Pendekar Jembel 3

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bagian 3


pengenal. Maafkan aru sekarang aku sempat menyerahkan
kepadamu."
Habis itu barulah ia memberi hormat sebagai adik
seperguruan. Kang Hay-thian sangat berterima kasih atas perhatian sang
guru kepadanya, tapi ia merasa heran pula mengapa Sute
yang disuruh mencarinya itu mesti pakai benda tangan
pengenal segala, bukankah sudah cukup dengan membawa
surat tulisan tangan sang guru sendiri. Tapi sesudah dia
membaca isi surat gurunya, barulah ia mengerti persoalannya
bahwa cincin kemala itu bukan melulu digunakan oleh Kim
Tiok-liu sebagai tanda pengenalnya untuk menemui saudara
seperguruan. Kiranya surat gurunya itu telah memberi tiga tugas kepada
Kang Hay-thian. Pertama Kang Hay-thian diminta mengawasi
Sutenya itu. Kedua, dia diberitahu bahwa iparnya, yaitu Yap
Tiong-siau akan pulang dari lautan sana dan Hay-thian ditanya
apakah sudah menerima putra Yap Tiong-siau sebagai murid,
jika belum menemukan pemuda itu maka harus selekasnya
dicari. Ketiga, Kang Hay-thian diharuskan datang pada ke Pitmo-
khe di Se-san (gunung barat) kota Pakkhia untuk
menemui seseorang pada hari Tjap-go-meh tahun depan, dan
cincin kemala itu harus dipakai sebagai tanda pengenal, sebab
pada jari orang yang akan ditemuinya itu pun akan memakai
sebentuk cincin yang serupa. Di antara tiga tugas itu, hal
ketiga itulah yang paling penting, cuma di dalam surat tiada
dijelaskan siapakah gerangan yang harus dite-muinya itu.
Dalam pada itu Kok Tiong-lian lantas bertanya, "Suhu, ada
pesan apa?"
"Kata beliau kau punya Toako selekasnya akan pulang
kemari," sahut Hay-thian tertawa. "Rupanya Suhu tidak
mengetahui bahwa sudah sekian lamanya Boh-hoa berada di
rumah kita."
"Wah, jika Toako sudah pulang, entah betapa girangnya
bila mengetahui hasil pergerakan Boh-hoa yang telah
dilakukannya selama beberapa tahun ini," kata Tiong-lian
senang. "Eh, Kim-sute, kau dan Suhu tinggal dimana, apakah
aku punya Toako sering pergi menyambangi kalian"
Bagaimana keadaannya terakhir?"
"He, makanlah dahulu araknya sudah dingin," sela Haythian.
Kini Kim Tiok-liu tidak duduk di tempat utama lagi, katanya
dengan tertawa, "Tadi aku mewakili ayah untuk
menyampaikan selamat kepada Kang-suneng, sekarang surat
beliau sudah kuserahkan, aku hanya dapat hadir sebagai Sute
saja. Tempat utama itu silakan Tiong-pangtju yang
menduduki."
Karena tak bisa menolak, terpaksa Tiong Tiang-thong
mendudukinya. Katanya dengan tertawa, "Kim-laute, sifatmu
rada-rada mirip ayahmu tapi juga ada bedanya sedikit. Waktu
mula-mula ayahmu berkecimpung di Kangouw beliau suka
angin-anginan dan ditakuti orang. Sifatmu yang ugal-ugalan
tadi memang menyerupai ayahmu, tapi kau tidak anginanginan,
hanya sekejap saja kau telah berubah menjadi sopan
santun lagi, sungguh hal ini rada di luar dugaanku. Hehe, aku
adalah sobat lama ayahmu, janganlah kau anggap aku
sembarang omong ya."
"Tentang pengalaman ayah dahulu terlalu sedikit yang
kuketahui, cuma ibu sering mengatakan sifatku memang radarada
mirip ayah," sahut Tiok-Liu tertawa.
"Menurut penglihatanku, sifatmu ada sebagian mirip
ayahmu dan sebagian mirip ibumu," ujar Tiong Tiang-thong.
"Kau tidak tahu bahwa di waktu mudanya, ayahmu berpuluh
kali lebih nakal daripadamu. Kemudian setelah kenal ibumu
barulah sifatnya banyak berubah."
Apa yang dikatakan Tiong Tiang-thong memang tidak
salah. Sejak kecil Kim Tiok-liu banyak dipengaruhi ayahbunda-
nya sehingga sifatnya juga menyerupai kedua orang
tuanya. Setelah masing-masing mengambil tempat duduk,
kemudian Kim Tiok-liu menyeret Tjin Goan-ko agar duduk di
sebelahnya dan sebelah lainnya bertetangga dengan Tong Kagwan,
tempat Goan-ko ini adalah tempat yang diduduki Bun
Seng-tiong tadi.
"Yang palsu sudah kabur, sekarang sudah seharusnya
tempat ini diduduki yang tulen, kau jangan sungkan-sungkan
lagi," kata Tiok-liu tertawa.
Goan-ko rada kikuk, katanya dengan tergagap, "Kim.....
Kim-siauhiap, aku tidak kenal asal-usulmu sehingga banyak
berlaku kasar, harap kau jangan marah. Di sini masih banyak
kaum Lotjianpwe, aku mana berani lancang melampaui
mereka?" Sekarang Goan-ko sudah tahu Kim Tiok-liu memang lebih
tua dua angkatan daripadanya sehingga tidak enak untuk
menyebutnya saudara lagi. Tapi umur Kim Tiok-liu sebaya
dengan dia, ia tidak enak pula memanggilnya 'Lotjianpwe'
terpaksa ia menyebutnya sebagai 'Siauhiap' (Pendekar muda)
saja. Dengan tertawa Kim Tiok-liu menjawab, "Suhengku
memang sesuai disebut sebagai Tayhiap (Pendekar besar),
tapi aku baru saja muncul di dunia ramai, mana aku berani
dipanggil sebagai 'Pendekar' segala" Sudah kukatakan padamu
bahwa hubungan kita adalah persahabatan belaka dan tidak
perlu bicara tentang tingkatan dan angkatan. Maka kita tetap
saling sebut saudara saja. Aku paling jemu kepada orang yang
suka sungkan-sungkan, nah, Tjin-toako, silakan lekas duduk
saja." "Benar, orang Kangouw lebih mengutamakan pergaulan
pribadi masing-masing dan terlalu ruwet bila satu sama lain
selalu bicara tentang urusan angkatan segala," ujar Hay-thian
dengan tertawa. "Sudahlah, tempat ini memangnya
kusediakan bagimu, sekarang kau jangan sungkan-sungkan
lagi." Mendengar tuan rumah juga membujuk, tiada jalan lain lagi
bagi Goan-ko untuk tidak mendudukinya. Tapi diam-diam
hatinya sedang memikirkan sesuatu, jika tamu-tamu semeja
sama asyik mengobrol dengan senangnya, adalah dia yang
bungkam saja dengan sikap yang bingung-bingung cemas.
Di antara hadirin semeja memang kedudukan Goan-ko
terhitung paling muda. Kang Hay-thian mengira dia merasa
rikuh sehingga tidak berani ikut bicara. Hanya Kim Tiok-liu
saja yang dapat meraba perasaan Goan-ko, maka diam-diam
ia membisiki pemuda itu, "Kau jangan kuatir, dua hari lagi aku
akan mengiringi kau mencari kabar ke Tji-lay-san sana, pasti
aku takkan membiarkan kau punya nona Hong itu menderita."
Muka Goan-ko menjadi merah, dengan menundukkan
kepala ia pura-pura minum arak.
"Kalian main bisik-bisik segala, apa sih yang kalian
bicarakan?" tiba-tiba Tiong Tiang-thong menegur mereka.
"O, tidak apa-apa, Tjin-toako sedang memikirkan seorang
temannya?" sahut Tiok-liu. "Dan aku berjanji akan mengiringi
dia pergi mencarinya."
"Tentunya teman perempuan bukan?" kata Tiang-thong
tertawa. "Jangan kuatir, selamanya aku pengemis tua ini
paling suka menjadi comblang, bila kau ada kesukaran apa
boleh katakan padaku, pasti aku akan berdaya untuk
memenuhi cita-citamu."
Kiranya bisik-bisik Kim Tiok-liu tadi meski tak didengar
seluruhnya oleh Tiong Tiang-thong, tapi sayup-sayup ia
mendengar kata-kata "Tji-lay-san", "nona Hong" dan
sebagainya. Keruan muka Goan-ko menjadi merah jengah, jawabnya
kikuk, "Ah, Lotjianpwe suka bercanda saja."
Dasar watak Tiong Tiang-thong memang paling suka ikut
campur urusan orang lain, diam-diam ia membatin, di Tji-laysan
pasti ada keluarga persilatan she Hong segala, untuk ini
aku justru akan pergi menyelidiki ke sana.
Maka dia tidak mendesak lebih lanjut persoalan itu. Ia
terbahak-bahak dan berkata pula, "Kim-laute, agaknya kau
tidak tahu bahwa aku sudah terkenal sebagai orang yang
paling suka menjadi comblang. Perlu kau ketahui bahwa
perjodohan ayah ibumu dahulu juga akulah yang menjadi
perantaranya."
Padahal Kim Si-ih dan Kok Tji-hoa dahulu telah saling
mencintai selama beberapa tahun, hanya banyak mengalami
macam-macam rintangan dan mereka baru menikah setelah
Kim Si-ih berumur 40 tahun. Tiong Tiang-thong memang
pernah menganjurkan Kim Si-ih lekas mengambil keputusan
yang tetap, jadi perjodohan Si-ih dan Tji-hoa itu bukan melalui
dia sebagai perantara. Memang Tiong Tiang-thong biasanya
suka membesar-besarkan sesuatu yang dianggap
membanggakan dia. Lalu dengan tertawa ia menyambung
lagi, "Ayahmu dan Suhengmu dahulu menikah pada saat yang
sama, peristiwa itu telah tersiar sebagai sesuatu yang
menggemparkan Bu-lim, sungguh cepat amat lewatnya sang
waktu, dalam sekejap saja 20 tahun sudah berlalu. Apakah
ayah bundamu baik-baik saja" Mengapa mereka tidak pulang
ke Tionggoan" Apakah mereka sudah melupakan semua sobat
lamanya?" Baru sekarang Kim Tiok-liu sempat menjawab berbagai
pertanyaan orang, tuturnya, "Ayahku tinggal di Hwe-soa-to
(Pulau gunung berapi) yang dahulu didiami oleh Kiau Pakbeng
Tjosuya. Kira-kira pada 15 tahun yang lalu Ki-pepek juga
datang tinggal bersama kami. Tatkala itu aku belum genap
lima tahun. Katanya Ki-pepek baru pulang dari negeri Thiantiok,
beliau banyak membawa pulang barang-barang curian
dan aku diberi macam-macam mainan yang bagus."
"Ki-pepek memang paling getol dengan kepandaian
copetnya, kemana pun perginya tentu dia akan melakukan
tangan panjang," kata Hay-thian dengan tertawa. "Tapi
selama 15 tahun dia tinggal di Hwe-soa-to boleh dikata dia
sudah cuci tangan. Entah cara bagaimana dia melewatkan
hari-hari sepanjang itu?"
"Di pulau itu tiada keluarga kedua, dengan sendirinya dia
tidak sempat menggunakan tangan panjangnya," tutur Tiokliu.
"Cuma dia pun tidak kesepian, dia sendiri tidak mencopet,
tapi akulah yang diajarkan mencopet. Sudah tentu dia
mengajar aku di luar tahu ibu."
"Apakah juga di luar tahu Suhu?" tanya Hay-thian tertawa.
"Tidak, malahan ayah menganjurkan aku banyak-banyak
minta belajar kepada Ki-pepek," jawab Tiok-liu. "Kata ayah,
dengan mengajar aku, Ki-pepek dapat mengobati penyakit
copetnya yang setiap saat bisa ketagihan. Padahal ibu juga
tahu, cuma beliau pura-pura tidak tahu."
Semua orang tertawa geli mendengar cerita itu. Kata Tiong
Tiang-thong, "Sungguh hebat! Ilmu silatmu tidak lebih lemah
daripada ayahmu di masa mudanya, bahkan kau lebih banyak
memiliki sejenis ilmu, yaitu ilmu mencopet. Siapa lagi orang
Kangouw yang berani main gila padamu?"
Kemudian Kim Tiok-liu melanjutkan lagi, "Beberapa kali
Yap-toako (Tiong-siu) pernah datang ke Hwe-soa-to, kabarnya
mereka suami istri berdiam di suatu pulau tak bernama di
lautan timur. Terkadang ayah juga pesiar ke tempat mereka
itu, cuma aku sendiri tidak pernah ikut. Paling akhir ayah baru
pulang dari sana setelah lewat tahun baru. Menurut cerita
ayah, katanya Yap-toako selekasnya akan pulang kemari."
Tentu saja cerita ini sangat menggirangkan Yap Boh-hoa
dan Kok Tiong-lian.
"Dan ayahmu sendiri akan pulang kemari tidak?" demikian
Tiang-thong menambahkan.
"Ayah bilang beliau juga sangat ingin pulang ke sini, cuma
beliau baru dapat mengambil keputusan setelah Tjap-go-meh
tahun depan," sahut Tiok-liu.
Hari pesta Kang Hay-thian ini adalah tepat Tiong-tjhiu
(tanggal 15 bulan delapan), jadi tinggal lima bulan lagi
datangnya hari Tjap-go-meh tahun depan. Jika Kim Si-ih baru
pulang ke Tionggoan selewatnya Tjap-go-meh, maka kira-kira
setengah tahun lagi dapatlah mereka bertemu. Keruan Tiong
Tiang-thong dan lain-lain ikut bergirang juga demi mengetahui
ada harapan akan bertemu dengan Kim Si-ih dalam waktu
tidak terlalu lama.
Sebaliknya hati Kang Hay-thian tergerak, pikirnya, "Menurut
surat Suhu tadi aku disuruh pergi menemui seorang di Pit-mokhe
di gunung barat Pakkhia, beliau sendiri juga baru dapat
mengambil keputusan akan pulang kemari atau tidak tepat
pada hari Tjap-go-meh. Entah kedua urusan ini satu sama lain
ada hubungannya atau tidak?"
Sesudah pesta selesai, Kang Hay-thian menyuruh Boh-hoa
membawa Tiok-liu ke ruang belakang untuk mengaso dan
berganti pakaian.
Dengan tertawa Tiok-liu berkata, "Perintah Suheng,
terpaksa aku tidak dapat menjadi pengemis lagi."
"Kau boleh bercanda sesukamu di luar Kangouw, tapfl
menghadapi tamu di rumah ada lebih baik resik sedikit," ujar
Hay-thian tertawa.
Kim Tiok-liu mengiakan, lalu ikut Boh-hoa ke ruang behj
kang. Li Kong-he dan Lim To-kan juga lantas ikut menemani
Susiok cilik yang baru dikenalnya itu.
Di antara empat murid Kang Hay-thian, umur Boh-hoa darlj
Ubun Hiong lebih tua daripada Kim Tiok-liu, sedangkan Konghe
dan To-kan lebih muda beberapa tahun daripada Tiok-liu.
Maka mereka menjadi ingin bergaul rapat dengan Kim Tiok-liu
mengingat usia mereka sebaya.
Karena perjamuan yang diadakan Kang Hay-thian itu
bergelombang, maka dia masih perlu melayani tamu yang
datang belakangan. Setelah membawa Kim Tiok-liu ke
belakang, Yap Boh-hoa lantas keluar pula membantu gurunya,
sehingga Kong-he dan To-kan yang diserahi menemani Kim
Tiok-liu bisa mengobrol di ruang belakang.
Kong-he dan To-kan lantas mengajukan macam-macam
pertanyaan tentang suasana di luar lautan, mereka pun asyik
mengobrol dengan senang sekali. Kim Tiok-liu tahu Tiong
Tiang-thong dan tokoh-tokoh angkatan tua lain tentu masih
akan tinggal di tempat Kang Hay-thian ini, ia pikir sesudah
tamu-tamu yang lain sudah pergi baru akan bicara pula
dengan para Lotjianpwe itu.
Tidak lama kemudian kedua mempelai pun masuk kembali
ke ruang belakang diiringi oleh Kheng Siu-hong.
Setelah membuka kerudung pengantinnya, Kang Hiau-hu
lantas bercanda dengan kedua Sutenya, katanya, "Susiok cilik,


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

j^ukur kau datang sehingga mereka mau bergembira seperti
sekarang ini. Kau tidak tahu, mereka sepanjang hari terus
murung saja."
Kim Tiok-liu berlagak heran dan bertanya, "Kenapa begitu"
Wah, jika demikian kalian ini salah. Hari bahagia Suheng dan
Sucimu mengapa kalian merasa murung?"
"Mungkin Susiok cilik tidak tahu, justru karena pernikahan
Suheng dan Suci mereka hari ini, maka mereka menjadi iri
karena tidak tahu bilakah baru mereka mendapat giliran," sela
Kheng Siu-hong dengan tertawa.
"Ah, Susiok cilik, jangan kau percaya kepada ocehan
mereka," kata Kong-he dan To-kan berbareng dengan muka
merah. "Ocehan apa" Kalian berani bilang tidak merindukan
jantung hatimu?" tanya Hiau-hu.
"Eh, usia kalian masih kecil sudah punya jantung hati
segala?" ujar Tiok-liu tertawa.
"Kecil apa" Yang satu sudah 19 tahun dan yang lain 18
tahun," tutur Hiau-hu. "Jantung hati Li-sute adalah putri Tiok
Siang-hu, maha guru ilmu silat yang terkemuka. Dan jantung
hati Lim-sute adalah putri Siangkoan Thay, penguasa puncak
Thian-tju-hong yang terkenal itu. Maksud ayah sebenarnya
hendak menetapkan perjodohan mereka pada hari ini juga,
cuma sayang sampai saat ini orang-orang dari kedua keluarga
masih belum nampak datang."
Selanjutnya Kheng Siu-hong lantas memberi penjelasan,
"Tiok Siang-hu dan Siangkoan Thay berdua Lotjianpwe
mempunyai hubungan sangat baik dengan Suhu, kartu
undangan kita * sudah dikirim dua bulan yang lalu kepada
mereka, seharusnya hari ini mereka ayah dan anak sudah
mesti tiba di sini. Suhu sudah siap menanti kedatangan
mereka dan akan meminang serta menetapkan perjodohan Li
dan Lim-sute berdua sehingga pesta yang sudah meriah akan
tambah semarak. Tapi meski sudah ditunggu sampai saat ini,
orang-orang kedua keluarga itu masih belum nampak datang,
sebab itulah Lim dan Li-sute menjadi murung." Karena isi hati
mereka dengan jitu kena dikorek, wajah Kong-he dan To-kan
tambah merah dan tak bisa bersuara.
"Hari ini sudah petang, agaknya mereka takkan datang.
Cuma kalian juga tidak perlu terburu-buru, orang Kangouw
sering kali banyak urusan, kalau datang terlambat sehari dua
hari adalah kejadian biasa. Besok mereka tentu akan muncul,"
demikian kata Hiau-hu tertawa.
Memang di dalam batin Kong-he dan To-kan sama heran
mengapa Tiok Siang-hu dan Siangkoan Thay masih belum
tiba, hati berpikir dengan sendirinya lantas kentara pada sikap
mereka. Dengan tertawa Kheng Siu-hong lantas menggoda lagi,
"Kenapa kalian kuatir" Apa kuatir anak dara yang sudah di
tangan itu akan terbang lagi" Meski perjodohan kalian belum
ditetapkan, tapi secara ddak resmi perjodohan kalian sudah
terikat. Tiok Djing-hoa mendapatkan Li-sute dan Siangkoan
Wan mendapat Lim-sute, orang tua kedua pihak sudah samasama
setuju pula. Eh, kalau kalian tetap ddak sabaran, biarlah
aku keluar sana untuk pasang mata bagi kalian, sebentar bila
mereka datang segera aku akan memberi kabar baik
padamu." Belum selesai ucapannya, tampak Yap Boh-hoa masuk dan
memberi tahu, "Siangkoan-lotjianpwe sudah datang."
"Nah, itu dia, kau dengar tidak Lim-sute" Hayo, kenapa
tidak lekas keluar menyambut kedatangan bakal mertua?"
seru Kheng Siu-hong dengan tertawa.
Tapi ketika dilihatnya wajah Yap Boh-hoa tiada tanda-tanda
merasa girang, mendadak Kheng Siu-hong menyadari sesuatu,
tanyanya cepat, "He, apakah cuma Siangkoan-tjianpwe sendiri
yang datang?"
"Ya, kenapa ayah dan anak keluarga Tiok tidak datang"
Dan bagaimana dengan Siangkoan Wan, mestinya dia kan ikut
datang bersama ayahnya?" sela Hiau-hu.
"Tidak," sahut Boh-hoa. "Siangkoan Wan juga tidak datang,
hanya ayahnya saja yang datang sendiri. Siangkoan-cian-pwe,
dia.....dia....."
"Dia kenapa?" tanya To-kan tak sabar.
"Sssst," tiba-tiba Boh-hoa mendesis. "Suhu sudah datang
bersama Siangkoan-tjianpwe, kau tak perlu keluar lagi.
Sebentar tentu kau akan jelas persoalannya."
Bahwasanya tuan rumah mengiringi seorang tamu masuk
ke ruang belakang adalah sesuatu yang jarang terjadi.
Sekalipun Siangkoan Thay sudah akan berbesanan dengan
Kang Hay-thian, yaitu putrinya akan menjadi istri murid Haythian,
tapi di luar sana masih banyak pula kawan-kawan Bulim,
padahal Siangkoan Thay baru saja tiba, ia tidak beramahtamah
dulu dengan teman-teman Bu-lim yang lain dan terus
dibawa masuk ke dalam oleh Kang Hay-thian, betapapun hal
ini rada luar biasa.
Diam-diam Lim To-kan juga merasakan gelagat yang tidak
enak. Dalam pada itu terlihat Siangkoan Thay sudah masuk
bersama Kang Hay-thian. Wajah Siangkoan Thay kelihatan
pucat kuning seperti orang habis sakit berat dan belum lagi
sembuh betul. Keruan To-kan terperanjat, lekas ia melangkah
maju memberi hormat.
Lalu Kang Hay-thian memperkenalkan mereka, "Ini adalah
Suteku Kim Tiok-liu. Tentunya kalian belum saling kenal. Nah,
sekarang yarg berada di sini adalah orang sendiri, rasanya
bolehlah Singkonn-tjianpwe menerangkan. Cuma apakah
engkau perlu mengaso saja dahulu?"
Baru sekarang To-kan mengetahui bahwa Siangkoan Thay
ada urusan penting yang harus diberitahukan kepada gurunya,
karena tidak enak bicara di depan para tamu, maka gurunya
telah membawanya masuk ke ruang belakang.
Dengan tersenyum getir kemudian Siangkoan Thay berkata,
"Aku tidak apa-apa, lukaku tidak berat hanya perjalanan jauh
berhari-hari telah melelahkan aku."
"Siapakah yang melukai engkau, paman Siangkoan?" tanya
To-kan kuatir. "Tentang ini akan kuceritakan nanti, sekarang aku ingin
bercerita tentang diri Tiok-toako," kata Siangkoan Thay.
"Ya, ada urusan apakah sehingga Tiok-lotjianpwe tak dapat
datang kemari?" tanya Kang Hay-thian.
"Sungguh malang, Tiok-toako, dia.....dia telah mengalami
kecelakaan," tutur Singkoan Thay sambil menghela napas.
Ucapannya ini bukan saja membikin kaget Lim To-kan dan
lain-lain bahkan Kang Hay-thian juga terkejut. Cepat ia
bertanya, "Tiok-lotjianpwe mengalami kecelakaan apa?"
"Ia diserang orang secara gelap dan terluka parah," tutur
Siangkoan Thay.
Mendengar Tiok Siang-hu cuma terluka parah dan masih
hidup, barulah Kang Hay-thian merasa lega. Tapi tidak urung
ia pun terperanjat dan kualir.
Maklumlah Tiok Siang-hu adalah maha guru ilmu silat yang
diakui oleh dunia persilatan cuma di bawah Kang Hay-thian
saja, jadi boleh dianggap jago nomor dua di dunia ini.
Sekalipun diserang secara gelap, namun penyergap itu mampu
melukainya benar-benar suatu hal yang tidak mudah.
"Siapakah penyerang itu dan dengan cara bagaimana dia
melukai Tiok-lotjianpwe?" tanya Hay-thian pula. Menurut
perkiraannya penyergap itu pasti gembong iblis dari dunia
persilatan. Siapa tahu keterangan Siangkoan Thay selanjurnya
sama sekali di luar dugaannya.
"Sesudah Tiok-toako menduduki kota Sedjiang," tutur
Siangkoan Thay lebih lanjut. "Dari berbagai penjuru telah
datang tidak sedikit para ksatria yang menggabungkan diri
dengan, beliau. Suatu hari datang seorang laki-laki yang
mengaku dari Kengciu, namanya Swe Beng-hiong, usianya
kira-kira baru 40-an tahun. Kang-tayhiap, nama orang ini
pernah kau dengar atau tfdak?"
Kang Hay-thian mengerut kening, jawabnya, "Belum
pernah. Apakah dia yang melukai Tiok-lotjianpwe?"
Siangkoan Thay memanggut, katanya, "Sesudah orang itu
datang, dia bicara tentang ilmu silat dengan Tiok-toako dan
satu sama lain tampak sangat cocok. Dia tidak ikut masuk
dalam pasukan pergerakan Tiok-toako, tapi hanya
berhubungan dengan beliau secara sahabat karib, kira-kira
setiap bulan sekali dia suka berkunjung kepada Tiok-toako."
Diam-diam Kang Hay-thian berpikir, "Tiok Siang-hu juga
terlalu gegabah, mana boleh membiarkan seorang yang baru
di-kenal dan belum diketahui asal-usulnya masuk keluar di
dalam pasukannya?"
Sementara itu Siangkoan Thay menyambung, "Kira-kira
[hampir dua tahun Tiok-toako bergaul dengan orang itu dan
selamanya tidak menaruh curiga apa-apa kepadanya. Orang
itu pu-fca-pura menyukai orang kosen yang menjauhkan diri
dari per-gaulan, yang dia bicarakan dengan Tiok-toako selalu
mengenai macam-macam persoalan ilmu silat yang sukar
dipecahkan, selama itu tidak pernah ia menyinggung soal-soal
lain. Tiok-toako juga sangat menghargai dia dan menganggap
pengetahuan ilmu silatnya dapat dimasukkan di dalam lima
tokoh terkemuka pada paman ini. Justru karena pergaulan
mereka selama dua tahun ini tanpa terjadi sesuatu apapun,
maka Tiok-toako dengan mudah dapat diserang olehnya tanpa
menduga sebelumnya."
"Cara bagaimana dia membokong Tiok-lotjianpwe?" tanya
Kang Hay-thian.
"Pada hari kejadian itu, kami ayah dan anak kebetulan
bernada di Sedjiang, yaitu tepat pada hari kami menerima
kartu un-jdanganmu," tutur Siangkoan Thay pula. "Tiok-toako
dan Swe Beng-Hiong itu sedang bicara tentang ilmu silat lagi.
Swe Beng-hiong berkata, 'Sedap orang sama mengatakan ilmu
silat Kang-tayhiap nomor satu di dunia ini, apakah Tiok-toako
pernah bertanding dengan dia"', kemudian Tiok-toako
menjawab, 'Belum pernah bertanding secara resmi, cuma
pernah saling gebrak satu kali. Waktu itu aku sedang
mengadu Lwekang dengan Tay-pi Siansu dari Siau-lim-si,
kejadian itu di puncak Bin-san, tapi |SKang-tayhiap telah
memisahkan kami dan tenaga kami berdua pama memukul di
atas badannya, tapi dia sanggup bertahan. Dari sini dapatlah
dinilai bahwa ilmu silatnya sedikitnya masih satu tingkat lebih
tinggi daripadaku.'."
"Maka Swe Beng-hiong menghela napas gegetun dan
berkata, 'Ai, di dunia ini ternyata ada orang kosen sedemikian
hebatnya, sungguh sayang aku tidak punya rezeki untuk
berkenalan dengan dia.'. Dengan tertawa Tiok-toako berkata,
'Kang-taybiap suka mengasingkan diri dan menyepi, biarpun
kau bertemu dengan dia juga sekali-sekali dia takkan menguji
ilmu silat dengan kau.'. Tiba-tiba Swe Beng-hiong berkata,
'Kita sudah terlalu banyak bicara tentang ilmu silat, tapi
selamanya kita tak pernah mencobanya, bagaimana kalau
sekarang kita menjajalnya" Aku tidak punya rezeki buat
bertemu dengan jago nomor satu di dunia ini, sedikitnya citacitaku
setengahnya sudah terkabul bila dapat belajar kenal
kepandaian jago nomor dua.'."
Pada umumnya tokoh-persilatan sekali-sekali tidak mudah
mau bertanding dengan orang, biarpun mencoba-coba saja
juga jarang terjadi. Diam-diam Kang Hay-thian heran, jika Tiok
Siang-hu tidak menganggap orang she Swe itu sebagai
sahabat karib, pasti sekali-sekali tidak mau mencoba ilmu silat
dengan dia. Rupanya orang itu telah bersabar selama dua
tahun untuk memikat kepercayaan Tiok Siang-hu padanya,
usahanya itu boleh dikata usaha jangka panjang secara rapi.
Terdengar Siangkoan Thay melanjutkan lagi, "Sedikitpun
Tiok-toako tidak menaruh curiga apa-apa padanya, hari itu
kebetulan Tiok-toako sedang senang hati maka tanpa pikir ia
lantas menerima ajakan Swe Beng-hiong itu. Kedua orang
lantas bergebrak di tengah pekarangan. Gerak serangan orang
itu sangat aneh, aku sendiri tidak tahu dia dari aliran atau
golongan mana. Kira-kira ada 30-an jurus mereka bertanding,
ketika akhirnya Tiok-toako berhasil mengunci serangan 'Thaydjiu-
hoat' (gerak memotong) orang she Swe itu dengan 'Imyang-
siang-tjiong-tjiang' (kedua telapak tangan bersilang
secara berlawanan), lalu katanya dengan tertawa, 'Sebutan
jago nomor dua di dunia ini aku tidak berani menerimanya,
cuma aku lebih tua beberapa tahun darimu dan kekuatanmu
sedikit lebih tinggi saja.'."
"Dengan rendah hati Swe Beng-hiong menjawab, 'Benar,
aku terima mengaku kalah.'. Sambil bergelak tertawa Tioktoako
pelahan-lahan lantas menarik kembali tenaga
pukulannya, katanya, 'Gerak seranganmu sesungguhnya
sangat bagus, cuma sayang tidak banyak kembangannya,
kalau tidak, tentu aku sukar mematahkan seranganmu tadi.'.
Di luar dugaan, pada saat itulah mendadak Swe Beng-hiong
berseru, 'Apakah benar begitu" Tapi jurus seranganku ini
masih ada perubahannya!'. Dan sekonyong-konyong
terdengarlah 'biang' yang keras, tahu-tahu Tiok-toako telah
dihantam terjungkal.'."
"Sungguh aneh, kekuatan Tiok-pepek jauh leibh tinggi dari
dia, kenapa malah kena dihantam terjungkal?" tanya Kong-he
heran. "Pertandingan di antara jago-jago yang kekuatannya
seimbang, ketika menarik kembali tenaga serangan harus
dilakukan dengan pe lahan agar supaya tidak melukai diri
sendiri," tutur Hay-thian. "Bisa jadi lantaran Tiok-lotjianpwe
sudah mendengar orang she Swe itu menyatakan 'mengaku
kalah', maka sama sekali ia tidak siap siaga lagi. Sebaliknya
keparat itu lantas mengerahkan segenap tenaganya ketika
Tiok-lotjianpwe menarik kembali tenaganya, jadi dua arus
tenaga sekaligus menghantam ke arah Tiok-lotjianpwe, tentu
saja beliau tak tahan dan terluka parah."
"Memang begitulah yang terjadi," kata Siangkoan Thay.
"Tatkala itu Tiok-toako menggerung keras dan membentak,
'Bagus.....kau!'. Cepat ia berdiri kembali terus melancarkan
satu pukulan dari jauh. Kini sikap Swe Beng-hiong berubah 180
derajat, dengan tertawa dingin ia berkata, 'Sudah tentu aku
bagus, sebaliknya kau yang bakal tidak bagus! Jika kau ingin
mampus lebih cepat boleh silakan kau bertempur lagi dengan
aku.'." "Ai, rupanya Tiok-lotjianpwe terburu-buru ingin menuntut
balas, padahal saat mana tidak boleh lagi dia mengerahkan
tenaga dalam, sebab akibatnya pasti akan menambah parah
lukanya," ujar Hay-thian dengan gegetun.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dugaan Kang-tayhiap memang tidak salah, setelah
menyerang kembali, tubuhnya sempoyongan dan akhirnya
roboh lagi. Tapi Swe Beng-hiong itupun terhuyung-huyung
mundur dan hampir jatuh terkena pukulan Tiok-toako tadi.
Cepat aku memburu maju dengan maksud hendak menawan
dia. Tapi, ai, sungguh memalukan....."
Kepandaian Siangkoan Thay masih jauh di bawah Tiok
Siang-hu, tak usah ditanya lebih lanjut juga Kang Hay-thian
dapat mengetahui bagaimana hasil pertarungannya dengan
Swe Beng-hiong. Maka ia coba menghiburnya, "Kalah atau
menang adalah kejadian biasa di medan pertempuran. Biarpun
jago terkemuka dunia persilatan juga tiada seorang pun yang
takkan terkalahkan selama hidupnya, maka Siangkoantjianpwe
juga tidak perlu menyesal."
"Aku merasa malu karena keparat she Swe itu sudah
terkena satu pukulan Tiok-toako, tapi aku toh masih tak
sanggup melawannya," kata Siangkoan Thay. "Ya, mungkin
kalau dia tidak terkena dulu pukulan Tiok-toako itu pasti
akulah yang ter-luka parah kalau jiwaku tidak melayang."
"Kau telah bergebrak dengan dia, apakah kau dapat
meraba dari aliran manakah ilmu silat orang she Swe itu?"
tanya Kang Hay-thian.
"Waktu kedua tangan beradu, aku merasa telapak
tangannya sangat panas seperti besi terbakar, rasanya lebih
lihai daripada Lui-sin-tjiang yang diandalkan Auwyang Pek-ho
itu. Entah orang dari aliran apakah dia itu?" demikian jawab
Siangkoan Thay.
"Orang yang memiliki tenaga pukulan panas berbisa dan
lebih lihai daripada Lui-sin-tjiang-nya Auwyang Pek-ho,
rasanya cuma ilmu silat dari golongan iblis angkatan tua Djiksin-
tiu," ujar Hay-thian. "Bisa jadi keparat she Swe itu adalah
ahli waris Djik-sin-tju."
Djik-sin-tju adalah gembong iblis yang sangat ditakuti pada
zaman Kim Si-ih, usianya jauh lebih tua dari Si-ih. Pada 30
tahun yang lalu, ia hendak mencari sejenis rumput obat di
puncak Tjumulangma, puncak tertinggi di pegunungan
Himalaya. Lantaran tidak tahan hawa dingin membeku,
akhirnya ia mati terhanyut di sungai es 'atap dunia' itu.
"Sudahlah, sementara ini kita tak perlu mengurus siapakah
dia, yang penting adalah keselamatan Tiok-lotjianpwe,
bagaimana keadaannya?" kata Kang Hay-thian kemudian.
"Keadaan Tiok-toako sangat parah, untung Lwekangnya
sangat kuat sehingga tak membahayakan jiwanya," sahut
Siangkoan Thay. "Tapi terpaksa ia harus berbaring saja di
tempat tidurnya dan tak dapat berjalan."
"Mengapa tanpa sebab keparat she Swe itu melukai Tiokpepek"
Apakah asal-usulnya telah dapat diketahui?" sela
Kong-he. "Semula kita tidak tahu, tapi beberapa hari kemudian
menjadi jelas," tutur Siangkoan Thay. "Ternyata keparat itu
memang sengaja hendak mencelakai Tiok-toako, di dalam
persoalan ini terkandung suatu intrik keji dan tidak cuma
urusan dendam pribadi saja."
"Kemudian terjadi urusan apa lagi?" tanya Hay-thian.
"Tiga hari kemudian pasukan kerajaan lantas melakukan
serangan secara habis-habisan," tutur Siangkoan Thay.
"Karena Tiok-toako dalam keadaan sakit, semangat pasukan
kita menjadi banyak terpengaruh, akibatnya Sedjiang kembali
kena direbut oleh musuh. Anak buah Tiok-toako tidak sedikit
yang menjadi korban dan kini seluruhnya mengundurkan diri
ke Tay-liang-san, mungkin dalam waktu singkat sukar untuk
dipulihkan kembali kekuatannya."
"Siangkoan-tjianpwe," kata Hay-thian. "Selama dalam
perjalanan jauh ini, tampaknya engkau juga merasa kurang
sehat, bukan?"
"Penglihatan Kang-tayhiap tidak salah," sahut Siangkoan
Thay dengan tersenyum getir. "Pukulan keparat she Swe itu
benar-benar lihai sehingga meninggalkan penyakit di atas
tubuhku. Lantaran buru-buru hendak menyampaikan berita ke
sini, aku pernah menggunakan Lwekang untuk mendesak
keluar rasa panas berbisa pukulan itu, tapi sisa bisa masih
belum bersih dan menggumpal di bagian dengkul sehingga
rasanya seperti retak.
Cuma lukaku ini tidak penting, paling-paling sebelah kakiku
saja menjadi cacat. Sebaliknya luka dalam Tiok-toako yang
perlu lekas diobati, kalau tidak, besar kemungkinan segenap
ilmu silatnya itu akan punah. Kang-tayhiap, engkau
mempunyai hubungan baik dengan Siau-lim-si, Tiok-toako
juga pernah berkenalan dengan ketua Siau-lim-si di atas Binsan,
apakah engkau sudi memohonkan dua biji Siau-hoan-tan
yang mujizat kepada Tay-pi Siansu."
Siau-hoan-tan adalah obat mujarab untuk menyembuhkan
luka dalam, dengan obat itu ditambah lagi Lwekang Tiok
Siang-hu sendiri yang tinggi tentu lukanya akan cepat
disembuhkan. "Soal ini tidak sulit, hanya saja mesti makan tempo;' ujar
Kang Hay-thian. "Sebaliknya lukamu meski tidak parah, tapi
obat yang tepat justru sukar diketemukan sekarang. Aku
masih sedia Pik-ling-tan yang dapat membersihkan sisa racun
dalam tubuhmu itu, tapi masih diperlukan obat baik untuk
memulihkan otot tulang dengkulmu barulah penyakitnya dapat
disembuhkan benar-benar. Sekarang silakan engkau tinggal
dulu di sini, aku tentu akan berdaya upaya mencarikan obat
bagimu." "Rasanya tidak boleh membuang waktu terlalu lama lagi,"
sahut Siangkoan Thay sambil mengerut kening. "Aku tidak
penting, yang kukuatirkan adalah keadaan Tiok-toako."
"Habis bagaimana" Untuk pulang pergi ke Siau-lim-si
sedikitnya juga diperlukan waktu sepuluh hari sampai
setengah bulan," ujar Hay-thian.
"Jangan kuatir, Suheng," tiba-tiba Tiok-liu menanggapi
dengan tertawa. "Kedua macam obat yang diperlukan
Siangkoan-tjianpwe itu sekarang juga ada padaku."
"Hah, kau punya?" seru Siangkoan Thay kegirangan
dengan nada ragu-ragu pula. Soalnya dia melihat usia Kim
Tiok-liu masih sangat muda sehingga tidak percaya penuh
kepada apa yang diucapkannya.
Kim Tiok-liu lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil dan
membukanya, katanya, "Tiga biji Siau-hoan-tan ini adalah
pemberian Ki-pepek."
Siangkoan Thay terkejut, tanyanya heran, "Apakah Kipepek
yang kau maksudkan itu adalah si copet Ki Hiau-hong
yang termashur pada 30 tahun yang lampau?"
"Benar, memang dia," sela Kang Hay-thian. "Guruku dan
Ki-lotjianpwe tinggal bersama di Hwe-soa-to yang pernah didikami
Kiau Pak-beng dahulu. Sute baru saja pulang kemari atas
perintah guruku."
Baru sekarang Siangkoan Thay tahu bahwa Kim Tiok-liu
adalah putra Kim Si-ih, sudah tentu ia lantas memberi
penilaian lain.
"Siau-hoan-tan ini dicuri dari Siau-lim-si oleh Ki-pepek pada
30 tahun yang lalu, entah masih dapat digunakan tidak?" kata
pula Tiok-liu dengan tertawa.
"Siau-hoan-tan itu tak bisa rusak, biar lewat seratus tahun
juga masih bisa digunakan," ujar Siangkoan Thay. "Meski
keadaan Tiok-toako cukup parah, tapi dua biji Siau-hoan-tan
juga sudah cukup. Sisa satu biji lagi boleh kau simpan saja."
Menyusul Kim Tiok-liu mengeluarkan lagi sebuah botol
porselen kecil, katanya, "Ini baru saja kusambar dari saku Bun
|To-tjeng, isinya adalah Siok-toan-ko. Menurut cerita ayahku,
katanya Siok-toan-ko buatan keluarga Bun ini sangat mustajab
untuk sambung menyambung tulang dan jauh lebih bagus
daripada obat sejenis yang lain."
"Banyak terima kasih atas pemberian obatmu ini, Kimsiauhiap,"
kata Siangkoan Thay kemudian. "Entah cara bagaimana
aku harus membalas budi kebaikanmu ini."
"Terima kasih apa, obat-obat ini hasil curian dari orang
lapi," sahut Kim Tiok-liu dengan tertawa.
"Baiklah, Kim-siauhiap suka berterus terang, maka aku pun
tidak sungkan-sungkan lagi untuk menerimanya. Kapan-kapan
jika engkau mampir ke Tay-Iiang-san, biarlah aku dan Tioktoako
akan sekadar memenuhi kewajiban sebagai tuan
rumah," kata Siangkoan Thay.
"Aku pasti akan pergi mengunjungi Tiok-lotjianpwe, cuma
waktunya mungkin harus setengah tahun lagi," sahut Kim
Tiok-liu. Tiok Siang-hu dan Siangkoan Thay adalah tokoh yang tegas
membedakan budi dan dendam, lebih-lebih Tiok Siang-hu,
sebagai seorang maha guru ilmu silat dia tidak gampang
menerima kebaikan orang lain. Sebab itulah kelak Kim Tiok-liu
akan banyak memperoleh balas jasa dari dia.
Setelah menyatakan terima kasihnya kepada Kim Tiok-liu,
kemudian Siangkoan Thay berkata pula kepada Kang Haythian,
"Kang-tayhiap, masih ada dua persoalan yang akan
kurunding-kan dengan engkau."
Kang Hay-thian sudah dapat menduga beberapa bagian
persoalan apa yang dimaksudkan Siangkoan Thay itu, maka
dengan tertawa ia berkata, "He-ji, dan Kan-ji, kalian boleh
duduk lebih dekat ke sini untuk ikut mendengarkan."
Maka bicaralah Siangkoan Thay, "Kali ini mestinya aku akan
membawa serta anak Wan ke sini, tapi Tiok-toako telah
mengalami cidera yang di luar dugaan, Djing-hoa harus
merawat ayahnya, terpaksa aku pun berangkat kemari
sendirian."
"Ah, usia mereka toh masih terlalu muda, tidaklah menjadi
soal bila pertunangan mereka ditangguhkan sedikit waktu
lagi," ujar Kang Hay-thian.
"Sebenarnya Tiok-toako juga sangat memikirkan Kong-he,
dia mempunyai maksud agar aku membawa Kong-he dan Tokan
ke sana, kelak mereka boleh menikah saja di sana, entah
bagaimana pendapat Kang-tayhiap?"
"Usulmu sungguh sangat baik, memangnya aku ada
maksud menggembleng mereka di tengah pasukan Tioklotjianpwe,"
sahut Hay-thian.
Keruan dalam hati Kong-he dan To-kan girang tak terkatakan,
memangnya mereka sudah terlalu merindukan kekasih
masing-masing, yang seorang merindukan Tiok Djing-hoa dan
yang lain merindukan Siangkoan Wan.
"Menantu adalah seperti putra sendiri, tidaklah menjadi so-i
al jika mereka ikut kepada sang mertua," kata Kok Tiong-lian
dengan tertawa. "Cuma kedua murid ini sudah sekian lamanya
| berkumpul dengan kami, sungguh rasanya sangat berat jika
mendadak mesti berpisah."
"Haha, Kang-hudjin, malahan kami masih ingin pinjam la-,
gi seorang muridmu," seru Siangkoan Thay.
"Ya, soal kedua apakah yang akan kau rundingkan dengan
aku?" tanya Hay-thian.
"Soal ini adalah urusan dinas," kata Siangkoan Thay
dengan air muka prihatin. "Sedjiang dan Siau-kim-djwan
masih saling bantu membantu meski kedua tempat terputus
oleh rin-Ltangan pasukan musuh. Setelah Tiok-toako terluka
dan Sedjiang jatuh kembali di tangan musuh, selain Tioktoako
terpaksa masuk gunung lagi untuk mempertahankan
diri, juga situasi Siau-Ikim-djwan ikut genting pula. Saat ini
yang paling kita butuhkan .adalah seorang ahli yang berbakat
memimpin pasukan sebagai ganti Tiok-toako. Leng Tiat-djiau
dari Siau-kim-djwan pernah I mengirim utusan dan minta kita
dapat mengusahakan suatu seorangan kilat untuk
memperbaiki situasi yang tidak menguntungkan kita ini,
mereka malahan mengemukakan calon pimpinan yang tepat.
Untuk ini, Kang-tayhiap, tentu kau sudah tahu siapakah yang
mereka usulkan itu."
"O, jadi kalian telah penujui Boh-hoa," ujar Hay-thian
tertawa. Seperti diketahui, tiga tahun yang lalu Yap Boh-hoa pernah
penjadi pimpinan pemberontak yang bekerja sama rapat
dengan Leng Tiat-djiau (dalam cerita Geger Dunia Persilatan).
Jika sebarang dia yang menggantikan Tiok Siang-hu memang
benar-benar suatu pilihan yang tepat.
Maka tanpa ragu-ragu Siangkoan Thay lantas
membenarkan. Kapan kau akan kembali ke sana?" tanya Hay-thian. Kukira
besok juga aku mesti berangkat," sahut Siangkoan Thay.
"Kau datang dari jauh, seharusnya kau tinggal beberapa
hari lagi. Tapi di sana Tiok-lotjianpwe tentu sedang
menantikan kepulanganmu, maka aku pun tak menahan kau
lagi," kata Kang Hay-thian. "Nah, Boh-hoa, Siu-hong, kalian
suami istri malam ini juga boleh bebenah seperlunya agar
besok pagi lantas ikut berangkat bersama Siangkoanlotjianpwe.
Kedua Sutemu yang masih muda itu selanjutnya
adalah kewajibanmu untuk mengawasinya."
Boh-hoa dan Siu-hong sama mengiakan, lalu
mengundurkan diri lebih dulu.
"Karena pernikahan putriku ini, sehingga banyak
kedatangan tamu, mungkin aku mesti sibuk beberapa hari lagi
dan besok tak dapat berangkat bersama kalian," kata Kang
Hay-thian lebih lanjut
"Kau mengijinkan kepergian ketiga orang muridmu, hal ini
saja sudah membuatku merasa sangat berterima kasih," sahut
Siangkoan Thay.
"Tiok-lotjianpwe terluka, seharusnya aku ikut pergi
menjenguk beliau," kata Hay-thian pula. "Kukira sebelum akhir
tahun ini aku akan dapat datang ke Tay-liang-san sana."
Menurut rencana Kang Hay-thian, ia akan melewatkan
pergantian tahun di rumah Tiok Siang-hu, dari sana kemudian
dia akan menuju ke kotanya untuk memenuhi perintah
gurunya, yaitu untuk menemui tokoh yang dirahasiakan itu
pada hari Goan-siau (Tjap-go-meh).
Setelah mengadakan perjanjian dengan Siangkoan Thay,
lalu Hay-thian menyuruh To-kan membawa calon mertuanya
itu masuk kamar untuk mengaso. Kong-he juga lantas
mengundurkan diri. Hanya tertinggal Kim Tiok-liu saja yang
masih diajak bicara.
"Sute, bagaimana pula dengan langkahmu selanjutnya?"
tanya Hay-thian kemudian.
"Aku bermaksud menjelajahi Kangouw sekalian menjenguk
beberapa teman ayah," sahut Tiok-liu.
"Baik. Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang sudah
jarang ada tandingannya lagi sehingga tidak perlu aku
memikirkan kau. Cuma hendaklah diingat betul jangan sekalikali


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pamer atas kepandaianmu itu."
Sekarang Kim Tiok-liu benar-benar rada hormat dan segan
kepada Suhengnya itu, jawabnya, "Siaute akan ingat baik-baik
petuah Suheng."
"Dan kapan kau akan berangkat?"
"Aku pikir akan berangkat bersama Tjin Goan-ko. Mungkin
besok." "Mengapa mesti tergesa-gesa" Di sini masih banyak kawankawan
Bu-lim, tiada jeleknya kau belajar kenal dengan
mereka. Memangnya aku pun bermaksud menahan Tjin Goanko
| untuk tinggal sehari dua hari lagi agar dia bisa bergaul
lebih banyak dengan sesama angkatan muda."
Tiok-lir tidak berani menceritakan urusan pribadi Goan-ko
kepada sang Suheng, ia pikir Hong Tju-tjiau tentu tak sampai
hati membikin susah putrinya sendiri, biar terlambat sehari
dua hari rasanya Goan-ko masih dapat mencari nona itu. Maka
ia lantas menerima baik usul Kang Hay-thian itu dan hendak
pergi memberitahukan kepada Goan-ko.
"Nanti dulu, aku masih ingin bertanya sesuatu padamu,"
kata Hay-thian. "Suhu menyuruh aku pergi menemui
seseorang di Pit-mo-khe di kotaraja pada hari Tjap-go-meh
yang akan datang, apakah kau mengetahui urusan ini?"
"Ayah tidak pernah menceritakan soal ini kepadaku." "Pada
hari Goan-siau tahun depan, bila kau sempat boleh juga kita
bertemu lagi di kotaraja," kata Hay-thian pula. Ia pikir orang
yang disuruh menemui di kotaraja menurut perinlah gurunya
itu tentu tiada halangannya diketahui sang Sute, maka ia
menjanjikan pertemuan lagi dengan Sutenya di sana.
Dasar watak Kim Tiok-liu memang suka bergerak dan
senang keramaian, ia tidak tahu orang macam apakah yang
akan ditemui oleh sang Suheng atas perintah ayahnya,
lantaran ingin tahu, maka dengan senang hati ia menyanggupi
akan datang ke kotanya pada waktunya.
Malam itu Kim Tiok-liu tidur sekamar dengan Goan-ko dan
memberitahukan maksud Kang Hay-thian yang minta mereka
tinggal lagi sehari dua hari itu. Memangnya kedatangan Tjin
Goan-ko yang mewakili gurunya itu ialah agar Goan-ko
menggunakan kesempatan baik ini untuk berkenalan dengan
kawan-kawan Bu-lim, apalagi tuan rumah menahannya
dengan sesungguh hati, maka terpaksa ia menerima juga
biarpun dalam hati sebenarnya sangat merindukan Hong Biausiang.
Siok-toan-ko hasil copetan Tiok-liu dari saku Bun To-tjeng
itu ternyata sangat manjur, besok paginya dengkul Siangkoan
Thay sudah merasa kuat, sisa racun juga telah dipunahkan
hingga bersih. Segera ia berangkat bersama Yap Boh-hoa
suami istri serta Kong-he dan To-kan.
It-yang-cu, Tiong Tiang-thong dan tokoh-tokoh lain
berturut-turut juga mohon diri kepada Kang Hay-thian.
Pada hari ketiga Kim Tiok-liu dan Tjin Goan-ko baru
berangkat. Dengan cepat malamnya mereka telah sampai di
lereng Tji-lay-san.
"Harap kau suka mengintai sejenak rumah keluarga Hong
itu, asalkan tahu keadaan nona Hong tidak kurang apa-apa,
maka cukuplah sudah," kata Goan-ko.
"Tidak, tidak bisa," sahut Kim Tiok-liu tertawa. "Dengan
maksud baik si nona mengharapkan kau, mana boleh kau
malah tidak mau pergi menemui dia lagi."
Muka Goan-ko menjadi merah, katanya, "Macam apa
jadinya jika aku mendatangi dia secara begini. Kan tidak enak
rasanya." "Hahaha!" Tiok-liu bergelak tertawa. "Sungguh aneh, kau
bocah ini tidak berani pergi sendiri, tapi suruh aku mewakilkan
kau, lalu terhitung macam apa jadinya nanti" Perbuatan
seorang laki-laki sejati harus berani blak-blakan tanpa tedeng
aling-aling, kalau mau pergi hendaklah pergi secara terangterangan,
kenapa mesti takut?"
"Habis cara bagaimana aku harus bicara dengan Hong Tju-
"iau?" ujar Goan-ko.
"Adalah berkat kau sehingga sekali ini Hong Tju-tjiau tidak
mengalami nasib seperti Bun To-tjeng. Jika dia mempunyai
perasaan, tentu dia akan menganggap kau sebagai tuan
penolongnya dan harus mengucapkan terima kasih padamu,
masakah kau malah takut menemui dia" Baiklah, mungkin kau
merasa tidak punya alasan untuk pergi ke rumahnya bukan"
Mari, kau ikut aku saja, nanti aku yang bicara."
"Ini, ini....." Goan-ko masih ragu-ragu. Kalau watak Kim
Tiok-liu tidak kenal rikuh segala, adalah Goan-ko sendiri
yang merasa kikuk.
Maka sebelum dia bicara lebih lanjut, Kim Tiok-liu sudah
lantas menyeretnya sampai di depan pintu rumah Hong Tjutjiau,
dengan suara keras ia lantas berteriak, "Hai, kawanku
telah minum arakmu yang sangat enak itu, aku menjadi
ketagihan dan ingin minta bagian satu cawan padamu. Tjin
Goan-ko sudah kalian jamu, sekarang kami datang lagi tentu
takkan kau tolak bukan?"
Yang digunakan Tiok-liu adalah ilmu 'Thoan-im-djip-bit'
(mengirimkan gelombang suara) sehingga bila di dalam rumah
ada orang pasti akan mendengar semua. Akan tetapi aneh,
ternyata tiada sesuatu jawaban dari dalam.
Kim Tiok-liu tertawa, serunya lagi, "Kalian mau meladeni
atau tidak, sekali aku sudah datang sudah pasti akan minum.
Jika kau tidak membuka pintu masakah aku sendiri tak bisa
masuk?" Baru saja Goan-ko hendak mencegah, tahu-tahu badannya
terasa enteng, dia telah diseret oleh Kim Tiok-liu dan
melayang lewat pagar tembok.
Sebenarnya Kim Tiok-liu sudah siap siaga bila diserang, lapi
di luar dugaan, di dalam rumah ternyata tiada bayangan
seorang pun. Waktu Tiok-liu pasang kuping, juga tiada
sesuatu suara yang terdengar. Ketika diperiksa, terlihat di
pekarangan situ ada bekas telapak kaki yang banyak.
Tiok-liu mengerut kening, katanya, "Melihat keadaannya,
mungkin mereka sudah pergi semua. Cuma, sekali sudah
datang marilah coba kita melihatnya ke dalam."
Segera mereka menyusur kian kemari, kamar-kamar yang
pernah ditempati tuan rumah dan tamu-tamunya telah
diperiksa, tapi tiada nampak seorang pun. Di dalam sebuah
kamar, Tiok-liu menemukan sebuah botol arak dan coba
diciumnya, lalu katanya dengan tertawa, "Ini arak Kui-hoa-tjiu
sungguh-sungguh."
Arak itu lantas diminumnya hingga puas, ia mencari sebuah
buli-buli lagi, setelah penuh diisi arak dan dibawa sebagai
bekal. Katanya dengan tertawa, "Menurut peraturan ajaran Kipepek,
bilamana sudah masuk rumah orang, seorang pencuri
tidak boleh pulang dengan tangan hampa."
Sampai di pekarangan belakang, tiba-tiba Goan-ko
menemukan sesuatu, ia bersuara heran dan berkata, "He, apa
artinya beberapa batang bambu yang ditancapkan di sini ini?"
Ternyata di dalam pekarangan itu tertancap sembilan
batang bambu, bambu yang di tengah telah dibacok satu kali
sehingga terbelah menjadi dua. Padahal lantai pekarangan itu
terbuat dari adukan batu dan pasir, maka dapat diduga orang
yang mampu menancapkan batang-batang bambu itu pasti
jago Lwe-kang yang lihai.
"Kiranya Tiong-pangtju sudah datang kemari," kata Tiok-liu
tertawa. "Orang Kay-pang melakukan tancapan bambu adalah
sama artinya seperti orang Kangouw menancapkan belati di
atas meja, yaitu sebagai tanda peringatan bagi orang lain.
Hanya Pangtju mereka saja yang berhak menancapkan
sembilan batang bambu."
Meski Kim Tiok-liu baru saja pulang ke Tionggoan, tapi
lantaran Ki Hiau-hong sudah sering menceritakan macammacam
peraturan Kangouw padanya, maka pengetahuannya
menjadi jauh lebih luas daripada Goan-ko yang masih hijau.
Maka Goan-ko menjadi terkesiap, katanya, "O, ini sarrtl
artinya seperti menancapkan belati untuk memberi
peringatan'1 Jika demikian tentu Tiong-pangtju sudah tahu
siapakah Hong Tju-tjiau itu" Tapi batang bambu yang di
tengah itu telah dibelai orang, entah apa artinya lagi?"
"Itu tandanya ada orang menantang padanya," kata Tioki
liu. "Bukankah Bun To-tjeng sudah terluka" Masakah Hong!
Tju-tjiau punya keberanian menantang Tiong-pangtju?"
"Bisa jadi masih ada orang lain lagi dan tidak mesti Honl
Tju-tjiau atau Bun To-tjeng."
Diam-diam Tiok-liu juga tidak mengerti apakah Hong Tjul
tjiau lari lantaran takut kepada Tiong Tiang-thong atau
memand tidak berani pulang lagi ke sini. Kalau dilihat dari
berbagai bekal kaki di pekarangan tadi agaknya yang pernah
datang ke rumah Hong Tju-tjiau ini tidak terbatas pada satu
orang saja. "Jika mereka sudah pergi, marilah kita keluar saja," ajakj
Goan-ko. "Kenapa mesti buru-buru?" ujar Tiok-liu tertawa. "Marilah
kita coba memeriksa kamar nonamu yang manis itu."
Muka Goan-ko menjadi merah, katanya, "Ah, Kim-henf suka
bercanda saja."
Tiba-tiba air muka Kim Tiok-liu berubah kereng, katanya,
"Ini bukan bercanda, boleh jadi di sana akan diketemukan
sesud atu yang dia tinggalkan untukmu."
Terpaksa Goan-ko menurut dan mengiringnya ke sana.
Kamar Hong Biau-siang terletak di bagian belakang
berdekatan dengan taman. Setiba di situ, Tiok-liu lantas
membuka pintunya. Terlihat kelambu tempat tidur terurai,
suasana kamarj rada guram, meja rias berdebu.
Dengan tertawa Tiok-liu berkata, "Tjin-heng, nonamu itu
tampaknya sudah pergi dari sini beberapa hari lamanya dan
tidak meninggalkan sesuatu apapun bagimu, apakah kau
merasa kecewa" Tapi baik juga jika dia sudah pergi, terang
dia tidak ikut serta bersama ayahnya, maka kau tidak perlu
kuatir lagi."
Apa yang dikatakan Kim Tiok-liu itu adalah berdasarkan
keadaan kamar yang tidak teratur dan tidak dibersihkan itu, ia
menaksir Hong Biau-siang tentu sudah meninggalkan
rumahnya beberapa hari yang lalu, andaikan Hong Tju-tjiau
pernah pulang juga pasti tidak menemukan putrinya itu.
"Jika begitu buat apa lagi kita masuk kemari?" kata Goanko,
karena pada saat itu pula Kim Tiok-liu menariknya masuk
ke dalam kamar.
"Coba kau singkap kelambu itu dan memeriksanya," tibatiba
Tiok-liu membisikinya.
Muka Goan-ko menjadi merah, katanya, "Ini mana boleh?"
Namun Kim Tiok-liu sudah lantas mendorongnya maju, |
katanya, "Kukatakan singkap kelambunya, kenapa mesti
takut?" Kiranya sayup-sayup Kim Tiok-liu mendengar di balik
kelambu tempat tidur itu seperti ada suara pernapasan yang
sangat lemah. Ini ada dua kemungkinan. Bisa jadi Hong Biausiang
terluka dan tertenung di atas tempat tidurnya dan tak
bisa bicara. Kemungkinan lain adalah di situ bersembunyi
seorang jagoan yang memiliki Lwekang lumayan sehingga
dapat mengekang pernapasannya, makanya Tjin Goan-ko
tidak dapat mendengar suara napas yang pelahan itu, tapi Kim
Tiok-liu dapat mendengarnya.
Lantaran tidak tahu orang di balik kelambu itu Hong Biaufciang
atau bukan, Kim Tiok-liu sendiri tidak enak menyingkap
kelambunya, maka Goan-ko yang disuruh.
Goan-ko juga tidak paham maksud Kim Tiok-liu, ia hanya
penurut saja. Tapi baru saja tangannya memegang kain
kelam-pu, sekonyong-konyong dari tempat tidur itu meloncat
keluar seorang dengan menerobos kelambu terus mencakar ke
muka fcoan-ko sambil membentak, "Kiranya kau inilah bocah
she Tjin Itu, kau telah menculik nona Hong kemana?"
Sebagai murid Bu-tong-pay pilihan, biar pun menghadapi
krangan mendadak Goan-ko tidak bingung, ia pun balas
membentak, "Siapa kau?"
Berbareng tangannya lantas menangkis sehingga serangan
orang itu dapat dihindarkan.
Ketika kedua tangan beradu, tangan orang itu terasa
sedingin es sehingga Goan-ko menggigil sendiri. Dalam pada
itu dengan cepat sekali Kim Tiok-liu juga sudah bertindak,
suatu pukulan yang enteng dilontarkan, tampaknya tidak
bertenaga, tapi sebenarnya membawa bermacam-macam
perubahan yang indah.
Usia penyergap itu kira-kira baru 30-an, mukanya pucat
seperti mayat, kaku tak berperasaan. Dengan nada dingin ia
berkata, "Kau pengemis cilik ini juga berani mengacau, mi
rasakan kelihaianku!"
Tampaknya orang itu seperti berpenyakitan, tapi tenaga
dalamnya ternyata tidak lemah dan sanggup menghadapi
serangan Kim Tiok-liu tadi.
Akan tetapi tangan Kim Tiok-liu lantas berputar ke bawah,
tenaga pukulannya dikerahkan pula, "plok", pukulan susulan
yang hebat ini tepat mengenai sasarannya, kontan orang itu
menumpahkan darah segar. Ia tidak berani menyambut
serangan Kim Tiok-liu lagi, cepat ia melompat keluar melalui
jendela. Aneh juga, pada saat orang itu muntah darah, tanpa
merasa Kim Tiok-liu sendiri juga tergetar mundur dua tindak
dan menyaksikan orang itu kabur dengan begitu saja.
Goan-ko terkejut dan bertanya, "Kenapakah kau Kimheng?"
"Hahaha! Setelah kau kenal kelihaianku, biarlah kau boleh
kabur juga. Jika mau, tentunya aku cukup mampu menguber
dan membekuk kau!" seru Kim Tiok-liu sambil tertawa dengan
tenaga yang penuh sebagai pamer kekuatan kepada musuh
yang melarikan diri itu.
Mendengar suaranya, barulah Goan-ko merasa lega karena
tahu Kim Tiok-liu tidak mengalami cidera apa-apa.
Habis berseru tadi baru kemudian Kim Tiok-liu berpaling
dan berkata kepada Goan-ko, "Aku tidak apa-apa, sebaliknya
aku yang menguatirkan dirimu. Bagaimana, apakah kau masih
menggigil kedinginan?"
"Ya, aneh, badan orang itu seperti bukan terbuat dari darah
dan daging, aku benar-benar menggigil kedinginan. Tapi saat
ini sudah baik kembali."
Segera Tiok-liu memegang tangan Goan-ko dan
menyalurkan hawa hangat ke badan pemuda itu. Katanya
dengan tertawa, "Hian-im-tji yang dilatih orang itu sudah
mencapai enam tujuh bagian sempurna. Hian-im-tji adalah
ilmu dari Sia-pay yang berasal dari Siu-lo-sat-kang, hanya


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak selihai Im-sat-kang itu sendiri dan lebih mudah dilatih.
Jika dia berhasil meyakinkan Im-sat-kang mungkin aku akan
gentar padanya, tapi kalau cuma Hiau-im-tji saja, apa yang dia
bisa perbuat atas diriku?"
Karena dapat bantuan tenaga dalam Kim Tiok-liu, hanya
sebentar saja badan Goan-ko sudah terasa hangat kembali,
rasa dingin tadi telah punah seluruhnya.
"Kau mampu menyambut serangannya tanpa terluka. kepandaianmu
inipun sudah lumayan," puji Tiok-liu tertawa.
"Aku pernah mendengar cerita Suhuku, katanya 30 - 40
tahun yang lalu, gembong Sia-pay yang bernama Beng SinTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
thong pernah merajai dunia persilatan dengan ilmu yang
disebut Siu-lo-im-sat-kang. Keparat tadi mahir Hian-im-tji,
jangan-jangan dia adalah cucu murid Beng Sin-thong."
"Tidak pasti. Menurut cerita ayahku, selain kakek-luarku
sendiri, beliau masih punya seorang Sute she Yang yang juga
pernah meyakinkan Siu-lo-im-sat-kang sampai tingkat
kedelapan. Siu-lo-im-sat-kang itu berasal dari negeri Thiantiok,
bisa jadi di sana masih ada kaum ahli ilmu tersebut dan
telah mengajarkan murid bangsa Han kita."
Baru sekarang Goan-ko ingat bahwa ibu Tiok-liu, yaitu Kok
Tji-hoa adalah putri Beng Sin-thong. Pikirnya, "Pantas dia
paham asal-usul Hian-im-tji."
Kemudian Kim Tiok-liu berkata pula, "Ya, andaikan orang
itu bukan aliran dari kakek-luarku, gurunya tentu juga seorang
jagoan dari Sia-pay. Selain Hian-im-tji orang tadi pun mahir
Thian-mo-kay-te-hoat yang paling aneh dari Sia-pay."
Ilmu Thian-mo-kay-te-hoat akan bertambah lebih kuat
bilamana menumpahkan darah. Dari tanda ini barulah Goan-ko
paham mengapa sesudah orang tadi tumpah darah dipukul
Tiok-liu, lalu Kim Tiok-liu berbalik tergetar mundur.
Tiba-tiba Tiok-liu pasang kuping dan mendengarkan
dengan cermat, sejenak kemudian ia berkata, "Di atas gunung
ada orang sedang bertempur, mari kita coba pergi
melihatnya."
Mereka lantas masuk ke tengah hutan sana dan mencari
menurut arah datangnya suara. Tidak lama kemudian
terdengarlah suara bentakan ramai orang yang tengah
berkelahi. Dengan tertawa Kim Tiok-liu berkata, "Kiranya
Tiong-pangtju yang sedang berkelahi dengan orang di sini.
Kepandaian lawannya ini jauh lebih tinggi daripada orang yang
menyergap kita tadi. Yang membelah tongkat bambu Tiongpangtju
itu pasti dia pula."
Sesudah dekat, terlihat orang yang bertempur sengit
melawan Tiong Tiang-thong adalah seorang laki-laki setengah
umur, tenaga pukulan kedua orang sama-sama sangat keras,
debu pasir dalam lingkaran beberapa meter sekeliling mereka
sama beterbangan.
Angin pukulan orang itu masih ada tanda-tanda lain yang
aneh, yaitu seperti angin panas yang dipanaskan dari anglo
sehingga rasanya seperti terbakar.
Lwekang Goan-ko paling lemah, dia sampai berkeringat
menghadapi angin yang membawa suhu panas itu, lekas ia
melangkah mundur.
Diam-diam Tiok-liu berpikir, "Tampaknya Lui-sin-tjiang
orang ini tidaklah lemah, namun dia tetap bukan tandingan
Tiong-pangtju sehingga aku tidak perlu membantu."
Pertarungan di antara tokoh-tokoh kelas tinggi panca-inderanya
selalu waspada. Maka kedatangan Kim Tiok-liu dan
Goan-ko sejak tadi sudah diketahui oleh Tiong Tiang-thong
dan laki-laki setengah umur itu. Tiong Tiang-thong seperti
anggap tidak tahu saja dan masih bertempur dengan sengit.
Sebaliknya laki-laki itu menjadi kuatir, pikirnya, "Jembel cilik
itu tidak gentar pada angin pukulanku, terang Lwekangnya
juga sangat tinggi. Kabarnya Bun To-tjeng kecundang oleh
seorang pengemis cilik di rumah Kang Hay-thian, janganjangan
jembel cilik inilah orangnya."
Lantaran kuatir Kim Tiok-liu turun tangan membantu Tiong
Tiang-thong, maka laki-laki itu lantas mendahului melancarkan
serangan kilat secara mati-matian.
Di tengah pertarungan sengit itu tiba-tiba dari jauh
terdengar suara orang bersuit panjang, suaranya berat dan
lemah pada akhirnya. Bagi seorang ahli segera dapat
mendengar suara itu iurang kuat, tentu orang yang bersuit itu
baru saja terluka dalam ?hingga napasnya tidak cukup.
Diam-diam Tiok-liu merasa geli di dalam hati, "Siapa suruh
kau menggunakan Thian-mo-kay-te-hoat, kau tidak mampu
mencelakai aku, (?baliknya kau yang terluka sendiri."
Kiranya Kim Tiok-liu dapat mendengar suara suitan itu
berasal dari orang yang menyergap mereka di rumah Hong
Tju-tjiau itu, mungkin sekali dia dan laki-laki lawan Tiong
Tiang-tfiong ini adalah sekomplotan, maka sekarang sedang
memanggil kawannya agar lekas melarikan diri.
Laki-laki yang sedang melawan Tiong Tiang-thong itu
tampaknya sangat terkejut demi mendengar suara suitan,
pikirnya, "Entah Bo-losam dilukai oleh jembel cilik ini atau
bukan" Ai, tahu begini seharusnya aku tidak meninggalkan dia
di rumah long Tju-tjiau. Tadinya aku kira dapat mengalahkan
pengemis tua ini, siapa duga ternyata begini keras, sampai
melepaskan diri "uja bagiku terasa sukar."
Segera ia menyerang mati-matian dengan maksud
mendelik mundur lawannya. Hanya sebentar saja ia sendiri
sudah mandi keringat, sebaliknya Tiong Tiang-thong masih
tetap tenang-tenang saja dan melayani dia dengan seenaknya.
"Tenaga laki-laki ini tidak melebihi Tiong-pangtju, cara
menyerangnya ini hanya akan mempercepat kekalahannya,"
demikian pikir Kim Tiok-Iiu.
Belum selesai ia berpikir, mendadak terdengar bentakan
Tiong Tiang-thong yang menggeledek, kedua lengannya
terangkat ke atas, laki-laki lawannya itu terpental mundur
enam tujuh tindak dengan sempoyongan.
Pikir Kim Tiok-Iiu pula, "Asal Tiong-pangtju menambahi lagi
sekali pukul tentu orang itu akan menggeletak terluka parah
Eh, aneh, kesempatan sebagus ini mengapa tidak digunakan
Tiong-pangtju?"
Kiranya Tiong Tiang-thong tidak memburu musuh meski
sudah menang, sebaliknya ia malah menyudahi pertarungan
itu. Rupanya hal itupun di luar dugaan laki-laki itu, dengan
terbelalak ia memandang Tiong Tiang-thong.
"Auwyang Kian," kata Tiong Tiang-thong dengan nada di
ngin, "Kau punya Lui-sin-tjiang sudah hampir menyamai
mendiang ayahmu, tapi untuk bisa mengalahkan aku si
pengemis tua ini mungkin masih jauh daripada mampu."
Kiranya laki-laki itu adalah putra Auwyang Pek-ho, na
manya Auwyang Kian. Tiga tahun yang lalu Auwyang Pek-ho
dikalahkan Tiong Tiang-thong dan ilmu silatnya dipunahkan.
Maka berkatalah Auwyang Kian, "Ya, tadinya aku mc mang
mengira dapat mengalahkan kau, sekarang aku baru tahu
bahwa aku masih bukan tandinganmu. Tapi aku baru
setengah umur, sebaliknya kau sudah tua renta, pada suatu
hari aku pasti akan mengalahkan kau. Tatkala mana sekalipun
aku tidak mem bunuh kau juga tentu akan kupunahkan ilmu
silatmu seperti caramu sendiri. Maka untuk kepentinganmu,
bilamana kau taktil kelak aku akan menuntut balas lagi
padamu, sebaiknya sekaran kau membunuh aku saja."
"Hahahaha!" Tiang-thong tertawa. "Untuk bisa mengalah
kan aku, sedikitnya kau harus berlatih sepuluh tahun lagi. Tat
kala mana bisa jadi pengemis tua sudah pulang ke dunia
nirwana. Tapi apapun juga semangat jantanmu harus dipuji
dan lebih gagah daripada ayahmu dahulu. Aku sudah
memunahkan ilmu silat ayahmu, aku tidak ingin memunahkan
ilmu silatmu pula. Aku ingin kau tahu bahwa tindakan
pengemis tua yang terkenal tidak kenal ampun adalah
tergantung kepada lawannya dan tidak selalu mesti dibabat
habis-habisan. Maka baiklah, boleh kau pergi saja."
"Kau melepaskan aku begini saja, apakah kelak kau takkan
menyesal?" tanya Auwyang Kian.
"Hahaha apa yang kulakukan selamanya tak pernah
menyesal!" seru Tiong-tiang-thong dengan bergelak tawa.
Diam-diam Auwyang Kian bergirang, tapi ia tidak
memperlihatkan sesuatu tanda, katanya hambar, "Semoga
sepuluh tahun lagi kau masih hidup di dunia ini, kalau tidak,
tentu akulah yang akan kecewa."
Habis berkata ia lantas memutar tubuh dan tinggal pergi.
Kiranya Auwyang Kian sudah kenal watak Tiong Tiangthong,
jika dikalahkan pengemis tua itu, daripada minta
ampun ada lebih baik berlagak berani mati. Maka dia sengaja
menonjolkan soal menuntut balas kelak, betul juga Tiong
Tiang-thong lantas melepaskan dia malah.
Sesudah Auwyang Kian pergi, Kim Tiok-Iiu dan Tjin (ioanko
lantas maju menemui Tiong Tiang-thong.
"Kalian ini tentunya sudah pergi ke rumah keluarga Hong
Itu bukan?" tanya Tiong Tiang-thong.
"Betul aku malah sudah melihat sembilan batang bambu
yang kau tancapkan di sana," sahut Tiok-Iiu.
"Hm, tentunya kalian pergi ke sana hendak mencari anak
perawan orang bukan" Dan kau sudah menemukannya
belum?" dengus Tiang-thong.
Wajah Goan-ko menjadi merah. Dengan tertawa Tiok-Iiu
lantas menjawab, "Tidak, tidak ketemu, tapi di kamar nona
liong sana kami memergoki seorang laki-laki yang mahir Hianlin-
tji, entah siapa dia?"
"Dia adalah murid Yang Gak, namanya Kiong Peng-ya.
terhitung jagoan kelas dua dari golongan Sia-pay," tutur
Tiang-thong. "Yang Gak itu adalah putra Yang Djik-hu, yaitu
Sulc kakek-Iuarmu Beng Sing-thong. Yang Djik-hu pernah juga
meyakinkan Siu-lo-im-sat-kang hingga mencapai tingkatan
kedela pan. Aku pun tidak tahu mengapa Kiong Peng-ya itu
bisa ikui Auwyang Kian ke rumah Hong Tju-tjiau. Tapi
Auwyang Kian itu masih boleh juga, dia menantang aku
bertempur di luar dan tidak mau dibantu oleh Kiong Peng-ya.
Kalau tidak, dengan gabungan mereka berdua rasanya sukar
bagiku untuk menang walaupun aku pun tidak sampai
dikalahkan oleh mereka."
"O, kiranya begitu," kata Tiok-liu tertawa. "Jika demikian
orang she Kiong itu seharusnya malah ada hubungan keluarga
dengan aku. Tadi aku cuma memberi sedikit hajaran padanya
tanpa memberikan pukulan mematikan, tindakanku ini dapni
dikatakan tepat."
Segera ia pun menuturkan apa yang dialaminya. "Haha,
pengemis cilik dan pengemis tua seperti kita ter nyata
mempunyai sifat yang sama, yaitu sama-sama suka ikm
campur urusan orang lain, apakah tindakanmu benar atau
salah aku tidak ambil pusing. Tapi Goan-ko yang telah salah
bertindak, untuk ini aku ingin mengurusi. Apakah kau tahu
perbuatanmu yang salah, Goan-ko?"
Sifat Goan-ko adalah halus luar keras di dalam, ia tahu apa
yang hendak ditegurkan Tiong Tiang-thong, tapi dia merasa
pc nasaran, dengan berlagak pilon ia coba menjawab, "Tetju
tidak tahu dimana letaknya kesalahan, mohon Lotjianpwe
memberi penjelasan."
Dengan muka kereng Tiong Tiang-thong berkata, "Hon?
Tju-tjiau adalah sampah dunia persilatan yang pernah menjadi
bayangkara kerajaan. aku sudah menyelidiki seluk-beluknya
dengan jelas. Di dunia ini tidak kurang anak gadis dari
keluarga baik, kenapa kau mesti penujui putri Hong Tju-tjiau
itu?" Dengan wajah merah Goan-ko membantah, "Tetju tiada
mempunyai hubungan istimewa dengan nona Hong itu,
bersahabat saja belum. Tetju cuma kasihan kepada
keadaannya yang serba susah, maka ketika lewat di sini, Tetju
coba mampir menjenguknya."
Tapi Tiong Tiang-thong hanya setengah percaya, katanya,
"Kau benar-benar tiada hubungan pribadi yang karib dengan
dia?" "Pengemis tua, mencampuri urusan orang rasanya kali ini
kau yang salah langkah," timbrung Tiok-liu tiba-tiba.
"Apa" Aku tidak mencela kau, sebaliknya kau malah
mengomeli aku?" sahut Tiong Tiang-thong dengan melotot.
"Baiklah, coba kau katakan dimana letak kesalahanku?"
"Kau bilang telah menyelidiki seluk-beluk Hong Tju-tjiau,
tapi apakah kau juga telah menyelidiki seluk-beluk putrinya
itu?" tanya Tiok-liu.
"Pertanyaanmu ini sama sekali tidak beralasan?" jawab
Tiang-thong. "Mengapa tidak beralasan?"
"Habis seluk-beluk apanya seorang anak perempuan begitu
yang perlu diselidiki?"
"Jawabanmu inilah yang tidak beralasan," ujar Tiok-liu.
"Apakah seluk beluk seorang anak perempuan lalu tidak dapat
diselidiki" Sedikitnya dia juga sudah perawan berumur 18
tahun kalau tidak ada 20 tahun, sehingga tidaklah pasti bahwa
dalam segala hal dia tentu berbuat salah seperti ayahnya.
Apakah kau sudah tahu jelas nona itu orang baik atau orang
jahat" Mengapa kau tidak mencari tahu sedikitpun lantas
menuduh Goan-ko yang bersalah?"
"Mulutmu yang tajam tampaknya lebih lihai daripada
ayahmu," kata Tiang-thong. "Baiklah, anggap aku kalah
omong padamu, memang aku rada teledor sedikit. Tapi kau
sendiri juga baru saja pulang ke Tionggoan, masakah kau
sendiri begitu cepat lantas mengetahui seluk beluk nona itu?"
"Walaupun belum jelas seluruhnya, sedikitnya sudah tahu
beberapa bagian," kata Tiok-liu tertawa "Pertama aku
mengetahui hati-nuraninya cukup baik dan sangat berbeda
daripada ayahnya. Goan-ko telah dicekoki Djian-tjhit-ljui oleh
ayahnya sesudah mengetahui nona itu sangat sedih dan diamdiam
bermaksud mencuri obat pemunah ayahnya untuk
menolong Goan-ko. Kedua, dia dan Goan-ko pernah bersamasama
mengalahkan dua jago kerajaan yang merupakan bekas
kawan sejawat Hong Tju-tjiau, kedatangan kedua jago
pengawal itupun maksudnya hendak mengundang Hong Tjutjiau
agar kembali pada tugas yang lama. Lantaran itulah aku
dan Goan-ko kuatir nona Hong itu akan menderita siksaan
ayahnya maka sengaja datang kemari mencari kabarnya
Akulah yang menyeret Goan-ko ke rumah Hong Tju-tjiau, jadi
kalau mau menegur, lebih baik kau tegur aku saja."
Tiong Tiang-thong menjadi kikuk mendengar penjelasan
Kim-tiok-liu itu, katanya dengan tertawa ewa "Jika demikian,


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jadi akulah yang salah wesel."
"Memang kau yang salah. Ayah adalah ayah, anak adalah
anak, mana boleh antara ayah dan anak dicampur-baurkan
persoalannya" ujar Tiok-liu.
Watak Tiong Tiang-thong memang suka blak-blakan,
setelah merasa dirinya bersalah, dengan terus terang ia berani
mengaku salah. Katanya dengan tertawa "Memang tepat
ucapanmu, ayah adalah ayah dan anak adalah anak. Dahulu
kakek-luar-mu adalah gembong nomor satu di kalangan Siapay,
sebaliknya ibumu adalah seorang pendekar wanita yang
dikagumi orang. Memang aku yang sudah pikun sehingga
contoh ini sampai ku-lupakan. Malahan perjodohan ayahibumu
adalah aku yang menjadi perantaranya. Haha!"
Habis itu, lalu ia berpaling dan menghibur Goan-ko,
"Baiklah, anggap teguranku tadi salah. Selanjurnya aku tidak
urus lagi biar bagaimana hubunganmu dengan nona Hong
itu." Habis berkata, kembali ia terbahak-bahak lagi. Kemudian ia
bertanya pula "Goan-ko, kau akan terus pulang ke Bu-tongsan
atau masih akan meneruskan mencari nonamu itu?"
Dengan wajah merah Goan-ko menjawab, "Aku dan nona
Hong sama sekali tiada hubungan apa-apa, harap Lotjianpwe
jangan salah paham. Sekarang setelah diketahui dia pergi
sendiri, maka aku pun dapatlah merasa lega."
"Kau bilang tiada punya hubungan apa-apa tapi mengapa
kau mesti merasa lega segala atas kepergiannya?" ujar Tiangthong
dengan tertawa. "Tapi, kau jangan kuatir, aku pasti
takkan memberitahukan gurumu. Tampaknya kau akan terus
pulang gunung bukan?"
"Benar," sahut Goan-ko. "Tetju hendak pulang dulu untuk
melaporkan pengalaman perjalananku ini kepada Suhu, habis
itu barulah berkelana lagi di Kangouw."
"Baiklah, aku justru akan pergi ke tempat gurumu sana
bolehlah kau berangkat bersama aku. Dan kau bagaimana
pengemis cilik?"
"Pengemis cilik tidak betah terikat oleh pengemis tua, maka
biarkan aku berbeda arah saja dengan kalian," jawab Tiok-liu
tertawa. "Hahaha memang benar," seru Tiang-thong terbahak. "Kau
baru saja pulang, memang seharusnya menjelajah Kangouw
sendirian untuk menyebarkan namamu."
"Menyebarkan nama bukanlah tujuanku," ujar Tiok-liu.
"Cuma aku merasa lebih bebas bila sendirian."
"Sifatmu ini benar-benar serupa ayahmu," kata Tiang-thong
tertawa. "Tidak, tidak. Ayah sekali-kali tidak mengharapkan aku
mirip dia, tapi begitu menghendaki aku menurut gelombang
mengikuti aliran, entah aku melakukannya atau tidak. Cuma
aku memang ingin sekali bergaul dengan macam-macam
golongan dari dunia Kangouw." Sampai di sini mendadak ia
menggoda Goan-ko, katanya "Kau pura-pura suci, tapi di
dalam batinmu selalu memikirkan anak gadis orang. Rasanya
kau perlu bantu-anku. Dalam perjalananku nanti akan kubantu
memperhatikan nonamu yang selalu terkenang itu."
Muka Goan-ko kembali merah jengah lagi dan kedua
pengemis tua dan muda sama bergelak tertawa.
"Sesungguhnya sudah lama pengemis tua tidak pernah
mendapatkan teman yang mencocoki seleraku seperti kau,"
kata Tiang-thong kemudian kepada Tiok-liu. "Sebenarnya aku
merasa berat untuk berpisah dengan kau. Tapi apa boleh
buat, mau tidak mau kita harus berpisah."
"Nanti dulu, pengemis cilik masih ada sesuatu ingin
bertanya kepada pengemis tua," kata Tiok-liu.
"Soal apa" Asal kau tanya tentu pengemis tua akan
menerangkan segala apa yang kuketahui."
"Kabarnya di atas Tji-lay-san ini dahulu pernah ada suatu
agama yang disebut Thian-mo-kau, entah dimana
tempatnya?"
"Hal ini sudah hampir 30 tahun yang lalu, ketua agama itu
adalah seorang wanita cantik, kemudian diperistri oleh
wakilnya she Le. Mereka pun seperti ayah-ibumu, sudah lama
mengasingkan diri di lautan lepas. Kau menanyakan Thianmo-
kau, apakah karena pernah mendengar cerita dari
ayahmu?" "Ayah tidak pernah membicarakan, tapi Ki-pepek yang
mengatakan padaku. Sekarang aku berada di pegunungan Tjilay-
san, seketika ingat dan segera kutanyakan padamu."
"O, benarlah kalau begitu," kata Tiang-thong.
"Benar, tentang apa?" tanya Tiok-liu heran.
"Bicara tentang Thian-mo-kau sebenarnya masih ada
sangkut-paut sedikit dengan keluargamu," tutur Tiang-thong
tertawa. "Di waktu kecil, Toasuhengmu pernah diculik oleh
Thian-mo Kautju wanita itu, kemudian Ki Hiau-hong yang
menolongnya keluar. Tapi waktu Ki-pepekmu menolong
Toasuhengmu, dia pun pernah menelan pil pahit dari Thianmo
Kautju. Kukira Ki-pepekmu masih belum melupakan
peristiwa itu."
"Ki-pepek pernah bercerita tentang peristiwa ini, cuma
beliau tidak mengatakan pernah menelan pil pahit dari Kautju
itu." "Letak markas besar Thian-mo-kau itu adalah di puncak
kutara Tji-lay-san. Nah, itulah, di atas puncak yang tertampak
dari kini, puncak yang dikelilingi awan itu. Cuma bangunanbangun-
an di sana sudah lama terbakar menjadi puing.
Sesudah bubar, selama 20-an tahun ini orang Thian-mo-kau
sudah tak ketahuan Lkemana perginya. Aku pun tidak pernah
lagi naik ke sana."
"Aku menjadi ingin naik ke sana untuk melihatnya," kata
Tiok-liu. "Hanya tumpukan puing belaka, apanya yang dilihat?" ujar
Tiang-thong. "Orang tua suka terkenang kepada hal-hal lama, maka aku
[ingin menjenguk sekadarnya ke sana agar kelak kalau pulang
aku dapat mengobrol dengan Ki-pepek."
"Kau benar-benar pemuda yang berperasaan, pantas Ki
Hiau-hong begitu sayang kepadamu sehingga kepandaian
yang paling dia banggakan juga diajarkan padamu. Cuma aku
tidak [punya minat ikut memanjat gunung hanya untuk
menonton tumpukan puing, maka maafkan aku tak dapat
mengiringi kau."
Begitulah mereka lantas berpisah, hanya Kim Tiok-liu
sendirian yang naik ke puncak utara Tji-lay-san itu. Mendadak
terengat olehnya ucapan Tiong Tiang-thong tadi yang
mengatakan Thian-mo-kau ada hubungan dengan
keluarganya, tapi yang diuraikan hanya tentang Ki Hiau-hong
dan Kang Hay-thian saja, tampaknya masih ada sesuatu yang
sungkan diceritakan lagi, lintah apa sebabnya.
Kemudian Tiok-liu teringat pula kepada Ki Hiau-hong |ang
tidak pernah membicarakan tentang Thian-mo-kau kepada
byahnya. Padahal Ki Hiau-hong dan Kim Si-ih boleh dikata
?obat paling karib dan segala apa selalu dibicarakan tanpa
tedeng B?ng-aling, mengapa melulu dalam hal Thian-mo-kau
saja papan Ki itu merasa pantang membicarakannya"
Demikianlah, lantaran heran terhadap sikap Ki Hiau-hong itu
sehingga Tiok-liu semakin tertarik oleh persoalan Thian-mokau
ini. Kim Tiok-liu tidak tahu bahwa cikal-bakal Thian-mo-kau,
yaitu Le Seng-lam adalah bekas kekasih ayah Kim Si-ih.
Kemudian Le Hok-sing yang kawin dengan Thian-mo Kautju
itu adalah keponakan Le Seng-lam. Kim Si-ih adalah seorang
yang paling mengutamakan perasaan, berhubung dengan
persoalannya dengan Le Seng-lam, pernah ia menunda-nunda
perkawinannya dengan Kok Tji-hoa selama hampir 20 tahun.
Oleh sebab Ki Hiau-hong tidak ingin menyinggung perasaan
Kim Si-ih, maka di depan suami istri Kim Si-ih tak pernah ia
menyebut nama Thian-mo-kau. Karena tidak tahu selukbeluknya,
Kim Tiok-liu menjadi heran dan merasa di balik hal
itu ada sesuatu rahasianya lagi, maka ia sangat ingin melihat
bekas-bekas markas Thian-mo-kau itu.
Ketika sampai di atas puncak, sementara itu hari sudah
dekat magrib. Dilihatnya di situ tumpukan puing belaka. Hanya
masih ada sebuah rumah, walau pun keadaannya sudah
bobrok, bahkan temboknya juga berlumut, tapi masih
berbenruk rumah yang rada lengkap.
Dari dalam rumah itu terlihat ada cahaya api, terang di
dalamnya ada orang. Kim Tiok-liu menjadi heran siapakah
gerangan yang bersembunyi di situ"
Segera ia mengeluarkan Ginkangnya yang tinggi, dengan
enteng dan tanpa mengeluarkan suara ia memutar ke jendela
belakang dan coba mengintip ke dalam rumah.
Dilihatnya ada seorang laki-laki berusia 30-an sedang
duduk di lantai dan membuat api unggun. Laki-laki itu
memakai baju panjang yang sudah kumal dan mirip seorang
pelajar miskin kampungan. Dalam rumah itu kosong
melompong, hanya ada sebuah genta besar yang
menelungkup di tengah ruangan.
Rupanya ruangan itu adalah bekas ruang pendopo Thianmo-
kau, karena mengalami kebakaran dan perusakan, patungpatung
pemujaan di dalam ruangan sudah sama hancur, meja
sembahyang juga sudah dipreteli orang untuk digunakan
sebagai kayu bakar.
Agaknya laki-laki itu tidak tahu di luar ada orang mengintip.
Saat itu ia sedang mengeluarkan segenggam barang dari
sakunya dan ditaruh di atas lantai. Seketika Kim Tiok-liu
terkesiap. Kiranya di antara barang-barang itu ada seuntai
mutiara yang bercahaya mengkilap, jelas mutiara itu adalah
benda mestika yang tiada ternilai. Selain untaian mutiara
mestika itu ada belasan mata uang tembaga dan sebilah
belati. Diam-diam Kim Tiok-liu membatin, "Rupanya adalah
seorang pencopet yang sedang memeriksa hasil
gerayangannya."
Terlihat laki-laki itu memegang untaian mutiara mestika
biru dan dipandang sejenak, lalu geleng-geleng kepala dan
tersenyum getir. Pikir Kim Tiok-liu, "Rupanya dia merasa hasil
curiannya itu masih kurang berharga, dia benar-benar terlalu
serakah." Pakaian laki-laki itu sangat jelek, di dalam sakunya hanya
berisi belasan mata uang tembaga, tetapi mempunyai seuntai
mutiara mestika tak ternilai begitu, tidaklah heran kalau Kim
Tiok-liu menyangka dia sebagai seorang pencuri.
Tiok-liu merasa tiada jeleknya berteman dengan seorang
pencuri, maka dengan mengikik geli ia lantas mendorong pintu
dan melangkah masuk ke dalam.
Keruan orang itu terperanjat dan buru-buru menyimpan
kembali barang-barangnya, lalu dengan mata melotot ia
memandang Kim Tiok-liu.
"Hahaha, kau tidak perlu gugup, kita adalah satu kaum,"
seru Tiok-liu sambil tertawa.
"Kau bilang apa?" laki-laki itu menegas.
"Kau adalah pencuri, aku pun pencuri," sahut Tiok-liu. "Di
antara kaum kita memang ada sebagian yang tidak kenal setia
kawan sesama orang Kangouw, tapi sekali-kali aku bukan
orang yang suka hitam makan hitam, maka kau tidak perlu
kuatir palaku."
Diam-diam laki-laki itu merasa geli, pikirnya pula,
"Pengemis cilik ini melangkah masuk barulah aku mengetahui
kedatangannya, dari Ginkangnya ini aku harus mengaku
bukan tandingannya. Untung dia bukan musuhku. Baiklah, dia
menyangka aku sebagai maling, maka biarlah aku mengakui
saja" Segera ia memberi salam dan menjawab, "O, kiranya
kawan sesama kaum, maafkan aku tidak dapat menyuguhkan
apa-apa, silakan duduk untuk memanaskan badan saja, nanti
kusuguh kau makan ubi bakar."
Tiok-liu juga tidak sungkan-sungkan, dengan seenaknya
saja ia lantas duduk. Setelah menarik napas panjang, lalu
katanya "Wah, alangkah sedap baunya Tapi mungkin ada
sebuah ubi telah hangus. Perutku memang lagi lapar, harap
berikan lebih dulu padaku."
Laki-laki itu lantas menyingkap api unggun itu dan
mencomot keluar sebuah ubi, katanya "Awas, sangat panas!"
Berbareng itu ubi bakar yang masih panas itu terus
dilemparkan kepada Kim Tiok-liu, padahal jaraknya dengan
Kini Tiok-liu sangat dekat, tangan diangsurkan saja sudah
sampai, namun dia justru sengaja melemparkan ubi bakar itu.
Kim Tiok-liu tahu orang sengaja hendak mengujinya segera
tangannya meraup sehingga ubi panas itu tepat jatuh di
telapak tangannya. Tanpa bicara lagi ia lantas menggerogoti
ubi bakar itu dan berkata, "Ehm, walaupun rada hangus
sedikit masih boleh juga rasanya. Banyak terima kasih ya."
Semula laki-laki itu merasa kuatir kalau Kim Tiok-liu tidak
sanggup menangkap ubi yang dia lemparkan itu dan akan terluka
Tapi sekarang dia menjadi terperanjat sendiri. Pikirnya,
"Usia pengemis cilik ini masih begini muda, mengapa memiliki
kepandaian sedemikian lihai" Tampaknya Lwekangnya juga
berada di atasku."
"Eh, tampaknya hari ini rejekimu tidak jelek, keluarga mana
yang telah kau gerayangi?" tanya Tiok-liu kemudian.
"Satu keluarga kaya yang tidak berbudi, mestinya aku
dapat menguras lebih banyak, di luar dugaan baru seuntai
mutiara kusambar lantas ketahuan penghuninya terpaksa aku
buru-buru melarikan diri."
"Manusia itu janganlah terlalu serakah. Hanya seuntai
mutiara itupun sudah cukup untuk kau makan tidur tiga
turunan takkan habis."
"Ucapan Laute rada kurang tepat. Jika melulu soal makan I
saja untuk apa aku bersusah payah pergi mencuri seuntai
mutiara ini."
"O, apa barangkali kau adalah maling budiman yang suka
merampas milik orang kaya untuk disedekahkan kepada kaum
miskin" Wah, maafkan aku kurang hormat kalau begitu."
"Sebutan budiman tidak berani kuterima" sahut laki-laki itu
tertawa. "Tapi aku tidak sudi mencuri hanya untuk
kepentingan makan minum besar saja. Yang kulakukan ada
alasannya sendiri."
"O, alasan apakah itu" Sudilah memberi penjelasan?" tanya
Tiok-liu. "Apakah kau orang yang baru masuk kaum kita?" tanya
laki-laki yang menyerupai pelajar miskin itu. "Barangkali kau


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak tahu bahwa pekerjaan seperti kita ini, lama-lama kita
akan menjadi kecanduan dan sukar mencuci tangan. Kalau
dengan gampang saja kita mengundurkan diri sesudah
mendapatkan rejeki yang lumayan, kan sia-sia saja
kepandaian yang telah kita pelajari ini."
"Haha betul juga ucapanmu! Memang Ki-pepek juga pernah
berkata demikian," kata Tiok-liu sambil tergelak.
Laki-laki itu terkejut, tanyanya, "Apakah kau punya Kipepek
juga melakukan pekerjaan seperti kita ini" Entah
Lotjian-pwe yang manakah beliau?"
"Dia adalah kakek moyang dari kaum kita" ujar Tiok-liu. "Si
maling sakti Ki Hiau-hong, apakah kau pernah mendengar
nama ini?"
"Ki-lotjianpwe tak pernah kulihat, tapi namanya sudah laina
kudengar dan kupuja di dalam hati," sahut orang itu.
"Apakah Laute adalah murid Ki-lotjianpwe?"
"Aku bukan muridnya, cuma, ya, aku pernah belajar
kepandaian mencuri padanya" kata Tiok-liu.
Melihat umur Tiok-liu masih sangat muda, maka orang itu
merasa ragu-ragu atas keterangannya itu. Dan baru ia
bermaksud bertanya nama Kim Tiok-liu, mendadak Tiok-liu
mendesis, "Ssst, dengarkan! Seperti ada orang datang lagi.
Apakah teman sekomplotanmu?"
Laki-laki itu tidak menjawab, tapi lantas pasang kuping
dengan cermat. Sekonyong-konyong air mukanya berubah
hebat, katanya, "Yang datang ini mungkin hendak menangkap
aku. Laute, dapatkah kau membantu aku?"
"Cara bagaimana membantu"'* sahut Tiok-liu. la pikir kalau
berkelahi saja tidak menjadi soal baginya, soalnya baru saja
kenal, cara bagaimana dirinya harus membantu seorang yang
belum diketahui asal-usulnya"
Mendadak orang itu berbangkit, didekati dan diangkatnya
genta raksasa yang menelungkup di tengah ruangan itu,
katanya, "Aku tidak mampu melawan mereka, terpaksa aku
harus bersembunyi. Sesudah mereka pergi nanti, tolong kau
melepaskan aku keluar dari sini."
Habis itu ia lantas menyusup ke bawah dan menutup kem
bali genta besar itu. Ia telah menjajal kepandaian Kim Tiok-liu.
maka ia yakin Tiok-liu cukup mampu mengangkat genta
raksasa itu. Genta raksasa itu kira-kira bobotnya ada 500 - 600 kati,
diam-diam Kim Tiok-liu harus mengakui tenaga laki-laki itu
yang tidak kecil. Tapi dengan Lwekang dan Gwakangnya yang
lumayan mengapa begitu ketakutan. Entah kedua orang yang
datang hendak menangkapnya itu jagoan lihai macam apa"
Padahal dia baru kenal aku dan ternyata sudah percaya
sepenuhnya padaku, mau tak mau aku mesti menganggapnya
juga sebagai sobat pula. Demikian pikir Tiok-liu.
Belum lenyap pikirannya, terlibat dua orang sudah
melangkah masuk. Yang seorang adalah Tosu, tangannya
memegang Hud-tim (kebut) dan yang lain laki-laki bersenjata
Kui-thau-to (golok tebal berkepala setan).
Kedua mata si Tosu tampak bersinar tajam, segera Kim
Tiok-liu mengetahui dia pasti seorang ahli Lwekang,
sedangkan muka laki-laki bergolok itu tampak kuning
kecokJat-coklatan kedua pelipisnya menonjol, tampaknya juga
seorang jago tangguh golongan Sia-pay.
"Hei, siapa kau?" segera laki-laki bergolok itu menegur.
"Pengemis cilik yang kebetulan lewat di sini," sahut Tiok-liu.
"Huh, seorang pengemis mengapa datang ke pegunungan
sunyi yang tak berpenduduk begini?" jengek laki-laki itu.
"Persetan!" jawab Tiok-liu dengan ketus. "Kau sendiri
siapa" Berdasarkan apa kau mengurus diriku" Aku suka
datang dan tidur di sini, peduli apa dengan kau?"
Rupanya Tosu baju hijau tadi melihat Kim Tiok-liu bukanlah
sembarangan pengemis, segera ia menyela dengan tertawa,
"Eh, engkoh cilik, kau jangan marah. Kami hanya ingin
mencari seorang, seorang laki-laki yang berdandan sebagai
pelajar miskin, tadi berada di sini bukan" Tentunya kau
mengetahui dia bersembunyi dimana?"
"Pelajar miskin apa" Tidak tahu, tidak lihat!" sahut Tiok-liu
kaku. Laki-laki tadi mengorek api unggun dengan goloknya, lalu
'berkata dengan tertawa dingin, "Hm, kau pengemis cilik ini
memang pendusta, tapi jangan kira bisa membohongi aku.
Siapa tadi yang makan ubi bakar bersama kau?"
"Siapa dia, peduli apa dengan kau" Biar tahu juga takkan
kukatakan padamu!" jawab Tiok-liu ketus.
Laki-laki itu menjadi gusar dan segera hendak melabrak
Tiok-liu. Tapi si Tosu mencegahnya, katanya, "Melihat
gelagatnya si tengik itu pasti berada di sekitar sini, coba kita
menggeledahnya. Buat apa bertengkar dengan seorang
pengemis cilik begitu?"
"Ya, geledah saja dahulu, bisa jadi dia masih berada di
dalam rumah ini," kata laki-laki kecil gesit itu.
Rumah berhala bobrok ini memangnya tidak banyak isinya,
sekali pandang saja sudah tampak semuanya dengan jelas.
Soalnya laki-laki itu masih gemas kepada Kim Tiok-liu, maka
sengaja hendak cari perkara sebagai alasan untuk melabrak
pe* muda itu. Sebaliknya si Tosu tidak ingin membikin onar, dia coba
melongok sudut ruangan sana, lalu putar balik dan berkata,
"Bayangan setan saja tidak ada. Marilah kita pergi saja!"
Saat itu Tiok-liu sedang berbaring kemalas-malasan di atas
lantai dengan sebelah tangan menyanggah kepala dan sebelah
tangan lain mengupas ubi bakar untuk dimakan. Katanya
dengan tertawa, "Ya, benar, sebaiknya kalian lekas enyah dari
sini. Setelah makan kenyang segera aku akan tidur."
"Kurang ajar kau pengemis cilik ini, aku tidak menyuruh
kau enyah sebaliknya kau malah suruh kami enyah!" teriak
laki-laki itu dengan gusar. "Hm, apa barangkali kau....."
"Mau apa?" jengek Tiok-liu dengan melirik menghina.
Lekas si Tosu menarik kawannya dan berkata, "Djiau-losam,
apa artinya bertengkar dengan seorang pengemis cilik
begitu" Hayolah berangkat!"
Si Tosu adalah seorang Kangouw kawakan, diam-diam m
merasa sangsi terhadap sikap Kim Tiok-liu yang acuh tak acuh
tanpa gentar itu, ia pikir, sebabnya pengemis cilik ini
sedemikian kepala batu tentu dia mempunyai andalan
sesuatu. Seumpamg ilmu silat si pengemis sendiri tidak tinggi,
tapi gurunya pasti bukan sembarangan orang.
Tosu itu adalah Toako dari komplotan mereka, maka lakilaki
bergolok itu tidak berani membantah, terpaksa ia ikut
menyingkir. Tapi ketika berlalu di samping genta raksasa itu
mendadak ia berhenti lagi, ia mengetok genta itu beberapa
kali. "Rasanya si tengik itu tidak nanti bersembunyi di dalam
genta ini," ujar si Tosu dengan tertawa.
Nyata, walaupun si Tosu menyangsikan Kim Tiok-liu, tapi
penilaiannya terhadap si jembel cilik ini masih kurang, ia
mengira dengan tenaga pengemis ini mana mampu
mengangkat genta sebesar itu. Kalau pelajar tengik itu
bersembunyi di dalam genta dan tiada orang yang
mengeluarkannya lagi bukankah dia akan mati kelaparan di
dalam situ. la kenal pelajar miskin itu ladalah orang cerdik,
rasanya tidak sampai berbuat sebodoh itu.
Tapi laki-laki tadi agaknya belum terlampiaskan rasa
dongkolnya, kembali ia mengetok berulang kali genta itu
dengan goloknya, katanya, "Jika dia bersembunyi di dalam
biar kubikin anak telinganya pecah tergetar."
Mendadak Kim Tiok-liu membalik tubuh, dengan setengah
?berbaring dan setengah berduduk ia menegur, "Hai, sudah
kukatakan aku akan tidur, aku tidak ingin diganggu orang. Jika
kau mengetok lagi genta itu, jangan kau salahkan aku bila aku
tidak sungkan-sungkan lagi padamu."
Laki-laki itu benar-benar tidak tahan lagi terhadap sikap
Kim Tiok-liu yang takabur itu. Tanpa bicara lagi ia terus
melompat maju, jarinya seperti pisau terus menjojoh ke
punggung Kim Tiok-liu.
Agaknya laki-laki itupun tidak ingin mematikan Kim Tiokfliu,
yang dia arah adalah Moa-yang-hiat di punggung yang
bisa membikin sasarannya menjadi gatal pegal tak
tertahankan. Laki-laki itu sengaja hendak menyiksa Kim Tiokliu,
dengan cara demikian ia akan dimintai keterangan.
"Djiau-losam!" mestinya si Tosu hendak mencegah, tapi
ludah terlambat.
"Biar pengemis cilik ini merasakan kelihaianku!" bentak lakilaki
itu dan jarinya sudah mengenai badan Kim Tiok-liu.
"Agaknya juga tidak terlalu lihai," kata Tiok-liu dengan
tertawa dan masih tetap setengah berbaring secara kemalasmalasan
seperti tadi, bergerak sedikitpun tidak dan tetap
makan ubi bakarnya.
Baru lenyap suaranya mendadak terdengar laki-laki itu
mengaduh kesakitan, tanpa kuasa tubuhnya terjerembab ke
samping ?chingga menginjak gundukan api unggun.
Kiranya Kim Tiok-liu sama sekali tidak balas menyerang,
tapi badannya terlindung oleh Hou-keh-sin-kang yang sakti,
ketika jari laki-laki itu mengenai punggungnya, laki-laki itu
sendiri merasa seperti kena aliran listrik.
Keruan laki-laki itu berjingkrak dan berkaok-kaok keriku
kedua kakinya menginjak gundukan api.
"Eh, kau kepingin makan ubi barangkali" Tidak perlu
berebut, ini kuberi!" kata Tiok-liu dengan tertawa. Berbareng
ia comot sepotong ubi yang masih panas penuh arang berapi
itu tem dijejalkan ke mulut laki-laki tadi.
Tentu saja laki-laki itu tambah kelabakan dan gelagapan
karena mulutnya terbakar oleh ubi yan panas, sampai-sampai
aii matanya meleleh keluar.
"Nah, bagaimana" Enak tidak?" ejek Tiok-liu tertawa.
Laki-laki itu menjadi murka, golok yang masih dipegang nya
itu terus dibacokkan sambil menggerung, "Biar kumampus-kan
kau!" Permainan golok laki-laki itu benar-benar secepat kilat,
baru saja mulutnya mengucapkan satu kalimat itu, sekaligus
goloknya sudah membacok dan menahas secepat kilat
sebanyak enam kali enam sama dengan 36 kali.
"He, he, jangan main-main, ini bukan guyon, jika kena gt>
lokmu ini bisa berabe!" seru Tiok-liu.
Sekaligus menyerang 36 kali, tapi ujung baju Kim Tiok-liu
saja tidak dapat disenggolnya, laki-laki kecil cekatan itu
menjadi terkesima sendiri.
"Aha, ternyata kau memang benar hanya berguyon saja
dengan aku," seru Tiok-liu tertawa, "Baiklah, kalau terima
pantasnya balas memberi juga, marilah kita main-main lagi."
Berbareng itu tangannya terus mengusap ke depan. Belum
sempat laki-laki itu menghindarkan diri, tahu-tahu mukanya su
dah kena diusap oleh tangan Kim Tiok-liu yang penuh lem ubi
bercampur debu arang, keruan seketika muka laki-laki itu
berubah menjadi seperti badut.
Melihat Kim Tiok-liu berulang-ulang mengunjukkan
kepandaiannya yang hebat, kejut si Tosu sungguh tak
terperikan. la kualir Tiok-liu menyerang lagi maka cepat ia
memburu maju, kebutnya digentak sambil membentak,
"Jangan berlagak, pengemis cilik!"
Kebut yang digentak itu benang-benang kebutnya lantas
mekar sehingga Kim Tiok-liu seperti terkurung oleh beribu-ribu
jarum tajam yang mengancam seluruh Hiat-to di tubuhnya.
Terkesiap juga Kim Tiok-liu, diam-diam ia mengakui Tosu
itu seorang jago pilihan juga. Maka ia pun tidak berani
memandang enteng pada musuh, mendadak ia bersuit, kebut
si Tosu kena ditiup sehingga kusut bertebaran membalik.
"Kepandaian bagus!" seru si Tosu sambil menggertak lagi
kebutnya sehingga ujung kebut dapat dihimpun kembali. Lalu
digunakannya sebagai Boan-koan-pit untuk menusuk Ih-gi-hiat
di dada Kim Tiok-liu.
Kebut adalah benda lemas, tapi si Tosu mampu
menggunakannya sebagai Boan-koan-pit untuk menutuk,
maka dapatlah diduga Lwekangnya pasti cukup lihai. Segera
Kim Tiok-liu juga memuji 'bagus', berbareng lengan bajunya
mengebut untuk mematahkan tutukan si Tosu.
Laki-laki bergolok tadi tidak tinggal diam, segera ia pun
maju lagi dan berseru, "Pengemis cilik ini pasti begundal si
tengik itu, jangan kita lepaskan dia!"
"Sudah tentu, mana bisa kubiarkan kau dirugikan mentahmentah
olehnya!" ujar si Tosu.
Walaupun gentar juga terhadap kepandaian Kim Tiok-liu,
lapi demi membela kehormatan kawannya, terpaksa ia
mengeluarkan segenap kemampuannya untuk mengembut
Kim Tiok-liu. Meski kepandaian laki-laki itu jauh di bawah Kim Tiok-liu,
tapi ilmu silat si Tosu sangat tangguh, Kim-tiok-liu dipaksa
menghadapi serangan lihai si Tosu sehingga golok laki-laki itu
lambat-laun merupakan ancaman juga baginya.
Suatu ketika si lelaki melihat ada kesempatan baik, segeni
ia membacok dari belakang. Tapi dengan mendengarkan suara
angin, tanpa menoleh Kim Tiok-liu lantas menjentik ke bel?
kang. "Creng", golok laki-laki itu terpental. Dalam pada itu
dengan cepat luar biasa kebut si Tosu menyambar pula dari
de? pan, ternyata suatu tipu mengebut Hiat-to yang amat
lihai. Lekas Tiok-liu menggeser ke samping dengan Thian-la pohhoat,
berbareng kedua telapak tangan dengan tenaga Im dan
Yang diputar terus didorong ke depan, tenaganya menjadi
saiojj lemas dan satu kuat, kedua tangan saling bertarikan
sehingga laki-laki bergolok itu terseret maju dengan
sempoyongan, goloknya membacok tapi hampir mengenai
temannya sendiri.
Tosu baju hijau mendadak bersuara heran dan cepat mi*
langkah mundur, bentaknya, "Pengemis cilik, apakah kau anak
murid Thian-mo-kau?"
"Huh, Thian-mo-kau apa" Tidak nanti aku sudi menjadi
murid agama liar begitu?" jengek Kim Tiok-liu. "Kau berani
sembarangan omong, ini rasakan pukulanku!"
Alangkah heran dan kejut si Tosu. Setelah mematahkafc
serangan Kim Tiok-liu itu, kembali ia bertanya pula, "Kau
bukan murid Thian-mo-kau, tapi mengapa mahir ilmu silat
ajaran Thian-mo-kau?"
"Haha, sungguh lucu, kau tidak kenal ilmu silatku selm?
rusnya jangan sembarangan mengoceh!" sahut Tiok-liu sambil
bergelak tertawa. Berbareng pukulan berantai dilontarkan lagi


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga si Tosu kerepotan menangkisnya.
Kim Tiok-liu tidak tahu bahwasanya bukan tidak beralasaf si
Tosu baju hijau mengira dia adalah murid Thian-mo-kau,
karena Le Seng-lam juga pernah meyakinkan ilmu silat
warisan Kiau Pak-beng, sedangkan ilmu silat Kim Si-ih adalah
peleburan dari berbagai inti ilmu silat macam-macam aliran,
terutama ilnm silat tinggalan Kiau Pak-beng adalah sakagurunya
dan Lwekang Thian-san-pay sebagai dasar latihan.
Tadi Kim Tiok-liu menggu-nakan jurus 'Im-yang-siang-tjiongtjiang"
yang merupakan ilmu silat ciptaan Kiau Pak-beng, jurus
ini pernah dilihat si Tosu dari Tmainan Thian-mo Kautju pada
kira-kira lebih 20 tahun yang alu.
Begitulah si Tosu menjadi lebih sangsi, pikirnya, "Jika pegemis
cilik ini adalah murid Thian-mo-kau rasanya dia takkan
rani mencaci-maki kepada perguruannya sendiri. Tapi aneh
liga mengapa ilmu silatnya serupa dengan golongan Thianmo-
u?" Karena rasa sangsinya itu, si Tosu semakin ingin menang-p
hidup-hidup Kim Tiok-liu untuk ditanyai asal-usulnya, la u
kepandaian Kim Tiok-liu tidak lebih rendah daripadanya, i ia
juga dapat melihat kelemahan Kim Tiok-liu yang kurang
engalaman, maka dia memakai siasat mengulur waktu dengan
ijuan melemaskan tenaga Kim Tiok-liu, lama kelamaan tentu
an ada kesempatan baik dan sebagai pihak pengeroyok tentu
pat memanfaatkannya.
Di luar dugaan bahwa Kim Tiok-liu juga tidak bodoh, ia u
pihak lawan hendak membikin tenaganya habis, maka se-era
ia mengubah cara bertempurnya, ia mengeluarkan Thian-loboh-
hoat untuk main petak-umpet dengan kedua
pengerubutnya. Sejenak kemudian, diam-diam Kim Tiok-liu
berpikir, "To-busuk ini berkepandaian tidak lemah, aku ridak
tahu seluk-luknya pula, jika aku mengeluarkan jurus-jurus
mematikan n salah membunuh dia, mungkin malah bisa
membikin ru-yam urusan."
Melihat keraguan Kim Tiok-liu itu, si lelaki kecil gesit la-nya
mengira Kim Tiok-liu sudah mulai keder sehingga dia bah
gencar menyerang. Tiba-tiba Kim Tiok-liu mendapat akal,
pikirnya, "Keparat i sangat kurang ajar, biar aku bercanda
dengan dia."
Mendadak ia pura-pura sempoyongan dan memberi lubang
gi lawan. Laki-laki kecil itu menjadi girang, ia menubruk maju
dan membacok. Sebenarnya gabungan mereka berdua boleh dikata dapat
bekerja sama dengan sangat rapat, sehingga Kim Tiok-liu
agak repot untuk menjatuhkan mereka satu persatu, tapi
sekarang dia menerjang maju sendirian, seketika ia menjadi
kehilangan bala bantuan, hal ini memang yang diharapkan
Kim Tiok-liu. Lekas si Tosu berseru, "Awas!"
Namun sudah terlambat, sedikit menggeser, secepat kilat
Kim Tiok-liu sudah memutar ke belakang laki-laki itu. Ketika
laki-laki itu merasa bacokannya mengenai tempat kosong,
tahu-tahu kuduknya terasa panas gatal tak terkatakan.
Kiranya dengan pelahan Kim Tiok-liu mencubit tengkuknya.
Waktu kebut si Tosu menyambar untuk menolong sudah
tidak keburu lagi, Kim Tiok-liu sempat menangkisnya dengan
kebasan lengan bajunya, serunya tertawa, "Sudah lama juga
kita bertempur dan sudah waktunya kita mendapat hiburan,
sebentar boleh kau menonton joget monyet."
Mendadak laki-laki tadi berjingkrak-jingkrak dengan lagak
sangat lucu sambil mengeluarkan suara dengusan aneh,
seluruh badannya terasa penuh kutu, gatalnya tidak kepalang.
Keruan si Tosu terperanjat, serunya, "Djiau-losam, kenapa
kau?" Namun laki-laki itu masih terus berjingkrak-jingkrak seperti
orang gila, mana dia sempat menjawab"
"Hahaha tidak apa-apa. masakah jiwanya sampai celaka"
Kau jangan kuatir," demikian Kim Tiok-liu mengolok-olok
dengan tertawa "Aku cuma membalas kebaikannya tadi
sekalian menyuruh dia main joget monyet bagimu."
Kiranya Djiau-losam itu telah ditutuk Ih-gi-hiatnya oleh ilmu
Tiam-hiat Kim Tiok-liu yang tiada bandingannya Tadi laki-laki
itu pernah menyergap Kim Tiok-liu dan bermaksud me-nutuk
Ih-gi-hiat di punggungnya, sekarang dia sendiri berbalik kena
ditutuk oleh Kim Tiok-liu pada Hiat-to yang sama maka Tiokliu
mengatakan hanya untuk 'membalas kebaikannya'.
Saking tak tahan akan rasa gatalnya, akhirnya laki-laki itu
melepaskan goloknya kedua tangannya mencakar badannya
sendiri sehingga baju terobek dan kulitnya babak belur.
"Djiau-losam, kita tak bisa mengalahkan orang, jangan
membikin malu lagi di sini," kata si Tosu kemudian. Segera ia
menyeret laki-laki itu dan berlari pergi.
"Hahaha selamat jalan ya aku tidak mengantar lho!" seru
Kim Tiok-liu sambil terbahak-bahak. Lalu ia berpaling kembali
dan berkata, "Nah, kawan copet, sekarang kau sudah boleh
keluar!" Habis itu ia lantas mengangkat genta raksasa itu. Tiba-tiba
terlihat berkelebatnya sinar api yang dipadamkan. Kiranya
orang itu memegangi sebuah batu api, wajahnya tampak
termenung-menung seperti orang linglung dan masih duduk di
situ. "He, kenapakah kau?" tegur Tiok-liu.
Susing atau pelajar itu seperti baru sadar dari bermimpi,
sejenak baru berkata, "Harap kau menelungkupkan genta itu
lagi, biar aku bersembunyi sebentar pula."
Keruan Kim Tiok-liu bertambah heran, katanya "Musuhmu
sudah lari semua buat apa kau ingin bersembunyi lagi?"
"Penyakit malingku kambuh," sahut Susing itu tertawa.
Tergerak pikiran Kim Tiok-liu, di luar tahu sasarannya ia
merogoh saku Susing itu dan mendapatkan sepotong batu api
tens diketik bersinar.
"He, apa yang kau lakukan?" seru Susing itu ketika sadar
barangnya telah dicopet.
"Jangan kuatir," kata Kim Tiok-liu dengan tertawa "Bukan
maksudku hendak hitam makan hitam, mutiara masih berada
Di dalam sakumu, aku hanya pinjam pakai batu api ini saja"
Susing itu melengak, tapi lantas berkata pula "O, pahamlah
aku. Tentu kau menduga adanya rahasia itu. Banyak terima
kasih atas bantuanmu tadi, memangnya aku tidak bermaksud
menutupi rahasia ini."
"Kau paham tapi aku tidak paham, namun kau pun tidak
perlu menjelaskan, aku membantu kau hanya berdasarkan
setia lawan sesama golongan dan tidak ingin memperoleh
sesuatu balas jasa rahasia apa-apa."
"Rupanya kau salah paham maksudku, Laute," kata Susing
itu. "Hahaha, kau pun salah paham agaknya," sahut Tiok-liu.
"Aku tidak ingin penjelasanmu, aku tidak ingin mendapat balas
jasamu. Sebab, hehe, masakah aku sendiri tidak dapat
melihatnya sendiri?"
Habis berkata ia terus membalik genta raksasa itu dan
diterangi dengan batu api tadi, lalu jengeknya, "Hah, kiranya
demikian!"
Kiranya di dalam dinding genta raksasa itu banyak terukir
tulisan, setelah membaca beberapa baris saja Kim Tiok-liu
lantas tahu tulisan itu adalah Tok-kang-pit-kip (rahasia ilmuilmu
berbisa) tinggalan Thian-mo-kau. Rupanya si Susing
menemukan rahasia ilmu itu di dalam genta sehingga dia
kesengsem membacanya.
"Thian-mo-kau memiliki tiga jilid Pek-tok-tjin-keng (kitab
pelajaran seratus bisa) yang diukir semua di dinding dalam
genta itu," kata si Susing. "Ilmu silat Thian-mo-kau sangat
luas dan tidak cuma terbatas ilmu menggunakan racun saja.
Namun ilmu silat yang lain belum tentu dapat mengungguli
ilmu silat dari aliran-aliran persilatan terkemuka yang lain,
hanya Pek-tok-tjin-keng ini benar-benar merupakan ilmu yang
tiada bandingannya di dunia persilatan. Laute, boleh kau
menurunnya dengan lengkap. Kau sendiri yang menemukan
ukiran itu dan tidak dapat dianggap sebagai balas jasaku
kepadamu."
Pek-tok-tjin-keng milik Thian-mo-kau itu asalnya adalah
sebagian dari rahasia ilmu silat ciptaan Kiau Pak-beng, tapi
waktu Kim Si-ih mengambil kembali kitab itu dari Le Seng-lam,
karena dia bercita-cita mencintakan ilmu silat yang baik dan
jujur, maka Pek-tok-tjin-keng yang ganas itu lantas
dimusnahkan olehnya, hanya intisari kitab itu telah disaring
dan diambil. Kemudian sesudah ia menjadi seorang pencipta
tersendiri, kitab ilmu peninggalan Kiau Pak beng itu
dibakarnya di depan makam Le Seng-lam.
Kim Si-ih sendiri tidak pernah mempelajari Pek-tok-tjinkeng
itu, dengan sendirinya Kim Tiok-liu juga tak pernah
mendengar nama kitab itu. Hanya dalam pandangan Tiok-liu
betapapun Thian-mo-kau adalah suatu agama golongan jahat,
sudah tentu ia ddak sudi mencuri belajar ilmu silat dari
golongan Sia-pay itu.
Begitulah Tiok-liu lantas mendengus dan berkata, "Meski
aku suka mencuri, tapi barang yang kuincar juga mesti pilihan.
Kalau barang demikian rasanya masih tiada harganya buat
dicuri olehku."
"Tidak, kau belum melihatnya dengan jelas," kata Susing
itu. "Di dalamnya tidak melulu berisi ilmu dari golongan
rendah saja. Sudah tentu kita tidak sudi mencelakai orang
dengan racun, tapi tiada jeleknya mempelajari sedikit agar bila
kita diserang dapat balas menyerang dengan cara yang sama"
"Jika kau suka belajar boleh kau mempelajari sendiri, aku
tidak punya minat," sahut Tiok-liu hambar.
"Jika demikian, jadi kau pun tidak mau membantu aku
lagi?" tanya si Susing.
"Dengan gampang aku dapat bantu menelungkupkan lagi
enta itu, tapi aku tidak ada tempo buat menunggui kau,"
sahut Tiok-liu. "Toh sekarang genta ini sudah terbalik, kau
boleh merangkak ke dalam dan membaca sepuas-puasmu."
Tapi mendadak Susing itu memejamkan mata, mulurnya
pak komat-kamit sejenak, kemudian ia membuka mata dan
berkata dengan tertawa "Untung aku sudah dapat mengingat
semuanya. Aku tidak perlu membacanya lagi."
Tampaknya tadi dia kuatir melupakan sebagian isi Pek-toktjin-
keng itu, maka ia ingin membacanya sekali lagi. Tapi kini
sesudah dia dapat menghapalkan di luar kepala dengan
sendirinya ia tidak memerlukan bantuan Kim Tiok-liu lagi.
Kim Tiok-liu berbalik terkejut, pikirnya "Sungguh tidak
nyana orang ini memiliki daya ingatan sedemikian bagus. Tapi
dia berani mencuri belajar ilmu racun dari Sia-pay sehingga
sukar untuk dipastikan apakah jiwanya baik atau jahat. Ai,
sobat yang sukar diduga begini ada lebih baik tidak kudekati
saja." Tiba-tiba Susing itu berkata pula, "Bagaimana kalau kauj
membantu suatu urusan lain padaku?"
"Bantu urusan lain apa?" Tiok-liu menegas.
"Musnahkan genta ini," sahut si Susing. "Sendirian rasd nya
aku tidak sanggup."
"Mengapa genta ini harus dimusnahkan?"
"Supaya tidak diketemukan orang jahat."
Diam-diam Kim Tiok-liu tertawa dingin, pikirnya, "Kauj
sendiri baik atau jahat juga belum kuketahui. Mungkin ini
cuma alasanmu agar kau sendiri yang dapat mengangkangi
ilmu racuM dari Thian-mo-kau ini."
Lantaran umbul rasa sangsinya sehingga Kim Tiok-lii
tambah memandang hina kepada Susing itu, segera ia
menggeleng dan menjawab, "Tidak, aku tidak mau membagi
rejeki dengan kau, pekerjaan memusnahkan bukti juga aku
tidak mau berbuat."
"Memusnahkan bukti, ucapan ini sungguh menarik," ujari
Susing itu tertawa. "Tapi ini adalah bukti yang berbisa, apa
sa? lahnya kalau dimusnahkan" Cuma, ya, kalau kau tidak
suat membantu juga aku tidak dapat memaksa, terpaksa
harus kula? kukan sendiri."
Habis berkata ia lantas mengangkat genta itu dan keluar
dari kelenteng bobrok itu.
Timbul juga rasa ingin tahu Kim Tiok-liu, cara bagaimana
Susing itu akan memusnahkan genta raksasa itu. Belum
lenyap pikirannya, tiba-tiba Susing itu menoleh dan
memanggil, "Hari" masih belum terang tanah, tentunya kau
tidak buru-buru hendak berangkat bukan" Aku tidak minta kau
memusnahkan genta ini, tapi mengundang kau mengantar
layonnya saja, bagaimana?"
Mendengar ucapan yang jenaka itu Kim Tiok-liu menjadi
tertawa, katanya, "Baiklah, bukan mengantar layonmu, tapi
mengantar layon genta adalah sesuatu yang serba baru, akan
kuiringi kau."
Sambil berjalan Susing itu menghela napas, katanya,
"Bicara terus terang, sesungguhnya aku siap untuk mati setiap
waktu, apakah ada orang akan mengantar layonku atau tidak
bukan soal bagiku. Laute, tadi kalau tidak mendapat
pertolonganmu tentu jiwaku sudah melayang di tangan kedua
orang itu. Sebab ' itu, meski kau cuma menolong aku satu kali
saja dan kelak tidak sudi menolong lagi, toh aku tetap sangat
berterima kasih padamu. Ya, aku menjadi pikun, masakah
sampai sekarang aku masih belum mohon tahu namamu yang
terhormat?"
"Aku toh tidak ingin balas jasa d arimu, buat apa tanya
namaku segala" Pertemuan secara kebetulan saja, sudah
berpisah Iya sudah."
"Tidak, tidak, aku tidak bermaksud membalas budimu. Tapi
aku pikir, hehe, kupikir....."
"Apa yang kau pikirkan" Katakan saja terus terang!" kata
nTiok-Iiu dengan melotot.
"Begini, kepandaianmu dalam hal menggerayangi barang
[orang lain jauh lebih mahir daripada aku, aku tidak iri,
sebaliknya aku terima mengaku kalah. Maka aku pikir,
kepandaianmu yang hebat ini kalau tidak dipergunakan
dengan baik, kan sarang rasanya?"
"Eh, barangkali kau bermaksud berkomplot dengan aku,
bukan?" "Benar, tapi aku tidak tahu nama dan tempat kediamanmu,
kemana aku harus mencari kau?"
"Banyak teman banyak bagian, kalau ada rejeki masakah
Iku sendiri tak bisa mencurinya, buat apa berkomplot denean
kau?" 6 "Ah, rupanya kau terlampau memandang remeh padaku.
Memang kepandaian mencuri kau lebih hebat dari aku, tapi


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lubang-lubangnya, sasarannya aku lebih paham. Jadi kalau
kau berkongsi dengan aku, bukankah akan menguntungkan
kau?" Karena tidak tahu orang bersungguh-sungguh atau cuma
berkelakar, diam-diam Kim Tiok-Iiu merasa Susing itu rada
aneh dan sukar diraba. Tiba-tiba ia mendapat akal untuk
mengetahui asal-usul Susing itu dengan menumpang alamat
Kang Hay-thian, coba apakah Susing ini berani mencarinya ke
sana atau tidak. Maka ia lantas berkata, "Jejakku tidak
menentu, jika kau ingin mencari aku juga tidak sukar, kau
boleh datang ke rumah Kang Hay-thian di Tong-peng-koan, di
sana setiap saat kau dapat mencari kabar tentang diriku.
Namaku Kim Tiok-liu, Kang Hay-thian adalah sobatku yang
paling karib."
Karena melihat umur Kim Tiok-liu masih sangat muda,
Susing itu merasa sangsi, dengan tertawa ia berkata,
"Hahaha, kiranya saudara adalah sahabat baik Kang-tayhiap,
maafkan jika aku kurang hormat."
"Apakah kau kira aku membual, ya?" tanya Tiok-liu dengan
kurang senang. "Tidak, sekali-kali aku tidak punya pikiran demikian," sahut
Susing itu tertawa. "Eh, ada urusan lagi yang akan
kubicarakan dengan kau bila kita sudah menyelesaikan genta
ini." Melihat orang dapat berlari secepat terbang meski dengan
mengangkat genta sebesar itu, mau tak mau timbul rasa suka
Kim Tiok-liu, pikirnya, "Kepandaian orang ini cukup hebat
juga. Silatnya yang suka bebas lepas ini sangat mencocoki
seleraku, cuma sayang asal-usulnya belum diketahui dan tidak
enak untuk diajak bergaul."
Dalam pada itu mereka sudah tiba sampai di suatu ujung
tebing, di bawahnya ada sebuah kolam yang dalam, berdiri di
tepi tebing itu si Susing berkata, "Aku tidak mampu
Pendekar Kelana 10 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Hati Budha Tangan Berbisa 13
^