Pedang Golok Yang Menggetarkan 8

Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Bagian 8


"Memang saudaraku habis berkelahi, sesudah lewat lama, baru
lukanya bekerja."
"Dia muda tetapi tenaga dalamnya mahir begini, sungguh
langka." kata si pendeta kagum. " Itulah sebabnya kenapa dia dapat
bertahan lama, coba dia keburu menjalankan pernapasannya,
mungkin dia tak sehebat ini..."
Mendengar itu, Oey Eng dan Kho Kong terkejut, bahkan sampai
membuat pelita ditangan Kho Kong terlepas jatuh, tapi dia masih
sempat berkata: "Kalau loosiansu tidak dapat menolong dalam dunia
tidak ada orang lainnya."
JILID 15 Pelita itu tidak jatuh ketanah, dengan lincah si pendeta telah
menyambutnya. "Benarkah tidak ada harapan buat saudaraku ini?" tanya Oey Eng
amat khawatir. "Tak dapat loo ceng memastikan," kata si pendeta. "Lihat saja
dahulu." "Tolonglah, loosiansu, kami sangat bersyukur." kata Oey Eng,
yang air matanya sudah meleleh keluar.
"Kami bertiga bersaudara angkat tetapi kami seperti saudara
kandung," kata Kho Kong, "maka itu, kalau loosiansu menolong
kakakku, loosiansu seperti menolong kami bertiga. Itu berarti
loosiansu menolong tiga jiwa..."
"Akan loo-ceng coba," berkata pendeta itu, "cuma karena
lukanya parah sekali, mungkin loo- ceng tidak berdaya..."
" Dalam hal ini loosiansu memerlukan obat apakah?" tanya Oey
Eng khawatir. Pendeta itu menghela napas.
"Dia terluka parah karena serangan angin yang beracun,
walaupun demikian, dia masih dapat ditolong," katanya. "Yang sulit
jalan bahan obatnya. Obatku masih kurang dua macam."
"Obat apakah itu, loosiansu?" tanya Oey Eng.
" Itulah obat-obatan yang sulit dicarinya."
"Tolong loosiansu sebutkan namanya..."
"Sebenarnya tak ada gunanya menyebut itu. Tapi, baiklah aku
memberitahukan juga." Ia menghela napas ia memandang kepada
Siauw Pek. Ketika ia melanjutkan, ia berkata perlahan sekali: "Siecu
ini adalah seorang yang langka yang pernah kulihat. Untuk belajar
silat dia berbakat sangat baik, sayang dia dibatasi oleh umurnya.
Andaikata dia dapat hidup lagi dua puluh tahun, pasti dia akan jadi
jago nomor satu ."
"Dia memerlukan obat apa, loosiansu?" tanya Kho Kong. "Tolong
sebutkan nanti kami berdua pergi mencarinya."
"Mungkin sudah terlambat. Looceng mempunyai semacam pil,
tapi ini cuma bisa memperpanjang umurnya lagi tujuh hari Selama
tujuh hari itu, kemana kita harus mencari obatnya ?"
" Loosiansu, tolong sebutkan dulu nama obatnya." Oey Eng
minta. "Yang satu bunga cie-yam-hoa," pendeta itu menerangkan
akhirnya. "obat itu termasuk zat api, khasiatnya untuk mengusir
hawa dingin yang beracun."
"cie yam hoa?" kata Kho Kong terkejut, hatinya tergerak.
"Bagaimanakah macamya bunga itu?"
"Bunga itu mirip kembang melati, warnanya ungu tua. Tempat
dan waktu tumbuhnya tidak ketentuan. Itulah yang menyulitkan"
"Bukankah itu bunga yang aku lihat didalam rimba?" kata Kho
Kong didalam hati. Karena ia segera ingat bunga yang dipetik
burung tak dikenal itu. Lekas ia bertanya:
"Bunga itu berbau atau tidak?" Pendeta itu menggelengkan
kepala. "Tidak ada baunya. inilah yang menyebabkan orang tidak
memperhatikannya."
"Apakah burung menyukai bunga cie yam hoa itu?"
"Ya. Sebenarnya, dalam halnya membaui bunga, manusia dan
burung tak dapat disamakan." Kho Kong segera merogoh sakunya,
mengeluarkan dua tangkai bunga petikannya. "Loosiansu, bukankah
ini bunga yang loosiansu maksudkan?" ia bertanya. Pendeta itu
mengawasi bunga tersebut, lalu mendadak dia melompat
berjingkrak. "Tidak salah Tidak Inilah cie yam hoa " serunya. " Inilah obat
utama untuk mengusir racun Dari mana kau mendapatkannya ?"
Berkata begitu, pendeta itu menatap si anak muda.
"Nanti, loosiansu," menjawab Kho Kong, "setelah loosiansu
menyembuhkan kakakku, akan boanpwee antar loosiansu pergi
memetik bunga ini." Dengan perlahan, pendeta itu duduk. Nampak
dia sangat berlega hati.
"Amida Buddha pujinya. "Sudah empat puluh tahun looceng
melatih diri, kenapa looceng masih belum sanggup menyingkirkan
ketamakanku"..." Oey Eng heran melihat sikap orang suci ini.
" celaka kalau pendeta ini tak sudi menolong toako..." pikirnya.
Maka ia segera menanya: " Loosiansu telah mendapatkan cie yam
hoa, bukankah kakakku itu sudah dapat segera ditolong?"
"Sekarang tinggal kekurangan obat yang satu lagi..." sahut
pendeta itu. "Apakah itu, loosiansu?" tanya Kho Kong. Si pendeta
menatapnya^ "obat itu bukannya tak ada tempat dan waktu mekarnya seperti
cie yam hoa," sahut dia, " walaupun demikian, tak mudah
mencarinya..."
Oey Eng berpikir: "Dia bicara tak keruan, mungkin masih ada
harapan-" Lalu ia berkata "Loosiansu, tolonglah menunjukkan kami
sebuah jalan-.."
"Itulah," sahut pendeta, "ikan tambera emas yang usianya sudah
tiga ratus tahun keatas..."
Oey Eng melengak. begitu juga Kho Kong.
"Ikan yang besar mudah dicari tetapi yang setua itu..." katanya.
"Bagaimana kita dapat mengenalinya?"
"Bangsa ikan itu ada tiga belas macam, yang dibutuhkan ialah
ekor keemas emasan," pendeta menegaskan-
"Seingatku, semua ikan emas merah ekornya..." pikir Oey Eng. Ia
berdiam. Pendeta itu dapat menerka pikiran orang- Ia segera memberi
keterangan- "Yang aku butuhkan ialah yang ekornya keemas
emasan itu, ikan mana makin tua umurnya makin tegas warna
emasnya. Namanya yang benar ialah kim sian lie atau kim Bwee lie."
"Boanpwee sukar mengenalinya," Oey Eng akui.
"Memang juga paling sukar mengenalinya..."
"Tapi, loosiansu," kata Kho Kong bingung, "apakah dengan cie
yam hoa saja masih tidak cukup untuk menyembuhkan kakakku?"
Pendeta itu berdiam, matanya dipejamkan- Ia seperti tidak
mendengar. Kho Kong mendongkol. Katanya dalam hati: "Eh, pendeta
bangkotan, kau main gila, ya kalau kau tidak tolong kakakku, awas
jiwamu " Ia mengangkat tangannya, untuk diluncurkan
Oey Eng menyambar lengan saudara itu sembari berkata dengan
saluran Toan Im Sie sut: "Hati hati, pendeta ini liehay sekali Jangan
kau cari penyakit "
Daging di pipi pendeta itu berdenyutan, ia membuka matanya,
terus ia berkata: "Kamu mendapatkan cie yam hoa, itu berarti jiwa
kamu tidak bakal hilang. Mengenai ikan tambera, dapat aku
tunjukkan satu jalan, kamu akan berhasil mendapatkannya atau
tidak-itu terserah kepada untung kamu sendiri."
"Tunjukkanlah jalan itu, loo-siansu," Oey Eng minta.
"camkanlah tuan tuan, looceng cuma mengatakan satu kali.
Selanjutnya terserah kepada kamu, kamu mengerti atau
tidak.Jangan kamu banyak bertanya, tak akan aku bicara lagi "
"Inilah gila" seru Kho Kong didalam hati. "Mana ada aturan
macam begini?"
Sisembrono ini mau menanya, tetapi sipendeta mendahului.
Katanya: "Empat puluh lie dari sini, disebelah utara sana, ada dua
buah pohon murbei yang tua. Kamu lewati kedua pohon itu.
Selewatnya jalanan yang penuh rumput dan teduh itu, akan terlihat
sebuah jalan kecil..."
Kho Kong batuk-batuk, hingga dia memutus perkataan sipendeta
tua. "Telah aku katakan, jangan banyak tanya kepadaku"
memperingatkan pendeta itu. "Kalau tidak. lebih baik kau pergi dari
sini " Suara itu bengis dan berwibawa, Kho Kong bungkam.
"Setelah kamu jalan kira kira satu jam, disana kamu akan
menemui sebidang tanah berkarang," sipendeta melanjutkan "Disitu
terdapan sebuah rumah gubuk. Ingat, biar bagaimana penghuni
rumah itu mencaci dan menghina kamu, jangan kamu pedulikan,
jangan kamu bentrok dengannya. Lewat dari situ sekarang enam
atau tujuh lie, kamu akan sampai disebuah bukit. Dipuncaknya
ditengah-tengah itu ada sebuah pengempang luas lima tombak
persegi. Didalam peng empang itu dipelihara dua ekor ikan tambera
emas itu, kamu ambillah satu ekor, jangan lebih "
Oey Eng heran. Pikirnya: "Aneh pendeta ini Tidakkah dengan
begitu kita sudah akan bentrok dengan orang" Kenapa dia tidak
mau menjelaskan segalanya?"
Mata sipendeta bergerak. dia berkata pula: "Sang waktu sudah
mendesak. lekas kamu pergi"
Oey Eng segera memberi hormat dan berkata: "Baiklah, loo
siansu, boanpwee berangkat sekarang. Harap loo siansu tolong jaga
kakakku ini."
"Sebisaku akan aku jaga dia," kata si pendeta.
"Dengan janji loo siansu ini, matipun aku ikhlas" kata Oey Eng,
yang terus memutar tubuhnya dan berangkat.
Kho Kong masih mau menanya, tetapi karena saudaranya sudah
pergi, dia segera menyusul. Dia mau pergi bersama, Oey Eng pun
tidak mencegah.
Mereka ambil arah seperti ditunjukkan sipendeta. Selang empat
puluh lie, benar mereka melihat dua buah pohon murbai. Lewat dari
situ, tampak sebuah gunung. Diantara kedua pohon lihat tapak kaki,
bekas orang berlalu lintas.Jadi itulah jalanan orang.
"Ah, masa bodoh, bencana atau keselamatan-" pikir Oey Eng,
yang terus bertindak untuk lewat dijalanan diantara pepohonan itu.
Kho Kong tidak sabaran, dia mendahului kakaknya.
Ketika itu sudah jam delapan atau sembilan.
Dengan tidak mengenal lelah, kedua saudara itu mendaki
gunung. Benar seperti petunjuk si pendeta tua, mereka menemukan
sebuah gubuk yang seperti menghadang jalan maju mereka. Rumah
itu rumah gubuk tetapi berpintu kayu, pintunya besar. Tak tampak
orang diluar atau depan rumah itu. Selagi mereka mau melewatinya,
tiba tiba mereka mendengar teguran, yang datang dari dalam
rumah. Itulah suara seorang perempuan tua. "Tuan tuan, kamu
mau apa?" "Kami lagi berpesiar," sahut Oey Eng, mendusta. Ia terpaksa
membohong. "Benarkah, tuan tuan?" terdengar pula suara itu, yang mana
diiring dengan tawa hambar. "Sungguhkah kamu lagi pesiar?"
Tiba tiba Oey Eng ingat pesan si pendeta, agar jangan melayani
penghuni rumah. Maka ia tarik tangan Kho Kong, buat diajak
berjalan terus. Mereka lari mengelilingi gunung itu. Setelah
selintasan, jalan sudah tidak ada. Itulah sebuah tempat belukar,
banyak rumpurnya, batunya berserakan. Mereka berlari terus naik
keatas... Angin bertiup sejuk. rasanya sangat nyaman-Kembali
benar petunjuk si pendeta.
Segera tampak sebuah peng empang luas lima enam tombak
persegi. Ditepian barat peng empang itu terdapat sebuah rumah
batu. Ditepi empang ada sebuah perahu kecil, yang ditambat pada
sebuah pohon cemara.
Kho Kong lari kearah rumah. Ia melihat pintu tertutup dan
terkunci dengan rantai besi. Rupanya penghuni rumah sedang
bepergian. Lalu ia mengawasi empang. Air dalam tidak ada tiga
kaki, hingga nampak dasarnya. Ada terdapat banyak ikan aneh
aneh, yang ia belum pernah lihat tadinya.
Oey Eng mengajak saudaranya menaiki perahu, untuk
mendayung ketengah, buat mencari si ikan tambera emas. Tak
sempat mereka menikmati keindahan peng empang itu.
Di sebelah timur, disana air dalam, terlihat seekor ikan yang
tubuhnya merah yang ekornya bersinar kuning emas, panjangnya
sekaki lebih. Ikan itu terlihat sebab dia kebetulan nimbul dan
nenggak. Hati Oey Eng tegang. Ia girang berbareng khawatir. Garang
sebab melihat ikan itu. Khawatir karena ia percaya ikan mestinya
gesit dan sukar untuk ditangkap. Diam diam dia berdoa: "Semoga
Thian melindungi toako " Habis itu ia mengulur tangannya masuk
kedalam air, untuk menangkap ikan itu. Diluar dugaan ikan itu diam
saja waktu ditangkap.
Diburitan perahu ada beberapa buah tahang kecil, Kho Kong
ambil sebuah, buat tempat ikan itu.
"Kita pakai saja tahang ini," katanya.
Oey Eng setuju. Perahu mereka kepinggirkan. Ia melihat
kesekitarnya, katanya. "Mudah mudahan tidak ada musuh gelap
didalam rumah itu."
Lekas sekali perahu mereka sudah sampai ditepian Oey Eng
segera menambatnya. Lantas ia berbisik pada saudaranya: "Kau
bawa ikan, aku membuka jalan- Kalau ada musuh, aku yang akan
menghadang, lekaslah lari pulang ke Siauw Thian ong sie, supaya
kau dapat menyerahkan ikan ini "
Kho Kong mengangguk. "Aku mengerti," katanya.
Mereka mendarat. Oey Eng menghunus pedang. Ia bagaikan
mendapat firasat bakal bertempur hebat.
Segera mereka sudah mendekati rumah gubuk tadi.
Tiba tiba terdengar suara menyapa dari dalam rumah: "Bagus, ya
Kamu mencari ikannya si tak mau mampus itu Kenapa kamu tak
mau memberitahukan maksud kamu padaku supaya akupun dapat
menangkap beberapa ekor?"
Oey Eng berbisik pada saudaranya. "Asal dia muncul, akan aku
tempur dia, buat mengulur waktu, kau sendiri, segera kau kabur
jangan pedulikan aku lagi "
Habis berbisik itu, anak muda ini menjawab teguran dari dalam
itu: "Sayang kami tidak tahu bahwa loocianpwee juga gemar ikan,
kalau tidak tentu sekalian kami menangkapkan beberapa ekor."
"Kamu mencuri berapa ekor ikannya si tak mau mampus itu?"
tanya lagi suara dari dalam gubuk itu.
" Itulah seorang perempuan, pikir Oey Eng. "Mungkinkah
hubungan dia erat dengan penghuni rumah batu itu, si pemilik ikan-
Aku mesti berhati hati."
Maka ia menjawab. "Boanpwee cuma mengambil satu ekor?"
" Kenapa cuma seekor?"
"Seekorpun sudah cukup Jika aku mengambil lebih, itulah buat
keuntungan diri pribadi, karenanya merugikan orang lain-"
Tidak segera ada jawaban, sebaliknya terdengar suara roda
kereta. Kiranya dari dalam gubuk muncul sebuah kereta diatas
mana duduk seorang wanita tua yang rambutnya beruban yang
memain di antara tiupan angin, sedang sebelah tangannya
mencekal sepotong tongkat. Muka nenek itu pucat, pertanda bahwa


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah lama dia tak tersinarkan matahari^
"Mari" nenek itu mengulapkan tongkatnya. "coba aku lihat ikan
itu" Diam diam Oey Eng berbicara dengan Toan Im cie sut pada
adiknya: "Perhatikan aku dik. Asal aku menempur dia, kau molos
dan kabur" Kho Kong memberikan janjinya.
Keduanya bertindak maju mendekati si nyonya tua^
Nyonya itu mengulur kepalanya. Kho Kong pun mengangsurkan
tahang ikannya. Kata nenek itu: "Ikan itu berharga mahal... tak
bagus buat ditonton-.."
Kho Kong kata di dalam hatinya: "Ikan itu untuk menolong
kakakku Siapa yang hendak membuatnya main main ?"
Oey Eng berdiri disisi adiknya, bersiap sedia kalau kalau sinenek
turun tangan- Nenek itu menghela napas. Ia berkata perlahan: "Apakah
perbuatan kamu ini adalah petunjuk si pendeta tua?"
"Apakah looelanpwee maksudkan loosiansu itu?" Oey Eng
bertanya, sebenarnya ia terperanjat. Kembali si nyonya tua
menghela napas.
"Jangan kamu mencurigai aku," katanya seraya memutar
keretanya, buat masuk kembali kedalam gubuknya.
Heran dua saudara itu. Sinenek tidak merintangi mereka.
Segera Oey Eng memberi hormat kearah gubuk seraya berkata:
"Kami telah menerima budi loocianpwee, apabila ada kesempatan
kami akan membalasnya." Habis berkata, tanpa menanti jawaban, ia
mengajak Kho Kong lari, ia melindunginya.
Dua saudara itu lari terus-terusan, sampai di Siauw Thian ong
sie. Didalam kuil mereka mendapatkan s ipendeta tua tengah duduk
berdiri seperti semula tadi.
Oey Eng menghampiri, sambil membungkuk ia berkata: "Loo
siansu, syukur kami tidak menyia nyiakan petunjuk loosiansu. Telah
kami dapatkan ikan emas itu."
Sipendeta membuka matanya perlahan lahan-"Mari kasih aku
lihat" Agaknya ia ragu ragu Kho Kong mengangsurkan tahang
ikannya. "Silahkan periksa, loosiansu." Pendeta itu mengawasi beberapa
lama. "Tidak salah," katanya. Terus ia mengawasi dua orang itu.
Katanya: "Sekarang kami pergi keluar, ketempat yang tinggi. Kamu
memasang mata kesegala penjuru. Asal kamu melihat ada orang
asing datang, lekas beritahu padaku." Oey Eng dan Kho Kong
menerima perintah itu.
"Agaknya hati sipendeta tegang," Kho Kong membisiki
saudaranya. "Mungkin itu ada hubungannya dengan ikan emas itu."
"Mungkin sinenek dapat menduga loo siansu apalagi sipemilik
ikan..." "Kalau ikan sudah dimasak dan dikasih makan pada toako, dia
datang pun tak ada gunanya."
Sementara itu mereka sudah berjaga-jaga. Mendadak dari
kejauhan tampak debu mengepul naik.
"Hai" teriak Oey Eng, kaget. "Orang itu lari cepat luar biasa. Mari
kita pegat dia, merintanginya masuk kedalam kuil"
Berkata begitu, pemuda ini lari kebelakang sebuah pohon, untuk
bersembunyi. Kho Kong sembunyi disebuah pohon lain-
Yang datang itu adalah seorang penunggang kuda dan kudanya
berbulu putih mulus. Pantas dia datangnya cepat dan meninggalkan
debu mengepul di belakangnya. Kedua mata kuda itu bercahaya
merah. Penunggang kudanya membuat Oey Eng dan Kho Kong heran-
Dia adalah seorang nona berbaju hijau, yang dandanannya ringkas.
Sekarang ini dia itu menjalankan kudanya perlahan-lahan, menuju
kebelakang kuil. Oey Eng batuk-batuk. terus ia muncul, untuk
menghadang. Sinona menarik tali kudanya, membuat kudanya itu
berhenti bertindak.
"Siapakah kau?" tegur nona itu tawar. "Tidak keruan- keruan kau
memegat aku?"
"Kau benar, akan tetapi tak dapat aku membiarkan kau masuk
kedalam kota," pikir Oey Eng.
"Kau bisa menggagalkan pengobatan kakakku" ia tahu ia berada
dipihak salah, maka ia batuk batuk lagi, baru ia bertanya: "Kau dari
mana nona" Nona datang ketempat belukar ini, siapa yang nona
cari?" Sepasang alis si nona terbangun. Agaknya dia mendongkol tetapi
dia menyabarkan diri. Maka dia mengawasi si anak muda seraya
bertanya: "Apakah kuil itu yang dipanggil Siauw Thian ong Sie?"
"Benar," jawab Oey Eng. Hanya sejenak. dia menyesal. Dia salah
omong. Mulanya wajah si nona dingin sekali, tapi setelah itu,
mendadak dia tertawa. "Apakah kau dari Siauw Thian ong Sie?"
Oey Eng bingung juga. Tidak dapat ia menerka hati si nona.
Tawa si nona agaknya menunjukkan dia tidak bermaksud jahat.
"Jikalau aku seorang Siauw Thian ong sie, bagaimana?" ia balik
bertanya. Si nona tertawa pula.
"Saudara, kau memanggil apakah kepada Kouw Heng Taysu?"
Oey Eng berpikir pula, cepat: "Kiranya loosiansu bergelar Kouw
Heng Taysu... Agaknya dia ini menghormati pendeta bermata satu
itu. Tapi baiklah aku dustakan dia. ingin aku lihat sikapnya..."
Maka ia bertanya: "Nona she apa?"
"Aku Thio Giok Yauw," si nona menjawab, menyebutkan she dan
namanya sekali. "Aku menerima perintah ayah bundaku untuk
mengunjungi Kouw Heng Taysu. Aku minta saudara suka tolong
mengabarkan kepada taysu tentang kedatanganku ini. Lebih dahulu
aku mengucapkan terima kasih."
"oh, kiranya nona Thio. Maaf, maaf " kata Oey Eng.
"Maukah saudara memberitahukan nama saudara pada adikmu
ini?" si nona balik bertanya. Buat membahasakan diri "aku" itu, ia
menyebutnya "adik".
"Aku Oey Eng," sahut si anak muda.
"Terima kasih, saudara Oey. Sekarang tolong saudara sampaikan
kepada taysu, katakan bahwa adikmu datang dari tempat seribu lie,
mohon taysu sudi menerima aku."
Oey Eng berpikir cepat: "Loosiansu lagi mengobati kakak, baiklah
aku memperlambat waktu..." Maka ia segera mengernyitkan alisnya
dan katanya masgul: "Sayang nona datang tak tepat waktunya..."
" Kenapa?" si nona tanya. Dia heran"
ini waktunya taysu bersemadhi. Tak berani aku
mengganggunya." Nampak si nona cerdas, rupanya ia memikirkan
sesuatu. "Mohon tanya, saudara Oey, kau pernah apa dengan Kouw
Heng Taysu?"
Oey Eng sadar bahwa ia telah salah omong. Lekas lekas ia
membenarkannya.
"Aku pernah ditolong taysu dari lukaku yang parah hingga jiwaku
tertolong, maka itu, bersedia aku bekerja menjadi penunggu
pintunya." Nona itu tertawa.
"oh, kiranya begitu " katanya. "Sayang di dalam usiaku masih
muda tak berkesempatan adikmu menemui taysu. pernah adikmu
mendengar ceritera ayah bundaku halnya taysu sangat pandai
mengobati, bagaikan dia dapat menghidupkan orang yang telah
mati." "Memang" kata Oey Eng, mengikuti lagu bicara orang. " ilmu
pengobatan taysu adalah yang nomor satu didalam dunia Rimba
Persilatan "
"Dahulu itu ayah bundaku pernah ditolong Kouw Heng Taysu," si
nona berkata pula, "maka juga kedatanganku sekarang ini adalah
untuk menghaturkan terima kasih kepada taysu. Adikmu membawa
sesuatau bingkisan yang tidak berharga..."
Oey Eng berpikir keras. Si nona sangat cerdik, mudah dia
bercuriga. Maka ia harus bicara dari hal yang masuk diakaL
"Menurut apa yang aku tahu," katanya kemudian, "Taysu biasa
tak suka menerima bingkisan-"
"Taysu bukannya sembarang orang, maka itu, tak berani kami
menghaturkan bingkisan yang berupa barang biasa saja," kata pula
si nona. ia tetap bicara sabar dan ramah, terus ia menyebut dirinya
adik yang kecil. Dengan sendirinya hati Oey eng tertarik.
"Bingkisan apa itu yang kau bawa, nona?" tanyanya.
"ayah bundaku mendapatkan tiga macam obat istimewa, hari itu
sengaja adikmu diperintah datang kemrai untuk menyampaikannya."
jawab si nona. ia hening sejenak. terus ia menambahkan:
"Sebenarnya ayah bundaku sendiri yang hendak membawa obat
obatan ini akan tetapi sayang ayah mendapat halangan- Selagi ayah
mencari obat itu, ayah bertemu ular berbisa yang menjagai pohon
obat itu dan kena dipagut, karenanya terpaksa ayah mesti berobat
dan berdiam dirumah untuk sekalian beristirahat. Begitulah adikmu
sendiri yang ditugaskan membawa obat itu."
Oey Eng mendongak melihat langit. ia malu di dalam hati.
Selagi orang berdiam, Nona Thio bertanya pula: "Numpang
tanya, saudara Oey, masih berapa lama lagi taysu bersemadhi ?"
Oey Eng mengawasi nona itu. Dialah seorang nona yang cantik
manis, bahkan sangat menarik hati. Tak berani ia mengawasi lamalama,
lekas-lekas ia berpaling kelain arah. Tetapi didalam hatinya, ia
memuji kecantikannya itu...
Selama berbicara tadi, belum pernah sipemuda memperhatikan
wajahnya si pemudi. Sejak tadi ia menganggap nona berbaju hijau
itu elok tapi tak disangka setelah memandang sejenak itu, ia tahu,
bahwa dia sangat menggiurkan hati. Sampai ia lupa menjawab
pertanyaannya Selagi menanti jawaban, tiba tiba si nona menghela napas.
"Saudara Oey, maaf," katanya pula. "Hampir aku lupa pesan
ayah bundaku..."
Diam diam Oey Eng terperanjat.
"Apakah itu, nona ?"
"Ketika aku berangkat dari rumah, ayah dan ibu memesan
adikmu," sahut sinona. "Adikmu diberi ingat supaya kapan tengah
bicara dengan orang lain mesti adikmu membawa diri baik baik dan
jangan sembarangan saja, karena adikmu mudah tertawa."
" Itulah pesan yang benar sekali," kata Oey Eng.
" Hanya sayang," kata pula sinona, "tertawa bagiku adalah
semacam penyakit, sukar adikmu merobahnya. Tanpa merasa
adikmu suka tertawa sendiri..."
"ayah bunda memesan dengan maksud baik baiklah kalau nona
dengar dan turuti pesan itu."
"Kalau begitu, berpalinglah kelain arah, adikmu akan tidak
tertawa pula" kata sinona.
Oey Eng menurut, ia menoleh kelain arah, tubuhnya sendiri tak
bergerak. "Eh, eh, kau belum menjawab adikmu " menegur si nona.
"Nona menanya apakah?" balik tanya Oey Eng, dan menanya
begitu, dia kembali menoleh, memandang nona itu, ia bagaikan lupa
dirinya. Sinona tertawa geli, hanya sebentar, ia berdiam pula. Nampak ia
seperti lagi mengekang dirinya. Dengan roman sungguh sungguh ia
tanya: "Adikmu tanya, kapan Kouw Heng Taysu akan menyudahi
semedhinya ?"
"Masih lama," sahut Oey Eng. Baik nona menantikan saja.
"Baiklah," kata nona itu. Adikmu tidak mempunyai urusan lain,
tak apa adikmu menunggu sampai setengah harian atau
semalaman- Dan ia kemudian duduk bersila bagaikan orang tengah
bersemadhi. Hati Oey Eng lega juga.
"Buat sementara, dapat aku mencegah dia masuk," pikirnya.
"Hanya entah sampai kapan taysu selesai dengan pengobatannya
terhadap toako..." Memang pendeta itu tidak memberikan batas
waktu kepadanya.
Kho Kong ditempat sembunyinya terus berdiam saja, akan tetapi
ia melihat dan mendengar semua. Ia girang sebab kakaknya yang
nomor dua itu dapat mempermainkan sinona. Pikirnya: "Kalau aku
yang menggantikan jieko pasti aku gagal melayani sinona itu
berbicara, atau kita mesti telah berkelahi..."
Dia berpikir begitu, sebab hatinya lega, tanpa merasa pemuda ini
menggeser tubuh kakinya bertindak mundur.
Nona Thio liehay sekali, dia mendengar orang berkeresek,
kemudian dengan perlahan sekali ia berkata kepada Oey Eng :
"Saudara Oey, dibelakang kita, disebelah kiri, sejauh setombak
lebih, mungkin ada orang." Oey Eng terperanjat didalam hati.
"Sungguh liehay nona ini," pikirnya. "Selain mendengar gerak
gerik orang, iapun dapat menerka jaraknya.Jikalau begitu, aku
bukanlah lawannya..."
Kembali sinona berkata dengan perlahan: " orang itu sudah
bergerak maju kearah kuil apakah perlu adikmu turun tangan untuk
membekuknya ?"
Perlahan suara sinona tetapi nadanya sangat jelas. Bingung juga
si pemuda. "Tak usah, nona," ia mencegah. "Orang itu seperti aku, tinggal
sama-sama didalam kuil Siauw Thian ong Sie ini."
"Jikalau adikmu tidak memandang, tak nanti adikmu menantikan
sampai dia mengundurkan diri," berkata si nona, "kalau tidak. tidak
nanti adikmu bicaa dahulu dengan kau, saudara Oey." Mendadak
diam-diam sejenak. kemudian meneruskan : "Eh, ini agak aneh "
Kembali Oey Eng terkejut didalam hati.
"cerdik, pikirnya. Nona ini luar biasa cerdiknya Aku mesti
waspada. Maka ia berpura-pura menanya: "Apakah katamu, nona ?"
"Sebenarnya adikmu telah diberitahukan ayah bundaku." berkata
nona itu, menjawab pertanyaannya, bahwa didalam kuil ini, Kouw
Heng Taysu tinggal seorang diri saja, dia tidak mempunyai murid
atau pegawai tukang masak akan tetapi kenyataannya sekarang
lain, selain saudara kiranya masih ada orang lain lagi, aku percaya
kata-kata ayah bundaku itu, maka itu dengan adanya orang lain
lagi, tidak anehkah itu ?"
Berkata begitu, nona itu menatap tajam si pemuda. Matanya
bersinar berwibawa
Oey Eng dapat mengendalikan dirinya. Ia berlaku tenang.
"Ayah bundamu itu benar, nona, mereka tidak berdusta," kata ia.
"Akupun bicara dengan sebenarnya."
Kedua mata si nona memain-
" Dapatkah kau menjelaskan kata-katamu ini?" tanya dia.
"Bila ayah bunda nona datang ke Thian ong Sie, aku tidak tahu,"
menjawab Oey Eng, "aku hanya menerka bahwa itu mestinya telah
terjadi pada tahun yang telah berlalu. Nona Thio hendak
mengucapkan sesuatu, lalu batal.
"Benar-benar nona ini sangat cerdik," pikir Oey Eng. ia melihat
orang urung bicara.
"Dahulu tak ada orang yang kuketahui Kouw Heng Taysu
berdiam didalam kuilnya ini," ia melanjutkan, "cuma beberapa jago
Rimba Persilatan saja yang mendapat tahu. Umum cuma tahu kuil
ini sepi dan tua, didalam satu tahun cuma beberapa gelintir orang
saja yang datang bersujut kemari."
Si nona menyela: "Bukankah sekarang telah datang banyak
orang ?" "oh, nona yang liehay," pikirpula Oey Eng. Rupanya dari banyak
kata-kataku ini dia melihat suatu cela, ia menyambung: " Lewat
beberapa tahun, entah bagaimana jalannya, kemudian orang
ketahui bahwa taysu bersemayam disini, karena itu ada kalanya
datang orang-orang yang terluka untuk minta tolong diobati. Tidak


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat tidak taysu menolong apabila ia melihat orang terancam
bahaya maut, begitulah nama dan perbuatan taysu jadi tersiar luas
hingga kejadianlah Siauw Thian Ong Sie yang biasanya sunyi senyap
sering dikunjungi orang. Apakah orang itu pegawai kuil ini.
" Didalam kuil ini, kecuali taysu serta aku, masih ada dua orang
lainnya lagi." Oey Eng terpaksa memberi keterangan untuk
melenyapkan kecurigaan orang. "sekarang silahkan nona menanti
sebentar, aku hendak masuk kedalam kuil untuk melihat dahulu,
nanti aku datang pula memberi tahukan kepada nona."
"Baik, saudara Oey. Adikmu akan menantikan disini," sahut nona
itu. Nampak ia sangat polos sekali.
"Aku akan masuk dan lekas keluar lagi," kata Oey Eng, yang
terus memutar tubuh buat berjalan pergi. Sembari berjalan hatinya
berpikir: "Pada saat ini, entah bagaimana luka toako. Rasanya sang
waktu sudah lewat cukup lama."
Setibanya di Houwtian, ruang dalam, Oey Eng melihat Siauw Pek
seorang diri. ketua itu tengah duduk bersemadhi, kedua matanya
ditutup rapat. Kho Kong menjagai ketuanya dengan berdiri berjagajaga
dipintu. "Adikku, mana loosiansu?" ia bertanya. Kho Kong
mengawasi kakak nomor dua itu.
"Bukankah jieko gembira berbicara dengan sinona?" tanyanya
tanpa menjawab pertanyaan orang itu.
"Hus, jangan bergurau " kata Oey Eng. "Lekas beritahu aku,
mana loosiansu ?"
"Loosiansu pergi kedapur. Ia minta aku berdiam disini menjaga
toako." Oey Eng berpikir, karena si nona datang dari tempat yang jauh,
perlu ia mewartakan kepada Kouw Heng Taysu, karena itu, lekas ia
pergi kedalam. Tiba didapur, ia tidak melihat sipendeta. Sebaliknya
diatas daput, ia mendapatkan sehelai kertas kuning yang ada
tulisannya. Ia heran tetapi lekas ia membaca.
" Didalam kwali ini ada masakan ikan, setelah dimakan, pengaruh
obat cie-yam-hoa segera akan bekerja, guna menyingkirkan racun
didalam tubuh sahabatmu. Mengandaikan tenaga dalamnya,
didalam tempo tiga hari dia akan sembuh kembali seperti sedia kala,
akan tetapi selama tiga hari itu, tak dapat ia melakukan
pertempuran, juga tak boleh dia bergusar. Loo ceng menyukai
kesepian dan ketenangan, karena tempat ini telah diketahui oleh
kami, hendak kucari lain tempat lagi."
Surat itu tanpa tanda tangan, tidak menyebut tempat tujuan
sipendeta. (hal 38-39 tidak ada, langsung ke hal.40)^ dan hanya
meninggalkan surat ini..."
"Begini saja," kata Siauw Pek, "sebab sinona bukannya musuh,
tidak dapat kita membohong terhadapnya. Kitalah laki laki sejati,
tidak dapat kita mendustai dan menghina seorang wanita, perlu kita
bicarakan terus terang kepadanya."
"Nona itu sangat cerdas, memang sulit buat mendustainya."
"Toako, buat apa pusing pusing ?" kata Kho Kong. "Loosiansu
telah pergi, kenapa kita tidak mau pergi juga ?" Siauw Pek
menggelengkan kepala.
"Tak dapat," katanya. Jikalau kita tinggal dia pergi, kita bakal
dicaci maki orang dan juga kita menggagalkan urusan dia..."
"Kalau kita ketemukan dia dan dia tidak mau percaya keterangan
kita, apakah itu juga tidak memusingkan kita ?" tanya Kho Kong.
"Sudahlah," kata Oey Eng akhirnya. "Sha tee, kau pergi bersama
toako, kau melindunginya. Urusan disini serahkan kepadaku "
"Tidak bisa " berkata siauw Pek. Jikalau kau gagal, aku bisa
berkelahi dengan nona itu. Mana dapat kau ditinggalkan seorang diri
?" "Andaikata toako ada bersama disini, toako pun tidak akan bisa
berbuat apa-apa," Oey Eng kata pula, "surat loosiansu menjelaskan
didalam tempo tiga hari, toako tidak boleh melakukan pertempuran
dan bergusar. Bukankah dengan berdiamnya toako disini, toako jadi
menambah bebanku ?"
"Jieko benar" kata Kho Kong, "toako harus pergi dari sini."
"Nah, shatee lekas kau antar toako " kata Oey Eng pada
saudaranya yang muda itu. Biar aku berdiam seorang diri disini,
akan aku layani dia dengan melihat selatan- Tersendirian saja, aku
jadi merdeka."
Siauw Pek dapat mengerti. "Baiklah " katanya akhirnya^
"Jieko. kepergian kita tanpa tujuan," berkata Kho Kong, "maka
itu, dimana ada tikungan, di situ aku akan memberikan pertanda,
supaya kau mudah menyusul kami."
Siauw Pek mengawasi Oey Eng, ia mengjela napas/
"Semuanya karena itu," katanya masgul. "Toako tidak dapat
disesalkan," kata Oey Eng.
"Nah, baiklah, harap kau berhati hati " kata siauw Pek akhirnya,
lalu ia bangkit, untuk berangkat pergi.
Kho Kong mengintil dibelakang ketuanya itu.
Oey Eng menanti sampai kedua saudara itu tak nampak. baru ia
bertindak kebelakang kuil. Ia mendapatkan Nona Thio masih duduk
bersila, menantikannya.
"Nona Thio" ia memanggil. Ia batuk batuk. untuk memberi
isyarat. ^ "Apakah Kouh IHeng Taysu sudah selesai bersemedhi?" demikian
suara si nona yang pertama tama. Dia tidak menjawab hanya
bertanya. "Taysu sudah pergi mengunjungi sahabatnya, dia tidak ada
didalam kuil", sahut Oey Eng.
Nona itu melengak.
"Kemanakah dia pergi ?" dia tanya.
"Tak tahu, nona, Aku tidak menanyakan kepadanya."
"Kapankah dia akan kembali?" si nona tanya lagi.
"Entahlah. Ada kalanya dia pulang dalam satu hari, ada kalanya
juga dia tak pulang berhari hari."
sekonyong konyong nona itu berlompat melewati si anak muda,
untuk lari kedalam kuil.
Oey Eng tidak kaget, ia tidak khawatir. Pikirnya: "sekarang ini kuil
tentu sudah kosong." Ia tidak mau pergi menyingkir, hanya ia
mengikuti nona itu. Tiba di depan pintu, mendadak si nona
berpaling. "Saudara Oey," katanya, tanyanya, "adikmu hendak masuk
kedalam kuil untuk melihat lihat dapatkah kau memberi ijin."
"Silahkan masuk nona" menjawab si pemuda. Tak ada perlunya
lagi buat ia menghalangi atau menghambat pemuda itu.
Thio Giok Yauw bertindak kedalam pendopo ia melihat
kelilingnya. "Biasanya Kouw Heng Taysu bersemedhi di kamar yang
mana?" ia tanya.
Oey Eng melengak. itulah pertanyaan sulit untuknya. Sejak
bertemu si pendeta, selalu mereka berada didalam ruang itu. Ia
tidak tahu kamar si orang sucu Tapi ia tidak dapat tidak manjawab.
" Kamar Taysu ialah kamar diruang dalam," demikian sahutnya
cepat. Glok Yauw berdiam, ia berjalan berputar didalam kuil itu.
Akhirnya ia kembali ke ruangan tadi, pendopo besar.
"Mana dia kamarmu, saudara Oey," dia tanya
"Biasanya aku tidur dimana aku suka."
"Sekarang ini apa saudara mau tetap berdiam disini menantikan
pulangnya taysu?" si nona tanya pula. Oey Eng mengangguk.
"Ya," sahutnya/
Mendadak saja nona itu tertawa dingin dan berbareng tangan
kanannya meluncur menangkap lengan si anak muda.
Syukur buat Oey Eng, ia selalu siap sedia. Ketika sambaran tiba,
ia berkelit, tangannya ditarik.
Melihat serangannya gagal, nona itu menyusul menyerang
dengan tangan kirinya. Oey Eng berkelit pula.
"Nona" ia berseru. "^ona, kenapa kau menyerang aku?"
"Aku tak takut kau kabur" berkata nona itu. Tapi dia mundur dua
tindak. Ia berkata lagi: "Apakah kau sangka aku bocah usia tiga
tahun" Hitung hitunglah mataku buta, telah keliru aku
menganggapmu sebagai orang baik-baik" Oey Eng heran-
" Entah dari mana ia ketahui rahasiaku..." pikirnya. Tapi ia lekas
berkata, perlahan: "Kau kenapa nona" Apakah artinya kata-katamu
ini" Tolong nona jelaskan-"
" Inilah sebuah kuil tidak besar," kata sinona "Kau berkata bahwa
kau berdiam disini, mana kamarmu?" berkata begitu, tiba tiba suara
si nona menjadi keras, wajahnyapun berubah keren. Tegurnya:
"Siapa kau sebenarnya" Apakah hubunganmu dengan Kouw Heng
Taysu" bicaralah terus terang, jikalau kau main gila, jangan kau
sesalkan aku"
Oey Eng tidak menjawab, hanya dia berkata "Nona, ketika ayah
bundamu menyuruh kau datang kemari, tentunya mereka telah
memberi tahukan bagaimana macamnya pendeta tua itu?"
"Tentu Tentu aku mengetahuinya"
"Bagus nona Kau tentu mencurigai aku bahwa aku tidak kenal
pendeta suci itu. Baik, akan aku lukiskan-"
"Nah, coba kau katakanlah" kata nona itu.
"Kouw Heng Taysu sudah berusia tinggi dan matanya buta
sebelah benar tidak?"
Alisnya si nona terbangun.
"Tidak salah. Dia tentu kenal Kouw Heng Taysu..." pikirnya.
"Kouw Heng Taysu sangat menyukai ketenangan maka juga dia
memilih kuil mencil dan sunyi. Akan tetapi selama ini ia mendapat
tahu bahwa ada orang Rimba Persilatan yang mengetahui dia
tinggal disini, maka itu pernah ia mengatakan padaku bahwa tempat
ini sudah tidak cocok lagi untuknya, bahwa sewaktu waktu ia akan
pindah kelain tempat..."
"Kau sudah tahu bahwa taysu telah pergi kenapa kau tidak
memberitahukan aku dari tadi?" menegur nona itu.
"Tapi nona, selagi kita bicara itu, dengan sebenarnya aku tidak
tahu bahwa taysu sudah pergi."
"Kalau begitu, satu jam dimuka, dia masih berada di dalam kuil?"
"Benar. Taysu lebih tak kerasan sebab sudah pernah terjadi
tengah ia bersemedhi ada tamu tamu berkunjung hingga ibadahnya
itu terganggu. Adalah biasa bagiku setiap kali taysu bersemedi, aku
pergi meninggalkannya, buat berdiam diluar, untuk memberi
keterangan andaikata ada datang tamu tamu, guna mencegah ada
orang yang sembrono masuk dan mengganggunya. Tadik belum
lama aku keluar dari kamar, aku bertemu dengan kau, nona. Ketika
itu taysu masih berada didalam. Begitulah aku berbicara dengan
nona, jadi bukan sengaja hendak merintang imu." Glok Yauw
menghela napas.
"Aku tidak menyalahkan kau," katanya. Ia diam sejenak,
kemudian menanya: "Tengah kita bicara tadi, ada orang yang
mengundurkan diri kedalam kuil, ketika aku hendak menawannya,
kau mencegah saudara Oey, Kemanakah perginya dia itu?"
Oey Eng berpura berpikir.
"Mungkin dia ikut Kouw Heng Taysu."
"Bagaimanakah ilmu silat Kouw Heng Taysu."
"Di hadapanku loo siansu belum pernah mempertunjukkan ilmu
silatnya. Menurut apa yang aku tahu, mestinya taysu lihay sekali,
ilmu silatnya telah mencapai puncak kesempurnaan. "
"Memang ayahku pernah mengatakan bahwa Kouw Heng Taysu
adalah seorang pendeta ya berilmu tinggi. Dilihat dari sikapnya,
teranglah dia tak sudi menerima aku..."
"Entahlah, aku tak tahu."
"Selama kau tinggal disini, pernahkah kau melihat tamu wanita?"
"Belum pernah."
"Ada pendeta berilmu yang tak sudi menerima tamu wanita,
benarkah itu?"
"Tentang ini loosiansu belum pernah bicara denganku."
"Darijauh aku datang, aku tidak bertemu taysu, menyesal sekali,"
berkata sinona.
" Ini dia yang dibilang datangnya gembira, pulang lesu. Sekarang
aku minta pertolongan kau.Jikalau nanti kau bertemu dengan taysu,
katakan bahwa aku, Thio Giok Yauw, jikalau aku bukannya
memandang ayah bundaku, pasti sekali kuil ini kubakar ludes" Oey
Eng terperanjat. Ia melihat muka si nona itu. Wajah sinona merah
padam. "Dia datang dari tempat jauh, tidak aneh dia kecewa," pikirnya.
"Tentu dia mempunyai ilmu silat yang tinggi, lebih baik aku yang
mengalah saja..."
Maka dari itu ia berdiam diri.
Kembali si nona berkata^ "Eh, orang she Oey, Kouw Heng Taysu
sudi ketempat kau disini, kau tentunya dapat perlakuan yang tidak
dapat dicela, bukan?" Sekarang sinona tak lagi memanggil "Saudara
Oey" dan suaranyapun keras.
" Demikianlah, nona." menyahut Oey Eng
Ia mendongkol juga sebab nona itu bersikap kasar, baik terhadap
Kouw Heng Taysu, maupun terhadapnya sendiri. "Aku belum
diterima sebagai murid, akan tetapi aku telah banyak petunjuk dari
dia, dari itu diantara kami sudah ada kaitan guru dan murid"
"Itulah bagus" berseru si nona yang mendadak mengajukan diri
dan menyerang Oey Eng terkejut, ia melompat mundur. Sukur ia
terus bersiaga^
"Nona" katanya. "kalau nona mau bicara, bicaralah baik baik..."
Glok Yauw tidak memperdulikan, kembali ia menyerah. Kali ini ia
menggunakan kedua tangannya dan ujung jarinya mencari sasaran
secara hebat. Diserang berulang ulang, terdesak maka terpaksa, ia menangkis
.Justru karena ini, mereka jadi bertarung. Segera ia merasa bahwa
ia menghadapi lawan yang liehay. si nona benar hebat.
Lekas juga, duapuluh jurus telah berlalu. Itulah karena gencarnya
si nona melakukan serangan-
"Ilmu silatmu tidak dapat dicela," berkata si nona dingin. Lalu ia
memperlancar serangannya, membuat lawannya repot.
Oey Eng terdesak. sibuh ia membela diri hingga sulit buatnya
melakukan serangan balasan- Maka juga, lagi beberapa jurus,
tangan kanannya telah kena tertotok. Sasaran itu ialah jalan darah
thian coan, maka seketika juga, tangan kanannya itu tak dapat
digunakan lagi.
Masih Thio Giok Yauw merangsek terus.
Dengan hanya tangan kiri, Oey Eng tidak berdaya lagi. Baru tiga
jurus, kembali ia kena ditotok. sampai dua kali saling susul, pertama
jalan darah hiap pek dilengan kiri, dan kedua jalan darah pou lung
didadanya. Baharu setelah itu, si nona menghentikan perkelahian- Katanya
dingin: "Karena menjadi orang yang disayangi Kouw Heng Taysu,
aku lampiaskan kemendongkolanku terhadapmu ayah bundaku
pernah ditolong pendeta itu, itulah satu soaL sekarang dia menghina
aku, inilah soal lain Karena dia tak sudi menemui aku, obat yang aku
bawa ini tak sudi aku serahkan kepadanya. Dan kau, jikalau kau
mendendam sakit hati, kau boleh cari aku untuk membuat
perhitungan"
Habis berkata begitu, si nona berlompat mundur, untuk terus
membalikkan tubuh dan pergi melenyapkan diri.
Si anak muda melongo melihat orang mengangkat kaki. Ia
masgul dan mendongkol.
" celaka kau, Oey Eng" katanya didalam hati. "Kaulah laki laki


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi kau roboh ditangkap seorang wanita Belum tiga puluh jurus
Dengan begini, dapatkah kau memasuki dunia Sungai Telaga"
Dapatkah kau disebut seorang gagah?"
Letih dan berduka, pemuda ini menjatuhkan diri untuk duduk
dilantai. Ia mencoba mengatur pernapasannya. Ia menyesal tidak
mengerti ilmu tenaga dalam yang dapat menyembuhkan totokan,
kedua lengannya tidak dapat digunakan lagi, meski ia masih bisa
berjalan, tetapi ia mirip seorang lumpuh.
Belum lama ia duduk berdiam itu, tiba tiba Oey Eng dikejutkan
suara yang keras: "Bagus ya, hweesio bangkotan. Selagi aku tidak
ada dirumah, kau curi ikanku. Jikalau kau tidak memberikan
keadilan kepadaku, aku akan bakar hangus kuil Siauw Thian ong
Siemu "Hweeshio" ialah pendeta.
Oey Eng terkejut sekali. Ini dia yang dibilang, satu ombak belum
tenang, lain gelombang telah datang" karena kedua tangannya tidak
berdaya, terpaksa ia berdiam saja, bahkan ia pejamkan kedua
matanya dan menyenderkan tubuhnya, untuk berpura pura tidur.
Hanya diam diam, ia mengintai.
Suara bengis itu dikeluarkan oleh seorang yang berusia kira kira
enam puluh tahun dengan jenggotnya putih turun kedadanya. Dia
mengenakan kopiah putih serta jubah hitam, sebelah tangannya
mencekal joran, yaitu bambu pancing, punggungnya menggendol
jala. Dengan kedua mata terbuka lebar dan bijinya seperti terputar,
tampak dia gusar sekali. Tak berani Oey Eng mengintai terus, buru
buru ia merapatkan matanya.
Orang tua itu melihat si anak muda, ia menggerakkan jorannya,
maka meluncurlah tali pancingnya, terus pancingnya menyantel di
baju orang didada.
"Hai bocah, lekas bangun" teriak dia. "Jangan kau buat darahku
bergolak naik. Nanti dengan pancingku ini aku lempar kau keluar
pendopo ini" Oey Eng khawatir sekali. Tak dapat ia melawan"
Loo tiang, ada apakah ?" ia bertanya, sabar.
"Lotiang" ialah panggilan untuk orang tua.
Nelayan tua itu menghentak pancingnya, meloloskan
cantelannya. "Kemana pergi si hweesio tua bangka?" tanya dia
keras. "Pendeta yang mana, lootiang?" Oey Eng balik bertanya. Ia
belagak pilon. Gusar orang berbaju hitam itu.
"Aku maksudkan hweesio tua dari Siauw Thian ong Sie ini"
bentaknya. "Jikalau kau tidak kenal dia, bocah, kenapa kau berada
disini?" "Lootiang, aku adalah seorang yang tengah membuat
perjalanan," Oey Eng mendusta. "Karena letihku, aku singgah disini.
Apes untukku, kebetulan aku bertemu seorang nona kasar, dengan
tidak ada sebab musababnya dia telah menyerang aku hingga kami
jadi berkelahi..."
"Bagaimanakah kesudahannya?" tanya si kakek. tertarik. "Kau
kalah atau menang?"
"Kalah..." sahut Oey Eng, mukanya merah. Dia malu.
"Seorang laki laki kalah dengan seorang perempuan, alangkah
memalukan " seru orang tua itu.
"Aku kalah pandai, habis, apa daya..." Oey Eng mengakui.
sepasang alis putih pengail itu terbangun-
"Eh, bocah, kalau kau kalah, apakah kau tidak mampu lari?"
tanya dia. "Hm Sudah keok, lantas tidor molor disini Sungguh tak
ada guna" Muka si pemuda menjadi bertambah merah, dia malu sekali.
Tapi, terpaksa dia menutup mulut...
Si orang tua tiba tiba nampak seperti dia ingat sesuatu. Dengan
cepat dia menanya: "Aku si orang tua bukannya orang yang dapat
dipermainkan Lekas kau bilang anak perempuan itu mengenakan
pakaian macam apa?"
"Baju hijau," sahut Oey Eng. "Dia cantik sekali..."
"Tidak salah tidak salah" kata si orang tua berbaju hitam itu.
"Tadi selagi mendatangi kemari, aku bertemu seorang bocah wanita
berbaju hijau. maka kau, bocah, kau nyata tidak ngaco belo" Oey
Eng terus berdiam. Ia tetap jengah.
Si orang bagaikan sudah lupa dengan maksud kedatangannya,
dia mengawasi si anak muda, sembari menggeleng geleng kepaia,
dia berkata sabar. "Nah, bocah, kau harus dengar nasihatku. Ingat,
kalau kelak dibelakang hari kau menikah, jangan kau menikah
dengan wanita yang terlalu cantik "
Mendengar itu, diam diam Oey Eng merasa geli. Pikirnya,
"Mungkin tua bangka ini pernah merasai hebatnya seorang wanita
cantik,.."
"Eh, tahukah kau she dan namanya anak perempuan tadi itu?"
kemudian si oarng tua menanya, romannya bersungguh-sungguh.
Oey Eng mengangguk.
"Bagus " seru orang tua ini. "Aku akan ajarkan kau beberapa
jurus ilmu silat, habis itu kau pergi cari dia. buat menghajarnya,
buat kau membalas sakit hati " Oey Eng heran, dia mendelong
mengawasi orang tua itu.
Si orang tua betul aneh. Dia berkata dan berbuat. Dia
meletakkan jorannya dan berkata "Bangunlah Mari pelajari beberapa
jurusku!" Dengan merasa sangat malu, Oey Eng kata perlahan- "Aku telah
ditotok anak perempuan itu..."
Si orang tua menghampiri, ia menatap tajam, setelah itu, ia
menepuk nepuk tubuh orang, kemudian dia berkata: "Aku telah
menciptakan semacam ilmu silat yang terdiri dari sembilan jurus,
namanya Kiu ciauw ciang hoat. Asal kau bisa mewariskan separuh
saja ilmuku ini, sudah cukup dan jika nanti kau bertemu pula bocah
berbaju hijau itu, pasti akan dapat mengalahkannya"
Pemuda ini telah tahu benar ilmu silat si nona, ia menyaksikan
kata kata orang tua ini. Pikirnya: " Walaupun aku dapat mewariskan
semua sembilan jurusmu, belum tentu aku akan berhasil
memenangkan nona itu..."
orang tua itu segera membuktikan kata katanya. Tak peduli
orang mau menerima pelajarannya atau tidak. Segera ia memasang
kuda kudanya. Berkata dia: "Sekarang loohu akan memberi kau lihat
jurus jurusku, kau ingat baik-baik, setelah itu, kau menelan "
orang tua aneh ini sekarang membahasakan dirinya "loohu", aku
si orang tua. Habis itu, dengan sangat perlahan, dia mulai dengan
pelbagai gerakannya.
Oey Eng mengawasi. Begitu orang mulai, perhatiannya segera
menjadi tertarik. Ia terus memasang mata.
Nampak sungguh sungguh orang tua itu memberikan
pelajarannya. Semua gerakannya terlihat nyata dan benar benar
luar biasa. Seminuman teh lamanya, selesai sudah pelajaran ilmu
silat itu. "Sungguh luar biasa" Oey Eng memuji tanpa merasa. Si orang
tua berbaju hitam tertawa.
"Agaknya kau berpengetahuan juga, anak" katanya.
"Lootiang terlalu memuji," berkata Oey Eng merendah.
Berkata lagi orang tua itu: "Kalau aku melakukan sesuatu, tak
sudi aku banyak tingkah sekarang, bocah, jika kau ingin
mempelajarinya, lekas kau mengingat ilmu silatku tadi"
Oey Eng senang sekali, ia segera bersilat, dengan kedua
tangannya sudah sembuh, ia bisa bergerak dengan leluasa. Ia
mengingat ingat sembilan jurus orang tua itu, yang juga saban
saban memberikan petunjuknya.
Kiu ciauw ciang hoat banyak perubahannya setelah lewat kira
kira satu jam, adik Siauw Pek baru bisa menjalankan empat jurus.
Si orang tua tidak sabaran. Dia menyambar jorannya dan
berkata: "Bocah, kamu bebal, aku tidak mau mengajari kau lebih
lama pula" Dan segera dia memutar tubuhnya, untuk mengangkat
kaki berlari pergi
"Loocianpwee, tunggu" berseru ^ianak muda bingung.
"Loocianpwee, aku masih ingin bicara"
orang tua itu menghentikan tindakannya. Dia berpaling. "Apakah
itu" Lekas bicara"
"Boanpwee bersyukur telah diajarkan ilmu silat, tetapi boanpwee
masih belum mengetahui she dan nama loocianpwee..." kata Oey
Eng. "Buat apakah kau menanyakan she dan namaku" Aku toh tak
mau mengajari sebagai muridku"
"Boanpwee tahu diriku bebal, sukar buatku diterima sebagai
murid, akan tetapi budinya loocianpwee ini besar sekali, tidak dapat
boanpwee tidak dapat ketahui?" kata Oey Eng pula.
"Tak mau aku memberitahukan she dan namaku kepadamu" si
orang tua memutuskan- "Lain kali, jikalau kau bertemu pula dengan
bocah berbaju hijau, kau tampar dia dua kali. Dengan begitu kau
telah tak menyia nyiakan pengajaran ilmu silatku ini"
Habis berkata begitu, orang tua itu membalikkan tubuh, untuk
berlari pergi, dan sebentar saja ia sudah menghilang dari
pandangan- Oey Eng menyesal. Dengan merangkapkan kedua tangannya, ia
memberi hormat dari jauh kepada orang tua itu, sedang mulutnya
berkata perlahan- " Dengan jalan ini boanpwee mengantarkan
loocianpwee pergi" Ia tahu, sia sia belaka ia menyusul orang tua
yang gerak geriknya sangat pesat itu.
Pada saat Oey Eng membalik tubuhnya, tiba tiba ia mendengar
suara siorang tua: "Tidak usah banyak peradatan, nak. Cukup asal
kau ingat aku siorang tua"
Itulah suara yang dikeluarkan dengan ilmu saluran jauh. Oey Eng
sangat berterima kasih. Kembali ia mengagumi guru yang tidak
dimintanya ini. ia girang karena didalam kesusahan ia memperoleh
tambahan pelajaran ilmu silat. Kalau bukan ia sendiri yang
mengalami, sulit ia percaya peristiwanya itu.
Akhirnya, setelah menghela napas perlahan untuk melegakan
hatinya, pemuda ini bertindak meninggalkan kuil Siauw Thian Ong
Sie itu. Belum ia jalan jauh, segera ia melihat Kho Kong berlari lari
kearahnya, dan dari jauh jauh, saudara muda itu sudah berteriak:
"Jie ko, toako tak tenang hati maka dia menyuruh aku menyusul kau
" JILID 16 "Bagaimana dengan lukanya toako?" Oey Eng bertanya.
" Hebat ilmu pengobatan si pendeta tua itu" berkata Kho Kong
dengan penuh kekaguman-"Toako telah sembuh seluruhnya.
Sekarang toako tengah duduk bersemadi. Jieko, kenapa baru
sekarang kau meninggalkan kuil" Membuat toako berkuatir saja."
"Ada sebabnya kelambatanku ini, dik. Aku mengalami sesuatu
yang aneh, yang mirip bagai mimpi. Toako baru sembuh, mari kita
lekas pergi kepadanya, supaya dia jangan mengharap harap kita.
Sebentar aku akan tuturkan kepadamu." Kho Kong setuju. Maka
berdua mereka berlari lari.
Kho Kong lari didepan- Ia ajak saudaranya memasuki rimba
lebat. Di dalam situ tampak Siauw pek sedang duduk beristirahat.
Ketua itu rupanya mendengar suara tindakan kaki, ia membuka
matanya. Maka ia segera melihat kedua saudara itu.
"Saudaraku tak ada kesulitan apa apa bukan?" tanyanya.
"Ada yang mengagetkan tapi tidak berbahaya..." sahut Oey Eng,
yang tanpa menanti sampai ditanya lagi, sudah menuturkan
pengalamannya semenjak dia menghambat Thio Giok Yauw, hingga
sinona menotoknya, sampai akhirnya si nelayan tua datang
menolongnya serta mengajari ilmu silat kepadanya. Senang hatinya
Siauw Pek, ia tersenyum.
"Di dalam dunia Kang ouw memang banyak orang bertabiat
aneh," katanya. "Aku percaya ilmu silat orang berbaju hitam itu
bukan sembarangan ilmu silat."
"Memang," kata Oey Eng. "Sayang aku bebal, tak ingat aku
seluruhnya sembilan jurus itu..."
"Habis berapa jurus yang kau ingat?" tanya Kho Kong.
"cuma empat"
"Tentunya kau belum beristirahat, mengasolah disini," kata Siauw
Pek kemudian, "nanti malam kita lanjutkan perjalanan kita."
"Jika luka toako belum sembuh seluruhnya dapat kita singgah
disini satu atau dua hari," kata Oey Eng. Siauw Pek tersenyum.
"Jangan kuatir, aku sudah sembuh seluruhnya sediakala,"
katanya. Sekonyong konyong Kho Kong berjingkrak.
"Mari lekas kita pergi" serunya tiba tiba.
Siauw Pek dan Oey Eng heran, hingga keduanya tercengang.
"Ada apa, adikku?" tanya Oey Eng.
"cie-yam-hoa" berseru Kho Kong. "Cie yam hoa".
Tak tahu Siauw Pek apa itu cie yam hoa. Oey Eng tahu tetapi ia
tidak kesusu seperti si saudara muda.
Setelah tenang, Kho Kong berkata: " Karena Cie yam hoa dapat
mengusir racun, mari kita ambil lebihan, kalau nanti kita ketemu
orang yang memerlukan dapat kita menolong dia. Tentang Ikan
emasnya, kita boleh ambil sembarangan saja."
"Mana dapat kita pakai Ikan emas sembarangan saja?" kata Oey
Eng. "Tentang cie yam hoa, itu memang bunga manjur, bolehlah
kita petik lebihan-"
"Apakah itu cie yam hoa?" tanya Siauw Pek, yang masih belum
mengerti. "Itulah semacam bunga ungu tua," berkata Kho Kong, yang
segera memberikan keterangannya secara panjang lebar.
"Kalau begitu, benar itulah obat yang berharga," kata Siauw Pek
setelah ia mengerti duduk persoalannya.
"Mari kita pergi mengambilnya." Tapi Oey Eng tertawa.
"Buat apa terburu buru?" katanya. "Kita tunggu sampai toako
beristirahat cukup,"
Siauw Pek dan Kho Kong menurut, maka mereka duduk
beristirahat pula beberapa lama, baru mereka pergi kerimba dimana
tumbuh pohon cie yam hoa itu.
Setelah mereka tiba ditempat tujuan, Kho Kong lalu berjingkrak.
matanya melotot, wajahnya merah, agaknya dia gusar sekali^
" Kurang ajar " dampratnya. Dia terlalu Dia mengambil dengan
sekalian mencabut juga akarnya
Itulah sebab pohon cie yam hoa sudah tidak ada dan tanahnya
terbongkar. "Hei, kau mencaci siapa?" tanya Oey Eng.
"Aku mencaci orang yang mencabut pohon cie yam hoa ini."
"Sudah, jangan kau memaki pula. Mungkin dialah Kouw Heng
Taysu." "Benda aneh tidak dapat diambil sembarangan orang," berkata
Siauw Pek, "kita sudah ketinggalan, sudahlah."
Oey Eng beranggapan demikian. "Sekarang tinggal soal Kiu Heng
Cie Kiam itu," kata dia, kembali kepada soal pedang maut itu.
"Nampak orang sudah mencurigai kita, karena itu kita harus berhati
hati." "Ya, itulah soal sulit," kata Siauw Pek setelah berpikir sejenak.
"Tak dapatkah kita menyamar, untuk mengelabui mata orang?"
Kho Kong usulkan-
"Menyamar memang baik, cuma bagaimanakah caranya?" kata
Siauw Pek. "Kalau segalanya sulit, memang sukar kita berjalan walaupun
hanya satu tindak..." kata Kho Kong, si tidak sabaran.
"Kau benar, sha tee," berkata Oey Eng. "Tanpa sebab musabab


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang menuduh kita, itulah terlalu Dengan begitu maka semua
orang Kang ouw memandang kita sebagai musuh musuhnya oleh
karena mereka agaknya tidak lagi mengenal perikemanusiaan, aku
pikir, baiklah kita juga jangan memikir lagi tentang welas asih. Ah,
sungguh, didalam dunia ini ternyata ada lebih banyak orang busuk
daripada orang baik baik "
Siauw Pek bagaikan terpengaruh oleh kata kata kedua saudara
itu, ia berjalan mondar mandiri matanya bersinar tajam.
Oey Eng mengawasi ketua itu. samar samar ia melihat sinar
kekerasan pada wajah sang ketua, sedangkan matanya
mengeluarkan sorot kebencian. Diam diam ia heran, pikirnya: "oh,
kalau saja saudaraku ini mengambil tindakan telengas, tentulah
bakal terjadi petaka pembunuhan yang hebat sekali. Karena ini ia
menjadi menyesal telah mengeluarkan kata katanya tadi. Kata
katanya itu bagaikan membangunkan darah si pemuda.
Setelah mondar mandir itu, Siauw Pek menghentikan
tindakannya. Sekarang ia menengadah kelangit. Berselang sesaat, ia
menghela napas perlahan- Hampir serentak dengan itu, lenyap sorot
matanya yang bengis itu.
" Keluarga ku telah kehilangan seratus jiwa lebih," katanya
kemudian, "mengenai itu musuh musuhku ialah orang orang dari
sembilan partai besar serta sembilan partai lainnya, jadi dapat
dianggap. semua orang Rimba Persilatan... Mustahilkah satu Coh
Siauw Pek membinasakan semua orang Rimba Persilatan itu?"
Berpikir demikian, anak muda ini mengawasi kedua saudara
angkatnya. Lalu ia menyambungi: "Jangan kira aku tidak
mempunyai kemampuan itu, andaikata aku sanggup, tidak nanti
akupun jadi begitu sembrono melakukannya"
"Toako benar," berkata Oey Eng, sungguh sungguh. "Kita cuma
mempunyai musuh musuh langsung, tak dapat kita
menyerambetkan semua orang Rimba Persilatan-"
Siauw Pek mengulapkan tangannya, mencegah adiknya bicara
terus. Walaupun demikian, ia tidak membuka mulutnya, hanya dia
berdiri diam, matanya mendelong kesatu arah. Teranglah bahwa ia
sedang berpikir keras.
Kho Kong heran menyaksikan gerak gerik kakak itu, ingin ia
menegur, untuk menanya, tapi mendadak ia dikagetkan oleh
bentakan si kakak. "Siapa di situ ?"
Dari belakang sebuah pohon besar terdengar tawa yang dingin,
disusul dengan jawabannya ini:
"Aku" Menyusul itu muncullah seorang nona dengan baju hijau.
"Thio Giok Yauw" seru Oey Eng, terkejut.
"Engkau benar " berkata nona itu. "Kau telah terbebas dari
totokanku. Kau membebaskannya sendiri atau ada lain orang yang
menolongmu ?"
Oey Eng mengawasi. Ia melihat orang bersikap sungguh
sungguh. Segera ia ingat kata kata si tua berbaju hitam. orang tua
itu mengajari ilmu silat istimewa untuk melayani nona ini, untuk
menggaploknya " orang tua itu telah mengajari aku silat, dapatkah aku tidak
mendengar kata katanya?" pikirnya lebih jauh. "Jikalau aku tidak
bertemu pula dengan nona ini, tidak apa, siapa tahu, sekarang dia
muncul disini... Bukankah itu berarti dia mengantarkan dirinya
sendiri ?"
Meskipun demikian, pemuda ini ragu ragu, tak dapat dia
mengambil keputusan.
Nona Thio berdiam beberapa lama, ia menantikan jawaban
pemuda itu, tetapi karena orang membungkam, hatinya menjadi
panas, timbullah kegusarannya.
"Hai, anak muda" tegurnya: "Diluar kau nampak jujur, didalam
hatimu, sebenarnya kau licik. Tak dapat tidak. aku harus menghajar
adat kepadamu"
Kata kata ini disusul dengan tindakannya. Si nona berlompat
maju. Karena Oey Eng berada dibelakang Kho Kong, ia melewati si
pemuda sembrono, tiba disisi dia itu, segera tangan kanannya
melayang Tapi Siauw Pek yang celi matanya, sebab gerakannya. Dia
meluncurkan sebuah tangannya memapaki tangan si nona sambil
menanya: "Nona, sudah lama kau kau datang kemari?"
Si nona tidak menjawab hanya dia membentak: "Minggir kau"
inilah sebab dia mendongkol ada orang yang merintangi sepak
terjangnya, hingga gagal maksud hatinya menghajar Oey Eng. Dan
dalam mendongkolnya itu, terus ia menerjang Siauw Pek, beruntun
sampai tiga kali, berbareng dengan pukulan yang terakhir,
tangan kanannya juga menotok kearah Oey Eng
Pemuda itu menyedot napasnya, ia mundur setindak. Karena
didesak itu, ia jadi berpikir: "Tidak dapat tidak. mesti aku tempur
dia. Tanpa menempur, mana dapat aku menggaploknya "
Siauw Pek sementara itu heran menyaksikan si nona gesit sekali.
"Dia liehay, tidak dapat aku memandangnya rendah," pikirnya.
Dan, ia tak bersedia diserang terus terusan, segera ia membalas
menyerang. Thio Giok Ya uw tidak pandang mata pada anak muda itu, ia
cuma hendak memukul orang mundur, supaya ia bisa langsung
menyerang Oey Eng, siapa tahu, ia justru diserang. Ia pun
terperanjat. Diluar dugaannya, pemuda ini lihay. sampai ia terdesak
mundur. Saking herannya menatap wajah anak muda itu.
"Ilmu silatmu tak dapat dicela" katanya hambar. Siauw Pek
membalas menatap. tetapi ia tenang tenang saja.
"Sudah lamakah nona datang?" ia mengulangi pertanyaannya.
"Ya, aku telah lama datang," sahut sinona akhirnya. "Memang
kenapa?" Sejenak Siauw Pek berpikir keras. Tak ingin ia bermusuhan
dengan nona itu. Karena tak ada sebabnya. Ia tak mau menambah
musuh tidak karuan, apa pula musuh yang tangguh. Jika toh ia
mesti turun tangan nona ini mesti dibunuh, guna mengurangi
musuh musuhnya.
Si nona berpikir seperti si pemuda. Hanya dia memikirkan hal
lain- Dia menerka nerka, diantara bertiga pemuda ini, dia inilah yang
rupanya terliehaynya.
"Maka itu, perlu aku menaklukkan dia dahulu dua yang lainnya
mudah," demikian pikirnya terlebih jauh. "Setelah merobohkan
mereka, baru aku mengorek keterangan dari mulut mereka kemana
atau dimana adanya Kouw Heng Taysu..." Dia hanya tahu, ketuanya
liehay, akan mudah saja si ketua merobohkan si nona hingga tak
usahlah ia turun tangan untuk memberi bantuannya. Maka ia
berdiam saja, menonton-..
oleh karena kedua pihak sama sama menggunakan otaknya,
untuk sejenak itu, mereka sama sama bungkam. Adalah si nona,
yang lebih lekas tersadar. Dia bahkan segera menyerang Siauw Pek.
Dia menggunakan tipu silat "Angin putuh meniup pohon yang liu
yang lemah".
Siauw Pek mengeluarkan tangan kirinya, menolak serangan itu.
Ia menggunakan tipu silat "Menggaris bumi membuat batas".
Dengan begitu gagallah serangan si nona. Menyusul itu, ia
menyambar tangan nona itu. Selagi bergerak itu, ia ragu ragu, ia
harus menurunkan tangan jahat atau tidak...
Nona Thio memutar tangan kanannya, untuk membebaskan diri.
Selagi berputar itu, ia meneruskan menotok nadi si pemuda. Itulah
serangan sebat dan diluar dugaan. Siauw Pek terkejut.
" Inilah Tan Cie Sin Kang yang liehay " serunya. "Tan Cie Sin
Kang" ialah ilmu totok "sebuah jari tangan- Ia tahu dan kenal ilmu
itu sebab selama dididik Cie Tong, guru itu telah menceritakan
padanya banyak tentang pelbagai ilmu silat. Sambil mengelit tangan
kanannya itu, untuk membuat lawan repot.
Kembali gagal serangan sinona. Ketika tangannya tersentuh
tangan si anak muda, ia terkejut, ia heran-
"Dia ini liehay, liehay juga tenaga dalamnya," pikirnya. Karena
memikir demikian, ia lalu berwaspada. Ia mencoba merangsak.
Tanpa bersangsi pula, Siauw Pek melayani nona itu, dengan
cepat lawan cepat.
Beberapa jurus dilewatkan tanpa ada kesudahannya, suatu saat
mendadak si nona melompat mundur, kemudian menghunus
pedangnya yang tergembok di punggungnya.
" Dengan tangan kosong saja kita tidak memperoleh keputusan,"
katanya, dingin. "Mungkin, sekalipun sampai seratus jurus, akan
tetapi tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Sedangkan
aku tidak mempunyai banyak waktu luang, maka marilah kita
mengambil keputusan dengan ilmu pedang Setujukah kau?"
"Ah, kau cari susahmu sendiri, nona," kata Siauw Pek didalam
hatinya. Ia lalu menjawab: "Bersedia aku menemani kau main main,
nona" lalu ia pun menarik keluar pedangnya.
Thio Giok Yauw memberi isyarat, kemudian ia menikam. Ia
sombong, hingga ia menggunakan tindakan yang diluar batas. Ia
mengangkat kaki bergerak dengan apa yang dinamakan "Menginjak
Garis Istana Tengah."
"Sungguh dia takabur" pikir Siauw Pek. "Jikalau dia tidak diberi
pelajaran, sukar untuk menundukkan kesombongannya Pula,
dengan melayaninya dengan wajar, entah berapa banyak waktu
mesti aku gunakan-.."
Karena itu, begitu berkelit kesamping, segera ia membalas
menikam. Ia menerka nona itu bakal berkelit. Tapi dugaannya ini
melesat. Sebaliknya, Giok Yauw memutar pedangnya demikian rupa,
untuk dipakai menangkis tikaman itu. Maka beradulah kedua
pedang, dengan keras sekali, hingga selagi suara nyaring
mendengung, tangan mereka masing masing bergetar keras. Maka
sama sama terkejutlah mereka.
"Hm" Siauw Pek memperdengarkan suara dingin. "Sungguh satu
cara yang kasar "
Mengetahui si nona berbaju hijau itu liehay, tidak ayal lagi, Siauw
Pek Kiam hoat, ilmu pedang maha kasih. Ia melakukan pula
penyerangan- Si nona panas hati. Katanya menantang: "Kalau cara keras, habis
bagaimana ?" Kata kata itu diikuti dengan tangkisannyadan
penyerangnya membalas yang hebat.
Oey Eng dan Kho Kong menjadi kagum berbareng khawatir,
mereka menonton dengan separuh mendelong. Pertarungan itu
menjadi seru sekali.
Sambil bertempur, Siauw Pek heran. Ia tidak kenal ilmu pedang
si nona. Bagaimana keras juga orang menyerang, dapat ia melayani
dengan seksama. Ia selalu bersikap tenang.
Thio Giok Yauw menjadi pihak menyerang dan mendesak.
Dengan cepat ia sudah menikam dan menebas tiga puluh enam kali,
tapi semua itu tidak ada hasilnya. Lawan dapat menangkis atau
mengelit. Agaknya mudah saja lawan itu membebaskan dirinya.
Dari kagum, Thio Giok Yauw menjadi terkejut. Inilah karena si
anak muda mulai melakukan penyerangan membalas, bahkan luar
biasa cepat ia telah kena terkurung sinar pedang pemuda itu. Sia sia
belaka ia mencoba meloloskan diri. Ia hanya bisa menangkis dan
berkelit, lain tidak. Dari kaget ia menjadi bingung, dari bingung ia
menjadi khawatir. Ia mendongkol dan berduka sebab tetap ia tidak
bisa membebaskan dirinya.
Saking khawatir dan bingung, tanpa terasa air matanya meleleh
keluar. Siauw Pek bermata jeli, ia melihat lawannya menangis, ia
menjadi heran, hingga lekas lekas ia menghentikan
penyerangannya.
"Eh, nona, kenapa kau menangis?" tanyanya.
"Aku benci kepadamu" bentak si nona gusar.
"Apakah itu disebabkan ilmu pedangku lebih liehay daripada ilmu
pedangmu, nona?" menegaskan si anak muda.
"Biarnya kau lebih liehay, tak lebih tak kurang, kau cuma melukai
aku" kata nona itu, "Aku tidak takut mati"
Siauw Pek bertambah heran. "Habis, kenapakah kau menangis?"
"Aku mendongkol karena kau, memang tak mau menangkan"
teriak si nona. "Kau sengaja mempermainkan aku Siapakah yang
sudi menerima belas kasihan darimu?"
Siauw Pek heran. ia menyerang dengan menuruti jalannya ilmu
silatnya. Tak pernah ia memikir hendak mempermainkan lawannya
itu. "Aku tidak berniat mempermainkan kau, nona." katanya.
"Beberapa kali kau memperoleh kesempatan tetapi saban saban
kau mengegoskan pedangmu," berkata si nona "Apakah namanya
itu kalau bukan sengaja?"
Mendengar kata kata itu, Kho Kong yang semenjak tadi
menonton saja, menyela: "Toako kami seorang gagah perkasa,
seorang yang berhati mulia mana mau dia memikir melukai kamu
bangsa perempuan" Hmm Apakah tak tepat untuknya jikalau ia
menaruh belas kasihan atas dirimu" oh, sungguh orang tak tahu diri
" Gusar Thio Giok Yauw mendengar kata kata orang itu. Mendadak
ia melompat mencelat kepada pemuda itu sambil meluncurkan
tangan kirinya cepat sekali.
Kho Kong melihat serangan datang, ia tidak berkelit, cuma ia
mengangkat tangan kanannya, untuk menangkis.
Diluar sangkaan, Giok Yauw memutar tangan kirinya itu,
meloloskannya dari tangkisan si anak muda, lalu sambil memutar ia
melanjutkan pula. Maka: "Plok" demikian terdengar. Maka
gelagapanlah anak muda itu, sebab pipi kirinya telah kena tergaplok
keras sekali, rasanya nyeri
Setelah menyerang dengan berhasil itu, Giok Yauw melompat
mundur pula, kalau tadi dia menangis dan air matanyapun belum
lenyap dari pipinya, mendadak dia tertawa geli " Hi hi hi!! Inilah
ajaran untukmu, buat ngaco belomu "
Bukan kepalang murkanya Kho Kong, sembari berteriak. ia
lompat menerjang.
"Budak bau Akan aku adu jiwa denganmu " teriaknya.
Melihat saudara itu maju, Siauw Pek lompat menghadang.
Saudara bukannya lawan nona yang jauh lebih liehay dan
agaknyapun telengas
"Sha tee, jangan sembrono" katanya. "Nanti aku yang
membalaskan sakit hatimu"
Saudara ini tahu diri, ia mundur.
Dengan pedangnya, Siauw Pek menuding si nona.
"Nona, kau terlalu" katanya. " Kenapa kau lancang menghajar
orang" Jikalau kau tidak memberikan keadilanmu, jangan harap kau
nanti dapat berlalu dari sini "
Kedua mata jeli si nona berputar.
"Dengan bertangan kosong, kita seri " berkata dia. "Hanya
dengan pedang, aku kalah setingkat. Bagaimana kalau sekarang kita
mencoba dengan senjata rahasia ?"
Bingung juga Siauw Pek. Pikirnya: "Aku belajar silat tetapi tidak
pernah mempelajari senjata rahasia, kalau aku menolak nona ini, itu
seperti menunjukkan kelemahanku, sebaliknya apabila aku
menerima baik, tak ada peganganku... Bagaimana?" Si nona
mengawasi tajam. Dia menerka hati lawan-
"Takutkah kau?" tanyanya, tertawa dingin. Alis pemuda itu
terbangun- "Bagaimana caranya kita mengadu kepandaian?"
"Ah, mengadu senjata rahasia saja kau tidak tahu" nona itu
mengejek. "Sungguh tolol bagaimana jikalau kita bertanding bunpie,


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yaitu secara lunak?"
"Secara lunak bagaimanakah?" Siauw Pek tegaskan.
"Pertandingan bunpie sangat sederhana " berkata nona itu.
"Begini. Kita berdua berdiri berhadapan, terpisahnya satu dengan
lain satu tombak lima kaki. Kalau yang satu menyerang dengan
senjata rahasianya, yang lain berkelit. Kita membatasi menyerang
sampai sepuluh kali. Siapa yang kena diserang, dialah yang kalah.
Umpamakan kita menggunakan bu-pie, yaitu cara keras, lain lagi.
dengan Bu pie tidak mengenal batas, siapa terhajar dahulu, dia
yang kalah Jikalau kau jeri, sudahlah, tak usah kita mengadu
senjata rahasia "
"Walaupun aku belum pernah mempelajari senjata rahasia,
bersedia aku menemaki kau, nona," kata Siauw Pek. "Cuma..."
"Cuma apakah ?" si nona memotong.
"Aku tidak membekal senjata rahasia. Lalu bagaimanakah ?" Thio
Giok Yauw tertawa manis.
"Tidak apa" katanya. " Dapat aku meminjamkan kau "
Kemudian nona aneh itu merogoh sakunya, mengeluarkan
segenggam gin lian cie, yaitu senjata rahasia yang mirip biji teratai.
ia menghitung sepuluh biji, terus ia lemparkan pada si anak muda.
"Sambut ini" katanya. "inilah gin lian cie, semacam senjata
rahasia yang termudah asal kau bertenanga dan dapat menimpuk
dengan jitu, cukup sudah "
Siauw Pek menyambut senjata rahasia itu "biji teratai perak"
demikian artinya gin lian cie, tetapi sebenarnya terbuat dari besi.
Didalam hatinya dia berkata: "inilah cara bertanding yang aneh.
Masa senjata rahasia dipinjamkan orang?" Diam diam ia tertawa
dalam hati. Segera terdengar suaranya si nona. "Oleh karena kau tidak
pernah mempelajari senjata rahasia seperti katamu, silahkan kau
yang mulai."
"Akulah laki laki sejati " kata Siauw Pek "Tak pantas aku
menyerang lebih dulu" Nona itu tertawa.
"Jikalau aku yang menyerang lebih dulu maka kau akan
kehilangan kesempatanmu " katanya.
Si anak muda menggelengkan kepala.
"Sekalipun aku terlukakan, tak nanti aku mengalahkanmu "
katanya. "Baiklah kalau begitu" kata sinona. "Karena kau berkeras tidak
mau mengalah dari aku, mari kita menggunakan cara cangkriman:
siapa yang menerka jitu, dia yang turun tangan lebih dahulu "
"Nah, begitu baru adil Bagaimanakah caranya?" Bagaimana, aku
yang menyarahkan atau kau?"
"Kau saja, nona," kata Siauw Pek setelah berpikir sejenak.
"Dapat aku yang menyarankan tetapi tak dapat kau tentang" kata
nona itu, yang aneh dan nakal tabiatnya.
"Apa saja yang aku sebutkan itulah dia caranya" Siauw Pek
mengernyitkan keningnya.
"Baiklah, terserah kepadamu, nona" katanya akhirnya.
Thio Giok Yauw menyingkap memebereskan rambutnya dikedua
belah pipinya. Kembali ia tertawa manis.
"Nah, tebaklah, berapa usiaku?" demikian tanyanya. Siauw Pek
tercengang. "Inilah cara yang aneh," pikirnya. "Secara begini tentu sekali
dialah yang menang" Tapi ia tak dapat menentang. Maka ia lalu
menatap nona itu, akan menerka nerka usia gadis itu.
"Menurut penglihatanku, nona, kau baru berusia delapan belas
tahun," katanya. Giok Yauw tertawa manis sekali. Dia melirik secara
menggiurkan- "Hayo tebaklah, kau menerka tepat atau tidak" katanya.
Siauw Pek heran- Gadis ini jail sekali.
"Tentulah terkaanku tidak tepat," sahutnya. "Umpamakan aku
menebak jitu, jikalau nona tidak sudi mengaku, sia-sia saja
terkaanku itu..." Nona itu tersenyum.
"Terkaanmu tak salah sedikit juga" katanya. "Nah, kau
menyeranglah lebih dahulu" Berkata begitu, dia bertindak mundur
sampai setombak lebih untuk berdiri tegak. "Hayo, sekarang kau
boleh mulai menyerang aku"
Siauw Pek memegang dua biji gian lian cie ditangan kanannya
"Hati-hati nona" katanya seraya terus menyerang, hingga kedua
biji teratai besi itu memperdengarkan suara angin bersuing. ia
belum pernah mempelajari ilmu menggunakan senjata rahasia tetapi
karena mahir tenaga dalamnya, serangannya itu pesat dan tepat. Ia
mengincar jalan arah ceng hiat didua bahu sinona.
Baru saja anak muda ini menggerakkan tangannya, si nona
sudah berkelit. Dia mengegos tubuh dengan tenang. Dia seperti
juga sudah tahu inceran lawan-Siauw Pek mengerutkan alisnya.
Kembali ia menyerang dengan dua biji teratai.
"Cara timpukanmu tidak tepat" berkata sinona nyaring sambil dia
berkelit pula. Diapun tertawa.
Tiba tiba hati sipemuda tergerak. Segera ia menyiapkan tiga biji.
Ia menggunakan tangan kanannya. Mulanya ia menyerang dengan
dua biji, ketika ia melihat tubuh sinona bergerak ia menyusuli
dengan biji yang ketiga.
Beruntun dua kali. Nona Thio mengelitkan dirinya. Serangan
luput mengenai sasarannya.
"Kali ini kau memperoleh kemajuan" kata nona itu memuji, "kau
harus berhati-hati, kau sudah menggunakan tujuh biji, hingga
tinggal lagi tiga buah gin liancie. Asal kau gagal lagi maka kaulah
yang terhitung kalah"
Siauw Pek berpikir: "Setiap kali aku menyerang, dia mendahului
berkelit, dia seperti sudah menerka sasaranku, kalau begini,
teranglah bahwa aku bakal kalah." Nona itu mendadak tertawa.
"Apakah kau sudi aku mengajari kau bagaimana caranya
menyerang ?" dia tanya. Kembali Siauw Pek heran, aneh nona ini
Tapi dia beradat tinggi.
"Tak usah kau mengajari aku, nona," katanya tawar. "Andaikan
aku tidak dapat menyerang jitu terhadapmu, kau sendiri belum
tentu akan berhasil menyerangku"
Membarengi kata-katanya itu, Siauw Pek menyerang pula dengan
sisa semua biji teratai besinya itu.
Thio Giok Yauw mendongak. menekuk tubuhnya kebelakang,
membiarkan lewat ketiga senjata gelap itu.
Siauw Pek kecewa melihat semua serangannya gagal. Tapi
dengan begini dia menjadi insaf betapa pentingnya senjata rahasia,
hingga ia memikir, perlu ia mempelajarinya apabila telah datang
kesempatannya. Giok Yauw berdiri pula dengan tegak. Dia tertawa.
"Berhati hatilah kau!! Sekarang giliranku."
Siauw Pek menanti, bersiap sedia. "Silahkan, nona" katanya.
Kedua mata si nona memain, dia mengawasi, otaknya bekerja.
"Tentang kepandaianku menggunakan senjata rahasia, tak berani
aku menyebutnya menjagoi dunia Rimba Persilatan," katanya
sebelum mulai menyerang, "akan tetapi mereka yang dapat
menandingi aku, jumlahnya tidak banyak. maka itu andaikata kau
kena terhajar, dan menjadi kalah karenanya, itulah tidak aneh."
"Dia banyak bicara, dia mau mengacaukan pemusatan pikiranku,"
kata Siauw Pek didalam hati. Lalu ia berkata: "Tidak apa nona, kau
mulailah "
"Awas " berseru nona itu seraya dia mengayun tangannya. Maka
dua sinar berkilauan meluncur pesat kearah sianak muda.
" Inilah serangan tidak aneh," pikir Siauw Pek yang melihat tegas
melesatnya gin lian cie. Ia mengegos tubuhnya kesamping.
"Serangan pertama ini dinamakan Dua Dewa Membuka Jalan,
inilah yang paling mudah dikelit," berkata si nona. "Yang akan
menyusul ialah tipu Lulus Ujian, inilah rada sulit, hati hatilah."
Berbareng dengan peringatan itu, tiga biji senjata rahasia
menyambar Siauw Pek. Ketiga gin lian cie itu bersikap mengurung,
sukar buat mengegos tubuh, terpaksa si anak muda berkelit dengan
berlompat nyamping. Tapi, baru saja ia berhenti berkelit, lain
senjata sudah datang pula, suara anginnya terdengar nyata. Ia
kaget lekas lekas ia menggeser tubuh kekiri. Akan tetapi, baru ia
mengegos, lain serangan tiba pula. Hebatnya serangan paling susul
itu, repot si anak muda meng elitnya.
Segera terdengar tawa sinona, nyaring dan riang, disusul dengan
kata-katanya: "inilah tiga biji yang terakhir, yang paling sukar dihindari jikalau
kau berhasil meloloskan diri dari serangan ini, kita jadi seri, tidak
ada yang menang, tidak ada yang kalah "
"Mudah mudahan saja" kata Siauw Pek di dalam hati. Ia tidak
menjawab nona itu.
Thio Giok Yauw menggerakkan tangannya dengan perlahan.
Rupanya sengaja ia memperlihatkan serangannya itu. Siauw Pek
melihat ia tertawa didalam hati. Ia percaya mudah akan ia
membebaskan diri. Tapi justru ia berpikir begitu, terjadilah hal diluar
dugaannya Saling susul meluncurlah ketiga gin liancie, tetapi yang
terbelakang demikian pesat hingga dia menyusul yang didepannya,
melanggarnya mental. Masih dia meluncur terus, untuk membentur
yang terdepan. Kali ini, ketiga biji teratai besi itu meluncur
berbareng sama pesatnya terbagi dalam tiga jurusan-
Menyaksikan itu, hati Siauw Pek terperanjat. Nyatalah terkaannya
meleset jauh, iapun menjadi repot. Lekas ia berkelit kekanan, tetapi
tidak urung sebiji teratai mengenai bahunya
Nona Thio bertindak maju dengan tindakan perlahan, wajahnya
tersungging senyuman, dengan manis ia berkata: "Mencoba ilmu
silat bertangan kosong, kita tidak kalah dan tidak menang, mengadu
pedang aku kalah satu tingkat, tetapi dalam halnya senjata rahasia,
kaulah yang kalah. Maka itu diakhirinya, kita membagi rata, kita seri
" Siauw Pek merasai bahunya sedikit nyeri, tetapi ia tidak
menghiraukan, ia hanya mengkhawatirkan orang nanti ketahui
tentang dirinya. Tiga belas tahun ia hidup terlunta lunta, setiap
tahun tambah pengalaman dan pengetahuannya. Sekarang ia
memunculkan diri buat sementara, tak ingin ia dikenal umum. Inilah
untuk mencegah musuhnya meluruk mengepungnya.Jikalau itu
sampai terjadi, sulit bagi dia untuk menyelidiki siapa musuh yang
sebenarnya. Karena itu, bagaimana ia harus bersikap terhadap nona
ini" Apakah ia mesti membinasakannya, guna menyumbat mulutnya
" Selagai sinona mendatangi, anak muda ini mengawasi tajam.
"Nona," sapany, "aku ingin mengajukan satu pertanyaan kepada
kau tetapi aku mengharap kau suka menjawab dengan sejujurnya."
Sinona bertindak dengan sikap sungguh sungguh, ditanya begitu
rupa, dia heran dan tercengang. Dia balik menatap. "Apakah itu ?"
tanyanya. "Apakah nona ketahui she dan namaku ?" Nona itu menggeleng
kepala. "Aku tidak tahu, sebenarnya siapakah kau?" Sianak muda
bernapas lega. "Syukur," katanya. "Nona, silahkan-"
Giok Yauw heran- Pikirnya: " orang ini aneh. Kadang-kadang
sikapnya tegang kadang-kadang biasa, mesti ada sebab
musababnya. Hm Mungkinkah dia hendak menggertak aku " Kalau
begitu, akupun menggertaknya."
Sejak masih kecil nona ini biasa dimanjkana sesudah besar, dia
bisa membawa kehendak
(hal.38-39 tidak ada)"
Berjalan didepan, Siauw Pek mendahului masuk kedalam kuil itu
Itulah rumah suci dengan hanya dua kamarnya. Mereka menuju
kedepan meja pujaan, untuk duduk disitu.
Oey Eng teliti, begitu masuk ia segera keluar lagi, untuk melihat
sekitarnya, terutama untuk mengawasi kearah dari mana tadi
mereka datang. Ia kuaitr nanti ada orang yang menyusulnya. Baru
setelah itu, ia kembali kedalam.
"Agaknya kota Gak yang kacau sekali," katanya perlahan. "Kiu
Heng cie Kiam bergerak seperti apa yang dikatakan naga sakti yang
terlihat kepalanya tapi tidak ekornya. Dia pula bersikap sangat
keras, dia menemui siapa, dia membunuh siapa. Terang itulah
akibatnya saling balas membalas. Mungkin dia memusuhi seluruh
Rimba Persilatan-"
"Kau benar, jieko," berkata Kho Kong. "Mungkin dialah seorang
yang baru keluar dari rumah perguruan, yang hendak membuat
nama. Dengan Kiu IHeng cie Kiam dia mengagetkan dan
menggemparkan dunia Kang ouw."
"Kalau dia hanya hendak mengangkat nama kenapa dia
mengambil jalan yang begitu?" kata Oey Eng. " Dengan cara ini, dia
mendatangkan banyak musuh."
siauw Pek berbangkit, ia berjalan mondar mandir. Seorang diri ia
menggumam: "Mungkinkah didalam dunia ini masih ada satu orang
lain yang pengalamannya pahit getir sama dengan pengalamanku,
ialah dia bertanggung jawab untuk hutang darah yang melumurkan
seluruh tubuh ?"
Didalam kegelapan dan kesunyian sang malam itu, tiba tiba
mereka mendengar derap kaki kuda yang sedang mendatangi.
"Ada orang " kata si anak muda.
Oey Eng getap sekali, dia berlompat bangun lari keluar pintu. Dia
menerka nerka, apa Thio Giok Yauw yang datang...
Diarah selatan mulai tampak sesosok tubuh hitam gelap. pesat
datangnya. Nampak orang lagi menuju kekuil itu.
Bertepatan dengan itu, datang pulalah suara derap kuda dari
arah timur dan utara. Menerka dari suaranya, sedikitnya mereka itu
lima orang penunggang kuda. Lekas lekas Oey Eng kembali kedalam
untuk memberitahukan Siauw Pek dan Kho Kong.
"Bisajadi... itulah si budak perempuan she Thio yang penasaran
karena dikalahkan oleh toako," kata Kho Kong. "Jika tidak mau
melayani dia, mari kita sembunyi"
"Takkan keburu" kata Oey Eng. Benar orang itu telah ada dimuka
kuil. "Kita sembunyi di kolong meja", berkata Siauw Pek. Bertiga
mereka menghampiri meja, akan mendekam di kolongnya.
Baru mereka bersembunyi, dua orang telah masuk kependopo.
Mereka berbaju hitam dan jalannya berendeng.
"Cap it long, apakah kau telah periksa sekitar sini?" tanya orang
sebelah kiri. "Sudah Telah satu hari aku menggunakan waktu." menjawablah
orang yang ditanya itu, yang mengaku adik itu. "Kuil ini terpencil di
tempat belukar, empat lima mil di sekitarnya tak ada rumah orang."
"bagus Mari kita bersihkan dahulu kuil ini"
" Tidak usah kau capai capai diri, kiu ko, telah aku bersihkan."
kata cap itu long anggota yang kesebelas. Sedangkan kawannya itu,
yang ia panggil kiu ko, adalah kakaknya yang kesembilan- Lalu dia
menyalakan api, untuk menyulut lilin di atas meja, sehingga seluruh
pendopo menjadi terang.
Diatas meja itu terdapat empat buah lilin sebesar lengan- Tadi
Siauw Pek bertiga tidak memperhatikannya. Bertiga mereka
mendekam terus, syukur meja itu besar, cukup tempat itu luang
buat mereka bersembunyi.
"Sepak terjang kita menarik perhatiannya kaum Rimba
Persilatan," berkata cap it long tertawa. "Telah ada gerakannya
keempat bun, tiga hwee dan dua pang, demikian juga sembilan pay
besar, dan mereka kabarnya sudah mengirim orang orang mereka
datang kemari."


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, hal kabarnya sudah ada, tinggal kenyataannya nanti," kata si
kiu ko. "Malam ini Kiam cu memanggil kita berkumpul disini,
mungkin ada urusan besar dan penting..."
Belum sirap suara orang ini, dua orang lain tampak memasuki
kuil. Berpakaian sama hitam serupa, di punggung mereka tergendol
pedang dan di pinggang kirinya tergantung sebuah kantung rumput
yang besar, entah apa isinya.
"Su ko Ngo ko " memanggil cap it long setelah dia menoleh. Su
ko ialah kakak keempat dan ngoko kakak kelima.
Kedua orang berbaju hitam tertawa. Yang satunya berkata:
"Selama hari hari yang belakangan ini saudara cap it long
senantiasa mendampingi Kiam cu, tahukah kau apa maksudnya kali
ini Kiam cu memanggil kita berkumpul " Apakah ada suatu urusan
besar?" cap it long tertawa.
"Bukankah saudara saudara sudah ketahui tabiat Kiam cu ?" dia
membaliki. "Kendati ada urusan bagaimana besar juga, tidak nanti
Kiam cu memberitahukan kepadaku."
Ketika itu terdengar pula derap kuda, lalu muncullah empat orang
lainnya. Mereka itu pun berdandan serba hitam.
siauw Pek berpikir: "Mereka semua berseragam serupa, gerak
gerik mereka berahasia. Mereka pula agaknya berkepandaian tinggi.
Entah apa maksud mereka berkumpul disini. Siapakah itu yang
dipanggil Kiam cu" Tentulah Kiam cu tua n pedang dimaksudkan
ketua mereka..."
Selagi si anak muda berpikir, lagi lagi terdengar derap kuda.
Seorang muda, yang juga berbaju hitam, masuk secara terburuburu
terus ia berkata dengan suara dalam : "Saudara saudara, mari
menyambut kiam-cu telah tiba"
siauw Pek mengawasi pemuda itu. Ia melihat jumlah mereka
sekarang menjadi sembilan orang. Mereka itu segera mengatur diri,
berbaris rapi dalam satu barisan, tangan mereka diangkat tinggi
keatas kepala mereka, semua bersikap tegak dan hormat. Segera
terdengar suara mereka: "Kami menyambut Kiamcu yang maha
agung" siauw Pek memandang kearah pintu, maka ia segera melihat
orang yang dipanggil Kiam cu itu, yang telah lantas muncul. Dialah
seorang nona dengan pakaian serba hitam dan pinggangnya
terlibatkan sehelai angkin, atau ikat pinggang warna merah. Dia
bertindak dengan perlahan- Wajahnya tidak terlihat tegas, karena
mukanya tertutup sebuah topeng yang aneh berntuknya.
Nona berbaju hitam itu diiring dua orang budak perempuan yang
masing masing usianya tujuh atau delapan belas tahun, semua
mengenakan pakaian warna hijau dengan pedang pedang
tergemblok dipinggang mereka. Mereka semua cantik manis.
Si nona berbaju hitam mengulapkan tangannya, yang
terselubungkan sarung tangan warna hitam juga. Katanya: "Tak
usah banyak adat peradatan" Suaranya halus dan merdu.
Barisan penyambut itu menyahut, segera mereka menurunkan
tangan mereka, terus mereka memecah diri dalam dua barisancampak
mereka hormat dan jeri...
Si nona berbaju hitam itu, yang disebut kiamcu, bertindak
menghampiri meja. Disitu ia memutar tubuhnya, memandang
kesembilan orangnya.
Segera siauw Pek mendengar pula suara yang merdu: "Toa-long,
jie-long dan sam- long masih belum tiba, mungkin mereka
menghadapi sesuatu rintangan-.."
Nona itu mengawasi juga si pemuda berbaju hitam, dia
menambahkan : "ca jie long, apakah kau telah memberi kabar
kepada mereka itu?"
"Sudah" sahut si pemuda berseragam hitam itu.
"Mereka itu tak menepati waktu, tak usah kita menantikannya."
berkata si kiamcu, kali ini suaranya dingin.
Sembilan orang itu lalu merangkapkan tangan mereka, tanda
menghunjukkan hormat pula. Lalu satu diantaranya, yang pertama
dibarisan kiri, berkata:
"Su long melapor Didalam waktu lima hari murid sudah
menggunakan tiga batang Kiu Heng cie Kiam membinasakan tiga
orang Rimba Persilatan "
Dengan " murid", su long membahasakan dirinya sendiri. "Su
long" ialah anggota yang keempat. Dialah yang dipanggil si suko
tadi. "Tahukah kau tentang diri mereka itu?" tanya Hek Ie Kiam cu, si
kiamcu berbaju hitam itu.
"Yang satu yaitu murid Siauw Lim Sie bukan pendeta, dan yang
dua ialah orang orang dari Hok siu Po."
"Apakah mereka mati seketika ditempat?"
" Kecuali murid Siauw Lim Sie itu, yang dua mati ditempat."
"Bagus" berkata si kiamcu seraya mengulapkan tangannya.
"G.Ing Kun, catat jasa s u long "
Nona baju hijau yang dikiri budak pengiring itu mengyahuti, terus
dia mengluarkan sejilid buku hitam, untuk menggores satu kali,
mencatat jasa su long itu.
"Ngo long melapor " terdengar satu suara lain. "Didalam waktu
lima hari murid telah menggunakan sebatang Kiu Heng Cie Kiam
membinasakan tongcu dari Cit Seng Hwee."
"kau tak berjasa dan tak bersalah," kata si kiamcu.
Menyusul itu datang laporan liong long, cit long dan pat long,
anggota anggota keenam ketujuh dan kedelapan- Mereka juga tidak
berjasa tidak berdosa.
Lalu datang giliran laporan kiu long, anggota kesembilan-
Didalam waktu lima hari dia telah membinasakan tujuh orang liehay
kaum Rimba Persilatan, maka dia berjasa dan memperoleh tiga
goresan- Cap it long dan capji long, yang bertugas menyampaikan
pengumuman rapat itu, tidak berjasa dan juga tidak bersalah.
Kini tinggal seorang anggota lagi. Dialah sip long, anggota yang
kesepuluh. Dia berdiri diam dengan kepala tunduk, tak bergerak.
"Eh sip long, kenapa kau berdiam saja...?" tegur si kiamcu,
perlahan-Anggota yang ditegur itu memberi hormat.
"Selama lima hari, murid tak berhasil membinasakan seorang
juga, maka itu murid tidak dapat memberi laporan," sahutnya,
suaranya dalam.
"Kalau begitu tahukah kau telah melakukan pelanggaran apa?"
"Murid tahu. Terserah Kiamcu menegurnya"
"Kau harus dikutungi sebuah jari tanganmu" kata si kiamcu. "Tapi
inilah kesalahanmu yang pertama kali, kau dapat diberi ampun,
hanya lain kali kau mesti berbuat jasa untuk menebusnya"
"Terima kasih, kiamcu. Murid sangat bersyukur sekali "
Tepat waktu itu dari luar terdengar tindakan kaki berat tetapi
cepat. Kedua budak berbaju hijau itu getap sekali. Hampir berbareng
mereka itu mengibaskan tangan kiri mereka, memadamkan api lilin
kemudian tangan kanan mereka menghunus pedangnya masing
masing. Kesembilan pria berseragam hitam pula segera berpencar,
melakukan persiapan pertarungan-
Didalam gelap itu, Siauw Pek memasang mata dan telinga. Ia
tahu, si kiamcu tak bergerak.
Dilain pihak. dari luar segera tampak berkelebat sesosok
bayangan hitam.
Pat long dan kiu long bersembunyi dibelakang pintu, merekalah
yang paling terdahulu menyambut dengan serangan mereka,
dengan tikaman- Pedang mereka berkilauanorang
yang menerobos masuk itu liehay. Dia melihat cahaya dan
dengar siuran anginnya pedang, dengan cepat dia menangkis,
hingga ketiga batang pedang beradu satu dengan lain dan
menerbitkan suara nyaring.
"Tahan- terdengar seruan si Kiamcu. " Orang sendiri"
Ketika itu, yang lain lain pun segera mendapat tahu bahwa orang
itu adalah kawan sendiri, maka semua segera menyimpan
senjatanya masing masing. "Shako" menyapa cap it long.
"Benar aku Apakah Kiamcu telah datang?" jawab orang itu seraya
balik bertanya.
"Punco disini" si kiamcu mendahului menjawab. Dia
membahasakan dirinya punco. Orang yang baru datang itu
menyimpan pedangnya.
"Sam long melapor..." katanya.
"Kenapa kau tidak menepati panggilan berapat?" si kiamcu
memotong. "Murid berangkat tepat untuk berapat akan tetapi ditengah jalan
murid mendengar berita yang penting," sahut anggota itu, "karena
itu murid datang terlambat. Mohon dimaafkan-.."
"Apakah berita penting itu?" si kiamcu menegasi.
"Sebenarnya murid mengintai beberapa jago Rimba Persilatan,
niat murid untuk turun tangan pada waktunya, tetapi justru dari
mulut mereka itu murid mendengar berita bahwa ketua siauw Lim
Pay sudah datang ke Lam Gak secara diam diam..." Lam Gak ialah
gunung Heng San di ouwlam.
Agaknya hati si kiamcu tergerak, hingga terdengar dia berseru
tertahan- "oh ..."
Lalu dia bertanya: "Masih ada siapakah lagi?"
"Berbareng juga ketua ketua dari Bu Tong pay, Ngo Bie pay dan
Khong Tong Pay telah berangkat ke lam Gak. melakukan pertemuan
dengan ketua siauw Lim Pay itu, hanya entah untuk urusan apa..."
Kiamcu itu tertawa hambar.
"Katanya saja mereka ketua ketua partai partai besar yang lurus
tetapi perbuatan mereka sebenarnya tak dapat dilihat diterang
matahari" katanya. "Manakah toa-long dan jie-long?"
"Kedua saudara itu dengan menyamar sudah berangkat ke Lam
Gak." menjawab sam long. "Murid sengaja pulang untuk memberi
laporan sekalian minta petunjuk." Hek-ie kiamcu berdiam sejenak.
"Bagus" katanya kemudian "Jikalau kita bisa membinasakan satu
saja diantara ketua ketua keempat partai besar itu, perbuatan kita
pasti menggemparkan dunia Kang ouw Dengan begitu, hasil kita
jauh lebih menang daripada kita membunuh sepuluh atau seratus
murid mereka Sekarang segera kamu menyalin pakaian dan
berangkat ke Lam Gak buat sementara di sepanjang jalan jangan
kamu menggunakan Kiu Heng Cie Kiam, supaya kita jangan seperti
menggeprak rumput membuat ular kaget dan kabur, agar mereka
itu tidak curiga."
Anggota-anggota yang berbaris dikir dan kanan itu serempak
menjawab, serempak juga mereka memberi hormat, terus mereka
lari keluar, maka sesaat kemudian terdengarlah suara derap kuda
mereka. Dalam sekejap. pendopo kuil kembali pada ketenangannnya. Di
situ tinggal hek ie kiamcu bersama dua orang budaknya.
Sejenak kemudian terdengar pula suara halus dari kiamcu itu:
"Ging CUn, coba kau pergi keluar Lihat mereka sudah pergi atau
belum" suara itu beda jauh sekali dengan suaranya yang tawar tapi
keren tadi. Budak yang dikiri menyahut, terus dia lari keluar. Dia kembali
beberapa saat kemudian dan melaporkan bahwa semmua kiam su,
ialah orang orang berseragam hitam itu, sudah tak nampak
sekalipun bayangannya. Kiamcu itu menghela napas.
"Bagus" katanya, kembali perlahan. "Mari kita berangkat"
"Budak hendak melapor," berkata Ging Kun, "Toa kong dan kiu
long sudah berjasa besar, lagi hanya satu jasa lainnya, maka
mereka akan sudah memenuhi syarat nona yang menjanjikan
hadiah kepada mereka itu. Kata kata nona menjadi peraturan dan
kedua belas kiam supun telah mendengarnya, maka itu apabila telah
tiba saatnya hadiah belum diberikan, budak kuatir mereka kecewa
dan mungkin sulit untuk memuat mereka mentaati perintah..."
Siauw Pek mendengar kata kata itu. Ia heran. Apakah ada soal
lainnya" Kenapa budak ini memperingatkan ketuanya itu secera
demikian rupa" Aturan keras kalau hadiah telah dijanjikan, sudah
selayaknya hadiah itu diberikan. Pelanggaran toh menerima
hukuman. "Apakah cuma toa long dan kiu long berdua yang telah berbuat
sembilan jasa?" terdengar si ketua menanya budaknya.
"Benar mereka berdua," sahut Ging Cun, "Di belakang mereka jie
long dan sam long lagi menyusul dengan pesat. Mereka ini masing
masing sudah membuat delapan jasa." Kiamcu itu menghela napas
perlahan- "Harap saja didalam perjalanan ke Heng san ini dua toa long dan
kiu long menemui ajalnya ditangannya ketua empat partai itu,"
katanya, masgul.
"Dengan demikian maka akan bebaslah aku dari kesulitan-"
"Toa long dan kiu long liehay.Jie long dan sam long hanya
setingkat dibawah mereka itu," berkata Ging Cun, "kalau keempat
mereka mengalami sesuatu, sukar kita mencari ganti untuk
mereka." "Pandangan budak beda daripada pandangan kakak Ging Kun,"
berkata budak disebelah kanan- Baru sekarang dia membuka
mulutnya. "Budak mau bicara mengenai si- long. Dia pendiam
sekali, kenyataannya dia ketinggalan oleh lain-lain kiamsu. Tapi
menurut penglihatanku, dia mempunyai ilmu silat yang mahir sekali.
Sekarang ini dia cuma terhalang pelbagai aturan- Diantara dua belas
kiamsu, dialah yang terlihay."
"Sip long itu," berkata Ging Cun, "semenjak dia turut nona,
belum pernah membuat jasa apa juga, bahkan sebaliknya, pernah
dua kali membuat pelanggaran- Coba nona tidak berbelas kasihan,
yang telah memberikan keampunan kepadanya, mungkin dia telah
kehilangan beberapa buah jeriji tangannya .Jikalau dia benar
mempunyai kepandaian tinggi, apakah dia tidak meyayangi jari
tangannya itu?" Nona yang dikanan itu tertawa.
"Kata kata kakak beralasan juga," katanya, "cuma pandangan
kakak dapat ditunjukkan melulu kepada orang yang kebanyakan,
tidak untuk menilai sip long. Sip long tidak dapat dilihat semudah
yang lain lainnya."
"Gim ciU" si kiamcu menyela. "Kita bertiga namanya saja majikan
dan budak-budak, sebenarnya kita melebihkan saudara kandung
sendiri. Sekarang aku hendak bertanya kepada kau: Kau bilang siplong
pendiam dan liehay, apakah itu cuma perasaan saja atau
karena kenyataan, ada buktinya?"
"Tanpa bukti tidak nanti budak sembarangan bicara," sahut
budak yang dipanggil Gim ciu itu.
"Kalau benar katamu itu, bicaralah" siketua menganjurkan, mari
kita lihat dan pahamkan bersama.
"Dua hari yang lalu budak menerima perintah pergi ke Hok Siu Po
untuk melihat gerak g erik disana," berkata Gim ciu. "Budak pergi ke
sana bersama sip- long. Nona toh ingat ini?"
"Ya aku menyuruh kau pergi dengan menyamar, supaya kau
dapat menyelundup masuk dan bercampur dengan orang orang Hok
Siu Po." "Disana budak berhasil mencuri seperangkat pakaian bujang,
maka budak lalu menyamar." Gim Ciu bercerita lebih jauh. Dengan
begitu budak menjadi bebas untuk masuk keruang dalam. Budak
mau membuat penyelidikan sambil memikirkan daya mengacau,
untuk mengalutkan mereka."


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiamcu memotong: "Adakah ini hubungannya dengan sip- long?"
"Ya. Sip-long pun berhasil mencuri seperangkat pakaian pegawai
Hok Siu Po, maka bersama sama kami menyelundup masuk. siplong
memesan budak. katanya, apabila kita kepergok dan kena
terkurung, budak harus lari menyingkir kearah barat laut."
"Itu toh tidak luar biasa?" G.Ing CUn menyela.
"Sabar kakak. aku belum bicara habis," berkata Gim Ciu. "Nona
telah mengajari ilmu menyamar menyalin kulit muka, ilmu itu
sungguh yang nomor satu didalam dunia Rimba Persilatan dijaman
kita ini, akan tetapi di Hok Siu Po, penyamaran saja belum cukup
walaupun aku sangat berhati-hati. Kedua karena Hok Siu Po licin
luar biasa, mereka sangat teliti. Nyatanya disana budak-budak dan
pegawai, semua ada tanda rahasianya. Begitu budak masuk
keruang dalam, segera budak kena dipergoki seorang perempuan."
"Seorang dengan kepandaian sebagai kau, adikku, bukankah
sangat mudah untuk merobohkan seorang wanita?" tanya Ging Cun-
"Kenapa kau tidak segera membunuhnya?"
"Kakak. jikalau kau tidak memandang musuh terlalu rendah,
tentu kau telah menaksir aku terlalu tinggi," kata Gim Ciu. "Setelah
aku tahu rahasiaku telah terbuka, aku segera turun tangan
menyerangnya. Aku mengharap dengan satu gebrak saja dia roboh,
tapi diluar dugaanku, budak itu ternyata liehay. Tak berhasil aku
menjatuhkannya. Aku telah menimpa dia dengan jarum beracun cui
tok Hui ciam, terus aku menerjang, tapi dia bisa menyelamatkan
diri, dia bisa menangkis aku. Maka kita bergebrak sampai lima jurus
tanpa aku berhasil merebut kemenangan. Rupanya budak itu tidak
ungkulan dapat menjatuhkana dia berlaku cerdik, lalu dia berteriak
teriak, hingga seisi rumah menjadi terkejut, dan segera belasan
orang menyerbu kedalam. Mereka semua bersenjata tetapi
nampaknya mereka ingin menangkap aku hidup hidup,..
"Apakah sip- long datang menolongmu?" kiam cu bertanya.
"Benar aku terancam bahaya itu, tiba-tiba sip long muncul. Entah
dia bergerak cara bagaimana, didalam sekejap. separuh
pengurungku telah roboh. Maka dengan mudah dia dapat
mengajakku menerobos kepungan dan kabur."
"Begitu?" kiam cu heran"
Sip long sudah menyamar tapi budak mengenalinya."
"Apakah kemudian kau pernah menanyakan hal itu kepadanya?"
tanya Ging Kun-
"Ya, akan tetapi dia menyangkal."
"Aneh" Kata Kiamcu. "Kalau benar dia sip long, kenapa dia tak
mengakui?"
"Walaupun dia menyangkal. budak percaya betul itulah dia.
Begitulah, dua kali budak pernah menegaskan kepadanya. Yang
pertama kali, dia tetap menyangkal. Yang kedua kali dia tidak
menjawab akan tetapi dia tertawa"
"Jikalau begitu, dia mencurigai" kata kiamcu itu sungguhsungguh.
JILID 17 "Sulit untuk memastikannya, nona. Memang sip long pendiam
akan tetapi dia tidak berontak atau berkhianat. Mungkin ada suatu
sebab lainnya, entah apa itu..."
"Jikalau kau tidak keliru mengenali, adikku selanjutnya perlu kita
berhati hati," Geng cun peringatkan-Kiamcu menghela napas.
"Gim ciu, kuharap bantuanmu untuk menyelidiki dia. Bersama
sama Geng cun, aku akan berlagak pilon, supaya dia tidak curiga."
"Baiklah, nona. Aku harap didalam waktu satu bulan, dapat aku
mengetahi rahasia sip long itu."
"Semua kiamsu sudah berangkat lama, sekarang baiklah kitapun
pergi," berkata Geng cun kemudian-
"Aku harap. dengan kepergian ke Lam Gak ini, pihak kita akan
berhasil membekuk salah seorang ketua empat partai besar itu,"
kata sang nona "Sungguh sombong " pikir Siauw pek. "Mudahkah akan
membekuk ketua sebuah partai?"
Segera terdengar tindakan kaki perlahan, maka kiamcu itu
bersama kedua orang budaknya sudah berjalan keluar dari kuil itu.
Menanti sampai mereka itu telah pergi jauh barulah Siauw Pek
mendahului keluar dari tempatnya. Ia mengulur tangannya, untuk
melempangkan tubuh yang telah mendekam sekian lamanya.
"Dimana mana kaum Rimba Persilatan sibuk mencari Kiu Heng
cie Kiam, diluar dugaan, kitalah yang menemukannya," kata ketua
ini perlahan- Belum lagi Oey Eng atau Kho Kong menyahuti, tiba tiba mereka
mendengar suara yang nyaring halus diluar kuil: "lnilah dia Inilah
dianya " Siauw Pek tercengang. Ketika ia menoleh ia melihat dimuka pintu
menghadang seorang budak perempuan yang berbaju hijau.
Romanya nampak gusar.
"Rupanya mereka telah ketahui kita bersembunyi tetapi mereka
tidak mau segera memergoki." kata Oey Eng, berbisik. Siauw Pek
memberi hormat. "Nona..." sapanya.
"Jangan bicara tentang persahabatan" berkata nona itu, dingin.
"Lekas kamu habiskan jiwa kamu Apakah kamu hendak menanti
hingga aku yang turun tangan?"
"Nona, kita tidak bermusuh satu sama lain..."
"Tak usah banyak bicara " kata pula nona itu ketus. "Dikolong
langit ini, semua orang Rimba Persilatan adalah musuh musuh
kiamcu kami, maka itu, meski kita tidak bermusuhan tidak dapat aku
melepaskan kamu. Kamu telah bersembunyi atau mengumpet
dikolong meja dan telah mencuri dengar semua perkataan kami,
kamu telah melihat gerak gerik kami Bagian kamu ialah kematian "
Melihat sinona bersikap keras itu Siauw Pek tertawa hambar.
"Aku tidak mau bentrok dengan kamu, nona," katanya sabar.
"Jikalau kau menganggap aku jeri, itulah keliru."
Kho Kong gusar sekali, hampir dia melompat menerjang nona itu,
baiknya pada saat hatinya panas itu, mendadak ia ingat peristiwa
dengan Thio Giok Yauw didalam rimba hingga ia menderita. Dia
melihat sinona ini bersikap tenang tetapi keras sama seperti nona
Thio itu. Dengan sinar mata tajam, nona ini menatap Siauw Pek.
"Kau sombong ya?" katanya. "Rupanya kau berkepandaian
tinggi" Berkata begitu, lalu bertindak maju.
" Lekas mundur " Siauw Pek berkata pada dua saudaranya. Ia
melihat gerak gerik si nona.
Kho Kong dan Oey Eng heran- Mereka melihat sinona bertindak
perlahan benar sikapnya dingin, tetapi dia tak nampak seperti
musuh. Pikir mereka: "Kalau nona ini tidak pandai ilmu silatnya,
tentu dia mempunyai suatu kepandaian lain..." Keduanya mundur
kepojok pendopo.
Kira-kira tiga atau empat kakijauhnya dari Siauw Pek, sinona baju
hijau menghentikan tindakannya.
" Kelihatannya, diantara kamu bertiga, kaulah ketuanya..."
katanya agak sabar.
"Bukan," Siauw Pek merendahkan diri. "Nona terlalu memuji"
segera nona itu tertawa, dingin.
"Membunuh ular menghajar kepalanya, membekuk penjahat
meringkus rajanya" berkata dia.
" Kaulah, kepala diantara kalian bertiga, waspadalah."
Kata kata itu diakhiri dengan digerakkannya tangan kanannya
dari mana lalu melesat sebuah sinar putih bagaikan lilat,
menyambar secara membabat. Oey Eng terkejut.
"Tidak disangka dia begini gesit" katanya didalam hati. Siauw Pek
pun kaget tapi dia sempat lompat berkelit.
"Pantas kau sombong" kata sinona. "Kau benar liehay" Kembali
nona itu maju mendekati.
siauw Pek bersiap sedia. Inilah sebab tadi si nona mengeluarkan
pedangnya secara luar biasa cepat itu. Ia menghunus pedangnya,
untuk dilintangkan didepan dadanya.
Tiba didepan siauw Pek tiga kaki, nona itu mendadak
membungkuk, pedangnya terus meluncur menikam.
siauw Pek tidak menangkis, dia hanya memutar pedangnya
mengurung tubuhnya. Karena ia menyerang, dengan sendirinya
pedang mereka berdua beradu, hingga menerbitkan suara yang
nyaring mendadak nona itu berlompat mundur, terus sampai diluar
pintu, kemudian dengan satu lompatan, hilang lenyaplah dia
dimalam yang gelap petang itu
"Toako, apakah dia terluka?" tanya Oey Eng. Dia heran orang
mundur secara begitu rupa.
"Dia tidak terluka. Dia cuma kalah tenaga dalam. Karena dia
menyerang terlalu keras, dia kena tergempur sendirinya."
"Hebat cara menghunus pedang nona itu," kata Kho Kong.
"Jarang aku melihat kepandaian seperti itu. Apakah toako mengenali
ilmu silatnya itu ilmu dari partai mana ?" coh Siauw Pek
menggoyangkan kepala.
"Guruku pernah bercerita tentang pelbagai macam ilmu pedang
tetapi tidak ada yang mengenali ilmu pedang nona ini."
" Entah siapa kiamcu berbaju hitam itu," kata Oey Eng menarik
napas. "Rupanya dia bermusuh dengan semua partai persilatan
dikolong langit ini."
"Mungkin," kata Siauw Pek setelah berpikir sejenak. " Entahlah
tentang riwayat mereka, yang sudah pasti mereka terahasia. Kiamcu
itu, yang bertubuh langsing, mestinya dia cantik, maka aneh,
kenapa dia sengaja mengenakan topeng tidak karuan itu."
Berkata begitu, mendadak ia ingat sesuatu. lekas lekas ia
memasukkan pedangnya kedalam sarungnya sambil berkata: "Mari
lekas kita berlalu dari sini "
Oey Eng dan Kho Kong seperti mendapatkan serupa perasaan,
maka begitu ketuanya mengangkat kaki, mereka lalu menyusul.
"Biar aku jalan didepan" kata Siauw Pek, berhati hatilah "
Bertiga mereka lari sampai empat atau lima mil, baru mereka
memperlahan tindakan kaki mereka.
"Budak tadi belum kalah," kata Siauw Pek, "dia kabur untuk
minta bantuan, jikalau mereka keburu datang, kita tak dapa
mengelakkan suatu pertempuran hebat. Budaknya saja sudah begitu
liehay, apalagi nonanya."
"Kau benar, toako," berkata Oey Eng. "aku lihat, sepak terjang
kiamcu itu hampir mirip dengan tujuan toako."
siauw Pek terdiam, akan tetapi hatinya berguncang. Sekian lama,
baru dia dapat menenangkannya. Kata ia: "Mungkin didalam dunia
Kang ouw ini ada terlalu banyak orang yang mendendam sakit hati,
sedangkan perkeadilan kaum Rimba Persilatan agaknya sedang
goyang. Siapa lemah, dia dimakan, maka timbullah peristiwa
peristiwa tidak adil Jikalau aku berhasil maka aku hendak
menegakkan keadilan, untuk menerbitkan dunia Rimba Persilatan,
atau sekurang kurangnya buat mencoba mengurangi malapetaka."
"Luhur cita citamu, toako." kata Kho Kong. "Suka aku membantu
kau sekuat tenagaku, rela aku mengorbankan jiwaku " Dia berhenti
sejenak. lalu menambahkan : "Kiamcu itu berpikiran luar biasa
Bagaimana dia dapat menimbulkan Kiu Heng cie Kiam, pedang sakit
hati itu hingga Rimba Persilatan menjadi gempar karenanya" Toako,
apakah kau tidak memikir buat menyebut suatu nama untuk tindak
tanduk kita ini?"
Istana Pulau Es 18 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Petualang Asmara 6
^