Pedang Berkarat Pena Beraksara 4

Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Bagian 4


pang." "Bukankah toheng mengatakan kalau Ting Ci kang belum berhasil menemukannya?"
Tanya pula si naga tua berekor botak.
Ma koan tojin segera tertawa seram.
"Betul, mungkin saja ketika ia selesai melakukan pembunuhan para saksi, dijumpai
kalau benda yang berhasil didapatkannya ternyata palsu "
"Darimana toheng bisa tahu?" naga tua berekor botak makin kaget dan keheranan.
Ma koan tojin segera tertawa seram. "Heeeehhh...heeeehhhh... heeeebh pinto hanya
berbicara menurut keadaan disamping memberikan pula dugaan dugaan, siapa tahu
orang orang Thi Pit pang setelah membunuh Siau Beng san, tiba tiba terjadi
pergolakan di dalam sehingga terjadi pembunuhan yang berakibat kematian dari Yau
cun?" "Bisa mungkin saja benda mustika yang itu disembunyikan Lu Yau cun. sedang Lu Yau cun tak pernah meningalkan sekitar tempat kejadian, hal ini dapat dibuktikan dengan
kedatangan Ting Ci kang yang berulang kali ketempat kejadian siapa tahu mustika yang
disembunyikan dan berhasil ditemukan kembali?"
"Pendapat toheng memang dapat diterima dengan akal sehat, cuma dari mana pula
dia bisa mengetahui kalau benda yang diperolehnya itu adalah barang palsu?"
Ma tojin tertawa seram. "Heeeh ... heeeh ... heeeh ... mungkin dia belum tahu, barang
itu semuanya berjumlah tiga buah, dua palsu dan satu asli, tapi semuanya justru mirip
sekali satu sama lain..."
etika berbicara sampai disini, tiba tiba dia membungkam.
"Suheng, tahukah kau apa kegunaan dari benda itu sehingga begitu banyak umat
persilatan mengincarnya ?" Thi Lohan bertanya.
Ma koan tojin mendehem pelan, kemudian menjawab. "Soal itu mah pinto kurang
begitu memahami."
"Menurut berita yang tersiar didalam dunia persilatan" kata si Naga tua berekor botak pula, "barang siapa yang mendapatkannya maka dia tiada tandingannya dikolong
langit, asal kita berhasil menemukannya, apa takut tak bisa menyelidiki daya
kegunaannya."
Sementara pembicaraan sedang berlangsung si nenek berambut putih itu sudah
muncul kembali sambil mempersiapkan sayur dan arak buat ke tiga orang itu.
Tentu saja sayur yang bisa dipersiapkan cuma sayur mayur, dadar telur serta ikan asin
hanya kali ini nampak pula sepoci arak.
Diatas wajah si nenek tua berambut putih dan kering berkeriput nampak diliputi
perasaan takut dan tak tenang, dengan suara agak gagap dia berkata.
"Harap dimaafkan tuan bertiga, kami ... kami orang miskin dan tinggal digunung,
kam...kami tak bisa menyediakan hidangan yang lezat lezat untuk kalian,
sedang...sedang arak dalam poci itupun dibeli oleh suamiku beberapa hari berselang di
kota, silahkan kalian bertiga untuk mendaharnya."
Lalu si Naga tua berekor botak mengeluarkan sekeping uang perak dan diletakkan
kedalam tangan lalu katanya, "Kami telah merepotkan kau, nah terimahlah uang perak ini."
Melihat ada uang, sorot mata si nenek berambut putih itu nampak terkesima, lalu
memantap dengan perasaan ingin, meski begitu dia tak berani menerimanya, malah
sambil menggoyangkan tangannya dia berkata sambil tertawa.
"Ah, cuma hidangan sederhana saja.. aku nenek tak berani menerima uang loya,
aku...aku hanya memohon kemurahan hati loya, untuk melepaskan suamiku..."
"Terima dulu uang ini, bila kami akan pergi nanti pasti akan kubebaskan suamimu itu."
Legalah mendengar kalau suaminya akan dibebaskan, si nenek berambut putih itu
segera menerima uang perak tersebut, setelah melirik sekejap ke arah Ting Ci kang
dan Wi Tiong hong berdua yang tergeletak di tanah, dengan perasaan terima kasih
yang besar ia mengundurkan diri dari situ.
Si Naga tua berekor botak segera turun tangan untuk memenuhi cawan Ma koan tojin
dan Thio Lo han dengan arak, kemudian diapun memenuhi cawan sendiri dengan arak,
setelah itu katanya sambil tertawa.
"Toheng, taysu, silahkan sehabis bersantap kenyang nanti, kita harus mulai mencari lagi jejak tentang benda mustika tersebut."
Selesai berkata dia lantas mengangkat cawan araknya dan minum dengan tegukan
besar. Paras muka Ma koan to jin masih tetap dingin menyeramkan, ia tidak turut minum
tubuhnya masih tetap duduk di tempat semula tanpa bergerak barang sedikitpun juga.
Thi Lohan paling supel orangnya, apalagi waktu itu perutnya juga sedang lapar, tapi
melihat Ma koan tojin belum juga menggerakkan sumpitnya, dia jadi sangsi dan tidak
berani menggerakkan sumpitnya pula.
Sudah barang tentu si Naga tua berekor botak dapat menyaksikan kejadian itu, lalu dia
tertawa terbahak-bahak.
"Haahh..haahh..haahh apakah kalian masih sangsi dengan sayur dan arak ini" Apa
kalian takut aku telah mencampurkan pula racun Ji ko mi kedalam sayur dan arak ini?"
Ma Koan tojin tertawa seram. "Heehh.. heeeh.. heeeh.. Lo Bun si cuma ada satu
sedang kita bertiga, apakah tidak terlalu sedikit bila benda itu dibagi tiga?"?"
"Betul, betul" seru Thio Lohan sambil mengangguk tiada hentinya, "bila ingin selamat dalam dunia persilatan, kita memang sudah sepantasnya untuk selalu waspada dan
menjaga segala kemungkinan yang tidak di nginkan."
Si Naga tua berekor botak To Sam seng tertegun sejenak, kemudian katanya dengan
perasaan ngeri.
"Suheng, taysu, apabila kalian menaruh perasaan curiga kepada diriku, bagaimana
mungkin siaute bisa menjelaskannya" Baiklah, aku akan membuktikan kepada kalian
kalau dalam sayur sayur ini tak ada racunnya."
Selesai berkata dia lantas menggerakkan sumpitnya dan mengambil setiap sayur itu
kemudian lalu dimasukkan kedalam mulutnya.
Selesai mencicipi sayur sayur tersebut, ia lalu mendongakkan kepalanya sambil
berseru, "Sekarang, apakah kalian sudah percaya ?"
Ma koan tojin mangut manggut. "Tentu saja pinto dapat mempercayai saudara To,
entah saudara To bisa mengeluarkan bubuk Ji ko mi tersebut dan memperlihatkan
pada pinto?"
Bab-13 Si Naga tua berekor botak To Sam seng cukup mengenali watak Ma koan tojin yang
banyak curiga, mendengar perkataan itu dia lantas mengeluarkan dua buah botol kecil
berwarna putih diletakkan ke atas meja setelah itu ujarnya sambil tertawa, "Silahkan
dilihat toheng."
Ma koan tojin menerima botol perselen itu diperiksanya sebentar, tampak dalam botol
pertama berisikan bubuk halus berwarna hijau, dalam botol tersebut tertera tiga huruf
kecil yang berbunyi "Ji ko mi" Sedangkan dalam botol porselen yang kedua berisikan butiran obat sebesar biji kelereng sedang didalam botol itu tertera huruf kecil pula,
"Obat penawar Ji ko mi."
Sambil mendongakkan kepalanya dan tertawa, dia lantas berkata, "Saudara To
memang benar-benar seorang yang bijaksana, entah bolehkah aku minta beberapa
butir pil penawar dari bubuk pemabuk ini?"
Si naga tua berekor botak segera tertawa terbahak-bahak. "Haaah...haaah...haaahh...
kalau toheng membutuhkan silahkan saja diambil, setiap kali terkena bubuk pemabuk
tersebut hanya cukup sebutir saja sudah cukup untuk memunahkan pengaruh
racunnya."
"Kalau begitu pinto minta tiga butir saja." ucap Ma-koan Tojin sambil tertawa.
Dia segera membuka penutup botol itu dan mengambil tiga butir pil penawar tersebut.
Buru2 Thi-lihan Khong-beng Hweesio berseru pula, "Pinceng juga mohon tiga butir."
"Taysu kelewat serius, kalau toh kita bersungguh hati ingin bekeja sama, tentu saja kau boleh mengambil obat penawar itu."
Thi-lohan segera mengambil pula tiga butir obat penawar untuk disimpan, setelah itu
kedua buah botol porselen itu baru dikembalikan kepada si Naga tua berekor botak.
Ma-koan Tojin bangkit berdiri, kemudian ambil sebutir pil penawar di berjalan
menghampiri Ting ci kang.
"To-heng, belum lagi bersantap kau sudah ingin memeriksa Ting ci kang . ." tegur Thi Lo-han-Ma koan tojin berpai ng dan tertawa seram, sahutnya.
"Lebih baik orang she Ting ini disadarkan lebih dulu, kemudian baru bersantap.
Sementara pembicaraan berlangsung dia sudah menjejaikan pil penawar racun itu ke
dalam mulut Ting ci kang.
Si Naga berekor botak To sam seng sebagai seorang jago yang sangat kawakan tentu
saja memahami apa arti dari tindakkan Ma-koan tejin tersebut, yang jelas bukan untuk
menyadarkan Ting ci kang, melainkan hanya ingin membuktikan apakah obat penawar
racun itu asli atau tidak.
Diam2 ia lantas mendengus dingin, pikirnya. "Si hidung kerbau tua ini benar-benar amat licik bagaikan seekor rase . . ."
Ternyata obat penawar itu sangat manjur, tak selang seperminum teh kemudian Ting
ci kang benar2 telah sadar kembali dari pingsannya.
Secepat sambaran petir, Ma koan tojin segera menyentilkan jari tangannya menotok
dua buah jalan darah penting ditubuh Ting ci kang.
Begitu tertotok. otomatis Ting ci kang tak sanggup bergerak meski ia telah sadar
kembali, hanya sorot matanya saja yang sempat memperhatikan sekeliling tempat itu.
Mengetahui kalau dia, Wi Tiong hong telah dipencundangi orang, tanpa terasa ia
mendengus dingin, lalu ujarnya.
"Kalian bertiga adalah jago- jago kawakkan dari dunia persilatan, dengan perbuatan kamu bertiga yang telah mencampur obat pemabuk di dalam sayur, apakah tidak takut
akan menurunkan derajat kalian sendiri ..." Ma koan tojin tertawa seram.
"Siapa suruh kalian membawa mestika" orang bilang, siapa membawa barang
berharga dia bakal Celaka "
"Apa maksud totiang berkata demikian ?"
"Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan dewasa ini konon mestika yang disebut Lo bun si tersebut sudah terjatuh ditangan Thi pit pang kalian, padahal mestika itu merupakan barang incaran setiap orang, bila kami tidak mencoba untuk
mendapatkan, orang lain toh akan mencoba untuk mengambilnya juga . Ting pangcu
Buat apa kau mesti menyangkal lagi kenyataan ini ?"
"Tapi .... aku benar2 tidak tahu."
"Tahu atau tidak tahu itu adalah sama saja." tukas Ma koan Tojin sambil tertawa seram, "barusan Ting pangcu sudah makan kenyang, sedangkan pinto bertiga sudah
menghamburkan tenaga setengah harian dengan sia-sia, sekarang perut pun sudah
mulai lapar, baiklah . . .kalau memang begitu harap Ting pangcu menunggu sebentar,
bila pinto selesai bsrsantap nanti kita baru berbincang-bincang lebih jauh."
Ketika si Naga tua berekor botak To Sam-seng mendengar tojin itu baru akan berbicara
lagi selesai bersantap nanti, dalam hati kecilnya lantas tahu kalau ia bermaksud untuk menguji kemanjuran obat penawar tadi, atau dengan perkataan lain rasa curiganya
belum juga hilang.
Diam-diam ia lantas mendengus dingin, setelah menjura dan tertawa katanya pula.
"Saudara Ting, untuk sementara waktu terpaksa akan menyiksamu, asal saudara Ting
bersedia untuk bekerja sama dengan kami, tanggung ada kebaikan untukmu." Ting ci
kang segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaaahhhh . , . haaahhh . . . haaahhh , . . kini aku she Ting sudah jatuh ketangan kalian, banyak berbicara soal kebaikan atau kejelekan juga tak ada gunanya, aku hanya
minta saudara Wi yang baru kukenal belum lama ini suka dilepaskan, toh bagi kalian
bertiga saudara ini tak ada kegunaannya, apalagi ketika berada dian wan-Piaukiok ia
telah membantu kalian bertiga."
"Saudara Ting salah paham" Naga tua berekor botak tertawa licik, "kami sama sekali tak bermaksud jahat terhadap saudara Ting, selesai makan nanti, tentu saja kami akan
memunahkan pengaruh obat pemabuk dari tubuh saudara cilik ini."
Sementara itu, Ma-koan tojin yang menyaksikan obat penawar yang diberikan Naga
tua berekor botak To Sam seng kepadanya ituamat manjur, dia segera menelan sebutir
dan menyimpan sisanya kedalam saku, sekembalinya ke meja, dia pun mulai bersantap
dan minum arak dengan perasaan lega.
Tentu saja Thi Lohan Kwong Beng hwesio dengan cepat menirukan pula cara tersebut
dengan secara diam-diam menelan sebutir obat penawar.
Naga tua berekor botak To Sam seng yang menyaksikan kejadian itu hanya berlagak
seolah-olah tidak melihat, padahal dalam hati kecilnya tertawa dingin tiada hentinya.
Tak selang berapa saat kemudian, ke tigaorang itu sudah menghabiskan sepoci arak, si
Naga tua berekor botak segera bangkit berdiripura-pura hendak mengambil nasi.
Mendadak paras muka Ma koan tojin berubah hebat, mencorong sinar buas dari balik
matanya, sambil mendengus dingin bentaknya. "To Sam seng, besar amat nyalimu "
Sambil membentak dia pun melompat bangun kemudian selangkah demi selangkah
berjalan menghampiri si naga tua berekor botak.
Secepat kilat Thi Lo han turut melompat bangun pula dan melompat ke samping
arena, kemudian bentaknya pula.
"Tua bangka berekor botak, apakah kau telah mencampuri sayur dan arak yang kami
dahar dengan bubuk Ji ko mi ?"
Si Naga tua berekor botak mundur beberapa langkah ke belakang, kemudian sahutnya
dengan tertawa menyeringai.
"Apa yang di katakan Ma koan toheng tadi memang benar, Lo bun-si hanya sebuah,
bila harus dibagi menjadi tiga bagian rasanya kelewat sedikit. . ."
Merah padam selembar wajah Thi Lo han Kwong Beng hweesio yang gemuk dan putih,
dengan gusar teriaknya.
"Jadi obat penawar yang kau berikan itu palsu ?"
"Haaahhh . . . haaahhh . . . haaahhh .... obat penawarnya mah tidak palsu, kalau tidak.
masa saudara Ting bisa sadar secepat ini ?" seru si naga tua berekor botak sambil tertawa licik, "cuma, obat pemabuk yang siaute serahkan kepada si nenek itu
semuanya dua macam."
"Sewaktu menghadapi saudara Ting tadi, obat bubuk yang dicampurkan kedalam sayur
adalah bubuk Ji ko-mi, sebaliknya bubuk yang dicampurkan kedalam arak kita justru
adalah bubuk lain, bubuk itu bernama. . ."
"To Sam seng " bentak Ma- koan tojin sambil tertawa dingin dengan nada
menyeramkan, "tahukah kau, sekalipun pinto dan Kwong Beng taysu telah makan obat
beracun, tapi dengan mengandalkan tenaga dalam yang dimiliki, belum tentu obat
tersebut bisa bekerja dengan cepat, bila kami maanfaatkan kesempatan sebelum
racun itu bekerja untuk merobohkan dirimu, aku yakin orang pertama yang roboh
lebih dahulu adalah kau bukan kami berdua"
Sementara pembicaraan berlangsung, dia telah menghimpun tenaga dalamnya
kedalam telapak tangan kanan, kemudian selangkah demi selangkah berjalan
mendekati si naga tua berekor botak tersebut.
Tentu saja Thi Lo han Kwong Beng hwesio juga tahu bahwa satu-satunya jalan agar
bisa mendapatkan obat penawar racun itu adalah menguasahi si naga tua berekor
botak. Maka dengan mengimbangi gerakan dari Ma-koan tojin tersebut, satu dari kiri yang
lain dari kanan berbareng mendekat.
Waktu itu si Naga tua berekor botak hanya berdiri disudut ruangan sambil mengelus
jenggot kambingnya dan sama sekali tidak bergerak. sambil tertawa licik dia malah
berkata. "Siaute sudah tahu kalau tenaga dalam yang kalian berdua miliki amat sempurna, oleh sebab itu akupun menggunakan sejenis obat beracun yang lebih kuat daya kerjanya,
bubuk obat ini bernama Jit poh san (tujuh langkah membuyar) asal sudah berjalan
sejauh tujuh langkah maka semua tenaga dalam kalian akan membuyar haaahhh. . .
haaahhhh. . nah silahkan kalian berdua maju . .. satu, dua, tiga, empat,lima..."
Ma koan tojin merasakan hatinya amat terkesiap. ketika mencapai langkah yang ke
lima, serta merta ia berhenti sendiri, tapi ketika dilihatnya jarak lawan tinggal enam depa, begitu ia berhenti sepasang tangannya yang kurus kering tak berdaging itu
langsung diayunkan ke depan.
Si Naga tua berekor botak masih tetap berdiri disana tanpa bergerak. wajahnya pun
masih tetap tenang sedikitpUn tidak berubah, bahkan ia tak bermaksud untuk
menangkis, malahan memandang pun tidak.
Ketika serangan yang di lancarkan Ma koan-tojin itu diayunkan kedepan, entah
mengapa secara tiba-tiba badannya bergoncang keras, kemudian terjatuh ke atas
tanah, sepasang matanya melotot besar dan mulutnya berbuih.
Sebenarnya dia memang berperawakan kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang,
kini tampaknya kelihatan lebih menyeramkan lagi.
Thi Lo han Kwong Beng hwesio yang menyaksikan kejadian itu menjadi amat
terperanjat, dia membentak marah lalu menerjang maju ke depan.
Akan tetapi, sewaktu badannya yang gemuk itu baru mencapai ditengah angkasa,
tahu2 . . "Blaaamm " ia sudah terjatuh kembali keatas tanah dan tak sanggup beranjak bangun lagi.
Ting ci kang yang menyaksikan berlangsung-nya adegan saling gontok-gontokan itu,
diam-diam merasa amat terperanjat.
Imu silat yang dimiliki Ma koan tojin dan Thi Lo han berdua holeh dibilang terhitung
jagoan kelas satu didalam dunia persilatan, sekalipun sudah menelan obat beracun,
dengan pengerahan tenaga dalam untuk mendesak daya kerja racun tersebut, pai ng
tidak mereka masih sanggup untuk bertahan selama satu jam.
Siapa sangka obat beracun Jit poh san yang dipergunakan si Naga tua berekor botak
tersebut bisa sedemikian lihainya sehingga daya kerjanya pun cepat sekali.
Dalam pada itu, si Naga tua berekor botak yang menyaksikan kedua orang rekannya
telah roboh, ia segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaahhhh. . . haaaahhhh . . . haaahhh. . ."
Dia hanya sempat tertawa tergelak beberapa saat, sebab secara tiba-tiba suara
tertawanya itu terhenti sendiri, di kuti paras mukanyapun berubah hebat.
Dengan cepat tangan kanannya merogoh kedalam sakunya dan mengeluarkan sebuah
botol porselen, tak sempat membuka penutup botolnya lagi, dia menggigitnya keras2
dan sekaligus menelan empat lima butir obat penawar.
Mendadak badannya mulai gontai dan sempoyongan tak menentu, peluh dingin
membasahi jidatnya, bagaikan butiran kacang kedelai jatuh bercucuran tiada hentinya,
sorot matanya kalut dan memancarkan rasa ngeri, kalut dan seram yang hebat.
Akhirnya ia jatuh terduduk ke atas tanah, serunya dengan suara gemetar. "Apa . . . apa yang telah terjadi?"
Perubahan ini terjadinya sangat mendadak dan sama sekali diluar dugaan Ting ci kang,
taapa terasa dia mulai berpikir. "Masakah obat penawarnya tidak majur?"
Agaknya si nenek berambut putih yang bersembunyi didalam dapur telah mendengar
suara gaduh tersebut, ia segera melongok keluar dari balik pintu. Tapi setelah
menyaksikan apa yang telah terjadi, dengan terkejut serunya.
"Hey, To Loya, kenapa kau" Bukankah tadi kau telah memerintahkan kepadaku untuk
mencampurkan sebungkus obat yang bernama Jit-poh san kedalam arak?"
"Berhubung diatas gunung banyak terdapat musang yang seringkali mencuri ayam
peliharaanku, padahal sinenek sudah menggunakan racun apapun untuk
menangkapnya, tapi setiap kali obat racun itu hanya bisa dipakai satu kali, kemudian
kehilangan kegunaannya lagi."
"Maka ketika aku si nenek mendengar kalau bubuk racun Jit poh san milikmu itu tak berwarna dan tak berbau, si musang tentu tak bisa mendengusnya, maka secara diam-diam aku telah menukar racun itu dengan racun lainnya.
"Racun yang kucampurkan kedalam arak tadi adalah racun pembunuh musang yang


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibeli suamiku beberapa hari berselang dari kota, konon racun itu hanya bisa
dipunahkan dengan kotoran manusia, bagimanakah kalau kuambilkan semangkuk
kotoran manusia dari dalam kakus untuk memunahkan racun tersebut?"
Perkataan itu memang bukan ejekan belaka, sebab menurut ajaran kuno, kotoran
manusia memang bisa digunakan untuk penawar racun.
Tadi si naga tua telah menelan empat butir pil penawar dari perguruannya, sekalipun
racunnya berbeda dan belum tentu bermanfaat, tapi daya kerja racun itu toh bisa
dicegah untuk sementara waktu, tidak seperti Ma koan to-jin dan Thi Lo han yang
segera roboh setelah terkena Serangan.
Sekarang dia hanya bisa melototkan matanya besar-besar, apa yang terpampang
didepan mata masih bisa terlihat, dan apa yang bergema di-situ masih dapat didengar,
akan tetapi keempat badannya telah menjadi kaku dan tak sanggup bergerak lagi, kulit
mukanya terasa kaku kesemutan sehingga keinginannya untuk berbicara pun tak
mampu dilakukan.
Tapi dia sadar dan mengerti apa yang dikatakan nenek berambut putih itu semuanya
adalah bualan belaka.
Kalau racun yang dicampurkan dalam arak itu benar-benar adalah racun pembunuh
musang jangan harap hal mana bisa mengelabuhi mereka bertiga, atau dengan
perkataan lain, racun yang telah dicampur sinenek dalam poci arak itu jelas adalah
racun yang jauh lebih lihay daripada Jit poh san yang diberikan kepadanya.
Ting ci kang masih tergeletak ditanah karena jalan darahnya tertotok. diam-diam ia
merasa terkejut sekali, tentu saja ia dapat mendengar semua pembicaraan itu dengan
jelas. Tapi kedua orang suami istri tua itu pernah dijumpainya pada tiga hari berselang,
malah waktu itupun dia sempat bersantap dirumahnya jelas diketahui olehnya waktu
itu bahwa dia bukanlah seorang pandai bersilat....
Sementara itu dia masih berpikir, mendadak terdengar si kakek yang berbaring diatas
pembaringan bambu itu berseru sambil tertawa rendah. "Ang Nio Cu, aku sikakek
sudah boleh bangun bukan ?" sekali lagi Ting ci kang merasa tertegun, pikirnya.
"Bukankah-jalan darahnya telah ditotok oleh si naga tua berekor botak. . ?"
Si nenek berambut putih yang semula bungkukpun, kini berdiri tegak kembali,
sahutnya sambil tertawa.
"Si tua bangka Celaka, kau enak-enak tidur berlagak mampus, sebaliknya koh nay- nay mesti bekerja keras didapur untuk masak sayur, menanak nasi dan repot setengah
harian-hmm, bila kau berani mencari keuntungan lagi dengan mulut yang kotor, lihat
saja kuhajar adat kepadamu."
"Aneh, suara yang semula parau dan gemetar kini sudah berubah sama sekali, malah
secara tiba tiba berubah menjadi merdu dan halus. Bukan begitu saja, bahkan
orangnya yang berbicara pun sama sekali telah berubah.
Tampak dia menarik rambutnya yang putih itu sehingga terlepas dari kepaia,
kemudian mengusap mukanya dan melepaskan pula selembar kulit topeng yang
berwajah tua dan jelek.
Dalam waktu singkat seorang nenek jelek yang berambut putih dan terbungkuk-
bungkuk, kini telah berubah menjadi seorang nyonya muda yang cantik dan genit.
Si kakek yang berbaring diatas pembaringan pura2 sakitpun telah melompat bangun
pula, dia segera mengambil huncweenya dan menjura kearah nyonya muda itu,
katanya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhh...haahhh. . . haaahhh.... nona Cho, maaf kalau aku si orang tua telah salah berbicara."
Nyonya muda genit itu kembali tertawa cekikikan.
"Bagus sekali. Disini sudah tiada urusanku lagi, orang2 itu kuserahkan semua
kepadamu."
Selesai berkata dia lantas menggerakkan badannya dan berjalan keluar dari ruangan.
Sungguh cepat sekali gerakan tubuhnya, hanya didalam sekali kelebatan saja tahu2
bayangan sudah lenyap tak berbekas.
Ting ci kang yang menyaksikan kesemuanya itu, diam-diam mengangguk, pikirnya.
"Aaaaah . . . kalau begitu, mereka semua adalah orang-orang Thian Sat bun..."
Dalam pada itu, si kakek kurus kecil itu sudah mengetuk keluar abu tembakaunya dari
mangkuk huncwe, kemudian mengisi tembakau baru dan menyulutnya.
Setelah menghisap beberapa kali, dia baru berjalan menghampiri Ting ci kang, katanya
dengan senyum tak senyum.
"Sahabat Ting, tadi kau berjongkok dibalik semak sambil memperhatikan sesuatu,
nampaknya kau berhasil menemukan abu tembakau ku disitu" Tapi anehnya, huncwee
lohu justru diletakkan disamping pembaringan, mengapa sahabat Ting malah tak bisa
menduga diri lohu" Heehhmm . .. heehmm . . . bukan cuma sahabat Ting saja, bahkan
Ma koan dari Hong san dan naga tua dari Hoan yang pun pada buta gemas matanya."
Sambil membelalakkan matanya Ting ci-kang termenung dan berpiklr beberapa saat
lamanya , mendadak terlintas rasa kaget dan terCegang diatas wajahnya, ia segera
berseru. "Jangan jangan kau adalah . . ."
Belum sempat ia menyebut nama orang itu, mendadak ia mengetuk dengan gagang
huncweenya, begitu jalan darah pingsan Ting ci kang tertotok, kata-kata selanjutnya
pun tak sanggup diteruskan lagi.
ooOOOoo Bab-14 Ketika Wi Tiong- hong mendusin kembali, ia merasa pemandangan yang berada
disekeliling tempat itu telah berubah sama sekali.
Ia seperti lagi duduk bersandar diatas dinding, untuk sesaat dia tak tahu dimanakah
dirinya berada "
Ketika mencoba untuk membuka matanya, ia saksikan kegelapan mencekam
disekeliling tempat itu, gelap gulita bagaikan berada ditengah malam, diam-diam ia
merasa terkejut sekali.
Dengan sepenuh tenaga dia mencoba untuk mengumpulkan kembali semua daya
ingatannya, dia masih ingat bagaimana dia
dan Ting toako meninggalkan kota Sang siau menuju ke kuil Sik jin tian. . .
Ketika tengah hari tiba, mereka beristirahat dirumah seorang petani dibawah bukit,
keluarga petani itu hanya terdiri suami isteri yang telah lanjut usia, yang laki berbaring diatas pembaringan sedang tidur, sedang si nenek yang berambut putih dan bertubuh
bungkuk menyiapkan santapan siang bagi mereka berdua, kemudian. . Kemudian dia
pun tak dapat mengingatnya lagi.
Pokoknya mereka berdua seperti belum sampai meninggalkan rumah gubuk itu. . .
Tapi, dimanakah ia sekarang " Mengapa ia bisa berada disini "
Diam2 ia mencoba untuk menghimpun tenaga dalamnya, terasa hawa murninya sukar
dikerahkan se-akan2 terdapat beberapa buah jalan darahnya tersumbat, namun bila
tidak mencoba untuk menyalurkan hawa murni, halmana sama sekali tidak dirasakan.
Ia mencoba untuk menggerakkan tangan dan kakinya, ternyata masih bisa bergerak
dengan bebas, kontan saja kecurigaannya timbul, entah siapa kah orang itu " Mengapa
jalan darahnya ditotok?"
"Aaah, dimanakah Ting toako ?"
Setelah memejamkan matanya, Wi Tiong hong segera mengerahkan segenap
kemampuannya untuk memeriksa sekejap sekeliling tempat itu.
Kali ini, secara lamat-lamat dia dapat menyaksikan pemandangan disekeliling tempat
itu, tapi apa yang kemudian terlihat membuatnya merasa terkejut sekali. segera
pikirnya dihati.
"Aaaah . . . rupanya aku berada dipenjara, tapi . . . kenapa aku disekap dalam rumah penjara?"
Walaupun ia belum pernah disekap didalam rumah penjara, tapi ia mengetahui
dengan pasti kalau tempat ini adalah sebuah ruangan penjara yang amat kuat.
Luasnya cuma enam depa, kecuali dimana ia bersandar sekarang berupa dinding yang
kokoh, tiga bagian lainnya merupakan terali besi yang sangat kuat, tepat
dihadapannya merupakan sebuah pintu terali besi yang besar, pada gembokan pintu
terpasang sebuah kunci yang benar sekali.
Rupanya ruang penjara berupa terali besi itu bukan cuma satu saja, sederetan
memanjang kesamping paling tidak masih ada tujuh delapan buah dan disetiap bilik
tampaknya ada tawanan yang disekap.
Sehingga bila dilihat sepintas lalu bentuknya persis seperti pagar terali tempat untuk memelihara binatang buas.
Sebenarnya berada dimanakah ia sekarang?"" Kesalahan apakah yang telah diperbuat
sehingga dijebloskan kedalam penjara?""
Mendadak ia melompat bangun, hampir saja dia akan berteriak-teriak keras.
Tapi ketika sorot matanya dialihkan kearah lain, tiba-tiba dijumpainya orang yang
disekap dalam ruang penjara disebelah kanannya adalah Tok Hay ji yang pernah
dijumpai dalam perusahaanan wan Piaukiok, tampaknya luka yang diderita orang ini
cukup parah, sebab dengan wajah yang layu dia sedang memejamkan matanya
mengatur pernapasan.
"Masa dia adalah Tok Hay ji" mengapa diapun disekap ditempat ini. ..?"
Penemuan ini membuat Wi Tiong hong merata semakin keheranan, buru-buru dia
mengalihkan pandangan matanya ke ruang bui disebelah kiri.
Ternyata orang yang duduk bersandar dinding ditempat itu tak lain adalah Ting toako
yang bersamanya datang ke kuil Sik-jin-tian.
Pelan-pelan Wi Tiong hong menjadipaham kembali, kalau ditinjau dari keadaan ini
dapat ditarik kesimpulan kalau tempat tersebut bukan penjara seperti apa yang
diduganya semula, rupanya mereka ditawan oleh Thian Sat nio serta begundal-
begundalnya. Tanpa berpikir panjang lagi dia berjalan mendekati terali besi itu, kemudian sambil
menarik terali besi tersebut, teriaknya keras2. "Ting toako. ..."
Setelah ia mendekat kesitu, ia baru menjumpai kalau Ting ci kang pun sedang duduk
memejamkam mata disana, tampaknya seperti juga keadaannya, beberapa buah jalan
darahnya telah ditotok orang, sehingga sekarang ia sedang berusaha untuk
menembusi jalan darah ini.
Butiran keringat sebesar kacang ijo nampak membasahi seluruh jidatnya.
Ketika mendengar panggilan dari Wi Tiong hong, pelan-pelan dia membuka matanya
seraya menegur.
"Saudara Wi, kau pun telah mendusin?"
"Ting toako, berada dimanakah kita sekarang?"" tanya Wi Tiong hong dengan suara yang keras, "mengapa kita..."
Belum habis dia berkata, tiba-tiba terdengar suara membentak nyaring.
"Sttt . . . .jangan keras-keras kalau ingin berbicara disini, jagalah ketenangan."
"Siapakah kau?" teriak Wi Tiong hong, "tempat apa pula disini" Mengapa kami disekap ditempat ini?"
Sambil berkata dia lantas berpaling ke arah mana berasalnya suara tersebut.
Ternyata diujung barisan rumah penjara itu nampak seorang sipir bui sedang duduk
disitu sambil melakukan pengawasan.
Dia adalah seorang manusia berbaju hitam, tapi karena ia duduk diujung ruangan dan
lagi jaraknya teramat jauh, maka sulit untuk melihat jelas paras mukanya. Terdengar
manusia berbaju hitam itu mendengus dingin.
"Bocah keparat, masih saja ber-kaok2 keras" Nampaknya kau sudah bosan hidup?"
Wi Tiong hong masih ingin berkata lagi, tapi Ting ci kang yang disekap diruang sebelah segera menarik ujung bajunya sambil berbisik.
"Saudara Wi, bertanya lagi kepadanyapun percuma, lebih baik bersabarlah dulu untuk sementara waktu dan nantikan setiap perubahan dengan tenang, untung saya orang
yang disekap dalam ruangan ini bukan hanya kita berdua."
Tampaknya Wi Tiong hong amat mempercayai perkataan Ting cin kang, sambil
menahan diri segera bisiknya.
"Ting toako, tahukah kau siapa yang disekap disebelah kananku" Dia adalah Tok Hay ji."
Ting ci kang segera manggut-manggut.
"Bukan cuma Tok Hay ji saja, bahkan Ma-koan tojin, Thi Lo han dan si naga tua berekor botak pun sudah disekap semua ditempat ini."
Wi Tiong hong baru terperanjat setelah mendengar perkataan itu, kemarin ia masih
menyaksikan kehebatan ilmu silat yang dimiliki ketiga orang itu, berbicara
sesungguhnya, kepandaian mereka masih terhitung kelas satu dalam dunia persilatan
tapi kenyataannya sekarang mereka toh disekap juga disini.
Dari sini dapat dibuktikan kalau mereka memang benar-benar ditangkap oleh Thian
Sat nio. Berpikir sampai disini, tak tahan lagi dia berseru. "Ting toako, apakah ditangkap oleh Thian-Sat nio ?"
Ting ci kang termenung dan berpikir sebentar, lalu sahutnya dengan suara rendah.
"Mungkin saja benar, tapi sampai sekarang keadaannya masih belum begitu jelas. . ."
Belum habis dia berkata, mendadak dari ujung lorong sana nampak Cahaya api
melintas lewat, agaknya disana terdapat sebuah pintu, seorang dengan membawa
lampu lentera yang terbuat dari
kertas minyak berhenti ditempat itu dan seperti lagi berbicara dengan orang berbaju
hitam tadi. . .
Tapi lantaran jaraknya terlampau jauh, maka tidak jelas apa yang sedang mereka
bicarakan. Akhirnya mereka hanya mendengar orang berbaju hitam itu mengiakan dan
membalikkan badan berjalan masuk keruang dalam.
Diam-diam Ting ci kang menitahkan Wi Tiong-hong agar duduk.
Orang berbaju hitam itu langsung berjalan menuju kedepan terali besi yang menyekap
Ting ci kang dan berhenti, dari sakunya dia mengeluarkan sekelompok anak kunci dan
membuka gembokan disitu.
Kemudian sambil membuka pintu besi, katanya dengan suara dalam.
"Chin congkoan kami mempersilahkan saudara Ting untuk menghadap. ada persoalan
yang hendak diperbincangkan."
Ting ci kang segera bangkit berdiri berjalan menuju ke pintu, tanyanya. "Siapakah Chin congkoan kalian itu ?"
"Maaf, aku tak dapat memberitahukan kepadamu."
"Kalau toh dia menyuruh aku orang she Ting untuk menghadap. mana boleh aku orang
she Ting tidak menanyakan dulu siapakah dia ?"
Raut wajah orang berbaju hitam itu nampak kaku dan sama sekali dia itu tidak
berperasaan apapun, tetap dengan sikapnya yang dingin dan menjawab. "Aku hanya
membukakan pintu besi untukmu, soal lain aku tidak tahu sama sekali."
Mendengar jawaban tersebut, Ting ci kang segera tertawa ter-bahak2, sahutnya.
"Haaaahhh. . . haaahhh. . . haaaahhhh. . . sekalipun kau tidak berbicara, akupun tahu, Chin congkoan kalian adalah Siautian kui jiu (tangan setan pembetot sukma) Chin Tay
seng." Paras muka orang berbaju hitam itu agak berubah.
Tiba2 terdengar suara teguran merdu bergema dari ujung lorong tersebut. "ciang losu, kenapa kau " Mengapa tidak segera kau gusur keluar Ting ci kang " Chin congkoan
sedang menunggu."
"Baik " sahut orang berbaju hitam itu berulang kali, kemudian sambil mendepakkan kakinya ketanah dia berseru.
"sobat Ting, cepatan sedikit, Chin congkoan sedang menantikan dirimu ..."
Tampaknya dia seperti menguatirkan sesuatu sebab sampai suara pembicaraannya
pun kedengaran gemetar.
Ting ci kang tertawa angkuh dan segera berpaling, dengan ilmu menyampaikan suara
segera katanya kepada Wi Tiong hong.
"Saudara Wi, keadaan yang kita hadapi sekarang teramat kacau, sebelum aku balik
kemari, ada persoalan apapun lebih baik disabarkan untuk sementara waktu."
Wi Tiong hong manggut-manggut.
Dengan langkah lebar Ting ci kang segera berjalan keluar dari balik terali besi dan
menelusuri jalan lorong tersebut, menanti dia sudah keluar dari pintu diujung sana,
Cahaya lentera disudut lorong segera dipadamkan dan suasana pun pulih kembali
didalam kegelapan.
Tampaknya pintu disana telah dirapatkan kembali.
Setelah menghantar kepergian toakonya, Wi Tiong hong balik dan hendak duduk
kembali, tiba-tiba dia seperti ada orang sedang memanggilnya.
"Ssttt. . ."
Ia segera berpaling, tampak Tok Hay ji sedang berjongkok disamping terali besi sambil
menggape ke arahnya.
Wi Tiong hong segera menghampirinya, dengan dipisahkan oleh terali besi dia
bertanya. "Ada urusan apa kau memanggilku ?"
Tok Hay ji segera menempelkan ujung jarinya ke atas bibir, lalu bisiknya lagi. "Sstt . . .
kalau berbicara jangan keras2."
Didengar dari nada pembicaran yang berat, rendah dan parau, Wi Tiong hong dapat
menduga kalau luka yang dideritanya tak enteng, maka dia lantas bertanya. "Ada
urusan apa ?"
"Aku ingin menitipkan satu pesan padamu, apakah kau bersedia membantuku?"
"Menitipkan soal apa?"
"Luka yang kuderita terlampau parah dan entah bisa melepaskan diri dari sini," bisik Tok Hay ji, "maka bila kau dapat melarikan diri dari tempat ini, tolong sampaikanlah pesanku ini kepada seseorang . . . mau bukan ?"
"Sampai sekarang, siapakah yang menyekap diriku ditempat inipun tidak kuketahui
dengan jelas, aku pikir sulit untuk melarikan diri"
Napas Tok Hay ji nampak tersengkal-sengkal, dia segera mengatur napasnya sebentar,
lalu baru berkata. "Aku percaya kau pasti dapat meloloskan diri dari sini dan kau pasti keluar dari sini lebih dulu daripada aku, itulah sebabnya aku hendak titip pesan
kepadamu."
"Baiklah, kalau aku keluar lebih dulu dari sini, pasti akan kusampaikan pesanmu itu, tapi pesan itu harus kusampaikan kepada siapa dan dimana ?"
Tok Hay ji memejamkan matanya sambil menarik napas panjang, tiba-tiba wajahnya
berubah menjadiamat serius, sambil merendahkan suaranya pelan2 dia berkata.
"Ulurkan tanganmu kemari, akan kutuliskan diatas tanganmu."
Wi Tiong hong segera menj ulurkan tangannya melewati terali besi dan disodorkan
kedepannya, Tok Hay ji segera menulis beberapa huruf diatas telapak tangannya.
"Sampaikan kepada Hong tiang kuil Poo in si diluar pintu selatan kota Sang siau."
"Apa yang harus kuberitahukan kepadanya?" kembali Wi Tiong hong bertanya lagi. Tok Hay ji segera menulis kembai .
"Dibawah undak-undakan pintu pedang, gua ditanah kayu didalam."
"Hanya ucapan tersebut ?"
Tok Hay-ji nampak tersengkal sengkal dan mengangguk. kembali dia menulis.
"Persoalan ini adalah menyangkut keselamatan seseorang, kau harus
menyampaikannya sebelum hari kesepuluh dari hari ini."
"Andaikata dalam sepuluh hari ini aku belum juga bisa meloloskan diri . . . ?" tanya Wi-Tlong hong.
Tok Hay ji berpikir sebentar, kemudian ujarnya. "Kalau sampai demikian, lebih baik kita bicarakan sampai waktunya nanti."
Setelah terluka parah, agaknya dia sudah kelewat banyak berbicara, napasnya nampak
tersengal-sengal dan mukanya makin memucat, pelan-pelan dia memejamkan
matanya kembali dan tak berbicara lagi.
Wi Tiong hong sendiripun merasa gelisah sekali karena Ting toakonya yang dibawa
pergi hingga kini belum nampak juga kembali, tak ada hentinya dia mendongakkan
kepala memandang kepintu dilorong ujung sana.


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak dari ujung lorong sana kembali nampak cahaya api memancar masuk. pintu
di buka orang dan muncul kembali seseorang sambil membawa lentera orang itu
sedang berbisik-bisik dengan orang berbaju hitam yang menjaga penjara itu.
Selang sejenak kemudian, orang berbaju hitam itu mengiakan dan segera berjalan
masuk kedalam ruangan.
Keadaan tersebut tak jauh berbeda dengan apa yang dilihatnya tadi, diam-diam Wi
Tiong-hong segera berpikir.
"Nampaknya Ting toako telah selesai diperiksa, entah sekarang tiba giliran siapa ?"
Sementara dia masih berpikir, orang berbaju hitam itu sudah berhenti secara tiba-tiba
di depan terali besi yang dihuni Wi Tiong hong. Menyaksikan kejadian itu, Wi Tiong
hong jadi sangat tegang, segera pikirnya.
"Ternyata aku yang diundang untuk berbicara, Ting toako belum kembali, nampaknya
ia sedang menunggu kedatanganku."
Sementara dia masih termenung, orang berbaju hitam itu sudah mengeluarkan anak
kunci dan membuka gemboknya didepan pintu, kemudian sambil membuka pintu besi
itu tanyanya. "Kau yang bernama Wi Tiong hong ?"
"Benar, memang aku."
"Ikuti aku keluar dari sini."
"Apakah Chin congkoan kalian mengundangku untuk ber-bincang2 . . . ?" tanya Wi Tiong-hong.
"Entah "
"Kalau bukan Chin congkoan yang mengundangku kesana, masih ada siapa lagi ?"
Dengan tak sabar orang berbaju hitam itu segera menyahut. "Setelah keluar dari sini, kau toh tahu sendiri, kalau kau bertanya kepadaku aku harus bertanya kepada siapa ?"
Mendengar perkataannya yang dingin dan kaku itu, membara juga hawa amarahnya
dalam hati Wi Tiong hong, baru saja ia hendak mengumbar hawa amarahnya,
mendadak ia teringat kembali dengan pesan Ting toakonya yang wanti2 kepadanya
bersabar dalam menghadapi setiap persoalan, terpaksa dia harus menekan kembali
perasaan hatinya.
Setelah keluar dari pintu besi, dengan langkah lebar dia segera menelusuri lorong
tersebut. orang berbaju hitam itupun tidak banyak bicara lagi, setelah menutup pintu besi, dia
segera mengikuti dibelakang wi Tiong hong.
Tiba diujung lorong sana, tampak sebuah pintu terbuka lebar, seorang dayang berbaju
hijau sedang berdiri disana sambil membawa sebuah lampu lentera.
Menyaksikan wi Tiong hong berjalan keluar, dia segera mengangkat lenteranya tinggi-
tinggi untuk menyoroti wajah pemuda itu, kemudian tegurnya. "Diakah yang bernama
Wi Tiong hong?"
Sementara itu Wi Tiong hong telah meminjam sinar lentera itu untuk memperhatikan
pula paras muka dayang berbaju hijau itu, tapi apa yang kemudian terlihat
membuatnya tertegun.
Ternyata meski dayang ini berbicara dengan suara yang merdu dan lemah lembut,
namun paras mukanya justru dingin lagi jelek. hidungnya pesek dengan bibir yang
tebal, hanya sepasang matanya yang nampak jeli dan bening.
Sementara ia sedang mengawasi wajah dayang tersebut, terdengar orang berbaju
hitam yang berada dibelakangnya mengiakan berulang kali. "Benar, benar, dialah yang bernama Wi Tiong hong."
"Tak bakal salah bukan?" kembali dayang berbaju hijau itu bertanya.
orang berbaju hitam segera tertawa paksa.
"Tak bakal salah, beberapa orang saja yang hamba urusi, masa bisa salah pilih?"
Kembali dayang berbaju hijau itu mengalihkan sinar matanya ke wajah Wi Tiong hong,
tapi setelah memandangnya sekejap. ia segera berkata dengan suara dingin. "Kau
bernama Wi Tiong hong?"
Ketika didengarnya dayang itu bertanya terus menerus dengan nada tak percaya, habis
sudah kesabaran Wi Tiong hong, sahutnya pula dengan suara dingin. "Kecuali aku,
disini tak ada Wi Tiong hong kedua"
"Hmmm, tentu saja aku harus bertanya sampai jelas" dengus dayang berbaju hijau itu.
"sekarang tentunya nona sudah jelas bukan?"
Tiba2 terdengar orang berbaju hitam itu membentak marah.
"Bocah keparat, kau berani mencari gara gara dengan nona Hong?"
"Mengapa tidak?"
Tiba-tiba dayang berbaju hijau itu berpaling dan membentak ke arah manusia berbaju
hitam itu. "Kau tak usah banyak mulut " Kemudian kepada Wi Tiong hong katanya lagi dengan suara dingin,
"sekarang, kau boleh keluar "
Secara diam-diam Wi Tiong hong dapat merasakan meski dayang berbaju hijau ini
hanya seorang dayang, namun kedudukannya justru jauh lebih tinggi daripada orang
berbaju hitam itu, maka tanpa banyak berbicara lagi dia menurut dan berjalan keluar
dari pintu. "Nona masih ada pesan apa lagi ?" tanya orang berbaju hitam itu kemudian sambil membungkukkan badannya.
"Tidak ada urusan lagi."
orang berbaju hitam itu segera mengiakan dan menutup kembali pintu ruangan
tersebut. Didengar dari suara pintu yang menutup rapat tadi. Wi Tiong hong dapat mengenali
kalau suara tersebut terbuat dari besi baja yang amat tebal, hal ini membuatnya
menjadi tertegun.
Dia lantas mengalihkan kembali sorot matanya kedepan, ia jumpai diluar pintu baja
tersebut merupakan sebuah lorong gelap yang sangat panjang, cahaya lentera hanya
bisa menyinari sekitar lima enam depa sehingga tak dapat terlihat berapa panjang
lorong tersebut.
Dayang berbaju hijau itu berhenti tidak bergerak. dari sakunya dia mengeluarkan
selembar kain hitam, kemudian ujarnya dangan suara dingin.
"Bila kau ingin turut aku keluar dari sini, maka sepasang matamu harus di kat lebih dahulu berdirilah disitu dan jangan bergerak. aku hendak mengikatkannya lebih dulu
sebelum berangkat."
"Peraturan macam apa itu ?"
Dayang berbaju hijau itu segera tertawa lebar-lebar sehingga kelihatan dua baris
giginya yang putih bersih katanya. "Tampaknya kau seperti enggan untuk keluar dari sini ?"
"Apakah nona hendak mengajakku untuk menjumpai Chin congkoan ?" tanya pemuda itu.
Dengan cepat dayang berbaju hijau itu menggelengkan kepalanya berulang kali. "Kau mah tak usah menjumpai Chin congkoan."
"Lantas nona hendak mengajakku kemana ?" Wi Tiong hong merasa keheranan.
"cerewet amat kau ini, cepat tutup matamu dengan kain ini dan aku akan mengajakmu ke luar, setibanya diluar apakah kau tak akan mengetahui dengan sendirinya" Aku tak
punya banyak waktu untuk ribut denganmu."
Wi Tiong hong segera termenung dan berpikir sebentar, teringat akan pesan Ting ci-
kang yang memintanya agar bersabar dalam menghadapi setiap persoalan, diapun
segera manggut-manggut.
"Baiklah, silahkan nona menutupi mataku."
Setelah menutupi sepasang matanya dengan kain hitam, dayang berbaju hijau itu baru
berkata sambil tertawa merdu. "Selesai, nah ikutilah aku sekarang "
Dia segera menarik ujung baju wi Tiong hong dan mengajaknya menuju kedepan.
Wi Tiong hong membiarkan dirinya dituntun maju kedepan tapi setelah berjalan sekian
lama dan belum juga berhenti, tak tahan lagi lantas bertanya. "Nona, sebenarnya kau hendak mengajak aku pergi ke mana?" Dayang berbaju hijau itu segera tertawa
cekikikan. "Sungguh menjengkelkan, tampaknya sebelum kuberitahukan kepadamu, kau seperti
kuatir ada orang hendak melahapmu" Ketahuilah, ada orang yang telah menebusmu
keluar." "Ada orang menebusku keluar?" makin lama Wi Tiong hong merasa semakin
keheranan, dia lantas mendesak lebih jauh, "maksud nona kalian hendak
membebaskan aku?"
"Aneh sekali pertanyaanmu itu?" sambil berjalan dayang berbaju hijau itu berkata,
"setelah ada orang menebusmu, kalau bukan dibebaskan, lantas mau diapakan?"
"Entah siapakah orang itu?"
"Tentu saja teman karibmu."
"Teman karibku?"
Diam-diam Wi Tiong hong merasa keheranan, sejak kapan dia mempunyai sahabat
karib" Karena semakin keheranan maka diapun bertanya lagi. "sekarang orang itu
berada dimana ?"
Sementara pembicaraan berlangsung, Wi Tiong hong merasa kakinya se-akan2 sedang
menginjak anak tangga batu dan selangkah demi selangkah berjalan naik keatas.
Si anak muda itu segera berpikir lebih jauh mungkinkah orang yang telah menebusnya
adalah sahabat Ting toako" Mungkinkah Ting toako juga sudah berada di atas" Berpikir
sampai disitu tak tahan lagi dia lantas bertanya.
"Aku ingin ada satu persoalan ingin kutanyakan, harap nona bersedia menjawabnya."
"Persoalan apa ?"
"Apakah Ting toako sudah keluar dari sini ?"
Mendengar pertanyaan tersebut, dayang berbaju hitam itu segera mendengus dingin.
"Hmm, kau maksudkan Ting ci kang" orang ini memang pantas untuk di habisi
nyawanya."
"Kenapa dengan Ting toako ?"
"Tidak apa apa, dia masih ada urusan."
Anak tangga batu itu paling tidak mencapai ratusan lebih, mendadak dayang berbaju
hijau yang berjalan di depan menghentikan langkahnya, dia seperti sedang membuka
sebuah papan batu, kemudian maju lagi tiga langkah sebelum akhirnya berkata. "Nah, sekarang kau boleh melangkah keluar"
Wi Tiong hong segera melangkah keluar dari undak-undakan batu itu dan mencapai di
muka tanah datar, sekalipun matanya masih di tutup dengan kain hitam, namun angin
dingin yang menghembus lewat terasa menyegarkan badan.
Dayang yang memakai baju hijau itu masih saja menarik ujung bajunya dan
mengajaknya berjalan ke kiri berputar ke kanan selama seperminum teh sebelum
akhirnya berhenti.
Dengan suatu gerakan cepat dia menyelinap ke belakang tubuh wi Tiong hong,
membebaskan kain hitam yang menutupi matanya, kemudian mengayunkan pula
telapak tangannya menghantam punggung si arak muda itu.
ooooOoooo Bab-15 Wi Tiong hong segera merasakan sekujur badannya bergetar keras dan tahu-tahu nadi
pentingnya yang tersumbat telah menjadi bebas kembali, menyusul kemudian
pandangan matanya menjadi silau, tahu tahu dia sudah berdiri di tengah sebuah
hutan. Terdengar dayang berbaju hijau itu berkata di sisi telinganya. "Temanmu sedang
menantikan kedatanganmu diluar hutan sana, cepatlah kesana."
Kemudian tampak bayangan hijau berkelebat lewat, dengan cepat dayang itu sudah
menyelinap kedalam hutan dan lenyap tak berbekas.
Memandang bayangan punggungnya, diam2 Wi Tiong hong merasa tertegun, pikirnya.
"Hanya seorang dayang saja sudah memiliki ilmu meringankan tubuh yang begitu
sempurnanya, bisa dibayangkan betapa lihaynya majikan orang itu. . .Thian Sat niokah
orang itu?" Yaaa, selain Thian Sat nio, masih ada siapa lagi?"" Berpikir sampai disitu, dengan langkah lebar dia segera berjalan menuju keluar hutan.
Sementara itu senja sudah menjelang tiba, sinar malahan sore memancarkan sinar
keemas-emasnya menyinari seluruh jagad. Diluar pohon siong tampak seseorang
sedang berdiri menanti.
orang itu mengenakan sebuah topi pet berwarna merah da rah dengan jubah
berwarna hijau terbuat dari kain wool, dia sedang bergendong tangan sambil
memandang kejauhan, sikapnya amat santai.
Tertegun wajah Wi Tiong-hong menyaksikan wajah orang itu, sebab orang ini bukan
cuma tidak dikenal saja bahkan perjumpaannya kali inipun merupakan perjumpaan
untuk yang pertama kalinya, mengapa dia tahu kalau dia ditangkap oleh Thian Sat nio
dan datang menebusnya"
Sungguh tajam pendengaran orang itu, baru saja Wi Tiong hong berjalan keluar dari
dalam hutan, seolah-olah punggungnya punya mata, dengan cepat dia membalikkan
badan dan manggut-manggut sambil tertawa katanya.
"Saudara Wi sudah datang" Mari kita pergi"
Sikapnya bagaikan bertemu dengan sahabat karib saja, begitu berjumpa lantas
menyapa. Sekarang wi Tiong hong baru dapat menyaksikan wajah dari orang ini, dia mempunyai
muka berwarna merah dengan mata yang besar danalis mata yang tebal, usianya
antara puluh tahunan dan benar- benar baru dijumpai untuk pertama kalinya. Cuma,
secara lamat-lamat dia pun merasa seperti kenal wajah tersebut, hanya untuk sesaat
tidak teringat olehnya dimanakah mereka pernah bersua.
Setelah ragu-ragu sejenak. dia lantas maju dua langkah ke depan, kemudian sambil
menjura katanya. "Saudara adalah . . ."
Tampaknya orang itu dapat menangkap kesangsian yang menghiasi wajah si anak
muda itu, maka sebelum ia sempat berbicara orang itu sudah tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhh . . haaahhh .. haaahhh . . .agaknya saudara Wi sudah tidak teringat lagi denganku" Haaahhh . . .haaahhh . . tiga hari berselang, ketika fajar baru menyingsing, bukankah kau telah mengundangku dan losam untuk minum arak ?"
Setelah disinggung kembali, secara tiba-tiba Wi Tiong hong jadi teringat kembali siapa gerangan orang itu.
Tak heran kalau dia merasaamat mengenal wajah orang tersebut, ternyata dia tak lain
adalah sipengemis pemain ular yang pernah dijumpainya tiga hari berselang. Tahu
siapa orang itu, dia segera berseru tertahan kemudian sambil menjura serunya. "oooh
- - ternyata saudara adalah. . . ."
Mendadak ia berhenti berbicara, karena bagaimanapun juga dia merasa agak rikuh
untuk mengucapkan kata "sipengemis penuhi ular"
Untung saja sebelum Wi Tiong hong sempat melanjutkan perkataannya, orang itu
sudah tertawa terbahak-bahak sambil menukas. "Kau sudah teringat" Benar, siaute
adalah Kam Liu cu."
Begitu mendengar nama "Kam Liu cu" disebutkan, sekali lagi Wi Tiong hong menjadi tertegun-Bukankan Kam Liu cu adalah jagoan lihay dari Thian sat bun " Bukankah dia adalah si-
manusia aneh berbaju hitam dan berilmu tinggi dan bertarung melawan Ma koan
tojin, Thi Lohan dan si naga tua berekor botak tempo hari"
Begitu ingatan tersebut melintas didalam benaknya, dengan wajah tertegun ia lantas
mendongakkan kepala sambil berseru.
"oooh, rupanya kau anggota Thian Sat bun." sahut Kam Liu cu, "baru pagi tadi bila kau sudah terjatuh ke tangan orang orang Ban kim hwee, itulah sebabnya aku sengaja
datang kemari untuk memintakan pembebasan bagimu, mereka tak mencelakai dirimu
bukan ?" "perkumpulan selaksa pedang " jadi aku bukan ditahan Thian Sat nio?" wi Tiong-hong nampak keheranan.
Kembali Kam Liu cu tersenyum.
"Suhu telah lama pergi dari tempat ini, justru dia sebagai orang tua telah melepaskan mereka karena memandang diatas wajah saudara Wipada hari itu, masa setelah
melepaskan mereka lantas ditangkap kembali ?"
Wi Tiong hong segera teringat kembali kalau orang itu datang untuk menyelamatkan
dirinya dan belum menyampaikan rasa terima kasih, buru-buru dia lantas menjura
seraya katanya.
"Atas pertolongan saudara yang telah menyelamatkan jiwaku, aku mengucapkan
banyak banyak terima kasih."
Kam Liu cu segera tertawa tergelak. "Haaahhh. . . haaaanhhh. . . haaaahhh. . . kita kan sama-sama teman, masa urusan kecil ini mesti dipikirkan terus ?"
"Ada satu hal yang sama sekali tidak kupahami, entah saudara Kam bersedia untuk
menjelaskan atau tidak " Dikarenakan persoalan apakah orang orang Ban kiam hwee
membekuk begitu banyak orang dan menyekapnya ?"
"Yaa, apa lagi " tentu saja dikarenakan mustika Lo bun si tersebut . ."
"Lo bun si, benda apakah itu ?" Wi Tiong hong keheranan dan merasa ingin tahu.
Kam Liu cu memandang sekejap kearahnya kemudian baru menjawab. "Saudara Wi,
lebih baik kau jangan mencampuri tentang persoalan ini, suasana dalam dunia
persilatan diwaktu ini sudah Cukup kaCau balau, mungkin saja hal ini menimbulkan
kejadian yang tak di nginkan, persoalan itu toh tak ada sangkut pautnya dengan
dirimu, lebih baik jangan ditanyakan lagi."
Melihat orang itu enggan banyak berbicara, sudah tentu Wi Tiong hong merasa rikuh
untuk banyak bertanya lagi.
Kam Liu cu memandang sekejap lagi kearahnya, kemudian ujarnya lebih lanjut.
"Saudara Wi, tempat ini sangat berbahaya. lebih baik kita cepat-cepat meninggalkan tempat ini saja."
Mendadak Wi Tiong hong teringat pada pedang karatnya yang telah diambil oleh
orang-orang Ban Kiam hwee dan belum dikembalikan kepadanya, ia lantas berseru
tertahan, "Aaaah, pedangku telah diloloskan oleh mereka dan belum dikembalikan
kepadaku."
Mendengar perkataan itu, Kam Liu cu segera tertawa terbahak-bahak. "Haahh . ,
haahh . ,haahh . .apa artinya sebilah pedang mustika" Berapa hari kemudian aku pasti
akan menggantinya dengan sebilah yang lebih bagus."
"Tidak bisa, pedang itu merupakan benda milik pamanku dimasa lalu dan merupakan
satu-satunya tanda mata yang dia tinggalkan kepadaku, aku tak dapat kehilangan
benda itu, harap saudara tunggu sebentar, aku akan mencari mereka untuk meminta
kembali pedang itu."
Selesai berkata, dia lantas membalikkan badan berjalan menuju ketengah hutan.
"Saudara Wi, sekalipun engkau pergi untuk mencarinya juga percuma." seru Kam Liu cu, "apalagi sekarang hari sudah malam, lebih baik kita mencari tempat untuk
beristirahat lebih dulu, akan kuusahakan untuk mendapatkan kembali pedang
tersebut."
Tergerak hati Wi Tiong hong, buru-buru katanya. "Aku masih ada satu hal ingin mohon petunjuk."
"Soal apa?"
"Apakah saudara Kam sangat mengenal orang-orang dari Ban kiam hwe tersebut?"
"Guruku pernah mempunyai hubungan yang baik dengan Kiamcu generasi yang
lalu,jadi boleh dibilang hanya suatu hubungan persahabatan biasa saja."
"Aku terbebas berkat tebusan dari saudara Kam, maka aku masih ada seorang teman. .
." "Kau maksudkan Ting ci kang dari perkumpulan Thi pit pang ?"
"Benar, Ting toako yang kumaksudkan."
"Apakah kalian mempunyai hubungan yang sangat akrab ?"
"Walaupun aku belum lama berkenalan dengannya, tapi Ting toako adalah seorang
yang supel dan gagah, lagi pula aku datang bersama dia tentu saja aku tak bisa
menyaksikan Ting toako masih tetap tertinggal ditangan orang orang Ban kiam hwee
sementara aku berhasil dibebaskan atas jaminan dari saudara Kam."
"Maksudmu kau hendak menolongnya melepaskan diri dari mara bahaya ?"


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sadar bahwa kemampuan yang kumiliki masih belum mampu untuk berbuat
demikian oleh karena itu aku ingin memohon bantuan dari saudara Kam, apakah
kiranya dapat menebus pula Ting toako ?"
Kam Liu cu segera memperlihatkan rasa berat hati dan serba salah, katanya kemudian,
"Kedudukkan Ting ci kang berbeda dengan dirimu, aku rasa Ban Kiam hwe tak akan
membebaskan dirinya dengan begitu saja."
Wi Tiong-hong yang mendengar pembicaraan seperti menyetujui buru-buru katanya
lagi. "Segala sesuatunya tentu berkat bantuan saudara Kam."
"Persoalan ini sedikit rada sukar. . ." kata Kam Liu cu sambil termenung.
Dia memandang sekejap kearah Wi Tiong hong, mendadak tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhh . . . haaahhn . . .haaahhh saudara Wi, hampir saja aku lupa kalau kau
membawa lencana Siu lo cin leng ?"
"Betul, betul lencana Siu- Lo- cin-leng memang berupa lencana besi, benda itu
merupakan tanda pengenal dari Siu-Lo cinkun dimasa lalu, barang siapa memegang
lencana tersebut dia merupakan utusan dari cinkun, bagaimana juga utusan dari Ban
kiam-hwee pasti akan memberi muka kepadamu."
Wi Tiong hong sama sekali tidak menyangka kalau lencana besi rongsokan yang
ditemukan dalam peti kayu milikpaman yang tak di kenalnya itu mempunyai manfaat
yang besar, tak heran kalau orang tua itu memberi pesan kepadanya agar
menyimpannya baik2 dan jangan sampai hilang.
Sekarang masalahnya sudah jelas, rupanya waktu itu Thian Sat-nio mengundurkan diri
karena telah menyaksikan lencana besi tersebut.
Berpikir demikian buru2 dia merogoh ke-dalam sakunya dan mengeluarkan benda itu.
"Saudara Kam, benda inikah yang kau maksudkan sebagai lencana Siu-Lo cin leng?"
oleh karena lencana besi itu ia simpan di dalam baju bagian dalam, maka benda
tersebut tak sampai didapatkan Thi Lohan.
Kam Liu cu memandang benda itu sekejap. kemudian menganguk berulang kali.
"Benar, benar, memang benda itulah yang ku maksudkan, baik, mari kita sekarang juga berangkat."
Selesai berkata, dia lantas membalikkan badan dan berjalan menuju kaki bukit.
"Saudara Kam, tadi aku masuk dari tengah hutan sana, apakah mereka tidak berada
disini?" Wi Tiong-hong segera berseru.
Tanpa berpaling Kam Liu cu tertawa terbahak-bahak. "Haaahh . . . haaahhh .... mereka sengaja bermain sembunyi dan berbuat setan untuk membohongimu, dia suruh aku
tinggal dibawah tebing ciang su nia, paham mereka serombongan masih berada di
depan sana."
Wi Tiong hong jadi teringat sewaktu ia digandeng oleh si dayung berbaju hijau tadi,
jalanan yang ditempuh memang merupakan jalanan yang tingi rendah tak menentu,
hal mana persis seperti apa yang dilalui sekarang, maka diapun lantas mengikuti
dibelakang Kam Liu cu berjalan menelusuri kaki bukit.
Tak selang berapa saat kemudian mereka telah tiba dibawah kaki bukit berbatu itu,
tanahnya tak terhitung tinggi namun batuan cadas berserakan dimana-mana, sebuah
hutan telah menghadang jalan pergi mereka . . .
Baru saja Kam Liu cu menghentikan langkahnya, dari dalam hutan sudah kedengaran
suara seseorang membentak keras. "Siapa disitu?"
Seorang lelaki berbaju hitam yang menyoren pedang dan bermata angkuh muncul dari
dalam hutan dengan langkah lebar, sorot matanya yang tajam memperhatikan wajah
kedua orang itu sekejap lalu berdiri tak bergerak disitu. Kam Liu cu buru buru menjura, katanya.
"Sobat, tolong beritahu ke dalam kalau Kam Liu cu dari Thian sat bun ingin berjumpa dengan chiu congkoan kalian."
Lelaki berbaju hitam itu tidak mengucapkan sepatah katapun, dia segera membalikkan
badan dan menyelinap ke dalam hutan.
Sepeninggal orang berbaju hitam itu, Kam Liu cu baru mendengus sambil berkata
pelan. "Tampaknya kawanan jago pedang berwarna hitam dari Ban kiam hwee rata-
rata memiliki ilmu silat yang menganggumkan ..."
Ucapan tersebut diutarakan dengan setengah bergumam, seperti merasa kagum, tapi
seperti juga bernada menyindir.
Wi Tiong hong merasa rikuh untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka dia hanya
membungkam, sorot matanya dialihkan memperhatikan pandangan alam sekeliling
tempat itu. Mereka berdua menunggu sesaat lamanya namun belum ada juga yang muncul,
nampaknya Kam Liu cu sudah tidak sabar menunggu. Wi Tiong hong segera bertanya.
"Saudara Kam, sebenarnya tempat apakah ini?"
"Pit bu san. . ." sahut Kam Liu cu cepat.
Sambil berkata dia awasi hutan itu lekat-lekat kemudian katanya seraya berpaling.
"Mari kita masuk saja" Selesai berkata, dia lantas masuk dulu ke dalam hutan dengan langkah lebar.
Dalam perjalanan kali ini, sudah barang tentu Kam Liu-cu pemimpinnya, maka Wi
Tiong hong menyaksikan dia berjalan masuk ke dalam hutan, serta merta diapun
mengikuti di belakangnya.
Baru saja mereka berdua masuk kedalam hutan, tampak bayangan manusia berkelebat
lewat, kembali ada seorang lelaki berbaju hitam yang menyoren pedang menghadang
jalan pergi mereka.
"Harap kalian berdua berhenti" serunya dingin.
Kam Liu cu mendengus dingin. "Hmmm, kami datang kemari untuk mencari Chin
congkoan kalian." serunya.
"Sudah ada orang yang masuk ke dalam untuk memberi laporan, sebelum congkoan
mengijinkan kalian berdua masuk ke dalam, lebih baik kalian berdua menunggu saja
diluar hutan."
Kam Liu cu mengerutkan dahinya, mencorong sinar merah membara dari balik
matanya, dia seperti hendak mengumbar hawa amarahnya itu.
Untung saja lelaki berbaju hitam yang masuk ke dalam untuk memberi laporan tadi
sudah muncul kembali pada saatnya, terdengar dia berkata dengan lantang. "Chin
congkoan mempersilahkan kalian berdua masuk kedalam."
Lelaki berbaju hitam yang menghadang dihadapan mereka berdua pun tidak banyak
berbicara lagi, dia segera menyelinap kesebuah pohon. sekali lagi Kam Liu cu
mendengus dingin.
"Hmm, besar amat lagak dari Chin congkoan kalian itu " serunya.
Jalan kecil didalam hutan menghubungkan langsung dengan sebuah bangunan rumah
gubuk di-depan sana, saat itulah terdengar suara teguran nyaring berkumandang
keluar dari balik rumah gubuk itu.
"Kam thayhiap. setelan pergi kau muncul kembali, aku rasa pasti ada sesuatu petunjuk yang hendak kau sampaikan, kebetulan lohu sedang ada sedikit persoalan sehingga tak
dapat menyambut kedatanganmu itu."
Begitu suara itu muncul, nampak pula seorang kakek berbaju hitam yang kurus kecil
sambil membawa sebuah huncwe berjalan keluar dari balik rumah gubuk itu untuk
menyambut kedatangan mereka.
Menjumpai kakek itu, Wi Tiong hong segera berpikir.
"Rupanya orang inilah Chin congkoan dari Ban kiam hwee, benar benar kedudukan
seseorang tak bisa dinilai dari rupa, Seandainya aku tidak bersua muka disini, aku
benar-benar akan menganggapnya sebagai seorang kakek dusun" Sementara itu Kam
Liu cu telah tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhh. . .haaahhh.. .haaabhh.. .Chin loko kelewat merendah, yaa, benar siaute
memang masih ada sedikit urusan kecil yang mesti merepotkan loko."
Chin congkoan memandang sekejap kearah Wi Tiong hong, kemudian mempersilahkan
mereka berdua masuk ke dalam ruangan, setelah itu katanya sambil mempersilahkan.
"Duduklah Kam tayhiap."
"Terima kasih banyak atas kesudian Chin loko memberi muka kepada siaute dengan
melepaskan Wi lote, untuk itu terimalah rasa terima kasih siaute" kata Kam Liu cu sambil menjura.
Chin congkoan segera tertawa ter-bahak2. "Haaahhh . . . haaahhh . . . haaahhh . ."
memandang diatas wajah emas dari Kam tay-hiap. lohu mana berani tidak menuruti
semua permintaan Kam tayhiap?" Ucapannya memangamat sedap didengar. Kembali
Kam Liu cu berkata.
"Saudara Wi ini merasa masih mempunyai sebilah pedang yang masih tertinggal disini, maka aku harap. . ."
Belum habis perkataan itu diucapkan, Chin congkoan telah menukas dengan cepat.
"Aaah, itu mah urusan kecil, itu mah urusan kecil, mungkin sebelum pergi mereka
telah melupakan hal ini, baiklah lohu segera periksakan hal tersebut".
Selesai berkata dia lantas bertepuk tangan sekali, dari balik ruangan segera muncul
seorang bocah berbaju hitam yang berdiri dengan sikap sangat menghormat.
Kata Chin congkoan kemudian, "Pergilah ke nona Hong dan coba tanyakan kepada dia, dengan sebilah pedang yang milik Wi Tiong hong sauhiap masih tertinggal disini, suruh
dia segera mengambilnya."
Bocah berbaju hitam itu segera mengiakan, dia lantas membalikkan badan dan
mengundurkan diri dari situ.
Tak selang berapa saat kemudian, dia telah muncul sambil membawa sebilah pedang
dan dipersembahkan dengan hormat.
Chin congkoan segera menuding kearah Wi Tiong hong sambil menambahkan. "cepat
kembalikan kepada sauhiap," Sedang kepada Wi Tiong hong ujarnya. "Wi sauhiap.
coba kau periksa, apakah pedang benar pedang tersebut?"
Wi Tiong hong menerima pedang tersebut dari tangan si bocah berbaju hitam,
kemudian manggut-manggut. "Yaa, benar memang benda inilah milikku, terima kasih
banyak Chin cong koan."
Chin congkoan sama sekali tidak menggubris perkataan itu, dia lantas berpaling
kembali kearah Kam Liu cu sambil berkata lebih lanjut.
"Maaf seribu kali maaf, bagaimanapun juga hal ini merupakan keteledoran anak
buahku sehingga harus merepotkan Kam thayhiap untuk datang sendiri kemari, lohu
benar2 minta maaf."
Kam Liu cu tertawa tergelak.
"Aaah, Chin loko terlalu merendah, Selain daripada itu siaute masih ada satu hal pula yang hendak dirundingkan dengan Chin loko."
Chin congkoan agaknya tertegun setelah mendengar perkataan itu, kemudian dengan
senyum tak senyum dia berkata. "Entah Kam thayhiap masih ada petunjuk apa?"
"Saudara Wi merasa masih ada seorang rekannya yang tetap ditahan di sini ..."
Sengaja dia menarik panjang nada terakhir dari perkataan tersebut kemudian tidak
dilanjutkan lebih jauh.
Chin congkoan menghisap huncweenya dalam- dalam kemudian menyemburkan asap
tebal ke udara, dia menatap wajah Kam Liu cu lekat lekat, kemudian katanya pelan.
"Kam tayhiap. silahkan kau utarakan dengan terang terang."
Dia sudah tau kalau yang dimaksudkan oleh Kam Liu cu adalah Ting ci kang namun dia
bergelak seolah-olah tak mengerti.
Kam Liu cu tertawa, lanjutnya lebih jauh, "orang yang siaute maksudkan itu adalah Ting ci kang dari perkumpulan Thi pit pang." Paras muka Chin congkoan tetap tenang tanpa emosi, dia mengangguk pelan.
"Jadi maksud Kam tayhiap. . ." Kam Liu cu tertawa terbahak-bahak.
"Haaaahhh. . . haaahhh. . , haaahhh. . . maksud kedatangan kami adalah meminta
kepada Chin loko agar bersedia pula untuk melepaskan Ting ci kang."
Chin congkoan tertawa hambar. "Pemintaan dari Kam thayhiap seharusnya siaute
turuti." Buru2 Kam Liu cu menjura sambil berkata.
"Berkat kesudian Chin loko untuk memberi muka kepada siaute, kau telah memberi
suatu kebaikan kepadaku, kali ini aku tak berani memohon sendiri kepada Chin loko
atas permintaan tersebut."
"Lantas hal ini menurut kemauan siapa?"?" tanya Chin congkoan agak tertegun.
Kam Liu cu segera menuding kearah Wi-Tiong hong sambil menjawab. "Atas
permintaan dari saudara Wi, dia adalah murid Thian goan totiang dari Butong pay, dia
memohon kepada Chin loko agar sudi memberi muka pula kepadanya."
Chin congkoan melirik sekejap kearah Wi Tiong hong, kemudian dengan senyum tak
senyum dia mendengus pelan, setelah itu baru katanya dengan cepat.
"Sepantasnya kalau lohu pun memberi maka kepada Wi sauhiap. cuma saja sahabat
Ting ini jauh berbeda dengan Wi sauhiap Heeehhh . . . heeehh. . .. berbicara yang lebih jelas lagi, justru karena Wi sauhiap melakukan perjalanan bersama sobat Ting, maka
kau baru ikut-ikutan terundang kemari, oleh karena itulah walaupun engkau tidak
diminta oleh Kam tayhiap. lohu sendiripun dapat segera membebaskannya. Sedangkan
mengenai Ting ci kang, dia merupakan orang yang diserahkan atasan kepadaku, maaf
kalau lohu tak dapat menuruti permintaanmu itu."
"Jadi kalau begitu Chin loko tidak bersedia memberi muka kepada saudara Wi?" seru Kam Liu cu cepat.
Nada suaranya sudah mulai mendesak dan menyudutkan orang.
"Tentang soal ini lohu benar-benar tak sanggup memberikan keputusannya, harap
Kam-tayhiap sudi memaafkan."
Dia tidak mengucapkan kata-kata tersebut kepada Wi Tiong hong kecuali terhadap
Kam Liu-cu, itu berarti dia sama sekali tidak memandang sebelah matapun terhadap
Wi Tiong hong. Kam Liu cu segera mengangkat bahunya sembari berkata. "Soal ini sama sekali tiada hubungan dengan siaute, dan tadipun sudah siaute terangkan berulang kali, kali ini aku tak berani memohon bantuan serta kemurahan dari loko lagi, cuma entahlah saudara
Wi akan menerimanya atau tidak ?"
Hanya saja secara diam-diam dia merasa heran, pemuda she Wi itu sesungguhnya
dilepaskan berkat ia memberi muka kepada pihak Thian Sat bun, sedang dia sendiri
sama sekali tak memandang sebelah matapun juga kepadanya.
Tapi kalau didengar dari perkataan Kam Liu cu, dia seperti mempunyai asal usul besar.
Chin congkoan adalah seorang jago kawakan yang sudah berpengalaman banyak
tahun dalam dunia persilatan sudah barang tentu dia dapat memahami pula apa yang
di maksudkan oleh Kam Liucu tersebut.
oooOOooo Bab-16 TIDAK. Kam Liu Cu juga pernah berkata kalau dia tak lebih hanya muridnya Thian Goan
Cu dari Bu-tong pay.
Perkumpulan Ban kiam hwee takkan memandang sebelah matapun terhadap
perguruan Bu tong pay, soal ini tentu saja Kam Liu cu mengetahui dengan amat jelas,
tapi mengapa dia malah
melimpahkan persoalan itu kini diatas tubuh pemuda she Wi tersebut "
Chin congkoan sudah termasuk seorang jagoan tua yang sangat lihay, tapi kali ini dia
tak habis tahu dibuatnya, dia tak tahu mainan busuk apakah yang sesungguhnya
sedang dilakukan oleh Kam Liu cu kepada dirinya".
Setelah termenung sebentar dengan perasaan ragu, akhirnya dia berpaling kearah Wi
Tlong hong dan tertawa tenang. "Entah Wi sauhiap ada petunjuk apa?" tegurnya.
Diam-diam Kam Liu cu memberi kerlingan mata kepada pemuda itu, kemudian katanya
sambil tertawa.
"Saudara Wi, apa yang diucapkan Chin loko memang benar, Ting ci kang dari
perkumpulan Thi pit pang merupakan orang yang diserahkan Kiam cu mereka
kepadanya, tentu saja Chin loko tak bisa mengambilkan keputusannya. ."
Chin congkoan makin lama semakin keheranan, tiba tiba saja Kam Liu cu
membantunya berbicara, itu berarti dibalik kesemuanya itu pasti ada sebab
musababnya. Tampak Kam Liu cu tersenyum, kemudian berkata lebih lanjut .
"Lebih baik kau keluarkan saja tanda lencana tersebut, agar Chin loko juga turut
menyaksikannya, dengan begitupun dia bisa memberikan pertanggunganjawabnya
kepada Kiam cu."
Wi Tiong hong memang sudah mempersiapkan sedari tadi, dia segera mengiakan
dengan Cepat merogoh keluar lencana besi itu dari saku-nya, kemudian sambil berdiri
lurus dia membuka telapak tangan kirinya dan memperlihatkan lencana besi yang
berwarna hitam pekat itu.
Chin congkoan adalah seorang yang berpengalaman sangat luas, begitu menyaksikan
lencana besi tersebut paras mukanya kontan saja berubah hebat, sambil tertawa
paksa buru buru dia menjura.
"Aaah. . . rupanya Wi sauhiap adalah pemegang lencana Siu lo cin leng, maaf . .. maaf."
Pada saat itulah Kam Liu cu telah berbisik kembali dengan ilmu menyampaikan suara.
"Saudara Wi, sekarang kau sudah boleh menyimpan kembali lencana tersebut."
Wi Tiong hong menurut dan segera masukkan kembali lencana besi itu kedalam
sakunya. Terdengar Chin congkoan berkata kembali. "Lencana Siu lo cin leng hampir dua puluh tahun lamanya tak pernah muncul didalam dunia persilatan, kalau toh Wi sauhiap
membawa lencana tersebut, tentu saja atasan kamipun harus menuruti perkataan
sauhiap. cuma tidak diketahui apakah Wi sauhiap bersedia memberi waktu satu hari
kepada kami sehingga lohu bisa melaporkan dulu kejadian ini kepada atasan kami
sebelum dilakukan pembahasan."
"Chin congkoan akan melepaskan kapan?" tanya Wi Tiong hong kemudian.
"Besok tengah hari, asal Wi sauhiap meninggalkan alamat, saudara Ting pasti akan
pergi mencarimu sendiri."
Wi Tiong hong termenung dan berpikir sebentar, kemudian diapun mengangguk.
"Baiklah, aku akan menantikan kabarmu dirumah penginapan Ko ciau di kota Sang
siau." "Baik, kita putuskan dengan sepatah kata ini."
"Saudara Wi" Kam Liu cu segera berkata, "waktu sudah tidak banyak lagi, mari kita pergi",
"Haaahhh . . .haaahhh. . . Chin loko, maaf kalau aku telah mengganggumu." Selesai berkata dia lantas menjura dan berjalan keluar dari dalam rumah gubuk itu.
Wi Tiong hong juga turut menjura, lalu mengikuti dibelakang Kam Liu cu berjalan
keluar dari rumah gubug itu.
Sekulum senyuman licik yang menggidikkan hati segera tersungging diujung bibir Chin
conkoan, tapi dia mengikuti juga dibelakang kedua orang itu, setibanya diluar rumah
gubuk dia baru berseru lantang.
"Silahkan kalian berdua berjalan sendiri, maaf kalau lohu tak dapat menghantar lebih jauh."
Tak selang berapa saat kemudian, kedua orang itu sudah keluar dari dalam hutan.
Sambil berjalan Kam Liu cu segera berkata. "Saudara Wi, sewaktu kau mengeluarkan
lencana tadi, mengapa tidak kau minta kepadanya untuk segera melepaskan
tawanannya ?"
Wi Tiong hong menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu, serunya kemudian,
"Mengapa saudara Kam tidak mengatakan sedari tadi?"
"Kau yang memegang tanda lencana tersebut, tentu saja kau pula yang harus
berbicara. Kebiasaan lencana Siu lo cin leng, lencana datang perintahpun datang,
kecuali kalau dia menolak lain ceritanya, kalau tidak masa diberi waktu untuk
mengulur ulur waktu ?"
"Apakah besok dia akan melepaskan orang?" tanya Wi Tiong hong dengan cepat.
Kam Liu cu segera tertawa. "Soal itu tak usah kau kuatirkan, Chin Tay-seng sudah
terhitung seorang jago yang termasyhur selama banyak tahun, setelah dia


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyanggupi permintaanmu untuk melepaskan orang pada esok tengah hari, tentu
saja apa yang dijanjikan akan ditepati."
"Maksudku semula adalah suruh dia melepaskan orang lebih dulu kemudian baru
melaporkan kejadian tersebut kepada Kiam-cu nya, tapi sekarang kejadiannya malah
terbalik, dia melaporkan kejadian tersebut kepada Kiam-cu nya lebih dulu sebelum
melepas orang."
Wi Tiong hong segera menghembuskan napas panjang,
"Asal apa yang dikatakannya masuk hitungan dan Ting toako benar benar dilepaskan, sekalipun terlambat sehari juga tidak jadi soal."
Kam Liu cu tersenyum, "Hati orang siapa tahu, apalagi dunia persilatan memang
merupakan suatu tempat yang amat berbahaya dengan segala macam kelicikan ada
didalamnya, setiap saat bisa terjadi suatu peristiwa yang sama sekali diluar dugaan,
itulah sebabnya selama melakukan perjalanan didalam dunia persilatan, jangan
percaya kepada orang lain, lebih baik percaya kepada dirinya sendiri."
Berbicara sampai disitu, dia mendongakkan kepalanya memandang keadaan cuaca
sejenak, kemudian katanya lagi. "Sekarang hari sudah mulai gelap. bila saudara Wi ingin berangkat ke kota Sang siau, lebih baik cepatlah berangkat."
"Apakah saudara Kam tak akan pergi kekota Sang siau?"
"Aku masih ada urusan lain yang harus segera diselesaikan tak mungkin bagiku untuk menunda waktu lagi. Kita adalah sobat yang bertemu secara kebetulan, aku ingin
sekali menyampaikan sebuah nasehat kepadamu, dan aku rasa ucapan mana mau tak
mau terpaksa harus kusampaikan juga kepadamu menjelang perpisahan ini. Saudara
Wi, kau baru terjun ke dalam dunia persilatan, tidak baik kalau mencampuri urusan ini, lebih baik bagaimana urusan sudah beres besok, cepatlah tinggalkan kota Sang siau
ini." "Nasehat dari saudara Kam pasti akan siaute ingat terus." sahut Wi Tiong-hong dengan serius, "dan terima kasih atas pertolonganmu siaute tak tahu setelah perpisahan pada hari ini, sampai kapan lagi kita bisa berjumpa kembali?""
Kam Liu cu segera tertawa terbahak-bahak. "Haahh. . .haahhh . . .selama kita
melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, kesempatan untuk bersua kembali akan
dijumpai setiap saat, semoga saudara Wi bisa baik baik menjaga diri dalam
perjalananmu selanjutnya."
Dia segera melompat menuju kejalan raya, dan bergerak kedepan dengan cepat,
didalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap dibalik kegelapan sana.
Menanti bayangan tubuh orang itu sudah menjauh, Wi Tiong hong baru berpikir.
"Tempo hari sebenarnya aku tidak bermaksud untuk berkenalan dengannya, padahal
kalau dibilang berkenalan pun tidak tepat, sebab aku hanya kena ditipu uang sebesar
berapa puluh tahil perak belaka, sungguh tak kusangka sewaktu aku menjumpai
bahaya, dia justru datang membebaskan diriku.
Terutama pula kegagahannya dan kesetiaan kawannya, dia benar benar seorang
sahabat sejati . . ."
Untuk sesaat dia merasa menjadi bimbang sekali, dalam dunia persilatan penuh
dengan kejahatan dan kebaikan, ia tidak habis mengerti perguruan Thian sat bun
sesungguhnya suatu perguruan yang baik ataukah perguruan jahat"
Tidak!! Terlalu banyak persoalan yang tidak diketahui olehnya, termasuk juga asal usul sendiri, paman yang tak diketahui namanya serta serentetan kejadian yang telah
berlangsung baru- baru ini.
Kini langit sudah menjadi gelap. Wi Tiong hong tak sempat untuk berpikir lebih jauh
lagi, dengan langkah lebar dia segera berangkat menuju ke arah kota Sang siau.
Sementara perjalanan sedang dilakukan mendadak dari arah depan sana secara lamat-
lamat dia saksikan ada sesosok bayangan manusia sedang melakukan perjalanan pula
kearah depan, tampaknya orang itupun hendak menuju kekota Sang siau pula.
Untuk sesaat dia tidak terlalu memperdulikan akan persoalan itu, dia hanya
mempercepat langkahnya untuk menempuh perjalanan.
Dari bukit Pit bu sau san sampai di kota Sang siau, jaraknya tak lebih cuma puluhan lie.
Satu didepan yang lain dibelakang. kedua belah pihak sama sama melakukan
perjalanan dengan cepat.
Tak selang sepertanak nasi kemudian, dari kejauhan sana sudah nampak titik hitam
yang merupakan dinding kota. Mendadak orang yang berjalan didepannya itu
menghentikan langkahnya, membalikkan badan dan menghadang di tengah jalan.
Wi Tiong hong sama sekali tidak menyangka kalau secara tiba-tiba dia bakal
menghentikan perjalanannya dan menghadang ditengah jalan-Hatinya menjadi
tertegun dan buru buru pula menghentikan perjalanannya. sekarang dia sudah berada
kurang lebih satu kaki dihadapan orang tersebut.
Di bawah sinar cahaya rembulan, dapat dilihat kalau orang itu adalah seorang pemuda
berbaju biru, ditangan kanannya dia membawa sebuah kipas, usianya paling banter
baru dua puluh tahunan, wajahnya ganteng dan tubuhnya tegap.
Waktu itu, pemuda berbaju biru tersebut sedang berdiri dengan wajah diliputi
kegusaran, terdengar ia menegur dengan suara dingin.
"Apakah kau tidak merasa bahwa caramu menguntitku dari belakang merupakan suatu
perbuatan yang sangat bodoh?"
Wi Tiong hong agak tertegun, lalu sahutnya sambil menjura. "Saudara salah paham,
aku tidak bermaksud menguntitmu, akupun sedang melakukan perjalanan .. ."
"Tutup mulutmu" bentak pemuda berbaju biru itu dengan kuning berkerut, "siapakah yang akan menyebut saudara denganmu ?"
Mendengar bentakan tersebut, sekali lagi Wi Tiong hong merasa tertegun, segera
pikirnya. "Sombong amat orang ini, masa disebut saudara saja marah2" Toh aku memanggilnya
sebagai saudara hanya dalam sopan santun saja?"
Sementara dia masih termenung, pemuda berbaju biru itu sudah menegur dengan
dingin. "Sepanjang jalan kau sudah menguntit diriku terus menerus, sudah pasti kau
mendapat perintah dari seseorang untuk melakukan hal ini, asalkan kau bersedia
mengakui terus terang aku bisa saja memberikan hukuman yang agak ringan
kepadamu."
Wi Tiong hong merasa agak mendongkol juga setelah mendengar perkataan dari orang
yang sama sekali tak tahu aturan itu, dengan suara dingin dia lantas berseru. "sobat, ucapanmu itu. ."
"Siapa yang akan bersahabat denganmu?" sekali lagi pemuda berbaju biru itu
menukas. "aku hanya bertanya kepadamu, siapa yang memerintahkanmu untuk
mengikuti aku ?"
Dua kali kena dibentak secara kasar oleh lawannya, Wi Tiong hong sudah bilang dia tak
sanggup untuk menahan diri lagi, ditatapnya wajah lawannya lekat-lekat kemudian
tegurnya. "Kau hendak pergi ke mana?"
"Hmm, kau juga pantas untuk bertanya kepadaku hendak ke mana?" dengus orang itu.
Mencorong sinar tajam dari balik mata Wi Tiong hong, dia segera tertawa nyaring.
"Haaahh . . . haaahhh . . .haaahhh . . .itulah dia, kalau aku tidak pantas untuk bertanya kepadamu, tahukah kau bahwa kaupun tidak berhak untuk menanyai diriku."
Tampaknya pemuda berbaju biru itu agak tertegun setelah mendengar ucapan
tersebut, tanpa terasa dia mengawasi wajah Wi Tiong hong sekali lagi, kemudian nada
sinis serunya. "Tampaknya nyalimu tidak terhitung kecil?"
"Yaaa, lagakmu juga tidak terhitung kecil " sambung wi Tiong hong dengan cepat.
"Hmmm, mungkin kau masih belum tahu siapakah aku?"
"Jalan yang terbentang disini adalah jalan pemerintah, kau boleh melewatinya,
mengapa aku tidak" Aku pun tak ingin mengetahui siapakah kau, sedang kaupun tak
usah tahu siapakah diriku ini."
Paras muka pemuda berbaju biru itu segera berubah hebat, mencorong sinar penuh
hawa dari balik matanya, sambil tertawa dingin serunya. "Tampaknya jika kau tidak diberi sedikit pelajaran, tentu enggan rasanya untuk berbicara terus terang?"
Wi Tiong hong tertawa. "Kalau keadaan berbalik dan akulah yang menuduh kau yang
menguntilku sepanjang jalan, apakah kau hendak mengakui akan hal ini?"
Pemuda berbaju biru itu segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-
bahak. "Haaahhh . . . haaahhh .... haaahhh . . . tampaknya sebelum melihat peti mati kau takkan mengucurkan air mata " jika kau enggan berbicara secara terus terang, itu
berarti kau sedang mencari kematian buat dirimu sendiri."
Mendengar ucapan mana, Wi Tiong hong segera berpikir. "Heran, mengapa dunia
persilatan ini penuh dengan manusia yang tak tahu aturan" Baru bisa sedikit ilmu silat, sikapnya sudah sombong, jumawa dan lagaknya luar biasa, sedikit-sedikit lantas turun
tangan mengajak orang berkelahi .. ?"
Berpikir demikian, dia lantas berkata sambil tertawa. "Kalau di dengar dari
pembicaraanmu itu, tampaknya kau hendak mengajakku untuk berkelahi."
"Hmmm. . .dengan mengandalkan kemampuan itu masih belum pantas untuk
bertarung melawanku."
Wi Tiong hong masih muda, diapun berjiwa panas, maka setelah mendengar
perkataan yang jelas tak memandang sebelah matapun padanya itu, kontan saja rasa
mendongkolnya muncul, dengan suara keras teriaknya lantang. "Mengapa tidak
pantas ?" Pemuda berbaju biru itu sengaja mendongakkan kepalanya memandang keangkasa
dengan Sikap yang amat dingin, dan sombong.
"Dibawah ujung senjata Tan san-gin-sau (Baju biru kipas perak) tak pernah
membiarkan korbannya tetap hidup, kalau kau hendak menantangku untuk bertarung
maka kau bakal mampus secara mengenaskan, kau akan hal ini ?"
"Mengerti soal apa ?"
"Kau ingin menggorok leher sendiri" Atau menantangku untuk bertarung ?"
Ketika Wi Tiong hong mendengar nada pembicaraan orang itu makin lama semakin
sesumbar, seakan-akan asal dia turun tangan niscaya bakal mati secara mengenaskan,
kontan saja amarahnya berkobar, pikirnya dengan cepat.
"Sekalipun ilmu silatmu amat lihay, hari ini aku pasti akan mengajakmu untuk beradu kepandaian."
Berpikir demikian, dia lantas menyahut sambil tertawa nyaring.
"Sekalipun aku harus mati, mengapa tidak kau perlihatkan dulu sedikit kepandaian
silatmu itu dihadapanku ?"
"Bagus sekali." begitu ucapan tersebut diutarakan mendadak pemuda berbaju biru itu menerjang kedepan dengan kecepatan luar biasa, pergelangan tangan kanannya
diangkat, lalu dengan menggunakan senjata kipas peraknya dia menotok ke atas dada
Wi Tiong hong dangan suatu serangan gencar.
"Roboh kau " bentaknya.
Sejak mendengar perkataan yang jumawa dan tekebur, Wi Tiong hong memang telah
bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yang tak di nginkan.
Maka begitu dilihatnya pihak lawan menggerakan bahunya sambil menerjang
kedepan, serta merta dia berkelit kesamping kiri untuk meloloskan diri.
Kemudian tangan kanannya dengan jurus ceng Liong thamjiau (naga hijau
mementangkan Cakar) telapak tangannya langsung dihantamkan keatas senjata kipas
lawan. "Belum tentu begitu" sahutnya Cepat.
Baru saja perkataan tersebut diutarakan mendadak terdengar. . ." Sreet!" segulung desingan angin tajam sudah menyambar lewat dari depan dadanya.
Untung saja dia berkelit cukup cepat, kalau tidak andaikata jalan darahnya sampai
kena terhajar oleh serangan tersebut, niscaya dia benar- benar akan roboh terkapar ke
atas tanah. Terkesiap juga hati Wi Tiong hong menghadapi kelihayan lawannya, dia segera
berpikir. "Padahal usia orang ini belum begitu besar, tapi hanya sebuah serangan yang
dilancarkan sekenanya saja sudah sanggup memancarkan tenaga sergapan sedemikian
dahsyatnya, tak heran kalau ucapannya begitu sombong dan tekebur."
Ketika pemuda berbaju biru itu menyaksikan serangan yang dilancarkan sama sekali
tak mengenai sasarannya, diapun nampak agak tertegun, tapi kemudian serunya lagi
sambil mengejek dingin.
"Kau sanggup menghindarkan diri dari serangan kipas perakku tadi, hal ini
menunjukkan kepandaianmu lumayan juga, sungguh diluar dugaanku. ."
Wi Tiong hong tertawa terbahak-bahak. "Haaahhh. . haaahhh. ..haahhh. . . sekarang tentunya kau sudah percaya bukan?"
"Kau bilang apa ?"
"Belum tentu aku yang harus mencari kematian buat diriku sendiri."
Pemuda berbaju biru itu tertawa dingin, senjata kipas peraknya digerakkan berulang
kali melepaskan tiga buah serangan berantai.
Sekalipun dia hanya melepaskan tiga buah serangan belaka, namun diantara
bergetarnya ujung kipas, tampak cahaya perak yang menyilaukan mata memancar ke
empat penjuru, seakan-akan banyak sekali senjata kipas yang melayang dan
menerjang ketubuhnya secara bersama-sama .
Dihadapkan oleh selapis bayangan kipas yang begitu tebal, mau tak mau terpaksa Wi
Tiong hong harus mundur kebelakang berulang kali, sepasang telapak tangannya
diayunkan berulang kali melancarkan lima buah serangan berantai, dengan begitu dia
berhasil menahan datangnya ancaman dari lawan.
Pemuda berbaju biru itu segera mendengus dingin. "Hmm, rupanya kau adalah
anggota Bu-tong pay." serunya.
Mendengar itu, Wi Tiong hong kembali berpikir, "Tampaknya selain ilmu silat yang
dimilikipun sangat luas, nyatanya hanya didalam sekali pandangan saja dia sudah
dapat mengenali asal mula dari permainan jurus pukulan ini."
Sembari mundur berulang kali dari posisi semula, sahutnya dengan segera. "Aku bukan anggota Bu tong-pay."
Pemuda berbaju biru itu kembali mendengus dingin. "Hmmm, sekalipun kau anggota
Bu tong pay juga bukan berarti bisa menakut-nakuti orang " jengeknya.
Sembari berkata tubuhnya segera mengejar ke depan, kipas peraknya secara
beruntung diayunkan ke depan berulang kali. . .
Semua serangan tersebut dilancarkan dengan gerakan yang sangat cepat, sedemikian
cepatnya sehingga hampir saja Wi Tiong hong tidak berkemampuan untuk
melancarkan serangan balasan.
Dalam waktu sangat, seluruh tubuhnya sudah kena dikurung dibalik bayangan senjata
kipas si pemuda berbaju biru yang berlapis- lapis bagaikan bukit dan penuh disertai
deruan angin tajam itu.
Wi Tiong hong baru pertama kali ini terjun ke dalam dunia persilatan, dia belum
berpengalaman didalam pertarungan melawan orang lain, dengan cepat dirasakan
ujung kipas lawannya mengancam hampir seluruh jalan darah penting yang berada
diatas tubuhnya. biarpun dia sudah memainkan ilmu pukulan Ji gi ciang dengan sebaik-
baiknya, toh serasa tak sanggup untuk membendung datangnya serangan gencar dan
dahsyat dari lawannya.
Menyaksikan cahaya kipas yang datang dari empat arah delapan penjuru, diam-diam
dia merasa gelisah sekali.
Dengan cepat tangan kanannya berputar membentuk satu gerak i ngkaran dengan
jurus Khi pit it goan (menghimpun tenaga dalam satu titik), telapak tangannya
diluruskan kedepan sejajar dada, lalu pelan pelan membacoknya kedepan disertai ilmu
cay im-jiu. Pada hakekatnya dia tidak melihat jelas bayangan kipas dari lawannya, jurus serangan
yang dilancarkan itu tak lebih hanya dimaksudkan sebagai perlindungan didalam
usahanya untuk mengundurkan diri dari situ.
Siapa tahu baru saja telapak tangannya disodorkan kedepan mendadak dia merasakan
ada segulung tenaga pukulan yang sangat kuat memancar keluar dari dalam tubuhnya
dan tiba-tiba menembusi jari jemari tangannya langsung menghantam kemuka.
"Plaaak. . " secara kebetulan pula serangan tersebut dengan tepat menghantam diatas kipas perak yang berada ditangan pemuda berbaju biru itu.
Seketika itu juga bayangan kipas yang menyelimuti angkasa secara berlapis-lapis itu
lenyap tak berbekas, sedangkan totokan kipas perak lawan yang tertuju kearahnya
juga kena tertangkis oleh serangannya sehingga mencelat kesamping kiri.
Harus diketahui lapisan bayangan yang dilancarkan oleh pemuda berbaju biru itu
sesungguhnya lebih banyak tipuan daripada kenyataan, sebab bagaimanapun juga
kipas perak yang dipergunakan untuk melancarkan serangan hanya sebuah tapi
berhubung gerakan amat cepat sehingga memberi kesan kepada
orang seolah-olah terdapat banyak sekali bayangan kipas yang menyelimuti angkasa.
Tapi sekarang, begitu kipas perak yang sebenarnya kena tertahan tenaga serangan
yang di lancarkan Wi Tiong hong, otomatis seluruh lapisan bayangan kipas yang
terciptakan oleh gerakannya itu menjadi punah tak berbekas.
Tanpa terasa Wi Tiong hong sendiripUn menjadi tertegun setelah menyaksiksn
kejadian ini, dia masih ingat sewaktu dia melatih ilmu pukulan tersebut tempo hari,
diapun merasakan juga keadaan seperti ini ketika dia lancarkan serangan mana
disertai ilmu cay-imjiu.
Semua peristiwa tersebut berlangsung dalam waktu singkat, walaupun Wi Tiong hong
masih kurang pengalaman dalam bertarung dengan orang, bagaimanapun juga dia
telah belajar ilmu silat yang maha sakti dibawah pimpinan paman yang tak terkenal.
Sebagai seorang yang berlatih didalam ilmu silat, ketajaman mata serta kecepatan
bereaksi merupakan suatu ciri yang khas, maka begitu pukulannya menghantam diatas
bahu pemuda berbaju biru itu dan menyaksikan bayangan semu lawan lenyap tak
berbekas, kipas perak lawan sudah kena tertangkis sehingga mencelat kesebelah kiri.
Dengan susah payah dia berhasil mendapatkan peluang yang begitu baik, tentu saja
dia tak ingin melepaskannya dengan begitu saja, kelima jari tangan kirinya segera
dibalikkan kedepan, kemudian mencengkeram ujung kipas tersebut.
Mimpipun pemuda berbaju biru itu tak menyangka kalau serangan lawan bisaberubah
menjadi bagitu dahsyat sehingga jurus pek nio lian ong (ratusan burung menghadap
raja) yang diandalkan bisakena dipukul miring kesamping.
Ia lebih terperanjat lagi setelah menyaksikan cengkeraman lawannya berhasil
membetot ujung kipas nya.
Perlu diketahui bagi seseorang-yang memiliki ilmu silat yang sangat lihay, secara
otomatis dia akan memberi reaksi yang cukup cepat pula dalam menghadapi keadaan,
begitu kipas peraknya kena dicengkeram oleh Wi Tiong hong, dia segera mendengus
dingin, telapak tangan kirinya bagaikan sebilah golok secepat kilat membabat keluar
mengikuti gerakan kipas perak tersebut.
Ketika Wi Tiong hong menyaksikan pihak lawan melepaskan bacokan kearahnya, serta
merta dia mengayunkan pula telapak tangan kanannya untuk menyambut datangnya
ancaman tersebut.
"Plaaak. . ." begitu sepasang telapak tangannya saling bertemu terjadilah benturan keras.
Kedua belah pihak segera merasakan darah yang berada didalam tubuhnya bergolak
keras tak kuasa lagi mereka saling mundur setengah langkah kebeIakang.
Akan tetapi tangan mereka yang lain masih tetap saling menggenggam kipas perak
tersebut siapapun enggan untuk melepaskan tangannya lebih dulu.
Didalam bentrokan tersebut boleh dibilang kekuatan mereka berdua sama sama
seimbang, alias setali tiga uang.
Dalam hati kecilnya mereka berdua sama mengerti bahwa ilmu silat yang dimiliki


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya tidak berada di bawah kepandaian sendiri.
Selembar wajah pemuda berbaju biru itu, dari pucat berubah menjadi kehijau-hijauan,
dia memandang sekejap kearah, Wi Tiong hong sambil diam-diam mengerahkan
tenaga dalamnya untuk menghimpun kedalam pergelangan tangan kanannya.
Segulung tenaga kekuatan yang amat kuat dengan cepat menerjang keatas melalui
kipas perak tersebut.
Wi Tiong hong merasakan ujung kipas yang dicengkeramnya itu bergetar keras, tahu-
tahu tenaga serangan lawan telah berlipat ganda, tentu saja dia tak mau
mengendorkan tangannya dengan begitu saja.
Diam2 hawa murninya disalurkan kembali kedepan, kelima jari tangannya yang
mencengkeram ujung kipas tersebut kian lama kian bertambah kencang.
Masing-masing telah saling mengerahkan tenaga untuk beradu kekuatan, tapi
keadaannya masih seimbang, siapapun tak bisa menangkan mereka.
Dengan wajah hijau membesi pemuda berbaju biru itu segera berseru dengan suara
dingin. "Hmmm, nampaknya ilmu silat yang kau miliki terhitung hebat sekali.. "
"Saudara memuji."
"Kau belum juga melepaskan tanganmu ?" bentak pemuda baju biru itu mendadak
dengan wajah gusar.
Kena dibentak tanpa terasa Wi Tiong hong mengendorkan juga cengkeramannya.
ooooOOoooo Bab-17 Dengan cepat pemuda berbaju biru itu mundur sejauh tiga langkah dari posisi semula,
sorot matanya memancarkan cahaya dingin, kemudian tegurnya. "Siapa namamu ?"
Wi Tiong- hong tidak langsung menjawab, pikirnya dahulu.
"orang ini amat dingin dan sombong, secara tiba-tiba menanyakan namaku,
tampaknya perselisihan ini sudah pasti akan terikat." Berpikir demikian, dia lantas mendongakkan kepalanya sambil menjawab, "Aku Wi Tiong hong."
"Bagus sekali."
Sambil tertawa dingin mendadak pemuda berbaju biru itu membalikkan badan,
kemudian di dalam beberapa kali lompatan saja dia sudah berlalu dari situ.
Diam- diam Wi Tiong hong menggelengkan kepalanya berulang kali, tanpa sebab
musabab yang pasti orang itu mengajak berkelahi, perselisihanpun tidak terikat, kalau
dipikirkan kembali kejadian ini sungguh suatu kejadian yang sama sekali tak ada
harganya. Berpikir sampai disitu, dia bersiap sedia untuk melangkah pergi dari tempat
itu. Mendadak terdengar suara dingin berkumandang datang yang mengikuti hembusan
angin malam. Sekalipun suara tertawa itu lirih, tapi dapat dibedakan kalau orang itu adalah seorang perempuan, cuma saja suaranya kedengaran agak sedikit dingin menggidikkan.
Wi Tiong hong menjadi tertegun sesudah mendengar suara itu, tanpa terasa dia segera
berpaling. Dibawah sinar rembulan tampak sesosok bayangan manusia yang ramping berjalan
keluar dan balik sebuah pohon besar dan pelan-pelan berjalan mendekat.
Bayangan ramping itu makin lama semakin mendekat sehingga akhirnya dapat
diketahui kalau dia adalah seorang gadis berbaju hijau yang berambut sepanjang bahu.
Dia mempunyai sepasang mata yang bening bagaikan air, sewaktu memandang orang,
sikapnya mewujudkan sikap memandang rendah orang.
Dia mempunyai selembar bibir yang kecil mungil, sayang ujung bibirnya agak
mengkerut kebawah, sehingga sekilas pandangan seperti seseorang yang sedang
menjumpai suatu kejadian yang tak menyenangkan hatinya.
Paras mukanya boleh dibilang cantik, sekalipun tidak terlalu cantik namun boleh
dibilang cukup mengesankan hati orang yang memandangnya.
Gadis berbaju hijau itu berjalan mendekat, dengan bentuk dari tubuhnya yang lemah
gemulai, tangan kanannya membereskan rambutnya yang kusut terhembus angin, lalu
sambil mendongakkan kepalanya dia bertanya.
"Apakah kau hendak pergi dengan begini saja?"?" suaranya merdu, sikapnya tak terhitung angkuh, tapi suaranya kedengaran dingin, hambar seolah-olah memandang
enteng lawan. Diam-diam Wi Tiong hong mengerutkan dahinya, kemudian, berpikir.
"Apa yang sebenarnya terjadi malam ini" Mengapa berulang kali aku harus berjumpa
dengan orang yang berbicara dengan suara sedingin salju" Ditengah malam buta apa
lagi diluar kota yang sunyi, kembali aku bertemu dengan seorang gadis berbaju hijau
yang dingin menggidikkan tampaknya diapun bukan orang yang sembarangan."
Gadis berbaju hijau itu hanya memandang ke arahnya tanpa berbicara, sampai lama
kemudian dia baru menegur lagi dengan suara dingin. "Sudahkah kau dengar apa yang kutanyakan kepadamu itu?"
"oooh. . .,jadi nona sedang mengajakku berbicara?"
Dengan gemas nona berbaju hijau itu melotot sekejap ke arahnya, sahutnya cepat.
"Kalau tidak sedang mengajakmu berbicara, apakah aku sedang berbicara dengan
setan?" Sekali lagi Wi Tiong- hong berpikir, "Sesungguhnya nona ini mempunyai paras muka
yang cantik jelita, tapi heran, kenapa berbicaranya begitu kasar dan tak sedap
didengar?"
Sekalipun berpikir demikian, tapi dia toh menjawab juga. "Aku hendak menuju ke kota Sang siau."
"Sekalipun tidak kau ucapkan, aku juga tahu tentu saja orang yang berada disini
hendak menuju ke kota Sang siau semua."
"Kalau toh kau sudah tahu, kenapa mesti bertanya lagi kepadaku?" pikir Wi Tiong hong kemudian.
Melihat pemuda itu tidak menjawab, gadis berbaju hijau itu berkata lagi. "Aku
maksudkan, apakah kau hendak pergi dengan begitu saja?"
Wi Tiong hong semakin tertegun setelah mendengar perkataan itu, kembali dia
berpikir. "Aah. . .bagus sekali, tampaknya nona ini pun seperti juga dengan pemuda berbaju biru itu, rupanya diapun bermaksud untuk mengajakku berkelahi."
Berpikir demikian, dia lantas menatap wajah lawannya lekat-lekat, setelah itu
bertanya. "Jadi maksud nona. . .?"
Berkedip sepasang mata nona berbaju hijau itu, sekarang dia baru sempat melihat
jelas wajah pemuda yang berada dihadapinya dia baru tahu kalau pemuda tersebut
merupakan seorang pemuda yang amat tampan.
Terutama sekali sepasang matanya yang begitu jeli bagaikan bintang timur, dari
tatapan matanya yang besar seolah-olah terpancar keluar kekuatan yang membuat
pipi sendiri menjadi panas.
Diam- diam dia mendesis lirih, mendadak dijumpainya entah sejak kapan kepala
tersebut telah ditundukkan rendah-rendah, belum pernah diajumpai keadaan
semacam ini sebelumnya.
Maka dia segera mendongakkan kepalanya lagi, kemudian dengan suara yang sengaja
didinginkan, katanya. "Tadi, bukankah kau telah saling beradu pukulan satu kali
dengan dirinya?"
"Jadi nona juga telah menyaksikan akan hal ini?"
"Hmmm, tentu saja sudah kusaksikan." nona berbaju hijau itu mendengus dingin,
"malah mungkin kau sendiri yang belum melihatnya secara jelas."
"Apa maksud ucapan itu ?"
Wi Tiong hong menjadi terbelalak dengan mulut melongo, hampir saja dia tak sanggup
menjawab pertanyaan tersebut, ketika ia sedang beradu pukulan dengan pemuda
berbaju biru itu, mengapa ia tak melihatnya dengan jelas"
"Kau anggap aku salah berbicara?" kembali nona itu menegur.
Wi Tiong-hong merasa perutnya lapar sekali, dia segera berpikir. "Aku sudah seharian penuh tidak mengisi perut, lebih baik lanjutkan perjalanan saja dan tak usah ribut lagi dengannya, toh tak ada gunanya hanya berbicara melulu tanpa hasil?"
Berpikir demikian dia lantas manggut2, sahutnya. "Apa yang nona katakan memang
benar, mereka yang menyaksikan dari samping memang biasanya jauh lebih jelas . . ."
"Tak usah menonton diri sampingpun, aku dapat mengetahui pula dengan jelas."
Makin berbicara, apa yang diucapkan gadis itu semakin aneh lagi.
Wi Tiong hong ingin buru-buru melanjutkan perjalanannya, maka cepat-cepat dia
menjura seraya berkata. "Benar, benar, aku . ."
Tidak menunggu pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, gadis berbaju hijau itu telah
menukas lagi sambil mencibirkan bibir. "Hmmm, apa yang kau ketahui ?"
Tentu saja Wi Tiong hong tidak tahu apa2, dia cuma membungkam belaka.
"Aku mengatakan kau sendiri masih belum melihatnya, apakah kau melihatnya ?" kata si nona lagi.
Wi Tiong hong tidak mengerti apa yang di maksudkan si nona itu sebagai belum
melihatnya, apa yang belum dilihat "
Menyaksikan si anak muda itu hanya membungkam diri belaka, kembali nona berbaju
hijau itu mendengus. "Hmm . . . tampangmu adalah tampang orang pintar, sayang
justru otakmu bodoh, sudah ku ucapkan maksudku dengan begitu jelas tapi kau masih
belum juga mengerti. Hmm... dasar seekor angsa dungu."
Tiba-tiba dia tertawa geli sehingga wajahnya yang semula dingin dan kaku bagaikan
lapisan salju itu menjadi mencair, senyuman yang kemudian menghiasi wajahnya,
nampak manis dan sedap dipandang.
Tapi dia hanya tertawa manis sebentar, karena secara tiba-tiba paras mukanya
kembali berubah menjadi dingin dan kaku, lanjutnya. "Apakah kau tak bisa memeriksa telapak tanganmu sendiri?"
Oleh perkataan yang diucapkan bertubi-tubi itu lama kelamaan Wi Tiong hong menjadi
curiga juga, dia segera mengangkat tangan kiri sendiri dan memeriksanya dengan
seksama. Sambil mendengus kembali gadis berbaju hijau itu berkata. "Dasar goblok tetap
goblok. sewaktu kau beradu pukulan dengangnya apakah telapak tangan itu yang kau
pergunakan?"
Buru-buru Wi Tiong-hong mengganti tangannya yang lain.
Terdengar gadis berbaju hijau itu berkata lagi, "Diatas jarum, waktu itu darah yang meleleh keluar dari situ tentu sudah membeku, tapi masih tersisa setitik darah hitam,
bukan begitu?"
Setelah mendengar perkataan tersebut, wi Tiong hong segera berhasil juga
menemukan titik darah hitam diatas telapak tangan itu, dia tak tahu luka itu kapan
timbulnya "
Kembali nona berbaju hijau itu berkata lagi. "Itulah luka yang dihasilkan sewaktu kau beradu pukulan dengannya, tanganmu sudah ditusuk oleh jarum Lan keh tok ciam
(jarum racun keluarga Lan)nya. . ."
sekarang Wi Tiong hong baru mengerti apa yang telah terjadi, segera pikirnya lagi.
"Tak heran kalau pemuda berbaju biru itu segera pergi sambil tertawa dingin setelah beradu pukulan denganku, ternyata dia telah menyembunyikan jarum beracunnya
dibalik telapak tangannya."
Berpikir sampai disitu, dia lantas bertanya. "Kalau begitu jarum pasti telah diberi racun yang amat keji?"
"Buat apa mesti ditanya lagi" Jarum yang di gunakan adalah jarum beracun
keluarganya, sekali pun tak bekerja dengan cepat begitu bertemu dengan darah,
namun kelihayannya luar biasa, siang tak bertemu malam, malam tak bertemu siang,
kecuali obat penawar dari keluarganya, dikolong langit hanya ..."
Belum habis nona itu berbicara, dengan wajah penuh dengan kegusaran Wi Tiong
hong telah berseru.
"Aku tidak mempunyai ikatan dendam ataupun sakit hati dengan dirinya, mengapa dia mencelakai aku secara diam-diam?"
"Aaah, mau mencelakai orang, masa harus diberitahu dulu."
Dari ucapan si nona tersebut, wi Tiong-hong dapat menarik kesimpulan kalau jarum
beracun dari keluarga Lan memang sangat lihay sekali, bahkan setelah mendengar
perkataan itu, betul juga secara lamat2 dia merasakan lengan kanannya seakan-akan
menjadi kesemutan, segera berpikir lagi.
"Mumpung sekarang racunnya belum mulai bekerja, lebih baik aku sekarang
berangkat ke kota Sang siau dan mencari tabib untuk menyembuhkan luka beracunku
ini." Dia adalah seorang pemuda yang baru terjun ke dalam dunia persilatan, dia tidak tahu
kalau senjata beracun dari perguruan perguruan dalam dunia persilatan tak bisa
disembuhkan oleh tabib-tabib biasa.
Dengan cepat dia menjura kepada nona berbaju hijau itu, lalu ujarnya. "Aku
mengucapkan banyak terima karib sekali atas pemberitahuan dari nona, sekarang aku
ingin memohon diri lebih dulu."
"Tunggu sebentar." tukas nona berbaju hijau itu dingin, "tahukah kau, apa sebabnya aku memberitahukan hal ini kepadamu ?"
"Soal ini aku kurang begitu tahu."
Nona berbaju hijau itu segera tersenyum, katanya. "Aku merasa tidak senang
menyaksikan sikap sombong dan tekebur dari orang itu, aku pun merasa senang sekali
karena kau telah memberi pelajaran kepadanya."
"Nona, bila kau tidak ada urusan lain. . ."
"Kau hendak pergi bukan ?" tukas si nona.
"Yaa, setelah mendapat petunjuk dari nona, aku ingin menggunakan kesempatan
sebelum racun itu mulai bekerja hendak berangkat ke kota Sang siau untuk
memperoleh pengobatan."
"Kau kenal dengan beng san gi In ?" tanya si nona berbaju hijau itu dengan sorot mata berkilat.
"Budi kebaikan nona yang bersedia menghadiahkan obat penawar kepadaku sungguh
membuat aku merasa berterima kasih sekali, entah..."
Sebenarnya dia ingin menanyakan siapa nama orang itu, tapi setelah perkataan
tersebut sampai di ujung bibir, dia merasa kurang baik untuk menanyakan nama
orang, apalagi di tengah malam buta dan diluar kota yang begini sepi.
Akhirnya dengan wajah memerah karena jengah, dia telan kembali kata-kata
selanjutnya yang tak sempat diutarakan.
"Kau tak usah berterima kasih kepadaku," ucap nona berbaju hijau itu hambar" "aku sendiripun tidak bermaksud untuk menolongmu, aku hanya ingin agar dia tahu jika
jarum beracun dari keluarga Lan bukanlah sesuatu senjata yang cukup untuk
membuatnya menjadi sombong." Selesai berkata, dia lantas berlalu dari situ dengan gerakan cepat.
Dengan termangu-mangu Wi Tiong hong memegang botol porselen itu sambil
mengawasi nona itu berlalu dari sana, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya telah
lenyap dibalik kegelapan sana.
Mendadak dia teringat akan sesuatu, kalau didengar dari pembicaraan si nona berbaju
Bukit Pemakan Manusia 17 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Kait Perpisahan 3
^