Sepasang Pedang Iblis 20

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 20


g dijatuhkan oleh Pendekar
Super Sakti."
"Nah, bagaimana, Maharya?"
Koksu hendak membantah. Tentu saja tuntutan itu amat berat dan tak mungkin
dilaksanakan. Biarpun kakek pendek ini lihai bukan main, akan tetapi setelah berani
memasuki istananya dan dikurung oleh ratusan pengawal, bahkan kalau dia menggerakkan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
536 pasukan sampai ribuan orang pun tidak sukar, perlu apa takut dan mengalah. Akan tetapi
Maharya sudah cepat menjawab,
"Boleh! Nah, mari kita masuk ke ruangan dalam untuk mulai bertanding pengetahuan ilmu
kebatinan."
"Suhu....!" Kwi Hong menyatakan keraguannya dengan pandang mata. Sungguh amat
bodoh memasuki istana itu, sama dengan memasuki guha harimau. Akan tetapi gurunya
tersenyum lebar dan berkata,
"Jangan ragu-ragu, masuk saja. Hendak kulihat apa yang akan dikeluarkan dari perut
Maharya!" Sebagai seorang pahlawan yang pulang dari medan perang membawa kemenangan, Bu-tek
Siauw-jin berjalan dengan penuh gaya, dadanya diangkat membusung, wajahnya berseri,
mulutnya tersenyum-senyum dan matanya memandang ke kanan kiri! Akan tetapi Kwi Hong
berjalan dengan hati-hati, menunduk dan sepasang matanya yang indah mengerling ke
kanan kiri, siap siaga menghadapi penyerangan gelap atau jebakan musuh.
Koksu kini mengerti bahwa Maharya hendak menundukkan kakek pendek itu secara halus,
maka dia pun diam saja, hanya diam-diam dia memberi isyarat kepada para pembantunya
untuk mengadakan persiapan dan mengerahkan pasukan untuk menjaga dan mengurung.
Adapun Maharya diam-diam memperhatikan Bu-tek Siauw-jin. Puluhan tahun yang lalu dia
memang pernah bertemu dengan Bu-tek Siauw-jin di lereng Pegunungan Himalaya yang
tinggi dan kakek ini dahulu hanya mengaku berjuluk Siauw-jin saja, sebuah "julukan" yang
amat aneh dan kiranya orang sedunia, apalagi seorang tokoh kang-ouw yang berilmu, tidak
ada yang sudi menggunakannya karena Siauw-jin berarti manusia rendah budi! Dan orang
pendek itu sejak dahulu memang berwatak ugal-ugalan, namun penuh rahasia dan memiliki
ilmu yang aneh-aneh.
Memang Bu-tek Siauw-jin, tokoh atau datuk kedua Pulau Neraka ini amat berbeda dengan
suhengnya, Cui-beng Koai-ong datuk pertama Pulau Neraka. Kalau Cui-beng Koai-ong
selalu menyembunyikan diri, lebih banyak berdekatan dengan mayat-mayat dan kerangka-
kerangka manusia daripada dengan manusia hidup dan mencari ilmu-ilmu hitam di dalam
tanah-tanah kuburan, sebaliknya Bu-tek Siauw-jin ini selain mencari ilmu-ilmu hitam di
kuburan, juga suka melakukan perantauan tanpa tujuan dengan menggunakan nama
samaran Siauw-jin dan tak pernah mengaku bahwa dia datang dari Pulau Neraka. Karena
itu, dia telah merantau sampai jauh ke barat, melalui Himalaya, Tibet, sampai ke India dan
Nepal. Akan tetapi namanya tidak terkenal dan dia hanya dikenal oleh orang yang pernah
berjumpa dengannya sebagai seocang yang berotak miring atau berwatak sinting. Di lain
pihak, biarpun dia sendiri tidak terkenal, namun dalam perantauannya ini Bu-tek Siauw-jin
mengenal dunia kang-ouw dan mengenal pula atau setidaknya mendengar nama para tokoh
kang-ouw dan tahu akan kelihaian dan keistimewaan mereka.
Mereka telah memasuki ruangan yang luas. Yang ikut masuk ke dalam ruangan itu
mengiringkan Bu-tek Siauw-jin dan Kwi Hong adalah Maharya, Koksu, Thian Tok Lama, Bhe
Ti Kong dan belasan orang panglima pengawal. Namun tentu saja dengan diam-diam
ruangan itu, juga gedung itu, telah dikurung oleh pasukan yang melakukan penjagaan ketat.
Tanpa dipersilakan lagi, Bu-tek Siauw-jin lalu duduk di atas kursi, menyambar seguci arak
dan minum arak itu tanpa cawan dan tanpa penawaran tuan rumah lagi. Arak itu dituangkan
begitu saja ke mulut sampai gucinya kosong! Kemudian ia mengembalikan guci kosong ke
atas meja, mengusap bibir dengan ujung lengan baju dekil dan berkata,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
537 "Nah, keluarkan isi perutmu, Maharya. Pertanyaan tentang ilmu batin apa yang hendak
kauajukan untuk kupecahkan dan jawab" Hayo, keluarkan seluruh kepunsuanmu
(kepandaianmu)!"
Semua orang mengambil tempat duduk, kecuali Kwi Hong yang hanya berdiri di belakang
gurunya, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan meraba gagang pedang, wajahnya
dingin. Kalau ada orang yang sudah mengenal Kwi Hong sebelum ia menjadi murid Bu-tek
Siauw-jin, tentu kini akan terheran-heran melihat betapa wajah dan sikap dara itu berubah
sama sekali. Kini wajah yang dahulu cerah dan riang itu kelihatan muram dan dingin,
sikapnya angkuh dan memandang rendah. Tanpa disadarinya oleh dia sendiri, pengaruh
ilmu mujijat yang dimilikinya telah menguasai batinnya! Hal ini tidak diketahui oleh Bu-tek
Siauw-jin. Kakek ini adalah seorang yang telah memiliki batin kuat sekali, dan memang
memiliki dasar yang baik sehingga dia dapat mengatasi pengaruh segala ilmu hitam yang
dipelajarinya. Berbeda dengan suhengnya yang juga tercengkeram oleh pengaruh ilmu
hitam. Kini murid kakek ini, Kwi Hong, biarpun semenjak kecil digembleng oleh Pendekar
Super Sakti, kini tanpa disadarinya juga mulai berubah sikapnya, menjadi dingin, murung
dan kehalusan perasaannya menipis, membuatnya tak pedulian dan kejam.
"Bu-tek Siauw-jin," Maharya mulai bicara sedangkan semua orang mendengarkan penuh
ketegangan karena belum pernah mereka yang terdiri dari orang-orang berilmu tinggi ini
menyaksikan pertandingan seaneh ini, pertandingan mengadu pengetahuan tentang ilmu
batin! "Segala macam ilmu kepandaian yang dimiliki manusia di dunia ini tidak ada artinya
kalau manusia tidak mengerti akan hidup dan inti hidup. Karena itu, mengapa kita mesti
berkelahi seperti anak kecil untuk menentukan siapa yang lebih unggul" Sebaiknya kita
menguji kematangan jiwa. Apakah engkau siap untuk mencoba memecahkan dan menjawab
pertanyaanku?"
"Wah, sejak dahulu kau memang tajam lidah! Lekas keluarkan pertanyaan kentutmu itu,
perlu apa banyak rewel?" Bu-tek Siauw-jin kena dibakar dan dibuat tidak sabar oleh sikap
Maharya yang memang sengaja merangsang kemarahan lawannya.
"Bu-tek Siauw-jin, jawablah ini: Apakah yang dinamakan Aku yang sejati?"
"Apa lagi?"
"Cukup satu itu, karena yang satu itu sudah mencakup seluruh pengetahuan batin."
"Hemmm...., di dunia ini banyak sekali pengetahuan kebatinan berdasarkan agama dan
filsafat yang timbul dari tradisi bangsa-bangsa. Kurasa masing-masing agama mempunyai
jawaban yang berbeda-beda terhadap pertanyaanmu itu, Maharya. Jawaban dari sudut
pendangan agama apa yang kau kehendaki?"
"Aku tidak akan menyangkut kepercayaan agama atau filsafat, karena selama masih ada
yang menyangkal, berarti belum tentu tepat. Jawaban agama atau filsafat tentu akan
menghadapi tantangan dari agama atau filsafat lain. Aku menghendaki agar engkau dapat
memecahkan ini dengan tepat, disertai dengan alasan-alasan yang kuat, tidak peduli engkau
mengambil agama atau filsafat apa pun, asal benar. Hanya aku menghendaki jawaban satu
kali saja dan hanya yang satu kali itu yang berlaku, benar atau salah. Kalau benar, kami siap
memenuhi semua permintaanmu. Kalau salah, engkau dan muridmu harus pergi dari sini
dan selamanya tidak boleh mengganggu kami lagi."
Bu-tek Siauw-jin benar-benar merasa terpukul. Tak disangkanya Maharya akan mengajukan
pertanyaan yang sedemikian hebat! Pertanyaan yang mungkin sekali waktu akan
menyelinap ke dalam hati setiap orang manusia dan yang sudah ribuan tahun semenjak
sejarah manusia tercatat, belum ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu! Dia
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
538 menggaruk-garuk kepalanya dan menoleh kepada Kwi Hong. "Kwi Hong, monyet kurus ini
benar-benar lihai sekali. Aku memerlukan waktu untuk memikirkan jawaban pertanyaan itu.
Terpaksa kita harus mengeram di dalam kamar tahanan untuk beberapa hari, muridku."
Kwi Hong cemberut, "Suhu, perlu apa melayani segala macam obrolan" Harap Suhu jangan
kena dibujuk dan ditipu mentah-mentah oleh pendeta palsu itu! Tanpa bantuan Suhu
sekalipun, aku sanggup untuk membasmi mereka semua ini!" Kwi Hong membuat gerakan
dan tiba-tiba terdengar suara berdesing dan tampak sinar kilat menyambar di dalam ruangan
itu. "Pedang Iblis....!" Koksu dan Thian Tok Lama berseru kaget menyaksikan pedang yang
berkilat-kilat di tangan gadis itu.
"Hushhh, sarungkan kembali pedangmu, muridku." Bu-tek Siauw-jin menyentuh lengan Kwi
Hong dan gadis itu terkejut karena merasa lengannya tergetar. Suhunya telah
mempergunakan tenaga dan ini tentu berarti bahwa dia harus menyimpan pedangnya
karena sesuatu yang amat gawat. Sambil menghela napas dia menyimpan kembali
pedangnya dan menundukkan muka.
"Maharya, engkau tua bangka licik! Pertanyaanmu merupakan pertanyaan seluruh manusia,
akan tetapi karena waktunya sebulan, biarlah aku dan muridku berdiam di dalam kamar
tahanan sebagai tamu yang tidak agung. Heh-heh-heh! Marilah, antar kami ke tempat kami!"
Dengan wajah berseri Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama sendiri mengantar kedua
orang itu ke dalam kamar tahanan yang berada di ruangan bawah tanah, melalui anak
tangga dan terowongan yang amat dalam. Mereka berdua memasuki sebuah kamar yang
ditunjuk, kemudian pintunya yang terbuat dari baja yang amat kuat seperti pintu kerangkeng
gajah itu ditutup dan dikunci dari luar. Demikianlah, guru dan murid ini menjadi orang-orang
tahanan dan mereka selalu menerima jaminan makan dan minum melalui jeruji di atas pintu
kamar tahanan. "Mengapa Suhu begini bodoh mau ditipu?" Kwi Hong menegur gurunya setelah mereka
berada di dalam kamar tahanan.
"Wah, jangan murung, muridku yang manis! Tempat ini amat baik untuk engkau berlatih dan
memperdalam ilmumu. Dengar baik-baik. Kulihat Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama
merupakan lawan-lawan yang tidak lemah. Apalagi di samping mereka masih ada belasan
orang panglima dan mungkin ribuan orang perajurit. Karena itu, sebelum kita turun tangan,
engkau harus menyempurnakan ilmu pedangmu yang baru lebih dulu, dan mematangkan
tenaga sin-kangmu. Waktu yang sebulan ini kiranya cukup. Dan selain engkau dapat
berlatih, aku pun amat tertarik untuk mencari jawaban atas pertanyaan Maharya itu."
Kwi Hong mengangguk-angguk. Kelihatannya saja gurunya ini sinting, sebenarnya di balik
watak sintingnya itu bersembunyi kecerdikan yang mengagumkan. Maka dia pun tidak
banyak cakap lagi dan berlatih dengan tekunnya di dalam kamar tahanan, kadang-kadang
saja menerima petunjuk dari Bu-tek Siauw-jin. Adapun kakek ini, untuk melewatkan
waktunya, kadang-kadang duduk bersila dan mengerutkan kening, mengasah otak sampai-
sampai ubun-ubunnya mengepulkan uap putih, mencari jawaban atas pertanyaan yang
diajukan Maharya. Kalau sudah terlalu lelah dan jawaban yang tepat belum juga dapat
ditemukan, dia lalu bermain-main seperti anak kecil, kadang-kadang mengumpulkan batu
dan dibuatlah kelereng, bermain kelereng sendirian sambil tertawa-tawa.
Telah tiga pekan mereka berada di dalam kamar itu dan ilmu pedang Kwi Hong sudah
mengalami kemajuan yang pesat sekali sehingga menggirangkan hati gurunya. Akan tetapi,
pertanyaan itu masih belum didapatkan jawabnya oleh Bu-tek Siauw-jin! Saking kesalnya,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
539 ketika ia mendengar jangkerik, dia girang sekali dan ingin benar dia menangkap jangkerik
itu. Mereka berdua tidak tahu bahwa pada saat itu, percakapan mereka didengarkan oleh
Suma Han dan Milana, di dalam kamar tahanan yang berada di atas mereka!
Melihat betapa gurunya ingin sekali menangkap jangkerik, dan karena keadaan cuaca
dalam kamar tahanan itu agak gelap, Kwi Hong lalu menyalakan lampu minyak sehingga
kamar itu tidak begitu gelap lagi.
"Wah-wah-wah, tidak mau mengerik lagi!" Bu-tek Siauw-jin berlutut di lantai, menelungkup
dan menempelkan telinganya di lantai yang penuh batu berserakan, yaitu batu-batu yang
dicokel keluar dari lantai oleh kakek itu untuk dipakai sebagai gundu. "Wah, kenapa
lampunya dinyalakan" Kalau keadaan terang, tentu saja jangkerik itu mengira hari telah
siang dan tidak mau berbunyi."
"Memang sekarang bukan malam, Suhu."
"Benar, akan tetapi kalau tidak dinyalakan akan gelap, jangkerik itu mengira malam dan
berbunyi. Hayo padamkan lagi biar dia mengeluarkan bunyi!"
"Aihh, Suhu ini aneh-aneh saja! Biarpun lampu dipadamkan, kalau Suhu ribut-ribut begitu
mana dia mau mengerik" Pula, sudah diketahui dia berada di dalam lubang itu, biar dia
mengerik sekalipun tentu dari dalam lubang."
"Oya, kau benar aku yang salah. Kalau begitu, biar kukencingi!"
"Jangan, Suhu! Kamar ini menjadi makin bau! Karena kalau ditepuk-tepuk di sekitar lubang,
dia akan kaget dan akan keluar juga, atau kalau ditiup lubangnya." Kini Kwi Hong mulai
tertarik dan ia pun ikut berlutut di dekat suhunya, mereka memandangi lubang jangkerik
seolah-olah hal menangkap jangkerik merupakan peristiwa yang terpenting di saat itu!
"Oya, kau benar dan aku salah!" Kembali kakek itu berkata. "Kalau kukencingi, mana
jangkerik itu kuat bertahan terkena kencingku" Tentu akan mati pengap! Biar kutiup
lubangnya dan kau tepuk-tepuk di sebelah atas lubangnya."
Dua orang itu bekerja sama dengan asyik. Tiba-tiba dari dalam lubang itu meloncat keluar
seekor jangkerik yang segera ditangkap oleh tangan kakek itu yang segera bersorak girang
sambil menggenggam jangkerik itu.
Kwi Hong juga terseret dalam kegembiraan. Baru sekarang tampak wajahnya berseri dan
kembalilah dia seperti Kwi Hong yang lincah gembira. Akan tetapi hanya sebentar saja.
"Besarkah jangkeriknya, Suhu" Merah atau hitam bulunya?"
Mereka mengintai bersama ketika kakek itu membuka sedikit genggaman tangannya.
"Uhhhh!" Kwi Hong berseru geli dan menutupi mulutnya.
"Sialan dangkalan!" Bu-tek Siauw-jin memaki ketika melihat ke dalam genggaman
tangannya. "Ini namanya jangkerik upo (jangkerik kecil pemakan nasi upo)! Jangkerik kecil
tidak bisa diadu! Engkau penipu kecil seperti Maharya saja!"
Kakek itu tiba-tiba membuka lebar mulutnya dan.... jangkerik kecil itu ditelannya bulat-bulat!
Kalamenjingnya bergerak dan berbunyi "ceguk-ceguk!" ketika ia menelan jangkerik itu hidup-
hidup! Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
540 "Ihhhh! Mengapa Suhu jorok (kotor) sekali" Masa jangkerik hidup-hidup ditelan?" Kwi Hong
mencela. Gurunya ini benar-benar aneh, kadang-kadang dia pandang sebagai guru yang
pandai, akan tetapi ada kalanya dia merasa seperti berhadapan dengan seorang anak kecil
yang memerlukan teguran-teguran!
"Apa kaubilang" Kotor" Wah, menelan jangkerik mentah dan hidup masih mending.
Pernahkah engkau mendengar orang orang sinting menelan cindil (anak tikus) hidup-hidup"
Coba bandingkan! Kan lebih gagah jangkerik daripada cindil" Jangkerik memiliki sifat jantan
dan pemberani, tidak seperti tikus-tikus cilik itu!"
Kwi Hong tidak mau membantah lagi. Payah memang berbantah dengan gurunya yang
pandai berdebat ini. Pula, kegembiraannya sudah hilang dan kembali dara itu termenung
dengan wajah muram dan dingin.
"Kwi Hong....!" Tiba-tiba terdengar suara panggilan yang amat jelas, seolah-olah Kwi Hong
mendengar suara pamannya di dekat telinga dan pamannya seperti berdiri di sampingnya.
Kwi Hong mencelat kaget.
"Paman....!"
"Kwi Hong, dengan siapa engkau di situ dan mengapa?" kembali suara Pendekar Super
Sakti bergema memasuki ruangan kamar tahanan itu.
"Paman, di mana engkau" Suaramu begini dekat....!" Kwi Hong yang merasa bingung itu
tiba-tiba menjadi takut. Bagaimana dia harus menerangkan kepada pamannya bahwa dia
telah menjadi murid kakek sinting, Datuk Pulau Neraka ini"
"Ha-ha-ha-ha! Sungguh lucu! Eh, bukankah Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti To-cu
Pulau Es yang berada di atas itu" Maaf, maaf! Kita belum pernah saling bertemu akan tetapi
sudah bertahun-tahun aku kagum sekali kepada Taihiap. Sekarang, secara aneh kita
bertemu akan tetapi tak dapat saling pandang! Ha-ha-ha!"
Karena kakek itu mengerahkan khi-kang maka suaranya meluncur melalui lubang kecil itu
ke kamar di atas dan terdengar jelas sekali oleh Suma Han yang menjadi kagum dan
maklum bahwa orang yang berada di bawah bersama keponakannya itu memiliki
kepandaian yang amat tinggi.
"Siapakah Locianpwe yang telah mengenalku?" tanyanya, menahan rasa penasaran karena
tadi keponakannya menyebut "suhu" kepada orang itu.
"Wah-wah, jangan menyebutku Locianpwe. Harap Taihiap ketahui bahwa aku hanyalah
seorang kakek tua bangka yang tidak ada harganya, hanya keturunan para buangan di
Pulau Neraka."
Suma Han makin terkejut dan teringatlah ia akan penuturan Alan puteri Ketua Thian-liong-
pang tentang keponakannya yang keluar dari lubang kuburan! Suaranya memang berbeda
akan tetapi siapa lagi yang begitu lihai dan mengaku sebagai keturunan buangan Pulau
Neraka kalau bukan kakek mayat hidup yang pernah bertemu dan bertanding dengannya,
yang amat sakti itu sehingga hampir saja ia celaka" Akan tetapi, mungkinkah Kwi Hong
menjadi murid manusia iblis itu" Bukankah kakek iblis itu menjadi guru Wan Keng In" Dia
merasa bingung dan hatinya tegang.
"Apakah Cui-beng Koai-ong di bawah sana?" tanyanya penuh wibawa.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
541 "Ha-ha-ha, kiranya Taihiap sudah pernah bertemu dengan Suhengku itu" Tidak, Taihiap.
Aku hanyalah Bu-tek Siauw-jin, sutenya dan aku mendapat kehormatan besar sekali untuk
menjadi guru keponakanmu."
Kwi Hong berdiri dengan muka pucat. Dia tahu bahwa dia telah berbuat sesuatu yang amat
salah dalam pandangan pamannya. Dia adalah keponakan, dan terutama sekali murid
Pendekar Super Sakti. Bagaimana dia berani menjadi murid orang lain" Hal ini sama saja
dengan menghina guru atau pamannya itu! Maka, sebelum pamannya mengucapkan
sesuatu yang timbul dari kemarahan, dia cepat mendahului, berkata dengan pengerahan khi-
kang. "Paman, harap suka mendengarkan penuturanku!" Cepat dia menuturkan pertemuannya
dengan Bu-tek Siauw-jin dan bagaimana dia sampai menjadi muridnya. Betapa gurunya itu
biarpun seorang Datuk Pulau Neraka, akan tetapi sikapnya baik sekali, bahkan kini mereka
ke kota raja karena kakek itu hendak membantunya menghadapi musuh-musuhnya, Koksu
dan kaki kanannya.
"Sayang sekali, Suhu ditipu oleh Maharya. Suhu diajak bertaruh memecahkan sebuah


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertanyaan yang sulit. Suhu diberi waktu sebulan di sini, dan sudah tiga pekan kami berada
di sini, agaknya Suhu belum berhasil! Harap Paman suka mengampunkan aku yang
lancang.... akan tetapi sesungguhnya Suhu adalah seorang yang sakti dan amat baik,
Paman." Sunyi sejenak, hanya terdengar suara Bu-tek Siauw-jirt tertawa kecil, agaknya merasa geli
mendengarkan penuturan Kwi Hong tadi.
"Bu-tek Siauw-jin, setelah mendengar penuturan keponakanku, dan karena sudah terlanjur
dia menjadi muridmu, biarlah aku mengucapkan terima kasih kepadamu. Pertanyaan apakah
yang diajukan oleh Maharya kepadamu" Aku akan membantumu mencarikan jawabannya."
"Bagus! Engkau benar-benar seorang pendekar tulen, Suma-taihiap! Tidak saja tidak marah
kepadaku yang merampas muridmu, akan tetapi juga berterima kasih dan ingin membantuku
memecahkan teka-teki. Wah, kalau engkau benar-benar bisa membantuku memecahkan
pertanyaan itu, benar-benar aku takluk dan mengangkat engkau sebagai sahabatku yang
paling jempol di dunia ini! Pertanyaannya adalah : Apakah yang dinamakan Aku yang sejati"
Nah, bantulah aku menjawabnya, Taihiap."
Suma Han yang tadinya mendekatkan mukanya di lantai kamar tahanan, kini bangkit duduk
dan kedua alisnya berkerut. Pertanyaan yang amat luar biasa! Bagaimana menjawabnya"
Dia sudah banyak membaca filsafat kuno dari berbagai agama. Akan tetapi, apakah
jawabannya yang tepat" Apakah itu SENG yang merupakan anugerah Tuhan seperti yang
dimaksudkan dalam ujar-ujar Nabi Khong-cu" Apakah itu TAO seperti yang dimaksudkan
dalam Agama Tao" Ataukah Atman seperti yang disebut-sebut oleh pendeta-pendeta Hindu.
Ataukah Roh Suci" Mana yang benar"
Melihat ayah kandungnya duduk termenung diam tak bergerak seperti arca itu, Milana ikut
pula duduk di lantai. Luka-lukanya sudah sembuh, tubuhnya tidak merasa nyeri lagi. Dia
duduk bersila dan memikirkan pertanyaan aneh itu. Hatinya bicara sendiri. Hemm, orang-
orang tua ini memang aneh! Apa gunanya" Apa untungnya kalau mengetahui AKU SEJATI"
Membuang-buang tenaga pikiran saja. Pula apapun juga jawabannya, siapa yang akan
dapat memastikan apakah jawaban itu benar atau salah" Adakah manusia yang pernah
melihatnya atau bertemu dengan AKU SEJATI itu" Mungkin ada, pikirnya. Kalau tidak ada
mengapa disebut-sebut" Adanya disebut, tentu ada yang pernah mengalami bertemu
dengannya! Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
542 Kepalanya menjadi pening memikirkan pertanyaan yang ruwet itu. Jangankan mendapatkan
jawaban, bahkan pertanyaan itu saja tidak dimengertinya. Dia tidak mengenal yang disebut
Aku Sejati itu. Mendengar pun baru sekarang! Milana melirik ke arah ayahnya dan melihat
pendekar itu masih duduk termenung penuh kesungguhan, dia tidak berani mengganggu,
bahkan menjauhinya dan untuk melewatkan waktu Milana meraba-raba dinding untuk
memeriksanya dan mencari kemungkinan membobol dinding itu.
Tiba-tiba jari tangannya yang halus itu meraba permukaan dinding yang tidak rata, ada
lubang-lubang besar kecil, panjang pendek seperti ukir-ukiran. Dia tertarik sekali dan cepat
dia menggosok dan membuang lumut-lumut hijau yang tumbuh di atas batu dinding. Maka
tampaklah ukiran huruf-huruf kecil di atas batu. Dengan penuh semangat dan amat tertarik,
Milana terus membersihkan batu dinding dan setelah bekerja keras hampir satu jam
lamanya, akhirnya dia dapat melihat sebaris huruf yang cukup jelas. Saking girangnya, dia
lupa akan ayahnya dan membaca huruf-huruf itu dengan suara agak keras.
"Sesungguhnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran manusia."
"Apa kau bilang?" Tiba-tiba Suma Han menoleh dan bertanya seperti orang terkejut.
Milana juga kaget karena di luar kesadarannya dia telah membaca huruf-huruf itu keras-
keras, "Aku membaca ukir-ukiran huruf di dinding ini, Paman."
Sekali berkelebat Suma Han telah berada di depan dinding itu dan membaca ukiran huruf-
huruf yang coretannya indah dan kuat itu, mula-mula perlahan kemudian dibacanya lagi
agak keras, diulang-ulangi. SESUNGGUHNYA YANG ADA ITU BUKAN, KARENA YANG
ADA ITU DIADAKAN OLEH PIKIRAN MANUSIA. Belum pernah dia bertemu dengan kalimat
seperti itu, akan tetapi seperti ada hubungannya dengan pertanyaan Maharya! Ia
menggunakan ingatannya, mengenang kembali ayat-ayat dalam kitab-kitab yang pernah
dibacanya. Tiba-tiba ia menepuk pahanya, "Hampir sama dengan makna dalam kitab To-tik-
keng ayat pertama!"
Milana yang biarpun sudah banyak membaca namun sejak dahulu memang tidak menaruh
minat terhadap kitab-kitab filsafat dan agama, bertanya, "Bagaimana bunyinya, Paman?"
Suma Han mengangkat mukanya dan mengerutkan kening, membaca ayat pertama kitab
To-tik-keng seperti yang diingatnya :
"Jalan (Tao) yang dapat dipergunakan sebagai jalan bukanlah Jalan (Tao) yang sejati.
Nama yang dapat dipergunakan sebagai nama bukanlah nama sejati.
Tanpa Nama adalah awal Bumi dan Langit.
Dengan Nama adalah ibu segala benda.
Tidak Ada kalau kita ingin menyatakan rahasianya.
Ada kalau kita ingin menyatakan keadaannya;
keduanya berpasangan walau namanya berbeda;
pasangan yang disebut amat gaib pintu semua rahasia!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
543 Tiba-tiba Milana memandang ayahnya dengan wajah berseri dan dia berseru, "Wah! Kalau
begitu cocok! Itulah jawaban untuk teka-teki yang diajukan oleh pendeta Maharya itu,
Paman!" Suma Han melongo. "Hemm" Apa" Bagaimana" Bagaimana jawabannya?"
"Jawabannya adalah itu! Tidak ada apa-apa!"
"Ah, masa jawaban begitu" Engkau terpengaruh oleh kalimat terukir di dinding itu, diperkuat
pula oleh bunyi ayat pertama kitab To-tik-keng yang memang ada persamaan dengan
kalimat di dinding itu."
"Justeru keduanya cocok pula dengan jawaban pertanyaan Maharya. Jawaban ini sekaligus
menghancurkan pertanyaan itu, Paman"
"Alan, engkau masih terlalu muda untuk mencampuri urusan ini. Yang diajukan adalah
pertanyaan gawat yang tak pernah dapat terjawab oleh manusia, yaitu apakah yang
dinamakan Aku Sejati" Kalimat di dinding dan ayat pertama To-tik-keng sama sekali tidak
menerangkan siapa sebetulnya Aku Sejati!"
"Sudah jelas diterangkan bahwa sebetulnya tidak ada apa-apa, Paman! Yang ada itu bukan,
karena diadakan oleh pikiran manusia. Yang bisa dinamakan bukanlah nama sejati! Awal
Langit Bumi adalah Tanpa Nama. Jadi jelas bahwa yang dikatakan Aku Sejati itu
sesungguhnya bukanlah yang sejati! Aku Sejati yang dimaksudkan itu hanyalah buatan
pikiran manusia saja, jadi palsu karena dia ada oleh pikiran yang mengada-ada! Yang sejati
tentu tidak bisa disebut dengan nama. Adakah manusia di dunia ini yang sudah bertemu
dengan Aku yang Sejati?"
"Husshh! Jangan engkau lancang, Alan. Tentu saja ada. Manusia-manusia suci di jaman
dahulu tentu sudah tahu akan Aku Sejati itu, mungkin di jaman sekarang pun ada yang
memiliki kesucian sedemikian tinggi sehingga dapat mengerti dan bertemu dengan Aku-nya
yang Sejati!"
"Ah, hal itu tidak mungkin, Paman!"
"Mengapa tidak mungkin?"
"Misalnya aku yang bertemu dengan Aku-ku yang Sejati, habis siapa itu yang bertemu dan
siapa pula yang ditemui" Apakah ada dua Aku" Yang palsu dan yang sejati saling bertemu,
yang palsu maupun yang sejati, hanyalah khayalan pikiran saja, Paman. Karena pikiran
mengingat akan pelajaran yang pernah dipelajarinya, pernah mendengar tentang Aku Sejati,
mencarinya, maka timbullah bayangan Aku Sejati yang bukan lain juga khayalan pikiran
sendiri belaka!"
Suma Han mengangguk-angguk. "Hemm.... hemm.... biarpun uraianmu itu tidak
berdasarkan filsafat-filsafat kuno, akan tetapi masuk diakal pula!" Suma Han termenung,
wajahnya makin lama makin terang, dan beberapa kali dia mengangguk-angguk dan
menggumam. "Engkau hebat, A1an.... engkau membuka kesadaranku.... engkau membuka
mata batinku...."
Milana tidak mengerti dan terheran-heran. Akan tetapi dia kagum sekali melihat betapa
wajah Pendekar Super Sakti itu kini berubah, berseri dan bersinar seolah-olah kemuraman
yang tadinya selalu merupakan awan menutupi wajah tampan itu kini terusir bersih.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
544 "Terima kasih, Alan....!" Tiba-tiba Suma Han merangkul pundak dara itu dan memeluknya,
mencium dahinya. Milana terkejut, mengira bahwa Suma Han hendak berbuat tidak sopan,
akan tetapi ketika ayahnya itu mencium dahinya, Milana terisak dan memejamkan matanya.
Ingin dia balas memeluk dan menjeritkan sebutan ayah, akan tetapi perasaan ini ditahannya.
Suma Han memegang pundak gadis itu dan mendorongnya, memandang wajah cantik itu
dan Milana melihat betapa wajah ayahnya kini benar-benar cemerlang dan penuh
kebahagiaan. "Ahhh, siapa sangka! Di tempat ini aku baru mendapatkan penerangan batin!"
"Apa.... apa maksudmu, Paman?"
"Aku tidak hanya menemukan jawaban dari teka-teki Maharya saja, melainkan jawaban dari
segala macam pertanyaan di dunia ini! Aihhh, semuanya karena engkau yang mulai
menyalakan api penerangan itu, Alan. Biarpun tidak kau sengaja, karena engkau polos,
wajar, karena engkau tidak tahu apa-apa itulah yang menyalakan api penerangan! Tahukah
engkau" Siapa yang sengsara, yang tidak bahagia, maka dia merindukan kebahagiaan, dia
mengejar kebahagiaan. Setelah dia merasa mendapatkan kebahagiaan, maka kebahagiaan
yang didapatkannya itu hanyalah kebahagiaan palsu hasil khayalan pikirannya belaka, tidak
akan kekal. Orang bahagia tidak akan merasakan kebahagiaannya sudah menjadi satu.
Kalau terpisah, berarti tidak bahagia, dan kebahagiaan hanya menjadi renungan saja! Ha-
ha-ha! Dan semua pelajaran itu.... ha-ha-ha, semua itu sungguh menggelikan. Hanya
permainan khayal, lelucon hidup!"
Milana memandang wajah ayahnya, mula-mula khawatir karena baru sekarang dia melihat
dan mendengar ayahnya itu tertawa bergelak. Akan tetapi setelah melihat jelas bahwa suara
ketawa itu sewajarnya, dia ikut merasa gembira walaupun bingung juga karena tidak
mengerti. "Bagaimana, Paman" Apa hubungannya dengan teka-teki Maharya?"
"Sudah terjawab semua, Alan! Kebenaran bukanlah kebenaran kalau dinyatakan oleh mulut
dan pikiran! Kebahagiaan bukanlah kebahagiaan kalau dinyatakan oleh pikiran. Aku Sejati
pun bukan Aku Sejati kalau dinyatakan oleh pikiran. Semua adalah khayalan pikiran karena
pelajaran-pelajaran yang pernah didengar atau dilihatnya meniru-niru dan mengulang-ulang
barang lama pusaka usang!"
"Wah, sekarang akulah yang menjadi bingung, Paman!" Milana berseru sambil memijit-mijit
pelipis kepalanya karena dia menjadi pening mengikuti semua kata-kata ayahnya.
"Aku sendiri pun tidak mudah membebaskan semua yang menempel di dalam benakku,
Alan. Pikiran merupakan kertas putih bersih dan kalau sudah terlalu penuh dengan coretan-
coretan beraneka warna, tidaklah mudah untuk membersihkannya, walaupun bukan tidak
mungkin. Dan selama kertas itu tidak kembali putih bersih dan kosong seperti semula, maka
selalu akan menjadi kabur oleh bekas-bekas goresan, bahkan akan diselundupi goresan-
goresan baru. Aihhh, kini aku mengerti mengapa kaum budiman di jaman dahulu, memuji
dan mengagumi kehidupan anak-anak yang bagaikan kertas putih belum ternoda oleh
goresan-goresan kotor!"
Tiba-tiba dari bawah terdengar suara Bu-tek Siauw-jin. "Heiii! Pendekar Super Sakti, Suma-
taihiap! Lapat-lapat aku mendengar engkau bilang sudah mendapatkan jawaban. Betulkah
itu" Kalau betul, harap segera memberitahukan kepadaku, jangan menjual mahal!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
545 Suma Han tersenyum, lalu menjawab, "Bu-tek Siauw-jin, temuilah Maharya dan jawablah
bahwa Aku Sejati yang dia tanyakan itu adalah khayalan pikiran alias palsu!"
Hening sampai lama sekali di bawah karena mendengar jawaban itu, Bu-tek Siauw-jin
menjadi bingung dan terheran-heran, memeras otaknya memikirkan jawaban yang
dianggapnya aneh itu. Kurang lebih seperempat jam kemudian, barulah terdengar suaranya.
"Suma-taihiap, apakah engkau sengaja memperolok-olokkan aku seorang tua" Jawaban itu
bukanlah jawaban!"
"Mengapa bukan jawaban" Itulah jawabannya yang paling tepat. Kalau engkau menjawab
dengan dasar filsafat sesuatu agama, tentu akan dibantahnya dengan dasar filsafat lain.
Akan tetapi jawaban ini berdasarkan kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Siapa yang
dapat membantah kenyataan" Dengarlah baik-baik, Bu-tek Siauw-jin. Dia bertanya apakah
yang dinamakan Aku Sejati, bukan" Nah, jawabannya yang dinamakan Aku Sejati adalah
bukan Aku Sejati, melainkan khayalan pikiran alias palsu!"
"Kenapa begitu?"
"Karena, yang dapat dinamakan itu hanyalah Aku Sejati atas dasar pelajaran yang pernah
didengar dari seorang guru atau dari kitab, sehingga menciptakan Aku Sejati khayalan
pikiran. Jadi jelas bahwa yang dinamakan Aku Sejati adalah bayangan khayalan pikiran,
palsu." "Hemm, seperti jawaban akal bulus, akan tetapi dapat kurasakan kebenarannya.
Bagaimana kalau dia tanya, ada atau tidakkah Aku Sejati?"
"Bu-tek Siauw-jin, harap jangan bodoh. Yang ditanyakan adalah apa yang dinamakan Aku
Sejati, bukan mempersoajkan ada atau tidaknya. Ada atau tidak bukanlah persoalan
manusia, bukan persoalan hidup."
"Kau benar aku salah. Aku takkan mau menjawab kalau dia tanyakan itu, dan akan
kutempiling kepalanya kalau dia mengajukan lain pertanyaan karena yang dijanjikan hanya
satu ini. Akan tetapi, Suma-taihiap, di antara kita sendiri, apakah kau percaya akan adanya
Aku Sejati?"
"Bu-tek Siauw-jin, percaya atau tidak percaya hanyalah merupakan kebodohan. Kalau kita
ingin mengerti, kita harus melakukan penyelidikan dengan penuh perhatian dan
kesungguhan. Setelah kita mengerti, tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak. Setelah
kita melihat bahwa matahari terbit dari timur, tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak,
bukan" Setelah kita merasakan sendiri bahwa jantung kita berdenyut, tidak ada persoalan
lagi apakah kita percaya atau tidak akan hal itu. Percaya atau tidak hanya timbul kalau kita
belum mengerti, dan tidak ada gunanya sama sekali. Selama kita didorong keinginan
mengerti apakah ada Aku Sejati, selama kita didorong keinginan mencarinya, kita tidak akan
pernah mengerti tentang Aku Sejati, atau Kebahagiaan, atau Cinta Kasih, atau sebutan suci
lain lagi. Mari kita sama-sama menyelidikinya, Bu-tek Siauw-jin, dengan mengenal diri
sendiri, mengenal nafsu-nafsu kita, mengawasi kesemuanya itu dan menyadari apa yang
kita hadapi saat ini. Bebas dan bersihnya pikiran dari masa lampau dan semua goresannya
melenyapkan sang aku yang selalu menjadi pusat segala pemikiran, dan pergerakan
manusia sehingga timbullah pertentangan-pertentangan karena perpisahan dan pemecahan-
pemecahan antara aku dan engkau dan dia dan mereka!"
"Wah-wah-wah! Aku jadi ingin sekali melihat wajahmu, Suma-taihiap! Belum pernah selama
hidupku aku mendengar vrang berbicara seperti itu."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
546 "Aku pun baru saja menemukan diriku sendiri. Akan tetapi cukuplah semua itu, sekarang
mari kita menjumpai Koksu dan para pembantunya."
"Kita?"
"Benar, karena aku akan turun ke bawah, akan kujebolkan lantai ini. Hati-hati di bawah
sana, Siauw-jin dan Kwi Hong, jangan tertimpa pecahan lantai!"
Terdengar suara ledakan keras ketika Suma Han dengan seluruh tenaganya menerjang
lantai dan lantai batu itu ambrol! Suma Han memegang lengan Milana, dan membawa dara
itu meloncat turun ke dalam kamar tahanan Kwi Hong dan Bu-tek Siauw-jin.
Ketika Kwi Hong melihat Milana, dia terkejut sekali dan baru sekarang dia mengenal gadis
itu setelah gadis itu muncul, bersama pamannya. "Kau.... kau.... Milana....!" teriaknya.
Milana juga terkejut. Setelah Kwi Hong mengenalnya, mana mungkin dia bisa mungkir lagi"
"Kwi Hong....!" katanya dan ia terisak.
"Milana...." Engkau.... engkau.... Alan.... engkau Milana....?" Suma Han merasa seperti
disambar petir ketika ia membalikkan tubuh dan memandang wajah Milana. "Aihh, betapa
bodohku! Dan ibumu.... Nirahai.... dia.... dia...."
Milana masih menangis, dia mengangguk dan terdengar isaknya. "Be.... benar Ayah....!"
Suma Han mengeluarkan suara melengking panjang, tangannya menangkap lengan Milana
dan tiba-tiba dia mencelat ke arah pintu. Terdengar suara ledakan keras lagi, pintu kamar
tahanan Bu-tek Siauw-jin pecah berantakan dan tubuh Pendekar Super Sakti itu lenyap
bersama Milana.
"Paman....!" Kwi Hong berseru, akan tetapi sia-sia saja karena pamannya sudah tidak
berada di situ lagi. Terdengar teriakan-teriakan di luar dan disusul suara berdebukan
robohnya para pengawal yang menjaga ketika mereka itu secara berani mati mencoba untuk
menghadapi larinya Pendekar Super Sakti.
Bu-tek Siauw-jin menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang. "Waaah, aku
kecelik! Paman atau gurumu itu sehebat itu, dan engkau masih berguru kepadaku. Benar-
benar aku merasa malu sekali!" Dia terus menggeleng-geleng kepala dan mulutnya
berkecap-kecap kagum, "tsk-tsk-tsk!" tiada hentinya.
"Akan tetapi ilmu yang kauajarkan kepadaku juga hebat, Suhu," bantah Kwi Hong.
"Sudahlah, mari kita keluar." Kakek itu lalu monyongkan mulutnya, berteriak nyaring sekali,
"Haiii! Maharya pendeta palsu! Hayo ke sini dan terima jawabankuuuu....!" Bersama Kwi
Hong, kakek itu melangkah keluar melalui daun pintu baja yang sudah ambrol, berjalan
seenaknya dan tertawa ha-ha heh-heh seperti orang keluar dari kamar tidurnya sendiri saja.
"Ayah.... harap jangan marah, Ayah.... ampunkan aku, Ayah.... dan jangan marah kepada
Ibu.... hu-hu-huuuk...." Milana yang dibawa lari ayahnya yang mengamuk keluar,
merobohkan siapa saja yang menghalanginya sehingga mereka dapat keluar dari tembok
kota raja, menangis di sepanjang jalan.
Suma Han berhenti, mukanya merah sekali, matanya mengeluarkan sinar berapi, akan
tetapi ketika dia menoleh dan memandang anaknya, dia terisak dan memeluk Milana,
mendekap kepala puterinya itu di dadanya dan mengelus-elus rambut yang halus itu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
547 "Milana.... ah, anakku.... aku seperti buta tidak mengenalmu....! Milana, betapa kejam hati
ibumu, mengapa merendahkan diri seperti itu, menjadi Ketua Thian-liong-pang, melakukan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hal-hal keji dan menggegerkan dunia kang-ouw" Mengapa dia begitu kejam menyeret
engkau, anakku, ke dalam kejahatan seperti itu" Di mana dia" Di mana Nirahai" Aku harus
bertemu dengannya dan menegurnya!"
"Ayah, jangan memarahi Ibu...."
"Aku akan mengajaknya bicara dan engkau sebagai anak boleh mendengarkan dan
mempertimbangkan siapa yang keliru dan siapa yang benar dalam hal ini."
"Ayah, aku tidak tahu siapa yang lebih kejam, Ibu atau engkau! Baiklah, kalau Ayah ingin
bertemu dengan Ibu. Rahasianya telah terbuka, bukan karena salahku. Mari, Ibu berada di
cabang kami dekat kota raja kalau aku tidak salah duga!" Setelah berkata demikian, Milana
lalu berlari cepat diikuti ayahnya menuju ke markas Thian-liong-pang dekat kota raja yang
baru saja didirikan setelah Thian-liong-pang membantu pemerintah.
Para anggauta Thian-liong-pang terkejut setengah mati ketika mereka melihat Pendekar
Super Sakti datang mengunjungi perkumpulan mereka. Mereka yang belum pernah melihat
pendekar ini, memandang dengan mata terbelalak ketika teman-temannya yang pernah
bertemu dengan Suma Han memberi tahu dengan bisik-bisik bahwa itulah Pendekar
Siluman To-cu Pulau Es yang amat terkenal itu. Andaikata Suma Han datang seorang diri,
biarpun jerih, agaknya mereka masih akan menghadangnya, sedikitnya untuk bertanya dan
menahannya di luar sebelum mereka melapor kepada ketua mereka. Akan tetapi karena
kedatangan pendekar ini bersama Milana, tidak ada seorang pun anggauta Thian-liong-pang
yang berani mencegah mereka berdua memasuki gedung. Bahkan ketika mereka tiba di
ruangan dalam, dua orang tokoh Thian-liong-pang, Sai-cu Lo-mo Toan Kok, dan Lui-hong
Sin-ciang Chie Kang, menyambut mereka dengan muka pucat melongo.
"Siocia, apa artinya ini....?" Sai-cu Lo-mo berseru kaget sambil mencelat bangun dari
kursinya ketika melihat Suma Han.
"Nona, tahan dulu....!" Lui-hong Sin-ciang Chie Kang juga berseru dengan ragu-ragu dan
bingung karena tentu saja dia tidak berani lancang turun tangan terhadap To-cu Pulau Es
yang sudah diketahui kelihaiannya itu.
Milana membalikkan tubuh menghadapi mereka berdua. "Harap kedua kakek suka mundur
dan jangan mencampuri urusan kami. Ini adalah urusan pribadi, sama sekali bukan urusan
Thian-liong-pang. Kakek Bhok, di mana Ibu?"
"Di dalam taman," jawab Sai-cu Lo-mo yang memegang tangan kawannya dan memberi
isarat agar jangan bergerak ketika dua orang itu pergi meninggalkan ruangan itu. Sai-cu Lo-
mo menjadi pucat wajahnya. Hanya dia seoranglah yang sudah diberi tahu oleh ketua
mereka bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti, yaitu ketika dia dahulu melamar
dara itu untuk cucu keponakannya, Gak Bun Beng. Dan kini, pendekar itu, suami Ketua
Thian-liong-pang, telah datang dan agaknya rahasia ketua mereka telah terbuka! Dia dapat
membayangkan betapa hebatnya peristiwa ini, akan tetapi karena maklum bahwa urusan itu
adalah urusan keluarga, maka dia menarik tangan Chie Kang dan berkata,
"Chie-sute, mari kita ke depan, jangan mencampuri urusan itu. Pangcu tentu akan
membunuh kita kalau kita mencampurinya."
"Eh, apa yang terjadi, Suheng?"
"Sssstt, diamlah dan mari kita pergi ke depan saja."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
548 Suma Han yang masih panas isi dadanya itu tidak pernah bicara, hanya mengikuti Milana
yang sudah lari ke belakang gedung memasuki taman yang luas, di pinggir sebuah anak
sungai yang airnya mengalir tenang. Tempat ini adalah pemberian dari Koksu sebagai
hadiah kepada Thian-liong-pang dan merupakan cabang yang terbesar karena dari sinilah
dipusatkan kekuatan Thian-liong-pang yang membantu pemerintah membasmi para
pemberontak yang terdiri dari orang-orang kang-ouw.
Tiba-tiba Milana berhenti dan terisak perlahan, mukanya membuat gerakan ke depan untuk
menunjukkan kepada ayahnya. Suma Han sudah melihat wanita berkerudung yang duduk di
bawah pohon di tepi anak sungai, kelihatan melamun di tempat sunyi itu. Seketika
kemarahannya membuyar seperti awan tipis ditiup angin ketika ia melihat wanita
berkerudung itu duduk bersunyi seorang diri seperti itu. Kini dia mengenal betul bentuk tubuh
Nirahai di balik pakaian dan kerudung itu, biarpun mereka telah saling berpisah lama sekali.
"Nirahai....!" Suara Suma Han gemetar dan kaki tunggalnya menggigil ketika dia mencelat
ke dekat wanita itu dan berdiri dalam jarak tiga meter.
Wanita berkerudung itu memang Ketua Thian-liong-pang, Nirahai. Dia mencelat berdiri
sambil membalikkan tubuh, terkejut seperti disambar petir.
"Han Han....!" Sepasang mata di balik kerudung itu memandang bingung, akan tetapi dia
melihat Milana menangis tak jauh dari situ, mengertilah dia bahwa rahasia telah terbuka oleh
Milana. Sekali renggut saja dia telah melepas kerudungnya dan Suma Han terpesona
melihat wajah isterinya itu masih cantik jelita seperti dulu, masih seperti ketika dia bertemu
dengan Nirahai pada waktu Milana berusia tujuh-delapan tahun yang lalu, bahkan masih
seperti waktu masih gadis dahulu, seolah-olah baru kemarin mereka saling berpisah!
"Kau.... kau mau apa datang ke sini....?" Nirahai bertanya, suaranya juga gemetar dan
kedua matanya seperti sepasang mata kelinci ketakutan, pelupuk matanya bergerak-gerak,
bibirnya dan cuping hidungnya bergerak seperti hendak menahan tangis.
"Nirahai!" Tiba-tiba Suma Han membentak, suaranya penuh kemarahan karena dia sudah
marah lagi mengingat betapa isterinya telah menjadi Ketua Thian-liong-pang. "Jadi
engkaukah Ketua Thian-liong-pang yang telah melakukan segala macam perbuatan keji dan
rendah itu?"
Kalau tadinya Nirahai gemetar dan pucat pandang matanya sayu dan dia seperti setangkai
kembang yang hampir layu dan kekeringan, haus akan siraman cinta kasih, mendengar
ucapan Suma Han itu tiba-tiba wajahnya menjadi kemerahan, pandang matanya berapi dan
tubuhnya berdiri tegak, dada membusung, dagu terangkat dan terdengar ia berkata dengan
suara dingin tegas keras, seperti biasanya suara Ketua Thian-liong-pang.
"Benar! Memang aku telah melakukan itu semua dan tahukah engkau, Suma Han" Seperti
telah kukatakan padamu dahulu, semua itu kulakukan dengan sengaja untuk menantangmu
bertanding! Majulah, Suma Han Majikan Pulau Es yang sombong dan lawanlah Ketua Thian-
liong-pang sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa di tempat ini!" Setelah
berkata demikian, Nirahai menggerakkan tangan dan kerudungnya telah menutup mukanya
kembali. Dia berdiri dan bertolak pinggang, sepasang mata dari balik kerudung seolah-olah
mengeluarkan sinar berapi yang ditujukan penuh kebencian ke arah muka Suma Han.
"Nirahai! Aku tidak peduli untuk apa kaulakukan itu semua, tidak peduli untuk menantang
aku atau siapa juga. Akan tetapi, dengan perbuatanmu yang tidak patut itu engkau telah
menyeret anak kita Milana ke dalam pecomberan! Engkau terlalu mementingkan diri sendiri,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
549 terlalu mementingkan perasaan hatimu sendiri, tidak ingat sama sekali akan kepentingan
anak kita!"
"Cukup!" Nirahai membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas tanah. Pohon di
sebelahnya tergetar dan banyak daunnya rontok oleh getaran itu. Kemudian telunjuk kirinya
menuding ke arah muka Suma Han dan dia berkata, "Tidak perlu kau menyebut-nyebut anak
kita! Tengoklah tengkukmu sendiri dan bercerminlah! Engkau menyalahkan aku, akan tetapi
semenjak Milana kulahirkan, pernahkah engkau datang mencarinya" Pernahkah engkau
sebagai ayahnya menimang anakmu itu satu kali saja" Engkau melupakan anak kita,
engkau hidup dengan angkuh dan sombong sebagai raja di Pulau Es."
"Sang Pendekar Super Sakti yang bertahta di angkasa, begitu tinggi, begitu sakti seperti
dewa! Sekarang setelah Pulau Es hancur, engkau pura-pura mencari anakmu, pura-pura
datang mau menyalahkan aku?"
"Nirahai! Engkau tahu dan yakin aku tidak seperti itu! Biarpun aku sekarang sudah tidak
punya apa-apa, kalau engkau mau, kalau engkau sudi, bersama Milana, marilah ikut
bersamaku, sebagai isteriku yang tercinta, marilah kita melanjutkan sisa hidup ini untuk
mendidik anak kita...."
"Tidak sudi! Berulang kali engkau hendak membujuk rayu! Laki-laki pengecut!"
"Nirahai, engkau tetap keras kepala seperti dahulu! Engkau bahkan kembali menjadi algojo
membunuh orang-orang gagah dengan dalih menindas pemberontakan. Semua ini tentu
gara-gara bujukan Bhong Koksu. Baik, sekarang juga aku akan menghancurkan dia,
membasmi Koksu berikut semua kaki tangannya. Selamat tinggal, Nirahai!" Dengan wajah
pucat dan mata terbelalak penuh dengan sakit hati, Suma Han membalikkan tubuh dan
berloncatan pergi.
"Ayaaaahhh....! Ayaaahh.... tungguuuu....!" Milana menjerit dan meloncat lalu lari mengejar,
tidak mempedulikan ibunya yang kini tidak berdiri tegak lagi melainkan terhuyung ke
belakang dan berpegang pada batang pohon sambil menangis!
Mendengar jerit anaknya, Suma Han menghentikan loncatannya akan tetapi ia tetap berdiri
tegak, tidak menoleh.
"Ayahh....!" Milana menubruk kaki ayahnya yang tinggal satu itu, menangis tersedu-sedu.
"Ayah, mengapa Ayah begini kejam" Ibu sudah banyak menderita karena Ayah. Dan
lupakah Ayah akan kesadaran Ayah tadi di dalam tahanan" Mengapa Ayah menurutkan
nafsu hati yang terdorong oleh ingatan" Apakah Ayah kembali hendak memasuki alam
penghidupan seperti boneka, dipermainkan oleh angan-angan dan pikiran sendiri yang
palsu" Ayahhh....!"
Lemas seluruh tubuh Suma Han mendengar ini. Dia menghela napas panjang dan berkata
lirih, "Anakku.... engkau jauh lebih bersih daripada aku atau ibumu, aku.... aku hanya
manusia lamah.... manusia canggung yang tak tahu lagi apa yang akan kulakukan.... aku
tidak hanya cacad lahiriah, akan tetapi juga cacad batiniah, lemah dan canggung. Mungkin
ibumu lebih benar, biarkan aku pergi dulu, Milana...."
"Ayaaahhh....!" Milana menjerit, akan tetapi Suma Han sudah melesat jauh dan lenyap dari
situ. "Ibuuu....!" Milana yang menoleh ke arah ibunya, terkejut melihat ibunya terhuyung-huyung
dan hampir roboh terguling. Cepat ia lari menghampiri, memeluknya dan kedua orang ibu
dan anak ini bertangis-tangisan.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
550 "Ibu, mengapa kita menjadi begini?"
Nirahai memeluk puterinya, menahan isaknya. "Entahlah, anakku.... entahlah.... aku sendiri
tidak mengerti mengapa aku menjadi begini kalau bertemu dengan ayahmu...."
"Ibu mencinta Ayah, aku yakin akan hal ini."
"Tidak ada manusia lain yang kucinta melainkan engkau dan ayahmu. Akan tetapi dia sudah
menyakiti hatiku, dan satu-satunya jalan untuk memperbaiki hatiku yang rusak hanya...."
"Hanya bagaimana, Ibu?"
"Biar dia tahu sendiri. Engkau tentu akan membuka rahasia hatiku, seperti telah kau buka
rahasia kerudungku kepadanya."
"Ah, tidak sama sekali, Ibu. Karena pertemuan kami dengan Kwi Hong di dalam kamar
tahanan di gedung Koksulah yang membuat rahasia itu terbuka!"
"Di kamar tahanan gedung Koksu?" Nirahai menghentikan isaknya, memandang puterinya
dengan heran. Milana lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia diculik oleh ayah
kadungnya sendiri, menceritakan betapa baik ayah kandungnya itu, betapa hampir saja dia
terculik Wan Keng In kalau tidak ada ayahnya yang menolong, kemudian tentang
pengintaiannya ke gedung Koksu.
"Ibu, mereka itu hendak membunuhmu! Persekutuan dengan Thian-liong-pang yang
diadakan oleh Koksu itu sebetulya hanya hendak mencelakakan Ibu, karena Koksu dan kaki
tangannya mempunyai rencana pemberontakan dan khawatir kalau-kalau Ibu membela
kerajaan."
"Apa....?" Keharuan dan kedukaan hati Nirahai lenyap tertutup oleh keheranan dan
kemarahannya mendengar ini. Milana menceritakan sejelasnya akan semua percakapan
yang ia curi di dalam ruangan istana Bhong Ji Kun.
Kemarahan Nirahai memuncak. "Si keparat Bhong Ji Kun! Manusia seperti itu harus
dibunuh, dia berbahaya bagi kerajaan!" Nirahai meloncat bangun, semua kelemahan akibat
keharuan dan kedukaan sudah lenyap dan semangatnya bernyala-nyala kembali sebagai
Ketua Thian-liong-pang yang tegas!
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dan muncullah Tang Wi Siang bersama anak buahnya
dengan langkah terhuyung-huyung, kemudian mereka semua menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki Nirahai. Juga Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang ikut memasuki taman, dan
dengan kepala tunduk Sai-cu Lo-mo berkata,
"Maaf, Pangcu. Saya sudah melarang mereka masuk, akan tetapi karena mereka terluka
parah dan perlu segera menghadap Pangcu...."
Nirahai mengangkat tangan ke atas. "Tidak mengapa, Lo-mo. Eh, Wi Siang, apa yang telah
terjadi?" Dengan suara tersendat-sendat Tang Wi Siang yang biasanya gagah itu menceritakan
tentang perbuatan Wan Keng In yang melukai mereka semua di dalam hutan. "Kami tidak
mampu melawannya, Pangcu. Dia lihai bukan main, iblis cilik Pulau Neraka itu. Dia sengaja
memberi pukulan beracun pada punggung kami dan menyuruh kami menghadap Pangcu.
Dia.... dia.... mengajukan pinangan kepada Nona Milana.... kalau dalam waktu sebulan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
551 Pangcu tidak mengumumkan perjodohan antara Nona Milana dan Wan Keng In, dia datang
membasmi Thian-liong-pang....!"
"Bresss! Krraaaakkk!" Pohon di samping Ketua Thian-liong-pang itu tumbang oleh pukulan
Nirahai yang menjadi marah bukan main.
"Bangsat cilik! Dia menggunakan nama Pulau Neraka untuk menghina Thian-liong-pang"
Bangsat itu harus mampus di tanganku!"
"Harap Pangcu suka menaruh kasihan kepada Tang Toanio dan para anak buah yang
terluka parah," tiba-tiba Sai-cu Lo-mo berkata.
Nirahai meghampiri seorang anggauta Thian-liong-pang yang berlutut di depannya,
merobek bajunya dan dia terkejut melihat tapak tiga jari tangan merah di punggung orang itu.
"Apakah semua terluka seperti ini?" tanyanya kepada Wi Siang.
Tang Wi Siang mengangguk. "Dia bilang bahwa dalam satu bulan kami akan mati, kecuali
kalau Pangcu menerima pinangannya, dia akan datang menyembuhkan kami, demikianlah
pesannya."
"Hemm, si keparat!" Nirahai memaki dan dia lalu memeriksa luka yang kelihatannya tidak
hebat itu, hanya merupakan "cap" merah dari tiga buah jari tangan. Ia mencoba dengan
menyalurkan sin-kang, telapak tangannya ditempelkan di punggung untuk mengusir luka
pukulan beracun itu. Namun hasilnya sia-sia.
"Hemm, pukulan beracun ini amat aneh dan aku tidak mengenal racun apa yang terkandung
dalam hawa pukulan. Lo-mo, ambilkan pisau perak di kamarku."
Sai-cu Lo-mo cepat pergi dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa sebatang
pisau tajam meruncing terbuat daripada perak. Nirahai menggerakkan ujung pisaunya
menggurat tanda tapak jari tangan di punggung orang itu yang menggigit bibir menahan rasa
nyeri agar tidak menjerit.
"Aihh....!" Nirahai berseru kaget. Pisaunya menjadi hitam seperti dibakar dan tanda guratan
pisau itu memanjang ke bawah dan menjadi merah pula seperti tanda tapak jari itu. Tiba-tiba
orang itu meronta, dan roboh bergulingan, berkelojotan dan merintih perlahan, kemudian tak
bergerak sama sekali, dan ketika Nirahai memeriksanya, ternyata dia telah mati!
Tentu saja semua orang menjadi kaget sekali, terutama Tang Wi Siang dan teman-
temannya yang terluka. Wi Siang yang berlutut itu maju mendekati ketuanya dan berkata,
"Pangcu, harap Pangcu bunuh saja saya dengan sekali pukul. Pukulan beracun ini agaknya
hanya dapat diobati oleh iblis cilik itu, dan saya lebih baik mati daripada Nona Milana
diperisteri olehnya. Daripada menanggung derita sebulan lamanya, biarlah sekarang saja
Pangcu membunuh saya."
Nirahai mengerutkan alisnya. "Jangan putus harapan, Wi Siang. Aku akan mencarikan
obatnya. Waktu sebulan masih lama...."
"Percuma saja, Pangcu. Memang benar hanya dia atau akulah yang akan dapat
menyembuhkan luka beracun itu!"
Nirahai dan semua orang cepat menengok. Mereka sama sekali tidak mendengar ada orang
datang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik sekali biarpun usianya sudah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
552 tidak muda lagi, kurang lebih empat puluh tahun. Akan tetapi ada sesuatu yang amat
mengerikan pada wanita ini yaitu mukanya. Mukanya itu berwarna putih seperti kapur!
Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, akan tetapi begitu melihat wanita ini, timbul rasa
kasihan di dalam hati Milana! Gadis ini, dan semua anggauta Thian-liong-pang sama sekali
tidak tahu bahwa pada saat itu, wajah di dalam kerudung Ketua Thian-liong-pang menjadi
pucat sekali ketika dia mengenal wanita bermuka putih itu. Tentu saja Nirahai mengenalnya
karena wanita itu bukan lain adalah sumoinya sendiri ketika mereka berdua dahulu menjadi
murid Nenek Maya. Wanita bermuka putih dan amat cantik itu bukan lain adalah Lulu!
"Bibi yang baik, benarkah Bibi akan dapat menyembuhkan mereka ini?" Milana bertanya
dan mengagumi wajah yang cantik itu. Sayang mukanya berwarna putih seperti kapur
karena sesungguhnya wanita itu cantik sekali, terutama sekali matanya yang seperti bintang
dan yang membuat dia merasa suka adalah karena wajah wanita ini mirip-mirip dengan
wajah ibunya yang tersembunyi di balik kerudung.
Wanita ini mengangguk, mukanya tetap dingin sungguhpun sepasang mata yang indah itu
memandang Milana dengan pernyataan rasa tertarik dan suka. "Tentu saja aku dapat
menyembuhkan mereka dengan mudah."
Nirahai menjadi curiga. Apakah hubungan Lulu dengan Pulau Neraka" Dan ke mana saja
selama ini perginya?" Dia lalu melangkah maju, merubah suaranya menjadi suara Ketua
Thian-liong-pang yang dingin dan berwibawa,
"Siapakah engkau" Dan bagaimana engkau begitu yakin akan dapat menyembuhkan luka
mereka ini?"
Lulu menatap muka berkerudung itu, bertemu pandang dan ia kagum melihat sepasang
mata yang begitu bersinar-sinar penuh semangat dan wibawa. Orang ini memang patut
menjadi Ketua Thian-liong-pang yang terkenal pikirnya.
"Aku merasa yakin, Pangcu. Tidak ada orang lain yang akan dapat menyembuhkan mereka
ini, biarpun engkau akan mendatangkan ahli-ahli pengobatan dari manapun juga, karena
obat penawar racun ini hanya terdapat di Pulau Neraka."
"Hemm, kalau begitu, bagaimana engkau bisa mendapatkan obat penawarnya?"
Lulu hanya menggerakkan bibir sedikit sebagai pengganti senyum. Melihat ini, Nirahai
bergidik. Dahulu Lulu adalah seorang wanita yang periang, jenaka dan ramah, mengapa


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang menjadi segunduk es beku, dingin dan mengerikan"
"Pangcu, Wan Keng In yang melukai anak buahmu ini adalah puteraku, tentu saja aku bisa
menyembuhkan mereka!"
Terdengar seruan-seruan kaget dan marah. Tang Wi Siang sudah melompat bangun dan
memandang dengan mata terbelalak. "Engkau.... Ketua Pulau Neraka....?"
Lulu mengangguk dan berkata muak, "Bekas.... ketua boneka...."
"Iblis betina!" Para anggauta Thian-liong-pang yang terluka itu kini serentak meloncat
bangun dan menyerang Lulu, dipelopori oleh Tang Wi Siang, bahkan diikuti pula oleh
beberapa orang anak buah Thian-liong-pang lain yang sudah berada di situ. Tidak kurang
dari dua puluh orang menyerbu Lulu, ada yang memukul, ada yang mencengkeram, ada
yang menendang.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
553 Terdengar suara bak-bik-buk dan disusul teriakan-teriakan hiruk-pikuk ketika tubuh dua
puluh orang itu terlempar ke sana-sini dan terbanting keras. Setelah semua penyerang roboh
terjengkang, kini tampaklah Lulu yang masih berdiri dengan tenang dan matanya yang indah
itu mengerling ke sekelilingnya dengan muka digerakkan ke kanan kiri. Melihat mereka
sudah mencabut senjata dan hendak bangkit lagi, Lulu mengangkat kedua lengan ke atas
dan berkata, suaranya melengking nyaring dan penuh wibawa karena dikeluarkan dengan
pengerahan khi-kang.
"Tahan....! Thian-liong-pangcu, mengapa engkau tidak menghentikan anak buahmu yang
lancang dan bodoh ini" Kalau aku datang dengan iktikad buruk, perlu apa aku bicara lagi"
Tanpa turun tanganpun, dengan membiarkan mereka, anak buahmu yang terluka itu akan
mati semua. Kalau aku berniat jahat, perlu apa aku menawarkan penyembuhan?"
Nirahai sebetulnya tidak setuju dengan sikap anak buahnya tadi. Akan tetapi dia terlalu
heran mendengar Lulu mengaku sebagai Ketua Pulau Neraka sehingga dia melongo dan
tidak sempat melarang anak buahnya menyerang Lulu yang akibatnya amat luar biasa itu,
yaitu anak buahnya terjengkang semua dan roboh seperti daun kering tertiup angin.
Kini dia cepat membentak, "Kalian ini benar-benar kurang ajar. Hayo mundur semua dan
jangan turun tangan kalau tidak ada perintah!" Kemudian Nirahai menghadapi Lulu dan
berkata, suaranya masih dingin, "Jadi engkau adalah Majikan Pulau Neraka yang tersohor
itu" Hemm, sungguh aneh. Akan tetapi, bicara tidak ada gunanya sebelum ada bukti iktikad
baikmu. To-cu (Majikan Pulau), kau sembuhkan dulu anak buahku, barulah kita bicara."
Lulu mengangguk dan merasa kagum. "Engkau patut menjadi Ketua Thian-liong-pang. Buka
baju kalian bagian punggung dan berlututlah berjajar agar mudah aku mengobati kalian!"
Mereka yang terluka oleh pukulan Wan Keng In, yaitu Tang Wi Siang dan anak buahnya,
segera menyingkap baju dan memperlihatkan punggung yang ada tandanya tapak tiga buah
jari tangan merah, kemudian berlutut dan berjajar menjadi barisan punggung telanjang yang
lucu juga. Kalau keadaan tidak demikian menegangkan, tentu kejadian ini akan
menimbulkan ketawa.
Lulu memandang sekelebatan saja dan maklum bahwa puteranya telah menggunakan
pukulan yang mengandung racun akar merah seperti yang diduganya, ketika tadi ia melihat
akibat yang menewaskan seorang anggota yang terluka pada waktu Ketua Thian-liong-pang
menorehnya dengan pisau untuk melihat darah dan menyelidiki racunnya. Dia mengeluarkan
sebungkus obat bubuk berwarna hijau. Dengan jari tangan kiri dia memukul punggung itu
untuk memunahkan hawa pukulan puteranya, kemudian tangan kanannya melaburkan obat
bubuk dan menekankannya ke atas tanda tapak jari merah di punggung. Setelah selesai
mengobati semua orang, dia berkata,
"Luka dipunggung akan terasa gatal-gatal dan mengeluarkan cairan, kemudian dalam waktu
sehari akan kering seperti bekas luka yang merobek kulit. Kalian sudah sembuh, hanya
sayang seorang di antara kalian tak tertolong." Ia memandang mayat yang masih
menggeletak di situ.
Nirahai menghampiri Tang Wi Siang yang sudah membereskan bajunya. "Bagaimana
rasanya sebelah dalam tubuhmu?"
"Sesak napas dan rasa nyeri di perut sudah lenyap, Pangcu."
Nirahai lalu menjura kepada Lulu dan berkata, "Terima kasih atas pertolongan To-cu,
silakan To-cu masuk ke dalam di mana kita dapat bicara."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
554 Lulu tadi mendengar pelaporan Tang Wi Siang akan sebab perbuatan puteranya yang
melamar puteri Ketua Thian-liong-pang, maka dia mengangguk karena dia pun ingin bicara
akan hal itu. Tanpa bicara, kedua orang wanita aneh itu berjalan menuju ke dalam gedung,
hanya diiringkan oleh Milana karena Nirahai memberi isyarat dengan gerak tangan kepada
Sai-cu Lo-mo dan yang lain-lain untuk tidak mengganggu mereka.
Tiga orang wanita itu memasuki ruangan dalam dan duduk menghadapi meja. Sejenak
mereka saling pandang, kemudian Nirahai berkata,
"Sungguh tidak pernah kusangka-sangka bahwa hari ini Thian-liong-pang akan menerima
kunjungan To-cu Pulau Neraka seperti keadaan ini!"
Lulu menarik napas panjang. "Harap jangan menyebut To-cu kepadaku karena sekarang
Pulau Neraka sudah tidak ada lagi. Aku hanyalah seorang perantauan yang tidak
mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai anak buah...."
"Akan tetapi, anak buah Pulau Neraka masih berkeliaran di mana-mana!" Milana berkata,
membantah. Kembali Lulu menarik napas panjang. "Itulah yang menyusahkan hatiku. Puteraku itulah....
ahhh, Pangcu. Justeru karena puteraku itulah maka aku sekarang berhadapan denganmu,
dan marilah kita bicara sebagai dua orang ibu membicarakan masa depan kedua orang
anaknya!" Diam-diam Nirahai merasa terharu sekali. Wanita ini adalah Lulu! Lulu yang dahulu amat
riang gembira dan jenaka itu. Dan kini putera Lulu ingin berjodoh dengan puterinya! Kalau
saja keadaan ternyata lain, tidak seperti sekarang ini. Alangkah akan bahagianya peristiwa
ini! Akan tetapi, Lulu adalah Majikan Pulau Neraka, sudah berubah seperti iblis betina, dan
puteranya itu, demikian kejam dan kurang ajarnya!
"Maksudmu bagaimana, To-cu?" tanya Nirahai.
"Pangcu, terus terang saja, aku tidak sengaja masuk ke tempatmu untuk mengobati luka
anak buahmu. Aku dalam perjalanan ke kota raja, di tengah jalan aku melihat anak buahmu
yang terluka oleh pukulan Jari Tangan Merah, sebuah pukulan dari Pulau Neraka. Aku
terkejut dan diam-diam aku mengikuti mereka. Setelah mereka masuk ke sini
menghadapmu, aku mengintai dan mencuri masuk taman, dan barulah aku tahu akan segala
hal yang hebat itu. Tahu bahwa mereka adalah anak buah Thian-liong-pang, bahkan baru
aku tahu bahwa mereka itu dilukai oleh puteraku, dan terutama sekali, baru aku tahu bahwa
puteraku jatuh cinta kepada puterimu dan mengajukan pinangan kepadamu dengan cara
itu!" "Cara yang amat bagus!" Nirahai mencela.
Lulu menarik napas panjang. "Agaknya tidak perlu dibicarakan lagi hal itu, Pangcu.
Bukankah anak buahmu telah kusembuhkan" Hal itu berarti penebusan kesalahan puteraku.
Yang penting sekarang, setelah aku mengetahui bahwa puteraku jatuh cinta kepada
puterimu, tentu dia inilah puterimu dan aku tidak heran mengapa puteraku jatuh cinta kepada
dara yang cantik jelita ini, maka aku mempergunakan kesempatan ini untuk mengajukan
lamaran secara resmi."
"Tidak! Tidak bisa aku menerima ini! Puteramu begitu kurang ajar dan kejam!" Nirahai
mengepal tangannya membentuk tinju.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
555 "Sabarlah, Pangcu. Urusan jodoh adalah urusan dua orang anak yang hendak
menjalaninya, bukan urusan kedua orang ibunya yang hanya akan menjadi penonton. Yang
terpenting adalah anak-anak itu sendiri. Puteraku sudah jelas mencinta puterimu, maka
setelah kini puterimu hadir pula, sebaiknya kita mendengar pendapatnya akan pinangan ini.
Bukankah sebaiknya begitu?"
Nirahai terkejut. Benar-benar berubah hebat sekali Lulu ini, bicaranya sudah matang dan
sikapnya begitu tenang! Dia merasa kalah bicara, maka sambil menoleh kepada Milana dia
bertanya, "Hemmm, coba kau yang menjawab, Milana. Bagaimana pendapatmu dengan pemuda itu"
Maukah kau menerima pinangannya?"
Wajah Milana seketika berubah merah sekali, akan tetapi mulutnya cemberut dan ia bangkit
berdiri. "Aku tidak sudi! Aku.... aku benci kepadanya!" Setelah berkata demikian, Milana
membalikkan tubuh dan meloncat pergi dan meninggalkan dua orang wanita itu.
Lulu memejamkan kedua matanya. Melihat wajah yang berwarna putih itu membayangkan
kedukaan, dan kedua mata itu terpejam, timbul rasa iba di hati Nirahai terhadap bekas
sumoinya itu. "To-cu, kaumaafkan sikap anakku."
Lulu membuka matanya, memandang heran, "Betapa anehnya! Aku mendengar bahwa
Ketua Thian-liong-pang adalah seorang iblis betina yang kejam dan tidak mengenal
perikemanusiaan. Sekarang, anakku telah melakukan penghinaan kepadamu, dan anakmu
baru bersikap sewajarnya seperti itu saja engkau mintakan maaf. Pangcu, apakah engkau ini
seorang dewi berkedok iblis, ataukah seorang iblis bertopeng dewi" Aku memuji dan kagum
kepada puterimu. Memang seharusnya begitulah sikap orang menghadapi urusan cinta.
Kalau cinta mengaku cinta, kalau benci mengaku benci, tidak boleh pura-pura yang akan
mengakibatkan kehancuran dan kesengsaraan seperti yang telah kualami!"
Jantung Nirahai berdebar keras. Rahasia apakah yang tersembunyi di balik muka seperti
topeng berwarna putih itu" Apakah yang dialami oleh Lulu selama berpisah dengannya"
Dahulu dia mendengar dari suaminya bahwa Lulu telah menikah dengan Wan Sin Kiat dan
tentu Wan Keng In adalah putera Wan Sin Kiat. Apakah kini Wan Sin Kiat juga ikut menjadi
pimpinan di Pulau Neraka"
"To-cu, marilah kita melupakan sebentar bahwa aku adalah pangcu dari Thian-liong-pang
dan engkau To-cu dari Pulau Neraka, dan mari kita bicara seperti dua orang wanita. Engkau
tadi bilang bahwa menghadapi urusan cinta tidak boleh berpura-pura karena akan
mengakibatkan kesengsaraan seperti yang kaualami. Maukah engkau menceritakan
kepadaku?"
Lulu memandang sepasang mata di balik kerudung itu. "Andaikata engkau membuka
kerudungmu dan aku melihat engkau sebagai seorang manusia, tentu aku lebih baik mati
daripada menceritakan isi hatiku. Akan tetapi, berhadapan denganmu aku seperti
berhadapan dengan bukan manusia, dan engkau malah ibu dari gadis yang dicinta puteraku!
Hemm, kau dengarlah rahasia yang selama ini hanya kusimpan di dalam hatiku saja. Aku
membenarkan puterimu karena perjodohan yang dipaksakan akan membawa akibat
mengerikan, sebaliknya, cinta kedua pihak yang dipisahkan juga mendatangkan
kesengsaraan. Bukan hanya akibat yang menimpa diri sendiri saja, akan tetapi juga
menimpa kepada orang lain, kepada keturunan! Aku sendiri mengalaminya. Aku mencinta
seseorang, semenjak remaja puteri aku cinta kepadanya, dan dia cinta kepadaku, akan
tetapi kami berpura-pura, malu untuk mengaku, sehingga aku dipaksa menikah dengan pria
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
556 lain yang kusangka dapat kucinta sebagai pengganti dia. Sampai aku mempunyai seorang
putera. Akan tetapi sia-sia belaka, aku tidak bisa memindahkan cinta kasih, akhirnya aku
meninggalkan suamiku dan suamiku membunuh diri secara tidak langsung dan halus.... dan
aku membawa anakku ke neraka dunia! Aihhh, itulah yang paling membuat hatiku menyesal,
aku telah merusak anakku sendiri sehingga dia menjadi seperti itu....! Keng In.... akulah yang
membuat engkau rusak.... kalau aku tidak menuruti hati yang dirundung kerinduan, dimabuk
cinta kasih, dan aku rela berkurban, hidup di samping ayahmu, agaknya engkau sekarang
telah menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa dan terhormat....!"
Lulu menutup muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan kesedihannya yang
tarpancar dari kedua matanya yang mulai membasah sehingga dia tidak melihat betapa
mata di balik kerudung itu memancarkan pandang mata yang aneh sekali. Dia tidak tahu
betapa jantung Nirahai seperti diremas-remas mendengar penuturannya itu, biarpun dia
tidak menyebut nama karena Nirahai sudah dapat menduga siapakah pria yang dicinta oleh
Lulu itu! Suma Han. Tentu saja!
Setelah melihat Lulu dapat menguasai dirinya, Nirahai bertanya dengan suara biasa, namun
dengan penekanan hatinya yang berdebar tegar.
"Lalu sekarang bagaimana dengan pria yang kaucinta itu?"
"Dia.... diapun seperti aku, dia.... dia menikah dengan wanita lain!"
"Hemm, dan dia masih mencintaimu?"
"Tentu saja, biarpun dia juga mengaku bahwa dia mencinta isterinya itu."
Jantung Nirahai berdebar makin kencang. Jadi Suma Han telah bertemu dengan Lulu dan
mengaku bahwa suaminya itu mencintanya"
"Dan engkau?"
"Aku" Aku sekarang.... benci kepadanya! Aku sudah bersumpah untuk memilih antara dua,
yaitu menjadi isterinya atau menjadi musuhnya sampai seorang di antara kami mati!" Lulu
menggenggam ujung meja saking gemasnya dan terdengar suara keras. Ujung meja itu
hancur dan hangus!
"Kresss!" Terdengar suara keras lain dan ujung meja di depan Nirahai juga hancur menjadi
tepung diremas Ketua Thian-liong-pang ini.
Dua orang itu saling pandang. Nirahai bangkit berdiri. "To-cu, sekali lagi terima kasih atas
pengobatanmu terhadap anak buahku. Dan sudah jelas bahwa pinangan anakmu itu kami
tolak. Kalau engkau hendak menggunakan kekerasan seperti yang dikatakan anakmu,
marilah aku siap melayanimu."
"Pangcu, biarpun aku pernah menjadi ketua boneka dari Pulau Neraka, namun dalam
urusan cinta kasih, aku tidak mau bersikap keras. Bahkan aku akan menentang tindakan
anakku kalau dia berkeras."
"Sesukamulah. Akan tetapi katakan kepadanya, kalau dalam sebulan dia tidak datang
memenuhi ancamannya hendak membasmi Thian-liong-pang, aku sendiri yang akan
mencari dia untuk memberi hajaran!"
"Hemm, kalau sampai terjadi demikian, sebagai ibu kandungnya sudah pasti aku akan
membelanya!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
557 "Hemmm, kita sama lihat saja nanti!"
"Pangcu, kuharap saja tidak akan terjadi demikian karena engkau tentu akan mati di
tanganku!"
"Itupun sama kita buktikan saja nanti!"
"Selamat tinggal!"
"Selamat berpisah!"
Tubuh Lulu berkelebat dan lenyap dari situ, menerobos jendela ruangan itu dan berloncatan
dengan cepat sekali me-ninggalkan markas Thian-liong-pang. Perpisahan yang aneh antara
dua orang wanita yang aneh! Nirahai duduk terme-nung. Terlalu banyak peristiwa
menimpa-nya pada hari itu. Pertemuan dengan suaminya. Disusul munculnya Lulu dengan
ceritanya yang hebat! Berita yang dibawa Milana tentang niat jahat koksu, untuk
membunuhnya! Terlalu banyak peristiwa hebat yang menghimpit perasaannya, membuat
wanita berkerudung yang dita-kuti lawan atau kawan ini termenung sambil menunjang dagu
dengan tangan-nya.
*** Sudah terlalu lama kita meninggalkan Gak Bun Beng! Yang terakhir kita meli-hat dia,
pemuda yang berwatak lembut itu, mengubur semua mayat yang jatuh sebagai korban
pertandingan besar di daerah tandus di puncak Ciung-lai-san di Se-cuan, di mana diadakan
pertemuan oleh Thian-liong-pang. Setelah selesai mengubur semua jenazah yang terlantar
itu, Bun Beng menunggang kudanya kem-bali dan menjalankan kudanya perlahan menuju
ke timur. Dia telah berhasil me-rampas kembali Hok-mo-kiam, bahkan berhasil membunuh
dua orang di antara musuh-musuhnya, yaitu Tan-siucai dan terutama sekali Thai Li Lama.
Tadinya dia tidak bermaksud membunuh Tan-siucai seperti yang dilakukan terhadap Thai Li
Lama karena dia tidak mem-punyai dendam pribadi dengan Tan Ki. Adapun Thai Li Lama
merupakan musuh-nya karena Lama ini termasuk mereka yang sudah membunuh gurunya,
yaitu Kakek Siauw Lam Hwesio.
Akan tetapi musuh-musuhnya masih amat banyak dan mereka itu malah jauh lebih lihai
daripada Thai Li Lama. Thian Tok Lama adalah suheng Thai Li Lama yang tentu lebih lihai
lagi, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun kabarnya memiliki il-mu kepandaian yang lebih hebat.
Belum lagi Kakek Maharya yang sakti. Bergidik Bun Beng kalau teringat akan kakek ini, yang
pernah ia saksikan ketika kakek itu mengadu ilmu sihir dengan Pendekar Super Sakti. Baru
bertemu dan melawan Thai Li Lama saja karena kurang hati-hati, dia terluka. Dia harus giat
melatih diri. Mematangkan ilmu-ilmunya, teruta-ma yang dia latih di dalam guha rahasia di
bawah markas Thian-liong-pang di lembah Huang-ho itu, sebelum dia meng-hadapi musuh-
musuhnya yang sakti. Juga dia harus mencari Pendekar Super Sakti untuk menyerahkan
Hok-mo-kiam, karena pendekar itulah yang berhak atas pedang buatan Kakek Nayakavhira
ini. Di sam-ping itu, dia harus mencari pemuda Pu-lau Neraka yang telah merampas Lam-
-mo-kiam! Bun Beng melakukan perjalanan per-lahan. Dia tidak tergesa-gesa dan di sepanjang jalan
dia terus melatih ilmu-nya. Ketika ia menggunakan Hok-mo--kiam untuk melatih ilmu Pedang
Lo-thian Kiam-sut yang amat dahsyat itu, dia menjadi girang karena mendapat kenya-taan
betapa pedang itu cocok ukurannya dan tepat pula beratnya sehingga pedang dan
tangannya seolah-olah telah melekat dan bersambung menjadi satu! Barulah hatinya puas
setelah dia berhasil mema-inkan seluruh jurus Lo-thian Kiam-sut tanpa berhenti. Padahal
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
558 ilmu pedang ciptaan manusia sakti Koai Lojin itu bukanlah sembarangan ilmu sehingga
Ketua Thian-liong-pang sendiri pun tidak mampu memainkan seluruhnya.
Setelah melakukan perjalanan beberapa pekan dan terpaksa meninggalkan kudanya dan
melepas binatang yang sudah payah itu dalam sebuah hutan, ti-balah Bun Beng di kaki
pegunungan Lu--liang-san, di tepi Sungai Kuning dan di perbatasan Mongolia selatan. Kota
raja sudah tidak jauh lagi dan selagi dia ber-jalan seenaknya, tiba-tiba terdengar suara derap
kaki kuda dari belakang. Bun Beng cepat minggir dan menutupi mulut dan hidungnya
dengan lengan baju karena tanah yang kering itu mengham-burkan debu tebal ketika barisan
kuda itu berlari datang.
Pasukan atau rombongan berkuda itu terdiri dari tiga puluh orang lebih. Bun Beng merasa


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

heran karena rombongan ini terdiri dari bermacam-macam bang-sa yang dapat dilihat dari
bentuk pakaian mereka. Ada orang Mongol, ada pula orang Tibet dan banyak di antara
mereka adalah orang-orang Han. Akan tetapi melihat cara mereka menunggang kuda dan
duduk dengan tegak, melihat senja-ta-senjata pedang yang tergantung di punggung, melihat
gerak mereka, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa rom-bongan itu terdiri dari orang-
orang yang berkepandaian tinggi.
Setelah rombongan berkuda itu lewat dan debu yang mengebul sudah habis tertiup angin,
Bun Beng baru menurunkan lengan baju dari depan mukanya, kemudian melanjutkan
perjalanan menuju ke barat, ke mana rombongan tadi memba-lapkan kuda. Di dalam hati
timbul ke-curigaan dan keheranan. Dia merasa aneh dan tertarik sekali. Orang-orang
Mongol, Tibet, dan orang-orang Han menjadi satu dalam sebuah rombongan" Aneh sekali!
Mengapa tidak tampak orang Mancu yang pada waktu itu menjadi bangsa yang paling
"tinggi" karena bangsa inilah yang berkuasa" Ada terjadi apakah"
Karena hatinya tertarik. Bun Beng mempercepat langkahnya, bahkan mempergunakan ilmu
lari cepat untuk mengejar. Setelah malam tiba, dia berhenti di sebuah dusun dan mendapat
keterang-an bahwa baru saja rombongan itu le-wat dan mereka tidak berhenti di dusun itu.
Bun Beng membeli makanan, kemu-dian malam itu juga melanjutkan perjalanan karena
merasa makin heran dan curiga. Hari sudah malam, dan dari du-sun itu ke timur merupakan
hutan lebat, mengapa mereka itu tidak berhenti di dalam dusun"
Ketika dia melakukan pengejaran, dia melihat bahwa mereka itu berhenti di luar dusun dan
beristirahat di tempat sunyi itu, membuat api unggun dan ma-kan dari perbekalan mereka.
Kiranya mereka itu hendak menjauhkan diri dari tempat ramai, maka mereka memilih tempat
sunyi itu untuk melewatkan ma-lam daripada di sebuah dusun.
Bun Beng terus membayangi rombong-an ini dan dari percakapan-percakapan mereka, dia
mendengar bahwa mereka itu menuju ke daerah Cip-hong yang berada di perbatasan
Mongolia, di sebuah utara kota raja. Ketika ia mendengar disebutnya Koksu dan Pangeran
Jeng Han dari Mongol dan Pangeran Yauw Ki Ong dari istana, dia makin tertarik, apalagi
ketika mendengar percakapan mereka itu membayangkan sebuah per-sekutuan antara
Tibet, Mongol, pejuang--pejuang Han, dan dari dalam istana sen-diri! Tentu merupakan
persekutuan gelap, pikirnya.
Ketika rombongan itu tiba dipersim-pangan jalan, Bun Beng merasa ragu--ragu. Kalau ke
selatan, dia akan sampai di kota raja, tempat yang ditujunya se-mula. Akan tetapi,
rombongan itu besuk pagi tentu akan membelok ke kiri, ke utara. Untuk apa dia mengikuti
mereka ini" Urusan persekutuan itu tidak mena-rik hatinya karena dia tidak mempunyai
sangkut-paut dengan itu. Akan tetapi, malam itu, ketika ia mengambil kepu-tusan untuk
melakukan pengintaian yang terakhir kalinya, dia mendengar perca-kapan yang benar-benar
mengejutkan dan menarik perhatiannya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
559 Dari percakapan mereka, dia mendengar bahwa persekutuan itu, yang dikepalai oleh
Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu Bhong Ji Kun, me-rencanakan untuk
membunuh kaisar dan untuk merampas kekuasaan pemerintahan! Dan rombongan itu
merupakan bala bantuan untuk memperkuat pasukan orang gagah yang dipusatkan di dekat
Cip--hong, di daerah yang terkenal sebagai tempat "api abadi", yaitu daerah sete-ngah
tandus di mana terdapat api yang bernyala-nyala dari tanah dan tak pernah padam
selamanya. Tanah di situ sebetul-nya mengandung sumber minyak yang tergali, dan minyak
dari tanah itulah yang membuat api tak pernah padam.
Karena Bun Beng merasa benci kepa-da Koksu yang dianggapnya musuh besar, maka
biarpun dia tidak berhasrat menye-lamatkan Kaisar Mancu, dia ikut pula ke utara, terus
membayangi rombongan itu karena dia ingin menggagalkan per-sekutuan yang dipimpin
oleh Koksu mu-suh besarnya itu. Lebih-lebih ketika dia mendengar bahwa pasukan orang-
orang lihai yang tergabung dan dipusatkan di Cip-hong itu merupakan pasukan khusus untuk
menghadapi Thian-liong-pang! Hemm, mereka juga memusuhi Thian--liong-pang dan
pasukan ini khusus diper-siapkan untuk melawan orang-orang Thian-liong-pang! Tentu saja
Bun Beng menjadi makin tertarik untuk menentang pasukan itu. Ketua Thian-liong-pang
adalah isteri Pendekar Super Sakti, dan ibu Milana! Tentu saja dia akan membela Thian-
liong-pang, atau setidaknya membela Milana yang pernah dengan mati-matian
menyelamatkannya dari ba-haya maut. Selama hidupnya dia takkan dapat melupakan budi
kebaikan dara ini, selama hidupnya dia tidak akan dapat melupakan dara itu bukan hanya
cantik jelitanya, bukan hanya karena dia puteri Pendekar Super Sakti yang dikaguminya,
melainkan karena.... dia tidak mungkin dapat melupakan pribadi dara itu! Dia sendiri sampai
menjadi bingung seperti orang mabok. Mabok asmara!
Selama membayangi rombongan itu sampai belasan hari lamanya, akhirnya rombongan
berkuda itu tiba di tempat tujuan mereka. Sebuah tempat yang su-nyi, merupakan bangunan-
bangunan daru-rat di luar kota yang jauh dari masyara-kat ramai, dikurung pagar yang tinggi
sehingga tidak tampak dari luar.
Bun Beng menanti sampai keadaan menjadi sunyi dan ternyata di tempat itu telah tinggal
puluhan orang sehingga dengan para pendatang itu jumlah me-reka mendekati seratus
orang yang ke-semuanya kelihatan berkepandaian tinggi! Setelah malam tiba dan cuaca
mulai gelap, Bun Beng menyelinap dan mende-kati pagar, siap untuk meloncat dan
me-nyelidik ke dalam. Akan tetapi tiba-tiba dia berjongkok dalam gelap ketika melihat
berkelebatnya bayangan meloncati pagar. Gerakan orang itu cukup ringan dan lincah dan
sekelebatan Bun Beng melihat bahwa orang itu adalah seorang laki-laki bertubuh kurus
jangkung, berusia empat puluhan tahun dan tangan kanan-nya memegang sebatang golok
besar. Bun Beng tidak tahu siapa orang itu akan tetapi dapat menduga bahwa dia itu tentulah
bukan anggota rombongan yang tinggal di situ, karena gerakan dan sikapnya seperti
seorang pencuri. Diam--diam Bun Beng meloncat ke atas pagar dan cepat melayang turun
ke sebelah dalam, dari jauh dia membayangi orang bergolok itu.
Benar saja dugaannya. Orang itu kini mendekam di atas wuwungan dan perla-han-lahan
membuka genteng! Akan teta-pi, karena gerakan orang itu ketika meloncat ke atas
wuwungan menimbulkan sedikit suara, tiba-tiba Bun Beng melihat bayangan-bayangan
orang meloncat naik ke atas genteng dengan berturut-turut. Jumlah mereka delapan orang
dan Si Pencuri itu telah terkurung. Si Pencuri itu meloncat bangun dan mengamuk.
Terjadilah pertempuran yang berat sebe-lah. Biarpun gerakan golok pencuri itu cukup lihai,
namun menghadapi pengero-yokan belasan orang yang rata-rata me-miliki ilmu silat yang
cukup kuat akhirnya dia roboh, goloknya terlepas dan dia dihujani pukulan kemudian
diringkus, di-ikat kaki dan tangannya dan dibawa masuk ke dalam pondok.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
560 Bun Beng tidak mau tahu apa yang mereka lakukan terhadap pencuri itu. Dia lebih perlu
melakukan penyelidikan ke-adaan tempat itu. Ternyata tempat itu cukup luas dan sedikitnya
ada dua puluh buah pondok darurat yang dibangun seca-ra sederhana akan tetapi cukup
kuat. Di sudut terdapat sebuah bangunan besar dan agaknya malam itu mereka berpesta,
diseling suara ketawa-ketawa laki-laki dan perempuan. Hemm, kiranya di tem-pat itu
disediakan pula wanita-wanita untuk menghibur pasukan khusus itu, pikir Bun Beng. Dia
memutari bangunan--bangunan itu dan memeriksa ke pekarangan belakang. Di tempat inilah
tam-pak beberapa lidah api bernyala-nyala keluar dari tanah, dan tak jauh dari situ ia melihat
sebuah sumur. Ketika ia menjenguk ke dalam sumur, hidungnya men-cium bau keras, bau
minyak! Hmm, bu-kan air yang berada di sumur itu agak-nya, melainkan minyak! Benar-
benar Bun Beng tidak mengerti dan dia cepat men-jauhi sumur karena menjenguk sebentar
saja, kepalanya pening dan dadanya sesak. Uap minyak itu beracun agaknya!
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari dalam. Bun Beng menyelinap di tem-pat gelap dan
melihat empat orang menyeret pencuri tadi yang sudah dibe-lenggu kaki tangannya. Melihat
keadaan pencuri itu tentu dia telah disiksa karena matanya bengkak-bengkak dan dia tidak
mengeluarkan suara apa-apa kecuali me-rintih perlahan. Empat orang diikuti oleh belasan
orang yang tertawa-tawa geli, seolah-olah mereka hendak menyaksikan pertunjukan yang
menarik hati. Dengan hati ngeri dan sebal, Bun Beng melihat betapa mereka menggantung kaki pencuri
sial itu di atas sumur, kepalanya di bawah kakinya di atas, ke-mudian mengereknya turun
sehingga tampak hanya kakinya di atas permukaan bibir sumur, terikat pada tali timba
su-mur. Kaki itu meronta-ronta dan talinya bergoyang-goyang sedangkan belasan orang
yang mengelilingi sumur itu ter-tawa bergelak-gelak, kemudian mereka meninggalkan sumur
itu sambil tertawa--tawa, kembali ke dalam pondok, dan ada pula yang agaknya hendak
menuju ke pondok di sudut di mana terdengar suara wanita bernyanyi-nyanyi dan orang-
orang tertawa-tawa.
Bun Beng tidak maju menerjang orang-orang itu karena tidak tahu siapa pencuri itu,
sehingga tidak perlu dia me-ninggalkan keributan di tempat itu hanya untuk membela
seorang pencuri yang tidak dikenalnya. Akan tetapi setelah orang-orang itu pergi Bun Beng
cepat meloncat mendekati sumur. Malam telah hampir lewat dan sinar kemerahan telah
muncul di timur. Sebelum terang tanah, dia harus cepat keluar dari tempat itu, maka Bun
Beng segera menyambar tali tim-ba dan menarik keluar pencuri sial itu. Orang itu napasnya
sudah empas-empis. Bun Beng mengangkatnya keluar dan merebahkannya ke atas tanah,
merenggut putus belenggu kaki tangannya. Orang itu membuka matanya yang bengkak-
beng-kak, tadinya mengira bahwa dia akan disiksa lagi. Akan tetapi ketika melihat seorang
pemuda berjongkok di dekatnya dan pemuda itu melepaskan belenggu kaki tangannya,
mulutnya bergerak-gerak lirih,
"Persekutuan.... hendak membunuh Kaisar.... membunuh Pangcu...."
Bun Beng mengerutkan alisnya. Hmm, kiranya bukan seorang pencuri, melainkan seorang
mata-mata agaknya!
"Engkau anggota perkumpulan apa?"
"Mereka.... menyiksaku.... aku tidak pernah mengaku.... Thian.... Pangcu akan dibunuh....
auugghh...." Orang itu terkulai, akan tetapi Bun Beng sudah tahu atau dapat menduga
bahwa orang ini tentulah seorang anggota Thian-liong-pang, se-orang mata-mata Thian-
liong-pang yang dapat mencium rahasia persekutuan itu, akan tetapi tertangkap dan
terbunuh. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
561 Karena tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menolong orang yang sudah mati itu, Bun
Beng lalu meninggalkannya dan menuju ke pagar untuk meloncat ke luar. Akan tetapi dia
terlambat karena pada saat itu, terdengar suara orang dan tampak belasan orang keluar dan
menuju ke sumur itu sambil membawa ember--ember besar.
Bun Beng tidak jadi lari pergi karena kembali dia tertarik dan ingin mengeta-hui apa yang
hendak dilakukan orang--orang itu dengan ember-ember mereka" Dia melihat ke
sekelilingnya dan melihat gentong-gentong besar berada tak jauh dari sumur. Cepat ia lari
menghampiri dan memasuki sebuah di antara gentong--gentong kosong itu, bersembunyi di
situ dan menggunakan jari tangannya menus-uk gentong sehingga berlubang dan ia
mengintai dari lubang itu keluar!
"Haiii! Kenapa dia bisa terlepas....?"
"Wah, belenggunya putus semua...."
"Akan tetapi dia sudah mampus!"
"Hemm, orang ini lumayan kuatnya, dapat membebaskan diri dari gantungan. Tentu dia
orang terkenal dari Thian--liong-pang, sayang dia berani menyelidiki kita sehingga mati
konyol." "Dia tentu berusaha melarikan diri, akan tetapi kekuatannya habis setelah mematahkan
belenggu kaki tangannya dan mampus."
Seorang di antara mereka melapor ke dalam dan muncullah seorang laki-laki bertubuh
raksasa, bertelanjang dada dan kepalanya gundul akan tetapi muka-nya penuh cambang
bauk. Di sebelahnya berjalan seorang tinggi kurus yang mukanya pucat kuning, namun
sikapnya me-nunjukkan bahwa dialah pemimpin di situ sedangkan raksasa itu adalah
pembantu utamanya.
"Kubur dia di sudut kosong sana!" Terdengar laki-laki tua kurus itu berkata.
Dua orang menggusur mayat itu, ke-mudian laki-laki muka pucat itu berkata lagi,
"Hari ini kita menimba sepuluh gen-tong penuh untuk memenuhi permintaan Pangeran
Jenghan yang harus dikirim be-sok. Kemudian semua harus bersiap, ka-rena kita hanya
menanti datangnya beri-ta dari Koksu saja untuk segera bergerak ke selatan secara
menggelap."
Setelah kedua orang pemimpin itu pergi, maka belasan orang bekerja me-nimba minyak
dari dalam sumur dan mengisi gentong-gentong kosong yang berjajar. Diam-diam Bun Beng
merasa lega karena dia berada di dalam gentong yang ke enam belas sehingga tidak
khawatir akan disiram minyak! Diam--diam dia memperhatikan orang-orang yang menimba
minyak campur lumpur itu. Bagaimana dia harus meninggalkan persekutuan ini atau
setidaknya menga-caukan tempat itu" Untuk melawan orang banyak itu, kurang lebih
seratus orang banyaknya, dia tidak takut, akan tetapi apa gunanya" Orang-orang itu
kelihatan pandai, apalagi Si Kurus muka pucat dan Si Raksasa itu, tentu bukan orang-orang
sembarangan. Kalau dia sekarang meloncat ke luar dan melarikan diri, tentu dia bisa lolos
dari tempat itu, akan tetapi dia ingin sekali melihat ke-datangan utusan Koksu dan
mendengar perkembangan selanjutnya dan rombongan orang kuat yang sengaja
dikumpulkan di tempat itu. Selain menjadi tempat memusatkan calon pasukan istimewa
untuk melawan Thian-liong-pang, juga agaknya mereka itu sekalian berjaga, menjaga
sumber minyak! Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
562 Untung bahwa Bun Beng tidak menu-nggu terlalu lama. Sebentar saja, kurang lebih dua tiga
jam, sepuluh buah gentong telah penuh dengan minyak dan lumpur, kemudian mereka
semua pergi untuk membereskan tubuh yang berlumuran lumpur. Lebih baik kukacau
mereka se-karang, kemudian melihat perkembangan lebih jauh, pikir Bun Beng. Dia belum
begitu mengenal minyak yang diambil dari sumur itu, akan tetapi dia tahu bahwa api
bernyala kalau bertemu mi-nyak. Melihat di sekitar sumur itu sudah sunyi, Bun Beng
meloncat keluar dari gentong, mengambil sebatang kayu kering mencelupkan kayu itu ke
dalam gentong yang penuh minyak, kemudian dengan pedang Hok-mo-kiam dia memukul
batu di bibir sumur sehingga berpijarlah bunga api yang menyambar kayu itu. Kayu itu
bernyala keras seperti yang diduga oleh Bun Beng. Sambil tersenyum Bun Beng lalu
melemparkan kayu bernyala itu ke dalam sumur!
"Heiii! Tangkap pengacau!" Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan seorang berpakaian Han
menyerang Bun Beng dari belakang dengan pedangnya. Gerakan orang itu cukup tangkas
karena dia meloncat dari jarak empat meter, sam-bil meloncat pedangnya menusuk ke arah
punggung Bun Beng dengan kecepatan kilat dan dengan tenaga besar.
Pada saat itu, Bun Beng sedang ber-diri tegak, pedang Hok-mo-kiam masih terhunus dan
berada di tangan kanan, agaknya dia tidak tahu akan serangan itu karena dia sedang
memandang ke arah sumur dengan terbelalak menyaksi-kan betapa ada suara gemuruh
keluar dari sumur itu disusul lidah-lidah api dan asap hitam yang mengantar bau yang
menyesakkan napas. Akan tetapi, begitu ujung pedang lawan hampir menyentuh
punggungnya, Bun Beng menekuk kedua kakinya, membiarkan pedang dan tubuh lawan
lewat dan tiba-tiba dia bangkit sambil menggerakkan pedangnya. Terde-ngar teriakan
mengerikan ketika tubuh laki-laki yang terlanjur meloncat dan kini ditambah dorongan Bun
Beng itu meluncur masuk ke dalam sumur yang bernyala-nyala!
Bun Beng yang tadinya tersenyum, berubah wajahnya dan memandang ter-belalak! Tak
disangkanya sama sekali bahwa elakannya mengakibatkan terjadi-nya hal mengerikan itu!
Dia tidak ber-maksud untuk melempar penyerangnya itu ke dalam sumur untuk dibakar
hidup--hidup! Teriakan yang amat nyaring menyayat hati itu terdengar oleh banyak orang dan
tampaklah berbondong-bondong penghuni asrama itu berlari keluar. Bun Beng tidak mau
melarikan diri seperti pencuri karena biarpun dia dikepung, kalau hen-dak meloloskan diri
pun tidak akan sukar baginya. Maka dengan tenang dia me-nyimpan kembali pedangnya
dan berdiri tegak menanti kedatangan puluhan orang itu.
Melihat sikap Bun Beng, orang-orang itu menjadi ragu-ragu untuk menyerang. Apalagi
karena mereka tidak melihat temannya yang menjerit tadi. Mereka hanya menanti sampai
orang kurus ber-muka pucat itu muncul bersama pemban-tu utamanya, Si Gundul. Orang
kurus itu adalah seorang Han, akan tetapi suaranya menunjukkan bahwa dia berasal dari
utara. "Siapakah engkau?" Orang itu berta-nya sambil memandang Bun Beng dengan penuh
perhatian. "Namaku Gak Bun Beng," jawab Bun Beng sederhana.
"Mau apa engkau datang ke sini" Apakah engkau juga seorang mata-mata Thian-liong-
pang?" Bun Beng menggeleng kepalanya. "Aku tidak disuruh oleh siapapun juga, juga tidak
mewakili siapa-siapa. Aku kebetul-an lewat dan ingin tahu apa yang berada di dalam tempat
yang penuh rahasia ini. Kiranya terisi orang-orang yang menga-dakan persekutuan!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
563 Semua orang memandang dengan sikap mengancam ketika mendengar itu, akan tetapi Si
Tua kurus itu mengangkat ta-ngan menyuruh anak buahnya diam. "Kulihat engkau masih
amat muda akan tetapi sikapmu tenang dan tabah sekali. Orang muda, agaknya engkau
memiliki sedikit kepandaian. Kebetulan sekali di sini kurang hiburan bagi anak buahku.
Hiburan perempuan dan nyanyian sudah membosankan. Kalau diberi hiburan pertandingan
silat yang sungguh-sungguh tentu akan menimbulkan kegembiraan."
"Bagus! Bagus....! Serahkan dia kepa-daku, biar kupatahkan batang lehernya!"
"Tidak, kepadaku saja! Aku ingin me-robek mulut yang sombong itu!"
"Biarkan aku menghancurkan kepala-nya!"
Si Kurus pucat itu kembali mengang-kat tangannya menyuruh anak buahnya diam, lalu
berkata gagah. "Kita adalah orang-orang gagah di dunia kang-ouw, mengapa bersikap sega-nas itu" Tidak,
pertandingan ini akan diadakan satu lawan satu dengan adil. Akan tetapi aku ingin sekali
tahu, siapa-kah yang tadi mengeluarkan suara men-jerit?"
Tidak ada seorang pun yang tahu. "Kami sendiri pun tidak tahu. Suara itu terdengar dari
sini, akan tetapi ketika kami datang, yang tampak hanya pemuda ini seorang diri. Jangan-
jangan setan dari mata-mata itu yang...."
"Hemmm, tak patut orang gagah percaya akan tahyul!" Si Kurus membentak. "Tentu ada
yang berteriak tadi, terde-ngarnya seperti teriakan ketakutan. Eh, orang muda she Gak,


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apakah engkau tahu siapa yang berteriak tadi?"
Bun Beng mengangguk. "Aku tahu, se-bab yang menjerit tadi adalah seorang anak buahmu
yang menyerangku dari belakang ketika aku membakar sumur minyak ini."
Jawaban ini kembali membuat semua orang ribut. Betapa beraninya pemuda ini, sudah
membakar sumur, masih meng-aku seenaknya dengan begitu tenang!
"Di mana dia sekarang?" Si Kurus bertanya lagi.
"Di dalam sana...!" Bun Beng menu-ding ke arah sumur yang masih bernyala itu.
Kembali suasana menjadi ribut dan Si Kurus terpaksa mendiamkan mereka dengan isyarat
tangannya. "Apakah engkau melemparnya ke da-lam sumur?" tanyanya kepada Bun Beng. Suaranya
sudah kehilangan ketenangannya karena dikuasai kemarahan.
"Sama sekali tidak. Dia menyerangku dari belakang, agaknya dia terlalu bernafsu untuk
membunuhku sehingga ketika aku mengelak, dia terus menyelonong ke dalam sumur."
Semua orang terbelalak mendengar ini, merasa ngeri akan nasib kawan me-reka yang
terbakar hidup-hidup. Akan tetapi Si Kurus pucat bersikap tenang.
"Gak Bun Beng, kesalahanmu bertum-puk-tumpuk. Pertama, engkau memasuki tempat
terlarang ini tanpa ijin, seperti maling. Ke dua engkau berani membakar sumur yang kami
jaga ini. Ke tiga eng-kau telah membunuh seorang di antara anak buahku. Menurut patut,
engkau ha-rus dibunuh sekarang juga. Akan tetapi, melihat engkau masih begini muda dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
564 mengingat bahwa kami adalah orang--orang gagah yang tidak mau membunuh begitu
saja...." "Kecuali ketika kalian mengeroyok dan menangkap mata-mata Thian-liong--pang itu, ya?"
Bun Beng memotong.
"Hemmm, itu lain lagi. Dia adalah anggauta Thian-liong-pang, musuh kami. Sedangkan
engkau hanya seorang pemuda bebas yang terlalu sombong dan lancang. Engkau boleh
membela nyawamu dalam pertandingan satu lawan satu, tanpa ada pengeroyokan."
"Hemmm, kalau aku menang aku bo-leh pergi dengan bebas?"
"Kalau sudah tidak ada yang mampu melawanmu, boleh saja!" kata Si Kurus dan
terdengarlah suara orang-orang ter-tawa bergelak. Mereka itu tentu saja memandang rendah
kepada Bun Beng. Sebagian di antara mereka adalah orang--orang kang-ouw dan liok-lim,
dan mereka belum pernah bertemu atau mendengar nama Gak Bun Beng di dunia
persilatan. "Siapa di antara kalian yang berani melawan bocah ini?" Pemimpin kurus itu berseru.
Pertanyaan itu disambut suara sorak--sorai karena hampir semua orang yang berada di situ
mengangkat tangan dan mereka seolah-olah hendak berebut me-nandingi pemuda itu,
bukan hanya untuk membalaskan kematian teman mereka, juga ini merupakan kesempatan
bagi me-reka untuk memamerkan kepandaian!
"Locianpwe, mengapa menimbulkan banyak ribut dan susah-susah" Agar urusan cepat
selesai, suruh pembantu Locianpwe yang seperti raksasa ini maju. Kalau aku menang,
berarti mereka yang berteriak-teriak itu tentu takkan ada yang berani maju lagi, kalau aku
kalah, yah, terserah!"
Si Muka pucat ini agaknya senang se-kali disebut "locianpwe" oleh Bun Beng, maka kembali
dia mengangkat tangan menyuruh orang-orangnya diam, kemudian berkata,
"Ucapan bocah ini benar juga, cukup masuk akal dan bisa diterima. Akan te-tapi, sungguh
membikin malu aku dan pendekar Gozan dari Mongol kalau dia harus maju sendiri
melayanimu, bocah she Gak. Ketahuilah bahwa pendekar Gozan ini adalah seorang ahli silat
dan ahli gulat nomor satu di Mongol, dan merupakan orang ke dua sesudah aku di tempat
ini. Akan tetapi karena engkau sendiri yang minta, dan memang ada benarnya juga agar
tidak membuang waktu, biarlah aku menyuruh orang ke tiga maju melayanimu beberapa
jurus. Agar kauketahui sebelumnya bahwa per-tandingan ini merupakan pibu (adu
ke-pandaian) sehingga terluka atau mati bukan merupakan persoalan yang harus
disesalkan."
"Aku mengerti, Locianpwe. Kurasa mati di tangan orang ke tiga di tempat seperti ini cukup
terhormat!"
"Ha-ha, bagus sekali! Engkau seorang pemuda yang berani, sayang engkau bu-kan anak
buahku. He, Thai-lek-gu (Ker-bau Bertenaga Raksasa), majulah dan harap kau suka
mewakili aku melayani Gak Bun Beng ini!" kata Si Kepala asra-ma yang kurus itu.
Dari dalam rombongan orang-orang itu muncullah seorang laki-laki yang membuat Bun
Beng hampir tertawa geli karena anehnya. Orang ini tubuhnya pen-dek sekali, akan tetapi
amat besar dan gendut sehingga seperti bola yang besar. Perutnya besar bulat sehingga
bajunya di bagian perut tidak dapat menutupinya dengan baik dan tampaklah kulit perut putih
halus membayang di antara kan-cing baju yang terlepas. Kepalanya juga bulat dengan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
565 sepasang mata kecil sipit. Kakinya pendek buntek, besar seperti kaki gajah, demikian kedua
lengan-nya besar akan tetapi panjang sekali sampai ke lutut sehingga kalau dia
mem-bungkuk sedikit saja, kedua tangannya seperti menyentuh tanah dan membuat kedua
lengan itu mirip sepasang kaki de-pan binatang kaki empat. Pantas saja dia dijuluki Kerbau
Bertenaga Raksasa, karena memang dia mirip seekor kerbau dengan perutnya yang
bergantung ke bawah itu.
Thai-lek-gu langsung menghadapi Bun Beng, matanya yang sipit itu agak terbu-ka dan
terdengar suaranya yang kecil halus, jauh bedanya dengan tubuhnya yang bulat itu.
"Orang muda, sungguh sialan sekali engkau diharuskan bertanding melawan aku. Apakah
tidak lebih baik engkau cabut pedangmu itu dan memenggal le-hermu sendiri supaya lebih
cepat mati dan tidak tersiksa lagi?" Ucapan ini disambut suara tertawa di sana-sini ka-rena
semua orang mengerti bahwa ucap-an itu merupakan ejekan.
Bun Beng tersenyum. "Aku heran se-kali mengapa engkau dijuluki Thai-lek--gu, kalau
melihat matamu yang kecil dan sikapmu yang malas, engkau lebih tepat dijuluki Thai-lek-ti
(Babi Tenaga Raksa-sa), sungguh pun aku masih menyangsikan sekali akan tenagamu."
Kembali terdengar suara ketawa, dan sekali ini Thai-lek-gu yang menjadi bahan tertawa
sehingga dia marah sekali. "Bo-cah bermulut lancang! Kematian sudah di depan hidung
engkau masih berani kurang ajar terhadap aku?"
"Memang kematian sudah di depan hidung, akan tetapi entah kematian siapa dan hidung
siapa!" Bun Beng meng-gerak-gerakkan cuping hidungnya, "Me-nurut hidungku, aku tidak
mencium ke-matianku, akan tetapi ada bau-bau tidak enak datang deri tempat kau berdiri!"
Kembali orang-orang tertawa. si Gendut itu memang wataknya kasar dan sombong, suka
mengejek dan mempermainkan teman-temannya yang tidak berani melawan, maka kini
mendengar dia diolok-olok oleh pemuda asing itu, mereka menjadi girang dan tertawa geli,
biarpun mereka semua maklum bahwa tentu pemuda itu akan tewas oleh Si Gendut yang
lihai. Karena melihat pe-muda itu menggerak-gerakkan cuping hidungnya, Thai-lek-gu
otomatis juga mencium-cium, akan tetapi karena hidungnya pesek hampir tidak ada
ujung-nya, maka tentu saja tidak dapat dige-rak-gerakkan, hanya lubangnya saja yang
menjadi makin lebar. Saking marahnya, dia tidak dapat berkata apa-apa lagi dan hanya
mengeluarkan suara menggereng kemudian secara tiba-tiba dia menyerang Bun Beng.
Biarpun tubuhnya gendut seka-li akan tetapi ternyata gerakannya cepat ketika dia menubruk
dengan kedua lengan yang panjang itu terpentang, kemudian menyergap dari kanan kiri
hendak me-rangkul tubuh Bun Beng yang kelihatan kecil itu untuk ditekuk-tekuk dan
dipa-tah-patahkan semua tulangnya!
"Bresss!" Tiba-tiba Thai-lek-gu men-jadi bingung karena tadi tampaknya serangannya tak
mungkin dapat dielakkan lagi, kedua lengannya sudah menyentuh kedua pundak lawan,
akan tetapi begitu kedua tangannya meringkus, yang diring-kusnya hanya angin saja dan
tubuh pe-muda itu sudah lenyap! Cepat dia mem-balikkan tubuhnya dan ternyata pemuda itu
sudah berdiri di belakangnya sambil bersedekap dan tersenyum-senyum.
Terkejutlah Si Muka Pucat yang kurus dan Si Raksasa gundul ketika menyaksi-kan betapa
dengan amat sigapnya tubuh pemuda itu tadi melesat ke luar dari sergapan Thai-lek-gu dan
meloncat ke atas melewati kepalanya, kemudian turun bagaikan seekor burung walet saja di
belakang Thai-lek-gu.
Juga Thai-lek-gu yang bukan merupa-kan seorang ahli silat sembarangan, kini dapat
menduga bahwa pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi terbuk-ti dari gin-kangnya
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
566 yang istimewa, ber-sikap hati-hati dan tidak lagi berani me-mandang rendah bahkan dia
menekan hatinya melenyapkan rasa marah agar dapat menghadapi lawan dengan tenang.
Setelah memasang kuda-kuda, mulai-lah Thai-lek-gu membuka serangannya. Tubuhnya
seperti menggelundung ke depan karena gerakan kedua kakinya sukar terlihat, tertutup oleh
perutnya, dan tahu--tahu kedua lengannya sudah menyambar ke depan bergantian,
melakukan pukulan-pukulan yang amat keras sehingga ter-dengar anginnya mengiuk
berulang-ulang.
Bun Beng m Cinta Bernoda Darah 12 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Pendekar Bayangan Setan 7
^