Laron Pengisap Darah 4

Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin Bagian 4


ustahil dia akan bocorkan rahasia ini kepada orang lain, dengan
perlengkapan alat jebakan yang begini hebat, tempat ini boleh
dibilang sangat rahasia dan aman, memang paling cocok bila
digunakan sebagai tempat untuk menyimpan intan permata
dan benda berharga lainnya"
210 "Seandainya dia juga bersembunnyi disini, bukankah dia
menjadi aman sekali?" tiba-tiba Nyo Sin menyela.
"Semestinya memang begitu" Siang Huhoa mengangguk
"Siapa tahu lenyapnya dia pada malam tersebut karena dia
sudah menyembunyikan diri di tempat ini?"
"Tapi kami tidak mendengar suara apa-apa waktu itu" Tu
Siau-thian menimbrung.
"Waktu itu dia kabur kemari dengan tergopoh-gopoh, tentu
saja semua gerakan dilakukan sambil menahan napas dan
tidak berani menimbulkan suara apa pun"
"Tapi sewaktu aku bersama Tan Piau dan Yau Kun
menyerbu masuk ke dalam ruang perpustakaan, dia
semestinya tahu akan hal ini dan segera tampil keluar"
"Mungkin saja pada saat itu dia sudah berada dalam ruang
batu ini dan menutup pintunya rapat rapat sehingga sama
sekali tidak mendengar suara apa pun"
Tidak menunggu pendapat dari Tu Siau-thian, dia berkata
lebih jauh: "Mungkin juga pada waktu itu dia sudah pingsan"
"Sekalipun sempat pingsan, toh ada saatnya tersadar
kembali" "Tentu saja...."
"Tapi sejak peristiwa itu terjadi hingga senja hari ke dua,
orang orang kita selalu berjaga-jaga di dalam ruang
perpustakaan ini"
"Mungkin saja dia pingsan selama tiga hari tiga malam,
mungkin saja dia sudah........" baru sampai ditengah jalan
mendadak pembesar itu menghentikan kata-katanya.
"Mungkin saja dia sudah mati waktu itu" Siang Hu-hoa
segera menyambung ucapannya yang terpotong itu.
211 "Benar" Nyo Sin berkata lagi, "bila seseorang sudah mati,
tentu saja reaksi apa pun tidak nanti bisa dia lakukan"
"Bila seseorang sudah mati, seharusnya dia meninggalkan
suatu benda" kata Siang Huhoa.
"Benda apa?"
"Mayatnya!"
Dalam ruangan batu itu tidak ditemukan jenasah dari Jui
Pakhay. Seandainya Jui Pakhay mati di dalam ruangan batu itu,
seharusnya jenasahnya berada pula di dalam ruangan batu ini.
Nyo Sin menyapu sekejap seluruh ruangan, tiba tiba sambil
menuding ke satu arah serunya:
"Mungkin saja mayatnya tersembunyi di balik peti peti kayu
itu" Yang dituding memang merupakan sebuah sudut ruangan
dimana terletak beberapa peti kayu besar.
Siang Huhoa melirik peti itu sekejap, tiba-tiba tanyanya:
"Apa kau pernah melihat ada mayat yang bisa berjalan?"
Kalau mayat itu tidak bisa berjalan, darimana dia bisa
menyembunyikan diri dibalik peti"
"Aku tidak pernah melihatnya" Nyo Sin menggeleng,
"sewaktu berjalan masuk ke dalam peti, bisa saja saat itu dia
belum mati"
"Ooh, maksudmu dia sendiri yang berjalan masuk ke dalam
peti itu kemudian mati di dalam peti?"
Kali ini Nyo Sin manggut-manggut tanda membenarkan.
"Bukankah ruangan ini sudah lebih dari aman?" ujar Siang
Hu-hoa. 212 "Ketika dia kabur ke dalam ruangan ini dengan membawa
luka, bisa saja ada sebagian dari kawanan laron penghisap
darah itu yang turut masuk, karena kehabisan akal akhirnya
dia memilih bersembunyi di dalam peti"
Tiba-tiba Siang Huhoa tertawa tergelak, serunya:
"Memangnya kau anggap dia adalah siluman?"
"Apa maksud perkataanmu itu?" Nyo Sin tertegun.
"Kalau bukan siluman, bagaimana caranya dia bersembunyi
di dalam peti lalu mengunci peti itu dengan sebuah gembokan
besar dari luar?" kata Siang Hu-hoa sambil tertawa.
"Gembokan itu bisa saja bukan dia sendiri yang melakukan"
ngotot Nyo sin dengan wajah tidak berubah.
"Kalau bukan dia, lalu siapa yang melakukan?"
"Bisa saja kawanan laron penghisap darah itu!"
"Memangnya kau anggap laron penghisap darah itu adalah
siluman?" "Mungkin saja"
Siang Huhoa segera tertawa.
Hingga kini dia masih belum pernah melihat apa yang
dikatakan sebagai laron penghisap darah, karena itu dia pun
tidak ingin berdiskusi tentang hal hal yang tidak diketahui
olehnya secara pasti.
Terdengar Nyo Sin berkata lebih jauh:
"Begini saja, bagaimana kalau sekarang kita buka seluruh
peti yang ada disitu?"
Dalam hal ini ternyata Siang Huhoa malah sangat setuju.
Maka satu per satu peti peti itu dibuka semua, ternyata
gembokan yang berada diluar peti itu bukan dikunci beneran,
213 tanpa menggunakan anak kunci pun mereka dapat membuka
semua peti itu secara mudah.
Peti itu semuanya berjumlah tujuh buah dan ternyata
terbuat dari baja asli, bukan kayu.
Empat buah peti penuh berisikan emas murni dan perak
sementara tiga peti lainnya berisikan intan permata, mutiara,
batu zamrud, berlian dan mutu manikam yang tidak ternilai
harganya. Sekali lagi Nyo sin dan Tu Siau-thian berdiri terkesima,
untuk sesaat mereka hanya bisa berdiri melongo.
Tampaknya kekayaan yang dimiliki Jui Pakhay jauh diluar
dugaan mereka semua, mereka tidak menyangka kalau ada
begitu banyak barang berharga yang tersimpan disitu.
Akhirnya setelah menghela napas panjang Nyo Sin berbisik:
"Kalau ditanya siapa orang paling kaya di wilayah ini,
kelihatannya dialah yang menduduki ranking nomor satu"
Jui Gi sendiripun berdiri termangu, biarpun dia adalah
pengurus rumah tangga tempat itu, namun dia sendiripun
tidak menyangka kalau Jui Pakhay ternyata memiliki kekayaan
yang luar biasa banyaknya.
Hanya mimik muka Siang Huhoa yang sama sekali tidak
berubah, tampaknya dia sudah tahu akan hal ini sehingga
sama sekali tidak tertarik untuk mempersoalkan.
Isi peti peti itu hanya emas, perak dan benda berharga,
sama sekali tidak ada mayat bahkan tulang belulang orang
mati pun tidak dijumpai.
Dengan susah payah akhirnya Nyo Sin dapat menarik
kembali sorot matanya, sambil mengelus jenggotnya dia
berkata kemudian:
214 "Mungkin saja setelah menghisap darahnya hingga kering,
kawanan laron penghisap darah itu sekalian memakan daging
dan tulangnya hingga habis"
"Oya?"
Karena tidak yakin dengan dugaan tersebut, setelah
berpikir sejenak Nyo Sin segera mengalihkan pembicaraan ke
soal lain, katanya:
"Mungkin di dalam ruangan batu ini masih terdapat jalan
keluar yang lain"
Bab 12. Kabut hujan gerimis.
Dalam ruang batu itu tidak ditemukan jalan keluar yang
lain. Mereka telah menyingkap semua tirai sutera yang melapisi
empat penjuru dinding, bahkan permadani yang melapisi
lantai pun sudah dibongkar, namun tidak ditemukan sesuatu
yang mencurigakan.
Akhirnya ke empat orang itu menghentikan
penggeledahannya.
Siang Huhoa berjalan balik ke tempat semula dan duduk
kembali sambil menengok ke arah Nyo Sin.
Kali ini Nyo sin tidak sanggup berkata-kata lagi.
Siang Hu-hoa menunggu beberapa saat, ketika melihat Nyo
Sin belum juga bersuara lagi maka dia pun menegur:
"Apakah kau pikir masih ada kemungkinan yang lain?"
"Rasanya sudah tidak ada lagi" sahut Nyo Sin sambil
menghela napas.
215 "Kalau memang sudah tidak ada, bagaimana kalau
sekarang mendengar kemungkinanku?"
"Aku sudah siap mendengarkan pendapatmu"
"Mungkin setelah berteriak kaget dan ketakutan, dia
menyembunyikan diri disini, hingga ruang perpustakaan
benar-benar tidak ada orang lagi, dia baru diam-diam
membuka pintu rahasia dan pergi meninggalkan tempat ini"
Nyo Sin mengawasi Siang Hu-hoa dengan mata mendelik,
dia seakan hendak mengatakan sesuatu, tapi sebelum dia
lakukan hal tersebut, Siang Huhoa sudah berkata lebih jauh:
"Apa yang kuuraikan barusan sebenarnya merupakan
alasan yang paling pas, sebab kalau tidak............."
"Kalau tidak kenapa?"
"Kita harus menerima kisah tentang laron penghisap darah
itu sebagai suatu kenyataan"
Mendadak Tu Siau-thian menimbrung:
"Kalau kudengar dari perkataanmu itu, seolah kau masih
curiga kalau kisah tentang laron penghisap darah itu
sebenarnya hanya cerita khayalan belaka"
"Benar, aku memang masih curiga"
"Tapi sikap semacam itu rasanya tidak bermanfaat bagi dia"
"Memang sama sekali tidak bermanfaat"
Siang Huhoa membenarkan seraya tertawa, "siapa tahu
lantaran kelewat jemu dan kesal, dia sengaja mengajak kita
semua bergurau"
Tu Siau-thian tahu kalau rekannya tidak serius dengan
perkataan itu, maka diapun hanya tertawa tanpa menjawab.
Berbeda dengan Nyo Sin, dia anggap serius perkataan itu,
segera bantahnya:
216 "Tapi menurut apa yang ku tahu, dia bukan seseorang yang
gemar bergurau"
"Aku tahu, dia memang bukan manusia type itu"
Setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu, ujarnya
lebih jauh: "Tampaknya kita sudah melupakan tujuan utama kita
datang kemari"
Tujuan utama kedatangan mereka adalah untuk mencari
buku catatan milik Jui Pakhay yang berisi catatan terperinci
tentang pengalamannya.
Seakan baru tersadar dari lamunan buru-buru Tu Siau-thian
menyahut: "Aaah benar, aku rasa buku catatan itu pasti sudah dia
sembunyikan disuatu tempat diseputar sini"
Siang Huhoa mengangguk.
"Aku memang tidak menemukan tempat lain yang lebih
aman dan lebih rahasia didalam gedung perpustakaan ini
selain ruang rahasia ini..........."
"Tapi buku catatan itu dimana dia sembunyikan?" tukas
Nyo Sin tidak sabar.
"Jauh diujung langit, dekat di depan mata" jawab Siang
Huhoa sambil mengalihkan pandangan matanya ke samping
meja. Diatas meja itu tergeletak berpuluh gulung lukisan,
dibawah tumpukan lukisan terlihat sepucuk sampul surat.
Setiap gulung lukisan yang tertumpuk disitu bukan berisi
lukisan berharga, melainkan tertulis tanggal hari dan bulan.
"Bulan tiga tanggal satu...... bulan tiga tanggal dua....bulan
tiga tanggal tiga...... bulantiga tanggal empat belas!"
217 Mungkinkah catatan yang sedang mereka cari ada di
tumpukan lukisan itu"
Tanpa terasa Nyo Sin, Tu Siau-thian maupun Jui Gi berjalan
mendekat dan mengelilingi meja itu.
Mula-mula Siang Hu-hoa mengambil dulu surat itu, ternyata
surat tersebut bukan ditujukan kepadanya, diatas sampul
surat itu tertulis dengan jelas bahwa surat itu dititipkan
sementara waktu kepadanya, bila Jui Pakhay sudah mati maka
diminta untuk menyerahkan surat tersebut kepada Ko Thianliok.
Dalam sekilas pandang Tu Siau-thian dapat melihat kalau
surat itu persis sama bentuknya dengan surat yang diserahkan
Jui Pakhay kepadanya pada malam tanggal lima belas dan
hingga kini masih tersimpan dalam sakunya.
Sampul surat yang sama dengan tulisan yang sama pula.
Dengan keheranan Siang Hu-hoa berpaling ke arah Tu
Siau-thian, kemudian tegurnya:
"Sebenarnya apa yang telah terjadi?"
Buru-buru Tu Siau-thian menjelaskan apa yang dialami
pada malam tanggal lima belas serta apa saja yang dikatakan
Jui Pakhay kepadanya.
Siang Huhoa mendengarkan dengan serius, sampai Tu
Siau-thian menyelesaikan kata-katanya, dia baru berkata:
"Cara kerja orang ini selamanya memang teliti dan cermat"
Tu Siau-thian manggut membenarkan, dia simpan kembali
surat miliknya.
Siang Huhoa memasukkan pula surat itu ke dalam sakunya,
kemudian baru berkata lagi:
"Sebelum membuktikan kematiannya, lebih baik kita berdua
masing-masing menyimpan sepucuk surat tersebut, jika nanti
218 sudah terbukti kalau dia memang mati, barulah kita serahkan
surat tersebut ke alamat yang bersangkutan"
"Kelihatannya dia memang bermaksud begitu"
Maka Siang Huhoa mengambil gulungan kertas yang
bertuliskan tanggal satu bulan tiga, ujarnya:
"Sekarang kita harus mulai memeriksa isi lukisan ini"


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil berkata dia mulai membuka gulungan lukisan itu
dan dibentangkan diatas meja.
Ternyata gulungan kertas itu bukan berisi lukisan tapi
penuh dengan tulisan, catatan kisah kejadian yang dialami
pada tanggal satu bulan tiga.
0-0-0 Malam tanggal satu bulan tiga, untuk pertama kalinya Jui
Pakhay bertemu dengan laron penghisap darah.
Dengan ilmu pedang andalannya, tujuh bintang perenggut
nyawa, pedang sakti pencabut sukma, dia melancarkan
serangan namun gagal membinasakan laron penghisap darah
itu. Baru saja serangan dilancarkan, mendadak laron penghisap
darah itu hilang lenyap tidak berbekas, lenyap bagaikan setan
iblis. 0-0-0 Lukisan Jui Pakhay tidak bagus, ternyata tulisannya jauh
lebih payah apalagi ditulis dalam keadaan tergesa-gesa,
tulisannya benar benar sangat payah seperti tulisan cakar
ayam. Masih untung apa yang dituturkan dalam tulisannya itu
merupakan sebuah kisah kejadian yang sangat menggidikkan
hati, sekalipun tulisannya jelek, orang tetap tertarik untuk
membacanya hingga selesai.
219 Empat belas gulung kertas lukisan berisikan catatan
lengkap tentang peristiwa yang terjadi selama empat belas
hari. Satu gulung menandakan satu hari.
Dibawah sinar lentera yang redup, dari balik tulisan yang
tertera diatas gulungan kertas itu seolah terpancar keluar
hawa siluman yang sangat kental.
Hawa siluman yang aneh, hawa siluman yang mengerikan
dan menakutkan.
Tanpa terasa ke empat orang itu bergidik, bulu roma
bangun berdiri, namun pandangan mata mereka seolah sudah
tersihir, sulit dialihkan lagi dari atas gulungan kertas itu.
0-0-0 Bulan tiga tanggal satu, bulan tiga tanggal dua, bulan tiga
tanggal tiga,..........
Pada tiga gulungan yang pertama, Siang Huhoa hanya
membuka dan membacanya secara perlahan, namun mulai
gulungan ke empat, gerakannya dilakukan semakin cepat,
semakin dibaca dia membuka gulungan tersebut semakin
cepat. Ternyata sorot mata Tu Siau-thian Nyo Sin dan Jui Gi ikut
bergerak mengikuti ke arah mana Siang Hu-hoa bergerak.
Ketika selesai membaca ke empat belas gulung tulisan itu,
Siang Huhoa merasa napasnya sesak dan nyaris tidak bisa
menghembuskan napas lagi.
Tu Siau-thian bertiga pun ikut menjadi sesak napas, hawa
siluman seolah memancar keluar dari balik gulungan kertas
dan mulai menyelimuti seluruh ruangan batu.
Ketika Siang Huhoa meletakkan kembali gulungan kertas ke
sepuluh, sepasang tangannya meski tidak sampai membeku
220 kaku saking dinginnya, namun seluruh tubuhnya sudah
bermandikan peluh dingin.
Paras muka Tu Siau-thian dan Nyo Sin berubah pucat pias,
sementara Jui Gi berdiri dengan badan gemetar keras.
Mereka semua ikut merasakan ketakutan, ngeri dengan
teror seperti apa yang dialami Jui Pakhay waktu itu.
Untuk sesaat ke empat orang itu tidak mampu berkata
kata, mereka tidak mampu melakukan gerakan apa pun,
seakan akan semuanya sudah dibuat beku dan kaku oleh
gulungan hawa siluman dalam ruangan.
Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya Tu Siau-thian
memecahkan keheningan:
"Kejadian ini menyangkut nama baik bininya, tidak heran
kalau sulit baginya untuk bercerita"
"Tapi..... apa benar bininya adalah jelmaan dari laron
penghisap darah" Apa benar dia adalah siluman laron?" kata
Nyo Sin. Tu Siau-thian tidak menjawab, dia memang tidak tahu
bagaimana meski menjawab pertanyaan itu.
"Aku tidak percaya kalau semua kejadian itu adalah nyata!"
mendadak Jui Gi berteriak keras.
Kalau dia tidak percaya, lalu siapa pula yang percaya"
Nyo Sin tertawa getir, ujarnya tiba-tiba:
"Kau tidak percaya" Jadi kau anggap majikanmu sedang
berbohong?"
Jui Gi kontan tertegun, dia jadi gelagapan dan tidak mampu
menjawab. Sementara itu Nyo Sin sudah berpaling ke arah Siang Huhoa
seraya bertanya:
221 "Bagaimana menurut saudara Siang?"
Siang Huhoa hanya menghela napas tanpa menjawab. Dia
pun sama seperti yang lain, tidak tahu harus menjawab apa.
Kalau dibilang Jui Pakhay kurang waras otaknya, mustahil
dia bisa menuturkan semua pengalamannya secara terperici
dalam empat belas gulungan kertas.
Berarti semua peristiwa itu nyata" Tidak ada yang berani
mengiayakan. Sekali lagi Tu Siau-thian memecahkan keheningan, kali ini
dia hanya menghela napas panjang.
"Saudara Tu" Siang Huhoa segera mengalihkan pandangan
matanya ke wajah Tu Siau-thian, "dalam dua hari belakangan,
apakah kau telah bersua dengan bininya?"
"Gi Tiok-kun maksudmu?" seru Tu Siau-thian tertegun.
"Memangnya selain Gi Tiok-kun, dia masih mempunyai bini
ke dua?" Siang Hu-hoa balik bertanya keheranan.
"Tidak punya"
"Lantas kenapa kau tunjukkan wajah keheranan ketika aku
menyinggung tentang dia?"
"Aku hanya keheranan, kenapa secara tiba-tiba kau
menyinggung soal dia"
"Tentu saja ada alasan yang kuat, jawab dulu
pertanyaanku"
"Malam tanggal enam belas, dia sudah tahu kalau saudara
Jui lenyap tidak berbekas, dia sempat mendatangi ruang
perpustakaan untuk mencari berita, kemarin malam ketika aku
datang menjenguk untuk menanyakan lagi kabar tentang
saudara Jui, dia pula yang muncul untuk menyambut
kedatanganku"
"Kalau begitu aneh sekali"
222 "Apanya yang aneh?" Tu Siau-thian tertawa getir.
"Kau tidak mengerti?"
"Lebih baik kau terangkan sejelas-jelasnya" sahut Tu Siauthian
sambil menggeleng.
"Barusan kau telah ikut membaca catatan pengalamannya,
apakah kau tidak merasa banyak bagian dalam catatan itu
yang kelewat emosional?"
Tu Siau-thian membenarkan.
"Bila kita bahas dari catatan yang dia tulis" sambung Siang
Huhoa lebih jauh, "maka tidak sulit untuk kita ketahui bahwa
dia memang menaruh perasaan takut yang luar biasa, rasa
diteror yang membuatnya amat tersiksa, membuat kita bisa
menduga bahwa dia mempunyai satu pemikiran yang
menakutkan"
"Pemikiran yang bagaimana?"
"Dia ingin sekali membunuh Gi Tiok-kun dan Kwe Bok!"
"Bila mereka benar-benar berniat mencelakai aku, akupun
tidak akan berlaku sungkan terhadap mereka, mau manusia
atau siluman laron, aku harus membunuhnya!"
Demikian Jui Pakhay menuliskan jalan pemikirannya dalam
gulungan kertas yang bertuliskan bulan tiga tanggal dua belas.
"Benar, tampaknya dia memang punya maksud untuk
berbuat begitu" Tu Siau-thian segera teringat pula dengan
pernyataan itu.
"Mungkin saja apa yang kukatakan kelewatan batas" Siang
Huhoa berkata lebih jauh, "tapi satu hal dapat dipastikan, dia
memang amat takut dan ngeri terhadap makhluk yang
dinamakan laron penghisap darah itu, kemungkinan besar rasa
takut yang berlebihan membuat otaknya jadi tidak waras,
akibatnya dia menganggap bininya sendiri sebagai laron
penghisap darah"
223 "Bila apa yang dikatakan merupakan kenyataan, Gi Tiokkun
tidak mungkin bisa hidup sampai sekarang" sela Nyo Sin.
"Kalau otaknya memang tidak waras, matinya Gi Tiok-kun
dan lenyapnya dia malah tidak susah untuk ditebak"
Setelah bersin berulang kali, dia melanjutkan:
"Sebab dia bisa beralasan kalau dia membunuh Gi Tiok-kun
lantaran sudah menganggap bininya sebagai jelmaan siluman
laron, dan dia kabur karena berusaha untuk menyembunyikan
diri" "Kita pun bisa menganggap semua catatan aneh yang dia
tuangkan dalam gulungan kertas ini sebagai buah pikirannya
yang ngawur dan tidak waras" sambung Siang Huhoa.
Bicara sampai disitu dia menggelengkan kepalanya, setelah
berhenti sejenak lanjutnya:
"Persoalannya adalah walaupun Kwee Bok dan Gi Tiok-kun
tidak melihat kawanan laron penghisap darah itu, namun
bukan hanya dia seorang yang telah menyaksikan makhluk
tersebut, selain dia, kaupun sempat melihatnya"
"Benar, aku memang menyaksikannya, waktu itu tanggal
dua bulan tiga dan tanggal empat belas, aku masih ingat
dengan jelas" Tu Siau-thian menandaskan.
"Justru itulah, kejadian ini baru merupakan satu masalah"
tukas Siang Hu-hoa.
"Lantas bagaimana kau menerangkan persoalan ini?" tanya
Nyo Sin. "Penjelasan yang paling masuk diakal adalah satu diantara
mereka bertiga ada yang sedang berbohong!"
"Siapa yang kau maksud dengan mereka bertiga?" kembali
Nyo Sin menimbrung sembari mengerling sekejap ke arah Tu
Siau-thian. 224 "Maksudku Jui Pakhay, Gi Tiok-kun dan Kwee Bok"
Setelah berhenti sejenak kembali tambahnya:
"Tapi uraianku tadi hanya sebatas analisaku pribadi,
sebelum melihat sendiri bagaimana bentuk dari kawanan laron
penghisap darah itu serta segala kemungkinan yang bisa
dilakukan laron laron tersebut, untuk sementara waktu kita
tidak bisa seratus persen menyangkal"
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Bagaimana pun juga kita harus temukan dulu Jui Pakhay,
kecuali kawanan laron penghisap darah itu selain telah
menghisap kering darahnya, juga melahap daging termasuk
tulang belulangnya hingga habis, kalau tidak, biarpun dia
sudah menjadi orang mati, paling tidak harus meninggalkan
jenasahnya"
"Tapi di mana mayatnya sekarang?" tanya Nyo Sin tanpa
sadar. Kontan Siang Hu-hoa tertawa tergelak:
"Hahahaha.... darimana aku tahu?"
Sadar kalau dirinya telah salah bicara, buru-buru Nyo Sin
berkata lagi: "Kalau begitu mari kita periksa lagi dengan hati-hati, siapa
tahu kali ini kita akan berhasil menemukannya"
"Sebelum mulai mencari jenasahnya, terlebih dulu kita
harus menjumpai dua orang" kata Siang Hu-hoa.
"Siapa?"
"Gi Tiok-kun dan Kwee Bok. Siapa tahu dari mulut mereka
kita akan berhasil mendapat keterangan tambahan"'
"Benar, siapa tahu mereka memang jelmaan dari laron
penghisap darah atau siluman laron seperti apa yang dicurigai
Jui Pakhay"
225 "Kalau benar begitu, urusan malah jadi semakin gampang!"
seru Siang Hu-hoa sambil tertawa. Pelan pelan dia
membalikkan tubuhnya, kemudian tambahnya, "sebelum
meninggalkan ruang perpustakaan ini, aku akan menutup dulu
ruang rahasia ini"
"Sudah seharusnya kau berbuat begitu, aku pun akan
mengirim berapa orang anak buah untuk berjaga jaga diluar
gedung secara bergilir, didalam sini tersimpan begitu banyak
harta karum, kalau sampai hilang, siapa yang sanggup
bertanggung jawab"
"Kalau hanya harta karun yang hilang, urusan itu lebih
gampang diatasi, justru yang paling aku kuatirkan adalah ada
orang yang masuk kemari secara sembrono, bila sampai
menggerakkan alat perangkap disini........ bisa berabe nanti!"
"Jadi disini masih terdapat alat perangkap yang lain?" tanya
Nyo Sin terperanjat.
"Hasil rancangan dari Hiankicu merupakan sebuah
rancangan yang sempurna, menurut apa yang kuketahui, tidak
mungkin dia hanya memasang satu dua macam alat
perangkap saja"
Tiba-tiba Nyo Sin tertawa terbahak bahak, serunya:
"Bukankah kita sudah menjelajahi hampir seluruh pelosok
ruangan ini, kapan kita menjumpai ancaman bahaya maut?"
"Mungkin saja hal ini terjadi lantaran alat perangkap itu
tidak jalan"
Kemudian setelah berpaling ke arah pintu masuk, terusnya:
"Kita ambil contoh pintu masuk ruang rahasia itu,
semestinya pintu itupun sudah dilengkapi alat perangkap yang
ampuh dan berada dalam keadaan tertutup, tapi sewaktu kita
masuk kemari tadi, pintu sudah berada dalam keadaan
terbuka, bukankah hal ini merupakan satu contoh yang sangat
jelas?" 226 Tidak kuasa Nyo Sin manggut manggut.
Kembali Siang Huhoa berkata:
"Jadi menurut pendapatku, mungkin untuk saat ini semua
alat perangkap telah dimatikan"
Baru selesai dia berkata, mendadak dari arah pintu masuk
itu sudah berkumandang suara gemerutuk yang sangat aneh.


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paras muka Siang Huhoa seketika berubah hebat, buruburu
serunya: "Cepat kita tinggalkan tempat ini"
Kalau diapun mendengar suara tersebut, tentu saja Nyo Sin
bertiga dapat mendengar pula suara aneh itu.
Paras muka Nyo Sin seketika berubah jadi pucat kehijauhijauan,
tanpa disuruh, dia orang pertama yang kabur lebih
dulu dari sana.
Siang Huhoa merupakan orang terakhir yang keluar dari
ruangan, ketika kakinya baru melangkah keluar dari balik
pintu, pintu rahasia ruang batu itu sudah mulai bergerak
pelahan menutup diri.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi?" tanya Tu Siau-thian
dengan mata terbelalak.
"Aku sendiripun kurang jelas" sahut Siang Huhoa sambil
menggeleng, matanya masih mengawasi pintu ruangan itu
dengan pandangan mendelong, "atau mungkin alat perangkap
yang kubilang sudah dimatikan, sekarang telah berjalan
normal kembali"
"Haai......tidak ubahnya seperti ulah setan iblis atau siluman
saja......." teriak Nyo Sin ketakutan.
Suara itu berasal dari atas, ternyata dia sudah berdiri
disamping ukiran kayu Kwan-im bertangan seriu.
227 Kalau sudah dibikin ketakutan, ternyata kecepatan kabur
orang ini jauh lebih cepat daripada larinya seekor kuda.
Perubahan cuaca saja sukar diramalkan, apalagi menduga
hati manusia"
Cuaca yang semula terang benderang, entah sejak kapan
telah berubah menjadi mendung dan gelap, awan tebal
menyelimuti seluruh angkasa.
Ketika sinar sang surya telah menghilang dibalik awan,
sewaktu awan semakin tebal dan gelap, hujan pun mulai
turun, hujan gerimis yang lembut bagaikan lapisan kabut.
Awan gelap menyelimuti pula sebuah bangunan loteng,
tidak terkecuali menyelimuti juga perasaan penghuninya.
Seseorang duduk sendirian ditepi jendela.
Sebenarnya orang itu masih muda, namun masa remajanya
seolah sudah lenyap, menguap ke angkasa, yang tersisa
tinggal sepasang matanya yang memancarkan kehangatan
dan kegairahan seorang remaja, sepasang biji mata yang
bening bersinar, bagai dua bara api yang sedang berkobar. Gi
Tiok-kun! Ketika Siang Hu-hoa memandang perempuan itu dari
kejauhan, timbul suatu perasaan duka yang aneh didalam hati
kecilnya. Tu Siau-thian, Nyo Sin bahkan belasan orang opas yang
mengikuti dibelakang mereka, seolah terbuai juga oleh
perasaan duka yang begitu tebal, tanpa terasa muncul
perasaan murung diwajah setiap orang, terkecuali satu orang,
Jui Gil Perasaan benci, muak, dendam bercampur aduk dalam
benak Jui Gi, hal ini disebabkan dia telah terpengaruh oleh
catatan peninggalan Jui Pakhay.
228 Tentu saja seorang pelayan yang setia tidak akan menaruh
perasaan simpatik terhadap seorang pembunuh yang dicurigai
telah menghabisi nyawa majikannya, yang tersisa dalam
benaknya kini hanya kebencian, rasa muak disamping
perasaan ngeri dan takut yang aneh.
Bila isi catatan pengalaman itu merupakan suatu
kenyataan, berarti Gi Tiok-kun bukan manusia, dia adalah
jelmaan dari laron penghisap darah, dia adalah siluman laron!
Jelas kenyataan ini merupakan sebuah kejadian yang
mengerikan. Masih untung hingga kini kecurigaan tersebut
belum terbukti kebenarannya.
Agaknya Jui Gi masih belum melupakan akan hal ini, dia
pun masih mengerti apa status dan kedudukan Gi Tiok-kun
hingga kini. Maka begitu memasuki ruang utama, walaupun dalam hati
kecilnya tidak rela, dia tetap menghadap Gi Tiok-kun sambil
memberikan salam.
Dengan pandangan hambar Gi Tiok-kun meliriknya sekejap,
kemudian menegur:
"Berapa hari belakangan ini, kau telah pergi ke mana saja?"
"Menjalankan perintah majikan, mengunjungi
perkampungan Ban hoa sanceng"
"Majikan yang suruh kau pergi?"
"Benar!" Jui Gi menundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Mau apa majikan mengutusmu pergi ke perkampungan
Ban hoa sanceng?" Gi Tiok-kun bertanya lebih lanjut.
"Mengundang kehadiran temannya"
"Ooh.....siapa dia?"
"Pemilik perkampungan selaksa bunga, Siang Huhoa, Siang
toaya!" 229 "Apa tamunya sudah datang?" tanya Gi Tiok-kun lebih
lanjut setelah berpikir sebentar.
"Sudah datang"
Tergopoh-gopoh Gi Tiok-kun bangkit berdiri lalu memberi
hormat, sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, Siang
Huhoa telah berkata duluan:
"Kelihatannya saudara Jui belum pernah menyinggung
tentang aku dihadapan enso"
"Satu dua kali pernah disinggung"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, secara
beruntun Nyo Sin dan Tu Siau-thian telah berjalan masuk.
Gi Tiok-kun mengerling pada mereka, sekejap kemudian
tegurnya: "Oooh... ternyata Nyo tayjin dan Tu tayjin ikut datang juga"
biarpun nada suaranya sedikit kaget, paras mukanya sama
sekali tidak berubah.
Dia memang berasal dari dunia hiburan, tidak aneh bila
kenal dengan seorang pembesar macam Nyo Sin.
Nyo Sin serta Tu Siau-thian segera balas memberi hormat,
sebelum berkata-kata, Gi Tiok-kun telah berkata kembali:
"Sepagi ini tayjin berdua telah datang berkunjung, apakah
sudah mendapat sebuah berita?"
Nyo Sin menggeleng, dalam hati dia tertawa dingin.
"Pintar amat perempuan ini berlagak pilon.......!" tentu saja
ucapan semacam ini tidak nanti diutarakan.
Sementara itu Tu Siau-thian telah menanggapi, katanya:
"Apakah hujin sudah mendapat kabar?"
"Belum, sama sekali tidak ada kabar beritanya"
230 "Sebelum saudara Jui menghilang, pernahkah enso
berjumpa dengannya?" sela Siang Hu-hoa.
Gi Tiok-kun berpikir sejenak, kemudian jawabnya seraya
menggeleng: "Rasanya tidak pernah"
"Kapan terakhir kali enso berjumpa dengannya?"
"Bulan tiga tanggal tiga belas"
"Waktu itu, apakah saudara Jui sempat mengatakan
sesuatu?" Kembali Gi Tiok-kun menggeleng.
"Tidak sepatah kata pun yang dia ucapkan, ketika melihat
aku ditempat kejauhan, tergopoh gopoh dia membalikkan
badan dan kabur pergi"
Siang Huhoa termenung sambil berpikir sejenak. Menurut
data dalam catatan, pada tanggal tiga belas bulan tiga,
seharian penuh Jui Pakhay menelusuri seluruh perkampungan
dalam rangka melacak dan mengumpulkan barang bukti.
"Bagaimana dengan bulan tiga tanggal dua belas?"
tanyanya kemudian.
Gi Tiok-kun tidak langsung menjawab, dia perhatikan dulu
Siang Huhoa dan atas hingga ke bawah, lalu tegurnya:
"Aku lihat paman pasti kerap kali berhubungan dengan
orang orang pengadilan"
Mula mula Siang Huhoa agak tertegun, kemudian katanya:
"Maksud enso, caraku mengajukan pertanyaan barusan
mirip seorang opas yang sedang memeriksa seorang
tersangka?"
"Tidak berani"
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan:
231 "Sejak permulaan bulan ini, tingkah laku saudaramu itu
aneh dan tidak wajar, jauh berbeda dari sikapnya dulu, selama
belasan hari belakangan, dia selalu berteriak telah melihat
laron penghisap darah, kadangkala dia membuat keonaran
dengan mengobrak abrik barang, ada kalanya jendela pun
dibongkar sampai hancur, aku amat menguatirkan kesehatan
dan keselamatannya, maka pada tanggal dua belas aku
mengundang kakak misanku Kwee Bok agar datang
memeriksakan kesehatan tubuhnya, ternyata didapati dia
dalam kondisi sehat, namun ketika kami sedang makan
bersama, ketika dia menyumpit sepotong bola udang masak
madu, tiba-tiba dia muntah, katanya bola udang yang dia
telan adalah bola daging laron penghisap darah, malah
kemudian sambil tertawa kalap dia kabur meninggalkan meja
makan. Itulah peristiwa yang terjadi di hari itu"
Ternyata apa yang dituturkan Gi Tiok-kun persis sama
seperti apa yang tercatat dalam gulungan kertas catatan Jui
Pakhay. Ketika selesai mendengarkan penuturan itu, Siang Huhoa
kembali termenung.
Gi Tiok-kun sendiripun tidak berbicara banyak lagi, dia
hanya mengawasi Siang Huhoa tanpa berkedip. Paras
mukanya kelihatan putih memucat, sedemikian pucatnya
seakan sama sekali tidak ada aliran darah.
Dibalik putih kepucatan terselip pula warna hijau kemala
yang bening. Sewaktu Tu Siau-thian, Nyo Sin dan Jui Gi melirik sekejap
ke arahnya, entah mengapa, tiba tiba muncul perasaan
bergidik dari hati kecilnya.
Benarkah perempuan ini jelmaan dari siluman laron"
Bahkan Siang Hu-hoa sendiripun mempunyai pemikiran seperti
itu. 232 Gi Tiok-kun sendiri seakan tidak menyadari akan hal itu,
paras mukanya tetap hambar, kaku, tanpa perubahan mimik
wajah sedikitpun, dia ibarat sesosok mayat hidup yang tidak
berperasaan. Kembali Siang Hu-hoa termenung berapa saat, akhirnya
setelah menghela napas, katanya:
"Enso, kami mempunyai satu permintaan yang mungkin
kurang pantas........"
"Katakan saja berterus terang"
"Kami bermaksud melakukan penggeledahan diseputar
gedung ini, apakah enso mengijinkan?"
Gi Tiok-kun melirik sekejap ke arah Tu Siau-thian dan Nyo
Sin, lalu mengerling juga ke arah Jui Gi, setelah itu baru
sahutnya: "Kelihatannya keputusanku tidak akan berpengaruh apaapa
lagi........"
Siang Huhoa tidak menanggapi, dia hanya membungkam.
Sekali lagi sorot mata Gi Tiok-kun dialihkan ke wajah Siang
Huhoa, ujarnya lebih jauh:
"Aku dengar paman adalah seorang yang jujur dan penuh
timbang rasa, kelihatannya kau minta persetujuanku karena
kuatir aku sedih, padahal pertanyaanmu tidak ada gunanya"
"Ucapan enso kelewat serius!"
"Boleh tahu, apa yang sebenarnya sedang kalian cari?"
"Kabar berita saudara Jui"
"Jadi kalian curiga kalau dia bersembunyi disini?" Gi Tiokkun
nampak melengak dan sedikit diluar dugaan.
233 "Kami hanya berharap dapat menggeledah seluruh
bangunan yang ada disini, baik bangunan luar maupun
bangunan bagian dalam"
"Apakah baru hari ini paman tiba disini?"
Siang Huhoa mengangguk tanda membenarkan.
"Apakah tahu juga kalau dalam dua hari belakangan, Tu
tayjin sudah melakukan penggeledahan secara besar-besaran
diseluruh perkampungan?" lanjut Gi Tiok-kun.
"Aku tahu cara kerja saudara Tu selalu teliti dan cermat,
tapi sayang dia telah melupakan bangunan dalam"
"Bangunan bagian dalam tidak terlalu luas, seandainya ada
yang bersembunyi disini, masa aku tidak tahu?"
"Saudara Tu juga berpendapat sama, hanya
persoalannya...... ....." dia seperti ingin mengucapkan sesuatu,
namun akhirnya diurungkan.
"Kenapa"' tanya Gi Tiok-kun cepat.
Siang Hu-hoa menghela napas panjang.
"Masalahnya, mungkin dia sudah bukan seorang manusia
hidup lagi"
Berubah hebat paras muka Gi Tiok-kun.
Setelah menghela napas lagi, Siang Huhoa berkata lebih
jauh: "Orang mati tidak nanti bisa menimbulkan suara apa pun"
Gi Tiok-kun termenung sesaat, ujarnya kemudian:
"Kalau toh ada kecurigaan semacam ini, alangkah baiknya
kalau dilakukan penggeledahan yang seksama, mari, aku akan
menjadi petunjuk jalan"
Tidak berani merepotkan enso"
"Tidak jadi masalah" Gi Tiok-kun menggeleng.
234 Perlahan-lahan dia beranjak dari tempat itu, ke dua orang
dayangnya tanpa diperintah lagi segera maju dan
mendampingi majikannya.
Tapi Gi Tiok-kun segera menggoyangkan tangan kanannya
sambil menahan pundak dayangnya itu.
Tangannya kelihatan ramping dan indah, putih bagaikan
salju, berkilat bagai batu pualam, sayang tiada warna merah
darah sehingga nyaris tidak mirip tangan seorang manusia.
Dia pun memiliki pinggang yang sangat ramping, ketika
angin berhembus lewat melalui daun jendela, tubuhnya
tampak bergoyang keras seakan segera akan terhempas
karena dorongan angin itu.
Siang Huhoa berjalan persis di belakang tubuhnya, dia
dapat menyaksikan kesemuanya itu dengan amat jelas.


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia merasa sedikit tidak percaya, mungkinkah perempuan
yang lemah lembut dan tidak tahan hembusan angin,
sesungguhnya adalah siluman laron, setan iblis yang telah
berubah menjadi laron penghisap darah.
Bab 13. Serangan kawanan laron.
Bangunan bagian dalam terhitung cukup luas, namun
mereka tidak berhasil menemukan sesuatu apa pun meski
seluruh bagian bangunan itu sudah diperiksa dan dilacak
dengan seksama.
Akhirnya tibalah mereka di kamar tidurnya Jui Pakhay.
Segala sesuatu benda yang ada didalam kamar itu tertata
rapi, biarpun kamar itu tidak terhitung kecil namun segala
sesuatunya dapat terlihat dalam sekali pandangan, disana
memang tidak terdapat tempat yang bisa digunakan untuk
bersembunyi. 235 Mereka mencoba untuk memeriksa almari baju, namun
kecuali tumpukan pakaian, disitu tidak nampak sesuatu yang
mencurigakan, bahkan kolong ranjang pun tidak ditemukan
sesuatu apa pun.
Kamar tidur ini merupakan tempat terakhir yang mereka
periksa, di belakang kamar tidur itu masih tersisa sebuah
pintu. Siang Hu-hoa berhenti sejenak didepan pintu itu, kemudian
tanyanya: Tempat apa yang terdapat di belakang pintu ini?"
"Sebuah gudang kecil"
Siang Huhoa segera mendorong pintu itu dan berjalan
masuk. Ruangan dibalik pintu itu memang merupakan sebuah
gudang kecil, tidak banyak barang yang tersimpan di situ.
Ruangan itu terbagi jadi dua bagian, satu setengah kaki
diatasnya terdapat sebuah loteng yang tidak begitu luas.
Anak tangga yang merupakan jalan masuk menuju ke
ruang loteng itu dibangun menempel pada dinding, begitu
sempit sehingga hanya cukup dilalui satu orang, pada ujung
anak tangga terdapat lagi sebuah pintu.
Pintu itu sama sekali tidak terkunci, hanya ditutup rapat,
dibawah pintu merupakan tangga yang terbuat dari kayu.
Ketika mulai melangkah naik ke atas tangga itu, paras
muka Siang Huhoa tiba tiba berubah menjadi sangat aneh.
Penghubung ruang kecil dengan kamar tidur hanya berupa
sebuah pintu, dinding disekeliling ruangan itu tidak nampak
pintu lain, bahkan jendela pun tidak ada.
236 Biasanya ruang kecil semacam ini pasti gelap gulita dan lagi
amat sunyi, tapi anehnya saat ini ruangan tersebut tidak
nampak gelap, juga tidak dalam kondisi senyap.
Pintu dalam keadaan terbuka lebar, walaupun tidak bisa
dibilang terlalu cerah, paling tidak masih ada secerca cahaya
yang menyoroti tempat itu, dengan sendirinya suasana di
dalam ruang kecil itupun tidak amat gelap, namun suasana
disitu tidak ikut berubah karena kehadiran beberapa orang itu.
Semenjak mereka masuk ke dalam ruangan, disitu sudah
terdapat semacam suara yang sangat aneh, seakan ada suara
kipas yang digoyangkan terus menerus, "Nguuung,....
nguungg...."
Suara "Nguuung,.... nguungg....." itu tidak terlalu nyaring,
namun lantaran berkumandang dalam lingkungan yang sunyi
maka semua orang yang hadir disitu dapat mendengarnya
dengan jelas sekali.
Nyo Sin merupakan orang ke dua yang berjalan masuk, ia
segera berseru:
"Hey, suara apa itu?"
Tu Siau-thian segera pasang telinga ikut mendengarkan,
dia tidak berkata apa apa namun paras mukanya mulai
berubah hebat. Gi Tiok-kun dengan dituntun dayangnya ikut berjalan
masuk, namun mimik mukanya sangat wajar, dia seolah sama
sekali tidak merasakan apa-apa.
Siang Huhoa segera mundur satu langkah, menghampiri ke
samping Gi Tiok-kun, kemudian tegurnya:
"Enso, apakah kau mendengar sejenis suara yang aneh?"
"Suara" Suara apa?" paras muka Gi Tiok-kun tetap kaku.
Siang Huhoa tertegun sejenak, kemudian serunya:
237 "Itu..... suara dengungan aneh, suara yang berbunyi
Nguuung .....nguungg....."
"Tidak....! Tidak ada suara apa apa......." sahut Gi Tiok-kun
sambil menggeleng.
Sekali lagi Siang Huhoa tertegun, ditatapnya perempuan itu
tanpa berkedip.
Gi Tiok-kun sama sekali tidak menunjukkan reaksi apapun,
dia hanya berdiri mematung, persis seperti sebuah arca yang
terbuat dari tanah liat.
Pada saat itulah tiba-tiba Tu Siau-thian berteriak keras:
"Suara itu mirip sekali dengan suara sayap laron penghisap
darah yang sedang berkerumun!"
Begitu teriakan tersebut berkumandang, suasana di dalam
ruangan pun seketika serasa membeku bagaikan es.
Nyo Sin adalah orang pertama yang bergidik, teriaknya
dengan suara gemetar:
"Berasal dari mana suara itu?"
Tidak seorangpun yang menjawab, kecuali Gi Tiok-kun,
hampir semua sorot mata telah tertuju ke atas bangunan
loteng. Sekalipun Nyo Sin sedang berbicara, sorot matanya tetap
tertuju ke atas loteng, hal ini membuat semua yang hadir mau
tidak mau mesti menahan napas untuk mendengarkan dengan
lebih seksama. Maka terdengarlah suara "Ngungg....nguuung.....!" itu
makin lama semakin bertambah jelas dan nyata.
Mendadak Siang Huhoa mulai melangkah maju, langsung
berjalan menuju ke depan anak tangga, setelah
mendongakkan kepalanya memperhatikan pintu di atas loteng
sekejap, dia pun mulai melangkah naik, langkah kakinya amat
238 lambat tapi ringan, meskipun anak tangga cuma terdiri dari
berapa buah namun dibutuhkan waktu yang lama untuk
mencapainya. Setibanya di depan pintu itu, perlahan-lahan dia mulai
mendorong dan membuka pintu loteng tersebut, tapi begitu
pintu dibuka, suara "Ngungg.... nguuung.....!"tadi kedengaran
bertambah nyaring dan jelas.
Siang Huhoa mencoba untuk menengok sekejap ke ruang
dalam, tapi paras mukanya seketika berubah sangat hebat.
Buru-buru dia merapatkan kembali pintu loteng kemudian
segera beranjak turun dari anak tangga.
Sebenarnya Tu Siau-thian maupun Nyo Sin yang berada
dibawah tidak mengetahui apa yang telah terjadi, namun
melihat perubahan wajah Siang Huhoa ditambah tindakannya
yang meninggalkan loteng dengan gerak cepat, diam-diam
mereka ikut terkesiap.
Perubahan air muka Siang Huhoa memang amat tidak
sedap dipandang.
Walaupun selisih waktu hanya sekejap, namun air mukanya
saat ini tidak ubahnya seperti paras muka seseorang yang
sudah terendam ditengah air salju selama setengah harian
lamanya, pucat kehijau-hijauan.
"Saudara Siang, sebenarnya apa isi ruang loteng itu?" tidak
tahan Tu Siau-thian bertanya.
"Laron penghisap darah!" jawab Siang Huhoa setelah
menarik napas panjang.
Walaupun dia telah berusaha untuk menenangkan
suaranya, namun baik Tu Siau-thian maupun Nyo Sin dapat
mendengar betapa ngeri dan seramnya lelaki itu.
Tanpa sadar paras muka mereka berdua pun turut berubah
hebat. 239 "Laron penghisap darah?" seru Nyo Sin tidak tahan.
"Benar, beribu ribu ekor laron penghisap darah serta
sesosok tengkorak manusia!"
"Tengkorak manusia?" Tu Siau-thian menjerit kaget.
"Tengkorak siapa?" seru Nyo Sin pula. Siang Hu-hoa tidak
menjawab, mendadak dia berpaling seraya berseru:
"Jui Gi!"
Waktu itu Jui Gi sedang berdiri disamping dengan wajah
termangu, paras mukanya pucat kehijau hijauan, ketika
dipanggil Siang Huhoa, dia nampak sangat terperanjat hingga
tubuhnya bergetar keras.
Buru-buru dia maju menghampiri sambil bertanya:
"Ada urusan apa tuan Siang?"
"Disebelah sana ada lampu lentera, tolong ambilkan dua
untukku!" "Baik!"
Buru-buru Jui Gi mengundurkan diri, sementara Nyo Sin
maju dua langkah ke depan, namun diapun tidak berbicara
lagi. Suasana didalam ruang kecil ini sudah begitu remang, tentu
saja suasana diatas ruang loteng itu lebih gelap lagi, apalagi
disana tidak ada jendela, bila seseorang telah berubah jadi
tengkorak, darimana mungkin kau bisa mengenali raut muka
aslinya" Saat ini tentu saja Nyo Sin pun memahami akan hal
tersebut, sebab dia memang bukan seseorang yang kelewat
tolol. Dalam ruangan terdapat lampu lentera, kebetulan
jumlahnya ada dua buah.
240 Baru saja Jui Gi menyulut lampu lampu itu, Nyo Sin dan Tu
Siau-thian sudah tidak sabar lagi menanti, dengan cepat
mereka maju mendekat dan masing-masing menyambar
sebuah lampu. Dua bilah golok panjang pun serentak diloloskan dari
sarungnya. Tu Siau-thian serta Nyo Sin, masing masing dengan tangan
kiri memegang lampu, tangan kanan menggenggam golok,
dengan satu lompatan sudah tiba didepan anak tangga dan
berebut naik ke atas, saat ini perasaan mereka jauh lebih
gelisah dan cemas ketimbang Siang Hu-hoa.
Waktu itu, Siang Huhoa sama sekali tidak ikut berebut,
dalam keadaan begini perasaan hatinya malah jauh lebih
tenang, dia bahkan sama sekali tidak menggeserkan kakinya,
walaupun tangannya sudah menempel diatas gagang senjata,
pedang itu masih berada dalam sarungnya, hawa pedangpun
seolah sudah terpancar keluar, dia memang sudah berada
dalam posisi tempur.
Tentu saja sorot matanya telah tertuju ke atas pintu ruang
loteng itu. Pintu sudah didongkel hingga terbuka, didongkel oleh ujung
golok Nyo Sin. Rupanya dia yang pertama-tama tiba diujung tangga,
dengan golok ditangan kanannya dia mencongkel pintu hingga
terbuka, lampu ditangan kirinya segera didorong masuk ke
dalam. Cahaya lentera yang berwarna kuning seketika berubah
menjadi hijau kemala.
Hanya didalam waktu amat singkat, penutup lentera itu
sudah dipenuhi oleh laron laron terbang.
241 Laron laron itu berwarna hijau pupus, hijau bagaikan
sebuah kemala, sepasang matanya merah membara bagaikan
darah segar, laron penghisap darah!
Penutup lampu kini telah berubah jadi penutup laron, ketika
cahaya lampu menembusi tubuh laron yang hijau, terpantullah
sinar lentera berwarna hijau kemala.
Berpuluh puluh ekor laron penghisap darah seakan terbang
bersama, suara "Ngungg....nguuung....." yang menggema di
udara seakan telah berubah menjadi gelak tertawa seram dari
setan iblis. Kawanan laron penghisap darah itu seakan merupakan
jelmaan dari setan iblis yang sedang gentayangan di angkasa.
Nyo Sin hanya merasakan pandangan matanya diselimuti
cahaya hijau dikombinasi dengan titik titik merah darah,
telinganya menangkap suara gemuruh sayap yang seolah
telah berubah menjadi gelak tertawa setan iblis....
Karena dia berdiri persis di depan pintu, kawanan laron
penghisap darah itupun persis menyongsong kehadirannya.
Dalam waktu singkat suasana seram menyelimuti seluruh
ruangan, sedemikian seram dan ngeri nya hingga susah
dilukiskan dengan kata-kata.
Perasaan takut, seram, ngeri dan horor yang mencekam
hati Nyo Sin saat itupun sukar dilukiskan dengan ucapan.
Sambil memejamkan matanya rapat rapat dia mulai
menjerit, suara jeritannya keras menyayat hati, jeritan yang
penuh ketakutan dan kengerian yang luar biasa.
Sedemikian seramnya jeritan ifu sehingga pada hakekatnya
tidak mirip dengan suara jeritan seorang manusia.
Tampaknya kawanan laron penghisap darah yang sedang
menempel dialas penutup lentera itu ikut dikagetkan oleh
242 suara jeritan, serentak mereka terbang di angkasa dan
menyambar kian kemari di udara dengan kalutnya.
Sekejap kemudian kawanan laron penghisap darah itu
sudah menerjang diatas tubuh Nyo Sin, menyambar
wajahnya...... Biarpun waktu itu Nyo Sin memejamkan matanya rapatrapat,
namun dia sempat merasakan sekujur badannya amat
sakit, hidungnya seakan terendus bau anyirnya darah!
"Mereka akan menghisap darahku!"
Sekali lagi Nyo Sin memperdengarkan suara jeritannya
yang menyayat hati, dengan sepasang tangan melindungi
kepalanya, buru buru dia melarikan diri meninggalkan tempat
itu, sedemikian terburunya sampai lampu dan golok miliknya
pun dilempar ke lantai.
Dia bahkan sudah lupa kalau tubuhnya berdiri diatas anak
tangga, begitu membalikkan badan, seketika itu juga
tubuhnya terguling dari atas anak tangga dan terjun bebas ke
bawah.

Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tu Siau-thian yang mengikuti di belakang Nyo Sin agaknya
dibuat terkesiap juga oleh pemandangan yang terpampang di
depan mata, rasa terkesiap yang membuatnya tertegun dan
tidak mampu berbuat apa apa, bahkan dia seakan lupa untuk
memayang tubuh Nyo Sin yang sedang terpelanting jatuh ke
bawah. Padahal meski dia bisa memayang pun belum tentu bisa
menghentikan tubuhnya.
Tidak ubahnya seperti sebuah buli-buli kosong, tubuh Nyo
Sin terguling ke bawah, jatuh menimpa diatas tubuh Tu Siauthian.
Maka tubuh Tu Siau-thian pun seketika ikut berubah
menjadi sebuah buli-buli dan terguling ke bawah.
243 Kini dihadapan Siang Huhoa telah bertambah dengan dua
buah buli-buli yang sedang bergulingan diatas lantai
Ternyata dia tidak maju ke depan untuk membangunkan
mereka, dia pun tidak meloloskan pedangnya, untuk sesaat
lelaki ini hanya berdiri termangu di tempatnya dan tidak tahu
apa yang mesti diperbuat.
Sekalipun tangannya masih menggenggam diatas gagang
pedang, namun dia seolah dia sudah lupa kalau benda yang
dipegangnya adalah sebilah pedang, dia seperti lupa benda itu
dipersiapkan untuk berbuat apa.
Sebenarnya dia sudah berada dalam posisi siap siaga,
setiap waktu setiap saat pedangnya bersiap melancarkan
serangan, namun dalam waktu sekejap dia seakan sudah
terkesima oleh suasana seram dan ngeri yang mencekam
sekeliling tempat itu.
Jui Gi, dua orang dayang yang memayang Gi Tiok-kun
maupun puluhan orang opas yang ada diluar pintu ikut
dicekam oleh perasaan takut dan ngeri yang luar biasa, paras
muka mereka sudah berubah jadi pucat melebihi mayat.
Bahkan ada diantara mereka yang sudah dibuat ketakutan
hingga kabur dari situ sambil melindungi kepala sendiri, ada
pula yang tergeletak dilantai dalam keadaan lemas tidak
bertenaga, rasanya saat itu hanya ada satu orang yang
terkecuali, dia adalah Gi Tiok-kun!
Paras muka Gi Tiok-kun sama sekali tidak menampilkan
perubahan apa pun, dia masih berdiri bagaikan sebuah patung
pouwsat. Satu satunya yang berubah hanya air mukanya, paras
muka yang pada dasarnya sudah pucat pias kini bertambah
pucat lagi, sedemikian pucatnya hingga mirip mayat yang
sudah membujur selama berhari hari.
0-0-0 244 Lampu yang terguling dilantai sudah padam, dua buah
lentera padam hampir bersamaan waktunya.
Tampaknya lantaran kehilangan cahaya kawanan laron
itupun seolah kehilangan sasaran, mereka beterbangan di
udara beberapa saat lamanya kemudian tiba-tiba berkumpul
menjadi satu dan terbang menuju ke luar ruangan.
Diluar pintu ruangan terdapat cahaya, walaupun makhluk
semacam laron lebih suka api namun tampaknya takut dengan
cahaya langit, itulah sebabnya mereka hanya muncul dikala
malam sudah tiba.
Tidak terkecuali pula dengan kawanan laron penghisap
darah itu, tapi ke mana mereka akan pergi"
Tidak seorang pun yang memperdulikan pertanyaan ini,
semua yang hadir seakan sudah terpengaruh oleh keadaan
disitu, seolah sudah terkena teluh, mereka hanya mengawasi
perginya kawanan laron penghisap darah itu dengan mata
terbelalak dan mulut melongo, tidak terkecuali Siang Huhoa.
Akhirnya kawanan laron itu telah terbang pergi, suara
"Ngungg.... nguuung....." pun makin reda dan akhirnya
lenyap, kini suasana dalam ruangan pulih kembali dalam
keheningan yang luar biasa.
Semua suara seakan telah terhenti, bahkan suara dengusan
napas pun seakan ikut terhenti.
Semua orang seperti telah berubah jadi orang bodoh, orang
blo'on yang tidak tahu apa apa, untuk sesaat mereka hanya
berdiri mematung, tanpa bergerak tanpa bersuara.
Suasana benar benar dicekam dalam keheningan yang luar
biasa. Udara yang sejak awal sudah kurang segar di dalam ruang
kecil itu kini terasa makin tidak sehat, karena lamat lamat
terendus bau busuk yang sangat aneh, bau busuk yang sukar
dicerna dengan perkataan.
245 Bau busuk itu seolah berasal dari ruang loteng, bau busuk
laron" Atau bau busuk dari mayat yang mulai membusuk"
Seorang dayang yang berdiri disamping Gi Tiok-kun
tampaknya mulai tidak tahan dengan bau busuk yang luar
biasa itu, tiba-tiba dia mulai muntah........
Isi perut yang tertumpah keluar hanya air pahit, tapi
muntahan itu justru seakan telah mengembalikan sukma
setiap orang yang sempat hilang untuk sesaat.
Siang Huhoa menghembuskan napas panjang, dia segera
maju ke depan dan memungut sebuah lentera diantaranya.
Sebuah lentera masih berada dalam keadaan utuh
sementara lentera yang lain sudah hancur berantakan, dia pun
mengeluarkan korek api dan menyulut sumbu lampu.
Bersama dengan terangnya cahaya lampu lentera, Nyo Sin
dan Tu Siau-thian segera merangkak bangun dari atas tanah,
tampaknya mereka tidak sampai terluka gara-gara terjatuh
tadi. Walau begitu, paras muka Nyo Sin telah berubah menjadi
pucat pias bagaikan mayat, bibirnya gemetar keras, sampai
lama kemudian ia baru mampu bersuara:
"Jadi.....jadi makhluk itulah laron penghisap darah?"
"Bee.....benar........" jawaban dari Tu Siau-thian
kedengaran sangat lirih karena suara itu seolah muncul dari
balik sela-sela giginya.
"Coba tolong periksakan wajahku, apakah ada sesuatu
yang tidak beres" pinta Nyo Sin kemudian sambil menunjuk ke
wajah sendiri. Tu Siau-thian segera mengalihkan perhatiannya ke wajah
Nyo Sin. 246 Siang Hu-hoa yang ikut mendengarkan pembicaraan itu
turut maju menghampiri, dia angkat lampu tinggi tinggi
sehingga paras muka Nyo Sin dapat terlihat sangat jelas.
Tampak kilatan cahaya kehijau hijauan memancar dari
seluruh wajah pembesar itu.
Ternyata seluruh permukaan wajahnya telah dilapisi oleh
serbuk berwarna putih kehijau hijauan, masih untung hanya
serbuk laron, sama sekali tidak ada luka apalagi darah.
"Apakah berdarah?" kembali Nyo Sin bertanya.
"Tidak!"
Sekarang Nyo Sin baru bisa menghembuskan napas lega,
dari dalam sakunya dia mengeluarkan selembar saputangan
lalu digosokkan ke atas wajah sendiri.
Sementara itu Tu Siau-thian telah melirik sekejap ke arah
pintu ruangan, sambil memperhatikan ruang sempit itu
katanya: "Aku rasa jumlah laron penghisap darah yang berkumpul
disana tadi mencapai ribuan banyaknya....."
"Ehmmm..." Siang Huhoa mengangguk.
Kemudian setelah memandang lagi ruang loteng itu
sekejap, Tu Siau-thian berkata lebih jauh:
"Aneh, apa yang sedang dilakukan ribuan ekor laron
penghisap darah itu diatas ruang loteng?"
Sebelum Siang Huhoa sempat menjawab, Nyo Sin telah
berteriak aneh:
"Mereka sedang melalap daging manusia"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, bahkan dia sendiripun
ikut merinding dan bersin berulang kali.
247 Pucat pasi selembar wajah Siang Huhoa, begitu pula
dengan Tu Siau-thian, dengan wajah hijau kepucat pucatan ia
berbisik: "Apa kau bilang" Sedang melahap daging manusia?"
"Benar" suara Nyo Sin kedengaran gemetar keras, "ketika
kuterangi ruangan dengan lampu, kusaksikan mereka sedang
mengerubungi sesosok jenasah manusia, menempel diatas
mayat itu sambil mengeluarkan suara mencicit yang amat
menyeramkan!"
"Sesosok mayat atau tengkorak manusia?" Siang Huhoa
mencoba menegaskan, nada suaranya kedengaran gemetar
juga. "Yang kusaksikan adalah sesosok mayat"
"Sekarang kawanan laron itu sudah terbang pergi, ayoh
kita ke atas dan periksa lagi dengan lebih seksama!"
Dengan membawa lampu untuk menerangi sekeliling
tempat itu, Siang Huhoa segera beranjak naik ke atas anak
tangga. Tampaknya nyali orang ini sangat besar.
Ternyata Tu Siau-thian cukup bernyali juga, dia segera
mengikuti dibelakang Siang Huhoa, tapi goloknya tetap di
persiapkan, tangannya yang menggenggam golok basah oleh
keringat dingin.
Kali ini Nyo Sin tidak berani berebut maju ke depan, namun
setelah ada dua orang yang bertindak sebagai pembuka jalan,
nyali nya tumbuh kembali.
Apalagi saat itu berada dihadapan anak buahnya, kalau
tidak ikut naik, jelas dia akan kehilangan muka.
Maka sambil keraskan kepala, dia memungut kembali
goloknya yang tergeletak dilantai kemudian sekali lagi menaiki
anak tangga. 248 Sebenarnya anak tangga itu cukup kokoh, namun berat
badan ke tiga orang itu terhitung lumayan juga, maka begitu
Nyo Sin mulai menaiki anak tangga itu, terdengarlah suara
mencicit yang sangat keras.
Sebuah suara yang amat menyeramkan dan menakutkan
dalam situasi seperti ini.
Biarpun Nyo Sin tahu kalau suara mencicit itu berasal dari
anak tangga, tidak urung bergidik juga perasaan hatinya.
Sekarang dia kuatir anak tangga itu tidak mampu menahan
bobot badan mereka hingga patah secara tiba tiba, kalau hal
itu sampai terjadi, sekali lagi mereka akan menjadi buli-buli
yang bergulingan diatas tanah
Tentu saja dia tidak ingin kehilangan muka lagi dihadapan
anak buahnya. Untung pada saat itu Siang Huhoa sudah meninggalkan
anak tangga dan mulai melangkah masuk ke dalam ruang
loteng. Cahaya yang terpancar keluar dari sebuah lentera ternyata
masih cukup untuk menerangi seluruh ruangan loteng.
Kali ini cahaya lentera yang terpancar keluar tidak lagi
berubah jadi hijau kemala, tidak seekor laron penghisap darah
pun yang tampak di dalam ruang loteng, tampaknya
rombongan makhluk aneh itu sudah terbang keluar dari
tempat itu. Begitu melangkah masuk ke dalam ruangan, terenduslah
bau busuk yang makin lama semakin tajam dan kuat, sebuah
bau busuk yang memuakkan, membuat orang pingin muntah
rasanya. Ternyata Siang Hu-hoa memiliki daya tahan yang luar
biasa, dia tidak sampai muntah karena bau busuk yang
menyengat itu, namun sekujur tubuhnya kelihatan gemetar
keras. 249 Pemandangan yang terpampang dihadapan matanya
sekarang sudah tidak mungkin dilukiskan dengan kata "Seram"
atau "menakutkan" atau "ngeri" lagi.
Biarpun dia telah berhasil melatih sepasang mata
malamnya, namun apa yang terlihat tidak sejelas apa yang
terpampang dibawah cahaya lentera saat ini, ketika untuk
pertama kalinya dia mendorong pintu dan berjalan masuk,
yang terlihat hanya sebuah raut muka yang samar, kendatipun
dia segera tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.
Sekarang dia sudah melihat semuanya dengan sangat jelas,
ternyata kejadian yang ada di depan mata tidak sesederhana
apa yang dibayangkan semula.
Dibawah sinar lentera yang remang, dengan jelas dia
saksikan sesosok mayat membujur kaku diatas lantai, bahkan
mayat itu sudah berubah menjadi sesosok tengkorak.
Tadi dia mengatakan telah melihat sesosok tengkorak,
sementara Nyo Sin bersikeras mengatakan telah melihat
sesosok mayat, padahal mereka berdua sama-sama benar,
hanya penjelasan diberikan kurang lengkap.
Mayat itu berada dalam posisi duduk bersila ditengah
ruangan, bagian tengkuk ke bawah masih tetap berdaging tapi
bagian tengkuk ke atas telah berubah menjadi sesosok
tengkorak. Tulang tengkorak yang berwarna putih memucat tampak
memancarkan sinar yang amat menyeramkan.
Dibalik kelopak mata tengkorak itu sudah tidak nampak biji
matanya, kelopak itu berada dalam keadaan berlubang besar,
lamat lamat terlihat cahaya api yang mirip dengan api setan
berkelip dari balik lubang hitam itu.
Ketika Siang Huhoa mencoba memperhatikan tengkorak
itu, dia segera merasakan kedua lubang mata yang hitam
250 diatas kepala tengkorak itu seakan akan sedang melotot pula
ke arahnya. Biarpun kelopak mata itu sudah tidak punya biji mata,
namun seakan masih terdapat biji mata disitu, seakan masih
bisa mengutarakan perasaan hatinya.
Dalam sekejap mata Siang Huhoa segera merasakan suatu
pancaran kebencian dan dendam kesumat yang sangat kuat
terpancar keluar dari balik kelopak mata yang berlubang hitam
itu. Dia bergidik, dia saksikan hidung tengkorak itupun telah
berubah jadi sebuah lubang hitam yang menyeramkan,
mulutnya.......
Tengkorak itu tidak bermulut tapi barisan giginya masih
utuh, mulutnya dalam keadaan ternganga, seolah sedang
mengucapkan kutukan atau sumpah serapa, mata yang


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memancarkan kebencian dipadukan dengan mulut yang seolah
mengucapkan kutukan jahat......
Lidah dimulutnya juga telah lenyap, dari balik lubang
mulutnya yang hitam gelap seakan memancarkan selapis uap
putih yang lembut dan halus....
Jelas itulah hawa mayat!
Dibawah dagu tengkorak itu masih nampak ada sedikit
daging, namun daging disitu pun sudah tidak utuh, sebab
daging itu hakekatnya sudah tidak mirip daging tapi lebih
mirip ubur ubur.
Hancuran daging itu bergelantungan disepanjang dagunya,
daging itu sudah hancur dan membusuk, seakan pernah
digigit dan dicincang oleh sekelompok makhluk bergigi tajam.
Benarkah kawanan laron penghisap darah itu selain
menghisap darah manusia, juga pandai makan daging
manusia" 251 Hanya daging, tidak ada lelehan darah, hancuran daging
yang meleleh disepanjang dagu itu bukan saja bentuknya
mirip ubur ubur bahkan dalam kenyataan tidak ubahnya
seperti ubur-ubur, selain memancarkan cahaya yang
menyeramkan, pada setiap ujung hancuran daging itu seakan
terdapat setitik air yang sedang menetes jatuh.... Air mayat!
Kepala tengkorak pun terlihat basah karena cairan air
mayat yang sudah membusuk, cairan busuk itu bahkan
membiaskan cahaya fosfor yang berwarna putih kehijauhijauan.
Serbuk laron berwarna putih kehijau-hijauan nyaris hampir
menempel diseluruh kepala tengkorak itu bahkan pakaian
yang dikenakan mayat itupun penuh bertaburan serbuk laron
berwarna putih kehijau hijauan.
Pakaian yang dikenakan mayat tersebut masih berada
dalam keadaan utuh, namun sepasang tangannya yang
muncul dari balik ujung bajunya tinggal tulang tengkorak
berwarna putih pucat.
Tangan itu masih menggenggam sebilah pedang!
Ujung pedang menancap dalam dalam diatas lantai
ruangan, sementara tubuh pedang melengkung bagaikan
bianglala karena tenaga tekanan dari atas, rupanya jenasah
itu tidak sampai roboh ke lantai karena ditunjang oleh
kekuatan pedang itu.
Dalam sekilas pandangan saja Tu Siau-thian telah melihat
jelas bentuk pedang itu, tidak kuasa lagi dia menjerit kaget.
Nyo Sin segera memburu masuk ke dalam ruangan, begitu
memandang pedang tersebut, tidak kuasa lagi dia berseru
tertahan: "Apa benar pedang itu adalah pedang tujuh bintang
pencabut nyawa miliknya?"
"Rasanya tidak mungkin salah" jawab Siang Huhoa.
252 Setelah berhenti sejenak, lanjutnya:
"Pedang itu sesungguhnya merupakan pedang pusaka milik
keluarga Hiankicu yang diwariskan turun temurun, selama ini
Hiankicu hanya mewariskan ilmunya pada satu orang, karena
tidak punya keturunan maka pusaka itu dia wariskan kepada
muridnya, jadi hakekatnya selain menjadi murid penutup dari
Hiankicu, Jui Pakhay juga terhitung anak angkatnya"
"Sekarang kita temukan pedang itu sebagai pedang
miliknya, berarti mayat itu......mayat itu juga mayatnya?" bisik
Nyo Sin tergagap.
Siang Huhoa menghela napas panjang.
"Menurut apa yang kuketahui, diatas gagang pedang itu
tertera beberapa huruf yang berbunyi: Pedang utuh manusia
hidup, pedang hilang manusia mati...."
"Pedang utuh manusia hidup, pedang hilang manusia
mati...." Tu Siau-thian turut menghela napas panjang.
Terdengar Siang Huhoa berkata lebih jauh:
"Selama ini dia selalu menganggap pedang tersebut
melebihi nyawa sendiri, kalau dia masih hidup, tidak nanti
pedangnya ditinggalkan ditempat ini, sekarang kita temukan
pedang tersebut tergenggam ditangan sang mayat, sedang dia
sendiri hilang tanpa jejak, ini membuktikan kalau mayat ini
bukan dia lalu siapa?"
"Aku pun berpendapat begitu, apalagi......." tiba-tiba Tu
Siau-thian menghentikan kata katanya.
"Apalagi kenapa?" tanya Nyo Sin.
"Pada senja hari tanggal lima belas, yaitu saat untuk
terakhir kalinya aku berjumpa dengannya, pakaian yang dia
kenakan waktu itu persis sama seperti pakaian yang
dikenakan mayat ini"
253 Kali ini paras muka Siang Huhoa benar-benar berubah
hebat, rupanya tadi meskipun dia berkata begitu namun dalam
hati kecilnya masih menaruh setitik pengharapan kalau
dugaannya meleset.
Paras muka Nyo Sin turut berubah hebat, dia pun tidak
percaya kalau dikolong langit benar-benar bisa terjadi
peristiwa yang begitu kebetulan.
"Kau tidak salah ingat?" tegurnya kemudian.
"Komandan, bila kau kurang yakin, panggil saja Tan Piau
dan Yau Kun, suruh mereka ikut kenali, sebab mereka pun ikut
hadir waktu itu"
"Tidak usah, aku tahu kalau daya ingatmu selalu memang
bagus" sambil berkata, pembesar itu miringkan kepalanya dan
melirik Tu Siau-thian sekejap.
Sudah cukup lama Tu Siau-thian bekerja mengikuti
komandannya ini, dia pun sudah amat hapal dengan
kebiasaannya, melihat tingkah laku orang tersebut diapun
segera tahu kalau ada tugas yang harus dia kerjakan, maka
tanyanya: "Komandan ada perintah apa?"
"Coba dekati gagang pedang itu dan periksa, apakah betul
ada ukiran tulisan yang dimaksud"
"Haaahh?" berubah hebat paras muka Tu Siau-thian.
Gagang pedang itu masih tergenggam oleh sepasang
tangan mayat tersebut, bila ingin memeriksa ukiran tulisan
diatas gagang pedangnya maka dia mesti menarik lepas dulu
sepasang tangan sang mayat yang menggenggam kencang
itu, tak heran kalau paras mukanya langsung berubah.
Betul mayat itu adalah mayat sahabat karibnya, betul
selama dia masih hidup sudah berulang kali dia berjabatan
tangan dengannya, tapi sekarang kondisi mayat itu sangat
254 menjijikkan dan mengerikan, cukup dilihatpun sudah membuat
perut mual, apalagi mesti menyentuh dan
menyingkirkannya......"
Tampaknya Nyo Sin sudah mengambil ke putusan untuk
memaksa Tu Siau-thian melaksanakan perintahnya, melihat
keraguan anak buahnya, kembali dia menegur:
"Apakah kau kurang jelas mendengar perintahku?"
Tu Siau-thian menghela napas panjang.
"Baiklah, akan segera kulakukan" sahutnya terpaksa.
Sembari berkata dia alihkan sorot matanya ke atas kepala
tengkorak itu, baru pertama kali ini dia benar-benar menatap
kepala tengkorak tersebut.
Jilatan api berwarna hijau yang seolah memancar keluar
dari balik mata tengkorak itu tampak semakin menyala tajam,
tengkorak itu seakan sedang balas menatap Tu Siau-thian
karena dia merasa sedang diawasi opas itu.
Rasa benci, dendam dan hawa jahat yang terpancar keluar
dari mata tengkorak itu terasa makin menebal dan berat.
Hawa mayat yang menyembur keluar lewat rongga giginya
pun tampak semakin menebal, dia seolah sedang peringatkan
Tu Siau-thian agar tidak menyentuh jenasahnya, kalau tidak,
dia akan menurunkan kutukan yang paling jahat terhadap
opas itu. Bagaimanapun beraninya Tu Siau-thian, betapa besarnya
nyali orang ini, tidak urung bergidik juga perasaan hatinya
setelah dihadapkan dengan suasana seperti ini.
Padahal dia sudah menjadi opas selama puluhan tahun,
entah berapa banyak jenasah yang pernah disentuhnya,
namun baru pertama kali ini dia merasa begitu seram, begitu
takut dan ngeri untuk menyentuh mayat itu.
255 Tapi akhirnya dia tetap maju mendekat, baginya sekarang,
tugas tersebut mustahil bisa dihindari lagi.
Semakin mendekati mayat itu bau busuk yang tersiar keluar
makin tebal, dengan pengalaman Tu Siau-thian yang luas, dia
segera tahu kalau kematian orang itu paling tidak sudah
terjadi dua hari berselang, sebab hanya kematian selama ini
akan menghasilkan bau busuk mayat seperti sekarang
Padahal Jui Pakhay sudah lenyap sejak dua hari berselang,
tiga hari pun belum sampai.
Pakaian yang sama dengan senjata yang sama pula, tidak
bisa disangkal mayat itu adalah mayat dari Jui Pakhay.
Sekarang dia semakin percaya dengan apa yang telah
dikatakan Siang Huhoa tadi.
Dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki Siang
Huhoa, tidak ada alasan untuk tidak bisa mengenali sebilah
pedang, apalagi pemilik pedang itu adalah sahabat karibnya.
Sebagai teman karibnya, Siang Huhoa pasti sangat
mengenal dengan segala kebiasaan rekannya itu, kalau dia
bisa mengenali pedang itu sebagai pedang miliki Jui Pakhay,
tentu saja dia pun tahu kalau diatas gagang pedangnya terukir
beberapa huruf kecil.
Sekalipun begitu, menurut prosedur dia tetap harus
melakukan perintah itu, maka dia tidak keberatan untuk
melaksanakan titah dari Nyo Sin, satu satunya hal yang
membuat dia merasa keberatan adalah tidak seharusnya
perintahkan dia untuk turun tangan sendiri.
Namun dalam keadaan seperti saat ini, tentu saja dia tidak
bisa protes dan tidak mungkin untuk protes, maka setelah
maju ke depan, dia pun mengeluarkan sebuah saputangan lalu
dibalutkan di tangan kanannya.
Dengan hidung berkerut, sorot matanya mulai dialihkan ke
tangan mayat itu, sepasang matanya sengaja disipitkan, agar
256 wajah seram dari tengkorak itu terlihat agak samar. Untung
keadaan dari sepasang tangan itu tidak terlampau
mengerikan. Dengan tangan kirinya dia cengkeram gagang pedang,
tangan kanannya segera menggenggam tangan kiri mayat itu.
Walaupun sudah dilapisi dengan sapu tangan namun dia
masih bisa merasakan kalau tangan yang digenggamnya
hanya sekerat tulang, pada saat itulah bau busuknya mayat
terendus makin berat dan tebal.
Sambil menahan diri Tu Siau-thian mencoba untuk menarik
tangan itu, padahal dia sudah mengerahkan tenaga cukup
besar namun usahanya untuk menarik lepas gagang pedang
dari genggaman tangan mayat itu tetap tidak berhasil.
Dia mencoba untuk menarik tangan yang lain, namun
hasilnya sama saja.
Sangat aneh, kenapa genggaman sepasang tangan mayat
itu bisa begitu kuat" Kenapa tangannya yang menggenggam
gagang pedang susah dilepaskan. Tapi kesemuanya ini
semakin membuktikan sesuatu yakni tidak mungkin pedang itu
disusupkan ke tangan mayat tersebut setelah kematian orang
itu, kalau hal ini yang dilakukan, tidak mungkin tangan mayat
itu bisa menggenggam gagang pedang sedemikian
kencangnya. Orang mati tidak akan menggenggam pedangnya sangat
kencang, dengan perkataan lain, sewaktu orang ini menemui
ajalnya, dia berada dalam kondisi menggenggam pedang itu.
Jika pedang ini benar benar adalah pedang tujuh bintang
pencabut nyawa, bukankah hal ini semakin memperkuat bukti
bahwa sang korban adalah Jui Pakhay"
Hanya Jui Pakhay seorang yang menganggap pedang tujuh
bintang lebih berharga daripada nyawa sendiri, hanya dia
257 seorang yang tidak akan melepaskan senjatanya sampai maut
menjemput dirinya.
Bab 14. Pedang utuh manusia mati.
Cairan mayat yang berbau busuk telah membasahi seluruh
saputangannya. Cairan mayat yang dingin, lengket berlendir serasa sudah
menodai seluruh kulit badannya, perasaannya waktu itu mirip
sekali dengan perasaan sewaktu memegang beberapa ekor
cacing yang baru digali dari dalam tanah.....
Tu Siau-thian merasa amat bergidik, perutnya terasa amat
mual, entah sudah berapa kali dia bersin, bulu kuduknya
sudah bangun berdiri.
Tapi dia paksakan diri untuk menekan rasa mual, rasa
seram dan rasa jijik yang mencekam perasaan hatinya,
dengan sekuat tenaga dia mencoba untuk merentangkan jari
jemari tengkorak itu.
Jari tangan tengkorak itu menggenggam kencang, seakan
sudah merasuk ke dalam gagang pedang itu.
Ketika dia membetot dengan sepenuh tenaga......."Kraak,
Kraak, Kraaaak!" tiga buah jari tangan tengkorak itu patah
seketika. Mayat yang baru mati selama tiga hari ternyata memiliki
tulang belulang yang begitu rapuh, kejadian ini sedikit diluar
dugaan Tu Siau-thian.
Mengawasi ke tiga batang tulang jari yang patah dan
tergenggam ditangannya, sekali lagi opas itu bergidik sambil
bersin berulang kali, dia merasa tidak sanggup lagi untuk
melanjutkan tugasnya.
258 Bagaimana pun juga mayat itu adalah mayat sahabatnya,
dia tidak ingin setelah sahabatnya itu mati, sukmanya akan
gentayangan tanpa memiliki jari tangan lagi....
Walaupun selama ini dia tidak pernah mau percaya tentang
dongeng yang mengatakan bahwa manusia setelah mati akan
jadi setan gentayangan, namun setelah mengalami pelbagai
peristiwa aneh selama berapa hari belakangan, keyakinan itu
mulai goyah. Kalau siluman laron pun terbukti ada, berarti setan
gentayangan pun pasti ada juga, untuk sesaat dia berdiri
terbelalak, tertegun bercampur kaget.
Melihat mimik muka anak buahnya itu Nyo Sin tercengang,


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera tegurnya:
"Hey, apa yang terjadi?"
"Aaah, tidak apa apa" jawab Tu Siau-thian tanpa berpaling,
"karena kurang berhati-hati, aku telah mematahkan tiga
batang tulang jarinya"
"Apakah pada gagang pedang itu kau jumpai tulisan yang
dimaksud?" kembali Nyo Sin bertanya.
"Aku belum lagi mengambil pedang itu"
"Ooh..."
Diam-diam Tu Siau-thian menghela napas, sambil bulatkan
tekad tangan kanannya segera ditekan kebawah lalu
membetot ke samping, dia mengangkat paksa tangan mayat
itu ke atas lalu bersamaan waktunya dia tarik pedang itu ke
luar. "Kraak, kraaaak!" kembali dua buah jari tangan tengkorak
itu patah jadi dua, namun pedang itu berhasil direbut paksa
dari genggaman tangan mayat itu.
Karena pedang yang menopang tubuhnya telah direbut
paksa, tengkorak manusia itupun langsung terjungkal dan
259 roboh ke lantai, masih untung Tu Siau-thian berhasil
menyambar lengan tengkorak itu sehingga sang mayat tidak
sampai terjerembab keras ke tanah.
Pada saat itulah dari balik lubang mata sang tengkorak
yang berlubang itu mengucur keluar dua deret cairan mayat
yang berbau sangat busuk.
Cairan itu mirip sekali dengan lelehan air mata, apakah
mayat itu masih punya perasaan" Apakah dia merasa
menderita karena tulang jarinya patah"
Tu Siau-thian semakin bergidik disamping terharu dan iba,
dia paksakan diri untuk membetulkan posisi mayat itu
kemudian baru mundur ke belakang dan membalikkan badan,
sorot matanya segera dialihkan keatas gagang pedang itu.
Benar juga, diatas gagang pedang tertera beberapa huruf
kecil: "Pedang utuh manusia hidup, pedang hancur manusia
mati!" Tidak bisa disangkal lagi, pedang ini memang pedang tujuh
bintang milik Jui Pakhay, itu berarti mayat tersebut adalah
mayat dari Jui Pakhay.
Dengan mata melotot besar Nyo Sin mengawasi tulisan itu,
akhirnya tidak tahan dia menghela napas panjang, katanya:
"Pedang utuh manusia hidup, pedang hancur manusia mati,
tapi kenyataannya sekarang, pedang utuh manusia nya justru
mati!" Siang Huhoa memandang pula gagang pedang itu sekejap,
namun dia tidak berkomentar atau pun mengucapkan sesuatu
pernyataan. Nyo Sin memandang Siang Hu-hoa sekejap, tiba-tiba dia
membalikkan badan dan beranjak keluar dari situ.
260 Baru satu langkah dia berjalan, tubuhnya telah menumbuk
ditubuh seseorang, Jui Gi!
Entah sedari kapan Jui Gi ikut masuk ke dalam, sepasang
matanya mengawasi mayat tersebut dengan mata mendelik,
wajahnya penuh diliputi kedukaan dan amarah.
Di dalam pandangan matanya seakan hanya ada mayat
tersebut, dia bahkan tidak tahu kalau Nyo Sin sedang
membalikkan badan, begitu tabrakan terjadi tubuhnya kontan
jatuh terpelanting ke tanah.
Tubuh Nyo Sin ikut bergetar keras, masih untung dia tidak
ikut roboh. Jui Gi tidak segera merangkak bangun, sambil berlutut dan
menyembah dihadapan Nyo Sin, serunya pedih:
Nyo tayjin, kau harus mencarikan keadilan buat majikan
kami!" "Tidak usah diucapkan pun pasti akan kulakukan" sahut
Nyo Sin setelah berhasil berdiri tegak, dengan cepat dia
melampui Jui Gi dan menuruni anak tangga.
Sementara itu para jago lainnya masih menunggu di
bawah, sorot mata semua orang tertuju ke pintu masuk ruang
loteng, begitu Nyo Sin munculkan diri, otomatis sorot mata
semua orangpun tertuju ke tubuhnya.
Sekalipun mereka tidak tahu peristiwa apa yang telah
terjadi dalam ruang loteng, namun dari mimik muka Nyo Sin,
mereka sadar bahwa persoalan tersebut pasti sangat serius
Begitu menuruni anak tangga, Nyo Sin langsung
menghampiri Gi Tiok-kun dan mengawasinya dengan mata
melotot. Sorot mata semua orang pun mengikuti gerakan tubuhnya
ikut bergeser ke atas wajah perempuan itu.
261 Gi Tiok-kun masih berdiri mematung seperti patung pousat,
wajahnya hambar tanpa perubahan apa pun.
Nyo Sin mengawasi perempuan itu berapa saat, mendadak
dia menarik napas panjang dan sambil menuding bentaknya:
"Tangkap dia!"
Gi Tiok-kun nampak tertegun, kawanan opas lebih tertegun
lagi, mereka tidak menyangka akan datangnya perintah
tersebut sehingga untuk berapa saat semua orang hanya
berdiri melongo dan tidak memberikan reaksi apapun.
"Hey, kenapa kalian semua?" sekali lagi Nyo Sin
menghardik, "telinga kalian sudah pada tuli" Tidak memahami
maksud perkataanku?"
Seakan baru sadar dari impian kawanan opas itu serentak
bergerak maju. Tan Piau dan Yau Kun saling bertukar
pandangan sekejap, lalu terdengar Yau Kun berbisik ragu:
"Komandan. Kau.....kau suruh kami membekuk Jui hujin?"
"Benar!" jawaban Nyo Sin amat tegas.
"Tapi kesalahan apa yang telah dilakukan Jui hujin?" tanya
Tan Piau keheranan.
"Pembunuhan!"
"Siapa yang dibunuh?" desak Tan Piau lebih jauh.
"Jui Pakhay!"
Tan Piau berseru tertahan dan tidak bertanya lagi, namun
rasa sangsi masih menyelimuti wajahnya.
Begitu juga keadaan Yau Kun, meskipun tidak ikut
menimbrung namun dia pun tidak melakukan suatu tindakan
apa pun. Seorang wanita cantik yang begitu lemah lembut, begitu
halus dan begitu tidak bertenaga ternyata adalah seorang
262 pembunuh, kejadian ini sudah sangat aneh dan sukar
dipercaya apalagi orang yang dibunuh ternyata adalah
seorang lelaki yang berilmu silat sangat tinggi.
Bukan hanya begitu, lelaki itu bahkan adalah suaminya
sendiri, Jui Pakhay!
Karena ke dua orang itu tidak melakukan reaksi apa pun,
dengan sendirinya kawanan opas yang lain pun tidak
melakukan tindakan apapun Melihat anak buahnya tidak
melakukan tindakan apapun, Nyo Sin jadi semakin
mendongkol, teriaknya penuh amarah:
"Kenapa kalian masih berdiri termangu macam orang
bodoh" Cepat tangkap dia!"
"Baik!" sahut Tan Piau dan Yau Kun tergagap. Cepat
mereka memberi tanda, seorang opas yang berdiri di belakang
mereka segera maju menghampiri sambil menyerahkan
sebuah borgol. Setelah menerima borgol itu Yau Kun maju ke hadapan Gi
Tiok-kun seraya serunya:
"Gi hujin, tolong ulurkan tanganmu!"
Gi Tiok-kun memandang borgol itu sekejap, setelah tertawa
getir dia sodorkan sepasang tangannya ke depan.
Dia sama sekali tidak melawan bahkan mengucapkan
sepatah kata pun tidak, tampang dan mimik mukanya saat itu
terlihat amat mengenaskan, sangat kasihan.........
Yau Kun merasakan hatinya ikut remuk redam, dalam
kondisi demikian bagaimana mungkin dia bisa memasangkan
itu ke tangannya"
Hanya Nyo Sin seorang yang sama sekali tidak terpengaruh
oleh kesedihan dari perempuan itu, dengan hati sekeras baja
sekali lagi dia menghardik:
"Cepat diborgol!"
263 Terpaksa dengan keraskan hati Yau Kun mempersiapkan
borgolnya dan siap dipasangkan ke tangan Gi Tiok-kun. Saat
itulah dari balik ruang loteng kedengaran seseorang berseru
keras: "Tunggu sebentar!"
Suara teriakan dari Siang Huhoa, bersamaan dengan
seruan tersebut dia pun muncul dari balik ruangan.
Ternyata Yau Kun menurut sekali dengan seruannya itu,
seketika dia menghentikan semua tindakannya.
Nyo Sin semakin mendongkol melihat kejadian ini, namun
dia tidak memberikan reaksinya dan cuma membungkam.
Bagaimana pun juga dia masih ingat bagaimana Siang
Huhoa telah menyelamatkan jiwanya ketika akan masuk ke
ruang rahasia tadi, pelan-pelan dia mendongakkan kepalanya
dan menatap lelaki itu tajam.
Selangkah demi selangkah Siang Huhoa berjalan menuruni
anak tangga, dia langsung berjalan menuju ke samping Nyo
Sin. "Saudara Siang, apakah kau telah menemukan sesuatu
yang baru diatas ruang loteng?" Nyo Sin segera bertanya.
Siang Hu-hoa menggeleng.
"Lantas kenapa kau mencegah kami untuk membekuk
perempuan itu?" desak Nyo Sin lebih jauh.
"Sampai detik ini kita masih belum punya bukti yang
menunjukkan bahwa dialah pembunuh Jui Pakhay"
"Bukankah catatan yang ditinggalkan Jui Pakhay bisa kita
pakai sebagai tanda bukti?"
"Apakah kau tidak merasa kalau isi catatan itu kelewat
aneh, kelewat berbau mistik dan sulit membuat orang
percaya?" 264 "Jadi kau tidak percaya?"
"Kau percaya?" bukan menjawab Siang Huhoa malah balik
bertanya. "Mau tidak percaya pun rasanya tidak mungkin"
"Tapi isi catatan itu hanya merupakan kesaksian sepihak"
"Kita semua telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri
bagaimana ada sekelompok laron penghisap darah yang
terbang keluar dari ruang loteng ini, kawanan laron tersebut
sedang menghisap darah Jui Pakhay diatas loteng, melalap
dan memakan daging mayatnya, bukankah kita semua telah
menyaksikan sendiri?"
Ketika mengucapkan perkataan tersebut, sekali lagi
tubuhnya bergidik hingga bersin berulang kali, rupanya dia
terbayang kembali adegan mengerikan yang telah
disaksikannya itu.
Meskipun para opas yang lain tidak ikut menyaksikan, tapi
berdasarkan penuturan dari Nyo Sin, tak urung mereka semua
ikut bergidik. Paras muka Gi Tiok-kun yang sudah putih memucat, kini
seakan bertambah pucat hingga tak ubahnya seperti wajah
sesosok mayat. Siang Huhoa tidak menjawab, dia pun tidak menyangkal,
sebab apa yang diutarakan Nyo Sin memang merupakan
sebuah kenyataan.
Untuk sesaat suasana didalam ruangan tercekam dalam
keheningan. Sampai lama kemudian, akhirnya keheningan itu
dipecahkan oleh suara Gi Tiok-kun, terdengar ia berbisik-
"Benarkah apa yang kau katakan tadi?"
265 Pertanyaan dari Gi Tiok-kun khusus ditujukan kepada Nyo
Sin, bibirnya kelihatan gemetar keras bahkan nada suaranya
pun kedengaran ikut gemetar.
Ditengah keheningan yang mencekam, suara pembicaraan
yang gemetar itu kedengaran seperti malayang di udara,
lamat-lamat tak jelas hingga nyaris tak mirip dengan suara
manusia. Nyo Sin tidak menjawab pertanyaan itu, malah kepada
Siang Hu-hoa bisiknya:
"Coba kau dengar suaranya......"
"Kenapa dengan suaranya?" tanya Siang Hu-hoa
keheranan. "Kau tidak merasakan sesuatu?" suara bisikan Nyo Sin
semakin merendah.
Siang Hu-hoa kembali menggeleng.
"Suaranya kedengaran sangat aneh" ujar Nyo Sin lebih
jauh, "seakan akan panggilan setan iblis dari sesuatu tempat,
seperti jeritan sukma gentayangan yang datang dari akhirat"
"Kapan sih kau pernah mendengar suara jeritan sukma
gentayangan yang datang dan akhirat?" tiba-tiba Siang Huhoa
tertawa. Nyo Sin agak melengak, sahutnya kemudian:
"Tentu saja aku tak pernah mendengarnya"
"Lantas darimana kau bisa tahu kalau suara semacam itu
mirip dengan jeritan dari sukma gentayangan?"
Seketika itu juga Nyo Sin terbungkam, tak sanggup
membantah. "Sekalipun kita mengetahui bahwa kawanan laron
penghisap darah itu terbang keluar dari tempat ini, bukan
266 berarti kawanan makhluk tersebut peliharaan dia" kata Siang
Huhoa lebih jauh.
"Kalau bukan dia yang pelihara, lalu siapa?" "Kalau aku
sudah tahu, buat apa bertanya lagi kepadamu"
"Kalau memang tidak tahu, atas dasar apa kau merasa
yakin kalau kawanan laron penghisap darah itu bukan makhluk
peliharaannya?"
"Aku tidak mengatakan yakin"
"Tapi kau menghalangi perbuatan kami"
"Betul, aku berbuat demikian karena kuanggap hingga
sekarang kita belum berhasil mengumpulkan bukti dan saksi
yang meyakinkan, sebelum kita bisa membuktikan kalau dialah
pembunuhnya, tidak pantas bila kita tangkap perempuan ini"
"Oya?"
"Bila dikemudian hari ternyata dia sama sekali tidak


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlibat........."
"Tentu saja aku segera akan membebaskan dirinya" tukas
Nyo Sin. "Tapi tindakanmu menyangkut martabat, harga diri dan
nama baik seseorang......."
"Percayalah, tindakanku ini tak akan berpengaruh banyak"
kembali Nyo Sin menukas sembari mengidapkan tangannya,
"apalagi tindakan ini terpaksa harus kita lakukan"
"Ooh......"
"Sebab sesuai dengan prosedur dan aturan, kita memang
harus bertindak begitu"
Kali ini Siang Huhoa tidak dapat berbicara lagi.
Perkataan dari seorang "pembesar" biasanya memang
merupakan sebuah peraturan, karena biarpun tidak pakai
267 aturan pun tetap dianggap sangat beraturan, apalagi kalau
sudah menyangkut masalah prosedur dan peraturan, orang
awam memang tak mungkin bisa membantah lagi.
Terdengar Nyo Sm berkata lebih jauh:
"Aku rasa kau pasti tak bisa menyangkal bukan kalau pada
saat ini tersangka yang paling mencurigakan adalah dirinya?"
Siang Huhoa tidak menyangkal.
"Terhadap seorang tersangka pembunuhan macam dia,
bukankah pantas bila kita tangkap dan menahannya lebih
dahulu?" kembali Nyo Sin mendesak.
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya: "Seandainya
dia sampai lolos, mungkin dosa yang akan menimpa kita
semua akan jadi berat sekali. Saudara Siang, kau pasti
mengerti soal ini bukan?"
"Tapi kalian toh bisa mengirim petugas untuk
mengawasinya siang malam?"
"Andaikata dia benar-benar seorang siluman Laron,
seandainya ia benar-benar jelmaan dari laron penghisap
darah, siapa yang bisa mengawasinya?"
"Seandainya dia benar benar seorang siluman laron,
seandainya dia memang jelmaan dari laron penghisap darah,
biar sudah kau tangkap pun dia tetap sanggup melarikan diri"
"Kalau benar benar terjadi hal semacam ini, paling tidak
kita kan bisa mempertanggung jawabkan diri?" bantah Nyo
Sin. Siang Huhoa menghela napas panjang dan tidak
melanjutkan perdebatan itu lagi, dia berjalan ke hadapan Gi
Tiok-kun lalu ujarnya:
"Enso, sudah kau dengar semua pembicaraan ini?"
Gi Tiok-kun menghela napas sedih.
268 "Mendengar mah sudah, tapi aku tidak mengerti"
"Tidak mengerti apa yang sedang kami bicarakan?"
"Juga tidak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi disini"
sambung Gi Tiok-kun sambil menghela napas.
"Enso benar benar tidak tahu duduknya persoalan?" Siang
Hu-hoa kembali bertanya.
"Bila kalian tidak percaya, akupun tak bisa berbuat apa
apa" "Kalau begitu secara ringkas akan kuceritakan semua
kejadian yang telah terjadi disini"
Gi Tiok-kun manggut manggut.
Setelah termenung sejenak, Siang Hu-hoa mulai berkisah:
"Peristiwa ini dimulai pada tanggal satu malam dan
berlangsung hingga malam tanggal lima belas, hampir setiap
hari setiap saat saudara Jui diteror oleh kemunculan laron
penghisap darah, mengenai semua peristiwa yang dialami, dia
telah membuatkan sebuah catatan yang lengkap dan
membeberkannya secara detil"
Gi Tiok-kun hanya mendengarkan, sama sekali tidak
komentar. Terdengar Siang Huhoa berkata lebih jauh:
"Bila kita tinjau berdasarkan penuturannya lewat catatan
tersebut, tampaknya kejadian aneh yang ditimbulkan laron
penghisap darah itu memang sangat menakutkan, oleh sebab
alasan inilah maka pada tanggal tujuh dia mengutus Jui Gi
untuk berangkat ke perkampungan selaksa bunga dan datang
mencari aku, dia minta aku datang kemari untuk menghadapi
teror dari laron penghisap darah"
"Ooh... jadi selama belasan hari tidak nampak Jui Gi,
rupanya dia telah berangkat ke perkampungan selaksa bunga"
269 "Benar! Sayangnya ketika aku tiba disini pagi tadi, saudara
Jui sudah lenyap semenjak tiga hari berselang"
Kali ini Gi Tiok-kun tidak memberikan komentar.
Setelah menarik napas, Siang Hu-hoa berkata lebih jauh:
"Dalam tiga hari belakangan, opas Nyo telah mengirim
segenap kekuatannya untuk menggeledah seluruh kota,
namun kabar berita tentang saudara Jui belum juga
ditemukan, dan sekarang, hanya tempat ini yang belum
diperiksa, maka kami pun mendatangi tempat ini....."
Siang Hu-hoa mengalihkan sorot matanya ke arah ruang
loteng, kemudian menambahkan:
"Maksudku, di dalam ruang loteng itulah akhirnya kami
berhasil menemukan jenasahnya"
"Apa benar jenasahnya?" tiba-tiba Gi Tiok-kun bertanya
"Rasanya memang jenasahnya!"
"Kedengarannya kau sendiripun tidak yakin?" tanya Gi Tiokkun.
Siang Huhoa tidak menyangkal.
"Aku pingin naik ke atas dan memeriksa sendiri" pinta Gi
Tiok-kun setelah berpikir sejenak.
"Biarpun enso naik sendiri pun kau tetap tak bisa
mengenalinya lagi"
"Ohh... kenapa?"
"Sebab lapisan daging dan kulit saudara Jui khususnya
pada seputar batok kepalanya sudah habis dimakan kawanan
laron penghisap darah itu, sekarang yang tersisa tinggal
sebuah tengkorak, bahkan sepasang tangannya pun tinggal
tulang belulang"
270 Gi Tiok-kun menjerit tertahan, paras mukanya berubah jadi
pucat pias, reaksinya sangat wajar dan sama sekali tak
nampak seperti dibuat-buat.
Menyaksikan hal itu Siang Hu-hoa segera berpikir:
"Jangan-jangan peristiwa ini memang sama sekali tak ada
sangkut paut dengan dirinya?"
Sebaliknya Nyo Sin tertawa dingin tiada hentinya.
Gi Tiok-kun sama sekali tidak menggubris sikap Nyo Sin,
dia hanya mengawasi Siang Huhoa dengan wajah tertegun.
Setelah berhasil mengendalikan emosinya, dia berkata lagi:
"Lantas atas dasar apa kalian bisa mengenali kalau mayat
itu adalah mayatnya?"
"Berdasarkan pakaian yang dikenakan jenasah itu, menurut
kesaksian opas Tu, pada saat malam menjelang lenyapnya
saudara Jui, pakaian yang dikenakan waktu itu persis sama
seperti pakaian yang dikenakan mayat ini, lagipula mayat
tersebut menggenggam sebilah pedang, pedang mestika
miliknya" "Pedang tujuh bintang pencabut nyawa?"
"Betul, pedang tujuh bintang pencabut nyawa"
Sepasang mata Gi Tiok-kun mulai berkaca-kaca.
Terdengar Siang Huhoa berkata lagi:
"Menurut apa yang kuketahui, pedang tujuh pedang
pencabut nyawa merupakan pedang pusaka perguruannya,
dia selalu menyimpan nya secara baik baik, bahkan berulang
kali telah menyelamatkan jiwanya ketika terancam bahaya"
"Benar, dia pernah mengungkap persoalan ini denganku" Gi
Tiok-kun mengangguk.
271 "Oleh karena itu, walaupun kami tidak bisa mengenali raut
muka jenasah itu, namun berdasarkan pakaian dan pedang
tujuh bintang pencabut nyawa yang masih berada dalam
genggamannya, kami bisa membuktikan kalau jenasah itu
adalah mayat dari saudara Jui"
"Tapi apa sangkut pautnya dengan aku?"
"Di dalam catatan yang dia tinggalkan, secara lamat-lamat
dia menerangkan bahwa bila terjadi sesuatu atas dirinya,
besar kemungkinan enso lah pembunuhnya"
Sekali lagi Gi Tiok-kun terbelalak dengan mulut melongo,
tidak sepatah kata pun sanggup diucapkan.
"Terlepas apakah isi catatan itu jujur atau hanya rekayasa,
sampai detik ini enso adalah satu satunya orang yang patut
dicurigai" Siang Hu-hoa menerangkan lebih jauh.
"Kenapa?"
"Ruangan kecil ini berada di bagian belakang kamar tidur,
untuk mencapai ruangan tersebut orang harus melalui kamar
tidur lebih dahulu, selain enso, siapa yang bisa masuk keluar
tempat ini dengan leluasa?"
"Tapi ada saatnya aku pun pergi meninggalkan kamar
tidur!" "Maksudmu kemungkinan besar ada orang yang menyusup
masuk ke dalam kamar tidurmu secara diam diam disaat kau
sedang keluar?"
"Apakah tidak ada kemungkinan seperti ini?"
"Selama dua hari belakangan ini, kau pernah pergi ke mana
saja?" timbrung Nyo Sin tiba tiba
"Aku hanya berada disekeliling perkampungan, tidak
pernah melangkah keluar dari perkampungan barang
selangkah pun"
272 "Benarkah begitu" Baik, tidak sulit bagiku untuk memeriksa
apakah kau sedang berbohong atau tidak" seru Nyo Sin lagi.
Gi Tiok-kun tidak berbicara apa apa, dia membungkam
dalam seribu basa.
Dari sudut ruangan sana terdengar Tu Siau-thian berseru:
"Dalam masalah ini aku telah melakukan penyelidikan
dengan seksama, di dalam dua tiga hari belakangan nyonya
Jui memang tidak pernah pergi meninggalkan perkampungan"
Sementara berbicara, Tu Siau-thian telah muncul kembali
dari balik ruang loteng, lanjutnya:
"Sejak terjadinya peristiwa pada malam itu, secara
beruntun dalam dua hari belakangan aku selalu menugaskan
orang untuk mengawasi sekeliling perkampungan, semisal ada
orang membawa mayat keluar atau bergerak masuk keluar
dari halaman ini, niscaya jejak mereka akan segera ketahuan"
Sesudah berhenti sejenak, kembali lanjutnya:
"Betul setiap malam orang orang kita mengundurkan diri
dari sini, tapi aku percaya nyonya Jui pasti tidur di dalam
kamar tidurnya, sehingga kalau ada orang yang masuk secara
diam-diam, rasanya sulit kemungkinannya untuk tidak
membangunkan nyonya Jui"
Mau tidak mau Gi Tiok-kun mengakui juga:
"Benar, dalam dua malam terakhir tidurku memang kurang
nyenyak, sehingga saban kali mau berangkat tidur, aku tidak
pernah lupa untuk mengunci pintu kamarku dari dalam"
"Nah itulah dia" seru Tu Siau-thian, "bila seseorang ingin
memasuki ruang tidur ini, berarti dia mesti mematahkan
palang pintu lebih dulu, padahal sudah kuperhatikan dengan
seksama barusan, semua pintu dan jendela berada dalam
keadaan utuh, jika mataku tidak bermasalah, semestinya
273 keadaan dalam ruangan ini tidak jauh berbeda dengan
keadaan semula"
Tentu saja sepasang mata Tu Siau-thian tidak bermasalah.
Siang Huhoa segera menyambung pula:
"Apalagi selainjenasah itu, disini pun terdapat sekelompok
besar laron penghisap darah, untuk bergerak ke sana kemari,
kelompok makhluk itu sangat menyolok mata, apalagi
beterbangan dalam perkampungan, jelas hal ini akan
mengejutkan seluruh penghuni perkampungan ini,
maka............."
"Maka hal ini mungkin bisa terjadi jika sebelumnya sudah
ada orang yang mengatur kesemuanya ini dan meletakkan
laron laron itu di dalam ruang loteng" sambung Gi Tiok-kun
cepat. "Atau mereka memang benar benar jelmaan dari siluman
atau setan iblis" Siang Huhoa menambahkan.
"Kau percaya kalau di dunia ini benar-benar terdapat
siluman atau setan iblis?" mendadak perempuan itu bertanya.
Untuk sesaat Siang Huhoa hanya melongo, dia tidak tahu
bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
Setelah menghela napas kembali Gi Tiok-kun berkata:
"Bukankah isu siluman atau setan iblis merupakan sebuah
lelucon yang tidak lucu" Siapa sih yang mau percaya?"
Siang Huhoa, Nyo Sin maupun Tu Siau-thian berdiri
melongo, untuk sesaat mereka hanya bisa tertegun.
Bukankah mereka semua sedang mencurigai Gi Tiok-kun
sebagai siluman laron" Sebagai jelmaan dari laron penghisap
darah" 274 "Hai, seandainya bukan ulah dari bangsa siluman atau
setan iblis, berarti akulah yang paling dicurigai dalam kasus
pembunuhan ini" keluh Gi Tiok-kun sambil menghela napas.
"Sekalipun peristiwa ini ulah dari siluman atau setan iblis,
tetap kau yang paling dicurigai!" nyaris perkataan semacam
itu meluncur keluar dari mulut Nyo Sin, untung pada akhirnya
dia urungkan niatnya.
Dengan sorot mata yang tajam Gi Tiok-kun menatap wajah
Siang Huhoa, kemudian tanyanya:
"Menurut pandanganmu, apakah aku mirip dengan manusia
macam itu?"
Siang Huhoa hanya menghela napas tanpa bicara.
"Tahu orangnya, tahu wajahnya sukar untuk tahu hatinya,
apalagi hati manusia lebih dalam dari lautan, darimana kami
bisa melihatnya?" perkataan inipun nyaris meluncur keluar dari
mulut Nyo Sin. Gi Tiok-kun memandang Siang Huhoa sekejap, kemudian
memandang pula ke arah Nyo Sin dan Tu Siau-thian, akhirnya
setelah menghela napas dia ulurkan ke dua tangannya ke
depan. Yau Kun dengan memegang borgol hanya berdiri disamping
sambil mengawasi sepasang tangan Gi Tiok-kun, ternyata dia
tidak berusaha untuk memborgol tangan perempuan cantik
itu. "Borgol dia!" sekali lagi Nyo Sin menghardik sembari


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengulapkan tangannya.
Bentakannya kali ini sudah tidak segarang tadi, maka Yau
Kun mengiakan dan segera memborgol sepasang tangan Gi
Tiok-kun. Kali ini Siang Hu-hoa tidak berusaha menghalangi, hanya
ujarnya: 275 "Persoalan separah dan seberat apa pun, cepat atau lambat
akhirnya akan tiba juga saatnya untuk menjadi terang"
Gi Tiok-kun hanya tertawa pedih.
Nyo Sin kembali berpikir sekejap, kemudian perintahnya
kepada Tan Piau dan Yau Kun:
"Segera kalian siapkan sebuah tandu, hantar balik nyonya
Jui terlebih dulu"
Agaknya pembesar inipun tidak ingin terlalu menyusahkan
Gi Tiok-kun, maka dia perintahkan orang untuk menghantar
perempuan itu dengan memakai tandu.
Mungkinkah pertimbangan ini dia lakukan setelah
menyaksikan sikap dari Gi Tiok-kun yang siap bekerja sama"
"Baik!" sahut Yau Kun dan Tan Piau hampir berbareng.
Sambil melangkah keluar dari ruangan, tiba-tiba Gi Tiokkun
berpaling lagi memandang ke arah Nyo Sin sambil
berkata: "Apa aku boleh ikut membaca catatan itu?"
"Semua catatan tersebut telah kuperintahkan orang untuk
membawanya ke kantor polisi"
"Untung sekarang pun aku akan berangkat ke kantor polisi"
sahut Gi Tiok-kun sambil tertawa getir, bagaikan sukma
gentayangan diapun melanjutkan langkahnya.
Bab 15. Gelang terbang Pedang baja.
Memandang hingga bayangan punggung Gi Tiok-kun
lenyap dari pandangan mata, kembali Siang Hu-hoa
termenung tanpa bicara.
276 Tu Siau-thian yang selama ini hanya membungkam
perlahan-lahan berjalan menghampiri Siang Hu-hoa, kemudian
ujarnya: "Kelihatannya saudara Siang masih tetap ragu dan
menaruh curiga terhadap persoalan ini?"
Siang Hu-hoa mengangguk membenarkan:
"Apakah saudara Tu tidak ragu atau menaruh curiga
terhadap semua yang telah kita temukan?" dia balik bertanya.
Tu Siau-thian hanya menghela napas tanpa menjawab.
Terdengar Siang Huhoa berkata lebih jauh:
"Semisalnya perempuan itu yang melakukan pembunuhan,
rasanya tidak masuk diakal jika dia tetap membiarkan mayat
korbannya tergeletak dalam ruang loteng"
"Mungkin saja dia tidak menyangka kalau secepat ini kita
akan menggeledah tempat ini" sela Nyo Sin.
"Aku rasa dia bukan orang bodoh, masa tidak bisa
menduga sampai ke situ?" kata Siang Hu-hoa.
Mendadak Nyo Sin bergidik, dengan badan merinding
katanya: "Atau mungkin dia mengira kalau kawanan laron penghisap
darah itu telah melalap habis mayat itu?"
Kemudian setelah bersin berulang kali, tambahnya:
"Mungkin juga dia masih merasa sayang untuk membuang
mayat tersebut dan ingin melahapnya lagi..........."
"Jadi kau menuduh Gi Tiok-kun adalah siluman laron,
jelmaan dari seekor laron penghisap darah?" tukas Siang
Huhoa cepat. "Betul!"
277 "Kalau persoalannya hanya begitu, kasus ini malah lebih
gampang penyelesaiannya, paling tidak jawaban untuk apa
yang ditulis Jui Pakhay dalam catatannya tentang peristiwa
aneh yang dialaminya sejak tanggal satu bulan tiga sampai
tanggal lima belas bulan tiga beserta lenyapnya jejak dia serta
kemunculan jenasahnya dalam ruang loteng sudah sangat
jelas sekali yakni ulah dari siluman laron atau ulah dari
jelmaan laron penghisap darah, kita tidak usah lagi peras otak
banting tulang untuk melacak dan melakukan penyelidikan"
"Itupun kita mesti membuktikan dulu bahwa dia memang
siluman laron atau jelmaan dari laron penghisap darah"
sambung Tu Siau-thian.
"Benar" kata Siang Hu-hoa, "bila dia memang siluman laron
atau jelmaan dari laron penghisap darah, cepat atau lambat
dia pasti akan tunjukkan wujud aslinya, asal kita menunggu
sampai dia tampil dengan wujud lain, semua urusanpun akan
terungkap"
"Saat itu kita semua bakal dibuat pusing kepala" Nyo Sin
menambahkan sambil memegang kepala sendiri.
"Oleh sebab itulah sekarang kita harus membuat dua
perumpamaan, ke satu seandainya Gi Tiok-kun benar-benar
adalah siluman laron dan kedua bila ternyata bukan demikian
kejadiannya"
"Maksudmu kita tetap harus melanjutkan penyelidikan?"
"Benar" Siang Huhoa mengangguk.
"Tapi penyelidikan kita harus dimulai dari mana?" tanya
Nyo Sin tiba tiba, namun begitu ucapan tersebut diutarakan,
dia pun merasa amat menyesal.
Sebagai seorang komandan opas yang terkenal pintar dan
punya nama besar, sama sekali tidak masuk diakal bila
persoalan macam begini juga harus menanyakan kepada
278 Siang Hu-hoa, dia seharusnya tahu dari bagian mana
penyelidikan ini harus mulai dilakukan.
Tampaknya Siang Hu-hoa tidak memperhatikan akan hal
itu, setelah berpikir sebentar dia berkata lagi:
"Terlepas kemungkinan mana yang akan terjadi, sekarang
sudah saatnya bagi kita untuk memeriksa seseorang"
"Siapa?"
"Kwee Bok!"
"Kakak misan Gi Tiok-kun?"
"Benar, bila kita tinjau dari keterangan yang tercantum
dalam catatan tersebut, bukankah dia termasuk orang yang
penuh tanda tanya?"
"Diantara kalian semua, siapa yang merasa pernah kenal
dengan orang ini?" Nyo Sin segera bertepuk tangan dan
bertanya kepada anak buahnya.
Ada empat orang opas berdiri berjaga didepan pintu, salah
seorang diantaranya segera menyahut:
"Aku kenal!"
"Apa pekerjaannya?"
"Dia adalah seorang tabib, tempat prakteknya di selatan
kota, konon ilmu pertabibannya sangat hebat, hingga kini
sudah banyak pasiennya yang berhasil disembuhkan"
"Kalian berempat cepat pergi mencarinya dan bawa dia
kemari" tukas Nyo Sin cepat.
"Baik!" sahut tiga orang opas itu.
"Membawanya kemari?" salah seorang opas itu bertanya
"Goblok, kau anggap tempat ini tempat apa?"
"Perpustakaan Ki po cay!" jawab opas itu tertegun.
279 "Memangnya perpustakaan Ki po cay adalah tempat untuk
melakukan interogasi terhadap tersangka?"
"Bukan!"
"Jadi menurutmu tempat mana yang cocok untuk
melakukan interogasi?"
"Kantor polisi!"
"Goblok, kalau begitu segera cari orang itu dan seret ke
kantor polisi!"
"Baik!" buru-buru opas itu mengundurkan diri diikuti tiga
orang rekan lainnya,
"Aku rasa ada baiknya kita pun ikut ke sana" tiba-tiba Siang
Huhoa berkata. "Tidak usah, mereka berempat termasuk opas yang handal,
untuk menghadapi Kwee Bok seorang rasanya lebih dari
cukup" "Seandainya Kwee bok pun jelmaan dari laron penghisap
darah..........."
"Ditengah hari bolong macam begini, aku percaya setan
iblis tidak akan mampu mengeluarkan kesaktiannya, bukankah
terbukti dengan Gi Tiok-kun tadi" Dia pun tidak mampu
berbuat banyak terhadap kita" tukas Nyo Sin sambil tertawa.
Siang Huhoa hanya tersenyum tanpa menanggapi.
Kembali Nyo Sin berkata:
"Apalagi saat ini masih ada satu persoalan lain yang sedang
menanti kita semua"
"Oya?"
"Sekarang Jui Pakhay sudah terbukti mati, itu berarti ke
dua pucuk surat wasiat peninggalannya harus dibuka dan
diperiksa isinya."
280 "Maksudmu sekarang juga kita harus menghadapi Ko Taysiu?"
"Bukankah diatas sampul surat wasiat itu sudah tertulis
jelas, surat itu harus dibuka sendiri oleh Ko tayjin?"
Siang Huhoa mengangguk, dia memang belum melupakan
hal ini. "Siapa tahu dari dalam surat wasiatnya, kita bisa menggali
lebih banyak keterangan dan petunjuk yang berharga" kata
Nyo Sin lagi. "Yaa, mungkin....."
Hampir berbarengan waktu mereka bertiga segera beranjak
pergi dari situ, jelas mereka semua ingin secepatnya tahu apa
yang sebenarnya yang ditulis Jui Pakhay didalam ke dua pucuk
surat was Dendam Iblis Seribu Wajah 13 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Rajawali Hitam 8
^