ouw Hui
lantas saja berubah merah, karena sekali lagi ia sudah
menunjukkan kekonyolannya. Akan tetapi, walaupun masih
berada dalam kegelapan, hatinya merasa lega sebab ia
mengetahui, bahwa tindakan Leng-so itu bukan bertujuan
untuk membinasakan orang.
Sementara itu, dengan kuku jerijinya, si nona menggores
batang lilin. "Ouw-toako," katanya. "Coba tolong
menggantikan aku, tapi jagalah jangan sampai lilin ini menjadi
padam. Kau boleh memadamkan lilin itu, jika apinya sudah
membakar sampai di goresan." Sesudah menyerahkan kipas
itu kepada Ouw Hui, ia berdiri dan mengawasi keadaan di
sekitarnya sembari memasang kuping. Tanpa berkata suatu
apa, Ouw Hui lantas saja mengerjakan apa yang diperintah.
Sesudah mendengarkan beberapa lama dan mendapat
kenyataan, bahwa tidak ada apa-apa yang luar biasa, Leng-so
segera duduk di atas satu batu besar, di dekat Ouw Hui.
"Orang yang telah menghancurkan kebunku, adalah Siauwtiat,
putra Jiesuko," menerangkan Leng-so.
"Ah!" Ouw Hui mengeluarkan seruan kaget. "Apakah dia
juga berada dalam rumah itu?"
"Benar," jawabnya sembari tertawa. "Apa yang kita lakukan
sekarang, adalah untuk menolong dia. Lebih dulu kita harus
merobohkan Suko dan Suci, supaya mereka tidak merintangi
pekerjaan kita."
Sekali lagi Ouw Hui mengeluarkan seruan "ah!". "Oh,
begitu?" katanya di dalam hati.
"Jiesuko dan Samsuci mempunyai satu musuh, seorang she
Beng," menerangkan si nona. "Musuh itu sudah berada di
tempat ini kira-kira setengah tahun, tapi dia masih belum
mampu menerjang Yo-ong-chung, karena belum bisa
memunahkan racun Hiat-ay-lie. Bunga biru yang ditanam
olehku, adalah pemunah racun itu. Jiesuko dan Samsuci tidak
mengetahuinya, sampai aku memberikan bunga itu kepada
kau dan Ciong-ya. Tak usah dikatakan lagi, bahwa mereka jadi
sangat terkejut ketika mengetahui, bahwa dengan membawa
bunga biru itu, kalian tidak takut lagi kepada racun Hiat-ay-lie
...." "Benar," Ouw Hui memotong perkataan Leng-so. "Ketika
aku dan Ciong-toako datang di sini, lapat-lapat aku
mendengar suara teriakan kaget tereampur gusar dari dalam
rumah itu."
Leng-so mengangguk lalu berkata pula, "Racun Hiat-ay-lie
sebenarnya tak dapat dipunahkan dengan obat apa pun juga.
Akan tetapi, orang bisa menjadi kebal terhadap racun itu, jika
ia sering makan buah dari pohon tersebut. Untung juga,
meskipun besar bahayanya, tanda-tanda Hiat-ay-lie gampang
sekali dikenali orang. Jika satu pohon itu tumbuh di satu
tempat, maka di sekitar tempat itu, dalam jarak lingkaran
beberapa puluh tombak, tak akan terdapat seekor semut atau
sebatang rumput."
"Benar," kata Ouw Hui. "Tadinya aku merasa heran sekali,
kenapa di sekitar Yo-ong-chung tidak terdapat tumbuhtumbuhan.
Dua ekor kuda kami tidak terluput dari serangan
racun. Jika kau tidak menghadiahkan bunga biru itu ...."
berkata sampai di situ, ia bergidik karena mengingat
pengalamannya pada malam itu bersama Ciong Tiauw-bun.
"Bunga itu adalah jenis baru yang baru saja berhasil
ditanam," menerangkan Leng-so. "Aku merasa syukur kalian
cukup menghargai dan tidak melemparkannya di tengah
jalan." "Bunga itu sangat indah," kata Ouw Hui.
"Karena indah, maka kau tidak membuangnya, bukan?"
kata Leng-so. Ouw Hui jadi tergugu, ia mendehem beberapa kali, tak tahu
bagaimana harus menjawabnya. "Jika bunga itu tidak indah,
apakah aku akan terus menyimpannya dalam sakuku?" ia
tanya dirinya sendiri. "Apakah karena keindahannya, bunga itu
sudah menolong jiwaku dan jiwa Ciong-toako?"
Selagi ia melamun, angin mendadak meniup keras dan
memadamkan api lilin. "Aduh!" berseru Ouw Hui sembari
mengeluarkan bahan api dari sakunya.
"Sudahlah!" mencegah Leng-so. "Kira-kira sudah cukup."
Mendengar suara si nona yang agak kurang senang, Ouw
Hui jadi merasa jengah, karena segala apa yang diminta oleh
Leng-so selalu berakhir dengan ketidakberesan, seolah-olah
dia sengaja tak memerhatikannya. "Maaf," katanya. "Entah
kenapa, malam ini pikiranku kusut sekali."
Leng-so tidak menyahut.
"Tadi aku sedang berpikir dan tiba-tiba angin meniup," kata
pula Ouw Hui. "Leng-kouwnio, apa yang dipikir olehku adalah
begini, Waktu kau memberikan bunga biru itu, sedikit pun aku
tak mengetahui, bahwa bunga itu adalah penolong jiwa. Akan
tetapi, sebagai hadiah yang aku terima, aku berkewajiban
menyimpannya baik-baik."
Perkataan Ouw Hui yang bernada memohon, hanya
disambut dengan "hm!".
Dalam gelap gulita, mereka duduk berhadapan. Lewat
beberapa saat, Ouw Hui berkata pula, "Semenjak kecil aku
sudah tidak mempunyai ayah bunda. Jarang sekali orang
memberikan apa-apa kepadaku."
"Ya," kata Leng-so. "Aku pun begitu. Tapi toh bisa menjadi
besar." Sehabis berkata begitu, ia menyalakan lilin teng dan
lalu mengambil satu batu yang digunakan untuk menutup
mulut lubang. "Hayolah," katanya.
Ouw Hui lantas saja mengikuti, tanpa berani menanyakan
apa pun juga. Ketika mereka tiba di depan Yo-ong-chung, si
tukang besi sedang duduk di atas tanah, sambil merokok.
"Ong-toasiok, tolong buka itu," kata Leng-so sembari
menunjuk bagian rumah yang tadi disolder. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia lalu mengambil martil dan
pahat dan mengerjakan apa yang diperintah. Kira-kira
sepenanakan nasi, semua solderan sudah selesai dipahat.
"Bukalah pintu!" perintah si nona.
Si tukang besi lalu mengetuk-ngetuk beberapa kali dan
menyontek dengan martilnya. Dengan suara berkerontangan,
sepotong papan besi menjeblak ke bawah dan terbukalah satu
pintu yang tingginya enam kaki dan lebarnya tiga kaki. Si
tukang besi ternyata paham benar akan alat-alat rumah
tersebut. Ia menarik serupa alat dan dari dalam lantas saja
muncul satu tangga kecil yang terus naik sampai di pintu.
"Taruh semua bunga biru di luar," kata Leng-so. Mereka
segera melemparkan bunga-bunga itu di atas tanah. Selagi
mau naik tangga, mendadak si nona mengendus-endus
beberapa kali. "Ouw-toako," katanya. "Pada badanmu masih
ada bunga. Jangan dibawa masuk."
"Oh!" kata Ouw Hui sembari merogoh sakunya dan
mengeluarkan satu bungkusan kain yang lalu dibuka.
"Hidungmu benar tajam," katanya. "Dalam bungkusan masih
dapat diketahui olehmu."
Dalam bungkusan itu terdapat kitab ilmu silat dari keluarga
Ouw dan beberapa rupa barang lain. Bunga biru itu yang
sudah layu lalu ditaruh olehnya di pinggir pintu.
Melihat caranya menyimpan bunga itu, Leng-so
mengetahui, bahwa Ouw Hui benar-benar menghargai
pemberiannya dan ia jadi merasa girang sekali. Ia menengok
dan berkata sembari tertawa, "Kau tidak berdusta!"
Ouw Hui kaget. "Untuk apa aku berdusta?" katanya di
dalam hati. Sementara itu, sembari menuding ke dalam, si nona
berkata pula, "Orang-orang yang berada di dalam, tak bisa
mempertahankan diri terhadap bunga biru itu, karena mereka
biasa makan buah Hiat-ay-lie." Sehabis berkata begitu, sambil
menenteng tengloleng, ia lalu naik ke tangga, diikuti Ouw Hui
dan si tukang besi.
Setibanya di kaki tangga, mereka berada di satu
terowongan yang sangat sempit. Sesudah membelok dua kali,
mereka masuk ke dalam satu ruangan kecil yang dindingnya
penuh dengan lukisan dan lian serta diperaboti dengan kursi
meja yang terbuat dari bambu. Ouw Hui terperanjat sebab
sama sekali ia tidak menduga, bahwa Kiang Tiat-san yang
macamnya begitu kasar mempunyai rumah yang diperaboti
seperti rumah seorang sastrawan.
Leng-so terus berjalan ke belakang. Di lain saat, mereka
sudah tiba di bagian dapur dan apa yang terlihat di situ sangat
mengejutkan Ouw Hui.
Kiang Tiat-san dan istrinya sudah menggeletak di atas
lantai, entah sudah mati atau masih hidup. Tapi kejadian itu
tidak mengherankan, karena Ouw Hui sudah menduga, bahwa
asap lilin Cit-sim Hay-tong bakal mengakibatkan begitu. Apa
yang mengherankan adalah direbusnya seorang lelaki muda
dalam satu kuali besar! Bagian atas badannya tidak memakai
baju, sedang air yang memenuhi kuali tak hentinya
mengebulkan uap. Meskipun belum bergolak, air itu sudah
pasti panas sekali. Ouw Hui mempereepat tindakannya dan
mengangkat kedua tangannya untuk mengeluarkan orang itu
dari kuali. "Jangan diganggu!" mencegah si nona. "Coba lihat ... apa
ia memakai pakaian."
Ouw Hui melongok ke dalam kuali dan menjawab, "Dia
memakai celana."
Muka Leng-so bersemu dadu dan sembari manggutkan
kepala, ia menghampiri kuali itu. "Coba tambah kayu bakar!"
ia memerintah. Ouw Hui terkesiap. Ia mengawasi dan lantas saja
mengenali, bahwa pemuda itu adalah orang yang sudah
merusak kebun si nona. Kedua matanya tertutup rapat,
mulutnya terbuka dadanya turun-naik dengan perlahan.
Meskipun belum mati, sedikitnya ia sudah pingsan. "Bukankah
dia Siauw-tiat, putra mereka?" tanya Ouw Hui.
"Benar," jawabnya. "Suko dan Suci ingin mengeluarkan
racun yang mengeram dalam badannya, dengan merebus dia.
Tapi, tanpa bubuk bunga dari Cit-sim Hay-tong, dia tak akan
menjadi sembuh."
Ouw Hui jadi lega dan tanpa ragu-ragu lagi, ia segera
masukkan sepotong kayu bakar ke dalam dapur. Ia tak berani
menambah terlalu banyak, karena khawatir Siauw-tiat tak bisa
tahan. "Tambah lagi beberapa potong, dia tak akan menjadi mati,"
kata Leng-so sembari tertawa.
Ouw Hui tak membantah dan lalu memasukkan pula dua
potong kayu ke dalam dapur.
Sesudah mencelup tangannya ke dalam air untuk
mengetahui berapa panasnya, si nona lalu mengeluarkan satu
botol kecil dari dalam sakunya. Ia menuang sedikit bubuk
berwarna kuning yang lalu dimasukkan ke dalam lubang
hidung Kiang Tiat-san dan Sie Kiauw. Lewat beberapa saat,
mereka berbangkis dan membuka mata. Sesaat itu, dengan
menggunakan gayung, Leng-so menyendok air mendidih yang
lalu dibuangnya dan kemudian menyendok air dingin yang lalu
ditambahkan ke dalam kuali.
Melihat begitu, paras mukanya Kiang Tiat-san suami istri
yang tadinya gusar lantas saja berubah girang. Mereka
mengetahui, bahwa si nona sedang menolong Siauw-tiat.
Mereka segera bangun dan berdiri mengawasi tanpa
mengeluarkan sepatah kata, dengan perasaan bimbang.
Terang-terang, putra mereka sudah kena racunnya Leng-so,
tapi sekarang sang sumoay berbalik memberi pertolongan.
Mereka yakin, bahwa guru mereka telah memilih kasih dan
menurunkan lebih banyak pelajaran kepada si nona yang
dalam semalaman saja, sudah merobohkan mereka beberapa
kali. Sementara itu, Leng-so terus bekerja. Setiap kali air sudah
mendidih, ia menyendok dengan menggunakan gayung dan
membuangnya, akan kemudian menambahkan lagi dengan
segayung air dingin. Direbus cara begitu, racun yang
mengeram dalam badan Siauw-tiat, terisap ke luar dengan
perlahan. Selang beberapa saat, tiba-tiba Leng-so berpaling
kepada si tukang besi dan berkata, "Ong-toasiok, hayolah
turun tangan! Mau tunggu sampai kapan lagi?"
"Baiklah!" jawab si tukang besi sembari mengambil
sepotong kayu bakar yang lalu dihantamkan ke kepala Kiang
Tiat-san. "Bikin apa kau?" membentak Tiat-san dengan gusar sekali,
sembari mengambil sepotong kayu. Tapi, baru saja ia mau
balas menyerang, istrinya sudah membentak, "Tiat-san! Hari
ini kita sangat perlu pertolongan Sumoay. Beberapa pukulan
itu tak menjadi soal."
Tiat-san tereengang dan mengawasi istrinya dengan mata
melotot. "Baiklah!" kata ia akhirnya dengan suara gusar. Ia
melemparkan kayu itu dan membiarkan dirinya dihajar oleh si
tukang besi. "Anjing!" caci si orang she Ong sembari menggebuk. "Kau
sudah merampas sawahku dan memaksa aku membuat rumah


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besi ini. Belum puas dengan itu, kau malahan sudah
menggebuk aku, sehingga tiga tulang igaku menjadi patah
dan harus rebah di ranjang setengah tahun lamanya. Anjing!
Tak dinyana, kita bakal berpapasan hari ini."
Sembari memaki, tangannya terus menghantam Tiat-san.
Walaupun tak mengerti ilmu silat, pukulan si tukang besi
hebat luar biasa, karena setiap hari ia berlatih dengan
memukul besi. Menggebuk belum berapa lama, potongan kayu
itu sudah menjadi patah.
Tiat-san tetap tak menangkis atau berkelit. Sambil
mengertak gigi, ia menerima pukulan-pukulan itu. Mendengar
cacian itu, Ouw Hui mengetahui, bahwa kedua suami istri itu
pernah menyakiti si tukang besi yang hari ini bisa juga
melampiaskan sakit hatinya dengan pertolongan Leng-so. Ia
jadi girang dan mengawasi pertunjukan itu sambil bersenyum
simpul. Dalam tempo cepat, tiga potong kayu yang digunakan
untuk menggebuk, sudah menjadi patah. Muka dan kepala
Tiat-san sudah babak belur dan mengeluarkan darah. Biar
bagaimanapun juga, si tukang besi adalah seorang baik.
Melihat begitu, ia tak tega untuk memukul lagi dan lalu
melemparkan potongan kayu yang sedang dicekal olehnya.
"Thia-kouwnio," katanya sembari menyoja. "Hari ini kau sudah
membantu aku untuk membalas sakit hati. Budi yang sangat
besar itu tak dapat aku membalasnya."
"Ong-toasiok," jawab si nona. "Tak usah kau berlaku begitu
sungkan." Ia berpaling kepada Sie Kiauw dan berkata pula,
"Samsuci, pulangkanlah sawahnya Ong-toasiok. Dengan
memandang muka Siauwmoay, aku harap kalian jangan
mempersakiti ia lagi. Maukah kalian berjanji begitu?"
"Selama hidup, kami tak akan menginjak lagi wilayah
Ouwlam," jawab Sie Kiauw dengan suara mendongkol. "Tapi
kau tak dapat memaksa supaya kami melupakan kejadian di
hari ini."
"Baiklah," kata Leng-so. "Ong-toasiok, kau pulanglah lebih
dulu. Urusan di sini tak ada sangkut pautnya lagi dengan kau."
Dengan paras muka berseri-seri, si tukang besi memungut
sepotong kayu yang sudah patah sebagai akibat gebukan tadi.
"Orang jahat itu telah menghajar aku hebat sekali," katanya.
"Aku ingin menyimpan potongan kayu ini yang berlepotan
darah, sebagai peringatan." Sehabis berkata begitu, ia
memberi hormat kepada Leng-so dan Ouw Hui dan lalu
berjalan pergi.
Melihat paras mukanya si tukang besi yang kegirangan
seperti anak kecil, jantung Ouw Hui memukul keras, karena ia
ingat pengalamannya di Pak-tee-bio, di mana Ciong A-sie dan
keluarganya telah dibinasakan secara mengenaskan sekali.
Kekejaman suami istri Kiang Tiat-san mungkin tak kalah
dengan kebuasan Hong Jin Eng. Mungkin sekali, begitu lekas
Leng-so berlalu, mereka akan turunkan tangan jahat terhadap
si tukang besi. Memikir begitu, lantas saja ia mengejar dan
berteriak, "Ong-toasiok, tunggu dulu! Aku mau bicara."
Si tukang besi menghentikan tindakannya dan menengok
ke belakang. "Ong-toasiok," kata Ouw Hui. "Menurut aku, suami istri she
Kiang itu bukan manusia baik-baik. Aku menasihati supaya kau
buru-buru menjual sawahmu dan segera menyingkirkan diri.
Jangan lama-lama berdiam di tempat ini. Aku khawatir, tangan
mereka sangat beracun."
Si orang she Ong kelihatan terkejut. Ia merasa berat untuk
meninggalkan kampung kelahirannya yang ia cinta. "Tapi
mereka toh sudah berjanji akan tidak menginjak lagi wilayah
Ouwlam," katanya.
"Omongan manusia semacam itu tak bisa dipereaya habis,"
kata Ouw Hui. Si tukang besi kelihatan seperti orang baru mendusin dari
tidurnya. "Benar, kau benar!" katanya. "Baiklah, aku akan
menyingkir secepat mungkin!" Sehabis berkata begitu, ia lalu
bertindak keluar, tapi baru saja tiba di ambang pintu, ia
memutarkan badan dan menanya, "Kau she apa?"
"She Ouw," jawab Ouw Hui.
"Ouw-ya, terima kasih dan sampai bertemu pula," katanya
dengan suara terharu. "Selama hidupmu, perlakukanlah Thiakouwnio
baik-baik."
Sekarang giliran Ouw Hui yang merasa kaget. "Apa kau
kata?" tanyanya.
Si orang she Ong tertawa berkakakan. "Ouw-ya," katanya.
"Aku, si tukang besi, bukan manusia yang terlalu tolol. Apakah
kau kira aku tak dapat melihat" Thia-kouwnio adalah seorang
gadis cilik yang sangat pintar, hatinya mulia dan
kepandaiannya tak usah dibicarakan lagi. Sikapnya
terhadapmu adalah sikap yang setulus hati. Ouw-ya, kau
harus dengar kata terhadapnya!" Sekali lagi ia tertawa
berkakakan dan melangkah ke luar pintu.
Tentu saja Ouw Hui mengerti, apa artinya perkataan itu. Ia
merasa sangat jengah dan hanya berkata, "Sampai ketemu
lagi." "Ouw-ya, sampai ketemu lagi," kata si tukang besi sembari
membereskan perabotnya yang lalu dipikul dan tanpa
menengok lagi, sembari menyanyi-nyanyi, ia berangkat pulang
ke rumahnya. Ouw Hui menghela napas dan dengan tindakan perlahan, ia
balik ke dapur.
Ketika itu, Siauw-tiat sudah sadar dari pingsannya dan
sudah berdiri di atas lantai dengan badan dikerebongi dengan
satu jubah panjang.
Terhadap Leng-so, keluarga Kiang mengiri dan membenci,
tapi terhadap kepandaian si nona dalam menggunakan obat
dan racun, mau tak mau, mereka merasa sangat kagum.
Mereka bertiga berdiri tegak dengan sikap dingin, tanpa
mengeluarkan sepatah kata terima kasih.
Leng-so juga rupanya tidak memedulikan sikap yang dingin
itu. Di lain saat, ia merogoh saku dan mengeluarkan tiga ikat
rumput obat kering yang berwarna putih. Sambil meletakkan
itu di atas meja, ia berkata, "Begitu kau orang berlalu dari
rumah ini, orang-orang dari keluarga Beng tentu akan
mengejar dan coba mencegat kau orang. Ini adalah Tek-ouwhio
yang dibuat dengan menggunakan Cit-sim Hay-tong dan
aku rasa sudah cukup untuk mundurkan mereka. Tapi aku
pesan, kau jangan mengambil jiwa manusia, supaya
permusuhan tidak jadi semakin mendalam."
Paras muka Kiang Tiat-san lantas saja berubah berseri-seri.
"Thia-sumoay," katanya. "Banyak terima kasih untuk segala
perhatianmu."
"Hm! Dia menolong putramu, kau tidak mengaturkan
terima kasih," kata Ouw Hui dalam hatinya. "Sesudah ia
membantu kau untuk mundurkan musuh, baru kau
menyatakan terima kasih. Dari sini dapat dilihat, bahwa musuh
itu adalah musuh yang sangat lihai. Siapakah orang she Beng
itu?" Sesudah suaminya mengaturkan terima kasih, dari sakunya
Sie Kiauw mengeluarkan satu botol kecil yang lalu diserahkan
kepada Leng-so. "Inilah obat pemunah racun Toan-chung-co,"
katanya. "Sumoay sendiri tentu dapat membuatnya, hanya
meminta tempo dan mungkin tak keburu untuk menolong
orang." Mendengar perkataan "obat pemunah racun Toan-chungco",
Ouw Hui jadi girang sekali.
Leng-so lalu membuka tutup botol dan mengendusnya dari
jarak yang agak jauh. "Terima kasih, Suci," katanya sembari
menutup botol itu yang kemudian diserahkan kepada Ouw
Hui. "Siauw-tiat!" kata pula si nona dengan suara angker.
"Kenapa kau memberikan Toan-chung-co kepada orang luar?"
Siauw-tiat terkesiap, karena ia tak mengerti, bagaimana
Leng-so bisa mengetahui hal itu. "Aku ... aku ...." jawabnya
dengan tergugu.
"Sumoay," kata Tiat-san. "Siauw-tiat memang sudah
berbuat kesalahan besar dan aku sudah hajar dia." Sembari
berkata begitu, ia menghampiri putranya dan membuka jubah
panjangnya Siauw-tiat, yang badannya lalu diputar. Ternyata,
punggung Siauw-tiat penuh dengan bekas sabetan cambuk
yang mengembang darah. Tadi, Leng-so sendiri sebenarnya
sudah melihat bekas cambuk itu, akan tetapi, karena
perbuatan Siauw-tiat, yaitu memberikan racun kepada orang
luar, merupakan satu kedosaan besar dalam kalangan Tokchiu
Yo-ong, maka ia merasa berkewajiban untuk
menegurnya. Timbulnya dugaan, bahwa Toan-chung-co
diberikan oleh Siauw-tiat, adalah karena melihat bekas
sabetan itu. Sesaat itu Leng-so ingat pula pesanan mendiang gurunya.
Kata guru itu, "Jika kau sendiri yang meracuni orang, andai
kata kau kesalahan meracuni orang baik, kau bisa lantas
memberi pertolongan. Akan tetapi, jika racun itu diberikan
kepada orang luar yang lalu menggunakannya untuk
mencelakakan orang baik-baik, maka orang baik-baik itu tak
akan bisa ditolong lagi. Kedosaan ini adalah sepuluh kali lipat
lebih besar daripada meracuni orang dengan tangan sendiri."
Leng-so merasa pasti, bahwa larangan itu sudah sering
diberitahukan kepada Siauw-tiat oleh kedua orang tuanya.
Kenapa dia masih melanggar juga" Sebenarnya si nona ingin
menanyakan lebih terang, tapi ia merasa malu hati, karena
anak itu sudah dihajar keras oleh suko dan sucinya. Maka itu,
ia hanya berkata sembari membungkuk, "Suko, Suci maafkan
yang hari ini Siauwmoay telah berbuat banyak kesalahan
terhadap kalian. Sampai ketemu lagi."
Kiang Tiat-san membalas hormat, tapi Sie Kiauw tak
memedulikan dan hanya menggerendeng, "Hm!" Leng-so
memberi tanda dengan isyarat mata kepada Ouw Hui dan
mereka berdua lantas bertindak keluar.
Baru saja mereka mau melangkah pintu, Kiang Tiat-san
mengejar sembari berseru, "Siauwsumoay!"
Leng-so menengok dan begitu melihat paras mukanya yang
guram dan penuh kesangsian, ia sudah mengetahui, apa yang
diinginkan oleh sang suko. "Jiesuko, ada apa?" ia tanya
sembari tertawa.
"Tiga Tek-ouw-hio itu memerlukan tiga orang yang
lweekangnya sepantaran untuk mundurkan musuh," jawab
Tiat-san. "Lweekang Siauw-tiat masih terlalu cetek, maka aku
ingin memohon ...." ia tak dapat meneruskan perkataannya,
mungkin karena merasa malu hati.
Si nona mesem dan berkata sambil menuding keranjang
bambu yang menggeletak di luar pintu, "Toasuko berada
dalam keranjang itu. Bubuk bunga Cit-sim Hay-tong yang
ditinggalkan oleh Siauwmoay sudah cukup untuk
memunahkan racun yang mengeram dalam tubuh Toasuko.
Jiesuko, kenapa kau tak mau menggunakan kesempatan ini
untuk memperbaiki perhubungan dengan Toasuko" Dengan
menolong ia, kau juga akan mendapat bantuannya yang
diperlukan."
Mendengar itu, bukan main girangnya Tiat-san. Untuk
banyak tahun, ia merasa jengkel sekali, sebab permusuhannya
dengan Bok-yong Keng-gak semakin lama jadi semakin
mendalam. Ia sama sekali tak menduga, bahwa sumoay kecil
itu sudah mengatur suatu siasat yang mempunyai dua
kebaikan, yaitu mengundurkan musuh dan memperbaiki
perhubungan dengan kakak seperguruannya. Demikianlah,
sesudah mengaturkan terima kasih berulang-ulang, ia segera
mengambil keranjang bambu itu.
Sementara itu, Ouw Hui sudah memungut lagi bunga biru
yang tadi ditaruh olehnya di pinggir pintu. Leng-so melirik
padanya dan kemudian, sembari mengulapkan tangan ke arah
Tiat-san, ia berkata, "Jiesuko, kepala dan mukamu
mengeluarkan darah, tapi dengan begitu, hawa racun yang
mengeram dalam badanmu juga turut keluar. Aku berharap,
kau jangan menaruh dendam atas perbuatanku yang kurang
ajar." Lagi-lagi Tiat-san terkejut, seperti orang yang baru
mendusin dari tidurnya. "Sekarang baru aku mengetahui,
bahwa perintahnya supaya si tukang besi menggebuk aku, di
samping hukuman untuk kedosaanku, juga mengandung
maksud yang baik," pikirnya. "Racun dalam badan Kiauwmoay
belum hilang dan aku harus mengeluarkan sedikit
darahnya." Memikir begitu, ia merasa takluk terhadap
kepintaran sang sumoay yang jauh lebih unggul daripada
dirinya sendiri. Dengan begitu, hilanglah juga segala
keinginannya untuk merampas Yo-ong Sin-pian.
Waktu Leng-so dan Ouw Hui kembali di rumah gubuk,
Ciong Tiauw-bun masih pulas nyenyak. Mereka sudah bekerja
berat, tak tidur semalam suntuk dan ketika itu, fajar sudah
menyingsing. Leng-so segera mengeluarkan obat untuk
Tiauw-bun dan memberikannya kepada Ouw Hui.
Sesudah Tiauw-bun diberi obat, tanpa mengaso lagi,
mereka lalu mengambil cangkul untuk menanam pula pohonpohon
bunga biru yang belum rusak. "Semula, waktu melihat
kawanan anjing hutan itu, aku kira yang datang menyerang
adalah orang-orang keluarga Beng," kata si nona. "Belakangan
setelah melihat di leher orang itu tergantung seikat rumput
obat, barulah aku mengetahui, bahwa dia itu adalah Siauwtiat."
"Bagaimana ia bisa kena racun Cit-sim Hay-tong?" tanya
Ouw Hui. "Dalam kegelapan aku tak bisa melihat tegas."
"Aku serang dia dengan paku touw-kut-teng," jawab Lengso.
"Selain itu, pada paku tersebut diikatkan surat Toasuko
yang dipalsukan olehku. Touw-kut-teng adalah senjata rahasia
Toasuko yang tentu saja dikenali oleh Jiesuko. Itulah
sebabnya, kenapa Jiesuko tidak bersangsi lagi."
"Tapi dari mana kau mendapatkan senjata rahasia
toasukomu?" tanya pula Ouw Hui.
"Coba kau tebak-tebak," kata si nona sembari tertawa.
Ouw Hui berdiam sejenak dan kemudian berkata dengan
suara nyaring, "Ah! Sekarang aku tahu. Waktu itu, toasukomu
sudah dibekuk dan dimasukkan ke dalam keranjang. Tentu
saja, dengan mudah kau dapat mengambil senjata
rahasianya."
"Benar," kata Leng-so. "Melihat bunga biru itu, Toasuko
sudah bereuriga. Sesudah kau menanyakan jalanan, ia segera
mengikuti dan akhirnya masuk ke dalam keranjang."
Selagi kedua orang muda itu bicara dengan gembira
sembari tertawa-tawa, di belakang mereka mendadak
terdengar suara orang menanya, "Apa sih yang begitu


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggelikan hati?" Mereka menengok dan melihat Ciong
Tiauw-bun sedang berdiri di depan gubuk dengan muka
merah, seperti orang mabuk arak.
Melihat kawan itu, Ouw Hui terkejut karena ia lantas saja
ingat akan tugasnya. "Leng-kouwnio," katanya. "Biauw-tayhiap
mendapat luka berat dan kami harus segera berangkat.
Bagaimana cara menggunakan obat pemunah itu?"
"Biauw-tayhiap mendapat luka di mata, yaitu di bagian
yang paling halus dan paling lemah dari tubuh manusia," kata
Leng-so. "Banyak-sedikitnya obat yang harus digunakan, mesti
dipertimbangkan masak-masak. Apa kau tahu, berapa
beratnya luka itu?"
Ouw Hui terperanjat, tak dapat ia menjawab pertanyaan
itu. Ia sekarang mengetahui, bahwa jalan satu-satunya adalah
memohon pertolongan Leng-so, agar nona itu sudi datang ke
rumah Biauw Jin-hong untuk memberi pertolongan. Akan
tetapi, karena baru saja mengenal gadis itu, ia merasa berat
untuk membuka mulut.
Si nona dapat membaca apa yang dipikir Ouw Hui. Ia
bersenyum seraya berkata, "Jika diminta, aku bersedia untuk
pergi sama-sama kalian. Tapi lebih dulu, kau harus meluluskan
satu permintaanku."
Ouw Hui kegirangan. "Pasti, pasti aku meluluskan." katanya
terburu-buru. "Permintaan apa?"
Si nona tertawa geli. "Sekarang belum ada," katanya. "Tapi
begitu ada, aku akan segera mengajukan kepadamu. Aku
hanya khawatir kau akan mungkir janji."
"Jika mungkir, aku bukan manusia lagi," kata Ouw Hui.
"Baiklah," kata Leng-so. "Aku ingin membawa sedikit
pakaian untuk tukaran dan kita boleh lantas berangkat."
Melihat tubuh Leng-so yang kurus, Ouw Hui jadi merasa
kasihan. "Leng-kouwnio," katanya dengan suara perlahan.
"Semalam suntuk kau tak tidur. Apa tidak terlalu capai?"
Tapi Leng-so tak memberi jawaban dan dengan tindakan
gesit, ia lalu masuk ke ruangan dalam.
Ciong Tiauw-bun yang tidur nyenyak seluruh malam, tak
mengetahui, bahwa malam itu sudah terjadi banyak sekali
kejadian aneh. Waktu itu, Ouw Hui tidak bisa menuturkan
sejelas-jelasnya. Ia hanya memberitahukan, bahwa obat
pemunah racun sudah didapat dan bahwa Thia Leng-so, satu
ahli yang berkepandaian tinggi, sudah meluluskan untuk
berkunjung ke rumah Biauw Jin-hong guna mengobati kedua
mata kesatria itu.
Baru saja Tiauw-bun ingin menanya lebih terang, Leng-so
sudah keluar dengan menggendong satu bungkusan kecil di
punggungnya dan membawa satu pasu pohon bunga dengan
kedua tangannya. Daun pohon itu tiada beda seperti daun
pohon hay-tong yang biasa, tapi daun bunganya berwarna
biru tua dan pada setiap daun bunga terdapat tujuh titik
merah. "Apa ini Cit-sim Hay-tong yang kesohor?" tanya Ouw Hui.
Leng-so mengangsurkan pasu itu kepadanya, sehingga
Ouw Hui loncat mundur dengan terkesiap. Si nona tertawa
bergelak-gelak dan berkata, "Batang, daun, dan bunga pohon
ini memang sangat beracun. Tapi jika tidak diolah, itu semua
tak bisa mencelakakan manusia. Kalau kau tak makan dia, dia
juga tak bisa membinasakan kau."
Ouw Hui juga tertawa. "Apa kau anggap aku sebagai
kerbau yang makan rumput?" katanya sembari menyambuti
pasu bunga itu.
Sesudah Leng-so mengunci pintu, mereka bertiga lantas
saja berangkat. Waktu tiba di Pek-ma-sie, lebih dulu Ouw Hui
pergi ke toko obat untuk mengambil pulang senjata mereka
yang dititipkan. Ciong Tiauw-bun sendiri segera pergi membeli
tiga ekor kuda. Mereka tak berani berayal dan lalu
meneruskan perjalanan secepat mungkin.
Pek-ma-sie adalah satu kota kecil dan untuk mencari tiga
ekor kuda sebenarnya sudah tak gampang. Maka itu, kuda
yang dibeli tentu saja bukan kuda jempolan. Berjalan sampai
malam, mereka hanya melalui kira-kira dua ratus li. Apa mau,
sedang seluruh jagat sudah menjadi gelap dan mereka sudah
lelah bukan main, di sekitar itu tak terdapat rumah penduduk.
Apa boleh buat, mereka segera turun dari tunggangan untuk
melewati malam itu di tengah-tengah satu hutan kecil.
Leng-so rupanya sudah tak dapat menahan capainya lagi.
Begitu turun dari kudanya, ia segera merebahkan diri dan
beberapa saat kemudian, ia sudah menggeros. Tiauw-bun
lantas saja minta supaya Ouw Hui mengaso dengan
mengatakan, bahwa malam itu ia yang akan bertugas sebagai
penjaga. Kira-kira tengah malam, lapat-lapat terdengar suara
mengaumnya harimau. Ouw Hui tersadar dari tidurnya, tapi
suara harimau itu semakin lama jadi semakin jauh. Sesudah
mendusin, ia sukar pulas lagi. "Ciong-toako," katanya.
"Pergilah kau tidur. Aku sudah tak bisa pulas lagi. Biarlah aku
yang menjaga."
Tak lama kemudian, ia mendengar suara menggerosnya
Tiauw-bun dan Leng-so yang saling sahut. Sembari memeluk
dengkul, ia duduk tepekur dan rupa-rupa ingatan masuk ke
dalam otaknya. "Ah, kali ini sebab mencampuri urusan orang
lain, aku jadi terlambat beberapa hari," katanya di dalam hati.
"Sekarang tak mungkin aku bisa menyusul lagi Hong Jin Eng.
Apakah dia pergi ke Pakkhia untuk menghadiri pertemuan
para ciangbunjin?"
Dengan hati pepet, ia memikir bolak-balik. Perlahan-lahan
ia merogoh saku dan mengeluarkan satu bungkusan yang lalu
dibuka dan kemudian membungkus lagi, sesudah
memasukkan bunga biru ke dalamnya. Melihat bunga itu, ia
lantas saja ingat perkataan si tukang besi.
Selagi melamun, mendadak ia dengar suara tertawanya
Leng-so. "Eh, ada mestika apa dalam bungkusan itu?" tanya si
nona. "Bolehkah aku lihat?"
Ouw Hui menengok dan ternyata, nona itu sudah duduk di
atas rumput. "Apa yang dianggap mestika olehku, sama sekali tidak
berharga bagimu," kata Ouw Hui sembari membuka lagi
bungkusannya yang lalu diangsurkan kepada Leng-so. "Inilah
pisau bambu, pemberian Peng Sie-siok ketika aku masih kecil,"
ia menerangkan. "Inilah sepotong emas, hadiah Tio-samko,
saudara angkatku. Aku sengaja menyimpan sepotong, sebagai
peringatan. Dan ini adalah kitab ilmu silat dan ilmu golok,
warisan leluhurku ..." Waktu menunjuk burung hong yang
terbuat dari batu pualam, ia agak tergugu dan berkata, "Inilah
barang permainan pemberian satu sahabat." Di bawah sinar
rembulan, hong pemberian Wan Cie-ie itu mengeluarkan sinar
terang yang indah sekali. Mendengar suara Ouw Hui yang
agak luar biasa, Leng-so dongak seraya berkata, "Sahabat,
satu nona, bukan?"
Paras muka Ouw Hui lantas saja berubah merah. "Benar!"
jawabnya. "Ah, inilah mestika yang tak ternilai harganya!" kata pula si
nona dengan suara menggoda. Ia tertawa dan membungkus
pula bungkusan itu yang lalu dipulangkan kepada Ouw Hui.
Pemuda itu menyambuti dengan perasaan yang sukar
dilukiskan, ia tak tahu, apa ia harus bergirang atau berduka.
Besok paginya, mereka meneruskan perjalanan dan kirakira
lohor, barulah tiba di depan rumah Biauw Jin-hong.
Mereka kaget karena di depan rumah tertambat tujuh ekor
kuda yang kelihatannya garang sekali.
"Kalian tunggu di sini," Tiauw-bun berbisik. "Aku pergi dulu
untuk menyelidiki!" Sehabis berkata begitu, ia pergi ke
belakang rumah dengan mengambil jalan memutar. Dari situ,
ia mendengar suara bicara yang keras dari beberapa orang.
Perlahan-lahan ia menghampiri jendela dan mengintip ke
dalam. Ternyata, dengan kedua mata diikat kain, Biauw Jinhong
sedang berdiri tegak di depannya, di mulut pintu
ruangan tengah, berdiri beberapa orang lelaki yang romannya
bengis dan masing-masing mencekal senjata.
Tiauw-bun kaget berbareng berkhawatir, karena Tiauw-eng
dan Tiauw-leng yang bertugas melindungi Biauw Jin-hong, tak
kelihatan mata hidungnya. Apa mereka telah ditawan musuh"
"Biauw Jin-hong!" membentak salah seorang yang rupanya
menjadi kepala dari lima orang itu. "Kedua matamu sekarang
sudah buta, hidup lebih lama dalam dunia hanya
memperpanjang penderitaanmu. Dengarlah nasihatku! Lebih
baik kau menggorok leher supaya tuan-tuan besarmu tak usah
banyak berabe."
Biauw Jin-hong tak menjawab, ia hanya mengeluarkan
suara "hm!" dari hidungnya.
"Biauw Jin-hong," kata seorang lain dengan suara
mengejek. "Kau digelari sebagai Tah-pian Thian-hee Bu-tekchiu,
sebagai seorang yang tiada tandingannya di kolong
langit. Puluhan tahun kau malang melintang dengan leluasa
dalam kalangan Kang-ouw. Tapi hari ini kau bertemu dengan
kami. Jika kau bisa melihat gelagat dan berlutut beberapa kali
di hadapan tuan-tuan besarmu, mungkin sekali kami akan
merasa kasihan dan membiarkan kau hidup lagi beberapa
tahun." "Mana Tian Kui-long?" membentak Biauw-tayhiap dengan
suara angker. "Kenapa dia tidak berani menemui aku untuk
bicara sendiri?"
Lelaki yang menjadi kepala rombongan tertawa terbahakbahak.
"Untuk membereskan satu manusia buta, apakah perlu
Tian-toaya turun tangan sendiri?" tanya ia dengan suara
temberang. "Tian Kui-long tak berani datang?" tanya Biauw Jin-hong
dengan suara tenang. "Apa dia tak mempunyai nyali untuk
membunuh aku?"
Pada sesaat itu, Tiauw-bun mendadak merasakan
pundaknya ditepuk orang. Dengan terkejut ia menengok dan
mendapat kenyataan, bahwa di belakangnya berdiri Ouw Hui
bersama Leng-so.
"Ciong Jieko dan Samko berada di sana, kena dirobohkan
oleh kawanan bangsat," berbisik Ouw Hui sembari menuding
ke arah barat. "Pergilah Toako menolong mereka, sedang aku
sendiri akan melindungi Biauw-tayhiap."
Karena mengetahui Ouw Hui berkepandaian tinggi dan juga
sebab memikiri keselamatan kedua saudaranya, tanpa
membantah lagi, Tiauw-bun segera berlari-lari ke jurusan
barat sembari mengeluarkan poan-koan-pit.
Gerakan Tiauw-bun lantas saja diketahui oleh orang-orang
yang berada di dalam rumah. "Siapa di luar!" membentak
seorang antaranya.
"Yang satu sinshe (tabib) yang satu lagi tukang potong!"
sahut Ouw Hui sembari tertawa.
"Jangan main gila!" dia membentak dengan suara gusar.
"Apa itu sinshe dan tukang potong!?"
"Sinshe adalah untuk mengobati kedua mata Biauw-tayhiap
sedang tukang potong adalah untuk menyembelih kawanan
babi dan anjing!" jawab Ouw Hui.
Dengan kegusaran yang meluap-luap, orang itu segera
bergerak untuk melompat keluar, tapi lantas dicegah oleh
pemimpin rombongan yang berkata dengan suara perlahan,
"Jangan kena ditipu dengan siasat Tiauw-houw-lie-san
(memancing harimau keluar dari gunung). Tian-toaya hanya
memerintah kita untuk membinasakan Biauw Jin-hong. Urusan
lain tak usah kita campur-campur."
Orang itu menggerendeng, tapi tak berani membantah.
Memang juga, tujuan Ouw Hui adalah untuk memancing
mereka keluar supaya ia sendiri yang menghadapi lima orang
itu. Walaupun mengetahui, bahwa Biauw Jin-hong mempunyai
kepandaian yang sangat tinggi, akan tetapi hatinya masih
berkhawatir, karena kedua mata Biauw-tayhiap tak bisa
melihat. Ia merasa menyesal karena lima orang itu tak kena
dipancing. "Saudara kecil, kau sudah pulang?" tanya Biauw-tayhiap.
"Benar, aku sudah berhasil mengundang Tok-chiu Yo-ong
datang ke sini," jawabnya dengan suara nyaring, "Matamu
pasti akan sembuh. Tak usah kau berkhawatir lagi."
Tak usah dikatakan lagi, kata-kata "Tok-chiu Yo-ong"
adalah untuk menggertak musuh. Benar saja, kelima orang itu
jadi terkejut dan menengok ke jurusan Ouw Hui. Tapi apa
yang dilihat adalah seorang muda yang berbadan kasar dan
satu nona yang badannya kurus kering. Hati mereka jadi lega,
karena tak pereaya nona itu adalah Tok-chiu Yo-ong yang
kesohor namanya.
"Saudara kecil, aku masih sanggup menghadapi kawanan
anjing ini," kata Kim-bian-hud dengan suara tenang. "Pergilah
bantu Ciong-sie Sam-hiong. Jumlah musuh tak kecil, mereka
ingin membasmi kita dengan mengandalkan jumlahnya yang
besar." Sebelum Ouw Hui sempat menjawab, di belakangnya
mendadak terdengar suara tindakan banyak orang. "Dugaan
Biauw-tayhiap tepat sekali," kata seorang dengan suara
nyaring. "Memang juga kami ingin membasmi kau dengan
mengandalkan jumlah orang yang banyak."
Begitu menengok, Ouw Hui terkesiap. Belasan lelaki
bersenjata sedang menghampiri dengan tindakan perlahan
dan di belakang mereka terdapat belasan orang lain yang
mencekal obor. Apa yang paling mengejutkan adalah
tertawannya Ciong-sie Sam-hiong yang sedang digusur
dengan terikat kedua tangannya. Sesaat kemudian, seorang
lelaki yang berusia pertengahan dan pada pinggangnya
tergantung sebatang pedang panjang, maju ke depan. Orang
itu berparas cakap dan Ouw Hui lantas saja mengenali, bahwa
dia itu bukan lain daripada Tian Kui-long yang ia pernah
bertemu di Siang-kee-po pada beberapa tahun berselang.
Waktu itu Ouw Hui masih merupakan satu bocah cilik yang
kurus kering, sehingga Tian Kui-long tentu saja tidak kenali
itu. Kim-bian-hud dongak dan tertawa terbahak-bahak. "Tian
Kui-long!" ia membentak. "Aku tahu, sebegitu lama kau belum
mengambil jiwaku, sebegitu lama juga kau tak bisa enak tidur.
Ha-ha-ha! Hari ini kau membawa banyak sekali orang!"
"Kami ad Pendekar Super Sakti 24 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Pendekar Laknat 4
^