Pedang Naga Kemala 4

Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


kakek angkatnya, Lian Hong juga memaksa dirinya menjura kepada Siauw-bin-hud, akan tetapi
suaranya masih terdengar ketus ketika berkata, "Locianpwe, saya menghaturkan terima kasih."
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
91 Hanya dua orang kakek itu yang tahu akan perbuatan masing-masing. Siauw-bin-hud tadi
dengan cepat mengetahui bahwa biarpun kulit tubuh cucu muridnya kehijauan, namun keracunan
itu bukan membahayakan. Sebaliknya malah, kakek kurus yang dijuluki Racun Gunung itu telah
mengoperkan tenaga singkang yang hebat kepada Ci Kong, melalui tangan pemuda itu yang tadi
menempel di perutnya. Tahulah dia bahwa San-tok juga merasa kagum kepada Ci Kong dan
telah berkenan menghadiahi anak itu. Hal ini saja membuktikan bahwa San-tok kini telah
memiliki kasih sayang di dalam hatinya, dan juga perbuatan itu menunjukkan iktikad baik
terhadap Siauw-lim-pai. Oleh karena itulah, begitu melihat kesempatan terbuka ketika Lian
Hong memukulnya, diapun membalas dengan mengoperkan tenaga sakti ke dalam tubuh anak
perempuan itu yang dia tahu juga memiliki bakat yang baik sekali.
"Bagus begitu, Hong Hong. Mari kita pergi dari sini. Siauw-bin-hud, enam tahun lagi
aku datang menagih janji !" kata San-tok sambil menggandeng tangan Lian Hong dan
merekapun pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi.
Sunyi kembali depan kuil itu setelah semua tamu yang aneh itu pergi. Seperti tidak
pernah terjadi sesuatu, para hwesio lalu kembali melakukan tugas harian mereka masing-masing, akan tetapi semua peristiwa yang terjadi pagi tadi sungguh akan melekat di dalam hati mereka
dan sampai lama akan menjadi bahan percakapan mereka di waktu sebelum tidur.
Siauw-bin-hud lalu mengumpulkan keempat orang pimpinan Siauw-lim-si, juga Nam San
Lo-su, Nam Thi Hwesio, dan Ci Kong diajak masuk ke dalam ruangan belakang di mana kakek
gendut itu bicara dengan suara sungguh-sungguh walaupun sikapnya masih ramah dan
senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya yang bulat.
"Kalian semua tentu tahu bahwa munculnya urusan Giok-liong-kiam ini mengikatkan
pinceng pada sebuah tugas, hal yang sama sekali tak pernah pinceng duga-duga. Akan tetapi,
segala sesuatu memang sudah digariskan dan kita hanya tinggal melaksanakannya saja. Ada
orang mempergunakan nama pinceng untuk merampas pusaka itu. Jelaslah bahwa maksudnya,
selain mengalihkan perhatian agar dia dapat menyimpan pusaka itu dengan aman, juga dia
meminjam nama Siauw-lim-pai dengan maksud mencari keamanan dan juga mungkin saja untuk
mengadu domba. Nah, tidak ada lain pilihan lagi, pinceng sendiri harus pergi mencari benda
yang menimbulkan keributan itu."
"Maaf, susiok. Apakah tidak lebih baik kalau susiok mengutus murid-murid saja untuk
melakukan penyelidikan, mencari dan merampas kembali pusaka itu ?"
Siauw-bin-hud tersenyum akan tetapi menggelengkan kepalanya. "Pinceng dapat
menduga bahwa orang yang merampas pedang itu tentu seorang yang lihai sekali. Buktinya,
orang-orang pandai seperti San-tok dan Hai-tok saja tidak mampu mencarinya dan dapat ditipu
sehingga mereka mencari ke sini. Tidak, harus pinceng sendiri yang mencarinya. Bukankah dia memakai nama pinceng untuk perbuatannya itu " Pinceng sendiri yang akan pergi dan pinceng
hanya minta ditemani oleh Ci Kong ini saja."
Nam San Losu terkejut, akan tetapi juga girang. Hal itu berarti bahwa muridnya itu akan
memperoleh kemajuan yang luar biasa. Di bawah bimbingan susioknya sendiri yang demikian
sakti ! Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
92 "Akan tetapi, dia masih kanak-kanak, apakah tidak hanya akan menjadi beban dan
gangguan bagi susiok ?" katanya.
"Justru karena dia masih kanak-kanak maka akan cocok untuk pergi menemani pinceng.
Ci Kong, maukah engkau menemani pinceng untuk mencari pusaka yang diperebutkan itu ?"
Tentu saja Ci Kong merasa girang bukan main. Dia sudah maklum bahwa susiok-
couwnya ini memiliki kesaktian luar biasa, maka kalau dia boleh menemani kakek itu berarti dia akan dapat memperoleh banyak petunjuk dalam ilmu silat tinggi. Dia cepat berlutut di depan
kakek itu. "Teecu akan merasa girang dapat melayani susiok-couw."
"Ha " ha " ha, anak cerdik. Kalau begitu bersiaplah, sekarang juga kita berangkat."
Semua orang terkejut mendengar rencana pemberangkatannya yang tiba-tiba ini, akan
tetapi karena mereka semua sudah tahu akan watak yang luar biasa anehnya dari Siauw-bin-hud,
mereka tidak berani membantah. Dan tak lama kemudian Siauw-bin-hud nampak berjalan keluar
dari kuil Siauw-lim-si, menggandeng tangan Ci Kong yang menggendong buntalan besar berisi
pakaiannya sendiri dan pakaian hwesio itu, diantar oleh para hwesio sampai di lereng bukit.
Kota Kan-cou di Propinsi Kiang-si merupakan kota yang cukup besar dan ramai karena
kota itu juga menjadi kota pelabuhan perahu-perahu yang melayari Sungai Kan-kiang. Karena
Sungai Kan-kiang itu mengalir ke utara, maka banyaklah tukang perahu sibuk melayarkan para
pedagang yang mengirim barang-barang ke daerah pedalaman, ke kota-kota besar di bagian utara.
Memang pada waktu itu, sarana pengangkutan barang maupun orang yang paling cepat, praktis
dan murah adalah melalui sungai.
Juga kota Kan-cou menjadi semakin ramai dan penuh manusia karena kebanjiran
pengungsi dari barat ketika terjadi pemberontakan-pemberontakan di Hunan, baik pengungsi
orang-orang kaya yang menyelamatkan harta benda mereka maupun pengungsi-pengungsi miskin
yang menyelamatkan nyawa mereka. Bertambahnya toko-toko yang dibuka oleh para pengungsi
kaya, makin meramaikan kota itu, akan tetapi, bertambah pula pengemis dan gelandangan yang
tidak mempunyai rumah dan tidak mempunyai pekerjaan pula. Orang-orang berebutan mencari
pekerjaan, dan karena banyaknya pengangguran, tak dapat dihindarkan lagi banyak pula terjadi
kejahatan-kejahatan. Tak dapat disangkal pula bahwa segala macam perbuatan jahat seperti
pencurian, penjambretan, pencopetan, bahkan perampokan, timbul dari keadaan yang
dicengkeram kemiskinan. Orang-orang yang sudah tersudut karena tidak memiliki pekerjaan,
atau orang-orang pemalas yang tidak suka bekerja dan ingin mencari uang mudah, atau orang-
orang yang tidak merasa puas dengan keadaannya, condong untruk mudah terbujuk dan menjadi
pelaku-pelaku kejahatan. Hal ini bukan berarti bahwa orang kaya raya tidak mau melakukan
kejahatan. Setidaknya, tidak mau melakukan pencurian. Akan tetapi orang kaya raya sekalipun, kalau batinnya memang tamak dan tidak puas dengan keadaannya dan selalu ingin lebih dari pada yang dimilikinya, condong pula untuk melakukan kejahatan yang lain bentuknya akan tetapi
sama saja sifatnya, yaitu demi kesenangan sendiri tanpa memperdulikan bahwa perbuatannya itu
merugikan orang lain. Mereka itu melepas uang panas dengan bunga tinggi, menindas para
petani dan buruh, mempermainkan perdagangan demi keuntungan mereka, bermanipulasi dan
korupsi, dan sebagainya. Uang atau harta benda memang merupakan sarana hidup, satu di antara Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
93 persyaratan untuk hidup bahagia dan mencari uang bahkan merupakan suatu kaharusan yang
mutlak kalau kita ingin mempunyai sandang pangan dan papan yang cukup. Akan tetapi
pengejarannya terhadap uang itulah yang amat berbahaya. Pengejaran yang dilakukan karena
kebutuhan masih tidak begitu berbahaya, akan tetapi pengejaran yang didorong oleh kelobaan,
oleh nafsu ingin meraih keadaan yang dianggap lebih baik dari pada keadaan yang ada sekarang, amat berbahaya dan condong untuk menjerumuskan kita ke dalam perbuatan jahat, merugikan
orang lain. Seperti orang yang mengejar-ngejar sesuatu di depan sana, matanya hanya tertuju
kepada yang dikejarnya sehingga kalau ada orang lain berada di depannya, dianggap penghalang
dan dilompati, bahkan mungkin ditendangnya untuk dapat mencapai apa yang dikejarnya.
Pengejaran inilah yang perlu kita amati pada diri sendiri, pengejaran uang menimbulkan
pencurian, penipuan, korupsi dan sebagainya. Pengejaran kedudukan menimbulkan jagal-
jegalan, perkelahian bahkan perang. Pengejaran kesenangan sex menimbulkan pelacuran,
perjinahan. Kesenangan apapun juga bentuknya di dunia ini kalau sudah menguasai kita, dapat
saja menjadi pendorong agar kita mengejar-ngejar, menjadi suatu tujuan dan biasanya, tujuan
menghalalkan segala cara bagi orang-orang yang sudah buta akan kesadaran. Kita hidup berhak
untuk menikmati kesenangan, akan tetapi justeru pengejaran akan keadaan yang lebih dari pada
sekarang itulah yang melenyapkan kesenangan yang ada pada saat ini. Mata kita selalu tertuju ke depan, kepada kesenangan-kesenangan yang belum ada, kepada bayangan-bayangan sehingga
kita tidak melihat lagi keindahan apa yang ada pada kita.
Pada hari itu sudah ramai di pusat kota Kan-cou. Apa lagi di pasar-pasar, para pedagang
sudah memamerkan dagangannya dan para pembelanja sudah hilir-mudik mencari-cari barang-
barang yang dibutuhkan. Ramai suara para pedagang menawarkan dagangannya, memuji barang-
barang dagangannya dan berusaha menarik orang-orang yang berlalu lalang agar berbelanja di
tempatnya. Ada pula pengemis-pengemis tua muda yang berjalan-jalan, menggunakan segala
cara untuk menarik perhatian dan kasihan orang, minta-minta dengan tangan diulurkan, dengan
suara yang memelas. Lucunya, ada pula yang pura-pura timpang, pura-pura buta. Ada pula
anak-anak, dari usia lima tahun sampai yang remaja berusia belasan tahun, berkeliaran, minta-
minta atau mencari barang-barang yang dapat dimakan, di tempat-tempat sampah, kadang-
kadang berebutan dengan anjing-anjing yang banyak pula berkeliaran di situ. Bau sayur busuk, ikan dan tanah lumpur menyesakkan hidung, akan tetapi agaknya bau campur aduk seperti ini
terasa sedap oleh mereka yang sudah terbiasa.
Seorang anak laki-laki remaja, berusia kurang lebih tigabelas tahun, dengan baju tambal-
tambalan, berdiri di depan seorang penjual bakpao. Anak itu bertubuh sedang dan melihat betapa urat-urat tubuhnya menonjol, dapat diduga bahwa anak ini sejak kecil biasa dengan pekerjaan
kasar dan keras. Mukanya agak pucat dan muka itu tampan gagah, juga menunjukkan kekerasan.
Sepasang matanya tajam dan berani, akan tetapi pada saat itu matanya memandang ke arah
tumpukan bakpao mengepul panas dengan gairah besar. Beberapa kali dia menelan ludah sendiri
dan perutnya yang sejak kemarin tidak diisi itu terasa semakin perih. Sudah sebulan dia terseret arus pengungsi memasuki kota Kan-cou dan biarpun setiap hari dia mencari dan melamar
pekerjaan, namun tidak ada yang dapat menerimanya. Pekerjaan terlalu sedikit dan yang
membutuhkan terlalu banyak. Anak seusia dia itu dianggap masih kepalang tanggung, disebut
anak-anak bukan, dewasapun belum. Anak ini bernama Gan Seng Bu, berusia tigabelas tahun.
Sejak kecil dia ikut ayah bundanya yang bekerja sebagai pemburu dan selalu berpindah-pindah.
Akan tetapi, ketika terjadi pemberontakan di barat, ayah bundanya menjadi korban dan tewas di tangan gerombolan pemberontak. Dia sendiri berhasil melarikan diri dan demikianlah, dia hidup Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
94 seorang diri sebagai gelandangan, tak bersanak kadang tanpa pekerjaan dan satu-satunya
miliknya hanyalah pakaian dan sepatu yang menempel di tubuhnya, yang kini sudah menjadi
penuh tambalan dan butut.
Seng Bu merasa betapa perutnya lapar bukan main. Kalau saja dia bisa memperoleh
bakpao itu, sebuah saja ! Akan tetapi dia tidak mempunyai uang dan tadi dia sudah
memberanikan diri minta dari pedagang bakpao. Yang diterimanya hanya makian sehingga dia
terpaksa menjauhkan diri dan memandang ke arah tumpukan bakpao itu seperti seekor harimau
kelaparan memandang seekor kelinci gemuk yang diintainya. Tidak, dia tidak mau mencuri, atau melakukan kekerasan mengambil bakpao lalu melarikan diri. Dia sudah melihat betapa ada
pencuri disiksa orang banyak sampai mati, pernah pula melihat pencuri disiksa oleh petugas
keamanan sampai lumpuh kaki tangannya. Dia tidak akan senekad itu. Pula, sejak kecil dia
digembleng oleh ayahnya yang keras untuk menjadi orang gagah yang pantang mencuri,
demikian satu di antara pelajaran yang diterima dari ayahnya.
Tiba-tiba matanya tertarik oleh gerakan seorang pemuda remaja lain. Pemuda remaja itu
bertubuh jangkung, dan usianya sebaya dengan dia, mukanya kurus pula akan tetapi matanya
jelilatan. Seperti dia pula, pemuda itu pakaiannya penuh tambalan dan pemuda itu mendekati
tempat penjualan bakpao dari belakang. Pada saat si pedagang bakpao sibuk melayani beberapa
orang pembeli yang merubungnya, tiba-tiba saja pemuda jangkung itu menyambar dua buah
bakpao dari tumpukan di belakang tanpa diketahui oleh si pedagang atau para pembelinya.
Akan tetapi Seng Bu melihatnya ! Engkau harus selalu menentang kejahatan, demikian
pelajaran yang diterima dari ayahnya. Biarpun si pedagang bakpao tadi menghardiknya, akan
tetapi kini bakpaonya dicuri orang dan dia melihatnya. Dia harus mencegahnya, kalau tidak
berarti dia menjadi pembantu pencuri, demikian pelajaran yang diingatnya. Tanpa ragu lagi
diapun lalu lari mengejar pemuda remaja yang melarikan dua buah bakpao itu.
Setelah tiba di luar pasar, barulah Seng Bu berhasil menyusul pencuri itu dan dia segera
mencengkeram pundak pemuda remaja tinggi kurus itu dari belakang.
"Eh, mau apa kau ?" bentak pemuda itu dengan marah sambil membalikkan tubuhnya
menghadapi Seng Bu, matanya yang tajam itu memancarkan kemarahan.
"Kau telah mencuri bakpao !" bentak Seng Bu marah, apa lagi melihat bahwa bakpao
yang sebuah tinggal separo, agaknya telah dimakan oleh pencuri itu sambil lari tadi.
Pemuda jangkung itu memandang dengan senyum mengejek. "Apakah engkau pemilik
bakpao itu " jelas bukan, engkau tentu seorang pemuda gelandangan. Habis kau mau apa ?"
"Kembalikan bakpao itu kepada pemiliknya !"
"Aha, engkau seperti petugas keamanan saja. Engkau kurus dan pucat. Nih, kuberi
separuh. Makanlah !"
Seng Bu memandang kepada bakpao yang tinggal separuh itu. Nampak daging di
dalamnya dan kembali perutnya merintih. Akan tetapi dia teringat akan pelajaran ayahnya dan
betapa hinanya menerima sogokan seorang pencuri !
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
95 "Aku tidak sudi makan barang curian. Hayo kembalikan atau aku akan menyeretmu ke
sana !" Sepasang mata yang tadi memandang dengan ejekan itu menjadi tajam karena kemarahan.
"Kau mau menyeretku " Setan buruk, kaukira aku takut kepadamu ?" Pemuda jangkung
itu menantang sambil mengantongi bakpaonya.
"Kau pencuri yang perlu dihajar !" Seng Bu berseru dan diapun lalu menyerang dengan
pukulan tangannya. Pemuda remaja jangkung itu menangkis dan balas memukul. Terjadilah
perkelahian dan terdengar suara bak " bik " buk ketika keduanya saling pukul. Dari gerakan
mereka dapat diketahui bahwa keduanya tidak mempergunakan ilmu silat melainkan berkelahi
dengan kasar dan liar. Akan tetapi keduanya memiliki tenaga besar dan tubuh yang kuat
sehingga beberapa pukulan yang mereka terima tidak membuat mereka roboh atau mengaku
kalah. Perkelahian ini segera menarik perhatian orang dan mereka dirubung banyak orang yang
menjadi gembira nonton perkelahian yang seruini. Tak seorangpun melerai, bahkan ada suara-
suara berpihak, memilih jago masing-masing. Perkerlahian antara dua orang remaja yang tidak
paham ilmu silat tentu saja lebih ramai dan menegangkan dari pada perkelahian antara ahli-ahli silat. Seorang ahli silat pantang terkena pukulan dan memiliki kepandaian untuk menghindarkan diri. Akan tetapi dua orang pemuda remaja itu membagi-bagi pukulan yang diterima oleh
badanmereka sehingga nampaknya lebih ramai.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa. Suara ketawanya bebas lepas dan terbahak-
bahak, dan nampaklah seorang kakek gendut bulat memasuki tempat perkelahian itu. Kakek itu
nampak sekali. Melihat kepalanya yang botak hampir gundul, dengan rambut di bagian
belakangnya dikuncir pendek dan tebal, jelas bahwa dia bukan seorang hwesio. Akan tetapi
tubuh dan kesederhanaannya itu membayangkan dia seorang pendeta. Kepalanya seperti bola
bulat, telinga, mata, mulut dan hidungnya juga serba bulat. Dia tidak berjenggot, alis dan
kumisnya pendek akan tetapi tebal dan berdiri seperti sikat kaku. Bajunya longgar akan tetapi kancingnya tidak dapat ditutup karena perutnya yang amat besar itu mengganjal. Baju itu terbuka sehingga nampak dada dan perut, dihiasi bulu sepanjang tengah dada menurun sampai ke
pusarnya yang besar. Celananya dari kain tebal dan kuat, sedangkan sepatunya juga masih baru.
Di pinggaangnya tergantung sebuah ciu-ouw (tempat arak) dan sebuah mangkok butut tersembul
dari kantongnya.
"Ha " ha " ha " ha, kalian dua jagoan kecil. Bukan di sini tempat berkelahi. Mari ikut aku ke tempat yang lebih enak !" Berkata demikian, kakek itu melangkah maju melerai dan menyentuh
pundak dekat tengkuk kedua orang anak remaja yang sedang berkelahi itu. Tiba-tiba saja
keduanya menghentikan perkelahian, memandang kepada kakek gendut itu dan tanpa bersuara
lagi, seperti dua ekor anak kerbau, mereka mengikuti kakek itu yang meninggalkan tempat itu.
Penonton juga bubaran, melanjutkan pekerjaan masing-masing dan sebentar saja perkelahian
antara dua orang anak gelandangan itupun dilupakan orang.
Tak seorangpun tahu mengapa dua orang anak yang sedang berkelahi itu tiba-tiba saja
menurut dan taat kepada kakek yang melerai dan mengajak pergi mereka. Padahal, keduanya
belum mengenal siapa kakek itu. Hanya dua orang anak itu yang tahu. Ketika kakek itu melerai dan menyentuh pundak mereka, tiba-tiba saja kedua lengan mereka menjadi lemas dan seperti
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
96 lumpuh ! Tentu saja mereka berdua menjadi kaget bukan main, dan ketika kakek itu mengajak
mereka, keduanya tidak berani membantah. Kedua lengan mereka tidak dapat mereka gerakkan,
tergantung lepas dan lumpuh, hal ini saja sudah membuat mereka menjadi takut dan khawatir.
Hanya kakek itu yang akan dapat memulihkan kedua lengan mereka, maka merekapun menurut
saja ketika diajak pergi. Seng Bu sendiri dapat menduga bahwa kakek ini tentu seorang sakti.
Biarpun ayahnya tidak pandai silat, hanya memiliki tubuh kekar sebagai seorang pemburu,
namun ayahnya banyak bercerita tentang pendekar-pendekar dan orang-orang sakti.
Pemuda jangkung itupun memiliki nasib yang tidak jauh bedanya dengan Seng Bu.
Pemuda itu bernama Ong Siu Coan, berusia tigabelas tahun dan dari keluarga petani. Ayahnya
pernah menjadi seorang petani yang cukup keadaannya sehingga Ong Siu Coan sempat pula
bersekolah. Akan tetapi ketika terjadi pemberontakan, ayahnya ikut pula memberontak karena
ayahnya membenci pemerintah penjajah Mancu. Pemberontakan itu dapat dipadamkan dan
seluruh keluarga Ong Siu Coan binasa, harta bendanya ludas dirampok pasukan pemerintah.
Untung baginya bahwa dia sendiri masih dapat menyelamatkan dirinya dan arus pengungsi
membawanya sampai ke kota Kan-cou. Dia melakukan perjalanan dari utara sampai berbulan-
bulan sebelum tiba di Kan-cou. Seperti juga Seng Bu, sukar sekali baginya untuk mendapatkan
pekerjaan. Baginya lebih sukar lagi karena ada sedikit keangkuhan dalam dirinya, merasa bahwa dia pernah menjadi anak sekolah sehingga dia enggan bekerja kasar. Akan tetapi, berbeda
dengan Seng Bu, agaknya dia tidak mengharamkan mencuri makanan kalau perutnya sudah tidak
tahan lagi. Betapapun juga, di dalam dadanya bernyala api perjuangan menentang pemerintah
penjajah. Pemuda remaja ini memiliki kegagahan, patriot, juga cerdik sekali, selain itu juga ada keanehan-keanehan pada wataknya.
Jilid V ***** Siapakah kakek gendut itu " Orang-orang kang-ouw biasa saja tidak akan mengenalnya,
akan tetapi kaum tua di dunia kang-ouw tentu akan terkejut melihat munculnya orang yang sudah belasan tahun lamanya tidak pernah lagi nampak di dunia ramai itu. Orang ini terkenal sekali puluhan tahun yang lalu karena dia adalah seorang di antara Empat Racun Dunia ! Inilah yang
dijuluki orang Thian-tok (Racun Langit) yang memiliki kesaktian setingkat dengan San-tok atau Hai-tok ! Seperti juga San-tok, dia selama belasan tahun bertapa di gunung-gunung dan baru
sekarang nampak muncul di dunia ramai, dan dalam keadaan sederhana, tidak seperti Hai-tok
yang menjadi seorang kaya raya. Ketika kakek ini dalam perantauannya tiba di luar pasar dan
melihat dua orang pemuda remaja saling gebuk dengan ramainya, diam-diam dia memperhatikan
dari jauh. Dan giranglah hatinya. Dia melihat bakat yang amat baik pada diri dua orang muda itu maka dia sengaja membawa dua orang muda itu ke tempat sunyi setelah membuat mereka tidak
berdaya dengan semacam ilmu totok jalan darah yang amat halus.
Thian-tok membawa mereka berdua ke sebuah kuil tua yang sudah tidak
dipergunakan lagi, sebuah kuil kosong yang kotor dan rusak. Tempat inilah yang menjadi tempat tinggalnya selama beberapa hari ini dan dia berjalan terus memasuki kuil tua sampai tiba di
sebuah ruangan dalam yang cukup luas.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
97 "Nah, di sini kalian boleh melanjutkan perkelahian sampai ada yang kalah atau
menang !" katanya sambil menepuk pundak kedua orang anak itu yang seketika merasa betapa
mereka mampu menggerakkan lagi kedua lengan mereka. Dua orang anak ini saling pandang.
Kemarahan sudah lenyap dari mereka, terganti rasa heran dan kagum akan kesaktian kakek itu.
Dan tiba-tiba ada suatu pikiran menyelinap di dalam benak mereka. Jelaslah bahwa kakek ini
hendak menguji mereka ! Dan siapa tahu, yang menang akan diambil murid ! Betapa akan
gembiranya kalau sampai bisa menjadi murid orang sakti ini, pikir mereka dan kini mereka sudah saling pandang lagi dengan sikap bermusuh karena mereka hendak bersaing dan berebutan
menjadi murid kakek sakti.
"Ha " ha, nanti dulu !" kata Thian-tok melihat sinar mata mereka. "Sebelum dimulai,
aku ingin mengetahui dulu siapa kalian."
"Namaku Ong Siu Coan," kata pemuda jangkung.
"Namaku Gan Seng Bu," kata pula pemuda tegap.
"Bagus, bagus ! Nama-nama yang bagus dan gagah. Nah, Siu Coan dan Seng Bu,
sekarang buka baju kalian. Baju kalian sudah robek-robek dan akan menjadi hancur kalau tidak dibuka. Apa lagi kalau kalian tidak mempunyai pengganti."
Baru teringatlah dua orang muda remaja itu akan pakaian mereka dan masing-masing
menunduk dan memandang baju mereka yang robek-robek dengan muka sedih. Lalu merekapun
menanggalkan baju mereka, menaruh di sudut ruangan itu. Kini mereka hanya memakai celana


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan sepatu saja, tanpa baju. Mengingat akan baju mereka yang robek-robek, kemarahan kembali
memenuhi dada mereka ketika mereka berdiri saling berhadapan.
"Ha " ha " ha, bagus, sekarang kalian mulailah saling hantam. Ingin aku melihat siapa
yang menang," kata kakek itu dambil naik ke atas tembok rendah. Bersila dan menurunkan
tempat arak dari pinggang, juga mengambil mangkoknya.
Ucapan itu merupakan komando bagi kedua orang pemuda remaja itu. Keduanya sudah
saling terjang dan saling pukul, melanjutkan perkelahian mereka di depan pasar tadi, hanya
sekarang mereka bukan sekedar melampiaskan kemarahan, melainkan berusaha untuk menang
karena mereka menduga bahwa pemenangnya tentu akan diberi pelajaran silat dan diambil murid
oleh kakek gendut yang sakti ini. Terdengar lagi suara bak " bik " buk ketika mereka saling
pukul sekenanya, dan kakek itu menjadi kegirangan. Sambil menuangkan arak ke dalam
mangkok dan diminumnya perlahan-lahan, dia menonton perkelahian sambil tertawa-tawa girang.
Tubuh kedua orang pemuda remaja itu memang amat kuat dan keduanya tahan uji benar-
benar. Muka mereka sudah matang biru oleh pukulan, hidung mereka sudah mengeluarkan darah
terkena pukulan, akan tetapi keduanya tidak mau undur selangkahpun. Melihat ini, kakek itu
menjadi semakin girang dan tertawa-tawa senang.
"Bagus ! Siu Coan, pukul saja dia ! Seng bu, jangan mau kalah kau !" Teriaknya
berulang-ulang, memberi hati kepada keduanya sehingga dua orang anak itu menjadi semakin
sengit untuk saling mengalahkan.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
98 Akan tetapi agaknya Siu Coan lebih cerdik dari pada Seng Bu, walaupun dalam hal tenaga
dan keuletan mereka seimbang. Karena dia lebih jangkung, Siu Coan mulai dengan gencar
menyerang kepala Seng Bu dari atas. Hal ini membuat Seng Bu kewalahan, apa lagi setiap kali
ada pukulan mengenai ubun-ubun kepalanya, dia merasa pening.
"Ho " ho ?"". Seng Bu, jegal kakinya dan hantam lehernya !" Tiba-tiba kakek itu
memberi nasihat ketika melihat Seng Bu mulai terdesak. Seng Bu mentaati pesan ini dengan
otomatis, kakinya menyapu ke arah kaki Siu Coan dan tangannya menghantam leher.
"Plak ?"". Dukkk ?"". !" Tubuh Siu Coan terpelanting karena dia selalu
memperhatikan atas dan ketika kakinya ditendang dan lehernya dihantam, diapun tidak mampu
bertahan dan terguling.
"Siu Coan, pegang kuncirnya ! Ha " ha " ha !" Kembali si gendut memberi nasihat dan
Siu Coan yang sedang terpelanting itu cepat menggunakan tangan kiri mencengkeram kuncir
Seng Bu sehingga pemuda remaja inipun ikut pula tertarik dan mereka berdua terbanting jatuh
bergulingan. Dan mereka lalu melanjutkan perkelahian dengan bergulat di atas lantai.
Thian-tok yang berwatak aneh itu menjadi semakin gembira. Dia selalu memberi nasihat
kepada yang terdesak sehingga dari keadaan terdesak, berbalik menjadi menang, akan tetapi
hanya sebentar karena si gendut itu berbalik pula memberi nasihat kepada yang kalah sehingga
keadaan kembali berobah. Sampai hampir dua jam mereka berhantam, bergulat dan akhirnya
keduanya menggeletak kelelahan, terengah-engah hampir putus napasnya dan tidak mampu
melanjutkan, hanya mendeprok di atas lantai dan saling pandang melalui mata yang bengkak-
bengkak membiru !
"Ha " ha " ha, istirahatlah sebentar. Nih, kuberi arak biar segar !" Kakek itu lalu
menyemburkan arak dari mulutnya dan dua orang pemuda remaja itupun kehujanan arak yang
amat halus dan mereka merasa terkejut bukan main karena arak itu seperti ratusan buah jarum
yang menusuk-nusuk kulit mereka ! Akan tetapi rasanya memang segar mengenai kulit dan
biarpun begitu terkena arak bekas-bekas pukulan lawan itu terasa perih, akan tetapi lambat laun rasa linu dan nyeri berkurang banyak.
"Nah, sekarang mulailah lagi, atau seorang di antara kalian harus mengaku kalah !"
Tentu saja dua orang remaja ini tidak mau mengaku kalah dan biarpun semua tulang
dalam tubuh terasa patah-patah saking lelahnya, mereka bangkit berdiri lagi dan mulailah mereka berkelahi lagi. Ong Siu Coan mulai menyerang, akan tetapi karena dia mempergunakan semua
sisa tenaganya dan pukulan itu luput, tubuhnya terhuyung ke depan dan hampir jatuh. Akan
tetapi Gan Seng Bu tidak mempergunakan kesempatan ini, hanya berdiri memandang lawannya
yang terhuyung.
"Heh " heh, Siu Coan, salahmu sendiri. Bukan begitu caranya menyerang lawan. Nih,
begini, tirulah gerakan ini !" Kakek gendut itu sudah bangkit berdiri di atas tembokan rendah dan dengan lambat namun jelas memberi contoh sejurus pukulan kepada Siu Coan. Pemuda ini
cerdik sekali, memperhatikan kedudukan kaki dan gerakan tangan ketika kakek itu memberi
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
99 contoh. Setelah merasa paham betul, dia lalu menghampiri Seng Bu dan segera menyerang
dengan gerakan seperti yang diajarkan oleh kakek gendut. Seng Bu juga melihat gerakan seperti yang diajarkan oleh kakek itu, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya, maka
dengan ngawur saja diapun mencoba untuk menangkis.
"Dess .......... !" Akibatnya, tubuhnya tiba-tiba terpelanting dan jatuh terbanting cukup
keras, membuat kepalanya menjadi pening.
"Ha " ha " ha, diserang orang bukan melawannya dengan jatuh bangun dan membiarkan
diri dipukul !" Tiba-tiba kakek itu berseru lagi. "Seng Bu, beginilah kalau engkau menghadapi serangan jurus Burung Bangau Menyambar Katak tadi, perhatikan baik-baik." Kakek itu
memberi contoh, kedua tangannya membentuk cakar dan lengannya bergerak seperti gerakan dua
kaki depan harimau, kedua kakinya membuat kuda-kuda yang kokohkuat. Seng Bu
mencontohnya dan merasa dapat memahaminya.
"Nah, kalian lanjutkan sekarang !" kata si kakek gendut.
Siu Coan yang merasa bangga dengan jurusnya yang berhasil baik tadi menjadi
penasaran. Tak mungkin Seng Bu dapat menahan serangannya seperti tadi, pikirnya. Diapun
maju lagi dan menyerang dengan jurus tadi, yang oleh si kakek gendut dinamakan Burung
Bangau Menyambar Katak. Seng Bu menyambutnya dengan jurus seperti yang diajarkan si
kakek, tangan kanannya berhasil menangkis patukan burung yang dilakukan oleh tangan lawan,
kemudian dengan cepat tangan kirinya yang membentuk cakar itu menyambar muka lawan. Siu
Coan terkejut dan menarik muka ke belakang, akan tetapi cakaran tangan kanan menyusul dan
diapun terjengkang ke belakang dan terbanting jatuh !
"Ha " ha " ha ! Itulah jurus Harimau Mencakar Batang Pohon ! Engkau harus berhati-
hati, Siu Coan dan jangan terlalu mengandalkan sebuah seranganmu, melainkan membagi
perhatian untuk berjaga diri."
Dengan gembira sekali kakek itu lalu memberi petunjuk kepada kedua orang muda remaja
itu, mengajarkan jurus baru kepada yang kalah sehingga yang kalah berbalik menang, dan yang
menang itu berbalik kalah. Persis seperti tadi, akan tetapi kalau tadi dia hanya memberi
petunjuk-petunjuk gerakan tertentu, kini dia memberi petunjuk jurus-jurus silat sehingga dua
orang muda itu berkelahi dengan menggunakan jurus-jurus ilmu silat. Dua orang pemuda remaja
itupun makin lama makin genbira mempelajari jurus-jurus itu. Lenyaplah semua permusuhan di
antara mereka dan kini mereka menganggap lawan menjadi teman berlatih silat ! Akan tetapi
tenaga mereka terbatas dan akhirnya kembali mereka mendeprok di atas lantai. Mereka saling
pandang dan jantung mereka berdebar keras karena dalam sinar mata mereka ketika saling
pandang itu, keduanya merasa seolah-olah mereka saling memberi isyarat yang mereka mengerti,
yaitu bahwa keduanya merasa girang dapat saling berkenalan, bahwa terdapat kecocokan yang
hangat karena mereka saling serang dan sama-sama berlatih silat tadi, dan bahwa mereka berdua sama-sama ingin menjadi murid kakek gendut sakti itu ! Ong Siu Coan berkedip memberi
isyarat, lalu dia bangkit duduk, berlutut menghadap kakek gendut.
"Kakek yang baik, kami berdua mohon agar dapat menjadi muridmu."
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
100 Kakek itu membuka matanya dan sinar mencorong menyambar ke arah Siu Coan. "Heh "
heh " heh !" Dia hanya tertawa.
Akan tetapi Seng Bu juga sudah bangkit duduk, lalu berlutut di samping kiri Siu Coan
sambil berkata, "Benar, locianpwe, kami berdua mohon dapat menjadi murid locianpwe."
"Ha " ha " ha " ha, bukankah kalian tadi berkelahi dan saling bermusuhan ?"
Siu Coan dan Seng Bu menoleh dan saling pandang. Tidak ada sedikitpun rasa
permusuhan dalam hati mereka terhadap satu sama lain, dan keduanya tersenyum. "Sekarang
kami tidak lagi bermusuhan," kata Siu Coan.
"Kami malah merasa cocok dan suka, locianpwe," kata Seng Bu.
"Ha " ha " ha, sungguh lucu. Ong Siu Coan, coba jawab terus terang, mengapa engkau
ingin menjadi muridku ?"
Tanpa ragu-ragu Siu Coan menjawab lantang, "Saya ingin dapat menjadi seorang pandai
yang dapat berjuang untuk bangsa, menjadi seorang pahlawan yang mengusir penjajah dari tanah
air !" Sepasang mata kakek gendut itu terbelalak. Memang aneh sekali mendengar ucapan
seperti itu keluar dari mulut seorang anak jembel yang tadi mati-matian berkelahi
memperebutkan sepotong roti ! Dan dia tertawa bergelak. Agaknya kakek ini memang suka
sekali tertawa, suara ketawa yang bebas dan lepas akan tetapi nadanya selalu mengejek. "Ha " ha
" ha, cita-cita yang terlalu tinggi, lebih tinggi dari pada cita-citaku, ha " ha " ha ! Dan kau, Gan Seng Bu, kenapa engkau ingin menjadi muridku ?"
"Saya melihat locianpwe seorang sakti, maka saya ingin menjadi murid locianpwe agar
memiliki kepandaian untuk menolong orang-orang lemah. Dunia begini kejam dan banyak orang
menderita sengsara, saya mau mempergunakan kepandaian untuk menentang gerombolan yang
mengganggu rakyat !" Tentu saja jawaban Seng Bu ini terdorong oleh pengalaman keluarganya
yang binasa oleh gerombolan pemberontak yang di samping memberontak terhadap pemerintah,
sebagian besar juga melakukan perampokan-perampokan dan mengganggu rakyat jelata yang
tidak tahu apa-apa.
"Ha " ha " ha, maksudmu gerombolan pemberontak ?"
Seng Bu teringat akan gerombolan yang membasmi keluarganya dan dia mengangguk.
"Wah, kalau begitu kelak kalian tentu akan bermusuhan lagi. Siu Coan ingin menjadi
pemimpin pemberontak dan engkau akan menjadi penentang pemberontak. Bagaimana ini ?"
"Locianpwe, saya ingin memberontak terhadap penjajah Mancu, bukan pengganggu
rakyat jelata !" Siu Coan berkata dengan tegas dan penuh semangat kegagahan.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
101 "Dan saya tidak membela pemerintah, melainkan membela rakyat yang tertindas !" kata
pula Seng Bu. "Ha " ha " ha, bagus, bagus. Aku suka menjadi guru kalian ?"". "
"Suhu ?"". !" kata Siu Coan dan Seng Bu hampir berbareng, berlutut di depan kaki
kakek gendut itu. Si kakek gendut tertawa bergelak beberapa lamanya, lalu tiba-tiba dia berhenti ketawa dan bersikap sungguh-sungguh.
"Kalian gigit lengan kiri sendiri sampai keluar darah !" Tiba-tiba dia berkata, sekali ini
tidak tertawa lagi, bahkan suaranya terdengar galak. Dua orang anak itu hanya sebentar saja
kelihatan kaget, akan tetapi tanpa menoleh ke sana-sini, Siu Coan lalu membawa lengan kirinya ke mulut dan menggigit lengan dekat pergelangan sampai kulit terobek dan darah mengalir
keluar. Seng Bu juga melakukan hal yang sama walaupun tidak secepat Siu Coan.
"Mendekatlah !"
Siu Coan san Seng Bu merangkak dekat, dan kakek itu lalu menarik lengan mereka,
menekan dan beberapa tetes darah keluar dari luka itu, ditadahnya dengan mangkok. Setelah
menadahi beberapa tetes darah dari kedua orang pemuda remaja itu di dalam mangkok, dia lalu
menuangkan arak ke dalam mangkok.
"Kalian benar-benar ingin menjadi muridku ?"
Dua orang anak laki-laki itu mengangguk.
"Kalau begitu bersumpahlah kepada darahmu sendiri bahwa kalian berdua sejak sekarang
menjadi saudara seperguruan dan tidak boleh bermusuhan satu sama lain, dan ke dua kalian harus mentaati apa saja yang kuperintahkan tanpa ragu-ragu dan tanpa bertanya-tanya."
"Baik, suhu."
Atas petunjuk Thian-tok, kedua orang anak itu lalu berlutut delapan kali dan
mengucapkan sumpah itu, dan atas permintaan Thian-tok menambahkan bahwa kalau mereka
melanggar sumpah, mereka akan mati mandi darah.
Kakek itu lalu minum sedikit arak bercampur darah itu, kemudian minta kepada Siu Coan
dan Seng Bu untuk minum pula, seorang separuh. Dua orang pemuda remaja itu tanpa ragu-ragu
minum arak bercampur darah mereka dan barulah kakek itu tertawa bergelak.
"Ha " ha " ha " ha, selama hidupku baru satu kali aku mempunyai murid, akan tetapi dia
sudah mengecewakan hatiku. Sekarang tiba-tiba aku mendapatkan dua orang murid yang
menyenangkan. "Eh, Siu Coan dan Seng Bu, tahukah kalian siapa yang menjadi guru kalian
ini ?" Dua orang anak itu mengangkat muka memandang wajah gurunya dan baru sekarang
mereka teringat bahwa mereka itu sama sekali tidak mengenal kakek yang telah menjadi guru
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
102 mereka ini, dan betapa aneh pertemuan antara mereka dengan guru mereka itu. Mereka
menggeleng kepala dan memandang dengan sinar mata penuh pertanyaan.
Kakek gendut itu tertawa. Perutnya yang besar itu bergerak-gerak seperti ada apa-apanya
yang hidup di sebelah dalamnya dan matanya mengeluarkan sinar mencorong yang membuat
kedua orang anak itu merasa serem dan takut. Ada sesuatu pada diri kakek peramah ini yang
amat menyeramkan dan menakutkan.
"Ha " ha " ha, ketahuilah bahwa gurumu ini bukan orang sembarangan, bahkan pada
waktu ini dapat dibilang menduduki tempat nomor satu dan paling tinggi di dunia persilatan !"
Tentu saja dua orang pemuda remaja itu terkejut dan girang, akan tetapi juga merasa ragu-
ragu. Apakah kakek yang menjadi guru mereka ini tidak terlalu sombong, pikir mereka.
"Orang menjuluki aku Thian-tok, Racun Langit ! Ha " ha " ha, Racun Langit, seorang di
antara empat Racun Dunia, akan tetapi jelas bahwa akulah yang paling hebat, ha " ha !"
Dua orang pemuda remaja itu menoleh dan saling pandang. Jangan-jangan kakek gendut
ini telah miring otaknya, pikir mereka. Mereka berdua sama sekali tidak pernah mendengar
julukan dengan segala Racun itu.
"Heh " heh, tentu saja kalian tidak pernah mendengar nama itu. Kalian bukan dari
keluarga kang-ouw, bahkan orang-orang kang-ouw yang kepalang tanggung saja tidak akan
mengenalku. Akan tetapi, ketahuilah bahwa kalian akan kujadikan jagoan-jagoan yang paling
unggul di dunia ini."
"Terima kasih, suhu," kata dua orang anak itu, masih agak ragu-ragu walaupun girang.
Demikianlah, mulai hari itu, Ong Siu Coan dan Gan Seng Bu menjadi murid-murid
Thian-tok dan dua orang pemuda remaja ini mengikuti kakek itu merantau. Makin lama mereka
menjadi murid kakek itu, mereka menjadi semakin kaget, heran dan takut di samping perasaan
girang karena kakek itu memang benar sakti sekali dan mengajarkan ilmu-ilmu yang amat tinggi
kepada mereka. Yang membuat mereka merasa serem adalah setelah makin lama mereka makin
mengenal watak kakek itu. Watak yang aneh, mendekati gila, dan kadang-kadang dapat bersikap
kejam bukan main,membunuh orang sambil tertawa-tawa saja, tidak pantang pula mencuri dan
melakukan perbuatan-perbuatan jahat lainnya. Akan tetapi semua perbuatan itu dilakukan sambil tertawa dan dengan mempergunakan ilmu yang mengagumkan hati dua orang pemuda remaja itu.
Ong Siu Coan yang juga memiliki watak ugal-ugalan dan aneh, di samping kecerdikan luar biasa, agaknya suka dan cocok sekali dengan watak gurunya yang aneh itu, bahkan dia dapat ikut
tertawa-tawa kalau gurunya menyiksa atau membunuh orang. Adapun Gan Seng Bu yang
melihat semua ini, diam-diam merasa tidak suka. Akan tetapi karena kakek itu sayang kepadanya dan menurunkan pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi, diapun menahan diri dan berlatih dengan
giatnya. Diam-diam dia mengkhawatirkan keadaan suhengnya, Siu Coan yang agak lebih tua
menjadi suheng dan dia menjadi sute, karena suhengnya ini kadang-kadang juga aneh seperti
orang gila. Banyak tempat mereka jelajahi dan kadang-kadang kakek itu mengajak mereka
"pulang" yaitu ke sebuah guha besar di puncak Tai-yun-san di mana Thian-tok suka bertapa dan
bersembunyi di dunia ramai. Dan dalam guha besar yang banyak rahasianya inilah Thian-tok
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
103 menyimpan barang-barangnya yang ternyata amat banyak dan cukup membuat orang menjadi
kaya raya, yaitu benda-benda hasil pengumpulannya ketika dia masih menjadi datuk sesat dan
tumpukan benda itu masih terus ditambah dari hasil pencuriannya di gedung-gedung besar milik
para hartawan atau bangsawan.
*** Semenjak terjadi peristiwa antara dia dengan mendiang guru silat Siauw Teng yang
kemudian disusul pula dengan peristiwa dengan Tan Siucai, hati hartawan Ciu Lok Tai merasa
tidak enak dan selalu terancam. Dia dapat merasakan bahwa sesungguhnya banyak terdapat
orang-orang seperti mereka itu, dan bahwa tulisan-tulisan Tan Siucai menghasut orang-orang
yang mungkin kini memandang kepadanya dengan penuh kebencian. Orang-orang yang tidak
setuju adanya candu yang beredar di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, dia lalu memanggil Jagoan-jagoan dari seluruh Kanton untuk menjadi pengawal-pengawalnya. Akan tetapidia selalu
kurang puas dengan mereka ini. Dari hubungan dagangnya dengan orang barat, dia berhasil
memperoleh sebuah senjata api yang selalu dibawanya ke manapun dia pergi. Bahkan di waktu
tidur sekalipun senjata api itu disimpan di bawah bantalnya.
Saking khawatirnya akan keselamatan diri sendiri dan keluarganya yang timbul dari
perasaan banyak dimusuhi orang, Ciu Wan-gwe atau Ciu Lok Tai selalu merasa tidak puas
dengan jagoan-jagoan yang mengawalnya dan setiap ada jagoan baru yang datang untuk bekerja
padanya, dia mengujinya dengan pistolnya ! Setiap orang calon harus mampu menghadapi
serangan pistolnya dalam jarak tiga tombak sebanyak tiga kali tembakan ! Dan sampai beberapa tahun lamanya, hasilnya tidak memuaskan entah sudah berapa banyaknya jagoan yang roboh
tertembus peluru, ada yang tewas dan banyak yang luka-luka. Tentu saja mereka tidak diterima, hanya diberi uang sekedar biaya berobat atau mengurus penguburannya saja. Dan makin jarang
yang berani datang melamar pekerjaan kepala pengawal itu. Terpaksa Ciu Wan-gwe harus
mengandalkan keselamatannya pada pengawalan hampir seratus orang pengawal yang selalu
mengepung gedungnya, hal yang amat tidak enak dirasakannya. Dia menghendaki satu dua
orang saja pengawal yang benar-benar tangguh, yang mampu menghadapi musuh yang datang
menyerang dengan senjata api !
Dan sesungguhnya bukan karena ingin mempunyai pengawal yang tangguh saja dia
mencari orang yang mampu menandingi pistolnya, akan tetapi selain itu juga dia ingin
mencarikan seorang guru untuk putrinya yang terkasih. Ciu Wan-gwe mempunyai banyak istri,
akan tetapi hanya dari seorang selirnya yang paling disayangnya sajalah dia memperoleh
keturunan, seorang anak perempuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apa bila dia dan
sekeluarganya amat sayang kepada Ciu Kui Eng, puterinya itu. Puterinya itu sejak kecil suka
sekali dengan ilmu silat dan sejak kecil telah disuruhnya para pengawal yang memiliki ilmu silat yang lihai untuk memberi gemblengan kepada puterinya.
Namun semua usahanya itu sia-sia. Agaknya tidak ada ahli silat yang berani lagi
mencoba ujian dengan pistol itu. Tentu saja, di dunia persilatan banyak yang akan mampu
menandingi lawan yang berpistol, akan tetapi para pendekar yang berjiwa patriot mana sudi
menghambakan diri kepada seorang hartawan yang membantu penyebaran racun madat kepada
rakyat jelata " Itulah sebabnya mengapa sampai lewat enam tahun setelah terjadi peristiwa
dengan Tan Siucai, Ciu Wan-gwe belum juga mendapatkan seorang jagoan yang mampu
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
104 menandingi pistolnya. Dan selama enam tahun itu, terpaksa pula Kui Eng hanya belajar ilmu
silat dari guru-guru biasa yang menjadi pengawal-pengawal ayahnya.
Pada suatu pagi, Kui Eng berlatih ilmu silat di pekarangan depan gedungnya, dipimpin
oleh tiga orang guru silat sekaligus. Guru-guru silat ini merupakan kepala-kepala pengawal di gedung Ciu Wan-gwe. Anak ini memang manja, karena dimanja oleh keluarga orang tuanya.
Kalau berlatih kadang-kadang ia minta dilakukan di pekarangan depan. Hal ini adalah karena
kemanjaannya, untuk pamer karena kalau ia berlatih di pekarangan itu, orang-orang di luar
gedung dapat melihatnya melalui pintu besi terbuka. Ia senang sekali mendengar seruan kagum
dari orang-orang yang lewat, dan pandang mata mereka yang penuh kagum. Ia tidak perduli
apakah mereka itu sungguh-sungguh mengagumi kelincahannya bersilat, atau kecantikannya,


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau juga hanya sekedar mengeluarkan seruan kagum untuk menyenangkan hatinya sebagai puteri
orang terkaya di Tungkang ! Ia tidak perduli. Pokoknya, ia ingin dipuji dan disanjung orang.
Memang menyenangkan sekali nonton gadis cilik itu bersilat. Pada waktu itu, Kui Eng
telah berusia duabelas tahun, seorang gadis remaja yang sudah mulai nampak kecantikannya
walaupun masih kekanak-kanakan. Wajahnya manis sekali, sinar matanya tajam dan pakaiannya
indah. Gerakan-gerakannya juga indah dan manis gemelai, seperti orang menari saja dan tiga
orang guru silat yang melatihnya memandang sambil kadang-kadang mengangguk-anggukkan
kepala dengan hati bangga. Ketika orang-orang di luar pintu gerbang berkerumun ikut nonton,
hati tiga orang guru silat ini semakin besar. Kamilah gurunya, demikian hati mereka bersorak.
"Heiiiittt .......... !!" Kui Eng mengakhiri gerakan silatnya dengan sebuah pukulan
mematikan kepada lawan yang hanya dibayangkannya saja, kemudian ia berdiri tegak ke arah
pintu gerbang sambil tersenyum manis, menggerakkan kepala untuk memindahkan kuncir
rambutnya yang hitam panjang itu ke belakang. Terdengarlah tepuk tangan dan sorakan memuji
dari luar pintu gerbang dan seperti seorang pemain panggung yang menerima pujian para
penontonnya, Kui Eng mengangguk-angguk ke arah mereka sambil memperlebar senyumnya.
Akan tetapi, dari penonton itu muncul seorang kakek yang pakaiannya jubah pendeta atau
tosu. Kakek ini sukar ditaksir usianya, tentu sudah lanjut sekali usianya. Tubuhnya pendek kecil, kepalanya botak hampir gundul. Alis, kumis dan jenggotnya panjang dan sudah putih semua, dan tangan kirinya memegang tasbeh hitam, tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam
butut. "Heh " heh, nona cilik. Engkau tadi menari ataukah bersilat " Uhhh, bukan begitulah
orang bersilat !"
Wajah gadis cilik yang tadinya berseri-seri itu berubah, sepasang alisnya yang hitam
berkerut dan sepasang matanya yang tajam itu memandang marah. "Kau .......... kakek lancang mulut ! Siapakah kau ?" bentaknya sambil membanting kaki kanannya karena jengkel dicela
oleh kakek itu yang dianggapnya sebagai penghinaan dan mengusir semua rasa bangga dari
hatinya. "Heh " heh, kalau engkau haus pujian seperti itu, sampai kapanpun engkau tidak akan
bisa menguasai ilmu silat yang sesungguhnya, kecuali ilmu tari-tarian yang nampak indah saja.
Lebih baik belajar menari saja, nona."
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
105 Melihat munculnya kakek itu yang mencela ilmu silat murid mereka, tentu saja tiga orang
guru silat yang juga menjadi kepala pengawal itu menjadi marah sekali. Mereka maju
menghadapi kakek itu dan memandang dengan penuh perhatian, ingin tahu siapa gerangan kakek
yang lancang dan berani mencela murid mereka itu. Akan tetapi, mereka merasa belum pernah
mengenal kakek ini, juga tidak pernah mendengar adanya seorang tokoh persilatan seperti kakek ini. Seorang kakek pendek kecil, ditiup saja rasanya sudah akan terjungkal !
Pada saat itu, terdengar suara pertanyaan yang nyaring, "Ada apakah " Kenapa ribut-
ribut ?" Melihat munculnya ayahnya dari dalam, Kui Eng yang manja lalu lari dan merangkul
pinggang ayahnya. "Ayah, kakek itu kurang ajar sekali, berani mencela ilmu silatku, mengatakan agar aku belajar menari saja karena ilmu silatku seperti orang menari."
Sementara itu tiga orang guru silat ketika melihat majikan mereka keluar, menjadi
semakin galak, seperti anjing-anjing peliharaan yang mengibaskan ekor melihat majikannya dan
ingin menjilat dan mencari muka.
"Kakek tua bangka tak tahu diri, berani engkau lancang mulut mencela permainan murid
kami ?" Seorang di antara tiga kepala pengawal itu membentak.
"Kalau tidak melihat engkau sudah tua mau mati, tentu aku sudah menghajarmu !" teriak
pula orang ke dua.
"Engkau ini kakek busuk yang tidak tahu apa-apa tentang ilmu silat, besar mulut sekali
berani menilai !" bentak orang ke tiga.
"Tahan dulu !" Ciu Wan-gwe berseru melihat betapa tiga orang kepala pengawalnya
mulai bergerak hendak menghajar kakek itu dan belasan orang pengawal yang tertarik oleh
keributan itupun sudah keluar dan siap untuk mengeroyok. Tiga orang kepala pengawal itu tentu saja menahan gerakan mereka ketika mendengar teriakan majikan mereka.
Ciu Wan-gwe lalu duduk di atas sebuah kursi yang diseret datang oleh seorang
pengwalnya, kemudian dia memandang kakek yang masih berada di perkarangan itu. Sejenak ia
memandang keadaan kakek itu penuh perhatian, mengharapkan akan bertemu dengan seorang
aneh yang sakti. Akan tetapi hatinya kecewa. Kakek setua itu, dengan tubuh begitu kerempeng, mana mungkin sakti " jalannya saja sudah dibantu tongkat hitam butut, dan kerjanya tentu hanya berdoa dan menghitung biji tasbeh !
"Ayah, dia kurang ajar, berani menghinaku," puterinya yang berdiri di sisinya berkata
penasaran. Ayahnya mengangguk, lalu berkata kepada kakek itu, "Kakek tua, sungguh kami tidak
mengerti mengapa engkau begitu usil untuk mencela permainan silat anakku. Anakku ini selama
bertahun-tahun dilatih ilmu silat oleh mereka bertiga, bagaimana sekarang engkau berani mencela permainan anakku " Dengan demikian berarti engkau mencela ilmu silat mereka bertiga.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
106 Apakah menurut pendapatmu engkau memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari pada
mereka bertiga itu ?"
Kakek itu sambil menyeringai lebar, memperlihatkan mulut yang tidak bergigi lagi,
memandang sejenak kepada Ciu Wan-gwe, kemudian menoleh kepada tiga orang kepala
pengawal itu dan berkata, "Mereka bertiga ini seperti anjing-anjing yang pandai menggonggong saja akan tetapi tidak mampu menggigit !"
Tentu saja tiga orang kepala pengawal itu menjadi marah bukan main, apa lagi ketika
mereka melihat betapa pandang mata semua orang berseri seolah-olah mentertawakan mereka,
walaupun tidak ada suara ketawa yang terdengar. Akan tetapi, di depan majikan mereka, tidak
berani mereka bertindak lancang.
"Taiya (tuan besar), kakek tua bangka ini terlalu menghina kami, bolehkah kami
menghajarnya ?" seorang di antara mereka minta perkenan.
Ciu Wan-gwe kembali memandang kakek itu. "Kakek tua, beranikah engkau melawan
tiga orang kepala pengawal kami ini ?" Lalu disambungnya, "Kalau kau tidak berani, cepat
berlutut dan minta ampun kepada puteriku, juga kepada tiga orang kepala pengawalku !"
"Ho " ho, jangankan baru tiga ekor anjing penjilat ini, biar ditambah tigapuluh lagi,
tongkatku masih sanggup mengusir mereka !" Kakek itu mengacung-acungkan tongkat
hitamnya seolah-olah bersikap hendak mengusir anjing-anjing yang berani mengganggunya.
Tentu saja ucapan dan sikapnya ini dianggap keterlaluan dan mulailah orang-orang menganggap
bahwa kakek itu tentu seorang yang miring otaknya. Ciu Wan-gwe juga menduga demikian,
maka diapun merasa tidak enak kalau tiga orang kepala pengawalnya sampai mengeroyok
seorang kakek tua renta yang gila.
"Seret orang tua gila ini keluar pintu dan lemparkan dia di jalanan !" bentak Ciu Wan-
gwe kepada tiga orang kepala pengawalnya.
Tiga orang kepala pengawal yang tadinya marah sekali itu kinipun saling pandang.
Mereka juga menduga bahwa kakek ini tentu orang gila, maka tidak enaklah hati mereka kalau
harus menghajar, apa lagi mengeroyok seorang kakek gila yang sekali dorong saja akan roboh
dan mungkin tewas. Mereka tidak mau mencari perkara dan biarlah mereka akan menyeret saja
kakek itu dan melemparnya keluar pintu seperti yang diperintahkan majikan mereka.
"Kakek gila, minggatlah dari sini !" teriak mereka dan tiga orang kuat itu lalu
mencengkeram tubuh si kakek. Seorang memegang lengan kiri, seorang memegang lengan kiri,
seorang lengan kanan dan orang ke tiga mencengkeram tengkuk kakek itu. Mereka bermaksud
untuk menyeretnya dan melemparkannya keluar.
Akan tetapi kini terjadi keanehan yang membuat semua orang terbelalak. Tiga orang
kepala pengawal itu tentu saja adalah orang-orang yang bertenaga besar, berusia kurang dari
limapuluh tahun dan memiliki ilmu silat yang cukup lihai. Akan tetapi kini mereka bertiga itu nampak terkejut karena ternyata mereka tidak kuat dan tidak mampu menarik tubuh si kakek tua !
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
107 Biarpun mereka telah mengerahkan tenaga membetot-betot, namun sedikitpun tubuh kakek itu
tidak bergeming ! Kakek itu berdiri tegak dan hanya tersenyum menyeringai, akan tetapi tiga orang kepala pengawal itu seperti tiga ekor monyet yang berusaha mencabut sebatang pohon
yang akarnya mencengkeram tanah amat kuatnya ! Tiga orang itu tentu saja bukan hanya
terkejut dan heran, akan tetapi juga penasaran sekali.
"Uhhh ! Hehhh ! Uhhh !" Mereka mengerahkan tenaga sekuatnya, tidak percaya bahwa
mereka tidak akan mampu menyeret tubuh tua yang ringkih itu.
"Prooott .......... !" Tanpa disangka-sangka, dan tidak dapat ditahan-tahan, seorang di
antara tiga kepala pengawal itu yang pagi tadi terlalu banyak makan bubur gandum,
mengeluarkan gas yang memberobot dari belakang. Agaknya pengerahan tenaga sekuatnya itu
membuat bendungan belakangnya jebol.
"Uwahhhh .......... bau kentut busuk .......... !" Kakek itu menutupi hidungnya dengan
sikap jijik dan memandang kepada Ciu Wan-gwe. "Wan-gwe lihat, betapa sia-sianya memberi
makan enak kepada mereka ini, hanya menjadi kentut busuk saja !"
Terdengar suara ketawa karena mereka yang nonton di luar pintu gerbang tak dapat
menahan rasa geli di dalam hati mereka melihat peristiwa lucu itu. Tentu saja tiga orang kepala pengawal itu selain terkejut dan heran, juga marah dan penasaran sekali. Kini merekapun dapat menduga bahwa kakek ini seorang pandai, akan tetapi karena kakek itu mereka anggap terlalu
menghina dan juga merendahkan mereka dalam pandangan Ciu Wan-gwe, berarti membahayakan
kedudukan mereka, maka merekapun menjadi nekat.
"Tuabangka, engkau menggunakan ilmu siluman !" teriak mereka dan kini mereka tidak
hanya berusaha menyeret, melainkan menggerakkan tangan untuk memukul tubuh kakek kecil
kurus itu dengan pengerahan tenaga yang kuat. Tiga buah tangan yang dikepal kuat menghantam
ke arah punggung, dada dan kepala kakek itu yang agaknya sama sekali tidak mau mengelak atau
menangkis. Melihat ini, semua orang merasa khawatir, bahkan Ciu Wan-gwe sendiri
mengerutkan alisnya. Kakek itu tentu akan tewas dan dia tidak suka melihat tiga orang kepala pengawal itu membunuh orang di rumahnya tanpa perintah darinya.
Terdengar suara bak " bik " buk ketika tiga kepalan tangan itu menimpa sasarannya.
Akan tetapi terjadilah keajaiban. Bukan tubuh kecil kurus itu yang ringsek, melainkan tubuh tiga orang kepala pengawal itulah yang terpental, terjengkang dan terbanting keras ke atas tanah !
Tiga orang kepala pengawal itu tidak terluka parah, hanya benjut-benjut saja karena
terbanting. Mereka terpental oleh tenaga sendiri yang membalik secara aneh. Andaikata mereka tadi memukul dengan tenaga kecil, tentu mereka tidak akan menderita apa-apa, dan mungkin
hanya pukulan itu membalik. Akan tetapi mereka menggunakan tenaga besar dan ketika tenaga
mereka membalik, mereka seperti terpukul oleh tenaga sendiri yang membuat mereka terpental
dan terjengkang.
"Kakek iblis !" Teriak mereka dan kini mereka sudah menyambar golok mereka. Tiga
orang ini adalah kepala pengawal Ciu Wa "gwe yang berpengaruh di antara para pejabat daerah,
oleh karena itu mereka berani mempergunakan senjata tajam walaupun ada peraturan resmi dari
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
108 pemerintah yang melarang orang memiliki dan membawa senjata tajam. Dengan kemarahan
meluap, tiga orang itu sudah menerjang kakek kecil kurus dan pendek itu tanpa banyak cakap
lagi. Ciu Wan-gwe hendak mencegah, akan tetapi tiba-tiba diapun tertarik sekali. Siapa tahu
kakek pendek kecil ini seorang yang sakti dan dia amat membutuhkan orang sakti, terutama
sekali yang akan mampu menandingi pistolnya ! Dia membutuhkan seorang pengawal sakti,
bukan hanya untuk menjaga keselamatan keluarganya, juga terutama sekali untuk dapat menjadi
guru Kui Eng. Maka, dia membiarkan tiga orang kepala pengawalnya itu untuk menyerang
kakek itu untuk mengujinya.
Semua orang memandang dengan mata terpentang lebar-lebar untuk mengikuti gerakan
mereka yang berkelahi. Tiga orang kepala pengawal itu menyerang si kakek kecil dari tiga
jurusan dan kakek itu agaknya tidak akan berpindah dari tempat dia berdiri. Akan tetapi sungguh aneh sekali. Ketika tiga orang penyerang itu telah tiba dekat dan golok mereka itu sudah
menyambar, hanya tinggal beberapa sentimeter saja dari tubuh kakek itu, tiba-tiba mereka bertiga mengeluarkan teriakan kaget dan tubuh mereka terlempar ke kanan kiri, padahal kakek itu hanya memutar tasbehnya satu kali saja dan tidak kelihatan tasbeh itu mengenai tubuh mereka. Sekali ini, tiga orang kakek itu terbanting keras sekali dan golok mereka terlepas, dan sekali ini tidak mudah bagi mereka untuk meloncat bangun, melainkan mengaduh-aduh dan mencoba untuk
merangkak bangun.
Kini mereka telah sampai di batas yang tidak mungkin untuk mundur lagi. Mereka jelas
telah mendapat malu dari kakek itu, bukan hanya di depan majikan mereka, bahkan di depan
banyak orang yang berkerumun di depan pintu. Mereka akan menjadi bahan ejekan, nama
mereka akan merosot dan jatuh. Tidak ada lain jalan kecuali nekat mengadu nyawa dengan orang yang mendatangkan malapetaka bagi mereka itu. Biarpun tubuh mereka terasa sakit-sakit, dan
biarpun mereka kini sudah tahu bahwa kakek itu sungguh seorang yang amat lihai, mereka yang
sudah nekat itu lalu berhasil bangkit kembali, mengambil golok mereka dan dengan sikap
mengancam kini mengurung kakek itu yang hanya tersenyum menyeringai dengan sikap
mengejek dan memandang rendah.
"Tahan .......... !" Tiba-tiba terdengar bentakan Ciu Wan-gwe kepada tiga orang kepala
pengawalnya. "Mundurlah kalian dan biarkan aku bicara dengan kakek itu !"
Mendengar perintah majikan mereka, tiga orang itu menyimpan golok dan mundur,
dengan hati yang agak lega karena mereka kini dapat menghentikan perkelahian itu bukan karena kalah, melainkan karena dilerai dan dilarang oleh majikan mereka. Semua orang dapat melihat
bahwa walaupun sudah dua kali roboh, mereka masih belum menyerah dan akan menyerang lagi,
berarti mereka belum kalah ! Mereka kini berani mengangkat dada sambil mundur mendekati
nona majikan, juga murid mereka yang kini bersama ayahnya sudah turun dari atas undak-
undakan. "Orang tua yang gagah," kata Ciu Wan-gwe ketika berhadapan dengan kakek itu.
"Sudah lama sekali kami mencari seorang pengawal yang memiliki kesaktian. Akan tetapi usaha
kami itu selalu gagal karena semua pelamar tidak mampu lulus dalam ujian yang kami adakan.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
109 Melihat kehebatanmu yang mampu melawan tiga orang kepala pengawalku, agaknya engkau
memiliki kepandaian yang tinggi. Maukah engkau menjadi pengawal keluarga kami " Berapa
saja upah yang kauminta, tentu akan kami penuhi !"
Sejenak mata kakek itu memandang Ciu Wan-gwe dengan sinar mata penuh selidik,
kemudian dia tertawa. "Heh " heh, semua orang di dunia ini gila akan uang, dari kecil sampai tua dan mati. Akan tetapi apakah artinya uang bagi seorang tua renta macam aku ini " Tidak, Wan-gwe, aku tidak gila harta. Aku mau tinggal di sini dan menjadi pengawal keluargamu,
bukan untuk uang, melainkan untuk anak itu !" Kakek kecil pendek itu menudingkan tongkat
hitamnya ke arah Kui Eng yang sejak tadi berdiri nonton dengan sepasang mata bersinar-sinar.
Mendengar ucapan itu, Ciu Wan-gwe mengerutkan alisnya dan sudah siap mengerahkan
seluruh pengawalnya kalau kakek kecil itu hendak berbuat yang tidak sepatutnya. "Orang tua
yang aneh, apa artinya kata-katamu yang menyangkut puteri kami ini ?" tanyanya dengan suara setengah membentak karena dia menyangka bahwa kakek itu mempunyai niat yang tidak baik.
"Heh " heh, kalau bukan karena puterimu itu, perlu apa aku datang ke tempat ini " kakek
itu balas bertanya. "Tadi aku telah melihat gerak-geriknya dan aku berpendapat bahwa baru
sekaranglah aku menemukan calon murid yang sudah lama kucari-cari."
Mendengar ini, bukan main girangnya rasa hati Ciu Wan-gwe. "Kakek yang sakti, tidak
mudah menjadi guru puteriku dan pengawal pribadi keluargaku. Engkau harus melalui sebuah
ujian dariku ?"". "
"Heh " heh, kau terlalu mengandalkan dan membanggakan senjata apimu itu, Wan-gwe.
Orang lain boleh jadi takut menghadapinya, akan tetapi aku tidak !"
Mendengar jawaban ini, hati Ciu Wan-gwe menjadi semakin girang. Baru sekaranglah
timbul harapan di dalam hatinya yang ingin menemukan seorang yang demikian saktinya
sehingga bukan saja berilmu tinggi, akan tetapi juga mampu mengalahkan lawan yang
mempergunakan senjata api.
Ketika dia melihat bahwa banyak orang berkerumun di depan pintu gerbang, Ciu Wan-
gwe lalu menyuruh para pengawal mengusir orang-orang itu dan menutupkan daun pintu
gerbang, kemudian dia mempersilahkan kakek itu dengan sikap hormat. "Orang tua yang gagah,
sebelum kita bicara tentang pengangkatanmu sebagai pengawal keluarga dan guru puteriku,
marilah lebih dahulu buktikan bahwa engkau mampu menandingi orang yang mempergunakan
senjata api. Bagaimana ?" Berkata demikian, hartawan itu lalu mengeluarkan sebuah pistolnya, senjata yang amat diandalkan, dan yang ditakuti oleh semua orang, termasuk para pengawalnya.
Entah sudah berapa banyak orang berkepandaian tewas atau luka-luka oleh senjata ini ketika
mereka diuji untuk menjadi pengawal keluarga Ciu.
Kakek itu terkekeh. "Heh " heh, boleh saja, boleh sekali. Bagaimana caranya, Wan-
gwe?" "Seperti yang pernah saya lakukan kepada para pelamar pekerjaan pengawal keluarga
kami. Engkau berdiri dalam jarak tiga tombak dan menghadapi serangan pistolku sebanyak tiga
kali. Kalau engkau tidak roboh oleh tiga kali tembakan, berarti kau lulus. Akan tetapi kalau Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
110 merasa gentar, sebaliknya batalkan saja karena sudah banyak orang yang terluka bahkan tewas
oleh peluru-peluru pistol ini." Berkata demikian, Ciu Wan-gwe mengelus pistolnya yang
dipelihara baik-baik sampai mengkilap.
Kakek itu terkekeh. "Heh " heh " heh, jarak tiga tombak cukup dekat bagiku untuk
merobohkan orang yang akan menembakku. Mungkin sebelum menembak dia sudah jatuh
olehku. Akan tetapi kalau engkau hendak mengujiku dengan tiga tembakan, silahkan, wan-gwe."
Tembakan pertama akan kutangkis. Tembakan ke dua akan kuelakkan dan tembakan ke tiga
sebelum meletus, pistol itu sudah akan pindah ke tanganku !"
Semua orang terbelalak dan menganggap kakek itu benar-benar sudah gila, atau memang
orangnya sombong setengah mati. Mana ada orang mampu menangkis peluru " Mengelakkan
mungkin bisa walaupun hal ini amat sukar dan berbahaya. Dan merampas peluru sebelum
ditembakkan juga rasanya tidak mungkin.
Akan tetapi Ciu Wan-gwe mempunyai penilaian tinggi terhadap kakek kecil pendek ini
dan diapun mengajak kakek itu untuk pergi ke ruangan belakang. "Kami mempunyai ruangan
yang khusus untuk ujian itu, agar peluru tidak sampai nyasar membahayakan orang lain."
Sambil tersenyum-senyum kakek itu lalu mengikuti Ciu Wan-gwe dan para pengawal
yang semua segera tertarik untuk menyaksikan kelihaian kakek ini. Kui Eng sendiri sejak tadi sudah merasa kagum kepada kakek yang mampu mengalahkan tiga orang gurunya hanya dalam
dua gebrakan saja, maka iapun tidak mau ketinggalan dan ikut ke ruangan itu dengan wajah
berseri dan pandang mata bersinar-sinar.
Suasana amat menegangkan ketika kakek itu dengan kedua tangan masih memegang
tongkat dan tasbeh, berdiri dengan sikap amat tenangnya di depan Ciu Wan-gwe, hanya dalam
jarak tiga tombak saja, kurang lebih lima meter !
"Sebelum aku menembakkan pistolku, aku ingin mengetahui siapakah sebetulnya
locianpwe ini, datang dari mana dan mengapa tiba-tiba saja mengunjungi kami ?" Ciu Wan-gwe
bertanya sambil menimang-nimang pistolnya yang sudah diisi enam peluru baru. Karena dia
sendiri tidak pandai ilmu silat dan untuk mempelajarinya memakan waktu lama dan dia tidak
tekun, maka dia mempelajari ilmu menembakkan pistol itu dan dalam hal ini Ciu Wan-gwe dapat
dibilang mahir juga. Tidak enak rasanya menembak orang yang belum diketahuinya siapa karena
mungkin saja kakek ini akan tewas oleh peluru pistolnya.
"Ciu wan-gwe, begitu memasuki Tung-kang, aku sudah mendengar bahwa engkau
mencari seorang pengawal keluarga dengan ujian pistol. Kau ingin mengetahui namaku " Heh "
heh, aku tidak punya nama, akan tetapi aku pernah dikenal orang dengan julukan Tee-tok (Racun Bumi), heh " heh ! Dan tempat tinggalku adalah di dunia ini, di mana saja aku berada di situlah tempat tinggalku. Nah, aku sudah siap, Ciu Wan-gwe."
Nama ini sama sekali tidak dikenal oleh Ciu Wan-gwe maupun para pengawalnya yang
saling pandang. Akan tetapi sikap kakek itu sungguh mengesankan hati semua orang dan kini
timbul kepercayaan di hati hartawan itu bahwa kakek inilah yang kiranya akan mampu lulus ujian pistolnya.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
111 "Baik, locianpwe, aku akan menghitung sampai tiga baru akan kutembakkan peluru
pertama yang disusul peluru ke dua dan ke tiga tanpa hitungan lagi. Awas, tembakanku cepat
dan tepat, locianpwe."
"Ha " ha " ha, aku sudah siap sejak tadi, mulailah !"
"Satu .......... dua .......... tiga ..........Dorrr .......! Tringgg .......... !"
Ketika Ciu Wan-gwe tadi menghitung sampai tiga, Kakek itu tiba-tiba memutar
tongkatnya dan nampaklah gulungan sinar hitam lebar menutupi tubuhnya di bagian depan
seperti sebuah perisai lebar sehingga ketika tembakan pertama dilakukan, peluru itu tertangkis perisai istimewa itu dan pelurunya terpental entah kemana.
Ciu Wan-gwe terkejut dan sudah siap menembakkan peluru ke dua. Pada jaman itu,


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pistol yang dipergunakan besar dan berat, memiliki daya tendang yang kuat sehingga untuk
menembakkannya orang harus mengerahkan tenaga dan membanting ke depan. Hal ini tentu saja
memperlambat gerakan menembak dan begitu pistol itu meledak dan asap mengepul sebagai
tembakan ke dua, tubuh kakek kecil pendek itu sudah lenyap karena dia sudah melempar tubuh
ke atas tanah, beberapa detik saja dari lewatnya peluru yang mengenai dinding tebal di
belakangnya ! Ternyata kakek itu mampu menghindarkandiri dari peluru ke dua dengan cara
mengelak seperti yang dijanjikannya tadi.
Ciu Wan-gwe melihat tubuh kecil itu bergulingan. Dia teringat bahwa kakek tadi berjanji
akan merampas pistol sebelum tembakan ke tiga kalinya dilakukan. Biarpun dia kagum terhadap
kakek yang mampu menghindarkan diri dari dua kali tembakan, namun rasa harga dirinya dan
kebanggaannya tersinggung kalau dia dikalahkan, maka dia sengaja memegang pistolnya erat-
erat dan cepat-cepat hendak menembakkan peluru ke tiga ke arah tubuh yang bergulingan
sebelum pistolnya terampas sehingga andaikata dia luput menembak juga, tetap saja pistol itu
berada di tangannya dan tidak terampas. Dengan demikian, walaupun si kakek lulus, akan tetapi tidak mampu merampas pistolnya ! Akan tetapi tubuh itu bergulingan dengan amat cepatnya
sehingga sukarlah dia menentukan bidikannya. Sasaran yang bergerak demikian cepatnya
memang sukar ditembak.
Tiba-tiba nampak sinar hitam kecil berkelebat, disusul teriakan Ciu Wan-gwe dan pistol
itu tiba-tiba saja terlepas dari tangannya yang mendadak menjadi lumpuh karena pergelangan
tangannya tadi disambar sebutir biji tasbeh yang tepat mengenai jalan darahnya ! Sebelum dia mampu berbuat sesuatu, tiba-tiba saja tubuh yang bergulingan itu berkelebat dan pistol yang jatuh ke atas tanah itu telah disambar oleh tangan si kakek kecil yang kini sudah berdiri lagi sambil memegang pistol yang masih mengepulkan asap itu, menimangnya dengan alis mata berkerut dan
hidung diangkat mencemoohkan !
"Bagus .......... , bagus .......... !" Kui Eng bersorak dan bertepuk tangan dan perbuatan ini segera diturut oleh para pengawal yang merasa kagum bukan main. Kalau tidak menyaksikan
dengan mata kepala sendiri tentu mereka tidak akan percaya bahwa ada orang bukan hanya
berhasil menghadapi serangan tiga kali tembakan dari jarak dekat, bahkan sebelumnya telah
menentukan cara penghindaran diri dengan menangkis, mengelak lalu merampas pistol ! Setelah
kehilangan rasa kagetnya, Ciu Wan-gwe yang ternyata tidak mengalami cedera, hanya kaget
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
112 karena tangannya tiba-tiba lumpuh, kini ikut pula bertepuk tangan memuji. Dia tersenyum girang ketika kakek itu tanpa berkata-kata mengembalikan pistolnya yang cepat disimpannya.
Sebagai orang yang pandai mengambil hati pembantu yang berguna, Ciu Wan-gwe lalu
menjura ke arah Tee-tok dan berkata, "Ah, sungguh Thian telah mengirimkan seorang sahabat
dan seorang pandai yang sakti kepada keluarga kami. Locianpwe, mulai hari ini, locianpwe
adalah penyelamat keluarga kami dan murid anak tunggal kami. Kui Eng, cepat beri hormat
kepada suhumu !"
Kui Eng adalah seorang anak perempuan yang cerdik sekali. Biarpun ia pernah dilatih
oleh para pengawal ayahnya, akan tetapi ia tidak pernah menganggap mereka itu guru-gurunya
apa lagi karena merupakan nona majikan mereka. Kini, berhadapan dengan seorang kakek yang
begitu sakti, tanpa ragu-ragu lagi iapun menjatuhkan diri berlutut memberi hormat delapan kali kepadanya.
"Suhu, terimalah hormat teecu Ciu Kui Eng !"
"Ha " ha " ha, namamu Ciu Kui Eng " Bagus, mulai sekarang engkau menjadi muridku.
Kui Eng, engkau tidak tahu bahwa mulai detik ini, engkau telah mengangkat dirimu sendiri
menjadi calon wanita paling lihai di dunia ini !"
Semua orang yang mendengar ucapan ini menganggap bahwa kakek itu memang
sombong sekali. Akan tetapi Kui Eng tidak berpendapat demikian. Ia percaya penuh akan
ucapan suhunya dan ia menganggap bahwa suhunya adalah orang yang paling pandai di dunia
persilatan. Dugaannya memang tidak meleset jauh karena pada jaman itu, orang yang dapat
manandingi Tee-tok memang hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja.
Mulai hari itu, Tee-tok tinggal bersama keluarga hartawan Ciu Lok Tai. Biarpun
dianggap pengawal pribadi keluarga Ciu, namun dia tidak pernah bekerja sebagai pengawal dan
semenjak dia berada di situ, tidak pernah ada orang seperti mendiang Tan Siucai yang berani
mati, apa lagi sekarang setelah tersiar berita bahwa pengawal keluarga itu adalah seorang yang demikian saktinya sehingga mampu melawan musuh yang mempergunakan senjata api ! Dan
biasanya, berita itu selalu dibesar-besarkan, semut menjadi gajah, sehingga nama Tee-tok
menjadi semakin terkenal dan ditakuti orang.
Yang merasa beruntung adalah Kui Eng. Anak perempuan ini memang sejak kecil amat
suka mempelajari ilmu silat dan ia memiliki bakat yang amat baik. Kini, di bawah bimbingan
seorang guru yang amat pandai, tentu saja ia memperoleh kemajuan pesat sekali sehingga
gurunya sendiripun merasa senang kepadanya. Ia berkemauan keras dan tidak mengenal lelah,
berlatih dengan tekunnya di samping kecerdikannya sehingga setiap jurus ilmu silat yang
diajarkan gurunya, betapapun sukarnya, dipelajari dan dilatihnya sampai sempurna benar baru ia mau berhenti latihan. Setelah menjadi murid Tee-tok yang berwatak aneh dan tidak perdulian,
watak Kui Eng menjadi semakin keras, angkuh dan manja, akan tetapi iapun amat menghargai
kegagahan dan tidak mau bersikap rendah.
*** Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
113 Sang Waktu melesat dengan kecepatan kilat, dan hal ini terbukti apa bila kita mengenang
kembali masa lampau. Demikian cepatnya sang waktu berkelebat sehingga tahun-tahun
beterbangan seperti detik-detik saja. Seorang kakek-kakek akan teringat masa kanak-kanaknya
seperti baru kemarin saja dan agaknya sukar untuk percaya bahwa waktu kanak-kanak itu telah
ditinggalkannya selama puluhan tahun lamanya ! Sebaliknya, kalau kita mengamati dan
memperhatikan, waktu merayap seperti siput, perlahan-lahan dan seperti tidak pernah maju.
Sang Waktu nampak diam namun bergerak, dan memiliki kekuasaan yang tak terbatas,
seperti juga Tanah. Waktu menelan dan melahap semuanya, apa saja yang nampak, apa saja
yang hidup. Bahkan segala macam perasaanpun ditelannya habis-habis. Kesenangan, kedukaan,
apa saja, akan lenyap ditelan waktu, seperti juga Tanah yang akhirnya menelan segala sesuatu di dalam perutnya.
Waktu melesat dengan cepat dan hampir enam tahun lewat semenjak Siauw-bin-hud
berjanji kepada para tokoh yang memperebutkan pedang pusaka Giok-liong-kiam, untuk mencari
pusaka itu. Selama waktu itu, Siauw-bin-hud mengajak Ci Kong merantau sambil melakukan
penyelidikan. Anak itu sendiri tidak tahu bagaimana cara kakek itu melakukan penyelidikan,
akan tetapi sering kali di waktu malam, kakek itu lenyap.
Pada suatu pagi, nampak seorang kakek gendut berjalan memasuki kota Nan-ping di
Propinsi Hokkian, ditemani seorang pemuda yang berpakaian sederhana, bertubuh tegap dan
nampaknya seperti seorang pemuda petani biasa. Wajah pemuda ini tampan dan sikapnya gagah
walaupun dari gerak-geriknya terbayang kesederhanaan dan kerendahan hati. Usianya kurang
lebih sembilanbelas tahun. Kakek gendut itu kepalanya gundul bulat seperti juga perutnya.
Wajahnya periang, matanya berseri lembut dan mulutnya tersenyum-senyum, usianya sukar
ditaksir karena wajahnya yang berseri itu masih nampak segar. Dia bisa saja berusia
delapanpuluh tahun, akan tetapi mungkin juga kurang dari enampuluh tahun. Jubahnya dan
kepalanya gundul menandakan bahwa kakek itu seorang hwesio. Jubahnya berwarna kuning
longgar. Kakek itu bukan lain adalah Siauw-bin-hud, tokoh Siauw-lim-pai yang hampir enam
tahun yang lalu keluar dari ruangan pertapaannya, hanya untuk dihadapkan sebuah tugas yang
amat sulit, yaitu mencari sebuah pusaka yang dirampas oleh seorang yang agaknya menyamar
sebagai dirinya. Tanpa mengetahui siapa orang itu, di mana tempat tinggalnya, bahkan
selamanya belum pernah dia melihat Giok-liong-kiam, tentu saja mencari perampas itu tidaklah
mudah. Dia sudah melakukan penyelidikan dengan cermat selama hampir enam tahun dan
barulah dia menduga-duga siapa adanya orang yang telah memalsukan dirinya itu. Namun, dia
masih belum yakin benar dan karena itu, pada pagi hari ini dia bersama cucu muridnya, Tan Ci
Kong, berada di kota Nan-ping.
Selama itu, sambil merantau melakukan penyelidikan mencari jejak perampas Giok-liong-
kiam, kakek ini setiap hari melakukan penggemblengan atas diri cucu muridnya. Tan Ci Kong
adalah seorang pemuda yang berbakat baik sekali dan berkemauan keras. Kini, menerima
gemblengan seorang sakti seperti Siauw-bin-hud, tentu saja dia memperoleh kemajuan yang
hebat ! Kakek itu hanya menurunkan ilmu-ilmu yang amat tinggi dan lewat hampir enam tahun
itu, kini Ci Kong telah menjadi seorang pemuda berusia sembilanbelas tahun yang sakti ! Kalau Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
114 melihat orangnya, begitu pendiam dan sederhana, seperti seorang pemuda tani saja, takkan ada
orang dapat menyangka bahwa di dalam tubuh pemuda ini tersembunyi ilmu kepandaian dan
tenaga yang sukar ditandingi.
Setelah memasuki kota Nan-ping, Siauw-bin-hud mengajak cucu muridnya terus keluar
lagi dari kota itu melaui pintu gerbang utara, kemudian berjalan mendaki sebuah bukit yang
nampak hitam kehijauan. Dari bawah, nampak tembok bangunan di puncak bukit, samar-samar
nampak di antara pohon-pohon di hutan puncak.
Ci Kong yang selalu mengikuti paman kakek gurunya itu, diam-diam merasa prihatin
karena walaupun kakek itu tidak pernah mengeluh, dia tahu betapa kakeknya belum juga berhasil menemukan perampas Giok-liong-kiam yang dicarinya selama ini. Kini, melihat bahwa kakek
itu jelas menuju ke puncak bukit, hatinya yang merasa kasihan kepada kakek yang telah menjadi gurunya itu dan dia tidak dapat menahan lagi keinginan tahunya.
"Susiok-couw, tempat apakah yang akan kita kunjungi di puncak bukit itu ?"
Seperti biasa kalau bicara, Siauw-bin-hud mendahuluinya dengan senyum cerah, lalu dia
berkata, "Yang di puncak bukit itu adalah pusat dari perkumpulan Ang-hong-pai."
Biarpun dia sendiri tidak pernah dimintai bantuan atau disuruh melakukan sesuatu oleh
kakek itu dalam urusan mencari jejak pembawa Giok-liong-kiam, akan tetapi Ci Kong sudah
mendengar akan semua hal mengenai Giok-liong-kiam, semenjak dicuri orang dari Thian-te-pai
sampai menjadi perebutan dan akhirnya terampas oleh orang yang memalsukan nama Siauw-bin-
hud. Oleh karena itu, diapun sudah mendengar akan nama Ang-hong-pai, bahkan ketika terjadi
keributan di depan kuil Siauw-lim-si, diapun melihat sendiri sepak terjang orang-orang yang
hendak memperebutkan Giok-liong-kiam. Dari gurunya, Nam Sam Losu, diapun mendengar
banyak tentang Ang-hong-pai sebagai satu di antara pihak yang ingin memiliki pusaka yang
diperebutkan itu. Dia teringat akan cerita bahwa dalam perebutan pertama, muncul seorang
tokoh Ang-hong-pai yang tidak berhasil pula merampas pusaka itu. Sejak itu, tidak terdengar
lagi tentang orang-orang Ang-hong-pai, juga mereka tidak datang mengganggu Siauw-lim-si.
"Tentu susiok-couw hendak mencari tokoh Ang-hong-pai yang pernah bertemu dengan
perampas Giok-liong-kiam itu, bukan ?" tanyanya hati-hati.
Kakek itu tersenyum dan mengangguk. "Sudah banyak keterangan kuperoleh, akan tetapi
hatiku masih belum puas dan belum yakin benar. Keterangan terackhir yang akan meyakinkan
hatiku kuharapkan dapat diberikan oleh tokoh Ang-hong-pai itu."
"akan tetapi mereka itu tidak pernah muncul lagi."
"Itulah yang menarik," kata Siauw-bin-hud. "Ketika terjadi perampasan pusaka itu oleh
orang yang memalsukan diriku, terdapat lima orang tokoh kang-ouw, yaitu Tang Kui si perwira
istana, Lui Siok Ek tokoh Thian-te-pai, Kam Hong Tek seorang pendekar selatan, Pek-bin Tiat-
ciang seorang tokoh sesat dan Theng Ci tokoh Ang-hong-pai. Dari kelima orang itu, yang
muncul pada enam tahun yang lalu hanya Tang Kui dan Lui Siok Ek. Pendekar Kam Hong Tek
tidak muncul, hal ini tidaklah mengherankan karena bagaimanapun juga, dia pernah menjadi
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
115 murid Siauw-lim-pai sehingga tentu tidak berani mengganggu Siauw-lim-si. Tinggal dua orang
lagi, yaitu Theng Ci dan Pek-bin Tiat-ciang, keduanya adalah golongan sesat. Mengapa mereka
tidak muncul di Siauw-lim-si " Kiranya dari kedua orang inilah dapat diharapkan keterangan-
keterangan yang menarik dan pinceng sengaja mendatangi Ang-hong-pai karena lebih mudah
dikunjungi dari pada mencari Pek-bin Tiat-ciang yang tidak keruan tempat tinggalnya itu. Pula, biasanya kaum wanita lebih tajam pandangannya dan lebih kuat ingatannya mengenal
seseorang."
"Teecu harap mudah-mudahan susiok-couw berhasil."
Kakek itu tertawa, menghentikan langkahnya dan menatap wajah pemuda itu penuh
perhatian. "Mengapa, Ci Kong " Mengapa engkau mengharapkan aku berhasil ?"
Kini pemuda itu yang balas memandang dengan heran. "Bukankah ?"". Bukankah
susiok-couw mengharapkan berhasil dalam penyelidikan selama enam tahun ini ?"
"Pinceng " Ha " ha " ha, pinceng tidak mengharapkan apa-apa, Ci Kong !"
Pemuda itu semakin heran. Kakek ini memang seringkali bicara yang aneh-aneh dan
tidak sama bahkan kadang-kadang bertentangan dengan pendapat umum. Dan kalau sudah
demikian, dia akan mendengarkan banyak kenyataan-kenyataan hidup yang tadinya belum pernah
didengarnya dan banyak sudah ucapan kakek ini yang membuka batinnya dan membuat dia dapat
memandang dengan waspada dan bijaksana. Akan tetapi sekali ini dia merasa heran sekali.
"Maaf, susiok-couw, akan tetapi bukankah dalam setiap pekerjaan, setiap perbuatan
terkandung harapan untuk berhasil ?"
Kembali kakek itu tertawa dan aneh sekali, begitu timbul kegembiraannya untuk bicara,
dia lalu duduk di tepi jalan, bersila di atas rumput-rumput hijau. Ci Kong yang tahu akan
kesukaan gurunya, yaitu bicara dengan santai dan seenaknya, lalu duduk pula di depan gurunya.
Jalan liar ke puncak bukit itu memang sunyi sekali, tidak nampak orang lain kecuali mereka dan hawa udara amat sejuk, sinar matahari pagi amat cerah.
"Ci Kong, karena adanya harapan untuk mencapai hasil inilah maka timbul segala macam
konflik di dalam batin. Adanya harapan untuk mencapai hasil ini membuat gerak perbuatan itu
sendiri menjadi palsu, setengah-setengah, tidak sepenuhnya dan membuat perbuatan itu
kehilangan gairahnya, kehilangan mutu dan nikmatnya. Sebaliknya, kalau setiap perbuatan itu
hidup, barulah kita dapat menikmati setiap perbuatan kita, barulah perbuatan itu benar dan
bersih." Ci Kong mengangguk-angguk. Sebagai seorang yang cerdik, diapun maklum apa yang
dimaksudkan oleh kakek itu. Memang, pengejaran akan hasil baik, dan biasanya hasil baik ini
berlandaskan kepentingan dan kesenangan diri pribadi, membuat apa yang dilakukan itu
seringkali menjadi berobah sifatnya, dapat menimbulkan penyelewengan-penyelewengan dan
kejahatan dalam pelaksanaannya. Perbuatan yang ditunggangi pamrih mencapai sesuatu selalu
condong untuk menyeleweng, terdorong oleh keinginan mencapai hasil yang menyenangkan diri
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
116 sendiri itu, kalau perlu boleh saja menyusahkan orang lain. Akan tetapi Ci Kong masih merasa penasaran.
"Maaf, susiok-couw. Kalau dalam setiap perbuatan tidak membutuhkan harapan akan
hasil yang menjadi pendorong perbuatan itu, lalu apakah yang mendorong susiok-couw bersusah
payah, selama enam tahun menyelidiki dan mencari pusaka yang hilang itu ?"
Kembali kakek itu tersenyum lebar dan mengangguk-angguk, senang mendengar
pertanyaan yang mengandung kecerdikan itu. "Pinceng melihat bahwa perampasan
mempergunakan nama pinceng itu harus dibikin terang karena kalau tidak, hal itu akan
menimbulkan banyak sekali kekacauan, bahkan mungkin permusuhan. Karena melihat
pentingnya pencarian itu, maka pincengpun keluar dan mengerjakannya. Dalam minat karena
melihat kepentingannya inilah timbul gairah dan pinceng sepenuhnya dapat menikmati pekerjaan
ini karena tidak dirongrong oleh keinginan mencapai hasil."
"Kalau begitu, apakah artinya hasil bagi susiok-couw ?" Apakah artinya bagi susiok-
couw berhasil atau tidaknya usaha susiok-couw mencari pusaka itu ?"
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala perlahan. "Jelas tidak ada bedanya bagiku
pribadi, Ci Kong. Bagi orang yang tidak menyembunyikan pamrih dalam setiap perbuatannya,
maka hasil hanya merupakan suatu akibat saja dari pada suatu pekerjaan yang dilakukan.
Berhasil ataukah tidak, sama saja dan tentu kita bertindak selanjutnya sesuai dengan akibat itu yang berupa berhasil ataukah gagal. Maksud pinceng, kata gagal itu hanyalah kata yang dipakai oleh umum untuk menyatakan kekecewaannya bahwa harapannya tidak terpenuhi. Akan tetapi
bagi pinceng sendiri, tidak ada kata gagal itu. Yang ada hanyalah akibat dari suatu perbuatan, dan akibat ini berkaitan dengan perbuatannya, dan tidak mungkin dapat dirobah lagi kalau sudah tiba, seperti buah tidak terpisah dari keadaan pohonnya, dan keadaan buah itu tidak dapat dirobah kalau sudah terjadi. Hanya dengan merobah perbuatan saja, yang bersumber dari batin sendiri, maka buah itupun akan berubah. Mengertikah engkau, Ci Kong ?"
Pemuda itu mengangguk. Banyak yang harus direnungkan dari hasil percakapan singkat
itu. "Nah, marilah kita lanjutkan pendakian kita. Lihat, kedatangan kita sudah diketahui
orang," kata kakek itu sambil bangkit berdri. Ci Kong juga bangkit dan melihat ke arah puncak.
Dan dia tertegun penuh kagum. Dari atas puncak nampak pasukan berpakaian merah dan belasan
orang yang berbaris rapi itu berlari-larian turun dengan ringan dan cepat sekali, juga selalu berbareng dan amat indah dilihat dari bawah. Karena kakek itu melanjutkan langkahnya, kini
dengan cepat mendaki ke atas, diapun mengikuti dari belakang, diam-diam jantungnya berdebar
tegang karena dia sudah mendengar bahwa Ang-hong-pai adalah sebuah perkumpulan yang para
anggautanya terdiri dari wanita-wanita yang lihai, dan perkumpulan itu termasuk perkumpulan
kaum sesat yang amat ditakuti di dunia kang-ouw.
Setelah mereka tiba di tanah datar yang ditumbuhi rumput tebal, barulah Ci Kong
mengerti mengapa kakek itu tadi mengerahkan kepandaian untuk berlari cepat ke atas
menyambut turunnya pasukan merah itu. Kiranya suhunya memilih tempat yang lapang ini untuk
menghadapi mereka.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
117 Kakek itu berhenti menanti dengan sikap tenang dan wajah berseri, didampingi Ci Kong
yang juga berdiri dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan. Selama ini dia sudah
mengikuti kakek itu mengunjungi Thian-te-pai, bahkan menemui perwira Tang Kui di kota raja.
Dan selama ini, belum pernah kakek itu bentrok atau terlibat dalam sebuah perkelahian. Jangan memancing perkelahian, demikian antara lain kakek itu memberi nasihat kepadanya, dan
bersikaplah sabar dan mengalah. Ilmu silat hanya untuk berjaga diri, bukan untuk mencelakai
orang. Akan tetapi karena kini menghadapi perkumpulan kaum sesat yang kabarnya amat lihai
dan jahat, agaknya kakek itupun bersikap hati-hati.
Tak lama kemudian muncullah duabelas orang wanita berpakaian serba merah,
kemunculan merekapun rapi, dengan teratur mereka berloncatan dan tahu-tahu mereka telah
membuat gerakan melingkar di depan kakek dan pemuda itu. Usia mereka antara duapuluh lima
sampai tigapuluh tahun dan rata-rata berwajah manis, dengan wajah terpelihara dan pakaian rapi bersih seperti serombongan penari karena pakaian itu seragam. Seorang di antara mereka,
seorang wanita cantik yang mempunyai tahi lalat di dahi, tepat di tengah-tengah, berkata dengan suara lantang.
"Pai-cu kami mengutus kami untuk menyambut locianpwe Siauw-bin-hud !"
Kakek iyu terkekeh dan Ci Kong kagum akan ketajaman penglihatan orang-orang Ang-
hong-pai ini. Baru saja tiba di lereng, mereka sudah tahu akan kedatangan susiok-couwnya !
"Omitohud .......... ! Terima kasih, nona. Pai-cu kalian sungguh baik sekali," kata Siauw-
bin-hud dan merangkapkan kedua tangan di depan dada.
"Pai-cu menghaturkan hormat, kemudian pai-cu mengutus kami agar minta kepada
locianpwe, berdua dengan enghiong ini, untuk segera turun bukit kembali meninggalkan wilayah
kami." Siauw-bin-hud hanya tersenyum lebar. "Pinceng datang bukan untuk mengunjungi Ang-
hong-pai atau berurusan dengan pai-cu kalian, melainkan ingin bertemu sebentar dengan seorang anggauta atau murid Ang-hong-pai yang bernama Theng Ci."
"Tidak bisa," kata wanita itu. "Toa-suci sedang berlatih dengan ketua kami dan mereka
tidak mau diganggu. Harap ji-wi segera pergi saja."
Ci Kong merasa penasaran dan diapun cepat berkata, "Susiok-couw hanya ingin bicara
sebentar dengan orang yang bernama Theng Ci, setelah bicara kami akan segera pergi tidak akan mengganggu Ang-hong-pai. Kami datang bukan dengan niat jahat, mengapa Ang-hong-pai
menyambut tidak semestinya dan dengan sikap bermusuh ?"
Wanita itu melirik kepada Ci Kong, akan tetapi lalu menghadapi Siauw-bin-hud lagi
ketika bicara, seolah-olah merasa tidak ada gunanya bicara dengan pemuda itu. "Selama ini,Ang-hong-pai tidak pernah mengganggu Siauw-lim-pai, bahkan ketika banyak orang ramai-ramai
mendatangi Siauw-lim-pai enam tahun yang lalu, Ang-hong-pai juga tidak ikut-ikut. Oleh karena Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
118 itu, tidak ada urusan apa-apa lagi antara kedua perkumpulan, maka pai-cu kini tidak bermaksud menerima kunjungan locianpwe untuk mengadakan urusan apapun."
"Pai-cu kalian sungguh tidak adil !" Ci Kong berkata. "Kunjungan orang-orang ke
Siauw-lim-pai mempunyai pamrih buruk, sedangkan sebaliknya, susiok-couw mengunjungi Ang-
hong-pai dengan hati bersih dan penuh persahabatan. Mengapa pai-cu kalian menolak " Kalau
begitu, harap saudari Theng-Ci yang datang ke sini menemui kami agar susiok-couw bisa bicara
dengannya !"


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini wanita itu menghadapi Ci Kong dengan alis berkerut. "Pai-cu kami berpesan bahwa
siapa saja yang hendak naik ke puncak, harus dapat melalui Cap-ji-kiam (Duabelas Pedang) !"
Ci Kong tertegun. "Cap-ji-kiam ?"". ?"
"Sing " sing " sing .......... !" Nampak sinar berkilauan susul-menyusul dan ketika Ci
Kong memandang, ternyata duabelas orang wanita berpakaian merah itu telah mencabut keluar
sebatang pedang dan berdiri dengan berbaris rapi ! Mengertilah dia bahwa yang dimaksud adalah barisan terdiri dari duabelas orang berpedang ! Dia menoleh kepada susiok-couwnya. Kakek ini mengangguk sambil tersenyum dan berkata lirih, "Hati-hatilah terhadap racun mereka, Ci Kong"
Ucapan ini merupakan isyarat bagi Ci Kong bahwa susiok-couwnya memperbolehkan dia
menghadapi duabelas orang wanita itu. Akan tetapi dia merasa heran mengapa kakek itu
memperingatkan dia agar berhati-hati terhadap racun mereka. Apakah pedang mereka itu
mengandung racun " Mungkin saja. Dan pandang matanya yang tajam akhirnya dapat
menangkap kantong-kantong kecil yang tergantung di pinggang dua belas orang wanita itu.
Mengertilah dia. Agaknya para anggauta Ang-hong-pai ini memang ahli mempergunakan racun-
racun dan tentu mereka biasa mempergunakan senjata gelap beracun. Diapun mengangguk
kepada susiok-couwnya yang sudah mundur dan duduk bersila di atas rumput, lalu dia melangkah
maju menghampiri duabelas orang wanita itu.
"saudara adalah murid Siauw-lim-pai, dan adalah saudara sendiri yang hendak melawan
kami, bukan kami yang memaksa saudara mati dibawah ujung senjata Cap-ji-kiam. Hal ini
disaksikan sendiri oleh locianpwe Siauw-bin-hud !" kata wanita bertahi lalat di dahi itu dengan sikap tegas. Jelaslah bahwa ia dan teman-temannya memandang rendah kepada pemuda itu.
Kalau pemuda itu hanya cucu murid Siauw-bin-hud, apa yang harus ditakuti " Mereka lebih
merasa sungkan kalau sampai membunuh seorang murid Siauw-lim-pai, maka sebelum hal itu
terjadi, mereka ingin kakek itu menjadi saksi bahwa pemuda itulah yang mendahului perkelahian itu.
"Cici yang gagah tak usah khawatir. Kalau sampai aku mati di dalam pertandingan ini,
biarlah aku sendiri yang tanggung, tidak ada sangkut-pautnya dengan Siauw-lim-pai atau susiok-couw," kata Ci Kong dengan sikap tenang.
Sementara itu, duabelas orang wanita itu sudah bergerak mengepungnya. Mereka
melangkah mengitari pemuda itu, dengan pedang di depan dada dan tangan kanan diangkat ke
atas kepala. Melihat langkah-langkah mereka yang teratur rapi itu, mengertilah Ci Kong bahwa dia berhadapan dengan semacam kiam-tin (barisan pedang) yang tidak boleh dipandang ringan,
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
119 karena berbeda dengan pengeroyokan yang liar dan kacau, barisan merupakan gerakan teratur
dari banyak orang sehingga kini dia seperti juga menghadapi seorang lawan dengan satu pikiran akan tetapi dengan duabelas badan !
"Silahkan !" katanya sambil berdiri tegak dan memasang semua kepekaan mata dan
telinga untuk mengikuti gerak-gerik para pengepungnya dengan teliti.
"Si-cu, ingat, engkau yang menentang, bukan kami. Silahkan !" terdengar wanita yang
memimpin barisan pedang itu memperingatkan dari belakangnya.
Ci Kong maklum bahwa barisan itu berlaku hati-hati. Bagaimanapun juga, susiok-
couwnya tentu tidak setuju kalau dia sampai melukai seorang di antara para pengeroyoknya.
Tidak ada permusuhan apapun antara mereka, dan wanita-wanita itupun hanya melaksanakan
tugasnya saja mentaati perintah ketuanya. Maka, dia akan mencoba untuk merampas pedang
mereka, satu demi satu dengan menggunakan penyerangan yang sukar dielakkan lawan.
"Baiklah, lihat serangan !" bentaknya dan tiba-tiba dia membuat gerakan, bukan ke depan
melainkan ke belakang, ke arah suara wanita bertahi lalat yang memimpin barisan itu. Akan
tetapi, barisan itu masih terus bergerak sehingga kedudukan wanita pemimpin itu sudah berobah dan dengan demikian, yang diserang oleh Ci Kong adalah seorang wanita lain. Serangannya
cepat dan tangannya sudah hampir dapat mencengkeram pergelangan tangan wanita yang
memegang pedang dalam usahanya merampas pedang. Akan tetapi terdengar aba-aba pemimpin
itu dan kini pedang datang bertubi-tubi menyerangnya dari belakang, kanan dan kiri. Walaupun kalau dilanjutkan dia akan berhasil merampas pedang dari wanita yang diserangnya, namun
sebaliknya dia terancam oleh tusukan-tusukan dan bacokan-bacokan pedang yang lain !
Terpaksa Ci Kong membatalkan niatnya merampas pedang dan dia segera
mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak. Akan tetapi, barisan Cap-ji-kiam itu
memang hebat sekali. Dengan gerakan susul-menyusul, serangan itu terus dilakukan tak pernah
berhenti, sambung-menyambung sehingga ke manapun dia mengelak, Ci Kong sudah disambut
oleh serangan pedang berikutnya. Dia meloncat keluar dari kepungan, akan tetapi wanita bertahi lalat itu terus-menerus mengeluarkan aba-aba dan kembali dia sudah terkepung. Gerakan mereka cepat dan teratur.
Diam-diam Ci Kong mengatur siasat sambil terus mengelak, mengandalkan gingkang
(ilmu meringankan tubuh) yang sudah dipelajarinya secara sempurna dari susiol-couwnya.
Tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar pedang berkilauan dan betapapun cepatnya para
wanita itu menggerakkan pedang, atau kadang-kadang dengan kebutan telapak tangannya, dia
bahkan mampu menangkis pedang yang tajam itu. Pemuda ini amat berhati-hati karena dia
menduga bahwa tentu pedang-pedang itu beracun. Sekali saja tergores dan terluka, mungkin dia akan keracunan. Setelah memutar otaknya, tiba-tiba dia mendapat gagasan yang baik sekali.
Cap-ji-kiam ini bergerak secara otomatis, teratur seolah-olah duabelas orang itu merupakan alat-alat yang digerakkan oleh satu pusat. Dan diapun kini teringat bahwa pusatnya ada pada wanita bertahi lalat di dahinya itu. Pusat inilah yang harus dilumpuhkannya terlebih dahulu agar kerja sama mereka menjadi kacau.
Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
120 "Heeeehhhh ?"". !" Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara
yang dikeluarkan mengandung kekuatan khikang yang menyerang lawan. Rencananya berhasil
karena lengkingan itu mengejutkan para pengepungnya, membuat mereka selama dua tiga detik
tertegun dan kesempatan ini cukuplah bagi Ci Kong. Begitu mereka berhenti bergerak, dia dapat mencurahkan perhatian kepada wanita pemimpin barisan dan tiba-tiba dia menyuruk ke arah
wanita itu, tangan kirinya menotok dan tangan kanannya merampas pedang. Sebelum wanita itu
tahu apa yang terjadi, pedangnya telah terampas ! Ia menjerit dan memperingatkan teman-
temannya. Akan tetapi Ci Kong tidak menghentikan gerakan-gerakannya. Dengan pedang
rampasan di tangan dia mengamuk. Setiap serangan lawan ditangkisnya dan begitu terkena
tangkisannya yang dilakukan denga pengerahan tenaga singkang, pedang lawan terlempar dan
terlepas dari pegangan, bahkan ada yang patah ! Terdengar suara berdencing dan berkerontangan dan dalam waktu beberapa menit saja, akhirnya Ci Kong meloncat jauh ke belakang dengan dua
pedang rampasan di kedua tangan sedangkan duabelas orang wanita itu kehilangan semua senjata
mereka ! Mereka sama sekali tidak pernah menduga bahwa pemuda itu demikian lihainya,
menyerang mereka bertubi-tubi tak pernah berhenti dan setiap kali beradu pedang, pedang
mereka patah atau terlepas karena pemuda itu mempergunakan tenaga yang luar biasa kuatnya.
Yang membuat mereka kagum dan heran, betapa dalam waktu singkat pemuda itu mampu
melucuti senjata mereka tanpa melukai mereka sedikitpun juga ! Bahkan totokan yang
dipergunakan juga hanya membuat lengan kanan lumpuh selama beberapa detik saja, cukup
untuk membuat pedang mereka terlepas, terlempar atau terampas.
Tiba-tiba wanita bertahi lalat itu mengeluarkan aba-aba, suaranya nyaring melengking dan
mereka semua menggerakkan tangan dengan cepat. Bintik-bintik merah beterbangan menyambar
ke arah Ci Kong ! Akan tetapi pemuda ini memang sudah waspada dan siap siaga. Begitu
melihat wanita-wanita itu menggerakkan tangan diapun cepat memutar dua batang pedang yang
dirampasnya. Puluhan batang jarum halus berwarna merah yang mengandung racun itu terpental
dan runtuh semua ketika menerjang gulungan sinar yang dibuat oleh pedang yang diputar cepat.
Kiam-tin atau barisan pedang itu walaupun sudah kehilangan pedang, agaknya memiliki
cadangan karena kini mereka sudah mencabut sebatang pisau belati dari pinggang mereka ! Dan
mereka agaknya hendak nekat melanjutkan perkelahian. Akan tetapi sebelum mereka bergerak,
terdengar bentakan halus yang datangnya dari jauh, "Kalian mundurlah !"
Jilid VI ***** Mendengar bentakan halus yang datang dari jauh ini, duabelas orang wanita berpakaian
merah lalu berloncatan pergi tanpa menghiraukan lagi pedang mereka yang berserakan di atas
tanah. Ci Kong tersenyum lega dan diapun membuang sepasang pedang rampasan itu.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara bisikan susiok-couwnya. "Lebah-lebah itu
berbahaya sekali, sengatannya beracun mematikan !"
Ci Kong juga mendengar suara berdengung itu, makin lama semakin kuat dan tak lama
kemudian diapun melihat serombongan lebah berwarna merah yang terbang berkelompok ke arah
dia berdiri ! Dia merasa heran dan kagum sekali. Binatang itu warnanya sungguh merah cerah, seperti warna pakaian para wanita tadi ! Dan kalau saja tidak mendapat peringatan susiok-Pedang Naga Kemala > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
121 couwnya, dia tidak akan percaya bahwa binatang kecil mungil yang indah warnanya itu dapat
membunuh manusia dengan sengatannya. Kini lebah-lebah itu sudah datang dekat dan tiba-tiba,
seperti dikomando saja, mereka menyerbu ke arah Ci Kong !
Pemuda itu melompat jauh menghindarkan diri, akan tetapi betapapun cepatnya gerakan
tubuh pemuda itu, mana mungkin dia dapat mengalahkan lebah-lebah itu dalam hal kecepatan
gerakan " Ci Kong mulai kewalahan karena ke manapun dia melompat, lebah-lebah itupun
mengejarnya dengan kecepatan yang mengerikan dan suara mereka berdengung itu, ditambah
Kisah Pedang Bersatu Padu 4 Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Jodoh Rajawali 30
^