Sepasang Pedang Iblis 1

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Sepasang Pedang Iblis
karya Kho ping hoo
Kuil tua itu berdiri di tepi Sungai Fen-ho, di lembah antara Pegu-nungan Tai-hang-san dan
Lu-liang-san, di sebelah selatan kota Taigoan. Sunyi sekali keadaan di sekitar tempat itu,
sunyi dan kuno sehingga kuil yang amat kuno dan sudah bobrok itu cocok sekali dengan
keadaan alam yang sunyi dan liar di sekelilingnya. Biasanya, kuil ini kosong dan bagi yang
percaya, tempat seperti itu paling cocok menjadi tempat tinggal setan iblis dan siluman.
Akan tetapi, pada sore hari itu, ke-adaan di sekeliling kuil tampak amat menyeramkan
karena ada bayangan-ba-yangan yang berkelebatan, begitu cepat gerakan bayangan-
bayangan itu sehingga agaknya iblis-iblis sendiri yang sedang sibuk mengadakan persiapan
sesuatu. Akan tetapi kalau diperhatikan, bayangan-bayangan itu sama sekali bukanlah setan
melainkan manusia-manusia, sung-guhpun manusia-manusia yang menyeram-kan karena
mereka yang berjumlah lima orang itu bertubuh tinggi besar, bersi-kap kasar dan berwajah
liar. Gerakan mereka tidak seperti orang biasa, karena selain cepat juga membayangkan
kekuat-an yang jauh lebih daripada manusia-manusia biasa. Golok besar yang terselip di
punggung dan golok lima orang tinggi besar itu menandakan bahwa mereka adalah orang-
orang yang sudah biasa mempergunakan kekerasan mengandalkan ilmu silat dan senjata
mereka. Memang sesungguhnyalah bahwa lima orang tinggi besar ini bukan orang-orang
sembarangan. Mereka adalah lima orang bajak laut yang sudah terkenal bertahun-tahun
lamanya menjadi setan sungai Fen-ho. Kepandaian mereka amat tinggi ka-rena mereka ini
yang berjuluk Fen-ho Ngo-kwi (Lima Iblis Sungai Fen-ho) ada-lah anak buah yang sudah
menerima gemblengan dari mendiang Kang-thouw-kwi Gak Liat, datuk iblis yang terkenal
dengan nama poyokan Setan Botak itu! Sejak tadi lima orang ini berkelebatan di sekitar kuil
tua, seperti hendak menyelidiki keadaan kuil yang sunyi dan kelihatan kosong itu.
"Twako, tidak kelirukah kita" Apa-kah benar kuil ini yang dimaksudkan dalam pesan Gak-
locianpwe?" Tiba-tiba seorang di antara mereka, yang mempu-nyai tahi lalat besar di
dagunya, ber-tanya kepada orang tertua di antara mereka yang matanya besar sebelah.
"Tidak salah lagi," jawab orang ter-tua Fen-ho Ngo-kwi yang usianya kurang lebih lima puluh
tahun itu sambil me-mandang ke arah kuil tua. "Satu-satu-nya kuil tua di tepi Sungai Fen-ho
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
1 di daerah ini hanya satu inilah. Akan tetapi sungguh heran, mengapa kelihatan sunyi dan
kosong?" "Lebih baik kita serbu saja ke da-lam!" kata Si Tahi Lalat sambil men-cabut goloknya.
Twakonya mengangguk dan mereka semua sudah mencabut golok, siap untuk menyerbu.
Pimpinan rombongan itu menggerakkan tangan kepada adik-adiknya dan berkata, "Kau
masuk dari pintu be-lakang, dan kau dari jendela kiri, kau dari jendela kanan, seorang
menjaga di luar dan aku yang akan menerjang dari pintu depan!" Mereka berpencar,
gerak-an mereka gesit dan ringan sekali. Kuil itu telah dikurung. Pemimpin itu mem-beri
isarat dengan tangan dan mereka menyerbu memasuki kuil dari empat ju-rusan.
Tiba-tiba tampak sinar-sinar hitam menyambar dari depan dan belakang kuil. Sinar-sinar
hitam ini adalah sen-jata-senjata rahasia berbentuk bintang terbuat dari baja. Lima orang
tinggi besar kaget sekali, cepat menggerakkan golok mereka menangkis.
"Cring-cring-tranggg....!" Terdengar suara nyaring dan golok mereka itu pa-tah semua,
disusul suara jerit lima orang itu yang tak dapat lagi menghindarkan diri dari sambaran
senjata-senjata rahasia bintang yang luar biasa kuatnya itu. Me-reka roboh dengan dahi
pecah karena masing-masing terkena senjata rahasia yang menancap di antara alis mereka.
Tubuh mereka berkelojotan, mulut me-reka mengeluarkan suara mengorok dan akhirnya
tubuh mereka berhenti ber-gerak, tak bernyawa lagi. Hanya darah mereka yang bergerak
mengucur keluar dari dahi!
Dari belakang dan depan kuil ber-lompatan keluarlah dua orang kakek sambil tertawa-tawa.
Dilihat keadaan mereka yang bertubuh kurus seperti ku-rang makan, pantasnya mereka
adalah orang-orang yang lemah. Namun, dengan senjata rahasia sekali lepas dapat
me-robohkan dan menewaskan lima orang bajak Fen-ho Ngo-kwi, menjadi bukti bahwa dua
orang ini tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Begitu mudahnya
mereka mem-hunuh anak buah dan juga murid-murid mendiang datuk sesat Kang-thouw-
kwi, benar-benar sukar dipercaya!
"Heh-heh, Sute, orang-orang kasar macam ini berani bersaing dengan kita! Sungguh
menjemukan!" kata kakek yang mukanya begitu kurus sehingga seperti tengkorak dibungkus
kulit tipissaja. Ia bertolak pinggang memandang mayat-mayat para bajak setelah melompat
dengan gerakan seperti terbang cepatnya.
Kakek ke dua yang tadi bersembunyi di belakang kuil, juga melompat cepat dan ia
membelalakkan kedua matanya yang begitu sipit sehingga ia kelihatan selalu tidur
memejamkan mata. "Tentu masih ada lagi saingan lain, Suheng. Bu-kankah Pangcu
berpesan agar kita hati-hati" Pesanan itu menandakan bahwa di sini tentu terdapat banyak
lawan pan-dai." katanya, juga bertolak pinggang. Tampak pada lengan kanan kedua orang
kakek ini lukisan kecil berbentuk naga yang agaknya dicacah pada kulit lengan mereka.
"Heh-heh, Sute! Siapa sih orangnya yang berani menentang Thian-liong-pang" Selama
negeri dalam perang, kita tidak bergerak akan tetapi memupuk kekuatan sehingga kalau
partai-partai lain hancur dan rusak oleh perang, partai kita ma-lah makin kuat. Sekarang
tibalah saat-nya Thian-liong-pang memperlihatkan taringnya! Pangcu menginginkan bocah
itu, siapa yang akan berani menentang?"
Si Mata Sipit mengangguk-angguk. "Engkau benar, Suheng. Keinginan Pang-cu kita
merupakan keputusan yang tak boleh ditentang siapapun juga. Yang me-nentangnya berarti
mati, seperti lima orang kasar ini. Thian-liong-pang adalah partai terbesar dan terkuat di
dunia un-tuk masa kini."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
2 "Awas, Sute....!" Tiba-tiba Si Muka Tengkorak berseru dan keduanya cepat mengelak,
dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan bergulingan karena secara tiba-tiba sekali
ada enam buah hui-to (golok terbang) yang kecil akan te-tapi yang menyambar amat cepat
dan kuatnya, masing-masing tiga batang me-nyambar ke arah leher, ulu hati, dan pusar
mereka! Jalan satu-satunya hanya mengelak seperti yang mereka lakukan tadi karena untuk
menyambut hui-to-hui-to yang meluncur secepat itu, sungguh amat berbahaya sekali.
Dua orang anggauta Thian-liong-pang itu amat lihai, sambil bergulingan mereka
menggerakkan tangan dan meluncur-lah sinar-sinar hitam dari senjata raha-sia bintang
mereka ke arah datangnya hui-to tadi. Senjata rahasia mereka itu tadi sudah terbukti
keampuhannya ketika merobohkan lima orang Fen-ho Ngo-kwi. Akan tetapi betapa terkejut
hati me-reka ketika melihat betapa enam buah hui-to yang luput menyerang mereka tadi kini
terbang kembali amat cepat-nya dan dari samping enam golok kecil itu menyambari bintang-
bintang mereka. Terdengar suara keras disusul bunga api berhamburan dan enam batang
golok kecil bersama bintang-bintang baja itu runtuh semua ke atas tanah. Biarpun dua orang
anggauta Thian-liong-pang yang terkejut menyaksikan ini, namun hati mereka lega bahwa
bintang-bintang baja mereka ternyata tidak kalah kuat sehingga hui-to-hui-to itu pun runtuh,
tanda bahwa tenaga mereka tidak kalah oleh tenaga lawan yang belum tampak. Me-reka
segera meloncat bangun dan Si Ma-ta Sipit memaki,
"Keparat curang, siapa engkau?"
Dari balik rumpun muncullah seorang laki-laki dan seorang wanita sambil ter-senyum
mengejek. Laki-laki itu usianya ada empat puluh tahun, berjenggot dan kumisnya kecil
panjang, bajunya berle-ngan lebar. Yang wanita juga berusia empat puluh tahun lebih,
rambutnya di-ikat dengan saputangan sutera putih, juga lengan bajunya lebar. Yang amat
mengerikan pada dua orang ini adalah warna kulit mereka. Yang wanita kulit-nya, dari
mukanya sampai kulit lengan-nya, berwarna jambon kemerahan, sedangkan yang laki-laki
kulitnya berwarna ungu kebiruan! Sungguh sukar mencari orang berkulit dengan warna
seperti itu, seolah-olah kulit tubuh mereka itu dicat! Yang luar biasa sekali, bukan hanya
ku-lit, bahkan mata mereka pun berwarna seperti kulit mereka!
"Ha-ha-ha, tidak salah, tidak salah! Kabarnya orang-orang Thian-liong-pang amat sombong,
dan ternyata ucapan me-reka besar-besar. Ha-ha-ha!" Laki-laki berkulit
"Gentong kosong berbunyi nyaring, orang bodoh bermulut besar. Apa aneh-nya?" Wanita
berkulit jambon itu me-nyambung, bersungut-sungut dan meman-dang kepada dua orang
murid Thian-liong-pang dengan pandang mata meren-dahkan.
Dua orang murid Thian-liong-pang itu memandang kepada mereka dengan mata terbuka
lebar. Yang menarik perhatian mereka adalah warna-warna kulit laki-laki dan wanita itu,
kemudian Si Muka Tengkorak berkata, suaranya masih mem-bayangkan rasa kaget dan
heran. "Ji-wi.... Ji-wi.... dari Pulau Nera-ka....?"
Kini kedua orang laki perempuan itu yang terbelalak dan heran, lalu mereka saling pandang.
Kemudian laki-laki ber-muka ungu itu menghadapi kedua orang Thian-liong-pang dan
menjura, "Ahh, kiranya Thian-liong-pang memiliki mata yang tajam sekali. Pantas terkenal
se-bagai partai besar! Kami tidak pernah turun ke dunia ramai, kini sekali muncul Ji-wi telah
dapat mengenal kami. Sungguh mengagumkan sekali!" Dia lalu me-ngeluarkan suara yang
aneh, nyaring se-kali dan terdengar seperti suara burung. Dari dalam hutan di belakangnya
ter-dengar suara siulan yang sama dan tak lama kemudian tampaklah belasan orang
berlarian datang ke tempat itu seperti terbang cepatnya. Setelah dekat, dua orang Thian-
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
3 liong-pang memandang de-ngan mata terbelalak karena kulit belas-an orang ini pun aneh
sekali, delapan orang berkulit hitam dan delapan orang pula berkulit merah tua!
Si Muka Tengkorak lalu bersuit nya-ring dan dari sebelah belakangnya muncul pula
serombongan anak buah Thian-liong-pang yang berjumlah dua puluh orang! Kedua
rombongan kini berhadap-an dengan sikap siap siaga menanti pe-rintah bertanding. Akan
tetapi, kakek muka ungu itu tertawa dan berkata lagi,
"Ha-ha-ha, kiranya Thian-liong-pang juga sudah siap! Tidak usah khawatir, kami mendapat
perintah agar tidak me-mancing pertempuran dengan fihak lain, apalagi dengan fihak Thian-
iiong-pang. Kami datang hanya untuk menjemput anak yang berada di dalam kuil."
"Nanti dulu, sobat!" Si Muka Teng-korak berkata. "Kami pun menerima tugas dari Pangcu
(Ketua) kami untuk mengambil anak yang berada di dalam kuil. Dan Thian-liong-pang tidak
ingin bermusuhan, apalagi dengan fihak Ji-wi, karena sudah menjadi cita-cita Thian-liong-
pang untuk bersahabat dan menya-tukan semua partai persilatan."
"Hemmm, bagus sekali omongan itu, akan tetapi apakah cocok dengan bukti-nya" Kami
melihat sendiri keganasan Sin-seng-ci (Peluru Bintang Sakti) mem-bunuh lima orang ini," Si
Muka Ungu mencela.
Murid Thian-liong-pang mengangkat pundak dan mengerling ke arah mayat lima orang Fen-
ho Ngo-kwi dengan sikap tak acuh. "Mereka hanyalah bajak-bajak sungai yang hina, tidak
masuk hitungan. Apalagi mereka itu merupakan golongan yang patut dibasmi. Harap Ji-wi
dapat mengerti dan membedakan."
"Sudahlah!" Si Wanita bermuka jambon mencela. "Kami tidak peduli akan semua urusan
kalian. Kami datang hendak me-ngambil anak itu. Marilah Suheng, kita lekas melaksanakan
tugas!" Ia sudah bergerak maju hendak memasuki kuil.
"Eh, eh, nanti dulu, Toanio!" Kini Si Mata Sipit maju menghalang. "Terang bahwa Thian-
liong-pang tidak ingin ber-musuh, akan tetapi agaknya dalam urus-an ini di antara kita ada
pertentangan. Kami pun bertugas untuk mengambil bocah itu."
"Bagus! Kalau begitu, kiranya hanya kekerasan yang akan dapat memberes-kan
pertentangan ini!" Wanita bermuka jambon itu membentak. Suhengnya juga memandang
marah dan enam belas orang anak buah mereka semua sudah men-cabut pedang.
"Srat-srat-sratttt!"
"Sing-sing-sing!" Dua puluh orang anak buah Thian-liong-pang juga sudah mencabut
pedang dan golok.
Dua orang murid Thian-liong-pang itu kelihatan bingung, lalu mengangkat ta-ngan memberi
isarat kepada pasukan mereka untuk mundur, kemudien Si Muka Tengkorak menjura dan
berkata kepada dua orang aneh yang mereka anggap tokoh-tokoh dari Pulau Neraka itu.
"Harap Ji-wi menghindarkan pertem-puran yang tidak perlu. Memang kita se-mua sebagai
utusan-utusan harus melak-sanakan tugas kita, dan kita masing-masing dua orang
merupakan penanggung jawab yang tidak perlu menarik anak buah dalam pertempuran."
"Hemm, maksudmu bagaimana?" tanya wanita bermuka jambon menantang.
"Kita mewakili partai-partai besar dan sekarang perselisihan ini dapat di-bereskan secara
orang-orang gagah."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
4 "Maksudmu sebagai orang-orang ga-gah mengadu ilmu?" tantang Si Wanita.
"Begitulah. Kita dua lawan dua, siapa kalah harus mengalah dan memberikan anak dalam
kuil kepada yang menang. Setuju?"
"Akur! Majulah!" Si Wanita menan-tang.
Dua orang Thian-liong-pang itu saling pandang, kemudian mengangguk. Si Muka
Tengkorak memandang ke sekeliling. Ke-dua pasukan sudah mundur jauh dan setengah
bersembunyi di dalam cuaca yang sudah mulai gelap. "Tempat ini kurang lega untuk
bertanding, biar kusingkirkan pohon-pohon ini!" katanya dan ia menghampiri sebatang pohon
yang besarnya sepelukan orang. Dengan gerakan seenak-nya ia mendorong dan pohon itu
tumbang, mengeluarkan suara hiruk-pikuk.
"Benar, harus disingkirkan pohon-po-hon ini!" kata Si Mata Sipit dan dia pun menghampiri
sebatang pohon, melakukan dorongan seperti suhengnya. Sebentar saja enam batang
pohon sudah mereka tumbangkan!
Para anggauta Thian-liong-pang bar-sorak memberi semangat sedangkan para anak buah
yang mukanya berwarna hitam dan merah itu memandnng tar-belalak, kagum akan kekuatan
hebat dua orang Thian-liong-pang itu. Akan tetapi, laki-laki bermuka ungu dan wanita
bermuka jambon itu tertawa mengejek.
"Batu-batu ini pun menghalang gerakan pertandingan!" kata Si Wanita muka jambon dan
kakinya perlahan menendang, akan tetapi batu yang sebesar anak kerbau itu terbang seperti
sepotong batu kerikil dilempar saja. Suhengnya juga melakukan ini dan sebentar saja ada
delapan buah batu beterbangan! Anak buah mereka kini bersorak-sorak dan giliran anak
buah Thian-liong-pang yang bengong dan ngeri hatinya. Betapa kuat kedua orang aneh itu!
"Bagus! Tempat telah menjadi luas, sebelum cuaca gelap mari kita mulai!" kata Si Mata Sipit
dan seperti dikomando saja, empat orang itu telah saling se-rang dengan hebat. Keempat
orang ini tidak memegang senjata dan hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat kepandaian
mereka sudah amat tinggi. Pukulan dan tendangan kaki mereka jauh lebih ber-bahaya
daripada sambaran pedang atau golok, dan angin menderu ketika mereka saling pukul
sehingga rumput dan daun pohon bergoyang seperti diamuk badai!
Wanita muka jambon bertanding me-lawan Si Muka Sipit. Ternyata tenaga Si Mata Sipit
lebih besar sehingga wanita itu tidak berani langsung menangkis atau mengadu lengan,
akan tetapi wanita itu memiliki gerakan ilmu silat yang aneh, juga gerakannya jauh lebih
cepat se-hingga pertandingan itu amat seru. Di lain fihak, pertandingan antara Si Muka
Tengkorak dan Si Muka Ungu lebih hebat lagi karena tenaga mereka seimbang. Berkali-kali
mereka keduanya terdorong mundur, akan tetapi secepat kilat sudah maju lagi dan
melanjutkan pertandingan mereka.
Pada waktu itu, memang Thian-liong-pang merupakan sebuah partai yang baru muncul
sejak bangsa Mancu menyerang ke selatan. Selama perang berlangsung, Thian-liong-pang
tidak mau melibatkan diri, bahkan diam-diam memupuk tenaga mereka dan memperdalam
ilmu silat. Puluhan tahun yang lalu, Thian-liong-pang yang berpusat di Yen-an, di kaki Lu-
liang-san sebelah barat, Thian-liong-pang menjadi sebuah partai golongan hitam,
diselewengkan oleh ketuanya di waktu itu yang berjuluk Sin-seng Losu (Kakek Bintang Sakti)
dengan murid-muridnya yang jahat sebanyak dua belas orang berjuluk Cap-ji-liong (Dua
Belas Ekor Naga). Akan tatapi, semenjak Thian-liong-pang dikuasai oleh cucu ka-kek itu
sendiri, seorang laki-laki gagah perkasa bernama Siangkoan Li, maka Cap-ji-liong kembali
ke jalan lurus. Ten-tang Siangkoan Li ini dapat dibaca da-lam cerita "Mutiara Hitam".
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
5 Kemudian bertahun-tahun Thian-liong-pang diketuai oleh orang-orang yang gagah perkasa
dan tinggi ilmu silatnya. Ilmu silat me-reka itu adalah ilmu keturunan dari dua orang kakek
sakti yang setengah gila, yaitu Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Makin lama ketua-
ketua mereka yang merupakan murid-murid Siangkoan Li, memperdalam ilmu kesaktian dari
kedua orang kakek sakti itu sehingga kini para pimpinan Thian-liong-pang merupakan orang-
orang yang berilmu tinggi sekali. Dua orang ini saja hanya merupakan tokoh tingkat lima,
namun ilmu kepandaian mereka sudah hebat se-kali.
Adapun dua orang tokoh Pulau Neraka itu lebih hebat lagi. Tingkat mereka masih amat
rendah di kalangan penghuni Pulau Neraka yang merupakan keluarga besar orang-orang
aneh. Warna-warna pada muka mereka menandakan bahwa tingkat mereka masih rendah,
namun toh mereka sudah dapat mengimbangi ilmu dari kedua orang tokoh Thian-liong-pang
tingkat lima! Anak buah Pulau Ne-raka semua kulitnya berwarna hitam atau merah. Warna
hitam merupakan tingkat paling rendah, lalu disusul merah sebagai tingkat lebih tinggi,
kemudi-an biru, ungu, hijau dan jambon. Makin terang warna itu, makin tinggilah ting-kat
kepandaiannya! Namun pada masa itu, Pulau Neraka merupakan kabar angin atau setengah
dongeng saja karena sudah ratusan tahun tidak pernah muncul. Na-ma Pulau Neraka
disejajarkan dalam ra-hasia dan keanehannya dengan Pulau Es, bahkan lebih tua lagi! Dua
orang tokoh Thian-liong-pang itupun hanya mende-ngar "dongeng" dari ketua mereka,
ten-tang warna-warna aneh kulit para peng-huni Pulau Neraka maka tadi mereka dapat
menduga tepat! Pertandingan masih berlangsung de-ngan hebatnya, dan tak seorang pun di antara mereka
pada saat-saat yang amat berbahaya bagi nyawa mereka itu ingat akan anak yang mereka
jadikan rebutan dan yang menjadi bahan pertandingan-pertandingan itu, bahkan yang
menyebab-kan kematian lima orang Fen-ho Ngo-kwi! Siapakah anak itu"
Bocah itu adalah seorang anak laki-laki yang berwajah tampan, bermuka bulat dengan kulit
putih bersih, sepasang matanya lebar bening penuh keberanian, berusia kurang lebih lima
tahun! Sudah lebih dari tiga bulan anak itu hidup se-orang diri di dalam kuil tua! Benar amat
mentakjubkan keberanian anak ini. Tadi-nya dia tinggal bersama ibunya di kuil ini, akan
tetapi semenjak ibunya pergi meninggalkannya beberapa bulan yang lalu, dia hidup seorang
diri di tempat sunyi ini. Namun dia tidak pernah me-nangis, tidak pernah mengeluh, mencari
makan seadanya, bahkan kadang-kadang kalau dia tidak bisa mendapatkan buah-buahan
atau tidak dapat menangkap bi-natang, ia hanya makan daun-daun muda ditambah air
gunung! Akan tetapi kalau ada binatang kelinci lewat, tentu bina-tang itu dapat ia bunuh


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan sambit-an batu karena anak ini pandai menyam-bit, dan tenaganya mengagumkan.
Tidak-lah aneh kalau diketahui bahwa semenjak kecil ia digembleng oleh ibunya yang sakti.
Ibunya merupakan seorang murid Siauw-lim-pai yang berhasil mencuri ilmu-ilmu aneh dari
Siauw-lim-pai, mem-pelajari ilmu-ilmu aneh ini secara me-ngawur sehingga mempengaruhi
jiwanya, membuatnya setengah gila. Kegilaannya ini bukan semata karena dia keliru
mem-pelajari ilmu-ilmu rahasia dari Siauw-lim-pai, melainkan terutama sekali kare-na
tekanan jiwanya ketika dia dahulu di-cemarkan oleh mendiang datuk sesat Kang-thouw-kwi
Gak Liat Si Setan Botak (baca ceritaPendekar Super Sakti). Nama wanita ini adalah Bhok
Khim, da-hulu merupakan seorang di antara Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam)
tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan dia berjuluk Bi-kiam (Pedang Cantik)!
Di dalam ceritaPendekar Super Sak-ti telah dituturkan bahwa Bhok Khim yang
meninggalkan puteranya di kuil tua itu pergi mancari Gak Liat dan berhasil membalas
dendam dengan membunuh Setan Botak, akan tetapi dia sendiri pun tewas oleh musuh
besar yang memperkosanya itu (bacaPendekar Super Sakti).
Demikianlah, anak kecil berusia lima tahun itu kini berada di dalam kuil, dan semenjak tadi
dia mengintai dari dalam kuil menyaksikan semua peristiwa yang terjadi di luar kuil. Dia
melihat kamati-an Fen-ho Ngo-kwi yang mengerikan, kemudian menyaksikan pertandingen
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
6 antara dua orang tokoh Thian-liong-pang melawan dua orang tokoh Pulau Neraka. Anak ini
amat cerdik, dari percakapan itu tahulah dia bahwa semua orang di luar itu memperebutkan
dia! Akan teta-pi dia tidak tahu mengapa dan juga di dalam hatinya dia tidek berpihak
kepada siapa-siapa, hanya ingin melihat siapa di antara mereka yang paling lihai. Ibu-nya
juga seorang berilmu tinggi, maka karena sejak kecil dikenalkan dengan ilmu silat, kini
sepasang matanya yang bening dan tajam itu menonton pertan-dingan dengan hati amat
tertarik. Cuaca menjadi semakin gelap dengan datangnya malam akan tetapi pertanding-an antara
dua orang jagoan itu masih berlangsung seru. Masing-masing telah terkena pukulan dua tiga
kali dari lawan akan tetapi mereka belum ada yang ro-boh dan masih terus bertanding terus,
biarpun napas mereka mulai terengah dan uap putih mengepul dari kepala mereka.
"Omitohud....! Mengapa kalian bertan-ding mati-matian di sini" Apa yang telah terjadi?"
Tiba-tiba terdengar teguran di-barengi munculnya seorang hwesio yang tinggi kurus. Hwesio
ini kurus sekali dan wajahnya selalu muram tampaknya, namun suaranya penuh wibawa.
Akan tetapi empat orang yang te-ngah bertanding, tidak mempedulikannya dan hwesio ini
menarik napas panjang.
"Aaahhh, jalan damai banyak sekali, me-ngapa menempuh jalan kekerasan yang hanya
akan membahayakan keselamatan" Kepandaian Cu-wi yang tinggi ini pasti dipelajari susah
payah sampai puluhan tahun, apakah hanya akan digunakan un-tuk mengadu nyawa?"
Setelah berkata demikian, hwesio ini melangkah maju, kedua tangannya dikembangkan ke
kanan kiri dan.... empat orang yang sedang ber-tanding itu tiba-tiba terhuyung mundur oleh
dorongan tenaga dahsyat, namun sukar ditahan! Otomatis pertandingan ter-henti dan empat
orang itu dengan napas sengal-sengal memandang kepada hwesio yang amat tua dan kurus
itu. "Maaf, maaf, pinceng terpaksa meng-hentikan pertandingan. Ada urusan da-pat
didamaikan. Mengapa kalian begini mati-matian hendak saling bunuh?"
"Losuhu siapakah?" Si Muka Tengko-rak bertanya, sikapnya menghormat ka-rena dia
maklum bahwa hwesio itu ada-lah seorang berilmu yang amat lihai.
"Pinceng adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai. Mengapa Sicu berdua bertanding
dengan mereka?" Diam-diam Siauw Lam Hwesio terkejut menyaksikan warna kulit dua
orang tokoh Pulau Nera-ka yang biarpun cuaca mulai gelap ma-sih tampak warna mereka
yang menyolok mengingatkan dia akan "dongeng" tentang penghuni Pulau Neraka!
Si Muka Tengkorak menjura penuh hormat lalu berkata, "Kiranya Losuhu adalah seorang
tokoh sakti dari Siauw-lim-pai. Kami berdua adalah utusan-utus-an Thian-liong-pang dan
kedua orang sa-habat ini pun utusan-utusan dari Pulau Neraka." Mendengar ini, hwesio tua
itu tercengang dan ia kembali memandang kedua orang itu dengan penuh perhatian. Hatinya
bertanya-tanya. Kalau begitu, benarkah dongeng yang didengarnya ten-tang Pulau Neraka"
Kalau mereka itu sudah turun ke dunia ramai, bersama de-ngan turunnya tokoh-tokoh Thian-
liong-pang yang kabarnya tidak lagi mau ber-uruaan dengan dunia ramai, tentu dunia ini
akan menjadi benar-benar ramai!
"Mengapa Cu-wi bertempur?"
"Kami sama-sama memenuhi tugas untuk menjemput anak laki-laki yang berada di dalam
kuil. Karena bertentangan oleh tugas yang sama, terpaksa kami hendak menentukan dalam
pibu (adu ke-pandaian) yang adil."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
7 "Omitohud! Betapa anehnya dunia ini....!" Hwesio tua itu berkata. Dia ada-lah Siauw Lam
Hwesio. Seorang hwesio tua yang kedudukannya tidak penting di Siauw-lim-pai. Akan tetapi
dia adalah seorang yang sakti, karena selama puluh-an tahun dia menjadi pelayan Kian Ti
Hosiang, supek dari Ketua Siauw-lim-pai yang memiliki ilmu seperti dewa! "Lama sekali
pinceng mengikuti jejak murid perempuan Siauw-lim-pai dan akhirnya di tempat ini untuk
mengambil putera-nya yang ditinggalkan! Anak itu adalah putera dari Bhok Khim, seorang
murid Siauw-lim-pai. Tentu saja hanya Siauw-lim-pai yang berhak untuk mendidiknya. Harap
Cu-wi menghentikan pertempuran dan membiarkan pinceng sebagai hwesio Siauw-lim-si
untuk membawanya pulang ke Siauw-lim-si." Setelah berkata demi-kian, hwesio itu dengan
tenang melang-kah menuju ke kuil.
"Tahan....!" Teriakan ini keluar dari empat buah mulut tokoh-tokoh yang ta-di saling serang
dan berbareng mereka memberi tanda dengan tangan kepada anak buah mereka. Dari
tempat persem-bunyian mereka, enam belas orang anak buah Pulau Neraka dan dua puluh
orang rombongan Thian-liong-pang itu bergerak cepat sekali mendekati kuil. Hwesio tua itu
memandang penuh perhatian, agak-nya siap untuk menolong anak di dalam kuil kalau
orang-orang itu menggunakan kekerasan. Akan tetapi, rombongan Thian-liong-pang itu sibuk
melempar-lemparkan benda hitam di seputar kuil. sedangkan anak buah Pulau Neraka
me-lempar-lemparkan cairan merah di sepu-tar kuil. Begitu benda cair yang mereka
siramkan itu mengenai tanah, mengepul-lah asap kemerahan yang berbau harum bercampur
amis! Sementara itu, anak laki-laki yang se-jak tadi memandang dari dalam kuil, ketika
menyaksikan betapa hwesio tua dapat menghentikan pertandingan dengan mudah, mengerti
bahwa hwesio kurus kering itu sakti sekali, maka hatinya condong untuk ikut dengan hwesio
itu yang dianggapnya peling lihai di antara orang-orang aneh yang berada di luar kuil. Lebih-
lebih lagi ketika ia mende-ngar keterangan hwesio itu bahwa ibunya adalah anak murid
Siauw-lim-pai, hal ini tak pernah diceritakan ibunya, dan bah-wa hwesio itu adalah seorang
tokoh Siauw-lim-pai, tentu saja ia memilih hwesio itu. Ketika melihat bahwa banyak orang
melempar-lemparkan benda hitam dan cairan merah yang kini mengepul-kan asap dan
tanah yang tersiram benda cairan itu mengeluarkan suara mendesis-desis seperti mendidih,
ia cepat keluar dari dalam kuil dan muncul di depan.
"Berhenti....!" Hwesio tua itu cepat menggerakkan tangan kirinya, mendorong ke depan, ke
arah anak yang muncul itu. Jarak antara dia dan anak itu ma-sih jauh, akan tetapi angin
dorongan tangannya membuat anak itu terjeng-kang dan jatuh terlentang kembali ke dalam
kuil. "Anak, jangan keluar, berba-haya sekali! Asap itu beracun!" teriak Siauw Lam Hwesio
dan bocah yang ternyata cerdik ini segera mengerti dan kembali ia bersembunyi di dalam
kuil sambil mengintai dari tempatnya yang tadi.
Siauw Lam Hwesio mengeluh, "Omi-tohud, alangkah kejinya!" Ia kini dapat melihat jelas
bahwa benda-benda hitam itu adalah senjata-senjata rahasia ber-bentuk bintang yang
berduri runcing se-kali dan kini benda-benda itu bertebaran di sekeliling kuil, menghalang
jalan ma-suk dalam jarak lebar. Mengertilah ia bahwa benda-benda itu tentulah
mengan-dung racun pula dan amat runcing sehingga akan menembus sepatu. Sedikit saja
kulit terluka oleh benda-benda ini, tentu akan menimbulkan bahaya kemati-an! Adapun
benda cair yang dapat "membakar" tanah dan mengeluarkan asap kemerahan berbau harum
amis itu pun merupakan racun yang berbahaya. Jalan menuju ke kuil itu terhalang oleh
racun-racun yang lihai!
"Omitohud....! Kalian ternyata meng-andung niat buruk dan berkeras hendak menghalangi
pinceng mengambil putera keturunan murid Siauw-lim-pai itu. Hemm...., baiklah, kita sama
melihat saja siapa yang akan dapat mengambil anak itu sekarang!" Setelah berkata
de-mikian hwesio kurus ini duduk bersila menghadap kuil, jelas bahwa biarpun sikapnya
tenang namun ia sudah meng-ambil keputusan untuk merintangi siapa saja memasuki kuil!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
8 Sementara itu, malam telah tiba dan rombongan Thian-liong-pang memisahkan diri, berada
di sebelah kiri, sedangkan rombongan Pulau Neraka berada di sebelah kanan. Agaknya
mereka itu tidak ada yang berani turun tangan lebih dulu karena sama-sama maklum bahwa
pihak lain tentu akan merintangi mereka me-ngambil anak yang berada di dalam kuil! Kalau
saja tidak muncul hwesio Siauw-lim-pai yang lihai itu, tentu terja-di pertempuran di antara
mereka, mem-perebutkan anak tadi! Akan tetapi kini mereka tahu bahwa siapa pun yang
turun tangan lebih dulu, tidak hanya akan menghadapi rombongan lawan, melainkan juga
menghadapi hwesio yang mereka tahu tak boleh dipandang ringan. Maka mereka diam saja
mengatur siasat sam-bil membuat api unggun dan berbisik-bisik mengatur dan mencari
siasat! Api unggun mereka bergerak-gerak seperti tertiup angin, padahal tidak ada angin bertiup
sedikit juga. Selagi kedua rombongan itu terbelalak kaget, tiba-tiba muncul seorang laki-laki
yang ke-adaannya amat menyeramkan hati mere-ka. Laki-laki itu masih muda, berwajah
tampan akan tetapi sebelah kakinya, yang kiri buntung! Laki-laki itu tahu-tahu telah berdiri di
situ, bersandar pa-da tongkat bututnya dan yang amat mengherankan adalah rambutnya
yang dibiarkan riap-riepan, akan tetapi ram-but yang tebal panjang itu berwarna pu-tih
semua! Orang-orang kedua rombongan ini ada-lah orang-orang yang selama bertahun-tahun tidak
pernah terjun ke dunia ra-mai, maka mereka tadi tidak mengenal Siauw Lam Hwesio dan
tidak mengenal pula siapa gerangan pemuda berkaki bun-tung itu. Padahal pemuda ini jauh
lebih terkenal daripada hwesio Siauw-lim-pai itu, karena dia ini bukan lain adalah Suma Han
atau Pendekar Super Sakti, atau juga terkenal dengan sebutan Pen-dekar Siluman oleh
mereka yang pernah menjadi korban kesaktian dan ilmu sihir-nya yang mengerikan!
Para pembaca cerita "Pendekar Super Sakti" tentu telah tahu betapa di dalam hidupnya
yang kurang lebih dua puluh lima tahun itu, pendekar ini mengalami banyak sekali tekanan
batin dan yang terakhir sekali batinnya amat tertekan dan kesengsaraan serta
kekecewaan-nya dalam hidup membuat rambutnya semua menjadi putih! Kini datang untuk
memenuhi permintaan mendiang Bhok Khim pada saat wanita itu akan mele-paskan napas
terakhir. Bhok Kim telah meminta kepadanya agar Pendekar Super Sakti atau Pendekar
Siluman ini suka merawat dan mendidik puteranya yang ditinggalkan di kuil tua ini!
Di dalam bagian terakhir cerita "Pen-dekar Super Sakti" telah diceritakan be-tapa Suma Han
ini setelah melaksanakan pernikahan adik angkatnya, Lulu yang menikah dengan Hoa-san
Gi Hiap Wan Si Kiat, lalu pergi meninggalkan dunia ra-mai untuk merantau dan berusaha
melu-pakan segala pengalaman hidupnya yang penuh derita batin. Akan tetapi ia tidak
melupakan pesan Bhok Kim, maka ia la-lu menuju ke tempat yang dikatakan oleh Bhok Kim
dalam pesan terakhirnya. Akan tetapi betapa heran hatinya ketika ia melihat dua rombongan
orang berada di tempat itu dan lebih-lebih lagi herannya ketika ia mengenal hwesio tua kurus
kering yang duduk bersila di depan kuil. Ia mengenal hwesio ini ketika dahulu bersama adik
angkatnya ia mengunjungi kuil Siauw-lim-si, bertemu dengan hwesio sakti Kian Ti Hosiang
dan pelayannya, yaitu Siauw Lam Hwesio yang kini du-duk bersila di tempat itu! Sejenak
pen-dekar berkaki buntung ini menyapukan pandang matanya ke arah kuil dan keningnya
berkerut ketika ia melihat sen-jata-senjata rahasia dan kepulan-kepulan asap kemerahan
yang dapat ia lihat di bawah sinar api unggun kedua rombongan. Akan tetapi ia lalu
menghampiri Siauw Lam Hwesio, menjura dan berka-ta.
"Maaf, kalau saya tidak salah menge-nal, bukankah Locianpwe ini Siauw Lam Hwesio dari
Siauw-lim-si?"
Hwesio tua itu bersila sambil sama-dhi memejamkan kedua matanya, namun seluruh panca
inderanya ia tujukan untuk menjaga kuil sehingga setiap gerakan ke arah kuil pasti akan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
9 diketahui olehnya. Maka dapat dibayangkan betapa kaget-nya ketika tahu-tahu ada suara
orang menegur di depannya, padahal dia sama sekali tidak mendengar gerakan orang
datang, apalegi sampai mendekatinya! Hal ini saja dapat dibayangkan betapa hebat
kemajuan yang didapat pendekar ini semenjak dia mengunjungi Siauw-lim-si beberapa tahun
yang lalu. Dan memang tidak mengherankan apabila gerakannya begitu halus dan ringan
karena Pende-kar Super Sakti tni bergerak dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun!
Mula-mula Siauw Lam Hwesio tidak mengenal Suma Han. Dahulu, ketika pendekar itu
mengunjungi Siauw-lim-si, pe-muda itu belum buntung kaki kirinya. Akan tetapi, karena
kunjungan pemuda itu amat mengesankan dan karena wajah dan rambut panjang itu hanya
berubah warnanya, Siauw Lam Hwesio segera merangkap kedua tangan di depan dada dan
berkata penuh takjub.
"Omitohud....! Terpujilah nama Buddha yang Maha Pengasih! Kiranya Sicu ber-ada di sini
pula" Dan kaki kiri Sicu...." Ah, syukurlah.... sungguh pinceng ikut merasa bahagia melihat
kaki kiri Sicu sudah buntung!"
Ucapan hwesio itu cukup lantang dan karena keadaan di situ amat sunyi, maka semua
orang kedua rombongan mende-ngar ucapan itu. Mereka saling pandang dan merasa heran,
diam-diam mereka menganggap betapa ucapan hwesio tua itu kurang ajar dan tidak patut.
Memang, bagi yang tidak mengerti, tentu saja amat tidak pantas mendengar orang merasa
bahagia melihat orang terbuntung kakinya! Suma Han, pendekar itu pun merasa heran, akan
tetapi sama sekali tidak tersinggung, hanya merasa heran mengapa hwesio tua ini mengerti
bahwa buntungnya kaki kirinya merupakan hal yang amat menguntungkan baginya! Ma-ka ia
pun segera menekuk lutut kaki tunggalnya dan duduk bersila di depan hwesio itu sambil
bertanya, "Locianpwe! Bagaimana Locianpwe tahu akan keadaan kaki saya?"
Hwesio itu tersenyum dan memandang pendekar sakti itu. "Lupakah Sicu akan pesan
mendiang Kian Ti Hosiang?"
"Aahhhhh....! Locianpwe yang sakti itu telah meninggal dunia" Sungguh saya merasa
menyesal sekali....!"
"Omitohud....! Mengapa, Sicu" Beliau telah bebas daripada kesengsaraan, me-ngapa
disesalkan" Tentu Sicu masih ingat betapa dahulu Beliau memberi na-sihat kepada Sicu
agar membuntungi ka-ki kiri Sicu, bukan" Nah, setelah Sicu pergi, pinceng tidak dapat
menahan keheranan hati dan mengajukan pertanyaan yang hanya dapat dijawab singkat
oleh Kian Ti Hosiang bahwa kalau kaki kiri Sicu tidak dibuntungi, Sicu takkan dapat berusia
panjang....! Maka, pinceng seka-rang ikut merasa bahagia melihat beta-pa Sicu telah
diselamatkan daripada an-caman bahaya maut."
Suma Han mengangguk-angguk dan memuji. "Betapa sakti mendiang Kian Ti Hosiang!
Betapa tajam penglihatan-nya, sungguh saya merasa kagum sekali. Sekarang, bolehkah
saya bertanya menga-pa Locianpwe berada di sini" Dan Siapa pula kedua rombongan itu"
Dan keadaan di sekeliling kuil itu" Apa yang telah terjadi, Locianpwe?"Hwesio tua itu
menghela napas pan-jang. "Ruwet sekali, Sicu....! Putera se-orang murid Siauw-lim-pai
berada di da-lam kuil dan sudah menjadi tugas pin-ceng untuk merawat dan mendidiknya.
Akan tetapi ternyata rombongan-rom-bongan dari Thian-liong-pang dan Pulau Neraka
datang pula dengan niat yang sama, yaitu mengambil anak itu sesuai dengan perintah
Ketua-ketua mereka. Entah mengapa mereka hendak mengam-bil anak itu. Mereka lalu
mengurung kuil dengan racun dan kami semua mengambil keputusan untuk mencegah
ma-sing-masing mengambil anak itu. Susah-nya, pinceng tidak mau menggunakan
kekerasan karena pinceng tidak ingin menarik Siauw-lim-pai bermusuhan de-ngan Thian-
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
10 liong-pang maupun Pulau Ne-raka." Dengan singkat Siauw Lam Hwesio menuturkan
peristiwa yang terjadi
Suma Han mendengarkan penuh kehe-ranan. Kemudian ia berkata lirih agar tidak terdengar
oleh orang-orang di kedua rombongan, "Locianpwe, terus te-rang saja, kedatangan saya ini
pun dengan maksud untuk mengambil anak itu, putera mendiang Bhok-toanio."
Hwesio itu terkejut, memandang tajam akan tetapi jantungnya berdebar aneh ketika
pandang matanya bertemu dengan pandang mata pendekaritu. Ia bergidik. Pandang mata
pendekar ini benar-benar hebat, bukan seperti mata manusia! "Me-ngapa, Sicu?" tanyanya
lirih. "Saya datang atas permintaan Bhok-toanio sendiri dalam pesannya terakhir." Suma Han lalu
menceritakan pesanan Bhok Khim kepadanya setelah wanita itu tidak berhasil meninggalkan
pesan kepada kedua orang suhengnya yaitu Khu Cen Thiam dan Liem Sian.
Siauw Lam Hwesio mengangguk-ang-guk dan mencela murid-murid Siauw-lim-pai itu.
"Mereka terlalu dipengaruhi pe-rasaan, tidak ingat lagi akan perikemanusiaan. Betapa
bodohnya dan pinceng memuji kemuliaan hati Sicu. Kalau begi-tu, baiklah, biar anak itu ikut
bersama Sicu."
"Tidak, Locianpwe. Setelah Locian-pwe berada di sini, sudah sepatutnya kalau putera Bhok-
toanio itu ikut bersa-ma Locianpwe. Saya sendiri hidup sebatangkara, miskin papa tidak
mempunyai rumah. Saya khawatir kalau-kalau anak itu hanya akan menderita dan terlantar
bersama saya. Sebaiknya dia ikut dengan Locianpwe agar mendapat didikan yang baik dan
kelak bisa menjadi seorang ma-nusia yang berguna. Pula, Bhok-toanio menyerahkan anak
itu kepada saya ha-nya karena terpaksa dan di sana tidak ada orang lain lagi. Locianpwe
atau le-bih tepat Siauw-lim-pai lebih berhak atas diri anak itu."
Hwesio tua itu mengangguk-angguk. "Sicu benar. Anak keturunan orang itu perlu sekali
mendapat didikan yang be-nar agar tidak menjadi seorang sesat se-perti.... darah
keturunannya. Akan tetapi, bagaimana pinceng dapat mengambil anak itu tanpa menanam
permusuhan dengan mereka?" Hwesio itu memandang ke arah dua rombongan.
Ucapan terakhir hwesio itu tentang darah keturunan sesat, menikam ulu hati Suma Han.
Akan tetapi hanya sebentar karena perasaan tertusuk ini segera tenggelam dan lenyap
dalam kekosongan hatinya. Dia pun seorang yang mempu-nyai darah keturunan sesat,
bahkan nenek moyangnya, bangsawan yang ber-she Suma, terkenal sebagai orang-orang
jahat! Dia kini menoleh ke arah dua rombong-an, melihat betapa pemimpin kedua
rom-bongan itu, yang terdiri dari dua orang duduk bercakap-cakap di dekat api ung-gun
masing-masing sedangkan anak buah mereka membuat api unggun sendiri da-lam jarak


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang agak jauh, siap menanti perintah mereka.
"Harap Locianpwe jangan khawatir. Saya mempunyai akal untuk mengundur-kan mereka."
"Sicu, ingat. Pinceng tidak menghen-daki kekerasan, apalagi penumpahan da-rah.
Kehidupan putera Bhok Khim tidak boleh dimulai dengan penumpahan darah dan
pembunuhan!"
Suma Han tersenyum, mengangguk. "Saya mengerti, Locianpwe. Harap Lo-cianpwe
menyerahkan hal ini kepada sa-ya." Ia lalu bangkit berdiri dan berjalan terpincang-pincang
meninggalkan hwesio itu yang memandang bengong melihat pemuda itu lenyap ditelan
kegelapan ma-lam.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
11 Dua orang Thian-liong-pang duduk di depan api unggun, membicarakan pemu-da berkaki
tunggal yang pergi terpin-cang-pincang dan lenyap dalam gelap. Si Muka Tengkorak berkata
lirih. "Seba-iknya dia pergi. Aku sudah khawatir ka-lau-kalau dia membantu Si Hwesio."
"Hemm, bocah berkaki buntung seper-ti itu bisa apakah" Andaikata membantu Si Hwesio
Siauw-lim-pai, seorang di an-tara anak buah kita tentu dapat membinasakannya!" kata Si
Mata Sipit. "Ahh, Sute. Jangan memandang ren-dah dia. Tidakkah kau melihat sinar ma-tanya tadi"
Hihhh, seperti mata setan! Dan rambutnya yang putih semua itu! Dia seperti siluman saja.
Ngeri aku me-lihatnya!"
"Ah, Suheng! Andaikata dia siluman sekalipun, aku tidak takut kepadanya! Kalau dia berani
muncul, kutabas batang lehernya dengan pedang ini!" Si Mata Sipit mengeluarkan sebatang
pedang yang tadi tidak dipergunakannya ketika meng-hadapi dua orang Pulau Neraka. "Dia
tentu bukan orang Siauw-lim-pai dan menurut pesan Pangcu, hanya orang-orang partai
besar saja yang harus kita indah-kan dan jaga jangan sampai kita bentrok dengan mereka.
Atau kubuntungi lagi ka-ki tunggalnya, hendak kulihat dia bisa berbuat apa?"
Tiba-tiba terdengar suara lirih di de-pan mereka, "Ha-ha-ha, aku memang si-luman.
Pendekar Siluman! Kalian mau bisa berbuat apa terhadap aeorang silu-man" Bocah itu
putera murid Siauw-lim-pai, harus ikut dengan hwesio Siauw-lim-si. Kalau kalian masih
banyak ribut, ku-telan kalian hidup-hidup!"
Dua orang itu terbelalak kaget. Sua-ra itu datang dari dalam api unggun! Mereka menatap
api unggun dan tampak oleh mereka betapa asap api unggun menebal, bergulung ke atas
dan.... asap tebal itu membentuk tubuh seorang rak-sasa! Makin lama makin jelaslah bentuk
itu dan muncullah seorang raksasa yang besarnya tiga empat kali ukuran manu-sia biasa,
raksasa yang wajahnya presis pemuda berkaki buntung tadi, kakinya buntung, tongkat butut
di tangannya, rambutnya riap-riapan putih dan kini "raksasa" itu mengulur tangan kanan
hendak menangkap mereka!
"Huuuuhhh....! Sii.... siluman....!" Si Mata Sipit terloncat kaget, lupa akan an-camannya,
bahkan pedangnya terlepas dari tangan yang menggigil.
"Siluman.... siluman raksasa....!" Si Mu-ka Tengkorak juga melompat bangun.
Mukanya sendiri seperti tengkorak, seper-ti siluman yang tentu akan menimbulkan rasa
ngeri di hati orang yang melihat-nya, akan tetapi kini dia berdiri terbelalak, kedua kakinya
menggigil. Kemudian kedua orang jagoan ini lari terbirit-birit diturut oleh anak buahnya yang
juga melihat "siluman raksasa" itu!
Keributan ini terdengar oleh rom-bongan Pulau Neraka. Mereka menjadi terheran-heran
melihat rombongan lawan itu lari pontang-panting sambil berteriak-teriak ada siluman!
Karena mereka ti-dak melihat sesuatu, mereka diam-diam mentertawakan rombongan
Thian-liong-pang yang mereka anggap pengecut dan penakut, seperti sekumpulan anak-
anak kecil yang ketakutan dan melihat yang bukan-bukan di dalam tempat sunyi itu.
"Hi-hik, sungguh lucu! Mereka itu mengaku sebagai orang-orang Thian-liong-pang dan
kabarnya Thian-liong-pang mempunyai banyak orang pandai. Seka-rang, di tempat sunyi ini
mereka keta-kutan dan lari karena melihat siluman?" Wanita bermuka jambon tertawa.
"Huh! Siluman" Kita dari Pulau Nera-ka sudah lama dianggap manusia-manu-sia siluman
maka tentu saja kita tidak takut siluman. Lebih baik lagi kalau mereka melarikan diri
sehingga pekerja-an kita menjadi ringan. Besok pagi kita harus dapat membawa lari anak itu
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
12 dari sini!" kata laki-laki muka ungu sambil menaruh lagi ranting kayu kering untuk
membesarkan api unggun.
"Tapi.... bagaimana dengan hwesio tua itu" Dia tentu akan merintangi kita dan tentu kita
akan mendapat teguran kalau kita terpaksa harus membunuhnya. Kalau tidak dibunuh,
bagaimana kita bisa mengambil bocah itu?" Sumoinya mem-bantah.
"Apa sukarnya" Kita boleh mengguna-kan akal. Dia hanya seorang diri, dan kita berjumlah
banyak. Kita atur begi-ni...." Dia kini bicara bisik-bisik. "Biar-lah besok kutantang dia. Dia toh
tidak akan dapat memasuki kuil. Kutantang dia bertanding, dan selagi aku melawan dia,
engkau bersama anak buah kita me-nyerbu ke kuil, membawa lari bocah itu!"
"Akan tetapi dia lihai sekali, Suheng. Bagaimana kalau Suheng kalah?"
"Kalau dia terlalu lihai, engkau mem-bantuku dan biar anak buah kita yang menyerbu ke
dalam kuil. Kita keroyok dia dan setelah bocah itu dapat diram-pas, kita tinggalkan dia. Apa
sukarnya?"
"Akan tetapi.... senjata-senjata rahasia kaum Thian-liong-pang itu. Berbahaya se-kali."
"Hemm, mereka telah lari cerai-berai. Kita berjumlah banyak. Suruh anak buah kita
membersihkan senjata-senjata rehasia yang tersabar di depan kuil. Besok setelah matahari
terbit, kita bergerak se-rentak dan pasti berhasil."
"Aihh, Suheng lupa akan bocah bun-tung tadi. Bagaimana kalau dia muncul?"
"Biarkan dia muncul! Kita takut apa" Sikapnya saja menyeramkan, akan tetapi bocah itu
bukan setan, hanya manusia biasa, manusia yang cacad pula. Dengan kakinya yang hanya
sebuah, dia bisa apa" Apakah engkau takut, Sumoi?"
"Aku" Takut" Hi-hi-hik! Lucu sekali, Suheng. Sejak kapan aku takut kepada bocah buntung
seperti dia itu?" Wanita muka jambon itu bangkit berdiri, mende-kati api unggun dan
membesarkan api unggun sambil berkata lagi, "untuk mem-buktikan bahwa aku tidak takut,
kalau benar dia berani muncul, akan kupeng-gal lehernya dan kubawa pulang kepala-nya
untuk hiasan dinding di kamarku...."
Tiba-tiba ia berhenti bicara, matanya terbelalak, tangannya masih memegeng ranting
membesarkan api, mulutnya ter-buka lebar. Juga suhengnya sudah me-loncat berdiri dan
memandang dengan mata terbelalak. Ternyata di atas api unggun telah berdiri pemuda
buntung yang mereka bicarakan tadi, akan tetapi pemuda buntung itu tubuhnya tinggi be-sar
seperti raksasa. Selagi kedua orang Pulau Neraka ini tertegun, terdengar "raksasa" itu
berkata, suaranya besar parau.
"Engkau akan menabas kepalaku dan hendak membawa kepalaku sebagai oleh-olah"
Untuk hiasan dinding kamar" Nah, ini kuberikan kepalaku kepadamu!" Rak-sasa itu
menjambak rambutnya sendiri, membetot dan.... kepala raksasa itu co-pot dan kini
tergantung di tangan kanannya yang diulur untuk menyerahkan ke-pala itu kepada wanita
bermuka jambon!
"Cel.... celaka.... ib.... iblisssss....!" Wanita itu melompat ke belakang, mena-han air
kencingnya yang hampir keluar saking takutnya. Suhengnya sudah mendahuluinya lari
terbirit-birit. Keduanya kini lari pontang-panting dan anak buah mereka juga lari sambil
berteriak-teriak karena mereka dikejar seorang raksasa yang memegangi kepalanya yang
copot! Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
13 Siauw Lam Hwesio hanya melihat be-tapa kedua rombongan itu secara aneh melarikan diri,
padahal dia hanya meli-hat Suma Han menghampiri mereka dan bicara lirih, Hwesio tua ini
sudah memi-liki banyak pengalaman, dan juga dia memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
Akan tetapi apa yang disaksikannya itu benar-benar membuat ia tidak mengerti, kagum dan
menarik napas panjang lalu berbisik,
"Omitohud....! Dia itu.... manusia ataukah siluman....?" Akan tetapi diam-diam ia merasa
bersyukur bahwa kedua rom-bongan itu telah pergi sehingga besok akan memudahkan
baginya membawa pergi putera Bhok Khim. Dia tidak bera-ni memasuki kuil malam itu
karena masih ada bahaya racun mengancam. Be-sok setelah matahari bersinar, baru ia
akan mencari akal untuk memasuki kuil dan menghindarkan diri daripada bahaya racun yang
mengancam. Dia tidak meli-hat Suma Han muncul lagi, maka diam-diam ia bersyukur dan
berterima kasih lalu melanjutkan samadhinya sambil me-masang perhatian kalau-kalau ada
musuh yang berniat buruk memasuki kuil ma-lam itu.
Akan tetapi malam itu tidak ada terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, ketika embun pagi
telah mulai terusir pergi oleh sinar matahari yang kemerah-an dan cuaca sudah mulai terang,
Siauw Lam Hwesio membuka matanya dan bangkit berdiri. Akan tetapi, suara di sebelah
belakang membuat ia menengok dan alangkah kecewa dan cemas hati hwesio ini ketika
melihat bahwa kedua rombongan dari Thian-liong-pang dan Pulau Neraka itu ternyata masih
berada di situ, biarpun kini dalam jarak yang agak jauh dan ternyata kedua rombong-an itu
kini menjadi satu! Agaknya, ke-duanya telah bicara tentang siluman dan bersepakat untuk
menghadapi rintangan menakutkan itu bersama! Kini, setelah malam terganti pagi dan
melihat hwesio tua telah bangkit berdiri, merekapun berindap-indap mulai mendekati kuil!
Melihat ini, Siauw Lam Hwesio ber-kata, "Apakah kalian masih belum mau pergi dan
membiarkan pinceng mengambil putera murid Siauw-lim-pai?"
Si Muka Tengkorak, tokoh Thian-liong-pang itu berseru, "Tidak bisa! Kami ti-dak boleh
membiarkan engkau mengambil anak itu!"
Laki-laki bermuka ungu juga berkata, "Losuhu, biarpun engkau dibantu siluman, kami tidak
takut! Kami bersama akan menghadapi siluman itu, baru kemudian kita bicara tentang anak
yang kita perebutkan!"
"Hemm, pinceng sebetulnya tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi
hendaknya kalian ingat bah-wa sekali ini, Siauw-lim-pai bertindak untuk urusannya sendiri
karena anak itu adalah anak dari murid Siauw-lim-pai, berarti masih keluarga Siauw-lim-pai.
Maka apabila pinceng mengambil anak itu dan Cu-wi menghalangi, berarti bah-wa Cu-wi
yang mencari permusuhan de-ngan Siauw-lim-pai, bukan pinceng yang sengaja
menimbulkan pertentangan!"
"Ha-ha-ha, Siauw Lam Hwesio. Sete-lah matahari bersinar dan tidak ada Pendekar Siluman
yang main sulap lagi, kini bicaramu lunak sekali. Siapa bica-ra tentang permusuhan antara
partai" Sekarang adalah urusan pribadi di antara kita! Siauw Lam Hwesio, aku
menantang-mu bertanding, apakah engkau berani?"
"Omitohud! Selamanya pinceng tidak pernah minta bantuan orang lain. Kalau semalam
kalian lari pontang-panting ka-rena Suma-sicu, hal itu adalah kehendak pendekar itu sendiri.
Dan selamanya pin-ceng tidak pernah mengadakan pibu de-ngan siapa juga. Sekarang
pinceng tidak ingin berurusan dengan kalian, baik atas nama partai maupun perorangan.
Pin-ceng hendak mengambil anak itu!"
"Eh, hwesio penakut! Aku menantang-mu, apakah kau tidak berani" Apakah keberanianmu
hanya mengandalkan Pen-dekar Siluman" Di mana dia sekarang" Seekor siluman akan lari
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
14 kalau melihat sinar matahari, apakah semalam itu bukan siluman ciptaan ilmu hitammu
sendiri!" Wanita muka jambon mengejek.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam kuil. "Siapa mencari Pendekar Siluman" Aku berada di
sini!" Tiba-tiba pintu kuil terbuka dan muncullah Suma Han, terpincang-pincang sambil
memondong se-orang anak laki-laki yang memandang ke-padanya dengan wajah berseri.
Suma Han terpincang-pincang sampai depan kuil, ditonton oleh semua orang yang
me-mandang terbelalak karena senjata-senja-ta rahasia itu masih bertebaran di situ dan
asap kemerahan masih mengepul tipis! Tiba-tiba Suma Han menggerak-kan kaki tunggalnya
dan bagi para anak buah kedua rombongan, tubuh pendekar kaki buntung itu lenyap. Akan
tetapi, dua orang tokoh Pulau Neraka dan dua orang tokoh Thian-liong-pang, juga Siauw
Lam Hwesio, melihat betapa pe-muda buntung itu mencelat ke atas ting-gi sekali, berjungkir
balik lima kali di udara melewati asap kemerahan dan me-luncur turun di dekat mereka tanpa
me-ngeluarkan suara sedikitpun.
"Hebat....! Menyenangkan sekali....!" Anak laki-laki dalam pondongan Suma Han yang diajak
mencelat tinggi lalu berjungkir balik lima kali itu tidak menjadi cemas, bahkan bertepuk-tepuk
ta-ngan dan bersorak kegirangan! Ia masih bersorak ketika Suma Han menurunkan-nya ke
atas tanah. "Siapa mencari aku" Aku Pendekar Siluman berada di sini! Dengarkanlah wahai kalian
orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka! Aku sama sekali bukan
pembantu Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai! Aku bertindak atas kehendakku sendiri dan
semua yang kulakukan adalah menjadi tanggung ja-wabku sendiri! Aku mengambil anak ini
dan kuserahkan kepada Siauw-lim-pai karena aku menganggap anak ini sudah seharusnya
ikut dengan Siauw-lim-pai. Kalau ada di antara kalian yang tidak menerima, jangan
menyalahkan Siauw Lam Hwasio, akan tetapi akulah yang ber-tanggun jawab!" Surna Han
lalu mandorong tubuh anak itu yang mencelat ke arah Siauw Lam Hwesio! Hwesio tua itu
menerimanya dan memondongnya.
"Tidak! Aku lebih suka ikut dengan-mu, Paman Buntung!" Bocah itu berkata.
"Hemm, dengarlah, anak baik! Ibumu adalah murid Siauw-lim-pai, maka sudah menjadi
kewajibanmu untuk belajar di Siauw-lim-pai, agar kelak menjadi seorang manusia yang
berguna. Jangan memban-tah lagi!" Di dalam suara Suma Han ter-kandung wibawa yang
membuat anak itu tidak berani lagi membantahnya. "Lo-cianpwe, harap membawa pergi
anak itu dan Lociapwe sudah tidak ada urusan la-gi dengan mereka ini. Sayalah yang
ber-tanggung jawab dalam urusan ini!"
"Omitohud....! Semoga Sang Buddha memberi bimbingan kepadamu, Suma-sicu," Siauw
Lam Hwesio lalu pergi dari situ sambil memondong anak itu, diikuti pandang mata semua
orang, namun tidak ada yang berani bergerak menghalanginya pergi.
Tiba-tiba dua orang Thian-liong-pang membentak marah dan kedua tangan mereka
bergerak. Melihat ini, dua orang Pulau Neraka juga menggerakkan tangan dan berhamburan
senjata-senjata rahasia berupa peluru-peluru bintang dan golok-golok terbang. Akan tetapi
tiba-tiba tu-buh Suma Han lenyap dari depan mata mereka. Ketika senjata-senjata itu su-dah
lewat dan golok-golok terbang sudah kembali ke tangan pemiliknya, kiranya tubuh pendekar
butung itu tadi mence-lat ke udara dan kini sudah kembali di tempatnya, berdiri tersenyum
pahit sam-bil bersandar pada tongkat bututnya!
"Serbu....!" bentak dua orang pimpinan rombongan Pulau Neraka.
"Tangkap!" pimpinan Thian-liong-pang juga memberi aba-aba kepada anak buah-nya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
15 Kini puluhan macam senjata bagaikan hujan menyerbu tubuh Suma Han. Pendekar ini
menggerakkan kakinya, tubuhnya mencelat ke sana sini, tong-katnya berkelebatan dan
terdengarlah bu-nyi nyaring berkali-kali susul-menyusul dan tampak senjata-senjata itu
beter-bangan dalam keadaan patah-patah.
Empat orang pimpinan kedua rom-bongan itu marah sekali, mereka maju serentak mengirim
pukulan dengan pe-ngerahan tenaga sin-kang mereka. Kini Suma Han mendorongkan
kedua tangan ke depan, mengempit tongkatnya dan empat orang itu terdorong mundur,
terhuyung-huyung akhirnya terbanting keras. Mereka merayap bangun dan wajah me-reka
berubah, gentar dan heran.
"Siapaka engkau, hai pemuda yang luar biasa?" Si Muka Tengkorak dari Thian-lion-pang
bertanya. "Namaku Suma Han!" jawab Pende-kar Sakti itu sambil tersenyum duka, sama sekali tidak
merasa bangga akan namanya.
"Engkau datang dari partai manakah dan siapa julukanmu" Kami perlu tahu untuk kami
laporkan kepada Ketua kami!" tanya tokoh Pulau Neraka yang bermuka ungu.
Suma Han memandang orang ini, ke-mudian memandang orang-orang dari Pu-lau Neraka
yang mukanya berwarna-warni itu. Dia tersenyum. Orang-orang ini adalah orang-orang aneh
sekali, ten-tu mempunyai ketua yang luar biasa pula. Tidak baik menanam bibit permu-suhan
dengan mereka, maka ia sengaja berkelakar,
"Kalian sudah tahu bahwa julukanku adalah Pendekar Siluman! Adapun partai-ku" Tidak
ada partai, tempatku adalah Pulau Es!"
Di luar sangkaan Suma Han, mende-ngar ini, rombongan muka berwarna itu mengeluarkan
seruan kaget sekali dan serentak dua orang pimpinan itu menjatuhkan diri berlutut di depan
Suma Han, diturut oleh semua anak buahnya. "Mohon diampunkan kelancangan hamba
sekalian yang tidak mengenal sehingga telah berani bersikap kurang ajar terha-dap To-cu
(Majikan Pulau) dari Pulau Es!"
Tentu saja Suma Han terkejut seka-li, akan tetapi hatinya girang karena hal itu berarti
bahwa sikap bermusuh mereka telah habis. "Sudahlah, harap kalian jangan bersikap
sungkan. Di an-tara kita tidak ada permusuhan apa-apa, dan kuharap saja di masa depan
kita tidak akan saling bentrok. Harap sampaikan salamku kepada Ketua Thian-liong-pang
dan juga Ketua Pulau Neraka. Selamat berpisah!" Setelah berkata demi-kian, Suma Han
sengaja mengerahkan kepandaiannya sehingga dalam sekejap mata saja tubuhnya
berkelebat dan le-nyap dari depan mereka semua. Para anak buah dua rombongan itu
bengong terheran-heran dan penuh kekaguman, apalagi kalau mereka teringat akan
pe-ristiwa malam tadi dan nama besar Pendekar Siluman mulai saat itu makin terkenal,
bahkan semenjak hari itu, Suma Han lebih dikenal sebagai Pendekar Siluman daripada
Pendekar Super Sakti!
*** "Adikmu yang seperti setan itu hanya mendatangkan malapetaka saja! Sungguh celaka!
Kalau tahu begini, sampai mati pun tidak sudi aku mengambil engkau menjadi isteriku!
Adikmu itu telah bera-ni melarikan Puteri Nirahai dari istana! Celaka, sekarang kita tentu
akan tertimpa bencana karena engkau adalah cici-nya!" Giam Cu, panglima tinggi besar
brawok itu menggebrak meja dan melo-tot kepada isterinya yang memandang-nya dengan
mata terbelalak dan air ma-ta bercucuran. Isterinya yang muda dan cantik itu adalah Sie
Leng, atau lebih tepat Suma Leng, kakak perempuan dan satu-satunya saudara kandung
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
16 dari Suma Han. Dalam cerita "Pedekar Super Sakti" telah diceritakan bahwa Suma Leng ini,
ketika masih dara remaja, telah diperko-sa dan diculik oleh panglima Mancu dan kemudian
diambil menjadi isterinya kare-na panglima itu ternyata jatuh cinta kepada karbannya ini.
"Kalau dia melarikan Puteri Nirahai, tentu ada sebab-sebabnya sendiri, sama sekali tiada
sangkut-pautnya dengan kita. Mengapa engkau ribut-ribut?" Suma Leng membantah, akan
tetapi ia menja-di cemas menyaksikan sikap suaminya kepadanya yang amat berubah ini.
Baru sekarang suaminya yang biasanya memperlihatkan sikap kasih sayang, kelihatan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

marah-marah dan sinar kebencian terpan-car dari mata
"Tiada sangkut pautnya katamu?" Panglima Giam Cu bangkit berdiri dan tinjunya
menghantam permukaan meja. "Brakkk!" Meja itu pecah-pecah menjadi beberapa potong!
"Semua orang tahu bahwa engkau adalah kakak siluman buntung itu! Maka tentu kita
sekeluarga akan dicap sebagai keluarga pemberontak jahat! Gara-gara engkau mempunyai
adik siluman, aku pun akan turut celaka pula." Wajah panglima itu menjadi pucat teringat
akan bahaya yang mengancam dirinya sendiri. "Kecuali kalau...."
Suma Leng mendapat firasat buruk, jantungnya berdebar ketika mendengar kalimat terakhir
yang tidak lengkap itu keluar perlahan-lahan dari mulut suaminya, dengan nada yang rendah
dan lirih. "....kecuali kalau apa....?" tanyanya. Akan tetapi pertanyaannya ini disusul jerit
mengerikan karena tiba-tiba berkelebat sinar menyilaukan dan tahu-tahu ujung pedang di
tangan Giam Cu telah menem-bus dada isterinya yang biasanya amat dicintanya itu!
Suma Leng terbelalak memandang suaminya, tangannya mendekap dada yang tertusuk
pedang. "Kau.... kau...." ia terengah-engah, terhuyung ke belakang.
Sedetik Panglima Giam Cu merasa menyesal, akan tetapi segera ditekannya dengan
keyakinan bahwa jalan ini terbaik baginya untuk menyelamatkan diri. "Terpaksa, demi
keselamatanku, demi Hong-ji (Anak Hong)...."
"Ibu....! Ibuuuuu....!" Seorang anak pe-rempuan berusia tiga tahun lebih berlari-lari dari
dalam. Seorang kanak-kanak memiliki perasaan yang amat tajam dan halus sekali apalagi
dengan ibunya, dia memiliki pertalian jiwa raga yang dekat sehingga anak perempuan yang
biasanya diasuh oleh para pelayan, kini seperti digerakkan sesuatu yang mujijat, meron-ta
dan berlari mencari ibunya!
"Kwi Hong....!" Suma Leng roboh sambil menyebut nama puterinya.
"Ibuuuu....!" Kwi Hong, bocah berusia tiga tahun lebih itu, memasuki kamar dan berlari
menghampiri ibunya. Akan tetapi tiba-tiba tangan Panglima Giam menyambar tengkuknya
dan bocah itu meronta dan menangis dalam pondongan ayahnya. "Aku mau Ibu....!
Lepaskan, akan turut Ibu....!"
"Husshh! Ibumu jahat dan nakal, eng-kau turut Ayah saja!" Panglima Giam Cu membentak
dalam usahanya menghi-bur anaknya secara kaku dan kasar.
"Tidakkkk....! Aku mau Ibu...., mau Ibu....!" Anak itu meronta-ronta.
"Kwi Hong.... Kwi Hong.... engkau.... hati-hatilah anakku.... ohhhh!" Suma Leng
menghembuskan napas terakhir dan ba-gaikan digerakkan sesuatu, anak itu menjerit dan
menangis sekerasnya.
"Diam! Kutampar engkau kalau tidak mau diam!" Giam Cu membentak akan tetapi anak itu
tetap menangis sehingga panglima yang kasar ini menjadi marah dan benar-benar
menampar pipi Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun lebih itu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
17 Para pelayan datang dan mereka terkejut menyaksikan nyonya majikan mere-ka
menggeletak di lantai dengan dada tertembus pedang dan tidak bernyawa lagi. Giam Cu
menerangkan. "Dia mem-bunuh diri karena malu mengingat adiknya Suma Han yang
menjadi siluman kaki buntung dan menimbulkan keributan di istana."
Para pelayan mengundurkan diri sam-bil memondong Kwi Hong dan ramailah berita tentang
kematian isteri panglima ini yang membunuh diri. Berita ini ten-tu saja terdengar oleh Kaisar
dan tepat seperti yang diperhitungkan Giam Cu, dia tidak diganggu oleh Istana berhu-bung
dengan perbuatan Suma Han yang melarikan Puteri Nirahai karena orang yang menjadi
kakak pemuda buntung itu telah membunuh diri!
Akan tetapi, tentu saja penghuni ge-dung panglima ini dapat menduga bahwa nyonya
majikan mereka sama sekali ti-dak membunuh diri, melainkan dibunuh oleh Giam-ciangkun.
Namun mereka ti-dak berani bicara tentang itu. Pula, andaikata Kaisar mendengar bahwa
ke-matian kakak perempuan Suma Han itu disebabkan oleh pembunuhan Giam Cu, hal ini
bahkan akan memperbesar kepercayaan pihak istana terhadap kesetiaan Giam Cu!
Kurang lebih empat bulan kemudian, pada suatu malam yang sunyi, menje-lang tengah
malam, Panglima Giam Cu terbangun dari tidurnya. Ia terkejut se-kali melihat bayangan
orang dalam ka-marnya. Cepat ia mendorong tubuh wa-nita muda yang montok dan hangat
itu, yang menjadi kekasihnya semenjak isterinva tewas, dan dengan hanya berpakai-an
dalam ia meloncat turun dari pemba-ringan. Dapat dibayangkan betapa kaget-nya ketika ia
mengenal orang yang ber-diri di dalam kamarnya itu, seorang laki-laki muda berkaki tunggal,
bertongkat, rambutnya riap-riapan berwarna putih semua. Suma Han! Memang benarlah.
Suma Han atau Si Pendekar Siluman yang berada di dalam kamar itu. Setelah ber-hasil
menyelamatkan putera Bhok Khim di kelenteng tua itu dan menyerahkan anak itu kepada
Siauw Lam Hwesio, pen-dekar ini diam-diam pergi ke kota raja untuk mengunjungi
encinya dan minta diri karena ia mengambil keputusan un-tuk pergi mencari Pulau Es dan
menghabiskan sisa hidupnya di tempat itu. Ia ingin bertemu dengan encinya untuk ter-akhir
kalinya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan duka hatinya mendengar bah-wa encinya itu
telah mati membunuh diri beberapa bulan yang lalu, yaitu bebe-rapa hari setelah ia
melarikan Puteri Nirahai dari penjara!
Karena merasa penasaran dan ingin menyelidiki, maka pada tengah malam itu Suma Han
mempergunakan kepandaian-nya memasuki kamar cihunya (kakak iparnya). Sebelum Giam
Cu hilang kaget-nya, Suma Han telah menggerakkan tongkat dan sekali totokan membuat
tubuh Giam Cu tak dapat digerakkan lagi. Wanita muda yang telanjang bulat itu terbangun
dan hendak menjerit, namun kembali Suma Han menotok sehing-ga wanita itu roboh lemas
kembali ke atas kasur.
Suma Han menatap wajah cihunya, kemudian terdengar suaranya lirih penuh wibawa yang
aneh, "Ceritakan sebab ke-matian Enci Leng!"
Seperti dalam mimpi, yang membuat ia ketakutan setengah mati, panglima itu mendengar
suaranya sendiri, suara yang agaknya tak dapat ia kendalikan dan kuasai lagi, yang bicara
tanpa dapat dicegahnya, "Dia mati kubunuh, kutusuk pedang dari dada tembus ke
punggungnya."
Suma Han memejamkan mata sejenak untuk "menelan" kemarahan yang menyesak dada,
kemudian membuka lagi matanya dan bertanya, "Mengapa engkau membunuhnya"
Bukankah engkau amat sayang sekali kepada Enci Leng?"
Seperti sebuah arca yang mendadak bisa bicara, terdengar panglima itu men-jawab, "Aku
masih sayang kepadanya.... tapi.... aku harus membunuhnya. Itulah jalan satu-satunya
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
18 bagiku untuk menye-lamatkan diri dari kemarahan Kaisar karena perbuatan adiknya. Aku
menyesal.... akan tetapi terpaksa....!"
Suma Han menarik napas panjang, kemudian berkelebat keluar dari kamar itu. Tak lama
kemudian, tampaklah tu-buhnya mencelat-celat di atas wuwung-an rumah-rumah kota raja
meloncati tembok kota keluar dari kota raja. Akan tetapi sekarang lengan kanannya
memondong seorang anak kecil yang terbung-kus selimut merah tebal. Seorang bocah yang
masih tidur, yakni Kwi Hong yang baru berusia tiga tahun lebih, tidur nye-nyak tidak tahu
bahwa dia telah dibawa pergi pamannya meninggalkan gedung ayahnya, meninggalkan kota
raja, bah-kan meninggalkan dunia ramai!
Memang, semenjak perbuatan terakhir yang kembali menggemparkan kota raja karena
semua orang menemukan Giam--ciangkun dalam keadaan berubah ingatan dan puteri
panglima itu lenyap sehingga orang-orang mulai menduga bahwa ini tentu perbuatan
Pendekar Siluman, di-perkuat oleh kesaksian selir panglima itu yang melihat laki-laki
buntung dalam kamar, semenjak itulah Suma Han lenyap dari dunia ramai. Akhirnya Kaisar
menghentikan usahanya untuk mencari pen-dekar ini, juga sudah putus harapan un-tuk
dapat menemukan kembali Puteri Nirahai yang hilang. Banyak sekali urus-an yang lebih
penting daripada hilang-nya puteri dari selir ini. Terutama sekali urusan penumpasan para
pemberon-tak di Se-cuan. Setelah berhasil menga-dakan persekutuan dengan Pangeran Kiu
yang bersaing dengan Raja Muda Bu Sam Kwi, dan bersekutu pula dengan Tibet, pasukan-
pasukan Mancu kembali melakukan penyerbuan dan tekanan--tekanan di Se-cuan terus-
menerus dilaku-kan. Pihak pejuang yang melawan keku-asaan pemerintah Mancu
melakukan per-lawanan mati-matian. Akan tetapi, berkat siasat yang dilakukan Puteri Nirahai
da-hulu, yaitu mendekati dan menjanjikan perdamaian dengan para tokoh kang-ouw, kini
perlawanan Bu Sam Kwi kehilangan bantuan orang-orang pandai dari dunia kang-ouw
sehingga makin lama pertahan-annya menjadi makin lemah.
Memang patut dikagumi keuletan pertahanan pihak Se-cuan yang pantang mundur. Bahkan
matinya Raja Muda Bu Sam Kwi masih belum meruhtuhkan se-mangat perlawanan pasukan
Se-cuan. Mereka terus mengadakan perlawanan gigih dan barulah setelah melakukan
perang lagi selama empat tahun lebih, pada tabun 1681 semua pertahanan dapat
dihancurkan dan Se-cuan dapat direbut oleh tentara Mancu. Dengan jatuhnya Se-cuan,
berhenti pula perang dan mulai saat itulah pemerintah Mancu dapat menguasai seluruh
Tiong-goan. Ternyata pemerintah Mancu di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi cukup bijak-sana dan
ternyata pula bahwa orang--orang Mancu tidak hanya pandai perang, melainkan pandai pula
mengatur peme-rintahan. Untuk menundukkan semangat perlawanan bangsa pribumi,
pemerintah mengadakan peraturan yang keras. Model pakaian diganti dan rakyat dianjurkan
bahkan kadang-kadang dengan kekeras-an, untuk merobah model pakaian Man-cu. Rambut
harus dibiarkan panjang dan dikuncir. Selain ini, diadakan pula la-rangan membawa senjata
tajam. Namun di samping kekerasan ini, pemerintah pun menjalankan siasat lunak yang
menye-nangkan hati rakyat. Korupsi dan penyu-apan diberantas, kejahatan dihukum ke-ras.
Pribumi yang memiliki kepandaian mendapat kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan
penting. Kebudayaan ditingkatkan dan dipelihara. Rakyat mu-lai merasa lega karena biarpun
negara dijajah bangsa asing, namun penghidupan mereka kini lebih tenteram dan
kesela-matan mereka terjamin. Terutama seka-li karena bangsa Mancu tidak mengang-gap
mereka sebagai pendatang atau orang asing, tidak mengangkut kekayaan di bumi yang
dijajah itu ke Mancu, me-lainkan melebur diri menjadi rakyat dari negara itu. Para pembesar
dan bangsa-wan mempelajari kebudayaan Tiongkok bahkan keluarga mereka mulai
berbicara dalam bahasa bangsa jajahannya ini.
Keadaan yang mulai tenteram inilah maka timbul kembali partai-partai persi-latan yang
tadinya tenggelam dan me-nyembunyikan diri. Karena sekarang tidak ada lagi "musuh
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
19 rakyat" yang harus mereka lawan dengan ilmu kepandai-an mereka, mulailah lagi timbul
penya-kit lama kaum kang-ouw ini, yaitu ber-lumba untuk menjagoi di dunia persilat-an!
Mulai kambuh kembali penyakit ingin mencari dan menguasai semua pusaka--pusaka
peninggalan tokoh-tokoh persilat-an yang sakti, memperebutkan pusaka--pusaka untuk
memperkuat kedudukan masing-masing agar dapat menjadi jago-an nomor satu di dunia
kang-ouw. Dalam pandangan kaum kang-ouw ini, pemerin-tah yang baru mendatangkan
kesan baik, maka sebagian ada yang menghambakan diri kepada pemerintah untuk
memperkokoh kedudukan dan kemuliaan. Namun, kaum persilatan yang memang berwatak
aneh itu merupakan petualang-petualang yang haus akan ketegangan-ketegangan, maka
lebih banyak lagi yang tidak mengikatkan diri dengan pemerintah dan hidup bebas seperti
yang ditempuh ne-nek moyang mereka di dunia kang-ouw.
Lima tahun telah lewat dengan aman dan tenteram. Tidak terjadi ketegangan di dunia kang-
ouw selama lima tahun itu. Namun ada terdengar berita bahwa terjadi perubahan-perubahan
yang amat hebat di dalam partai-partai besar. Agaknya partai-partai besar itu selama lima
tahun ini sibuk dengan urusan da-lam partai sendiri, tentang penggantian ketua, dewan
pimpinan dan lain-lain, ju-ga memperkuat kedudukan untuk meng-hadapi "sesuatu" yang
dibisik-bisikkan se-bagai hal amat gawat! Karena itu, di dalam ketenangan itu bersembunyi
sesua-tu yang sewaktu-waktu akan meledak di dunia kang-ouw! Api dalam sekam yang
setiap saat dapat berkobar! Bisul yang makin lama makin membesar, siap untuk pecah! Ada
terdengar berita bahwa kini para tokoh-tokoh besar di dunia kang--ouw mulai mengincar
kedudukan dan tingkat di dunia persilatan. Hal ini tidak mengherankan karena bukankah
tokoh--tokoh lama sudah lenyap dan banyak yang mengundurkan diri tanpa pamit" Akan
tetapi, semua orang kang-ouw tahu bahwa perebutan tingkat di dunia kang-ouw tidak kalah
ramainya dengan perebutan saingan sebuah kerajaan!
Selama lima tahun itu, Siauw-lim-pai juga mengalami kejadian-kejadian penting. Pertama
adalah meninggalnya Kian Ti Hosiang tokoh tertua dari Siauw-lim-pai, disusul setahun
kemudian de-ngan meninggalnya Ceng San Hwesio Ketua Siauw-lim-pai. Setelah dua orang
tokoh ini meninggal dunia, tidak ada lagi yang menjadi pimpinan yang dita-kuti, maka
terjadilah guncangan-guncang-an akibat perebutan kekuasaan dan anak muridnya terpecah
karena mempertahan-kan pilihan calon ketua masing-masing. Dan di dalam keributan dan
guncangan itu, Siauw Lam Hwesio turun tangan. Hwesio tua ini sebetulnya hanyalah
seorang hwesio yang kedudukannya rendah, dan tidak pernah mencampuri urusan partai.
Akan tetapi oleh kerena dia be-kas pelayan Kian Ti Hosiang dan semua hwesio tahu bahwa
Siauw Lam Hwesio mewarisi ilmu kepandaian Kian Ti Ho-siang sehingga jarang ada murid
Siauw-lim-pai lain yang mampu mengimbangi tingkatnya, maka ketika Siauw Lam Hwe-sio
turun tangan melerai, nasihatnya di-taati. Apalagi karena Siauw Lam Hwesio yang biasanya
pendiam dan sabar itu agaknya menjadi marah sekali menyaksi-kan perebutan kekuasaan
antara saudara seperguruan, sehingga terlontarlah kata--kata dan keputusannya.
"Tidak mau insaf jugakah kalian beta-pa nama kita sebagai pendeta-pendeta menjadi bahan
ejekan dan kecaman dunia" Betapa banyak orang-orang yang berpakaian seperti pendeta
namun kelakuannya amat jahat. Mereka itu sebetulnya hanyalah penjahat-penjahat yang
menyem-bunyikan diri dalam pakaian pendeta, akan tetapi perbuatan mereka itu telah
mencemarkan nama kita. Sekarang, kali-an sebagai pendeta-pendeta aseli, seba-gai
hwesio-hwesio murid Siauw-lim-si yang semenjak kecil digembleng dengan ilmu dan
kebatinan, ternyata masih ti-dak mampu menguasai nafsu akan kemu-liaan dan kedudukan
sehingga kedudukan ketua saja diperebutkan! Kalau begitu, apa artinya kalian menggunduli
rambut kepala" Apa artinya kepala gundul akan tetapi hatinya berbulu" Sungguh
mence-markan dan memalukan perbuatan kalian ini sehingga pinceng sendiri merasa ma-lu
untuk berpakaian pendeta dan meng-gunduli kepala. Nah, mulai sekarang bi-arlah aku tidak
menjadi pendeta lagi, kepalaku tidak gundul lagi agar jangan dikira aku pun seorang busuk
menyamar sebagai pendeta hwesio!" Setelah berka-ta demikian, Siauw Lam Hwesio
menge-luarkan ilmunya yang mujijat. Seluruh tubuhnya menggigil dan kulit tubuhnya
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
20 mengeluarkan keringat dan.... di permuka-an kepalanya yang gundul licin itu tiba--tiba
tumbuh rambut yang panjangnya ada dua senti! Juga ketika ia menggerakkan tubuh,
pakaian pendeta yang me-nempel di tubuhnya hancur berantakan!
Melihat kesaktian yang hebat ini, pa-ra murid Siauw-lim-pai tunduk dan da-patlah kini dipilih
seorang ketua baru tanpa adanya pertentangan. Anak laki--laki putera Bhok Kim yang
dibawa ke kuil Siauw-lim-si oleh kakek itu, kini telah menjadi muridnya dan tinggal pula di
Siauw-lim-si membantu pekerjaan gurunya sebagai pelayan. Semua hwesio di kuil itu
sayang kepada Bun Beng, de-mikian nama anak itu, karena bocah itu amat rajin dan
penurut, pula memiliki kecerdikan yang luar biasa dengan wa-jahnya yang tampan dan
sepasang mata-nya yang bening tajam.
Semenjak peristiwa hebat di mana Siauw Lam Hwesio menumbuhkan ram-butnya itu, dia
bersama Bun Beng masih tinggal di dalam kuil, di bagian belakang dan mengerjakan
pekerjaannya seperti biasa, membersihkan kuil, mengisi air, menyapu dan lain-lain, dibantu
muridnya. Pada malam itu, setelah makan malam dan mengaso, Bun Beng melihat wajah gurunya
muram. Gurunya memang tidak pernah berseri mukanya, akan te-tapi biasanya wajah
gurunya itu hanya dingin saja, tidak seperti malam ini je-las membayangkan kemuraman.
Kakek itu kini rambutnya telah panjang sam-pai lewat pundak, jenggot dan kumisnya juga
panjang. Rambut dan jenggot itu telah putih semua, seperti benang-benang perak, dan
pakaiannya sederhana sekali.
"Suhu, apakah yang mengganggu pikir-an Suhu?" Bun Beng bertanya ketika guru dan murid
ini duduk di atas pemba-ringan dalam kamar mereka.
Kakek yang kini tidak menggunakan sebutan hwesio lagi melainkan hanya Kakek Siauw
Lam saja, memandang mu-ridnya sambil menyembunyikan kekaguman hatinya dari sinar
matanya. Benar seorang bocah yang luar biasa, pikirnya. Selama lima tahun ini, dalam
pelajaran sastera semua kitab kuno yang berada di per-pustakaan kuil habis "dilahapnya",
sedangkan dalam pelajaran ilmu silat, bocah ini memiliki bakat yang mentakjubkan. Sekali
diajar terus dapat mengerti dan menguasai! Hal ini masih belum menga-gumkan hati kakek
Siauw Lam, yang mengagumkan hatinya benar-benar adalah pandangan yang amat luas
dari bocah ini. Usia Bun Beng baru sepuluh tahun lebih, akan tetapi bocah ini sudah dapat
mengerti bahwa saat itu dia sedang men-derita gangguan pikiran! Bukan main!
Kakek itu menarik napas panjang, lalu menjawab, "Betapa pikiran takkan terganggu kalau
menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan, muridku" Semenjak dunia berkembang,
manusia selalu men-jadi hamba dari nafsu mereka sendiri sehingga timbullah hal-hal yang
saling merugikan di antara manusia. Kita yang mempelajari ilmu silat, sedikit banyak
mempunyai pertalian dengan dunia persi-latan. Karena itu, mendengar akan ke-ruhnya dunia
kang-ouw pada saat ini, mau tidak mau hatiku menjadi pilu dan pe-nuh kekhawatiran akan
terjadi bentrokan-bentrokan hebat di antara para pende-kar sehingga akan mengorbankan
nyawa banyak orang gagah secara sia-sia bela-ka."
"Apakah yang terjadi di dunia kang-ouw, Suhu?"
Tampaknya memang aneh mendengar seorang kakek tua membicarakan urusan dunia
kang-ouw dengan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun lebih. Akan tetapi karena
Kakek Siauw Lam maklum bahwa Bun Beng bukanlah bocah biasa, tanpa ragu-ragu lagi ia
lalu bercerita,
"Dunia kang-ouw yang selama ini tampak tenteram dan penuh damai, kini mulai geger
dengan adanya berita yang amat mengejutkan. Pertama, lenyapnya pusaka-pusaka
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
21 peninggalan keluarga Su-ling Emas yang amat dipuja oleh kaum kang-ouw, baik dari
golongan hitam maupun putih. Kedua, lenyapnya sepasang pusaka yang menggiriskan, yaitu
Sepa-sang Pedang Iblis! Hanya diketahui bahwa kuburan kedua orang Siang-mo-kiam ta-hu-
tahu dibongkar orang dan diduga bah-wa Sepasang Pedang Iblis yang tentu berada dengan
sisa jenazah kedua orang pemiliknya itu telah diambil pembong-kar kuburan. Kalau pusaka-
pusaka pe-ninggalan Suling Emas amat dipuja dunia kang-ouw sebagai pusaka-pusaka
kera-mat yang patut dihormat, adalah Sepa-sang Pedang Iblis merupakan pusaka yang
mengerikan dan menakutkan karena munculnya Sepasang Pedang Iblis itu berarti
munculnya pula geger dan keributan di dunia kang-ouw. Hal ke tiga adalah berita tentang
ditemukannya kitab-kitab warisan keluarga Bu Kek Siansu dan kabar yang menghebohkan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah bahwa kini pemerintah telah me-nguasai peta penyimpanan pusaka-pusaka itu.
Karena pendengaran orang kang-ouw amat tajam, kini sudah diketahui pula bahwa tempat
itu adalah sebuah di anta-ra pulau-pulau karang kecil di tengah--tengah Sungai Huang-ho
yang sudah de-kat dengan muaranya di Teluk Po-hai. Nah, dengan adanya berita ini, aku
men-duga bahwa tentu tokoh-tokoh kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi sedang
berlumba untuk mendapatkan pusaka--pusaka itu, tentu ramailah Sungai Huang--ho di
daerah itu."
"Daerah mana, Suhu?"
"Kabarnya sesudah melewati Terusan Besar, bahkan sesudah lewat kota Cin-an, di sebelah
timurnya, hanya beberapa puluh li saja dari pantai laut."
"Siapa sajakah yang akan muncul, Suhu" Apakah.... Pendekar Siluman juga akan hadir?"
Selama lima tahun ini, tak pernah Bun Beng dapat melupakan Pendekar Siluman berkaki
buntung yang pernah menolongnya. Sudah sering kali ia bertanya kepada suhunya tentang
diri Suma Han, akan tetapi gurunya agaknya enggan bicara tentang Pendekar Siluman itu.
"Entahlah, mana aku tahu siapa yang akan muncul" Hanya kabarnya sekarang ini di dunia
kang-ouw telah muncul banyak sekali orang yang memiliki ke-saktian luar biasa."
"Seperti Pendekar Siluman?"
Kakek itu memandang muridnya, si-nar matanya tersenyum. "Mungkin lebih! Biarpun aku
hanya mendengar beritanya saja, namun kabarnya kini Thian-liong--pang mempunyai
seorang ketua yang ke-pandaiannya seperti dewa! Dan juga bermunculan tokoh-tokoh dari
Pulau Neraka yang kabarnya mempunyai kepan-daian seperti iblis-iblis neraka sendiri.
Tentang ketuanya, belum pernah ada orang melihatnya, penuh rahasia seperti ketua baru
Thian-liong-pang! Ketua dua partai ini hanya kabarnya saja yang su-dah keluar ke dunia
kang-ouw, namun mungkin jarang ada yang pernah meli-hat mereka. Di samping Thian-
liong-pang dan pulau Neraka, kini bahkan muncul kabar tentang partai baru, yaitu penghuni-
penghuni Pulau Es!"
"Pendekar Siluman....?" Bun Beng makin tertarik.
"Entahlah. Tentang pulau Es ini lebih mengherankan lagi dan penuh rahasia. Tidak ada
yang tahu pula siapa ketua-nya, namun kabarnya, anak buahnya pun sudah memiliki
kesaktian luar biasa. Apalagi ketuanya!"
Mendengar penuturan tentang dunia kang-ouw dengan banyak keanehannya itu, hati Bun
Beng tertarik bukan main. Kalau gurunya bicara, pandang matanya seolah-olah melekat dan
tergantung pa-da bibir gurunya untuk mengikuti gerak--gerik agar jangan ada sepatah pun
kata yang terlewat oleh penangkapannya. Ka-lau gurunya berhenti, ia pun termenung dan
pikirannya melayang-layang jauh sekali.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
22 Biarpun Kakek Siauw Lam hanya mendengarkan penuturan anak murid Siauw-lim-pai yang
juga mendengarnya sebagai kabar angin saja, namun sesungguhnya kabar itu banyak yang
benar. Memang telah terjadi hal-hal luar biasa di dunia kang-ouw selama beberapa tahun ini.
Pertama adalah tentang lenyapnya pusaka-pusaka keluarga Suling Emas. Pusaka-pusaka
ini, termasuk senjata ke-ramat Pendekar Sakti Suling Emas yang berbentuk sebatang suling
emas yang indah, tadinya tersimpan di tanah kuburan keluarga Suling Emas yang terletak di
daerah Khitan. Tanah kuburan ini terjaga keras oleh seorang tokoh sakti yang disegani
karena selain dia bekas pelayan keturunan terakhir keluarga pendekar itu, juga berkali-kali
merobohkan orang--orang yang berusaha merampas pusaka--pusaka itu. Di dalam cerita
"Pendekar Super Sakti" telah diceritakan ketika Puteri Nirahai mengunjungi kuburan itu untuk
meminjam suling emas guna mem-pengaruhi kaum kang-ouw, puteri ini pun kewalahan
menghadapi penjaga yang sakti itu. Penjaga itu adalah kakek bongkok Gu Toan yang setia,
yang menjaga kuburan keluarga Suling Emas, membela seluruh pusaka, lebih-lebih daripada
membela nyawanya sendiri! Akan tetapi geger pertama mengguncang dunia kang--ouw
ketika pada suatu hari, kakek bongkok Gu Toan itu terdapat sudah tak bernyawa lagi tanpa
terluka di depan pintu pagar kuburan, dan semua pusaka telah lenyap tanpa bekas!
Dunia kang-ouw geger, para tokoh saling mencurigai, saling menyelidik na-mun pusaka-
pusaka itu tak pernah dapat ditemukan jejaknya! Keguncangan ini belum juga reda, dunia
kang-ouw sudah digegerkan oleh guncangan ke dua, yaitu ketika tokoh-tokoh tua
menemukan ku-buran Siang-mo-kiam telah dibongkar orang dan Sepasang Pedang Iblis
yang diduga berada di dalam kuburan itu te-lah lenyap. Atau lebih tepat lagi tidak ada yang
tahu sebelumnya bahwa Siang--mo-kiam telah tewas, menduga bahwa setelah dua orang
iblis jantan betina itu tewas namun Sepasang Pedang Iblis tak dapat ditemukan pada sisa
mayat mereka, tentulah Sepasang Pedang Iblis itu telah terjatuh ke tangan orang lain. Dan
hal ini berarti BAHAYA!
Telah diceritakan dalam cerita "Pen-dekar Super Sakti" bahwa yang mengu-bur jenazah
Siang-mo-kiam itu adalah Suma Han dan adik angkatnya, Lulu ga-dis Mancu. Siang-mo-
kiam merupakan se-pasang kakek dan nenek yang aneh seka-li, dan keanehan itu agaknya
terpengaruh oleh Sepasang Pedang Iblis yang mempunyai riwayat menyeramkan aneh.
Dahulu, puluhan tahun, bahkan ratusan tahun yang lalu, di jamannya Pendekar Wanita Sakti
Mutiara Hitam puteri Pen-dekar Suling Emas sepasang pedang itu dibuat oleh sepasang
kakek nenek ber-bangsa India yang amat sakti, aneh dan ganas sekali. Karena mereka
berdua ka-lah dalam pertandingan melawan Pende-kar Wanita Mutiara Hitam, maka
kedua-nya lalu membayar taruhan mereka, ya-itu membuatkan sepasang pedang, masing-
masing membuat sebatang untuk Mutiara Hitam (Ceritanya yang jelas da-pat di baca dalam
ceritaIstana Pulau Es ).
Cara pembuatan pedang itu luar biasa sekali. Bahannya dari dua bongkah logam aneh milik
Mutiara Hitam dan kedua orang kakek nenek India itu yang selalu berlumba tidak mau saling
mengalah, ki-ni berlumba dalam membuat pedang. Bentuk pedang serupa karena memang
contohnya diberikan oleh Mutiara Hitam, maka keduanya lalu bersaing untuk mem-buat
pedang yang lebih ampuh! Untuk ini, mereka tidak segan-segan untuk me-ngorbankan anak-
anak kecil yang diambil darahnya untuk dijadikan "bumbu" dalam "memasak" pedang!
Bahkan akhirnya, persaingan itu memuncak sedemikian rupa sehingga kakek dan nenek itu
saling bunuh dengan pedang mereka pada saat Mutiara Hitam datang hendak
mengam-bilnya! Kemudian, Sepasang Pedang Iblis itu terjatuh ke tangan dua orang murid Mutiara Hitam
laki-laki dan perempuan. Sejarah berulang. Mereka ini yang sebe-tulnya saling mencinta,
saling bersaing tidak mau kalah sehingga berubah men-jadi ganas sekali dan
akhirnya, sebagai kakek dan nenek, mereka pun tewas oleh pedang masing-masing!
Jenazah kedua kakek dan nenek murid Mutiara Hitam ini dikubur oleh Suma Han dan Lulu,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
23 dan kedua orang yang pada waktu itu masih amat muda itu mengubur pula Sepasang
Pedang Iblis bersama dua jenazah itu.
Demikian riwayat singkat Sepasang Pedang Iblis yang dituturkan jelas dalam ceritaIstana
Pulau Es , dan kini sepa-sang pedang itu lenyap pula. Bagaimana dunia kang-ouw tidak
akan menjadi ge-ger karenanya"
Bukan hanya lenyapnya pusaka Kelu-arga Suling Emas dan Sepasang Pedang Iblis saja
yang menggegerkan dunia kang--ouw dan kaum persilatan, akan tetapi berita tentang
ditemukannya kitab-kitab pusaka warisan keluarga Bu Kek Siansu tidak kalah hangatnya.
Nama Bu Kek Siansu, orang kang-ouw manakah yang tidak mengenalnya" Pendekar Sakti
Su-ling Emas banyak menerima ilmu dari kakek sakti yang dianggap manusia dewa itu!
Bahkan banyak tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam juga memperoleh ilmu dari Bu Kek
Siansu karena dahulu kabarnya setiap tahun Bu Kek Siansu "turun" ke dunia untuk
membagi-bagikan ilmu kepada mereka yang berjodoh dengannya! Ilmu-ilmu mujijat yang
dimiliki kaum se-sat, seperti Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) dan Swat-im Sin-
ciang (Tangan Sakti Inti Salju) kabarnya juga berasal dari ilmu yang diberikan oleh Bu Kek
Siansu! Maka kalau sekarang tersiar berita bahwa kitab-kitab pusaka peninggalan keluarga
Bu Kek Siansu di-temukan, tentu saja dunia kang-ouw menjadi geger!
Dengan kabar terakhir tentang dite-mukannya peta yang menunjukkan tem-pat
penyimpanan pusaka-pusaka dan ki-tab-kitab oleh pemerintah, menjadi pun-cak ketegangan
dan kehebohan sehingga memancing keluar orang-orang sakti yang selama ini lebih suka
menyembunyikan diri di dalam gua-gua rahasia, di dalam pulau-pulau terasing, atau di
puncak--puncak gunung yang tak pernah dikun-jungi manusia.
"Suhu, teecu mohon perkenan Suhu untuk pergi melihat keramaian dan ber-temu dengan
tokoh-tokoh sakti!" Tiba--tiba Bun Beng berkata setelah terme-nung sejenak.
Kakek Siauw Lam terkejut, meman-dang muridnya dengan alis berkerut, "Ah, apakah
kaukira hal itu merupakan main--main" Kalau para tokoh itu sudah berte-mu dan saling
memperebutkan pusaka, keadaan amatlah berbahaya! Dan pula, tempat itu amat jauh dari
sini, melalui perjalanan yang amat lama dan penuh dengan ancaman bahaya maut!"
"Suhu, tanpa menghadapi kesukaran dan menempuh bahaya, bagaimana teecu akan bisa
memperoleh kemajuan" Pengalaman itu tentu amat berguna bagi tee-cu, selain menambah
pengetahuan, juga memberi kesempatan kepada teecu un-tuk bertemu dengan orang-orang
sakti! Suhu, harap Suhu sudi meluluskan per-mintaan teecu ini."
Kakek itu sudah cukup mengenal wa-tak muridnya yang dididiknya selama lima tahun itu.
Muridnya ini, di samping bakat-bakat dan watak-watak lainnya, juga memiliki keberanian
yang tidak lu-mrah dimiliki anak kecil, di samping ke-kerasan hati yang pantang mundur
ka-lau sudah mempunyai niat. Maka, melarang akan percuma saja, bahkan membe-ri
kesempatan kepada muridnya untuk melanggar larangannya. Dia mengerti bahwa kalau
dilarang, murid yang keras hati ini akan menjadi penasaran dan ada kemungkinan akan
minggat! Maka ia lalu menarik napas panjang sambil berka-ta, "Hemmmm.... terserah
kepadamu. Aku hanya ingin melihat apakah engkau benar-benar berani menempuh segala
ba-haya itu."
"Suhu, terima kasih! Besok pagi-pagi teecu akan berangkat, mohon doa restu dari Suhu!"
Bun Beng menjadi gembira sekali dan cepat membuat persiapan un-tuk melakukan
perjalanan jauh yang se-lamanya belum pernah ia tempuh itu. Gurunya diam-diam merasa
kagum sekali dan tersenyum di dalam hati.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
24 Waktu lima tahun memang merupa-kan waktu yang cukup lama dalam kehi-dupan
manusia, dan waktu ini cukup un-tuk mengubah keadaan manusia dengan terjadinya hal-hal
yang menimpa dirinya. Bukan hanya Siauw-lim-pai yang mengalami perubahan hebat
sehingga perubah-an besar menimpa diri Siauw Lam Hwe-sio yang kini telah meninggalkan
kepen-detaannya dan menjadi orang biasa kare-na kekecewaannya menyaksikan keribut-an
yang terjadi di antara murid-murid Siauw-lim-pai sendiri.
Perubahan besar telah pula menimpa diri Suma Han selama waktu itu. Kekua-saan alam
telah mempermainkan penghi-dupannya, dan agaknya memang semen-jak kecil Suma Han
ditakdirkan untuk mengalami banyak hal-hal pahit yang membuat dia dalam usia semuda itu
su-dah putih semua rambutnya dan yang membuat dia bosan akan keramaian du-nia
sehingga dia ingin mengasingkan diri dari pergaulan manusia. Untuk dapat mengikuti
pengalaman-pengalamannya, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya yang penuh
pengalaman dahsyat.
Setelah berhasil merampas keponakan-nya, Giam Kwi Hong yang berusia ham-pir empat
tahun, puteri dari mendiang encinya Suma Leng dan Panglima Giam Cu, Suma Han lalu
melarikan diri ke ti-mur. Kwi Hong masih tidur nyenyak da-lam pondongannya dan baru pada
keesok-an harinya anak itu terbangun. Melihat dirinya dalam pondongan seorang laki--laki
yang tak dikenalinya, anak itu me-nangis dan Suma Han mulai bingung. Susah payah dia
berusaha mendiamkan anak itu, namun sia-sia karena anak itu menjerit-jerit mencari ibunya!
"Diamlah, Nak. Diamlah, Kwi Hong anak baik." Berulang kali ia menghibur dengan suara
halus dan penuh rasa kasih-an teringat akan encinya yang telah me-ninggal dunia. "Lihat,
kucarikan buah--buah, kembang....!" Sibuklah dia melon-cat dan berlari ke sana-sini,
memetik buah-buah dan kembang, ditumpuknya di depan anak yang ia dudukkan di atas
rumput itu. Akan tetapi anak itu terus menangis.
"Ibuuu....! Aku mau turut Ibu.... hi-hi--hikk....!" Kwi Hong menangis terus tanpa
mempedulikan tumpukan kembang dan buah-buahan itu, menggosok-gosok kedua matanya
dengan punggung tangan.
Suma Han yang tentu saja kurang pengalaman mengasuh anak kecil menja-di makin
bingung. Tak pernah disangka-nya bahwa tangis seorang anak kecil bisa membikin dia
begitu bingung dan kehabisan akal! Sampai hampir satu jam lamanya ia membujuk-bujuk
tanpa hasil. "Aduh, Kwi Hong.... anak baik, dengarlah. Aku adalah Pamanmu sendiri, Kwi Hong. Aku
adalah adik Ibumu, aku Paman Han....!"
Tangan yang menggosok-gosok mata itu berhenti dan kini mata yang bening lebar itu
memandangnya, tangisnya ter-henti sebentar. Betapa indah mata itu, Suma Han
memandang kagum, seolah--olah air mata itu mencuci sepasang mata menjadi makin
bening dan bersih!
"Paman Han Han....?"
Suma Han tersenyum lebar, "Benar! Benar! Tentu Ibumu pernah menceritakan kepadamu.
Aku Paman Han Han....!" Ia tertawa lega, akan tetapi kembali ia tertegun bingung melihat
Kwi Hong lagi--lagi menangis sedih.
"Ibuku....! Mana Ibuku....! Kalau Paman baik, antarkan aku kepada Ibu!"
Celaka! Bagaimana dia bisa mengantarkan anak ini kepada ibunya yang su-dah mati" Dan
tidak mungkin pula me-nerangkan kepada bocah sekecil ini bah-wa ibunya telah mati.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
25 Melihat anak itu menangis terus, Suma Han makin bingung. Tiba-tiba ia melihat seekor
kelinci ber-gerak di antara rumpun dan timbullah akalnya. Cepat ia meloncat dan sekali
sambar ia sudah berhasil menangkap ke-linci putih itu.
"Kwi Hong, diamlah. Lihat, Paman menangkap kelinci cantik untukmu!" Su-ma Han
memberikan binatang itu ke atas pangkuan Kwi Hong. Anak itu me-mandang, tangisnya
terhenti, matanya berseri dan dia sudah lupa akan ibunya, memondong kelinci sambil
tersenyum dan berkata.
"Kelinci cantik....!"
Baru sekarang Suma Han merasa be-tapa hatinya lega dan girang bukan main sehingga
mau rasanya ia menari--nari dan menyanyi-nyanyi! Ia mencium pipi anak itu dan berkata,
"Kwi Hong, kalau engkau tidak menangis lagi, Paman-mu akan mencarikan binatang-
binatang cantik untukmu. Sekarang makanlah bu-ah ini. Nih, Paman kupaskan kulitnya,
manis sekali, makanlah!"
Kwi Hong suka makan buah itu, apa-lagi setelah Suma Han mengajarnya memberi sedikit
kepada kelinci yang dipondongnya. Demikianlah, dengan akal sedapatnya bisa juga dia
mengasuh Kwi Hong sambil melanjutkan perjalanannya. Ia hendak mencari jalan menuju ke
pan-tai laut di mana dahulu ia mendarat ber-sama Lulu ketika mereka berdua me-ninggalkan
Pulau Es. Dia hendak kemba-li ke Pulau Es itu bersama Kwi Hong.
Setelah melakukan perjalanan berpe-kan-pekan lamanya dan seringkali dia terpaksa
menggunakan kekuatan mujijatnya untuk menidurkan Kwi Hong kalau anak itu terlalu rewel,
akal yang jarang sekali ia pergunakan kalau amat tidak terpaksa, pada suatu senja tibalah
Suma Han dan keponakannya di tepi pantai yang terjal sekali. Air laut kebiruan tampak dari
atas seperti permadani biru terbentang luas, sedikit pun tidak tampak bergoyang atau
berombak saking tingginya tempat itu. Dari tempat yang tinggi ini, Suma Han memandang ke
kanan kiri dan mulailah ia mengenal daerah ini. Jauh di bawah sana, di sebelah kiri, di
sanalah dia bersama Lulu, tiba-tiba tu-buh Suma Han menjadi lemas dan hati-nya makin
kosong. Semenjak ia berpisah dengan Nirahai kemudian merayakan pernikahan Lulu,
tahulah dia bahwa se-menjak dahulu, dia hanya mencinta Lulu seorang. Sampai kini pun
hanyalah Lulu yang ia cinta, sepenuh jiwa raga-nya dan ia rela menderita asal adiknya itu
hidup bahagia. "Lulu, semoga engkau selalu hidup bahagia!" Ia berbisik lirih seperti orang berdoa.
"Paman Han Han, kau bilang apa?"
Kwi Hong dalam pondongannya bertanya sambil memandang wajah Suma Han. Dalam
kenangan yang mengharukan tadi, Suma Han sampai lupa kepada anak yang
dipondongnya. Kwi Hong pandai bicara dan karena suaranya masih tidak jelas dan
sepotong-sepotong, terdengar lucu sekali.
"Ah, tidak, Paman tidak bilang apa--apa." kata Suma Han sambil mengambung pipi
keponakannya itu, pipi yang halus montok kemerahan sehat.
"Paman tangkapkan binatang lagi! Ke-linci lagi.... kelinciku lari!"
"Di sini mana ada kelinci?"
"Uh-hu-huk, minta kelinci....!" Kwi Hong yang selalu dituruti permitaannya oleh Suma Han,
dalam waktu sebulan le-bih saja kini sudah pandai manja. Anak ini mengerti agaknya bahwa
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
26 kalau dia menangis, apa pun permintaannya akan dipenuhi maka sekarang pun ia
memper-gunakan "senjatanya" yang lihai ini!
"Di sini tidak ada kelinci. Ikan, ya" Ikan laut" Atau udang" Kepiting.... eh kepiting baik
sekali, lucu sekali! Kutang-kapkan kepiting, ya?"
"Tidak, tidak mau.... hi-hi-hik, mau kelinci!" Kwi Hong menendang-nendang-kan kaki dan
menggeleng-gelengkan ke-pala sambil mewek.
Suma Han menarik napas panjang. "Baiklah, baiklah.... eh, rewel benar anak ini." Ia
menurunkan Kwi Hong yang se-ketika sudah berhenti menangis ketika mendengar
pamannya menyanggupi. Dia sudah terlalu biasa bahwa sekali paman-nya sanggup pasti
akan dipenuhinya.
"Lihat baik-baik, nih, aku menjadi kelinci!" Suma Han menggunakan ilmu-nya yang mujijat,
mempengaruhi kepo-nakannya sendiri seketika Kwi Hong ter-tawa-tawa gembira melihat
seekor kelin-ci putih besar di depannya. Ia lupa sa-ma sekali kepada pamannya yang sudah
lenyap. Sambil tertawa-tawa ia lalu me-ngelus-elus kepala kelinci itu dan mena-rik-narik
telinganya yang besar dengan penuh kasih sayang. Suma Han menahan kegelian hatinya
ketika kepalanya dielus-elus dan kedua telinganya dijewer-jewer tangan kecil itu!
"Paman....! Paman Han Han....!" Tiba-tiba Kwi Hong memandang ke atas dan telunjuknya
menuding-nuding ke atas. "Tangkapkan burung itu! Lekas, Paman, tangkapkan burung....!"
Anak itu kini su-dah lupa akan kelincinya dan bangkit berdiri, memandang ke atas dan
menuding-nuding sambil berteriak-teriak.
Suma Han menarik napas panjang dan menjadi tertarik, ikut pula meman-dang ke atas.
Terkejut dan heranlah dia ketika melihat dua ekor burung yang besar-besar sekali sedang
bertanding di angkasa dengan serunya!
"Heran sekali!" Serunya. "Burung ga-ruda dan rajawali....!"


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tangkapkan burung, Paman. Lekas, tangkapkan burung itu....!" Kwi Hong ber-sorak.
Akan tetapi sekali ini Suma Han ti-dak memperhatikan permintaan keponak-annya karena ia
tertarik sekali. Selama hidupnya dia baru mendengar ceritanya saja tentang burung-burung
garuda dan rajawali yang demikian besarnya. Apa-lagi sekarang dua ekor burung itu sedang
berkelahi dengan gerakan dahsyat sekali sambil mengeluarkan suara meleng-king yang
amat nyaring. Pertandingan yang hebat dan dahsyat di angkasa!
Akan tetapi, serangan dahsyat dari burung garuda membuat bulu dada rajawa-li itu bodol
dan Si Rajawali terbang menjauh sambil memekik nyaring. Garu-da itu pun mengeluarkan
lengking nya-ring dan terbang berputaran, kemudian meluncur turun dan hinggap di atas
se-batang pohon besar tak jauh dari situ.
"Paman, tangkapkan burung.... hi-hi--hik....!" Kwi Hong menangis ketika meli-hat dua ekor
burung itu lenyap.
"Baiklah, jangan menangis. Kau du-duk saja di sini, ya" Paman hendak men-coba untuk
menangkap burung itu." Suma Han sekali ini bukan ingin menangkap bu-rung semata-mata
memenuhi permintaan keponakannya, melainkan karena dia sen-diri pun amat tertarik oleh
burung garu-da perkasa itu. Akan dicobanya untuk menangkap burung raksasa itu! Cepat
tubuhnya mencelat mendekati pohon dan dengan kepandaiannya yang hebat, pende-kar ini
meloncat naik ke atas pohon.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
27 Burung garuda itu besar sekali! Tinggi-nya tidak kalah oleh tingginya manusia, kakinya
besar kuat dan paruhnya menye-ramkan! Burung itu sedang membereskan bulunya yang
agak kusut karena pertan-dingan tadi, maka dia tidak tahu bahwa ada seorang manusia
mendekatinya. Dengan sebuah gerakan kilat, Suma Han meloncat ke atas punggung garuda,
menggunakan lengannya merangkul leher sambil berseru, "Sin-eng (Garuda Sakti), kita
bersahabat!"
Tentu saja burung itu kaget sekali dan tidak mengerti ucapan Suma Han. Dia berusaha
memutar leher untuk me-nyerang, akan tetapi lengan yang meme-luknya demikian kuat
sehingga dia tidak mampu menggerakkan lehernya. Burung itu menjerit aneh dan tiba-tiba
meloncat ke atas lalu terbang membawa Suma Han yang masih duduk di atas punggungnya!
Melihat ini, Kwi Hong bersorak, bangkit berdiri dan melambai-lambaikan kedua tangannya.
"Bagus....! Bagus sekali....! Paman, aku ikut....! Aku ikut terbang naik burung....!"
Suma Han yang selamanya baru seka-li ini mengalami naik burung raksasa, ti-dak merasa
takut hanya khawatir kalau--kalau burung itu membawanya terbang jauh meninggalkan Kwi
Hong. "Sin-eng, turunlah, kita jemput anak itu....!" Akan tetapi burung garuda itu dalam
ketakut-annya terbang meluncur terus membu-bung tinggi ke angkasa, seakan-akan
hen-dak membawa terbang Suma Han ke bu-lan yang pada senja hari itu sudah mulai
tampak! Suma Han mulai cemas dan meman-dang ke bawah. Dapat dibayangkan beta-pa kaget
rasa hatinya ketika ia melihat sesosok bayangan hitam meluncur turun dan menyambar ke
arah Kwi Hong yang masih berteriak-teriak dan melambai-lambaikan kedua tangannya.
Bayangan itu bukan lain adalah burung rajawali yang tadi bertanding dan dikalahkan oleh
ga-ruda putih yang ditungganginya.
"Celaka....!" Suma Han berteriak melihat keponakannya dicengkeram oleh ka-ki rajawali dan
mendengar bocah itu berteriak-teriak menangis ketakutan.
"Sin-eng, demi Tuhan, tolonglah Kwi Hong!" Suma Han mencengkeram leher garuda dan
memaksa kepala garuda itu ke bawah. Sang garuda kesakitan dan bingung, akan tetapi
karena kepalanya dipaksa menunduk, maka ia pun mulai meluncur turun. Suma Han
menekan-nekan leher garuda ke arah rajawali dan berkata, "Sin-eng, kejar rajawali itu.
Cepat....!"
Agaknya burung garuda itu biarpun tidak dapat mengerti ucapan Suma Han, dapat
mengenal mahluk yang jauh lebih kuat darinya, maka kini ia selalu terbang menurut ke mana
kepalanya dipaksa berpaling. Akhirnya ia dapat melihat musuh besarnya, Si Burung Rajawali
yang terbang cepat ke arah lautan! Tanpa diko-mando lagi, burung garuda itu terbang
mengejar dengan kecepatan luar biasa dan tak lama kemudian, tersusullah bu-rung rajawali
yang mencengkeram Kwi Hong. Anak itu masih menjerit-jerit dan bukan main cemas rasa
hati Suma Han melihat bahwa yang dicengkeram raja-wali itu adalah punggung baju Kwi
Hong. Kalau baju itu robek, atau kalau rajawa-li itu melepaskan cengkeramannya! Ia
memandang ke bawah dan bergidik. Di bawah hanya tampak air melulu, air ke-biruan dari
laut yang amat luas, menge-rikan dengan ombak besar membuih!
"Sin-eng, terbang ke bawahnya, se-rang dia dari bawah, selamatkan anak itu!" Suma Han
mendorong kepala garu-da. Garuda itu menyerbu ke depan, me-nukik ke bawah tubuh
rajawali. Dengan gerakan tangkas sekali Suma Han me-ngulur tangan kanannya dan
tongkatnya memukul kaki yang mencengkeram. Ra-jawali memekik kesakitan, kaki yang
mencengkeram kena dipukul, cengkeram-annya terlepas dan nyaris tubuh Kwi Hong
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
28 terlepas dari sambara
Pendekar Riang 10 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Pendekar Riang 10
^