Sepasang Pedang Iblis 12

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


leh putera dari
Pulau Neraka, dan betapa dia tadinya akan dijadikan tawan-an, akan tetapi dia dapat
menyelamat-kan diri. Untuk mencegah agar dia ti-dak usah bicara tentang Ketua Thian-
liong-pang, maka dia tidak menceritakan pertemuannya dengan Milana.
Suma Han mengerutkan alisnya, diam-diam hatinya amat gelisah. Menurut ce-rita Bun
Beng, kongcu dari Pulau Neraka itu amat lihai dan kelihatan kejam. Apa-kah Lulu telah keliru
mendidik putera-nya" Dia tidak percaya bahwa putera Lulu dan Wan Sin Kiat menjadi
seorang jahat! Akan tetapi, Lam-mo-kiam telah terampas oleh anak Lulu itu. Dia tidak
memberi komentar, hanya menggeleng-geleng kepala dan hatinya makin ber-duka. Betapa
tidak akan duka dan pe-rih hatinya kalau ia terigat kepada Lulu" Adik angkatnya itu adalah
satu-satunya wanita yang dicintanya, namun keadaan memaksa mereka berpisah, bah-kan
kini timbul rasa sakit hati dalam perasaan Lulu terhadapnya!
"Ahhh, engkau menderita bukan ma-in, Bun Beng. Akan tetapi kenapa kau tadi jatuh dari
atas menara?" Kwi Hong bertanya.
Bun Beng menjadi bingung. "Aku...., aku dikejar-kejar orang-orang Pulau Ne-raka karena
aku membunuh dua orang yang akan membawaku ke sana. Dalam keadaan kedua kakiku
lumpuh, tentu sa-ja sukar bagiku untuk melarikan diri. Akhirnya aku sampai di menara ini,
ber-sembunyi di atas menara. Aku menderi-ta sekali, tidak berani turun, dan lukaku tak
mungkin dapat sembuh. Daripada perlahan-lahan menghadapi kematian yang menyiksa
seperti yang dikatakan oleh Pendeta Maharya, aku.... aku mengambil keputusan terjun dan
mati di sini!"
"Aihhh, pengecut!" Kwi Hong berte-riak ngeri.
"Kwi Hong, diamlah. Engkau tidak merasakan penderitaan orang, hanya pandai mencela!"
kata Suma Han yang ke-mudian memandang Bun Beng. "Betapa-pun juga, cara melarikan
diri dari pende-ritaan dengan jalan membunuh diri ada-lah perbuatan bodoh dan tidak tepat.
Biarlah aku akan mencoba mengobatimu sedapat mungkin. Mari kita masuk ke dalam kuil
itu." Tanpa menanti jawaban, Suma Han menyambar tubuh Bun Beng dan dibawa memasuki
kuil tua. Kwi Hong mengikuti dari belakang. Diam-diam hati Bun Beng lega karena ternyata
Ketua Thian-liong-pang telah pergi dari atas menara itu. Ia memuji kelihaian dan kecerdikan
Ibu Milana itu. Dapat dibayangkan betapa lihainya untuk dapat pergi bersama pute-rinya,
tanpa dilihat oleh Pendekar Super Sakti yang demikian lihai" Dan betapa cerdiknya untuk
cepat-cepat pergi, kare-na kalau sampai bertemu dengan maji-kan Pulau Es itu,
kerudungnya tidak akan ada artinya lagi kalau pendekar ini me-lihat Milana dan tentu akan
dapat men-duga siapa adanya wanita di balik keru-dung itu.
Suma Han cepat mengobati Bun Beng. Mula-mula menyambung kedua lutut ka-ki dan
memberi obat, kemudian mulai-lah pendekar sakti ini mempergunakan sin-kangnya yang
luar biasa kuatnya un-tuk mengusir hawa beracun dari dalam tubuh Bun Beng. Pemuda itu
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
310 disuruh duduk diam tanpa baju dan Suma Han duduk di belakangnya, menempelkan ke-dua
telapak tangan di punggung pemuda itu. Sampai sehari lamanya Bun Beng merasa betapa
dari kedua telapak tangan itu mengalir hawa yang berlawanan, di-ngin dan panas! Diam-
diam dia kagum bukan main dan mengerti bahwa di dunia ini agaknya tidak ada keduanya
dalam hal kekuatan sin-kang seperti yang dimi-liki oleh Majikan Pulau Es ini!
Semalam suntuk menyusul dan Suma Han melanjutkan pengobatannya. Pada keesokan
harinya, barulah ia menyudahi pengobatannya. Bun Beng yang membiar-kan dirinya diobati,
merasa betapa hawa berputar-putar di tubuhnya dan keluar melalui kepalanya. Dia merasa
dadanya tidak sesak lagi dan begitu Suma Han menyatakan selesai, dia cepat
menelung-kup dan menghaturkan terima kasih. Su-ma Han mengangkatnya bangun, duduk,
dan sambil minum air hangat yang dibu-at oleh Kwi Hong, Suma Han berkata,
"Aku telah berhasil membersihkan se-mua hawa beracun dari dalam tubuhmu, Bun Beng.
Akan tetapi, sayang bahwa aku bukanlah seorang ahli pengobatan. Padahal, racun telah
memasuki jalan darahmu dan aku tidak mampu mengo-batinya. Aku mendengar bahwa
satu-satunya tetumbuhan obat yang dapat me-lawan semua keracunan darah, hanya
terdapat di Pulau Neraka...."
"Ohhhh...!" Kwi Hong berteriak, ter-kejut sekali. "Paman, bagaimana kita bi-sa mengambil ke
sana?" Suma Han menggeleng kepala. "Tak mungkin kita ke sana tanpa menimbul-kan keributan.
Akan tetapi, racun yang berada di tubuh Bun Beng ini amat he-bat, biarpun dia tidak akan
tersiksa se-perti kalau hawa beracun masih di tu-buhnya, namun dalam waktu paling lama
setengah tahun, darahnya akan menjadi kotor penuh racun, dapat membuat dia menjadi gila
atau mati, sedikitnya akan lumpuh seluruh tubuhnya!"
"Aihhh....!" Kembali Kwi Hong berse-ru.
Akan tetapi Bun Beng bersikap te-nang-tenang saja sehingga mengagumkan hati Suma
Han yang memandangnya. "Pertolongan Taihiap sudah terlampau besar, biarpun Taihiap tak
dapat mengo-bati, saya tidak merasa penasaran. Ka-lau memang sudah ditakdirkan saya
ma-ti karena racun dalam darah ini, saya akan menerimanya tanpa keluhan. Saya sudah
merasa cukup berbahagia melihat kenyataan betapa seorang mulia seperti Taihiap sudi
memperhatikan diri saya dan sudi mengulurkan tangan memberi pertolongan."
Suma Han mengerutkan alisnya. Ter-lalu sayang kalau pemuda seperti ini sampai mati sia-
sia. Akan tetapi, beta-papun juga, dia tidak memiliki keberani-an untuk berhadapan dengan
Lulu lagi, takut akan hatinya sendiri!
"Jangan putus harapan, Bun Beng. Akan kusediakan perahu untukmu, kuberi gambar
petunjuk bagaimana engkau da-pat mencapai Pulau Neraka dengan perahumu. Kau pergilah
sendiri ke Pu-lau Neraka, membawa sepucuk suratku. Percayalah, dengan suratku itu,
Majikan Pulau Neraka tentu akan suka menolong dan mengobatimu sampai sembuh."
"Akan tetapi.... Kongcu Pulau Neraka telah merampas Lam-mo-kiam, dan dia amat kejam.
Tentu saya hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia ke sana, Taihiap!"
"Coba sajalah. Dengan suratku, eng-kau akan djterima dengan baik." Suma Han lalu
mengeluarkan alat tulis dan menulis sepucuk surat dengan cepat, membungkus surat itu dan
menyerahkan-nya kepada Bun Beng. "Sekarang, mari kuantar kau ke pantai dan mencari
pera-hu!" Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
311 Bun Beng tidak mau membantah lagi dan dia pun percaya bahwa seorang yang luar biasa
seperti Pendekar Super Sakti ini tidaklah aneh kalau suratnya menda-pat perhatian dari
Majikan Pulau Neraka! Kwi Hong juga tidak mau banyak ca-kap karena maklum bahwa
hubungan antara pamannya dengan Pulau Neraka harus dia rahasiakan. Namun, diam-diam
gadis ini merasa tidak setuju melihat be-tapa pemuda yang menderita luka berat itu disuruh
pergi seorang diri ke Pulau Neraka. Biarpun belum terlalu lama dia mengenal Bun Beng,
namun dia sudah dapat mengenal watak pemuda ini, wa-tak yang keras dan tidak mau
mengalah, apalagi kalau menghadapi kejahatan. Wa-tak seperti itu akan mendatangkan
baha-ya kalau pemuda itu berada di Pulau Neraka yang penuh dengan orang-orang aneh
dan lihai. Dan sekarang pamannya menyuruh Bun Beng seorang diri berla-yar ke sana.
Bukankah itu sama dengan menyuruh pemuda itu menghadapi ben-cana"
Betapapun juga, Kwi Hong paling takut menghadapi pamannya, juga guru-nya. Ia
kehilangan watak galaknya ka-lau berhadapan dengan pamannya, maka semua
kekhawatiran dan ketidaksetuju-an hatinya hanya ia simpan saja di hati, tidak berani ia
keluarkan melalui mulut. Ketika Suma Han sudah mendapatkan sebuah perahu layar dan
Bun Beng su-dah duduk di perahu itu, memegang ke-mudi dengan sepeti besar roti kering
dan minuman sebagai bekal, Kwi Hong hanya memandang dan berkata perlahan, "Hati-
hatilah, Bun Beng....!"
"Gak Bun Beng, secara kebetulan sekali engkaulah orangnya yang menemukan sepasang
pedang itu. Sepasang Pe-dang Iblis yang dijadikan rebutan dunia kang-ouw. Akan tetapi
sebatang di anta-ranya, Lam-mo-kiam, dirampas orang da-ri tanganmu pula. Karena itu,
setelah engkau berhasil sembuh, menjadi kewa-jibanmulah untuk menjaga agar jangan
sampai pedang itu dipergunakan orang untuk menimbulkan kekacauan di dunia ini.
Sepasang Pedang Iblis itu adalah sepasang pedang yang amat ampuh, ja-rang dapat dicari
tandingnya di dunia ini. Syukur bahwa yang sebatang telah kauberikan kepada Kwi Hong.
Hanya Hok-mo-kiam sajalah yang kiranya akan dapat menandingi Sepasang Pedang Iblis.
Sayang bahwa Hok-mo-kiam terampas oleh Tan Ki yang gila dan gurunya yang lihai itu."
"Suma-taihiap, saya berjanji bahwa kalau saya dapat sembuh, saya akan me-ngerahkan
seluruh akal dan tenaga un-tuk merampas kembali Hok-mo-kiam, un-tuk membasmi Tan-
siucai dan gurunya yang jahat, dan tentu saja untuk memba-las dendam atas kematian Suhu
Siauw Lam Hwesio."
"Hemm, cita-cita hidupmu di masa depan penuh dengan bahaya dan permu-suhan. Semoga
engkau akan dapat menga-tasi itu semua, Bun Beng. Nah, berang-katlah!"
Setelah memberi hormat kepada pen-dekar sakti itu dan keponakannya dari atas perahu,
Bun Beng mendayung perahu-nya ke tengah dan setelah angin bertiup membuat layarnya
berkembang, perahu melaju cepat dan dua orang yang me-mandangnya dari pantai itu
hanya tam-pak seperti dua buah titik dan akhirnya lenyap.
Bun Beng memeriksa peta yang ia terima dari Pendekar Siluman. Sungai lebar di mana
perahunya sekarang bera-da akan bertemu dengan Sungai Huang-ho, melewati Terusan
Besar untuk kemu-dian menuju ke laut. Ada petunjuk dan tanda-tanda di peta itu mengenai
letak Pulau Neraka, jauh di utara, bahkan ada penjelasan bahwa dia akan melalui laut-an
yang banyak terdapat gunung-gunung es mengapung dan merupakan tempat berbahaya
sekali. Bun Beng teringat akan tokoh-tokoh Pulau Neraka yang amat aneh dan lihai, juga
kejam. Teringat akan pemuda tampan dari Pulau Neraka, hatinya penuh dengan rasa benci
dan tak senang. Akan tetapi kalau ia teringat akan kakek muka kuning yang lucu aneh dan
agak miring otaknya itu, yang dua kali ia temui ketika kakek itu menolqng dia dan Milana di
atas perahu, kemudian ketika kakek itu menolongnya pula di atas layang-layang raksasa, dia
tersenyum sendiri. Betapapun anehnya, betapapun tersohor jahatnya Pulau Neraka, dia
ti-dak bisa membenci kakek muka kuning itu, biarpun dia tahu bahwa kakek itu adalah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
312 seorang tokoh besar dari sana! Dia rasa, kakek itu akan suka menolong-nya dan memberi
tetumbuhan obat anti racun. Ataukah.... jangan-jangan kakek muka kuning itulah Majikan
Pulau Nera-ka" Ah, tidak mungkin. Bukankah pemuda tampan itu putera Majikan Pulau
Ne-raka" Pemuda itu selain tampan juga pe-solek, pakaiannya indah-indah, dan kakek muka
kuning itu seperti orang gila, pakaiannya tidak karuan dan tak bersepa-tu. Betapapun juga,
kakek muka kuning itu tentu bukan tokoh sembarangan dari Pulau Neraka.
Dua hari dua malam lamanya Bun Beng berlayar dan akhirnya perahunya memasuki Sungai
Huang-ho. Dia mera-sa berterima kasih sekali kepada Pende-kar Super Sakti karena setelah
diobati oleh pendekar itu, kedua kakinya yang lumpuh mulai dapat ia gerakkan dan kedua
lututnya sudah hampir bersam-bung lagi, tidak begitu nyeri rasanya, juga dadanya tidak
sesak lagi. Akan te-tapi, selama dua hari itu, dia berpikir dan mengambil keputusan bulat
untuk tidak pergi ke Pulau Neraka. Dia benci harus bertemu dengan pemuda Pulau Neraka
itu yang dianggapnya amat som-bong. Dia tidak sudi merengek minta obat ke sana,
membayangkan betapa pe-muda tampan itu akan memandangnya penuh ejekan dan
hinaan. Hanya sedikit sekali harapan untuk bisa mendapatkan obat dari Pulau Neraka.
Bukankah ia mendengar desas-desus bahwa Pulau Ne-raka tidak bersahabat dengan Pulau
Es" Bukankah ketika ada pertemuan di pulau tengah Sungai Huang-ho dahulu, terjadi pula
pertentangan dan persaingan antara Pulau Neraka, Thian-liong-pang dan Pu-lau Es" Kalau
memang racun di dalam darahnya akan membuatnya mati, dia seratus kali lebih rela mati di
mana sa-ja daripada di Pulau Neraka, lebih dahu-lu harus mengalami penderitaan batin
kalau dihina dan diejek orang-orang Pulau Neraka. Yang lebih hebat lagi, kalau surat dari
Pendekar Super Sakti itu mereka tolak atau tidak mereka sambut dengan baik, betapa akan
menya-kitkan hatinya! Dan dia tentu takkan banyak berdaya terhadap penghuni-peng-huni
Pulau Neraka yang demikian lihai-nya.
Tidak, dia tidak mau ke Pulau Nera-ka dan teringat akan Sungai Huang-ho, dia tahu ke
mana dia harus pergi. Ke tempat di mana dia menemukan Sepasang Pedang Iblis! Ke
tempat di mana terda-pat sahabat-sahabatnya terbaik selama ini, yaitu sekumpulan kera
baboon dengan siapa ia pernah hidup selama berbulan-bulan lamanya! Tempat itulah yang
men-jadi tempat seorang manusia sakti, gurunya yang tak pernah dikenalnya, yang telah
meninggalkan Sepasang Pedang Iblis itu dan kitab pelajaran ilmu silat tinggi kepadanya.
Kalau dia kembali ke sana dan mati di sana, hanya sekum-pulan kera baboon itu saja yang
akan mengetahuinya, tiada seorang pun manu-sia lain yang akan melihat keadaannya.
Tiada seorang pun manusia pernah datang ke tempat itu, karena tidak ada yang tahu
bagaimana caranya. Hanya dia seoranglah yang tahu. Caranya mudah sekali biarpun penuh
bahaya maut, mempertaruhkan nyawa. Biasa saja, hanya terjun ke dalam pusaran maut,
membiar-kan pusaran itu yang menyeret tubuhnya ke bawah dan ia akan sampai di tempat
itu. Tentu saja kalau Tuhan menghendaki, kalau tidak, sekali dibenturkan pada ba-tu-batu di
bawah air oleh tenaga pusar-an air, tubuhnya akan remuk. Apa beda-nya" Dia toh akan mati
juga. Selama paling banyak setengah tahun, kata Pendekar Super Sakti!
Dengan keputusan hati yang bulat ini, Bun Beng berlayar menuju ke pulau di tengah muara
Sungai Huang-ho. Sepekan lamanya setelah perahunya masuk sungai itu, sampailah dia
dekat pulau dan lang-sung ia mengemudikan perahu menuju ke sebelah selatan pulau di
mana terdapat pusaran maut.
"Haiiii....! Orang muda, jangan ke sana.... berbahaya....!" Beberapa orang nelayan dari
perahu masing-masing ber-teriak-teriak memperingatkan Bun Beng, akan tetapi pemuda ini
tersenyum geli melihat tingkah para nelayan itu yang memperingatkan dia agar jangan
mendekati pusaran maut. Justeru pusaran air itulah tujuannya, tentu saja menggelikan sekali
melihat mereka memperingatkan dia jangan mendekati tempat itu. Dia malah menurunkan
layar dan mendayung perahunya cepat-cepat menuju ke pu-saran air, diikuti pandang mata
terbela-lak dan muka pucat oleh para nelayan yang tentu saja sudah mengenal tempat itu
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
313 yang amat ditakuti semua nelayan. Mereka berteriak-teriak kaget dan kasih-an ketika melihat
perahu dengan orang muda itu dicengkeram pusaran air, pera-hunya berputar-putar dan
tiba-tiba pemuda itu terlempar ke tengah pusaran sedangkan perahunya pecah berantakan
mengeluarkan suara keras. Perahu itu hancur berkeping-keping dan tubuh pemu-da itu
lenyap ditelan pusaran air! Semua nelayan menahan napas, kemudian hanya menggeleng-
geleng kepala melanjut-kan pekerjaan mereka, diam-diam menca-tat bahwa pusaran maut
itu kembali telah menelan nyawa seorang manusia yang agaknya masih asing dengan
dae-rah itu dan tidak tahu bahwa di situ terdapat pusaran air yang amat berbaha-ya.
Dalam keadaan setengah pingsan, se-telah terjun dan menyelam, tubuh Bun Beng terbawa
oleh pusaran air yang me-nyedotnya ke bawah. Ia merasa tubuh-nya dihanyutkan oleh
kekuatan yang amat dahsyat, yang membuat tubuhnya terpusing cepat sekali, ia merasa
tubuh-nya sakit-sakit akan tetapi sedikit pun dia tidak mau melawan karena dia mak-lum
bahwa melawan berarti mati. Tenaga yang demikian dahsyatnya hanya dapat dihadapi
dengan penyerahan total, tanpa perlawanan sedikitpun sehingga tubuhnya seperti sehelai
daun yang menurut sa-ja. Dalam keadaan pingsan, Bun Beng terus disedot ke bawah,
dihanyutkan dan ketika ia siuman kembali, seperti dahulu ketika ia masih kecil terjun ke
tem-pat ini, tahu-tahu ia mendapatkan diri-nya telah berada di mulut sebuah guha. Tubuhnya
terasa sakit-sakit dan pakaian-nya robek-robek, kulitnya babak bundas, berdarah di sana-
sini, agaknya karena ter-bentur dan tergurat batu-batu ketika pusaran air itu menghanyutkan
tubuhnya. Sambil mengeluh Bun Beng bangkit du-duk, memandang ke sekelilingnya yang
hanya batu-batuan belaka, dalam cuaca yang remang-remang dan ternyata dia berada di
mulut guha yang amat besar dan di sebelah kirinya terdapat air man-cur yang mengeluarkan
bunyi gemuruh. Ia menarik napas lega. Dua kali ia me-masuki pusaran maut, dan dua kali
seca-ra mujijat dia selamat! Dengan penuh harapan dan penuh rindu ia memandang ke
kanan kiri, menanti munculnya kera-kera baboon yang dahulu pernah menge-royoknya
kemudian menjadi sahabat-saha-batnya selama lebih dari setengah tahun. Akan tetapi sunyi
saja di situ, tidak tam-pak seekor pun kera dan suara apa-apa kecuali bunyi air terjun yang
bergemuruh. Ketika ia memandang penuh perhatian, ia merasa heran karena tempat di
mana ia pertama kali didaratkan oleh pusaran air tidaklah seperti sekarang ini. Dahu-lu tidak
ada air terjun yang demikian besar, dan ia dahulu didaratkan oleh gelombang air sungai
yang mengalir di dalam gunung batu. Sekarang, tidak tampak air mengalir di depannya yang
ada hanya air terjun itulah. Melihat le-tak dia mendarat, dia dapat menduga bahwa tentu dia
tadi terbawa oleh air itu dan terjatuh ke bawah bersama air terjun itu. Ia bergidik. Benar-
benar aneh. Kalau dia terjatuh bersama air itu, dengan kepala lebih dulu, tentu kepala-nya
akan pecah! Tidak salah lagi. Bukan ini tempat dia dahulu pertama kali dihanyutkan pu-saran air itu. Ini
adalah tempat lain lagi. Ia mencoba untuk menggerakkan kedua kakinya. Sudah dapat
digerakkan, akan tetapi masih terlalu lemah untuk dipa-kai berdiri. Ia merangkak dengan
hati-hati memasuki guha itu yang ternyata amat dalam dan setelah merangkak seja-uh dua
mil lebih, tibalah ia di tempat terbuka, penuh batu-batu liar dan mata-hari menyinari tempat
terbuka yang lu-as itu. Sunyi sekali keadaan di situ, yang ada hanya batu-batu besar tanpa
ada tetumbuhan atau pohon sebatang pun. Batu-batu yang agak basah dan licin. Tiba-tiba
Bun Beng berhenti bergerak ketika ia melihat sebuah meja di tengah tempat terbuka itu!
Meja kecil dari kayu, sebuah tempat lilin dekat meja dan di atas meja terda-pat sebuah
kitab! Tentu ada manusia-nya, karena lilin itu menyala, menyorot-kan sinarnya ke atas meja
yang tertu-tup bayangan batu dinding tinggi! Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari
se-belah kiri, Bun Beng menahan napas ke-tika melihat bahwa orang itu adalah se-orang
wanita yang berkerudung mukanya. Ketua Thian-liong-pang! Celaka, pikirnya. Kiranya
tempat ini adalah tempat raha-sia, agaknya menjadi tempat persembu-nyian Ketua Thian-
liong-pang! Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
314 Wanita itu agaknya yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain, maka dengan tenang ia
membuka kerudung mukanya. Jantung Bun Beng berdebar te-gang. Ia segera mengenal
wanita cantik ibu Milana yang pernah dilihatnya keti-ka wanita ini bertemu dengan Pendekar
Super Sakti, memperebutkan anak mere-ka, Milana! Hatinya diliputi keheranan besar.
Wanita itu amat cantik jelita, se-perti Milana dan kelihatan masih muda. Mukanya berkulit
putih halus, agaknya karena jarang terkena sinar matahari, dan sepasang matanya tajam
luar biasa. "Singgg....!" Wanita itu mencabut se-batang pedang, kemudian menghampiri meja dan
membalik-balik lembaran kitab yang berada di atas meja. Agaknya dia mencari-cari dan
setelah bertemu dengan halaman yang dicarinya, kitab itu dibiar-kan terbuka, dibaca


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebentar dengan alis berkerut, kemudian membuat gerakan dengan pedang perlahan-lahan
seperti seorang mempelajari sebuah jurus ilmu pedang. Jurus yang aneh sekali dan bi-arpun
digerakkan perlahan, pedang itu mengeluarkan bunyi berdesing-desing, na-ik turun suaranya
ketika gerakan-gerak-annya berubah sehingga seperti saling ditiup melagu! Kemudian
wanita itu me-langkah ke belakang tiga tindak dan ma-inkan jurus dengan cepat. Bukan
main! Pandang mata Bun Beng menjadi silau karena pedang itu lenyap menjadi segulung
sinar putih seperti kilat yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing aneh. Akan tetapi, yang
membuat dia terhe-ran-heran adalah persamaan jurus itu dengan jurus dari ilmu silat dalam
kitab yang ditemukannya dahulu, dalam Sam-po-cin-keng!
Tiba-tiba dia melihat hal yang aneh terjadi pada diri wanita itu. Setelah ber-silat pedang
beberapa lamanya, mengu-lang-ulang jurus aneh itu, tiba-tiba wanita itu terhuyung ke depan
dan terde-ngar suaranya penuh penyesalan. "Kepa-rat! Selalu terserang pusing dan sesak
bernapas setiap mainkan jurus ini! Apa-nya yang kurang?" Saking marah dan penasaran,
tiba-tiba wanita itu sambil menahan keseimbangan tubuhnya, melon-tarkan pedang itu ke
belakang tanpa menengok, melalui kepalanya.
"Wuuuttt.... singggg....!" Pedang ter-bang melayang ke arah Bun Beng!
"Ceppp!" Pedang itu menancap pada batu yang berada di depan Bun Beng, me-nancap
sampai tembus, dan ujungnya hampir mengenai pelipis kiri Bun Beng, hanya kurang
beberapa sentimeter lagi!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda itu yang cepat melemparkan tu-buh ke
belakang, terlentang dan tak be-rani bernapas, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Ia
hanya terlentang tan-pa berani berkutik, memandang ke arah ujung pedang itu.
Terdengar olehnya langkah kaki agak diseret. Tentu wanita itu masih belum pulih
keadaannya yang secara aneh se-perti orang terserang dari dalam tubuh sendiri dan
membuatnya tadi terhuyung.
"Sratttt!" Ujung pedang yang tampak oleh Bun Beng itu lenyap, tanda bahwa pedangnya
telah dicabut orang dari batu itu, kemudian terdengar suara wanita itu penuh penasaran dan
kecewa. "Kitab yang mengandung ilmu iblis! Cara berlatih sin-kang telah kupelajari, gerakan
pedangku pun menurut petunjuk dan sudah benar, mengapa kepalaku menjadi pening dan
napas sesak seperti terpukul ketika mainkan jurus ke tiga belas itu" Mengapa tidak ada
petunjuk cara mengatur napas" Gila benar! Setahun lebih mempelajarinya, macet pada jurus
ke ti-ga belas!"
Dengan jantung masih berdebar te-gang, Bun Beng bangkit lagi, mengintai dari celah-celah
batu karang. Untung bahwa suara air terjun yang jauhnya dua mil lebih itu agaknya
menerobos te-rowongan guha dan menimbulkan suaraa gemuruh sehingga gerakannya
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
315 tidak da-pat terdengar oleh wanita lihai itu. Kini ia melihat wanita itu menyimpan kemba-li
pedangnya, memakai kerudung penutup kepala, kemudian dengan langkah perlahan dan
lesu wanita itu meniup padam lilin, dan berjalan menuju ke sebuah pin-tu besi yang tertutup
oleh beberapa buah batu besar. Wanita itu mendorong sebu-ah batu di ujung kanan dan
terbukalah daun pintu itu. Wanita itu masuk dan daun pintu tertutup kembali.
Namun, sampai sejam lebih, Bun Beng belum berani keluar dari tempat sembunyinya,
khawatir kalau-kalau wani-ta itu tiba-tiba muncul kembali. Tak dapat dibayangkan, apa yang
akan terja-di kalau dia bertemu dengan wanita itu. Mungkin dia dibunuhnya mungkin
disiksa-nya, siapa yang dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh wanita cantik jelita
yang berwatak seperti setan itu"
Setelah hampir dua jam menanti dan merasa yakin bahwa wanita itu tidak akan muncul,
Bun Beng merangkak kelu-ar dari belakang batu menghampiri me-ja. Lututnya sudah tak
terasa nyeri, hanya masih lemah, maka dengan berpe-gang pada meja, ia dapat
mengangkat tubuh berdiri. Dengan tangan kiri mena-han, menekan ujung meja, tangan
kanan-nya memeriksa kitab yang terletak di atas meja itu. Kitab yang tidak berjudul, akan
tetapi di dalamnya terkandung pe-lajaran samadhi menghimpun sin-kang yang aneh, dan di
bagian belakangnya ter-dapat pelajaran ilmu silat pedang yang gerakan-gerakannya mirip
dengan gerakan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng.
Bun Beng tertarik sekali. Tanpa disengaja ia tiba di tempat itu, dan tidak ada jalan keluar
baginya berarti bahwa agaknya dia harus tinggal di situ, sam-pai kematian merenggutnya.
Daripada termenung memikirkan nasib, dia seba-gai seorang penggemar ilmu silat, tentu
saja kitab itu merupakan hiburan besar baginya, untuk mengisi kekosongan. Mu-lailah ia
membaca bagian pertama, bagi-an berlatih sin-kang. Dia sudah banyak melatih sin-kang
dengan cara samadhi yang berlainan, yang ia pelajari dari mendiang gurunya, Siauw Lam
Hwesio, dan dari Siauw-lim-pai, di mana dia me-nerima tuntunan dari Ketua Siauw-lim-pai
sendiri, yaitu Ceng Jin Hosiang. Ke-mudian ia pun mempelajari cara sama-dhi dam melatih
sin-kang dari pelajaran yang dulu ia baca dari Kitab Sam-po-cin-keng. Kini, pelajaran dari
kitab kuno itu mempunyai cara tersendiri, sungguhpun mirip dengan cara yang diajarkan di
Sam-po-cin-keng, namun terdapat perbe-daan cara perkembangannya.
Setelah membaca dan menghafal ba-gian terdepan, yaitu cara bersamadhi, ia berhenti dan
membuka kitab itu pada halaman seperti tadi sebelum dibacanya, yaitu halaman dua puluh,
karena perut-nya terasa lapar sekali. Dia mulai merasa bingung. Apa yang akan dimakannya
untuk mengisi perutnya" Tidak ada seba-tang pun pohon di situ, dan agaknya tidak ada
seekor pun binatang. Dia mu-lai merangkak di antara batu-batu, dan mencari-cari. Akhirnya,
di bagian yang tertutup bayangan, yang agak gelap dan hanya kadang-kadang saja terkena
sinar matahari, dia menemukan banyak jamur yang bentuknya seperti payung, warna-nya
agak kemerahan dan baunya amis se-perti darah.
Bun Beng memetik sebuah kepala jamur dan membawanya ke tempat terang. Jamur itu
warnanya merah dan bersih, kelihatan enak sekali, akan tetapi begi-tu ia dekatkan ke mulut,
bau amis mem-buat ia muak dan dia tidak jadi mema-kannya. Kemudian ia teringat akan
ucap-an mendiang suhunya mengenai manusia, di antaranya tentang cara manusia ma-kan.
Terngiang di telinganya suara gurunya itu,
"Bun Beng, manusia pada umumnya menderita dalam hidupnya, terjadi perten-tangan
dalam batinnya sendiri karena seluruh gerak-geriknya dikuasai dan diken-dalikan oleh
nafsunya. Penggunaan pan-ca indrianya sudah tidak pada tempat-nya lagi. Lihat saja kalau
manusia ma-kan. Apakah sebetulnya maksud dari ma-kan" Apakah manfaat dan
kegunaannya?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
316 "Agar perut yang lapar menjadi ke-nyang, agar dia tidak mati kelaparan Suhu," jawabnya
dahulu, ketika ia baru berusia belasan tahun.
"Benar, dan agaknya semua manusia mengerti akan hal itu. Akan tetapi pe-ngertian itu
hanya menjadi hafalan ko-song belaka, karena tidak demikianlah prakteknya dalam hidup.
Manusia makan bukan untuk perut lagi, melainkan untuk mulut! Karena itu, bukan sang perut
yang diingat di waktu makan, melainkan sang mulut! Bukan manfaatnya bagi sang perut lagi
yang dipentingkan melainkan kelezatan bagi sang mulut sehingga hi-langlah arti
sesungguhnya daripada ma-kan. Maka timbullah bermacam perten-tangan batin, timbullah
keinginan untuk mendapatkan yang enak-enak bagi sang mulut. Manusia tidak peduli lagi
akan arti makan bagi perut, melainkan mencu-rahkan perhatiannya untuk mendapatkan
makan yang enak bagi mulut, tidak menghiraukan lagi apakah makanan itu baik bagi perut
atau tidak."
Sekarang dia baru mengerti akan te-patnya ucapan suhunya itu, dan ia mengingat akan
wejangan selanjutnya.
"Seperti juga dengan mulut, manusia menyalahgunakan mata, telinga, hidung dan semua
panca indrianya. Lupa lagi akan tugas sesungguhnya daripada se-mua anggauta yang
menjadi alat hidup itu sehingga semuanya dikuasai oleh naf-su ingin nikmat, ingin senang
tanpa men-jenguk faedahnya. Maka selalu mencari pemandangan yang indah-indah dan
me-rangsang, yang enak bagi nafsu. Telinga selalu mencari pendengaran yang indah bagi
nafsu, hidung pun ingin selalu men-cium yang sedap-sedap bagi nafsu, tan-pa mengingat
lagi akan kemanfaatannya. Dengan demikian, hidup ini menjadi kosong dan tidak berarti,
hanya menjadi gerak pemuasan sang nafsu, menjadi bu-dak pengabdi keinginan nafsu
belaka!" Teringat akan ini, di tempat sunyi itu, dalam menghadapi maut, pikiran Bun Beng menjadi
jernih dan dapat menang-kap arti daripada ucapan suhunya itu, baru terbuka mata batinnya.
Ia meman-dang lagi jamur di tangannya, kemudian dengan menekan nafsu yang menguasai
hidupnya, lenyaplah bau amis dan lenyap pula kemuakannya, dan dimakanlah jamur itu. Dia
tidak mempedulikan lagi rasa-nya karena tidak mau lagi dikuasai naf-su, yang diperhatikan
hanyalah perutnya yang butuh isi. Setelah menghabiskan tiga buah jamur, perutnya menjadi
kenyang. Akan tetapi tiba-tiba perutnya terasa sakit seperti diremas-remas. Dia pergi sampai
ke sudut dan membuang air besar di antara batu-batu basah, demikian hebat perutnya
terku-ras sampai dia jatuh pingsan, diam-diam dia mengeluh bahwa jamur yang
dima-kannya itu tentulah mengandung racun yang akan membunuhnya. Akan tetapi dia tidak
merasa menyesal, juga tidak takut karena memang dia tahu bahwa dia sedang menghadapi
kematian. Mati sekarang atau beberapa bulan lagi, apa bedanya"
Bun Beng siuman kembali. Sebelum membuka mata, dia mendengar suara mengiang-
ngiang diseling suara berdetak seperti tambur dipukul, ataukah kepala-nya yang dipukuli
dengan irama teratur" Dia membuka matanya. Tidak ada siapa-siapa di situ, dan kepalanya
tidak dipu-kuli orang. Akan tetapi suara itu masih terus berbunyi, mengiang-ngiang dan
ber-detak-detak. Ketika ia memperhatikan, kiranya yang terdengar mengiang-ngiang adalah
desir darahnya sendiri dan suara berdetak adalah denyut jantungnya! Wah, racun jamur
bekerja dan aku akan mati, pikirnya.
Akan tetapi, biarpun dia menanti da-tangnya maut sampai berjam-jam, maut tidak datang
menjemput, bahkan suara itu makin lama makin melemah akhir-nya lenyap. Jalan darahnya
normal kem-bali. Ia bangkit duduk dan aneh, lutut-nya tidak selemas tadi! Perutnya tidak
nyeri lagi, dan masih terasa kenyang.
Wajah pemuda itu berseri gembira. Ia teringat akan kata-kata suhunya lagi, dan dia tidak
peduli. Karena yang ada hanya jamur, jamur pulalah yang akan dimakannya kalau perutnya
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
317 membutuhkan. Dia tidak perlu khawatir akan kebutuh-an air. Di banyak tempat terdapat air
bertitik, bahkan ada yang mengucur kecil dari celah-celah batu. Dan jamur merah banyak
sekali terdapat di situ, tidak akan habis dimakan bertahun-tahun karena tentu akan tumbuh
lagi. Jamur itu yang jelas mengenyangkan perutnya.
Makin giranglah hatinya setelah men-dapat kenyataan bahwa kini perutnya ti-dak mulas
lagi, hanya ia selalu mesti buang air setelah makan jamur, dan ke-dua lututnya cepat sekali
sembuh, tena-ganya pulih.
Pada hari ke tiga, Bun Beng mulai melatih diri dengan samadhi seperti yang diajarkan di
dalam kitab kuno di atas meja itu. Untuk menjaga agar dia dapat bersembunyi dan
mengetahui kalau wani-ta itu muncul, dia menumpuk beberapa batu sebesar kepalan tangan
di depan pintu rahasia. Kalau wanita itu muncul, tumpukan batu itu tentu akan runtuh dan
mengeluarkan bunyi yang dapat membuat dia cepat bersembunyi.
Kekuasaan Tuhan memang tak dapat terlawan oleh kekuasaan apa pun juga. Kalau Tuhan
belum menghendaki seseo-rang mati, ada saja jalan yang ditempuh orang itu tanpa
disadarinya. Demikian-lah pula dengan keadaan Bun Beng. Pe-muda ini sudah jelas
keracunan darah-nya, dan Pendekar Sakti Suma Han sen-diri sudah memeriksa dan
menyatakan bahwa kalau tidak mendapatkan obat, pemuda itu hanya akan dapat hidup
pa-ling lama setengah tahun saja! Akan tetapi, karena terpaksa, tidak ada ma-kanan lain
kecuali jamur merah, dan karena sadar akan wejangan mendiang suhunya, Bun Beng nekat
makan jamur, sama sekali tidak tahu bahwa jamur itu mengandung racun yang amat kuat.
Racun terhisap oleh darahnya dan bertemu dengan racun di dalam darahnya aki-bat
perbuatan Pendeta Maharya dan betapa ajaibnya, kedua racun itu adalah racun yang
sifatnya bertentangan sehingga saling membunuh! Andaikata Bun Beng tidak keracunan
darahnya, tentu dia akan mati oleh racun jamur. Kini, racun jamur itu malah menjadi "obat"
yang menghilangkan ancaman maut oleh ra-cun yang berada dalam darahnya. Tentu saja
Bun Beng tidak tahu akan hal ini, hanya dia merasa betapa kesehatannya pulih kembali
dengan cepat. Dengan hati-hati sekali ia menjaga diri agar jangan sampai ketahuan oleh Ketua Thian-
liong-pang yang ternyata datang ke tempat itu kurang lebih sebu-lan sekali. Setiap kali
datang melalui pintu rahasia itu, Bun Beng cepat ber-sembunyi dan mengintai, dan dia
kembali menyaksikan betapa wanita sakti itu selalu macet kalau berlatih ilmu pe-dang
sampai ke jurus tiga belas! Selalu terhuyung-huyung dan mukanya menjadi pucat, napasnya
menjadi sesak. Dengan tekun Bun Beng melatih sin-kang menurut petunjuk kitab itu. Tiga bulan kemudian
pelajaran ini selesai di-latihnya dan dengan girang sekali ia mendapat kenyataan bahwa
tenaga sin-kangnya meningkat secara luar biasa se-kali, beberapa kali lipat lebih kuat
daripada sebelum ia berlatih. Yang lebih menggirangkan hatinya lagi, setelah melatih diri
dengan sin-kang menurut petun-juk kitab itu, dia kini mampu melaku-kan Ilmu Silat Sam-po-
cin-keng dengan ringan dan mudah, bahkan dia dapat me-lakukan gerakan dengan cara
ilmu memindahkan tenaga dengan tepat sekali. Untuk ilmu memindahkan tenaga ini ia
berlatih dengan batu besar yang ia lon-tarkan ke atas. Ketika batu itu melun-cur ke arah
tubuhnya, ia mengikuti ge-rakan batu itu, mengerahkan sin-kang ke ujung tangan yang
berlawanan kemudian ia memindahkan tenaga luncuran ba-tu itu ditambah sin-kangnya
sendiri menghantam dari samping, membuat ba-tu itu pecah berantakan!
Setelah selesai melatih sin-kang, mu-lailah ia mempelajari ilmu pedang yang terdapat dalam
kitab itu. Kembali ia tercengang. Ilmu pedang itu memiliki ge-rakan yang hampir sama
dengan Sam-po-cin-keng sehingga dengan mudah ia dapat melatih diri, menggunakan
pedang-pedangan batu yang ia buat dari batu karang yang banyak terdapat di tempat itu.
Ilmu pedang ini terdiri dari tiga puluh enam jurus dan dia melatih setiap jurus dengan teliti
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
318 dan hati-hati sekali dan betapa herannya ketika ilmu pedang yang hampir serupa dengan
Sam-po-cin-keng itu ternyata setiap jurusnya merupa-kan lawan dari jurus-jurus Sam-po-cin-
keng! Agaknya ilmu pedang ini memang sengaja dicipta orang sakti untuk menan-dingi Sam-
po-cin-keng! Untuk setiap jurus ia latih sampai selama tiga hari, dan makin mendekati jurus ke tiga belas,
dia makin berhati-hati. Akan tetapi ketika tiba saatnya ia melatih jurus ke tiga belas ini, dia
da-pat mainkan jurus itu dengan baik dan tidak terjadi sesuatu dengan dirinya, seperti yang
diderita oleh Ketua Thian-liong-pang! Bun Beng menjadi tercengang dan termenung setelah
selesai melatih ju-rus ke tiga belas ini. Mengapa dia bisa mainkan dengan baik sedangkan
Ketua Thian-liong-pang yang jauh lebih lihai daripada dia itu tidak mampu" Pemuda ini tidak
tahu bahwa kini ilmu sin-kangnya sudah amat tinggi, hampir menan-dingi sin-kang Ketua itu,
dan tidak tahu bahwa Ketua itu gagal karena tidak me-nguasai peraturan pernapasan ketika
mempelajari jurus ke tiga belas itu! Adapun Bun Beng sendiri, biarpun tidak mempelajari
pernapasannya karena kitab itu tidak lengkap namun dia telah mem-pelajari pengaturan
napas ketika main-kan Sam-po-cin-keng sedangkan ilmu pedang itu dasarnya sama dengan
Sam-po-cin-keng, bahkan menjadi imbangan-nya. Dengan girang sekali Bu Beng men-dapat
kenyataan bahwa telah lima bulan lebih ia berada di tempat itu, dan kese-hatannya terasa
makin baik! Dia telah sembuh! Secara aneh dia telah sembuh! Kalau tidak, tentu dia
sekarang telah mati seperti yang dikatakan Pendekar Super Sakti. Pendekar itu tidak
mungkin membohonginya. Jamur itu! Kini ia da-pat menduga bahwa tentu jamur-jamur itu
yang menyembuhkannya, maka diam-diam ia menjadi girang dan bersyukur sekali.
Sampai tiga bulan lebih ia mempela-jari ilmu pedang dan akhirnya ia da-pat mainkan semua
jurus ilmu pedang itu dengan baiknya. Dia sendiri tidak sa-dar bahwa ketika ia mainkan batu
kecil panjang seperti pedang itu, terde-ngar suara nyaring melengking dan tam-pak sinar
berkelebatan yang mengandung hawa sebentar panas sebentar dingin!
Selama itu, dia selalu bersembunyi kalau Si Ketua Thian-liong-pang muncul. Dia kini telah
selesai melatih diri, dan penyakitnya pasti telah sembuh, maka timbullah keinginan hatinya
untuk kelu-ar dari tempat itu. Tak mungkin dia se-lamanya akan tinggal di tempat itu se-telah
kini dia tidak terancam maut. Akan tetapi bagaimana mungkin dia da-pat keluar dari situ"
Dia bersikap sabar dan karena kini dia menduga bahwa jamur-jamur yang setiap hari
dimakannya itu mengandung obat yang menyembuhkannya, maka kini dia mulai mencoba
jamur lain karena se-lain jamur merah, di situ terdapat jamur putih, biru, hijau dan lain-lain.
Selama ini yang dimakannya hanyalah ja-mur merah yang amis karena ternyata bahwa
jamur itu selain mengenyangkan perut, juga dapat menahan dia sehing-ga tidak kelaparan.
Kini setelah sembuh, timbul keinginan hatinya untuk mencoba jamur yang lain.
Pertama-tama dia mencoba jamur yang putih. Jamur ini kepalanya berben-tuk segi lima
ujungnya meruncing se-perti topi seorang petani, baunya tidak amis akan tetapi rasanya
agak pahit. Begitu dia makan tiga buah, dia merasa mengantuk sekali, Bun Beng duduk
ber-sandar batu karang dan merasa betapa selain mengantuk, juga tubuhnya makin lama
makin terasa panas! Mula-mula ra-sa panas hangat-hangat ini nyaman seka-li, dan ada
perasaan girang luar biasa di dalam hatinya. Akan tetapi makin la-ma, terdapat perasaan
yang amat aneh, yang membuat seluruh urat-urat syaraf menegang dan dia menjadi gelisah
bukan main. Dorongan hasrat nafsu berahi yang amat hebat membakar tubuhnya, membuat
dia menderita hebat sekali, gelisah dan bingung, mengerang-ngerang seperti orang dibakar
perlahan-lahan, berguling-an ke sana-sini untuk melawan dan me-nekan hasrat yang
meluap-luap itu. Ter-bayanglah di depan mata, di dalam otak dan di hatinya, wajah-wajah
jelita dari Milana, Kwi Hong dan Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang manis itu. Ter-bayang
olehnya betapa mereka itu bergan-ti-ganti tersenyum, bersikap manis dan bergema di
telinganya suara mereka yang seperti merayunya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
319 "Aduhhh.... gila! Aku telah gila....!" Ia menjambak rambutnya, menampari dahinya, namun
tetap saja bayangan tiga orang dara jelita itu berganti-ganti menggodanya, membuat nafsu
berahinya makan memuncak.
Semalam suntuk Bun Beng mengalami penderitaan yang selama hidupnya belum perah dia
alami. Dia merasa tersiksa se-kali, akan tetapi juga diam-diam mera-sa beruntung bahwa
pada saat itu dia berada seorang diri. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan
dilakukannya, apa yang akan terjadi andaikata di waktu itu ada seorang di antara tiga orang
gadis itu yang berada di dekatnya! Dia tak dapat bertahan lagi! Setelah matahari terbit pada
keesokan harinya, barulah dia terbebas daripada siksaan menggila itu. Seluruh tubuhnya
terasa lemah dan lelah sekali, akan tetapi tubuhnya tidak panas dan denyut jantung-nya
normal kembali. Ia cepat mandi di bawah air terjun di depan guha, membi-arkan air terjun


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyiram kepala dan seluruh tubuhnya sehingga dia kembali merasa segar.
Ketika dia kembali ke dalam, dia bergidik melihat jamur putih dan berjan-ji tidak akan
mencoba-coba lagi makan jamur setan itu! Diam-diam ia merasa heran mengapa jamur-
jamur di situ mengandung daya yang demikian mujijat.
Ia kini melirik ke arah jamur biru dan jamur hijau. Akan dicobanya jugakah jamur-jamur ini"
Bagaimana kalau mengandung racun yang lebih mengerikan lagi" Betapapun juga, hatinya
takkan pernah merasa puas sebelum ia mencobanya. Dia telah makan jamur merah selama
setengah tahun di tempat itu dan akibat-nya malah menguntungkan dirinya. Dia telah pula
mencoba jamur putih yang bi-arpun membuat dia tersiksa hebat sema-lam suntuk, namun
pengalaman itu pun tidak merugikannya. Apa salahnya kalau dia mencoba jamur yang lain"
Dengan hati-hati ia makan sebuah jamur biru, sebuah saja karena dia su-dah kapok, tidak
berani makan banyak sehingga andaikata jamur itu beracun pu-la, pengaruh racunnya tidak
terlalu he-bat. Dan jamur ini lezat rasanya! Tidak berbau, dan rasanya gurih seperti
di-garami! Dengan jantung berdebar dia duduk bersandar batu karang, menanti akibat dari jamur biru
itu. Suara air terjun bergemuruh terdegar dari situ. Tiba-tiba ia terbelalak, kemudian
memejamkan matanya. Apakah ini" Mabokkah dia" Suara air bergemuruh itu kini lain se-kali
didengarnya. Seperti berubah menja-di berlagu dan berirama! Begitu indah-nya, seolah-olah
bukan suara air terjun, melainkan selosin macam alat musik ditabuh oleh tangan orang-
orang ahli! Seperti dalam mimpi, Bun Beng membi-arkan pikirannya melayang-layang
ter-buai dan seolah-olah diayun dan dibawa terbang oleh suara air terjun yang ber-ubah
menjadi musik merdu itu.
"Aihh, jangan-jangan aku telah menja-di gila sekarang," pikirnya dan ia cepat membuka
matanya. Ia terbelalak dan mulutnya ternganga melihat cahaya matahari yang kini menjadi
berwarna-war-ni, seperti pelangi! Dan batu-batu itu, begitu indah bentuknya dan begitu
pe-nuh rasa seni! Benarkah semua ini" Tem-pat itu dalam pandang matanya seolah-olah
menjadi berbeda sekali, menjadi se-perti.... ah, agaknya sorga begitulah macamnya! Dia
menggerakkan kaki ta-ngannya dan hampir dia berteriak. Dia seperti melayang-layang! Dia
masih du-duk di situ, akan tetapi merasa seolah-olah tubuhnya melayang, terbang di antara
sinar matahari yang berwarna-warni indah sekali. Seperti dewa-dewa kalau terbang di antara
mega-mega di angkasa.
Di antara keadaan sadar dan tidak sadar, Bun Beng mengalami hal yang benar-benar
mentakjubkan, indah luar biasa, dan nikmat rasanya. Dia tidak sadar lagi akan keadaan
sekitarnya, se-mua nampak indah, bahkan dia tidak kaget atau tidak takut ketika melihat
pintu rahasia itu terbuka dan seorang wanita berkerudung meloncat keluar da-ri pintu, dan
terdengar wanita itu berse-ru kaget dan meloncat cepat, tahu-tahu telah berdiri di depannya.
Bun Beng me-mandangnya dengan tersenyum manis dan ramah, senyum sewajarnya
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
320 seolah-olah dia bertemu dengan seorang saha-bat lama, atau seorang bidadari kahyang-an.
Memang pantasnya bidadari! Bentuk tubuh yang amat indah, dan biarpun ke-palanya
ditutupi kerudung, namun keli-hatannya pantas dan serasi dengan tu-buhnya!
"Kau...." Gak Bun Beng....?" Ketua Thian-liong-pang itu membentak, penuh keheranan,
kekagetan dan juga kema-rahan.
Bun Beng tersenyum lebar, bangkit berdiri dan memberi hormat. Suaranya penuh
kegirangan dan kejujuran ketika ia berkata, "Benar, Locianpwe, saya Gak Bun Beng.
Selamat bertemu dan semoga Locianpwe selalu bahagia dan sehat se-perti saya!"
Agaknya jawaban ini membuat Ketua Thian-liong-pang sedemikian herannya sehingga lupa
akan kemarahannya. "Ba-gaimana kau bisa berada di sini?"
"Saya" Saya terbang.... heh-heh, sa-ya.... saya hanyut oleh air sorga, sampai di sini,
senang sekali, Locianpwe. Betapa indahnya sorga ini.... heh-heh...."
Sepasang mata di balik kerudung itu berkilat dan Nirahai, wanita berkeru-dung itu,
mengerutkan alisnya. Heran se-kali, pikirnya, bagaimana bocah ini bisa masuk ke sini" Dia
melihat sikap dan mendengar bicaranya, agaknya anak ini telah menjadi gila!
Pada dasarnya, Nirahai bukanlah seorang yang kejam. Sama sekali tidak. Dia dahulu
adalah puteri Kaisar yang sejak kecil telah mempelajari segala macam dasar kebajikan dari
kitab-kitab kesusasteraan kuno yang penuh filsafat di samping ilmu silat yang tinggi.
Memang wataknya keras dan berdisiplin karena dialah dahulu menjadi panglima kerajaan
ayahnya, memimpin pasukan pembasmi kaum pemberontak yang amat disegani. Memang
wataknya berubah menjadi di-ngin karena tekanan batin setelah dia berpisah dari suaminya,
Pendekar Super Sakti, dan rasa sakit hati karena merasa disia-siakan suaminya yang
tercinta itu membuat dia menjadi makin keras dan dingin, namun hal ini sama sekali bukan
mengubahnya menjadi seorang yang ber-watak kejam. Dia tadinya bermaksud membunuh
Bun Beng, karena pemuda ini selain telah mengacaukan Thian-liong-pang dan telah
membunuh orang-orang-nya, juga telah mengetahui rahasianya bahwa Ketua Thian-liong-
pang yang se-lalu menyembunyikan keadaan dirinya di balik kerudung, sebetulnya adalah
is-teri Pendekar Super Sakti. Di samping itu, karena tahu pula bahwa pemuda ini adalah
anak haram dari datuk sesat Gak Liat, maka dianggapnya bahwa anak itu pun keturunan
seorang jahat yang berwatak rendah dan jahat pula. Akan teta-pi, ketika tanpa disangka-
sangkanya pemuda itu tahu-tahu muncul di dalam tempat rahasianya ini dalam keadaan
seperti orang gila, dia menjadi tidak tega untuk membunuhnya dan merasa kasihan di
samping keheranannya bahwa pemuda itu yang tadinya ia lihat lum-puh dan terluka hebat,
masih belum mati, bahkan tidak lumpuh lagi.
"Bocah gila, berapa lama engkau berada di sini?"
"Ha-ha-ha, Lociapwe baru tahu se-karang, ya" Saya sudah lama sekali di sini, sudah
setengah tahun. Ha-ha.... su-dah habis kitab itu saya pelajari....!"
"Apa...." Kau....!" Nirahai meloncat ke depan, tangannya bergerak mencengke-ram ke arah
pundak Bun Beng.
"Wuuutttt.... heeeiiihhh!" Dengan ge-rakan yang ringan dan mudah saja Bun Beng miringkan
tubuhnya dan Nirahai berturut-turut melanjutkan cengkeraman-nya sampai tiga kali, tetap
saja ia men-cengkeram angin dan pemuda itu dapat mengelaknya dengan mudah. Diam-
diam ia terkejut menyaksikan gerakan yang luar biasa ringan dan gesitnya itu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
321 "Heii, tahan dulu, Locianpwe! Jangan main-main dengan pukulan berbahaya!" Bun Beng
mengangkat tangan, sikapnya riang dan wajahnya berseri, tubuhnya bergoyang-goyang,
karena terasa amat ringan, seolah-olah melayang-layang. Sedikitnya tidak ada pikiran takut,
kha-watir atau apa saja karena pikiran itu kosong, pandang matanya menjadi te-rang,
pikirannya terang dan ia merasa seolah-olah dunia, semua benda, dirinya dan juga Ketua
Thian-liong-pang itu telah berubah sama sekali, semua kelihat-an menyenangkan hati! Inilah
akibat dia makan jamur biru yang ternyata mengan-dung racun yang hebat dan luar biasa,
lebih hebat daripada racun dan ganja dan madat! Racun jamur biru ini mem-pengaruhi
syaraf dalam otak, membuat dia tidak memikirkan, tidak membayangkan sesuatu. Segala
rasa khawatir, ta-kut, marah dan lain-lain timbul dari pikiran dan ingatan. Pikiran
menggambarkan rasa takut, khawatir, iri, dengki dan lain-lain. Maka setelah pengaruh racun
itu melenyapkan bayangan ini, dalam keadaan kosong dan bersih pikir-an mereka jadi
terang, pandang mata pun tidak dipengaruhi nafsu yang timbul dari pikiran. Itulah sebabnya
maka sega-la hal tampak, terdengar, dan terasa amat indah oleh Bun Beng, karena jauh
berbeda daripada biasa. Pikiran yang dibebani segala macam kekhawatiran, ke-takutan dan
macam-macam perasaan lain mengeruhkan pandangan dan pende-ngaran, seperti yang
diderita oleh se-mua manusia. Namun, dalam keadaan istimewa itu, Bun Beng menghadapi
ke-nyataan yang lain daripada biasanya.
"Locianpwe, saya telah mempelajari semua isi kitab dengan baik. Bukankah itu
menyenangkan sekali?"
Nirahai yang sudah mengangkat ta-ngan itu menurunkan lagi tangannya dan memandang
tajam penuh keraguan. Je-las bahwa bocah ini lebih gesit daripada dahulu ketika membuat
kekacauan di Thian-liong-pang, pikirnya. Melihat sikap dan bicaranya, seperti orang yang
mi-ring otaknya. Mana mungkin dia berada di sini selama setengah tahun tanpa dia ketahui"
Apalagi mempelajari seluruh isi kitab. Akan tetapi, siapa tahu"
"Kau sudah mempelajari semua isi kitab dengan hasil baik" Juga ilmu pe-dangnya?" Ia
bertanya, tertarik karena selama setahun lebih dia masih belum berhasil melatih ilmu pedang
dari kitab itu, selalu gagal dalam jurus ke tiga belas dan seterusnya!
"Heh-heh, tentu saja, Locianpwe selalu gagal dan tersandung dalam jurus ke tiga belas dan
ke empat belas."
"Apa....?" Mata Nirahai terbelalak dan kini dia mencurahkan perhatiannya. Kalau anak ini
dapat tahu akan hal itu, berarti belum tentu dia membohong bahwa dia telah lama berada di
sini dan telah mempelajari isi kitab!
"Dan engkau mengatakan telah berhasil mempelajari semua ilmu pedang itu" Ahh, siapa
mau percaya omongananmu" Kulihat, sebatang pedang pun engkau tidak mempunyai."
"Saya mempergunakan pedang ini, Locianpwe." Bun Beng memungut batu kecil panjang
menyerupai bentuk pedang dan mengangkat ke atas sambil tersenyum lebar.
"Gak Bun Beng, kalau benar engkau telah dapat menguasai Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-
sut...." "Aihh, namanya Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit)" Bukan main! Locianpwe
tentu ingin mengetahui bagaimana saya mainkan ilmu itu, bukan?"
Nirahai mengangguk, kagum akan kecerdikan pemuda yang seperti gila itu.
"Terutama jurus ke tiga belas dan seterusnya, bukan?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
322 Kembali Nirahai mengangguk, kini kekagumannya bercampur keheranan. Pemuda itu
seolah-olah dapat membaca isi hati dan pikirannya. Memang demikianlah, dalam keadaan
terpengaruh racun jamur biru itu, ketika pikiran Bun Beng kosong bersih, pandang matanya
menjadi tajam luar biasa.
"Nah, lihatlah, Locianpwe!" Pemuda itu lalu menggerakkan pedang batunya, bersilat pedang
mulai dari jurus ke tiga belas. Gerakannya demikian gesit dan sempurna sehingga Nirahai
memandang bengong, penuh keheranan dan iri hati karena dia mendapat kenyataan betapa
Bun Beng benar-benar dapat mainkan jurus-jurus itu, ke tiga belas sampai terakhir, dengan
lancar, sempurna, dan sama sekali tidak membawa akibat buruk seperti yang telah
dialaminya. Pedang batu itu mengeluarkan bunyi berdesing, melengking seperti suling ditiup,
dan terasalah olehnya hawa dingin dan panas silih berganti keluar dari angin pedang batu
itu! "Hebat....! Luar biasa....!" Nirahai berseru setelah Bun Beng menyelesaikan ilmu silat
pedangnya dan melempar pedang batu ke bawah sambil tersenyum lebar. Tiba-tiba wanita
itu meloncat ke depan dan secepat kilat tangannya bergerak menotok Bun Beng yang
merasa seperti melayang-layang itu, agaknya tidak menyangka buruk sama sekali sehingga
dia tidak mengelak maupun menangkis.
"Cuss!" Sebuah totokan yang amat tepat mengenai jalan darah di pundak kanannya dan
robohlah pemuda itu dalam keadaan lemas dan lumpuh. Ia roboh terlentang akan tetapi
masih memandang ke arah wanita itu dengan senyum menghias bibir, seolah-olah keadaan
tertotok itu mendatangkan rasa senang yang luar biasa!
Setelah menotok Bun Beng, Nirahai lalu mencabut pedangnya, kemudian dia yang sudah
menghafal jurus-jurus ilmu pedang itu lalu bermain silat pedang, mulai dari jurus ke tiga
belas. Pemuda itu dapat memainkannya, masa dia tidak" Tingkat kepandaiannya tentu jauh
lebih tinggi daripada pemuda itu, buktinya pemuda itu dapat dirobohkannya sekali totok.
Mungkin karena dia takut-takut, maka dia tidak pernah berhasil. Kini dia harus nekat, tidak
menghentikan gerakannya kalau ada kepeningan dan sesak dada menyerangnya.
Dalam keadaan terpengaruh jamur biru itu, pandangan Bun Beng menjadi terang dan kini ia
dapat melihat di mana letak kesalahan Ketua Thian-liong-pang itu, ialah di bagian
pengaturan napas. Dia melihat dan mengetahui ini, akan tetapi karena dia kagum akan
keindahan yang dilihatnya dalam keadaan terpengaruh dan mabok itu, dia diam saja, hanya
memandang dengan mulut tersenyum. Nirahai bersilat dengan gerakan cepat dan kuat.
Alisnya berkerut, kepalanya terasa pening dan dadanya sesak, akan tetapi dia nekat
melanjutkannya dengan jurus ke empat belas. Dia agak terhuyung, napasnya terengah,
namun dia masih dapat bermain sampai jurus ke dua puluh dan tiba-tiba ia mengeluarkan
keluhan pajang, pedangnya terlepas, tubuhnya roboh dan wanita ini pingsan!
Bun Beng mengeluh perlahan. Pemandangan yang indah itu mulai berubah dan akhirnya ia
sadar. Totokan itu tanpa disengaja oleh Nirahai, telah membuyarkan pengaruh racun jamur
biru. Makin sadar, makin terkejutlah Bun Beng teringat akan semua yang telah terjadi tadi.
Teringat pula dia akan keadaannya setelah makan jamur biru dan dia menjadi bengong.
Bagaimana dia bisa begitu berubah" Mengapa dia berani bersikap seperti mempermainkan
Ketua Thian-liong-pang dan sama sekali tidak menjadi takut" Kini timbul rasa takut dan ia
cepat mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Tak lama kemudian ia berhasil membobol
totokan dan jalan darahnya kembali normal kembali. Cepat ia meloncat dan menghampiri
Ketua Thian-liong-pang yang masih rebah miring dalam keadaan pingsan.
Ah, inilah kesempatan yang ditunggu-tunggunya, ia berpikir cepat. Dia ingin keluar dari
tempat ini dan sekaranglah saatnya! Dia memutar otak sebentar, membayangkan
kemungkinan dan bahaya-bahayanya. Setelah mencari akal, ia cepat melepaskan kerudung
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
323 penutup muka Ketua Thian-liong-pang itu, juga menanggalkan jubah luar seperti mantel
yang besar, agaknya dipakai oleh Ketua itu sebagai penahan dingin, tidak lupa mengambil
pedang dan sarungnya, kemudian ia meloncat meninggalkan tubuh Ketua yang pingsan itu,
menghampiri pintu rahasia. Dia sudah tahu akan alat rahasia pembuka pintu itu. Diputarnya
batu di sudut dan pintu itu terbuka. Bun Beng cepat mengenakan kerudung menutupi
kepalanya, mengenakan jubah luar yang lebar dan menyarungkan pedang Si Ketua yang
telah diambilnya. Kemudian dengan tekad bulat ia memasuki pintu rahasia. Ketika ia
menengok ke arah tubuh yang masih belum bergerak, kemudian memandang ke arah jamur-
jamur di sebelah kiri utuk penghabisan kali, dia bergidik. Jamur-jamur merah telah
menolongnya, jamur putih membuat dia teragsang berahi hebat, dan jamur biru.... ah, dia
bergidik kalau mengingatnya. Hampir saja dia celaka oleh jamur itu, ataukah sebaliknya"
Bagaimana andakata dia dalam keadaan normal bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang"
Agaknya, menurutkan akal waras, dia akan membela diri mati-matian, dan besar
kemungkinan dia akan terbunuh. Kalau begitu, belum tentu jamur biru itu mencelakakannya,
bahkan sebaliknya, telah menolongnya sehigga akibatnya Si Ketua tidak membunuhnya,
roboh pingsan dan membuka kesempatan baginya untuk menyelamatkan diri keluar dari
tempat itu. Pintu rahasia itu bersambung dengan sebuah lorong di bawah tanah yang amat panjang,
ada kalanya naik ada kalanya turun, terbuat dari anak tangga batu. Setelah berjalan cepat
lebih dari satu jam, lorong itu mulai naik melalui tangga batu dan terus naik. Ketika ia keluar
dari pintu terakhir, kiranya lorong itu menembus di sebuah lubang kuburan yang sudah
terbuka! Sebuah kuburan tua di tengah-tengah tanah pekuburan. Dapat dibayangkan betapa
kagetnya ketika di kanan kiri lobang kuburan itu berdiri belasan orang tokoh Thian-liong-
pang tingkat tertinggi! Untung ia ingat akan penyamarannya, maka dia bersikap tenang.
Satu-satunya yang akan dapat menggagalkan penyamarannya adalah suaranya. Akan
tetapi, mengingat betapa anehnya watak Ketua Thian-liong-pang, dia dapat diam saja tanpa
mengeluarkan suara dan siapakah di antara mereka yang berani bertanya akan hal ini" Dia
akan menutup mulut, tidak mengeluarkan kata-kata, seolah-olah Ketua Thian-liong-pang
sedang berduka, marah, atau sedang bertapa.... bisu!
Melihat Ketua mereka muncul dari lubang, orang-orang Thian-liong-pang itu segera
memberi hormat dengan membongkok, kemudian mereka mengangkat sebuah peti mati
yang berada di situ, dimasukkan lagi ke dalam lubang, kemudian menutup papan besi yang
atasnya penuh tanah dan rumput, ditutupkan lagi sehingga kini kuburan itu kelihatan seperti
kuburan biasa. Melihat Ketua mereka diam saja dan hanya memandang dengan sinar mata tajam melalui
lubang kerudung, Sai-cu Lo-mo mewakili temannya menjura dan berkata,
"Harap Pangcu sudi memaafkan kami yang tanpa diperintah berani menanti keluarnya
Pangcu dari tempat terlarang. Hal ini kami lakukan dengan amat terpaksa, karena tempat
kita kedatangan tamu-tamu dari Pulau Neraka."
"Apa....?" Bun Beng meniru suara Nirahai yang karena dalam pertemuannya dengan wanita
itu, sampai beberapa kali Nirahai berseru seperti itu. Dengan meniru sebuah kata-kata saja,
dengan suara ditinggikan, Bun Beng tidak melihat adanya bahaya dikenal perbedaannya.
"Mereka berjumlah lima orang, dari tingkat teratas, melihat dari warna muka mereka yang
berwarna terang, dan agaknya mereka tidak mengandung maksud baik, memaksa hendak
berjumpa dengan Pangcu sendiri. Sekarang mereka berada di dalam ruangan tamu dan
dihadapi oleh Tang-kouwnio."
Bun Beng mengerti siapa yang dimaksudkan dengan Tang-kouwnio itu, tentulah Tang Wi
Siang yang lihai, kepala pelayan dan orang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang. Timbul
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
324 kekhawatiran di dalam hatinya, khawatir akan keselamatan Milana. Maka dia hanya
mengangguk, kemudian menggerakkan kepalanya dan tangannya sebagai perintah agar
mereka mengantarkan ke tempat tamu.
Sikap ini agak mengherankan para tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi mereka hanya
mengira bahwa Ketua mereka amat marah mendengar berita itu, dan tentu saja hendak
muncul menemui tamu dengan sikap garang, dikawal dan diantar oleh para pembantunya.
Maka Sai-cu Lo-mo lalu membuka jalan dan diikuti oleh Bun Beng yang sesungguhnya tidak
tahu ke mana harus menuju karena dia tidak mengenal tanah kuburan ini. Kalau dia sudah
sampai di dalam markas Thian-liong-pang yang terletak di lembah Sungai Huang-ho itu,
tentu saja dia dapat mengenalnya karena dia pernah berada di situ sebagai "tamu"
kemudian sebagai tawanan.
Kctika tiba di ruangan tamu, Bun Beng tanpa bicara menghampiri kursi ketua yang kosong
dan duduk dengan tenang. Lima orang yang mukanya berwarna aneh, hijau pupus, ungu
muda, dan merah muda, bangkit berdiri dari tempat duduknya, menjura ke arah "Sang
Ketua" dan seorang di antara mereka yang bermuka merah muda dan berkepala gundul
kelimis seperti lilin, berkata,
"Kami dari Pulau Neraka, sebagai utusan To-cu (Majikan Pulau) menghaturkan hormat
kepada Thian-liong-pangcu."
Bun Beng hanya mengangguk, membiarkan mereka duduk kembali dan dia menggapai
kepada Tang Wi Siang yang cepat menghampiri Ketuanya dan memberi hormat. Bun Beng
tidak berkata-kata, hanya menggerakkan tangan menunjuk kepada para tamu dan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggerakan kepalanya diangkat sedikit, sebagai isyarat agar Tang Wi Siang yang
mewakilinya bicara dengan para tamu itu.
Tang Wi Siang menganggap bahwa Ketuanya merasa terlalu tinggi untuk bicara dengan
tamu-tamu Pulau Neraka yang hanya utusan-utusan itu, maka dia sebagai wanita yang
cerdik sekali dia berdiri di belakang Ketuanya lalu berkata nyaring.
"Ketua kami yang mulia telah datang dan kalau kalian berlima dari Pulau Neraka masih
dibiarkan duduk sebagai tamu, hal itu berarti bahwa Ketua kami sudah cukup murah hati dan
menerima kedatangan kalian. Sekarang, harap kalian suka bicara setelah menghadap Ketua
kami, apa keperluan kalian datang mengunjungi Thian-liong-pang!"
Lima orang Pulau Neraka itu mengerutkan alis dan diam-diam merasa mendongkol sekali.
Mereka adalah orang-orang tingkat tinggi dari Pulau Neraka, pula mereka adalah utusan
pribadi Ketua atau Majikan mereka, akan tetapi Ketua Thian-liong-pang menerima mereka
tanpa mengucapkan sepatah kata, berarti memandang sangat rendah!
Si Kepala Gundul muka merah muda yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, gemuk
pendek, segera berkata,
"Saya Kong To Tek bersama Sute Chi Song." Dia menuding ke arah orang muka merah
muda ke dua yang tubuhnya gendut tinggi besar kepalanya kecil, kemudian melanjutkan,
"ditemani tiga orang para sute yang satu dua tingkat lebih rendah sebagai utusan To-cu
kami, selain datang menghaturkan hormat kepada Ketua Thian-liong-pang, juga kami
mendengar bahwa Thian-liong-pangcu telah mempelajari semua ilmu yang ada di dunia ini.
Karena itu, To-cu kami mohon agar Pangcu suka memberi petunjuk, mengalahkan kami
dengan ilmu kami sendiri. Kalau ternyata Thian-liong-pangcu dapat melakukan hal ini, To-cu
menawarkan kerja sama untuk menghadapi Pulau Es, akan tetapi kalau tidak, berarti benar
bahwa Thian-liong-pangcu hanya mencuri ilmu-ilmu itu dari mereka yang telah diculik, maka
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
325 tidak dapat mengalahkan kami dengan ilmu kami sendiri karena pihak kami belum pernah
ada yang dapat diculik."
Keadaan menjadi hening dan orang-orang Thian-liong-pang memandang marah. Yang hadir
di ruangan tamu itu hanyalah orang-orang tingkat tinggi dari Thian-liong-pang, Sang Ketua,
Tang Wi Siang, Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, Lui-hong Sin-ciang Chi Kang, dan beberapa
orang lagi yang kepandaiannya sudah tinggi. Mereka memandang ke arah Ketua mereka,
menduga bahwa tentu Sang Ketua akan marah dan menghajar lima orang Pulau Neraka
yang telah berani mengeluarkan kata-kata lancang itu. Akan tetapi, Bun Beng hanya
menggerakkan tangan ke arah para pembantu Thian-liong-pang, kemudian menuding ke
arah lima tamu itu. Jelas maksudnya bahwa "Sang Ketua" yang tiba-tiba menjadi "pendiam"
itu memerintahkan agar para tokoh Thian-liong-pang mewakilinya menghadapi para tamu
yang menantangnya berpibu.
"Ngo-wi (Tuan Berlima) dari Pulau Neraka!" kata pula Tang Wi Siang dengan suara nyaring.
"Andaikata To-cu dari Pulau Neraka sendiri yang datang, belum tentu Ketua kami yang mulia
merasa cukup pantas untuk dilayaninya sendiri. Apalagi hanya utusan-utusan yang
tingkatnya rendahan! Kalau memang Pulau Neraka berniat baik, mengapa mesti
menantang" Kalau kalian sudah menantang, di sini cukup tersedia tenaga untuk melayani
kalian, tidak perlu Ketua kami turun tangan, kami para pembantunya sudah cukup untuk
membuka mata kalian bahwa Thian-liong-pang tidak boleh dibuat main-main!"
Bun Beng mengangguk-angguk tanda setuju dan Tan Wi Siang menjadi girang, maka
dilanjutkannya, "Silakan mengajukan jago dari Pulau Neraka, dan kami akan menandingi!"
Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka yang gundul itu, mengangkat kedua alisnya dan berkata,
"Aaahhh, Thian-liong-pangcu merasa terlalu tinggi untuk melawan kami" Cukup mengajukan
anak buahnya" Baiklah, biar kita coba-coba sebentar agar Pangcu dari Thian-liong-pang
menyaksikan sendiri bahwa kami dari Pulau Neraka sudah cukup berharga untuk ditandingi
sendiri oleh Thian-liong-pangcu. Karena kedatangan kami sebagai utusan majikan kami
untuk mencoba kepandaian Thian-liong-pangcu, bukan untuk mengadakan pibu
(pertandingan silat), maka biarlah kami hanya mengajukan dua orang jago, yaitu Sute Chi
Song dan saya sendiri. Sute, majulah dan perlihatkan bahwa kita cukup berharga untuk
menerima petunjuk Thian-liong-pangcu sendiri."
Laki-laki gendut tinggi besar itu mengangguk lalu bangkit dari tempat duduknya dan
melangkah maju ke tengah ruangan. Dia menghadapi "Ketua" Thian-liong-pang dan menjura
sambil berkata,
"Thian-liong-pangcu, saya Chi Song, orang dari kalangan tirgkat tiga di Pulau Neraka,
mohon petunjuk darimu."
Tang Wi Siang tentu saja tidak berani lancang mengajukan jago, maka dia menoleh ke arah
Ketuanya sambil bertanya, "Harap Pangcu suka menunjuk seorang di antara kami untuk
meghadapinya."
Seingat Bun Beng, orang paling lihai sesudah Ketua Thian-liong-pang dalam perkumpulan
itu, adalah Tang Wi Siang sendiri, kemudian mungkin sekali, Paman kakeknya, Sai-cu Lo-
mo. Tokoh Pulau Neraka yang tinggi besar ini, sebagai sute Si Gundul, tentu tidak selihai Si
Gundul, maka sebaiknya kalau Chi Song ini dilawan oleh Sai-cu Lo-mo, sedang nanti Kong
To Tek dilawan oleh Tang Wi Siang. Dia mengharapkan agar kedua orang "pembantunya"
itu akan memperoleh kemenangan sehingga dia sendiri tidak usah maju turun tangan karena
kalau dua orang itu kalah, apalagi dia sendiri! Dan kalau dia turun tangan, tentu akan terbuka
rahasianya. Hal ini akan menimbulkan keributan, sebaliknya kalau dua orang tokoh Thian-
liong-pang itu dapat "membereskan" kedua orang Pulau Neraka itu, tentu urusan menjadi
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
326 selesai dan dengan mudah dia akan cepat meninggalkan tempat berbahaya itu. Kalau
sampai berlama-lama, kemudian muncul Milana, apalagi kalau sampai muncul ibu Milana
sendiri yang tadi pingsan di dalam tempat rahasia, wah, tentu celaka dia! Tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun, dia lalu menudingkan telunjuknya ke arah Sai-cu Lo-mo.
Kakek berusia enam puluh tahun lebih yang mukanya menyeramkan seperti muka singa ini,
yang pakaiannya sederhana, rambutnya putih semua, tadinya duduk dan kelihatan lenggat-
lenggut mengantuk setelah dia tadi mengantarkan Sang Ketua ke ruangan itu. Kini tiba-tiba
ia meloncat bangun dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha! Terima kasih, Pangcu. Memang sudah saya sangka bahwa tentu Pangcu akan
memilih saya untuk memberi hadiah beberapa gebugan kepada Si Muka Merah ini!" Dia
melangkah lebar ke tengah ruangan menghampiri Chi Song dan setelah berhadapan,
keduanya saling pandang dengan sinar mata tajam menyelidik, seperti tingkah dua ekor
ayam yang hendak bertanding.
Chi Song memandang kakek itu dari atas ke bawah, kemudian berkata, "Kalau tidak salah
dugaanku, engkau ini tentulah Sai-cu Lo-mo yang amat terkenal itu!"
"Ha-ha-ha! Kalau sudah mengenal namanya, inilah orangnya dan kalau takut lebih baik
lekas berlutut minta ampun kepada Pangcu kami dan cepat melingkarkan, buntutmu lalu
angkat kaki dari sini!"
Chi Song bukanlah seorang yang mudah dibikin marah oleh ejekan dan kata-kata
menghina. Dia adalah seorang tokoh yang cukup tinggi tingkatnya di Pulau Neraka, apalagi
bersama suhengnya saat itu menjadi utusan Majikannya, tentu saja dia maklum bahwa
kakek muka singa itu mengeluarkan kata-kata memancing panasnya hati karena kemarahan
merupakan langkah yang keliru dan merugikan dalam menghadapi pertandingan melawan
orang yang tak boleh dipandang ringan. Ia tersenyum dan berkata,
"Kebetulan sekali, Sai-cu Lo-mo. Biarpun saya tidak berkesempatan, atau mungkin belum
berhasil menerima petunjuk Pangcu kalian, kini berhadapan denganmu, seorang tokoh
Thian-liong-pang yang terkenal, merupakan kehormatan besar sekali. Hanya aku khawatir,
kalau sampai engkau kalah oleh seorang tak terkenal seperti Chi Song ini, hal itu tentu akan
menimbulkan malu besar!"
"Ha-ha-ha, engkau boleh juga!" Sai-cu Lo-mo tertawa, maklum bahwa dia tak berhasil
memanaskan hati lawan. "Nah, aku telah siap, majulah!"
Chi Song tersenyum menyeringai dan mukanya yang berwarna merah muda itu kelihatan
berkilau. "Engkau lebih tua daripada aku, Sai-cu Lo-mo, sepatutnya aku mengalah.
Mulailah!"
"Apa" Biarpun engkau lebih muda, akan tetapi engkau seorang tamu, sebagai pihak tuan
rumah selayaknya kalau aku mengalah. Nah, seranglah!" Kedua orang ini memang cerdik
dan tahu bahwa lawannya adalah orang yang berilmu tinggi, maka mereka segan untuk
menyerang lebih dulu. Bagi seorang ahli silat kelas tinggi, menyerang lebih dulu tidak
menguntungkan. "Baik, sambutlah!" Chi Song Si Muka Merah Muda itu membentak dan tiba-tiba seluruh
tubuhnya tergetar kedua tangannya bergerak perlahan, tadinya kedua tangan dirangkap di
depan dada seperti orang memuja dewa, kemudian kedua telapak tangan saling membesut,
yang kiri terus bergerak lurus ke atas, sampai tegak di atas kepala, yang kanan terus
bergerak lurus ke bawah sampai menunjuk tanah di bawah perut, warna mukanya yang
tadinya merah muda berubah agak tua, sepasang matanya mengeluarkan cahaya berapi
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
327 dan perlahan-lahan terdengar suara berkerotokan dari buku-buku tulang tokoh Pulau Neraka
ini. Melihat ini, Sai-cu Lo-mo terkejut, maklum bahwa lawan ini sedang mengerahkan sin-
kang yang mujijat dan mengingat bahwa dia seorang tokoh Pulau Neraka, tidak akan
anehlah kalau sin-kang lawannya itu mengandung hawa beracun yang dahsyat. Maka dia
cepat memasang kuda-kuda, pandang matanya tak pernah meninggalkan gerakan lawan,
siap menghadapi terjangan pertama dan karena maklum akan kelihaian lawan, kakek ini
sudah memasang kuda-kuda dari ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari Ketuanya,
yaitu gabungan dari Ilmu Silat Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Iblis
dan Ilmu Silat Sakti Delapan Dewa). Kedua kakinya terpentang lebar, tidak bergerak sama
sekali, akan tetapi tubuhnya dari lutut ke atas membuat gerakan-gerakan, kadang-kadang
naik turun dengan lutut ditekuk, juga berputar ke kanan kiri, namun matanya tak pernah
meninggalkan lawan. Keadaan menjadi tegang sekali karena semua orang maklum bahwa
dua orang kakek itu sedang saling mencari sasaran.
"Haiiiitttt....ttt!" Chi Song mengeluarkan teriakan nyaring dan panjang, tubuhnya sudah
menerjang maju, kedua tangannya melakukan pukulan-pukulan dengan jari terbuka,
menyambar atas dan bawah bertubi-tubi dan mengikuti arah tubuh lawan mengelak.
"Hiaaaahhhh!" Sai-cu Lo-mo juga melengking nyaring, tubuhnya mengelak ke kanan kiri,
kedua kakinya mulai membuat gerakan melingkar menurutkan garis pat-kwa (segi delapan),
kedua tangannya juga menangkis dengan pengerahan sin-kang, yaitu menangkis hawa
pukulan lawan dengan hawa pukulan tangannya sendiri karena dia maklum betapa
bahayanya pukulan itu, melihat betapa kedua tangan lawan mengeluarkan bau amis dan
mengeluarkan uap tipis berwarna hitam!
Bun Beng terbelalak kagum menyaksikan pertandingan itu. Baginya, gerakan kedua orang
itu kurang cepat, akan tetapi tenaga sin-kang yang terkandung dalam pukulan-pukulan
mereka membuat ia bergidik. Dia sendiri tidak tahu bahwa tenaga sin-kangnya kini telah
meningkat sangat hebat, dan mengira bahwa dia tidak akan sanggup menghadapi pukulan
dengan tenaga sin-kang seperti yang dilakukan oleh Chi Song atau paman kakeknya.
Pertandingan berjalan seru bukan main setelah kini Sai-cu Lo-mo membalas serangan
lawan dengan totokan jari tangan yang dia ambil dari Ilmu Sin-coa-kun, juga hasil ajaran
ketuanya. Ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Nirahai kepada para pembantunya adalah ilmu silat
lama yang dahulu menjadi ilmunya pendekar wanita sakti Mutiara Hitam. Namun, berkat
pengertian Nirahai akan banyak sekali ilmu silat tinggi, Ketua Thian-liong-pang ini telah
mengubah ilmu-ilmu itu, disisipkan jurus yang diambilnya dari ilmu lain untuk memperlihai
ilmu silat tua itu, dan mengurangi bagian-bagian yang tidak perlu. Dengan sendirinya,
dibandingkan dengan kehebatan ilmuilmu itu ketika dimainkan oleh Mutiara Hitam dahulu,
kini lebih dahsyat lagi!
"Plak-plak-dukkkk!" Kedua orang itu terlempar ke belakang ketika dua kali lengan mereka
beradu dan disusul tumbukan tangan mereka saling mendorong. Sai-cu Lo-mo cepat
menjatuhkan diri dan bergulingan kemudian meloncat bangun kembali, tepat pada saat
lawannya yang tadi terlempar membuat gerakan berjungkir balik ke belakang sampai lima
kali den kini juga sudah berdiri kembali. Mereka berdiri tegak, saling pandang dalam jarak
hampir sepuluh meter!
Chi Song menjadi penasaran sekali. Dia telah menggunakan pukulan yang mengandung
hawa beracun, akan tetapi kakek bermuka singa itu mampu menangkisnya dengan tenaga
yang amat besar, sama besarnya dan agaknya kakek itu tidak terpengaruh oleh hawa
beracun yang keluar dari tangannya! Hal ini tidak mengherankan karena kakek bermuka
singa itu ketika mengadu lengan dan tangan, menggunakan tenaga Khong-in-ban-kin,
tenaga selaksa kati yang kosong sehingga tidak dapat terpengaruh oleh hawa pukulan
beracun, namun yang memiliki kekuatan dahsyat sekali.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
328 "Ha-ha-ha, orang Pulau Neraka, kepandaianmu hebat seperti iblis. Engkau memang patut
tinggal di neraka!" Sai-cu Lo-mo mengejek.
"Heaaaaaahhhhhhtt!" Tiba-tiba tubuh Chi Song meloncat ke atas, menerjang dari atas
dengan tendangan kedua kakinya ke arah dada kakek muka singa. Inilah keistimewaannya
Si Tinggi Besar muka merah muda itu, yaitu tendangan terbang! Sai-cu Lo-mo terkejut
sekali, cepat mengelak, namun tendangan dari udara yang berantai itu tetap saja
menyerempet pundaknya. Betapapun juga, kakek ini masih sempat menangkap kaki kiri dan
membetot ke bawah sehingga biarpun dia terhuyung oleh tendangan itu, tubuh lawannya
terbanting ke atas tanah sampai berdebuk dan kalau saja Chi Song tidak memiliki kekebalan
tentu tubuhnya akan remuk. Chi Song menggelundung dan meloncat lagi, hampir berbareng
dengan Sai-cu Lo-mo yang sudah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya.
"Ha-ha-ha, tendangannya luar biasa sekali. Ahh, orang-orang Pulau Neraka memang hebat.
Kalau tenaga Thian-liong-pang dan Pulau Neraka digabung untuk menghantam Pulau Es,
tentu Pulau Es akan dapat dihancurkan!" Sai-cu Lo-mo berkata memuji.
"Uhhh, kau pun hebat, Sai-cu Lo-mo, dan ucapanmu itu tepat sekali. Sayang Ketuamu tidak
mau mencoba kepandaianku agar dapat kami lihat apakah dia patut bekerja sama dengan
To-cu kami!"
Hati Bun Beng mendongkol sekali. Mana sudi dia diajak bersekongkol dengan Pulau Neraka
untuk menyerang Pulau Es" Gila! lebih baik dia memusuhi keduanya ini daripada harus
memusuhi Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es! Karena marah, ia sudah meloncat dari atas
kursinya. Dia hampir berteriak karena loncatannya itu luar biasa cepat dan ringannya,
sehingga hampir saja jaraknya terlewat kalau dia tidak cepat berjungkir balik sehingga dia
dapat kembali dan turun tepat di depan Chi Song! Gerakannya amat indahnya, juga amat
cepatnya, sehingga Chi Song mengeluarkan seruan kaget. Sai-cu Lo-mo sendiri girang
melihat Ketuanya turun tangan, karena diam-diam dia mengharapkan agar mereka dapat
bekerja sama dengan Pulau Neraka yang mempunyai banyak orang pandai, untuk
menyerang Pulau Es yang amat mereka segani dan takuti.
"Bagus, Pangcu menganggap saya cukup berharga untuk dilayani oleh Pangcu sendiri"
Apakah Pangcu hendak mengalahkan saya dengan ilmu kami sendiri?"
Bun Beng hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara.
Karena sikap ini dianggap memandang rendah, Chi Song marah sekali. Dia berteriak keras
dan cepat menubruk maju, menyerang dengan tangan kanan terbuka ke arah kepala yang
berkerudung itu. Bun Beng teringat akan ilmu memindahkan tenaga, make dengan tenang
dia menarik kepalanya ke belakang dan begitu tangan lawan menyambar dekat, dia
mendahului dengan sampokan tangan kiri ke arah lengan lawan, namun dia tidak
menggunakan tenaga sepenuhnya.
"Dukkk....!"
Tubuh Chi Song terputar-putar seperti gasing. Pukulan itu seperti mendorongnya dari
belakang, mendorong tenaganya yang ia pergunakan untuk memukul tadi, maka ia tak dapat
menahan lagi tubuhnya terputar-putar terbawa oleh tenaganya sendiri ditambah tenaga amat
dahsyat dari "Ketua" Thian-liong-pang.
"Ehhhh...., bukankah itu ilmu dari Suheng Ngo Bouw Ek?" Si Kepala Gundul berseru dengan
mata terbelalak.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
329 Chi Song sudah dapat berdiri tegak, meraba-raba lengannya yang seperti remuk rasanya.
"Tidak salah lagi," katanya heran. "Itulah ilmu memindahkan tenaga dan di antara kami
hanya Ngo-suheng Kwi-bun Lo-mo saja yang dapat melakukannya!"
Bun Beng menjadi girang sekali karena ilmunya itu berhasil. Dia tidak menjawab, hanya
berdiri tegak, dan tidak peduli akan pandang mata pembantu Ketua Thian-liong-pang yang
terheran-heran karena mereka itu pun tak pernah mendengar bahwa Ketua mereka telah
berhasil memiliki sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Neraka!
"Aku masih penasaran, Thian-liong-pangcu!" Tiba-tiba Chi Song berkata lagi dan dia sudah
melompat ke atas, hendak menggunakan ilmu yang diandalkannya, yaitu tendangan
terbang! Melihat ini, Bun Beng juga meloncat dan sengaja membuang diri ke belakang ketika
tendangan kedua kaki tiba, kemudian dari samping dengan cara memindahkan tenaga
lawan, dia menendang betis kanan Chi Song.
"Plakk! Aduhhhh....!" tubuh Chi Song terbanting ke atas tanah, lalu terpincang-pincang dia
menghampiri kursinya, menjauhkan diri duduk di atas kursi, menyeringai kesakitan, dan
mengangkat kaki kanannya, dipijit-pijitnya, karena selain tulang betisnya patah, juga urat-
uratnya rusak sehingga terasa nyeri bukan main, menusuk-nusuk sampai ke jantung!
Kong To Tek meloncat turun dari kursinya, menghampiri Bun Beng dan menjura, "Pangcu
benar-benar hebat sekali, telah mengalahkan Sute dengan menggunakan ilmu
memindahkan tenaga yang merupakan ilmu simpanan dan hanya diketahui oleh To-cu kami
dan Ngo-suheng saja. Patut mendapat penghormatan kami!"
Bun Beng kaget ketika tiba-tiba dari kedua kepalan tangan yang dirangkap dan diangkat ke
depan dada itu menyambar hawa pukulan yang panas sekali! Akan tetapi, teringat bahwa dia
adalah seorang "ketua" di saat itu, amatlah tidak baik kalau dia memperlihatkan kegugupan,
maka dengan nekat ia lalu mengerahkan sin-kang yang dilatihnya selama enam bulan di
dalam tempat rahasia Ketua Thian-liong-pang, menyalurkannya ke dada dan menerima
hantaman tenaga sin-kang dari kedua tangan lawan itu.
Kong To Tek terkejut bukan main. Pukulan jarak jauhnya sama sekali tidak terasa oleh
lawan, bahkan hawa pukulannya membalik dengan cepatnya, membuat dia agak terengah
dan dadanya sesak!
Bun Beng tak berani membuka mulut, maka dia hanya mengibaskan lengan bajunya disertai
tenaga sin-kang dan.... Si Gundul dari Pulau Neraka itu terhuyung ke belakang sampai tiga
langkah! Diam-diam Bun Beng merasa kaget dan heran sendiri, hampir dia tidak percaya


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa sin-kangnya telah meningkat sedemikian hebatnya! Dengan mukanya yang merah
muda itu menjadi pucat, hampir putih, Kong To Tek mengatur keseimbangan tubuhnya dan
memandang Ketua Thian-liong-pang dengan mata terbelalak.
Adu tenaga sin-kang ini tentu saja dapat dilihat para tokoh Thian-liong-pang dan para
anggauta Pulau Neraka. Melihat betapa serangan Kong To Tek membalik, dan dengan
kibasan lengan baju saja membuat Si Gundul itu terhuyung, Tang Wi Siang yang marah
menyaksikan Si Gundul itu bertindak curang, cepat melangkah maju dan berkata,
"Pangcu, serahkan setan gundul ini kepada saya. Kalau saya tidak dapat mengalahkan dia,
barulah Pangcu maju. Untuk memukul seekor anjing kecil, perlukah menggunakan
pentungan besar?" Ucapan terakhir ini bermaksud bahwa untuk menghajar seorang lawan
tingkat rendah, tidak perlu kalau pangcunya yang bertingkat jauh lebih tinggi itu turun tangan
sendiri, Bun Beng mengangguk dan kini dia yang sudah yakin akan kemajuannya, sengaja
mendemonstrasikan sin-kangnya. Tidak tampak kakinya bergerak, hanya lengan bajunya
dikebutkan dan.... tubuhnya melayang seperti terbang cepatnya, tahu-tahu telah duduk
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
330 kembali ke atas kursi Ketua! Melihat ini, para anggauta Pulau Neraka menjadi giris hatinya,
bahkan Tang Wi Siang dan yang lain-lain melongo karena mereka mendapat kenyataan
betapa gerakan Ketua mereka menjadi lebih lihai daripada biasanya! Mereka girang dan
mengira bahwa Ketua mereka tentu mendapatkan ilmu di tempat rahasia, melalui lorong
yang pintu masuknya adalah kuburan tua itu.
Tang Wi Siang kini menghadapi Si Gundul dari Pulau Neraka, menudingkan telunjuknya dan
memaki. "Setan gundul! Kau datang dengan omongan manis, akan tetapi kenyataannya
engkau curang, berani engkau lancang menyerang Pangcu kami dengan serangan gelap!
Pangcu kami tadi sudah mengampuni nyawa tak berharga sutemu itu!" Dia menuding ke
arah Chi Song yang duduk di kursi dengan muka cemberut dan kaki kanan diangkat-angkat
karena masih nyeri. "Akan tetapi agaknya aku tidak akan dapat mengampunimu!"
Si Gundul itu tersenyum lebar dan menjura. "Aih, maaf, karena kami memang sengaja
hendak mohon petunjuk Pangcu kalian, maka tadi aku sengaja menyerangnya. Pangcumu
hebat bukan main, namun sayang, dia menghadapi seranganku dengan ilmu lain, bukan ilmu
dari kami seperti ketika dia mengalahkan Sute. Kalau engkau hendak mewakili Pangcumu,
silakan. Akan tetapi jangan marah kalau aku sampai kesalahan tangan!"
"Chih, sombongnya! Kaukira akan mampu mengalahkan Tang Wi Siang, kepala pelayan
Pangcu Thian-liong-pang" Majulah dan terima kematianmu!"
Si Gendut Gundul cemberut dan tampaknya tidak puas. "Aih, celaka sekali! Hari ini aku
benar-benar menerima penghinaan besar sekali. Jauh-jauh datang hanya dihadapkan
seorang pelayan. Kalau tidak bisa menang, memang aku tidak layak hidup lagi! Kouwnio,
terimalah seranganku!" Tiba-tiba Si Gundul ini menerjang dengan gerakan yang cepat sekali.
Sungguh tak disangka-sangka bahwa orang yang gendut pendek sehingga kelihatan seperti
seekor katak itu, memiliki gerakan kaki tangan amat cepat sehingga dilihat begitu saja,
kedua pasang tangan dan kakinya seolah-olah telah menjadi masing-masing tiga pasang!
Namun, kalau hanya menghadapi kecepatan gerak, wanita setengah tua yang masih cantik
dan bertubuh ramping itu sama sekali tidak gentar dan dalam hal gin-kang, kiranya Si
Gundul itu kini bertemu gurunya! Justru dalam hal gin-kang inilah Wi Siang menerima
gemblengan Nirahai karena memang dia mempunyai bakat. Oleh Ketua Thian-liong-pang
yang sakti itu, Wi Siang diberi ilmu Yan-cu Sin-kun, ilmu silat yang mengandalkan gin-kang
sehingga tubuhnya dapat berkelebatan seperti seekor burung terbang, sesuai dengan nama
ilmu itu, ialah Yan-cu Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Burung Walet). Maka keceliklah Kong To Tek
ketika tiba-tiba bayangan lawannya berkelebat dan lenyap! Hanya ada angin bertiup melalui
atas kepalanya ke belakang, maka cepat ia memutar tubuh dan benar saja, lawannya telah
berada di belakangnya. Ia terkejut dan tidak mau lagi mengandalkan kecepatannya karena
maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli gin-kang yang jauh lihai daripadanya. Kini dia
melakukan serangan dengan kaki tangannya, tidak mengandalkan kecepatan lagi,
melainkan mengandalkan tenaga sin-kangnya. Baik hantaman tangan maupun tendangan
kakinya didahului angin yang mengeluarkan bunyi mencicit seperti sebatang golok atau
pedang yang memecah angin! Hebat bukan main tenaga Si Gundul ini, Wi Siang juga
maklum bahwa mungkin dia lebih cepat, juga ilmu silatnya lebih tinggi, namun belum tentu
dia dapat menandingi kekuatan sin-kang Si Gundul yang benar-benar kuat itu.
"Hehhh!" Kong To Tek mengirim pukulan dengan tangan terbuka miring ke arah lambung kiri
Wi Siang. Wanita ini cepat mengelak dengan menggeser kaki ke belakang, akan tetapi
tangan kiri orang gundul itu sudah menonjok atau mendorong dengan telapak kanannya ke
arah dada! Wi Siang kembali mengandalkan kecepatan mengelak dengan miringkan tubuh,
akan tetapi angin pukulan yang menyerempet pundaknya masih saja membuat dia
terhuyung ke samping.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
331 Marahlah wanita ini, "Haiiikkk!" Ia mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya mencelat
ke atas, melampaui kepala Si Gundul itu. Ketika Kong To Tek memutar tubuh, Wi Siang
sudah membalas serangannya dengan pukulan Touw-sim-ciang (Pukulan Menembus
Jantung) yang bukan main ampuhnya.
"Hehhh!" Kembali Si Gundul membentak dan menangkis dengan lengannya.
"Dukk!" Tubuh Tang Wi Siang terhuyung, juga Si Gundul menjadi miring kuda-kudanya.
"Keparat!" Wi Siang membentak marah sekali dan kini di mainkan ilmu silatnya dengan
gerak cepat Yang-cu Sin-kun, dan mengirim pukulan Touw-sim-ciang yang kalau mengenai
tubuh lawan dengan tepat, tentu akan merenggut nyawanya. Menghadapi kecepatan yang
luar biasa dari Wi Siang, Si Gundul kewalahan, apalagi karena dia pun maklum kalau
dadanya sampai terkena pukulan itu, kekebalannya takkan dapat melindunginya. Maka dia
mulai terdesak hebat dan Bun Beng dapat melihat bahwa tak lama lagi Si Gundul itu akan
roboh oleh "pelayannya" yang benar-benar amat tangkas dan lihai itu.
Ketika Wi Siang yang sudah mendesak itu melancarkan pukulan-pukulan bertubi-tubi, tiba-
tiba tubuh Si Gundul yang pendek itu merendah, seperti merangkak sehingga kedudukannya
seperti seekor katak berkaki empat karena kedua tangannya menapak tanah, dan dari
perutnya keluar suara melalui kerongkongan.
"Kok-kok-kok!"
Tiba-tiba dari mulut Si Gundul yang terbuka itu keluar uap tebal berwarna putih kehitaman,
lingkaran-lingkaran uap yang menyerang ke atas ke arah tubuh Wi Siang! Wanita ini kaget
sekali. Dia mengelak, akan tetapi celana pada betis kanannya terkena uap dan terasa
olehnya betapa kulit betisnya panas, perih dan gatal-gatal yang luar biasa, membuat dia
ingin sekali menggaruk dan pada saat itu, kedua tangan Si Gundul yang menapak tanah itu
tiba-tiba diangkat ke atas dan dua kali tangan itu digerakkan mendorong ke tubuh lawan
dengan bunyi "kok-kok!" maka menyambarlah angin pukulan yang dahsyat bukan main ke
arah Wi Siang! Wanita ini kembali menjadi kaget, mengelak dengan cara melempar tubuh ke
belakang dan berjungkir-balik beberapa kali. Dia dapat menghindarkan pukulan maut itu,
akan tetapi kembali Si Gundul telah menyerangnya dengan tubuh merangkak seperti katak,
mulutnya terus-menerus menyemburkan uap kehitaman dan kerongkongannya
mengeluarkan bunyi seperti katak besar.
Diserang seperti ini, Wi Siang menjadi repot. Dia mengandalkan gin-kangnya untuk melesat
ke sana-sini, namun karena dia maklum akan bahayanya uap itu, dia tidak berani mendekat
dan terpaksa harus mengelak terus tanpa dapat balas menyerang, sedangkan lawannya itu
menyelingi semburan uapnya dengan pukulan-pukulan dari bawah yang mengandung
tenaga mujijat!
Bun Beng sendiri menjadi terkejut menyaksikan perubahan ini. Si Gundul itu benar-benar
amat berbahaya, pikirnya dan dia tidak tega menyaksikan Wi Siang dengan muka gelisah
harus meloncat ke sana ke mari menghindarkan diri dari uap-uap itu dan pukulan-pukulan
maut yang dilancarkan oleh manusia seperti katak itu. Maka sekali lagi dia mencelat dari
atas kursinya dan pada saat itu Wi Siang sedang meloncat pula ke atas menghindarkan
sebuah pukulan. Betapapun cepat gerakan Wi Siang namun bagi Bun Beng kelihatannya
biasa saja. Ketika tubuhnya dekat dengan tubuh Wi Siang di udara, ia cepat menyambar
dengan "pembantunya" itu dan sekali sentak tubuh Wi Siang terlempar melayang ke
tempatnya tadi di mana Wi Siang turun dan cepat-cepat merobek celana bagian betisnya.
Ternyata kulit betisnya telah "termakan" racun dalam uap tadi, kelihatan merah totol-totol.
Cepat ia mengambil obat anti racun dan menggosok betisnya dengan obat itu. Namun rasa
gatal, panas dan perih masih belum lenyap.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
332 Ketika Kong To Tek melihat Si Ketua turun tangan sendiri, dia tidak mau membuang waktu.
Ketika Bun Beng meloncat turun, ia sudah menyambut dengan serangan uap dari mulutnya,
tubuhnya merangkak maju dengan "empat kaki", dari kerongkongannya keluar suara
berkokok seperti katak buduk, dan uap kehitaman menyerang Bun Beng. Namun pemuda
ini, mengingat akan niat orang-orang Pulau Neraka agar dikalahkan dengan ilmunya sendiri,
cepat merendahkan diri seperti merangkak pula, mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya
dan dia meniup ke arah uap yang melingkar-lingkar itu.
"Kok-kok-kok....!" Si Gendut berkokok.
"Wush-wushhh-wushhh!" Bun Beng meniup dan uap kehitaman itu segera terdorong,
kembali ke arah penyerangnya!
Tentu saja Kong To Tek sudah memakai obat penolak racunnya sendiri maka uap itu tidak
mempengaruhi kulit tubuhnya, namun dia menjadi gelagapan ketika uap-uap itu membuyar
dan menghantam mukanya sendiri. Cepat ia mengangkat kedua tangannya, melakukan
pukulan ke depan mendorong dengan tenaga mujijat. Bun Beng juga mendorongkan kedua
tangannya, akan tetapi terkejutlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga dorongan
kakek gundul itu bukan mengandung sin-kang sewajarnya dan selain amat kuat juga
mengandung hawa beracun yang mujijat pula. Tentu merupakan latihan sin-kang yang
disertai penggunaan racun yang banyak terdapat di Pulau Neraka, pikirnya, maka ketika Bun
Beng merasa betapa dorongan kakek itu dapat membahayakan, cepat ia membuang diri ke
samping, menggunakan ilmu memindahkan tenaga, ketika hawa dorongan lewat ia cepat
membarengi dengan kibasan lengannya yang sudah menjadi berganda tenaganya itu ke
arah muka Si Gendut Gundul.
"Kok-kok!" Si Kakek Gundul mengangkat mukanya sehingga pundaknya yang terkena
hantaman ujung lengan baju Bun Beng.
"Plakkk!" Kembali Bun Beng terkejut. Hantaman lengan bajunya yang disertai tenaga sin-
kang berganda itu ketika mengenai pundak lawan yang mengeluarkan bunyi seperti katak,
terasa seperti membentur benteng baja dan membalik! Sementara itu, Si Kakek Gundul yang
merasa terlindung oleh ilmu kataknya yang mujijat, mempercepat bunyi berkokok di
tenggorokannya dan siap menyerang lagi. Akan tetapi tiba-tiba Bun Beng berkelebat dan
lenyap, tahu-tahu tubuh "ketua" ini sudah melayang turun ke atas punggung lawan yang
sedang merangkak sambil berkokok itu.
"Kok-kok-kok.... ngekkkk! Brooottt!" Kakek gundul itu yang tadinya mengeluarkan bunyi
seperti katak, ketika kedua kaki Bun Beng menginjak punggung disertai tenaga sin-kang
yang membuat tubuhnya seperti menjadi laksaan kati beratnya, tak dapat menahan
sehingga terdengar suara "ngek!" dan tiba-tiba disambung suara memberobot keras sekali
dari tubuh belakangnya! Kiranya Bun Beng dapat menaksir di mana letak kelemahan
manusia yang berlagak katak ini, maka begitu punggung terinjak kuat, hawa sakti yang
membuat kakek itu berkokok dan menghembuskan uap, terpencet keluar tanpa dapat
ditahannya lagi dan hawa itu menerobos melalui mulut belakang. Terdengar suara di sana-
sini dan semua orang menutupi hidungnya, kecuali orang-orang Pulau Neraka, karena hawa
yang keluar dari "mulut belakang" kakek itu benar-benar amat hebat.... baunya! Akibat racun
yang terkandung di dalamnya sehingga bau itu memenuhi ruangan tamu.
Kakek gundul itu sudah roboh menelungkup dalam keadaan pingsan, kini digotong oleh
teman-temannya ke pinggir, sedangkan Bun Beng sudah meloncat kembali ke kursinya dan
duduk dengan tenang. Diam-diam ia merasa girang sekali dan kini yakinlah dia bahwa
penderitaannya selama setengah tahun di dalam tempat rahasia itu telah menyembuhkan
luka-lukanya sama sekali, juga telah membuat dia memperoleh kemajuan yang amat hebat,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
333 baik dalam gin-kang, sin-kang, dan ilmu silat! Maka tenanglah hatinya karena kini dia merasa
dapat menjaga diri terhadap siapapun juga.
Chi Song terpincang-pincang menghampiri "ketua" dan dengan kaki kanan berjinjit ia
menjura. "Banyak terima kasih atas petunjuk yang diberikan oleh Thian-liong-pangcu. Biarlah
kami kembali melaporkan semua peristiwa ini kepada To-cu kami."
Setelah memberi hormat sekali lagi, terpincang-pincang Chi Song memimpin tiga orang
temannya yang menggotong tubuh suhengnya yang masih pingsan. Akan tetapi baru saja
mereka itu tiba di pintu ruangan, tampak berkelebat bayangan orang dan terdengar bentakan
halus nyaring. "Setan-setan Pulau Neraka berani mengacau di sini?"
Terdengar suara hiruk pikuk dan tiga orang yang menggotong tubuh Kong To Tek tadi
terpelanting ke kanan kiri sehingga tubuh Si Gundul itu terlempar pula, akan tetapi malah
membuatnya siuman dan ia mengeluh panjang. Chi Song yang melihat munculnya seorang
dara yang amat cantik jelita dan yang datang-datang menerjang dan merobohkan orang-
orangnya, menjadi kaget, apalagi ketika dara itu telah menerjang maju dan menonjok ke
arah dadanya dengan pukulan yang cepatnya sukar diikuti pandang mata. Dia mengelak,
namun karena kakinya pincang dan gerakan dara itu cepat sekali, bahunya terkena pukulan
dan ia terpelanting. Melihat betapa orang-orang Pulau Neraka itu telah bangkit kembali dan
tidak tewas oleh pukulan-pukulannya dara itu menjadi marah.
"Srattt!" Dara itu sudah mencabut pedangnya akan tetapi tiba-tiba lengannya diraba orang
dan tahu-tahu Bun Beng sudah berada di situ, menyentuh lengannya untuk mencegahnya
turun tangan membunuh orang-orang Pulau Neraka. Bun Beng terpaksa turun tangan
mencegah ketika melihat betapa Milana, dara jelita itu, hendak melakukan pembunuhan-
pembunuhan terhadap para tamu yang tentu dianggap oleh dara itu mengacau di Thian-
liong-pang, apalagi karena dara itu pernah bertanding dengan orang-orang Pulau Neraka
ketika menggendongnya dahulu.
Melihat sentuhan pada lengannya, Milana menoleh.
"Ibu....!" Ia berkata dan menyarungkan pedangnya. Kesempatan ini dipergunakan oleh lima
orang Pulau Neraka untuk melarikan diri, pergi dari situ secepatnya.
Bun Beng cepat kembali ke kursinya dengan jantung berdebar. Milana telah muncul! Dia
harus cepat-cepat pergi dari situ tanpa menimbulkan keributan. Akan tetapi terlambat. Milana
yang terheran-heran menyaksikan sikap ibunya, cepat menghampiri, memandang ke arah
sepasang mata di balik lubang kerudung kepala itu dan tiba-tiba ia berseru hampir menjerit.
"Engkau.... engkau bukan Ibuku!" Dara ini menjadi pucat mukanya, dan semua tokoh Thian-
liong-pang mencelat bangun dari tempat duduknya masing-masing.
"Jubah itu jubah Ibuku, dan kerudung itu pun sebuah di antara kerudung Ibuku. Akan tetapi
engkau bukan Ibuku! Siapa engkau" Dan.... ohhh.... di mana Ibu" Kauapakan dia....?"
Milana mencabut pedangnya dan terdengarlah suara berdesing ketika para tokoh Thian-
liong-pang mencabut senjata masing-masing. Bahkan Tang Wi Siang lalu mengeluarkan
suara bersuit keras sebagai tanda bahaya dan segera tempat itu dikurung oleh puluhan
orang anggauta Thian-liong-pang yang masih bingung dan tidak mengerti mengapa Tang-
kouwnio memberi tanda bahaya sedangkan tamu-tamu dari Pulau Neraka telah dikalahkan
dan telah melarikan diri keluar dari Thian-liong-pang. Lebih-lebih lagi kaget dan heran hati
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
334 mereka ketika melihat Milana dan para tokoh itu dengan senjata di tangan mengurung Sang
Ketua sendiri! "Buka kerudungmu!" Milana membentak lagi.
"Hayo perlihatkan mukamu, manusia bosan hidup yang berani memalsukan Pangcu kami!"
Tang Wi Siang membentak dan barulah para anak buah Thian-liong-pang dapat mengerti
dengan hati penuh kaget dan heran bahwa orang yang berkerudung seperti Ketua mereka
itu kiranya adalah orang palsu!
"Nona, maafkan aku....!" Bun Beng berkata sambil melepaskan kerudung yang menutupi
kepalanya. "Kau....?" Milana berseru kaget sekali. Dia girang melihat Bun Beng yang disangkanya tentu
telah mati oleh luka-lukanya biarpun ketika terjatuh dari menara ditolong oleh Pendekar
Super Sakti, kini masih hidup! Dahulu ibunya cepat-cepat menyambarnya dan membawanya
pergi ketika melihat betapa Bun Beng yang terjatuh itu disambar oleh Pendekar Super Sakti.
"Aku tdak mau bertemu dengannya di sini. Tidak mau!" Ibunya berbisik penuh duka dan
marah ketika Milana berusaha menahan ibunya agar suka bertemu dengan ayah
kandungnya itu, dan ibunya terus membawanya lari secepat kilat tanpa diketahui oleh
Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es itu.
Dan kini, Bun Beng berada di situ bahkan menyamar sebagai ibunya! Di samping rasa
girang yang amat besar ini, timbul kekhawatirannya dan ia bertanya, "Engkau...."
Bagaimana ini...." Di mana Ibu?"
"Maaf, Nona. Ibumu pingsan ketika berlatih silat di tempat rahasia di bawah sana, karena
ingin membebaskan diri, terpaksa aku memakai kerudung dan jubah ini...., maafkan aku...."
Akan tetapi Milana sudah tidak menjawab lagi dan dia meloncat hendak mencari ibunya
yang pingsan di tempat rahasia. Dia sudah tahu akan tempat rahasia itu dan sudah tahu
jalannya sungguhpun dia dan siapapun juga dilarang dan tidak pernah pergi ke sana.
Sementara itu, para tokoh Thian-liong-pang yang kini mengenal Bun Beng menjadi marah
dan segera menyerangnya, karena dia dianggap sebagai musuh Thian-liong-pang, seorang
pengacau dan bekas tahanan yang dapat lolos. Tentu saja hanya Sai-cu Lo-mo yang tidak
bergerak dan memandang bengong kepada cucu keponakannva itu. Selain dia tidak mau
membunuh cucu keponakan, satu-satunya keturunannya biarpun hanya cucu luar, juga dia
kagum bukan main, teringat betapa tadi Bun Beng dapat mengalahkan tokoh-tokoh lihai dari
Pulau Neraka secara demikian mudahnya! Padahal, hanya kurang lebih setahun yang lalu,
pemuda itu masih belum sedemikian hebat ilmu kepandaiannya!
Tang Wi Siang yang bersenjata pedang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang menggunakan
pukulan badainya, dan dua orang tokoh lain yang bersenjata golok sudah menerjang Bun


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beng dengan serangan-serangan maut yang amat dahsyat. Bun Beng yang menghadapi
pengeroyokan ini cepat menggerakkan kaki tangannya, berkelebat ke sana-sini dan
tangannya bergerak menangkis atau mendorong dan.... empat orang pengeroyok itu
terjengkang dan ada yang terguling, ada pula yang terhuyung seperti pohon-pohon disapu
angin ribut! Melihat akibat tangkisan dan dorongannya, Bun Beng terkejut sendiri dan dia menggunakan
kesempatan ini untuk meloncat ke atas, melalui kepala orang-orang yang mengepungnya,
menendangi senjata-senjata yang ditujukan ke arahnya dan terus melesat keluar dari
ruangan itu melalui jendela.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
335 "Kejar!" Tang Wi Siang berseru dan mereka bergerak mengejar keluar.
"Berhenti! Tahan senjata!" terdengar seruan melengking disusul masuknya seorang wanita
berkerudung yang bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang sendiri, bersama Milana yang
menggandeng tangan ibunya. "Jangan kejar dia, biarkan dia pergi.... ahhh....!" Nirahai
terhuyung dan cepat dibimbing oleh puterinya menuju ke kursinya. Semua tokoh
menghentikan gerakan mereka, menghadap Ketua mereka dan memandang penuh
kekhawatiran karena melihat tanda-tanda bahwa Ketua mereka mengalami luka dan
kelihatan lemah.
"Jangan memusuhinya! Betapa pun dia telah menimbulkan kekacauan, harus kalian akui
bahwa di telah menyelamatkan nama baik Thian-liong-pang sehingga kita tidak sampai
mengalami penghinaan dari Pulau Neraka!"
Bun Beng yang sudah berada di luar, ketika mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang itu,
merasa malu sendiri. Dia lalu meloncat kembali memasuki ruangan itu, menjura di depan
Nirahai sambil berkata,
"Teecu mohon maaf sebesarnya telah berlaku lancang, berani memalsukan Locianpwe
karena keadaan terpaksa. Teecu tidak mempunyai niat buruk kecuali ingin bebas dari
dalam.... neraka di bawah sana."
Nirahai tersenyum di batik kerudungnya. "Tidak apa, Bun Beng. Semua kesalahanmu
kulupakan, mengingat engkau telah membela nama baikku dan nama baik Thian-liong-pang.
Bahkan untuk jasamu itu, aku akan menghadiahkan apa yang kauminta. Ajukanlah
permintaanmu, kalau engkau suka, dan aku akan berusaha memenuhinya."
Berdebar jantung Bun Beng mendengar ini. Dia telah dapat melenyapkan rasa permusuhan
dari hati wanita aneh ini, Ibu Milana. Hal itu saja sudah merupakan suatu hadiah yang amat
besar artinya baginya. Akan tetapi ia teringat akan keadaan para tokoh kang-ouw yang
terculik, terutama sekali teringat akan Ang-lojin atau Ang Thian Pa, Ketua Bu-tong-pai, ayah
dari Ang Siok Bi. Maka segera ia berkata,
"Terima kasih atas kepercayaan dan kebaikan hati Locianpwe. Teecu tidak menginginkan
sesuatu untuk teecu sendiri, melainkan.... kalau Locianpwe tidak keberatan, teecu mohon
sudilah Locianpwe membebaskan para tokoh kang-ouw yang menjadi tamu di sini."
Kembali Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. "Permintaanmu cukup pantas, bahkan
cocok dengan keinginan hatiku sediri. Aku sudah bosan mempelajari ilmu lain yang pada
hakekatnya sama dasarnya, dan sekarang tinggal beberapa saja yang masih menjadi tamu
kami. Wi Siang, bebaskan mereka dan biarkan mereka pulang sekarang juga, masing-
masing beri kuda dan perbekalan secukupnya. Bun Beng, bangkitlah dan saksikanlah sendiri
terpenuhinya permintaanmu."
Dengan hati girang bukan main Bun Beng bangkit dan berdiri, tak lama kemudian dia sudah
keluar lagi mengiringkan lima orang "tamu", di antaranya Ang Thian Pa. Mereka ini adalah
orang-orang yang selalu memperlihatkan sifat menentang sehingga masih belum
dibebaskan oleh Thian-liong-pang. Akan tetapi setelah kini mereka dibebaskan, bahkan
disertai perlengkapan dan kuda, mereka merasa lega dan berterima kasih kepada Ketua
Thian-liong-pang yang selama ini
Amarah Pedang Bunga Iblis 2 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Pukulan Naga Sakti 8
^