Naga Naga Kecil 12

Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Bagian 12


sehingga melibatkan banyak pihak dari kalangan pendekar.
Terlebih, Thian Liong Pang, nampaknya sangat yakin dengan kekuatan mereka untuk
menyerang, karena sebagaimana ditelisik Maling Sakti dan Kay Pang, penyerbu ini
dipimpin oleh Hu Pangcu, tapi bukan hanya 1 Hu Pangcu, tetapi ada 2 Hu Pangcu.
Ternyata, dalam Thian Liong Pang, dikenal 3 orang Hu Pangcu, yang sudah tentu
memiliki kesaktian yang luar biasa.
Hu Pangcu yang pertama teramat misterius, dan belum seorangpun yang bisa
mengenali, karena dia sama rahasianya dengan Pangcu Thian Liong Pang. Keduanya
membekal kepandaian yang nyaris seimbang, hanya sedikit kematangan Pangcu yang
membuatnya berada di atas Hu Pangcu yang sama misteriusnya dengan Pangcu ini.
Hu Pangcu yang kedua dan yang ketiga, memiliki tugas masing-masing yang agak
berbeda. Hu Pangcu Kedua, adalah Hu Pangcu urusan Dalam, yang menangani
persoalan persoalan yang terkait dengan misi yang ditetapkan dan pengaturan Pang
dan kekuatan Pang dalam mencapainya. Sementara Hu Pangcu ketiga adalah Hu
Pangcu untuk urusan luar, yaitu yang menghubungkan Pang dengan Organisasi Lain,
sekaligus melaksanakan semua rencana yang disusun oleh Thian Liong Pang.
Hu Pangcu yang datang ke Keluarga Yu kali ini adalah Hu Pangcu yang pertama dan
Hu Pangcu yang Ketiga. Hu Pangcu kedua dan ketiga, sebetulnya adalah bentuk
kesepakatan antara Thian Liong Pang dengan Pendekar Pedang dari Tang ni dan
rombongan Lhama Jubah Merah yang mencari perlindungan ke Tionggoan.
Rombongan Lhama Jubah merah, sudah lama dinyatakan buron di Tibet, dan mereka
kemudian mencari perlindungan dengan bergabung bersama Thian Liong Pang.
Dan karena diantara mereka terdapat 3 jago utama yang sangat lihay dan beberapa
lhama jubah mereh mereka yang juga sangat lihay, akhirnya salah satu jabatan Hu
Pangcu dan Hu Hoat diserahkan kepada mereka. Hu Pangcu yang diberikan untuk
rombongan Lhama dari Tibet adalah Hu Pangcu Ketiga, dan orang inilah yang datang
bersama Hu Pangcu pertama. Hu Pangcu ketiga ini, adalah Sute termuda dari Bouw
Lek Couwsu, yang telah menanggalkan jubah Lhama setelah gagal di Tibet.
Tetapi, dalam hal kepandaian, Hu Pangcu yang nama dulunya adalah Bouw Sek
Couwsu dan sekarang berganti nama menjadi Tibet Sin-mo Ong (Raja Iblis Sakti dari
Tibet), bahkan tidak kalah dari Bouw Lek Couwsu, bahkan usianyapun jauh lebih
muda. Saat menjabat sebagai Hu Pangcu, usianya baru sekitar 55 tahun, dan menjadi
yang termuda diantara sesama Hu Pangcu.
Selain kedua Hu Pangcu ini, ikut juga dalam penyerangan ini adalah seorang Hu
Hoat, yakni Bouw Lim Couwsu, suheng dari Tibet Sin Mo. Kemudian nampak juga
ada See Thian Coa Ong, yang dulu sempat dilukai oleh Kiang Ceng Liong dan
sekarang sudah sembuh, bahkan sudah mampu menyempurnakan ilmu sakti yang dulu
sedang didalaminya ketika bertapa di dekat Pakkhia.
Nampak pula Pek Bin Houw Ong, yang kali ini siap dengan senjata Cakar Harimau
yang sudah dipasangi tali ikatan sehingga bisa dijadikan senjata penyerang. Selain
Pek Bin Houw Ong, juga ada 3 orang lainnya yang sangat kejam, yang terkenal
dengan nama Liok te Sam Kwi (Tiga Setan Bumi). Setelah para tokoh itu, nampak
yang memimpin para penyerbu adalah Ciam Goan Thai-lek-kwi (Setan Bertenaga
Besar) bersama dengan Ma Hoan Ngo-bwe Sai-kong (Kakek Muka Singa Berekor
Lima), keduanya adalah murid ketiga dan keempat See Thian Coa Ong, yang setelah
kehancuran Hek-i-Kay Pang akhirnya masuk menjadi anggota Thian Liong Pang.
Apalagi karena memang dibentuknya Hek-i-Kay pang adalah untuk kepentingan
Thian Liong Pang dan menggunakan kekuatan-kekuatan Thian Liong Pang.
Para penyerbu di bagian depan, sepertinya memang ditakdirkan untuk menjadi
korban alias dikorbankan. Karena mereka rata-rata, memang adalah anggota taklukan
dari beberapa Perguruan yang kurang terkenal, dan orang-orang seperti inilah yang
menjadi umpan. Seperti juga yang terjadi kali ini, mereka menjadi penyerang pelopor
dari hampir 200 pasukan penyerbu yang terdiri dari 48 Barisan Warna Warni, 52
Pasukan Berjubah Hitam dan sisanya adalah pasukan pelopor yang biasanya dengan
mudah mati dibunuh lawan. Dan, memang kelompok inilah yang kemudian menjadi
korban dari kebinalan perang gerilya di balik barisan gaib yang dipimpin oleh
generasi muda keluarga Yu, terutama yang paling tangkas karena sangat mengerti
ilmu barisan adalah Yu Ko Ji.
Dan, target kedua belah pihak memang tercapai. Di pihak Keluarga Yu, target
mengurangi sebanyak mungkin kelompok penyerbu terpenuhi, lebih 50 atau
mendekati angka 60 penyerbu mati atau terluka parah, sementara di pihak keluarga
Yu, hanya kehilangan sekitar 7 orang meninggal. Dengan demikian, kelebihan jumlah
penyerbu menjadi tidak begitu berarti lagi. Penyerang menjadi tidak begitu berbahaya
lagi dari segi jumlah. Tetapi para penyerang tetap optimist karena didampingi dan
dipimpin oleh tokoh-tokoh besar dari Thian Liong Pang, bahkan didampingi 2 Hu
Pangcu dan seorang Hu Hoat. Kekuatan yang sangat luar biasa tentunya.
Tetapi, dipihak penyerang yang memang memilih menyerang terbuka dengan
mengandalkan kekuatan, kehilangan pasukan penyerbu yang memang sengaja
dikorbankan sama sekali tidak dihitung kerugian. Jumlah itu dianggap wajar, karena
imbalannya adalah ditembusnya barisan gaib keluarga Yu, dan sekarang sudah
nampak di kejauhan wuwungan rumah keluarga perguruan Yu. Tetapi, rupanya,
keluarga Yu tidak memilih untuk bertempur didalam pekarangan rumah, tetapi
memilih bertempur di luar. Karena itu, di areal yang cukup luas, para penyerbu
kemudian telah disambut oleh Barisan 6 Pedang Pualam hijau.
Sebuah Barisan Pedang yang sangat istimewa dan anehnya selama 10 tahun terakhir,
baru kali ini muncul. Dan inilah kejutan pertama yang tidak disangka oleh penyerbu,
karena barisan ini luar biasa ampuhnya. Dan dengan sangat terpaksa, Barisan Warna
Warni harus menghadapi Barisan 6 Pedang meskipun tanpa kepastian menang. Dan,
sudah pasti, tenaga 48 penyerbu akan tersedot untuk membentuk barisan menandingi
barisan 6 pedang. Dan memang itulah yang terjadi dan sengaja diatur oleh Ceng
Liong untuk menyedot jumlah lebih banyak penyerang dalam menghindari korban
lebih banyak di pihak keluarga neneknya. Dengan tersedotnya jumlah 48 barisan
warna-warni, maka praktis pertempuran diantara para murid akan berlangsung dalam
jumlah yang seimbang, karena di bawah komando Ceng Liong terdapat jumlah 50
orang pasukan lain dari Kay Pang.
Ketika semua pasukan penyerbu sudah meluruk masuk dengan dipimpin oleh Ciam
Goan dan Ma Hoan, sementara barisan warna warni dipimpin oleh pemimpin masingmasing
sesuai warnanya. Di belakang mereka kemudian baru berjalan masuk Hu
Pangcu Pertama dan Ketiga, kemudian Hu Hoat Bouw Lim Couwsu, Liok te Sam
Kwi, See Thian Coa Ong dan Pek Bin Houw Ong. Nampaknya yang memegang
komando kali ini adalah Hu Pangcu ketiga, Tibet Sin Mo Ong. Begitu tiba, dia segera
melesat kedepan dan didampingi oleh Hu Pangcu pertama dan suhengnya Bouw Lim
Couwsu yang menjadi salah satu dari 4 Hu Hoat Thian Liong Pang.
Kemunculan Bouw Lim Couwsu sangat mengagetkan Sian Eng Cu yang bersama
Sian Eng Li menemani Ceng Liong dan Yu Siang Ki. Tentu saja dia mengenal Bouw
Lim Couwsu sebagai salah seorang tokoh hebat yang pernah kecundang di tangan
gurunya karena berontak terhadap pimpinan Lhama Tibet. Sementara Ceng Liong
juga berkerut melihat ternyata ketiga orang yang menghadapi mereka sekarang
ternyata memiliki Ilmu yang luar biasa. Tetapi, Ceng Liong mampu bersikap tetap
tenang, seperti juga Sian Eng Cu yang berdiri berjajaran di baris paling depan. Baru di
belakang barisan depan, secara bersama terdapatlah Yu Siang Bun, Yu Ko Ji, Yu
Ciang Bun, Yu Liang Kun dan Yu Liang San serta Maling Sakti dan Lauw Cu Si,
Pengemis Kepala Batu dari Lok Yang.
Ketika akhirnya semua tokoh sudah bediri saling berhadapan, perang mental dengan
segera terjadi. Saling tatap dan saling ukur mulai dilakukan, dengan Sian Eng Cu dan
Yu Siang Ki yang paling berpengalaman merasa tergetar karena melihat dipihak
lawan ada Bouw Lim Couwsu yang luar biasa lihay. Meski belum sehebat Bouw Sek
Couwsu, tetapi tokoh ini jelas tokoh kelas kakap yang akan sangat sulit untuk
dihadapi olehnya dan mungkin juga oleh Mei Lan dan Ceng Liong.
"Hm, jadi inikah kekuatan yang diandalkan oleh Keluarga Yu untuk menghadapi
Thian Liong Pang. Pasti ini Barisan 6 Pedang Pualam Hijau, sungguh hebat, dan ehm
".tentunya Bengcu Tionggoan juga berada ditempat ini. Mengapa tidak keluar
menemui kami?" Terdengar Tibet Sin Mo Ong mengeluarkan suara menjengek yang
sangat tidak sedap didengar dan pandangan matanya seakan menghina melihat
Barisan 6 Pedang dan kemudian matanya jelajatan mencari yang menjandi Bengcu
saat ini. Dan sementara itu, mendengar ucapan Tibet Sin Mo Ong, Yu Siang Ki segera
sadar, dan dia kemudian mengernyit dan berbisik kepada Ceng Liong: "Kiang
Bengcu, silahkan memimpin kita sekalian untuk melawan para perusuh ini".
Tapi Kiang Ceng Liong yang masih sangat hijau itu nampak berusaha menolak dan
berkata sambil berbisik kepada paman kakeknya Yu Siang Ki:
"Paman Kakek Yu, biarlah engkau saja orang tua yang "." Belum selesai suara
penolakan Ceng Liong, telinganya tiba-tiba menangkap sebuah suara lirih, tetapi
sangat jelas maknanya:
"Liong Jie, jangan mempermalukan kedudukanmu sebagai Bengcu. Tugas itu harus
kauterima, Paman Yu Siang Ki sudah bertindak dengan sangat tepat. Lakukan segera"
Kiang Ceng Liong nampak tersentak. Lagi-lagi Liong Jie, Liong Jie, tapi kali ini
suara itu menyebut Yu Siang Ki sebagai "paman", siapa lagikah yang memanggil Yu
Siang Ki sebagai paman kecuali ayahnya" Apakah ayahnya benar membayanginya
selama ini" Ingatan akan hal ini membangkitkan semangat dan kegagahannya. Segera
sifat gagahnya kelihatan menonjol keluar dan dengan mengangguk kearah Yu Siang
Ki, kemudian Ceng Liong berkata tegas:
"Biarlah tugas pertamaku sebagai Tionggoan Bengcu dilakukan dengan menghajar
orang-orang yang tidak tahu aturan dan tata krama dunia persilatan. Aku, Kiang Ceng
Liong dari Lembah Pualam Hijau, bukan hanya membantu Keluarga Yu, tetapi
membantu dunia persilatan untuk sekali lagi memukul Thian Liong Pang sebagaimana
dilakukan Sian Eng Li dan Sian Eng Cu menghajar mereka di Benteng Keluarga
Bhe". "huh, sombongnya" terdengar suara dengusan murka dari mulut Hu Pangcu pertama.
Karena dialah yang dimaksud dipukul dan terpukul kalah telak di dalam benteng
keluarga Bhe, sesuatu yang sangat memalukannya diusik orang, jelas hatinya tidak
senang. "Dan sekarang, perusuh yang sama mencari gebuk pemukul pantatnya di Perguruan
Keluarga Yu" tambah Ceng Liong. Kalimat terakhirnya, membuat bukan hanya Hu
Pangcu pertama, tetapi bahkan Tibet Sin Mo Ong juga terpengaruh dan menggereng
marah: "Huh, anak muda, jadi engkau yang menjadi Bengcu. Hahahaha dengan umur atau
sehijau engkau, apakah yang bisa kau lakukan " Hahahahahaha, orang-orang di
Tionggoan sungguh lucu" Kembali Tibet Sin Mo Ong tertawa ngakak dengan nada
menyakitkan, tetapi selekasnya dia menyambung:
"Apa kau pikir kalian sanggup menahan kami dan memukul mundur kami" Kami
tidak takut dengan barisan gaib keluarga Yu, dan sekarang kita sudah berhadaphadapan".
Yu Siang Ki yang temberang sudah menjadi sangat murka, demikian juga sebagian
dari rombongan keluarga Yu. Dalam murkanya Yu Siang Ki malah sudah menukas:
"Kalian memang tidak takut, tetapi setidaknya jumlah kalian sudah berkurang
banyak. Dan, belum tentu kami tidak sanggup memberi hajaran bagi kalian untuk
pulang dengan hajaran setimpal".
"Paman Yu Siang Ki benar, selain jumlah kalian sudah berkurang banyak, kamipun
masih sanggup untuk memberikan pukulan bagi kalian para perusuh dunia persilatan.
Dan terserah kalian, mau mengerahkan semua penyerang dengan menghadapi Barisan
6 Pedang Pualam Hijau atau bertarung dengan cara bagaimana" Ceng Liong
menambahkan dengan mantap.
Tiba-tiba Hu Pangcu pertama yang sudah kesal dengan dibongkarnya kekalahan
pasukannya di Benteng Keluarga Bhe mendengus kesal dan tertahankan dia berkata
dengan suara tawar:
"Anak kemarin sore, apakah kau pikir Barisan 6 Pedangmu, menjagoi tanpa
tanding?" Biarlah aku menantang barisan pedangmu dengan barisan warna warniku"
Berkata Hu Pangcu pertama sambil melirik Hu Pangcu Ketiga meminta persetujuan,
dan sekilas nampak Tibet Sin Mo Ong mengiyakan. Dan segera setelah itu, nampak
Hu Pangcu Pertama memerintahkan sesuatu kearah Barisan Warna-Warni yang segera
bergerak dengan 2 barisan berputar searah jarum jam dan 2 barisan lagi berputar
dengan arah sebaliknya. Tetapi putaran itu aneh dan luar biasanya menjadi semacam
gerigi berputar dan menyambar kearah Barisan 6 Pedang Pualam Hijau. Pertempuran
pertama yang aneh dan ajaib dimulai, antara 2 barisan yang terkenal dalam dunia
persilatan dewasa ini.
Duta Perdamaian Lembah Pualam Hijau yang membentuk Barisan 6 Pedang nampak
kemudian terkurung dalam gerigi berputar dan seakan ingin menelan mereka. Tetapi,
Barisan 6 Pedang sendiri sudah siap, sangat siap malah menyambut Barisan Duta
Warna Warni. Dan ketika mereka mau di bekap dan dikungkung oleh barisan tersebut,
tiba-tiba Duta pertama yang memegang pimpinan di kepala barisan berteriak, diikuti
oleh 2 barisan pedang dibelakangnya. Sementara ekor barisan yang dipegang oleh
Duta keenam, nampak bersiaga memberi support dan perlindungan bersama 2 duta
lainnya. Terjangan tadi, menandai benturan antara kedua barisan, dan tidak berapa lama,
pertempuran antara kedua barisan sudah sulit diikuti mata telanjang tokoh silat kelas 1
sekalipun. Sementara, baik Ceng Liong, Hu Pangcu dan tokoh utama lainnya melihat
dengan jelas, bahwa pertarungan antara kedua barisan akan berjalan lama. Tak ada
kekhawatiran sedikitpun dalam diri Ceng Liong, karena dia sudah mnenjajal
kemampuan barisan ini yang sangat luar biasa, selain dia sudah sempat
menyempurnakan latihan ginkang kepala dan ekor barisan, serta Soan Hoang Sin
Ciang dan Toa Hong Kiam Sut bagi 4 duta lainnya. Sudah lebih dari cukup, pikir
Ceng Liong. Sementara itu, nampak Hu Pangcu Ketiga, Tibet Sin Mo Ong mengeluarkan perintah
kepada Ma Hoan dan Ciam Goan untuk segera maju menyerang dan membuka front
pertempuran yang lain. Semua itu diikuti dengan jelas oleh Ceng Liong, karena itu dia
melirik ke arah Maling Sakti dan Lauw Cu Si untuk mempersiapkan pasukan Kay
Pang, dan juga berbisik kepada Yu Siang Ki untuk menyiapkan anak murid Keluarga
Yu. Dan benar saja, nampak kemudian Ma Hoan dan Ciam Goan sudah
menggerakkan barisan yang mereka pimpin, dan dengan cepat Lauw Cu Si sudah
mengatur barisan Kay Pang membentur barisan Thian Liong Pang. Jumlah mereka
menjadi seimbang ketika Yu Ciang Bun dan Yu Liang Kun serta Yu Liang San
kemudian ikut terjun bersama lebih 30an anak murid keluarga Yu.
Sedikitnya, 20 lebih anak murid keluarga Yu, dengan dimpimpin oleh Yu Ko Ji
menjadi pasukan cadangan untuk mengamati keadaan medan pertempuran. Kembali
terjadi benturan antara jumlah yang lebih besar dan juga nampaknya berimbang, dan
ini membuat Tibet Sin Mo Ong menggeram murka, dia tidak menyangka akan
bertemu Barisan 6 Pedang didalam perguruan keluarga Yu. Dan nampaknya, jumlah
penyerbu yang diperhitungkan mereka sudah lebih dari cukup, bisa tertandingi karena
Barisan 6 Pedang menyerap banyak jumlah anak buahnya untuk mengurung mereka.
Tiba-tiba terdengar gelak tawa Ji Kwi dan Sam Kwi dari rombongan tokoh
penyerang Thian Liong Pang:
"Hahahahaha, Hu Pangcu, kami jadi tertarik untuk bermain-main, mari carikan kami
lawan, atau biarlah kami berpesta dengan musuh-musuh kita" bersamaan dengan itu,
ketiga Setan Bumi nampak berjalan memisahkan diri dari rombongan pemimpin
Thian Liong Pang. Mereka mulai berjalan kearah arena pertempuran kedua, dan
dengan cepat Ceng Liong memutuskan tokoh yang tepat menghadapi mereka
nampaknya adalah Sian Eng Cu, dan sekejap melirik kearah orang tua itu, yang
dengan cepat tanggap dengan keadaan dan sudah melayang menghadang ketiga tokoh
mengerikan itu.
"Sabar dulu Thian te Sam Kwi, jika mau bermain-main, biarlah dengan lohu, tuasama
tua, tidak usah mencari lawan yang lain"
Thai Kwi yang tentu mengenal Sian Eng Cu segera tergelak tertawa sambil berucap:
"Apakah Sian Eng Cu sudah merasa mampu melawan kami?" Tetapi sambil bertanya
dia sudah menyerang kearah Sian Eng Cu dan kembali terjadi pertempuran, kali ini
dengan tokoh yang lebih berat. Sebetulnya, diantara 4 datuk iblis ini, yang terhitung
paling lihay adalah Thian te Tok Ong, sedikit dibawahnya adalah See Thian Coa Ong
dan Thian te Sam Kwi karena mereka maju bertiga, baru di urutan buncit adalah Pek
Bin Houw Ong, meski jarak mereka tidak berjauhan.
Dan Sian Eng Cu juga menyadari, kalau Liok te Sam Kwi ini terasa lebih berisi
ketimbang Pek Bin Houw Ong, terlebih setelah mereka menyelesaikan Ilmu mereka
yang terakhir, yakni Ha Mo Kang sampai pada tingkat yang sempurna. Mereka
menyelesaikan penyempurnaan Ilmu ini bersamaan dengan See Thian Coa Ong yang
juga menyelesaikan penyembuhan lukanya yang bahkan berbareng memperkuat
tenaganya hingga sanggup menyelesaikan menyempurnakan Ilmu barunya.
Melihat pertarungan sudah berjalan sengit, Hu Pangcu pertama yang selama beberapa
minggu terakhir merenungi kembali pertempurannya dengan Mei Lan, menjadi
penasaran. Dan ketika dia melihat kembali Liang Mei Lan, sudah sejak tadi tangannya
gatal untuk menyerang gadis itu, tetapi tentu saja dia tidak berani lancang tangan
mendahului, sebab dia masih menghormati Hu Pangcu ketiga yang diserahi
tanggungjawab memimpin serangan ini. Tetapi setelah pertempuran berkobar, dia
kemudian melirik Hu Pangcu Ketiga yang dengan cepat diiyakan dan diijinkan
baginya untuk maju. Dengan langkah lebar, kemudian dia maju kedepan dan berkata
menantang Mei Lan yang sejak tadi lebih banyak berdiam diri dengan membiarkan
semua urusan ditangani oleh Ceng Liong dan Yu Siang Ki, toch dia hanya membantu:
"Nona, mari kitapun melanjutkan pertempuran kita yang masih belum sempat kita
selesaikan" Hu Pangcu sudah dengan segera memilih lawan yang memang sudah
sejak tadi diincarnya. Dan sudah tentu Mei Lan tidak akan ingkar untuk melawannya,
tetapi yang kaget adalah jajaran keluarga Yu, mereka tidak mengira Mei Lan akan
meladeni tantangan seorang tokoh sehebat Hu Pangcu, terlebih gadis itu masih
remaja. Tetapi kekagetan dan kekhawatiran mereka sirna begitu Mei Lan berkelabat
teramat pesat dan cepat menyongsong Hu Pangcu dan segera terlibat dalam


Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertarungan yang nampak bahkan lebih mendebarkan dibandingkan pertempuranpertempuran
lainnya yang terjadi disekitar arena yang semakin meluas itu.
Begitu melihat bahwa Hu Pangcu pertama juga ternyata memperoleh lawan yang
setimpal, Hu Pangcu ketiga menjadi sangat kaget. Tidak disangkanya Liang Mei Lan
memang sangat ampuh, bahkan gerakan-gerakannya seperti tidak masuk akal bisa dan
mungkin dilakukan, dengan liukan-liukan yang mematahkan asumsi gaya gravitasi.
Karena itu, dia melirik See Thian Coa Ong untuk maju ke arena. Tetapi, majunya
tokoh ini dengan segera telah dihadang oleh seorang nona yang lain, yang entah sejak
kapan sudah berada di lingkungan pertempuran dan memandang majunya See Thian
Coa Ong dengan garang. Bahkan kemudian dengan garang si Nona memapak maju
sambil berkata:
"Coa Ong, aku datang untuk menuntutmu memberi tahu dimana cici Giok Hong kau
sembunyikan"
See Thian Coa Ong tentu saja tidak mengenal si gadis pendatang, adik dari
Siangkoan Giok Hong bernama Siangkoan Giok Lian yang dulu mengeroyoknya
bersama Ceng Liong. Tapi karena gadis ini menghalangi jalannya, tanpa banyak
cingcong, dia justru langsung menyerangnya, dengan hanya berkata:
"Aku orang tua tidak mengenal cicimu, tapi kuusulkan untuk coba kau mencarinya di
Neraka gadis kecil"
Giok Lian yang sedang sedih kehilangan cicinya yang sangat disayanginya, sudah
tentu menjadi sangat marah. Dan dengan segera dia memapaki serangan-serangan See
Thian Coa Ong. Dan anehnya, gadis ini yang pernah muncul di daerah Bing lam,
nampak juga sudah sedemikian lihainya, dia bahkan tidak kalah melawan datuk iblis
yang sakti ini. Bahkan nampaknya meladeni serangan Coa Ong dengan ringan dan
santai saja. Dengan menggerak-gerakkan tangannya menggunakan Kang See Ciang (Tangan
Pasir Baja), dia tidak takut dengan racun ular si Raja Ular, bahkan dengan jurus
Jiauw-sin-pouw-poan-soan (Langkah Sakti Ajaib Berputar-putar) dia seolah-olah
sedang mempermainkan See Thian Coa Ong yang mengejar-ngejarnya seperti anak
kecil. Tetapi, diapun tidak takut membentur lengan See Thian Coa Ong. Sementara
Ceng Liong tersentak mendengar seorang gadis mencari Giok Hong. Itu berarti Giok
Hong tidak kembali ke Bengkauw, bagaimana akhirnya nasib nona itu" Ceng Liong
benar-benar bingung dengan kenyataan ini.
Arena terakhir ini, mulai menumbuhkan perasaan yang mengkhawatirkan bagi Hu
Pangcu Ketiga. Tapi untungnya, dia masih mempunyai 2 jagoan utama yang belum
turun, dia sendiri dan suhengnya yang menjadi Hu-Hoat yang kepandaiannya sudah
sangat dia yakini kehebatannya. Maka dia melirik Pek Bin Houw Ong untuk maju ke
arena, dan untuk melawan tokoh yang satu ini, Yu Siang Ki sudah sejak tadi
menyiapkan dirinya.
Dan karena arena ini bukan arena perang tanding, tetapi pertempuran melawan para
penyerang yang tidak mengindahkan sopan santun, maka Yu Siang Ki sejak awal
suah menyiapkan diri bersama adiknya Yu Siang Bun. Karena itu, ketika menemukan
kenyataan bahwa Pek Bin Houw Ong ini memang sangat tangguh, masih lebih
tangguh sedikit dibandingkan dirinya, dia sudah memberi isyarat kepada adiknya
untuk membantunya dan membuat arena baru pertempuran di keluarga Yu ini.
Dengan mengeroyok, barulah Pek Bin Houw Ong bisa dibatasi kebuasannya. Hu
Pangcu ketiga tidaklah mungkin protes, karena dia sadar ini bukan arena perang
tanding, tetapi arena pertempuran penyerbuan sebuah keluarga Perguruan di
Tionggoan. Dan diapun melihat, tiada yang bisa menarik keuntungan secepatnya dari arena
pertempuran yang baru ini. Karena dia agak segan untuk meminta suhengnya turun
tangan, akhirnya dia berbisik kepada suhengnya, sekaligus Hu-Hoat Thian Liong
Pang untuk sementara mengambil alih kepemimpinan, dia akan menempur Bengcu
Tionggoan, Kiang Ceng Liong. Nampak Couw Lim Couwsu hanya mengangguk,
tetapi terdengar dia berdesis lirih:
"Jangan terlalu percaya diri, kulihat anak itu sudah sanggup mengatur sinkangnya
semau hatinya. Tidak pernah dia nampak gelisah di wajahnya, dan gerak-geriknya
sungguh mendebarkan. Bahkan mungkin Toa Suhengmu dan lohu belum tentu bisa
menandinginya". Tibet Sin Mo Ong terperanjat mendengar uraian suhengnya itu, dan
mau tidak mau dia percaya, karena dia tahu benar kelihayan dan ketajaman mata Ji
Suhengnya ini. "Baik ji suheng, aku akan berhati-hati" bisiknya. Setelah itu, dia maju dan mencelat
ke depan sambil menantang Kiang Ceng Liong dengan pongahnya:
"Mari Bengcu, tinggal engkau yang tidak memiliki lawan, bairlah lohu yang
melayanimu dan sekaligus mematahkan perlawanan kalian disini"
Tapi belum lagi Ceng Liong bergerak, sekali lagi terdengar desisan lirih di
telinganya: "belum saatnya Liong Jie, biarkan orang ini menjadi lawanku, karena dia
bahkan sama lihay dan berbahayanya dengan Bouw Lim Couwsu yang menjadi HuKoleksi
Kang Zusi Hoat, awasi tindakannya suhengnya dan jangan berayal". Dan benar saja, dihadapan
Tibet Sin Mo Ong telah berdiri seorang yang berpakaian serba hitam dan
wajahnyapun mengenakan secarik kain yang membuat wajahnya sulit dikenal, bahkan
juga masih menggunakan sebuah caping lebar yang menambah kemisteriusan orang
tersebut. Begitu tiba dihadapan Tibet Sin Mo Ong, dia langsung menyambut
tantangan dan berkata:
"Hu Pangcu, belum saatnya Tionggoan Bengcu turun tangan. Mari, biarkan kami dari
Lembah Pualam Hijau untuk membenturmu dan berusaha mengirimmu pulang ke
Tibet". "Siapa pula engkau, dan apa maksudmu menyembunyikan diri dibalik secarik kain
dan caping lebar itu?"
"Tidak perlu kau tahu, yang penting adalah, aku mewakili Bengcu untuk
mengenyahkanmu"
"Hm, sombong, baiklah kau terimalah ini" sambil menjerit marah, Tibet Sin Mo Ong
segera mengulurkan tangannya yang secara luar biasa bisa memanjang beberapa centi
meter dibanding tangan orang biasa dan segera menonjok kearah ulu hati si kerudung
hitam. Tapi, dengan cepat tangan si kerudung hitam menutuk kearah tangan
memanjang Tibet Sin Mo Ong, sehingga tonjokkan dibatalkan dan berubah menjadi
cengkeraman ke arah totokan si kerudung hitam, totokanpun dengan segera berubah
arah dan dari samping mengarah ke cengkeraman Tibet Sin Mo Ong yang dengan
cepat kembali mengubah arah cengkeraman menjadi pukulan menyambut totokan.
Tak ampun lagi, terjadi benturan yang menggoyahkan kedua orang itu, dan tak
nampak seorangpun diantara keduanya yang goyah oleh benturan tersebut. Episode
serangan Tibet Sin Mo Ong sampai benturan terjadi, hanya memakan waktu tidak
lebih dari 2 detik, bisa dibayangkan kecepatan orang-orang itu dalam memukul,
merubah gaya dan menyakurkan tenaganya. Tapi benturan itu membuat Tibet Sin Mo
Ong terperanjat, ternyata masih ada tokoh lain yang sanggup menandinginya, dan dia
merasa pasti, tokoh ini pastilah berasal dari Lembah Pualam Hijau.
Sebenarnya bukan hanya Tibet Sin Mo Ong yang kaget melihat kehadiran si
kerudung hitam bercaping lebar, tokoh yang akhir-akhir ini sering membantai
pembunuh dari Thian Liong Pang. Bahkan Ceng Liong sendiri sangat terkejut,
terutama karena melihat permainan Giok Ceng Cap Sha Sin Ku Hoat yang sangat
matang dan berisi. Diam-diam dia semakin yakin, bahwa orang ini pastilah ayahnya
yang selalu mengawasinya, tetapi dimana pula ibunya bila orang ini benar adalah
ayahnya" Dan mengapa pula menyembunyikan diri dan identitasnya" Tapi diapun
mengagumi kematangan Ilmu orang berkerudung itu. Dia tidak berani mengklaim
melebihi kemampuan orang berkerudung hitam itu dalam permainan Ilmu Pualam
Hijau. Tibet Sin Mo Ong, juga tidak sanggup berbuat banyak, jangankan mendesak,
membuat orang itu tergertak mundurpun sulit sekali. Meskipun, dia sendiri belum
merasa terdesak dan tidak merasa sangat tertekan oleh perlawanan si kerudung hitam.
Berkali-kali dia menggunakan ilmu tutukan Tam Ci Sin Thong, salah satu ilmu khas
Budha yang dimilikinya, tetapi juga tidak berarti banyak dan tak sanggup
mengguncang kedudukan si kerudung hitam. Bahkan ketika dia menggunakan Ilmu
Kong-jiu cam-liong (Dengan Tangan Kosong Membunuh Naga), diapun tidak
sanggup menarik keuntungan yang banyak.
Ceng Liong yang melihat bagaimana orang berkerudung hitam itu menandinginya
dengan menggunakan Soan Hong Sin Ciang, sebuah pukulan ampuh ciptaan kakek
buyutnya yang juga gurunya. Dan berbali-kali pula dia melihat betapa tangan kosong
mengerikan dari Tibet Sin Mo Ong bisa ditangkis dan dipentalkan oleh badai yang
tercipta dari tubuh si kerudung hitam. Benar-benar matang latihan orang berkerudung
itu dalam menggunakan Ilmu Pualam Hijau, bahkan dia harus mengakui masih kalah
matang dalam ilmu itu.
Setelah melihat keadaan yang berjalan seimbang, bahkan pertarungan Barisan 6
Pedang dilihatnya semakin seru dan menegangkan, tetapi secara cermat dilihatnya
bahwa Barisan 6 Pedang masih seurat di atas barisan lawan. Diapun melihat medan
lain, dan melihat Ciam Goan ditandingi oleh Yu Ciang Bun dan Yu Liang Kun,
keadaan masih sama kuat. Hanya kelicikan dan tak tahu malunya Ciam Goan yang
membuatnya mampu menipu kedua anak muda yang mengeroyoknya. Terlebih karena
pengalaman bertandingnya memang masih jauh melampaui kedua anak muda itu. Hal
yang sama dialami oleh Ma Hoan yang dihadapi Yu Liang San dan Lauw Cu Si,
hanya karena keberadaan Lauw Cu Si membuat tipuannya banyak sia-sia.
Ma Hoan nampak sedikit jatuh dibawah angin, namun masih terlalu jauh untuk
menjatuhkannya karena dia sangat ulet dalam bergerak dan melakukan perlawanan.
Sementara pertarungan antara para penyerbu dan anak murid keluarga Yu dibantu
anak murid Kay Pang, menunjukkan kekuatan yang hampir seimbang, meskipun
korban yang jatuh nampak sudah lumayan banyak dikedua belah pihak yang sedang
bertempur itu. Maling Sakti nampak bertarung mengimbangi para tokoh pembunuh
Thian Liong Pang bersama Ko Ji, dan membuat kedudukan menjadi sama kuat alias
imbang. Di arena para tokoh, dengan gembira Ceng Liong melihat Sian Eng Cu sanggup
menyerang lebih banyak dibandingkan Thian te Sam Kwi. Bahkan pertarungan
mereka sudah semakin seru, karena Sam Kwi mulai menggabung-gabungkan Ilmu
mereka mengeroyok Sian Eng Cu yang sanggup mengelilingi mereka dan
memusingkan ketiganya. Kehebatan ginkang Sian Eng Cu kembali diperlihatkan
dalam pertandingan ini, meskipun dia juga sanggup mengimbangi Thian te Sam Kwi
dengan ilmunya Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa) digabungkan dengan
ginkang Sian Eng Coan-in. Bolak-balik Thian te Sam Kwi menggabung-gabungkan
Kiam Ciang, Siang Tok Swa dalam menghadapi Sian Eng Cu, tetapi tetap sulit
mendesak tokoh sakti ini yang bergerak bagaikan bayangan dewa yang tidak
tertangkap. Nampaknya sebentar lagi, Thian te Sam Kwi akan mengeluarkan ilmu puncaknya,
yakni Ha Mo Kang yang sudah mereka sempurnakan selama 2 tahun terakhir ini.
Mereka bahkan sudah melengkapi penggunaan ilmu itu dengan senjata rahasia untuk
mengatasi lawan yang menyerang dari atas. Hal itu mereka pelajari setelah digebuk
oleh Liong-i-Sinni melalui ginkang tingkat tingginya. Dan pelajaran itu membekas di
hati mereka sehingga mereka mencari cara untuk mengatasi kekurangan mereka
ketika diserang tokoh hebat lain dari atas. Ditemukanlah cara itu dengan menyiapkan
senjata rahasia yang akan memaksa orang bertempur horizontal, saling berhadap
hadapan. Karena dengan berhadap hadapan, maka kekuatan Ha Mo Kang akan
menentukan. Sementara itu, Hu Pangcu pertama yang bertanding penuh semangat dan ingin
mengalahkan Mei Lan, nampak bertempur penuh percaya diri. Kiang Ceng Liong
sampai kaget melihat kemampuan orang ini, yang baginya malah masih setingkat di
atas Hu Pangcu ketiga. Tetapi, kembali Ceng Liong menjadi kagum, karena ginkang
istimewa Mei Lan dan penggunaan ilmu-ilmu Bu Tong Pay yang mirip Sian Eng Cu
sungguh luar biasa.
Meskipun dia tidak mengkhawatirkan Mei Lan, tetapi entah kenapa melihat Mei Lan
bertempur dia merasa tidak enak, dan sangat berkhawatir. Padahal dia paham, jarak
dia dengan Mei Lan malah tidak banyak selisihnya, tidak terlampau jauh. Dia sendiri
merasa heran dan aneh dengan dirinya bila berhadapan dengan Mei Lan, kadang
merindukannya bila jauh, tetapi ketika dekat, justru dia kehilangan kata-kata untuk
diucapkan. Terlebih dia terbeban sangat dengan menghilangnya Giok Hong yang
diyakininya bersama Kim Ciam Sin Kay sudah terlanjur berbuat lebih akibat racun
perangsang. Diantara semua pertempuran, maka pertempuran inilah yang paling seru
karena dimainkan oleh dua tokoh dengan kepandaian yang nyaris seimbang, dengan
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ceng Liong juga sadar, bahwa dibutuhkan
waktu lama untuk menyelesaikan pertempuran yang maha hebat ini.
Ketika memalingkan wajahnya kearah pertempuran yang lain, dia berkerut karena
melihat gabungan kekuatan Yu Siang Ki dan Yu Siang Bun, meski mampu
menghalau banyak serangan Pek Bin Houw Ong, tetapi tak sanggup mendesak datuk
itu lebih jauh. Bahkan beberapa kali serangan datuk itu membuat kedua
pengeroyoknya kelabakan, meski tidak berlangsung terlalu lama. Ceng Liongpun
tidak berani menyimpulkan siapa yang akan memenangkan pertarungan, karena
ketiganya adalah orang yang sudah matang dan kenyang pengalaman bertanding.
Mungkin daya tahan yang akan mempengaruhi siapa yang akan memenangkan
pertempuran tersebut. Yang pasti, pertempuran inipun akan sangat menyita waktu
seperti arena pertempuran yang lain, juga nampak akan makan waktu yang sangat
panjang untuk diselesaikan. Hanya Ceng Liong bersedih karena akan semakin banyak
korban meninggal yang akan diakibatkan oleh pertempuran yang makan banyak
waktu tersebut. Pertempuran saat ini saja sudah meminta korban yang tidak sedikit,
apalagi bila berlangsung lebih lama lagi. Bisa dipastikan korban akan terus dan terus
bertambah. Arena pertempuran terakhir menggirangkan Ceng Liong. Anak muda yang menjadi
Bengcu ini menjadi takjub melihat Giok Lian. Gadis ini mirip benar dengan Giok
Hong yang dulu pernah bahu membahu dengan dirinya membantu Kay Pang di daerah
Pakkhia. Tetapi, meskipun ilmu keduanya sama, tetapi gerakan, kemantapan,
kematangan dan dorongan tenaga sakti gadis ini sudah jauh meninggalkan Giok
Hong. Apalagi, lebih 2 tahun terakhir ini, dalam kedukaan karena menghilangnya
Giok Hong yang bersama Giok Lioan dipersiapkannya, Siangkoan Bun Ouw telah
mencurahkan segenap waktunya untuk mematangkan Giok Lian.
Bukan itu saja, diapun menurunkan Ilmu Rahasianya yang terakhir, yakni Sam Koai
Sian Sin Ciang (Tangan Sakti 3 Dewa Aneh) yang hanya terdiri dari 3 jurus, yakni
gerakan "Tangan Sakti Dewa Bulan", "Tangan Sakti Dewa Matahari" dan "Tangan
Sakti Dewa Bulan dan Matahari". Ilmu-ilmu yang sebenarnya hanya diturunkan
kepada Ketua Bengkauw, justru diturunkannya kepada cucu perempuannya yang
memang sangat berbakat ini, sehingga di lingkungan Beng Kauw, selain Siangkoan
Tek Kauwcu Beng Kau saat ini, maka Giok Lian menjadi orang kedua yang
menguasainya. Bahkan menjelang ajalnya, himpunan tenaga Sinkang Bulan dan
Matahari yang dilatihnya nyaris ratusan tahun itu juga diturunkan untuk "memasak"
dan "menggodok" tenaga Jit Goat Sinkang Giok Lian. Itulah sebabnya kemampuan
dan kepandaian Giok Lian yang hadir di Perguruan Keluarga Yu untuk mencari Ceng
Liong sudah luar biasa lihainya.
Bahkan menjelang ajal, Kakek tua tersebut berpesan agar Giok Lian mengikuti
pertemuan adu kepandaian melawan jagoan Tionggoan 3 tahun kedepan
mendampingi ayahnya. Baru setelah pesan tersebut, Siangkoan Bun Ouw
memberitahukan bahwa sebenarnya dia sudah menderita kelumpuhan sejak 20 tahun
berselang, dan pada saat itulah dia kemudian berkonsentrasi menyempurnakan Sam
Koai Sian Sin Ciang dengan menyarikan kehebatan In Liong Kiam Sut dan Koai
Liong Sin Ciang.
Tetapi, selain membekal ilmu-ilmu dari kakeknya tersebut, Giok Lian juga membekal
Ilmu-ilmu dari nenek buyutnya yang sangat sadis yang dipelajarinya secara diamdiam
dengan kakaknya Giok Hong. Yakni ilmu Toat Beng ci dan Hun-kin-swee-kutciang
(Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang). Kedua Ilmu itu, justru
pada akhirnya dia sisipkan juga dalam Sam Koai Sian Sin Ciang dengan
sepengetahuan kakek yang membimbingnya, tetapi kakek itu kemudian memutuskan
"memasak" dan "menggodok" sinkang Giok Lian dan mengorbankan dirinya, karena
melihat "hawa sesat" dalam tubuh dan sinkang Giok Lian bisa membawanya kearah
kematian. Akhirnya mati-matian dia meningkatkan kemampuan Jit Goat Sin Kang dan
kemudian mengarahkan hawa sinkang Giok Lan untuk mengusir hawa sesatnya dan
meminta Giok Lian tidak lagi mempelajari hawa sinkang mengikuti Hun-kin-sweekut-
ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang). Giok Lian masih bisa
mengerahkan jurus tersebut, tetapi sudah dengan tenaga Jit Goat Sinkang yang malah
akibatnya menjadi lebih mengerikan dan lebih hebat. Demi menyelamatkan Ilmu
Giok Lian dengan terpaksa sesepuh Bengkauw ini mengorbankan dirinya, menguras
habis himpunan sinkangnya dengan memindahkannya ke pusar Giok Lian dan
kemudian melatihnya membangkitkan dan menggunakannya. Giok Lian memang
selamat, tetapi kakek buyutnya itu harus melepas nyawa untuk menyelamatkannya,
sekaligus menjadikannya teramat lihay bahkan selihay ayahnya. Selama ini, memang
hanya dikenal Siangkoan Tek sebagai jago terlihay Bengkauw, terutama karena
ayahnya Siangkoan Bun Ouw sudah tidak aktif dan menyembunyikan diri. Dengan
kehadiran dan kesaktiannya kini, bahkan Giok Lian sudah sanggup merendengi
kemampuan ayahnya, bahkan meninggalkan kemampuan hu Kawcu Bengkau yang
juga biasanya memiliki kemampuan luar biasa.
Dan anak gadis yang dilatih habis-habisan oleh tokoh puncak Bengkauw saat inilah
yang dihadapi See Thian Coa Ong yang dengan sgera menjadi keripuhan. Padahal, dia
sudah menciptakan dan menyempurnakan Ilmu Barunya, yakni Hun-kin Coh-kutciang
(Tangan Pemutus Otot dan Pelepas Tulang), mirip Ilmu sesatnya Giok Lian.
Tetapi, Giok Lian mengalami kesulitan karena dia ingin menaklukkan kakek tua ini
hidup hidup untuk ditanyai masalah Giok Hong, kakaknya yang sehati dengan dirinya


Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan yang sangat dicintainya.
Karena usahanya itu, maka dia nampak mengalami kesulitan untuk menaklukkan
kakek sakti ini. Terlebih karena memang ilmu terakhir See Thian Coa Ong juga
sungguh luar biasa ganasnya. Selain sangat beracun, juga memang sangat keras dan
bertenaga. Untungnya, Giok Lian sudah memiliki bekal yang cukup untuk melawan
datuk sesat yang satu ini.
Ceng Liong segera sadar, bahwa secara umum arena pertempuran bisa dimenangkan
pihaknya. Dan ketika Ceng Liong melakukan penelitian dan pengamatan ke arena,
rupanya Bouw Lim Couwsu juga melakukan hal yang sama. Dan lebih banyak
dahinya berkernyit kesal dan marah ketimbang tersenyum, karena dia melihat
keseimbangan dan kemenangan yang dijaminkan Hu Pangcu ternyata berbalik karena
terlampau percaya diri. Mereka tidak melakukan penilaian kekuatan lawan lebih
dahulu tetapi langsung menyerang.
Mungkin karena cara ini berhasil ketika mereka menyerang Tiam Jong Pay dan Go
Bie Pay, tetapi nampaknya akan mengalami kegagalan disini seperti di Benteng
Keluarga Bhe. Berpikir demikian, maka satu-satunya cara dan jalan adalah dengan
secepatnya mengalahkan Bengcu yang nampak masih muda itu. Meskipun dia sendiri
sebetulnya tidak punya keyakinan. Dengan mengalahkan bengcu muda ini dan
kemudian membantu kawan-kawan yang lain, akan memampukan mereka untuk
menuntaskan kerjaan di keluarga Yu ini. Kembali dia mengedarkan pandangan sekali
lagi kesemua arena, tetapi tiba-tiba dia terkejut mendengar jeritan tertahan yang
keluar dari mulut See Thian Coa Ong:
"Aaaaaaach" jeritan itu disertai terpentalnya tubuh See Thian Coa Ong ke arah hutan
jalan masuk. Dan tidak menunggu serangan Giok Lian, tubuh tua itu nampak
kemudian meloncat setelah muntah darah ke arah hutan masuk yang dipenuhi barisan
gaib keluarga Yu tersebut. Giok Lian terkejut melihat kelicikan lawan dan berusaha
mengejar, tetapi tidak cukup lama dia kembali ke arena karena dia kurang mengerti
ilmu barisan, sementara Coa Ong nampaknya sedikit menguasai ilmu barisan tersebut
sehingga bisa meloloskan diri dari tempat tersebut meskipun dalam keadaan terluka.
Jatuh dan kalahnya, bahkan larinya See Thian Coa Ong membuat Bouw Lim Couwsu
mempercepat serangannya kearah Ceng Liong. Begitu menyerang dia langsung
menggunakan Hong Ping Ciang yang membadai, arus dan jumlah pukulan yang luar
biasa banyaknya mengarah ke Ceng Liong. Tetapi, anak muda inipun bukanlah ayam
sayur yang mudah diserang dan digertak. Dengan tangkas dia menyambut rangkaian
serangan tersebut dan bersilat dengan Soan Hong Sin Ciang. Ceng Liong merasa
bahwa Ilmu itu yang cocok menimpali Hong Ping Ciang yang datang membadai.
Benar juga, terdengar berkali-kali mereka beradu tenaga "plak, plak, plak", dan Ceng
Liong tidak tahu lagi berapa kali mereka beradu tenaga saling menangkis dan
memukul. Yang pasti, nampaknya keduanya tidak merasa berhalangan dalam melakukan tukar
pukulan dan mengerahkan tenaga di tangan untuk saling membentur dan menjajaki.
Dan seperti dugaan Bouw Lim Couwsu, anak ini bukanlah anak sembarangan,
terbukti semua pukulan dari Ilmu andalan perguruan mereka dapat digagalkan Ceng
Liong tanpa menderita kerugian sedikitpun. Bahkan Ceng Liongpun tidak ragu untuk
menghadapi ilmu totokan Tam ci sin thong yang sudah dikenalnya melalui pendekar
kembar Siauw Lim Sie, dan juga menambahkan unsur Toa Hong Kiam Sut melalui
hawa pedang ditangannya untuk menangkal gabungan Hong Ping Ciang dengan Tam
ci sin thong. Akhirnya pertempuran merekapun melengkapi pertempuran seru di
Perguruan Keluarga Yu, mereka bergerak pesat dengan pukulan-pukulan berat yang
melambari pergerakannya.
Sementara itu, pertempuran lain sudah mulai menunjukkan tanda berakhir. Kecuali
pertandingan antara Pek Bin Houw Ong yang berlangsung imbang dengan Yu Siang
Ki dan Yu Siang Bun dan Liang Mei Lan melawan Hu Pangcu pertama dan Tibet Sin
Mo Ong melawan si manusia berkerudung, arena lainnya boleh dikata mulai
menunjukkan keunggulan pihak keluarga Yu. Setelah See Thian Coa Ong melarikan
diri, maka Thian te Sam Kwi yang menghadapi Sian Eng Cu yang sudah menjadi
lebih lihay itu menjadi lebih kerepotan.
Mereka sudah mulai mainkan Ha Mo Kang, tetapi Sian Eng Cu juga sudah membekal
ilmu dahsyat lainnya, dan dia mengimbangi mereka dengan Ban Sian Twi Eng Sin
Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan). Dengan ilmu itu, dia
tetap menguasai mereka bertiga dengan kecepatannya, dan daya pengaruh ilmu itu
mampu menutup kehebatan Ha Mo Kang yang seolah-olah macet menghadapi Sian
Eng Cu. Karena itu, perlahan mereka terus terdesak, terus mengalami tekanan Sian
Eng Cu seperti pertarungan mereka tempo dulu. Dan, sebelum mengalami kejadian
yang lebih memalukan, mereka bertiga nampak sudah sepakat untuk pergi menyusul
See Thian Coa Ong.
Mereka murka, karena katanya Perguruan Yu tidak ada apa-apanya, ternyata bahkan
See Thian Coa Ong juga terpukul pergi, dan tokoh lainnya juga terlibat kesulitan.
Maka sambil melirik, ketiganya kemudian bersatu hati, memusatkan kekuatan Ha Mo
Kang dan secara serempak menyerang Sian Eng Cu dari tiga arah. Tapi Sian Eng Cu
juga tidak melulu membiarkan dirinya menghindar, kali ini dia mendorongkan
tangannya dengan kekuatan penuh menghadapi ketiga lawannya dalam jurus Ban Sian
Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan).
Sian Eng Cu tergetar mundur dan nampaknya nafasnya menyesak beberapa saat
karena goncangan dalam dirinya, tetapi ketiga Iblis Bumi terlempar hebat dan
sepertinya mereka sengaja melakukan itu. Karena mereka sudah berencana kabur, dan
dengan muntah darah, seperti juga See Thian Coa Ong, mereka kemudian kabur
melalui jalan masuk tadi. Tapi kaburnya Thian te Sam Kwi, ternyata juga sudah
dengan cepat diiringi oleh Pek Bin Houw Ong yang sekali lagi merat dari arena
karena melihat keadaan semakin tidak menguntungkan. Dengan melakukan serangan
mendesak kedua bersaudara Yu, iblis ini kemudian merat menyusul ketiga Setan
Bumi yang lari duluan. Lebih untung Houw Ong, karena selain kelelahan, dia tidak
menderita kerugian sedikitpun.
Pertempuran sudah boleh dikatakan usai, karena anak buah para penyerang juga
sudah mulai dikuasai Ko Ji dan maling sakti. Jumlah mereka sudah berkurang drastis,
sementara Barisan 6 Pedang juga sudah sekian lama mendesak Barisan Warna-Warni,
bahkan sudah melukai beberapa anggota Barisan Warna-warni tersebut. Tetapi ketiga
pertandingan utama, masih nampak alot, yakni antara manusia berkerudung melawan
Tibet Sin Mo, Liang Mei Lan menghadapi Hu Pangcu Pertama dan Ceng Liong yang
baru mulai bergebrak dengan Bouw Lim Couwsu.
Keadaan yang sudah jelas membayangkan kegagalan ini, bukan tidak disadari oleh
Hu Pangcu Ketiga yang menjadi pemimpin operasi. Tetapi, dia sedang dililit kesulitan
mnenghadapi manusia berkerudung yang ternyata tidak berada di bawah
kepandaiannya, dan disisi lain dia melihat Hu Pangcu pertama dan suhengnya, juga
menghadapi lawan yang sepadan. Karena itu, dikeraskannya hatinya untuk
menghadapi lawannya kali ini, sebab kemenangan hanya mungkin didapat dengan
mengalahkan lawan selihay ini. Sayangnya, lawannya bukan lawan sembarangan,
tetapi seorang tokoh kawakan dari Lembah Pualam hijau. Seorang tokoh yang terangterangan
menentang Thian Liong Pang dan yang saat ini bisa mengimbangi semua
ilmunya, bahkan lebih sering mendesaknya.
Tidak ada jurusnya yang sanggup memberikan keuntungan yang memadai baginya,
bahkan menggunakan Hong Ping Ciang dan Tam ci Sin Thong, juga sanggup
dihadapi manusia berkerudung itu dengan sangat baiknya. Bahkan belakangan, pada
saat dia merasa tenaga sinkangnya sudah mulai merosot, lawannya justru bertambah
kokoh. Ketika akhirnya dia memutuskan menggunakan Ilmu Pukulan Udara Kosong
yang sudah dilatih dengan racun beberapa waktu terakhir ini, itupun karena dia tidak
mempunyai pilihan lain. Tetapi, dia bertambah kaget, karena lawan juga mempunyai
ilmu yang sanggup menahan pukulannya itu.
Si manusia berkerudung nampak bergerak dengan Ilmu ampuh lainnya dari Lembah
Pualam Hijau, Khong in Lo Thian dan bergerak-gerak aneh dengan langkah kaki Sian
Jin Ci Lou. Inilah pertandingan puncak antara keduanya, gemuruh angin pukulan
menyebar kemana-mana, tetapi langkah-langkah aneh dan deburan gemuruh pukulan
manusia berkerudung sanggup membendung pukulan udara kosong beracun. Udara
dan langit seperti terhalang kabut racun yang sangat berbahaya, dan bahkan ketika
seseorang tersentuh, tubuhnya langsung menggeliat-geliat keracunan dan mati tidak
lama kemudian. Pada arena yang lain, Liang Mei Lan juga sedang bertempur pada puncak
kemampuannya menghadapi Hu Pangcu pertama ini. Semua Ilmu juga sudah
dikerahkan menghadapi badai kepandaian yang luar biasa hebatnya dari Hu Pangcu.
Terutama, karena Hu Pangcu ini adalah seorang yang sangat cerdas, dia telah
mempelajari kehebatan Mei Lan dalam pertandingan pertama yang membuatnya jatuh
di bawah angin. Karena itu, dia sekarang jauh lebih siap menghadapi Mei Lan.
Tetapi, kesiapannya toch tidak mampu membuatnya lebih unggul, karena meskipun
dia sudah menguras semua kemampuan perbendaharaan Ilmunya, dia masih tetap
belum sanggup menekan dan menempatkan Mei Lan dibawah pengaruh dan
tekanannya. Pada pertempuran mereka yang terakhir, dia sudah sempat mengerahkan
Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam), untuk mendesak Mei
Lan yang memainkan Ban Hud Ciang, dan menyerang dengan pukulan Pek Pou Sin
Kun (Pukulan Sakti Ratusan Langkah) sebelum melarikan diri.
Sayangnya, masih ada sebuah ilmu yang sedang diyakinkannya dengan Ketua atau
Pangcu Thian Liong Pang yang tidak boleh dikeluarkan agar tidak memancing
kemarahan lebih besar dan membuka jejak mereka keluar. Ketika dia kembali
menyerang dalam gaya "Membongkar Bumi meratakan alam", dia bergetar karena
harus bertemu dengan kecepatan dan kekuatan Telapak Budha dari Ban Hud Ciang.
Mereka kembali bertempur seru dalam kedua Ilmu tersebut, tetapi nampaknya malah
Mei Lan yang sanggup mendesak Hu Pangcu tersebut karena kemampuan
bergeraknya yang luar biasa.
Dalam pada itu, Hu Pangcu Pertama dan Ketiga nampaknya sudah sadar bahwa
mereka tidak akan mampu memenangkan pertarungan. Jagoan utama mereka, juga
nampaknya hanya mampu bertnading seimbang dengan Bengcu yang masih muda itu.
Karena itu, Hu Pangcu Pertama sudah mengirimkan bisikan agar mereka pergi dengan
menggunakan Barisan Warna-warni sebagai perisai akhir yang akan dikorbankan. Hal
tersebut segera diiyakan oleh Hu Pangcu Ketiga yang juga sudah merasa sangat
kerepotan. Tetapi nampaknya tanpa jawaban dari Bouw Lim Couwsu yang merasa sangat malu
harus meninggalkan arena menghadapi seorang anak bau pupuk, pikirnya. Tetapi
persetujuan Hu Pangcu Ketiga sebagai pemimpin operasi sudah lebih dari cukup.
Karena itu, dengan segera dia bersiul, sebuah siulan rahasia yang diperuntukkan bagi
Barisan Warna-Warni. Dan memang, dengan segera barisan itu bergerak sangat tertib,
tetap membaur dalam barisan, tetapi tidak lagi meladeni Barisan 6 Pedang yang terus
mengejar mereka. Tetapi karena tetap dalam barisan, dan nampaknya membentuk
benteng yang hebat, selain itu tidak banyak orang yang menyadari, akhirnya ketika
terdengar dua benturan berturut-turut, 2 tubuh tiba-tiba melayang ketengah Barisan
warna-warni. Dari barisan itu, pertama mereka menggempur Barisan 6 Pedang yang dengan cepat
mengatur diri dan keseimbangan, sehingga tidak bisa didesak oleh Barisan Warnawarni
dan kedua pendatang hebat lainnya. Tetapi, langkah 2 orang tadi, hanya
langkah selipan, karena dengan cepat, mereka kemudian berkelabat mundur ke mulut
lembah tanpa ada yang menyadari dan mencegah. Dan dibawah perlindungan barisan
warna-warni yang nampaknya sengaja dikorbankan, kedua tokoh itu kemudian
berkelabat lenyap. Barisan warna-warni yang selesai melakukan tugasnya kemudian
membuyar, hanya menyisakan beberapa orang yang mencapai pintu keluar lembah,
selebihnya tewas di tangan Barisan 6 Pedang yang memburu dan melawan mereka.
Pertempuran selesai, karena nampaknya bahkan Ma Hoan dan Ciam Goan yang
terluka sudah membunuh diri bersama kawanan mereka lainnya yang terluka dan
terakhir ditemukan bunuh diri dengan racun. Tetapi pertempuran yang lain, yang
terakhir justru masih belum berakhir. Ceng Liong sudah menawarkan kepada Lhama
tua yang sakti itu untuk menyerah, tetapi ditolak dengan marah oleh Bouw Lim
Couwsu. Bahkan dalam kemarahannya, dia kemudian menghentikan serangannya dan
berkata: "Bengcu, pinto menantangmu untuk bertanding seorang lawan seorang. Bila pinto
kalah, maka pinto akan menyerah. Tetapi bila pinto menang, maka harus
diperkenankan meninggalkan lembah ini" Hebat tantangannya, tantangan kepada
seorang bengcu Tionggoan, tentu sulit dielakkan. Dan baik Sian Eng Cu maupun si
manusia berkerudung sadar, bahwa Bouw Lim Couwsu memanfaatkan celah ini.
Karena akan sangat memalukan bila seorang Tionggoan Bengcu menolak tantangan
bertanding. Ceng Liong juga menyadari kecerdikan Bouw Lim Couwsu, karena itu
dengan keren akhirnya dia berkata:
"Bouw Lim Suhu, sepantasnya sebagai pihak penyerang engkau tidak diberikan
pengampunan yang sangat menyenangkan bagimu. Tetapi, pantang Bengcu di
Tionggoan menampik tantanganmu. Baiklah, mari kita tentukan dalam Ilmu
Kepandaian" tantangan itu diterima Ceng Liong. Tetapi kalimat itu membuat Sian
Eng Cu mengangguk-anggukkan kepala, puas terhadap kegagahan Bengcu, demikian
juga si orang berkerudung nampak sangat puas, meski membayang sedikit
kekhawatiran. Setelah tantangannya diterima, kembali Bouw Lim Couwsu membuka serangan. Kali
ini, getaran tenaga saktinya sungguh luar biasa, sesekali nampak Ceng Liong merasa
betapa semakin berat serangan dan luncuran tenaga sakti Bouw Lim Hwesio. Bouw
Lim Couwsu dan Bouw Lek Couwsu, meski mengikuti jalan sesat, tetapi memiliki
dasar aliran Ilmu Budha yang murni. Sementara Tibet Sin Mo Ong, sudah berani
mencampurkan kepandaiannya dengan Ilmu Sesat dan kehilangan kemurniannya,
meski Ilmu Silatnya maju pesat, tetapi kekuatan sinkangnya mandek.
Itu sebabnya, Bouw Lim Couwsu ini, malah lebih berbahaya dalam perang tanding
dibandingkan sutenya yang sudah lari meninggalkannya. Sadar bahwa kepandaiannya
menentukan nasibnya, Bouw Lim Couwsu yang kawakan mengeluarkan tantangan
adu kepandaian. Dan kembali tersaji sebuah arena pertandingan dengan Ilmu dan
Jurus yang jarang ditampilkan dalam dunia persilatan. Meski berdasar Ilmu Budha,
tetapi Bouw Lim Couwsu bergaya silat Tibet, sehingga memiliki perbedaan dengan
yang berkembang di Tionggoan yang berdasarkan aliran Siauw Lim Sie.
Hentakan-hentakan tenaga sakti Bouw Lim Couwsu semakin membahana, bahkan
mulai dimainkan dengan jurus Kong Jiu Cam Liong dan Tam Ci Sin Thong, sehingga
baikan tutukan tangannya maupun angin pukulannya membawa suara mencicit dan
bahana tenaga yang luar biasa. Sementara itu, Ceng Liong memutuskan memainkan
Soan Hong Sin Ciang yang telah disempurnakan dengan versi Tek Hoat, tetapi
menjadi lebih efektif. Bahkan si manusia berkerudung dan barisan 6 pedang yang
memahami Ilmu itu, berdecak kagum ketika dimainkan oleh Ceng Liong.
Terlebih ketika Ceng Liong memasukkan unsur pedang dari Toa Hong Kiam Sut
yang menjadi padanan Soan Hong Sin Ciang. Adu pukulan dan hawa totokan lawan
hawa pedang membuat udara sekitar menjadi sangat berbahaya bagi tokoh silat
sembarangan. Bahkan hawa dan perbawa "sihir" yang semakin mengental dari Soan
Hong Sin Ciang membuat tubuh Ceng Liong menjadi bagaikan asap yang melayang
kesana kemari membawa bahana badai dan angin keras dari tubuhnya. Tetapi
begitupun, Bouw Lim Couwsu adalah seorang tokoh lihay, tokoh kawakan yang
hanya sempat dikalahkan seorang Wie Tiong Lan pada masa lalu.
Dan kepandaiannya tentunya tidaklah mandeg, dan karenanya perbawa yang
dihasilkan Ceng Liong tidak berarti banyak baginya. Sebaliknya, desingan-desingan
totokan dan deburan pukulannya, juga mendatangkan hawa yang mengerikan bagi
Ceng Liong yang tidak boleh lengah dan membiarkan dirinya terlibas oleh pukulan
yang bakal menyulitkannya itu. Untungnya, Ceng Liong sendiri sudah sanggup
mengerahkan hawa khikang pelindung badan, sehingga totokan-totokan Bouw Lim
Couwsu tidak mampu menembus kebadannya. Keadaan ini membuat Bouw Lim
Couwsu menjadi sangat kaget dan kagum atas kehebatan Bengcu ini. Perlahan namun
pasti, tumbuh rasa hormatnya kepada anak muda yang mampu membuatnya bertarung
ketat dengan mengerahkan segenap kekuatannya.
Penonton yang menyaksikan pertandingan memiliki reaksi dan tanggapan berbedabeda.
Bahkan Giok Lian yang baru pertama kali bertemu Ceng Liong memandang
kagum, tidak disangkanya selain Tek Hoat, masih ada seorang pemuda lain yang
begitu lihay. Bahkan setelah kepandaiannya meningkat tajam, diapun kurang yakin
apakah sanggup mengalahkan Bouw Lim Couwsu yang sangat digdaya itu. Tetapi
Ceng Liong, nampaknya sanggup menandingi tokoh tua yang sangat lihay ini, baik
sinkangnya maupun ketenangannya, dan nampaknya sangat percaya diri. Sementara
Mei Lan, juga memandang dengan wajah penuh perhatian dan sulit menyembunyikan
kegelisahannya melihat pertandingan maut antara Ceng Liong dengan Bouw Lin
Couwsu. Dia tidak menyadari jika kegelisahannya tertangkap oleh Sian Eng Cu yang
tersenyum melihatnya dan memandang pertarungan dengan tenang. Ketenangan dan
keyakinan Ceng Liong membuatnya yakin, bahwa anak muda itu menyimpan bekal
kemampuan yang sulit dibayangkannya. Bahkan gurunya sendiri, Wie Tiong Lan
pernah mengatakan kepadanya, bahwa tunas keluarga Kiang kali ini sungguh
istimewa. Pujian gurunya ternyata memang tidaklah kosong. Harus diakuinya, anak
ini bahkan masih sedikit lebih berisi dibandingkan sumoynya.
Yang juga agak terperangah adalah keluarga Yu, mereka tidak menyangka kalau
cucu keponakan ataupun keponakan mereka ini sungguh demikian lihay dan saktinya.
Mereka memandang dengan penuh rasa kagum dan haru karena dibela oleh keluarga
mereka sendiri, meski keluarga luar. Sedangkan si manusia berkerudung hitam, meski
memandang kagum, tapi seperti juga Mei Lan menyimpan rasa khawatir atas
pertandingan tersebut. Betapapun, mereka merasa terkait erat dan punya rasa memiliki
terhadap si anak muda yang sedang menyabung nyawanya itu.
Sementara itu, Bouw Lim Couwsu kembali memainkan kombinasi ilmu yang
berbeda. Kali ini dia memainkan kembali Hong Pin Ciang dengan padanan Sin Liong


Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Coan In Sin Ciang, yang berat di ginkang dan kecepatan. Karena itu, tubuhnya
berkelabat-kelabat mengejar Ceng Liong dengan pukulan-pukulan sakti, bahkan
seperti bisa menyusup kebalik-balik awan yang menyembunyikan tubuh Ceng Liong.
Tetapi kali ini, setelah puas menguji semua perbendaharaan Ilmu keluarganya, Ceng
Liong tiba-tiba meledakkan tangannya dengan sebuah tangkisan dari ilmu petir. Itulah
Ilmu Haliintar Jurus pertama, "Halilintar Membelah Angkasa" yang dengan segera
mematahkan Jurus Hong Pin Ciang yang dipadukan dengan Sin Liong Coan In Sin
Ciang yang mengejarnya diudara. Ledakkan pekak tersebut membuat Bouw Lim
Couwsu tergetar oleh hawa panas yang luar biasa yang menyerang tubuhnya.
Tetapi hanya sejenak, karena kembali dia melakukan serangan dengan jurus yang
sama, tetapi dengan gaya gerakan kaki Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas
Rumput), dia mumbul keatas dan sekali lagi menyerang dengan jurus pertama yang
memang tepat menangkal pukulan Hong Ping Ciang yang dilakukan dalam kecepatan
di udara. Kembali Bouw Lim Couwsu tergetar oleh udara panas, dan dengan segera
dia mulai mengganti kembali jurus permainannya.
Kali ini dia mulai memasuki tahapan Ilmu perguruannya yang lebih berat Thian ciksian
Kun Hoat (Silat sakti dewa menggetarkan langit), yang bahkan Tibet Sin Mo
Ong, belum cukup sempurna meyakinkannya karena keburu bersama mereka lari ke
Tionggoan. Ilmu ini adalah Ilmu andalannya bersama Bow Lek Couwsu, selain ilmu
baru yang mereka ciptakan belakangan bertiga, yakni Pek Pouw Sin Kun, sebuah Ilmu
Pukulan Jarah Jauh. Nampak kakek sakti ini memusatkan perhatiannya dan dengan
berteriak nyaris dia mulai kembali menyerang, didahului dengan angin pukulan yang
luar biasa beratnya, bagaikan guguran gunung.
Tapi, Ceng Liong mengenal pukulan berat, dan diapun sudah sedang menggunakan
Ilmu beratnya, Pek Lek Sin Jiu salah satu Ilmu andalan dan kebanggaan Kiong Siang
Han. Kali ini dia memapak dengan menggunakan jurus Kedua, "Halilintar Menerjang
Angin", dan dengan segera selarik angin panas diiringi ledakan halilintar menyambar
kearah serangan Bouw Lim Couwsu dan sekali lagi terdnegar benturan keras:
"dhuuuuaaaaaar" kali ini lebih memekakkan telinga sekitarnya, bahkan tokoh sekelas
Yu Siang Ki harus mundur 2-3 langkah kebelakang. Sementara itu, kedua petarung
nampak masing-masing terdorong 2 langkah kebelakang, dan keduanya nampak
sedang menyiapkan jurus selanjutnya. Kedua kaki Bouw Lim Couwsu nampak
membentang lebar, kedua tangannya disilangkan didepan dada dan kemudian kembali
didorongkan kedepan, sementara Ceng Liong yang merasa tidak terhalang apa-apa
dengan benturan tadi, meningkatkan jurus Halilintarnya memasuki jurus Ketiga
"Halilintar Menghujam Bumi", dimana dengan 2-3 langkah persiapan dia tiba-tiba
melesat keatas dan dari atas sepasang tangannya terayun kearah Bouw Lim Couwsu
menyambut sampokan dan dorongan tangannya.
Kali ini, benturannya terdengar jadi lebih memekakkan telinga dan beberapa tokoh
mulai menyalurkan tenaganya menjaga telinga dan hati masing-masing untuk tidak
dikuasai hawa mujijat kedua pukulan mereka yang bertarung. Sementara itu, Ceng
Liong yang sudah mengudara, tertahan daya turunnya oleh benturan dengan kekuatan
Bouw Lim Couwsu dan memang itu adalah ketika yang tepat untuk menyiapkan jurus
keempat Halilintar Bartalu-talu di Udara. Pada saat daya luncurnya tertahan, tubuhnya
menggeliat dengan ginkang Jouw Sang Hui Teng dan kembali mencelat keudara dan
memukul bergantian dengan kedua tangan kearah Bouw Lim Couwsu, dan
terdengarlah dentuman-dentuman dan ledakan halilintar yang terjadi berkali-kali,
membuat Bouw Lim Couwsu tergopoh-gopoh menghindar kesana kemari karena
belum siap dengan jurus berikutnya. Melihat keuntungan dipihaknya, Ceng Liong
segera mengejar Bouw Lim dan mencecarnya dengan jurus kelima Halilintar
Membelah Awan Menghajar Mentari yang diringi dengan ginkangnya memburu
Bouw Lim Couwsu, yang akhirnya dengan terpaksa memapak Ceng Liong.
"Dhuuuuuaaaar" dan kali ini Bouw Lim Couwsu terdorong sampai lima langkah ke
belakang, sementara Ceng Liong hanya terdorong 3 langkah. Tetapi, dia kembali
sudah bersiap dan kembali mencelat keudara dan siap melontarkan jurus keenam
Badai Petir Membelah Langit. Sejak Jurus keenam ini, beberapa perubahan yang
dahsyat sudah dilakukan oleh Ceng Liong, karena mulai jurus ini, dia mulai menekan
kekuatan suara secara fisik, tetapi memasukkan unsur "im" yang mengoyak
konsentrasi lawan.
Maka meskipun Bouw Lim sempat menemukan kembali keseimbangannya dan
bersiap dengan gaya jurus "Pukulan dewa-dewa mengguncang alam raya", tetapi pada
saat itu dia justru heran, tidak terdengar lagi ledakan memekakkan telinga. Tetapi
beberapa pukulan yang dilontarkan diudara, justru menyerang langsung "telinga
batinnya" dan merusak konsentrasi karena dia tidak bersiap menerima jenis pukulan
yang demikian. Dan disinilah titik balik pertarungan ini, meskipun keduanya memiliki
keseimbangan dalam Sinkang dan keuletan, tetapi pecahnya konsentrasi meskipun
hanya sekejap sudah menjadi modal penting untuk menentukan kemenangan.
Bouw Lim Couwsu memang masih sempat menangkis jurus keenam, meskipun tidak
lagi dengan sepenuh kekuatan biasanya karena terganggu oleh getaran yang
menyusup ke batinnya. Dan akibatnya dia kembali terdorong lebih jauh sampai 7
langkah dengan dada sesak, meski belum terluka dalam. Sementara itu, Ceng Liong
telah menyiapkan jurus ketujuh Sejuta Halilitar Merontokkan Mega, yang malah
semakin berat dibandingkan jurus sebelumnya. Belum sempat Bouw Lim Couwsu
bersiap, terjangan dengan jurus Halilintar Perontok Mega sudah kembali menyusup
menyerang konsentrasinya, dan untung karena kelihayannya dia masih sempat
menemukan dirinya, meskipun sedikit terlambat.
Dan karena itu, dia tidak dalam kesiagaan penuh menerima terjangan jurus ketujuh,
dan sekali ini dia jatuh terduduk menangkis serangan jurus ketujuh Pukulan Halilitar
yang menerjang telinga batin dan konsentrasinya. Dari sudut bibirnya mengalir darah
merah, dan nampaknya sekali ini Bouw Lim Couwsu terluka. Sulit baginya untuk
menyembunyikan fakta bahwa dia terluka ditangan anak muda ini, karena dari
bibrnya merembes darah tanda dia terluka dalam.
Melihat Bouw Lim Couwsu terluka, Ceng Liong menjadi tidak sampai hati. Hatinya
menjadi iba ditengah pandangan tegang banyak orang yang sebagiannya
menginginkan dia mengirimkan serangan terakhir, tetapi sebagian lagi berkhawatir
apakah Bengcu mereka tidak memiliki kegagahan" Dan ternyata, Ceng Liong
memang memilih untuk tidak melanjutkan dengan serangan jurus terakhir. Dia sendiri
ngeri membayangkan harus menyerang dengan jurus pamungkas, yang bahkan oleh
Kiong Siang Han disebutkan terlampau merusak dan sangat berbahaya.
Sementara itu, nampak Bouw Lim Couwsu sendiri sejenak menarik nafas dan
mengobati dirinya, dan karena lukanya tidak begitu parah, sejenak kemudian dia
bangkit berdiri dan memandang Ceng Liong dengan muka tidak percaya. Tetapi tidak
lama kemudian kesombongan seperti lenyap dari wajahnya berganti kesedihan yang
dalam. Puncak kesombongan atas kemampuannya dirubuhkan oleh seorang anak
muda, sulit dipercayainya, tetapi tetap sebuah kenyataan. Akhirnya dia bergumam:
"Pinto sudah kalah, terserah Bengcu mau melakukan apapun terhadapku"
Tetapi Kiang Ceng Liong bukan seorang buas. Diapun sadar, bahwa semangat orang
tua ini sudah padam seketika setelah kalah dan terluka ditangannya, karena itu,
dengan lembut dia berkata:
"Tidak ada hukuman buat Bouw Lim Suhu. Hanya, selaku Bengcu, aku meminta
Bouw Lim Couwsu suka menarik diri dari kekisruhan di Tionggoan kali ini".
"Anak muda, engkau akan menyesal bila tidak menghukum pinto" Bouw Lim
Couwsu berkeras. Sebenarnya bukan berkeras, tetapi merasa malu dan terharu oleh
pengampunan Ceng Liong. Dia bersuara setelah tertegun beberapa lama, sangat lama
malah. "Apakah ada gunanya bagiku bila membunuh Couwsu atau memenjarakan Couwsu"
Tidak ada gunanya. Tetapi ada gunanya bagi rimba persilatan Tionggoan apabila
Couwsu suka berjanji tidak akan ikut dalam kekisruhan kali ini" tegas Ceng Liong.
Beberapa saat kemudian nampak rona wajah Bouw Lim Couwsu berubah-ubah,
kadang sedih, marah, kecewa, gemas, tetapi lama kelamaan akhirnya seperti
kehilangan cahaya. Pada akhirnya dia berkata:
"Baiklah Kiang Bengcu, engkau masih sangat muda tetapi sangat pintar dan
bijaksana. Biarlah Bouw Lim Couwsu mengundurkan diri dari rumitnya dunia
persilatan, itulah janji pinto. Selanjutnya biarlah pinto mencari tempat menyucikan
diri. Dan terima kasih atas kemurahanmu yang menerangi hati pinto" seraya
mengucapkan hal itu, Bouw Lim Couwsu bahkan menghormat dengan takzim kepada
Kiang Ceng Liong yang menjadi rikuh dan kemudian Bouw Lim berjalan ke mulut
lembah. Tapi dari mulut lembah terdengar suara:
"Sejak hari ini, biarlah terkubur nama Bouw Lim Couwsu. Kiang Bengcu, semoga
selalu bijaksana karena lawan-lawan yang mengintai kalian bahkan masih lebih hebat
dari pinto".
Tapi begitu suara itu menghilang, tiba-tiba Kiang Ceng Liong duduk bersila,
wajahnya nampak memerah karena terlampau besar mengeluarkan dan
menghamburkan tenaga "yang", padahal dalam hal penggunaan tenaga "yang" dia
masih belum sekuat Tek Hoat. Untungnya dia menerima gemblengan dan bantuan
Kiong Siang Han, yang nyaris dikurasnya keluar ketika membentur Bouw Lim
Couwsu. Adalah dua orang yang dengan cepat bereaksi melihat keadaan Ceng Liong:
"Liong koko, engkau kenapakah?" Liang Mei Lan dengan cepat sudah melompat
mendekati Ceng Liong yang sudah dengan cepat bersila lupa diri untuk mengatur
kembali tenaga saktinya. Bersamaan dengan Mei Lan, sebuah suara dengan cepat juga
mendekati Ceng Liong:
"Liong Jie, apakah engkau terluka?" Bahkan tangannya dengan cepat menempel di
punggung Ceng Liong, tetapi ditarik kembali ketika merasa punggung Ceng Liong
begitu panas membara. Seketika dia menjerit:
"Ach, mengapa begini" dia memandang Kiang Ceng Liong dengan penuh tanda
Tanya dan keheranan.
"Kiang hengte, ada apakah gerangan?" Sian Eng Cu sudah datang mendekati dan
sepertinya sedikit mengenal si orang berkerudung.
"Sian Eng Cu cianpwe, Paman Yu Siang Ki, maafkan masih belum leluasa bagiku
untuk melepas kerudung dan capingku. Keluarga kami menyebabkan banyak
kesengsaraan, biarlah setelah semua jelas, kami sekeluarga akan meminta maaf untuk
semua keadaan yang tidak mengenakkan ini. Dan Nona, siapakah engkau" Apakah
engkau murid terakhir yang terhormat Pek Sim Siansu?" bertanya si manusia
berkerudung. "Benar locianpwe, tecu murid terakhir suhu Pek Sim Siansu dan suheng Sian Eng Cu
dan juga murid Liong-i-Sinni" Mei Lan memperkenalkan diri.
"Ach, orang sendiri. Baiklah, biarlah Liong Jie kutitipkan kepada Sian Eng Cu dan
Nona serta Paman semua. Dia sedang meleburkan tenaga sakti "im" dan "yang" yang
terguncang tadi, sebentar lagi dia sadar. Paman, aku mohon diri" dan belum sempat
ada yang menahan kepergian si kerudung hitam, tiba-tiba orangnya sudah jauh
mencelat ke pintu masuk lembah dan kemudian lenyap. Si manusia berkerudung
seperti belum ingin memperkenalkan dirinya, bahkan kepada Ceng Liong sekalipun.
Karena itulah dia tidak menunggu sampai Ceng Liong sadar dari peleburan hawa
saktinya. Sebentar kemudian Ceng Liong benar-benar sadar, tetapi diapun tahu, bahwa untuk
menenangkan gejolak sinkangnya, dia butuh waktu sehari atau dua hari agar kekuatan
singkangnya bisa melebur dan bahkan bisa memetik keuntungan dari benturanbenturan
kekuatan dengan Bouw Lim Couwsu. Bahkan hal yang sama juga dialami
Mei Lan, setelah dua kali berbenturan dengan Hu Pangcu, dia merasa ada sesuatu
yang harus dia tenangkan dengan tenaga saktinya.
Selain itu, dia merasa ingin berbicara banyak dengan Kiang Ceng Liong, karena itu
dia memutuskan untuk tinggal sebentar. Sementara Sian Eng Cu yang mengemban
tugas gurunya, sudah berpamitan esok harinya dan melanjutkan pekerjaannya
mengganggu Thian Liong Pang. Yang pasti, dia sudah tahu siapa tokoh lain yang
mengganggu Thian Liong Pang, meskipun dia masih belum mengerti dengan kalimat
"keluarga kami telah menyebabkan banyak kesengsaraan, dan biarlah setelah semua
jelas, kami akan meminta maaf". Sebuah kalimat yang sulit ditafsirkannya untuk saat
ini. Selain Mei Lan, Giok Lian juga memutuskan untuk tinggal, karena dia ingin
menemukan jejak kakaknya dengan berbicara banyak bersama Ceng Liong. Apalagi,
dari lubuk hatinya dia menyimpan kekaguman terhadap Ceng Liong, seperti juga
terhadap Tek Hoat. Tetapi, terhadap Ceng Liong, dia melihat bahwa nampaknya Mei
Lan sudah beberapa langkah menang didepannya, karena itu dia menahan diri
terhadap rasa kagumnya itu. Demikianlah, selama 2 hari, baik Mei Lan maupun Ceng
Liong kemudian banyak bekerja keras untuk menarik keuntungan dari beberapa
benturan hebat yang mereka alami akhir-akhir ini.
Dan tanpa mereka sadari, kekuatan sinkang mereka justru mengalami kemajuan yang
cukup berarti. Seadainya diadu lagi dengan Bouw Lim Couwsu, Ceng Liong pasti
sudah akan menang seusap dalam hal Sinkang akibat Samadhi dan pemusatan
kekuatannya selama 2 hari. Dia berhasil meleburkan kembali semua kekuatan yang
menerpa dan keluar dari tubuhnya, dan meningkatkan penguasaannya atas tenaga
sakti tersebut. Hal yang sama juga dialami oleh Mei Lan selama 2 hari terakhir.
Sementara itu, segera setelah pertempuran usai, sebelum beristirahat, Ceng Liong
telah memerintahkan anak murid Kay Pang untuk ikut membantu pembersihan mayat
di Keluarga Yu. Dan keesokan harinya dia mengucapkan terima kasih kepada Liauw
Cu Si dan Kay Pang di Lok Yang, dan melepas mereka kembali ke Lok Yang.
Hubungan Kay Pang di Lok Yang dengan keluarga Yu menjadi semakin baik setelah
kejadian tersebut. Sementara Yu Siang Ki juga mengucapkan terima kasih kepada
semua orang, kepada Sian Eng Cu, Maling Sakti, Giok Lian dan Mei Lan.
Dia menahan semua orang untuk menjamu sambil beristirahat, tetapi Sian Eng Cu
telah berkeras untuk berangkat setelah beberapa lamanya berbicara dengan sumoynya.
Bahkan menggoda sumoinya untuk atas nama sumoynya menjadi comblang bagi
perjodohannya dengan Ceng Liong. Guyon yang dibalas dengan mata terbelalak dan
pura-pura marah dari Mei Lan, tetapi dengan gaya khasnya sebagai Suheng dan Orang
tua, Sian Eng Cu mengingatkan Mei Lan akan usianya (padahal 18-19 tahun masih
sangat muda saat ini, tapi sudah cukup umur dimasa itu). Dan juga memberi tahu
bahwa matanya tidak buta akan perasaan Mei Lan, juga bukan tidak mengenal watak
dan prilaku gadis itu. Hal yang pada akhirnya dengan malu-malu diakui oleh Sian Eng
Cu, meski Mei Lan menyatakan tetap penasaran dengan kepandaian Ceng liong. Tapi
Sian Eng Cu mengingatkan, bahwa anak muda itu menyimpan sebuah kekuatan yang
mengerikan, dan bahkan sudah pernah disinggung suhu mereka, Wie Tiong Lan.
Kejadian dan pertempuran di Benteng Keluarga Bhe dan Perkampungan Keluarga
Yu, yang nyaris bersamaan dengan penyerangan ke Cin Ling Pay menimbulkan reaksi
balik yang luar biasa. Pertempuran di Benteng Keluarga Bhe, sudah sebuah
peringatan bagi Thian Liong Pang bahwa perlawanan besar sedang dilakukan.
Terlebih setelah pertarungan lebih besar dan lebih seru di Perkampungan Keluarga
Yu. Pukulan telak yang diberikan melalui perlawanan di dua tempat itu
menghapuskan kebanggaan bisa mencaplok Cin Ling Pay dan membunuh beberapa
tokoh pedang Tionggoan.
Selain itu, mulai muncul optimisme dunia persilatan Tionggoan bahwa perlawanan
akan segera dilakukan oleh para pendekar Tionggoan. Gerakan-gerakan yang
dilakukan Bu Tong Pay, Kay Pang dan Lembah Pualam Hijau telah melahirkan
optimisme tersebut. Terlebih dengan tampilnya Bengcu atau Duta Agung baru dari
Lembah Pualam Hijau yang konon luar biasa saktinya, meski masih sangat muda.
Pertempuran di keluarga Yu kembali melambungkan nama-nama Naga muda, Ceng-i-
Koai Hiap yang kini menjadi Bengcu, Sian Eng Niocu dan juga Siangkoan Giok Lian
si Dewi berhati Besi. Nampaknya bentrokan besar sebentar lagi akan terjadi, dengan
berterang atau dengan serangan menggelap. Setidaknya, pukulan berat bagi Thian
Liong Pang mengirimkan sinyal bahwa, dunia persilatan Tionggoan tidaklah mudah
ditaklukkan oleh Thian Liong Pang.
Episode 22: Upacara Duka di Siauw Lim Sie
Siang itu, sosok anak muda gagah sedang mendaki Gunung Heng San. Nampaknya
anak muda yang gagah dengan wajah selalu tersenyum itu sudah mengenal betul
jalanan sekitar gunung Heng San. Terbukti dia tidak harus berhenti untuk memilih
jalan, tetapi dengan pasti mengarah kesebuah tempat yang nampak dikenalinya. Dia
nampak agak tergesa, karena memang seperti itulah yang dipesankan gurunya.
Tidak boleh terlambat seharianpun untuk tiba di Heng San, karena pertemuan mereka
nantinya adalah pertemuan terakhir. Dan sudah tentu, dan pasti, anak muda itu
mengenal jalanan di Heng San, karena disanalah selama lebih dari 10 tahun dia
menghabiskan waktu untuk melatih diri dalam ilmu Silat. Di Heng Sanlah gurunya
menempa dia habis-habisan dan menjadikan dia anak muda yang sakti, pilih tanding.
Anak muda ini, Liang Tek Hoat, atau yang sudah menerima julukan Sie yang si cao,
sebagaimana diketahui, dititipkan oleh gurunya, Kiong Siang Han untuk berlatih
dengan Kiang Sin Liong. Bukan karena gurunya kurang sakti, tetapi memang untuk
menyempurnakan ilmu silat muridnya, Kiong Siang Han terpaksa menitipkan
muridnya ini kepada Kiang Sin Liong. Sementara dia sendiri mengerjakan beberapa
hal terakhir dalam hidupnya.
Bersama Kiang Sin Liong, Kian Ti Hosiang dan Wie Tiong Lan, mereka sudah
mengetahui dan menyadari, bahwa usia mereka sudah mendekati akhir. Bahkan,
Kiong Siang Han sudah mengetahui batas akhir kehidupannya, setidaknya mendekati
tahu, hari apa yang akan membuat mereka berpisah dari kehidupan manusia. Dan
kematangan serta kesempurnaan tenaga dalamnya, membuat Kiong Siang Han
tidaklah rewel dan nelangsa menghadapi akhir hidupnya. Sebaliknya, malah nampak
sangat tenang dan sangat siap menyambutnya.
Dan, dengan menitipkan Tek Hoat, kakek sakti ini sebetulnya sedang mempersiapkan
hari terakhirnya. Mempersiapkan tempat istirahatnya dan mempersiapkan anak murid
lainnya di Kay Pang. Karena selain Tek Hoat, dia masih belum merasa rela untuk
meninggalkan murid-muridnya yang lain, Sai Cu Lo Kay dan yang terutama
menyempurnakan Kay Pang Cap It ho Han. Dan untuk urusan itulah kemudian Kiong
Siang Han meluangkan waktu-waktu terakhirnya. Dan selama kurang lebih 6 bulan


Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terakhir ini, Kiong Siang Han mempersiapkan hal-hal terakhir tersebut sampai benarbenar
dianggapnya tuntas.
Mempersiapkan gua bertapanya sebagai peristirahatan terakhir, menatanya dan
membuat tempat tersebut seakan akan ditempatinya sebagaimana kehidupan
keseharian biasanya. Dan, menunjukkan bakti terakhir bagi Pang yang dibesarkan dan
membesarkan namanya, yakni Kay Pang, sebuah perkumpulan terbesar di Tionggoan
dewasa ini. Dan masih tetap terbesar dalam jumlah anggota dan anak murid yang
mencapai ribuan jumlahnya dan tersebar di segenap pelosok negeri.
Hari ini, adalah tepat 6 bulan yang dijanjikan Siang Han dan diperintahkannya
kepada Tek Hoat untuk tepat pada hari ini berada di Heng San, di gunung belakang
tempat dimana markas besar Kay Pang berada. Dan karena sudah diwanti-wanti
gurunya, dan juga dikuatkan Kiang Sin Liong yang dititipi gurunya untuk melatihnya,
maka Tek Hoat tidak berayal.
Dengan kecepatan penuh dia melesat dan menuju ke Heng San, dan ketika memasuki
Heng San, dia menempuh separuh jalan menuju Markas Kay Pang baru kemudian
berbelok ke hutan rimbun, memasuki area belakang Gunung Heng San dan kemudian
tiba di tempat yang biasanya digunakan gurunya untuk bertapa dan melatih dirinya.
Pemandangan sekitar gua itu memang indah, yakni menampak bagian gunung Heng
San yang memisahkannya dengan markas besar Kay Pang dan sebelahnya lagi
merupakan hamparan menghijau sejauh mata memandang. Dan, yang penting, gua ini
terpisah dan sulit ditemukan oleh siapapun jika tidak dikehendaki untuk melihat gua
tersebut. Belum lagi kakinya melangkah masuk, sebuah suara sudah menyambutnya:
"Masuklah muridku. Mari, waktu kita tidak lama lagi"
Tek Hoat tidak berayal dan segera memasuki gua tempat bertapa gurunya, dan juga
tempat tinggalnya selama belasan tahun berlatih ilmu Silat. Dan Tek Hoat segera
berlutut dihadapan orang tua itu, yang dimata Tek Hoat nampak demikian agung dan
dengan sinar mata yang agak lain, tapi sulit dijelaskan.
"Tecu menghadap suhu. Bagaimanakah keadaan suhu, baik-baikkah?"
"Baik-baik saja muridku. Tapi, biarlah kita tidak mempercakapkan masalah
kesehatanku. Biarkan aku menyelesaikan tugas-tugas terakhir sebelum maut
menjemputku" ringan saja Kakek Sakti Kiong Siang Han membicarakan masalah mati
hidupnya. Padahal Tek Hoat menjadi terperanjat dan tercekat dengan ucapannya itu.
Tapi, orang tua itu terus melanjutkan:
"Aku memintamu datang, karena batas usiaku sudah tiba muridku. Selama 6 bulan
terakhir, gurumu ini telah melakukan gemblengan terakhir untuk Kay Pang Cap It Ho
Han, serta juga suhengmu Sai Cu Lo Kay. Selain suhengmu dan engkau muridku,
tidak ada yang tahu kalau usiaku sudah tiba pada batasnya. Tetapi, masih kubutuhkan
menilik keadaanmu untuk terakhir kalinya, sambil memberi tugas khusus buatmu
menjelang perpisahan kita yang terakhir. Karena itu, biarlah kita memulai satu demi
satu" Nampak Kakek renta itu menghirup nafas, sangat tenang dia nampaknya. Setelah
menarik nafas dan memandangi muridnya yang menjadi tegang mendengar batas
usianya sudah tiba, tiba-tiba kakek itu berujar:
"Muridku, mari, mulailah engkau menunjukkan tingkat kemajuanmu untuk yang
terakhir kalinya. Suhengmu, sudah melakukannya semalam, demikian juga Kaypang
Cap It Ho Han. Biarlah gurumu menilaimu untuk yang terakhir kalinya, sejauh mana
Sin Liong mendidik engkau selama 6 bulan terkahir ini di tempat pertapaannya"
"Baik guru" Jawab Tek Hoat mantap, meskipun hatinya teriris-iris mendengar
gurunya akan berpisah untuk selamanya dengan mereka.
Dan, Tek Hoat kemudian memainkan kembali semua Ilmu Silat yang diwarisinya
dari gurunya. Baik ilmu-ilmu pusaka Kay Pang, seperti Hang liong Sip Pat Ciang, Tah
Kauw Pang, kemudian Pek Lek Sin jiu bahkan kemudian juga memainkan Sin kun
hoat Lek yang nampak sudah bisa dimainkannya dengan sempurna, nyaris tanpa
cacat. Bahkan, Tek Hoat kemudian memainkan Soan hong Sin Ciang dan lebih hebat
lagi dipadukan dengan Toa Hong Kiam Sut dan menghadirkan hawa menusuk yang
sangat tajam. Semua permainanannya itu mengagumkan gurunya, bahkan pada puncak pengerahan
kekuatan sinkangnya, nampaknya Tek Hoat sudah sanggup menghimpun hawa
khikang pelindung badan. Hawa pelindung badan itu semakin lama semakin tebal dan
tentu semakin sulit hawa itu disusupi oleh kekuatan senjata tajam, bahkan juga hawa
pukulan tokoh kelas satu lainnya. Hanya tokoh-tokoh utama dan tersembunyi yang
akan mampu menembusi kekuatan khikang Tek Hoat. Yang bila ditambah lagi dengan
khasiat darah ular sakti yang nampaknya sudah melebur habis dengan kekuatan
sinkangnya, maka kekuatan khikang pada puncaknya bukan hanya membuat Tek Hoat
kebal racun, tetapi bahkan kebal senjata. Dan bila dikerahkan sepenuhnya, diapun
mampu mengalirkan hawa sangat panas dan mempengaruhi medan pertempuran.
Dengan jurus-jurus Hang Liong Sip Pat Ciang saja, sudah sangat sulit menemukan
lawan baginya. Kini, bahkan anak muda ceria ini, bahkan sudah dilengkapi dengan
ilmu-ilmu mujijat lainnya, yang membuatnya menjadi semakin lengkap dan semakin
berbahaya. Hawa sinkang yang dirangsang kemajuannya oleh ular mujijat dan
kemudian bahkan disempurnakan oleh perpaduan dengan hawa im yang disalurkan
dan dilatihkan oleh Kiang Sin Liong, membuat anak ini menjadi semakin berbahaya.
Ilmunya meningkat sangat tajam, bahkan meningkat sangat jauh dibandingkan
dengan 2,5 tahun sebelumnya. Gurunya nampak menarik nafas puas melihat
permainan Tek Hoat, terutama melihat bahwa Tek Hoat sudah berhasil membentuk
hawa pelindung badan yang ampuh. Dan bila dilatih lebih jauh, maka selain senjata
tajam, senjata ilmu pukulanpun akan sangat sulit menembusnya. Selebihnya bahkan
ilmu-ilmu mujijat yang dikuasainya sudah semakin matang, termasuk Sin kun Hoat
Lek. Juga memainkan Soan hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut dengan sangat mahir,
bahkan dengan varian yang menjadi lebih berbahaya ketimbang aslinya. Bahkan,
untuk jurus Pek Lek Sin Jiu, Tek Hoatpun sudah sanggup memainkan Ilmu itu dengan
perbawa yang sangat mengerikan. Masih lebih masak dibandingkan Ceng Liong,
terutama pada perbawa fisiknya karena memang landasan tenaganya adalah "yang"
dengan daya rusak yang snagat mengerikan itu.
Setelah bersilat dengan semua Ilmu tersebut, akhirnya Tek Hoat kemudian
mengendorkan permainannya dan tidak lama kemudian berhenti. Meskipun demikian,
tidak nampak Tek Hoat mengalami kelelahan, sebaliknya nampaknya dia biasa-biasa
saja. Padahal, barusan dia mengerahkan banyak sekali kekuatan sinkang dan
ginkangnya pada saat melakukan latihan didepan gurunya. Setelah berhenti, Tek Hoat
kemudian kembali datang dan berlutut di hadapan kakek sakti gurunya tersebut;
"Hm, Tek Hoat muridku, Ilmumu sudah memadai dan sudah mendekati kemampuan
Ceng Liong ketika terakhir kita berjumpa dengannya. Kemampuanmu masih akan
terus meningkat mengingat perpaduan tenaga "im" dan "yang" akan terus
merangsangmu berlatih dan terus berlatih untuk membaurkannya. Paduan itu, bahkan
akan bisa lebih mempunyai variasi dan lebih luas dibandingkan dengan kekuatan
"sinkang perjaka" yang dilatih gurumu. Karena itu, jangan berhenti berlatih dan
jangan juga terlalu memaksakan diri. Karena usiamu memungkinkan perkembangan
tersebut terjadi secara alamiah dan semakin memperkuatmu. Latihlah terus
penguasaan kekuatan perpaduan tenaga sinkang tersebut, semakin berlatih akan
semakin matang dan masak engkau menguasai tenaga perpaduan tersebut"
"Ach, semuanya karena budi baik suhu belaka"
"Tetapi, tanpa usahamu sendiri, maka tidak akan bermakna yang dikerjakan gurumu
ini. Untungnya kamu ulet, cerdas dan berkemauan keras. Makanya, kamu bisa
sesukses saat ini".
"Tapi, apakah menurut suhu masih ada yang harus tecu tingkatkan pada hari-hari
mendatang ini?"
"Tentu saja. Biarkan gurumu ini memperkuat engkau pada beberapa hari terakhir ini,
meningkatkan pengetahuan dan pengendalianmu atas hawa khikang dan juga
menyempurnakan penggunaan Sin kun Hoat Lek. Gerakan-gerakannya sudah kamu
pahami, bahkan dengan rahasia penggunaannya. Bila tenaga "yang" ditambah, maka
fondasi Ilmu perguruan kita akan semakin matang dalam tubuhmu. Kamu perlu tahu,
sebagian tenaga suhumu sudah dikuras melatih susiokmu yang akan menjaga markas
Kaypang bersama Ciangbunjin. Beberapa hari ini, engkau harus bertekun
menyempurnakan dirimu, sebelum engkau mewakili gurumu berkunjung ke Siauw
Lim Sie" "Tapi, Suhu, bagaimana dengan kesehatanmu?" Bukankah suhu juga sudah berada
dalam betas usia yang akan menyita tenaga bila terus melatih tecu?"
"Justru batas usia tersebut berusaha kuperpanjang beberapa hari, hanya untuk
menyempurnakanmu. Engkau akan berhadapan dengan musuh besar gurumu suatu
saat, entah Kim-i-Mo Ong, atau entah juga pendekar-pendekar Thian Tok, Bengkauw
dan Lam Hay. Ilmumu saat ini memang sudah memadai menandingi mereka, tetapi
engkau bersama Ceng Liong dan kawanmu yang lain harus mempertahankan wibawa
dunia persilatan Tionggoan. Jadi, mau tak mau gurumu mesti melakukannya"
Demikianlah, selama 3 hari berturut-turut, Tek Hoat digembleng lagi oleh gurunya.
Bahkan gurunya tidak banyak bicara, tetapi lebih banyak bekerja, memperkuat
sinkangnya, meluruskan dan menyempurnakan penggunaan tenaga dan menyalurkan
hawa "yang" bagi tek Hoat. Sebetulnya Tek Hoat tidak sampai hati melihat keadaan
gurunya yang sudah tua renta dan masih sangat sibuk mengurusi dan melatihnya tidak
kenal lelah. Tetapi, menyadari bahwa dia memang harus mempertahankan
kehormatan perguruannya, juga dunia persilatan Tionggoan, membuat Tek Hoat
mengeraskan hati melewati 3 hari penuh dalam bimbingan terakhir gurunya.
Dan, sungguh tidak sedikit kemajuannya selama 3 hari berturut-turut digembleng
habis oleh gurunya, bahkan sinkangnya juga seakan-akan "dimasak" dan
"dimatangkan" oleh gurunya sebagai persiapan terakhir. Dan, masa 3 hari itupun
akhirnya selesai, diiringi oleh rasa puas gurunya ketika melihatnya bersilat pada
malam hari ketiga itu. Puas melihat hasil didikannya bersilat, dan terutama juga puas
karena murid terakhirnya ini menunjukkan watak dan pribadi yang tidak
mengecewakan. Bahkan sudah bebruat banyak bagi Kaypang meskipun usianya masih
sangat muda belia.
"Sudah cukup, dan rasanya, meskipun Ceng Liong memiliki sedikit kelebihan, tetapi
untuk mengalahkan engkau, sudah sulit dicari orangnya saat ini" gumam gurunya
pada akhir mereka berlatih bersama. Anehnya meskipun gurunya membandingkannya
dengan Ceng Liong, tetapi tiada tersimpan satupun rasa iri dihatinya. Karena, baginya
Ceng Liong bahkan sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri, selain diapun merasa
menyayangi Ceng Liong yang hidup anak itu pernah diselematkannya. Dan, dia
sendiripun memang merasa kagum akan ketenangan, wibawa dan kehebatan Ceng
Liong. "Baiklah, engkau kembali melatih hawa sinkangmu menurut latihan peleburan hawa
sepanjang malam ini. Besok
pagi-pagi, gurumu akan menyampaikan pesan pesan terakhir untukmu bersama
suhengmu" "Baik suhu" Tek Hoatpun berlalu, dan baru terasa betapa lelah dan letihnya setelah
melakukan latihan habis-habisan selama 3 hari penuh.
============== "Suhu, bagaimana bisa begitu" suara si Anak muda terdengar penasaran, sebentuk
protes atas pernyataan orang tua yang duduk dihadapan mereka. Disamping anak
muda itu, adalah seorang tua bernama Sai Cu Lo Kay, Liu yok Siong, murid pertama
Kiu Ci Sin Kay Kiong Siang Han, sementara dihadapan mereka berdua duduklah guru
besar Kaypang yang sangat terkenal itu.
"Sudah kuputuskan murid-muridku. Hari ini adalah batas usiaku, tidak akan melewati
tengah hari ini. Karena itu, kalian berdua kupanggil untuk menerima pesan agar
jangan siapapun tahu, selain kalian berdua, bahwa aku orang tua sudah tidak hidup
didunia ini lagi"
"Suhu, betapapun engkau orang tua adalah tokoh besar Kaypang, bahkan tokoh besar
Tionggoan. Bagaimana mungkin Kaypang tidak diberi kesempatan untuk
menghormati suhu di ujung usia suhu yang mulia" suara Sai Cu Lo Kay meskipun
dihalus-haluskan tetap terdengar seperti raungan singa. Keras, pekak dan menusuk
telinga. "Suheng benar suhu, bagaimanapun berilah kesepatan bagi Pangcu Kaypang dan bagi
kami murid-muird suhu untuk memberi penghormatan terakhir" kejar Tek Hoat
membantu toa suhengnya.
"Murid-muridku, aku tidak menginginkannya. Biarlah tempat istirahatku yang
terakhir adalah tempat bertapaku, tempatku melatih kalian berdua pada akhir hidupku.
Lepaskanlah gurumu dengan lapang, jangan dibebani dengan penghormatan sia-sia.
Gurumu ingin agar tempat ini tetap tenang dan senyap seperti sekarang. Lagipula,
tokoh dan anggota Kaypang sudah lama mengerti dan mengira bila gurumu sudah
tiada" Tek Hoat dan Sai Cu Lo Kay masih tetap berdebat panjang, tetapi Kiong Siang Han
sudah kukuh untuk tidak menyiarkan kabar kematiannya. Bahkan tidak menghendaki
adanya acara besar-besaran sebagai penghormatan Kaypang bagi dirinya.
"Apalagi, dengan mendengar kabar kematianku, maka bukan tidak mungkin Thian
Liong Pang malah mengusik kita. Bukannya takut, tetapi jika keadaan aman-aman
saja, maka gurumu akan memikirkannya" demikian alasan terakhir Kiong Siang Han
menutup pembicaraan soal penghormatan bagi kematiannya.
"Selanjutnya, dengarkanlah pesan-pesan terakhir lohu bagi kalian berdua masingmasing:
Yok Siong, engkau sebagai murid tertuaku kutugaskan untuk membantu
Pangcu menjaga markas besar kita. Bersama kalian sudah kutugaskan Kay Pang Cap
it Ho Han, yang juga adalah murid-murid terakhir meski untuk latihan barisan khusus
Kay Pang. Tek Hoat tidak kutugaskan di markas, karena dia memiliki tugasnya
sendiri, justru di luar markas kita. Engkau tidak harus ikut dalam urusan sehari-hari
Kay Pang, tetapi mengawasi markas kita sebagaimana yang dilakukan gurumu dan
engkau sendiri selama beberapa tahun terakhir ini. Bekalmu sudah lebih dari cukup
untuk melakukannya. Sebagai murid tertuaku, biarlah engkau yang memegang Kiu Ci
Kim Pay ini" sambil Siang han menyerahkan tanda pengenal khususnya yang
dihadiahkan musyawarah kaum pengemis ketika dia mengundurkan diri sebagai
Pangcu Kaypang puluhan tahun sebelumnya. Bersama tanda itu, juga secarik kertas
surat diserahkan maha guru Kaypang ini.
"Dengan tanda ini, engkau memiliki kekuasaan untuk mencampuri urusan Kaypang
bila sangat mendesak. Gunakanlah tanda ini dan kembalikan kepada pangcu generasi
berikutnya setelah badai dunia persilatan ini mereda. Engkau berhak menentukan
dimana akan tinggal dan melakukan apa setelah kemelut ini berakhir. Dan kertas itu,
adalah tugasmu yang terakhir setelah kemelut usai, lakukan menurut isi surat tersebut.
Boleh engkau baca saat ini, tetapi simpan rapat sampai suatu saat surat itu akan sangat
dibutuhkan"
"Baik guru, tecu mengerti"
"Dan engkau Tek Hoat, gurumu menugaskanmu untuk ikut serta dalam upaya
memadamkan teror bagi dunia persilatan Tionggoan ini. Generasi kalian adalah
harapan satu-satunya bagi dunia persilatan, jadi bertindaklah tegas dan menurut
aturan. Adil dan menghormati kawan dan lawan, dan menghukum mereka yang
bersalah. Selain itu, engkau harus mewakiliku dalam pertemuan pendekar Tionggoan
dengan jago-jago Thian Tok, Lam Hay dan Bengkauw pada 3 tahun kedepan. Dan
selain itu, engkau kutugaskan untuk menyampaikan pesan terakhirku kepada ji
suhengmu Ciu Sian Sin Kay. Menurut mata batinku, Ji Suhengmu itu masih hidup di
dunia ini dan sangat mungkin dia bertemu denganmu dalam pengembaraanmu.
Sampaikanlah pesan dan titipan terakhir suhumu kepada dia" Sambil sang guru
menyerahkan sebuah bungkusan kecil, dalamnya nampak sebuah kitab kecil.
"Baik guru" Tek Hoat menyambut bungkusan kecil itu dan menyimpannya dengan
perasaan tak menentu. Gurunya, memang benar-benar manusia aneh. Membicarakan
masalah kematian seperti masalah remeh lainnya saja, dan seenaknya menyuruh
murid-muridnya melalukan sesuatu seakan tiada kesedihan untuk melepasnya pergi.
Tetapi, baik Tek Hoat maupun yok Sing tidak sanggup mengatakan apapun juga
kepada orang tua yang mereka kasihi dan hormati itu. Karena orang tua itu, berlaku
seakan meninggalkan dunia seperti akan berpelesir saja.
"Nach, murid-muridku, semua yang mungkin dan bisa kulakukan sudah kulakukan
bagi Kaypang, bagi murid-muridku dan bagi dunia persilatan Tionggoan. Kalian harus
melepaskanku dengan lapang, dan kepergianku juga hanya disaksikan murid-muridku.
Semua kebesaran dan penghormatan yang kalian maksud, tidak lagi menarik bagi
gurumu ini. Lebih bermakna meninggalkan kalian dengan melihat tekad kalian untuk
berlaku yang terbaik bagi Pang kita dan dunia persilatan Tionggoan. Jika ada yang
ingin kalian sampaikan pada kali terakhir ini, silahkan disampaikan. Tetapi, setelah itu
gurumu meminta kalian keluar dan mengerahkan tenaga untuk meruntuhkan tebing
didepan goa ini dan biarlah gurumu kemudian beristirahat selamanya dalam ruangan
gua ini". "Nah, Tek Hoat, apa yang ingin engkau sampaikan bagi gurumu buat yang
terakhir kalinya?"
"Suhu, apakah tecu tidak lagi diperkenankan menghadap engkau orang tua dihari hari
mendatang" Tek Hoat mengucapkannya dengan nada mengharu biru
"Anakku, untuk selanjutnya engkau tidak lagi menghadap suhumu, tetapi
menyambangi makam suhumu disekitar tempat ini" ucap sang guru.
"Dan engkau Yok Siong?"
"Suhu, perkenankan tecu menyepi disekitar goa ini setelah kemelut dunia persilatan
berakhir" "Baik muridku, permintaanmu kukabulkan. Sekarang, biarlah kalian berdua keluar.
Waktuku rasanya juga sudah habis" Selesai berkata demikian, Kiong Siang Han
kemudian nampak mengatur samadhinya, nampak sangat tenang dan dihadapan kedua
muridnya. Begitu seterusnya, sampai sekian lama, dan baru kemudian kedua murid itu
sadar, kalimat gurunya tadi adalah kalimat terakhir. Kalimat yang menandakan
berpulangnya seorang tokoh besar, legenda terbesar Kaypang, seorang guru besar
yang dihormat bukan hanya oleh anggota Kaypang, tapi bahkan oleh dunia persilatan


Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tionggoan. Kepergian seorang tokoh besar dalam kesederhanaan dengan hanya
ditunggui kedua orang muridnya.
"Suhu, biarlah tecu berjanji akan mempertaruhkan kehormatan tecu untuk
melaksanakan semua tugas yang engkau orang tua embankan. Tanpa engkau tecu
bukanlah siapa-siapa, biarlah semua pesanmu orang tua, tecu lakukan tanpa
membantah" Tek Hoat menyampaikan janjinya didepan jenasah suhunya dan
kemudian perlahan-lahan beranjak keluar gua setelah sekian lama memandangi
dengan rasa haru jenasah gurunya yang pergi dengan tenang. Langkahnya diikuti Sai
Cu Lo Kay yang juga terharu mengiringi kepergian orang tua yang sangat
dihormatinya. Seakan mengerti dengan kesedihan kedua orang murid yang ditinggal
gurunya, di atas sana, sang mentari juga tidak memancarkan sinarnya dengan garang.
Tetapi, sinarnya nampak kelabu, nampak muram, semuram perasaan kedua anak
murid yang ditinggalkan gurunya itu.
Dan, pada akhirnya, memenuhi permintaan terakhir guru mereka, kedua murid itu
nampak melepaskan masing-masing sebuah pukulan kearah tebing batu diatas gua
peristirahatan guru mereka. Dan, kehebatan tenaga dalam mereka yang tidak olahKoleksi
Kang Zusi olah, menggetarkan tebing itu, dan sebentar saja runtuhlah bebatuan besar yang
menimpa gua dibawahnya dan menutupi untuk selama-lamanya gua tempat bersemadi
seorang guru besar dunia persilatan yang berpulang dalam kesederhanaan. Berpulang
hanya dengan diiringi dan ditunggui kedua muridnya, bahkan yang menolak upacara
kebesaran, sebesar nama yang pernah dipupuknya selama masa hidupnya. Dan kini,
dalam tebing itu, tersembunyi tubuh tua itu, tubuh renta yang banyak melakukan hal
hal besar semasa hidupnya.
Manusia, betapapun hebatnya, betapapun saktinya, betapapun baiknya, tetaplah
manusia. Pada akhir kehidupannya, tetap yang tertinggal adalah tubuh yang tidak
kekal, tubuh yang akan diurai oleh alam untuk kembali keharibaan alam semesta.
Manusia, betapun hebatnya tetap akan tunduk oleh kekuasaan alam, karena belum ada
manusia yang sanggup melawan takdir kehidupan, takdir usia dan takdir lainnya yang
digariskan untuk dilewatinya. Kepergian tokoh besar, Kiong Siang Han, tidaklah
menggegerkan dunia persilatan, karena memang tidak dikehendakinya. Padahal, bila
dia mau, Kaypang memiliki kesanggupan berlebihan untuk mendatangkan tokoh besar
manapun di seluruh pelosok persilatan Tionggoan. Bila diundang, atau tanpa
diundangpun tokoh-tokoh gaib pasti akan muncul, demikian juga tokoh besar dunia
persilatan lainnya. Tetapi, itu tidak dikehendaki sang guru besar yang luar biasa ini.
Kehormatan, prestasi, nama besar, pahala besar, kesalehan, atau apapun namanya,
tidak akan pernah menghalangi jemputan maut bernama kematian. Sehebat apapun
kehormatan yang dipupuk seseorang dalam hidupnya tidaklah berkemampuan
menunda sehari saja kematian seseorang" Seharum apapun prestasi yang dicapai,
sebesar dan seharum apapun nama seseorang, tidaklah menambahi sedetikpun lama
bernafas ketika kematian menjelang. Bahkan kesalehan seseorang, pun tidaklah
menambah sehastapun jalan kehidupan orang bersangkutan. Karena manusia, tetaplah
manusia yang fana, yang memiliki batas akhir kehidupannya dan pada akhirnya harus
kembali kealam yang memberikan kehidupan kepadanya. Tubuh itu, akan kembali
menjadi tanah, diurai kembali oleh alam, dan dimanakah kehebatan manusia atas alam
jika sudah demikian" Manusia boleh mengutak-atik alam semaunya semasa hidupnya,
tetapi alam pada akhirnya yang akan menerimanya kembali keharibaannya sebesar
apapun kerusakan yang disebabkannya selama hidup terhadap alam semesta.
Ketika dan manakala manusia manunggal dengan alam, maka pada saat itu
sebetulnya banyak dimensi kehidupan yang lain yang ditemukan. Manusia berasal dan
akan kembali kealam. Itu hukumnya, dan belum ada fakta yang menolak kenyataan
ini. Nafas kehidupan, makanan, cara beradaptasi, semua adalah kreasi alam yang
kemudian dimodifikasi manusia dalam hubungan antar manusia. Tetapi, di atas
semuanya, tidak ada suatupun yang mesti dikatakan "terlepas" dari alam sama sekali.
Karena semuanya merupakan imitasi atau modifikasi dari apa yang ada dan tersedia
dalam alam semesta. Adalah sebuah hikmah dan karunia apabila harmonisasi manusia
dan alam bisa terwujud. Saat dimana manusia menyadari dirinya sebagai bahagian
alam semesta dan mengambil tindakan yang pantas dan bermakna bagi kehidupannya
dan serentak bagi alam semesta. Dan bila itu bisa ditemukan, maka kematian
bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan "..!!
Sementara Tek Hoat dan Sai Cu Lo Kay berkabung karena kematian gurunya, bahkan
Tek Hoat besimpuh dan tidur di sekitar kuburan gurunya selama seminggu, di Siauw
lim Sie seorang tokoh besar lainnya juga sedang menyongsong akhir kehidupannya.
Kian Ti Hosiang. Sebagaimana Kiong Siang Han, guru besar Siauw Lim Sie inipun
menghabiskan waktu-waktu terakhirnya bersama kedua murid kembarnya, murid
penutupnya. Terlebih, karena kedua murid kembar ini, juga akan ditugasi atas namanya untuk
menertibkan dunia persilatan dan melandaskan masa depan Siauw Lim Sie dan
kebesarannya di atas masa depan keduanya. Karena itu, tidak tanggung-tanggung guru
besar ini mendidik, melatih dan mempersiapkan kedua anak ini. Terlebih mendekati
ajalnya, yang sebagaimana Siang Han, juga Kian Ti Hosiang sudah mengerti dan tahu
belaka, sampai dimana batas usianya. Karena itu, seperti juga Kiong Siang Han, Kian
Ti Hosiang memanfaatkan waktu tersisa untuk menyempurnakan Ilmu kedua murid
utamanya ini. Pertemuan 10 tahunan yang terakhir telah menunjukkan banyak kemungkinan
baginya untuk bagaimana mengembangkan dan melengkapi kedua muridnya ini.
Dibandingkan dengan ke-3 guru besar lainnya, Kian Ti Hosiang tidak kekurangan
ilmu hebat dalam menggembleng murid-muridnya. Tetapi, justru karena itu, dia harus
menetapkan dan memilih mana yang paling tepat bagi murid-muridnya sesuai dengan
kondisi masing-masing murid tersebut. Dia sudah bisa membandingkan muridnya
dengan anak muda lainnya, dan mendapatkan gambaran kekurangan dan kelebihan
muridnya. Dan dengan cara itulah dia akan dan bahkan kemudian mengembangkan, melatih dan
mendidik mereka untuk meningkatkan dan menyempurnakan kepandaian mereka.
Baik bagi Souw Kwi Beng, maupun bagi Souw Kwi Song yang berbeda karakter dan
bahkan sudah dibuka kemungkinan lebih luas dalam penyempurnaan Ilmu mereka
melalui pertukaran dengan Wie Tiong Lan. Pertukaran yang memungkinkan
kemungkinan yang lebih luas dan lebih luwes bagi semua untuk meningkatkan dan
menyempurnakan kepandaian masing-masing. Terlebih, karena kemungkinan itu,
sanggup melambungkan penguasaan anak-anak muda tersebut dalam penghimpunan
dan pengendalian tenaga sinkang masing-masing yang dengan sengaja memang
ditingkatkan dengan obat-obatan dan benda mujijat lainnya.
Ilmu-ilmu Siauw Lim Sie memang lebih kokoh dibandingkan Ilmu Kiang Sin Liong,
Kiong Siang Han dan Wie Tiong Lan. Namun kalah indah dan kalah variasi
dibandingkan ilmu Lembah Pualam Hijau, kalah garang dari Kay Pang dan kalah
luwes dari Bu Tong Pay. Namun kemurnian Ilmu Silat memang harus dirujuk dan
dicari ke Siauw Lim Sie, dan dengan dasar itulah Kian Ti Hosiang kemudian
memperkuat dan menyempurnakan ilmu kedua muridnya. Sebagaimana Mei Lan
menerima warisan tenaga "yang" dan penggunaan Ban Hud Ciang guna memupuk
tenaga "yang" tersebut, kedua murid kembar inipun memperoleh warisan tenaga "im"
dan pengendalian hawa model Liang Gie Sim Hwat Bu Tong Pay dan dilatihkan
dengan Thai Kek Sin Kun oleh Wie Tiong Lan.
Kondisi Wie Tiong Lan dan Kian Ti Hosiang memang lebih dilematis, karena Ilmu
yang mereka pertukarkan adalah pusaka perguruan. Karena itu, ketiga anak muda itu,
diminta berjanji dulu untuk tidak mempergunakan dan menurunkan Ilmu tersebut bagi
orang yang menjadi murid Siauw Lim Sie di pihak pendekar kembar atau Bu Tong
Pay di pihak Mei Lan. Dengan kata lain, ilmu yang dipertukarkan hanyalah
diperuntukkan bagi ketiga anak muda tersebut dan tidak untuk diwariskan kepada
generasi sesudah mereka. Keputusan ini diambil setelah melalui perembukan yang
dalam, dan khusus dilakukan untuk mempercepat kesempurnaan latihan anak-muda
anak muda tersebut. Terutama, karena mereka juga dipersiapkan untuk menghadapi
badai dunia persilatan Tionggoan.
Ketika mendalami kembali kepandaian murid-muridnya, Kian Ti Hosiang mendapati,
bahwa terdapat kemungkinan yang luar biasa yang dimungkinkan bagi kedua
muridnya. Yakni dengan mengembangkan hawa khikang mujijat yang dimiliki Siauw
Lim Pay, yang baru bisa didalaminya dalam diskusi mendalam dengan Wie Tiong
Lan. Ilmu tersebut adalah Kim kong pu huay che sen (Ilmu Badan/Baju Emas Yang
Tidak Bisa Rusak) yang baginya sudah mencapai titik kesempurnaan. Penguasaan
hawa khikang ini membuatnya kebal senjata tajam dan bahkan kebal racun, bahkan
bisa mencapai radius 5 hingga 10 meter.
Kian Ti Hosiang sendiri sudah mencapai titik kesempurnaan dalam penguasaan ilmu
mujijat Siauw Lim Sie yang tidak pernah bisa dikuasai oleh generasi murid Siauw
Lim Sie selama lebih 300 tahun terakhir. Secara mujijat, hawa khikang yang luar
biasa ini malah terpupuk oleh murid kembar ini ketika menggodok diri mereka
dengan penggabungan hawa "yang" dan "im". Penggerakan kekuatan sinkang yang
luar biasa ini, yang bahkan penyaluran hawa tersebut terbantu oleh arus Liang Gie
Simhwat, secara perlahan memupuk ilmu mujijat Siauw Lim Sie ini. Terutama ketika
dalam puncak pengerahan ilmu Tay Lo Kim Kong Ciang dan Tay Lo Kim Kong
Kiam yang mulai disempurnakan dengan pengerahan hawa "im" yang diterima
mereka dari Wie Tiong Lan.
Kian Ti Hosiang sendiri tidak bermimpi sebelumnya bahwa kedua muridnya ini akan
mampu memupuk hawa khikang tersebut sejak dini. Karena, dirinya sendiri baru
mampu mengmbangkan dan menyempurnakannya ketika banyak berdiskusi dengan
Wie Tiong Lan 50 tahun sebelumnya. Capaian murid-muridnya betapapun merupakan
keuntungan luar biasa dan sangat menyenangkan padri tua ini. Dan dia tidak
menyangka kalau peleburan hawa itu memiliki kemungkinan yang lebih banyak dari
yang mereka ber-4 tokoh gaib itu bayangkan.
Hari-hari terakhir, saat Kian Ti Hosiang menyadari bahwa saatnya semakin dekat,
dengan gembira ditemukannya bahwa kedua muridnya sudah mampu menguasai
hampir setengah bagian Kim kong pu huay che sen (Ilmu Badan/Baju Emas Yang
Tidak Bisa Rusak). Dengan Ilmu itu, mereka sudah mampu bereaksi untuk menolak
racun, meski belum otomatis. Tapi kepekaan tubuh terhadap racun sudah sangat
tinggi. Dan, pengerahan kekuatan hawa khikang ini, sudah sanggup menahan tusukan
dan tebasan senjata tajam dari tokoh tingkat satu dunia persilatan.
Bahkan kedua muridnya sudah sanggup memainkan Thai Kek Sin Kiam dan Thai
Kek Sin Kun secara sempurna dan memberi efek bantuan yang sangat besar dalam
menguasai ilmu khikang mujijat Siauw Lim Sie tersebut. Justru itulah keuntungan
terbesar kedua pendekar kembar, selain memperoleh tambahan jurus sakti lain dalam
penggabungan penggunaan Thai kek Sin kun dan Thai kek Sin Kiam. Dengan
gembira Kian Ti Hosiang melihat bahwa tinggal masalah waktu bagi kedua muridnya
untuk mencapai tingkat yang jauh lebih sempurna lagi. Dan itu tinggal masalah
ketekunan dalam berlatih dan penghimpunan tenaga sinkang yang lebih tinggi dan
sempurna lagi. Yang pasti, semua ilmu mujijat yang dilatihkannya kepada muridnya,
termasuk jurus maut terakhir ciptaannya Pek-in Tai-hong-ciang (Pukulan Tangan
Awan Putih Angin Taufan) sudah bisa diserap dan dilatih secara baik oleh kedua
murid penutupnya.
Dengan kedua muridnya sudah menguasai ilmu khikang mujijat Siauw Lim Sie
meski belum sempurna, Kian Ti Hosiang sudah merasa aman dan tenang untuk
meninggalkan muridnya dan bahkan Siauw Lim Sie. Kedua muridnya sudah nyaris
tanpa t Harpa Iblis Jari Sakti 17 Anak Berandalan Karya Khu Lung Anak Berandalan 2
^