Pendekar Kidal 22

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Bagian 22


katanya: "Baiklah," coba kau katakan dulu cara bagaimana akan kerja sama
itu?" "Jadi kau sudah terima syaratku" Baik, apa yang dikatakan kerja
sama ada dua hal. Pertama, kau menjadi pelopor menunjukkan
jalan di sini, cari ke mbali orang2 Pek-hoa-pang yang tercerai berai di
sini. Kedua, tunjukkan tempat tahanan, kami akan menolong dua
sahabat Ling-toako."
"Hanya dua soal ini saja!" Tu Hong-sing menegas.
"Betul," sahut Un Hoan-kun tegas.
"Baik, Cayhe terima se mua syarat itu, bukalah Hiat-toku."
"Paman Yong," tanya Un Hoan-kun kepada Yong King-tiong,
"apakah omongannya dapat dipercaya?"
Sambil me ngelus jenggot Yong King-tiong bergelak tertawa,
katanya: "Sukar dikatakan, Losiu dengan Tu-heng dulu me mang
sesama anggota tiga puluh enam panglima, tapi setelah dia menjadi
cakar alap2, sukar dikatakan apakah dia dapat dipercaya atau
tidak?" Mengawasi Yong King-tiong, bukan kepalang marah Tu Hong-
sing, pikirnya: "Yong King-t iong, kenapa tida k kau pikir, dulu kaupun menyerah kepada kerajaan sa mpai se karang, aku paling2 menjabat
Koan-tai kelas enam, kau orang she Yong justeru menjadi Congkoan
dengan pangkat lebih tinggi buka mulut tutup mulut kau maki aku
sebagai cakar alap2, me mangnya kau ini bukan ca kar alap2?"
Sudah tentu hal ini tak berani dia ucapkan, terpaksa hanya
menyengir saja, katanya: "Yong-loko, puluhan tahun kita
bersahabat, masa kau tidak percaya padaku?"
Sebelum Yong King-t iong bersuara Un Hoan-kun mendahului
menya mbung: "Yong-lopek yang kenal kau puluhan tahun juga
masih sangsi terhadapmu, bagaimana aku berani percaya padamu?"
Sampa i di sini mendadak dia merogoh keluar sebutir pil, katanya:
"Begini saja, kau telan obat ini, nanti kubuka Hiat-tomu."
Tu Hong-sing menatap tangan si nona sekejap, tanyanya:
"Apakah obat beracun yang ada di tangan nona?"
Un Hoan-kun tertawa lebar, katanya: "Bukan, keluarga Un dari
Lingla m sela manya tidak pernah pakai obat racun, pil ini berna ma
Sip-hun-wan. setelah kau minum, dala m jangka waktu dua belas
jam kalau tidak mme mperoleh obat penawarnya, bila obatnya
bekerja, orangnya akan menjadi linglung seperti orang gila yang
kehilangan ingatan, segala-nya terlupakan, selamanya tak bisa
diohati lagi."
"Jahat juga pil ini," kata Tu Hong-sing.
"Jangan kuatir, aku punya obat penawarnya," ujar Un Hoan-kun,
"setelah kau telan Sip-hun-wan ini akan kuberikan sebagian obat
penawarnya, kau akan tahan enam jam da la m keadaan segar
bugar." "Setelah enam ja m, harus minum obat penawarnya lagi?" tanya
Tu Hong-sing. "Betul, enam ja m ke mudian, akan kuberikan lagi sisa obat
penawarnya."
"Jadi maksud nona, setiap enam jam harus minum obat
penawarnya?"
"Bukan begitu halnya, setelah enam ja m, khasiat obat penawar
akan lunak, tergantung dari usaha bantuanmu, bila sebelum ena m
jam kita bisa keluar dari sini, kontan akan kuberi lagi obat
penawarnya padamu."
"Itu berarti sebelum Cayhe mme mperoleh seluruh obat
penawarnya harus sekuat tenaga melindungi kesela matan kalian."
Mengawasi Ling Kun-gi, Un Hoan-kun tersenyum manis, katanya:
"Tak perlu kau melindungi aku, bersa ma dengan Ling-toako,
siapapun jangan harap bisa melukai a ku." - Dia bicara dengan jujur
dan wajar, tapi siapapun bisa merasakan betapa besar cintanya
terhadan Ling Kun-gi. .
Un Hoan-kun berkata lebih lanjut: "Ba iklah, sudah kujelaskan
seluruhnya, sekarang lekas kau telan obat ini."
Mengawasi obat di tangan Un Hoan-kun, se-saat Tu Hong-sing
menjadi bimbang.
"Hiat-tomu tertutuk, sebetulnya aku tida k perlu me mbuang waktu
dan banyak bicara dengan kau," kata Hoan-kun, mendadak tangan
kirinya terulur jari2nya memencet geraham Tu Hong-sing sehingga
mulut orang terbuka, sementara tangan kanan menjejalkan obat ke
mulut orang, dia tepuk lagi sekali di belakang leher orang, lalu
dengan kedua tangan dia menggablok pula kedua sisi pipinya.
Bahwa dirinya menjadi tawanan, hal ini sudah dianggap suatu
penghinaan, hati Tu Hong-sing marah dan penasaran, tapi dia
hanya berani marah dihati lahirnya dia seperti pasrah nasib, setelah
Un Hoan-kun menge mbalikan geraha mnya seperti semula tanpa
terasa dia berkata keras: "Nona ma na obat penawarnya?"
"Buat apa ter-gesa2, Sudah kujanji me mberi, nanti tentu kuberi,"
sembari bicara berbareng dia buka Hiat-to di badan orang, lalu
menge luarkan dua butir pil warna merah serta diangsurkan,
katanya: "Inilah ini obat penawarnya."
Tu Hong-sing bergegas bangun, begitu terima obat langsung dia
jejalkan ke da la m mulut, tapi sebelah tangannya dengan kecepatan
kilat tahu2 menyambar pergelangan tangan Un Hoan-kun,
sekuatnya dia tarik mundur pula tiga langkah. Badan orang dia buat
tameng di depannya, bentaknya dengan bengis: "Siapa di antara
kalian berani maju orang she Tu segera bunuh dia lebih dulu,"
Kejadian berlangsung terlalu cepat dan mendadak, Ling Kun-gi
dan Yong King-t iong tak sempat bertindak, terpaksa mereka
mende long mengawasi Un Hoan-kun di seret mundur oleh Tu Hong-
sing. "Tu Hong-sing, tidak salah bukan omonganku?" jenge k Yong
King-tiong, "barang siapa terima menjadi cakar alap2, jangan harap
dapat dipercaya lagi."
"Terhadap kalian kaum pe mberontak ini, buat apa bicara soal
kepercayaan segala?" de mikian eje k Tu Hong-sing.
Un Hoan-kun dia m saja dan me mbiarkan urat nadi pergelangan
tangannya dipegang serta diseret, cuma mulutnya berteriak
me lengking: " Apa yang hendak kau lakukan?"
"Budak manis," kata Tu Hong-sing sa mbil ce-ngar-cengir, asalkan
kau serahkan seluruh obat penawarnya, aku akan a mpuni jiwa mu."
"Jangan kau lupa a ku ini orang dari marga Un di Ling-la m," kata
Un Hoan-kun kale m.
Seperti diketahui keluarga Un dari Ling-la m terkenal sebagai
keluarga pencipta obat bius di kalangan Kangouw, oleh karena itu
orang2 Kangouw suka bilang: "Setiap anggota marga Un, sekujur
badannya mengandung obat bius."
Pada saat itulah terdengar seorang menanggapi: "Tu-heng tutuk
dulu Hiat-tonya."
"Belum lenyap suaranya, serempak dari ena m sudut pintu sana
berbareng muncul ena m laki2 seragam hijau yang menenteng
pedang. Kedua mata Yong King-tiong mencorong terang, hardiknya
kereng: "Nyo Ci-ko, bagus sekali kedatanganmu."
Dala m pada itu, tiba2 terdangar suara "bluk" entah mengapa
tiba2 Tu Hong-sing terbanting jatuh se maput.
Orang yang muncul dari sudut kiri atas sana adalah laki2
setengah umur bermuka putih berperawakan sedang, dialah Nyo Ci-
ko, salah seorang kepercayaan Cui Kin-in yang dia bawa dari
kotaraja, Dari sorot matanya yang gemeredep dapatlah diketahui
bukan saja Kungfunya tinggi, diapun seorang cerdik pandai yang
bekerja dengan cekatan.
Baru saja Nyo Ci-ko muncul lantas melihat Tu Hong-sing
terbanting roboh, keruan ia kaget, lekas dia me mbentak:,"Tida k
lekas kalian me mbantunya?" - -Dua la ki2 seraga m hijau segera
mengiakan dan menubruk ke arah Un Hoan-kun.
Un Hoan-kun menyeringa i, jengeknya: "Siapa berani maju?" -
Sekali tangan berayun, segumpal asap segera menabur ke arah
musuh. Kedua orang berseraga m hijau ini tadi sudah mendengar bahwa
nona ini adalah anggota keluarga Un dari Lingla m, kini melihat
orang menaburkan asap, sudah tentu mereka tak berani ayal,
padahal mereka tengah menubruk maju, terpaksa menahan napas
sambil mengere m sekuatnya luncuran tubuh serta menjejak balik ke
belakang. "Hihi, sungguh menggelikan, hanya segenggam pasir saja sudah
bikin kalian ketakutan," demikian ejek Un Hoan-kun. Yang dia
taburkan me mang segengga m pasir, tapi orang tak berani
mende kati-nya lagi.
Un Hoan-kun tida k hiraukan orang banyak, dia keluarkan botol
kecil, dengan kuku dia a mbil sedikit bubuk obat terus dijentikan ke
hidung Tu Hong sing. Setelah berbangkis sekali Tu Hong-s ing lantas
me mbuka mata dan kucak2 mata serta melompat berdiri.
Mengawasi orang, Un Hoan-kun tertawa geli, katanya: "Tu- tay-
koantai, kau akan pegang tangan-ku lagi dan paksa aku
menyerahkan obat penawarnya?"
Setelah mengala mi pahit getirnya baru Tu Hong-sing betul2
kapok, sekarang mana berani dia bertingkah pula" Apalagi dia
sudah menelan Sip-hun-wan dan baru menelan dua but ir obat
penawarnya, jika Un Hoan-kun sampa i marah dan tak mau me mberi
obat penawarnya kan diri sendiri bisa celaka malah"
Terhadap jiwa sendiri dia pandang jauh lebih berharga dari
apapun di dunia ini, maka dengan menyengir ia berkata: "Obat bius
nona me mang lihay, Cayhe sudah kapok betul2, tadi kita sudah
berjanji, ma ka harus sa ma2 ditepati, benar tidak?"
"Kau tida k usah kuatir, kalau dala m ena m ja m kita bisa keluar
sini, pasti kuberi lagi e mpat butir obat pada mu. Tapi berada di sini,
kau harus tunduk a kan perintahku."
"Baiklah," Tu Hong-sing setuju.
Sekilas mengerling Un Hoan-kun berkata lirih pula: "Mereka akan
segera turun tangan, mari kau ikut aku ke sana." - Lalu dia
me langkah ke arah orang banyak,
Tu Hong-sing betul2 sudah kapok merasakan ke lihayan obat bius
Un Hoan-kun, kali ini dia betul2 tidak berani bertingkah pula,
dengan jinak dia mengintil di belakang Un Hoan-kun.
Ternyata dalam sekejap ini keadaan sudah me munca k tegang,
kedua piha k sudah sa ma2 me lolos pedang dan siap tempur. Kun-gi
paling perhatikan kesela matan Un Hoan-kun, maka sejak tadi dia
perhatikan gerak-gerik piha k lawan, kini setelah melihat Hoan-kun
ke mbali da la m rombongan legalah hatinya. Yong King-tiong
merupakan pe mimpin rombongan, dia telah berhadapan dengan
Nyo Ci-ko, mereka sedang saling cercah dan nista.
Terdengar Nyo Ci-ko berkata lantang: "Yong King-tiong, pihak
kerajaan me mberi pangkat setinggi itu pada mu, ternyata kau berani
menghasut orang dan berbuat jahat untuk me mberontak?"
Yong King-tiong tergelak2, katanya: "Nyo Ci-ko, kau juga bangsa
Han, kau lupa asal usul leluhur, bangsat kau angkat jadi ayah,
kaulah yang khianat dan me mberontak. Ketahuilah, Hek-liong-hwe
adalah milik Thay-yang-kau, dua puluh tahun ka lian kangkangi dan
kuasai, menjadi a lat kerajaan untuk me mberantas sesama golongan
Kangouw," Setiap orang Bu-lim yang berdarah patriot patut menghukummu,
kini Han Jan-to si durjana penjual Hek-liong-hwe sudah ma mpus
mene mbus dosa-nya, cukong kalian Cui Kin-in utusan istana raja
juga sudah melarikan diri, dengan kekuatanmu Nyo Ci-ko
me mangnya bisa berbuat apa, Lohu malas bergebrak dengan kau,
lebih baik kau menyerah saja"
Han Jan-to sudah ma mpus, Cui Kin-in melarikan diri, dua kalimat
ini sungguh me mbikin darah Nyo Ci-ko tersirap, me lihat sikap Yong
King-tiong jelas bukan me mbual. Tapi kejap lain dia merasa ganjil
pula, me mangnya Yong King-tiong dan pe muda jubah hijau ini
dapat menandangi Cui Kin-in" Apalagi Cui Kin-in masih dida mpingi
seorang La ma kasa merah yang me miliki ilmu Yoga tingkat tinggi
tiada tandingan. Lekas sekali otaknya bekerja, akhirnya dia tertawa
keras, "Yong king-tiong, jangan kau me mbual, kalian sudah masuk
ke daerah terlarang Ceng-liong-tam, me mangnya masih ingin
keluar." Ternyata tempat ini berna ma Ceng-liong-tam.
"Baik, tiada gunanya putar lidah, marilah kita tentukan dengan
kepandaian saja." - "Sreng", Yong King-tiong lantas me lolos pedang.
Ling Kun-gi me langkah maju setindak, katanya: "Paman Yong,
me mbunuh aya m masa paka i golok" Biar Wanpwe saja yang
menghadapinya."
"Tunggu sebentar, Ling-toako," seru Un Hoan-Kun.
"Ada apa Hoan-moay?" tanya Kun-gi sa mbil berpaling.
"Apakah orang she Nyo ini setimpa l menjadi lawanmu?" ucap
Hoan-kun tertawa, "kupikir biar saudara Tu saja yang menjajalnya
bebarapa jurus." - Lalu sambil me mbetulkan sanggulnya Un Hoan-
kun berpaling, katanya: "Saudara Tu, babak pertama ini terpaksa
kau saja yang menghadani orang she Nyo beberapa jurus."
Karena jiwa sendiri tergengga m ditangan orang, Tu Hong-sing
tak berani me mbangkang, terpaksa dia melolos pedang dan maju ke
hadapan Nyo Ci-ko.
Sudah tentu Nyo Ci ko naik darah, matanya mendelik tajam
mengawasi Tu Hong-sing, bentaknya: "Kau kenapa Tu Hong-sing"
Me mangnya kau sudah ter-gila2 oleh pere mpuan siluman itu?"
Tu Hong-sing menjura, katanya: "Lapor Cong-koan, hamba baik2
saja." Ternyata Nyo Ci-ko adalah Congkoan yang berkuasa di Ceng-
liong-ta m ini. "Baiklah, kau minggir saja ke samping," teriak Nyo Ci-ko.
Tu Hong-sing menyengir, katanya: "Maaf Cong-koan, aku
terpaksa oleh keadaan ........."
Nyo Ci-ko betul2 kaget, hardiknya: "Kau juga mau berontak?"
Keringat menghiasi jidat Tu Hong-sing, katanya: "Aku disuruh
menelan Sip-hun-wan dari ke-luarga Un, terpaksa harus menurut
perintahnya."
"Orang she Tu, buat apa putar bacot me lulu" Hayo labrak dia,
kalau hari ini kau biarkan dia lolos, setelah keluar dari sini apa dia
mau menga mpuni jiwa mu?" de mikian desak Hoan-kun.
Seperti dipalu jantung Tu Hong-sing, katanya mengertak gigi:
"Betul, Nyo-congkoan, kecuali mengadu jiwa dengan kau tiada jalan
lain bisa kupilih." - "Cret", kontan dia menusuk lebih dulu.
Gusar Nyo Ci-ko, "trang", sekali tangan me mbalik dia tangkis
pedang Tu Hong-sing, teriaknya beringas: "Tu Hong- sing, mereka
hanya berapa orang, berapa lama lagi mereka kuat bertahan di
tempat terlarang ini" Kenapa kau ga mpang dihasut kaum
pemberontak?"
Tu Hong-sing menarik pedangnya, katanya sambil menggeleng2:
"Tida k mungkin, kalau a ku tidak mme mperoleh obat penawar,
hidupku takkan sa mpai besok."
"Kau tunduk pada pe mberontak, me mangnya hari ini kau bisa
hidup?" bentak Nyo Ci-ko. Sembari angkat pedang ke mbali dia
me mbentak: "Hayo ka lian maju, ringkus beberapa pe mberontak
ini?" Pada setiap sudut pintu itu berdiri seorang laki2 seragam hijau
yang menghunus pedang, jelas mereka mendengar perintah
Congkoan, tapi mereka tetap berdiri tegak, tiada satupun yang
bergeming. Keruan Nyo Ci-ko semakin murka, mukanya me mbesi hijau,
bentaknya: "Kalian sudah ma mpus, Hayo sikat mereka!"


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoan-kun tertawa tawar, katanya: "Walau mereka
belum ma mpus, tapi mereka takkan mau turut perintahmu lagi."
Seperti disengat lebah Nyo Ci-ko tersentak mundur, serunya
gusar: "Apa yang kau lakukan terhadap mereka?"
"Betul, mereka terkena obat biusku, sengaja kusisakan kau
seorang, supaya saudara Tu ini bisa me mbereskan kau."
Serasa pecah nyali Nyo Ci-ko, tapi lahirnya dia tetap beringas,
katanya mendesis: "Perempuan siluman, keji juga cara kerjamu." -
Mulut bicara kepada Un Hoan-kun, "Wuut", tiba2 tangan kiri
menghanta m ke arah Tu Hong-s ing, berbareng ke-dua kaki
menjejak tanah terus melejit mundur ke arah salah satu pintu.
Kejadian sebetulnya amat cepat dan mendadak apalagi serangan
kepada Tu Hong-sing cepat sekali sehingga dia tak mungkin
merintangi, dia pikir dengan mudah dapat lari masuk ke ba lik pintu
sana. Sekali dia berada di lorong gelap itu, jalan yang simpang siur
di sana lebih me mudahkan melarikan diri.
Tak tahu baru saja dia bergerak, didengarnya Kun-gi me mbentak
keras: "Lari ke mana kau?" -Dari kejauhan tangan kirinya
menghanta m. Serangkum tenaga dahsyat seketika timbul dari tepukan telapak
tangannya, sasaran pukulannya ternyata tidak langsung ditujukan
pada Nyo Ci-ko, tapi me nuju ke pintu yang terletak kira2 lima kaki di
belakangnya. Lwekang Ling Kun-gi a mat tangguh, pengala man te mpur se la ma
ini mena mbah banyak perbendaharaan menghadapi musuh, pukulan
yang dilancarkan ini sungguh tepat perhitungan waktunya, dikala
tenaga pukulannya menerjang ke depan pintu, badan Nyo Ci-ko
yang mundur ke belakang itupun kebetulan melejit turun.
Sebagai Siwi ke las tiga istana raja, sudah tentu Kungfu Nyo Ci-ko
tidak rendah, waktu badannya melejit mundur, terasa adanya kesiur
angin mencurigakan di be lakang, lekas ia menarik napas, badan
yang terapung di udara itu secara mentah2 lantas berputar kearah
kiri, tangan kiri yang se mula melindungi dada secepat kilat terayun
keluar. Reaksinya cukup cepat,ayunan tangannya kebetulan
mengge mpur sa mping tenaga pukulan Ling Kun-gi yang menerjang
ke pintu sudut, begitu dua tenaga saling terjang, karena dia
me lancarkan pukulan waktu badan masih terapung, seketika ia
terpental mundur beberapa langkah. Tapi hal ini sudah dala m
perhitungannya, tujuannya untuk meluputkan diri dari terjangan
telak pukulan Ling Kun-gi, ma ka badannya cuma terpental beberapa
kaki lantas dapat berdiri tegak pula. Tapi hanya sekali adu pukulan
saja dia sudah mme mperoleh bukti bahwa Lwekang pe muda ini
sungguh tida k kepa lang tingginya, betul2 di luar dugaannya.
Sekali adu pukulan ini, terasa juga oleh Ling Kun-gi bahwa Nyo Ci
ko adalah musuh tangguh, Nyo Ci-ko yang melejit, mundur dan
keterjang angin pukulan, umpa ma dia kuat bertahan juga pasti akan
kerepotan, tapi kenyataan dikala angin pukulan ha mpir mengena i
dirinya, badan yang masih terapung itu mendadak masih se mpat
berputar sembari balas me mukul seka li, dengan daya bentrokan
pukulan itu dia me mbal mundur menyelamatkan diri, jelas tak
mungkin dilakukan. Untung setelah me lancarkan sekali pukulan
jarak jauh, Kun-gi tida k menyusuli lagi dengan pukulan la in.
Sambil mengelus jenggot Yong King-t iong tergelak2 dengan
menengadah, katanya:, "Nyo Ci-ko, tentunya kau sudah dapat
me mperhitungkan situasi di depan mata, kalau tidak mau menyerah,
untuk bisa ke luar dengan se la mat, sukarnya seperti manjat ke
langit." Wajah Nyo Ci-ko ,yang semula putih, halus kini me mbara kela m,
pedang di tangan dibolang- balingkan, bentaknya bengis: "Yong
King-tiong, beranikah kau perang tanding me lawanku?"
"Belum lagi kau bertanding me lawan saudara Tu ini," de mikian
sela Un Hoan-kun, "Kau sudah berusaha lari, kini berani kau
menantang pa man Yong?"
Bahwa Tu Hong sing masih bimbang adalah karena Nyo Ci-ko
berpangkat Siwi ke las tiga, kalau dirinya ingin mera mbat ke atas,
sekali2 tidak boleh berbuat salah padanya. Tapi kenyataan jauh
berbeda. Dari nada Yong King-tiong dia yakin bahwa Nyo Ci-ko
sudah tiada harapan keluar dan lolos dengan sela mat. Bahwa Nyo
Ci-ko sudah bukan merupa kan anca man baginya, apalagi piha k
Yong King-tiong sudah menguasai keadaan, kalau sekarang tidak
lekas turun tangan, tunggu kapan lagi"
Maklumlah, bagi seorang ta mak yang sela lu me mikirkan pangkat
dan mengejar kedudukan, tiada yang tidak ma in licik dan selalu
me mungut keuntungan dika la lawan kepepet, demikian juga
keadaan Tu Hong-sing sekarang.
Apalagi diumpak oleh omongan Un Hoan-kun, sambil me mutar
pedang, segera dia melangkah maju, dengan me masang kuda2 dan
pedang menuding ke depan, dia berkata: "Nyo-congkoan, aku
dipaksa oleh keadaan, terpaksa menyalahi kau, silakan."
"Baik, sekongkol dengan pe mberontak sa ma dosanya, orang she
Nyo akan mula i menjagal kepala mu lebih dulu," - Sreet, cepat sekali
pedangnya menyabat.
"Bagus," sa mbut Tu Hong-s ing, Mendadak tubuhnya berputar ke
pinggir Nyo Ci-ko, pedang lantas menyerang dengan tipu Kim-tau-
jan-ci (garuda emas pentang sayap), sinar pedangnya tahu2 laksana
kilat menyerampang dan menusuk le-ngan dan pundak.
Tapi gerak Nyo Ci-ko a mat tangkas dan gesit, setiap pedang
bergerak, posisi kakinya selalu berubah, sebat sekali pedangnya
me mba lik me matahkan serangan lawan. "Trang", dua pedang
beradu, keduanya sama2 tergentak mundur selangkah.
Tu Hong-sing rasakan telapak tangannya pedas linu, pedangnya
tertolak balik, dia m2 ia terkejut. Mulut Nyo Ci-ko menjengek,
mendadak dia balas merangsak, pedang berputar dengan kencang
menge mbangkan serangan gencar, beruntun dia menusuk lima ka li.
Sudah tentu Tu Hong-sing tidak mau kalah, iapun ke mbangkan ilmu
pedang andalannya dan balas menyerang serta me mpertahankan
diri dengan rapat, sekaligus lima tusukan lawan dapat dia tangkis,
ma lah se mpat balas menyerang tiga kali.
Tujuan Nyo Ci-ko ingin secepatnya mengakhiri pertempuran,
maka begitu berpencar lantas menubruk maju pula dengan
serangan lebih keji.
Setelah bentrok pendahulnan tadi, kini kedua-nya sama tidak
berani me mandang enteng lawan, Nyo Ci-ko menge mbangkan ilmu
pedang ajaran Tiang-pek-pay, gerak pedangnya mengutama kan
keras dan kencang, setiap pedang menyamber laksana naga
menga muk dan seperti elang berputar di udara hendak menubruk
mangsanya, perbawanya cukup meyakinkan.
Ilmu pedang Tu Hong sing justru berbeda, dia menge mbangkan
gerak lincah dan tangkas disertai perubahan yang berbelit2, sekujur
badannya seperti terbungkus oleh cahaya sinar pedang.
Lekas sekali pertempuran sudah berlangsung tiga sa mpai lima
puluh jurus. Semula Nyo Ci-ko terlalu mengagulkan diri dan percaya
akan tingkat ilmu pedangnya, dia anggap Tu Hong-s ing sebagai
anak buahnya, gampang dan pasti bisa dirobohkan. Apalagi dia
ingin le kas mengakhiri pertempuran, maka serangannya selalu
mendahului dan t idak segan2 mene mpuh bahaya untuk merobohkan
lawan. Tak tahunya Tu Hong sing cnkup cerdik, gerak geriknya lincah
dan tangkas, penjagaanpun ketat, setelah lima puluhan jurus, bukan
saja Nyo Ci-ko t idak berhasil menarik keuntungan, ma lah beberapa
kali karena terburu nafsu hampir saja dia dilukai pedang Tu Hong-
sin, keruan ia se makin gelisah, marah dan gugup, pula.
Nyo Ci-ko tidak tahu bahwa Tu Hong-sing hakikatnya jauh lebih
payah daripada dia.. Ilmu pedang Tu Hong-s ing me mang lincah dan
banyak perubahan, tapi Lwekangnya lebih rendah, untuk bertahan
sekian la ma ini dia sudah ke luarkan se luruh kekuatannya, apalagi
setiap kali dua senjata beradu, selalu dia rasakan dadanya seperti
digoda m oleh getaran keras yang timbul dari benturan senjata itu.
Maka dia harus bertahan mati2an, demikianlah tiga puluh jurus
telah berselang pula.
Kini baru Nyo Ci-ko melihat meski ilmu pedang Tu Hong-sing
tidak le mah, tapi Lwekang orang bukan tandingannya. Penemuan ini
seketika mena mbah keyakinan Nyo Ci-ko dan mengobarkan
semangat tempurnya, sambil tertawa dingin, gerak pedangnya tiba2
berubah, diam2 dia kerahkan tenaga dala m sehingga batang
pedangnya diliputi tenaga murni yang hebat.
"Trang," ke mbali dua senjata beradu, meski Tu Hong-sing
berhasil menahan beberapa kali rangsakan lawan, tapi dia
sendiripun ditolak mundur beberapa langkah. Dengan hasil itu
sudah tentu Nyo Ci-ko semakin senang, ia mengejek : "Ingin kulihat
berapa jurus pula kau kuat bertahan?"
Hanya beberapa gebrak lagi Tu Hong-sing telah terdesak di
bawah angin, serangan Nyo Ci ko se ma kin gencar, pedangnya
hanya naik turun menangkis dan bertahan belaka.
Kini setiap serangan setiap jurus, kedua pedang selalu beradu
"trang-tring" dengan keras, sudah tentu la ma kela maaa Tu Hong-
sing kehabisan tenaga, keringat sudah me mbasahi badan,
langkahnya menyurut mundur, boleh dikatakan dia sudah tida k
ma mpu balas me nyerang lagi.
"Toako," kata Hoan-kun lirih, "Tu Hong- sing sudah tida k becus lagi, lekas kau turun tangan."
"Tida k apa," sabut Kun-gi "dia masih kuat bertahan tiga jurus lagi."
Di sini tengah bicara, di sana terdengar pula benturan pedang,
"bret", lengan baju kiri Tu Hong-sing terbabat robek oleh pedang
Nyo Ci- ko. Tu Hong-sing ta mpak kaget serta melompat mundur. Mendadak
Nyo Ci-ko juga me nubruk maju, pedangnya ke mbali menyapu
miring. Le kas Tu Hong-sing angkat pedang menangkis, "trang",
lengan kanan se ketika terasa ke meng, pedangnya terpental pergi.
Sudah tentu pertahanannya menjadi terbuka lebar.
Mata Nyo Ci-ko tampak merah me mbara, tanpa bersuara
pergelangan tangannya memutar sambil menggentak pedang,
selarik sinar terang laksana kilat menya mber tahu2 menusuk lurus
ke dada orang. Pada detik2 menentukan itulah, tiba2 Nyo Ci-ko merasakan
adanya kesiur angin tajam di sebelah seperti ada orang melejit tiba.
Belum lagi dia se mpat berpikir, tiba2 terasa pergelangan tangan
kanan mengencang dan sakit, tahu2 sudah terpegang oleh orang,
disusul segulung tenaga raksasa menyalur ke luar telapak tangan
orang itu, sehingga kelima jari sendiri yang me megang pedang
menjadi kendur, tanpa kuasa dia kena disengkelit jungkir-balik ke
belakang. Kejadian seperti dalam impian belaka, belum lagi dia melihat
jelas bayangan orang, tahu2 dirinya sudah terbanting jatuh.
Tapi jelek2 Nyo Ci-ko adalah jago kosen dari istana raja,
Kungfunya tinggi, dengan daya sengkelitan lawan, sigap sekali
ujung pedangnya menutul bumi, kedua kaki me mbalik terus hinggap
ditanah dan berdiri tegak. Waktu dia angkat kepala, ternyata Ling
Kun- gi sudah berdiri dihadapannya dengan sikap gagah.
Nyo Ci-ko tidak tahu siapa pemuda jubah hijau ini" Hatinya kaget
dan gusar pula, me lihat anak muda ini bertangan kosong, ma ka
kumatlah a marah-nya, sekali ia menghardik, "Wut", pedang
menyapu kencang dengan deru keras. Serangan yang dilancarkan
diburu ke marahan ini sudah tentu tidak kepalang hebatnya, sinar
pedang menjulur panjang, dia kira lawan bertangan kosong tentu
sukar mengegos. Jika lawan dapat dibabat kutung sebatas pinggang
bukankah terla mpias penasarannya"
Tak nyana begitu pedangnya menyapu, ternyata menabas
tempat kosong, berapa licin dan lincah gerakan tubuh Ling Kun-gi,
entah bagaimana telah berkelit pergi" Tapi kenyataan dia masih
berdiri di tempat semula, tidak kelihatan menggeser kaki barang
satu sentipun. Nyo Ci-ko melenggong, sungguh dia tidak habis percaya, selama
tiga puluh tahun dia meyakinkan ilmu pedang, tapi lawan muda
bertangan kosong ini tak ma mpu menyentuh ujung pakaiannya,
sedangkan musuh2 tangguh masih berada disekelilingnya, anak
buahnya mati kutu oleh obat bius perempuan siluman itu, kalau
dirinya tidak menyerang dengan sergapan mendadak, sedikitnya
dua tiga orang harus dirobohkan baru bisa meloloskan diri, kalau
tidak hari ini pasti gugur dite mpat ini.
Karena itu tanpa ayal pedang ke mbali be kerja, "sret, sret" dua
kali, ia me mbelah dan me mbacok, Kali ini Nyo Ci-ko dapat
menyaksikan dengan jelas, pada jurus serangan pertama, Ling Kun-
gi tampak sedikit miring ke sa mping, sinar pedang menyerempet
lewat sisi kanan badannya.
Jurus kedua sudah tentu lebih cepat lagi, sasarannya adalah
badan sebelah kiri di mana kebetulan Kun-gi sedang berkelit ke kiri
juga, tapi badan Kun-gi seperti bermata saja, belum lagi pedang
lawan menyerang tiba, badannya kembali bergontai miring ke
samping sehingga serangan kedua kembali mengena i tempat
kosong. Nyo Ci-ko sungguh kasihan, seperti berhadapan dengan setan,
sejak dia malang melintang di Kangouw belum pernah dia melihat
lawan dengan gerakan tubuh seaneh dan ajaib begini, sesaat dia
me lenggong kaget tidak tahu apa pula yang harus dia lakukan.
Mendadak Kun-gi tertawa panjang, tangan kanan terangkat,
tahu2 tangannya sudah pegang sebilah pedang panjang empat kaki,
ujung pedang me nuding ke arah Nyo Ci-ko, katanya lantang: "Orang
she Nyo, kalau sekarang kau turunkan pedang dan menyerah,
paling2 a ku me munahkan kepandaian silat mu, jiwa mu tetap boleh
dia mpuni, kalau berani . . . . "
Nyo Ci-ko sudah nekat, dengan mendelik dia me mbentak: "Biar
tuanmu adu jiwa denganmu."
Kembali pedang berputar, kali ini me mancarkan bint ik sinar
berkelip bagai bintang terus menusuk.
Kun-gi tertawa dingin, pedangnya menyilang ba lik dan "trang",
sengaja dia mengetuk batang pedang Nyo Ci-ko. Kontan lengan
kanan Nyo Ci-ko, terasa kemeng, jarinya kesakitan luar biasa,
pedangpun tak kuasa dipegang lagi dan "trang", jatuh ke tanah.
Ujung pedang Kun-gi yang ke milau tahu2 sudah menganca m
tenggorokan Nyo Ci-ko, katanya dengan menjengek: "Orang she
Nyo, apa pula yang ingin kau katakan?"
Nyo Ci-ko tidak bersuara, dia peja mkan mata.
Yong King-t iong melihat gelagat jelek, lekas dia melompat maju
dan menutuk beberapa Hiat-to di tubuh orang, la lu dengan keras
dia pencet geraha m Nyo Ci-ko, tampa k darah hitam kental mele leh
dari ujung mulutnya.
Yong King-tiong me mbant ing ka ki, katanya gegetun: "Keparat ini
bunuh diri dengan menelan racun." Waktu dia lepaskan
pegangannya, badan Nyo Ci-ko lantas roboh tersungkur.
"Lihay benar racun yang dia gunakan," seru Hoan-kun bergidik.
"Itulah racun khusus yang di buat oleh istana, cukup menjilat
dengan ujung lidah dan ma la m pe mbungkusnya akan pecah, racun
akan segera bekerja dan jiwapun me layang seketika. Losiu aga k
lena sehingga dia se mpat bunuh diri."
Melihat Nyo Ci-ko mati mene lan racun, dia m2 Tu Hong-sing
merasa lega, lekas dia maju mende kat dan berjongkok di pinggir
tubuh orang, ia merogoh kantong orang, lalu dikeluarkan tiga biji
uang emas terus diangsurkau kepada Yong King-tiong, katanya:


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yong-congkoan, inilah kun-ci untuk me mbuka pintu batu Ceng-
liong- tam, harap engkau suka terima."
Yong King-tiong menerima ketiga mata uang itu, bobotnya
ternyata lebih berat daripada mata uang umumnya, lebih tebal dan
kadar emasnya juga lebih murni, maka dia bertanya: "Pintu batu
Ceng-liong-ta m" Di mana letak Ceng-liong-ta m?"
Sebagai Hek-liong-hwe Congkoan, ternyata dia tidak tahu
menahu adanya Ceng-liong-ta m.
"Ceng-liong-ta m berada di tempat tahanan tawanan Ceng-liong-
tong, yang dikurung di sana se muanya adalah pesakitan penting . . .
" Sebelah tangan mengelus jenggot, Yong King-tiong bertanya
heran: "Sebagai He k-liong-hwe Cong-koan, kenapa Lohu tidak tahu
akan hal ini?"
"Ceng-liong-ta m dibangun di bawah pimpinan Nyo Ci-ko setelah
kedatangan Cui-congka m, tempat sekitar sini dina makan Ceng-
liong-ta m, Nyo Ci-ko adalah Congkoan daerah terlarang ini."
"Coba terangkan, dimana letak ka mar batu itu?"
"Letaknya tepat di bawah ruangan segi ena m ini"
"Cara bagaimana untuk turun ke bawah?"
Untuk me mbuka pintu pertama harus dilakukan ena m orang
sekaligus, keena m kursi batu di sini, berbareng didorong ke tengah
sampai masuk ke bawah meja, pintu a kan segera tampak."
"Yong King-tiong berpaling, pihaknya ada lima orang,
ketambahan Tu Hong-sing kebetulan enam orang, maka dia
berkata: "Kebetulan kita ada enam orang, marilah kita kerja
bersama." Un Hong -kun me lirik kelima orang yang di biusnya itu, katanya:
"Paman Yong, bagaimana kelima orang ini?"
"Biarlah, kita bereskan dulu urusan di bawah, setelah berhasil
menolong orang baru putuskan nasib kelima orang ini."
Maka di bawah pimpinan Yong King-tiong, Ling Kun-gi, Un Hoan-
kun, Siau-tho, jago pedang baju hita m serta Tu Hong-s ing, ena m
orang masing2 pegang satu kursi, di bawah aba2 Yong King-tiong
serempak mere ka mendorong kursi batu ke tengah.
Kalau seorang diri hendak mendorong keena m kursi ini secara
bergantian tidak mungkin, karena kursi batu ini seperti berakar di
dalam bumi, tapi bila se kaligus didorong keenamnya, aneh me mang,
dengan mudah kursi bergeser maju masuk ke bawah meja. Pada
saat lain terdengar suara gemuruh, meja bundar bersa ma keena m
kursi batu itu tiba2 bergerak dan pelan2 a mbles ke bawah.
"Yong-pongkoan," lekas Tu Hong-sing menjelaskan, "meja
bundar ini, adalah alat angkut naik turun ke kamar batu di bawah,
sekaligus ena m orang bisa turun bersama, setelah meja bundar ini
sejajar dan rata dengan lantai baru kita boleh beranjak ke tengah
meja." "Baiklah, " Yong King-tiong berkeputusan, "Ling-kongcu bersa ma Losiu dan Tu-heng. bertiga turun lebih dulu, nona Un harap tunggu
dan jaga di atas saja."
Tengah bicara meja itupun sudah rata sejajar dengan lantai,
Yong King-tiong lantas mendahului me langkah kepermukaan meja
di kuti Ling Kun-gi dan Tu Hong-sing.
Semula meja bergerak la mban, tapi setelah dimuati tiga orang,
ternyata daya amblesnya semakin cepat. Un Hoan-kun merasa
kuatir, sengaja ia ang-kat obor menerangi ke bawah, ia berdiri di
pinggir lubang bundar dan me longok ke bawah"
Ling Kun-gi keluarkan Le-liong-cu, dia amati keadaan
sekelilingnya, tempat di ma na meja itu me lorot turun bentuknya
mirip sebuah sumur, mereka bertiga terus dibawa turun ke bawah.
Tak la ma ke mudian me ja itu sudah berada di tengah2 sebuah ka mar
batu, lalu berhenti sendiri.
Dia m2 Kun-gi me mperhitungkan jarak turun meja dari atas kira2
ada sepuluhan tombak dala mnya.
"Sudah sampai," kata Tu Hong-sing mendahului melompat turun,
"Silakan kalian turun."
Yong King-tiong cukup cermat dan hati2, setelah Tu Hong-sing
me lompat turun di lantai baru dia ikut me lompat turun. Kini mere ka
berada di sebuah ka mar batu segi e mpat, luasnya ada lima ena m
tombak, tapi kecuali meja bundar yang turun dari atas bersama
kursinya, keadaan di sinipun kosong melompong tiada perabot
lainnya. Setelah melompat turun Tu Hong-sing bergegas maju menarik
sebuah kursi dan dipindahnya keluar terus menduduki kursi itu.
"Tu-heng, apa yang kau lakukan?" tanya Yong King-tiong, Dia m2
dia sudah kerahkan tenaga pada telapak tangan kiri, bila Tu Hong-
sing menunjukkan gerak-gerik yang mencuriga kan, segera dia akan
me mukulnya ma mpus.
Tu Hong-sing tertawa getir, katanya: "Jiwaku sudah tergenggam
di tangan nona Un, sementara Cayhe sendiri belum ingin mati, meja
batu ini setelah turun ke bawah, jika kursi ini tida k segera dipindah,
dia akan bergerak naik sendiri pula, bila begitu kecua li di atas ada
enam orang sekaligus mendorongnya pula dan menunggu lagi meja
ini turun, kalau tidak kita se la manya tidak akan bisa naik ke atas."
"O, begitu," ucap Yong King-tiong. Lalu diapun menarik sebuah
kursi serta diduduki, tanyanya:
"Ka mar batu ini tiada pintu, cara bagaimana bisa terbuka?"
"Di sini ada tiga lapis pintu, Yong-congkoan sudah empat puluh
tahun berada di Hek-liong-hwe, berbagai pintu batu yang terpasang
di lorong2 itu pasti sudah apal se kali, de mikian juga untuk me mbuka
ketiga lapis pintu di sini, setiap orang He k-liong- hwe cukup angkat
tangan saja untuk me mbukanya . . . . "
"Lalu untuk apa ketiga keping mata uang e mas ini?" tanya Yong
King-tiong. Tu Hong-sing tertawa, katanya: "Ini untuk menjaga bila di dala m
Hek-liong-hwe ada pengkhianat atau mata2 musuh, atau para
tawanan penting Hek-liong-hwe yang berani menyelundup ke mari
untuk menolong orang, tentu dia pikir akan bisa me mbuka pintu di
sini, tapi diluar tahunya dengan caranya itu sekaligus akan
menyentuh alat rahasia yang merupakan perangkap keji, hujan ana k
panah atau senjata rahasia lainnya akan terjadi, meski orang yang
me mbuka pintu me miliki kepandaian setinggi langit juga jangan
harap bisa lolos dari mara bahaya."
"Keji benar perangkapnya," dengus Yong King-tiong, "apa pula
gunanya ketiga keping mata uang mas ini?"
"Untuk menjaga supaya alat perangkap itu bekerja, sebelum kita
menekan tombol me mbuka pintu, kita harus masukkan dulu
sekeping uang mas ini, alat rahasia itu dibikin bungka m barulah
dengan leluasa pintu terbuka dan kita bisa masuk dengan sela mat:"
" "Di depan Lohu, kuharap Tu-heng tidak bertingkah me lakukan
sesuatu yang me mbahayakan jiwa mu sendiri," demikian anca m
Yong King-tiong.
"Untuk ini Yong-congkoan tak usah kuatir, tadi sudah kubilang,
aku belum ingin mati," de mikian Tu Hong-sing me mberikan janjinya.
"Syukurlah kalau kau tahu diri," ucap Yong King-tiong.
Lalu kepingan uang emas terus diangsurkan kepada Tu Hong-
sing, katanya: "Baiklah tolong Tu-heng melakukannya, bukalah
ketiga lapis pintu itu satu persatu."
Tu Hong-sing terima ketiga keping uang mas itu dengan tertawa,
katanya: "Yong-congkoan terla lu banyak curiga."
"Itulah yang dina makan lebih baik berhati2 menjaga segala
ke mungkinan, watakmu Lohu cukup tahu."
Tu Hong-sing angkat pundak, katanya: "Yong-congkoan tidak
percaya padaku, ya, apa boleh buat." - Sekali tarik dia putuskan tali
emas yang merenteng uang e mas itu la lu dia mengha mpiri dinding
di sebelah depan.
Yong King-tiong segera berdiri, tangan terangkat siap siaga,
tenaga sudah dia pusatkan pada kedua telapak tangan, setiap waktu
siap melontarkan pukulan.
Tanpa ayal Ling Kun-gi juga ikut maju me ndekat.
Tiba di kaki dinding, Tu Hong-sing berkata:
"Ka mar batu di sini untuk mengurung orang2 yang lebih penting
dan berkedudukan tinggi, semuanya ada dua kamar, tempatnya
juga lebih nya man, di sini pesakitan tidak perlu diborgol, karena
berada di kamar ini meski punya kepandaian juga jangan harap bisa
lolos keluar."
Sembari bicara iapun berjongkok. Ternyata di bawah dinding ada
sebuah garis lubang kecil, kalau tidak dia mati sukar dite mukan. Tu
Hong-sing masukkan sekeping uang e mas itu ke lubang se mpit itu,
terdengar suara "tring" di dalam dinding, lalu tak terdengar apa2
pula. Tu Hong-sing berdiri tegak lalu menekan dua kali pada bagian
dinding, maka ta mpak dua daun pintu pelan2 terpentang.
Di balik pintu batu itu terdapat dua kamar yang berjeruji besi
sebesar lengan bayi di bagian depannya, tempatnya tidak begitu
besar, tapi di dala m ada dipan, meja kursi, bentuk kedua ka mar ini
sama, tapi tiada penghuninya.
"Tu-heng, di sini t iada orang," ucap Yong King-t iong.
"Tadi sudah kujelaskan, kamar ini khusus untuk mengurung
orang2 penting, sudah tentu sekarang tiada penghuninya, tapi aku
ingin me mbukanya dan tunjukkan pada kalian," sembari bicara dia
tutup pula daun pintu seperti sedia kala.
"Bagaimana dengan ka mar lainnya?" tanya Yong King-tiong.
"Dua ka mar di kedua samping ini adalah ka mar tahanan biasa,
lelaki di sebelah kiri, kanan untuk kaum wanita."
"Coba kau buka dulu pinto sebelah kanan," kata Kun-gi.
"Apakah kedua sahabat Ling-kongcu adalah pere mpuan?" tanya
Tu Hong-sing. "Benar," sahut Kun-gi.
Tanpa bicara lagi Tu Hong-sing mendekati dinding, lalu
menceploskan sekeping mata uang ke dala m lubang se mpit, lalu
menekan tombol dan me mbuka pinto. Baru saja daun pintu terbuka,
dari dala m lantas terdengar suara nyaring ga lak orang sedang
me ma ki: "Cis, kalian bangsat keparat, kawanan anjing buduk,
me mangnya kalian bisa berbuat apa pada nonamu" Akan datang
suatu ketika nonamu bikin hancur sarang kalian ini, satu persatu
kuse mbelih kalian . . . . . . " agaknya nona yang me maki dengan
menerocos nyaring ini bukan saja gala k tapi juga binal, meski
me ma ki orang tapi suaranya kedengaran merdu.
Tanpa melihat orangnya, mendengar suaranya, Kun-gi lantas
tahu bahwa yang mencaci maki ini adalah Pui Ji-ping. Seketika
perasaan Ling Kun-gi jadi bergola k, dia lekas berteriak: "Ping-moay,
inilah aku datang menolongmu, apakah kau berada sama nona
Tong?" - Dengan Le liong cu diangkat ke atas cepat dia masuk ke
dalam. Di ba lik pintu sudah tentu adalah ka mar tahanan berjeruji besi
pula, cuma ka mar tahanan di sini tiada dipan, juga tidak ada meja
kursi. Di ka mar depan terkurung tiga nona, rambut ta mpa k
semrawut, ketiganya sama2 mengenakan pakaian pria, jubah hijau
sutera dengan sepatu kulit rendah, wajah mereka kelihatan kuyu
pucat, keadaannya tampak lucu menggelikan. Me mang wa ktu
mereka di tawan semuanya mengenakan pakaian laki2, kemudian
diketahui bahwa mere ka perempuan, maka di pisah di ka mar ini.
Ketiga orang ini adalah Tong bun-khing, Pui Ji-ping dan Cu Ya-khim.
Mendengar suara Ling Kun-gi, Pui Ji ping ta mpak berdiri
me longo. Suara ini amat dikenalnya, betapa dia telah berharap akan
kedatangannya" Entah berapa ribu kali saking iseng dala m tahanan
ini mereka me mbicarakan hari2 yang a mat mereka da mba kan ini,
me mang hanya Ling Kun-gi seoranglah yang menjadi titik sinar
harapan mereka. Kini kenyataan sang perjaka yang diharapkan
betul2 sudah berdiri dihadapan mereka.
Sepasang mata Tong Bun-khing bagai mata burung Hong itu
tampak berkaca2 lalu me neteskan air mata," suaranya gemetar
haru: "Ling-toako, ini bukan mimpi bukan?"
Pu Ji-ping juga meneteskan air mata, teriak-nya keras: "Toako,
kau betul2 telah datang, kutahu kau pasti akan menolong ka mi,
kenyataan sekarang kau betul telah kemari." - Dari balik terali dia
masih kelihatan lincah, dengan mengembeng air mata, bicara sambil
tertawa bak sekuntum bunga mekar yang ditaburi air e mbun, jernih
dan tetap segar, cuma ke lihatan agak kurus.
Sungguh bukan main senang hati Ling Kun-gi, tapi juga merasa
kasihan. Sejak mulai berke lana di Kangouw, nona yang dia jumpa i
pertama kali adalah Pui Ji-ping, sela ma ini dia pandang nona lincah
ini sebagai adik kecilnya sendiri, ia kira tak pernah dirinya menaruh
hati kepadanya. Tapi di luar sadarnya bibit asmara akan tumbuh
dan bersemi di dala m sanubari orang, sudah tentu hal ini tak pernah
dia pikir. Baru sekarang dia sadar Pui Ji.-ping juga telah menempati
sesuatu sudut tersendiri, ma lah menduduki te mpat yang cukup
penting dala m hatinya. Selama beberapa bulan ini, siang mala m
selalu dia rindukan si dia, kini setelah berhadapan, bila tidak teraling
jeruji besi mungkin dia sudah menubruk maju serta me meluknya.
Tapi se mua ini hanya gelora perasaan yang sekejap saja, dia
sadar masih ada Yong King-tiong dan Tu Hong-s ing di sa mpingnya,
maka dengan mengerut a lis dia bertanya: "Bagaimana kalian bisa
sampai tertawan oleh orang2 Hek-liong-hwe?"
Pui Ji-ping mengomel: "Pere mpuan keparat yang bernama Liu-
siancu itulah sebabnya. Hm, Siancu apa" Dia mena makan dirinya
Siancu (dewi) segala, yang terang dia itu lebih patut dina ma kan
siluman cent il, ingin rasanya ka mi menusuk badannya biar ma mpus
baru terlampias penasaran ka mi"
"Tu-heng," kata Yong King-tiong, "pintu besi ini bagaimana cara me mbukanya?" - Pintu berjeruji itu t iada, gembok atau kunci, terang
dikendalikan dengan alat rahasia juga.
"Terus terang aku sendiri tidak tahu cara me mbukanya, kecuali
Nyo Ci-ko mungkin t iada orang lain yang bisa me mbuka pintu ini."
Berkerut alis Yong King-tiong, katanya berpaling kepada Kun-gi:
"Ling-kongcu, Pokia m yang kau bawa apakah bisa digunakan?"
Baru sekarang Kun-gi teringat akan pedang pusakanya, lekas dia
berkata: "Ya, biar Wanpwe mencobanya" Lalu dia mengeluarkan
Seng-ka-kia m dan berkata pula: "Adik Ping, ka lian mundur aga k
jauh." Tong Bun-khing, Pui Ji-ping dan Cu Ya-khim segera mundur
berjajar mepet dinding dala m.
Kun-gi mende kat, dan pelan2 menghirup napas mengerahkan
tenaga di lengan kanan, pedang diangkatnya terus memapas terali
besi. "Trang", di mana sinar pedangnya berlalu, besi sebesar lengan bayi itu dengan mudah telah dipapasnya putus. Sekali berhasil
bertambah keyakinan Ling Kun-gi, beruntun beberapa kali tabasan
pula dia bikin suatu lubang besar pada terali besi yang mengurung
ke-tiga nona itu.
Ling Kun-gi simpan pedangnya, sambil berteriak senang girang
Pui Ji-ping mendahului menerobos keluar. "Toa ko," teriaknya,
selama dua bulan ini dia cukup menderita, kini suka-duka sa ma
merangsang perasaannya, tanpa hiraukan orang banyak segera dia
menubruk ke arah Ling Kun-gi.
Lekas Kun-gi me mapahnya, katanya lirih: "Pingmoay, berdirilah
tegak, jangan seperti anak kecil , di hadapan orang banyak kau bisa
ditertawakan."
Pui Ji-ping Jadi merah ma lu dan lekas mundur. Se mentara Tong
Bun-khing dan Cu Ya-khim juga sudah menerobos keluar.
"Ji-moaycu ( adik kedua )," kata Kun-gi kepada Tong Bun-khing,
"cukup la ma kalian sa ma menderita."
Tong Bun-khing menahan isak tangisanya, tangannya sibuk
me mbetulkan sanggulnya, katanya dengan tersenyum rawan:


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setiap hari ka mi berharap akan kedatangan Ling-toako, syukurlah
hari ini harapan ka mi terkabul."
Tidak seperti Pui Ji-ping main tubruk dan peluk tapi mimiknya
yang mesra dan harus dikasihani sungguh me mbuat orang terharu.
Kun-gi me mandang Cu Ya-khim, katanya: "Ji-moaycu, nona ini
......." Pui Ji-ping segera menyela: "Toako, inilah Piau-ci Cu Ya-khim
yang sering kusebutkan padamu itu." - lalu dia berpaling dan
berkata pula: "Piauci, dia...."
Merah muka Cu Ya-khim mendengar Pui Ji -ping bilang "sering
kusebutkan pada mu", tapi sikapnya tampa k wajar dan tertawa,
katanya: "Tak usah kau jelaskan, kutahu dia adalah kau punya . . . .
. . Piauko".
Balas digoda, Pui Ji-ping uring2an, serunya tak mau kalah: "Kau
punya berada di depan sana, jangan kuatir. . . . . . . "
Kun-gi sendiri ikut merah mukanya digoda ke-dua nona, lekas dia
menyela: "Marilah kuperkenalkan, inilah Pa man Yong, sahabat karib
ayahku almarhum, inilah Tu-tayhiap. Dapat menolong kalian dengan
leluasa adalah berkat pertolongan mereka berdua."
Lekas Tong Bun-khing, Pui Ji-ping dan Cu Ya-khim me mberi
hormat kepada Yong King-tiong dan Tu Hong-sing, katanya
serempak: "Terima kasih Yong-lope k, Tu-tayhiap,"
Yong King-tiong dan Tu Hong-s ing sa ma mengangguk. Lalu Kun-
gi menerangkan asal usul ke-tiga nona.
Tong Bun-khing berkata: "Ling-toako, yang tertawan bersama
kami waktu itu ada puluhan orang " Dari keluarga Ban dari Ui-san
dan keluarga Kho dari Ciok-mui, mereka dikurung di ka mar sebelah
lekaslah kau tolong mereka se kalian.
Tu Hong-sing tertawa, katanya: "Nona tak usah kuatir, segera
kubuka pintunya."
Pui Ji-ping melirik kepada Cu Ya-khim sambil mencibir, katanya:
"Ya Piauci, legakan saja hatimu."
"Setan kecil," maki Cu Ya-khim dengan muka merah, "takkan
kua mpuni kau nanti," - Se mbar bicara dia me mburu ke arah Pui J i-
ping. Dengan cekikikan lekas Pu Ji-ping lari se mbunyi ke belakang Ling
Kun-gi, teriaknya: "Piauci a mpun, tak berani lagi."
Sudah tentu Cu Ya-khim jadi rikuh, katanya "Ya, sekarang kau
punya tempat untuk bersembunyi, apa kau dapat bersembunyi
selamanya."
Pui Ji-ping segera unjuk muka setan, katanya tertawa: "Segera
kaupun akan punya te mpat untuk bersembunyi."
Dala m pada itu Yong King-t iong dan Tu Hong-s ing telah beranjak
ke ka mar sebelah, Kun-gi ajak ketiga nona maju ke sana. Tampa k
Tu Hong-sing sedang masukan mata uang mas ke dala m lubang
kecil, lalu mene kan tombol, lekas sekali daun pintu lantas terbuka,
seperti keadaan di kamar sebelah tadi, kamar di sinipun berterali
besi. Dala m ka mar tahanan yang re mang2 ta mpak terkurung dua
orang, mereka me mang Ban Jin-cun dan-Kho Keh-hoa.
Melihat keadaan Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa, kecut hati Cu Ya-
khim, baju yang mereka pakai ternyata lebih rombeng, ra mbut
awut2an keadaannya lebih runyam daripada mereka bertiga,
dengan menge mbeng air mata lekas dia me mburu ke depan terali,
teriaknya: "Ban-toako, lihatlah, Ling-toako datang menolong ka lian."
Ban Jin-cun ta mpak me lengak, tanyanya: "Nona, kau siapa?"
Sambil me mbetulkan letak ra mbutnya Pui Ji-ping cekikikan,
katanya: "Dia adalah Cu Jing sahabatmu alias Piauciku, kenapa Ban-
heng melupa kan dia?"
Kembali Ban Jin-cun me lenggong, teriaknya: "Nona adalah. . . . ..
." "Siaute Ling Kun-ping," sela Ji-ping menggoda dengan tertawa
jenaka. "Inilah Tong-jiko Tong Bun-khing."
Kho Keh-hoa lantas mengerti, katanya sambil menghe la napas:
"Kiranya ka lian adalah nona2."
"Sekarang baru kalian tahu," seru Pui Ji-ping terpingkal2. Lalu dia tuding Ling Kun-gi, katanya: "Dia ini adalah Toakoku Ling Kun-gi,
dia sengaja ke mari menolong kita."
Lekas Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa me mberi hormat. Sejak tadi
Ling Kun-gi sudah siapkan Seng-ka-kia m, katanya: "Ban- heng, Kho-
heng harap mundur dua langkah, biar kurusak dulu pintu terali ini,
setelah kalian keluar baru bicara lagi"
Ban dan Kho berdua segera mundur, maka dengan mudah terali
besi itu dirusak oleh Ling Kun-gi, dengan leluasa kedua orang lantas
menerobos ke luar, kembali mereka satu sama la in saling
me mperkenalkan diri.
Untuk na ik ke atas mereka me mbagi dua rombongan, rombongan
pertama Ling Kun- gi di ringi ketiga nona, setelah Tu Hong-sing
mendorong maju kedua kursi, meja bundar itupun mulai bergerak
naik ke atas, kejap lain kee mpat orangpun telah berada di ka mar
segi enam, Waktu meja kembali pada keadaan semula, keenam
kursi itupun bergerak sendiri berpencar ke te mpat masing2.
Maka Kun-gi pimpin orang banyak mendorong kursi ke tengah
pula, supaya meja kursi ke mba li turun ke bawah, Sudah tentu Tong
Bun-khing, Pui Ji-ping dan Cu Ya-khim sa ma kagum dan tidak habis
mengerti akan segala peralatan yang bergerak serba otomatis ini.
Setelah kursi a mbles ke bawah, maka Kun-gi perkenalkan Tong
Bun-khing bertiga kepada Hoan-kun. Antara nona dan nona lebih
gampang bergaul, cepat sekali merekapun sudah bergaul dengan
akrab dan intim.
Tak la ma ke mudian rombongan keduapun telah naik ke atas, Un
Hoan-kun keluarkan obat penawar dan satu persatu dia oles hidang
kelima laki2 baju hijau, setelah berbangkis se kali ke lima orang
itupun siuman. Sorot mata Yong King-tiong tajam berwibawa, katanya kereng:
"Kalian dengarkan, Heng-liong-hwe kini telah lebur, Han Jan-to
sudah ma mpus, Cui Kin-inpun telah merat, Ceng-liong-ta m
Congkoan Nyi C i-ko juga ma mpus, mengingat kalian biasanya jarang
me lakukan kejahatan, hari ini Lohu tidak ingin main bunuh, asal
kalian mau bersumpah selanjutnya tidak menjadi antek musuh dan
cakar alap2 kerajaan, sekarang tugas kalian mengumpulkan orang2
Pek-hoa-pang yang terjebak di lorong2 sesat, setelah keluar dari
sini, kalian bebas me milih jalan hidup sendiri2, apa kalian mau
terima kebija ksanaan ini?"
Melihat Nyo Ci-ko me mang sudah mati, situasi jelas tidak
menguntungkan, maka serentak mereka menjura dan menyatakan
setuju dan tunduk.
"Syukurlah ka lian mau insaf, nah inilah Sip-hun-wan buatan
khusus dari keluarga Un kami di Lingla m, dala m dua belas jam kalau
tiada obat penawarnya. selama hidup kalian akan menjadi orang
pikun dan gila, tapi bila kalian menuna ikan tugas dengan baik sesuai
dengan perintah pa man Yong tadi, setelah keluar dari sini, obat
penawarnya akan kubagikan pula kepada kalian," de mikian pesan
Un Hoa-kun. Lalu dia keluarkan lima butir pil dan ditaruh di meja.
Bahwa mereka harus menelan Sip-hun-wan, sudah tentu kelima
orang ragu2 dan saling pandang dengan bingung. Tu Hong-sing
segera menghardik: "Apa pula yang kalian ragukan" Bukankah tadi
akupun telah menelan sebutir" Jangan kuatir, nona Un pasti
menepati janji, sekarang lekas a mbil dan telan, jangan membuang
waktu lagi."
Kelima la ki2 baju hijau tidak berani ayal lagi, setiap orang maju
menga mbil sebutir pit terus ditelannya.
"Sekarang tenaga kita di sini cukup banyak," demikian Yong
King-tiong sa mbil menyapu pandang seluruh hadirin, "tapi yang
kenal dengan orang Pek-hoa-pang hanya Ling-kongcu dan nona
Un", kalau satu la ma lain tida k saling kenal, pasti bisa menimbulkan
salah paha m dala m usaha pencarian mereka, maka Losiu
berpendapat lebih baik Ling-kongcu bersama nona Un berdua saja
yang masuk mencari mereka."
"Ucapan Yong-lopek me mang beralasan," ujar Kun-gi, "soal
menolong orang me mang adalah kewajiban Wanpwe sesuai pesan
bibi, sekarang biarlah Wanpwe saja yang mencari mereka."
Sudah tentu berbeda perasaan antara tiga nona demi mendengar
Kun-gi bilang "ka mi berdua". Tong Bun-khing berwatak le mbut dan
tidak usil mulut, tapi tidak demikian dengan Pui Ji-ping yang bina l
dan suka usil, segera dia menyeletuk: "Ling-toako, aku mau ikut,"
"Adik Ping, dala m lorong sana banyak anak cabang yang
berbelit2, keadaan gelap pula, sembarang waktu menghadani
bahaya, lebih baik kau ikut orang banyak menunggu dan istirahat
saja di sini, setelah mene mukan orang2 Pek-hoa-pang kita akan
cepat keluar dan kumpul pula di sini, kalau terlalu banyak orang
ma lah kurang le luasa."
"Betul," sela Yong King-tiong, "lebih baik kalian tunggu saja di sini, ketahuilah di sini ada ena m sudut pintu, pada hal kita hanya
bisa me mbagi dua kelompok, setelah setiap sudut pintu diperiksa
harus segera mundur dan keluar me meriksa sudut pintu yang lain,
kalau kalian tinggal di sini se mbarang waktu kan bisa me mberi
bantuan dan menjaga jalan mundur mereka."
"Yong-congkoan," timbrung Tu Hong-sing, agaknya kau belum
jelas akan keadaan di sini, walau te mpat ini merupakan mulut atau
jalan keluar Ceng-liong-ta m, tapi keadaan di dala m keenam sudut
pintu situ sa ma la in tiada bedanya, kita cukup me mbagi dua
kelompok masuk ke dala m mencari mereka, cuma perlu dijanjikan
dulu jalan2 mana yang harus ditempuh masing2 kelompok, setelah
sampai pada suatu te mpat dapat berkumpul lalu ke-luar bersa ma."
"Kiranya begitu," ujar Yong King-tiong. "Ka lau begitu tentu bisa menghe mat tenaga dan waktu. Ling-kongcu jangan me mbuang
waktu lagi, bersama Tu-heng pimpinlah mereka (kelima laki2 baju
hijau) dala m satu rombongan, Lohu a kan bawa sia yang la in dala m
rombongan kedua, cuma kita harus me mbawa obor lebih banyak
Nah, sekarang berangkat,"
"Wanpwe terima petunjuk," kata Kun-gi.
Tu Hong-sing berkata: "Setiap orang yang bertugas di Ceng-
liong-ta m harus me mbawa obor khusus, jalan yang mesti dite mpuh
masing2 ke lompok harus diatur dan direncana kan dulu, supaya
tiada yang ketinggalan dala m usaha mencari mere ka."
"Kalau begitu, tolong Tu-heng saja yang me mbagi tugas," ucap
Yong King-tiong..
Tu Hong-sing lantas me mberi pesan pada kelima orang baju
hijau: "Kelompok pertama harus masuk dari Thian-mui, me mbelok
kanan keluar dari Te-mui. Kelompok yang lain masuk dari Te-mui,
belok kanan ke luar dari Thian-mui."
Kelima orang baju hita m mengiakan bersa ma. Yong King-tiong
lantas pimpin Un Hoan-kun dan tiga laki2 baju hijau me masuki
Thian-mui dari sebelah kiri setelah menyulut obor. Se mentara Kun-
gi bersama Tu Hong-sing dengan dua laki2 baju hijau masuk me lalui
Te-mui dari sebelah kanan, merekapun me mbawa obor. Sia yang
lain tetap berjaga di ka mar segi ena m.
Setelah kedua kelompok orang itu masuk, tanpa terasa Pui Ji-
ping mengerut kening, tanyanya: "Tong-cici, entah orang2 Pek-hoa-
pang apa yang dicari oleh Ling-toako?"
"Bukankah Hek-liong-hwe anggap kita orang Pek-hoa-pang"
Mungkin kedua kelompok Pang dan Hwe ini terjadi bentrokan
sengit, Ling-toako bantu piha k Pek-hoa-pang mengge mpur He k-
liong-hwe, maka dia bisa menolong kita," lalu Tong Bun-khing
berpaling ke arah Siau-tho dan bertanya: "Nona, betul tidak
terkaanku?"
"Ah, hamba hanya seorang pelayan yang melayani keperluan
Congkoan, apa yang kuketahui hanya sedikit saja, kalau tak salah
Ling-kongcu adalah Cong-hou-hoat-su-cia dari Pe k-hoa-pang, Han-
hwecu dari Hek-liong-hwe adalah pe mbunuh ayahnya. sedang
Yong-congkoan adalah sahabat karib ayah Ling-kongcu, maka dia,
bantu Ling-kongcu mengge mpur Hek-liong-hwe."
"Lalu siapa itu nona Un?" tanya Ji-ping.
"Kudengar tadi Ling-kongcu pernah bilang, sejak mula nona Un
me mang sudah kenal ba ik dengan Ling-kongcu. waktu Ling-kongcu
menyelundup ke Pe k-hoa-pang, nona Un ikut me mbantu dengan
menya mar Bi-kui dala m Pek-hoa-pang, untung tadi dia tertolong
oleh Ling-kongcu dari lorong2 sesat di dala m."
"Kalau Ling-kongcu menyelundup ke dala m Pek-hoa-pang.
bagaimana mungkin bisa diangkat menjadi Cong-hou-hoat-su-cia
dari Pek-hoa-pang?" de mikian tanya Cu Ya-khim.
"Entahlah, ha mba sendiri juga tidak tahu." sahut Siau-tho.
"Kukira dala m hal ini ada banyak persoalan yang berbelit,"
timbrung Tong Bun-khing, "Biarlah kita tunggu setelah Ling-toako
keluar baru kita tanya padanya."
Bersungut Pui Ji-ping, katanya dengan tertawa: "Kalau mau
tanya, kau saja yang tanya padanya."
-000-0dw0-000- Kini kita ikuti rombongan Ling Kun-gi, Tu Hong-s ing me mbawa
obor berjalan di depan di kuti Kun-gi, lalu kedua orang baju hijau
yang juga membawa obor. Di bawah penerangan tiga batang obor
lorong yang gelap gulita itu menjadi cukup terang, dalam jarak
sepuluh tombak keadaan sekitarnya dapat terlihat dengan nyata.
Tadi Kun-gi baru masuk puluhan tombak saja di da la m lorong2
sesat ini, ma ka dia be lum tahu di mana letak rahasia int i lorong2
sesat ini. Kali ini Tu Hong-sing jadi penunjuk jalan, setelah belok
kanan tikung kiri, di antara lorong2 se mpit itu banyak pula
cabangnya sehingga mirip sarang labah2. Banyak jalan cabang yang
berliku2 setelah dite mpuh sekian la manya baru diketahui bahwa
lorong itu buntu, terpaksa harus putar ba lik. Tapi bukan mustahil
ke mbalinya akan salah jalan ke cabang yang lain pula. Bila tiada
penunjuk jalan, sekali salah langkah besar sekali a kibatnya, mungkin
selamanya takkan bisa keluar dari te mpat yang menyesatkan ini.
Tapi tugas Kun-gi kini harus menje lajah seluruh lorong2 ini untuk
mene mukan dan menolong orang2 Pek-hoa-pang yang terkurung,
maka setiap lorong cabang kudu diperiksanya, umpa ma mene mukan
lorong-lorong buntu juga harus diperiksa.
Dia m2 Kun-gi menaruh perhatian, sepanjang jalan ini ma kin
banyak cabang yang simpang siur, putar sana belok sini, dan
me mbuat orang pusing tujuh keliling, tapi setiap kali bila tiba pada
lorong yang agak lebar dan merupakan lorong penting, maka selalu
ada belokan ke kanan dan ini berarti tidak salah jalan lagi.
Semula dia masih was-was dan menaruh curiga pada Tu Hong-
sing, la mbat laun dia yakin Tu Hong-sing dapat bekerja jujur dan
betul2 me meras keringat.
Setelah terbukti Tu Hong-sing bekerja sekuat tenaga, maka Kun-
gi juga pusatkan perhatiannya, mata kuping dipasang tajam, pikiran
dia tumplek dala m usaha pencarian orang2 Pek-hoa-pang.
Sebetulnya jalan lurus yang penting dala m lorong ini hanya ada
enam jalur, tapi lantaran pada jarak tertentu ada cabang yang rumit
dan me mbingungkan, adakalanya setelah menyusur pergi datang
ternyata masih tetap berada dilorong yang sa ma, maka kerja
mencari orang ini sungguh a mat berat dan menghabiskan tenaga,
apalagi setiap pe losok harus mereka je lajahi.
Tengah mereka berjalan, tiba2 Kun-gi mendengar kira2 sepuluh
tombak di sebelah depan lapat2 seperti ada suara keresekan. Suara
itu sangat itu lirih seperti daun jatuh, meski seorang persilatan yang
me miliki Lwekang t inggi juga harus tumplek perhatian
mendengarkan dengan cermat baru dapat mendengar suara itu.
Maklum derap langkah mereka bere mpat sendiri sudah
menimbulkan suara yang ramai, tapi Kun-gi dapat mendengar suara
geseran sesuatu itu diantara derap kaki mereka, Mungkin seekor
tikus yang lari ketakutan. Pendek kata suara itu a mat lirih, tapi


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekilas pasang kuping Kun-gi lantas menghentikan langkah, katanya
dengan suara tertahan: "Tu-heng, berhenti dulu, apa di depan ada
persimpangan jalan pula?"
Tu Hong,-sing berhenti, sahutnya: "Betul, tapi dari sini ke
persimpangan jalan masih sepuluh tombak."
"Di persimpangan jalan depan ada orang bersembunyi, entah dia
kawan atau lawan?" de mikian kata Kun-gi.
"Ada orang sembunyi didepan" Bagaimana Ling-kongcu bisa
tahu?" tanya Tu Hong-sing heran.
"Lapat2 kudengar dala m jarak sepuluh tombak di depan ada
suara napas pelahan empat-lima orang, tapi jalan yang kita tempuh
ini jalan lurus, bayangan manusia tidak kelihatan, maka kuduga
pasti mereka se mbunyi di persimpangan jalan."
Tu Hong-sing kaget, katanya heran: "Jadi Ling-kongcu sudah
dengar suara pernapasan mereka."
"Dala m lorong ini mudah menimbulkan ge ma suara, apalagi
mereka se mbunyi dite mpat gelap, karena hati merasa tegang
hendak menyergap musuh, meski menahan napas tapi deru
napasnya menjadi lebih berat dari biasanya."
"Ke ma mpuan Ling-kongcu yang luar
biasa ini sungguh mengagumkan . . . . . . " puji Tu Hong-sing.
Belum habis dia bicara kini iapun mendengar suara lambaian
pakaian orang, lalu tampak empat sosok bayangan orang berkelebat
keluar dari kanan-kiri persimpangan jalan di depan. Lalu menyusul
suara seorang gadis me mbentak: "Pendatang berhenti, kalau ma u
hidup lekas buang senjata dan tinggalkan orangnya, kalau tida k
kalian bertiga bangsat ini jangan harap bisa hidup!" - Agaknya dia
sudah melihat tiga orang Hek-liong-hwe, ucapannya supaya
meninggalkan orang mungkin dia mengira Ling Kun-gi menjadi
tawanan musuh yang sengaja di gusur ke mari.
Maklumlah di depan Ling Kun-gi adalah Tu Hong-sing yang
menenteng pedang, di belakangnya adalah dua laki2 baju hijau, jadi
se-olah2 Kun-gi adalah tawanan mereka.
Begitu mendengar suara orang, berdegup girang hati Kun-gi,
segera dia me lompat maju dan berseru: "Pangcu, Cayhe me mang
sedang mencari kalian."
"Hah. . . . . . " dari lorong di depan terdengar teriakan tertahan, nada yang mengandung rasa kaget dan kegirangan luar biasa,
sesosok bayangan langsing segera melejit maju, teriaknya: "Ling-
heng, . . . . . . " karena hati senang, seperti seorang yang sudah
la ma tersesat kini bertemu dengan sanak familinya, maka dia berlari
menubruk datang.
Maklumlah seorang remaja yang sekian la manya tersesat di
lorong gelap ini, kini bertemu dengan perjaka pujaannya, maka dia
ingin me limpahkan seluruh perasaannya, kini dia perlu bujuk dan
hibur manja. Na mun betapapun dia adalah Pe k-hoa-pang Pangcu,
dihadapan orang luar, apalagi di depan dayangnya, betapapun dia
tetap harus pegang gengsi sebagai Pangcu yang berwibawa dan
disegani. Untunglah seruan "Pangcu" Kun-gi telah menyentak
sanubarinya. Kira2 beberapa kaki di depan Kun-gi dia berhenti, matanya yang
jeli tampa k berkaca2, wajahnya berseri girang, katanya: "Ling-heng,
bagaimana kau bisa mene mukan te mpat ini" Kau tida k apa2"
Rombongan ka mi telah tercerai berai." - Meski masih tertawa, tapi
wajahnya sudah basah air mata, katanya pula: "Lihatlah, kini tingga l
kami berlima orang sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus
me mberi pertanggungan jawab kepada Suhu?"
"Pangcu tidak usah sedih," bujuk Kun -gi, "lorong sesat di Ceng-liong-ta m ini me mang a mat berbahaya, orang2 yang tercerai-berai
pasti dapat kita temukan, Cayhe memang sedang mencari kalian."
Bok-tan melirik Tu Hong-sing bertiga, tanyanya:
"Bukankah mere ka orange He k-liong-hwe kenapa . ."
"Hek-liong-hwe sudah hancur lebur . . . . . " tukas Kun-gi
tertawa. Kaget dan senang hati Bok-tan, sepasang bola matanya
me mancarkan sinar aneh, katanya dengan mesra: "Ke mbali Ling-
heng me mbuat pahala besar. Ai, aku sungguh me nyesal."
Tak enak dia banyak bicara, terpaksa ia mendesak : "Syukurlah
kami berhasil mene mukan Pangcu, cuma lorong sesat ini banyak
cabang yang simpang siur, kami me mbagi dua rombongan untuk
mencari kalian, tugas kami belum lagi selesai, waktu amat berharga,
kini silakan Pangcu ikut dala m rombongan ini."
Bok-tan me mbetulkan rambutnya, katanya tertawa: "Entah
berapa lama kita ubek2an di tempat ini, obor yang kami bawapun
telah padam kehabisan minyak, sudah tentu ka mi harus ikut kau."
Kun-gi angkat sebelah tangannya, katanya: "Tu-heng bertiga
me mbawa obor, silakan berjalan di depan saja."
Maka Tu Hong-sing bertiga lantas jalan di depan, Bok-tan dan
Kun gi di tengah, e mpat dayang ikut di belakang mereka.
Bok-tan jalan berendeng dengan Kun-gi, tanyanya sambil
berpaling: "Siapa pula da la m rombongan kedua?"
Kun-gi ragu2 sebentar, dia sadar cepat atau lambat persoalan ini
harus dibicarakan, lebih baik sekarang saja dibicarakan sama dia,
maka dengan tertawa ia berkata: "Sebetulnya Pangcu sudah kenal
dia, tapi kenyataan sekarang sudah bukan dia lagi."
"Siapa yang Ling-heng maksudkan?" tanya Bok-tan heran.
"Bi- kui."
"Kiu-moay ma ksudmu?" Bok-tan tertawa geli. Tiba2 seperti ingat
apa2, dia bertanya pula: "Bagaimana mungkin bukan dia lagi?"
"Bi-kui asli adalah salah satu agen kalian yang diselundupkan ke
Hek-liong-hwe, padahal jejaknya sudah diketahui musuh dan kini
sudah ajal, yang menyamar jadi Bi-kui sekarang ada lah Un Hoan-
kun ...." Berubah air muka Buk-tan: "Dia adalah orang He k-liong-hwe"-"
"Bukan," sahut Kun-gi, "Dia anak keluarga Un dari Ling-la m,
sebelumnya sudah kenal baik dengan Cayhe. tanpa sengaja dia
mene mukan Giok-je dan lain2 me masukan Cayhe ke dala m karung,
maka dia menyaru jadi Bi-kui terus mengunt it . "
Bok-tan meliriknya, tawanya mengandung arti, katanya: "Kalian
berhubungan baik seka li, benar tida k?"
Teringat pesan Thay-siang sebelum ajal, berdegup keras jantung
Kun-gi, lekas dia berkata: "Dengan dia Cayhe hanya . . . . "
"Tak perlu kau jelaskan," tukas Bok-tan, "aku tidak salahkan
kau." - Suaranya begitu lirih, mungkin hanya Kun-gi saja yang bisa
mendengar, tapi selebar mukanya sudah merah jengah.
Kun-gi juga merasa panas mukanya, hatinya baru dan lega,
katanya lirih: "Terima kasih . . . ."
Selanjutnya mereka terus maju ke depan tanpa bersuara,
beberapa kejap lagi baru Kun-gi berkata: "Pangcu, ada satu hal
mungkin juga di luar dugaanmu."
Berkedip2 Bok-tan: tanyanya: "Soal apa?"
"Kau tahu pernah apakah Thay-siang dengan Cayhe?"
Hal ini me mang betul2 me mbuat Bok-tan melengak di luar
dugaan, tanyanya: "Pernah apamu?"
"Dia adalah Bibiku, beliau adik ibu kandungku."
"Apa betul?" Bok-tan berteriak kaget dan senang. "Ya, kuingat sekarang, kau pernah bilang ibumu she Thi, darimana kau tahu
akan hal ini?" Maka Kun-gi lantas bercerita secara singkat
bagaimana kakek luarnya dulu mendirikan Hek-liong-hwe, tatkala
ibunya menikah dengan ayahnya, Thay-siang minggat tak keruan
parannya, akhirnya Han Jan-to menjual Hek-liong-hwe kepada
kerajaan. "Kiranya begini liku2nya," ucap Bok-tan, "tak heran kau suruh Sam-moay (Giok-lan) jangan bilang padaku tentang ibumu she Thi.
O, ya, apa-kah Pekbo juga datang?"
"Ibuku sudah berangkat, mungkin sekarang berada di Ga k-koh-
bio, beliau minta Cayhe bawa Pangcu menghadapnya."
"Em," Bok-tan bersuara pelahan, wajahnya yang semula pucat
tampak merah malu, tapi sorot matanya tampak senang dan
bersemangat, tanyanya riang: "Apakah Suhuku juga di Gak-koh-
bio?" Sesaat Ling Kun-gi jadi serta salah untuk menjawab, hanya
secara samar2 mengiakan. Untung mereka sudah tiba di ujung
lorong dan t iba di ka mar segi ena m.
Pui Ji-ping segera berteriak menyambut: "Ling-toako, sudah kau-
ketemukan Pek-hoa . . . . . . "
Belum habis bersuara dilihatnya di belakang Kun-gi berjalan
keluar seorang gadis berwajah je lita mengenakan pakaian ketat,
dasar kainnya warna kuning, tepat di depan dadanya tersula m
sekuntum Bok-tan, dengan leher tinggi bertitik warna e mas, di
pinggangnya tergantung pedang. rambutnya digelung mirip puteri
keraton yang diberi bermacam perhiasan, meski agak semrawut dan
wajahnya kelihatan kotor, mungkin sudah tiga hari tak pernah
berdandan, tapi sikapnya kelihatan anggun.
Berhadapan dengan Pek-hoa-pangcu yang agung dan berwibawa
sekilas Pui Ji-ping jadi me lenggong, kata2 selanjutnyapun lupa
terucapkan. "Ling-heng," tanya Bok-tan tertawa, "dia inikah adik dari ke luarga Un?"
Dala m hati Tong Bun-khing juga menggerutu, lagi nona yang
begitu mesra dan a le man pada Ling-toakonya ini.
Lekas Pui Ji ping menggeleng kepala, katanya: "Aku bukan Un-
cici, aku berna ma Pui Ji-ping, Cici ini . . . . . . " tiba2 dia menuding ke sudut pintu di depan sana serta mena mbahkan dengan tertawa:
"Nah, itu Un-cici sudah keluar."
Dari sudut pintu bagian tengah sedang beranjak keluar sebarisan
orang, paling depan adalah dua laki2 baju hijau penunjuk jalan
di kuti Yong King-tiong Un Hoan-kun, Giok-lan, Ci-hwi dan seorang
Nikoh tua dengan pedang dipunggungnya, dia inilah Bing-gwat
Suthay. Melihat Bok-tan sudah berada di sini, tanpa janji Un Hoan-kun,
Giok-lan dan Ci-hwi sa ma berteriak girang: "Pangcu!" - Seperti
berlomba saja mereka berebut maju serta me mberi hormat.
Mendengar orang banyak sama memanggil "Pangcu", dia m2 Pui
Ji-ping me lengak heran.
Bok-tan maju selangkah me megang kedua tangan Un Hoan-kun,
katanya haru dan penuh nada terima kasih: "Nona Un, berkat
pertolonganmu sepanjang jalan ini, kau telah menolong Sa m-moay
bertiga lagi, entah bagaimana a ku harus berterima kasih pada mu."
Un Hoan-kun me lengak sejenak, tanyanya: "Pangcu sudah tahu?"
Bok-tan manggut, katanya: "Barusan Ling-heng sudah
menje laskan padaku." - Sebentar matanya menje lajah la lu berkata:
"Dala m rombongan kita masih ada Coh-houhoat Leng Tio-cong,
serta Liang Ih-jun dan Yap Kay-sian, apakah mereka tidak di
temukan?" "Leng Tio-cong dan Yap Kay-sian sudah gugur, beruntung Liang
Ih-jun lolos dari barisan pedang, badannya terluka delapan belas
goresan pedang, sekarang di luar sedang menyembuhkan luka2nya
Ling Kun-gi me mberi keterangan singkat.
Guram wajah Bok-tan, katanya: "Rombongan kita sungguh
bernasib amat jelek." - Lalu dia ang-kat kepala bertanya kepada
Kun-gi: "Ling-heng, apa kau me lihat Jimoay dan rombongannya?"
"Waktu Cayhe kemari di sebuah lorong bertemu dengan Coa
Liang, lukanya a mat parah, dia cuma bisa me nuding ke suatu arah
dan tak ma mpu bicara, belakangan dari mulut Han Jan- to dapat
kuduga bahwa Hupangcu terjebak di Hwi-liong-tong, dari sini kita
bisa maju lebih lanjut untuk mencari mere ka di Hwi-liong-tong." -
Lalu satu persatu dia perkenalkan seluruh hadirin.
Berkata Yong King-t iong dengan mengelus jeng-got: "Ling-
kongcu, urusan di sini sudah beres, marilah kita le kas lanjut kan
tugas yang lain."
Di bawah pimpinan Yong King-tiong mereka meninggalkan ka mar
segi enam dan me mbalik ke arah datangnya semula. Waktu lewat
lorong barisan pedang, tiada seorangpun yang me lelet lidah dan
mengkirik dibuatnya. Kini Tu Hong-sing berja lan paling depan, dia
bertugas me mbuka pintu rahasia.
Liang Ih-jun segera menyambut ke hadapan Bok-tan dan Kun-gi,
katanya sambil hormat: "Pangcu, hamba sudah gelisah tak karuan,
ribuan barisan pedang terpasang di dala m pintu ini, entah
bagaimana perjalanan Congcoh mencari Pangcu, kini syukurlah
kalian telah ke mbali dengan sela mat . . . . . . "
"Luka2 Liang-heng apa sudah se mbuh?" tanya Kun-gi
"Berkat pertolongan Congcoh, jiwa Cayhe-ter-tolong, kini sudah
jauh lebih baik,"
"Sejak kini aku bukan Cong-hou-hoat-su-cia sega la, selanjutnya
Liang-heng tak usah me manggilku de mikian."
Giok-lan melirik Bok-tan, katanya keheranan: "Ling-kongcu kan
baik2 saja, kenapa ......."
Kun-gi tertawa kecut, katanya: "Kalau dibicarakan sungguh a mat
menyesal, dikala Cayhe me masuki Ui-liong tong se luruh rombongan
tertumpas habis, waktu Cayhe bertemu Thay-siang di Hek-liong-
tam, beliau sudah terima pengunduran diriku sebagai Cong-hou-
hoat-su-cia, belakangan kuketahui bahwa Pangcu dan rombongan
Hupangcu terperangkap di Ceng-liong-tong dan Hwi-liong-tong,
maka Cayhe mengajukan diri mohon persetujuan Thay-siang untuk
menolong orang banyak, setelah meninggalkan lorong2 di perut
gunung ini, selanjutnya Cayhe sudah bukan anggota Pek-hoa-pang
lagi." - karena Thay-siang adalah bibinya, maka peristiwa leda kan
dahsyat oleh bahan peledak yang tersimpan dala m tandu sehingga
seluruh anak buahnya gugur t idak ena k dia ceritakan.
Bok-tan tertawa wajar, katanya: "Meski bukan Cong-su-cia, tapi
Ling-heng tetap adalah keluarga Pek-hoa-pang, betul t idak?"
Rombongan kali ini jumlahnya lebih banyak, sambil jalan mere ka
mengobrolsertamengagumibangunanlorong2yang
me mbingungkan di sini, tanpa terasa mereka sudah berada di
sebuah lorong lurus dan lebar.
Yong King-tiong menghentikan langkah, serunya sambil
me mba lik badan: "Perhatian, sekarang kita sudah keluar dari
lingkungan Ceng-liong-tam, di luar pintu batu di luar sana sudah
termasuk Hwi-liong-tong. Di Hwi-liong-tong ada Cap-coat-kiam-tin
dan Cap-ji-sing-siok, meski kedua barisan lihay ini sudah tertumpas
habis, tapi kelompok mereka yang berdinas di luar masih punya
jago2 kosen yang lihay, maka kalian harus hati2 dan selalu siaga." -
Habis berkata dia melangkah lebar ke depan. Tidak jauh mereka
sudah tiba di ujung lorong, di mana mengadang sebuah dinding.
Yong King-tiong langsung mene kan sebuah tombol di dinding, ma ka
terbukalah sebuah pintu, dia mendahului me langkah masuk.
Di luar pintu adalah lorong panjang pula, tapi kira2 lima tombak
Yong King-tiong beranjak, Tu Hong-sing lantas mengerut kening,
katanya lirih: Yong- congkoan, harap berhenti dulu!"
"Ada apa?" tanya Yong King-t iong.
"Mungkin Yong-congkoan belum pernah datang di Hwi-liong
koan?" "Hwi-liong-koan?" Yong King-tiong balas tanya. "Lohu me mang
belum pernah ke sana" Me mangnya di mana letak Hwi-liong-
koan?""
"Setelah dipugar barulah kedua te mpat itu dina ma kan Ceng-
liong-ta m dan Hwi-liong koan, ke duanya dibawah pengawasan
langsung Cui Kin-in, merupakan dua te mpat yang paling rahasia
dalam He k-liong-hwe, bila engkau berjalan lurus ke depan itu berarti
langsung menuju Ceng-liong-tong".
"Kalau begitu, sia2 Lohu menjabat Congkoan di Hek-liong-hwe
selama dua puluh tahun ini," de mikian ujar Yong King-tiong dengan


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gegetun. Lalu dia bertanya: "Coba katakan, lalu ke mana arahnya
untuk pergi ke Hwi-liong-koan?"
"Pintu rahasia yang mene mbus ke Hwi-liong-koan berada di sini,
cuma bila pintu di sini terbuka, maka kedua lorong yang menjurus
ke dalam ini a kan buntu dengan sendirinya, jumlah orang kita kali
ini lebih banyak, untuk ini perlu kita berdiri sa ling berhimpitan
sedikit," setelah suruh orang banyak kumpul di satu te mpat yang
ditunjuk, baru Tu Hong-sing mendekati ka ki dinding sebelah kiri, di
sana dia menggagap sebentar, lalu berpindah ke dinding sebelah
kanan, di sana iapun meraba sekian la manya. Kemudian
terdengarlah suara gemuruh seperti roda raksasa yang
mengge lindang pelan, dua lapis dinding di kiri-kanan pelan2 terbuka
sendiri, tapi bertepatan dengan itu, tepat pada mulut lorong yang
mene mbus ke depan dan belakang itu melorot turun pelan sebuah
daun pintu pe misah yang tebal dan berat menutup lubang lorong,
seperti pintu dam saja kedua lorong ini tertutup rapat takkan bisa
dibuka lagi untuk sela manya.
Yong King-t iong terbeliak kagum, katanya: "Sejak kapan tempat
ini dibangun?"
"Ha mpir sepuluh tahun yang lalu," sahut Tu Hong-s ing, "waktu itu Ki Seng jiang masih menjabat Congkoan di sini."
Ia tuding lorong sebelah kanan serta menambahkan: "Kalau
orang2 Pek-hoa-pang menyerbu ke Hwi-liong-tong, orang2 Hek-
liong-tong tak perlu me lawan, mereka akan masuk perangkap dan
terpancing masuk ke Hwi-liong-koan, siapapun bila masuk ke Hwi-
liong-koan, seperti juga masuk ke Ceng-liong-ta m, cukup asal pintu
dinding ini diturunkan dan jangan harap mereka bisa keluar."
"Kalau kita sudah masuk ke sana, lalu bagaimana?" tanya Yong
King-tiong. "Untuk ini Congkoan tak usah kuatir, tombol rahasia pintu ini
berada di bawah daun pintu, setelah lorong di sini beralih dan
berubah bentuk, dari luar takkan bisa dibuka lagi, cukup asal kita
me mbagi beberapa orang berjaga di sini, segalanya tidak perlu
dibuat kuatir."
Bok-tan pandang seluruh hadirin lalu berkata: "Sam-moay, Cap-
moay, Bing-gwat Suthay dan Bak-ni boleh berjaga saja di sini."
Kuatir kee mpat orang ini kurang tenaga, maka dengan tertawa
Kun-gi pandang Bok- tan dan Tong Bun-khing bera mai, katanya:
"Tujuan kita masuk ke sana untuk menolong orang, kalau te mpat itu
dina makan Hwi-liong-koan, pasti di sana terpasang perangkap lihay
dan berbahaya, kalau terlalu banyak orang malah kurang le luasa,
menurut pendapatku. Pangcu, nona Tong, nona Cu dan Pui-
siaumoay beserta Siau-tho tetap ikut berjaga di sini saja."
"Tida k," sela Bok-tan tegas, "sebagai Pek-hoa-pang Pangcu, aku wajib ikut masuk mencari orang."
"Baiklah ka lau begitu, sisanya yang lain harap tetap berada di
sini, marilah kita masuk bersa ma," demikian Yong King-t iong ambil
keputusan. Maka Tu Hong-sing tetap bertugas jadi penunjuk jalan,
Yong King-tiong, Ling Kun-gi, Bok-tan, Ban Jin-cun, Kho Keh-hoa,
Liang Ih-jun dan tiga jago pedang baju hita m bersepuluh orang
beriring masuk ke lorong sebelah kiri.
Sepuluh tomba k ke mudian keadaan mendadak berubah, lorong
itu menjadi luas dan lebar, bentuknya seperti sebuah aula panjang,
di depan kemba li mereka diadang lapisan dinding besar, tepat di
bagian tengah bertatahkan dua huruf besar warna merah yang
menyolok berbunyi "Hwi Liong" di bawah tulisan adalah dua sayap
pintu yang bercat merah darah. Sudah tentu daun pintu besar ini
juga terbuat dari batu, cuma daun pintu dicat, maka kelihatannya
mirip daun pintu umumnya. Malah pada daun pintu ada sepasang
gelang besi yang berukir binatang pula, kelihatan a mat angker.
Hwi-liong-koan me mang sesuai na manya, bentuknya memang
seperti sebuah benteng. Bagi orang yang tidak tahu pasti mengira
tempat ini adalah Hwi- liong- tong.
Rombongan kedua yang dipimpin Hupangcu So-yok bertugas
menyerbu ke mari, pastilah mereka terpancing masuk ke Hwi-liong
koan ini. Tiba di bawah benteng Yong King-tiong menga mati keadaan
sekelilingnya, lalu berpaling dan bertanya: "Apakah Tu-heng tahu
bagaimana keadaan di dala m Hwi-liong-koan?"
"Pernah aku mme mperoleh tugas dua kali masuk ke mari, tapi
hanya berhenti di bawah benteng saja, bagaimana keadaan di
dalam a ku sendiri t idak jelas, cuma pernah kudengar pembicaraan
Hwi-liong-koancu Oh Coan-oh, katanya di dalam banyak terdapat
rumah2 batu."
"Oh Coan-oh dulu pernah menjadi anak buah-ku, pernah
menjabat Sincu (ketua barisan ronda), coba kau panggil dia keluar
mene mui a ku."
Tu Hong-sing menyengir, katanya: "Ya, kenapa aku lupa bahwa
engkau dulu petuah menjabat wakil komandan ronda Hwi-liong-
tong, Oh Coan-oh me mang bekas anak buahmu."
Yong King-tiong menghela napas pelahan, katanya: "Waktu itu
Hek-liong hwe masih menentang kerajaan yang sekarang, kini He k-
liong-hwe sudah dijadikan alat untuk menumpas dan menjebak para
pahlawan bangsa yang menentang kerajaan, situasi dan keadaan
sekarang sudah jauh berbeda."
Dala m pada itu Tu Hong-sing telah maju mendekati pintu, gelang
pintu dia putar ke kanan-kiri t iga kali. Maka dari mulut binatang
yang terukir pada gelang besi berkumandang suara bertanya: "Siapa
di luar?" "Hek-liong-ta m Yong-congkoan minta Oh-koan-cu
keluar menjawab pertanyaannya," kata Tu Hong- sing lantang...
Orang di dalam segera menyahut: "Baik, Cayhe akan segera
me laporkan." - Keadaan kembali menjadi sunyi. Lekas sekali kedua
daun pintu besar terbuka pelan2 tanpa mengeluarkan suara, dua
laki2 baju hita m ketat menenteng la mpion beranjak ke-luar
bersama. Di belakangnya pula seorang la ki2 berusia lima puluhan
berjubah hijau.
Orang ini, adalah Hwi-liong-koan Koan-cu Oh Coan oh, sekilas
dilihatnya Yong King- tiong berdiri di depan rombongan orang
banyak, lekas dia maju lagi dua langkah serta menjura, sapanya:
"Ha mba tidak tahu akan kedatangan Yong cong-koan, maaf akan
keterlambatan penya mbutan ini."
Yong King-t iong tertawa sambil mengelus jenggot, katanya:,
"Oh-heng tak usah banyak adat, kini aku sudah bukan Hek-liong-
tam Congkoan lagi." Oh Coan-oh me mbungkuk badan, katanya
dengan tertawa: "Kalau demikian, Yong-congkoan tentu naik
pangkat." Tiba2 Yong King-tiong menarik muka, katanya sedikit mendengus
"Me mangnya kecuali mengejar pangkat dan kedudukan, apakah
benak Oh-heng tak pernah me mikirkan soa l lain?"
Oh Coan-oh tampak tertegun, ia mengawasi Yong King-tiong,
suaranya kedengaran sumbang: "Yong- congkoan ......."
"Oh Coan-oh," bentak Yong King-tiong, "ingin kutanya padamu,
dulu wa ktu kau menjabat Sincu Hek-liong-hwe, bukankah kau
anggota setia dari Thay-yang-kau?"
Tergagap Oh Coan-oh, katanya dengan ragu2: . . ."
"Baik, sekarang Lohu beritahu padamu, Han Jan-to sudah mati,
Cui Kin-in sudah melarikan diri, Hek-liong-hwe juga sudah
dihancurkan, impianmu untuk naik pangkat sudah sirna sama sekali,
maka sadarlah kau."
Pucat muka Oh Coan oh saking kaget dan jeri, katanya sambil
menyeka keringat: "Kau orang tua ....."
"Lepaskan orang Pek-hoa-pang yang masuk perangkap,
mengingat hubungan baik kita dulu Lohu boleh me nga mpuni
jiwa mu, setelah meninggalkan te mpat ini . . . . . . ."
Belum habis dia bicara dari dala m Hek-liong-koan tiba2
berkumandang ge lak tawa seseorang, katanya: "Yong-heng ternyata
ada di sini, agaknya kedatanganku belum terla mbat."
Belum habis bicara, muncul dua orang dari balik pintu sana. Yang
di depan adalah seorang kakek berperawakan kecil kurus, dial
bukan la in adalah Hwi-liong-tong Tongcu Nao Sa m-jun, orang di
belakangnya adalah Ui-liong-tong Tongcu Ci Hwi-bing. Di bela kang
mereka mengint il pula sebaris la ki2 baju hita m ketat, semuanya
menenteng pedang panjang warna hita m.
"Ha mba menya mbut kedatangan Tongcu," lekas Oh Coan-oh
me mberi hormat.
Dengan menyeringai Nona Sa m-jun berkata: "Yong-heng minta
kau me mbebaskan orang2 Pek-hoa-pang yang masuk perangkap,
bagaimana pen-dapat Oh heng?"
Oh Coan-oh bergidik ketakutan, jawabnya: "Hamba tidak berani."
Jelilatan sorot mata Ci Hwi-bing, katanya dengan tertawa: "Eh,
Pek-hoa-pang Pangcu kiranya juga datang."
Bok-tan tertawa dingin, katanya: "Me mangnya kenapa ka lau aku
datang" Kau kira perangkap ka lian ma mpu mengurung a ku?"
Melihat dandanan lima orang laki2 di belakang Nao Sam jun
tergerak hati Ban Jin-cun, katanya berpaling ke arah Kho Keh-hoa:
"Kho-heng, kau lihat, dandanan beberapa bangsat ini bukankah
sama dengan penyamun yang menyerbu Ciok-bun-san-ceng dulu?"
"Betul," sahut Kho Keh-hoa mengangguk, "bangsat yang
me mbunuh keluargaku, semuanya juga mengenakan seraga m
seperti itu."
Ban Jin-cun mengertak gigi, katanya: "Tidak salah lagi kalau
begitu, me mang de mikianlah kejadiannya, bukan mustahil mere ka
inilah penyatron. . ."
Kho Keh-hoa tak tahan lagi, sa mbil angkat pedang sebat sekali
dia me lompat maju, bentaknya: "Orang she Nao, apakah mereka
anak buahmu?"
Ban Jin-cun tidak ka lah cepat, segera iapun melompat maju.
Melihat kedua orang, Nao Sam-jun- tertawa, katanya- "Eh, kalian
juga sudah ke luar."
"Jawab pertanyaanku dulu," bentak Kho Keh hoa, "apakah
mereka ana k buahmu?"
Sekilas Nao Sa m-jun pandang kelima anak buahnya, lalu
menjawab: "Betul, mereka ada lah jago pedang dari Hwi-liong-tong,
untuk apa kau tanya hal ini?"
Me mbara mata Ban Jin-cun, pedang ditangannya diobat-abitkan,
tanyanya: "Yang menyerbu ke Ui-san dan keluarga Kho di Ciok-mui
dan me mbunuh seluruh angota keluarganya apakah perbuatan Hwi-
liong-tong kalian?"
Nao Sam-jun tatap kedua anak muda itu sebentar, katanya
dengan mendengus: "Untuk apa kalian tanya soal ini?"
"Katakan, apakah kau orang she Nao yang pimpin mere ka
me mbunuh keluargaku?" hardik Ban Jin-cun.
"Betul, ka mi diperintahkan atasan, keluarga Ban di Ui-san dan
keluarga Kho di Ciok-bun adalah keturunan pe mbesar dinasti Bing
dahulu yang sekongkol dengan pe mberontak, maka baginda
me merintahkan untuk menumpas kedua keluarga besar ini.... "
Mendidih darah Ban J in cun dan Kho Keh-hoa, tanpa berjanji
keduanya menghardik bersa ma: "Anjing bangsat, serahkan jiwamu! "
- Dua bayangan orang menubruk bersa ma, dua pedang panjang
mereka serentak me nyambar ke badan Nao Sa m-jun.
Sudah tentu Kim-kau-cian Nao Sa m jun tidak pandang sebelah
mata pada kedua lawannya, dengan menyeringai dia berkata: "Anak
muda, bicaralah baik2, kenapa ma in senjata?" - Sebat sekali kedua
tangannya terpentang, dengan jari telunjuk dan jari tengah ia
berhasil menjepit ujung pedang kedua orang.
Agaknya dia sengaja mau pamer ilmu sakti Kim-kau cian, tapi dia
tidak menjepit putus ujung pedang, cuma me njepitnya saja dan
tidak dilepaskan, katanya dingin: "Siapa kalian sebetulnya" Lohu
belum lagi me mbuat perhitungan dengan Yong-congkoan, tahu?"
Bahwa pedang tusukan mereka kena dijepit hanya dengan dua
jari oleh lawan, sungguh kaget dan gugup Ban Jin-cun dan Kho Keh-
hoa bukan main, lekas mereka menarik, tapi kedua jari Kim-kau-cian
Nao Sam-jun sekeras tangga m, usahanya tidak me mbawa hasil
yang diharapkan.
Setelah Nao Sam-jun habis bicara, sedikit ang-kat dan sendal,
mendadak terasa oleh Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa dari ujung
pedang tiba2 tersalur segulung tenaga yang menerjang tiba
sehingga mereka tertolak se mpoyongan.
Berhadapan dengan musuh besar, Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa
seperti orang kalap, apalagi terbukti bahwa orang dihadapan
mereka ada lah musuh pe mbunuh ayah bunda dan keluarganya
maka mereka tida k hiraukan kepandaian sendiri yang rendah,
dengan nekat mereka menyerbu maju pula, bentaknya beringas:
"Bangsat tua, serahkan nyawamu! Tuan muda ini adalah Ban Jin-
cun dari Ui-san"
Dan aku Kho Keh-hoa dari Ciok-bun!" Dia larik sinar terang
serentak menya mber dari kanan kiri.
"Hahaha," Nao Sam-jun bergela k terlawa. "jadi kalian buronan dari ke luarga pe mberontak" Bagus juga, me mbabat rumpat harus
se-akar2nya, biar hari ini Lohu bereskan kalian pula." - Mulut bicara,
tanpa menyingkir atau berkelit, tiba2 dia malah berkelebat maju dan
menyelinap di antara sambaran sinar pedang kedua orang.
Ui-san-kia m-hoat biasanya menguta makan ke-tenangan dan
mantap, dada Ban Jin-can diliputi denda m darah yang tak
terlampias, sekali tusuk ingin rasanya dia tamatkan jiwa Nao Sa m-
jun, maka begitu turun tangan dia lantas iancarkan serangan
me matikan. Sebaliknya Liok-hap kia m-hoat kebanggaan ke-luarga Kho
terkenal gesit dan cepat, bila ilmu pedang ini dike mbangkan, ma ka
bertebaranlah bintik2 sinar berha mburan melingkar tubuh musuh.
Konon bila Liok-hap-kia m-hoat berhasil diyakinkan mencapai punca k
kesempurnaan, sekali menyendal pedang, sekaligus dapat menusuk
tiga puluh ena m Hiat-to besar di badan manusia, dari sini dapatlah
dibayangkan betapa cepat gerakan pedangnya.
Perasaan Kho Keh hoa sekarang diburu dendam kesumat,
dua puluh de lapan jiwa keluarganya harus menuntut ba las,
kini berhadapan langsung dengan musuh, apapula yang harus
dia takutkan, dengan gigi ge merutuk menahan ge lora amarah,
Nao Sam-jun dicecar dengan serangan gencar.
Dari kiri-kanan kedua orang bekerja sa ma me lancarkan serangan,
kalau yang satu me mbabat, yang lain main tusuk, ternyata dua
aliran pedang yang berlainan dapat kerja sa ma dengan baik.
Nao Sam-jun tetap bertangan kosong, perawakannya yang kurus
kecil tampa k bergerak se-lincah kera, terjang sana kelit sini di
antara sambaran dan tusukan pedang, seakan2 dia kerepotan dan
hanya ma mpu berke lit saja di bawah rangsakan pedang kedua
lawan. Tapi betapapun gencar dan lihay serangan kedua orang
tetap tak ma mpu me luka inya, sampaipun menyentuh ujung baju
orangpun tidak bisa.
Maklumlah Nao Sa m-jun berjuluk Kim-kau-cian (gunting e mas),
Kungfu yang dilatihnya selama hidup justeru terletak pada kee mpat
jari tangannya, setiap kali gebrak dengan musuh, peduli golok,
pedang, ruyung atau tombak, sekali kena jepit kedua jarinya pasti
patah seketika.
Dendam, Ko Keh-hoa dan Ban Jin-cun sudah lama terpendam,
yang mereka pikirkan hanya mengadu jiwa de mi menuntut balas
sakit hati ke luarga, sampaipun ujung pedang sendiri yang selalu


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjepit putus dan semakin pende kpun tak dihiraukan lagi, mereka
tetap mengge mpur dengan sengit dan nekat.
Sudah tentu Kun-gi dapat me lihat gelagat jelek ini, baru saja dia
hendak bersuara, didengarnya, Nao Sam-jun me mbentak sambil
tertawa: "Nah, kalian anak muda terimalah serangan balasanku." -
Di mana kedua tangan terayun, dari celah2 jarinya melesat keluar
delapan bint ik sinar dingin mengincar kedua lawan.
Ternyata Ban Jin-cun dan Ko Keh-hoa tidak menyadari bahwa
pedang mereka sudah terjepit putus se makin pende k, sehingga
jarak pertempuran kedua piha k sema kin dekat, sehingga jarak
ketiga pihak kini t inggal tiga kaki saja. Maka serangan mendada k
Nao Sam-jun ini boleh dikatakan dilancarkan dala m jarak yang amat
dekat, umpa ma di dunia ini ada manusia me miliki ilmu Ginkang
maha tinggi juga tidak mungkin dapat meluputkan diri dari serangan
telak ini, untuk berke litpun sudah tida k se mpat lagi. Apalagi
serangan ini merupakan ilmu kebanggaan Nao Sa m-jun pula.
Me mangnya apa gunanya bertangan kosong melawan senjata
musuh yang terjepit putus itu telah digunakan sebagai senjata
rahasia untuk ma kan tuannya.
Dengan gerak tipu "Lau Hay menaburkan uang e mas", peduli
musuh dala m jarak jauh atau dekat, sela ma dua puluh tahun ini,
belum pernah ada tokoh Bu-lim yang lolos dari tangannya,
jangankan sela mat, luka parahpun sudah untung.
Dika la Nao Sa m-jun mengayun tangan, sementara delapan bintik
sinar dingin hampir hinggap di badan Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa,
mendadak sesosok bayangan orang menyelinap di depan Ban Jin-
cun dan Kho berdua.
Sekali lengan baju menyendal, delapan bintik kemilau itu seketika
kena digulungnya, berbareng tangan kiri me mba lik, "plak", dengan telak punggung telapak tangannya mengenai dada Nao Sa m-jun.
Sungguh mimpipun Nao Sa m-jun tida k pernah me mbayangkan
gerak tubuh pendatang ini bisa se-gesit dan secepat itu, sudah tentu
dia tidak se mpat berkelit, kontan mulutnya mengerang tertahan,
pandangan seketika menjadi ge lap, kakipun terhuyung mundur.
Orang yang menyelinap maju ini adalah Ling Kun-gi. Begitu
me lihat gelagat cukup gawat, dengan gerak kecepatan luar biasa
segera dia lompat ke depan Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa, sekaligus
dia lancarkan Kian-kun-siu menggulung kutungan pedang yang
ditimpukkan Nao Sa m-jun serta persen orang sekali tamparan.
Dika la Nao Sa m-jun terhu-yung mundur sa mbil mengerang
kesakitan, sementara Ling Kun-gi sudah berke lebat balik ke
tempatnya pula.
Bok-tan terbeliak lebar me mandanginya penuh kasih mesra,
katanya lirih: "Cepat benar gerakan Ling-heng."
Belum habis dia bicara terdangar Nao Sam-jun menjerit kesakitan
pula, kontan badannya terjungkal roboh. Ternyata Ban Jin-cun dan
Kho Keh-hoa sa ma merasakan kutungan senjata rahasia yang me-
nyerang mereka mendadak lenyap, Nao Sam-jun pun se mpoyongan
mundur, agaknya terluka tidak ringan, sudah tentu kesempatan ini
tidak di sia2kan, tanpa janji keduanya terus menubruk maju, yang
satu menusuk dan yang lain menabas.
Kelima laki2 seraga m hitam-sa ma kaget, serem-pak mere ka
me mbentak terus menubruk maju hendak menolong. Ban Jin-cun
sudah beringas, pedang kutungnya membawa sinar ke milau
me mapak tubrukan dua la ki2 baju hitam. Kho Keh-hoa juga tida k
kalah garang, ia me mbalik badan dan pedang-pun bekerja, tiga laki2
baju hita m yang lain disa mbutnya dengan sengit.
Bok tan tahu kepandaian kelima orang baju hita m cukup tinggi,
Ban dan Kho berdua ka lau satu lawan satu masih mending, bila
dikeroyok pasti celaka a khirnya, maka dia berpaling, katanya:
"Liang-houhoat, marilah kita maju me mbantu."
"Ha mba terima perintah," sahut Liang Ih-jun.
Bok-tan segera mendahului menubruk maju, Liang Ih-jun segera
menyusul, bayangan jarinya yang merah secepat kilat menjojoh ke
punggung seorang baju hitam yang mengeroyok Kho Keh-hoa. Hiat-
ing-ci merupa kan ilmu jari yang lihay, serangannya tidak
menge luarkan suara, siapa yang terserang tiada obat yang dapat
menolongnya. Pada hal laki2, itu sedang mengerubut Kho Keh-hoa dengan
pedangnya, kedua kaki berdiri tegak kokoh, Kho Keh-hoa sudah
terkepung di tengah samberan sinar pedang mereka, tak pernah di
duga bahwa serangan jari Liang Ih-jun yang tidak bersuara ini
sudah menyerang tiba di punggungnya, seketika mulutnya mengua k
keras, dan kontan roboh tersungkur dan tak bernyawa lagi.
Melihat kawannya mendadak roboh binasa, laki2 baju hitam yang
satu lagi amat kaget, lekas dia tinggalkan Kho Keh-hoa dan
mengayun pedang me nabas Liang Ih-jun yang menerjang tiba.
Liang Ih-jun tak kalah gesitnya, ia mendak miring me luputkan diri
sembari balas menyerang dengan telapak tangan kanan dan tutukan
jari tangan kiri.
Dala m pada itu, Pek-hoa-pangcu Bok-tan juga melolos pedang,
dengan mendelik hardiknya: "C i Hwi-bing, keluarkan pedangmu! "
Melihat Nao Sam-jun sudah ajal, beberapa jago kosen lawan
belum lagi turun ge langgang, dia m2 Ci Hwi-bing menerawang
situasi dan jelas pihak sendiri bakal ka lah total, kalau dirinya tidak
bertindak cepat mengundurkan diri, mungkin jiwa sendiri baka l
me layang percuma. Di ka la dia menimang2 itulah didengarnya Pek-
hoa-pangcu menantangnya, terpaksa katanya: "Pangcu ingin
bergebrak dengan orang she Ci, baiklah kulayani." - Tangan diulur
ke belakang, melolos pedang yang terselip di punggung, kaki kiri
me langkah setengah tindak, pedang me lintang dan badan berdiri
miring, tampaknya dia sudah pasang kuda2 siap tempur. Padahal
dengan gaya ini dia bersiap2 untuk lari masuk ke Hwi-liong-koan.
Bok-tan tertawa dingin, segera ia menerjang maju. Jarak kedua
pihak ada tiga tombak, jurus meluncur lurus dengan sinar pedang
bertaburan ini adalah jurus Sin-liong-jut-hun, jurus lihay pertama
dari Hwi-liong-sa m-kia m.
Sin-liong-jut-hun sebetulnya ada dua gerakan, gerakan pertama
me mba lut badan dengan cahaya pedang sambil me lesat ke depan,
setelah badan ter-apung baru melancarkan gerak susulannya,
pedang menyerang musuh. Sejak kecil Bok-tan dige mbleng Thay-
siang, sebagai Pek-hoa-pangcu hanya dia seorang yang pernah
diajarkan ketiga jurus ilmu pedang naga terbang ini.
Gerak lurus meluncur ke depan ini adalah untuk mengejar musuh
yang melarikan diri, atau bila jarak kedua pihak terlalu jauh untuk
dijangkau pedang, tapi baik mengejar musuh atau menubruk maju
dengan serangan dari atas, jurus ini tetap merupakan serangan
lihay yang me matikan.
Ci Hwi-bing adalah ahli pedang, waktu di Hoa-keh-ceng dulu, dia
pernah merasakan kelihayan jurus pedang ini, kini melihat Bok-tan
me lancarkan serangan ini, hawa pedangnya tampak lebih keras dan
kuat, keruan hatinya terkesiap, pelan2 dia menarik napas, seluruh
kekuatan dia pusatkan ke lengan, baru saja dia akan angkat senjata
balas menyerang, tak nyana Bok-tan yang meluncur datang tahu2
seperti berhenti di tengah jalan, serangan pedangpun telah
dilancarkan dengan cahayanya yang terang.
Di mana sinar terang menyambar, laksana kilat cepatnya, jeritan
orang segera me lengking, salah seorang baju hita m yang
mengeroyok Ban Jin-cun tahu2 terkapar mati dengan pinggang
putus, darah muncrat berceceran. Sinar pedang ternyata tidak
berhenti, dengan kecepatan yang tidak berkurang tetap menerjang
ke arah Ci Hwi-bing..
Ci hwi-bing sadar kena dikecoh Bok-tan, untuk me mbantu Ban
Jin-cun sengaja Bok-tan menantang dirinya, padahal sasaran utama
adalah kedua jago pedang baju hitam ana k buahnya yang
mengroyok Ban Jin-cun itu.
Keruan tidak kepalang marah Ci Hwi-bing, tapi iapun seorang
yang cerdik, licik dan licin, me lihat Bok-tan tetap menerjang dirinya,
tapi jurus ini terang sudah banyak berkurang kekuatannya. Atau
dengan kata lain, Bok-tan hanya mau me nggertak dengan jurus
lanjutan "naga terbang keluar dari mega" ini, padahal untuk
menyerang dan merobohkan dirinya orang harus melancarkan jurus
kedua. Untung dia sudah kerahkan setaker tenaga di lengan untuk
menghadapi serangan Bok-tan, cuma belum se mpat dilancarkan.
Kini kebetulan malah dengan ke kuatan yang segar ini untuk
menundukkan serangan lawan yang sudah kehabisan tenaga.
Kesempatan baik ini tida k di sia2kan, sebelum Bok-tan menginja k
tanah dia mendahului menghardik: "Perempuan hina, lihat pedang."
- Pedang segera menabas.
Jurus ini dilancarkan dengan sekuat tenaga, menurut
perhitungannya, serangan ini dilancarkan dikala lawan berada pada
posisi yang kepepet, betapapun tinggi ilmu silat Bok-tan juga pasti
kelabakan, umpa ma tidak bisa me mbunuhnya seketika, paling tida k
akan me mbikin orang terluka parah.
Tak terduga dikala serangan dia lancarkan, Bok-tan yang
me luncur t iba dan be lum lagi ka ki menyentuh tanah, badannya tiba2
me layang naik pula dengan sekali pusaran, betapa indah dan
gemulai gerak tubuhnya, pedang di tangan mengikuti putaran
tubuhnya me mbawa lingkaran sinar ke milau, sebaris cahaya pedang
segera bentrok dengan tabasan pedang Ci Hwi-bing. "Tring", suara
nyaring senjata beradu me mekak telinga.
Ci Hwi-bing merasakan pedangnya seperti sekaligus dipukul
delapan batang pedang, betapapun tinggi Lwe kangnya, tak urung
seluruh lengannya terasa ke meng. Padahal hanya barisan sinar
pedang bagian depan saja yang tertangkis buyar oleh sapuan
pedang Ci Hwi-bing, sisa cahaya di se kelilingnya masih tetap
berhamburan laksana ombak menggulung mangsanya.
Keruan kaget Ci Hwi-bing, ke mbali dia sadar telah kena tipu
muslihat Bok-tan. Nyata Bok-tan sekaligus secara berantai telah
me lancarkan Hwi-liong-sa m-sek, gerak pedangnya sambung
menya mbung, setelah dia me lancarkan Sin-liong-jut-hun, dika la
gerakannya menjadi la mban dan seperti ha mpir kehabisan tenaga,
dia susuli pula dengan jurus kedua Liong-jan-ih-ya. Jurus kedua ini
merupakan gerakan menghadapi serangan lawan, bila musuh hanya
seorang, segera jurus ini dike mbangkan dan musuh pasti terkurung
dalam cahaya pedangnya.
Untuk menangkis dan balas menyerang terang tidak se mpat lagi
bagi Ci Hwi-bing, dalam sibuknya mendadak dia menggentak kedua
kaki, ia me lompat mundur ke belakang dan berusaha lari masuk ke
Hwi- liong-koan.
Kejadian bagai percikan api cepatnya, tahu2 dia melejit mundur
lolos dari libatan sinar pedang musuh, tapi tiba2 dia rasakan kedua
kakinya silir2 dingin, ternyata kedua kakinya sudah terpapas putus
oleh tajam pedang musuh, dengan mengeluarkan jeritan, panjang
badannya terjungkir balik ke dala m pintu batu.
Bok-tan me lejit me mburu ke depan orang, dengan tertawa dingin
sambil menudingkan ujung pedang: "Ci Hwi bing, ke mana pula kau
mau lari?"
Dika la Bok-tan me mburu maju, tiba2 Ci Hwi-bing ayun telapak
tangan menghanta m batok kepala sendiri, seketika kepalanya
hancur dan nyawapun me layang.
Sementara itu Liang Ih-jun juga telah berhasil merobohkan
lawannya, Hiat-ing-ci dengan gaya ti-punya yang aneh berhasil
menutuk Thian-toh-hiat lawan, tanpa mengeluarkan suara laki2 baju
hitam itu roboh tak bernyawa.
Kini tinggal kedua jago pedang baju hitam, melihat Nao Sa m jun
binasa, Ci Hwi bing mati bunuh diri, mana kedua orang ini berani
bertempur lagi, mulut sama bersiul saling me mberi tanda terus
me lompat mundur hendak melarikan diri.
Orang yang melawan Kho Keh-hoa berlalu ter-gesa2, mungkin
karena terlalu tegang dan ketakutan, dikala me lompat mundur paha
kanannya tergores luka oleh pedang kutung Ko Keh-hoa, ma ka
langkahnya jadi sempoyongan. Ko Keh-hoa menubruk maju sambil
susuli dengan tabasan. dengan telak dada orang telah dikoyaknya,
orang itu menjerit ngeri, setelah ter-guling2 dan berkelejetan,
akhirnya jiwapun me layang.
Laki2 yang bertempur melawan Ban Jin-cun sudah tentu semakin
ketakutan, dia coba menyerang dengan gerak gertakan, sebat sekali
dia putar tubuh terus lari, tak tahunya belum lagi dia sempat angkat
langkah seribu, dilihatnya Liang Ih-jun sudah mencegat di
belakangnya, jengeknya dingin: "Kau masih mau lari ke mana?"
pelan2 jarinya bergerak, jari tangannya yang merah tahu2
me mapak mukanya. Keruan orang itu mengkeret kaget, belum
sempat dia pikir, pedang Ban Jin-cun sudah a mbles di
punggungnya. Kejadian hanya berlangsung beberapa kejap saja Nao Sam jun,
Ci Hwi-bing dan kelima jago pedang telah dibinasakan. Kini tingga l
Hwi-liong-koancu Oh Coan-oh dan kedua laki2 pe mbawa la m-pion
yang masih berdiri terlongong seperti patung, bergerakpun tida k
berani, pecah nyali mereka.
Yong King-t iong pandang mayat Ci Hwi-bing dengan terharu,
katanya sambil menghela napas: "Ci Hwi-bing adalah laki2 sejati,
sayang dia mene mpuh ja lan yang salah."
Bok-tan melenga k, katanya: "Kalau Wanpwe tahu dia punya
persahabatan akrab dengan paman, pasti t idak kubinasakan dia."
Yong King tiong menggeleng, katanya: "Tidak, dulu dia me mang
salah satu panglima bersamaku, keadaan me maksa dia menyerah
pada kerajaan, tapi perbuatannya beberapa tahun terakhir ini
me mang pantas dia mme mperoleh ganjarannya, cuma Lohu sendiri
tidak tega turun tangan." -Sampai di sini tiba2 dia berpaling,
bentaknya ke-reng: "Oh Coan oh!"
Oh Coan oh tersentak kaget, ter-sipu2 dia menghormat, "Hamba
di sini." "Apa yang Lohu katakan tadi kau masih ingat?"
"Ya, hamba masih ingat, masih ingat," sahut Oh Coan-oh dengan
menyengir. "Baik sekali, sekarang lekas kau lepaskan orang2 Pek-hoa pang
yang terperangkap di dala m Hwi-liong-koan."
Terunjuk sikap serba salah pada muka Oh Coan-oh, katanya
takut2: "Pesan engkau orang tua pasti a kan ha mba laksanakan,
cuma . . . . . cuma. . . . . . "
"Cuma apa?" bentak Yong King tiong dengan tatapan tajam.
Bergidik Oh Coan-oh, dia munduk2 dan menjawab: "Kau orang
tua harap jangan marah, hamba perlu me mberi sedikit penjelasan"
"Baik, coba katakan, lekas!"
"Dala m Hwi-liong-koan terdapat tujuh puluh dua kamar batu,
keadaan ka mar di dala m tidak jauh berbeda dengan lorong2 sesat,
bila masuk ke sana seketika akan kehilangan arah, makin putar
kayun semakin tersesat, bila tiada orang yang tahu seluk beluk di
dalam, sela manya takkan bisa keluar. Orang Pek hoa pang
semuanya berkepandaian tinggi, Nao-tongcu pernah utus puluhan
jago pedang masuk ke sana untuk me mancing mereka masuk
perangkap lalu akan dibekuk satu persatu, tak nyana jago2 pedang
yang masuk beruntun mengala mi kekalahan yang mengenaskan,
tiada seorangpun yang keluar lagi, karena kewalahan terpaksa Nao-
tongcu mengubah siasat, hamba diperintahkan untuk me matikan
jalan keluarnya, supaya mereka mati ke laparan di da la m, padahal
setiap kamar batu itu saling bergandengan dan tembus kian ke mari,
entah orang2 Pek-hoa-pang kini berada di mana" Ka lau ha mba
masuk pasti akan menimbulkan salah paham, lebih baik engkau
orang tua mengutus satu-dua orang yang kenal dengan orang2 Pek-


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hoa-pang dan ikut ha mba masuk ke sana untuk menolong mere ka."
"Yong-lopek," kata Kun gi, "biarlah Wanpwe saja yang masuk,
kalian harap tunggu di sini saja."
"Biar kuiringi Ling-heng masuk ke sana" seru Bok- tan.
"Ha mba saja ikut masuk," kata Liang Ih jun.
"Tak usahlah, kau tunggu di sini, sudah ada Oh-koancu sebagai
penu Kisah Si Bangau Putih 9 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Jodoh Rajawali 20
^