Pedang Tanpa Perasaan 6

Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Bagian 6


panjang. "Tao kongcu, rasanya kita tidak perlu membuang-buang tenaga!"
Sembari berbicara, I Giok Hong menghentikan gerakan kakinya. Tao Heng Kan masih
berlari sejauh beberapa depa baru ikut berhenti.
"Kenapa?" tanya Tao Heng Kan.
204 "Tao kongcu, tadi di atas bukit kita memang melihat kepulan debu yang tinggi.
Sekarang aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau mendengar suara derap kaki
kuda?" Mendengar pertanyaannya, Tao Heng Kan langsung tertegun. Diam-diam dia
mengingat-ingat. Kenyataannya dia memang tidak mendengar derap kaki kuda
ataupun ringkikannya.
"Mungkin orang yang menculiknya memiliki ilmu Gin Kang yang sudah mencapai
taraf tertinggi karena itulah kita tidak sanggup mengejarnya."
I Giok Hong menggelengkan kepalanya.
"Kalau orang yang menculiknya menguasai ilmu Gin Kang yang tinggi sekali, di saat
berlari, dia tidak perlu menginjakkan kakinya di atas tanah, hanya perlu menutul saja.
Mana mungkin bisa timbul kepulan debu setinggi itu" Coba kau perhatikan, apakah ini
jejak kaki manusia?"
Tao Heng Kan menundukkan kepalanya melihat ke jejak kaki yang ditunjuk oleh I
Giok Hong. Karena tanah di situ becek dan berlumpur maka jejak kaki terlihat dengan
jelas. Tao Heng Kan memperhatikan dengan seksama. Jejak itu tidak mungkin
ditinggalkan oleh kaki manusia. Bentuknya aneh dan arahnya terus lurus ke depan.
Meskipun bentuknya memang mirip dengan kaki manusia, tetapi jauh lebih panjang
dan jari-jemarinya besar-besar.
Setelah melihat jejak kaki itu, hati Tao Heng Kan langsung tertegun. Meskipun
seseorang yang tubuhnya tinggi besar, tetap tidak mungkin mempunyai tapak kaki
yang begitu lebar, panjang bahkan jari-jemarinya besar-besar seperti itu. Lagipula
tidak masuk akal bila seseorang berjalan di luaran tanpa memakai sepatu!
"I kouwnio, pengetahuanmu jauh lebih luas. Apakah kau dapat menduga jejak kaki apa
yang terlihat ini?" tanya Tao Heng Kan.
I Giok Hong tersenyum mendengarkan pujiannya.
"Tao kongcu, pujianmu terlalu tinggi. Orang seperti aku ini mana pantas dikatakan
berpenge-tahuan luas?"
Hati Tao Heng Kan sedang tegang-tegangnya. Ucapan I Giok Hong yang diiringi
dengan senyuman manis itu tetap sempat membuat dirinya terpaku sesaat. la menarik
nafas panjang. "I kouwnio, kalau aku tidak berhasil mengejar Lie Cun Ju. Mau tidak mau aku harus
bunuh diri." Sembari berkata, tubuhnya langsung berkelebat lagi melesat ke depan.
Dengan tergesa-gesa I Giok Hong mengikuti Tao Heng Kan. Kembali mereka berlari
sejauh tiga-empat li. Tanah yang becek sudah dilalui. Di hadapan mereka tampak
tanah yang keras dan kering. Jejak kaki yang aneh itu pun putus sampai di situ. Tao
Heng Kan hanya termangu-mangu
205 sesaat kemudian berlari lagi. Setelah berlari sejauh belasan li, di hadapan mereka
sekarang membentang sebuah sungai yang lebar.
Sungai itu lebarnya hampir mencapai delapan depa. Sampai di situ kembali Tao Heng
Kan termangu-mangu beberapa saat. Tingkahnya seperti orang linglung. Kemudian,
tampak dia menghunus pedangnya kemudian bermaksud menggorok batang lehernya
sendiri. I Giok Hong yang berdiri di sampingnya sejak tadi sudah melihat sikap Tao Heng Kan
yang mencurigakan. Mimik wajah pemuda itu menyiratkan keputusasaan. Maka dari
itu, baru saja tangan Tao Heng Kan bergerak, ia segera mengayunkan pecutnya. Tali
pecut itu laksana seekor ular hidup yang langsung melilit pedang di tangan Tao Heng
Kan. Sret! I Giok Hong menarik pecutnya kuat-kuat sehingga pedang Tao Heng Kan
menjauh dari batang lehernya.
"Tao kongcu, usiamu masih sangat muda, mengapa memilih jalan pendek?"
Kembali Tao Heng Kan menarik nafas panjang dan menatap I Giok Hong dengan
wajah menyiratkan penderitaan.
"I kouwnio . . . kau tidak bisa menolongku . . . biarkan aku menempuh jalanku
sendiri!" I Giok Hong tertawa sumbang. "Tao kongcu, kau lihat keadaanku ..." Ayahku sendiri
sudah tidak menginginkan aku. Tetapi aku masih mencintai kehidupan ini. Sedangkan
kau, orang tuamu masih ada, masih ada keluarga yang akan melindungimu, mengapa
kau malah memilih jalan kematian?"
Tao Heng Kan termangu-mangu sesaat. la menggeleng-gelengkan kepalanya. Jari
tangannya mengendur. Pedang yang digenggamnya pun terlepas dan jatuh dengan
menimbulkan suara dentangan di atas tanah. I Giok Hong membungkukkan tubuhnya
untuk memungut kembali pedang itu. Dia memasukkan pedang Tao Heng Kan ke
dalam sarungnya.
"I kouwnio . . . mengapa kau begitu baik terhadapku?" tanya Tao Heng Kan dengan
tampang kebodoh-bodohan.
"Kau juga baik terhadapku," sahut I Giok Hong sambil tersenyum. "Beberapa hari
yang lalu, ketika gurumu memerintahkan kau menikam aku, kau toh tidak sudi
melakukannya."
"Tapi . . . tapi aku ... toh . . ." Wajah Tao Heng Kan merah padam rnengingat kejadian
itu. "Kau tidak perlu banyak bicara lagi. Sekarang belum tentu kita gagal mengejar orang
atau siapa saja yang menculik Lie Cun Ju itu. Lebih baik kita lanjutkan pengejaran
kita!" "Tetapi bagaimana kau bisa tahu arah mana yang diambilnya setelah menyeberangi
sungai" 206 Bagaimana kita bisa mengejarnya kalau tidak ada kepastian?"
"Bagaimana lagi" Terpaksa kita mengadu peruntungan."
Tao Heng Kan tertawa getir.
"I kouwnio, itu sama artinya dengan nyawa kita sudah hilang dua bagian. Aku benarbenar
tidak mengerti, mengapa kau bersedia menempuh bahaya sebesar ini?"
Mendengar ucapan Tao Heng Kan yang tulus, hati I Giok Hong tergerak juga. Di
samping itu dia juga tahu bahwa Tao Heng Kan memang seorang laki-laki sejati.
Namun I Giok Hong tetap tidak mampu mengubah niatnya.
I Giok Hong menatap Tao Heng Kan lekat-lekat.
"Tao kongcu, apa yang terjadi atas dirimu sudah menjadi buah bibir orang-orang di
dunia bu lim. Mereka menganggapmu sebagai tokoh yang misterius. Sebetulnya apa
yang menyebabkan kau membunuh Li Po di kediaman Kuan Hong Siau hari itu" Siapa
sebenarnya suhumu" Dapatkah kau menceritakannya kepadaku?"
Tao Heng Kan tertegun sesaat. "I kouwnio, seandainya aku tidak bertemu denganmu
di tepi sungai itu, mungkin sekarang aku sudah mati bunuh diri. Aih! Sebetulnya aku
tidak boleh menutupi masalah ini terhadapmu."
"Betul. Lagipula kita sudah saling mengenal, karena itu seharusnya kita saling
terbuka." Tao Heng Kan menganggukkan kepalanya.
"Tapi, I kouwnio . . . aku khawatir, meskipun aku menceritakan dengan terus terang,
belum tentu kau akan mempercayainya."
"Aku memang tidak mudah mempercayai perkataan seseorang, tetapi aku percaya
penuh kepadamu."
Wajah To Heng Kan tampak menyiratkan perasaan terharu. Kemudian dia
mengedarkan pandangan matanya ke sekitarnya. I Giok Hong tersenyum melihat sikap
Tao Heng Kan. "Tao kongcu, apakah kau khawatir ada yang mendengarkan kata-katamu" Pada jarak
sejauh beberapa li dari tempat ini, rasanya tidak ada orang lain lagi."
"I kouwnio, apabila kita tidak berhasil menemukan Lie Cun Ju kembali, guruku pasti
akan mencari kita sampai bertemu. Pada saat itu, aku khawatir kita tidak akan terlepas
dari tangan kejinya, sebaiknya kau . . ."
Wajah I Giok Hong tampak menyiratkan kelembutan.
207 "Tao kongcu, tidak perlu kau teruskan lagi kata-katamu. Pokoknya aku tidak akan meninggalkan
kau begitu saja."
Sekali lagi wajah Tao Heng Kan menyiratkan keharuan yang tidak terkatakan. Dia
mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan I Giok Hong erat-erat.
"I kouwnio, suatu hari kelak, apabila aku sudah bisa memutuskan sendiri apa yang
akan kulakukan, aku tentu tidak akan melupakanmu."
I Giok Hong tahu kata-kata yang diucapkan Tao Heng Kan ada kaitannya dengan
penemuannya yang janggal. Pokoknya, dia yakin Tao Heng Kan akan menceritakan
semuanya. Karena itu dia tidak ingin mendesaknya sekarang juga.
"Tao kongcu, mengapa kau bicara seperti itu?" I Giok Hong mendongakkan
kepalanya. Tampak sepasang mata Tao Heng Kan sedang menatapnya lekat-lekat.
Dari sinar mata pemuda itu terpancar berbagai perasaan. Tanpa disadari jantung I Giok
Hong berdegup-degup dengan cepat. Wajahnya jadi merah padam, dia merasa ada
perasaan yang ganjil menyelinap dalam hatinya.
Kedua orang itu berdiri saling berhadapan dan bergenggaman tangan untuk beberapa
saat. "I kouwnio, menurutmu arah mana yang harus kita ambil?" tanya Tao Heng Kan
setelah melepaskan genggaman tangan gadis itu.
I Giok Hong mendongakkan kepalanya memperhatikan sungai itu. Tampak air sungai
mengalir dengan deras. Permukaannya pun lebar dan di sekitarnya tidak tampak
perahu satu pun. Meskipun orang yang ilmu Gin Kangnya tinggi sekali dan jago
berenang sekali pun, tidak mudah menyeberangi sungai itu. Rasanya siapa pun yang
menculik Lie Cun Ju juga tidak menyeberangi sungai itu.
"Tao kongcu, kita terpaksa mengadu nasib saja!" Jari tangan I Giok Hong menunjuk
ke sebelah kanan. "Kita ambil arah kanan saja!"
"Baik," sahut Tao Heng Kan.
Mereka pun turun ke sungai dan mengambil arah kanan. Baru saja tubuh mereka
masuk ke dalam sungai, tiba-tiba terdengar suara deburan yang keras, air sungai pun
bergelombang dan beriak-riak. Kemudian tampak dua sosok makhluk muncul dari
dalam sungai. Salah satu di antaranya memiliki tubuh tinggi besar. Begitu kekarnya hampir
menyerupai rak-sasa. Kalau dilihat sepintas lalu makhluk itu seperti manusia. Tetapi
kalau diperhatikan dengan seksama, sebenarnya bukan. Pokoknya sejenis makhluk
aneh yang boleh dikatakan, monyet bukan, orang hutan pun bukan. Tubuhnya penuh
dengan bulu berwarna hitam. Hidungnya mendongak ke atas, dan mulutnya merah
seperti bersimbah darah. Tampangnya benar-benar menakutkan.
Tampak makhluk aneh itu memanggul seseorang. Dan orang yang dipangguinya itu
ternyata Lie Cun Ju, yang sedang dicari-cari oleh Tao Heng Kan. Yang satunya seperti
seorang pendeta. la memakai jubah berwarna kuning. Begitu keluar ke permukaan air,
208 pendeta itu tertawa terbahak-bahak sambil menepuk paha makhluk aneh itu. Ternyata
tenggorokan makhluk aneh itu pun mengeluarkan suara Ho ... ho ... ho ... ho ...! seperti
tertawa tapi bukan. Benar-benar menggidikkan bulu roma.
Pendeta itu mengulurkan tangannya dan menurunkan tubuh Lie Cun Ju. Kemudian dia
menepuk punggung pemuda itu keras-keras. Lie Cun Ju langsung mengeluarkan suara
hoakkk! sejumlah air keluar dari mulutnya. Setelah itu Lie Cun Ju baru membuka
matanya. "Sia ... pa kau" Un . . . tuk a ... pa kau membawa aku kesini?" tanya Lie Cun Ju.
"Kau tidak perlu tanya siapa aku. Kalau aku tidak menolongmu, mungkin selembar
nyawamu sulit lagi dipertahankan," jawab pendeta dengan tersenyum.
Lie Cun Ju teringat berbagai peristiwa yang dialaminya selama satu bulan itu. Semua
serba aneh dan hampir tidak masuk akal. Sejak dilukai oleh tiga iblis dari keluarga
Lung, boleh dibilang dia tidak pernah melewati satu hari pun dengan tenang. Tanpa
dapat ditahan lagi dia menarik nafas panjang. Sepasang matanya dipejamkan kembali
dan dia pun tidak berkata apa-apa lagi.
Setelah terluka oleh tiga iblis dari keluarga Lung, Lie Cun Ju dibawa oleh I Giok Hong
ke wilayah barat. Tetapi baru setengah jalan, gadis itu merasa tidak memerlukannya
lagi dan melemparkan tubuhnya yang sekarat di tengah jalan. Kemudian dia ditolong
oleh Leng coa sian sing. Lalu dia ditukar dengan lencana Gin leng hiat ciangnya I Ki
Hu serta dibawa oleh I Giok Hong ke lembah Gin Hua kok. Ketika I Ki Hu dan
putrinya meninggalkan Gin Hua kok, Seebun Jit yang yakin bahwa ia adalah putra
sahabat lamanya langsung membawanya ke kamar batu dan memaksanya tidur di atas
batu Ban nian si ping. Pada saat itu Lie Cun Ju berpendapat bahwa untuk sementara
dirinya bisa meresapi ketenangan.
Tidak disangka-sangka, tak lama setelah Seebun Jit keluar dari niangan batu,
terdengarlah suara Krek!
Pada saat itu, Lie Cun Ju sedang memejamkan matanya beristirahat. Hatinya mulai
tenang melihat perhatian Seebun Jit terhadap dirinya. Maka ketika mendengar suara
itu, dia mengira Seebun Jit kembali lagi. Karena itu pula perhatiannya tidak tertarik.
Tetapi dia tetap mengedarkan hawa murni dalam tubuhnya.
Tidak lama kemudian, dia mendengar suara langkah kaki. Dia dapat merasakan
seseorang sudah sampai di sampingnya. Perlahan-lahan dia membuka matanya.
Setelah melihat dengan jelas, tanpa dapat ditahan lagi mulutnya mengeluarkan suara
seruan terkejut. Ternyata orang yang berdiri di sampingnya, bukan lain daripada Tao
Heng Kan yang membunuh kokonya di kediaman Kuan Hong Siau.
Tampak Tao Heng Kan berdiri di sampingnya dengan tangan menggenggam sebatang
pedang. Matanya yang berkilauan menatap Lie Cun Ju lekat-lekat.
"Apa yang akan kau lakukan?" seru Lie Cun Ju sambil mencoba bangun.
Seperti merasa bersalah, Tao Heng Kan mengembangkan seulas senyuman.
209 "Sahabat Lie, aku mendapat perintah dari suhu untuk mengajakmu menemuinya."
"Siapa gurumu" Mengapa dia ingin bertemu denganku?" tanya Lie Cun Ju keheranan.
Tao Heng Kan tidak memberikan jawaban. Dia mengulurkan tangannya dan menotok
jalan darah di pundak Lie Cun Ju. Pada dasarnya kepandaian Lie Cun Ju memang
sudah musnah. Setelah ditotok oleh Tao Heng Kan, dia semakin tidak bisa
mengadakan perlawanan. Tao Heng Kan menghunus pedangnya, setelah itu dia
memondong tubuh Lie Cun Ju dan dibawanya ke luar dari rumah batu itu.
Begitu menerjang ke luar, Tao Heng Kan langsung berhadapan dengan I Giok Hong.
Ketika terjadi perkelahian sengit antara I Giok Hong dengan Tao Heng Kan, Lie Cun
Ju masih dipondong oleh pemuda itu. Kemudian Tao Heng Kan berhasil meloloskan
diri. Lie Cun Ju hanya merasa dirinya dibawa ke dalam sebuah hutan kecil. Kemudian
diletakkannya di atas tanah. Entah berapa lama sudah berlalu, dia baru mendengar
suara pembicaraan.
Suara pembicaraan kedua orang itu dekat sekali dengannya, tetapi tubuh Lie Cun Ju
tidak dapat bergerak sedikit pun. Karena itu dia tidak tahu siapa mereka.
Telinganya mendengar sebuah suara yang melengking dan menusuk gendang telinga.
"Muridku, dengan susah payah kita baru berhasil mendapatkan tiga Tong tian pao
Hong (Naga pusaka penembus langit), mengapa kau sembarangan menggunakannya
sebagai senjata rahasia" Seandainya aku tidak keburu datang, pasti tiga batang tong
tian pao Hong ini sudah terjatuh ke tangan tiga iblis dari keluarga Lung, atau tangan
Leng Coa sian sing. Bukankah timbul kesulitan lagi yang lainnya?"
Suara yang lain ternyata suara Tao Heng Kan.
"Suhu, pada waktu itu keadaan terlalu mendesak. Aku pun tidak berpikir panjang lagi.
Seandainya aku tidak menyambitkan tiga batang Tong tian pao Hong itu, nyawaku
sendiri sulit dipertahankan, apalagi membawa orang ini menemuimu."
Lie Cun Ju mendengar kedua orang itu membicarakan Tong tian pao Hong, diam-diam
hatinya jadi tergerak. Entah di mana dia pernah mendengar cerita tentang apa yang
dinamakan naga pusaka penembus langit itu.
Tetapi ingatannya tidak dapat tergugah. Rasanya seperti sebuah lambang atau kode
atau bisa jadi nama sejenis senjata rahasia. Sampai letih Lie Cun Ju menguras
pikirannya, ia masih tidak sanggup mengingat kembali benda apa yang disebut Tong
tian pao Hong itu.
Telinganya kembali mendengar suara yang melengking tadi.
"Tiga buah Tong tian pao liong ini kudapatkan dari kedua orang tuamu. Kemudian aku
mendapatkan satu lagi dari saku pakaian Li Po. Sekarang jumlahnya ada empat, berarti
kurang tiga lagi. Ha ... ha ... ha .. .!"
210 Kata-kata yang terucap dari mulut Tao Heng Kan justru singkat sekali. "Betul!"
"Sisa yang tiganya ada pada bocah ini. Kau harus mengawasinya baik-baik. Aku ada
sedikit urusan sehingga harus pergi. Jangan sekali-sekali membiarkan bocah ini
meloloskan diri!"
"Suhu tidak perlu khawatir!" Terdengar Tao Heng Kan menyahut.
Mendengar sampai di sini, hati Lie Cun Ju merasa heran. Karena dia dapat menduga
'bocah' yang dimaksud orang yang suaranya melengking itu pasti dirinya sendiri. Dan
orang itu ingin mendapat tiga buah Tong tian pao Hong darinya. Sebetulnya benda
apakah Tong tian pao liong itu" Dia sendiri merasa bingung dan tidak mengerti benda
apa yang dimaksudkan"
Tetapi ada satu hal yang sudah dimengerti oleh Lie Cun Ju, bahwa kematian kokonya
Li Po ternyata ada kaitannya dengan benda bernama Tong tian pao liong itu.
Perasaan Lie Cun Ju seperti bergejolak. Dia mendengar lagi orang itu berkata.
"Kepergianku ini tidak tentu lamanya. Kau boleh membebaskan jalan darahnya, tetapi
harus menjaga jangan sampai meloloskan diri, apalagi sampai mati!"
Tao Heng Kan mengiakan sekali lagi. Setelah itu Lie Cun Ju tidak mendengar suara


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa-apa lagi. Dia hanya merasa pundaknya ditepuk oleh seseorang. Tahu-tahu totokan
di tubuhnya sudah bebas. Secepat kilat Lie Cun Ju membalikkan tubuhnya. Kurang
lebih sepuluh depa dari tempatnya berada, tampak sesosok bayangan tinggi kurus
sedang melesat pergi bagai terbang. Gerakannya tidak menimbulkan suara sedikit pun
sehingga mirip setan gentayangan. Sedangkan orang yang membebaskan jalan
darahnya siapa lagi kalau bukan Tao Heng Kan.
Meskipun jalan darah Lie Cun Ju sudah terbuka, tetapi dia tidak mempunyai tenaga
sedikit pun untuk melawan Tao Heng Kan. Matanya menatap pemuda itu dengan sinar
mengandung kemarahan.
"Untuk . . . apa kau membawa aku kemari?" tanya Lie Cun Ju.
Tao Heng Kan memperlihatkan tertawa yang getir.
"Sahabat Lie, aku sama sekali tidak ada niat mencelakaimu, kau tidak perlu khawatir!"
Lie Cun Ju mendengus dingin.
"Kalau begitu, mengapa kau membunuh kokoku?"
Tao Heng Kan menarik nafas panjang. Dia memalingkan kepalanya tanpa
mengucapkan apa-apa lagi. Lie Cun Ju melihat dirinya berada di atas sebuah bukit. Di
sampingnya juga terdapat dua ekor kuda yang sedang memamah rumput.
Diam-diam Lie Cun Ju berpikir dalam hati.
211 "Seandainya aku menggunakan kesempatan di saat orang itu tidak sadar dengan
mencuri seekor kuda untuk melarikan diri, rasanya bisa juga."
Tetapi berpikir sampai di situ, hatinya dilanda kegelisahan kembali. Biarpun bisa
melarikan diri, tapi kemana tujuannya"
Sebetulnya Lie Cun Ju mempunyai keluarga yang harmonis. Kedua orang tuanya pun
me-rupakan tokoh-tokoh kelas satu di dunia kang ouw yang namanya sudah cukup
terkenal. Tetapi sejak Tao Heng Kan membunuh Li Po, kokonya, keluarga mereka
terpencar dan akhirnya menjadi terkatung-katung seperti sekarang ini.
Lie Cun Ju menatap bayangan punggung Tao Heng Kan dengan mata menyorotkan
dendam membara. Sampai lama sekali dia memandangi pernuda itu, akhirnya dalam
benaknya timbul bayangan Tao Ling.
Dia teringat kasih sayang yang diperlihatkan Tao Ling selama ini. Hatinya timbul
gejolak yang sulit dilukiskan. Lie Cun Ju hanya dapat menarik nafas panjang. Selama
dua malam dia bersama-sama TaoHeng Kan di tempat itu. Di antara mereka tidak ada
yang mengucapkan sepatah kata pun.
Pada hari ketiga, Tao Heng Kan tahu luka yang diderita Lie Cun Ju parah sekali. Tidak
mungkin dia bisa meloloskan diri. Perasaannya pun menjadi lega. Teringat persediaan
air sudah habis, maka dia berjalan menuju tepi danau untuk engambil air. Tidak
disangka-sangka dia bertemu dengan I Giok Hong di tempat itu.
Setelah Tao Heng Kan meninggalkannya, timbul niat Lie Cun Ju untuk melarikan diri,
Dia berusaha bangun, tetapi tubuhnya lemas sekali. Dengan susah payah dia baru
berhasil berdiri, kepalanya terasa pening dan pandangan matanya langsung berkunangkunang.
Bahkan dia tidak sanggup berdiri tegak. Ketika ia bermaksud memaksakan
diri melangkah ke depan beberapa langkah untuk bersandar di batang pohon, tiba-tiba
dari belakangnya muncul dua sosok bayangan.
Ketika mata Lie Cun Ju sempat melihat dua sosok bayangan itu dengan jelas, dia
sangat terkejut. Ternyata yang dilihatnya itu yang satu seorang pendeta, sedangkan
yang satunya lagi sejenis makhluk aneh yang belum pernah ia temui seumur hidupnya.
Lagipula bentuk makhluk itu begitu aneh. Bahkan Lie Cun Ju tidak pernah tahu bahwa
di dunia ini ada jenis makhluk seperti itu.
Tadinya Lie Cun Ju ingin berteriak, tetapi baru saja mulutnya membuka, pendeta
berjubah kuning yang muncul bersama-sama makhluk aneh itu sudah berkelebat ke
depannya dan menotok jalan darah Lie Cun Ju. Pemuda itu pun tidak dapat bergerak
lagi. Makhluk yang mirip manusia tapi bukan manusia itu langsung membungkukkan
tubuhnya dan mengangkat Lie Cun Ju di pundaknya. Kemudian mereka melesat ke
depan. Tidak lama kemudian, mereka sampai di tepi sungai, dan meloncat ke
dalamnya. 212 Di dalam sungai, Lie Cun Ju memaksakan diri untuk menutup pernafasannya. Ketika
ia mulai tidak kuat dan sudah meneguk air sungai itu beberapa tegukan, tiba-tiba
makhluk yang menyeramkan dan pendeta berjubah kuning itu menyembulkan
kepalanya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pendeta itu langsung berkelebat menotok jalan
darah I Giok Hong dan Tao Heng Kan. Apabila dalam keadaan biasa, pasti jalan darah
mereka tidak semudah itu bisa tertotok. Namun pada saat itu mereka sedang terkesima
memandangi makhluk aneh yang muncul dari permukaan air itu. Maka dalam keadaan
tanpa dapat bertahan lagi jalan darah mereka langsung tertotok.
Kemudian pendeta itu memberi isyarat kepada si makhluk aneh. Mereka memondong
tubuh Lie Cun Ju kembali dan dibawanya lari meninggalkan tempat itu. Kira-kira
menempuh perjalanan belasan li. Mereka baru berhenti. Makhluk aneh itu menurunkan
tubuh Lie Cun Ju.
Pendeta itu menatap Lie Cun Ju sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Benar-benar keberuntungan bagi kami bahwa kau tidak sampai mati."
Hati Lie Cun Ju kesal dan marah. Dia mendengus dingin
"Aku malah menganggap lebih baik mati," kata Lie Cun Ju.
Pendeta itu mengeluarkan seruan terkejut.
"Akh! Kau sama sekali tidak boleh mati!"
Pada saat itu, dalam hati Lie Cun Ju memang berpendapat lebih baik mati daripada
hidup tersiksa seperti itu. Apabila saat itu dia mengetahui bahwa Tao Ling telah
menikah dengan Gin leng hiat ciang, I Ki Flu, mungkin dia langsung bunuh diri saking
kecewanya. Yang membuat Lie Cun Ju mempertahankan kehidupannya justru mengingat cinta
kasih yang sudah terjalin antara ia dengan Tao Ling. Karena itu pula, setelah
mendengar ucapan si pendeta berjubah kuning, dia langsung tertawa getir.
"Mengapa aku tidak boleh mati?"
Mimik wajah pendeta itu berubah menjadi serius.
"Mungkin kau ketua agama kami. Kalau kau sampai mati, ribuan bahkan laksaan umat
agama kami berada di bawah bimbingan siapa lagi?"
Mendengar kata-kata pendeta itu, Lie Cun Ju semakin heran. Jangan-jangan pendeta
ini otaknya kurang waras, pikirnya diam-diam.
"Apa yang kau maksudkan?" tanya Lie Cun Ju.
213 Tiba-tiba pendeta itu mengangkat tangannya dan menampar pipinya sendiri sebanyak
dua kali. "Urusan sebesar ini, mengapa aku membocorkannya?" gumam pendeta itu sambil
tersenyum kepada Lie Cun Ju. "Apa yang kukatakan tadi, anggap saja kau tidak
mendengarnya."
Hati Lie Cun Ju merasa geli. Dia semakin yakin dengan pendapatnya sendiri bahwa
pendeta itu memang gila. Karena itu pula, dia tidak mengungkit persoalan tadi lagi.
"Sekarang kemana kau akan membawa aku?"
"Di dalam sekte agama kami, ada seorang lhama tua dan dua orang Coan lun ong
(semacam penasehat) yang sedang menunggumu. Aku harus membawa kau menemui
mereka." Lie Cun Ju semakin tidak mengerti apa yang sedang dihadapinya. Tetapi karena ia
sudah jatuh ke dalam tangan mereka, terpaksa dia mengikuti nasibnya saja. Dia tidak
mengatakan apa-apa lagi. Pendeta itu kembali memberi isyarat tangan agar
memondong tubuh Lie Cun Ju. Mereka terus menuju barat.
Sedangkan I Giok Hong dan Tao Heng Kan mengambil arah yang berlawanan setelah
jalan darah mereka berhasil dibebaskan sendiri. Mereka tidak tahu bahwa pendeta itu
memang sengaja menyesatkan mereka. Mula-mula pendeta dan makhluk aneh berlari
ke arah timur, tapi kemudian memutar ke barat. Tentu saja tujuannya agar mereka
tidak berhasil menemukan Lie Cun Ju.
Pendeta berjubah kuning itu menguasai Gin Kang yang sangat tinggi. Selama beberapa
hari mereka menempuh perjalanan dengan berlari. Tidak tampak keletihan sedikit pun
yang tersirat di wajahnya. Hal ini membuktikan bahwa tenaga dalamnya pun sangat
tinggi. Diam-diam Lie Cun Ju menghitungi hari-hari yang sudah mereka lalui. Sampai saat
itu, mereka sudah menempuh perjalanan selama delapan belas hari. Setiap hari mereka
hanya menyantap ransum kering. Jalan yang ditempuh berkelok-kelok karena melalui
daerah pegunungan. Mereka tidak pernah bertemu dengan seorang manusia pun.
Sampai hari kesembilan belas, mereka melewati sebuah gunung yang menjulang
tinggi. Lie Cun Ju mendengar suara riak air. Dia segera membuka matanya. Ternyata
mereka sudah sampai di tepi sebuah sungai. Air sungai itu mengalir dengan deras.
Ombaknya tampak bergulung-gulung tinggi.
"Sungai apa ini?" teriak Lie Cun Ju.
"Sungai Yalu Campu," sahut pendeta berjubah kuning itu. Kemudian dia menjatuhkan
dirinya berlutut dan menyembah ke arah sungai itu.
Lie Cun Ju terkejut sekali. Dia pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa di
perbatasan Tibet ada sebuah sungai besar yang dinamakan Yalu Campu. Apakah ia
sekarang sudah mencapai perbatasan Tibet" Baru saja Lie Cun Ju ingin mengajukan
214 pertanyaan lagi, tiba-tiba dari tempat tidak seberapa jauh berkumandang suara
dengungan. Dan pendeta berbaju kuning itu pun mengeluarkan suara siulan sebagai
sahutan. Tidak lama kemudian, tampak empat sosok bayangan melesat ke arah mereka. Setelah
dekat, Lie Cun Ju dapat melihat bahwa keempat orang itu juga para pendeta berjubah
kuning. Bedanya di lengan jubah mereka terdapat sulaman dari benang emas.
"Apakah orangnya sudah berhasil disambut?" tanya keempat pendeta itu.
"Sudah," sahut pendeta yang membawa Lie Cun Ju.
Keempat pendeta itu segera mengeluarkan lembaran kertas seperti mata uang dan
diberikannya kepada pendeta yang membawa Lie Cun Ju. Kemudian keempat pendeta
itu menghampiri Lie Cun Ju. Dengan masing-masing mengangkat sebuah anggota
tubuh Lie Cun Ju, mereka membawanya berlari secepat kilat.
Sejak awal hingga akhir, Lie Cun Ju tidak mengerti apa sebenarnya yang diinginkan
para pendeta itu. Tapi tampaknya mereka tidak berniat jahat. Karena itu, Lie Cun Ju
pun tidak memberikan tanggapan apa-apa. Mereka terus berlari sampai belasan li.
Arah yang diambilnya selalu tepi sungai.
Di sepanjang jalan, pandangan mata Lie Cun Ju terus memandangi permukaan sungai.
Dia merasa kagum sekali melihat gelombang air yang begitu tinggi dan alirannya yang
demikian deras. Di daerah Tiong goan mungkin sulit menemukan sungai seperti itu.
Kurang lebih setengah kentungan kemudian, keempat pendeta itu menghentikan
langkah kakinya. Lie Cun Ju segera mendongakkan kepalanya. Dia melihat di tepi
sungai terdapat sebuah rakit yang sangat besar. Di tengah-tengah rakit itu terpancang
sebuah layar. Di samping atau tepatnya depan rakit itu terdapat sebuah kemah yang
besar. Tampak dari dalam kemah itu keluar beberapa orang yang juga berjubah
pendeta. "Apakah orangnya sudah berhasil disambut?" tanya orang-orang yang keluar dari
kemah itu. Keempat hwesio yang membopong Lie Cun Ju segera menganggukkan kepalanya.
Mereka berjalan menghampiri tenda besar itu. Kemudian perlahan-lahan menurunkan
Lie Cun Ju. Keempat pendeta itu membungkukkan tubuh mereka rendah-rendah.
"Lapor kepada Tianglo, dan Coan lun ong berdua, orang yang dicari sudah berhasil
disambut!" Lie Cun Ju semakin bingung. Sudah jelas kedatangannya ke tempat ini
diculik oleh seorang pendeta dan makhluk aneh tadi, tapi mengapa mereka selalu
menggunakan kata-kata disambut"
Baru saja ucapan mereka selesai, dari dalam tenda berkumandang suara lantang.
"Undang orangnya masuk ke dalam!"
Keempat pendeta itu melirik lie Cun Ju sekilas kemudian menggelengkan kepalanya.
215 "Lapor Tiang lo, tubuh pemuda ini terluka parah, aliran darahnya membalik, tidak bisa
ber-jalan sedikit pun."
Dari dalam tenda tidak terdengar suara sahutan. Sesaat kemudian terdengar lagi orang
yang di dalam kemah itu berkata.
"Kalau begitu, kalian papah dia ke dalam!"
Keempat orang itu mengiakan serentak. Setelah itu mereka segera mengangkat tubuh
Lie Cun Ju dan dipondongnya ke dalam tenda.
Perabotan yang ada di dalam tenda sederhana sekali. Di tengah-tengahnya terdapat
sebuah meja sembahyang. Di atas meja itu ada patung Buddha yang terbuat dari emas.
Sinarnya berkilauan. Di hadapan patung itu terdapat sebuah tempat pedupaan yang
dipasangi beberapa batang hio wangi. Bau harum semerbak menerpa indera
penciuman. Di samping tempat pedupaan tampak menyala dua batang lilin merah.
Suasananya berkesan misterius. Di depan meja itu terdapat tiga buah kursi.
Di setiap kursi duduk masing-masing seorang pendeta. Yang di tengah-tengah usianya
sulit diterka, tetapi tampak sudah tua sekali. Sedangkan kedua pendeta yang ada di sisi
kanan kirinya juga berusia di atas enam puluhan.
Diam-diam Lie Cun Ju berpikir, rombongan para pendeta ini tampaknya semua
menguasai ilmu silat. Ketiga orang yang duduk di atas kursi itu mungkin pemimpin
mereka. Kalau ditilik dari usianya yang sudah begitu lanjut, ilmu kepandaian mereka
pasti tinggi sekali.
Ketika Lie Cun Ju dibawa masuk, ketiga pendeta itu pun masing-masing membuka
mata mereka. Saat itu juga seakan ada sinar yang menyusup ke dalam tenda. Had Lie
Cun Ju bukan main tercekatnya.
"Tenaga dalam mereka benar-benar sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sinar mata
mereka saja bisa menimbulkan cahaya yang berkilauan."
"Ci sicu tentu letih setelah menempuh perjalanan yang demikian jauh. Silakan duduk!"
ucap pendeta yang duduk di tengah dengan perlahan-lahan.
Saat itu juga ada seseorang yang membawa kursi ke hadapan Lie Cun Ju. Ternyata
hampir saja tubuh Lie Cun Ju terkulai jatuh ketika pegangan keempat pendeta tadi
dilepaskan. Pikiran Lie Cun Ju semakin rumit, mengapa pendeta tua itu
menganggapnya berasal dari marga Ci seperti halnya Seebun Jit"
Setelah duduk bersandar, Lie Cun Ju merasa lebih nyaman. Tetapi bibirnya justru
tertawa getir. "Taisu, kau sudah berbuat kesalahan. Aku she Lie bukan she Ci," kata Lie Cun Ju
dengan tawa getir.
216 Pendeta tua itu tampaknya terkejut sekali. Matanya langsung mengalih kepada etnpat
pendeta tadi. Keempat orang itu pun bergegas keluar dari tenda dan tidak lama
kemudian datang lagi dengan membawa pendeta pertama yang menculik Lie Cun Ju.
"Tu Mo yang mengajak pemuda itu kemari, sedangkan kami tidak tahu apa-apa," kata
salah seorang dari keempat pendeta itu.
"Tiang lo, kau lihat sendiri!" sahut Tu Mo panik. Dia mengeluarkan selembar lukisan
dari balik jubahnya. Lukisan itu terbuat dari bahan kulit kambing, tampaknya sudah
lama sekali karena gambarnya pun sudah lusuh. Dia membeberkan lukisan yang
tadinya tergulung itu.
Lie Cun Ju mendongakkan kepalanya untuk mengintip gambar apa yang diperlihatkan
pendeta itu. Hatinya langsung terkesiap seketika.
Rupanya di atas kulit kambing itu terdapat lukisan seseorang. Dan orang itu ternyata
dirinya sendiri.
Rasa terkejut Lie Cun Ju bukan tak beralasan, Coba bayangkan saja, dia tidak merasa
pernah mengenal orang-orang itu. Bahkan bertemu pun tidak. Sedangkan asal usul
mereka saja ia pun tidak tahu.
Tetapi, mereka justru mempunyai lukisan wajah Lie Cun Ju. Pendeta tua yang duduk
di tengah-tengah itu segera mengambil lukisan kulit kambing itu dari tangan pendeta
yang menculik Lie Cun Ju. Matanya menatap ke arah lukisan beberapa saat, kemudian
beralih lagi ke wajah Lie Cun Ju. Seakan-akan dia sedang memperbandingkan kedua
wajah yang dilihatnya.
Hati Lie Cun Ju diliputi kecurigaan yang tidak terkatakan. Pendeta tua itu mungkin
merasa sudah cukup meneliti lukisan itu. Dia menyodorkannya kepada kedua lhama di
sisi kanan kirinya secara bergantian. Kedua orang itu menghahiskan waktu kurang
lebih setengah kentungan untuk meneliti. Kemudian tampak mereka menganggukkan
kepalanya perlahan-Iahan.
"Ci sicu, kami mengundang Anda kemari tanpa niat buruk sedikit pun. Mengapa Anda
tidak mengakui nama Anda sendiri?" tanya pendeta yang duduk di tengah.
"Memang aku bukan she Ci. Tetapi kalian terus mendesak aku dengan mengatakan
bahwa aku she Ci. Siapa yang sudi marganya diubah secara sembarangan?"
Pendeta itu tersenyum tipis. Kerutan di wajahnya seperti air yang beriak-riak. Dia
menyodorkan lukisan tadi ke hadapan Lie Cun Ju.
"Ci sicu, mohon tanya, siapa orang ini?"
Lie Cun Ju menyambut lukisan itu Iain dipandanginya dengan seksama. Tanpa dapat
ditahan lagi, wajahya menyiratkan senyuman yang pahit.
"Ini memang aku."
217 "Nah . . . sebetulnya orang yang ada dalam lukisan ini, bukan engkau. Tetapi tocu dari
Hek Cui to semasa mudanya. Jadi lukisan itu sudah lama sekali, mungkin lebih dari
dua puluh tahun. Kalau kau memang bukan keturunan tocu Hek Cui Ut itu, mengapa
wajah kalian bisa demikian mirip?"
Mendengar ucapan pendeta tua itu, tiba-tiba ingatan Lie Cun Ju melayang kepada
Seebun Jit. Sebetulnya kalau diingat kembali, apa yang dikatakan pendeta tua ini sama
halnya dengan apa yang dikatakan Seebun Jit tempo hari. Sedangkan persoalan ini, Lie
Cun Ju sendiri tidak jelas. Kecuali menanyakannya kepada pasangan suami istri Lie


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yuan secara langsung.
"Manusia ada yang mirip, benda pun ada yang sama. Kedua orang tuaku masih hidup.
Mana mungkin aku ini putra tocu Hek Cui !o seperti yang taisu katakan?"
Sepasang alis pendeta tua itu menjungkit ke atas.
"Mungkin ketika kecil kau sempat terlantar, kemudian kau diambil oleh orang tuamu
yang sekarang dan diasuhnya hingga besar.Tetapi karena berbagai alasan, mereka
tidak pernah berterus terang kepadamu," kata pendeta itu kembali.
Diam-diam Lie Cun Ju berpikir, urusan ini rumit sekali. Biarpun seratus kali
didebatkan tetap saja tidak akan jernih persoalannya. Kecuali bertemu langsung
dengan kedua orang tuanya. Karena itu, Lie Cun Ju pun tidak memprotes apa-apa lagi.
"Kita kesampingkan dulu masalah itu. Sekarang dapatkah Taisu menjelaskan maksud
Taisu menyuruh orang membawa aku kemari?"
Pendeta itu tersenyum. "Lo ceng tahun ini sudah berusia seratus dua belas tahun.
Mana mungkin bisa salah mengenali orang. Tahukah sicu bahwa Anda ini sebenarnya
merupakan reinkarnasi dari pimpinan kuil kami, yakni ketua Dan Juel."
Diam-diam Lie Cun Ju menggerutu dalam hati. "Bagus sekali. Sekarang aku malah
dikatakan reinkarnasi dari ketua kalian. Kalian boleh percaya dengan segala macam
reinkarnasi atau tidak, memangnya aku juga harus ikut-ikutan percaya." "Kata-kata
Taisu tanpa bukti sedikit pun. Mana mungkin orang seperti aku ini reinkarnasi dari
pemimpin kalian yang pasti sudah almarhum." Pendeta tua itu tidak marah. Bibirnya
malah menyunggingkan seulas senyuman.
"Kami merupakan umat dari Oey kau di perbatasan Tibet. Sejak pendiri agama kami
ribuan tahun yang lalu, kami sudah mempercayai adanya reinkarnasi. Memang
waktunya tidak dapat ditentukan kapan reinkarnasi dari pemimpin yang terdahulu bisa
lahir ke dunia. Misalnya pemimpin kami Dan Juel. Beliau lahir kembali sembilan
generasi kemudian dari pemimpin sebelumnya. Dan sampai sekarang ini, sudah tujuh
puluhan tahun. Ternyata kami baru berhasil menemukan engkau. Dalam agama kami,
setiap pemimpin yang wafat pasti akan terjadi reinkarnasi. Dari dulu sampai sekarang
memang sudah demikian kodratnya. Mungkin sampai ribuan tahun kelak pun tetap
sama." "Rupanya kalian ini para lhama dari Oey kau. Dengan demikian persoalannya semakin
tidak mungkin," ucap Lie Cun Ju sambil menatap pendeta tua itu dengan tercengang.
218 "Mengapa tidak mungkin?" tanya pendeta tua.
"Taruhlah aku memang putra kandung tocu Hek Cui to, Ci Cin Hu. Meskipun
pemimpin kalian bisa reinkarnasi, mana mungkin lahirnya begitu jauh di wilayah
Tiong goan?"
Sikap pendeta tua itu serius sekali.
"Kesanggupan Buddha hidup tidak dapat diukur dengan kebiasaan manusia. Buddha
hidup lebih sakti dari dewa mana pun. Untuk menempuh jarak sejauh apa pun hanya
dalam waktu sekejapan mata. Meskipun jarak antara perbatasan Tibet ini dengan Hek
Cui to sangat jauh. Tetapi Buddha hidup dapat melakukannya dengan mudah," jawab
pendeta tua dengan sikap serius.
Diam-diam Lie Cun Ju berpikir dalam hati. "Pendeta tua ini mempunyai keyakinan
tersen-diri. Mungkin dalam agama mereka memang ada pelajaran semacam itu.
Biarpun memprotes selama seratus tahun, tetap saja tidak bisa menggoyahkan
pendirian mereka ...
Baru saja Lie Cun Ju mengambil keputusan untuk menghadapi pendeta tua itu dengan
cara yang lain, dia mendengar orang itu sudah berkata lagi
"Tujuh puluh tahun yang lalu, menjelang akhir hidupnya, pemimpin kami Dan Juel
menunjukkan jari telunjuknya ke arah utara. Sebagai tiang lo dalam sekte agama kami,
aku segera mengajak beberapa orang sesepuh aliran agama kami untuk mencari bayi
yang merupakan reinkarnasi dari Buddha hidup. Ternyata sampai berpuluh-puluh
tahun kami tetap tidak berhasil menemukannya. Ini merupakan pengalaman yang tidak
pernah terjadi dalam sejarah kami."
Perhatian Lie Cun Ju agak tertarik juga mendengar ceritanya
"Lalu?" sahutnya.
"Aku dan kedua Coan lun ong ini benar-benar kewalahan. Akhirnya kami memohon
petunjuk dari roh Buddha hidup."
Diam-diam hati Lie Cun Ju merasa geli.
"Apakah Buddha hidup memberikan petunjuknya kepada kalian?"
"Tentu saja ada. Setelah selesai berdoa dan membaca kitab suci, tiba-tiba muncul
seekor mer-pati putih. Dengan mengikuti arah terbang merpati itu kami sampai di
pulau Hek Cui to. Kebetulan istri tocu pulau itu sedang melahirkan. Dan hari lahir
anak itu sama dengan hari lahir Buddha hidup."
"Apakah semuanya sama" Maksudku, dari hari tanggal dan jam kelahiran?"
"Tepat. Tidak ada perselisihan sedikit pun," sahut pendeta tua itu.
219 Bagi Lie Cun Ju, meskipun urusan ini agak janggal, tetapi mungkin saja hanya
kebetulan. Di wilayah utara memang banyak merpati putih. Karena di perbatasan Tibet
jarang menemuinya, maka mereka langsung menduga merpati putih itu merupakan
petunjuk yang diberikan oleh Buddha hidup.
Lagi pula dunia ini luas sekali, setiap detik tentu ada bayi lahir. Mengapa harus heran
apabila ada bayi yang lahir dalam waktu yang sama dan tanggal serta bulan yang sama
dengan Buddha hidup.
"Pada waktu kedatangan kami, bayi itu baru berusia dua puluh tiga hari. Kami segera
menjelaskan maksud kedatangan kami untuk mengambil bayi itu. Tetapi ternyata Tocu
Hek Cui to itu tidak mengijinkan."
Lie Cun Ju berpikir dalam hati. Justru aneh kalau dia memberikan bayinya begitu saja.
"Karena kandungan istri tocu Hek Cui to itu pernah dipinjam sebagai wadah lahirnya
reinkar-nasi Buddha hidup kami, maka kami tidak berani memaksa dengan kekerasan.
Akhirnya secara diam-diam kami membuat lukisan wajah tocu Hek Cui to itu dan
bersiap akan kembali lagi sewaktu-waktu. Tidak disangka-sangka, belum lagi kami
sampai di perbatasan Tibet, kami sudah mendengar berita bahwa seluruh keluarga tocu
Hek Cui to itu tertimpa musibah. Hanya satu yang mendapat perlindungan sehingga
tidak ikut menjadi korban, yakni bayi kecil itu."
"Kalau begitu, keselamatan si bayi berkat lindungan Buddha hidup kalian?" tanya Lie
Cun Ju dengan tidak dapat menahan diri untuk tertawa geli.
"Tentu saja. Begitu mendengar berita itu, kami tidak jadi kembali ke perbatasan Tibet,
bahkan bergegas menuju Hek Cui to. Tetapi setelah menghabiskan waktu hampir
setahun lamanya, kami tidak berhasil menemukan bayi itu. Kami terpaksa kembali ke
Tibet. Tetapi ada beberapa orang lhama yang mewakili kami untuk terus berusaha
menemukan bayi itu. Sampai tahun yang lalu, baru ada wakil kami yang melaporkan
bahwa mereka melihat seorang pemuda yang wajahnya mirip sekali dengan tocu Hek
Cui to di masa mudanya. Karena itu pula, kami bergegas menuju ke Tiong goan untuk
mencari pemuda itu."
Lie Cun Ju merenung sejenak. Rasa-rasanya tahun yang lalu dia memang pernah
bertemu dengan seorang pendeta berjubah kuning. Pasti pendeta itu segera kembali ke
perbatasan Tibet dan memberikan laporan kepada lhama tua ini.
"Apa yang dikatakan Taisu menarik sekali. Tetapi sejak lahir sampai sekarang yang
aku ketahui orang tuaku bermarga Lie, bukan Ci," kata Lie Cun Ju.
"Hal ini mudah sekali. Setiap kali Buddha hidup dilahirkan kembali, demi menjaga
terjadinya kesalahan, kami harus mengujinya. Sekarang ini kami pun belum dapat
memastikan bahwa sicu adalah reinkarnasi dari Buddha hidup kami. Mengapa sicu
tidak ikut saja kami kembali ke kuil untuk mengetahui kebenarannya?"
Toh aku sekarang sudah berada di perbatasan Tibet, andaikata ingin menolak juga
tidak mungkin. Mengapa tidak mengikuti kemauan mereka saja" Pikir Lie Cun Ju
dalam hati. Tetapi setelah direnungkan kembali, dia mengingat kondisi tubuhnya yang
220 sedang menderita luka parah. Entah berapa lama lagi ia dapat mempertahankan
kehidupannya. Tanpa dapat ditahan lagi Lie Cun Ju menarik nafas panjang.
"Sebetulnya aku tidak keberatan berkunjung ke kuil kalian untuk mengadakan
pengujian. Anggap saja sedang berpesiar. Tetapi malangnya, dua bulan yang lalu aku
terluka parah. Mungkin tidak dapat menempuh perjalanan jauh, sedangkan aku sendiri
tidak tahu berapa lama lagi aku dapat mempertahankan diri."
Pendeta tua itu memperhatikan Lie Cun Ju dengan seksama. Bibirnya tersenyum.
"Soal itu mudah diatasi."
Perlahan-lahan dia bangkit dari tempat duduknya. Jangan dilihat usianya yang sudah
tua renta dan tubuhnya yang kurus kering. Ketika berdiri sikap gagahnya masih
terlihat jelas. Tiba-tiba dia melangkah ke depan Lie Cun Ju. Tangannya menjulur ke
depan dan menekan dada serta punggung pemuda itu.
Baru saja kedua tangannya menekan sebentar, tanpa disadari mulut Lie Cun Ju
menjerit. Rupanya sepasang tangan pendeta tua itu begitu panasnya seperti batangan besi yang
dibakar di atas api membara. Meskipun Lie Cun Ju sempat menjerit satu kali, tetapi
dia segera sadar bahwa pendeta itu sedang menyembuhkan luka dalamnya dengan
mengerahkan tenaga murni dalam tubuhnya.
Cepat-cepat dia memejamkan mata dan duduk diam-diam. Ditahannya rasa panas yang
menyengat itu. Tidak lama kemudian, hawa yang terpancar dari sepasang telapak
tangan pendeta tua itu tidak begitu panas lagi. Bahkan lambat laun terasa ada
serangkum hawa hangat yang mengalir dalam tubuhnya. Hal ini membuat hawa murni
dalam tubuh Lie Cun Ju yang tadinya tidak dapat diedarkan menjadi lancar kembali.
Kurang lebih dua kentungan kemudian, hawa murni dalam tubuh Lie Cun Ju sudah
dapat mengalir dengan lancar. Tetapi pendeta tua itu masih terus mengerahkan hawa
murninya. Lie Cun Ju merasa tubuhnya nyaman sekali. Dalam waktu yang singkat,
bukan saja tenaganya pulih kembali, bahkan lebih hebat dari sebelumnya.
Kalau digantikan orang lain yang mengalami kejadian itu, tentu ia akan membiarkan
pendeta tua itu terus menyalurkan hawa murninya karena mengetahui tenaga dalam
orang tua itu sudah mencapai taraf kesempurnaan. Tetapi Lie Cun Ju bukan jenis
manusia seperti itu. Dia sadar hawa murni pendeta tua itu sudah terkuras banyak untuk
menyembuhkannya. Ia tidak ingin melihat pendeta tua itu mengalami kerugian terlalu
banyak, karena itu dia segera membuka matanya dan berkata.
"Terima kasih, Taisu. Tenaga dalamku sudah pulih kembali."
Pendeta tua itu tersenyum lembut. Sepasang tangannya dilepaskan dan menggeser satu
langkah. Cepat-cepat Lie Cun Ju meloncat bangun dan berjalan ke depan beberapa
langkah. Ternyata tenaga dalamnya sudah lebih tinggi dari sebelumnya. Hati Lie Cun
Ju kagum sekali terhadap kekuatan tenaga dalam pendeta itu. Menurut adat istiadat
dunia bu lim, sudah seharusnya Lie Cun Ju menjatuhkan diri berlutut di depan pendeta
tua itu sebagai pernyataan terima kasihnya. Dia segera menekuk kedua lututnya, tetapi
221 belum sempat niatnya tercapai, tiba-tiba ada serangkum kekuatan yang tidak berwujud
menahan gerakannya.
Melihat pendeta tua itu hanya mengibaskan lengan bajunya sedikit untuk menahan
gerakan tubuhnya, hati Lie Cun Ju semakin kagum. Ia memandangi wajah si pendeta
tua yang sudah penuh dengan kerutan beberapa saat lamanya.
"Taisu, seandainya aku memang penjelmaan dari Buddha hidup kalian, apakah kalian
semua harus menuruti perintahku?"
"Tentu saja. Sebagai seorang pemimpin dalam kuil kami, pasti mempunyai kekuasaan
yang tiada duanya. Pokoknya setiap anggota agama kami tidak ada yang berani
menentang perintah yang diturunkan." Pendeta itu menjawab sambil tersenyum
lembut. Hati Lie Cun Ju langsung tergerak. Seandainya tanpa alasan yang jelas tiba-tiba dia
diangkat menjadi pemimpin agama ini, bukankah dia akan mempunyai banyak sekali
bawahan yang berilmu tinggi" Mungkin pemimpin mereka yang dahulu tidak pernah
menginjakkan kakinya di wilayah Tiong goan. Karena itu tidak ada yang mengetahui
kehebatan mereka. Seandainya ia menjadi pemimpin mereka, biarpun ilmu
kepandaiannya sendiri tidak mengalami kemajuan sedikit pun, tetapi mungkin
namanya bisa disejajarkan dengan tokoh-tokoh kelas satu lainnya.
Pikiran Lie Cun Ju melayang-layang. Berpikir sanipai di sini, dia menjadi geli sendiri.
Karena tadi dia masih tidak mempercayai apa yang dinamakan Buddha hidup
menjelma kembali segala macam, sekarang dia bahkan mempunyai minat untuk
menjadi pemimpin mereka. Lie Cun Ju segera membuang pikiran itu jauh-jauh.
"Tadi Taisu mengatakan bahwa benar atau tidaknya penjelmaan Buddha hidup harus
melalui pengujian. Entah dengan cara bagaimana Taisu mengujinya?"
"Kami mempunyai keyakinan bahwa seseorang yang merupakan penjelmaan Buddha
hidup tidak mengingat kembali masa lampaunya. Meskipun demikian, pasti ada
tertinggal naluri yang tajam akan benda kesukaannya semasa hidup. Sedangkan
semasa hidup Buddha hidup, beliau sangat menyukai sebuah kitab. Boleh dikatakan
kitab itu tidak pernah terpisah darinya sedetik pun. Di dalam kuil, kami sudah
menyiapkan dua puluh kitab yang dilihat dari luar bentuknya sama. Anda hanya boleh
memilih satu di antaranya dan hanya dengan sekali gerakan saja. Apabila pilihan Anda
benar, maka tidak diragukan lagi bahwa Andalah penjelmaan Buddha hidup kami dan
akan mendapat sanjungan dari seluruh umat kuil kami."
Mendengar keterangan pendeta itu, Lie Cun Ju langsung tertawa getir. Dalam dua
puluh kitab yang bentuknya dari Iuar sama semua, dalam sekali gerak harus
mengambil satu yang tepat. Memangnya itu pekerjaan mudah" Lebih baik lupakan
saja ingatan ingin menjadi pemimpin mereka. Toh ia sudah mendapatkan keuntungan
besar dari pendeta tua itu. Mengapa masih timbul niat serakah dalam hati" Lagipula,
seandainya ia menjadi pimpinan mereka, bukankah ia harus mencukur kepalanya dan
tidak boleh menikah seumur hidup. Mana mungkin dia sanggup melepaskan Tao Ling
yang demikian ia cintai" Pikirnya dalam hati.
222 Karena itu Lie Cun Ju tidak mengajukan pertanyaan lagi. Tampak pendeta tua itu
memberi isyarat dengan gerakan tangan. Belasan pendeta segera muncul dan mengajak
Lie Cun Ju naik ke atas rakit. Pendeta tua dan kedua rekannya pun ikut keluar. Dalam
waktu yang singkat mereka sudah membereskan tenda besar itu dan menempuh
perjalanan. Lie Cun Ju melihat setiap pendeta memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Sebetulnya
di dalam sebuah aliran keagamaan, seperti Siau lim si, memang terdapat sebagian
tokoh berilmu tinggi. Tetapi kalau setiap pendetanya semua berilmu tinggi, hal ini
belum pernah ditemuinya.
Tiba-tiba Lie Cun Ju teringat kata-kata pendeta tua tadi. Bahwa semasa hidupnya
Buddha hidup senang sekali terhadap sebuah kitab yang siang malam tidak pernah
terpisah darinya. Kalau menurut teorinya, seorang Buddha hidup memang harus
mempunyai pengetahuan yang lebih luas daripada yang lainnya. Karena itu, sebuah
kitab saja tidak mungkin bisa menambah seberapa banyak pengetahuannya. Tetapi
menurut cerita pendeta tua tadi, justru hanya satu kitab itu yang siang malam selalu
dibaca oleh Buddha hidup semasa hidupnya. Mungkinkah kitab itu berisi ilmu pintu
Buddha yang mengandung kesaktian sehingga Buddha hidup itu terus membaca untuk
memahaminya"
Lie Cun Ju hanya berpikir selintasan saja. Dia sadar dirinya toh tidak mungkin bisa
mendapatkan kitab itu. Buat apa dia memusingkan kepalanya sendiri"
Tentu saja apabila kebetulan dia berhasil memilih kitab yang betul dari dua puluh
kitab yang disediakan, bukan saja kitab itu menjadi miliknya, malah dia akan diangkat
menjadi pemimpin agama mereka.
Tapi, bukankah harapan itu terlalu tipis"
Sementara itu seratus lebih pendeta berjubah kuning sudah mulai melanjutkan
perjalanan. Satu hari kemudian mereka sudah sampai di sebuah tempat yang
tampaknya seperti kaki gunung. Mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Kira-kira di hari keempat mereka sudah sampai di atas puncak sebuah gunung. Lie
Cun Ju mencoba melihat ke bawah. Hatinya langsung tercekat. Ternyata di tengahtengah
terdapat sebuah lembah yang luasnya sulit diperkirakan. Sebagian dari lembah
itu merupakan sebuah danau. Airnya bukan main jernihnya. Bahkan pegunungan di
sekitarnya dapat terlihat jelas di permukaan air itu. Ditambah lagi langit yang biru.
Benar-benar merupakan sebuah panorama alam yang indah sekali.
Di tepi danau tumbuh berbagai jenis bunga-bunga liar. Ada beberapa ekor rusa yang
sedang bermain-main di sekitar danau. Lie Cun Ju merasa dirinya berada di nirwana.
Tidak jauh dari danau itu tampak sebuah kuil yang mentereng. Dari luarnya saja sudah
berkesan angker dan timbul rasa hormat.
Lie Cun Ju rnemperhatikan keadaan di sekirar tempat itu sejenak, Diam-diam dia
berpikir dalam hati. Andaikata bisa hidup di tempat yang demikian indah meskipun
hanya sebagai seorang kacung, rasanya jauh lebih baik daripada hidup di dunia bu lim
yang setiap saat menghadapi bahaya besar dan perebutan nama kosong.
223 Hatinya merasa kagum sekali.
"Taisu apakah itu kuil kalian?" Tanya Lie Cun Ju
Pendeta tua itu menganggukkan kepalanya. Dari kuil terdengar suara pembacaan ayat
suci. Kemudian dari dalamnya berjalan ke luar dua baris lhama dengan membentuk
melebar ke samping seperti burung membentangkan sayapnya. Mereka berhenti di
depan kuil dan mendongakkan kepalanya menatap ke arah mereka.
Pendeta tua itu menarik nafas panjang. "Agama kami tidak mempunyai pemimpin
selama hampir tujuh puluh tahun. Para umat di kuil kami sudah lama sekali
mengharapkan datangnya seorang pemimpin yang merupakan penjelmaan dari Buddha
hidup." "Taisu mempunyai kepandaian yang tinggi, lagi pula memiliki hati yang welas asih
serta mementingkan kepentingan umat. Mengapa bukan Taisu saja yang menjadi
pemimpin di kuil ini?" tanya Lie Cun Ju.
Mata pendeta tua itu langsung mendelik.
"Mengapa Ci sicu berbicara seenaknya" Kalau bukan penjelmaan Buddha hidup, mana
boleh menjadi pemimpin di kuil kami " Lagipula sebetulnya lo ceng hanya seorang


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendeta biasa, karena kematian pemimpin yang terdahulu, lama sekali kuil kami tidak
mempunyai pemimpin. Lambat laun lo ceng pun menjadi orang yang tertua di dalam
kuil ini. Apabila ada suatu urusan, lo ceng lah yang dimintakan pendapatnya sebagai
sesepuh. Tetapi bukan berarti lo ceng boleh mengangkat diri jadi ketua dengan
seenaknya."
Mendengar keterangan pendeta tua itu, hati Lie Cun Ju kembali tergerak.
"Kalau begitu, di dalam kuil kalian, sekarang hanya tinggal Taisu sendiri yang pernah
mendapat didikan langsung dari Buddha hidup Dan Juel?"
"Tidak. Kedua Coan lun ong juga mendapat didikan langsung dari beliau. Tentu Ci
sicu mengira usia mereka belum mencapai tujuh puluhan tahun, bukan" Sedangkan
Buddha hidup telah meninggal hampir tujuh puluh tahun yang lalu. Sebetulnya usia
keduanya sudah di atas sembilan puluh tahun, hanya saja dulu usia mereka masih
terlalu muda. Coan lun ong terdahulu yang ikut mencari bayi penjelmaan Buddha
hidup." "Taisu sekalian memiliki kepandaian yang tinggi. Apakah Buddha hidup juga yang
meng-ajarkan ilmu itu?"
"Benar. Agama kami tadinya tidak mengenal latihan pernafasan untuk menghimpun
tenaga da lam. Karena itu sering mendapat perlakuan semena-mena dari orang luar.
Tetapi sejak Buddha hidup Dan Juel yang memegang tampuk pimpinan, semuanya
jadi berubah."
Lie Cun Ju hanya menganggukkan kepalanya. Sekarang dia semakin yakin bahwa
kitab kesukaan Buddha hidup yang menurut cerita pendeta tua ini tidak pernah
224 terpisah darinya pasti merupakan sebuah kitab pusaka yang isinya mengenai ilmu silat.
Ketika pembicaraan berlangsung, keduanya turun dari puncak gunung dan sebentar
saja sudah sampai di tepi danau.
Suara pembacaan doa dari kedua baris pendeta itu semakin nyaring. Lie Cun Ju sama
sekali tidak mengerti apa yang dibaca oleh mereka. Tetapi kalau dilihat dari mimik
wajah mereka yang seritis terselip keriangan, dia dapat menduga bahwa pendetapendeta
itu sedang membaca doa penyambutan atas dirinya.
Lie Cun Ju mengikuti pendeta tua itu masuk ke dalam kuil. Tampak di kedua sisi
pendopo terdapat lukisan pada dinding. Lukisan itu seperti mengandung makna
Buddha hidup yang sedang mengajar para umatnya. Sedangkan di tengah-tengah
pendopo terdapat tiga buah patung besar yang melambangkan Trimurti. Suasana di
dalam kuil itu terasa sangat berwibawa.
Lie Cun Ju sendiri bukan umat agama Oey kau. Tetapi begitu masuk ke dalam kuil itu,
timbul juga rasa hormatnya. Pendeta tua itu mengajak Lie Cun Ju ke ruangan
belakang. Ruangan itu sunyi senyap dan hening sekali. Lie Cun Ju ditinggalkan dalam
ruangan itu. Pendeta tua meninggalkannya entah kemana. Tidak lama kemudian ada
pendeta cilik yang membawa makanan dan minuman untuk Lie Cun Ju.
Selama tiga hari berturut-turut, Lie Cun Ju beristirahat di dalam ruangan itu. Lukanya
sudah sembuh sama sekali. Pendeta tua itu juga tidak pernah kelihatan. Sampai hari
keempat, terdengar suara genta bertalu-talu, juga terdengar suara ketukan bok hi. Asap
hio wangi bertebaran sehingga menimbulkan bau harum di mana-mana. Pendeta tua
dan kedua Coan lun ong mengiringi Lie Cun Ju ke pendopo yang luas sekali.
Lie Cun Ju melihat keadaan di pendopo itu gelap gulita. Paling tidak ada lima ratusan
pendeta yang menundukkan kepalanya sambil membaca doa. Di atas undakan tangga
terdapat sebuah meja dan sebuah kursi. Di atas meja berjejer dua puluh kitab yang
bentuknya dan warnanya serupa. Kitab-kitab itu ditempatkan di dalam sebuah kotak
yang bentuknya juga sama.
Pendeta tua dan kedua coan lun ong membawa Lie Cun Ju ke belakang meja. Mereka
pun berlutut di kedua sisi pemuda itu. Saat itu di seluruh ruangan pendopo yang luas
itu hanya Lie Cun Ju seorang berdiri.
Dia tahu bahwa hari kelahirannya yang sama dengan Buddha hidup membuat umatumat
agama itu mengira ia sebagai penjelmaan Buddha hidup. Sekarang, apabila dia
berhasil memilih kitab yang tepat dari antara dua puluh kitab yang berjejer di
depannya itu, maka ia akan segera diangkat menjadi pemimpin kuil ini. Karena itu,
bagi para umat agama itu, detik-detik sekarang justru penting sekali bagi kelanjutan
agama mereka. Pendeta tua itu berlutut di sisinya. Tidak lama kemudian, ia mengangkat tangannya ke
atas. Suara genta, pembacaan doa atau ketukan bok hi pun berhenti seketika. Suasana
jadi sunyi senyap padahal di da lam ruangan itu terdapat begitu banyak orang. Dari hal
itu dapat dibuktikan bahwa para pendeta Oey kau mendapat didikan disiplin yang
keras. Mereka sangat mengagungkan agamanya sendiri.
225 Terdengar pendeta tua itu membaca doa dengan suara yang berat. Selesai berdoa, para
umat baru bangkit serentak. Pendeta tua itu juga berdiri dan menghampiri Lie Cun Ju.
"Harap calon pemimpin Ci sicu mulai memilih kitab!"
Padahal Lie Cun Ju tadinya menganggap apa yang dialaminya benar-benar seperti
sebuah per-mainan saja. Walaupun hatinya juga penasaran, mengapa sejak Buddha
hidup Dan Juel yang memimpin agama ini, seluruh pendeta Oey kau bisa mengerti
ilmu silat" Dia juga ingin tahu kitab apa sebenarnya yang semasa hidupnya tidak
pernah terpisah dari Buddha hidup itu"
Di samping itu, Lie Cun Ju juga tahu dirinya tidak mungkin bisa menjadi pemimpin
agama mereka. Dia toh tidak punya kesaktian untuk memilih dengan tepat salah satu
di antara dua puluh kitab yang berjejer di depannya. Karena itu, dia hanya ingin urusan
itu cepat selesai agar dia juga dapat kembali ke Tiong goan secepatnya. Kemudian
berusaha menemukan Tao Ling dan melewati hari-hari bahagia bersama gadis itu,
daripada menjadi pemimpin agama yang tidak dimengertinya itu.
Karena itu, ketika mendapat perintah dari si pendeta tua agar dia mengambil salah satu
kitab yang berjejer di atas meja, Lie Cun Ju tidak pikir-pikir lagi. Sembarangan saja ia
mengulur tangannya untuk mengambil salah satu dari kitab itu
Lie Cun Ju toh tidak tahu kotak mana terdapat buku yang asli dan kotak mana yang
berisi kitab palsu. Tidak ada hal apa pun yang dapat dijadikan pegangan baginya untuk
memilih. la mengulurkan tangannya untuk mengambil salah satunya. Tetapi belum
lagi jari tangannya sempat menyentuh kitab itu, tiba-tiba jalan darah di lengannya
terasa ngilu Rasa ngilu itu membuat tangannya terangkat kembali.
Hati Lie Cun Ju merasa aneh, cepat-cepat dia mendongakkan kepalanya. Tampak
ratusan umat sedang memandang ke arahnya. Kecuali si pendeta tua dan kedua coan
lun ong yang merangkapkan sepasang telapak tangan dan menundukkan kepalanya
rendah-rendah. Dia tidak berhasil mencari siapa kira-kira orang yang mengisenginya.
Tetapi Lie Cun Ju sadar sekali ketika lengannya tadi terasa ngilu. Kalau tidak, kotak
itu pasti sudah diambilnya.
Setelah mengedarkan pandangan matanya sejenak, Lie Cun Ju memalingkan
kepalanya kem-bali. Tiba-tiba saja hatinya tergerak. Dia merenung sejenak. Urusan itu
tampaknya ada terselip keanehan. Dan hanya ada satu kemungkinannya. Pendeta tua
dan kedua Coan lun ong pasti tahu di mana letak kitab yang asli.
Dan rasa ngilu tangannya tadi, pasti hasil perbuatan salah seorang dari mereka pula.
Hal itu tidak perlu diragukan lagi. Mengenai mengapa mereka melakukannya, hanya
ada kemungkinan.
Pertama, orang itu tidak suka Lie Cun Ju menjadi pemimpin kuil itu. Dengan kata lain,
gerakan tangannya yang sembarangan tadi mungkin memilih kitab yang asli. Tetapi
rasanya tidak mungkin demikian kebetulan.
226 Sedangkan yang kedua, kemungkinannya lebih besar. Orang itu justru berharap Lie
Cun Ju menjadi pemimpin kuil itu. Karena itu, ketika melihat ia mengambil kitab yang
salah, orang itu segera turun tangan mencegahnya. Dengan pikiran demikian, Lie Cun
Ju teringat kembali kata-kata yang pernah diucapkan pendeta tua. "Umat kuil kami
sudah lama menantikan kedatangan pemimpin yang merupakan penjelmaan dari
Buddha hidup kami." Mungkin dialah yang turun tangan mencegah Lie Cun Ju
barusan. Meskipun tampaknya pendeta tua itu sedang merangkapkan sepasang telapak
tangannya dan kepalanya menunduk, tetapi dengan kekuatan tenaga dalamnya,
menotok jalan darah orang dengan tanpa bergerak sedikit pun bukan hal yang sulit
baginya. Lagipula jarak antara pendeta tua itu dengan dirinya sangat dekat. Bisa saja ia turun
tangan tanpa diketahui oleh ratusan pendeta lainnya.
Lie Cun Ju tidak berpikir lama-lama. Dia kembali mengulurkan tangannya untuk
mengambil kotak yang ada di sebelah kanannya. Tetapi apa yang dialaminya kali itu
sama seperti yang pertama. Lengannya langsung terasa ngilu dan tangannya otomatis
terangkat ke atas.
Peristiwa itu mungkin hanya diketahui oleh Lie Cun Ju dan orang yang turun tangan.
Sedangkan bagi pandangan orang lain, Lie Cun Ju seakan sedang mempertimbangkan
kitab mana yang harus diambilnya. Meskipun tangannya sudah menjulur ke depan,
tetapi kemudian ia membatalkannya karena kurang yakin. Demikianlah anggapan
pendeta-pendeta lainnya terhadap sikap yang diperlihatkan Lie Cun Ju.
Karena itu pula, hati para pendeta itu begitu tegangnya sehingga telah mencapai titik
puncak-nya. Meskipun didalam ruangan itu terdapat lima ratusan pendeta, suasananya
justru demikian hening mencekam. Mereka menantikan dengan hati berdebar-debar.
Untuk kedua kalinya Lie Cun Ju dicegah mengambil kotak yang dipilihnya. Sekarang
dia yakin bahwa orang itu mengharapkan dirinya menjadi pimpinan kuil. Sebab tidak
mungkin dua kali dia berhasil atau secara kebetulan mengambil kitab yang asli,
sedangkan kitah itu hanya satu yang aslinya. Dan bila orang itu tidak ingin menjadi
pimpinan kuil mengapa orang itu sampai dua kali turun tangan.
Saat itu juga perasaan Lie Cun Ju menjadi heran, tegang tetapi terselip sedikit
kegembiraan. Sebab, apabila ditilik dari keadaan yang berlangsung, tidak diragukan
lagi ia akan menjadi pimpinan kuil ini.
Lie Cun Ju menarik nafas dalam-dalam. Dia menjulurkan tangannya kembali untuk
meraih se-buah kotak. Setiap kali tangannya hampir menyentuh kotak itu, lengannya
pun terasa ngilu. Sampai kedua belas kalinya tangan pemuda itu baru bisa mengambil
kotak yang dipilihnya dengan lancar.
Pendeta tua itu menyambut kotak yang dipilih oleh Lie Cun Ju. Dia membuka halaman
pertama kitab itu kemudian ditunjukkannya kepada seluruh hadirin. Lie Cun Ju inelirik
dengan ekor matanya mengintip kitab itu. Ternyata kitab itu tipis sekali. Paling-paling
227 hanya berisi beberapa halaman. Di atasnya tertulis 'Leng Can Po liok'. (Peninggalan
pusaka keramat).
Jilid 5________
Ketika Lie Cun Ju membaca keempat huruf itu, tanpa dapat ditahan lagi mulutnya
mengeluarkan seruan terkejut. Tetapi seruannya tidak terdengar oleh siapa pun. Bukan
karena seruannya kurang keras, melainkan tertutup oleh suara sorakan para pendeta
yang berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak dimengertinya.
Sorakan para pendeta itu memang sudah diduga oleh Lie Cun Ju. Karena setiap kali
dia mengulurkan tangannya mengambil kotak yang salah, pasti ada semacam kekuatan
yang mencegahnya dengan membuat tangannya menjadi ngilu. Dan kotak yang
sekarang berhasil diambilnya jelas merupakan kitab asli, yaitu kitab yang tidak pernah
terpisah dari Buddha hidup semasa hidupnya dulu. Para pendeta itu tidak tahu kejadian
yang sebenarnya, maka mereka mengira Lie Cun Ju benar-benar penjelmaan Buddha
hidup. Namun satu hal yang tidak terduga-duga oleh Lie Cun Ju, ternyata kitab itu
adalah kitab Leng can po liok.
Tahun yang lalu, Lie Cun Ju pernah mendengar cerita kedua orang tuanya. Selama dua
ratus tahun terakhir partai Ngo tay pai kehilangan masa gemilangnya. Hal itu
disebabkan sebuah kitab ilmu silat yang mengandung pelajaran sakti. Konon kitab itu
berisi ilmu pernafasan yang dapat membuat orang mencapai taraf kekebalan. Kitab itu
tiba-tiba menghilang dari tempat penyimpanannya.
Tetapi bagaimana pun, cerita itu tidak pernah terbukti. Meskipun selama dua ratus
tahun be-lakangan ini partai Ngo tay pai tidak sanggup mengembalikan kejayaannya di
masa lalu, namun ketua partai itu sendiri yakni Bu Kong taisu seorang hwesio berilmu
tinggi. Lagipula di dalam partai Ngo tay pai, tidak ada seorang pun yang bersedia
mengakui kebenaran cerita itu.
Karena itu, cerita tetap cerita. Orang-orang juga hanya setengah percaya setengah
tidak tentang adanya kitab berisi pelajaran sakti itu. Konon kitab itu terdiri dari dua
jilid. Sekarang Lie Cun Ju melihat dengan mata kepala sendiri salah satu dari kedua
jilid kitab itu. Dan huruf yang tertulis di atasnya memang 'Leng can po liok'.
Dari sini dapat dibuktikan bahwa cerita, yang tersebar di dunia kang ouw bukan cerita
bohong. Partai Ngo tay pai benar-benar kehilangan kitab itu yang sekarang ada di
perbatasan Tibet.
Menurut cerita pendeta tua itu, Buddha hidup Dan Juel sudah meninggal hampir tujuh
puluh tahun yang lalu. Sedangkan ketika itu usia Buddha hidup sudah lanjut sekali.
Satu lagi bukti bahwa benar kitab itu sudah berada di tangannya sejak dua ratus tahun
yang lalu. Tetapi, menurut cerita yang didengarnya, kitab itu terdiri dari dua jilid. Mengapa
sekarang yang terlihat hanya satu jilid" Untuk sementara, pertanyaan di dalam hati Lie
Cun Ju tentu saja belum terjawab.
228 Kurang lebih setengah kentungan dia mendengar suara sorak para pendeta itu.
Kemudian semuanya menjatuhkan diri berlutut di atas lantai dan menyembah kepada
Lie Cun Ju. Setelah itu, rupanya ada lagi adat lainnya. Lie Cun Ju hampir saja tertawa geli melihat
tingkah para pendeta itu. Satu persatu mereka ke depan, kemudian mengangkat tangan
Lie Cun Ju untuk memegang kepala mereka yang botak sekejap. Lie Cun Ju tidak tahu
apa artinya. Ketika selesai, tampak hari sudah siang.
Tentu saja pendeta tua dan kedua coan lun ong juga melakukan hal yang sama. Setelah
upacara itu selesai, terdengar pendeta tua itu berteriak dengan suara lantang.
"Buddha hidup telah menjelma, suatu keberuntungan bagi agama kita!"
Para pendeta ikut mengucapkan kata-katanya sampai berkali-kali. Pendeta tua itu
mengangkat tangannya. Saat itu juga tampak dua pendeta mendatangi Lie Cun Ju
dengan tangan memegang jubah yang dilipat rapi. Entah terbuat dari bahan apa jubah
itu, warnanya berkilauan, dan tepiannya disulam dengan benang emas. Pendeta tua itu
mengambil jubah tadi kemudian disampirkannya di tubuh Lie Cun Ju.
Pemuda itu merasa jubah yang dikenakannya begitu ringan sehingga tidak terasa sama
sekali. Kemudian pendeta tua itu kembali mengambil sebilah golok yang berbentuk
bulan sabit. Panjangnya kurang lebih dua ciok. Begitu golok dihunus, mata Lie Cun Ju
merasa silau. "Golok bagus!" serunya dalam hati.
Pendeta tua itu mengangkat goloknya ke atas, kemudian dikibaskannya ke atas kepala
Lie Cun Ju. Pemuda itu terkesiap sekali. Dia tahu rambutnya akan dicukur gundul oleh
pendeta tua itu. Hatinya sempat tertegun.
"Taisu, aku . . . tidak ingin menjadi pende ..." teriak Lie Cun Ju.
Belum sempat Lie Cun Ju menyelesaikan kata-katanya, golok di tangan pendeta tua itu
sudah berkelebat. Sebagian rambut Lie Cun Ju sudah tertebas. Kemudian tampak
golok di tangan pendeta tua itu seperti terbang kesana kemari. Dalam waktu yang
singkat seluruh rambut di kepala Lie Cun Ju sudah tertebas habis, sehingga terlihat
kepalanya yang licin.
Lie Cun Ju tidak tahu harus menangis atau tertawa. Tapi hatinya agak terhibur
mengingat rambut yang dipotong toh bisa panjang kembali. Pokoknya dia tidak akan
membiarkan dirinya diatur oleh orang lain. Karena itu dia tidak berkata apa-apa lagi.
Setelah mencukur rambut Lie Cun Ju, pendeta tua itu memasukkan goloknya ke dalam
sarung kemudian dipersembahkannya ke hadapan Lie Cun Ju. Pemuda itu merasa
golok itu juga demikian ringan sehingga tidak terasa memegang apa-apa. Tampaknya
golok itu juga sebatang golok pusaka.
Dugaan Lie Cun Ju memang tidak salah. Golok itu memang peninggalan jaman dulu
dan merupakan senjata langka saat ini. Lie Cun Ju menyambut golok itu. Pendeta tua
229 kembali mengangkat tangannya dan memegang kepala Lie Cun Ju. Mulutnya
berkomat-kamit sejenak.
"Ketua sudah dilahirkan kembali, jiwa harus tenang!" kata pendeta tua.
Diam-diam Lie Cun Ju tertawa geli. Apalagi ketika pendeta itu meniup kepala Lie Cun
Ju. Fuh! Pendeta tua itu benar-benar licik. Gayanya seperti orang sungguhan saja.
Masa setelah ditiup kepalanya, hatinya benar-benar bisa damai.
Bam saja hati Lie Cun Ju tertawa geli, tiba-tiba dia merasa ada serangkum angin yang
kuat menghantam ubun-ubun kepalanya. Saat itu juga, tubuh Lie Cun Ju bergetar tiga
kali. Kekuatan yang melandanya itu begitu kencang dan cepat. Lagipula ditujukan ke
ubun-ubun kepala yang merupakan bagian terpenting pada tubuh manusia. Karena
tidak menyangka, Lie Cun Ju pun tidak bersiap sebelumnya. Setelah tubuhnya
bergetar sebanyak tiga kali, ia mendengar Krek! Krek! Krek! yang mencekam jiwa lie
Cun Ju. Dia sadar seluruh ilmu yang telah dikuasainya selama ini sudah musnah
seketika oleh pukulan tangan pendeta itu.
Perubahan yang mendadak itu benar-benar tidak disangka-sangka oleh lie Cun Ju.
Tempo hari dia dihajar oleh tiga iblis dari keluarga Lung sampai terluka parah. Untung
saja selembar jiwanya masih bisa dipertahankan. Meskipun seluruh tubuhnya terasa
lemas, tetapi hawa murninya masih tersendat-sendat di dalam tubuhnya. Dengan
demikian masih ada harapan bagi lie Cun Ju untuk memperbaiki keadaannya. tetapi
sekarang tenaga dalamnya sudah dimusnahkan. Keadaannya sekarang tidak berbeda
dengan orang biasa. Untuk mengembalikan tenaga dalamnya, mungkin menghabiskan
waktu belasan tahun. Itu juga belum tentu berhasil.
Begitu terkesiapnya hati Lie Cun Ju, sehingga untuk sesaat dia tidak sanggup
mengatakan apa-apa. Beberapa saat kemudian dia baru mendelik kepada pendeta tua
itu. "Taisu, me . . . ngapa kau harus . . . men . . . celakai aku?" tanya Lie Cun Ju.


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendeta tua itu berlagak tidak mendengar kata-katanya. Lie Cun Ju sadar bahwa pada
saat itu banyak bicara pun tidak ada gunanya. Nasi telah menjadi bubur. Dia terpaksa
pasrah pada nasibnya sendiri. Dia merasa ada orang yang menyodorkan kitab 'Leng
can po liok' di tangannya. Perasaan Lie Cun Ju sudah seperti orang linglung. Apa yang
kemudian terjadi tidak dipikirkannya lagi. Tahu-tahu hari sudah menjelang malam.
Upacara baru selesai. Akhirnya dia diarak menuju sebuah ruangan. Para pendeta yang
lainnya sudah pergi. Di dalam ruangan itu hanya tinggal Lie Cun Ju dan si pendeta tua.
Seandainya tenaga dalam Lie Cun Ju belum musnah, meskipun sibuk seperti tadi tiga
hari tiga malam, dia juga tidak akan merasa letih. Tetapi sejak ubun-ubunnya didesak
oleh serangkum kekuatan yang tidak berwujud, seluruh tenaga dalamnya sudah buyar.
Keadaannya tak ubahnya seperti orang yang belum pernah belajar ilmu silat.
Karena itu setelah sibuk selama sehari penuh, Lie Cun Ju merasa pinggangnya ngilu
dan punggungnya sakit. Kepalanya berdenyut-denyut. Dia merebahkan tubuhnya di
230 tempat tidur dan matanya menatap langit-langit kamar. Beberapa saat kemudian, dia
baru menarik nafas panjang. Pandangan matanya bahkan tidak dialihkan kepada si
pendeta tua. "Taisu, semua ini memang sesuai dengan rencanamu, bukan?"
Suara si pendeta tetap lembut dan enak didengar.
"Ci kaucu ternyata orang yang cerdas. Tentu saja dugaannya tidak salah."
Hati Lie Cun Ju marah sekali. Dia bangkit dan duduk di tempat tidur.
"Taisu, antara kita tidak ada dendam apa-apa, mengapa kau mencelakai aku
sedemikian rupa?"
"Ucapan Ci kaucu tidak tepat. Meskipun ilmu silat yang kau miliki sekarang sudah
musnah, tetapi dapat tinggal di kuil ini dalam keadaan damai dan tentram selama
hidup, bukankah merupakan hal yang menyenangkan?"
Lie Cun Ju menarik nafas panjang.
"Taisu, keadaan toh tidak bisa diubah lagi, aku juga tidak akan banyak bicara. Tetapi
aku ingin tahu, mengapa kau melakukan semua ini?"
"Ci kaucu, setelah kematian Buddha hidup Dan Juel. Aku mengajak kedua Coan lun
ong mencari bayi penjelmaannya. Sampai demikian lama kami baru sampai di Hek
Cui to dan berhasil menemukan dirimu ..."
"Urusan ini semakin tidak benar. Berkali-kali aku mengatakan bahwa aku she Li.
Bukan she Ci!" sahut Lie Cun Ju.
Pendeta tua itu tersenyum.
"Masalah ini kita tidak perlu didebatkan lagi. Pokoknya tampangmu persis dengan
wajah tocu Hek Cui to. Seandainya kau memang bukan bayi itu, sekarang siapa yang
akan menyelidikinya lagi?"
Diam-diam Lie Cun Ju berpikir di dalam hati. Kalau ditilik dari penampilan luarnya
pendeta ini tampaknya sangat bijaksana dan welas asih, tetapi mengapa hatinya
demikian rendah" Dirinya yang malang terjatuh ke tangan pendeta itu. Pemuda itu
khawatir jangan-jangan seumur hidup dirinya tidak akan mengecam kebebasan lagi.
Sekali lagi Lie Cun Ju menarik nafas panjang. Dia merebahkan kembali kepalanya di
atas kasur. "Tapi, kau bukan murid agama kami. Seandainya kau menerima jabatan ini, justru
banyak keuntungan yang akan kau dapatkan. Agama kami tidak bisa tanpa pimpinan.
Sedangkan untuk menjadi pemimpin harus merupakan bayi penjelmaan Buddha hidup.
Terpaksa kami menyambut kedatanganmu dengan cara ini. Dan ketua agama kami
otomatis engkaulah orangnya ..." Terdengar ucapan pendeta tua itu.
231 "Tetapi hanya namanya saja bukan" Sebenarnya kau lah yang menjadi pimpinan di
belakang Iayar," sahut Lie Cun Ju dengan tawa dingin
Pendeta tua itu segera merangkapkan sepasang tangannya dan menyebut nama
Buddha. "Dugaan Ci kaucu tepat sekali. Walaupun tidak sesuai dengan keinginanmu, tetapi kau
terpaksa harus menjabat sebagai pemimpin kuil ini."
Lie Cun Ju kesal sekali. Dia tidak sanggup mengatakan apa-apa lagi.
"Kau keluarlah!" ucap Lie Cun Ju sambil mengibaskan tangannya.
Pendeta tua itu tersenyum.
"Kuil ini berada di tempat yang terpencil dan mempunyai pemandangan alam bak
nirwana. Kau boleh istirahat sesuka hatimu di sini."
"Kenapa" Kau pikir setelah kau mati aku tidak dapat melarikan diri dari tempat ini?"
Pendeta tua itu menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Setelah lo ceng mati, pasti ada
orang lain yang menggantikan kedudukanku sebagai tiang lo. Pada waktu itu, aku akan
men-ceritakan kepadanya tentang semua ini. Apabila dia ingin kedudukannya seperti
apa yang kudapatkan sekarang, mau tidak mau dia harus meneruskan tugasku. Aku
nasehati agar kau jangan mempunyai pikiran yang tidak-tidak!"
Hati Lie Cun Ju mendongkol dan benci sekali kepada pendeta itu. Dia hanya
mendengus satu kali tanpa mengatakan apa-apa lagi. Pendeta tua itu pun
meninggalkan kamarnya.
Lie Cun Ju sendirian di dalam kamarnya. Diam-diam dia berpikir dalam hati. Mungkin
memang sudah nasibnya bahwa perjalanan hidupnya penuh dengan liku-liku. Bahkan
sekarang dia menjadi pimpinan di kuil itu. Mungkin selama hidupnya dia terpaksa
menetap di situ. Padahal ketika pertama kali melihat kuil itu, dalam hatinya timbul
juga perasaan senang. Hal itu disebabkan keadaannya yang tenang dan damai. Tetapi
apabila harus menghabiskan seluruh hidupnya di kuil itu, tentu persoalannya menjadi
lain lagi. Lagipula keinginan yang timbul di dalam hati sendiri dengan dipaksakan oleh orang
lain merupakan dua hal yang jauh berbeda.
Pendeta tua itu memiliki tenaga dalam yang demikian kuat. Seandainya Lie Cun Ju
ingin membangkang, rasanya merupakan hal yang mustahil. Apalagi ilmu
kepandaiannya sendiri sekarang sudah musnah.
Lie Cun Ju melepaskan jubah kependetaannya. Diletakkannya jubah itu di atas kursi.
Tiba-tiba dia teringat kitab 'Leng can po liok' masih ada padanya. Walaupun sekarang
tenaga dalamnya sudah musnah, tetapi dengan adanya kitab mukjijat 'Leng can po
liok', asal dia giat berlatih selama beberapa tahun, mungkin kekuatannya bisa pulih
kembali atau bahkan lebih tinggi dari sebelumnya.
232 Berpikir sampai di situ, hatinya menjadi gembira kembali. Cepat-cepat dia
mengeluarkan kitab itu dan dibacanya mulai dari halaman pertamanya. Ternyata kitab
itu merupakan Jilid pertama dari "Leng can po liok". Lie Cun Ju tidak tahu di mana
jilid keduanya, tetapi dia tidak ambil pusing. Dia membalikkan halaman berikutnya.
Kitab itu tidak ada gambar, semuanya berisi tulisan jaman dulu. Untung saja Lie Cun
Ju pernah mendapat pendidikan yang cukup tinggi sehingga tidak mendapat kesulitan
dalam memahami isi kitab itu.
Hanya ada beberapa huruf besar di halaman pertama yang tidak dimengerti oleh Lie
Cun Ju. Dia mempunyai dugaan bahwa tulisan itu dibuat oleh Buddha hidup semasa
hidupnya. Mungkin memang tidak mengandung arti apa-apa, atau hanya sekedar
wejangan untuk pemegang kitab ini.
Tiba-tiba timbul kekhawatiran di dalam hati Lie Cun Ju. Bagaimana kalau pendeta tua
tiba-tiba meminta kembali kitab itu. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk
mencatat seluruh isi kitab. Untung saja di dalam kamar terdapat persediaan alat-alat
tulis. Lie Cun Ju segera mengambil beberapa lembar kertas dan langsung mulai
mencatat isi kitab itu.
Bahkan bukan hanya isi kitab itu saja yang ditulisnya, tulisan tangan Buddha hidup di
halaman pertama pun ditirunya. Karena dia sadar bahwa kali ini dirinya sendiri tidak
dapat memastikan sampai kapan dia baru bisa meloloskan diri dari kuil itu. Pada suatu
hari nanti, mungkin dia bisa mengerti bahasa mereka dan memahami apa makna
tulisan Buddha hidup itu.
Pada hari kedua, ternyata pendeta itu datang kembali dan mengambil kitab 'Leng can
po liok'. Lie Cun Ju sudah selesai mencatat isi kitab itu. Karenanya, dia pura-pura
tidak perduli kitab itu diambil kembali oleh si pendeta tua.
Diam-diam hatinya merasa geli. Dia berjanji kepada dirinya sendiri, apabila dia
berhasil mempelajari isi kitab itu, dia akan mencari pendeta itu untuk membuat
perhitungan atas tindakannya sekarang.
Selama beberapa hari berturut-turut, Lie Cun Ju seperti anak kecil yang diatur segala
tindak tanduknya. Kurang lebih sebulan kemudian, dia mengerti juga apa saja yang
harus dilakukan oleh seorang pemimpin di dalam kuil itu. Boleh dibilang tidak ada
yang perlu dilakukannya. Seluruh kebutuhannya ada yang melayani. Sedangkan
pendeta tua itu juga tampaknya tidak merasa khawatir sama sekali. Mungkin karena
dia tahu ilmu kepandaian Lie Cun Ju sudah musnah. Pada malam hari, Lie Cun Ju baru
berani mengeluarkan kertas catatannya dan berusaha memahami isi kitab itu.
Pada dasarnya, Lie Cun Ju sudah mempunyai pengetahuan yang tidak lemah dalam
bidang ilmu silat. Kitab 'Leng can po liok' merupakan kitab ajaib yang mencakup ilmu
pernafasan dari pintu Buddha. Siapa yang bisa memahami secara keseluruhannya,
tubuhnya bisa mencapai taraf kebal atau tidak mempan senjata tajam. Tetapi ilmu ini
demikian rumit, tentu Lie Cun Ju tidak sanggup memahaminya dalam waktu yang
singkat. Pengertiannya terlalu dalam. Apalagi bagian akhir kitab itu tidak ada. Lie Cun
Ju hanya berlatih secara sembarangan. Pokoknya kira-kira saja.
233 Tanpa terasa setengah tahun telah berlalu. Dalam setengah tahun itu, satu-satunya
pendeta berjubah kuning yang bisa diajak bicara oleh Lie Cun Ju hanya pendeta yang
tua itu. Sekarang lie Cun Ju sudah tahu bahwa pendeta tua itu menduduki jabatan sebagai
tiang lo dalam kuil itu dengan gelarnya Yan Sen taisu. Kedudukan seorang tiang lo
hanya di bawah ketuanya sendiri. Karena pemimpin merupakan penjelmaan Buddha
hidup, para pendeta yang lainnya tidak boleh sembarangan mengajaknya bicara. Ada
persoalan apa pun harus melalui tiang lo itu. Maka dari itu, Lie Cun Ju mengerti
maksud hati si pendeta tua. Lie Cun Ju hanya dijadikan bonekanya. Sedangkan
keputusan justru ada di tangannya sendiri.
Walaupun sudah setengah tahun lamanya Lie Cun Ju memahami isi Leng can po liok,
hasilnya ternyata belum banyak
Lie Cun Ju sendiri tidak mengerti di mana letak kesalahannya. Tapi dia menyadari
bahwa kitab berisi ilmu sakti itu pasti rumit sekali dan bukan sesuatu yang dapat
dipahami dalam waktu setengah atau satu tahun.
Kadang-kadang dia memang teringat kepada orang tuanya dan Tao Ling. Sebetulnya
hidup di dalam kuil ini ada enaknya. Tidak ada bahaya yang mengancam jiwanya, juga
tidak ada pertikaian seperti hidup di dalam dunia bu lim. Lie Cun Ju meraba-raba
kepalanya sendiri, rambutnya tumbuh dengan lambat. Apa boleh buat" Tetapi
menghadapi kehidupannya yang akan datang, dia tidak banyak berpikir. Lambat laun
terbiasa juga dia hidup di dalam kuil itu. Pikirannya dipusatkan pada isi kitab 'Leng
can po liok'. Di saat Lie Cun Ju melewatkan hari-hari tenangnya di dalam kuil itu. Di dunia bu lim
terjadi hujan badai yang dahsyat. Yang dimaksud di sini tentu bukan hujan badai yang
sebenarnya, tetapi musibah yang menimpa keluarga Sang.
Keluarga yang namanya terkenal di dunia persilatan itu, tiba-tiba saja dilanda bencana.
Anggota keluarga yang jumlahnya lebih dari enam puluh orang itu mati terbunuh
secara mengenaskan.
Orang yang menemui kejadian itu adalah seorang pendekar dari Hu Pak. Orang itu
terkenal dengan Gwa Kangnya. Di dalam dunia kang ouw dia mendapat julukan Kim
Sin (Dewa emas) dan nama aslinya Go Lim.
Karena ada sedikit urusan, Go Lim lewat di daerah Si Cuan. Dia mempunyai
hubungan yang cukup baik dengan generasi ketiga keluarga Sang. Sebab itu, dia
mengambil keputusan untuk mengunjungi keluarga Sang. Tetapi belum lagi ia sampai
di gedung kediaman keluarga itu, di sepanjang jalan raya yang dibuat khusus untuk
menuju gedung kediaman keluarga Sang, dia melihat bangkai-bangkai anjing, ayam,
dan kucing di sepanjang jalan. Binatang-binatang itu mati dalam keadaan yang
mengenaskan. Bahkan hampir seluruh isi perut hewan-hewan itu amburadul ke manamana.
234 Kim Sin Go Lim adalah seorang tokoh yang sudah banyak pengalaman. Sekali lihat
saja dia sudah dapat memastikan bahwa orang yang membunuh binatang-binatang itu
memiliki tenaga dalam yang sangat dahsyat.
Diam-diam hati Go Lim merasa terkesiap, dan heran. Karena orang yang bisa
memiliki tenaga dalam demikian hebat sudah pasti seorang tokoh bu lim yang
namanya sudah terkenal sekali. Atau paling tidak seorang ketua dari sebuah partai
persilatan. Tetapi siapa kira-kira yang sanggup menurunkan tangan sedemikian keji"
Semakin jauh Go Lim berjalan, bangkai-bangkai binatang pun semakin banyak.
Bahkan ada beberapa ekor kuda pilihan. Kematiannya tidak berbeda dengan binatangbinatang
lainnya. Hati Go Lim semakin penasaran. Cepat-cepat dia menghimpun hawa murninya dan
melesat secepat kilat ke arah gedung kediaman keluarga Sang. Ketika dia
melangkahkan kakinya ke dalam halaman. dia pun melihat mayat-mayat yang
berserakan. Seluruh tempat tinggal yang luasnya sulit diuraikan itu ternyata tidak
tersisa seorang manusia pun yang masih hidup.
Rasa terkejut yang melanda hati Go Lim tak terkirakan lagi. Tanpa berpikir panjang
lagi, dia menghambur meninggalkan tempat itu. Kurang lebih setengah bulan
kemudian berita itu sudah menyebar luas di dunia bu lim. Tetapi siapa yang
melakukan kejahatan yang demikian sadis itu, ternyata tidak ada seorang pun yang
tahu. Tentu saja, kenyataannya hal itu hanya diketahui oleh empat orang. Dua orang yang
per-tama tidak lain dari Sang Cin dan Sang Hoat, yaitu dua orang yang berhasil
meloloskan diri ketika terjadi pembantaian. Dan dua orang lainnya sudah dapat
dipastikan yaitu Tao Ling dan I Ki Hu.
Urusan ini harus diceritakan kembali dari dua hari sebelum kedatangan Go Lim. Pada
waktu itu, wajah setiap anggota keluarga Sang tampak kelam sekali. Karena mereka
sudah membakar rumah batu selama dua hari dua malam. Tetapi dari dalam rumah itu
masih berkumandang suara tawa I Ki Hu yang menyeramkan.
Padahal kalau ditilik dari kekokohan rumah batu itu, tenaga manusia yang bagaimana
pun hebatnya, rasanya tidak mungkin sanggup menerjang keluar dari ruangan itu.
Akan tetapi perasaan takut dalam hati mereka tidak bisa hilang. Karena nama besar
Gin leng hiat ciang I Ki Hu terlalu menggetarkan.
Dulu, ketika terjadi pemberontakan di dalam partai Mo kau, dengan seorang diri ia
berhasil membunuh ketua, putri bahkan enam orang pentolannya. Sedangkan peristiwa
itu sudah lama berlalu, sekarang tentunya kepandaian I Ki Hu sudah jauh lebih tinggi
lagi. Dalam hati anggota keluarga Sang, terasa ada ketakutan yang mencekam. Namun
siapa pun berusaha memendamnya dalam-dalam agar tidak menciutkan nyali yang
lainnya. Bahkan ada beberapa yang menutupi ketakutan hatinya dengan tertawa
terbahak-bahak. Ia mengatakan apabila I Ki Hu sampai mati, maka nama keluarga
Sang akan menjulang tinggi di seluruh kolong langit.
235 Di dalam anggota keluarga Sang, boleh dibilang usia Sang Cin dan Sang Hoat paling
muda. Tetapi mereka justru mempunyai pandangan yang berbeda. Ketika rumah batu
itu sudah terbakar selama satu hari satu malam, tetapi suara tawa I Ki Hu yang
menyeramkan masih berkumandang, kedua orang itu sudah berusaha menasehati
ibunya. Yaitu agar Sang Ling cepat-cepat memadamkan api dan minta maaf kepada I
Ki Hu. Asal raja iblis itu berjanji akan memaafkan tindakan mereka dan tidak
memperpanjang permasalahannya, seharusnya mereka melepaskan orang itu. Tetapi
Sang Ling malah membentak mereka dengan mengatakan bahwa mereka masih bocah
kecil mengapa berani memberikan usul kepada orang tua.
Kemudian kedua pemuda itu mengadakan perundingan. Mereka yakin rumah batu itu
tidak bisa mengurung I Ki Hu sampai mati. Kebetulan keluarga Sang memerintahkan
Sang Cin dan Sang Hoat ke kota untuk suatu keperluan. Dengan menggunakan
kesempatan itu, keduanya langsung melarikan diri meninggalkan kediaman keluarga
Sang. Sementara itu, Tao Ling dan I Ki Hu masih terkurung dalam rumah batu. Ketika
mengetahui keluarga Sang menumpuk balok-balok serta kayu yang sudah direndam
dengan minyak tanah untuk membakar rumah batu itu, kemarahan dalam hati I Ki Hu
benar-benar meluap.
Tetapi diam-diam dia juga sadar, tembok batu yang mengelilingi rurnah itu demikian
tebal, meskipun terbakar selama tiga hari tiga malam juga tidak bisa terbakar habis.
Setidaknya masih mempunyai waktu selama tiga hari untuk memikirkan akal guna
meloloskan diri dari rumah batu itu. Dia juga memikirkan bagaimana caranya
melampiaskan kekesalan hatinya apabila berhasil bebas. Dengan demikian hatinya
tidak begitu jengkel lagi. Setidaknya ada pikiran yang dapat membuat waktu tidak
terasa berlalu.
Pikiran Tao Ling justru berbeda dia tahu dirinya akan mati terbakar. Tetapi
kematiannya justru bisa menyelamatkan selembar jiwa Lie Cun Ju. Karena itu hatinya
merasa terhibur. Dengan tenang dia duduk di atas lantai. Dia mengenang kembali
kenangan manisnya bersama Lie Cun Ju. Malam harinya, I Ki Hu niengintip lewat
celah lubang angin. Tanmpak api semakin berkobar-kobar. I Ki Hu turun kembali.
Tangannya disilangkan di depan dada. Di dalam ruangan batu itu, ia berjalan mondar
mandir. tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia
sudah berdiri disamping Tao Ling. "Hu jin, aku sudah menemukan akal untuk
meloloskan diri dari tempat ini."
Mendengar kata-kata suaminya, tanpa dapat ditahan lagi seluruh tubuh Tao Ling
bergetar. Diam-diam dia berpikir dalarn hati, seandainya benar suaminya bisa meloloskan diri
dari tempat ini, entah berapa banyak masalah yang akan dihadapinya" Tetapi setelah
merenungkan kembali, dia tetap merasa tidak ada harapan untuk keluar dari ruangan


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu itu. 236 "Hu Kun rasanya kita tidak ada harapan lagi untuk keluar dari ruangan batu ini.
Apakah ucapanmu tadi hanya ingin menghibur hatiku?" kata Tao Ling dengan nada
datar, I Ki Hu tersenyum.
"Kalau aku mengatakan bisa keluar, pasti bisa keluar. Untuk apa aku berdusta
kepadamu?" sahut I Ki Hu sambil tersenyum.
Perasaan hati Tao Ling tetap tawar.
"Bagaimana caranya meloloskan diri dari sini, coba hu kun jelaskan!"
Wajah I Ki Hu tampak berseri-seri.
"Anggota keluarga Sang terlalu ceroboh. Seandainya mereka bersabar sedikit dan
membiarkan kami terkurung di sini, tanpa ditanya atau ditengok sama sekali. Paling
lama satu bulan kita pasti akan mati kelaparan. Tetapi mereka justru tidak sabar,
menumpuk balok-balok untuk membakar rumah batu ini. Dengan demikian malah kita
mempunyai jalan untuk meloloskan diri."
Mendengar ucapannya Tao Ling semakin tidak mengerti. Rumah batu ini kokoh
sekali, temboknya demikian tebal. Tetapi tiga hari kemudian pasti seluruhnya akan
berubah menjadi tungku api yang membara. Mana ada tempat untuk bersembunyi,
apalagi untuk melarikan diri. Benar-benar igauan orang tolol.
Dengan membawa pikiran demikian, Tao Ling juga tidak memperdulikan I Ki Hu lagi.
Tetapi kalau ditilik dari mimik wajah suaminya, tampaknya ia benar-benar gembira
dan tidak seperti orang yang sedang berpura-pura.
Mungkin selama hidupnya, I Ki Hu selalu berwatak angkuh dan tidak pernah sudi
mengakui kelemahannya. Dan begitu terkurung di dalam ruangan batu itu serta
menyadari tidak ada jalan untuk meloloskan diri, pikiran suaminya jadi terguncang
sehingga agak kurang waras.
Malam itu, I Ki Hu tertidur dengan pulas. Pada hari keduanya, keadaan di dalam
ruangan batu sangat panas hampir tidak tertahankan lagi. Tubuh I Ki Hu berkelebat,
tangannya menempel sebentar di dinding tembok, kemudian dia mengeluarkan suara
tawa yang menyeramkan.
"Masih kurang panas." Ia menggumam seorang diri.
Serta merta Tao Ling ikut meraba tembok ruangan itu, dia langsung memekik. Begitu
panas-nya sampai jari tangannya melepuh. Tapi I Ki Hu barusan masih mengatakan
kurang panas. Sekarang dia tambah yakin otak suaminya sudah muiai tidak waras.
Sepanjang hari itu api masih terus berkobar. Begitu panasnya sehingga dada pun mulai
terasa sesak. Sesekali dia melirik ke arah suaminya. Ternyata wajah I Ki Hu semakin
lama semakin berseri-seri. Kadang-kadang dia mengeluarkan suara siulan yang
237 melengking. Walaupun tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali,
tetapi seluruh tubuhnya juga dibasahi keringat karena rasa panas yang menyengat.
Apalagi Tao Ling, untuk bernafas saja, dia sudah mulai merasa sulit. Terdengar ia
menarik nafas panjang.
"Baiklah. Semuanya toh akan berlalu sebentar lagi. Biarlah semuanya berakhir di
sini," gumam Tao Ling.
Kata-katanya diucapkan dengan lirih. Tetapi I Ki Hu yang berpendengaran tajam
sempat mendengar dengan jelas. Dia berjalan menghampiri Tao Ling sambil
mengembangkan seulas senyuman.
"Mengapa Hu jin berkata demikian" Sebentar lagi kita bisa keluar dari ruangan ini."
Tao Ling mendongakkan kepalanya. Tampak mata I Ki Hu menyiratkan sinar yang
ganjil. Sekali lihat saja dapat dipastikan bahwa hatinya sedang bergembira. Sedangkan
di sorot matanya terselip hawa pembunuhan yang tebal. Dapat diduga bahwa hatinya
sedang mempertimbangkan bagaimana cara melampiaskan dendamnya. Hati Tao Ling
jadi bimbang. Ia tidak dapat menahan rasa ingin tahunya.
"Hu kun, bagaimana caranya meloloskan diri dari tempat ini?" tanya Tao Ling,
I Ki Hu tertawa terbahak-bahak.
"Tentu saja lewat pintu batu lalu menerobos ke luar."
Mendengar keterangan I Ki Hu, Tao Ling jadi tertawa geli. Pada saat itu, Tao Ling
sudah yakin dirinya akan mati bersama-sama I Ki Hu dalam ruangan batu itu. Maka
dari itu pula, perasrnnya menjadi lega.
"Hu kun, apabila kau memang sanggup membuka pintu batu itu, mengapa tidak sejak
semula saja kau membukanya. Dengan demikian kita toh tidak usah menderita siksaan
seperti sekarang ini."
Sekali lagi I Ki Hu tersenyum.
"Karena waktunya belum sampai, kita tidak boleh sembrono!"
"Sampai waktunya tiba" Mungkin kita sudah terbakar menjadi abu," sahut Tao Ling
seenaknya. "Hu jin, kau tidak percaya kita bisa meloloskan diri dari tempat ini?"
"Tidak percaya!" Dengan tegas Tao Ling menyahut.
I Ki Hu melirik Tao Ling sekilas.
"Hu jin, kalau dilihat dari mimik wajahmu, tampaknya kau malah lebih senang bisa
mati di dalam ruangan batu ini?"
238 Padahal sebelumnya Tao Ling takut sekali kepada I Ki Hu. Tetapi saat itu, dia yakin
sebentar lagi mereka berdua akan menemui kematian bersama. Karena itu perasaan
takutnya kepada I Ki Hu juga sirna sama sekali. Mendengar pertanyaan I Ki Hu, dia
bahkan tertawa merdu.
"Dugaanmu memang tidak salah."
Wajah I Ki Hu langsung berubah kelam.
"Mengapa?"
Suara tawa Tao Ling semakin keras.
"Mengapa" Tentu saja lebih baik mati, apakah aku harus menjadi istrimu selama hidup
ini" Apakah aku mengharapkan kau bisa lolos dari ruangan batu ini untuk mencelakai
Lie Cun Ju?"
"Ha ... ha ... ha ... Biar bagaimana kita memang suami istri, sudah sepantasnya kalau
mati bersama di sini."
Wajah I Ki Hu tidak menyiratkan perasaan apa pun. Dia mendengar sampai kata-kata
Tao Ling selesai.
"Hu jin, kau salah besar," kata I Ki Hu dengan nada dingin.
Tao Ling masih tertawa. Tawanya begitu merdu dan manis. "Hu kun, kalau aku
memang salah, di mana letak kesalahanku" Aku mohon petunjukmu!"
Mata I Ki Hu menyorotkan sinar yang tajam. "Paling-paling satu kentungan lebih lagi
kita sudah bisa keluar dari ruangan batu ini. Kita harus tetap menjadi suami istri dan
Lie Cun Ju tetap harus mati di tanganku."
"Hu kun, semoga harapanmu tercapai!" sindir Tao Ling. Tentu saja dia tidak
mengambil hati ucapan I Ki Hu barusan. Karena menurut pandangannya, biarpun ilmu
I Ki Hu sudah mencapai taraf kesempurnaan sekali pun, tetap saja tidak mungkin
dapat meloloskan diri dari ruangan batu yang kokoh itu.
Tapi di samping itu, mendengar suara I Ki Hu yang demikian tegas dan penuh
keyakinan, tiba-tiba timbul juga kecurigaan di hatinya.
"Hu kun, kalau satu kentungan lebih lagi kita memang bisa keluar dari ruangan ini,
coba kau jelaskan, bagaimana kita bisa meloloskan diri?"
I Ki Hu tersenyum Licik.
"Sejak kemarin aku sudah mengatakan kepadamu, kita akan membuka pintu batu itu
dan keluar dengan langkah lebar."
239 Mendengar kata-katanya, hati Tao Ling semakin bimbang. Diam-diam dia berpikir,
mes-kipun ilmu silatku jauh lebih rendah dan aku juga terkurung di dalam rumah batu
yang panasnya menyengat ini, tetapi pikiranku masih jernih.
Mungkinkah I Ki Hu yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi bisa tidak waras"
Atau dia memang betul-betul menemukan jalan untuk meloloskan diri dari rumah batu
ini" Justru ketika hatinya masih diliputi kebimbangan, dia mendengar suara tertawa dingin
dari bibir I Ki Hu.
"Hu jin, biar aku berkata terus terang kepadamu. Sebaiknya hilangkan saja pikiranmu
yang picik itu. Kita tidak mungkin mati terbakar hidup-hidup di dalam ruangan batu
ini. Aku sudah mengatakan, apabila keluarga Sang bisa bersabar sedikit dan
membiarkan kita terkurung di sini, lambat laun kita pasti akan mati kelaparan. Tetapi
dengan cara membakar, justru memberi jalan bagi kita."
Tao Ling semakin tidak mengerti. Tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya
sepasang matanya memandang kepada I Ki Hu lekat-lekat. I Ki Hu berdiri sambil
menyilangkan tangan di depan dada. Meskipun seluruh tubuhnya telah dibasahi
keringat, tetapi mimik wajahnya tetap berseri-seri.
"Hu jin, meskipun pintu batu itu tebal, dengan kekuatanku sebetulnya tidak sulit
menghancurkannya. Tahukah kau mengapa kita sampai terkurung di dalamnya tanpa
bisa menerobos ke luar?"
Ketika masuk ke dalam rumah batu itu, Tao Ling pernah memperhatikan ada dua utas
rantai yang setebal lengan manusia mengait di ujung kedua pintu. Karena itu dia
segera menjawab.
"Tentu saja kau tidak dapat menghancurkannya karena batu itu dipasangi alat rahasia."
I Ki Hu tertawa terbahak-bahak.
"Hu jin, ternyata kau bisa juga berpikir sampai ke sana. Berarti penjelasannya sudah
hampir tepat. Sekarang api sudah berkobar selama dua hari dua malam, bukankah
rantai yang menahan pintu batu itu juga sudah hampir lumer semuanya?"
Tao Ling seorang gadis yang cerdas. Mendengar kata-kata I Ki Hu, hatinya tercekat
seketika. Sekarang api sudah mengelilingi seluruh rumah batu itu, panasnya tidak terkirakan.
Memang ada kemungkinan rantai besi itu sudah lumer karena panasnya. Asal rantai
besi itu lumer, tentu kekuatan I Ki Hu sanggup menghancurkan pintu batu itu.
Berpikir sampai di sini, mata Tao Ling Sangsung membelalak. Mulutnya terbuka
lebar. Dia tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun, tampak I Ki Hu kembali
berjalan mondar mandir kurang lebih setengah kentungan, tiba-tiba dia mengeluarkan
suara siulan yang melengking tinggi.
240 "Rasanya waktunya sudah sampai,"
Tubuh I Ki Hu berkelebat, sekejap saja dia sudah sampai di hadapan mayat pasangan
suami istri Lie Yuan. Si Raja Iblis itu tertawa seram.
"Sahabat Lie, kami masih mengharapkan sedikit bantuanmu!" Tangannya menjulur ke
depan. Kedua mayat itu pun diangkatnya. Setelah itu dia menerjang ke depan pintu
dengan menggunakan kedua mayat itu sebagai perisai.
Pada saat ini, seluruh tembok ruangan batu sudah merah membara. Begitu kedua
mayat itu ditempelkan ke pintu batu, segera terdengar suara desisan seperti benda
terbakar dan bau sangit. Tangan I Ki Hu menekan di tubuh kedua mayat tadi. Hawa
murni dalam tubuhnya segera dihimpun, tenaga dalamnya dikerahkan. Dengan sekuat
tenaga dia mendorong pintu batu. Terdengar suara derakan, tiba-tiba pintu itu sudah
terbuka sedikit. Begitu pintu batu terbuka sedikit, asap yang tebal dan api yang
berkobar segera menyerbu ke dalam. Tetapi I Ki Hu tidak menghentikan gerakannya.
Kembali dia menarik nafas dalam-dalam dan mendorong lagi sekuat tenaga. Meskipun
hanya sekejap mata I Ki Hu berdiri di depan pintu, karena kobaran api terlalu hebat,
tetap saja sebagian rambut dan pakaiannya terbakar juga.
Ketika berhasil membuka pintu batu, I Ki Hu langsung menggulingkan tubuhnya di
atas tanah agar api yang membakar pakaiannya padam. Setelah itu, secepat kilat dia
meraih pinggang Tao Ling. Mulutnya mengeluarkan suara siulan panjang. Tubuhnya
langsung menerobos ke dalam kobaran api.
Pada saat itu, seandainya bukan I Ki Hu, meskipun rantai besi pengait pintu sudah
lumer tetapi melihat kobaran api yang demikian besar, belum tentu dia itu sanggup
menerobosnya. I Ki Hu bisa keluar dengan menerobos kobaran api itu. Hal itu membuktikan, bahwa
bukan hanya ginkangnya saja yang tinggi sekali. tetapi nyalinya juga lebih besar
daripada orang lain.
Tao ling dikempit di bawah ketiak I Ki Hu. Dia hanya mendengar suara angin yang
menderu-deru. Dalam sekejap mata, tubuhnya terasa ringan, dadanya tidak sesak lagi. Ternyata
mereka sudah berhasil keluar menerobos kobaran api. Terdengar suara tawa I Ki Hu
yang menyeramkan. Dia merasa tubuhnya diletakkan di atas tanah. Ketika ia
mengalihkan pandangan matanya, tampak tubuh I Ki Hu sudah berkelebat ke depan
dan sekaligus membanting enam-tujuh orang anggota keluarga Sang.
Meskipun api sudah berkobar selama dua hari dua malam, tetapi suara tawa I Ki Hu
tetap terdengar, hal ini sudah membuat perasaan anggota keluarga Sang menjadi tidak
tenang. Tetapi mereka sama sekaii tidak menyangka. justru karena ketidak sabaran
mereka yang menggunakan api membakar rumah batulah yang mengakibatkan I Ki Hu
berhasil meloloskan diri.
Dalam anggota keluarga Sang memang ada beberapa jago berilmu tinggi, tetapi kalau
dibandingkan dengan si Raja Iblis itu, tentu tidak ada apa-apanya. Bahkan perubahan
241 yang tidak di-sangka-sangka ini membuat mereka tertegun untuk sesaat. Ketika
mereka menyadarinya, semua sudah terlambat. Tujuh-delapan orang anggota keluarga
Sang sudah terkapar di tanah menjadi mayat.
Anggota keluarga Sang menjadi panik seketika. Sebagian besar berlari dengan kalang
kabut. Tidak perduli siapa pun yang ada di hadapannya, mereka terobos terus.
"Jangan sembarangan bergerak!" Terdengar bentakan seorang perempuan.
Kemudian tampak sesosok bayangan berkelebat. Ternyata Sang Ling yang
mengeluarkan suara bentakan itu. Tangannya sudah menggenggam sebuah gantulan,
senjata khas keluarga Sang. Di belakangnya tampak empat-lima orang laki-laki yang
usianya kurang lebih sebaya dengan I Ki Hu. Mereka merupakan generasi kedua dari
keluarga Sang. Begitu kelima orang itu muncul, keadaan menjadi agak tenang. Tiga-empat puluh
orang di an-taranya tidak memperlihatkan rasa takutnya lagi. Mereka tergesa-gesa
mengambil posisi menghadang di depan I Ki Hu.
Di bawah cahaya matahari, tampak tangan mereka masing-masing menggenggarn
sebuah senjata yang sama. Dalam sekejap mata mereka sudah berbaris rapi. I Ki Hu
tahu posisi yang dibentuk mereka merupakan sebuah barisan yang kokoh. Diam-diam
hatinya menjadi kagum. Namun dia tetap memperdengarkan suara tawa yang
terbahak-bahak.
"Anjing-anjing keluarga Sang! Kalian kira rumah batu seperti itu bisa mengurung
aku?" Anggota keluarga Sang mendengarkan dengan tenang. Padahal dalam hati mereka
timbul per-tanyaan yang sama, mengapa I Ki Hu sanggup menjebol pintu batu itu"
Hati mereka memang masih dilanda ketegangan. Tetapi mereka terpaksa menunggu
reaksi Sang Ling sebagai kepala keluarga.
"Ternyata kepandaian I sian sing seperti dewa. Manusia seperti kami tidak bisa
mengukurnya," kata Sang Ling.
"Sampai saat ini baru teringat untuk mengambil hatiku, bukankah sudah terlambat?"
ucap I Ki Hu dengan tawa dingin.
Hati Sang Ling sadar. Biar bagaimana masalah itu tidak bisa dihindari lagi. Percuma
menunda-nunda waktu. Karena itu dia segera tertawa panjang.
"Apabila I sian sing mengira kami ingin mengambil hatimu, maka perkiraanmu salah
sekali." Baru saja ucapannya selesai, langsung tujuh delapan orang anggota keluarga Sang
menerjang ke depan.
Suara bentakan mereka garang. Cahaya berkilauan terpantul dari senjata gantulan di
tangan mereka. Tetapi sikap I Ki Hu masih tenang-tenang saja.
242 "Hu jin, hati-hati!" kata I Ki Hu kepada Tao Ling.
Baru saja kata-katanya selesai, kedelapan orang itu sudah menerjang ke hadapannya.
Tubuh I Ki Hu berkelebat. Setiap kali berputar arah, pasti ada seorang yang menjerit
histeris. Dalam waktu yang singkat, bahkan tidak sempat terlihat bagaimana cara Raja Iblis
turun ta-ngan, tahu-tahu kedelapan orang itu sudah terkapar di atas tanah bermandikan
darah. Rupanya I Ki Hu juga tidak tanggung-tanggung lagi. Gerakan tangannya mengandung
tenaga dahsyat. Setiap lawan yang terhantam telapak tangannya pasti pecah kepalanya
atau isi perutnya amburadul.
Beberapa anggota keluarga Sang yang melihat anak, keponakan atau mungkin suami
mereka mati di tangan I Ki Hu, jadi gusar.
"Maju semua!" teriak Sang Ling.
Tubuh I Ki Hu sampai tidak kelihatan karena tertutup anggota-anggota keluarga Sang
yang menyerang dengan membabi buta. Tao Ling sendiri sempat kebingungan.
Tadinya dia tidak ingin ikut campur dalam masalah itu. Tetapi karena anggota
keluarga Sang menyerangnya, maka dia terpaksa membalas. Tao Ling mendorong
tubuh seseorang yang sudah menjadi mayat dan mengambil senjata dari tangan mayat
itu. Tao Ling segera mengibaskan senjata ke sana ke mari agar orang-orang itu tidak
berani mendekat. Menggunakan kesempatan itu dia mencelat ke samping. Tampak I
Ki Hu masih terlibat pertarungan sengit dengan anggota keluarga Sang. Tiba-tiba
hatinya tergerak. Diam-diam dia ber-pikir. Meskipun dirinya saling mencintai dengan
Lie Cun Ju, tetapi ia sendiri sudah ternoda. Dia sudah menjadi istri I Ki Hu. Mana
mungkin dia bisa hidup bersama lagi dengan Lie Cun Ju sebagaimana angan-angannya
dulu. Tapi sekarang I Ki Hu ternyata bisa meloloskan diri dari ruangan batu. Sudah pasti ia


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mencari Lie Cun Ju yang dianggap putra musuh besarnya. Seandainya sekarang
dia tidak menggunakan kesempatan ini untuk melepaskan diri dari I Ki Hu kemudian
berusaha menemukan Lie Cun Ju agar dia mengasingkan diri dari dunia kang ouw,
mana mungkin dia bisa mendapatkan kesempatan yang lain"
Berpikir sampai di sini, timbul tekad di hati Tao Ling. Perasaannya yang sudah mati
kembali bergairah. Timbul pula kemauannya untuk tetap hidup. Karena hanya dengan
cara demikian dia bisa nienyelamatkan jiwa Lie Cun Ju.
Ketika tubuhnya melesat ke luar dari kepungan anggota keluarga Sang, rasanya ada
beberapa orang yang mengejarnya. Tetapi pada dasarnya ilmu silat Tao Ling memang
tidak lemah. Setelah berhasil menerobos ke luar, dia tidak menoleh sedikit pun.
Senjata di tangannya dilemparkan seenaknya, kemudian tubuhnya terus melesat pergi
secepat-cepatnya.
243 Setelah berhasil melarikan diri sejauh tujuh-delapan li, Tao Ling baru menghentikan
gerakan kakinya. Tetapi pada saat itu juga, dari kejauhan berkumandang suara I Ki Hu
yang memanggilnya.
"Hu jin! Hu jin!"
Tao Ling tahu I Ki Hu sudah membunuh seluruh keluarga Sang dan sekarang sedang
men-carinya. Tao Ling memperhatikan keadaan sekitarnya dengan seksama. Ternyata
ia berada di sebuah lembah yang kecil. Dan tidak ada tempat untuk bersembunyi.
Tao Ling mendengar suara panggilan I Ki Hu semakin mendekat. Hatinya menjadi
panik. Cepat-cepat dia menghambur lagi ke depan sejauh beberapa depa. Matanya
memandang dinding gunung di kejauhan. Di sana ada sebuah lubang kecil. Mungkin
apabila dipaksakan, Tao Ling bisa menyusup ke dalamnya. Tanpa memperdulikan
apa-apa lagi, Tao Ling berlari ke arah lubang itu kemudian bersembunyi di dalamnya.
Lubang itu sempit sekali. Begitu tubuh Tao Ling menyusup ke daiam, kepalanya tak
dapat digerakkan sama sekali. Dia mendengar suara I Ki Hu sudah sampai di lembah
tadi. Malah nadanya juga mengandung kemarahan.
"Hu jin, kau masih belum keluar juga?" Tao Ling tahu I Ki Hu masih belum tahu di
mana dia bersembunyi. Diam-diam dia merasa senang. I Ki Hu yang mengejar sampai
di lembah kecil, melihat bahwa lembah itu ternyata buntu. Tidak ada jalan tembus
kemana pun. Padahal I Ki Hu juga melihat lubang kecil itu, tetapi dia tidak menyangka Tao Ling
bersembunyi di sana. Dia menganggap dirinyalah yang mengejar ke arah yang salah.
Karena itu, setelah mendengus satu kali, dengan wajah menyiratkan kegusaran, dia
membalikkan tubuhnya meninggalkan tempat itu.
Gerak gerik I Ki Hu tidak menimbulkan suara sedikit pun. Tao Ling yang
bersembunyi di dalam lubang tidak tahu apakah ia sudah pergi atau belum. Setelah
menunggu cukup lama, dia baru berani keluar dengan perlahan-lahan. Ketika
tangannya tanpa disengaja meraba betisnya, ternyata betisnya sudah banyak terdapat
luka-luka. Mungkin karena menggesek-gesek di dalam lubang yang sempit itu. Yang ada dalam
pikiran Tao Ling, hanya bagaimana dapat melepaskan diri dari cengkeraman I Ki Hu,
tentu dia tidak mempersoalkan luka yang ringan itu.
Tao Ling berdiri dan memperhatikan keadaan di sekitarnya. Tampak keadaan di
lembah gunung itu sunyi senyap. Dia yakin I Ki Hu sudah meninggalkan tempat itu.
Perasaannya menjadi agak lega. Setelah melewati puncak gunung, dia mengambil arah
utara. Dengan segala upaya, Tao Ling berusaha melepaskan diri dari cengkeraman I Ki Hu,
tujuan-nya hanya satu, yakni menyelamatkan jiwa Lie Cun Ju. Dia ingin mencari
pemuda itu agar dapat memperingatkannya tentang ancaman I Ki Hu. Dengan
demikian, dia bisa menyuruh Lie Cun Ju melarikan diri sejauh-jauhnya.
244 Dimana Lie Cun Ju sekarang, Tao Ling sama sekali tidak tahu. Tetapi ketika berpisah
dengan Tao Ling, pemuda itu justru ada di lembah Gin Hua kok. Karena itu Tao Ling
juga mengambil keputusan untuk mendatangi lembah Gin Hua kok dulu baru
menentukan langkah berikutnya.
Dia juga menyadari, I Ki Hu pasti tidak akan berdiam diri begitu saja mengetahui ia
melarikan diri. I Ki Hu pasti akan mencarinya ke mana-mana.
Namun, meskipun sampai di mana kecerdasannya I Ki Hu, tentu dia tidak akan
menyangka Tao Ling berani menginjakkan kakinya ke Gin Hua kok. Karena itu pula,
sepanjang perjalanan, Tao Ling tidak khawatir kepergok oleh I Ki Hu. Setelah
menempuh perjalanan kurang lebih sepuluh hari, Tao Ling sudah sampai di gurun
pasir wilayah barat. Sejauh mata memandang, tampak hanya pasir kuning yang
membentang dan seperti lautan yang tidak berbatas.
Setelah melihat gurun pasir itu, hati Tao Ling dilanda kegelisahan yang sukar
dilukiskan. Karena ketika dia meninggalkan Gin Hua kok mengikuti 1 Ki Hu menuju
Pendekar Super Sakti 2 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Lambang Naga Panji Naga Sakti 6
^