Pendekar Jembel 17

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bagian 17


Hok-ting, hanya saja aku tidak diberitahu. Atau mungkin orang
kosen itu tidak cuma seorang saja, tapi lebih."
"Tadinya aku mengira orang kosen yang dimaksud
Auwyang Kian adalah Yang Go, tapi setiba di sini dan
mengetahui kesibukan Yang Go membangun kembali Thianmo-
kau baru diketahui bukan Yang Go yang dimaksudkan.
Kemudian mereka dapat dikalahkan habis-habisan, rupanya
juga di luar dugaan mereka. Waktu mereka melarikan diri, aku
pun ikut bersama orang she Boh, karena dia berada bersama
Auwyang Kian, maka aku mengira dia adalah orang kosen
yang dimaksudkan Auwyang Kian itu."
Kim Tiok-liu berpikir bisa jadi kata-kata Boh Tjong-tiu tadi
benar-benar bohong maka harus dikuatirkan bilamana orang
she Boh itu diam-diam pergi mengerjai sang Sutjo (kakak ipar,
istri Kang Hay-thian) yang sama sekali tidak berjaga-jaga itu.
Kongsun Hong menjadi teringat juga pada kebohongan
Hong Tju-tjiau terhadap Le Lam-sing dahulu, maka ia pun
curiga, tanyanya pula, "Hong Tju-tjiau, yang kau katakan
apakah betul-betul?"
Dengan penasaran Hong Tju-tjiau bermaksud menegaskan,
tiba-tiba Tiong Tiang-thong menyela, "Dengan tulus hati Hong
Tju-tjiau bermaksud kembali ke jalan yang benar, hal ini aku
bersedia menjadi saksinya. Apa yang dia katakan sekali ini
memang betul."
"O, jika demikian tentu Tiong-pangtju sudah mendengar
berita-berita apa, biasanya memang Kay-pang adalah sumber
berita yang bisa dipercaya," ujar Kongsun Hong
"Benar, justru lantaran kudengar Kang-tayhiap berada di
sini, maka aku sengaja datang ke sini buat menyampaikan
berita ini. Kang-tayhiap, kukira lebih baik kau pulang rumah
lebih dulu," ujar Tiang-thong.
"Tapi aku tetap tidak percaya Boh Tjong-tiu sudi mengekor
kepada kerajaan," kata Hay-thian. "Apalagi Yang Go dan
Auwyang Kian sudah tidak berdaya, tinggal Boh Tjong-tiu
sendiri, andaikan dia benar-benar hendak mencari setori ke
rumahku juga rasanya isteriku cukup kuat menghadapinya."
"Apakah berita yang didengar Tiong-lotjianpwe ada
termasuk Boh Tjong-tiu di antara orang-orang kosen yang
dimaksudkan Auwyang Kian itu?" tanya Kim Tiok-Hu.
"Kabar yang kudapatkan menyatakan Sat Hok-ting bertekad
usahanya kali ini pasti berhasil, katanya beberapa tokoh
pilihan yang jarang muncul di Kangouw telah dapat dia
undang, tapi aku tidak tahu kalau Auwyang Kian juga ikut
dalam komplotan mereka, kalau tidak, tentu aku tadi tidak
melepaskan dia. Meski aku tidak tahu apakah Boh Tjong-tiu
ikut atau tidak di dalam komplotan mereka, tapi berita yang
dikatakan Hong Tju-tjiau tadi dapat kujamin akan
kebenarannya dan karena itu Boh Tjong-tiu menjadi terbebas
dari kecurigaan, bisa jadi tokoh-tokoh yang jarang muncul di
Kangouw itu adalah sanak saudara seperguruannya."
"Di sinilah letak kesalahanmu, pengemis tua," kata Kongsun
Hong. "Kalau kau sudah tahu persoalannya, mengapa kau
tidak memikirkan bahaya yang mengancam Kang-hudjin,
bagaimana jadinya jika jago-jago yang dikirim Sat Hok-ting itu
tidak cuma satu rombongan saja tapi ada rombongan lain
yang langsung mencari setori ke rumah Kang-tayhiap."
"Jangan buru-buru menyalahkan aku, Kongsun-laute, kan
ceritaku belum habis," sahut Tiong Tiang-thong tertawa. "Aku
justru sudah mengirim berita kepada orang-orang Bin-san-pay
dan menyuruh keempat murid utama mereka lekas pergi
memberi bantuan."
"Meski kepandaian keempat murid utama Bin-san-pay tidak
lemah, tapi rasanya jauh daripada cukup untuk menandingi
Boh Tjong-tiu," kata Kongsun Hong.
"Lantaran itulah maka aku mendesak Kang-tayhiap lekas
pulang saja lebih dulu," sahut Tiang-thong.
"Tapi aku masih harus bertemu dengan teman-teman untuk
merundingkan persoalan pergerakan kita yang maha besar,
mana boleh karena urusan rumah tanggaku sendiri aku harus
mengesampingkan urusan yang lebih penting."
"Tapi urusan yang menyangkut keselamatan keluargamu
kan juga tidak kurang pentingnya," ujar Kongsun Hong.
"Kalau dibandingkan urusan pergerakan bangsa dan urusan
negara kan soal rumah tanggaku adalah urusan sepele," sahut
Kang Hay-thian. "Apalagi musuh-musuh yang bakal datang ke
sana belum tentu termasuk Boh Tjong-tiu, sebaliknya kan
jago-jago Bin-san-pay juga sudah sama datang membantu."
Tiong Tiang-thong kenal watak Kang Hay-thian yang keras
dan teguh, terpaksa ia berkata, "Untungnya rumahmu tidak
terlalu jauh dari sini, biarlah besok pagi-pagi aku menemani
kau pulang dan jangan sampai terlambat."
"Benar, yang penting sekarang kita harus kembali
menghadiri perjamuan kemenangan dan besok saja aku
berjanji akan pulang," sahut Kang Hay-thian. "Hong-siausing,
kau telah meninggalkan yang gelap dan menuju jalan yang
terang, maka perjamuan perayaan kemenangan ini kau juga
harus ikut."
"Tapi aku.....aku....." Hong Tju-tjiau gelagapan dengan
muka merah. "Eh, bukankah Hong-siansing tadi bilang mau bicara apaapa
pula?" tanya Tiok-liu.
"Ya ada sesuatu kabar lagi yang hendak kukatakan
padamu, jika di depan orang banyak aku merasa tidak enak
untuk bicara" sahut Tji-tjiau.
Dan baru saja Hong Tju-tjiau akan bicara lebih lanjut, tibatiba
Kongsun Hong berseru heran, "He, siapa lagi yang
datang?" Belum habis ucapannya tiba-tiba dari hutan sana muncul
dua sosok bayangan orang. Waktu Hong Tju-tjiau berpaling ia
menjadi terkejut tercampur girang, serunya "Anak Siang kalian
sudah kembali!"
Kiranya kedua pendatang itu bukan lain daripada puteri-nya
Hong Biau-siang dan Tjin Goan-ko.
Melihat ayahnya berada bersama Kim Tiok-liu dan lain-lain,
Hong Biau-siang juga tercengang sehingga seketika tak bisa
bicara. "Kedatangan kalian sungguh sangat kebetulan," seru Tiokliu
dengan tertawa. "Tjin-heng, aku sudah berhasil menjadi
comblang kalian, lekas kau memberi hormat kepada bakal
mertua-mu. Lantaran belum tahu duduk perkara yang sebenarnya, Tjin
Goan-ko dan Biau-siang menjadi ragu-ragu dan serba susah.
"Eh, biar kukatakan saja kepada kalian. Ayah nona Hong
sekarang sudah insyaf, dia menyanggupi perjodohanmu,
bahkan boleh dikata sekarang dia sudah orang kita sendiri,"
kata Tiok-Iiu dengan bergelak tertawa.
"Ya, memang begitulah halnya, Goan-ko, lekas kau
memberi hormat," sela Tiong Tiang-thong.
Mendengar ucapan gembong Kay-pang itu barulah Goan-ko
dan Biau-siang percaya penuh pada apa yang dikatakan Kim
Tiok-liu, keruan girang mereka sukar dilukiskan. Segera
mereka memberi hormat kepada Hong Tju-tjiau, yang seorang
memanggil ayah dan yang lain menyebut bapak mertua.
Dengan senang Hong Tju-tjiau membangunkan mereka, dalam
hati ia merasa bersyukur memilih jalan yang tepat.
"Tjin-heng, bagaimana kalian pun datang ke sini?" tanya
Tiok-liu kemudian.
"Karena kalian keluar mencari nona Kongsun dan tidak
pulang, Tiok-lotjianpwe menjadi kuatir, maka segera kami
disuruh mencari kalian, kami datang ke tempat Kongsun-totju
dan mengetahui beliau berada di sini, maka cepat kami
menyusul kemari," tutur Goan-ko.
"Banyak terima kasih atas perhatian kalian," kata Kongsun
Hong. "Tentang anak perempuanku dan Le-kongtju sudah
dike-temukan dalam keadaan selamat, sekarang mereka pun
berada di sini, sebentar kalian dapat bertemu dengan
mereka." "Kabarnya kalian berada di tengah pasukan pergerakan,
sungguh aku sangat senang," kata Hong Tju-tjiau. "Dahulu
aku telah banyak berbuat dosa dan selalu memusuhi pihak
pergerakan, sekarang aku diberi kesempatan menebus
dosaku." Tiba-tiba pikiran Kim Tiok-liu tergerak, katanya "Berita yang
kau maksudkan tadi apa ada hubungannya dengan pasukan
pergerakan?"
"Benar, dari Sat Hok-ting sendiri kudengar pihak kerajaan
sudah ada rencana menghadapi pasukan pergerakan kalian
yang bersembunyi di tanah pegunungan, maka mereka
merencanakan akan mengadu-domba dengan menghasut lima
kepala suku di daerah Djinghay agar memusuhi kalian."
Kang Hay-thian terkejut, katanya "Keji benar tipu muslihat
ini. Jika rencana mereka terlaksana maka sukarlah bagi
pasukan Tiok-lotjianpwe untuk bercokol di Tay-liang-san,
bahkan kalau kurang waspada bisa jadi akan timbul
persengketaan antar suku bangsa."
Wilayah Djinghay ini adalah tempat tinggal bermacammacam
suku bangsa yang utama adalah bangsa Hwe, bangsa
Han sebaliknya merupakan minoritas di propinsi ini. Selama ini
pergaulan antar suku bangsa itu berlangsung dengan aman
tenteram, perbekalan bagi pasukan Tiok Siang-hu juga banyak
mendapat bantuan dari suku Hwe di Djinghay.
Maka bila muslihat Sat Hok-ting berhasil, bukan saja Tiok
Siang-hu akan repot menghadapi suku bangsa itu, bahkan
soal perbekalan juga akan menimbulkan kesulitan baginya.
"Untung kita mengetahuinya terlebih dulu dan bisa lekas
memberitahukan Tiok-lotjianpwe agar beliau berusaha
mencegah usaha licik kerajaan musuh itu," kata Kim Tiok-liu.
"Setahuku waktu itu Sat Hok-ting telah mengirimkan utusan
ke tempat kepala-kepala suku untuk menghasut mereka.
Kukira hanya ada dua cara yang mereka gunakan untuk
memancing yaitu dengan harta dan menjanjikan pangkat,"
kata Tju-tjiau.
"Kita harus memberi penerangan kepada kepala-kepala
suku itu, kukira di antara mereka tentu juga ada yang
bijaksana" kata Kang Hay-thian. "Maka sebaliknya kita pun
lekas mengirim utusan ke sana, paling baik kalau mendahului
utusan Sat Hok-ting itu."
"Aku bersedia menjadi utusan demikian, besok pagi aku
lantas berangkat," kata Kim Tiok-liu.
Kang Hay-thian menerima baik maksud Kim Tiok-liu itu, ia
yakin sang Sute yang berkepandaian tinggi itu pasti bisa
memenuhi tugasnya, lalu ia mengucapkan terima kasih atas
berita yang dipaparkan Hong Tju-tjiau itu, beramai-ramai
mereka lantas kembali ke pendopo Thian-mo-kau.
Dengan girang Han Tjing-tat menyambut kembalinya
mereka, Kang Hay-thian lantas memperkenalkan tamu-tamu
yang baru padanya serta menjelaskan tentang Hong Tju-tjiau
menggabungkan diri dengan pihak pergerakan.
Setiba di ruangan dalam, terlihat Sun Pek-siu dan beberapa
pemimpin perkumpulan lain ikut menyambut kedatangan
mereka. Rupanya beberapa kawan Sun Pek-siu yang
keracunan itu telah disembuhkan oleh Li Tun dan Le Lam-sing.
Kembali Sun Pek-siu mengucapkan terima kasih kepada Su
Ang-ing dan menegaskan lagi akan taat dan tunduk di bawah
pimpinan Liok-hap-pang.
"Hanya sedikit urusan saja adalah jamak kita saling
menolong," kata Ang-ing, "Sekarang kita harus bersatu-padu,
marilah kita sama-sama membantu pihak pasukan pergerakan,
entah bagaimana pendapat kalian."
"Su-pangtju telah memberikan jalan kepada kami, dengan
segala senang hati kami minta Su-pangtju menjadi Bengtju
(ketua perserikatan) kami," seru Sun Pek-siu.
Serentak beberapa pemimpin perkumpulan Kangouw lain
ikut berseru setuju.
"Usiaku masih terlalu muda dan pengalaman cetak, mana
aku sanggup memikul tugas berat ini," kata Su Ang-ing.
"Menurut pikiranku pilihan yang paling tepat ialah Kongsuntotju."
"Haha, aku sudah tua bangka, masakah aku mampu
memikul kewajiban ini?" kata Kongsun Hong.
"Sudahlah, kalian tidak usah ribut, terus terang kukatakan,
di sini sudah ada seorang calon Bengtju yang jauh lebih sesuai
daripada kalian. Cuma aku mau usul, sebelum pahlawan besar
ini kusebut, kuminta kaitan mengubah dulu jabatan resminya
dia takkan menjadi Bengtju dari berbagai gerombolan kalian,
tapi kita angkat dia menjadi Bu-lim Bengtju, dengan demikian
baru cocok dengan kedudukannya" seru Tiong Tiang-thong.
"O, apakah Tiong-lotjianpwe maksudkan....."
"Benar, sesungguhnya dia sudah lama diakui sebagai Bulim
Bengtju oleh siapa pun juga dia ini Kang Hay-thian, Kangtayhiap
adanya!" Oleh dunia persilatan memang Kang Hay-thian telah diakui
sebagai tokoh nomor satu, maka dengan serentak semua
orang lantas bersorak setuju.
"Eh, mana boleh jadi, masakah aku cocok menjadi Bu-lim
Bengcu segala?" ujar Kang Hay-thian dengan rendah hati.
"Kalau Kang-tayhiap tidak cocok, lalu siapa lagi yang
cocok?" kata Tiong Tiang-thong "Saat ini kita sangat
memerlukan pemimpin yang dapat diterima oleh semua pihak.
Kukira dengan nama Kang-tayhiap, tiada seorang pun yang
takkan tunduk Apalagi cita-cita Kang-tayhiap juga
mengutamakan melawan penjajah Boan dan membangun
kembali negeri Han kita. Kau pun masih muda dan kuat,
masakah engkau meski takut kesukaran dan menolak tugas
penting ini?"
Terpaksa Kang Hay-thian menerima dengan baik katanya
"Atas penghargaan kalian terhadap diriku, sungguh aku sangat
berterima kasih. Baiklah sementara ini aku menerima
pengangkatan kalian sebagai penghubung daripada berbagai
golongan dan aliran, tentang Bu-lim Bengtju segala kukira
harus ditentukan pada rapat besar para tokoh persilatan."
"Asalkan kau bersedia menjadi pemimpin, maka cukuplah
urusannya tentang sebutan Bu-lim Bengcu atau bukan tidaklah
menjadi soal, sebab aku yakin kelak juga takkan ada orang
lain yang mampu berebut gelar itu dengan kau," kata Tiangthong.
Begitulah semua orang mengangkat Kang Hay-thian
sebagai pemimpin mereka, perjamuan lantas dimulai dan
masing-masing bergiliran memberi selamat kepada Kang Haythian.
Di tengah perjamuan yang riang gembira itu sudah
tentu banyak yang membicarakan ilmu silat, banyak pula yang


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membincangkan kepandaian Kang Hay-thian dan ada pula
yang membesar-besarkan ceritanya dengan berlebihan.
Pada sudut ruangan perjamuan sana bersatu meja
beberapa Thaubak dari Tiang-keng-pang, Liok-hap-pang dan
lain-lain. Selain itu ada pula seorang laki-laki berbaju hijau
yang tak dikenal asal-usulnya, karena dia duduk di meja sudut
sini, maka sama menyangka dia cuma seorang Thaubak kecil
saja dari salah satu Pang atau Hwe yang belum saling kenal.
Beberapa Thaubak itu asyik mengobrol tentang kepandaian
Kang Hay-thian dan saling membual tentang pengalaman
sendiri. Ada yang mengatakan bahwa sekarang ilmu silat Haythian
terhitung nomor satu, tapi tidak lama kemudian mungkin
harus berganti orang, lalu pembicara itu menonjolkan Kim
Tiok-liu. Katanya Kim Tiok-liu dalam waktu singkat tentu akan
melebihi sang Suheng, sebagai bukti pertarungan Kim Tiok-liu
melawan Bun To-tjeng, Yang Go dan Boh Tjong-tiu siang tadi.
Di tengah obrolan mereka itu ternyata ada seorang yang
diam saja, ia tidak ikut bicara, sebaliknya dari ujung mulutnya
seringkah menampilkan rasa cemoohnya bualan orang-orang
itu. Pendengar yang diam saja ini bukan lain daripada laki-laki
baju hijau yang tak dikenal itu.
"Wah, jika melihat ketangkasan Kim-siauhiap tadi, mungkin
sekarang juga dia sudah nomor satu di dunia ini," demikain
kata seorang Thaubak Tiang-keng-pang.
"Tidak, sekarang tetap Kang-tayhiap lebih kuat," sahut
temannya. "Tapi beberapa tahun lagi bukan mustahil Kimsiauhiap
akan menduduki kursi pertama di dunia persilatan."
Selagi orang-orang itu menyanjung puji pada Kim Tiok-liu,
mendadak terdengar laki-laki baju hijau itu tertawa dingin
beberapa kali, aneh benar suara tertawanya dan sangat
menusuk telinga.
Keruan semua orang melengak kaget oleh suara tawa
ejekan itu, Thaubak dari Tiang-keng-pang tadi lantas menegur
dengan gusar, "Kenapa saudara tertawa dingin?"
"Tidak apa-apa aku cuma tertawa karena kalian mirip katak
di dasar sumur," sahut orang itu.
Keruan Thaubak Tiang-keng-pang menjadi gusar, cepat ia
melompat maju dengan tangan mengepal, segera ia
bermaksud melabrak orang. Syukur teman di sebelahnya
lantas menariknya sehingga Thaubak itu sadar, orang berbaju
hijau yang aneh itu jangan-jangan bukan sembarangan tamu.
Tapi dengan mendongkol ia bertanya lagi, "Mengapa kau
bilang kami seperti katak di dalam sumur, coba jelaskan?"
"Dunia begini luas, sudah berapa banyak orang kosen yang
pernah kalian lihat" Mengapa sedikit-sedikit kalian lantas
memberi sebutan nomor satu, bukankah cara kalian ini terlalu
menggelikan?" ujar si baju hijau.
Tjin Tiong, Hiangtju dari Ang-eng-hwe berwatak paling
berangasan, mendengar kata-kata si baju hijau itu seketika ia
naik pitam, katanya "Hm, caramu bicara ini jangan-jangan kau
pun mengaku dirimu sebagai orang kosen" Kau sengaja
memandang enteng atas diri Kang-tayhiap dan Kim-siauhiap?"
"Ah, mana aku berani menganggap demikian, aku hanya
seorang gunung, mana dapat disebut sebagai orang kosen
segala. Cuma kedua pendekar besar dan kecil yang kalian
sebut-sebut itu, hehe, menurut pandanganku, biarpun
kepandaian mereka memang boleh juga tapi juga belum dapat
dianggap sebagai jago nomor satu di dunia ini," kata si baju
hijau dengan angkuh. Padahal selama puluhan tahun terakhir
ini, nama Kang Hay-thian boleh dikata gilang gemilang dan
tiada seorang pun yang berani memandang enteng padanya.
Keruan Tjin Tiong bertambah gusar, lalu katanya, "Baik
Kang-tayhiap tak bisa dianggap jago nomor satu, tentunya
kau inilah yang nomor satu. Aku orang she Tjin hanya pernah
belajar beberapa jurus cakar kucing saja, biarlah aku minta
belajar kenal kepandaianmu."
Kembali orang berbaju hijau itu mendengus, katanya,
"Pertama, aku tidak pernah menyatakan silatku nomor satu di
dunia ini. Kedua, aku pun tidak menuduh kepandaian saudara
hanya beberapa jurus cakar kucing saja, semua itu adalah kau
sendiri yang omong. Yang kukatakan ialah kepandaian Kang
Hay-thian dan Kim Tiok-liu belum pasti terhitung nomor satu
di dunia ini, jika kalian tidak percaya aku siap sedia untuk
coba-coba dengan mereka."
Tentu saja ucapan ini seketika membikin gempar semua
orang, dalam hati mereka sama berpikir apa orang ini sudah
gila, masakah berani menantang terang-terangan terhadap
Kang-tay-hiap dan Sutenya"
Waktu Kang Hay-thian memperhatikan orang itu, ternyata
air mukanya kaku tanpa perasaan sedikitpun. Keruan ia heran,
jelas orang sengaja hendak mengukur kepandaianku, tetapi
tampaknya dia sengaja menyembunyikan wajah aslinya seperti
kualir dikenali orang lain.
Dengan ragu-ragu Kang Hay-thian coba mendekati orang
itu, ia memberi hormat dan menyapa. "Numpang tanya
siapakah nama saudara yang mulia?"
"Buat apa buru-buru, sesudah aku menjajal kau kan masih
banyak waktu untuk memberitahukan namaku," sahut si baju
hijau dengan tertawa.
Melihat sikap orang yang sombong itu, Kang Hay-thian
tidak menjadi marah, ia tahu Lwekang orang sangat tinggi,
mukanya tak berperasaan, tentunya memakai kedok yang
tipis. Maka dengan tenang, ia berkata lagi, "Kalau saudara
tidak mau memberitahu nama, maka aku pun tidak berani
memaksa. Cuma tentang pujian kawan-kawan padaku tadi
hendaklah saudara jangan menganggap sebagai sungguhan.
Hanya sedikit kepandaianku ini masakah dapat dianggap
sebagai nomor satu di dunia ini seperti dikatakan saudara tadi,
maka sekali-kali aku tidak berani main jajal dengan saudara."
Tertampak orang itu menggeleng kepala, katanya, "Bicara
secara adil, meskipun kau belum bisa dianggap nomor satu di
dunia ini, tapi sudah terhitung tokoh terkemuka. Bicara terus
terang sebenarnya aku ingin menambah pengalaman dan
mencoba kepandaianmu. Kalau kau tidak sudi memberi
pelajaran, maka sungguh sangat mengecewakan aku."
Semakin Hay-thian merendah hati, semakin sombong dan
takabur pula orang itu. Sebaliknya yang ikut mendengarkan
juga tambah mendongkol, dengan gusar Tjin Tiong lantas
berseru pula, "Kang-tayhiap masakah sudi bergebrak dengan
orang macam kau" Jika kau sudah gatal minta digebuk,
biarlah aku saja yang main-main dengan kau. Bila kau dapat
menangkan aku barulah menantang Kang-tayhiap lagi."
"Tjing Tiong," tiba-tiba Kongsun Hong berseru. "Janganlah
kau banyak bicara dan ditertawai orang belaka. Sobat ini
bukanlah sembarangan orang, aku saja tidak berani
menjajalnya, berdasarkan apa kau berani mati
menantangnya?"
"Benar, kukira Kang-tayhiap sendiri tentu bisa
menyelesaikannya," Tiong Tiang-thong ikut bicara. "Jika Kangtayhiap
mau coba-coba dengan sobat ini, tentu akan besar
manfaatnya bagi pengalaman kita."
Mendengar ucapan kedua tokoh puncak itu, barulah semua
orang percaya bahwa orang berbaju hijau tidak dikenal itu
memang bukan sembarangan orang sebagaimana mereka
sangka semula. Di bawah dukungan Tiong Tiang-thong itu, Kang Hay-thian
masih ragu-ragu apakah mesti menerima tantangan orang itu
atau tidak, mendadak Kim Tiok-liu berseru, "Jika Suheng tidak
ingin melelahkan diri, biarlah aku saja yang belajar kenal
dengan sobat ini. Kan sobat ini tadinya akan memberi
petunjuk padaku."
Kiranya Kim Tiok-liu juga dapat mengetahui orang berbaju
hijau itu sengaja menutupi wajah aslinya, bahkan suaranya
saja sengaja dibikin lain. Sebab itulah ia pun menaruh curiga
jangan-jangan orang asing ini adalah teman Boh Tjong-tiu dari
Hu-siang-to. Dasar Kim Tiok-liu memang masih muda dan berdarah
panas, pula dia ingin lekas membongkar rahasia diri si baju
hijau, sebab itulah dia sengaja tampil ke muka untuk mewakili
sang Suheng. Si baju hijau mengamat-amati Kim Tiok-liu sejenak lalu
berkata, "Hari ini kau baru saja menempur tiga tokoh pilihan,
mungkin semangatmu belum pulih seluruhnya "
"Kita kan cuma coba-coba saja dan bukan bermaksud
mengadu jiwa," ujar Tiok-lhi. "Asal kau mampu mengalahkan
aku, maka dengan tulus hati aku akan mengakui
keunggulanmu tanpa alasan apapun juga."
"Hehe, keberanianmu sungguh harus dipuji, tapi aku tidak
mau mengambil keuntungan atas dirimu," sahut si baji hijau.
"Biarlah begini saja, memangnya aku ingin mencoba
kepandaian kalian berdua, maka boleh kalian maju sekaligus
agar aku bisa menghemat waktu dan tenaga."
Keruan ucapannya, kembali membikin terperanjat semua
orang, Tjing Tiong lantas berteriak lagi, "Coba, masakah di
dunia ini ada manusia sedemikian sombong!"
"Kata-katamu ini hendaklah disimpan dulu sebelum aku
kalah," ujar si baju hijau. "Sekarang pertandingan belum lagi
dimulai kalah atau menang belum tahu, mengapa kau sudah
menuduh aku sombong?"
Mau tak mau Kim Tiok-liu mendongkol juga, tanyanya, "Kau
sendirian mau bertempur melawan kami berdua?"
Si baju hijau mengangguk, katanya, "Benar, masakah perlu
dibuat heran?"
Dalam hati Kim Tiok-liu menggerutu, apa orang ini
barangkali sudah gila. Tak terduga mendadak terdengar Kang
Hay-thian berkata padanya, "Sute, menghormat lebih baik
daripada menurut. Jika Lotjianpwe ini sudah sedemikian
menilai tinggi kita, maka sepantasnya kita mengiringi
kemauannya."
Ucapan Kang Hay-thian ini kembali membuat semua orang
terkejut, sebab mereka maklum Kang Hay-thian telah diakui
secara umum sebagai jago nomor satu, sudah bertahun-tahun
lamanya tidak pernah menyaksikan dia bertempur sendiri,
sekarang kejadiannya bahkan terbalik, dia malah mau
menempur si baju hijau berkawankan Sutenya. Hal ini benarbenar
sama sekali di luar dugaan. Padahal tadi Kang Hay-thian
juga menyatakan menolak tantangan orang dengan rendah
hati, kenapa sekarang pikirannya berubah mendadak"
Mengapa pikiran Kang Hay-thian mendadak berubah, hal
inipun tidak dipahami Kim Tiok-liu.
Dalam pada itu si baju hijau berkata, "Kang-tayhiap
memang orang yang suka blak-blakan. Nah, bolehlah kita
mulai sekarang!"
Sementara itu meja kursi di tengah ruangan telah
disingkirkan sehingga terlubang satu lingkaran, si baju hyau
lantas turun ke tengah kalangan.
Hati Tiok-liu menjadi panas akan kesombongan orang,
segera ia bermaksud menerjang maju, tapi Kang Hay-thian
menariknya untuk berdiri di sebelahnya dan menunggu
sebagai tanda menghormat kepada pihak lawan.
Keruan semua orang terheran-heran melihat Kang Haythian
sedemikian menghormati lawannya. Kim Tiok-liu tidak
berani membangkang, terpaksa ia berdiri di sebelah sang
Suheng dengan mendongkol, katanya, "Baiklah kami sudah
siap, silakan Lotjianpwe mulai memberi petunjuk"
Mulurnya menyebut "Lotjianpwe", tapi nadanya sudah tidak
begitu menghormat lagi.
"Dan dimana kau punya Hian-tiat-pokiam, kenapa tidak
dicemarkan?" tiba-tiba si baju hijau melirik hina padanya.
"Apa" Kau bermaksud melawan Hian-tiat-pokiam dengan
jertangan kosong?" Kim Tiok-liu menegas dengan menahan
gusar. "Benar, kudengar Hian-tiat-pokiara adalah senjata yang
paling ampuh, aku ingin berkenalan," sahut si baju hijau.
"Tapi pedangku itu tidak bermata;" kata Tiok-liu dengan
nada dingin. "Haha, pedangmu tidak bermata, namun mukamu kan
bermata," sahut si baju hijau sambil mengakak. "Kau jangan
kuatir, betapapun lihainya Hian-tiat-pokiam mungkin tak
gampang untuk melukai aku."
Keruan banyak di antara hadirin yang mendongkol dan
mengomel melihat kecongkakan orang itu. Tjin Tiong juga
memaki, "Orang ini barangkali sudah gila dan mencari
mampus." Tokoh-tokoh tua seperti Kongsun Hong dan Tiong Tiangthong
juga merasa sikap si baju hijau terlalu takabur, tapi
sebaliknya Kang Hay-thian tampak sangat prihatin seperti
memikirkan sesuatu, tentu saja Kongsun Hong dan lain-lain
menjadi tidak habis herannya.
Dengan hormat Kang Hay-thian lantas berkata, "Sute, kalau
Lotjianpwe ini minta kau memakai Hian-tiat-pokiam tentu
beliau ingin memberi petunjuk berapa jurus ilmu pedang
padamu, kesempatan bagus ini jangan disia-siakan, hendaklah
kau minta belajar dengan tulus hati."
Terpaksa Kim Tiok-liu mengiakan, walaupun di dalam hati
ia pun mendongkol atas sikap orang yang sombong itu, segera
ia melolos Hian-tiat-pokiam.
"Harap Tjianpwe memberi pelajaran," kata Hay-thian pula.
"Kalian minta belajar padaku, lebih dulu kalian harus
mengunjukkan sejurus dua padaku," sahut si baju hijau.
Semua orang sama menggeleng kepala khekhi, masakah
semakin Kang-tayhiap merasa sungkan, sebaliknya orang
semakin sombong.
"Baik," kata Hay-thian, segera ia mulai dengan jurus
pembukaan ilmu pukulan Thian-san-pay, kedua tangan
bergabung di depan dada lalu menyodok ke depan.
Jurus pembukaan ini meski tampaknya sepele saja tapi da-
|tam permainan Kang Hay-thian menjadi dahsyat luar biasa.
Diam-diam Kongsun Hong mengakui kehebatan pukulan Kang
1 Hay-thian itu, ia ingin tahu cara bagaimana si baju hijau
akan menyambut pukulan itu. Tidak terduga orang itu hanya
me-nyampuK seenaknya saja dengan sebelah tangan, sama
sekali tidak nampak jurus apa yang dia gunakan. Anehnya
sampukan yang sepele itu ternyata sudah dapat
menyingkirkan hantaman Kang Hay-thian tadi, bahkan Kang
Hay-thian tampak tergeliat.
Keruan saja Kongsun Hong saling pandang dengan Tiong
Tiang-thong dan sama-sama menyatakan keheranan mereka
maka hadirin yang lain sudah tentu lebih terkejut.
Kim Tiok-liu merasa heran juga akan cara bertempur orang


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aneh itu, sama sekali tidak kelihatan jurus serangannya dan
sang Suheng sudah dipaksa mundur, ia menjadi ragu apakah
Kang-suhengnya sengaja mengalah atau memang sudah kalah
satu jurus" Segera ia pun ingin menjajal, dengan langkah
ajaib Thian-lo-poh-hoat ia menubruk maju, telapak tangan kiri
melingkar ke atas, dengan gerak kilat ia terus memukul ke
dada lawan. Kim Tiok-liu menggunakan sembilan bagian tenaganya ia
pikir andaikan pihak lawan tak bisa dirobohkan juga sedikitnya
akan dapat mengukur sampai dimana kekuatan lawan itu.
Siapa duga lawan cuma mengangkat tangan kanan dan
mengebas ke samping, ujung jarinya menyerempet pelahan di
tepi telapak tangan Kim Tiok-liu, seketika tenaga pukulan Kim
Tiok-liu yang maha dahsyat itu kena dibelokkan dan punah.
Jadi sedikitpun Kim Tiok-liu tidak merasakan tenaga
perlawanan musuh, sampai dimana kekuatan lawan juga sama
sekali tak bisa diukur.
Setelah memunahkan serangan Kim Tiok-liu, orang aneh itu
lantas berkata "Si-mi-tjiang-hoat mengutamakan kelunakan,
cara seranganmu yang dahsyat ini agaknya tidak tepat."
Si-mi-tjiang-hoat ini adalah ciptaan Leng Bwe-hong, tokoh
angkatan tua Thian-san-pay, ilmu pukulan ini dipelajari Kim Siih
pada 30 tahun yang lalu dari ketua Thian-san-pay pada
masa itu, yaitu Tong Hiau-lan. Kemudian Kim Si-ih banyak
menambah dan memberikan variasi yang aneh-aneh sehingga
yang kenal pukulan ini hanya terbatas beberapa jago tua yang
dapat dihitung dengan jari.
Tapi sekarang si baju hijau bukan saja kenal ilmu
pukulannya, bahkan mampu menunjuk titik kelemahan Kim
Tiok-liu. Biarpun anak muda dan berhati panas seperti Kim
Tiok-liu mau tak mau terkejut juga dan merasa kagum, tapi
sebelum bisa menjajal sampai dimana kepandaian lawan, Kim
Tiok-liu tetap penasaran.
Tampaknya si baju hijau dapat membaca pikiran Tiok-liu,
katanya, "Kau belum lagi menggunakan Hian-tiat-pokiam,
jangan khawatir, pakai saja sesukamu!"
Setelah mengetahui kepandaian si baju hijau sukar diukur
tingginya, Kim Tiok-liu tidak perlu kuatir dan sungkan lagi,
segera ia memutar Hian-tiat-pokiam, "sret", segera ia
menusuk dengan jurus 'Tay-boh-koh-yan' atau asap mengepul
di gurun pasir.
"Ehm, jurus serangan ini tidak jelek!" puji si baju hijau.
Padahal ilmu pedang Kim Tiok-liu entah sudah berapa
banyak mengalahkan jago silat kelas wahid, sebaliknya si baju
hijau ini hanya memuji seakan sang guru yang sedang
menguji murid saja, keruan semua orang merasa mendongkol.
Tapi segera terbukti bahwa si baju hijau memang bukan
orang sembarangan, begitu tusukan Kim Tiok-liu tiba, secepat
kilat si baju hijau memutar ke samping, lengan bajunya lantas
mengebas pelahan dan pedang Kim Tiok-liu lantas ikut
melenceng arahnya.
Tangan si baju hijau masih tetap terselubung dalam lengan
bajunya yang longgar, tapi secara gampang saja serangan Kim
Tiok-liu yang lihai itu dihindarkan olehnya. Baru sekarang
semua orang terkejut dan sadar bahwa si baju hijau itu
memang orang kosen.
Tahu kepandaian si baju hijau sukar diukur tingginya, tanpa
sungkan lagi Kim Tiok-liu melolos Hian-tiat-pokiam terus
menyerang dengan jurus 'Tay-boh-koh-yan' bersama Kang
Hay-thian ia mengeroyok si baju hijau yang takabur itu.
Sudah tentu yang paling terkejut adalah Tiok-liu, Hian-tiatpokiamnya
ada ratusan kati beratnya, sebaliknya lengan baju
adalah benda lemas dan enteng, tapi hanya sedikit mengebas
saja orang itu sudah mampu membelokkan arah tusukan
pedangnya, jelas ini adalah ilmu sakti 'Si-nio-boat-djian-kin'
(empat tail me-nyampuk ribuan kati) yang termashur dalam
ilmu silat. Kim Tiok-liu juga pernah belajar ilmu sakti demikian itu,
tapi ia harus mengakui tidak mampu berbuat sehebat orang
aneh itu, bahkan selama hidupnya tidak pernah melihat cara
penggunaan ilmu sakti itu secara demikian bagus, termasuk
Suheng dan ayahnya.
Walaupun kagum di dalam hati, tapi Kim Tiok-liu tetap tidak
mau menyerah, apalagi asal-usul pihak lawan saja belum
diketahui, segera ia menyerang lagi sambil beseru, "Suheng,
dia ingin menjajal kita berdua, kenapa kau tidak maju?"
"Hahaha, benar, Kang-tayhiap tidak perlu sungkan, maju
saja sekalian," seru orang aneh itu.
Padahal Kang Hay-thian tahu sesungguhnya dirinya tadi
sudah kalah satu jurus, ia menjadi sangsi sebab mendadak
teringat kepada seorang, hanya saja ia belum yakin benar
akan dugaannya.
Lantaran seman Kim Tiok-liu serta ucapan si baju hijau
sendiri, terpaksa Kang Hay-thian melangkah maju lagi,
katanya, "Harap Tjianpwe sudi memaafkan kelancanganku,
Wanpwe tidak berani bilang bertanding, hanya mohon
Tjianpwe sudi memberi petunjuk"
"Kau tidak turun tangan, cara bagaimana aku bisa memberi
petunjuk?" sahut si baju hijau. "Sudahlah jangan banyak
bicara, kau punya kepandaian apa boleh keluarkan
seluruhnya."
Dengan penuh hormat Kang Hay-thian mengiakan, kedua
tangan menyodok ke depan. Di sebelah sana Kim Tiok-liu juga
tidak tinggal diam, pedang dan sebelah tangan lain juga
menyerang sekaligus, si baju hijau hanya punya dua tangan,
betapapun saktinya tentu tidak mampu sekaligus mematahkan
serangan mereka dari kanan kiri.
Dalam hati Kim Tiok-liu yakin, "Sekali ini ingin kulihat
apakah kau tidak terpaksa mengeluarkan ilmu silatmu yang
asli?" Ia pikir begitu orang mengeluarkan ilmu silatnya tentu
segera akan dikenali asal-usul lawan itu.
Di luar dugaan terdengar si baju hijau memuji, "Betapapun
memang sang Suheng jauh lebih pintar, Si-mi-tjiang-hoatnya
ini boleh dikata sudah mencapai puncak kesempurnaannya."
Padahal ilmu silat Kang Hay-thian secara umum diakui
sebagai jago nomor satu, tak tersangka di mulut si baju hijau
hanya mendapatkan penilaian "boleh dikata sempurna" saja.
Maka tertampaklah di tengah berkelebatnya sinar pedang
dan menderunya angin pukulan, si baju hijau tetap mengebas
pe-lahan dengan lengan bajunya tusukan Hian-tiat-pokiam
Tiok-liu yang tiba lebih dulu disampuk hingga berubah arah
dan menusuk ke arah sang Suheng.
Lekas Kang Hay-thian mengganti pukulan menjadi
mendorong, suatu gelombang tenaga dahsyat dapat
menggoncang kembali tusukan Hian-tiat-pokiam itu. Kedua
kakak beradik perguruan itu sama-sama melompat mundur
dua-tiga tindak.
Jurus yang digunakan si baju hijau ini lebih indah daripada
tadi, bukan saja tetap ilmu 'Si-nio-boat-djian-kin' yang
digunakan bahkan meminjam untuk memukul lawan, tusukan
Hian-tiat-pokiam dipinjam untuk melawan pukulan Kang Haythian,
dan dia punya kepandaian sejati tetap tidak ditonjolkan.
Setelah Kang Hay-thian dan Kim Tiok-liu melompat
mundur, si baju hijau tidak menggunakan kesempatan itu
untuk mendesak lebih jauh, sebaliknya lantas berhenti dan
berkata, "Hayo, coba lagi! Kang-tayhiap, pukulanmu tadi rada
cepatan, harus lebih pelahan sedikit."
"Banyak terima kasih atas petunjuk Tjianpwe, Tetju sekalikali
tidak berani disebut sebagai Tayhiap," sahut Hay-thian.
"Ah, kau tidak perlu sungkan, aku tidak memuji ilmu
silatku, tapi aku memuji pribadimu dan perbuatanmu yang
tidak malu untuk dipanggil sebagai Tayhiap," kata si baju
hijau. Begitulah Kim Tiok-liu dan Kang Hay-thian lantas
menyerang lagi. Kang Hay-thian memainkan Si-mi-tjiang-hoat
dengan prihatin seakan-akan murid sedang latihan di depan
sang guru. Si baju hijau juga berulang-ulang memanggut
tanda memuji sambil mematahkan setiap serangan Kang Haythian.
"Kepandaian kami sudah dikeluarkan, mohon Lotjianpwe
juga sudi memberi tambahan pengalaman kepada kami," seru
Kim Tiok-liu. Ia menjadi sangsi juga terhadap si baju hijau
karena melihat sikap sang Suheng yang begitu menghormat
kepada lawan itu.
"Hahaha, aku hanya paham sedikit kepandaian biasa saja,
dan tiada harganya untuk dipamerkan," sahut si baju hijau.
"Tapi kalau kau ingin melihat, maka silakan lihat ini."
Di tengah tertawanya itu, si baju hijau lantas pasang kudakuda
seperti guru silat kampungan mengajar murid, kepalan
lantas memukul ke depan sehingga Kang Hay-thian terdesak
mundur, bahkan sebelah tangannya segera terangkat ke atas
sehingga serangan Kim Tiok-liu tertangkis.
Hanya dua gerakan saja si baju hijau memainkannya,
serentak gemparlah di antara para penonton sebab apa yang
dimainkan si baju hijau hakikatnya cuma ilmu silat biasa saja,
yaitu ilmu pukulan 'Su-peng-kun' yang paling umum pada
waktu itu bagi setiap orang yang baru belajar silat.
Tadinya semua orang menyangka si baju hijau pasti punya
kepandaian tinggi yang mengejutkan, siapa tahu
permainannya hanya 'Su-peng-kun' yang rendah, keruan
semua orang sama heran.
Akan tetapi 'Su-peng-kun' yang dipandang sepele oleh
setiap orang dalam permainan si baju hijau itu ternyata
mempunyai kekuatan yang dahsyat, sehingga Kang Hay-thian
dan Kim Tiok-liu rada kewalahan melayani, tentu saja ini lebih
mengherankan orang banyak.
Begitulah meski Kang Hay-thian dan Kim Tiok-liu
mengeluarkan kepandaian mereka yang hebat, selalu mereka
terdesak kembali oleh setiap gerakan si baju hijau yang sepele
itu. Bahkan beberapa kali Hay-thian dan Tiok-liu terpaksa
harus mengegos dan menghindar ke sana kemari.
Kongsun Hong terkejut juga setelah mengikuti sejenak
pertarungan itu, katanya kepada Tiong Tiang-thong dengan
pelahan, "Kepandaian orang ini benar-benar sudah mencapai
tingkatan yang maha sakti. Pengemis tua, apakah kau bisa
mengenali asal-usul orang ini?"
"Tampaknya segala macam ilmu silat sepele akan menjadi
maha sakti dalam permainan orang aneh ini," sahut Tiangthong.
"Dahulu waktu Kim Si-ih mengalahkan Beng Sin-thong
di Kosan agaknya belum mencapai tingkatan setinggi si baju
hijau ini."
Kecuali Tiong Tiang-thong dan Kongsun Hong, ada
sebagian penonton yang mengira Kang Hay-thian sengaja
mengalah kepada lawannya dan Kim Tiok-liu yang jahil itu
belum mau menyerang dengan sungguh-sungguh. Mereka
tidak tahu bahwa Kang Hay-thian dan Kim Tiok-liu memang
tidak mampu melawan si baju hijau, saat mana mereka
sedang mengeluh.
Meski si baju hijau hanya menggunakan ilmu silat pasaran
yang sepele saja, tapi setiap jurus serang Kang Hay-thian dan
Kim Tiok-liu seakan selalu terduga olehnya. Kemanapun
mereka menyerang selalu kecelik, bahkan selalu terdesak
mundur lagi karena lawan sudah siap dengan serangan
balasan yang jitu.
Semula Kim Tiok-liu mengira gerakan lawan akan dapat
diketahui asal-usulnya, siapa tahu orang itu hanya memainkan
Su-peng-kun yang sepele saja, keruan sukar pula diketahui
dari aliran mana ilmu silatnya itu. Lama-lama Kim Tiok-liu
menjadi gopoh dan merasa kehilangan muka bila kedua
saudara seperguruan tidak mampu melawan seorang yang
tidak terkenal itu. Mendadak ia bersuit panjang ia
mengeluarkan jurus ilmu pedang yang aneh, Hian-tiat-pokiam
gemerdep dan menyerang ke arah yang sama sekali sukar
diraba. Semua orang tiada yang kenal ilmu pedang apa yang
dimainkan Kim Tiok-liu, kiranya ilmu pedang itu setengahnya
adalah hasil curian Kim Tiok-liu, setengah lagi adalah ciptaannya
sendiri, Kim Tiok-liu memang maha pintar, siangnya
waktu bertanding dengan Boh Tjong-tiu, dari berbagai ragam
ilmu silat yang dimainkan orang she Boh itu sebagian dapat
diselaminya dengan baik Boh Tjong-tiu memakai senjata
kipas, sekarang Kim Tiok-liu menggunakan Hian-tiat-pokiam
dan memainkan jurus-jurus serangan yang dicurinya dari Boh
Tjong-tiu disertai dengan variasi-variasi yang sukar diduga.
Kim Tiok-liu mempunyai tujuan tertentu dengan permainan
ilmu pedang yang aneh itu, soalnya kepandaian si baju hijau
terlalu lihai, Kim Tiok-liu tahu betapapun bagus ilmu
pedangnya yang aneh itu juga sukar mengalahkan lawan.
Cuma tujuannya bukan hendak mengalahkan lawan, hanya
ingin memaksa si baju hijau mengeluarkan ilmu silat aslinya
saja Sebab ia menyaksikan si baju hijau mungkin adalah orang
kosen dari Hu-siang-to sebagaimana diceritakan oleh Boh
Tjong-tiu bahwa keturunan Hu-siang-to itu terpecah menjadi
tiga cabang, kepandaian Boh Tjong-tiu juga cuma sebagian
kecil saja dari warisan leluhurnya maka bukan mustahil aliran
Hu-siang-to itu masih ada tokoh lain yang jauh lebih kosen
daripada Boh Tjong-tiu. Dan bila benar si baju hijau dari Husiang-
to, bila mendadak bertemu ilmu silat dari perguruan
sendiri tentu secara otomatis akan mematahkan serangan itu
dengan ilmu silat perguruannya sendiri pula.
Begitulah maka serangan Kim Tiok-liu tadi agaknya
membikin si baju hijau rada terkejut dan bersuara heran
pelahan. Diam-diam Kim Tiok-liu bergirang, pikirnya "Nah,
sekali ini ingin kulihat apakah kau takkan mengeluarkan
kepandaian aslimu?"
Tak terduga meski si baju hijau bersuara heran, tapi ketika
serangan Kim Tiok-liu tiba dia masih tetap menggunakan satu
jurus Su-peng-kun yang sepele dan sekaligus ilmu pedang Kim
Tiok-liu yang luar biasa itu sudah terpatahkan. Dengan
sendirinya Kim Tiok-liu sangat kecewa tapi mendadak tergerak
pikirlannya, dalam kecewanya itu tiba-tiba timbul harapan
pula. Ru-Ipanya karena tangkisan si baju hijau atas jurus
serangan cipta-lannya yang baru tadi sehingga memberi
peluang baginya untuk mengetahui sesuatu.
Tiok-liu mengedipi sang Suheng, lalu melancarkan pula ju-
[rus serangannya yang serba baru itu secara membadai.
Diam-diam Kang Hay-thian menertawakan napsu Tiok-liu
yang ingin menang itu, tapi supaya tidak membikin kecewa
sang Sute, terpaksa ia pun melancarkan serangan lebih ketat
untuk bekerja sama dengan Kim Tiok-liu.
Sekaligus Kim Tiok-liu menyerang sampai belasan kali,


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika pandangan semua orang seakan kabur oleh
berkelebatnya sinar senjata dan bayangan orang, sekonyongkonyong
terdengar suara "trang" yang nyaring Hian-tiatTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
pokiam terlepas dari tangan Kim Tiok-liu, dia sendiri juga
terpental jatuh sampai beberapa meter jauhnya.
Keruan Kang Hay-thian terkejut, tapi sebelum dia sempat
berpikir lebih jauh tiba-tiba Kim Tiok-liu sudah melompat bangun
sambil berseru, "Ayah, kiranya engkau sengaja bergurau
dengan anak!"
Mendengar itu, legalah hati Kang Hay-thian, cepat ia
bersujud memberi hormat sambil berkata dengan girang,
"Suhu, ternyata benar engkau adanya!"
"Hahaha! Boleh juga kau, Hay-thian, sudah jauh lebih maju
daripada dulu!" sahut si baju hijau sambil bergelak tertawa
Ketika ia menggosok mukanya, selapis kain kedok yang sangat
tipis dicopotnya sehingga tertampak wajah aslinya, siapa lagi
kalau bukan Kim Si-ih, guru Kang Hay-thian dan ayah Kim
Tiok-liu. Usia Kim Si-ih sudah lebih 60 tahun, tapi lantaran Lwekangnya
sangat tinggi dan mahir berdandan, tampaknya dia
baru Berumur 40-an tahun dan dapat dikenali oleh angkatan
tua seperti Kongsun Hong dan Tiong Tiang-thong.
Ai, dasar aku sudah pikun, seharusnya sejak tadi kuduga
akan dirimu," kata Tiang-thong. "Sungguh tidak nyana sifatmu
yang suka bercanda ini masih tetap serupa dulu, masakah
murid dan putera sendiri juga digoda."
"Kalau aku tidak menjajal mereka, darimana aku bisa
mengukur kepandaian mereka, apa maju atau mundur?" sahut
Kim Si-ih tertawa. "Hm, bicara tentang ini harus kusalahkan
kau." "Eh, kau mengajar muridmu sendiri, kenapa aku yang
disalahkan," kata Tiang-thong.
"Habis, kalian menyanjung mereka sebagai jago nomor
satu segala kalau aku tak menghajar mereka kan sama saja
membikin mereka bertambah sombong?" ujar Kim Si-ih. "TiokTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
liu, jauh sekali bila kau dibandingkan Suhengmu. Ilmu silatmu
kalah kuat daripada Suhengmu, kesabaranmu juga kurang,
kau harus banyak belajar dari Hay-thian."
"Wah, Kim-tayhiap juga kurang adil," kata Tiang-thong
dengan tertawa. "Meski puteramu tidak sekuat Suhengnya tapi
jurus serangan yang dia ciptakan sendiri itu sungguh hebat.
Soal dia belum dapat menandingi sang Suheng hanya karena
usianya jauh lebih muda"
"Benar," Hay-thian ikut bicara. "Kepintaran Sute harus
dipuji. Coba kalau bukan dia yang memanggil, mungkin
sampai saat ini aku takkan kenal Suhu lagi."
"Cuma sayang kepintarannya tidak digunakan menurut cara
yang baik," ujar Si-ih. "Hay-thian, kau juga tertipu olehnya.
Apa kau menyangka dia mengenali aku dari cara permainan
silatku tadi" Hm, dia justru menggunakan kepandaian Ki Hiauhong
terhadap diriku, maka masih murah baginya cuma aku
hukum jatuh terjungkal saja."
Kiranya pada saat Kim Tiok-liu menerjang dengan dahsyat
tadi, secara istimewa dia mengetahui si baju hijau adalah
ayahnya sendiri.
"Hahaha rupanya Kim-tayhiap merasa penasaran lantaran
kalah satu jurus dari puteranya sendiri, makanya kau memberi
hajaran padanya" seru Tiang-thong dengan tertawa. "Hah,
menurut pendapatku, kepandaian mencopet itu asal dipakai
untuk tujuan yang betul kan tidak jelek juga?"
"Kim-tayhiap," seru Kongsun Hong, "Dengan kembalinya
engkau, maka sebutan jago nomor satu di dunia ini oleh murid
dan puteramu harus diserahkan kepada engkau."
Mendadak Kim Si-ih bicara dengan sungguh-sungguh,
"Tidak, dunia ini terlalu luas dan dimanapun terdapat orang
kosen. Jika kalian menganggap aku jago nomor satu, maka
kalian benar-benar salah besar."
Tiang-thong mengira Kim Si-ih cuma berkelakar dan bicara
dengan rendah hati saja segera ia berkata pula "Kukira
sifatmu tidak berubah, nyatanya toh ada sedikit berubah juga.
Dahulu kau tidak begini rendah hati, apakah hal ini kau belajar
dari muridmu?"
"Soalnya dahulu aku tidak tahu luasnya jagad ini dan
sekarang baru tahu aku sesungguhnya mirip katak di dalam
perigi, terus terang kukatakan, kemarin aku baru saja
bertanding pedang dengan orang dan telah terjungkal."
Melihat cara bicara Kim Si-ih yang sungguh-sungguh itu,
Tiong Tiang-thong dan lain-lain terheran-heran. Mereka sukar
mempercayai bahwa di dunia ini masih ada orang yang lebih
lihai daripada Kim Si-ih.
"Mungkin kalian tidak percaya?" kata Si-ih pula. "Baik mana
cincin kemala yang kau curi dari bajuku tadi, Tiok-liu?"
Dengan muka merah Kim Tiok-liu menyerahkan kembali
cincin yang disebut itu kepada sang ayah, lalu Si-ih berkata
pula sambil menunjukkan cincin itu kepada Tiong Tiang-thong
"Coba kalian lihat yang teliti, bukankah di atas cincin ini ada
satu garis retak?"
Sebagai seorang ahli pedang, Kongsun Hong terkejut
melihat keadaan cincin itu, tanyanya, "Apakah ini bekas
goresan pedang?"
"Benar," sahut Si-ih. "Aku menggunakan Sian-tji-sin-kang
(tenaga jari sakti) untuk menyelentik pedang lawan, meski
pedangnya terlepas dari cekalan, tapi cincin kemala inipun
ditinggali bekas pedang. Untung juga aku memakai cincin ini,
kalau tidak mungkin jariku sudah putus."
Mendengar penuturan Kim Si-ih itu, semua orang sama
terperanjat. Lebih-lebih beberapa tokoh angkatan tua yang
kenal akan asal-usul Han-giok-kay-tji (cincin kemala dingin)
itu. Kemala dingin atau inti kemala itu asalnya adalah salah
satu benda pusaka tinggalan Kiau Pak-beng dalam bentuk
panah dan busur. Lalu busur itu telah dirombak oleh Kim Si-ih
menjadi sebuah kotak kemala dan dihadiahkan kepada Kok
Tiong-lian, istri Kang Hay-thian. Tiga buah anak panah kemala
dibuat menjadi tiga buah cincin kemala. Sebuah cincin itu
diberikan kepada Le Lam-sing, sebuah lagi untuk Kim Tiok-liu
dan sisanya satu lagi dipakainya sendiri.
Inti kemala itu kerasnya tiada bandingannya segala senjata
tajam tidak mempan merusaknya. Sekarang toh bisa terdapat
bekas goresan pedang, maka dapat diketahui senjata yang
dipakai orang itu bukan saja pedang wasiat, bahkan
ketinggian Lwe-kangnya pasti tidak di bawah Kim Si-ih.
Ilmu tenaga jari sakti Kim Si-ih boleh dikata tiada taranya
kalau pedang lawan sampai terlepas oleh selentikannya maka
pertandingan itu terang dimenangkan oleh Kim Si-ih. Tapi
kalau tidak memakai cincin pusaka itu dan benar-benar jarinya
tertabas putus, maka keadaan yang seorang kehilangan
senjata dan yang lain jarinya putus, maka dapat dianggap seri
saja. Tapi ucapan Kim Si-ih bahwa dirinya kalah satu jurus
dalam pertandingan pedang itu sesungguhnya tidak keliru.
Keruan semua orang melongo heran mendengar cerita itu
dan sama bertanya, "Siapa orang kosen itu" Dimana dia
sekarang?"
"Asal-usul orang itu belum diketahui, tapi aku tahu mereka
datang untuk kalian, dengan lain perkataan mereka adalah
musuh-musuh kalian," sahut Si-ih. "Kalau mereka mengetahui
kalian berada di sini, bisa jadi mereka akan mencari kemari."
Dari kata "mereka" yang diucapkan Kim Si-ih, terang yang
dimaksudkan itu tidak cuma seorang kosen saja keruan semua
orang tambah terkesiap.
Belum selesai uraian Kim Si-ih, sekonyong-konyong di luar
ada suara ribut, "Siapa kau" Mau apa kau datang ke sini"
Kenapa masuk rumah orang tanpa permisi?"
Tampaknya penjaga di luar sedang mencegah seseorang
tamu yang tak dikenal yang mau menerobos masuk secara
paksa tapi suara ribut-ribut itu ternyata tidak didengar
pendatang yang dimaksud itu.
"Hm, benar-benar dia mencari ke sini, apakah dia mencari
mampus, coba kita keluar melihatnya" jengek Tiang-thong
dengan gusar. Kang Hay-thian juga mengira pendatang itu adalah orang
yang dimaksudkan sang guru tadi, segera Kang Hay-thian
mendahului keluar. Baru sampai di depan pintu dia sudah
kepergok dengan pendatang yang dimaksud, tertampak orang
itu memberi hormat dengan gaya Tong-rju-pay-kwan-im (anak
kecil menyembah Kwan-im). Seketika orang-orang yang ikut di
belakang dan di samping Kang Hay-thian tergeliat ke samping.
Kongsun Hong terkejut, katanya pula "Pengemis tua milah
Pim-yak-tjiang-lik mumi dari kaum Buddha."
"Benar, pandangan Kongsun-laute memang tidak meleset,"
sahut Tiang-thong tertawa.
Saat itu Kang Hay-thian juga sedang membalas hormat
orang, bahu pendatang itu tampak terangkat sedikit,
sebaliknya baju longgar yang dipakai Kang Hay-thian seketika
melembung dan bergerak. Agaknya kekuatan Kang Hay-thian
lebih tinggi, tapi dalam pertandingan Pan-yak-tjiang ini dia
berbalik kalah setingkat.
Kongsun Hong tidak mengenal pendatang itu, ia menjadi
heran dan kuatir Kang Hay-thian akan kewalahan menghadapi
musuh. Belum habis pikirannya tiba-tiba terlihat Kang Haythian
sedang menjabat erat tangan orang itu dan berkata
sambil tertawa, "Yap-toako, kau punya Tay-seng-pan-yakTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tjiang benar-benar sudah sempurna, Siaute mengaku kalah,
sungguh mengagumkan!"
"Dua puluh tahun tidak bertemu, ternyata kekuatanmu juga
sudah jauh lebih hebat daripada dulu," sahut orang itu.
"Betapapun aku tetap tak bisa mengungguli kau. Sekali ini aku
benar-benar kalah dengan setulus hati. Eh, kabarnya kau telah
mengangkat Boh-hoa sebagai murid ahli warismu. Untuk mana
belum lagi aku sampaikan terima kasih padamu. Hahahaha!"
Baru sekarang Kongsun Hong dan lain-lain mengetahui
bahwa pendatang ini bukankah lawan melainkan kawan,
semuanya menjadi lega.
Kiranya pendatang ini adalah ipar Kang Hay-thian, yaitu
Yap Tiong-siau, ayah Yap Boh-hoa. Sudah puluhan tahun Yap
Tiong-siau mengasingkan diri keluar lautan, maka tokoh Bulim
yang mengenalnya sudah jarang sekali. Namun begitu
banyak juga yang mengetahui akan hubungan keluarga antara
Yap Tiong-siau dengan Kang Hay-thian.
Begitulah dengan tertawa Kim Si-ih berkata kepada orang
banyak, "Nah, ucapanmu bahwa di dunia ini tiada ilmu silat
nomor satu kan terbukti lagi" Masing-masing mempunyai
keistimewaannya sendiri-sendiri, mana ada orang yang serba
komplit mahir segala macam ilmu silat secara sempurna"
Seumpama Pan-yak-tjiang tadi, jelas Hay-thian tidak mampu
menandingi Tiong-siau, tapi bicara tentang ilmu pedang aku
pun belum tentu mampu mengalahkan beberapa anak muda
yang kulihat kemarin."
"Ah, paman terlalu memuji diriku saja, terlalu jauh diriku
dibandingkan dengan Kang-heng," kata Yap Tiong-siau.
"Cuma kepandaian beberapa orang kemarin itu memang
jarang ada, coba kalau kemarin paman tidak berada di situ
tentu aku sudah terjungkal habis-habisan."
"Kalian bicara tentang kejadian kemarin, sebenarnya
bagaimana duduknya perkara?" tanya Tiong Tiang-thong.
"O, kukira Kim-tayhiap sudah bercerita kepada kalian," kata
Tiong-siau. "Belum, aku baru saja mengatakan aku kalah satu jurus,"
kata Si-ih. "Eh, mereka sudah datang juga. Hay-thian, biar
isteri-mu sendiri saja yang bercerita kepadamu."
Belum habis ucapannya tiba-tiba beberapa orang berlari
masuk ke dalam dan berseru melapor, "Wah, sungguh
peristiwa yang menggembirakan, kedua ketua Bin-san-pay
dari dua angkatan telah hadir semuanya."
"O, kiranya Subo (ibu guru) juga ikut datang" seru Haythian
kegirangan. Isteri Kim Si-ih, yaitu Kok Tji-hoa, adalah ketua Bin-san-pay
yang dulu, ketua yang sekarang adalah Kok Tiong-lian, isteri
Kang Hay-thian, maka begitu mendapat laporan tentang
datangnya ketua Bin-san-pay dua zaman, segera Kang Haythian
mengetahui ibu guru dan isterinya datang semua.
Belum selesai kata-katanya, benar juga tampak Kok Tji-lioa
dan Kok Tiong-lian telah masuk, bahkan ikut bersama mereka
adalah Auwyang Wan, isteri Yap Tiong-siau serta tokoh Binsan-
pay, Kam Djin-tiong.
"Hahaha, sekali ini benar-benar ramai, anggota keluarga
kalian bolehlah bercengkeraman dengan gembira," seru Tiong
Tiang-thong dengan senang.
Tiba-tiba Kang Hay-thian menyadari cerita Kim Si-ih tadi,
katanya, "Suhu, apakah orang-orang kosen yang kau
ketemukan itu terjadi di rumah murid?"
"Benar," jawab Kim Si-ih. "Orang-orang itu adalah jago
kiriman kerajaan Boandjing yang ditugaskan menangkap
kalian suami-isteri."
Segera Kok Tiong-lian bercerita, "Kemarin pagi Kam-su-
,heng dan ketiga Suheng yang lain datang dari Bin-san secara
^tergesa-gesa katanya ada kabar pihak kerajaan akan
merecoki aku. Benar juga malamnya orang-orang itu lantas
datang. Untungnya kita sudah siap lebih dulu, kalau tidak
tentu sukar dibayangkan apa yang akan terjadi. Entah
darimana munculnya, seluruhnya yang datang ada tujuh orang
ada laki-laki ada perempuan, ada yang tua dan ada yang
muda, semuanya berilmu silat tinggi. Sungguh memalukan,
meski begitu banyak jumlah mereka, tapi seorang pun tidak
dikenal asal-usulnya"
"Terjadilah pertarungan sengit, Pek-suheng, Lok-suheng
dan Li-suheng tersuka parah, aku dan Kam-suheng untung
terhindar dari bahaya tapi juga sudah kepayahan menghadapi
musuh. Orang-orang itu mengepung rapat aku dan Kamsuheng
serta memaksa kami menyerah. Waktu itu aku sudah
bertekad bunuh diri daripada dihina musuh. Tak terduga pada
detik yang menentukan itulah Suhu, Subo, Toako dan Toasoh
(ipar, isteri kakak) telah datang sekaligus sehingga dari kalah
kami berbalik bisa menang."
Cerita Kok Tiong-lian membuat semua orang sama
terperanjat, mereka tahu jago-jago Bin-san-pay yang disebut
itu adalah putera-putera pendekar besar Kam Hong-ti, Loh Intjiarn,


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pek Thau-koan dan Li Goan (bacalah kisah tokoh-tokoh
ini dalam Tiga Dara pendekar), semuanya berkepandaian
tinggi, tapi meski ditambah dengan isteri Kang Hay-thian toh
masih kewalahan menghadapi musuh dan terluka parah, maka
dapatlah dibayangkan betapa lihainya pihak lawan itu.
"Kedatangan kami ke sana bukanlah secara kebetulan,
sebab kami mampir dulu ke Bin-san dan mendapat kabar
tersebut," kata Kim Si-ih.
Kiranya sesudah tinggal 20-an tahun di luar lautan, Kim Siih
menjadi rindu kepada handai-taulan yang sudah berpisah
sekian lamanya di daerah Tionggoan (daratan), ia lantas
mengajak suami isteri Yap Tiong-siau untuk pulang ke tanah
air. Yap Tiong-siau asalnya adalah putera mahkota sebuah kerajaan
kecil Masar di wilayah Sinkiang, Tibet. Dia sengaja
melarikan diri untuk memberikan takhta kepada adiknya hal
itupun sudah berselang 20-an tahun, la pikir sekarang tidak
berhalangan lagi untuk pulang menjenguk sanak keluarganya
itu, maka ajakan Kim Si-ih diterima dengan baik, mereka
lantas pulang bersama.
Kim Si-ih dan Kang Hay-thian pernah menerima budi
kebaikan dari Lu Si-nio, ketua Bin-san-pay angkatan kedua.
Isteri Kim Si-ih, Kok Tji-hoa juga murid dan anak pungut Lu Sinio.
Maka setibanya di Tionggoan, tugas utama yang mereka
lakukan adalah berziarah ke makam Lu Si-nio dan Bin-san.
Alasan lain kedatangan Kim Si-ih dan rombongannya ke
Bin-san, karena Kok Tiong-lian adalah pejabat ketua Bin-sanpay
sekarang, seringkah" Kok Tiong-lian mesti tinggal di atas
Bin-san dan terkadang ditemani Kang Hay-thian sendiri, maka
dengan mampir dulu ke Bin-san menurut perkiraan Kim Si-ih
tentu akan bisa memperoleh berita tentang putera
kesayangannya dan bertemu dengan sang murid, dua orang
yang paling dirindukan Kim Si-ih.
Dari Pek Ing-kiat dan murid-murid Bin-san-pay yang masih
tinggal di Bin-san, dapatlah Kim Si-ih mendapat kabar bahwa
pihak kerajaan akan merecoki Kang Hay-thian dan bahwa
keempat murid utama Bin-san-pay baru saja berangkat ke
rumah Kang Hay-thian untuk memberi bantuan.
"Untung aku mampir dulu ke Bin-san sehingga menerima
kabar itu, maka dapatlah aku menyusul tepat pada waktunya"
kata Kim Si-ih kemudian.
"Waktu kami sampai di rumah Tiong-lian, suara
pertempuran tadinya tidak begitu kami hiraukan, siapa tahu
begitu maju kami lantas menelan pil pahit," sambung Yap
Tiong-siau. Rupanya setelah 20-an tahun tinggal di luar lautan dan
sudah berhasil meyakinkan Tay-seng-pan-yak-tjiang, sudah
tentu Yap Tiong-siau menjadi getol mencoba ilmunya itu.
Kebetulan setiba di rumah Kok Tiong-lian melihat adik
perempuannya itu sedang dikepung musuh, segera Yap Tiongsiau
minta Kim Si-ih menjaga garis belakang, ia sendiri lantas
maju membantu, pikirnya hendak menghajar habis-habisan
kawanan myatron itu.
Semula Kim Si-ih juga mengira Yap Tiong-siau sudah cukup
mampu menghadapi musuh, tapi setelah mengikuti beberapa
jurus segera ia tahu gelagat tidak enak, cepat ia pun ikut
turun tangan dan ternyata sudah terlambat sedikit.
"Ketujuh orang penyatron itu memasang barisan yang rapat
untuk menghadapi aku," tutur Yap Tiong-siau lebih lanjut.
"Kukira begitu maju tentu lawan-lawan itu akan aku bikin
kocar-kacir. Siapa tahu mereka sama sekali tidak gentar,
hanya seorang saja yang ditampilkan untuk menghadapi aku.
Orang itu adalah laki-laki setengah umur, usianya sebaya
dengan aku, begitu berhadapan aku lantas menyerang tiga
jurus sekaligus, tapi sedikit-pun aku tidak mendapat
keuntungan, sebaliknya malah menelan kerugian."
"Apakah kau tidak menggunakan Pan-yak-tjiang, Yap-toako?"
tanya Kirn Tiok-liu. Ia merasa heran Pan-yak-tjiang Yap
Tiong-siau yang lebih hebat daripada Kang-suhengnya
masakah malah mengalami kerugian.
"Sudah tentu aku menggunakan Pan-yak-tjiang," sahut Yap
Tiong-siau. "Orang itu menyambut pukulanku dan hanya
menjengek tertahan, badannya tergeliat, tapi tidak roboh.
Menyusul dia lantas balas menyerang dengan pedang dan
pukulan, serangannya dahsyat membadai. Aku hanya mampu
menangkis pedangnya, tapi tidak sempat mengelakkan
sebelah tangannya. Terasa igaku kesemutan, aku telah
terkena. Untung ayahmu cepat mendorong pergi diriku
sehingga aku tidak sampai terluka parah."
Habis berkata ia lantas membuka bajunya, terlihatlah di
bawah iga ada tiga titik biru gosong bekas tutukan jari.
"Lawan menusuk dengan jarinya sebagai pedang, tutuk airnya
sungguh aneh dan lihai. Untung bukan senjata tajam
sungguhan, kalau tidak badanku pasti sudah berlubang"
sambung lagi Yap Tiong-siau dengan tersenyum kecut
Melihat bekas luka Yap Tiong-siau itu, semua orang
menjadi melongo terkejut.
"Ah, kau pun tidak perlu merendah hati, Tiong-siau," kata
Kim Si-ih dengan tertawa. "Lawanmu itu adalah jago ketiga
pihak mereka, dia pun sudah terluka dalam oleh pukulanmu,
cuma kau tidak mengetahui saja. Untung juga seorang di
antara mereka itu terluka, kalau tidak, kami suami-istri tentu
sukar membobol barisan 'Tjhit-sing-tin' (barisan bintang tujuh)
yang mereka pasang."
Dalam pertempuran ramai itu, Kim Si-ih masih sempat
menilai tinggi rendahnya kepandaian musuh, maka diam-diam
semua orang merasa kagum tidak terhingga, termasuk pula
Yap Tiong-siau.
"Sayang, sungguh sayang!" tiba-tiba Tiong Tiang-thong
berseru. "Apa yang kau sayangkan, pengemis tua?" tanya Kongsun
Hong. "Pertempuran itu pasti sangat hebat, sayang aku tidak bisa
menyaksikan sendiri," sahut Tiang-thong. "Lalu cara
bagaimana kalian memperoleh kemenangan, lekas ceritakan,
Kim-tayhiap!"
Tetapi Kim Si-ih menggeleng kepala, katanya, "Sungguh
memalukan, meski secara kebetulan kami mengalahkan
mereka, tapi asal-usul ilmu silat mereka toh sama sekali tidak
kami ketahui. Ketujuh orang itu memakai senjata yang
berbeda-beda dan rata-rata mempunyai kelihaiannya sendiri,
tapi dari jurus permainan mereka agaknya berasal dari suatu
aliran yang sama. Jurus serangan mereka agak ruwet dan
cukup aneh, tapi ada juga titik-titik terang yang dapat
ditemukan, yaitu perubahan dari ilmu pedang. Dua di antara
mereka yang paling kuat adalah pemain pedang, aku
menggunakan Si-mi-kiam-hoat untuk menjajal mereka, tapi
tetap tak bisa mengungguli mereka."
"Kim-tayhiap mengaku tidak mendapat keuntungan apaapa,
tetapi pihak lawan sebenarnya jauh lebih rugi," demikian
sambung Yap Tiong-siau dengan tertawa. "Yang jelas di
antara ketujuh lawan itu ada lima yang bersenjata dan empat
di antaranya kena direbut senjatanya oleh Kim-tayhiap, hanya
seorang yang berpedang itu tidak rela melepaskan senjatanya
dan terpaksa harus merasakan pukulan Kim-tayhiap, akhirnya
mereka lari semua." Sampai di sini tiba-tiba ia bertanya
kepada Kim Si-ih, "Waktu itu mestinya Kim-tayhiap dapat
membinasakan dia atau dengan mudah dapat menawannya
untuk dimintai keterangan, tapi mengapa engkau membiarkan
dia lari begitu saja?"
"Orang itu mampu menerima tujuh jurus seranganku
barulah kalah, maka dia sudah terhitung tokoh pilihan yang
jarang terdapat, mana boleh lagi aku membinasakan dia?" ujar
Kim Si-ih. Baru sekarang Yap Tiong-siau mengetahui bahwa Kim Si-ih
rupanya menyayangkan ilmu silat lawan yang tidak gampang
dipelajari, maka tidak tega mencelakainya.
Kini Le Lam-sing baru sempat maju memberi hormat
kepada Kim Si-ih. "Kiranya kau sudah kenal baik dengan Tiokliu,"
kata Si-ih tertawa.
"Malahan kami adalah saudara angkat," sambung Tiok-liu.
"Haha, bagus, bagus!" seru Kim Si-ih gembira. "Hubungan
akrab kalian ini sungguh tidak menyia-nyiakan hubungan baik
kedua angkatan kita."
Menyusul Su Ang-ing dan kaum muda lain ikut maju
memberi hormat.
"Nona Su, kau harus memberi hormat menurut adat
kebesaran," goda Tiong Tiang-thong kepada Ang-ing.
"Ai, mengapa Tiong-pangtju mengguyoni kaum muda,"
sahut Ang-ing dengan wajah merah.
"Aku bicara dengan sungguh-sungguh," ujar Tiang-thong.
"Pengemis tua justru tidak sabar lagi ingin minum arak
pengantin kalian."
Kim Si-ih sudah diberitahu bahwa Su Ang-ing adalah calon
menantunya, ia pun sangat senang, katanya kepada sang istri,
"Tji-hoa, sekejap saja 20 tahun sudah berlalu, anak-anak pun
sudah waktunya berkeluarga dan berdikari."
Kok Tji-hoa menarik Su Ang-ing ke samping dan bertanya
ini dan itu kepada murid Bin-san-pay itu, ia sudah diberitahu
asal-usul Su Ang-ing yang lahir dari keluarga kotor, tapi si
nona sendiri suci bersih bagai bunga teratai yang bersih meski
tumbuhnya di tengah lumpur yang kotor. Ayah Kok Tji-hoa
sendiri adalah gembong penjahat yang ditakuti di masa
lampau, maka asal-usul ibu mertua dan colon menantu boleh
dikata rada mirip, sebab itulah Kok Tji-hoa menjadi lebih
sayang kepada Ang-ing.
Begitulah dengan meriah sekali perjamuan dilanjutkan. Di
tengah makan minum yang menggembirakan itu, tiba-tiba Kim
Si-ih teringat sesuatu, tanyanya, "Tiok-liu, jurus ilmu
pedangmu tadi kau belajar dari mana?"
Tergerak juga pikiran Kim Tiok-Liu, jawabnya, "Ayah, aku
pun ingin minta keterangan tentang ketujuh orang yang diketemukan
di rumah Suheng, bukankah ilmu pedang mereka
juga mirip dengan jurus ilmu pedangku tadi?"
"Benar, makanya aku ingin tahu apakah barangkali kau
sudah pernah bergebrak dengan orang-orang itu?" tanya Si-ih.
"Ya, hari ini aku baru saja bertemu seorang sobat baru dan
bertukar pikiran tentang ilmu silat dengan dia, ilmu pedangku
tadi adalah hasil curianku dari dia, hanya sobat ini agaknya
bukan orang sekaum dengan orang-orang yang ditemui ayah
itu, malahan sobat baru itu sedang mencari ayah."
"Siapakah dia" Darimana asal-usulnya?" tanya Si-ih.
Baru berbicara sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara
orang tertawa di luar pintu, "Aha, tamu tak diundang kembali
datang lagi."
Suara tawa orang itu nyaring menyerikan seperti dua benda
logam yang bergesekan, Kim Si-ih terkejut, pikirnya, "Lwekang
orang ini bukan Tjing-pay dan juga bukan Sia-pay mwH
bp|?m sempurna betul, tapi sudah tergolong tinggi. Hanya
saja seperti sedikit kekurangan tenaga murni, jangan-jangan
dia bani saja bergebrak dengan lawan tangguh sehingga
tenaga murninya terganggu dan belum pulih kembali?"
Dalam pada itu Tiok-liu sedang berkata, "Baru diomong
orangnya lantas muncul. Ayah, inilah sobat yang kukatakan
itu." Belum lenyap suaranya, benar juga tertampak Boh Tjongtiu
muncul, cepat Kim Tiok-Liu memapak maju dan menyapa,
"Boh-heng, kebetulan sekali kedatanganmu ini, ayahku sudah
pulang ke sini."
"Hah, tadinya aku masih ragu-ragu, ternyata kabar yang
kuterima memang tidak salah, aku justru sengaja datang
kemarin untuk menemui ayahmu," seru Boh Tjong-tiu dengan
girang. Kim Si-ih menjadi heran daraimana orang mendapatkan
beritanya, sementara itu Boh Tjong-tiu sudah lantas
mendekatinya dan memberi hormat, "Wanpwe Boh Tjong-tiu
dari Hu-siang-to menyampaikan sembah hormat kepada Kimtayhiap."
Mendengar nama Hu-siang-to barulah Kim Si-ih sadar,
kiranya orang-orang yang pernah dijumpainya itu adalah
tokoh-tokoh Hu-siang-to, segera ia mengucapkan selamat,
"Sungguh sangat menggembirakan bahwa aliran Hu-siang-to
kalian kini muncul kembali di tanah leluhur, semoga dunia
persilatan selanjutnya akan menjadi tambah gemilang."
"Ah, Kim-tayhiap terlalu memuji saja, padahal ilmu silat dari
leluhur kami yang tertinggal sekarang hanya sedikit sisa-sisa
yang tidak lengkap, yang Wanpwe pelajari mungkin tiada
sepersepuluh bagian saja," sahut Boh Tjong-tiu. "Cita-cita
Wanpwe hanya berharap dapat menemukan kembali ilmu silat
Hu-siang-to yang hilang sekian lamanya, walaupun tidak
lengkap, asalkan bisa ketemu satu-dua bagian saja sudah
boleh menghibur arwah guruku di alam baka. Untuk mana
sangat diharapkan bantuan Kim-tayhiap."
"Cita-cita luhur Boh-heng itu sudah pasti akan membikin
dunia persilatan bertambah jaya pula," sahut Si-ih. "Apakah
Boh-heng belum bertemu dengan sesama perguruan kalian?"
"Belum," sahut Boh Tjong-tiu.
"Aneh, jika demikian siapa lagi tokoh yang kau ketemukan
tadi?" tanya Si-ih.
Boh Tjong-tiu terperanjat tak terkatakan herannya,
sahutnya "Darimana Kim-tayhiap mendapat tahu?"
"Dari suara Boh-heng yang agak lemah, kukira urat nadi
Siau-yang-keng-meh pernah tergetar oleh Lwekang lawan,
entah benar tidak ucapanku?"
Sungguh kagum dan kaget Boh Tjong-tiu tak terkatakan,
hanya dari suara saja Kim Si-ih sudah dapat mengetahui
kelemahannya akibat luka pertarungan tadi. Baru sekarang ia
sadar bahwa orang kosen di dunia ini masih terlalu banyak.
Dengan tersenyum Kim Si-ih berkata pula, "Syukur
Lwekang Boh-heng teramat kuat sehingga tidak terlalu parah,
asal istirahat dua-tiga hari saja tentu akan pulih kembali.
Entah lawan tangguh yang diketemukan Boh-heng itu siapa?"
"Sungguh memalukan, aku pun tidak menyelami asal usul
mereka," sahut Boh Tjong-tiu. "Mereka adalah sepasang
suami-istri."
Kiranya setelah Boh Tjong-tiu meninggalkan Tji-lay-san
sehabis bertanding dengan Kim Tiok-liu dan Kang Hay-thian,
ia menjadi masgul karena tidak mampu mengalahkan Kim
Tiok-liu, apalagi melawan Lwekang Kang Hay-thian yang hebat
itu. Selagi kesal hati di tengah perjalanan tiba-tiba terdengar


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara kelenengan kuda, ada sepasang laki-laki perempuan
pertengahan umur menyemplak kuda mereka melampauinya.
Sambil melarikan kuda mereka dengan kencang, kedua orang
ttupun sedang berbicara dan kebetulan ketika lewat di
samping Boh Tjong-tiu, terdengar mereka seperti
membicarakan nama Kim Si-ih.
Tergerak pikiran Boh Tjong-tiu, segera ia pun mempercepat
langkahnya dan terdengar si lelaki sedang berkata, "Suami
istri Kim Si-ih dan istri Kang Hay-thian lewat di jalan ini,
tampaknya mereka baru datang dari rumah Kang Hay-thian
dan menuju ke Tji-lay-san, entah Hu-siang-tjhit-tju memergoki
mereka tidak?"
Terkesiap hati Boh Tjong-tiu, pikirnya, "Hu-siang-tjhit-tju
(tujuh anak dari Hu-siang-to) yang mereka katakan itu janganjangan
adalah orang-orang seperguruanku" Sungguh sangat
kebetulan, tidak terduga di sinilah aku dapat memperoleh
berita tentang orang seperguruan, bahkan jumlah mereka ada
tujuh orang."
Memangnya Boh Tjong-tiu juga ingin tahu jejak Kim Si-ih,
sekarang dari mulut orang didapatkan kedua berita penting
itu, tentu saja tak dia ke sampingkan. Dengan Ginkangnya
yang tinggi segera ia menyusul ke depan dengan cepat.
Dalam pada itu terdengar yang perempuan sedang berkata,
"Tidak peduli mereka sudah kepergok atau belum, kita harus
memberitahukan Hu-siang-tjhit-tju tentang pulangnya Kim Siih."
"Benar," sahut si lelaki. "Eh, siapa yang menyusul dari
belakang?" Rupanya ia telah mengetahui Boh Tjong-tiu yang
mengejar di belakang mereka
"Hei, harap kalian berhenti sebentar!" demikian seru Boh
Tjong-tiu, menyusul ia mengerahkan segenap tenaganya, dua
kali loncatan saja ia sudah mengadang di depan kuda orang
itu. Heran juga kedua orang itu melihat gerakan Boh Tjong-tiu
yang luar biasa itu. segera mereka melompat turun dan
bertanya, "Siapa kau" Selamanya kita tidak kenal, ada urusan
apa kau merintangi perjalanan kami?"
Kedua orang itu rupanya suami-istri, hidung tinggi, mata
lekuk, biji matanya rada kebiru-biruan, tampaknya bukan
bangsa Han, tetapi berbicara bahasa Han dengan lancar.
Boh Tjong-tiu menjadi ragu-ragu, sahurnya "Aku bernama
Boh Tjong-tiu. Mungkin kalian pernah mendengar nama Tjayhe."
"O, barangkali kau adalah tokoh termashur. Tapi maaf,
kami tidak pernah mendengar namamu yang besar itu," sahut
si lelaki dengan nada tak acuh.
"Bukan begitu maksudku, aku hanyalah seorang Bu-bengsiau-
tjut (orang tidak terkenal) saja. Soalnya aku berasal dari
Hu-siang-to, maka aku mengira kalian mungkin pernah
mendengar namaku dari teman-teman kalian."
Mendengar Boh Tjong-tiu berasal dari Hu-siang-to, kedua
orang itu terperanjat. Yang lelaki mengamat-amati Tjong-tiu
sejenak lalu berkata "Darimana kau mengetahui aku punya
teman-teman apa?"
"Tadi saudara seperti bicara tentang Hu-siang-tjhh-tju,
maka aku ingin bertanya apakah Hu-siang-tjhit-tju itu bukan
tujuh orang yang berasal dari Hu-siang-to?"
"Kau benar-benar keturunan keluarga Boh di Hu-siang-to?"
orang itu menegas.
"Untuk apa aku mendustai kau?" sahut Tjong-tiu kurang
senang. "Tapi kukira rada tidak beres," ujar si perempuan. "Jika
benar pengakuanmu, mengapa mereka tidak mengetahui akan
dirimu ini?"
Memang ilmu silat aliran Hu-siang-to sudah lama terpecah
menjadi tiga cabang, maka Tjong-tiu pikir mungkin orangorang
yang mengaku Hu-siang-tjhit-tju itu berasal dari cabang
lain perguruannya. Tapi asalkan sudah saling mencocokkan
ilmu silat masing-masing tentu satu sama lain tidak akan raguragu
lagi, maka jawabnya "Benar atau tidak pengakuanku,
harap kalian membawa aku menemui mereka tentu duduknya
perkara akan menjadi jelas."
Perempuan itu masih ragu-ragu, katanya "Tidaklah sukar
untuk membawa kau menemui mereka tapi kami belum kenal
asal-usulmu, mana boleh kami menerima permintaanmu
dengan begitu saja?"
Memang alasannya cukup masuk di akal, terpaksa Tjong-tiu
menjawab, "Habis cara bagaimana supaya kalian mau percaya
pada omonganku?"
Yang lelaki seperti teringat sesuatu, tanyanya tiba-tiba "Kau
baru saja datang darimana?"
"Dari Tji-Lay-san," sahut Tjong-tiu.
"O, jadi kau sudah pergi ke sana apa kau tidak menemukan
Kim Si-ih?" tanya laki-laki itu.
"Tidak, cuma puteranya sih memang sudah kujumpai di
sana," kata Tjong-tiu.
"Yang kau maksudkan itu apakah Kim Tiok-liu?" laki-laki itu
menegas. "Betul, aku berada bersama Auwyang Kian sehingga hampir
menimbulkan salah paham mereka. Untung kemudian mereka
percaya atas penjelasanku bahwa aku bermaksud meminta
bantuan Kim-tayhiap untuk mencari kabar tentang orangorang
seperguruanku."
"Hm, lalu bagaimana?" tanya pula si lelaki sambil
mendengus. "Tampaknya sudah akrab benar kau dengan Tiokliu?"
Melihat sikap orang yang rada kaku itu, Tjong-tiu menjadi
heran, katanya kemudian, "Ya, meski kami baru kenal tapi
ayahnya pernah menyambangi Hu-siang-to kami, maka aku
pun seperti kenalan lama dengan dia."
"Tadi kau bilang hampir menimbulkan salah pahamnya, apa
persoalannya?" tanya lagi si lelaki.
"Soalnya mereka mendapat kabar bahwa pihak kerajaan
akan mengganggu Suhengnya, sedangkan Auwyang Kian
diketahui mereka ialah anjing pemburu kerajaan, sebaliknya
aku tidak tahu," tutur Tjong-tiu. "Tadi kalian seperti bilang
Kim-tayhiap baru saja lewat di sini, apakah kalian sudah
bertemu dengan Kim-tayhiap dan adakah kabar apa-apa
tentang kejadian di rumah keluarga Kang?"
"Hm, banyak amat hal-hal yang kau ingin tahu!" tiba-tiba
yang perempuan menjengek.
"O, maaf, aku hanya bertanya sepintas lalu saja," sahut
^Tjong-tiu melengak, samar-samar ia sudah merasakan
gelagat jelek. "Baiklah, aku mohon kalian membawa aku untuk
menemui kawan-kawanmu, tentunya tidak keberatan bukan?"
"Membawa kau ke sana sih boleh juga, tapi cara
bagaimana supaya kami bisa mempercayai kau orang Husiang-
to?" ujar si lelaki.
Akhirnya Tjong-tiu mendongkol juga, sahurnya dengan
ketus, "Katakan saja cara bagaimana supaya kalian mau
percaya padaku?"
"Mudah sekali, akan kubelajar kenal dulu beberapa jurus
padamu," kata laki-laki itu.
Memang sudah lama ilmu silat Hu-siang-to tidak dikenal,
maka dengan saling coba memang merupakan suatu jalan
untuk membuktikan asal-usul Boh Tjong-tiu, namun Tjong-tiu
menjadi ragu-ragu akan tujuan orang apakah bermaksud baik
atau buruk terpaksa ia menjawab, "Baiklah, boleh kita cobacoba
sekedarnya, tidak perlu sampai menentukan kalah atau
menang." "Tak perlu banyak omong, majulah lekas!" kata laki-laki itu
dengan ketus, habis bicara terus saja ia mendahului
menyerang. Melihat serangan orang ternyata tidak mengenal ampun itu,
Tjong-tiu menjadi gusar, pikirnya, "Aku anggap kau sebagai
sahabat, tapi kau menganggap aku seperti musuh. Kalau aku
tidak menghajar padamu tentu kau kira aku orang lemah."
Segera ia mengegos sambil mengangkat kipasnya untuk
mengarah 'Lau-kiong-hiat' di telapak tangan lawan. Gerakan
ini tdak tetap, seperti menutuk saja dan seperti juga akan
menikam bagai pedang. Memang inilah salah satu jurus ilmu
pedang Hu-siang-to yang hebat yang dimainkan dalam bentuk
lain. Terdengar laki-laki itu bersuara heran pelahan, melihat
gerakan itu dalam hati ia sudah dapat mempelajari asal-usul
Boh Tjong-tiu memang benar dari Hu-siang-to. Tapi lantaran
diketahui juga bahwa Tjong-tiu bukan sekomplotan dengan
Hu-siang-tjhit-tju, maka ia tetap berlagak bodoh dan tetap
menghantam ke depan.
Tjong-tiu menjadi terkejut, ia heran apakah lawan punya
kesaktian menutup seluruh Hiat-to di tubuh sendiri sehingga
tidak gentar kepada ilmu Tiam-hiatnya yang hebat itu,
lantaran tidak jelas pihak lawan itu kawan atau musuh, maka
Tjong-tiu menjadi serba susah malah.
Belum habis berpikir, tiba-tiba dirasakan telapak tangan
lawan mengeluarkan tenaga lengket, sehingga tanpa kuasa
tubuhnya tertarik dan berputar, maka tutukan kipasnya
menjadi melenceng, bahkan hampir kena dirampas orang itu.
Kiranya laki-laki itupun memiliki sejenis ilmu silat yang aneh
dengan tenaga pukulan campuran keras dan lunak, sebaliknya
Boh Tjong-tiu merasa ragu-ragu dan tidak menyerang dengan
sepenuh tenaga, maka sekali gebrak saja ia sudah kecundang.
"Huh, ilmu silat Hu-siang-to masakah cuma begini saja?"
jengek laki-laki itu sambil menyerang pula dengan kedua
tangan sekaligus.
Tentu saja Boh Tjong-tiu menjadi murka, katanya mau
coba-coba saja, tapi nyatanya menyerang dengan keji, segera
ia balas menjengek, "Jika kau ingin tahu ilmu silat sejati Husiang-
to juga tidak sulit!" Segera ia mengerahkan tenaga
untuk menguatkan kuda-kudanya, berbareng kipas dan tangan
sebelah lantas bekerja, dalam sekejap saja ia balas menyerang
tiga kali. Pukulan dahsyat orang itu sekali ini tidak dapat membikin
Boh Tjong-tiu bergerak, sebaliknya terpaksa ia harus
menangkis serangan balasan. "Crit", bajunya sobek oleh kipas
Boh Tjong-tiu, tetapi Tjong-tiu sendiri merasa sesak napas
juga oleh gon-cangan tenaga pukulan lawan yang kuat itu.
"Bagaimana dengan ilmu silat Hu-siang-to?" ejek Tjong-tiu
setelah mendesak mundur pihak lawan.
"Juga cuma begini saja!" sahut laki-laki itu sambil
menerjang maju lagi dengan pukulan kedua telapak tangan.
Tjong-tiu mengira tenaga pukulan lawan tetap sebelah
keras dan sebelah lunak, maka ia tetap melayani seperti cara
tadi, tidak terduga sekali ini tenaga pukulan lawan bertambah
dahsyat luar biasa.
Rupanya tenaga pukulan laki-laki itu dapat berganti-ganti
dan berubah menurut keinginan, bisa satu keras dan satu
lunak, bisa pula semua keras dan semua lunak. Lantaran tidak
terduga, hampir saja Tjong-tiu termakan, untung dia cukup
cekatan, ia tertolak mundur tiga tindak dan tenaga pukulan
lawan dapat dipatahkan sebagian besar. Namun demikian
dada terasa sesak, darah seakan bergolak di rongga dadanya
laksana kena digodam satu kali.
"Bagus," puji yang perempuan. "Rupanya kulitmu cukup
keras untuk menahan pukulan. Sekarang boleh kau coba-coba
kepandaianku!"
"Hm, maju saja kalian berdua sekaligus!" sahut Tjong-tiu
dengan ketus. Belum lenyap suaranya tiba-tiba pandangannya menjadi
silau, kiranya perempuan itu menanggalkan ikat pinggang
sutera merahnya sebagai senjata terus menyabet.
Cepat Tjong-tiu menyampuk dengan kipasnya, tapi rasanya
seperti membentur benda keras, keruan ia terkejut akan
Lwekang lawan yang aneh itu. Kalau tadi satu melawan satu
Boh Tjong-tiu masih di atas angin, tapi sekarang setelah
kedua laki-laki perempuan itu mengeroyoknya, seketika ia
terdesak dan rada kewalahan.
"Hm, kukira ilmu silat Hu-siang-to juga tidak begitu hebat,"
ejek si lelaki.
"Ilmu silat Hu-siang-to apa" Tampaknya dia hanya
mengaku-aku saja, bukankah setiap orang Hu-sing-tjhit-tju
jauh lebih hebat daripada dia ini," sahut yang perempuan.
"Benar, marilah kita bekuk dia dan menanyai dia mengapa
memalsukan nama orang dan berbohong," kata si lelaki.
Tidak kepalang mendongkolnya Boh Tjong-tiu, ia pikir
kedua orang itu jelas tidak mempunyai maksud baik padanya,
buat apa aku mesti sungkan-sungkan lagi. Walaupun tidak
bisa mengalahkan mereka juga harus melabrak mereka habishabisan.
Begitulah yang laki-laki menjadi kaget ketika Boh Tjong-tiu
mendadak menerjang sekuatnya, cepat ia mengelak
"Ini, supaya kau pun kenal ilmu silat Hu-siang-to!" bentak
Tjong-tiu. Berbareng kipasnya terpentang dan mengebas
untuk mengalihkan perhatian lawan, menyusul kipasnya lantas
terkatup dan secepat kilat menutuk tiga Hiat-to penting di
tubuh musuh. Sudah tentu yang wanita tadi tidak tinggal diam, selendang
suteranya juga bekerja cepat, mendadak selendang lemas itu
melurus lempeng terus menusuk ke muka Boh Tjong-tiu.
Tanpa pikir Tjong-tiu membuka mulut hendak menggigit
sambil kipasnya menutuk si lelaki. Tak terduga selendang
sutera si wanita benar-benar ajaib permainannya, ternyata
gigitan Tjong-tiu tidak kena, sebaliknya ujung hidung Tjong-tiu
terasa keserempet oleh ujung selendang. Ujung hidung itu
adalah tempat paling perasa di tubuh manusia, karena itu
Tjong-tiu bersin dan tenaga murninya lantas bocor beberapa
bagian. Dengan demikian tutukannya pada Hiat-to maut si lelaki
itupun tidak terlaksanakan. Walaupun laki-laki itu berusaha
melindungi ketiga Hiat-to yang diincar, tapi tidak urung
sebuah Hiat-to tertutuk juga oleh Boh Tjong-tiu. Hanya saja
lantaran tenaga Tjong-tiu berkurang, maka laki-laki itu tidak
sampai roboh. Boh Tjong-tiu juga sudah tergetar urat nadinya oleh tenaga
pukulan lawan tadi, dengan bocornya tenaga mumi ia pun
tidak berani bertempur lebih lama lagi. Pada kesempatan si
lelaki terpaku kena tutukannya, cepat ia melarikan diri.
Wanita tadi terkejut melihat sang suami terpaku tak
bergerak cepat ia medekati dan memeriksa keadaannya.
Namun sejenak saja laki-laki itu sudah mampu membuka Hiatto
sendiri yang tertutuk itu, katanya, "Tidak apa, sayang
bocah itu sempat lolos."
"Agaknya belum jauh dia melarikan diri, marilah kita kejar!"
kata si wanita.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu Boh Tjong-tiu sudah melintasi sebuah
tanjakan, kata-kata kedua orang itu sayup-sayup terbawa
angin dan didengarnya. Ia terkejut juga akan ketangkasan
lawan, padahal sudah tertutuk Hiat-tonya yang penting, tapi
dalam waktu singkat sudah pulih kembali, kalau sampai
tersusul benar-benar dirinya bisa celaka, demikian pikirannya.
Begitulah setelah mendengarkan pengalaman Boh Tjongtiu,
kemudian Kim Si-ih berkata, "Setahuku, kira-kira tiga
puluh tahun yang lalu ada seorang jago silat Arab bernama
Timotato, pernah bertanding mendaki puncak Tjumulangma di
pegunungan Himalaya dengan ketua Thay-san-pay, yaitu Tong
Hiau-lan, Tong-lotjianpwe, akibatnya Timotato mati karena
salju longsor. Jago Arab itu meyakinkan ilmu pukulan yang
mirip dengan kedua laki-laki perempuan itu, maka besar
kemungkinan mereka adalah anak murid Timotato. Ai, sekian
banyak tokoh-tokoh ilmu silat telah berdatangan ke Tionggoan
sini dan semuanya dapat ditarik untuk kepentingan kerajaan
Boandjing, kukira selanjurnya dunia persilatan akan banyak
terjadi huru-hara."
Tergerak hati Boh Tjong-tiu oleh kata "banyak" yang
digunakan Kim Si-ih itu, jangan-jangan jago-jago silat yang
dimaksudkan Kim Si-ih itu tidak cuma kedua suami istri itu
saja, tapi termasuk juga Hu-siang-tjhit-tju.
Baru saja Tiong-tiu hendak bertanya, terdengar Kim Si-ih
sudah berkata pula, "Boh-siansing, apakah kau tahu sebab
apa kedua suami-istri itu menganggap kau sebagai musuh
mereka.?" "Ya, Wanpwe memang tidak paham, mohon Kim-tayhiap
memberi petunjuk," sahut Tjong-tiu.
"Hendaklah kau jangan masgul jika aku ceritakan," kata Siih.
"Aku sudah bertemu dengan teman-teman seperguruanmu,
yaitu Hu-siang-tjhit-tju yang dikatakan itu."
Tjong-thi terkejut dan dapat menerka apa yang telah
terjadi, cepat tanyanya, "Dimanakah Kim-Tayhiap bertemu
mereka" "Di rumah muridku," sahut Kim Si-ih. "Kiranya
mereka adalah orang-orang kosen undangan Sat-tjongkoan
yang dikatakan oleh Auwyang Kian," kata Tjong-tiu dengan
menghela napas menyesal.
Kim Si-ih belum mengetahui persoalan Auwyang Kian,
maka Tiong Tiang-thong lantas menjelaskan. Si-ih manggutmanggut,
katanya, "Mungkin betul, bahkan suami istri yang
kau pergoki itupun sekomplotan dengan mereka."
Lalu Si-ih menceritakan pengalaman pertarungannya
dengan ketujuh orang itu disertai seluk beluk menurut
perkiraannya. Tjong-tiu tak bisa bersuara setelah mengikuti
uraian Kim Si-ih, cita-citanya semula pulang ke Tionggoan ini
adalah untuk mencari saudara-saudara seperguruannya demi
perkembangan perguruan mereka selanjutnya. Tak terduga
orang-orang sekaumnya telah membudak kepada pihak
kerajaan, bahkan memusuhi Kim-tayhiap yang dipujanya.
Kejadian demikian sungguh tidak pernah terbayang olehnya.
Si-ih lantas menghiburnya dan berkata, "Bisa jadi mereka
pun seperti kau,, karena baru pulang ke Tionggoan dan belum
jelas situasi di sini sehingga kena dibujuk oleh Sat Hok-ting.
Jika kau dapat menasihati mereka agar cepat kembali ke jalan
yang benar, maka jasamu sungguh tak terbilang besarnya."
"Semoga demikian," sahut Tjong-tiu. "Aku pun ingin
mencari mereka."
"Tapi kalau mereka tetap tidak mau sadar dan memusuhi
kau, bukankah kau menjadi seperti masuk jaring sendiri, maka
setiap tindakan hendaklah kau pikirkan sebelumnya," ujar Kim
Tiok-liu. "Segala kemungkinan memang bisa terjadi, tapi paling baik
kalau mereka dapat diinsyafkan," ujar Si-ih. "Begini saja, aku
akan pergi ke kotaraja bersama Boh -siansing."
"Masakah mesti membikin capek Kim-tayhiap," sungguh
girang Tjong-tiu tidak terperikan.
"Tidak untuk urusanmu saja, tapi ingin sekalian mencari
beberapa sobatku yang telah puluhan tahun tidak berjumpa,"
kata Si-ih. "Setiba di kota raja hendaklah kau menyamar saja
agar tidak dikenali kedua suami-istri itu, dan bila ada berita
apa-apa hendaklah segara memberitahukan padaku supaya
aku bisa bertindak menurut gelagat."
Sudah tentu Tjong-tiu sangat girang mendapatkan bantuan
Kim Si-ih, segera ia membuat perjanjian dengan Kim Si-ih
tentang waktu dan tempat pertemuan di kotaraja, lalu ia
mohon diri dan berangkat.
Seperginya Boh Tjong-tiu, lalu Kim Si-ih menanyakan
kejadian-kejadian selama 20-an tahun ini. Dengan bergiliran
Kim Tiok-liu dan Kang Hay-thian lantas menceritakan
perubahan di dunia persilatan dan perlawanan kepada pihak
kerajaan selama ini. Tentang pasukan pergerakan Tiok Sianghu
dan Siau Tji-wan di daerah Siau-kim-djwan. Tidak lupa pula
Kim Tiok-liu menceritakan jasa Yap Boh-hoa yang mahir ilmu
militer itu dalam penggempuran terhadap pasukan musuh.
Kim Si-ih sangat girang dan mengucapkan selamat kepada
Yap Tiong-siau yang mempunyai anak terpuji, sebaliknya Yap
Tiong-siau memuji Kang Hay-thian yang berjasa mendidik
sang murid. Dengan rendah hati Kang Hay-thian mengucapkan terima
kasih, lalu berkata, "Kini pihak kerajaan sedang mengatur tipu
muslihat untuk menumpas Tiok-lotjianpwe." Lalu ia bercerita
tentang apa yang dikatakan Hong Tju-tjiau tadi.
"Jika demikian kalian harus lekas berangkat ke sana," ujar
Si-ih. "Kami juga akan kembali ke sana buat melaporkan tugas,
kebetulan dapat menjadi petunjuk jalan bagimu, sebab
pasukan Tick-lotjianpwe sekarang sudah beralih ke tempat
yang dirahasiakan, orang luar sukar menemukannya," kata
Tjin Goan-ko. "Kami" yang dia maksudkan sudah tentu
termasuk Hong Biau-siang, mereka sudah menikah ketika
berada di Tay-liang-san.
Hong Tju-tjiau sangat senang katanya, "Anak Siang,
semoga perjuangan kalian selalu berhasil. Hidupku telah
tersesat dan banyak menumpuk dosa, harapanku cuma kau
yang dapat menebus kesalahanku itu."
Su Ang-ing juga berjanji untuk berangkat bersama Kim
Tiok-liu, cuma di hadapan kedua calon mertua ia menjadi
rikuh untuk berbicara.
Li Tun tahu perasaannya, ia berkata, "Su-pangtju, silakan
berangkat saja bersama Kim-toako, segala urusan Pang akan
dapat kuatasi dengan bantuan Kongsun-totju pula, tentu
takkan terjadi apa-apa yang tidak diinginkan."
Le Lam-sing dan Kongsun Yan juga ingin ikut berangkat,
cuma urusan Thian-mo-kau belum selesai seluruhnya, maka
mereka hanya minta Kim Tiok-liu menyampaikan dulu maksud
mereka kepada Tiok Siang-hu.
Tiba-tiba Si-ih teringat sesuatu, katanya dengan tertawa,
"Tiok-liu, agar perjalanan kalian bisa lebih leluasa biarlah
pertunanganmu dengan nona Su diresmikan sekarang, kelak
bila aku datang ke Siau-kim-djwan baru aku akan meresmikan
perkawinan kalian."
Serentak semua orang bersorak gembira, Su Ang-ing juga
sangat senang, tapi tertunduk malu.
Kok Tji-hoa menanggalkan pedang pusakanya 'Siang-hoakiam*,
dan diserahkan kepada Su Ang-ing sebagai mas kawin.
Secara sederhana tapi khidmat pertunang Kin Tiok-liu dan Su
Ang-ing ditetapkan. Mala itu perjamuan kembali diadakan
dalam suasana riang gembira.
Esok paginya kedua pasangan, yaitu Tiok-liu dan Su Anging
serta Goan-ko dan Biau-siang lantas mohon diri berangkat
ke Tay-liang-san. Sudah tentu kedua pasangan merasa sangat
bahagia dalam perjalanan mereka yang penuh arti itu.
Suatu hari mereka berlalu di kaki gunung Hoa-san,
waktunya sudah dekat maghrib. Alangkah indahnya puncak
Hoa-san yang menjulang tinggi dipeluk lautan mega yang
beraneka warna tersorot oleh sinar matahari senja.
Goan-ko tidak pernah mengunjungi pegunungan itu, maka
tidak habis-habisnya dia memuji keindahan pemandangan
alamnya. Tiok-liu menjadi teringat kepada kematian Soh-tjiok
To-djin, maka mereka sepakat untuk pesiar ke atas gunung
sambil melayat ke depan layon Todjin yang menjadi korban
keganasan Yang Go itu.
Setiba di Djing-hong-koan hari sudah mulai gelap, kuil itupun
merupakan salah satu tempat terkenal di puncak Hoa-san.
Mereka segera disambut dengan kejut-kejut girang oleh
para To-su penghuni kuil itu, ketika kemudian Tiok-liu
memberitahukan tentang sakit hati kematian guru mereka
sudah terbalas, para Tosu itu menjadi girang dan
mengucapkan terima kasih.
Setelah bersembahyang di depan abu Soh-tjiok Todjin,
mereka disediakan dua buah kamar untuk bermalam. Tiok-liu
sekamar dengan Goan-ko dan Su Ang-ing sekamar dengan
Hong Biau-siang.
Asyik sekali Tiok-liu mengobrol dan bersenda-gurau dengan
Goan-ko sehingga tanpa terasa sudah lewat tengah malam.
Sinar bulan menembus ke dalam kamar melalui celah-celah
jendela, rupanya hari itu tepat hari bulan purnama.
Sesungguhnya Goan-ko sangat ingin keluar menikmati
pemandangan Hoa-san di waktu malam purnama, tapi kuatir
besoknya diomeli sang isteri, maka ia mengurungkan
maksudnya. Tiok-liu menggoda temannya, baru saja kawin
sudah takut bini. Namun Goan-ko balas menggoda, nanti
kalau Tiok-liu sudah kawin baru tahu rasa betapa galaknya Su
Ang-ing. Tengah mereka berkelakar, mendadak terdengar suara
siulan tajam, menurut pendapat Tiok-liu tentu suara manusia
dan bukan binatang buas, Goan-ko ikut mendengarkan
dengan cermat, akhirnya ia pun sependapat suara siulan itu
jelas dikeluarkan oleh orang mempunyai Lwekang amat tinggi.
Diam-diam mereka sepakat keluar untuk melihat apa yang
terjadi tanpa memberitahukan Su Ang-ing dan Biau-siang tapi
baru saja mereka membuka pintu kamar, ternyata Su Ang-ing
berdua sedang menuju ke kamar mereka sini.
"He, kalian sudah mendengar suara itu?" tanya Tiok-liu.
"Kami bermaksud keluar melihatnya."
Su Ang-ing mengangguk, sahutnya, "Ya, kami pun tertarik
oleh suara itu dan ingin tahu apa yang terjadi."
Begitulah di luar tahu para Tosu, mereka lantas keluar dari
kuil itu. Di bawah sinar bulan purnama Hoa-san memang
sukar dilukiskan keindahan pemandangannya.
Keadaan Hoa-san juga sangat curam, hanya ada satu jalan
saja untuk mendaki puncak pegunungan itu, yaitu jalan yang
dibuat dengan membelah dinding batu, panjang jalan kira-kira
dua li lebih, lebarnya hanya dua kaki, praktis hanya dapat
dilalui satu orang saja.
Sepanjang jalan banyak pula tempat-tempat pemandangan
yang bagus. Pada ujung jalan itu adalah undak-undakan batu
terdiri dari dua ratusan undakan sehingga mirip sebuah
tangga langit yang menjulang tinggi ke atas menghilang
ditelan awan. Selagi mereka tidak habis memuji kehebatan pemandangan
itu, tiba-tiba angin gunung berkesiur dan sayup-sayup Tiok-liu
mendengar suara tertawanya orang, katanya terkejut, "He,
kedengarannya tidak cuma satu orang agaknya ada beberapa
orang sedang berbicara dan bergurau di atas sana, mari kita
lekas naik ke atas."
"Nanti dulu, belum lagi diketahui apakah benar suara
manusia atau bukan?" ujar Ang-ing.
"Paling penting kita buktikan nanti, kuyakin pasti orang
kosen yang luar biasa" kata Tiok-liu.
Dengan rasa ingin tahu segera mereka mempercepat
langkah, setelah melintasi 'tangga seribu' tadi, tertampaklah
dua puncak berjajar di kanan dan di kiri disela dengan jurang
yang tidak terkirakan dalamnya. Di bawah kaki mereka
seakan-akan awan mengembang sehingga rasanya seperti
berdiri di angkasa raya.
"Lihat itu, di sebelah sana benar-benar ada orang!" seru
Goan-ko tiba-tiba.
Waktu Tiok-liu memandang ke arah yang ditunjuk, terlihat
di depan sana ada sebuah balok batu yang panjangnya
belasan meter melintang di antara kedua puncak gunung,
sehingga mirip sebuah jembatan terapung. Di sebelah
jembatan sana ada beberapa batang pohon Siong tua yang
mencuat tinggi ke langit, di bawah pohon yang rindang itu,
samar-samar tertampak dua orang, sepertinya seorang lakilaki
dan seorang perempuan.
"Kalian tunggu di sini, akan kulihat siapa mereka itu," kata
Tiok-liu. Segera ia maju ke depan dan melompat ke atas
belan-dar batu sambil berseru, "Wanpwe Kim Tiok-liu ingin
berkenalan dengan para Tjianpwe, mohon bertemu."
Belum lenyap suaranya tertampak kedua orang itu sudah
berbangkit, yang laki-laki berjenggot cabang tiga, yang wanita
bersanggul tinggi di atas kepala, keduanya sudah setengah
umur. Dandanan mereka mirip orang kosen yang
mengasingkan diri, laki-laki setengah umur itu lantas
melompat pula ke atas belan-dar batu dan lurus menuju ke
arah Kim Tiok-liu sambil menjawab, "O, kiranya putera Kimtayhiap
yang datang, jangan sungkan-sungkan, marilah kita
berkenalan."
Padahal belandar batu itu hanya cukup untuk dilalui satu
orang saja, tampaknya orang itu terus maju tanpa ada
maksud mengelak. Keruan Kim Tiok-liu terkejut, baru
sekarang ia tahu orang tidak bermaksud baik, tapi sengaja
mendesaknya terjerumus ke jurang.
Waktu itu Tiok-liu sampai di tengah belandar batu itu,
kedua pihak sama-sama tak bisa mengelak lagi, kalau
memutar balik, bukan mustahil pada waktu memutar tubuh,
orang akan mendorongnya ke bawah dengan mudah,
andaikan melangkah mundur rasanya juga sukar menahan
tabrakan orang itu dari depan.
Dalam keadaan demikian Tiok-liu menjadi gusar, jengeknya
segera, "Banyak terima kasih atas sambutanmu, biarlah
aku sendiri lewat ke sana saja!" Bukannya mundur, bahkan ia
pun melangkah maju, pikirnya ingin melihat kemampuan apa
yang dimiliki laki-laki itu.
Tampaknya kedua orang akan segera bertabrakan dan bila
terjadi tentu yang lemah akan terjatuh ke bawah, tapi juga
bukan mustahil keduanya akan hancur bersama.
Dalam keadaan begitu, Goan-ko, Ang-ing dan Biau-siang


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi kaget, tapi apa daya, untuk membantu juga tidak
mungkin, tanpa terasa mereka berseru kuatir.
Laki-laki itu pernah menelan pil pahit dari Kim Si-ih, maka
ia pun terkesiap ketika melihat putera Kim Si-ih itupun
menabrak ke arahnya tanpa gentar. Dia dapat berpikir cepat,
mendadak ia menghentikan langkahnya sambil berkata,
"Terimalah salamku, Kim-siauhiap!" Kedua tangan be ekap di
depan dada terus membungkuk hormat kepada Kim Tiok-liu.
Tampaknya saja memberi hormat, tapi sebenarnya suatu
jurus serangan maut yang bergaya 'Tong-tju-pay-kwan-im'
atau anak kecil menyembah Kwan-im, jurus ini sebenarnya
suatu gerakan biasa, tapi di bawah gerakan tangan orang ini
berubah menjadi suatu jurus serangan yang mematikan, ujung
jarinya mengarah ke depan menunjuk tempat-tempat
berbahaya di bagian perut Kim Tiok-liu, bahkan disertai
tekanan tenaga dalam yang dahsyat.
"Ah, saudara terlalu banyak adat," sahut Tiok-liu sambil
tertawa dingin. Kedua tangannya juga dipakai seperti
membalas hormat orang, tapi sebernarnya digunakan
mematahkan tenaga serangan lawan.
Begitulah dua tenaga saling beradu, dengan tenaga
benturan itu Kim Tiok-liu terus melompat ke atas, sekali
berjumpalitan ia terus melayang ke sebelah belandar batu di
sana. Setenarnya tenaga pukulan-pukulan laki-laki itu sangat
aneh, untung Tiok-liu pernah menyaksikan gerakan
sekaumnya sehingga masih sanggup melayani, kalau tidak
sukarlah dibayangkan akibatnya.
Orang itupun merasa bersyukur dapat terhindar dari
bahaya bersama Kim Tiok-liu, segera ia berputar dan berkata,
"Kim-siauhiap benar-benar hebat!"
"Saudara ini tentunya termasuk salah seorang dari Husiang-
tjhit-tju!" kata Tiok-liu.
Kembali orang itu terkejut dan memuji, "Tajam benar
pandangan Kim-siauhiap. Ya, mungkin kau sudah mendengar
dari ayahmu. Kami pernah belajar kenal ilmu silat ayahmu
yang tiada bandingannya, sekarang kebetulan bertemu pula
dengan Kim-siauhiap, sungguh kami sangat beruntung."
Nada ucapan orang itu kedengarannya menghormat tapi
sikapnya angkuh. Dasar anak muda, apalagi tadi hampir saja
didesak jatuh ke jurang, tentu saja Tiok-liu itu sangat
mendongkol. Tanpa sungkan-sungkan lagi segera ia melolos
Hian-tiat-pokiam dan menantang, "Aku pun ingin menambah
pengalaman dan berkenalan dengan ilmu pedang Hu-siang-to,
marilah kita coba-coba."
Melihat warna Hian-tiat-pokiam yang hitam tak menarik,
orang itu menjadi terkejut malah dan yakin tentu senjata itu
lain daripada yang lain. Segera ia pun melolos pedang sambil
menjulurkan ujung pedangnya miring ke depan sebagai jurus
pembukaan dan sekaligus menjajaki serangan lawan.
"Bagus!" puji Tiok-liu, tanpa lika-liku lagi ia mengangkat
Hian-tiat-pokiam terus membacok.
Orang itu menduga Hian-tiat-pokiam pasti bukan senjata
sembarangan, tapi tidak mengira kalau bobotnya sedemikian
berat, baru saja pedang itu menurun sudah didahului tenaga
tekanan yang dahsyat. Untung dia sudah siap, begitu merasa
gelagat jelek segera ia melompat ke samping sambil balas
menabas. "Aku baru saja menciptakan beberapa jurus ilmu pedang
yang rada-rada mirip dengan ilmu pedangmu, harap kau sudi
memberi petunjuk," kata Tiok-liu sembari menyerang
beberapa kali, yaitu jurus-jurus baru yang diubahnya dari ilmu
pedang Hu-siang-pay sendiri, seketika orang itu menjadi
kelabakan dan terpaksa mundur berulang-ulang.
Belasan jurus kemudian, orang itu bertambah terkejut,
pikirnya dengan curiga, "Apakah mungkin Kiam-boh (kitab
ilmu pedang) aliran kami jatuh di tangannya?"
Melihat sang suami kewalahan, kejut istrinya juga tidak
kepalang. Segera ia pun mencabut pedang dan membentak,
"Bagus, setelah mencuri Kiam-boh, sekarang kau berani main
gila lagi kepada kami. Hayo, lekas serahkan Kiam-bohnya,
kalau tidak, jangan kau harap bisa kabur dari sini."
"Hahaha, sungguh aneh, sungguh menggelikan!" seru Kim
Tiok-liu sambil terbahak-bahak.
"Apa yang menggelikan?" omel wanita itu dengan murka.
"Habis, sudah sejak ratusan tahun aliran kalian terpecah
menjadi tiga cabang, Kiam-boh kalian telah lenyap sehingga
tidak seorang pun yang mahir mempelajari secara lengkap,
lalu darimana aku bisa mencuri Kiam-boh kalian?" sahut Tiokliu.
Laki-laki itu terkejut, tegurnya, "Darimana kau mengetahui
sedemikian jelas" Ilmu pedang kami teramat luas, sekalipun
hanya sedikit memahami cecerannya saja sudah cukup untuk
menjagoi dunia persilatan. Pendek kata serahkan saja barang
curian-mu dan habis perkara."
Sebenarnya Kim Tiok-liu bermaksud menceritakan
mengenai Boh Tjong-tiu kepada mereka, tapi ia jadi
mendongkol mendengar ucapan mereka itu, dengan sengaja
ia bergelak tertawa pula.
"Apalagi yang kau tertawakan?" semprot si wanita dengan
gusar. "Aku menertawakan kalian mirip katak di dalam sumur,
picik benar pengetahuan kalian," sahut Tiok-liu.
Yang lelaki agaknya lebih sabar, tanyanya, "Ya, mungkin
kami seperti katak di dalam sumur seperti kata Kim-kongtju,
maka mohon kau memberi penjelasan lebih lanjut."
"Setahuku ilmu silat tiada batasannya, di atas orang pandai
masih ada yang lebih pandai," kata Kim Tiok-liu. "Terus terang
kukatakan, beberapa jurus seranganku tadi meski perubahan
dari ilmu pedang aliran kalian, tapi adalah hasil ciptaanku
sendiri. Jika kalian tidak percaya, biarlah kugunakan ilmu
pedangku yang asli untuk coba-coba lagi, lihat saja apakah
lebih jelek daripada ilmu pedang kalian atau lebih bagus?"
Rupanya laki-laki inilah orang yang telah menggores cincin
kemala yang dipakai Kim Si-ih. Tatkala itu Kim Si-ih tidak
memakai senjata, hanya dengan tenaga jari sakti ia
menyelentik terpental pedang lawan, sebab itu meski laki-laki
itu dikalahkan Kim Si-ih, tapi masih cukup yakin akan ilmu
pedangnya sendiri dan belum tunduk benar-benar. Apalagi
sekarang adalah putera-nya yang dihadapinya, ia tidak
percaya putera Kim Si-ih mampu mengalahkannya, segera ia
menjawab, "Baik, asalkan kau mengalahkan aku dengan ilmu
pedang milikmu sendiri, kalah pun aku akan tunduk benarbenar."
Tiok-liu tertawa, segera ia memutar Hian-tiat-pokiam ke
atas, lalu pelahan-lahan menusuk ke depan.
Pada umumnya ilmu pedang mesti mengutamakan
kecepatan dan kegesitan, belum pernah laki-laki itu melihat
gerakan pedang sedemikian pelahan. Keruan ia terkesiap, tapi
juga tidak berani memandang ringan lawannya, segera
pedangnya juga bergerak dan balas menyerang secepat kilat.
Maksud laki-laki itu hendak mengatasi kelambatan gerakan
lawan dengan gerak cepatnya, tak terduga baru saja ujung
pedangnya memasuki lingkaran pedang Kim Tiok-liu, seketika
ia merasa terkurung oleh serangan-serangan tersembunyi
yang disiapkan lawan itu.
Kiranya Tiok-liu menggunakan 'Si-mi-kiam-hoat' yang
lamban untuk mengatasi gerak cepat lawan. Untung serangan
orang itupun tersembunyi gerakan susulan yang hebat, begitu
merasa gelagat jelek segera ia menarik diri. Walaupun
demikian toh dia menderita rugi sedikit, terdengar suara
"tring" yang nyaring, pedangnya gumpil sedikit oleh sambaran
Hian-tiat-pokiam.
Meski lebih unggul, dalam hati Kim Tiok-liu mengagumi
juga kehebatan ilmu pedang lawan, sebab keunggulannya itu
adalah berkat Hian-tiat-pokiam, kalau memakai senjata biasa
tentu sukar membikin keder lawannya.
Wanita itu terkejut melihat sekali gebrak saja suaminya
sudah kecundang, ia lantas mengejek, "Hm, mengandalkan
pedang pusaka saja, tampaknya bocah ingusan seperti kau
tidak punya kepandaian apa-apa."
"Baik, boleh pinjam pedangmu," sahut Tiok-liu.
Mendadak Su Ang-ing berseru di seberang jembatan sana,
"Jangan tertipu olehnya!"
"Ang-ing, kemarilah dan tukar pedangmu dengan aku,"
seru Tiok-liu. "Tidak perlu repot-repot," kata wanita tadi. "Biar aku pun
belajar kenal dengan ilmu pedangmu. Kau pakai pokiam,
tentunya adil juga jika kami berdua melawan kau sendirian."
Rupanya wanita itu sengaja mengejek, tapi sebenarnya
cuma buat alasan saja untuk mengerubutnya.
"Ya, adil, tentu adil!" sahut Tiok-liu tertawa. "Bolehlah
kalian maju bersama!"
Tanpa malu-malu lagi wanita itu benar-benar ikut
menerjang maju, gabungan mereka berdua ternyata banyak
mengubah keadaan. Suami-istri itu bisa kerjasama dengan
sangat baik, ketika pedang wanita itu menyambar tiba, Tiokliu
tetap menggunakan gerakan Si-mi-kiam-hoat untuk
menangkis. Waktu Tiok-liu memutar pedangnya untuk
menangkis, secepat kilat pedang si wanita menusuk pula.
Untung Tiok-liu sempat menggunakan Thian-lo-poh-hoat
untuk menggeser ke samping, walaupun begitu ujung bajunya
terobek juga oleh tusukan wanita itu. Sebaliknya sesak juga
napas wanita itu oleh tekanan kekuatan Hian-tiat-pokiam tadi
walaupun tidak sampai terluka.
Ia terkejut akan kekuatan pedang pusaka itu, tapi sekali
sudah berada di atas angin, segera ia menyerang lebih cepat
lagi tanpa memberi kesempatan kepada Tiok-liu untuk balas
menyerang. Di bawah kerubutan suami-istri itu mau tak mau
Tiok-liu terdesak juga.
Tiok-liu menjadi murka, segera ia berganti siasat, ia tidak
melulu bertahan saja, tapi ia pun bermain cepat dan
membarengi serangan musuh. Yang digunakan sekarang
adalah Tui-hong-kiam-hoat yang mengutamakan serangan.
Terkesiap kedua suami-istri itu akan ilmu pedang Tionggoan
yang memang lain daripada yang lain. Mereka saling
memberi isyarat, ilmu pedang mereka segera berubah juga.
Pedang wanita itu berputar, tapi seperti berlatih sendiri saja,
ia tidak mendekati Kim Tiok-liu tapi pedangnya terus berputar
di samping Tiok-liu dengan lingkaran-lingkaran yang kerap
sehingga laksana ombak yang gulung-gemulung mendampar
ke arah Kim Tiok-liu. Walaupun tidak mendekat, tapi asalkan
Tiok-liu sedikit meleng saja tentu setiap saat tubuhnya bisa
tertusuk oleh lawan.
Bila satu lawan satu tentu mudah bagi Tiok-liu untuk
mematahkan ilmu pedang wanita itu betapapun anehnya, tapi
sekarang dia harus satu lawan dua. Kalau si wanita terus
mengurung Tiok-liu dengan lingkaran-lingkaran pedangnya,
adalah sebaliknya yang lelaki terus menusuk dari jarak dekat
sehingga terbalik dengan istrinya. Kerjasama mereka yang
rapat ini membikin Kim Tiok-liu menjadi serba salah, bertahan
tidak bisa, balas menyerang juga sulit.
Diam-diam Tiok-liu mengeluh, bila pertarungan tidak
menentu ini diteruskan, lama-lama dirinya tentu bisa celaka.
Untuk mengadu jiwa dan gugur bersama musuh juga sukar
rasanya. Sebaliknya kalau mau melarikan diri sulit juga karena
berada di puncak Hoa-san yang terjal itu, mundur ke belakang
berarti masuk jurang yang tak terkira dalamnya, bila lari
melalui jembatan batu tunggal itu masakah lawan-lawannya
mau tinggal diam" Karena tiada jalan, terpaksa ia bertempur
mati-matian. Di sebelah sana Su Ang-ing bertiga juga gelisah, Goan-ko
dan Biau-siang merasa kepandaian mereka selisih terlalu jauh
untuk memberi bantuan. Dengan kuatir Biau-siang berkata,
"Gelagatnya tidak menguntungkan Kim-toako, mereka main
keru-but, terpaksa kita pun menyeberang ke sana untuk
melabrak mereka"
"Aku saja yang ke sana jika tidak tahan barulah kalian maju
pula" ujar Ang-ing
"Tidak, kita berdua maju ke sana kalau tak mampu
membantu Kim-toako hendaklah Goan-ko lekas pulang
memberi kabar kepada Kim-tayhiap," kata Biau-siang.
Rupanya Biau-siang sadar dirinya juga tidak mampu
memberi bantuan apa-apa tetapi ia pun tidak ingin
membiarkan Su Ang-ing menghadapi bahaya sendirian,
terpaksa ia menggunakan jalan demikian untuk
menyelamatkan jiwa Goan-ko.
Goan-ko dapat memahami pikiran sang istri, ia sangat
terharu. Ang-ing juga berterima kasih atas kesetiakawanannya.
Dengan mengertak gigi Goan-ko menjawab, "Tidak, kau
saja yang pulang memberi kabar kepada Kim-tayhip, aku yang
menyeberang ke sana bersama entji Ang-ing."
Tapi belum lenyap suaranya, tiba-tiba seorang telah
mengejek, "Hm, kalian sendiri saja bakal mampus masih ribut
mau membantu orang segala. Daripada kalian mengantar
nyawa ke sana. biarlah aku saja yang mengabulkan keinginan
kalian." Begitu selesai ucapannya tahu-tahu orangnya juga
sudah datang, kontan Hong Biau-siang lantas dicengkeram
lebih dulu. Untung saja Su Ang-ing sempat melolos pedang, pada saat
orang itu mencengkeram, secepat kilat Ang-ing juga
menusuknya dengan demikian terhindarlah Biau-siang dari
cengkeraman maut musuh. Waktu ia perhatikan, kiranya
penyerang itu ialah Auwyang Kian.
Kiranya kediaman Auwyang Kian terletak di puncak utara
Hoa-san, jaraknya tidak jauh dari kuil Soh-tjiok Todjin. Kedua
suami-istri yang bertempur dengan Kim Tiok-liu itu adalah
tamu ci rumahnya.
Sejak kekalahan di Tji-lay-san, Auwyang Kian tidak berani
melapor ke kotaraja, tapi bersembunyi di rumah untuk berlatih
lagi. Setelah Hu-siang-tjhit-tju dikalahkan Kim-si-ih, mereka
pun terpencar, sepasang suami-istri ini sengaja mencari
Auwyang Kian karena mereka tahu dia adalah anak buah
kepercayaan Sat Hok-ting.
Sungguh kebetulan, pada hari yang sama Tiok-liu berempat
juga datang ke Hoa-san dan dapat dilihat oleh mereka.
Setelah mengetahui siapa Kim Tiok-liu dari cerita Auwyang
Kian, mestinya mereka ingin mencari pemuda itu untuk
menuntut balas karena kekalahan mereka oleh Kim Si-ih, tapi
Auwyang Kian mengusulkan agar mereka malam-malam
menggunakan suara suitan Lwekang untuk memancing Kim
Tiok-liu datang ke puncak yang berbahaya itu. Auwyang Kian
sendiri bersembunyi di tempat yang tidak terlihat oleh Kim


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiok-liu. Setelah gagal membinasakan Kim Tiok-liu di atas jembatan
batu, kemudian kedua suami-istri itu mengembut Kim Tiok-liu
sehingga kewalahan. Melihat keadaan yang menguntungkan
itu, Auwyang Kian sangat girang. Sesuai dengan rencana
semula, dia akan muncul dari tempat sembunyinya dan
menyergap Su Ang-ing bertiga. Untung Su Ang-ing cukup
Hati Budha Tangan Berbisa 9 Lambang Naga Panji Naga Sakti Karya Wo Lung Shen Pedang Dan Kitab Suci 23
^