Sepasang Pedang Iblis 4

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


surat, me-ngakui segala isi
hatinya dan minta tee-cu agar mengampunkan dia, melupakan dia, akan tetapi dengan
pesan agar teecu tidak mencarinya karena sampai mati pun dia tidak akan mau kembali
kepada teecu."
"Mau ke mana dia?"
"Dia tidak menyatakan dalam surat, akan tetapi teecu rasa dia mau pergi mencari Han Han."
"Si Pemuda Keparat Suma Han!" Im-yang Seng-cu mengetukkan tongkatnya di lantai.
"Jangan, Suhu. Han Han tidak bersalah dalam hal ini.... juga Lulu tidak ber-salah. Sejak
dahulu teecu sudah mendu-ga bahwa cinta kasih di antara kakak beradik angkat itu melebihi
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
84 cinta kasih kakak adik biasa. Hanya karena sudah tergila-gila kepada Lulu teecu tidak
berpikir panjang lagi...."
"Tidak bersalah, katamu" Kalau me-mang mereka saling mencinta, kenapa dia membiarkan
adiknya menikah dengan-mu" Akan kucari mereka, kalau sampai mereka berdua itu
kudapatkan menjadi suami isteri, hemmm.... hanya mereka atau aku yang boleh hidup lebih
lama di dunia ini!"
"Suhu!" Wan Sin Kiat membujuk suhunya, akan tetapi Im-yang Seng-cu berkeras karena
merasa betapa peristi-wa itu merupakan penghinaan dan peng-hancuran kehidupan
muridnya yang diang-gapnya sebagai anaknya sendiri.
Dapat dibayangkan betapa hancur ha-ti guru ini ketika beberapa bulan kemudian ia
mendengar bahwa Hoa-san Gi--hiap Wan Sin Kiat, murid yang patah hati itu, gugur di dalam
perang membela Raja Muda Bu Sam Kwi di Se-cuan, ketika bala tentara Mancu menyerbu
Se-cuan dan dalam perang ini pulalah Bu Sam Kwi meninggal dunia. Menurut be-rita yang
didengar oleh Im-yang Seng-cu, muridnya itu berperang seperti orang gila tidak mengenal
mundur lagi sehing-ga diam-diam ia mengerti bahwa murid-nya sengaja menyerahkan
nyawa, menca-ri mati dalam perang. Hatinya seperti ditusuk pedang dan biarpun dia merasa
bangga bahwa di dalam kedukaannya muridnya itu memilih mati sebagai se-orang patriot
sejati, namun dia berduka sekali karena kematian muridnya adalah kematian akibat
putusnya cinta kasih!
Mendengar penuturan Im-yang Seng-cu, Suma Han memandang dengan mata terbelalak.
Wajahnya tidak berubah, akan tetapi pandang matanya makin sayu seperti orang
mengantuk. Im-yang Seng-cu bangkit berdiri. "Nah, sekarang bersiaplah engkau untuk menebus
dosamu. Kedua orang muridku mati karena engkau. Hidupku yang tidak berapa lama lagi ini
akan tersiksa oleh dendam dan penasaran, maka aku harus membunuhmu atau engkau
menghentikan siksa batinku dengan membunuhku!"
Akan tetapi Suma Han tetap bengong, sama sekali tidak memandang kepada Im-yang
Seng-cu, melainkan memandang kosong ke depan dan mulutnya berkata lirih, "Hemm....
kalau begitu.... dia agak-nya...." Ucapan ini diulang beberapa kali.
Pada saat itu, muncullah dua orang pendeta Lama yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama,
diikuti oleh Bhe Ti Kong panglima tinggi besar. Begitu muncul, terdengar suara Thian Tok
Lama, "Suma-taihiap, pinceng bertiga datang menyampaikan permintaan koksu supaya Taihiap
suka menyerahkan Sepasang Pedang Iblis kepada pinceng."
Akan tetapi Pendekar Super Sakti masih termenung seperti tadi, sama sekali tidak
mempedulikan munculnya tiga orang ini, bahkan seolah-olah tidak mendengar kata-kata
Thian Tok Lama. Ia tetap berdiri termenung memandang jauh dan terdengar suaranya lirih
berulang-ulang. "Aihhh.... tentu dia....!"
Thian Lok Lama mengerutkan alisnya melihat sikap Suma Han yang dianggap-nya
memandang rendah kepadanya. Dahulu, pendeta Lama ini pernah beberapa kali bentrok
dengan Suma Han dan mak-lum akan kepandaian pendekar muda berkaki buntung ini, akan
tetapi karena kini ia mengandalkan pengaruh koksu dia tidak menjadi takut. Terdengar
pen-deta Tibet itu berkata lagi, suaranya lantang menggema di seluruh hutan.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
85 "Suma-taihiap! Koksu menghormati Taihiap sebagai To-cu terkenal dari Pu-lau Es, maka
mengajukan permintaan secara baik dan hormat. Harap saja Taihiap suka menghargai
penghormatan Koksu!"
Suma Han tetap tidak menjawab dan termenung. Terdengarlah suara ketawa Im-yang
Seng-cu, "Ha-ha-ha! Penghor-matan yang menyembunyikan paksaan adalah penghormatan
palsu. Menuduh orang menyimpan pusaka tanpa bukti lebih mendekati fitnah!"
Thian Tok Lama menoleh ke arah Im-yang Seng-cu dengan sikap marah, akan tetapi
pendeta Tibet yang cerdik ini ti-dak mau melayani karena dia tahu bah-wa menghadapi
Suma Han saja sudah merupakan lawan berat, apalagi kalau dibantu kakek aneh yang dia
tahu bukan orang sembarangan pula itu. Maka dia berkata lagi, tetap ditujukan kepada
Suma Han. "Koksu berpendapat bahwa karena Taihiap-lah orangnya yang dahulu mengu-burkan
jenazah Siang-mo Kiam-eng (Se-pasang Pendekar Pedang Iblis) bersama sepasang pedang
itu, maka kini tetap Taihiap pula yang membongkar kuburan dan mengambil sepasang
pedang itu. Hendaknya diketahui bahwa yang berhak atas Sepasang Pedang Iblis adalah
Kok-su Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, kare-na pembuat pedang itu adalah nenek
moyangnya dari India. Maka pinceng percaya akan kebijaksanaan Suma-taihiap untuk
mengembalikan pedang-pedang itu kepada yang berhak."
Akan tetapi Suma Han mengangguk--angguk dan bicara seorang diri. "Benar, tak salah lagi,
tentu dia...."
"Orang ini terlalu sombong!" Tiba-tiba Bhe Ti Kong membentak dan meloncat maju. "Berani
engkau menghina utusan Koksu negara, orang muda buntung yang sombong?" Setelah
membentak demikian, Bhe-ciangkun sudah menerjang maju, mencengkeram ke arah
pundak Suma Han dengan maksud menangkapnya dan me-maksanya tunduk.
"Plakk! Auggghhh....!" Tubuh tinggi besar Bhe-ciangkun terlempar ke belakang dan
terbanting ke atas tanah. Ia melon-cat bangun dengan muka pucat dan ta-ngan kirinya
memijit-mijit tangan kanan yang tadi ia pakai mencengkeram pun-dak Suma Han. Pendekar
Super Sakti itu masih berdiri tak bergerak, termenung seolah-olah tidak pernah terjadi
sesuatu. Ketika Bhe Ti Kong mencengkeram tadi, Pendekar Siluman itu sama sekali tidak
mengelak atau menangkis, akan tetapi begitu tangan panglima kerajaan men-cengkeram
pundak, Bhe-ciangkun merasa tangannya seperti ia masukkan ke dalam tungku perapian
yang luar biasa panas-nya dan ada daya tolak yang amat kuat sehingga ia terjengkang dan
terpelanting. Melihat kawannya roboh, Thian Lok Lama dan Thai Li Lama terkejut dan marah, mengira
bahwa pendekar berkaki buntung itu sengaja menyerang Bhe Ti Kong, maka dengan
gerakan otomatis ke-duanya lalu menggerakkan tangan memu-kul dari jarak jauh. Angin
yang dahsyat menyambar dari tangan mereka, menye-rang Suma Han yang masih berdiri
ter-menung, seolah-olah tidak tahu bahwa dia sedang diserang dengan pukulan ma-ut jarak
jauh yang amat kuat. Baju di tubuh Suma Han berkibar terlanda angin pukulan itu akan
tetapi, tenaga pukulan dengan sin-kang itu seperti "menembus" tubuh Suma Han lewat
begitu saja dan "kraaakkk!" Sebatang pohon yang berada di belakang Suma Han tumbang
dilanda angin pukulan itu, akan tetapi tubuh Pendekar Siluman itu sendiri sedikit pun tidak
bergoyang! Hal ini membuat Thian Tok Lama dan Thai Li Lama terheran--heran dan
penasaran. Kalau lawan itu menggunakan tenaga sin-kang melawan serangan mereka,
bahkan andaikata mengalahkan sin-kang mereka sendiri, hal itu tidaklah mengherankan.
Akan tetapi Pendekar Siluman Majikan Pulau Es itu sama sekali tidak melawan dan angin
pu-kulan mereka hanya lewat saja seolah--olah tubuh itu terbuat daripada uap ham-pa! Rasa
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
86 penasaran membuat keduanya menerjang maju den menggunakan dorongan telapak tangan
mereka menghan-tam dada Suma Han dari kanan kiri!
"Buk! Bukk!" Dua buah pukulan itu mengenai dada Suma Han, akan tetapi akibatnya kedua
orang pendeta Lama itu terjengkang dan terbanting seperti halnya Bhe Ti Kong tadi!
"Ha-ha-ha-ha! Kiranya utusan-utusan koksu kerajaan adalah pelawak-pelawak yang pandai
membadut, pandai menari jungkir balik!" Im-yang Seng-cu bersorak dan bertepuk tangan
seperti orang ka-gum dan gembira menyaksikan aksi para pelawak di panggung.
Dua orang pendeta Lama itu melon-cat bangun dan memandang Im-yang Seng-cu dengan
mata mendelik. Keduanya tadi roboh karena biarpun Suma Han kelihatannya diam tidak
bergerak, namun dengan kecepatan yang tak dapat diikuti mata, dua buah jari tangan kanan
kiri pemuda berkaki buntung itu telah menyambut pukulan telapak tangan kedua lawan
dengan totokan sehingga begitu telapak tangan berhasil memukul dada, tenaganya sudah
buyar sehingga mereka-lah yang "terpukul" oleh hawa sin-kang yang melindungi tubuh Suma
Han. Tentu saja keduanya terkejut setengah mati. Mereka sudah mengenal Suma Han,
sudah tahu akan kelihaian Pendekar Super Sak-ti itu. Akan tetapi, yang mereka hadapi
sekarang ini adalah pemuda buntung yang kepandaiannya beberapa kali lipat daripa-da
dahulu, lima tahun yang lalu. Hal ini mengejutkan hati mereka, juga menda-tangkan rasa
jerih. Kemudian mereka menimpakan kemarahan, yang timbul ka-rena malu kepada Im-yang
Seng-cu yang mengejek mereka.
"Im-yang Seng-cu, engkau sungguh se-orang yang tak tahu diri! Di muara Huang-ho Koksu
telah mengampuni nya-wamu, sekarang engkau berani menghina kami. Coba kau terima
pukulan pin-ceng!" Thian Tok Lama menerjang Im-yang Seng-cu yang cepat meloncat ke
samping karena datangnya serangan itu amat hebat. Pukulan yang dilancarkan Thian Tok
Lama adalah pukulan Hek-in-hui-hong-ciang, ketika memukul tubuh-nya agak merendah,
perutnya yang gen-dut makin menggembung dan dari dalam perutnya terdengar suara
seperti seekor ayam biang bertelur, berkokokan dan tangan kanannya berubah biru.
Pukulan-nya bukan hanya mendatangkan angin dahsyat, akan tetapi juga membawa uap
hitam! Melihat betapa serangan Thian Tok Lama dapat dielakkan oleh Im-yang Seng-cu, Thai Li
Lama yang juga marah sekali terhadap kakek bertelanjang kaki itu sudah menyambut dari
kiri dengan pukulan Sin-kun-hoat-lek yang tidak ka-lah ampuh dan dahsyatnya dibanding
de-ngan Hek-in-hui-hong-ciang.
"Ayaaa....!" Biarpun diancam bahaya maut, Im-yang Seng-cu masih dapat me-ngejek sambil
melompat tinggi ke atas kemudian ia berjungkir balik. "Kedua pe-lawak ini selain lucu juga
gagah sekali!" Tentu saja Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi makin marah. Api
kemarahan di dalam hati mereka seperti dikipas, makin berkobar dan dengan naf-su mereka
kembali menyerang. Im-yang Seng-cu tentu saja repot bukan main. Ia memutar tongkatnya
melindungi tubuh. Melawan seorang di antara kedua orang Lama ini saja tidak akan menang
apalagi dikeroyok dua.
"Plak.... krekkkk!" Ujung tongkat di tangan Im-yang Seng-cu patah dan ia terhuyung ke
belakang. Thai Li Lama mengejarnya dengan pukulan maut.
Tiba-tiba tampak bayangan putih berkelebat, meluncur turun dari atas dan Thai Li Lama
yang sedang menyerang Im-yang Seng-cu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat
menyambar dari atas ke arah kepalanya. Cepat ia mengelak dan mengibaskan tangan.
"Bresss!" Dua helai bulu burung garuda putih membodol ketika cengkeraman burung itu
dapat ditangkis Thai Li Lama. Pendeta Tibet ini menjadi marah dan terjadilah pertandingan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
87 hebat anta-ra burung garuda dengan pendeta ini, se-dangkan Thian Tok Lama kembali
sudah menerjang dan mendesak Im-yang Seng-cu dengan Pukulan Hek-in-hui-hong--ciang
yang merupakan cengkeraman ma-ut.
Im-yang Seng-cu adalah seorang be-kas tokoh Hoa-san-pai yang sudah mem-pelajari
banyak macam ilmu silat tinggi sehingga jarang ada orang yang mampu menandinginya.
Hampir segala macam ilmu-ilmu silat tinggi dikenalnya dan inilah yang membuat kakek itu
lihai se-kali, bahkan pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya malah telah melam-paui
tingkat Ketua Hoa-san-pai sendiri! Akan tetapi sekali ini menghadapi Thian Tok Lama, dia
benar-benar bertemu tan-ding yang amat kuat. Pendeta Lama itu adalah seorang tokoh Tibet
yang memi-liki kepandaian tinggi ditambah tenaga mujijat dari ilmu hoat-sut (sihir) yang
banyak dipelajari oleh tokoh-tokoh Tibet. Biarpun hoat-sut yang dikuasai Thian Tok Lama
tidaklah sekuat ilmu Hoat-sut Thai Li Lama, namun ilmu ini memper-kuat sin-kangnya dan
menambah kewiba-waannya menghadapi lawan. Dalam hal tenaga sin-kang, Im-yang Seng-
cu kalah setingkat oleh lawannya. Memang tubuh gendut Thian Tok Lama mengurangi
kegesitannya dan Im-yang Seng-cu lebih gesit dan ringan, namun sekali ini Im-yang Seng-cu
bertemu dengan lawan yang menggunakan ilmu silat aneh dan asing, sama sekali tidak
dikenalnya! Setelah sa-ling serang puluhan jurus lamanya, akhirnya Im-yang Seng-cu
terdesak dan hanya mundur sambil mempertahankan diri sa-ja, tidak mampu balas
menyerang. Ha-nya ada sebuah keuntungan yang mem-buat dia tidak dapat cepat
dirobohkan, yaitu bahwa dia bersikap tenang dan gem-bira, selalu mengejek, berbeda
dengan sikap Thian Tok Lama yang dipengaruhi kemarahan dan penasaran.
Seperti juga Im-yang Seng-cu, garuda putih yang menyambar dan menyerang Thai Li Lama
mau tidak mau harus me-ngakui kelihaian pendeta Tibet kurus itu. Memang Thai Li Lama
tidak akan mam-pu menyerang burung itu kalau Si Garu-da terbang tinggi, akan tetapi
biarpun kelihatannya Si Burung yang selalu me-luncur turun dan menyerang kepala Thai Li
Lama, selalu burung itu yang terpen-tal oleh tangkisan dan pukulan Thai Li Lama! Banyak
sudah bulu putih burung itu bodol dan kini serangannya makin mengendur, bahkan mulailah
garuda putih itu mencampuri pekik kemarahannya dengan bunyi tanda gentar.
Sementara itu, Suma Han masih ber-diri bersandar tongkatnya. Sinar mata-nya
memandang kosong dan bibirnya bergerak-gerak, "Tentu dia.... wahai.... Lulu.... untuk
apakah engkau mengambil pusaka--pusaka itu...." Lulu.... satu-satunya sinar bahagia yang
menembus semua awan hitam di hatiku hanya melihat engkau hi-dup bahagia di samping
suami dan anak-mu.... akan tetapi.... engkau menghancur-kan kebabagiaanmu sendiri....
sekaligus memadamkan sinar bahagia di hatiku. Mengapa...." Mengapa....?" Biarpun wajah
yang tampan itu masih tidak membayangkan perasaan apa-apa, namun bulu mata-nya
basah dan jari-jari tangan yang memegang kepala tongkatnya gemetar, jantungnya seperti
diremas-remas, pera-saan hatinya menangis dan mengeluh.
Bhe Ti Kong, panglima Mancu tinggi besar yang tadi terpelanting roboh sen-diri ketika
menyerang Suma Han, sejak tadi memandang pendekar kaki buntung super sakti itu.
Dengan hati khawatir panglima ini menyaksikan kedua orang temannya yang bertanding
melawan Im-yang Seng-cu dan burung garuda putih. Biarpun kedua orang temannya selalu
mendesak, akan tetapi Bhe Ti Kong mengerti bahwa kalau Si Kaki Buntung itu maju, tentu
kedua orang pendeta Tibet itu akan kalah. Dia adalah seorang panglima, sudah biasa
mengatur siasat--siasat perang, siasat untuk mencari kemenangan dalam pertempuran.
Melihat keadaan pihaknya ini, tentu saja Bhe Ti Kong tidak menghendaki pihaknya kalah dan
terancam bahaya ikutnya Pendekar Siluman itu dalam pertempuran. Melihat Suma Han
termenung seperti orang mimpi, ia menghampiri perlahan-lahan dan mencabut senjatanya
yang mengerikan, yaitu sebatang tombak gagang pendek yang bercabang tiga, runcing dan
kuat. Bhe Ti Kong bukanlah seorang yang berwatak curang atau pengecut, dan apa yang
hendak dilakukan ini semata-mata dianggap sebagai siasat untuk kemenang-an pihaknya.
Biasanya dalam pertempur-an perang, tidak ada istilah curang atau pengecut, yang ada
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
88 hanyalah mengadu siasat demi mencapai kemenangan. Seka-rang pun, ketika ia berindap-
indap meng-hampiri Suma Han dari belakang dengan senjata di tangan, satu-satunya yang
memenuhi hatinya hanyalah ingin melihat pihaknya menang.
Setelah tiba di belakang Suma Han, Bhe Ti Kong mengangkat senjatanya dan menyerang.
Panglima tinggi besar ini memiliki tenaga yang amat kuat, senja-tanya juga berat dan kuat
sekali, maka serangan yang dilakukannya itu menusuk-kan tombak runcing ke punggung
Suma Han, merupakan serangan maut yang mengerikan dan agaknya tidak mungkin dapat
dihindarkan lagi!
"Wirrrr....!" Senjata tombak cabang tiga yang runcing itu meluncur ke arah punggung Suma
Han. Akan tetapi, pada waktu itu, ilmu kesaktian yang dimiliki Pendekar Super Sakti atau
Pendekar Si-luman, To-cu dari Pulau Es ini, sudah "mendarah daging" sehingga boleh
dibi-lang setiap bagian kulit tubuhnya memi-liki kepekaan yang tidak lumrah. Perasa-an di
bawah sadarnya seolah-olah telah bangkit bekerja setiap detik sehingga jangankan baru
sedang melamun, bahkan biarpun dia sedang tidur nyenyak seka-lipun, perasaan ini bekerja
melindungi seluruh tubuhnya dari bahaya yang meng-ancam dari luar. Pada saat itu,
pikiran-nya sedang melayang-layang, seluruh panca inderanya sedang ikut melayang-
-layang pula bersama pikirannya sehingga dia seperti tidak tahu sama sekali akan segala
yang terjadi di sekelilingnya, tidak tahu betapa garuda tunggangannya dan Im-yang Seng-cu
didesak hebat oleh Thian Tok Lama den Thai Li Lama. Akan tetapi, ketika ada senjata
menyambar punggung mengancam keselamatannya, perasaan di bawah sadar itu
meng-guncang kesadarannya dengan kecepatan melebihi cahaya!
"Suuuuutttt!" Bhe Ti Kong berseru kaget dan bulu tengkuknya berdiri kare-na tiba-tiba orang
yang diserangnya itu lenyap. Ketika ia menoleh, yang tampak olehnya hanyalah bayangan
berkelebat cepat menyambar ke arah Thian Tok Lama yang mendesak Im-yang Seng-cu,
kemudian bayangan itu mencelat ke arah Thai Li Lama yang bertanding dan tahu--tahu
tubuh kedua orang pendeta Lama itu terhuyung-huyung ke belakang dan mereka berdiri
dengan wajah pucat me-mandang Suma Han yang sudah berdiri bersandar tongkat dan
memandang mere-ka berdua dengan sinar mata tajam ber-pengaruh. Keduanya telah kena
didorong oleh hawa yang dinginnya sampai menu-suk tulang dan biarpun kedua orang
pen-deta ini sudah mengerahkan sin-kang, tetap saja mereka itu menggigil dan wajah
mereka yang pucat menjadi agak biru, gigi mereka saling beradu mengeluarkan bunyi!
Setelah mengerahkan sin--kang beberapa lamanya, barulah mereka itu dapat mengusir rasa
dingin dan tahu-lah mereka bahwa kalau Si Pendekar Super Sakti menghendaki, serangan
tadi tentu akan membuat nyawa mereka melayang!
"Katakan kepada koksu kerajaan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun bahwa To-cu Pulau Es tidak
tahu-menahu tentang Sepasang Pedang Iblis! Nah, pergilah dan jangan mengganggu orang-
orang yang tidak bersalah!"
Thian Tok Lama menghela napas panjang. Pemuda buntung itu hebat luar bia-sa dan
ucapan seorang yang sakti seper-ti itu tentu saja tidak membohong. Ia menjura dan berkata,
"Baiklah dan harap To-cu sudi memaafkan kelancangan kami," Ia memberi isyarat kepada
Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong, kemudian mereka bertiga meninggalkan tempat itu.
Keadaan menjadi sunyi. Garuda putih kini hinggap di atas cabang pohon, me-nyisiri bulu-
bulunya dengan paruh sambil kadang-kadang memandang ke arah majikannya. Im-yang
Seng-cu yang masih mengatur pernapasannya yang agak terengah karena tadi ia terlampau


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak mempergunakan tenaga untuk melindungi dirinya dari desakan hebat Thian Tok
Lama, kini melangkah maju mendekati Suma Han memandang penuh perhatian ke arah
wajah yang sudah menunduk kem-bali itu lalu berkata.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
89 "Suma Han, mari kita lanjutkan urus-an di antara kita. Sudah kuceritakan semua tentang
sebabnya mengapa hari ini aku harus membunuhmu atau terbu-nuh olehmu. Karena
engkau, kedua orang muridku tewas dan orang-orang yang kucinta di dunia ini habis.
Jangan ber-kepalang tanggung, hayo kau tewaskan aku pula atau engkaulah yang akan mati
di tanganku!"
Tanpa mengangkat mukanya yang tunduk, Suma Han membuka pelupuk ma-tanya yang
menunduk. Sinar matanya bagaikan kilat menyambar wajah kakek itu, membuat hati Im-
yang Seng-cu ter-getar. Diam-diam kakek ini kagum bukan main. Manusia berkaki satu yang
berdiri di depannya adalah seorang ma-nusia yang amat luar biasa!
"Benarkah Locianpwe begitu bodoh ataukah hanya pura-pura bodoh" Ada kemenangan
dalam diri manusia yang melebihi segala makhluk, yaitu perbuat-an dengan pamrih demi
kebahagiaan orang lain. Bahkan rela berkoban demi kebahagiaan orang lain. Sudah tentu
saja akibatnya bermacam-macam sesuai de-ngan kehendak Tuhan, namun menilai
perbuatan bukanlah dilihat akibatnya, melainkan ditinjau pamrihnya."
Im-yang Seng-cu tersenyum dan me-nyembunyikan kegembiraannya di balik kata-kata
mengejek. "Suma Han, semua perbuatan memang berakibat dan hanya seorang gagah
sajalah yang berani mem-pertanggung jawabkan setiap perbuatan-nya! Kepandaianmu amat
tinggi dan aku sudah kehilangan tongkatku, namun ja-ngan mengira bahwa aku akan gentar
melawanmu. Jangan bersembunyi di ba-lik kata-kata yang muluk-muluk. Mari kita
selesaikan!"
Suma Han menghela napas panjang. "Kalau sekeras itu kehendak Locianpwe, demi
penyesalan hatiku telah mengaki-batkan kesengsaraan orang-orang yang kucinta, silakan
Locianpwe!"
"Bagus! Nah, sambutlah ini!" Dengan wajah yang tiba-tiba berubah girang bu-kan main, Im-
yang Seng-cu meloncat maju, tangan kanannya dengan pengerah-an sin-kang sekuatnya
menghantam dada Suma Han.
"Dessss!" Tubuh Suma Han terlem-par sampai lima meter, tongkat yang di-pegangnya
terlepas dan ia roboh terguling, mulutnya muntahkan darah segar.
Seketika wajah Im-yang Seng-cu men-jadi pucat sekali. Kegirangan lenyap da-ri wajahnya
dan ia meloncat mendekati. "Celaka! Keparat engkau, Suma Han! Engkau telah
menipuku....! Ahhhh.... eng-kau akan membuat aku mati menjadi setan penasaran....
selamanya aku.... belum pernah memukul orang yang tidak melawan. Kenapa engkau tidak
melawan" Celaka.... aiiiihhh.... celaka....!"
Tiba-tiba terdengar pekik keras dan bayangan putih menyambar dari atas. Garuda putih
telah menyambar dan cakarnya mencengkeram pundak Im-yang Seng--cu, tubuh kakek itu
dibawa ke atas lalu dibanting lagi ke bawah.
"Brukkk!" Im-yang Seng-cu tertawa, pundaknya luka berdarah. "Bagus....! Ba-gus sekali,
garuda sakti! Hayo lekas se-rang lagi. Hayo bunuh aku.... ha-ha-ha! Majikanmu yang gila
tidak mau membu-nuhku, mati di tanganmu cukup terhor-mat. Marilah!" Ia menantang-
nantang sambil tertawa dan bangkit berdiri terhuyung-huyung.
Garuda putih menyambar lagi ke bawah dengan penuh kemarahan.
"Pek-eng, berhenti!" Tiba-tiba Suma Han membentak, suaranya mengandung getaran
dahsyat dan burung itu tidak jadi menyerang Im-yang Seng-cu, melainkan hinggap di atas
tanah dekat Suma Han dan mendekam, mengeluarkan suara men-cicit sedih dan takut.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
90 Im-yang Seng-cu membanting-banting kakinya ke atas tanah. "Suma Han, eng-kau benar-
benar kejam! Engkau berkali-kali mengecewakan hatiku! Engkau mene-rima pukulanku
tanpa melawan, membu-at aku menjadi seorang manusia yang rendah dan hina! Dan
sekarang engkau melarang burungmu menyerangku. He, Pendekar Super Sakti! Apakah
setelah engkau berjuluk Pendekar Siluman hati-mu pun menjadi kejam seperti hati si-luman"
Apakah engkau akan puas menyak-sikan aku hidup merana menanti datang-nya maut
menjemput nyawaku yang su-dah tidak betah tinggal di tubuh sialan ini?"
"Locianpwe," Suma Han berkata lirih sambil mengusap darah dari bibirnya dengan ujung
lengan baju. "Locianpwe datang dengan niat membunuhku. Pukul-anmu tadi cukup keras
akan tetapi be-lum cukup untuk melukai aku, apalagi membunuh. Kalau masih belum puas,
ma-ri, pukul lagi, Locianpwe."
"Engkau tidak melawan?"
Suma Han menggeleng kepala. "Bagai-mana harus melawan" Locianpwe hendak
membunuhku karena kesalahanku terha-dap Lulu dan Sin Kiat, dan biarpun tidak kusengaja,
memang aku telah bersalah terhadap mereka. Kalau Locianpwe mau membunuhku,
lakukanlah!"
Im-yang Seng-cu membanting-banting kakinya lagi. "Kau.... kau....!" Dan kakek ini
mengusap-usap kedua matanya kere-na kedua mata itu menitikkan air mata!
"Locianpwe, ketika garuda menye-rangmu, Locianpwe tidak melawan pula, menyambut
maut dengan tertawa-tawa. Locianpwe rela mati karena merasa ber-salah memukul orang
yang tidak mela-wan. Locianpwe rela mati demi memba-las kesengsaraan orang-orang yang
Lo-cianpwe cinta. Kalau semulia itu hati-mu, apakah aku yang muda tidak boleh menirunya?"
"Kau.... kau siluman!"
"Locianpwe, aku mengerti bahwa se-sungguhnya Locianpwe tidak ingin mem-bunuhku,
melainkan mengharapkan kema-tian di tanganku. Tak mungkin aku melakukan hal itu,
Locianpwe. Sekarang, hanya ada dua pikhan bagi Locianpwe. Membunuhku tanpa kulawan,
atau kita sudahi saja urusan ini, biarlah kita berdua melanjutkan hidup dengan
kesengsa-raan batin menjadi derita. Bukankah hi-dup ini menderita" Bukankah penderita-an
batin merupakan pengalaman hidup yang paling berharga" Bagaimana, Lo-cianpwe" Kalau
belum puas memukulku, silakan ulangi kembali!"
Suma Han terpincang-pincang maju mendekati sambil memasang dadanya, Im-yang Seng-
cu mundur-mundur seperti ngeri didekati sesuatu yang akan dapat membuat ia menyesal
selamanya. "Tidak.... tidak.... jangan dekati aku....!" Kemudian ia menutup mukanya dengan
kedua tangan. "Kalau begitu, selamat tinggal, Lo-cianpwe. Locianpwe agaknya lebih suka menghukum
batinku, karena sesungguh-nya kalau Locianpwe membunuhku, ber-arti membebaskan aku
daripada penye-salan dan kesengsaraan batin. Selamat tinggal!" Suma Han mengambil
tongkat-nya, meloncat ke atas punggung garuda dan terdengarlah kelepak sayap diba-rengi
angin bertitip dan Majikan Pulau Es itu sudah membubung tinggi dibawa terbang garuda
putih. Im-yang Seng-cu menurunkan kedua tangannya. Mukanya pucat, alianya ber-kerut dan
sampai lama ia memu-tar pikirannya. Tiba-tiba ia tertawa, "Ha-ha-ha! Untuk ke sekian
kalinya aku kalah! Ahhh, bagaimana bocah setan itu tahu bahwa aku akan merasa girang
ma-ti di tangannya" Aihh, celaka memang nasibku. Keinginan terakhir mati di tangan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
91 Pendekar Super Sakti gagal, bahkan aku yang hampir saja membunuhnya sehingga
penderitaanku akan bertambah makin be-rat. Buka main....! Dia itu.... seorang ma-nusia
yang luar biasa.... Ahh, kalau saja Tuhan dapat mengabulkan setiap permin-taan manusia,
biarlah sekali ini si manusia Im-yang Seng-cu mohon agar Tuhan sudi mengobati
penderitaan batin Suma Han dan melimpahkan kebahagiaan kepa-danya. Dia manusia
sejati, manusia ber-budi luhur.... pendekar di antara segala pendekar....!"
"Ha-ha-ha! Kalau dia pendekar di antara segala pendekar, engkau adalah pe-ngecut di
antara segala pengecut hina, Im-yang Seng-cu!"
Im-yang Seng-cu terkejut, menoleh dan memandang terbelalak kepada se-orang laki-laki
muda yang berdiri di de-pannya. Laki-laki ini usianya masih mu-da, belum lebih tiga puluh
tahun, wajah-nya tampan dan gerak-geriknya halus, pakaiannya menunjukkan bahwa dia
ada-lah seorang terpelajar, pakaian pelajar yang bersih dan rapi. Akan tetapi yang
mengejutkan hati Im-yang Seng-cu ada-lah sepasang mata di wajah tampan itu. Mata itu
mempunyai sinar yang mengeri-kan, seperti mata orang gila, namun ju-ga mempunyai
wibawa yang tajam berpengaruh dan aneh. Bukan mata manusia, seperti itulah patutnya
mata setan! Biar-pun pakaiannya seperti seorang pelajar, namun di punggung orang muda
itu tampak gagang sebatang pedang, gagang -pedang hitam dengan ronce benang hitam
pula. Biarpun hati Im-yang Seng-cu terkejut dan heran, namun dia marah mendengar orang yang
tak dikenalnya ini memaki-nya sebagai pengecut di antara segala pengecut hina. Bagi
seorang kang-ouw, seorang yang menjunjung kegagahan, makian pengecut merupakan
makian yang paling rendah menghina.
"Orang muda, kulihat pakaianmu sebagai seorang terpelajar, patutnya eng-kau tahu akan
tata susila dan sopan san-tun. Kulihat pedangmu di punggung, pa-tutnya engkau tahu akan
sikap kegagahan di dunia kang-ouw. Akan tetapi eng-kau datang-datang memaki orang tua,
patutnya engkau seorang biadab yang sombong. Siapakah engkau?"
Pemuda itu tersenyum lebar. Senyum yang manis dan membuat wajahnya mak-in tampan,
akan tetapi seperti yang tersembunyi di balik keindahan matanya, juga di balik senyumnya
ini bersembunyi sifat aneh yang mendirikan bulu roma, sifat kejam dan penuh kebencian
terha-dap sekelilingnya!
"Im-yang Seng-cu, belasan tahun yang lalu seringkali engkau memondong dan
menimangku, bahkan yang terakhir eng-kau mengajarkan Ilmu Pukulan Hoa-san Kun-hoat
kepadaku sebagai pembayaran taruhan karena engkau kalah bermain catur melawan
Ayahku." Terbelalak kedua mata Im-yang Seng-cu dan ia memandang penuh perhatian, kemudian
berseru. "Siancai....! Kiranya engkau Tan-siucai (Sastrawan Tan) dari Nan-king....!"
Pemuda tampan itu mengangguk-angguk dan senyumnya makin kejam, "Betul, aku adalah
Tan Ki atau Tan-siucai dari Nan-king."
"Tapi.... tapi.... ah, bagaimana Ayahmu?"
"Ayah telah meninggal dunia."
"Ahhh! Sahabatku yang baik, kiranya engkau lebih bahagia daripada aku, beta-pa rinduku
bermain catur sampai lima hari lima malam melawanmu....!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
92 "Tak usah khawatir, Im-yang Seng-cu, sebentar lagi pun engkau akan menyusul Ayah akan
tetapi tempatmu di neraka, tidak di sorga seperti Ayah!"
Keharuan Im-yang Seng-cu mendengar akan kematian sahabatnya, dan kegirang-annya
bertemu dengan pemuda itu, lenyap berganti penasaran dan keheran-an melihat sikap Tan-
siucai. "Apakah maksudmu dengan ucapan dan sikapmu ini" Engkau dehulu meng-anggap aku
sebagai paman dan bersikap hormat. Sekarang engkau bersikap kurang ajar, bahkan berani
memaki-maki aku. Apa artinya ini?"
"Artinya, orang tua pengecut! Aku datang untuk membunuhmu!"
Im-yang Seng-cu memandang terbela-lak, kemudian tertawa bergelak, merasa betapa
lucunya peristiwa ini. Baru saja dia menemui Suma Han dengan niat un-tuk membunuhnya
dan kini pemuda yang dianggap keponakannya sendiri, yang di-jodohkan dengan muridnya,
mendiang Lu Soan Li, kini datang-datang berniat membunuhnya!
"Tertawalah selagi engkau masih da-pat tertawa, Im-yang Seng-cu," Tan-siu-cai mengejek.
"Orang muda, aku tidak takut mati. Akan tetapi mengapa" Mengapa engkau tiba-tiba
bersikap seperti ini?"
"Dengarlah agar engkau tidak mati penasaran. Engkau seorang pengecut besar karena
engkau tidak dapat membubuh Pendekar Siluman. Akulah yang kelak akan membunuhnya
sayang aku datang terlambat, kalau tidak tentu dia sudah kubunuh sekarang. Engkau telah
menyia-nyiakan kewajibanmu menjaga tunangan-ku, membiarkan tunanganku melakukan
penyelewengan dari ikatan jodoh dengan-ku. Membiarkan tunanganku yang tercin-ta itu
mengorbankan diri untuk pemuda lain, membiarkannya mencinta pemuda lain. Kemudian,
setelah bertemu dengan Pendekar Siluman, engkau tidak berhasil membunuhnya. Engkau
pengecut besar dan harus mampus!"
Im-yang Seng-cu menjadi marah se-kali. "Kau sudah gila! Betapa manusia dapat menjaga
perasaan hati manusia lain" Kalau muridku, Soan Li yang ma-lang, mencinta Suma Han, itu
adalah haknya. Dan sekarang aku tahu bahwa memang seribu kali lebih baik mencinta
Suma Han daripada mencinta seorang gila macam engkau. Aku sudah mendengar bahwa
kau mendendam atas kematian Soan Li, dan sudah kuperingatkan Suma Han tentang ini.
Akan tetapi kalau alasanmu seperti itu, engkau gila dan bagai-mana kau akan dapat
membunuh aku" Ha-ha-ha, betapa tolol dan sombongnya engkau Tan Ki!"
"Engkau tadi hendak menyerahkan nyawa di tangan burung garuda bahkan engkau sengaja
ingin mati di tangan Suma Han. Apakah engkau tidak ingin mati di tanganku?"
"Ha-ha-ha! Gila! Gila engkau! Tentu saja aku tidak sudi mati di tanganmu!" Kakek itu
tertawa-tawa, lupa betapa anehnya sikap ini. Tadi ia ingin mati, sekarang ada orang akan
membunuhnya, dia marah-marah!
"Mau atau tidak, tetap saja engkau akan mati di tanganku, Im-yang Seng-cu!" Sambil
berkata demikian, Tan-siucai sudah menerjang maju dengan tangan kirinya. Tangan ini
menampar, kelihatan perlahan saja, akan tetapi angin pukulan tamparan itu membuat Im-
yang Seng-cu terkejut dan cepat me-ngelak. Dia terheran bukan main karena tamparan itu
adalah tamparan yang me-ngandung tenaga dalam amat kuat!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
93 Akan tetapi Tan-siucai tidak mem-beri kesempatan kepadanya untuk berhe-ran karena kini
sudah mendesak lagi dengen dua pukulan beruntun, tangan kiri mencengkeram ubun-ubun
disusul tangan kanan yang menyodok ke ulu hati. Serangan yang dahsyat, serangan maut
yang berbau ilmu silat tinggi dan lihai sekali.
"Aihhh!" Im-yang Seng-cu meloncat ke belakang, timbul rasa penasaran kare-na dia tidak
mengenal jurus yang dilaku-kan bekas pelajar yang dahulu lemah itu. Maka ia pun balas
menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat yang dapat di-elakkan secara mudah oleh Tan-
siucai. Pertandingan seru terjadi dan biarpun agaknya Tan-siucai telah digembleng orang
sakti dengan ilmu silat aneh dan telah memiliki tenaga sin-kang yang ku-at, namun
menghadapi seorang kakek se-perti Im-yang Seng-cu, pemuda itu ke-walahan juga.
"Ha-ha-ha, bagaimana engkau akan dapat membunuhku, pemuda gila?" Im-yang Seng-cu
mengejek. Biarpun diam-diam ia terkejut den terheran-heran ka-rena mendapat kenyataan
bahwa ilmu silat pemuda ini benar-benar tinggi den aneh, namun dia merasa yakin bahwa
untuk dapat membunuhnya, tidaklah be-gitu mudah.
"Begini, Im-yang Seng-cu!" Tan-siucai menjawab dan tiba-tiba tangan kirinya dibuka dan
didorongkan ke arah muka kakek itu sambil mulutnya membentak, "Diam!"
Hebat bukan main bentakan dan gerakan tangan itu karena secara aneh sekali, tiba-tiba Im-
yang Seng-cu tak dapat menggerakkan kaki tangannya seolah-olah tubuhnya telah berubah
menjadi batu. Dan pada saat itu, tangan kanan Tan-siucai telah bergerak ke belakang,
tam-pak sinar hitam berkelebat dan pedang hitam di tangannya telah meluncur den ambles
ke dalam perut Im-yang Seng-cu, tepat di bawah ulu hati. Ketika pemuda itu mencabut
pedangnya, darah menyem-bur keluar dari perut dan karena ketika mencabut pedangnya
digerakkan ke bawah, perut itu robek den isi perutnya keluar.
Barulah Im-yang Seng-cu dapat berge-rak, kedua tangannya otomatis bergerak ke depan,
yang kiri mendekap luka, yang kanan memukul ke depan. Angin pukulan kuat membuat
pemuda itu terhuyung ke belakang. Baju depannya merah terkena percikan darah yang
menyembur dari perut kakek itu.
Im-yang Seng-cu terhuyung-huyung, matanya terbelalak, mulutnya berkata,
"Celaka.... ingin mati di tangan pendekar.... kini mampus di tangan setan.... benar-benar
tubuh sial....!" Ia berusaha menubruk maju dengan loncatan cepat ke arah Tan-shicai, untuk
memberi se-rangan terakhir. Akan tetapi Tan-siucai mengelak den tubuh kakek itu
terjerem-bab ke atas tanah tanpa nyawa lagi.
"Heh-heh-heh!" Dari balik sebatang pohon muncul dengan cara seperti setan seorang yang
berkulit hitam. Orang ini bertubuh tinggi sekali, tinggi dan kurus. Kulitnya hitam mengkilap,
kedua kaki-nya telanjang. Usianya sukar ditaksir, akan tetapi tentu tidak kurang dari enam
puluh tahun. Dahinya lebar, hidungnya panjang melengkung, sepasang matanya lebar dan
bersinar-sinar aneh, mulutnya hampir tak tampak tertutup jenggot dan kumis yang putih.
Kedua telinganya memakai anting-anting perak berbentuk cincin. Rambutnya yang sudah
lebih banyak putihnya itu tertutup sor-ban berwarna kuning. Tubuhnya hanya dibalut kain
kuning pula yang menutup tubuh seperti cawat dan setengah dada.
"Cukup baik gerak tangan kirimu dan bentakanmu cukup berhasil. Sayang ge-rakan
pedangmu tidak tepat. Lihat, pakaianmu terkena darah. Sungguh me-malukan aku yang
menjadi gurumu, heh-heh!" Kata orang itu yang dapat diduga tentu datang dari barat karena
bentuk muka, warna kulit, dan gaya bicaranya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
94 "Mohon petunjuk Guru," kata Tan-siucai, alisnya berkerut tanda tidak senang hati dicela
gurunya. "Membunuh lawan terkena percikan darahnya, amatlah tidak baik dan engkau tadi
membuka kesempatan lawan untuk menyerang sehingga kau terhu-yung. Untung
kepandaian orang ini tidak amat hebat. Kalau lebih hebat, apakah kau tidak akan celaka
karena pukulan terakhir orang yang sudah menghadapi maut" Serahkan pedangmu, dan
lihat ba-ik-baik!"
Tan-siucai menyerahkan pedangnya. Pedang hitam itu oleh kakek ini lalu di-selipkan di
bawah kain yang membelit pundaknya. Kemudian ia mengampiri ma-yat Im-yang Seng-cu,
dipandangnya seje-nak kemudian tiba-tiba tangan kirinya dengan telapak menghadap ke
arah ma-yat digerakkan, mulutnya mengeluarkan pekik aneh dan.... mayet itu tiba-tiba berdiri
di depannya. Darah masih mengu-cur dari perut mayat Im-yang Seng-cu yang terbuka dan
ususnya terurai keluar.
"Diam....!" Kakek itu membentak se-perti yang dilakukan oleh muridnya tadi, tampak sinar
hitam berkelebat menjadi gulungan sinar yang mengitari tubuh ma-yat itu. Kakek itu sudah
meloncat ke belakang mayat dan.... tubuh Im-yang Seng-cu yang sudah tak bernyawa lagi
itu kini roboh menjadi enam potong! Ke-dua lengan dan kedua kakinya terpisah, dan
lehernya juga telah terbabat putus!
"Nah, dengan begini, engkau tidak memberi kesempatan lawan untuk me-ngirim serangan.


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mula-mula kedua lengan lalu kaki dan leher yang harus kaubabat putus, bukan menusuk
perut seperti tadi. Dan jangan lupa untuk bergerak melon-cat ke belakang, berlawanan
dengan me-nyemburnya darah dari tubuhnya! Ah, sampai lupa. Hayo cepat, kita tampung
racun kuning!"
Mendengar ini, Tan-siucai lalu meng-gunakan kakinya, mengungkit bagian-bagian tubuh
mayat itu sehingga terlem-par ke atas cabang pohon, ditumpuk di situ. Kemudian kakek
berkulit hitam itu menuangkan cairan obat dari sebuah bo-tol ke atas tumpukan potongan
tubuh mayat yang segera mencair. Mula-mula seperti terbakar mendidih, kemudian dari
tumpukan daging dan tulang itu mene-tes-netes cairan kuning yang segera ditampung oleh
Tan-siucai ke dalam sebu-ah botol melengkung berwarna merah. Hebat sekali obat itu.
Dalam waktu be-beberapa menit saja semua daging, tulang dan pakaian bekas tubuh Im-
yang Seng-cu mencair dan hanya menjadi se-perempat botol cairan kuning yang ken-tal!
Setelah tubuh itu habis sama sekali dan menutup botol dengan sumbat dan menyimpannya,
guru dan murid yang aneh itu pergi dari situ.
Tan-siucai atau Tan Ki ini adalah bekas tunangan Hoa-san Kiam-li (Pende-kar Pedang
Wanita dari Hoa-san) Lu Soan Li murid Im-yang Seng-cu. Dia tinggal di Nan-king. Setelah
dia mende-ngar akan kematian tunangannya yang dicinta dan dibanggakan, pemuda yang
sudah tidak berayah ibu ini lalu pergi merantau. Dendam dan sakit hati membuat dia seperti
gila dan akhirnya secara kebetulan dia berjumpa dengan kakek dari Nepal yang bernama
Maharya itu yang kemudian mengambilnya seba-gai murid. Kakek Maharya, seorang sakti
dari Nepal, tidak hanya tertarik kepada Tan-siucai karena melihat bakat pada diri pemuda itu,
juga tertarik mendengar kisah pemuda itu yang menaruh dendam kepada Pendekar
Siluman. Di samping ini, sebagai seorang asing yang baru datang ke Tiong-goan, dia
membutuhkan seorang pembantu dan pengajar bahasa. Sebagai seorang sastrawan, tentu
saja pemuda itu merupakan seorang guru bahasa yang ba-ik.
Demikianlah selama bertahun-tahun Tan Ki atau Tan-siucai merantau bersa-ma gurunya,
menerima gemblengan ilmu-ilmu silat yang aneh, juga menerima pelajaran ilmu sihir yang
merupakan keisti-mewaan gurunya. Tujuan mereka hanya dua. Pertama memenuhi
kebutuhan Ma-harya, yaitu mencari Sepasang Pedang Iblis, dan kedua memenuhi
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
95 kebutuhan Ten-siucai, mencari Im-yang Seng-cu dan Pendekar Siluman untuk membalas
den-dam kematian tunangannya! Secara tak tersangka-sangka mereka tiba di hutan itu dan
hampir saja sekaligus Tan-siucai dapat bertemu dengan dua orang yang dimusuhinya, akan
tetapi dia terlambat karena Pendekar Siluman telah mening-galkan tempat itu. Betapapun
juga, dia berhasil membunuh seorang musuhnya, yaitu Im-yang Seng-cu yang dahulunya
adalah sahabat ayahnya, bahkan orang yang telah mengikatkan jodoh antara dia dan Lu
Soan Li. Akan tetapi, kare-na jalan pikirannya yang telah gila, Im-yang Seng-cu dianggap
biang keladi kematian tunangannya sehingga berhasil dia bunuh secara mengerikan.
*** Siapa yang mengatakan bahwa kese-lamatan diri seseorang, mati hidupnya tergantung
sepenuhnya kepada dirinya sendiri, menandakan bahwa dia belum sadar akan kekuasaan
tertinggi yang tak dapat ditambah maupun dikurangi, kekua-saan tertinggi yang
menggerakkan matahari, bulan dan bintang-bintang sampai debu-debu terkecil dalam
cahaya mata-hari, kekuasaan yang menumbuhkan po-hon-pohon raksasa sampai setiap
jenggot di dagu pada kekuasaan tertinggi yang menguasai atas mati dan hidup.
Kalau yang Maha Kuasa menghendaki seseorang mati, kekuasaan apa pun di dunia tidak
akan dapat menawar-nawar. Sebaliknya kalau dikehendaki-Nya seseorang hidup, tidak ada
pula kekuasaan di dunia yang akan dapat menghentikan hi-dup orang itu. Hal-hal yang
kelihatan tidak mungkin bagi akal manusia, sama sekali bukan merupakan hal tidak
mung-kin bagi kekuasaan itu.
Kekuasaan tertinggi dan ajaib ini memperlihatkan kekuasaannya pula keti-ka Bun Beng
terlempar ke dalam pusar-an air. Sebelum dia, tokoh Pulau Neraka yang ahli dalam air dan
bertenaga be-sar juga terjatuh ke dalam pusaran air itu. Dengan segala kemahiran dan
kekuatannya, anggauta Pulau Neraka itu ber-usaha melawan pusaran air yang
mengha-yutkan dan menyeretnya ke dalam pusaran yang amat kuat, namun usahanya
menyelamatkan diri itu sia-sia belaka dan tubuhnya hancur dihempaskan pada batu-batu
karang. Akan tetapi sebalik-nya dengan Bun Beng. Ketika anak ini jatuh ke tengah pusaran
air dan merasa ada kekuatan dahsyat dari pusaran itu menyedot tubuhnya ke bawah, sedikit
pun dia tidak melawan akan tetapi bahkan inilah yang membuat dia selamat!
Air pusing yang mempunyai daya sedot amat dahsyat itu seketika "menelan" tubuh Bun
Beng, disedot ke bawah lalu dihayutkan dengan kecepatan yang luar biasa di bawah
permukaan air. Biarpun Bun Beng yang cerdik sebelum terbanting ke air telah menyedot
napas sebanyaknya, namun tak lama kemudian ia pingsan selagi tubuhnya masih
dihanyutkan dengan cepat sekali melalui terowongan di dalam gunung batu karang.
Ketika anak itu siuman kembali, ia telah menggeletak di antara batu-batu besar yang halus
permukaannya, sebagian tubuhnya yang bawah terbenam air di an-tara batu dan untung
bahwa dia terhem-pas ke tempat itu dengan muka di atas air. Ia membuka mata, tubuhnya
terasa nyeri semua dan dinginnya luar biasa sehingga ia menggigil. Sudah matikah aku,
pikirnya ngeri. Ia bangkit duduk, memandang ke sekeliling. Tidak, dia belum mati dan berada
di lambung sebuah gunung yang tertutup kabut tebal. Dia duduk dan memandang terheran-
heran. Bagaimana ia dapat sampai di lambung gunung" Kekuasaan alam memang penuh mujijat.
Kiranya ada terowongan yang meng-hubungkan tempat itu dengan pusaran air di mana ia
terjatuh, sebuah tero-wongan di dalam tubuh gunung. Pusaran air itu tercipta oleh permainan
angin yang memasuki terowongan, menimbulkan daya berpusing yang amat kuat se-hingga
menyedot air dan menciptakan air berpusing yang amat menakutkan.
"Nguk-nguk-nguk! Huk! Huk! Hukkk!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
96 Bun Beng terkejut dan menoleh ke kanan kiri. Di tempat seperti ini, bagai-mana bisa
terdengar suara anjing" Biasa-nya anjing hanya berkeliaran di tempat datar, bukan di
pegunungan di batu-batu karang seperti ini, dekat air sungai. Akan tetapi hatinya juga girang
karena biasanya anjing-anjing itu dipelihara orang yang dapat ia mintai tolong.
"Huk-huk-huk! Ggrrrrr.... nguk-nguk!"
Bun Beng menoleh ke kanan dan seketika ia terloncat bangun. Dari atas batu besar turun
beberapa ekor binatang aneh yang kepalanya seperti kera! Kiranya yang menyalak-nyalak
dan menggereng-gereng itu adalah binatang yang aneh ini, setengah kera setengah anjing
(kera baboon). Ketika melihat binatang aneh itu merayap turun dengan gerak-gerik seperti
manusia, moncong anjing mereka mengeluarkan suara anjing dan kera campur aduk,
melihat pinggul mereka berlenggang-lenggok, pinggul yang tidak berekor akan tetapi ada
dagingnya me-nonjol merah, mau tidak mau Bun Beng tertawa geli. Lucu memang
tampaknya binatang-binatang itu.
Akan tetapi kegelian hatinya segera berubah menjadi kemarahan ketika bina-tang-binatang
itu mengelilinginya kemu-dian meraba-raba dan merenggutkan pa-kaiannya yang basah
sambil mengeluar-kan bunyi ngak-ngik-nguk tidak karuan. Bun Beng melepaskan tangan
seekor kera yang menjambak-jambak rambutnya. Kera itu mengeluarkan teriakan marah dan
Bun Beng dikeroyok! Lengan-lengan yang panjang berbulu lebat itu mengeroyoknya,
merenggut pakaian dan men-jambak rambut. Bun Beng jatuh terduduk, seekor kera hendak
menggigitnya dari depan. Ia mengayun tangan menam-par.
"Plakk! Nguuuuk-nguk!" Kera itu ter-pelanting dan memekik marah sekali, se-dangkan kera-
kera lain sudah menubruk Bun Beng dari belakang. Terdengar bu-nyi kain robek dan setelah
meronta-ron-ta dan membagi-bagi pukulan ke kanan kiri, akhirnya Bun Beng berdiri dalam
keadaan telanjang bulat! Pakaiannya robek-robek tidak karuan diperebutkan oleh
sekumpulan kera itu. Marahlah Bun Beng dan ia lalu mengamuk, kaki ta-ngannya bergerak
dan beberapa eker kera terpelanting terkena tendangan dan pukulannya. Akan tetapi tubuh
binatang-binatang ini kuat sekali dan mereka kini kini juga marah, meloncat bangun dan
mengeroyok Bun Beng.
Tiba-tiba terdengar pekik dahsyat dan kera-kera baboon itu seketika menghentikan
pengeroyokan dan mundur. Bun Beng menengok dan seekor kera yang lebih besar daripada
sekumpulan kera yang mengeroyok dan menelanjanginya. Kera itu dengan kedua lengan
panjangnya, melangkah maju menghampirinya, moncongnya mengeluarkan suara
mengge-reng den mendesis, matanya yang kecil memandangnya penuh amarah. Gerak-
geriknya seperti orang menantang. Ke-ra-kera lain melonjak-lonjak den berte-puk tangan,
seperti sekumpulan anak-anak yang menjagoi kera besar ini. Ta-hulah Bun Beng bahwa dia
ditantang oleh kera besar, maka dia pun lalu me-masang kuda-kuda dan membentak.
"Kera anjing keparat! Majulah! Siapa takut padamu?"
Kera besar itu agaknya juga tahu bahwa Bun Beng marah kepadanya, kare-na ia segera
meringis dan mengeluarkan bunyi marah. "Ngukk....! Kerr....!"
"Monyet buruk! Majulah! Siapa takut padamu?" Bun Beng menantang dan dia telah
melompat ke kiri, mencari tempat yang lebih rata karena dia maklum bah-wa binatang kera
amat lincah dan kalau harus bertanding di tempat berbatu sam-bil berloncatan, mana dia
mampu me-nang"
Kera itu menggereng lagi dan melon-cat, sekaligus ia menyerang Bun Beng dengan ganas,
menubruk sambil menceng-keram dan moncongnya dibuka lebar siap menggigit. Bun Beng
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
97 sudah bersiap, cepat ia mengelak dengan meloncat ke kanan, sambil tidak lupa mengayun
kaki kirinya menendang ke arah perut kera.
"Bukkk!" Tendangan Bun Beng adalah tendangan seorang anak laki-laki yang sejak kecil
terlatih, maka tidak dapat disebut lemah, namun ketika kakinya mengenai perut binatang itu,
kakinya yang menendang terpental seperti me-nendang bola karet!
"Monyet lutung! Kau kuat sekali!" Ia berseru marah dan kera itu seolah-olah tertawa,
terkekeh sedangkan kera-kera lain tetap bertepuk tangan dan berjing-krak tidak teratur.
Kera besar itu kembali sudah menu-bruk, bahkan kedua lengannya yang pan-jang tidak
hanya membuat gerakan men-cengkeram ngawur seperti lajimnya dila-kukan oleh binatang
kera yang tidak tahu akan seni bersilat, melainkan kedua tangan berjari panjang penuh bulu
itu melakukan pukulan dengan telapak ta-ngan terbuka.
"Wuuut! Wuuuutt!" Kedua tangan itu menyambar berturut-turut dan hanya dengan
kegesitannya mengelak saja Bun Beng dapat menghindarkan diri dari tamparan yang amat
kuat itu. Dia mulai marah dan agaknya Bun Beng tidak akan patut mengaku sebagai murid
mendiang Siauw Lam Hwesio kalau dia harus me-ngakui keunggulan seekor binatang kera.
Akan percuma sajalah gemblengan yang dilakukan Kakek Siauw-lim-pai itu kepadanya
beberapa tahun. Di sam-ping latihan ilmu silat dan menghimpun tenaga serta rahasia
penggunaan tenaga, juga Bun Beng menerima petunjuk-petun-juk yang mempertajam
otaknya sehingga dalam menghadapi bahaya dan lawan tangguh dia dapat mempergunakan
siasat. Dia mengerti bahwa dalam hal tenaga kasar dia tidak akan dapat mengimbangi kera
yang lebih kuat daripada seorang manusia dewasa itu. Juga dari penga-lamannya ketika
menendang perut tadi dia maklum bahwa kera itu memiliki kulit yang tebal dan kuat serta
otot-otot yang membuat tubuhnya kebal. Dia tidak boleh sembarangan menyerang
melainkan harus menggunakan siasat mencari bagi-an yang lemah.
Namun, kini dia terdesak terus. Kera -besar itu agaknya merasa penasaran. Dia dapat
mengalahkan seekor harimau dengan mudah, masa kini tidak mampu merobohkan seorang
manusia kecil yang lemah ini dalam waktu singkat" Akan percuma saja dia menjadi kera
bangkot-an, jagoan yang paling kuat dan paling ditakuti di antara rombongan kera ba-boon di
situ! Maka sambil mendengus-dengus marah dia memperhebat serang-annya, setiap kali
tubrukannya luput di-sambung dengan terkaman lain yang ce-pat dan kuat, sedikit pun tidak
membe-ri kesempatan kepada Bun Beng untuk membalas. Tak dapat dibantah bahwa
memang Bun Beng terlatih ilmu silat na-mun dia sama sekali belum memiliki pengalaman
bertempur tanpa aturan dan secara nekat itu. Dia terdesak hebat dan hanya mampu
mengelak ke sana-sini, menangkis sedapatnya dan sudah dua kali ia terkena tamparan yang
membuat pipinya merah membengkak dan mata-nya berkunang kepalanya pening! Meli-hat
ini kera-kera yang lain mengeluarkan suara seperti sekumpulan bocah ber-sorak-sorak, dan
kera jagoan itu menjadi makin buas.
"Blekkkk!" Sebuah tamparan dengan lengan kanan berbulu yang amat keras dapat ditangkis
oleh Bun Beng, akan tetapi karena dia kalah tenaga, tampar-an itu masih menembus
tangkisannya dan mengenai pundak kirinya. Bun Beng mengaduh, tulang pundaknya seperti
re-muk rasanya, kiut-miut nyeri bukan main dan dia roboh terjengkang tanpa dapat ditahan
pula. "Gerrrr....!" Kera besar menggereng dan menubruk tubuh lawan yang sudah telentang tidak
berdaya itu. Dalam ke-adaan penuh bahaya ini, keadaan Bun Beng sebagai manusia
membuktikan ke-unggulannya. Dia memiliki akal dan da-lam detik-detik berbahaya itu ia
meng-gunakan akalnya. Ketika melihat kera besar menubruk, dia menggulingkan tu-buhnya
sampai tiga kali dan tidak lupa tangannya mencengkeram tanah dan ber-hasil
menggenggam tanah. Pada saat kera menubruk lagi, tangannya bergerak dan tanah yang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
98 digenggamnya itu melun-cur, menyambut muka si Kera yang ten-tu saja tidak memiliki akal
untuk men-duga serangan ini. Matanya tetap melo-tot penuh geram kemenangan sehingga
kedua matanya merupakan sasaran tepat, kemasukan butiran-butiran pasir tanah.
"Auurrghh....!" Kera itu memekik-mekik dan menggunakan kedua tangan menggosok
matanya. Tentu saja karena cara menggosoknya kaku, pasir tanah itu makin dalam masuk
ke mata dan makin nyeri rasanya. Kesempatan ini ti-dak disia-siakan oleh Bun Beng. Dia
sudah meloncat bangun dan menghujan-kan pukulan tendangan ke tubuh si Kera. Namun
dia tidak memukul sembarangan, melainkan memilih tempat yang lemah, memukul ke arah
hidung, mata, dan teli-nga sedangkan tendangannya mengarah sambungan lutut dan pusar.
Tentu saja kera besar yang masih setengah mati menggosoki matanya, menjadi sasaran
serangan dan tubuhnya terguling-guling. Ia mengeluarkan suara seperti menangis dan
akhirnya ia berlutut di atas tanah, menutupi kepalanya dengan kedua mata-nya bercucuran
air mata! Dari gerak-gerik ini Bun Beng dapat menduga bahwa lawannya sudah menye-rah kalah,
maka ia memandang dengan muka berseri, berdiri tegak dan bertolak pinggang, merasa
gagah menjadi jagoan sampai dia lupa bahwa tubuhnya sama sekali tidak tertutup pakaian,
telanjang bulat karena semua pakaiannya sudah habis terkoyak tangan-tangan jahil
rom-bongan kera tadi!
Kera-kera yang tadinya menonton pertandingan, kini berlarian datang dan Bun Beng sudah
siap untuk "mengamuk" kalau dia dikeroyok. Akan tetapi, kera-kera itu kini tidak
menyerangnya, hanya memegang-megang lengannya, kakinya, rambutnya dan bahkan ada
yang mencium-ciumnya dari kaki sampai kepala tanpa melewatkan sedikitpun bagian
tubuhnya sehingga dia merasa girang akan tetapi geli dan jijik! Agaknya air mata yang
banyak keluar dari sepasang mata kera besar telah mencuci bersih mata itu, kini kera besar
dapat membuka matanya yang berubah merah dan dia pun merangkul dan menciumi Bun
Beng! Mengertilah anak ini bahwa semenjak sa-at ia berhasil "mengalahkan" jagoan kera
baboon, dia telah diaku sebagai "seekor" di antara mereka! Dia telah diterima menjadi
anggauta kera baboon.
Semenjak saat itu, mulailah penghi-dupan baru yang sama sekali asing bagi Bun Beng! Dia
hidup di antara sekumpul-an kera baboon, bertelanjang, bulat, men-cari makan, bermain-
main dan berayun-ayun di dahan-dahan pohon dan di batu-batu gunung persis seekor kera.
Hanya bedanya, dan kadang-kadang timbul pe-nyesalan di hatinya akan perbedaan ini
bahwa dia tidak berbulu seperti "kawan-kawannya" sehingga sering kali dia men-derita
kedinginan. Namun, lambat laun ia dapat membiasakan diri dan tubuhnya menjadi kebal
akan hawa dingin. Sebagai seorang mahluk yang berakal, dalam mencari makanan dan lain-
lain tentu sa-ja dia paling menang, sehingga tidak lama kemudian dia dicontoh oleh kera
kera itu dan seolah-olah menjadi pemimpin mereka. Apalagi semenjak dia me-ngalahkan
jagoan kera, dia dianggap pa-ling kuat dan teman-temannya tidak ada yang berani
mencoba-coba dengan dia!Selama beberapa bulan hidup di anta-ra sekumpulan kera, Bun
Beng menda-patkan sebuah kenyataan yang amat ber-kesan di hatinya. Semenjak dia
dijadikan rebutan para tokoh kang-ouw sehingga terdapat pertentangan dan terjadi
pem-bunuhan, kemudian disusul pengalaman-pengalaman di mana dia menyaksikan
permusuhan antar manusia yang menga-kibatkan pembunuhan-pembunuhan mengerikan, ia
mendapat kenyataan betapa manusia merupakan sekumpulan makhluk yang amat kejam
dan sama sekali tidak mempuyai rasa setia kawan terhadap se-sama manusia.
Kini, hidup di antara se-kumpulan kera yang dianggap sebagai bi-natang bodoh dan tidak
berakal, dia me-nemukan perbedaan yang amat menyolok. Sekumpulan kera ini hidup amat
rukun dan penuh setia kawan. Memang benar bahwa di antara mereka kadang-kadang
terjadi perkelahian, namun perkelahian ini hanya terbatas dalam mengadu keku-atan sampai
seekor di antara mereka me-ngaku kalah. Yang menang tidak akan menindas, yang kalah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
99 tidak akan me-naruh dendam dan tidak ada rasa meng-ganjal di antara mereka! Akan te-tapi
seekor saja terganggu, sekelompok akan maju bertanding dan membela! Se-ekor saja
celaka, yang lain akan turun tangan tanpa pamrih. Tidak ada di anta-ra mereka yang
memonopoli sesuatu. Buah-buah yang bergantungan, air yang mengalir, tidak ada yang
menuntut seba-gai hak pribadinya. Memang, mereka ini tidak pandai berbasa-basi, tidak
pandai bermanis muka, tidak pandai bersopan-santun dan tidak pandai melakukan se-gala
kepalsuan-kepalsuan lain yang sudah menjadi "pakaian" manusia. Betapa liar mereka itu,
betapa bebas dan bahagia karena mereka tidak mengejar kesenang-an, tidak mengejar
kebahagiaan seperti manusia sehingga kesenangan dan kebaha-giaan dengan sendirinya
datang kepada mereka! Mereka tidak mengenal kecewa karena tidak mengharap, tidak
bertemu duka, karena tidak mencari suka. Beta-pa wajar dan betapa dekat dengan alam,
betapa dekat dengan kekuasaan alam!
Di samping menemukan hal-hal yang mendatangkan kesan di hatinya yang timbul dari
pengetahuannya ketika dahulu membaca kitab-kitab filsafat, juga Bun Beng menemukan dan
mempelajari ke-pandaian-kepandaian aneh yang mereka miliki sebagai anugerah langsung
dari alam tanpa mereka pelajari, yaitu kece-katan, ketrampilan yang belum tentu dapat
dimiliki manusia yang sengaja mempelajarinya bertahun-tahun! Dengan menyatukan diri di
tengah-tengah mere-ka, dalam beberapa bulan saja Bun Beng dapat berloncatan di atas
karang di tebing-tebing yang curam, memanjat po-hon-pohon besar dan loncat berayun dari
dahan ke dahan. Juga ia dapat menge-nal pengetahuan anugerah alam tentang daun-daun
dan akar-akar obat yang di-pergunakan kera-kera itu untuk mengobati luka-luka, keracunan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan lain-lain. Selama enam bulan Bun Beng hidup di tengah-tengah kera itu, mengalami hal-hal yang
amat luar biasa. Setelah setengah tahun hidup bertelanjang bulat seperti itu, dia menjadi
terbiasa dan kadang-kadang kalau ia teringat akan per-adaban manusia, ia menjadi geli
sendiri. Betapa dia akan dianggap kurang susila, kurang ajar, tidak tahu malu dan
seba-gainya oleh manusia-manusia beradab! Dari manakah timbulnya rasa malu ka-lau
telanjang dan terlihat orang lain" Mengapa pula harus malu" Perasaan ma-lu ini adalah
buatan manusia sendiri! Buktinya, tidak ada seorang pun anak-anak yang merasa malu
dilihat bertelan-jang. Setelah kepada anak itu ditanam-kan pengertian bahwa bertelanjang
dili-hat orang adalah memalukan, barulah tim-bul perasaan malu ini! Andaikata tidak ada
penanaman pengertian ini, kiranya tidak akan timbul pula perasaan malu.
Musim dingin tiba, akan tetapi Bun Beng yang bertelanjang bulat itu tidak menderita
kedinginan. Kulit tubuhnya su-dah terlatih sedikit demi sedikit sehing-ga kebal. Akan tetapi,
perasaan dan ke-sadarannya sebagai manusia tidak pernah hilang dan hanya karena
terpaksa tidak ada pakaian saja maka dia berte-lanjang bulat di antara sekumpulan kera
baboon. Ketika pada suatu hari dia ber-sama sekawanan kera itu menyerang dan
membunuh beberapa ekor harimau, Bun Beng menguliti harimau yang dibu-nuhnya dan kulit
harimau itu ia pakai untuk menutupi tubuhnya bagian bawah. Bukan terdorong oleh rasa
malu atau penahan dingin, melainkan dengan penu-tup bawah itu dia terhindar dari
ganggu-an semut dan nyamuk yang tidak dapat mengganggu kera-kera itu karena kulit
mereka tertutup bulu. Dan setelah ia memakai cawat kulit harimau, kawanan kera itu
kelihatan lebih segan dan takut kepadanya! Kulit-kulit harimau yang lain ia simpan untuk
cadangan cawat atau persediaan kalau sewaktu-waktu ia me-merlukannya.
Pada suatu hari, para kera itu me-ngeluarkan bunyi cecowetan seperti biasa kalau
mengajak pergi ke suatu tempat. Sudah banyak macam suara kera itu yang merupakan
isyarat-isyarat dan dapat dimengerti oleh Bun Beng, maka sekali ini, menyaksikan sikap
mereka seolah-olah mereka hendak melakukan sesuatu yang besar dan aneh, Bun Beng
segera mengi-kuti mereka. Kera-kera itu memasuki guha di antara batu karang dan
mema-suki terowongan di dalam gunung yang cukup lebar. Mula-mula terowongan itu gelap,
akan tetapi makin jauh makin terang dan anehnya, mulailah Bun Beng merasa betapa ada
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
100 hawa panas keluar dari dalam. Hatinya mulai tegang dan ia mengikuti terus. Tak lama
kemudian mereka tiba di ujung terowongan yang merupakan ruangan yang luas di dalam
gunung. Sinar matahari masuk melalui celah-celah batu gunung yang merupa-kan dinding
tinggi sekali. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat sumber air panas! Air keluar dari sumber
di dalam gunung ini, mengucur keluar dari celah-celah dua batu besar, mengeluarkan uap
saking panasnya. Akan tetapi, Bun Beng tidak memperhatikan itu semua karena ia terbelalak
memandang ke sebelah ka-nan, tak jauh dari sumber air panas itu dan merasa seolah-olah
ia sedang dalam mimpi. Apakah yang ia lihat"
Pemandangan yang amat luar biasa! Di situ, menempel pada dinding batu, terdapat sebuah
kursi batu yang jelas bukan buatan alam, melainkan berbekas tangan manusia. Kursi itu
besar sekali, terbuat daripada batu persegi yang di-tumpuk-tumpuk, dan di atas kursi itu
duduk seekor kera tua besar sekali yang memakai pakaian. Kalau melihat peman-dangan ini
di kota, tentu Bun Beng akan tertawa geli dan menganggap kera itu sebagai peliharaan
pemain komidi bina-tang. Seekor kera tua duduk di kursi memakai jubah yang sepatutnya
dipakai seorang pendeta, jubah berwarna kuning yang sudah koyak-koyak, terutama di ujung
kedua lengannya. Dan kera tua berbaju itu memandangnya dengan muka berseri, tanda
senang hati, sikap yang sudah dikenal Bun Beng. Kera tua itu agaknya senang melihatnya,
dan mon-congnya yang lebar itu berkemak-kemik, telunjuknya menuding-nuding!
Kawanan kera melewati kursi itu sambil membungkuk-bungkuk, mata me-lirik-lirik penuh
sikap takut terhadap kera tua yang berpakaian. Akan tetapi mereka tidak mempedulikan
"kakek" ke-ra itu dan sambil cecowetan riuh rendah dan penuh kegembiraan mereka masuk
ke dalam air panas yang mengalir seper-ti sebatang sungai kecil. Bun Beng masih tertarik
dan terpesona oleh karena kera tua yang aneh itu, akan tetapi ketika be-rapa ekor kera
mulai menarik-nariknya diajak mandi, timbul pula kegembiraan-nya. Cepat ditanggalkannya
cawat kulit harimau dan ia pun masuk ke dalam anak sungai yang airnya panas. Betapa
nik-matnya mandi dan merendam tubuh di air yang panas itu! Merupakan penawar yang
nyaman setelah diserang musim di-ngin di luar. Dan air panas itu benar-benar
mendatangkan rasa nyaman sekali di tubuhnya, seolah-olah mengandung se-suatu yang
memiliki daya mujijat menguatkan tubuh. Mengertilah ia kini bahwa sumber air panas itu
merupakan sema-cam "air obat" yang dimanfaatkan oleh kera-kera itu agaknya setahun
sekali, yaitu di waktu musim dingin tiba. Yang amat mengherankan hatinya dan tidak
dimengerti adalah munculnya kera tua berpakaian pendeta itu!
Setelah puas mandi air panas, Bun Beng mengenakan cawat kulit harimau-nya lagi dan
mulailah ia mendekati ke-ra tua untuk menyelidiki keadaannya yang aneh. Ketika ia
mendapat kenyata-an bahwa kera itu ternyata sudah amat tua dan lumpuh, ia merasa
kasihan dan terharu. Wajah kera itu begitu penuh pengertian dan sekiranya kera tua itu
dapat bicara, tentu dia akan dapat mendengar dongeng yang menarik dari mulut kera itu.
Dan kembali ia menyaksiken kesetiakawanan yang hebat. Agaknya ke-ra tua iku menjadi
semacam "juru kunci" atau penunggu sumber air panas dan se-lamanya tinggal di situ.
Adapun untuk keperluan setiap harinya, dia tidak perlu bingung karena kera-kera baboon
setiap beberapa hari sekali ternyata mengirim buah-buah dan makanan untuk si Tua ini.
Melihat betapa kera tua itu pandai berpakaian dan sikapnya jauh lebih "jinak" dibandingkan
dengan kera-kera lain, Bun Beng percaya bahwa tentu kera tua ini tidak asing dengan
manusia. Maka dia menjadi lebih berani dan ketika ia melihat sebuah ruangan dari batu
ka-rang di belakang kursi besar itu, tanpa ragu-ragu lagi dia memasuki ruangan itu. Hal
pertama yang menarik hatinya ukir-ukiran huruf dinding batu. Goresannya dalam dan
biarpun sudah banyak lumut-nya, masih mudah dibaca karena ukiran itu selain dalam juga
besar. "Di musim dingin, perut gunung mengeluarkan air panas di musim panas,perut gunung
mengeluarkan air di-ngindingin menciptakan panas, panas menimbulkan Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
101 dinginkeajaiban apa lagi yang dikehen-daki manusia untuk membuktikan ke-kuasaan
alam?" Bun Beng belum dapat menangkap keindahan kata-kata itu namun ia dapat mengagumi
coretan yang indah dan kuat. Tidak salah lagi, tentu di sini pernah tinggal seorang pertapa
yang pandai dan mungkin sekali kera tua itu adalah binatang peliharaannya! Ia memeriksa
lagi dan di dalam sebuah peti batu ia menemukan beberapa stel pakaian kasar. Di atas meja
batu tampak sepasang pedang dan sebuah kitab yang tua sekali. Jan-tungnya berdebar
penuh ketegangan. Ter-ingat ia akan pertentangan di muara Su-ngai Huang-ho. Bukankah di
antara pusa-ka yang dicari dan diperebutkan itu disebut-sebut pula "Sepasang Pedang
Iblis?" Dan kitab itu, mungkin sebuah di antara kitab-kitab pusaka yang dicari oleh tokoh-
tokoh kang-ouw" Ia mende-kati meja dan memandang penuh perha-tian dengan hati tegang.
Ia merasa seperti ada yang memandangnya dan ke-tika ia menengok, benar saja kera tua itu
sedang menoleh dan memandangnya penuh perhatian, sungguhpun pada wajah yang tua itu
tidak tampak kemarahan. Maka ia makin berani dan tak dapat menahan keinginan tahunya.
Dirabanya gagang kedua pedang yang bersarung indah itu, kemudian diangkatnya perlahan-
lahan pedang yang lebih panjang, lalu mencabut gagang pedang dari sarungnya. Baru
tercabut sebagian saja, ia sudah cepat-cepat memasukkannya kembali dengan kaget karena
pedang itu menge-luarkan sinar kilat yang membuat bulu tengkuknya meremang. Dengan
hati-hati ia meletakkan pedang itu kembali, lalu mencoba untuk melihat pedang ke dua yang
lebih pendek. Kembali ia terkejut karena pedang ini pun mengeluarkan sinar kilat yang
menyilaukan mata.
"Aihhhh....!" Ia menahan napas memandang dua batang pedang yang berada di atas meja,
hatinya ngeri dan kagum. Tidak salah lagi, pedang itu tentulah pe-dang pusaka yang amat
ampuh! Inikah yang disebut Sepasang Pedang Iblis" Ahh, kelihatannya indah sekali, sama
sekali tidak pantas disebut pedang iblis karena yang memakai nama "Iblis" tentu-lah buruk
menakutkan! Kini ia memper-hatikan kitab tua itu, mengambilnya dan membuka sampulnya.
Sam-po-cin-keng, demikianlah huruf-huruf indah yang ter-tulis di halaman pertama. Ia
membuka-buka lembarannya dan ternyata itu ada-lah sebuah kitab pelajaran ilmu silat yang
amat luar biasa, semua ada tiga macam. Anak ini tidak tahu bahwa di tangannya itu adalah
sebuah kitab raha-sia yang amat hebat. Tiga ilmu silat pusaka yang tergabung dalam kitab
itu bukanlah pelajaran ilmu silat biasa kare-na Sam-po-cin-keng adalah tiga macam ilmu
dahsyat yang di jaman dahulu dicipta oleh ketua dan pendiri Beng-kauw yang bernama Liu
Gan dan berjuluk Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Tangan Delapan)! Ilmu ini kemudian menurun
kepada pute-rinya yang bernama Liu Lu Sian berju-luk Tok-siauw-kui (Iblis Cantik Beracun)
yang bukan lain adalah ibu kandung pendekar sakti Suling Emas!
Ketika kawanan kera meninggalkan tempat sumber air panas itu, Bun Beng ikut pula keluar,
akan tetapi tidak lupa ia membawa sepasang pedang, kitab dan satu stel pakaian! Ketika ia
lewat di depan kursi besar, ia menjura ke arah kera tua sambil berkata, "Kakek kera, terima
kasih atas pemberian benda-benda pusaka ini."
Kera itu menyeringai dan mengang-guk! Agaknya kera ini seperti mendapat firasat bahwa
memang bocah itu berjo-doh dengan benda-benda itu, ataukah memang dia telah menerima
pesan dari orang yang meninggalkan benda-benda itu agar kalau ada orang datang dan
mengambil benda-benda itu berarti te-lah berjodoh! Tidak ada yang tahu kare-na kera itu
hanya pandai meniru berpa-kaian, tidak pandai bicara!
Bun Beng mulai tekun membaca ki-tab kuno dan mempelajari isinya. Namun amat sukar
baginya untuk mengerti isi-nya karena memang ilmu silat yang di-ajarkan di dalam kitab itu
adalah ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya dan tak mungkin dapat dimengerti begitu saja
oleh Bun Beng yang masih belum ada pengalaman. Namun, karena pada dasarnya dia
memang rajin dan berhati keras, biarpun tidak mengerti, dia tetap membaca bahkan
menghafalkan huruf-huruf yang tertulis dalam kitab itu sam-pai hafal di luar kepala! Memang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
102 demi-kianlah cara orang jaman dahulu mem-pelajari kitab. Anak-anak semenjak me-ngenal
huruf diharuskan membaca kitab-kitab pelajaran Nabi Khong-hu-cu yang amat sukar
dimengerti anak kecil. Na-mun, anak-anak itu dengan rajin mengha-fal sehingga ada yang
sampai hafal di luar kepala akan semua ujar-ujar dalam kitab suci tanpa mengerti makna
yang sesungguhnya! Hal ini sama sekali bukan tidak ada faedahnya, karena di samping
memperkaya perbendaharaan kata-kata dan huruf-huruf yang banyak jumlahnya, juga
hafalan ayat-ayat itu kalau si anak sudah dewasa, perlahan-lahan akan dapat dimengertinya
dan yang terpenting diujudkan dalam praktek hidupnya.
Dua bulan kemudian, ketika Bun Beng sedang menyambung-nyambung ku-lit harimau dan
ujungnya ia ikat dengan tali pohon yang kuat, ia mendengar ka-wanan kera berteriak-teriak
di tepi te-bing yang curam. Dia tidak tertarik dan melanjutkan pekerjaannya. Bun Beng kini
sudah memakai pakaian, yaitu pakai-an yang dibawanya dari ruangan dekat sumber air
panas. Dia sedang mencoba untuk membuat sayap tiruan. Sudah la-ma ia bercita-cita
menuruni tebing yang amat curam itu, akan tetapi jangankan dia, bahkan kawanan kera itu
saja tidak ada yang berani menuruni tebing yang demikian terjalnya. Jalan satu-satunya
hanyalah "terbang" turun dan timbullah akalnya ketika ia menyaksikan burung-burung
dengan enaknya naik turun me-layang-layang di dekat tebing yang cu-ram. Kalau saja dia
dapat terbang melayang seperti burung-burung itu! Keingin-an inilah yang membuatnya pada
saat itu bekerja keras. Dia sudah mencoba dengan memegangi keempat ujung kulit harimau
meloncat dari atas pohon dan kulit harimau yang terbuka itu menahan peluncuran tubuhnya
sehingga ia dapat hinggap di atas tanah dengan lunak! Ki-ni ia hendak membuat "sayap"
yang be-sar dengan menyambung-nyambung kulit harimau dan mengikat keempat ujungnya
dengan tali yang kuat. Dengan "sayap" ini dia hendak memerikaa keadaan di bawah tebing
karena sering ia melihat bayangan-bayangan bergerak di bawah jauh sekali, seperti
bayangan manusia! Juga beberapa kali dia melihat burung besar sekali terbang ke bawah
tebing itu. Mungkin sekali dia akan dapat kem-bali ke dunia ramai kalau bisa menuruni tebing
itu. Adapun tebing-tebing yang lain semua buntu, merupakan jurang-jurang yang tiada
habisnya. Setelah sayap tiruan itu jadi dan mendengar kawanan kera itu makin ri-but, ia tertarik juga
den cepat ia meng-hampiri. Kera-kera itu melihat ke bawah sambil menunjuk-nunjuk. Bun
Beng juga memandang dan tampak olehnya jauh di bawah sana, banyak bayangan-
bayangan atau titik-titik yang bergerak-gerak. Ter-jadi perang di bawah sana! Dia tidak dapat
memandang tegas dan ia menduga-duga apakah mata kawanan kera itu da-pat memandang
lebih jelas"
Inilah saat untuk "terbang melayang" turun, pikirnya. Bergegas ia lalu meng-ambil kitab kuno
yang ia masukkan di balik bajunya, menyimpan pula sepasang pedang di balik baju di
punggung, kemu-dian ia mengikatkan tali tiga ujung ke pinggang dan memegangi tali ke
empat dengan tangan kiri.
Melihat Bun Beng mendekati tepi tebing membawa "sayap" aneh itu, kera-kera menjadi
bingung. Mereka itu lalu memekik-mekik katika Bun Beng tiba-tiba meloncat dari pinggir
tebing yang amat curamnya. Ada yang menutupi muka, ada yang menjerit-jerit akan tetapi
ada pula yang menari-nari! Bun Beng yang sudah nekat itu merasa beta-pa tubuhnya
meluncur ke bawah lalu tertahan, pinggangnya sakit karena tali-tali yang mengikat pinggang
menegang, akan tetapi dia girang sekali karena mendapat kenyataan betapa "sayap" di
atasnya mengembang!
"Selamat tinggal, kawan-kawanku yang baik!" Ia melambai ke atas dan melihat betapa kera-
kera baboon itu makin lama makin kecil sedangkan tubuhnya terus meluncur perlahan ke
bawah. Tiba-tiba "sayapnya" terguncang oleh angin. Celaka, pikirnya. Mudah-mudahan tidak
ada angin kencang yang akan menghancurkan "sayapnya" dan menghempaskan ke batu
karang yang menjadi dinding tebing cu-ram itu. Untung baginya, angin tidak kencang dan tak
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
103 lama kemudian ia su-dah dapat melihat orang-orang yang ber-ada di bawah. Dan
dugaannya ketika berada di atas tebing tadi ternyata tidak meleset. Dia melihat orang-orang
sedang bertempur di bawah itu. Dari atas ia melihat belasan orang laki-laki yang tampan dan
gagah, semua berpedang sedang sibuk menahan amukantiga orang yang rambutnya riap-
riapan dan bersen-jatakebutan . Ilmu silat tiga orang ini hebat buikan main sehingga biarpun
orang-orang gagah berpedang itu lebih be-sar jumlahnya, namun mereka terdesak hebat,
bahkan banyak yang sudah terlu-ka. Namun, dengan semangat gagah me-reka itu terus
mempertahankan diri. Se-orang di antara belasan orang gagah itu yang bertubuh tinggi, dan
yang tampak-nya paling lihai memutar pedang mena-han amukan seorang di antara tiga
lawan bersenjata kebutan yang lihai itu. Kebut-an di tangan Si Brewok yang rambutnya
panjang itu kecil saja, namun kakek yang usianya kurang lebih lima puluh tahun ini
menggerakkan kebutan secara istime-wa sehingga senjata kecil ini berubah menjadi sinar
putih bergulung-gulung yang mengancam tubuh orang gagah itu dari delapan penjuru! Tiba-
tiba orang tinggi itu berseru kaget ketika pedang-nya kena digulung kebutan dan teram-pas.
Pedang terlepas dari tangannya dan agaknya dia tidak dapat menghindarkan diri lagi dari
cengkeraman maut melalui kebutan. Pada saat itu, dia melihat tu-buh Bun Beng yang
melayang-layang tu-run, maka terdengarlah seruannya de-ngan wajah girang.
"Thai-song.... tolonglah kami....!"
Seruan ini disusul oleh pekik-pekik kegirangan dari orang-orang gagah yang sedang
terdesak dan Bun Beng mende-ngar teriakan-teriakan mereka.
"Cee-thian Thai-seng datang meno-long kita....!"
"Dewa kita Kauw Cee Thian datang!"
"Benar! Dia tentu penjelmaan Sun Go Kong....!"
Bun Beng terbelalak keheranan. Be-narkah mereka itu menganggap dia Kauw Cee Thian
atau Sun Go Kong, juga dise-but Cee-thian Thai-seng tokoh dongeng raja kera yang maha
sakti dalam dongeng See-yu-ki" Hampir ia tertawa bergelak, akan tetapi melihat wajah
mereka yang berseri penuh harapan dan melihat mere-ka dalam keadaan terancam itu tidak
mungkin main-main, timbul kenakalannya. Bun Beng yang mengerti bahwa tentu dia
disangka seorang "manusia bersayap" lalu mengeluarkan pekik melengking yang agaknya
terdengar amat nyaring oleh orang-orang di bawah itu. Tiga orang berambut panjang yang
riap-riapan itu memandang dan wajah mereka berubah pucat.
"Ihhh....! Siluman di siang hari....!" Mereka berseru kemudian mereka berke-lebat pergi
melarikan diri terbirit-birit karena ngeri dan takut melihat siluman terbang itu!
Setelah melihat tiga orang itu melarikan diri, baru sekarang Bun Beng melihat dengan hati
penuh kengerian beta-pa tubuhnya meluncur turun dan tanah di bawah seolah-olah mulut
raksasa be-sar yang akan mencaploknya. Saking nge-rinya, dia meneruskan jeritannya
meleng-king, akan tetapi sekali ini bukan jerit pura-pura untuk menakuti orang, melain-kan
jerit sungguh-sungguh. Untung ia masih ingat untuk mengembangkan ta-ngannya yang
memegang tali sehingga "sayap" itu terbuka lebih lebar, menam-pung hawa menahan
peluncuran tubuh-nya. Biarpun demikian, masih saja dia terbanting dan tentu dia akan
terluka kalau saja dia tldak cepat mengguling-kan tubuhnya sampai terguling-guling dan baru
dapat meloncat berdiri dengan ke-pala pening dan mata berkunang. Akan tetapi, ia tertegun
menyaksikan belasan orang gagah itu telah menjatuhkan diri berlutut menghadap
kepadanya, tidak berani mengangkat muka memandang!
Bun Beng mengerutkan alisnya. Gila-kah orang-orang ini" Ataukah dia yang sudah gila"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
104 "Hamba sekalian menghaturkan ba-nyak terima kasih, bukan saja karena pertolongan Thai-
seng, terutama sekali karena Paduka sudah sudi memperlihat-kan diri kepada hamba
sekalian."
Hampir saja Bun Beng tertawa kalau tidak melihat sikap mereka yang penuh kesungguhan.
Ia sukar untuk memperca-ya apa yang dilihatnya dan didengarnya. Mereka berjumlah
sembilan belas orang, tua muda, laki-laki semua dan rata-rata bersikap gagah. Mengapa
orang-orang gagah ini bersikap begini aneh dan menganggap dia sebagai penjelmaan Sun
Go Kong Si Raja Kera dalam dongeng See-yu"
"Cuwi sekalian telah saiaa sangka. Aku sungguh mati bukan; Sun Go Kong, metainkan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aecrcang anak bfasa she Gak bernama Bun Beng. Harap Cu-wi suka berdiri dan jangan
berlutut membuat aku merasa canggung dan malu saje."
Orang bertubuh tinggi yang bicara tadi, yang ternyata edalah pemimpin rombongan orang:
itu, mengangkat muka, demikian pula kawan-kawannya, meman-
dang kepada Bun Beng dengan sinar mata penuh keraguan dan agaknya tidak percaya
akan kata-kata Bun Beng sehing-ga mereka masih tetap berlutut.
Bun Beng menunduk dan memandang tubuhnya sendiri, lalu tertawa. Memang pakaiannya
amat aneh, dart kaln kuning yang tidak berlengan berkaki, hanya membungkus dari leher ke
paha, apa-lagi dia bersayep"! Sambil tertawa ia menanggalkan sayap tiruan itu dan
berkata, "Lihatlah baik-baik, Cu-wi. Aku ada-lah seorang anak biasa yang meloncat
dari atas sana menggunakan sayap tiru-an dari kulit harimaul Aku bernama Gak Bun Beng
dan siapakah Cu-wi" Berdiri-lah agar kita dapat bicara dengan- enak."Kini sembilan belas
orang itu bang-kit berdiri dan memandang Bun Beng
dengan penuh keheranan, kekaguman dan tidak percaya. Bagaimana mungkin mere-ka
dapat percaya bahwa anak itu adalah seorang anak biasa saja padahal mereka tadi
menyaksikan sendiri betapa anak itu muncul seperti seorang dewa dan
telah berhasil membuat tiga orang la-wan mereka lari tunggang langgang tan-pa melakukan
gerakan apa-apa" Akan tetapi setelah mereka memandang penuh perhatian, mereka mau
juga percaya akan keterangan Bun Beng dan mereka kini memandang. kagum sekali.
Biarpun, bukan Sun' Go Kong, anak ini adalah seorang anak luer biasa? dan telah
"me-nyelamatkan" nyawa mereka yang tadl terancam maut. Orang ttnggi besar ltu menjura
dan berkata, "Harap Siauw-enghiong (Pendekar Cl-lik) suka memaafkan kami yang salah menduga.
Betapapun juga karena engkau datang dari atas sana, kami yakin bah-wa engkau tentu
bukanlah seorang anak sembarangan, apalagi engkau telah me-nyelamatkan kami sembilan
belas orang saudara. Terimalah rasa syukur dan teri-ma kasih kami. Gak-enghiong, den
mu-dah-mudahan kami akan berkesempatan membalasnya."
Bun Beng menjadi malu melihat sikap orang-orang itu yang amat sopan dansungkan. Ia
balas menjura dan berkata,
"Harap Cu-wi jangan bersikap sungkan. Aku sama sekali tidak merasa telah me-nolong
kalian. Menghadapi tiga orang liar yang lihai itu, aku seorang bocah bisa berbuat apakah"
Hanya kebetulan saja kehadiranku mengejutkan dan menakutkan mereka. Siapakah mereka
itu dan menga-pa menyerang Cu-wi" Siapa pula Cu-wi yang tinggal di tempat sunyi ini?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
105 "Panjang ceritanya, Gak-inkong (Tu-an Penolong Gak). Karena engkau ada-lah seorarng
penolong, bagimu tidak ada yang dirahasiakan lagi. Akan tetapi ma-rilah kita bersama kami
ke tempat ting-gal kami agar kita dapet bicara dengan leluasa."
Bun Beng lalu neengikuti mereka me-nuju ke tempat tinggal mereka yang ternyata terdiri
dari guha-guha besar yang banyak terdapat di kaki guaung itu. Guha-guha itu mereka
jadikan tem-pat tinggal, juga sekaligas merupakan tempat perlindungan yang kuat karena
jalan masuk gua itu tertutup oleh pintu besi yang kokoh kuat.
Bun Beng mendapat penghormatan yang sungguh-sungguh dari sembilan be-las orang itu
agaknya menganggap hu-tang budi sebagai hal yang amat pen-ting. Anak ini sampai merasa
canggung dan tidak enak hati, akan tetapi dia terpaksa menerima keramahan mereka,
menerima dan memakai pakaian yang me-reka beri kemudian bersama mereka ma-kan
minum sambil mendengarkan penuturan Si Jangkung yang bernama Ciu Toan dan menjadi
pemimpin mereka itu. Ciu Toan yang menganggap Bun Beng seba-gai tuan penolong dan
penyelamat nya-wa mereka, menceritakan semua keada-an mereka, didengarkan oleh Bun
Beng dengan hati tertarik akan tetapi juga ter-heran-heran karena di dalam penuturan Ciu
Toan banyak terdapat hal yang aneh-aneh.
Sembilan belas orang gagah itu, bu-kanlah orang-orang sembarangan, melain-kan orang-
orang yang pernah menggem-parkan dalam perang terakhir melawan pemerintah Ceng yang
dikuasai oleh bangsa Mancu. Nama mereka amat terkenal sebagai pejuang-pejuang yang
gigih dan gagah perkasa, dan pada waktu itu, me-reka masih bergabung dalam sebuah
pa-sukan kecil yang terkenal dengan nama Pasukan Tiga Puluh Batang Pedang. Me-reka
dahulu berjumlah tiga puluh orang yang di antaranya adalah saudara-sauda-ra kandung,
saudara-saudara misan yang semua mengangkat saudara dan bersum-pah untuk bersama-
sama sekuat tenaga menentang penjajah Mancu. Akan tetapi, ketika pertahanan terakhir
terhadap ba-la tentara Mancu di Se-cuan hancur dan daerah ini jatuh pula ke tangan
Pemerin-tah Ceng, pasukan kecil yang terkenal gagah perkasa ini pun mengalami
kehan-curan. Dari jumlah tiga puluh orang ha-nya tinggal sembilan belas orang saja. Karena
tak dapat bertahan lagi mengha-dapi bala tentara Mancu yang amat be-sar dan kuat, mereka
terpaksa melari-kan diri. Sepak terjang mereka selama perlawanan menghadapi bala tentara
Ceng sedemikian hebat dan terkenalnya sehingga setelah daerah itu ditundukkan,
Pemerintah Ceng lalu mencari sisa-sisa Pasukan Tiga Puluh Batang Pedang ini.
Tentu saja untuk menangkap dan meng-hukum mereka yang telah mendatangkan kerugian
banyak terhadap pasukan-pasu-kan Mancu. Sembilan belas orang ini menjadi orang-orang
buruan yang terpak-sa menyembunyikan diri. Karena penge-jaran dan pencaharian
dilakukan oleh orang-orang pandai yang diutus oleh Ke-rajaan Mancu, maka sembilan belas
orang yang dipimpin Ciu Toan itu akhirnya bersembunyi di kaki gunung itu dan sudah hampir
dua tahun mereka tinggal di tempat itu.
"Cu-wi adalah orang-orang gagah per-kasa, mengapa tadi bersikap begitu aneh dan
menganggap aku sebagai Sun Go Kong?" Tanya Bun Beng yang merasa kagum sekali
terhadap orang-orang itu yang biarpun kalah perang tetap tidak mau tunduk kepada
pemerintah penjajah.
Ciu Toan menjadi merah mukanya, akan tetapi ia menjawab juga, "Kami.... kami menjadi
pemuja-pemuja Dewa Sun Go Kong setelah berada di sini, dan.... tadinya kami mengira
bahwa kembali be-liaulah yang telah menyelamatkan kami seperti yang terjadi dua tahun
yang lalu."
Bun Beng membelalakkan matanya. "Apa" Benarkah Cu-wi pernah diselamat-kan oleh....
oleh.... Raja Kera Sun Go Kong?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
106 Dengan alis berkerut dan wajah sung-guh-sungguh Ciu Toan berkata, "Memang sukar
dipercaya bagi yang tidak mengala-minya sendiri. Dewa Sun Go Kong diang-gap sebagai
tokoh dongeng, akan tetapi kami percaya bahwa beliau memang ada dan di puncak tebing
penuh rahasia itu-lah tempat pertapaannya. Kami sudah mengalaminya sendiri," Kemudian
Ciu Toan menceritakan pengalaman mereka dua tahun yang lalu, didengarkan oleh Bun
Beng dengan hati tertarik sekali.
Ketika sembilan belas orang buruan itu baru beberapa hari tinggal di situ dan sedang sibuk
membuat tempat ting-gal di guha-guha, pada suatu pagi mere-ka diserbu dan dikepung oleh
segerom-bolan perampok yang memang sebelum mereka datang menguasai daerah kaki
pegunungan itu. Jumlah para perampok ada lima puluh orang lebih dan terjadi-lah
pertempuran hebat yang mengancam keselamatan sembilan belas orang ini. Mereka
melakukan perlawanan gigih, karena keahlian mereka adalah berperang, sedangkan dalam
pertandingan perorang-an ilmu kepandaian mereka tidak terla-lu luar biasa, maka mereka
terdesak hebat oleh para perampok yang berte-kad membunuh semua orang yang mere-ka
anggap hendak merebut wilayah ke-kuasaan para perampok itu. Dalam kea-daan terdesak
dan banyak di antara me-reka telah terluka, tiba-tiba dari atas tebing menyambar batu-batu
kecil yang merobohkan para perampok itu. Anehnya, batu-batu kecil ini tidak mengenai para
bekas pejuang, dan yang mengenai tubuh para perampok tidak sampai membunuh mereka,
hanya tepat mengenai jalan darah yang membuat para perampok tergu-ling dan lumpuh
untuk sementara. Para perampok menjadi panik karena mereka diserang secara aneh oleh
lawan yang tidak dapat mereka lihat. Apalagi kalau mereka ingat bahwa dari tempat setinggi
itu sampai penyerangnya tidak tampak, orang dapat merobohkan mereka yang sedang
bergerak dan bertempur dengan kerikil-kerikil kecil yang mengenai jalan darah, dapat
dibayangkan betapa sakti-nya si penyambit batu-batu kecil! Karena jerih, para perampok
melarikan diri dan semenjak itu tidak berani lagi datang mengganggu para bekas pejuang.
Ciu Toan dan teman-temannya meng-obati luka yang mereka derita dan mere-ka pun
merasa heran sekali. Mereka mencoba untuk mendaki tebing karena merasa yakin bahwa di
puncak tebing tentu tinggal seorang sakti yang telah menolong mereka. Akan tetapi terpaksa
mereka mengurungkan niat ini karena tebing itu tidak mungkin didaki, terlalu terjal, tinggi dan
licin sekali. Mereka hanya berhasil mendaki sampai seperem-pat saja dan terpaksa
menghentikan usa-ha mereka. Akan tetapi, selagi mereka beristirahat dengan peluh
bercucuran, mereka melihat bayangan seperti bayang-an manusia berloncatan mendaki
tebing itu dengan kecepatan luar biasa sekali.
"In-kong (Tuan Penolong).... harap su-di menemui kami....!" Mereka berteriak-teriak, namun
bayangan itu sebentar sa-ja lenyap di puncak tebing. Kemudian terdengar suara dari atas,
lirih saja na-mun amat jelas terdengar oleh mereka.
"Turunlah kalian, tidak boleh naik ke sini!"
Karena memang mereka merasa ti-dak mungkin dapat mendaki tebing tanpa dilarang
sekalipun akan turun juga. Akan tetapi mereka makin penasaran karena terheran-heran
menyaksikan ba-yangan tadi. Seorang manusia, betapa pun pandainya, mana mungkin
mendaki tebing seperti itu secara cepat seperti terbang saja" Dan suara dari atas itu, seolah-
olah orangnya berbisik di dekat telinga mereka. Bukan manusia! Dewa agaknya, dewa
penjaga gunung yang te-lah menolong mereka. Dan selagi mere-ka menduga-duga sambil
bersiap-siap untuk menuruni lereng tebing yang sukar dan berbahaya itu, tiba-tiba seorang di
antara mereka berseru kaget sambil me-nuding ke puncak tebing. Mereka semua
memandang dan melihat seekor kera be-sar memakai pakaian pendeta duduk di pinggir
puncak tebing, di atas batu dan kera itu menggerak-gerakkan kedua ta-ngan seolah-olah
menyuruh mereka ce-pat turun!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
107 Ciu Toan dan saudara-saudaranya menjatuhkan diri berlutut karena mere-ka tidak
meragukan lagi bahwa kera be-sar itulah yang menolongnya. Dan siapa lagi kalau bukan
Sun Go Kong yang me-miliki kesaktian sehebat itu" Di dunia ini mana ada kera yang
berpakaian pen-deta yang sakti luar biasa dan yang da-pat mengeluarkan kata-kata seperti
ma-nusia" Kecuali Sun Go Kong!
Demikianlah, sejak saat itu, mereka memuja Sun Go Kong yang bertapa di puncak tebing
tinggi itu. Kepercayaan mereka makin menebal ketika tiga kali berturut-turut kawanan
perampok lain dan sekali pasukan pemerintah menyer-bu, mereka semua itu lari ketakutan
karena mereka roboh sebelum sempat menyerang, roboh oleh batu-batu kecil dan bahkan
pasukan Pemerintah Mancu roboh oleh suara melengking yang me-lumpuhkan mereka!
Kemudian, dari atas puncak tebing melayang sebuah benda yang ternyata adalah kitab-kitab
kecil berisi Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat (Il-mu Silat Kera Sakti) dan yang kini telah mereka
pelajari dan menjadi andalan mereka untuk menjaga diri!
"Demikianlah Gak-inkong, maka keti-ka engkau melayang turun secara aneh itu kami tidak
ragu-ragu lagi bahwa engkau tentu penjelmaan Dewa Sun Go Kong yang kembali menolong
kami. Sungguhpun kini ternyata bahwa engkau bukan dewa itu, namun kami tetap per-caya
bahwa Sun Go Kong berada di pun-cak tebing itu." Ciu Toan mengakhiri ceritanya yang
amat luar biasa itu.
"Bolehkah aku melihat kitab kecil itu?" Bun Beng bertanya.
"Tentu saja." jawab Ciu Toan yang lalu mengambil kitab itu. Bun Beng ha-nya melihat
tulisan pada halaman perta-ma yang berbunyi "Sin-kauw-kun-hoat" dan kini dia merasa yakin
bahwa tulisan itu sama dengan penulis kitab "Sam-po-cin-keng" yang dimilikinya. Dia
sekarang mengerti bahwa yang menolong para bekas pejuang ini adalah manusia sakti yang
tinggal di sumber air panas, dan agaknya yang tampak oleh mereka ada-lah kera tua yang
berpakaian pendeta dan yang sekarang, entah mengapa mungkin karena tuanya, telah
lumpuh! Akan tetapi, melihat kesungguhan mere-ka memuja Sun Go Kong, dia tidak mau
membuka rahasia itu dan diam saja.
"Dan tiga orang berambut riap-riap-an yang menyerang kalian itu siapakah?"
"Kami sendiri juga heran mengapa orang-orang itu dapat mencari kami," jawab Ciu Toan.
"Mereka adalah tiga orang dari Thian-liong-pang yang amat terkenal memiliki tokoh-tokoh
berilmu tinggi."
"Thian-liong-pang?" Bun Beng terke-jut dan teringat akan pengalamannya di muara Huang-
ho. Dia pun tahu betapa hebat orang-orang Thian-liong-pang. "Mengapa mereka datang
menyerbu" Apakah kalian bermusuhan dengan Thian-liong-pang?"
Ciu Toan menggeleng kepala. "Kami hanya memusuhi kaum penjajah. Akan tetapi hal itu
bukan berarti bahwa kami suka dipaksa mengabdi perkumpulan apa-pun juga. Mereka
datang seperti biasa mereka lakukan di dunia kang-ouw, ya-itu hendak menarik secara
paksa agar kami suka masuk menjadi anggauta Thian-liong-pang."
"Aneh sekali!" Bun Beng berkata.
"Memang Thian-liong-pang kini terke-nal sebagai perkumpulan yang kuat, me-miliki tokoh-
tokoh berilmu tinggi dan mempunyai kebiasaan aneh, yaitu suka memaksa orang-orang
kang-ouw menjadi anggauta mereka, bahkan kadang-kadang menculik ketua-ketua
perkumpulan lain yang dijadikan tamu secara terpaksa!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
108 "Sungguh luar biasa!" Kembali Bun Beng berkata, teringat akan wanita can-tik tokoh Thian-
liong-pang yang dijum-painya di muara Huang-ho itu.
"Betapapun aneh dan luar biasa, na-mun engkau lebih aneh lagi, Gak-inhong. Seorang
anak kecil bersikap seperti eng-kau, muncul secara luar biasa dari puncak tebing! Engkau....
engkau tentu.... ada hubungannya dengan Dewa Sun Go Kong, bukan?"
Bun Beng merasa serba salah. Kalau dia berterus terang bahwa di atas sana tidak ada
dewa tidak ada iblis yang ada hanyalah kera-kera tak berekor, kera baboon biasa saja,
hanya ada seekor kera yang biasa memakai pakaian, tentu ceri-ta ini akan merupakan
cemohan bagi kepercayaan mereka. Untuk membohong, dia pun tidak biasa karena orang-
orang ini demikian jujur dan gagah, bagaimana ia mampu membohong terhadap mereka dan
mengatakan dia benar-benar bertemu dengan tokoh khayal Sun Go Kong" Ber-terus terang
tidak tega, membohong pun tidak mau, habis bagaimana"
"Cu-wi-enghiong dan Cu-wi sekalian. Aku Gak Bun Beng adalah seorang anak yatim piatu
yang merantau tanpa tuju-an dan secara kebetulan saja berada di puncak tebing. Karena
aku tersesat jalan tidak tahu bagaimana harus turun, akhir-nya aku mendapatkan akal,
meniru burung membuat sayap tiruan dan dengan nekat melayang ke bawah sini."
Orang-orang itu memandangnya tak percaya. "Akan tetapi engkau membuat sayap tiruan
dari kulit harimau!"
Bun Beng tersenyum dan menjawab, "Aku mempunyai sedikit kepandaian un-tuk
merobohkan dan membunuh bebera-pa ekor harimau."
"Hebat...., hebat....! Inkong tentu mu-rid seorang sakti!" Mereka memandang kagum.
"Memang guruku sakti sayang beliau telah meninggal dunia." Bun Beng mena-rik napas
panjang, hatinya memang ber-duka kalau mengingat akan gurunya, ju-ga merasa sakit hati
atas kematian su-hunya yang amat mengerikan.
"Bolehkah kami mengetahui siapa Suhu Inkong yang mulia?"
"Mendiang Guruku adalah Siauw Lam Hwesio dari Siauw-lim-pai."
"Ajhhh....! Kiranya Inkong murid ka-kek yang sakti itu?" Orang-orang itu menjadi makin
kagum dan gembira seka-li dan sikap mereka terhadap Bun Beng makin menghormat. "Kami
mempersilakan Inkong tinggal di sini bersama kami. Dengan adanya Inkong di sini kami
me-rasa senang dan aman. Kami dua puluh lima orang....." Tiba-tiba Ciu Toan ber-henti
bicara dan mukanya berubah.
"Dua puluh lima orang?" Bun Beng mencela. "Kulihat hanya ada sembilan belas orang.
Mana yang enam orang lagi?"
Ciu Toan kelihatan bingung dan jelas bahwa dia telah terlanjur bicara tanpa disengaja.
"Kami.... kami tadinya.... bersi-sa dua puluh lima orang, akan tetapi sa-yang.... enam orang
telah meninggal du-nia di sini...." Ia pun terdiam dan wajah mereka semua kelihatan muram.
Biarpun masih kecil Bun Beng dapat menduga bahwa pasti ada rahasia di balik kema-tian
enam orang saudara mereka itu yang agaknya tidak akan mereka cerita-kan kepada orang
lain. Maka dia pun tidak mau mendesak lebih lanjut.
Bun Beng yang tidak tahu harus per-gi ke mana, menerima penawaran mere-ka dan dia
tinggal bersama mereka. Lebih senang tinggal dengan orang-orang ini daripada tinggal di
atas dan menjadi "seekor" di antara sekumpulan kera itu, pikirnya. Dia mendapatkan sebuah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
109 kamar di guha dan di situ dia menyimpan se-pasang pedang dan kitabnya. Setiap hari dia
membantu mereka mengerjakan sa-wah atau berburu binatang di sekitar hutan di kaki
gunung. Akan tetapi beberaga hari kemudian, sembilan belas orang itu berpamit kepa-da Bun Beng
untuk mencari "akar obat-obatan". Ketika Bun Beng menyatakan hendak membantu, mereka
menolak. "Ini adalah tugas pekerjaan kami yang amat penting dan tidak boleh kami minta
bantuan siapapun juga." kata Ciu Toan.
"Mengapa tidak boleh" Siapa yang tidak membolehkan" Dan akar obat-obatan apakah yang
kalian cari?"
Mereka saling pandang dan kembali Bun Beng terheran melihat wajah mere-ka muram dan
seperti orang ketakutan. "Maaf, Gak-inkong. Kami tidak dapat bercerita tentang ini. Harap
suka menung-gu di sini, kami hanya akan pergi sela-ma tiga hari."
Tanpa memberi kesempatan kepada Bun Beng untuk membantah lagi, pergi-lah kesembilan
belas orang itu, memba-wa sepuluh buah keranjang kosong. Dia terheran dan merasa
penasaran sekali, akan tetapi dengan sabar ia menanti. Se-telah pada hari ke tiga dia tidak
meli-hat mereka kembali, Bun Beng kehabis-an kesabarannya dan dia pun meninggal-kan
tempat itu, pergi menyusul ke arah hutan di mana dia melihat mereka pergi tiga hari yang
lalu. Hari masih pagi ke-tika Bun Beng berangkat dan tiba-tiba ia melihat seekor burung yang
besar sekali beterbangan di atas hutan di depan. Ia terbelalak memandang dan tadinya ia
mengira bahwa yang terbang itu tentulah burung garuda tunggangan Pendekar Silu-man.
Jantungnya berdebar tegang, juga girang karena berjumpa dengan Pende-kar Siluman
merupakan idam-idaman ha-tinya. Ia kagum dan tertarik sekali kepa-da pendekar kaki
buntung itu. Jantung-nya makin berdebar keras ketika ia me-lihat burung besar itu menukik
turun dan benar saja, di atas punggung burung besar duduk seorang manusia! Karena
ja-raknya jauh, dia tidak dapat mengenal orang yang menunggang burung itu, akan tetapi
siapa lagi di dunia ini yang memi-liki binatang tunggangan seekor burung besar kecuali


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Siluman"
Saking girangnya, lupalah Bun Beng akan niat hatinya semula menyusul sem-bilan belas
orang bekas pejuang dan ki-ni ia berlari-larian menuju ke arah hutan di mana burung itu
beterbangan di atas-nya, hutan yang agak gundul karena di situ banyak terdapat batu
gunung yang tinggi-tinggi.
Akan tetapi, setelah memasuki hutan dan tiba di dekat dinding gunung batu ia terkejut dan
merasa heran sekali. Kiranya sembilan belas orang itu berada di situ, kesemuanya berlutut
dan di depan mereka berjajar sepuluh buah ke-ranjang yang kini sudah terisi akar-akar dan
daun-daunan. Apa yang mereka laku-kan itu" Ciu Toan berlutut di deretan paling depan
dengan wajah ketakutan. Ketika ia mendengar bunyi kelepak sayap burung, ia memandang
ke atas dan melihat burung besar itu terbang rendah di atas pohon-pohon dan batu-batu.
Kini tampak jelas oleh Bun Beng bahwa bu-rung itu bukanlah garuda putih tunggang-an
Pendekar Siluman, bahkan tampak pu-la olehnya bahwa yang duduk di atas punggung
burung besar itu adalah se-orang anak laki-laki sebaya dengan dia, berwajah tampan dan
angkuh. Burung itu terbang rendah di atas sepuluh buah kerajang seolah-olah memberi
kesempat-an kepada penunggangnya untuk menje-nguk ke bawah karena ia terbang miring,
kemudian membubung lagi sambil me-nyambar dua buah keranjang dengan ke-dua
cakarnya, lalu terbang menghilang. Namun sembilan belas orang itu masih tetap berlutut dan
Bun Beng masih ber-sembunyi memandang dengan jantung berdebar tegang. Rahasia apa
pula ini" Tak lama kemudian, kembali bocah yang menunggang burung rajawali besar itu datang di
atas punggung burungnya, diikuti oleh tiga ekor burung rajawali besar lain. Empat ekor
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
110 burung itu menu-kik turun dan menyambar keranjang-keranjang terisi akar dan daun-
daunan, akan tetapi kini hanya tujuh buah keran-jang yang diterbangkan sedangkan sebu-ah
keranjang lagi yang isinya hanya se-dikit, hampir kosong, tidak diangkat per-gi.
"Kenapa hanya sembilan keranjang yang sebuah kosong?" Tiba-tiba terdengar bentakan
dari atas, suara yang angkuh dan galak dari anak laki-laki yang du-duk di atas punggung
rajawali. Sembilan belas orang itu menjadi pu-cat mukanya dan jelas tampak tubuh mereka gemetar.
"Maaf.... kami.... telah berusaha tiga hari tanpa henti mengumpulkan, akan te-tapi karena
setiap tiga bulan diambil te-rus, hasilnya makin kurang dan hanya mendapatkan sembilan
keranjang...."
"Bohong! Malas!" Anak di atas burung itu membentak, suaranya nyaring galak sehingga Bun
Beng yang mendengarnya menjadi gemas dan marah. "Kalian bera-ni menentang dan
membantah perintah kami" Tidak cukup murahkah nyawa ka-lian semua ditebus dengan
akar-akar dan daun-daun obat tiga bulan sekali" Siapa yang bertanggung jawab akan
ke-kurangan ini?"
Sembilan belas orang itu berlutut dengan tubuh gemetar dan mereka itu tak dapat
menjawab hanya menggumam-kan kata-kata mohon maaf.
"Diam semua!" Anak itu membentak dan mereka semua terdiam. "Siapa yang bertanggung
jawab" Ataukah semua bertanggung jawab dan siap menerima hukuman dari kami?"
Tiba-tiba Ciu Toan meloncat berdiri dan dengan sikap yang gagah ia mene-ngadah
memandang anak laki-laki di punggung burung rajawali sambil berka-ta nyaring, "Aku, Ciu
Toan, yang ber-tanggung jawab atas kekurangan ini, sau-dara-saudaraku tidak ada yang
bersalah, akulah yang siap menerima hukuman!"
Anak itu mengeluarkan suara ketawa mengejek. "Nah, kalau begitu, menunggu apalagi"
Apakah harus kami yang turun tangan menyuruh burung rajawali mero-bek-robek perutmu?"
"Tidak! Aku Ciu Toan bukan orang yang takut mati. Demi keselamatan sau-dara-saudaraku,
biarlah saat ini aku me-nerima hukuman!" Tiba-tiba Ciu Toan mencabut pedangnya dan
langsung menggorok leher sendiri!
"Ciu-twako....!" Bun Beng meloncat maju dan lari menghampiri dengan niat mencegah,
sedangkan para bekas peju-ang hanya berlutut sambil menangis. Namun terlambat. Tubuh
Ciu Toan ter-huyung dan roboh dengan leher hampir putus, tewas seketika!
"Keparat! Setan....!" Bun Beng menge-pal tinju dan memandang ke atas, akan tetapi bocah
di atas punggung rajawali itu tertawa, burungnya terbang tinggi dan dari jauh masih
terdengar gema su-ara ketawanya. Barulah orang-orang itu bergerak, menubruk dan
menangisi jenazah Ciu Toan.
"Kalian ini orang-orang gagah ma-cam apa" Mengapa tidak bangkit mela-wan bocah setan
yang menunggang bu-rung itu" Mengapa membiarkan Ciu-twako membunuh diri" Apa
artinya ini semua?" Bun Beng membanting-banting kakinya dengatn marah.
"Sssttt.... In-kong, harap jangan bicara di sini. Marilah kita pulang membawa jenazah Ciu-
twako dan nanti kami akan ceritakan semua." jawab seorang di anta-ra mereka dengan sikap
takut-takut. Biarpun Bun Beng marah dan hampir tak dapat menahan kesabarannya, namun
terpaksa dia menurut karena mereka itu tidak ada yang mau menjawab perta-nyaannya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
111 Jenazah Ciu Toan diangkut dan setelah dikebumikan dengan upacara se-kedarnya, Bun
Beng mendengar penutur-an delapan belas orang itu.
"Agaknya Dewa Sun Go Kong hanya menolong kami dari ancaman lain, akan tetapi tekanan
dari Majikan Pulau Nera-ka ini membuat kami tidak berdaya dan tidak ada yang mampu
menolong....." ka-ta mereka sambil menarik napas dengan muka berduka se
Peristiwa Burung Kenari 2 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Rahasia Peti Wasiat 4
^