Pendekar Jembel 4

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bagian 4


menghancurkan genta ini, tapi aku dapat membuatnya lenyap
dan takkan diperoleh orang."
Habis berkata ia terus saja melemparkan genta raksasa itu.
"Blung", air kolam muncrat bergelombang. "Air mati
bergelombang, selesai sudah, puaslah aku!" katanya tertawa.
"Sejak kini di dunia ini hanya kau sendiri yang tahu ilmu
berbisa Thian-mo-kau, sudah tentu kau merasa puas!" jengek
Tiok-liu. Mendadak wajah orang itu berubah serius, katanya, "Laute,
apakah kau sangka aku adalah manusia yang serakah" Seuntai
mutiara yang kucuri ini tiada dapat kumanfaatkan,
silakan kau menerimanya."
"Hah, sungguh aneh," seru Tiok-liu. "Untuk membuktikan
kau tidak serakah apa mesti aku yang disuruh serakah"
Mutiara ini jika aku mau sudah sejak tadi kuambil. Aku sudah
menyatakan sekali-kali takkan hitam makan hitam, agaknya
kau terlampau memandang enteng padaku."
"Kau telah salah memahami maksudku, Laute," kata Susing
itu. "Kau tidak tahu. jika mutiara ini berada padaku akan
menimbulkan bencana malah, maka lebih baik kuberikan
padamu saja."
"Kalau benda itu dapat mendatangkan bencana, kau lebihlebih
tidak pantas kau membikin celaka padaku?" jengek Tiokliu.
Susing itu mengerut kening seperti ada sesuatu yang sukar
diterangkan kepada Kim Tiok-liu. Selang sejenak barulah ia
menghela napas dan berkata, "Kau tidak mau, aku pun tidak
dapat memaksa. Begini saja, boleh kau ambil dan diserahkan
kepada Kang-tayhiap, bukan mustail beliau akan dapat
memanfaatkannya."
Kim Tiok-liu tambah tidak senang, jengeknya pula,
"Masakah Kang-tayhiap mau menerima benda tak halal
demikian?"
Air muka Susing itu berubah, mendadak ia bergelak
tertawa, "Hahaha, benda tidak halal! Ya, memang benar juga.
Jika kalian toh tidak mau menerimanya, bila ditinggalkan
hanya akan merupakan bibit bencana, aku tak bisa
mempertahankan barang ini, juga sekali-kali tak boleh
diperoleh orang jahat."
Habis berkata ia terus meremas putus tali untaian mutiara
itu dan ditebarkan ke tengah kolam, seketika biji-biji mutiara
yang besar itu sama tenggelam ke dalam kolam dan
menimbulkan buih yang kecil-kecil, dalam sekejap saja
permukaan kolam itu kembali tenang lagi.
Walaupun tidak kepingin memiliki mutiara yang tiada
ternilai itu, tapi terhadap tindakan si Susing yang tak terdugaduga
itu mau tak mau Kim Tiok-liu menjadi tercengang,
katanya tanpa terasa, "Ah, sayang, sayang!"
"Kau toh sudah tidak mau, mengapa mesti disayangkan
lagi?" ujar si Susing. "Setelah kubuang seluruhnya ada lebih
baik daripada diperoleh orang jahat dan digunakan untuk
perbuatan-perbuatan yang tidak baik."
Diam-diam Kim Tiok-liu merasa tindak-tanduk si Susing
benar-benar sukar diraba. Semula ia menyangka jiwa si Susing
itu tidak sehat karena telah mencuri belajar ilmu beracun
Thian mo-kau, tapi sekarang ia rela membuang seuntai
mutiara mestika yang tak ternilai itu, hal demikian sekali-kali
tak mungkin diperbuat oleh sembarang orang. Maka ia lantas
bertanya, "Ucapan saudara rasanya mengandung arti tertentu.
Entah dari mana kati asal-usul mutiara tadi, mengapa saudara
mengatakannya akan merupakan bibit bencana di kemudian
hari?" "Bicara tentang untaian mutiara tadi mesti menyangkut suatu
urusan rahasia," kata Susing itu.
Kim Tiok-liu mengerut kening, selanya, "Jika menyangkut
urusan rahasia lebih baik jangan diceritakan saja"
"Terhadap orang lain tentu takkan kuceritakan, tapi Laute
adalah sahabat baik Kang-tayhiap, maka tiada halangannya
kukatakan. Jadi aku sendiri yang suka bercerita apakah kau
mau dengar atau tidak boleh terserah padamu."
"Baiklah, jika kau mau bercerita terpaksa aku akan
mendengarkan."
"Apakah kau tahu di dunia Kangouw ada Liok-hap-pang?"
tanya si Susing.
"Liok-hap-pang" Tidak tahu!" sahut Tiok-liu.
"Su Pek-to, Pangtju dari Liok-hap-pang itu sangat terkenal
di dunia Kangouw, masakah kau tidak pernah mendengar
namanya?" "Selamanya aku tidak suka bersanak dengan orang-orang
ternama juga tidak suka mencari tahu urusan orang lain. Maka
aku tidak kenal namanya."
Susing itu menjadi heran, pikirnya "Jika pengemis cilik ini
[mengaku sebagai sahabat karib Kang Hay-thian seharusnya
dia mmn seorang tokoh tertentu, mengapa dia mengatakan
tidak per-pah mendengar nama Su Pek-to" Padahal bicara
tentang tokoh Bu-lim yang ternama, nama tokoh pertama
justru adalah Kang-tayhiap, mengapa dia bilang tidak suka
kepada orang ternama" IfBenar-benar terlalu dia!"
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Kim Tiok-liu baru saja
pulang dari lautan sana terhadap tokoh-tokoh Bu-lim di daerah
Tionggoan memang kurang paham. Yang diketahui hanya
para sahabat ayahnya dahulu, Liok-hap-pang adalah suatu
perkumpulan yang baru saja berkembang dan terkenal,
dengan sendirinya Kim Tiok-liu tidak tahu menahu. Kang Haythian
sendiri sudah tentu tahu nama Su Pek-to dengan Liokhap-
pangnya tapi dia cuma berkumpul satu hari dengan Kim
Tiok-liu dan banyak urusan pendng yang harus dibicarakan,
dengan sendirinya soal Liok-hap-pang segala tidak sempat
diceritakan oleh Kang Hay-Irian.
Biarpun si Susing salah paham dan merasa kurang puas
atas jawaban Kim Tiok-liu tadi, tapi ia masih terus
melanjutkan, "Untaian mutiara mestika tadi adalah benda
yang diperoleh Su Pek-to dengan susah payah, maksud
tujuannya benda ini akan digunakan untuk memikat golongan
yang berpangkat dan berkuasa"
"Darimana kau tahu?" tanya Tiok-liu. "Eh, ya aku pun
belum mengetahui namamu?"
"Tjayhe she Li dan bernama Tun. Aku adalah seorang juru
tulis Su Pek-to."
"O, kiranya demikian. Makanya kau sengaja mencuri
mutiara mestika ini untuk merintangi maksud tujuannya itu."
"Tindakanku ini sebenarnya juga karena aku merasa
sayang kepada Su Pek-to, pula untuk mencegah pertambahan
musuh di antara sesama orang Bu-lim. Tetapi, ai, Su Pek-to
ternyata tidak dapat memahami maksud baikku, sebaliknya dia
hendak membinasakan aku, terpaksa aku harus kabur dan
bersembunyi ke sana-sini."
"O, kiranya demikian," kata Tiok-liu dengan hambar, ia se
tengah percaya setengah tidak. Ia pikir segala urusan tentu
akan bisa jelas, bilamana nanti ditanyakan kepada Kangsuheng.
Rupanya si Susing dapat meraba isi hati Kim Tiok-liu,
segera ia berkata pula* "Biarpun Tjayhe buronan di Kangouw,
tapi juga tidak perlu mohon belas kasihan orang. Secara
kebetulan Kim-siauhiap bertemu dengan aku dan sudi
menolong aku satu kali, bagi Kim-siauhiap hal ini hanya secara
kebetulan saja, tapi bagiku benar-benar merupakan budi yang
tak terlupakan. Sekarang masakah aku berani merecoki Kimsiauhiap
lagi dengan urusan lain. Baiklah, biar kumohon diri
saja, semoga berjumpa pula."
Kim Tiok-liu berbaiik tidak enak mendengar ucapan orang
Tapi orang sudah tegas menyatakan tidak ingin bantuannya
lagi. jika sekarang dirinya menyatakan bersedia membantu
mungkin malah akan dianggap orang sebagai suatu
penghinaan. Terpikir demikian maka Kim Tiok-liu tidak
mencegah kepergian Susing itu.
Untuk sejenak Kim Tiok-liu tertegun, seakan kehilangan
sesuatu, pikirnya, "Tampaknya dia ada maksud mengikat
persahabatan dengan aku, tapi sayang aku yang telah
mengecewakan maksud baiknya. Dia mengatakan Liok-happang
dan Su Pek-to sangat terkenal, jika demikian dengan
mudah aku akan dapat mencari tahu kepada para paman
sahabat ayah."
Begitulah ia lantas meninggalkan Tji-lay-san dan menuju ke
Kangsoh untuk menyambangi teman lama ayahnya. Orang
pertama yang dia tuju adalah Tan Thian-ih.
Tan Thian-ih adalah keturunan bangsawan yang pernah
menjadi duta di Tibet. Kang Lam, ayah Kang Hay-thian,
pernah njadi kacung Thian-ih dan kemudian saling
mengangkat saudara pula. Hubungan Kim Si-ih dengan Thianih
tidak kurang Karibnya seperti persahabatan-nya dengan
Kang Lam dan Tiong iang-thong.
Rumah Tan Thian-ih terletak kira-kira ratusan li di luar ko-
Sohtjiu, kampung itu dekat Thay-oh, yaitu danau raya yang
gat indah pemandangannya.
Sampai di tempat kediaman Tan Thian-ih itu hari sudah kat
magrib, Tiok-liu ingat cerita ayahnya bahwa paman Tan
adalah keluarga berpangkat, walaupun Thian-ih sendiri tidak
rnah menjabat sesuatu pangkat dan telah menjadi orang Buim,
tapi adat-istiadat lama masih tetap diutamakan oleh Thian-
. Maka Tiok-liu tidak berani sembrono lagi kepada kaum tua, a
membeli satu setel pakaian di kota dan memangkas pula
raminnya. Habis berdandan barulah ia menuju rumah Tan
Thian-ih. Sementara itu hari sudah malam.
Ia mondar-mandir dulu di depan rumah, pikirnya. "Jika
mengetok pintu mohon bertemu tentu akan banyak makan
waktu. Cara demikian tentu akan mengejutkan tetangga
sekitarnya. Bagiku tidak menjadi soal, tapi mungkin hal ini
tidak di-kehendaki oleh Tan-sioksiok. Biarlah aku masuk dulu
ke dalam dan urusan belakang."
Hendaklah maklum, dahulu Kim Si-ih pernah menjadi
buronan kerajaan, meski sudah lebih dari 20 tahun Kim Si-ih
mengasingkan diri, tapi perkaranya masih belum digugurkan.
Sebab itulah Kim Tiok-liu kuatir Tan Thian-ih merasa segan
bila mendadaak kedatangan tamu dan mungkin akan
menimbulkan curiga tetangga.
Segera Kim Tiok-liu mengeluarkan Ginkangnya yang tinggi
dan melompat ke dalam pekarangan rumah. Pikirnya, "Biar
aku membikin kaget mereka, baru nanti aku minta maaf,
kukira Tan-sioksiok juga takkan marah padaku."
Dengan enteng sekali Kim Tiok-liu melayang lewat pagar
tembok tanpa menimbulkan suatu suara, ia mengira Tan
Thian-ih dan istrinya pasti tidak tahu akan kedatangannya.
Belum lagi kaki Kim Tiok-liu menyentuh tanah, sekonyongkonyong
terdengar suara mencicit beberapa kali, entah benda
macam apakah senjata rahasia itu, tampaknya bundar dan
sebesar mutiara, mengkilat pula dalam kegelapan, bintik-bintik
putih terus berhamburan ke arahnya. Lekas Tiok-liu
memukulkan sebelah telapak tangannya. Butir-butir senjata
rahasia yang mirip mutiara itu mendadak pecah dan
menyebarkan hawa di ngin, tanpa merasa Kim Tiok-liu sampai
menggigil, keruan ia terkejut.
Yang menyerang dengan senjata rahasia itu adalah Yu
Peng, istri Thian-ih. Senjata rahasia itu bernama 'Peng-pok-sin
tan' (peluru sakti inti es), yaitu intisari batu es yang digali dan
gunung es sehingga senjata rahasia ini benar-benar hebat dan
tiada tandingannya. Dahulu waktu Yu Peng menjadi dayang
istana es, Peng-tjoan Thian-li telah memberikan ratusan butir
Peng-pok-sin-tan tersebut. Sekarang dia masih ada sisa 30-an
butir dan sudah lama tidak digunakan.
Jika Kim Tiok-liu terkejut, sebaliknya Yu Peng juga tidak
kurang kagetnya. Ia pikir penjahat cilik ini mampu menahan
hawa dingin peluruku, ini menandakan kepandaiannya tidak
boleh dipandang ringan.
Diam-diam Kim Tiok-liu mengerahkan Lwekangnya untuk
memusnahkan hawa dingin menusuk tulang tadi sehingga
seketika tidak dapat membuka suara. Dalam pada itu dengan
cepai Yu Peng memburu maju dengan tusukan pedangnya.
"Bangsal cilik Liok-hap-pang, memangnya kami hendak
mencari kalian untuk membikin perhitungan, kebetulan kau
datang lebih dulu!" demikian dampratnya.
Melihat serangan yang lihai itu, terpaksa Kim Tiok-liu
mengerahkan Lwekang yang tinggi, jarinya menjentik,
"creng", pedang Yu Peng itu diselentik pergi, karena tenaga
dalamnya kalah kuat, Yu Peng sampai tergentak mundur dua
tiga tindak. "Bangsat cilik jangan berlagak!" bentak Thian-ih, sekaligus
ia pun menusuk tiga kali ke tempat berbahaya di tubuh Kim
Tiok-liu. Ia kuatir istrinya dicelakai sehingga terpaksa
menggunakan jurus-jurus serangan mematikan.
Kekuatan Thian-ih jauh lebih hebat dari istrinya, Kim Tiokliu
tak berani menjentik pula dengan tenaga jari, terpaksa ia
menggunakan Thian-lo-poh-hoat dan dengan gesit
menghindarkan dua kali serangan, ketika serangan ketiga
Thian-ih tiba pula, Kim Tiok-liu lantas mengebas dengan
lengan bajunya. "Bret", sebagian lengan bajunya terpapas
oleh pedang Thian-ih, tapi pedang Thian-ih juga kena dikebas
ke samping. Alangkah heran dan kejutnya Thian-ih. "Siapakah kau?"
tanyanya dengan pedang siap melintang di dada.
"Buat apa ditanya lagi, selain orang Liok-hap-pang siapa
lagi yang berani main gila kepada kita?" sela Yu Peng.
"Tampaknya bukan," ujar Thian-ih. "He, lekas kau mengaku
terus terang. Apakah kau orang suruhan Su Pek-to?"
Ubun-ubun kepala Kim Tiok-liu menguapkan kabut putih
yang tipis, kini ia telah dapat memunahkan seluruh hawa
dingin sang meresap ke dalam tubuhnya tadi. Maka sambil
bergelak tertawa dapatlah ia bicara, "Tan-sioksiok, cincinku ini
rasanya kau dapat mengenalnya bukan" Siautit bernama Kim
Tiok-liu dan sengaja datang menyambangi Tan-sioksiok,
terimalah hormatku ini."
Cincin yang dipakai Kim Tiok-liu adalah buatan dari panah
kemala tinggalan Kiau Pak-beng yang telah dirombak, cincin
ini seluruhnya ada tiga bentuk, yang satu telah diberikan Kang
Hay-thian, sebuah lagi diberikan kepada orang yang harus
ditemui oleh Kang Hay-thian di kotaraja pada hari Tjap-gomeh
nanti dan sebentuk lagi diberikan kepada putranya
sendiri, yakni Kim Tiok-liu.
Memangnya Thian-ih sudah sangsi ketika melihat Tiok-liu
mengeluarkan Thian-lo-poh-hoat tadi, sekarang setelah
memperhatikan cincin kemala yang diperlihatkan, seketika


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pahamlah dia, sungguh girangnya tak terhingga, serunya,
"Ayahmu adalah Kim Si-ih, Kim-tayhiap!"
"Siautit memang diperintahkan ayah agar datang kemari
menyambangi Tan-sioksiok," kata Tiok-liu.
"Haya, mengapa tidak kau katakan sejak tadi sehingga kita
sampai salah paham," seru Yu Peng sambil mendekati mereka.
Diam-diam Tiok-liu berkata di dalam hati, "Begitu datang
kau lantas menyerang aku, darimana aku sempat bicara
padamu?" Segera ia pun memberi hormat dan berkata, "Siautit kualir
mengganggu sehingga tidak mohon bertemu melalui pintu,
pantas paman dan bibi salah sangka. Entah mengapa bibi
mengira Siautit adalah orang Liok-hap-pang?"
"Hal ini terlalu panjang untuk diceritakan, marilah kita
bicara di dalam saja," sahut Yu Peng tertawa. "Eh, apakah
ayah-bundamu baik-baik saja?"
"Berkat doa restu bibi, mereka baik-baik semua," sahut Kim
Tiok-liu. "Ai, dalam sekejap 20 tahun sudah berlalu, kita sudah tua
semua," ujar Thian-ih dengan gegetun. "Sungguh tidak nyana
hari ini masih sempat melihat putra sahabat lama."
Lalu Thian-ih membawa Kim Tiok-liu ke kamar tulisnya
setelah mengambil tempat duduk masing-masing, kemudian ia
berkata, "Liok-hap-pang adalah suatu perkumpulan rahasia
yang baru beberapa tahun berkembang di dunia Kangouw.
Pangtju mereka bernama Su Pek-to, konon ilmu silatnya
sangat tinggi, tapi aku sendiri belum pernah bertemu."
"Sebab apakah Liok-hap-pang hendak merecoki Tan-sioksiok?"
tanya Tiok-liu.
"Mestinya aku dan mereka tidak punya sangkut-paut apaapa,"
tutur Thian-ih. "Soalnya anakku yang telah bertengkar
dengan orang mereka."
"Anak kami yang bernama Tan Kong-tjiau," sambung Yu
Peng. "Beberapa tahun yang lalu ia sudah mulai berkelana,
paling akhir lantaran berurusan dengan Liok-hap-pang, dia
pernah pulang satu kali. Sayang kau terlambat datang, dia
baru saja berangkat lagi kemarin. Sebab itulah ketika kau
mondar-mandir di depan rumah tadi, kami menyangka kau
adalah orang Liok-hap-pang."
"Bulan yang lalu di jalanan Ek-pak, Kong-tjiau memergoki
ferang-orang Liok-hap-pang membegal suatu rombongan
peda-pang obat-obatan," demikian Tan Thian-ih melanjutkan.
"Karena membela keadilan, Kong-tjiau membunuh dua anak
buah Liok-hap-pang. Tapi di antara mereka ada seorang
Hwesio yang Berkepandaian tinggi, dia kena dilukai oleh
pedang Kong-tjiau, (sebaliknya Kong-tjiau juga kena sebuah
Tau-kut-ting (senjata rahasia paku) dan pulang kemari
merawat lukanya selama be-berapa hari. Begitulah terjalinnya
permusuhan dengan Liok-hap-lang."
"Jika demikian, Liok-hap-pang itu jelas adalah kaum bandit,
tentunya Su Pek-to juga seorang iblis jahat," ujar Tiok-liu.
"Su Pek-to itu pandai berpura-pura, semula dia mendapat
aama baik, siapa tahu diam-diam dia berbuat macam-macam
kelihatan," kata Thian-ih. "Cuma kejahatannya baru setahun
terakhir ini diketahui oleh kaum pendekar Kangouw, maka
sebegitu jauh masih belum diadakan penumpasan kepada
mereka." "Kabarnya Su Pek-to bermaksud memikat kaum pembesar
dan mengabdikan diri kepada kerajaan, apakah benar perkara
mi?" tanya Tiok-liu.
"O, kiranya kau pun mendengar berita demikian," sahut
Thian-ih. "Tanggal sepuluh bulan depan adalah hari ulang
tahun ke-60 dari Tailwe Tjongkoan (kepala urusan umum
kerajaan) Sat Hok-ting, kabarnya Su Pek-to akan datang
sendiri menghaturkan selamat kepadanya, bahkan sedang
mengumpulkan macam-macam benda mestika untuk
dipersembahkan kepada gem-Bong kerajaan itu. Hal ini tersiar
dari anggota Liok-hap-pang jpndiri, kukira dapat dipercaya.
Waktu mereka mengadakan pembegalan rombongan
pedagang obat-obatan itu juga, katanya
di antara bahan obat-obatan yang dibawa mereka itu ada
sepotong Ho-siu-oh yang ribuan tahun umurnya. Ho-siu-oh itu
katanya adalah pesanan seorang pangeran, tetapi Liok-happang
ingin membegalnya untuk dipersembahkan pada Sat
Hok-ting."
"Entah di antara kado yang hendak dia sumbangkan itu,
adakah seuntai mutiara mestika yang tak ternilai harganya?"
tanya Tiok-liu.
"Itulah aku tidak tahu," jawab Thian-ih. "Mengapa Hiantit
bertanya tentang ini?"
Maka Tiok-liu lantas bercerita tentang pengalamannya di
ruang kelenteng Thian-mo-kau di atas Tji-lay-san itu.
"Orang itu mengaku sebagai juru tulis Su Pek-to, namanya
Li Tun, apakah Tan-sioksiok tahu akan orang ini?" tanyanya
kemudian. "Aku tidak tahu. Tapi dua orang yang hendak
menangkapnya itu rada terkenal. Mereka adalah tokoh-tokoh
yang termasuk di antara empat jago pilihan Liok-hap-pang."
"Siapa-siapa saja keempat jago Liok-hap-pang itu?" Tiok-liu
menegas. "Empat jago Liok-hap-pang itu terdiri dari seorang Hwe-sio,
Tosu, Bandit dan seorang lagi Janda," tutur Thian-ih. "Hwe-sio
itu bergelar Wan-hay, si Tosu bernama Djing-hu. Si Bandit
bernama Djiau Sik, asalnya adalah bandit besar di daerah
Liau-tang, karena kalah bertanding dengan Su Pek-to, lalu ia
rela menjadi kaki-tangannya. Adapun si Janda bernama Tang
Tjap-sah-nio. Kabarnya di antara keempat jago itu, ilmu silat si
Janda terhitung paling tinggi. Sesudah suaminya mati, dia
lantas kecantol dengan Su Pek-to dan jadilah Hiangtju
perempuan dari Liok-hap-pang. Yang kau ketemukan di Tjilay-
san itu adalah si Tosu dan si Bandit."
"Kepandaian si Bandit Djiau Sik itu masih tidak seberapa,
tapi Djing-hu Todjin memang cukup lihai, meski aku telah
mengalahkan dia, tapi kemenangan itu diperoleh secara tidak
mudah. Jika ilmu silat si Janda lebih tinggi daripada si Tosu,
maka Liok-hap-pang tampaknya memang tidak sedikit
terdapat jago-jago pilihan."
"Kabarnya ilmu silat Su Pek-to sendiri malah lebih tinggi
daripada mereka," kata Thian-ih. "Oleh karena itu untuk
menumpas Liok-hap-pang boleh dikata bukan suatu pekerjaan
yang gampang."
"Cuma kami suami istri pada suatu kesempatan pasti akan
membikin perhitungan dengan Liok-hap-pang," demikian Yu
Peng menambahkan. "Kim-hiantit, apakah Kang-suhengmu
pernah bicara tentang Liok-hap-pang padamu."
"Rupanya tempo hari Kang-suheng sangat sibuk melayani
tamu-tamunya, sehingga urusan yang tidak terlalu penting
tidak dibicarakan padaku," jawab Tiok-liu.
"Suhengmu mantu mestinya kami harus pergi memberi
selamat padanya, tapi kebetulan Kong-tjiau pulang menderita
luka sehingga kami tidak sempat berangkat, sungguh kami
sangat menyesal," kata Thian-ih. "Cuma, dalam waktu singkat
kami tetap hendak pergi menyambangi Suhengmu."
Meski Thian-ih dan istrinya tidak gentar kepada Liok-happang,
tapi mereka kuatir kalau Su Pek-to datang sekaligus
ber-fiima keempat jagoannya sehingga mereka suami istri
kewalahan menghadapi. Sebab itulah mereka ingin pergi
menjenguk Kang Hay-thian untuk minta nasehat cara
menghadapi Liok-hap-pang itu.
Segera Tiok-liu berkata, "Dalam waktu dekat ini mungkin
Kang-suheng akan berangkat ke Pakkhia melalui daerah barat
laut, jadi mengambil jalan berputar."
"Sebab apa begitu?"tanya Thian-ih.
"Kang-suheng ingin pergi dulu ke Sedjiang untuk
menjenguk Tiok Siang-hu," sahut Tiok-liu.
"Kira-kira kapan dia baru bisa sampai di Pakkhia, apakah
kau tahu?" tanya Thian-ih.
"Pada hari Goan-siau tahun depan Kang-suheng pasti
sudah berada di sana," tutur Tiok-liu. Karena ayahnya cuma
menunjuk Kang Hay-thian sendirian pergi ke pertemuan Pitmo-
khe, apa urusannya ia sendiri pun tidak tahu, maka tidak
dikatakan kepada Thian-ih.
Maka berkatalah Thian-ih, "Baiklah, jika begitu aku akan
pergi ke Pakkhia untuk menemui Suhengmu. Liok-hap-pang
sedang sibuk mengatur sumbangan ulang tahun bagi Sat Hokting,
rasanya mereka belum sempat mencari perkara padaku
untuk sementara."
Begitulah lantas Tiok-liu tinggal dua hari di rumah Tan
Thian-ih, hari ketiga ia lantas mohon diri dan berjanji akan
bertemu di Pakkhia sesudah hari Tjap-go-meh tahun depan.
Hari ini tepat tanggal 15 bulan sembilan, jadi jarak hari
Goan-siau tahun depan masih ada empat bulan persis. Kim
Tiok-liu tidak perlu buru-buru dalam perjalanan. Pikirnya,
"Sudah lama kudengar bahwa di atas ada surga, di bumi ada
Soh (tjiu) dan Hang (tjiu). Kali ini aku sampai di Sohtjiu, maka
harus pesiar sepuas-puasnya di sana."
Sepanjang jalan ia menikmati pemandangan alam yang
indah permai. Saking takjubnya sehingga derapan dua ekor
kuda dari belakang tak diketahui olehnya, dia baru
mengetahui ketika kedua penunggang kuda itu sudah berada
disebelahnya. Waktu ia menoleh, dilihatnya penunggang-penunggang
kuda itu yang seorang adalah seorang Hwesio yang berkepala
gemuk dan telinga besar, yang lain adalah wanita yang
bersolek secara berlebihan. Hwesio gemuk itu sedang
mengangkat cambuk kudanya dan membentak Kim Tiok-liu,
"Hai, anak dungu, minggir!"
Agaknya Hwesio itu melihat Kim Tiok-liu berjalan seperti
pelajar sinting, maka sengaja hendak membikin kaget
padanya. Cepat Tiok-liu mengegos ke samping dan bersiap sedia, bila
cambuk orang melayang tiba, segera ia akan memberi balasan
yang setimpal. Tapi mendadak terdengar si wanita berseru kepada
kawannya itu, "Jangan sembrono, tampaknya anak ini adalah
keluarga orang mampu!"
Hwesio itu sempat menarik kembali cambuknya, sekali
menarik tali kendali, secepat terbang kudanya lantas
membedal lewat di samping Kim Tiok-liu.
"Kurang ajar, jadi kalian menghormati pakaian daripada
orangnya, untung aku telah ganti baju baru, kalau tidak kan
aku merasakan cambukmu tadi" Hm, kau tidak jadi merecoki
aku, sekarang akulah yang akan mengusik kau," demikian pikir
Kim Tiok-liu. Dan baru saja ia bermaksud mengeluarkan Ginkangnya
untuk mengejar, tiba-tiba terdengar pula si wanita berkata
dengan tertawa, "Jika, watakmu selalu berangasan begini.
Tadi waktu lewat Bok-tok aku menjadi kuatir kalau-kalau kau
akan mampir ke sana untuk mencari onar."
"Memangnya kalau tidak karena urusan barang celaka ini,
masakah aku tidak mampir ke sana untuk menuntut balas?"
sahut si Hwesio. "Ya, sekarang terpaksa harus menunggu
pulangnya baru kita membikin perhitungan dengan mereka."
Tiok-liu melengak mendengar percakapan itu, pikirnya,
'"Jangan-jangan kedua orang ini adalah si Hwesio dan si Janda
idari Liok-hap-pang itu?"
Bok-tok, nama kampung yang disebut itu adalah tempat
kediaman Tan Thian-ih. Jelas yang dimaksudkan dalam
percakapan mereka itu adalah mengenai permusuhan Tan
Kong-tjiau dengan Liok-hap-pang yang baru saja terjadi. Dan
entah 'barang celaka' yang dikatakan si Hwesio itu benda
macam apa maksudnya"
Waktu Kim Tiok-liu tertegun sejenak, sementara itu kedua
penunggang kuda itu sudah membedal pergi jauh.
Setelah tenang kembali, Tiok-liu menjadi tertawa sendiri,
pikirnya, "Buat apa aku mesti merecoki urusan mereka dan
merunyamkan kesenanganku terhadap pemandangan seindah
ini. Peduli mereka itu siapa, yang paling perlu biarlah aku
pesiar beberapa hari sepuas-puasnya di Sohtjiu."
Jarak dusun Bok-tok dengan Sohtjiu cuma ratusan li saja,
meski Kim Tiok-Hu tidak mempercepat langkahnya toh pada
sebelum petang ia sudah sampai di kota itu.
Sohtjiu memang terkenal sebagai kota dengan kebun dan
taman yang indah, dimana-mana tumbuh-tumbuhan
menghijau permai. Hati Kim Tiok-Liu menjadi sangat gembira,
katanya di dalam hati, "Biarlah aku beristirahat senikmatnikmatnya
selama beberapa hari di Gway-hoat-lim."
Gway-hoat-lim, suatu taman hiburan terkenal, letaknya di
sebelah utara kota. Asalnya tempat ini adalah istana
peristirahatan Thio Su-sing, raja pemberontak di zaman Tju
Goan-tjiang. Sesudah kalah perang dan Thio Su-sing mati,
istana itu dirampas sebagai barang sitaan dan kemudian
dilelang. Sampai permulaan dinasti Boan-djing, taman hiburan
itu telah berganti pemilik beberapa kali, akhirnya jatuh di
tangan seorang saudagar besar dan telah merombak istana itu
sebagai suatu taman hiburan dengan perlengkapan macammacam
permainan serta hotel segala, lantaran perlengkapan
yang mewah, maka sewa hotel di situ mahalnya ratusan kali
daripada hotel umumnya, maka khusus disediakan untuk
kaum saudagar besar serta bangsawan yang kelebihan duit.
Malahan kalau tidak pesan tempat lebih dulu, kalau mendadak
ingin mencari kamar sering kali ditolak karena tempat penuh.
Ketika di rumah Tan Thian-ih, pernah Kim Tiok-liu
menyatakan hendak pesiar ke Sohtjiu, maka Thian-ih telah
memperkenalkan Gway-hoat-lim kepadanya. Tiok-liu masih
cukup membekal uang hasil curiannya, maka ia sengaja
hendak menghabiskan uang itu ke Gway-hoat-lim.
Begitu memasuki taman hiburan itu, di hadapannya lantas
terbentang sebuah jalan serambi panjang yang berbelakbelok,
pada dindingnya banyak dihiasi lukisan-lukisan dan seni
tulis kuno yang indah, cuma sayang pemilik 'Taman Hiburan
Gembira" itu tidak bisa merawat sehingga benda-benda seni
itu banyak yang sudah luntur dan rusak.
Dari jalan serambi itu. kedua sampingnya penuh dengan
pepohonan yang rindang, dimana-mana terdapat pohonpohon
bunga, bambu dan gunung-gunungan mengitari kolam
bunga teratai serta hutan buatan. Pemandangan demikian
hakikatnya tidak mirip sebuah hotel, tapi lebih mirip kediaman
kaum bangsawan.
Hati Kim Tiok-liu sangat senang, diam-diam ia mengakui


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

taman hiburan itu memang sesuai dengan namanya dan
dirinya harus bisa menikmatinya dengan baik.
Kantor hotel itu terletak di ujung serambi sana. Waktu Kim
Tiok-liu tiba, dari jauh pengurus hotel itu sudah melihatnya.
Karena melihat pakaian Kim Tiok-liu cukup perlente, maka
pengurus itu tidak berani ayal, dengan sangat hormat ia
menyambut kedatangannya, sapanya, "Kedatangan tuan
sungguh sangat tepat, sore tadi kebetulan ada seorang tamu
yang baru berangkat. Kamar ini terhitung salah satu kamar
kami yang terbaik, cuma sewanya rada mahalan sedikit."
"Hahaha, tidak menjadi soal, aku justru menginginkan
kamar yang paling mewah," kata Tiok-Liu dengan tertawa.
"Berapa sewanya?"
"Lima tail perak sehari," sahut pengurus hotel. "Ah, terlalu
murah, biar bulatkan saja, kubayar sepuluh tail perak," seru
Kim Tiok-liu sambil merogoh keluar sepotong uang emas,
katanya pula, "Ini kira-kira bernilai 50 tail perak. Sementara
aku ingin menyewa tiga hari, sisanya boleh tahan sebagai
uang da?aran, perhitungkan saja nanti."
Tamu-tamu yang biasa datang di Gway-hoat-lim pada
umumnya memang adalah orang-orang kaya raya, tapi royal
seperti Kim Tiok-liu jarang ada, maka pengurus itu menjadi
kegirangan, berulang-ulang ia mengucapkan terima kasih. lalu
mengantar Tiok-liu ke kamarnya.
Sesuai dengan sewanya yang mahal, maka kamar hotel
Gway-hoat-lim juga lain daripada yang lain. Kamar-kamarnya
tidak berderet menjadi satu, tapi terpisah dalam bentuk villa
dan tersebar di sekitar taman, ada villa yang cukup didiami
suatu keluarga, tapi juga ada yang disediakan untuk
perorangan dengan segala perlengkapannya.
Sementara itu hari sudah malam, sesudah mandi dan
bersantap malam Kim Tiok-liu lantas masuk kamar untuk
mengaso. Ia pikir malam ini harus tidur siangan agar besok
penuh semangat dan dapat pesiar sepuas-puasnya.
Baru saja ia berganti pakaian dan hendak tidur, tiba-tiba
didengarnya di luar ada suara ribut-ribut, suara itu datangnya
dari kantor pengurus. Tiok-Liu merasa suara orang itu seperti
sudah dikenalnya, segera ia melangkah keluar ingin
melihatnya. Kiranya yang membikin ribut adalah si Hwesio dan
wanita yang dilihatnya di tengah perjalanan itu.
Dilihatnya pengurus hotel itu sedang membungkukkan
badan dan minta maaf, "Sungguh menyesal, Taysu, memang
benar-benar kamarnya sudah penuh semua."
Bahwasanya Hwesio menginap di hotel adalah hal yang
jarang terjadi, apalagi si Hwesio membawa seorang
perempuan. Pengurus itu takut terjadi perkara, biarpun ada
kamar kosong juga bilang tidak ada.
Rupanya Hwesio itu menjadi gusar, dampratnya, "Apakah
kau mengira aku sebagai orang beragama" Tak peduli kau ada
kamar kosong atau tidak, yang jelas aku sudah pasti akan
tinggal di sini."
Habis berkata, sebuah kotak cat merah terus ditaruh di atas
meja. Penguasa Gway-hoat-lim itu memang ada menyediakan
tukang pukul, maka seorang tukang pukul segera mendekati
hendak mengangkat kotak merah itu, maksudnya kotak itu
hendak dilempar keluar, lalu Hwesio ini akan digertak agar
enyah. Bentuk kotak merah itu kira-kira setengah meter
panjangnya dan lebar belasan senti. Sudah tentu tukang pukul
menganggap soal sepele saja untuk membuang kotak itu.
Siapa tahu ketika hendak mengangkat kotak itu ternyata kotak
itu sedikit-pun tidak bergeming. Segera ia mengeluarkan
segenap tenaga dan barulah dapat diangkat.
Keruan tukang pukul itu amat terkejut, sungguh sukar
dimengerti mengapa kotak sekecil itu mempunyai bobot
sedemikian beratnya, sedikitnya ada ratusan kati. Yang
membikin si tukang pukul terlebih kaget adalah sesudah peti
merah itu terangkat, di atas meja terlihat ada dekukan yang
dalam, padahal meja itu terbuat dari kayu merah yang amat
keras, kalau cuma ditaruh i benda seberat ratusan kati saja
rasanya takkan sampai mende-kuk, terang si Hwesio yang
telah menggunakan tenaga dalamnya.
Dari samping Kim Tiok-liu terus mengikuti, ia pun rada
heran atas kejadian itu. Pikirnya, "Kotak merah itu mungkin
adalah 'barang celaka' yang dikatakan kepala gundul di tengah
jalan itu. Entah apa isi kotak itu. Sekalipun berisi emas perak
atau batu permata toh bobotnya tidak sampai begitu berat."
Semula tukang pukul itu bermaksud menggertak dan
mengenyahkan si Hwesio, tapi sekarang mukanya menjadi
merah guram dan tak berani bersuara.
Si Hwesio lantas menjengek, "Ada apa" Kau mau merebut
barangku, ya" Baiklah jika kau suka bolehlah kau ambil saja."
Baru selesai ucapannya, "biang", tahu-tahu kotak merah itu
terjatuh dan tepat menimpa kaki si tukang pukul. Keruan ia
berjingkrak dan berkaok-kaok kesakitan. Jatuhnya kotak
bukanlah perbuatan si Hwesio, tapi disebabkan tenaga si
tukang pukul sendiri yang memang tidak kuat lagi memegangi
kotak merah yang berat itu.
Mendadak si wanita, teman si Hwesio tersenyum, ketika
ujung kakinya mencungkil, tahu-tahu kotak itu lantas meloncat
ke atas dan jatuh dalam tangannya. Tampaknya dia sama
sekali tidak membuang tenaga, mirip anak kecil bermain bola
saja, lalu katanya, "Maksud kami hendak meninggalkan benda
ini sekedar sebagai jaminan supaya kalian tidak kuatir, siapa
tahu kalian tidak mau terima, terpaksa kami menyimpannya
kembali." Kaki si tukang pukul yang tertimpa kotak itu pecah dan
berlumuran darah, kawannya memayang dia ke samping dan
ia sedang merintih kesakitan, tapi tidak berani berbuat apaapa.
Lekas si pengurus tampil dengan tertawa, katanya, "Mana
kami berani memandang hina kepada tuan tamu. Soalnya
kamar memang sudah penuh semua dan sekali-kali bukannya
kami ku-atir tuan tidak mampu membayar."
Mata si Hwesio tampak mendelik dan agaknya hendak
mengumbar amarah lagi, tapi si wanita kembali tersenyum
dan berkata, "Djiko, biarlah aku yang mengurusnya."
Lalu ia membentang sebuah kipas lempit, katanya pula
dengan menyeringai, "Nah, coba kalian ingat-ingat lagi, bisa
jadi masih ada kamar kosong yang kalian lupakan."
Di atas kipas lempit itu ada terlukis enam buah tengkorak.
Di antara tukang-tukang pukul yang bekerja di Gway-hoat-lim
itu ada anggota perkumpulan rahasia, ia terperanjat melihat
tan da tengkorak itu, cepat ia menghadap si pengurus tadi.
Tapi pengurus itu masih berkata pula dengan tersenyum
getir, "Di dalam kota masih cukup banyak hotel, silakan tuan
tamu mencari ke sana saja."
"Hm, justru kami ingin mencari hotel yang paling bagus dan
banyak orang menunjuk tempatmu ini, maka apapun jugn
harus tinggal di sini," dengus si Hwesio.
Diam-diam Tiok-Liu baru paham mengapa mereka masuk
kota lebih dulu tapi belakangan baru datang ke Gway-hoatlim.
rupanya mereka telah mencari hotel dulu di dalam kota.
"Hm, umumnya kaum Hwesio memandang segala apa se
bagai khayalan belaka, tapi kepala keledai ini justru bisa mera,
sakan kenikmatan hidup," demikian pikir Tiok-liu.
Dalam pada itu si tukang pukul tadi sampai berkeringat
saking kuatimya, lekas ia mengedipi si pengurus lagi. Padahal
pengurus itu sudah melihat isyarat si tukang pukul, soalnya un
tuk menjaga kehormatan, terpaksa ia pura-pura menolak lapi
sembari mencari akal untuk mengakhiri masalah itu.
Selang sejenak barulah si pengurus memperlihatkan sikap
terpaksa dan berkata, "Karena Taysu sedemikian menghargai
fcotel kami, betapapun terpaksa aku berusaha bagimu. Ya,
memang masih ada sebuah kamar yang telah dipesan
langganan kami yang akan datang besok. Biarlah aku
menanggung sedikit resiko dan malam ini akan kami berikan
kepada Taysu. Cuma kamar ini adalah kamar untuk tamu
perorangan, mungkin kurang leluasa bagi kalian berdua."
Si wanita tampak merah mukanya, lalu katanya, "Coba kau
ingat-ingat lagi barangkali masih ada kamar lain."
"Sungguh-sungguh tidak ada lagi," sahut si pengurus
dengan muka murung. "Cuma biarpun kamar untuk
perorangan juga dilengkapi dengan kamar tidur dan ruang
tamu tersendiri."
"Hahahaha!" si Hwesio tertawa. "Sebagai murid Buddha
sudah lama aku menjauhi kehidupan insaniah, soal laki-laki
dan perempuan tidak perlu dipikirkan. Jika ada kamar tidur
dan ruang tamu itulah paling bagus. Simoay (adik keempat),
bolehlah kita terima saja supaya dia tidak serba susah. Berapa
uang sewanya?"
Di dalam hati si pengurus mengutuk, "Murid Buddha
macam kau seharusnya masuk neraka!"
Tapi lahirnya dia memaksakan tersenyum dan berkata,
"Pelayanan hamba kurang sempurna, mana kami berani minta
lang kepada Taysu?"
"Ya, sudahlah, karena kau tidak mau menerima, aku pun
lidak memaksa lagi," kata si Hwesio sambil tertawa.
Melihat tontonan itu sudah selesai, Kim Tiok-liu lantas
kembali ke kamarnya lagi. Tapi celaka, ketika si Hwesio
melangkah keluar, ia mengenali Tiok-liu, seketika matanya
mendelik. Syukur si wanita lantas membisiki kawannya itu, "Djiko,
|ingan banyak urusan!"
Walaupun sangat lirih suaranya tapi dapat juga didengar
aleh Kim Tiok-liu, pikirnya, "Memangnya aku takut kalian
mencari urusan padaku" Hm, kalian tidak cari urusan padaku,
akulah nanti yang akan mencari perkara padamu."
Sesudah pulang ke kamarnya dan mengaso, kira-kira
tengah malam, diam-diam Kim Tiok-liu berpikir, "Enam teng
korak yang terlukis di atas kipas lempit wanita siluman itu ten
tulah tanda pengenal Liok-hap-pang. Kedua orang itu jelas
sekali adalah si Hwesio keparat Wan-hay dan si Janda Tang
Tjap-sah-nio. Baiklah, akan kugoda mereka nanti."
Sebelumnya Tiok-liu sudah mengingat dengan baik tempat
tinggal kedua orang itu yang terdiri dari sebuah villa yang ter
pencil di pojok taman sana, di sebelahnya ada sebuah gunung
gunungan buatan. Dengan hati-hati Kim Tiok-liu bersembunyi
di belakang gunung-gunungan itu untuk mendengarkan gerakgerik
kedua orang. "Auuuh, kau minta mampus!" mendadak terdengar si wa
nita berteriak. "Aku kan bukan Tan Thian-ih, jika kau ingin mu
in tangan dan gerak kaki, bolehlah cari Tan Thian-ih saja."
"Main tangan dengan Tan Thian-ih adalah permainan adu
nyawa, mana bisa dibandingkan kesenangan kalau main
tangan dengan kau?" terdengar si Hwesio menjawab dengan
tertawa. Waktu Tiok-liu mengintip, dilihatnya Hwesio itu duduk st
jajar dengan si wanita di atas tempat tidur. Wanita itu sudah
menanggalkan baju luar dan tinggal memakai kutang warna
jam-bon saja, tampaknya sangat genit dan menggiurkan.
"Baiklah, boleh kalian senang-senang sekarang, sebentai
boleh kalian rasakan pahitnya," demikian diam-diam Tiok-liu
menertawakan mereka.
Maka terdengar si wanita sedang berkata pula, "He, apakah
kau takut kepada Tan Thian-ih?"
"Kenapa aku takut kepada Tan Thian-ih" Yang aku takuti
adalah kau punya.....Hehehe. kau punya teman baik itu,"
demikian jawab si Hwesio sambil menyengir. "Hehehe, bila Supang
tju mengetahui kita tinggal bersama satu kamar, entah
cara bagaimana aku akan ditindak olehnya?"
"Asal kau tahu saja, makanya tahu aturan sedikit, kalau
tidak, jika kulapor kepada Pek-to mustail dia tidak membeset
kulitmu," kata si wanita.
Mendengar percakapan mereka itu, maka jelaslah bagi Kim
Tiok-liu, mereka memang benar adalah Wan-hay dan Tang
Tjap-sah-nio dari Liok-hap-pang.
Maka terdengar Wan-hay Hwesio lagi berkata, "Jika kau
berani lapor kepada Pangtju, aku akan bilang kaulah yang
menggoda diriku."
"Ngaco-belo," semprot Tang Tjap-sah-nio pura-pura marah.
"Aku memanggilmu untuk bicara urusan dinas, tapi tanganmu
lantas main gerayangan. Selesai bicara bolehlah kau lekas
enyah dan tidur saja di ruang tamu."
"Baik, baik," sahut Wan-hay. "Urusan dinas apa yang
hendak kau bicarakan, coba silakan bicara, aku siap
mendengarkan."
"Apa isi kotak merah ini, kau tahu atau tidak?" tanya Tang
Tjap-sah-nio. "Mana boleh kau sembarangan
menggunakannya untuk menggertak orang. Jika terjadi
sesuatu, apakah kau sanggup bertanggung jawab?"
"Untuk menakut-nakuti sebangsa kaum keroco begitu saja
sipa halangannya?" ujar Wan-hay tertawa "Kau sendiri
menyaksikan, biar kuberikan kepada mereka juga takkan
mampu mengangkatnya masakah perlu kualir mereka akan
merampas barang ini?"
"Kau jangan takabur," kata Tang Tjap-sah-nio. "Hendaknya
ingat di atas langit masih ada langit, orang pandai ada pula
yang lebih pandai. Meski kaum keroco begitu tidak perlu
ditakuti, tapi dengan caramu mempertontonkan benda ini, bila
di sekitarnya ada orang kosen, bukankah akan terus diketahui
isi kotak yang luar biasa ini" Maka kukira ada lebih baik
berhati-hati sedikit."
"Nasihatmu ini sudah tentu akan kuingat dengan baik," japab
Wan-hay. "Cuma sesungguhnya aku memang tidak tahu
apa isi kotak ini, aku hanya mengetahui ini adalah kado yang
akan disumbangkan pada ulang tahun Sat-tjongkoan."
"Kau benar-benar tidak tahu?" Tang Tjap-sah-nio menegas.
"Pangtju hanya menyuruh aku menjaganya dengan baikj
dan tidak memberitahukan apa isinya, dengan sendirinya aku
pun tidak berani bertanya," kata Wan-hay.
"Jika Pangtju tidak memberitahu kepadamu, maka kamw
pun tidak perlu tahu saja," ujar Tang Tjap-sah-nio dengan
tertawa. Dengan menghela napas menyesal Wan-hay Hwesio
berkata, "Sungguh membikin orang kecewa. Padahal kita
sama-sama Hiangtju dalam Pang, tugas-tugas sulit saja yang
diberikan padaku, sebaliknya kalau ada rahasia hanya kau
yang diberi-tahu."
"Kembali kau mengacau lagi," omel Tang Tjap-sah-nio.
"Sudahlah, biar kuberitahukan padamu. Di dalam kotak ini ada


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepotong 'Hian-tiat' (besi murni), sebab itulah sedemikian
beratnya."
"Hian-tiat apa?" tanya Wan-hay.
"Hian-tiat saja tidak tahu, percuma saja kau terhitung tokoh
dunia persilatan," ujar Tang Tjap-sah-nio dengan tertawa. "Ini
adalah sejenis logam yang hanya terdapat di Sing-siok-hay di
puncak pegunungan Kunlun, besi murni ini sangat sukar dicari.
Bobotnya paling sedikit sepuluh kali lipat daripada berat besi
biasa." "Apa gunanya besi murni demikian?" tanya Wan-hay.
"Jika ada pandai besi yang mahir, besi murni ini dapat
digembleng menjadi sebuah pedang wasiat yang hebat," kata
Tang Tjap-sah-nio.
"Ai, jika begitu, benda mestika demikian kan sayang bila
diberikan kepada Sat-tjongkoan?"
"Sebenarnya Pek-to telah menyediakan sejenis barang lain
sebagai kado untuk Sat-tjongkoan, cuma sayang barang itu
hilang sehingga besi murni yang mestinya akan dia pakai
sendiri terpaksa digunakan sebagai pengganti."
"Benda mestika apa lagi yang satunya itu" Kenapa sampai
hilang?" "Tentunya kau pun tahu peristiwa kaburnya Li Tun dengan
mencuri pusaka?"
"Aku tahu bahwa Pangtju mengutus Djing-hu dan Djiau I
Sik untuk menguber bocah itu. Cuma tidak tahu barang apa
yang dicuri dan dibawa kabur itu?"
"Benda mestika yang kumaksudkan itu, serenceng mutiara
yang besar-besar dan bulat terdiri dari ratusan butir. Setiap
butir mutiara besar itu nilainya kira-kira ada tiga ribu tail
perak." Wan-hay menjulurkan lidah, katanya, "Aduh maki Jika de-I
mikian, serenceng mutiara itu bukanlah berharga tiga ratus
ribu tail perak?"
"Lebih, sedikitnya lima ratus ribu tail perak!" ujar Tang
Tjap-sah-nio. "Sebab teramat sulit untuk mengumpulkan
ratusan . butir mutiara yang demikian bagus. Maka kalau tiap
butir bermarga tiga ribu tail, sebaliknya kalau terhimpun
menjadi satu ka-llung, akan berharga sedikitnya lima ratus
ribu tail perak. Mutiara mestika itu diperoleh Su-pangtju dari
seorang saudagar Persi de-Ingan macam-macam bujukan dan
akhirnya barulah dibelinya. Jika orang biasa, biarpun
mempunyai lima ratus ribu tail perak juga belum tentu dapat
membeli benda mestika sebagus itu."
"Wah, jika demikian, terlalu enak bagi bocah she Li itu, dia
benar-benar telah menjadi orang kaya mendadak. Pantas Supangtju
menjadi begitu marah dan bersikeras akan
menangkapnya."
"Tapi biarpun bagaimana mutiara adalah benda yang dapat
dinilai, sebaliknya besi murni di dalam kotak ini adalah benda
yang tak bisa dinilai," kata Tang Tjap-sah-nio, dengan
tertawa, "Bicara sesungguhnya memang besi murni ini jauh
lebih bernilai daripada kalung mutiara itu."
"Akan tetapi untuk kado hari ulang tahun, mungkin Sattjongkoan
lebih menyukai kalung mutiara itu."
"Memang, dan bagi Pangtju sendiri juga lebih suka memiliki
besi murni itu. Tapi justru pada saat kado ulang tahun hendak
dikirim, kalung mutiara itu dicuri oleh Li Tun sehingga
terpaksa Pangtju menggantinya dengan besi murni mestika
itu. Cuma hal yang membuat murka Pangtju bukanlah melulu
mengenai kalung mutiara yang dicuri itu."
"Ada soal lain apa lagi?" Wan-hay menegas.
"Apakah kau mengetahui bahwa Thian-mo-kau memiliki
tiga jilid Pek-tok-tjin-keng?"
"Kabarnya Thian-mo-kautju dahulu menyimpan kitab
pusaka di dalam kelenteng pemujaan di atas Tji-lay-san,
konon rahasia ini tersiar keluar dari mulut seorang bekas
dayang ketua Thian-mc-kau sendiri dan entah betul atau
tidak" Namun apa sangkut pautnya hal mi dengan Li Tun?"
"Memang Su-pangtju juga pernah mendengar berita
demikian, hanya tidak mengetahui dimana letak kelenteng
Thian-mo-kau yang dimaksudkan itu. Beliau bermaksud
mendapatkan tiga jilid Pek-tok-tjin-keng itu, siapa tahu bocah
she Li itu telah mendahului satu langkah dan dapat
mencurinya lebih dulu."
"Dari mana kau mendapat tahu bahwa kitab-kitab pusaka
itu telah dicuri Li Tun?"
"Bukankah kau sendiri sudah tahu bahwa Pangtju
memerintahkan Djing-hu dan Djiau Sik mengejarnya" Coba
kau terka kemana dia kabur" Justru dia lari dan bersembunyi
di dalam kelenteng Thian-mo-kau di atas Tji-lay-san."
"Hah, jika begitu masakah Li Tun itu mampu lolos lagi"
Bahkan mampu mencari pula Pek-tok-tjin-keng?"
"Soalnya memang kita kena dikibuli," ujar Tang Tjap-sahnio.
"Waktu berada di dalam Pang kita, Li Tun pura-pura
berlagak sebagai seorang juru tulis yang tidak paham ilmu
silat Padahal ilmu silatnya sangat kuat, mungkin tidak di
bawah kita."
"Walaupun begitu, dia takkan mampu mengalahkan Djinghu
dan Djiau Sik berdua."
"Nanti dulu, ceritaku belum lagi habis," tutur Tang Tjapsah-
nio. "Ketika Djing-hu dan Djiau Sik menyusul sampai di
ketenteng itu, jejak Li Tun ternyata lenyap dan entah dari
mana datangnya seorang pengemis cilik, mereka berdua
dilabrak dan dibikin keok."
Diam-diam Kim Tiok-liu tertawa geli, pikirnya, "Aku justru
berada di depan matamu, tapi dasar kalian ini sudah buta
melek dan tidak kenal padaku."
Dalam pada itu terdengar Tang Tjap-sah-nio sedang
menyambung ceritanya, "Setelah lari keluar dari kelenteng,
Djing-hu dan Djiau Sik tidak lantas pergi jauh, tapi mereka
sembunyi di tengah semak-semak yang berdekatan. Tidak
lama kemudian mereka melihat Li Tun berjalan keluar
bersama pengemis kecil itu, tangan Li Tun membawa sebuah
genta besar, genta besar itu kemudian dibuang ke dalam
kolam yang ratusan meter dalamnya. Bahkan mereka
menyaksikan Li Tun membuang pula kalung mutiara itu ke
dalam kolam yang dalam dan curam itu, maka terang sukar
diketemukan lagi benda-benda mestika itu. Melihat perbuatan
Li Tun itu, akhirnya Djing-hu berdua sadar bahwa Pek-tok-tjinkeng
itu pasti terukir di dalam genta besar itu. Tentu pula Li
Tun bersembunyi di dalam genta itu sehingga terhindar dari
pencarian mereka."
"O, jika demikian, jadi Li Tun memang benar-benar telah
mendahului satu langkah membaca dan memahami isi Pektok-
tjin-keng itu?"
"Yang lebih menggemaskan adalah dia melemparkan genta
itu ke dalam kolam sehingga Su-pangtju tidak mungkin
mendapatkannya lagi, hal inilah yang membuat Pangtju
menjadi murka," kata Tang Tjap-sah-nio.
Baru sekarang Kim Tiok-liu memahami duduk persoalan,
pikirnya "Jika begitu akulah yang salah menyangka jelek pada
U Tun. Dia tidak sengaja memonopoli Pek-tok-tjin-keng itu,
lapi demi untuk menghindarkan isi kitab pusaka itu tidak jatuh
di tangan gembong iblis seperti Su Pek-to, maka dia sengaja
melenyapkan genta berukir Pek-tok-tjin-keng itu."
Sementara itu Tang Tjap-sah-nio melanjutkan, "Tugas Li
Tun di dalam Pang kita adalah mengurus segala surat
menyurat sehingga tidak sedikit rahasia Pang kita yang
diketahuinya. Lantaran ketiga sebab inilah, maka apapun juga
Pangtju ingin menangkapnya. Beliau sudah menjanjikan, siapa
saja yang mampu menangkap kembali bocah she Li itu, dia
akan diangkat menjadi wakil Pangtju."
"Wah, kalau begitu aku akan coba berusaha," kata Wanhay.
"Simoay (adik keempat), pada kesempatan kita
mengantar kado ulang tahun ini, kita akan banyak bertemu
dengan kawan-kawan Kangouw di kotaraja nanti, kepada
mereka kita dapat minta bantuan untuk ikut menyelidiki
kemana perginya bocah she Li itu."
"Kukira kau tidak perlu memikirkan soal ini."
"Bukan aku menginginkan kedudukan wakil Pangtju, cuma
kita berempat mempunyai nama yang sama tingginya, jika kita
berdua dapat melakukan pahala ini, sedikitnya akan dapat
menekan Djing-hu dan Djiau Sik ke bawah."
"Persaingan demikian di antara kawan sendiri kukira tidak
perlu." "Apakah kau kuatir aku tidak mampu mengalahkan keparat
Li Tun itu?"
"Bukan begitu maksudku," sahut Tang Tjap-sah-nio. "Habis
sebab apa?"
"Biar kukatakan terus terang padamu, bahwasanya Pangtju
benar-benar ingin membinasakan bocah she Li itu. Cuma di
belakang bocah itu, ada pula yang mendukungnya. Orang
yang mendukungnya itu kita sekali-kali tidak boleh
menyalahinya."
"Siapa orang itu?" tanya Wan-hay heran.
"Masakah kau belum paham" Siapa lagi kalau bukan adik
kesayangan Pangtju sendiri, Su-siotjia kita, Su Ang-ing."
"O, kiranya dia! Terhadap budak itu memang benar Pangtju
rada-rada mengalah padanya."
"Diam-diam budak itu jatuh hati pada Li Tun, orang lain
mungkin tidak tahu, tapi aku tak dapat dikelabui olehnya.
Cuma saja aku tidak berani memberitahukan kepada Pangtju."
"Kepandaian budak itu tidak di bawah kakaknya, tapi
rasanya dia pun tidak berani melawan kakaknya secara
terang-terangan."
"Kau ini memang bebal dan tak dapat menggunakan otak."
'Ai, berada bersama orang pintar seperti kau, masakah aku
perlu memutar otak segala?" ujar Wan-hay dengan cengarcengir.
"Baiklah, mohon kau memberi penjelasan!"
"Biarpun si budak Ang-ing itu tidak berani terang-terangan
membangkang kepada kakaknya, tapi kalau kita menangkap
jan-ung hatinya, apakah dia takkan dendam kepada kita"
Betapapun ia adalah adik Pangtju, sedangkan Pangtju sendiri
pun mengarti padanya. Andaikan bocah she Li itu dapat
ditangkap kembali uga mungkin sekali akan dilepaskan lagi
oleh budak itu. Lalu buat apa kita mengikat permusuhan
dengan budak itu?"
"Dasar pikiran wanita memang lebih cermat," ujar Wan-iay
tertawa. "Baiklah, aku akan menurut padamu, selanjutnya ?la
aku melibat si Li Tun juga aku akan pura-pura tidak tahu."
"Nah, apa yang kuketahui sudah kuberitahukan padamu,
.arang bolehlah kau pergi saja."
Tidak, tidak. Aku masih ingin bicara hal-hal penting pa-
Kau jangan main gila. Aku tidak percaya kau ada urusan
iting segala."
"Benar-benar ada urusan penting. Coba dengarkan dulu, itu
tampaknya rada-rada mencurigakan." "Omong saja tak genah.
Bocah, bocah yang mana?" "Bocah yang kita ketemukan di
tengah jalan itu. Bukankah kita pergoki dia lagi di sini?"
"Orang adalah putra keluarga bangsawan, setiba di Sohtjiu
kalau tidak tinggal di Gway-hoat-lim ini mau tinggal dimana?"
"Tapi aku tetap merasa gerak-geriknya sangat
mencurigakan. Bukankah kau pun melihat dia sangat
memperhatikan diri sekitar."
"Ah, kau sendirilah yang banyak curiga. Tapi, coba katakan,
dimana letak gerak-geriknya yang inencurigakan?"
"Bukankah baru saja kau bercerita bahwa Djing-hu dan
Djiau Sik telah bertemu dengan seorang pengemis di Tji-laysan
dan mereka telah keok dikalahkan oleh jembel cilik itu."
"O, jadi kau menyangsikan bocah itu adalah si pengemis
cilik?" "Memang bukan mustahil mereka adalah orang yang samu
Dari sorot matanya yang tajam dapat kulihat dia pasti seorarr
yang mahir ilmu silat. Pula seorang putra bangsawan masakah
begitu tabah ketika kudaku menyerempet lewat di
sampingnya, sama sekali dia tidak kaget atau gugup."
Diam-diam Tiok-liu terkejut dan berpikir, "Hwesio yanj
kusangka dogol ini kiranya juga seorang Kangouw yang ber
pengalaman."
"Orang yang mahir ilmu silat apakah juga perlu diheran
kan" Sudahlah, kau jangan sembarangan curiga lagi."
"Kupikir akan pergi menyelidiki bocah itu," ujar Wan-hay.
"Jangan banyak urusan lagi, tidur saja Besok kita masih
harus menempuh perjalanan jauh."
Wan-hay lantas cengar-cengir, katanya "Baik, baik. Kau
mengajak tidur masakah aku berani membantah. Marilah kita
lekas tidur saja."
"Persetan, apa yang kau pikir?" omel Tang Tjap-sah-nio
dengan muka merah. "Keluar, keluar dan tidur di ruang tamu
sa na." "Hah, kukira kau menyuruh aku tidur di sini. Eeh, jangan
main dorong segala!" seru Wan-hay dengan tertawa.
"Kau berani sembarangan mengoceh lagi segera kupukul
kau." "Pukul tandanya cinta. Apa halangannya bagiku jika cuma
kau pukul saja. Haya jadi kau ingin memukul sungguhan!"
Tadinya Wan-hay duduk di tepi ranjang, sekarang dia su
dah diusir keluar kamar tidur. Tempat berdiri Tang Tjap-sahnio
sekarang juga tepat di depan jendela.
Kim Tiok-liu merasa sebal mendengarkan kelakar kedua
rang yang sedang main gila itu. Mesdnya ia bermaksud turun
ngan melabraknya tapi lantas terpikir olehnya akan lebih baik
enunggu mereka tidur lebih dulu dan kemudian akan mencuri
otak merah itu. Pertama sudah tentu ia menginginkan besi
murni itu. Kedua agar mereka gagal mengantar upeti ulang
tahun. Tak terduga Kim Tiok-liu tidak jadi segera turun tangan,
ebaliknya Tang Tjap-sah-nio malah sudah mendahului turun
gan, bahkan Kim Tiok-liu hampir menelan pil pahit.
Begitulah, pada saat Kim Tiok-liu sedang menimangnimang,
sekonyong-konyong pandangannya menjadi silau.
Tang jap-sah-nio telah menghamburkan segenggam Bwe-hoatjiam,
senjata rahasia jarum halus.
Rupanya Tang Tjap-sah-nio sudah mengetahui di luar da
orang mengintip, bahkan dia pun sudah menaruh curiga
terhadap Kim Tiok-liu. Sebabnya dia pura-pura tidak mau
percaya ocehan Wan-hay tadi justru hendak membikin Kim
Tiok-liu lengah.
Cara menyambitkan senjata rahasia Tang Tjap-sah-nio itu
sangat lihai. Kim Tiok-liu bersembunyi di belakang batu


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gunung-gunungan, jika jarum itu dihamburkan dari depan
tentu sukar mengenainya. Tapi jarum-jarum itu ternyata
melayang dulu ke atas batu gunung-gunungan itu, kemudian
barulah membelok ke bawah. Caranya benar-benar sukar
dibayangkan orang lain. Maka ketika Kim Tiok-liu
menengadah, tahu-tahu pandangannya silau oleh
berhamburnya jarum-jarum halus itu dan sukar menghindar
lagi. Namun Kim Tiok-liu memperlihatkan Ginkangnya yang
hebat, mendadak ia meloncat ke samping sehingga jarumjarum
itu menyambar lewat di bawah kakinya satu pun tidak
ada yang mengenai dia.
Waktu Tiok-liu menarik napas, tiba-tiba tercium bau amis,
baru sekarang ia tahu bahwa senjata rahasia yang
dihamburkan Tang Tjap-sah-nio itu tidak cuma caranya
istimewa, bahkan juga beracun.
"Perempuan keparat yang keji, ingin kulihat kau masih
punya kepandaian apa lagi?" maki Kim Tiok-liu.
Tapi baru saja ia menancapkan kakinya kembali di atas taJ
nah, belum sempat bertindak lain, mendadak Wan-hay sudahi
menubruk tiba sambil membentak, "Pengemis cilik, rasakan
dulu kepalanku ini!"
Namun Kim Tiok-liu menahan pukulan lawan dengan tela!
pak tangan, berbareng kepalan lawan itu dicengkeramnya.
Terdengar Wan-hay mengerang keras, kepalanya terbelur lima
jalur luka oleh cakaran Kim Tiok-liu. Sebaliknya Tiok-liu juga
tergetar mundur dua tiga tindak oleh pukulan Wan-hay itu.
Diam-diam Kim Tiok-liu mengakui tenaga dalam kepala
gundul itu tidaklah lemah, malahan menurut paman Tan
(Thian ih), katanya kepandaian perempuan siluman itu jauh
lebih tinggi lagi dari rekan-rekannya, maka malam ini aku
harus melayani mereka dengan sepenuh perhatian dan tidak
boleh memandang enteng mereka. Demikian pikir Tiok-liu.
Dalam pada itu Wan-hay menubruk lagi sambil mengge?
ram, kedua kepalan menghantam sekaligus. Melihat serangan
hebat ini, lebih dulu Tiok-liu mengelak dengan langkah ajaib
Thian-Io-poh-hoat, dan baru saja ia hendak memutar ke
belakang lawan untuk menutuk 'Hong-hu-hiat' di
punggungnya, tiba-tiba terdengar suara angin menyambar,
Tang Tjap-sah-nio ternyata sudah muncul, belum dekat
orangnya namun cambuknya yang panjang sudah menyabet
lebih dulu. Menghadapi kerubutan dua orang itu, Kim Tiok-liu tidak
menjadi gugup, ketika cambuk musuh sudah hampir mengenai
tubuhnya, cepat Tiok-liu mengerutkan tangannya ke dalam
lengan baju, lalu lengan bajunya dikibaskan sehingga cambuk
lawan terbelit.
"Lepas!" bentak Kim Tiok-liu sambil membetot sekuatnya.
"Belum tentu bisa!" jawab Tang Tjap-sah-nio sambil tertawa.
Terdengar suara "bret" sekali, ternyata sepotong kain
lengan baju Kim Tiok-liu kena dirobek oleh cambuknya. Nyata
te-naganya walaupun tidak di atas Kim Tiok-liu, paling sedikit
juga cukup kuat untuk menandinginya.
Dengan langkah lebar Kim Tiok-liu melompat ke samping
sejauh dua tiga meter. Dalam pada itu dengan cepat sekali
Tang njap-sah-nio menyusul tiba, cambuknya kembali
menyambar pula. Dengan segala kemampuannya, dengan
kegesitan serta kepandaian Bik-khong-tjiang (pukulan kosong
dari jauh) yang kuat, dengan tidak mudah barulah Kim Tiok-liu
dapat menghindarkan tiga kali cambukan berantai yang
dilancarkan oleh Tang Tjap-sah-nio itu.
"Aku tidak hendak menganiaya anak muda, boleh kau lolos
pedangmu saja!" ujar Tang Tjap-sah-nio tertawa ketika
hendak berganti serangan lain.
Kim Tiok-liu paling benci kalau ada orang memandang kecil
padanya, segera ia mencabut pedangnya dan menjengek,
"Aku pun tidak ingin menganiaya kaum wanita, boleh suruh
gendakmu itu maju sekalian saja!"
Keruan Wan-hay berjingkrak karena boroknya kena
ditonjok, bentaknya murka, "Anak keparat ini harus dibunuh
untuk menutup mulutnya!"
"Ah, buat apa marah kepada seorang pengemis cilik, kau
..." baru saja Tang Tjap-sah-nio hendak mengatakan 'kau
menyingkir saja', mendadak sinar pedang sudah menyambar,
pedang Kim Tiok-liu sudah menusuk ke arahnya.
Tang Tjap-sah-nio terkejut melihat ilmu pedang Kim Tiokliu
sangat lihai, ia tidak sempat banyak omong lagi, lekas
mengegos ke samping.
Siapa tahu serangan Kim Tiok-liu itu hanya pancingan laja,
baru saja Tang Tjap-sah-nio mengegos ke samping, mentodak
ujung pedang Kim Tiok-liu membelok ke sebelah lain, g
diarah adalah Wan-hay.
Dengan kaget Wan-hay cepat menangkis dengan goloknya,
namun luput, tahu-tahu Kim Tiok-liu mendesak maju,
pedangnya kembali menusuk dari arah yang sama sekali tak
terduga sebelumnya.
Untung Tang Tjap-sah-nio juga cukup gesit, "serrr",
cambuknya kembali menyabet dari samping. Serangan ini
memaksa musuh harus menyelamatkan diri lebih dulu. Maka
terpaksa Kim Tiok-liu harus mengelak agar tubuhnya tidak
sampai terlilit cambuk musuh, dengan gerakan 'Hong-goktjiong-
siau' atau burung kuning melayang ke udara, ia
meloncat ke atas. Lantaran itu pula tusukan tadi menjadi
meleset pula dan menyerempet lewat di atas kepala Wan-hay,
hampir saja kulit kepalanya yang gundul itu terkupas
sebagian. Keruan Wan-hay berkeringat dingin walaupun terhindar dari
tusukan yang hampir menembus lehernya itu. Diam-diam
Tang Tjap-sah-nio mengakui kelihaian Kim Tiok-liu, ia
menduga dirinya sendiri jika satu lawan satu rasanya sukar
memperoleh kemenangan sekalipun juga tidak sampai kalah.
Maka maksudnya hendak menyuruh Wan-hay menyingkir tadi
tidak jadi diucapkan.
Setelah melabrak kedua lawannya itu, Kim Tiok-liu sangat
senang. Dilihatnya Wan-hay sedang meraba kepalanya yang
gundul itu, segera ia mengejek dengan tertawa, "Haha,
bangsal gundul, jangan kuatir tentang jiwamu, untuk
sementara aku masih belum ingin membinasakan kau. Jika
kubunuh kau berani aku akan kehilangan bukti dan saksi
perbuatan durhaka kalian" Kukira akan lebih menarik bila Su
Pek-to sendiri yang akan mengambil tindakan kepada kalian."
Sekalipun Tang Tjap-sah-nio adalah perempuan yang tak
bermoral, tapi betapapun juga ia ingin menjaga nama, sudah
tentu ia tidak tahan dengan olok-olok Tiok-liu itu. Dengan
menger-tak gigi ia bermaksud membinasakan jembel muda
yang dibencinya ini.
Kalau bicara tentang kepandaian sejati sebenarnya belum
pasti Tang Tjap-sah-nio mampu mengalahkan Kim Tiok-liu.
Tapi cambuk yang dia pakai itu adalah sejenis cambuk pusaka
yang bisa lemas dan bisa keras, uletnya luar biasa dan tak
terputus oleh golok atau pedang biasa. Panjang cambuk
itupun dapat mencapai jarak dua tiga meter jauhnya.
Sebaliknya pedang Tiok-liu tiada satu meter panjangnya,
dalam hal ukuran senjata saja sudah merugikan Kim Tiok-liu.
Apalagi ilmu permainan cambuk Tang Tjap-sah-nio itu sangat
aneh perubahannya, biarpun Kim Tiok-liu banyak mengetahui
macam-macam ilmu silat dari berbagai golongan sebagaimana
yang pernah didengar dari ayahnya serta Ki Hiau-hong, tapi
ilmu cambuk Tang Tjap-sah-nio inilah . yang masih tetap
belum dapat dijajaki olehnya cara mematahkannya.
Di pihak lain Tang Tjap-sah-nio sendiri diam-diam juga
terkesiap. Selama ini entah sudah berapa banyak jago-jago
ternama terjungkal di bawah cambuknya itu. Tapi sekarang
hanya seorang bocah ingusan yang tak terkenal saja sampai
sekian lamanya masih belum bisa diapa-apakan, bahkan kalau
tidak dibantu Wan-hay, ia sendiri mungkin sudah keok sejak
tadi. Ilmu silat Wan-hay meski lebih lemah daripada Tiok-liu dan
Tjap-sah-nio, tapi juga bukan jago pasaran. Ilmu goloknya
'Ngo-hou-bun-to' dimainkan bersama dengan sambaran
cambuk Tang Tjap-sah-nio, yang seorang menyerang dari
jauh, yang lain mengincar dari dekat, kerja sama mereka ini
benar-benar ancaman berbahaya bagi Kim Tiok-liu.
Di tengah pertarungan sengit itu Kim Tiok-liu menemukan
kelemahan Wan-hay, baru saja ia hendak mematahkan
serangan lawan, tak tersangka tipu serangan Wan-hay itu
ternyata pancingan belaka, kiranya ia sengaja memperlihatkan
lubang kelemahan agar Kim Tiok-liu memperhatikannya dan
kesempatan ini tentu akan digunakan dengan baik oleh Tang
Tjap-sah-nio. Di tengah berkelebatnya sinar pedang dan bayangan
cambuk, kedua pihak sama-sama bergerak dengan amat
cepat. Waktu pedang Kim Tiok-liu menusuk ke arah Wan-hay,
saat itu pula cambuk Tang Tjap-sah-nio juga menyambar ke
leher Kim Tiofe liu.
Rupanya Tang Tjap-sah-nio sudah biasa bekerja sama
dengan Wan-hay, maka Wan-hay berani memberi lubang
serangan kepada Kim Tiok-liu untuk memancingnya, dengan
demikian Tang Tjap-sah-nio diberi kesempatan bagus untuk
menyerang. Serangan cambuk Tang Tjap-sah-nio ini disebut 'Sok-au
pian' (cambuk pengunci leher), bila leher sampai terbelit oleh
cambuknya, betapapun lihainya juga pasti akan mati tercekik.
Namun Kim Tiok-liu bukanlah putra Kim Si-ih jika garoj
pang dimakan. Pada detik yang menentukan itulah, mendadak
pedangnya masih terus menusuk lurus ke depan tadi terus
dite1 gakkan ke atas, sedangkan langkahnya masih terus
menumbul ke depan, ke arah Wan-hay.
"Bagus!" bentak Tjap-sah-nio sambil menyendal cambuknya
sehingga berubah lempeng mirip ujung tombak dan terus
menikam dari atas ke bawah.
Cambuk adalah senjata yang lemas, untuk bisa
membuatnya lurus dan keras diperlukan saluran tenaga dalam
yang kuat, hal ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang
orang. Maka perubahan gerak serangan Tang Tjap-sah-nio ini
sampai Kim Tiok-liu sendiri pun tidak menduga sama sekali.
Maka terdengarlah "plok" sekali, punggung Kim Tiok-liu
tersabet sehinggi menimbulkan satu jalur merah lebam.
Untung sejak kecil Kini Tiok-liu sudah terlatih, otot dagingnya
cukup kuat sehingga luku lecet itu tidak menjadi halangan
baginya. Sebaliknya Wan-hay yang juga kena disikut olehnya
terpental beberapa langkah sambil berkaok-kaok kesakitan.
Karena cambuknya berhasil mengenai lawan, semangat
Tang Tjap-sah-nio lantas terbangkit. Keruan Kim Tiok-liu
mengeluh diam-diam. Naga-naganya besi mumi yang diincar
itu sukar untuk diperoleh, tapi kalau ditinggal pergi begini saja
rasanya juga tidak rela.
Sedikit ada rasa bimbang pada diri Kim Tiok-liu, dalam
pada itu Wan-hay menerjang maju lagi. Dikerubut dari dua
jurusan, untuk melepaskan diri dari serangan cambuk Tang
Tjap-sah-nio saja repot, apalagi hendak melarikan diri.
Masih untung baginya karena Wan-hay tadi kena disikut
lelehnya, maka sekarang Hwesio kasar itu masih rada keder I
sehingga tidak berani mendesak terlalu rapat, dengan
demikian Kim Tiok-liu masih dapat bertahan sekuatnya.
Lambat-laun dahi Kim Tiok-liu berkeringat, diam-diam ia
mengeluh bisa celaka. Ia pikir bila berlangsung 50 jurus lagi
mungkin dirinya tidak sanggup bertahan lagi, maksudnya mau
untung bisa jadi buntung.
Selagi Kim Tiok-liu merasa kualir, sekonyong-konyong
didengarnya Tang Tjap-sah-nio membentak, "Kawan dari
golongan manakah itu" Kenapa tidak tampil saja ke sini secara
terang-Iterangan?"
Lantaran sedang mencurahkan perhatian untuk melayani
Ikerubutan kedua lawan sehingga Kim Tiok-liu sama sekali
tidak j mendengar sesuatu suara apapun.
"Mungkin seseorang tamu yang tidak tahu, terjaga bangun
dan hendak mengintip," kata Wan-hay. Segera ia membentak
dengan suara keras, "Orang Liok-hap-pang di sini, jika tahu
gelagat lekas menyembunyikan diri ke dalam kolong selimut
saja!" Karena bentakan Wan-hay itu, benar juga lantas terdengar
piara jendela ditutup. Waktu Tang Tjap-sah-nio memandang
sekelilingnya, di dalam taman itu tiada nampak suatu
bayangan pun. Maka disangkanya suara yang didengarnya
tadi mungkin tenar suara tamu yang terjaga bangun seperti
yang dikatakan Wan-hay.
Begitulah, sedikit terpencar perhatian Tang Tjap-sah-nio
dan serangannya menjadi kendor, kesempatan itu tidak
disiagakan oleh Kim Tiok-liu, dengan cepat sekali kembali ia
menerjang Wan-hay.
Lantaran sudah merasakan pil pahit Tiok-liu tadi, rupanya
Wan-hay sudah kapok, lekas ia berkelit ke samping.
"Lari kemana!" bentak Tang Tjap-sah-nio sambil menya*l
betkan pula cambuknya.
Namun Tiok-liu sempat melayang lewat di samping Wanhay
dan sekalian ia mendorong tubuh Hwesio yang gede itu?
Wan-hay menjerit kaget dan dengan tepat tubuhnya terbelit
olehi cambuk Tjap-sah-nio. Dalam pada itu dengan cepat luar
biasai Kim Tiok-liu sudah melayang pergi beberapa meter
jauhnya. Sambil melepaskan Wan-hay, dengan gemas Tjap-sah-niaj
menjengek, "Kurang ajar! Jika malam ini kau sampai lolos dari
tanganku, aku bersumpah takkan jadi manusia."
Habis itu segera ia mengejar sembari menghamburkan
senjata rahasia susul-menyusul.
Bukan saja permainan cambuk Tjap-sah-nio tiada
bandingannya, bahkan kepandaiannya menggunakan senjata
rahasia juga merupakan kepandaian tersendiri di dalam dunia
persilatan. Semua senjata rahasianya telah direndam racun,
siapa saja yang| kena, asal keluar darah tentu akan binasa.
Namun Kim Tiok-liu sengaja berlari dengan melingkar ke
sana kemari. Sesudah mengitari dua buah gunung-gunungan,
ternyata Tjap-sah-nio masih terus mengejarnya.
Tiba-tiba Tiok-liu mendapat akal, ia pura-pura kena senjata
rahasia Tjap-sah-nio, sambil berteriak mengaduh ia pura-pura
jatuh tersungkur.
Memang Tjap-sah-nio bermaksud menangkap hidup-hidup
lawannya untuk ditanyai keterangan asal-usulnya, maka ia
tidak menaburkan senjata rahasia lagi ketika melihat


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sasarannya sudah roboh. Segera ia memutar cambuknya
untuk melindungi tubuh dan mendekat untuk memeriksa.
Sebagai seorang yang berpengalaman Tang Tjap-sah-nio
telah bersiap sebelumnya ketika hendak maju memeriksa, tapi
tidak urung ia masih kena dikibuli Kim Tiok-liu. Pada saat dia
sudah dekat, mendadak Tiok-liu meloncat bangun, serunya
sambil tertawa, "Menerima tak membalas adalah kurang
sopan! Ini, kau pun merasakan aku punya Toat-beng-sin-soa
(pasir sakti pencabut nyawa)!"
Mendengar nama senjata rahasia pasir sakti itu kejut Tjapsah-
nio sungguh tidak kepalang, lekas ia menahan
langkahnya. Pada saat yang hampir sama, dari depan
menghambur datang segerombol debu pasir kekuningkuningan.
Sekalipun dia sudah memutar cambuknya
sedemikian kencang sehingga air pun tak menembus, tapi toh
sukar menahan hamburan debu pasir itu. Lekas ia
memejamkan mata, berbareng itu lengan baju menge-bas
untuk melindungi muka. Namun demikian toh tidak urung
kepalanya juga sudah terkena beberapa butir pasir. Wan-hay
Hwesio lebih konyol lagi, kepalanya yang gundul itu seolaholah
ditaburi dengan biji lada, ia terkena secomot biji pasir,
rasanya panas kesakitan.
Hanya sekejap itu saja Kim Tiok-liu sudah melayang lewat
dua buah gunung-gunungan lagi dan menyusup ke tengah
semak bunga yang lebat. Ketika Tjap-sah-nio membuka
kembali matanya, bayangan Kim Tiok-liu sudah menghilang.
Wan-hay tidak memikirkan memburu musuh lagi, ia
meraba-raba kepalanya sendiri yang gundul itu dan bertanya
pada Tjap-sah-nio dengan perasaan kuatir, "Simoay, senjata
rahasia macam apakah Toat-beng-sin-soa ini" Bagaimana
kadar racunnya" Apakah kau dapat memunahkannya?"
Semula Tang Tjap-sah-nio juga mengira pasir sakti itupun
berbisa. Tapi sebagai seorang ahli menggunakan racun, ketika
pasir itu mengenai kulitnya segera ia merasakan pasir itu biasa
saja, tahulah ia telah tertipu oleh Kim Tiok-liu.
Rupanya Kim Tiok-liu tadi memang sekenanya meraup segenggam
pasir di atas tanah dan terus dihamburkan ke arah
musuh. Keruan tidak kepalang mendongkol Tjap-sah-nio, makinya,
"Bangsat cilik, kau berani menipu ibumu ini" Hm, pasir sakti
pencabut nyawa apa" Jika kau sudah kubekuk, baru benarbenar
nyawamu akan kucabut."
Mendengar makian Tjap-sah-nio itu, barulah Wan-hay yakin
bahwa pasir musuh itu tidak berbisa. Dengan mendongkol ia
berkata, "Kurang ajar benar anak keparat itu, bila tertangkap
akulah yang akan membeset kulitnya. Melulu mencabut
nyawanya masih terlalu murah baginya."
"Dia masih belum kabur dari taman ini," kata Tjap-sah-nio.
"Lekas ikut padaku, mari kita mencarinya ke situ."
Dengan kepandaian mendengarkan suara membedakan
arah, biarpun tadi memejamkan mata juga Tjap-sah-nio dapat
mendengar kemana arah lari Kim Tiok-liu. Maka ke situlah
mereka lantas mengejar.
Diam-diam Tiok-liu menertawakan lawannya, sebab kalau
dia mau kabur tentu sejak tadi ia sudah keluar dari taman itu,
soalnya dia tidak mau kembali dengan tangan hampa, yaitu
besi murni yang diincarnya itu.
Dengan bersembunyi di tengah semak-semak, Kim Tiok-liu
memotong sebuah ranting kayu kecil dan dijentikkan,
melayangnya ranting kayu itu menimbulkan suara desiran
pelahan yang mirip kebasan kain baju orang.
Benar juga lantas terdengar Tang Tjap-sah-nio membentak,
"Hendak lari kemana?"
Segera ia memburu ke tempat jatuhnya ranting kayu itu.
Tak terduga kembali ia tertipu oleh Kim Tiok-liu.
Menunggu sesudah musuhnya berada di depan sana, diamdiam
Kim Tiok-liu lantas menyusup keluar dari tempat
persembunyiannya. Ginkangnya sudah sangat tinggi, jauh
lebih hebat daripada Tjap-sah-nio, hanya beberapa loncatan
saja Tiok-liu sudah berada kembali di rumah tinggal Tjap-sahnio
tadi. Sebaliknya Tjap-sah-nio sedang mencari jejak Kim
Tiok-liu di depan sana sehingga tidak mengetahui kamarnya
sedang digerayangi orang.
Tapi Kim Tiok-liu menjadi terkejut ketika masuk di kamar
Tjap-sah-nio. Ternyata kotak merah yang berisi potongan besi
murni itu sudah lenyap, pikirnya, "Sudah jelas kotak itu tadi
tertarah di atas meja, mengapa dalam sekejap saja sudah
hilang. Tampaknya memang ada orang kosen lain yang muncul."
Walaupun merasa kecewa karena kotak merah yang diincar
itu hilang, tapi Kim Tiok-liu tidak putus asa. Ia pikir besi murni
itu sangat berat, sedikitnya ada ratusan kati. Sekalipun
pendatang itu adalah orang kosen juga tidak mudah
membawa lari benda berat itu tanpa meninggalkan suatu
jejak. Ia coba mengetik batu api dan memeriksa keadaan
kamar, namun sekilas pandang saja segera diketahui bahwa
kotak merah itu memang benar sudah digondol lari orang.
Di sebelah sana, karena tidak menemukan jejak Kim Tiokliu,
mendadak Tjap-sah-nio tersadar, ia menoleh, kebetulan
pada saat itu Kim Tiok-liu sedang mengetik api, kelipan lelatu
api dapat dilihat oleh Tang Tjap-sah-nio. Dengan
pengalamannya yang luas segera ia tahu apa artinya kelipan
lelatu api itu.
"Celaka, kita tertipu oleh bocah itu!" serunya kepada Wan
hay. Tak terduga hampir pada saat yang sama Wan-hay juga
sedang berteriak, "Hendak lari kemana anak keparat! Lekas
ke-'ar, Simoay! Bocah itu kabur keluar taman!"
Di pihak lain, waktu itu Kim Tiok-liu juga melompat keluar
kamar, di bawah sinar bulan yang remang-remang dilihatnya
ada sesosok bayangan hitam bara saja melayang lewat pagar
tembok. Tang Tjap-sah-nio dan Wan-hay berbarengan menemukan
'jejak musuh', tapi arahnya berlawanan. Tjap-sah-nio
memburu kembali ke kamarnya, sebaliknya Wan-hay
mengejar keluar.
"Kembali ke sini, bocah itu berada di kamar kita!" seru
Tjap-sah-nio. Tapi Wan-hay lantas menjawab, "Tidak, kau keliru. Bocah
itu sudah lari keluar!"
Kedua orang sama-sama menoleh ke belakang, tapi Tang
Tjap-sah-nio tidak sempat melihat bayangan orang yang
melayang lewat pagar tembok tadi, sebaliknya Wan-hay
sempat melihat Kim Tiok-liu baru saja melompat keluar dari
kamar. Keruan ia menjadi bingung dan tertegun.
Tjap-sah-nio tidak berhenti, sambil tetap memburu maju ia
berseru pula, "Lekas kembali sini, mungkin sekali mestika kita
telah dicuri bocah itu."
Namun Wan-hay mendadak teringat sesuatu, ia pun
berseru, "Tidak, kedua tangan bocah ini kosong melompong,
jika Hian-tiat itu dicuri orang tentu pencurinya adalah orang
yang lari keluar itu!"
Apakah Hian-tiat atau besi murni mereka tercuri atau tidak
Tang Tjap-sah-nio sendiri belum tahu pasti, tapi ucapan Wanhay
memang masuk diakah Kalau kedua tangan Kim Tiok-liu
tidak membawa sesuatu benda, maka besi mumi itu pasti
berada pada seorang lain. Sebaliknya bila besi mumi itu belum
tercuri dan Tjap-sah-nio pergi mengejar tersangka itu, maka
ini berarti akan memberi kesempatan kepada Kim Tiok-liu
untuk menggerayangi kamarnya.
Begitulah Tjap-sah-nio menjadi ragu-ragu, ia tidak tahu
siapakah sebaiknya yang harus diubernya.
Sebelum Wan-hay menggabungkan diri dengan Tjap-sahnio,
ini adalah kesempatan baik bagi Kim Tiok-liu untuk
menggempur mereka satu persatu. Cepat ia meraup sesuatu
di atas tanah terus diayunkan ke depan sambil berseru,
"Awas, pasir pencabut nyawa kembali datang lagi!"
Sudah tertipu satu kali sudah tentu Tang Tjap-sah-nio tak
mau tertipu dua kali, kontan ia memaki, "Anak keparat, kau
ingin menipu ibumu lagi?"
Tak terduga mendadak terdengar suara mendesing yang
keras, yang dihamburkan Kim Tiok-liu ternyata bukan pasir,
tapi adalah kerikil. Rupanya yang diraup Tiok-liu dari atas
tanah adalah sepotong batu yang terus diremas hancur
menjadi kerikil, lalu ditebarkan sebagai peluru disertai tenaga
dalam yang kuat, pula sangat jitu Hiat-to yang dia incar,
sekalipun di tengah malam buta yang ditimpuk adalah Hiat-to
mematikan di atas tubuh sasarannya.
Sebagai seorang tokoh, dari suara mendesingnya senjata
rahasia itu Tang Tjap-sah-nio lantas tahu bahwa senjata
rahasia itu sukar untuk ditangkap, terpaksa ia memutar pula
cambuknya untuk melindungi tubuh sendiri. Namun begitu
karena batu kerikil yang menyambar tiba itu terdiri dari
belasan biji sekaligus sehingga dia rada repot.
Jika Tjap-sah-nio masih sanggup menghindarkan diri dari
berhamburnya batu kerikil itu, adalah Wan-hay yang konyol.
Sebenarnya Wan-hay juga telah memutar goloknya seperti
kitiran untuk melindungi tubuhnya, tapi ia tidak tahan akan
tenaga Kim Tiok-liu yang kuat itu, hanya beberapa biji batu
kerikil yang kena disampuk jatuh dan tangannya sudah terasa
pegal. Sedikit lena saja 'Kiok-ti-hiat' di bagian lengan terkena
sebuah kerikil, goloknya lantas terlepas, menyusul itu ia pun
menjerit pula dan jatuh tersungkur.
"Haha, kau bangsat gundul ini bukankah tadi mengatakan
hendak membeset kulitku?" jengek Kim Tiok-liu tertawa. "Huh,
akan kuingat terus ucapanmu ini, lain kali akan kulakukan
menurut resepmu itu pada dirimu, sekali ini biarlah aku
mengampuni jiwa anjingmu!"
"Anak kurang ajar, jika berani jangan kau lari!" damprat
Tjap-sah-nio. "Jika berani cobalah kejar kemari," jawab Tiok-liu tertawa.
"Huh, masakah aku ada tempo untuk menemani kau" Hian-tiat
itu jauh lebih berharga daripada kau, yang kuincar adalah besi
mumi itu dan bukan dirimu, buat apa aku tinggal di sini" Hah,
kau tidak berani mengejar kemari, baiklah aku tidak
menunggu lagi!"
Sesudah puas mengolok-olok lawannya, di tengah suara
tertawanya Kim Tiok-liu lantas melayang keluar pagar tembok.
Keruan Tjap-sah-nio sangat murka, tapi apa daya, seorang
diri ia pun jeri untuk mengejar Kim Tiok-liu, apalagi Wan-hay
yang roboh itupun perlu ditolong lebih dulu, terpaksa ia
membiarkan Kim Tiok-liu kabur dengan leluasa.
Sekeluarnya Tiok-liu dari taman Gway-hoat-lim, ternyata
bayangan orang tadi sudah menghilang. Syukur di depan situ
hanya terdapat sebuah jalan tunggal, ke arah situlah Kim Tiokliu
lantas mengejar.
Tidak lama kemudian, benar juga dilihatnya ada seorang
sedang berlari-lari di depan sana, tangan orang itu mengempit
sebuah kotak, jelas itulah kotak merah yang dibawa Wan-hay
dan Tang Tjap-sah-nio itu.
Perawakan orang itu kurus kecil, memakai baju hijau yang
agak longgar dan terlalu panjang sehingga hampir menyentuh
tanah. Di waktu lari tungkak kakinya sampai tidak kelihatan.
Kepalanya memakai kopiah anti angin sehingga telinganya
tertutup. Dandanannya itu menyerupai kaum sastrawan, cuma
rada janggal nampaknya. Namun begitu Ginkangnya ternyata
sangat lihai. Diam-diam Tiok-liu membatin, "Untung orang itu membawa
beban Hian-tiat yang ratusan kati beratnya, bila tidak,
mungkin aku akan banyak membuang tenaga untuk bisa
menyusulnya."
Rupanya orang itupun sudah merasa di belakangnya ada
orang mengejar, ia mempercepat langkahnya, mendadak ia
meninggalkan jalan besar dan hendak menyusup masuk ke
dalam hutan di sebelah sana.
"He, kawan, jangan kuatir, kita adalah satu kaum!" seru
Tiok-liu tertawa.
Tak terduga, karena ucapannya orang itu malah berlari
lebih cepat lagi.
Dengan Ginkang 'Pat-poh-kan-sian' (delapan langkah
mengejar tonggeret), hanya beberapa lompatan kilat saja Kim
Tiok-liu telah menyusul sampai di belakang orang itu. Serunya
pula sambil tertawa, "Kawan, aku sudah memukul mundur
pengejar-mu, apakah kau tidak ingin berterima kasih padaku"
Cuma, kau pun jangan kuatir, aku tidak bermaksud hendak
minta bagian rejekimu."
Merasa tidak sanggup berlari lebih cepat dari Kim Tiok-liu,
terpaksa orang itu berhenti dan berpaling. Kiranya dia me-I
makai kerudung muka dari sutra hitam, di bawah sinar bulan
yang remang-remang sukar untuk mengenali wajahnya yang
asli. "Kawan satu kaum apa" Siapa kau sebenarnya?" demikian
kata orang itu dengan dingin.
Orang itu sengaja bicara dengan kasar dan membikin serak
suaranya, biarpun Kim Tiok-liu bukan orang Kangouw
kawakan, juga tahu perbuatan orang yang sengaja tidak mau
memperkenalkan suara aslinya. Namun begitu suara yang
sudah dibikin se-I rak itu toh masih kedengaran cukup nyaring
dan enak didengar. Tiok-liu mengerut kening, pikirnya,
"Mengapa orang ini sengaja berlagak begini dan sengaja
merahasiakan dirinya, sampai-sampai suaranya pun sengaja
dibuat-buat."
Dengan tertawa segera Tiok-liu berkata sambil menunjuk
kotak merah itu, "Buat apa pura-pura tidak tahu" Apa
pekerjaanmu, itulah pekerjaanku. Halia, bukankah kita ini satu
kaum?" Agaknya orang itupun tercengang, cuma dia memakai
kerudung sehingga air mukanya tidak kelihatan. Sejenak
kemudian baru orang itu menjawab, "O, kiranya kau sudah
tahu barang apa i ini?"
"Sudah tentu," kata Tiok-liu. "Jika cuma barang berharga
biasa saja belum tentu menarik perhatianku. Hehe, sungguh
tidak nyana, aku yang mati-matian menempur perempuan
keparat itu, tapi kau yang mengeduk keuntungannya."
"Hm, jika demikian, jadi kau pasti akan memperoleh Hiantiat
ini?" jengek orang itu.
"Benar, sebenarnya aku memang menghendaki benda mestika
itu," sahut Kim Tiok-liu tertawa. "Cuma sekarang kau
sudah mendahului aku satu langkah, terpaksa aku anggap sial
diriku. Karena kita adalah sobat sekaum, maka aku menjadi


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak enak untuk hitam makan hitam."
Orang itu terdiam sejenak, mendadak ia putar tubuh terus
melangkah pergi.
"He, he!" seru Tiok-liu sambil memburu. "Kau ini mengapa
tidak kenal aturan" Biarpun aku tidak ingin membagi
rejeki padamu, sedikitnya kau mesti mengucapkan terima
kasih padaku."
"Biar kukatakan terus terang padamu, Hian-tiat ini
sebenarnya....."
"Sebenarnya apa" Mengapa tidak kau teruskan?" desak
Tiok-liu. Orang itu merandek sejenak, kemudian baru
menyambungnya, "Sebenarnya.....sebenarnya akulah....."
"Hm, sebenarnya kaulah pemiliknya, demikian hendak kau
katakan padaku bukan?" sela Kim Tiok-liu dengan menjengekl
"Tapi, haha, untung aku sudah mengetahui asal-usul Hian-tiat
itu J sehingga apapun juga kau tak bisa membohongi aku."
"Apa yang kau ributkan" Ucapanku belum habis, kenapa
kau memotong dan salah terima?" omel orang itu. "Yang
kumaksudkan adalah sebenarnya aku memang sudah lama
mengincar besi murni ini, maka apapun juga aku harus
mendapatkannya. Cuma malam ini tanpa sengaja kau
memang sudah membantu aku, jika kau ingin diberi terima
kasih, maka baiklah aku mengucapkan terima kasih padamu."
Diam-diam Tio Liu mendongkol, masakah berterima kasih
saja enggan dan dipaksakan. Maka dengan marah ia lantas
memburu maju lagi.
"Kenapa, bukankah aku sudah mengucapkan terima kasih?"
tegur orang itu. "Kau pun sudah menyatakan tidak ingin
membagi rejeki dariku, lalu buat apa kau terus menguntit
diriku?" Sebenarnya Tiok-liu hendak mendamprat orang itu, tapi
segera ia mengurungkan maksudnya yang kerdil itu. Dengan
tertawa ia berkata, "Kau kan belum memberitahukan siapakah
kau ini" Sebagai kawan dari satu kaum tiada salahnya jika kita
bersahabat lebih karib."
"Kau ini memang suka rewel," sahut orang itu. "Aku tidak
suka punya sahabat yang suka mencari tahu seluk-beluk
orang lain seperti kau."
Biarpun orang bersuara ketus, tapi Kim Tiok-liu menjadi
lebih bandel, seperti bayangan saja kembali ia membayangi
pula orang itu.
Mendadak orang itu berhenti lagi dan berteriak dengan
gusar, "Sebenarnya apa kehendakmu?"
"Aku takkan tanya asal-usulmu lagi," sahut Tiok-liu. "Tapi
apakah kau tahu asal-usul Hian-tiat ini?"
"Kalau tahu kenapa dan bila tidak tahu mau apa?" jengek
orang itu. "Jika kau tahu, maka seharusnya kau ingin aku mengawani
kau." "Huh, apa-apaan ucapanmu ini?"
"Hian-tiat ini adalah hadiah ulang tahun yang dikirimkan
oleh Su Pek-to, Pangtju Liok-hap-pang, kepada Sat Hok-ting,
Taylwe-tjongkoan di kotaraja." "Lalu kenapa?"
"Sekarang besi mestika ini jatuh di tanganmu, apakah Su
Pek-to mau tinggal diam begini saja" Sudah tentu dia ingin
merebutnya kembali. Padahal jago Liok-hap-pang tidak
terhitung banyaknya, semuanya adalah gembong iblis yang
kejam puia. Sekarang kau membawa Hian-tiat ini, kukuatir
benda ini bukan lagi mestika, tapi adalah bencana bagimu."
"O, pahamlah aku sekarang," kata orang itu. "Jadi kau ingin
melindungi aku. Demikiankah maksudmu?"
"Aku tidak berani berkata demikian. Tapi dengan aku
sebagai teman perjalananmu, sedikitnya akan lebih
menguntungkan daripada seorang diri menghadapi musuh."
"Hm, banyak terima kasih atas perhatianmu," jengek orang
itu. "Tapi aku tidak punya sanak tidak punya kadang, aku pun
Kak pernah memberi manfaat apa-apa kepadamu, buat apa
kau ingin melindungi aku" Hehe, jangan-jangan yang kau
incar jus-tru adalah Hian-tiat ini bukan?"
Berulang-ulang diolok-olok orang itu, mau tak mau Tiok- liu
menjadi marah, katanya, "Kau ini memang tidak tahu maksud
baik orang. Sebenarnya aku tidak sudi, lantaran kau sudah
menuduh demikian padaku, maka sekarang tidak bisa tidak
aku harus mendapatkannya."
"Nah, apa kataku" Akhirnya kelihatan juga belangmu
bukan?" sindir orang itu. "Baiklah, jika kau mampu boleh coba
mengambilnya!"
Habis berkata, mendadak kotak merah itu terus
dilemparkan kepada Kim Tiok-liu malah.
Sebenarnya orang berkedok itu merasa sangsi dan tidak
dapat meraba dari golongan mana Kim Tiok-liu. Lebih-lebih ia
tidak percaya bahwa pemuda muda-belia itu mampu
mengalahkan Tang Tjap-sah-nio dan Wan-hay Hwesio.
Malahan ia menyangsikan jangan-jangan Kim Tiok-liu adalah
komplotan Tang Tjap-sah-nio. Karena itu ia sengaja
melemparkan kotak merah yang berat itu ke arahnya dengan
maksud hendak menjajal sampai dimana kepandaiannya.
Meski perawakan orang berkedok itu kurus kecil, tapi
tenaga lemparannya itu ternyata luar biasa. Besi murni itu
ratusan kati beratnya, keruan mirip gugur gunung saja
dahsyatnya terus menindih ke atas kepala Kim Tiok-liu.
Namun Tiok-liu tenang-tenang saja, sambil terbahak
dengan sebelah tangan saja ia menangkap kotak itu dan
berkata, "Syukur saudara sedemikian murah hati, sekali ini
akulah yang harus mengucapkan terima kasih padamu."
Keruan orang itu terperanjat, baru sekarang ia insyaf
bahwa kekuatan Kim Tiok-liu masih di atasnya. Tapi ia pun
tidak tinggal diam, begitu Tiok-liu angkat langkah segera ia
pun mengejarnya.
"Katanya kau tidak sudi bersahabat dengan aku dan aku
pun tidak ingin bersahabat dengan kau, Iha buat apa kau
mengejar aku?" demikian Tiok-liu sengaja mengolok-olok.
"Taruh kotak itu lantas kubiarkan kau pergi!" bentak orang
itu. "Hahahaha! Sudah memberi sekarang diminta kembali,
halia, sungguh aneh, sungguh menggelikan!" seru Tiok-liu
tertawa. "Aku tidak main-main dengan kau!" bentak pula orang itu
sambil memburu maju dengan tergopoh-gopoh. "Nah, lekas
taruh kotak itu!"
Kim Tiok-liu sengaja hendak menggodanya, maka ia pun
balas menjengek sambil menarik muka, "Aku juga tidak mainmain
dengan kau, memangnya kau sangka aku terlalu iseng?"
"Baik, jika begitu jangan kau salahkan aku tidak sungkansungkan
lagi padamu," bentak orang itu dengan suara bengis.
"Jika mampu, boleh coba kau merebutnya kembali," ujar
Tiok-liu. Belum lenyap suaranya, "sern?", mendadak sinar perak
berkilauan, sebuah cambuk beruntir benang perak menyambar
ke arahnya. "Kembali seorang pemain cambuk pula. Entah bagaimana
kepandaiannya dibanding Tang Tjap-sah-nio?" demikian pikir
Kim Tiok-liu. Dalam pada itu cambuk lemas itu sudah menyabet tiba
selincah ular. Anehnya arah yang diincar seperti di kanan dan
seperti di kiri, tapi juga seperti menuju ke tengah. Sebagai
seorang ahli silat segera Kim Tiok-liu tahu serangan lawan itu
sekaligus mengincar tiga tempat Hiat-tonya. Padahal menutuk
Hiat-to dengan menggunakan cambuk yang lemas adalah
suatu kepandaian yang sangat sukar dilatih. Keruan ia rada
terkejut, namun ia tidak menjadi gentar.
Ketika cambuk itu tampaknya sudah hampir mengenai
tubuhnya, dengan cepat Kim Tiok-liu menggunakan Thian-lopoh-
hoat untuk menggeser tubuh, sehingga cambuk lawan
menyerempet lewat di atas pundaknya. Tak terduga cambuk
orang itu seakan-akan hidup saja, begitu ujung cambuk
melengkung, se-iperti ular saja mendadak bisa membalik
kepala, bahkan ujung cambuk lantas menjulur keluar sebuah
belati kecil yang tajam kedua matanya, terus menikam ke
'Soan-kiat-hiat' di dada Kim Tiok-liu.
Di bawah serangan aneh musuhnya itu, biarpun Thian-lo?
poh-hoat juga sukar menghindarkan tikaman itu. Di sinilah Kini
Tiok-liu memperlihatkan kemahirannya, pada saat berbahaya
itu segera ia menggunakan tenaga jarinya yang sakti, sekali
menyelentik, dengan tepat ujung cambuk kena diselentik
sehingga belati kecil itupun melenceng ke samping, hanya
bajunya saja yang tertusuk robek, tapi tidak sampai melukai
kulit dagingnya. Walaupun demikian tidak urung Kim Tiok-liu
berkeringat dingin juga.
Dalam pada itu dengan gerak tipu 'Hwe-hong-sau-liu' atau
angin puyuh menyapu pohon, berturut-turut tiga kali
cambukan berantai dilancarkan pula oleh orang itu. Karena
ujung cambuk bersenjata tajam sehingga permainan
cambuknya itupun membawa tipu serangan campuran golok
dan pedang. "Keji benar orang itu," pikir Tiok-liu. "Aku juga harus
memberi sedikit rasa padanya agar dia kenal kelihaianku."
Segera ia mencabut pedang untuk memotong belati yang
terpasang di ujung cambuk lawan. Yang digunakan Tiok-liu
adalah Tui-hong-kiam-hoat (ilmu pedang pemburu angin)
yang cepat dan lihai. Tak terduga permainan cambuk orang
itupun sangat lincah dan gesit, berulang-ulang delapan kali
Tiok-liu tidak mampu menabas cambuknya.
Diam-diam Tiok-liu terkesiap, pikirnya, "Kekuatan orang ini
memang tidak lebih unggul dari Tjap-sah-nio, tapi permainan
cambuknya ini terang di atas perempuan itu. Dalam semalam
saja aku menemukan dua jago main cambuk yang lihai, boleh
di-kata pengalaman yang aneh."
Sebaliknya orang itupun terkejut demi melihat ilmu pedang
Tiok-liu yang lihai, katanya dalam hati, "Ilmu pedangnya
sedemikian bagus, tenaganya di atasku pula, jika dia
meletakkan Hian-tiat itu pasti aku bukan tandingannya."
Dasar sifat Tiok-liu memang kepala batu dan tidak mudah
menyerah, karena orang itu tadi membentaknya supaya
menaruh kotak berisi Hian-tiat dan dia tidak mau menurut, jika
sekarang ia menaruh kotak itu, biarpun menang bertanding
juga kalah muka. Maka ia lebih suka mengalahkan lawan lebih
dulu baru kemudian mengembalikan Hian-tiat itu, tapi kalau
disuruh menaruh kotak itu begitu saja sekali-kali ia tidak sudi.
Akan tetapi karena kotak itu berisi benda berat, betapapun
Ginkangnya menjadi terpengaruh, gerak-geriknya menjadi
tidak terlalu leluasa. Sedangkan senjata lawan lebih panjang
dari pedangnya, mau tak mau Kim Tiok-liu menjadi
mendongkol, bentaknya mendadak, "Baik, coba kita
menentukan babak terakhir ini!"
Diam-diam ia mengerahkan tenaga mumi, sedikit
pedangnya bergerak segera membawa suara deru angin
keras. Ketika cambuk lawan menyambar tiba, kira-kira satu
meter di depannya sudah terguncang pergi oleh angin
pedangnya. Dengan demikian cambuk lawan tidak dapat mengenai
tubuhnya lagi, walaupun ia sendiri juga tidak mampu
mendesak maju karena membawa benda berat. Namun begitu
ia sudah ber-ada dalam posisi yang tak terkalahkan.
Orang itu menjadi kuatir, ia sadar tenaga dalamnya tidak
mampu melawan Kim Tiok-liu, jika bertempur lebih lama lagi
tentu dia akan terjungkal sendiri.
Belum lagi ia mengambil haluan lain, sekonyong-konyong
Kim Tiok-liu bergelak tertawa dan berseru, "Yang kau inginkan
adalah Hian-tiat ini. Baiklah, sekarang akan kukembalikan
papamu asalkan kau mampu menyambutnya!"
Habis berkata, Tiok-liu sengaja mengangkat tinggi-tinggi
kotak merah itu dan berlagak hendak melemparkannya.
Keruan orang itu terkejut, maklumlah sekarang sudah diketahuinya
bahwa tenaga dalam Kim Tiok-liu jauh di atasnya,
jika lesi mumi yang beratnya ratusan kati itu terlempar dari
tangan Tiok-liu, kalau kena tertindih mustahil badannya
takkan hancur. Tapi orang itu memang gesit dan cekatan pula,
begitu melihat Kim Tiok-liu berlagak hendak menimpukkan
kotak itu ke arahnya, cepat ia menggeser ke samping,
cambuknya terus menyabet dari samping, ia bermaksud
mendahului membelit perge-langan tangan Kim Tiok-liu
dengan cambuknya, dengan demikian kotak yang terpegang
itu akan jatuh dan menimpa kaki Kim Tiok-liu sendiri.
Tak terduga tipu serangannya itu sudah dalam perhitungan
Kim Tiok-liu. Kotak yang diangkat tinggi-tinggi itu hanya gerak
gertak sambal belaka dengan maksud memancing tipu
serangan yang dilakukan orang itu sekarang. Dalam keadaan
sama-sama cepatnya, "sret", sedikit Tiok-liu menarik, saat itu
pula cambuk lemas orang itupun sudah terlibat di atas kotak
merah. Ketika orang itu menarik cambuknya, kotak yang terpegang
Kim Tiok-liu itu sedikitpun tidak bergeming, yang terdengar
hanya suara "keriat-keriut", yaitu suara makin kencangnya
lilitan cambuk lemas orang itu di atas kotak merah ketika Kini
Tiok-liu dengan pelahan-lahan menarik ke belakang.
Saking kencangnya lilitan itu sampai orang itu ikut terseret
maju dua tiga langkah. Dalam keadaan begitu jika lilitan cam
buknya tidak segera dilepaskan, akhirnya cambuknya pasti
akan putus dan orang itupun tentu akan jatuh menyelonong
ke dalam pelukan Kim Tiok-liu.
Lekas orang itu melemaskan tubuhnya dan mendoyong ke
depan untuk mengendurkan tarikan cambuknya, habis itu
dengan cepat ia menyendal sehingga cambuknya melepaskan
lilitannya Melihat cara orang melepaskan cambuknya yang indah itu,
diam-diam Tiok-liu merasa kagum juga.
"Hahaha! Maksudku hendak memberikan besi murni ini
kepadamu, tapi kau sendiri toh tidak mau menerimanya, maku
jangan salahkan aku lagi," ejek Tiok-liu sambil bergelak
tertawa. Orang itu tidak bersuara apa-apa, ia putar tubuh terus tim"
gal pergi. Tiok-liu menjadi tidak enak hati, lekas ia menyusulnya, ka
tanya dengan tertawa, "Aku hanya berkelakar dengan kau.
Jika kau benar-benar menginginkan Hian-tiat ini, aku rela
menyerahkannya padamu."
Sudah tentu orang itu ridak percaya omongan Kim Tiok-liu,


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa bersuara ia meneruskan langkahnya tanpa menoleh
pula. "He, he, sekali ini aku memang berkelakar, eh, tidak, tidak,
aku tidak berkelakar, tapi benar-benar akan memberikan Hiantiat
ini padamu!" seru Tiok-liu.
Orang itu merasa tidak unggulan melawan Kim Tiok-liu,
pula tidak rela dipermainkan olehnya, maka ia tetap tidak
menggubris pada ocehan Kim Tiok-liu, bahkan mempercepat
langkahnya ke depan.
Kim Tiok-liu membawa beban ratusan kati beratnya, mau
tak mau larinya menjadi lambat, meski Ginkangnya lebih
unggul daripada orang itu, tapi sekarang ia menjadi
ketinggalan, makin lama makin jauh jaraknya.
Dasar watak muda, diam-diam Kim Tiok-liu berpikir, "Baik,
coba kita berlomba Ginkang saja. Sekalipun hari ini tak dapat
menyusul kau, tentu juga besok akan tersusul."
Begitulah ia lantas menguber semakin kencang. Diam-diam
orang itu mengeluh, kelakuan Kim Tiok-liu benar-benar
mengherankan dia. Sudah memperoleh Hian-tiat itu, tapi
malah terus menguntitnya tak mau berhenti, entah apa
maksud tujuan yang sebenarnya.
Lantaran pikiran begitu, ia menjadi tambah kuatir, segera ia
mengeluarkan segenap kemahiran Ginkangnya dengan
harapan akan semakin jauh meninggalkan Kim Tiok-liu dan
akhirnya terlepas dari kintilannya.
Waktu orang itu menyusup masuk ke dalam hutan, tanpa
pikir Kim Tiok-liu terus mengejarnya. Tidak lama kemudian
bayangan orang itu mulai samar-samar dan hampir
menghilang di kejauhan. Lekas Kim Tiok-liu mempergiat
langkahnya. Di tengah hutan yang lebat itu, hanya beberapa kali
membelok saja bayangan orang itu lantas lenyap dari
pandangan Kim Tiok-liu. "Celaka, jika dia main kucingkucingan
di dalam hutan ini tentu aku akan sukar menemukan
dia," demikian pikirnya.
Belum lagi lenyap pikirannya, sekonyong-konyong
terdengar suara orang membentak, "Berhenti di situ! Mau apa
kau" Siapa namamu?"
Semula Kim Tiok-liu mengira bentakan itu ditujukan
kepadanya, ketika ia memandang ke kanan dan ke kiri
ternyata tiada seorang pun. Rupanya suara itu berkumandang
dari balik tanah tanjakan sana. Maka pahamlah dia bahwa
bentakan itu tentunya ditujukan kepada orang berkedok yang
sedang diubernya itu.
Tiok-liu menjadi geli sendiri, pikirnya, "Mungkin adalah
kawanan begal biasa. Ilmu silat orang itu tidak lemah, bangsat
kawanan begal itu rupanya lagi sial. Cuma dengan
dihadangnya orang itu menjadi menguntungkan aku. Baiklah,
akan kulihat cara bagaimana dia membereskan kawanan begal
ini." Segera ia memburu lebih dekat, lalu meloncat ke atas
pohon besar, dari situlah ia memandang jauh ke depan sana.
Saat itu fajar sudah menyingsing, sang surya baru saja muncul
sehingga keadaan dapat dilihat dengan jelas. Nyata ada empat
orang laki-laki mengelilingi orang berkedok itu.
Seorang di antaranya yang bergodek agaknya adalah
pemimpinnya, terdengar dia sedang membentak, "Kau bocah
ini apakah tuli" Kenapa tidak menjawab pertanyaan kami
tadi?" Seorang lagi yang berwajah kekuning-kuningan lantas
membentak juga, "Lekas mengaku, apakah hadiah ulang
tahun yang dikirim oleh Liok-hap-pang ke kotaraja itu berada
padamu?" Orang berkedok itu tidak membuka suara, sepasang
matanya mengerling tajam dari balik kain kedoknya, hanya
kepalanya saja yang menggeleng pelahan.
Lalu seorang laki-laki setengah tua berwajah putih dan
berbaju hijau panjang membuka suara, "Kudengar besi murni
itu ada ratusan kati beratnya, agaknya badan orang ini tidak
membawa benda seberat itu."
Orang keempat dari kawanan begal itu berbadan dnggi
besar, dengan suara kasar ia menanggapi, "Peduli dia
membawa besi mestika itu atau tidak, sekali sudah kita
pergoki dia, kita harus menggeledahnya."
Mendengar ucapan keempat orang itu, baru sekarang Kim
Tiok-liu tahu bahwa mereka itu bukan kawanan begal biasa,
pikirnya, "Besar amat nyali kawanan bangsat ini sehingga
berani mengincar barang hantaran Liok-hap-pang."
Anehnya, biarpun keempat orang itu membentak dan
memaki, namun orang berkedok itu tampak tenang-tenang
saja dan tidak membuka mulut.
Laki-laki godek itu rupanya orang Kangouw yang sudah "
erpengalaman, ia pikir lawan tentu mempunyai andalan
sesuatu, kalau tidak rasanya tak mungkin sedemikian takabur
sikap-ya. Segera ia mengedip! kawan-kawannya agar jangan
buru-buru turun tangan, dengan nada yang lebih lunak ia
berkata pula epada orang berkedok, "Kau ini sobat dari
kalangan mana, apa da hubungan dengan Liok-hap-pang,
coba lekas terangkan ke-ada kami. Asal kau bicara terus
terang, tentu kami pun takkan membikin susah padamu tanpa
alasan." Walaupun ia telah berganti suara, tapi orang berkedok itu
tetap diam saja.
Sudah tentu laki-laki godek itu menjadi kurang senang,
dengan mengerut dahi ia menjengek, "Sobat, janganlah kau
lebih suka minum arak paksa daripada arak suguhan. Biasanya
orang lain ingin bergaul dengan kami saja tidak gampang.
Mungkin sekali kau tidak kenal kami. Tapi, kukira sedikitnya
kau sudah pernah mendengar nama kami."
Setelah merandek sejenak, lalu ia menyambung sambil
menunjuk laki-laki berbadan tinggi besar tadi, "Nah, biar aku
memperkenalkan kami padamu. Ini adalah Pangtju Pek-houpang
(gerombolan Harimau Putih) Toh Tay-giap."
Menyusul ia menunjuk laki-laki muka putih, "Dan ini adati
Hiangtju dari Ang-eng-hwe (perkumpulan Bunga Merah) Kiong
Peng-hoan. Laki-laki yang berwajah kekuning-kuningan seperti orang
penyakitan itu tanpa diperkenalkan sudah bicara terlebih dulu,
"Dan Lotju (bapakmu) duduk tidak ganti nama, jalan tidak
mengubah she, pertama bukan Pangtju, kedua juga bukan
Hiangtju. Tapi, hehehehe, aku adalah begal yang membunuh
orang tidak pernah berkedip. Lotju adalah The Hiong-to dari
Ek-pak." Tampaknya dia berpenyakitan, tapi suaranya ternyata
nyaring seperti bunyi genta. Dengan menyebut namanya
sendiri ia mengira orang berkedok itu tentu akan gemetar
ketakutan. Siapa duga orang berkedok itu tetap tenang-tenang saja
seperti tidak pernah kenal nama begal besar itu. Malahan
ujung mulurnya di balik kain kedok sutra itu tampak
tersenyum menghina.
Akhirnya laki-laki godek itu memperkenalkan dirinya sendiri,
"Dan Tjayhe adalah Pangtju Djing-liong-pang (gerombolan
Naga Hijau) Ko Tay-seng. Dari Ginkangmu yang tinggi tadi,
kukira kau juga bukan kaum keroco di dunia Kangouw,
sedikitnya nama kami berempat tentu sudah pernah kau
dengar. Nah, di depan dewa tidak perlu berdusta. Sekarang
silakan kau mengaku terus terang saja."
Mendengar nama-nama dan kedudukan keempat orang itu,
sampai Kini Tiok-liu ikut terkejut
Kiranya Djing-liong-pang dan Pek-hou-pang yang disebut
itu adalah gerombolan-gerombolan terkenal di Kangouw,
sedangkan Ang-eng-hwe adalah suatu organisasi gelap yang
sama kuatnya dengan Liok-hap-pang, Totjg (pemimpin) Angeng-
hwe bernama Kongsun Hong, di bawahnya ada delapan
Hiangtju (hulubalang) yang semuanya memiliki kepandaian
tinggi. Dan Kiong Peng-hoan yang berwajah putih bersih tanpa
jenggot itu adalah kepala dari kedelapan Hiangtju itu.
Mengenai bandit besar The Hiong-to yang berwajah
penyakitan itu, memang seorang penjahat yang membunuh
orang seperti memotong sayur sesuai dengan pengakuannya
sendiri. Baru beberapa hari yang lalu Kim Tiok-liu mendengar
nama-nama mereka itu dari Tan Thian-ih. Rupanya Thian-ih
menganggap Tiok-liu baru datang di daratan dan belum
paham seluk-beluk dunia Kangouw umumnya, maka secara
luas dia menceritakan segala sesuatunya termasuk jago-jago
dari kalangan Hek-to dan pemimpin-pemimpin gerombolan
yang terkenal pada masa itu.
Anehnya, biarpun keempat gembong itu sudah
memberitahukan nama mereka, toh orang berkedok itu masih
tetap diam saja, paling-paling cuma manggut-manggut
pelahan saja secara acuh tak acuh. Sudah tentu sikap
angkuhnya ini sangat menyakitkan hati keempat orang
pertama. Dengan gusar The Hiong-to lantas memaki, "Anak kurang
ajar! Buat apa Ko-toako banyak bicara lagi dengan dia" Bekuk
dia dan geledah saja badannya."
Sebenarnya orang berkedok itu bukan sengaja ingin
bersikap angkuh dan tidak mau bicara, soalnya ia pun kuatir
bilamana ia membuka suara, seketika rahasianya akan
terbongkar. Sebab orang berkedok itu bukan cuma mendengar
nama mereka, bahkan kenal dengan mereka.
Jadi di dalam hati sebenarnya orang berkedok itupun
sangat gelisah meski sikapnya tetap angkuh, diam-diam ia
mencari jalan untuk meloloskan diri. Ia tahu keempat orang
itu adalah lawan-lawan tangguh, namun dalam keadaan
kepepet, di depan terhadang, dari belakang ada pengejar,
mau tak mau ia terpaksa harus turun tangan lebih dulu.
Begitulah maka pada waktu The Hiong-to selesai bicara,
tiba-tiba pandangannya menjadi silau, sinar perak berkelebat.
Cambuk beruntir benang perak orang berkedok itu menyabet
ke arahnya. Kontan The Hiong-to mengerang kesakitan, kiranya
punggungnya telah termakan. Sekalipun ia memiliki ilmu Kimtjiong-
tok yang kebal, tapi cambukan itu benar-benar tidak
ringan, sehingga kain bajunya robek, namun kulitnya tidak
sampai lecet, hanya sejalur bekas cambukan itu tertinggal di
punggungnya. Dengan geram The Hiong-to lantas balas menghantam dc
ngan kedua telapak tangan. Namun orang berkedok itu sang*;
gesit, sekali cambuknya disendai, kembali ia menyabet pula M
arah Ko Tay-sing. Yang digunakan adalah gerakan 'Sok-ai
pian-hoat', ilmu cambuk pengunci leher, jika leher Ko Tay-sini
sampai terlilit oleh cambuknya pasti akan mati tercekik.
Ko Tay-sing memakai senjata Long-ge-pang, toya bergigi
serigala yang panjangnya hampir dua meter. Serangan
mendadak tadi tidak membuatnya gugup, ia hanya berjongkok
ke bawakj berbareng toyanya ditegakkannya.
Dalam keadaan demikian jika cambuk orang berkedok tetap
menyambar tiba, maka yang akan terlilit adalah toya yang
penuh bergigi itu.
Di bawah keroyokan empat jagoan sudah tentu orang
berkedok itu tidak mau mengadu jiwa dengan mereka. "Serr",
dengan cepat cambuknya berganti arah, yang diserang
mendadak sekarang adalah Kiong Peng-hoan, jago dari Angeng-
hwe. Hampir pada saat yang sama terdengarlah suara gemuruU
kiranya pukulan The Hiong-to tadi menghantam roboh
sebatang pohon cemara. Nyata yang dia latih adalah sebangsa
Tiat-sah tjiang (pukulan pasir besi) yang lihai.
Namun sambaran cambuk orang berkedok kepada Kionp
Peng-hoan itupun tak kalah lihainya, belati tajam di ujung cam
buk juga sudah menjulur keluar dan mengincar tenggorokad
Kiong Peng-hoan.
"Bagus!" seru Kiong Peng-hoan sambil tersenyum. Bera
bareng sinar pedang pun berkelebat, pada saat yang sangat
tepai terdengarlah suara "ering" sekali, tahu-tahu belati di
ujung camH buk orang berkedok itu mengkeret kembali.
Kiranya pedang Kiong Peng-hoan itu mengincar dengan
tepat belati lawan terus ditabaskan. Jika belati itu sampai
tertebas tentu akan patah. Karena itu lekas orang berkedok itu
mene kan pesawat cambuknya sehingga belati kecil itu
mengkeret ke dalam.
Setelah berhasil dengan langkah pertama, segera Kiong
Peng-hoan mendesak maju, pedangnya terus memotong
mengi-fkuti tepi cambuk lawan, maksudnya hendak memaksa
orang berkedok tidak sempat ganti serangan, tapi lebih dulu
harus menyelamatkan jari tangan yang menggenggam
cambuk itu. Diam-diam Kim Tiok-liu memuji, pikirnya, "Meski Kiong
iPeng-hoan itu cuma seorang Hiangtju, tapi jauh lebih lihai
daripada seorang Pangtju Djing-liong-pang. Ilmu pedangnya
itu benar-benar sangat ganas dan cukup untuk menandingi
Toat-beng-kiam-hoat yang tersohor dari Bu-tong-pay."
Dalam pada itu orang berkedok tahu-tahu sudah mengitar
ke samping untuk menghindarkan pedang Kiong Peng-hoan
tadi, gerakan dan permainan cambuknya ternyata sama-sama
indah sekali. Diam-diam Kim Tiok-liu memuji pula dan
mengakui kepandaian orang berkedok dalam hal mematahkan
serangan lawan itu, andaikan dirinya juga belum tentu dapat
mengelakkan diri dengan cara sedemikian bagus.
Sementara itu dengan cepat luar biasa orang berkedok ber-
|anti sasaran lagi, cambuknya menyabet ke arah Toh Taygiap,
Pangtju Pek-hou-pang. Toh Tay-giap memakai senjata
sepasang gaetan yang sangat berguna untuk mengunci dan
merampas jpenjata golok atau pedang lawan. Tapi cambuk
perak yang digunakan orang berkedok itu cuma sebesar jari,
gerakannya cepat fan lincah pula, maka sekali mengacip
dengan gaetannya, terdata Toh Tay-giap tidak berhasil
mengunci senjata lawan. Malahan mendadak terdengar suara
"plok", berbalik cambuk lawan u tepat menyabet di
punggungnya. Toh Tay-giap memakai baju rangkap tebal, hanya baju luar
saja yang robek, tapi tidak sampai terluka. Namun begitu
sebagai ieorang Pangtju, bilakah Toh Tay-giap pernah
mengalami ke-cundang seperti ini" Keruan ia berjingkrak
murka dan berteriak, TKo-toako marilah kita binasakan
bangsat cilik ini, peduli dia pembawa Hian-tiat atau tidak,
mampuskan dia dulu urusan belakang!"


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ko Tay-sing adalah Suheng Toh Tay-giap, sejak tamat dari
perguruan, mereka berdua mengepalai dua gerombolan yang
berpengaruh di dunia Kangouw. Namun Ko Tay-sing lebih
sabai daripada Toh Tay-giap, dengan tersenyum ia menjawab,
"Jangat terburu napsu, Toh-hiante, bocah ini takkan mampu
lolos. Lebih baik kita tangkap dia hidup-hidup untuk ditanyai
keterangan s* perlunya."
Walaupun berkata demikian, tapi mengingat kedua kawaffj
nya dalam sekejap saja sudah kena cambuk lawan, mau tak
mau Ko Tay-sing rada jeri dan ragu-ragu juga. Segera ia ganti
siasat, mereka mengepung dan maju mundur bergantian,
tidak berani terlalu mendekat lagi.
Sebabnya cambuk orang berkedok itu dapat mengambil ke*
untungan, pertama-tama adalah berkat gerak-geriknya yang
lin? cah dan gesit, permainan cambuknya memang indah.
Kedua ada? lah lantaran serangannya mendadak dan tak
tersangka oleh la? wan, sebab itulah ia mampu menyerang
keempat pengeroyoknya secara berturut-turut dan masih
memperoleh keuntungan. Namun begitu juga terbatas
demikian saja keuntungan yang dia peroleh, untuk
mengalahkan keempat lawan sudah tentu bukan pekerjaan
yang mudah. Kalau bicara kepandaian sejati melulu Kiong
Peng hoan saja mungkin masih di atasnya. Seperti tadi waktu
dia me? nyerang, Kiong Peng-hoan hampir saja yang
kecundang. Begitulah dengan cara mengepung serta bertempur dengan
hati-hati dan sabar, pelahan-Iahan keempat orang itu
mempersempit lingkaran kepungan mereka, dengan demikian
orang berkedok itu menjadi semakin payah, Ginkangnya
semakin sukar dikembangkan.
Namun dengan nekat, beruntun orang itu masih mampu
mematahkan beberapa kali serangan Kiong Peng-hoan, hampir
berbarengan menangkis gaetan Toh Tay-giap, mendesak
mundur pukulan The Hiong-to serta menyampuk toya Ko Taysing.
"Permainan cambuk yang bagus!" seru Kiong Peng-hoan
memuji. Mendadak ia melangkah maju, ujung pedangnya
Petualang Asmara 13 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Angrek Tengah Malam 3
^