Pendekar Remaja 15

Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 15


"Ayah, turunlah sekarang!"
Kwee An girang sekali melihat ketajaman mata dan telinga puterinya. Ia segera membuka genteng dan melompat turun ke dalam kamar anaknya. Goat Lan memegang tangan ayahnya dan berkata, "Ayah, bagaimana kau bisa datang ke tempat ini?" Gadis ini mengeluarkan ucapan dengan keras sehingga Kwee An cepat memberi tanda dengan tangannya. Akan tetapi Goat Lan tertawa,
"Ayah, kita bukan ditawan. Aku berada di sini atas kehendakku sendiri, mengapa mesti takut" Biarlah Ban Sai Cinjin monyet tua itu mengetahui bahwa kau berada di sini, biar dia makin panas dan jengkel. Dia bisa berbuat apa terhadap kita?"
Mendengar ucapan ini, Kwee An menarik napas panjang. "Asal saja dia tidak dapat mengganggu Cin-ji, aku pun tidak takut apa-apa."
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
456 Sementara itu, Hong Beng yang mendengar suara Goat Lan, dengan girang lalu datang dan memberi hormat kepada Kwee An. Mereka bertiga bicara dengan asyik sekali sehingga melupakan waktu. Ketika Hong Beng mendengar bahwa ayahnya juga masuk ke dalam
benteng ini dan bahkan mendatangi istana Malangi Khan dan mendengar bahwa sebetulnya Kwee Cin telah berada di istana dan tidak di dalam tangan Ban Sai Cinjin, Hong Beng lalu bangkit berdiri.
"Ah, kalau kita tahu hal itu, tidak usah lama-lama kita berada di tempat ini," katanya kepada Goat Lan yang mengangguk menyatakan persetujuannya. "Kalau begitu, biarlah aku pergi sekarang juga menyusul ayah. Siapa tahu kalau dia membutuhkan bantuan!" Kwee An dan Goat Lan tidak mencegahnya, maka Hong Beng lalu melompat keluar dan pergi dari rumah itu dengan cepat!
Ketika Ban Sai Cinjin mendapat laporan bahwa Hong Beng pergi dari kamar tahanan dan Goat Lan menerima seorang tamu laki-laki yang disebut sebagai ayahnya, ia merasa terkejut dan juga marah sekali. Cepat ia mengumpulkan orang-orangnya dan mengerahkan semua perajurit Mongol yang berada di situ untuk mengurung rumah tahanan itu!
Kemudian, pada keesokan harinya setelah ia merasa bahwa tubuhnya tidak begitu sakit-sakit lagi, bersama Coa-ong Lojin ia menghampiri rumah itu dan sekali ia mendorong, daun pintu terbuka. Ia menjadi marah sekali ketika melihat bahwa Goat Lan telah berdiri di situ dengan seorang laki-laki yang bukan lain adalah Kwee An, orang yang pernah dijumpainya dan yang telah memaksa Coa-ong Lojin mengobati Lie Siong dahulu itu. Kwee An melihat Goat Lan hendak bergerak menyerang Ban Sai Cinjin, maka cepat ia memegang pundak anaknya.
"Sabar dulu, Lan-ji," katanya, kemudian sambil tersenyum mengejek ia memandang kepada Ban Sai Cinjin. "Selamat pagi, Ban Sai Cinjin, dan selamat bertemu kembali. Agaknya kau masih belum puas menerima gebukan dari Pendekar Bodoh dan masih hendak minta tambah dari aku!"
Ban Sai Cinjin marah sekali dan kemarahannya ini membuat dadanya yang kena tendang oleh Cin Hai terasa sakit lagi. Ia berdiri tidak tetap dan hanya setelah Coa-ong Lojin memegang punggungnya, ia dapat berdiri teguh. Huncwenya terpegang dengan tangan kiri, kosong tak berasap, dan dengan tangan kanannya ia menudingkan telunjuknya ke arah Kwee An.
"Orang she Kwee, jangan kau banyak berlagak di sini! Sudah habis kesabaranku dan sekarang juga aku hendak menyuruh orang membunuh puteramu yang telah kutawan!"
Akan tetapi, Goat Lan dan Kwee An hanya tertawa, bahkan Kwee An tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Ban Sai Cinjin, memang sudah menjadi kebiasaan orang macammu ini selalu
menggunakan gertakan, ancaman, penipuan dan lain-lain perbuatan curang dan licin. Apa kaukira sekarang kau dapat menggertak lagi" Aku tahu bahwa puteraku setelah kauculik secara curang dan pengecut, sekarang telah berada bersama putera Malangi Khan dan kau tidak dapat mengganggunya! Sekarang, aku tidak akan berlaku murah seperti Pendekar Bodoh! Untuk perbuatanmu menculik puteraku saja kau sudah layak kubunuh. Akan tetapi, aku masih hendak memberi kelonggaran kepadamu. Kembalikanlah Thian-te Ban-yo Pit-kip, baru aku akan mengampuni nyawa anjingmu!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
457 "Manusia sombong! Bukalah lebar-lebar matamu dan lihat, rumah ini telah terkurung oleh seratus lebih tentara, dan kau masih sanggup menyombong" Ha, untuk apa kitab itu kalau sebentar lagi kau dan anakmu akan mampus dibawah hujan senjata?"
"Setan Tua, mampuslah kau!" Goat Lan yang sudah tak dapat menahan
sabarnya lagi lalu menyerang dengan tangan kosong! Biarpun serangan ini dilakukan dengan tangan kosong, namun Ban Sai Cinjin maklum akan kelihaian gadis ini, cepat ia melompat keluar dari pintu, diikuti oleh Coa-ong Lojin. Goat Lan mencabut bambu runcingnya dan mengejar ke luar, disusul oleh ayahnya yang sudah mencabut pedangnya. Akan tetapi, benar saja, di luar mereka disambut oleh keroyokan hebat. Tidak saja Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin yang mengeroyok, bahkan di situ terdapat Can Po Gan dan Can Po Tin, dua orang jago dari Shan- tung yang menjadi sahabat Wi Kong Siansu dan yang pernah bertemu dengan Lili dan Lo Sian di rumah makan. Juga di situ terdapat pengurus-pengurus tingkat satu dari Coatung Kai-pang, perwira-perwira Mongol yang pandai bermain golok yang jumlahnya semua menjadi empat belas orang!
Kagetlah Goat Lan melihat ini, karena sesungguhnya ia tidak pernah menduga bahwa di tempat itu terdapat orang-orang sedemikian banyaknya, yaitu orang-orang pandai. Melihat Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
458 gerakan-gerakan senjata mereka, ia maklum bahwa orang-orang ini tidak boleh dipandang ringan dan keadaannya bersama ayahnya bukannya tidak berbahaya. Apalagi ketika ia menengok, tempat itu sudah terkurung oleh barisan yang amat tebal, barisan orang Mongol yang bersenjata lengkap, jumlahnya tidak kurang dari seratus orang!
Ban Sai Cinjin biarpun sudah dihajar sampai babak bundas oleh Cin Hai, akan tetapi ia tidak menderita luka dalam. Kini setelah menghadapi pertempuran besar dan karena ia memang marah sekali, seketika itu juga tubuhnya terasa segar kembali. Ia menyerang dengan huncwenya, dan permainan huncwenya ini tetap saja yang paling berbahaya di antara semua pengeroyok. Ban Sai Cinjin menyerang Kwee An dan dibantu juga oleh Coa-ong Lojin, yang masih merasa sakit hati terhadap Kwee An. Raja pengemis ini mainkan sebatang tongkat ular yang ujungnya berbisa sehingga sekali saja ujung tongkatnya mengenai kulit musuhnya, pasti lawannya akan roboh dan tewas! Selain Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin, masih ada lagi lima orang perwira Mongol yang cukup kosen yang mengeroyok Kwee An!
Adapun Goat Lan yang mainkan sepasang bambu runcing, menghadapi keroyokan dua orang jago Shan-tung itu. Sebagaimana diketahui, dua orang ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, barangkali tidak di bawah tingkat kepandaian Coa-ong Lojin, apalagi Po Tin yang bertubuh kecil itu ternyata memiliki gerakan yang amat lincah dan tenaga lwee-kangnya hebat, berbeda dengan Po Gan yang memiliki tenaga gwa-kang seperti seekor gajah! Selain dua orang jago Shan-tung yang berhasil dibeli oleh Ban Sai Cinjin ini, Goat Lan masih dikeroyok oleh lima orang pengurus kelas satu dari Coa-ong Kai-pang yang mengeroyok dengan tongkat ular mereka yang berbahaya.
Akan tetapi Goat Lan dan Kwee An tidak menjadi gentar, bahkan dua orang ini merasa gembira. Wajah mereka berseri-seri dan mereka seakan-akan hendak berlomba merobohkan lawan! Ayah dan anak ini merasa lega karena berita tentang Kwee Cin yang tidak berada dalam cengkeraman Ban Sai Cinjin lagi.
"Ayah, mari kita berlomba-lomba menghabiskan tujuh ekor tikus ini!" seru Goat Lan sambil tersenyum.
"Baik, mari kita coba!" kata Kwee An dan berbareng dengan ucapan itu, terdengar jerit kesakitan karena seorang perwira Mongol telah kena ditendang oleh tendangan berantai dari Kwee An sehingga tubuh lawan ini terlempar empat tombak lebih!
"Satu...!" seru Kwee An.
Mendengar ini, Goat Lan merasa penasaran sekali. Dengan bambu runcing di tangan kirinya ia menyerang Po Gan dengan cepat tak terduga, ketika Po Gan dengan kaget melempar tubuh ke samping, Goat Lan lalu menyambarkan bambu runcingnya ke arah dada seorang pengurus Coa-tung Kai-pang yang berdiri di belakang Po Gan. Orang itu menjerit lalu roboh tak dapat bangun lagi.
"Satu...!" Goat Lan juga berseru keras.
Kwee An tersenyum dan tak lama kemudian, hampir berbareng ayah dan anak ini berseru,
"Dua...!" dan terlemparlah dua orang pengeroyok! Seruan ini disusul dan disusul lagi sehingga empat orang lawan masing-masing telah dirobohkan! Yang mengeroyok Kwee An kini tinggal Ban Sai Cinjin, Coa-ong Lojin dan seorang perwira Mongol, sedangkan Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
459 pengeroyok Goat Lan tinggal Can Po Gan, Can Po Tin, dan seorang pengemis Coa-tung Kaipang yang sudah empas-empis napasnya!
Melihat hal ini, bukan main marahnya Ban Sai Cinjin. Ia berseru keras memberi aba-aba dan menyerbulah puluhan perajurit, mengurung rapat-rapat sambil menyerang dan bersorak-sorak!
Tentu saja Goat Lan dan Kwee An menjadi terkejut sekali. Mereka tak usah takut menghadapi keroyokan para perajurit yang hanya merupakan orang-orang kasar, memiliki kepandaian biasa saja, akan tetapi karena jumlah mereka banyak sekali, maka untuk melepaskan diri dari kepungan mereka harus membunuh banyak sekali orang! Hal inilah yang tidak mereka kehendaki. Kalau saja pertempuran ini merupakan sebuah peperangan, tentu mereka mengamuk dan takkan segan-segan untuk menjatuhkan pukulan maut, akan tetapi sekarang pertempuran ini hanya merupakan perselisihan mereka dan Ban Sai Cinjin, maka kurang baik kalau harus membunuh banyak orang sungguhpun mereka itu adalah orang-orang Mongol yang menjadi musuh negara.
Pada saat Goat Lan dan Kwee An dikeroyok oleh perajurit-perajurit Mongol bagaikan ribuan ekor semut mengeroyok dua ekor burung, tiba-tiba terdengar bentakan keras,
"Mundur semua! Lihat siapa yang berada dalam tawananku!"
Semua orang Mongol menengok dan mereka melihat dua orang laki-laki datang dan di tengah-tengah mereka terdapat seorang anak laki-laki yang membuat mereka semua segera menjatuhkan diri berlutut! Ternyata bahwa yang datang itu adalah Cin Hai dan Hong Beng, sedangkan yang mereka tawan adalah Pangeran Kamangis, putera dari Malangi Khan!
Melihat betapa semua perajurit mongol berlutut dan tidak berani pula mengeroyok, dan melihat betapa Pangeran Kamangis telah tertawan oleh Pendekar Bodoh, Ban Sai Cinjin menjadi pucat sekali mukanya.
"Pendekar Bodoh, kau curang! Kau menggunakan Pangeran Kamangis untuk mengalahkan aku!"
Cin Hai tersenyum sindir. "Cacing tua, aku hanya meniru perbuatanmu. Kau telah menculik Kwee Cin yang sekarang disimpan oleh Malangi Khan. Kalau Kaisar Mongol tidak mau melepaskan Kwee Cin, kami pun akan menahan puteranya. Kau masih bernasib baik tidak mampus dalam tanganku, cacing tua!" Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu mengajak Goat Lan dan Kwee An untuk meninggalkan tempat itu sambil memondong Pangeran Kamangis!
Ban Sai Cinjin membanting-banting kakinya dengan jengkel sekali dan ia cepat menuju ke istana Kaisar Malangi Khan untuk mencari keterangan bagaimana pangeran itu sampai dapat tertawan oleh Pendekar Bodoh.
Setibanya di depan Malangi Khan, di luar dugaannya, ia bahkan mendapat teguran keras dari Malangi Khan dan mendengar penuturan tentang keberanian Pendekar Bodoh yang membuat darahnya mendidih saking marahnya.
Malangi Khan, raja orang-orang Mongol menjadi marah sekali karena ada orang berani menculik puteranya begitu saja dari depannya tanpa dapat menangkap orang itu. Ban Sai Cinjin mendengarkan penuturan Malangi Khan dengan wajah sebentar merah sebentar pucat, tanda bahwa ia merasa malu dan juga mendongkol sekali terhadap Pendekar Bodoh.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
460 Ternyata bahwa Cin Hai setelah memberi hajaran pada Ban Sai Cinjin, lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat sekali memasuki istana Malangi Khan. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, Pendekar Bodoh dapat melewati semua penjagaan. Memang penjagaan istana Malangi Khan di tempat itu tidak berapa kuat, oleh karena memang istana itu berada di tengah-tengah benteng pertahanan barisan Mongol, siapakah yang dapat masuk dan berani mengganggu"
Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa besar keheranan Malangi Khan ketika pada hari itu, selagi dia duduk dihadapi oleh para panglimanya untuk mengatur siasat perang yang hendak dilakukan terhadap pedalaman Tiongkok, tiba-tiba dari luar masuk seorang laki-laki setengah tua bangsa Han yang berpakaian putih sederhana, akan tetapi yang bertindak masuk dengan langkah tegap dan tenang seperti seorang raja saja!
"Hei...! Siapa kau" Berhenti!" Empat orang penjaga segera melompat dan menghadangnya.
"Minggirlah, aku hendak bertemu dengan Malangi Khan, Kaisarmu!" jawab Cin Hai dengan suara tenang, akan tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh Malangi Khan.
Jawaban ini tentu saja menimbulkan kegemparan diantara para panglima yang menghadap Kaisar itu, juga para penjaga lalu menyerbu dan mengurung Pendekar Bodoh.
"Bunuh saja orang gila ini sebelum membikin kacau!" teriak seorang penjaga sambil menyerang dengan goloknya ke arah leher Cin Hai. Agaknya dengan sekali pancung ia hendak menyembelih orang Han yang lancang ini! Akan tetapi segera terdengar jeritannya dan orang itu bersama goloknya terlempar jauh menimpa kawan-kawannya sendiri.
"Jangan bunuh dia, tangkap dan bawa menghadap di sini!" tiba-tiba terdengar suara Malangi Khan yang menggeledek. Tentu saja semua penjaga dan panglima yang sudah turun tangan, mentaati perintah ini.
"Orang gila, lebih baik kau menyerah untuk kami bawa menghadap Kaisar daripada sakit tubuhmu!" kata seorang panglima yang diam-diam merasa khawatir akan amukan "orang gila" yang telah disaksikan kelihaiannya ketika menghadapi serangan golok tadi.
Cin Hai tersenyum. Memang bukan kehendaknya. untuk menimbulkan keributan, pula
agaknya akan lebih mudah menghadapi Kaisar Malangi Khan dengan berpura-pura menyerah daripada dengan jalan kekerasan.
"Baiklah, kau belenggu kedua tanganku!" katanya sambil tersenyum.
Melihat sikap orang setengah tua ini, semua penjaga dan panglima menjadi geli. Tentu orang gila, pikir mereka, mengapa raja ingin menghadapinya" Dengan cekatan, seorang panglima lalu mengambil rantai besi dan dengan mengeluarkan suara "klik, klik!" kedua pergelangan tangan Cin Hai telah terbelenggu erat-erat! Ada yang menganggap perbuatan panglima itu keterlaluan. Untuk membelenggu seorang gila, mengapa harus dipergunakan belenggu besi"
Belenggu macam itu biasanya hanya dipergunakan untuk membelenggu pesakitan yang lihai dan berilmu tinggi saja.
Akan tetapi ketika dua orang panglima hendak mencabut dan merampas pedang dan suling yang terselip di pinggang Cin Hai, mereka itu terperanjat dan terheran-heran. Dengan hanya Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
461 melenggang dan menggerakkan tubuh, Cin Hai telah dapat mengelak dari mereka ini sehingga pedang dan sulingnya tidak sampai tercabut! Sementara itu, beberapa kali melangkah ia telah berdiri dihadapan Kaisar Malangi Khan!
"Siapakah kau" Melihat sinar mata dan sikapmu, kau bukanlah seorang gila, akan tetapi mengapa kau berani berlancang masuk ke sini dan bagaimana kau dapat sampai di istana?"
Kaisar Malangi Khan menyatakan keheranannya.
Cin Hai tersenyum dan karena kedua tangannya diikat ke belakang ia hanya menangguk, lalu berkata dengan hormat, "Malangi Khan yang besar, maaf kalau aku datang mengganggu. Aku bernama Sie Cin Hai, seorang yang bodoh sehingga banyak orang menyebutku Pendekar Bodoh, dan aku masuk ke sini biasa saja, hanya agaknya orang-orangmu sedang mengantuk sehingga tidak melihatku."
Malangi Khan nampak tertegun dan tidak percaya, sedangkan semua panglima yang berada di situ pun terkejut sekali, akan tetapi siapakah mau percaya bahwa orang yang seperti gila dan yang menyerahkan diri dibelenggu tangannya ini adalah Pendekar Bodoh yang namanya menggemparkan sekali dan yang ditakuti oleh Ban Sai Cinjin" Tak mungkin! Beberapa orang panglima sudah terdengar tertawa kecil menahan geli hatinya karena mengira bahwa orang ini tentulah seorang gila yang mengaku-aku sebagai Pendekar Bodoh! Seorang panglima yang berwatak kasar dan keras segera menuding ke arah Cin Hai dan membentak,
"Orang gila, jangan kurang ajar di hadapan raja yang besar! Orang gila macam engkau ini mana patut menjadi Pendekar Bodoh?"
Baru saja orang ini menutup mulutnya, semua orang terkejut, termasuk Malangi Khan karena orang itu kini duduk diam seperti patung dengan mata terbelalak memandang ke arah Cin Hai.
Ketika seorang kawan yang didekatnya menggoyang tubuhnya, orang ini ternyata telah duduk dengan kaku seperti patung! Orang-orang hanya melihat sinar kecil menyambar ke arah iga panglima ini dan kini nampaklah nyata sebutir batu kecil menggelinding di bawahnya. Dan karena sinar itu datangnya dari Cin Hai, mereka cepat memandang dan bukan main kaget hati semua panglima ketika melihat bahwa kini kedua tangan Cin Hai yang tadinya dibelenggu menjadi satu di belakang tubuhnya, kini telah berada di depan tubuhnya dalam keadaan masih terbelenggu seperti tadi! Bagaimana mungkin orang yang kedua tangannya terbelenggu menjadi satu di belakang bisa pindah ke depan tubuh"
Diantara para panglima itu terdapat tiga orang panglima yang berpangkat jenderal, dan mereka ini memiliki kepandaian yang sudah cukup tinggi, dikenal sebagai tugu pelindung negara dan menjadi orang-orang kepercayaan Malangi Khan. Mereka ini masih terhitung murid keponakan dari Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, jago-jago nomor satu dan dua di Mongol yang menjadi murid-murid Swi Kiat Siansu (baca Pendekar Bodoh) di jaman belasan tahun yang lalu. Oleh karena itu, tiga pelindung negara atau yang juga disebut Sam-koksu ini pernah mendengar nama Pendekar Bodoh. Tadinya mereka pun tidak percaya ketika
mendengar orang ini mengaku sebagai Pendekar Bodoh karena mungkinkah hanya begini sederhana saja orang yang pernah mengalahkan supek-supek (uwa-uwa guru) mereka Thian Kek Losu dan Sian Kek Losu"
Akan tetapi ketika mereka melihat betapa kini orang yang terbelenggu itu telah dapat memindahkan tangan dari belakang ke depan, mereka menjadi terkejut sekali. Untuk dapat memindahkan dua tangan yang terbelenggu dari belakang ke depan tubuh, hanya ada dua Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
462 jalan. Yang pertama adalah jalan sederhana saja, yaitu melangkahkan kedua kaki ke belakang melewati tengah-tengah antara kedua lengan, dan jalan ke dua hanya dapat dilakukan oleh orang berilmu tinggi yang memiliki ilmu kepandaian Sia-kut-hwat (Ilmu Melepas Tulang Melemaskan Tubuh) sehingga kedua tangan itu sekaligus dapat diputar ke depan melalui atas kepala tanpa merusak sambungan tulang pundak!
Kalau seandainya orang ini melakukan jalan pertama, bagaimana mereka semua tidak dapat melihatnya dan bagaimana pula ia dapat menyerang panglima yang menghinanya tadi dengan sebutir batu kecil" Mohopi lalu berdiri dan memeriksa panglima yang ternyata benar telah tertotok jalan darah teng-sin-hiat dengan tepat sekali. Dengan beberapa kali tepukan dan urutan tangan Mohopi dapat menyembuhkan panglima itu yang kini tidak berani banyak tingkah lagi. Adapun Kaisar yang melihat peristiwa ini, diam-diam berdebar hatinya. Benar-benar hebat kepandaian Pendekar Bodoh ini, dan apa maunya datang ke tempat ini"
"Eh, kalau benar kau yang bernama Pendekar Bodoh, apakah kau berani menghadapi Samkoksu untuk saling menguji kepandaian?" tanya Malangi Khan.
Cin Hai tersenyum, "Khan yang besar, sesungguhnya kejadian seperti inilah yang terbaik!
Saling menguji kepandaian, saling memetik pengalaman dan menambah pengertian dari masing-masing pihak! Bukankah ini jauh lebih sempurna daripada saling berperang?"
Malangi Khan mengerutkan keningnya, "Kau tahu apa tentang perang" Pendeknya, berani atau tidak kau menghadapi Sam-koksu kami?"
"Khan yang baik, aku datang dengan maksud baik, tentu saja aku akan menerima segala macam sambutan dari pihak tuan rumah. Sudah lama aku mendengar bahwa Mongol
mempunyai banyak panglima-panglima yang pilihan dan jagoan maka barisan Mongol berani menyerang ke selatan. Kalau Tiga Guru Negara (Sam-koksu) sudi membuka mataku dan menambah pengetahuanku, sebelumnya aku mengucapkan banyak terima kasih!"
"Beri ruangan yang lebar! Buka ikatan tangan tamu kita ini!" Malangi Khan berseru dengan wajah berseri. Raja bangsa Mongol ini, seperti juga raja-raja Mongol yang sudah dan yang akan datang, memang terkenal sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan dan keperwiraan. Malangi Khan sendiri juga terhitung seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, maka tentu saja ia merasa amat gembira melihat tamunya yang mengaku Pendekar Bodoh ini sanggup menghadapi ketiga orang koksunya! Kegembiraan Raja ini kiranya sama dengan kegembiraan seorang penggemar adu ayam melihat dua ekor ayam berlaga hendak bertarung!
"Tidak usah, Khan yang baik!" jawab Cin Hai dengan kegembiraan pula, karena
pengalamannya dengan orang-orang Mongol ini mengingatkan dia akan pengalamannya di waktu muda dahulu (baca cerita Pendekar Bodoh). "Tidak usah dibuka belenggu ini, biarlah aku menghadapi tiga jago-jagomu dengan tangan terbelenggu!"
Tentu saja ucapan ini membuat semua melengak. Malangi Khan memandang ke arah Cin Hai dengan ragu-ragu dan mulailah ia bersangsi apakah orang yang dikira sebagai Pendekar Bodoh ini bukannya seorang gila. Akan tetapi tiga orang koksu itu menjadi marah sekali.
Ucapan ini saja sudah merupakan penghinaan yang tak boleh diampuni lagi! Bagaimana seorang tamu berani menantang koksu-koksu yang terkenal ini untuk dilawan dengan tangan kosong yang terbelenggu"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
463 Sementara itu, para penghadap raja sudah mundur dan membuat lingkarar yang cukup lebar sehingga ruang persidangan itu kini berubah menjadi semacam Lian-bu-thia (ruang bermain silat). Cin Hai menjura di hadapan Raja, lalu berjalan dengan langkah enak berlenggang kangkung menuju ke tengah ruangan itu. Kedua tangannya masih terbelenggu dan tergantung di depan perutnya.
"Khan yang mulia, hamba merasa malu untuk melawan seorang yang berotak miring!" kata Ganisa, orang tertua dari Sam-koksu itu kepada rajanya.
"Tidak apa, Ganisa, biarlah kaucoba menyerangnya. Kalau dia Pendekar Bodoh yang sesungguhnya, boleh kau mengukur sampai di mana tinggi ilmu kepandaiannya sehingga ia sesombong itu. Kalau dia bukan Pendekar Bodoh melainkan seorang gila, kau boleh membunuhnya karena dia telah berani bermain gila di tempat ini!"
Mendengar perintah Raja ini, Mohopi yang paling muda lalu maju mewakili kakaknya. Ia lalu mendapat ijin dari Malangi Khan dan Mohopi lalu melompat cepat berdiri di hadapan Cin Hai.
Melihat gerakan ini, Cin Hai tersenyum lalu berkata dengan beraninya. "Malangi Khan yang baik, bukankah tadi kau menantang padaku untuk menghadapi Sam-koksu (Tiga Guru
Negara)" Mengapa yang maju hanya satu orang saja" Apakah yang dua sudah merasa jerih untuk menghadapi aku, takut kalah?" Cin Hai sengaja mengeluarkan ucapan ini bukan tiada alasannya. Pertama karena ia ingin sekali mempengaruhi Raja itu agar tunduk kepadanya sehingga mudah diajak berunding untuk membebaskan Kwee Cin, kedua kalinya karena gerakan melompat dari Mohopi tadi sudah cukup baginya untuk menilai sampai di mana gerakan tingkat kepandaian tiga orang jago Mongol itu.
"Orang gila, kau benar-benar sombong sekali!" Mohopi berseru marah mendengar ucapan ini dan serentak ia melakukan serangan bertubi-tubi. Pertama-tama tangan kanannya dikepal menghantam dada Cin Hai dan pukulan ini disusul dengan tusukan dua jari tangan kiri ke arah mata, lalu disusul pula dengan tendangan kaki kanan yang hebat sekali ke arah ulu hati! Tiga macam pukulan maut ini bergerak dengan beruntun hampir berbareng dan satu saja di antara tiga serangan ini mengenai sasaran, dapat dibayangkan bahwa orang yang diserangnya pasti akan roboh. Baru hawa pukulan dan tendangan itu saja sudah menerbitkan suara bersuitan!
Akan tetapi sebelum tiga macam serangan itu melayang, lebih dulu Cin Hai telah dapat menduganya. Pendekar Bodoh adalah seorang pendekar sakti yang memiliki pengetahuan tentang pokok dasar segala macam gerakan ilmu silat, semacam pengetahuan yang menjadi raja segala macam ilmu silat. Diserang dengan gerak tipu dari cabang persilatan manapun juga, sebelum serangan itu melayang ia telah dapat menduganya hanya dengan melihat gerakan pundak dan paha untuk dapat menduga pukulan dan tendangan lawan.
Ketika semua orang, termasuk Malangi Khan, mengharapkan bahwa segebrakan serangan yang mengandung tiga macam pukulan ini akan berhasil menjatuhkan tamu itu, tahu-tahu Mohopi sendiri menjadi kebingungan dan terdengar suara ketawa dari beberapa orang panglima yang merasa geli melihat pemandangan amat lucu. Ketika kelihatannya Pendekar Bodoh seperti mau terkena pukulan yang tiga macam itu, tiba-tiba ia merendahkan tubuhnya dengan kegesitan yang tak terduga dan dengan gerakan cepat sekali ia lalu bergerak maju menyusup di bawah kaki lawan yang menendangnya! Dengan demikian, ia telah berhasil Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
464 menyelamatkan diri dan kini berada di belakang Mohopi tanpa diketahui oleh lawannya, karena memang gerakan Pendekar Bodoh tadi cepat sekali.
Ketika melihat betapa Mohopi nampak tercengang mencari-cari lawannya, Malangi Khan sendiri menjadi terheran-heran, lalu tertawa bergelak. Gerakan dari Pendekar Bodoh tadi bukanlah gerakan ilmu silat, lebih mirip gerakan seekor monyet yang lucu, akan tetapi buktinya Mohopi dapat ditipu mentah-mentah.
"Majulah, majulah kalian bertiga!" perintah Malangi Khan dengan wajah gembira sekali.
Ganisa dan Citalani atau yang biasa disebut Thai-kok (Guru Negara Pertama) dan Ji-koksu (Guru Negara kedua) jadi marah sekali melihat betapa mereka dipermainkan oleh orang mengaku Pendekar Bodoh itu. Mereka pun tadi melihat betapa gerakan Cin Hai bukanlah gerakan silat, walaupun harus mereka akui bahwa gerakan itu selain amat cepat juga tidak terduga. Mereka masih mengira bahwa hal itu hanya kebetulan saja, akan tetapi kini mendengar perintah Malangi Khan, mereka serentak maju berbareng mengirim serangan dengan maksud sekali serang merobohkan atau menewaskan tamu ini.
Akan tetapi kembali semua orang menjadi tercengang. Sambil tersenyum-senyum, Cin Hai dapat menghindarkan diri dari semua serangan dengan hanya sedikit menggerakkan tubuhnya, miring ke kanan kiri, melompat ke depan belakang bagaikan seekor monyet yang amat gesit dan sukar diserang. Biarpun penyerangnya ada tiga orang, akan tetapi mana dapat mereka ini melukai Cin Hai" Dahulupun ketika supek mereka masih hidup, yaitu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, kedua orang ini pun tidak berdaya menghadapi Pendekar Bodoh, apalagi murid keponakannya! Tingkat kepandaian Sie Cin Hai masih beberapa tingkat lebih tinggi dari tingkat kepandaian Sam-koksu ini maka biarpun mereka menyerang sambil mengerahkan semua kepandaian, tetap saja Pendekar Bodoh dapat menghadapi mereka dengan kedua tangan terbelenggu tanpa dapat teluka sedikit pun.
"Koksu, serang dia dengan senjatamu!" bentak Malangi Khan yang menjadi merah mukanya karena malu dan penasaran mengapa tiga orang jagonya yang dijadikan pelindung negara ternyata tidak bisa apa-apa terhadap seorang yang demikian sederhana saja.
Mendengar perintah ini, tiga orang itu lalu mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi yang menarik perhatian dan membuat Cin Hai terkejut adalah senjata di tangan Thai-koksu Ganisa, karena orang tua ini memegang seuntai rantai yang ujungnya diikatkan pada sebuah tengkorak kecil yang amat mengerikan! Teringatlah Cin Hai kepada Thian Kek Losu yang dahulu juga memiliki senjata macam ini, maka ia berlaku hati-hati sekali. Senjata Ji-koksu dan Sam-koksu tidak begitu diperhatikan karena kedua orang guru negara ke dua dan ke tiga ini hanya bersenjatakan golok besar yang biasa saja.
Kedua golok besar itu menyambar cepat hanya dielakkan oleh Cin Hai sambil
mempergunakan gin-kangnya yang luar biasa, akan tetapi ketika tengkorak kecil di ujung rantai yang dipegang oleh Thaikoksu itu mengarah mukanya, ia cepat mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu. Ia maklum dari pengalamannya dahulu menghadapi Thai Kek Losu, bahwa tengkorak kecil ini mengandung hawa mujijat dari kekuatan sihir dan selain ini, juga di dalam tengkorak ini terdapat senjata-senjata rahasia yang berbisa dan amat berbahaya apabila ditangkis. Oleh karena itu, tanpa mempedulikan dua buah golok yang menyambar-nyambar, ia lalu mencurahkan perhatiannya kepada tengkorak kecil itu, ketika melihat tengkorak menyambar cepat ke arah mukanya seperti hendak menciumnya, ia lalu
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
465 menggerakkan kedua tangan dan sebelum Thai-koksu tahu, tengkorak itu telah kena terpegang oleh kedua tangan Pendekar Bodoh! Thai-koksu terkejut dan hendak membetot dan menggunakan senjata rahasia yang berada dalam tengkorak, akan tetapi cepat bagaikan kilat, Pendekar Bodoh sudah mengirim tendangan ke arah pergelangan tangannya. Thai-koksu berseru keras karena dengan tepat sekali tendangan itu telah membuat sambungan
pergelangan tangannya terlepas!
Sambil membawa tengkorak kecil itu, Cin Hai melanjutkan gerakannya. Sepasang golok dari Ji-koksu dan Sam-koksu menyambar dari kanan kiri, maka cepat ia lalu melangkah mundur, miring ke kanan, menggunakan sikunya "dimasukkan" ke dalam perut Sam-koksu.
"Ngek!" Biarpun Mohopi atau Samkoksu itu mengerahkan lwee-kangnya ke arah perut, namun tentu saja ia tidak dapat menahan pukulan siku ini dan segera ia terhuyung mundur sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas! Adapun Ji-koksu yang menjadi marah sekali lalu menerjang dengan goloknya, membabat bertubi-tubi ke arah pinggang dan leher Pendekar Bodoh. Cin Hai yang kedudukannya masih miring ketika merobohkan Mohopi tadi, melihat datangnya babatan golok, cepat menotol kedua kakinya dan mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya lalu mencelat ke atas bagaikan seekor burung terbang. Citalani atau Ji-koksu yang memiliki ilmu golok paling lihai di antara saudara-saudaranya, cepat menerjang terus selagi tubuh Cin Hai masih berada di udara. Akan tetapi, dengan enaknya Cin Hai menggunakan tendangan menyerong yang kelihatannya ditujukan ke arah kepala lawannya, akan tetapi sesungguhnya lalu menyerong dan menendang ke arah golok! Seorang yang tidak memiliki ilmu gin-kang yang luar biasa tingginya tidak mungkin melakukan tendangan selagi tubuh masih berada di udara, dan lagi pula, kalau tidak mengandalkan tenaga lwee-kang yang hebat juga tak mungkin orang akan berani menendang sebatang golok yang tajam sekali.
Akan tetapi, Pendekar Bodoh merupakan kekecualian karena sebagai murid terkasih dari mendiang Bu Pun Su, guru besar nomor satu dalam dunia persilatan, ia telah memiliki kepandaian yang sukar diukur sampai di mana tingginya.
Begitu ujung kakinya mengenai golok Ji-koksu, terdengar suara nyaring sekali dan golok itu menjadi rompal dan terlepas dari tangan lawannya, terus meluncur ke bawah dan menancap di lantai sampai setengahnya. Adapun Ji-koksu meringis-ringis karena dua buah jari tangannya ternyata telah patah tulangnya keserempet tendangan dari Pendekar Bodoh!
Setelah mengalahkan tiga orang lawannya, Cin Hai lalu melompat ke hadapan Malangi Khan, menjura sambil berkata, "Harap Malangi Khan yang mulia sudi memaafkan kekasaranku tadi terhadap tiga Koksu!"
Malangi Khan untuk beberapa lama tidak dapat mengeluarkan kata-kata saking kagum dan herannya melihat kelihaian Pendekar Bodoh. Ia turun dari tempat duduknya dan dengan kedua tangan sendiri hendak membuka belenggu di tangan Cin Hai, akan tetapi sekali lagi ia melengak ketika tiba-tiba Cin Hai menggerakkan kedua tangannya dan belenggu besi itu rontok dan jatuh terlepas dari tangannya! Tidak hanya Malangi Khan yang terkejut, bahkan semua panglima yang berada di situ menjadi pucat mukanya melihat kehebatan demonstrasi tenaga raksasa ini.
"Hebat sekali, Pendekar Bodoh. Pantas kau disebut pendekar yang terbesar di dunia persilatan. Aku merasa kagum dan tunduk sekali. Ah, tinggallah bersamaku di sini, kau akan kuangkat menjadi pelindung negara, menjadi raja muda yang kuberi kekuasaan penuh sebagai wakilku!" Raja Mongol itu berseru saking kagumnya.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
466 Akan tetapi Cin Hai menggelengkan kepalanya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh,
"Malangi Khan yang baik, semenjak dahulu aku paling tidak suka menjadi pembesar negara.
Banyak cara untuk menolong rakyat dan cara yang paling tak kusukai ialah menjadi pembesar negara, karena kedudukan menjadi sekutu harta benda dan ke dua, hal ini suka meracuni pikiran membutakan mata batin. Terima kasih atas tawaranmu yang amat ramah ini, Khan yang mulia."
Malangi Khan mengerutkan keningnya. "Kalau begitu apa maksudmu datang ke sini"
Apakah kau datang dengan niat mengacau?"
Cin Hai menggeleng kepala. "Tidak sama sekali. Kedatanganku ini tak lain hendak menjemput keponakanku, Kwee Cin yang sedang menjadi tamu di istanamu. Orang tuanya telah amat mengharapkan kembalinya, maka harap kau suka menyuruh dia keluar agar dapat pulang bersamaku, Malangi Khan."
Mendengar ucapan ini, Raja Mongol itu memandang tajam. "Dan selain itu, apa lagi kehendakmu?"
"Aku mendengar bahwa seorang Turki bernama Bouw Hun Ti berada di tempat ini dan membantumu. Karena orang jahat itu telah melakukan pembunuhan terhadap ayah mertuaku, maka kuharap Khan yang mulia suka pula menyerahkan orang itu kepadaku untuk diadili!"
Malangi Khan mengangkat tangan kirinya dan pada saat itu juga pendengaran Cin Hai yang tajam dapat menangkap derap kaki ratusan orang yang mengurung ruangan itu!
"Apa maksudnya ini, Malangi Khan?" tanya Pendekar Bodoh dan sepasang matanya yang lebar dan jujur itu kini bersinar-sinar dan bergerak-gerak, menunjukkan betapa cerdiknya otak yang berada di belakang mata itu.
Malangi Khan tertawa bergelak. "Pendekar Bodoh, kau telah kuberi kesempatan untuk mendapatkan kedudukan setinggi-tingginya yang mungkin dicapai orang di negaraku, akan tetapi kau berani sekali menolak, bahkan menuntut dikembalikannya keponakanmu dan kau hendak menangkap seorang pembantuku pula." Ucapan terakhir ini sesungguhnya bohong, karena biarpun tadinya Bouw Hun Ti juga membantu suhunya, Ban Sai Cinjin di benteng itu, akan tetapi belum lama ini Bouw Hun Ti telah melakuan perjalanan untuk mengumpulkan orang-orang yang kelak akan dimintai bantuan dalam menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya di puncak Thai-san. Maka sebenarnya Bouw Hun Ti bukan merupakan
pembantunya pula. Malangi Khan sengaja mengatakan demikian agar dapat mencari alasan yang berat untuk menyalahkan Pendekar Bodoh.
"Selanjutnya apa kehendakmu, Malangi Khan?" tanya Cin Hai, sedikit pun tidak merasa takut.
"Kau akan kutahan di sini dan takkan kulepaskan sebelum kaunyatakan suka menerima pengangkatan atau sebelum bala tentara Tiong-goan dapat kuhancurkan!"
Cin Hai tersenyum. "Kalau aku melarikan diri?"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
467 Malangi Khan juga tersenyum. "Kau dikurung oleh ribuan orang tentara yang kuat! Dan pula, begitu kau memberontak, anak itu akan kupenggal lehernya!"
"Malangi Khan, kau benar-benar cerdik dan licik! Akan tetapi siapa percaya omonganmu"
Kalau aku tidak melihat sendiri anak itu, aku takkan percaya bahwa anak itu masih belum kau bunuh!"
"Pendekar Bodoh, kaukira aku Malangi Khan pembunuh anak-anak tanpa alasan?"
"Siapa tahu watak seorang Raja Besar yang licik seperti kau?" Cin Hai sengaja menghina sehingga Kaisar itu mendelikkan mata dan memberi perintah kepada penjaga untuk membawa datang Kwee Cin.
Teganglah seluruh urat dalam tubuh Cin Hai ketika ia mendengar perintah ini. Ia mengambil keputusan untuk segera merampas Kwee Cin dan membawanya pergi dari situ. Penjagaan ribuan orang tentara Mongol sama sekali tidak ditakutinya, karena sesungguhnya dengan kepandaiannya ia dapat membobolkan kepungan itu.
Pintu belakang terbuka dan muncullah Kwee Cin dan seorang anak Mongol yang berpakaian mewah. Cin Hai dapat menduga bahwa ini tentu putera Raja Mongol itu.
"Kouw-thio (Paman)...!" Kwee Cin berseru girang ketika ia melihat Cin Hai dan hendak berlari menghampiri, akan tetapi sekali sambar saja Malangi Khan telah menangkap lengan Kwee Cin yang ditariknya dekat. Tangan kanan Malangi Khan telah menghunus pedangnya dan dengan gerakan mengancam ia memandang kepada Cin Hai. Pendekar Bodoh merasa lega melihat bahwa Kwee Cin berada dalam keadaan selamat dan sehat, dan dapat diduga bahwa anak itu diperlakukan dengan baik di tempat itu.
"Paman Malangi, mengapa kau memegang tanganku?" Kwee Cin bertanya sambil
memandang heran kepada Raja itu, yang menjadi bukti bagi Pendekar Bodoh bahwa biasanya Raja ini bersikap baik terhadap Kwee Cin.
Akan tetapi melihat ancaman Malangi Khan, ia tak dapat berbuat sesuatu. Ia tahu bahwa orang seperti Malangi Khan akan memegang teguh ancamannya dan kalau ia bergerak merampas Kwee Cin, tentu Raja itu akan mengerjakan pedangnya dan celakalah nasib keponakannya itu.
"Malangi Khan, jangan kau mengganggu keponakanku itu. Aku bersumpah takkan
merampasnya dengan kekerasan."
Malangi Khan memandang heran, lalu melepaskan tangan Kwee Cin. Bahkan ia lalu duduk bersandar dengan wajah lega. Pendekar Bodoh merasa kagum sekali betapa Raja ini dapat melihat orang, dan sekali ia mengeluarkan ucapan dan janji Raja itu telah percaya penuh kepadanya! Kalau saja ia mau mempergunakan kepandaiannya, pada saat itu ia dapat menyambar Kwee Cin, akan tetapi tentu saja Cin Hai tidak mau melanggar sumpahnya.
Sebetulnya sumpah tadi termasuk rencana dan siasatnya, karena biarpun kelihatan bodoh, Cin Hai sebetulnya cerdik sekali. Ia tidak melihat harapan untuk mempergunakan kekerasan, maka sengaja ia bersumpah takkan merampas Kwee Cin dengan kekerasan.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
468 Kini melihat Malangi Khan tidak mengancam lagi kepada Kwee Cin, tiba-tiba Cin Hai menubruk maju. Malangi Khan terkejut sekali karena tak disangkanya Pendekar Bodoh mau melanggar sumpahnya. Ia hendak membentak dan memaki, akan tetapi menahan suaranya ketika melihat bahwa Pendekar Bodoh tidak merampas Kwee Cin melainkan menangkap Putera Mahkota! Tak seorang pun dapat mengikuti gerakan Pendekar Bodoh yang demikian cepatnya sehingga tahu-tahu Pangeran Kamangis, putera tunggal Malangi Khan, telah berada di dalam pondongan Pendekar Bodoh! Dan sebelum orang dapat bergerak, Cin Hai sudah melompat keluar sambil berkata,
"Malangi Khan, kau harus kembalikan Kwee Cin baik-baik untuk ditukar dengan puteramu.
Aku menanti di benteng Alkata-san!"
Para panglima dan penjaga serentak maju hendak mencegat Pendekar Bodoh, akan tetapi Malangi Khan berseru keras,
"Jangan ganggu dia, kalian anjing-anjing bodoh! Jangan serang dia!" Raja ini takut kalau-kalau serangan anak buahnya akan mengenai tubuh puteranya, karena maklum akan kelihaian Pendekar Bodoh.
Demikianlah penuturan yang didengar dengan hati gemas dan mendongkol sekali oleh Ban Sai Cinjin ketika ia datang menghadap Malangi Khan.
"Dan sekarang bagaimana kehendak Khan yang mulia?" tanya Ban Sai Cinjin sambil
mengepulkan asap huncwenya. Kedudukan Ban Sai Cinjin sebagai sekutu boleh dibilang sejajar dengan Malangi Khan dan karena Raja Mongol ini pun maklum akan kelihaian Si Huncwe Maut, maka ia memberi kemerdekaan kepada Ban Sai Cinjin untuk bersikap sebagai seorang tamu agung.
"Sayang sekali dengan adanya seorang tokoh seperti kau, Pendekar Bodoh masih berani mengganggu tempat ini," kata Raja itu dengan suara menyindir. "Akan tetapi sudahlah, memang sukar mencari seorang yang cukup kuat untuk menghadapi seorang sakti seperti Pendekar Bodoh. Tidak ada lain jalan, terpaksa aku harus mengantarkan keponakan Pendekar Bodoh itu ke benteng Alkata-san untuk ditukar dengan puteraku."
"Harap Paduka berlaku hati-hati." Ban Sai Cinjin memperingatkan. "Siapa tahu kalau-kalau mereka sudah mengatur perangkap untuk mencelakakan Paduka. Biarlah saya saja yang membawa anak she Kwee itu untuk ditukarkan dengan putera Paduka."
Beberapa orang panglima membenarkan pendapat Ban Sai Cinjin ini. Memang resikonya terlalu besar bagi maharaja itu untuk pergi sendiri melakukan penukaran tawanan, karena kalau Malangi Khan sampai tertawan musuh, berarti semua gerakan tentara Mongol akan kehilangan kepalanya. Dan selain Ban Sai Cinjin yang berkepandaian tinggi, tidak ada yang lebih baik untuk melakukan penukaran tawanan penting ini.
"Kau harus berhati-hati dan perlakukan anak itu baik-baik, karena aku pun menghendaki puteraku diperlakukan dengan baik oleh mereka!" kata Malangi Khan.
Demikianlah, dengan amat sembrono sekali Malangi Khan mempercayakan penukaran
tawanan itu ke dalam tangan Ban Sai Cinjin! Kalau saja Raja ini sudah kenal betul watak Ban Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
469 Sai Cinjin, tentu sama sekali ia takkan suka mempercayakan keselamatan putera tunggalnya ke dalam tangan Si Huncwe Maut ini!
Kwee Cin lalu dikeluarkan dari kamar di mana ia ditahan dan dijaga keras, kemudian Ban Sai Cinjin menjepit anak ini yang menjadi pucat sekali ketika melihat Ban Sai Cinjin. Kwee Cin ingat bahwa kakek mewah inilah yang menculiknya dahulu, dan tadinya ia sudah merasa lega karena terlindung oleh Malangi Khan dan menjadi kawan bermain dari Putera Mahkota Mongol yang baik. Akan tetapi sekarang ia diserahkan lagi kepada kakek berhuncwe yang ditakuti dan dibencinya itu, maka ia menjadi pucat dan ingin menangis.
Setelah berpamit kepada Malangi Khan, Ban Sai Cinjin lalu melangkah keluar dari istana itu.
Akan tetapi pada saat ia hendak mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat, tiba-tiba dari luar benteng menyambar bayangan dua orang yang cepat sekali gerakannya. Ketika dengan terkejut Ban Sai Cinjin memandang, alangkah herannya ketika melihat bahwa yang datang adalah Lie Siong, pemuda yang beberapa kali bertempur dengan dia itu, pemuda yang sudah berani mengacau di rumahnya dan membakar rumahnya di desa Tong-si-bun. Akan tetapi, pemuda ini kini dipegang lengannya oleh seorang tua yang bongkok, yang jalannya terpincang-pincang dan kalau tidak berpegang pada lengan pemuda itu agaknya pasti akan roboh terguling!
"Suhu, inilah anak itu yang harus dirampas, dan ini pula orang jahat bernama Ban Sai Cin in Si Huncwe Maut!" kata pemuda itu kepada kakek bongkok terpincang-pincang yang
berpegangan pada lengannya.
Kakek itu membuka-buka matanya yang agaknya sukar dibuka, lalu mengeluarkan suara seperti ringkik kuda, disambung dengan ketawanya yang lemah, "heh-heh-heh, berikan kepadaku anak itu..." suaranya perlahan dan lambat seperti suara kakek-kakek yang sudah tua sekali, agak menggetar pula.
Biarpun sudah pernah merasai kelihaian Lie Siong, tentu saja Ban Sai Cinjin tidak takut sama sekali terhadap anak muda itu, karena selain kepandaiannya memang masih lebih unggul daripada Lie Siong, juga di tempat itu ia mempunyai banyak pembantu.
"Apakah kau datang mengantar kematian?" bentaknya kepada Lie Siong sambil
menggerakkan huncwenya di tangan kanan dan dibarengi teriakan memberi tahu kawan-kawannya. Sebetulnya teriakan ini tidak perlu karena para panglima Mongol, bahkan Malangi Khan sendiri sudah mendengar ribut-ribut dan sudah memburu keluar semua.
Lie Siong yang diserang dengan hebat oleh Ban Sai Cinjin tidak menangkis maupun mengelak. Sebaliknya yang bergerak adalah kakek tua renta itu yang menggerakkan kedua tangannya sambil terkekeh-kekeh. Biarpun kedua tangannya kurus tinggal kulit dan tulang dan gerakannya lambat sekali, namun Ban Sai Cinjin terkejut setengah mati. Sekali sambar saja huncwe Ban Sai Cinjin itu telah kena direbut lalu dibalikkan dan kini huncwe itu menyodok ke arah perut Ban Sai Cinjin, dibarengi dengan tangan kiri ditamparkan ke arah kepala kakek mewah itu. Angin pukulan dari kakek tua renta ini terasa oleh Ban Sai Cinjin bagaikan angin puyuh menyambar ke arahnya, maka tentu saja ia cepat-cepat mengelak, akan tetapi sebelum ia mengetahui bagaimana kakek ini bergerak, Kwee Cin yang berada di dalam pondongannya telah terbang dan pindah ke dalam pondongan kakek tua bangka itu!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
470 "Tangkap...! Keroyok...!!" Ban Sai Cinjin memekik bingung melihat kelihaian kakek ini dan para panglima lalu maju mengurung, dipimpin sendiri oleh Malangi Khan yang merasa gelisah melihat betapa penukar puteranya itu telah dirampas orang. Ban Sai Cinjin sendiri masih tertegun karena baru satu kali selama hidupnya ia menyaksikan orang yang tingkat kepandaiannya sama dengan kakek tua renta ini, yaitu Bu Pun Su yang sudah mati. Tadinya ia mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang lain yang memiliki kepandaian seperti Bu Pun Su, akan tetapi sekarang ia menghadapi kakek tua renta yang sudah mau mati saking tuanya ini, ia menjadi bingung dan terkejut. Agaknya kepandaian kakek tua renta ini tidak berada di sebelah bawah kepandaian Empat Besar, yaitu Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swi Kiat Siansu yang semuanya sudah meninggal dunia. Bagi Ban Sai Cinjin, agaknya tidak ada tokoh besar dunia kang-ouw yang tidak diketahui atau dikenalnya, akan tetapi selama hidupnya belum pernah ia melihat atau mendengar tentang kakek yang aneh ini!
Adapun kakek itu biarpun dikurung oleh panglima-panglima yang bersenjata tajam, kelihatan enak-enak saja. Ia mengisap huncwe rampasan itu yang masih ada tembakaunya mengepul, disedotnya beberapa kali sambil matanya berkedap-kedip dan memondong Kwee Cin yang memandang dengan ketakutan. Sementara itu, karena para penglima sudah mulai menyerang, Lie Siong mencabut pedang naganya dan setelah ia menggerakkan pedangnya, terdengar suara nyaring dan beberapa batang golok atau tombak menjadi patah. Akan tetapi kurungan tidak mengendur, bahkan makin merapat.
Kakek tua yang menyedot asap huncwe, nampak mengernyitkan hidungnya dan wajahnya menjadi makin buruk. "Ah, huncwe tidak enak, tembakaunya apek berbau busuk!" katanya menyengir lalu ia menyodorkan huncwe itu kembali kepada Ban Sai Cinjin. Si Huncwe Maut ini terbelalak matanya memandang penuh keheranan karena tadi ia melihat sendiri betapa kakek ini telah menyedot sedikitnya lima kali dan melihat nyala api di dalam huncwe, tentu banyak sekali asap yang tersedot. Akan tetapi ia tidak melihat asap itu keluar lagi seakan-akan lima kali sedotan itu membuat asapnya tersimpan di dalam dada Si Kakek Aneh. Padahal tembakau yang dipasangnya di dalam huncwenya adalah tembakau hitam yang beracun! Oleh karena kaget dan heran, setelah menerima kembali huncwenya, ia hanya berdiri bengong.
Kakek itu memandang ke arah Lie Siong yang terdesak hebat, dan kini Malangi Khan sendiri lalu memimpin sebagian orangnya untuk menyerang kakek itu dan merampas kembali Kwee Cin. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu terkekeh-kekeh dan dari mulutnya menyambar keluar asap hitam bergulung-gulung seperti naga hitam yang jahat. Inilah asap dari huncwe Ban Sai Cinjin yang tadi disimpan dengan kekuatan lwee-kang dan khi-kang luar biasa sekali dan kini dikeluarkan untuk menyerang para pengeroyok.
"Awas, mundur...! Asap itu berbahaya sekali...!" Ban Sai Cinjin berteriak gagap, karena ia maklum akan berbahayanya asap huncwenya sendiri yang mengandung racun hebat. Akan tetapi beberapa orang sudah tersambar oleh asap itu dan seketika menjadi roboh pingsan.
Yang lain-lain menjadi takut dan mundur.
Kakek itu mendekati Lie Siong. "Muridku, hayo kita pergi!" Baru saja ucapan ini habis dikeluarkan, tiba-tiba tubuhnya dan tubuh Lie Siong melayang cepat sekali ke atas genteng dan lenyap dari pandangan mata! Kembali Ban Sai Cinjin terkejut. Itu adalah ilmu gin-kang yang luar biasa sekali. Bagaimana pemuda itu tiba-tiba saja telah memiliki kepandaian ini"
Melihat gerakan pedang pemuda tadi, masih tidak jauh bedanya dengan dulu. Setelah berpikir sebentar, dapatlah ia menduga bahwa tentu pemuda itu dipegang lengannya oleh kakek yang sakti tadi dan dibawa melompat pergi. Ketika ia memandang ke arah Malangi Khan, dari Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
471 sepasang mata Raja Mongol ini terbayang maut yang ditujukan kepadanya, sehingga ia menjadi kaget. Ia tahu bahwa Raja ini marah sekali kepadanya dan menganggap dia menjadi biang keladi sehingga Kwee Cin terampas orang.
"Biar hamba mengejar mereka!" seru Ban Sai Cinjin dan cepat ia pun melayang ke atas genteng dan melarikan diri! Kakek mewah ini tahu bahwa dia tidak sanggup mengejar, dan alasannya ini hanya dipergunakan agar dapat melarikan diri dari situ. Ia tahu bahwa setelah kini Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya datang dan berada di benteng Alkata-san, amat berbahaya baginya berada di tempat itu. Ia lalu pergi cepat sekali dengan tujuan menyusul muridnya, Bouw Hun Ti, untuk mengumpulkan pembantu-pembantu yang pandai guna
menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya yang ditakuti.
*** Bagaimana Lie Siong bisa datang bersama kakek tua renta itu dan siapa pula kakek yang aneh itu"
Seperti telah diketahui, setelah Lie Siong bertemu dengan Lili dan Ma Hoa dan
meninggalkan Lilani pada suku bangsanya sendiri yang kemudian diantar oleh Lili dan Ma Hoa ke benteng Alkata-san, Lie Siong lalu pergi seorang diri untuk mencari Ban Sai Cinjin guna membalas dendam ayahnya dan juga untuk mencoba menolong Kwee Cin yang diculik oleh kakek mewah berhuncwe maut itu.
Ia telah mendengar bahwa Ban Sai Cinjin membantu bala tentara Mongol, maka ia lalu melakukan penyelidikan di sekitar daerah pegunungan yang dijadikan markas besar bala tentara Mongol. Tentu saja dia tidak berani memasuki perbentengan itu karena tahu bahwa perbuatan ini hanya berarti mengantar nyawa saja. Di dalam benteng itu selain terdapat puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu tentara Mongol juga terdapat banyak panglima-panglima kosen dan orang-orang gagah seperti Ban Sai Cinjin dan lain-lain. Demikianlah ia hanya bersembunyi saja sambil menanti-nanti kalau-kalau ada kesempatan baik. Banyak akal terpikirkan dalam otaknya. Ia dapat menangkap seorang perajurit Mongol dan kemudian menyamar sebagai perajurit itu memasuki benteng. Atau ia bisa menanti sampai Ban Sai Cinjin keluar untuk diserang dengan tiba-tiba atau menyelidiki di mana ditahannya Kwee Cin untuk kemudian coba dirampasnya.
Ketika ia sedang berjalan di dalam hutan di kaki bukit itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang tertawa-tawa. Suara ketawa ini seperti suara ketawa anak kecil yang sedang bermain-main dengan riang gembira. Heran dan kagetlah Lie Siong mendengar suara ini. Bagaimana di dalam hutan seperti ini, dekat perbentengan tentara Mongol dan di daerah pertempuran, bisa terdengar suara ketawa anak-anak yang bermain-main" Ia segera mencari siapa yang ketawa itu dan ketika ia keluar dari belakang sebatang pohon besar, ia berdiri terpukau saking herannya.
Di bawah pohon itu nampak seorang kakek yang kurus kering dan bongkok, kulit mukanya keriputan sehingga sukar sekali dibedakan mana hidung mana mulut, seorang kakek ompong yang tak berdaging lagi, tengah bermain-main seorang diri sambil berjongkok di atas tanah!
Ketika Lie Siong memandang penuh perhatian, ternyata bahwa kakek tua renta ini sedang bermain gundu seorang diri dan tiap kali ia menyentil gundunya mengenai gundu yang lain, ia tertawa-tawa puas seperti seorang anak kecil! Hampir saja Lie Siong tak dapat menahan Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
472 kegelian hatinya ketika melihat kakek yang saking tuanya telah kembali menjadi kekanak-kanakan ini!
Akan tetapi ketika ia memandang cara kakek itu bermain gundu, kegeliannya lenyap dan jangankan menertawakannya, bahkan kini sepasang mata pemuda itu menjadi terbelalak.
Ternyata bahwa cara kakek itu bermain gundu amat istimewa sekali. Gundunya terbuat dari tanah liat dikeringkan, jumlahnya sepuluh butir. Yang hebat ialah tiap kali kakek itu menyentil "jagonya", maka gundunya itu akan meluncur berlenggak-lenggok, kemudian dengan tepat sekali lalu membentur sembilan butir gundu itu satu demi satu, seakan-akan jagonya itu hidup dan memiliki mata yang dapat mencari-cari sembilan lawannya!
Tentu saja Lie Siong mengerti bahwa hal ini baru mungkin dilakukan kalau orang memiliki tenaga lwee-kang yang sempurna. Dia sendiri paling banyak bisa menyentil gundu untuk membentur tiga atau empat gundu lain sebelum berhenti, akan tetapi kakek ini biarpun gundu jagonya telah membentur sembilan gundu lain masih saja gundu jagonya itu dapat berputar kembali ke tangannya yang sudah siap menanti. Dan juga gundu-gundu yang terbentur itu terlempar pada jarak tertentu sehingga sembilan butir gundu itu membentuk suatu garis-garis perbintangan yang luar biasa sekali!
"Hebat..." bisiknya di dalam hati dan saking kagumnya bibirnya ikut bergerak.
Tanpa menoleh kepadanya, kakek tua renta itu lalu berkata, "Hayo, sekarang giliranmu, orang muda. Kaubidikkan gundumu!"
Ketika Lie Siong diam saja, kakek itu menengok ke arahnya dan kagetlah pemuda itu ketika melihat sepasang mata bagaikan mata harimau menyambarnya. "Aku... aku tidak punya gundu," jawabnya gagap.
Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh. "Ha-ha-ha, aku lupa! Kau masih bodoh bermain gundu, tentu saia gundumu habis, kalah semua olehku. Nah, ini, kuberi hadiah sebuah gundu agar kau dapat ikut bermain-main."
Tangan kiri kakek itu mencengkeram ke arah batu karang hitam yang berdiri di sebelah kirinya. Terdengar suara "krak" dan gempallah sepotong batu karang! Kemudian, seakanakan batu karang itu hanya sepotong tahu saja kakek itu lalu mencuwil-cuwilnya dan membentuk sebutir gundu yang bundar dan halus dalam sekejab mata.
Dengan hati berdebar kagum, Lie Siong menerima gundu istimewa itu dan ketika ia menekan, gundu itu memang benar terbuat dari batu karang yang luar biasa kerasnya, akan tetapi yang diperlakukan seperti tanah liat basah oleh kakek luar biasa ini.
"Hayo, bidiklah!" kakek itu berseru girang.
Lie Siong terpaksa lalu berjongkok dan melayani kakek ini bermain gundu! Ia membidikkan gundunya sambil berpikir. Gundu yang diberikan kepadanya dan menjadi gundu jagonya adalah terbuat dari batu karang yang keras dan lebih berat daripada gundu-gundu yang berada di atas tanah, karena semua gundu itu terbuat dari tanah liat yang kering. Mana bisa gundunya yang berat itu akan membentur gundu lain ke dua, ke tiga dan seterusnya" Paling-paling yang akan terpental adalah gundu yang dibentur oleh gundu jagonya! Setelah berpikir sebentar, Lie Siong lalu membidik dan melepaskan gundunya dengan keras. Gundunya menendang gundu Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
473 terdekat yang mencelat dan membentur gundu ke dua yang sebaliknya terpentat pula membentur yang ke tiga. Demikianlah, dengan pengerahan tenaga yang besar dan tepat, Lie Siong berhasil membuat gundu-gundu itu saling bentur sampal gundu ke lima, akan tetapi sampai kepada gundu ke lima, tenaga benturan telah habis dan mogok di jalan.
"Kau licik...!" kakek itu bersungut. "Gundu jagomu diam saja, yang membentur adalah gundu sasaran! Tidak boleh begitu!"
"Tentu saja, karena gundu jagoku lebih berat dan keras sedangkan gundu-gundu sasaran ringan sekali!" Lie Siong membantah dan mereka ini benar-benar seperti dua orang anak-anak yang sedang bersitegang dalam permainan mereka.
"Siapa bilang gundu jagomu keras dan berat" Coba lihat sekarang hendak kubidik gundumu, lihat saja mana yang lebih keras!" Sambil berkata demikian, kakek itu mempergunakan gundu jagonya yang kecil dan terbuat dari tanah liat yang dikeringkan untuk disentil dan membentur gundu jago Lie Siong yang terbuat dari batu karang.
"Prak!!" Kalau dibicarakan memang sungguh aneh dan mengherankan, bahkan Lie Siong yang sudah mahir dalam ilmu lwee-kang dan tahu akan kemujijatannya tenaga lwee-kang, masih terbelalak memandang karena belum pernah ia menyaksikan demonstrasi tenaga lweekang yang demikian hebatnya. Begitu dua butir kelereng atau gundu itu beradu, gundu jagonya yang terbuat dari batu karang itu telah hancur berhamburan, sedangkan gundu kakek itu yang terbuat dari tanah liat kering, sama sekali tidak apa-apa, gugus sedikit pun tidak!
Lie Siong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Melihat sikap kakek ini dan
menyaksikan kehebatan tenaga lwee-kangnya, ia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang sakti yang telah menjadi pikun atau berubah menjadi anak-anak saking tuanya, atau mungkin juga berubah pikirannya. Kalau saja betul kakek ini seorang luar biasa yang telah dilupakan orang, alangkah baiknya kalau ia menjadi muridnya! Maka ia lalu ingin mencoba apakah dalam hal ilmu silat, kakek ini juga lihai. Ia berpura-pura marah dan membentak,
"Kau merusak gunduku! Kau menghancurkan gunduku!" Sambil berkata demikian Lie Siong maju menampar pundak kakek itu.
Kelihatannya kakek itu tidak mengelak, akan tetapi sedikit saja ia menggerakkan pundak, tamparan Lie Siong meleset!
"Kau yang licik, kalah pandal main gundu, mengapa penasaran" Gundumu pecah bukan karena salahku, salah gundumu mengapa pecah dan mudah hancur, ha-ha-ha!" Kakek itu kelihatan senang sekali karena tidak saja ia menang bermain gundu, juga gundu lawannya menjadi pecah!
"Kau harus dipukul!" seru Lie Siong pula dan cepat ia mengirim pukulan yang lebih kuat dan cepat ke arah pundak orang. Sekali lagi pukulan ini melesat. Lie Siong mulai penasaran dan ketika sekarang kakek itu berdiri dengan tubuhnya yang bongkok, ia lalu menyerang dengan Ilmu Pukulan Sian-li Utauw (Tari Bidadari) yang kelihatan lembek akan tetapi mengandung tenaga lwee-kang dan gerakannya indah dan cepat. Kembali ia tercengang, karena kakek itu sambil tertawa haha-hehe selalu dapat menggerakkan tubuh menghindari pukulannya dan mulutnya tiada hentinya berkata mengejek,
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
474 "Kalah main gundu kok mengamuk, sungguh anak yang licik sekali kau ini!"
Yang membuat Lie Siong merasa amat penasaran sekali adalah sikap kakek itu yang seakanakan tidak memandang sedikitpun juga kepada ilmu silatnya Sianli Utauw, buktinya kakek itu tidak memandang kepadanya, bahkan sambil mengelak ia lalu mengambil gundu-gundu itu sebutir demi sebutir dan dimasukkan ke dalam kantongnya. Biarpun matanya ditujukan kepadai gundu, namun tetap saja setiap pukulan Lie Siong dapat dihindarkan dengan amat mudah.
"Sudahlah, main gundunya tidak becus, mana mau main pukul" Anak nakal dan licik, lebih baik kau pulang belajar lagi main gundu yang betul!" kata kakek itu dan sekali saja ia mengangkat tangan menangkis pukulan Lie Siong, pemuda ini terlempar sampai dua tombak lebih dan merasa betapa tangannya sakit sekali.
Namun Lie Siong masih belum merasa puas. Ia maju lagi dan kini setelah ia menggerak-gerakkan kedua tangannya, dari tangan dan lengannya mengebul uap tipis putih. Inilah limu Silat Pek-in-hoatsut yang ia pelajari dari ibunya, ilmu pukulan yang amat lihai dari sucouwnya, yaitu Bu Pun Su!
Kakek itu nampaknya tertegun melihat ilmu pukulan ini, dan berdiri bengong. Tangan kanannya memijit-mijit pelipis kepalanya seakan-akan ia mengumpulkan ingatan untuk mengingat kembali ilmu silat yang ia lihat dimainkan oleh anak muda ini.
"Apakah Bu Pun Su hidup lagi?" demikian terdengar ia bertanya kepada diri sendiri. Lie Siong yang mendengar ini menjadi terkejut, akan tetapi ia juga merasa bangga karena agaknya kakek ini mengenal ilmu silatnya dan takut menghadapinya! Maka ia lalu menerjang lagi dengan ilmu pukulan Pek-in-hoatsut. Akan tetapi alangkah heran dan terkejutnya ketika ia melihat kakek itu pun bergerak dan mengebullah uap putih yang tebal dari kedua lengannya. Lie Siong maklum bahwa kakek ini pun mahir Pek-in-hoatsut, bahkan tenaganya jauh lebih besar daripada tenaganya sendiri. Akan tetapi ia sudah kepalang dan memang ingin menguji sampai puas betul. Ia menyerang hebat dan begitu kakek itu mengangkat tangannya, Lie Siong berseru keras karena tubuhnya mencelat ke atas sampai tiga tombak lebih! Baiknya kakek itu tidak bermaksud jahat sehingga ia terlempar saja tanpa menderita luka dan dapat turun kembali dengan kedua kaki menginjak tanah.
"Ha-ha, main gundu kalah, main pukulan juga keok!" kakek itu mengejek seperti seorang anak kecil mengejek lawannya.
Kini Lie Siong tidak ragu-ragu lagi dan serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek aneh itu.
"Suhu yang mulia, mohon Suhu memberi petunjuk kepada teecu yang bodoh!"
Untuk beberapa lama, kakek itu diam saja, kemudian ia terbahak-bahak, seakan-akan merasa amat lucu. "Kau minta belajar apa dari padaku" Aku hanya pandai bermain gundu. Maukah kau belajar main gundu?"
"Segala nasihat dan pelajaran dari Suhu, tentu akan teecu terima dan perhatikan dengan sungguh-sungguh."
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
475 "Bagus, aku akan mengajarmu bermain gundu sehingga kau akan menjadi jago gundu yang paling istimewa."
kakek yang pikun itu lalu mulai memberi pelajaran bermain gundu atau kelereng kepada Lie Siong! Akan tetapi sebagai seorang ahli silat tinggi, Lie Siong mengerti bahwa permainan gundu ini bukanlah sembarang permainan. Sentilan pada gundu itu merupakan gerakan melepas am-gi (senjata rahasia) yang hebat sekali, digerakkan oleh tenaga lwee-kang yang tinggi. Oleh karena itu, mempelajari menyentil gundu seperti yang diajarkan oleh kakek ini, sama halnya dengan mempertinggi tenaga lwee-kang dan kepandaian melepas am-gi. Oleh karena itu, ia memperhatikan dengan seksama ajaran-ajaran gurunya yang diberikan sambil bermain-main ini.
Akan tetapi kakek ini ternyata telah menjadi pikun benar-benar sehingga namanys sendiri pun ia tidak tahu lagi! Juga ia mengerti ilmu-ilmu silat tinggi akan tetapi tidak tahu lagi namanya ilmu-ilmu silat itu sungguhpun ia masih dapat menggerakkannya dengan amat sempurna. Lie Song menjadi girang sekali dan sedikit demi sedikit suhunya mulai memperlihatkan ilmu-ilmu silat yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Kemudian pemuda ini teringat akan Kwee Cin yang diculik oleh Ban Sai Cinjin, maka ia lalu berkata kepada suhunya beberapa hari kemudian, "Suhu, ada seorang anak kecil she Kwee diculik oleh orang jahat yang bernama Ban Sai Cinjin. Anak itu berada di dalam benteng orang-orang Mongol dan teecu tidak dapat menolongnya. Sukakah Suhu menolong anak itu"


Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kasihan, Suhu, kalau tidak ditolong nyawa anak itu terancam bahaya."
Lie Song dalam beberapa hari berkumpul dengan suhunya, tahu bahwa kakek ini paling suka kepada anak kecil, maka sengaja menceritakan keadaan Kwee Cin dan menyebutnya anak kecil pula.
"Hmm, apakah dia kawanmu bermain?"
Lie Siong hanya menganggukkan kepalanya dan mendesak supaya suhunya suka menolong anak kecil itu dan membantunya menangkap atau membunuh musuh besarnya yang bernama Ban Sai Cinjin yang juga menculik anak kecil ltu.
"Apakah kaukira aku tukang bunuh orang?" tiba-tiba kakek itu berkata dengan muka murka dan marah. Sampai lama dia diam saja tidak mau bicara dengan Lie Siong, bahkan tidak mau mengajak pemuda itu bermain-main. Lie Siong terkejut dan tahu bahwa suhunya marah dan
"ngambul", merajuk seperti anak kecil yang tersinggung hatinya. Maka ia tidak berani bicara tentang pembunuhan. Pada sore harinya barulah gurunya mau mengajaknya bermain-main lagi dan kembali Lie Siong membujuknya untuk menolong Kwee Cin.
Akhirnya kakek itu mau juga dan setelah mereka hendak berangkat, dengan berpegang pada lengan Lie Siong, kakek itu berjalan terpincang-pincang keluar dari hutan dan mendaki bukit di mana terdapat perbentengan orang Mongol itu.
Alangkah girangnya hati Lie Siong ketika mendapat kenyataan bahwa biarpun berpegang kepada lengannya, gurunya ini bukan merupakan beban, bahkan sebaliknya. Ia seakan-akan didorong oleh tenaga yang hebat sekali dan ketika ia menggerakkan kedua kaki menggunakan ilmu lari cepatnya, ia dapat berlari jauh lebih cepat daripada kalau ia berlari sendiri! Juga ketika ia melompati jurang, ia merasa tubuhnya ringan sekali. Ia tahu bahwa tanpa disengaja, Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
476 gurunya telah mengeluarkan kelihaiannya dan tentu saja ia menjadi amat girang dan kagum sekali. Demikianlah, dengan amat mudahnya Lie Siong membawa suhunya memasuki istana Malangi Khan dan berhasil merampas Kwee Cin. Ia makin girang sekali menyaksikan kelihaian suhunya yang benar-benar di luar persangkaannya itu. Ia kini makin kenal baik keadaan suhunya dan tahu bahwa suhunya adalah seorang kakek yang sudah amat tua, terlalu tua sehingga berubah seperti kanak-kanak, berkepandaian yang luar biasa tingginya, tidak suka membunuh, dan paling senang bermain gundu. Dari istana Malangi Khan, ia langsung membawa suhunya dan Kwee Cin ke benteng tentara kerajaan di Pegunungan Alkata-san.
Memang Lie Siong bermaksud untuk mengembalikan Kwee Cin kepada orang tuanya di
benteng Alkata-san, kemudian menghilang dengan suhunya dari orang banyak untuk
mempelajari ilmu silat yang tinggi. Ia ingin belajar sampai dapat mengimbangi atau melebihi kepandaian Lili, Hong Beng, Goat Lan, atau kepandaian Pendekar Bodoh sekalipun!
*** Kedatangan Cin Hai, Kwee An, Hong Beng, dan Goat Lan di benteng Alkata-san disambut dengan girang oleh semua orang. Ma Hoa menjadi cemas ketika melihat bahwa puteranya tidak berada di antara mereka, sebaliknya Pendekar Bodoh bahkan membawa seorang anak laki-laki bangsa Mongol yang berwajah tampan dan berpakaian indah.
Akan tetapi ketika ia mendengar bahwa anak ini adalah putera Malangi Khan yang sengaja diculik untuk kelak ditukarkan dengan Kwee Cin, Ma Hoa menjadi girang dan penuh harapan.
Tentu saja ia merawat Pangeran Kamangis dengan baik, karena ia pun menghendaki agar supaya puteranya diperlakukan dengan baik oleh ayah anak ini.
Pada hari itu juga, datang rombongan Tiong Kun Tojin dan Sin-houw-enghiong Kam Wi, dua orang tokoh besar Kun-lun-san itu yang membawa kawan-kawannya untuk membantu
perjuangan negara menghadapi orang-orang Mongol. Diantara rombongan ini terdapat pula Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio, Si Cengeng dan Si Gendut yang sudah kita kenal itu.
Kemudian kelihatan pula Hailun Thai-lek Sam-kui, tiga orang kakek aneh yang suka berkelahi, dan masih ada beberapa belas orang gagah dari dunia kang-ouw lagi.
Sungguh amat menarik hati kalau dilihat sikap orang-orang gagah ini ketika bertemu dengan Pendekar Bodoh. Rata-rata menyatakan hormatnya terhadap Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya yang sudah tersohor. Yang amat menggembirakan adalah Sikap Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio. Dua orang pendeta bersaudara ini ketika melihat Cin Hai dan Lin Ling segera berlari menghampiri. Ceng Tek Hwesio tertawa-tawa sampai perutnya yang besar itu bergerak gerak sedangkan Ceng To Tosu meweknya makin menyedihkan. Cin Hai juga amat gembira bertemu dengan mereka sehingga Pendekar Bodoh menowel-nowel perut Ceng Tek Hwesio sambil berkelakar.
"Aduh, biar mati pun aku tidak penasaran lagi setelah bertemu dengan kalian suami isteri!"
kata Ceng Tek Hwesio kepada Cin Hai dan Lin Lin.
Akan tetapi yang paling aneh dan mengesankan adalah sikap dari Hailun Thai-lek Sam-kui, karena tiga orang iblis ini sudah lama sekali mendengar nama besar dari Pendekar Bodoh dan ingin sekali menguji kepandaiannya. Apalagi mereka sudah pernah mencoba kelihaian Goat Lan puteri Kwee An dan juga Lili puteri Pendekar Bodoh, maka begitu berhadapan dan saling diperkenalkan oleh Kam Liong sebagai tuan rumah, tiga orang kakek aneh ini lalu meloloskan senjata masing-masing! Thian-he Te-it Siansu si kate menggerak-gerakkan payungnya, Lak Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
477 Mouw Couwsu si hwesio gemuk itu menarik keluar rantai besarnya, sedangkan Bouw Ki si tinggi kurus mengeluarkan tongkatnya dan Thian-he Te-it Siansu berkata,
"Pendekar Bodoh, sungguh kebetulan sekali! Tanpa disengaja kita telah saling bertemu di tempat ini, hal yang sudah seringkali kami impikan. Hayolah kauperlihatkan kelihaianmu dan mari kita main-main sebentar agar puas hati kami bertiga!"
Tentu saja Cin Hai menjadi tertegun melihat sikap mereka ini dan untuk sesaat tidak mampu menjawab! Bagaimanakah ada orang-orang yang baru saja dikenalkan lalu menantang berpibu (mengadu kepandaian)" Akan tetapi hal ini telah membuat Tiong Kun Tojin menjadi merah mukanya. Ia melangkah maju dan menjura kepada Cin Hai, "Sie Tai-hiap, harap suka memaafkan Hailun Thai-lek Sam-kui yang suka main-main." Kemudian ia berkata kepada tiga orang aneh itu,
"Sam-wi sungguh-sungguh tidak memandang kepadaku! Pinto yang menjadi kepala
rombongan ini, apakah sengaja Sam-wi datang-datang hendak membikin malu kepada pinto?"
Suara Tiong Kun Tojin terdengar tandas sekali, memang tosu ini amat berdisiplin dan memegang teguh aturan, juga berwatak keras.
Thian-he Te-it Siansu bergelak mendengar dan melihat sikap tokoh Kun-lun-san ini. "Ah, Tiong Kun Totiang mengapa begitu galak" Apa sih buruknya menambah pengetahuan ilmu silat selagi bertemu dengan orang gagah" Kesenangan kita satu-satunya hanya ilmu silat, kalau sekarang tidak bergembira mau tunggu kapan lagi?"
"Bicaramu memang benar, Siansu. Akan tetapi pibu harus dilakukan dengan aturan, pada waktu dan tempat yang tepat, tidak sembarangan seperti kau ini! Kita datang di sini bukan untuk main-main, melainkan untuk berjuang. Sie Taihiap adalah seorang pendekar gagah yang datang juga untuk membantu mengusir orang-orang Mongol, apakah datang-datang kau mau menimbulkan kekacauan" Berlakulah sabar, kalau semua urusan yang besar telah selesai, kau mau mengajak pibu siapapun juga, pinto takkan ambil peduli."
Thian-he Te-it Siansu memandang kepada dua orang adiknya, lalu menghela napas berulang-ulang dan kemudian sambil tertawa ia berkata kepada Pendekar Bodoh, "Pendekar Bodoh, kalau begitu terpaksa kita harus menanti sampai nanti di puncak Thai-san nanti tahun depan pada musim chun (musim semi)."
"Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah), siauwte adalah seorang yang bodoh, maka tentu saja kalau ada yang hendak memberi petunjuk siauwte akan merasa berterima kasih sekali," jawab Cin Hai dengan merendah, dan ternyata bahwa pendekar besar ini telah dapat menekan kemarahannya melihat sikap tiga orang tua ini.
Kam Wi yang mendengar bahwa keponakannya, yaitu Kam-ciangkun atau Kam Liong masih belum menyerang musuh dan menanti sampai lima hari, dan mendengar pula tentang usaha Pendekar Bodoh yang berusaha merampas kembali Kwee Cin dan kini berhasil menawan putera Malangi Khan, lalu berkata sambil mengerutkan kening,
"Tidak baik, tidak baik! Dengan penundaan serangan kedudukan lawan akan menjadi makin kuat dan orang-orang Mongol akan menyangka bahwa kita takut!" Tokoh Kun-lun-san yang berwatak keras ini berkata dengan sikap seolah-olah ia seorang penglima perang yang ulung.
Hal ini tidak mengherankan oleh karena semua orang juga tahu bahwa dia adalah adik dari Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
478 Panglima Besar Kam Hong Sin. "Lebih baik pukul hancur perkemahan Malangi Khan kalau sudah dekat dengan mereka dan memukul hancur pasukannya, akhirnya kita akan dapat membebaskan putera Kwee Tai-hiap juga. Sekarang kebetulan sekali putera dari Malangi Khan telah berada di tangan kita, kita pergunakan untuk mengancamnya. Apabila dia tidak mau menyerah dengan damai, besok aku akan membawa kepala puteranya di ujung tombak di luar dari bentengnya!"
Pendekar Bodoh, Kwee An, Ma Hoa dan Lin Lin mengerutkan kening, dan mereka ini
merasa tak setuju sama sekali atas usul orang kasar ini. Akan tetapi, dipandang darl sudut siasat kemiliteran, memang usul ini tidak buruk, maka Kam Liong biarpun menduduki pucuk pimpinan, tidak berani berkata sesuatu, hanya memandang kepada orang-orang tua yang ia hormati itu dengan mata penuh pertanyaan.
Cin Hai lalu menghadapi Kam Wi dan setelah menjura, ia berkata, "Memang apa yang dikatakan oleh Kam-enghiong betul sekali, akan tetapi mengingat akan keselamatan keponakanku, aku dan saudara-saudaraku mengharapkan pengertian Kam-ciangkun agar supaya penyerbuan itu ditunda dua hari lagi. Aku percaya bahwa Malangi Khan takkan membiarkan puteranya terlalu lama menjadi tawanan dan akan menyerahkan Kwee Cin untuk ditukar dengan puteranya. Setelah itu, barulah tentang penyerbuan kita rundingkan lagi."
Alis mata Kam Wi yang tebal itu dikerutkan, kemudian ia mengangguk-angguk dan berkata,
"Kalau saya tidak mengingat bahwa Sie Tai-hiap adalah calon besan dan calon mertua Kam Liong, tentu Kam Liong akan merasa keberatan melakukan penundaan-penundaan ini. Akan tetapi biarlah, biar kita menanti sampai dua hari lagi..."
"Kam-enghiong, urusan perjodohan itu belum diputuskan, harap kau suka bersabar setelah urusan ini selesai dan kita kembali ke pedalaman, barulah akan kita pertimbangkan lagi," kata Cin Hai tak senang.
Kam Wi tersenyum. "Aku tidak melihat lain halangan lagi, maka aku sudah berani
memastikan, bukan begitu, Kam Liong?" Kam-ciangkun hanya menundukkan mukanya yang menjadi amat merah akan tetapi ia tidak berani melayani pamannya yang kasar ini.
Dan pada malam hari itu, Kam Liong menjamu para orang gagah itu dengan pesta makan yang cukup besar dan meriah. Di tengah-tengah benteng itu, dalam ruangan yang lebar, dipasang meja-meja besar dan semua orang duduk mengelilingi beberapa buah meja dan makan minum dengan gembira. Sebagai seorang panglima perang yang berhati-hati, di waktu berpesta malam itu, Kam Liong sengaja memesan dengan keras kepada para perwiranya agar supaya penjagaan di luar benteng diperkuat, takut kalau-kalau ada sesuatu yang tidak diingini terjadi.
Akan tetapi, tetap saja terjadi hal yang luar biasa dan di dalam benteng itu masuk tiga orang tanpa ada seorang pun penjaga yang mengetahuinya! Tahu-tahu tiga bayangan orang itu telah berada di atas genteng ruang pesta itu. Dan orang pertama yang dapat mendengar suara kaki mereka adalah Pendekar Bodoh. Pada saat itu, Cin Hai yang duduk menghadapi meja bersama Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Lo Sian, Lilani, Hong Beng, Goat Lan dan Kam Liong sendiri tiba-tiba menaruh sumpitnya di atas meja dan berkata dengan suaranya yang keras karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khi-kang.
"Ji-wi (Tuan Berdua) yang berada di atas, silakan turun saja kalau hendak bicara!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
479 Tentu saja semua orang yang berada di dalam ruangan itu menjadi heran dan terkejut. Rata-rata mereka memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi mereka tadi tidak mendengar sesuatu. Kini semua orang berdiam dan memasang telinga, benar saja terdengar suara kaki dua orang di atas genteng. Setelah teguran Pendekar Bodoh lenyap, terdengarlah jawaban dari atas genteng,
"Sie Tai-hiap, yang datang hanyalah siauwte untuk mengantarkan Adik Kwee Cin!"
"Lie Tai-hiap...!" seru Lilani yang segera mengenal suara Lie Siong.
Ma Hoa, Kwee An, Lin Lin, dan Pendekar Bodoh segera berdiri.
"Siong-ji (Anak Siong), lekas bawa Cin-ji (Anak Cin) turun!" seru Ma Hoa. Akan tetapi biarpun berkata demikian, ia sudah melompat keluar diikuti oleh suaminya dan juga oleh Cin Hai dan Lin Lin. Juga Hong Beng dan Goat Lan segera menyusul. Enam bayangan orang yang amat gesit gerakannya melompat ke atas genteng.
Benar saja di atas genteng itu mereka melihat Lie Siong bersama Kwee Cin. Anak kecil itu ketika melihat bundanya segera bergerak menubruk dan Ma Hoa memeluk Kwee Cin dengan mata membasahi pipinya.
"Terima kasih... terima kasih, Siong-ji..." kata Ma Hoa sambil memandang ke arah Lie Siong dengan mata bersyukur
"Bukan akulah yang telah menyelamatkan Adik Cin, Ie-ie (Bibi)," kata Lie Siong merendah.
"Ibu, yang menolongku adalah En Siong dan suhunya, kakek pincang yang bisa terbang itu!"
tiba-tiba Kwee berkata sehingga semua orang terheran dan terkejut mendengarnya.
"Lie Siong, mengapa kau tidak mengajak suhumu ke sini?"
"Dia sudah berada di sini!" tiba-tiba Kwee Cin berkata pula. "Tadipun dia yang mengantar kami ke sini, entah sekarang ke mana dia pergi!"
Kembali semua orang merasa terheran, lebih-lebih Cin Hai. Dia tadi hanya mendengar suara kaki dua orang, yang ternyata adalah injakan kaki pada genteng dari Lie Siong dan Kwee Cin.
Kalau benar ada tiga orang, mengapa ia tidak mendengar suara kaki yang seorang lagi"
"Siong-ji, manakah gurumu itu" Biar kami bertemu dengan dia dan menghaturkan terima kasih serta belajar kenal," kata Lin Lin kepada pemuda yang tampan dan yang berdiri dengan muka tunduk itu.
"Dia... dia tidak suka bertemu dengan lain orang. Maafkan siauwte... maafkan karena aku tidak dapat lama-lama tinggal di sini." Ia menengok ke belakang dan berkata, "Suhu, marilah kita pergi."
Terdengar suara terkekeh dan tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat bagaikan setan ke arah Lie Siong dan tahu-tahu pemuda itu berkelebat dan lenyap di malam gelap!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
480 Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, dan Ma Hoa telah memiliki ilmu kepandaian yang hampir sempurna, apalagi Cin Hai, maka biarpun gerakan kakek aneh itu cepat sekali, mereka masih saja melihat wajah dan bentuk tubuh kakek itu dan mereka berempat saling pandang.
Sedangkan Hong Beng dan Goat Lan, karena mereka dapat mengetahui bahwa ilmu gin-kang dari kakek itu masih lebih hebat daripada kepandaian kedua orang tua mereka, hal ini membikin sepasang anak muda ini penasaran sekali. Bagi mereka, orang-orang tua mereka memiliki kepandaian yang paling tinggi diantara orang-orang kang-ouw!
"Siapakah dia...?" Pendekar Bodoh mengerutkan kening dan mengingat-ingat. Juga Kwee An dan Ma Hoa belum pernah melihat orang itu.
"Kepandaiannya mengingatkan kepada suhu Bu Pun Su," kata Lin Lin.
Tiba-tiba Cin Hai menepuk jidatnya. Ucapan isterinya ini mengingatkan dia akan sesuatu.
Pernah dahulu Bu Pun Su gurunya menyebut-nyebut tentang seorang yang bernama The Kun Beng yang pernah menjadi sahabat baik gurunya. Menurut gurunya, orang ini memiliki kepandaian yang tidak berada di sebelah bawah kepandaian Bu Pun Su sendiri, yaitu ketika keduanya masih muda.
"Hmm, siapa lagi yang dapat memiliki kepandaian setingkat dengan Empat Besar selain dia?" pikir Pendekar Bodoh. Ia tidak berkata sesuatu kepada orang lain karena hanya menduga-duga, akan tetapi diam-diam ia merasa girang bahwa putera Ang I Niocu bertemu dengan seorang guru yang demikian lihainya.
Dengan wajah girang semua orang lalu membawa Kwee Cin turun ke ruang pesta, di mana Kwee Cin disambut dengan ucapan selamat dari semua orang yang hadir. Tiba-tiba terdengar suara girang "Kwee Cin...?"
Anak ini menengok dengan wajah berseri, lalu berseru, "Kamangis!!" Keduanya lalu berlari saling menghampiri dan saling berpegang lengan dengan wajah girang sekali.
"Kamangis, kau sudah berada di sini?" tanya Kwee Cin.
"Aku suka sekali ikut ayah bundamu, mereka orang-orang baik sekali!" jawab Kamangis.
"Ayahmu juga seorang baik, Kamangis," kata Kwee Cin.
Ma Hoa dan Kwee An yang mendengar ini menjadi amat terharu dan juga girang.
Akan tetapi tiba-tiba Kam Wi berdiri dan berkata dengan suara lantang,
"Kebetulan sekali, Kwee-kongcu telah tertolong dan terampas kembali. Besok pagi-pagi kita boleh serbu benteng orang-orang Mongol dan kita gunakan Putera dari Malangi Khan ini sebagai perisai! Ha-ha-ha! Malangi Khan kali ini tentu akan dapat dihancurkan segala-galanya."
"Tidak boleh!" tiba-tiba Ma Hoa menarik Kamangis dalam pelukannya dan sambil
memandang ke depan dengan sepasang matanya yang tajam, nyonya ini berkata. "Siapapun juga tidak boleh mengganggu Kamangis! Dia datang di sini karena dibawa Pendekar Bodoh dan kini berada dalam perlindunganku! Siapapun juga tidak bisa mengganggunya dan aku Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
481 akan mengembalikannya kepada ayah bundanya dengan baik-baik, karena orang tuanya pun telah memperlakukan anakku dengan baik pula. Siapa pun boleh tidak menyetujui
omonganku, dan kalau ada yang hendak mengganggu Kamangis, boleh coba-coba
mengalahkan sepasang senjataku!" Sambil berkata demikian dengan sekali gerakan Ma Hoa telah mencabut sepasang bambu runcingnya yang terkenal lihai. Sikapnya amat gagah dan membikin orang menjadi jerih juga melihatnya!
Kam Wi adalah seorang yang berdarah panas. Mendengar ucapan ini ia sudah melotot dan hendak maju mendebat, akan tetapi tiba-tiba Kam Liong yang tidak menghendaki perpecahan, segera maju dan menjura kepada Ma Hoa dan berkata dengan suara lemah-lembut dan sikap sopan santun.
"Mohon Toanio sudi memaafkan, pamanku tadi hanya mengeluarkan kata-kata yang
ditujukan karena kebenciannya kepada Malangi Khan yang sudah menyerang negara kita.
Siauwte dapat memaklumi perasaan Toanio terhadap anak ini setelah Kwee-kongcu bebas dari benteng orang Mongol, dan kiranya diantara kita juga tidak ada yang ingin mencelakakan Pangeran Kamangis yang masih kecil dan tidak berdosa sesuatu. Akan tetapi, oleh karena putera Toanio telah tertolong sedangkan Putera Mahkota Mongol ini masih tertahan di sini, tentu saja Malangi Khan takkan tinggal diam dan bala tentara Mongol sewaktu-waktu bisa menyerang pertahanan kita dan hal ini amat berbahaya. Oleh karena itu, sebelum mereka menyerang, kita harus mendahului mereka menyerang benteng mereka dan sesungguhnya..."
ia melirik ke arah Pangeran Kamangis, "sesungguhnya dengan adanya Pangeran Mongol ini di sini kita telah mendapatkan kemenangan perasaan yang amat besar. Sangat boleh jadi bahwa Malangi Khan akan menyerah dan takluk tanpa perang karena puteranya berada di dalam kekuasaan kita. Maka demi kepentingan negara dan demi kemenangan kita, harap Toanio menahan dulu anak itu, jangan dikembalikan kepada Malangi Khan sebelum selesai perang ini."
Ma Hoa menggeleng-geleng kepalanya. "Aku tidak setuju dengan cara-cara yang licik itu!
Aku memang tidak tahu tentang siasat perang akan tetapi ayahku dahulu juga seorang panglima perang dan karena semenjak kecil aku dididik kegagahan, maka aku menghargai kegagahan dan keadilan. Di dalam pertempuran maupun perang besar, aku lebih
mengutamakan kegagahan dan keadilan dan tidak suka menggunakan cara-cara yang curang dan licik. Apakah kita takut terhadap bala tentara Mongol maka harus menggunakan kecurangan" Lebih baik kalah dengan cara gagah perkasa dari pada, menang dengan menggunakan akal curang!"
Merahlah muka Kam-ciangkun mendengar ucapan ini, akan tetapi karena Pendekar Bodoh melihat betapa kedua pihak telah memerah muka, ia cepat maju dan sambil tersenyum, Cin Hai berkata,
"Sebetulnya tidak ada urusan sesuatu yang harus diributkan. Biarlah besok pagi-pagi aku pergi ke benteng Malangi Khan dan mengajak bicara dengan baik. Syukur kalau ia bisa mengakhiri perang ini dengan damai, karena betapapun juga kalau terjadi perang tentu akan mengorbankan banyakmanusia. Perlukah kematian dan kehancuran ini kita hadapi kalau di sana terdapat jalan lain ke arah perdamaian?"
Semua orang menyatakan setuju dengan usul ini dan urusan Pangeran Kamangis itu
selanjutnya tidak disinggung-singgung lagi, pesta perjamuan berjalan terus sedangkan Kamangis dan Kwee Cin bicara dengan amat gembiranya di dalam kamar mereka. Dua orang Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
482 anak ini memang merasa amat cocok dan watak mereka sama pula, gembira dan suka akan kegagahan.
*** Pada keesokan harinya, baru saja Cin Hai keluar dari benteng untuk melakukan tugasnya, yaitu mencari Malangi Khan membicarakan tentang Putera Mahkota yang masih tertahan di benteng Alkata-san, tiba-tiba dari depan ia melihat debu mengebul tinggi. Cepat Pendekar Bodoh menyelinap di belakang sebatang pohon dan memandang ke depan.
Ternyata yang datang adalah sepasukan berkuda, terdiri dari kurang lebih lima puluh orang.
Di depan sendiri, menunggang seekor kuda bulu putih yang besar dan kuat, adalah Malangi Khan yang berwajah muram dan keningnya berkerut.
Melihat bahwa yang datang hanya sepasukan kecil, maka Cin Hai maklum bahwa Malangi Khan hendak mendatangi benteng bukan dengan maksud menyerang, maka ia lalu melompat keluar dari balik pohon itu dan menghadang di jalan sambil mengangkat tangannya.
Ketika Malangi Khan melihat Pendekar Bodoh, ia memberi perintah berhenti dan ia cepat melompat turun dari kudanya, berlari menghampiri Cin Hai. Begitu datang, dengan wajah merah saking marahnya, Raja Mongol itu menudingkan telunjuknya kepada Pendekar Bodoh dan berkata,
"Tidak kusangka bahwa Pendekar Bodoh adalah seorang yang tidak bisa dipercaya mulutnya, seorang yang mudah melanggar janji!"
Cin Hai sudah mengerti mengapa Raja Mongol ini datang-datang begitu marah dan gemas, maka ia lalu menjura dan berkata dengan senyum simpul, "Malangi Khan, kebetulan sekali aku pun sedang menuju ke bentengmu untuk bicara tentang puteramu."
"Kembalikan puteraku, kalau tidak, demi nenek moyangku, aku akan mengerahkan seluruh bangsaku untuk menerjang ke selatan sampai orang terakhir. Akan kubumihanguskan setiap jengkal tanah di selatan!"
"Sabar, sabar, Khan yang baik. Seorang Raja yang besar tidak demikian mudah dikuasai oleh nafsu marah. Dengarlah dulu, sesungguhnya tentang keponakanku Kwee Cin, bukan akulah yang merampasnya, maka jangan dikira bahwa Pendekar Bodoh tidak memegang janji."
"Biarpun bukan kau, tentu kawan-kawanmu atas perintahmu!"
Cin Hai menggeleng kepala. "Sayang sekali bukan, Khan yang mulia. Aku tidak tahu-menahu tentang perampasan kembali anak itu. Akan tetapi sudahlah, anak itu sudah kembali kepada ayah bundanya, adapun puteramu sedang bermain-main dengan anak itu dibawah perlindungan Kwee An dan isterinya yang amat mencintainya!"
"Puteraku tidak diganggu" Kamangis tidak apa-apa?" tanya Khan ini dengan muka gelisah.
"Siapa yang akan berani mengganggu puteramu kalau ibu dari Kwee Cin menantang setiap orang yang akan mengganggunya" Ketahuilah, ibu dari anak yang tertawan di bentengmu itu, bersedia mengorbankan nyawanya untuk melindungi puteramu!" Cin Hai dengan sejujurnya lalu menceritakan tentang pembelaan Ma Hoa terhada Kamangis sehingga Kaisar Mongol ini menjadi terharu sekali.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
483 "Maafkan aku, Pendekar Bodoh. Aku telah meragukan kegagahanmu dan sifat ksatriamu! Di mana anakku?" kata Malangi Khan dengan terharu sambil memegang lengan tangan Cin Hai.
"Malangi Khan, apakah ini berarti bahwa selanjutnya kau akan mengaku sahabat kepadaku?"
"Tentu, bahkan kuakui kau dan saudara-saudaramu sebagai sanak saudaraku sendiri. Lebih dari itu, aku menyerahkan Kamangis putera tunggalku itu sebagai muridmu!"
Melihat sikap sungguh-sungguh dari Malangi Khan, Cin Hai merasa girang sekali dan bertanya lagi, "Tidak hanya aku dan saudara-saudaraku, akan tetapi rakyat Tiongkok seluruhnya, maukah kau menganggapnya sebagai saudara" Kau takkan mengganggu mereka lagi, takkan menyerang ke selatan lagi?"
"Tidak, tidak! Dengan adanya orang-orang seperti engkau, aku merasa malu kalau harus menyerang ke selatan. Biarlah, aku lupakan pembunuhan yang sudah-sudah, yang dilakukan oleh tentara-tentara selatan di perbatasan utara. Aku akan mengunjungi kaisarmu, akan mengirim bulu ternak yang paling halus sebagai tanda penghargaan."
Kini Cin Hai yang memegang lengan Malangi Khan dengan kuat sehingga Kaisar itu
meringis kesakitan. Cin Hai yang lupa diri lalu mengendorkan pegangannya dan berkata,
"Malangi Khan kau berjanji untuk membuktikan omonganmu tadi?"
"Tentu saja! Bagiku berlaku ucapan dari bangsamu : It-gan-ki-jut, su-ma-lam-twi (Sekali perkataan keluar, empat ekor kuda takkan dapat menarik kembali)."
Bukan main girangnya hati Pendekar Bodoh. Tak disangkanya bahwa tugasnya ini terpenuhi dengan demikian mudahnya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dari arah belakangnya dan sepasukan besar tentara kerajaan yang dipimpin oleh Kam Liong sendiri, dikawani pula oleh semua orang gagah yang berkumpul di benteng Alkata-san, datang menuju ke tempat itu! Ini adalah gara-gara para penjaga yang melaporkan bahwa Malangi Khan bersama pasukannya yang amat kuat telah datang menyerbu!
"Pendekar Bodoh, apakah artinya ini?" Kembali wajah Malangi Khan menjadi muram dan bercuriga akan tetapi Cin Hai segera menjawab,
"Jangan kuatir, Khan yang mulia. Akulah yang bertanggung jawab dan mencegah mereka bertindak!" Kemudian, Cin Hai lalu menghadang di tengah jalan sambil mengangkat tangan, lalu mengerahkan tenaganya berseru dengan amat nyaringnya,
"Kam-ciangkun, jangan menyerang! Malangi Khan datang dengan maksud damai!"
Kam Liong terheran melihat Pendekar Bodoh berada di situ dan setelah mendengar seruan ini, ia lalu memberi perintah pasukannya berhenti. Ia sendiri lalu turun dari kudanya dan bersama Tiong Kun Tojin, Kam Wi, dan juga Kwee An dan yang lain-lain, Kam Liong lalu menghampiri Cin Hai dan Malangi Khan.
Dengan angkuh Malangi Khan berdiri menghadapi mereka dengan dada terangkat, sikapnya agung sesuai dengan kedudukannya, yaitu sebagai seorang Khan yang besar. Kam Liong Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
484 adalah seorang panglima yang tahu diri dan tidak sombong, maka ia lalu memberi hormat terlebih dahulu yang segera dibalas oleh Malangi Khan.
"Malangi Khan, benarkah kata-kata Sie Tai-hiap tadi bahwa kau bermaksud damai?"
"Memandang muka Pendekar Bodoh, yang menjadi saudaraku dan juga menjadi guru dari puteraku, memang benar aku akan mengakhiri permusuhan, melupakan segala kejadian yang lalu dan aku akan mengadakan kunjungan kehormatan kepada Kaisarmu. Sampaikan kata-kataku ini kepada Kaisar dan juga kepada semua perajuritmu yang menjaga tapal batas, agar jangan sampai mengganggu orang-orangku yang hendak memasuki daerah Tiong-goan dalam perjalanannya berdagang."
Bukan main girangnya hati Kam Liong mendengar ini. Hal ini memang amat diharapkan oleh Kaisar dan biarpun yang berjasa dalam hal ini adalah Pendekar Bodoh, namun karena dia adalah pemimpin besar barisan, tentu saja kepada dia pahalanya terjatuh!
Akan tetapi Kam Wi yang beradat kasar itu merasa curiga. Sambil melangkah maju ia berkata,
"Dengan latar belakang dan alasan apakah maka tiba-tiba Malangi Khan hendak berdamai?"
Malangi Khan memandang dengan mata mendelik, juga Kam Wi melotot sehingga dua orang tinggi besar itu berlagak bagaikan dua ekor ayam jantan akan bertarung. Akan tetapi Cin Hai cepat berkata,
"Kam-enghiong, Malangi Khan yang mulia telah melihat bahwa orang-orang yang tadinya dianggap musuhnya ternyata tidak mengganggu puteranya, dan hal ini melembutkan hatinya dan ia suka sekali berdamai dengan orang-orang yang tidak mengganggu anak kecil, biarpun anak itu anak musuhnya pula."
Keterangan ini diterima oleh Kam Wi dengan muka menjadi merah karena merasa tersindir.
Tadinya dia bermaksud untuk memenggal leher Putera Mahkota Mongol itu untuk
melumpuhkan semangat barisan Mongol.
"Malangi Khan, untuk membuktikan kesungguhan maksud hatimu yang baik, aku mewakili panglima kerajaan yang menjadi keponakanku sendiri untuk mengundangmu makan minum di dalam benteng Alkata-san, sesuai dengan sikap persaudaraan yang kau kemukakan tadi,"
Kam Wi berkata kepada Malangi Khan. Dia adalah seorang kang-ouw yang selalu jujur dan kasar, juga amat berhati-hati, maka ia sengaja melakukan siasat ini untuk mencari tahu sikap sesungguhnya dari Malangi Khan.
"Selain Kaisarmu sendiri, aku tidak mau menerima undangan dari segala orang!" Malangi Khan berkata dengan angkuh.
"Kalau begitu, bagaimana kami bisa percaya bahwa kau mempunyai maksud damai?" Kam Wi membentak marah dan suasana menjadi panas lagi. Melihat ini Kam Liong lalu berkata dengan halus,
"Malangi Khan, benar seperti yang diucapkan oleh pamanku tadi. Kami mengundangmu menghadiri perjamuan sederhana untuk merayakan perdamaian kita." Akan tetapi Malangi Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
485 Khan tetap berkepala batu dan menggelengkan kepala. Akhirnya Pendekar Bodoh turun tangan. Ia menghampiri Malangi Khan dan berkata,
"Khan yang baik, mengapa kau menolak undangan persaudaraan" Marilah sekalian kau menyambut puteramu yang tentu telah lama menanti-nantikan kedatanganmu. Kaubawalah pengiring-pengiringmu, karena dalam suasana perdamaian ini, perlu sekali diadakan malam gembira antara kita sama kita!"
Mendengar ucapan ini, lenyaplah kemuraman di wajah Kaisar Mongol itu. "Kalau kau yang mengundang, itu lain lagi, Saudaraku!" Dan ia lalu memberi tanda dengan tangannya kepada semua pengiringnya yang berada di belakangnya, maka majulah mereka bergerak menuju ke benteng Alkata-san dalam suasana damai!
Diam-diam Kam Wi membisikkan sesuatu kepada Kam Liong, "Suruh para penyelidikmu menyelidiki keadaan di luar, siapa tahu kalau Malangi Khan diam-diam memerintahkan penyerbuan besar." Kam Liong mengangguk-angguk, karena tanpa nasihat ini, dia pun tentu takkan melupakan hal ini.
Pertemuan antara Malangi Khan dan Kamangis amat menggembirakan.
"Ada orang yang mengganggumu di sini?" ayah itu bertanya kaku. Kamangis
menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk ke arah Ma Hoa. "Aku mendapatkan perlindungan dari dia yang kuanggap seperti ibuku sendiri. Dia amat manis budi dan baik sekali, Ayah."
Malangi Khan memandang kepada Ma Hoa lalu menjura, "Bukankah Toanio ini Ibu dari Kwee Cin?" Ma Hoa mengangguk, maka Malangi Khan dengan girang dan kagum lalu
tertawa besar. "Eh, Kamangis, kalau begitu mengapa kau tidak menyebut ibu saja kepadanya"
Kau boleh menjadi anak angkatnya. Ha-ha-ha!" Dan serta merta Kamangis yang amat patuh kepada ayahnya itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ma Hoa sambil menyebut, "Ibu..."
Ma Hoa girang dan juga terharu. Ia memeluk Kamangis dan berkata, "Bagus, memang kau baik sekali. Patut menjadi saudara Cin-ji. Karena kau telah menjadi anak angkatku, sepatutnya kau kuberi nama julukan, yaitu Kwee Hong"
Malangi Khan tertawa terbahak-bahak. "Bagus, bagus! Memang burung Hong merupakan lambang kebesaran dan kemuliaan. Terima kasih, Toanio!" Pendekar Bodoh lalu bertepuk tangan diikuti oleh orang-orang lain sehingga suasana di situ gembira sekali.
"Eh, aku hampir lupa, Kamangis, hayo kau memberi hormat kepada gurumu!" Ia menuding ke arah Cin Hai. Kamangi terheran dan memandang kepada Cin Hai.
"Apakah dia lebih lihai daripada ibu, Ayah" Ibu memiliki ilmu silat yang luar biasa sekali, juga ayah angkatku, demikian kata Kwee Cin. Apakah dia lebih lihai dari mereka?"
"Ha-ha-ha, anak bodoh. Dialah orang yang paling hebat diantara kita semua. Dialah Pendekar Bodoh, dan kau beruntung sekali bisa menjadi muridnya."
Karena Kamangis memang cerdik, ia lalu berlutut di depan Cin Hai dan memberi hormat sambil menyebut "suhu"! Kemudian atas perintah ayahnya, anak ini pun lalu memberi hormat kepada "ayah angkatnya" dan juga kepada Lin Lin yang disebut "subo" (isteri guru).
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
486 Perjamuan berjalan dengan lancar, gembira sampai tengah malam. Karena merasa girang sekali puteranya selamat dan permusuhan dapat dihabiskan malam itu, Malangi Khan minum arak sebanyak-banyaknya dan karena arak dari selatan memang jauh lebih keras daripada arak yang seringkali diminumnya, maka ia menjadi mabuk. Hal ini disengaja oleh Kam Liong karena panglima muda ini ingin sekali mendengar ocehan Malangi Khan dalam mabuknya.
Seperti biasa, orang tak dapat menyimpan rahasianya apabila sedang mabuk dan kalau Malangi Khan mempunyai rencana tertentu dan "perdamaian" yang diperlihatkannya itu hanya tipu belaka, tentu di dalam mabuknya Kaisar ini akan membuka rahasia. Akan tetapi, ternyata Malangi Khan tidak membuka rahasia apa-apa, kecuali nama-nama beberapa orang selir yang disayanginya!
Dengan bantuan Pendekar Bodoh, Malangi Khan lalu diantar ke dalam sebuah kamar di mana ia lalu tidur mendengkur keras sekali. Kemudian Kaisar Mongol itu ditinggalkan tidur seorang diri di dalam kamar itu, karena yang lain-lain masih melanjutkan perjamuan yang amat gembira. Siapakah orangnya yang tidak gembira menerima berita bahwa perang dihentikan dan perdamaian membuat mereka mendapat kesempatan untuk bertemu kembali dengan
keluarga masing-masing" Di dalam perjamuan itu, ikut serta para perwira dan orang gagah yang menemani pemimpin-pemimpin pasukan pengawal Malangi Khan.
Kwee An dan Ma Hoa mengantar Kamangis dan Kwee Cin tidur dan Kwee An berpesan
kepada Ma Hoa agar jangan meninggalkan dua orang anak itu, karena siapa tahu kalau-kalau ada orang jahat diantara para pengikut Malangi Khan. Kemudian ia kembali ke ruang perjamuan akan tetapi ia mengambil jalan memutar ke belakang.
Tiba-tiba ia melihat bayangan orang berkelebat, dan gerakan orang ini luar biasa gesitnya.
Tubuh orang itu pendek dan gemuk, mengingatkan dia akan tubuh Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui, akan tetapi orang ini tidak berjenggot. Diantara kawan-kawannya dan orang-orang gagah yang berkumpul di Alkata-san, tidak ada lagi orang yang berbentuk seperti ini tubuhnya, maka timbuilah kecurigaannya. Diam-diam ia lalu mengikuti bayangan ini yang dengan hati-hati, menggunakan kesempatan semua orang sedang makan minum untuk mendatangi jendela kamar dimana Malangi Khan tidur mendengkur dengan pulasnya!
Setibanya di luar jendela, ia lalu mencabut sepasang golok dari punggungnya dan sekali cokel saja, terbukalah jendela itu yang lalu diganjalnya dengan sebatang ranting. Kemudian, dengan gerakan gesit sekali orang ini lalu melompat ke dalam kamar. Ternyata bahwa Malangi Khan tidurnya pulas sekali akibat pengaruh arak sehingga ia tidak mendengar sama sekali akan perbuatan orang yang mencurigakan ini. Orang ini adalah seorang Panglima Mongol yang bertubuh pendek gemuk, berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Ia bernama Khalinga, seorang panglima Mongol keturunan Tartar yang amat benci kepada orang-orang Han. Hal ini tidak mengherankan oleh karena ayahnya dahulu tewas oleh orang Han, maka ia telah bermaksud untuk menumpas setiap bangsa Han yang dijumpainya. Kemudian ia terpilih menjadi panglima oleh Malangi Khan karena memang Khalinga memiliki kepandaian yang lumayan, apalagi permainan siang-to (sepasang golok) darinya amat lihai. Ketika Khalinga mendapat kenyataan bahwa Malangi Khan menyatakan damai dengan orang-orang Han,
bahkan hendak mengunjungi Kaisar dan menyatakan persahabatan, hatinya menjadi panas dan mendongkol sekali. Timbullah kebenciannya yang hebat terhadap Kaisarnya yang
dianggapnya lemah, pengecut dan mengkhianati cita-cita bangsa Mongol. Oleh karena itu, diam-diam ia mendatangi tempat tidur Malangi Khan dan hendak mempergunakan
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
487 kesempatan selagi kaisar itu tidur dan para tamu sedang makan minum, untuk membunuh Kaisar Malangi Khan!
Niat ini bukan semata-mata terdorong oleh kebenciannya yang tiba-tiba terhadap Malangi Khan, melainkan merupakan siasat yang amat licin dari orang pendek peranakan Tartar Mongol ini. Kalau ia dapat membunuh Malangi Khan tanpa diketahui oleh siapapun juga, tentu peristiwa hebat ini akan melenyapkan sama sekali maksud damai dari Malangi Khan dan tentu dengan mudah ia akan dapat menghasut para panglima dan bala tentara Mongol bahwa dengan sengaja Malangi Khan dijebak ke dalam perangkap oleh orang-oran Han, kemudian diam-diam dibunuhnya! Dengan demikian seluruh bala tentara Mongol tentu akan serentak bangkit dan memusuhi orang-orang Han dan siapa tahu kalau-kalau ia akan dapat
memperoleh kedudukan tinggi!
Akan tetapi semua itu hanya mimpi atau lamunan kosong belaka karena tanpa ia ketahui, pada saat itu ia telah diikuti oleh seorang pendekar besar yang lihai, yaitu Kwee An!
Di dalam kamar Malangi Khan itu masih terang karena lilin yang bernyala di atas ciak-tai (tempat lilin) masih belum habis dan belum padam. Ketika Kwee An melihat betapa orang pendek itu mengangkat golok dan hendak membacok Malangi Khan, cepat tangan kanannya bergerak dan sebutir batu kerikil tajam melayang ke arah pergelangan tangan kiri orang yang telah mengangka golok kiri untuk dibacokkan ke arah leher Malangi Khan itu!
Orang itu menjerit perlahan dan goloknya terlepas dari pegangan. Ia merasa tangan kirinya menjadi lumpuh. Bukan main herannya ketika ia tidak mendengar suara goloknya yang terlepas itu berdentang di atas lantai, dan tiba-tiba api lilin bergoyang. Alangkah kagetnya ketika ia menengok, ia melihat goloknya yang terlepas tadi sebelum jatuh ke atas lantai, telah disambar oleh bayangan yang gagah yang kini berdiri dengan golok rampasan itu di hadapannya sambil tersenyum mengejek. Khalinga mengenal orang ini sebagai Kwee An, ayah dari anak yang dulu ditahan didalam benteng, maka dengan nekat ia lalu menerjang dengan goloknya.
Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan Kwee An, pendekar besar yang berilmu tinggi itu.
Setelah belasan jurus mereka bertempur, bukan Khalinga yang menyerang, bahkan ia menjadi pihak yang diserang kalang-kabut oleh Kwee An! Kwee An hendak menawannya hidup-hidup, maka agak sukar ia mengalahkan lawannya. Kalau saja ia mau menurunkan tangan maut, dalam satu dua jurus saja tentu ia akan dapat membuat lawannya roboh tak bernyawa lagi atau terluka berat.
Suara golok yang beradu menimbulkan suara nyaring dan membangunkan Malangi Khan dari tidurnya.
"Hei! Kalian sedang berbuat apa di sini?" tegurnya heran ketika melihat seorang panglimanya bertempur melawan Kwee An.
"Malangi Khan! Penjahat ini berusaha membunuhmu!" berkata Kwee An.
Malangi Khan bukanlah seorang Kaisar besar kalau ia tidak tahu akan watak semua panglimanya. Begitu mendengar hal ini, maklumlah dia bahwa Khalinga tentu akan
menimbulkan kekeruhan, hendak membunuhnya untuk memancing permusuhan diantara
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
488 orang-orang Han dan orang-orang Mongol, karena Malangi Khan tahu betul akan kebencian Khalinga terhadap orang Han.
"Khalinga, kau berani hendak mengkhianati aku?" bentaknya marah.
Khalinga berdiri dengan muka merah dan dada berombak di depan kaisarnya yang telah duduk di atas pembaringan, sedangkan Kwee An juga menunda serangannya dan memandang dengan penuh kewaspadaan.
"Malangi, kau bilang aku mengkhianati engkau" Kaulah orangnya yang mengkhianati bangsa Mongol, kau Kaisar lemah dan pengecut! Kau menyerah kepada bangsat-bangsat Han tanpa mengeluarkan setetes darah, alangkah rendah dan hinanya, alangkah pengecut. Orang macam kau harus mampus di ujung golokku!" Sambil berkata demikian, Khalinga lalu menubruk maju dan menusukkan goloknya ke arah dada Malangi Khan! Akan tetapi Kwee An
Kisah Sepasang Rajawali 17 Pendekar Kembar Karya Gan K L Pukulan Naga Sakti 16
^