Naga Naga Kecil 6

Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Bagian 6


n meminta berjaga di Bu Tong San. Hal ini dilakukannya karena dia sendiri memang
bertekad untuk mendidik Mei Lan dalam menandingi 4 anak lain yang juga dididik
oleh 3 kawan karibnya.
Meskipun tidak lagi dilandasi mau menang sendiri, tetapi melihat anak didiknya
kalah oleh anak muda didikan teman-temannya juga tentu tidak menyenangkan. Keempat
tokoh gaib ini, dalam rangka membantu dunia persilatan, secara tidak sadar
telah menciptakan keterikatan duniawi yang sebenarnya lama mereka coba
tinggalkan. Tetapi, merekapun sebenarnya menyadari hal tersebut. Untungnya alasan lain jauh
lebih tepat dan memang sangat sesuai dengan keadaan yang sedang dihadapi rimba
persilatan. Dengan motivasi yang sama dengan ketiga kawannya itu, Wie Tiong Lan yang sudah
berusia sungguh renta, mendekati 100 tahunan, kemudian meminta murid-muridnya
untuk ikut mendidik adik perguruan termuda mereka. Untuk gerakan-gerakan dasar
perguruan, Kwee Siang Le yang menangani, sementara untuk landasan ginkang, Sian
Eng Cu yang bertugas.
Sementara setiap malamnya, Wie Tiong Lan sendiri yang menggembleng Mei Lan
dengan Liang Gi Sim Hwat. Sebagaimana diketahui, landasan untuk
menyempurnakan ilmu-ilmu Wie Tiong Lan dan tentu Ilmu Bu Tong Pay adalah
Liang Gi Sim Hwat. Ilmu ini berisikan ilmu pernafasan dan cara menguasai hawa
dalam tubuh manusia, dan kemudian saat yang tepat untuk memperdalam hawa sakti
tersebut. Karena unsur kelemasan dan im, maka saat yang tepat untuk menghimpunnya adalah
di waktu malam hari, dan saat yang paling tepat adalah peralihan waktu tepat tengah
malam. Saat itulah yang paling tepat untuk menghimpun dan memperkuat tenaga
sakti. Itu jugalah sebabnya Wie Tiong Lan memilih untuk mendidik Mei Lan diwaktu
malam, sementara siang hari kedua muridnya yang bertugas mendidik Mei Lan.
Demikian mereka bergantian menggembleng anak perempuan yang memang sangat
berbakat ini. Anak yang menjadi murid penutup dari Pek Sim Siansu dan disiapkan khusus untuk
membantu Bu Tong Pay dan duniua persilatan dalam menghadapi kemelut yang
kembali menimpa Tionggoan.
Selain mendidik dan mengajarkan serta membuka rahasia Liang Gie Sim Hwat, pada
siang hari Wie Tiong Lan juga berkutat dengan benda-benda mujijat yang
dimaksudkannya untuk memperkuat tenaga sinkang Mei Lan. Dia sadar betul, bahwa
paling banyak usianya bertahan 10-15 tahun kedepan, dan berharap Mei Lan sudah
tuntas belajar sebelum dia meninggal dunia.
Karena itu, untuk mempercepat peningkatan kekuatan tenaga saktinya dan
menghimpunnya melalui pengaturan hawa Liang Gie Sim Hwat, maka Wie Tiong Lan
meramu banyak obat-obatan mujijat yang dikenal dan dikumpulkannya dalam
pengembaraannya dahulu.
Bahkan juga menggunakan sejumlah pil mujarab penambah tenaga yang dimiliki Bu
Tong Pay. Untungnya, Mei Lan sendiri memang memiliki tulang dan bakat yang
sangat baik untuk belajar Ilmu Silat.
Bahkan bakatnya itu menyamai Sian Eng Cu, bahkan kecerdasannya justru
melampaui Sian Eng Cu. Karena itu, keseriusan Wie Tiong Lan menjadi berlipat lipat.
Sama seriusnya adalah para suheng yang lama-kelamaan bukannya iri, malah
menyayangi sumoy mereka seperti menyayangi anak mereka sendiri.
Anak itu sendiri memang lincah, manja dan sangat menggemaskan, membuat orang
tua-orang tua itu menjadi lemah hati dan memanjakannya. Tapi sangat disiplin dalam
latihan silatnya.
Pembawaan Mei Lan sendiri memang ramah dan menggemaskan. Akibatnya, dia
sangat disayangi oleh Kwee Siang Le dan Sian Eng Cu yang mendidik adik perguruan
termuda mereka bagaikan mendidik anak sendiri. Kebetulan keduanya memang tidak
memiliki keturunan.
Seperti juga Wie Tiong Lan yang begitu mengasihi Mei Lan. Bahkan begitu
mengetahui bahwa Mei Lan masih berdarah Bangsawan, tetapi mau dan bersedia
hidup sesuai dengan gaya dan penghidupan gurunya, sungguh menambah rasa
percaya dan kasih gurunya.
Tetapi, bedanya, kasih sayang Wie Tiong Lan dibarengi dengan disiplin yang ketat.
Sadar bahwa kedua muridnya begitu mengasihi dan bahkan menganggap Mei Lan
anak sendiri, membuat Wie Tiong Lan tegas dan disiplin dalam mendidik dan
mengajar Mei Lan.
Bahkan semua didikan dan ajaran Silat kedua muridnya, dievaluasi pada malam
harinya, dan karena itu, Mei Lan sendiri dan kedua Suhengnya atau bahkan sering
dianggapnya Ayah Angkatnya tidak berani berayal dalam latihan.
Selama 5 tahun terus menerus, Wie Tiong Lan mendidik dan membuka rahasia Liang
Gie kepada murid terakhirnya ini. Tidaklah aneh apabila dia dengan sangat pesat
mengejar ketertingalannya dari ketiga suhengnya.
Terlebih lagi, Kwee Siang Le juga seperti Wie Tiong Lan, suka mengerahkan tenaga
sakti untuk membuka dan memperkuat sinkang Mei Lan. Karena itu, dalam 5 tahun
saja, kemajuan Mei Lan luar biasa pesatnya. Di usianya yang ke-12, dia berubah
menjadi anak gadis yang sangat sakti, dan terus meningkat seiring dengan
pertambahan usianya.
Bahkan di usianya yang ke-15 dan 16, saat dia disuruh oleh suhunya untuk turun
gunung, Mei Lan malah sudah nyaris bisa merendengi suhengnya Jin Sim Tojin dan
Kwee Siang Le. Sesuatu yang tentu sangat menggembirakan gurunya dan ketiga
suhengnya atas capaian yang diperoleh Liang Mei Lan.
Di usia yang ke-16, dia sudah mampu memainkan Liang Gie Kiam Hoat, Bu Tong
KIam Hoat, Thai Kek Sin Kun, Pik Lek Ciang, bahkan Sian Eng Cu juga
mengajarinya Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa) yang memang cocok
dengan Mei Lan.
Bahkan untuk menegaskan keunggulan ginkangnya, Wie Tiong Lan mengajarkan
smeua muridnya ilmu ginkang paling baru ciptaannya yang bernama Sian Eng Coanin,
(Bayangan Dewa Menembus Awan), yang sangat tepat dalam menyempurnakan
Ilmu Sian Eng Cu.
Dan satu tahun terakhir sebelum meninggalkan Bu Tong San, Wie Tiong Lan
membuka rahasia Ilmu yang terakhir diciptakannya dalam diskusi dengan Kian Ti
Hosiang yang dinamakannya Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa
Dewa Mendorong Bayangan).
Sebagaimana juga Kian Ti Hosiang, kesempurnaan ilmu ini harus dicari d an
dikembangkan sendiri, dan karena itu Ilmu mujijat ini diwariskan kepada semua
muridnya termasuk Jin Sim Tojin. Tinggal tergantung siapa yang mampu
menyempurnakan Ilmu yang juga sarat penggunaan kekuatan batin tersebut.
Ilmu ini sebenarnya pengembangan lebih jauh dari Ilmu yang dianjurkannya kepada
Sian Eng Cu menciptakan Sian Eng Sin Kun, sebelum dia mendalami perpaduan "im"
dan "yang" dengan Kian Ti Hosiang. Jadinya, berbeda dengan Kian Ti, Wie Tiong
Lan menggubah jurus yang berdasarkan im dan menggabungkannya dengan "yang",
sebaliknya dengan yang dilakukan oleh Kian Ti Hosiang.
Untuk itu, maka Wie Tiong Lan juga menciptakan Ilmu Ginkang Sian Eng Coan In,
sebagai paduan dan langkah-langkah bergerak pesat dari ilmu pukulan terbarunya.
Meskipun masih berusia remaja, tetapi kepandaian Mei Lan sudah sangat luar biasa,
bahkan juga penguasaan tenaga sinkangnya berkat bantuan Wie Tiong Lan sudah
meningkat dengan sangat pesat. Jika ada kekurangannya ialah pengalaman bertempur
dan juga kematangan dalam latihan.
Hal ini tentunya sangat dirasakan dan diketahui oleh Wie Tiong Lan. Karena itu,
menjelang pertemuan 10 tahunan yang juga akan melibatkan anak murid masingmasing,
Wie Tiong Lan kemudian memanggil Mei Lan dan memberitahu bahwa
sudah saatnya si gadis turun gunung.
Tentu disertai dengan pengertian dan informasi dari gurunya dan suhengnya
mengenai keadaan dunia persilatan. Mengenai tokoh tokoh persilatan dan juga
mengenai perkembangan yang paling akhir yang mereka ketahui.
Mei Lan juga diwajibkan oleh gurunya untuk datang ke pertemuan 10 tahunan, pada
1 tahun mendatang. Dan secara khusus Mei Lan diberi tugas untuk mencari Kiok Hwa
Kiam atau Pedang Bunga Seruni yang sudah sepuluh tahun tercuri orang dari Bu
Tong Pay. Mei Lan diberi kebebasan untuk berkelana kemana saja guna meluaskan
pengalamannya, tetapi yang terutama harus menyelidiki keberadaan Pedang Bunga
Seruni dan hadir dalam pertemuan 10 tahunan. Bahkan dalam pertemuan bersama
dengan ketiga suhengnya, Wie Tiong Lan memberitahukan bahwa Kiok Hwa Kiam
diwariskan kepada Mei Lan.
Karena Pedang tersebut sangat tepat untuk digunakan dengan Liang Gie Kiam Hoat.
Demikianlah kemudian Mei Lan turun gunung, dan sebagai seorang anak gadis, tentu
yang pertama dirindukannya adalah menemui keluarganya terlebih dahulu.
=================
Kesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh dunia persilatan tidaklah disia-siakan oleh
Mei Lan. Hal itu disampaikannya kepada ayahnya, Pangeran Liang. Justru karena
ayahnya memberi tahu bahwa dia sedang menerima tamu 2 orang locianpwe dari
Beng San. Tetapi, diapun mewanti-wanti ayahnya untuk tidak memperkenalkan suhunya.
Karena bahkan Ketua Bu Tong Pay sendiri hanya tahu bahwa Mei Lan adalah anak
didik Kwee Siang Le dan Tong Li Kuan. Siapakah sebetulnya kedua tamu Pangeran
Liang itu"
Sebagaimana diketahui, Pangeran ini memang akrab bergaul dengan Dunia
Persilatan. Apalagi setelah Kerajaan Sung terbagi 2, yakni Sung Selatan yang
beribukota di Hang Chouw dan dibatasi oleh Sungai Yang Ce dengan Kerajaan Cin di
sebelah utara dan beribukota Pakkhia (Peking).
Banyak tokoh persilatan yang lebih mendukung Kerajaan Sung Selatan dan kurang
menyukai Kerajaan Cin. Terutama karena memang Kerajaan Cin dibentuk oleh
sebuah suku yang berasal jauh di luar tembok besar. Sejak itu, semakin sering tokoh
persilatan mengunjungi rumah dan gedung Pangeran Liang.
Dan akibatnya, Perdana Menteri yang pernah menyewa tokoh hitam untuk
membunuh Pangeran Liang menjadi keder. Dan tidak berani lagi melakukannya,
terlebih setelah mendapat peringatan dari banyak tokoh Kang Ouw yang lihay.
Sejak kemaren siang Pangeran Liang menerima kedatangan Beng-san Siang-eng
(Sepasang Garuda Beng-san), sepasang tokoh sakti yang merupakan kakak beradik
seperguruan. Yang tertua, Pouw Kui Siang, nampak sudah berusia sekitar 60-an,
bahkan nampak sudah lebih.
Sementara yang muda bernama Li Bin Ham yang juga berusia paling tidak 60-an.
Keduanya terkenal dengan julukan Beng San Sian Eng karena memang berasal dari
sekitar gunung Beng San. Juga sekaligus mengangkat nama di sekitar daerah itu dan
terkenal sebagai pendekar-pendekar kenamaan.
Keduanya bukan orang biasa, karena termasuk dalam jajajaran tokoh-tokoh utama
rimba persilatan dan memiliki kepandaian yang tinggi. Bahkan kepandaian mereka
bisa direndengkan dengan Ketua atau Ciangbunjin Perguruan Ternama, seperti Kun
Lun Pay, Hoa San Pay atau bahkan Siauw Lim Sie dewasa ini.
Keduanya juga terkenal suka berkelana, dan karena itu pengertian dan penguasaan
mereka atas keadaan dunia persilatan sungguh sangat luas dan mendalam. Hari itu,
mereka kebetulan berada di Kota Raja Sung Selatan dan kemudian memutuskan untuk
berkunjung ke rumah Pangeran Liang.
"Jiwi locianpwe, perkenalkan anakku yang hilang, Liang Mei Lan, anakku yang
ketiga. Datang-datang tahu-tahu telah menjadi gadis pendekar anak murid Bu Tong
Pay" Pangeran Liang memperkenalkan Liang Mei Lan yang kemudian bersoja
memberi hormat kepada kedua tokoh utama rimba persilatan itu sambil berkata sopan,
"Tecu Liang Mei Lan menjumpai jiwi locianpwe".
"Ah, siapa nyana, putri yang begitu dikhawatirkan oleh pangeran nampak sudah
begini besar dan nampak sangat cantik. Hahahaha, selamat pangeran" Sambut Phouw
Kui Siang. "Bahkan, jika tidak salah, juga memiliki kemampuan Ilmu Silat yang sangat tinggi"
Li Bin Ham menambahkan. Dengan mendengar bahwa anak gadis itu murid Bu Tong
Pay, sudah tentu kepandaiannya lihay.
"Tecu yang rendah masih membutuhkan bimbingan dan bantuan jiwi locianpwe" Mei
Lan merendah, tetapi dengan wajah cerah penuh senyum.
"Ach, anak manis, mari perkenalkan kami Beng San Sian Eng, lohu bernama Phouw
Kui Siang"
"Dan lohu Li Bin Ham"
"Mari, mari, lebih baik kita berbincang-bincang lebih santai sambil menikmati
suguhan teh panas di pagi hari" Pangeran Liang mengundang setelah anaknya saling
berkenalan dengan Beng San Siang Eng.
"Siapa gerangan tokoh Bu Tong yang mendidik nona?" Phouw Kui Siang bertanya
sambil menyeruput teh panas yang disuguhkan.
"Suhu yang mengajar tecu ada dua, yang pertama suhu Sin Ciang Tayhiap Kwee
Siang Le dan yang kedua suhu Sian Eng Cu Tong Li Koan" Jawab Mei Lan yang
memang selain sengaja ingin berkenalan juga ingin bertanya banyak hal kepada kedua
tokoh ini. Dan Mei Lan tidak berdusta, karena memang baik SIang Le maupun Li Koan adalah
termasuk mereka yang mengajarnya, meskipun dia diangkat sebagai murid oleh Wie
Tiong Lan langsung, murid penutup. Dan otomatis menjadi sumoy kedua ornag yang
namanya dia sebut sebagai suhunya kepada Beng San Siang Eng.
"Hm, kabarnya Sin Ciang Tayhiap Kwee Siang sudah mengundurkan diri. Dan
menjadi muridnya, bahkan sekaligus murid Sian Eng Cu Tayhiap Tong Li Koan,
sungguh merupakan rejeki besar buat nona" Bin Ham berkata. Dia sudah tentu kenal
betul dengan 2 tokoh besar asal Bu Tong Pay itu.
"Ach, tecu yang masih muda mana sanggup merendengi kedua suhu yang begitu
sakti" Mei Lan merendah.
"Hahahaha, anak ini kecil-kecil sudah pandai meniru ayahnya untuk merendahkan
kemampuan sendiri" Demikian Phouw Kui Siang memuji.
"Locianpwe, anak kan memang harus belajar dari orang tuanya" Mei Lan membalas
jenaka. Membuat semua tertawa, bahkan Pangeran Liang juga tertawa melihat
anaknya bisa bergaul akrab dengan tamu-tamunya. Pada dasarnya Beng San Siang
Eng memang sudah mengagumi nona ini, yang dari langkah kakinya yang begitu
ringan menandakan tingginya kepandaian nona itu.
Apalagi, ternyata si nona adalah murid dari 2 tokoh kenamaan dari Bu Tong Pay,
bahkan tokoh puncak Bu Tong Pay dewasa ini. Keduanya sudah bisa membayangkan
ketangguhan nona muda ini. Tentu karena yakin tidak akan memalukan perguruan,
maka nona muda ini sudah diijinkan turun gunung.
Percakapan kemudian mengalir lancar dan akrab, bahkan aturan percakapan adalah
aturan dunia Kang Ouw bukanlah tata kesopanan istana atau kebangsawanan.
Semuanya mungkin karena Pangeran Liang tidak begitu kolot bahkan sangat luwes
bergaul dengan para pendekar.
Sementara anaknya Mei Lan, malah tumbuh dalam tata krama dunia persilatan. Mei
Lan banyak bercerita keadaan dan perkembangan terakhir Bu Tong Pay, tentu dengan
menyembunyikan jejak suhunya, Wie Tiong Lan. Dia berharap sebenarnya untuk
memperoleh setitik informasi mengenai Kiok Hwa Kiam, Pedang Pusaka gurunya.
Tetapi nampaknya harapannya sia-sia, karena Beng San Siang Eng tidak memiliki
informasi apapun mengenai pedang itu. Malah menyarankan untuk menemui Kay
Pang yang terkenal sanggup mengendus informasi rahasia sekalipun.
Selanjutnya Phouw Kui Siang maupun Li Bin Ham memaparkan keadaan dunia
persilatan, tentang bagaimana keadaan Lembah Pualam Hijau terakhir yang terkesan
menutup diri. Tentang Kiang Hong Bengcu yang menghilang sejak 5-6 tahun
berselang, juga Ciu Sian Sin Kay dari Kay Pang, Kong Hian Hwesio dari Siauw Lim
Sie dan Ci Siong Tojin dari Bu Tong Pay yang juga secara bersama-sama dalam
perjalanan ke Lam Hay Bun tiba-tiba menghilang, dan tidak ketahuan jejaknya hingga
saat ini. Termasuk juga konflik di tubuh Kay Pang yang malah telah memecah belah Kay
Pang menjadi Kay Pang sekte Selatan dan Kay Pang sekte Utara dengan
menggunakan nama Hek-i-Kay Pang. Juga termasuk Go Bie Pay yang porak poranda
dan bahkan puluhan pintu perguruan yang ditaklukkan dan nyaris bangkrut alias tutup
pintu perguruan. Bahkan menghilang dan terbunuhnya banyak pendekar kelas satu
dunia persilatan juga dibahas keduanya.
"Lohu sangat yakin, apabila Kiang Bengcu tidak selekasnya tampil bersama tokohtokoh
Siauw Lim Sie, Sin Ciang Tayhiap dan Sian Eng Cu Tayhiap dari Bu Tong, Ciu
Sian Sin Kay dan Sai Cu Lo Kay dari Kaypang, maka dalam waktu dekat dunia
persilatan benar-benar porak poranda. Bahkan, nampaknya para Ciangbunjin partai
besar juga harus turun tangan" Jelas Kui Siang yang nampak benar sangat penasaran
dengan kondisi dunia persilatan.
"Menurut informasi, bahkan Beng Kauw dan Lam Hay Bun juga sudah mulai
memperlihatkan kehadirannya di Tionggoan" Pangeran Liang menyela dan ingin
mendengar penjelasan dan pertimbangan tamunya.
"Benar. Karena dalam kerusuhan dan kelompok perusuh itu, membawa symbolsimbol
Lam Hay Bun. Nampaknya pihak Lam Hay Bun ingin menyelidiki hal ini,
karena beberapa kali terjadi bentrokan kecil antara mereka. Sementara Bengkauw
nampaknya mengutus anak-anak muridnya yang muda untuk menyelidiki keadaan"
jelas Bin Ham. "Tetapi ada hal yang kini menjadi lebih mengkhawatirkan" Kui Siang nampak
menarik nafas panjang, seakan sangat sulit mengutarakannya keluar.
"Maksud Locianpwe?" Mei Lan bertanya
"Nampaknya, jejak-jejak para datuk dunia hitam mengarah keberkumpulnya mereka


Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan para perusuh itu. Bahkan belakangan, kelompok perusuh itu, tidak lagi
menggunakan atau memalsukan dirinya dengan memfitnah Lam Hay Bun, tetapi
sudah tampil dengan Pang baru, yakni Thian Liong Pang"
"Tapi siapakah para datuk dunia hitam itu" Dan siapa pula yang punya kemampuan
begitu besar untuk menarik mereka?" Pangeran Liang bertanya dengan penasaran.
Phouw Kui Siang dan Lim Bin Ham nampak sama-sama prihatin, karena mereka
sudah lama menyelidiki keadaan yang sudah sangat semrawut ini. Tetapi hasilnya
malah semakin mengkhawatirkan, sementara keadaan sebenarnya masih sulit mereka
paparkan. Tapi Kui Siang kemudian berkata,
"Sampai sekarang ini, yang bertindak atas nama Thian Liong Pang paling-paling
adalah anak buahnya. Atau yang tertinggi paling tingkatan Tancu dan setingkat di
atasnya. Padahal, sangat mungkin merekapun hanyalah tingkatan 2 atau 3 di Pang
misterius itu. Sementara tokoh-tokoh kelas satu dan kelas utamanya masih belum juga
ada yang munculkan diri. Bisa dibayangkan betapa hebatnya tokoh terpenting dari
Pang misterius ini, bila baru tokoh tingkat 2 dan 3 saja sudah bisa mengaduk-aduk
dunia persilatan ini"
"Tapi locianpwe, masih mungkinkah ada tokoh sedemikian hebat yang mampu
menggerakkan datuk dunia hitam untuk bahkan bekerja baginya?" Bertanya Liang
Mei Lan. "Itulah yang mengherankan lohu, tokoh semacam apakah yang memiliki kekuatan
sehebat itu?" Atau, masih adakah tokoh tersembunyi yang lohu tidak kenal tetapi
sanggup mengerjakan hal sebrutal ini?" Kui Siang menarik nafas panjang.
"Menurut pengamatan kami, yang sudah bergerak berterang adalah Tho te Kong
(Malaikat Bumi) yang masih terhitung murid dari seorang datuk besar yang terpaksa
bersembunyi di masa keemasan Kiang Cun Le Bengcu dari Lembah Pualam Hijau.
Nama datuk hitam yang sangat kejam ini adalah Thian-te Tok-ong (Raja Racun
Langit Bumi), yang biasanya berpoperasi di daerah sebelah Utara. Datuk ini paling
sudah berusia 70 tahunan, dan jika dia sampai unjuk diri, pasti karena sudah memiliki
pegangan" Sambung Li Bin Ham
"Datuk besar itu" apakah benar dia masih hidup?" Pangeran Liang bertasnya
penasaran. "Kemungkinan besar dia masih hidup. Tetapi, dia belum ketahuan jejaknya dan
belum lagi munculkan diri. Yang justru sudah munculkan diri meski hanya sangat
sekilas adalah See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat), dia sempat munculkan diri
di daerah Pakkhia menurut informasi kawan-kawan Kay Pang" Tambah Li Bin Ham.
"Dan celakanya Pangeran, apabila See Thian Coa Ong sudah munculkan diri,
biasanya teman-teman datuk itu, yakni Pekbin Houw-ong (Raja Harimau Muka
Putih), Liok-te Sam-kwi (Tiga Iblis Bumi) dan tentu juga nantinya Thian te Tok Ong
akan munculkan diri. Dan bila mereka muncul berbareng, menjadi pertanyaan,
siapakah yang membuat ambisi mereka tergerak lagi, dan memiliki kekuatan yang
demikian besar untuk menggerakkan orang-orang ini" Jelas Kui Siang yang jelas-jelas
membayangkan kengeriannya apabila tokoh-tokoh sesat yang disebutkannya benar
bergerak. "Membayangkan seorang See Thian Coa Ong yang memiliki kemampuan yang
begitu dahsyat sudah sangat mengerikan. Bahkan seorang Kiang Cun Le, butuh waktu
lama untuk menjatuhkannya, apalagi ditambah Nenek sakti pemelihara Harimau, Pek
Bin Houw Ong dan Liok te Sam Kwi yang jika berkelahi selalu maju bareng itu.
Sungguh mengerikan. Dan akan tambah lengkap kengerian itu, apabila Thian te Tok
Ong juga tampil. Sudah racunnya tidak terlawan, kemampuan silatnya juga kudengar
hanya sedikit saja dibawah Cun Le. Dan setelah mereka menyembunyikan diri hampir
30 tahun, kini mereka tampil lagi, bisa dibayangkan kehebatan orang-orang itu".
Liang Mei Lan menjadi sangat penasaran dan dengan wajah berkerut kemudian
berkata: "Locianpwe, demikian menakutkankah tokoh-tokoh dunia hitam itu?"
"Nona, sebagai gambaran saja, Gurumu, Sian Eng Cu Tayhiappun hanya sanggup
bertarung seimbang dengan Thian te Tok Ong. Dan masih belum tentu apakah bisa
menang bertarung melawan raja-raja iblis lainnya. Dan masih untung, karena Suheng
Thian Te Tok Ong, yakni Kim-i-Mo-ong (Raja Iblis Jubah Emas) si raja diraja maha
iblis pada jamannya terikat perjanjian dengan Kiong Siang Han. Pada masa mudanya,
dia sudah sanggup bertarung ketat dengan Kiong Locianpwe, tokoh gaib rimba
persilatan dewasa ini, yang membuat Kim I Mo Ong terikat janji dan tidak ketahuan
dimana Kiong Locianpwe menyekapnya. Bila diapun tampil, bisa dibayangkan betapa
runyamnya dunia persilatan ini" Jawab Kui Siang, dan Liang Mei Lan menjadi
terdiam. Dia jadi bisa membayangkan tokoh macam apakah yang digambarkan oleh Phang
Kui Lok dan Lim Bin Ham. Bila dulupun sudah seimbang dengan salah seorang
suhengnya, maka bisa dibayangkan kemampuannya sekitar 30 tahun kemudian,
tentulah sudah sangat hebat.
"Dan berita paling akhir, bahkan sedang terjadi beberapa pertemuan dan nampaknya
perjanjian antara beberapa tokoh Lhama yang memberontak di Tibet dengan pihak
Thian Liong Pay. Bahkan juga, beberapa pendekar pedang dari Tang ni (Jepang) yang
terkenal dengan ilmu jinsut (Ninja), juga sedang dalam proses negosiasi seperti ini.
Padahal, ilmu pedang Tang ni terkenal cepat, kejam dan sangat telengas, dan terkenal
dengan jurus "sekali tebas kepala melayang" Tambah Bin Ham.
"Sehebat apapun mereka, tecu merasa berkewajiban untuk melawan mereka pada saat
mereka mengganggu ketentraman banyak orang" Mei Lan mendesis dengan gagah.
Tetapi jika Phouw Kui Siang dan Lim Bin Ham melirik kagum dan mengerti dengan
gelora jiwa kependekaran Mei Lan, adalah ayahnya yang memandang dengan penuh
kekhawatiran. Wajar, apalagi karena Mei Lan baru sehari berkumpul kembali dengan
keluarganya, dengan ayahnya, ibunya dan adiknya, dan bahkan belum bertemu
dengan toakonya (kakak tertuanya).
"Lan ji, apa maksudmu" Pangeran Liang bertanya mendesis
"Untuk maksud membela ketentraman dunia persilatan dan membantu yang lemah,
maka suhu mengangkatku menjadi muridnya" jawab Mei Lan tegas. Pangeran Liang
maklum siapa maksud "suhu" dalam penegasan Mei Lan, beda dengan Beng San
Siang Eng yang menduga orang lain.
Tapi betapapun khawatirnya dan betapapun cemasnya, Pangeran Liang yang lama
bergaul dengan kalangan pendekar segera maklum bahwa dia takkan sanggup
menekan dan melarang anaknya. Apalagi anak perempuannya ini nampak sudah
memiliki kesaktian yang tinggi.
Yang tidak disangkanya adalah, bahkan kesaktiannya sudah melebihi 2 tokoh utama
yang bercakap dengannya hari itu.
"Hahahaha, Sian Eng Cu Tayhiap dan Sin Ciang Tayhiap memang tidak keliru
memilihmu menjadi pewaris mereka" Bin Ham memandang kagum akan semangat
dan keberanian Mei Lan.
Percakapan selanjutnya tetap menarik bagi Mei Lan, terutama ketika kedua tokoh
besar tersebut mengulas kekuatan rimba persilatan yang beraliran putih. Dan anehnya
keduanya bersikap agak pesimistis, terutama karena melihat kenyataan betapa Kiang
Hong menghilang sudah 5 tahunan, kemudian Cun Le juga sudah menghilang, dan
tokoh-tokoh besar dan tokoh utama Kay Pang, Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay lebih
banyak berdiam diri.
Bahkan, terkesan lebih mengutamakan menjaga gunung dan perkumpulan masingmasing
untuk tidak terhancurkan. Nampaknya, ketokohan Lembah Pualam Hijau yang
terbiasa bertindak atas nama dan untuk keselamatan rimba persilatan sangatlah
dibutuhkan, bahkan jikalau perlu mengundan semua tokoh sakti yang dimaksud untuk
bersatu melawan para pengacau rimba persilatan.
Sayangnya, ketokohan itu lenyap seiring tidak ketahuannya kemana Kiang Hong dan
rombongannya berada saat ini.
Pertemuan selanjutnya tidak lagi diikuti oleh Mei Lan yang lebih meminta diri
bertemu dan bercakap dengan adik perempuan dan ibunya. Terutama karena dia
melihat tidak ada lagi informasi lain yang dibutuhkannya dari pertemuan tersebut.
Dia kemudian mohon diri, dan pertemuan antara ketiga orang tua itu terus
berlangsung sampai makan siang dan sorenya Beng San Siang Eng minta diri.
Tidaklah sedikit informasi baru yang dipaparkan oleh kedua pendekar pasangan dari
Beng San itu. =================
Liang Mei Lan tinggal bersama orang tuanya selama lebih dari 2 minggu dan
menghabiskan waktunya untuk menikmati suasana kota raja Hang Chouw. Selain
tentu bercengkerama dengan keluarganya, terutama adik perempuannya Mei Lin yang
sudah berusia hamper 12 tahun.
Dia juga kemudian bahkan bertemu dengan kakak sulungnya Liang Tek Hu, yang
seperti biasa nampak diam dan berwibawa. Tetapi, Tek Hu juga sangat terharu dan
meneteskan air mata melihat adik perempuan yang sudah dianggap hilang tiba-tiba
muncul kembali.
Meskipun dia merasa kurang senang seperti juga ibunya, karena ternyata Mei Lan
lebih memilih kehidupan Kang Ouw. Tetapi betapapun sebagai kakak laki-laki tertua,
dia merasa sangat bahagia bertemu kembali dengan salah seorang adiknya. Bahkan
dia kemudian meminta Liang Mei Lan dan Liang Mei Lin untuk menetap selama 1-2
hari di istana tempat Tek Hu berkantor.
Dan hal itu sangat mungkin, karena mereka bertiga adalah keluarga dalam Kerajaan,
masih Bangsawan yang berkasta sangat tinggi. Dan selama itu jugalah kemudian
ketiga kakak beradik itu bertukar cerita, terutama Tek Hu mendengarkan cerita
pengembaraan dan pengalaman Mei Lan.
Mei Lan merasa sangat-sangat terharu. Kakaknya yang biasanya pendiam dan tidak
banyak bicara, ternyata menunjukkan kasih sayang yang luar biasa terhadapnya.
Bahkan sampai meneteskan air mata gembira ketika bertemu dengannya kembali.
Tetapi, dengan berat hati ia menolak ketika diminta kakaknya untuk kembali ke
kehidupan di Istana.
"Tidak Toako, hidupku diselematkan guruku. Bahkan guruku yang budiman
mengajarku bagaikan orang tua sendiri. Setidaknya, aku harus membalas budinya
dalam kehidupanku ini" demikian Mei Lan menolak halus permintaan kakaknya yang
tampaknya dititipkan ibu mereka.
"Aku mengerti Lan Moi, setidaknya engkau memikirkan juga keluargamu, ibu, ayah
dan saudara-saudaramu" bujuk Tek Hu
"Tentu toako, tidak mungkin itu tidak kulakukan"
Mei Lan memang menceritakan semua pengalamannya, pengalaman berguru,
pengalaman dengan Tek Hoat kakaknya dan bahkan semua yang dialaminya, kecuali
masalah detail gurunya. Mei Lan berharap, dengan demikian kakaknya mengerti
bahwa hidupnya memang sudah menentukan pilihan, meski belum tentu tidak bisa
berobah lagi. Suatu hal yang pasti, godaan terbesar bagi Mei Lan justru adalah mengembara dan
membaktikan ilmunya, selain memang dia mengemban tugas khusus dari gurunya.
Pedang Bunga Seruni lebih cocok untuk seorang perempuan, karena itu pedang itu
diwariskan kepada Liang Mei Lan.
Dan menurut gurunya pedang itu sangat cocok bahkan sangat meningkatkan
kemampuan dan perbawa Liang Gie Kiam Hoat. Tugas dan kepercayaan gurunya
inilah yang membuat Mei Lan yang sangat mengasihi dan menghormati guru yang
sudah tua renta.
Terlebih sang guru inilah yang menyelamatkan nyawanya. Dan itulah yang membuat
Mei Lan untuk berkeras melanjutkan perjalanannya.
Pangeran Liang kemudian meminta ijin dan waktu bertemu dengan Baginda Raja.
Sebagai adik tiri Kaisar, sudah tentu Pangeran Liang bisa leluasa mengajukan
permintaan itu. Terlebih, karena Pangeran Liang pernah mengajukan permohonan
bagi Kerajaan untuk ikut mencari Liang mei Lan dan Liang Tek Hoat.
Karena itu, keinginannya bertemu adalah untuk memperkenalkan Mei Lan dan
sekaligus untuk memberitahu bahwa anaknya itu sudah kembali. Mei Lan yang
sebenarnya merasa tidak ingin melakukannya, dengan terpaksa harus juga menjalani
prosesi kebangsawanan. Yang lebih menyiksanya adalah, tata krama dalam istana
yang begitu kaku, termasuk untuk dirinya.
Sebagai putra Pangeran dan keluarga dekat istana, dia harus berpakaian yang
menurutnya sangat menyiksa. Bahkan untuk berjalanpun dia harus belajar cukup
lama, lebih lama dibandingkan belajar dasar ilmu silat dan jauh lebih menyiksa,
pikirnya. Tapi demi ayah dan demi keluarganya dia tetap harus melakukannya.
Baik belajar mengenakan pakaian putrid bangsawan yang sangat ruwet, maupun
kemudian belajar berjalan sesuai dengan busana dan kepantasan seorang putri, dan
juga belajar tata karma dan sopan santun dalam berbicara di lingkungan istana.
"Sungguh menjemukan" piker si Gadis.
Demikianlah, akhirnya Liang Mei Lan akhirnya bertemu dengan Kaisar yang
didampingi oleh Putra Mahkota, tentunya di Istana Kaisar. Mei Lan yang harus
berpakaian kebesaran seorang putri istana nampak berkali-kali meringis, akan tetapi
sebaliknya, bibirnya harus selalu menampilkan senyum dalam tata karma istana.
Dia menyembah Kaisar dan Putra Mahkota dan mendengarkan laporan ayahnya
untuk kemudian memperkenalkannya kepada Kaisar dan Pangeran Mahkota. Tetapi
Kaisar, ketika mendengar bahwa Mei Lan sudah menjadi seorang pendekar wanita
didikan Bu Tong Pay, menjadi sangat girang. Bahkan dia mengajukan dua orang
perwira untuk menguji Mei Lan, dan yang tentu bukanlah lawan Mei Lan.
Dengan mudah keduanya dijatuhkan, dan bahkan ketika Perwira yang paling
tangguhpun yang dihadapkan, hanya sanggup bertahan 5 jurus. Demikian juga ketika
Kepala Pasukan Pengawal Raja yang terkenal dengan nama Kim-i-wi, dihadapkan
dengan Mei Lan, si gadis mampu menandinginya. Bahkan juga sanggup mengimbangi
pelatih Kim-i-wi ini sampai puluhan atau ratusan jurus tanpa kalah.
Kaisar dan Pangeran atau Putra Mahkota menjadi sangat senang melihat ada kerabat
mereka yang demikian saktinya. Bahkan Putra Mahkota nampak berbisik kepada
ayahanda kaisar, dan terdengar sang Kaisar berkata:
"LIang Mei Lan, benarkah engkau belajar Ilmu Silat di Bu Tong Pay?"
"Benar yang mulia, suhu yang berbudi adalah tokoh Bu Tong Pay" demikian Mei
Lan menjawab dengan hormat dalam tata krama dan aturan Istana.
"Hm, bahkan Kepala Pengawal Istana Raja yang paling tangguhpun masih belum
mampu mengalahkanmu. Biarlah kuanugrahi engkau dengan menjadi salah satu
anggota kehormatan Pasukan pengawal Raja. Engkau bebas memasuki istana dengan
tanda pengenal tersebut" Nampak sang Raja yang memutuskan penganugerahan itu
mengangguk-angguk senang dengan keputusannya.
"Yang Mulia, terima kasih atas anugerah bagi Lan Ji, tapi apakah dia sudah layak
mendapatkannya?" Pangeran Liang kaget dengan anugerah tersebut. Sudah tentu dia
senang, tapi dia ingin menegaskan pendengarannya
"Sudah tentu- sudah tentu. Bahkan Pangeran Mahkota yang senang dengan Tokoh
Sakti juga menyetujui dan bahkan mengusulkan" Jawab Kaisar masih dengan
senyum. Demikianlah kemudian Mei Lan dianugerahi medali kehormatan yang sekaligus
tanda pengenal bahwa dia adalah salah satu anggota kehormatan "Pengawal
Keselamatan Raja". Dengan medali itu, Mei Lan bisa dengan bebas memasuki istana
dan dimanapun Mei Lan berada, bila Raja berada didekatnya, maka tugas utamanya
adalah menjaga keselamatan Rajanya.
Sebuah anugerah yang luar biasa, dan terlebih sang Raja memang sudah mengenal
adiknya Pangeran Liang yang mencintai kerajaannya dan sangat loyal kepadanya.
Bahkan sang Raja bukan tidak tahu bahwa Perdana Menteri begitu tidak menyukai
Pangeran Liang, tetapi Pengaran Liang sudah berkali-kali membuktikan kesetiaan dan
pengabdiannya kepada Kaisar.
Dan anugerah yang dipilihnya kali ini membuktikan bahwa dia mempercayai
Pangeran Liang dan juga menyukai putri Mei Lan.
Akhirnya Mei Lan kembali mengarungi kehidupan dalam istana, tetapi itupun
dilaluinya dengan berat hati. Pangeran Liang yang bermata tajam bukannya tidak
mengetahuinya. Tetapi diapun ingin menegaskan kepada Mei Lan bahwa betapapun
dia adalah Putri Istana, anak seorang pangeran dan keturunan Bangsawan.
Dan setelah 2 minggu berlalu, akhirnya Pangeran Liang memanggil putrinya dan
berbicara dari hati ke hati. Anak ini, memang sejak dulu lebih dekat ke ayahnya,
Pangeran Liang. Percakapan itu yang melahirkan saling pengertian antara keduanya,
bahkan Pangeran Liang jadi lebih mengerti pilihan hidup putrinya yang sudah 9 tahun
mengarunginya. Terlebih, karena menurut putrinya, nyawanya diselamatkan dari sungai oleh gurunya
yang mengasuhnya baik bu (Ilmu SIlat) maupun bun (Sastra) dengan baiknya. Bahkan
juga bertindak bagaikan orang tua sendiri. Karena itu, setelah menyelami jiwa
anaknya, Pangeran Liang kemudian lega dan rela melepas anaknya untuk
menjalankan tugas dari gurunya mencari Pedang Bunga Seruni. Sekaligus juga harus
menyampaikan pesan agar Liang Tek Hoat kakaknya pulang sejenak bertemu orang
tuanya. Episode 11: Dimanakah Kim Ciam Sin Kay"
"Thian jie, sudah saatnya engkau turun gunung. Bahkan sudah saatnya engkau
mencari Kim Ciam Sin Kay. Karena saat ini, dialah satu-satunya orang yang
menguasai pengobatan dengan jarum emas untuk memulihkan ingatanmu.
Tetapi, ingatlah, setahun kemudian kita bertemu di tebing pertemuan 10 tahunan itu.
Besok pagi adalah saat yang tepat buatmu turun gunung. Tidak usah berpamitan
kepadaku, karena malam ini aku akan menutup diri guna bersemadi" Demikian
seorang tua yang sudah sangat renta, usianya ditaksir sudah lebih 100 tahun, dan
dihadapannya bersimpuh seorang pemuda gagah yang setidaknya berusia 18 tahunan.
Anak itu dipanggil Thian jie, karena hanya nama itu yang diketahuinya dan selain itu
dia sering memegangi gelangnya dan juga berdesis-desis "jangan melawan, ikuti arus
air, biarkan pikiran kosong, pasrah terhadap alam". Selebihnya, nama, orang tua,
tempat tinggal, dan lainnya sama sekali tidak diingat anak itu.
"Baik guru, selain mencari Kiam Cim Sin Kay dan pergi ke Tebing Peringatan 10


Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahunan, ada lagikah yang harus tecu lakukan?"
"Setelah bertemu Kiam Cim Sin Kay, berikan dia suratku ini, tapi jangan sekali-kali
kamu membukanya. Biarlah Kiam Cim Sin Kay yang membacakannya buatmu
setelah engkau sembuh. Dan setelah dia menyembuhkanmu, kamu akan tahu dengan
sendirinya apa yang akan dan harus kamu lakukan" berkata si orang tua.
"Baik suhu"
"Nah, sekarang sebaiknya engkau bersiap. Malam nanti, sebelum aku menutup diri
selama beberapa bulan, kamu boleh datang menjumpaiku"
Siapakah kedua orang ini" Mudah ditebak, inilah Kiang Sin Liong, salah seorang
Pendekar Legendaris dan ternama dari Lembah Pualam Hijau. Pendekar besar yang
pernah menggetarkan dunia persilatan dengan mengalahkan tokoh-tokoh sakti
mandraguna yang menantang para pendekar Tionggoan puluhan tahun silam.
Tetapi kini, dia hanyalah seorang tua yang sudah renta benar-benar. Sudah mendekati
atau malah melewati usia 100 tahunan. Karena memang, siapakah yang dapat
mengalahkan batas usia" Sementara anak yang dihadapannya adalah Kiang Ceng
Liong Anak yang masih cucu buyutnya langsung, anak dari Kiang Hong, yang ironisnya
sedang kehilangan ingatannya ketika terjatuh dari air terjun di belakang Lembah
Pualam Hijau. Yang diketahui anak itu hanyalah, namanya Thian Jie, yang juga
sebenarnya pemberian dari Liang Tek Hoat dan Liang Mei Lan.
Tetapi dengan nama itulah anak itu kemudian menyebut dirinya, dan karena memang
tiada lain lagi yang diketahui anak itu. Karena itu, maka Kakek Kiang Sin Liongpun
kemudian memanggilnya dengan nama itu, Thian Jie.
Tetapi, sudah sejak menolong Thian Jie, Kiang Sin Liong menyadari banyak
keanehan atas anak ini. Pertama, tenaga sakti yang berpusat di tan tian, pusar anak ini
sebagai sumber tenaga sakti, jelas-jelas adalah "Giok Ceng Sin Kang".
Tenaga Dalam Giok Ceng Sin Kang ini nampaknya sudah dilatih lebih kurang 40
tahunan. Kemudian, di pundak anak itu, terdapa ukiran tato pengenal Keluarga
Lembah Pualam Hijau. Karena itu, Kiang Sin Liong yakin bahwa anak ini pastilah
salah seorang cucunya.
Cucu buyutnya. Yang ketiga, anak ini tidak mengenal diri dan keluarganya, hanya
menyebutkan nama Thian Jie dan selalu berdesis "jangan melawan, ikuti arus air,
biarkan pikiran kosong, pasrah terhadap alam". Dan yang keempat, anak ini
membekal sebuah gelang yang agak gemuk, nampak tidak berharga, tetapi selalu
diusap dan dijaga seperti menjaga keselamatan diri sendiri.
Terakhir, Kiang Sin Liong terpana dengan tatapan mata yang sungguh bersinar aneh,
memancarkan wibawa yang sulit ditebak. Dia sendiri tidak mengerti apa artinya dan
apa penyebabnya. Tetapi suatu hal, nampaknya anak ini bakal akan sangat berbahaya
bila mempelajari Ilmu Kebatinan tanpa bimbingan yang tepat. Kekuatan matanya
akan sangat berbahaya bila dikembangkan.
Kiang Sin Liong tidak terlampau memaksa dan mendesak thian Jie untuk mencari
tahu keadaannya. Yang pasti anak ini adalah keturunannya, tidak salah lagi. Tato
Giok Ceng, Tenaga Sinkang Giok Ceng tidak akan mungkin meleset lagi.
Selain itu, yang mampu menghadiahi anak ini tenaga latihan Giok Ceng sebanyak itu,
menurut penilaiannya hanya ada 2 orang, jika bukan Cun Le tentunya In Hong.
Pernah sekali dia berkeinginan mengobati Thian Jie dengan kekuatan sinkangnya,
tetapi akibatnya malah mengejutkan, tatap wajah Thian Jie menjadi beringas dan baru
normal 3 hari kemudian.
Setelah itu dia tidak pernah mencoba lagi, dan sadar hanya Kiam Cim Sin Kay atau
guru Kim Ciam Sin Kai jika masih hidup yang mampu mengobati Thian Jie, cucu
buyutnya ini. Biarlah semua berjalan dan berlangsung sesuai dengan takdir masingmasing,
demikian keputusan kakek Kiang Sin Liong.
Karena itu, sejak upayanya yang gagal itu, Kiang Sin Liong memutuskan untuk
berkonsentrasi mendidik anak muda ini saja, biar mampu mengendalikan sinking
Giok Ceng dan mewarisi Ilmu kepandaian keluarganya dari Lembah Pualam Hijau.
Dibandingkan Wie Tiong Lan, Kiong Siang Han dan Kian Ti Hwesio, pekerjaan
Kiang Sin Liong terbilang jauh lebih ringan. Thian Jie sudah memiliki sumber tenaga
sakti dan bahkan hawa sakti yang luar biasa dalam pusarnya. Hawa sakti itu bergerakgerak
liar karena belum sanggup dikendalikannya.
Dan menjadi tugasnyalah untuk memampukan Thian Jie perlahan mengendalikan
tenaga itu melalui pengaturan pernafasan. Hampir 2 tahun dibutuhkan Sin Liong
untuk membuat Thian Jie sanggup sendirian mengendalikan hawa sakti tersebut, dan
selama itu juga, Thian Jie lebih banyak berlatih teori Ilmu Silat dibandingkan
bergerak dengan Ilmu Silat.
Hal ini disebabkan, tanpa kemampuan mengendalikan tenaga, maka hawa sakti yang
dimilikinya berlimpah, bisa menyerang jantungnya atau memecahkan beberapa jalan
darahnya. Karena itulah, Thian Jie dilatih bergerak-gerak mengikuti irama
pernafasannya. Untungnya, dasar Ilmu Silat Thian Jie memang adalah dasar Lembah Pualam Hijau,
karenanya tidak membuat Kiang Sin Liong khawatir dengan dasar Ilmu Silatnya.
Meskipun kehilangan ingatan, tetapi Ilmu Silat dan gerakan-gerakannya masih dapat
dilakukan oleh Thian Jie.
Baru pada tahun ketiga Thian Jie mulai mampu mengendalikan hawa saktinya yang
luar biasa itu. Meski, dia belum sanggup meleburkannya dengan kekuatan yang
sempat dihimpunnya selama beberapa tahun berbaring di pembaringan Giok Ceng di
Lembah Pualam Hijau.
Tetapi pada tahun ketiga, dia mulai mempraktekkan teori-teori Ilmu Silat yang
diturunkan gurunya. Sampai memasuki tahun kelima, dimana dia akhirnya sanggup
dengan baik mengendalikan hawa sakti dan meleburkannya dengan tenaga sakti yang
sudah dilatihnya.
Sejak tahun kelima itulah Thian Jie mulai melatih Giok Ceng Cap Cha Sin Kun, Giok
Ceng Kiam Hoat, Soan Hong Sin Ciang ciptaan Sin Liong, serta Toa Hong Kiam Sut.
Ilmu-ilmu yang bisa diserap dengan cepat oleh Thian Jie. Bahkan pada akhir tahun
keenam, dia sudah bisa memainkannya dengan sangat baik karena dorongan tenaga
yang luar biasa dimilikinya.
Ilmu-ilmu silat keluarganya memang baru bisa dimanikan secara sempurna apabila
kekuatan tenaga dalam sebagai penopangnya sudah memadai. Sementara saat itu,
Thian Jie memiliki tenaga dalam yang sudah lebih dari memadai.
Pada tahun kelima, Kiang Sin Liong menyaksikan keanehan lain dalam diri Thian
Jie. Yakni ketika dengan pandangan matanya, dia bisa menjinakkan seekor harimau
yang kelaparan. Ban bahkan kemudian bisa memerintahkan harimau tersebut untuk
tidur. Ketika ditanyakan, Thian Jie hanya menjawab kasihan melihat harimau yang
kelaparan dan karena itu entah bagaimana dia ingin harimau itu tidur. Dan Kakek
sakti itu sendiri kaget setengah mati, karena harimau tersebut memang benar-benar
tertidur pulas, dan bahkan selanjutnya menjadi peliharaan Thian Jie dan diberi nama
panggilan Houw Jie.
Sejak itulah Kiang Sin Liong memutuskan untuk membuka rahasia ilmu I-hu-to-hoat
(hypnotism), yang juga sangat dekat kaitannya dengan Ilmu Sihir. Hal ini dikarenakan
dia melihat Thian Jie sangat tenang, berwibawa dan tidak seperti anak-anak lain
seusianya. Meskipun hanya dasar-dasarnya, tetapi karena kekuatan mata Thian Jie sendiri sudah
hebat, sementara tenaga saktinya juga sungguh luar biasa, membuatnya mampu
menguasai ilmu I-hun-to-hoat (hipnotis) itu dengan hasil diluar dugaan Kiang Sin
Liong. Baru pada tahun ketujuh sampai seterusnya Kiang Sin Liong melatih Thian Jie
dengan ilmu gerak ginkang ciptaannya Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas
Rumput) dan Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih
Memanggil Matahari).
Ilmu-ilmu ini adalah ilmu yang terakhir diciptakannya, dan yang juga sama dengan
peyakinan Kiong Siang Han, yang memadukan unsur lemas dan unsur keras. Unsur
keras digambarkan dengan memanggil matahari, sebuah unsur keras dari Pek Lek Sin
Jiu, sementara awan putih adalah unsur kelemasan dalam ilmu mereka di Lembah
Pualam Hijau. Ilmu inipun mirip-mirip dengan ciptaan Kiong Siang Han, hanya berbeda landasan
utamanya. Ilmu yang sebenarnya sangat berat ini, bahkan dalam upaya untuk
menyempurnakannya mustahil dilakukan dalam waktu yang pendek. Sama sulitnya
dengan mencapai kesempurnaan dalam ilmu mujijat aliran keras Pek Lek Sin Jiu,
dimana hanya Kiong Siang Han sendiri yang mampu memainkannya dengan
sempurna sampai saat ini.
Tetapi masalah kesempurnaan dalam berlatih ilmu, memang tidak mungkin dalam
waktu yang singkat. Karena itu, Kiang Sin Liong menyerahkan pada peruntungan
serta kerja keras, keuletan dan bakat Thian Jie untuk melakukannya.
Terutama untuk ilmu yang terakhir, Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti
Awan Putih Memanggil Matahari), Kiang Sin Liong mendidik Thain Jie dengan
sangat berhati-hati. Karena unsur kekuatan sihir sudah dimiliki Thian Jie, sementara
Ilmu tersebut dimaksudkan bukan hanya untuk melawan kekuatan sihir, tetapi juga
sekaligus mendatangkan perbawa sihir.
Karena itu, Kakek Kiang Sin Liong tidak menghendaki anak ini tersesat. Terlebih
karena kekuatan hawa sakti Thian Jie yang sudah sedemikian tingginya warisan dari
kakeknya. Itu juga sebabnya maka berkali-kali dia menanamkan pengetahuan budi
pekerti dan pendalaman kemampuan batin untuk melawan godaan sesat dalam diri
anak ini. Pelajaran lain yang sangat penting bagi anak ini.
Karena bahkan Kakek Kiang Sin Liongpun terkadang bergidik ngeri melihat tatapan
mata anak ini. Tatapan yang nampak memang berhawa aneh dan dia sendiri tidak
mengerti apa sebabnya. Mungkin hanya seorang Kim Ciam Sin Kay yang bisa
membantu menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi dan dialami anak ini.
Anak yang hanya tahu sejarah hidupnya sejak diselamatkan Tek Hoat dan Mei Lan.
Dan sama sekali telah melupakan bagian kehidupan lainnya yang tersisa dan yang
malah terpenting. Yang terpenting, bahwa anak ini sudah tersiapkan secara lahir dan
batin untuk memasuki pergolakan dunia persilatan.
============== Berdasarkan informasi yang disampaikan gurunya, maka Thian Jie kemudian
mengambil arah ke sungai Yang Ce. Karena di daerah kerajaan Cin, khususnya sekitar
Pakkhia, untuk yang terakhir kalinya Kiam Cim Sin Kay terlihat. Bahkan kabar dan
isue di dunia persilatan menyebutkan bahwa Pangcu Kay Pang itu telah tertawan oleh
musuh. Isue ini kemudian dikuatkan oleh munculnya organisasi atau perkumpulan Pengemis
baru, yang menamakan dirinya Hek-i-Kay Pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam)
tidak lama setelah menghilangnya Pangcu Kay Pang Kam Ciam Sin Kay.
Bahkan diduga kuat, kemunculan Perkumpulan Kay Pang yang baru, erat
hubungannya dengan menghilangnya Pangcu Kay Pang. Hek-i-Kay Pang sendiri
dipimpin oleh seorang pengemis sakti bernama Hek Tung Sin Kai (Pengemis Sakti
Tongkat Hitam) yang selain memiliki kesaktian tinggi dalam ilmu silat, juga memiliki
kemampuan menjinakkan ular yang cukup lihay.
Hek Tung Sin Kay inilah yang memelopori penggembosan dan pemberontakan
kelompok pengemis di daerah kerajaan Cin. Dan kemudian, tokoh ini pulalah yang
memelopori pendirian Pang baru bagi kaum pengemis, terpisah dari Kay Pang pusat.
Karena informasi ini, maka Thian Jie kemudian memilih arah ke sungai Yang ce. Di
perjalanan, dalam kondisi dunia persilatan yang awut-awutan, berkali-kali Thian Jie
dikerjai oleh perompak dan kaum liok lim (kaum penjahat dan perampok).
Tetapi, anak muda sakti ini selalu dapat menghindari atau melawan gangguan itu,
bahkan dengan tidak pernah mau membunuh lawan-lawannya. Selama hampir 2 bulan
perjalanannya, namanya bahkan jauh lebih cepat tersebar kemana-mana dibanding
langkah kakinya.
Di dunia persilatan mulai tersiar kabar adanya atau munculnya pendekar muda yang
mereka namai sendiri Ceng-i-Koai Hiap (Pendekar Aneh Berbaju Hijau). Entah
kenapa, memang sejak menanjak remaja, Thian Jie lebih menyenangi warna hijau.
Dan karena itu rata-rata jubah yang dia minta dibuatkan atau dibelikan gurunya,
pastilah berwarna hijau. Dan hingga dia turun gunungpun, jubah dan pakaian yang
dikenakannya hampir selalu berwarna hijau. Karena pakaian yang dibekalnyapun
nyaris semua berwarna hijau.
Suatu hari, lebih sebulan atau hampir 2 bulan sejak turun gunung, Thian Jie
memasuki sebuah rumah makan di Kota Kong Goan, sebuah Kota besar di Propinsi
Se-cuan. Maklum, selain melakukan perjalanan jauh, sudah sejak pagi perutnya belum
lagi terisi. Karena itu, menjelang senja Thian Jie memutuskan untuk memasuki sebuah restoran
yang ternyata suasananya sudah cukup ramai. Pemandnagan yang biasa bila mulai
memasuki musim dingin. Sebetulnya, tiada satupun hal yang aneh dalam diri Thian
Jie. Potongannyapun bahkan tidak menunjukkan bahwa dia membekal barang berharga
dalam tubuhnya. Meskipun, memang ada bekal yang cukup berharga yang diberikan
gurunya untuk digunakan dalam perjalanan, yakni sebutir mutiara yang menurut
gurunya bisa berharga 200 tail perak.
Lebih dari cukup untuk melakukan perjalanan selama 1 tahun di dunia persilatan.
Selebihnya, bahkan membekal pedangpun Thian Jie malah tidak. Selain kedua kaki
dan tangannya, gelang perak yang agak gembung dan cenderung tidak berharga.
Dilirik orangpun malah tidak.
Jikapun dilirik, orang malah heran, anak muda segagah ini tetapi berperhiasan yang
biasa saja, tidak seberwibawa tampangnya. Orangpun mungkin sukar menduga, anak
muda inilah yang dinamai Ceng-i-Koai Hiap yang agak-agak masyhur akhir akhir ini.
Tetapi, sebutir mutiara yang cukup berharga itu, ternyata bisa tercium oleh seorang
yang memang berprofesi mencium dan mencuri barang seperti itu. Apalagi bagi
penciuman seorang seterkenal Chit cay sin tho (Maling sakti 7 jari) Ouw Seng.
Saking mahirnya dalam mencuri, Ouw Seng, yang kadang sekali bisa dikenali orang
karena kemampuan ginkangnya yang sangat tinggi, diberi julukan berjari 7. Padahal
jari tangannya normal-normal saja, kedua tangan masing-masing memiliki 5 jari,
komplet, tidak lebih dan tidak kurang.
Kelebihan 2 jari sebetulnya adalah julukan yang diberikan karena bila mencuri,
maling sakti ini nyaris tidak ketahuan kapan dan bagaimana beroperasinya. Seperti
juga ketika dia mendongkel dan memindahkan mutiara dari saku Thian Jie, yang
nampaknya tidak atau tanpa sepengetahuan yang empunya.
Dan dalam waktu yang singkat sudah bersarang di sakunya dan dianggap sebagai
miliknya sendiri. Dan seperti tidak terjadi apa-apa, si Maling sakti kembali berlaku
wajar seperti biasanya.
Ouw Seng, paling berusia sekitar 35 tahun, lebih kurang demikian. Berbadan
langsing. Cukup langsing dan karenanya dia akan sangat pesat bila berlari dan
bergerak secepat kilat apabila dibutuhkan. Maling Sakti ini, sebenarnya bukanlah
maling iseng, sebaliknya, justru hanya orang-orang tertentu saja yang dijadikannya
sasaran. Akan menjadi kebanggaan tersendiri bila bisa mencuri atau menjadikan orang
terkenal sebagai korbannya. Seperti juga kali ini, dia sudah bisa mengenali, bahwa
sasarannya adalah seorang muda yang baru mulai menjejakkan jejaknya di dunia
Kang Ouw. Namanya sudah mendahului orangnya masuk ke kota ini, yakni Ceng-i-Koai Hiap.
Sekali pandang, Maling Sakti sudah bisa mengenali Thian Jie, bahkan bisa mengenali
sebuah barang yang lumayan berharga di saku pendekar aneh baju hijau tersebut.
Naluri dan keinginan serta hasrat mencurinya dengan segera terbangkitkan. Meski
bukan untuk barang yang sangat berharga sekalipun.
Maka pencurian yang dilakukannya, sebenarnya bukan karena kekurangan uang.
Tetapi lebih karena ingin mengetahui apakah dia bisa mencuri dari orang hebat yang
digembar-gemborkan orang sebagai pendekar muda aneh itu.
Ouw Seng, si Maling Sakti, berada di restoran itu sambil makan dan minum
sepuasnya sampai hari menjadi gelap. Seperti sudah diatur saja, Maling Sakti
kemudian keluar dari restoran setelah membayar semua rekeningnya. Dan keluar dari
restoran hampir bersamaan dengan Thian Jie yang untungnya memang masih
memiliki cukup bekal uang.
Dengan tanpa curiga, maling sakti terus berjalan menyusuri jalan, terus dan terus
hingga memasuki daerah yang sudah agak sepi dan sunyi. Disaat itulah tiba-tiba
sebuah desingan terdengar jelas ditelinganya, dan dihadapannya kini ada sebuah
benda yang merupakan tanda pengenal.
Benda itu adalah "thian liong", tanda pengenal dari Thian Liong Pang. Mereka yang
menerima tanda itu, sebagaimana sudah diketahui Maling Sakti diberikan 2 pilihan,
"takluk" atau "mati". Seketika itu juga, Maling Sakti berkeringat dingin, wajahnya
berubah pucat pasi.
Pada saat dia berpikir untuk menggunakan kepandaian khasnya, yakni "berlari
dengan ginkangnya yang istimewa yang dinamakannya Sin-to hoan eng (Maling sakti
Menukar bayangan), tiba-tiba dia merasa bahwa dirinya sudah terkepung.
Dihadapannya berdiri seorang dengan bersedekab badan, sementara di 4 penjuru
lainnya dia menyaksikan masing-masing dijaga seseorang dengan tubuh berselubung
jubah hitam. Seketika dia sadar apa artinya.
"Thian Liong Pay menawarkan "kerjasama" atau "dibinasakan". Dengan mengutus
duta barisan hitam, maka Maling Sakti terhitung tokoh yang disegani" Manusia yang
bersedekab dihadapannya terdengar berkata dengan suara dingin menusuk.
"Tapi sayang, Maling Sakti selalu bekerja sendiri, dan tidak pernah bekerja untuk
orang lain" Meskipun kepepet, tetapi Maling sakti tetap menunjukkan kegagahannya.
"Hm, jadi pilihanmu adalah dibinasakan. Apa benar?" terdengar nada suara
menegaskan dari si orang dihadapan Maling Sakti.
"Soal binasa atau tidak, bukanlah urusanmu" Maling Sakti berkata dengan sikap
menjadi sangat waspada.


Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah kau pikirkan sebaik2nya?" membujuk si orang berkerudung hitam.
"Bahkan sudah kupikirkan sejak 10 tahun lampau, pada saat kalian mulai
mengganas" Maling Sakti menegaskan. Sungguh berani. Karena memang sudah
banyak persilatan yang mati terbunuh karena menolak ajakan Thian Liong Pang ini.
"Baik " anak-anak, habisi" Si pemimpin yang berdiri gagah bersedekab badan
memberi perintah. Dan tidak dalam hitungan detik, keempat pembunuh sudah melesat
dengan pesatnya mengirim serangan bertubi-tubi dan mematikan kesemua area
mematikan di tubuh Maling Sakti.
Tetapi, tidak percuma Ouw Seng menerima gelar Maling Sakti dengan kepandaian
Ginkang yang istimewa. Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan kepadanya dielakkan
dengan manis, semakin cepat serangan kearahnya, semakin cepat juga dia bergerak.
Sayangnya, semua jalan keluarnya sudah ditutup oleh ke-4 orang penyerangnya, dan
bahkan masih juga diawasi secara ketat oleh si pemimpin.
Chit cay sin tho (Maling sakti 7 jari), memang terkenal karena ilmu ginkangnya, dan
apabila dia terlepas dan mulai melarikan diri, maka sangat sedikit tokoh silat yang
mampu menyandaknya. Nampaknya, keistimewaan maling ini dikenal dengan baik
oleh para penyerangnya.
Karena itu, semua jalan yang mungkin meloloskan Maling Sakti dijaga dengan
demikian ketatnya. Haruslah diketahui, bahwa meskipun Ilmu Ginkangnya istimewa,
tetapi Ilmu Pukulan dan Tenaga Sakti Maling Sakti tidaklah cukup istimewa.
Dia memang sangat tekun dengan Ginkang, tetapi tidak dengan Ilmu Pukulan dan
Sinkang. Karena itu, meskipun mampu bergerak lincah dan melompat kesana kemari
tetapi serangan balasannya tidak berarti.
Bahkan kemudian lama kelamaan gaya dan cara bergeraknya mulai tercium
lawannya yang memang terlatih sebagai pembunuh, baik bekerja perorangan maupun
berkelompok. Dengan segera Maling Sakti jatuh dalam kesulitan, diterjang dari 4 arah
oleh kelompok pembunuh Thian Liong Pang.
Perlahan tapi pasti, hanya gerak menghindar yang bisa dilakukannya, dan semakin
pasti bahwa tidak lama lagi dia akan jatuh dibinasakan. Benar saja, ketika suatu saat
dia sanggup menghindari dua serangan, pukulan maupun tendangan dua lawannya,
dia nampaknya akan terkena serangan mematikan yang mengarah ke punggungnya.
Sudah tidak ada jalan lain, dan Maling Saktipun sudah pasrah. Dan dia ingin mati
sebagai orang gagah yang berjuang sampai saat terakhir. Tetapi, memang belum
takdir kematian mendatangi si Maling Sakti ini. Pada saat dia tidak berdaya lagi untuk
menghindari serangan di belakangnya, dan malah sudah pasrah, tiba-tiba terdengar
dengus tertahan penyerangnya:
"Dess, "..ngekk" Bukannya punggungnya yang kena hantam, justru tangan yang
memukulnya yang tertangkis dan disusul dengan sodokan di ulu hatinya yang
membuatnya mendengus berat dan terkapar di tanah.
Di samping si Maling Sakti, kini berdiri dengan gagah seorang Pemuda yang masih
remaja berpakaian warna hijau. Tidak perlu dikatakan lagi rasa terima kasih dan rasa
malu di hati si Maling Sakti.
"Orang muda, terima kasih atas bantuanmu" desisnya tertahan.
"Masih belum selesai. Inikah rupanya gerombolan yang mengganas di rimba
persilatan", sungguh-sungguh cayhe ingin belajar kenal keganasan mereka" ujarnya
dengan tatap mata menusuk yang tidak sanggup dilawan si pemimpin para pembunuh.
"Anak muda, siapakah engkau yang begitu bernyali melawan Thian Liong Pang?" si
pemimpin nampak berang melihat usaha mereka yang sudah nyaris berhasil
digagalkan. "Siapa aku bukan soal. Tetapi melawan Thian Liong Pang, siapa mesti takut" Dan
menolong orang, adalah kewajibanku. Kewajiban jugalah yang membuatku
menurunkan tangan keras atas mereka yang mengacau banyak orang" Sambil berkata
demikian, dengan cepat Thian Jie menggerakkan tangannya menyerang tiga orang
pembunuh yang tersisa.
Terdengar beberapa kali benturan, dan dalam 2-3 jurus belaka, ketiga orang yang
tersisa juga tergeletak dengan luka-luka yang cukup parah. Gerakan Thian Jie dari
Ilmu Pukulan Ceng Giok Cap Sha Kun Hoat memang sangat cepat, telak dan
terlampau lihay bagi ketiga orang tersebut.
Tinggal sang pemimpin yang kini memandang takjub dan tidak sanggup bicara apaapa
menyaksikan hanya dengan 2-3 jurus gerakan saja, para pembunuh andalannya
tergeletak tak tentu nasib. Meskipun dia melihat anak buahnya tidak mati, tetapi yang
jelas mereka sudah terluka dan sulit melakukan pengeroyokan lagi.
"Anak muda siapakah engkau?" tanya si pemimpin keder, jelas dari nada suara yang
bergetar. "Aku?", namaku Thian Jie, hanya itu yang kutahu. Nah, engkaupun harus segera
bersiap" Tetapi belum habis Thian Jie bicara, sebuah bom asap tiba-tiba disambitkan
sang pemimpin. Dan ketika kemudian jarak pandang mulai kembali membaik, sang
pemimpin sudah tidak kelihatan lagi, hanya sempat terdengar kalimat ancamannya:
"Anak muda, ingat, engkau telah mengikat tali permusuhan dengan Thian Liong
Pang" Dan ketika Thian Jie memalingkan pandangan ke arah para pembunuh yang terluka,
tidak lagi ditemukannya sisa yang masih hidup.
"Sungguh keji, si pemimpin masih sempat menghadiahkan jarum kematian bagi
pembunuh-pembunuhnya yang gagal" Si Maling Sakti bergumam.
"Sayang, aku tidak sempat mencegah kekejaman mereka" Thian Jie menyesali
kealpaannya, meskipun bertambah juga pengalamannya menghadapi cara kerja para
penjahat. Kealpaannya menyebabkan ke-4 pembunuh yang sudah terluka bisa mati
terbunuh. "Anak muda, biarlah aku mengucapkan terima kasih atas bantuanmu" Maling Sakti
menyampaikan ucapan terima kasihnya.
"Mana " mana, bantuan yang sebenarnya tidak perlu" Thian Jie merendah. "Hanya,
bila saudara tidak keberatan, sudilah mengembalikan barangku yang sempat terambil
tadi" tambahnya.
Wajah Maling Sakti bagaikan kepiting rebus, tetapi untunglah hari sudah malam,
sehingga tiada yang menyaksikan bagaimana lucu, keki dan malunya si Maling Sakti.
Tetapi sekaligus juga terharu, sudah kecurian malah masih ringan tangan dalam
membantunya menghadapi pembunuhan yang nyaris menelan nyawanya.
"Orang muda, sungguh aku kagum terhadapmu. Maafkan, naluri malingku memang
telah salah penujui saudara muda. Sudah begitu, saudara masih berkenan
membantuku. Maafkan aku" Maling Sakti dengan malu, keki sekaligus terharu
mengucapkan terima kasih dan membuat pengakuan.
"Seandainya sifat gagahmu tidak ditunjukkan melawan mereka, maka akulah yang
akan menghajar kalian semua. Untungnya saudara seorang yang gagah dan aku
percaya, bukan maksudmu memperkaya diri dengan mencuri barangku" Thian Jie
berkata. "Sungguh gagah, sungguh gagah. Anak muda, nampaknya julukanmu yang
mengharum akhir-akhir ini tidak salah. Biarlah aku minta maaf untuk kesengajaanku
mengujimu. Baru sekali ini Maling Sakti jatuh merek karena salah pilih sasaran"
"Tapi, anak muda, bolehkah aku mengenali dan mengetahui namamu?"
"Thian Jie, hanya itu yang kutahu" Thian Jie menjawab singkat tapi hangat
bersahabat. "Baiklah anak muda, sejak saat ini Chit cay sin tho (Maling sakti 7 jari) berhutang
nyawa dan budi sedalam lautan. Apapun yang saudara perintahkan akan kulakukan
dengan sepenuh hati" Maling Sakti berkata.
"Tidak usah seberat itu, sudah jauh lebih baik kita bersahabat" Thian Jie menjadi
tidak enak. "Tidak, sudah ikrarku sebagai Maling Sakti. Orang pertama yang tahu aku mencuri
darinya dan malah menolongku dari kematian. Biarlah kuabdikan hidupku buat Thian
Jie, itu keputusanku" Maling Sakti berkeras.
"Saudara, mengapa menjadi seberat dan seserius itu" Thian Jie juga menjadi tidak
enak. "Thian Jie, apa yang harus kulakukan saat ini bagimu?" Maling Sakti bertanya. Dan
Thian Jie yang sedang mencari jejak Kiam Cim Sin Kay, justru melihat bahwa
menugaskan Maling Sakti mencari jejak, justru bisa menolongnya dari 2 kesulitan.
Kesulitan mencari jejak Kiam Cim Sin Kay, dan kesulitan menghadapi Maling Sakti
yang berkeras mau mengabdi kepadanya. Akhirnya diapun memutuskan dan berkata:
"Baiklah Sin tho, aku meminta bantuanmu untuk melacak keberadaan Kim Ciam Sin
Kay Pangcu Kaypang, yang kabar terakhir menghilang di sekitar Pakkhia 5 tahun
berselang. Aku dalam perjalanan kesana, paling lama 2-3 minggu lagi sudah berada di
Pakkhia" "Baik, Maling Sakti bertugas" Selesai berkata demikian, Maling Sakti berkelabat
meningalkan Thian Jie mendahului ke Pakkhia. Ginkangnya memang istimewa,
dalam sekejab sudah berlari jauh meninggalkan Thian Jie yang berdecak kagum
melihat kecepatan lari si Maling
=================
Tidak ada halangan berarti yang ditemui Thian Jie dalam perjalanannya menuju
Pakkhia (Peking). Memang ada beberapa kali para pembunuh Thian Liong Pang
berusaha memegat dan menyerangnya, tetapi sampai keluar dari Propinsi Se cuan,
semua hadangan itu tidak mampu mencederainya.
Tetapi memasuki daerah utara Sungai Yang Ce, serangan tersebut tidak terjadi lagi.
Bahkan menjelang akhir bulan ketiga setelah turun gunung, dia sudah berada di kota
Raja Kerajaan Chin di Pakkhia. Dia sengaja memilih menginap di sebuah Penginapan
yang ramai dan terkenal, yakni di Sing Long Kek-can (penginapan Sing Long). Di
tengah keramaian, kehadirannya tentulah tidaklah mencolok.
Karena itu, hari-hari pertama berada di Kota Raja tersebut, Thian Jie banyak
menghabiskannya dengan berpesiar menikmati suasana Kota Raja. Sembari juga
menyelidiki keadaan Kay Pang yang dilihatnya dimana-mana banyak anggota
pengemis. Hanya dia tidak yakin, apakah mereka mengenal Kim Ciam Sin Kay. Atau
malah dia tidak tahu, apakah pengemis tersebut anggota Hek-i-Kay Pang atau bukan.
Hari kedua menjelang senja ketika Thian Jie kembali ke kamarnya, dia menemukan
di atas mejanya sudah ada sebuah kertas surat yang dikirimkan orang dengan tulisan:
Hati-hati, semua sepak terjangmu di bawah pengawasan orang.
Malam nanti, di sebuah kuil kosong, sebelah barat kota
Surat itu tanpa tanda pengenal, tetapi Thian Jie segera yakin bahwa pengirimnya pasti
Maling Sakti. Dan apabila Maling Sakti mengirimkan surat dengan cara demikian,
berarti ada hal-hal yang sangat rahasia dan mendesak yang perlu diketahuinya.
Sejauh ini, hanya Maling Sakti yang tahu keberadaannya di Pakkhia, jadi hampir
pasti bahwa surat itu dari si Maling Sakti. Karena pikiran tersebut, Thian Jie
kemudian makan malam secepatnya dan segera bersiap menuju ke sebelah barat kota.
Tetapi, karena peringatan surat bahwa ada yang selalu mengawasinya, maka sedapat
mungkin Thian Jie berhati-hati dan berupaya agar tiada orang yang melihatnya.
Tetapi, sungguh tidak terbayangkan Thian Jie kalau jaringan mata-mata yang
membayanginya ternyata demikian ketat. Meskipun dia lolos dari pengawasan orangorang
di penginapan Sing Long, tetapi dia tidak lepas dari pengawasan lapis
berikutnya. Lebih tidak disangkanya lagi, kalau malam itu memang sudah direncanakan untuk
membekuknya sebagaimana pesan yang diterima dari Se Cuan. Karena itu, ketika
kemudian jejak Thian Jie ditemukan lagi, maka pengerahan kekuatan untuk
membekuknya segera dilanjutkan lagi.
Tidak kurang dari 50 puluhan orang baik dari Thian Liong Pay dan terutama barisan
pembunuhnya sampai para anggota Hek-i-Kay Pang dikerahkan. Bahkan juga
dikerahkan bersama beberapa tokoh yang dianggap sanggup dan mampu
mengalahkan dan membekuk hidup atau mati Ceng-i-Koai-Hiap.
Pendeknya, pendekar muda ini harus dibekuk karena berani melawan dan
menggagalkan serangan dan aktifitas Thian Liong Pang.
Tidak mengherankan, begitu Thian Jie menapakkan kaki di luar tembok kota sebelah
barat, dia justru mendarat di dataran yang ternyata sudah dikepung begitu banyak
orang. Dan manakala Thian Jie belum begitu menyadari keadaan sekelilingnya,
sebuah suara yang berat telah menyongsongnya:
"Hm, selamat datang Ceng-i-Koai Hiap. Masih sangat muda, tetapi telah
menimbulkan kegemparan di Se Cuan. Tapi sayangnya, Pakkhia bukanlah Se cuan"
Seorang yang nampak bertindak sebagai pemimpin menyambut Thian Jie.
"Hm, siapakah gerangan kalian" Tanya Thian Jie setelah mampu menguasai dirinya
dari kekagetan sejenak.
"Apakah siapa kami penting bagimu?" si pemimpin menjengek dingin
"Tidak penting, karena nampaknya bisa diduga kalian pasti gerombolan pengacau
Thian Liong Pang. Tidak salah lagi" Thian Jie juga makin pandai melayani basa-basi
dan saling memojokkan gaya orang persilatan.
"Hahahaha, hanya benar setengahnya anak muda. Tetapi kebenaran yang setengah
lagi sebaiknya ditanyakan kepada Giam Lo Ong" Bersamaan dengan kalimat itu, si
pemimpin mengibaskan tangan dan memerintahkan anak buahnya untuk menyerang
Thian Jie. Tapi mana sanggup penyerang-penyerang ini membereskan naga sakti seperti Thian
Jie" Meskipun masih kurang matang latihan dan masih kurang pengalaman, tetapi
kelincahan dan ginkang serta bahkan ilmu silat yang dimiliki, masih teramat jauh
dibandingkan barisan pembunuh ini.
Meskipun demikian, diantara para pembunuh ini, ada sekitar 8 orang yang menjadi
kekuatan utamanya. Dan kedelapan orang inilah yang menghindarkan banyak kawan
mereka dari desakan maut Thian Jie yang bersilat dengan jurus Giok Ceng Cap Sha
Kun Hoat. Tetapi musuh yang mengerubutinya terhitung banyak. Karena itu, dengan terpaksa
Thian Jie mulai mengisi pukulannya dengan tenaga saktinya. Dan beberapa saat
kemudian mulai jatuh korban di pihak penyerang, meski tidak berakhir dengan
kematian. Tubuh anak muda ini bergerak-gerak bagai naga sakti, cepat dan kokoh. Tetapi
kerubutan itu tidak dengan sendirinya menjadi lebih longgar, dan nampaknya akan
makan waktu cukup panjang bagi Thian Jie untuk memecah pengerubutan itu.
Karena berpikir demikian, selain juga melihat bahwa kedua pemimpin penyerbu ini
nampaknya jauh lebih lihay, maka Thian Jie kemudian menambah tenaga dan
kecepatannya. Dalam beberapa gerakan dan jurus kemudian, kembali 5 orang lawan
terjungkal dan tidak bisa melanjutkan pertarungan lagi.
Melihat pengepungan agak melonggar dengan jatuhnya lima orang lagi, Thian Jie
tidak menunggu sampai pengerubutan mengetat lagi. Sebaliknya, dengan
menggunakan jurus ke-sembilan dari ilmu keluarganya itu, "Pualam Hijau menyapu
lembah" segera merangsek maju.
Kedua tangannya bekerja dengan cepat melontarkan pukulan-pukulan lemas yang
menyebabkan lawan terpental bila terkena, terluka meski tidak mematikan.
Akibatnya, 3 orang lawan kembali terpukul jatuh, dan Thian Jie tidak mau berayal,
kembali kedua tangannya bekerja dan mendorong dengan jurus "Membersihkan
Gunung menggunting awan" dan diikuti dengan terjangan dari atas, kemudian
menyusul 3 orang lagi lawan terpukul jatuh.
Sementara itu, kedua pemimpin penyerang yakni Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka
Hitam) Louw Tek Ciang, yang juga menjadi Tancu Thian Liong Pang di Pakkhia dan
Hu-Tancu (wakil kepala cabang) Twa-to Kwi-ong (Raja Setan Golok Besar), Ca Bun
Kim terbelalak melihat kelihayan si anak muda.
Hanya dalam waktu singkat, kurang dari 20 jurus, sudah lebih dari 10 orang anak
buahnya yang terpukul luka-luka. Meskipun belum ada satupun dari 8 pasukan
pembunuh utama yang terluka, tetapi nampak jelas bahwa pengerubutan itu tidaklah
akan membawa hasil yang memuaskan.
"Sungguh telah salah menilai kekuatan lawan" berpikir Hek Bin Thian Sin Pakkhia
Thian Liong Pang tancu. Kalau tidak segera dihentikan dan ditahan, anak muda ini
akan membuat dan melukai lebih banyak orang.
"Sayang karena memandang enteng lawan, tokoh-tokoh besar Thian Liong Pang
yang berada di Pakkhia tidak diturunkan" desis Tancu Pakkhia ini menyesali kealpaan
pihaknya. Tapi, sementara sang Tancu berayal menilai situasi, pukulan dan tendangan Thian Jie
sudah kembali memakan korban. Beberapa orang kembali menjadi korban dan
tergeletak luka tidak bisa ikut melakukan penyerangan lagi. Dan otomatis jumlah
penyerang lambat namun pasti selalu berkurang.
Melihat hal itu, seperti sudah saling mengerti, baik Hek-bin Thian-sin (Malaikat
Muka Hitam) Louw Tek Ciang maupun Twa-to Kwi-ong (Raja Setan Golok Besar),
Ca Bun Kim diam-diam melangkah mendekati pertempuran. Thian Jie nampaknya
tidak menyadari bahaya, karena memang masih belum cukup berpengalaman
menghadapi tipu licik dari dunia hitam.
Dia terus bersilat menggunakan Giok Ceng Cap Sha Sin Kun dan terus menepuk,
memukul dan menendang yang dalam waktu sekian lama sudah hampir 20 orang
lawannya yang tersungkur terluka. Sementara itu Hek Bin Thian Sin dan Twa-to Kwi
Ong sudah semakin mendekat, tetapi karena ruang untuk menyerang nyaris tidak ada
dan terhalang oleh banyak anak buah yang menyerang, sulit bagi mereka menemukan
ketika untuk melancarkan serangan bokongan.
Sebaliknya, setiap pukulan dan serangan Thian Jie selalu berhasil mementalkan
sekurangnya salah seorang lawannya untuk tidak sanggup bertarung lagi.
Setelah lawannya berkurang banyak, ruang disekitar Thian Jie juga semakin lebar
karena yang mengerubuti sudah banyak berkurang, nampaknya sudah lebih 30 orang,
maka semakin jarang Thian Jie mampu menjatuhkan pengeroyoknya.
Terlebih karena 8 orang pasukan penyerang, berkepandaian cukup tinggi dan
menyerangnya dari seluruh penjuru dan terkadang membantu salah seorang
pengeroyoknya dari kesulitan. Tetapi, sementara itu, Louw Tek Cian dan Ca Bun
Kim, tetap menemukan kesulitan untuk melakukan serangan bokongan.
Tetapi yang pasti, mereka sudah sangat siap dipinggir arena pertempuran, dan


Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semakin lama mereka semakin takjub dengan kepandaian target yang harus mereka
selesaikan. Sungguh di luar perkiraan, dan laporan dari Se cuan nampaknya kurang
lengkap menggambarkan orang yang harus mereka habisi ini.
Di arena pertempuran, Thian Jie nampaknya memanfaatkan pertempuran ini untuk
mematangkan dan menguras habis penguasaannya atas jurus-jurus sakti keluarganya.
Sejak awal dia terus dan terus menggunakan jurus-jurus sakti dari Giok Ceng Cap Sha
Sin Kun (13 jurus sakti Pualam Hijau) dan terus menggedor penyeroyokan para
pembunuh yang mengerubutinya.
Dan perlahan namun pasti korban ditangannya terus bertambah, bahkan sudah tinggal
beberapa orang pengeroyoknya yang belum dijhatuhkannya. Selain 8 orang
pembunuh yang berkerudung hitam sebagaimana yang mengejar-ngejarnya sejak di
Se cuan, tinggal beberapa lagi.
Dan akhirnya, untuk mempercepat pertarungan guna menemui Maling Sakti, tiba-tiba
Thian Jie merubah jurus dan ilmu serangannya. Kali ini dia menggunakan Soan Hong
Sin Ciang Hoat (Silat Sakti Angin Badai), sebuah ilmu yang mengandalkan kecepatan
dan membawa perbawa yang sangat mengejutkan.
Bersamaan dengan itu, nampak kedua tangan Thian Jie bagaikan baling-baling yang
bergerak silang menyilang dengan cepat dan kemudian secepat kilat pula dia mencelat
kekiri dan kekanan mengejar, khususnya 8 pembunuh berkerudung hitam. Semua
pengeroyoknya tergetar ngeri karena dari seputar tubuh Thian Jie seperti
mengeluarkan bunyi dan arus angin badai yang menerpa mereka. Dan arus badai itu
menyerang mereka tiada hentinya.
Sebetulnya tidak ada angin dan badai yang sebenarnya, bahwa arus serangan kilat
dan membadai dari Thian Jie memang nyata. Tetapi angin puyuh dan badai yang
mengancam menerbangkan pengeroyoknya adalah efek dari kekuatan "batin" atau
kekuatan "sihir" yang terkandung dalam serangan tersebut.
Jurus ini memang bertujuan mempengaruhi pikiran dan mental bertanding lawan
melalui efek angin puyuh dan angin badai yang menerpa penyerangnya. Perubahan
jurus serangan tersebut menyentak para pengeroyoknya. Bahkan ke-8 penyerangnya
tidak bisa berbuat apa-apa, 2 diantaranya dengan cepat tertotok jatuh bersama dengan
5 orang lagi pengeroyok lainnya.
Dalam waktu singkat dengan menggunakan Soan Hong Sin Ciang Hoat, Thian Jie
mampu mengurangi secara drastis jumlah pengeroyoknya. Bahkan ketika
menggunakan jurus ke-2, "Angin Puyuh Membelah Bumi", kembali 2 diantara 8
pembunuh rebah tertutuk sementara sisa pengeroyok lainnya juga sudah tak sanggup
berdiri lagi. Pada saat arena berkurang drastis itulah tiba-tiba secara bersamaan dua serangan
berat dari Louw Tek Ciang dan Ca Bun Kim datang secepat kilat dari arah punggung
Thian Jie. Bersamaan dengan itu, juga dari 4 arah, datang serangan dari 4 pembunuh
berkerudung hitam yang masih tersisa.
Thian Jie yang tidak menyadari bahaya dari belakang, dengan segera kembali bersilat
dan memapak ke-4 penyerang berkerudung hitam sambil melepas jurus "angin badai
menghempaskan gunung" dimana kedua tangannya bagaikan menjadi 8 buah dan
bergerak memapas dan mendorong kea rah 4 orang penyerangnya. Tetapi pada saat
yang sama, serangan golok Ca Bun Kim dan serangan tangan beracun Louw Tek
Ciang sudah menyambar punggungnya.
Dan nampaknya Thian Jie akan tersambar kedua pukulan berbahaya tersebut, tetapi
untungnya pada saat yang sangat gawat tersebut meluncur sesosok tubuh dari luar
kalangan dalam kecepatan yang sangat tinggi:
"Tring, blar ?" duk". duk".duk".. duk" nyaris tidak dapat diikuti pandangan
mata, serangan Tek Ciang dan Ca Bun Kim telah ditangkis dan dipentalkan oleh
seorang pendatang misterius. Bahkan tangkisan yang mementalkan mereka membuat
mereka sadar bahwa pendatang tersebut orang yang sangat lihay dan kini berdiri keren
dihadapan mereka berdua.
Dan melihat kenyataan ini, dengan saling lirik dan pandang keduanya segera yakin
bahwa tidak ada harapan menyelesaikan tugas malam ini, dan segera keduanya merat.
Sementara itu, Thian Jie dalam waktu bersamaan sudah menyelesaikan
pertarungannya. Benturan terakhir dimanfaatkannya untuk menutuk keempat
lawannya yang terakhir, dan dia segera menyadari bahwa seseorang telah
membantunya menangkis serangan bokongan yang baru diketahuinya pada saat yang
sudah sangat gawat tadi.
Terdengar si pendatang yang juga sangat misterius, menutupi wajah dengan caping
yang sangat lebar dan bahkan juga menutupi wajahnya dengan sepotong kain
berwarna hijau:
"Liong Jie, Pakkhia menjadi salah satu sarang utama Thian Liong Pay di daerah utara
ini. Hati-hati dan selalu waspada" Selesai dengan kalimat itu, si pendatang misterius
kemudian berkelabat menghilang. Tidak sempat Thian Jie bertanya sesuatu dan
berterima kasih, dan tidak mungkin juga mengejar karena si pendatang misterius
sudah berkelabat menghilang. Tetapi masih sempat terdengar suara lirih:
"Jangan buang waktu menanyai orang-orang itu, tidak akan ada yang bisa kau
dapatkan dari mereka. Organisasi ini sangat rahasia, anggotanyapun tidak tahu dimana
dan siapa pemimpin utamanya" Suara tersebut meski lirih dan terasa empuk dan
lembut di telinga Thian Jie. Bahkan terkandung kasih saying yang dalam terhadapnya
dalam suara itu.
Tetapi yang terpenting, suara itu juga membuatnya tersentak. Jika dia sampai
diserang, bukan tidak mungkin Maling Sakti juga mengalami hal yang sama. Karena
itu, dengan kecepatan bagaikan kilat dia bergerak kearah hutan mencari sebuah kuil
kosong sebagaimana ditinggalkan pesan dalam surat dikamarnya.
Setelah lebih kurang setengah jam mengubek-ubek hutan, akhirnya dia menemukan
kuil yang dimaksudkan oleh maling sakti. Tapi sayang, seperti dugaannya, dia datang
terlambat. Di halaman kuil banyak terdapat pengeroyok yang sama dengan yang baru
saja dilawannya.
Bahkan juga terdapat 4 pembunuh berkerudung hitam, yang tidak seorangpun
dikenalnya. Tapi, ada juga satu dua mayat pengemis dan nampaknya anggota Kay
Pang diantara mereka yang menjadi korban pertempuran di kuil kosong tersebut.
Dengan cepat Thian Jie berkelabat kedalam kuil, pemandangan yang sama juga
ditemukannya disana. Hanya, kali ini beberapa mayat saja yang ditemukannya. Tetapi
selebihnya, kuil kosong itu benar-benar telah kosong, yang ada dan tersisa hanyalah
mayat-mayat belaka.
Setelah memeriksa demikian banyak mayat, mengelilingi kuil kosong yang memang
sudah kosong itu, Thian Jie berdiri mematung, nampak berpikir keras. Nampaknya
Maling Sakti tidak menjadi korban dari pertempuran yang terjadi di kuil kosong ini.
Tetapi, Maling Sakti sendirian, tidaklah mungkin mengakibatkan korban kematian
sebanyak ini, karena Ilmu Silat Maling Sakti tidaklah sanggup menyebabkan
kematian para penyerbu sebanyak ini. Ada dua kemungkinan yang dipikirkan Thian
Jie: Pertama, pemberi kabarnya adalah orang lain dan bukan Maling Sakti. Dan
Kedua, pemberi kabar benar Maling Sakti dan ada seseorang atau mungkin lebih yang
membantu Maling Sakti melawan para pembunuh ini.
Dilihat dari korban-korban yang bergelimpangan, Thian Jie yakin dengan kesimpulan
dan analisisnya yang kedua. Hanya, pertanyaan sekarang dimana Maling Sakti dan
siapa yang membantunya" Hanya satu dugaan yang berdasarkan fakta ". Kay Pang.
Tapi, inilah yang membingungkan, bukankah Kay Pang di wilayah kerajaan Cin
malah menentang Kay Pang dibawah Kim Ciam Sin Kay"
Tengah Thian Jie termenung kebingungan memikirkan hal-hal aneh yang ditemuinya
tiba-tiba berdesing sebuah benda, tetapi nampaknya tidak diarahkan kepadanya. Dan
benar saja, sebuah panah kecil yang dibatangnya diikatkan sebuah kertas tepat
terpancang di batang pohon samping Thian Jie.
Setelah mengalami banyak kesulitan akhir-akhir ini, Thian Jie sudah semakin
menyadari bahaya dunia Kang Ouw, dan sudah semakin berhati-hati dalam bertindak.
Dicungkilnya anak panah tersebut lepas dari batang pohon dan dipastikannya tidak
ada jebakan dan racun yang melumuri panah dan kertas. Sebuah tulisan singkat
terdapat dalam kertas itu, dan nampaknya ditujukan padanya:
Ikuti tanda di bawah ini, Maling Sakti bersama kami
SAHABAT Di bawah tulisan tersebut nampak tanda panah bersilang. Dan bagi Thian Jie, tanpa
kata "SAHABAT" dalam surat itu, bahkan tanda "MUSUH" sekalipun, tetap akan
didatanginya. Karena betapapun, dia yang meminta Maling Sakti mengerjakan
sesuatu untuknya. Karena itu, tak ayal lagi Thian Jie kemudian beranjak dan berjalan
dengan dipandu oleh tanda panah bersilang yang nampaknya dimaksudkan untuk
menuntunnya kesebuah tempat.
Tanda panah bersilang itu nampaknya menjauhi kota, tetapi kemudian memotong
hutan dan seperti mengitari kota kearah sebelah utara pintu masuk kota. Berbelokbelok,
dan akhirnya tiba disebuah bukit yang agak lebat hutannya.
Thian Jie memasuki hutan tersebut sesuai petunjuk anak panah bersilang, dan
akhirnya tiba disebuah lembah yang agak lapang. Petunjuk tersebut berakhir disana,
tetapi tiada seorangpun yang nampak oleh Thian Jie dan tiada tanda-tanda bahwa
tempat itu ada yang tinggal atau ditinggali orang.
Tetapi di tengah-tengah ketermanguan Thian Jie, telinganya yang tajam menangkap
adanya sebuah gerak yang sangat halus, terlalu halus malah disamping kirinya. Dan
gerak itu pastilah seseorang dengan ginkang yang telah terlatih baik, karena itu Thian
Jie segera berseru:
"Sahabat yang bersembunyi, silahkan unjuk diri" Serunya sambil kemudian berpaling
dan menghadap kesamping kirinya. Dan benar saja, disamping sebelah kirinya telah
berdiri dengan gagah sosok tubuh berpakaian biru, tetapi wajahnya dengan tubuh
yang kokoh meski sedikit lebih ramping dibandingkan Thian Jie.
Wajahnya nampak terang dan simpatik, tetapi yang membuat terkesima Thian Jie
adalah, wajah itu seperti dikenalnya. Agaknya cukup akrab dengannya. Tetapi orang
berwajah simpatik tersebut kemudian berkata:
"Harus dipastikan apakah orang bermaksud jahat atau baik. Saudara bersiaplah" Seru
si pemuda berwajah terang simpatik yang kemudian segera membuka serangan kearah
Thian Jie. "Eh, apa maksud saudara?" Thian Jie bertanya sambil mengelakkan serangan si
pemuda berbaju biru itu.
"Maksudnya, harus diuji dulu apakah saudara bisa mendatangkan bencana bagi kami
atau tidak" Sahut si pemuda yang kemudian melanjutkan serangannya kearah kepala
dan dada Thian Jie. Malah serangan tersebut menjadi bertambah pesat dan cepat.
Menghadapi serangan semacam itu, mau tidak mau Thian Jie juga harus
berkonsentrasi, apalagi karena nampaknya penyerangnya berkepandaian tidak rendah.
Setelah berkelit dari serangan pertama, Thian Jie bermaksud menjajal kekuatan lawan,
dan kedua serangan si pemuda berbaju biru kena ditangkis:
"plak ". plak", keduanya terkejut dan sangat terperanjat serta nampak saling
mengagumi lawan. Sekilas kekuatan keduanya nampak berimbang, bahkan gerakan
tubuh juga masing-masing menunjukkan kegesitan yang sangat mengagumkan.
Keadaan dan kemampuan lawan benar-benar menggetarkan masing-masing, dan juga
mendatangkan rasa kagum. Tetapi sebagaimana penyakit ahli silat, juga
mendatangkan rasa penasaran untuk terus mencoba dan menjajagi.
Setelah berkali-kali keduanya berbenturan tangan dan mempertunjukkan kegesitan
tubuh dengan jurus-jurus umum, tiba-tiba si pemuda berbaju biru mengganti
serangannya. Nampaknya mulai menggunakan ilmu-ilmu dan gerakan yang lebih
keras dan sambil berteriak bagaikan Naga yang sedang marah untuk menyerang, si
pemuda kemudian menerjang kearah Thian Jie.
Sebuah serangan yang keras dan tajam, bahkan angin pukulannyapun sudah terasa
meski masih jauh dari tubuh Thian Jie. "Ilmu yang hebat" pikir Thian Jie, dan diapun
menjadi girang karena seperti mendapat lawan latih tanding yang sepadan. Dengan
cepat dia mengerahkan tenaga iweekang Giok Cengnya dan memapak serangan
tangan dan kaki si Pemuda baju biru.
Tetapi dia segera mendapatkan kenyataan bahwa isi serangan dan tenaga si pemuda
seperti berlipat kali lebih dari yang sebelumnya. Jauh berbeda dengan benturanbenturan
awal, dan tentu akan sangat malu bila namanya runtuh ditangan anak muda
itu. Nampaknya karena perbawa Ilmu yang dikembangkan si pemuda. Untuk
memunahkan tenaga serangan lawan, Thian Jie membiarkan dirinya terpental, sambil
kemudian dalam posisi melayang dia menyiapkan meningkatkan kekuatan Sinkang
keluarganya Giok Ceng Sin Kang dan mulai mengembangkan jurus Giok Ceng Cap
Sha Sin Kun. Kali ini, serangan si pemuda yang nampaknya mengerahkan Hang liong Sip Pat
Ciang yang sudah terlatih baik, disambut oleh Ilmu yang memang sepadan
dengannya. Maka kembali kedua Ilmu Pusaka itu diadu, dan kali ini oleh generasi
termuda dari dua pintu perguruan yang dianggap keramat saat ini di dunia persilatan.
"Plak ?" plak, haiiit" kembali terjadi benturan antara kedua anak muda itu. Kali ini
nampak bahwa Thian Jie sedikit lebih unggul dibanding lawannya, tetapi keunggulan
itu segera lenyap, karena variasi dan kemampuan beradaptasi dengan jurus-jurus
serangan nampak lebih kaya dikembangkan oleh si pemuda baju biru.
Dan nampaknya keduanya mengetahui kelebihan masing-masing, apalagi dari unsur
gerakan dan ginkang, keduanya nampak sekali berimbang. Sama-sama gesit, samasama
ulet dan sama-sama lincah dalam menyerang, menghindar maupun menangkis.
Pertarungan tersebut berlangsung terus, bahkan sampai keduanya selesai
menggunakan ilmu pukulan masing-masing. Bahkan mereka sampai tidak menyadari
bahwa disekeliling mereka kini berkumpul banyak orang yang berdiri mengagumi
pertarungan yang sungguh seru dan menarik ini.
Terlebih, jurus-jurus yang dikeluarkan adalah jurus pilihan yang jarang nongol di
dunia persilatan. Jurus-jurus dari orang-orang sakti yang dianggap dewa dan dituakan
di dunia persilatan akhir-akhir ini.
Sementara penonton termangu-mangu, dan menjadi tersentak ketika tiba-tiba
terdengar ledakan bak petir. Kerasnya bukan buatan dan menyakitkan telinga.
Ternyata, si pemuda baju biru sudah mengeluarkan Ilmu Pusaka lain dari pintu
perguruannya, Pek Lek Sin Jiu dan bergerak dengan jurus "Petir Memenuhi
Angkasa". Luar biasa, sampai-sampai Thian Jie harus mengerahkan dan meningkatkan kekuatan
singkangnya baru bisa mengatasi efek mengerikan Pek Lek Sin Jiu. Tetapi sesaat
kemudian, diapun bergerak dan merubah jurus serangannya dengan Soan Hong Sin
Ciang Hoat. Dia bergerak secepat angin, dan kemudian mengalirlah arus badai dari tubuhnya dan
mulai terasa menyentuh si pemuda baju biru yang membuatnya semakin kagum dan
penasaran. Keadaan sekitar arena pertandingan menjadi sangat mengerikan,
perbawanya jauh lebih mengerikan dibandingkan kedua ilmu pertama.
Meski kehebatan Ilmu Pertama juga tidak kurang indah dan dahsyatnya, tetapi Ilmu
terakhir ini memang memiliki daya serang langsung ke mental orang. Jadinya
terkesan lebih mengerikan dan lebih dahsyat. Para penonton bahkan harus mundur
beberapa langkah, dan bahkan terus mundur lagi ketika ledakan kedua dari si pemuda
baju biru malah tambah memekakkan telinga.
Tambahan lagi, angin menderu deru dan suara seperti angin puyuh dan badai
membuat suasana tambah mengerikan dari waktu kewaktu. Gerakan secepat kilat
dengan deru badai yang dihasilkannya ditimpali oleh ledakan-ledakan petir yang
menyambar-nyambar saling silang dan silih berganti.
Sementara badai dan angin puyuh bertiup-tiup dan menerbangkan apa saja yang
berada disekitar keduanya, juga ledakan petir yang menyebabkan benda sekitar
menjadi gosong. Otomatis para penonton tambah menjauh dan menjauh menghindari
arena yang bisa membuat mereka yang masih berilmu cetek terluka.
Tetapi sementara itu, Thian Jie maupun si pemuda baju baru sadar bahwa meski ilmu
yang dikerahkan sangat mengerikan, tetapi keduanya menahan tenaga untuk tidak
saling melukai. Keduanya sadar, bahwa pertandingan tersebut meski dengan ilmuilmu
pusaka dan memiliki perbawa mengerikan, tetapi lebih mirip latih tanding.
Apalagi, nampaknya si pemuda berbaju biru seperti sudah mengenal lawannya, dan
Thian Jie sendiri seperti lupa-lupa ingat. Itulah sebabnya keduanya percaya akan
lawan masing-masing, entah bagaimana, dan dengan bebas mengembangkan
kemampuan demi kemampuan dalam batas yang masih bisa dikuasai masing-masing.
Setelah puas mengembangkan kedua ilmu pusaka masing-masing, keduanya bahkan
kemudian juga mencoba jurus yang lain. Si pemuda baju biru, yang bisa ditebak
pembaca bernama Liang Tek Hoat atau si "Si-yang-sie-cao (matahari bersinar cerah)"
murid penutup Kiong Siang Han mulai mengembangkan Ilmunya lebih jauh ditunjang
oleh Ilmu ginkangnya Tian-liong-kia-ka" (naga langit menggerakkan kakinya).
Sementara untuk menandingi keangkeran Ilmu tersebut Thian Jie memainkan
gabungan Soan Hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut, dengan menjadikan tangan
kiri sebagai pedang. Bahkan untuk meningkatkan kelincahannya, Thian Jie juga
mainkan ilmu ginkangnya Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput). Bila
Tek Hoat nampak bergerak ringan dan lincah bagaikan Naga yang menerobos kekiri
dan kekanan disertai sepakan dan terjangan yang membahayakan, maka Thian Jie
bergerak-gerak pesat bagaikan bayangan dan jarang menginjak tanah.
Tetapi akibatnya, semua petir dan guntur dari Tek Hoat dan erangan serta kibasan
ekor sang Naga bisa ditepis dan dihindari. Sebaliknya, tenaga serangan angin dan
badai, bahkan hawa pedang dari tangan kiri Thian Jie, tidak henti-hentinya
mengancam Tek Hoat.
Menyaksikan pertarungan dengan kedua jurus ampuh yang diciptakan 2 cianpwe gaib
masa kini, sungguh mencengangkan. Bahkan rumput-rumput sekitar arena
beterbangan terbawa angin puyuh yang diciptakan Thian Jie, sementara tanah dan
bebatuan berlobangan ditimpah Pek Lek Sin Jiu yang beberapa kali dimasukkan untuk
menyerang Thian Jie oleh Tek Hoat.
Ledakan kilat, halilitar dan angin puyuh nampak sudah menyatu, hingga mirip
dengan kejadian alam sebenarnya dan memekakkan telinga dan mengecutkan hati


Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka yang tidak memiliki kesaktian cukup dan kekuatan batin yang memadai. Bila
dengan Pek Lek Sin Jiu saja telinga sudah mtergetar sakit, apalagi kini dengan
menggunakan Sin Liong Cap Pik Ciang (Delapan Belas Pukulan Naga Sakti).
Unsur Pek Lek Sin Jiu yang dimasukkan dalam jurus ini memang masih dominan,
tetapi sudah ditunjang dengan unsur penggunaan Hang liong Sip Pat Ciang. Karena
itu, erangan Naga juga berkali-kali terdengar didorong keluar melalui mulut Tek
Hoat. Sementara untuk menandinginya, tangan Thian Jie menjadi bagaikan pedang yang
berkesiutan tajam dan melenyapkan perbawa halilintar dalam hujan dan badai yang
diakibatkan oleh gerak tubuh dan tangannya. Benar-benar pertarungan antara 2 Naga
Muda yang sangat sakti, dan membuat mata para penonton terbelalak kagum disuguhi
pertarungan yang sangat jarang bisa disaksikan.
Dalam keadaan bertanding yang seru semacam ini, tiba-tiba terdengar Tek Hoat
berbisik: "Thian Jie, mari kita mencoba kemampuan ilmu kita yang terakhir", sambil
berkata demikian tiba-tiba Tek Hoat bergerak secara aneh. Dia bersilat biasa saja,
tetapi bagi penonton Tek Hoat seperti berubah menjadi Naga Sakti dan berjumlah
demikian banyak, berlari, mengibas dan mengeluarkan letikan kilat yang berbahaya.
Itulah Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti). Menyadari bahaya karena perbawa
yang luar biasa itu, tiba tiba Thian Jie menyedekapkan tangan kiri ke dada, dan tangan
kanan ke atas kepala dengan jari-jari terbuka. Inilah Pek Hong Cao-yang-sut Sin
Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari), tubuhnya tiba-tiba mencelatcelat
bagaikan awan putih dan menari-nari mengitari puluhan naga sakti yang
diciptakan gerakan Tek Hoat. Bahkan, kilat dan halilintar, juga menyengat keluar dari
awan tersebut. Tetapi, Thian Jie segera sadar, bahwa keduanya ternyata belum cukup matang dalam
Ilmu tersebut, dan kesalahan sedikit saja akan membahayakn nyawa keduanya. Benar,
bahwa keduanya mampu membuat semua orang disekeliling mereka terperangah,
tetapi kekuatan pukulan dan penguasaan atau pengendalian sepenuhnya atas ilmu
tersebut, belum sanggup mereka lakukan.
Dan nampaknya, hal tersebut juga disadari Tek Hoat, tetapi seperti juga Thian Jie,
nampaknya sukar baginya untuk melepas kendali atas penggunaan ilmu gaib tersebut.
Keadaan ini jelas sangat berbahaya, karena bila benturan keras terjadi, mau tidak mau
keduanya harus dalam keadaan pengerahan tenaga yang seimbang.
Dan hasilnya, bisa dipastikan keduanya bakal terluka berat, dan pasti butuh waktu
panjang untuk memulihkannya. Tetapi, bila pengerahan tenaga tidak seimbang, salah
satunya sangat mungkin terluka parah dan bahkan jatuh binasa.
Nampaknya baik Thian Jie maupun Tek Hoat lama kelamaan menyadari bahaya
tersebut. Tanpa mereka sadari, tenaga iweekang yang mereka pergunakan meningkat
secara otomatis seiring dengan penggunaan jurus-jurus gaib dari Ilmu tersebut.
Dan nampak jelas, keduanya sudah sulit mengendalikan diri karena ancaman bahaya
sangatlah besar. Baru kemudian Tek Hoat menyesal mengapa memulai menggunakan
Ilmu perguruan yang gaib ini sementara penguasaannya belum matang benar.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Thian Jie, meski bahaya baginya tidak sebesar
Tek Hoat. Segera nyata, bila kekuatan Iweekang Thian Jie, masih seusap diatas Tek
Hoat, meski kekuatan Tek Hoat dan keuletan tenaganya, juga luar biasa.
Dalam kondisi berbahaya tersebut, Thian Jie teringat dengan Ilmu I Hun to hoat,
sejenis ilmu hipnotist yang dibuka rahasianya oleh gurunya. Dia berusaha sekuat
tenaganya, dengan mengerahkan segenap kekuatan iweekangnya untuk menahan diri
dalam penyaluran sinkang melalui pukulannya dan kemudian disalurkannya
kekuatannya juga kematanya sambil menunggu saat yang tepat guna memandang
mata Tek Hoat. Tetapi kesempatan semacam itu sungguh sulit didapat, karena tubuh Tek Hoat
dikelilingi oleh kabut awan dan ledakan petir akibat lontaran ilmu keduanya. Apa
boleh buat, tak ada jalan lain selain membentur dinding perbawa sihir kedua ilmu.
Thian Jie akhirnya memutuskan untuk bergerak cepat guna menyelamatkan kondisi
dan keadaan keduanya, tiba-tiba Thian Jie berteriak lirih tetapi menggetarkan, kedua
tangannya digerakkan secepat kilat dalam ilmu gerak Soan Hong Sin Ciang sambil
kemudian melontarkan pukulan kilat keras kearah dinding tersebut. Untungnya, meski
sulit menguasai Ilmu tersebut sepenuhnya, tetapi Tek Hoat sudah mengenal Thian Jie,
meski Thian Jie belum lagi menyadari lawannya adalah Tek Hoat.
Karena itu, benturan yang disengaja oleh Thian Jie segera menembus dan membentur
tenaga halilintar Tek Hoat, dan akhirnya keduanya terpental mundur. Sebelum Tek
Hoat kembali bergerak, karena masih dalam perbawa Ilmu tersebut, Thian Jie sudah
membentak dengan segenap kekuatannya: "Tahan", serunya dengan suara penuh
wibawa. sungguh Thian Jie tidak bermimpi bahwa mengerahkan Ilmu hipnotis dengan
kekuatannya yang besar memiliki pengaruh yang begini besar. Dengan segera Tek
Hoat yang menatap matanya tajam nampak tertahan sejenak, sekilas seperti bingung,
tetapi karena tubuhnya penuh hawa sakti, keadaan itu hanya sekitar 2-3 detik semata.
Dia melepas seluruh kekuatannya dan perlahan tertunduk meskipun hanya untuk
sejenak. Tetapi, keadaan yang hanya sesaat itu, sekaligus menyadarkannya akan
sesuatu. Bahkan sudah cukup untuk masing-masing melonggarkan penguasaan atas
Ilmu yang memiliki perbawa menakutkan tersebut.
Sebenarnya, baik Tek Hoat maupun Thian Jie sudah memperoleh penjelasan guru
mereka masing-masing, bahwa perbawa menakutkan yang dibawa ilmu masingmasing,
akan disebut sempurna bila hanya menguasai "mental" orang yang diserang.
Dan bila diinginkan, bisa memperluas arena penguasaan sesuai kehendak hati dan itu
baru mungkin dilakukan apabila penguasaan ilmu tersebut sudah mencapai titik
tertinggi, sehingga bukannya ilmu buat menakut-nakuti orang.
Tetapi, keduanya sadar, bahwa justru ilmu itulah yang menguasai mereka, sehingga
sulit menahan diri melontarkannya sampai pada tingkat tertinggi. Meskipun menysali
keadaan mereka, tetapi keduanya sudah mempelajari kondisi berbahaya bila
mengeluarkan Ilmu yang belum mereka kuasai dengan sempurna itu.
Tek Hoat kemudian dengan segera menguasai dirinya. Diapun nampak sangat letih
dengan benturan kekuatan dan terutama pengerahan tenaga sinkang dan tenaga batin
yang luar biasa. Tetapi anak ini memang tidak menyesal dipanggil SI Matahari
Bersinar Cerah.
Dengan cepat senyum kembali menghiasi bibirnya meski letih, dia kemudian
menyapa: "Thian Jie, selamat berjumpa. Sudah lupa lagikah engkau denganku?"
Thian Jie mungkin bisa melupakan Tek Hoat, tetapi sulit melupakan kejenakaan dan
wajah simpatik yang selalu nampak di wajah Tek Hoat yang membuatnya
memperoleh julukan Sie Yang Sie Cao. Karena itu, dengan gembira Thian Jie
kemudian berseru:
"ach, kamu tentu Tek Hoat .... hahahaha, tidak salah lagi, Liang Tek Hoat. Ach, tapi
mengapa engkau juga menjadi sehebat ini?" Thian Jie mengerutkan keningnya meski
tetap dengan wajah gembira kemudian merangkul Liang Tek Hoat.
"Hahahaha, Thian Jie " Thian Jie. Sungai itu memang sudah kuduga tidak punya
kuasa menamatkan hidupmu" Tek Hoat bercanda sambil balas merangkul Thian Jie
yang diselematkannya dari sungai.
"Tapi, bagaimana caranya engkau terlepas dari keganasan sungai itu Tek Hoat?"
Thian Jie bertanya. Tapi Tek Hoat kemudian berbisik mengingatkannya:
"Biarlah nanti kita bicarakan urusan tersebut. Banyak hal yang harus segera kita
kerjakan".
"Hm, kau benar Tek Hoat. Mari kau perkenalkan aku dengan sahabat-sahabat kita
yang gagah-gagah ini"
Yang pertama maju kedepan adalah Maling Sakti. Tapi si Maling nampak masih
sedang terluka, meski tidak sangat parah. Maling Sakti ini menjadi semakin ngeri dan
takjub memandang Thian Jie setelah melihat pertarungan yang sangat luar biasa
dengan Tek Hoat.
Selain Maling Sakti, nampak juga Pengemis Tawa Gila Hu Pangcu Kay Pang yang
dibelakang mereka nampak banyak sekali tokoh-tokoh pengemis yang menyertai.
Setelah berkenalan dengan semua tokoh Kay Pang yang berada di tempat tersebut,
akhirnya semua sepakat untuk membicarakan banyak hal di markas darurat Kay Pang
yang ternyata terpendam di balik Lembah yang nampak tidak berpenghuni itu.
Terutama Pengemis Tawa Gila, yang juga menjadi sangat kagum dengan Thian Jie.
Sejak tadi dia sudah sadar, bahwa pemuda aneh ini pastilah dari Lembah Pualam
Hijau, karena bergerak dan ilmu silatnya jelas dari Lembah itu.
Episode 12: Hek-i-Kay Pang
Siang itu, seorang gadis cantik nampak sedang berjalan memasuki Kota Raja Pakkhia
sambil menikmati dan memandang kesana kemari.
Tentulah baru pertama kali gadis cantik ini memasuki kota raja Pakkhia ini, terbukti
dengan seringnya dia memandang kagum kesana-kemari. Gadis cantik ini sebetulnya
bukanlah gadis sembarangan, karena gadis ini bernama Liang Mei Lan, putri seorang
Pangeran di Kerajaan Sung Selatan. Gadis yang bahkan sudah diberi kepercayaan
Kaisar Sung untuk menjadi salah satu pengawal Raja yang terpercaya.
Gadis ini kembali melanjutkan perjalanan setelah tinggal lebih dari 2 minggu di
rumah orang tuanya. Kali ini, tugasnya adalah mencari jejak kakaknya dan sekaligus
mencari informasi mengenai Pedang suhunya, Kiok Hwa Kiam yang masih belum ada
kabar beritanya. Setelah bercakap banyak dengan Beng San Siang Eng dan juga
dalam perjalanannya banyak mendapatkan informasi, maka Mei Lan kemudian
memutuskan menuju Pakkhia. Dia bahkan yakin kakaknya berada di daerah tersebut.
Gadis cantik di tengah kota yang ramai, sudah tentu akan mengundang banyak
perhatian. Dan sudah barang tentu, Mei Lan sadar bahwa sudah ada beberapa gerakan
mencurigakan yang mengikuti dan mengawasinya kemana saja dia pergi. Selaku gadis
terlatih, hal-hal yang dluar kewajaran dapat ditangkap baik dengan intuisi dan naluri
maupun dengan kemampuan menafsirkan keadaan sekitar.
Tetapi dasar gadis pemberani, Mei Lan justru tidaklah begitu memperhatikannya.
Yang justru rada gelisah adalah salah seorang pengawasnya, yang dari jauh
mencermati gerak-gerik gadis yang dirasa sangat mirip dengan seseorang yang
dihormatinya. Pengintip dan pengintai Mei Lan saat ini, memang terdiri dari beberapa
kelompok yang berbeda kepentingannya. Para pengintip itupun berbeda-beda
motivasinya. Ada yang memperhatikan karena kagum atas kecantikannya, tetapi ada
pula yang bukan karena daya tarik fisik Mei Lan.
Ada pengintai dari kelompok Hek -i-Kay Pang dan ada yang dari kelompok Kay
Pang sendiri, selain juga disatu sudut nampak Maling Sakti terus dengan ringan
mengikuti jejak nona ini. Sudah tentu, kelompok-kelompok pengintai ini memiliki
kepentinan berbeda. Maling Sakti dan kelompok Kay Pang menjadi penasaran dan
mengikuti terus Mei Lan karena melihat kesamaan fisik antara Mei Lan dan Tek Hoat.
Para anggota Kay Pang dan Maling Sakti yang belum begitu mengenal Tek Hoat
menjadi bertanya-tanya, siapakah gerangan gadis yang begitu mungil, manis dan
cantik ini" Apalagi Maling Sakti segera mengenal dan mengetahui bahwa gadis cantik
ini nampaknya bukan orang sembarangan.
Dari ketenangan si gadis dalam melangkah serta ringanya langkah kaki si gadis sudah
memberi isyarat bahwa gadis ini bukan orang sembarangan. Dan menilai seperti ini,
sungguh merupakan keahlian Maling Sakti yang jarang ditandingi tokoh lain di dunia
persilatan. Akhirnya, si Gadis cantik nampak memasuki sebuah rumah makan yang siang itu
cukup ramai. Waktu memang sudah cukup siang dan tentunya sudah merupakan saat
yang tepat untuk mengisi perut. Masuknya Mei Lan ke Rumah Makan, ternyata
diikuti Maling Romantis dan nampaknya juga beberapa orang dari kelompok Kay
Pang berbaju hitam.
Mei Lan mengambil meja di sebuah sudut yang memiliki latar pemandangan kearah
keramaian kota, sementara Maling Sakti berada di sebuah meja di sedikit agak ke
tengah dan memudahkannya untuk terus mengawasi Mei Lan. Sementara para
Pengemis Baju Hitam nampak rada penasaran karena tidak lagi memperoleh meja
kosong untuk ikut makan siang sambil mengawasi Mei Lan.
Tetapi anak buah para Pengemis Baju Hitam nampak tetap terus memelototi dan
mengawasi rumah makan tersebut. Mereka seperti memiliki target khusus dan harus
dipenuhi dengan terus menerus memelototi rumah makan itu. Bahkan pertukaran info
melalui kurir diantara mereka membuat posisi dan kondisi seakan berada di tangan
mereka. Sementara itu, didepan si Maling Sakti duduk nampak samping dimata Maling Sakti
adalah seorang pria yang nampak terlampau ramping sebagai pemuda dan wajah yang
juga terlalu tampan sebagai seorang laki-laki. Sekali pandang, mata lihay Maling
Sakti segera sadar bahwa didepannya adalah seorang pemudi atau gadis yang sedang
menyamar. Tetapi yang mengagetkan Maling Sakti adalah, sinar matanya yang menyambar
sangat tajam, dan bahkan gerak-geriknya ketika mematahkan batang sumpit tanpa
bersuara dan menjadikannya potongan-potongan kecil nampak sangat ringan tetapi
khas seorang berilmu. Maling Sakti segera sadar, bahwa didepannya atau dalam
warung makan itu ada 2 Naga Betina yang nampaknya sangat sakti.
Satunya adalah Naga Betina yang menyamar, sedang yang lainnya nampak santaisantai
saja menikmati makanan, meski pandang mata kagum tumplek ke dirinya.
Seakan wanita-wanita lain dalam Rumah Makan tersebut seperti bintang yang hilang
cahaya ketemu matahari.
Diam-diam Maling Sakti tertegun, mengapa begitu banyak orang muda yang
berkepandaian begitu tinggi" Dia sudah mengenal Tek Hoat dan Thian Jie dengan
kepandaian mereka yang begitu menggiriskan. Terlebih Thian Jie yang memiliki
perbawa yang mengesankannya, bahkan cenderung menghormat dengan berlebihan.
Dan kini, kembali dia bertemu 2 tokoh muda sakti, anak gadis pula, yang nampaknya
bukan orang sembarangan.
Dimanapun dan kapanpun, pasti akan ada laki-laki iseng yang suka tak tahu diri cari
perkara. Apalagi memang sering, yang diusili lelaki ceriwis dan tak tahu diri pastilah
cantik jelita, dan mereka yang usil akan semakin berani apabila si gadis cantik lemah
lembut dan tak sanggup memberi perlawanan.
Dan memang, perempuan-perempuan di tempat demikian, mau tidak mau harus
melayani tamu dengan hormat, bahkan dengan mengorbankan gengsi dan harga diri
bila perlu. Menjadi lebih berani dan nekad lagi, apabila beberapa cangkir arak telah
mengaliri darah pria ceriwis. Dan itulah yang dilakukan beberapa pria disudut lain
yang dengan larak-lirik genit memandang kearah Mei Lan yang sedang makan.
Kemudian mereka berbisik-bisik seperti sedang berunding harga atau entah apa.
Yang pasti, focus percakapan mereka agaknya memang tertuju kepada Mei Lan yang
dalam hatinya tersenyum-senyum. Dan tiba-tiba salah seorang dari mereka yang
berkumis tikus dan berpakaian cukup indah, nampak berdiri dan melangkah penuh
keyakinan kearah meja Mei Lan.
"Nona yang cantik, kita seperti pernah bertemu, tapi dimana yach?" dengan gaya
menyebalkan. Sangat menyebakan malah. Tetapi, Mei Lan sama sekali tidak
berpaling dan menggubrisnya. Sudah biasa dia diperjalanan diusili orang, dan
pengalamannya, dengan didiamkan saja pasti akan jera dengan sendirinya. Karena itu,
dengan lahap dilanjutkannya makan siangnya tanpa sedikitpun menggubris si
pengganggu. Bahkan melirik si pengganggu usil itupun Mei Lan tidak. Sebaliknya, malah seperti
terkesan acuh-tak acuh dan seperti merasa tidak terganggu saja.
"Ach, jika tidak salah kita pernah bertemu di rumah perjamuan Bhok Kongcu.
Ingatkah Nona?" Si kumis tikus terus merayu. Meskipun bagi telinga Mei Lan, suara
itu bukan suara rayuan, tetapi suara tembereng yang sangat memuakkan dan tidak
enak di telinga.
"Dan memang, Nona menjadi pusat perhatian karena begitu anggun dan memikat.
Apakah Nona sudah lupa?" si kumis tikus terus melancarkan rayuan tanpa
menghiraukan orang.
Mei Lan tidak bergeming, menolehpun tidak. Tetapi terus melanjutkan makannya
yang nampaknya sebentar lagi selesai.
"Apakah Nona tidak bersedia memberi muka bagi kenalan lama?" Si kumis tikus
terus berburu dan memburu.
"Lagi pula di siang terik ini, duduk dan makan sendirian kan sayang, seperti tidak
menghormati cerahnya suasana hari"
"Phuiiih, uh, terlalu pedas" Mei Lan seperti menggerutu, tetapi kuah-kuah
makanannya seperti tidak sengaja mengenai muka dan badan si kumis tikus. Dan
sebelum si kumis tikus bicara, Mei Lan sudah berseru:
"Pelayan, tolong dibawakan air minum. Kuah ini agaknya terlalu pedas" Panggil Mei
Lan sambil pura-pura mengipasi mulutnya yang nampak seperti kemerahan
Pendekar Super Sakti 1 Anak Berandalan Karya Khu Lung Kekaisaran Rajawali Emas 2
^