Pedang Naga Kemala 2

Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


setempat. Lebih aman dan mudah kalau sasterawan yang memang sudah menderita luka dalam
yang parah itu mati saja sebagai seorang tahanan.
------------0-----------
Pada waktu itu, yang menjadi kaisar dari kerajaan Ceng-tiauw atau kerajaan Mancu
adalah Kaisar Tao Kuang, seorang kaisar yang tidak berhasil mempertahankan kejayaan Kerajaan
Mancu yang selama puluhan tahun dibina oleh mendiang Kaisar Kian Liong sehingga menjadi
besar dan kuat. Semenjak Kaisar Kian Liong meninggal dan singgasana diserahkan kepada
Kaisar Cia Cing ( 1796 " 1820 ) sampai kini diduduki Kaisar Tao Kuang, putera Kaisar Cia Cing
, Kerajaan Ceng-tiauw terus merosot. Pemberontakan terjadi di mana-mana para pembesar mabok
kekayaan dan kedudukan, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pembesar, dan penindasan
kaum pembesar terhadap rakyat jelata untuk menambah isi gudang kekayaan mereka. Korupsi
terjadi di mana-mana.
Di bawah pemerintahan Kaisar Cia Cing setelah Kaisar Kian Liong meninggal, rakyat
mulai mengenal madat. Mula-mula madat itu didatangkan oleh para pedagang dari India, karena
memang dari sanalah datangnya madat itu. Setelah banyak orang mencobanya dan mulai
ketagihan, perdagangan madat ini menjadi semakin subur.
Kebutuhan akan madat makin hebat, orang-orang yang ketagihan semakin banyak dan
mulailah benda yang amat berbahaya itu mengalir dalam jumlah besar ke Cina. Pada permulaan
abad ke sembilan belas itulah, Persatuan Dagang India Timur ( East India Company ) milik
orang-orang Inggeris, melihat kesempatan untuk mengeduk keuntungan yang amat besar. Mereka
lalu bersekutu dengan para pejabat pemerintah Ceng dan sebentar saja, dengan jalan penyuapan
dan penyogokan, kaum pedagang Inggeris itu berhasil menguasai seluruh pejabat pemerintah di
Kanton,dari gubernurnya sampai kepada perajurit-perajurit petugas keamanan.
Pemerintah Kaisar Tao Kuang sama sekali tidak mengijinkan peredaran madat itu dan
mereka sudah tahu akan bahayanya. Akan tetapi, di Kanton terjadi penyelundupan-
penyelundupan atau penyuapan-penyuapan dan dengan cara bagaimanapun juga, orang-orang
berkulit putih itu berhasil memasukkan madat dalam jumlah yang luar biasa besarnya ke daratan Cina. Melalui madat, kaum kulit putih itu menghisap seluruh kekayaan Cina. Dan melihat sukses yang diperoleh orang-orang Inggeris, maka bangsa kulit putih lainnya seperti Amerika,Portugis dan Belanda, juga tidak mau tinggal diam dan merekapun mengharakan bagian sehingga
perdagangan madat menjadi semakin ramai. Orang-orang kulit putih itu mengusap-usap perut
gendut dan kantong padat, meninggalkan rakyat Cina menjadi kurus kering karena kehabisan
kekayaan dan juga karena keracunan madat.
Cerita ini terjadi pada jaman itu, selagi madat merajalela di Cina, dan pusatnya berada di
Kanton di mana terdapat banyak kantor-kantor perdagangan orang kulit putih. Tidaklah
mengherankan kalau Ciu Lok Tai menjadi kaya raya karena dia merupakan seorang di antara para
pedagang madat yang menerima madat dari orang-orang kulit putih. Dan tentu saja dia
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
30 mempunyai hubungan erat dengan para pejabat, termasuk Ma Cek Lung yang menjadi
komandan pasukan keamanan di Kanton. Dan tidak mengherankan pula kalau Tan Siucai mati
di dalam kamar tahanan karena dia berani menyinggung masalah yang amat peka itu, soal
peredaran madat yang tentu saja dianggap membahayakan kedudukan para pembesar yang
menjadi makmur karena perdagangan madat.
Pada waktu itu, orang-orang kulit putih tidak memperoleh kebebasan gerak di daratan
Cina. Mereka hanya boleh datang di dua tempat saja. Yaitu pertama di Makao yang menjadi
pusat orang-orang portugis berpangkal, sedangkan kota ke dua adalah Kanton. Agaknya, setelah
ribuan tahun lamanya mempunyai pemerintahan feudal dan keluarga Kaisar selalu menganggap
derajatnya amat tinggi, jauh lebih tinggi dari derajat manusia biasa, bahkan Kaisar menganggap dirinya sebagai utusan Tuhan, maka setelah bangsa kulit putih mulai mengadakan hubungan
dengan Cina, Kaisarpun memandang mereka itu atau bangsa-bangsa asing pada umumnya
sebagai bangsa biadab. Hal ini mungkin tadinya timbul karena di luar Cina banyak tinggal suku-suku bangsa yang liar dan yang selalu membikin kekacauan, menyerbu ke pedalaman sehingga
timbul pandangan bahwa bangsa yang berada di luar Cina adalah bangsa liar atau bangsa biadab.
Pandangan yang besar sekali kemungkinan timbul karena kecongkakan pemerintahannya sebagai
akibad sistim perbedaan kelas yang menyolok dari keluarga Kaisar ini kemudian menjalar ke
seluruh rakyat sehingga timbul semacam penyakit dalam batin masyarakat Cina untuk
menganggap bangsa apapun di luar Cina adalah bangsa biadab. Kecongkakan dan pemujaan diri
sendiri yang berlebihan ini menghancurkan Cina sendiri. Karena congkak, mereka tidak mau
tahu bahwa bangsa-bangsa biadab yang mereka pandang rendah itu telah memperoleh kemajuan
pesat sekali dan sama sekali tidak dapat dinamakan bangsa yang lebih bodoh, lebih sederhana,
atau lebih rendah dari pada mereka. Bahkan untuk mengurus bangsa asingpun oleh pemerintah
dinamakan Kantor Urusan Bangsa-bangsa biadab !
Kaisar keturunan Bangsa Mancu, yang sebelum menguasai Cina juga dianggap bangsa
biadab oleh pribumi daratan Cina sendiri, agaknya sengaja mengangkat bangsanya agar terlupa
bahwa mereka adalah suku bangsa di luar tapal batas Cina dan hendak melebur diri sendiri
dengan pribumi. Pemerintah mengadakan peraturan yang amat menghina bangsa asing. Bangsa
asing dari manapun juga yang hendak menghadap Kaisar harus tunggu berbulan lamanya dan
diperlakukan sebagai utusan negara yang hendak menyataklan tunduk dan setia kepada Kaisar.
Mereka diharuskan menjura dengan hormat kepada kaisar. Kalau tidak mau melakukan
penghormatan ini, mereka tidak akan diterima dan akibatnya mereka tidak boleh berdagang, apa
lagi tinggal di Cina.
Pemerintah juga melarang orang-orang asing melakukan perdagangan langsung ke pasar-
pasar, melainkan harus berhubungan dengan badan yang ditunjuk pemerintah khusus melayani
mereka, dan badan atau orang ini disebut Co-hong. Akibatnya tentu saja ada persekutuan antara orang-orang asing dengan Cohong-cohong ini, yang meluas menjadi kerja sama dengan para
pejabat yang menerima suapan.
Pemberontakan yang merajalela di seluruh Tiongkok membuat pemerintah Kaisar Tao
kuang menjadi semakin lemah. Sementara itu, orang-orang Eropa yang datang ke daratan Cina
bukan lagi perantau-perantau seperti abad-abad yang lalu, melainkan orang-orang yang mewakili negara-negara yang mulai berkembang menjadi negara yang kuat.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
31 Mereka tidak mau direndahkan dan menganggap diri mereka lebih tinggi. Merekalah yang
menganggap Bangsa Cina masih terbelakang dan kuno, dan melihat negara dan bangsa itu
merupakan makanan empuk dan merupakan pasar yang amat besar untuk menjual barang-barang
dagangan mereka.
Akan tetapi, pada permulaan abad ke sembilanbelas itu, Cina tidak membutuhkan baran-
barang dari Eropa. Kemudian, setelah orang-orang kulit putih melihat kelemahan rakyat Cina
yang mulai ketagihan candu, mereka melihat kesempatan baik sekali untuk mengeduk
keuntungan sebesarnya dan mulailah mereka memasukkan madat secara besar-besaran, madat
yang mereka datangkan dari India. Dan madat ini, seperti yang digambarkan oleh Tan Siucai,
memang benar-benar merupakan malapetaka bagi rakyat Cina. Dalam waktu beberapa tahun saja,
racun itu bukan saja terdapat dalam rumah-rumah madat umum di mana para pecandu boleh
membeli dan menghisap madat, akan tetapi juga sudah menyusup ke rumah-rumah para hartawan
dan bangsawan, bahkan banyak sekali pendekar-pendekar gagah perkasa tunduk dan lumpuh oleh
pengaruh madat, para pejabat juga menjadi hambanya.
Demikianlah gambaran sekilas tentang keadaan di jaman itu dan mari kita ikuti perjalanan
Tan Ci Kong, putera tunggal Tan Siucai yang bernasib malang itu. Pesan ayahnya masih
terngiang di telinganya ketika akhirnya dia tiba di tepi sungai Si-kiang, menyusuri tepi sungai sebelah utara menuju ke barat untuk mencari tempat penyeberangan. Air sungai itu penuh dan
arusnya deras sekali dan tidak nampak ada perahu disitu. Di antara pesan ayahnya yang paling
membingungkan adalah, "............... jangan sekali-kali engkau kembali ke Tung-kang sebelum ada berita dariku. Kelak aku akan menyusulmu ke Nan-ning."
Jadi aku tidak akan melihat dusun tempat kelahiranku lagi, pikir Ci Kong ketika dia
berjalan dengan menyusuri sungai. Melakukan perjalanan di waktu itu tak dapat dibilang aman.
Penduduk tidak boleh membawa senjata dan tampa senjata di tangan, tentu saja orang mudah
menjadi korban keganasan perampok-perampok yang bersenjata. Akan tetapi, siapakah mau
menganggu seorang anak laki-laki kecil, apa lagi kalau dia tidak memakai pakaian bagus dan
tidak membekal uang " Setelah menemukan perahu yang suka membawanya ke seberang dan
melanjutkan perjalanannya yang amat melelahkan, berulah seminggu kemudian Ci Kong tiba di
kota Nan-ning. Kota ini tidak begitu besar dan tidak sukar bagi Ci Kong untuk menemukan toko obat
milik orang yang bernama Sie Kian. Dia tiba di toko itu setelah hari mulai gelap dan toko itu sudah tutup, hanya daun pintunya saja yang masih terbuka. Sebuah toko sederhana saja, tidak
terlalu besar. Ketika Ci Kong mengetuk daun pintu perlahan, muncullah seorang laki-laki berusia limapuluh tahun lebih, pakaiannya seperti seorang pelajar dengan lengan baju yang lebar sekali.
Biarpun usianya baru limapuluh tahun lebih, akan tetapi kepala orang itu sudah putih, semua
rambutnya sudah menjadi uban. Wajahnya juga membayangkan bahwa hidupnya lebih banyak
menderita dari pada bersuka ria. Pandang matanya sayu dan gerak geriknya halus.
"Anak baik, apakah engkau hendak membeli obat " Ataukah ada yang sakit ?" Tanya
kakek itu denga sikap ramah.
Ci Kong menggeleng kepala. "Tidak, paman, saya mencari seorang paman yang bernama
Sie Kian dan kata orang tinggal di toko obat ini." Ci Kong memandang penuh selidik karena dia sudah menduga bahwa agaknya orang inilah sahabat ayahnya itu.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
32 "Sie Kian " Ah, aku sendirilah orangnya. Engkau anak kecil ada urusan apakah mencari
aku " Dan darimana engkau datang " Nampaknya kau lelah sekali."
Bukan main girangnya hati Ci Kong ketika orang itu mengaku bernama Sie Kian, orang
yang dicarinya. Segera dia menjatuhkan diri berlutut sebagai penghormatan. "Paman Sie Kian,
saya datang diutus oleh ayah saya yang bernama Tan Seng ?"?"?" katanya dengan suara
serak karena hatinya merasa terharu sekali.
Orang itu terbelalak. "Apa " Kaumaksudkan Tan Siucai ............ yang tinggal di Tung-
kang ?" "Benar, paman, dan ada surat dari ayah untuk paman." Ci Kong menurunkan buntalan
pakaiannya dan hendak membukanya. Akan tetapi Sie Kian menangkap lengannya.
"Mari masuk, nak. Kita bicara di dalam saja."
Ci Kong menurut dan merekapun memasuki rumah itu. Sie Kian menutup daun pintunya
dan setelah mereka memasuki rumah itu, baru Ci Kong tahu bahwa laki-laki itu tinggal seorang
diri saja dalam rumah ini, bahkan pelayanpun tidak punya. Sie Kian mengajak anak itu duduk
menghadapi sebuah meja dan ruangan itu diterangi oleh sebuah lampu yang cukup besar.
"Duduklah. Taruh buntalanmu di atas meja dan keluarkan surat itu. Ingin sekali aku tahu
apa isi surat ayahmu," kata Sie Kian, masih terheran-heran melihat anak sekecil ini datang
sendirian saja dari tempat yang begitu jauhnya. Hatinya merasa tidak enak. Apakah gerangan
yang terjadi dengan diri kakak angkatnya itu " Sudah hampir sepuluh tahun mereka tidak saling mengadakan hubungan dan dia tidak tahu sama sekali bagaimana keadaan sasterawan itu.
Setelah dia membaca surat Tan Siucai yang diterimanya dari Ci Kong, wajah orang she
Sie itu berobag agak pucat. "Ah ?"?" ahhh ?"?" !" berkali-kali dia mengeluh,
kemudian dia menyimpan surat itu di saku jubahnya.
"Anak baik, namamu Tan Ci Kong ?"
"Benar paman."
"Engkau tinggallah disini bersamaku, engkau bisa membantuku. Besok aku akan
menyuruh seorang teman untuk pergi ke dusunmu dan menyelidiki tentang keadaan ayahmu.
Kalau mungkin, aku akan membawa ayahmu itu ke sini agar dapat kurawat dia sampai sembuh."
Tentu saja hati anak kecil itu menjadi girang sekali dan diapun cepat menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki Sie Kian. "Terima kasih, paman, aku Tan Ci Kong selama hidup tidak
akan lupa kepada budi paman ini."
Sie Kian merangkul anak itu dengan hati terharu dan diam-diam dia merasa kagum.
Anak kecil ini bukan hanya tabah dan pemberani sekali, tahan menderita dan dapat melakukan
perjalanan demikian jauhnya sendirian saja, akan tetapi juga baik budi dan berkelakuan sopan.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
33 Mulai hari itu, Ci Kong membantu paman angkatnya yang tidak mempunyai pelayan.
Dia membersihkan rumah, mencuci pakaian, mencari air, masak nasi dan air, juga belajar
membuat masakan dari pamannya. Sementara itu Sie Kiam mengutus seorang teman untuk
melakukan penyelidikan ke Tung-kang. Seminggu kemudian, teman itu datang kembali dan
menyampaikan kabar yang amat mengejutkan hati Sie Kian, bahwa Tan Siucai telah tewas di
dalam tahanan setelah ditangkap karena menempelkan tulisan-tulisan yang dianggap
memberontak ! Sie Kian segera menutup tokonya dan membawa Ci Kong ke dalam kamarnya. Di situ dia
merangkul anak itu, tak mampu mengeluarkan kata-kata dan orang yang bertubuh agak gemuk
pendek dan biasanya amat peramah dan halus budi ini menangis !
Ci Kong adalah seorang anak yang amat cerdik. Melihat sikap pamannya, hatinya terasa
perih seperti tertusuk. "Paman Sie Kian, apakah yang telah terjadi dengan ayahku ?"
Mendengar pertanyaan ini Sie Kian makin mengguguk tangisnya dan dia mendekap
kepala anak itu di dadanya. Selama ini dia hidup menyepi seorang diri, tanpa sanak tanpa teman, dan segera tiba-tiba dia dipertemukan dengan anak kakak angkatnya ini, akan tetapi ternyata
nasib anak ini demikian buruknya.
"Paman. Apakah ayah ............ ayah meninggal dunia ?"
Sie Kian terkejut dan memegang kedua pundak kecil itu, melalui air matanya dia
memandang wajah itu dengan heran.
Ci Kong tidak menangis, akan tetapi kedua matanya juga basah air mata. "Paman, ketika
aku disuruh pergi oleh ayah, dia terluka parah dan hatiku sudah tidak enak. Sikap ayah seolah-olah kami tidak akan saling bertemu kembali. Benarkah ayah meninggal dunia?"?" ?"
Sie Kian menelan ludahnya dan mengangguk. Ci Kong menjatuhkan dirinya berlutut,
tidak menangis hanya menundukkan mukanya dan hanya beberapa butir air mata yang menuruni
kedua pipinya. Anak itu mengepalkedua tangannya yang kecil. Hening sejenak, yang terdengar
hanya tarikan napas panjang berkali-kali dari Sie Kian.
Kemudian terdengar suara Ci Kong, lirih dan agak gemetar. "Paman Sie Kian, bagaimanakah
meninggalnya ayahku " Dan siapakah yang mengurus penguburannya ?"
Dengan hati-hati dan perlahan-lahan Sie Kian lalu menceritakan apa yang telah
didengarnya dari teman yang disuruhnya melakukan penyelidikan ke Tung-kang itu, betapa ayah
anak itu dalam keadaan sakit menempelkan tulisan-tulisan yang menentang madat dan mengutuk
para pembesar dan pedagang madat, sehingga dia dianggap pemberontak, ditangkap dan karena
keadaannya memang payah, dia meninggal dalam tahanan.
"Ayahmu sungguh keras hati dan nekat," Sie Kian berkata, "dalam keadaan masih sakit
berat, dia bahkan berani bertindak demikian jauh sehingga menimbulkan keributan.
Mungkin ketika ditangkap, dia berada dalam keadaan yang sudah menghebat sakitnya akibat
luka-lukanya dan dia meninggal di dalam kamar tahanan."
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
34 "Ayah hebat !" Tiba-tiba Ci Kong berkata sambil mengepal tinju. "Biarpun lemah dan
sakit, ayah berani menentang apa yang dianggapnya tidak benar, kalau sudah besar, akupun ingin seperti ayah !"
Sie Kian memandang kagum dan tiba-tiba ada sebuah pikiran menyelinap di benaknya.
"Ci Kong, dengar baik-baik. Peristiwa kematian ayahmu ini mendorongku untuk segera
membawamu pergi ke suatu tempat. Engkau tidak bisa tinggal terus disini ........... !"
Ci Kong mengerutkan alisnya, menatap wajah Sie Kian dengan pandang mata tajam
penuh selidik. "Apakah paman takut terlibat dan menerima akibat buruk dari urusan keluarga
ayah " Kalau begitu, biarlah aku pergi dari sini agar paman tidak sampai tersangkut."
Sie Kian merangkul pundak anak itu. "Jangan salah sangka, anak baik. Dengarlah.
Ayahmu dimusuhi oleh pemerintah, dan dicap pemberontak. Hal ini amat berbahaya bagimu.
Kalau mereka tahu bahwa ayahmu mempunyai seorang putera, tentu mereka akan mencarimu dan
kalau sampai ketahuan engkau disini, bagaimana aku akan dapat melindungimu " Karena itu,
engkau harus disingkirkan dan diselamatkan, disembunyikan dari mereka. Dan ke dua, engkau
tadi mengatakan bahwa engkau ingin segagah ayahmu, bukan " Akan tetapi, bagaimana engkau
dapat berhasil melakukan kegagahan kalau tubuhmu lemah seperti ayahmu " Engkau harus
menjadi seorang yang berbeda dengan ayahmu yang hanya pandai menulis itu. Engkau harus
menjadi seorang ahli silat yang pandai dan kuat."
Ci Kong yang masih kecil itu dapat menangkap apa yang dimaksudkan pamannya dan dia
mengangguk-angguk. "Lalu apa yang akan paman lakukan ?"
"Aku akan mengantarmu ke sebuah kuil. Kepala kuil itu adalah seorang hwesio tua yang
berilmu tinggi. Aku mengenalnya dengan baik karena diantara kami terdapat kecocokan, yaitu
kami sama-sama penentang pemerintah penjajah Mancu. Di sana engkau akan lebih terlindung,
juga tersembunyi. Engkau dapat belajar ilmu dari hwesio itu dan membantu pekerjaan di kuil.
Setujukah engkau, Ci Kong ?"
Anak itu mengangguk. Dan pada hari itu juga Ci Kong dibawa oleh Sie Kian pergi ke
sebuah kuil tua yang besar. Kuil itu berada di lereng dekat puncak sebuah bukit, di sebelah utara kota Nan-ning, dua hari perjalanan dari kota itu. Dari bukit inilah mengalirnya sungai Si-kang ke timur.
Ketua kuil itu bernama Nam San Losu, seorang penganut agama Budha yang taat, berusia
enampuluh tahun lebih namun tubuhnya tinggi besar masih nampak kokoh kuat dan dengan
wajahnya yang hitam dan kasar dia kelihatan seperti seorang yang berhati keras. Akan tetapi
sesungguhnya tidak demikian karena Nam San Losu memiliki watak yang lembut, halus tutur
sapanya dan halus gerak geriknya walaupun dalam setiap gerakannya itu tenaga yang amat kuat.
Dengan sabar Nam San Losu mendengarkan penuturan Sie Kian yang sudah lama
menjadi sahabatnya karena keduannya suka bertukar pikiran tentang ilmu pengobatan, dan
setelah Sie Kian selesai bercerita, kakek kepala gundul itu menarik napas panjang dan
memandang kepada Ci Kong.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
35 "Omitohud ?"?"" ! Pinceng sendiri prihatin melihat betapa makin banyak rakyat
yang menjadi korban madat. Kalau saja semua orang yang pandai memiliki kebijaksanaan seperti
Tan Siucai, tentu pengaruh madat itu akan dapat ditentang dan ditolak." Kemudian dia bertanya kepada Ci Kong, "Anak baik, siapakah namamu ?"
"Namaku Tan Ci Kong, losuhu."
"Engkau tidak lagi mempunyai sanak keluarga di dunia ini ?"
"Tidak, kecuali paman Sie Kian seorang."
"Pamanmu hendak menitipkan engkau disini, apakah engkau suka ?"
Ci Kong mengangguk tampa menjawab, akan tetapi sinar matanya yang tajam berseri itu
menunjukkan bahwa dia menyukai tempat sunyi yang berhawa sejuk itu.
"Ci Kong, tempat ini adalah sebuah kuil dan hanya orang-orang yang telah bersumpah
mengabdikan dirinya kepada agama saja dan menjadi hwesio yang tinggal disini. Pinceng tinggal disini bersama lima orang hwesio yang menjadi murid pinceng.
Akan tetapi kulihat engkau tidak mempunyai bakat untuk menjadi pendeta. Satu-satunya jalan
agar engkau dapat tinggal disini untuk sementara waktu hanyalah menjadi muridku, bukan murid
agama melainkan murid ilmu silat. Bagaimana ?"
Ci Kong memang cerdik. Sebelumnya dia sudah mendengar penuturan Sie Kian tentang
hwesio tua ini, maka mendengar ucapan itu diapun segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki hwesio itu.
"Teecu suka sekali menjadi murid suhu dan akan mentaati segala petunjuk dan perintah
suhu." Hwesio itu tersenyum dan saling bertukar pandang dengan Sie Kian yang mengangguk-
angguk girang dan kagum. "Selain mempelajari ilmu silat, karena kau putera seorang siucai,
engkaupun harus mempelajari ilmu sastera dan pinceng akan memimpinmu sedapat mungkin.
Akan tetapi, di waktu tidak belajar engkau harus bekerja keras membantu para suhengmu di kuil ini."
"Teecu akan mentaatinya !"
Demikianlah, mulai hari itu, Sie Kian meninggalkan Ci Kong di kuil tua dan anak itu
menjadi murid Nam San Losu, hwesio tua yang hidup seperti pertapa di dekat puncak bukit sunyi itu. Dia belajar ilmu silat dan sastera kepada hwesio itu, dan bergaul dengan akrabnya dengan para suhengnya yang menjadi hwesio-hwesio berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun.


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak ini rajin sekali, tidak pernah bermalas-malasan sehingga bukan saja Nam San Losu suka
kepadanya, juga lima orang hwesio lainnya menjadi sayang kepadanya. Untunglah bagi Ci Kong
karena Nam San Losu adalah seorang ahli silat dari Siauw-lim-pai dan betapapun beratnya
gemblengan yang dilakukan Nam San Losu terhadap dirinya, dia terima dengan segala keikhlasan
hati dan dia belajar tanpa mengenal lelah.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
36 *** Malam yang gelap di kota Kanton. Kota ini menjadi sebuah kota yang ramai dan mewah setelah
kota itu ditentukan untuk menjadi kota perdagangan dengan orang-orang berkulit putih. Kota
inilah, disamping kota Makao, yang menampung penyelundupan candu dan di kedua kota ini
rakyat dapat melihat orang-orang berkulit putih yang kalau masuk ke pedalaman, tentu akan
menimbulkan perasaan heran bukan main karena kulit mereka yang putih, rambut dan bola mata
mereka yang berwarna.
Malam itu gelap, kecuali rumah-rumah besar para pedagang kaya yang sekelilingnya
digantungi lampu-lampu minyak yang besar dan yang sinarnya mendatangkan penerangan
sekedarnya di jalan-jalan depan rumah-rumah gedung itu.
Rumah berpintu merah itu amat dikenal oleh mereka yang suka melacur dan mereka yang
suka menghisap madat. Di dalam rumah itu laki-laki iseng dapat menghamburkan uangnya untuk
pelacur ataupun untuk menghisap madat. Memang dua kebiasaan ini berdekatan selalu. Kalau
malam tiba, terdengar suara cekikikan ketawa wanita menyelinap keluar melalui jendela kamar-
kamar itu bersama keluarnya asap tipis berbau madat yang memuakkan bagi mereka yang tidak
biasa, akan tetapi merupakan asap ajaib yang dapat mendatangkan kenikmatan tanpa batas bagi
mereka yang telah mencandu.
Orang-orang yang tidak punya uang jangan harap dapat memasuki rumah berpintu merah
ini, karena selain madat mahal harganya, juga para pelacur yang berkumpul disitu, yang
jumlahnya belasan orang, terdiri dari pelacur-pelacur kelas mahal.
Seorang laki-laki tinggi kurus yang mukanya pucat kehijauan keluar dari dalam kamar
yang bau pengap oleh asap madat dan dengan langkah terhuyung akan tetapi kedua kakinya
bergerak ringan dia berjalan ke ruangan depan. Sebuah buntalan kuning digendongnya di
belakang punggung dan wajah si muka kehijauan ini nampak senyum penuh kepuasan seperti
biasa senyum laki-laki yang meninggalkan kamar madat itu.
"Hai, A-Ceng ! Kau hendak kemana " Malam belum larut dan kau sudah mau pergi?"
Tegur seorang laki-laki gendut yang sedang memangku seorang pelacur dan bergurau dengan
teman-temannya yang masing-masing dikawani seorang pelacur pula.
Mereka, empat orang itu, duduk menghadapi arak mengelilingi sebuah meja bundar dan agaknya
mereka ini lebih suka minum-minum di situ ditemani pelacur dari pada menghisap madat atau
melacur di dalam kamar. Atau mungkin juga mereka tadi sudah puas menghisap madat.
Laki-laki kurus bermuka hijau itu menoleh dan tersenyum ketika melihat mereka
berempat. Hanya si gendut itu saja yang dikenalnya, yang lainnya tidak. Kenalpun hanya selewat dengan si gendut karena si gendut itu adalah seorang tukang pukul yang melindungi tempat
pelacuran dan pemadatan itu. Secara sambil lalu dia berkenalan dengan si gendut, bahkan secara sembarangan dia memperkenalkan diri dengan nama palsu A Ceng, dan si gendut itu
memperkenalkan namanya pula yang tidak diingatnya lagi, akan tetapi dia teringat akan julukan yang diperkenalkan dengan bangga oleh si gendut, yaitu "Si Kaki Besi".
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
37 Orang bermuka kehijauan yang mengaku bernama A Ceng itu melambaikan tangan
sebagai balasan salam. "Aku sudah puas menghisap, dan ada keperluan penting. Besok aku
dating lagi !"
A Ceng melanjutkan langkahnya keluar dari rumah berpintu merah itu. Si Kaki Besi
memberi syarat kepada tiga orang kawannya. Merekapun segera meninggalkan pelacur-pelacur
itu dan dengan berindap-indap mereka berempat keluar pula dari tempat itu melalui pintu
samping, dengan sikap yang amat mencurigakan. Empat orang wanita pelacur itu saling pandang
dengan heran akan tetapi seperti biasa, mereka tidak perduli dan segera memperbaiki muka dan
rambut mereka dengan bedak, pemerah bibir dan sisir untuk menanti datangnya lain tamu iseng.
Malam masih terlalu panjang bagi mereka ini.
A Ceng berjalan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk dan tiba-tiba dia berhenti
di dekat tempat terbuka yang sunyi, memandang ke kanan kiri dan belakang karena dia seperti
mendengar suara yang mencurigakan. Dari sikapnya yang penuh curiga dan waspada, dapat
diduga bahwa dia tidak sedang berjalan-jalan biasa melainkan ada suatu urusan penting yang
sedang dikerjakannya.
Tiba-tiba nampak empat bayangan orang berloncatan dan si gendut yang berjuluk Si Kaki
Besi, tukang pukul rumah pelacuran dan pemadatan Pintu Merah telah berada di depan A Ceng,
bersama tiga orang kawannya yang tadi minum-minum dengannya. Melihat si gendut, wajah A
Ceng yang tadinya terkejut nampak lega.
"Ah, kiranya engkau, toako ! Ada apakah menyusulku " Aku tidak meninggalkan hutang
di rumah Pintu Merah."
Si gendut menyeringai. "Hemm, engkau membawa bungkusan dari rumah itu. Aku harus
memeriksanya dulu, sobat, apa isi bungkusan itu."
Wajah yang kehijauan itu berobah pucat dan matanya terbelalak. "Aku tidak mengambil
apa-apa, tidak mencuri apa-apa. Ini adalah barangke sendiri !"
"Heh, mana aku tahu kalau belum kulihat isi buntalan itu ?" hardik si gendut dan dengan
sikap mengancam dia mendekati A Ceng, diikuti tiga orang temannya yang jelas memperlihatkan
sikap mengurung dan mengancam.
"Toako, sekali lagi kuperingatkan bahwa aku tidak mencuri apa-apa dan ketika memasuki
rumah Pintu Merah aku sudah membawa barangku ini." Bantah pula orang yang mengaku
bernama A Ceng.
"Ha-ha ! Kaukira kami orang-orang bodoh atau buta " Engkau bukan bernama A Ceng,
melainkan she Phek, seorang buaya darat dari sebelah utara Kanton. Engkau mengaku bernama A
Ceng dan engkau membawa barang yang selalu kaurahasiaka. Hayo buka dan perlihatkan kepada
kami !" "Baiklah ?"", baiklah ?"" !" kata A Ceng dan diapun menurunkan buntalannya
dari gendongan dan meletakkannya di atas tanah. Ketika dia membuka buntalan itu perlahan-
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
38 lahan, empat orang itu membungkuk di sekelilingnya karena mereka ingin melihat lebih jelas apa isi bungkusan itu dan tempat itu hanya mendapat penerangan sedikit saja dari lampu yang
tergantung di rumah agak jauh dari tempat itu.
Dengan perlahan-lahan dan sikap tenang sekali A Ceng membuka buntalan kain kuning
itu dan tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya bergerak ke atas. Sinar-
sinar hitam menyambar ke empat penjuru dan Si Kaki Besi bersama tiga orang kawannya
berteriak kesakitan sambil menutupi kedua mata dengan tangan, menggosok-gosoknya karena
mata mereka disambar pasir yang dilemparkan dengan tiba-tiba oleh A Ceng tadi.
A Ceng tidak membuang waktu lagi.Melihat betapa empat orang itu kebingungan
menggosok-gosok mata dengan kedua tangan, diapun cepat meloncat berdiri dan membagi-bagi
pukulan dan tendangan yang dilakukan penuh pengarahan tenaga sinkangnya.
"bukk ?"" ! Dess ?"" ! Kekkk ?"" !" Tiga orang teman Si Kaki Besi
terjungkal ketika dua pukulan mengenai lambung dan sebuah tendangan mengenai selakangan.
Mereka roboh dan munta darah, lalu pingsan. A Ceng mendesak terus, kini menyerang Si Kaki
Besi dengan pukulan maut kea rah leher. Akan tetapi Si Kaki Besi agaknya lebih pandai dari pada kawan-kawannya. Dia dapat mendengar angin tendangan itu dan cepat meloncat ke belakang.
Ketika dia mendengar gerakan A Ceng menyerbu ke depan, cepat dia menggerakkan kedua
kakinya bergantian dan memang Si Kaki Besi ini tidak sia-sia saja mempunyai julukan itu. Kedua kakinya dapat melakukan tendangan berantai yang amat cepat dan amat kuat sehingga biarpun A
Ceng yang menjadi kaget cepat mengelak ke samping, tetap saja sebuah tendangan menyerempet
pahanya dan diapun roboh terguling. Akan tetapi tendangan itu tidak tepat sekali dan A Ceng
bergulingan menjauh sehingga tendangan "tendangan berikutnya yang dilakukan ngawur itu
tidak mengenai sasaran. Sayang bagi Si Kaki Besi bahwa dia belum dapat membuka kedua
matanya yang masih terasa pedas dan perih terkena pasir yang tadi disambitkan A Ceng. Maka
kini dia hanya menyerang dengan ngawur, mengandalkan pendengarannya saja. Sementara itu A
Ceng atau yang lebih tepat sebenarnya bernama Phek Kiat itu, sudah meloncat lagi dan menjadi
marah sekali. Lawannya yang sudah tak mampu membuka mata itu masih dapat menendangnya
sehingga hampir saja dia celaka. Dengan cepat dan kuat dia lalu menyerang dari samping. Si
Kaki Besi mendengar angin serangan ini dan berusaha menangkis, akan tetapi tangkisannya luput dan sebuah pukulan yang keras mengenai lambungnya.
"Bukk ......... !" Tubuh yang gendut itu terpelanting. Sebelum dia dapat bangkit, sebuah
tendangan mengenai dadanya dan kembali dia terjengkang. Phek Kiat tidak memberi kesempatan
lagi kepadanya dan menghujankan pukulan dan tendangan. Sebuah tendangan yang tepat
mengenai tengkuk membuat Si Kaki Besi itu roboh terkulai dan tidak mampu bergerak lagi.
Melihat empat orang lawannya sudah menggeletak tak berkutik lagi, si muka hijau itu
menyeringai puas dan kini nampaklah bentuk mukanya yang kejam, sinar matanya yang licik dan
senyumnya yang menyeramkan. Diperbaiki lagi buntalannya dan diapun cepat meninggalkan
tempat itu. Peristiwa itu terjadi amat cepatnya, di tempat sunyi dan gelap sehingga terjadi tanpa diketahui orang lain.
Akan tetapi agaknya tidak demikian. Ketika A Ceng atau Phek Kiat meninggalkan tempat
itu dengan berlari cepat dan ringan, sesosok bayangan berkelebat dan terus membayangi orang
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
39 bermuka kehijauan itu. Bayangan ini memiliki gerakan yang amat cepat dan ringan sehingga
langkah kakinya ketika berlari tidak menimbulkan suara apapun. Namun, Phek Kiat agaknya
merasa sesuatu yang tidak enak maka beberapa kali dia menoleh dengan tiba-tiba. Hebat sekali
gerakan bayangan itu. Begitu Phek Kiat menoleh, dia sudah menyelinap dengan kecepatan seperti terbang dan setiap kali Phek Kiat menengok, dia tidak melihat apa-apa karena bayangan itu telah bersembunyi di balik pohon atau dinding rumah.
Phek Kiat melanjutkan larinya menuju ke pinggir kota yang sepi dan di bagian ini tidak
ada rumahnya karena daerahnya terdapat banyak rawa dan sawah. Phek Kiat tiba di atas sebuah
jembatan yang tua. Sunyi dan gelap di tempat ini, hanya diterangi bintang-bintang yang
memenuhi langit. Dan begitu tiba di tempat itu, Phek Kiat bersuit perlahan. Tak lama kemudian suitan itu dibalas orang dan muncullah seorang laki-laki dari bawah jembatan. Agaknya sejak tadi dia sudah menanti di situ dan seperti juga Phek Kiat, orang itu juga membawa sebuah buntalan
hitam. "Sin-touw (Maling Sakti), engkau sudah di sini pula " Bagus !" kata Phek Kiat dengan
hati lega dan girang, apa lagi melihat betapa orang berpakaian hitam-hitam itu memondong
sebuah buntalan hitam yang bentuknya persegi panjang.
"Phek Kiat, aku belum pernah melanggar janji. Engkau ......... sudah membawa ......... itu
,,,,, ?" tanya si baju hitam yang disebut Maling Sakti itu dengan suara agak gugup, lalu menoleh ke kanan kiri seolah-olah merasa takut kalau-kalau pembicaraan mereka dilihat atau didengar
orang lain. Akan tetapi tempat itu sunyi, tidak nampak sesuatu selain berkelap-kelipnya bintang-bintang di langit dan tidak terdengar sesuatu kecuali kerik jengkerik di sawah-sawah kering.
"Ha, jangan khawatir, sobat. Akupun bukan orang yang suka melanggar janji. Nih, sudah
kubawa, lengkap seperti yang kauminta. Tigapuluh kati, sedikitpun tidak kurang, barang murni
tidak campuran pula." Phek Kiat menunjuk bungkusannya.
"Sobat Phek, tolong, beri aku sedikit dulu, sudah tiga hari aku tidak mengisap, badanku
sakit semua rasanya, tolonglah ?"" kau tentu membawa yang sudah dicampur tembakau,
bukan ?" Si baju hitam itu mengeluarkan sebuah pipa cangklong kecil dari balik bajunya, pipa yang
biasanya dia pakai untuk menghisap madat. Kedua tangannya gemetar ketika dia mengeluarkan
pipa itu. Melihat ini, Phek Kiat tersenyum dan matanya bersinar aneh.
"Tentu saja, Sin-touw. Akan tetapi sejak tadi sudah ingin sekali melihat benda itu. Berilah
aku lihat sebentar saja, dan aku akan memberi madat sampai engkau dapat menghisap sepuasmu.
Coba buka dan perlihatkan padaku benda itu," kata Phek Kiat sambil memandang ke arah
buntalan kain hitam yang persegi panjang itu.
Maling Sakti itu agaknya sudah percaya benar kepada Phek Kiat, atau memang dia sudah
amat ketagihan candu, maka diapun segera membuka buntalan kain hitam dan nampaklah sebuah
peti hitam pula. Dibukanya tutup peti itu dengan sebuah kunci dan begitu tutup peti itu terbuka, nampaklah sebuah benda berkilauan, benda yang berwarna hijau kemerahan, berbentuk sebatang
pedang kecil berukir tubuh naga dan benda itu terbuat dari batu giok yang luar biasa indahnya !
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
40 Sepasang mata Phek Kiat terbelalak penuh kagum. Sungguh selama ini tidak pernah dia dapat
membayangkan akan dapat melihat benda pusaka ini, bukan hanya melihatnya, bahkan sebentar
lagi benda itu akan menjadi miliknya !
"Giok-liong-kiam ......... !" bisiknya.
"Ya, Giok-liong-kiam ......... !" kata pula Sin-touw dengan suara penuh kebanggaan. Siapa yang takkan merasa bangga telah berhasil mencuri sebuah benda keramat, pusaka yang dikagumi dan
diinginkan oleh seluruh tokoh besar dunia persilatan " Hanya dialah yang mampu dan
julukannya Sin-touw kiranya pantas diabadikan karena dia telah berhasil memiliki benda pusaka ini. Akan tetapi semenjak dia berhasil mencuri benda pusaka ini kurang lebih setengah tahun
yang lalu, hidupnya menjadi sengsara ! Dia harus melarikan diri terus dan selalu bersembunyi, tidak pernah berani muncul di siang hari. Keselamatannya terancam karena banyak sekali orang
pandai mencarinya, begitu terdengar berita di dunia kang-ouw bahwa pusaka Giok-liong-kiam
lenyap dari ketua perkumpulan Thian-te-pai (Perkumpulan Langit Bumi)! Bukan hanya jagoan-
jagoan Thian-te-pai yang mencari jejaknya, bahkan tokoh-tokoh besar dari semua golongan juga
mencari maling yang telah melarikan pusaka itu. Bahkan juga dari istana muncul jagoan-jagoan
yang berkeliaran mencari pusaka itu. Seolah-olah terjadi perlumbaan untuk memperebutkan
benda pusaka itu. Setelah kini benda pusaka itu bukan lagi menjadi pusaka Thian-te-pai, karena sudah berhasil dicuri orang, maka semua golongan mencarinya dan kini siapa yang berhasil
merampasnya dari si pencuri, berarti berhak untuk memiliki pusaka keramat Giok-liong-kiam
atau Pedang Naga Kemala. Inilah sebabnya maka Sin-touw yang merasa hidupnya terancam,
ketika bertemu dengan Phek-Kiat yang sudah lama dikenalnya sebagai seorang penjahat yang
cerdik dan licik, dia mengadakan perjanjian dengan orang itu. Dia yang sudah ketagihan candu, setuju untuk menukarkan benda pusaka itu dengan tigapuluh kati madat murni. Tigapuluh kati !
Jumlah yang tidak sedikit dan mahal sekali harganya. Dan bukan itu saja. Juga Phek Kiat berjanji untuk mencukupi semua kebutuhannya akan madat kalau yang tigapuluh kati itu sudah habis.
Berarti selama hidupnya dia tidak akan kekurangan candu. Kesenangannya terpenuhi,
keselamatannya tidak terancam lagi dan selain itu, yang lebih penting lagi, dia tahu di mana
adanya pusaka itu. Dia seperti menitipkannya saja kepada Phek Kiat, mengalihkan bahaya yang
mengancam kepada orang she Phek itu. Dan kalau sewaktu-waktu dia hendak mengambil
kembali benda pusaka itu, apa sukarnya baginya untuk mencari Phek Kiat " Bahkan, kalau
keadaan memaksa, dia dapat menjual orang itu kepada tokoh pandai yang mengejar, dan untuk
keterangan bahwa dia tahu dimana adanya benda pusaka itu, tentu dia akan memperoleh hadiah
yang amat besar pula. Dia harus dapat mengeduk keuntungan sebanyaknya dari Giok liong-kiam
tanpa membahayakan keselamatan diri sendiri.
Sin-touw menutupkan kembali peti hitam itu dan lenyaplah sinar berkilauan hijau tadi.
Dan kembali dia menyodorkan pipa cangklong tembakau kepada Phek Kiat. "Nah, sekarang
isilah cangklong agar aku dapat menghisapnya dulu barang beberapa kali sedotan."
"Baiklah, sobat, baiklah," kata Phek Kiat yang segera mengeluarkan sebuah kantong dari
saku bajunya. Kantong itu dibuka dan dia mengambil atau menjumput tembakau madat dengan
tiga buah jari tangannya, lalu mengisi mulut pipa cangklong itu dengan tembakau sampai penuh
padat. Akan tetapi, tiba-tiba sekali Sin-touw yang sejak tadi sudah menempelkan mulutnya pada ujung pipanya, mengerahkan tenaganya meniup.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
41 "Srrrr ..........! " Sebatang jarum hitam halus menyambar dari sebuah lubang rahasia di
bawah cangklong dan karena jaraknya amat dekat, jarum yang tiba-tiba meluncur itu dengan
tepat sekali mengenai tenggorokan Phek Kiat yang sama sekali tidak menduganya dan tidak
mempunyai kesempatan untuk mengelak. Tahu-tahu jarum itu telah menusuk tenggorokannya.
Dia terkejut dan merasa tenggorokannya panas dan perih sekali. Dia terbelalak memandang
pencuri itu. "Keparat ......... ! Kau ......... kau .......... !" Dia menerjang ke depan, mengerahkan
seluruh tenaganya untuk menghantam. Akan tetapi, Sin-touw sudah bersiap siaga, sekali
menggerakkan kakinya dia sudah meloncat jauh ke belakang sehingga tubrukan A Ceng atau
Phek Kiat mengenai tempat kosong dan tubuh itupun terguling. Phek Kiat bukanlah seorang
lemah, akan tetapi jarum yang menancap hampir seluruhnya ke dalam tenggorokannya itu bukan
jarum sembarangan, melainkan jarum yang mengandung racun amat keras sehingga begitu
tempat yang lemah itu tertusuk, racun dalam jarum itu sudah terbawa oleh darah dan menjalar
amat cepatnya. Leher itu seketika menjadi bengkak dan Phek Kiat merasa kepalanya pening
berputar sehingga dia roboh dan berkelojotan.
Sin-touw tertawa bergelak. "Ha-ha-ha ......... , baru engkau tahu akan kelihaian Sin-touw,
ha-ha-ha !" Dia merasa girang sekali. Akal ini baru diperolehnya tadi ketika dia menanti
munculnya Phek Kiat di bawah jembatan. Dia teringat bahwa Phek Kiat adalah seorang penjahat
yang amat licin dan keji dan mulailah dia merasa menyesal mengapa dia memilih Phek Kiat
sebagai orang yang akan menyimpan Giok-liong-kiam. Bagaimana kalau kelak dia ditipunya "
Bagaimana kalau Phek Kiat di luar tahunya menjual pusaka itu dengan harga yang amat tinggi,
beberapa kali lipat dari sekedar tigapuluh kati candu " Dan hal ini amat boleh jadi mengingat bahwa Phek Kiat adalah seorang yang berwatak rendah. Lebih baik mencari orang lain yang lebih dapat dipercaya, demikian timbul pikirannya dan diapun mencari akal untuk membatalkan jual
beli itu dengan membunuh Phek Kiat. Dan candu tigapuluh kati itu akan menjadi miliknya,
dengan gratis karena pusaka Giok-liong-kiam masih akan tetap berada padanya.
"Ha-ha-ha-ha !" Si Maling Sakti tertawa lagi, lalu merenggut buntalan dari pundak tubuh
Phek Kiat yang sudah kaku tak bergerak lagi. Dibukanya buntalan itu dan ketika dia melihat
candu sebanyak itu, kembali dia tertawa girang. "Aku harus memberi selamat kepada diri sendiri dengan mengisap sepuasnya !" Dia lalu menyeret tubuh tubuh Phek Kiat yang sudah tidak
bernyawa itu ke bawah jembatan. Kemudian diapun mengikat dua bungkusan itu menjadi satu
dan menggendongnya di punggung. Setelah duduk di dekat mayat Phek Kiat, dia lalu menyalakan
tembakau di mulut pipa cangklongnya dan mulailah dia mengisap tembakau madat. Wajahnya
berseri gembira dan matanya terpejam ketika dia menyedot asap candu itu sampai memenuhi
paru-parunya. Terasa nikmat sekali dan dia menghisap terus-menerus dan sambung-
menyambung. Akan tetapi tiba-tiba dia tersentak kaget, pipa cangklong itu dibuangnya dan
diapun meloncat bangun, menekan dadanya. Akan tetapi, dia terguling roboh dan muntah-
muntah, kedua tangannya mencengkeram ke arah dadanya dan ditarik-tariknya bajunya sehingga
robek-robek. Mukanya kini berobah kehitaman, tidak lagi berseri-seri melainkan penuh ketakutan dan kemarahan.
"Celaka .......... ! Jahanam keparat .......... !" Dia memaki dan dengan marah dia
menendang mayat Phek Kiat. Akan tetapi baru dua kali dia menendang, tubuhnya terguling dan
berkelojotan dan tak lama kemudian nyawanya menyusul Phek Kiat. Kiranya tembakau madat
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
42 yang oleh Phek Kiat dimasukkan ke dalam pipa cangklong itu bukanlah tembakau biasa,
melainkan tembakau madat yang sudah dicampuri racun yang jahat sekali. Baru menyedot satu
kali saja sudah cukup untuk membunuh orang, apa lagi Sin-touw yang menghisapnya berkali-
kali sampai paru-parunya penuh !
Setelah tubuh Sin-touw tidak bergerak lagi, mencullah sesosok bayangan hitam yang
gerakkannya gesit. Dia meloncat turun ke bawah jembatan, sejenak berdiri memandang dua
mayat itu dan dia tertawa terkekeh. Suara ketawanya aneh menyeramkan, seperti ringkik kuda
dan perutnya yang gendut bergoyang-goyang.
"Manusia-manusia hina, kalian memang tidak pantas untuk hidup lebih lama lagi di dunia
ini. Orang-orang macam kalian mana pantas menjamah Giol-liong-kiam ?" Dia lalu
menggerakkan tangannya dan tahu-tahu buntalan kain hitam persegi panjang itu sudah
direngutnya dari punggung mayat Sin-touw. Dibukanya buntalan itu dan ketika dia membuka
tutup peti, matanya bersinar-sinar melihat pedang kemala yang berkilauan kehijauan itu.
Ditutupnya kembali peti itu dan tiba-tiba dia memandang ke kanan kiri seperti orang khwatir.
Hati siapakah yang tidak merasa gelisah setelah berhasil memperoleh Giok-liong-kiam "
Benda pusaka ini diinginkan oleh semua orang di dunia persilatan, baik dari golongan sesat
maupun para pendekar. Bahkan orang-orang dari istana juga menginginkannya. Belum lagi


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diingat orang-orang dari Thian-te-pai yang ingin merampas kembali benda pusaka perkumpulan
mereka. Para tokoh dunia persilatan, baik dari golongan hitam maupun golongan pendekar, ingin menguasai Giok-liong-kiam karena benda pusaka ini menjadi lambang dari keunggulan
seseorang, menjadi bukti ketinggian tingkat kepandaiannya dan bahkan sebelum benda itu
terjatuh ke tangan Thian-te-pay, pernah Giok-liong-kiam dianjurkan oleh para datuk persilatan untuk menjadi tanda kuasa seseorang Bu-Lim Beng-cu (Ketua Dunia Persilatan) yang diakui oleh
semua orang di dunia kang-ouw ! Ada pula golongan sesat yang menginginkan benda itu bukan
karena kekeramatannya, melainkan karena harganya. Benda itu amat berharga karena selain batu
kemala hijau kemerahan itu merupakan kemala pilihan yang sukar didapatkan di dunia ini, juga
ukir-ukiran berbentuk pedang naga itu amat halus dan indahnya, kabarnya dilakukan oleh seorang ahli ukir di jaman ahala Tang, ahli ukir dari istana yang kenamaan, seribu tahun yang lalu.
Sukar dinilai berapa harganya benda itu dan agaknya orang-orang yang kaya raya akan berlumba
membelinya dengan harga yang paling tinggi sekalipun !
Tidaklah mengherankan kalau terjadi pembunuhan-pembunuhan keji semenjak orang tahu
bahwa A Ceng atau Phek Kiat sedang melakukan urusan yang ada kaitannya dengan Giok-liong-
kiam. Mula-mula dengan matinya Si Kaki Besi dan tiga orang kawannya yang hendak merampas
tigapuluh kati madat dari tangan Phek Kiat, kemudian kematian Phek Kiat dan Sin-touw yang
saling membunuh untuk memperebutkan Giok-liong-kiam dan madat yang banyak itu. Dan kini,
si Gendut berpakaian serba hitam itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan menggendong
Giol-liong-kiam baik-baik dan merasa cemas. Akan tetapi diapun lalu mengambil buntalan madat
karena madat sebanyak tigapuluh kati itu merupakan harta yang amat banyak pula. Sambil
menyeringai puas dan girang si gendut berpakaian hitam itu melompat ke luar dari bawah
jembatan, setelah merasa yakin bahwa tempat itu sunyi dan tidak ada orang lain kecuali dia yang menyaksikan perkelahian antara Phek Kiat dan Sin- touw yang mengakibatkan keduanya tewas
itu. Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
43 Setelah kedua kakinya dengan ringan sekali hinggap di atas jembatan, dia celingukan lagi dan
makin legalah hatinya ketika melihat kesunyian sekeliling jembatan itu. Malam itu juga dia harus dapat keluar dari kota Kanton, pikirnya. Dia tidak akan merasa aman sebelum meninggalkan
Kanton. Dengan kepandaiannya yang tinggi, si gendut baju hitam itu dapat lolos dari kota dengan
jalan melompati pagar tembok kota di bagian yang sunyi tidak terjaga. Setelah meloncat ke luar dari tembok, dia lalu mempercepat gerakan kakinya, berlari seperti terbang menuju ke utara.
Tujuannya adalah ke kota Sau-koan di mana dia mempunyai seorang sahabat yang dapat dimintai
tolong agar membantunya menyembunyikan diri untuk sementara.
Menjelang pagi, selagi dia menuruni sebuah bukit kecil, tiba-tiba dia mendengar derap
kaki kuda dari belakang. Dia terkejut sekali. Akan tetapi setelah dia mendengarkan dengan teliti dan ternyata yang datang dari belakang itu hanya seekor kuda saja, hatinya menjadi tenang.
Kalau hanya menghadapi seorang lawan saja, dia tidak takut. Apa lagi yang datang dari belakang itu belum tentu seorang musuh, mungkin sekali hanya orang yang kebetulan lewat saja. Karena
itu, setelah mempererat gendongannya, dia melanjutkan perjalanan dengan jalan seenaknya agar
tidak menimbulkan kecurigaan.
Tak lama kemudian, setelah derap kaki kuda itu semakin keras suaranya, muncullah
seorang penunggang kuda yang membalapkan kudanya mendahului si baju hitam. Si gendut baju
hitam ini melirik dan dia melihat seorang laki-laki tinggi besar menunggang kuda yang besar
pula. Seorang laki-laki biasa saja yang pandai menunggang kuda dan agaknya tergesa-gesa.
Akan tetapi ketika si gendut itu melihat baju orang itu, jantungnya berdebar tegang, Baju Kulit Harimau ! Teringatlah dia akan nama Lam-hai Ngo-houw (Lima Harimau Laut Selatan) yang
terkenal di Kanton, lima orang kakak beradik yang ditakuti, karena mereka adalah orang-orang
kuat yang kadang-kadang mengandalkan kekuatan dan kepandaian silat mereka untuk
memaksakan kehendak mereka kepada orang-orang atau golongan yang lebih lemah. Ciri khas
mereka adalah baju harimau mereka. Biar dalam musim panas sekalipun mereka tak pernah
menanggalkan baju harimau mereka.
Akan tetapi, penunggang kuda ini hanya seorang saja, pikir si gendut baju hitam. Dan
kabarnya Lam-hai Ngo-Houw selalu maju berlima. Mungkin bukan mereka, dan andaikata benar
orang ini seorang di antara Lima Harimau itu, takut apa " Orang itu tentu tidak tahu apa isi dua buntalan di punggungnya. Juga dia tidak pernah berkenalan dengan Lam-hai Ngo-houw dan tidak
mempunyai urusan apapun juga. Tanpa sebab, tidak mungkin Lam-hai Ngo-houw mau
mengganggu dirinya. Hatinya lebih tenang melihat betapa penunggang kuda itu membalap terus
dan agaknya sama sekali tidak memperhatikan dirinya.
Karena hatinya lega, si gendut itu lalu beristirahat di dalam sebuah hutan dan pada
keesokan harinya, setelah matahari mulai mengusir kegelapan malam, diapun melanjutkan
perjalanan menuju ke utara. Dia tahu bahwa setelah dia keluar dari dalam hutan ini, kota Sau-
koan tinggal belasan li saja lagi jauhnya.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba dia mendengar
suara auman harimau dari depan ! Seekor harimau ! Dia merasa heran sekali karena dia bukan
seorang asing di daerah ini dan dia tahu betul bahwa di hutan ini tidak pernah orang bertemu
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
44 harimau. Akan tetapi auman itu jelas merupakan auman harimau. Tiba-tiba dia terlonjak kaget
ketika terdengar auman harimau lain lagi, kini datang dari arah belakangnya ! Ketika terdengar lagi suara auman dari kanan kiri, keheranannya berobah menjadi kegelisahan dan mukanya
berobah agak pucat. Tidak mungkin ada harimau demikian banyaknya tersesat di dalam hutan
Ini ! Harimau ! Lima ekor banyaknya ! Tiba-tiba wajah si gendut menjadi semakin pucat dan dia siap siaga menghadapi segala kemungkinan karena dia teringat akan penunggang kuda
berjubah harimau semalam.
Dan ketika tiba-tiba bermunculan lima orang berjubah harimau dari semua penjuru, si
gendut jubah hitam itu tidak begitu kaget lagi karena memang dia sudah menduga bahwa tentu
suara-suara harimau itu perbuatan Lam-hai Ngo-houw yang agaknya sengaja menghadangnya di
tempat ini. Tahulah dia sekarang bahwa penunggang kuda semalam itu hanya ingin memperoleh
keyakinan bahwa dia memang memasuki hutan ini. Diam-diam dia merasa menyesal sekali atas
kelengahannya sendiri. Kalau dia berhati-hati dan sudah menduga lebih dulu akan berurusan
dengan Lam-hai Ngo-houw, tentu malam tadi diam-diam dia melarikan diri. Banyak terdapat
kesempatan baginya untuk diam-diam merobah tujuan perjalanan semalam. Akan tetapi kini
sudah terlanjur dan pula, andaikata dia merobah tujuan dan melarikan diri, siapa tahu lima orang jahanam ini sudah selalu mengintai dan membayanginya. Dia menabahkan hatinya dan berhenti
melangkah, memandang kepada laki-laki tinggi besar berkumis tebal yang agaknya menjadi
pemimpin dari lima orang berjubah harimau itu.
"Maafkan saya," katanya dengan sikap merendah. "Saya adalah seorang perantau yang
tidak mempunyai apa-apa dan tidak pernah mengganggu orang. Ada keperluan apakah ngo-wi
menghadang perjalanan saya ?"
Si kumis tebal menyeringai dan memandang tajam, bukan ke arah wajah si gendut,
melainkan ke arah punggungnya. Hal ini saja membuat si gendut menjadi semakin gelisah dan
dia sudah dapat menduga bahwa lima orang ini agaknya tahu akan isi kedua bungkusannya.
"Hemm, bukankah engkau yang berjuluk Tai-lek Hek-wan (Lutung Hitam Tenaga Besar)
dari Nan-leng ?"
Si gendut yang dijuluki Lutung Hitam itu terkejut. Kiranya lima orang ini sudah
mengenalnya ! Maka diapun tidak mau berpura-pura lagi dan cepat menjura, "Saya seorang
perantau dari Nan-leng merasa gembira sekali dapat bertemu dengan Lam-hai Ngo-houw yang
terkenal gagah perkasa !"
"Hemm, mengapa bergembira ?" tanya si kumis tebal dengan suara bernada ejekan.
"Bertemu dengan orang-orang segolongan, berarti bertemu dengan saudara sendiri.
Persatuan antara kita akan menciptakan kekuatan untuk menghadapi lawan kita bersama.
Sebaliknya perpecahan di antara kita hanya akan mendatangkan kelemahan dan menguntungkan
pihak lawan."
Lima orang itu saling pandang. "Siapakah lawan yang kau maksudkan, Hek-wan ?" tanya
si kumis tebal.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
45 Tai-lek Hek-wan menarik napas panjang. "Banyak sekali ! Terutama sekali orang-orang
yang berhati sombong selalu mengejarku dan kalau aku tidak bertemu dengan kalian berlima,
tentu aku akan celaka. Aku minta bantuan kalian agar kita dapat bekerja sama, dan segala
keuntungan yang kudapatkan, tidak akan kumakan sendiri. Buktinya, inilah kuberikan untuk
kalian ! Dia lalu menurunkan buntalan madat dan melemparkannya kepada si kumis tebal.
Orang tinggi besar ini menerima buntalan itu dan membukanya, diikuti oleh empat orang
adiknya. Ketika mereka melihat isi buntalan yang ternyata adalah madat murni yang demikian
banyaknya, mereka terbelalak.
"Madat .......... ?" Si kumis tebal berseru. "Dan ini masih murni .......... ?"
Si gendut tertawa, merasa menang dan berhasil mengambil hati mereka sebagai kawan. Untuk
sementara ini dia harus mempergunakan akal menambah teman, bukan menambah musuh. Dia
tidak takut menhadapi lima orang ini, akan tetapi selama Giok-liong-kiam belum dia simpan dan sembunyikan dengan baik, berbahayalah menentang mereka ini sambil membawa benda pusaka
itu. "Ha-ha, itu baru sebagian, Lam-hai Ngo-houw. Kalau kalian mau bersekutu dengan aku,
masih banyak lagi kelak bagian kalian. Bagaimana " Ataukah kalian mau nekat menggangguku,
belum tentu kalian menang dan kalian akan menghadapi semua pendekar yang melakukan
pengejaran kepadaku ?"
Lima orang itu adalah tukang-tukang pukul bayaran yang sudah biasa menerima
pembayaran untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat dan kekerasan. Kini ada orang yang
memberi hadiah madat demikian banyaknya, tentu saja hati mereka senang sekali. Mereka bukan
pemadatan, akan tetapi mereka yang menjadi penduduk Kanton tentu saja tahu betapa mahalnya
benda itu. "Dan ?"". Giok-liong-kiam ?"". ?" Akhirnya si kumis tebal bertanya sambil
memandang ke arah buntalan yang ke dua dan yang berada di punggung Tai-lek Hek-wan.
Si Lutung Hitam ini tersenyum, namun hatinya mendongkol sekali. Kiranya lima orang kasar itu
sudah tahu pula akan Giok=liong-kiam !
"Itulah yang menggelisahkan hatiku, kawan," katanya dengan sikap sebagai seorang
atasan terhadap para pembantunya. "Dengan kelihaianku, aku berhasil mendapatkannya. Akan
tetapi betapa banyaknya orang yang hendak memperebutkannya, dan bukan hanya orang-orang
biasa. Karena itu, kita harus bersatu menghadapi mereka. Dan kelak, kalau aku berhasil
menjualnya dengan harga tinggi, kita bagi bersama."
Kembali lima orang itu saling pandang dan akhirnya si kumis tebal mengangguk-angguk.
"Baiklah, melihat pemberianmu ini kepada kami, kami menilai, bahwa engkau seorang kawan
baik. Akan tetapi kelak jangan lupakan kami kalau benda itu sudah menjadi uang."
Sebelum Hek-wan menjawab, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang lirih namun jelas
sekali seolah-olah suara itu berada di dekat telinga mereka berenam. Suara ketawa wanita yang tidak nampak orangnya, merdu dan juga halus menusuk anak telinga, seperti suara ketawa
kuntilanak dalam dongeng. Tentu saja enam orang kasar itu, apa lagi setelah kini mereka bersatu, tidak takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi menghadapi mahluk yang
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
46 tidak nampak, hanya terdengar suara ketawanya saja yang demikian merdu, mereka terbelalak
dan memandang ke kanan kiri tanpa hasil karena tidak nampak seorang wanita di sekeliling
tempat itu. "Hik-hik, tikus-tikus kecil mana ada harga untuk bicara tentang Giok-liong-kiam ?" Tiba-
tiba suara ketawa itu disusul kata-kata mengejek dan kini suara itu datangnya dari atas. Enam orang itu memandang ke atas dan tiba-tiba dari atas melayang turun bayangan merah yang
menyambar ke arah Hek-wan. Tentu saja si Lutung Hitam terkejut sekali, maklum bahwa orang
ini menyeranganya untuk merampas buntalan Giok-liong-kiam. Dia cepat mengelak dengan
meloncat ke kiri sambil menggerakkan kakinya menendang ke arah tubuh yang menyambar dari
atas bagaikan seekor burung walet cepatnya itu.
"Plakkk .......... !" Kaki Hek-wan yang menendang bertemu dengan tangan yang
dimiringkan dan akibatnya, tubuh Hek-wan terjengkang dan bergulingan. Dia merasa ada angin
menyambar ketika dia bergulingan dan cepat dia menggerakkan tangan untuk menangkis atau
mencengkeram. Akan tetapi tiba-tiba dia merasa buntalan di punggungnya terlepas dan ketika dia meloncat berdiri buntalan persegi panjang itu telah berada di tangan seorang wanita cantik
berpakaian merah !
Tentu saja si gendut ini menjadi terkejut dan marah sekali. Giok-liong-kiam telah
dirampas orang sedemikian mudahnya. Dan kini wanita berpakaian serba merah itu, yang usianya
sekitar tigapuluhan tahun, dengan amat tenang berdiri mengamat-amati peti hitam panjang lalu
membuka tutupnya dan melihat isinya yang membuat matanya terbelalak lebar dan wajahnya
berseri, mulutnya tersenyum kagum dan wanita itu mengguman lirih, Giok-liong-kiam ?"......
Indah sekali ?"". "
"Kembalikan barangku ! " Hek-wan membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke
depan dengan cepatnya. Gerakan Tai-lek Hek-wan ini selain cepat juga amat kuat karena dia
terkenal sekali memiliki tenaga yang besar. Dan kecepatan gerakannya inipun sesuai dengan
julukannya Lutung Hitam, karena memang dia dapat bergerak cepat dan lincah seperti seekor
monyet atau lutung.
"Wuuuttt !" Tubrukan Hek-wan untuk merampas pedang kemala dengan tangan kiri dan
menyerang dengan tangan kanan yang mencengkeram ke arah kepala wanita itu hanya mengenai
tempat kosong saja karena wanita itu tahu-tahu sudah menyingkir dengan gerak langkah kaki
ringan dan aneh, tanpa menghentikan pekerjaannya mengagumi pedang itu ! Kembali Hek-wan
menubruk, akan tetapi sekali lagi serangannya dielakkan dengan amat mudahnya. Tahulah Tai-
lek Hek-wan bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang amat pandai, maka untuk ketiga
kalinya dia menyerang, sepenuhnya menyerang, bukan seperti tadi perhatiannya dipecah untuk
merampas Giok-liong-kiam. Dan serangan seorang bertenaga besar seperti Tai-lek Hek-wan
amatlah berbahaya dan agaknya hal inipun diketahui oleh wanita itu yang sudah mengalungkan
bungkusan itu di lehernya. Wanita itu bukan hanya mengelak sekarang, melainkan menangkis
dari samping. "Heiiittt .......... !" Dan tangkisan tangan yang kecil lunak itu membuat Hek-wan
terpelanting kehilangan keseimbangan badannya ! Terkejutlah Hek-wan. Dia berhasil melompat
bangun. Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
47 "Ngo-houw, bantulah !" teriaknya tanpa malu-malu lagi karena kini dia hampir yakin
bahwa dia berhadapan dengan lawan yang lebih tinggi tingkat ilmu silatnya. Lam-hai Ngo-houw
yang dipimpin oleh si kumis tebal itupun cepat bergerak mengurung. Mereka melihat betapa
Giok-liong-kiam sudah berpindah tangan, maka mereka harus turun tangan membantu Hek-wan
untuk merampas benda berharga itu kembali dari tangan wanita berpakaian merah.
Orang ke tiga dari Lam-hai Ngo-houw yang berusia tigapuluh lima tahun adalah seorang
laki-laki yang mata keranjang, Melihat kecantikan wanita berpakaian merah itu, sejak tadi dia sudah melongo penuh kagum. Kini, sambil mengepung bersama teman-temannya, diapun
membujuk, "Manis, mengapa seorang cantik seperti engkau membahayakan diri memperebutkan
sebuah pedang kemala " Ikutlah aku, dan aku akan membelikan tusuk konde kemala dan barang-
barang indah lain, juga engkau akan terlindung dan aman .......... !"
Sungguh merupakan rayuan yang menggelikan karena pada saat itu, si wanita sedang
dikepung dan diancam oleh enam orang laki-laki yang kuat-kuat. Wanita itu agaknya tidak marah mendengar rayuan itu. Melihat betapa lima orang Lam-hai Ngo-houw memasang kuda-kuda
dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, sedangkan Tai-lek Hek-wan juga memasang
kuda-kuda seperti ilmu Silat Monyet, iapun terkekeh dengan suara yang agak genit.
"Hi-hi-hik, seekor lutung dan lima ekor harimau ! Tapi kalian bisa berbuat apa terhadap
seekor burung bangau yang dapat terbang ?" Tiba-tiba saja tubuhnya sudah melompat tinggi ke
atas dan mulailah ia melancarkan serangan-serangan dari atas dengan kecepatan yang
mengejutkan. Sebelum enam orang itu tahu apa yang terjadi, mereka melihat warna merah
menyambar-nyambar dari atas dengan totokan-totokan jari tangan yang cepat sekali. Mereka
berusaha menangkis dan mengelak, akan tetapi dua di antara Lam-hai Ngo-houw yang kurang
cepat mengelak, terkena totokan pada ubun-ubun kepala mereka. Ubun-ubun kepala itu pecah
berlubang dan merekapun roboh berkelojotan dan tewas seketika.! Tentu saja tiga orang Lam-hai Ngo-houw terkejut setengah mati melihat robohnya dua orang adik mereka dalam segebrakan
saja itu. Mereka berlima merupakan jagoan-jagoan di Kanton yang sudah terkenal dan ditakuti
karena ilmu silat mereka yang tinggi. Tentu saja merekapun tahu bahwa banyak orang pandai di
dunia ini dan mereka tidak berani mengaku yang paling pandai, akan tetapi dalam segebrakan
saja harus kehilangan dua orang saudara yang roboh tewas, hal ini sungguh sukar untuk dapat
mereka terima. Apa lagi kalau diingat bahwa mereka berlima, bahkan berenam dengan Tai-lek
Hek-wan yang mereka tahu juga memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Biarpun mereka dapat
menduga bahwa lawan yang satu ini memang lihai bukan main, namun kemarahan dan sakit hati
membuat mereka kehilangan rasa gentar dan merekapun mengeluarkan suara gerengan-gerengan
seperti harimau marah. Gerakan mereka kini semakin ganas dan kedua tangan mereka
membentuk cakar harimau dengan kuat sehingga tangan dan jari-jarinya itu seperti telah menjadi kaku dan keras.
Si kumis tebal lebih hebat lagi. Ketika melihat Hek-wan menyerang ganas kepada wanita
itu, dibantu oleh dua orang adiknya yang juga telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk
menyerang, dia mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat ke atas dan menerkam
punggung wanita itu, kedua tangannya yang membentuk cakar harimau itu mencengkeram ke
arah ubun-ubun kepala. Wanita itu terkejut bukan main. Ia sedang menghadapi terjangan Hek-
wan dan dua orang Ngo-Houw yang lain, dan tiba-tiba ada angin keras sekali menyambar dari
belakang atas !
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
48 "Heiiiittt !" Ia membentak dan mengelak, Tubrukan itu luput akan tetapi terdengar bunyi
kain robek dan ternyata buntalan Giok-liong-kiam itu robek dan peti panjang itu terlepas dan
jatuh dari pinggang si wanita. Dan sebelum wanita itu dapat mengambilnya kembali, tiga orang
Ngo-houw sudah menerjangnya lagi dan melihat kesempatan ini, Hek-wan yang cerdik sudah
bergulingan ke arah Giok-liong-kiam dan sudah berhasil menyambar peti itu ! Cepat dia
membungkusnya lagi dan menggantungkan di lehernya ! Melihat ini, wanita baju merah itu tentu saja marah bukan main, akan tetapi dalam kemarahannya, ia malah tersenyum-senyum, agaknya
sama sekali tidak khawatir akan kehilangan pusaka itu karena ia yakin akan mampu mengalahkan
empat orang ini.
"Hemm, kalian masih belum mau menyerah ?" bantak wanita baju merah itu sambil
tersenyum mengejek, akan tetapi karena serangan tiga orang itu benar-benar amat berbahaya,
wanita itupun kembali berloncatan ke atas dengan amat lincahnya. Melihat ini, diam-diam Tai-
lek Hek-wan terkejut dan khawatir sekali. Dia adalah seorang yang amat cerdik dan melihat
tewasnya dua orang di antara Lam-hai Ngo-houw, diapun maklum bahwa wanita ini benar-benar
seorang lawan yang amat tangguh dan amat berbahayalah kalau sampai dia melanjutkan
perlawanan. Yang penting adalah menyelamatkan Giok-liong-kiam, pikirnya. Maka, begitu
melihat tiga orang Lam-hai Ngo-houw sudah menyerang lagi dan sekali ini serangan mereka
penuh dengan rasa dendam sehingga amat hebat, diapun mempergunakan kesempatan ini untuk
melarikan diri !
Melihat ini, wanita itu berteriak, "Eh, pengecut, hendak lari kemana engkau ?" Tubuhnya
bergerak hendak mengejar, akan tetapi karena tiga orang harimau itu menyerangnya dengan amat
ganas, iapun tidak mudah melepaskan diri begitu saja.
"Tikus-tikus tolol, kau mau ditipu lutung itu yang melarikan pusaka sedangkan kalian
dijadikan korban ?" Wanita itu membentak. Bentakan ini agaknya menyadarkan tiga orang Lam-
hai Ngo-houw itu. Biarpun mereka mendendam kepada wanita ini untuk kematian dua orang
saudara mereka, namun pada hakekatnya mereka adalah orang-orang yang berwatak jahat dan
amat leba akan harta, maka merekapun seperti disadarkan akan kelicikan Tai-lek Hek-wan dan
mereka mengendurkan kurungan mereka. Kesempatan ini dipergunakan oleh si wanita baju
merah untuk meloncat, lolos dari kepungan dan mengejar Lutung Hitam. Tiga orang Lam-hai
Ngo-houw itupun cepat melakukan pengejaran, mengejar Hek-wan akan tetapi juga mengejar
wanita itu. Tai-lek Hek-wan sudah mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi betapa kaget
hatinya ketika tahu "tahu ada bayangan merah berkelebat dan wanita itu sudah menghadang di


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depannya dengan senyum mengejek. Marahlah Lutung Hitam ini, marah dan juga putus asa,
maka dengan nekat diapun menubruk ke depan menyerang wanita yang menghadangnya. Seperti
juga tadi, kecepatan gerakan Lutung Hitam itu tidak ada artinya bagi si wanita baju merah yang ternyata memiliki gerakan lebih cepat lagi. Wanita itu sudah mengelak ke kiri dan tiba-tiba
kakinya mencuat dalam sebuah tendangan mengarah perut Hek-wan. Lutung Hitam itu terkejut
dan hanya dengan bergulingan menjatuhkan dirinya dia dapat menyelamatkan perutnya dari
ciuman sepatu yang akan membahayakan keselamatannya itu. Akan tetapi pada saat itu, tiga
orang Lam-hai Ngo-houw sudah tiba pula di situ dengan marah si kumis tebal menubruk ke arah
tubuh Hek-wan yang bergulingan untuk merampas buntalan di punggungnya.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
49 "Dukk .......... !" Hek-wan menangkis dan keduanya terpental. "Sobat, kenapa berbalik
menyerangku " Mari kita keroyok wanita iblis itu !" Tai-lek Hek-wan berseru kaget.
"Pengecut, tak perlu merayu !" bentak si kumis tebal yang terus saja menyerang lagi
dengan marahnya, Sementara itu,dua orang adiknya sudah mengeroyok si baju merah yang
melayani mereka sambil tersenyum simpul karena girang hati wanita itu sudah berhasil
membakar hati si kumis tebal. Baginya sesungguhnya sama saja. Andaikata dikeroyok sekalipun, ia yakin akan dapat merobohkan mereka semua. Apa lagi sekarang si kumis tebal yang marah dan
merupakan orang pertama paling lihai daro Lam-hai Ngo-houw telah menumpahkan
kemarahannya kepada Tai-lek Hek-wan sehingga ia hanya menghadapi dua orang lawan, tentu
dianggapnya amat ringan.
Ternyata kekuatan antara si kumis tebal dan Tai-lek Hek-wan seimbang dan selisihnya
hanya sedikit saja. Kalau perkelahian itu dilanjutkan, akhirnya si kumis tebal tentu akan kalah.
Sudah tiga kali dia terkena pukulan dan tendangan dari Lutung Hitam akan tetapi ternyata orang pertama dari Lam-hai Ngo-houw itu kuat sekali tubuhnya dan belum juga roboh. Sementara itu,
dengan mudahnya wanita baju merah itu telah merobohkan dua orang pengeroyoknya denga
totokan-totokan yang membuat kedua lawan itu roboh dengan mata mendelik dan napas putus.
Kini wanita baju merah itu berdiri sambil tersenyum lebar, geli dan juga gembira menonton Tai-lek Hek-wan dan ketua Lam-hai Ngo-houw saling gebuk. Akan tetapi yang dilihatnya bukanlah
kedua orang itu, melainkan dua buah buntalan yang berada di punggung mereka.
Melihat robohnya dua orang lagi, wajah Tai-lek Hek-wan berobah pucat. Sambil
menangkis sebuah pukulan dari si kumis tebal, dia menghardik, "Tolol ! Dua orang adikmu
sudah roboh pula, tinggal kita berdua yang terancam maut dan engkau masih menyerangku
seperti orang gila ?" Si kumis tebal menoleh dan barulah dia terkejut bukan main. Tadi dia
mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menyerang Hek-wan sehingga dia tidak memperhatikan
dua orang adiknya dan kini dia melihat betapa dua orang adiknya telah menggeletak tak
bernyawa lagi sedangkan wanita baju merah itu berdiri sambil tersenyum-senyum mengejek.
Dapat dibayangkan betapa sedih dan marah hatinya. Empat orang adik-adiknya telah tewas
semua di tangan wanita cantik ini.
"Aurrggghhh ?"". ! Gerengan seperti seekor harimau keluar dari dalam dadanya dan
biarpun harimau keluar dari dalam dadanya dan biarpun sudah terkena pukulan dan tendangan
Hek-wan, si kumis tebal ini mengerahkan seluruh tenaganya, menubruk kea rah wanita baju
merah. Melihat ini, Hek-wan lalu membalikkan tubuhnya dan ?"". Lari tunggang langgang
sekuat tenaga !
"Hemm .......... !" Wanita baju merah itu melompat ke kiri dan tangannya menyambar ke
samping "Plakk !" Tubuh si kumis tebal terpelanting dan roboh berkelojotan karena pelipisnya berlubang terkena tusukan dua jari tangan wanita itu. Tanpa menengok lagi kepada korbannya
yang ia yakin tentu akan tewas, wanita itu sudah berloncatan dengan amat cepatnya mengejar
Tai-lek Hek-wan !
Jilid III *****
Si Lutung Hitam menjadi panik dan wajahnya sudah pucat sekali ketika untuk kedua kalinya wanita baju merah itu sudah menghadang di depannya sambil tersenyum manis, senyum yang
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
50 baginya tidak manis lagi melainkan menyeramkan ! Dia bukan orang nekat seperti Lam-hai-
houw. Sebaliknya, si gendut ini cerdik bukan main. Kecerdikannya sudah nampak ketika dia
membiarkan Sin-touw dan Phek Kiat saling bunuh sehingga dia mampu memperoleh Giok-liong-
kiam dan madat yang amat banyak tanpa mengeluarkan sedikitpun tenaga. Juga dia sudah mampu
menggerakkan hati Lam-hai Ngo-houw sehingga lima orang itu mau bersekutu dengan dia.
Sekarang, melihat betapa Lam-hai Ngo-houw sudah tewas semua, diapun tidak begitu bodoh
untuk menjadi nekat. Betapapun besar harganya Giok-liong-kiam, tentu saja masih tidak melebihi nyawanya sendiri. Apa artinya Giok-liong-kiam kalau dia sudah tidak bernyawa seperti kelima
orang Lam-hai Ngo-houw itu " Tanpa malu-malu lagi Tai-lek Hek-wan lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki wanita baju merah itu, berkali-kali menyentuh tanah dengan dahinya dan kedua tangannya segera menurunkan buntalan Giok-liong-kiam.
"Ampun ?""., harap lihiap (pendekar wanita) sudi mengampunkan nyawa saya .......
" saya mengaku kalah dan dengan rela menyerahkan Giok-liong-kiam kepada lihiap ?""."
Wanita cantik itu tersenyum mengejek, geli melihat betapa perut yang gendut itu
menghalangi Hek-wan untuk dapat memberi hormat dengan baik. Perutnya mengganjal ketika
orang itu berlutut menyembah-nyembah. Sikap Tai-lek Hek-wan yang ia tahu selain cukup lihai
juga amat cerdik itu, yang kini menyembah-nyembah-nya dengan begitu merendahkan diri,
dianggap cukup berharga untuk menebus nyawa orang itu.
"Hemm, baiklah, monyet. Aku mau mengampuni nyawamu. Coba buka peti itu dan
perlihatkan aku Giok-liong-kiam." Wanita itu memang cerdik. Tadi ia sudah melihat Giok-liong-kiam dan tidak meragukan lagi keasliannya. Akan tetapi untuk beberapa saat lamanya pusaka itu telah dapat dirampas kembali oleh Hek-wan, maka ia tidak ingin tertipu dan hendak melihat lebih dahulu apakah benar itu barang yang aseli. Ia sudah cukup mengenal kelicikan orang seperti Tai-lek Hek-wan ini dan bisa saja penjahat itu memberinya peti yang isinya barang beracun yang
akan menyerangnya kalau dibukanya.
Akan tetapi, Hek-wan tidak sempat melakukan hal itu dan memang bukan tidak mungkin
hal itu dilakukannya, bahkan lebih hebat dari itu kalau saja dia berkesempatan. Kini tidak ada lain jalan baginya kecuali menyerahkan pusaka itu sebagai penukar nyawanya. Dibukanya buntalan
dan dibukanya peti hitam itu. Dengan peti terbuka sehingga nampak isinya, dia menyerahkan
benda itu dengan kedua tangannya. Wanita cantik itu menjadi girang, melihat bahwa isi peti
memang Giok-liong-kiam yang tulen. Akan tetapi pada saat ia hendak menerimanya, tiba-tiba
ada angin menyambar dan sinar putih menyambar ke arah peti di tangan Tai-lek Hek-wan. Sinar
itu ternyata sebatang tali yang menyambar cepat, seperti ular hidup hendak merampas peti,
dibarengi bunyi meledak nyaring.
Melihat ini, wanita baju merah itu terkejut dan marah. Tangannya dikibaskan ke bawah
menangkis sambaran tali dan kakinya menendang tubuh Tai-lek Hek-wan sehingga si gendut ini
terguling-guling bersama peti yang masih dipegangnya. Memang wanita itu ingin menyingkirkan
Hek-wan agar peti itu tidak sampai terampas orang, kemudian ia membalik dan berhadapan
dengan orang yang telah menggunakan tali hendak merampas peti itu.
Ternyata orang itu adalah seorang laki-laki berusia tigapuluh tahun lebih, bermuka pucat
dan tampan, pakaiannya pesolek dan dia tersenyum masam ketika talinya membalik terkena
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
51 tangkisan si wanita baju merah. Sambil menggulung talinya kini dia berdiri saling pandang
dengan si wanita baju merah dan dia tertawa.
``Ha-ha-ha, seorang tokoh Ang hong-pai yang lihai juga !``
Wanita cantik baju merah itu cemberut dan memandang dengan sinar mata marah. Siapa
takkan marah melihat daging sudah di mulut kini terancam lepas " Ia menudingkan telunjuknya
ke arah muka yang putih itu. ``Hemm, agaknya Pek bin Tiat-ciang yang muncul. Apakah
sekarang tangan besimu sudah berkarat maka engkau mempergunakan tali untuk mencoba
menjadi pencuri "`` Wanita itu mengejek. Si muka putih itupun tertawa lagi.
``Ha-ha-ha, siapa yang menjadi pencuri " Monyet gendut inikah, atau engkau, ataukah
aku "`` Tai-lek Hek-wan masih berdiri sambil mendekap buntalan berisi peti panjang Giok-liong-
kiam itu, mukanya pucat dan dia merasa betapa kedua kakinya menggigil. Sama sekali tidak
pernah disangkanya bahwa dia berhadapan dengan dua orang yang memiliki nama besar yang
amat terkenal di seluruh Negara. Kiranya wanita itu adalah seorang tokoh perkumpulan Ang-
hong-pai (Perkumpulan Tawon Merah) yang ditakuti dunia kang-ouw seperti orang menakuti
gerombolan setan, sedangkan nama Pek-bin Tiat-ciang (Tangan Besi Bermuka Putih) juga tidak
kalah terkenalnya, sebagai seorang petualang yang ringan tangan dan mudah saja membunuh
orang. Entah sudah berapa banyaknya orang, baik dari golongan sesat maupun kaum pendekar,
yang tewas di tangan jagoan ini. Kedua orang ini termasuk tokoh-tokoh sesat yang lihai sekali.
Matilah aku, karena dia maklum bahwa kepandaiannya jauh sekali berada dibawah kedua orang
ini. Akan tetapi pikirannya yang cerdikitu diputar mencari akal. Bagaimanapun juga, wanita baju merah itu tadi memperlihatkan sikap lunakdan mau mengampuninya, sedangkan laki-laki muka
putih tampan menyeramkan ini belum tentu mau membiarkan dia hidup.
Sementara itu, wanita tokoh Ang-hong-pai itu sudah menerjang dengan ganasnya,
menggunakan pukulan-pukulan yang dilakukan dengan jari-jari tangan terbuka, totokan-totokan
yang mengarah jalan darah yang mematikan.
"Heiiittt ?"". !" bentaknya nyaring ketika kedua tangannya menyambar dengan
kecepatan kilat.
"Wah, ganas ?"". !" laki-laki muka putih itupun menggeser kaki dan menangkis
dengan cepat pula.
"Plak ! Plakk !" laki-laki itu terkejut karena biarpun dia sendiri berjuluk Tiat-ciang
(Tangan besi), akan tetapi ketika lengannya bertemu dengan tangan wanita itu, dia merasa seolah-olah bertemu dengan daging lunak tak bertulang. Tahulah dia bahwa wanita lihai itu dalam
menghadapi kekerasan tangannya telah mempergunakan ilmu Bian-kun atau tangan yang berobah
menjadi kapas, mempergunakan sin-kang (tenaga sakti) untuk melawan yang keras dengan yang
lunak. Menghadapi tangan yang lunak itu, Pek-bin Tiat-ciang merasa seolah-olah tangannya
seperti besi memukul kapas di udara, sama sekali tidak berbekas. Maka diapun bersilat dengan
hati-hati sekali, maklum bahwa wanita itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sambil
membentak marah, diapun lalu mengerahkan tenaga saktinya, tidak lagi berani main-main atau
senyum-senyum, melainkan menyerang dengan amat kuat. Angin pukulan bertiup dahsyat ketika
Tiat-ciang melakukan serangannya. Akan tetapi wanita itu dengan gerakan indah dapat mengelak
sambil mengibaskan tangan menangkis dari samping.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
52 "Rasakan kau !" bentak Tiat-ciang sambil mengeraskan tangannya yang tertangkis karena
sekali ini dia mengerahkan seluruh tenaganya yang membuat tangan itu seolah-olah berobah
menjadi baja. "Dukkk ?"". !" Wanita itu menyeringai menahan jeritnya karena tangannya terasa
nyeri bukan main. Rasa nyeri seperti menusuk jantungnya, seolah-olah tulang-tulang tangannya
menjadi remuk. Karena rasa nyeri ini, tubuhnya agak terhuyung dan kesempatan ini
dipergunakan oleh Tiat-ciang untuk menubruk dengan kedua tangan terpentang. Akan tetapi
betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba dari samping ada angin pukulan menyambar dan
ternyata Tai-lek Hek-wan yang menyerangnya ! Hek-wan yang cerdik tidak lama mengambil
keputusan dan dia sudah maju membantu tokoh Ang-hong-pai. Dia merasa lebih aman kalau
tokoh wanita itu yang menang, maka diapun membantu ketika melihat wanita itu terdesak.
"Plakkk !" tangkisan Tiat-ciang membuat tubuh Hek-wan terlempar dan diapun
bergulingan sampai jauh. Baru dia berhenti ketika tubuhnya tertahan oleh sesuatu. Kiranya yang menahannya itu adalah mayat si kumis tebal, orang pertama Lam-hai Ngo-houw dan tanpa
disengaja dia melihat buntalan madat. Teringatlah dia betapa banyaknya madat itu dan betapa
benda itu juga merupakan harta yang amat besar. Mengapa tadi dia lupa sama sekali tentang
buntalan madat ini " Cepat dia mengambil buntalan itu dan mengalungkannya ke leher. Ketika
menengok, dia melihat betapa wanita itu kini mulai mendesak si muka putih ! Dan melihat
betapa kedua orang itu berkelahi dengan mati-matian, timbul pula niatnya yang terdorong
ketamakan dan kecerdikan. Diam-diam diapun melarikan diri, kini membawa dua buntalan itu,
buntalan madat dan buntalan Giok-liong-kiam !
"Keparat, kau hendak lari ke mana ?" Tiba-tiba terdengar bentakan suara tokoh Ang-
hong-pai itu. Hek-wan terkejut dan menengok. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia
melihat wanita baju merah dan laki-laki muka putih itu telah berloncatan mengejarnya. Kiranya mereka itu, biarpun sedang berkelahi, tidak pernah melepaskan perhatian mereka terhadap benda yang diperebutkan, yaitu Giok-liong-kiam ! Tadi, ketika Hek-wan membantu tokoh Ang-hong-pai menyerang Pek-bin Tiat-ciang, Si Tangan Besi itu terpaksa menghentikan serangannya
terhadap lawannya yang tangguh dan menangkis serangan Hek-wan. Akan tetapi pada saat itu, si wanita yang memiliki gerakan amat cepatnya telah meloncat ke atas, seperti terbang ia turun
menerjang dengan amat hebatnya, tangannya menyerang dengan totokan-totokan berbahaya.
Tentu saja Pek-bin Tiat-ciang cepat mengelak dan menangkis akan tetapi sebuah tendangan kaki
wanita itu yang dilakukan dari belakang, seperti seekor tawon menyengat, telah mengenai
pangkal pahanya, membuat Tiat-ciang terhuyung dan selanjutnya wanita itu menyerangnya
dengan bertubi-tubi, membuatnya nampak terdesak.
Pada saat itulah Hek-wan melarikan diri. Dua orang yang sedang berkelahi itu tentu saja
tidak dapat membiarkan hal ini terjadi. Mereka berkelahi justeru untuk memperebutkan Giok-
liong-kiam yang berada di tangan Hek-wan. Kalau Hek-wan berhasil melarikan diri membawa
Giok-liong-kiam, perlu apa mereka saling serang lagi " Demikianlah, bagaikan berlumba,
keduanya kini melakukan pengejaran.
Dapat dibayangkan betapa cemas rasa hati Hek-wan melihat betapa dua orang itu kini
mengejarnya ! Baru melawan seorang di antara mereka saja dia tidak akan mampu menang, apa
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
53 lagi kini dikejar oleh mereka berdua ! Akan tetapi dia tidak kekurangan akal. Otaknya bekerja dan tahulah dia bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri dan menahan pengejaran
mereka aedalah memancing mereka dengan Giok-liong-kiam. Maka diapun lalu berseru keras,
"Lihiap, ini Giok-liong-kiam itu, terimalah !" Dan diapun melemparkan buntalan peti panjang
berisi Giok-liong-kiam itu ke arah dua orang yang mengejar di belakangnya.
Akalnya berhasil dengan baik. Melihat benda yang amat diinginkan itu kini dilemparkan,
dua orang itu tentu saja lalu berlumba untuk lebih dahulu memperolehnya. Benda itu oleh Hek-
wan dilemparkan ke arah tokoh Ang-hong-pai, maka wanita itulah yang lebih dulu menyambar
peti. "Brakkk .......... !" Si Tangan Besi menghantamkan tangannya ke arah peti dan peti itupun
pecah, isinya, yaitu pedang naga kemala itu terlempar dari dalam peti dan jatuh ke atas tanah !
Keduanya kini berebutan, berlumba untuk menubruk, dan akibatnya mereka saling bertumbukan.
Tentu saja keduanya marah dan tahu bahwa sebelum merobohkan lawan tak mungkin mereka
bisa mendapatkan pedang pusaka itu, maka kini mereka membiarkan pedang itu menggeletak di
atas tanah dan keduanya sudah saling terjang lagi dalam perkelahian mati-matian yang lebih
sengit dari pada tadi.
Dengan hati girang, Tai-lek Hek-wan melanjutkan larinya, membawa buntalan madat.
Lumayan, pikirnya, tidak terlalu mengecewakanlah memperoleh modal kekayaan berupa
tigapuluh kati madat ini walaupun gagal mendapatkan Giok-liong-kiam, pikirnya, yakin bahwa
dua orang itu tentu lebih mementingkan Giok-liong-kiam yang diperebutkannya dari pada
mengejar dia yang melarikan madat. Dan dugaannya ini memang betul. Dua orang pandai itu
sama sekali tidak memperdulikannya lagi karena kini mereka sudah saling serang mati-matian
untuk memperebutkan pedang pusaka yang menggeletak di atas tanah.
Ketika dengan hati girang sekali Tai-lek Hek-wan yang melarikan diri itu hampir tiba di
tepi hutan, mendadak ada angin dari kiri yang menerjangnya. Hek-wan terkejut dan cepat
mengelak, namun percuma saja karena tiba-tiba saja ada tenaga raksasa yang membuatnya
terpelanting. Dia berusaha bangkit, akan tetapi mendadakmuncul seorang laki-laki raksasa
bermuka hitam yang tertawa-tawa dan kaki orang tinggi besar ini menyambar, Hek-wan
melompat sambil menangkis dengan lengannya ketika kaki yang besar itu menendang ke arah
tubuhnya. "Dessss .......... !" Kembali dia terpelanting dan kini terbanting keras dan tiba-tiba saja
terdengarkain robek ketika buntalan madat itu direngut secara paksa dari punggunggya !
"Ehhh .......... !" Tai-lek Hek-wan meloncat bangun dan memandang marah ketika dia
melihat betapa buntalan madat itu kini berada di tangan seorang laki-laki berusia limapuluh tahun yang bertubuh tinggi besar. Laki-laki itu mengenakan pakaian kasar, sikapnya kasar dan
wajahnya yang penuh berewok itu menakutkan. Matanya lebar dan mulutnya menyeringai girang
ketika dia membuka buntalan dan melihat isi buntalan.
"Ha-ha-ha, kiranya engkau pemadatan besar ! Pantas saja begini lemah, tertiup angin saja
roboh. Itulah kalau terlalu banyak menghisap madat, hua-ha-ha !" Dia tertawa bergelak,
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
54 perutnya bergoyang-goyang karena ketika tertawa dia menengadah dan mengangkat kedua
lengannya ke atas.
Tai-lek Hek-wan melihat kesempatan yang amat baik ini dan diapun meloncat ke depan
dan menendang ke arah perut yang bergoyang-goyang itu sekuat tenaganya.
"Klekk .......... !" Tendangannya tepat mengenai perut, akan tetapi bukan orang itu yang
roboh, bahkan tubuhnya sendiri terjengkang dan dia terbanting untuk ke tiga kalinya dan tanpa malu-malu lagi dia mengaduh-aduh sambil memegang kaki kanannya karena tulang "tulang
kakinya itu seperti remuk rasanya. Dia tadi seperti menendang sebuah gentong besi saja, keras dan amat kuat sehingga kakinya sendiri yang mengeluarkan bunyi seolah-olah semua tulangnya
patah. Akan tetapi karena marah dan kecewa melihat hasil rampasannya kini di tangan orang, dia memaksa diri meloncat bangun lagi.
"Kembalikan barangku .......... !" Hampir dia menangis ketika mengeluarkan tuntutan ini.
Akan tetapi orang tinggi besar itu masih terus tertawa. "Ha-ha-ha, engkau tentu
penyelundup candu, engkau meracuni banyak orang. Orang seperti engkau ini harus dihukum
berat, akan tetapi aku tidak mempunyai banyak waktu untuk mengurusmu. Engkau tidak
mengaku dosa malah hendak minta kembali racun ini " Sungguh tak tahu diri !"
Hek-wan mengerutkan alisnya dan memandang orang itu penuh perhatian. Orang ini
berpakaian kasar, terlalu kasar, maka sepantasnya orang ini melakukan penyamaran. Sikapnya
begitu angkuh dan pandang matanya berwibawa, pantasnya seorang pembesar militer. Apakah
seorang perwira yang menyamar " Dia mendengar bahwa di antara orang-orang yang sibuk
menyelidiki dan mencari Giok-liong-kiam terdapat pula jagoan-jagoan dari istana. Apakah orang ini juga seorang di antara mereka " Diam-diam dia bergidik dan menjadi ragu-ragu.
"Sudahlah, memang nasibku yang buruk ....... !" Dia mengeluh, maklum bahwa orang itu
bukanlah lawannya, maka diapun menahan kemarahannya dan membalikkan tubuh untuk pergi
dari situ. "Nanti dulu !" Tiba-tiba raksasa itu membentak. "Aku bilang tidak mempunyai waktu
untuk mengurusmu bukan berarti melepaskanmu begitu saja. Orang macam engkau ini terlalu
berbahaya dibiarkan terlepas begitu saja. Hayo ke sini kau !"
Tai-lek Hek-wan membalik dan menghadapi orang itu dengan sinar mata marah.
"Barangku sudah kau rampas, mau apa lagi memanggil aku ?" katanya ketus.
Raksasa itu menuding ke arah sepatunya yang besar dan kotor. "Aku sudah melakukan
perjalanan jauh dan tidak mengajak para pengawalku untuk membersihkan sepatuku yang kotor.
Hayo kau bersihkan sepatuku, baru aku akan membiarkanmu pergi."
Wajah Lutung Hitam itu berobah semakin hitam. Dia bukan sembarang orang dan
banyak orang yang takut dan taat kepadanya. Kini orang menghina sampai di luar batas !
"Kau .......... terlalu menghina .......... !" bentaknya marah, mengepal tinju.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
55 "Ha " ha, orang macam engkau ini masih bisa bicara tentang kehormatan dan
penghinaan" Hidupmu sudah di dalam lumpur kehinaan. Aku hanya ingin menukar nyawamu
yang rendah itu dengan pekerjaan membersihkan sepatu dan kau banyak cakap lagi " Hayo
bersihkan sepatuku atau aku mewakili pemerintah melaksanakan hukuman mampus kepadamu.
Pilih saja !"
Kini yakinlah hati Hek-wan bahwa dia berhadapan dengan seorang petugas pemerintah
yang menyamar. Dan jelas pula bahwa orang ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia
tidak akan mampu mengalahkannya. Di situ tidak terdapat orang lain, mengapa harus meributkan
tentang kehormatan.
"Baiklah ?"". !" Katanya dan diapun berlutut di depan orang itu, menggunakan ujung
lengan bajunya untuk membersihkan kedua sepatu yang penuh debu itu. Kalau saja ada orang
yang melihat peristiwa ini. Betapa akan malunya dan akan hancur nama besarnya. Dia terkenal
sebagai orang yang paling ditakuti di seluruh daerah Nan-leng, dan kini dia membersihkan sepatu orang, berlutut di depan orang itu. Kemarahannya tak dapat ditahannya lagi dan otaknya yang


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cerdik itu bekerja. Orang yang menghinanya berdiri begitu dekat, tidak ada yang akan dapat
menghalanginya lagi. Diam-diam dia mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba saja dia menghantam
ke arah pusar orang itu, dari jarak yang amat dekat.
"Krakk .......... aughhhh .......... !" Tubuh Tai-lek Hek-wan terkulai dan dia roboh tewas
dengan belakang kepala remuk karena sebelum pukulannya mengenai sasaran, si tinggi besar itu
telah lebih dahulu menghantam tengkuknya ! Sekali ini Tai-lek Hek-wan yang biasanya cerdikitu salah perhitungan. Dia terlalu memandang rendah lawannya. Padahal begitu dia mengerahkan
tenaga, si raksasa itu telah mengetahuinya sehingga dapat mendahuluinya, menghantam
tengkuknya dari atas, sehingga bukan saja pukulan itu melumpuhkan semua gerakannya, juga
membuat nyawanya melayang !
Dengan sikap jijik, kakek bertubuh raksasa itu lalu menendang mayat Hek-wan sampai
terlempar jauh, kemudian diapun membuang buntalan madat itu ke dalam jurang tak jauh dari
situ sambil mengomel, "Candu ini harus dimusnahkan di seluruh dunia, membuat manusia
menjadi boneka, menjadi mayat-mayat hidup, berbahaya sekali .......... "
Tiba-tiba dia berhenti bergerak dan sejenak diam tak bergerak, samar-samar dia
mendengar suara orang berkelahidan tak lama kemudian, raksasa ini sudah berlari dengan
langkah lebar menuju ke tempat orang yang sedang berkelahi itu. Raksasa ini memang bukan
orang sembarangan dan seperti dugaan Tai-lek Hek-wan, dia adalah seorang jagoan istana !
Kaisar mengirim beberapa orang jagoan untuk melakukan penyelidikan dan kalau mungkin
merampas pusaka Giok-liong-kiam yang demikian menghebohkan dunia persilatan. Bagi kaisar,
seluruh pusaka yang terdapat di negeri itu adalah hak dan milik istana ! Karena itu, Giok-liong-kiam yang diperebutkan itupun adalah hak istana. Dan raksasa ini adalah seorang diantara para jagoan istana, namanya Tang Kui dan jabatannya adalah komandan pasukan pengawal di luar
istana. Karena namanya terkenal di kalangan para pengawal sebagai seorang komandan yang
pandai, tegas dan memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga yang besar, maka dia terpilih sebagai seorang di antara para jagoan yang ditugaskan mencari dan merebut pusaka Giok-liong-kiam.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
56 Sebentar saja Tang Kui telah tiba di tempat dimana tokoh Ang-hong-pai itu masih
berkelahi dengan hebatnya melawan Pek-bin Tiat-ciang. Dari jauh saja Tang Kui yang banyak
mempelajari keadaan kang-ouw dan mengenal banyak tokoh kang-ouw, mengenal siapa mereka
yang sedang berkelahi itu. Dia mengenal Theng Ci, murid kepala Ang-hong-pai yang lihai itu
dan dia mengenal pula Pek-bin Tiat-ciang, pria pesolek tampan bermuka putih yang merupakan
tokoh di antara kaum sesat itu. Maka diapun cepat menyelinap di antara pohon-pohon dan
mendekat. Pada saat itu perkelahian antara kedua orang ini sudah mencapai puncaknya. Pek-bin Tiat-ciang sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu pecut panjang yang biasanya menjadi pengikat
pinggangnya. Pecut panjang putih itu kini membentuk lingkaran-lingkaran dan menyerang si
wanita cantik dari pelbagai jurusan. Akan tetapi, Theng Ci adalah murid kepala Ang-hong-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan terutama sekali gerakannya yang amat ringan itu membuat ia selalu dapat berloncatan ke sana-sini menghindarkan diri dari totokan ujung pecut.
Nampaknya pemandangan yang amat indah dari perkelahian ini. Pecut putih itu menjadi sinar
bergulung-gulung dan pakaian Theng Ci yang merah juga membuat gerakannya yang cepat
membentuk bayangan merah. Dari jauh nampak warna merah dan putih yang berselang-selang
amat indahnya. Jangan dikira bahwa Theng Ci yang bertangan kosong itu terdesak. Sama sekali tidak
karena wanita cantik ini kadang-kadang membalas serangan lawannya dengan sambitan jarum-
jarum halusnya. Bukan sembarang jarum, melainkan jarum halus yang mengandung racun !
Ang-hong-pai adalah perkumpulan para wanita yang lihai dan juga suka mempergunakan racun-
racun binatang yang ampuh, terutama sekali racun-racun lebah, sesuai dengan nama perkumpulan
itu, ialah Ang-hong-pai (Perkumpulan Lebah Merah). Karena jarum-jarum ini amat berbahaya,
maka Pek-bin Tiat-ciang bersikap waspada dan gerakan pecutnya itu sebagian besar
dipergunakan untuk melindungi tubuhnya dari ancaman jarum halus.
Hanya sebentar saja Tang Kui si komandan yang menyamar itu nonton perkelahian dan
diam-diam dia juga kagum karena maklum bahwa baginya, dua orang itu masing-masing
merupakan seorang lawan yang tangguh. Akan tetapi pandang matanya segera tertarik oleh
mengkilapnya sebuah benda yang menggeletak tak jauh dari sesosok mayat berkumis lebat.
Benda itu adalah sebatang pedang kecil terbuat dari kayu giok berukirkan naga. Giok-liong-kiam
............ ! Hatinya berdebar amat kerasnya karena biarpun selamanya dia belum pernah melihat sendiri bagaimana macamnya Giok-liong-kiam, namun dia sudah mendapatkan keterangan jelas
mengenai benda pusaka itu sebelum dia menerima tugas mencarinya. Hampir dia tak percaya..
Giok-liong-kiam berada di situ dan kini mengertilah dia mengapa dua orang tokoh sesat itu
berkelahi. Tentu mereka berdua itu sedang memperebutkan Giok-liong-kiam. Memang sudah
beberapa hari lamanya dia menaruh curiga terhadap Then Ci, wanita tokoh Ang-hong-pai itu.
Diam-diam dia membayangi Theng Ci dari jauh. Tidak disangkanya dia melihat Theng Ci
berkelahi dengan Pek-bin Tiat-ciang dan di situ terdapat Giok-liong-kiam !
Setelah membuat perhitungan dengan pandang matanya, tiba-tiba Tang Kui meloncat
keluar dari tempat persembunyiannya dan diapun lari ke arah pedang pusaka itu dan disambarnya benda itu. Ketika Theng Cid an Pek-bin Tiat-ciang berteriak kaget melihat munculnya orang
yang menyambar Giok-liong-kiam sehingga mereka berdua secara otomatis menghentikan
perkelahian, Tang Kui sudah meloncat jauh dan melarikan diri. Tentu saja dua orang itu menjadi marah sekali dan mereka melakukan pengejaran secepatnya. Tang Kui lari ke selatan, ke bagian hutan yang lebih dalam. Agaknya sukar bagi dua orang yang sudah kelelahan karena sejak tadi
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
57 berkelahi itu untuk dapat menyusul Tang Kui. Dan mereka sudah hampir kehilangan jejak
raksasa itu ketika tiba-tiba mereka melihat ada seorang yang tinggi kurus tiba-tiba muncul dan menyerang Tang Kui. Serangan itu dilakukan secara tiba-tiba dan biarpun Tang Kui berhasil
menangkis, akan tetapi posisi kakinya membuat dia terpelanting, dan hal ini saja menunjukkan
betapa lihainya penyerang yang bertubuh jangkung itu. Si jangkung itu menyusulkan tendangan, bukan menendang bagian tubuh yang berbahaya melainkan menendang tangan Tang Kui yang
memegang Giok-liong-kiam.
"Dukkk !" Tendangan itu mengenai tepat pergelangan tangan itu karena Tang Kui sedang
terpelanting dan pedang pusaka itupun terlempar jauh ke kiri !
"Wuuuuttt .......... !" Tiba-tiba muncul pula seorang laki-laki yang berpakaian serba putih
dan dengan sigapnya laki-laki itu meloncat dan menyambar Giok-liong-kiam dengan tangan
kirinya, lalu berdiri mengamati pusaka itu dengan penuh kagum.
"Hemm, inilah Giok-liong-kiam ............" guman laki-laki berpakaian putih. Dia
seorang laki-laki bertubuh sedang berusia kurang lebih empatpuluh tahun, pakaiannya sederhana serba putih dan melihat orang yang telah merampas Giok-liong-kiam, Tang Kui segera
mengenalnya. Orang itu adalah Kam Hong Tek, seorang pendekar yang namanya terkenal juga
di daerah selatan.
"Kembalikan Giok-liong-kiam kami kepadaku !" Tiba-tiba laki-laki bertubuh tinggi
kurus itu berseru dan dengan beberapa langkah dia mendekati Kam Hong Tek. Pendekar Kam ini
mengangkat muka memandang, laki-laki tinggi kurus itu berusia empatpuluh tahun lebih, selain
tubuhnya yang tinggi kurus itu merupakan hal yang tidak wajar, juga bajunya disulam di bagian dada dengan gambar bundar yang menggambarkan Im " yang. Melihat gambar ini Kam Hong
Tek dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang Thian-te-pai.
Agaknya orang tinggi kurus itupun mengenal Kam Hong Tek dari pakaiannya dan
sikapnya, maka dia menjura dengan hormat. "Kalau saya tidak salah, saya berhadapan dengan
pendekar Kam Hong Tek dari pegunungan selatan. Benarkah ?"
Pendekar Kam Hong mengangguk. "Dan saudara tentulah seorang tokoh Thian-te-pai,
bukan ?" "Benar, saya hanya seorang murid saja, menerima perintah ketua kami untuk mencari
pusaka kami yang hilang dicuri orang. Nama saya Lui Siok Ek, harap saudara sudi memandang
nama perkumpulan kami dan suka mengembalikan pusaka perkumpulan kami."
"Semua pusaka di tanah air ini adalah hak milik sri baginda kaisar !" Tiba-tiba Tang Kui
berseru dan dengan langkah lebar dia mendekat pula. "Aku Tang Kui adalah komandan pasukan
pengawal yang bertugas mencari dan membawa Giok-liong-kiam ke istana. Serahkan itu
kepadaku !"
Kam Hong Tek dan murid Thian-te-pai itu mengangkat muka memandang kepada raksasa
itu. Mereka terkejut juga mendengar bahwa orang tinggi besar yang pakaiannya seperti seorang petani ini mengaku sebagai seorang komandan pasukan pengawal dari istana kaisar ! Akan tetapi Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
58 Kam Hong Tek lalu tersenyum dan sudah menggerakkan bibir untuk bicara ketika tiba-tiba
terdengar teriakan wanita dengan suara lantang.
"Kembalikan pusaka itu kepadaku !" Dan muncullah Theng Ci yang diikuti pula oleh
Pek-bin Tiat-ciang. Akan tetapi dua orang inipun terheran-heran melihat bahwa di situ terdapat tiga orang dan pedang pusaka itu tidak lagi dipegang oleh si raksasa, melainkan oleh seorang
berpakaian putih-putih yang mereka kenal sebagai pendekar Kam Hong Tek yang tidak asing lagi
namanya ! Kam Hong Tek tertawa. "Ha " ha " ha, sekarang menjadi ramai ! Kulihat nona adalah
seorang anggauta Ang-hong-pai, dan saudara ini tentulah Pek-bin Tiat-ciang yang terkenal. Ada murid Thian-te-pai dan ada pula utusan istana. Kita semua tahu bahwa semua orang di dunia
persilatan memperebutkan Giok-liong-kiam. Akan tetapi, kitapun tahu akan adanya nasib dan
tanpa kusengaja, Giok-liong-kiam melayang ke arah diriku dan berhasil kutangkap. Bukankah
ini namanya nasib dan memang pusaka ini berjodoh dengan diriku " Harap cu-wi (anda
sekalian) dapat memaklumi hal ini dan tidak menentang nasib !"
"Nasib tahi anjing !" Pek-bin Tiat-ciang membentak marah. "Pusaka itu adalah milikku.
Kembalikan !" Dan si muka putih ini dengan marah lalu menerjang pendekar Kam Hong Tek.
Melihat serangan yang ganas dan berbahaya itu Kam Hong Tek cepat meloncat ke samping dan
mengibaskan tangan kanannya menangkis, sedangkan pusaka itu dipegangnya dengan erat-erat di
tangan kiri. "Atas nama pemerintah, berikan kepadaku !" Tang Kui membentak dan diapun
menerjang maju untuk merampas pedang itu dengan pukulan ke arah leher Kam Hong Tek.
Pendekar ini terpaksa menangkis dengan tangan kanannya.
"Dukk ............!" Keduanya terdorong mundur dan hal ini saja membuat mereka maklum
bahwa tenaga mereka berimbang. Akan tetapi Lui Siok Ek, murid Thian-te-pai itu, tanpa banyak cakap lagi sudah menerjang pula ke depan dan gerakannya demikian aneh dan cepat sehingga
tahu-tahu tangan kirinya sudah dapat menangkap ujung Giok-liong-kiam pada saat Kam Hong
Tek miringkan tubuhnya karena kembali Pek-bin Tiat-ciang menyerangnya. Kan Hong Tek
terkejut dan mencoba untuk menarik pedang batu kemala itu, namun murid Lui Siok Ek itu
mempertahankannya. Terjadilah betot-membetot, tarik-menarik dan pada saat itu, Theng Ci,
wanita baju merah itu mengirim tendangan kilat yang ditujukan ke arah pergelangan tangan Kam
Hong Tek. Pada saat yang sama pula, seperti sudah direncanakan saja, Pek-bin Tiat-ciang juga mengirim tendangan, ditujukan ke arah pergelangan tangan murid Thian-te-pai. Dua tendangan
kilat itu amat kuat dan berbahaya dan mereka yang sedang bersitegang memperebutkan pedang
pusaka itu maklum akan hal ini dan terpaksa mereka lalu melepaskan pegangan dan melontarkan
pedang pusaka itu ke atas, kemudian tangan mereka membalik dan menangkis tendangan.
Pedang pusaka Giok-liong-kiam itu dilontarkan oleh gabungan dua tenaga, terlempar jauh
dan tinggi ke udara. Lima orang yang sedang memperebutkanpedang pusaka itu memandang ke
atas dan mereka sudah siap untuk meloncat dan berlumba memperoleh pusaka itu lebih dahulu,
walaupun masing-masing maklum bahwa empat orang yang lain pasti akan menghalanginya atau
akan merampasnya kembali.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
59 Setiap jalur urat syaraf di tubuh lima orang itu sudah menegang dan masing-masing sudah
siap untuk meloncat ke atas ketika benda yang berkilauan hijau itu melayang turun dari atas.
Akan tetapi, ketika benda itu sudah meluncur turun sampai kira-kira lima tombak dan semua
orang sudah siap meloncat, tiba-tiba saja benda itu menyeleweng ke arah barat dan lenyap di
antara daun-daun pohon, menimbulkan suara berkerosakan ketika benda itu menerjang daun-daun
pohon yang lebat. Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan heran, akan tetapi juga penuh
kekhawatiran karena benda itu tiba-tiba saja lenyap. Seperti dikomando saja, lima orang itu lalu berloncatan dan lari ke arah pohon besar di sebelah barat itu.
Dan merekapun berdiri tertegun ketika melihat seorang kakek berjubah pendeta,
bertubuh gendut sekali sehingga kelihatannya bulat. Kepalanya yang nampak kecil karena tubuh yang gendut itu juga bulat, dan kakek itu nampak lucu karena kepalanya gundul licin tanpa
penutup kepala. Dia duduk bersila di atas batu hitam, sama sekali tidak bergerak, dan kedua
matanya terpejam, kedua tangan dirangkap di depan dada. Jubah kuningnya sudah kumal dan
warnanya hampir keputihan, kedua kakinya yang bersilang itu memakai sepatu kain yang
bawahnya dilapis besi. Sukar menaksir usia kakek ini karena kepalanya gundul dan mukanya
kelimis, bisa saja dia baru limapuluh tahun akan tetapi juga mungkin usianya sudah tujuhpuluh tahun lebih. Alisnya yang tebal dan masih hitam itu menambah bingung bagi penaksir usianya.
Lima orang itu memandang penuh perhatian, terutama sekali dengan sinar mata mereka
mencari-cari apakah di situ terdapat pedang Giok-liong-kiam. Akan tetapi, kakek gundul yang
gendut itu sedang bersemadhi, hanya pernapasannya saja yang membuat perut gendutnya
bergerak perlahan turun naik. Jelas bahwa kakek itu tidak memegang Giok-liong-kiam, juga di
dekatnya tidak nampak benda pusaka itu. Lima orang itu celingukan akan tetapi tidak nampak
ada orang lain di sekitar tempat itu dan pusaka itupun lenyap tanpa bekas. Siapa lagi kalau bukan kakek ini yang menyebabkan pusaka yang sedang melayang turun itu tiba-tiba menyeleweng dan
lenyap. Bukankah ke arah sini tadi terbangnya pedang kemala itu "
Elang Terbang Di Dataran Luas 3 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Pendekar Super Sakti 18
^