Pedang Darah Bunga Iblis 15

Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Bagian 15


tapi kau tiada kesempatan lagi untuk terhindar dari kejaran ular
sakti penghisap darah ini..."
Berdiri bulu kuduk Suma Bing, sungguh diluar sangkanya bahwa si
maling tua menggunakan binatang aneh yang dikabarkan sebagai
penghisap darah itu untuk menghadapi dirinya.
Selama ratusan tahun sukar dicari seekor saja ular sakti penghisap
darah ini. Ular semacam ini merupakan raja ular diantara ular,
badannya kebal senjata tajam, besarnya hanya sebesar jari manis,
ditengah tubuhnya tumbuh sepasang sayap sehingga dia dapat
terbang dengan pesat sekali, begitu membaui darah manusia,
segera dia memecah kulit terus mengerong kedalam tubuh orang
dan masuk kedalam jalan darah, sambil menyedot darah sembari
dimuntahkan kembali sampai orang itu darahnya dihisap habis dan
mati. Wajah Pit Yau ang pucat ketakutan bersemu kehijauan, takut dan
gugup merangsang benaknya, teriaknya tersendat: "Si cianpwe,
aku adalah istrinya..."
"Lohu sudah tahu!" "Bolehkah Siau li bicara beberapa patah kata
dulu?" "Silahkan!" "Cianpwe menggunakan cara sedemikian keji
untuk menghadapi dia, pasti mempunyai alasan yang kuat?" "Sudah
tentu!" "Wanpwe minta penjelasan?" "Menggunakan cundrik
penembus dada dia membunuh Bu
Khek sianglo, ini demi menuntut balas, hal itu dapat dimaklumi.
Tapi tidak semestinya dia membanjirkan darah dan membabat
seluruh Bu khek po seakar2nya sampai ayam dan itik juga tidak
ketinggalan telah dibunuhnya semua. Malah yang paling
keterlaluan dengan kekerasan dia merebut Kipas batu pualam."
Keterangan ini membuat Suma Bing melonjak kaget, darimana soal
ini harus dijelaskan, serunya menegasi: "Apa membanjirkan darah
di Bu khek po?"
"Masa kau berani menyangkal?" bentak si maling bintang
beringas. "Memang, aku menyangkal!" "Bu khek Ciangbun sendiri yang
mengatakan kepadaku
sebelum ajal, ini bukti yang paling kuat kau takkan luput dari
tuntutan keadilan ini!"
"Ingin kutanya, kapan peristiwa itu terjadi?"
"Setengah bulan yang lalu!" "Setengah bulan
yang lalu?"
Si maling bintang membenarkan dan menegaskan sekali lagi.
Legalah hati Suma Bing, ujarnya: "Aku mendampingi pusara disini
sudah satu bulan lebih, setindak juga belum pernah tinggal pergi."
"Siapa yang menjadi saksi bahwa kau belum pernah tinggal pergi
setindakpun?" desak si maling bintang.
"Ini..." "Buyung, mungkin dijagad ini ada dua Suma Bing?"
Sebuah bayangan berkelebat mendatangi pula, itulah
seorang perempuan pertengahan umur yang bersolek berkelebihan,
dia bukan lain adalah Ong Fong jui bibinya Suma Bing.
Semua hadirin tertegun dibuatnya. "Bibi!" seru Suma Bing
kegirangan. Napas Ong Fong jui agak memburu, wajahnya
agak kumal dan sedikit pucat, sekilas ia menyapu pandang keseluruh hadirin
lalu matanya melotot kearah Suma Bing dan berkata: "Anak Bing,
apakah kau sudah gila?"
Berobah airmuka Suma Bing, sahutnya: "Aku..." "Secara
kekerasan kau merebut Ce giok pe yap benda
pusaka pelindung perguruan Ngo bi pay malah kau lukai dan
bunuh Ong Tionglo salah satu dari ketiga pelindung mereka."
Suma Bing merasa adanya sesuatu keganjilan dalam urusan ini,
sangkalnya gemetar: "Bibi, aku belum pernah berbuat demikian!"
"Kau tidak" desak Ong Fong jui mengangkat alis. "Ya, selama
sebulan lebih, setindakpun aku belum pernah
pergi dari sini!"
"Apa benar?" "Tiada perlunya keponakan berbohong, apa kau
juga berpendapat keponakanmu bisa berbuat hal2 yang demikian itu?"
"Engkoh Bing." sela Pit Yau ang dengan wajah berobah, suaranya
juga gugup: "Katamu selama satu bulan kau tidak meninggalkan
tempat ini?"
Dirangsang berbagai pertanyaan ini Suma Bing menjadi pusing
tujuh keliling, sahutnya keras saking jengkel: "Tidak salah!"
"Kau... benarkah..." "Adik Ang, apa artinya ini?" "Duapuluh hari
yang lalu bukankah kau kembali ke
Perkampungan..." Pit Yau ang menyangka karena untuk
menghindari tuntutan
yang mendesak ini baru dia mengeluarkan kata2 seperti diatas
tadi, maka perkataannya hanya diucapkan setengah2 saja untuk
mengawasi reaksinya.
Lain halnya dengan Suma Bing, memang hatinya putih bersih dan
tiada ganjalan apa2, begitu mendengar perkataan Pit Yau ang
yang diucapkan setengah2 ini, lantas dia merasakan kalau
persoalan ini pasti ada latar belakangnya. Kejadian ini terjadi
mendadak dan semua menimpa keatas bahunya, ini pasti bukan
terjadi secara kebetulan saja. Maka dengan mendelikkan mata ia
bertanya: "Adik Ang, apa yang kau katakan?"
"Aku..." "Katakan!" "Duapuluh hari yang lalu, bukankah kau
pernah kembali ke
Perkampungan secara ter-gesa2 untuk mengambil Kiu im
cinkeng..."
"Kiu im cinkeng?" "Ha, kau..." "Demi Allah setindakpun aku
belum pernah meninggalkan
tempat ini!" Semua hadirin berobah airmukanya. Si maling bintang
Si Ban cwan mundur beberapa langkah
serunya terheran2: "Buyung, jadi bukan kau yang membabat
habis seluruh penghuni Bu khek po?"
"Cianpwe, masa kau tidak percaya kepadaku?" "Aneh..." "Pasti
ada seseorang yang menyamar seperti bentukku
untuk menyebar kejahatan ini." "Ya, selain ini tiada keterangan lain
yang dapat menjelaskan. Tapi siapakah dia" Dan apa maksud tujuannya?"
Mendadak Ong Fong jui membentak keras: "Siapa itu main
sembunyi2!" tubuhnya juga lantas melenting dengan kecepatan
bagai kilat keluar hutan.
"Bujung," ujar si maling bintang penuh penyesalan, "aku si maling
tua terlalu sembrono."
Suma Bing tertawa, sahutnya: "Cianpwe tak usah gelisah dan
jangan pikirkan lagi hal ini, yang sudah lalu tak perlu dipersoalkan
lagi." Pit Yau ang tampil kehadapan Suma Bing, suaranya gugup,
gelisah: "Engkoh Bing, buku Kiu im cin keng itu adalah kepunyaan
ayah..." Kata Suma Bing dengan gemas: "Adik Ang, aku akan mencarinya
kembali sekuat tenaga, orang yang menyaru sebagai aku itu, aku
bersumpah akan menghancur leburkan!"
"Eh, engkoh Bing, pusara ini..."
"Phoa Kin sian telah meninggal," kata Suma Bing pilu, "sebab
kematiannya biarlah kelak kuceritakan kepadamu!"
Meskipun pernikahan Pit Yau ang dengan Suma Bing dirayakan
dengan peraturan adat istiadat yang resmi, tapi kalau diselami secara
mendalam hakikatnya Phoa Kin sian adalah istri pertama yang sah,
jadi mau tak mau Pit Yau ang hanya sebagai istri kedua. Setelah
mengetahui saingannya itu telah meninggal, entah bagaimana
perasaan hatinya susahlah diutarakan. Maka ter-sipu2 ia maju
kedepan kuburan dan berlutut memberi penghormatan terachir serta
mengheningkan cipta sekian lamanya baru berdiri lagi.
Suma Bing berpikir bolak-balik, serunya tegas: "Sebetulnya aku
hendak mendampingi pusara ini selama seratus hari, dengan
adanya kejadian diluar dugaan ini, terpaksa kubatalkan janjiku
kepada almarhum!"
"Engkoh Bing, aku..." "Adik Ang, lebih baik kau kembali saja ke
Perkampungan!" "Aku ingin ikut kau..." "Adik Ang, untuk
mencegah kejadian yang terjadi seperti
ini, lebih baik kau pulang saja." Perkataan ini membuat tergetar
perasaan Pit Yau ang,
terpaksa dia manggut2. Mendadak Suma Bing teringat sesuatu,
sikapnya serius:
"Adik Ang, letak Perkampungan kita sedemikian rahasia, orang
yang menyamar sebagai aku itu bagaimana bisa masuk?"
Komisaris luar Teng Tiong cwan tiba2 bertekuk lutut dan menyahut
tersenggak: "Lapor Huma, karena kesalahan hamba yang ceroboh
tanpa penelitian yang seksama, maka kusuruh seorang Hiangcu
untuk mengundang serigala itu masuk kedalam rumah..."
"Coba kau tuturkan secara jelas!"
"Anak buah hamba Toan Bu jiang Hiangcu bergilir piket untuk
memeriksa daerah sekitar seratusan li, secara tiba2 dia ketemu
dengan orang yang menyamar sebagai Huma itu, kita tak dapat
menduga antara tulen dan palsu, maka diundang masuk..."
"Aku sudah paham!" kata Suma Bing terus berputar menghadap
Pit Yau ang katanya pula: "Adik Ang, selanjutnya bagaimana?"
Kata Pit Yau ang penasaran: "Bajingan itu pura2 sedang sakit
selesma, hingga suaranya berobah serak. Karena tak menduga
sehingga aku kurang periksa dan terjebak kedalam tipu dayanya.
Begitu ketemu dia lantas menanyakan Kiu im cinkeng katanya ada
keperluan yang sangat mendesak. Lalu cepat2 dia pergi lagi
membawa Kiu im cinkeng, setelah kejadian itu aku baru sadar dan
merasa adanya hal2 yang ganjil, maka buru2 aku keluar menyusul
kau untuk menanyakan kebenaran ini!"
Komisaris luar Teng Tiong cwan tampil kedepan lagi dan berkata:
"Anak buah hamba Toan Hiangcu bertugas secara lalai, nanti
setelah kembali pasti akan dihukum secara setimpal sesuai
dengan peraturan dan undang2 kita. Tentang hamba sendiri
harap Huma suka jatuhi hukuman yang setimpal juga."
Suma Bing mengulap tangan, katanya: "Teng congkoan silahkan
bangun, kejadian ini terjadi diluar dugaan, kesalahan bukan
terletak pada kau seorang, sejak kini tidak perlu dipersoalkan lagi,
hanya untuk selanjutnya kalian harus hati2 dan waspada!"
"Terima kasih akan kemurahan hati Huma!" "Adik Ang, kau
dan mereka bertiga segeralah pulang!" "Tapi kau hanya
seorang diri mana bisa aku lega hati..." "Kau tidak perlu
banyak kuatir tentang diriku."
"Biar kutugaskan Sim tong serta tiga orang Hiangcu untuk
menjadi pengawalmu..."
"Ini juga tidak perlu!" "Aku hanya tugaskan mereka mengikuti
secara diam2, kalau perlu mereka bisa memberi kabar kepada kita" Tak enak
Suma Bing selalu menolak kebaikan istrinya,
terpaksa dia manggut2: "Begitu juga baik." "Engkoh Bing jagalah
dirimu baik2, setelah segalanya
selesai segeralah kembali." "Aku pasti kembali, Adik Ang kau juga
hati2!" "Hamba beramai menghaturkan selamat berpisah!" Coh yu
hu pit dan Teng Tiong cwan berbareng membungkuk memberi
hormat. Suma Bing sedikit membungkuk sebagai balasan serta katanya:
"kalian tak perlu banyak peradatan!"
Dengan rasa berat yang menekan, Pit Yau ang ambil berpisah.
Dengan nada berat si maling bintang Si Ban cwan berkata kepada
Suma Bing: "Buyung, menghadapi tipu muslihat yang rendah ini
kau mempunyai perhitungan yang bagaimana?"
"Terutama harus menangkap pentolannya dulu." "Menurut
anggapanmu siapakah orangnya yang telah
berbuat semua ini?" "Saat ini susah dikatakan!" "Eh, kenapa
bibimu pergi lantas tidak kembali lagi?" Sejenak Suma Bing
melengak, lantas sahutnya: "Mungkin
mengejar musuh!" Dimulut dia berkata demikian, namun dalam
batin ia berpikir: bibi sudah mewarisi seluruh kepandaian Pek kut
Hujin, betapa tinggi kepandaiannya, susah dicari tandingan
didalam Bulim, keselamatannya tak perlu dikuatirkan.
Kata si maling bintang lagi: "Ciangbunjin Bu khek bun yang
terdahulu adalah sahabat karibku yang paling kental, perguruannya
tertimpa bencana sedemikian mengenaskan, dapatlah atau tegakah
aku menggendong tangan menonton saja..."
Baru sekarang Suma Bing paham mengapa si maling tua tadi
mentang2 dan sesumbar hendak menuntut balas tanpa
memikirkan resikonya malah rela untuk gugur bersama. Mendadak
teringat olehnya waktu dirinya membunuh Bu khek Sianglo tempo
hari, gadis remaja bernama Tio Keh siok itu, kepandaiannya jarang
dicari tandingannya diBulim. Masa orang yang menyamar sebagai
dirinya itu berkepandaian sampai puncak yang tertinggi, kalau
tidak masa sedemikian gampang dia membabat habis seluruh Bu
khek po" Sebelum dirinya datang, pihak Bwe hwa hwe juga telah meluruk
kesana dan sesumbar hendak menumpas habis seluruh Bu khek
po, tujuannya yang utama adalah Kipas batu pualam itu. Sedang si
durjana yang menyamar sebagai dirinya itu, telah merebut Kipas
pualam itu juga, kedua belah pihak ini bertujuan sama, semua
untuk mendapatkan Kipas pualam itu. Apakah bukan perbuatan
orang yang diutus oleh pihak Bwe hwa hwe"
Tapi darimana datang tokoh silat sedemikian lihay dari Bwe hwa
hwe" Seumpama Loh Cu gi sendiri Lwekangnya juga tidak unggul
banyak dibanding Tio Keh siok. Dalam jangka satu bulan,
Perkampungan bumi kehilangan Kiu im cinkeng, Ce giok pe yap
benda pusaka pelindung perguruan Ngo bi pay juga direbut orang,
ini benar2 suatu berita yang menggemparkan, juga merupakan
suatu tipu daya yang menakutkan.
Untuk memecahkan tabir rahasia ini, pertama2 harus menemukan
dulu orang yang menyamar sebagai dirinya itu.
Siapakah dia" Karena pikirannya dengan gelisah ia pandang si
maling bintang serta tanyanya: "Cianpwe, ada beberapa
pertanyaan aku minta petunjukmu?"
"Coba kau katakan!" "Kipas pualam dan daon giok ungu itu
dikatakan sebagai
mestika pelindung perguruan mereka, dimanakah letak
kemujijatannya?"
"Konon kabarnya. Kipas pualam dari Bu khek po dan daon Giok
ungu dari Ngo bi pay itu adalah benda2 mestika yang jarang
didapat didunia ini, Kipas itu dibuat dari batu pualam yang sudah
berusia laksaan tahun, sedang daon giok ungu itu dibuat dari batu
giok hangat yang diukir berusia laksaan tahun juga. Jikalau kedua
kipas dan daon ini digabung timbullah antara hawa negatif dan
positip lalu dua hawa ini dapat membantu seseorang tokoh silat
untuk menembus jalan darah mati dan hidup, sehingga bisa
mencapai titik paling sempurna!"
Suma Bing manggut2 paham. "Ada pertanyaan lain?" "Dalam
Bulim masa ini, siapakah kiranya yang paling
pandai dalam ilmu rias?" "Ini... terutama dari aliran Pek Kut Hujin
yang mempunyai ilmu Hian goan tay hoat ih sek!" Diam2 Suma Bing mengangguk,


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalu katanya lagi: "Menurut
apa yang cayhe ketahui, ilmu Hoan goan tay hoat ih sek hanya
dapat merobah bentuk badan sendiri tapi tak dapat untuk
menyamai bentuk rupa orang lain..."
"Ya, memang begitulah!"
"Adakah tokoh yang lain?"
"Sin liong kay Ho Heng salah satu tertua Tianglo dari Kaypang
adalah seorang ahli dalam bidang ini".
"Sin liong kay Ho Heng" Tiada orang lain lagi?" "Agaknya tidak
ada lagi yang perlu diketengahkan!" Alis Suma Bing mengerut
semakin dalam, dua sumber yang
dikatakan si maling bintang ini agaknya kurang tepat dan tak
mungkin terjadi. Betapa tenar dan mulia Kaypang Tianglo itu
sudah tentu dia takkan mau melakukan perbuatan rendah yang
terkutuk itu. Sedang aliran dari Pek Kut Hujin, adalah bibinya Ong
Fong jui dan muridnya, mereka tidak perlu dikuatirkan dan tak
perlu dicurigai lantas tanyanya lagi: "Apa benar2 tidak ada yang
lain?" Sekian lama si maling bintang pejamkan mata berpikir, tiba2 dia
membuka mata dan berkata ragu2: "Ada sih ada, tapi..."
"Tapi kenapa?" "Iblis itu sudah puluhan tahun yang lalu tidak
muncul di Kangouw..." Tergerak hati Suma Bing, tercetus seruan dari
mulutnya: "Pek bin mo ong?" "Tidak salah!" "Benar tentu dia!" teriak Suma
Bing berjingkrak. "Apa benar dia?" "Tak perlu disangsikan lagi!"
"Buyung, dengan alasan apa kau berani memastikan?" Suma Bing
berdiam diri, dia tengah tenggelam dalam
pemikiran untuk menyusun rasa kecurigaannya yang mengalutkan
pemikirannya. Menurut apa yang dikatakan bibinya tempo hari
katanya bahwa Pek bin mo ong sudah muncul lagi didunia
persilatan, mungkin dia inikah yang
diangkat sebagai Maha pelindung oleh pihak Bwe hwa hwe.
Sedang Pek Chio Lojin sendiri juga pernah mengatakan, bahwa
gabungan antara Kiu im cinkeng dengan Kiu yang sinkang dapat
melatih suatu ilmu digdaya yaitu Bu khek sinkang.
Sesepuh atau tulang punggung dari Bwe hwa hwe adalah Loh Cu
gi, siapa telah dapat melatih Kiu yang sinkang sampai tingkat
kedua belas, kalau dia mengincar dan ingin mendapatkan pula Kiu
im cinkeng adalah jamak dan tak perlu dibuat heran.
Pek chio Lojin adalah ayah mertua Loh Cu gi. Sedang Raja iblis
seratus muka adalah Suheng Pek chio Lojin, menurut sumber dari
aliran ini, mungkin analisanya ini takkan salah dan luput.
Dirinya adalah musuh bebuyutan dari Bwe hwa hwe, kalau pihak
musuh menyamar dirinya untuk menyebar maut berbuat kejahatan
ini berarti satu kali panah mendapat dua ekor burung, bukan saja
tujuan dapat tercapai, malah mendatangkan musuh menimpakan
bencana ini kepada dirinya.
Tak tertahan lagi, ia membuka kata: "Tepat pasti perbuatan raja
iblis itulah!"
"Buyung." ujar si maling bintang gelisah, "coba terangkan secara
ringkas!" Secara ringkas Suma Bing terangkan analisanya tadi, ber- ulang2
si maling tua membanting kaki dan menggaruk kepala: "Buyung,
ini mungkin terjadi, mungkin terjadi!"
"Cayhe masih ada sedikit kecurigaan." "Tentang apa?" "Bu
khek Ciangbun Tio Leng wa mempunyai seorang anak
perempuan bernama Tio Keh siok..."
"Ya, memangnya kenapa?" "Kepandaiannya tidak lemah!"
"Budak itu semasa kecilnya ketemu rejeki, dia bukan
terhitung anak murid Bu khek bun lagi, tapi asal-usul
perguruannya kurang jelas, setiap tahun jarang pulang untuk
menilik orang tuanya. Waktu peristiwa yang mengenaskan itu
terjadi kebetulan dia tengah pergi keluar!"
"O, tidak heran, kalau tidak dengan kelihayan kepandaiannya pasti
sedikitnya dia dapat mencegah atau merintangi ketelengasan
musuh!" "Ini sudah kehendak Allah, dan tak perlu penjelasan lagi, Buyung,
dia... Cara bagaimana Phoa Kin sian bisa meninggal?"
Sekali lagi Suma Bing harus menghadapi kenyataan yang
merenggut hati dan menyedihkan ini, sambil menahan airmata,
secara ringkas ia bercerita.
Si maling bintang menggeleng2 kepala sambil berdiam diri,
gumamnya: "Takdir!"
Suma Bing ganda tertawa pahit. Kata si maling bintang
sungguh2: "Buyung, bagaimana
tindakanmu selanjutnya?" "Mencabut rumput sampai
seakar2nya!" "Bwe hwa hwe maksudmu?" "Tepat sekali!"
"Dapatkah kau memasuki barisan pohon bunga Bwe itu?" "Cayhe
sudah mempunyai perhitungan, sekarang juga aku
harus mengerjakan satu urusan besar!" "Urusan besar apa?" "Aku
hendak menyambangi Si gwa sianjin, akan kuminta
petunjuk tentang cara pemecahan barisan itu!"
"Kalau begitu, biarlah kita berpisah lagi melakukan kerjaan
masing2!" "Cianpwe silahkan!" Tubuh si maling tua yang tambun
bergolek seperti mentok
berjalan, sebentar saja tubuhnya yang bundar itu sudah
menghilang dibalik hutan sana.
Menghadapi pusara Phoa Kin sian Suma Bing mengheningkan cipta
dan memanjatkan doa serta ambil berpisah, air mata meleleh deras
tanpa terasa. Setiap tiga tindak pasti dia menoleh dan berat untuk tinggal pergi,
tapi toh akhirnya dia pergi juga sambil membekal hatinya yang
sudah hancur luluh. Gundukan tanah itu memendam istri serta
anaknya yang belum lahir.
Tidak jauh dari letak kuburan itu, diluar rimba sebelah sana adalah
jalan raya. Kuda yang membedal keras dan para kaum persilatan
yang melesat lewat dari sampingnya secepat terbang, lambat laun
membangunkan semangatnya yang sudah lesu sekian lama ini
sadarlah dia dari kesedihan yang mencekam sanubarinya, tanpa
terasa gerak kakinya juga semakin cepat dan akhirnya dia berlari
dengan pesatnya.
Bu eng san, sesuai dengan namanya atau gunung tanpa
bayangan, untung tempo hari Suma Bing pernah datang satu kali,
sedikit banyak dia sudah apal akan jalanan yang harus
ditempuhnya, tanpa banyak memakan waktu ia langsung menuju
ketempat tujuan.
Tidak lama kemudian tibalah dia dilereng gunung dipinggir sebuah
batu besar yang berbentuk lancip. Disinilah letak tempo hari dia
bertanding dengan Si gwa sianjin. Tempat yang lebih tinggi
sebelah depan sana dia belum pernah datang. Kini dia menjadi
ragu2, haruskah dia terus menerjang keatas"
Karena keraguannya ini segera dia gunakan ilmu gelombang suara
memancar ribuan li, dia salurkan seluruh
hawa murninya terus berseru lantang kearah puncak: "Si gwa
Cianpwe, cayhe Suma Bing ada sedikit persoalan ingin bertemu!"
Sudah ber-kali2 ia ber-kaok2 tanpa reaksi atau penyahutan.
Beruntun lima kali dia menggembor sangat keras, setelah dinanti
selama sepeminuman teh dan masih tanpa reaksi, timbullah rasa
heran dan curiganya. Sifat Si gwa sianjin sangat ganjil dan suka
menyendiri. Bagaimana juga dia takkan mau meninggalkan tempat
pertapaannya ini, tapi mengapa keadaan tetap sunyi senyap tanpa
reaksi apa" Apa mungkin orang tua aneh ini tidak mau menemui
orang yang belum dikenalnya" Atau... sekian lama dia ragu2 dan
bimbang, akhirnya diambil keputusan untuk langsung meluruk
keatas saja. Kabut dipuncak lebih tebal, keadaannya sangat gelap pekat, tapi
Suma Bing sekarang lain dengan Suma Bing tempo hari waktu
pertama kali datang, kejelian matanya dapat memandang sejauh
sepuluh tombak. Tak lama kemudian tibalah dia diatas sebidang
tanah datar, pemandangan disini lain dari yang lain, dihadapannya
berdiri tiga bangunan rumah gubuk, kira2 tiga tombak diluar
rumah gubuk itu berserulah Suma Bing lantang: "Suma Bing
mohon bertemu dengan Cianpwe!"
Sungguh aneh masih tetap tiada penyahutan. Tanpa terasa
merinding tubuh Suma Bing jikalau si orang tua itu tinggal pergi
entah kemana, tentu telah terjadi sesuatu...
Dengan rasa was2 dia pandangi ketiga bangunan gubuk itu, kedua
pintunya hanya dirapatkan saja sehingga ber- gerak2 keluar masuk
dihembus angin pegunungan mengeluarkan suara kereyat-kereyot,
suara ini menimbulkan suasana giris dan seram.
Akhirnya dengan memberanikan diri dia beranjak maju mendorong
pintu terus melangkah masuk, dimana
pandangannya menyapu, tanpa terasa dia berseru kejut heran.
Tampak seorang tua berambut ubanan yang mengenakan jubah
kuning, dengan tenang dan kerengnya, duduk diatas sebuah
bale2, dia bukan lain adalah Si gwa sianjin yang ingin ditemuinya.
Tersipu2 Suma Bing membungkuk tubuh memberi hormat serta
sapanya: "Cayhe sembrono menerjang masuk kemari, harap
Cianpwe suka memaafkan!"
Sepasang bola mata Si gwa sianjin yang berkilat2 itu memancar
memandang Suma Bing tanpa berkesip, lama kemudian baru dia
mengeluarkan suara dengan ogah2an: "Buyung kau inikah Sia sin
kedua Suma Bing?"
Pertanyaan ini membuat hati Suma Bing melonjak kaget, bukan
untuk pertama kali orang tua ini pernah bertemu dengan dirinya,
bagaimana bisa mengeluarkan pertanyaan seperti ini, apalagi nada
suara itu agaknya berlainan, cuma yang terang bahwa orang itu
memang Si gwa sianjin adanya...
Maka sambil mengerut alis ia menyahut: "Agaknya Cianpwe
seorang pelupa, bukankah dulu cayhe pernah datang mohon
sebatang rumput ular, masa..."
"0, lantas apa, maksud kedatanganmu kali ini?" Suma Bing
semakin tertegun heran, suara ini benar2 bukan
keluar dari mulut Si gwa sianjin yang masih dalam ingatannya.
Maka dengan seksama penuh, rasa kecurigaan ia tatap wajah Si
gwa sianjin, hatinya tengah berpikir keras.
Terdengar Si gwa sianjin berkata dingin: "Suma Bing tempat
kediaman Lohu ini selamanya dilarang siapapun sembarangan
terobosan disini?"
Mendadak Suma Bing mendapat satu akal, cepat2 ia angkat tangan
sembari berkata: "Cianpwe harap sukalah kau memberi lagi sedikit
rumput ular itu..."
Si gwa sianjin mengekeh tawa ejek, serunya: "Buyung rumput ular
adalah barang berharga yang tidak ternilai, darimana aku punya
begitu banyak untuk diberikan kepada bocah seperti kau ini yang
serakah." Penyahutan ini seketika menghilangkan rasa kecurigaan Suma
Bing, katanya pula memutar: "Sebetulnya cayhe masih ada satu
urusan minta petunjuk!"
"Coba katakan!" "Urusan ini mengenai Bwe lim ki tin (barisan
hutan bunga Bwe yang aneh)..." "Apa?" "Barisan hutan pohon Bwe!"
"Selamanya belum pernah Lohu dengar tentang barisan
semacam itu!" Suma Bing bungkam menelan ludah, memang
dirinya sendiri yang menamakan barisan itu sebagai Bwe lim ki tin. Sebab
Bwe hwa hwe menggunakan pohon2 Bwe itu untuk membentuk
barisan, hakikatnya dia sendiri tidak mengetahui barisan apakah ini
namanya, cuma sembarangan saja dia namakan Bwe lim ki tin,
kini setelah diberondong pertanyaan dia sendiri menjadi geli, maka
segera ia menambahkan: "Barisan ini terbentuk dari pohon2 bunga
Bwe secara..."
"Lantas kau sendiri yang menamakan begitu?" "Ya, begitulah!"
"Berapa banyak perobahan semua barisan dikolong langit
ini takkan dapat meninggalkan dari sumbernya semula. Semua
tidak akan lepas dari Ngo heng, Im dan yang atau aturan2 Kiu
kong pat kwa, hanya caranya saja yang penuh variasi dari sang
pencipta sendiri. Lohu sendiri belum pernah melihat barisan macam
apakah itu, sudah tentu tidak dapat memecahkan barisan apakah
itu?" 52 NENEK KEJAM YANG DOYAN MEMBUNUH.
Suma Bing menjadi serba susah, namun dia belum putus
asa, desaknya lagi: "Cianpwe sudilah kiranya ikut wanpwe turun
gunung..."
"Buyung, sudah puluhan tahun lohu belum pernah meninggalkan
gunung ini!"
"Dapatkah dibuat kecualian?" "Tidak mungkin!" "Cayhe rela
mengorbankan apa saja sebagai penggantian
atas jerih payah ini!" "Penghargaan?" "Benar, dengan syarat
apapun untuk saling tukar!" "Lohu tiada niat untuk
memperebutkan nama lagi, dan tak
mau mohon kepada orang lain!" "Apa cianpwe tak sudi membantu
kesukaran ini?" "Benar!" Dingin perasaan Suma Bing, katanya apa
boleh buat: "Kalau begitu cayhe minta diri." merangkap tangan terus
membalik tubuh hendak pergi.
"Nanti dulu!" "Cianpwe masih ada pertanyaan?" "Mendadak
timbul niatku untuk berkenalan dengan Bwe lim
ki tin seperti yang kau sebutkan itu!" Diam2 Suma Bing
membatin: 'orang aneh bertabiat aneh
pula.' Cepat2 ia memberi hormat lagi serta ujarnya: "Cayhe
mengucapkan banyak terima kasih!"
"Tidak perlu, masih terlalu pagi kau menyatakan terima kasihmu.
Kan lohu belum pasti mau memberitahukan cara bagaimana untuk
memecahkan barisan itu!"
Suma Bing menjadi gopoh dan mangkel dalam hati, namun apa
boleh buat, ujarnya: "Terserah apa yang cianpwe kehendaki,
kapan kita berangkat?"
"Sekarang!" "Kalau begitu, silahkan!" Se-konyong2 terdengar
sebuah seruan yang nyaring
melengking: "Losuheng(kakak tua)!" Mendengar suara ini tergerak
hati Suma Bing, suara ini
agaknya pernah didengarnya entah dimana. Sebuah bayangan
putih berkelebat, tahu2 dalam gubuk itu sudah bertambah
seorang gadis serba putih yang cantik rupawan bak bidadari.
Dia bukan lain adalah Tio Keh siok itu putri Bu-khek Ciangbun Bu
khek chiu Tio Leng wa.
Tanpa tertahan Suma Bing berseru kejut. Tibanya Tio Keh siok ini
benar diluar dugaannya, sedang panggilan kakak tua itu ternyata
ditujukan kepada Si gwa sianjin, ini lebih mengejutkan hatinya.
Kalau Tio Keh siok dengan Si gwa sianjin ternyata adalah Suheng
moay ini benar2 susah dapat dipercaya. Paling banyak usia Tio
Keh siok baru duapuluh tahun, sedang Si gwa sianjin sedikitnya
juga sudah mencapai tujuhpuluh tahun, bagaimana bisa mereka
belajar dalam satu perguruan" Tokoh macam apa pula guru
mereka itu"
"Losuheng!" sekali lagi Tio Keh siok memanggil. Sorot mata Si
gwa sianjin berjelalatan tidak tenang samar2


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja ia mendehem. Waktu pandangan Tio Keh siok menyapu
kearah Suma Bing, kontan dia tersentak kaget bagai disengat kala,
wajahnya segera berobah beringas dan merah padam, makinya
sambil tuding Suma Bing: "Suma Bing, akan kubeset kulitmu dan
kuhancurkan tubuhmu!"
Suma Bing menyeringai dingin sahutnya: "Menuntut balas bagi Bu
Khek sianglo?"
Tio Keh siok mendelik semakin buas, teriaknya: "Suma Bing, kau
ini seekor anjing yang rendah, sedemikian kejam kau
menggunakan tanganmu memusnahkan seluruh Bu Khek po!"
Suma Bing sudah paham apa yang dimaksud oleh lawan sahutnya
dingin: "Nona Tio, sudikah kau dengar beberapa patah
perkataanku?"
"Tidak sudi, aku hanya hendak membunuhmu!" "Hal itu
mungkin susah terlaksana!" Sambil menggerung keras Tio Keh
siok melesat maju
menggerakkan tangan secepat kilat, pukulannya mengurung
seluruh tubuh Suma Bing. Kekuatan pukulan ini bukan olah2
dahsyatnya, apalagi dilancarkan dalam nafsu kebencian yang
me-nyala2. Suma Bing berkelebat sebat sekali bagai belut, dengan lincah dan
tepat serta indah sekali ia hindarkan diri dari serangan lawan
berbareng tubuhnya melesat keluar sampai diluar gubuk. Tio Keh
siok memekik gusar sambil mengejar keluar pintu.
Yang mengherankan ternyata Si gwa sianjin masih tetap duduk
ditempatnya tanpa bergerak atau bergeming, serta tidak juga
mengeluarkan suara.
Sedemikian dahsyat dan hebat pertempuran dua tokoh silat tinggi
yang sudah mencapai kesempurnaan kepandaiannya. Suma Bing
bermaksud memberi penjelasan secara terang, maka dia tidak mau
melukai lawan, maka setiap jurus gerak serangannya pasti
mempunyai perhitungannya sendiri.
Sebaliknya bagi Tio Keh siok, bukan saja kepandaiannya memang
sudah sempurna, apalagi lawan melancarkan serangannya dengan
gencar serta sengit, maka tak heran Suma Bing mencak2 dan
terdesak dibawah angin.
Dalam sekejap mata saja, dua belah pihak sudah melangsungkan
gebrak yang kedua puluh jurus lebih. Sampai akhirnya mau tak
mau Suma Bing harus berpikir, kalau dirinya tidak memberikan
sedikit hajaran kepada lawan, tak mungkin dia dapat membuat
lawannya tunduk. Hubungannya dengan Si gwa sianjin sebagai
kakak adik seperguruan, kalau terjadi sesuatu hal yang tidak
diinginkan mungkin bisa membawa akibat jelek bagi tujuan
kedatangannya ini. Karena pikirannya ini segera ia membentak:
"Nona Tio, berhenti aku ada perkataan hendak kukatakan!"
Sikap Tio Keh siok mendengar tapi acuh tak acuh, malah
serangannya semakin dipergencar, perbawa akibat dari
serangannya ini benar2 laksana geledek menggelegar.
Sambil melayani setiap serangan musuh. Suma Bing masih
sempat berkata lagi: "Kalau kau tidak mau berhenti, jangan
salahkan aku berbuat dosa padamu!"
"Suma Bing!" desis Tio Keh siok menggertak gigi, "kalau bukan
kau yang mati biar aku yang mati!"
Suma Bing mejadi dongkol dan gemas, terpaksa akhirnya ia
lancarkan jurus kedua dari Giok ci sinkang yaitu bintang berpindah
jungkir balik. Kontan terdengar suara keluhan seperti orang hampir muntah,
terlihat Tio Keh siok terhuyung puluhan langkah jauhnya,
tubuhnya limbung hampir roboh, mulutnya yang kecil melelehkan
darah segar, wajahnya yang memang membesi gusar berobah
semakin menakutkan.
Terbayang rasa menyesal diwajah Suma Bing, serunya gugup:
"Nona Tio, cayhe membunuh Bu khek sianglo adalah untuk
menuntut balas sakit hati orang tuaku, perhitungan ini
dapat kuakui. Tentang peristiwa yang menggemparkan Kangouw
dengan terjadinya pembunuhan besar2an dan habis- habisan di Bu
khek po serta peristiwa di Ngo bi san dll. Perlu kutegaskan sekali
lagi aku menolak dan menyangkal tuduhan itu."
Tio Keh siok mendelik gusar dan menatap Suma Bing dengan
kebencian: "Kau menyangkal" Hm..."
"Ada seseorang yang menyamar sebagai aku menyebar maut dan
melakukan kejahatan, sekarang cayhe sendiri tengah menyelidiki
akan peristiwa ini, entah siapakah kiranya durjana itu...?"
"Ah, omong kosong!" Berobah airmuka Suma Bing, sahutnya:
"Keteranganku
sampai disini saja, terserah kau mau percaya tidak?" Rona wajah
Tio Keh siok tidak menentu, otaknya tengah
menerawangi tindak apa yang harus dia lakukan selanjutnya,
lama kemudian baru dia membuka suara lagi: "Apakah bentuk
tubuh seseorang juga dapat dipalsukan?"
"Betapa besar dunia ini, tidak sedikit orang pandai dan yang ahli
dalam bidang ini!"
"Bagaimana tentang ilmu silatnya?" "Ilmu silat?" "Benar, dalam
dunia Kangouw selain aliran dari Lam sia
Kho Jiang, ada siapa lagi yang pandai menggunakan Kiu yang
sinkang?" Tanpa terasa tergetar dan berdebar keras jantung Suma Bing
serunya kaget: "Maksud nona bahwa semua korban itu adalah
karena terkena pukulan Kiu yang sinkang?"
Tio Keh siok mengiakan sambil bertolak pinggang.
Mendadak Suma Bing membanting kaki, serta merta mulutnya
berseru: "Pasti dia!"
"Dia siapa?" Suma bing tidak menjawab dendam dan kebencian
bergelora dan tengah mengalir deras dalam darah panasnya tidak
perlu disangsikan lagi bahwa semua peristiwa ini pasti adalah
perbuatan Loh Cu gi atau orang lain suruhannya. Dia sudah
menurunkan ilmu Kiu yang sinkang kepada para anak buahnya,
ketiga pemuda yang dibunuhnya di Bu khek po tempo hari sebagai
bukti yang nyata. Bukankah mereka bertiga dapat atau mampu
melancarkan ilmu dari ajaran Kiu yang sinkang...
"Siapakah dia?" desak Tio Keh siok lagi. Kejadian ini
merupakan penghinaan dan menjelekkan nama
perguruannya, sudah tentu sukar baginya untuk membuka mulut
memberi keterangan secara jelas, terpaksa dia mengalihkan bahan
pembicaraan: "Apakah nona kenal dengan si maling bintang Si Ban
cwan?" "Dia sebagai sahabat kental dari kakekku!" "Asal mula
peristiwa ini dia mengetahui paling jelas, kalau
ada kesempatan silahkan nona langsung tanyakan kepadanya!"
"Kenapa tidak kau katakan sendiri?" "Aku mempunyai
kesukaran yang susah kuucapkan!" "Suma Bing mengandal
ucapanmu yang ngelantur dan
tanpa bukti dan saksi ini, lantas kau hendak menghindari
tanggung jawabmu?"
"Lalu apa kehendak nona sebenarnya?" Tepat saat itu
mendadak dari dalam gubuk itu terdengar
jeritan serak yang menyayatkan hati. Tio Keh siok dan
Suma Bing terkejut bersama, berbareng mereka berpaling, ternyata
bayangan Si gwa sianjin sudah menghilang dari dalam gubuk.
Sebentar Suma Bing mengerutkan alis, lantas dia juga ikut
terbang masuk ke dalam gubuk. Terdengar dari bilik sebelah
samping jeritan Tio Keh siok yang menyedihkan: "Losuheng,
losuheng...!"
Sedikit berpikir tanpa ayal lagi segera Suma Bing juga menerobos
kebilik sebelah kiri itu, sekali pandang seketika ia tertegun
ditempatnya. Tampak Si gwa sianjin menggeletak celentang diatas sebuah dipan
dalam bilik itu, badannya berlepotan penuh darah, keadaan
kematiannya sangat ngeri dan menyedihkan.
Siapakah yang dapat turun tangan sebegitu cepat dalam waktu
yang singkat ini, sedemikian gampang dia membunuh seorang
aneh yang tidak kemaruk harta dan nama didunia fana"
Kepandaian silat Si gwa sianjin sendiri bukan olah2 lihaynya, maka
dapatlah dibayangkan algojo kejam itu pasti berkepandaian yang
susah diukur tingginya" Terang dia tadi duduk tenang diruang
depan itu, bagaimana mendadak kedapatan telah mati konyol
diatas dipan dalam bilik sebelah samping ini"
"Ganjil sekali!" Suma Bing berkata seperti tengah menggumam,
dengan langkah lebar dia mendekati tempat tidur...
Sambil mengusap air mata, Tio Keh siok bertanya: "Apanya yang
ganjil?" Tanpa menjawab terlebih dulu Suma Bing memeriksa jenazah
dengan seksama, lalu serunya ter-buru2: "Kejar jangan sampai si
algojo itu lolos!"
Sekali melesat tubuhnya melompat keluar dari jendela.
Tampak alam disekitar dirinya hitam kelam diliputi kabut putih,
sepuluh tombak diluar pandangannya keadaan semakin kelam dan
remang, tanpa terasa dia menghela napas, ujarnya: "Sayang,
dalam suasana demikian, sepuluh orang juga gampang saja
melarikan diri dengan selamat!"
"Apakah yang telah terjadi?" tanya Tio Keh siok keheranan dan
tak mengerti. "Si pembunuh itu telah lolos!" "Apa kau melihat si pembunuh
itu?" "Tidak!" "Lalu apa maksud perkataanmu tadi?"
"Suhengmu sudah meninggal kira2 setengah harian..."
"Setengah harian" Apa betul?" "Betul, jenazah itu sudah dingin
kaku, darahnya juga sudah
membeku, kulitnya juga sudah berubah kehitaman semua ini
sudah cukup membuktikan."
Tergetar seluruh tubuh Tio Keh siok beruntun dia mundur tiga
langkah, katanya gemetar: "Lalu orang didalam ruang tengah
tadi...?" "Dialah pembunuhnya!" Lagi2 Tio Keh siok mundur dua
langkah, air mukanya
berobah, serunya penuh haru: "Dia bukan losuhengku..." "Palsu!"
"Jadi kau sudah tahu sebelumnya?" "Tidak, sekarang baru aku
tahu!" "Mengapa?" "Waktu tadi cayhe tiba kemari, lantas aku
merasa sikap dan
nada perkataan suhengmu agak ganjil, tapi aku tidak
berani memastikan, selanjutnya kau lantas datang, begitulah duduk
penjelasannya!"
"Siapakah dia?" "Menurut hemadku, pastilah ini perbuatan dari
Pek bin mo ong yang pandai merias diri dan malang melintang di Bulim itu.
Jadi yang memalsu cayhe membabat habis Bu khek po dan
melakukan kejahatan di Ngo bi san dan ngapusi..." sampai disini ia
telan kembali perkataannya, sebab dia merasa tidak semestinya...
menceritakan juga tentang hilangnya Kiu im cinkeng. Maka setelah
merandek sejenak lantas dia menyambung lagi: "Mungkin semua
peristiwa itu dilakukan oleh satu orang!"
Tio Keh siok berkata dengan curiga dan tak percaya: "Bukankah
Raja iblis seratus muka itu sudah lama tidak muncul dalam Bulim?"
"Memang, tapi sekarang dia muncul lagi!" "Apa maksudnya dia
berbuat begitu?" "Membabat habis Bu khek po adalah untuk
Kipas pualam, sedang di Ngo bi san tujuannya adalah hendak merebut Ce giok
pe yap..."
"Lalu mengapa pula dia membunuh suhengku juga?" "Karena
dia paham pelajaran tentang ilmu barisan!" "Kiranya kau
sudah tahu semuanya?" tanyanya Tio Keh siok
sambil memandang Suma Bing penuh kekaguman. "Ini hanja
sedikit analisaku menurut keadaan!" "Aku ingin mendengar
penjelasanmu?" "Kalau kipas pualam dan daon giok ungu itu
digabung, dalam waktu yang singkat dapat membuat seseorang memperoleh
tenaga dalam yang tiada taranya... Tentang tujuannya membunuh
suhengmu adalah supaya rintang utama
dari barisan pohon2 bunga Bwe diluar markas besar Bwe hwa
hwe tetap utuh!"
"Bwe hwa hwe?" "Ya, sebuah perkumpulan yang berambisi
hendak menguasai dunia persilatan!" "Raja iblis ini mungkin adalah Maha
pelindung yang baru
saja diangkat belum lama ini. Tapi, ini hanya merupakan dugaan
saja, bagaimana duduk persoalan sebenarnya, perlu pembuktian
dengan kenyataan yang harus kita selidiki secara mendalam!"
Sekian lama Tio Keh siok bungkam akhirnya berkata menggertak
gigi: "Bwe hwa hwe, pasti aku dapat menyelidikinya!"
Memandang kearah Tio Keh siok Suma Bing membuka mulut
hendak berkata apa2 namun ditelannya kembali. Kalau dia
seperguruan dengan Si gwa sianjin, pasti dia ini juga paham intisari
pelajaran tentang segala barisan. Sekarang Si gwa sianjin sudah
wafat, maka perjalanannya ini gagal total, kalau minta petunjuk
kepadanya berat rasanya untuk mengucapkan. Bukankah setengah
jam yang lalu mereka adalah musuh bebuyutan yang harus
menentukan mati dan hidup.
Tio Keh siok balas pandang Suma Bing dan berkata: "Untuk apa
tuan datang kemari?"
"Untuk menyambangi suhengmu!" "Untuk apa?" "Ada
persoalan hendak minta petunjuknya, kini dia sudah
menemui ajalnya maka tak perlu disinggung lagi. Hanya aku agak
heran, suhengmu pandai dan paham akan segala pelajaran barisan
mengapa ditempat kediamannya ini tidak dipasang perangkap
semacam itu?"
"Seorang aneh kelakuannya juga aneh, dia anggap tiada rasa
tamak untuk memperebutkan segala kemewahan duniawi, maka
dia segan mengatur barisan jebakan!"
Suma Bing mengiakan dan manggut2 paham. "Sekarang tuan
boleh pergi!" Sebetulnya ingin rasanya Suma Bing hendak
menanyakan asal-usul perguruan orang, dasar sifat pembawaannya yang dingin
dan congkak setelah mendengar pengusiran orang secara halus
ini, dia manggut2 serta menyahut: "Kalau begitu baiklah aku minta
diri." "Dan tentang..." "Tentang apa?" "Tentang kematian kedua
susiokcoku, baiklah perhitungan
ini kita batalkan!" Suma Bing terharu dibuatnya, agaknya Tio Keh
siok juga seorang gadis yang berpandangan obyektif dan tahu aturan maka
ujarnya sopan: "Sungguh cayhe sangat menyesal. Tapi memang
terpaksa aku harus melakukannya!"
"Sudahlah, silahkan!" Sudah dua kali Suma Bing diusir secara
halus sudah tentu
tiada muka dia terus tinggal ditempat itu, maka tanpa banyak
kata lagi dia terus melesat turun gunung.
Begitulah tengah ia berlarian pesat, samar2 terlihat olehnya
sebuah bayangan berkelebat dikejauhan sana bergerak cepat


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditengah lautan kabut. Tergerak hatinya, batinnya: 'Bukan mustahil
dia ini orangnya!' karena pikirannya ini gerak tubuhnya dipercepat,
maka secepat burung terbang dia mengejar dengan kencangnya.
Gerak tubuh bayangan itu tidak lemah, teraling oleh kepekatan
kabut lagi, serta keadaan alam pegunungan itu sangat berbahaya
dan penuh semak belukar pula, maka
bayangan itu kadang2 terlihat dan kadang2 menghilang.
Sedemikian kencang Suma Bing mengejar namun sebegitu jauh
masih belum dapat menyusulnya.
Satu jam kemudian mereka sudah keluar dari lingkungan lautan
kabut. Kini bayangan misterius itu sudah menghilang dan tak
terlihat lagi. Berdiri diatas sebuah puncak bukit, sungguh hati Suma Bing
merasa sangat menyesal dan mashgul.
Dia curiga kalau bayangan itu adalah Raja iblis seratus muka orang
yang membunuh Si gwa sianjin. Atau mungkin juga orang yang
memalsukan dirinya untuk melakukan berbagai kejahatan yang
menggemparkan dunia persilatan itu. Kalau bisul jahat ini tidak
lekas2 dilenyapkan, akibatnya susahlah dibayangkan. Karena
tekadnya yang besar, sepasang matanya mencorong tajam
menyapu keempat penjuru.
Se-konyong2 jeritan beberapa orang yang mengerikan memecah
kesunyian alam pegunungan. Terkejut Suma Bing dibuatnya,
dialam pegunungan yang belukar ini darimana datangnya suara
jeritan itu" Terdengar dua kali jeritan lagi samar2 terbawa angin.
Didengar dari datangnya suara agaknya berada dibalik bukit
dimana dia berada.
Suma Bing jejakkan kedua kakinya, seenteng burung walet
tubuhnya melesat turun menuju kebukit sebuah belakang sana.
Sesampai dibawah bukit, tepat didepannya terbentang sebuah
mulut selat yang sempit, beberapa mayat manusia tampak
bergelimpangan tergenang dalam cairan darah.
Sekilas pandang lantas Suma Bing mengenal mereka adalah para
anak buah Bwe hwa hwe, semua berjumlah tujuh orang, cara
kematian ketujuh orang ini semua sama, yaitu hancur lebur batok
kepalanya, sungguh sangat mengerikan.
Sungguh aneh, siapakah yang membunuh mereka, sedemikian
kejam cara dia membunuh" Para anak buah
jagoan Bwe hwa hwe untuk apa datang diatas pegunungan yang
jarang dijajaki manusia ini"
Waktu dia angkat kepala memandang kemulut selat, tergetar
seluruh tubuhnya, merinding dan berdiri pula bulu kuduknya,
beruntun mundur tiga langkah.
Tampak seorang nenek berhidung betet berpipi tepos dan
bermuka lebar tengah duduk angker diatas sebuah batu besar
yang mencegat dijalanan masuk kedalam selat sempit itu, kedua
mata nenek tua beruban ini seakan mata burung hantu yang
memancar dimalam hari memancarkan sinar kehijauan, dengan
tajam dan mengancam tengah menatap Suma Bing.
Tak perlu disangsikan lagi, orang yang membunuh para jagoan
dari Bwe hwa hwe itu pastilah si nenek tua ini.
Tanpa membuka mulut si nenek aneh itu angkat telapak
tangannya yang kurus kering itu diarahkan kepada Suma Bing
terus pelan2 ditarik mundur.
Dalam kejut dan herannya Suma Bing mendadak merasa sesuatu
kekuatan daya sedot yang besar sekali tengah menarik dirinya
maju kedepan. Jarak kedua belah pihak kira2 empat tombak, tapi
lawan dapat mengeluarkan tenaga daya sedot sedemikian besar ini
benar2 sangat mengejutkan.
Dalam keadaan yang tidak bersiaga, Suma Bing terseret oleh daya
sedot itu sampai sempoyongan maju beberapa langkah, maka
cepat2 ia kerahkan hawa murninya serta sekuatnya menahan
tubuh sendiri. Tenaga daya sedot itu semakin lama semakin kuat.
Suma Bing kerahkan kekuatan Giok ci sinkang, pelan2 tenaga
murninya tersebar keseluruh tubuh terus saling bertahan dan
bentrok dengan tenaga daya sedot itu.
Seketika pandangan mata si nenek aneh mengunjuk rasa heran
dan kejut, sekarang dia menggunakan kedua tangannya terus
ditarik mundur sehingga rambutnya yang ubanan berdiri
tegak, maka keadaannya yang ganjil semakin aneh dan lucu lagi
seram menakutkan.
Kini Suma Bing sudah bersiaga daya pertahanannya sekokoh
gunung, wajahnya yang membesi mengunjuk kehampaan.
Tiba2 si nenek aneh itu menarik kedua tangannya, suaranya
terdengar serak kasar seperti suara burung kokok beluk: "Setan
kecil ada isinya juga, tapi kau harus mati."
Perkataan tanpa juntrungannya ini membuat Suma Bing melengak
sambil garuk2 kepala, begitu ketemu orang lantas hendak
membunuh, inilah kejadian aneh yang belum pernah didengarnya,
apakah dia seorang kuntilanak yang kehilangan kesadarannya"
Tengah berpikir ini pandangannya menyapu keempat penjuru,
tanpa terasa tenggelam dan membeku perasaan hatinya, tampak
dimana2 terserak tulang2 putih manusia, ada kerangka yang masih
lengkap ada pula yang sudah berantakan tak genah.
Maka sahutnya tertawa ejek: "Apa aku pasti mati?" "Benar!"
"Mengapa?" "Bagi siapa yang melihat aku dia harus mampus!"
Suma Bing mengekeh dingin, serunya: "Belum pernah
kudengar kejadian seaneh ini." Bola mata si nenek aneh
memancarkan sinar kehijauan,
tanpa berkedip dia pandang Suma Bing dengan perasaan gusar
dan kebencian yang me-luap2. Biasanya bagi mereka yang
bermusuhan besar baru terunjuk sikap garang seperti itu. Namun
lain halnya dengan si nenek aneh ini, ternyata dengan sikap dan
pandangan yang mengancam itu dia
pandang Suma Bing, benar2 sangat aneh dan susah dipercaya.
Suma Bing sendiri juga melongo heran. Si nenek aneh tertawa
ter-serok2, seringainya dingin:
"Setan kecil, kulanggar kebiasaanku untuk memberi kesempatan
kau meninggalkan namamu..."
"Melanggar kebiasaan" Kebiasaanmu itu tak perlu kau langgar, aku
tidak sudi meninggalkan namaku!"
"Setan kecil, kau tidak tahu kebaikan!" "Memangnya kau bisa
apa?" "Jadi kau ingin menjadi tulang2 kering tanpa nama?"
Suma Bing geli dan jengkel dibuatnya, ejeknya tak acuh:
"Cayhe masih belum ingin mati!" "Tapi kau sudah pasti harus
mati!" "Kalau begitu ingin aku minta pengajaran, entah siapakah
tokoh kosen ini?" "Setan kecil, jangan banyak cerewet!" "Sayang
sekali!" "Apa yang sayang?" "Engkau tidak mau menyebut nama
atau gelaranmu, kalau
kau mati bukankah juga menjadi tulang2 kering yang tidak
bernama seperti mereka2 itu."
Tenggorokan si nenek aneh berkerok2 mengeluarkan suara aneh
yang keras, rambutnya yang ubanan seperti perak berdiri tegak
semua teriaknya beringas: "Setan kecil, terhitung kaulah yang
sudah pernah melihat wajahku dalam waktu yang paling panjang
sekarang serahkanlah jiwamu!" belum lenyap suaranya tubuhnya
mendadak melejit maju kedepan Suma Bing terus ulur tangan
mencengkram dada.
Cara cengkramnya ini benar2 hebat luar biasa kiranya tiada
tandingan diseluruh kolong langit ini. Sampai Suma Bing sendiri
yang berkepandaian sedemikian tinggi juga tidak mampu berkelit
lagi. Keruan kejutnya bukan kepalang, tanpa disadari tubuhnya
bergerak secara reflek menggeser kedudukan kesamping setombak
lebih. Tanpa disadarinya dia menggunakan gerak Bu siang sin hoat
untuk menyingkir dari cengkraman lawan, setelah itu lantas dia
menyesal. Dia pernah bersumpah pada Giok li Lo Ci selamanya
takkan menggunakan gerak tubuh ini, juga kepada pihak Siau lim
si dia pernah berjanji untuk mengubur ilmu ini dari sanubarinya,
untuk selamanya takkan muncul, dikalangan Kangouw, sungguh
tidak nyana dalam keadaan yang kepepet dan tanpa sadar dia
telah menggunakan ilmu yang digdaya itu.
Melihat cengkramannya mengenai tempat kosong, si nenek aneh
mengeluarkan seruan kejut, tapi tangannya masih tetap bergerak
secepat kilat, tahu2 cengkraman jurus kedua sudah merangsang
tiba pula. Lwekang Suma Bing setiap saat timbul menurut kesigapan
perasaannya, dalam waktu yang pendek Giok ci sinkang sudah
menyelubungi seluruh tubuhnya, telapak tangannya bergerak
miring seperti membacok memapak cengkraman musuh.
Memang Giok ci sinkang sakti mandraguna, waktu cengkraman si
nenek aneh merangsang tiba terpaut tiga senti diatas kepala Suma
Bing, mendadak tertolak kembali oleh tenaga kuat yang merintangi
tenaga serangannya.
Hanya dalam waktu yang pendek itulah bacokan telapak tangan
Suma Bing juga sudah memapas tiba didepan dada musuh.
Kepandaian si nenek aneh ini memang luar biasa sekali, kalau dia
teruskan cengkramannya pasti dirinya juga akan konyol. Maka
gesit sekali dia tekuk sikutnya kebawah untuk
menangkis. 'Blang!' bacokan telapak tangan Suma Bing telak sekali
membentur sikut lawan. Terdengar si nenek aneh memekik
kesakitan, cepat2 ia mundur tiga langkah.
Suma Bing sendiri juga terkejut melihat kekuatan musuh, agaknya
inilah musuh paling tangguh selama dia kelana didunia persilatan.
Mendadak si nenek aneh berteriak nyaring: "Tidak benar!"
Suma Bing tertegun dan melongo. Sorot si nenek ubanan
memancarkan kemurkaan, makinya
sambil menuding Suma Bing: "Setan kecil, tadi kau melancarkan Bu
siang sin hoat bukan?"
Suma Bing menjadi serba salah, harus mengakui atau tidak,
seperti diketahui secara ceroboh tanpa sengaja dia lancarkan ilmu
yang sudah pernah dijanjikan untuk tak diunjukkan lagi
dikalangan Kangouw. Kini telah ditunjuk secara terang2an oleh
lawan tak heran dia maju mundur dan bimbang dibuatnya.
"Katakan setan kecil!" teriak si nenek beruban sambil berjingkrak
seperti orang gila.
Naiklah hawa amarah Suma Bing, sahutnya dingin: "Kalau benar
kau mau apa?"
Si nenek beruban melangkah setindak, geramnya sambil
menggigit gigi: "Kiong Ji lan si budak rendah itu termasuk
apamu?" Suma Bing tersentak kaget sampai mundur dua langkah, matanya
kesima memandangi si nenek aneh. Dari Kang Kun Lojin diketahui
bahwa Kiong Ji lan adalah nama asli dari Bu siang sin li. Bu siang
sin li adalah tokoh aneh yang sangat disegani pada ratusan tahun
yang lampau, kini secara se- mena2 dimaki sebagai budak rendah
oleh lawan, ini benar2 sangat keterlaluan dan luar biasa. Dari sini
dapatlah diperkirakan kalau si nenek aneh ini pasti juga bukan
tokoh sembarangan, mungkin tingkatannya juga tidak rendah. Tapi
siapakah dia ini"
Agaknya si nenek aneh ini terpengaruh oleh perasaannya kulit
mukanya yang kurus tepos tinggal pembungkus tulang itu
bergerak dan gemetar, raganya juga tergetar. Keadaan ini
membuat Suma Bing semakin heran dan tak habis mengerti.
Sekian lama bibir si nenek ber-gerak2 baru akhirnya terdengar
suaranya berkata: "Katakan setan kecil!"
"Apa yang harus kukatakan?" balas tanya Suma Bing. "Kiong Ji
lan si budak busuk itu apamu?" "Maksudmu Bu siang sin li
Locianpwe?" "Cis, Locianpwe apa segala, budak rendah..."
Suma Bing pernah menerima ilmu digdaya dari Bunga iblis
yang diwarisi oleh Bu siang sin li, dalam hatinya merasa sangat
kagum dan hormat kepada cianpwe aneh yang sudah lama
mangkat itu. Tatkala mendengar makian lawan dia menjadi gusar
dan merasa ikut terhina, sahutnya dingin kaku: "Kau sudah tua
dan jangan sembarangan membuka mulut memaki orang lain,
untuk selanjutnya kuharap kau bicara mengenal sopan santun!"
"Setan kecil, berani kau memberi kuliah pada aku orang tua?"
"Jikalau kau tua tapi tidak mengenal penghargaan, seumpama
tinggi tingkatanmu apa pula faedahnya?"
"Setan kecil, sebetulnya kau ini apanya?" "Apapun
bukan." "Hah, lalu Bu siang sin hoat itu darimana kau
pelajari?" "Kiranya hal itu tidak menyangkut
persoalanmu!" "Aku orang tua harus menanyakan secara
jelas." Otak Suma Bing harus bekerja keras, batinnya, lebih baik kukorek
keterangan yang lebih jelas dari mulutnya, siapa tahu persoalan itu
merupakan rahasia terpendam dalam sejarah dunia persilatan yang
sangat berharga. Maka segera ia menyahut dengan suara berat:
"Apa kau benar2 ingin mengetahui?"
"Sudah tentu!" "Terlebih dulu kuminta kau mau bicara secara
terang, nanti biar kututurkan dan kubeberkan secara terang gamblang." "Setan
kecil, kau tidak setimpal untuk menanyakan urusan
pribadiku!" "Kalau begitu aku juga keberatan memberi tahu!"
"Kau ingin mampus?" "Tidak gampang kau hendak membunuh
aku!" Agaknya si nenek beruban hampir saja hendak mengumbar
nafsu amarahnya, namun sikapnya berobah menjadi lunak lagi,
serunya uring2an: "Setan kecil, karena dialah maka selama
puluhan tahun ini kedua tanganku selalu berlepotan darah!"
Suma Bing mengerut kening, tanyanya: "Jadi kau membunuh
karena Bu siang Locianpwe?"
Si nenek manggut2 sambil mengiakan. "Kenapa?" "Karena dia
telah membuat aku merana selama hidupku
ini!" ________________________________________________
___________________________________
Apa alasannya sehingga si nenek berani berkata begitu" Siapakah
si nenek ini, mengapa pula dia berlaku begitu kejam"
Mengapa dia memegat dijalan masuk kedalam selat sempit itu,
ada apa dan siapakah yang berada didalam sana"
Dalam usahanya menuntut balas, Suma Bing harus menghadapi
berbagai jebakan dan rintangan malah dia harus berkecamuk dalam
pertempuran dibawah keroyokan gembong2 silat lihay dari pihak
Bwe hwa hwe langsung dibawah komando Loh Cu gi sendiri!
0oodwoo0 Jilid 14 53 CINTA ABADI SEORANG NENEK
PEYOT. Perkataannya ini membuat jantung Suma Bing berdebar
keras, tanyanya: "Mohon dijelaskan!" "Perkataanku habis sampai
disini!" "Kalau begitu harap diketahui bahwa cayhe dengan Bu
siang Locianpwe hanya ada sedikit jodoh." "Jodoh, apa
artinya?" "Aku pernah menerima kebaikan dari dia orang
tua!" "Kau bukan muridnya?" "Bukan!" "Dapatkah
dipercaya omonganmu ini?" "Terserah kepada cianpwe!"
"Lalu dimana dia sekarang?"
"Ini..." "Hm, dia membuat aku merana selama hidup ini, aku
harus membalas, aku harus menghadapinya secara langsung." "Itu tidak
mungkin!" "Kenapa?" "Sebab dia orang tua sudah lama wafat."


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak si nenek aneh itu membanting kaki, sambil
menggerung gusar: "Dia sudah mati." Suma Bing mengiakan.
"Dia... sudah mati" Tidak, dia tak boleh mati, dia harus
mati ditanganku, dia... setan kecil, dimana dia dikubur... dia..."
"Masa cianpwe hendak menuntut balas terhadap orang
yang sudah meninggal?" "Benar, kuhancur leburkan tulang
belulangnya dulu, baru
membabat keturunannya." "Baiklah aku tidak akan membuka
mulut lagi." "Setan kecil, tiada tempatmu turut bicara disini..."
Dingin perasaan Suma Bing, serunya: "Orangnya mati
permusuhanpun himpas." "Katakan, dimana dia dikubur?" "Aku
tidak akan memberi tahu." "Kau berani?" "Bukan soal berani atau
tidak, kan sudah cayhe katakan
tidak akan memberitahu!" "Kau ingin mati?" "Mengandal
kepandaianmu kau belum mampu mencabut
nyawaku!" "Lihat serangan!" diiringi ancamannya ini serangannya juga lantas
merangsang maju, seketika gelombang angin puyuh bagai gugur
gunung menerpa keras ber-gulung2 kearah Suma Bing.
Ter-sipu2 Suma Bing angkat tangan untuk menangkis. Dentuman
keras menggetar bumi membuat si nenek aneh itu terpental
mundur tiga tindak, sedang Suma Bing hanya limbung bergoyang
gontai, namun kakinya sedikitpun tidak bergeser.
"Setan kecil, kau..." "Aku kenapa?" "Kau murid siapa?" "Tak
dapat kuberitahu!" Si nenek aneh beruban ber-teriak2 gusar
sambil menyerang
lagi, tampak dalam kedua tangannya bergerak diayun itu
berpetalah bayangan delapan belas telapak tangannya bersama itu
semua menungkrup kearah delapan belas jalan darah penting
ditubuh musuh. Jurus serangan semacam ini benar2 belum pernah
dengar dan lihat.
Sudah tentu Suma Bing tidak berani berlaku gegabah, tidak kalah
sigapnya jurus bintang berpindah jungkir balik, jurus kedua dari
Giok ci sinkang juga segera diberondong keluar untuk menandingi
serangan musuh. Karena tidak mampu memunahkan serangan
musuh yang hebat dan ajaib itu maka terpaksa dia menyerang
untuk balas menyerang.
Mendadak si nenek aneh menarik pulang serangannya ditengah
jalan, gesit sekali tubuhnya terus melesat kesamping sejauh
setombak lebih, mulutnya juga berseru heran.
Reaksi Suma Bing sendiri juga tidak kalah sigap, melihat lawan
batal menyerang diapun mengendorkan tenaga, dan membatalkan
serangan balasannya.
Sekarang sinar mata si nenek aneh memancarkan cahaya yang
aneh, dengan tajam dia menatap Suma Bing, tapi sinar matanya
ini tidak seperti tadi yang beringas dan ber-api2, malah suaranya
kini terdengar kalem dan sabar: "Buyung agaknya terpaksa aku
harus melanggar sumpahku!"
Sikap Suma Bing tetap dingin angkuh, tanyanya: "Melanggar
sumpah apa?"
"Mendadak aku tidak ingin membunuh kau lagi." Diam2 Suma
Bing tertawa geli, pintar juga nenek aneh ini
mengikuti arah angin memutar haluan, terang dia takkan bisa
menghadapi dirinya, sebaliknya mengatakan melanggar sumpah
apa segala, diapun segan menyindirnya, hanya sikapnya tetap
angkuh katanya: "Itupun kenapa?"
"Pertama cara bersilatmu kentara kau bukan murid budak rendah
itu." "Lalu ada apa lagi?" "Kedua, mungkin kau dapat membantu
aku melaksanakan
satu cita2!" Bukan terkejut sebaliknya Suma Bing merasa aneh
tanyanya: "Cita2 apa?" "Aku tidak akan minta kepadamu secara
cuma2!" "Cayhe sendiri juga belum tentu setuju!" "Hm, orang
paling sombong yang pernah kulihat selama
seabad ini." "Ah, terlalu dipuji2." "Buyung, cobalah kau pandang
kedalam selat sempit itu." Dengan heran Suma Bing memandang
menurut apa yang
diminta, tampak selat sempit itu hanya selebar puluhan tombak,
kedua sampingnya adalah dinding batu yang terjal seperti dipapasi
dengan senjata tajam, sedemikian tinggi
kedua lamping ini sehingga menembus langit, keadaannya sangat
sunyi dan gelap menyeramkan apapun tidak kelihatan.
"Sudah lihat belum?" "Melihat apa ?" "Lihatlah mulut lembah
itu." Sekarang Suma Bing memandang lebih seksama, memang
dimulut lembah itu muncul dan merintang ditengah jalan sebuah
batu cadas besar persegi setinggi dua tombak lebih dibelakang
batu besar ini terserak tidak teratur banyak sekali batu2 runcing
yang sekilas pandang saja tiada sesuatu yang kelihatan aneh.
"Bagaimana?" "Maksudmu batu besar itu" Adakah guna
faedahnya?" "Sudah enampuluh tahun lebih batu itu
menghalangi aku
masuk kedalam lembah!" Sudah tentu Suma Bing semakin heran
dan tak mengerti,
sambil garuk2 kepala. Meskipun batu itu besar dan tepat berada
ditengah, namun lembah itu lebar sepuluh tombak jadi masih
banyak tempat luang yang tidak terintang untuk keluar masuk,
orang akan menyangka perkataannya itu bukan keluar dari mulut
seorang yang berotak waras.
Melihat sikap Suma Bing yang ragu2, si nenek menegasi:
"Buyung, kau tidak percaya?"
"Memang susah untuk dipercaya!" "Lebih baik kau pergi
mencobanya!" "Mencoba bagaimana?" "Coba kau dapat
melewati batu besar itu sejauh sepuluh
langkah tidak?"
Melihat sikap orang yang sungguh, timbul keinginan Suma Bing
batinnya, 'bukan mustahil memang ada sesuatu keganjilan didalam
sana, biarlah kucoba.'
Cepat sekali dia berlari badannya melenting kearah mulut lembah
itu, baru saja ia mengitar kebelakang batu besar itu, pandangan
didepannya mendadak berobah terlihat batu2 aneh bermunculan
dan berserakan bagai hutan, jalan diantara empitan batu2 itu
berliku2 tidak menentu, dihembus angin sepoi2 lagi sehingga
terasa dingin menembus tulang, bila dia berpaling melihat
kebelakang, tanpa terasa berjingkrak kaget, pemandangan
dibelakangnya juga sama saja batu aneh dan jaluran jalan yang
sempit belak-belok ber-lapis2 susah dibedakan mana timur barat
atau selatan. Ini merupakan sebuah barisan. Baru sekarang dia percaya akan
perkataan si nenek aneh ternyata bukan bualan belaka sekali
melejit Suma Bing lompat keatas sebuah batu runcing yang agak
tinggi, pemandangan dari ketinggian ini ter-lihat remang2 gelap
tanpa terlihat ujung pangkalnya.
Mendadak sebuah suara terkiang dipinggir telinganya: "Buyung,
jangan banyak bergerak, biar kutolong kau keluar dari sini!"
Terasa lengannya kenceng dicengkram seolah2 tubuhnya dijinjing
ketengah udara, tahu2 dimana pandangannya kembali terang
ternyata dirinya sudah tiba pula diluar mulut selat lagi.
Pemandangan didepannya tidak berobah tetap batu besar itu yang
terlihat merintangi jalan.
"Bagaimana Buyung?" tanya si nenek aneh setelah duduk kembali
dibatu tempatnya tadi.
"Itu merupakan sebuah barisan?" "Ya," sahut si nenek sambil
manggut2. "Siapakah yang membangun?" "Orang yang
selalu kuingat selama enam puluh tahun itu."
"Siapa?" "Aku tidak senang menyebut namanya!" "Dengan
cianpwe adalah..." "Musuh bebuyutan!" "Dia menetap dalam
lembah ini?" "Benar, sudah selama enampuluh tahun aku
menunggunya diluar sini..." "Enampuluh tahun lebih?" tanya Suma Bing
terperanjat, "Barisan itulah yang merintangi cianpwe sehingga tidak bisa
masuk kedalam lembah sana?"
Si nenek ganda manggut2 sebagai penyahutan. "Pernahkah dia
muncul?" "Pernah!" "Lalu kenapa cianpwe tidak segera
menyelesaikan secara
berhadapan?" "Itu terjadi sebelum enampuluh tahun yang lalu," si
nenek menjelaskan dengan uring2an dan penuh kebencian. "Waktu
pertama kali aku datang kemari dia pernah keluar katanya jikalau
aku dapat memecahkan barisannya itu dan masuk kedalam sana,
dia mandah terima perintah apa saja dan pasrah nasibnya
ditanganku. Sejak saat itu, lantas dia tidak pernah muncul lagi
sampai sekarang!"
Diam2 Suma Bing melelet lidah, entah ada permusuhan apakah si
nenek tua ini dengan penghuni dalam lembah itu, sedemikian
berat dan rela dia mau menunggunya diluar lembah ini selama
enampuluh tahun tanpa bosan2. Kalau dia memaki Bu siang sin li
sebagai budak busuk, terang kalau usia dan tingkatannya pasti
tidak berbeda seberapa. Itu berarti bahwa usianya pasti juga
sudah seabad lebih.
Dari nada perkataannya, antara si nenek tua ini dengan Bu siang
sin li agaknya ada ganjalan hati atau permusuhan lama. Tapi
siapa pula orang yang menghuni didalam lembah itu.
Mengapa dia sampai sedemikian sabar menunggunya selama
puluhan tahun" Kalau barisan aneh itu merintangi dan dia sendiri
tidak mampu memecahkan bukankah seumur hidup dia menunggu
disini juga akan sia2"
Akhirnya pikiran Suma Bing melayang dan terkenang akan Sucinya
Sim Giok sia bukankah karena "cinta" sehingga Sucinya itu
menderita dan sengsara selama tigapuluh tahun, sehingga
mengubur seluruh masa remajanya. Akhirnya meskipun dapat
mencapai cita2nya yang terakhir dan dapat terlaksana pertemuan
kembali dengan Tiang un Suseng. Sayang nasib dan kodrat ilahi
telah menuntun dan mengatur perjalanan hidup mereka
selanjutnya. Sepasang kekasih yang dimabuk cinta ini akhirnya
harus menemui ajalnya, didalam penjara bawah tanah Bwe hwa
hwe. Lantas terbayang juga akan sumpah setia Giok li Lo Ci kepada
suhunya, sedemikian besar rasa cintanya kepada suhunya
sehingga lupa waktu lupa segalanya sampai usia sendiri sudah
lanjut masih tanpa disadari.
Wanita aneh tua, dihadapannya ini bukan mustahil juga seorang
yang menjadi korban akan kegagalan cintanya"
Maka tak tertahan lagi segera ia bertanya: "Penghuni dalam
lembah itu apakah seorang pria?"
Bermula sikap si nenek menjadi lesu dan mashgul, namun lantas
berkobar pula perasaan bencinya, desisnya rendah: "Buyung kau
berkata benar!"
"Orang dalam lembah itu berhubungan sangat erat dengan
cianpwe?" "Ya erat sekali sampai aku bersumpah harus membunuhnya baru
lega hatiku."
Tubuh Suma Bing gemetar dan bergidik, kalau terkaannya tidak
salah, pasti rasa benci yang berlebihan ini timbul karena cintanya
bertepuk sebelah tangan.
"Lalu kenapa cianpwe harus selalu membunuh orang?" "Aku
benci seluruh lelaki diseluruh kolong langit ini!" "Kenapa?"
tanya Suma Bing berjingkat. "Buyung, sudah terlalu banyak
kau bertanya!" "Hanya karena benci maka cianpwe membunuh
orang?" "Benar, itu juga terbatas ratusan li dalam lingkungan
selat ini. Jikalau ada orang berani menerjang masuk, hanya ada satu
jalan bagi dia, yaitu mati!"
"Bukankah perbuatan ini terlalu kejam?" "Kejam" Hahaha..."
Gelak tawa yang menggila ini seakan tangisan setan
dimalam hari, seumpama lolong srigala ditengah malam, membuat
orang mengkirik seram.
Agak lama kemudian baru tawanya yang memilukan itu berhenti
dan katanya lagi: "Secara mentah jiwa hidupku selama ini dikubur
hidup2, seorang gadis jelita, dia harus hidup merana dalam jurang
kesedihan sehingga menjadi seorang nenek2 tua yang bongkok
dan tinggal kulit pembungkus tulang ini, apakah ini tidak terlalu
kejam?" "Ini..." Suma Bing kehilangan kata2nya, bukankah dirinya sendiri
juga tengah terombang-ambing dalam dendam dan budi. Berhenti
sebentar lantas dia melanjutkan memutar haluan: "Lalu apa yang
cianpwe tunggu sampai sekarang?"
"Memecahkan barisan dan masuk kedalam!"
"Tapi..."
"Hahahaha... puluhan tahun yang sudah terbuang ternyata tidak
sia2, telah kutunggu2 saatnya seperti ini, akhirnya Tuhan telah
mengirim kau datang kemari!"
Diam2 terkejut Suma Bing, tanyanya heran: "Apa maksud
perkataan cianpwe ini?"
"Kau dapat membantu aku memecahkan barisan itu!"
"Sedikitpun aku tidak paham akan segala barisan?" "Itu tidak
menjadi soal!" "Sungguh aku tidak paham?" "Kulihat dari cara
turun tanganmu tadi, agaknya kau
melatih suatu ilmu sakti semacam Sian thian bu khek sinkang yang
peranti untuk melindungi badan, kalau kau dapat menggunakan
ilmu saktimu itu untuk memecahkan batu besar itu, barisan itu
akan hancur total tanpa kita menyentuhnya lagi. Kau sudah
paham?" Baru sekarang Suma Bing sadar, ternyata si nenek tua ini hendak
meminjam tenaganya atau ilmu Giok ci sinkangnya untuk
menghancurkan batu besar itu. Maka katanya menyindir: "Kiranya
cianpwe juga seorang welas asih!"
"Memangnya kenapa?" "Apakah cianpwe berpendapat kalau aku
pasti mau membantu?" Si nenek tua berjingkrak berdiri, semprotnya gusar:
"Apa bocah jadah kau tidak mau membantu?" Sahut Suma Bing tawar:
"Tiada alasannya aku harus
membantu kau memecahkan barisan itu supaya kau dapat leluasa
membunuh orang."
"Berani kau menentang aku" teriak si nenek dengan murkanya.
Sekilas Suma Bing menyapu pandang lawan dingin, lalu katanya
ogah2an: "Ini bukan soal berani atau takut?"
"Kubunuh setan cilik seperti kau ini!" "Tidak segampang
perkataan yang kau ucapkan?" Saking murka badan si nenek
sampai gemetar, rambutnya
yang ubanan juga riap2an sepasang matanya memancarkan
cahaya yang menakutkan.
Namun sikap Suma Bing tetap tenang seolah2 tidak melihat,
katanya: "Maaf cayhe minta diri."
"Setan kecil, seumpama tumbuh sayap juga kau takkan dapat
lolos!" "Apakah perkataan cianpwe ini tidak keterlaluan?" Se-konyong2
sebuah bayangan putih bagai awan
mengembang laksana air mengalir enteng sekali tanpa suara


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melayang tiba. Diam2 tercekat hati Suma Bing melihat bayangan orang yang
sudah dikenalnya ini. Sesaat dia berpikir, bayangan putih itupun
telah melayang tiba. Tanpa kuasa Suma Bing berseru kejut:
"Kau!"
Memang yang mendatangi ini bukan lain adalah Tio Keh siok,
putri Bu khek ciangbun atau adik seperguruan dari Si gwa sianjin.
Entah untuk apa Tio Keh siok muncul disini.
Aneh sikap si nenek tua sedikitpun dia tidak memberikan reaksi
akan kedatangan Tio Keh siok ini, acuh tak acuh tanpa mengerling
matapun jua. Agaknya Tio Keh siok sendiri juga heran melihat kehadiran Suma
Bing ditempat ini. Dengan penuh tanda tanya ia pandang Suma
Bing dan berseru: "Kau!"
"Apakah nona Tio sudah selesai mengurus jenazah Suhengmu?"
"Bagaimana bisa kau..." baru setengah perkataannya, matanya
lantas mengerling kearah si nenek aneh, seketika ia telan kembali
perkataan selanjutnya.
Maka terdengar si nenek mendengus se-keras2nya sambil
menggerung. Setelah memandang Suma Bing keheranan dan ber-tanya2
akhirnya Tio Keh siok berkelebat melesat memasuki selat sempit
itu, sebat sekali dia sudah memutar kebelakang batu besar itu
lantas tubuhnya terbang menghilang. Kecepatan gerak tubuhnya
itu benar2 luar biasa seumpama setan melayang dibawa angin
lalu. Suma Bing terhenyak dan terpekur ditempatnya. Kalau Tio Keh siok
dapat masuk keselat itu sedemikian gampang tanpa rintangan,
pasti dia adalah murid orang dalam selat itu, dia memanggil Si gwa
sianjin sebagai Losuheng, kalau diukur dari usia Si gwa sianjin,
maka usia orang dalam selat itu sedikitnya sudah seabad, dan
rekaannya ini agaknya memang sedikit mendekati kenyataan,
justru yang mengherankan kalau penghuni lembah itu sudah
selama enam puluh tahun tidak pernah keluar meninggalkan
tempat kediamannya lalu darimana dia bisa peroleh seorang murid
wanita yang masih sedemikian muda"
Si gwa sianjin termashur akan ilmu barisannya, maka dapatlah
diperkirakan kalau penghuni lembah itu pasti juga seorang ahli
dalam bidang ini. Maka timbullah sedikit harapan dalam benaknya.
"Buyung," terdengar si nenek aneh berkata mendesis, "Kau kenal
dengan budak kecil itu?"
"Ya, pernah bertemu beberapa kali!" "Hm," entah apa maksud
suara dehemannya ini, Suma Bing
tidak sudi banyak memikirkan, malah lantas tanyanya ingin tahu:
"Dia juga orang dari lembah itu?"
"Benar!" "Murid penghuni lembah itu" Bukankah penghuni
lembah itu sudah mengasingkan diri selama enam puluh tahun tak pernah
keluar, darimana dia dapat memperoleh murid semuda itu?"
"Sepuluh tahun yang lalu, budak kecil itu masih merupakan orok
kecil yang mungil, dia diculik seorang penjahat dan dibawa lari
lewat daerah ini, penculik itu telah kubunuh dan budak kecil itu
lantas dibawa masuk kedalam lembah oleh murid terbesar
penghuni lembah itu, dan selanjutnya lantas dirawat sampai
besar..." "O, tidak heran..." "Apanya yang tidak heran?" "Agaknya
cianpwe tidak bersikap bermusuhan terhadap
dia!" "Sudah kukatakan aku hanya membenci kaum pria!" "Boleh
dikata cianpwe pernah menanam budi karena
menolong jiwanya bukan?" "Omong kosong, selamanya aku tidak
pernah menanam budi pada orang lain. Sudah suratan takdir yang mengatur cara
hidupnya!"
Suma Bing membatin, watak si nenek aneh ini mungkin tidak lebih
sesat dan lebih ganjil dari sifat2 gurunya Lam sia!
Bola mata si nenek aneh berputar, agaknya dia teringat sesuatu,
serunya: "Buyung, kau mau membantu aku memecahkan barisan
itu bukan?"
"Cayhe tidak pernah mengatakan demikian!" Tiba2 terdengar
derap langkah orang banyak disertai suara
ribut percakapan orang tengah mendatangi semakin dekat.
Si nenek aneh berubah membalikkan mata, katanya berbisik:
"Buyung, ada orang datang!"
"Memangnya kenapa?" "Kau jangan se-kali2 berani melanggar
ketentuanku, sekarang kau minggir kesamping!" Lebih baik aku menonton saja
cara bagaimana dia hendak
menghadapi orang2 yang baru datang itu, demikian pikir Suma
Bing, maka sambil mengiakan ia minggir kesamping mengumpat
dibelakang sebuah batu besar.
Si nenek aneh masih tetap duduk diatas batu besar dimulut selat
itu tanpa bergerak. Warna pakaiannya hampir sama dengan warna
batu yang diduduki, ditambah sekelilingnya ditumbuhi rumput dan
dedaonan yang agak lebat dan tumbuh subur, kalau tidak maju
mendekat memang sukar dapat dibedakan dan dapat melihat
tegas. Derap langkah dan suara percakapan orang2 itu semakin keras
dan sudah dekat didalam hutan sebelah sana. Terdengar sebuah
suara serak berat tengah berkata: "Lapor kepada Hu
hoat(pelindung), dimulut selat itulah Hu hiangcu beramai menemui
ajalnya." Terdengar pula sebuah jawaban yang bernada dingin kaku: "Apa
kalian benar2 melihat sendiri kalau mereka mampus ditangan
seorang nenek tua renta?"
"Ya, ketujuh rekan itu semua meninggal dalam sekejap saja!"
"Kenapa kalian tidak maju membantu?" "Ini... hamba memang
berdosa, sebab dilihat situasi waktu
itu jikalau kita maju juga seumpama kutu menerjang api saja.
Sedang tugas penting hamba beramai hanyalah mencari jejak Sia
sin kedua!"
"Hm, baik, justru Lohu tidak percaya akan semua kejadian ini,
biar kuselidiki sendiri secara seksama..."
Seketika timbul amarah dan nafsu membunuh Suma Bing yang
bersembunyi dibelakang batu itu. Kiranya para kurcaci dari Bwe
hwa hwe ini tengah mencari jejaknya sehingga sampai disini.
Agaknya setiap gerak geriknya selalu menjadi incaran dan dalam
pengawasan ketat pihak musuh.
Terdengar suara serak berat itu berkata lagi: "Lapor Hu hoat..."
"Ada apa lagi?" Menurut pendapat hamba yang bodoh ini, lebih
baik kita nantikan dulu kedatangan Thay siang hu hoat (maha pelindung)..."
"Tak usah, Lohu mempunyai perhitungan sendiri." Tanpa
terasa melonjak keras jantung Suma Bing, Maha
pelindung yang dikatakan pihak lawan itu entah tepat atau tidak
dengan rekaannya yaitu Pek bin mo ong atau raja iblis seratus
muka itu. Jikalau benar, terhitung raja iblis ini memang sudah
ditakdirkan untuk mampus hari ini. Tengah benak berpikir ini,
terlihat sebuah bayangan orang muncul dari balik rimba sebelah
sana, pelan2 tengah menghampiri kemulut lembah!
Begitu melihat tegas orang yang mendatangi ini Suma Bing
berjingkrak kaget. Kiranya orang yang mendatangi ini bukan lain
adalah Hui bing khek itu sisa dari empat setan gantung yang
masih ketinggalan hidup, dia merupakan pelindung atau kaki
tangan terpercaya dari Loh Cu gi musuh besarnya nomor satu.
Menggunakan ilmu Coan im jip bit cepat2 ia mengisiki kepada si
nenek aneh beruban: "Cianpwe, orang yang mendatangi ini adalah
musuh besarku, cayhe hendak turun tangan membunuhnya?"
"Tidak bisa, jangan kau melanggar perundang2ku!" "Aku tidak
perduli segala peraturan tetek bengek!" "Buyung berani..."
Pada saat itu juga Hui bing khek sudah melihat si nenek
beruban, seketika ia menghentikan langkahnya serta tertawa
menyeringai dan katanya: "Tokoh kosen siapakah ini?"
Sikap si nenek ogah2an tanpa membuka suara menjawab, tiba2
kedua tangannya diangkat lalu pelan2 ditarik kembali...
Baru sekarang Hui bing khek merasakan keadaan ganjil yang tidak
menguntungkan dirinya, ter-sipu2 ia memutar tubuh, namun
sudah terlambat, suatu daya tenaga sedot yang maha kuat tiba2
menyeret tubuhnya kembali.
Pada saat itulah Suma Bing juga sudah bertindak, sebelah
tangannya diayun, sejalur gelombang kekuatan hawa yang kuat
menerjang tiba di-tengah2 antara kedua orang itu. 'Bum!'
terdengar ledakan dahsyat, kontan Hui bing khek terjungkal
jungkir balik namun lantas dia merasa bebas dari kekangan
tenaga daya sedot itu.
"Setan kecil, berani kau!" terdengar si nenek beruban berteriak
gusar. Hui bing khek mengira diam2 ada seorang tokoh telah membantu
menyelamatkan jiwanya, maka tanpa ayal lagi secepat kilat ia
menjejakkan kedua kakinya terus melesat jauh kembali kedalam
hutan. Tapi tiba2 'blang' dia memekik kaget tubuhnya yang tengah
melayang ditengah udara itu terpental balik lagi dan jatuh diatas
tanah, waktu dia melihat tegas, tanpa terasa dia berseru
ketakutan: "Sia sin kedua!"
Pelan2 Suma Bing merogoh keluar cundrik penembus dada serta
desisnya mengancam: "Hui bing khek serahkanlah jiwamu!"
Serasa terbang arwah Hui bing khek saking ketakutan tanpa
berani bercuit lagi dia terus melesat kesebelah samping sana
hendak melarikan diri...
Sebuah teriakan panjang yang menyayatkan hati memecah
kesunyian alam sekelilingnya. Tubuh Hui bing khek terbanting
mampus diatas tanah tanpa berkutik lagi, dadanya berlobang
tertembus cundrik tajam sampai kepunggungnya, darah mengalir
ber-limpah2! Dalam waktu yang bersamaan dalam hutan yang berjarak
puluhan tombak sana terdengar pula suara seruan kejut dan
ketakutan yang riuh rendah.
Sebuah bayangan abu2 berkelebat melewati samping Suma Bing
langsung melesat kedalam hutan sebelah sana.
Tersirap darah Suma Bing, tanpa berayal ia juga melesat
menyusul... Belum dia tiba terdengarlah jeritan saling susul yang menggiriskan
bulu roma. Waktu Suma Bing menginjakkan kaki diatas tanah,
dihadapannya sudah bergelimpangan ber-puluh2 mayat yang
pecah dan hancur batok kepalanya, keadaan mereka sangat
menggenaskan. Si nenek aneh beruban mengulapkan tangan serta katanya: "Mari
kembali, kita rundingkan urusan yang penting itu!"
Terhadap Bwe hwa hwe dari Loh Cu gi sampai semua anak buah
atau kamrat2nya benci Suma Bing meresap sampai ketulang
sumsumnya. Maka dia tidak anggap perbuatan atau cara turun
tangan si nenek aneh ini terlalu kejam. Tanpa buka suara dia ikuti
si nenek aneh kembali kemulut lembah lagi. Namun dalam
benaknya masih terganjal satu pertanyaan yaitu tentang Maha
pelindung seperti yang dikatakan oleh para korban tadi.
Seperti diketahui, kalau dugaan bibinya Ong Fong jui tidak salah,
yang diangkat sebagai Maha pelindung itu pasti bukan
lain adalah Raja iblis seratus muka yang menyamar dirinya
menyebar maut dan melakukan kejahatan. Kalau ini betul
bagaimana juga dia takkan melepas durjana laknat ini begitu saja.
Bersama itu suatu keraguan juga tengah terbenam menusuk
sanubarinya, yaitu bila Kiu im cinkeng benar2 sudah terjatuh
ketangan Loh Cu gi, sedang latihan Kiu yang sinkang Loh Cu gi
sudah mencapai puncak kesempurnaannya, maka bila ditambah
lagi dengan Kiu im cinkeng, tanpa memerlukan banyak waktu lagi
pasti dia dapat menyempurnakan diri melatih Thay khek sinkang,
sampai saat itu seumpama dirinya berhadapan untuk menuntut
balas pasti menghadapi banyak rintangan.
Saat ini tugas yang terpenting baginya adalah berdaya upaya
untuk mencari cara supaya dapat memecahkan barisan pohon
bunga Bwe itu, kalau ini bisa terlaksana untuk menuntut balas dan
menyapu bersih musuh tidak terlalu sukar.
Lain halnya dalam pemikiran si nenek aneh ini agaknya
perhatiannya tengah tercurahkan untuk memecahkan batu besar
yang merintangi dimulut lembah itu, maka katanya mendesak:
"Buyung, bagaimana jawabanmu?"
Otak Suma Bing harus bekerja keras, jikalau membantu
memecahkan barisan itu, tujuan si nenek masuk kedalam untuk
membunuh orang demi melampiaskan dendam dan penasarannya
selama enampuluh tahun, hakikatnya tidak ada jalan damai.
Sebaliknya dia juga sangat memerlukan petunjuk dari penghuni
lembah ini untuk dapat memecahkan Bwe lim ki tin, demi
kepentingannya ini sudah tentu tidak mungkin dia membantu si
nenek untuk memecahkan barisan dalam mulut lembah itu.
Setelah diterawangi secara masak baru dia menjawab: "Maaf aku
tidak mungkin bisa membantu!"
-oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
54. HWE HUN KOAY HUD MAHA PELINDUNG BWE HWA
HWE "Benar2 kau tidak mau?" "Tidak mungkin!" Sigap sekali si
nenek beruban berjingkrak bangun namun
akhirnya meloso duduk lagi dengan lesu katanya mashgul:
"Buyung, aku tidak akan menyia2kan budi bantuanmu ini."
Hati Suma Bing tidak tergerak oleh bujukan yang mengharukan ini,
malah jawabnya: "Bagaimana juga aku tidak sudi membantu orang
secara se-mena2!"
"Buyung, mari kita persoalkan untung ruginya!" "Dengan
syarat maksudmu?" "Benar, silahkan kau ajukan syaratmu!"
Tergerak hati Suma Bing, katanya: "Syarat yang kuajukan,
apa benar cianpwe pasti dapat mematuhi?" Hampir saja si nenek
mengumbar kemarahannya, tapi
sekuat mungkin dia tekan dan bersabar, apa boleh buat akhirnya
ia berkata: "Buyung, baiklah coba kau katakan."
"Aku tidak berminat untuk mengajukan!" "Setan keparat, kau
pembual besar yang bermulut kosong!" "Kenapa harus
kukatakan, toh cianpwe takkan mampu
melaksanakan!" "Setan kecil, kalau tidak kau katakan darimana
kau tahu kalau aku tidak mampu."
"Kenyataan memang begitu."
"Kenyataan apa?" "Cianpwe terintang oleh barisan dalam mulut
lembah itu sehingga tidak dapat masuk selama enam puluh tahun, ini sudah
menyatakan..."
"Menyatakan bahwa Lwekangku tidak becus?" "Bukan!" "Lalu
apa?" "Syarat yang hendak kukatakan juga mengenai ilmu
tentang barisan yang aneh2." "Ini..." "Maka kukatakan kalau
cianpwe takkan mampu
melaksanakan." "Eh, aku ada akal." "Ada akal apa?" "Penghuni
lembah ini adalah seorang ahli dalam bidang itu,


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau kau dapat membantu aku masuk kedalam lembah, maka
boleh kuperintahkan penghuni lembah itu untuk memberi petunjuk
tentang persoalanmu itu."
"Bukankah tujuan cianpwe masuk kedalam untuk membunuh
orang?" "Memang tidak salah, tapi penghuni lembah itu sendiri pernah
berkata kalau aku mampu memecahkan barisan itu dan masuk
kedalam, maka dia rela dan tunduk menerima segala perintahku
tanpa berani membangkang."
"Termasuk juga akan jiwa mati hidupnya?"
"Sudah tentu." "Tapi aku tidak sudi berbuat
serendah itu." "Apa?"
"Cayhe membantu kau membunuh dia, lalu dari dia mendapat
petunjuk untuk kebaikanku, dapatlah aku melakukan perbuatan
yang rendah begitu?"
Agaknya si nenek beruban sudah tak kuat lagi menahan
amarahnya setelah dikocok pulang pergi oleh Suma Bing, dengan
beringas pelan2 dia bangkit berdiri, sorot matanya memancarkan
kebuasan. Pada saat itulah tiba2 terdengar gelak tawa aneh yang melengking
tinggi, menusuk telinga dan menyedot semangat orang.
Mengandal keampuhan Lwekang Suma Bing saat itu ternyata juga
terpengaruh sampai darah terasa bergolak menyesakkan dada,
jantungnya berdebar keras, jelas pendatang baru ini agaknya
bukan tokoh sembarang tokoh.
Si nenek beruban sendiri juga terpengaruh dan tersedot oleh
suara tawa itu sehingga memandang kedepan tanpa berkedip.
Begitu lenyap suara tawa itu disusul segulung bayangan merah
secepat kilat terjun tiba dari tengah udara.
Waktu Suma Bing menegasi, serta merta giris dan dingin
perasaan hatinya.
Kiranya pendatang baru ini adalah seorang laki2 yang berbadan
tinggi besar mengenakan jubah merah marong, rambut dan
jenggotnya juga merah malah kedua bola matanya juga
memancarkan sinar merah, seluruh tubuhnya dari atas sampai
bawah serba merah, raut wajahnya seram dan menakutkan lagi.
Terdengar si nenek beruban berseru kejut lalu tegornya: "Kau ini
Hwe hun koay hud bukan?"
"Tidak salah!"
Sambil menjawab Hwe hun koay hud mundur setindak, agaknya
dia terkejut karena tidak mengenal siapakah si nenek beruban ini,
sebaliknya lawan sekali buka mulut lantas dapat menyebut nama
julukannya. Suma Bing sendiri juga melengak, Hwe hun koay hud, nama ini
sangat asing baginya.
Akhirnya terdengar Hwe hun koay hud berkata tergagap: "Kau
ini..." "Tidak kenal ya sudah." sahut si nenek beruban dengan sikap
angkuh. Sepasang mata aneh Hwe hun koay hud tengah menyapu dan
menatap kearah Suma Bing, seringainya dingin: "Buyung, kau
inikah calon majikan Perkampungan bumi yang bernama Suma
Bing?" Si nenek aneh beruban terperanjat, setelah mendengar asal-usul
Suma Bing. Terdengar Suma Bing tengah menyahut dingin: "Benar." Hwe
hun koay hud ter-loroh2, serunya: "Bagus sekali." Tergerak
hati Suma Bing, tanyanya: "Apanya yang bagus
tuan?" "Bedebah, kau panggil aku dengan sebutan tuan?" "Ini
terhitung kupandang kau cukup tinggi." "Ha, keparat, Lohu sudah
hidup seratus tahun lebih, tak
duga hanya dipanggil sebagai tuan oleh bocah hijau berbau tetek
ibumu..." "Kalau tuan merasa ini kurang tepat, tak usah kau banyak mulut."
Dimulut Suma Bing bersikap angkuh, sebenarnya hatinya juga
terkejut dan kebat-kebit, ternyata orang aneh serba merah ini juga
sudah berusia seabad lebih, tidak heran sekali
bertemu si nenek aneh beruban itu lantas kenal asal-usulnya,
yang mengherankan dan merupakan pertanyaan darimana dia
dapat mengetahui nama dan asal-usul dirinya.
Sorot mata Hwe hun koay hud yang merah marong itu
berjelalatan, dengan nanap dan tajam dia awasi Suma Bing sekian
lama lalu katanya: "Buyung, kau tahu maksud kedatangan lohu
kemari?" Acuh tak acuh Suma Bing menyahut: "Kedatangan tuan kemari
lantaran aku?"
"Tepat sekali!" "Harap tanya..." "Untuk mencabut nyawamu!"
Membesi wajah Suma Bing, dengusnya dingin: "Lantaran
aku tuan kemari?" "Sudah tentu!" "Coba katakan." "Kau tahu apa
kedudukan aku orang tua saat ini?" "Kalau tidak tuan katakan
sendiri, siapa dapat tahu?" "Akulah Maha pelindung dari Bwe hwa
hwe, sudah jelas?" Suma Bing melonjak kaget sampai mundur
tiga langkah, bukan karena takut namun karena anggapannya yang dinamakan
sebagai Maha pelindung dari Bwe hwa hwe itu pasti dijabat oleh
Raja iblis seratus muka. Tapi sekarang kenyataan menghancurkan
semua kepastiannya. Tentang Perkampungan bumi kehilangan
buku berharga, Ngo bi juga kehilangan pusaka pelindung
perguruan, malah Bu khek po terjadi banjir darah, apakah semua
ini ada sangkut pautnya dengan Bwe hwa hwe sekarang lantas
menjadi teka teki lagi.
Terdengar si nenek aneh menyeringai seram dan berdesis: "Hwe
hun lo koay, tidak gampang kau hendak membunuhnya?"
"Kenapa, apa kau hendak mencampuri?" "Mungkin!" "Nenek
keropos, kau sendiri sukar menyelamatkan diri,
bukankah puluhan anak buah Bwe hwa hwe semua mampus
ditanganmu?"
"Hehehehe, Hwe hun lokoay, kau sendiri sudah tiba disini,
terhitung kau sendiri juga harus mengikuti jejak mereka!"
"Baik, nanti setelah kubereskan bocah keparat ini, baru aku
menyelesaikan perhitungan kita."
Suma Bing melangkah lebar kembali ketempat asalnya, wajahnya
membeku diselimuti kekejaman, nadanya berat tertekan:
"Kedatangan tuan ini atas perintah Loh Cu gi?"
"Wah, bocah keparat kurangajar. Seharusnya kau katakan aku
diundang oleh Loh Cu gi kemari, tahu!"
"Mengandal perkataanmu ini, kau setimpal untuk mampus!"
"Keparat, besar benar monyongmu itu." "Kenyataan akan
membuktikan perkataanku ini." Saking gusar sambil
menggerung Hwe hun koay hud lantas
angkat tangan mengepruk kebatok kepala Suma Bing, serangan ini
bukan saja hebat dan dahsyat kekuatannya juga tipunya lain dari
yang lain. Siang2 Suma Bing sudah mengerahkan Giok ci sinkang sampai
tingkat kesepuluh bagian tenaganya, tanpa menggeser kedudukan
kepala hanya dimiringkan sedikit berbareng sebelah tangannya
diangkat lurus kedepan untuk menangkis.
'Plak' terdengar benturan keras dari beradunya telapak tangan
kedua orang, masing2 tergetar mundur satu langkah.
Diam2 tercekat hati Suma Bing, dari gebrak pertama itu dapatlah
dia mengukur kiranya Lwekang musuh tidak lebih rendah dari
dirinya. Adalah Hwe hun koay hud juga bukan kepalang kejutnya,
musuhnya ini seorang muda yang belum penuh berusia
duapuluhan bukan saja kuat menandangi latihannya selama
seratus tahun, malah kesudahannya seri tanpa ada pihak yang
unggul atau asor.
Sementara itu, Suma Bing mengerahkan tenaga lagi meningkatkan
pertahanannya satu bagian lagi...
Sebentar melengak, lantas Hwe hun koay hud melancarkan lagi
serangannya sebanyak tiga jurus berantai. Setiap jurusnya
merupakan ilmu yang jarang terlihat dan keampuhannya boleh
dibanggakan. Suma Bing tidak berani ayal kedua tangannya juga bergerak tidak
kalah cepatnya untuk menangkis dan memunahkan serangan
musuh. "Bagus." diluar dugaan si nenek beruban berteriak memuji keras.
Tiba2 Hwe hun koay hud mundur lima kaki, jubah merahnya yang
besar gondrong melembung besar, pelan2 kedua tangannya
diangkat lapang didepan dada.
"Buyung, awas menghadapi ilmu Hong lui sin lo yang lihay!"
terdengar si nenek berseru memperingati.
Tercekat hati Suma Bing. Giok ci sinkang terkerahkan sampai
tingkat keduabelas, siap menghadapi segala kemungkinan.
Pelan2 Hwe hun koay hud menarik lalu menyurung pelan kedua
tangannya kedepan, seketika angin ribut diselingi geledek
menggelegar... Kontan Suma Bing merasakan dirinya diterpa suatu gelombang
kekuatan yang tidak kentara menindih keseluruh tubuhnya, cepat2
ia ayun kedua tangannya terus dipukulkan kedepan.
Ledakan dahsyat disertai badai dan suara geledek menyambar
membuat pasir batu dan tanah beterbangan membumbung tinggi
keangkasa, gelanggang menjadi kelam diselubungi kabut hitam
dari berhamburannya debu. Saking hebat ledakan ini sampai
menimbulkan pantulan suara sekian lama diempat penjuru alam
pegunungan. Keadaan macam ini se-olah2 dunia sudah hampir
kiamat. Darah bergolak dirongga dada Suma Bing, kakinya sampai amblas
setengah kaki kedalam tanah.
Sedang Hwe hun koay hud juga telah tersurut mundur ketempat
asalnya berjarak setombak.
Si nenek beruban terkesima memandangi Suma Bing, agaknya dia
terpesona akan gebrak pertandingan yang hebat seumpama
memecahkan bumi menggegerkan langit ini.
Se-konyong2 segulung awan merah melenting tinggi terus
menghilang dalam rimba.
"Lari kemana kau!" Suma Bing membentak beringas, secepat anak
panah dia terus berlari mengejar masuk kedalam hutan, tapi
bayangan Hwe hun koay hud sudah menghilang tanpa kerana.
Diam2 Suma Bing mengumpat caci dan menyumpah2: "Hari ini
kau dapat merat, besok kau takkan dapat lolos." tak lama
kemudian dia sudah kembali kehadapan si nenek aneh.
Kata si nenek aneh beruban penuh kekaguman: "Buyung, tidak
kira Hwe hun koay hud ternyata tidak kuat menahan sekali
pukulanmu?"
"Sayang dia dapat melarikan diri!" ujar Suma Bing penasaran.
"Apa kau benar2 ingin mencabut jiwanya yang sudah tua itu?"
"Akan kukremus tubuhnya." "Untuk balas dendam?" "Boleh
dikata demikian!" "Bagaimana bisa setan tua itu sampai
bermusuhan dengan
kau?" "Dia sebagai Maha pelindung musuh besarku, bukankah
kedatangannya itu lantaran aku!" "O," si nenek aneh tercengang.
"Orang macam apakah Hwe hun koay hud ini?" "Masa kau belum
pernah dengar?" "Belum!" "Kira2 delapan puluh tahun yang lalu,
partai Siau lim si
muncul seorang murid murtad dan durhaka, dia itulah orangnya!"
"Apa pihak Siau lim si tidak ambil tindakan terhadap dia?"
"Bukan tidak diambil tindakan, adalah kewalahan
menghadapinya. Dia mencuri sejilid buku Hong lui keng, dengan
latihannya selama setengah abad dia berhasil meyakinkan Hong lui
sin lo. Sedemikian ampuh ilmu silat ini sampai tiga tokoh terlihay
dari Siau lim si yang kenamaan dengan julukan Siau lim sam cun
yaitu Hui Kong, Hui Gong dan Hui Bing juga terkalahkan dalam
mengeroyok dia orang..."
Teringat oleh Suma Bing akan Hui Kong Taysu yang dipandang
sebagai Buddha hidup oleh Siau lim si ternyata adalah salah satu
dari Siau lim sam cun itu. Sampai sekarang Hui Kong Taysu masih
hidup, kalau pihak mereka mendengar kabar akan munculnya lagi
murid durhaka dari tingkatan atas
ini, entah cara bagaimana mereka hendak menghadapinya"
Kiranya ini merupakan noda hitam bagi lembaran sejarah jayanya
Siau lim sejak partai ini didirikan beratus tahun yang lalu.
"Selanjutnya," demikian si nenek melanjutkan penuturannya,
"Seluruh kekuatan Siau lim sudah diboyong keluar untuk mengepung
dan mengeroyok manusia laknat ini, entah berapa banyak korban
berjatuhan dari anak murid Siau lim, tapi akhirnya toh dia masih
dapat melarikan diri dan sejak saat itu terus menghilang entah
kemana. Peristiwa ini dulu pernah menggegerkan seluruh dunia
persilatan."
"Peristiwa itu masih ter-katung2 sampai sekarang?" "Buyung,
kita bicarakan soal kita yang penting. Bagaimana
dengan syarat yang ku ajukan tadi?" "Tak mungkin aku melulusi."
"Bedebah, benar2 kau tidak mau lakukan?" "Tidak!" "Berani kau
katakan sekali lagi?" "Tidak!" "Baik, lihat ini!" sambil berseru
berbareng dia menubruk
dari atas batu besar tempat duduknya kearah Suma Bing,
serangan kedua tangannya sangat gencar dan bergerak secepat
kitiran. Suma Bing juga tidak mau kalah wibawa, dengan penuh
semangat dia layani setiap jurus serangan pihak lawan. Maka
terjadilah pertempuran hebat yang jarang terjadi selama ini,
sehingga batu dan pasir beterbangan membumbung tinggi
keangkasa. Dalam sekejap mata saja tiga puluh jurus telah berlalu,
si nenek aneh menyerang semakin gencar seperti orang kalap,
jurus serangannya adalah tipu2 yang mematikan, keruan Suma
Bing yang tiada niat melukai lawannya menjadi keripuhan dan
mencak2 terdesak mundur. Akhirnya terpaksa dia menjadi nekad,
jurus Bintang berpindah
jungkir balik dilandasi seluruh kekuatan tenaganya dilancarkan
keluar secepat kilat.
Terdengar si nenek menguak keras hampir muntah tubuhnya
terhempas dan terpelanting mundur sempoyongan delapan kaki.
Menggunakan kesempatan peluang ini tanpa ayal lagi Suma Bing
jejakkan kedua kakinya terus melesat kearah mulut lembah.
Dia berkesimpulan barisan yang dibentuk oleh penghuni lembah
itu adalah untuk mencegah atau tegasnya merintangi si nenek
masuk kedalam. Jikalau dirinya mohon bertemu secara hormat
mungkin dilulusi siapa tahu, sebab tekadnya untuk memecahkan
barisan Bwe lim ki tin itu rasanya lebih penting dari segala urusan.
Mendadak terdengar si nenek beruban berteriak di belakangnya:
"Budak, cegat dia!"
Mendengar ini Suma Bing malah melengak heran, entah apa yang
disuruh si nenek untuk mencegat dirinya, tanpa terasa cepat2 dia
hentikan langkahnya.
Maka dilain saat sebuah bayangan putih meluncur tiba
menghadang didepannya, lalu disusul bayangan beberapa orang
lagi juga merintangi ditengah jalan.
Begitu melihat orang terdepan yang mencegat dihadapannya ini,
tercekat hati Suma Bing, ter-sipu2 ia berlutut menyembah sambil
berseru: "Bu, kaukah yang datang!"
Betul juga yang baru datang ini ternyata adalah San Hoa li Ong


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Fang lan adanya.
Terang ibundanya menjadi ahli waris dari Bu lim ci sin dan
menjadi majikan Panggung berdarah. Bagaimana mendadak
sekarang muncul disini malah dipanggil sebagai budak oleh si
nenek aneh beruban itu, ini benar2 kejadian yang luar biasa.
Agaknya San hoa li Ong Fang lan sendiri juga ter-heran2
tanyanya: "Nak, bagaimana kau bisa berada disini?"
"Bu, kau..." "Kudengar kau menimbulkan banjir darah di Bu
khek po, merebut Kipas pualam dan menerjang ke Ngo bi san dan melukai
tiga pelindungnya dan lima Tianglo mereka untuk mengangkangi
Ce giok pe yap..."
"Karena peristiwa inikah maka ibu keluar dari pesanggrahan?"
"Ya, nak, perbuatanmu itu..." "Apa ibu juga beranggapan anak
dapat berbuat begitu
rupa?" "Tapi kenyataan..." "Itu bukan kenyataan yang berbukti!"
"Bukan kenyataan?" "Ada seseorang yang menyamar sebagai aku
telah melakukan semua itu." "O, siapakah dia?" "Saat ini masih belum
ketahuan, anak tengah
menyelidikinya secara seksama." Agaknya San hoa li merasa
sangat diluar dugaan, katanya
sambil menggandeng tangan Suma Bing: "Kalau begitu kau
bangunlah nak."
Suma Bing berdiri. Segera empat pengikut dibelakang dirinya
membungkuk memberi hormat sambil menyapa: "Menghadap pada
majikan muda!"
Suma Bing balas manggut2 serta merta dia berpaling memandang
kearah si nenek aneh lalu katanya berbisik: "Dia orang..."
Wajah San hoa li Ong Fan lan sedikit berobah, cepat dia melesat
maju kedepan terus berlutut dan menyembah dengan hikmatnya
didepan si nenek, keempat pengikutnya juga turut berlutut dan
menyembah. Si nenek aneh ulapkan tangan serta serunya: "Bangunlah, tak
perlu peradatan."
Keruan Suma Bing melongo dan ter-heran2 dibuatnya betapa
janggal keadaan ini benar2 susah dilukiskan, setelah terlongong
sekian lamanya diapun maju mendekat.
Segera San hoa li Ong Fang lan menggape tangan serta katanya:
"Nak, ayo menghadap Sukohco!"
Kontan Suma Bing terhenyak ditempatnya... Salah satu dari
empat gadis seragam putih itu, yaitu yang
menjadi pentolan dari Rasul penembus dada yang bernama Ih Yan
chiu segera berkata berbisik: "Tuan muda, kau sudah dengar!"
Suma Bing tergagap bagai sadar dari mimpi, cepat2 ia tampil
kedepan terus berlutut, serunya: "Menghadap pada Sukohco!"
"Sudahlah bangun!" Pelan2 Suma Bing bangkit berdiri, teringat
pengalamannya selama ini tanpa terasa merah padam seluruh mukanya, sikapnya
risi dan kikuk.
Si nenek sendiri juga merasa serba salah dan keheranan
memandang San hoa li Ong Fang lan dia berkata: "Apa jadi dia ini
anakmu?" "Benar, Sukoh!" "Kenapa kau tidak pernah bilang?" "Memang ini
kecerobohanku, harap Sukoh suka
memaafkan."
Si nenek termenung sekian lamanya, mendadak dia mengulap
tangan dan berkata: "Kalian boleh pergi."
San hoa li Ong Fang lan berkata penuh hormat: "Apakah anak
kurangajar ini telah berbuat salah terhadap Sukoh?"
"Tidak tahu tidak berdosa, lekas kalian pergi." San hoa li
menatap tajam kearah Suma Bing, agaknya dia
ber-tanya2 akan semua kejadian yang baru saja berlangsung,
sinar matanya penuh tanda tanya.
Suma Bing berpikir dalam waktu dekat begini bagaimana dirinya
harus memberikan penjelasan kepada ibunya, cepat2 dia berputar
menghadap si nenek lantas berkata: "Mohon kau orang tua
segera memberikan perintah."
Si nenek aneh beruban mendengus dingin: "Tidak perlu lagi,
pergilah!"
Suma Bing melongo, katanya lagi: "Bukankah Sukohco ingin..."
"Sekarang tidak perlu!" "Mohon bertanya, kenapa?" "Urusan
aku orang tua tidak perlu kalian dari tingkatan
rendah turut campur." "Tapi..." Sebetulnya dia hendak
mengatakan; bukankah kau tergesagesa
ingin memecahkan barisan itu dan masuk kedalam lembah"
Setelah sampai diujung bibir terasa perkataannya ini kurang
hormat maka ditelannya kembali.
Agaknya San hoa li ada sedikit paham setelah mendengar
percakapan tadi, katanya menyela: "Sukoh ada urusan apakah
yang memerlukan tenaga anak Bing?"
"Tidak perlu lagi!" sentak si nenek uring2an sambil
menggoyangkan tangan, "Cepat kalian pergi saja."
Tentang asal usul atau riwayat ayahbundanya sendiri Suma Bing
sedikitpun tidak tahu, bahwa si nenek beruban ini mendadak bisa
menjadi Sukohconya benar2 mimpi juga tak terduga olehnya.
Sungguh dia sangat menyesal waktu melihat keadaan rupa si
nenek waktu bertemu untuk pertama kalinya tadi. Dalam
pertimbangannya sebab daripada Sukohconya rela dan sudi
menunggu dan merana selama enam puluhan tahun pasti tidak
lepas dari persoalan 'cinta'. Sekarang setelah diketahui duduk
tingkatannya sudah tentu dia tidak sudi minta bantuan pada
angkatan mudanya. Persoalan bak teka-teki ini mungkin ibunya
mengetahui, tapi dihadapan Sukohconya tak enak pula dia
menanyakannya. Mengenai usia Sukohconya mungkin sudah melebihi seratus tahun.
Tiada orang yang takkan mati dalam dunia ini, meski betapa tinggi
dan dalam latihan semadinya paling banyak bisa hidup lebih lama
dan kuat puluhan tahun dari orang biasa. Kalau dia sendiri tidak
mampu memecahkan barisan itu dengan kemampuannya sendiri,
akhirnya juga pasti meninggal dunia diluar mulut lembah itu.
Sekarang kalau dia mau membantu si nenek yang menakutkan dan
harus dikasihani ini menghancurkan batu besar itu, bagaimanakah
akibatnya"
Dia masuk kedalam lembah adalah untuk membunuh orang, tak
perduli apa sebab musababnya yang terang sebuah tragedi bakal
terjadi. Dapatkah dibenarkan perbuatannya"
Sorot mata ibunya yang gelisah gugup dan penuh tanda tanya
melerok lagi kearah dirinya.
Dalam situasi sekarang ini mau tak mau dia harus mengambil
suatu keputusan. Mungkin karena malu akan kedudukannya yang
tinggi maka si nenek segan membuka mulut, tapi sebetulnya
sanubarinya benar2 ingin dirinya membantu untuk menyelesaikan
cita2nya yang tertunggak sampai puluhan tahun"
Setelah dipertimbangkan dengan tegas dia berkata kepada
ibunya: "Bu, Sukohco minta aku menghancurkan batu besar
dimulut lembah itu untuk memecahkan barisan didalamnya."
San hoa li Ong Fang lan menjadi tegang, sahutnya tergagap: "O,
nak..." "Cepat kalian menggelinding pergi!" teriak si nenek aneh
berjingkrak gusar.
Ter-sipu2 San hoa li Ong Fan lan berlutut dan berseru: "Sukoh,
mohon dimaafkan kalau perkataan Tecu ini kurangajar, apakah
faedahnya Sukoh menunggu selama ini?"
Daging diwajah si nenek ber-kerut2 dan gemetar, katanya sedih:
"Budak, bangunlah."
"Sukoh setuju?" tanya San hoa li Ong Fang lan sambil bangkit
berdiri. "Tidak!" nadanya sudah agak lembek tidak seketus semula.
"Sukoh, Tecu mewarisi kepandaian Unsu adalah karena
jodoh. Mungkin Unsu tidak akan menduga setelah beliau
meninggal puluhan tahun bisa mendapat seorang murid seperti
aku. Sekarang aku juga ada jodoh dapat menemukan Sukoh yang
masih sehat waalfiat meskipun sudah tua, meskipun aku sebagai
Sutit hakikatnya seperti murid sendiri juga, maka Tecu
memberanikan diri berlaku kurangajar, harap Sukoh berpikir
panjang." Suma Bing melengak mendengar perkataan ibunya itu. Naga2nya
si nenek ini pasti ada hubungan saudara sepupu dengan majikan
Panggung berdarah yaitu Bu lim ci sin. Didengar dari nada
perkataan ibunya, kiranya setelah dia mendapat buku pelajaran
ilmu silat peninggalan Bu lim ci sin baru dia bersua dengan
Sukohnya ini. Kejadian dalam dunia ini memang serba-serbi dan
susah diduga sebelumnya.
Hanya belum diketahui siapakah nama julukan si nenek beruban
ini, yang terang pasti dia juga salah seorang tokoh silat nomor
wahid pada jaman mudanya dulu.
Karena desakan pikirannya ini, tanpa terasa mulutnya bertanya:
"Sutitsun mohon bertanya nama julukan Sukohco!"
Sekian lama si nenek aneh beruban ragu, akhirnya berkata
Tiga Mutiara Mustika 3 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Amarah Pedang Bunga Iblis 2
^