Seruling Perak Sepasang Walet 6

Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Bagian 6


ikeroyok oleh kaum rimba persilatan.
Namun ilmu sifatnya amat tinggi, maka dia berhasil meloloskan
diri, sehingga puluhan tahun lamanya dia tidak pernah muncul
di dunia persilatan. Oleh karena itu, kaum rimba persilatan
mengiranya telah mati. Justru tiada seorang pun tahu bahwa
dia berada di tempat ini. Ketika melihat Ciok Giok Yin maju
selangkah demi selangkah, terkejut juga hati Mo Hwe Hud,
tanpa sadar dia mundur dua langkah.
"Bocah, kalau aku mati, tiada yang mengobatimu," katanya
dingin sambil tersenyum.
"Sambut pukulanku!" bentak Ciok Giok Yin.
Mendadak telapak tangannya berkelebat. Ternyata dia telah
mengeluarkan jurus pertama dari ilmu pukulan Hong Lui Sam
Ciang. Terdengar suara jeritan, menyusul terdengar Mo Hwe
Hud berkata sengit.
"Bocah, akan kubalas kau kelak!"
Mo Hwe Hud memang hebat. Dia berhasil lolos dari ilmu
pukulan Hong Lui Sam Ciang. Dalam keadaan telanjang bulat
dia melesat ke atap kuil, kemudian tampak bayangannya
berkelebat lalu lenyap dari padangan Ciok Giok Yin. Ciok Giok
Yin cepat-cepat melesat ke atap kuil seraya berseru.
"Mau kabur ke mana?"
Namun ketika dia berada di atap kuil, Mo Hwe Hud sudah
tidak kelihatan bayangannya. Seketika Ciok Giok Yin teringat
pada Tong Eng Kang, maka segera meloncat turun. Dia tidak
akan melepaskannya, sebab Tong Eng Kang adalah musuh
besarnya, lagi pula begitu tak tahu malu. Kalau orang itu
dibiarkan hidup, pasti akan mencelakai orang lain. Ciok Giok
Yin langsung melesat ke dalam ruangan itu. Akan tetapi Tong
Eng Kang sudah tidak kelihatan batang hidungnya. Ternyata
ketika melihat Mo Hwe Hud kabur, dia pun cepat-cepat
melarikan diri. Tiba-tiba terdengar suara di tempat jauh.
"Apakah kau adalah Kakak Yin" Cepat ke mari tolong aku!"
Ciok Giok Yin terentak, lalu segera melesat ke arah datangnya
suara itu. Suara tersebut amat dikenalnya, tidak lain adalah
suara Fang Jauw Ceng, yang belum lama ini berpisah
dengannya. Ciok Giok Yin memasuki sebuah kamar, melihat
Fang Jauw Cang terbujur di tempat tidur. Ciok Giok Yin cepatcepat
mendekatinya seraya memanggilnya.
"Adik...."
Air mata Fang Jauw Cang bercucuran.
"Kakak Yin, cepat bebaskan jalan darah di pinggulku!"
katanya gemetar.
Ciok Giok Yin segera membebaskan jalan darah di pinggang
Fang Jauw Cang.
"Adik, bagaimana kau bisa terjatuh ke tangan mereka?"
Fang Jauw Cang bangkit berdiri. Sesungguhnya dia ingin
langsung mendekap di dada Ciok Giok Yin, namun mendadak
timbul rasa keraguannya. Maka dia berdiri diam di hadapan
Ciok Giok Yin. "Kakak Yin, aku sudah pulang memberitahukan pada ayah. Di
saat itu juga ayah langsung pergi bersembunyi ke rumah
kawannya," katanya dengan air mata bercucuran.
"Mengapa kau tidak ikut ayahmu?"
Fang Jauw Cang menatapnya dengan air mata berderai-derai.
"Aku... aku..." sahutnya terputus-putus.
"Kenapa kau, Adik?"
"Aku ingin bersama Kakak Yin berkelana di dunia persilatan,"
Fang Jauw Cang terisak-isaak. "Tak disangka ketika semalam
berada di penginapan, aku mencium bau aneh, lalu tak
sadarkan diri. Setelah siuman, aku mendapatkan diriku berada
di dalam sebuah tandu."
"Jadi mereka yang membawamu ke mari?"
Fang Jauw Cang mengangguk.
"Ya. Kalau Kakak Yin tidak segera muncul, entah apa yang
akan terjadi atas diriku?"
Sepasang mata Ciok Giok Yin menyorot tajam.
"Aku terlampau ceroboh, sehingga mereka berhasil
meloloskan diri."
"Kakak Yin, siapa mereka itu?"
"Yang muda adalah musuh besarku. Setahun yang lalu aku
nyaris mati di tangannya. Sedangkan hweshio gemuk itu
adalah ketua kuil ini, dia adalah Mo Hwe Hud."
Bukan main terkejutnya Fang Jauw Cang!
"Mo Hwe Hud?"
"Ng!"
"Bagaimana mereka?"
Ciok Giok Yin menggeleng-gelengkan kepala.
"Mereka berdua sama-sama tak tahu malu," sahutnya dengan
sengit. "Maksud Kakak Yin...."
"Yang satu hobi homo, yang satu lagi senang melayaninya."
Mendengar itu, wajah Fang Jauw Cang langsung memerah
dan hatinya berdebar-debar. 'Untung mereka belum tahu jelas
diriku!' Katanya dalam hati. Mendadak dia menggenggam
tangan Ciok Giok Yin erat-erat lalu berkata.
"Tadi sepertinya aku dengar ada orang bilang kau terkena
racun. Benarkah itu?"
Hati Ciok Giok Yin terharu atas perhatian Fang Jauw Cang
yang begitu besar terhadap dirinya, maka dia pun balas
menggenggam tangannya lalu menyahut.
"Kita harus mencari sebentar, apakah ada obat
pemuhannya?"
Ciok Giok Yin tidak menjelaskan, langsung menarik Fang Jauw
Cang ke ruang ketua kuil. Akan tetapi mereka berdua sudah
menggeledah seluruh kuil itu, namun tidak menemukan obat
penawar racun. Selain itu, juga tidak menemukan hweshio lain
di dalam kuil itu. Betul-betul di luar dugaan Ciok Giok Yin,
sebab kamar-kamar yang ada di situ semuanya dalam keadaan
kosong. Fang Jauw Cang tampak gugup.
"Kakak Yin, sungguhkah kau terkena racun?" Ciok Giok Yin
mengerutkan kening.
"Aku memang terkena racun Hwe Mo Kang. Saat itu aku cuma
merasa ada hawa panas mengalir ke atas bahuku. Tapi... tidak
merasakan lain."
Seketika air mata Fang Jauw Cang mulai bercucuran lagi,
kemudian dia berkata dengan suara agak gemetar.
"Kakak Yin, aku pernah dengar bahwa Mo Hwe Hud telah
banyak melakukan kejahatan di dunia persilatan dan ilmu Mo
Hwe Kangnya amat lihay. Bagaimana baiknya?"
"Akan kupikirkan perlahan-lahan."
"Kita justru tidak bisa menunggu."
"Apa boleh buat. Karena sudah terlanjur terjadi dicemaskan
juga tiada gunanya. Kalau tiada obat penawarnya, paling juga
pasrah." Mendadak Fang Jauw Cang berkata,
"Ada satu orang bisa memunahkan racun itu."
"Siapa?"
"Seng Ciu Suseng (Sastrawan Brtangan Mujizat) Seh Ing."
"Seng Ciu Suseng-Seh Ing?"
"Ya."
Ciok Giok Yin berkertak gigi.
"Adik, kau kenal orang itu?" katanya dengan suara dalam.
Ketika melihat sikap Ciok Giok Yin, Fang Jauw Cang menjadi
merinding, dan tanpa sadar kakinya menyurut mundur dua
langkah. "Kakak Yin, kau..." katanya terputus.
"Apakah kau kenal dia?" tanya Ciok Giok Yin dengan dingin.
Dengan menggelengkan kepala lalu menyahut.
"Aku cuma dengar dari ayahku, bahwa dia dapat
menyembuhkan berbagai macam racun dan penyakit aneh
Kalau bisa bertemu dia, racun Mo Hwe Kang pasti dapat
dipunahkan."
Ciok Giok Yin menggenggam tangan Fang Jauw Cang eraterat
seraya bertanya dengan serius.
"Kau tahu di mana tempat tinggalnya?"
Kini Fang Jauw Cang yang terheran-heran.
"Aku tidak begitu jelas, namun kita bisa mencari informasi
tentang dirinya," dia menatap Ciok Giok Yin. "Kakak Yin, kau
kenal dia?"
Ciok Giok Yin mengerutkan kening. Ternyata dia teringat akan
kitab cacatan peninggalan suhunya, di dalamnya tercantum
nama Seng Ciu Suseng, salah seorang Kang Ouw Pat Kiat. Ilmu
silatnya tidak begitu tinggi, namun mahir dalam hal racun,
sepasang kaki suhunya justru diracuninya. Berselang sesaat,
Ciok Giok Yin berkata, "Tidak kenal, namun aku harus mencari
orang itu. "Kau punya dendam dengannya?"
"Boleh dikatakan demikian."
"Kalau begitu...."
Ciok Giok Yin segera mengalihkan pembicaraan.
"Adik, di dunia persilatan banyak bahayanya, lebih baik kau
kembali ke tempat ayahmu. Mengenai Seng Ciu Suseng, aku
pasti dapat mencarinya," katanya.
Fang Jauw Cang menggelengkan kepala.
"Tidak, aku harus ikut kau."
Sesungguhnya Ciok Giok Yin bukan tidak mau melakukan
perjalanan bersama Fang Jauw Cang. Namun mengingat
musuhnya di mana-mana, setiap hari bergumul dengan
bahaya, kalau dirinya terjadi sesuatu, tentu Fang Jauw Cang
juga akan ikut celaka. Oleh karena itu dia berkata, "Adik
terimakasih atas petunjukmu. Tapi biar bagaimanapun kau
harus kembali ke tempat ayahmu. Kalau aku masih punya
nyawa pasti ke sana menengokmu."
Mendengar itu, air mata Fang Jauw Cang mulai mengucur
lagi. "Kau tidak suka bersamaku?" katanya dengan perlahan.
"Bukan itu. Adik masih punya ayah, maka tidak boleh
membuat ayahmu cemas. Kau harus kembali ke sana
mengurusi ayahmu, barulah merupakan anak yang berbakti."
"Ayahku masih sehat segar...."
"Tidak, aku tidak setuju akan tindakanmu ini."
Kini Fang Jauw Cang sudah yakin bahwa Ciok Giok Yin amat
menyayanginya dan penuh perhatian pula. Sesungguhnya dia
ingin menutur tentang dirinya, namun justru sulit untuk
membuka mulut. Dia amat membenci topi yang dipakainya. Dua kali dia
bertemu Ciok Giok Yin, tapi tidak melepaskan topi itu.
Seandainya topi itu dilepaskan.... Dia tidak mau berpikir lagi,
langsung berkata.
"Kakak Yin, aku punya satu permintaan."
"Katakanlah, Dik!"
"Kini aku mendengar perkataanmu, namun dua bulan
kemudian, tidak perduli kau berhasil mencari Seng Ciu Suseng
atau tidak, kita harus bertemu di tempat ini. Apabila kau tidak
mengabulkan, aku tidak mau menuruti perkataanmu."
Menurut Mo Hwe Hud, racun Mo Hwe Kang akan mengganas
dua bulan kemudian, membuatnya mati hangus. Ini baik juga,
sebab kalau tidak bias memunahkan racun tersebut, dia akan
menitip beberapa pesan pada Fang Jauw Gang.
Oleh karena itu, Ciok Giok Yin manggut-manggut sekarang
dan berkata. "Baik, begini saja!"
"Tetapi janji!"
"Tentu!"
Air mata Fang Jauw Cang mulai berlinang-linang lagi. Dia
terus memandang Ciok Giok Yin. Hening seketika. Berselang
sesaat, Ciok Giok Yin berkata.
"Adik, jaga dirimu baik-baik dan sampaikan salamku pada
ayahmu!" Usai berkata, Ciok Giok Yin melesat pergi. Dalam perjalanan,
Ciok Giok Yin terus berpikir, kalau dia tidak berhasil mencari
Seng Ciu Suseng, dirinya pasti akan mati keracunan. Akan
tetapi, Seng Ciu Suseng justru musuh besar suhunya.
Seadainya bertemu, bagaimana mungkin dirinya dapat
menekan hawa amarahnya" Dan juga bagaimana mungkin
Seng Ciu Suseng akan memunahkan racun Mo Hwe Kang yang
mengidap di dalam tubuhnya" Apabila benar Seng Ciu Suseng
yang memunahkan racun tersebut, lalu bagaimana turun
tangan membunuhnya" Berselang beberapa saat mendadak
sepasang mata Ciok Giok Yin menyorot dingin dan dia
bergumam dengan perlahan-lahan.
"Ciok Giok Yin, kau tidak boleh cuma memikirkan diri sendiri.
Setahun lalu kalau suhu tidak menyelamatkanmu, apakah hari
ini kau masih hidup" Demi membalas budi suhu, kau harus
singkirkan urusanmu sendiri, agar dapat menuntut balas
dendam suhu. Seandainya mati keracunan, tidak jadi masalah."
Tiba-tiba dia teringat sesuatu yang amat penting, yaitu
sebelum mati, dia harus perbi mencari Can Hai It Kiam untuk
mengambil sepucuk surat agar jelas asal-usulnya, jadi tidak
akan mati penasaran karena tidak tahu asal-usulnya. Teringat
akan hal tersebut, dia langsung berangkat ke Gunung Cong
Lam Sam. Dalam perjalan ini, dia melihat sebuah rimba. Di saat baru
mau memasuki rimba itu, dia melihat empat orang berpakaian
hitam sedang duduk di situ. Baju hitam mereka bersulam
sepasang burung walet. Itu pertanda mereka adalah anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee. Mulut mereka menyemburkan
uap putih menutupi wajah, sehingga Ciok Giok Yin tidak dapat
melihat jelas wajah mereka. Ketika Ciok Giok Yin tahu bahwa
mereka adalah orang-orang dari perkumpulan Sang Yen Hwee,
darahnya rasanya langsung bergolak. Dia menerogos ke dalam
seraya membentak, "Tidak membasmi kalian...."
Belum usai membentak, dia sudah berada di hadapan
keempat orang itu. Mendadak dia merasa ada hawa yang amat
dingin, dan itu membuatnya sulit untuk melangkah maju. Di
saat itulah terdengar suara yang bernada sangat dingin.
"Bocah, kami yakin kau akan ke mari!"
Sementara uap putih itu telah buyar, maka wajah mereka
berempat tampak dengan jelas. Begitu melihat wajah keempat
orang itu Ciok Giok Yin langsung berseru,
"Si Peng Khek (Empat Manusia Es)!"
Salah seorang dari Si Peng Khek tertawa terkekeh-kekeh lalu
menyahut, "Tidak salah!"
Seketika hati Ciok Giok Yin terasa dingin, karena dia tahu
kepandaian keempat orang itu amat tinggi. Hari itu di luar
lembah Bu Ceng Kok, kalau dia tidak ditolong oleh orang tua
bongkok, mungkin.... Namun sifat Ciok Giok Yin memang


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angkuh. Dia tidak merasa gentar, tapi sebaliknya malah timbul
keberaniannya. "Kalian berempat bisa bergaul dengan para penjahat untuk
mencelakai kaum rimba persilatan, maka hari ini kalian harus
mampus!" bentaknya sengit.
Salah seorang dari Si Peng Khek menyahut dingin.
"Bocah, hari ini adalah hari kematianmu!"
Keempat orang itu segera bangkit berdiri lalu mengepung
Ciok Giok Yin agar tidak bisa melarikan diri. Ciok Giok Yin
menyurt mundur tiga langkah. Salah seorang dari Si Peng Khek
tertawa dingin lalu berkata.
"Bocah, kau takut?"
Ucapan tersebut membangkitkan kegusaran Ciok Giok Yin.
"Aku akan membunuh kalian berempat!" bentaknya.
Kemudian dia menyerang keempat orang itu dengan
sengit. Bukan main dahsyatnya serangan yang dilancarkan Ciok
Giok Yin. Di saat bersamaan, Si Peng Khek bersiul aneh
sekaligus mendorongkan tangannya ke arah Ciok Giok
Yin. Tidak terdengar suara apa pun, namun sekujur badan Ciok
Giok Yin menjadi amat dingin dan terdorong ke belakang lima
langkah. Di saat dia baru mau melancarkan pukulan Hong Lui
Sam Ciang, mendadak terdengar suara siulan panjang,
menyusul tampak sesosok bayangan merah melayang turun di
tempat itu. Ciok Giok Yin langsung berseru,
"Lo cianpwee!"
Ternyata yang datang itu Heng Thian Ceng. Ketika
menyaksikan keadaan di tempat itu kening Heng Thian Ceng
tampak berkerut-kerut. Heng Thian Ceng tahu Si Peng Khek
berkepandaian amat tinggi dan merupakan lawan tangguh.
Namun dia sendiri adalah wanita iblis yang membunuh orang
tanpa mengedipkan mata. Dia tidak menghiraukan Ciok Giok
Yin, hanya berkata dengan dingin pada Si Peng Khek.
"Kalian berempat manusia es, juga berani malang melintang?"
Si Peng Khek sudah melihat siapa yang muncul itu. Mereka
berempat tertawa terkekeh-kekeh, kemudian salah seorang
diantaranya mengejek.
"Parasmu yang tidak karuan itu juga ingin cari daun muda"
Kami akan suruh kau mati bersamanya!"
Kemudian Si Peng Khek maju dengan serentak. Heng Thian
Ceng menggeram.
"Cari mati!"
Sepasang tangannya bergerak dengan cepat menyerang
mereka. Sedangkan Ciok Giok Yin juga tidak tinggal diam, langsung
menyerang Si Peng Khek dengan jurus pertama Hong Lui Sam
Ciang. Tampak telapak tangannya berkelebat ke arah Si Peng
Khek. Akan tetapi, kepandaian Si Peng Khek memang amat
tinggi sekali. Mereka bergerak cepat laksana kilat mengelak
serangan itu. Mulut mereka berempat pun mengeluarkan suara 'Huh! Huh!
Huh!' membuat Heng Thian Ceng dan Ciok Giok Yin menggigil
seperti kedinginan. Mendadak Heng Thian Ceng mencelat ke
belakang sambil berkata pada Ciok Giok Yin.
"Bocah, maafkan aku tiada kemampuan membantumu."
Heng Thian Ceng melesat pergi dan dalam sekejap sudah
tidak kelihatan bayangannya. Ciok Giok Yin sama sekali tidak
menyangka kalau Heng Thian Ceng akan meninggalkannya.
Kini tinggal dia seorang diri, kelihatannya sulit untuk lolos dari
tangan Si Peng Khek. Akan tetapi dia sama sekali tidak
mundur. Dia berkertak gigi sambil mengerahkan lwee kangnya,
siap menyerang dengan jurus kedua Hong Lui Sam Ciang. Di
saat bersamaan badan Si Peng Khek bergerak dan mulut
mereka terus mengeluarkan suara 'Huh! Huh....' Suara itu
semakin tinggi, membuat Ciok Giok Yin merasa dingin sekali.
Dia ingin mengerahkan Sam Yang Hui Kang, namun tidak bisa,
karena sekujur badannya sudah kedinginan hingga
kaku. Kelihatannya Ciok Giok Yin akan celaka di tangan Si Peng
Khek, namun mendadak tampak sebuah benda kecil meluncur
turun, bukan main cepatnya!
Cess! Ternyata sebuah panji kecil warna merah, menancap di
tanah. Panji merah itu bergambar sekepal rambut
panjang. Begitu melihat panji merah itu wajah Si Peng Khek
langsung berubah dan cepat-cepat menyurut mundur.
"Pek Hoat Hujin!" seru Si Peng Khek.
Keempat orang itu melototi Ciok Giok Yin, lalu membalikkan
badan meninggalkan tempat itu. Di saat bersamaan, tampak
sesosok bayangan merah berkelebat ke luar dari rimba,
ternyata adalah Heng Thian Ceng.
"Cepat kabur!" serunya gugup.
Kemudian, Heng Thian Ceng mencabut panji merah kecil itu
dan menarik Ciok Giok Yin untuk diajak melesat pergi. Sikap
dan tindakan Heng Thian Ceng itu sungguh mencengangkan
Ciok Giok Yin, namun dia tetap mengikutinya melesat
pergi. Berselang sesaat, barulah mereka memperlambat
langkahnya. "Lo cianpwee, mengapa sedemikian gugup?" tanya Ciok Giok
Yin dengan heran. Heng Thian Ceng menyahut,
"Si Peng Khek dari perkumpulan Sang Yen Hwee merupakan
tokoh yang amat terkenal dan sulit dilawan. Panji kecilku ini
cuma dapat menakutinya sejenak, tidak bisa mengelabuinya
terlalu lama, mungkin...."
Mendadak terdengar suara siualn yang amat nyaring di
tempat jauh, Heng Thian Ceng langsung menarik Ciok Giok Yin
untuk diajak bersembunyi di semak-semak. Tak lama suara
siulan itu makin lama makin mendekat, setelah itu kedengaran
menjauh. Barulah Heng Thian Ceng menarik nafas lega.
"Selanjutnya kalau kau berjumpa dengan mereka berempat,
harus lebih berhati-hati!" katanya kepada Ciok Giok Yin.
Ciok Giok Yin menatap panji kecil yang berada di tangan Heng
Thian Ceng. "Terimakasih atas pertolongan lo cianpwee. Panji kecil ini..."
katanya. Heng Thian Ceng menyahut,
"Enam puluh tahun yang lampau, Pek Hoat Hujin amat
ditakuti golongan hitam mau pun golongan putih. Asal panji
kecil merah ini muncul, berarti jejaknya dan tiada seorang pun
kaum persilatan yang tidak kabur." Dia menarik nafas panjang.
"Namun kini dia masih hidup atau sudah mati, tiada seorang
pun tahu. Puluhan tahun ini, tidak ada seorang pun melihat
wajahnya."
"Kalau begitu, mengapa kaum rimba persilatan begitu takut
padanya?" "Memang begitu, karena namanya telah menciutkan nyali
kaum rimba persilatan, maka begitu panji merah kecil ini
muncul, siapa pun pasti melarikan diri."
"Kalau begitu, dari mana lo cianpwee memperoleh panji
merah kecil ini?"
Wajah Heng Thian Ceng tampak kemerah-merahan.
"Kubuat sendiri, agar dapat dipergunakan apabila perlu."
Ciok Giok Yin teringat bahwa belum lama ini panji merah kecil
itu muncul beberapa kali, justru di saat dia dalam keadaan
bahaya. Maka, dia segera bertanya,
"Belum lama ini aku melihat beberapa kali panji merah kecil
ini, apakah juga...."
Sebelum Ciok Giok Yin usai berkata, Heng Thian Ceng sudah
memotongnya. "Tentang itu aku pun merasa curiga, mungkinkah Pek Hoat
Hujin masih hidup" Kalau tidak, pasti muridnya. Namun, aku
sama sekali tidak pernah mendengar tentang itu."
"Bagaimana Pek Hoat Hujin terhadap orang?" tanya Ciok Giok
Yin. "Sulit sekali dikatakan, dan juga tidak bisa diperbincangkan."
Heng Thian Ceng memandang Ciok Giok Yin. "Bocah, kau
datang dari mana?"
Ciok Giok Yin menutur tentang apa yang terjadi, setelah itu
menambahkan. "Lo cianpwee, aku terkena racun Mo Hwe Tok."
"Mo Hwe Tok?"
"Ng!"
"Kau harus cepat-cepat mengobati."
"Aku tahu, tapi... Mo Hwe Hud telah melarikan diri, maka
tiada obat penawarnya."
Heng Thian Ceng mengerutkan kening, lama sekali dia
berpikir. Mendadak sepasang matanya menyorot tajam dan dia
berkata. "Kalau begitu, kita harus pergi mencari Pek Jau Lojin."
"Pek Jau Lojin?"
"Tidak salah."
"Dia punya obat penawar racun Mo Hwe Tok?"
"Selama ini Pek Jau Lojin selalu mengumpulkan berbagai
macam rmput obat. Dengar-dengar dia juga punya Toan Teng
Cau (Rumput Pemutus Usus). Rumput obat itu bukan cuma
dapat memunahkan berbagai macam racun, bahkan setelah
makan rumput obat itu, selanjutnya akan kebal terhadap
berbagai macam racun."
Mendengar itu, sepasang mata Ciok Giok Yin langsung
bersinar-sinar.
"Di mana tempat tinggal Pek Jau Lojin?"
"Dia tinggal di Hian Peng Hong (Puncak Es) di Gunung Soat
San." "Aku ingin ke sana mencarinya."
"Kau ingin minta obat penawar racun itu?"
"Ng!"
"Sifat Pek Jau Lojin amat aneh. Bagaimana mungkin begitu
gampang dia memberikan obat penawar racun itu padamu?"
"Biar bagaimanapun aku harus berangkat ke sana."
Ciok Giok Yin memang telah membulatkan hatinya untuk
memperoleh rumput obat Toan Teng Cau. Dia tidak mau
menunggu mati tanpa berusaha, sebab masih banyak urusan
yang harus diselesaikan. Oleh karena itu, dia memberi hormat
pada Heng Thian Ceng seraya berkata,
"Terimakasih atas petunjuk lo cianpwee."
Ciok Giok Yin membalikkan badannya, tetapi ketika baru mau
melesar pergi mendadak Heng Thian Ceng berseru.
"Tunggu!"
"Apakah lo cianpwee tidak ada urusan lain?" katanya sambil
menatap wajah itu.
"Jangan cerewet, mari berangkat!"
Begitu menandaskan, badan Heng Thian Ceng pun bergerak,
ternyata dia sudah melesat pegi. Ciok Giok Yin tidak berani
berlaku ayal, langsung melesat mengikutinya dari belakang.
Mereka berdua memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi, maka
tidak mengherankan kalau cuma tampak, bayangan mereka
berkelebat laksana kilat. Pada hari ketiga, ketika hari mulai
sore, mereka berdua sudah tiba di puncak Gunung Soat
San. Bukan main indahnya puncak gunung itu! Sejauh mata
memandang, puncak gunung tersebut sepertinya dibikin dari
kaca. Wajah Heng Thian Ceng kelihatan serius. Dia membawa
Ciok Giok Yin melesat di puncak gunung itu. Tempat tersebut
amat bahaya. Maka meskipun mereka berdua memiliki ilmu
ginkang tingkat tinggi, namun tidak berani berlaku ceroboh.
Hian Peng Hong (Puncak Es) sungguh merupakan tempat
yang amat dingin! Kalau mereka berdua tidak memiliki lwee
kang yang tinggi, mungkin sudah mati kedinginan. Di tempat
tersebut tidak tampak rerumputan maupun pepohonan, yang
tampak hanya es yang gemerlapan. Heng Thian Ceng melihat
ke sana ke mari, kemudian berkata,
"Makhluk tua itu entah tinggal di mana?"
Ciok Giok Yin terbelalak.
"Lo cianpwee juga tidak tahu tempat tinggalnya?"
"Kalau dia masih hidup, jangan khawatir tidak dapat
mencarinya."
Mendadak Heng Thian Ceng menghentikan langkahnya.
"Bocah! Kau harus ingat! Menghadapi orang yang bersifat
aneh, kau harus sabar! Jangan bersikap bengis atau angkuh,
yang penting harus memperoleh obat itu," katanya dengan
serius. Ciok Giok Yin tidak menyangka bahwa Heng Thian Ceng
berpikir sepanjang begitu. Padahal Heng Thian Ceng sendiri
juga tergolong orang yang bengis, angkuh dan kejam pula. Dia
berpesan seperti itu kepada Ciok Giok Yin, pertanda amat
memperhatikannya. Oleh karena itu, Ciok Giok Yin manggutmanggut.
"Ya. Terimkasih atas petunjuk lo cianpwee."
Mereka berdua mulai melesat, kemudian turun ke
bawah. Tiba-tiba terdengar suara seruan di tempat yang tinggi.
"Hati-hati!"
Suara seruan itu belum sirna, sudah terdengar suara hiruk
pikuk dan puncak Gunung Soat San itu pun tergoncanggoncang.
Buuummm! Blammm...!
Tampak lapisan es di puncak gunung itu beterbangan,
ternyata terjadi longsor. Ciok Giok Yin langsung berseru.
"Lo cianpwee...!"
Namun bagaimana kerasnya suara Ciok Giok Yin, tidak dapat
menindih suara gemuruh itu, maka suara seruannya tidak
terdengar sama sekali. Ciok Giok Yin tidak berhasil mengelak.
Tiba-tiba kepalanya terasa sakit terhantam sesuatu, lalu
pingsan tak sadarkan diri. Entah berapa lama kemudian,
barulah dia siuman perlahan-lahan. Dia membuka matanya,
ternyata dirinya berada di dalam sebuah lembah. Dia teringat
akan kejadian longsor tadi dan seketika sekujur badannya
menjadi merinding. Nyawanya boleh dikatakan dipungut
kembali, tidak terduga dia masih bisa hidup.
Ciok Giok Yin segera duduk bersila menghimpun hawa
murninya. Setelah tidak merasa ada sesuatu dalam tubuhnya
barulah dia berlega hati. Dia tahu mengapa dirinya pingsan,
tidak lain karena kepalanya terhantam oleh bongkahan es. Dia
segera bangkit berdiri dan berseru sekeras-kerasnya.
"Lo cianpwee! Lo cianpwee...!"
Cuma terdengar suaranya yang berkumandang, tidak
terdengar suara sahutan sama sekali. Betapa sedihnya hati
Ciok Giok Yin. "Lo cianpwee, aku yang mencelakaimu, bagaimana hatiku
bisa tenang?" gumamnya dengan mata berkaca-kaca. Usai
bergumam, dia mengambil keputusan untuk mencari mayat
Heng Thian Ceng, setelah itu baru mencari Pek Jau Lojin untuk
minta rumput Toan Teng Cau. Sementara hari sudah mulai
gelap, namun matanya yang tajam itu dapat melihat dengan
jelas dalam jarak sepuluh depa. Akan tetapi dinginnya malam


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu terasa menusuk ke dalam tulang. Meskipun dia memiliki
lwee kang tinggi, namun tidak berhasil mengusir rasa dingin di
dalam tubuhnya.
Di saat dia baru mau meninggalkan lembah itu, mendadak
melihat sebuah goa di dinding tebing. Dia memandang ke
dalam goa tersebut. Di dalamnya sunyi senyap, sepertinya goa
alam yang tiada penghuninya. Sebetulnya dia tidak ingin
memasuki goa itu. Tapi karena merasa heran dan tertarik,
akhirnya dia masuk juga.
Baru beberapa langkah, dia berjalan di dalam goa itu, tiba-tiba
terdengar suara bentakan yang amat dingin.
"Berhenti!"
Ciok Giok Yin tersentak dan langsung berhenti sambil
menengok ke sana ke mari mencari orang yang membentak
itu. Akan tetapi, di dalam goa itu tidak tampak seorang
pun. Berselang sesaat, terdengar lagi suara dingin itu.
"Kau harus segera mundur! Kalau tidak, aku tidak akan
berlaku sungkan-sungkan terhadapmu!"
Begitu mendengar suara itu, timbullah sifat angkuh Ciok Giok
Yin. "Kau mau apa?" sahutnya dengan dingin pula.
"Membunuhmu!"
Ciok Giok Yin mendengus dingin.
"Hmm! Mengapa kau ingin membunuhku?"
"Pokoknya kau tidak boleh masuk!"
Ciok Giok Yin tertawa gelak, lalu bertanya.
"Siapa kau?"
"Pek Jau Lojin!"
"Apa" Pek Jau Lojin?"
"Tidak salah! Cepatlah kau enyah!"
"Aku justru sedang mencarimu!"
"Cari aku?"
"Ng!"
"Ada urusan apa?"
Ciok Giok Yin menyahut memanasi hati Pek Jau Lojin.
"Aku ke mari ingin menemuimu sebab kudengar kau bersifat
baik! Namun sekarang kelihatannya kau tidak seperti apa yang
dikatakan orang. Kau merupakan mahluk aneh yang bersifat
kasar, maka sia-sialah perjalanan ini!"
Mendadak terdengar suara desiran angin. Tampak sesosok
bayangan berkelebat, tahu-tahu sudah berada di hadapan Ciok
Giok Yin. Ciok Giok Yin langsung memandang ke depan.
Dilihatnya seorang tua berambut putih berdiri di hadapannya.
Sepasang matanya menyorot tajam, terus menatap Ciok Giok
Yin. "Bocah! Masih ada seorang wanita, ke mana dia?"
Ciok Giok Yin tertegun.
"Kau melihatnya?"
"Tentu."
"Kawanku itu mungkin telah mati terhantam longsoran es,
namun aku belum menemukan mayatnya.
Pek Jau Lojin menatapnya dengan mata tak berkedip
kemudian bertanya,
"Sebetulnya mau apa kalian ke mari?"
"Mau minta rumput Toan Teng Cau!" jawab Ciok Giok Yin.
Pek Jau Lojin tertawa dingin lalu bertanya.
"Toang Teng Cau?"
"Ng!"
"Tahukah kau lohu punya peraturan?"
"Peraturan apa?"
"Kalau kau kuat menerima tiga pukulan lohu, maka kau akan
mendapatkan rumput itu secara cuma-cuma!"
"Kalau aku tidak kuat menerima tiga pukulan itu?"
"Kau pasti mati di tempat ini!"
Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Baik kalau begitu."
Sepasang mata Pek Jau Lojin menyorot tajam dan kemudian
dia membentak. "Bocah, di luar goa saja!"
"Mengapa?"
"Lohu tidak menghendakimu mati di dalam goa!"
Pek Jau Lojin langsung melesat ke luar. Bukan main cepatnya
gerakan orang tua itu! Ciok Giok Yin juga melesat ke luar
mengikuti di belakangnya. Sampai di luar, hatinya agak
berdebar-debar tegang. Dia ke mari demi memperoleh rumput
Toan Teng Cau, untuk menyelamatkan nyawanya,
maka... Mendadak Pek Jau Lojin membentak keras.
"Terimalah pukulanku!"
Pek Jau Lojin telah melancarkan sebuah pukulan ke arah Ciok
Giok Yin. Pukulan itu dahsyat sekali sehingga menimbulkan
suara menderu-deru.
Ciok Giok Yin mengerahkan lwee kangnya lalu berkertak gigi
sambil menerima pukulan tersebut.
Bum! Badan Ciok Giok Yin terpental ke atas lalu jatuh gedebuk dan
mulutnya menyemburkan darah segar. Akan tetapi rasa ingin
hidup mendukung semangatnya sehingga membuatnya bangkit
perlahan-lahan. Sepasang matanya menatap Pek Jau Lojin
dengan penuh kebencian lalu dia maju ke hadapan Pek Jau
Lojin dengan langkah sempoyongan. Pek Jau Lojin sudah siap
melancarkan pukulan kedua, tapi tiba-tiba terdengar suara
keras. "Bocah, jangan!"
Tampak sosok bayangan merah melayang turun. Ciok Giok
Yin memandang bayangan merah itu, ternyata Heng Thian
Ceng. "Lo cianpwee, harap mundur!" katanya segera.
Saat ini Pek Jau Lojin sudah menurunkan tangannya,
menatap mereka berdua dengan dingin sekali. Sedangkan
Heng Thian Ceng melototinya, kemudian bertanya.
"Kau adalah Pek Jau Lojin?"
"Tidak salah, siapa kau?"
"Heng Thian Ceng."
"Mau apa kau ke mari?"
"Aku ingin bertanya satu hal padamu."
"Tanyalah!"
"Kau memiliki rumput Toan Teng Cau, lalu untuk apa
disimpan?"
"Mengobati penyakit."
Heng Thian Ceng tertawa dingin lalu berkata.
"Kalau untuk mengobati penyakit, bocah ini justru terkena
racun Mo Hwe Tok. Dia jauh-jauh datang ke mari demi mencari
rumput Toan Teng Cau, mengapa kau malah turun tangan
jahat terhadapnya?"
"Ini adalah peraturanku!"
"Kalau dia tidak mampu menerima tiga pukulanmu, bukankah
dia akan mati penasaran di sini?"
"Dia... mati tiada hubungan apa-apa denganku!"
Kata-kata Pek Jau Lojin itu membuat kegusaran wanita iblis
itu memuncak. "Tua bangka, tak kusangka kau sedemikian tak berperasaan!"
bentaknya. Usai dia membentak, ketika baru mau turun tangan
sekonyong-konyong teringat akan pesannya pada Ciok Giok
Yin, harus sabar menghadapi Pek Jau Lojin, lalu mengapa
dirinya sendiri tidak bisa bersabar" Oleh karena itu,
kegusarannya langsung mereda. Setelah itu dia berkata
dengan lembut. "Kau sudah tua, mengapa harus keras kepala" Maaf, aku
memberanikan diri menasehatimu. Lebih baik kau berikan Toan
Teng Cau itu pada bocah ini!"
"Enak saja kau bicara!"
Ucapan Pek Jau Lojin itu menimbulkan kegusaran Heng Thian
Ceng. Kini dia betul-betul tidak dapat bersabar lagi. Saat ini
Ciok Giok Yin telah usai beristirahat. Dia mau ke hadapan Heng
Thian Ceng seraya berkata.
"Harap lo cianpwee mundur! Aku yakin dapat menerima
pukulannya."
Sebelumnya Heng Thian Ceng tidak pernah merasa sayang
terhadap siapa pun. Namun kini begitu melihat wajah Ciok Giok
Yin masih pucat pasi, timbullah rasa sayang dan simpati
padanya. Heng Thian Ceng menoleh memandang Pek Jau Lojin lalu
bertanya dengan lantang.
"Bagaimana kalau aku mewakilinya menerima tiga
pukulanmu?"
Pek Jau Lojin balik bertanya.
"Sesungguhnya siapa yang menghendaki rumput Toan Teng
Cau" Kau atau dia?"
"Aku," sahut Ciok Giok Yin cepat.
"Kalau begitu, kau masih harus menerima dua pukulanku!"
Ciok Giok Yin sama sekali tidak memperdulikan Heng Thian
Ceng, langsung maju ke hadapan Pek Jau Lojin dan berdiri
dengan sikap gagah. Menyaksikan sikap Ciok Giok Yin, Heng
Thian Ceng merasa kagum sekali. Sedangkan Pek Jau Lojin
menatap Ciok Giok Yin dengan bengis, kemudian membentak
keras. "Terimalah pukulanku?"
Bum! Kali ini Ciok Giok Yin terpental hampir dua depa, kemudian
jatuh gedebuk telentang di tanah. Heng Thian Ceng cepatKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
cepat menghampirinya. Namun ketika dia baru mau
memapahnya Ciok Giok Yin sudah bangkit berdiri. Mulutnya
mengeluarkan darah segar. Wajahnya yang tampan itu, kini
sudah berubah menjadi tak sedap dipandang, menyerupai
wajah setan iblis bengis. Dia tidak memperdulikan Heng Thian
Ceng, melangkah maju dengan badan sempoyongan. Sepasang
matanya terus menatap Pek Jau Lojin dengan bengis dan
penuh kebencian. Mendadak dia berkata sepatah demi sepatah.
"Masih ada satu pukulan!"
Pek Jau Lojin betul-betul tidak berperasaan sama sekali.
Sepasang matanya menyorot dingin, dia kemudian
membentak. "Aku menghendakimu mati!"
Dia langsung melancarkan pukulan terakhir yang paling
dahsyat, menimbulkan suara gemuruh seperti kejadian longsor
tadi. Terdengar suara jeritan. Kemudian semburan darah
segar! Tampak badan Ciok Giok Yin terpental ke atas, lalu jatuh ke
bawah hampir tiga depa. Sepasang mata Heng Thian Ceng
tampak membara saking gusarnya. Ketika dia baru mau turun
tangan terhadap Pek Jau Lojin, Ciok Giok Yin bangkit berdiri,
namun tak lama roboh lagi. Pek Jau Lojin diam saja, lalu
melesat ke dalam goa.
Sedangkan Heng Thian Ceng cepat-cepat mendekati Ciok Giok
Yin lalu memeriksa detak jantungnya. Ternyata Ciok Giok Yin
menderita luka dalam yang amat parah. Mengetahui keadaan
Ciok Giok Yin bukan main gusarnya Heng Thian Ceng. Dia
mengambil keputusan untuk membunuh Pek Jau Lojin. Namun
ketika dia mau melesat ke dalam goa, tampak sosok bayangan
berkelebat ke luar dari dalam goa, terdengar suara bentakan.
"Ambil, cepatlah kalian meninggalkan tempat ini!"
Terlihat suatu benda putih meluncur ke arah Heng Thian
Ceng, lalu bayangan itu melesat kembali ke dalam goa. Heng
Thian Ceng menjulurkan tangannya menyambut benda putih
itu, sekaligus dilihatnya. Ternyata benda putih itu adalah buah
yang menyerupai bola kaca, gemerlapan di tangan Heng Thian
Ceng. Heng Thian Ceng terbelalak. Dia tahu bahwa itu adalah
buah Toan Teng Ko.
Maka tanpa ayal lagi, dia langsung mengempit Ciok Giok Yin
dan melesat ke luar meninggalkan lembah itu.
Sedangkan Ciok Giok Yin telah pingsan. Sepasang matanya
terpejam rapat, kelihatannya seperti sudah mati. Dalam
perjalanan Heng Thian Ceng berkata dalam hati. 'Urusan yang
paling penting sekarang harus membiarkannya beristirahat
agar kondisi badannya pulih.' Heng Thian Ceng menengok ke
sana ke mari mencari goa, akan tetapi sepajang jalan yang
dilaluinya hanya tampak salju dan es, tiada suatu tempat yang
dapat di pergunakan untuk beristirahat.
Lagi pula ketika berada di tempat itu, nyali Heng Thian Ceng
telah ciut lantaran kejadian longsor tadi. Oleh karena itu dia
sama sekali tidak berani menghentikan langkahnya. Berselang
beberapa saat kemudian, tampak sebuah goa alam. Heng Thian
Ceng membawa Ciok Giok Yin memasuki goa itu. Kebetulan di
saat itu Ciok Giok Yin siuman perlahan-lahan.
"Budi kebaikan lo cianpwee, aku...," katanya perlahan-lahan.
Heng Thian Ceng langsung menyergapnya.
"Bocah, cepat makan buah Toan Teng Ko ini dan himpun
hawa murnimu, jangan membicarakan soal budi kebaikan di
saat ini!"
Heng Thian Ceng menyodorkan buah itu ke hadapannya. Ciok
Giok Yin tertegun. Ternyata ketika Pek Jau Lojin masuk ke
dalam goa mengambil buah Toan Teng Ko, dia sudah pingsan,
maka tidak tahu akan hal tersebut. Ketika melihat buah
tersebut berada di tangan Heng Thian Ceng, dia pun terbelalak
seraya berseru.
"Buah Toan Teng Ko?"
"Lo cianpwee yang...."
Heng Thian Ceng langsung memotong perkataannya.
"Kau kok cerewet amat" Pek Jau Lojin yang mengambil buah
ini. Cepat makan!"
Ciok Giok Yin mengambil buah tersebut lalu dimakannya.
Kemudian dia memandang Heng Thiar Ceng dengan penuh rasa
terimakasih. Setelah itu dia duduk bersila menghimpun hawa
murninya. Berselang beberapa saat kemudian, mendadak Ciok
Giok Yin roboh. Heng Thian Ceng yang menjaganya, ketika
melihatnya roboh, bukan main terkejutnya. Dia segera
memeriksa detak jantung Ciok Giok Yin. Sungguh di luar
dugaan, detak jantungnya makin lemah. Bahkan kedua tangan
dan kakinya juga amat dingin sekali.
Justru di saat bersamaan, terdengar suara siulan panjang
beberapa kali di tempat jauh yang makin lama makin dekat,
lalu menjauh lagi. Heng Thian Ceng berkertak gigi. Dia tidak
menyangka Pek Jau Lojin akan menipunya. Namun dia sudah
mengambil keputusan dalam hati, apabila Ciok Giok Yin mati,
maka dia pun akan membunuh Pek Jau Lojin. Sementara Ciok
Giok Yin tetap dalam keadaan pingsan, tiada tanda-tanda dia
akan siuman. Heng Thian Ceng mengerutkan kening dan terus
memandang Ciok Giok Yin dengan penuh keheranan, kemudian


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk di sampingnya.
Berselang beberapa saat, tampak uap putih keluar dari
sekujur badan Ciok Giok Yin, dan itu membuat Heng Thian
Ceng bertambah heran. Beberapa saat setelah itu, uap putih
tersebut mulai buyar. Mendadak Ciok Giok Yin bangkit berdiri
dan langsung memberi hormat kepada Heng Thian Ceng.
"Lo cianpwee, kini aku berhutang budi lagi pada lo cianpwee,"
katanya. "Budi apa" Tadi kau kelihatan seperti mati," sahut Heng Thian
Ceng. "Lo cianpwee, buah Toan Teng Ko bukan buah biasa. Setelah
makan buah itu, aku merasa ada aliran panas menerjang ke
arah bagian hatiku. Sungguh tak tertahankan, mohon lo
cianpwee sudi memaafkanku!"
"Bocah, mengapa tadi badanmu mengeluarkan uap putih?"
"Ketika aku siuman, langsung mengerahkan Sam Yang Hui
Kang untuk menekan hawa panas itu."
Mendadak Heng Thian Ceng menjulurkan jari tangannya
mencengkeram Ciok Giok Yin dan sepasang matanya menyorot
bengis. "Bocah, kau harus berkata sejujurnya!" katanya dengan suara
dalam. Karena urat nadi Ciok Giok Yin tercengkeram, maka
separuh badannya terasa semutan. Dia sama sekali tidak
mengerti mengapa Heng Thian Ceng berbuat demikian
terhadap dirinya.
"Untuk apa aku bohong?" sahutnya sengit.
"Aku harus bertanya satu hal padamu!"
"Tanyalah!"
"Dari mana kau peroleh ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang
itu?" Sambil menahan rasa sakit Ciok Giok Yin menyahut dingin.
"Karena lo cianpwee bertanya dengan cara demikian, aku
tidak akan memberitahukan!"
"Kau menghendakiku bertanya dengan cara bagaimana?"
Seketika sifat angkuh Ciok Giok Yin timbul.
"Walau lo cianpwee sering menolongku, dan aku pun bersedia
mati di tangan lo cianpwee, tapi aku tidak akan
memberitahukan, kecuali...."
"Kecuali apa?"
"Kecuali memberitahukan hubungan lo cianpwee dengan ilmu
pukulan Hong Lui Sam Ciang itu!"
Sepasang mata Heng Thian Ceng melotot, lama sekali barulah
dia melepaskan tangannya.
"Kau mau memberitahukan atau tidak, terserah! Aku tidak
akan bertanya lagi!"
Usai berkata, Heng Thian Ceng membalikkan badannya.
Namun ketika dia baru mau melesat pergi, Ciok Giok Yin yang
merasa berhutang budi padanya, langsung memanggilnya.
"Lo cianpwee, harap tunggu sebentar!"
"Ada urusan apa?"
"Aku akan memberitahukan pada lo cianpwee. Hong Lui Sam
Ciang itu diberikan dari Tiong Ciu Sin Ie. Beliau pernah
mengobati seseorang, maka orang itu menghadiahkan
padanya." Heng Thian Ceng mengeluarkan suara 'Oh'. Setelah itu
berkata, "Hadiah dari orang yang diobatinya?"
"Ng!"
"Apakah dia bilang siapa orang itu?"
"Tidak."
Heng Thian Ceng menggeleng-gelengkan kepala lalu
bergumam perlahan.
"Apakah dia?"
"Siapa?" tanya Ciok Giok Yin.
Heng Thian Ceng mengerutkan kening.
"Sudahlah! Tidak usah dibicarakan!"
Justru pada waktu bersamaan terdengar beberapa kali suara
siulan. Mereka berdua langsung melesat ke luar, ke arah suara
siulan itu. Wajah Heng Thian Ceng tampak serius.
"Di tempat ini akan terjadi urusan apa?"
"Sulit dikatakan."
Ketika mereka berdua sampai di bawah tebing, dari atas
meluncur turun benda hitam.
Duuuk! Benda itu jatuh di hadapan mereka berdua, ternyata sesosok
mayat. Di saat bersamaan, terdengar pula suara 'Plak! Plak' di
atas tebing, disusul oleh suara bentakan. Tidak salah lagi, di
atas tebing itu telah terjadi pertarungan sengit.
"Lo cianpwee, mari kita ke atas melihat-lihat!" ajak Ciok Giok
Yin. Heng Thian Ceng mengangguk, kemudian mereka berdua
melesat ke atas. Tiba-tiba Heng Thian Ceng menarik lengan
baju Ciok Giok Yin seraya berkata dengan serius.
"Bocah, sampai di atas kita jangan perlihatkan diri dulu!"
Ciok Giok Yin mengangguk, mereka berdua terus melesat ke
atas tebing. Tak lama kemudian mereka sampai di atas tebing
lalu bersembunyi di belakang sebuah batu besar sambil
mengintip. Tampak dua orang sedang bertarung mati-matian
dan begitu banyak kaum rimba persilatan berdiri di sana. Di
antara kaum rimba persilatan itu tampak pula ketua Sang Yen
Hwee dan orang-orangnya. Sementara kedua orang yang
sedang bertarung itu mendadak mundur dua langkah. Salah
seorang tua berwajah bengis tertawa dingin kemudian berkata
sepatah demi sepatah.
"Kitab Cu Cian memang berada di tanganku dan siapa punya
kepandaian boleh ambil!"
Orang tua yang satu lagi menggeram lalu menerjang ke arah
orang tua berwajah bengis itu.
Akan tetapi mendadak ketua Sang Yen Hwee membentak
keras, lalu melesat ke arah orang tua berwajah bengis
sekaligus menangkis serangannya.
Bum! Terdengar suara benturan dahsyat dan menyusul suara
jeritan yang menyayat hati. Orang tua berwajah bengis itu
telah binasa. Kepalanya pecah sehingga darah dan otaknya
berhamburan ke mana-mana. Ketua Sang Yen Hwee maju
mendekati mayat itu. Di saat bersamaan orang tua yang tadi
bertarung itu pun langsung melesat ke arah mayat tersebut,
malah lebih cepat dari ketua Sang Yen Hwee dan segera
menggeledah mayat itu.
"Kau berani!" bentak ketua Sang Yen Hwee. Dia langsung
melancarkan sebuah pukulan ke arah kepada orang tua
itu. Orang tua itu berkelit, kemudian balas menyerang. Ketika
ketua Sang Yen Hwee baru mau menangkis sekonyongkonyong
tampak sosok bayangan melesat ke sana cepatnya
laksana kilat dan langsung menjulurkan tangannya. Tahu-tahu
sebuah bungkusan merah telah berpindah ke tangannya. Dia
tertawa nyaring lalu berkata.
"Maaf! Aku mohon diri!"
"Bangsat Bu Tok, kau sungguh licik, cepat turun kembali!"
bentak ketua Sang Yen Hwee mengguntur.
Namun terdengar suara seruan nyaring.
"Kalau tidak takut racun boleh kejar!"
Kaum rimba persilatan yang ada di tempat itu langsung
berhambur mengejar. Akan tetapi terdengar beberapa kali
jeritan, ternyata empat orang di antara mereka telah
roboh. Ketua Sang Yen Hwee tersentak dan tidak berani
mengejar orang membawa pergi bungkusan merah
itu. Sementara Ciok Giok Yin yang bersembunyi di belakang
batu besar, begitu melihat kitab Cu Cian diambil orang,
langsung muncul seraya membentak.
"Cepat taruh kitab Cu Cian itu!"
Kemudian dia melesat cepat mengejar Bu Tok
Sianseng. Sementara ketua perkumpulan Sang Yen Hwee yang
berdiri termangu-mangu, ketika melihat kemunculan Ciok Giok
Yin, walau mukanya ditutupi kain, namun masih tampak
sepasang matanya menyorot penuh kebencian. Badannya
bergerak laksana kilat menghadang di hadapan Ciok Giok Yin.
"Bocah, hari ini kau harus mampus!" bentaknya sambil
melancarkan pukulan. Di saat bersamaan, mendadak tampak
sebuah tandu kecil yang digotong dua wanita meluncur cepat
ke tempat itu. Gadis berbaju hijau yang mengiring tandu kecil
itu, begitu sampai di tempat tersebut segera berseru lantang.
"Sian Ceng perintahkan kalian berhenti!"
Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee langsung mundur, tapi
sepasang matanya terus menatap tandu kecil itu. Terdengar
suara yang amat nyaring dari dalam tandu kecil itu.
"Apakah ketua perkumpulan Sang Yen Hwee punya dendam
dengannya?"
"Tidak salah," sahut ketua perkumpulan Sang Yen Hwee. "Apa
maksud Sian Ceng?"
Ternyata yang baru muncul itu adalah Thian Thay Siang Ceng.
Terdengar suara sahutannya dad dalam tandu kecil.
"Kau menghendaki dia hidup atau mati?"
"Hidup! Sian Ceng dan dia...."
Thian Thay Sian Ceng memotong perkataan ketua
perkumpulan Sang Yen Hwee berkata.
"Juga ada dendam," sergah Thian Thay Sian Ceng.
Berselang sesaat Thian Thay Sian Ceng melanjutkan
ucapannya. "Kalau begitu, kita turun tangan bersama. Siapa yang lebih
dulu berhasil menangkapnya, berarti miliknya."
Dapat dibayangkan betapa gusarnya Ciok Giok Yin yang
berdiri di tengah-tengah mereka. Tidak menyangka kedua
orang itu sama sekali tidak memandangnya sebelah
mata. Mendadak terasa dua rangkum aning yang amat kuat
menerjang ke arahnya. Serangkum dari dalam tandu kecil,
serangkum lagi dari ketua perkumpulan Sang Yen Hwee. Ciok
Giok Yin menggeram, kemudian berkata dengan dingin sekali.
"Aku akan mengadu nyawa dengan kalian!"
Mendadak dia mencelat ke atas. Kedua rangkum angin
pukulan itu terasa berdesir melewati ujung kakinya. Thian Thay
Sian Ceng dan ketua perkumpulan Sang Yen Hwee sama-sama
tertawa dingin dan berkata.
"Ciok Giok Yin, kau pasti mampus!"
Terasa lagi dua rangkum angin pukulan yang amat dahsyat
menerjang ke arah Ciok Giok Yin. Badan Ciok Giok Yin masih
berada di udara. Dia terpaksa menarik nafasnya dalam-dalam
mengerahkan lwee kangnya, maka badannya melambung ke
atas hampir satu depa. Namun di saat bersamaan, ketua
perkumpulan Sang Yen Hwee telah menyerangnya dengan
tenaga lunak. Sementara Ciok Giok Yin sudah tidak bertenaga untuk
melambungkan badannya ke atas, maka merosotlah dia ke
bawah. Di saat badannya merosot ke bawah, dua rangkum tenaga
yang amat dahsyat menyerangnya lagi. Ciok Giok Yin sudah
tidak mampu mengerahkan lwee kangnya dan juga tidak
mampu berkelit. Terdengar suara jeritan.
"Aaaakh... !"
Mulutnya menyembur darah segar.
Duuuk! Dia jatuh gedebuk di tanah.
Gadis berbaju hijau menjerit kaget tanpa sadar 'Haaah! Ketika
dia baru mau melesat ke arah Ciok Giok Yin dari dalam tandu
kecil itu terdengar bentakan dingin.
"Tunggu, Anak Ceh!"
Gadis berbaju hijau langsung berdiri diam di tempat. Sekujur
badannya gemetar, wajahnya pucat pias dan matanya terus
melirik Ciok Giok Yin yang tergeletak di tanah. Di saat itulah
ketua perkumpulan Sang Yen Hwee menerjang ke arah Ciok
Giok Yin. Tapi sungguh diluar dugaan, ada serangkum angin yang tak
menimbulkan suara menghalangi ketua perkumpulan Sang Yen
Hwee, sehingga membuatnya tidak bisa maju. Terdengar suara
Thian Thay Sian Ceng.
"Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee, kini pikiranku berubah."
"Maksud Sian Ceng?"
"Pukul dia sampai mati! Kalau kau menghendaki mayatnya,
boleh bawa pergi!"
Sepasang biji mata ketua perkumpulan Sang Yen Hwee
berputar sejenak, dia lalu berkata.
"Menurut Sian Ceng, kita harus turun tangan bersama?"
"Betul."
Namun sekonyong-konyong terdengar suara bentakan yang
mengguntur. "Dasar sepasang iblis tak tahu malu!"
Tampak sosok bayangan merah meluncur ke tempat itu,
sepasang tangannya bagaikan sayap burung, siap menangkis
serangan-serangan yang akan dilancarkan Thian Thay Sian
Ceng dan ketua perkumpulan Sang Yen Hwee. Kaum rimba
persilatan yang berada di tempat itu berseru serentak.
"Heng Thian Ceng!"
Akan tetapi Thian Thay Sian Ceng dan ketua perkumpulan
Sang Yen Hwee sudah melancarkan pukulan. Meskipun Heng
Thian Ceng berkepandaian amat tinggi, namun sulit juga
baginya melawan kedua pukulan tersebut.
Bum! Terdengar suara benturan dahsyat memekakkan telinga
kemudian tampak badan Heng Thian Ceng terpental ke luar
dari tebing. Wanita iblis yang sering membunuh orang itu
kemungkinan besar nyawanya akan melayang. Sedangkan Ciok
Giok Yin masih tergeletak di tanah tak bergerak. Darah segar
masih mengalir ke luar dari mulutnya. Sementara setelah
membuat Heng Thian Ceng terpental, Thian Thay Sian Ceng
dan ketua perkumpulan Sang Yen Hwee melancarkan pukulan
lagi ke arah Ciok Giok Yin. Kelihatannya Ciok Giok Yin akan....
Mendadak terdengar suara,
"Huuuuuh!"
Sebatang panji merah kecil tertancap di tanah, menyusul
terdengar pula suara yang amat dingin.
"Semuanya harus enyah!"
Thian Thay Sian Ceng yang duduk di dalam tandu kecil,
tentunya tidak kelihatan bagaimana air mukanya. Yang jelas
dia cepat-cepat menarik kembali pukulannya sekaligus berseru
kaget. "Pek Hoat Hujin!"
Kemudian terdengar suara seruan kaget lain.
"Pek Hoat Hujin!"
Seketika suasana di tempat itu menjadi kacau. Ternyata
kaum rimba persilatan yang ada di tempat itu saling


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendahului kabur, dan dalam sekejap mereka sudah tidak
kelihatan. Sedangkan Thian Thay Sian Ceng dan gadis berbaju
hijau juga meninggalkan tempat itu. Tapi gadis berbaju hijau
masih sempat melirik Ciok Giok Yin dengan iba. Kini di tempat
itu cuma tinggal Ciok Giok Yin.
Tampak seorang wanita berpakaian merah melayang-layang
dengan kaki tidak menyentuh tanah mendekatinya. Setelah
berada di hadapan Ciok Giok Yin, dia menundukkan kepala
memperhatikannya, lalu menyambar sekaligus membawanya
pergi dan dalam sekejap sudah tidak kelihatan
bayangannya. Siapa dia" Tiada seorang pun yang tahu.
Sementara itu Ciok Giok Yin sudah mulai siuman perlahanlahan
dan badannya bergerak sedikit. Mendadak terdengar
suara in di belakangnya.
"Cepat himpun hawa murnimu mengikuti hawa murniku!"
Kini Ciok Giok Yin baru merasa ada hawa hangat menerobos
ke dalam tubuhnya melalui jalan darah Beng Bun Hiatnya. Dia
tidak berani ayal lagi, langsung menghimpun hawa murninya,
menyatu dengan hawa hangat itu, kemudian dialihkan ke
seluruh tubuhnya.
Berselang beberapa saat kemudian, badannya sudah terasa
pulih. Ketika dia baru mau bangkit berdiri, tiba-tiba melihat sesosok
bayangan berkelebat ke hadapannya. Dia mendongakkan
kepala. Di lihatnya seorang wanita anggun berpakaian
menawan, berusia tiga puluhan dan wajahnya amat cantik
sekali. Namun, sepasang mata wanita itu menyorot amat
tajam, membuat Ciok Giok Yin merasa merinding dan berkata
dalam hati. Sungguh tinggi lwee kangnya, siapa dia"' Ciok Giok
Yin segera bangkit berdiri lalu memberi hormat pada wanita
itu. "Terimakasih atas pertolongan cianpweet," ucapannya.
"Kau bernama Ciok Giok Yin?" tanya wanita itu.
"Ya."
"Berapa usiamu?"
"Delapan belas."
Wanita anggun berpakaian mewah itu diam sejenak,
kemudian berkata,
"Aku ingin menanyakan seseorang padamu, entah kau kenal
atau tidak?"
Ciok Giok Yin tertegun dan langsung bertanya.
"Siapa?"
"Hai Thian Tayhiap Ciok Khie Goan."
Ciok Giok Yin tercengang karena sudah beberapa orang
menyinggung nama tersebut, bahkan juga berpesan apabila
memperoleh Seruling Perak, harus diserahkan kepada
keturunannya. "Aku memang pernah mendengar nama itu, tapi tidak kenal,"
jawabnya dengan jujur.
"Kau punya hubungan dengan Ciok Khie Goan?"
"Aku tidak pernah mendengar tentang itu."
"Siapa kedua orang tuamu?"
Wajah Ciok Giok Yin kemerah-merahan, dan dia tak mampu
menjawab. Air muka wanita anggun berpakaian mewah itu
berubah dingin.
"Kau tidak memberitahukan?" katanya.
"Jangan salah paham, cianpwee," sahut Ciok Giok Yin dengan
suara rendah. "Maksudmu?"
"Aku tidak tahu siapa kedua orang tuaku, juga tidak tahu
nama mereka."
Wanita anggun berpakaian mewah mengerutkan kening.
"Kau sama sekali tidak tahu nama kedua orang tuamu?"
katanya heran. "Ya."
"Kalau begitu, siapa yang membesarkanmu?"
"Tiong Ciu Sin Ie."
"Tiong Ciu Sin Ie?"
"Ng!"
"Di mana dia sekarang?"
\ Ditanya demikian, mata Ciok Giok Yin langsung bersimbah air.
"Beliau telah meninggal."
Wanita anggun berpakaian mewah itu mengerutkan kening,
sama sekali tidak bersuara. Akan tetapi sepasang matanya
yang tajam itu terus-menerus memandang wajah Ciok Giok
Yin. Kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala, tapi tetap
tidak bersura. Sikapnya itu membuat Ciok Giok Yin menjadi
terheran-heran.
"Bolehkah aku tahu nama cianpwee?" katanya.
Wanita anggun berpakain mewah itu menyahut,
"Tidak perlu," dia memandang Ciok Giok Yin.
"Sampai jumpa."
Kemudian melesat pergi. Suaranya belum sirna, namun
orangnya sudah tidak kelihatan lagi. Ciok Giok Yin terbelalak
menyaksikan ilmu ginkang wanita anggun berpakain mewah
itu. Sebab ilmu ginkangnya amat tinggi, mungkin tiada duanya
di dunia persilatan. Sebetulnya siapa dia" Mengapa dia
bertanya pada Ciok Giok Yin, ada hubungan apa dengan Hai
Thian Tayhiap Ciok Khie Goan"
Ciok Giok Yin terus berpikir, namun tidak menemukan
jawabannya. Memang sayang sekali, tadi Ciok Giok Yin tidak
memberitahukan bahwa Tiong Ciu Sin Ie membawanya dari
sebuah lembah di Gunung Muh San. Kalau tadi dia
memberitahukan, mungkin asal-usulnya akan terungkap. Tibatiba
Ciok Giok Yin teringat akan Heng Thian Ceng, bagaimana
dia tidak kelihatan" Oleh karena itu, Ciok Giok Yin segera
melesat ke atas tebing itu, namun sudah tidak tampak seorang
pun di sana. Dia pikir, kemungkinan besar Heng Thian Ceng telah
meninggalkan tempat tersebut. Ciok Giok Yin lalu mengerahkan
ginkang, melesat pergi melalui jalan gunung yang berliku-liku.
Kini dia telah membulatkan hatinya pergi ke Gunung Cong
Lam San. Dia harus mencari Can Hai It Kiam untuk mengambil
sepucuk surat agar asal-usulnya terungkap. Setelah itu,
barulah dia pergi mencari Bu Tok Siangseng untuk merebut
kitab Cu Cian, agar dapat mempelajari kungfu tinggi, lalu
membersihkan nama perguruan. Karena itu, Ciok Giok Yin ingin
selekasnya tiba di Gunung Cong Lam San.
Di saat dia sedang melesat, mendadak tampak sesosok
bayangan melesat dari arah depan, kelihatannya agak
sempoyongan. Tak lama bayangan itu sudah mendekat.
"Lu Jin'." seru Ciok Giok Yin.
Orang itu ternyata Lu Jin, yang pernah berjanji akan mencari
kitab Im Yang Cing Koy untuknya. Akan tetapi di balik kain
penutup muka Lu Jin terlihat darah mengalir ke luar. Badan Lu
Jin sempoyongan, akhirnya condong ke arah Ciok Giok Yin.
Ciok Giok Yin cepat-cepat menahan badannya agar tidak
roboh, kemudian menaruhnya ke bawah seraya berkata.
"Saudara, aku adalah Ciok Giok Yin."
Ciok Giok Yin segera memeriksa denyut nadinya, ternyata
sudah lemah sekali. Kelihatanya orang itu sudah sulit ditolong.
Oleh karena itu Ciok Giok Yin bergerak cepat menotok
beberapa jalan darahnya. Beberapa saat kemudian barulah Lu
Jin siuman. Sepasang matanya terbuka perlahan-lahan, lalu dia
berkta dengan lemah sekali.
"Adik Kecil, akhirnya... aku... aku bertemu kau juga...."
Ciok Giok Yin telah beberapa kali menerima budi pertolongan
Lu Jin, maka telah menganggapnya sebagai saudara sendiri.
Begitu menyaksikan keadaan Lu Jin yang sudah sekarat, air
matanya langsung bercucuran.
"Toako, siapa yang melukaimu" Aku pasti menuntut balas
dendammu," katanya.
Lu Jin tidak menyahut, hanya mengeluarkan sebuah kitab
tipis dari dalam bajunya.
"Adik Kecil, ini... ini adalah... kitab... Im... Yang... Cin...
Koy..., harap... disimpan... baik- baik...."
Ciok Giok Yin terperanjat.
"Hah" Im Yang Cin Koy?"
Lu Jin menaruh kitab tipis itu ke tangan Ciok Giok Yin seraya
berkata, "Jangan putuskan perkataanku, biar aku bicara...."Dia
menarik nafas dalam-dalam.
"Ban Hoa Tong Cu memetik hawa Yang demi menambah hawa
Im. Dia sudah banyak mencelakai kaum muda. Aku... aku
berupaya memasuki goanya... mencuri kitab ini... tapi... aku...
justru... terluka... di tangannya. Dia... dia menggunakan...
ilmu... Siau Mo Kang (Ilmu Iblis Tertawa)..., untung aku...
bertemu... kau... di sini...."
Ciok Giok Yin terus mendengarkan dengan air mata berlinanglinang.
"Adik kecil, tolong... tolong lepaskan... kain... penutup...
mukaku...," tambah Lu Jin.
Ciok Giok Yin menurut, lalu segera melepaskan kain penutup
muka Lu Jin. Dia tertegun. Tak disangka Lu Jin begitu tampan.
Usianya sekitar empat puluhan. Namun lantaran terluka dalam,
maka wajahnya menjadi kekuning-kuningan. Lu Jin
memandang Ciok Giok Yin dengan mata suram dan berkata
dengan perlahan-lahan,
"Adik kecil, kuberitahukan satu kali lagi, mengenai urusan
Kang Ouw Pat Kiat dengan suhumu sungguh merupakan suatu
kesalah-pahaman. Sebetulnya musuh besarmu adalah Chiu
Tiong Thau. Kini ajalku sudah tiba. Sesungguhnya aku adalah
Tiat Yu Kie Su-Mok Ho yang sedang kau cari...."
Ciok Giok Yin terbelalak.
"Hah" Kau adalah Mok Ho?"
Ini sungguh merupakan pukulan berat baginya!
Sebab Lu Jin boleh dikatakan tuan penolongnya, juga
sahabatnya. Lalu harus bagaimana baiknya" Tanpa
memperdulikan air muka Ciok Giok Yin yang berubah menjadi
tak menentu, Lu Jin berkata lagi.
"Kelak... kau akan menemukan jawabannya. Bukan... aku
ingin... melepaskan tanggung jawab itu, melainkan memang
benar... merupakan... hasutan... Chiu... Tiong... Thau...."
Ciok Giok Yin menarik nafas panjang. Dia merasa iba
terhadap Lu Jin yang sedang dalam keadaan sekarat.
"Toako, aku mempercayaimu."
Wajah Lu Jin tampak berseri.
"Kini... tenanglah... hatiku... Adik Kecil..., aku... aku ingin...
menitip... satu... urusan... padamu...."
"Toako, katakanlah, aku pasti melaksanakannya!"
"Tolong... cari... Cu... Sian... Ling..., beritahukan...
padanya... selamanya... aku... rindu...," kata Lu Jin semakin
melemah. Berkata sampai di situ, mulutnya lalu tertutup rapat,
kemudian kepalanya miring ke bawah, dan nafasnya putus.
"Toako, aku telah salah paham padamu, urusanmu itu pasti
kulaksanakan," kata Ciok Giok Yin dengan air mata berlinanglinang.
Sesudah menangis sejenak, barulah Ciok Giok Yin
mengubur mayat Lu Jin. Dia berdiri di hadapan makam itu,
berkata dengan suara bergemetar.
"Toako, aku pasti mencari Ban Hoa Tong Cu untuk menuntut
balas dendammu!"
Usai berkata, Ciok Giok Yin lalu melesat pergi. Mengenai
urusan Kang Ouw Pat Kiat dengan Sang Ting It Koay, tentunya
tidak salah dengan apa yang dikatakan Tiat Yu Kie Su. Sebab
orang yang hampir mati, sudah pasti tidak akan berbohong.
Oleh karena itu, musuh besar Sang Ting It Koay, justru
adalah Chiu Tiong Thau. Maka Ciok Giok Yin mengambil
keputusan, harus menghabisi nyawa orang tersebut. Kalau
tidak, hatinya tidak akan merasa puas. Akan tetapi kini Chiu
Tiong Thau berada di mana" Dan juga ilmu silatnya tinggi
hingga tingkat bagaimana"
Oleh karena itu Ciok Giok Yin harus mencari jejaknya
perlahan-lahan, hingga berhasil membunuhnya. Ciok Giok Yin
melakukan perjalanan sambil berpikir. Agar tidak terjadi suatu
hambatan, maka dia mengambil jalan kecil. Apabila ingin
menuntut balas dendam suhunya, dia harus berhasil mencari
kitab Cu Cian. Kini Ciok Giok Yin sudah tahu bahwa kitab itu
berada di tangan Bu Tok Sinseng. tapi dia tidak tahu harus ke
mana mencari Seruling Perak. Semua urusan tersebut masih
terganjal dalam hatinya.
Beberapa hari kemudian, Ciok Giok Yin telah tiba di Gunung
Cong Lam San. Karena dia yakin bahwa Cong Lam Pay berada
di gunung itu, maka dia langsung melesat ke atas. Mendadak
dia merasa adanya angin pukulan dari atas. Di saat bersamaan,
terdengar pula suara bentakan.
"Harap berhenti!"
Ciok Giok Yin berhenti lalu memandang ke depan dan seketika
timbul sifat angkuhnya.
Jilid 10 Ternyata di hadapannya berdiri lima orang, menatapnya
dengan penuh kegusaran.
"Aku ingin bertemu Can Hai It Kian!" kata Ciok Giok Yin
dengan lantang.
"Can Hai It Kiam?"
"Tidak salah!"
Terdengar suara tawa getir, kemudian salah seorang berseru.
"Sebutkan nama!"
"Ciok Giok Yin!"
Air muka kelima orang itu langsung berubah. Mereka menatap
Ciok Giok Yin dengan penuh dendam kebencian, lalu
membentak dengan serentak.
"Bocah jahanam! Can Hai It Kiam dan kau ada dendam apa"
Mengapa kau turun tangan jahat terhadapnya" Kau sudah pergi
kok masih berani balik ke mari?"
Kelima orang itu bersiul panjang, lalu menyerang Ciok Giok
Yin dari atas ke bawah. Di saat bersamaan, Ciok Giok Yin justru
ingin melesat ke atas. Begitu melihat situasi itu, dan juga
mendengar perkataan mereka, bahwa Can Hai It Kian telah
dicelakai orang, Ciok Giok Yin menjadi tertegun dan tidak habis
pikir. Akan tetapi dia sudah tidak bisa banyak berpikir lagi,
sebab kelima orang itu telah menyerangnya dengan
dahsyat. Ciok Giok Yin gusar bukan main. Dia meloncat ke
belakang dua depa seraya membentak.
"Berhenti!"
"Bocah jahanam, kau harus mampus!"
Kelima orang itu menyerang lagi. Ciok Giok Yin bertambah
gusar. Dia berkertak gigi seraya membentak lagi.
"Aku bukan takut pada kalian, melainkan kalian harus


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjelaskan!"
Ciok Giok Yin terpaksa meloncat ke belakang lagi.
"Tiada yang perlu dijelaskan!" sahut salah seorang dari
mereka. Ciok Giok Yin tidak ingin bentrok dengan pihak Cong Lam Pay,
maka dia berkelit dan menekan hawa kegusarannya.
"Bagaimana keadaan Can Hai It Kiam?" katanya.
"Kau masih pura-pura?"
"Pura-pura apa?"
Ciok Giok Yin terbelalak.
"Hah" Apa" Aku?"
"Siapa lagi kalau bukan kau?"
"Kapan aku memasuki tempat kalian?"
"Semalam!"
Kelima orang itu mulai menyerang lagi. Kemudian salah
seorang berkata.
"Bocah jahanam, setelah membunuh orang masih
meninggalkan nama, masih tidak mau mengaku?"
Dari tadi mereka berlima terus memakinya 'Bocah Jahanam',
itu membuat kegusarannya semakin memuncak. Dia tertawa
dingin seraya berkata,
"Kalian begitu tak tahu aturan, aku akan...."
Mendadak Ciok Giok Yin sudah melancarkan jurus pertama
limu pukulan Hong Lui Sam Ciang. Seketika terdengar suara
jeritan. "Aaaakh... !"
Tampak seorang roboh, kepalanya pecah. Di saat bersamaan,
terdengar suara siulan beberapa kali. Tak lama kemudian, di
tempat itu sudah bertambah dua puluh orang yang terdiri dari
padri dan pendeta To. Di antara orang-orang itu, tampak pula
Thian It Ceng dari Siauw Lim Pay. Thian It Ceng mengibaskan
lengan jubahnya sambil mulutnya menyebut kemuliaan sang
Buddha. "Omitohud! Harap sicu berhenti!"
Keempat orang itu langsung mundur. Thian It Ceng menatap
Ciok Giok Yin dengan dingin, lalu maju selangkah demi
selangkah seraya berkata,
"Sicu kecil, kau masih mau berkata apa lagi?"
Sepasang mata Ciok Giok Yin yang tajam menyapu mereka
semua lalu menyahut dengan dingin.
"Mengapa aku tidak boleh bicara?"
"Sicu itu bersalah apa terhadapmu?" Thian It Ceng balik
bertanya sambil menujuk mayat itu.
"Tanyakan saja pada mereka," sahut Ciok Giok Yin dengan
ketus. "Can Hai It Kiam punya dendam apa denganmu?"
"Aku ke mari justru ingin mencari Can Hai It Kiam."
"Punya dendam?"
"Tidak."
"Kalau tiada dendam, mengapa kau turun tangan jahat
padanya?" "Ini bagaimana ceritanya, mohon Taysu menjelaskannya!"
"Can Hai It Kiam terbunuh oleh pedangmu, apa maksudmu
membunuhnya?"
Ciok Giok Yin betul-betul kebingungan, sebab dirinya dituduh
sebagai pembunuh Can Hai It Kiam, lantaran pembunuh itu
meninggalkan namanya di situ.
"Taysu juga menganggapku yang membunuhnya?" katanya.
"Kalau bukan kau, lalu siapa?"
Ciok Giok Yin tertawa gelak, lalu menyahut,
"Aku ke mari justru ingin menemui Can Hai It Kiam lo
cianpwee untuk mengambil sepucuk surat. Tapi kelima
pendekar Cong Lam Pay ini tidak bertanya secara jelas,
langsung menyerangku. Taysu adalah orang yang menyucikan
diri, apakah juga tidak mau pakai aturan?"
Salah seorang tua yang berdiri di samping Thian It Ceng
segera bertanya,
"Mengambil sepucuk surat?"
"Ya."
"Surat apa?"
"Tidak dapat kuberitahukan!"
Orang tua itu mendengus dingin.
"Hmm! Kau mau cari alasan belaka!"
"Siapa Anda?"
"Lohu adalah Hui Pian (Cambuk Terbang) Cu Suang, ketua
Cong Lam Pay!"
Dia menatap Ciok Giok Yin dengan dingin, kemudian
membentak. "Lebih baik kau serahkan nyawamu!"
Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Kalau begitu, ketua Cu juga menganggapku yang membunuh
Can Hai It Kiam?"
"Kalau bukan kau, apakah lohu?"
Mendadak Thian It Ceng berkata,
"Sicu kecil, dengarkan nasihatku! Kalau kau ingin
membersihkan diri, alangkah baiknya ikut aku ke Cong Lam
Pay agar urusan ini menjadi jelas!"
"Kalau aku bilang tidak?"
"Itu berarti kau tidak bisa meninggalkan tempat ini."
Bukan main gusarnya Ciok Giok Yin!
"Taysu memunculkan diri di dunia persilatan. Mengandal pada
Siauw Lim Pay sebagai Bu Lim Beng Cu kau bisa perintahkan
semua kaum rimba persilatan, namun terhadapku tidak!" Dia
berhenti sejenak. "Kini Can Hai It Kiam telah mati. Aku yakin
surat itu pasti ada di badannya. Maka aku ingin melihat
mayatnya. Apakah Ketua Cu mengijinkan?"
Ucapan Ciok Giok Yin yang pertama itu ditujukan kepada
Thian It Ceng, namun bernada ketus dan sinis. Walau usia
Thian It Ceng sudah agak tua, dan dia merupakan padri tinggi
Siauw Lim Pay, tapi hatinya masih belum terlepas dari
duniawi. Ketika mendengar ucapan Ciok Giok Yin itu, wajahnya
langsung berubah menjadi kehijau-hijauan saking gusarnya. Di
saat padri itu ingin membuka mulut, ketua Cong Lam Pay
segera memberi isyarat padanya, lalu berkata pada Ciok Giok
Yin. "Bagaimana kalau di badannya tidak terdapat surat itu?"
Ciok Giok Yin tertegun sebab dia tidak menyangka kalau
Ketua Cu akan bertanya seperti itu.
"Aku tidak akan bohong," sahutnya kemudian.
Mendadak Cu Suang tertawa sedih lalu berkata dengan
lantang. "Jangankan Can Hai It Kiam sudah masuk peti mati, kalau
pun belum, aku tetap tidak memperbolehkanmu memeriksa
mayatnya! Hari ini kau harus menyerahkan nyawamu!"
Usai berkata, ketika ketua Cu baru mau melancarkan
pukulan, tiba-tiba dari samping muncul dua orang tua berusia
lima puluhan bersenjata pedang. mereka berdua memberi
hormat. pada Cu Suang seraya berkata,
"Harap Ketua sabar, biar kami berdua yang menangkapnya!"
Kedua orang itu amat terkenal di dunia persilatan. Julukan
mereka adalah Cong Lam Sang Kiam (Sepasang Pedang Cong
Lam). Cu Suang manggut-manggut seraya berpesan, "Sute berdua
harus berhati-hati!"
Cong Lam Sang Kiam mengangguk, kemudian maju ke
hadapan Ciok Giok Yin sambil menghunus pedang masingmasing.
Trang! Trang! Kedua orang itu tertawa sinis, kemudian menyerang Ciok Giok
Yin. Ketika Ciok Giok Yin melihat situasi, dalam hati sudah tahu
bahwa sulit bagi dirinya untuk berbiara baik-baik"
Di saat Ciok Giok Yin sudah siap menyambut seranganserangan
mereka, Cong Lam Sang Kiam meloncat ke belakang
seraya berkata dengan serentak, "Keluarkan senjatamu!"
"Aku tidak punya senjata!" sahut Ciok Giok Yin dengan dingin.
"Kau sungguh bermulut besar! Baik, sambutlah seranganku!"
Kedua orang itu lalu maju serentak. Yang satu menyerang
bagian atas badan Ciok Giok Yin, sedangkan yang satu lagi
menyerang bagian bawah. Serangan gabungan mereka berdua,
memang amat lihay dan dahsyat, bahkan menimbulkan suara
'Ser Ser!' Saat ini Ciok Giok Yin betul-betul sudah tidak bisa
bersabar lagi. "Kalian terlalu mendesak orang!" bentaknya keras.
Dia mengeluarkan jurus pertama ilmu pukulan Hong Lui Sam
Ciang. Tampak sepasang telapak tangannya berkelebat,
mengeluarkan hawa yang amat panas. Mendadak terdengar
suara seruan kaum rimba persilatan yang berada di tempat itu.
"Hong Lui Sam Ciang!"
"Bocah itu tidak boleh dilepaskan!"
Mereka langsung menyerang Ciok Giok Yin.
Ciok Giok Yin dikeroyok belasan orang, yang terdiri dari padri,
tosu dan kaum rimba persilatan biasa. Tampak berbagai
macam senjata tajam berkelebatan. Meskipun Ciok Giok Yin
berkepandaian tinggi, namun tetap sulit baginya untuk
melawan sekian banyak pesilat tangguh itu. Punggungnya telah
terhantam beberapa pukulan, membuat matanya berkunangkunang
dan darahnya bergolak tidak karuan. Kelihatannya Ciok
Giok Yin akan segera roboh. Sekonyong--konyong tampak
sosok bayangan berkelebat ke tempat itu, bukan main
cepatnya. Menyusul terdengar suara jeritan dan tampak darah muncrat
ke mana-mana. Di saat bersamaan, Ciok Giok Yin juga
menjerit. Ternyata kakinya telah terluka oleh pedang Cong Lam
Sang Kiam sehingga darahnya langsung mengucur. Bersamaan
itu, punggungnya juga terhantam pukulan dahsyat. Seketika
matanya menjadi gelap, dia lalu roboh pingsan. Di saat itulah
sosok bayangan tersebut menyambaruya, kemudian melesat
pergi laksana kilat. Entah berapa lama kemudian barulah Ciok
Giok Yin siuman perlahan-lahan. Dia membuka sepasang
matanya, tampak seorang tua bongkok duduk di sampingnya.
Orang tua bongkok itu sedang meneguk arak, terdengar suara
'Kruk! Kruk! Kruk!' Ciok Giok Yin segera menghimpun hawa
murninya. Ternyata dia tidak merasa apa-apa, hanya merasa
agak sakit di kakinya. Dia cepat-cepat bangkit berdiri, lalu
memberi hormat pada orang tua bongkok itu seraya berkata,
"Terimakasih atas pertolongan lo cianpwee yang telah
menyelamatkan nyawaku."
Orang tua bongkok berhenti meneguk arak, kemudian
memandang Ciok Giok Yin seraya bertanya,
"Siapa namamu?"
"Ciok Giok Yin."
"Ciok Giok Yin?"
"Ya."
"Ciok Giok Yin, dulu aku pernah kenal seorang bermarga
Ciok." Gumam orang tua.
"Siapa?"
"Ciok...." Orang tua bongkok itu menggeleng-gelengkan
kepala. "Kau tidak akan mengenalnya." Sepasang matanya
menyorot tajam. "Tapi orang itu mirip kau."
"Kalau lo cianpwee tidak mau beritahukan, aku pun tidak
akan bertanya. Entah sudah berapa kali lo cianpwee
menyelamatkan nyawaku. Bolehkah aku tahu nama lo
cianpwee?"
Orang tua bongkok itu menggeleng-gelengkan kepala, lalu
berkata, "Boleh jadi kita memang berjodoh. Mengenai pertolonganku
tidak perlu kau simpan dalam hati. Tentang namaku, sudah
lama kulupakan. Sampai jumpa!"
Mendadak dia melesat pergi, dan dalam sekejap sudah tidak
kelihatan bayangannya. Dapat dibayangkan, betapa cepat
geraknnya. Ciok Giok Yin tertegun dan termangu-mangu di
tempat. Tak terduga di dunia persilatan terdapat orang yang
begitu aneh. Percakapannya belum usai, sudah melesat pergi,
bahkan juga tidak mau memberitahukan namanya. Tiba-tiba
kakinya terasa sakit, membuatnya teringat akan luka di
kakinya. Kemudian dia berkertak gigi seraya berkata dengan
sengit. "Cepat atau lambat aku pasti ke Gunung Cong Lam San lagi!"
Ciok Giok Yin lalu menelan sebutir pil Ciak Kim Tan, setelah
itu, dia duduk menghimpun hawa murninya. Berselang
beberapa saat keadaanya sudah pulih kernbali. Tiba-tiba
terdengar suara desiran baju di sampingnya. Ciok Giok Yin
segera menengok ke samping. Tampak Sou Bin Koay Siu-Sang
Ceh Cing bersama tiga orang aneh yang menyerupai mayat
berada di sampingnya, Ciok Giok Yin pernah bertemu mereka
di Goa Toan Teng Tong.
Sou Bin Kay Siu-Sang Ceh Cing tertawa licik lalu selangkah
demi selangkah mendekati Ciok Giok Yin. Akan tetapi
mendadak dia menjerit dan roboh tak berkutik di tanah. Begitu
pula ketiga orang aneh yang menyerupai mayat, menjerit dan
roboh seketika.
Ciok Giok Yin tersentak dan langsung memeriksa keempat
mayat itu. Ternyata bagian belakang kepala mereka tertancap
ranting pohon yang amat pendek. Itu membuktikan si
penyerang berkepandaian tinggi.
"Orang pandai dari mana, mohon perlihatkan diri...."
Ucapan Ciok Giok Yin terputus karena tiba-tiba sebuah benda
hitam meluncur ke arahnya. Dalam waktu bersamaan
terdengar pula seruan yang amat dingin,
"Sambut!"
Ciok Giok Yin menjulurkan tanganya menyambut benda
tersebut sambil memandang ke arah datangnya suara seruan,
namun tidak tampak siapa pun di sana. Hati Ciok Giok Yin
menjadi berdebar-debar. Di dunia persilatan terdapat orang
yang berkepandaian begitu tinggi. Kepandaiannya sendiri
sungguh masih ketinggalan jauh. Dia menundukkan kepala,
ternyata benda yang di tangannya berupa sebuah bungkusan.
Di dalam bungkusan itu terdapat baju panjang dan celana
panjang, bahkan juga terdapat secarik kertas berisi tulisan
'Satu Stel Pakaian, Pertanda Ketulusan Hati' Gaya tulisan itu,
sudah jelas tulisan seorang wanita. Namun Ciok Giok Yin tidak
dapat menerka siapa wanita itu. Apa maksud wanita itu
mengirim satu stel pakaian" Sungguh sulit dimengerti. Ciok
Giok Yin terus mengingat-ingat semua wanita yang dikenalnya,
namun semua wanita yang dikenalnya tiada satu pun yang
berkepandaian begitu tinggi. Kalau begitu, siapa wanita itu"
Lama sekali Ciok Giok Yin berpikir, kemudian menggelenggelengkan
kepala. Ketika dia mau membungkus pakaian itu,
hatinya tergerak, 'Pakaianku sudah sobek tidak karuan, lebih
baik kupakai pakaian baru ini' Dia segera melepaskan


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pakaiannya, lalu memakai pakaian yang baru itu. Sungguh pas
pakaian itu di badannya! Dia tidak mau banyak berpikir lagi,
langsung melesat pergi. Beberapa saat setelah melakukan
perjalan, mendadak terdengar suara perkelahian.
Plak! duuuk! Ciok Giok Yin cepat-cepat melesat ke arah suara itu. Tak lama
suara perkelahian itu terdengar semakin jelas. Terlihat seorang
berbadan langsing sedang bertarung dengan seorang pesilat
berusia tiga puluhan. Tampak pula sekitar dua puluh orang
berdiri di sana.
Pesilat itu menggunakan sebuah cambuk panjang. Cambuk itu
meliuk-liuk bagaikan seekor naga ke arah lawannya yang
ternyata seorang gadis. Kelihatannya pesilat itu sedang
mempermainkan lawannya.
Sedangkan wanita muda berpakaian biru itu menggunakan
sebatang pedang panjang, mati-matian menangkis seranganserangan
yang dilancarkan pesilat tersebut. Mendadak pesilat
itu tertawa gelak, lalu berkata,
"Nona, Han Cu Ya (Tuan Majikan) tertarik padamu! Apakah
kau masih bisa meloloskan diri" Lebih baik kau ikut ke atas
gunung, kau pasti akan hidup senang selamanya di sana!"
Ketika mendengar ucapan itu, kegusaran wanita muda itu
menjadi semakin memuncak, sehingga permainan pedangnya
menjadi kacau balau. Ciok Giok Yin yang bersembunyi di balik
sebuah pohon terus memperhatikannya. Dari bentuk tubuh
gadis itu, sepertinya Ciok Giok Yin pernah
mengenalnya. Namun wanita muda itu tidak menolehkan
wajahnya, lagi pula rambutnya telah terurai menutupi
wajahnya, maka Ciok Giok Yin tidak dapat melihat jelas wajah
wanita muda itu. Mendadak wanita muda itu membentak
sengit. "Aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Suara itu amat dikenal Ciok Giok Yin.
"Apakah dia?" serunya pelan.
Kebetulan wanita muda itu mengelak serangan cambuk
lawan, maka wajahnya menghadap ke arah Ciok Giok
Yin. Tentunya Ciok Giok Yin melihat jelas wajah wanita itu,
ternyata adalah Tong Wen Wen, putri keluarga Tong Keh
Cuang. Bagaimana dia berada di tempat ini" Walau Ciok Giok
Yin tidak begitu terkesan baik terhadap Tong Wen Wen, namun
tidak terkesan buruk padanya. Lagi pula dia masih ingat akan
kebaikan Tong Wen Wen, yang pernah menghadiahkan
sebatang tusuk rambut padanya.
Akan tetapi tusuk rambut itu kini tidak lagi di tanganya,
karena telah direbut orang. Begitu melihat Tong Wen Wen,
giranglah hati Ciok Giok Yin.
"Kakak Wen jangan takut!" serunya dengan lantang sambil
melesat ke luar dari persembunyiannya. Akan tetapi di saat
bersamaan tampak bayangan orang berkelebatan ke
arahnya. Bersamaan itu terdengar pula suara bentakan.
"Bocah jahanam, kau cari mampus!"
Mereka langsung menyerang Ciok Giok Yin dengan berbagai
macam senjata tajam. Ciok Giok Yin tertawa dingin lalu berkata
lantang. "Baik, aku akan mengantar kalian ke akhirat!"
Kegusarannya yang timbul ketika di Gunung Cong Lam San
justru dilampiaskannya di tempat ini. Dia langsung
menggunakan ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang menghadapi
para penyerangnya. Terdengar suara menderu-deru dahsyat,
yang disertai hawa yang amat panas. Seketika terdengar suara
jeritan yang menyayat hati dan darah pun muncrat bagaikan
hujan gerimis. Ternyata empat orang dari mereka telah
tergeletak di tanah menjadi mayat. Sementara mata Tong Wen
Wen melirik, begitu dia melihat Ciok Giok Yin, hatinya langsung
berbunga-bunga.
"Adik Yin...!" serunya dengan girang.
Sudah barang tentu perhatiannya menjadi pecah, sehingga
lengan kirinya tersambar cambuk lawan.
"Aduuuh!"
Dia menjerit dan terhuyung-huyung ke belakang beberapa
langkah. Bukan main sakitnya lengan kiri gadis itu! Bahkan
darahnya pun mengucur deras sehingga membuat wajahnya
berubah menjadi pucat pias. Sedangkan pesilat itu sama sekali
tidak memperdulikan para anak buahnya yang telah kehilangan
nyawa. Dia tertawa gelak, lalu maju ke hadapan Tong Wen
Wen sambil menjulurkan tangannya. Kelihatannya Tong Wen
Wen akan tertangkap. Akan tetapi di saat bersamaan,
terdengar bentakan Ciok Giok Yin yang menggguntur.
"Kau berani!"
Ciok Giok Yin langsung melesat ke sana, sekaligus
menggerakkan sepasang tangannya. Pesilat muda itu
mendengus dingin.
"Hmmm!"
Namun mendadak badannya terpental dua depa, dan
mulutnya menyemburkan darah segar. Tapi dia masih mampu
bangkit berdiri, kemudian melarikan diri ke atas gunung. Para
anak buahnya melihat dia kabur, mereka pun berebutan
melarikan diri dengan ketakutan. Ciok Giok Yin tidak mengejar
mereka, melainkan mendekati Tong Wen Wen lalu
memapahnya bangun.
"Kakak Wen, bagaimana lukamu?" katanya.
Wajah Tong Wen Wen yang pucat pias itu berusaha
tersenyum, lalu menyahut dengan suara yang agak gemetar.
"Aku tidak apa-apa."
Ciok Giok Yin tahu bahwa Tong Wen Wen sedang menahan
sakit, maka dia segera berkata.
"Kakak Wen, biar kuperiksa lukamu."
Tong Wen Wen adalah seorang gadis, maka perkataan Ciok
Giok Yin itu membuat wajahnya menjadi kemerahmerahan.
Ciok Giok Yin tidak memikirkan apa-apa, langsung
menyingkap lengan baju Tong Wen Wen. Lengan gadis itu putih
mulus, membuat hati Ciok Giok Yin berdebar-debar tidak
karuan. Tiba-tiba Ciok Giok Yin ingat harus segera memeriksa
luka itu, maka pikirannya tidak jadi menerawang. Karena itu,
dia cepat-cepat memusatkan pikirannya untuk memeriksa luka
di lengan Tong Wen Wen. Ternyata lengan gadis itu telah sobek
tersambar cambuk dan darah segarnya masih mengalir.
Ciok Giok Yin cepat-cepat mengambil sebutir pil Ciak Kim Tan
lalu dimasukkan ke mulut Ton Wen Wen. Setelah itu, dia pun
menghancurkan dua butir pil yang sama, lalu dioleskan pada
luka di lengan Tong Wen Wen. Seketika darahpun berhenti
mengalir, bahkan rasa sakit juga berangsur-angsur
hilang. Tong Wen Wen langsung mendekap di dada Ciok Giok
Yin dan berkata dengan terharu.
"Adik Yin, kalau kau tidak muncul tepat pada waktunya, entah
bagaimana akibatnya?" Dia memandang Ciok Giok Yin. "Adik
Yin, lengan bajuku telah sobek, bagaimana melanjutkan
perjalanan" Tolong buka bungkusanku, aku ingin berganti
pakaian!" Karena lengannya belum sembuh, maka dia merasa kurang
leluasa mengambil bungkusan itu. Kebetulan bungkusan itu
bergantung di bagian dadanya, membuat Ciok Giok Yin merasa
serba salah dan hatinya pun berdebar-debar. Dia tidak berani
menjulurkan tangannya mengambil bungkusan itu, hanya
termangu-mangu.
"Cepatlah! Hari sudah mulai gelap, kita harus segera mencari
penginapan," kata Tong Wen Wen. Ciok Giok Yin tersentak
sadar, kemudian mencaci dirinya sendiri dalam hati. 'Dia boleh
dikatakan sebagai kakakmu, bagaimana kau memikirkan yang
bukan-bukan" Kelak bagaimana kau berkecimpung di dunia
persilatan"'
Dia cepat-cepat menjulurkan tanganya mengambil bungkusan
itu, sekaligus dibukanya. Tapi biar bagaimanapun, hatinya
tetap berdebar-debar tidak karuan.
"Kakak Wen, sebetulnya apa gerangan yang terjadi?"
katanya. Lantaran mereka berdua begitu dekat, maka aroma tubuh
gadis itu menusuk hidung Ciok Giok Yin, membuat Ciok Giok
Yin lupa diri. Karena itu, dia terus menatap wajah Tong Wen
Wen. Gadis itu meliriknya, lalu bertanya dengan lembut.
"Adik Yin, kenapa kau?"
Hati Ciok Giok Yin tersentak ketika mendengar suara Tong
Wen Wen. Di saat bersamaan, dia pun teringat akan dirinya
sendiri, yang telah makan Pil Api Ribuan Tahun, tidak boleh
mencelakai orang lain dan dirinya sendiri. Seketika keringat
dingin langsung mengucur. Maka dia cepat-cepat mengalihkan
pandangannya ke arah lain. Sedangkan hati Tong Wen Wen
juga berdebar-debar. Bagaimana tidak" Sebab Ciok Giok Yin
merupakan pemuda yang amat tampan, lagi pula mereka
berdua telah berteman sejak kecil. Maka bagaimana hatinya
tidak berbunga-bunga dan berdebar-debar!
Namun biar bagaimanapun, dia adalah seorang gadis perawan
yang tahu akan tata krama dan tahu menjaga jarak antara
wanita dengan lelaki. Ketika menyaksikan sikap Ciok Giok Yin,
hatinya menjadi tergetar-getar.
"Adik Yin, apakah kau kurang sehat?" katanya perlahanlahan.
Ciok Giok Yin cepat-cepat menyurut mundur dua langkah, lalu
menggeleng kepala.
"Tidak apa-apa," sahutnya.
"Kalau begitu...."
"Jangan khawatir! Cepatlah ganti pakaian!"
Tong Wen Wen mengambil pakaian itu dan segera berjalan ke
balik sebuah pohon besar. Tak lama dia sudah usai berganti
pakaian. Dia berjalan keluar dari balik pohon besar itu lalu
berkata kepada Ciok Giok Yin dengan suara rendah.
"Adik Yin, semua telah berlalu, apakah kau masih
mendendam pada kakakku?"
Seketika wajah Ciok Giok Yin berubah menjadi dingin, lalu dia
berkertak gigi.
"Kakak Wen, tentunya kau tahu kejadian waktu itu. Kalau
bukannya di dalam lembah itu terdapat salju tebal, mungkin
aku sudah mati karena remuk seluruh tulangku."
Tong Wen Wen menghela nafas panjang.
"Aku tahu itu, namun aku mohon padamu memaafkannya."
"Dia"."
Sesungguhnya Ciok Giok Yin ingin memberitahukan apa yang
dilihatnya di dalam Kuil Thay San Si, tapi merasa tidak enak,
sebab Tong Wen Wen adalah seorang gadis, lagi pula Tong
Wen Wen adalah kakaknya, maka bagaimana mungkin
memberitahukan padanya" Oleh karena itu, dia batal
memberitahukan pada Tong Wen Wen.
"Kenapa dia?" tanya Tong Wen Wen. Ciok Giok Yin tidak
menjawab pertanyaannya.
"Kakak Wen, bagaimana kau berkelana di dunia persilatan"
Dunia persilatan penuh bahaya lho!"
Tong Wen Wen menghela nafas panjang, dan matanya mulai
bersimbah air, "Kini Tong Keh Cuang sudah menjadi sarang iblis," katanya
dengan gemetar. Ciok Giok Yin mencengkeram lengan Tong
Wen Wen sambil bertanya.
"Bagaimana bisa jadi begitu?"
Tanpa sadar dia mengerahkan tenaganya, sehingga membuat
Tong Wen Wen meringis kesakitan.
Namun Ciok Giok Yin tidak memperhatikannya malah
menggoyang-goyangkan lengannya seraya berkata, "Kakak
Wen, beritahukanlah padaku!"
Sambil menahan sakit, Tong Wen Wen menyahut, "Adik Yin,
lenganku... terasa sakit."
Ciok Giok Yin cepat-cepat melepaskan tangannya.
"Maaf, Kakak Wen, aku... aku tidak sengaja menyakitimu,"
katanya gugup. Tong Wen Wen menghela nafas panjang lagi, kemudian
berkata, "Malam itu, setelah aku meninggalkan rumah kami, Tong Keh
Cuang kedatangan beberapa orang yang memakai kain
penutup muka. Mereka membunuh orang dan membakar.
Dalam waktu satu malam, Tong Keh Cuang telah musnah
dilalap api."
"Bagaimana Kakak Ping?" tanya Ciok Giok Yin.
"Kakakku bilang, ketika dia pulang Bwee Han Ping sudah
hilang." Mata Ciok Giok Yin menyorot dingin.
"Dia bohong." katanya sengit.
"Tidak, Bwee Han Ping memang hilang. Kakakku tidak
bohong." Ciok Giok Yin melirik Tong Wen Wen, kemudian bergumam.
"Mudah-mudahan dia tidak terjadi apa-apa!"
Mendengar itu, Tong Wen Wen tampak agak cemburu,
sehingga tanpa sadar air matanya telah meleleh. Diam-diam
Tong Wen Wen membenci dirinya sendiri. Ketika Ciok Giok Yin
berada di rumahnya, lantaran Tong Eng Kang membencinya,
maka melarang Tong Wen Wen bermain dengannya. Lagi pula
kakaknya itu sering menghasut yang bukan-bukan di depan
ayahnya, menyebabkan Ciok Giok Yin sering dicaci dan dipukul
oleh ayahnya. Ketika itu mengapa dia tidak berani
membelanya" Semakin dipikirkan, hati Tong Wen Wen semakin
berduka, akhirnya menangis terisak-isak.
Senjata wanita satu-satunya, memang air mata. Begitu Tong
Wen Wen menangis, Ciok Giok Yin merasa tidak tega
melihatnya. "Kakak Wen, bagaimana Paman Tong...."
Pertanyaan Ciok Giok Yin terhenti karena, tiba-tiba Tong Wen
Wen mendekap di dadanya dan tangisnya pun semakin
menjadi. Beberapa saat kemudian gadis itu baru berkata, "Malam itu
juga ayahku dibunuh, cuma aku dan kakakku berhasil
meloloskan diri."
"Kau tahu siapa yang melakukan itu?"
"Selama ini aku terus menyelidiki, namun tiada hasilnya."
Ciok Giok Yin teringat sesuatu dan langsung bertanya,
"Bagaimana kau bertarung dengan pesilat muda itu?"
Tong Wen Wen menyahut dengan air mata berlinang-linang.
"Sesungguhnya aku sedang mencarimu, namun tidak ketemu.
Beberapa hari yang lalu aku dengar, kau pergi ke arah barat,
maka aku segera menyusul. Tidak disangka ketika sampai di
sini, aku bertemu para penjahat itu. Mereka melontarkan
perkataan yang kurang ajar...."
Tong Wen Wen berhenti menutur, dan air matanya mengucur
lebih deras. Tidak usah gadis itu memberitahukan, Ciok Giok
Yin sudah tahu apa yang terjadi. Seorang gadis berkelana di


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dunia persilatan, tentu akan bertemu penjahat, yang ingin
berbuat kurang ajar terhadapnya. Untung Tong Wen Wen
memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka masih dapat
menjaga diri. Kalau tidak, mungkin dirinya sudah.... Sementara
itu hari sudah mulai gelap.
"Kakak Wen, mari kita ke kota cari penginapan!" ajak Ciok
Giok Yin. Tong Wen Wen mengangguk. Ciok Giok Yin menarik
tangannya, lalu melesat pergi. Tidak seberapa lama kemudian
mereka berdua sudah tiba di sebuah kota kecil. Mereka
memasuki sebuah penginapan lalu memesan dua buah
kamar. Setelah itu mereka juga makan di dalam penginapan
itu. Mereka berhadapan sambil menuturkan pengalaman
masing-masing. Ketika mendengarkan semua kejadian yang
menimpa Ciok Giok Yin, Tong Wen Wen amat terkejut, tapi
juga merasa girang.
"Adik Yin, apakah kau membenciku?" tanya Tong Wen Wen.
Ciok Giok Yin menatapnya lekat-lekat, kemudian menyahut
sambil tersenyum-senyum.
"Kakak Wen, bagaimana mungkin aku membencimu" Justru
aku harus mengucapkan terimakasih padamu."
Tong Wen Wen tersenyum manis, kemudian berkata dengan
lembut, "Adik Yin, aku... aku selalu merasa bersalah padamu."
Ciok Giok Yin menggenggam tangannya erat-erat sambil
berkata, "Kakak Wen...."
"Adik Yin, dengarkan dulu perkataanku!" sela Tong Wen Wen.
Gadis itu menutur tentang Tong Eng Kang yang selalu
memfitnah Ciok Giok Yin, setelah itu menambahkan.
"Adik Yin, pada waktu itu aku kurang berani membelamu. Aku
sungguh tidak bisa melakukan itu!"
Kegusaran Ciok Giok Yin langsung memuncak.
"Aku bersumpah harus membunuhnya!" katanya sengit.
Tong Wen Wen balas menggenggam tangannya erat-erat dan
berkata dengan perlahan-lahan.
"Adik Yin, pandanglah mukaku, maafkan dia...."
Mendadak Ciok Giok Yin meniup padam lampu yang ada di
atas meja. Badannya bergerak, ternyata sudah melesat ke luar
melalui jendela. Sampai di atap rumah, dia menengok ke sana
ke man, tapi tidak melihat apa pun. Tong Wen Wen sudah
menyusulnya. "Ada orang?" katanya.
"Tadi sekilas aku melihat seperti ada sosok bayangan
berkelebat di luar jendela."
"Kalau ada orang, bagaimana mungkin sedemikian cepat
hilang?" "Ini sulit dikatakan."
Mereka berdua meloncat turun kembali ke dalam penginapan.
Kini Ciok Giok Yin sudah tahu bagaimana perasaan dan isi hati
Tong Wen Wen. Maka begitu berada di dalam kamar, mereka
berdua langsung saling memandang. Di antara mereka berdua
tidak mau memecahkan suasana yang romantis itu. Wajah
mereka tampak berseri dan bibir mereka menyunggingkan
senyuman yang penuh diliputi cinta kasih.
Ciok Giok Yin sepertinya ingin..., namun di telinganya
mengiang suara bisikan.
"Badanmu tidak seperti orang biasa."
Itu membuatnya tersentak sadar, lalu berkata dengan ringan.
"Kakak Wen, kau harus segera beristirahat, sebab esok pagi
kita masih harus melakukan perjalanan."
Perkataannya juga membuat Tong Wen Wen tersentak sadar.
"Adik Yin, kau juga harus beristirahat," sahutnya perlahan.
Tong Wen Wen bangkit berdiri, menatap Ciok Giok Yin dengan
penuh rasa cinta. Setelah itu, barulah pergi ke kamarnya. Ciok
Giok Yin mengantarnya sampai di dalam kamarnya, kemudian
baru kembali ke kamar sendiri. Dia duduk di atas ranjang,
mulai menghimpun hawa murninya. Ini dilakukannya setiap
malam, bahkan juga sering melatih Hiat Ci Kang (Tenaga Jari
Darah). Sang waktu terus berlalu. Tak terasa sudah larut malam,
sedangkan Ciok Giok Yin masih tetap duduk bersila di atas
ranjang. Sementara Tong Wen Wen yang sudah berada di
dalam kamarnya merasa amat lelah. Dia langsung berbaring di
ranjang sambil memikirkan Ciok Giok Yin. Bibirnya
menyunggingkan senyuman manis karena saking
gembiranya. Mulai sekarang dan selanjutnya dia akan selalu
berada di samping adik Yinnya, berkelana di dunia persilatan
mencari jejak musuh besarnya sekaligus mencari jejek Bwee
Han Ping. Itu merupakan urusan yang tidak gampang, namun
amat menyenangkan lantaran bersama Ciok Giok Yin.
Dia terus berpikir, sepertinya dirinya dan Ciok Giok Yin berada
di sebidang padang rumput. Dia merasa lelah, langsung
menjatuhkan diri di padang rumput itu. Ciok Giok Yin juga
berada di sampingnya. Mereka berdua memandang gumpalan
awan putih yang berterbangan terhembus angin. Tampak pula
ribuan bintang bergemerlapan di langit. Mendadak dia merasa
tangan Ciok Giok Yin mulai meraba-raba badannya. Mula-mula
rambutnya, kemudian merosot ke bawah meraba bagian
dadanya. Bukan main gelinya! Akan tetapi justru merasa nikmat sekali.
Pertama kali dia merasakan itu, membuatnya merasa girang,
dan khawatir Ciok Giok Yin akan menarik kembali tangannya.
Perlahan-lahan jari tangan Ciok Giok Yin terus meraba ke sana
ke mari, kemudian meraba tempat terlarangnya, yaitu bagian
yang paling berharga bagi kaum wanita. Tentunya membuat
sekujur badan Tong Wen Wen gemetar, sebab merasa amat
nikmat sekali. Dia ingin mencegah tangan Ciak Giok Yin yang usil itu, namun
merasa tak bertenaga. Tong Wen Wen merasa malu, namun
mulutnya mulai berdesah.
"Adik Yin, kau...."
Dia membuka matanya perlahan-lahan. Ternyata memang
Ciok Giok Yin berdiri di sampingnya, menatapnya sambil
tersenyum-senyum. Gadis itu merasa malu.
"Adik Yin...," panggilnya dengan suara rendah.
Sedangkan Ciok Giok Yin sama sekali tidak bersuara, cuma
tersenyum-senyum saja. Kemudian dia menjulurkan
tangannya, membuka pakaian Tong Wen Wen. Sepasang
payudara yang indah montok, mulai menampakkan diri, bukan
main mulusnya! Ciok Giok Yin menelan air liur dan cepat-cepat
melepaskan celana Tong Wen Wen. Sesungguhnya Tong Wen
Wen ingin menolak, tapi setelah berpikir sejenak, dia merasa
sama saja. Sebab cepat atau lambat, mereka berdua akan
menjadi suami istri. Karena itu, dia memejamkan matanya
menunggu... Terdengar suara 'Serrr'
Ternyata Ciok Giok Yin menanggalkan pakaiannya. Mendadak
Ciok Giok Yin meloncat ke atas ranjang. Namun ketika dia baru
menerkam tubuh gadis itu, sekonyong-konyong terdengar
suara bentakan sengit.
"Dasar sepasang anjing yang tak tahu malu!"
Kemudian tampak sesosok bayangan berkelebat memasuki
kamar itu. Itu sungguh mengejutkan Ciok Giok Yin! Dia
langsung menyambar pakaiannya, bergerak cepat laksana kilat
melesat pergi melalui jedela. Sosok bayangan itu langsung
melesat ke luar mengejarnya. Tong Wen Wen yang masih
terbaring di ranjang segera menarik selimut menutupi
badannya. Namun dia merasa heran, dan bertanya dalam hati.
'Siapa orang itu" Kok suaranya amat kukenali"' Segumpal api
yang penuh hawa nafsu langsung sirna seketika.
Dia cepat-cepat berpakaian, lalu duduk di pinggir ranjang
menunggu Ciok Giok Yin pulang. Tiba-tia teringat olehnya,
orang itu mengejar Ciok Giok Yin, mungkin mereka berdua
sudah bertarung di pinggir kota. Oleh karena itu dia bangkit
berdiri. Namun ketika dia baru mau melesat pergi, mendadak
dari atap rumah melayang turun seseorang, yang ternyata Ciok
Giok Yin. Ketika Tong Wen Wen baru mau membuka mulut, Ciok Giok
Yin justru sudah maju, bahkan juga mengayunkan tangan
menamparnya. Plak! Plak! Mata Tong Wen Wen langsung berkunang-kunang dan kedua
belah pipinya membengkak merah.
"Kau tak tahu malu!" bentak Ciok Giok Yin sengit.
Sepasang matanya berapi-api menatap Tong Wen Wen, lalu
dia membentak lagi, "Tak kuduga kau juga sedemikian tak tahu
malu!" Tong Wen Wen berdiri tertegun di tempat. Berselang sesaat,
dia mendadak tertawa sedih lalu berkata sengit.
"Ciok Giok Yin, kau... kau... kau adalah...." Nada bicaranya
berubah sedih, kemudian dia tak mampu melanjutkan.
"Tong Wen Wen! Nama baik keluarga Tong kalian telah
tercemar oleh kalian kakak beradik!" bentak Ciok Giok Yin
dingin. Usai membentak, mendadak dia melesat pergi tanpa
pamit. Perubahan yang mendadak ini sungguh membuat Tong
Wen Wen tidak habis pikir. Namun kemudian wajahnya
berubah menjadi penuh dendam kebencian, lalu dia bergumam
dengan perlahn-lahan.
"Ciok Giok Yin, kau telah menghina diriku! Kalau kau tidak
mati di tanganku, aku tidak mau jadi orang lagi! Kau... kau
adalah binatang!"
Kini hatinya telah remuk, sehingga air matanya
bercucuran. Dia berdiri tertegun. Beberapa saat kemudian
barulah dia melesat pergi melalui atap rumah. Keributan
mereka berdua telah membangunkan para tamu, tapi mereka
tidak berani keluar, hanya mengintip melalui celah
jendela. Setelah melihat kedua orang itu pergi, para tamu
menggeleng-gelengkan kepala, dan kembali ke tempat tidur
masing-masing: Sedangkan pemilik penginapan itu terusmenerus
mengomel. Ternyata Ciok Giok Yin dan Tong Wen
Wen belum membayar sewa kamar. Bagaimana Ciok Giok Yin
bisa muncul di kamar Tong Wen Wen" Ternyata setelah melatih
ilmu Jari Darah, dia teringat pada Tong Wen Wen, entah sudah
tidur atau belum" Karena itu dia langsung mengerahkan lwee
kangnya, mendengarkan dengan penuh perhatian. Terdengar
seperti suara rintihan dan desahan nafas. Semula dia mengira
suara dengkur Tong Wen Wen. Dia tersenyum, dan ketika baru
mau membaringkan dirinya, justru terdengar suara Tong Wen
Wen memanggilnya. Walaupun suara itu amat lirih, namun
terdengar amat jelas dalam telinga Ciok Giok Yin.
Tapi suara Sas Sus itu juga tidak berhenti, otomatis membuat
Ciok Giok Yin menjadi bercuriga. Dia langsung turun, membuka
daun pintu kamarnya perlahan-lahan, kemudian mendekati
kamar Tong Wen Wen dan mengintip ke dalam melalui
jendela. Begitu mengintip kegusarannya langsung
memuncak. Dia segera mendobrak daun jendela dan
menerjang ke dalam. Sedangkan orang yang berada di atas
ranjang juga bergerak cepat laksana kilat menyambar
pakaiannya, sekaligus melesat pergi. Ciok Giok Yin ingin tahu
siapa orang itu, maka mengejarnya. Akan tetapi orang itu
memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi, sehingga Ciok Giok Yin
tidak dapat menyusulnya, bahkan kemudian kehilangan
jejaknya. Dengan penuh kegusaran. Ciok Giok Yin kembali ke
penginapan. Ketika dia tiba di penginapan kebetulan melihat Tong Wen
Wen sudah berkemas, siap meninggalkan penginapan itu.
Ternyata hal itu menimbulkan kesalah-pahaman di antara
mereka berdua. Ciok Giok Yin mengira bahwa Tong Wen Wen
akan pergi di saat dia tidak ada, lantara merasa tidak enak
terhadapnya. Mereka berdua adalah teman sejak kecil. Lagi
pula sebelum Tong Wen Wen kembali ke kamarnya, mereka
berdua sudah berbicara dari hati ke hati. Karena itu, Ciok Giok
Yin mengambil keputusan, selanjutnya dia harus melindungi
Tong Wen Wen, sebab gadis itu sudah tiada tempat tinggal dan
yatim piatu pula.
Maka tidak mengherankan kalau ketika menyaksikan
pemandangan itu, kegusaran Ciok Giok Yin memuncak tak
terkendalikan, sehingga mencaci dan menamparnya. Setelah
itu dia langsung melesat pergi. Kegusarannya telah menutupi
kesadarannya. Dia terus berpikir bahwa Tong Wen Wen
sungguh merupakan gadis yang tak tahu malu, sama sekali
tidak berpikir hal-hal yang mencurigakan. Mendadak Ciok Giok
Yin tertawa seperti orang gila. Dia ingin cepat-cepat
meninggalkan Tong Wen Wen yang dianggapnya tak tahu
malu. Dia terus melesat pergi. Angin malam menerpa
wajahnya, sehingga membuatnya agak tenang. Tiba-tiba dia
berhenti lalu menarik nafas dalam-dalam seraya bergumam.
"Sejak meninggalkan suhu, hingga saat ini masih belum
menyelesaikan satu urusan pun. Mengapa aku harus
memusingkan gadis yang tak tahu malu itu?"
Seusai bergumam, hatinya terasa agak lega. Dia
menengadahkan kepala memandang ke langit, ternyata sudah
subuh. Saat ini hatinya sudah bertambah tenang. Dia
menunggu datangnya pagi untuk berangkat ke Kuil Thay San
Si, melihat Fang Jauw Cang sudah berada di tempat itu atau
belum. Meskipun belum sampai waktu yang dijanjikan, tapi dia
berharap Fang Jauw Cang sudah berada di Kuil itu. Ketika dia
baru mau duduk, mendadak hatinya terasa tersentak.
"Celaka!" serunya.
Sekujur badannya langsung berkeringat dingin dan seketika
itu juga dia melesat ke dalam kota menuju penginapan itu. Di
saat melesat menuju penginapan itu, mata Ciok Giok Yin
bersimbah air dan mulutnya terus bergumam.
"Aku telah salah paham terhadap Kakak Wen, aku telah salah
paham terhadapnya...."
Ternyata Ciok Giok Yin ingat, dia mendengar suara Tong Wen
Wen memanggil 'Adik Yin'
Itu membuatnya teringat akan kejadian di Gunung Cong Lam
San, ada orang berwajah menyerupainya membunuh Can Hai It
Kiam. Apakah benar ada seseorang yang menyamar sebagai
dirinya" Siapakah orang itu" Kalau begitu orang yang ingin
berbuat yang bukan-bukan terhadap Tong Wen Wen, bukankah
orang yang menyamar sebagai dirinya" Kalau tidak, bagaimana
mungkin Tong Wen Wen memanggil orang itu 'Adik Yin"'
Bukan main menyesalnya Ciok Giok Yin! Mengapa ketika itu
dirinya tidak memikirkan tentang itu, tapi malah mencaci dan
menampar Tong Wen Wen" Kesalah pahaman itu sungguh
besar sekali! Dia mengambil keputusan harus berlutut di
hadapan Tong Wen Wen untuk menyatakan maaf padanya. Tak
lama kemudian dia sudah tiba di penginapan itu. Dengan hati


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tercekam rasa bersalah, dia berjalan ke kamar itu perlahanlahan.
Akan tetapi kamar itu telah kosong, tidak tampak Tong
Wen Wen di sana.
Oleh karena itu, dia langsung berlari ke luar seraya berseruseru,
"Kakak Wen! Kakak Wen...!"
Dia terus belari sambil berseru-seru.
"Kakak Wen! Kau telah ditipu orang, itu bukan aku...!"
Suaranya mulai serak dan bernada sedih. Mendadak tampak
seseorang berdiri di balik sebuah batu besar. Mendengar suara
seruan Ciok Giok Yin itu, orang tersebut mengerutkan kening,
lalu bertanya dalam hati. 'Kalau bukan Adik Yin, lalu siapa
orang itu"' Tiba-tiba dia teringat akan cerita Ciok Giok Yin
tentang kejadian di Gunung Cong Lam San. Apakah benar ada
orang menyamar sebagai dirinya" Itu sungguh
menakutkan! Bukankah orang itu akan menimbulkan banyak
musuh bagi Ciok Giok Yin, bahkan nama Ciok Giok Yin pun
akan menjadi rusak karenanya"
Siapa orang itu" Ternyata Tong Wen Wen. Dia berkata dalam
hati. 'Kini aku sudah tahu tentang itu, seharusnya aku
membantunya memecahkan persoalan tersebut.' Namun dia
merupakan gadis lemah, lagi pula kepandaiannya belum begitu
tinggi. Lalu bagaimana cara untuk membantu Ciok Giok Yin"
Gadis itu ingin memunculkan diri lalu memeluk Ciok Giok Yin
sambil menangis tersedu-sedu. Akan tetapi, dia justru merasa
malu akan kejadian itu. Maka dia menahan diri untuk tetap
diam di balik batu besar itu. Sementara suara seruan Ciok Giok
Yin semakin menjauh, akhirnya tak terdengar sama sekali.
Barulah Tong Wen Wen melesat pergi ke arah yang
berlawanan dengan arah yang dituju Ciok Giok Yin. Sedangkan
Ciok Giok Yin masih terus berseru dan tak henti-hentinya
berlari. Tak lama kemudian sampai di tempat yang banyak
batu curam, tentunya amat berbahaya sekali.
"Kakak Wen! Kakak Wen...!"
Ciok Giok Yin masih terus berseru. Mendadak dia melihat
sosok bayangan hijau berkelebat. Hatinya tergerak dan dia
segera berseru lagi.
"Kakak Wen! Kakak Wen!"
Ciok Giok Yin menduga, mungkin Tong Wen Wen telah
berganti pakaian warna hijau, dia tidak mau menyahut, karena
amat marah padanya. Karena itu, dia langsung mengerahkan
ginkang mengejarnya. Berselang sesaat, dia melihat sebuah
goa yang amat besar di hadapannya. Ciok Giok Yin merasa
girang dan kemudian berkata dalam hati. 'Asal kau
bersembunyi di dalam goa itu, tentu tidak sulit bagiku
mencarimu.' Dia mendongakkan kepala. Ternyata di dinding
goa itu terdapat tulisan 'Mie Tong' (Goa Sesat).
"Peduli amat goa apa!" katanya.
Dia berjalan memasuki goa tersebut. Tampak dua sosok
bayangan mengikutinya dari belakang. Dua sosok bayangan itu
adalah Thian It Ceng dari Siauw Lim Pay dan Hwa Yang Totiang
dari Gobi Pay. Ternyata kedua orang tersebut sejak tadi terus
mengikuti Ciok Giok Yin. Mereka berdua ingin tahu apa yang
akan dilakukan Ciok Giok Yin, setelah itu barulah
mengumpulkan para kaum rimba persilatan untuk
menangkapnya. Bagaimana Thian It Ceng dan Hwa Yang
Totiang bisa mengutit Ciok Giok Yin" Ternyata ketika mereka
berdua sedang beristirahat di bawah sebuah pohon besar,
mendengar suara seruannya yang terus menerus memanggil
'Kakak Wen' Karena itu mereka berdua segera menguntitnya. Begitu
melihat Ciok Giok Yin memasuki goa tersebut, mereka berdua
pun tidak ketinggalan, langsung mengikutinya dari
belakang. Mengenai kepandaian Thian It Ceng dan Hwa Yang
Totiang, boleh dikatakan amat tinggi, lagi pula mereka tokoh
penting di Siauw Lim Pay dan di Gobi Pay, ilmu kepandaiannya
hanya sedikit di bawah ketua masing-masing. Karena itu,
apabila ada suatu urusan di dunia persilatan, cukup mereka
yang berdua tampil. Sementara Ciok Giok Yin yang telah
memasuki goa, terus melesat ke dalam.
Lorong goa itu amat panjang, kira-kira empat puluh
depa. Setelah Ciok Giok Yin melewati sebuah tikungan terakhir,
tampak tiga jalan di hadapannya. Ciok Giok Yin tidak tahu
harus menempuh jalan mana. Dia berdiri termangu-mangu,
sesaat kemudian barulah meneruskan langkahnya menempuh
jalan yang di tengah. "Kakak Wen! Kakak Wen...!"
serunya. Suara seruannya bergema di dalam goa. Dia terus
berjalan, dan tiba-tiba melihat sosok bayangan hijau
berkelebat lalu menghilang. Dia tidak menghiraukan apa pun,
langsung menerjang ke arah bayangan itu. Akan tetapi sampai
di sana tidak melihat apa pun.
Dalam waktu bersamaan tampak asap putih ke luar dari
empat penjuru. Saking tebalnya asap putih itu, membuat Ciok
Giok Yin tidak dapat melihat apa-apa. Tentu saja dia menyedot
asap putih itu. Hatinya tersentak karena asap putih itu berbau
aneh. Kemudian dia berseru dalam hati 'Asap beracun!' Dia
gugup sebab amat mencemaskan Tong Wen Wen.
"Kakak Wen, cepat keluar! Goa ini tidak beres!" serunya
lantang. Meskipun dia pernah makan buah Toan Teng Ko sehingga
kebal terhadap racun apa pun, namun dia tetap menahan
nafasnya, kemudian berjalan ke depan. Sementara asap putih
beracun itu terus menerobos ke luar dari empat penjuru,
kelihatannya tiada habisnya. Sejak memasuki goa itu, Ciok
Giok Yin tidak melihat seorang pun. Setelah berjalan belasan
langkah, dia berseru lagi, "Kakak Wen! Apakah kau tidak
bersedia memaafkanku?" Walau dia berseru berulang kali,
namun tetap tiada sahutan. Ciok Giok Yin putus asa, sebaliknya
malah mengambil keputusan, biar bagaimanapun harus
mencari Tong Wen Wen sampai ketemu.
Dia sangat mengkhawatirkan Tong Wen Wen sebab sungguh
berbahaya seorang gadis berkecimpung di dunia
persilatan. Buktinya kejadian semalam. Bukankah kejadian itu
amat membahayakan diri Tong Wen Wen"
Oleh karena itu hati Ciok Giok Yin semakin gugup dan cemas.
Dia ingin mencari suatu tempat yang aman mencari Tong Wen
Wen. Dia yakin di dalam goa tersebut pasti ada penghuninya,
sebab kalau tidak, bagaimana mungkin ada asap putih
beracun" Jangan-jangan penghuni goa itu, telah.... Ciok Giok Yin tidak
berani memikirkan itu, melainkan berseru lantang.
"Aku mema Pendekar Kembar 9 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Bukit Pemakan Manusia 3
^