Pedang Golok Yang Menggetarkan 1

Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Bagian 1


"Pedang Golok Yg Menggetarkan
Thian Kiam Coat To
Karya : Wo Lung Shen
Saduran : Boe Beng Tjoe
Judul lama : Pedang Penakluk Golok Pembasmi
Synopsis : Dunia persilatan sangat mengharapkan Thian Kiam - Kie Tong
(pemilik Ong To Kiu Kiam) dan Pa To - Siang Go (pemilik Toan Hun
It To) berduel untuk mengetahui siapa yang lebih unggul, dapatkah
Ong To Kiu Kiam membendung Toan Hun It To. Sayang sekali tidak
pernah tersiar kabar pertarungan kedua jago tersebut, karena
mereka berdua saling menghindari bentrokan, sama-sama tidak
yakin bisa mengatasi lawan. Akhirnya sama-sama menyeberangi
Seng Su Kio (jembatan hidup mati) dan hidup mengasingkan diri di
sana karena tidak pernah ada orang lain lagi yang berhasil selamat
menyeberangi Seng Su Kio yang diliputi kabut tebal dan pusaran
angin kencang. Berpuluh tahun kemudian, barulah Coh Siauw Pek, bocah berusia
lima belasan tahun yang diliputi rasa putus asa dan dendam akibat
terbasminya orang tua, saudara dan seluruh keluarga berjumlah
seratus jiwa lebih oleh 9 partai besar dan 9 bun / pang / hwee
ternama, berhasil tanpa sadar melewati Seng Su Kio dan bertemu
dengan Kie Tong dan Siang Go.
Berbekal Ong To Kiu Kiam dan Toan Hun It To warisan Thian
Kiam dan Pa To, Coh Siauw Pek keluar lagi dari Seng Su Kio dan
mulai menyelidiki misteri di balik pembasmian keluarganya yang
bermula dari dituduhnya ayah bunda Coh Siauw Pek membunuh 4
orang ketua dari 4 partai besar. Dalam usahanya tersebut, Coh
Siauw Pek bertemu dan berserikat dengan beberapa orang gagah
yang mendukungnya, membentuk Kim To Bun (Perkumpulan Golok
Emas; Kim To ini pernah menjadi lambang keadilan warisan seorang
cianpwee). Menariknya, dalam Kim To Bun ada 2 orang kakak
beradik perempuan yang cerdik pandai (keduanya cantik jelita tapi
sang kakak buta dan sang adik bisu) yang bertindak sebagai kunsu
(penasihat) bagaikan Cukat Liang / Khong Beng dalam cerita Sam
Kok...................
JILID 1 LAWAN-LAWAN GANAS
Ketika itu cuaca guram bercampur hujan rintik rintik,Justru itu
lima ekor kuda tunggang tengah beriari lari dengan kencang dijalan
yang berlumpur, tanpa menghiraukan turunnya air langit itu.
Anginpun turut bertiup tiup.
Kuda yang lari terdepan dikendalikan oleh seorang anak muda
usia empat atau lima belas tahun- Dia berpakaian biru singsat,
sepatunya sepatu ringan, dan pada pelananya tergangung sebuah
pedang. Penunggang kuda yang kedua adalah seorang nona berumur
delapan atau semblan belas tahun parasnya cantik. Hanya ketika
itu, wajahnya muram duka dan letih, seperti juga rambutnya yang
kusut. Pakaiannya berlepotan lumpur. Sedangkan lengannya yang
kiri dibalut dengan sapu tangan putih yang tembus oleh darah
merah Penunggang kuda yang ketiga tak dapat dijelaskan warna
pakaiannya, sebab dia bagaikan habis mandi lumpur, hanya usianya
diduga dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun- Dia adalah
seorang pemuda.
Sebagai penunggang kuda yang keempat adalah seorang nyonya
setengah baya, yang sepasang alisnya hampir menempel satu
dengan lain- Wajahnya sangat muram karena kedukaan Ia
membalut lehernya dengan saputangan yang juga ditembus oleh
darah merah. Ia seperti baru terkena luka.
Penunggang kuda yang kelima, yang terakhir adalah seorang pria
umur lima puluh tahun lebih. Dia ini berdandan singkat dan
membekal sebatang golok. Dia memelihara janggut yang panjang
dan telah ubanan. Dia bermata tajam akan tetapi disaat ini, kedua
belah matanya seperti digenangi air, sedangkan mukanya
bergoreskan empat lintang luka luka golok. yang dua di antaranya
masih baru. Dipandang dari seluruhnya, teranglah bahwa kelima penunggang
kuda ini tengah melarikan diri atau menyingkir dari sesuatu. semua
kuda mereka nampak sudah letih sekali.
Cuaca sementara itu makin muram dan hujan dengan perlahan
lahan mulai tambah deras turunnya...
Si orang tua berjanggut putih itu memandang kesekitarnya. Tiba
tiba dia mengeduttali kudanya, membuat kudanya itu terkejut lalu
berjingkrak untuk terus berlompat lari, hingga sesaat kemudian dia
telah dapat menyusul sinyonya setengah tua.
"Marilah kita beristirahat sebentar" katanya sambil menghela
napas panjang. "segera kita akan melanjutkan perjalanan kita ini.
Bagaimana dengan lukamu itu" Parah juga, bukan"
Berkata demikian, tanpa merasa, orang tua ini melelehkan air
matanya. Nampaknya dia sangat berduka. Air matanya jatuh
berderai. Si nyonya yang diajak bicara, yang tadinya berwajah duka,
tersenyum. "Tak apa apa" sahutnya tenang, sedang sebenarnya, dia terpaksa
mesti menguatkan hatinya melawan rasa dukanya. "Inilah luka
ringan yang aku masih dapat mengatasinya. Hanya... ah aku
menguatirkan anak Koan-.. dia..."
Si nona, yang menjadi penunggang kuda yang kedua, tiba tiba
berpaling. "Ibu, aku tak kurang suatu apa" ucapannya. Tapi, walaupun dia
tersenyum, dua tetes air matanya masih jatuh berderai.
"Anak Koan, jangan kau mendustai ayahmu..." kata si pria tua.
"Ayah, aku memang tak kurang suatu apa" kata si nona cepat.
Diam diam dia menggertakkan giginya. Dia pun mengangkat
sebelah lengannya. "Ayah lihat, lenganku tak sakit lagi"
Akan tetapi, dengan mengangkat dan menggerakkan tangan itu,
timbul rasa nyerinya yang hebat, hingga nona itu mengeluarkan
peluh dingin- Lekas lekas dia menyampingkan mukanya, untuk tak
memperlihatkan wajahnya kepada kedua orang tuanya itu. Terus dia
menjepit perut kudanya, membuat binatang tunggangannya itu
berlari kencang.
orang tua itu bermata jeli, ia bagaikan dapat melihat luka lengan
puterinya itu. ia mengerti, tanpa perawatan yang cepat, lengan itu
bisa bercacat, saking berduka, ia berdongak. mengawasi langit.
"Aku Tjoh Kam Pek..." keluhnya, "melihat keatas aku tak malu
kepada langit, melihat ke bawah, aku tak malu kepada bumi,
karenanya mengapa kami sampai menjadi begini" Kenapa aku mesti
membuat isteri dan anak anakku tersangkut paut hingga mereka
mesti mengikutiku sengsara merantau menyingkirkan diri"..."
si nyonya melarikan kudanya, menyusul si orang tua, suaminya.
setelah datang dekat, ia mengulurkan lengan kanannya, untuk
menyeka tangan kiri si suami.
"Janganlah kau berduka suamiku," katanya, halus. "Manusia baik
akan memperoleh berkah Tuhan yang Maha Kuasa... salah paham
ini penasaran kita ini akhir akhirnya akan dapat dibikin jelas juga.
Kapan telah tiba saatnya maka orang orang Rimba Persilatan itu
pasti bakal menjadi malu sendirinya..."
orang tua itu, yang menyebut dirinya Tjoh Kam Pek.
menggelengkan kepala.
"sudah delapan tahun..." sahutnya, sedih bercampur murka. "Kita
telah melintasi air air yang hitam dan gunung gunung yang putih,
kita telah menjelajah padang pasir dan tegalan belukar, akan tetapi,
dimanakah tempat kita mendiamkan diri" Ah... sudah delapan
tahun, belum pernah kita dapat beristirahat tenang barang tiga hari,
kita terus mesti berlari lari... sakit hati ini, yang dalam bagaikan
lautan. tak ada harinya untuk dilampiaskan.... Terang sudah bahwa
orang orang Rimba Persilatan, semuanya menghendaki dapat
membekuk kita sekeluarga, baru mereka akan merasa puas
walaupun aku memiliki lidah tajam seperti souw Tjin, sulit bagiku
untuk memberikan penjelasan..."
"Jangan bersusah hati, suamiku, berkata si nyonya, "sang waktu
masih panjang, siang hari masih banyak. tak usahlah kita terburu
napsu..." Kam Pek mengawasi isterinya. Ia melihat sapu tangan putih yang
melilit leher isterinya yang telah menjadi merah seluruhnya. Itulah
bukti bahwa darah segar masih mengalir keluar. sejenak, ia merasa
malu pada dirinya sendiri, karena tidak mampu membelai
melindungi isteri itu
"Kita telah berlari lari satu malam dan setengah hari," katanya
kemudian. "Jikalau aku tidak salah hitung, seng su Kio pasti tak ada
seperjalanan seratus mil lagi, karena itu, marilah kita beristirahat
sebentar." Dengan perlahan lahan sinyonya mengangguk
"Baiklah" sahutnya. "Kitapun perlu memeriksa lukanya anak
anak... Ah kasihan anak-anak yang tidak berdosa ini, mereka mesti
mengikuti kita untuk menderita kesengsaraan selama delapan
tahun, belum pernah ada satu haripun dimana kita dapat berdiam
dengan tenang." Bukan kepalang berdukanya Kam Pek.
"Aku adalah seorang laki-laki sejati," katanya "akan tetapi aku
tidak sanggup melindungi istri dan anak-anakku. sungguh
memalukan" suara orang tua ini menggetar.
"Jangan kau sesalkan dirimu, suamiku," berkata sang istri.
"Biar bagaimana sebab musabab dari ini semua adalah aku
sendiri, istrimu." Kam Pek mengangkat kepalanya, dia menghela
napas. "Bukankah didepan sana itu ada sebuah rumah suci?" katanya.
"Mari kita pergi kesana, untuk melindungi diri dari hujan dan angin."
Begitu habis mengucapkan kata katanya itu orang tua ini segera
menarik tali kudanya, untuk melarikan binatang itu ke arah kuil yang
disebutnya. Nyonya Kam menyusul suaminya diikuti oleh anak-anak
mereka. Tujuan mereka adalah arah barat utara, barat laut.
sang hujan, dari gerimis telah semakin keras, semakin lebat.
Cuaca juga menjadi bertambah guramJauh disebelah depan, sebuah
gunung bagaikan diliputi uap-uap yang seperti menyambungkan
bumi dengan langit.
Perjalanan itu tak jauh lagi, akan tetapi karena semuanya
dikaburkan keras, kelima kuda Kam Pek berlima menjadi sangat
letih, tapi syukurlah mereka segera juga tiba ditempat tujuan.
Itulah san sin Bio sebuah kuil malaikat gunung. saking kecilnya,
ruang melainkan satu. Walaupun kecil, tembok seluruhnya putih
bersih, gentingnya baru, dan pintunya baru juga. semua itu
menandakan bahwa kuil ini baru diperbaharuhi.
Paling dulu Kam Pek lompat turun dari kudanya. Ketika ia
membentangkan kedua belah tangan untuk menyambut istrinya,
dan membantuinya turun dari kudanya, istri itu sebaliknya
mendahului lompat turun dari atas kuda tunggangannya.
"Tak usah melayani aku," kata sinyonya perlahan "Lekas lihat si
Koan, anak kita..."
sementara itu sinona, yang disebut anak Koan telah lompat turun
dari kudanya menyusul turun ayah bundanya. setelah itu ia
langsung menghampiri anak laki-laki usia empat atau lima belas
tahun itu. "Adik, mari turun", kata lembut, "Kita beristirahat disini."
Bocah itu ketika menghentikan kudanya tidak segera lompat
turun. ia hanya mengangkat mukanya, sedangkan sepasang alisnya
berkerut, seolah sedang memikirkan sesuatu yang tak ringan- ini
adalah karena, berlari larian selama delapan tahun telah membuat
ia dalam penghidupannya matang terlalu siang. Didalam usia empat
tahun atau lima belas tahun itu, telah lenyap masa kegembiraan
yang wajar, hingga ia tak lagi mirip dengan seorang anak yang baru
mulai besar... sinona mengulurkan tangannya, dengan sabar mencekal lengan
kanan bocah itu.
"siauw Pek. kau memikirkan apa?" suaranya halus.
Bocah itu, yang dipanggil siauw Pek. nampak terkejut, tetapi
hanya sekilas saja. segera ia lompat turun dari kudanya, bahkan ia
tersenyum. "Aku tidak memikirkan apa apa, kakak," sahutnya "Apakah kita
hendak beristirahat?" si nona tertawa sedih.
"Ya," sahutnya. "Kita sudah berlari lari selama satu malam
setengah hari... Kuda kita pun telah lelah, hingga tak dapat lari
terlebih jauh lagi..."
Habis berkata, si nona memandangi adiknya itu. Ia mengira ngira
tinggi tubuhnya si adik, Tiba tiba air matanya turun menetes. Ia
ingat, ketika mereka lari meninggalkan rumah mereka, adik ini
masih seorang bocah cilik yang belum tahu apa apa, akan tetapi
sekarang, dia telah menjadi besar mirip dengan seorang pemuda. si
adik diajak lari menyingkir didalam usia enam atau tujuh tahunsiauw
Pek pun mengawasi kakaknya itu sang enci atau kakak
wanita. "Kakak. tubuhku lebih tinggi daripada tubuhmu" ujarnya.
Kakaknya tertawa tawa.
"Ya, kau lebih tinggi" katanya. "Kau telah jadi besar"
Delapan tahun lamanya. Keluarga Coh ini hidup didalam
perantauan merantau sambil berlari lari bersembunyi dari
pengejaran musuh musuh mereka selama itu mereka sering
kehujanan, kelaparan, dan kehausan. selama itu juga, merekapun
telah mengenal banyak, belajar bukan sedikit. Hingga masing
mereka tak ingin membuat mereka satu pada lain menjadi berduka.
Bersama sama mereka saling menguatkan hati, saling mencoba
untuk menderita sendiri sendiri
Disaat itu datanglah sianak muda, mendekati si bocah. Dia
adalah seorang yang berusia dua puluh dua atau dua puluh tiga
tahun. Dengan tiba tiba saja dia mengulurkan tangannya menyabuti
tali kuda adiknya.
"Pergilah kamu bersama sama ayah dan ibu masuk kedalam kuil
untuk beristirahat" katanya, sambil tertawa.
" Kakak, kau justru yang paling lelah," kata si nona pada pemuda
itu. Ia bicara dengan suara sangat perlahan dan halus.
Pemuda dengan pakaian bermandikan lumpur itu tertawa
hambar. Dia tidak menjawab, hanya terus menuntun kelima ekor
kuda mereka menuju sisi kuil dimana ada sebuah pekarangan yang
ditumbuhi rumput. Disitu kelima ekor kuda itu lantas makan rumput
dengan lahapnya karena mereka sudah sangat lapar. Kam Pek
menggebriki air hujan pada bajunya.
"Ki Pek, tinggalkan kuda itu", katanya pada putera sulungnya.
"Kau juga harus turut beristirahat".
"sebentar, ayah." sahut si pemuda. "sekarang ini baiklah ayah
periksa dahulu luka ibu dan adik Koan."
Kam Pek mengangguk, ia melurut jenggotnya yang panjang,
terus melangkah kedalam kuil, menyusul isteri dan kedua anaknya.
Memang biasanya, setiap ada waktu untuk istirahat, Ki Pek selalu
mengurus dahulu kelima ekor kuda mereka, supaya semua binatang
tunggangan itu dapat makan dan mengaso cukup. Ia mengerti
pentingnya hal itu. selama delapan tahun, belum pernah ia lalui
walau sehari juapun.
Didalam ruang kuil yang kecil itu, Kam Pek duduk berempat
bersama isteri dan dua anaknya. Ia meloloskan kantung kain minyak


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang diikat pada pinggangnya, untuk membuka kantung itu, ia
mengeluarkan isinya, ialah bekal santapan kering.
"Anak mari makan" katanya. "Ini mungkin perjalanan kita yang
terakhir, setelah ini, bisa jadi tidak akan ada orang lagi yang
menyusul dan mengejar ngejar kita..."
sembari berkata-kata, Kam Pek membuka tutup sebuah botol
yang terbuat dari batu kemala putih. setelah itu ia memandang
isterinya, sambil tertawa sedih.
"Ini juga botol kita yang terakhir..." katanya, pelan. Terus ia
menoleh kepada anak gadisnya, dan selanjutnya berkata : "Anak
Koan mari, aku hendak lihat lukamu."
" Luka ku tak parah, ayah," kata sinona. "Baiklah ayah periksa
dahulu lukanya ibu."
si nyonya, atau sang ibu tertawa tawar.
"lbumu telah berusia lanjut, luka ini baginya tidak ada artinya,"
katanya. "Luka dileher ini, andaikata tidak diobati, paling juga akan
menimbulkan satu cacad. Tidak demikian dengan kau, anak. Kau
masih muda, jika tanganmu cacad, kau bakal menyesal seumur
hidupmu..."
"Tapi obat ini cukup untukmu berdua", Kam Pek menyela.
Berkata begitu, suami ini lantas membuka balutan pada leher
isterinya, hingga ia melihat bekas suatu bacokan yang dalam sekira
satu dim, luka mana hampir mengelilingi seluruh leher, Luka itu
masih mengeluarkan darah. Maka ia menjadi terkejut sekali.
"Hebat juga golok ini" katanya didalam hati. "syukur lukanya
tidak sampai mengenai otot besar..."
Tidak ayal lagi Kam Pek memakaikan obat pada luka istrinya,
ialah obat bubuk warna putih, cepat-cepat ia membalutnya.
"sekarang giliranmu, anak Koan" katanya kemudiansembari
membuka balutan pada lengannya Bun Koan, demikian
nama anak dara itu menghampiri ayahnya lantas melonjorkan
tangannya. Luka itu diperolehnya beberapa hari yang lalu karena kurang
terawat, dan terkena angin dan air hujan, tampak mulai bernanah.
Ayah itu mengerutkan alisnya. "Anakku, katanya, menghela
napas, kalau terlambat dua hari lagi, akan hebatlah kesudahannya
luka ini, yaitu lengan kirimu ini bakal bercacad..."
Habis berkata, Kam Pek menuang sisa isi botolnya, lalu botol itu
dilempar dan kemudian dibalutnya pula luka puterinya.
"Mudah mudahan inilah perjalanan kita yang terakhir. tak usah
kita tercandak dan terkepung lagi oleh musuh kita yang tangguh..."
katanya perlahan, dengan wajah yang suram.
"Ayah", tiba-tiba siauw Pek. sianak tanggung berkata, "ada suatu
hal yang aku tidak mengerti, aku tidak tahu, aku dapat bertanya
atau tidak..."
Kam Pek tercengang. segera ia mengawasi putera bungsunya itu.
Ia melihat wajah si putera muram, bagaikan orang yang gusar. Tiba
tiba ia menghela napas panjang.
"Kau tanyalah, anak" serunya kemudian. "sebenarnya, sekalipun
kamu tidak menanyakannya, aku toh bakal memberi penjelasan
kepada kamu"
"Aku ingat," berkata sianak. "di itu hari yang aku ingat dan
mengerti, itulah saatnya kita serumah tangga sedang berada
didalam pelarian"
"oh, anakku." berkata si nyonya usia pertengahan, yang tak
dapat menahan turun air matanya, " ketika pada tahun itu kita mulai
meninggalkan rumah kita untuk meying kirkan diri, usiamu belum
lewat tujuh tahun..."
"sekarang ini, berapa tahun usiaku?" si anak bertanya.
"Lima belas", jawab sang ayah.
"Aku turut berlari dalam usia tujuh tahun." berkata lagi si anak,
"sekarang umurku lima belas tahun. itu berarti aku telah turut
merantau selama delapan tahun. selama itu aku ingat aku turut
melintasi gunung, menyeberangi sungai, menjelajah keselatan dan
keutara, ke perbatasan, kedaerah es dan salju, menginjak tanah
padang pasir dimana angin keras menderu deru selama itu kita
sekeluarga belum pernah mempunyai tempat dimana kita bisa
menginjakkan kaki kita sampai lama, dimana mana selalu ada saja
musuh-musuh yang menyandak kita oh, ayah, sebenarnya
perbuatan salah apakah yang pernah ayah lakukan hingga
menyebabkan semua orang rimba persilatan didalam dunia ini
serempak memusuhimu,"
Muda usia si anak akan tetapi sudah sejak beberapa tahun ia
memikirkan soal ini yang membuatnya tak mengerti dan heran,
hingga ia menerka-nerka didalam masgul dan bingungnya. Baru hari
ini ia dapat kesempatan mengajukan pertanyaannya ini.
Belum lagi ayahnya memberikan jawaban dengan suaranya yang
keras, Siauw Pek sudah berkata pula : "setiap kali muncul orang
orang menempur ayah, ibu, kakak dan enci, setiap kalinya mereka
itu adalah orang orang yang berlainan. Mungkinkah mereka itu
mempunyai dendam kesumat yang hebat sekali terhadap ayah "
Mungkinkah mereka orang-orang jahat semua."
"Tutup mulut " mendadak berseru sang ibu "Bagaimana kau
berani bicara begini rupa terhadap ayahmu" Apakah kamu tidak
tahu aturan".
Mendengar teguran ibunya, bocah itu nampak sabar, akan tetapi
ia masih menatap ayahnya dan sembari menangis, ia berkata :
"Maaf ayah, aku bersalah " segera ia menjatuhkan diri, berlutut
dihadapan ayahnya itu. Kam Pek menoleh kepada isterinya.
"Jangan tegur dia," katanya sabar. ia menghela napas. "Dengar
aku si orang she Coh yang tak punya guna," tambahnya. "Aku telah
membuat isteri dan anak anakku turut merantau sengsara selama
bertahun tahun..." ia mengangkat tangannya mengusap usap kepala
anak bungsunya itu, lalu dengan suara parau, ia berkata pula :
"Anak. kau tidak salah. Ayahmu tidak berdaya mencuci salah paham
dan dendam penasaran ini, hingga kamu semua, anak anakku,
terpaksa mendapat nama yang tidak bersih" siauw Pek mengangkat
kepalanya, ia mengawasi ayahnya.
"Ayah Dendam penasaran ini dapatkan ayah menjelaskannya
kepadaku?" ia bertanya. Ayahnya tertawa sedih, seraya
mengangguk. "Tentu dapat aku menjelaskan kepadamu, anak-anakku".
jawabnya. "saat ini justeru saat yang terakhir. Memang, walaupun
kau tidak menanyakan, ayahmu hendak menggunakan kesempatan
ini buat cerita kepada kamu, supaya kamu semua tahu duduknya
persoalan."
Coh Bun Koan, siputeri, yang sejak tadi diam saja mengawasi
ayahnya, tiba-tiba menyela.
"Ayah, sabar", katanya "Kita sudah bisa menyingkir selama
delapan tahun, belum pernah musuh-musuh kita berhasil
memuaskan hati mereka karena itu, kenapa kita tidak dapat memikir
terlebih jauh " Ilmu silat kakak bertambah maju setiap hari, aku
sendiri merasakan diriku memperoleh kemajuan juga, maka itu,
baiklah kita tunggu sampai luka lenganku ini sudah sembuh, nanti
kita mencoba melawan pula musuh musuh kita itu. Kali ini, kita akan
melawan secara mati matian Hanya ada satu hal yang tidak aku
mengeri. Kenapa ayah rela menerima luka-luka serangan dari
musuh musuh kita tetapi ayah sendiri tak sudi membalasnya dengan
serangan balasan yang mematikan mereka ?"
Wajah Kam Pek bersedih dan muram, akan tetapi mendengar
pertanyaan puterinya itu, ia tersenyum. Dengan suara yang bernada
menghibur, ia menjawab. "Tak dapat ayahmu melakukan kesalahan
lagi sesudah terlebih dahulu d la membuat suatu kekeliruan.
sekarang ini ayahmu sudah berusia lebih daripada setengah abad,
kalau aku mesti mati, aku rela, tak usah jadi penjelasan.
Mungkinkah aku membuat permusuhan lebih hebat yang akibatnya
bakal diderita oleh kamu semua " Tidak. aku tak dapat menanam
bibit permusuhan semacam itu"
"Ayah sangat bermurah hati," berkata sinona, berduka. "Tetapi
disamping itu, ayah, musuh-musuh kita yang mengejar kita tak
henti hentinya itu sama sekali tak sudi memberi ampun kepada kita.
selama beberapa tahun, ayah dan ibu telah menghadapi ratusan kali
pertarungan, sempat ayah dan ibu mendapat luka ringan dan berat
toh semua itu tak dapat merobah hati musuh-musuh ganas itu.
Tetap mereka masih mengejarnya untuk membasmi kita Kenapa
semangat ayah bagaikan telah runtuh ?" Tjoh Kam Pek
menggelengkan kepala.
"Bukan, anak. semangan ayahmu belum runtuh " katanya. "Aku
menjadi seperti tak berdaya karena paksaan suasana. sebab aku
insaf tak dapat kita menghindarkan diri dari ancaman marabahaya
melainkan dengan kita bekerja sama dan berkelahi mati matian.
Musuh-musuh kita itu, sembilan partai yang telah mengirim
pemberitahuan kepada seluruh dunia Rimba Persilatan
menganjurkan orang-orang Rimba Persilatan yang mana saja untuk
membekuk ayahmu ini. Mereka itu telah dijanjikan, siapa saja yang
berhasil menawan hidup hidup diriku, dia akan diberi hak memulih
dan mendapatkan tiga macam ilmu silat yang istimewa dari
kesembilan partai persilatan yang besar itu, sedangkan siapa yang
bisa menangkapku dalam keadaan mati ia akan memperoleh satu
macam ilmu kepandaian istimewa. Itulah hadiah yang luar biasa,
yang belum pernah ada sejak dahulu kala. Itulah hadiah yang paling
berharga hingga orang tertarik. siapa tidak tahu bahwa setiap partai
itu memiliki masing masing tiga macam ilmu kepandaian yang
istimewa Bukanlah sembilan partai itu menjadi dua puluh tujuh ilmu
silat yang mahir sekali" siapa mempunyai ilmu silat itu, pasti dia
bakal menjagoi dunia sungai Telaga, dunia Persilatan"
"sekarang aku telah mengerti," kata Nona Bun Koan. "Rupa
rupanya musuh kita itu, yaitu disebabkan mereka ingin memperoleh
ilmu silat yang istimewa itu, mereka memusuhi kita walaupun kedua
belah pihak tak ada pemusuhan yang besar."
"Ya, begitulah duduknya hal sebenarnya," sahut Kam Pek,
memastikan- " Karena itu, semua orang di Rimba Persilatan telah
menjadi musuh musuh kita sekeluarga. Coba pikir dapatkah kita
menentangnya?" Ia menarik napasnya panjang panjang, terus
menambahkan : "oleh karena itu, bagi kita semua, tidak ada menyingkirkan diri
Aku tidak percaya bahwa didalam dunia yang begini luas bakal tidak
ada satu tempat dimana kita bisa berlindung yang tenang dan
aman. Memang sudah delapan tahun kita berlarian dan masih belum
menemukan tempat itu, akan tetapi, kita tak berputus asa. Kita
harus mencari kehidupan dalam kematian. Kita harus mencoba
mencari jalan hidup" Bun Koan masih hendak menanyakan lebih
jauh, tapi siauw pek, adiknya, menyela.
"sebenarnya, ayah," tanya si anak bungsu. "urusan apakah yang
menyebabkan kesembilan partai besar itu memusuhi ayah sampai
mereka mengumumkan berita menjanjikan hadiah ilmu silat yang
istimewa?".
sebelum menjawab Kam Pek menoleh pada isterinya, lalu ia
tertawa sedih. "Kali ini, apakah mati atau hidup, sulit untuk dapat dipastikan.
oleh karena itu, jika sekarang kita tidak memberi penjelasan pada
anak anak kita ini, mungkin sudah tidak ada temponya yang lain
lagi..." sang nyonya istri itu menyahut sabar: "Kalau begitu, terserahmu
suamiku". segera Kam Pek mengangkat palanya. Dan ia menghela napas,
melegakan hatinya.
"Anak inilah satu soal yang sulit sekali, suatu salah paham yang
sukar untuk dijelaskan". Katanya kemudian. "Bicara sebenarnya,
sampai disaat ini, ayahmu masih belum dapat menerka tepat,
apakah itu fitnah atau suatu kebetulan saja. Coba kesembilan partai
itu tidak terus terusan mengejar padaku, mungkin selama delapan
tahun aku telah berhasil membekuk si pelaku utamanya yang
bersalah."
Tiba tiba sang ayah itu menghentikan kata katanya. Mungkin
kuatir, anak anaknya tidak akan mempercayainya.
"sakit hati apakah itu ayah?", tanya siauw Pek. " Kenapa ayah tak
bicara terus?"
"Jikalau aku bicara terus", kata sang ayah ragu, "Aku kuatir kau
sukar mempercayai..." Ia diam sejenak. tiba tiba berkata keras :
"Kie Pek. mari ayah ingin bicara kepadamu semua".
Putera sulung itu, yang masih berada diluar kuil, menyahut
panggilan ayahnya terus lari masuk.
"Ada apakah ayah?", tanyanya sambil menggibriki air hujan pada
bajunya. Ayahnya bangkit dengan perlahan lahan.
"Tahukah kami sebabnya kesembilan partai besar mengirimkan
pemberitahuannya itu" Kenapa mereka bersatu padu hendak
memusnahkan kita sekeluarga?" Demikian pertanyaan ayah itu
akhirnya. Kam Pek menghela napas perlahan-
"Aku hanya ketahui ayah mempunyai dendam penasaran yang
hebat sekali," sahutnya.
"Tahukah sebabnya?"
"sebegitu jauh yang aku tahu itu disebabkan empat ketua dari
kesembilan partai besar itu telah dibunuh secara diam diam," sahut
sang anak. "Dan didalam hal itu kesembilan partai besar telah
mencurigai dan menuduh ayah yang melakukan pembunuhan gelap
itu, lalu membabi buta tanpa memberi penjelasan, mereka
menitahkan murid murid mereka mencari dan menyerang ayah.
Demikianlah sudah terjadi, para murid kesembilan partai besar itu
telah menyerbu Pek Ho Po yang mana dilakukan diwaktu malam
gelap gulita, mereka membasminya sampai kita terpaksa
mengangkat kaki dari rumah kita itu..."
Rumahnya keluarga Tjoh itu dinamakan "Pek Ho Po", yang
berarti "dusun burung Jenjang putih". sebagai umumnya, dusun itu
merupakan perkampungan orang orang she Tjoh berikut para
pegawainya. Tiba tiba siauw Pek memandang kakaknya dan bertanya: "
Kakak, kenapa mereka itu menyangka ayah?" Ditanya begitu, Kie
Pek melengak. "Entahlah," sahutnya sejenak kemudian-"Aku tak jelas..."
Habis menjawab adiknya, kakak itu berpaling kepada ayahnya.
"Rupa- rupanya," ia meneruskan setelah hening sejenak. "justru
di saat ketua-ketua dari keempat partai besar itu, yaitu siauw
Limpay, Bu Tong Pay, Ngo Bie Pay dan Khong Tong Pay, telah
dibinasakan orang, justru ayah tiba dipuncak Yan-le Hong di bukit
Pek Man itu"
Pek Ma san, atau bukit "Kuda Putih", adalah bukit di mana terjadi
bencana atas diri ketua keempat partai itu, dan tempat terjadinya
ialah diatas Yan-le Hong, puncak "Asap dan Hujan".
Jawaban Kie Pek ini ditujukan kepada siauw Pek. adiknya, akan
tetapi tak langsung tertuju juga kepada ayahnya. Biar bagaimana,
iapun merasa heran, hingga ia meragu ragukan keterangan ayahnya
itu. Kam Pek mengusut janggutnya yang panjang. Ia tertawa
menyeringai, terus memandang istrinya.
"Tidak heran jikalau kesembilan partai besar mengirim
pemberitahuan kepada kau Dunia sungai Telaga untuk menjanjikan
hadiah guna membinasakan kita," katanya perlahan, "kau lihat
sendiri, sekalipun anak anak kita, mereka juga menyaksikan ayah
sendiri." Kaum sungai Telaga, Yang ouw, adalah sama dengan kaum


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rimba Persilatan, Bu Lim.
Mendengar kata kata ayah itu, mendadak siauw Pek
menjatuhkan dirinya berlutut dihadapan orang tuanya, sembari
menangis, ia berkata. "Sama sekali bukan aku mencurigai ayah,
melainkan mengharap ayah sudi memberikan keterangan yang jelas
supaya kelak dikemudian hari aku dapat melakukan penyelidikan
guna mencuci bersih penasaran ayah ini."
Wajahnya Kam Pek tiba tiba menjadi pucat tubuhnyapun
bergemetar. Teranglah bahwa hatinya telah terguncang keras.
Karena ini, buat sekian lama, tak dapat ia mengucapkan sesuatu.
Tiba tiba Nonya Tjoh berkata. "suamiku kau beritahukanlah
kepada mereka Ah, sampai disaat ini, tak usah kau menolongku
melindungi muka terangku..." Kam Pek menarik napas perlahan. ia
memandang anak anaknya. "Tahukah kamu tempat tujuan kita?"
tanyanya. Bun Koan, yang sekian lama itu berdiam saja, menyahut dengan
tiba tiba. "Itulah seng su Kio "
Siauw Pek heran, Seng Su Kio adalah nama jembatan, dan
artinya "Peng Lu" itu ialah " Hidup mati". sebenarnya ia hendak
meminta keterangan akan tetapi melihat muka ibunya, yang
mengucurkan air mata deras, ia menahan kehendaknya. Kam Pek
memandang anak anaknya satu persatu.
"Tahukah kamu, kenapa tempat itu diberi nama seng Lu Kio?" ia
bertanya. "Aku tidak tahu", jawab Bun Koan sang puteri.
"Itu adalah sebuah tempat yang keadaannya sangat berbahaya",
mengerangkan sang ayah. "Di dalam kalangan Rimba Persilatan,
nama tempat itu tak pernah lenyap dari benak pikiran. Apakah
sebabnya itu" sebenarnya, aku sendiri tidak mengetahuinya jelas,
cuma aku dengar telah pernah ada ratusan, ya ribuan orang orang
Rimba Persilatan yang telah membuang jiwa raganya di situ"
"Jikalau tempat itu sedemikian berbahaya, buat apakah kita pergi
kesana?" tanya Bun Koan
"Mustahilkah di dalam dunia yang begini lebar ini tidak ada satu
tempat juga dimana dapat kita menaungkan diri?"
"Tidak, tidak ada lagi" sahut sang ayah.
"Di gunung yang lebat, disungai yang luas, juga dipadang pasir
dan tanah belukar, ditempat mana saja kemana kita dapat pergi,
kesana mereka akan dapat menyusul dan menyandak, kecuali seng
su Kio. Di sana, sebaliknya, walaupun tempat sangat berbahaya,
kita masih dapat mencari suatu jalan hidup,.."
"Maafkan anakmu, ayah," tanya Nona Bun " Kenapa tempat itu
diberi nama seng su Kio jembatan Hidup Mati yang demikian
seram?" "Menurut cerita," menjawab Kam Pek. yang memberikan
keterangannya, "tempat itu sebenarnya adalah sebuah jembatan
batu, yang sepanjang tahun gelap tertutup kabut hitam dan tebal,
dan siapa menginjak dan jalan di atas jembatan itu maka dalam hal
hidup atau mati, dia sudah tidak berkuasa lagi atas dirinya. Begitu
jauh, selama beberapa puluh tahun, cuma ada dua orang yang
berhasil menyeberang melintas ijembatan maut itu, akan tetapi
tentang mereka, tak ada yang tahu mati atau hidup, semenjak
berhasilnya dua orang itu, belakangan lantas ada orang orang
Rimba Persilatan yang mencoba mengikuti jejak mereka, hanya, tak
ada di antara mereka yang mencapai maksud hatinya."
"Jikalau begitu, ayah, dapatkah kita menyeberangi?" tanya sang
puteri. Ayah itu tertawa, dia menggelengkan kepalanya.
"Aku juga tak tahu," sahutnya. " Karena kedua tjianpwee itu
telah mendahului kita dan telah berhasil, kita juga dapat
mencobanya. siapa tahu jika di dalam kematian ada kehidupan" Kita
pun terpaksa, bukan" Terpaksa ayahmu mengajak kamu, untuk
mencoba coba..."
Kam Pek menghargai ke dua yang telah berhasil melintasi seng
su Kio itu maka juga ia menyebut mereka dengan panggilan
"tjianpwee" yang berarti "orang yang terdahulu yang terlebih tua,
yang dihormati."
Mendadak wajah ayah ini berubah menjadi keren. ia bicara terus,
perlahan tetapi tetap. Katanya : "Asal diantara kamu ada satu orang
saja yang berhasil tiba disebrang, dilain tepi dijembatan itu, maka
berarti bahwa Keluarga Coh tak akan putus, akan ada anggotanya
yang dapat menyambungnya hidup terus. Bagiku itu sudah cukup."
Baru saja berhenti suaranya Kam Pek, maka terdengarlah suara
gemuruh ringkiknya kuda, yang datang dari tempat yang jauh. Kam
Pek kaget sehingga mukanya menjadi pucat.
" Kembali ada musuh menyusul kita" katanya Dengan lincah si
nyonya lompat bangun, untuk lari keluar kuil.
"Aku mau mengambil kuda kita" katanya.
"Tak usah ibu susah susah" kata Kie Pek. Putera ini mau lompat
keluar tetapi ayahnya mencegahnya.
"Biarkan ibumu yang pergi" kata orang tua itu, yang suaranya
berubah sangar. lalu dengan dingin, dia menambahkan: "Jikalau kita
semua membuang jiwa kita dibawah jembatan maut itu, ya, sudah
saja, itulah nasib kita, walaupun demikian, aku mengharap, semoga
kita memperoleh berkah Tuhan Yang Kuasa, supaya di antara kamu
anak anakku ada seorang satu yang dapat melindungi jiwanya. Jika
harapanku ini terkabul, siapapun diantara kami yang hidup, kau
harus segera pergi keJie-wan disebelah selatan kota Gak yang.
Disana kamu cari seorang tuna netra yang disebut LaUw Hay-cu
atau Lauw si Buta. Kepadanya kamu tanyakan apa dia masih
menyimpan atau tidak barang titipan sahabat kekalnya dari kaum
Pek Kun- yaitu Partai putih. Umpama kata dia balik bertanya :
"sekarang ini waktu apa?" kaujawablah : sekarang waktu lohor
sedang matahari merah marong". Apabila dia berkata pula : Dijalan
ketanah baka tidak ada tempat mondok bermalam, maka tak salah,
dialah benar orang yang kau cari. setelah itu kau timpali kata
katanya itu dengan kata kata ini: "Tetamu datang dari Tanah Barat
tempat Buddha." Dengan begitu dapatlah kau minta barang titipan
ayahmu itu..."
Bicara sampai disitu, kata kata Kam Pek berhenti pula secara tiba
tiba. Kali ini karena ia mendengar suara bentakan yang datang dari
luar kuil malaikat gunung itu. Tanpa ragu ragu ia lompat keluar.
Menyaksikan gerak gerik ayahnya, Kie Pek menyambar lengan
kanan siauw Pek, adiknya, dengan suara dalam, ia berkata :
"Selama delapan tahun ini belum pernah kau mendapat luka, karena
itu selagi sekarang kita sudah berada dekat dengan seng su Kio, kau
harus terus dapat melindungi keutuhan tubuhmu ini. ini sangat
perlu, sebab kaulah yang harus mencuci bersih penasaran ayah
bunda kita. Kau dengar kakakmu, adikku, segeralah naik keatas
kudamu dan pergi kabur "
Begitu habis dia menutup mulutnya, Kie Pek segera berjalan
didepan adiknya, untuk keluar dari san sin Lio.
Bun Koan juga lompat keluar dengan gerakan lincah. Kurung
walet menembusi kerai, ia melintas disisinya Siauw Pek. untuk
mendahului Kie Pek.
Diluar kuil, didalam pekarangan, telah nampak Nyonya Kam Pek
sedang menempur seorang pendeta yang tubuhnya besar. senjata
pendeta itu ialah sebatang sekop "goal gee hong piansan" yang
besar. itulah senjata istimewa untuk para pendeta, atau hweeshio.
Berkilauan senjata istimewa itu dan anginnya bersiur siur keras, dan
dengan itu si nyonya bagaikan kena terkurung.
Kam Pek. yang telah tiba diluar, lantas menghunus senjatanya,
golok Kimpwee Kay san toe, sedangkan tangan kirinya merogoh
kesakunya, mengeluarkan sebilah pisau belati yang panjang kira kira
satu kaki, yang kedua belah tajamnya bersinar mencorong. Begitu
lekas ia datang dekat, ia lompat kepada si pendeta, untuk
menangkis turunnya senjata pendeta itu, hingga kedua senjata
mereka bentrok keras dan nyaring suaranya. selagi hong pian san
kena tertangkis itu, si penangkis meneruskan menikam dengan
tangan kirinya, dengan tipu silat "Merogo saku pengambil mutiara."
Pendeta itu terkejut, terpaksa ia mundur setindak.
Justru itu Coh Siauw Pek menghunus pedangnya, segera maju.
" Kakak. minggir" teriaknya. "Mereka sangat kejam, mereka tidak
sudi memberi kesempatan mereka telah mengejar kita sampai tak
ada tempat sembunyi untuk kita, karenanya daripada kita mesti
merantau terus tak berketentuan, marilah kita adu jiwa kita"
Menyusul itu terdengarlah teriakan Bun Koan "Kakak Adik.. Lekas
naik kudamu melanjutkan perjalanan kami. Aku akan bantu ayah
dan ibu melawan musuh musuh ganas kita ini "
Berbareng dengan itu, tampak muncullah pula belasan musuh
lainnya, yang langsung mengepung Kam Pek dan istrinya. Maka
orang she Coh itu dengan pedang ditangan kanan dan pisau belati
ditangan kiri, terus membuat perlawanan- Di dalam pertempuran ini,
ia terus mendampingi istrinya. Karena Nyonya Coh tidak dapat, tidak
sudi, menyingkirkan diri Untuk sejenak itu, musuh itu tak dapat
berbuat apa apa.
Erat hubungannya suami istri itu, rapi cara pembalasan dirinya.
inilah akibat pengalaman mereka selama delapan tahun, selama
mana hampir tak hentinya mereka menentang musuh musuh yang
mengejar, menyerbu dan mengeroyoknya. Hingga pertempuran itu
berupa sebagai latihan silat bagi mereka berdua. Hingga dengan
sendirinya kepandaian mereka jadi bertambah maju.
Coh Kie Pek tidak pergi menyingkir walaupun adiknya Bun Koan,
telah menyuruhnya. Sebaliknya, dia segera meraba kepinggangnya,
untuk meloloskan sepotong joan pian, yaitu cambuk lemas yang
menjadi senjatanya, sedangkan tangan kirinya mencabut dari sela
sela kaos kakinya sebatang kim kiam, pedang emas, panjang satu
kaki. "Adik Koan,jangan maju" ia berseru ketika melihat Bun Koan
menggerakkan tubuhnya untuk menghampiri ayah bunda mereka.
Nona Coh sudah melepaskan tali kudanya dan telah menghunus
pedangnya, ia melengak mendengar suara Kie Pek, sang kakak.
Lekas ia menoleh.
"Mau apa, kak?" tanyanya. Belum pernah ia mendengar suara
sebengis itu dari kakaknya.
Kedua matanya Kie Pek terbuka lebar, bundarnya berputar tajam
dia mengawasi adik perempuan itu.
"sebagai kakak. belum pernah aku bicara keras terhadapmu" kata
kakak ini "sekarang ini lain sekarang, siapa tidak mendengar kata
kataku, dia tak akan diakui lagi sebagai saudaraku..." Ia berhenti
sejenak, lalu sambungnya. "sekarang pergi kamu naik kuda, kau
ajak adik Siauw meneruskan perjalanan " Air mata Bun Koan turun
deras. tetapi ia tertawa sedih.
"Kau keliru, kak." katanya. "Adalah kau, kakak. dan adik Siauw,
yang berat tanggung jawabnya. Kamulah yang harus mencuci bersih
sakit hati ayah dan ibu Aku seorang wanita, taruh kata aku dapat
hidup terus, mana ada faedahnya untukku" Apa yang aku dapat
perbuat" Karena itu, kakak. maafkan adikmu ini. Lebih baik kaulah
yang mengajak adik"
"Adik Koan, tutup mulutmu" bentak kakak itu gusar. "Apakah kau
percaya ilmu silatmu lebih lihay daripada ilmu silat kakakmu ini?"
"Aku tahu, memang aku kalah," sahut adik perempuan itu.
"Jikalau begitu, kau mengerti sudah." kata si kakak. "Kali ini
musuh yang menyandak kita ini pasti adalah jago jago dari
kesembilan partai besar itu dengan begitu, walaupun kau telah
berkeputusan untuk membuat tubuhmu hancur lebur, tak nanti
dapat kau membantu dan menolong ayah dan ibu Maka itu, kau
dengar aku, pergi kau ajak adik Siauw, kamu berdua lebih dahulu
berangkat pergi"
Keras kata kata yang terakhir itu, tetapi suara itu rada
menggetar, sedang matanya si pemuda telah mengucurkan air. Bun
Koan menangis. "Kakak. tak dapat kau..." katanya terputus...
"Diam" bentak sang kakak. "Aku larang kau bicra Kau dengar
kata kataku atau tidak ?"
Adik itu melihat biji mata merah dari kakaknya, tapi ia juga
melihat air mata orang, lemahlah hatinya, maka perlahan lahan ia
menurunkan tangannya yang menghunus pedang. "Baik... baik...
kakak," katanya. "Akan aku dengar kata katamu." Jawaban ini lantas
tercampur dengan tangisan terisak isak...
Kie Pek tersenyum sedih.
"Nah, beginilah baru adikku Adikku yang baik," katanya.
"Sekarang pergilah kau. Baik baik melindungi adik kita, tak usah
menunggu lagi ayah bunda dan aku. Lekas kamu naik ke kudamu.
semoga Tuhan Yang Maha Kuasa mengasihani kamu berdua, supaya
kamu berhasil menyeberangi jembatan seng su Kio..."
Berkata demikian, Kie Pek menghampiri Siauw Pek. untuk
mengambil alih pedangnya adik itu, di lain pihak. la menyerahkan
kim kiam pada si adik sembari berkata : "Adikku, kau peganglah
pedang ini pedang pusaka dari kaum Kim Kiam Bun kita. Dahulu
kala, kakek luar kita dengan mengandalkan pedang ini untuk
membikin cemerlang Kek Ho Kun kita sayang, di saat kita sedang
membangun terus, timbullah peristiwa ini, yang membuat sembilan
partai memusuhi kita, dalam hal mana mereka telah dibantu oleh
empat rombongan Bun dua Hwee dan tiga Pang lainnya. sehingga
kejadian malam itu, hampir seratus jago-jago Rimba Persilatan dari
delapan belas rombongan persilatan itu, telah mengepung kita,
hingga dalam satu malam ini, musnah ludaslah Pek Ho Sun kita
yang telah dibangun dengan susah payah syukur untuk kita, berkat
kegagahan ayah dan kecerdasan ibu kita, kita dapat dilindungi,
diajak meloloskan diri dari mara bahaya. Hingga kejadianlah selama
delapan tahun, kita hidup terlunta lunta didalam perantauan
diselatan dan utara sungai Besar, di padang pasir, di hutan belukar,
hingga sering kita mesti melakukan pertempuran mati hidup, Ayah
telah mewariskan pedang emas ini kepadaku, tetapi sekarang aku
menyerahkannya kepadamu, aku minta sukalah kau menyimpannya
baik-baik, supaya kelak di belakang hari kau dapat membangun pula
Pek Ho BUn "
Siauw Pek menyambut pedang emas itu. "Kakak..." katanya,
"aku..."
Kie Pek memotong dengan mengibaskan tangannya.
"Lekas naik kudamu dan pergi " titahnya. "Percayalah, ayah
adalah seorang lelaki sejati, tak mungkin dia mencelakakan empat
ketua dari keempat partai besar itu. Dalam perkara ini mesti ada
rahasia yang masih gelap"
Tepat waktu itu terdengarlah suara nyaring dan keren dari Coh
Kam Pek : "Kamu kawanmu manusia ganas, kamu keterlaluan
Lihatlah, hari ini coh Kam Pek akan membuka suatu pembunuhan
besar besaran "
Boleh dibilang belum berhenti mendengungnya suara keren itu,
disana sudah terdengar satu jeritan keras yang menyayatkan hati.
Itulah jeritan kematian dari salah seorang musuh yang roboh
sebagai korban golok Kimpwee to dari jago she Coh itu.
Akibat robohnya musuh itu hebat sekali. segera terdengar
bentakan galak dan bengis, tanda kemurkaan musuh disebabkan
salah seorang kawannya terbiasakan- Menyusul kejadian itu berkilau
kilaulah cahaya dari pelbagai macam alat senjata yang melurruk ke
arah Kam Pek suami istri.
Terang sudah, Kam Pek mesti melayani kemurkaan lawan
sebanyak itu. Melihat semua itu tiba-tiba Kie Pek memeluk tubuh
adiknya, untuk dipondong naik ke atas punggung kudanya, di lain


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pihak. dengan roman garang ia berkata keras pada Bun Koan :
"Lekas kau ajak adik Siauw menyingkir "
Nona Bun mengangkat tangan bajunya, untuk menepas air
matanya, terus ia mengayun tangannya itu, guna menepuk
punggung kuda Siauw Pek hingga kuda itu kaget dan kesakitan dan
segera berjingkrak untuk kemudian lompat lari sambil
mendengarkan ringkik yang keras dan panjang. setelah itu, enci ini
pun menggeprak kudanya sendiri, menyusul pergi guna melindungi
adiknya itu. Kie Pek mengawasi sampai kedua adik itu sudah pergi belasan
tombak jauhnya, baru ia mengeluarkan seruan nyaring, baru ia
berkata nyaring kepada ibunya " ibu silahkan beristirahat, nanti aku
yang menentang mereka itu" Dan kata katanya ini disusul dengan
majunya ia sendiri ke arah musuh.
Bun Koan dan siauw Pek sementara itu telah terus melarikan
kuda mereka, sampai belasan li, sesudah mana tiba-tiba kuda
mereka itu memperdengarkan ringkikan keras, dan seketika itu pula
keduanya roboh sendirinya, rebah di tengah jalan
Itu adalah karena sangat letihnya kedua binatang itu walaupun
keduanya adalah kuda kuda pilihan telah terlatih baik, hanya kali ini
keduanya telah mesti berlari lari teralu lama, sedang saat
mengasonya terlalu sedikit, atau mereka sudah mesti larat pula, tak
heran mereka kehabisan tenaga.
Bun Koan siauw Pek masing-masing lompat turun dari kuda
mereka. "Apakah kau terluka, adikku?" tanya sang kakak. menghampiri
saudaranya. "Tidak" sahut sang adik,
Nona Bun mengangkat kepala, memandang ke depan, jauh kira2
satu li lebih, ia melihat sebuah gunung. segera ia mengerti,
walaupun kuda mereka tangguh, mereka tak akan sanggup mendaki
lewat bukit itu. Diam diam ia menghela nafas. Tanpa mengatakan
apa apa, ia melepas pelana kudanya, lalu sambil menepuk-nepuk
kedua binatang itu, ia berkata :
"Kudaku pergilah kamu, kamu sudah merdeka" Kemudian, segera
ia memegang tangan siauw Pek, untuk diajak lari ke arah bukit di
sebelah depan itu.
Tiba-tiba Siauw Pek merandak. menghela napas.
"Kakak." tanyanya, "Kau lihat ayah dan ibu, sanggupkah mereka
mengundurkan musuh?"
"Musuh berjumlah besar," sahut sang kakak. "Mereka juga
nampaknya kosen semua, mungkin sulit untuk mengusir mereka,
akan tetapi ayah kita gagah sekali dan ilmu pedang ibu telah
mencapai kesempurnaannya, sedang kakak Kie selama ini
memperoleh kemajuan pesat. Maka aku percaya, ayah bertiga
tidaklah sukar untuk meloloskan diri dari kepungan. Kau jangan
kuatir adik."
Di mulut Bun Koan mengatakan demikian dalam hati ia kuatir
bukan main. Musuh berjumlah besar dan ayah mereka bertiga
sudah terluka dan letih, Terpaksa saja ia mesti menghibur adiknya
ini. Siauw Pek memandang mega yang tebal bagaikan memenuhi
langit, lalu seorang diri berkata-kata: "Ayah bagaikan mempunyai
kesulitan yang tak dapat ia utarakan dengan kata-katanya... Ah
Terang ayah dapat memberitahukan kita kenapa ia mesti diuberuber
musuh toh ia masih tak sudi menjelaskannya kepada kita..."
sehabis itu, adik ini menoleh kepada kakaknya. Ia merasa pasti
saudari ini tahu segala apa lebih banyak daripada apa yang
diketahuinya sendiri. Bun Koan dapat menerka hati adiknya itu. Ia
mengegosi soal itu.
"Lihat disana, adik," katanya. setelah melintasi bukit itu, kita akan
segera tiba di seng su Kio. Menurut ayah, itulah sebuah jembatan
yang menyeramkan, selama beberapa puluh tahun, entah berapa
ratus jiwa jago jago Rimba Persilatan yang telah tersia siakan
disana, akan tetapi kita semoga Tuhan Yang Maha Kuaa
memberkahimu, agar kau dapat tak kurang suatu apa
menyeberanginya."
Kakak ini juga berkata kata sambil memandang ke lain arah,
supaya sinar matanya tak bentrok dengan sinar matanya saudara itu
sekonyong-konyong Siauw Pek menggentak tangan kanannya
yang dipegangi Bun Koan, untuk melepaskan diri.
"Jangan kau mendustai aku, kakak" katanya keras. " Kenapa kah
aku tidak diberitahukan duduk persoalannya" sebenarnya ayah telah
melakukan kesalahan apakah" Kesembilan partai besar ternama
baik, kenapa mereka justru memusuhi kita kaum Pek Ho Bun begini
hebat?" Ia berhenti sejenak. dan menarik napas panjang.
" Kakak." tanya pula kemudian, "aku tahu kau mengetahui duduk
perkaranya, mengapa kau tidak suka menceritakan padaku" Kakak
jika kau tidak suka bicara, aku tak sudi mengakui lagi kau sebagai
kakakku" Hebat suara adik ini lain dari biasanya. Biasanya, ia sangat
sayang dan menghormati kakaknya itu. Tadi tadinya belum pernah
Bun Koan menyaksikan adiknya ini bersikap demikian keras. Ia
menjadi bingung dan berduka, tak merasa air matanya keluar
bercucuran- Tiba-tiba siauw Pek mendongak dan tertawa keras Lalu, tiba-tiba
dia mengangkat kakinya, untuk lari kedepan
Anak muda ini panas hatinya, tak dapat ia lampiaskan itu, tak
dapat lagi ia mengendalikan diri, maka itu ia bagaikan kalap. Ia lari
sekeras-kerasnya menuju kebukit didepan itu.
Bukan main kagetnya Bun Koan, sang kakak.
"Adik" ia berseru seraya lari menyusul. Ia kuatir juga jalanan
sukar dan licin bekas habis hujan, "Adik tunggu. Lekas berhenti Aku
akan beritahukan padamu"
siauw Pek dapat mendengar suara kakaknya itu. tiba tiba hatinya
reda, seketika itu juga ia berhenti lari.
Bun Koan lompat, menyambar lengan adiknya itu. Ia memegang
erat erat. "Adikku" katanya terharu, "kau sabarlah. Di antara kita
bersaudara, kaulah yang berbakat paling baik. Ayah telah
mengatakan, untuk mencuci bersih sakit hati keluarga Coh ini.
Tanggung jawabnya ada pada kau, kenapa kau menganggap dirimu
begini ringan."
siauw Pek menangis. Ia menepis air matanya.
"Kakak", katanya. "Jikalau benar ayah telah melakukan suatu
kesalahan besar, kita anak anaknya, harus menebus dosa itu, itulah
kewajiban kita sebagai anaknya yangb berbakti. Jikalau ayah tidak
melakukan sesuatu yang buruk. kenapa ayah tidak mau
menceritakan jelas jelas kepada kita?"
"Ayah jujur dan gagah, mana mungkin dia melakukan sesuatu
kejahatan?" kata Bun Koan. "Jangan kau menerka yang tidak tidak
dik. Maukah kau memfitnah ayahmu?" siauw Pek menggeleng.
"Habis kenapa ayah tak sudi menuturkannya?" tanyanya.
"Ayah mempunyai kesulitan Mana mungkin kita sebagai anak
memaksanya?"
Adik itu mendongak. Ia berpikir.
"Mungkinkah itu mengenai ibu ?" tanyanya pula kemudian-
"Aku tidak tahu..." jawab sang kakak menggelengkan kepalanya.
"Kau tentu tahu kakak. cuma kau tidak suka bicara" kata siauw
Pek. yang mengawasi tajam Ia berhenti sejenak. ketika ia bicara
pula, sikap dan suaranya keras, " Kakak, kaulah putera ayah dan ibu
Kakak apakah aku bukan puteranya ayah dan ibu juga" Kakak Kie
dan kau sendiri mengetahuinya tapi mengapa kau tidak sudi
memberi keterangan padaku?"
Nona Bun merasa bersusah hati. Ia sulit sekali. Ia menggenggam
tangan adiknya itu tetapi Ia tidak dapat membuka mulutnya. Cuma
air matanya yang turun meleleh dikedua belah pipinya.
siauw Pek makin heran, kecurigaannya jadi bertambah-tambah.
"Tak dapat tidak. mesti aku paksa dia", pikirnya. Lantas, ia
berontak melepaskan tangannya dari genggaman kakaknya. Ia
berkata keras : "Kakak. jikalau benar ayah bersalah, kita harus
menanggung dosanya, pantas kita menyerahkan batang leher kita
untuk ditabas musuh musuh kita. Didalam hal itu, kita mati tak usah
menyesal. kalau musuh2 hanya memfitnah kita pertahankan hidup
kita ini, hidup yang berharga, guna mencuci penasaran itu" Bun
Koan menangis. "Kau benar, adikku," katanya. "Kau memang harus menjaga
dirimu baik baik..."
"Tetapi, kakakku," bentak si adik, "jikalau kau tidak suka
bercerita padaku, baiklah aku akan mati sekarang, supaya kau
melihatnya" Berkata begitu, ia melompat keluar ke batu besar
didepan, untuk lari kejurang
DI depan itu banyak batu besar bermunculan, berlumut dan licin
bekas kehujanan, sulit untuk dijalani. siapa tergelincir disitu,
celakalah dia siauw Pek justeru lari kesana, untuk merayap naik.
Bun Koan kaget tak kepalang, segera ia lompat menyusul.
"Adik" teriaknya. "Adik, lekas turun Mari aku kasih tahu padamu"
Siauw Pek mendengar suara itu, dia melompat turun. Dia
menaruh kakinya diatas sebuah batu.
Di antara saudara saudarinya, siauw Pek adalah yang ilmu
silatnya terlemah, tetapi mengenai bakat, dialah yang terbaik.
Hanya saja Kam Pek tidak mau memberikan segera dia pelajaran
silat guna menjaga, melindungi bakatnya itu. Dia terlebih dahulu
diajari duduk bersemedi, untuk memperkokoh tenaga dalamnya. Dia
diajari lweekang-laykang ilmu tenaga dalam itu. Disamping itu, dia
dibekali beberapa jurus tipu silat pedang, untuk membela diri Di
dalam hal keng kang tee ciong (ilmu ringan tubuh dan berlompat
mencelat) dia belum diwarisi sama sekali. Kalau tadi dia dapat
melompat pesat dan indah, itu disebabkan semangatnya yang
dibantu dari hasil latihan tenaga dalamnya itu. Tapi dia belum
terlatih sempurna. Dia dapat menaruh kakinya tapi tubuhnya
limbung, kaki tidak terletakkan tepat, sedang batu itu berlumut dan
licin. Maka tak ampun lagi, dia tergelincir roboh
" Celaka" teriak Bun Koan-
Tetapi si kakak sebat, dia sadar, maka dia sambar kaki kanan
adiknya itu, untuk dicekal dan ditarik. sayang, dia tergesa gesa,
kudanya kurang teguh, sedangkan tubuhnya condong kedepan,
maka itu dia dapat tertarik adiknya dan gemburlah kuda kuda itu,
tubuhnya kena terbetot. " Celaka" dia berseru di dalam hati, cemas.
Tapi nona ini tidak menjadi gugup, dengan sebet dia menyambar
dengan kakinya pada cabang cabang pohon cemara di dekatnya,
guna memancangkan kakinya itu, maka dia berhasil
mempertahankan diri, Hingga dia berhasil menyelamatkan adiknya.
Walaupun telah selamat, tapi muka si nona menjadi pucat pasi,
kagetnya tadi. Tubuhnya juga mengeluarkan peluh dingin- Tetapi
dia tetap memegangi tangan adiknya erat erat. yang dia pandang
dengan mata melongo sebab mulutnya tak dapat berkata kata jua.
siauw Pek sendiri tak kaget, dia dapat menenangkan dirinya. Dia
balik mengawasi diri kakaknya itu.
"sekarang kakak. kau mau bicara atau tidak?" tanyanya keras,
walau ia tahu kagetnya sang kakak itu belum hilang seluruhnya. Bun
Koan menyeka peluh di dahinya.
"Aku akan bicara," sahutnya. "tetapi harus kau ketahui, apa yang
aku tahu ada batasnya, sebab ini juga keterangan tidak lengkap dari
ayah sendiri.."
"Berapa banyak yang kau ketahui, berapa banyak yang kau
beritahu padaku" kata sang adik,
"Peristiwa itu mengenai nama baik ibu," kata si kakak. "Itu
sebabnya kenapa ayah segan membicarakannya pada kita..."
Paras siauw Pek berubah pucat, kedua matanya dipentang lebar.
"Apa..." Mengenai nama ibu" Kenapakah" Lekas kau bicara" kata
sang adik, "sabar, dik Berikanlah kesempatan padaku untuk bicara dengan
tenang." siauw Pek terus mengawasi kakaknya.
"Rupanya ibu telah menerima sebuah surat rahasia habis itu ibu
pergi diam diam." Bun Koan mulai bercerita. "Ketika ayah
mengetahui kepergian ibu ayah langsung pergi menyusul. Untuk itu
ayah telah mendaki puncak Yap Ie Hong di gunung Pek Na san itu.
Justru itu, disana telah terjadi kejadian hebat, bahwa ketua ketua
dari keempat partai besar itu sudah dibinasakan orang, hingga
seterusnya terjadilah ini, peristiwa penasaran yang hebat sekali."
siauw Pek menghela napas, untuk melegakan hatinya.
"Kemudian?" tanyanya.
"Ayah kita telah menerima budi besar dari kakek luar." Bun Koan
melanjutkan- "ia telah dipelihara dan dididik, tidak saja kakek telah
mewariskan ilmu silatnya, ia juga dihadiahkan anak perempuannya,
yaitu ibu kita bahkan yang terakhir ayah diwariskan juga partai Pek
Ho Bun, hingga ia melanjutkan jabatan kakek luar sebagai ketua
partai itu..."
"Memang, ayah sangat bersyukur kepada kakek luar," kata siauw
Pek. "Sudah tentu ayah tak sudi melukai hati ibu, Didalam hal ini
apabila benar kehormatan ibu tersangkut paut pasti ayah akan
melindunginya."
Bun Koan mengangguk, tapi terus menggelengkan kepala.
"Tak mungkin kehormatan ibu tersangkut paut," katanya. "Ayah
dan ibu sangat saling menyinta, seingatku belum pernah menemui
ayah dan ibu berselisih satu dengan lain- Tapi aneh sikapnya ibu.
Hari itu ibu meninggalkan sepucuk suratnya, terus ia pergi. Aku
percaya hal itu disebabkan oleh suatu kesulitan-.."
"Kenapa ibu meninggalkan suratnya kemudian pergi?" tanya
siauw Pek. "sebelum itu apakah tak ada tanda sesuatu?"
"Ketika kejadian, usiaku masih kecil. aku baru saja mengerti
urusan," jawab Bun Koan- "Menurut apa yang aku ingat, hari hari
sebelumnya itu aku tak melihat sesuatu yang luar biasa. Pernah
secara diam diam aku menanyakan kakak Kie kalau dia ingat
sesuatu yang menyangkut kepergian ibu, mungkin yang
mencurigainya." Tiba tiba saja, si nona memutuskan kata katanya
itu. "Nah, habis apa kata kakak Kie?" tanyanya.
"Kakak bilang..." sahut Bun Koan, ragu ragu, "Bahwa ia melihat
seorang pria berbaju kuning datang kepada budak pelayan itu,
setelah mana, ya, malamnya, ibu meninggalkan surat itu dan lalu
pergi." siauw Pek mendongak. la menarik napas panjang, lalu ia
berdiam. "Adik, jangan kau mencurigai ayah dan ibu," kata Bun Koan-
"Ayah adalah seorang laki laki sejati, tak mungkin dia mencelakakan
keempat ketua partai besar itu, dan lagi mereka itu adalah ketua
partai yang gagah perkasa, jago jagonya rimba Persilatan yang
kenamaan- Ayah seorang diri, mana mungkin membinasakan
mereka berempat itu?" siauw Pek memandang tajam kearah wajah
kakaknya, ia masih berdiam saja. Bun Koan menarik napas
perlahan, agaknya ia sangat duka.
"lbu adalah seorang wanita bijaksana, orangnya lemah lembut
dan terhadap ayah ia sangat cinta." kata Bun Koan pula. "Aku tidak
percaya ibu dapat melakukan sesuatu yang bisa melukai hati ayah
atau mencemarkan namanya."
"Kalau begitu, jadinya semua itu ialah salahnya keempat ketua
partai itu?" tanya siauw Pek setelah berdiam beberapa lama.
"oleh karena urusan masih gelap. aku tidak berani mengatakan


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa apa," jawab Bun Koan- "Ayah telah memberi petunjuk kepada
kita, maka kelak di belakang hari, perlahan lahan saja kita membuat
penyelidikan, aku percaya tak akan terlalu sulit buat kita mengetahui
duduknya hal yang sebenarnya..."
"Tentang ibu," siauw Pek masih penasaran- " Kenapa ibu
meninggalkan surat dan pergi" Kenapa ibu pergi dengan
meninggalkan surat itu?"
Bun Koan agak gugup.
"Jangan semberono, adikku" cegah Bun Koan- "Ayah tidak mau
memberi keterangan kepada kita, mungkin ada sesuatu yang
memberatkannya. Ah, sekarang ini Yang paling penting sekarang
ialah kau harus menjaga dirimu baik baik, adikku. Ayah dan ibu
mengandel kepada kau yang dijadikan harapannya Cuma kau yang
nanti bisa mencuci bersih nama ayah dan ibu" Dengan muka pucat,
siauw Pek tertawa.
"semua orang Rimba Persilatan menjadi musuh musuh kita," ia
bertanya, "bagaimana caranya kita melakukan pembalasan terhadap
mereka itu?"
"Tetapi ingat, adik," kata Bun Koan dengan roman sungguh
sungguh. "siapa menjadi anak. tak boleh menghina ayah dan
ibunya" "Aku tahu," kata adik itu. "Di dalam dunia tidak ada ayah bunda
yang tak benar." Bergolak darahnya anak tanggung itu, tiba tiba
saja dia menangis.
"Adik," berkata sang kakak, sabar, "aku lebih tua beberapa tahun
dari padamu, dan pengalamanku selama delapan tahun membuat
aku mengetahui banyak sekali. Ayah gagah dan jujur, ibu berbudi
pekerti halus, tak mungkin mereka curang terhadap lain orang..."
suaranya Nona Tjoh berhenti dengan tiba tiba. Dari kejauhan ia
mendengar satu suara keras, yang menyapanya: "Adik Koan disana"
Kenapa kau tidak ajak adik siauw pergi" Buat apa kau berdiam
disana?" Bun Koan mengenali suara kakaknya, Kie Pek.
"Adik, mari kita lekas pergi" ia mengajak adiknya, suaranya
perlahan- Dan terus ia pegang tangan siauw Pek. buat ditarik diajak
pergi. sekarang ini kakak beradik ini mulai berjalan nanjak.
sesudah berjalan sekian lama, tiba tiba siauw Pek berkata pada
kakaknya : "Kakak, mari kita berhenti dulu sebentar baru kita
berjalan pula"
Bun Koan dapat menerka hati adiknya ini. Dia itu ingat ayah
bundanya, dan kakaknya, Ki Pek. Pasti sekali, ia pun ingat orang tua
dan saudaranya itu. Tapi ia ingat akan tugasnya membawa adiknya
ini ke tempat yang aman ia adalah tugas sangat berat. Maka ia
mengendalikan dirinya. Toh, tak urung, ia menghentikan
tindakannya, seperti si adik telah diam berdiri la menoleh ke
belakang, ke arah dari mana mereka datang tadi.
Air langit masih terus turun, angin masih bertiup. Diantara hujan
angin itu, tampak sinar berkelebat dari pelbagai senjata tajam. Di
sana juga terlihat tubuh-tubuh yang berderak gesit dan lincah.
samar-samar tampak Coh Kam Pek didampingi isterinya disebelah
kanan, puteranya di sebelah kiri tampak juga bekerja golok emas,
pedang panjang dan cambuk lunak. yang bergerak bersatu padu.
Ayah bunda dan kakak tengah berkelahi melayani para pengepung
mereka, mereka mengadu jiwa sambil main mundur.
sekarang ini musuh tak lagi berjumlah belasan, malahan puluhan,
mereka semua mendesak dengan hebat. Terlihat yang terdepan
seorang pendeta dengan tubuh tinggi besar, yang bersenjatakan
goat gee san, dialah yang mendesak dengan hebat sekali.
Disebelah kiri si pendeta terdapat seorang yang bertubuh kecil
dan kate, tangan kirinya mencekal selembar tameng besi, tangan
kanannya menggenggam sebatang golok pendek. Dia seorang yang
gerak geriknya gesit sekali, dan terlihat dia sering berloncatan ke kiri
dan ke kanan, untuk menerjang dan berkelit. Nyata dia sangat licik.
Di sebelah kanan si pendeta terdapat seorang toosu, atau imam,
penganut agama Too Kauw, usianya pertengahan- Dia
bersenjatakan sebatang pedang panjang. tampangnya bengis.
Mereka bertigalah yang mengepalai rombongan untuk
mengepung dan mendesak Kam Pek suami isteri dan ketiga putera
mereka. "Kakak", tanya siauw Pek, "apakah pendeta itu pendeta murid
dari siauw Lim sie?"
-000d0w00- JILID 2 "Ya", jawab kakak yang ditanya. "Setahun yang lalu pernah aku
bersama kakak Kie menempur dia, hampir aku terbinasa di ujung
senjatanya yang istimewa itu Dia bosen sekali, sebab dialah salah
seorang jago dari Siauw Lim Sie."
"Dan itu imam serta si kate kecil yang kelihatan gesit sekali,
apakah kakak kenal mereka?" Siauw pek tanya lagi.
"Kenapa aku tidak mengenalnya?" Bun Koan membaliki. Si imam
pernah menempur ayah dan ibu. Dia bernama Kim Ciong, dia
menjadi salah seorang jago dari Bu Tong Pay. Dia terkenal dengan
ilmu silat pedangnya. Dan si kate kecil itu" Dialah jago dari partai
Pat Kwa Bun, namanya ouw Bwee, gelarnya Hui Sin siTua Terbang.
Sekarang mereka itu berkumpul menjadi satu, mungkin sulit sekali
untuk ayah dan ibu serta kakak Kie menentangnya ... "
Selagi si nona berbicara, Kam Pek sudah mundur kira kira tiga
tombak. Ia terperanjat sekali. Segera ia menarik tangan adiknya.
"Mari kita lekas pergi" ajaknya.
Ketika itu terdengar suatu suara parau : "coh Kam Pek, Apakah
kau masih tidak mau meletakkan senjatamu, untuk manda
ditelikung" Mungkinkah kau hendak menanti sampai tubuhmu
melintang sebagai mayat di tanah datar ini?"
Bun Koan mengajak adiknya lari terus, mereka mendengar tegas
sekali suara parau itu, yang membuat hati mereka gemetar.
Coh Kam Pek, dengan goloknya merentang hong pian san si
pendeta. "Kita suami istri dan anak-anak sekeluarga ilmu jiwa" katanya
nyaring, "kita telah dikejar kejar dan dicandak berulang ulang oleh
kamu selama delapan tahun, apakah itu masih belum cukup"
Apakah kamu masih tidak ingin menghentikan sepak terjang kamu
ini?" Si pendeta tinggi besar tertawa dingin.
"Ketua kami telah celaka karena mu," sahutnya bengis. "Apakah
sakit hati itu tak usah dibalas?"
Menyusul suara pendeta, terdengar suara berisik lainnya,
antaranya, "Taysu, buat apa mengadu mulut dengannya" Manusia
itu sangat bandel, dia telah melakukan banyak kejahatan, mana dia
sudi menyerah kalah dengan mudah saja?"
"Taysu", ialah bahasa panggilan untuk seorang pendeta
hweeshio, umat Agama Buddha.
Di lain pihak terdengar suara ini : "Jangan binasakan jiwa mereka
itu Kita harus membekuk mereka hidup hidup"
Menyusul itu terdengar lagi suara nyaring bagaikan genta besar.
"Jikalau Coh Kam Pek mati bukankah perkara kematiannya keempat
ketua partai akan jadi gelap Bukankah perkara itu jadi sulit
dipencahkannya" Maka itu janganlah dibinasakan dia"
Siauw Pek mendengar tentang semua kata kata itu, sakit hatinya
hingga darahnya bergolak tangannya gemetaran. Ia berduka dan
gusar menjadi satu. Bun Koan merasai bergemetarnya tangan adik
itu, ia dapat menerka sebab musababnya, tanpa ayal lagi, ia
menarik lebih keras tangan saudaranya. Terus mereka berlari
sampai melintasi dua buah puncak. Baru disitulah sinona
mengendorkan larinya. Ia telah bermandikan keringat dan napasnya
sengal sengal. Ia toh memasang telinga. Sudah tidak ada lagi suara
beradunya pelbagai macam senjata.
Kemudian kakak ini melihat kepada adiknya, Wajahnya Siauw Pek
gelap muram, alisnya berdiri. Terang bahwa dia tengah dipengaruhi
hawa amarahnya. Dia berdiri bagaikan patung.
"Adikku, kenapa kau?" tanya Bun Koan- Dia terkejut dan kuatir,
tapi dia menanya dengan sabar.
"Jikalau aku belum mengetahui dengan jelas duduknya perkara,
matipun mataku tak akan meram" sahut adik itu, yang mendadak
terus menyemburkan darah segar, setelah mana dia menubruk
kakaknya, menangis keras didalam rangkulan kakak itu
Nona Bun turut menangis. Iapun sangat berduka dan penasaran-
Sebenarnya ia telah berpengalaman, walaupun usianya masih muda,
akan tetapi kesusahan hati adiknya ini membuat hatinya lemah.
Entah berapa lama kakak beradik itu menangis, tiba-tiba Siauw
Pek merasakan tangannya ada yang menarik. sedang telinganya
mendengar suara yang lemah lembut ini: "Anak, apakah seorang
laki-laki mudah mengeluarkan air matanya" Sudah, jangan kau
menangis lagi"
Anak itu mengangkat kepalanya, untuk melihat orang yang
menariknya, dan tiba-tiba ia menjadi kaget sekali^
Coh Kam Pek berdiri didepan puteranya, pipi kirinya penuh
dengan darah segar dan separuh dari bajunya telah merah dengan
darah. Coh Kie Pek juga ada bersama ayahnya, dia terluka pada lengan
kanan serta paha kirinya, kedua luka itu masih mengalirkan darah
Memandangi ayah dan kakak itu, anak bungsu ini berkata keras:
"Jika aku dapat melindungijiwaku, akan kubalas sakit hati ini"
Dengan perlahan Kam Pek mengulur tangan kanannya,
mengusap-usap rambut puteranya.
"Tetapi, anak," katanya sabar, "siapa menjadi laki laki sejati, dia
pasti dapat membedakan jelas mana budi dan yang mana penasan.
Untuk keluarga Coh, kaulah anak yang paling berbakat, jikalau
Tuhan Yang Maha Kuasa mengasihanimu, pasti keluarga kita dapat
mempertahankan dirinya, dan itulah yasamu. Ingat anak, kalau
kelak dikemudian hari kau berhasil membalas sakit hati kita ini,
jangan kau sembrono membunuh orang, mesti kau ketahui dulu
sampai jelas" Siauw Pek heran-
"Kakak Koan mengatakan ayah jujur, inilah tak salah" pikirnya.
"Di dalam luka parah dan sedang bergusar, ayah masih tak
melupakan kesadarannya, ia masih ingat akan kebenaran dan
kesalahan..."
Berpikir demikian, anak ini malu sendirinya. Hampir ia keliru
menerka sifat ayahnya itu.
Kam Pek menghela nafas, ia berkata: "Telah aku ketahui jelas,
didalam dunia ini, ditempat mana saja yang dapat disampaikan
manusia di situ tak ada lowongan untuk kita sekeluarga
mendiamkan diri, maka aku menyesal sekali. Coba dari dulu dulu
aku langsung membawa kau kemari, tak akan mesti terlunta lunta
dan menderita selama delapan tahun-.."
Sementara itu siauw Pek telah mengawasi ayahnya. ia melihat
luka yang masih mengalirkan darah, hatinya menjadi sakit, tak kuat
ia menahan diri, lantas ia menangis. "Ayah, ibu," katanya, "kenapa
luka ayah dan ibu tidak dibalut?" Ketika itu nyonya Coh telah
mendampingi suaminya.
"Ini hanya luka dikulit," menjawab sang ayah, "aku dapat
mempertahankan diriku." Ia hening sejenak. untuk berpikit, baru ia
menambahkan :"Musuh-musuh yang tangguh telah berhasil kita
pukul mundur, akan tetapi sebentar, pasti mereka bakal datang,
karena itu, mari kita lekas-lekas melanjutkan perjalanan kita". Ia
menoleh kepada isteri dan anaknya, terus ia menanya : "Isteriku,
dan kau, Kie Pek masih dapatkah kau berjalan?" Sang isteri tertawa
sedih. "Luka ku tidak parah, tak usah kau menghiraukan aku," sahutnya
lembut. "Akupun masih kuat," berkata Kie Pek.
"Bagus" seru jago tua itu "Kita keluarga Coh, pria dan wanita,
semua bangsa tangguh. Nah, mari kita pergi"
Lantas orang tua ini menarik tangannya siauw Pek. Ia membuka
tindakan lebar.
Lukanya si nyonya dan putra sulungnya sebenarnya parah, akan
tetapi ibu dan anak itu menggemertakan gigi, mereka paksakan diri
bertindak mengikuti suami dan ayah itu Bun Koan berjalan bersama.
Dapat dimengerti bahwa perjalanan itu adalah perjalanan yang
penuh penderitaan, akan tetapi selama itu, sang suami isteri saling
mengenal diri mereka, tidak ada yang saling menghibur, bahkan
mereka bungkam semua.
Terus, terus mereka berjalan, hingga mereka melintasi dua
tikungan bukit. Hanya sekarang mendadak mereka menghadapi
sesuatu yang dapat menciutkan hati mereka...
Di hadapan keluarga ini menghalang sebuah jurang, yang
lembahnya gelap sekali, penuh uap atau kabut hitam, hingga sejauh
lima kaki, tak nampak suatu apa. Dan di sebelah kanan itu, di mana
ada tembokan gunung, yang batunya licin, terdapat ukiran tiga
huruf besar : "Seng Su Kio", yang warnanya merah Jadi itulah dia
jembatan Hidup Mati
Pada kedua sisi tiga huruf yang menakuti itu terdapat dua baris
huruf huruf kecil warna putih, yang masing masingnya berbunyi:
"Hidup manusia seratus tahun, tak dua jiwanya. Disini, hidup atau
mati, sebuah jalannya "
Sekian lama Kam Pek mengawasi ketiga huruf besar itu, ia diam
sambil otaknya bekerja, baru sesaat kemudian ia menghela napas
dan berkata. "Anak. jikalau kau jalan memutarkan tembok licin, di
sana ada sebuah jembatan baru yang menghubungkan jurang
sebelah sini dengan jurang sebelah sana, itulah dia Seng Su Kio,
jembatan yang harus kita lintasi..."
Siauw Pek memandang jurang itu, ia melihat uap hitam di dalam
jurang bergerak gerik tak hentinya, tanpa merasa, timbul rasa
jerinya. Selagi mereka berdiam, dengan mata tertuju kepada jurang, tiba
tiba hujan berhenti hingga sesaat kemudian, sang angin segera
membawa buyar kabut yang tebal guram, hingga sebagai gantinya,
nampak cuaca yang terang karena munculnya sang Surya...
Walaupun demikian, cahaya matahari yang kuat itu tak dapat
menembuskan kegelapan di dalam jurang, hingga sekarang menjadi
jelas perbedaan diantara kabut gelap dan jagat bersih.
Lama juga sang waktu lewat, baru terdengar suaranya Coh Kam
Pek. "Entah siapa si orang yang pandai yang telah menulis dua baris
kata kata yang bernada nasehat itu," ujarnya. "Sudah ditulis tegas,
toh masih ada jago jago silat yang masih berani mencoba melintasi
jembatan maut ini, hingga mereka semua mengubur tubuh mereka
di kolong jembatan-"
Mendengar kata kata ayahnya, tiba tiba Siauw Pek bertanya:
"Ayah, jikalau kita berhasil menyeberangi jembatan Seng Su Kio ini,
dapatkah kita menyingkir dari pengejaran orang orang Rimba
Persilatan itu?"
"Itulah satu soal, anakku," sahut sang ayah "Inilah jalan satu
satunya, jalan yang terakhir, untuk keluarga kita, tiada itu,
meskipun kesempatan hidup hanya ada satu atau dua perseribu,
terpaksa kita tak dapat menghiraukannya lagi..."
"Ayah," tanya Bun Koan, "apakah ayah tahu jalannya untuk
melintasi jembatan ini?"
"Tidak." sahut sang ayah, terus terang. "Bahkan di dalam dunia,
mungkin tak ada seorang lain juga yang mengetahuinya. Tidak
pernah terdengar bahwa siapa yang pernah mencoba menyeberang
disini telah berhasil kembali dengan masih hidup."
"Jikalau begitu," berkata pula si nona, "bukankah siapa


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyeberang disini, sudah pasti bagiannya ialah mati?"
"Melihat keadaan kita sekarang ini anak," berkata siorang tua,
"kesempatan kita buat hidup adalah mencoba jalan kematian ini.
Anak. jikalau di dalam dunia ini ada orang yang tahu caranya jalan
di Seng Su Kio, atau kalau jembatan ini mudah dilintasi, tak akan
ayahmu mengajak kamu datang kemari"
Berkata begitu, ayah ini lantas bertindak maju.
Siauw Pek mengikuti ayahnya, disusul oleh ibu dan dua
saudaranya. Mereka menghampiri pinggiran tembok gunung dimana ada
ukiran nama Seng Su Kio itu Benar saja, disitu tampak sebuah
jalanan batu yang bertepikan jurang, yang lebarnya cuma setengah
kaki. Jalan batu itu sudah lumutan, suatu bukti bahwa sudah lama
tak ada orang yang menginjak untuk melintas iya. Panjangnya
jalanan lebih kurang lima tombak. ujungnya yang lain sampai
kepada jembatan maut, jembatan yang merupakan sepotong batu
putih. Tak dapat dikenali, jembatan itu buatan manusia atau alam
dan panjangnya juga tak ketahuan karena tak terlihat ujungnya
yang lain- cuma, sejauh lima kaki, lantas jembatan itu terbenam
didalam kabut hitam legam. Kam Pek menghela napas.
"Jembatan ini pastilah Seng Su Kio..." katanya. Ia rupanya
bersangsi juga mengenai jembatan itu, ia cuma pernah dengar
namanya tetapi belum pernah lihat roman macamnya.
Habis berkata, orang tua ini mengeluarkan satu botol kecil dari
sakunya. Itulah botol terbuat dari batu pualam. Ketika ia memencet
keras, pecahlah botol itu, hingga terlihat isinya, tiga butir obat
pulung warna merah tua.
"Anak anak," katanya. "inilah obat yang terbuat dari campuran
dua belas macam bahan beracun, jikalau obat ini kita kemu didalam
mulut, kita akan terhindar dari serangan uap beracun yang biasa
terdapat ditanah pegunungan seperti ini. Hayolah kamu kemut
seorang sebutir"
"Cuma tiga butir, ayah?" Siauw Pek tanya. "Bagaimana dengan
ayah dan ibu?"
"Ini cuma persiapan yang ada baiknya tetapi tidak ada
bahayanya," menerangkan ayah itu. "Kabut hitam itu racunnya atau
tidak. masih belum ketahuan, taruh kata benar ada ayah dan ibumu
tidak takut sama sekali, sebab tenaga dalam kamu hingga kamu
dapat melawannya."
"Aku merasa bahwa tenaga dalamku telah maju banyak, ayah,"
berkata Kie Pek si anak sulung. "Akupun masih muda dan sedang
tangguhnya, karena itu baiklah pil itu ayah saja yang pakai..."
Kam Pek tertawa menyeringai. Ia mengangsurkan obat itu
kepada istrinya.
"Anak Kie sangat berbakti," katanya, "Kau saja yang mengenya."
Istri itu tidak menyahut, ia hanya membungkuk menjura.
"Aku adalah seorang wanita, jikalau aku mesti mati, aku tak usah
disayangi," katanya. "Sebaliknya kamu ayah dan anak anak. siapa
saja dari kamu, harganya lebih besar daripada harga diriku. Hayo,
siapa saja dari kamu yang mengemunya"
Baru sinyonya menutup mulutnya, tiba tiba mereka mendengar
seruan yang nyaring yang datangnya dari arah dimana mereka
datang tadi. Serempak mereka berpaling. Maka mereka melihat
munculnya belasan orang yang lagi berlari lari keras kearah mereka
Segera setelah datang lebih dekat, terlihat tegas rombongan itu
dikepalai oleh pendeta dari siauw Lim Sie yang tadi. Dia mudah
dikenali karena tubuhnya yang tinggi besar serta senjatanya yang
istimewa itu Hanya kali ini kepalanya dibungkus, atau lebih tepat
dibalut dengan kain putih.
Disebelah kiri pendeta itu ada seorang imam. Ternyata dia ini
adalah Kim Ciong Toojin si imam dari Bu Tong Pay. Dia berusia
setengah tua dan pedangnya bergemerlapan-Dan dia juga dibalut
lengannya yang kiri.
Seperti semula tadi, pendeta dan imam itu didampingi oleh
kawannya yang kita kenal tadi, ialah Hui-Sui ouw Kwee, juga dari
partai Pat Kwa Bun Sikate kecil ini tetap bersenjatakan tameng serta
golok pendek "Kembali mereka bertiga yang menjadi biang keladinya" kata Bun
Koan gusar. Kam Pek terluka parah, akan tetapi semangatnya tetap mantap.
pikirannya juga tetap jernih. Ia lantas memandang tajam. Tak usah
lama segera ia melihat bahwa dibelakang rombongan musuh,
terpisah kira sepuluh tombak. ada seorang lain yang rupa rupanya
mengenakan jubah warna abu abu.
Selagi sang ayah memasang mata, Kie Pek berseru secara tiba
tiba, seruan mana disusul dengan lompatnya untuk maju memapaki
kawanan musuh: Ia juga memperdengarkan suaranya yang nyaring.
"Manusia manusia ganas yang tak terbunuh musuh. Mari maju, aku
hendak mengadu jiwa denganmu"
Thjoh Siauw Pek juga merasakan darahnya bergolak. tangannya
meraba Kim Kiam, pedang emasnya, sambil berseru, ia lompat
majuk neladan kakaknya. Kam Pek terperanjat.
"Kie Pek siauw Pek Kembali" ia berteriak memanggil.
Kie Pek menghentikan langkah larinya. Ia terkejut mendengar
ayahnya menyebut nama Siauw Pek. Ketika ia menoleh kebelakang,
ia melihat adiknya lagi menyusulnya.
"Tahan" ia berseru sambil maju, dengan tangan kirinya
menyambar lengan kanan saudaranya yang terus diajaknya kembali
kepada ayah mereka.
Ketika itu diantara para pengejar sudah ada beberapa orang
yang berhasil datang mendekat sampai kira kira empat tombak.
Mereka lantas berpencar, mengambil sikap mengurung. Sampai
disitu, dengan senjata masing masing terhunus, mereka bertindak
maju pelan pelan-
Tjoh Kam Pek menggeser tubuhnya hingga ia berdiri
berdampingan dengan isterinya. Ia menghunus goloknya di tangan
kanan dan pisau belati di tangan kiri. Ia menoleh kepada Kie Pek
dan berkata dengan keras: "Kie Pek dengar Dengan susah payah
aku dan ibumu melindungi kamu sampai disini, harapanku ialah
supaya ada jiwa anggota keluarga Tjoh yang dapat diselamatkan,
supaya keluarga kita dapat menyambung turunannya. Dari itu,
mengertilah kau Bersama ibumu, aku akan menahan musuh. Kamu
sendiri, lekaslah pergi menyeberang"
Sebelum Kie Pek menyahut ayahnya, diantara musuh terdengar
suara nyaring: "Jangan biarkan mereka terjun kejurang. Mari maju
serempak" Benar saja, dengan riuhnya suara sambutan kawanan musuh itu
maju meluruk. senjata mereka dibolang balingkan. Kam Pek pun
maju, dengan golok Kay santoo, ia menangkis serangan pertama,
menyusul kemudian dengan pisau belati, ia menikam ouw Bwee si
Tua terbang, ketua Pat Kwa Bun.
Hui Siu paling lihay ilmu meringankan tubuhnya, karenanya dia
maju di muka. Kie Pek menggertakkan giginya, ditariknya tangan Siauw Pek,
dan kepada Bun Koan, dia berkata: "Adik Koan, tak dapat kita
menyia nyiakan harapan ayah dan ibu. Silahkan maju ke muka,
buka jalan buat adik Siauw" Muka si nona bermandikan air mata.
"Baiklah" sahutnya, terpaksa. Ia lantas bertindak maju, berjalan
dijalan batu yang licin dan tak lebar.
Kie Pek menolak tubuh adiknya, menyuruhnya jalan di jalanan
berbahaya itu, mengikuti encinya. Katanya: "Adik siauw, majulah
Kau menjadi harapan terakhir dari Keluarga Tjoh, kau harus
menyayangi dirimu"
Siauw Pek menyahut tanpa sadar, dengan perlahan ia bertindak
maju. Kie Pek menyusut mukanya yang penuh air mata, ia menoleh ke
belakang. Dengan kaget ia melihat ayahnya sudah rebah melintang
di tanah pegunungan itu, sedang ibunya lagi berkelahi bagaikan
kalap. sebab ibunya, yang menggenggam pedang di tangan kiri dan
kanan merabuh musuh secara kalang kabut
Kam Pek telah luka parah. Kalau dia masih dapat bertahan, itu
disebabkan nyalinya yang besar dan tenaga dalamnya yang
tangguh, tetapi dia mesti melawan ouw Bwee yang kosen, dia telah
terpaksa mengeluarkan tenaga terlalu besar, yang menyebabkan
darahnya mengalir berlebihan, sebab lukanya payah pula. Satu kali
goloknya yang berat dapat ditangkis musuh. Sebelum ia berdaya,
kaki musuh itu melayang ke tubuhnya. Dia tak lagi gesit sebagai
semula, depakan itu membuatnya roboh terkulai.
Kim Tjiong Toodjin lompat maju, niatnya menotok musuhnya
supaya tidak berdaya. Di luar dugaan, Kam Pek melihat datangnya
musuh itu, segera dia mengerahkan sisa tenaganya, hendak
menikam dengan pisau belatinya. Si imam kaget sekali. Syukur
matanya jeli dan gerakannya tangkas. Sambil berkelit, ia merampas
pisau belati itu, hingga ia berhasil menolong dirinya.
Melihat ayahnya roboh, darah Kie Pek bergolak. Hampir ia
melompat maju, hendak menerjang ouw Bwee, tapi pada saat itu
pula ia melihat ibunya roboh di tangan si pendeta dari Siauw Lim
Sie, pendeta yang mulanya berhasil menangkis mental pedang kiri
ibunya, sedangkan ouw Bwee melanjuti menikam punggung si
nyonya Bukan main sakit hatinya Kie Pek. la telah mesti menyaksikan
kejadian hebat itu dengan matanya sendiri Bagaimana mungkin ia
dapat mengendalikan hawa amarahnya" Ia sudah mengangkat
sebelah kakinya, hendak bertindak maju, tapi seketika itu ia
menoleh kepada adiknya...
Justru itu, dengan Kim Kiam di tangan Siauw Pek pun lagi
bertindak maju...
Tiba tiba anak sulung itu sadar akan dirinya, ingat akan tugasnya
yang berat. Ia bertanggung jawab akan adiknya itu, yang mesti jadi
penyambung Keluarga Tjoh. Maka ia menggemertakkan giginya,
seraya lompat menghadang di depan Siauw Pek.
"Hei, anak kecil" tiba tiba terdengar suara yang dingin dan
seram. "Kenapa kamu masih tidak mau meletakkan senjatamu"
Kenapa kamu tidak mau mengangsurkan tanganmu untuk
ditelikung" Apalagi yang kamu tunggu?" Itu adalah ejekan musuh..
BAB DUA JEMBATAN HIDUP ATAU MATI
Panas hati Kie Pek. akan tetapi dia toh menjawab dengan dingin-
"Anggota keluarga Tjoh, kepalanya dapat dikutung, darahnya dapat
dialirkan, tetapi mereka tak dapat dihina"
Rombongan musuh kagum mendengar suara gagah itu,
umumnya mereka memuji di dalam hati masing masing, "Sungguh
gagah bocah itu dia mirip ayahnya Benarlah apa kata pepatah,
Bapak harimau tak akan beranak anjing"
Akan tetapi ouw Bwee si Tua Terbang menggerakkan golok dan
tamengnya. "Bocah cilik tak tau atau mampus" ejeknya. "Benarkah kau
percaya dirimu gagah melebihi ayahmu?" terus ia membacok
dengan goloknya kepada lengan si pemuda yang mencekal cambuk
lunak Kie Pek melihat serangan itu. Ia menarik kembali tangan
kanannya. Berbareng dengan itu, dengan pedang di tangan kiri, ia
membalas menabas ke pinggang musuh congkak, takabur dan
bermulut jahat.
ouw Bwee menangkis dengan tamengnya, hingga terdengarlah
suara nyaring dari benturan pedang dengan tameng itu. Dia
membela diri sambil memutar tubuhnya. Itulah suatu tipu silat kaum
Pat Kwa Bun, jurus yang dinamakan "Pat Kwa Tun" atau "Pat Kwa
menyingkir" Hampir berbareng dengan itu, tibalah satu serangan
lain- Satu sinar pedang berkelebat
"Adik, awas" seru Kie Pek, kaget. Serangan itu diarahkan kepada
siauw Pek. Kakak ini tak sempat menggunakan cambuknya, terpaksa ia
gunakan pedangnya, maka beradulah pedangnya itu dengan lawan,
menyusul menyambar ia dengan cambuknya dengan cambukkan
"Sin Liong Yau Tauw" (Naga Sakti menggoyangkan kepala).
Penyerang itu ternyata Kim Ciong Toojin si imam dari Bu Tong Pay.
Berbareng dengan itu, belasan musuh datang mendesak.
Kie Pek hendak menempur sekalian musuh itu, tetapi ia
mengambil kesempatan akan memandang dahulu kearah saudara
saudaranya maka ia dapat melihat Bun Koan, adiknya itu tengah
bertarung dengan ouw Bwee.
Nona Tjoh kosen tetapi ouw Bwee bukan sembarangan lawan,
dia ini mendesak dengan golok dan tamengnya. Syukur buat si
nona, di tempat sempit seperti itu, lawannya tak leluasa
menggunakan tamengnya itu. ouw Bwee tahu diri, dia berhati hati.
Tak sudi dia nanti terpeleset dan jatuh kejurang
Sambil berkelahi, Bun Koan berseru pada adiknya: "Adik, ingat
akan keluarga Tjoh. Kaulah anggota satu satunya yang diharapkan.
Jangan kau sia siakan harapan ayah dan ibu kita Lekas pergi
sebrangi jembatan"
Nona ini mengantarkan adiknya itu, tetapi ketika ia mendengar
suara Kie Pek. ia menoleh, hingga melihat saudaranya itu sedang
mengadu jiwa, justru itulah, ouw Bwee datang menyerang, ia
menyuruh adiknya lari, ia sendiri menghadang orang Pat Kwa Bun
itu. siauw Pek berduka, hatinya panas, akan tetapi ia dapat berpikir.
"Benar, tak dapat aku mati. Tak harusnya aku membuat ayah dan
ibu nanti mengatakan aku tidak berbakti, hingga dengan begitu aku
sampai menyia nyiakan usaha kakak Kie dan enci Koan yang telah
melindungiku"
Tepat bocah ini berpikir begitu, terdengar satu jeritan hebat yang
menyayat hati, yang bergema di lembah gunung. Jeritan itu jeritan kakaknya.
Dan cepat ia menoleh masih sempat ia melihat Kie Pek roboh
terluka dan tubuhnya terpelanting kejurang
Hebat pemandangan itu, kaget Siauw Pek hingga sejenak itu ia
lupa akan dirinya. Samar samar ia mendengar pula suaranya Bun
Koan- "Ayah bunda dan kakak Kie telah terbinasa aku pun tak dapat
bertahan lagi oh, adikku, tinggal kaulah turunan Keluarga Coh satu
satunya Adikku, kuatkan hatimu, kau mesti hidup terus. Kau
pergilah, roh ayah dan ibu serta kakak Kie akan melindungimu..."
Tiba-tiba ada suatu cahaya perak menyambar kepundak kanan si
bocah, hingga dia merasai hawa dingin- Seolah tetap tak sadarkan
diri la bertindak maju untuk melalui jalan sempit dan licin itu.
Bun Koan tengah bertempur terus. ouw Bwee adalah seorang
lawan yang setimpal. Hanya sayang si nona tengah bergusar dan
nyeri di hati, pikirannya tak tentram sebab memikirkan keselamatan
Siauw Pek adiknya. dengan segera ia dapat didesak lawannya yang
ganas itu. Ketika itu si pendeta Siauw Lim Sie maju ke arah jalan sempit itu,
dengan senjatanya dia memukul mukul lumut yang licin, untuk
menyingkirkannya, supaya ia dapat berjalan di situ.
Kim Ciong Toojin juga mengajukan diri, mungkin dia berniat
mendahului sipendeta. ketika dia sampai di dekat Bun Koan dan
Puw Bwee, mendadak ia menjejak tanah, untuk mencelat melintasi
kepala dua orang yang sedang mengadu jiwa itu.
Bun Koan menyangka orang hendak membokongnya, ia menikam
keatas dengan tipu pedang "Sian Ho Leng In-, atau jenjang sakti
melayang diantara mega.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim Ciong terkejut, dia mengeluarkan jerit tertahan, akibat
serangan yang tidak disangka, tak sempat ia membela diri, maka
pahanya kena tertikam, hingga darahnya borboran keluar syukurlah
ia tabah, sambil menahan nyeri, dia meletakkan kakinya ditanah.
Lebih dahulu dia menggunakan pedangnya, yang ditancapkan di
tanah, untuk menjaga tubuhnya.
ouw Bwee menggunakan saat yang baik. Disaat Bun Koan
menikam si imam, ia membacok si nona, hingga nona itu terluka
bahunya. Kembali dua orang, yang hanya terlihat bayangannya, lompat
melewati kepalanya Nona Coh dan ouw Bwee, dan menyusul itu,
terdengar satu jeritan yang mengerikan, karena salah satu
bayangan sudah tergelincir ke dalam jurang
Tapi bayangan itu bukannya korban serangan, hanya ia mampus
sendirinya. Ketika dia lompat, dia turun tepat diatasan Kim Ciong.
Imam itu terkejut, ia berkelit. Sibayangan menginjak tempat
kosong, dia tergelincir seketika. Maka ia menyerahkan jiwanya
kepada jurang yang curam itu
Kim CIong ngeri, ia lantas merandak. Bayangan yang satunya
turut berhenti juga.
Bun Koan menjadi putus asa. Ia telah terluka dan letih sekali, tak
dapat melayani terus musuhnya, karenanya ia menjadi nekad. Tibatiba
ia menikam ouw Bwee, selagi musuh menangkis. mendadak ia
menyerbu dengan tubuhnya, niatnya ialah membuat tubuh musuh
terpental dan roboh tergelincir kedalam jurang
Jago Pat Kwa Bun itu terkejut, dengan cepat dia mundur dua
tindak. Tameng ditangan kiri dilepaskan, lalu dengan lima jari
tangan kirinya itu ia memapaki tubuh si nona, untuk menyambar
dan mencekal lengan kirinya.
Hanya sedetik itu, habislah tenaga lengan kiri Nona coh, hingga
pedangnya terlepas dan jatuh kedalam jurang, dan ia menjadi
tawanan musuhnya itu.
ouw Bwee girang sekali berhasil menangkap hidup Nona coh. Ia
merasa jasanya seimbang dengan jasa sipendeta dari Siauw LIm Sie
yang berhasil merobohkan coh Kam Pek, kini tinggallah Siauw Pek
seorang. Kim Ciong Toojin beristirahat sebentar, lantas mulai maju lagi,
walaupun dengan terhuyung huyung sebab luka pada pahanya. Dia
lah seorang imam, tetapi dia tak kalah tamaknya dengan ouw Bwee.
Dia sangat mengharapkan dapat membekuk Siauw Pek hidup atau
mati. Lagi enam atau tujuh bayangan berlomba maju, tak segan
mereka lompat melewati kepalanya si orang she ouw.
Siauw Pek sendiri telah berhasil melintasi jalan tanah kecil yang
licin, hingga dilain saat ia sudah berada didepan Seng Su Kio,
jembatan maut itu. Ia berjalan terus, membuka tindakannya diatas
jembatan batu. Ia masih seperti tak sadarkan diri. Pada kedua belah
matanya juga tak tampak air mata bercucuran, ia berjalan perlahan,
sedikitpun tak kentara bahwa ia merasa jeri.
Ketika Kim Ciong akhirnya dapat melewati jalanan sempit licin itu,
Siauw Pek sudah berada diatas jembatan tiga atau empat kaki
terpisah dari tanah tepian jurang, kalau umpama dia menjambret,
imam ini mungkin dapat menyambar bajunya bocah itu. Tapi dia tak
berani melakukan ini. Sebab pahanya nyeri, tidak dapat lompat atau
memasang kuda-kuda dengan tubuh cenderung kedepan- Toh dia
penasaran sekali. Lantas dia menekan jembatan dengan ujung
pedangnya, untuk mencoba menaruh kaki guna berjalan di
jembatan itu. Tiba-tiba terlihat satu bayangan orang berkelebat, itulah
bayangan seorang yang lompat lewat di atas kepala si imam.
Dengan begitu bayangan itu lebih dahulu tiba di jembatan maut itu.
Dialah seorang dengan dandanan ringkas dan bersenjatakan
pedang. Sambil bertindak maju, dia mengulur tangan kirinya untuk
menjambret leher baju Siauw Pek.
Kim Ciong Toojin mendongkol sekali. orang telah mencoba
melewatinya, guna merampas bakal mangsanya itu. Sejenak ia
berpikir, apa yang harus dilakukannya.
Sekonyong-konyong, terdengar satu jeritan seram, dan terlihat
tubuh bayangan tadi tergelincir kedalam jurang
"Ah" si imam berseru dengan suara tertahan- Dia jeri sekali,
matanya memandang bingung. Dia menjadi separuh heran, melihat
Siauw Pek bertindak terus diatas jembatan mati hidup itu, jalannya
perlahan tetapi tetap dan tenang. Terus dia mengawasi sampai
tubuh si bocah lenyap diantara kabut hitam.
Saking kesengsem, imam ini tidak memperdulikan ketika di
belakangnya terdengar jeritan dari kesakitan, baru kemudian dia
sadar tatkala mendengar satu suara dingin menegurnya: "Eh, tooheng,
kenapalah kakakku itu terjatuh kedalam jurang ?"
"Too-heng" ialah panggilang kakak untuk seorang imam.
"Mana aku tahu" sahutnya gusar atas pertanyaan kasar itu.
Meskipun menjawab dia tak memutar tubuhnya.
Tiba-tiba terdengar tertawa nyaring, disusul dengan kata kata:
"Kedut tuan tuan jangan kamu berselisih" Lalu tampak bayangan
orang lompat kearah jembatan, rupanya untuk menyusul Siauw Pek.
Kembali Kim Tjong terkejut. Kali ini disebabkan batang lehernya
terasa dingin sekali. Karena ada sebatang golok yang
ditandalkanpada lehernya. Segera dia mendengar satu suara bengis:
"Apakah kakakmu dibokong olehmu, tootiang?"
Belum lagi Kim Tjong menjawab pertanyaan itu, telinganya
mendengar jeritan hebat seperti semula tadi. Sebab bayangan yang
barusan melayang melewatinya, yang mau menyusul Siauw Pek.
telah tergelincir kedalam jurang, tubuhnya lenyap d idalam
kegelapan- Mungkin jurang itu dalamnya ribuan tombak didalam situ orang
tak melihat apa apa. Si imam sangat gusar, akan tetapi dia harus
menyabarkan diri. Dia telah diancam maut, tak dapat melawan lagi.
Asal tenaga dikerahkan, golok itu pasti akan menabas kutung
batang lehernya.
Tapi dia menjawab dengan suara penuh kedongkolan- Katanya :
"Jikalau jembatan ini tidak aneh dan tak nanti dia dipanggil
jembatan Hidup,Mati" menyaksikan bayangan yang barusan
mampus itu, itulah bukti bahwa kakaknya bukan dibinasakan si
imam, dia menarik pulang goloknya.
"Maaf untuk kesembronoanku," katanya.
Kim Tjong hanya memperdengarkan suara dingini "Hm" Dia tak
menjawab. Dia tahu diri. Dia telah terluka, tak dapat dia berkelahi
lagi. Diam-diam dia menelan kedongkolannya
orang yang mengancam si iamam itu berdiri melongo. Melihat
kawannya tergelincir, dia menjadi ciut nyalinya.
Sementara ouw Bwee juga memandang kearah jembatan di
mana Siauw Pek lenyap bagaikan ditelan kabut hitam itu.
"Aneh" katanya kemudian- "Alangkah anehnya jembatan ini. Dan
bocah she Tjoh itu dengan cara bagaimana dia dapat berjalan
menyeberang dengan tidak kurang suatu apa"..."
Kim Tjong mendengar suara rekan itu, dia tidak menjawab
sebaliknya dia bertanya : "ouw Sie tju kau mempunyai julukan Hui
Siu yang tersohor itu, ilmu ringan tubuhmu menjagoi didalam Rimba
Persilatan, mengapa kau tidak mau mencoba melintasi jembatan
itu?" ouw Bwee tertawa kering.
"Tak ada perlunya buat aku melakukan percobaan itu" sahutnya.
"Kau lihat sendiri, aku telah berhasil menawan hidup, hidup anak
perempuannya keluarga Tjoh. Tuan tuan, jikalau kamu tidak
berhasil membekuk bocah She Tjoh itu, pastilah cuma aku sendiri
yang berhasil menangkap hidup turunan musuh kita" Itulah kata
kata takbur, nadanya tercampur ejekan-
"ouw Sie tju," kata Kim Tjong, "bukankah kau mengharap
memperoleh salah satu ilmu istimewa dari kesembilan partai besar
mengapa kau tidak mau mencoba menempuh jembatan luar biasa
ini?" Hui Siu berlaku tenang.
"Aku telah menawan satu orang, sudah cukup, katanya. "Sudah
selayaknya jikalau aku memberi kesempatan hidup kepada yang
lain-lainnya. Mana dapat aku berlaku kejam menghabiskan orang
seluruh keluarga?"
Baru ouw Bwee menutup mulutnya, terdengar satu suara tajam
diantara rekan-rekannya: "Bocah itu tak kurang suatu apa, mungkin
itu disebabkan dia berjalan perlahan lahan-"
"Itu benar" sahut suara parau, "Saudara ku, pergilah naik
kejembatan untuk mencoba"
Baharu berhenti suara itu, nampak seorang yang tubuhnya kate
dan kecil lompat keatas jembatan maut. Setelah menaruh kaki, dia
berdiri diam sejenak. untuk meluruskan jalan napasnya, guna
menenangkan diri. Dia berjalan dengan sangat perlahan, dengan
amat berhati hati
Semua mata mengawasi dengan perhatian penuh, semua
bagaikan menahan napas. Sunyi disekitar mereka itu.
orang itu berjalan terus, dia sampai ditempat dimana kabut mulai
tebal. Hanya sekejap dia telah lenyap didalam kabut hitam itu, lalu
mendadak orang mendengar jeritannya yang membangunkan bulu
roma. Itulah pertanda bahwa dia telah tergelincir jatuh Semua
orang kaget, semua heran Semua merasa giris hati. Kenapa orang
itu tergelincir juga" Apakah sebabnya"
Semua mata masih tertuju kearah jembatan ketika mendengar
suaranya ouw Bwee: "Aku si tua mempunyai suatu pikiran, yaitu
daya saling membantu. Mungkin kita dapat mencobanya."
"Memang saudara ouw banyak pendapatnya" berkata Kim Tjiong
Toodjin- " Kenapa kau tidak mencoba sendiri, saudara?"
"Jikalau kau sudi mencoba, tooheng aku suka menemanimu,
"jawab Hui Kiu. Siimam tertawa tawar.
"Pintoo sudah terluka, tetapi pintoo percaya masih ada
keberanian untuk menemui kau, saudara ouw" katanya. " Hanya
belum tahu aku, apakah dayamu itu" ingin pintoo mendengarnya ."
"Pintoo" adalah istilah imam membahasakan dirinya sendiri.
Ketika itu, rombongan pengejar telah berkumpul semua, ratarata
mereka mendengarkan pembicaraan Kim Tjong dan ouw Bwee
mereka terus memasang telinga.
"Jembatan Seng Su Kio ini," berkata ouw Bwee kemudian,
"selama beberapa puluh tahun, telah menjadi kuburan dari
beberapa jago-jago Rimba Persilatan. Kenapa dia dapat
menyeberang tanpa mengalami bencana" Kalau begitu mesti ada
rahasianya"
"Tak usahlah kau menyebut-nyebut tentang rahasianya, saudara
ouw" terdengar satu suara dingin. "Bukankah semua orang telah
menyaksikannya sendiri hebatnya jembatan ini" Apakah rahasianya
itu?" Semua orang menatap kepada orang yang membuka suara itu.
ouw Bwee segera berpaling. orang itu lagi berdiri di belakangnya.
Dialah seorang dengan pakaian hitam seluruhnya. Dia bermuka
kuning kebiru biruan, di pipi kirinya ada kutil hitam sebesar duit
tembaga. Di bahunya, tergantung sebuah pedang panjang
berambut merah.
"Heran" pikir jago Pat Kwa Bun inL "Sejak kapan dia tiba di
belakangku?"
Memang, tak tahu dia kapankah datangnya orang itu. Yang ia
tahu, sejak semula di dalam rombongannya tak ada orang itu.
Tetapi dia tak tercengang lama. Lantas dia tertawa terbahak bahak.
Lalu segera ia berkata. "Aku kira siapa tak tahunya saudara Tjee"
orang serba hitam itu menggerakkan mukanya entah tertawa atau
tidak. "Jangan sungkan sungkan, saudara ouw" katanya, "Aku justru
hendak mendengar pikiranmu yang luhur"
Di dalam rombongannya ini, ouw Bwee merasa bahwa dialah
yang paling lihay, sampai pun si pendeta dari Siauw Lim Sie dan Kim
Tjiong Toojin, tak dia hiraukan, akan tetapi terhadap orang ini, dia
menaruh hormat sekali. Begitulah, dengan suara lembut dia
berkata: "Menurutku, seorang seorang saja yang coba pergi
menyeberang..."
Di antara Kim Tjiong Toojin dan ouw Bwee tidak ada
permusuhan, tetapi mereka saling membenci satu sama lain. Dari
itu, mendengar perkataannya si orang she ouw, si imam berkata:
"Bukankah orang yang akan nyeberang itu kau sendiri adanya, ouw
Sietju?" ouw Bwee tertawa tawar.
"Siapapun dia, sama saja" jawabnya dingin " orang yang
menyebrang pinggangnya harus diikat tali yang kuat. Ujung tali itu
mesti diikat pada seorang lain. Seandainya orang yang menyebrang
itu tergelincir jatuh, orang yang lainnya menariknya. Tentu dia
membutuhkan bantuan beberapa orang, mencegah janganlah
sampai ia jatuh ke dalam jurang"
"Benar" tertawa sijubah hitam- "Pikiran ini tidak sempurna tapi
dapat dicoba"
" Karena terluka, pintoo tak dapat mencobanya," berkata Kim
Tjiong Toojin- " orang pun harus dipilih jangan yang ilmu silatnya
tak beraturan, kalau begitu, akan sia sia belaka dia mencobanya
Sekarang ini, ouw Sie Tju, orang yang paling tepat adalah kau
sendiri. Kau ini selain ilmu ringan tubuhmu hebat, juga pandai berpikir,
otakmu cerdas, setiap saat kau dapat merubah siasat" ouw Bwee
tertawa dingin.
"Jikalau yang menyeberang aku, tentunya kaulah yang harus
membantu" katanya.
"Pasti pinto suka sekali membantu" sahut si imam.
ouw Bwee mendapat julukan Hui Siu, si Tua Terbang, karena
mahirnya ilmu meringankan tubuhnya. Tapi sekarang dia menyesal
sendiri karena mengutarakan pikirannya itu.
"Aku celakakan diriku sendiri..." pikirnya. Lantas dia menotok dua
kali jalan darah Bun Koan, habis itu, dia berkata pada si orang she
Tjee: "Aku mau minta bantuanmu, saudara Tjee"
Dengan sinar mata dingin, orang itu menyapu wajah Hui Siu.
"Bicaralah, saudara Puw" sambutnya. "Asal aku sanggup..."
"Pasti kau sanggup saudara Tjee. Kecuali kau di sini tidak ada
orang lain lagi."
ouw Bwee berhenti sebentar, sebelum orang menyahut, ia sudah
menyambung: "Aku mau minta saudara menjadi saksi sekalian
memohon bantuanmu. Begini. Andaikata aku dan Kim Tjong
Tooheng lacur dan mendapat bahaya, nona she Tjoh yang kutawan
ini kuserahkan padamu. Ketika kesembilan partai besar
mengumumkan pemberitahuan dan mengundang pelbagai partai
lainnya untuk bekerja sama, mereka akan menjanjikan akan
mewariskan ilmu kepandaian sebanyak dua puluh tujuh macam
kepada orang yang berhasil menawan satu atau lebih anggota
keluarganya Tjoh Kam Pek. Itu adalah janji umum, yang diketahui
khalayak ramai. Sekarang ini, nona ini adalah anggota satu satunya
yang masih hidup dari keluarga Tjoh. Andaikata mereka itu
menggunakan sesuatu alasan untuk menolak mereka tak akan
menyangkal seluruhnya. Salah satu tentu diwariskan juga"
"Jikalau begitu, aku menghaturkan terima kasih kepadamu"
berkata siorang she Tjee, yang wajahnya tak berubah, tak gembira,
tak bersyukur, dan suaranya tetap dingin-
"Masih ada satu lagi, saudara Tjee"
"Bicaralah" kata siserba hitam singkat.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan mata bersinar tajam, ouw Bwee memandang Kim Tjiong
Toodjin- "Tooheng, aku minta sukalah pedangmu kau titipkan kepada
saudara Tjee" katanya. "Aku hanya hendak menjaga supaya selagi
aku berjalan di atas jembatan, kau tidak menebas putus talinya"
"Dihadapan banyak mata ini, mana mungkin pintoo berani
memutus tali" berkata siimam "Saudara ouw, kau terlalu curiga."
"Terpaksa aku berlaku teliti, tooheng. Kita manusia, kita kenal
orangnya, kenal wajahnya tidak kenal hatinya"
Mendadak saja, berbareng dengan juaranya ouw Bwee itu,
siorang she tjee menyambar tangan kanan Kim Tjong Toodjin
berkata. " Ucapan saudara ouw bukannya suatu permintaan yang
keterlaluan, karena itu tootiang serahkan senjatamu"
Kim Tjong terkejut. Ia merasa cekalan orang itu kuat bagaikan
besi. Ia tidak berani menuang sebab ia tahu ia sedang luka. Dengan
sabar ia meloloskan pedangnya. ouw Bwee menyerahkan Bun Koan
pada orang she Tjee itu.
"Segalanya aku membuat kau berabe, saudara Tjee." katanya ia
terus merogo sakunya,
mengeluarkan segumpal tali sutra putih. Sembari menunjukkan
tali itu, ia berkata: "Tali ini dapat menahan barang berat seribu kati,
walaupun tooheng tangguh, dengan tangan kosong kau tak akan
dapat memutuskannya" Kim Tjong mengulurkan tangannya.
"Mari serahkan padaku" katanya.
"Tunggu sebentar, tooheng. Tak berani aku membuat kau
capek." Berkata begitu, jago Pat Kwa Bun mengikat pinggangnya sendiri.
Kemudian dia tertawa dan berkata kepada siimam: "Mari aku yang
tolong mengikat pinggangmu, tooheng, Bersediakah kau?" Jago ini
mau berlaku hati-hati.
Di dalam hati, Kim Tjiong menyesal. Pikirnya "Manusia ini sangat
licik..." tapi ia mesti memberikan jawabannya, maka ia lantas
berkata: "Kau terlalu berkuatir, saudara ouw, sampai tak tercaya
padaku." "Bukan begitu, tooheng. Andaikata aku celaka tak beruntung,
pastilah tooheng bersedia menemani aku berkorban bukan" Nah,
dengan begitu aku tak akan menyesal mati"
Terpaksa Kim Tjiong manda saja, kemudian ia mengerahkan
tenaga dalamnya, dengan menahan nyeri lukanya, ia menancap
kuda-kudanya punggung menempel pada tembok gunung.
"ouw Sie-tju silahkan" katanya setelah ia bersiap sedia itu.
ouw Bwee menghunus golok pendeknya dengan tangan kanan,
sedang tangan kirinya, ia menyerahkan tali padakim Tjong Toodjin,
lalu sembari tertawa, dia berkata: "Tooheng, aku minta kau
mengulurnya perlahan-lahan Sekarang kita berdua adalah saudara
saudara sehidup semati" Terus, tanpa menanti jawaban, ia
bertindak mendaki jembatan.
Walaupun dia tidak turut pergi kejembatan Kim Tjong Toodjin
tegang sendirinya, diam diam hatinya goncang. Ia ingat liehaynya
jembatan Hidup Mati itu. Bagaimana kalau ia kena terbetot ouw
Bwee" Karena ini, terpaksa ia mengerahkan tenaganya.
ouw Bwee terpaksa melakoni percobaan hidup mati itu. Ia malu
terhadap si imam. Ia mengarahkan tenaga dalamnya, untuk
membuat tubuhnya dapat berjalan dengan tetap. Ia bertindak
dengan perlahan- Segera ia merasakan tiupan angin yang sangat
dingin, hingga mau tidak mau, ia merunduk.
Hanya sebentar ouw Bwee sudah mendekati bagian jembatan
dimana mulai terdapat kabut hitam. Ia merasakan kabut bagaikan
air telaga yang bergelombang keras, yang bergerak turun naik
mengikuti arus deras. Ia memasang matanya tetapi tidak berhasil
matanya menembus kabut hitam itu. Karena itu, sia-sia belaka ia
mencoba mencari Tjoh Siauw Pek yang ia ingin lihat tubuhnya.
"Bocah itu dapat menyeberang, mustahil aku tidak?" pikirnya.
tiba-tiba saja hati jago ini menjadi besar, maka dia mulai
bertindak maju pula. Tapi dia cerdik, selagi bertindak itu, dia
memberati tubuhnya kebelakang, kaki yang dipakai bertindak.
diringankan- Inilah cara untuk mencegah kakinya itu terjeblos.
Setelah memasuki kabut itu, baru ouw Bwee merasakan satu
perubahan- Kaki kirinya terasa sangat dingin seperti direndam
didalam air es. Siuran angin juga mengibar-ngibarkan ujung
bajunya. Dengan sabar, diletakkannya kaki kirinya diatas jembatan-
Ia mencoba menoleh. Sempat ia melihat mata rekan-rekannya
tertuju kepadanya.
" Kiranya Seng Su Kio yang tersohor di kolong langit ini cuma
begini saja" pikir ouw Bwee kemudian, ia merasa bangga sendiri.
Sekarang ia mulai mengangkat kaki kanannya, untuk bertindak.
Dengan demikian seluruh tubuhnya telah berada dalam kabut.
Dengan perlahan, jago Pat Kwa Bun ini bertindak pula. Tak lagi ia
merasa ngeri. Ia sudah maju dua tindak. cuma hawa sangat dingin
yang mengganggunya. Hawa itu dapat dilawannya.
Tiba-tiba ada angin keras datang dari sebelah depan, siurannya
keras. Dengan cepat ouw Bwee mengayunkan tangan kirinya, guna
menolak angin itu. Angin itu datang lagi, bagaikan bergelombang ia
bertahan lagi. Hanya sebentar, ia sudah kena tertolak. Selagi ia
terkejut, tubuhnya sudah lantas terpelanting. Menyusul itu, didalam
kabut itu terdengar jeritan dahsyat, lalu sirap.
Kim Tjiong Todjin pun kaget. Dia merasa tali yang dipegangnya
membetot turun- Hatinya gentar. Di saat itu si serba hitam
mengulur tangannya, menyambar tali, untuk ditarik.
"Akan aku bantu kau" katanya kepada si imam. Dan dia
mendampingi imam itu. Berdua orang ini menarik tali itu.
Semua orang lainnya juga terperanjat, mereka telah mendengar
dan melihat. Setelah saling memandang, sesuatu lantas turun
tangan, berebut memegang tali, untuk membantu menarik.
Perlahan lahan tali itu terangkat naik, makin pendek, makin
pendek, dan akhirnya, tubuh ouw Bwee terangkat naik tubuh yang
dingin dan kaku
Diam diam Kim Tjong Toodjin mengeluarkan elahan napas lega.
"Sungguh berbahaya" katanya didalam hati. "Sungguh
berbahaya. Jikalau orang ini tidak membantuku, pastilah aku telah
tertarik jatuh masuk kedalam jurang maut itu terbetot oleh ouw
Bwee..." Seng Su Kio berdiri tetap didalam kabut hitam, tubuh ouw Bwee
tetap dingin dagu mukanya matang biru, bagaikan wajah mayat.
Slorang she Tjee menghampiri tubuh ouw Bwee, dengan sebat
dia menotok beberapa jalan darah jago Pat Kwa Bun. Setelah itu dia
mengawasi Kim cong Toojin dengan sinat mata yang dingin-
"Aku telah membantu kau, tootiang," katanya. "Sekarang silakan
tootiang membawa orang she ouw ini untuk menyingkir dari tempat
yang berbahaya ini" Habis berkata, tanpa menantikan jawaban si
imam, dia angkat tubuhnya Bun Koan, buat dikempit untuk terus
dibawa pergi. Semua orang kaget dan jeri hati menyaksikan keadaan ouw Bwee
itu. Siapa yang berani mencoba lagi menyeberangi jembatan itu"
Bahkan lekas lekas mereka meninggalkan Seng Su Kio
Hati Kim cong pepat, dia merasa sangat sukar. Dia sedang
terluka, lalu dia mesti membawa tubuh ouw Bwee berlalu dari
jembatan maut itu. Tapi, mau tidak mau, dia mesti melakukannya.
Dengan berhati hati dia melalui jalan sempit dan licin itu. Syukur,
dia toh bisa sampai juga di tempat yang aman- Dia merasa lega,
tetapi dia tak dapat mengatakan sesuatu karena hatinya masih
mendongkol. "Di sini dapat kau turunkan dia" berkata si serba hitam, yang
sudah menanti sedari tadi. Sebab dialah yang paling dulu
mengangkat kaki dari muka jembatan- "Mari kita lihat, kita dapat
menolongnya atau tidak..."
Kim Cong melihat orang bermuka panjang, dan kurus, wajahnya
dingin laksana es, siapa mengawasi wajah itu dengan matanya yang
tajam, dia bisa merasa gentar sendiri.
Semua orang diam mendengar kata-kata si serba hitam itu.
Cuma satu orang, yang memisahkan dirijauh-jauh. Dia ini berdiri
sejauh satu tombak lebih, dia diam, kepalanya diangkat, mengawasi
langit. Dialah si pendeta dari Siauw Lim Sie. Dia menjauhkan diri
sebab dia agaknya sebal terhadap kejumawaan si serba hitam itu.
Kim Cong menurunkan tubuh ouw Bwee yang dipanggulnya,
meletakkannya di atas tanah, terus menyobek jubahnya, guna
membalut luka ouw Bwee.
Sijubah hitam mengangkat leher baju ouw Bwee. Tiba tiba
dengan telapakan kanannya, dia menepuk punggung jago Pat Kwa
Bun itu. menyusul mana, dia juga mengurut berulang ulang di atas
kedua belas jalan darah si korbanDiperbuat
begitu, matanya ouw Bwee bergerak perlahan-lahan,
sedang jantungnya mulai berdenyut.
Sekarang si serba hitam menekan ubun ubun orang she ouw itu
dengan begitu dia membuat hawa panas pada tangannya memasuki
jalan darah orang.
Lewat lagi sekian lama, sadarlah orang she ouw itu, paling dulu
terdengar tarikan nafas, menyusul itu, dia memegang kedua belah
matanya. Segera orang she Ce itu berkata dengan suara dingin- "Saudara
ouw, kau telah menyerahkan anak perempuan ini kepadaku,
sekarang aku menolongmu, maka kebaikanmu itu telah aku balas
impas." "Kau benar, saudara ce," sahut ouw Bwee perlahan- Dia masih
lemah. "Tindakanmu tepat, dengan begitu kita jadi berlaku adil."
Terpaksa jago Pat Kwa Bun memperlihatkan sikapnya yang lunak
ini. Dia cerdik, tak mau dia berlaku sembrono, sebab itu berbahaya.
Dia masih sangat lemah, dia mesti tahu diri Kalau dia menjawab
secara menentang, asal si serba hitam tidak puas, dia kira dihajar
mampus seketika. Dia bisa mati konyol. Sebab dia pasti tidak
sanggup melawan atau menyingkir. Dia kenal baik siapa si serba
hitam, jago Kang ouw-Sungai Telaga yang telengas. Selama dua
puluh tahun, entah berapa banyak jago Rimba Persilatan yang
binasa di tangannya. cuma dia sangat menyesal, sebab setelah
berkelahi mati matian sekian lama. Nona Tjoh mesti jatuh ke tangan
orang ini. Dengan begitu, mana mungkin dia bisa menagih hadiah
kepada kesembilan partai besar itu"
Dengan sabar si serba hitam mengangkat tangannya diletakkan
pada ubun2 ouw Bwee. "Baiklah, saudara ouw" katanya. "Ijinkan
aku meminta diri"
Begitu habis berkata, orang she Tjee itu memondong tubuh Bun
Kwan, dengan satu lompatan pesat, dia mengundurkan diri dari ouw
Bwee, setelah mana dia berlari-lari pergi dan sesaat kemudian,
lenyaplah bayangannya Semua mata melongo, tak ada seorang jua
yang berani merintangi
Baharu setelah itu, dengan perlahan-lahan ouw Bwee bangkit
berdiri. Paling dulu dia jumput pedang yang diletakkan si serba
hitam di tanah, dan dengan cepat dia memotong putus tali yang
mengikat tubuhnya. Kemudian dia menyerahkan pedang pada kim
Tjong Toodjin sambil berkata: "Tootiang, aku hidup kembali dari
kematian, itu adalah berkat pertolonganmu, akan aku ingat ini.
Harpa Iblis Jari Sakti 23 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Naga Naga Kecil 1
^