Pendekar Jembel 14

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bagian 14


musuh, bahkan tidak sedikit jumlahnya.
Kiranya kembang api yang menjulang ke angkasa pertama
kali tadi dilepaskan oleh Ho Djay-hong, teman-teman dari
pihak pemberontak yang memang sudah bersembunyi di
dalam kota serentak melepaskan pula kembang api di
beberapa tempat, ini memang kode rahasia yang sudah
dijanjikan sebagai tanda bergerak serentak.
Swe Beng-hiong memang seorang panglima yang pandai,
meski suasana mulai kacau, tapi ia tidak menjadi gugup. Di
samping memerintahkan pasukan penjaga melawan segala
kemungkinan dengan tenang, segera ia pun mengirim jagojagonya
untuk menangkap Le Lam-sing dan kawan-kawannya.
Tapi ia sendiri terkena jarum berbisa sehingga tidak dapat
memimpin sendiri semua gerakan itu. Apalagi yang lebih
penting dirinya harus diobati dahulu, maka tanpa
menghiraukan pertempuran lebih lanjut di ruangan pendopo
itu, segera ia keluar mencari Ho-toa-nio.
"Le-toako ada di luar!" seru Kim Tiok-liu girang kepada Su
Ang-ing. Ia memutar pedangnya dengan kencang dan
mendahului menerjang keluar.
Su Pek-to tidak mampu menahan serangan gabungan Kim
Tiok-liu dan Su Ang-ing, terpaksa ia menyingkir dan memberi
jalan. Di ruangan pendopo banyak juga jago-jago pilihan, tapi
yang benar-benar tokoh kelas wahid cuma beberapa orang
tertentu saja. Yang Go dan Bun To-tjeng salah berhantam
sendiri, saat itu keduanya sedang sibuk mengatur tenaga
dalam masing-masing agar tidak terluka. Soa Djian-hong
sudah mengalami dua kali kerugian besar, maka lukanya
parah dan ia sudah kapok sehingga tidak berani maju lagi.
Jago-jago lain seperti Tang Tjap-sah-nio, Djing-hu Todjin,
Wan-hay Hwesio, Kiong Peng-ya (murid Yang Go), Bun Sengtiong
dan lain-lain, meski mereka mempunyai kepandaian
tertentu, tapi mereka hanya tergolong jago kelas dua, mereka
sudah kapok terhadap Kim Tiok-liu, mereka sama jeri ketika
melihat Kim Tiok-liu menenang keluar laksana banteng
keraton. Setiba di pintu keluar, Kim Tiok-liu menggertak satu kali,
pedang terus menusuk Wan-hay Hwesio yang menjaga di situ.
Terpaksa Wan-hay memutar golok untuk menangkis, "trang",
goloknya terkurung menjadi dua, sukma Wan-hay seakanakan
terbang raganya, saking takutnya cepat ia meloncat ke
samping secara ngawur, "blang", tanpa ampun dua orang
pengawal kena ditumbuk olehnya dan terjungkal mampus.
Selesai mengenyahkan Wan-hay, tanpa ayal tusukan Kim
Tiok-liu berikutnya lantas diarahkan kepada Tang Tjap-sah-nio
sambil menjengek, "Perempuan busuk, jiwamu sudah
kuampuni kemarin, sekarang kau berani pulang ke sini untuk
memusuhi aku" Apakah kau ingin aku membelejeti kau lagi?"
Dengan kepandaian Tjap-sah-nio, mestinya ia cukup kuat
untuk melawan beberapa gebrakan Kim Tiok-liu, tapi sekarang
hatinya sudah jeri lebih dulu, merasa malu pula oleh ejekan
Kim Tiok-liu tadi, semangatnya jadi lesu, caranya bertempur
menjadi ngawur, baru dua-tiga gebrakan, "plok" tahu-tahu
mukanya kena ditampar oleh Kim Tiok-liu.
Di sebelah sana Su Ang-ing memainkan cambuknya, Bun
Seng-tiong tidak kenal gelagat, ia menubruk maju untuk
mencegatnya, tapi sebelum mendekat tubuhnya sudah kena
dipecut, keruan ia berjingkrak kesakitan. Cepat Djing-hu
Todjin maju membantu.
"Hm, pohon roboh kera buyar, kukira lebih baik kau pulang
kandang menjadi imam yang baik!" jengek Su Ang-ing.
Kelakuan Djing-hu Todjin tidak terlalu jahat dibandingkan
tokoh-tokoh Liok-hap-pang yang lain, biasanya juga tidak
memusuhi Su Ang-ing, melihat suasana sekarang, hati Djinghu
Todjin menjadi dingin, sahutnya pelahan, "Terima kasih
atas petuah nona!" Tanpa banyak omong lagi ia lantas
memberi jalan. Maka dengan leluasa dapatlah Su Ang-ing menerjang
keluar. Keruan saja Su Pek-to menjadi gusar, ia melayang
maju, "biang", kontan ia menendang Djing-hu Todjin hingga
terkapar. Menyusul ia terus mencengkeram ke punggung Su
Ang-ing sambil membentak, "Biar kubekuk budak ini baru
nanti aku membikin perhitungan dengan kau!"
Tapi Kim Tiok-liu sempat membalikkan tangannya untuk
menangkis cengkeraman Su Pek-to itu. Djing-hu Todjin cepat
merangkak bangun, katanya dengan lantang, "Sebagai orang
luar aku pun tidak tega mencelakai nona Su, kau adalah
kakaknya tapi kau malah ingin memperalat dia demi
kcpcntinganmu, hal ini betapapun tidak dapat kebenarkan.
Sejak kini masing-masing menuju ke jalan sendiri-sendiri. Aku
akan menunggu kau di kuilku, hanya saja mungkin kau tidak
punya kesempatan lagi untuk membikin perhitungan padaku."
Sebabnya Djing-hu Todjin berani membangkang kepada Su
Pek-to, pertama karena dia penasaran kena tendangan sang
Pangtju, pula ia pun melihat gelagat tidak menguntungkan,
saat itu baik di dalam maupun di luar kota sudah bergemuruh
dengan suara pasukan yang sedang bertempur, tampaknya
bobolnya kota Sedjiang oleh stbuan pasukan pemberontak
hanya soal waktu saja, daripada nanti tertawan dan dituduh
sebagai begundal Su Pek-to. ia pikir lebih baik sekarang saja
memutuskan hubungan dengan Su Pek-to dan mengambil hati
Su Ang-ing. Dalam pada itu di luar dalam gedung Tjiangkun itu sudah
terjadi pertempuran gaduh, para pengawal sibuk melayani
musuh, siapa pun tidak sempat menghiraukan Djing-hu Todjin
yang berkhianat itu. Cuma Djing-hu Todjin juga tidak berani
angkat senjata terhadap Su Pek-to, ia hanya mengeluyur pergi
secara diam-diam.
Karena tangkisan Kim Tiok-liu tadi, Su Pek-to menjadi
murka teriaknya, "Biarpun kalian menyerang kota sebelum
kota bobol juga akan kucabut dulu nyawamu!"
"Benar, betapapun juga jangan mengampuni mereka!" seru
Bun To-tjeng. "Anak Tiong, lekas ikut kemari, kita harus
menuntut balas."
Lwekang Bun To-tjeng sangat tinggi, sedikit gangguan tadi
telah dipulihkan kembali, sekarang ia memburu keluar, kedua
tangannya menyerang ke kanan dan ke kiri, Tiok-liu dan Anging
dihantamnya sekaligus. Ia dendam kepada Su Ang-ing
yang telah mencambuk puteranya, maka sebagian besar
serangannya memberondong ke arah Ang-ing.
Su Pek-to mendongkol juga karena Bun To-tjeng tidak mau
menerjang Kim Tiok-liu, sebaliknya memilih lawan yang
empuk. Tapi tidak tega turun tangan keji pada adik
perempuannya sendiri, lebih baik orang lain yang
membunuhnya sebab itu ia tidak peduli serangan ganas Bun
To-tjeng terhadap Ang-ing, ia sendiri melawan Kim Tiok-liu
dengan sengit. Menyusul Yang Go juga memburu keluar, di bawah
kerubutan jago kelas wahid, sukar bagi Kim Tiok-liu dan Su
Ang-ing untuk menerjang keluar.
Saat itu Le Lam-sing sedang menggeser ke arah Kongsun
Yan, hanya belum bergabung. Lawan Kongsun Yan adalah Ko
Tay-sing dan Toh Tay-giap. Ilmu silat mereka tidak lemah dan
tenaganya kuat, lambat laun Kongsun Yan merasa kewalahan
juga, terutama kalah tenaga.
Di pihak Le Lam-sing, meski ia dibantu Li Tun dan Ho Djayhong
mengembut An Tjun-ting, tapi sekarang An Tjun-ting
dibantu dua-tiga otang pengawalnya sehingga Le Lam-sing
bertiga berbalik terkepung.
Ketika mendadak Lam-sing mendengar panggilan Tiok-liu,
ia menengadah ke sana dilihatnya Kim Tiok-liu dan Su Ang-ing
pedang bertempur sengit melawan keroyokan tiga jago utama,
tampaknya mereka pun rada kewalahan.
Sesaat itu Lam-sing merasa kuatir dan girang pula tapi juga
rada sedih. Sedikit meleng saja mendadak ruyung An Tjunting
telah menghantam, tepat pundak Lam-sing tersabet dan
babak belur. Tapi sabetan itupun lantas menyadarkan Lam-sing.
"Berkorban bagi sahabat, biarpun mati juga rela!" pikirnya.
Seketika darah bergolak, entah darimana datangnya tenaga,
"sret", mendadak senjata seorang pengawal berbentuk toya
kena ditebas kutung, menyusul pedangnya menyambar ke
samping, kembali ruyung An Tjun-ting kena ditabas kutung
satu ruas. Saat itu ruyung tujuh ruas An Tjun-ting sudah
tinggal tiga mas saja.
Kepungan keempat pengawal mestinya sangat rapat, tapi
terkurungnya toya seorang temannya membuat garis
kepungan mereka menjadi bobol. Cepat Lam-sing menerjang
keluar, beberapa kali loncatan, laksana burung melayang ia
sudah sampai di sebelah Kongsun Yan.
Ketika mendengar suara sambaran senjata dari belakang,
Ko Tay-sing terkejut, cepat ia menangkis sambil memutar
tubuh. Namun begitu toh terlambatnya juga, baru saja
gadanya terangkat, tahu-tahu pedang Lam-sing sudah
menebas. Mana Ko Tay-sing mampu menahan kekuatan Hiantiat-
pokiam yang ampuh" "Trang", gada bergigi terbelah,
tangan Ko Tay-sing lecet berdarah, orangnya terguling sejauh
dua tiga meter.
Lekas Toh Tay-giap hendak lari, tapi betapa cepat Kongsun
Yan, "cret", dengkul lawan kena ditusuknya, tanpa ampun lagi
Toh Tay-giap bertekuk lutut tak sanggup berdiri lagi.
"Yan-moay, lekas pergi membantu Li Tun berdua," seru
Lam-sing, habis bicara dengan tergesa-gesa ia berlari ke arah
Kirn Tiok-liu dan Su Ang-ing.
Waktu Kongsun Yan menoleh, dilihatnya keadaan Li Tun
dan Ho Djay-hong memang sedang payah di bawah kerubutan
musuh, alangkah kejutnya Kongsun Yan, cepat ia melompat
ke sana untuk membantu.
Setelah melintasi dua gunung-gunungan palsu, kebetulan
Lam-sing kepergok Swe Beng-hiong yang keluar hendak
mencari Ho-toanio.
"Bagus, bocah ini ingin cari mampus!" bentak Swe Benghiong,
segera ia mendahului mengambil kedudukan baik di
atas gunung-gunungan, dari atas ia mendesak Lam-sing.
"Huh, perempuan siluman she Ho itu sudah mampus, boleh
kau menyusul ke akherat saja," jengek Lam-sing. Hian-tiatpokiam
diputar, segera ia menyerang lebih dulu.
Swe Beng-hiong menjadi ragu-ragu akan kematian Hotoanio,
apakah sungguh-sunguh atau gertakan Lam-sing saja"
Ia pikir paling perlu binasakan dulu bocah ini.
Dahulu ia pernah bertempur sekali dengan Le Lam-sing
tatkala itu Lam-sing dihantamnya hingga terluka parah, sebab
itulah ia menjadi tidak gentar meski tahu pedang yang dibawa
Lam-sing itu adalah Hian-tiat-pokiam.
Tak terduga, begitu kedua senjata beradu, "trang", seketika
golok yang dipakai Swe Beng-hiong terkurung menjadi dua.
Keruan Swe Beng-hiong terkejut, ia tidak tahu bahwa
sebabnya dia berhasil memukul Lam-sing dahulu itu adalah
karena pemuda itu sebelumnya sudah terluka. Kini keadaan
berbalik, Swe Beng-hiong sendiri terluka pa-rah terkena jarum
berbisa lebih dulu, sedangkan Lam-sing dalam keadaan sehat
dan kuat, perubahan yang terbalik ini tentu saja membuat
Swe Beng-hiong kecundang.
Namun Swe Beng-hiong lantas memakai akal, karena
kedudukannya di atas gunung-gunungan itu lebih
menguntungkan, dari atas ia lantas menggunakan kakinya
untuk menjungkit sepotong batu padas ke arah Lam-sing yang
sedang menyerang sambil menengadah ke atas. Cepat Lamsing
mengayun pedangnya, "krak", batu padas itu terbelah
menjadi dua disertai letikan api.
Berturut-turut Swe Beng-hiong mendepak pula batu kedua
dan ketiga susul-menyusul melayang ke bawah.
Lam-sing memutar pedangnya dengan cepat, sekaligus ia
menabas lima potong batu sambil merangsek maju ke atas.
Swe Beng-hiong mengegos ke samping, tangannya membalik
terus memegang tangan kiri Lam-sing. Tebasan pedang Lamsing
luput mengenai sasarannya dan kena batu gununggunungan
itu sehingga menerbitkan suara gemuruh.
Kim-na-djiu-hoat (ilmu menangkap dan memegang) Swe
Beng-hiong sangat lihai, tapi tebasan pedang Lam-sing yang
dahsyat itupun membikin Swe Beng-hiong tergetar sehingga
langkahnya tidak kukuh, ia terpeleset ke bawah sembari
menarik tangan Le Lam-sing.
Lam-sing tidak sempat memutar balik pedangnya, terpaksa
ia mendepak sekuatnya sembari membentak, "Pergi!" kontan
Swe Beng-hiong terdepak jatuh ke bawah gunung-gunungan
dan melepas cengkeramannya tadi.
Beberapa gebrakan itu berlangsung dengan amat cepat,
meski beramai-ramai jago-jago pengawalnya memburu
datang, lapi tidak sempat menyelamatkan Swe Beng-hiong
dari depakan Le Lam-sing itu.
Sebaliknya meski Le Lam-sing berhasil menendang Swe
Beng-hiong dan membuatnya terguling sehingga terbalaslah
pukulan yang dideritanya dari Swe Beng-hiong dahulu, tapi dia
pun tidak sempat lagi menerjang ke sana untuk bergabung
dengan Kim Tiok-liu.
Dari jago-jago yang memburu datang hendak membantu
Swe Beng-hiong itu terdapat Soa Djian-hong, Kiong Peng-ya,
Wan-hay Hwesio, Tjap-sah-nio dan lain-lain. Ketika Lam-sing
meloncat bangun sementara itu orang-orang sudah sampai di
bawah gunung-gunungan, sekejap kemudian Su Pek-to juga
menyusul tiba. Lam-sing menarik napas dingin melihat begitu banyak
musuh yang datang, pikirnya, "Melulu Su Pek-to seorang saja
aku sudah kewalahan melawannya, meskipun aku membawa
Hian-tiat-pokiam, apalagi ditambah jago-jago sebanyak itu.
Biarlah sudah, asalkan adik Tiok Liu dan nona Su dapat lolos
dari bahaya, aku rela mati untuk mereka."
Dalam pada itu Su Pek-to yang memburu datang paling
iikhir itu, menerjang ke atas gunung-gunungan.
Setelah mengambil keputusan dan membulatkan tekad,
segera Lam-sing, berseru, "Hian-te, terimalah pedang ini!"
Hian-liat-pokiam berubah menjadi selarik sinar dan
menyambar ke urah Kim Tiok-liu dengan membawa suara
menderu. Betapa dahsyatnya sambaran Hian-tiat-pokiam dari tempat
yang tinggi itu, Su Pek-to tahu kelihaian pedang ini, meski
tinggi kepandaiannya juga tidak berani sembarangan merebut


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjata itu. Terpaksa ia mengegos ke samping, Hian-tiatpokiam
melayang lewat di atas kepalanya.
Saat itu hanya tinggal Bun To-tjeng dan Yang Go saja yang
melawan Kim Tiok-liu dan Su Ang-ing. Karena itu kekuatan
kedua pihak boleh dikatakan seimbang, seketika sukar
menentukan menang dan kalah.
Dalam pada itu dengan cepat luar biasa Hian-tiat-pokiam
melayang tiba dengan membawa suara gemuruh. Bun Totjeng
juga kenal kelihaian pedang wasiat itu, jika Su Pek-to
saja tidak berani menangkap senjata itu, mana dia berani"
Tanpa ayal Bun To-tjeng dan Yang go menyingkir ke pinggir
sehingga pedang itu menyambar ke arah K i m Tiok-liu.
Tapi Kim Tiok-liu hanya mengegos sambil menabok ke
gagang pedang, seketika ujung pedang berganti arah. jalan
meluncurnya juga merandek, maka sebelah tangan Kim Tiokliu
yang lain lantas meraup, dengan kencang gagang pedang
kena terpegang olehnya.
Kiranya Le Lam-sing pernah mendapat ajaran ilmu pedang
dari Kim Si-ih, ayah Kim Tiok-liu, gerak melempar pedang ini
adalah salah satu jurus dari Si-mi-kiam-hoat yang khas, sudah
tentu Kim Tiok-liu terlebih mahir cara melempar dan
menangkap pedang yang dilepaskan dengan jurus tersebut.
Sebab itulah Le Lam-sing berani menimpukkan Hian-tiatpokiam
pada Kim Tiok-liu dan ternyata tidak mengecewakan
harapannya, dengan cara sederhana saja ia dapat menangkap
pedang itu. Namun sesudah menerima pedang itu, hati Tiok-liu menjadi
terkesiap, ia tidak menjadi senang, berbalik merasa kuatir,
pikirnya "Dengan melepaskan pedang ini, cara bagaimana Letoako
akan melayani Su Pek-to."
Bobot Hian-tiat-pokiam ada ratusan kati, melemparkannya
dari atas ke bawah lebih mudah, dari bawah hendak
dilemparkan ke atas sudah tentu jauh lebih sulit. Baru saja
Kim Tiok-liu hendak menimpukkan pedang itu pada Le Lamsing
sebisa mungkin, pada saat itulah tiba-tiba terdengar Le
Lam-sing mengerang keras, kiranya dia kena dipukul oleh Su
Pek-to dan terjungkal ke balik gunung-gunungan sebelah
sana. Tempat tergulingnya Le Lam-sing terletak di tengah-tengah
antara dua gunung-gunungan yang lain, maka bagaimana
akibat tergulingnya Le Lam-sing itu mereka tidak melihat jelas.
Yang terang Su Pek-to kelihatan meloncat ke sebelah sana tak
perlu dijelaskan, tentu ia menyusul ke sana buat menangkap
Le Lam-sing. Pedih perasaan Tiok Liu laksana disayat-sayat, ia menjadi
nekat, betapapun ia tidak bisa membiarkan Le-toako
berkorban baginya. Karena pikiran demikian, segera ia
memutar pedang dengan kencang, bentaknya "Matilah yang
menghalangi aku!" la terus menerjang ke sana dengan diikuti
Su Ang-ing. Yang Go mengerahkan tenaga pukulan Siu-lo-im-sat-kang
tingkat sembilan dengan maksud merintangi mereka Akan
tetapi kelihaian Siu-lo-im-sat-kang terletak pada hawa maha
dinginnya dan bukan tenaga pukulannya, sedangkan Kim Tiokliu
tidak takut pada pukulan dingin itu, tanpa pikir ia terus
menahaskan pedangnya mana sanggup Yang Go menangkis
Hian-tiat-pokiam yang berat itu"
Merasa t'dak sanggup menangkis, secara mendadak Yang
Go menggerung sekerasnya seorang pengawal di sebelahnya
dicengkeram untuk digunakan sebagai tameng. Ketika tabasan
Kim Tiok-liu itu tiba muncratlah darah, tanpa ampun jiwa
pengawal tadi melayang, namun jiwa Yang Go sendiri dapat
diselamatkan, ia melempar mayat pengawal itu terus angkat
langkah seribu.
Melihat begitu kejam cara Yang Go, takut ikut dijadikan
korban, pengawal yang lain tiada satu pun yang berani maju
lagi. Hanya Bun To-tjeng yang yakin Sam-siang-sin-kang telah
sempurna benar, mundurnya pengawal segera digantikan
olehnya. Ia mendengus, "Hm, aku justru mau coba-coba
betapa kuat Hian-tiat-pokiam yang hebat ini!"
"Baiklah, cobalah maju!" sambut Kim Tiok-liu. Dengan
gerak tipu 'Hiang-in-toan-hong" atau awan melintang
memotong puncak gunung, dengan membawa suara menderu
Hian-tiat-pokiam terus membabat ke pinggang lawan.
Melihat pedang wasiat itu benar-benar lihai, terpaksa Bun
To-tjeng mengeluarkan senjatanya yang jarang digunakan,
sebatang golok yang panjang tipis, dengan pclahan goloknya
me-nyampuk pedang Tiok-liu yang berat.
Bentuk golok Bun To-tjeng itu memang aneh, mirip golok
dan mirip pedang, lebarnya cuma selebar dua jari, tapi
panjangnya lebih satu meter. Kiranya pedang lemas ini
digembleng dari belasan golok baja, jadi intisari belasan golok
baja menghasilkan sebuah senjata aneh ini. Sebagai seorang
ahli silat, Bun To-tjeng tahu untuk melawan Hian-tiat-pokiam
yang berat itu adalah tepat sekali menggunakan senjata yang
lemas. Maka terdengarlah suara "uang'" yang nyaring, ujung
pedang lemas Bun To-tjeng menyampuk pelahan batang Hiantiat-
pokiam, pedang lemas lantas melengkung, tenaga tabasan
Hian-tiat-pokiam yang hebat itupun kena dipunahkan
sebagaian, gebrakan ini meski Bun To-tjeng mengalami
kekalahan, tapi tangkisan telah dapat dilakukan.
Kim Tiok-liu juga berkesiap ketika merasakan tenaga
gempuran membalik dari lawan itu, pikirnya, "Sam-siang-sinkang
jahanam ini sungguh hebat, jika aku tak bisa
mengenyahkan dia tentu sukar menolong Le-toako. Terpaksa
aku harus mengadu jiwa dengan dia"
Dengan menggertak, cepat Hian-tiat-pokiam menahas lagi.
Saking napsunya entah darimana timbulnya tenaga Hian-tiatpokiam
yang berat itu terasa seperti sebatang kayu saja dalam
pegangannya. Pedang itu diputarnya dengan kencang,
menahas, menusuk, semuanya dilakukan dengan gesit dan
lincah. Dalam sekejap saja ia telah melancarkan beberapa
serangan kilat. Terdengar suara "trang-tring" terbenturnya
kedua senjata Sebenarnya Bun To-tjeng sendiri yakin kekuatannya
melebihi Kim Tiok-liu, siapa tahu sesudah beberapa gebrakan,
ia merasa tangan sendiri panas pedas, hampir-hampir tidak
kuat lagi memegangi senjatanya. Setiap kali kedua senjata
terbentur, pedangnya yang lemas lantas bertambah bengkok.
Keruan ia terperanjat, ia pikir kalau terus begitu, bukan
mustahil nanti pedangnya akan patah dan orangnya binasa.
Tiada jalan lain terpaksa ia melompat ke samping, memberi
jalan kepada Kim Tiok-liu untuk berlalu ke sana.
Saat itu Su Ang-ing juga sudah mendesak mundur Bun
Seng-tiong dan lain-lain, segera ia menyusul Kim Tiok-liu.
"Bagaimana kau," tanya Tiok-liu kuatir ketika mendengar
napas si nona rada payah.
Tertampak Ang-ing lantas menggigil, giginya sampai ber-
Ikeretukan, sahutnya terputus, "Ti.....tidak apa-apa?"
Rupanya dia terserang oleh hawa dingin pukulan Siu-lo-Imsat-
kang yang dilancarkan Yang Go tadi, ditambah lagi ia
habis bertempur sengit, karena Lwekangnya memang jauh di
bawah Kim Tiok-liu, tentu saja ia tidak tahan.
Melihat air muka si nona saja Tiok-liu lantas tahu sebabmusababnya
segera ia menggenggam kencang tangan kiri
Ang-ing, dengan tenaga dalamnya yang kuat disalurkannya
untuk membantu si nona memunahkan hawa dingin yang
meresap di tubuhnya.
"Sudahlah cukup, lekas kau pergi menolong Le-toako," kapi
Ang-ing. Tiok-liu mengiakan, segera mereka berlari ke depan. Ginkang
kedua orang memang sembabat, hanya sekejap saja
mereka ludah sampai di gunung-gunungan tadi.
Munculnya Kim Tiok-liu membikin Tjap-sah-nio, Wan-hay,
Soa Djian-hong, Kiong Peng-ya dan lain-lain menjadi gugup.
Cepat mereka memencarkan diri dan tidak berani menempumya.
Tiok-liu melompat ke balik gunung-gunungan itu sambil
berseru, "Le-toako! Le-toako!"
Namun tiada nampak banyangan Le Lam-sing, sebaliknya
Su Pek-to menyambutnya dengan gelak tertawa katanya "Le
Lam-sing sejak tadi sudah kubunuh, boleh kau menemuinya di
akhirat saja!"
Namun mayat-mayat yang bergelimpangan di situ tiada
satu pun yang mirip Le Lam-sing, Kim Tiok-Iiu pikir Le-toako
tentu telah melompat ke balik gunung-gunungan sana untuk
bergabung dengan Li Tim dan kelompoknya Cuma kalau
dipikir lagi, setelah melemparkan Hian-tiat-pokiam padanya
pasti Lam-sing tidak mampu melawan Su Pek-to, di bawah
kerubutan musuh kuat sebanyak ini mana dia sanggup
meloloskan diri?"
Kim Tiok-Iiu merasa ragu-ragu, mendadak ia menjadi
gusar, bentaknya "Kau berani menyumpahi Le-toako, ini
rasakan pedangku!" Tanpa mempedulikan apa yang dikatakan
Su Pek-to tadi benar atau tidak, segera ia memutar Hian-tiatpokiam
dan melancarkan serangan maut.
Mendadak Su Pek-to menimpukkan pedangnya katanya
dengan tertawa, "Kim Tiok-Iiu, ia telah mencuri Hian-tiat-poTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kiamku, lantas kau sangka aku tak bisa berbuat apa-apa
padamu" Hm, cobalah maju, biarpun kau membawa sepuluh
Hian-tiat-pokiam bisa berbuat apa padaku?"
"Krek", pedang yang disambitkan Su Pek-to itu terkurung
menjadi dua oleh pedang Kim Tiok-Iiu, tapi tenaga Su Pek-to
lebih kuat daripada Kim Tiok-Iiu, tentu saja lemparan pedang
itu tidak kepalang hebatnya, Kim Tiok-Iiu sampai tergetar
mundur dua tindak.
Cepat Ang-ing memburu maju, Tiok-Iiu berkata "Kau pergi
mencari Le-toako saja!"
Dalam pada itu dengan cepat sekali Su Pek-to sudah
menerima senjata baru dari seorang anak buahnya senjata itu
adalah Tok-kah-tong-djin (orang-orangan tembaga berkaki
satu), ia menubruk maju sambil membentak, "Budak hina,
menyingkir sana, aku tidak ingin membunuh kau dengan
tanganku sendiri!"
Meskipun Tok-kah-tong-djin itu tidak seberat Hian-tiatpokiam,
tapi bobotnya juga ada 50-an kati. Ketika pedang Kim
Tiok-Iiu menusuk, "Cret", lelatu api menciprat, orang-orangan
tembaga itu gumpil setitik, tapi tangan Kim Tiok-Iiu juga
kesemutan. Rupanya Su Pek-to sengaja menyiapkan senjata
baru ini untuk melayani Hian-tiat-pokiam.
Dalam sekejap saja Kim Tiok-Iiu sudah melancarkan berasan
kali serangan, Su Pek-to juga memutar senjatanya
menangis dengan sama cepatnya. Terdengar suara mendering
nyaring engilukan, badan orang-orangan tembaga itu babak
belur pe-uh luka tapi dapat menerima setiap benturan Hiantiat-
pokiam dan tidak sampai terkurung.
Tadi Soa Djian-hong kena dicambuk satu kali oleh Su Anging,
ia masih dendam, melihat Kim Tiok-Iiu sedang terlibat
pertarungan dengan Su Pek-to, segera ia menubruk maju
hendak menangkap Ang-ing, serunya dengan nada dingin,
"Nona yang baik, jika kau mampu, coba cambuklah aku lagi!"
Kepandaian Ang-ing tidak di bawah Soa Djian-hong, hanya
saja ia telah bertempur lama, tenaga sudah banyak susut,
maka setelah belasan gebrakan, Ang-ing sudah mandi
keringat, sebaliknya Soa Djian-hong mendesak lebih gencar
sehingga Ang-ing terpaksa main mundur terus.
Melihat gelagat menguntungkan, Kiong Peng-ya juga lantas
ikut maju membantu Soa Djian-hong. Siu-lo-im-sat-kang yang
dilatih Kiong Peng-ya baru mencapai tingkatan ketujuh,
namun begitu angin pukulannya sudah cukup dingin, keruan
Su Ang-ing menggigil, dalam keadaan sedang berkeringat
terus disambar oleh hawa dingin. Ia terperanjat dan semakin
payah menghadapi serangan kedua lawannya.
"Lepas cambukmu!" bentak Soa Djian-hong, tangan kiri
menyampuk, tangan kanan sudah kena memegang ujung
cambuk Ang-ing dengan ilmu 'Hou-djiau-kang' (cakar
harimau). Sekuatnya Ang-ing bertahan agar cambuknya tidak
terlepas, tenaga disalurkan ke ujung cambuk. Sungguh lihai
permainan si nona, meski tercengkeram di tangan musuh, tapi
ujung cambuk masih terus membelit laksana ular mencari
lubang buat meloloskan diri, tangan Soa Djian-hong sampai
kesakitan mencengkeramnya.
Soa Djian-hong menjadi murka bentaknya "Bagus, coba
kau tarik!" Segera ia memasang kuda-kuda dan menggunakan
ilmu memberatkan tubuh, lalu membetot sekuatnya.
Su Ang-ing sudah mengerahkan segenap tenaganya,
keruan betotan ini membuat tubuhnya ikut terseret maju.
Kiong Peng-ya tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini,
segera ia melompat maju, jarinya seperti cakar terus
mencengkeram pundak si nona.
Tampaknya Su Ang-ing sukar lolos dari cengkeraman maut
itu, syukur pada saat yang gawat terdengarlah gertakan kim
Tiok-liu, menyusul orangnya melayang tiba, pedang terus
menahas ke arah Soa Djian-hong. Meski tidak mudah bagi Kim
Tiok-liu untuk mengalahkan Su Pek-to yang bersenjatakan
Tok-kah-tong-djin tadi, tapi untuk melepaskan diri dari
pertarungan itu adalah tidak sukar.
Soa Djian-hong mengira Kim Tiok-liu pasti tidak sempat
mengikuti pertarungan di sebelah sini, kini mendadak Kim
Tiok-liu melayang tiba, keruan ia menjadi gugup, cambuk Su
Ang-ing yang dibetotnya hingga kencang laksana tali busur
yang dipen-tang, tiba-tiba sinar pedang berkelebat, ujung
cambuk tertabas kutung, Soa Djian-hong kehilangan
keseimbangan badan, ia terlempar dan jatuh terjengkang,
mukanya pucat pasi seperti mayat.
Rupanya sambaran pedang Kim Tiok-liu terlalu cepat
datangnya, mestinya Soa Djian-hong hendak melepaskan
pegang annya, tapi ujung cambuk toh tetap tertabas putus.
Untung dia keburu menghindar, kalau tidak, tentu tangannya
sudah buntung. Sedangkan cengkeraman Kiong Peng-ya tadi mestinya
dapat mengenai sasarannya, tapi ia menjadi kaget karena
gertakan Kim Tiok-liu yang menggelegar tadi, sedikit
merandek saja Kim Tiok-liu sudah keburu tiba, kontan Kiong
Peng-ya ditendangnya hingga terguling.
Menyusul cambuk Su Ang-ing lantas menyambar lagi,
serunya, "Orang she Soa, kau sendiri yang minta dicambuk,


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka jangan menyesalkan diriku!"
Saat itu Soa Djian-hong masih berdebar-debar karena bani
saja menyelamatkan diri dari sambaran pedang Kim Tiok-liu,
tapi sabetan cambuk Su Ang-ing tak bisa terhindar, tepat
sekali mukanya termakan hingga babak-belur keluar kecap
merah, bahkan ingus dan airmata juga mengucur. Sayang
cambukan Su Ang-ing kurang keras, kalau tidak kepalanya
tentu pecah. Tiok-liu menggenggam tangan kiri Su Ang-ing, tenaga
murninya disalurkan untuk membantu si nona memunahkan
hawa dingin yang menyusup ke tubuhnya Dalam pada itu
dengan cepat sekali Su Pek-to sudah menubruk tiba, Tok-kahtong-
djin lantas menghantam. Saat itu Su Pek-to sudah kalap,
biarpun adik perempuannya akan ikut terhantam mati juga tak
terpikir lagi olehnya.
"Jangan hiraukan diriku, kau melarikan diri saja!" seru Su
Ang-ing. la tahu Ginkang Kim Tiok-liu amat tinggi, membawa
Hian-tiat-pokiam pula untuk melarikan diri rasanya tiada
seorang musuh pun yang mampu merintanginya.
"Hidup bersama matipun biarlah bersama!" kata Tiok-liu
sambil tetap menggenggam kencang tangan kiri Ang-ing,
hanya tangan kanan digunakan untuk memutar pedang
menangkis serangan Su Pek-to.
Terdengar suara nyaring beradunya Hian-tiat-pokiam dan
Tok-kah-tong-djin, Su Pek-to mendesak dengan senjatanya
yang berat itu, Kim Tiok-liu tidak sanggup menahan daya
tekanan itu, maklum sebelah tangannya ini masih
menggenggam tangan Su Ang-ing, tenaga dalamnya terpencar
karena sedang disalurkan ke tubuh si nona
"Hayo maju, mana orangnya!" teriak Su Pek-to memanggil
bantuan. Memang pada saat demikian, jika ada orang
melancarkan serangan pula kepada Kim Tiok-liu, dia pasti
sukar menyelamatkan diri.
Syukur pada saat itu Soa Djian-hong dan Kiong Peng-ya
yang berada di situ sudak kapok dihajar oleh Kim Tiok-liu,
mereka ragu-ragu untuk maju membantu.
Sementara itu Tiok-liu merasa telapak tangan Ang-ing
sudah mulai hangat, segera ia melepaskan tangannya.
Didahului menggertak, ia memutar Hian-tiat-pokiam terlebih
kuat, "trang", kembali orang-orangan tembaga Su Pek-to
bertambah satu luka, mau tak mau Su Pek-to juga tergetar
mundur. Pada saat itulah terdengar seman seorang, "Sayang, aku
terlambat! Tapi juga belum terlalu kasip!" Kiranya Bun Totjeng
adanya. Sudah tentu dia tidak penakut seperti Soa
Djian-hong dan lainnya, dengan Sam-siang-sin-kang yang
disalurkan ke pedangnya, hanya beberapa gebrakan saja ia
telah memisahkan Su Ang-ing dan Kim Tiok-liu.
"Kau wakilkan aku membekuk budak itu, bocah she Kim ini
serahkan padaku, dia bukan tandinganku," kata Su Pek-to.
Lantaran telah membantu Su Ang-ing dengan tenaga
murninya, apalagi kekuatannya memang di bawah Su Pek-to,
sudah tentu kini Kim Tiok-liu bertambah lemah, makanya Su
Pek-to yakin cukup mampu mengatasi lawannya.
Sebaliknya Bun To-tjeng juga merasa lebih untung jika
cuma menghadapi Su Ang-ing saja, dengan tersenyum ia
lantai menjawab, "Baiklah, terpaksa aku membikin susah adik
perera puanmu!"
Begitulah pertarungan sekarang terbagi menjadi dua partai,
dengan demikian kekuatan kedua pihak menjadi tampak
semakin nyata Tiba-tiba terdengar suara seorang gadis berseru, "Le-toako,
dimana kau Le-toako" He, dimanakah kau?"
Kiranya Kongsun Yan yang menerjang tiba tadi dia ter
halang di sebelah sana gunung-gunungan, keadaan
pertempuran Le Lam-sing melawan Su Pek-to tidak jelas
dilihat olehnya. Ha nya jeritan Le Lam-sing yang memilukan
tadi dapat didengar olehnya. Lantaran kuatir, dengan nekat ia
tems melancarkan serangan-serangan maut.
Sebenarnya dia dan Li Tun suami istri sedang menempui An
Tjun-ting serta empat jago pengawal. Pertama toya salah
seorang pengawal itu ditabas kutung oleh Le Lam-sing
sehingga kepungan mereka bobol. Menyusul ketiga jago
pengawal itupun
dilukai oleh Kongsun Yan, jadi jago lawan hanya tinggal An
Tjun-ting saja yang masih gagah, Kongsun Yan menduga Li
Tun dan Djay-hong cukup kuat melayani musuh itu, maka
cepat ia memburu kemari untuk mencari Le Lam-sing.
Kecepatan ilmu pedang Kongsun Yan adalah ilmu tunggal
ayahnya yang terkenal di Bu-lim, mana bisa Kiong Peng-ya
dan Bun Seng-tiong menahannya. Hanya sekejap saja kembali
ada tiga jago pengawal terkena pedangnya. Cepat Kongsun
Yan melintasi gunung-gunungan dan menggabungkan diri
bersama Kim Tiok-liu dan Su Ang-ing.
Tiok-liu terkejut melihat Kongsun Yan datang sendiri cepat
ia bertanya, "Apa kau tidak melihat Le-toako?"
Padahal dia mengira Le Lam-sing sudah menggabungkan
diri dengan Kongsun Yan, siapa tahu sekarang si nona malah
datang mencarinya.
Karena perhatian Kim Tiok-liu sedikit terpencar,
kesempatan itu digunakan Su Pek-to, mendadak ia
menggertak, orang-orangan tembaga itu tems mengemplang
ke atas kepala, begitu hebat hingga tangkisan Hian-tiatpokiam
hampir tidak kuat. Kim Tiok-liu merasakan gempuran
tenaga dalam lawan yang maha dahsyat, dadanya serasa
digodai, darah di rongga dada tergetar dan bergolak, isi
perutnya seakan tergoncang.
Tampaknya Kim Tiok-liu pasti akan celaka tertindih oleh
orang-orangan tembaga musuh dan Su Pek-to lagi merasa
senang, sekonyong-konyong angin tajam menyambar, dari
belakang Kongsun Yan menusuk ke punggung Su Pek-to. Dari
tempat yang diarah serta sambaran angin yang tajam, Su Pekto
mengetahui betapa lihainya serangan Kongsun Yan itu.
Keruan ia terkejut, anak perempuannya saja begini lihai,
apalagi Kongsun Hong. Dan si tua ini entah datang atau tidak"
Demikian Su Pek-to menimang-nimang dalam hati.
Terpaksa ia mengendurkan daya tekanannya terhadap Kim
Tiok-liu, tangan kiri memukul balik untuk menyampuk pedang
Kongsun Yan. Dalam pada itu Su Ang-ing juga mengalami saat kritis di
bawah serangan gencar Bun To-tjeng. Karena tekanan musuh
mulai kendur, kesempatan itu segera digunakan Kim Tiok-liu
untuk memutar ke sana, Hian-tiat-pokiam dipakai sebagai
golok terus membacok kepala Bun To-tjeng.
Bun To-tjeng terkejut dan cepat menggeser ke samping,
pada saat itu pernapasan Kim Tiok-liu belum lagi teratur baik
karena baru saja menghadapi tekanan Su Pek-to yang berat,
kalau Bun To-tjeng berani mengadu senjata secara keras pasti
Kim Tiok-liu tak bisa menandingi.
Setelah menyampuk pedang Kongsun Yan, segera Su Pekto
mendesak maju, dengan Kim-na-djiu-hoat yang lihai ia
bermaksud merebut senjata si nona, berbareng itu tangan
yang lain memotong disusul menutuk, setiap jurus
serangannya selalu ganas dan hampir mengenai tubuh
sasarannya. Namun Kongsun Yan juga sangat gesit, dalam sepuluh
jurus ia masih mampu balas menyerang empat kali, lantaran
jaraknya terlalu dekat, angin pukulan lawan seakan-akan
mengiris kulit mukanya bemapaspun sukar rasanya.
Ketika Kongsun Yan berkelit dan melompat ke samping,
segera ia berteriak, "Keparat Su Pek-to ini berani menganiaya
anak, lekas datang membantu anakmu, ayah!"
Su Pek-to terkesiap, satu jurus serangan dahsyat
mendadak ditahan, katanya "Aku dan ayahmu adalah sahabat
baik, kau jangan ngaco, lekas pergi saja!"
Maklumlah Kongsun Hong adalah Pangtju Ang-eng-hwe
yang merupakan perkumpulan Kangouw terbesar,
kekuatannya bahkan lebih besar dari Liok-hap-pang, juga ilmu
silat Kongsun Hong sendiri lebih tinggi daripada Su Pek-to,
makanya Kongsun Hong termasuk salah seorang yang
disegani oleh Su Pek-to. Ia pikir si tua Kongsun Hong entah
benar-benar ikut datang atau tidak, buat apa aku bermusuhan
dengan dia Biarlah anak dani ini kulepaskan saja tapi si bocah
she Kim itu harus kubekui Dengan keputusan demikian segera
Su Pek-to memutar balik, ia
bergabung dengan Bun To-tjeng mengerubuti Kim Tiok-liu.
Untung Su Pek-to telah dihalangi sejenak oleh Kongsun Yan
sehingga Kim Tiok-liu sempat berganti napas, dengan
sendirinya Hou-deh-sin-kang dapat bekerja lancar, tenaga
dalamnya cepat timbul kembali, meski belum pulih seluruhnya
tapi sebagian besar sudah bekerja lagi. Cepat ia memutar
pedangnya, sekaligus ia menyerang Su Pek-to di sebelah kiri
dan menyerang Bun To-tjeng di sebelah kanan.
Serangan kepada Su Pek-to hanya gerakan pancingan saja
sehingga tidak sampai kebentur orang-orangan tembaga yang
berat itu, tapi jurus serangannya cukup lihai, sekaligus
mengancam beberapa Hiat-to lawan. Ketika Su Pek-to menarik
senjatanya buat menjaga diri, terdengarlah "tring" yang
nyaring, Bun To-tjeng didesak mundur dua tindak.
Kiranya serangan Kim Tiok-liu kepada Bun To-tjeng itu
adalah serangan sungguh-sungguh, walaupun pedang lemas
Bun I o-tjeng tidak sampai terkurung oleh Hian-tiat-pokiam,
tapi tidak sanggup menahan daya gempur pedang wasiat yang
lihai itu. Dalam pada itu Kongsun Yan sedang menengok ke sana
kemari dan tetap tidak menemukan Lam-sing. Mendadak Bun
Seng-tiong menjengek, "Bocah she Le itu sudah dibinasakan
oleh Su-pangtju, kau dara manis ini lebih baik ikut aku saja!"
Dasar watak Bun Seng-tiong memang suka main
perempuan, sekalipun tahu kepandaian Kongsun Yan cukup
lihai, tapi ia menyangka seorang nona yang telah terkepung
rapat mampu berbuat apa, maka ia maju hendak menangkap
Kongsun Yan. Ketika mendengar pernyataan Kim Tiok-liu bahwa Lam-.ing
tidak dilihatnya tadi, Kongsun Yan sudah merasakan firasat
tidak enak. Karena kata-kata Bun Seng-tiong itu, laksana
halilintar di siang bolong yang membuatnya bertambah kaget,
hampir saja ia jatuh kelengar.
Alangkah senangnya Bun Seng-tiong melihat si nona
tertegun kaget, segera ia menubruk maju. Di luar dugaan
mendadak Kongsun Yan sadar, rasa gusarnya lantas
memuncak. "Awas!" cepat The Hiong-toh memperingatkan kawannya,
tapi sudah kasip, dimana sinar pedang berkelebat, Kongsun
Yan menyerang dengan murka, "cret" bahu kiri Bun Sengtiong
kontan tertembus.
Tanpa peduli mati-hidup Bun Seng-tiong, cepat Kongsun
Yan menarik pedangnya terus menyerang ke arah Su Pek-to.
Su Pek-to menjadi gusar, dampratnya, "Aku hanya
mengingat akan ayahmu, maka memberi jalan hidup padamu,
jika kau sendiri yang mencari mampus, maka jangan salahkan
aku lagi!"
"Kau yang membunuh Le Lam-sing kan" Kau yang
membunuhnya bukan?" teriak Kongsun Yan berulang-ulang
dengan suara serak.
Su Pek-to berpikir kalau mengatakan tidak pernah
membunuh Le Lam-sing tentu orang lain akan mengira dia
takut pada Kongsun Hong, maka dengan angkuh ia
menjawab, "O, kiranya kau telah jatuh hati kepada bocah she
Le itu" Ya, memang aku telah membunuhnya. Apanya yang
baik bocah seperti itu" Ai, keponakanku yang baik kau jangan
bersedih, nanti akan kuganti dengan seorang pacar yang
ganteng." Le Lam-sing memang betul terluka parah kena pukulan Su
Pek-to, cuma mati atau hidup tidak diketahui dengan pasti
oleh Pek-to sendiri, hanya ia yakin Le Lam-sing pasti sudah
mati. Kongsun Yan berteriak pula "Le-toako mati, aku pun tidak
ingin hidup lagi! Biar kau bunuh aku sekalian, tentu ayah akan
menuntut balas padamu. Su Pek-to, hari ini aku pasti
mengadu jiwa denganmu!" Berbareng itu, sekaligus ia
memberondong belasan kali serangan ke arah Su Pek-to.
Serentak Kim Tiok-liu dan Su Ang-ing sama-sama berpikir,
"O, kiranya Le-toako sudah mempunyai kekasih, nona
Kongsun ini benar-benar tak terbatas mencintainya."
Mereka merasa sangat terhibur karena Le Lam-sing telah
mendapatkan jodoh, tapi mereka menjadi kuatir juga karena
mati atau hidup Le Lam-sing tidak diketahui. Namun
menghadapi musuh tangguh, terpaksa mereka harus
memusatkan perhatian untuk bertempur sekuatnya tanpa bisa
banyak berpikir lagi.
Tempat luang di antara dua gunung-gunungan itu sangat
terbatas, Kim Tiok liu, Su Pek-to dan Bun To-tjeng adalah
jago-jago kelas wahid, pertarungan sengit di antara mereka
bertiga mana bisa disela oleh orang lain, tapi The Hkmg-toh
ternyata tidak tahu diri, ia mengira ilmu Tiat-soa-tjiangnya
cukup lihai, maka berani maju membantu. Tidak terduga
goncangan angin yang dijangkitkan Hian-tiat-pokiam saja
sudah membuatnya terhuyung-huyung dan tepat terbentur
oleh orang-orangan tembaga yang diputar Su Pek-to, tanpa
ampun lagi ia terkapar binasa.
Dalam pada itu Bun To-tjeng juga menguatirkan puteranya,
ia berseni memanggil, "Anak Tiong, bagaimana
keadaanmu?"
"Aku terluka parah oleh anak busuk itu, balaskan sakit
hatiku ini, ayah!" teriak Bun Seng-tiong dengan suara lemah.
Bun To-tjeng tidak tahu persis keadaan luka puteranya itu,
pikirannya menjadi kacau. Su Pek-to berkata padanya,
"Putera-mu pasti takkan mati, dari suaranya dapat kuduga
akan hal ini, kau jangan kuatir."
"Lukanya seperti sangat parah," ujar Bun To-tjeng.
"Tidak sampai mati," kata Su Pek-to dengan nada dingin.
"Sekalipun mati juga berkorban bagi Sri Baginda jasa kalian ini
tidaklah kecil."
Terkesiap hati Bun To-tjeng, pikirnya "Benar, pada saat
yang menentukan ini aku harus mengambil keputusan tegas
dan tidak dapat mundur. Jika aku memikirkan anak, tentu
tidak dapat memikirkan kedudukan dan nama lagi." Namun
demikian toh hatinya tetap merasa kuatir.
Posisi sekarang menjadi dua lawan tiga. Di pihak Kim Tiokliu


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meski lebih banyak satu orang, tapi kepandaian Kongsun
Yan dan Su Ang-ing lebih lemah, bahkan tenaga mereka tidak
tahan lagi setelah bertempur sekian lamanya. Untung Su Pekto
merasa jeri terhadap Kongsun Hong, betapapun ia tidak
berani melukai Kongsun Yan. Sebaliknya Bun To-tjeng
terpencar perhatiannya karena memikirkan keselamatan
puteranya, dengan demikian pertempuran kedua pihak
menjadi seimbang.
Di tengah pertarungan sengit itu tiba-tiba terdengar suara
dentuman meriam yang keras, makin lama makin kerap. Tidak
lama kemudian suara gemuruh medan pertempuran pasukan
besar serta derap kuda yang riuh juga sayup-sayup terdengar.
Saat itu Swe Beng-hiong sedang ubek-ubekan mencari Hotoanio,
ketika mendengar suara dentuman meriam, seketika
hatinya tidak tenteram. Tiba-tiba dilhatnya An Tjun-ting
sedang diuber-uber oleh sepasang laki perempuan. Rupanya
sesudah pem-bantu-pembantunya dikocar-kacirkan oleh
Kongsun Yan, sekarang An Tjun-ting juga tidak mampu
melawan Li Tun dan is-terinya
Meski terluka, tapi kepandaian Swe Beng-hiong jauh di atas
Li Tun berdua, cepat ia maju membantu An Tjun-ting sehingga
Li Tun berdua digempur mundur.
"Dimana Ho-toanio?" tanya Swe Beng-hiong.
"Ho-toanio sudah..... sudah terbunuh oleh bocah she Le
itu," sahut An Tjun-ting dengan napas terengah-engah.
"Apa" Dia......dia sudah mati?" seru Swe Beng-hiong kuatir,
tanpa terasa darah segar tertumpah dari mulutnya saking
cemasnya. "Bagaimana kau, Swe-tjiangkun?" seru An Tjun-ting.
Pada saat itulah seorang berlari datang dengan tergesagesa
dan memberi laporan dengan napas megap-megap,
"Tjiang.....
Tjiangkun, pintu gerbang timur dan barat telah bobol
diserang kawanan bandit, Tjiangkun diminta memimpin sendiri
pertempuran, kalau tidak, mungkin sekali tidak mampu
membendung kekuatan musuh."
Padahal sesudah terkena jarum berbisa, berkat Lwekangnya
yang kuat, Swe Beng-hiong telah bertahan sekian
lamanya, betapapun tenaganya sudah lemah. Kematian Hotoanio
membikin dia putus asa pula akan memperoleh obat
pemunahnya, sekarang dia sedang gelisah dan kacau pikiran,
mana dia ada semangat buat memimpin pertempuran segala
Namun pasukan pemberontak sudah membobol benteng kota
sebentar lagi pasti akan menyerbu tiba. Terus bercokol di
dalam istana juga bukan jalan yang terbaik, terpaksa ia
bersikap tenang dan menjawab, "Baiklah, segera aku akan
memimpin sendiri pertempuran, An-tjamtjiang, lekas
kumpulkan barisan pemanah, gunakan panah berbisa
mampuskan semua bangsat itu!"
"Bagaimana dengan Su Pek-to dan Bun Seng-tiong?" tanya
An Tjun-ting. "Peduli apa dengan mereka," sahut Swe Beng-hiong gusar,
la sudah terlalu gemas terhadap Kim Tiok-liu, maka dia lebih
suka mengorbankan kawan sendiri daripada Kim Tiok-liu lolos
bersama Su Ang-ing.
Biarpun di mulut Swe Beng-hiong menyatakan hendak
memimpin sendiri pertempuran, tapi di dalam batin
sebenarnya dia sedang memikirkan jalan untuk
menyelamatkan diri sendiri, terutama untuk memunahkan
racun di dalam tubuhnya jiwa lebih penting daripada pangkat
segala. Dalam pada itu terdengar suara pertempuran pasukan
kedua pihak sudah semakin mendekat. Melihat gelagatnya
pertempuran pasukan kedua pihak sudah terjadi di loronglorong
dalam kota lekas Swe Beng-hiong mengganti pakaian
sebagai prajurit biasa, lalu mengeluyur keluar kediamannya
Tapi baru saja ia melangkah keluar pekarangan, dari depan
ia dipapak oleh seorang tua berewok dengan tubuh kekar.
Begitu kepergok, orang tua itu lantas membentak, "Rasakan
pukulanku ini, Swe Beng-hiong!" Ternyata kakek ini bukan lain
adalah Siangkoan Thay yang pernah kena dilukainya secara
pengecut dahulu itu.
Terpaksa Swe Beng-hiong menangkis sekuatnya "biang",
kedua tangan beradu, Swe Beng-hiong mencelat terpental
beberapa meter jauhnya, kembali darah segar tersembur dari
mulutnya. Siangkoan Thay tidak tahu kalau Swe Beng-hiong sudah
banyak kehilangan tenaga, ia rada melengak juga karena
begitu gampang lawannya dihantam terpental. Pada saat ia
tertegun itulah Swe Beng-hiong sempat melompat bangun
terus berlari keluar dan menyembunyikan diri di tengah
prajurit-prajurit yang saat itu berlarian serabutan.
Tang Tjap-sah-nio tidak kenal kelihaian Siangkoan Thay, ia
menubruk maju sambil membentak, "Tua bangka darimana
kau?" Cambuknya lantas menyabet.
"Perempuan siluman itu paling jahat, jangan ampuni dia,
Siangkoan-tjianpwe!" seru Ho Djay-hong.
"Begitukah?" ujar Siangkoan Thay, berbareng itu dengan
tangan kiri ia terus memotong sehingga cambuk Tang Tjapsah-
nio putus menjadi dua. Saking napsunya membetot Tang
Tjap-sah-nio sampai jatuh terjengkang.
Tanpa ampun lagi Li Tun dan Djay-hong menambahkan
dua buah Hui-to, kontan jiwa Tang Tjap-sah-nio melayang.
Ketika di Liok-hap-pang dahulu Li Tun banyak menerima
hinaan dan baru sekarang rasa dendamnya terlampias.
Melihat temannya sudah binasa, Wan-hay Hwesio menjadi
ketakutan, cepat ia memutar tubuh dan angkat langkah
seribu. Di dalam istana tidak kurang jago-jago pilihan, tapi dalam
keadaan kacau, setiap orang sama mencari selamat sendirisendiri,
mana ada orang yang mau menjual jiwa lagi bagi Swe
Beng-hiong" Dengan susah payah akhirnya An Tjun-ting baru
mendapatkan belasan pemanah dan dipasang di balik gununggunungan
terus menghamburkan anak panah ke medan
pertempuran. Su Pek-to menjadi gusar, teriak; "Kurang ajar! Masakah aku
pun hendak kalian panah?" Dengan menjinjing senjatanya
yang berat itu, ia terus melompat ke atas gunung-gunungan
itu hendak membikin perhitungan pada An Tjun-ting. Tapi
mendadak senjata rahasia berhamburan seperti hujan, cuma
senjata-senjata rahasia itu tidak diarahkan padanya, juga
bukan ke jurusan Kim Tiok-liu di sebelah bawah sana, tapi
menyambar kebalik gunung-gunungan, tempat sembunyi regu
pemanahnya itu.
Seketika terdengarlah suara jeritan riuh ramai, belasan
pemanah itu roboh semua terkena senjata rahasia. Mendadak
dari atas rumah dan pagar tembok sana serentak muncul
belasan orang menubruk tiba laksana burung melayang,
mereka adalah Ubun Hiong, Kang Hiau-hu, Li Kong-he, Lim
To-kan. Siangkoan Wan, Tiok Djing-hoa, ketiga pasang suamiistri
ini adalah anak murid Kang Hay-thian. Di samping itu ada
pula Tan Kong-tjiau, Tjiok Hek-koh dan Tjin Goan-ko serta
Hong Biau-siang berdua pasangan.
Pasukan pemberontak saat itu belum tiba, tapi belasan jago
muda ini sudah mendahului menyerbu ke dalam istana Swe
Beng-hiong, keruan musuh menjadi keder.
Siangkoan Thay lantas membentak, "Pasukan pergerakan
sudah masuk kota, yang ingin hidup lekas menyerahkan diri!"
Pengawal-pengawal istana sebagian terluka parah atau
mati, sebagian lagi sudah kabur, ada pula merasa percuma
saja melawan, maka beramai-ramai mereka lantas membuang
senjata dan menyerah. Jago-jago undangan Swe Beng-hiong
yang lain banyak yang berlari ke sana kemari mencari selamat
sendiri-sendiri.
Dengan memutar orang-orangan tembaga yang berat itu
Su Pek-to terus menerjang keluar sambil membentak, "Yang
ingin mampus boleh cepat maju!"
"Baik, kau ini Pangtju Liok-hap-pang tentunya" Aku justru
ingin tahu betapa kelihaianmu!" seru Ubun Hiong, berbareng
ia terus menubruk maju sambil mengayun pedangnya.
"Trang", pedang menahas di atas orang-orangan tembaga,
Ubun Hiong merasa tangan kesemutan, badan tergetar
mundur, tapi segera ia mendesak maju lagi.
Su Pek-to terkejut karena Ubun Hiong tidak roboh oleh
getaran senjatanya yang berat itu. Dalam pada itu terasa
angin tajam menyambar juga dari belakang, pedang Tiok
Djing-hoa tusuk punggungnya dengan gesit sekali.
Lekas Su Pek-to meloncat setinggi mungkin, menyusul
orang-orangan tembaga terus menghantam ke bawah,
walaupun sempat menghindar, terasa sesak juga dada Tiok
Djing-hoa oleh daya tekanan senjata musuh itu.
Kembali Su Pek-to melengak karena hantamannya meleset,
hampir pada saat yang sama Li Kong-he dan Lim To-kan juga
menerjang maju dari kanan kiri, yang seorang bersenjata
pedang dan yang lain golok, semuanya menabas bagian
bawah tubuh Su Pek-to, golok menabas paha, pedang
menusuk lutut. Senjata Su Pek-to teramat berat sehingga kurang gesit,
maka bagian bawah memang merupakan tempat
kelemahannya, keruan Su Pek-to terkejut, diam-diam ia
mengakui kecerdikan kedua anak muda itu. Lekas kedua
kakinya menendang susul-menyusul, dengan tepat pedang
Lim To-kan kena ditendang lepas. Tenaga Kong-he lebih
besar, walaupun goloknya tertendang juga, tapi tidak terlepas,
ia hanya tergetar mundur. Namun tumit sepatu Su Pek-to juga
tertabas oleh goloknya, hanya saja tidak sampai terluka.
Namun begitu sudah cukup membikin Su Pek-to terkejut,
pikirnya "Darimana datangnya setan-setan cilik ini, ternyata
satu lebih lihai daripada yang lain. Kalau aku tidak lekas
angkat kaki bukan mustahil bisa kapal terbalik di selokan."
Rupanya tenaga Su Pek-to sudah banyak susut setelah
sekian lamanya bertempur melawan Tiok-liu, sebaliknya Ubun
Hiong dan kawan-kawan baru saja datang, sebab itulah
mereka masih sanggup melawannya.
"Siaususiok! Siaususiok!" demikian Kong-he berteriak
memanggil Kim Tiok-liu. Hubungannya paling baik dengan
Tiok-liu, maka ia sudah sangat rindu kepada paman ciliknya
itu, padahal saat itu keadaan Kim Tiok-liu tidak diketahui,
maka ia buru-buru ingin menemuinya.
Baru lenyap seruannya, terdengarlah suitan panjang, suara
Kim Tiok-liu menjawab, "Inilah aku!" Berbareng itu ternyata
ada dua sosok bayangan orang mengapung ke udara. Yang
seorang melayang lewat di sebelah gunung-gunungan, yang
lain melompat ke atas gunung-gunungan itu. Yang belakangan
ini ladalah Kim Tiok liu, sedangkan yang duluan itu ternyata
Bun To-tjeng adanya
Bun To-tjeng tidak berani terlibat dalam pertempuran itu
lebih lama ia menghindarkan diri dari sambutan rombongan
LJbun Hiong dan buru-buru ingin mencari puteranya yang
tidak diketahui bagaimana keadaan lukanya.
Sementara itu jago-jago istana Swe Beng-hiong itu
sebagian sudah kabur kecuali yang mati atau yang terluka
parah. Bun To-tjeng memandang sekitarnya tidak lama
dapatlah ia menemukan Bun Seng-tiong yang sedang
kelabakan dicecar oleh serangan seorang wanita badan
puteranya itu sudah belepotan darah.
Wanita itu bukan lain adalah Hong Biau-siang, Kiong Pengya
yang berdampingan dengan Bun Seng-tiong tadi sudah
kabur lebih dulu, Bun Seng-tiong sendiri terluka parah, ia
kuatir mati di tengah pertempuran sengit itu, terpaksa ia
bertahan sekuat tenaga ia coba merangkak ke suatu tempat
aman. Tapi sebelum tercapai maksudnya dia sudah kepergok
Hong Biau-siang, mau tak mau ia harus bertempur lagi matimatian.
Hong Biau-siang masih benci pada Bun Seng-tiong yang
pernah memaksa kawin dengannya dahulu, tapi tiada tekad
untuk membunuh pemuda itu. Sebaliknya Bun Seng-tiong
yang ketakutan sendiri, begitu kepergok si nona ia omong tak
keruan, "Adik Siang, harap ingat kebaikan dahulu, janganlah
merintangi aku!"
Maksud Bun Seng-tiong hendak meminta ampun, tetapi
sebaliknya menimbulkan rasa benci Hong Biau-siang pada
peristiwa dahulu, segera Biau-siang menjengek, "Hubungan
baik apa antara kau dan aku" Hm, jika aku melepaskan kau,
menandakan kelakuanku yang tidak genah malah?" Tanpa
pikir lagi ia segera menusuk.
Dalam keadaan luka parah, mana bisa Bun Seng-tiong
melawan si nona. Hanya beberapa gebrak saja
pergelangannya sudah tertusuk pedang Hong Biau-siang,
senjata terlepas dari cekalan.
Sebenarnya noda darah di tubuh Bun Seng-tiong itu adalah
karena tusukan pedang Kongsun Yan tadi, namun Bun Totjeng
menjadi kuatir, cepat ia membentak, "Jangan
mencelakai anakku!" Dari jauh segera ia mengirim dulu satu
pukulan sehingga pedang Bun Seng-tiong yang mencelat ke
udara itu tertolak ke arah lain. Secepat kilat menyambar ke
jurusan Tjin Goan-ko yang berada di belakang Hong Biausiang.
Menyusul dengan cepat luar biasa Bun To-tjeng
memburu maju, tubuh Bun Seng-tiong dirangkulnya dengan
tangan kiri, pedang lemas di tangan kanan terus menyerang
Hong Biau-siang.
Beberapa gerak serangan Bun to-tjeng itu dilakukan hampir
dengan sekaligus, sungguh seorang jago kelas wahid.
Walaupun dia sudah bertempur sengit sejak tadi, tapi tenaga
dalamnya masih tetap lebih hebat dari Tjin Goan-ko dan Hong
Biau-siang. Untung Tjin Goan-ko sudah mendapat Lwekang murni Butong-
pay, pedangnya berputar sambil mengegos ke samping,
sambaran pedang yang didorong itu dapat dipunahkan dan
menancap di atas tanah.
Sebaliknya Hong Biau-siang yang kewalahan menangkis
tusukan pedang Bun To-tjeng, sinar pedang berkelebat, tahutahu
lengan baju Biau-siang sudah hancur bertebaran. Syukur
Goan-ko lantas memburu maju, dengan jurus 'Pek-hong-koanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
djit' atau pelangi menembus sinar matahari, segera ia pun
menusuk ke tubuh Bun Seng-tiong dalam rangkulan Bun Totjeng
itu. Terpaksa Bun To-tjeng harus menyelamatkan
puteranya, ia menarik kembali pedangnya untuk menangkis,
dengan demikian barulah Biau-siang terhindar dari renggutan
elmaut.

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah rada tenang kembali, dengan gemas Bun Sengtiong
berkata dengan suara lemah, "Ayah, bunuhkanlah bocah
keparat itu!"
Dari suaranya yang lemah, Bun To-tjeng tahu puteranya
terluka tidak ringan. Entah jiwanya dapat diselamatkan tidak.
Matinya menjadi sedih, sahutnya, "Baik, akan kulaksanakan
keinginanmu ini!" Berbareng pedangnya berputar cepat,
seketika Goan-ko dan Biau-siang terkurung di tengah
lingkaran sinar pedangnya.
Di sebelah sana Tan Kong-tjiau juga memergoki musuhnya,
yaitu Wan-hay Hwesio dari Liok-hap-pang. Dua tahun yang
lalu ketika Wan-hay membegal di daerah Siamsay, kebetulan
perbuatannya dipergoki Kong-tjiau. Kedua orang lantas
bergebrak, Wan-hay dilukai oleh pedang Kong-tjiau,
sebaliknya jiwa Tan Kong-tjiau hampir melayang terkena
senjata rahasia berbisa yang dihamburkan Wan-hay. Sekarang
keduanya bertemu lagi, keruan Kong-tjiau tidak tinggal diam,
sekali gebrak segera ia menerjang.
"Trang", golok Wan-hay menangkis, tapi mata pedang Tan
Kong-tjiau terus menyerempet ke samping dan mendadak
Wan-hay merasa pundaknya kesakitan, ternyata sudah
terluka. Sebenarnya kepandaian kedua orang selisih tidak banyak,
meski Wan-hay lebih lemah juga tidak nanti terluka sekali
gebrak saja. Soalnya pikirannya sudah kacau lantaran Tang
Tjap-sah-nio sudah binasa dan kawan-kawannya yang lain
telah ngacir, sebaliknya Kong-tjiau menyerang dengan jurus
mematikan karena bertekad akan membalas dendam.
Keruan Wan-hay bertambah keder, tanpa pikir lagi segera
ia memutar tubuh dan angkat kaki. Namun Kong-tjiau juga
tidak kalah cepat, segera ia menubruk maju, "Sret-sret-sret"
tiga kali, tusukan ketiga tak bisa dihindarkan lagi oleh Wanhay,
dengan tepat punggungnya tertembus pedang, tamatlah
seketika riwayatnya.
Tjiok Hek-koh yang mengikuti pertarungan itu di samping,
kini dapat mengetahui keadaan pertempuran kacau itu,
katanya, "Ubun Hiong dan teman-teman mengerubuti Su Pekto,
mereka tidak berbahaya, sebaliknya Goan-ko dan Biausiang
yang melawan Bun To-tjeng mungkin bisa celaka."
"Baiklah, lekas kita ke sana membantu mereka," sahut Tan
Kong-tjiau. Tadinya Bun To-tjeng mengira sekali dua gebrak saja sudah
bisa membinasakan Tjin Goan-ko, siapa tahu meski kepan
daian Goan-ko jauh lebih rendah daripada dia, tapi juga masih
sanggup bertahan kalau cuma belasan jurus saja sekarang
Kong-tjiau berdua keburu menyusul tiba di sebelah sana
tampak Kim Tiok-liu melompat ke atas gunung-gunungan dan
mengeluarkan suitan panjang.
Bun To-tjeng tahu Kong-tjiau adalah putera Tan Thian-ih.
kepandaiannya lebih tinggi daripada Goan-ko, belum lagi Tjiok
Hek-koh yang mahir menggunakan racun, hal inipun tidak
diremehkannya. Biarpun tidak takut, tetapi kalau mereka
berempat mengerubutnya betapapun sukar bagi Bun To-tjeng
untuk mengalahkan mereka. Apalagi Kim Tiok-liu sudah lolos
dari kepungan di sebelah sana, jika Kim Tiok-liu memburu
maju ke sini tentu sukar dibayangkan akibatnya nanti.
Terpaksa Bun To-tjeng harus mengambil keputusan buat
meloloskan diri lebih dulu meski dalam hati menyesal tidak
bisa mengabulkan harapan puteranya tadi. Cepat ia memutar
pedangnya dengan kencang, ia memaksa Goan-ko dan Biausiang
melompat mundur, lalu seperti kerbau gila ia menerjang
keluar. Saat itu Kong-tjiau sudah dekat melihat Bun To-tjeng hen
dak lari, segera ia menyambitkan senjata rahasia yang tiada
ban dingnya di dunia ini, yaitu 'Peng-pok-sin-tan' (Peluru inti
es), senjata rahasia ini menyerang musuh dengan hawa dingin
yang khas. Namun Bun To-tjeng sudah meyakinkan Sam-siang-sin
kang dengan sempurna, hawa dingin peluru inti es itu tidak
bisa mengapa-apakan dia. Ketika ia menghantam, seketika
peluru es itu hancur dan barulah menjadi gulungan kabut
dingin. "Hm, mana lagi senjata rahasiamu yang lain!" jengek Bun
To-tjeng dengan sombong, berbareng ia melompat ke arah
Tjiok Hek-koh. Lekas Kong-tjiau memburu ke sana untuk menolong, tak
terduga ini cuma tipu muslihat Bun To-tjeng saja untuk
memancing mereka berdua bergabung menjadi satu, lalu ia
menerjang ke arah lain dengan selamat.
Setelah keluar dari istana hati Bun To-tjeng merasa rada
lega, terutama Kim Tiok-liu tidak nampak mengejarnya, maka
ia yakin akan dapat kabur dengan selamat. Baru saja ia
bermaksud memberi obat kepada puteranya tiba-tiba
dirasakannya tubuh Bun Seng-tiong sudah kaku, keruan
kejutnya tidak terkatakan.
Kiranya Peng-pok-sin-tan yang disambitkan Kong-tjiau tadi
meski tak bisa melukai Bun To-tjeng, tapi Bun Seng-tiong
yang dalam keadaan terluka parah itu tidaklah tahan oleh
serangan hawa maha dingin itu, darahnya seketika membeku,
sekalipun malaikat dewata juga sukar menyelamatkan
jiwanya. Mengetahui puteranya sudah mati, betapa sedih hati Bun
To-tjeng sudah tentu sukar dilukiskan, tapi sekarang ia dalam
keadaan terpencil sendirian, mana dia berani kembali ke kota
untuk menuntut balas, terpaksa ia memondong mayat
puteranya dan menyelamatkan diri.
Kembali mengenai keadaan Su Pek-to di tengah keroyokan
jago-jago muda ia masih memutar orang-orangan tembaga
yang berat itu dengan ganasnya, sama sekali belum terlihat
tanda-tanda kekalahannya, walaupun demikian hatinya sudah
mulai keder, terutama sesudah melihat Bun To-tjeng
melarikan diri dan munculnya Kim Tiok-liu.
Dalam hati Su Pek-to mencaci-maki Bun To-tjeng yang
pengecut, tahunya menyelamatkan diri tanpa menghiraukan
teman. Pada saat itulah tiba-tiba sinar pedang berkelebat,
tahu-tahu dadanya terancam tusukan pedang, Su Pek-to
terkejut dan heran akan hebatnya ilmu pedang penyerangnya.
Kiranya Kang Hiau-hu yang menusuk, sejak kecil Hiau-hu
mendapat didikan dari Kang Hay-thian, dalam hal ilmu silat
sejati bahkan lebih hebat daripada Ubun Hiong dan lain-lain.
Lekas Su Pek-to mengegos dan mendoyongkan badan
kebelakang, walaupun cukup cepat ia menghindar, tidak urung
bahu kiri tergores luka oleh ujung pedang. Keruan Su Pek-to
menjadi murka, lalu dengan menggertak ia meloncat ke atas,
orang-orangan tembaga terus menghantam ke bawal).
"Kematianmu sudah di depan mata, kau masih berani
berlagak garang",' bentak Khn Tiok-liu.
Dalam keadaan mengapung di udara Su Pek-to sudah
dapat merasakan sambaran angin Hian-tiat-pokiam yang
berat. Jika senjatanya terus menghantam ke bawah, sekalipun
jiwa Kang Hiau-hu melayang, tapi ia sendiri pun pasti akan
mati di bawah pedang Tiok-liu. Terpaksa ia berjumpalitan
sekuatnya, orang-orangan tembaga terus ditimpukkan ke arah
Kim Tiok-liu, ketika Kim Tiok-liu menyampuk jatuh orangorangan
tembaga itu, saat mana Su Pek-to melompat ke balik
gunung-gunungan sana dan meloloskan diri dari kepungan.
Tatkala itu Su Ang-ing meloncat ke atas gunung-gunungan
itu, melihat kekalahan kakaknya yang begitu mengenaskan,
dalam hati ia gegetun, jika mau insyaf dulu-dulu tentu kau
takkan mengalami nasib seperti sekarang, demikian pikirnya.
Kim Tiok-liu mendekati Ang-ing dan memegang tangannya
sambil berbisik, "Mengasolah dulu, Ang-ing!" Ia tahu aoa yang
terkandung dalam pikiran si nona, maka dengan alasan
membantu menyalurkan tenaga dalamnya untuk membikin
tenang pikiran si nona, berbareng menghindarkan diri
mengejar dan membunuh Su Pek-to.
Dalam pada itu Su Pek-to sudah melintasi dua buah
gunung-gunungan, baru merasa lega, tiba-tiba Tan Kong-tjiau
dan Tjiok Hek-koh sudah menyambutnya lagi dari depan.
"Hendak lari kemana, keparat!" bentak Tjiok Hek-koh. Ia
masih dendam kepada Su Pek-to, maka dengan gemas
senjatanya yang menyerupai ular terus menyabet ke depan.
Senjata aneh itu adalah buatan Hek-koh sendiri, namanya
'Kim-tjoa-soh', tali ular emas, pada badan tali itu terdapat
tujuh buah gelang emas, kalau disendai, gelang-gelang emas
itu akan tersentak lepas dan merupakan senjata rahasia yang
lihai, ujung tali yang mirip kepala ular itu mengandung bubuk
racun pula yang halus dan hampir tak kelihatan. Senjata aneh
ini memang disiapkan oleh Hek-koh untuk menghadapi Su
Pek-to, ketika di Yangtjiu belum ada kesempatan digunakan,
baru sekaranglah dapat dipakai.
Kini Su Pek-to sudah tidak bersenjata, ia pun tahu Tjiok
Hek-koh mahir menggunakan racun, maka ia kuatir akan kena
batunya. Cepat ia menarik sebelah tangannya ke dalam lengan
baju, lalu lengan baju itu dikebalkan sambil membentak,
"Lepas!" Sekali menggulung, seketika Kim-tjoa-soh Tjiok Hekkoh
terlibat dan kena dibetot lepas.
Meski senjata Tjiok Hek-koh terlepas dari tangan, tapi
ketujuh gelang emas yang tertempel di atas Kim-tjoa-soh itu
lantas tersentak lepas. Su Pek-to sudah hampir kehabisan
tenaga sesudah bertempur sekian lamanya, lengan bajunya
hanya mampu melibat Kim-tjoa-soh dan tidak kuat
menyampuk gelang-gelang emas itu dengar angin kebasinnya.
Namun Su Pek-to benar-benar hebat, meski tidak kuat
menyampuk jatuh gelang-gelang emas itu, pada saat yang
berbahaya ia masih sanggup meloncat tinggi sehingga sinar
emas berseliweran menyambar lewat di sisi tubuhnya, tapi
tidak urung jidatnya terkena juga sebuah senjata rahasia itu
sehingga darah mengucur, la berjumpalitan di atas dan
ternyata tidak sampai jatuh terguling. Untung jidatnya
tersambar gelang emas yang bertepi tajam itu pada saat dia
berjumpalitan sehingga kepalanya tidak sampai pecah
melainkan cuma keserempet saja.
Dalam pada itu dengan cepat luar biasa Kong-tjiau juga
lantas menubruk maju, pedang terus menusuk.
Su Pek-to menjadi murka, bentaknya, "Kurangajar, kau pun
berani main gila padaku!" Di tengah berkelebatnya pedang,
tiba-tiba terdengar suara "tring" sekali, pedang Tan Kong-tjiau
kena diselentik oleh Su Pek-to. Dengan sisa tenaga yang
masih ada itu, tenaga selentikan Su Pek-to benar-benar hebat
sehingga pedang Kong-tjiau terpental jatuh.
Menyusul itu Su Pek-to bermaksud menambahi serangan
maut lagi untuk membereskan Kong-tjiau. Tapi mendadak
sekujur badan terasa gatal, tenaga sukar dikerahkan, mestinya
ia bermaksud melompat maju, tapi baru setengah langkah
sudah tidak kuat lagi, dengan sendirinya pukulannya menjadi
sia-sia. Kiranya tanpa terasa Su Pek-to terkena bubuk racun yang
berada di ujung senjata Tjiok Hek-koh tadi, bubuk racun itu
walaupun tidak jahat, tapi membuatnya gatal tidak kepalang
sehingga iusanya ingin sekali menggaruk badannya yang gatal
tak tertahankan itu.
Di sebelah sana, sesudah pedangnya terlepas dari tangan,
kuatir lawan menubruk maju lagi, cepat Tan Kong-tjiau juga
menyambalkan tiga butir Peng-pok-sin-tan. Kontan Su Pek-to
bergidik merinding.
Jika dalam keadaan biasa, ketiga butir peluru es itu mana
bisa membuatnya kedinginan, paling-paling malah
membuatnya merasa nyaman. Tapi sekarang ia merasakan
hawa dingin yang tak tertahankan, maka dapat dibayangkan
betapa lemah tenaga dalamnya, ini pertanda keadaannya yang
sudah payah seperti pelita yang hampir kehabisan minyak.
Sekuatnya Su Pek-to menggigit ujung lidahnya, rasa sakil
gigitan ini lantas membelokkan rasa gatal yang tak
tertahankan tadi, rasa dingin badan juga rada berkurang. Ia
tidak berani bertempur lagi, lekas ia menarik napas panjang,
lalu menerjang keluar. Dengan demikian tertampak pula
keadaannya yang sudah payah itu.
"He, Su-toapangtju, kenapa kau lari terbirit-birit seperti
anjing digebuk?" ejek Kong-tjiau.
Sungguh mendongkol sekali Su Pek-to, tapi apa mau dika
ta, dalam keadaan demikian terpaksa ia pura-pura tidak
mendengar dan paling perlu menyelamatkan diri.
Ternyata Siangkoan Thay sudah siap di ambang pintu,
serunya dengan tertawa, "Aku tidak ingin menggebuk anjing
lari, tapi untuk lolos dari rintanganku kau harus menyambut
pukulan-ku ini!"
Terpaksa Su Pek-to harus nekat, ia menghimpun seluruh
sisa tenaga untuk menyambut pukulan Siangkoan Thay,
"plak", Siangkoan Thay tergetar mundur dua langkah,
sebaliknya Su Pek-to muntah darah.
Sebagai tokoh angkatan tua persilatan, Siangkoan Thay
enggan menyerang lawan yang berada dalam keadaan payah
seperti Su Pek-to saat ini. Ia pun kagum juga atas tenaga Su
Pek-to yang hebat itu meski sudah payah toh masih mampu
menerima pukulannya tadi, ia pun tidak sudi merintangi lagi
dan bermaksud melepaskan lawannya.
Tak terduga Su Pek-to ternyata sangat licik, ia menyangka
orang siap akan menyerangnya lebih lanjut. Kebetulan saat itu
ada seorang prajurit yang berlari lewat di sebelahnya tanpa
bicara lagi Su Pek-to mencengkeramnya terus dilemparkan ke
arah Siangkoan Thay dengan kepandaian 'Keh-but-toan-kang'
(melancarkan tenaga melalui benda lain).
Keruan saja perajurit itu menjerit ketakutan setengah mati,
Siangkoan Thay menjadi tidak sampai hati untuk
mencelakainya, namun untuk menghindari juga tidak sempat
lagi, terpaksa ia memegang prajurit itu untuk diturunkan.
Tidak terduga, karena maksud baiknya itu, berbalik ia hampir
celaka di bawah ilmu 'Keh-but-toan-kang' yang dilontarkan Su
Pek-to itu. Biarpun seperti pelita yang sudah hampir padam kehabisan
minyak, tapi gontokan Su Pek-to yang terakhir ini sungguh
sangat lihai. Kalau Siangkoan Thay mau menggunakan tenaga
tentu prajurit itu dapat dihantam terpental dan dia sendiri
takkan cidera apa-apa. Cuma sekarang ia hendak
menyelamatkan prajurit itu dan hanya memegangnya untuk
diturunkan ke bawah, dengan demikian sisa kekuatan Su Pekto
yang dilontarkan melalui badan prajurit itu seketika
menindih datang laksana gugur gunung dahsyatnya. Ia
merasa seperti digodam dadanya, matanya sampai


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkunang-kunang, lekas ia melepas tangan sehingga prajurit
itu terjatuh dan binasa.
Ternyata maksud baik Siangkoan Thay itu tetap tak bisa
menolong jiwa si prajurit, sebaliknya ia sendiri pun terluka
dalam sedikit. Untung ia lantas melepas tangan dan
melangkah mundur sehingga sebagian tenaga gontokan Su
Pek-to itu dapat dielakkan.
Melihat itu, cepat Siangkoan Wan, Tiok Djing-hoa, Ubun
Hiong dan lain-lain memburu maju. "Bagaimana kau, ayah?"
tanya Siangkoan Wan.
"Tidak apa-apa," sahut Siangkoan Thay dengan tersenyum
pahit. "Tak kusangka dia mirip anjing gila saja, maksudku
hendak melepaskan dia, siapa tahu dia malah menggigit."
Setelah mengerahkan sisa tenaganya tadi, keadaan Su Pekto
bertambah payah, la berlari keluar, terasa separoh
badannya sudah kaku. Rupanya daya tahan badannya sudah
berkurang, maka bubuk racun serta hawa dingin peluru es
serentak bekerja di dalam tubuhnya.
Sebisanya Su Pek-to mengerahkan tenaga untuk melawan
rasa dingin dan gatal aneh itu, ia berteriak sekuatnya, "Semua
orang Liok-hap-pang ikut aku menerjang keluar!"
Kedatangan Su Pek-to ke Sedjiang untuk mengawinkan
adik perempuannya ini membawa serta tidak sedikit anak
buahnya, walaupun banyak yang melarikan diri, tapi sisanya
masih ada ratusan. Jika ratusan anak buah ini mau ikut
menerjang bersama, bukan mustahil akan dapat membobol
kepungan dan bisa menyelamatkan diri.
Anehnya anak buahnya itu ternyata tidak melarikan diri
sejak tadi, tapi saat itu nampak sedang berkumpul di
pekarangan sana. Biasanya perintah Su Pek-to sangat
berwibawa, ia mengira dengan bentakannya tadi tentu anak
buahnya akan taat kepada perintahnya. Di luar dugaan,
ratusan anak buahnya itu lantas berteriak, "Su Pek-to, kau
berbuat sewenang-wenang, siapa yang sudi mengaku kau lagi
sebagai Pangtju?"
"Ya, kami sudah mendukung nona Su sebagai Pangtju
baru!" teriak yang lain.
Kiranya hal ini adalah jasa Li Tun. Di tengah kekacauan,
ratusan anggota Liok-hap-pang ini sempat di-kumpulkan oleh
Li Tun yang mereka kenal, lalu Li Tun memberi nasehat agar
kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan Su Pek-to
yang kejam itu. Melihat gelagatnya memang tidak
menguntungkan, mau tak mau anggota-anggota Liok-happang
itu menerima baik bujukan Li Tun.
Keruan Su Pek-to menjadi beringas, lalu bentaknya dengan
murka, "Bagus, kalian berani mengkhianati aku, akan kubunuh
kalian satu persatu!" Ia menggigit lidah sendiri sehingga
menyemburkan darah, dengan rambut terurai laksana
binatang buas ia terus menubruk maju. Rupanya menghadapi
keadaan yang terpencil itu, saking gusarnya pikirannya
menjadi kurang waras.
Anggota-anggota Liok-hap-pang itu telah kenyang ditindas
oleh Pek-to, sekarang melihat bekas pemimpinnya itu
menerjang dengan kalap, betapapun mereka menjadi takut
juga. Tiba-tiba Su Pek-to melihat kudanya sedang dituntun oleh
tukang kuda dan meringkik ketakutan di sudut sana, segera ia
memburu ke sana. Kudanya itu bernama 'Tjiau-ya-say-tju'
(Singa cahaya malam), termasuk kuda pilihan yang jarang ada
bandingannya, kalau kuda itu dapat dirampas kembali, maka
tidak sulit baginya untuk meloloskan diri.
Di luar dugaan, sesudah dekat, mendadak tukang kuda itu
mencabut belati dan mengadang dengan muka pucat.
"Lekas minggir! Kau juga berani membangkang padaku?"
bentak Su Pek-to sambil melangkah maju dan menjotos.
Ia mengira tukang kuda itu pasti akan lari ketakutan
digertak. Tak tersangka tukang kuda itupun menjadi nekat
dan balas membentak, "Selama ini kau tidak pernah
memandang aku sebagai manusia kenapa aku tidak berani
membangkang padamu" Baik, kau garang, kau kejam, jiwaku
tidak bernilai sepeser pun, biar aku mengadu jiwa saja
padamu!" Jotosan Su Pek-to itu ternyata tidak dihiraukan tukang kuda
itu, sebaliknya ia pun membarengi menikam dengan belatinya.
Rupanya tukang kuda itu mula-mula bermaksud melarikan
diri, ia mencabut belati hanya ingin membela diri saja. Tapi
ketika mendadak Su Pek-to menghardiknya dengan bengis
dan akan menghantamnya, seketika timbul bayangan macammacam
perlakuan Su Pek-to pada masa yang lampau, tanpa
terasa ia menjadi murka, rasa dendamnya seperti dibakar dan
memuncak, seketika seorang pengecut berubah menjadi
pemberani dan melupakan rasa takut.
Su Pek-to melengak juga ketika melihat si tukang kuda berani
melawannya. Dalam pada itu tiba-tiba tangannya terasa
sa-kit, kiranya kepalan yang menjotos ke depan itu kena belati
si tukang kuda sehingga tulang jari putus dan darah
bercucuran. Sudah tentu sedikit luka ini tidak membikin jeri Su Pek-to,
segera ia mendesak maju, belati si tukang kuda lantas direbut,
menyusul kakinya melayang, "biang", tukang kuda itu
ditendang terjungkal.
Dengan bergelak tertawa Su Pek-to lantas menyemplak ke
atas kuda. Di luar dugaan, belum habis tertawanya, duduknya
di atas pelana juga belum benar, mendadak kakinya terasa
lemas dan terperosot jatuh ke bawah.
Seperti dikatakan tadi, keadaan Su Pek-to sudah seperti
pelita kehabisan minyak, hanya karena kalapnya saja ia masih
sanggup menghajar si tukang kuda. Tapi setelan kena belati
tukang kuda itu, rasa garangnya seketika punah, laksana
balon gembos saja ia menjadi lemas dan tidak sanggup naik
kuda lagi. Dalam pada itu si tukang kuda telah merangkak bangun,
kemudian balas mengejek dengan terbahak-bahak. "Su Pek-to
Toapangtju, ternyata kau pun bisa mengalami nasib seperti
sekarang" Hahaha! Katanya kau mau membunuh aku"
Hayolah lekas bunuh diriku, lekas! Hahaha, kalau tidak, akulah
yang akan membunuh kau!"
Su Pek-to juga merangkak bangun, ia pelototi si tukang
kuda yang sedang mendekatinya dengan pelahan. Ia
menghela napas putus asa, ia tahu tukang kuda itu tidak mati
kena tendangannya, ini menandakan dirinya sudah tak
berguna lagi. Anggota-anggota Liok-hap-pang tadi melihat si tukang kuda
saja berani nekat melawan Su Pek-to, mau tak mau mereka
menjadi tabah, sambil berteriak mereka lantas merubung
maju. "Su Pek-to, dalam keadaan demikian apakah kau masih
tetap tidak mau insyaf?" seru Kini Tiok-liu.
Saat itu Su Pek-to sudah berdiri di hadapan si tukang kuda,
sinar mata si tukang kuda yang penuh dendam kesumat itu
membuatnya keder juga, pikirnya, "Selama ini aku malang
melintang dan berkuasa, terhadap orang-orang seperti dia ini
biasanya memukul atau memaki sesukaku, pantas juga jika
mereka benci padaku. Kim Tiok-liu mau mengampuni aku, tapi
orang-orang ini apakah mau" Andaikan orang-orang inipun
mau memaafkan aku, lalu kemana wibawaku selama ini harus
kutaruh" Terang tiada tempat berpijak lagi bagiku."
Selama hidup Su Pek-to entah betapa banyak musuh
tangguh yang telah dihadapi, tapi belum pernah timbul rasa
takutnya seperti sekarang ini. Seorang tukang kuda yang
sepele, yang tidak pernah digubris olehnya pada hari-hari
biasa, ternyata telah membuatnya sedemikian kuatir. Soalnya
bukan karena si tukang kuda itu berkepandaian tinggi, tetapi
pada diri si tukang kuda itulah dirasakan ngerinya seorang
pemimpin yang telah ditinggalkan oleh anak buahnya. Terasa
seramnya orang yang bermusuhan dengan umum. Cuma
sayang baru sekarang ia tahu akan keadaan demikian dan
sudah terlambat.
Sekalipun Su Pek-to adalah seorang yang berkepala batu,
biarpun pada saat ajalnya tetap pantang menyerah. Tapi di
bawah tatapan berpuluh pasang mata, di bawah tudingan
orang banyak, mau tak mau ia menjadi takut dan
menundukkan kepala, la menghindarkan sinar mata si tukang
kuda yang tajam itu, ia menghela napas, katanya, "Tidak perlu
kau membunuh aku, biarlah aku menyerahkan jiwaku ini
kepada kalian!"
Habis berkata, "Bles", ia menikam dada sendiri dengan
belati yang dirampasnya dari si tukang kuda tadi dan tamatlah
jiwanya. Su Ang-ing sudah menduga akan kemungkinan nasib
kakaknya seperti sekarang ini, namun ia pun tidak tega
menyaksikan kematian kakaknya yang mengenaskan itu.
Segera ia melengos dan mendekap di atas bahu Tiok-liu.
Tiok-liu berkata, "Swe Beng-hiong belum tertangkap, ma- J
rilah kita pergi mencari dia. Pula....."
"Benar," sahut Su Ang-ing. "Swe Beng-hiong adalah biang
keladi dari segala kejahatan ini, jangan sekali-kali membiarkan
dia lolos. Pula Le-toako harus kita ketemukan."
Rupanya Kim Tiok-liu kuatir Su Ang-ing berduka atas kematian
kakaknya itu, maka sengaja menyebut dua soal itu
untuk mengalihkan perhatiannya.
Dalam pada itu si tukang kuda telah menuntun kuda
asuhannya ke hadapan Su Ang-ing, katanya, "Nona Su,
biasanya engkau sangat baik terhadap kami. Engkau menjadi
Pangtju saja dan kami akan mengabdi dengan sepenuh hati.
Hamba telah memaksa kematian bekas Pangtju, kalau nona
menganggap tidak pantas, hamba rela dihukum....."
"Ini bukan salahmu," sahut Ang-ing dengan suara rendah
"Dosa kakakku memang pantas menerima ganjarannya. Kau
tetap kembali kepada tugasmu dan mengabdi untuk
kepentingan Pang kita."
"Baiklah, kuda ini silakan dipakai," kata si tukang kuda.
Tjiau-ya-say-tju ini adalah kuda pilihan yang sehari mam pu
berlari ribuan li jauhnya, menggunakannya untuk mengejai
musuh sudah tentu sangat tepat. Su Ang-ing juga tidak
banyak bicara, ia memanggut setuju terus menyemplak ke
atas kuda. Sementara itu pertempuran di dalam kota sudah hampir
selesai, kerugian di pihak pasukan kerajaan sangat besar,
yang mati atau luka dan yang menyerah ada separah, sisanya
sama melarikan diri.
Dari seorang prajurit, Ang-ing mendapat kabar, katanya
pasukan kerajaan melarikan diri melalui pintu gerbang utara.
Ke jurusan itulah Ang-ing lantas mengejar dengan kudanya,
hanya sekejap saja Kim Tiok-liu sudah tertinggal jauh di
belakang, Kuatir Ang-ing mengalami apa-apa karena mengejar musuh
sendirian, terpaksa Tiok-liu merebut seekor kuda di tengah
kota yang kacau itu, lalu ikut mengejar.
Setelah belasan li jauhnya, tiba-tiba satu regu pasukan
pergerakan membawa kembali tiga tawanan. Ketika ditanya,
kiranya tawanan itu adalah perwira bawahan Swe Beng-hiong.
Cepat Ang-ing bertanya, "Dimana Swe Beng-hiong?"
Namun tawanan itu tetap menutup mulut tak mau
menjawab. "Bagus, barangkali kalian memang minta dihajar dahulu!"
teriak Ang-ing dengan gusar, ia memutar cambuknya dan
bermaksud memaksa pengakuan tawanan-tawanan itu.
"Nona Su," tiba-tiba komandan regu pasukan pergerakan
itu mencegah, "Mereka sudah menjadi tawanan kita,
janganlah kita anggap lagi mereka sebagai musuh di medan
perang. Mereka mau memberi keterangan atau tidak adalah
kebebasan mereka. Yang penting kita harus menghancurkan
musuh, andaikan panglima mereka berhasil melarikan diri juga
tidak menjadi soal."
Kiranya pemimpin pasukan pergerakan, yaitu Yap Boh-hoa
telah memberikan perintah perlindungan kepada tawanan.
Sebab itulah komandan regu tadi telah berbicara kepada Anging
dengan ramah mengingat si nona bukan anggota mereka,
namun politik melindungi tawanan itupun sudah cukup
dijelaskan olehnya.
Tawanan-tawanan itu tadinya mengira nasib mereka pasti
mati, tapi mereka menjadi girang setelah mengetahui politik
perlindungan kepada tawanan yang didengarnya itu. Sekarang
mereka sama bicara tanpa diminta, "Kami memang tidak tahu
ke-mana larinya Swe Beng-hiong."
"Orang yang baru saja lolos dari rombongan kami adalah
An Tjun-ting, orang kepercayaan Swe Beng-hiong, mungkin
dia mengetahui jejak atasannya itu," kata yang lain.
Meski tidak tahu kemana perginya Swe Beng-hiong, tapi
sedikitnya sudah mendapat petunjuk yang berharga. "O,
kiranya An Tjun-ting baru saja lolos, akan kukejar dia
sekarang juga!" kata Ang-ing.
"Buat apa nona Su mengambil resiko mengejar musuh
seorang diri?" komandan regu pasukan pergerakan tadi
menasihati. "Aku tahu lolosnya satu-dua orang panglima musuh di
medan perang tidaklah menjadi soal," sahut Ang-ing. "Tapi
dendamku kepada Swe Beng-hiong sedalam lautan, kalau aku
tidak menangkapnya hatiku tetap penasaran."
Habis berkata, Ang-ing lantas melarikan kudanya ke arah
yang ditunjuk. Tidak lama kemudian, benar juga dilihatnya An
Tjung-ting menunggang seekor kuda apkiran sedang
melarikan diri ke jurusan tempat sepi.
"An Tjun-ting, kau tak bisa lari lagi!" bentak Ang-ing dari
jauh. Kepandaian An Tjun-ting sebenarnya tidak di bawah Anging,
cuma ia tidak tahu apakah di belakang si nona masih ada
teman atau tidak, maka ia tidak berani terlibat pertempuran
lagi. Ketika Ang-ing sudah memburu maju, segera ia
menyambutnya dengan tiga buah pisau terbang.
Tjiau-ya-say-tju adalah kuda perang yang berpengalaman
dan sangat tangkas, begitu melihat bahaya mengancam,
tanpa diperintah lagi sudah lantas meloncat ke samping.
Berkat kegesitan kuda itu, dapatlah Ang-ing menghindarkan
dua bilah pisau terbang itu. Berbareng pisau yang ketiga
lantas digulungnya dengan ujung cambuk.
"Kalau menerima tanpa memberi adalah kurang sopan!"
teriak Ang-ing, segera ia menyendal ujung cambuk, pisau
yang tergulung itu lantas disambitkan kembali kepada


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuannya. "Blek", dengan tepat pantat kuda Ang Tjun-ting terkena
pisau itu, tapi tepat kena tulang paha sehingga tidak
menancap. Diam-diam Ang-ing gegetun, cepat ia memutar
kudanya dan mengejar lagi.
Walaupun pisau terbang itu tidak mengenai An Tjun-ting,
namun sudah cukup membuatnya terkejut, la pikir kudanya
pasti tak dapat meloloskan diri dari kejaran si nona, apalagi
sekarang Sudah terluka. Terpaksa ia harus nekat mengadu
jiwa, tapi kuatir pula Ang-ing membawa bala bantuan.
Sementara itu Ang-ing sudah mengudak sampai di
belakangnya lagi, jaraknya tinggal beberapa meter saja.
Sekilas pandang tiba-tiba An Tjun-ting seperti menemukan
sesuatu, cepat ia berseru, "Nona Su, untung kau menguber
diriku" Aku hanya anak buah saja, musuhmu yang benar kan
Swe Beng-hiong adanya!"
"Baik, lekas kau katakan dimana Swe Beng-hiong berada
dan aku akan mengampuni kau," kata Ang-ing.
"Jauh di ujung langit, dekat di depan mata, beberapa orang
yang bersembunyi di sana itu terdapat pula Swe Beng-hiong,"
kata An Tjun-ting.
"Baik, rasanya kau pun tak bisa lolos dari tanganku,
bilamana kau berbohong, sekembalinya akan kubikin
perhitungan padamu," kata Ang-ing. Segera ia melarikan
kudanya ke arah yang dituding An Tjun-ting, dilihatnya hanya
ada beberapa prajurit kerajaan bersembunyi di tengah semaksemak
itu. Kecewalah Ang-ing dan mengira An Tjun-ting memang
menipunya, pada saat itu beberapa prajurit itu mendadak berhangkit
terus berteriak melarikan diri dengan ketakutan. Anging
Juga tidak mengejar mereka. Tiba-tiba dilihatnya tidak
jauh dari tempat itu masih meringkuk seorang prajurit, ia
heran mengapa lidak ikut lari. Sekilas punggung prajurit yang
mendekam di situ ftu seperti sudah dikenalnya. Ia coba
mendekati, cambuknya diayun, maksudnya hendak menarik
prajurit itu untuk dilihat mukanya.
Tidak tersangka orang itu mendadak melompat bangun,
ujung cambuk Ang-ing terus dipegang sambil membentak,
"Turun!"
Karena betotan yang keras dan lagi di luar dugaan, Ang-ing
menjadi kaget dan tertarik jatuh ke bawah kuda.
Kiranya orang itu memang Swe Beng-hiong yang hendak
dicarinya itu, dia telah bertukar pakaian prajurit biasa,
mukanya dibikin kotor lagi dan berhasil lolos dari kota. Semula
ia pun berada bersama An Tjun-ting, tapi pada saat genting
An Tjun-ting lantas meninggalkan atasannya untuk
menyelamatkan diri sendiri.
Dengan mendekam di tengah semak-semak itu, Swe Benghiong
mengira Ang-ing akan menyangka dia sebagai prajurit
yang telah mati. Tak terduga si nona malah mendekatinya,
terpaksa ia melabraknya secara mendadak.
Swe Beng-hiong telah terkena jarum berbisa, tenaganya
juga tinggal satu-dua bagian dari tenaga biasanya. Namun
Ang-ing juga sudah kepayahan karena telah bertempur sengit
sekian lamanya, karena itu keadaan mereka sekarang menjadi
berimbang. Tapi lantaran Swe Beng-hiong menarik di luar
dugaan sehingga Ang-ing kecundang dan terperosot ke bawah
kuda, tanpa ayal lagi Swe Beng-hiong terus mengirim pukulan
pada saat Su Ang-ing baru saja berdiri.
Cepat Ang-ing mengegos ke samping, tangan kanan tetap
menarik cambuknya, tangan kiri lantas menutuk Hiat-to lawan.
Namun Swe Beng-hiong sempat menangkis, segera ia
mendesak maju, tangan yang lain terus mencengkeram dada
Ang-ing. Malu dan gusar pula Su Ang-ing, sekali menggeliat dapatlah
ia mengelak, menyusul lantas menutuk 'Lau-kiong-hiat' di
tengah telapak tangan Swe Beng-hiong. Karena serangan
mendadak dari jarak dekat, tanpa ampun lagi Hiat-to itu
tertutuk. Tapi tangan Su Ang-ing juga keserempet oleh
pukulan Swe Beng-hiong, cambuknya terlepas, terpaksa ia
metompak mundur.
Swe Beng-hiong sendiri merasa lengannya sukar dikuasai
lagi, kaku tak bertenaga, takut Su Ang-ing menyusulkan
serang lebih lihai, lekas ia pun melompat ke samping.
Jalan pikiran Swe Beng-hiong sungguh amat cepat
bekerjanya, setelah tidak berhasil menundukkan Su Ang-ing,
segera ia berganti haluan hendak merebut kuda Tjiau-ya-saytju.
Di luar dugaan Tjiau-ya-say-tju ini benar-benar kuda yang
luar biasa, binatang ini hanya kenal pada sang majikan saja.
Selain Su Pek-to dan Ang-ing kakak beradik yang dapat
menungganginya, orang lain tak bisa diterima olehnya. Dahulu
Kim Tiok-liu juga pernah merebut kuda ini dan pernah kena
didepak. Berkat kepandaiannya yang tinggi akhirnya Kim Tiokliu
dapat menaklukkannya, maka dapatlah dibayangkan
betapa galak sifat binatang tunggangan itu.
Jika tidak terluka, tentu tidak sulit bagi Swe Beng-hiong
untuk menguasai seekor kuda, tapi sekarang ia menjadi cari
penyakit sendiri. Baru saja ia memegang pelana dan mau
menyem-plak ke atas, mendadak Tjiau-ya-say-tju membeda!,
kaki belakang lantas mendepak menyusul terus melompat
sambil meringkik. Saat itu Swe Beng-hiong bani hendak
melangkah, karena itu jidatnya kena didepak, kontan ia jatuh
ke bawah. Dalam pada itu cepat sekali Su Ang-ing mencabut
pedangnya yang pendek terus menubruk maju dan menikam.
Untung Swe Beng-hiong sempat berguling ke samping, ia
menyambar ranting kayu terus melompat bangun, katanya
dengan menye-ngir, "Su Ang-ing, kau masih rindu padaku
bukan" Baiklah, boleh kau ikut aku ke akhirat untuk menjadi
suami-istri di sana."
Kini ia sudah dilukai dua kali oleh Su Ang-ing, ia menjadi
kalap dan bertekad akan mati bersama si nona. Dalam
keadaan kalap, walaupun sudah payah, namun ranting kayu di
tangan Swe Beng-hiong itu tiada ubahnya seperti senjata, ia
menyerang dengan gencar, semuanya mengarah titik-titik
berbahaya di tubuh Ang-ing.
Ang-ing melihat keadaan Swe Beng-hiong sudah semakin
payah, racun pada lukanya selekasnya akan bekerja, maka ia
melayani dengan kalem, pula Ginkangnya memang lebih hebat
dari lawan, dalam beberapa puluh jurus ia terus menghindar
ke sana kemari.
Karena menyerang secara gencar itu, akhirnya Swe Benghiong
kehabisan tenaga sendiri, pada suatu kesempatan,
"sret", ranting kayu lawan kena ditabas kutung oleh pedang
Su Ang-ing. Tapi Swe Beng-hiong bertambah nekat, ranting
kayu dibuang, kembali ia menerjang dengan tangan kosong.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derapan kuda,
seorang penunggang kuda muncul dari balik rimba sama. Anging
bergirang, serunya, "Lekas kemari, Tiok-liu!"
Tapi ia menjadi terkejut ketika melihat yang datang itu
ternyata bukan Kim Tiok-liu, sebaliknya adalah An Tjun-ting
yang tadi sudah pergi dan sekarang datang kembali.
Kiranya kuda An Tjun-ting itu sudah terluka parah, sejak
tadi ia belum jauh meninggalkan rimba itu. Semula ia takut
ada pengejar lain, tapi tak seberapa lama tiada nampak orang
lain lagi kecuali pertarungan Swe Beng-hiong dan Su Ang-ing
yang terdengar masih terus berlangsung. Maka dengan
menabahkan hati ia mencoba kembali untuk menjenguk. Ia
sudah mengambil keputusan akan bertindak menurut arah
angin. Bila Swe Beng-hiong menang, maka ia akan membunuh
Su Ang-ing. Kalau dalam waktu singkat pertarungan kedua
orang itu tak bisa berakhir, maka ia bermaksud merampas
Tjiau-ya-say-tju untuk melarikan diri.
Begitulah Ang-ing menjadi gelisah ketika melihat yang
datang itu justru adalah begundal musuh, untung seruannya
tadi menyebut nama Kim Tiok-liu hingga membikin keder An
Tjun-ting dan tidak berani sembarangan bertindak
Melihat keraguan An Tjun-ting, Swe Beng-hiong menjadi
kelabakan, cepat ia berteriak, "An Tjun-ting lekas bantu aku
membinasakan budak ini, jasamu tentu akan kubalas dengan
setimpal!"
Jika Swe Beng-hiong tidak mengiming-iming dengan balas
jasa mungkin An Tjun-ting tidak sangsi, tapi janji balas jasa
Swe-hiong berbalik membuatnya merinding sendiri. Maklum,
yang menunjukkan tempat persembunyian Swe Beng-hiong
tadi adalah dia sendiri walaupun tidak sengaja. Mustahil kelak
rahasia ini takkan ketahuan dan tentu dirinya akan celaka.
Sebagai ajudan, sudah tentu An Tjun-ting cukup kenal
watak atasannya itu, sedangkan Bun To-tjeng dan Su Pek-to
saja bila perlu dikorbankan oleh Swe Beng-hiong, apalagi dia.
la menjadi ngeri sendiri bilamana membayangkan perintah
Swe Beng-hiong agar pasukan pemanah menghujani panah
sekalipun korbannya termasuk kawan sendiri.
Su Ang-ing juga cerdik, melihat An Tjun-ting ragu-ragu
tidak berani maju, ia menduga di antara kedua orang itu tentu
ada penyakitnya, tiba-tiba ia mendapat akal, dengan tertawa
ia berkata, "An-tjongkoan, banyak terima kasih atas
keteranganmu tadi, benar juga bangsat Swe Beng-hiong dapat
kutemukan di sini."
Keruan An Tjun-ting kaget, cepat ia menjawab, "Nona Su,
kau jangan sembarangan mengaco!"
"Ah, kenapa kau masih takut kepada Swe Beng-hiong, dia
kan seperti binatang buas yang sudah dekat ajalnya. Kukira
kau lebih baik membantu aku saja membinasakan dia, jasamu
tentu juga tidak kecil bagi pihak pergerakan kami," kata Anging.
Walaupun mendongkol, sedapat mungkin Swe Beng-hiong
berpura-pura tenang dan berkata, "Aku tidak nanti percaya
ocehan budak liar ini, dia hanya ingin mengadu domba saja.
An Tjun-ting jangan ragu-ragu, lekas bantu membinasakan
budak ini!"
Biarpun begitu ucapan Swe Beng-hiong, tapi dari nadanya
dapatlah An Tjun-ting membayangkan rasa curiga atasannya
itu terhadap dia.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara Kim Tiok-liu
berkumandang dari rimba sana, "Jangan takut, Ang-ing!
Segera aku tiba!"
Cepat Swe Beng-hiong berseru lagi, "Jangan kuatir, Tjunting
sedikitnya bocah she Kim itu masih beberapa li jauhnya.
Lekas kita membinasakan budak ini, lalu melarikan diri
dengan Tjiau-ya-say-tju milik Su Pek-to itu."
Memang taksiran Swe Beng-hiong tidak salah, saat itu Kim
Tiok-liu masih cukup jauh, namun An Tjun-ting paling takut
pada Kim Tiok-liu. Kedatangannya ini memang cuma akan
melihat gelagat saja. Swe Beng-hiong menyebut Tjiau-ya-saytju
jadi seperti menyadarkan dia malah. Segera ia mengambil
kepu-tasan untuk mendahului lari dengan kuda bagus itu.
Begitulah tanpa bicara lagi segera ia memburu ke tempat
Tjiau-ya-say-tju, sekali loncat ia menyemplak ke atas kuda itu.
Tetapi Tjiau-ya-say-tju lantas mengamuk, meloncat-loncat dan
berjingkrak. Namun An Tjun-ting yang masih tangkas itu
cukup kuat untuk mengatasi kuda itu, sekali tarik tali kendali,
kedua kakinya mengetok perut kuda, segera Tjiau-ya-say-tju
membedal keluar rimba.
Dari jauh barulah An Tjua-ting berseru, "Swe-tjiangkun,
ilmu silatmu tiada taranya masakah kau tidak mampu
mengalahkan budak itu" Sekalipun ditambah Kim Tiok-liu juga
bukan soal bagimu. Maafkan aku berangkat lebih dulu!"
Sungguh tidak kepalang rasa dongkol Swe Beng-hiong.
Dalam pada itu terdengar suara Kim Tiok-liu sedang
memanggil lagi, sebentar di sebelah timur, lain saat di sebelah
barat. Rupanya Kim Tiok-liu sedang menjajaki tempat
beradanya Su Ang ing suaranya terdengar, tapi orangnya
belum nampak. Namun jaraknya sudah lebih dekat daripada
tadi. Ang-ing menarik napas kuat-kuat, lalu berseru, "Tiok-liu,
aku berada di sini, lekas kemari!"
Baru lenyap suaranya sudah lantas terdengar seman Kim
Tiok-liu, "Inilah aku!" Padahal dalam sekejap itu mana bisa
muncul mendadak, seruan Kim Tiok-liu ini hanya untuk
membesarkan hati Ang-ing saja.
"Sudah kasip!" kata Swe Beng-hiong dengan tertawa. Pada
waktu Ang-ing berseru sekuatnya, kesempatan itu segera
digunakan Swe Beng-hiong untuk menubruk maju. Jari kiri
menutuk kedua mata Ang-ing, telapak tangan kanan
memotong perge-langan si nona pula.
Serangan kilat ini membikin Ang-ing rada kewalahan, ia
mengegos sambil menahaskan pedangnya, tapi tidak bisa
mengenai Swe Beng-hiong, sebaliknya tangannya lantas
merasa kesemutan, pedang jatuh ke tanah. Cepat Ang-ing
memutar tubuh dan lari.
"Lari kemana" Hehe, lebih baik ikut aku saja!" jengek Swe
Beng-hiong sambil menyungkit dengan ujung kaki, pedang
Ang-ing yang jatuh itu mencelat ke atas dan disambar
olehnya. Menyusul pedang itu disambitkan ke arah si nona
sebagai senjata rahasia.
Syukur Ang-ing sempat menganggukkan kepala sehingga
pedang itu menyerempet lewat di atas gelung rambutnya.
Sekuatnya Ang-ing berlari ke arah suara Kim Tiok-liu tadi,
Ginkang-nya memang lebih tinggi daripada Swe Beng-hiong,
cuma sayang keadaannya sudah payah, sebaliknya Swe Benghiong
mengerahkan segenap sisa tenaganya untuk mengudak,
ia bertekad akan mati bersama si nona. Ang-ing tidak berani
menoleh, hanya terdengar suara lari orang di belakangnya
semakin dekat. Sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat dari
tengah rimba, Kim Tiok-liu muncul. Sungguh girang Ang-ing
tak terkirakan, cepat ia berteriak, "Lekas kemari, Tiok-liu!"
Jarak mereka waktu itu sedikitnya masih beberapa puluh
meter jauhnya, saking napsunya memburu maju, sedikit
meleng, kaki Ang-ing kesandung batu, ia terjerembab dan
jatuh. Swe Beng-hiong terbahak-bahak, serunya, "Coba kau bisa
lolos dari cengkeramanku apa tidak?" Sekali loncat ia lantas
menubruk maju dan mencengkeram ke atas kepala Ang-ing.
Cepat Ang-ing berguling ke samping sehingga
cengkeraman Swe Beng-hiong mengenai tempat kosong.
Sekamnya Swe Heng-hiong menjemput sepotong batu terus
ditimpukkan sekuatnya, katanya dengan menyeringai, "Aku
harus mampuskan kau budak liar ini!"
Ang-ing tidak sempat menghindar, bila tertimpuk batu itu


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jiwanya pasti akan melayang, maka Ang-ing menjadi putus
asa ketika mendengar sambaran angin sudah berada di
belakang kepalanya, hatinya jadi dingin, pikirnya, "Baiklah,
biarlah Tiok-liu membalaskan sakit hatiku."
Ia memejamkan mata menanti ajal, menunggu jatuhnya
batu itu. Tak terduga mendadak terdengar suara gemuruh,
batu itu tidak jatuh ke bawah, sebaliknya seperti meledak, lalu
terjadilah hujan batu kerikil. Cepat Ang-ing meloncat bangun,
belum sempat berdiri lagi tahu-tahu tubuhnya dirangkul orang.
Keruan Ang-ing amat terkejut, menyusul terdengarlah
suara jeritan ngeri, itulah suara Swe Beng-hiong. Habis itu
baru terdengar suara Kim Tiok-liu yang halus membisiki
telinganya, "Sudah beres, Ang-ing. Aku datang terlambat
sehingga membikin kuatir kau."
Baru sekarang Ang-ing tahu benar yang memeluknya itu
adalah Kim Tiok-liu. Waktu ia membuka mata, ternyata Swe
Beng-hiong sudah menggeletak tidak jauh di sebelah sana,
dada tertancap pedang, bahkan gagang pedang itu tampak
masih bergetar pelahan.
Kiranya pada saat Swe Beng-hiong menimpukkan batu
besar tadi, dari tempat sejauh belasan meter Kim Tiok-liu juga
menimpukkan Hian-tiat-pokiam, pedang pusaka itu mencoblos
batu itu sehingga batu hancur, malahan terus meluncur dan
memantek Swe Beng-hiong di atas tanah.
Dengan lemas Su Ang-ing mendekap dalam pelukan Kim
Tiok-liu, terdengar pemuda itu membisikinya, "Ang-ing,
banyak terima kasih atas kiriman saputangan bersyairmu itu.
Aku baru mengetahui bahwa diriku sesungguhnya teramat
tolol. Tidak perlu penjelmaan yang akan datang, dalam hidup
ini saja kita dapat mengikat janji."
"Soalnya aku tidak tahu apakah dapat berjumpa lagi
dengan kau, kiranya pada hari itu juga kau sudah menerima
saputanganku," kata Ang-ing.
Begitulah keduanya sama mencurahkan isi hati masingmasing.
Selagi mereka asyik memadu kasih, tiba-tiba
terdengar suara gerakan pasukan. Dari jauh nampak Yap Bohhoa
memimpin pasukan sedang menuju ke arah mereka.
Segera Tiok-liu mencabut kembali Hian-tiat-tiat-pokiam dan
membersihkan darahnya, lalu disimpan ke dalam sarung
pedang. Ia lantas memapak maju dan menegur, "Boh-hoa,
kebetulan kedatanganmu ini, aku memberi suatu hadiah
kepada kalian."
Cepat Boh-hoa melompat turun dari kudanya dan memberi
hormat, sahutnya, "Kiranya Swe Beng-hiong sudah dibunuh
oleh Susiok. Selamat atas jasa Susiok ini, apakah ini nona Su
adanya?" "Benar," sahurnya, lalu Tiok-liu memperkenalkan Boh-hoa
kepada Ang-ing, katanya, "Meski dia terhitung Sutitku, tapi
kepandaiannya berperang jauh lebih pintar daripada aku.
Perang besar ini adalah di bawah komandonya."
"Ah, Susiok terlalu memuji diriku," kata Boh-hoa dengan
rendah hati, lalu ia memerintahkan memotong kepala Swe
Beng-hiong dan dibawa pulang untuk diperlihatkan kepada
khalayak ramai, katanya pula kepada Kim Tiok-liu, "Susiok,
Tiok-lotjian-pwe sudah berada di kota, beliau sangat ingin
menemui engkau, marilah kembali ke sana."
"Baik," jawab Tiok-liu. "Apakah gurumu juga sudah
datang?" "Suhu tinggal di Siau-kim-djwan, mungkin beberapa hari
lagi baru akan datang ke sini karena masih ada sesuatu
urusan yang harus diselesaikan di sana."
Boh-hoa lantas memilihkan dua ekor kuda untuk Tiok-liu
dan Ang-ing, ia sendiri sengaja tinggal di belakang dan
membiarkan mereka berdua jalan di depan.
Sekarang Kim Tiok-liu dan Su Ang-ing melarikan kuda
mereka berendeng, sudah tentu perasaan mereka sekarang
berbeda jauh daripada waktu berangkatnya tadi. Macammacam
salah paham dahulu sekarang sudah buyar semua,
sekarang hanya rasa senang yang menyelimuti hati mereka
berdua. Kini tinggal satu hal lagi yang masih mengganjal
perasaan mereka, yaitu Le Lang sing, tetapi mereka sudah
dapat membayangkan.
"Apakah kau sudah mendapat berita tentang diri Le-toako?"
tanya Ang-ing. "Tidak," sahut Tiok-liu. "Aku buru-buru menyusul ke sini,
tapi sepanjang jalan tidak nampak jejak Le-toako."
"Semoga dia dapat melarikan diri dengan selamat," ujar
Ang-ing. "Ya, Tuhan pasti melindungi orang baik," kata Tiok-liu.
"Marilah kita kembali ke sana dan meminta bantuan kawankawan
untuk mencari dia."
"Nona Kongsun itu tentunya puteri Kongsun Hong dari Angeng-
hwe, kulihat dia sangat memperhatikan Le-toako."
"Tidak cuma perhatian saja, aku pernah bertanya pada Li
Tun, dia bilang dari gelagatnya tampaknya mereka sudah
merupakan sepasang kekasih. Terus terang, selama ini aku
selalu merasa tidak enak terhadap Le-toako, kukira di dalam
hatinya hanya terisi oleh dirimu seorang, sekarang aku baru
mengetahui bila dugaanku itu tidak benar. Di dalam hatinya
ternyata ada bayangan orang lain, yaitu nona Kongsun,
dengan demikian legalah hatiku."
Setiba mereka di kota Sedjiang, beramai-ramai Tjin Goanko,
Hong Biau-siang, Ubun Hiong, Kang Hiau-hu dan lain-lain
sama keluar menyambut, hanya Li Tun dan istrinya tidak
kelihatan. Baru saja Kim Tiok-liu hendak bertanya, Goan-ko
sudah lantas memberitahukan lebih dulu, "Li Tun suami-istri,
Tan Kong-tjiau serta Tjiok Hek-koh sudah berangkat pergi
mencari Le Lam-sing. Mereka dibantu pula oleh anggotaanggota
Liok-hap-pang, maka Kim-heng tidak perlu kuatir lagi,
bila Le Lam-sing masih hidup, masakah orang begitu banyak
takkan mene mukan dia kembali?"
"Dan dimanakah nona Kongsun?" tanya Tiok-liu.
"Sebelum pertemuan di sini berakhir, nona Kongsun sudah
keluar kota," tutur Hong Biau-siang. "Dia adalah orang
pertama yang pergi mencari Le Lam-sing."
Kim Tiok-liu merasa lega setelah mengetahui begitu banyak
orang dikerahkan untuk mencari jejak Le Lam-sing. Dalam
pada itu Tiok Siang-hu juga keluar menyambut, cepat Tiok-liu
memberi hormat.
"Aku berbesanan dengan Kang-suhengmu, maka kita
terhitung satu angkatan, kau tidak perlu sungkan-sungkan
padaku," kata Tiok Siang-hu dengan tertawa.
Namun begitu Kim Tiok-liu tetap memberi hormat dengan
setengah menjura, Tiok Siang-hu mengangkatnya bangun
dengan kedua tangan, katanya pula dengan tertawa,
"Pahlawan memang selalu tumbuh dari kaum muda, hal ini
memang nyata. Kim-siauhiap, tidak perlu sampai sepuluh
tahun lagi tentu keya-kinanmu sudah melampaui Suhengmu."
Rupanya dengan mengangkatnya bangun tadi, Tiok Sianghu
sudah sempat menjajal kekuatan Kim Tiok-liu.
Begitulah di dalam istana bekas kediaman Swe Beng-hiong
itu lantas diadakan perjamuan besar. Sejak dua tahun yang
lalu kehilangan kota Sedjiang, baru sekarang dapatlah Tiok
Siang-hu kembali ke tempatnya, maka sungguh tak terlukiskan
rasa senangnya. Setelah minum beberapa cawan arak, dengan
semangat Tiok Siang-hu lantas berkata, "Di ruangan inilah
dahulu aku diserang oleh Swe Beng-hiong, sekarang kita
mengadakan perjamuan kemenangan di sini, sebaliknya Swe
Beng-hiong sudah binasa, meski bukan aku sendiri yang
membunuhnya, paling tidak sakit hatiku toh sudah terbalas.
Marilah Kim-siauhiap, terimalah suguhan tiga cawan dariku
sebagai tanda terima kasihku padamu yang telah
mengambilkan kepala Swe Beng-hiong."
"Ah, semua ini adalah jasa para kawan-kawan pula, marilah
para hadirin juga ikut minum tiga cawan," ajak Tiok-liu.
Setelah semua orang sama-sama mengeringkan tiga cawan
arak, lalu Tiok Siang-hu bicara lagi, "Dahulu aku teledor
sehingga kehilangan kota ini, sungguh aku sangat malu. Hari
ini para kawan telah membantu aku merebutnya kembali,
maka betapa pun takkan kuhilangkan lagi kota ini. Jika musuh
berani datang lagi, aku bersumpah mati menjaga kota ini
sampai titik darah penghabisan." Habis berkata ia memegang
sebuah cawan term dibanting sebagai pernyataan sumpahnya.
Mendadak sesosok bayangan melompat maju, sebelum
cawan arak itu jatuh ke lantai sudah keburu disambar olehnya,
kiranya dia adalah Yap Boh-hoa.
Dengan heran Tiok Siang-hu bertanya, "Yap-heng, kenapa
kau melarang aku bersumpah?"
"Tekad Tiok-lotjianpwe akan menjaga kota ini mati-matian,
cita-cita ini sungguh harus dipuji," kata Boh-hoa tersenyum
"Cuma, menurut pendapat Wanpwe, sebaiknya kota ini
dilepaskan saja."
Kalau orang lain yang mengemukakan kata-kata seperti itu
tentu Tiok Siang-hu akan gusar, tapi Yap Boh-hoa adalah
pemimpin pasukan yang nyata dalam peperangan barusan ini,
Tiok Siang-hu juga tahu akan kemahirannya dalam hal
pengaturan militer, maka meski pikirannya tidak setuju
dengan pernyataan Boh-hoa tadi, terpaksa ia bertanya
padanya, "Yap-heng, sungguh aku tidak pa-ham akan
pendapatmu itu. Jika kita harus melepaskan kota ini, lalu buat
apa hari ini kita merebutnya dengan mati-matian?"
"Menurut pikiranku, kekuatan musuh jauh lebih besar
daripada kita, jika mereka menghimpun kekuatan baru dan
menyerang Sedjiang lagi, maka kedudukan kita pasti berada di
pihak yang bertahan melulu," ujar Boh-hoa.
Tiok Siang-hu merasa kurang puas, katanya, "Memang
tidak salah perhitunganmu, tapi apakah kita harus takut
kepada kekuatan musuh yang lebih besar. Pula, asalkan ada
tekad, masakah kita mesti takut kepada musuh yang lebih
kuat?" "Soalnya bukan takut atau tidak, tapi harus kita
perhitungkan untung-ruginya," sahut Boh-hoa. "Kekuatan
musuh jauh lebih besar daripada kita, kalau kita bertempur
mati-matian toh kerugian terletak di pihak kita. Maka menurut
pendapat Wanpwe. untuk memperoleh kemenangan kita harus
memiliki tempat pertempuran yang menguntungkan dan
waktu yang tepat. Bila kita yakin akan menang barulah kita
mau berperang, tanpa keyakinan demikian lebih baik kita
menghindari perang."
"Seperti kemenangan kita sekali ini adalah karena syaratsyarat
yang memang menguntungkan kita. Pertama Swe
Beng-hiong lengah, dia mengira dirinya cukup kuat dan
menyangka kita tidak berani menyerang, maka dia
mencurahkan perhatiannya mengurusi pesta pernikahannya.
Kedua, sebelumnya kita sudah menyembunyikan bala bantuan
di dalam kota, Swe Beng-hiong telah dilukai pula oleh
serangan nona Su, pasukan musuh kehilangan pucuk
pimpinan, maka serangan kita berjalan lebih lancar daripada
rencana semula. Ketiga, Le-toako berhasil menaklukkan
sebagian besar anggota Liok-hap-pang yang berarti
kehilangan sebagian kekuatan Swe Beng-hiong, maka dengan
gampang istananya ini dapat kita bobol. Korban di pihak kita
dalam pertempuran ini tidak banyak, tapi separoh lebih
kekuatan musuh dapat kita tumpas. Ini sama dengan modal
sedikit mendapat untung besar. Peperangan demikian sudah
tentu bisa diteruskan, tapi serangan kilat demikian hanya bisa
terjadi satu kali dan sukar diulangi lagi. Kalau kita bertahan
mati-matian dalam kota ini, maka kita akan berada di pihak
yang pasif dan musuh yang berada di pihak aktif, perang
demikian tidaklah menguntungkan."
"Sebab itu, kupikir janganlah kita mempersoalkan satu dua
kota yang telah kita rebut ini, lebih baik kita bertahan di desa,
kita memilih tempat lain yang menguntungkan untuk
menyergap musuh. Yang penting rakyat jelata harus berada di
pihak kita. Di tengah rakyat yang banyak kita menjadi seperti
ikan mendapat air. Dengan demikian setiap peperangan akan
sangat menguntungkan kita."
Uraian Yap Boh-hoa yang panjang lebar ini sangat
mengagumkan Tiok Siang-hu, katanya dengan tertawa, "Haha,
jika demikian lebih baik kita kembali ke Thay-liang-san saja
kan" "Memang begitulah pendapatku," ujar Boh-hoa. "Tapi juga
tidak perlu terburu-buru, musuh baru saja kalah, dalam waktu
singkat terang sukar menghimpun kembali kekuatan baru. Kita
dapat berdiam sementara di dalam kota untuk
menenteramkan rakyat. Kalau ada rakyat yang mau ikut kita
ke Thay-liang-san akan kita beri waktu untuk persiapan bagi
mereka." "Benar, memangnya aku sedang bingung memikirkan nasib
rakyat bilamana kita tinggalkan, sekarang soalnya menjadi
terpecahkan dengan mudah," kata Tiok Siang-hu.
Setelah selesai berunding, perjamuan dilanjutkan dengan
meriah, hanya Kim Tiok-liu dan Su Ang-ing saja yang tampak
kurang gembira karena memikirkan Le Lam-sing.
Dengan tertawa Tiok Siang-hu menghibur mereka, "Sudah
beberapa ratus orang dikerahkan mencari Le-siauhiap, asalkan
dia masih hidup, dalam tujuh hari tentu sudah ada beritanya.
Marilah kita minum sepuas-sepuasnya saja."
Tak terduga selama beberapa hari, berturut-turut
rombongan orang yang ditugaskan pergi mencari Le Lam-sing
itu mulai kembali, namun yang dicari tetap tiada kabar
beritanya. Sampai hari keenam, Li Tun, Ho Djay-hong, Tan Kong-tjiau
dan Tjiok Hek-koh juga sudah pulang mereka juga tidak
menemukan Le Lam-sing.
Akhirnya semua orang yang pergi mencari Le Lam-sing
sudah pulang seluruhnya, hanya tinggal seorang yang tidak
kelihatan, ialah Kongsun Yan. Nona itu sudah berangkat
sendirian sebelum berakhirnya pertempuran, maka siapa pun
tidak tahu kemana dia pergi.
Le Lam-sing tidak ditemukan kembali, Kongsun Yan hilang
lagi, keruan Kim Tiok-liu bertambah gelisah, maka dia dan Su
Ang-ing mengambil keputusan akan berangkat mencari
mereka, bila yang dicari sudah diketemukan, barulah mereka
mau kembali ke pangkalan pasukan pergerakan di Thay-liang
san. Kemana perginya Kongsun Yan dan bagaimana
pengalamannya" Apakah dia sudah berjumpa dengan Le Lamsing"
Jawabnya adalah belum.
Pada saat Kim Tiok-liu berduaan dengan Su Ang-ing, saat


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu pula Kongsun Yan berada di tengah perjalanan tanpa arah
seorang diri. Hari itu Kongsun Yan keluar kota sendirian untuk mencari
Le Lam-sing, tanpa terasa ia telah jauh meninggalkan pasukan
dan para kawannya.
Menurut pertimbangan Kongsun Yan sendiri, hilangnya Le
Lam-sing secara mendadak terjadi pada waktu pertempuran
sengit di tempat kediaman Swe Beng-hiong. Kalau dia tidak
mati kemungkinan ditawan musuh. Sebab Kim Tiok-liu dan
lain-lain semuanya berada di tempat, bila Le Lam-sing bisa
lolos tentu dia sudah kembali menemui teman-temannya.
Menurut keyakinan Kongsun Yan pula, bilamana Le Lamsing
tertawan, maka yang menawannya pasti bukan prajurit
biasa, kalau bukan perwira tentulah jago yang diundang Swe
Beng-hiong. Orang-orang itu kenal kedudukan Le Lam-sing,
dengan menawan pemuda itu berarti mereka mendapat jasa
Pedang Dan Kitab Suci 21 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Kemala 1
^