Sepasang Pedang Iblis 7

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


embiraan dia membawa bunga itu dan berlari-lari mencari Bun Beng, membayangkan beta-pa
girangnya Bun Beng menerima pemberiannya, betapa anak laki-laki itu akan tersenyum
kepadanya, memandang dengan matanya yang tajam dan tentu akan ter-pancing kata-kata
pujian dari Bun Beng kepadanya. Dia tidak pernah merasa bo-san mendengar pujian-pujian
dari mulut Bun Beng. "Milana, engkau baik sekali! Milana engkau manis sekali!" dan
seba-gainya. Akan tetapi kegembiraannya mem-buyar seperti awan tipis ditiup angin ke-tika
tiba di tempat itu, dia melihat Kwi Hong dengan sikap mesra memberi minum Bun Beng!
Milana sendiri tidak mengerti me-ngapa dia harus kecewa. Dia bersahabat baik dengan Kwi
Hong yang dianggapnya seperti encinya sendiri, yang dianggap-nya sebagai seorang
saudara yang lebih tua darinya, lebih pandai dan dia pun ta-hu bahwa sebagai murid
Pendekar Silu-man, Kwi Hong memiliki kepandaian si-lat jauh lebih tinggi dari padanya,
bah-kan menurut pengakuan Bun Beng, jauh lebih tinggi daripada kepandaian Bun Beng!
Mengapa kini hatinya menjadi ke-cewa dan demikian tidak enak menyak-sikan sikap mesra
Kwi Hong kepada Bun Beng"
Bun Beng yang masih setengah mengan-tuk dan tadi menurut saja diberi minum, dengan
mata setengah terpejam, dapat melihat bayangan Milana yang pergi lagi sambil membuang
bunga setangkai di atas tanah. Matanya terbuka lebar me-mandang bunga itu dan dia lalu
sadar akan keadaan dirinya yang seperti anak kecil diberi minum.
"Terima kasih, Kwi Hong, biar kuminum sendiri," katanya sambil menerima cawan minuman
itu. Kwi Hong memberi-kan cawannya dan memandang dengan wajah berseri ketika Bun
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
169 Beng minum dan kelihatan nikmat. Tentu saja nikmat minum-minuman sedap hangat itu di
pa-gi hari. "Eh, mana dia tadi?" Kwi Hong bertanya sambil menengok.
"Siapa?" Bun Beng pura-pura bertanya.
"Milana! Aku mendengar dia datang tadi. Mana dia?"
"Ah, aku tidak melihat dia," kata Bun Beng sambil menutupi muka dengan cawan, meneguk
habis minumannya se-dangkan matanya melirik ke arah setangkai bunga yang terletak sunyi
di atas tanah. "Terima kasih, Kwi Hong. Engkau baik sekali." Bun Beng mengembalikan cawan kosong
yang diterima Kwi Hong dengan wajah girang. Memang itulah yang dinanti-nantinya. Untuk
menerima pujian Bun Beng itu, dia mau melakukan pekerjaan yang lebih berat daripada
membuatkan secawan minuman!
"Bun Beng, mulai sekarang, engkau tidak perlu mencari kayu bakar lagi."
"Ahh, mengapa?"
"Pedang pusaka itu sudah selesai! Paman tadi berpesan agar engkau tidak perlu
mengumpulkan kayu bakar lagi, akan tetapi pedang itu akan ditapai oleh Kakek Nayakavhira
beberapa hari lamanya. Paman telah pergi karena Kakek itu tidak mau diganggu, dan
Paman per-gi mencari sepasang garuda kami karena dipanggil-panggil tak kunjung datang."
"Dan kita....?"
"Kita harus menunggu di sini sampai Paman kembali. Eh, Bun Beng, setelah pedang
selesai, engkau tentu akan ikut Paman ke Pulau Es, bukan?"
Bun Beng berpikir sejenak. Alangkah akan senang hatinya kalau dapat pergi ke tempat
Pendekar Siluman dan menja-di muridnya. Akan tetapi ia teringat kepada Milana. Mana
mungkin dia me-ninggalkan Milana di tempat itu begitu saja" Dia ingin sekali pergi bersama
Pendekar Siluman, akan tetapi dia tidak boleh meninggalkan anak perempuan itu. Lebih dulu
dia harus mengantarkan Mila-na sampai dapat pulang ke tempat tinggalnya, yaitu di
Kerajaan Mongol.
"Aku harus mengantar Milana lebih dulu pulang ke Mongol," katanya.
Kwi Hong tertawa. "Apa sukarnya" Dengan adanya Paman dan dengan me-nunggang
garuda, sebentar saja kita akan dapat mengantar Milana. Eh, di mana anak, itu" Milana....!
Milana....!"
"Aku di sini....! Aku datang....!" terdengar jawaban Milana dan tampaklah anak itu datang
berlari menghampiri mereka. Wajahnya sudah cerah kembali karena panggilan suara Kwi
Hong sudah mengu-sir rasa kecewa hatinya.
"Milana, pedang telah selesai dibuat dan sekarang Bun Beng tidak perlu men-cari kayu
bakar lagi. Kita dapat bermain-main sambil menanti sampai Kakek itu selesai menapai
pedang pusaka. Biar kusimpan dulu cawan ini!" Kwi Hong berlari pergi membawa cawan
kosong. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
170 Bun Beng memakai bajunya, lalu mengambil setangkai bunga dari atas ta-nah, mencium
bunga yang indah itu sam-bil berkata, "Milana, terima kasih atas pemberian bunga ini.
Engkau sungguh seorang anak yang baik hati...."
Wajah Milana berseri kemudian ber-ubah merah ketika Bun Beng mendekatinya.
"Kalau sudah selesai, tentu engkau akan diajak pergi oleh Suma-taihiap." kata Milana
perlahan. "Engkau akan se-kaligus mendapatkan seorang sahabat yang manis seperti Kwi
Hong." "Ah, mana mungkin! Aku harus mengantarmu lebih dulu pulang ke Mo-ngol," jawab Bun
Beng tiba-tiba merasa kasihan kepada anak itu dan mendekati.
"Biarkanlah, aku capat mencari jalan pulang sendiri."
"Tidak Milana. Sebelum mengantar engkau pulang, aku tidak mau pergi me-ninggalkanmu
di sini. Pula, kurasa Suma--taihiap akan suka mengantarmu pulang dengan naik burung
garudanya. Setelah kau tiba dengan selamat di sana, baru-lah aku akan suka ikut dan
belajar ilmu kepadanya."
"Bun Beng, mengapa engkau begini baik kepadaku?" Milana bertanya, meng-angkat muka
memandang dengan hati terharu.
Bun Beng tersenyum. "Apa kaukira engkau kalah baik" Engkaulah yang ber-sikap amat baik
terhadap aku. Engkau keluarga istana raja, dan aku hanya se-orang anak sebatangkara
yang miskin, namun sikapmu baik sekali. Bagaimana aku tidak akan bersikap baik
kepadamu" Lupakah kau akan pelajaran tentang cin-ta kasih" Kalau engkau menganjurkan
cinta kasih antara manusia, agaknya ma-nusia seperti inilah yang paling pantas dicinta."
Percakapan mereka adalah percakapan kanak-kanak yang meniru-niru pela-jaran filsafat,
maka tentu saja "cinta" yang mereka sebut-sebut tidak ada hu-bungannya dengan cinta
antara laki-laki dan perempuan dewasa. Betapapun juga, ada sesuatu yang aneh terasa di
hati mereka. "Mengapa begitu, Bun Beng" Apa bedanya aku dengan orang lain?"
"Hemm, entahlah. Mungkin karena engkau.... manis sekali."
Milana makin girang dan ia tersenyum tidak tahu betapa Kwi Hong telah da-tang dan
melihat mereka berdiri berha-dapan demikian akrab dan melihat Bun Beng memegangi
setangkai bunga indah dan mereka tidak tahu betapa Kwi Hong yang keras hati itu
meman-dang dengan mata bersinar-sinar penuh iri dan cemburu! Kwi Hong sendiri be-lum
tahu tentang arti cinta antara pria dan wanita, namun tanpa disengaja dia merasa amat tidak
senang menyaksikan keakraban antara Bun Beng dan Milana!
Akan tetapi Kwi Hong menyembunyi-kan rasa tidak senangnya ketika ia berlari menghampiri
mereka dan berkata. "Nah, sekarang tiba waktunya kita ber-main-main dan marilah kita
memperlihat-kan ilmu yang kita pelajari. Aku ingin sekali melihat ilmu silatmu, Milana.
Agaknya engkau tentu telah mempela-jari ilmu silat yang tinggi. Gerakan ka-kimu amat
ringan dan tanganmu cekat-an. Marilah kita main-main dan mengu-kur kepandaian masing-
masing untuk me-nambah pengalaman dan pengetahuan."
"Ah, mana mungkin aku dapat me-nandingimu, Kwi Hong" Engkau adalah murid To-cu dari
Pulau Es yang terke-nal, Pendekar Super sakti, sedangkan aku hanya seorang yang sebulan
sekali saja menerima latihan dari Ibu. Dalam satu dua jurus saja aku tentu akan ro-boh!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
171 "Aihhh, mengapa kau merendahkan diri, Milana" Aku yakin kepandaianmu tentu sudah
cukup tinggi. Pula, kita ha-nya main-main dan hitung-hitung berla-tih, tidak bertanding
sungguh-sungguh, mana perlu saling merobohkan?"
"Kwi Hong, ilmu silat adalah ilmu untuk menjaga diri, ada unsur bertahan akan tetapi juga
selalu mengandung unsur menyerang. Kalau dipergunakan da-lam pertandingan, mana bisa
main-main lagi" Kepalan tangan dan tendangan ka-ki tidak mempunyai mata. Pula, selama
hidupku, belum pernah aku mengguna-kan ilmu yang kupelajari untuk bertan-ding. Tidak,
aku mengaku kalah!"
Kwi Hong menjadi kecewa sekali. Ti-dak ada seujung rambut dalam hatinya ingin
merobohkan atau melukai Milana, hanya memang dia ingin mengalahkan anak itu di depan
Bun Beng untuk menda-pat pujian! "Milana, untuk apa engkau mempelajari ilmu kalau kau
takut mempergunakan?" Ia mendesak.
Bun Beng yang sudah mengenal wa-tak halus Milana, merasa kasihan. Dia tidak
menyalahkan Kwi Hong, karena ia maklum bahwa orang yang mempelajari ilmu silat tentu
senang bertanding silat dan ia pun tahu bahwa bukan niat Kwi Hong untuk melukai Milana.
Tentu saja Kwi Hong belum mengenal watak Mila-na yang sama sekali berlawanan dengan
ilmu silat itu maka ia melangkah maju dan berkata,
"Kwi Hong, Milana tidak mau bertanding mengadu ilmu. Wataknya terlalu ha-lus untuk
bertanding. Kalau engkau ingin berlatih, marilah kulayani, biar terbuka mataku dan
bertambah pengetahuanku menerima pelajaran dari murid Suma--taihiap yang sakti."
Dalam ucapan ini, Bun Beng sama sekali tidak menyalahkan Kwi Hong, ha-nya ingin
menolong Milana yang kelihat-an terpojok. Akan tetapi, hati Kwi Hong tersinggung dengan
kata-kata bahwa wa-tak Milana terlalu halus, sama dengan mengatakan bahwa wataknya
adalah kasar! Dengan kedua pipi merah ia lalu menjawab singkat.
"Baiklah. Mari!" Setelah berkata demikian ia lalu menerjang maju dengan serangan ke arah
dada Bun Beng! Bun Beng cepat mengelak dan melompat ke belakang, akan tetapi gerak-an Kwi Hong amat
cepatnya dan anak ini sudah melanjutkan serangannya dengan pukulan lain yang amat
cepat. Bun Beng terkejut, tak sempat mengelak lagi ma-ka ia lalu menggerakkan tangan
menang-kis. "Dukk!" Kwi Hong merasa lengannya agak nyeri, akan tetapi Bun Beng terhuyung ke
belakang. Dalam hal tenaga sin-kang dia kalah kuat oleh Kwi Hong yang menerima latihan
sin-kang istimewa dari Suma Han di Pulau Es! Dan Kwi Hong yang merasa lengannya nyeri
itu menja-di penasaran mengira bahwa Bun Beng agaknya memiliki kepandaian tinggi ma-ka
dia lalu menyerang terus dengan gencar.
Bun Beng menggerakkan kaki tangan, mempertahankan diri dengan ilmu silat dari Siauw-
lim-pai yang ia pelajari dari mendiang suhunya, Siauw Lam Hwesio. Akan tetapi lewat
belasan jurus, dia ter-desak hebat dan setiap kali terpaksa menangkis, dia terpental atau
terhuyung. "Wah, Kwi Hong.... aku menyerah ka-lah!" Bun Beng berseru sambil menangkis lagi.
"Dukk!" Kembali Kwi Hong merasa lengannya nyeri. Biarpun sin-kangnya lebih kuat, namun
kulit lengannya tidak sekeras dan sekuat Bun Beng yang sela-ma setengah tahun hidup
seperti kera liar dalam keadaan telanjang bulat. Ia makin penasaran."Mengadu ilmu tidak
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
172 perlu mengalah. Bun Beng, keluarkan kepandaianmu, ba-laslah menyerang, jangan
mempertahan-kan saja!" Kwi Hong melanjutkan serang-annya lebih cepat lagi sehingga Bun
Beng menjadi repot sekali. Karena serangan bertubi-tubi itu amat cepat dan dahsyat,
terpaksa ia dalam keadaan setengah sa-dar, telah menggerakkan kaki tangannya
menurutkan ilmu dalam tiga kitab Sam--po-cin-keng. Dia menangkis dengan gerakan
membentuk lingkaran dengan kaki tangannya dan dari samping ia mengirim pukulan
balasan, hanya mendorong ke arah pundak Kwi Hong dan dia berhasil! Pundak Kwi Hong
terkena dorongannya sehingga anak perempuan itu terhuyung.
"Kau hebat juga!" Biarpun mulutnya memuji, namun hati Kwi Hong menjadi panas. Dia
menerjang lagi lebih hebat. Memang watak Kwi Hong keras dan tidak mau kalah. Dia
merasa bahwa seba-gai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti dia tidak akan
terkalahkan oleh anak-anak lain!
Bun Beng menjadi sibuk sekali. Biarpun dia mainkan ilmu silat yang dipela-jari dari kitab
orang sakti yang ia temu-kan di dalam sumber air panas di guha rahasia, namun isi kitab itu
lebih ia kua-sai teorinya saja, sedangkan isinya be-lum ia mengerti benar. Apalagi kini Kwi
Hong benar-benar mengeluarkan kepan-daiannya. Ilmu silat yang dia pelajari da-ri Suma
Han adalah ilmu silat tingkat tinggi dan anak ini setiap hari berlatih dengan para penghuni
Pulau Es maka tentu saja serangan-serangannya amat hebat!
"Plakkk!" Punggung Bun Beng kena ditampar. Dia terhuyung akan tetapi ber-kat semua
penderitaan tubuhnya yang membuat tubuhnya kuat, dia tidak roboh dan dapat menangkis
pukulan susulan. Kembali dia didesak hebat sampai mun-dur-mundur dan hanya mampu
mengelak menangkis, sedangkan Kwi Hong seperti seekor harimau betina mem-punyai
keinginan untuk merobohkan Bun Beng. Kalau sudah kalah, tentu Bun Beng tidak berani
merendahkannya dan akan menghargainya seperti yang ia inginkan!
"Kwi Hong, sudahlah....!" berkali-kali Milana menjerit ketika melihat betapa Bun Beng mulai
terkena pukulan bebera-pa kali. Biarpun bukan pukulan yang membahayakan, namun cukup
membuat Bun Beng beberapa kali terhuyung dan mengaduh. Tiba-tiba Bun Beng menerjang
dengan nekat! Sudah menjadi watak Bun Beng sebagai seorang anak yang ti-dak mengenal
takut dan pantang menye-rah! Apa lagi baru menerima pukulan-pukulan seperti itu, biarpun
diancam maut sekalipun dia pantang menyerah dan akan melakukan perlawanan. Dia sudah
mengalah, akan tetapi karena Kwi Hong agaknya bersikeras untuk meroboh-kannya, dia
menjadi naik darah dan kini Bun Beng menerjang hebat dengan ilmu barunya secara
sedapat-dapatnya. Biar-pun gerakannya seperti ngawur, namun kakinya berhasil mengenai
lutut Kwi Hong sehingga gadis cilik yang merasa kaki kirinya tiba-tiba lemas itu hampir jatuh!
Dia meloncat tinggi kemudian menukik turun dan menyerang Bun Beng dari atas dengan
kedua tangan. Bun Beng terkejut, berusaha menangkis, namun ha-nya berhasil menangkis
serangan tangan kanan sedangkan tangan kirinya dapat menotok pundak Bun Beng,
membuat pemuda cilik itu terguling.
"Kwi Hong, jangan lukai Bun Beng!" Tiba-tiba Milana yang sejak tadi ber-teriak-teriak
mencegah pertandingan, sudah menerjang maju.
"Wuuuut....! Plakkk!" Terjangan Mila-na cepat sekali, akan tetapi Kwi Hong masih sempat
menangkis sehingga kedua-nya terhuyung mundur.
"Hemm, kiranya engkau boleh juga!" Kwi Hong yang sudah menjadi marah karena menyesal
bahwa dia telah merobohkan Bun Beng dan tentu Bun Beng akan marah kepadanya,
sebaliknya suka kepada Milana yang membelanya, kini menyerang Milana yang cepat
mengelak dan balas menyerang! Kiranya anak yang berwatak halus ini memiliki gerak-an
yang indah dan ringan sekali sehing-ga pukulan-pukulan Kwi Hong dapat ia elakkan semua.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
173 Betapapun juga, dia se-gera terdesak hebat karena agaknya da-lam keringanan tubuh saja
dia dapat menandingi, sedangkan dalam ilmu silat dan tenaga, dia kalah banyak.
Biarpun Milana bergerak dengan ge-sit, tidak urung dia terkena dorongan ta-ngan Kwi Hong
yang mengenai pinggang-nya sehingga ia terpelanting jatuh.
"Kwi Hong, kau terlalu!" Bun Beng menubruk Kwi Hong, akan tetapi cepat Kwi Hong
mengelak menjatuhkan diri sambil menendang.
"Bukk!" Paha Bun Beng terkena tendangan dan untuk kedua kalinya dia ja-tuh tersungkur.
"Kwi Hong! Apa yang kaulakukan ini?" Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Suma
Han telah berada di situ. Melihat pamannya, seketika lenyap kemarahan dari hati Kwi Hong,
terganti rasa takut. "Paman, kami hanya main--main...."
"Main-main?" Suma Han memandang Bun Beng yang telah bangun dan menge-but-
ngebutkan pakaiannya yang kotor. Juga Milana telah bangun dan meman-dang dengan
wajah tenang. "Karena menganggur, kami berlatih silat." kata pula Kwi Hong.
"Hemm...." Suma Han tetap memandang Bun Beng dan Milana penuh seli-dik. Melihat sikap
pendekar itu dan me-lihat betapa Kwi Hong ketakutan, Bun Beng lalu cepat berkata.
"Kami hanya berlatih."
Milana juga berkata, "Kwi Hong ha-nya melatih saya, Suma-taihiap."
Suma Han mengerutkan keningnya, wa-jahnya yang biasanya sudah muram itu kini tampak
seolah-olah ada sesuatu yang mengesalkan hatinya. Tanpa menjawab ia lalu meloncat dan
tubuhnya berkele-bat memasuki pondok.
Kwi Hong memandang kepada Bun Beng dan Milana, kemudian dengan suara penuh
penyesalan berkata, "Maafkan aku, kalian baik sekali."
Tiba-tiba terdengar bunyi lengking keras dari dalam pondok dan tubuh Suma Han meloncat
keluar, tahu-tahu sudah tiba di dekat mereka bertiga, matanya mengeluarkan sinar marah
ketika ia me-negur.
"Kalian tidak melihat orang datang ke pondok?"
Tiga orang anak itu memandang Suma Han dengan heran, kemudian menggeleng kepala,
Suma Han menghela napas panjung. "Kalian hanya bermain-main sa-ja, sedangkan
sepasang garuda dibunuh orang dan pedang pusaka lenyap dari pondok."
Tiga orang anak itu terkejut bukan main, "Pek-eng dibunuh....?" Kwi Hong bertanya dan
suaranya terdengar bahwa dia menahan tangisnya.
"Mati terpanah. Tidak mudah kedua burung itu dipanah, tentu pemanahnya seorang yang
berilmu tinggi. Dan selagi kalian main-main, pedang pusaka dicuri orang."
"Kakek Nayakavhira....?" Tanya Milana.
"Dia telah meninggal dunia."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
174 "Ohh! Dia dibunuh?" Bun Beng berte-riak kaget.
Suma Han menggeleng kepala. "Dia mati selagi bersamadhi. Sungguh celaka, ada orang
berani mempermainkan aku secara keterlaluan. Kalian di sini saja, jangan main-main, bantu
aku pasang ma-ta, lihat-lihat kalau ada orang. Aku akan memperabukan jenazah
Nayakavhira." Suma Han lalu membakar pondok itu setelah menumpuk sisa kayu bakar ke
dalam pondok dan meletakkan jenazah kakek yang masih bersila itu di atasnya.
Pondok terbakar oleh api yang bernyala-nyala besar. Suma Han berdiri te-gak memandang,
dan tiga orang itu juga memandang dengan hati kecut. Sungguh tidak mereka sangka terjadi
hal-hal yang demikian hebat. Selain dua ekor burung garuda terbunuh orang, juga pedang
pusaka yang dibuat sedemikian susah pa-yah itu dicuri orang dari pondok tanpa mereka
ketahui sama sekali. Timbul pe-nyesalan besar di dalam hati Kwi Hong karena andaikata dia


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak memaksa Bun Beng dan Milana bertempur, tentu mereka lebih waspada dan dapat
meli-hat orang yang memasuki pondok dan mencuri pedang pusaka. Andaikata mere-ka
bertiga tidak dapat mencegah pencu-ri itu melarikan pedang, sedikitnya me-reka akan dapat
menceritakan pamannya bagaimana macamnya orang yang mencu-ri pedang. Sekarang
pedang tercuri tan-pa diketahui siapa pencurinya!
Keadaan di situ menjadi sunyi sekali karena Suma Han dan tiga orang anak itu tidak
bergerak, memandang pondok yang dibakar. Hanya suara api memba-kar kayu terdengar
jelas mengantar asap yang membubung tinggi ke atas. Tiba--tiba tiga orang anak terkejut
ketika mendengar suara ketawa melengking yang menggetarkan isi dada mereka.
Pantas-nya iblis sendiri yang mengeluarkan sua-ra seperti itu, yang datang dari timur seperti
terbawa angin, bergema di seki-tar daerah itu. Lebih kaget lagi hati mereka bertiga ketika
melihat tubuh Suma Han berkelebat cepat dan lenyap dari situ, meninggalkan suara
perlahan namun jelas terdengar oleh mereka. "Ka-lian tinggal di sini, jangan pergi!"
Selagi tiga orang itu bengong saling pandang dengan muka khawatir, tiba-tiba terdengar
suara tertawa halus dan berkelebat bayangan orang. Tahu-tahu di situ muncul seorang laki-
laki yang berwajah tampan, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian seperti siucai
dan di punggungnya tampak sebatang pedang. Melihat munculnya orang yang tertawa--tawa
ini, Bun Beng memandang penuh perhatian dan dia melihat sebatang pedang bersinar putih
tanpa gagang terse-lip di ikat pinggang orang itu. Anak yang cerdik ini segera dapat
menduga bahwa tentu orang ini mencuri pedang, dan pedang bersinar putih yang terselip
dan ditutupi jubah namun masih tampak se-dikit itu adalah pedang pusaka yang dicurinya.
"Engkau pencuri pedang!" Bentaknya marah dan tanpa mempedulikan sesuatu, Bun Beng
sudah menubruk ke depan. Akan tetapi sebuah tendangan tepat mendorong dadanya dan ia
roboh terjeng-kang.
"Ha-ha-ha! Memang aku yang mengam-bil pedang pusaka. Dan siapa di antara kalian
berdua yang menjadi murid pe-rempuan Pendekar Siluman?"
Kwi Hong yang mendengar pengakuan itu sudah menjadi marah sekali. Ini-lah orangnya
yang membikin kacau dan membikin marah gurunya atau pamannya, pikirnya. Ia bergerak
maju sambil mem-bentak,
"Aku adalah murid Pendekar Super Sakti! Maling hina, kembalikan pedang!"
Akan tetapi sambil tertawa-tawa, laki-laki tampan itu membiarkan Kwi Hong memukulnya
dan ketika kepalan tangan gadis cilik itu mengenai perutnya, Kwi Hong merasa seperti
memukul kapas saja. Ia terkejut, akan tetapi tiba-tiba lengannya sudah ditangkap, tubuhnya
di-kempit dan sambil tertawa laki-laki itu sudah meloncat dan lari pergi.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
175 "Tahan....!" Milana berseru dan meloncat ke depan, akan tetapi sekali orang itu
mengibaskan lengan kirinya, tubuk Milana terpelanting dan roboh terguling. Bun Beng sudah
bangkit lagi, tidak peduli akan kepeningan kepalanya dan dia mengejar secepat mungkin.
Namun, laki--laki itu berloncatan cepat sekali dan su-dah menghilang. Bun Beng teringat
akan suara ketawa dari arah timur tadi, ma-ka dia lalu mengejar ke timur.
Milana merangkak bangun, menggo-yang-goyang kepalanya yang pening. Ia mengangkat
muka memandang, akan te-tapi tidak tampak lagi laki-laki yang menculik Kwi Hong, juga
tidak tampak bayangan Bun Beng. Dia menduga tentu Bun Beng melakukan pengejaran,
maka dia pun meloncat bangun dan mengejar ke timur karena seperti Bun Beng, dia tadi
mendengar suara ketawa dari timur.
Tentu saja baik Bun Beng maupun Milana tertinggal jauh sekali oleh laki--laki yang menculik
Kwi Hong karena orang itu memiliki ilmu kepandaian ting-gi sehingga kedua orang anak itu
selain tertinggal juga masing-masing melaku-kan pengejaran secara ngawur tanpa
me-ngetahui ke mana larinya si penculik dan pencuri pedang itu.
Penculik berpakaian sasterawan itu bukan lain adalah Tan Ki atau Tan--siucai yang sudah
miring otaknya! Sete-lah berhasil membunuh Im-yang Seng-cu yang dipersalahkan karena
Im-yang Seng--cu tidak membalas dendam dan membu-nuh Pendekar Siluman, Tan-siucai
bersama gurunya yang aneh dan amat lihai itu lalu melanjutkan perjalanan mencari
Pendekar Siluman yang kabarnya menja-di To-cu Pulau Es. Secara kebetulan sekali, ketika
mereka berjalan di sepan-jang pesisir lautan utara untuk menyeli-diki di mana adanya Pulau
Es, pada sua-tu hari mereka melihat dua ekor burung garuda putih beterbangan.
"Guru, bukankah burung-burung itu adalah garuda putih yang amat besar--besar. Seperti
kita dengar, tunggangan Suma Han juga burung garuda putih. Sia-pa tahu burung-burung itu
adalah tunggangannya?" Kata Tan-siucai.
"Hemm, burung yang indah dan he-bat. Sebaiknya ditangkap!" Kata Mahar-ya memandang
kagum, kemudian ia mengambil sebuah batu sebesar geng-gaman tangan dan melontarkan
batu itu ke arah seekor daripada dua burung garu-da putih yang terbang rendah. Dua ekor
burung itu memang benar burung-burung peliharaan Suma Han yang ditinggalkan di tempat
itu ketika Kwi Hong hendak menonton kakek menunggang gajah. Ka-rena lama majikan
mereka tidak me-manggil, kedua burung garuda itu menja-di kesal dan beterbangan sambil
menyam-bari ikan yang berani mengambang di permukaan laut, juga mencari binatang-
-binatang kecil yang dapat mereka jadi-kan mangsa.
Lontaran batu dari tangan Maharya amat kuatnya sehingga batu itu melun-cur seperti peluru
ke arah burung garu-da betina. Burung ini sudah terlatih, melibat ada sinar menyambar ke
arahnya, ia lalu menangkis dengan cakarnya. Akan tetapi, biarpun batu itu hancur oleh
cakarnya, burung itu memekik kesa-kitan karena tenaga lontaran yang kuat itu membuat
kakinya terluka. Dia menja-di marah sekali, mengeluarkan lengking panjang sebagai tanda
marah dan me-nyambar turun ke bawah dengan kecepatan kilat, mencengkeram kepala
Ma-harya yang berani mengganggunya!
"Eh, burung jahanam!" Maharya me-nyumpah ketika terjangan itu membuat ia terkejut dan
hampir jatuh, sungguh-pun dia dapat mengelak dengan loncatan ke kiri.
"Tidak salah lagi, tentu tunggangan Pendekar Siluman!" Kata Tan-siucai. "Kalau burung liar
mana mungkin begitu lihai" Guru, kita bunuh saja burung-burung ini!" Setelah berkata
demikian, Tan Ki mengeluarkan sebatang panah, memasang pada sebuah gendewa kecil.
Menjepretlah tali gendewa dan sebatang anak panah meluncur dengan kecepatan kilat
menyambar burung garuda betina yang masih terbang rendah. Burung itu berusaha
mengelak dan menangkis dengan sayapnya, namun anak panah itu dilepas oleh tangan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
176 yang kuat sekali, menembus sayap dan menancap dada! Burung itu memekik dan melayang
jatuh, terbanting di atas tanah, berkelojotan dan mati!
Burung garuda jantan menjadi marah sekali, mengeluarkan pekik nyaring dan menyambar
ke bawah hendak menyerang Tan-siucai. Namun sambil tertawa, Tan Ki sudah melepas
sebatang anak panah lagi. Garuda ini pun mencengkeram, namun anak panah itu tetap saja
menem-bus dadanya dan burung ini pun roboh tewas! Dua ekor burung garuda yang terjatuh
kini tewas di tangan seorang berotak miring yang lihai sekali.
Tan-siucai dan gurunya kini merasa yakin bahwa tentu kedua ekor burung garuda itu adalah
binatang tunggangan Pendekar Siluman seperti yang mereka dengar diceritakan orang-
orang kang-ouw. Maka mereka berlaku hati-hati, menyelidiki daerah itu dan akhirnya dari
jauh mereka melihat pondok di mana menge-pul asap dan terdengar bunyi martil
ber-dencing. Mereka tidak berlaku sembrono, hanya mengintip dengan sabar dan da-pat
menduga bahwa Pendekar Siluman tentu berada di pondok itu, sedangkan seorang di antara
dua orang anak perempuan yang bermain-main di luar dengan seorang anak laki-laki
tentulah muridnya seperti yang dikabarkan orang.
Tadinya Tan-siucai hendak mengajak gurunya menyerbu dan membunuh musuh yang
dibencinya itu, yang dianggap te-lah merampas tunangannya. Akan tetapi ketika Maharya
mendapatkan bangkai gajah besar tak jauh dari tempat itu, dia menahan niat ini.
"Kalau tidak salah, gajah ini adalah binatang tunggangan kakakku Nayakavhira! Jangan-
jangan tua bangka itu pun ber-ada di dalam pondok bersama Pendekar Siluman. Aahhh,
tidak salah lagi, tentu dia. Dan suara berdencing itu. Tentu Si Tua Bangka membuatkan
pedang pusaka untuk Pendekar Siluman! Huh, dia selalu menentangku! Kalau aku tidak bisa
mem-bunuhnya, tentu dia akan mendahului aku merampas Sepasang Pedang Iblis! Kita
harus berhati-hati. Aku tidak takut menghadapi Pendekar Siluman kaki bun-tung yang
disohorkan orang itu. Akan tetapi tua bangka Nayakavhira itu lihai sekali dan terhadap dia
kita tidak dapat menggunakan ilmu sihir. Kita menanti saja dan kalau ada kesempatan baik,
baru kita menyerbu."
Ketika melihat Suma Han keluar da-ri pondok dan meninggalkan tiga orang anak, Maharya
lalu mengajak muridnya diam-diam, menggunakan kesempatan selagi tiga orang anak itu
bertempur untuk menyelundup ke dalam pondok. "Dia tentu sedang samadhi menapai
pe-dang, inilah kesempatan baik karena Pendekar Siluman sedang keluar. Kau ambil
pedangnya, biar aku yang mengha-dapi Nayakavhira!"
Akan tetapi, ketika mereka mema-suki pondok, mereka melihat bahwa Nayakavhira telah
mati dalam keadaan masih duduk bersila di pondok, di depan-nya menggeletak sebatang
pedang ber-sinar putih yang belum ada gagangnya. Tentu saja Maharya menjadi girang
seka-li dan Tan-siucai mengambil pedang pusaka itu. Diam-diam mereka keluar dari pondok
dan mengintai dari tempat persembunyian mereka. Mereka melihat Suma Han datang lagi
kemudian melihat Suma Han membakar pondok untuk memperabukan -jenazah
Nayakavhira. "Bagus! Sekarang biar aku memancing dia pergi, hendak kucoba sampai di mana
kepandaiannya. Kau menjaga di sini, kalau dia sudah pergi, kauculik mu-ridnya. Dengan
demikian, akan lebih mu-dah engkau membalas dendam."
Demikianlah, dari tempat jauh di sebelah timur Maharya mengeluarkan suara ketawa
sehingga memancing da-tangnya Suma Han, sedangkan Tan-siucai berhasil menculik Kwi
Hong! Pada hake-katnya, Tan-siucai bukanlah seorang yang jahat atau kejam. Akan tetapi
pada wak-tu itu, otaknya sudah miring karena den-damnya dan karena dia memaksa diri
mempelajari ilmu sihir dari Maharya. Maka dia pun tidak membunuh Bun Beng dan Milana,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
177 hal yang akan mudah dan dapat ia lakukan kalau dia berhati ke-jam. Dia mengempit tubuh
Kwi Hong sambil lari menyusul gurunya dan terke-keh mengerikan.
"Lepaskan aku! Keparat, lepaskan aku! Kalau tidak, Pamanku akan menghancurkan
kepalamu!"
"Heh-heh-heh, Pamanmu" Gurumu se-kalipun, Si Pendekar Buntung kakinya itu, tidak akan
mampu membunuhku, bahkan dia yang kini akan mampus di ta-ngan Guruku. Siapa
Pamanmu, heh?"
"Tolol! Pamanku ialah guruku Suma Han Pendekar Super Sakti, To-cu dari Pulau Es!
Lepaskan aku!"
Saking herannya bahwa anak perempuan itu bukan hanya murid, akan tetapi juga
keponakan musuh besar-nya, Tan-siucai melepaskan Kwi Hong dan memandang dengan
mata terbelalak. "Engkau keponakannya" Keponakan dari mana, heh?"
Kwi Hong mengira bahwa orang gila ini takut mendengar bahwa dia keponak-an gurunya,
maka dia berkata, "Guruku adalah adik kandung mendiang Ibuku."
Tan-siucai tertawa. "Ha-ha-ha-ha! Ke-betulan sekali! Dia telah membunuh ke-kasihku,
tunanganku, calon isteriku. Biar dia lihat bagaimana rasanya melihat keponakannya kubunuh
di depan matanya. Heh-heh-heh!"
Kwi Hong memandang marah. "Setan keparat! Engkau gila! Diriku tidak mem-bunuh siapa-
siapa dan jangan kira engkau akan dapat terlepas dari tangannya kalau kau berani
menggangguku!"
"Engkau mau lari" Heh-heh-heh, lari-lah kalau mampu. Lihat, api dari tangan-ku sudah
mengurungmu, bagaimana kau bisa lari?"
Kwi Hong memandang dan ia terpekik kaget melihat betapa kedua tangan yang
dikembangkan itu benar-benar mengelu-arkan api yang menyala-nyala dan mengurung di
sekelilingnya! "Setan.... engkau setan....!" Ia memaki akan tetapi hatinya merasa takut dan
ngeri. "Ha-ha-ha, hayo ikut bersamaku. Aku tidak mau terlambat melihat musuh be-sarku mati di
tangan Guruku!"
Tan-siucai menubruk hendak menang-kap Kwi Hong. Anak ini menjerit dan tanpa
mempedulikan api yang bernyala--nyala di sekelilingnya, ia meloncat me-nerjang api. Dan
terjadilah hal yang mengherankan hatinya. Ketika mener-jang, api itu tidak membakarnya,
bah-kan tidak ada lagi! Seolah-olah melihat api tadi hanya terjadi dalam mimpi! Ma-ka ia
berbesar hati lari terus.
"Hei-hei.... mau lari ke mana, heh?" Tan-siucai mengejar dan agaknya dalam kegilaannya ia
merasa senang memper-mainkan Kwi Hong, mengejar sambil menggertak menakut-nakuti,
tidak sege-ra menangkapnya, padahal kalau dia mau, tentu saja dia dapat menangkap
dengan mudah dan cepat. Lagaknya seperti se-ekor kucing yang hendak mempermain-kan
seekor tikus. Membiarkannya lari du-lu untuk kemudian ditangkap dan diga-nyangnya.
Tan-siucai hanya hendak menakut-nakuti saja karena anak itu adalah keponakan dan murid
musuh besarnya, tidak mempunyai maksud sedikit pun juga di hatinya untuk melakukan
sesuatu yang tidak baik. Mungkin dia akan benar-benar membunuh Kwi Hong di depan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
178 Suma Han, namun hal itu pun akan dilakukan semata-mata untuk menyakiti hati mu-suh
besar yang telah merampas dan dianggap membunuh kekasihnya!
"Heh-heh-heh, mau lari ke mana kau?" Sekali meloncat, tiba-tiba tubuh-nya melesat ke
depan dan sambil terta-wa-tawa ia telah tiba menghadang di depan Kwi Hong!
"Ihhhhh!" Kwi Hong menjerit kaget penuh kengerian, akan tetapi dia tidak takut dan
menghantam perut orang itu.
"Cessss!" Tangannya mengenai perut yang lunak seolah-olah tenaganya amblas ke dalam
air, maka Kwi Hong lalu mem-balikkan tubuh dan melarikan diri ke lain jurusan.
"Heh-heh-heh, larilah yang cepat, larilah kuda cilik, lari! Ha-ha-ha!" Tan-siucai tertawa-tawa
dan mengejar lagi dari belakang. Berkali-kali ia mempermainkan Kwi Hong dengan loncat
mengha-dang di depan anak itu.
Ketika ia sudah merasa puas mem-permainkan sehingga Kwi Hong mulai terengah-engah
kelelahan, tiba-tiba Tan-siucai tersentak kaget karena tampak bayangan berkelebat dan
tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang wanita yang mukanya berkerudung
menyeram-kan! Biarpun Tan-siucai kini telah menjadi seorang yang berkepandaian tinggi, na-mun
kemiringan otaknya membuat dia kadang-kadang seperti kanak-kanak. Be-gitu melihat
munculnya seorang wanita berkerudung, agaknya ia teringat akan cerita-cerita yang
dibacanya tentang setan-setan dan iblis, maka mukanya berubah pucat dan ia membalikkan
tubuh-nya melarikan diri sambil menjerit, "Ada setan....!"
"Aduhhh....!" Ia menjerit dan tubuh-nya terpental karena pinggulnya telah ditendang dari
belakang. Kini wanita berkerudung itulah yang keheranan. Ten-dangannya tadi disertai sin-
kang yang ku-at, yang akan meremukkan batu karang dan orang di dunia kang-ouw jarang
ada yang sanggup menerima tendangannya itu tanpa menderita luka berat atau bah-kan
mati. Akan tetapi orang gila itu hanya menjerit tanpa menderita luka sedikit pun. Bahkan
kakinya merasakan pinggul yang lunak seperti karet busa!
"Eh, kau.... kau bukan setan" Kakimu menginjak tanah, terang bukan setan! Ke-parat, kau
berani menendang aku" Tung-gu ya, aku akan menangkap dulu anak itu!" Tan-siucai
melangkah hendak me-nangkap lengan Kwi Hong yang masih berdiri terengah-engah dan
juga memandang wanita berkerudung itu dengan ma-ta terbelalak.
"Jangan ganggu dia!" Tiba-tiba wanita itu membentak, suaranya merdu namun dingin dan
mengandung getaran kuat.
Tan-siucai sadar bahwa wanita ini agaknya memang sengaja hendak menen-tangnya maka
ia membusungkan dada dan menudingkan telunjuknya. "Aihh, ki-ranya engkau hendak
menentangku, ya" Sungguh berani mati. Engkau tidak tahu aku siapa" Awas, kalau aku
sudah ma-rah, tidak peduli lagi apakah engkau wa-nita atau pria, berkerudung atau tidak,
sekali bergerak aku akan mencabut nya-wamu!"
Wanita berkerudung itu mendengus penuh hinaan, "Siapa takut padamu" Ten-tu saja aku
tahu engkau siapa. Engkau adalah seorang yang tidak waras, berotak miring yang menakut-
nakuti seorang anak perempuan. Kalau aku tidak ingat bah-wa engkau adalah seorang gila,
apakah kaukira tidak sudah tadi-tadi kupukul kau sampai mampus" Nah, pergilah. Aku
memaafkanmu karena engkau gila dan tinggalkan anak ini."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
179 Tan-siucai sudah lenyap kegilaannya dan ia marah sekali. "Engkau yang gila! Engkau
perempuan lancang, hendak mencampuri urusan orang lain dan eng-kau memakai kerudung
penutup muka. Hayo buka kerudungmu dan lekas minta ampun kepadaku!"
"Agaknya selain gila, engkau pun su-dah bosan hidup. Nah, mampuslah!" Tiba-tiba wanita
berkerudung itu menerjang maju dengan cepat sekali, tahu-tahu tangannya sudah mengirim
totokan maut ke arah ulu hati Tan-siucai. Tan-siucai telah memiliki ilmu kepandaian tinggi,
namun dia terkejut sekali karena mak-lum bahwa totokan itu dapat membunuh-nya dan
bahwa gerakan wanita itu sela-in cepat seperti kilat juga mengandung sin-kang yang luar
biasa! Dia tidak bera-ni main-main lagi, tahu bahwa lawannya adalah seorang pandai, maka
cepat ia menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga.
"Desss!" Tubuh Tan-siucai terguling saking hebatnya benturan tenaga itu dan ia cepat
meloncat bangun sambil mengi-rim serangan balasan penuh marah.
"Hemm, kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian!" Wanita berkerudung itu berseru dan
menyambut pukulan Tan-siucai dengan sambaran tangan ke arah pergelangan lawan. Tan-
siucai tidak mau lengannya ditangkap maka ia menghenti-kan pukulannya dan tiba-tiba
kakinya menendang, sebuah tendangan yang men-datangkan angin keras mengarah pusar
lawan. "Wuuuttt!" Wanita itu miringkan tu-buh membiarkan tendangan lewat dan secepat kilat
kakinya mendorong bela-kang kaki yang sedang menendang itu. Gerakan ini amat aneh dan
Tan-siucai tak dapat mengelak lagi. Kakinya yang luput menendang itu terdorong ke atas,
membawa tubuhnya sehingga ia terlem-par ke atas seperti dilontarkan.
"Aiiihhh....!" Tan-siucai berteriak akan tetapi wanita itu kagum juga me-nyaksikan betapa
lawannya yang gila itu ternyata memiliki gin-kang yang tinggi sehingga mampu berjungkir
balik di uda-ra dan turun ke tanah dengan keadaan kakinya tegak berdiri.
Adapun Tan-siucai yang makin kaget dan heran menyaksikan gerakan wanita berkerudung
itu, teringat akan sesuatu dan membentak, "Aku mendengar bah-wa Ketua Thian-liong-pang
adalah...."
"Akulah Ketua Thian-liong-pang!" Wa-nita itu memotong dan menerjang lagi, gerakannya
cepat sekali sehingga sukar diikuti pandang mata dan Tan-siucai terpaksa meloncat mundur


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kaget. "Singggg....!" Tampak sinar hitam ber-kelebat dan tahu-tahu tangan Tan-siucai telah
mencabut pedang hitamnya, tam-pak sinar hitam bergulung-gulung dengan dahsyatnya.
Diam-diam Ketua Thian-liong-pang itu kaget dan heran. Bagaimana tiba-tiba muncul
seorang siucai gila seperti ini padahal di dunia kang-ouw tidak per-nah terdengar namanya.
Namun dia ti-dak gentar sedikitpun juga. Dia maklum bahwa tingkat kepandaian siucai
tampan yang gila ini amat tinggi, akan tetapi tidak terlampau tinggi. Maka ia pun
menghadapinya dengan kedua tangan kosong saja. Tubuhnya berkelebatan menyelinap di
antara sinar pedang hitam dan mengirim pukulan sin-kang bertubi-tubi sehingga hawa
pukulan itu saja cukup membuat Tan-siucai terhuyung mundur dan kacau permainan
pedangnya! Ketika dengan rasa penasaran ia membabat kedua kaki wanita itu, Ketua Thian-
liong-pang mencelat ke atas, ujung kakinya menen-dang tenggorokan lawan, Tan-siucai
mi-ringkan kepala dengan kaget sekali.
"Aduhhh....!" Ia menjerit dan roboh terguling-guling, tulang pundaknya yang tersentuh ujung
sepatu wanita terasa hendak copot, nyeri sampai menusuk ke jantung rasanya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
180 "Pangcu dari Thian-liong-pang, lihat baik-baik siapa aku! Engkau takut dan lemas,
berlututlah!" tiba-tiba Tan-siucai menuding dengan pedangnya, melakukan ilmu hitamnya,
untuk menguasai sema-ngat dan pikiran lawannya melalui ge-rakan, suara dan pandang
matanya. Namun, Ketua Thian-liodg-pang itu me-makai kerudung di depan mukanya
sehingga tidak dapat dikuasai oleh pandang matanya, adapun suaranya yang mengan-dung
getaran khi-kang hebat itu masih kalah kuat oleh sin-kang lawan. Kini wanita itu tertawa
merdu, ketawa yang bukan sembarang ketawa karena suara ketawanya digerakkan dengan
sin-kang dari pusar sehingga membawa getaran yang amat kuat. Gelombang getaran ini
menyentuh hati Tan-siucai sehingga dia ikut pula tertawa bergelak di luar ke-mauannya.
Mendengar suara ketawanya sendiri, Tan-siucai terkejut dan cepat ia menindas rasa ingin
ketawa itu, pe-dangnya membacok dari atas!
"Manusia berbahaya perlu dibasmi!" Tiba-tiba Ketua Thian-liorg-pang itu ber-kata dan
tangan kirinya bergerak dari atas, ketika pedang itu tiba ia menjepit pedang dari atas dengan
jari tangannya yang ditekuk! Bukan main hebatnya ilmu ini yang tentu saja hanya mampu
dilaku-kan oleh orang yang kepandaiannya sudah tinggi sekali dan sin-kangnya sudah amat
kuat. Tan-siucai terkejut, berusaha me-narik pedang namun pedang itu seperti dijepit oleh
tang baja dan sama sekali tidak mampu ia gerakkan. Saat itu Ketua Thian-liong-pang sudah
menyodokkan jari-jari tangan kanannya ke arah perut Tan-siucai yang kalau mengenai
sasaran tentu akan mengoyak kulit perut!
"Aiihhhh....!" Tiba-tiba Ketua Thian-liong-pang itu memekik, pekik seorang wanita yang
terkejut dan ngeri, kemudi-an tubuhnya meloncat jauh ke belakang, sepasang mata di balik
kerudung itu terbelalak.
Tan-siucai yang tadinya sudah hilang harapan dan maklum bahwa dia teran-cam bahaya
maut, menjadi kaget dan girang sekali melihat wanita sakti itu meloncat mundur, tidak jadi
membunuh-nya. Saking girangnya, gilanya kumat dan ia meloncat pergi sambil tertawa-
tawa, "Ha-ha-ha, engkau tidak tega membunuhku, ha-ha-ha!"
Ketua itu masih bengong dan mem-biarkan Si Gila pergi. Tentu saja dia tadi meloncat ke
belakang bukan karena tidak tega membunuh Tan-siucai, mela-inkan ketika tangannya
hampir mengenai perut lawan, tiba-tiba ada sinar putih yang luar biasa keluar dari balik jubah
bagian perut. Sinar putih ini mengandung hawa mujijat sehingga mengagetkan Ke-tua Thian-
liong-pang yang maklum bahwa sinar yang mengandung hawa seperti itu hanyalah dimiliki
sebuah pusaka yang maha ampuh!
"Sayang engkau melepaskan Si Gila itu," Kwi Hong berkata ketika melihat Tan-siucai
menghilang. Ketua Thian-liong-pang itu agaknya baru sadar akan kehadiran Kwi Hong. Dia menoleh dan
memandang anak itu, di dalam hatinya merasa suka dan ka-gum. Anak yang bertulang baik,
berhati keras dan penuh keberanian.
"Sudah cukup kalau engkau terbebas darinya," ia berkata. "Anak, engkau sia-pakah dan
mengapa engkau ditangkap Si Gila?"
"Aku tidak tahu dengan orang apa aku bicara. Apakah engkau tidak mau membuka
kerudungmu sehingga aku da-pat memanggilmu dengan tepat?" Kwi Hong bertanya,
memandang muka berke-rudung itu dan diam-diam ia kagum ka-rena dia sudah mendengar
akan nama besar Thian-liong-pang dan tadi pun sudah menyaksikan sendiri kelihatan
wani-ta ini sehingga timbul keinginan untuk melihat bagaimana kalau wanita ini ber-tanding
melawan pamannya!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
181 Wanita itu menggeleng kepala. "Tidak seorang pun boleh melihat mukaku, ke-cuali....
kecuali.... yah, tak perlu kau tahu. Sebut saja aku Bibi. Engkau siapa-kah?"
"Bibi yang perkasa, aku adalah Giam Kwi Hong, murid dan juga keponakan dari To-cu Pulau
Es." "Pendekar Siluman....!" Wanita berke-rudung itu bertanya, jelas kelihatan ter-kejut bukan
main. Besar rasa hati Kwi Hong. Semua orang mengenal pamannya, mengenal dan takut.
Agaknya wanita perkasa ini tidak terkecuali, maka ia menjadi bangga, tersenyum dan
mengang-guk. "Benar, dan Si Gila itu tadi sengaja menculikku karena dia memusuhi Paman Suma Han.
Katanya Pamanku membunuh kekasihnya, tunangannya. Kurasa dia bohong karena dia gila.
Kalau saja Pa-man tidak dipancing pergi, mana dia mampu menculikku?"
"Di mana Pamanmu sekarang" Apa yang terjadi?"
"Paman sedang membuat pedang pu-saka bersama kakek yang bernama Naya-kavhira.
Pedang sudah jadi dan karena Kakek itu hendak menapai pedang, Pa-man pergi untuk
mencari garuda kami. Paman datang dan mengatakan bahwa se-pasang garuda dibunuh
orang, kemudian ternyata bahwa pedang pusaka itu lenyap. Baru tadi kuketahui bahwa
pedang yang baru jadi diambil oleh Si Gila. Maka sayang tadi kaulepaskan dia, seharusnya
pedang itu dirampas dulu, Bibi."
"Ahhhh....!" Ketua Thian-liong-pang itu kagum bukan main. Kiranya benar dugaannya. Si
Gila itu menyelipkan seba-tang pedang pusaka yang amat ampuh di pinggangnya. Dia
menyesal mengapa ta-di tidak mengejar dan merampas pedang itu.
"Ketika Paman membakar pondok untuk memperabukan jenazah Nayakavhira yang
kedapatan sudah mati tua di pondok, ada suara ketawa. Paman cepat pergi mencari dan
tiba-tiba muncul Si Gila itu, dan aku diculik....."
"Hemm.... kalau begitu Pamanmu tidak jauh dari sini. Mari kuantar engkau me-nyusulnya."
Tanpa menanti jawaban, wa-nita itu memegang lengan Kwi Hong dan anak ini kagum bukan
main. Kembali dia membandingkan wanita ini dengan pa-mannya, karena digandeng dan
dibawa lari seperti terbang seperti sekarang ini hanya pernah ia alami ketika dia diba-wa lari
pamannya. Tiba-tiba wanita itu berhenti dan me-nuding ke depan. Kwi Hong memandang dan terbelalak
heran menyaksikan pa-mannya itu sedang duduk bersila di atas tanah, tongkatnya melintang
di atas ka-ki tunggal, kedua tangannya dengan ta-ngan terbuka dilonjorkan, matanya
terpe-jam dan dari kepalanya keluar uap putih yang tebal! Adapun kira-kira sepuluh me-ter di
depannya tampak seorang kakek bersorban seperti Nayakavhira, hanya be-danya kalau
Kakek Nayakavhira berkulit putih, orang ini berkulit hitam arang, memakai anting-anting di
telinga, hidungnya seperti paruh kakatua, jenggotnya panjang dan dia pun bersila seperti
Suma Han dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada dan matanya melo-tot lebar,
juga dari kepalanya keluar uap tebal. Baik Suma Han maupun kakek hitam itu sama sekali
tidak bergerak se-olah-olah mereka telah menjadi dua bu-ah arca batu!
"Paman....!" Tiba-tiba mulut Kwi Hong didekap tangan Ketua Thian-liong-pang yang berbisik.
"Anak bodoh, tidak tahukah engkau bahwa Pamanmu sedang bertempur mati-matian
melawan kakek sakti itu" Mere-ka mengadu sihir dan kalau engkau mengganggu Pamanmu,
dia bisa celaka. Kau tunggu saja di sini sampai pertem-puran selesai, baru boleh mendekati
Pamanmu. Aku mau pergi!" Setelah berka-ta demikian, sekali berkelebat, Ketua Thian-liong-
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
182 pang itu lenyap dari belakang Kwi Hong yang tidak mempedulikannya lagi karena
perhatiannya tertumpah ke-pada pamannya.
Kwi Hong sama sekali tidak tahu bahwa sebelum dia tiba di tempat itu, Bun Beng telah lebih
dulu melihat per-tandingan yang amat luar biasa itu, ber-sembunyi di tempat lain dan
memandang dengan napas tertahan dan mata terbe-lalak. Dibandingkan dengan Kwi Hong,
dia jauh lebih terheran karena apa yang dilihatnya tidaklah sama dengan apa yang dilihat
Kwi Hong! Kalau Kwi Hong ha-nya melihat pamannya duduk bersila melonjorkan kedua
lengan ke depan mengha-dapi kakek hitam yang bersila dan merangkapkan tangan depan
dada, Bun Beng melihat betapa di antara kedua orang sakti yang duduk bersila tak bergerak
seperti arca itu terdapat seorang Suma Han ke dua yang sedang bertanding dengan
hebatnya melawan seorang kakek hitam ke dua pula, seolah-olah bayangan mereka yang
sedang bertanding!
Mengapa bisa begitu" Mengapa kalau Kwi Hong tidak melihat ada yang bertanding" Karena
dia baru saja tiba sehingga dia tidak dikuasai pengaruh mujijat seperti yang dialami Bun
Beng. Ketika Bun Beng berlari secepatnya mengejar Tan-siucai yang menculik Kwi Hong
secara ngawur ke timur karena dia sudah tertinggal jauh sehingga penculik itu ti-dak tampak
bayangannya lagi dan na-pasnya mulai memburu, dia melihat Su-ma Han sedang bertanding
melawan se-orang kakek hitam. Pertandingan yang amat hebat dan cepat sekali sehingga
pandang mata Bun Beng menjadi kabur dan kepalanya pening. Dia melihat beta-pa tubuh
Pendekar Siluman itu mencelat ke sana ke mari sedangkan tubuh kakek hitam itu berputaran
seperti sebuah gasing. Begitu cepat pertandingan itu se-hingga dia tidak dapat mengikuti
dengan pandang matanya. Dia tidak berani mem-perlihatkan diri biarpun ketika melihat
Suma Han dia menjadi girang sekali dan ingin menceritakan tentang Kwi Hong yang diculik
orang. Menyaksikan pertan-dingan yang hebat itu dia lupa segala, lupa akan Kwi Hong yang
diculik orang dan ia menonton sambil bersembunyi de-ngan mata terbelalak.
Tiba-tiba kakek itu terlempar sam-pai sepuluh meter jauhnya dan terdengar kakek itu
berkata, "Pendekar Siluman, engkau hebat sekali. Tetapi aku masih belum kalah. Lihat ini!"
Kakek itu lalu duduk bersila, merangkapkan kedua ta-ngan depan dada sambil
mengeluarkan bunyi menggereng hebat sekali dan.... hampir Bun Beng berseru kaget ketika
melihat betapa dari kepala kakek itu mengepul uap kehitaman tebal dan mun-cul seorang
kakek ke dua, persis seperti seorang kakek itu sendiri!
"Maharya, engkau hendak mengadu kekuatan batin" Baik, aku sanggup mela-yanimu!" Kata
Suma Han yang segera duduk bersila dan juga dari kepalanya mengepul uap putih yang
tebal dan dari uap ini terbentuklah seorang Suma Han kedua yang bergerak maju
menghadapi "bayangan" kakek hitam, kemudian kedua bayangan itu bertanding dengan
hebat! Suma Han melonjorkan kedua tangan ke depan dan gerakan bayangannya menjadi
makin cepat dan kuat! Bun Beng yang terkena getaran pengaruh mujijat, dapat melihat
kedua bayangan yang bertanding itu, yang tidak dapat tampak oleh Kwi Hong yang baru
tiba. Bun Beng yang dapat menyaksikan pertandingan aneh itu, dengan mata ter-belalak dan
muka pucat menonton. Ia melihat gerakan bayangan kakek itu aneh, berloncatan menyerang
bayangan Suma Han dengan jari-jari tangannya. Kedua tangan hanya menggunakan dua
buah jari, telunjuk dan tengah, untuk menusuk-nusuk dengan cepat sekali, sedangkan kedua
ka-kinya berloncatan seperti gerakan kaki katak. Terdengar bunyi angin bercuitan ketika
kedua tangannya menusuk-nusuk. Namun gerakan bayangan Suma Han yang tidak
bertongkat itu tetap tenang biarpun cepatnya membuat mata Bun Beng sukar mengikutinya.
Bayangan Pen-dekar Super Sakti ini mencelat ke sana-sini menghindarkan semua tusukan
jari tangan lawan, bahkan membalas dengan pukulan kedua tangan yang mendatang-kan
angin sehingga kain panjang lebar yang menjadi pakaian kakek hitam, hanya dibelitkan,
berkibar oleh angin pukulan itu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
183 Tubuh kedua bayangan itu seolah-olah tidak menginjak tanah, kadang-kadang keduanya
membubung tinggi dan bertan-ding di udara, kemudian turun lagi ke atas tanah. Bun Beng
yang menonton pertandingan itu menjadi bingung, sukar mengikuti gerakan kedua bayangan
itu sehingga dia tidak tahu siapa yang men-desak dan siapa yang terdesak. Hanya dia
melihat Suma Han yang bersila itu masih duduk tenang tak bergerak sedikit juga, kedua
mata dipejamkan. Sedangkan kakek hitam yang bersila itu matanya makin melotot mukanya
mulai berpeluh dan kedua tangan yang dirangkapkan di depan dada itu bergoyang menggigil
se-dikit. Dan biarpun ada pertempuran yang demikian hebatnya, tidak terdengar suara
sedikit pun juga. Keadaan sunyi sekali, sama sunyinya seperti yang dirasakan Kwi Hong
yang hanya melihat dua orang sakti itu duduk bersila berhadapan tanpa bergerak. Baik Kwi
Hong maupun Bun Beng yang masing-masing bersembunyi di tempat terpisah dan tidak
saling melihat, merasa khawatir karena saking sunyinya, mereka itu hanya mendengar suara
pernapasan mereka sendiri yang tertahan-tahan!
Sementara itu, mereka yang saling bertanding mengadu kesaktian mengerah-kan seluruh
kekuatan batin untuk meng-himpit lawan. Diam-diam Maharya terke-jut bukan main. Kalau
tadi, ketika ia memancing Pendekar Siluman ke tempat itu kemudian ia tantang dan serang,
da-lam pertandingan silat dia terdesak bah-kan sampai terdorong dan terlempar ja-uh, dia
tidak menjadi penasaran karena memang dia sudah mendengar berita bahwa Pendekar
Siluman memiliki ilmu silat yang luar biasa dan tenaga sin-kang yang dahsyat. Maka dia lalu
mengambil cara lain, yaitu menghadapi lawannya dengan ilmu sihir dan ia merasa yakin
pasti akan dapat menang. Dia terkenal di negaranya sebagai seorang ahli sihir yang
tangguh. Akan tetapi, betapa ka-getnya ketika ia melihat Pendekar Silu-man menandinginya
dengan ilmu yang sama, bahkan kini ia merasa betapa kekuatan batinnya terdesak hebat!
Kakek ini merasa penasaran sekali. Dalam hal mengadu kekuatan raga, dia tidak pernah
menemui tanding, apalagi dalam mengadu kekuatan batin. Kini, berhadapan dengan
seorang lawan muda yang patut menjadi cucunya, dia selalu tertindih kalah lahir batin!
Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan itu dan dengan geram ia menggerakkan
mu-lut yang tertutup kumis itu berkemak-kemik, mengerahkan segala kekuatannya dan
pandang mata yang melotot itu se-olah-olah mengeluarkan api!
Bun Beng yang kebetulan memandang kakek yang duduk bersila itu hampir berteriak kaget
melihat betapa sepasang mata kakek itu seperti mengeluarkan api! Dia cepat menengok ke
arah Suma Han dan melihat betapa pendekar itu ke-lihatan mengerutkan alis, tidak tenang
seperti tadi, dan kedua lengannya yang dilonjorkan itu tergetar seolah-olah hen-dak
menambah tenaga yang keluar dari sepasang telapak tangannya.
Memang Suma Han juga terkejut se-kali ketika tiba-tiba ia merasa betapa kekuatan kakek
lawannya itu menjadi berlipat! Hawa panas menyerangnya se-hingga ia cepat mengerahkan
inti sari dari Swat-im Sin-kang. Setelah kedua te-naga panas dan dingin itu saling dorong-
mendorong, akhirnya dia merasa betapa hawa panas berkurang. Keningnya tidak berkerut
lagi, akan tetapi tampak bebe-rapa tetes keringat membasahi dahi Su-ma Han. Benar-benar
hebat lawannya itu, pikirnya. Belum pernah selama hi-dupnya dia bertemu dengan seorang
la-wan sehebat Kakek Maharya ini! Kalau dalam hal ilmu silat dia hanya memang sedikit
saja, dalam hal ilmu yang didasari kekuatan batin, dia tidak berani menga-takan lebih kuat!
Hanya yang mengun-tungkan dirinya, kekuatan batin yang di-milikinya adalah pembawaan
dirinya, dibentuk oleh kekuatan alam dan dima-tangkan dengan ilmu sin-kang dan pela-jaran
yang ia terima menurut petunjuk Koai-lojin. Sedangkan kekuatan batin kakek lawannya itu
dikuasainya oleh la-tihan-latihan yang puluhan tahun lama-nya. Betapapun hebat usaha
manusia, mana mampu menandingi kekuatan dan kekuasaan alam" Maka dalam
pertanding-an ini, Suma Han yang mengandalkan te-naga batin dari kekuasaan alam, sukar
untuk dikalahkan oleh kakek yang telah menjadi datuk dalam ilmu sihir itu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
184 Tiba-tiba terdengar suara bercuitan dan tampak tiga sinar putih yang menyilaukan mata
menyambar ke arah tubuh kakek hitam itu, menyambar muka di antara mata, ulu hati dan
pusar! "Eigghhhh....!" Kakek itu mengeluar-kan suara menggereng seperti harimau, tangannya
yang tadinya dirangkap di de-pan dada bergerak dan mulutnya terbuka. Bun Beng terbelalak
menyaksikan betapa kakek itu telah menangkap tiga sinar itu yang ternyata adalah tiga
batang pi-sau, ditangkap dengan kedua tangan, sedangkan yang menyambar muka telah
digigitnya! Bayangan kakek yang bertan-ding melawan bayangan Suma Han telah lenyap
masuk kembali ke kepala kakek itu, demikian pula bayangan Suma Han telah lenyap. Sekali
menggerakkan tubuh, kakek itu sudah meloncat berdiri dan tampak tiga sinar menyambar ke
arah kirinya ketika ia melontarkan tiga ba-tang pisau itu ke arah dari mana da-tangnya pisau-
pisau tadi. Kemudian ia meloncat jauh dan lenyap, hanya terde-ngar suaranya.
"Pendekar Siluman! Lain kali kita lanjutkan!"
Sunyi keadaan di situ setelah kakek itu menghilang. Suma Han bangkit berdi-ri bersandar
kepada tongkatnya, meno-leh ke arah dari mana datangnya pisau-pisau tadi dan berkata,
suaranya dingin dan penuh wibawa seperti orang marah.
"Siapa yang telah berani lancang tu-run tangan tanpa diminta?"
Daun bunga bergerak dan muncullah seorang wanita amat cantik jelita dari balik rumpun,
berdiri di depan Suma Han tanpa berkata-kata. Keduanya sa-ling pandang dan berseru,
suaranya menggetar penuh perasaan,
"Nirahai....!"
"Han Han....!"
Keduanya berdiri saling pandang dan sungguhpun dalam suara mereka terkan-dung
kerinduan yang mendalam, namun keduanya hanya saling pandang dan dari kedua mata
wanita cantik itu menetes air mata berlinang-linang.
"Han Han, bertahun-tahun aku menan-ti akan tetapi engkau tidak kunjung da-tang
menyusulku. Sampai kapankah aku harus menanti" Sampai dunia kiamat" Han Han, aku
isterimu!"
"Nirahai, engkau.... telah pergi me-ninggalkan aku, membuat hatiku mera-na...."
"Memang aku pergi, akan tetapi eng-kau tidak melarang!"
"Aku.... ah, aku tidak ingin memaksa-mu.... aku.... ahh...."
"Han Han, engkau laki-laki lemah! Engkau suami yang hanya tunduk dan mengekor kepada
isteri, engkau pria yang tidak tahu isi hati wanita. Engkau.... ahh, sakit hatiku melihatmu....!"
"Nirahai....!" Suma Han melangkah maju dan merangkul wanita itu. Nirahai tersedu dan
menyembunyikan muka di dada suaminya, membiarkan Suma Han mengelus rambutnya,
"Nirahai, aku cinta padamu. Demi Tuhan, aku cinta padamu.... akan tetapi karena engkau
mempu-nyai cita-cita, aku merelakan engkau pergi...."


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ibuuuu....!" Terdengar teriakan girang dan muncullah Milana berlarian. Mende-ngar teriakan
ini, Nirahai melepaskan pelukan Suma Han dan menyambut Milana dengan tangan terbuka,
lalu memon-dong anak itu dan menciuminya penuh kegirangan, "Milana....! Anakku....! Ahhh,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
185 sukur engkau selamat. Betapa gelisah ha-tiku mendengar laporan Pamanmu tentang
malapetaka di laut itu!"
Suma Han memandang dengan wajah pucat sekali. "Milana!" Dia membentak, suaranya
mengguntur, mengagetkan Kwi Hong dan Bun Beng di tempat persembunyian masing-
masing di mana kedua orang anak ini tertegun menyaksikan adegan pertemuan antara
Suma Han dan isterinya yang tidak mereka sangka-sangka itu. "Engkau perempuan rendah,
isteri tidak setia! Engkau meninggalkan aku dan tahu-tahu telah mempunyai se-orang anak!
Ahhh, betapa menyesal ha-tiku telah mentaati perintah mendiang Subo....!" Setelah berkata
demikian dengan pandang mata penuh jijik dan kebencian, Suma Han membalikkan
tubuhnya dan pergi berjalan terpincang-pincang me-ninggalkan Nirahai. Nirahai menjadi
pu-cat, terbelalak dan menurunkan Milana yang berdiri memeluk pinggang ibunya dan
bertanya. "Ibu....! Dia siapa...." Mengapa To-cu Pulau Es itu marah-marah kepadamu?"
Nirahai menangis mengguguk. "Dia.... dia Ayahmu...." Suaranya gemetar dan ia menutupi
mukanya dengan kedua ta-ngan, menangis tersedu-sedu.
Milana cepat menoleh, kemudian lari meninggalkan ibunya, mengejar Suma Han sambil
menjerit. "Ayaaahhh....! Ayah....!"
Mendengar jeritan anak itu, cepat Suma Han membalik, mengira bahwa dia tentu akan
melihat munculnya laki-laki yang menjadi ayah dari anak Nirahai itu. Akan tetapi, ia menjadi
bingung dan terheran-heran ketika melihat anak itu mengejarnya, kemudian menjatuhkan diri
berlutut dan memeluk kakinya sambil menangis dan memanggil-manggil. "Ayaahh....
ayaahku....!"
Suma Han terbelalak memandang bo-cah yang menangis memeluki kaki tung-galnya,
kemudian mengangkat muka memandang Nirahai yang masih menangis tersedu-sedu
menutupi muka dengan ke-dua tangan sambil berlutut di atas ta-nah.
"Heh....! Apa....! Bagaimana...." Eng-kau.... anak siapa....?"
"Ayah.... engkau Ayahku.... aku anak Ayah dan Ibu....." Milana mengangkat muka.
Tubuh Suma Han menggigil dan ia menyambar tubuh Milana, diangkat dan dipondongnya.
"Anakku" Engkau.... anak-ku....?" Ia menciumi muka bocah itu. Milana tertawa dengan air
mata bercu-curan, merangkul leher pendekar yang dikagumi dan yang dirindukan itu.
Suma Han berpincang melangkah ke depan Nirahai. "Nirahai.... benarkah ini" Dia.... dia
ini.... anakku....?"
Nirahai mengangguk, mengusap air matanya. "Ketika kita saling berpisah.... aku
mengandung dan.... terlahirlah Mila-na.... anak kita...."
"Nirahai, engkau kejam, engkau tidak adil. Diam-diam saja engkau memeliha-ra anak kita
sampai begini besar. Tidak memberitahukan kepadaku, tidak menyu-sulku. Betapa kejam
engkau." Nirahai meloncat bangun, pandang ma-tanya penuh penasaran. "Siapa yang ke-jam"
Engkaulah yang kejam, lemah dan canggung! Engkau tidak pernah menca-riku, tidak pernah
menyusulku ke Mongol!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
186 Melihat ayah bundanya cekcok, Mila-na yang berada di pondongan ayahnya itu berkata.
"Ayah, marilah engkau ikut bersama kami...."
"Dan menjadi seorang Pangeran Mo-ngol" Ha-ha, nanti dulu! Aku tidak sudi! Semestinya
ibumu yang ikut bersamaku ke Pulau Es. Nirahai, maukah engkau?"
Akan tetapi Nirahai memandang de-ngan muka merah dan berapi. "Tidak sudi! Kini aku
tidak mau menyembah-nyembah minta kaubawa. Dan hanya de-ngan paksaan saja engkau
akan dapat membawaku ke sana. Dengan paksaan, kau dengar" Aku sudah cukup
menderita dan sakit hati karena kaubiarkan, seolah-olah aku bukan isterimu. Engkau laki-laki
lemah! Milana, mari kita pergi!"
"Tidak boleh, Nirahai. Milana ini anakku. Sudah terlalu lama dia kaupeli-hara sendiri, terlalu
lama kaupisahkan dari Ayahnya. Aku akan membawa dia, tak peduli engkau suka ikut atau
tidak!" "Ayah....! Aku tidak mau meninggal-kan Ibu!" Milana merosot turun dari pon-dongan dan
hendak lari kepada ibunya. Akan tetapi Suma Han mendengus ma-rah, lengan kanannya
menyambar tubuh Milana, dikempitnya dan dia lalu pergi dengan cepat meninggalkan
Nirahai. "Han Han....!" Nirahai menjerit dan mengejar. Namun Suma Han tidak pedu-li, wajahnya
keruh, matanya hampir ter-pejam, kaki tunggalnya melangkah terus ke depan.
"Lepaskan aku! Ayahhhh.... aku tidak mau meninggalkan Ibu....!" Milana men-jerit-jerit. Akan
tetapi Suma Han terus saja melangkah tanpa mempedulikan jerit anaknya.
Tiba-tiba Bun Beng meloncat dan menghadang di depan Suma Han, berdiri tegak dan
suaranya nyaring penuh rasa penasaran, "Suma-taihiap! Seorang pen-dekar seperti Taihiap
tidak boleh berla-ku begini! Memisahkan anak dari ibunya adalah perbuatan jahat! Kalau
Taihiap berkepandaian, mengapa tidak memba-wa Ibunya sekalian?"
Suma Han terbelalak, mukanya ber-ubah merah saking marahnya. "Gak Bun Beng! Engkau
anak tidak syah dari da-tuk kaum sesat Kang-touw-kwi Gak Liat, berani engkau bersikap
seperti ini kepadaku! Sebelum menutup mata, Ibumu berpesan kepadaku untuk
menyelamatkanmu, dan sekarang engkau mengatakan aku jahat?"
Jantung Bun Beng seperti ditusuk-tusuk mendengar ucapan ini. Ayahnya seorang datuk
kaum sesat" Dia anak tidak syah" Tidak ada ucapan yang le-bih menyakiti hatinya dari pada
ini dan tidak ada kenyataan yang akan lebih menghancurkan hatinya. Namun kekerasan hati
Bun Beng membuat ia tetap ber-diri tegak dan berkata,
"Keturunan orang macam apa adanya aku, Suma-taihiap, tetap saja aku mela-rang engkau
memisahkan Milana dari Ibunya! Biar akan kaubunuh aku siap!" Sikap Bun Beng gagah
sekali biarpun kedua matanya kini mengalirkan butiran-butiran air mata.
"Han Han....! Kaubunuh aku dulu sebe-lum melarikan anakku!" Nirahai telah meloncat
menghadang pula di depan Su-ma Han, mencabut sebatang pedang siap untuk mengadu
nyawa! Juga kedua mata wanita cantik ini bercucuran air mata.
"Paman....!" Kwi Hong yang sejak ta-di memandang dengan tubuh gemetar saking tegang
hatinya, kini berani melon-cat keluar dan menghampiri Suma Han, berlutut sambil menangis.
"Ayah.... aku tidak mau berpisah dari Ibu....!" Milana yang masih dikempit oleh lengan
ayahnya itu pun meratap sambil menangis.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
187 Suma Han berdiri seperti berubah menjadi arca. Suara isak tangis menusuk-nusuk
telinganya terus ke hati, linangan air mata seperti butiran-butiran mutiara itu mempesonanya.
Kekuatan batin dan kekerasan hatinya mencair, seperti salju tertimpa sinar matahari.
Tidak ada suara bagi manusia di du-nia ini melebihi kekuasaan suara tangis! Tangis adalah
suara jeritan hati dan ji-wa. Tangis adalah suara pertama yang dikenal dan suara pertama
yang keluar dari mulut manusia. Tangis merupakan suara pertama dari manusia tanpa
dipelajarinya. Begitu terlahir, suara perta-ma dari manusia adalah tangis. Tangis merupakan
suara langsung dari dalam sehingga setiap orang anak yang terlahir di segenap penjuru
dunia mempunyai suara tangis yang sama. Tangis adalah satu-satunya suara yang mampu
menem-bus jantung dan menyentuh batin manusia, juga dengan ratap tangis orang
berusaha menghubungkan diri dengan Tuhan!
Lemas seluruh urat syaraf di tubuh Suma Han mendengar isak tangis empat orang manusia
itu. Tubuh Milana dilepaskan dan anak ini berlari kepada ibunya, merangkul dan menangis.
Nirahai lalu memondong puterinya, memandang kepa-da Suma Han dan berkata,
"Selama engkau masih menjadi se-orang laki-laki yang berwatak lemah, aku tidak akan sudi
turut bersamamu bahkan aku akan mengimbangi kerajaan-mu di Pulau Es!" Setelah berkata
demi-kian, Nirahai meloncat dan berlari ce-pat sekali, sebentar saja lenyap dari situ.
Suma Han menundukkan mukanya. Untuk ke dua kalinya dia terpukul. Per-tama kali ketika
bertemu dengan Lulu yang kini menjadi Majikan Pulau Neraka. Dia dicela dan dimarahi. Kini,
bertemu dengan isterinya, Nirahai, kembali dia dicela dan dimusuhi. Benar-benar dia tidak
mengerti isi hati wanita!
"Kwi Hong, kita pulang!" Dia berka-ta, menggandeng tangan Kwi Hong dan berlari pergi
cepat. Bun Beng menjadi bengong. Dia tidak menyesal ditinggal seorang diri, akan te-tapi dia
masih merasa sakit hatinya mendengar ucapan Suma Han tadi. Masih terngiang di telinga
kata-kata pendekar yang tadinya amat dikaguminya itu, "Engkau anak tidak syah dari datuk
ka-um sesat Kang-thouw-kwi Gak Liat!"
Bun Beng menunduk, mencari-cari jawaban ke bawah akan tetapi rumput dan tanah yang
diinjaknya tidak dapat memberi jawaban. Ayahnya seorang datuk kaum sesat" Dan dia anak
tidak syah" Apa artinya ini"
"Ah, mengapa aku menjadi lemah begi-ni" Apa peduliku tentang asal-usulku" Aku adalah
seorang manusia, dan aku menjadi mausia bukan atas kehendakku! Aku sudah ada dan aku
harus bangga dengan keadaanku, harus berjuang mem-pertahankan keadaanku dan
menyempurnakan keadaanku! Mereka itu pun hanya manusia-manusia yang ternyata bukan
terbebas daripada derita, bukan bersih daripada cacad! Kekalahanku dari orang-orang sakti
seperti Pendekar Siluman, isterinya, pencuri pedang, dan kakek-kakek sakti seperti
mendiang Nayakavhira dan Maharya tadi hanyalah kalah pandai dalam penguasaan ilmu!
Akan tetapi ilmu dapat dipelajari! Mereka semua itu, dahulu sebelum mempelajari ilmu pun
tidak bisa apa-apa seperti dia! Dan dia masih muda, apalagi sedikit-sedikit per-nah
mempelajari ilmu, dan ada kitab yang telah dihafal namun belum dilatih-nya dengan
sempurna, ada sepasang pedang yang disembunyikan di puncak tebing. Sepasang pedang
pusaka! Pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan, seperti pedang yang dibuat oleh
Suma Han. Jangan-jangan itu adalah Sepasang Pedang Iblis yang mereka cari-cari bahkan
yang khusus dibuatkan pedang lawannya oleh Nayakavhira. Biarlah. Biar, andaikata
sepasang pedang itu adalah Sepasang Pedang Iblis, kelak dia akan memperli-hatkan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
188 kepada dunia bahwa di tangannya, sepasang pedang itu tidak akan menjadi senjata yang
dipakai melakukan perbuatan jahat!
Bangkit semangat Bun Beng dan mulailah dia meninggalkan tempat itu untuk kembali ke
Siauw-lim-pai. Dia harus melapor akan kematian suhunya kepada pimpinan Siauw-lim-si dan
mempelajari ilmu dengan tekun karena menurut penu-turan mendiang suhunya, kalau
mempela-jari benar-benar secara sempurna dan memang ada jodoh ilmu silat dari Siauw-
lim-pai tidak kalah oleh ilmu silat lain di dunia ini. Pernah gurunya bercerita tentang tokoh
Siauw-lim-pai bernama Kian Ti Hosiang yang memiliki tingkat kepandaian luar biasa
tingginya sehing-ga saking tinggi ilmu kepandaiannya, sampai tidak mau lagi melayani orang
bertanding, bahkan tidak mau membalas andaikata dia dilukai atau dibunuh seka-lipun!
Pernah pula gurunya bercerita tentang manusia dewa Bu Kek Siansu yang selain tidak mau
bertempur melu-kai apalagi membunuh orang lain, bahkan sering kali menurunkan ilmunya
kepada siapa saja yang kebetulan bertemu de-ngannya, yang dianggap sudah jodoh, tanpa
memandang apakah orang itu ter-masuk golongan baik ataupun jahat, ber-sih ataupun kotor!
Sikap manusia dewa ini seperti sikap kasih sayang alam, di mana sinar matahari tidak
menyembu-nyikan sinarnya dari atas kepada orang jahat maupun orang baik, di mana
po-hon-pohon tidak menyembunyikan bunga dan buahnya dari uluran tangan orang jahat
maupun orang baik! Kemudian gu-runya bercerita pula tentang manusia aneh Koai-lojin yang
kabarnya malah masih suka muncul biarpun belum tentu ada seorang di antara sepuluh ribu
to-koh kang-ouw yang dijumpai manusia aneh ini, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian
yang seperti dewa pula na-mun tidak mau bertempur, melukai, apa-lagi membunuh orang.
Dia masih muda. Dunia masih lebar. Masa depannya masih terbentang luas. Mengapa
langkah hidupnya harus terha-lang oleh masa lalu mengenai diri orang tuanya! Baik maupun
jahat orang tua-nya, biarlah. Hal itu sudah lalu dan yang ia hadapi adalah masa depan. Masa
lalu penuh kejahatan akan tetapi masa depan penuh kebaikan, bukankah hal itu jauh lebih
menang daripada masa lalu penuh kebaikan namun masa depan penuh kejahatan" Apa arti
bersih masa lalu akan tetapi amat kotor di masa depan, dan biarlah dia menganggap masa
lalu seba-gai alam mimpi, sungguhpun dia tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di masa
lalu, yang terjadi dengan ayah bun-danya.
Makin dijalankan pikirannya, makin lapanglah dadanya dan langkahnya pun tegap,
wajahnya berseri dan sepasang matanya bersinar. Setelah dia berhasil tiba di kuil Siauw-lim-
si dan mencerita-kan tentang kematian suhunya, berita ini diterima dingin oleh para hwesio
pimpinan Siauw-lim-pai yang mengang-gap bahwa kakek itu sudah bukan se-orang
anggauta Siauw-lim-pai lagi. Akan tetapi mengingat bahwa Gak Bun Beng adalah putera
seorang tokoh wanita Siauw-lim-pai, dan betapapun juga Siauw Lam Hwesio adalah seorang
tokoh Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, para pim-pinan Siauw-lim-pai tidak berkeberatan
menerima Bun Beng. Pemuda cilik itu mulai berlatih dengan giat disamping bekerja keras
seperti yang pernah dilakukan gurunya, yaitu menjadi pelayan, tu-kang kebun, dan
pekerjaan apa saja un-tuk melayani keperluan kuil dan mem-bantu para hwesio.
Nirahai, bekas puteri Raja Mancu yang berwatak keras dan berilmu tinggi itu kini sudah
berhenti menangis. Ke-kerasan hatinya dapat menindih kedukaan dan diam-diam ia
mengambil keputusan untuk menghadapi orang yang dicintanya namun yang selalu
mengalah dan berwa-tak lemah itu dengan kekerasan. Di tengah jalan, dia menurunkan
puterinya untuk memakai sebuah kerudung menutupi kepalanya. Melihat ini, Milana ter-kejut
dan heran. "Ibu, mengapa Ibu memakai itu?"
Dari dalam kerudung itu terdengar ja-waban suara dingin seolah-olah ibunya telah berubah
tiba-tiba setelah berkerudung, "Milana, mulai saat ini engkau akan turut bersamaku, tidak
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
189 akan kembali ke Mongol lagi. Ketahuilah, ibumu adalah Ketua Thian-liong-pang dan tidak
seorang pun boleh melihat mukaku kecuali engkau."
Milana memandang kepala berkeru-dung itu dengan mata terbelalak, "Ibu....! Engkau Ketua
Thian-liong-pang yang ter-kenal itu...." Akan tetapi mengapa....?" Hati anak ini ngeri karena
Thian-liong-pang disohorkan sebagai perkumpulan yang tidak segan-segan melakukan
sega-la macam kekejaman sehingga ditakuti dunia kang-ouw.
"Diamlah. Kalau kita tidak kuat, orang tidak akan memandang kepada ki-ta! Engkau ikut
bersamaku dan belajar ilmu sampai melebihi Ibumu. Hayo!" Dia menggandeng tangan
Milana dan lari cepat sekali.
Adapun Suma Han yang membawa lari murid atau keponakannya, di sepan-jang jalan tidak
pernah bicara. Wajah-nya muram dan dalam beberapa pekan saja bertambah garis-garis
derita pada wajahnya. Karena sepasang burung garuda sudah tewas, mereka melakukan
perja-lanan darat dan setelah tiba di pantai, Suma Han mencari sebuah perahu yag dibelinya
dari nelayan, kemudian memperkuat perahu dan mulailah dia berlayar bersama Kwi Hong
menuju ke pulau tempat tinggalnya, yaitu Pulau Es.
Dalam pelayaran ini, barulah Suma Han mengajak bicara keponakannya. Dia
mendengarkan cerita Kwi Hong tentang peristiwa yang terjadi di hutan, betapa pencuri
pedang pusaka adalah seorang siucai gila yang lihai sekali, bahkan siu-cai itu tadinya
menculiknya yang kemudi-an dikalahkan oleh Nirahai dan melari-kan diri membawa pedang
pusaka. "Aihhhh.... kiranya dia....!" Suma Han menghela napas penuh penyesalan karena segala
yang dialaminya di masa dahulu agaknya hanya menimbulkan bencana saja bagi dirinya
sendiri dan orang lain. Apa-kah dia yang harus menebus dosa yang dilakukan nenek
moyangnya, keluarga Suma yang luar biasa jahatnya"
"Apakah Paman mengenal Siucai gila itu?"
"Banyak yang sudah kauketahui, Kwi Hong. Engkau tentu mengenal siapa Pa-manmu
sekarang, seorang yang penuh no-da dalam hidupnya. Orang gila itu agak-nya tidak salah
lagi tentu yang disebut Tan-siucai dan menjadi murid Maharya. Aku belum pernah melihat
orangnya, akan tetapi namanya sudah kudengar."
"Paman, dia bilang bahwa Paman telah membunuh kekasihnya, tunangan atau calon
isterinya. Tentu Si Gila itu bohong!"
Suma Han menggeleng kepala dan menghela napas panjang. Terbayang di depan matanya
seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa, yang dalam keadaan hampir tewas karena
tubuhnya penuh dengan anak panah yang menancap di seluruh tubuh, berbisik dalam
pelukan-nya bahwa gadis itu rela mati untuknya karena gadis itu mencintanya. Hoa-san
Kiam-li Lu Soan Li, murid Im-yang Seng-cu yang perkasa, yang telah ber-korban untuk dia,
dan sebelum menghem-buskan napas terakhir mengaku cinta. Gadis itu adalah tunangan
Tan-siucai! Dia sudah diberi tahu oleh Im-yang Seng-cu, akan tetapi tadinya dia tidak peduli.
Siapa mengira, begitu muncul Tan-siucai telah mencuri pedang pusa-ka, hampir berhasil
menculik Kwi Hong, dan gurunya demikian saktinya sehingga kalau dia tidak memiliki
kekuatan batin yang kuat, agaknya dia akan tewas di tangan Maharya!
"Dia tidak membohong, Kwi Hong. Biarpun aku tidak membunuh tunangan-nya, akan tetapi
dapat dikatakan bahwa tunangannya itu tewas karena membela aku. Ahh, sungguh aku
menyesal sekali. Akan tetapi, kalau Tan-siucai sudah menjadi gila, dia telah merampas
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
190 pedang pusaka, dia berbahaya sekali. Pedang itu sengaja dibuat untuk menundukkan
Sepa-sang Pedang Iblis."
"Kenapa Paman hendak pulang" Bu-kankah lebih baik mengejar dia sampai berhasil
merampas kembali pedang itu?"
Kembali Suma Han menggeleng kepa-la. "Semangatku lemah, aku tidak mem-punyai nafsu
untuk berbuat apa-apa, ke-cuali pulang dan beristirahat. Kwi Hong, mulai sekarang engkau
harus berlatih diri dengan tekun dan rajin. Tugasmu di masa mendatang amat berat dengan
munculnya banyak orang pandai. Jangan sekali-kali kau melarikan diri dari pulau lagi karena
aku tidak akan mengampun-kanmu lagi."
Demikianlah, dengan semangat lemah dan hati remuk akibat pertemuan-perte-muannya
dengan Lulu dan Nirahai, dua orang wanita yang dicintanya, yang per-tama karena
dicintanya semenjak kecil, yang ke dua karena telah menjadi iste-rinya, bahkan menjadi ibu
dari anaknya, Suma Han mengajak keponakannya pu-lang ke Pulau Es. Dia lalu
memerintah-kan anak buahnya untuk tidak mencam-puri urusan luar, hanya melatih diri dan
memperkuat penjagaan di pulau sendiri. Kemudian, mulai hari itu dia melatih il-mu kepada
Kwi Hong dengan penuh ke-tekunan sehingga anak perempuan ini memperolah kemajuan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang pesat sekali.
*** Semenjak jatuhnya pertahanan ter-akhir dari Bu Sam Kwi di Se-cuan seba-gai sisa
kekuatan dari Kerajaan Beng-tiauw yang jatuh beberapa tahun setelah Bu Sam Kwi tewas,
yaitu pada tahun 1681, terjadilah perubahan besar di da-ratan Tiongkok yang kini dikuasai
seluruh-nya oleh Kerajaan Ceng, yaitu pemerin-tah yang dipimpin oleh Bangsa Mancu.
Sebentar saja kekuatan bangsa Mancu makin berakar dan lambat laun makin berkuranglah
rasa kebencian dan permu-suhan dari rakyat terhadap pemerintah penjajah ini. Hal ini
adalah terutama sekali disebabkan bangsa Mancu amat pandai menyesuaikan diri dengan
keada-an dan kebudayaan di Tiongkok. Mereka itu biarpun menjadi penjajah menyaksi-kan
kenyataan betapa besar dan hebat kebudayaan daratan yang dijajahnya, menerima
kebudayaan itu bahkan melebur diri mereka seperti kedaan para pribu-mi. Mereka
mempelajari bahasa pribumi, bahkan anak isterinya mempergunakan bahasa ini sehingga
dalam satu keturun-an saja anak-anak mereka sudah tidak pandai lagi berbahasa Mancu
dan meng-anggap bahasa Han sebagai bahasa me-reka sendiri!
Kerajaan Ceng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa Mancu ini makin berkembang dan
mencapai puncak kecemerlang-annya di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi yang memerintah
dari tahun 1663 sampai 1722. Kaisar ini adalah seorang ahli negara yang cakap, pandai dan
bijaksana. Di samping ini dia pun seorang ahli perang yang mengagumkan sehingga semua
operasinya berhasil dengan baik, juga tidak terdapat rasa tidak puas di antara petugas-
petugas bawahannya. Di samping ini, dia pun penggemar kebuda-yaan sehingga berhasil
menarik pula hati para sasterawan pribumi yang men-dapat penghargaan dalam bidangnya.
Di bawah pimpinan Kaisar ini, Tiong-kok mencapai kekuasaan yang amat be-sar, jauh lebih
besar daripada kerajaan-kerajaan sebelumnya dan kiranya malah lebih besar daripada
keadaan Tiongkok di waktu Kerajaan Tang. Pertama-tama Kaisar Kang Hsi mengerahkan
perhatian untuk membasmi gerombolan-gerombolan dan pemberontak-pemberotak,
menghabis-kan semua perlawanan sehingga perang dihentikan dan keamanan dapat
dikem-balikan. Dalam keadaan aman, rakyat dapat bekerja dengan tenang dan
pemba-ngunan dapat dilaksanakan sebaiknya. Namun, setelah gerombolan-gerombolan di
dalam negeri dapat ditumpas semua, Kaisar Kang Hsi harus menghadapi perlawanan dari
negara-negara tetangga yang tidak mengakui kedaulatan keraja-an baru ini. Maka
dikirimnyalah tentara besar sampai jauh ke selatan dan barat daya sehingga banyak negara
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
191 di selatan dan barat daya ditundukkan dan terpak-sa mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng,
bahkan mengaku takluk dan setiap tahun membayar atau mengirim upeti sebagai tanda
takluk. Di antara negara-negara ini termasuk Afganistan, Kasmir, Birma, Muangthai,
Vietnam, Kamboja, bahkan termasuk pula Malaysia!
Akan tetapi, selagi Kaisar Kang Hsi sibuk mengatur kesejahteraan dalam nege-ri untuk
memakmurkan kehidupan rak-yat yang baru saja dilanda perang itu, meningkatkan dan
memperkembangkan kesenian melukis, sastera, dan lain-lain di samping mempergiat
pembangunan, datang lagi gangguan yang memaksa Kaisar ini menggerakkan bala tentara
dan mencurahkan sebagian perhatiannya ke utara, di mana bangsa Mongol mulai ber-gerak
dan memberontak terhadap peme-rintah Mancu. Seperti telah diceritakan dan menjadi
catatan sejarah, ketika bangsa Mancu mulai bergerak ke selatan, mereka dibantu dengan
gigih oleh bang-sa Mongol sebagai bangsa yang pernah lama menjajah Tiongkok dan masih
ingin menguasai kembali bekas tanah jajahan itu. Karena kekuatannya sendiri sudah hancur,
bangsa Mongol tahu diri dan membonceng bangsa Mancu, namun ha-rus diakui bahwa
kekuatan bala tentara menjadi amat besar dan hebat berkat bantuan pasukan-pasukan
Mongol ini. Akan tetapi, setelah bangsa Mancu ber-kuasa dan membangun Kerajaan Ceng,
dengan tidak melupakan dan memberi kedudukan istimewa kepada bangsa Mo-ngol sebagai
bangsa serumpun dan se-tingkat, mulailah bangsa Mongol merasa kecewa. Bangsa Mongol
melihat kecen-derungan bangsa Mancu yang melebur diri dengan kebiasaan orang-orang
Han sehingga makin lama mereka itu menja-di makin erat hubungannya dengan rak-yat,
sedangkan rakyat masih tidak dapat melupakan penjajahan bangsa Mongol yang banyak
menyengsarakan rakyat da-hulu. Maka bangsa Mongol merasa ma-kin lama makin tersudut,
maka mulailah pemberontakan bangsa ini terhadap bang-sa Mancu.
Pemberontakan meletus pada tahun 1680 pada saat Se-cuan sudah tiba di ambang
kekalahannya. Sehingga begitu Se-cuan sudah dijatuhkan, kembali peme-rintah Mancu yang
dipimpin oleh Kaisar Kang Hsi itu harus menghadapi pembe-rontakan yang besar dan gigih
yang dipimpin oleh seorang pangeran Mongol yang bernama Galdan.
Sepuluh tahun lewat dengan cepatnya semenjak peristiwa pertemuan antara Pendekar
Super Sakti Suma Han dan Nirahai isterinya, pertemuan yang amat menyedihkan dan
mengharukan. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang pendek, na-mun juga tak dapat
dikatakan waktu yang lama, tergantung dari pendapat masing-masing bertalian dengan
keadaan dan pengalaman. Dalam waktu selama itu, banyak memang yang telah terjadi di
dunia, khususnya di dunia kang-ouw yang kembali menjadi kacau dan geger berhu-bung
dengan adanya perang antara pemerintah melawan bangsa Mongol. Kem-bali dunia kang-
ouw terpecah belah, ada yang membela Pemerintah Ceng, ada pu-la yang membantu
pemberontak, bukan karena suka kepada bangsa Mongol, melainkan kesempatan itu
mereka perguna-kan untuk melawan penjajah. Akan teta-pi karena tidak ada peristiwa
penting terjadi atas diri para tokoh penting ce-rita ini yang berdiam di tempat masing-masing
menggembleng murid atau anak masing-masing, maka biarlah waktu sepu-luh tahun itu kita
lewati saja. Pemberontakan bangsa Mongol sudah berjalan belasan tahun. Perang menjadi berlarut-
larut karena selain bangsa Mo-ngol memang memiliki bala tentara yang terlatih dan kuat,
mereka dibantu banyak orang pandai dari dunia kang-ouw. Bah-kan banyak pula orang sakti
dari negara-negara tetangga yang dipaksa mengirim upeti kepada Pemerintah Ceng, diam-
diam membantu bangsa Mongol dalam usaha mereka membalas dendam atas kekalahan
negaranya. Di dunia persilatan memang terjadi perubahan akan kekacauan seperti telah diceritakan
tadi. Diam-diam di antara mereka pun mengadakan "perang" sendiri, menggunakan
kesempatan selagi pemerin-tah kurang memperhatikan keadaan me-reka karena pemerintah
sendiri sedang sibuk menghadapi musuh kuatnya, yaitu pasukan-pasukan Mongol. Pula,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
192 pemerin-tah juga mempunyai banyak kaki tangan di antara golongan kang-ouw ini sehingga
mereka menyerahkan penguasaan keada-an kepada kaki tangan mereka yang da-lam hal ini
diwakili dan dipimpin oleh Koksu sendiri dengan para pembantunya yang lain!
Namun yang lebih menonjol dan yang menggegerkan dunia persilatan adalah nama besar
Thian-liong-pang yang kabar-nya makin kuat saja sehingga tidak ada pihak yang berani
main-main kalau bertemu dengan orang Thian-liong-pang. Bahkan banyak yang sudah
menjadi jerih kalau mendengar nama Thian-liong-pang yang diketuai seorang wanita aneh
ber-kerudung yang memiliki ilmu silat dah-syat. Banyak sudah ketua-ketua partai persilatan
merasai kelihaian Thian-liong-pang. Banyak yang dikalahkan oleh to-koh-tokoh Thian-liong-
pang, padahal ke-tuanya sendiri belum pernah maju, juga wakilnya dan para pelayan wanita
yang kabarnya memiliki ilmu yang sukar dica-ri bandingnya! Terdengar berita bahwa Thian-
liong-pang mempunyai niat meng-gabungkan partai-partai persilatan di bawah naungan
Thian-liong-pang, seolah-olah perkumpulan ini hendak menyaingi gerakan Pemerintah Ceng
yang menaklukkan negara-negara tetangga yang tak-luk dan mengakui kedaulatannya serta
berlindung di bawah naungannya dengan membayar upeti setiap tahun! Tentu sa-ja niat ini
menemukan banyak tentang-an. Terutama partai-partai besar yang sudah berdiri ratusan
tahun seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain partai persilatan besar,
tentu saja mereka ini tidak sudi menja-di "anak buah" Thian-liong-pang!
Selagi dunia kang-ouw geger karena sepak terjang Thian-liong-pang, tersiar lagi berita yang
menimbulkan heboh dengan munculnya orang-orang Pulau Neraka yang selama bertahun-
tahun ini tidak pernah muncul lagi. Orang-orang Pulau Neraka dengan warna-warni muka
mereka yang aneh menimbulkan kegon-cangan di mana-mana karena mereka itu memang
sengaja mendarat untuk menguji ilmu-ilmu mereka dengan tokoh-tokoh kang-ouw!
Yang tetap tidak terdengar hanya Pu-lau Es. Tidak ada lagi orang kang-ouw melihat
munculnya orang dari Pulau Es bahkan mendengar berita pun tidak, ka-rena Pulau Es
agaknya sudah mutus-kan hubungan mereka dengan dunia luar pulau mereka bertahun-
tahun. Di antara partai-partai persilatan be-sar yang heboh oleh berita-berita itu, -Siauw-lim-pai
sendiri tetap tenang-tenang saja. Memang Siauw-lim-pai adalah sebuah partai persilatan
yang amat besar, paling banyak cabang-cabangnya, paling banyak kuil-kuilnya, tersebar di
mana-mana dan memiliki jumlah anak murid yang amat banyak pula. Belum pernah ada
partai lain berani mengganggu Siauw-lim-pai. Bahkan orang-orang Thian-liong-pang
agaknya juga tidak berani sembarangan main gila terhadap Siauw-lim-pai! Kalau toh terjadi
bentrokan, hal itu hanya terjadi antara anak murid sa-ja dan pihak Siauw-lim-pai yang
meme-gang keras disiplin di antara anak murid-nya, dengan biiaksana dapat memadam-kan
bentrokan-bentrokan kecil itu dengan menghukum anak murid sendiri yang me-lakukan
pelanggaran. Pada waktu itu, yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio tinggi besar
berusia lima puluh lima ta-hun lebih berjuluk Ceng Jin Hosiang. Biarpun tubuhnya tinggi
besar menyeram-kan, namun wataknya halus dan hwesio tua ini memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Kitab-kitab rahasia Siauw-lim-pai banyak sekali, dan kitab-kitab kuno yang
mengandung pelajaran ilmu-ilmu amat tinggi, sukar sekali dipelajari sehingga hanya sedikit
saja yang mampu menguasai isi-nya. Ketika Kian Ti Hosiang masih hi-dup, dialah satu-
satunya hwesio di Siauw-lim-pai yang benar-benar telah menguasai sebagian besar ilmu
yang tinggi-tinggi dan sukar dipelajari itu. Ki-ni, karena bakatnya dan menurut keperca-yaan
lingkungan Siauw-lim-pai, karena jodoh, ketua inilah yang dapat mengua-sai sebagian dari
isi kitab-kitab su-ci dan rahasia itu. Sungguhpun belum dapat dibandingkan dengan Kian Ti
Hosiang, namun setidaknya tingkat kepandaian Ceng Jin Hosiang jauh melampaui saudara-
saudaranya, bahkan dia memiliki tingkat lebih tinggi daripada mendiang Ceng San Hwesio
Ketua Siauw-lim-pai yang lalu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
193 Selain lihai ilmu silatnya dan tinggi ilmu batinnya, Ceng Jin Hosiang memi-liki kewaspadaan.
Pada suatu hari dia datang ke kuil cabang Siauw-lim-pai di mana Bun Beng bekerja sebagai
pelayan. Melihat Bun Beng dia tertarik sekali, apalagi ketika mendengar bahwa anak itu
adalah putera mendiang Siauw-lim Bi-kiam Bhok- Kim, seorang di antara Kang-lam Sam-eng
segera Ketua Siauw-lim-pai ini menyuruh Bun Beng untuk ikut bersamanya ke kuil pusat
Siauw-lim-pai. Ceng Jin Hosiang melihat ba-kat yang baik sekali, juga hati nurani-nya
membisikkan bahwa anak ini "berjo-doh" dengannya, maka dia lalu mengam-bil Bun Beng
sebagai murid. Selama dela-pan tahun dia menggembleng Bun Beng yang sebelumnya
sudah menerima gem-blengan dasar dari Siauw Lam Hwesio, maka tentu saja anak ini
memperoleh kemajuan yang luar biasa.
"Bun Beng, kini tiba saatnya yang telah lama kaunanti-nanti dan baru seka-rang pinceng
ijinkan, yaitu engkau boleh keluar dari kuil untuk maluaskan pengetahuan dan mengambil
jalanmu sendiri tanpa kekangan dari peraturan di sini yang pinceng adakan," kata Ketua
Siauw-lim-pai yang duduk bersila dihadap muridnya yang ia panggil menghadap.
Dapat dibayangkan betapa girang hati Bun Beng mendengar ini. Sudah lama sekali ia ingin
untuk diperbolehkan kelu-ar dari kuil, namun gurunya selalu me-larang dan mengatakan
belum tiba saat-nya. Padahal semua ilmu yang diajarkan gurunya telah dipelajarinya semua.
"Terima kasih, Suhu. Sesungguhnya teecu merasa gembira sekali."
Hwesio tua itu mengangguk dan ter-tawa. "Pinceng tahu dan tidak menya-lahkan engkau.
Usiamu sudah dua puluh dua tahun dan sebagai seorang pemuda, engkau yang tidak
berbakat sebagai pen-deta tentu bernafsu sekali untuk berke-lana di dunia ramai.
Kepandaianmu sudah mencapai tingkat lumayan, bahkan tidak ada ilmu yang kuketahui
belum kuajar-kan kepadamu. Engkau hanya kurang pengalaman dan kurang matang latihan,
akan tetapi kalau engkau rajin, dalam beberapa tahun lagi engkau sudah akan melampaui
aku." "Teecu berhutang budi kepada Suhu, semua kemajuan teecu adalah berkat bimbingan
Suhu." "Sudahlah, tidak perlu semua pujian itu. Sekarang kita bicara tentang hal yang amat
penting. Setelah engkau ber-hasil mempelajari ilmu dari pinceng, su-dah menguasai ilmu-
ilmu itu, lalu sete-lah engkau meninggalkan ini, semua il-mu yang kaukuasai itu hendak
kauper-gunakan apakah?"
Ditanya secara mendadak seperti itu, Bun Beng gelagapan! Yah, un-tuk apakah dia
mempelajari semua ilmu itu dengan susah payah selama bertahun-tahun" Tiba-tiba teringat
akan kematian Siauw Lam Hwesio, gurunya yang perta-ma, yang juga terhitung supek dari
Ceng Jin Hosiang, maka dengan hati tetap ia menjawab,
"Ilmu yang teecu kuasai berkat bim-bingan Suhu akan teecu pergunakan un-tuk mencari
musuh-musuh mendiang Suhu Siauw Lam Hwesio dan membalas dendam kematiannya di
tangan mereka!"
"Omitohud...., sudah kuduga engkau akan menjawab seperti itu. Akan tetapi engkau keliru
kalau memiliki niat seper-ti itu, Bun Beng. Dan pinceng akan me-larangmu meninggalkan kuil
kalau seperti itu pendapat dan cita-citamu."
Bun Beng terkejut bukan main, ce-pat ia membungkuk sampai dahinya me-nyentuh lantai
sambil berkata, "Mohon maaf sebanyaknya, Suhu. Teecu bodoh dan mohon petunjuk Suhu
bagaimana ba-iknya."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
194 Hwesio itu tertawa. "Kalau pinceng tahu bahwa kepandaian yang pinceng ajarkan
kepadamu itu hanya akan kau-pergunakan untuk membunuh orang, ha-nya untuk membalas
dendam, sudah pasti pinceng tidak akan suka mengajarkan-nya. Tidak, Bun Beng. Menaruh
dendam menimbulkan kebencian, dan kebencian melahirkan perbuatan-perbuatan kejam
dan jahat! Orang gagah tidak boleh di-permainkan oleh perasaan pribadi, tidak boleh
menjadi mata gelap karena den-dam. Kalau kau bicara tentang dendam, mengapa kau tidak
mendendam atas kematian Ayahmu dan Ibumu?"
Bun Beng tertegun. Tak pernah ter-pikirkan hal ini olehnya, apalagi setelah ia mendengar
kata-kata Pendekar Silu-man bahwa ayahnya adalah seorang datuk kaum sesat! "Karena
teecu tidak ta-hu bagaimana Ayah Bunda teecu tewas dan mengapa."
"Kalau kau tahu bahwa ayahmu dan ibumu mati terbunuh orang, apakah eng-kau juga akan
mendendam dan akan mencari pembunuh mereka untuk kauba-las dan bunuh pula?"
Bun Beng terkejut dan karena kini menyangkut kematian orang tuanya, tan-pa ragu-ragu ia
menjawab, "Agaknya begitulah!"
"Baik, sekarang kaubalaslah. Pinceng beri tahu siapa pembunuhnya. Ayahmu telah tewas
dibunuh Ibumu, dan Ibumu juga tewas di tangan Ayahmu. Nah, bagaimana?"
Biarpun Bun Beng sudah menerima gemblengan lahir batin dan hatinya su-dah kuat sekali,
tidak urung mukanya berubah sedikit mendengar keterangan ini. Dia tidak mampu menjawab
dan ha-nya menunduk, penuh pemasrahan kepa-da suhunya.
"Omitohud....! Seorang gagah tidak bo-leh menurutkan nafsu hati, melainkan harus selalu
tenang seperti air telaga yang dalam. Jika pikiran tenang, maka nafsu tidak akan mudah
mengganggu dan segala tindakan kita dapat dilakukan dengan tepat, menurutkan hasil
pertim-bangan pikiran dan akal budi. Sekarang kau melihat contoh tidak baiknya orang
mendendam karena kematian orang tua atau pun guru. Orang tua maupun guru hanyalah
manusia-manusia biasa. Bagai-mana kalau kematian mereka itu dikare-nakan perbuatan
mereka yang jahat" Andaikata orang tuamu menjadi penjahat besar yang terbunuh oleh
pendekar budi-man, apakah engkau juga lalu mencari untuk membalas dendam kepada
pendekar itu" Kalau demikian, engkau sama sekali bukan anak berbakti, melainkan
sebalik-nya karena engkau makin mencemarkan nama orang tua yang sudah cemar. Dan
engkau bukan orang gagah karena eng-kau telah menyimpang dari hukum tak tertulis dalam
jiwa orang gagah yaitu membela kebenaran! Karena itu, hapus-kan dendam dari hatimu,
sedikitpun ti-dak boleh ada sisanya. Kalau kelak engkau terpaksa membunuh orang-orang
yang dahulu membunuh Supek Siauw Lam Hwesio karena engkau membela kebenar-an dan
karena mereka orang-orang ja-hat, hal itu lain lagi, bukan membunuh karena balas dendam."
Bun Beng cepat memeluk kaki guru-nya. "Ah, ampunkan teecu. Teecu jadi se-perti buta,
tidak melihat kenyataan itu, Suhu. Teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah Suhu."
"Aahhh, pinceng sebetulnya merasa perih di hati kalau bicara tentang bunuh-membunuh.
Akan tetapi, kehidupan se-orang gagah di dunia kang-ouw di mana terdapat kekacauan yang
disebabkan orang-orang sesat, agaknya hal itu tidak dapat dicegah lagi. Kalau mungkin, Bun
Beng, jauhilah perbuatan membunuh. Engkau akan lebih berjasa mengingatkan seorang
sesat kembali ke jalan benar da-ripada membunuhnya. Nah, kiranya cukup. Hanya satu lagi
pesan pinceng. Ja-ngan sekali-kali engkau melibatkan diri dalam perang, karena Siauw-lim-
pai me-nentang perang. Dan jangan sekali-kali engkau melibatkan nama Siauw-lim-pai
dengan permusuhan dengan pihak lain. Mengerti?"
"Baik Suhu, teecu akan mentaati pe-rintah Suhu."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
195 "Hemm...., kalau sampai kaulanggar, agaknya pinceng sendiri yang akan tu-run tangan
menghukummu, Bun Beng. Nah, berangkatlah dan hati-hatilah."
Bun Beng minta diri kepada semua hwesio di kuil, kemudian dia berangkat membawa
bungkusan pakaian dan bekal sedikit perak, tanpa membawa senjata. Dengan memiliki
kepandaian seperti ting-katnya sekarang, dia tidak membutuhkan senjata lagi.
Setelah jauh meninggalkan kuil, Bun Beng teringat akan sepasang pedang yang
disimpannya di puncak tebing tempat tinggal para bekas pejuang penyembah Sun Go Kong.
Juga kitab-kitab pelajaran Sam-po-cin-keng yang sudah dihafalnya dan yang sekarang
secara diam-diam telah dilatihnya sampai mahir. Setelah dia menerima gemblengan ilmu-
ilmu si-lat tinggi dari Ceng Jin Hosiang, tidak sukar baginya untuk menyelami Sam-po- cin-
keng dan dia tidak berani berterus terang kepada suhunya karena ilmu silat itu amat ganas
dan pantasnya hanya di-pelajari kaum sesat! Akan tetapi, hebat bukan main ilmu itu
sehingga di luar pengetahuannya sendiri, kalau dia mem-pergunakan iimu itu, agaknya Ceng
Jin Hosiang sendiri belum tentu akan dapat menandinginya!
Di dalam perantauannya ini, Bun Beng membuka telinga dan tiada bosan-nya dia bertanya-
tanya tentang keadaan dunia kang-ouw. Dia terkejut sekali ke-tika mendengar akan sepak
terjang kaum Thian-liong-pang yang katanya mulai menculik tokoh-tokoh penting dari partai-
partai persilatan! Juga dia mendengar akan munculnya tokoh-tokoh aneh dari Pulau Neraka
yang sudah beberapa kali dahulu ia jumpai, maka diam-diam ia mengambil keputusan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa kalau dia bertemu dengan kaum Thian-liong-pang dan Pulau Neraka, dia akan
menentang mereka! Hatinya bersyukur ketika ia men-dengar keterangan bahwa kini tidak
ada terdengar pergerakan dari Pulau Es, tanda bahwa Pendekar Siluman benar-benar tidak
mau mencampuri segala keributan itu. Juga heboh tentang Pedang Iblis dan kitab-kitab
peninggalan Bu Kek Sian-su yang lenyap, yang dahulu diperebut-kan, kini tidak terdengar
lagi. Yang amat menarik hatinya adalah perbuatan kaum Thian-liong-pang. Mengapa mereka itu
menculik tokoh-tokoh kang-ouw, ketua-ketua partai untuk beberapa hari lamanya kemudian
mereka itu dibe-baskan kembali" Apa yang tersembunyi di balik perbuatan aneh ini" Untuk
mengambil sepasang pedangnya terlam-pau jauh, maka dia akan lebih dulu me-nyelidiki
keadaan Thian-liong-pang dan kalau memang mereka itu melakukan penculikan-penculikan,
hal ini akan di-tentangnya. Inilah kewajiban pertama dalam perjalanannya sebagai seorang
pendekar! Dalam perjalanannya menuju ke Thian-liong-pang dia bermalam dalam sebuah rumah
penginapan di kota kecil Teng-li-bun. Dia telah melakukan perjalanan jauh dan perlu
beristirahat. Niat-nya akan bermalam di situ semalam, baru besok pagi akan melanjutkan
perja-lanan karena malam itu hujan membuat dia segan untuk bermalam di luar seperti
biasanya dia bermalam di hutan atau di gubuk-gubuk sawah. Dia ingin makan kenyang dan
minum sedikit arak, kemu-dian tidur nyenyak dalam sebuah bilik tanpa gangguan.
Akan tetapi menjelang tengah malam, telinganya yang amat terlatih mendengar suara isak
tangis tertahan. Dia terbangun, memasang telinga dan mendapat kenya-taan bahwa tangis
itu adalah tangis se-orang wanita yang ditahan-tahan, suara-nya seperti tertutup bantal. Dia
menja-di bingung. Tentu telah terjadi sesuatu yang membutuhkan pertolongannya. Akan
tetapi yang perlu ditolong adalah seorang wanita, dan hari telah tengah malam, bagaimana
mungkin dia boleh memasuki kamar seorang wanita" Dia sudah me-masang telinga baik-
baik dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada orang lain dalam kamar sebelah itu, hanya si
wanita yang menangis. Karena suara isak ter-tahan itu seperti menggelitik hatinya, Bun
Beng tak dapat menahan lagi lalu membuka jendela kamar dan tubuhnya melesat keluar
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
196 jendela terus melayang ke atas genteng. Dia berniat untuk mengintai dari atas dan melihat
apakah yang terjadi dan mengapa wanita itu menangis.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak ada suara terdengar ketika ia me-layang ke atas
genteng sehingga tidak mengganggu para tamu rumah penginap-an. Dia membuka genteng
di atas kamar sebelah dengan hati-hati sekali. Akan te-tapi baru saja dia menjenguk ke
dalam dan melihat seorang wanita muda rebah di atas pembaringan, tiba-tiba lilin di kamar
itu padam dan dia mendengar bersiutnya angin senjata rahasia dengan cepat dan kuat serta
tepat sekali me-nyambar ke arah lubang genteng!
"Ciut-ciut-ciuutt!" Tiga batang piauw menyambar dan berturut-turut Bun Beng menangkap
tiga batang piauw itu dengan tangan kirinya.
"Bangsat Thian-liong-pang, aku akan mengadu nyawa denganmu!" terdengar suara wanita
memaki disusul menyam-barnya sesosok tubuh ke atas dan lubang itu jebol ditabrak
seorang gadis yang berpakaian serba kuning. Gerakan gadis itu cepat dan ringan sekali, kini
sudah berdiri di depan Bun Beng dengan pedang di tangan dan langsung mengirim tusuk-an
ke arah dada Bun Beng.
"Wuuuttt.... plakkk!" Dengan tangan kanannya Bun Beng menampar pedang itu dari
samping dan telapak tangannya kini tepat mengenai pedang yang me-nempel pada telapak
tangannya! Gadis itu berseru kaget, berusaha menarik kembali pedangnya namun sia-sia.
Pedang-nya melekat di telapak tangan pemuda tampan yang berdiri tenang memandang-nya
itu. Juga di bawah sinar bulan yang muncul setelah hujan berhenti tadi, ga-dis itu melihat tiga
batang piauwnya berada di tangan kiri pemuda itu. Cela-ka, pikirnya! Yang datang adalah
seorang tokoh Thian-liong pang yang memiliki il-mu kepandaian tinggi sekali.
"Mau apa lagi" Bunuhlah aku!" tiba-tiba gadis itu berkata penuh kebencian.
"Tenang dan sabarlah, Nona. Aku bukan orang Thian-liong-pang, sama se-kali bukan!"
Nona yang usianya kurang lebih dela-pan belas tahun itu memandang penuh perhatian lalu
membentak, "Siapa mau percaya?"
Bun Beng tersenyum dan menghela napas, melepaskan pedang dan menyerah-kan tiga
batang piauw yang diterima oleh gadis itu dengan sambaran cepat seolah-olah ia khawatir
kalau-kalau itu hanya siasat. Bun Beng menggulung le-ngan bajunya, dan berkata,
"Periksalah! Adakah gambar naga di lengan kanan-ku" Bukankah kata orang, semua
anggau-ta Thian-liong-pang dicacah lengan ka-nannya dengan gambar naga kecil?"
"Huh!" Gadis itu mendengus setelah dia melirik juga ke arah kulit yang ha-lus itu sehingga ia
terheran mengapa pemuda halus itu dapat memiliki sin-kang yang demikian hebat, "Kalau
bukan ang-gauta Thian-liong-pang, agaknya engkau seorang yang lebih hina lagi, seorang
jai-hwa-cat!"
Bun Beng mengangkat kedua alisnya dan dia memandangi pakaiannya. "Aihhh! Jai-hwa-
cat" Adakah tampangku seper-ti penjahat cabul" Dan pakaianku" Aih, engkau terlalu sekali,
Nona. Ataukah engkau hanya main-main?"
"Kalau bukan jai-hwa-cat atau penja-hat, mau apa tengah malam buta mem-buka genteng
kamar orang dan mengin-tai ke dalam?" Gadis itu menyerang dengan kata-kata sungguhpun
dia gendiri mulai ragu-ragu apakah orang muda yang bersikap wajar dan halus ini seorang
penjahat. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
197 Bun Beng tertawa. "Salahku...., salah-ku....! Puas kau sekarang!" Dia menunjuk hidung
sendiri. "Inilah upahnya kalau terlalu ingin memperhatikan orang lain! Terus terang saja,
Nona, aku tadi sedang tidur nyenyak ketika terganggu.... eh, maaf, memang telingaku terlalu
perasa, terlalu peka sehingga aku terbangun oleh tangismu. Aku menjadi curiga dan ingir
sekali tahu mengapa di tengah malam buta ada wanita menangis. Aku hendak mengintai
untuk melihat apa yang terja-di, sama sekali bukan berniat jahat, bolehkah aku mengetahui,
mengapa kau menangis" Ahh, tentu ada hubungannya dengan Thian-liong-pang. Buktinya,
eng-kau menyangka aku orang Thian-
Pendekar Setia 6 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Pendekar Super Sakti 14
^