Pendekar Jembel 12

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bagian 12


tidak mendengar apa-apa yang terjadi di luar.
Baru saja Biau-siang hendak menjelaskan, tiba-tiba Hong
Tju-tjiau masuk lagi dan berkata, "Aku akan memberitahukan
Le-kongtju bahwa kita tidak bisa menuju ke Yangtjiu."
"Sebab apa?" tanya Lam-sing.
"Saudara angkatmu she Kim itu telah bertarung dengan Su
i Pek-to dan kedua orang sama-sama terluka sedikit, meski
Kim Tiok-liu mendapat bantuan Kay-pang, tapi pengaruh Liokhap-
pang terlalu besar, kabarnya Kay-pang sudah lari keluar
Yangtjiu dan Kim Tiok-liu sudah meninggalkan kota itu, maka
kupikir lebih baik kuantar kau ke Kimleng saja di sana juga
ada cabang Kay-pang. Pula di sana kau akan lebih mudah
mencari kabar Kim Tiok-liu, apakah kau setuju?"
Walaupun bohong tapi uraiannya mendekati kenyataan,
sebab Le Lam-sing menyaksikan sendiri Kim Tiok-liu terkurung
di markas Liok-hap-pang, maka ia tidak sangsi akan
keterangan Hong Tju-tjiau itu, katanya "Banyak terima kasih
atas pertolonganmu, sampai sekarang aku masih belum tahu
nama tuan penolong yang mulia?"
Kuatir namanya pernah diceritakan oleh Kim Tiok-liu, maka
Tju-tjiau sengaja mengaku suatu nama palsu, lalu berkata,
"Silakan kau mengaso baik-baik, aku bertanggung jawab
mengantar kau ke Kimleng. Anak Siang, marilah kita keluar,
kau pun perlu membuat sedikit daharan bagi Le-kongtju."
"Kenapa kau mendustai dia ayah?" tanya Biau-siang
dengan berbisik sesudah berada di luar kabin.
"Bukankah kau enggan menemui Su Pek-to dan sekarang
kan cocok dengan keinginanmu bila kita tidak bakal ke Yangtjiu?"
ujar Tju-tjiau dengan tertawa.
"Baiklah, aku takkan membongkar kebohongan ayah dan
aku pun menurut begitu ke Kimleng, tapi jangan sekali-kali
ayah bermaksud mencelakai orang,"' kata Biau-siang.
"Budak bodoh, justru kesempatan ini akan kugunakan
untuk mengambil hati Kim Tiok-liu dengan perantaraan
saudara angkatnya ini, mana bisa aku membikin celaka dia
malah?" ujar Tju-tjiau.
Hong Biau-siang menjadi percaya, katanya dengan girang,
"Ayah, sungguh aku bersyukur jika engkau benar-benar
bermaksud demikian. Tapi mengapa kau tadi tidak
mengatakan namamu yang sebenarnya?"
"Aku hanya kuatir dia curiga, nanti setelah dia sembuh
tiada halangannya kujelaskan padanya."
Karena ucapan sang ayah rada masuk diakal, dengan
perasaan lega Biau-siang pergi menanak nasi, Le Lam-sing
sendiri lantas bersemedi lagi. Selang agak lama semangatnya
telah banyak pulih lagi, hanya saja badannya masih terasa
lemah. Dekat magrib, Hong Biau-siang telah menyiapkan sekadar
daharan, mereka bertiga lantas bersantap bersama. Sesudah
kenyang, Lam-sing coba melemaskan otot, katanya dengan
tertawa, "Pang-loyatju. kepandaianmu mengemudikan perahu
boleh juga, besok rasanya aku sudah dapat membantu kau."
"Pang" adalah she palsu yang dikatakan Hong Tju-tjiau
tadi, ia menjadi waswas, katanya, "Jangan buru-buru, lebih
baik kau mengaso beberapa hari lagi."
"Akan kucoba tenagaku, sudah pulih belum," kata Lam-sing
dengan tertawa sembari memegang Hian-tiat-pokiam. Meski
sudah kuat, tapi tampaknya rada dipaksakan, napasnya lantas
memburu. "Untuk menggunakan pedang ini rasanya belum
kuat, tapi tenaga mengemudikan perahu agaknya sudah
cukup." sambungnya lagi.
Tju-tjiau menjadi gelisah, pikirnya, "Cepat benar
sembuhnya bocah ini, dua hari lagi mungkin aku sukar
melawannya. Jika aku bermaksud membunuhnya harus cepatcepat
kulaksana-kan, tapi bagaimana baiknya sekarang, bunuh
dia atau tidak" Cara bagaimana pula aku harus mengelabui
budak Siang?"
Waktu tidur, Biau-siang memberikan kamar kabin kepada
Lam-sing, ia sendiri tidur di ruang depan bersama ayahnya.
Tapi Hong Tju-tjiau tidak dapat pulas, yang dia pikirkan adalah
berbuat atau tidak, mana yang lebih menguntungkan,
membunuh Lam-sing atau tidak?"
Teringat kepada Hian-tiat-pokiam, ia pikir kalau Lam-sing
sudah sembuh tentu akan dibawanya pergi. Kalau bocah itu
kubunuh, pedang pusaka inipun tak bisa kuserahkan kembali
kepada Su Pek-to, sebab Su Pek-to sendiri dalam keadaan
kepepet. Tapi pedang itu dapat kupersembahkan kepada Sattjongkoan.
Sesudah menerima persembahanku tentu aku akan
mendapat balas jasa, sedikitnya pangkatku semula akan
dikembalikan. Jika aku sudah kembali di dalam barisan jagojago
pengawai tentu takkan takut lagi kepada Kim Tiok-liu.
Begitulah napsu membunuh lantas berkobar dalam benak
Hong Tju-tjiau, soalnya sekarang hanya cara bagaimana
mengelabui anak perempuannya. Ia pikir kalau Lam-sing tetap
dalam keadaan tak sadar tentu akan banyak kesempatan
untuk turun tangan. Tiba-tiba ia mendapat suatu akal, cepat ia
bangun, tapi baru saja duduk sudah terdengar seruan Biausiang,
"Kau belum tidur ayah?"
"O, aku ingin minum," sahut Hong Tju-tjiau. Dalam batin ia
tahu budak ini sedang mengawasi gerak-geriknya, tapi ia ingin
tahu anak dara itu sanggup bertahan sampai kapan. Habis
minum teh, segera ia kembali tidur lagi dan pura-pura
mengeluarkan suara mendengkur.
Karena bekerja keras pada siang harinya sesungguhnya
Biau-siang memang sangat lelah, apalagi mendengar suara
ngorok ayahnya, tanpa terasa ia pun terpulas tak lama
kemudian Tju-tjiau begirang, ia coba memanggil dua kali dan
tidak mendapat jawaban. Segera ia merangkak bangun,
diambilnya sesuatu, lalu menuju ke kamar kabin dengan jalan
berjengkit-jeng-kit.
Benda yang dia bawa adalah sebuah bumbung yang berisi
'Keh-bin-ngo-koh-hoan-hun-hiang', yaitu sejenis obat tidur
ber-bentuk bubuk. Bilamana bubuk itu ditiupkan, orang yang
mengisap baunya harus menunggu sampai subuh tiba, di
waktu ayam sudah mulai berkokok barulah dapat siuman
kembali. Hong Tju-tjiau sendiri sudah minum obat penawar, lalu ia
masukkan bumbung itu melalui celah-celah pintu, bubuk itu
lantas ditiup ke dalam kamar. Ia pikir kalau Lam-sing sudah
tidak sadarkan diri, dengan mudah ia dapat menutuk Hiat-to
yang mematikan. Dengan demikian kematian Le Lam-sing itu
takkan menimbulkan kecurigaan Biau-siang, tapi akan mengira
kemati-annya adalah karena kambuhnya racun jarum di dalam
tubuhnya. Enak saja Hong Tju-tjiau mengatur rencananya, tak terpikir
olehnya bahwa Le Lam-sing adalah seorang ahli racun,
walaupun selamanya ia sendiri tidak pernah menggunakan
racun, maka obat bius yang ditiupkan Hong Tju-tjiau ini
baginya adalah seperti permainan anak kecil saja.
Saat itu Le Lam-sing sedang dalam keadaan layap-layap
hampir pulas, ketika mendadak mengendus bau harum,
seketika pikirannya menjadi jernih kembali, la heran siapakah
yang berani naik ke atas kapal untuk mengejar dia" Mimpi pun
tak disangkanya bahwa yang berbuat itu adalah Hong Tjutjiau.
Ia pura-pura diam saja seperti orang yang tak sadar, Hong
Tju-tjiau sangat girang karena sekian lamanya tiada nampak
sesuatu suara di dalam. Pelahan-iahan ia lantas menggeremet
ke dalam, ketika menyentuh tubuh Le Lam-sing, baru saja ia
mencari Hiat-to yang mematikan untuk ditutuk. sekonyongkonyong
iganya seperti terasa kesemutan, bersuara saja tidak
sempat ia sendiri lantas roboh terkulai. Ternyata sebelum dia
sempat menutuk Le Lam-sing sebaliknya ia malah sudah kena
ditutuk lebih dulu oleh Lam-sing.
Ilmu tutukan Le Lam-sing itu berasal dari Kim Si-ih, dalam
keadaan tak bisa berkutik Hong Tju-tjiau merasa badannya
seperti ditusuk-tusuk oleh beribu-ribu jarum, sakitnya tidak
kepalang, ingin berteriak tak bisa pula.
"Hm, bangsat dari mana, berani kau menggerayangi
diriku?" omel Le Lam-sing sembari menyalakan pelita, lalu
serunya, "Pang-loyatju, kemarilah, aku dapat menangkap
seorang pencuri! He, kenapa kau?"
Demikian ketika di bawah sinar pe-lita dilihatnya pencuri
yang ditangkapnya ternyata adalah Pang-loyatju, keruan ia
melenggong, tanyanya kemudian, "Kau telah menolong aku,
kenapa sekarang hendak mencelakai aku pula, Pang-loyatju?"
Hong Tju-tjiau hanya mendelik saja dengan tenggorokan
mengeluarkan suara ngorok, maksudnya ingin bicara, tapi
sukar I membuka mulut. Lam-sing baru ingat orang telah
ditutuknya dan dengan sendirinya tak bisa bicara.
Selagi Lam-sing hendak membuka Hiat-to yang ditutuk-I
nya, tiba-tiba ada suara orang yang berseru kuatir, "Ampun,
Le-|kongtju!"
Kiranya Hong Biau-siang juga telah terjaga bangun dan I
segera ia memburu datang, ketika mendadak melihat Le lamsing
hendak berbuat sesuatu atas diri ayahnya, maka
disangkanya ayahnya hendak dibunuh, ia tidak tahu Lam-sing
bermaksud i membuka Hiat-to Hong Tju-tjiau.
Lam-sing pikir ada baiknya jangan membuka dulu Hiat-to
yang ditutuknya itu sebelum mendapat pengakuan yang jelas.
[Melihat gerak-gerik orang tua itu masih harus diragukan
apakah dia kawan atau lawan, segera ia mengurungkan
maksudnya tadi dan berkata kepada Biau-siang, "Kedatangan
nona Pang sangat kebetulan, aku memang ingin minta
keterangan bagaimana persoalan ini?"
Dengan menahan air mata Biau-siang berkata, "Sungguh
nemalukan apa yang diperbuat ayah ini. Aku tidak she Pang,
tapi she Hong, ayah bernama Hong Tju-tjiau dan aku Biausiang,
mungkin kau pernah mendengar nama kami."
Le Lam-sing memang pernah mendengar cerita dari Kim
Tiok-liu tentang urusan Tjin Goan-ko dengan Hong Biau-siang,
maka tahulah dia duduknya perkara, katanya, "O, kiranya
engkau ini nona Hong."
Biarpun diketahuinya Hong Tju-tjiau adalah bekas kaki
tangan pihak kerajaan, tapi nona Hong ini adalah tunangan
Tjin Goan-ko, apalagi si nona tadi telah menyelamatkan
dirinya, mau tak mau Lam-sing harus mengampuni orang.
Segera ia membuka Hiat-to Hong Tju-tjiau yang ditutuknya
tadi, katanya, "Kim Tiok-liu pernah bercerita tentang dirimu,
dia pernah mengampuni kau dengan harapan kau mau
kembali ke jalan yang benar, siapa duga kau tetap tidak sadar.
Coba katakan, mengapa kau hendak membikin susah
padaku?" Dengan wajah merah Hong Tju-tjiau menjawab, "Le-kongtju,
bukan maksudku hendak membunuh kau, aku hanya
bermaksud melemparkan kau ke daratan agar kau tidak
mendapat susah dari pihak Liok-hap-pang. Maafkan
perbuatanku yang ceroboh tadi karena ingin selamat sendiri."
"Tapi bagaimana sekarang, aku masih tetap berada di
perahumu ini, kalau ada musuh menyusul tiba, apakah kau
akan menyergap aku lagi?" kata Lam-sing.
Hong Tju-tjiau terus berlutut dan bersumpah, "Jika timbul
maksud jahat, biarlah aku mati secara tidak wajar."
Biau-siang tidak tega melihat sikap ayahnya yang
memalukan itu, ia berpaling dan berkata, "Ayah, mudahmudahan
kau sudah benar-benar insyaf dan jangan berbuat
jahat lagi, Kim-tayhiap telah mengampuni kau. Untuk ketiga
kalinya jika kau menemukan ksatria lain, mungkin sukar
mendapat pengampunan lagi."
Sudah tentu Le Lam-sing tidak percaya sepenuhnya
terhadap pribadi Hong Tju-tjiau. ia pikir tiga hari lagi kira-kira
sudah bisa sampat di kota Kimleng, asalkan waspada mungkin
takkan terjadi apa-apa lagi. Begitulah mereka lantas berlayar
terus ke hilir.
Besok paginya Le Lam-sing ikut membantu memegang
kemudi, terhadap kejadian semalam tidak disinggungsinggung
lagi. Sikap Hong Tju-tjiau tampak menurut, hari itu
berlalu dengan aman tenteram.
Hari ketiga menjelang lohor, ketika perahu mereka
menyusuri sungai yang bertepikan jalan ramai, mendadak
Hong Tju-tjiau yang sedang memegang kemudi melihat
seorang penunggang kuda berlalu di situ. Hong Biau-siang
tidak menaruh perhatian, tapi sekilas Tju-tjiau mengenali
penunggang kuda itu adalah Bun Seng-tiong, putera Bun Torjeng.
Dahulu pernah timbul maksud Hong Tju-tjiau untuk
menjodohkan puterinya kepada pemuda she Bun itu.
Tju-tjiau sangat girang, tapi pura-pura tidak terjadi apa-apa
katanya "Le-kongtju, tolong pegang kemudi sebentar."
Tanpa curiga Le Lam-sing mendekatinya mendadak Hong
Tju-tjiau mendorong kemudi perahunya berbareng jarinya
terus menutuk ke pinggang Le Lam-sing. Belum lagi sempat
Lam-sing memegang kemudi, tahu-tahu orang menyerangnya
Iganya terasa kesemutan, Hian-tiat-pokiam direbut oleh Hong
Tju-tjiau, tapi Hiat-to Le Lam-sing yang hendak ditutuk Hong
Tju-tjiau juga tidak berhasil.
Setelah merebut Hian-tiat-pokiam, segera Hong Tju-tjiau
berteriak sekerasnya, "Bun-siheng! Lekas kemari! Lekas!"
Bun Seng-tiong memang ditugaskan oleh Su Pek-to untuk
mencari jejak Le Lam-sing di sepanjang sungai. Ketika
mendengar teriakan Hong Tju-tjiau, segera ia memutar balik
kudanya. Sekilas lantas dilihatnya Le Lam-sing dan Hong Biausiang
berdiri di haluan perahu, keruan ia kegirangan, serunya
cepat, "Hong-lotjianpwe, lekas rapatkan perahu, agar aku
dapat membantu kau!"
Dalam pada itu Le Lam-sing menjadi gusar, dampratnya.
"Sungguh kurangajar, dasar manusia berhati binatang. Lekas
kembalikan pedangku, kalau tidak jangan kau menyalahkan
tindakanku!"
"Jika mampu boleh coba ambil kembali!" sahut Tju-tjiau
dengan tertawa. Berbareng itu ia lantas melolos pedang
wasiat itu, sekali putar ia lantas menahas lebih dulu ke arah Le
Lam-sing. Cepat Lam-sing mengangkat dayung perahu untuk
menangkis, sudah tentu dayung tak bisa melawan Hian-tiatpokiam,
"erat", dayung terkurung sebagian.
Baru saja Hong Biau-siang menjerit kuatir, sekonyongkonyong
Le Lam-sing mengambil tindakan kilat, tahu-tahu ia
menerjang ke tengah lingkaran pedang lawan. Dayung yang
tinggal sepotong itu digunakannya sebagai Boan-koan-pit
untuk menu-tuk.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar jeritan Hong Tju-tjiau, mendadak Hian-tiatpokiam
terlepas dari tangannya. Rupanya pergelangan
tangannya tertutuk oleh ujung dayung kutung Le Lam-sing.
Sementara itu perahu mereka sudah menepi. Hian-tiat-pokiam
yang mencelat dari cekalan Hong Tju-tjiau itu melayang ke
daratan, kesempatan itu segera digunakan Bun Seng-tiong
untuk menyambarnya.
Di tengah gelak tertawa senang Bun Seng-tiong dengan
cepat Hong Tju-tjiau lantas melompat juga ke daratan.
Diam-diam Lam-sing merasa sayang, mestinya ia
bermaksud merebut kembali pedangnya, tapi pada saat
menentukan tadi tiba-tiba Biau-siang memburu maju. Tujuan
Biau-siang hendak menolong Lam-sing yang disangkanya
sukar melawan ayahnya yang bersenjata, tak tahunya
perbuatan Biau-siang itu berbalik merintangi Le Lam-sing,
pedang tidak berhasil dirampas kembali, bahkan Hong Tjutjiau
sempat lari ke daratan.
Tapi Lam-sing tidak tinggal diam, seperti bayangan saja
segera ia menyusul Hong-Tju-tjiau ke daratan.
Dengan tertawa Bun Seng-tiong berkata kepada Hong Tjutjiau,
"Paman Hong, silakan kau membujuk dan mengajak
pulang puterimu. Bocah she Le ini boleh serahkan saja
padaku." Sekali pedang pusaka sudah jatuh di tangan Bun Sengtiong,
Hong Tju-Tjiau sadar sukar lagi untuk memintanya
kembali. Dalam pada itu Hong Biau-siang juga sudah
melompat ke daratan, la melepaskan pedangnya sendiri dan
diberikan kepada Lam-sing, "Le-kongcu, pakailah pedangku!"
Begitulah ayah beranak itu menjadi berdiri di pihak yang
berlawanan. Keruan Bun Seng-tiong menjadi cemburu dan murka,
ejeknya, "Nona Hong, apakah kau telah berganti pacar lagi"
Apa kau sudah lupa pada bocah she Tjin?"
"Keparat, dasar mulut anjing masakah tumbuh gading!"
damprat Biau-siang.
"O, tentunya kau membela pacarmu yang baru bukan" Apa
boleh buat, terpaksa aku harus membereskan dia?" kata Bun
Seng-tiong sambil mendesak maju ke arah Lam-sing.
Menyadari musuh tangguh berada di depan mata,
sedangkan diri sendiri masih lemah, segera Lam-sing
mencurahkan segenap perhatiannya. Ketika musuh sudah
dekat, mendadak ia menggertak, "Lihat serangan!"
"Kau cari mampus!" sahut Bun Seng-tiong sembari
menangkis dengan Hian-tiat-pokiam, menyusul ia lantas balas
menahas. Tapi mendadak ia berteriak, "Auuh!" Berbareng
terdengar suara, "Bret", bajunya robek terkena ujung pedang
Le Lam-sing. "Bun-siheng jangan mengentengkan lawan, dia adalah
saudara angkat Kim Tiok-Liu!" seru Hong Tju-tjiau.
"Hm, kalau saudara angkat Kim Tiok-liu lantas mau apa?"
jengek Bun Seng-tiong. "Sret-sret-sret", sekaligus ia menabas
tiga kali secepat kilat.
Karena pedang yang digunakan adalah pedang biasa,
sudah tentu Lam-sing tidak berani mengadu senjata. Namun
dengan langkah ajaib Thian-lo-poh-hoat, ia dapat menggeser
kian kemari dengan leluasa, serangan berantai Bun Seng-tiong
itu sedi-kitpun tidak berdaya, ujung bajunya saja tidak
tersenggol. Hanya saja Lam-sing baru sembuh dari keracunan,
ditambah lagi dia baru bertempur dengan Hong Tju-tjiau di
atas kapal, tenaganya sudah banyak berkurang, sebaliknya
Bun Seng-tiong memakai Hian-tiat-pokiam, setelah 30-an
jurus, jidat Lam-sing sudah mulai berkeringat.
Dalam pada itu Hong Tju-tjiau coba mendekati Biau-siang
dan membujuknya, "Anak Siang, kau jangan marah, apa yang
ayah lakukan adalah demi kebaikanmu,"
"Demi kebaikanku, yang benar ayah hendak
menjerumuskan anak perempuan sendiri," sabut Biau-siang.
"Sekarang aku tidak lagi memaksa kau pergi ke Yangtjiu
untuk menemui Su Pek-to, bukankah aku telah menuruti
keinginanmu" Ada hal apa kebaikan bocah she Tjin itu, jika
kau ikut dia tentu akan sengsara selama hidup. Bun-siheng ini
juga sudah kau kenal, dia adalah putera tokoh ternama, jika
kau mau "Ucapanmu hanya bikin kotor telingaku saja, aku tak mau
mendengar," teriak Biau-siang sambil menutup kupingnya.
"Sudahlah, anggap saja ayah tidak punya puterimu ini,
anggaplah puterimu sudah mati!"
Hong Tju-tjiau menjadi marah, dampratnya, "Kurangajar!
Kau berani membangkang pada ayahmu?"
Sampai di sini tiba-tiba ada orang berkata di samping sana,
"Wah, ramai benar! Ada orang berkelahi, ada lagi yang
bertengkar, berhenti dulu, ayah, marilah menonton keramaian
ini!" Kiranya di situ tahu-tahu sudah ada dua orang ayah
beranak. Si ayah berusia 50-an, berjubah biru longgar, tangan
memegang sebuah Huntjwe (cangklong) panjang, potongan
orang kampung tulen, sebaliknya puterinya yang baru
berumur 20-an itu berwajah cantik dan berdandan secara
sederhana, tapi cukup menarik.
Mendengar ada orang membicarakan pertempuran mereka.
Hong Tju-tjiau menoleh, tapi menjadi terkejut sebab
mengenali orang yang mirip kakek kampungan itu adalah
pemimpin Ang-eng-hwe, Kongsun Hong adanya.
Ang-eng-hwe adalah suatu organisasi Kangouw yang sama
besarnya dengan Liok-hap-pang, bahkan Hong Tju-tjiau
mengetahui kepandaian Kongsun Hong sukar diukur, mesti
tidak pernah menyaksikan sendiri, tapi semua orang Kangouw
mengatakan pasti lebih lihai daripada Su Pek-to.
Hong Tju-tjiau pikir nona itu tentu puteri Kongsun Hong
yang bernama Kongsun Yan. Kabarnya sangat disayang oleh
sang ayah, belum ada setahun nona itu mengembara di
Kangouw, tapi namanya sudah termashur karena dia suka
campur urusan, banyak tokoh Kangouw yang jeri padanya.
Diam-diam Hong Tju-tjiau mengeluh jika nona usilan itu
sampai ikut campur, tentu urusan bisa runyam, mungkin sekali
Bun Seng-tiong juga akan kecundang.
Benar juga, tiba-tiba terdengar Kongsun Hong berkata, "Eh,
perkelahian ini nampaknya menarik juga, anak Yan, kau tidak
pernah melihat Thian-san-kiam-hoat, sekali ini kau dapat
menambah pengalaman. Bocah yang menjadi lawannya itu
kurang dalam hal ilmu pedang, tapi Sam-siang-sin-kang yang
dilatihnya juga sudah lumayan."
Kongsun Hong pernah melihat Le Lam-sing ketika gegergeger
di kediaman Sat Hok-ting tempo hari, tapi Bun Sengtiong
belum dikenalkan karena waktu Sat Hok-tiong berulang
tahun pemuda itu tidak ikut hadir bersama ayahnya. Kongsun
Hong mengenali asal usulnya, berdasarkan gaya ilmu silatnya.
Ia pikir putera Bun To-tjeng pasti juga bukan manusia baikbaik,
tapi aku mana boleh bergebrak dengan seorang
angkatan muda dengan cara bagaimana aku harus membantu
Le Lam-sing"
Dalam pada itu Kongsun Yan berkata "Thian-san-kiam-hoat
benar-benar sangat hebat, tapi tampaknya dia seperti tidak
sanggup menandingi lawannya apakah sebabnya?"
"Ini disebabkan karena dia baru saja sembuh dari sakit,"
ujar Kongsun Hong. "Selain itu juga karena lawannya
memakai Hian-tiat-pokiam yang bobotnya berpuluh kali lebih
berat daripada pedang biasa, apakah kau tidak dapat
melihatnya?"
Ucapan Kongsun Hong membikin Seng-tiong terperanjat,
katanya dalam hati, "Kakek kampungan ini ternyata seorang
ahli ilmu silat, bukan saja dia dapat menilai ilmu silatku,
bahkan mengetahui pedang yang kupakai adalah Hian-tiatpokiam."
Lam-sing juga terheran-heran, pikirnya, "Kongsun Hong
benar-benar luar biasa, hanya sekali pandang saja lantas
mengetahui aku baru sembuh dari luka parah. Menurut cerita
Kim Tiok-liu, katanya waktu mengacau di rumah Sat Hok-ting,
ia telah banyak mendapat bantuan dari Kongsun Hong. Cuma
sekarang aku tidak boleh timbul pikiran akan mengandalkan
tenaga bantuan orang lain."
Dasar Bun Seng-tiong memang congkak, ia menjadi
mendongkol karena ucapan Kongsun Hong tadi menilai tinggi
Le Lam-sing dan menilai rendah dirinya. Segera ia
mengeluarkan segenap kemahirannya, ia memutar Hian-tiatpokiam
dan mendesak lebih kencang.
Le Lam-sing juga tidak mau kehilangan muka di hadapan
Kongsun Hong, segera ia pun mengerahkan semangat untuk
bertempur mati-matian. Cuma sayang tenaganya mulai lemah,
kalah pula pada dalam hal senjata sehingga berulang-ulang ia
terdesak mundur oleh serangan Bun Seng-tiong yang gencar.
Dalam pertarungan sengit itu, Bun Seng-tiong
menggunakan satu jurus 'Lik-bi-hoa-san' atau sekuat tenaga
memotong Hoa-san. Pedangnya menabas miring dari samping,
cepat Le Lam-sing berkelit ke balik sebatang pohon Liu, maka
terdengarlah suara gemuruh, pohon Liu itu roboh tertabas
kutung oleh H ian-tiat-pokiam.
"Ya, benar-benar pedang wasiat yang jarang ada
bandingannya," puji Kongsun Yan, mendadak ia melompat
maju dan berseru, "He, kau berikan saja pedang ini padaku!"
"Mengapa harus kuberikan padamu?" sahut Bun Sengtiong.
"Lawanmu masih lemah karena dia baru sembuh dari sakit,
sehingga kau mendapat keuntungan dalam hal ini," ujar
Kongsun Yan. "Juga kau memakai lagi Hian-tiat-pokiam, cara
pertempuran ini kan menjadi tidak adil."
"Peduli apa kau ikut campur urusan orang?" damprat Bun '
Seng-tiong dengan gusar.
"Dasarnya aku memang suka ikut campur urusan orang,
tak peduli kau suka dan tidak," sahut Kongsun Yan tertawa.
"Kau boleh berkelahi terus, tapi harus secara adil. Kau menang
dengan mengandalkan pedang wasiat, aku merasa penasaran,
sekarang aku memberi dua pilihan bagimu. Pertama,
hendaklah kau serahkan pedangmu padaku, lalu pakailah
pedangku yang biasa ini untuk bertempur, jika menang
pedangmu akan kukembalikan, kalau kalah pedangmu harus
diberikan kepada lawanmu sebagai ganti rugi. Aku hanya ingin
menjadi wasit yang jujur dan adil, bukan bermaksud
mengincar pedang wasiatmu ini."
"Siapa yang minta kau menjadi wasit?" omel Bun Sengtiong
dengan mendongkol. "Lekas kau menyingkir, pedangku
tidak punya mata, kalau keserempet jangan menyalahkan
aku." Sembari bicara Bun Seng-tiong tidak pernah mengendurkan
pedangnya, tapi Kongsun Yan malah melangkah lebih dekat.
Sekarang dia sudah berada di samping Le Lam-sing, katanya
dengan mendengus, "Hm, jadi yang pertama tidak dapat kau
terima. Terpaksa silakan pilih jalan kedua saja, yakni kau
berkelahi dengan aku, meski kau sudah lelah karena telah
bertempur, tapi kau pakai pokiam, tetap masih cukup adil
kan." Habis berkata, tanpa permisi lagi ia terus menyelinap ke
tengah kedua orang yang sedang bertempur sehingga Le
Lam-sing dipaksa menyingkir.
Le Lam-sing tahu dia adalah puteri Kongsun Hong, rasanya
tidak sampai dikalahkan Bun Seng-tiong, maka tanpa kualir ia
lantas membiarkan si nona menggantikan dia.
Sebaliknya Bun Seng-tiong menjadi kebat-kebit, ia berhenti
dan berkata, "Boleh juga jika kau ingin bertempur dengan
aku, tapi kalau kau kalah harus berjanji takkan mencari alasan
lain lagi."
"Nah kau jangan kuati," tantang Kongsun Yan pada Bun
Seng-tiong. "Sekarang boleh kau gunakan pedang-u kau boleh
menyerang lebih dulu." Sementara itu Hong Tju-tjiau ngacir
terbirit-birit menawat ekor.
"Apa barangkali kau takut ayahku akan membantu" Hm,
rasanya kau pun tidak sesuai baginya," kata Kongsun Yan
pula. "Ayah, coba katakan, biar bocah ini merasa lega."
"Hahaha," Kongsun Hong tertawa. "Selamanya aku tidak
bergebrak dengan kaum muda. Anak perempuanku yang ikut
campur urusanmu ini, jika kau mampu boleh bunuh saja dia,
sekali-kali aku tidak ambil pusing."
"Nah, kau jangan kuaur lagi," kata Kongsun Yan pada Bun
Seng-tiong. "Sekarang boleh kau gunakan pedangmu, boleh
kau menyerang lebih dulu."
Bun Seng-tiong menjadi gusar, pikirnya, "Kakek
kampungan ini tampaknya seperti seorang ahli silat. Hm,
asalkan dia benar-benar tidak ikut campur, masakah aku mesti
takut terhadap seorang budak kecil ini?" Segera ia menerima
tantangan Kongsun Yan, katanya, "Baik, kau harus pegang
janji. Silakan siapkan senjatamu!"
"Kau boleh melancarkan seranganmu, buat apa banyak
bicara?" sahut Kongsun Yan.
Saking murkanya, tanpa bicara lagi Bun Seng-tiong terus
menusuk sambil menggertak. Ketika Kongsun Yan mengegos,
cepat pedangnya berputar ke atas untuk segera menabas lagi
miring ke bawah.
Jurus serangan ini disebut 'Wan-kiong-sia-tiau' atau
pentang busur memanah rajawali, adalah ilmu pedang paling
dibanggakan Bun Seng-tiong. Ia menyangka seorang budak
cilik saja punya kepandaian apa, tabasannya seumpama tidak
mengurungi sebelah bahunya juga paling sedikit akan
membuatnya ter-luka.
Siapa duga Kongsun Yan hanya mengegos dengan enteng
saja dan kembali tabasan Bun Seng-tiong mengenai tempat
kosong. "Hihi, tidak kena!" demikian Kongsun Yan menggoda
dengan tertawa. "Sekarang menjadi giliranku untuk membalas
seranganmu!"
Ketika tubuhnya berputar, tahu-tahu seutas ikat pinggang
sudah dilepas, sekali sendai ikat pinggang yang lemas itu
lantas menyambar kencang ke pinggang Bun Seng-tiong.
Bun Seng-tiong membatin, "Pedangku mampu memotong
besi seperti memotong daging, masakah takut pada sebuah
ikat pinggang saja?"
Tidak tersangka ikat pinggang Kongsun Yan itu selincah
ular, tabasan Bun Seng-tiong tidak kena, sebaliknya ikat
pinggang itu terus menekuk ke bawah, "plok", dengan tepat
dahi Bun Seng-tiong keserempet hingga merah pedas.
"Hihi, sayang kau tidak membawa cermin sehingga tidak
tahu mukamu sendiri sekarang telah berubah seperti muka


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

badut!" goda Kongsun Yan dengan tertawa
Kejut dan gemas pula Bun Seng-tiong, ia memutar Hiantiat-
pokiam secepat kitiran. Dikeluarkan ilmu pedang 'Samtjay-
kiam-boat' yang 1ihai. Sekarang ia sudah tahu betapa
hebat kepandaian Kongsun Yan, sehingga tidak berani
memandang enteng lagi. Saking gusarnya timbul napsu
membunuhnya tanpa menghiraukan jiwa putri Kongsun Hong
yang disegani itu.
Karena ilmu pedang Bun Seng-tiong yang hebat itu,
seketika ikat pinggang Kongsun Yan tidak mampu menembus
lingkaran pedangnya. Tapi pedang Bun Seng-tiong juga tidak
mampu menabas kutung ikat pinggang si nona sebab ikat
pinggang adalah benda lemas, sambaran Hian-tiat-pokiam
yang membawa deru angin keras hu menggoncang pergi lebih
dulu ikat pinggang si nona sebelum pedang menyentuhnya.
Apalagi bobot Hian-tiat-pokiam ada ratusan kali beratnya
lama-lama Bun Seng-tiong menjadi kewalahan sendiri karena
kehabisan tenaga, napasnya mulai terengah-engah seperti
kerbau. Hong Tju-tjiau mengetahui Kongsun Yan adalah puteri
Kongsun Hong, ia pikir sekalipun Bun To-tjeng dan Su Pek-to
datang sendiri juga jeri terhadap si tua ini, tampaknya Bun
Seng-tiong sudah pasti akan menelan pil pahit. Ai, lebih baik
jangan kuharapkan lagi Hian-tiat-pokiam ini, paling selamat
angkat langkah seribu saja.
Setelah mengambil keputusan itu, segera Hong Tju-tjiau
menyemplak ke atas kuda Bun Seng-tiong, terus dilarikan
sambil berseru, "Bun-siheng, silakan bertempur terus,
maafkan aku berangkat lebih dulu!"
Dia buru-buru ingin menyelamatkan diri sampai-sampai
anak perempuannya sendiri juga tak dihiraukan lagi, keruan
Hong Biau-siang sangat mendongkol dan sedih, dengan
pandangan hampa ia menyaksikan sang ayah membedal
kudanya secepat terbang.
Dengan suara pelahan Le Lam-sing lantas berkata padanya
"Nona Hong, jangan kuatir, biarkan saja dia pergi."
Kaburnya Hong Tju-tjiau itu membikin Bun Seng-tiong
menjadi bingung pula Hian-tiat-pokiam yang berat itu makin
lama makin menjadi beban baginya. Sebaliknya ikat pinggang
Kongsun Yan menyambar semakin gesit seperti larian indah,
jurus serangannya tambah lihai.
"Kepandaianmu terlalu rendah dan tidak cocok memakai
pedang ini, " jengek Kongsun Yan. "Lebih baik serahkan saja
pedangmu padaku dan lekas enyah dari sini!"
Baru lenyap suaranya ikat pinggang merah itu melingkar
mirip segumpal awan merah membungkus sinar perak, tahutahu
ikat pinggang sutera itu sudah melilit batang pedang Bun
Seng-tiong, tanpa ampun lagi Hian-tiat-pokiam itu kena
direbut. Cepat Bun Seng-tiong angkat kaki melarikan diri sembari
berteriak, "Pedang itu adalah milik Su-pangtju dari Liok-happang,
kau budak hina ini berani merampasnya coba beri
tahukan namamu!"
Karena kecundang dan melarikan diri secara mengenaskan,
untuk melampiaskan rasa dongkolnya ia hendak menggunakan
nama Su Pek-to untuk menutupi kekalahannya ku.
Dengan tertawa Kongsun Hong lantas menjawab, "Aku
Kongsun Hong, boleh kaukatakan kepada Su Pek-to bahwa
pedang ini akulah yang mengambil. Jika dia tidak terima boleh
suruh dia mencari aku. Bila dia tidak berani datang sendiri
boleh sekalian ajak serta ayahmu."
Baru sekarang Bun Seng-tiong mengetahui bahwa si tua
kampungan ini kiranya adalah ketua Ang-eng-hwe yang
namanya menggetarkan Kangouw, keruan ia ketakutan dan
lari lebih cepat, mana dia berani bersuara lagi. Kongsun Hong
hanya ber-gelak tertawa saja dan tidak merintanginya.
Kemudian Le Lam-sing dan Hong Biau-siang menghaturkan
terima kasih kepada Kongsun Hong dan puterinya. Kongsun
Hong sangat senang, katanya, "Anak Yan, inilah Le-kongtju
yang pernah kuceritakan tempo hari, dia inilah yang
mengacaukan pesta ulang tahun Sat Hok-ting bersama Kim
Tiok-liu."
"Banyak terima kasih atas bantuan nona tadi," Lam-sing
memberi hormat lagi.
Kongsun Yan tertawa, "Untung tidak gagal tugasku ini,
benda ini kuserahkan kembali kepada pemiliknya." Berbareng
ia mengangsurkan Hian-tiat-pokiam yang dirampasnya dari
Bun Seng-tiong tadi.
"Senjata baik harus dipakai oleh orang yang cocok, pedang
ini adalah hasil rampasan nona, maka silakan ayah nona sudi
menerimanya," kata Lam-sing.
Kongsun Yan tersenyum, sahutnya, "Selamanya ayah tidak
memakai senjata, dia mengatakan akan mengambil pedang ini
hanya bermaksud menggertak Su Pek-to saja Memangnya kau
sangka dia benar-benar menginginkan pedangmu ini?"
Ucapan Kongsun Yan ini membuat Le Lam-sing tidak dapat
menolak lagi, sebab kalau banyak omong pula akan berarti
menghina Kongsun Hong. Terpaksa Lam-sing menerima
kembali Hian-tiat-pokiam itu.
"Le-heng, mengapa kau bertempur di sini dengan Bun
Seng-tiong?" tanya Kongsun Hong.
"Ceritanya cukup panjang," tutur Lam-sing, lalu diceritakan
pengalamannya sejak di Yangtjiu dan seterusnya.
"O, kudengar Kay-pang kedapatan dua tokoh muda, kira
nya yang meributkan Liok-hap-pang adalah kau dan Kim Tiokliu,"
kata Kongsun Hong.
"Berita apalagi yang didengar Kongsun-lotjianpwe," tanya
Lam-sing. "Memang aku baru datang dari Yangtjiu dua hari yang lalu,
kabarnya Su Pek-to tidak mau menerima tamu, maka aku pun
malas mampir ke rumahnya," tutur Kongsun Hong. "Menurut
cerita teman di Yangtjiu, katanya kalau aku datang lebih pagi
dua hari, tentu akan ikut menyaksikan keramaian itu.
Temanku itu bukan anggota sesuatu perkumpulan apa-apa
disangkanya bentrokan biasa antara Kay-pang dan Liok-happang,
diketahui Su Pek-to mengalami sedikit kerugian, cuma
duduknya perkara tidak begitu jelas."
Cepat Lam-sing bertanya pula "Apakah Kim Tiok-liu
diketahui masih berada di Yangtjiu atau tidak" Apakah
Lotjianpwe mampir ke markas cabang Kay-pang?"
"Cabang Kay-pang sudah dipindahkan, aku menemui
tempat kosong di sana" sahut Kongsun Hong. Jadi jelas kabar
tentang Kim Tiok-liu juga tidak diperolehnya.
Di sebelah sini Le Lam-sing sedang bicara dengan Kongsun
Hong, di sebelah sana Kongsun Yan juga lagi asyik berbicara
d;ngan Hong Biau-siang. Dasar watak Kongsun Yan memang
baik dan suka terus terang, ia memegang tangan Biau-siang
dan berkata "Hong-tjitji, pertengkaran dengan ayahmu tadi
telah kudengar semua."
Muka Biau-siang menjadi merah dan mengembeng air
mata, untuk sesaat ia tidak sanggup bersuara.
"Hong-tjitji kau tidak perlu sedih, engkau mirip bunga teratai
yang timbul dari air lumpur, sesungguhnya aku sangat
kagum dan tak nanti memandang hina padamu," kata
Kongsun Yan pu-la. "Sementara ini engkau hendak menuju
kemana Hong-tjitji?"
"Aku sudah tidak punya rumah lagi, terpaksa menuju kemanapun
jadilah," sahut Biau-siang.
"Jika kau tidak mencela, bagaimana kalau menemani aku
saja." Biau-siang kegirangan, sahutnya cepat, "Jika nona sudi
menerimaku, itulah melebihi permohonanku. Justru akulah
yang kuatir akan menambah susah padamu."
"Ah, mana bisa jadi," ujar Kongsun Yan. "Aku belum ada
setahun mengembara di luaran, pengalamanku sangat cetek,
selanjurnya jika kita berada bersama masih diharapkan
petunjuk darimu."
Biau-siang merasa heran juga akan keterangan itu, padahal
ayahnya adalah ketua Ang-eng-hwe yang termashur di dunia
Kangouw, mana bisa jadi dia berpengalaman cetek, tapi cara
bicara Kongsun Yan tampaknya sangat sungguh-sungguh,
sedikit-pun tidak nampak berpura-pura.
Tiba-tiba Kongsun Hong menegur puterinya, "Anak Yan,
apakah kau masih ingat akan memenuhi janji pertemuanmu
dengan Tiok Djing-hoa?"
"Habis, mengapa ayah tidak mau menemani aku" Ya
terpaksa aku mencari sendiri teman perjalanan ke sana,"
sahut Kongsun Yan dengan manja.
Kongsun Hong tersenyum, ia menoleh dan berkata kepada
Le Lam-sing, "Le-laute kau hendak pergi kemana sekarang?"
"Aku bermaksud ke Sedjiang," sahut Lam-sing. Rupanya ia
menduga Su Pek-to tentu akan mengantar adik perempuannya
ke Sedjiang untuk dipaksa kawin dengan Swe Beng-hiong, ia
yakin hal ini tentu sudah dipikirkan pula oleh Kim Tiok-liu,
sebab itulah setiba di Sedjiang tentu akan dapat bertemu
kembali dengan saudara angkatnya itu.
"Baiklah, jika demikian kalian bertiga boleh menjadi teman
perjalanan," ujar Kongsun Hong dengan tertawa.
Lam-sing melengak. "O, jadi nona Kongsun juga bermaksud
ke Sedjiang?" ia menegas.
"Tempat tujuannya adalah Thay-liang-san di utara
Sedjiang," sahut Kongsun Hong. "Thay-liang-san adalah
tempat pangkalan pasukan Tiok Siang-hu. Guru besar ilmu
silat Tiok Siang-hu tentu sudah pernah kau dengar bukan"'
"Ya, pernah kudengar dari cerita Kim Tiok-liu," Lam-sing
mengangguk. "Kabarnya Tiok-lotjianpwe ini dan Suheng Tiokliu,
yaitu Kang Hay-thian, adalah teman baik, ilmu sikunya
katanya tidak di bawah Kang-tayhiap."
"Dan Tiok Siang-hu punya seorang anak perempuan,
namanya Tiok Djing-hoa," tutur Kongsun Hong. "Tahun yang
lalu aku dan anak perempuanku bertamu ke rumahnya,
rupanya kedua anak perempuan itu satu sama lain sangat
cocok seperti saudara sekandung. Ketika Tiok Siang-hu
terjebak oleh pasukan ke-rajaan sehingga terpaksa
meninggalkan kota Sedjiang serta mundur ke Thay-liang-san,
lalu terputus kabar berita mereka. Anak perempuanku rada
kuatir akan keadaan Tiok Djing-hoa. Syukur baru-baru ini
diterima berita, katanya Djing-hoa akan menikah tahun depan,
kawin dengan murid Kang Hay-thian yang bernama Li Konghe."
"Benar, Tiok-liu juga pernah mengatakan padaku bahwa dia
punya murid keponakan bernama Li Kong-he adalah
keturunan pahlawan Li Bun-sing," kata Lam-sing dengan
girang. "Jika murid keponakannya permulaan tahun depan
akan kawin dengan puteri Tiok Siang-hu, pasti dia akan hadir
juga ke sana."
"Tapi sayang, aku tak bisa meninggalkan urusan Ang-enghwe,
apalagi situasi akhir-akhir ini rada goncang, aku harus
cepat pulang untuk memegang pimpinan sendiri, pesta
pernikahan mereka terpaksa aku tak sempat hadir," kata
Kongsun Hong. "Tapi anak perempuanku harus pergi ke sana,
sekarang menjadi kebetulan karena kalian berdua dapat
menemani dia ke sana. Le-laute, dia adalah budak liar yang
masih hijau, sepanjang jalan kuharap bantuanmu suka
mengawasi dia."
Begitulah mereka lantas berpisah, Kongsun Hong pulang ke
tempatnya, Kongsun Yan bersama Le Lam-sing dan Hong
Biau-siang menuju ke Sedjiang.
Luka di luar badan Le Lam-sing sudah sembuh, tapi luka di
dalam hati yang belum sembuh, maka sepanjang jalan ia
masih murung dan jarang bicara. Hong Biau-siang juga
murung lantaran perpecahan dengan ayahnya. Hanya
Kongsun Yan yang bersifat riang, sepanjang jalan ia banyak
bicara dan tertawa sehingga mengurangi kesepian mereka.
Tidak sampai sebulan mereka sudah melintasi propinsi
Kangsoh, Anhui dan Holam, mereka sudah memasuki wilayah
propinsi Siamsay. Sementara itu sudah menginjak bulan
kesembilan, sudah pertengahan musim rontok.
Daerah Siamsay lebih banyak jalan pegunungan, namun
Lam-sing sudah menyiapkan dua buah tenda, bila sukar
mendapatkan tempat pondokan, mereka lantas memasang
tenda dan berkemah di tengah perjalanan. Baiknya mereka
adalah dua perempuan dan seorang lelaki sehingga banyak
mengurangi kekikukan.
Suatu hari mereka sampai di bukit Tjhit-boan-nia dan harus
melintasi suatu lereng yang terjal. Tanpa terasa hari sudah
dekat magrib, Kongsun Yan melihat di depan sana ada sebuah
tanah rumput yang datar dengan bunga-bunga yang mekar
semerbak, pepohonan menghijau permai di sekelilingnya.
"Sungguh suatu tempat yang indah, meski hari belum
gelap, tapi biarlah kita bermalam di sini saja," kata Kongsun
Yan. Selesai memasang tenda, Kongsun Yan berkata, "Hongtjitji,
kau yang menanak nasi, aku akan pergi mencari laukpauk."
"Le-toako, boleh kau temani Kongsun-tjitji," ujar Biausiang.
"Tidak perlu, berburu adalah permamanku," sahut Kongsun
Yan. "Tapi dia pun tidak boleh menganggur, dia harus
membantu kau membuat api, mengambil air dan sebagainya.
Maha, dengan tugas-tugas ini sudah cukup membuatnya
sibuk." Tiada jalan lain, terpaksa Lam-sing tinggal bersama Hong
Biau-siang. Rupanya Kongsun Yan sengaja membiarkan Lam-sing dan
Biau-siang berkumpul lebih lama, meski dengan cepat ia
berhasil memburu dua ekor kelinci, tapi dia sengaja menunda
sampai hari sudah gelap barulah dia kembali. Sampai di dekat
tanah lapang itu, tiba-tiba terdengar suara alunan seruling
yang mengharukan.
Kiranya Le Lam-sing mempunyai kesukaan bermain musik,
dia mempunyai kecapi antik sudah diberikan kepada Kim Tiokliu,
sebagai gantinya beberapa hari yang lalu dia memotong
sebatang bambu dan dibuat sebuah seruling. Karena Kongsun
Yan yang ditunggu-tunggu masih belum nampak kembali,
dalam isengnya ia lantas membunyikan serulingnya itu.
Sejak mengetahui hubungan Kim Tiok-liu dengan Su Anging,
meski Lam-sing sudah mengambil keputusan akan
memutuskan rasa cintanya kepada Ang-ing, tapi cinta dapat
diputuskan, namun luka dalam hati sukar disembuhkan dalam
waktu singkat. Maka tanpa terasa isi hatinya yang hampa itu
disalurkan melalui suara serulingnya.
Mendengar suara serulingnya yang memilukan itu, Kongsun


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yan yang biasanya paling periang menjadi ikut terharu,
pikirnya, "Le-toako punya tekanan batin apa-apa, kalau tidak
tentu dia takkan pendiam sepanjang jalan. Suara serulingnya
ini benar-benar sangat merawan hati. Ai, buat apa Le-toako
mesti merana begini?"
Ia bersembunyi di balik pohon dan mendengarkan sekian
lamanya, ketika pandangannya dialihkan kepada Hong Biausiang,
tampak nona itu duduk membelakangi Le Lam-sing dan
sedang mengusap air mata dengan saputangan.
Tiba-tiba Kongsun Yan merasa seperti paham sesuatu, "Ya,
tentu mereka berdua sedang cekcok. Le-toako menyangka
Hong-tjitji tidak suka padanya, makanya berduka. Tapi apa
sebabnya Hong-tjitji menangis" Apakah dia tidak suka kepada
Le-toako" Atau karena Le-toako yang tidak memahami isi
hatinya sehingga dia marah padanya?"
Begitulah Kongsun Yan menganggap dirinya seperti orang
yang maha tahu, padahal ia tidak mengetahui bahwa tangisan
Hong Biau-siang itu adalah karena terharu oleh suara seruling
yang memilukan itu, sehingga teringat kepada Tjin Goan-ko.
Kongsun Yan berdehem dulu, lalu muncul dari tempat
persembunyiannya, katanya dengan tertawa, "Le-toako,
tiupan serulingmu ini kurang sedap didengar, coba lihat, kau
membikin Hong-tjitji menangis. Gantilah dengan satu lagu
yang enak didengar saja."
Cepat Biau-siang mengusap lagi air matanya, katanya, "Ah,
tidak, tiupan serulingnya justru sangat bagus. Mataku kelilipan,
aku tidak menangis."
Le Lam-sing menyimpan kembali serulingnya, katanya
dengan tersenyum getir, "Aku tidak sanggup memainkan lagu
yang enak didengar."
"Sudahlah, tidak mau meniup lagi juga tak apa, lekas bantu
aku memanggang kelinci saja," katanya Kongsun Yan.
Selesai makan malam, Lam-sing masuk dulu ke kemahnya
untuk istirahat. Kongsun Yan berkata kepada Hong Biau-siang,
"Hong-tjitji, tempat ini sungguh sangat indah, cahaya bulan
begini terang pula. Marilah kita pergi memetik bunga, tentu
kau belum mengantuk bukan?"
"Baiklah, memangnya aku belum mengantuk," sahut Biausiang.
Sesudah agak jauh dari kemah mereka, tiba-tiba Kongsun
Yan bertanya, "Hong-tjitji, menurut pandanganmu, bagaimana
pribadi Le-toako ini?"
Biau-siang menjadi salah sangka akan maksud Kongsun
Yan, diam-diam ia geli sendiri, "Eh. kiranya anak dara ini
sudah mulai ada main." Segera ia menjawab, "Ya, Le-toako
serba pintar, sudah tentu tidak jelek."
Kongsun Yan mengikik tawa, katanya, "Baiklah, akhirnya
kau bicara terus terang. Besok akan kuberitahukan pada Letoako
agar dia senang."
Hong Biau-siang menjadi melengak malah, katanya, "Apa
maksudmu ini?"
"Ah, jangan pura-pura lagi, Hong-tjitji," kata Kongsun Yan.
"Kalian berdua lagi purikan, memangnya kau sangka aku tidak
tahu" Ai, Hong-tjitji, jika kalian sudah suka sama suka, kenapa
mesti berlagak pilon" Selama ini aku telah mengikuti sikap
kalian, kulihat Le-toako selalu masgul, tapi bila kau pernah
gembira pula" Buat apa mesti begini?"
Baru sekarang Biau-siang tahu apa arti kata-kata Kongsun
Yan tadi, kiranya nona itu telah salah paham, ia menjadi geli,
sahutnya dengan tertawa, "Kau mengikuti sikap kami, tapi
duga-anmu salah sama sekali."
"Apa" Memangnya kau tidak suka pada Le-toako."
Pikir Biau-siang, "Memangnya Le-toako belum punya pacar,
kenapa aku tidak merangkap perjodohan mereka ini" Kongsun
Yan telah salah paham, pantasnya kuceritakan isi hatiku
padanya." Maka dengan tertawa ia menjawab, "Kau
bermaksud menjadi comblang bagiku bukan" Haha aku justru
hendak menjadi comblang bagimu!"
Kongsun Yan berbalik melengak, katanya pula, "Aku bicara
sungguh-sungguh dengan kau, kenapa kau bergurau dengan
aku"' "Aku pun bicara secara sungguh-sungguh," sahut Biausiang.
"Bukankah kau pun setuju bahwa pribadi Le-toako
tidaklah jelek" Maka dari itu aku tidak perlu kau menjadi
comblangku, sebaliknya aku perlu menjadi comblangmu."
Kongsun Yan menjadi tidak senang, katanya, "Apa artinya
kata-katamu ini" Mana bisa aku merebut orang yang kau
sukai?" "Kau salah sama sekali," ujar Biau-siang dengan tertawa.
"Apa" Jadi kau tidak suka padanya?" Kongsun Yan
menegas lagi. "Aku menghormati Le-toako, hormat tidak sama dengan
suka sama suka sebagaimana hubungan antara dua mudamudi.
Sekarang kau paham tidak?" tanya Biau-siang.
Baru sekarang Kongsun Yan tahu duduknya perkara, "O,
kiranya kau sudah mempunyai pacar lain?"
Wajah Biau-siang menjadi merah, katanya dengan lirih,
"Makanya kau bilang kau tidak perlu sibuk bagiku. Comblang
yang kau maksudkan sudah lama ada orang yang
melakukannya."
"Kenapa tidak kau katakan dulu-dulu," seru Kongsun Yan
girang. "Siapakah pacarmu?"
"Tjin Goan-ko dari Bu-tong-pay."
"Tjin Goan-ko" Ehm, nama ini seperti pernah kudengar."
Tjin Goan-ko adalah tokoh muda Bu-tong-pay. maka Biausiang
tidak heran jika Kongsun Yan pernah mendengar
namanya sehingga dia tidak bertanya lebih jauh.
Sebaliknya Kongsun Yan menerocos tanya lagi. Biau-siang
juga tidak menutupi lagi persoalannya, segera ia menceritakan
perkenalannya dengan Goan-ko dahulu.
"O, kiranya kau merasa kesal lantaran tidak mendapat
kabar berita Goan-ko?" ujar Kongsun Yan dengan tertawa.
Sampai di sini tiba-tiba ia berseru, "Aha, ingatlah akui"
"Kau ingat apa" Kenapa berteriak segala?" tanya Biau-siang
heran. "Bukankah ketua Bu-tong-pay Lui Tjin-tju mempunyai
seorang murid she Tjin?" tanya Kongsun Yan. "Betul."
"Tentu dia itu Tjin Goa-ko adanya. Dahulu waktu ayah
mendengar urusan itu juga pernah menyebut nama Tjin Goanko,
pantas aku seperti pernah mendengar namanya, hanya
seketika aku tidak ingat saja."
"He, kau mengetahui dimana beradanya Goan-ko" Urusan
tentang apalagi?" tanya Biau-siang cemas-cemas girang.
"Dalam waktu tiga hari, aku tanggung kau akan dapat
berjumpa dengan Goan-ko," sahut Kongsun Yan. "He, kenapa
kau" Saking senangnya kau menjadi linglung."
Hampir Biau-siang tidak percaya pada telinganya sendiri,
selang sejenak baru tercetus dari mulutnya, "Sungguhkah?"
"Sudah tentu sungguh, buat apa aku berdusta. Sementara
ini bersabar dulu, dengar ceritaku ini. Di sebelah selatan
Pokeh, di kaki bukit Tjin-nia ada sebuah kampung yang
disebut Tjui-in-tjeng. Pemilik perkampungan itu In Liong
namanya, cukup terkenal juga di dunia Kangouw. Apa kau
kenal dia?"
"Aku jarang berkelana di Kangouw, sesungguhnya
pengalamanku sangat cetek sehingga tidak tahu menahu
tentang Tjui-in-tjeng segala. Menurut ceritamu ini, janganjangan
Tjin Goan-ko sekarang berada di perkampungan itu?"
"Benar."
"Mengapa dia bisa berada di sana?"
"Di bukit Tjin-nia sana ada segerombolan bandit,
pemimpinnya bernama Lo Tay-kui yang bersenjatakan golok
tebal. Dia bertiga saudara angkat semuanya punya
kepandaian tinggi. In Liong mempunyai seorang anak
perempuan bernama In Tiong-yan, namanya juga pakai Yan
seperti diriku."
"Cantik, cantik sekali," sambung Kongsun Yan dengan pelahan-
lahan. "Haha, agaknya ada orang yang penujui dia."
Biau-siang rada kuatir, tanyanya cepat, "Siapa yang penujui
dia?" Kongsun Yan tertawa, katanya, "Kau jangan kuatir, pasti
bukan Tjin-kongtjumu itu, tapi adalah kepada bandit di atas
bukit Tjin-nia itu. Lo Tay-kui tidak rela, tiga hari kemudian dia
mengirim sepucuk surat dan menyatakan akan memilih hari
baik buat mengambil pengantin perempuan. Untuk
menghadapi kemungkinan itu, terpaksa Tjui-in-tjeng minta
bala bantuan kepada kawan-kawan di berbagai tempat."
"Kebetulan waktu itu seorang Hiangtju dari Ang-eng-hwe
kami bernama Tjiok Hian juga berada di kota Pokeh, ketika
mengetahui kesulitan In-tjengtju itu, bersama seorang
temannya di kota itu, mereka lantas pergi ke sana untuk
membantu. Menurut cerita Tjiok Hian, katanya waktu Lo Taykui
bersama gerombolannya datang merebut pengantin
perempuan telah terjadi pertempuran yang cukup sengit.
Karena jumlah kawanan bandit itu lebih banyak, semula
keadaan tidak menguntungkan pihak Tjui-in-tjeng, untung
pada saat gawat itu mendapat bantuan seorang ksatria muda.
Dengan gagah berani pemuda itu menempur Lo Tay-kui
sehingga terluka parah, tapi akhirnya kepala bandit itu-pun
terkena tusukan pedangnya hingga binasa."
Biau-siang sudah dapat menduga beberapa bagian, cepat ia
tanya, "Pemuda itu..."
"Ialah jantung hatimu Tjih Goan-ko itu," sahut Kongsun
Yan. "Ketua Bu-tong-pay Lui Tjin-tju adalah kawan karib Intjengtju,
meski dia tidak mendapat permintaan bantuan dari
In Liong, tapi demi mendengar kabar itu ia lantas mengutus
murid kesayangannya untuk membantunya. Tjiok Hian tidak
mengenal Goan-ko, hanya waktu itu ia mendengar orang
sama menyebut Tjin-siauhiap padanya. Sepulangnya di
rumah, Tjiok Hian melaporkan kejadian itu kepada ayah,
ayahku bilang murid Bu-tong-pay itu tentu Tjin Goan-ko
adanya. Hong-tjitji, jarak Tjui-in-tjeng itu hanya tiga hari
perjalanan dari sini, bukankah dalam waktu itu pula kau akan
dapat berjumpa dengan orang yang senantiasa kau
kenangkan itu?"
Di samping girang, terasa kuatir pula Biau-siang, cepat ia
bertanya lagi, "Kau bilang Goan-ko terluka parah,
bagaimanakah keadaannya?"
"Janganlah kuatir, meski tidak ringan lukanya, tapi tidak
membahayakan jiwanya. Di Tjui-in-tjeng tidak kekurangan
obat luka yang mustajab."
"Jadi sementara ini Goan-ko masih merawat lukanya di
Tjui-in-tjeng" Kapan terjadinya peristiwa itu?"
"Kira-kira lima-enam bulan yang telah lalu. Menurut cerita
Tjiok Hian, keadaan Tjin Goan-ko tidak berbahaya, hanya
terlalu banyak mengeluarkan darah sehingga perlu dirawat
cukup lama. Seriba kita di sana nanti mungkin keadaannya
sudah sehat kembali, kau pasti akan dapat bertemu dengan
dia." "Ya, semoga dia sudah baik," kata Biau-siang dengan
perasaan lega. Tiba-tiba dilihatnya Kongsun Yan seperti
sedang mengenangkan sesuatu, tanyanya pula, "Entji Yan,
agaknya kau ingin bicara apa-apa kepadaku bukan?"
"O, tidak apa-apa, kupikir orang-orang Tjui-ing-tjeng tentu
akan melayani Goan-ko dengan baik atas bantuannya," jawab
Kongsun Yan. Padahal Kongsun Yan memang benar-benar sedang
memikirkan suatu soal lain yang mungkin terjadi. Soalnya
menurut desas-desus orang-orang Tjui-in-tjeng yang didengar
oleh Tjiok Hian, katanya karena merasa berhutang budi, maka
In Liong ada maksud menjodohkan anak perempuannya
kepada Goan-ko. Sudah tentu Kongsun Yan tidak dapat
memberitahukan kabar ini kepada Biau-siang.
Begitulah besok paginya Kongsun Yan menyampaikan juga
kepada Lam-sing tentang maksud mereka hendak menuju ke
Tjui-in-tjeng. Lam-sing ikut bergirang dan mengucapkan
selamat kepada Hong Biau-siang karena dalam waktu singkat
akan dapat bertemu dengan sang kekasih. Keruan muka Biausiang
menjadi merah, tapi di dalam had sangat senang.
Petang hari kedua mereka sudah sampai di Liong-koan,
Tjui-in-tjeng terletak di kaki bukit Tjin-nia. Dari Liong-koan
sudah nampak jelas lereng bukit Tjin-nia.
"Malam ini kita menginap di dalam kota saja, besok siang
kita dapat tiba di Tjui-in-tjeng, kukira nona Hong takkan
terburu-buru menempuh perjalanan malam bukan?" ujar Lamsing.
Muka Biau-siang menjadi merah, sahurnya, "Ah, Le-toako
suka bergurau saja, memang kita lebih baik tiba di sana pada
siang hari."
"Le-toako apakah kau memperhatikan sesuatu?" tiba-tiba
Kongsun Yan bertanya.
"Apakah kau maksudkan orang-orang yang kita lihat
sepanjang jalan?" sahut Lam-sing.
Sepanjang jalan memang banyak mereka temukan berlalulalangnya
rombongan orang bersenjata sekali pandang saja
dapat diketahui adalah orang-orang Kangouw semua.
"Ya, jalanan ini adalah jalan pegunungan, pantasnya jarang
dilalui orang. Entah mengapa terdapat sekian banyak orang
Kangouw yang lewat di sini" Apa barangkali di sekitar Tjin-nia
sini ada perkumpulan apa-apa yang sedang mengadakan
pertemuan"'* kata Kongsun Yan.
"Setiba di Tjui-in-tjeng kita dapat bertanya pada In-tjengtju,"
ujar Lam-sing. "Bukan maksudku mencari perkara orang lain, aku cuma
merasa heran," kata Kongsun Yan.
Tengah bicara, kembali ada dua penunggang kuda
mendatangi lagi. Sesudah dekat, seorang diantaranya tiba-tiba
berseru, "He, bukankah ini nona Kongsun" Apakah kau masih
kenal padaku, nona Kongsun?"
Begitu bicara, kedua penunggang kuda itu lantas melompat
turun dan memberi hormat kepada Kongsun Yan.
Kongsun Yan sendiri tertegun, katanya, "Kau ini Li-tjetju
dari Him-ma-djwan bukan?"
"Ya, akulah Li Hou-dji adanya," sahut orang tadi. "Dan ini
adalah kawanku Thio-tjotju, Thio Peng-hui dari Tiau-hou-kan."
Kiranya Li Hou-dji pernah bertamu ke Ang-eng-hwe sebagai
penghormatan kepada Kongsun Hong dan Kongsun Yan yang
menyuguhkan teh padanya.
"Eh, hendak kemanakah kalian ini, tampaknya terburuburu?"
tanya Kongsun Yan.
"Kami hendak menghadiri pesta pernikahan, besok harus
sampai di Tjui-in-tjeng?" sahut Li Hou-dji.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kongsun Yan terkejut. "Pesta penikahan siapa?" tanyanya.
"In-tjengtju dari Tjui-in-tjeng mengawinkan puterinya
besok, tentu kau tahu In-tjengtju bukan" Tjiok-hiangtju kalian
tempo hari juga pernah datang ke sana."
"Ya, pernah kudengar ceritanya, katanya putri In-tjengtju
itu bernama In Tiong-yan bukan?"
"Benar, besok adalah hari nikahnya," sahut Li Hou-dji.
"Siapakah menantu In-tjengtju?" tanya Kongsun Yan.
"Kabarnya seorang ksatria muda she Tjin," tutur Li Hou-dji.
Jawaban ini seakan-akan bunyi halilintar di siang bolong,
bukan saja wajah Hong Biau-siang seketika pucat pasi, bahkan
Kongsun Yan juga menegak alis, tanpa pikir ia terus bertanya,
"Tjin siapa?"
"Entah, aku hanya tahu dia she Tjin, namanya tidak tahu,"
sahut Li Hou-dji yang seketika rada tercengang melihat
perubahan muka Kongsun Yan.
Thio Peng-hui yang diperkenalkan itu rupanya lebih lugu,
dia tidak tahu akan perubahan air muka Kongsun Yan, dia ikut
berkata, "Kabarnya pemuda she Tjin itu pernah memberikan
bantuan kepada Tjui-in-tjeng dalam perlawanan terhadap
kawanan bandit Tjin-nia, konon kepala bandit Lo Tay-kui
terbunuh oleh pemuda she Tjin itu. Nona Kongsun hendak
kemana sekarang" Apakah kalian tidak hadir juga dalam pesta
pernikahan putri In-tjengtju besok?"
"Hm, tentu aku akan ke sana, tidak perlu kau mengajak,"
jawab Kongsun Yan setengah menjengek.
Keruan Thio Peng-hui merasa bingung karena mendapat
jawaban yang kaku. Li Hou-dji tahu gelagat, cepat ia menyela,
"Baiklah, jika nona Kongsun ada urusan lain, biarlah kami
berangkat lebih dulu." Segera mereka mohon diri dan
berangkat. Kongsun Yan sangat mendongkol, katanya kepada Biausiang,
"Hong-tjitji, kau jangan sedih, marilah kita pergi ke Tjuiin-
tjeng untuk membikin perhitungan dengan Tjin Goan-ko
itu." Perasaan Biau-siang seperti diiris-iris, dengan menahan air
mata ia menjawab, "Untuk apalagi aku pergi ke Tjui-in-tjeng?"
"Cari dan tanya dia, laki-laki yang ingkar janji demikian,
andaikan kau mengampuni dia tetapi aku tidak," kata Kongsun
Yan. Air mata Biau-siang bercucuran, katanya, "Entji Yan, jangan
kau berbuat demikian, anggap saja nasibku yang buruk dan
bukan salah Goan-ko. Memangnya kami juga belum ada ikatan
janji apa-apa, mana boleh melarang dia memilih jodoh lain"
Kumohon engkau memikirkan diriku, janganlah ribut ke sana."
Kongsun Yan masih penasaran, katanya, "Biarpun tiada
ikatan janji apa-apa juga dia mesti tahu akan hatimu
padanya." "Banyak sekali hal-hal yang mengecewakan di dunia ini,
perubahan dalam urusan percintaan lebih-lebih sering di luar
dugaan orang," ujar Lam-sing dengan menghela napas. "Soal
jodoh tidak dapat dipaksakan, ucapan nona Hong ada
benarnya, yang sudah biarlah sudah."
"Jadi menurut pendapatmu urusan ini tidak perlu kita ikut
campur?" tanya Kongsun Yan.
"Kukira urusan ini sukar diselesaikan oleh orang luar,
bahkan kita masih ada urusan lain yang lebih penting," kata
Lam-sing. "Kau maksudkan urusan kepergian kita ke Sedjiang ini?"
tanya Kongsun Yan.
"Benar," kata Lam-sing. "Perjuangan di Sedjiang sana
bukankah jauh lebih penting daripada urusan ini" Hal-hal yang
mengecewakan toh sukar ditarik kembali, maka sebaiknya
dikesampingkan dan jangan dipikir lagi."
Karena merasakan senasib, maka ucapan Lam-sing ini
sebenarnya sengaja diperdengarkan kepada Hong Biau-siang.
Biau-siang manggut-manggut, katanya, "Ya, kata-kata Letoako
memang tepat."
"Jika demikian apa malam ini kita akan menginap di dalam
kota?" tanya Kongsun Yan.
"Sudah sampai di sini, masakah kita bermalam lagi di
tempat terbuka," ujar Lam-sing tertawa. "Dari Liong-koan
besok kita langsung menuju ke Sedjiang dan tidak perlu
mampir lagi ke Tjui-in-tjeng."
"Kau tidak mau ikut campur urusan ini, aku justru ingin ikut
campur. Biarlah nanti akan kulakukan menurut keadaan bila
sudah berada di Liong-koan," demikian dalam hati Kongsun
Yan mengambil keputusan sendiri.
Begitulah mereka lantas memasuki kota dan mendapatkan
sebuah hotel. Sebelum mereka tiba di hotel itu sudah ada dua
orang tamu lebih dulu, kedua tamu itu adalah laki-laki yang
kekar dan gagah, tampaknya juga orang Kangouw.
Ketika Lam-sing bertiga masuk hotel, kebetulan terdengar
tamu yang lebih muda sedang bertanya pada pengurus hotel,
"Jalan mana yang menuju ke Tjui-in-tjeng" Harap besok pagipagi
kami dibangunkan, sebelum lohor kami harus sampai di
sana." "Jangan kuatir, tuan tamu, mana bisa kami membikin kalian
terlambat menghadiri pesta kawin di Tjui-in-tjeng," sahut
pengurus hotel. "Jalan ke Tjui-in-tjeng harus menuju ke
selatan, setiba di kaki bukit lalu belok ke timur, di sana ada
sebuah perkampungan, itulah Tjui-in-tjeng adanya."
Setelah kedua tamu itu masuk kamarnya sendiri, Kongsun
Yan juga bertanya pada pengurus hotel, "Apakah jauh letak
Tjui-in-tjeng itu?"
"Jauh sih tidak, kurang lebih SO-an li saja," kata pengurus
hotel. "Jika berangkat pagi, sebelum lohor tentu sudah sampai
di sana. Apakah nona juga akan ke sana?"
"O, tidak, kami bertanya karena sering mendengar nama
In-tjengtju yang tersohor itu." kata Kongsun Yan.
Pada saat itulah ada seorang tamu melewati pintu hotel,
karena Lam-sing bertiga asyik berbicara dengan pengurus
hotel sehingga mereka tidak melihat orang itu. Dengan air
muka heran dan kejut orang itu lantas buru-buru melangkah
pergi. Kongsun Yan mengira orang biasa saja yang lewat,
maka tidak menaruh perhatian walaupun kelakuan orang rada
aneh. Mereka menyewa dua kamar, Lam-sing tinggal satu kamar
sendiri dan kedua nona bersama satu kamar.
Sesudah berada di dalam kamar, Biau-siang menutup pintu
kamar dan berkata dengan suara pelahan, "Entji Yan,
janganlah kau mencari gara-gara ya."
"Jangan kuatir, apa kau anggap aku seperti anak kecil?"
sahut Kongsun Yan tertawa, tapi di dalam batin ia berpikir
lain. Selesai makan malam, lantaran besok pagi-pagi harus
berangkat, pagi-pagi Lam-sing sudah pergi tidur. Sebaliknya
Hong Biau-siang yang berhati risau, sukar baginya untuk
puias. Sampai tengah malam, tiba-tiba Kongsun Yan
menyentuhnya dan berbisik, "Hong-tjitji, jangan dipikir lagi,
tidurlah!"
"Baiklah, tidurlah kau," sahut Biau-siang
"Asal kau sudah tidur, barulah aku merasa tenteram," kata
Kongsun Yan. Mendadak ia menutuk Hiat-to penidur Hong
Biau-siang, sudah barang tentu Biau-siang tidak menduga
akan tindakan Kongsun Yan ini, keruan ia tidak bisa berkutik.
"Jangan marah padaku, Hong-tjitji, kalau aku sudah pulang
besok pagi mungkin kau malah akan berterima kasih padaku,"
kata Kongsun Yan dengan tertawa. Yang dia gunakan hanya
tutukan ringan saja, dua tiga jam kemudian Hiat-to yang
tertutuk itu akan punah dengan sendirinya.
Begitulah Kongsun Yan lantas berganti pakaian malam, ia
membuka jendela dan melompat keluar. Karena Ginkangnya
memang tinggi sehingga Le Lam-sing yang tidur di kamar
sebelah sama sekali tidak tahu.
Dengan Ginkangnya, jarak 50-an li dapat ditempuh
Kongsun Yan dalam waktu satu jam. Dilihatnya rumah
keluarga In dipajang dengan megah dan meriah sebagaimana
lazimnya orang hendak mengadakan pesta, cuma waktunya
sudah lewat tengah malam, maka suasana sudah sepi. Pintu
gedung utama sudah tutup dan tiada penjaga, keadaan juga
sunyi senyap. Menurut jalan pikiran Kongsun Yan, urusan ini sebaiknya
mencari Tjin Goan-ko sendiri untuk dibicarakan langsung
padanya, tetapi mendadak teringat bahwa dirinya belum kenal
Tjin Goan-ko, cara bagaimana pemuda itu dapat dicari"
Namun sudah telanjur berada di tempat tujuan, terpaksa ia
masuk dulu ke situ baru mencari akal lagi. Tidak terduga, baru
saja ia melompat ke dalam pekarangan, seketika ia disambut
oleh bentakan seseorang, "Siapa itu?"
Serentak dari semak-semak pohon muncul beberapa orang,
malahan ada di antaranya terus menimpukkan senjata rahasia
dan seorang di antaranya terus membacok dengan golok.
Cepat Kongsun Yan mengebaskan lengan bajunya sehingga
tiga batang Tau-kut-ting kena disampuk jatuh. Berbareng itu
ia pun sudah melolos pedang terus memutar balik dan tepat
bacokan golok lawan tertangkis, sekali puntir pula Kongsun
Yan membikin golok lawan itu mencelat ke udara. Menyusul ia
lantas berseru, "Kedatanganku ini bukan untuk berkelahi!"
"Eh, kiranya seorang perempuan! Tadinya kukira sisa-sisa
gerombolan Tjin-nia!" demikian beramai orang-orang itu
berseru. Seorang di antaranya malah menambahkan dengan
setengah menjengek, "Memangnya sisa-sisa gerombolan tidak
mungkin ada perempuannya?"
Kongsun Yan menjadi gusar, dampratnya, "Ngaco-belo,
sembarangan omong! Bandit-bandit Tjin-nia itu dijadikan
jongosku saja masih tidak sesuai, tapi kalian berani
mengatakan aku adalah gerombolan mereka" Hm, mestinya
aku tidak mau berkelahi, tapi kalau perlu akan kulayani
kalian." Orang-orang itu adalah murid In Liong semua, mereka
terkejut demi mendengar nada Kongsun Yan yang garang itu.
Murid In Liong yang kedua bernama Lim Kang, segera ia
bertanya, "Jika demikian, apa dapat kau memberitahu maksud
kedatanganmu?"
Kongsun Yan pikir urusan sudah telanjur begini, betapapun
harus bicara secara terus terang, segera ia menjawab,
"Panggilkan pengantin laki-lakinya, aku mau bicara dengan
dia." Keruan orang-orang itu terheran-heran, Lim Kang bertanya
pula, "Calon pengantin sudah tidur semua, buat apa kau
hendak bertemu dengan dia?"
"Sudah tentu aku ada urusan penting, sudah tidur juga
harus kau bangunkan," sahut Kongsun Yan.
"Baiklah, silakan nona menunggu sebentar, akan kupanggilkan
dia," kata Lim Kang. Tapi baru saja ia hendak pergi
melapor kepada gurunya, ternyata In Liong sudah keluar
karena mendengar suara ribut-ribut. Ia menjadi heran juga
mendengar calon menantunya dicari oleh seorang perempuan
muda lagi cantik.
Melihat munculnya seorang tua serta sikap Lim Kang dan
lain-lain yang menghormat, Kongsun Yun menduga tentu
sedang berhadapan dengan tuan rumah, segera ia menyapa.
"Apakah In-tjengtju adanya" Maafkan Wanpwe membikin ribut
di sini secara sembrono."
In Liong mengamat-amati Kongsun Yan sejenak, lalu
berkata, "Benar, akulah In Liong. Numpang tanya siapakah
nama nona yang mulia?"
"Wanpwe Kongsun Yan, ayahku Kongsun Hong dari Angeng-
hwe, mungkin In-tjengtju sudah kenal?"
In Liong terkejut, katanya, "O, kiranya ayahmu adalah
Kongsun-totju" Sudah lama namanya sangat aku kagumi, pula
pernah mendapat bantuan beliau, maafkan atas kelakuan
murid-muridku yang kasar tadi atas kedatangan nona."
"Ah, memangnya aku yang lancang masuk kemari tanpa
permisi, soalnya karena ada urusan penting, maka Wanpwe
tidak memikirkan adat istiadat lagi," kata Kongsun Yan.
In Liong menjadi sangsi, tanyanya, "Urusan penting apakah
yang mendorong nona datang kemari, sudilah menerangkan?"
"Kabarnya putrimu akan kawin besok, benarkah?" tanya
Kongsun Yan. "Ya," sahut In Liong.
"Untuk urusan inilah kedatanganku. Harap panggilkan
menantumu, akan kubicarakan berhadapan dengan dia dan
engkau juga akan jelas duduknya perkara."
Sampai di sini puteri dan menantu In Liong juga telah
muncul karena mendengar suara ribut-ribut tadi. Segera In
Liong memanggil mereka, "Kalian kemari, nona Kongsun ini
hendak bertemu dengan kalian."
"Apakah ini Entji In Tiong-yan adanya" Baiklah, kita dapat
bicara bertiga secara terang-terangan," kata Kongsun Yan.
In Tiong-yan menjadi curiga dan cemburu seketika,
sahutnya dengan dingin, "Untuk apa kau mencari dia?"
"Aku ingin menasihati kau, lebih baik jangan menikahi dia,
sebab dia adalah laki-laki yang suka ingkar janji," sahut
Kongsun Yan. Sungguh gusar In Tiong-yan tak terkatakan, dengan merah
padam ia menjengek kepada bakal suaminya, "Bagus sekali,
Toasuko, kiranya kau sudah punya kekasih, tapi kau
mendustai aku selama ini."
Calon pengantin laki-laki menjadi gelisah dan bingung,
cepat ia buka suara, "Nona Kongsun, apa artinya ucapanmu
tadi" Selamanya aku tidak kenal kau!"
Kongsun Yan melenggak, tapi lantas berkata dengan
kurang senang, "Jangan omong seenakmu, sudah tentu
selamanya aku tiada sangkut-paut dengan kau. Yang
kumaksudkan adalah Hong Biau-siang. Apakah kau berani
bilang selamanya juga tidak kenal dia?"
"Hong Biau-siang?" calon pengantin laki-laki itu tampak
mengerut dahi dan menegas. "Siapa dia" Namanya saja baru
kudengar sekarang!"
"Bagus caramu menyangkal benar-benar licin," kata
Kongsun Yan dengan marah. "Coba katakan, kau Tjin Goan-ko
bukan?" Pengantin laki-laki itu tampak bingung, katanya kemudian,
"O, tahulah aku sekarang. Kiranya yang hendak kau cari
adalah Tjin Goan-ko bukan?"
"Apakah kau sendiri bukan Tjin Goan-ko?" Kongsun Yan
menegas.

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sih memang she Tjin, tapi Goan-ko bukankah
namaku," sahut pengantin laki-laki dengan tertawa.
Segera In Liong menyambung, "Dia adalah muridku Tjin
Siau-yang. Goan-ko adalah murid kesayangan ketua Bu-tongpay
Lui Tjin-tju. Nona Kongsun, yang hendak kau cari
sebenarnya siapa?"
Muka Kongsun Yan menjadi merah, baru sekarang ia sadar
telah salah paham dan membikin lelucon yang menertawakan.
Dalam pada itu beberapa tamu yang menginap di rumah In
Liong juga telah datang beramai-ramai, karena kualir tuan
rumah sedang menghadapi musuh. Di antara tamu-tamu itu
terdapat pula Li Hou-dji dan Thio Peng-hui yang bertemu
dengan Kongsun Yan di tengah jalan siang tadi.
Lantaran malu, tanpa terasa Kongsun Yan lantas
melampiaskan amarahnya terhadap Li Hou-dji berdua,
omelnya, "Gara-gara kecerobohan kalian, mengapa kalian
mengatakan calon menantu In-loenghiong adalah Tjin Goanko?"
"Kukira nona Kongsun yang salah dengar," sahut Li Hou-dji
dengan menahan tawa. "Aku mengatakan calon pengantin
laki-laki she Tjin, tapi tidak mengatakan namanya Goan-ko."
Thio Peng-hui berwatak jujur, segera ia meminta maaf dan
berkata, "Akulah yang salah. Tadinya aku pun seperti nona,
menyangka mereka berdua adalah orang yang sama."
Segera In Liong memberi penjelasan, "Siau-yang adalah
muridku yang sulung, selama dua tahun ini ia lebih sering
berkelana di luaran. Permulaan tahun ini ketika kawanan
bandit Tjin-nia mencari perkara ke sini, Siau-yang sendiri tidak
berada di rumah, dia baru pulang dari Siau-kim-djwan bulan
yang lalu. Sudah tentu muridku ini tak bisa dibandingkan
dengan Tjin siauhiap dari Bu-tong-pay, tapi banyak temanteman
yang tidak tahu duduknya perkara seringkah keliru
mengira mereka berdua adalah orang yang sama."
Tjin Siau-yang yang mendengar persoalan demikian tentu
saja merasa kikuk, syukur In Tiong-yan lantas membisikinya,
"Orang lain mungkin hanya kenal Tjin-siauhiap dari Bu-tongpay,
tapi bagiku hanya ada kau." Lega dan besarlah hati Tjin
Siau-yang demi mendengar ucapan bakal istrinya itu.
Sebenarnya semula In Liong memang ada maksud
menjodohkan putrinya kepada Tjin Goan-ko, tapi In Tiong-yan
sendiri sudah ada ikatan janji dengan Toasukonya, maka
waktu mengetahui maksud ayahnya, segera ia mendahului
membeberkan isi hatinya. Sebab itulah In Liong lantas
membatalkan niatnya.
Begitulah Kongsun Yan menjadi malu sendiri setelah jelas
duduknya perkara, ia lantas minta maaf kepada kedua calon
mempelai. "Sedikit salah paham saja bukan soal, kedatangan nona ini
kebetulan sekali, harap tinggal sampai besok untuk sekadar
ikut minum secawan arak," kata In Liong tertawa.
"Apakah Tjin Goan-ko masih berada di sini" Aku ingin minta
dia ikut pergi menemui Hong-tjitji, habis itu barulah kami ikut
menghadiri pesta In-loenghiong?" kata Kongsun Yan.
"Tjin-siauhiap memang masih tinggal di sini," sahut In
Liong. "Cuma hari ini dia ada urusan dan keluar, sampai saat
ini masih belum pulang."
"Ya, aneh juga, mengapa sampai saat ini Tjin-siauhiap
belum pulang, padahal besok dia harus menjadi pengiring
pengantin," sela Lim Kang.
"Baju apa yang dipakai oleh Tjin Goan-ko waktu keluar?"
tanya Kongsun Yan.
"Berjubah sutera biru," sahut Lim Kang.
"Ah, jika demikian mungkin sekali dia sudah melihat kami di
kota," seru Kongsun Yan. Dasar wataknya memang tidak
sabaran, habis bicara buru-buru ia mohon diri meninggalkan
Tjui-in-tjeng. Keruan In Liong dan lain-lain merasa bingung,
segera ia menyuruh beberapa muridnya menyusul ke kota
untuk melihat apa yang terjadi.
Dugaan Kongsun Yan memang benar. Orang yang pemah
hendak masuk hotel tempat mereka menginap itu memang
betul Tjin Goan-ko adanya. Waktu itu Goan-ko melihat Hong
Biau-siang berada bersama seorang pemuda, sebab itulah ia
urung memasuki hotel itu untuk menegurnya, tapi hatinya
menjadi bimbang setelah menyaksikan kejadian itu.
Goan-ko tidak tahu menahu tentang Kim Tiok-liu memaksa
Hong Tju-tjiau menjodohkan puterinya kepada Goan-ko, tapi
ada lagi seorang lain yang paling suka menjadi comblang
sudah menghubungi gurunya di Bu-tong-san tentang
perjodohannya itu. Orang itu adalah ketua Kay-pang Tiong
Tiang-thong. Mestinya Lui Tjin-tju tak setuju mengingat asal-usul Hong
Tju-tjiau yang tidak baik, tapi karena bujukan Tiong Tiangthong
yang menjamin akan cinta Hong Biau-siang kepada Tjin
Goan-ko serta pribadi si nona yang berbeda daripada ayahnya,
terpaksa Lui Tjin-tju tidak merintangi lagi walaupun di dalam
batin tetap tidak setuju.
Walaupun perjodohan itu belum tetap, tapi sedikitnya
Goan-ko sudah mengetahui akan hati Hong Biau-siang
kepadanya Selama dua tahun ini Goan-ko juga sangat ingin
tahu di-mana beradanya si nona sama sekali tak terduga
bahwa di kota pegunungan Liong-koan inilah ditemukan nona
yang dirindukannya didampingi seorang pemuda lain.
Sesudah menjauhi hotel itu, Goan-ko menjadi sangsi dan
penuh tanda tanya "Apakah dia sudah menikah" Kalau tidak,
mengapa bermalam di hotel dengan seorang pemuda" Tapi
mungkin mereka hanya bertemu secara kebetulan saja di hotel
itu?" Begitulah karena diliputi macam-macam pikiran itu, Tjin
Goan-ko menjadi tidak tahu kemana dia harus membuang
langkah. Ia coba memasuki sebuah tempat minum, ia duduk
terma-ngu-mangu sendirian, tanpa terasa hari sudah gelap.
Tiba-tiba ia mendapat suatu pikiran, "Buat apa aku mendugaduga
secara ngawur, kan lebih baik malam ini kupergi ke sana
untuk menyelidiki, jika mereka tinggal satu kamar, terang
mereka adalah suami istri."
Ia menunggu sampai tengah malam, lalu menuju ke hotel
tadi, setiba di sana kebetulan Kongsun Yan barus saja
meninggalkan hotel itu menuju ke Tjui-in-tjeng sehingga
keduanya tidak kepergok.
Baru saja keluar dari hutan situ, tiba-tiba cuaca berubah
dan dapatlah ia menemukan kamar Hong Biau-siang. Ia
mengintip ke dalam kamar, samar-samar dilihatnya Biau-siang
sedang tidur menghadap ke dalam. Hati Goan-ko merasa lega
setelah jelas mengenal yang tidur sendirian itu adalah Biausiang,
pikirnya "Kiranya dia dan pemuda itu belum menjadi
suami-istri." Lantaran girangnya, sedikit ayal gerak-geriknya
menerbitkan suara.
Le Lam-sing yang tidur di kamar sebelah segera mendengar
suara kresekan pelahan di luar situ. Sebagai seorang yang
berpengalaman, segera ia mengetahui kedatangan orang.
Cepat ia membuka jendela dan membentak dengan suara
tertahan, "Siapa itu?"
Keruan Goan-ko terkejut, maksud kedatangannya ini sudah
tentu tidak leluasa dijelaskan kepada orang lain, maka cepat ia
melarikan diri.
Larinya Goan-ko ini segera menimbulkan dugaan Lam-sing
akan maksud kedatangannya yang bertujuan buruk. Baru saja
ia hendak mengejar, tiba-tiba teringat olehnya "Celaka kenapa
Biau-siang dan Kongsun Yan tidak bersuara?"
Dengan rasa sangsi terpaksa Lam-sing memeriksa dulu ke
dalam kamar Hong Biau-siang. Ia mendorong pintu kamar dan
memanggil, "Nona Kongsun, nona Hong!"
Ia bertambah kuatir karena tidak mendapat jawaban, tanpa
pikir lagi ia lantas memasuki kamar nona-nona itu dan
menyalakan lampu. Dilihatnya hanya Hong Biau-siang seorang
saja yang tidur di atas ranjang.
Sebagai seorang ahli, sekali pandang Lam-sing lantas tahu
Hong Biau-siang dalam keadaan tertutuk Hiat-to tidurnya.
Cepat ia membuka Hiat-to si nona yang tertutuk itu dan
bertanya, "Apakah kau mendapat perlakuan tidak senonoh
oleh bangsat itu?"
Biau-riang kucek-kucek matanya yang masih sepat,
jawabnya bingung, "Bangsat apa" Eh, kemana perginya Entji
Yan?" Lam-sing merasa lega, ia tidak sempat bertanya lebih
banyak kepada Biau-siang, ia hanya menjawab, "Tunggu
sebentar akan kupergi membekuk bangsat tadi!" Ia menduga
Hong Biau-siang ditutuk musuh dan Kongsun Yan telah
menguber keluar.
Tadi waktu Le Lam-sing keluar dari kamarnya, segera
dikenalinya Goan-ko adalah pemuda yang mendampingi Biausiang
siang harinya, ia pikir sekalipun mereka belum menjadi
suami-istri tentu juga sudah menjadi kekasih.
Goan-ko punya Ginkang lebih rendah daripada Lam-sing,
tapi dia berlari lebih dulu sehingga untuk waktu singkat Lamsing
tidak dapat menyusulnya.
Kebetulan pada saat itu Kongsun Yan kembali dari Tjui-intjeng,
ketika melihat seorang laki-laki lari terbirit-birit
mendatangi, sepintas lalu Kongsun Yan mengenali seperti
pemuda yang pernah dilihatnya siang harinya, cepat ia
menegur, "He, siapa kau?"
Belum sempat ia bertindak apa-apa, dari belakang orang itu
terdengar suara Le Lam-sing berseru, "Cepat tangkap dia,
jangan sampai lolos, dia adalah penjahat cabul!"
Dalam batin Goan-ko mengeluh, tadinya dia dipergoki
sedang mengintip kamar Hong Biau-siang. Tengah malam
buta mengintip kamar wanita, pantas saja orang menyangka
dia hendak berbuat tidak senonoh. Untuk menjelaskan
persoalannya kepada mereka tentu juga sulit, mumpung Hong
Biau-siang belum ikut menyusul tiba, lebih baik cari jalan
meloloskan diri saja, demikian pikir Goan-ko.
Tak terduga Ginkang Kongsun Van sangat tinggi, begitu
Goan-ko putar haluan hendak kabur, tahu-tahu Kongsun Yan
sudah merintangi di depannya sambil membentak, "Berhenti!
Jawab dulu pertanyaanku!"
"Aku bukan penjahat, nona!" seru Goan-ko, ia bergerak ke
arah lain hendak kabur lagi.
"Bukan penjahat kenapa kau gugup dan ingin lari'?" kata
Kongsun Yan. "Bekuk dia dulu dan urusan belakang!" seru Le Lam-sing
sambil berlari mendatangi.
Segera Kongsun Yan mengejar maju lagi dan membentak,
"Siapa kau, lekas katakan, kalau tidak terpaksa aku pakai
kekerasan!" Berbareng jarinya terus menutuk ke punggung
lawan. Tiada jalan lain terpaksa Goan-ko memutar tangannya
balas mencengkeram ke belakang untuk menghindarkan
tutukan Kongsun Yan itu.
Usia Kongsun Yan masih muda, tapi dia adalah puteri tokoh
persilatan yang termashur, pengetahuannya luas, maka cukup
beberapa gebrak saja segera ia dapat mengenali gaya silat Butong-
pay yang dimainkan Tjin Goan-ko itu.
Sementara itu Le Lam-sing sudah menyusul tiba, serunya,
"Nona Kongsun serahkan dia padaku, akan kubekuk dia!"
"Nanti dulu," sahut Kongsun Yan, lalu ia bertanya pada
Goan-ko. "Apakah kau hendak lari pulang ke Tjui-in-tjeng?"
"Darimana kau tahu?" jawab Goan-ko terkejut.
"Jika demikian, apakah kau ini Tjin....." belum habis ucapan
Kongsun Yan, ternyata Hong Biau-siang menyusul tiba dengan
napas terengah-engah dan berseru dari jauh, "Sabar dulu,
entji Yan, dia, dia Tjin Goan-ko adanya!"
Sudah tentu Biau-siang tidak tahu apa yang terjadi,
disangkanya Kongsun Yan yang mencari perkara ke Tjuiin~
tjeng dan dari sana Goan-ko diajaknya berkelahi sampai di
sini. Lam-sing terkejut juga, katanya, "Apa" Dia inilah Tjin Goanko"
Jika demikian mengapa dia menutuk Hiat-tomu?"
Kongsun Yan tertawa, katanya, "Hiat-to entji Hong akulah
yang menutuknya."
Dengan wajah merah Goan-ko lantas memberi salam
hormat kepada Biau-siang, katanya, "Semoga kalian hidup
sampai hari tua bersama. Tadi aku tiada bermaksud jahat
kepadamu dan hanya ingin melihat mukamu saja Apakah aku
boleh pergi sekarang?"
"Apa maksudmu?" sahut Biau-siang bingung. "Kau sendiri
adalah orang suijungan Tjui-in-tjeng, aku yang harus
mendoakan kau dan nona In hidup bahagia sampai hari tua."
Mendadak Kongsun Yan bergelak tertawa, sudah tentu
Biau-siang dan Goan-ko menjadi bingung.
"Pengantinnya ternyata bukan dia!" sejenak kemudian
barulah Kongsun Yan dapat menerangkan. "Dari In-tjengtju
aku mendapat penjelasan bahwa yang menjadi pengantin
adalah murid yang sulung bernama Tjin Siau-yang. Hong-tjitji,
ini benar-benar salah paham yang maha besar, semuanya
gara-garaku."
Dengan heran Goan-ko bertanya, "Siapakah nona yang
terhormat" Selamanya kita tidak kenal mengapa kau pergi ke
Tjui-in-tjeng?"
"Aku bernama Kongsun Yan, teman baik Hong-tjitji," sahut
Kongsun Yan dengan tertawa. "Karena mengira kau dipungut
menantu oleh keluarga In, akulah yang ingin menanyai kau
mengapa kau mengingkari Hong-tjitji."
Goan-ko menjadi girang dan lega, pikirnya, "Kiranya dia
belum berubah, kalau tidak, masakah dia kuatir aku menjadi
menantu orang lain, tapi entah siapakah pemuda ini?"
Hong Biau-siang lantas memperkenalkan mereka, "Le-toako
ini adalah saudara angkat Kim-tayhiap. Berkat
pertolongannya, kalau tidak, tentu hari ini aku tidak dapat
bertemu lagi dengan kau."
"Kau cuma bicara sebagian saja, yang benar kau yang
menyelamatkan diriku lebih dulu, lalu yang menolong kau juga
bukan aku melainkan nona Kongsun Yan ini," ujar Lam-sing
tertawa. "Jangan kau puji diriku, aku hanya ingin ditemani Hongtjitji,
makanya aku mengajak dia, jadi aku tidak membantu dia
tapi untuk kepentinganku sendiri," kata Kongsun Yan. Lalu ia
pun menuturkan pertemuannya dengan Hong Biau-siang
tempo hari. Hong Biau-siang juga lantas bercerita
perkenalannya dengan Le Lam-sing.
Baru sekarang Goan-ko tahu akan duduknya perkara dan
salah pahamnya, cepat ia menghaturkan terma kasih kepada


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Le Lam-sing dan Kongsun Yan.
"Kami bertiga hendak pergi ke Sedjiang mencari Kim Tiokliu,
kau akan ikut ke sana tidak?" kata Kongsun Yan. Tiba-tiba
ia tertawa, lalu melanjutkan, "Ah, pertanyaanku ini agak
berlebihan. Hong-tjitji berada di sini, mana bisa kau tidak
ikut?" "Tapi sekali ini kau keliru, nona Kongsun Yan, sebab aku
mesti kembali ke Tjui-in-tjeng lagi," sahut Goan-ko dengan
tertawa riang. "Kau tidak mau pergi ke Sedjiang?" Kongsun Yan menegas.
"Besok aku masih harus menjadi pengiring pengantin?"
sahut Goan-ko. "O, kiranya demikian, kusangka kau takkan pergi ke
Sedjiang untuk selamanya," kata Kongsun Yan.
"Selewatnya besok tentu saja aku akan ke sana," sahut
Goan-ko dengan sungguh-sungguh sehingga giliran Kongsun
Yan tertawa. Ketika sedang berbicara, Lun Kang dan dua-tiga Sutenya
datang pula, maka beramai-ramai mereka lantas menuju ke
Tjui-in-tjeng. Esoknya sesudah pesta perkawinan usai, Le
Lam-sing, Kongsun Yan dan Hong Biau-siang ditambah Goanko
berempat lantas berangkat ke Sedjiang.
Pertunangan Goan-ko dan Biau-siang jelas sudah pasti,
meski mengalami banyak rintangan. Sudah tentu sepanjang
jalan tidak jarang nampak mereka bermesraan biarpun secara
halus. Sebaliknya adegan roman demikian makin membikin
masgul Le Lam-sing yang patah hati itu.
Kemurungan Lam-sing itu dapat diketahui pula oleh
Kongsun Yan, ia merasa heran, pikirnya, "Tadinya aku salah
sangka Le-toako bercinta dengan Hong-tjitji, sungguh
menertawakan, tapi mengapa Le-toako sekarang tampak
masgul lagi?"
Dengan perasaan heran itu, sampai di Sedjiang ia tetap
tidak sempat mengajukan pertanyaan kepada Le Lam-sing.
Suatu hari mereka mengitari kota Sedjiang dan sampai di
Thay-liang-san, tanah pegunungan pangkalan pasukan
pergerakan Tiong Siang-hu. Mereka disambut oleh puteri Tiok
Siang-hu, yaitu Djing-hoa, Li Kong-he dan lain-lain.
Kongsun Yan sangat senang bertemu dengan Tiok Djinghoa,
katanya dengan tertawa, "Aku sengaja datang buat
minum arak pernikahanmu, hari baik kalian sudah ditetapkan
belum?" "Belum," sahut Djing-hoa dengan malu-malu. "Maksud ayah
baru akan melangsungkan pernikahan kami bilamana Sedjiang
sudah direbut kembali."
Sifat Tiok Djing-hoa juga periang dan suka terang-terangan
seperti Kongsun Yan, maka tanpa rikuh ia pun mengatakan
terus terang urusan perjodohannya.
"Jika demikian rasanya tidak lama lagi," ujar Kongsun Yan
tertawa. "Ilmu silat ayahmu tiada bandingnya, dibantu pula
oleh ksatria sebanyak ini, hanya kota sekecil Sedjiang saja
mustahil takkan terebut kembali dalam waktu singkat."
"Jangan kau pandang enteng pihak musuh, " kata Djinghoa.
"Ilmu silat panglima kerajaan yang menjaga Sedjiang,
yaitu Swe Beng-hiong, juga tidak rendah, bahkan ayah pernah
kena disergap olehnya secara licik. Paling akhir musuh banyak
menambah pasukan pula di kota itu, bisa jadi mereka malah
akan menyerang kita lebih dulu. Eh, kita hanya bicara sendiri
saja, sampai melupakan beberapa kawanmu ini....."
"Benar di sini ada seorang angkatan tua, sepantasnya kau
lekas memberi hormat kepadanya," ujar Kongsun Yan dengan
tertawa. Waktu Djing-hoa mengawasi, dilihatnya usia Le Lam-sing
dan Tjin Goan-ko sebaya dengan dirinya, malahan Hong Biausiang
tampak lebih muda lagi, ia menjadi heran orang mana
yang dimaksudkan sebagai angkatan tua.
Ternyata Li Kong-he sudah lantas maju memberi hormat
kepada Le Lam-sing sambil berkata, "Terimalah hormatku, Lesioksiok."
Seperti diketahui, Kong-he sudah kenal Goan-ko ketika di
rumah Kang Hay-thian dahulu dan Goan-ko sudah
memberitahukan padanya tentang persaudaraan antara Lamsing
dan Kim Tiok-liu.
"Nah Le-toako ini adalah saudara angkat Kim Tiok-liu, kau
dan Kong-he harus memanggil paman padanya," ujar Kongsun
Yan dengan tertawa. "Aku sendiri cukup memanggil Toako
padanya, bukankah kau lebih rendah satu angkatan
daripadaku?"
"Ah, kau masih tetap suka bercanda seperti anak kecil
saja," sahut Djing-hoa. "Padahal kau pun sudah cukup dewasa
untuk menjadi pengantin."
Betapapun nakalnya Kongsun Yan, tidak urung merah-jengah
juga mukanya, lalu Djing-hoa memberi hormat kepada
Le Lam-sing. "Sudahlah," kata Lam-sing dengan tertawa. "Kita bergaul
sendiri-sendiri semuanya, anggap seperti satu angkatan saja
agar tidak terikat oleh macam-macam adat istiadat, padahal
kalau mau bicara tentang angkatan dalam dunia persilatan,
tiga malam juga tidak jelas dihitung."
Beramai-ramai mereka lantas masuk ke dalam. Ketika
mengetahui Le Lam-sing adalah saudara angkat Kim Tiok-liu,
Tiok Siang-hu sengaja hendak mengujinya. Pada waktu
memberi hormat pelahan Tiok Siang-hu menahan dengan
tangannya, Lam-sing merasa suatu tenaga maha kuat
mengangkat bangun padanya, lekas ia menggunakan tenaga
berat untuk menekan tubuhnya ke bawah, tapi hanya
setengah berlutut saja dan tidak dapat menjalankan
penghormatan sebagaimana lazimnya.
"Le-laute benar-benar hebat," kata Tiok Siang-hu
kemudian. "Kudengar kau dan Kim Tiok-liu membikin geger
kotaraja, benar-benar pahlawan telah tumbuh di kalangan
muda." Lam-sing menjawab dengan rendah hati, lalu bertanya,
"Apakah Tiok-liu sudah sampai di sini?"
"Siapa bilang dia akan datang ke sini?" sahut Tiok Siang-hu
heran. "Sampai saat ini belum nampak bayangannya."
"Menurut berita yang diperoleh Kongsun-totju di Yangtjiu,
katanya Tiok-liu bersama rombongan Kay-pang sudah lama
meninggalkan kota itu," tutur Lam-sing. "Ketika di Pakkhia, dia
juga menyatakan akan datang ke tempat Lotjianpwe sini,
kusangka dia sudah kemari."
"Mungkin terhalang oleh urusan-urusan di tengah jalan,
sedikit hari lagi tentunya akan sampai di sini," kata Tiong
Siang-hu. Tiada terdapatnya Kim Tiok-liu rada di luar dugaan Le Lamsing,
ia pikir Tiok-liu berangkat lebih dulu daripadaku,
mengapa dia belum sampai. Apa mungkin dia telah memasuki
kota Sedjiang"
Tiok Siang-hu seperti tahu pikirannya, katanya kemudian,
"Saat ini ada belasan jago kerajaan berkumpul di Sedjiang,
kekuatan pasukan musuh juga banyak bertambah, penjagaan
diperkeras. Aku harus menunggu datangnya pasukan bantuan
dari Siau-kim-djwan baru dapat melakukan serangan terhadap
Sedjiang. Maka kalau tiada urusan maha penting, sebaiknya
kita jangan sembarangan memasuki kota itu."
Sebenarnya Lam-sing memang bermaksud menyusup ke
Sedjiang untuk mencari berita, tapi ia mengurungkan
maksudnya demi mendengar ucapan Tiok Siang-hu.
Beberapa hari lagi, tetap Kim Tiok-liu belum muncul,
keruan Le Lam-sing menjadi gelisah. Tapi demi menjaga tata
tertib, ia tidak dapat pergi begitu saja, terpaksa ia harus
menuggu lagi. Masih ada lagi seorang yang merasa terlalu iseng, ialah
Kongsun Yan. Tiok Djing-hoa dan Hong Biau-siang sudah
punya tunangan semua, meski mereka bertiga selalu bermain
bersama, tapi Kongsun Yan merasa tidak enak menyelinap di
antara mereka yang sedang berkasih-kasihan.
Kongsun Yan tinggal di kemah wanita sehingga tidak dapat
sering bertemu dengan Le Lam-sing. Entah mengapa, setiap
kali ia merasa iseng dan masgul, selalu ia ingin bertemu
dengan Lam-sing. Sudah tentu ia tidak berani mengatakan isi
hatinya itu kepada siapa pun juga termasuk Tiok Djing-hoa
yang paling akrab itu. Mengapa bisa demikian perasaannya, ia
sendiri pun tidak tahu. Padahal sebelum kenal dengan Le Lamsing,
ia adalah seorang nona periang yang tidak kenal apa
artinya murung.
Suatu malam, saking isengnya Kongsun Yan keluar jalanjalan,
tiba-tiba didengarnya suara seruling yang sendu
merawan berkumandang dari tengah hutan di sebelah sana. Ia
kenal suara seruling yang ditiup Le Lam-sing itu, pikirnya,
"Tentunya Le-toako juga terlalu iseng seperti aku, maka dia
sengaja meniup serulingnya. Tapi mengapa ia membawakan
lagu sedih memilukan seperti ini?" Tanpa terasa ia terus
melangkah ke arah suara seruling.
Dilihatnya Le Lam-sing berhenti meniup seruling, tiba-tiba
menghela napas, lalu bersenandung.
Kongsun Yan tidak paham syair lagu yang dibawakan Le
Lam-sing itu, tapi dari nadanya dapat dirasakan kepiluan yang
melebihi suara seruling tadi. Ia tidak tega mendengarkan terus
nada-nada sedih demikian, ia pikir berduka hanya akan
merusak badan saja, biar aku menggodanya agar dia tidak
murung lagi. segera ia meraup segenggam pasir terus
ditaburkan ke arah Le Lam-sing.
Dengan kepandaian Lam-sing, sebenarnya tidaklah sampai
kena diserang secara menggelap oleh orang, tapi sekarang ia
sedang melamun, pula tempat ini adalah pangkalan Tiok
Siang-hu yang dijaga ketat, maka hakikatnya ia tidak berjagajaga
akan diserang musuh, sebab itulah ia baru mengetahui
ketika Kongsun Yan sudah menebarkan pasirnya.
Tepat sekali pasir yang ditebarkan Kongsun Yan itu
mengenai 'Siau-yau-hiat' di pinggangnya, yaitu tempat yang
membikin tertawa. Tanpa terasa Lam-sing mengikik. Cuma
sambitan pasir Kongsun Yan itu tidak keras, pula Lwekang
Lam-sing juga lebih kuat, maka dia hanya mengikik sekali saja
lalu berhenti, Hiat-to yang disambit telah lancar kembali.
Dengan tertawa geli Kongsun Yan lantas melompat keluar,
serunya, "Sekali ini kau menjadi gembira bukan?"
"Kiranya kau, sungguh nakal," omel Lam-sing sambil menyengir.
"Aku tidak suka pada lagu-lagu sedih demikian, bawakanlah
satu lagu yang gembira saja," pinta Kongsun Yan.
"Maaf, aku tidak dapat menyanyikan lagu yang baik," sahut
Lam-sing. "Jika demikian bagaimana kalau aku yang menyanyi?"
"Bagus, menyanyilah lekas!" kata Lam-sing.
Maka bernyanyilah Kongsun Yan suatu lagu jenaka yang
mengolok-olok kaum pemuda yang berkeluh-kesah sendiri
tanpa alasan. Sudah tentu Lam-sing tahu maksud si nona, ia pikir mana
kau tahu akan isi hatiku, dengan tersenyum getir katanya
kemudian, "Nona Kongsun, sudahlah aku sangat iri padamu."
"Mengiri tentang apaku?" tanya Kongsun Yan.
"Aku iri akan kebebasanmu, kau benar-benar seorang nona
cilik yang tidak kenal apa artinya sedih," ujar Lam-sing.
"Jangan kau sok berlagak tua, paling-paling kau cuma lebih
tua beberapa tahun dariku. Padahal umurku juga sudah 19
tahun, aku bukan nona cilik lagi."
"Baik, jika begitu anggaplah kau sudah nona besar," ujar
Lam-sing tertawa.
"Sudahlah, kita jangan bertengkar lagi. kau bilang aku tidak
kenal apa artinya sedih, lantas apa sebabnya kau sendiri selalu
sedih?" "Darimana kau mengetahui aku sedih?"
"Kau tak bisa mendustai aku, sepanjang jalan kau selalu
murung, siapa yang tidak tahu" Setiap kali kau meniup
seruling juga selalu membawakan lagu yang memilukan."
Lam-sing pikir anak dara ini ternyata suka memperhatikan
diriku, dengan tertawa ia lantas menjawab, "Aku pun tidak
punya apa-apa yang perlu disedihkan. Hanya saja di dunia ini
memang ada dua macam manusia, yang satu macam adalah
orang periang seperti kau. Macam lain adalah seperti diriku,
lebih banyak murung daripada gembira. Hal ini mungkin
adalah sifat pembawaan masing-masing."
"Aku tidak percaya," ujar Kongsun Yan menggeleng. "Sifat
seorang tidak selalu karena pembawaannya, kau selalu
murung tentu ada sebab-sebabnya."
"Ya, mungkin karena keadaan asal-usulku berbeda dengan
kau. Aku dibesarkan di pulau terpencil, jauh dari keramaian
sehingga menjadikan watakku yang rada aneh."
"Tidak, menurut pandanganku, meski lahirnya kau dingin,
tapi batinmu sangat panas. Kudengar dari ayah bahwa kau
dan Kim Tiok-liu telah membikin geger kotaraja, waktu
menerjang kepungan musuh, kalian sama tidak menghiraukan
bahaya sendiri dan berusaha menyelamatkan kawan.
Persahabatan demikian sungguh sangat mengharukan. Hongtjitji
selamanya tidak kenal kau, tapi lantaran dia adalah teman
Kim Tiok-liu, maka kau pun banyak membantu dia. Maka dari
itu aku berani memastikan kau adalah seorang yang dingin di
lahir dan panas di batin."
"Apa betul begitu" Haha, kau seperti lebih kenal diriku
daripada aku sendiri," ujar Lam-sing dengan tertawa.
"Le-toako," kata Kongsun Yan. "Orang hidup memang perlu
kawan yang baik, jika ada urusan, lebih baik dibicarakan
dengan seorang kawan daripada disekap di hati sendiri.
Mungkin dalam pandanganmu aku belum sesuai untuk
menjadi teman obrolanmu?"
"Bukan demikian soalnya, nona Kongsun. Aku....."
"Kenapa?" sela Kongsun Yan dengan tatapan tajam.
"Aku sangat berterima kasih akan maksud baikmu. Memang
betul aku sedang murung, cuma kemurungan ini adalah
salahku sendiri dan tiada sangkut-pautnya dengan orang lain.
Aku percaya kemurungan ini lambat-laun akan lenyap. Biarlah
kelak saja akan kuberitahukan padamu."
"Jika kau keberatan menceritakan sekarang juga, aku tidak
dapat memaksa, semoga kemurunganmu lekas lenyap," ujar
Kongsun Yan. "Eh, seperti ada orang memanggil aku. Malam sudah larut,
silakan kau pulang saja," kata Lam-sing.
Waktu Kongsun Yan mendengarkan dengan cermat, benar
juga seperti suara Tjin Goan-ko sedang memanggil Le Lamsing.
Betapapun ia juga merasa rikuh jika sampai Goan-ko
memergoki dia berada bersama dengan Le Lam-sing, maka


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat ia berkata, "Baiklah aku akan pulang lebih dulu, sampai
bertemu lagi besok."
Seperginya Kongsun Yan, Lam-sing termangu-mangu
sendiri dan tanpa terasa mengembeng air mata.
"Le-toako," terdengar seruan Goan-ko, langkahnya sudah
mendekat. Lekas Lam-sing mengusap air matanya, lalu ia menjawab,
"Aku berada di sini!"
"Kiranya kau bersembunyi di sini meniup seruling," kata
Goan-ko. "Lekaslah pulang. Li Bo dan orang-orangnya sudah
datang semua!"
Kejut dan girang Lam-sing, cepat ia menegas, "Kau
maksudkan Li-totju yang memimpin cabang Kay-pang di kota
Yang-tjiu itu?"
"Benar, tidak sedikit anak buah Kay-pang yang datang
bersama dia," sahut Goan-ko.
"Bagaimana dengan Kim Tiok-liu, dia ikut datang tidak,"
tanya Lam-sing.
"Hanya Kim Tiok-liu saja yang tidak nampak datang."
"Aneh, apa sebabnya?" tanya Lam-sing heran.
"Kabarnya seorang diri dia pergi ke Sedjiang. Begitu Li Bo
datang, aku lantas keluar mencari kau. Maka bila ingin lebih
jelas lekas kau pulang menanyakan kepada Li Bo sendiri."
Dalam pada itu sesudah kembali ke kemahnya, semalam
suntuk Kongsun Yan tak bisa pulas karena bergeloranya
perasaan. Menjelang pagi, ketika dia mau pulas saking
lelahnya, tiba-tiba datang Hong Biau-siang memanggilnya,
"Budak malas, lekas bangun, marilah kita pergi menemui
seorang Tatji yang baru datang."
"Tatji baru siapa?" tanya Kongsun Yan sambil melompat
bangun. "Tatji itu bernama Tjiok Hek-koh, tunangan Tan Kong-tjiau
yang juga teman baik Kim Tiok-liu," tutur Biau-siang.
"O, kiranya Kong-tjiau dan Tjiok Hek-koh sudah datang,"
kata Kongsun Yan.
"Kau kenal mereka?" tanya Biau-siang.
"Pernah kudengar nama mereka dari ayahku," sahut
Kongsun Yan. "Katanya, mereka adalah jago-jago angkatan
muda pilihan. Tan Kong-tjiau adalah putera Tan-tayhiap dari
Sohtjiu. Hanya asal-usul Tjiok Hek-koh tidak begitu jelas
bagiku. Kabarnya dia mahir menggunakan racun, bisa jadi dia
adalah orang Thian-mo-kau. Namun menurut penilaian ayahku
atas tingkah-lakunya, dia terhitung juga seorang pendekar
wanita dari kalangan yang baik."
"Kiranya kau lebih jelas akan diri mereka daripada aku,
inilah sangat kebetulan, Tjiok-tjitji telah mengatur dia bersatu
kemah dengan kau, tentu dengan cepat kalian akan menjadi
karib." "Cara bagaimana mereka datang ke sini?" tanya Kongsun
Yan. "Mereka juga datang bersama Li Bo, baru tiba tengah
malam tadi. Kabarnya Tiok-pepek dan Le-toako telah
mengadakan pembicaraan sepanjang malam dengan mereka."
Tergerak hati Kongsun Yan, katanya, "Li-totju dari Yang-tjiu
maksudmu" Nenurut Le-toako, Kim Tiok-liu berada di
rombongan Kay-pang itu. Apakah dia juga sudah datang
kemari?" "Itu dia datang!" kata Biau-siang tiba-tiba.
"Apa" Kim Tiok-liu datang ke kemah kita ini?" Kongsun Yan
menegas heran. Biau-siang bergelak tertawa, sahutnya, "Maksudku bukan
Kim Tiok-liu, tapi Tjiok-tjitji dan Tiok-tjitji berdua yang datang
kemari!" Kiranya Kongsun Yan menghadap ke dalam, sehingga tidak
melihat Tiok Djing-hoa dan Tjiok Hek-koh saat itu sedang
memasuki tempat mereka.
Setelah berhadapan, baru Kongsun Yan hendak minta
keterangan Tjiok Hek-koh, namun Tiok Djing-hoa sudah
bicara, "Kim Tiok-liu yang kalian pikirkan tidak datang,
sebaliknya seorang di sini malah sudah berangkat lagi lantaran
Kim Tiok-liu."
"Siapa yang berangkat?" tanya Kongsun Yan.
"Le Lam-sing!" sahut Djing-hoa.
Kongsun Yan terkejut, "Le-toako sudah pergi" Pergi kemana
dia?" "Kau jangan gugup dulu, dengarkan cerita Tjiok-tjitji," ujar
Biau-siang tertawa.
"Begini urusannya," tutur Tjiok Hek-koh. "Waktu kami lewat
Lotjiu, dari orang Kay-pang di sana diterima suatu berita yang
meyakinkan, katanya Su Pek-to dan adik perempuannya serta
empat Hiangtju Liok-hap-pang mereka mendahului kami dari
jalan lain menuju ke Sedjiang. Menurut berita, katanya Su
Pek-to bermaksud mengawinkan adik perempuannya dengan
panglima di Sedjiang yaitu Swe Beng-hiong. Mendengar berita
itu, Kim Tiok-liu menjadi gelisah. Mestinya kami hendak
mengitari Sedjiang terus ke sini, tapi demi menerima berita
tadi, seorang diri Kim Tiok-liu lantas menuju ke Sedjiang."
"Mengapa dia menjadi gelisah begitu?" tanya Kongsun Yan.
"Adik perempuan Su Pek-to adalah nona yang cantik dan
baik budi, sama sekali berbeda dari Su Pek-to sendiri,
kabarnya Kim Tiok-liu berhubungan sangat baik dengan dia,
mungkin sekali kedua orang sudah mengikat janji, cuma Kim
Tiok-liu tidak mau mengaku," tutur Hek-koh tertawa.
"O, kiranya demikian. Tapi seorang diri Kim Tiok-liu
memasuki Sedjiang apa tidak berbahaya?" tanya Kongsun
Yan. "Ya, memang. Maka aku dan Kong-tjiau bermaksud ikut dia
ke sana, tapi dia menolak. Mungkin dia menganggap
kepandaian kami yang rendah tidak cukup untuk
membantunya."
"Ah, Tjiok-tjitji terlalu rendah hati," ujar Biau-siang. "Cuma
aku cukup kenal watak Kim-siauhiap, dia sendiri suka ugalugalan,
tapi terhadap teman sangat baik sekali. Jika ada
bahaya tentu dia tanggung sendiri dan tidak mau membikin
susah teman." Lantaran Kim Tiok-liu merangkapkan
perjodohannya, maka Biau-siang menaruh kesan baik pada
Kim Tiok-liu. "Aku tahu, aku pun pernah mendapat pertolongannya,"
ujar Hek-koh. "Perundingan yang kami adakan semalam
dengan Tiok-lotjianpwe juga mencari jalan cara bagaimana
pergi membantu Kim Tiok-liu. Yang jelas di kota Sedjiang
kekuatan pasukan musuh meliputi beberapa puluh ribu
prajurit, jago-jago kelas tinggi juga berkumpul, Tioklotjianpwe
tidak dapat mengerahkan pasukannya hanya untuk
kepentingan seorang saja. Sebaliknya orang biasa juga sukar
memasuki kota Sedjiang. Sebab itulah Le-toako sengaja
berangkat sendiri, karena tekad Le-toako itu tidak dapat
dicegah, terpaksa Tiok-lotjianpwe dan lain-lain tak bisa
berbuat lain."
Kongsun Yan termanggu-manggu. Biau-siang tahu isi
hatinya, katanya dengan tertawa, "Entji Yan, Tiok-lotjianpwe
pasti juga takkan meluluskan kepergianmu."
Muka Kongsun Yan menjadi merah, omelnya, "Siapa bilang
aku ingin pergi?" Padahal ia memang sedang memikirkan akan
mengajukan niatnya itu kepada Tiok Siang-hu, hanya saja
kuatir ditertawai orang.
Biau-siang berkata, "Kepandaian Le-toako sangat tinggi,
membawa pula Hian-tiat-pokiam, dengan Kim-siauhiap mereka
berdua tiada tandingannya lagi, betapapun banyak jago yang
terdapat di Sedjiang juga sukar mengurung mereka. Kukira
Yan-tjitji tidak perlu kuatir."
Wajah Kongsun Yan tambah merah, omelnya, "Tjis, siapa
yang kuatir" Dia toh bukan aku punya Toako, kau sendiri juga
panggil dia Toako."
Begitulah mereka bersenda-gurau dengan riangnya,
walaupun begitu perasaan Kongsun Yan tetap tertekan. Le
Lam-sing berangkat sendiri menghadapi bahaya ke Sedjiang,
betapapun ia merasa kuatir.
Malam itu Kongsun Yan gulang-guling di tempat tidurnya
tidak bisa pulas, mendadak teringat olehnya, "Aneh mengapa
aku begini menguatirkan dia" Jangan-jangan aku benar-benar
telah menyukai Le-toako?" Tiba-tiba mengetahui rahasianya
sendiri, tanpa terasa mukanya menjadi merah.
Tetapi Kongsun Yan adalah gadis yang berani, pikirnya,
"Cinta kasih antara muda-mudi soal biasa, seumpama aku
menyukai Le-toako juga bukan sesuatu yang memalukan. Letoako
rela menghadapi bahaya bagi teman, kenapa aku tidak
boleh menempuh bahaya bagi Le-toako" Jika aku mohon
secara terang-terangan mungkin Tiok-lotjianpwe takkan
meluluskan kepergi-anku. Biarlah aku berangkat secara diamdiam
saja, bila mereka mau menertawai perbuatanku, biarkan
mereka tertawa saja."
Begitulah setelah mengambil keputusan, seketika itu juga
Kongsun Yan lantas bertindak seperti apa yang dia lakukan
terhadap Hong Biau-siang tempo hari, diam-diam ia pun
menutuk Hiat-to tidur Tjiok Hek-koh, lalu melompat keluar
jendela terus meninggalkan Thay-liang-san.
Karena berangkat tanpa persiapan, maka Kongsun Yan
tidak membawa rangsum sedikitpun. Ia mengeluarkan
Ginkang yang tinggi terus berlari, sampai pagi mendatang
baru ia merasa perutnya lapar. Tanah pegunungan sudah
tentu tiada rumah penduduk, terpaksa ia mencari buahbuahan
sekadar tangsal perut. Tapi waktu itu meski belum
musim dingin, namun di dataran tinggi barat-laut hawa lebih
dingin daripada musim dingin di daerah selatan. Sampai
sekian lamanya tetap Kongsun Yan tidak menemukan buahbuahan
yang dapat dimakan, bahkan binatang-binatang kecil
juga tidak dijumpai.
Kongsun Yan menghela napas, ia pikir terpaksa harus
menahan lapar sambil meneruskan perjalanan.
Baru saja keluar dari hutan situ, tiba-tiba cuaca berubah
buruk, bunga salju mulai bertebaran, sedang ia masgul, tibatiba
didengarnya suara berkeriutnya roda kereta. Ia
kegirangan, ia pikir paling tidak akan dapat meminta bantuan
sedikit makanan kepada penumpang kereta itu. Tapi
mendadak terdengar pula suara orang membentak bengis.
Cepat ia memanjat ke atas sebatang pohon besar dan
memandang jauh keluar hutan sana.
Tertampak dua orang berdandan seperti perwira sedang
mencegat sebuah kereta keledai yang atapnya terbuka. Di
atas kereta tampak ada tujuh atau delapan orang, di
antaranya seorang laki-laki tua, selebihnya adalah kaum
wanita, semuanya membawa alat tetabuhan, agaknya seperti
serombongan pengamen.
Terdengar kedua perwira itu sedang membentak, "Turun,
lekas turun! Siapa kalian ini, datang darimana dan hendak
kema-na?" Kongsun Yan terkejut ketika dari jauh melihat kedua
perwira itu. Kedua orang itu terdiri dari seorang tinggi dan
yang lain pendek. Yang tinggi berkepala gundul kelimis, yang
pendek di pinggangnya terselip sepasang Boan-koan-pit.
Sebelumnya Kongsun Yan tidak pernah melihat kedua orang
ini, tapi lantaran potongan mereka rada istimewa, maka
begitulah segera Kongsun Yan dapat menerka asal-usul
mereka. Maklum, sebagai puteri pemimpin Ang-eng-hwe yang termashur,
setiap tokoh Kangouw kenamaan tentu dikenalnya,
tidak kenal orangnya tentu kenal namanya. Dari ayahnya,
Kongsun Yan pernah mendengar cerita bahwa ada seorang
murid murtad Siau-lim-si bernama Peng Ki-yong, serta
seorang bernama Lian Sing-hou yang terkenal sebagai ahli
Tiam-hiat nomor satu, kedua orang ini adalah antek Perdana
Menteri Tjo Tjin-yong yang berkuasa sekarang, karena
perbuatan mereka yang sewenang-wenang, beberapa kali
Kongsun Hong bermaksud membunuh mereka, cuma belum
ada kesempatan. Maka ia berpesan pada anak perempuannya
harus hati-hati bilamana memergoki kedua orang itu di
kalangan Kangouw.
Begitulah Kongsun Yan jadi mendongkol melihat kedua
orang ternama itu hendak membikin susah wanita-wanita
pengamen itu, ia pikir tak bisa tinggal diam menyaksikan
kejadian itu, tapi menurut cerita ayahnya kepandaian kedua
orang itu cukup tinggi, untuk melayani mereka mungkin harus
menggunakan akal.
Dalam pada itu terlihat penumpang-penumpang kereta itu
sudah turun semua, orang tadi sedang menjawab, "Kami
adalah rombongan sandiwara Lok-keh-pan, akan menuju ke
Sedjiang."
"O, ke Sedjiang," kata Peng Ki-yong. "Apa kau pemimpin
rombongan?"
"Benar," sahut si kakek dengan hormat. Entah lantaran
takut atau sebab lain, napasnya kelihatan terengah-engah.
"Baiklah, silakan kau istirahat dulu," ujar Peng Ki-yong
sambil menarik kakek itu ke samping. Waktu menarik ia
sengaja memegang urat nadi si kakek untuk mencobanya.
Tapi segera diketahui kakek itu sama sekali tidak memiliki
tenaga dalam, rupanya si kakek juga tidak tahu bahwa orang
sengaja hendak mengujinya.
"Biarpun menjadi abu juga aku kenal Ho-lotoa," pikir Peng
Ki-yong sambil melepaskan si kakek. "Orang ini tidak paham
ilmu silat, logatnya juga tidak cocok tentu dia bukan Ho-lotoa."
Dalam pada itu dengan pandangan tajam, mendadak Lian
Sing-hou menuding salah seorang wanita pengamen itu dan
bertanya, "Siapa dia?"
"Anak perempuanku," sahut si kakek.
"Apa kau ini penyanyinya?" tanya pula Lian Sing-hou.
Nona itu tampak malu-malu, dengan menunduk ia
menjawab pelahan, "Baru belajar beberapa tahun, suaraku
kurang baik."
Mendengar logat suaranya adalah logat daerah
pegunungan barat-laut, sama sekali berbeda dari logat
Soatang Ho-lotoa dan anak perempuannya yang mereka cari,
mau tak mau Peng Ki-yong dan Lian Sing-hou menjadi raguragu.
Tapi mereka tahu pengamen-pengamen demikian mahir
menyamar, betapapun harus diteliti lagi agar tidak tertipu.
Begitulah setelah mengamat-amati dengan sorot mata
tajam, tiba-tiba Lian Sing-hou berkata pula, "Bagus benar
tusuk kundaimu itu, coba kulihat!"
Tusuk kundai bukanlah sesuatu benda yang
mengherankan, tapi tusuk kundai perak yang dipakai nona


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengamen itu memang sangat indah, terukir seekor burung
Hong dan sangat hidup nampaknya.
Dengan mendengus Peng Ki-yong berkata, "Hm, seorang
wanita pengamen saja mengapa punya tusuk kundai sebagus
ini?" Si kakek cepat menyela dengan hormat, "Tusuk kundai ini
adalah emas kawin bakal mertuanya, calon suaminya adalah
tukang emas pada suatu perusahaan perhiasan, tusuk kundai
ini adalah buatannya sendiri."
"Mengapa tidak membikin tusuk kundai dalam bentuk lain
dan mesti mengukir seekor burung Hong?" tanya Lian Singhou.
"Boleh jadi sebagai lambang Hong yang membawa rejeki,"
sahut si kakek.
Sudah tentu dari tempat persembunyiannya Kongsun Yan
tidak jelas tusuk kundai apa yang dibicarakan, tapi tanya
jawab mereka membuatnya terkejut, pikirnya, "Kiranya Djayhong
Tji-tji dia. Sungguh pintar cara menyamarnya, kalau
tidak ada tusuk kundainya, aku pun tidak mengenal dia."
Kiranya nona pengamen itu tak lain tak bukan adalah Ho
Djay-hong yang pernah hendak diculik oleh putera Tjo Tjinyong
di tepi Thay-beng-oh waktu dia mengamen bersama
ayahnya dalam perjalanan mencari tunangannya, yaitu Li Tun,
syukur waktu itu Kim Tiok-Iiu dan Kiong Peng-hoan dari Angeng-
hwe menolengnya dari gangguan Tjo-kongtju yang dijagoi
oleh Peng Ki-yong dan Lian Sing-hou.
Peng Ki-yong dan Lian Sing-hou sekarang ditugaskan oleh
Tjo Tjin-yong mengantar kado untuk pernikahan Swe Benghiong.
Sebagai panglima yang memegang kekuasaan meliter,
Tjo Tjin-yong sengaja hendak memeletnya untuk memupuk
kedudukannya supaya lebih kuat. Sebab itulah sebagai
Perdana Menteri ia tidak segan-segan mengutus kedua orang
kepercayaannya itu mengantar kado kepada Swe Beng-hiong.
Begitulah Peng-Ki-yong dan Lian Sing-hou bertambah
sangsi demi melihat tusuk kundai perak tadi. Logat suaranya
tidak cocok, tapi tusuk kundai itu agaknya menyerupai
lambang dari nama si nona yang hendak mereka cari itu.
Setelah merenung sejenak, kemudian Lian Sing-hou
bertanya pula, "Untuk apa kalian menuju ke Scdjiang?"
"Besok lusa adalah hari pernikahan Swe-tjiangkun yang
akan dirayakan secara besar-besaran di segenap pelosok kota,
sebagai pemain sandiwara tentu kami tidak melewatkan
kesempatan mencari nafkah yang baik ini," sahut si kakek.
"Baiklah, kami percaya omonganmu, kebetulan kami juga
akan menuju ke Sedjiang, anak perempuanmu ini boleh
berangkat lebih dulu bersama kami," kata Lian Sing-hou.
Keruan si kakek terkejut, cepat ia menjawab, "Ta.....tapi
dia adalah sri-panggung kami, jika dia....."
"Justru karena dia adalah sri-panggung kalian, maka aku
ingin membawanya berangkat lebih dulu dan menyuruh dia
main di hadapan Swe-tjiangkun agar beliau gembira dan
memberi hadiah kepadanya," kata Lian Sang-hou dengan
tertawa. Kiranya Lian Sing-hou mencurigai penyamaran Ho Djayhong
itu, maka ia sengaja hendak membawanya berangkat
lebih dulu, setiba di kota Sedjiang, asalkan disuruh mencuci
muka saja, pasti wajah asli Ho Djay-hong akan tampak lebih
jelas. Tentu saja Djay-hong menjadi kuatir. Belum lagi ia berbuat
apa-apa, sekonyong-konyong terdengar suara ringkikan kuda
yang kesakitan.
Waktu Lian Sing-hou dan Peng Ki-yong menoleh, mereka
Hikmah Pedang Hijau 16 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Dendam Iblis Seribu Wajah 22
^