Pendekar Sakti Suling Pualam 4

Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 4


mereka berpaling ke belakang. Itu membuatnya terheranheran,
sehingga ?a pun memandang kedepan.
Orang-orang yang berkumpul itu tiba-tiba minggir seakan
memberi jalan. Tampak dua gadis cantik manis melangkah
maju, lalu berhenti sambil memandang kedalam.
Begitu melihat kedua gadis yang begitu cantik, ?a pun
tertarik dan segera berbisik-bisik kepada ayahnya.
"Ayah, di luar ada dua gadis yang agaknya ingin menjadi
tamu kita, lebih baik suruh saja mereka masuk!"
"Baik." Tan Tayjin mengangguk dan sekaligus berseru
kepada pengawalnya. "Undang kedua nona itu masuk!"
"Ya, Tayjin," sahut pengawal itu dan cepat-cepat mendekati
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling. "Nona-nona, Tayjin
mengundang kalian masuk."
"Terima kasih!" sahut Lie Ai Ling, lalu menarik Siang Koan
Goat Nio ke dalam dengan wajah berseri-seri.
Tan Tayjin dan Tan Giok Lan terus memperhatikan kepada
mereka. Padahal Tan Giok Lan merupakan gadis yang cantik
jelita, namun masih kalah cantik bila dibandingkan dengan
kedua gadis itu.
"Paman!" Lie Ai Ling memberi hormat. "Terima kasih atas
kebaikanmu!"
Tan Tayjin memandang mereka dengan penuh heran,
karena seharusnya mereka memanggilnya Tayjin, namun
malah memanggilnya paman.
"Ha ha-ha! Kalian berdua pasti bukan orang sini! Agaknya
kalian berdua gadis-gadis rimba persilatan!"
"Kok Paman tahu?" tanya Lie Ai Ling dengan rasa heran.
"Karena aku melihat pedang tergantung dipunggungmu,"
sahut Tan Tayjin. "Oh ya, silakan duduk!"
"Terima kasih, Paman!" ucap Lie Ai Ling dan Siang Koan
Goat Nio, lalu duduk dengan wajah berseri
"Kalian datang dan mana~" tanya Tan Tayjin sambil
memandang mereka dalam-dalam.
"Kami datang dan Pak Hai (Laut Utara)." Lie Ai Ling
memberitahukan sambil memandang Tan Giok Lan, kemudian
melanjutkan. "Kami baru mulai mengembara."
"Oooh!" Tan Tayjin manggut-manggut.
"Maaf" ucap Tan Giok Lan "Kalian berdua kakak beradik?"
"Bolehkah dikatakan ya, tapi juga boleh dikatakan bukan,"
jawab Lie Ai Ling sambil tersenyum.
"Maksudmu" tanya Tan Giok Lan, yang kebingungan
"Kami bukan kakak beradik, namun hubungan kami
bagaikan kakak beradik" Lie Ai Ling memberitahukan.
"Oooh!" Tan Giok Lan manggut-manggut. "Oh ya, botehkah
aku tahu nama kalian berdua?"
"Namaku Lie Ai Ling, dan dia bernama Siang Koan Goat
Nio," jawab Lie Ai Ling dan bertanya "Namamu?"
"Namaku Tan Giok Lan, usiaku dua puluh Berapa usia
kalian?" "Kami berdua sama-sama berusia enam belas Karena
engkau lebih besar, maka kami harus memanggilmu Kakak
Giok Lan" "Terima kasih?" ucap Tan Giok Lan sambil tersenyum dan
merasa suka kepada mereka yang begitu polos.
"Oh ya!Kalau tidak salah, Paman merayakan ulang tahun
hari ini, bukan?" tanya Lie Ai Ling.
"Betul" Tan Tayjin mengangguk.
"Kalau begitu "Lie Ai Ling tersenyum "Sudah pasti ada
makanan. Paman, kami sudah lapar sekali."
"Oh?" Tan Tayjin tertawa, lalu berkata kepada
pembantunya, "Sajikan makanan istimewa dan arak wangi
untukkedua nona ini!"
"Ya, Tuan besar," sabut pembantu itu, yang kemudian
berja1an masuk, Tak lama kemudian tampak berapa
pembantu berjalan ke luar dengan membawa berbagai macam
makanan dan arak wangi.
Setelah menaruh makanan dan arak ke atas meja, para
pembantu itu kembali masuk. Agak terbelalak Lie Ai Ling dan
Siang Koan Goat Nio melihat makanan-makanan itu.
"Silakan makan!" ucap Tan Tayjin. "Jangan malu-malu!"
"Terima kasih, Paman!" Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat
Nio mulai bersantap. Mungkin saking laparnya, dalam waktu
sekejap kosonglah semua piring itu.
Tan Tayjin, Tan hujin (Nyonya tan) dan Tan Giok Lan
tersenyum geli, kemudian bertanya. "Mau nambah?"
"Terima kasih!" sahut Lie Ai Ling. "Kami sudah kenyang."
"Aku yakin...." Tan Giok Lan memandang mereka. "Kalian
berdua pasti berkepandaian tinggi. Maukah kalian
memperlihatkan kepandaian kalian untuk kami?"
"Maaf!" ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Kami berdua
tidak mau memamerkan kepandaian, harap Kakak Giok jangan
kecewa!" "Sayang sekali!" Tan Giok Lan menggeleng-gelengkan
kepala. "Padahal aku suka sekali akan ilmu silat!"
"Kalau begitu, kenapa Kakak Giok Lan tidak mau belajar
ilmu silat?" tanya Siang Koan Goat Nio.
"Yaah!" Tan Giok Lan menghela nafas panjang. "Sulit
mencari guru yang pandai, lagi pula ayahku melarangku
belajar ilmu silat."
"Benar" Tan Tayjin manggut-manggut. "Aku yang
melarangnya belajar ilmu silat, karena akan membuat
sepasang tangannya menjadi kasar...?"
"Tidak mungkin," potong Lie Ai Ling sambil memperlihatkan
sepasang tangannya yang putih dan halus. "Lihatlah Paman!
Tangan kami tidak kasar, bukan?"
Tan Tayjin memandang tangan gadis itu, lalu manggutmanggut
seraya berkata sungguh-sungguh.
"Tanganmu memang tetap putih halus. Kalau begitu putriku
boleh belajar ilmu silat."
"Terima kasih, Ayah!" ucap Tan Giok Lan cepat.
"Memang ada baiknya Giok Lan belajar ilmu silat," ujar
Nyonya Tan sambil tersenyum lembut. "Sebab bisa menjaga
diri sekaligus memperkuat daya tahan tubuhnya."
"Benar," Tan Tayjin manggut-manggut dan tertawa.
"Tapi... sulit mencari guru yang pandai lho!"
"Bukankah di depan mata kita sudah ada dua orang guru?"
ujar Nyonya Tan sambil memandang Siang Koan Goat Nio dan
Lie Ai Ling. "Ha ha ha!" Tan Tayjin tertawa. "Benar, benar. Tapi belum
tentu kedua nona itu bersedia mengajar Giok Lan ilmu silat"
"Adik Goat Lan dan adak Ai Ling, apakah k?lian bersedia
mengajarku ilmu silat?" tanya Tan Giok Lan penuh harap.
"Waduh!" Lie Ai Ling menggeleng-gelengk?n kepala.
"Bukan tidak bersedia, melainkan kami tidak bisa lama-lama di
sini, sebab kami harus ke markas pusat Kay Pang."
"Sayang sekali!" Tan Giok Lan menghela napas panjang.
Pada saat bersamaan, tiba-tiba meluncur cepat beberapa
buah benda kecil ke arah Tan Tayjin, dan hal itu tidak terlepas
dari mata Siang KOan Goat Nio dan Lie Ai Ling.
Secepat kilat Lie Ai Ling mencabut pedangnya sekaligus
diputarnya untuk menangkis benda-benda itu.
Ting! Ting! Ting! Ting! Terdengar suara benturan nyaring.
Ternyata benda-benda itu adalah senjata rahasia.
"Goat Nio!" ujar Lie Ai Ling. "Lindungi mereka, aku mau
melihat siapa yang menyerang dengan senjata rahasia itu?"
"Baik!" Siang Koan Goat Nio mengangguk sambil
mengeluarkan suling emasnya, siap~menghadapi segala
kemungkinan Lie Ai Ling melesat ke luar. Tampak empat orang
berpakaian merah berdiri di halaman rumah.
"Siapa kalian?" bentak Lie Ai Ling. "Kenapa kalian
menyerang kami dengan senjata rahasia?"
"Kami adalah anggota Hiat Ih Hwe! Kami kemari untuk
membunuh Tan Thiam Song! Kami tidak bermaksud
menyerang nona!" sahut salah seorang berpakaian merah itu
Mereka berempat ternyata para anggota perkumpulan Baju
Berdarah. "Hm!" Dengus Lie Ai Ling dingin, "Kalian tidak melihat kami
berada di sini sebagai tamu" Sungguh berani kalian ingin
membunuh Paman Tan!"
"Nona!" Salah seorang berpakaian merah itu mengerutkan
kening. "Lebih baik engkau jangan turut campur, agar tidak
celaka!" "Kami sebagai tamu di sini, tentunya harus melindungi
Paman Tan sekeluarga! Cepatlah kalian enyah dan sini, jangan
sampai aku marah!" bentak Lie Ai Ling sambil menatap
mereka tajam "Kalau begitu, kami terpaksa membunuh Nona du1u!" ujar
orang berpakaian merah itu berseru, "Mari kita serang dia!"
Seketika tampak empat bilah pedang mengarah ke Lie Ai
Ling. Betapa terkejutny? Tan Tayjin, Nyonya Tan dan Tan
Giok Lan menyaksikan kejadian itu.
Akan tetapi, mendadak Lie Ai Ling tertawa nyaring,
sekaligus mengayunkan pedangnya untuk menangkis
serangan-serangan itu. Gadis tersebut menggunakan Hong
Hoang Kiam Hoatat (Ilmu pedang Burung Phoenix),
mengeluarkan jurus Hong Hoang Khay Peng (Burung Phoenix
Mengembangkan Sayap).
"Trang! Trang! Trang! Trang...!" Terdengar suara benturan
pedang. Keempat orang Hiat Ih Hwe terhuyung-huyung beberapa
langkah, dan pedang di tangan mereka tinggal gagangnya,
ternyata telah kutung. Perlu diketahui, pedang Lie Ai Ling
adalah Hong Hoang Pokiam (Pedang Pusaka Burung Phoenix)
pemberian ibunya.
"Haah...?" Keempat orang Hiat Ih Hwe terbelalak saking
terperanjat. Mereka tahu sedang berhadapan dengan gadis
yang berkepandaian tinggi. Salah seorang itu berkata, "Lihiap
sungguh lihay, kami berempat bukan lawanmu! Bolehkah kami
tahu siapa Nona?"
"Aku adalah.... Hong Hoang Lihiap (Pendekar Wanita
Burung Phoenix)" sahut Lie Ai Ling setelah berpikir sejenak
Kemudian ia menunjuk Siang Koan Goat Nio dan
memberitahukan, "Dia adalah Kiam Siauw Siancu (Bidadan
Suling Emas)!"
"Terima kasih!" ucap orang Hiat Ih Hwe itu "Kita akan
berjumpa lagi di lain kesempatan"'
Keempat orang Hiat Ih Hwe itu melesat pergi, sedangkan
Lie Ai Ling menyarungkan pedangnya sambil tersenyumsenyum,
lalu kembali ketempat duduknya.
"Nona sungguh hebat sekali!" ujar Tan Tayjin kagum "Aku
sama sekali tidak menyangka engkau berkepandaian begitu
tinggi!" "Terima kasih, Nona!" ucap Nyonya Tan sambil menghela
nafas lega. "Engkau tel?h menyelamatkan suamjku."
"Adik Ai Ling" Tan Giok Lan menatapnya dengan mata tak
berkedip. "Engkau sungguh lihay Rasanya aku ingin berguru
kepadamu" "Tidak seberapa kepandaianku," sahut Lie Ai Ling
merendah dan menambahkan, "Kakak Giok Lan, aku tidak bisa
menjadi gurumu!"
"Sayang sekali!" Tan Giok Lan menghela nafas panjang,
"Kini aku telah mengambil keputusan untuk belajar ilmu silat,
agar bisa melindungi ayahku."
"Eeeh?" Tan Tayjin terbelalak "Ke mana para pengawalku"
Kenapa mereka tidak kelihatan?"
"Mereka terkapar pingsan," Siang Koan Goat Nio
memberitahukan.
"Celaka! Itu harus bagaimana?" Guguplah Tan Tayjin.
"Tidak apa-apa" Siang Koan Goat Nio tersenyum. "Mereka
akan siuman dengan sendirinya."
"Oooh!" Tan Tayjin menarik nafas lega.
"Paman," tanya Lie Ai Ling. "Sebetulnya perkumpulan apa
Hiat Ih Hwe itu?"
"Aaaah...!" Tan Tayjin menghela naf?s panjang sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Perkumpulan itu khususnya
membunuh para jenderal dan pembesar yang setia, jujur dan
bijaksana."
"Oh?" Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Siapa ketua Hiat Ih
Hwe?" "Mungkin Lu Thay Kam." Tan Tayjin memberitahukan,
"Sebab sudah berkali-kali Lu Thay Kam mengutus orang
kepercayaannya ke mari untuk memberi perintah kepadaku."
"Perintah apa?"
"Menyuruhku menaikkan pajak ini dan itu dikota ini. Tapi
aku tidak mengacuhkan penintah itu."
"Jadi Lu Thay Kam mengutus orang.orangny? kemari untuk
membunuh Paman?"
"Kira-kira begitulah."
"Hmm!" dengus Lie Ai Ling. "Sungguh jahat Lu Thay Kam
itu! Kalau aku bertemu dia kelak, pasti kupenggal kepalanya!"
"Nona...." Tan Tayjin terbelalak. "Engkau...."
"Ai Ling," tegur Siang Koan Goat Nio halus. "Jangan omong
sembarangan, sebab akan menimbulkan masalah!"
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk.
"Memang banyak orang ingin membunuh Lu Thay Kam,
tapi sebaliknya mereka malah terbunuh." Tan Tayjin
memberitahukan "Lho" Kenapa?" tanya Lie Ai Ling.
"Kalian harus tahu...." Tan Tayjin menghela nafas
"Kepandaian Lu Thay Kam sangat tinggi, maka tiada seorang
pun mampu membunuhnya"
"Oh?" Lie Ai Ling mengerutkan kening, kelihatannya gadis
itu kurang percaya "Suatu hari nanti, aku ingin bertarung
dengan dia!"
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio menatapnya sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa engkau omong
sembarangan lagi?"
"Lupa." Lie Ai Ling tersenyum. "Oh ya, tadi mereka
menanyakan nama kita...."
"Engkau memberitahukannya?" tanya Siang Koan Goat Nio.
"Tentu tidak," sahut Lie Ai Ling sambil tersenyum geli dan
melanjutkan, "Tapi kubilang aku adalah Hong Hoang Lihiap,
sedangkan engkau adalah Kim Siauw Siancu."
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio tertawa kecil "Engkau
mengada-ada saja!"
"Tidak salah." Tan Tayjin tertawa. "Itu memang merupakan
julukan yang sangat tepat untuk kalian Hong Hoang Lihiap,


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim Siauw Siancu! Sungguh tepat dan indah julukan tersebut!
Ha ha-ha...."
"Adik!" Tan Giok Lan memandangnya seraya bertanya.
"Kenapa engkau menggunakan julukan itu?"
"Pedangku adalah Hong Hoang Pokiam, Sedangkan suling
yang tadi di tangan Siang Koan Goat Nio adalah Suling Emas."
Lie Ai Ling memberitahukan.
"Oooh!" Tan Giok Lan manggut-manggut.
"Aaaah...!" Mendadak Tan Tayjin menghela nafas panjang.
"Kelihatannya Dinasti Beng sudah sulit dipertahankan lagi."
"Kenapa?" tanya Lie Ai Ling.
"Karena kaisar cuma tahu bersenang-senang, yang
berkuasa di istana adalah Lu Thay Kam dan beberapa menteri
jahat. Karena itu, timbullah pemberontakan disana sini,
bahkan aku pun dengar, Lu Thay Kam mengutus seorang
kepercayaannya ke Manchuria."
"Memangnya kenapa?" Lie Ai Ling tidak mengerti.
"Lu Thay Kam dan beberapa menteri telah bersepakat
untuk bersekongkol dengan bangsa Boan (Manchuria)." Tan
Tayjin memberitahukan.
"Paman!" Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala. "Kami
sama sekali tidak mengerti akan urusan kerajaan."
"Paman," ujar Siang Koan Goat Nio mendadak dengan
wajah serius. "Kalau begitu, lebih baik Paman mengundurkan
din saja dari jabatan. Kalau tidak, nyawa Paman pasti
terancam setiap saat."
"Sebetulnya aku telah memikirkan itu, tapi..." Tan Tayjin
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa?" tanya Siang Koan Goat Nio.
"Kalau aku mengundurkan diri, tentu akan muncul
pembesar lain, yang korupsi di kota ini, yang sudah barang
tentu membuat rakyat menjadi menderita."
"Paman!" Siang Koan Goat Nio menatapnya kagum.
"Paman sungguh jujur, adil dan bijaksana! Apabila para
pembesar di seluruh negeri ini seperti Paman, tentu tidak akan
terjadi pemberontakan."
"Yaah!" Tan Tayjin menghela nafas panjang. "Itu
bagaimana mungkin" Kini Dinasti Beng telah bobrok, berada di
ambang keruntuhan."
"Paman memikirkan penduduk kota ini, tapi sama sekali
tidak memikirkan keluarga," ujar Lie Ai Ling mendadak. "Pada
hal keluarga Paman terancam bahaya."
"Memang tidak salah." Tan Tayjin manggut-manggut.
"Setelah kejadian tadi itu, pertanda sudah waktunya aku
pensiun." "Ayah!" Wajah Tan Giok Lan langsung berseri. "Itu sungguh
menggembirakan!"
"Baiklah," ujar Lie Ai Ling. "Kami mau mohon pamit, terima
kasih atas kebaikan Paman!"
"Kok begitu cepat kalian mau pergi?" Tan Tayjin
memandang mereka. "Lebih baik tinggal di sini beberapa
hari." "Maaf Paman!" ucap Lie Ai Ling. "Aku harus segera
berangkat ke markas pusat Kay Pang."
"Adik Ai Ling, aku mohon kalian sudi tinggal di sini
beberapa hari. Setelab itu, barulah kalian melanjutkan
perjalanan." ujar Tan Giok Lan bermohon
"Goat Nio..." Lie Ai Ling menatap Siang Koan Goat Nio
minta pendapatnya "Bagaimana?"
"Baiklah, kita tinggal di sini beberapa hari," sahut Siang
Koan Goat Nio "Tidak baik kita menolak maksud baik Paman
dan kakak Giok Lan"
"Terima kasih, terima kasih!" ucap Tan Giok Lan dengan
wajah berseri. Akhirnya Siang Koan Goat Nio dan" Lie Ai Ling tinggal
beberapa hari di rumah Tan Tayjin, setelah itu barulah
berangkat ke markas pusat Kay Pang
-oo0dw0oo- Bagian ke Tiga Belas
Pemandangan yang menyentuh hati
Pada pagi hari yang cerah, terdengar suara kicau burung di
halaman istana bagian barat, tempat tinggal Lu Thay Kam.
Berselang sesaat, tampak Lie Man Chiu berjalan ke halaman
itu lalu duduk dibawah sebuah pohon.
Sudah tujuh tah?n lebih ia mengabdi pada Lu Thay Kam.
Hidupnya serba senang dan mewah, setiap hari pasti
dikerumuni para dayang yang cantik-cantik. Ada satu hal yang
patut dipuji, yaitu selama tujuh tahun ini, ia sama sekali tidak
pernah tidur bersama para dayang tersebut.
Selain sebagal wakil ketua Hiat Ih Hwe, Lu Thay Kam pun
mengangkatnya sebagai kepala pengawal istana bagian barat
ini. Dalam tujuh tahun ini, Lu Thay Kam memang sangat
mempercayainya. Selama ini, pernahkah ia teringat pada anak
isterinya" Tentu tidak, karena ia masih berambisi menjadi
jenderal. Di saat ia sedang duduk di bawah pohon. tiba-tiba
melayang turun sesuatu dan atas pohon. yang ternyata seekor
anak burung. Anak burung itu mencicit-cicit, dan tak lama
kemudian induknya melayang turun.
Induk burung itu berusaha membawa anaknya, tapi tidak
berhasil. Maka ia mencicit-cicit, kelihatan gugup, panik dan
cemas. Sementara Lie Man Chiu terus memperhatikan induk
burung itu, tiba-tiba induk burung itu memandangnya sambil
mencicit-cicit dengan mata basah, sepertinya minta
pertolongan kepada Lie Man Chiu.
Lie Man Chiu diam saja, tapi induk burung itu terus
mencicit sambil memandangnya, dan air matanya pun
meleleh. Hati Lie Man Chiu tergerak menyaksikannya. Ia bangkit
berdiri lalu mendekati anak burung itu.
Induknya sama sekali tidak kabur, melainkan terus mencicit
dengan air mata meleleh.
"Engkau minta pertolongan kepadaku untuk membawa
anakmu ke sarang di atas pohon" tanya Lie Man Chiu sambil
tersenyum. Tentunya Induk burung itu tidak bisa menjawab,
cuma bisa mencicit.
"Baiklah." Lie Man Chiu manggut-manggUt. "Aku akan
menolong anakmu."
Lie Man Chiu mengangkat anak burung itu, lalu melesat ke
atas sekaligus menaruh anak burung it? ke dalam sarangnya.
Induk burung itu juga terbang ke atas, dan ketika melihat
anaknya sudah ditaruh ke dalam sarang, Ia mencicit seakan
mengucapkan terima kasih kepada Lie Man Chiu.
Lie Man Chit melayang turun, lalu duduk kembali di bawah
pohon itu. Apa yang disaksikannya itu membuat pikirannya
terus melayang-layang, b?rung cuma merupakan hewan,
namun begitu berperasaan dan penuh kasih sayang terhadap
anaknya. Berpikir sampai di situ, mendadak di pelupuk mata Lie Man
Chiu muncul wajah putrinya, yang kemudian berubah menjadi
wajah Tio Hong Hoa, isternya
"Haaah" Lie Man Chiu tersentak kemudian bergurnam.
"Anakku... isteriku..."
Di saat itulah ?a teringat kepada anak isterinya. Pada waktu
bersamaan terdengar suara langkah yang amat ringan. Ia
segera menoleh, dilihatnya seorang gadis ca?tik dan lemah
lembut berusia enam belasan. Siapa gadis itu" Tidak lain
adalah Lu Hui San, putri angkat Lu Thay Kam.
"Paman Chiu!" panggil gadis itu sambil tersenyum. "Kenapa
Paman Chiu melamun di situ?"
"Aku sedang menikmati pagi yang indah ini," sahut Lie Man
Chiu lalu bertanya. "Masih pagi kok sudah bangun"
"Sekarang sudah tidak pagi lagi, kan?" sahut Lu Hui San
lalu duduk di sisinya. "Paman Chiu. sudah berapa tahun
Paman berada di sini?"
"Tujuh tahun lebih."
"Dalam tujuh tahun ini, apakah Paman tercekam oleh suatu
perasaan" tanya Lui Hui San mendadak.
"Perasaan apa?" tanya Lie Man Chiu dengan rasa heran.
"Tahukah Paman aku sudah berusia berapa sekarang?" Lu
Hui San menatapnya dalam-dalam.
"Kalau tidak salah sudah enam belas."
"Berarti putri Paman pun sudah berusia enam belas," ujar
Lu Hui San. "Paman tidak pernah memikirkannya."
"Aku," Wajah Lie Man chiu agak memucat.
"Paman sama sekali tidak memikirkan anak isteri?" Lu Hui
San mengerutkan kening.
"Selama tujuh tahun ini, aku memang tidak pernah
memikirkan mereka. Namun..." Lanjut Lie Man Chiu sambil
memandang ke atas pohon. "Tadi ada seekor anak burung
jatuh, induknya tidak bisa membawanya kembali ke sarang,
Sehingga terus menerus mencicit dan memandangku dengan
mata basah. "Oh?" Lu Hui San tertegun "Di mana anak burung itu
sekarang?"
"Telah kukembalikan ke dalam sarangnya." Lie Man Chiu
memberitahukan.
"Kalau begitu...." Lu Hui San menatapnya dalam-dalam
"Paman Chiu masih mempunyai rasa kasihan. Tapi kenapa
bisa melupakan anak isteri?"
"Setelah aku menyaksikan kejadian itu, tiba-tiba wajah
anak isteriku muncul di pelupuk mataku, sehingga membuat
hatiku tersentak.
"Karena itu, Paman Chiu teringat kepada anak isteri, kan?"
"Betul." Lie Man Chiu manggut-manggUt sambil menghela
nafas panjang. "Kejadian itu membuat hatiku tergerak, sebab
kejadian itu sungguh menyentuh hatiku."
"Paman Chiu!" Lu Hui San menarik nafas. "Burung
merupakan hewan, namun mempunyai perasaan dan kasih
sayang Sedangkan Paman Chiu adalah manusia, tapi malah
bisa melupakan anak isteri Omong kasar dikit, Paman Chiu
masih tidak dapat menyamai hewan."
"Benar." Lie Man Chiu mengangguk mengakuinya. "Aku
memang lebih kejam dari binatang?"
"Paman Chiu!" Lu Hui San tersenyum. "Sesunggubnya
Paman Chiu bukan orang jahat, yang tak berperasaan maupun
kasih sayang, hanya saja... semua Itu tertutup oleh ambisi
Paman." "Tidak salah." Lie Man chiu menghela nafas panjang. "Aku
memang terlampau berambisi, dan itu dikarenakan..."
"Dikarenakan apa?"
"Rasa dengki."
"Oh?"
"Yaaah!" Lie Man Chiu menghela nafas panjang lagi. "Kini
?ku merasa malu sekali kepada anak isteriku, dan mereka
pasti tak akan sudi memaafkanku."
"Itu tidak perlu dicemaskan, ujar Lu Hui San
sungguh~sungguh. "Aku yakin mereka pasti bersedia
memaafkan Paman."
"kenapa engkau begitu yakin?"
"Karena biar bagaimana pun, mereka tetap sebagai anak
isteri Paman. Kalau Paman sudah sadar akan kesalahan itu
dan mau mohon maaf, mereka pun pasti akan memaafkan
Paman. Percayalah!"
Lie Man Chiu manggut-manggut dan wajahnya tampak
agak cerah. "Ada benarnya juga apa yang kau katakan."
"Ha ha!" Terdengar suara tawa dan kemudian muncul Lu
Thay Kam. "San San, ternyata engkau berada disini! Ayah kira
engkau pergi secara diam-diam."
"Ayah!" Lu Hui San tersenyUm. "Bagaimana mungkin aku
akan pergi secara diam~diam" Kalau mau pergi berjalan-jalan,
aku pasti memberitahukan kepada Ayah."
"Ha ha-ha!" Lu Thay Kam tertawa gembira. "EngkaU
memang anak baik, ayah sungguh senang sekali!"
"Ayah," tanya Lu Hui San mendadak. "Bolehkah aku pergi
merantau" "Apa"!" Lu Thay Kam tertegun. "Engkau ingin pergi
merantaU?"
"Ya." Lu Hui San mengangguk sekaligUs memberitahukan.
"Ayah, aku merasa jemu terkurung di dalam istana."
"Ha ha-ha!" Lu Thay Kam tertawa gelak. "Siapa bilang
engkau terkurung di dalam istana?"
"BuktinYa aku tidak boleh pergi ke mana-mana. Nah,
bukankah diriku bagaikan seekor burung di dalam sangkar
emas?" sebut Lu Hui San cemberut.
"San San!" Lu Thay Kam menatapnya dalam-dalam. "Jadi
engkau sudah mengambil keputUSan untuk pergi merantau?"
"Ya, Ayah." Lu Hui San mengangguk dan menambahkan.
"Aku harus mencari pengalaman di luar. Kalau tidak, aku cuma
merupakan gadis pingitan."
"Begini saja," ujar Lu ThayKam serius. Nanti malam setelah
ayah pulang, kita bicarakan lagi."
"Ayah, sekarang saja menbicarakannya." desak Lu Hui San.
"Nanti malam saja. Jangan membantah, sebab ayah harus
memikirkan tentang keinginanmu itu, Malam nanti kita
membicarakan nya, sekaligus ayah akan memberikan
keputusan," tegas Lu Thay Kam.
"Ya, Ayah." Lu Hui San mengangguk.
"Engkau memang anak yang baik, ayah merasa puas dan
bangga," ujar Lu Thay Kam sambil tertawa gembira, kemudian
memandang Lie Man Chiu seraya berpesan, "Nanti malam kita
akan pergi sebentar."
"Ya, Lu Kong Kong." sahut Lie Man chiu sambil memberi
hormat. "Kalian bercakap-cakaplah!" Lu Thay Kam memandang
mereka. "Aku akan pergi menghadap kaisar. San San, nanti
malam setelah ayah pulang, kita akan membicarakan tenta?g
niatmu itu."
"Ya, Ayah." Lu Hui San mengaugguk.
Lu Thay Kam melangkah pergi. Lu Hui San memandang
punggungnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ayahku sudah berusia lanjut, tapi masih belum mau
pensiun untuk hidup tenang. Sebaliknya malah terus bergelut
dengan politik kerajaan..." Lu Hui San menghela nafas
panjang. "San San!" Lie Man Chiu tersenyUm. "Ayahmu sebagai
kepala Thay Kam di istana, sudah barang tentu tidak terlepas
dan kancah politik."
"Aaaah~" Lu Hui San menghela nafas lagi."Untuk apa itu"


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukankah lebih baik hidup tenang dan damai saja?"
"Pikiran orang berbeda," ucapan tersebut juStru membuat
Lie Man Chiu tersentak sendiri,karena ambisi maka ia
meninggatkan anak isteri.
"Paman Chiu?" Lu Hui San memandangnya seraya
bertanya, "Apakah kini Paman sudah berniat pulang untuk
menemUi anak isteri?"
"Itu...."
"Masih tetap akan mengabdi kepada ayahku?"
"San San!" Lie Man Chiu memandangnya dan bertanya
dengan suara rendah. "Bagaimana San San?"
"Menurutku Paman harus segera pulang menengok anak
isteni. Selama tujuh tahun ini, aku yakin mereka pasti
menderita sekali. Mungkin juga isteri Paman sudah tiada...."
"Kenapa engkau mengatakan begitu?" Wajah Lie Man Chiu
tampak memelas.
"SuatU penderitaan dan tekanan batin, akan menyebabkan
kematian," sahut Lu Hui San. "Namun juga tergantUng dari
ketabahan dan pikiran."
"Benar," Lie Man Chiu manggut-mangggut dan
melanjutkan. "Mudah-mudahan isteriku tidak akan terjadi apaapa,
begitu pula putriku itu!"
"Paman Chiu," ujar Lu Hui San. "Biar bagaimana pun,
paman harus segera pulang menengok anak isteri, jangan
membuat dosa yang akan menimbulkan karma buruk!"
"San San!" Lie Man Chiu menatapnya dengan penuh rasa
heran. "Engkau paham akan dosa dan karma?"
"Paham." Lu Hui San mengangguk. "Karena aku sering
membaca buku, maka aku tahu tentang dosa dan karma.
Aaaah, ayahku... tidak akan terlepas dan karma buruk!"
"Haah...?" Wajah Lie Man Chiu memucat, dan seketika ?a
teringat pula akan semua wejangan-wejangan Tayli Lo Ceng,
gurunya. "Aku... aku memang telah berdosa, karena
meninggalkan anak isteri."
"Kalau Paman sudah tahu dosa, haruslah segera bertobat,"
ujar Lu Hui San dan menambahkan. "Siapa yang mau
bertobat, tentu dapat meringankan dosanya pula."
"San San!" Mendadak Lie Man Chiu memegang bahunya.
"Terima kasih atas semua petunjukmu!"
"Paman Chiu..." Lu Hui San tersenyum. "Oh ya! Paman
sering pergi bersama ayahku, sebetulnya pergi mengurusi
apa?" "Tentunya urusan kerajaan," sahut Lie Man Chiu singkat,
sebab LU Thay Kam telah berpesan padanya, tidak boleh
memberitahukan kepada Lu Hui San mengenai kegiatan
mereka. "Oooh!" Lu Hui San manggut-manggut. "Paman Chiu,
apakah ayahku akan memperbolehkan aku pergi merantau?"
"Kelihatannya ayahmu memperbolehkan."
"Oh?" Wajah Lu Hui San tampak berseri. "Syukurlah kalau
begitu!" -oo0dw0oo- Di dalam markas Hiat Ih Hwe, tampak Lu Thay Kam dan Lie
Man Chiu duduk di ruang depan. Mereka berdua mengenakan
jubah merah, namun tidak memakai topeng lagi. Sebab para
anggota telah bersumpah, tidak akan membocorkan identitas
ketua maupun wakil ketua mereka.
"Lapor kepada ketua dan wakil ketua!" ujar salah seorang
anggota sambil memberi hormat. "Belum lama ini dalam rimba
persilatan telah muncul Giok Siauw Sin Hiap. Ketika kami ingin
turun tangan membunuh para anggota Tiong Ngie Pay, dia
muncul menolong mereka."
"Kenapa kalian tidak membunuh Giok Siauw Sin Hiap itu?"
tanya Lu Thay Kam dengan wajah gusar.
"Kepandaiannya sangat tinggi, kami tidak sanggup
melawannya." jawab orang itu dengan kepala tertunduk.
"Hm!" dengus Lu Thay Kam. "Engkau boleh mundur ke
tempat berdirimu!
"Terima kasih, ketua! ucap orang itu dan segera mundur ke
tempat ia berdiri tadi.
"Masih ada lagi yang mau melapor?" tanya Lu Thay Kam.
"Ada, Ketua," sahut seseorang sambil maju sekaligus
memberi hormat. "Beberapa hari lalu, kami pergi hendak
membunuh Tan Thian Song, pembesar di kota Keng Ciu.
Namun ada dua gadis disana, salah satu gadis itu melawan
kami." "Kalian berhasil membunuh gadis itu?"
"Kami tidak berhasil membunuhnya, sebab dia
berkepandaian tinggi dan memiliki sebilah pedang pusaka."
"Oh" Lalu bagaimana kalian?"
"Kami terpaksa kabur."
"Siapa kedua gadis itu?"
"Gadis yang melawan kami adalah Hong Hoang Lihiap,
sedangkan yang satu lagi adalah Kim Siauw Siancu."
Betapa terkejutnya Lie Man Chiu ketika mendengar ucapan
itu. Hong Hoang Lihiap" Hong Hoang Pokiam (Pedang Pusaka
Burung Phonix) itu adalah kepunyaan Tio Hong Hoa, isterinya.
Apakah gadis yang mengaku Hong Hoang Lihiap itu Lie Ai
Ling, putrinya" Pikir Lie Man Chiu dengan wajah berubah tak
menentu. "Hmm!" dengus Lu Thay Kam dingin sambil mengibaskan
tangannya. Orang itu segera kembali ke tempatnya,
sedangkan Lu Thay Kam berseru. "Gak Cong Heng!"
"Ya, ketua." Gak Cong Heng langsung menghadap. Orang
tersebut adalah kepala para anggota Hiat Ih Hwe. "Ada
perintah apa untukku?"
"Engkau harus mengatur beberapa orang untuk membunuh
Tan Thiam Song, Hong Hoang Lihiap, Kim Siauw Siancu dan
Giok Siauw Sin Hiap."
"Ya." Gak Cong Heng memberi hormat. "Kuterima perintah
Ketua dan pasti kulaksanakan dengan baik."
"Bagus!" Lu Thay Kam manggut-manggUt, kemudian
memandang Lie Man Chiu seraya berkata, "Aku mau kembali
ke istana, engkau tetap di sini mengatur semua itu."
"Ya Lu Kong Kong," sahut Lie Man Chiu sambil memberi
hormat. Lu Thay Kam melesat pergi. Kemudian Lie Man Chiu
berunding dengan Gok Cong Heng....
-oo0dw0oo- Malam belum begitu larut, Lu Hui San duduk di halaman
istana menunggu Lu Thay Kam pulang. Mendadak berkelebat
sosok bayangan ke badapannya, dan terdengar pula suara
teguran. "San San! Kenapa engkau belum tidur" Sosok bayangan itu
ternyata Lu Thay Kam.
"Aku menunggu Ayah pulang," sahut Lu Hui San sambil
tersenyum. "Bukankah tadi pagi Ayah telah berjanji"
"Ha ha-ha!" Lu Thay Kam tertawa gelak. "Ayah ingat itu,
mari ikut ayah ke kamar!"
Lu Hui San mengikuti Lu Thay Kam kekamar, lalu duduk
berhadapan dikamar Lu Thay Kam yang serba mewah.
"San San!" Lu Thay Kam menatapnya tajam seraya
bertanya. "Betulkah engkau telah mengambil keputusan pasti
untuk pergi merantau."
"Betul," Ayah.
"Engkau harus tahu, bahwa didalam rimba persilatan penuh
bahaya, bahkan juga banyak penjahat."
"Aku bisa menjaga diri, Ayah."
"Ayah tahu, kepandaianmu sudah tinggi. Namun..." Lu
Thay Kam menghela nafas panjang. "Banyak orang licik dalam
rimba persilatan, ayah khawatir engkau akan terjebak oieh
kelicikan mereka."
"Ayah!" Lu Hui San tersenyum. "Aku bukan anak kecil lagi,
sebab usiaku sudah enam belas. Tentunya dapat
membedakan orang jahat dan orang baik. Ayah tidak usah
mengkhawatirkan itu."
"San San Lu Thay Kam menatapnya dengan penuh kasih
sayang. "Mungkin ?ngkau tahu, aku bukan ayah kandungmu."
"Aku tahu, Ayah." Lu Hui San mengangguk dan
melanjutkan. "Tapi ak? telah menganggap Ayah sebagai ayah
kandung." "Bagus! Ha-ha-ha!" Lu Thay Kam tertawa gembira. "Tidak
sia-sia ayah membesarkanmu, lagi pula ayah pun telah
menganggapmu sebagal anak kandung."
"Terima kasih, Ayah!" Lu Hui San tersenyum dan bertanya.
"Ayah, bolehkah ku tahu margaku?"
"Margamu Sie!" Lu Thay Kam memberitahukan.
"Siapa kedua orang tua kandungku?" tanya Lu Hui San lagi.
"San San!" Lu Thay Kam menggelengkan kepala. "Ayah
sama sekali tidak tahu tentang itu. Kalau ayah tahu, pasti
memberitahukan"
"Ayah!" Lu Hui San memandangnya sambil tersenyum.
"Ayah tidak akan melarangku pergi merantau, kan?"
"Engkau sudah besar, maka ayah tidak bisa mengekang
kebebasanmu," sahut Lu Thay Kam sungguh-sungguh. "Tapi
engkah harus berhati-hati di perantauan, jangan gampang
terpincuk oleh ketampanan ."
"Ya, Ayah!" Wajah Lu Hui San agak kemerah-merahan.
"Oh ya! Ayah akan menghadiahkan kepadamu sebilah
pedang pusaka." Lu Thay Kam memberitahukan. "Juga akan
memberimu uang perak dan emas sebagai bekalmu."
"Terima kasih, Ayah," ucap Lu Hui San girang. "Oh ya,
pedang pusaka apa itu, Ayah!"
"Itu adalah pedang pusaka dalam istana, yaitu Han Kong
Pokiam." Lu Thay Kam memberitahukan. "Maka engkau harus
menjaganya baik-baik, jangan sampai hilang."
"Han Kong Pokiam (Pedang Pusaka Cahaya dingin)?"
"Tidak salah." Lu Thay Kam manggut-manggut. "Pedang
pusaka itu sangat ampuh, dapat memotong besi dan lain
sebagainya, bahkan juga memancarkan cahaya dingin."
"Terima kasih, Ayah!" Lu Hui San girang bukan main.
"Oh ya!" Lu Thay Kam teringat sesuatu, kemudian
memberikannya sebuah medali emas yang berukiran sepasang
naga. "San San, ini adalah tanda pengenalku. Apabila engkau
membutuhkan bantuan atau uang, temui saja pembesar
setempat dan perlihatkan medali ini, pembesar yang mana
pun pasti akan membantumu."
"Oh?" Wajah Lu Hui San berseri, ia menyimpan medali itu
ke dalam bajunya. "Terima kasih, Ayah!"
"San San," tanya Lu Thay Kam. "Kapan engkau berangkat?"
"Besok pagi," jawab Lu Hui San.
"Baiklah," Lu Thay Kam manggut-manggut dan herpesan.
"Engkau harus berhati-hati dalam perantauanmu, jangan
menimbulkan masalah!"
"Ya, Ayah." Lu Hui San mengangguk.
"Dan..." Lu Thay Kam berpesan lagi. "Terhadap siapa pun,
engkau tidak boleh membocorkan identitasmu!"
"Kenapa?"
"Sebab ayah banyak musuh diluar." Lu Thay Kam
memberitahukan. "Apabila engkau membocorkan identitasmu,
berarti dirimu dalam bahaya. Engkau harus ingat itu!"
"Ya, Ayah!" Lu Hui San mengangguk dan bertanya.
"Kenapa ayah banyak musuh di luar?"
"San San!" Lu Thay Kam tersenyum. "Ayah sebagai kepala
Thay Kam di istana, maka sudah pasti harus menjaga kaisar.
Siapa yang berani memberontak, pasti ayah bunuh. Karena
itu, ayah banyak musuh."
"Ayah sudah tua...." Lu Hui San menggeleng-gelengkan
kepala. "Kenapa tidak mau hidup tenang dan damai?"
"Ha ha-ha!" Lu Thay Kam tertawa. "Engkau tidak akan
mengerti, maka tidak usah banyak bertanya dan menasihati
ayah." "Tapi..." Lu Hui San menghela nafas. "Suatu perbuatan
jahat, pasti akan menimbulkan karma buruk. Aku khawatir...."
"Jangan khawatir!" Lu Th?y Kam tersenyum. "Ayah tidak
gampang dibunuh orang, engkau boleh tenang tentang itu."
Lu Hui San diam, Lu Thay Kam menatapnya sambil
tersenyum lembut dan berkata. "San San, sudah larut malam,
engkau boleh pergi tidur. Sebab besok pagi engkau akan pergi
merantau."
"Ya, Ayah!" Lu Hui San meninggalkan kamar ayahnya
menuju kamarnya. Kemudian ia tersenyum gembira, karena
besok pagi akan pergi merantau.
Sementara Lu Thay Kam menuju ruang khusus. Ia duduk di
Situ menunggu Lie Man Chiu pulang. Berselang beberapa saat
kemudian, tampak Lie Man Chiu melangkah ke ruang itu.
"Lu Kong Kong!" panggil Lie Man Chiu sambil memberi
hormat. "Duduklah!" sahut Lu Thay Kam.
"Terimakasih, Lu Kong Kong!" ucap Lie Man Chiu lalu duduk
di sisinya. "Bagaimana engkau mengatur itu?" tanya Lu Thay Kam
sambil menatapnya. "Apakah semua itu sudah kau atur
bersama Gak Cong Heng?"
"Sudah, Lu Kong Kong," jawab Lie Man Chiu
memberitahukan."Beberapa orang akan berangkat ke kota
Keng Ciu untuk membunuh Tan Thiam Song, belasan orang
akan pergi membunuh Hong Hoang lihiap, Kim Siauw Siancu
dan Giok Siauw Sin Hiap yang berani menentang perkumpulan
kita." "Bagus, bagus! Ha ha-ha!" Lu Thay Kam tertawa gelak. "Oh
ya, besok pagi San San akan pergi merantau."
"Lu Kong Kong mengijinkannya?"
"Dia sudah besar, memang tidak baik terus diam di istana.
Dan pada dia pergi secara diam-diam, bukankah lebih baik aku
mengijinkannya?"
"Betul Lu Kong Kong."
"Man Chiu!"
"Ya, Lu Kong Kong.
"Besok setelah San San pergi, engkau harus ke markas
untuk membenitahukan Gak Cong Heng, bahwa putriku pergi
merantau. Maka para anggota dilarang mengganggu gadis
yang membawa Han Kong Pokiam."
"Ya, Lu Kong Kong." Lie Man Chiu mengangguk. "Oh ya,
bukankah Han Kong Pokiam itu pedang pusaka istana?"
"Betul." Lu Thay Kam manggut-manggut dan
memberitahukan. "Kaisar telah memberikan pedang pusaka itu
kepadaku, jadi kuhadiahkan pada San San."
"Lu Kong Kong!" Lie Man Chiu tersenyum. "Sungguh
beruntung San San memperoleh h?diah pedang pusaka itu!"


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia putriku, maka aku harus menaruh perhatian khusus
kepadanya," ujar Lu Thay Kam sambil tertawa dan
menambahkan. "Entah siapa yang beruntung menjadi
jodohnya! Ha-ha-ha...!"
-oo0dw0oo- Bagian ke Empat belas
Pendekar Pembasmi Penjahat
Sudah tujuh tahun Kam Hay Thian berada didalam goa
bekas markas Bu Tek Pay. Selama itu ia terus mempelajari
Hian Bun Kui Goan Kang Khi, sekaligus melatihnya. Akhirnya ?a
berhasil menguasai ilmu lweekang tersebut, sehingga
bertambah tinggi pula lweekangnya.
Setelah itu, mulailah ia mempelajari kitab peninggalan Pak
Kek Siang Ong, yakni Pak Kek Sin Kang, Ciang Hoat dan Kiam
Hoat. Karena ia telah memiliki Hian Bun Kui Goan Kang Khi, maka
tidak begitu sutit baginya mempelajari ilmu-ilmu peninggalan
Pak Kek Siang Ong.
Kini Kam Hay Thian telah berusia delapan belas. Ia gagah
dan tampan serta telah menguasai Pak Kek Sin Kang, Pak Kek
Ciang Hoat dan Pak Kek Kiam Hoat. Bahkan ia pun telah
menemukan sebilah pedang di tempat itu.
Walau ia telah menguaSai Pak Kek Sin Kang, ?amun masih
belum begitu hebat. Ia dapat mengeluarkan hawa dingin,
tetapi belum dapat membekukan apa pun.
"Hmm!" dengus Kam Hay Thian. "Kini aku telah
berkepandaian tinggi, maka harus membalas dendam dan
membasimi penjahat di rimba persilatan! Aku harus menjadi
Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi Penjahat) dalam rimba
persilatan!"
Kam Hay Thian tampak seakan bersumpah, kemudian
matanya memandang jari tangannya, yang memakai sebuah
cincin Giok pemberian Lie Beng Cu. Ia tersenyUm-SenyUm lalu
meninggalkan tempat itu dengan membawa sebilah pedang.
Ia tidak mau membawa dua kitab peninggalan Pak Kek Sian
Ong dan Kitab Hiang Bun Kui Goan Kang Khi, yang
ditemukannya di tempat tersebut. Namun setelah dikuasai
isinya, kedua kitab itu dibakarnya agar tidak menimbulkan
bencana. Karena ia ingat bahwa ayahnya terbunuh gara-gara
sebuah kitab Seng Hwe Cin Keng.
Setelah meninggalkan tempat tersebut, Kam Hay Thian
langsung pulang ke rumahnya karena sangat rindu kepada
ibunya. Beberapa hari kemudian, sampailah ?a di rumahnya dan
langsung melesat ke dalam. Lie Siu Sien, ibunya sedang duduk
di ruang depan sambil menyulam, kelihatan agak tua dan
ramhutnya mulai memutih, padahal usianya baru empat
puluhan. "Haaah...?" Betapa terkejutnya Lie Siu Sien ketika melihat
sosok bayangan berkelebat ke dalam. "Si... siapa?"
Sosok bayangan itu ternyata Kam Hay Thian, yang
langsung bersujud di hadapan Lie Siu Sien. "Ibu, aku Hay
Thian," ujarnya terisak-isak.
"Apa?" Lie Siu Sien terbelalak. "Engkau... engkau Hay
Thian, anakku?"
"Betul, Ibu!" Kam Hay Thian mendongakkan kepalanya,
tampak air matanya meleleh.
Lie Siu Sien terus memperhatikan wajah Kam Hay Thian,
kemudian memeluknya erat-crat dengan air mata berderaiderai.
"Hay Thian anakku...." Lie Siu Sien menangis tersedu-sedu
saking gembiranya. "Engkau sudah pulang, engkau sudah
besar!" "Ibu...." Kam Hay Thian bangkit berdiri, dan juga memeluk
Lie Siu Sien erat-erat dengan terus mengucurkan air mata.
"Nak!" Lie Siu Sieri menatapnya, kemudian berseri seraya
berkata. "Tujuh tahun engkau meninggalkan ibu, kini usiamu
sudah delapan belas tahun. Engkau sudah besar dan tampan,
ibu gembira sekali"
"Ibu!" Kam Hay Thian tersenyum.
"Nak, mari kita duduk!" Lie Siu Sien lalu duduk berhadapan
dengan puteranya. "Nak, apakah engkau telah berhasil belajar
ilmu sitat tinggi?" tanyanya.
"Aku telah berhasil, Ibu."
"Oh?" Lie Siu Sien menatapnya dalam-dalam. "Syukurlah
kalau begitu! Nak, ceritakanlah pengalamanmu!"
"Setelah meninggalkan rumah, aku menuju kota Leng An.
Aku belajar ilmu silat kepada guru silat Lie. Putrinya bernama
Lie Beng Cu, yang baik sekali terhadapku." Kam Hay Thian
memberitahukan sekaligus memperlihatkan cincin giok yang
dipakainya, "Cincin giok ini hadiah dari Lie Beng Cu."
"Oh?" Lie Siu Sien tersenyum. "Jadi engkau berguru kepada
guru silat itu?"
"Ya." Kam Hay Thian mengangguk dan melanjutkan.
"Setetah itu, aku berangkat ke markas pusat Kay Pang.
Namun tanpa sengaja aku memasuki sebuah goa, dan di
dalam goa itu aku menemukan dua buah kitab pusaka...."
"Oooh!" Lie Siu Sien manggut-manggut gembira. "Jadi
engkau telah berhasil menguasai semua ilmu yang ada di
dalam kedua kitab itu?"
"Ya" "Di mana kedua kitab pusaka itu sekarang?"
"Telah kubakar, agar tidak menimbulkan bencana."
"Bagus!" Lie Siu Sien mengangguk. "Kalau engkau
membawa kedua kitab itu, ibu pun akan menyuruhmu
membakarnya. "Ibu, kini aku telah memiliki kepandaian tinggi," ujar Kam
Hay Thian. "Maka aku harus pergi mencari pembunuh ayah!"
"Ngmm!" Lie Siu Sien manggut-manggut. "Kapan engkau
akan pergi mencari pembunuh itu?"
"Besok pagi."
"Kok begitu cepat?"
"Ibu!" Kam Hay Thian tersenyum. "Aku cepat pergi cepat
pulang, dan setelah itu, aku tidak akan meninggalkan ibu
lagi." "Baiklah." Lie Siu Sien mengangguk lalu berpesan. "Namun
engkau harus berhati-hati, sebab pembunuh ayahmu itu
berkepandaian sangat tinggi."
"Aku pasti berhati-hati, Ibu."
"Oh ya! Engkau harus mencari Tio Cie Hiong, dan
mohonlah petunjuk kepadanya!" pesan Lie Siu Sien lagi.
"Ya, Ibu."
"Kalau sudah berhasil membunuh pembunuh ayahmu,
engkau harus segera pulang, jangan terus berkecimpung
dalam rimba persilatan! Oh ya. apabila engkau bertemu gadis
yang cantik, harus bawa dia kemari."
"Ibu...." Kam Hay Thian tersenyum. "Pikiranku hanya ingin
membalas dendam, bagaimana mungkin memikirkan itu?"
"Nak!" Lie Siu Sien menatapnya dalam-dalam. "Usiamu
sudah delapan belas, tentunya akan bertemu anak gadis.
Kalau kalian sudah saling mencinta, jangan lupa bawa dia
pulang!" "Ya, Ibu." Kam Hay Thian mengangguk dengan wajah agak
kemerah-merahan.
"Nak...." Lie Siu Sien menarik nafas dalam-dalam. "Kini
legalah hati ibu, karena engkau telah memiliki kepandaian
tinggi." -oo0dw0oo- Keesokan harinya, berangkatlah Kam Hay Thian pergi
mencari pembunuh ayahnya. Dua hari kemudian, ia memasuki
sebuah rimba. Mendadak keningnya berkerut, ternyata ia
mendengar suara jeritan minta tolong.
Segeralah Kam Hay Thian melesat ke arah suara jeritan itu.
Ia melihat beberapa lelaki sedang berusaha memperkosa
seorang wanita muda. Menyaksikan kejadian itu, mendidihlah
darahnya. "Hentikan!" bentaknya dengan suara mengguntur.
Mendengar bentakan itu, mereka sangat terkejut dan
langsung menoleh. Tetapi ketika mendapatkan kenyataan
bahwa yang membentak itu seorang pemuda, mereka tertawa
gelak. "Ha ha ha! Anak muda, lebih baik engkau pergi! Jangan
menganggu kesenangan kami!"
"Hmm!" dengus Kam Hay Thian dingin. "Siapa kalian?"
"Mereka penjahat," sahut wanita muda itu, yang
pakaiannya sudah tidak karuan tersobek sana sini. "Mereka
menculikku."
"Diam!" bentak salah seorang penjahat itu.
"Bagus, bagus!" Kam Hay Thian tertawa dingin. "Ternyata
kalian semua penjahat, kebetulan aku adalah Chu Ok Hiap
(Pendekar Pembasmi Penjahat)!"
"Apa?" para penjahat itu tertegun. "Chu Ok Hiap" Kami
tidak pernah mendengar nama itu!"
"Kini kalian telah mendengar, maka ajal kalian pun telah
tiba!" sahut Kam Hay Thian sambil menghunus pedangnya.
"Kalian bersiaplah untuk mampus!"
"Mari kita serang dia!" seru salah seorang dari mereka, dan
seketika juga para penjahat itu menyerang Kam Hay Thian
dengan pedang dan golok.
"Ha ha-ha!" Kam Hay Thian tertawa dingin. "Kalian semua
harus mampus!"
Mendadak ia menggerakkan pedangnya untuk menangkis,
dan balas menyerang menggunakan Pak Kek Kiam Hoat.
Seketika hawa pun berubah dingin, kemudian terdengar suara
jeritan yang menyayat hati.
"Aaaakh! Aaaakh! Aaaaakh...!" para penjahat itu telah
roboh mandi darah, dan nyawa mereka pun melayang
seketika. Dada mereka berlubang tertembus pedang Kam Hay
Thian. Ternyata Kam Hay Thian mengeluarkan jurus Keng
Thian Tung Te (Mengejutkan Langit Menggetarkan Bumi),
yaitu salah satu jurus ilmu pedang Pak Kek Kiam Hoat.
Wanita muda itu terbelalak menyaksikannya, dan mulutnya
ternganga lebar saking kagetnya.
"Kakak!" ujar Kam Hay Thian sambil menyarungkan
kembali pedangnya. "Kini sudah aman, kakak boleh pulang.
"Terima kasih, siauw hiap!" ucap wanita muda itu dan
memberitahukan. "Aku tinggal di desa yang tak jauh dan sini,
bagaimana kalau siauw hiap ikut aku ke sana?"
Kam Hay Thian berpikir sejenak, setelah itu barulah ia
mengangguk seraya berkata. "Baiklah,"
Kam Hay Thian melepaskan baju luar salah seorang
penjahat yang sudah jadi mayat, lalu diberikan kepada wanita
muda itu. "Pakailah baju luar ini untuk menutupi tubuhmu!"
"Terima kasih!" ucap wanita muda berusia dua puluhan itu
dengan wajah agak kemerah-merahan.
Setelah memakai baju luar, Ia segera meninggalkan rimba
itu, dan Kam Hay Thian berjalan disampingnya.
"Siau-hiap, bolehkah aku tahu namamu!"
"Namaku Kam Hay Thian. Nama kakak?"
"Tan In Ngo."
"Kakak In Ngo, apakah masih jauh desa tempat
tinggalmu?"
"Tidak begitu jauh, sepetanak nasi lagi kita akan sampai di
sana." "Itu cukup jauh, lagi pula hari pun sudah mulai gelap," ujar
Kam Hay Thian dan menambahkan.
"Kakak In Ngo, aku akan menggendongmu di punggung
agar kita cepat sampai di desa itu!"
"Tapi...." Tan In Ngo merasa tidak enak, walaupun usianya
lebih besar, namun ia tetap seorang wanita yang mempunyai
rasa malu. "Kakak In Ngo, jangan merasa malu, anggaplah aku
adikmu!" ujar Kam Hay Thian sungguh-sungguh.
"Baiklah." Tan In Ngo segera merangkul leher Kam Hay
Thian. "Rangkul erat-erat Kakak In Ngo!" pesan Kam Hay Thian.
"Sebab aku akan menggunakan ginkang."
"Ya," Tan In Ngo mengangguk.
"Jangan takut, sebab aku akan berlari cepat seka1i. "Lebih
baik pejamkan matamu!" ujar Kam Hay Thian.
"Ya," Tan In Ngo pun memberitahukan. "Lurus saja ke
depan, jangan membelok!"
"Rangkul leherku erat-erat, jangan kendur!" pesan Kam
Hay Thian lagi. "Dan jangan lupa pejamkan matamu!"
Begitu Tan In Ngo menyahut "Ya", Kam Hay Thian
mengerahkan ginkangnya, sehingga badannya melesat cepat
ke depan. Bukan main terkejutnya wanita muda itu, sebab ia merasa
dibawa terbang dan telinganya pun jadi bising, karena
mendengar suara desiran angin.
Berselang beberapa saat kemudian, barulah Kam Hay Thian
menghentikan langkahnya, namun Tan In Ngo masih tidak
berani membuka matanya, karena takut Kam Hay Thian akan
berlari cepat lagi.
"Kakak In Ngo, kita sudah sampai di desa." Kam Hay Thian
memberitahukan.
Tan In Ngo segera membuka matanya. Dilihatnya belasan
orang sedang memandang Kam Hay Thian dengan mata
terbelalak. "Ayah! Ibu..." Tan In Ngo berlari menghampiri kedua orang
tuanya. "In Ngo! In Ngo...." Ibunya memeluknya erat-erat. "Engkau
tidak apa-apa?"
"Ibu...," Air mata Tan In Ngo meleleh. "Aku tidak apa-apa,
karena siauw hiap itu keburu muncul menolongku," ujarnya.
"Terima kaSih, Siauw hiap!" ucap kedua orang tua Tan In
Ngo. "Paman dan Bibi, jangan memanggilku siauW hiap, namaku
Kam Hay Thian," sahutnya sambil tersenyum. "Panggil saja
namaku!" "Hay Thian...." Kedua orang tua Tan In Ngo
memandangnya dengan kagum dan bersyukUr dalam hati.
Sementara para penduduk desa itu mulai bermunCUlan
mengerumuni Kam Hay Thian, Kemudian muncul pula kepala
desa. "Cungcu (Kepala Desa)!" Tan In Ngo segera
memberitahukan. "Adik Hay Thian yang menolongku.
"Oh?" Cungcu itu memandang Kam Hay Thian sambil
manggut-manggut. "Terima kaSih, Hay Thian!"
"Cungcu tidak usah mengucapkan terima kasih, sebab
membasmi para penjahat memang tugasku," ujar Kam Hay


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian. "Cungcu!" Tan In Ngo memberitabukan lagi. "Dia adalah
Chu Ok Hiap."
"pendekar Pembasmi Penjahat?" CungCU itu terbelalak
karena melihat Kam Hay Thian masih muda. "Engkau berhasil
membunuh penjahat-Penjahat itu?"
"Cungcu...." Tan In Ngo menutur tentang kejadian yang
menimpanya. Penuturan itu sudah barang tentu membuat Cungcu, kedua
orang tuanya dan para penduduk desa itu memandang Kam
Hay Thian dengan penuh rasa kagum.
"Sungguh tak disangka!" ujar Cungcu sambil tersenyum.
"Usiamu masih semuda itu, tapi kepandaian sangat tinggi!"
Kam Hay Thian hanya tersenyum.
Cungcu itu menatap Tan In Ngo. "Engkau tidak apa-apa
kan?" tanyanya dengan suara rendah.
"Para penjahat itu berusaha memperkosaku, tapi untung
Adik Hay Thian keburu muncul menolongku. Kalau tidak,
mereka pasti berhasil memperkosaku."
"Syukurlah engk~u selamat!" Cungcu itu manggutmanggut,
namun kemudian menghela nafas panjang. "Mereka
cuma anak buah, masih ada kepalanya," katanya.
"Oh?" Kam Hay Thian mengerutkan kening. "Jadi para
penjahat itu mempunyai pemimpin?"
"Betul," Cungcu itu mengangguk. "Mereka sering kemari
menculik kaum wanita, mungkin pemimpin itu akan muncul."
"Kalau begitu...." ujar Kam Hay Thian setelah berpikir
sejenak. "Aku akan menunggu kemunculan pemimpin
mereka." "Terima kasih, terima kasih!" ucap Cungcu itu dengan
wajah berseri, sebab memang ini yang diharapkannya.
"Kalau begini.." Tan In Ngo memandang Kam Hay Thian.
"Bagaimana kalau engkau menginap dirumah kami?"
"Baiklah," Kam Hay Thian mengangguk dan menambahkan.
"Sebelum membasmi habis para penjahat itu, aku tidak akan
meninggalkan desa ini.
"Terima kasih, terima kasih!" ucap Cungcu itu dengan
wajah berseri, lalu meninggalkan tempat itu.
"Adik Hay Thian, mari ikut kami ke rumah!" ajak Tan In
Ngo. Kam Hay Thian mengangguk, lalu mengikuti mereka
menuju sebuah rumah yang sangat sederhana. Kedua orang
tua Tan In Ngo langsung memotong ayam untuk menjamu,
dan tak lama kemudian muncul para pembantu Cungcu
mengantarkan arak wangi.
Yang paling gembira adalah Tan In Ngo, karena dengan
adanya Kam Hay Thian di rumahnya, sudah barang tentu
mereka sekeluarga jadi terpandang.
Seusai bersantap, kedua orang tua Tan In Ngo masuk ke
dalam untuk tidur, sedangkan Tan In Ngo masih tetap
menemani Kam Hay Thian.
"Kakak In Ngo, sudah larut malam, tapi kenapa engkau
belum tidur?" tanya Kam Hay Thian sambil memandangny?.
"Aku ingin mengobrol denganmu. Boleh kan?" Tan In Ngo
tersenyum. "Tentu boleh," Kam Hay Thian manggut-manggut dan
tersenyum. "Baik, mari kita mengobrol sebentar!"
"Adik Hay Thian, engkau masih mempunyai orang tua?"
"Cuma mempunyal ibu, sebab ayahku telah meninggal
dibunuh penjahat," Kam Hay Thian memberitahtikan. "Karena
itu, aku sangat membenci para penjahat."
"Oooh!" Tan In Ngo manggut-manggUt. "Pantas engkau
tidak memberi ampun kepada para penjahat itu."
"Kalau aku mengampuni mereka, sama juga menyuruh
mereka melakukan kejahatan lagi"
"Adik Hay Thian!" Tiba-tiba Tan In Ngo mengerutkan
kening. "Kepandaian pemimpin para penjahat itu sangat
tinggi, engkau harus hati-hati menghadapinya," ujarnya.
"Ya." Kam Hay Thian mengangguk dan menambahkan.
"Pokoknya aku harus membunuh pemimpin penjahat itu, agar
tidak mengganggu orang lagi."
"Adik Hay Thian!" Tan In Ngo tertawa kecil. "Karena
engkau telah menolongku secara tidak langsung telah
mengangkat nama keluarga kami."
"Oh, ya?" Kam Hay Thian tersenyum.
"Biasanya para penduduk di sini tidak begitu mengacuhkan
kami, apalagi Cungcu," ujar Tan In Ngo. "Namun kini sikap
mereka telah berubah sama sekali, lebih baik aku
memanggilmu adik."
"Oh?" Kam Hay Thian menatapnya. "Kenapa para
penduduk desa ini tidak begitu mengacuhkan kalian?"
"Karena...." Tan In Ngo menghela nafas. "Kami merupakan
keluarga yang paling miskin di desa ini!"
"Oooh!" Kam Hay Thian manggut-manggut. "Kalau begitu,
aku akan secara langsung mengangkat derajat keluargamu.
"Adik Hay Thian...." Tan In Ngo terbelalak.
"Tenang!" Kam Hay Thian tersenyum. "Pokoknya aku
mempunyai cara untuk mengangkat derajat keluargamu."
"Adik Hay Thian, terim kasih!" Betapa terharunya Tan In
Ngo. Kam Hay Thian telah menyelamatkan dirinya, bahkan kini
ingin mengangkat derajat keluarganya, sudah barang tentu
membuat wanita muda itu terharu sekali.
"Kakak In Ngo, engkau harus tidur, sudah lewat tengah
malam," ujar Kam Hay Thian.
"Bagaimana engkau?"
"Aku cukup duduk beristirahat di sini saja."
"Baiklah, aku mau tidur." Tan In Ngo melangkah ke dalam,
sedangkan Kam Hay Thian menggeleng-gelengkan kepa1a,
lalu memejamkan matanya untuk tidur sejenak, heninglah
suasana di rumah itu.
Ketika menjelang pagi, terdengarlah suara derap kaki kuda
memasuki desa itu. Tan In Ngo dan kedu? orang tuanya
segera bangun, lalu kedepan menemul Kam Hay Thian dengan
wajah pucat pias.
"Adik Hay Than, pemimpin penjahat itu telah datang."
"Tenang saja!" sahut Kam Hay Thian dan men?mbahkan.
"Aku akan pergi menyambut mereka."
"Hati-hati Adik Hay Thian!" pesan Tan In Ngo.
Kam Hay Thian mengangguk, lalu membuka pintu dan
langsung melesat pergi. Sementara itu sudah tidak terdengar
suara derap kaki kuda lagi, ternyata kuda-kuda telah berhenti.
Tampak beberapa orang meloncat turun dari punggung
kuda, yang rata-rata bertampang seram, apalagi pemimpin
penjahat itu, brewok dan sebelah matanya ditutup dengan
kain hitam. "Hari ini kita harus menghabiskan para penduduk desa ini,
karena beberapa anak buahku telah mati di sini!" seru
pemimpin penjahat itu.
"Ya, Tay Ong (Raja Besar)," sahut belasan anak buahnya
dengan serentak.
Pada saat bersamaan, melayang turun seseorang sambil
tertawa dingin, yang tidak lain Kam Hay Thian.
"Siapa engkau?" pemimpin penjahat itu terkejut.
"Aku Chu Ok Hiap!" sahut Kam Hay Thian. "Beberapa anak
buahmu telah mati di tanganku!"
"Jadi engkau yang membunuh mereka?" pemimpin
penjahat itu terbelalak, karena Kam Hay Thian masih begitu
muda, namun mampu membunuh beberapa anak buahnya,
yang berkepandaian cukup tinggi.
"Betul!" sahut Kam Hay Thian sambil tersenyum dingin.
"Pagi ini kalian semua pun harus mampus!"
"Ha ha-ha!" Pemimpin penjahat itu tertawa terbahakbahak.
"Anak muda, engkau yang akan mampus! Ayoh, cepat
serang dia!"
Pemimpin penjahat itu memberi perintah kepada para anak
buahnya, dan seketika itu juga para anak buahnya menyerang
Kam Hay Thian dengan serentak.
Kam Hay Thian tertawa dingin sambil menghunus
pedangnya, kemudian menangkis dan balas menyerang
menggunakan Pak Kek Kiam Hoat, mengeluarkan jurus Keng
Thian Tun Te (Mengejutkan Langit Menggetarkan Bumi).
Tampak pedangnya berkelebatan dan mengeluarkan hawa
yang sangat dingin.
"Aaakh! Aaaakh! Aaaakh...!" Terdengar suara jeritan.
Ternyata bebera~pa penjahat itu telah roboh berlumuran
darah, dan nafas mereka pun putus seketika.
Kam Hay Thian tidak diam sampai di situ, tetapi menyerang
lagi sisa-sisa penjahat itu dengan jurus Thian Gwa Kiam In
(Bayangan Pedang Diluar Langit). Terdengar lagi suara jeritan,
sisa-sisa penjahat itu pun roboh mandi darah.
Betapa terkejutnya pemimpin penjahat itu. Wajahnya pun
sudah pucat pias. Kam Hay Thian mengarah padanya,
kemudian ujarnya dingin."Sekarang giliranmu!"
"Siauw hiap, arnpunilah aku!" Pemimpin penjahat itu
berlutut di hadapan Kam Hay Thian sambil memohon.
"Ampunilah aku...."
"Mengampunimu?" Kam Hay Thian menatapnya dingin.
"Ya." Pemimpin penjahat itu mengangguk perlahan.
"Engkau sering membunuh orang dan memperkosa kaum
wanita, bukan?" tanya Kam Hay Thian sambil menatapnya
tajam. "Ya. Tapi kini aku sudah mau bertobat, sungguh!"
Pemimpin penjahat itu membentur-benturkan kepalanya di
tanah. "Siauw hiap, ampunilah aku!"
"Memang sudah waktunya engkau bertobat, selamalamanya
engkau tidak akan bisa melakukan kejahatan lagi!"
ujar Kam Hay Thian dan mendadak menggerakkan pedangnya
secepat kilat.Casss! Putuslah leher pemimpin penjahat itu, dan
kepalanya menggelinding bagaikan bola.Setelah para penjahat
dan pemimpin penjahat itu mati, barulah Tan In Ngo dan
kedua orang tuanya keluar, kemudian disusul para penduduk
dan Cungcu. "Adik Hay Thian!" panggi! Tan In Ngo.
"Kakak In Ngo!" sahut Kam Hay Thian sambil tersenyum.
"Mulai sekarang desa ini sudah aman."
Tan In Ngo mengangguk, dan Cungcu mendekati Kam Hay
Thian sambil tersenyum-senyum. "Siauw hiap, sungguh hebat
engkau! Hanya seorang diri engkau mampu membunuh para
penjahat dan pemimpinnya itu."
"Cungcu!" ujar Kam Hay Thian memberitahukan. "Tan In
Ngo adalah kakak angkatku, sudah barang tentu kedua orang
tuanya juga orang tua angkatku. Mereka sangat miskin, aku
harap Cungcu mau menaruh perhatian kepada mereka!"
"Tentu, tentu," sahut Cungcu sambil tertawa.
"Bahkan aku pun akan memberi hadiah kepadamu."
"Hadiah itu kuterima, tapi harus diserahkan kepada kakak
angkatku," ujar Kam Hay Thian.
"Baik, baik," sahut Cungcu sambil manggut-manggut.
Apa yang diucapkan Kam Hay Thian, membuat Tan In Ngo
dan kedua orang tuanya terharu sekali. Mereka tidak
menyangka sama sekali kalau Kam Hay Thian akan
mengucapkan begitu dihadapan Cungcu, yang tentunya
mengangkat derajat mereka, sebab Kam Hay Thian mengaku
Tan In Ngo sebagai kakak angkatnya.
"Paman, Bibi, Kakak In Ngo!" Kam Hay Thian menghampiri
mereka. "Kini desa ini telah aman, maka aku mau mohon
pamit!" "Adik Hay Thian...." Wajah Tan In Ngo langsung berubah
muram. "Kenapa begitu cepat?"
"Aku masih ada urusan lain, maka harus segera
melanjutkan perjalanan," sahut Kam Hay Thian, lalu
memandang Cungcu seraya berkata, "Kuharap Cungcu
menepati janji, sampai jumpa!"
Begitu Kam Hay Thian melesat pergi, Tan In Ngo berteriak
memanggilnya. "Adik Hay Thian! Adik Hay Thian...!"
Namun Kam Hay Thian sudah tidak kelihatan. Tan In Ngo
pun menangis terisak-isak. Sedangkan cungcu memandang
mayat-mayat para penjahat itu sambil menghela nafas
panjang dan kemudian bergumam.
"Pemuda itu memang Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi
Penjahat), karena tiada seorang penjahat pun dibiarkan
hidup." Setelah bergumam begitu, Cungcu itu pun berkata
pada para penduduk. "Kuburkan mayat-mayat para penjahat
Itu!" Para penduduk menurut. Ketika orang tua Tan In Ngo ingin
membantu, Cungcu segera mencegahnya sambil tersenyum.
"Engkau tidak usah turun tangan membantu mereka, aku ingin
bercakap-cakap sebentar," ujar Cungcu ramah sekali.
"Cungcu mau bercakap-cakap apa?" tanya ayah Tan In Ngo
dengan rasa heran.
"Begini...." Cungcu itu menghela nafas panjang. "Selama ini
aku tidak memandang kalian sama sekali, namun kalian justru
tetah menyelamatkan desa ini."
"Cungcu, kami..." Ayah Tan In Ngo tergagap. "Bukan kami
yang menyelamatkan desa ini, melainkan Chu Ok Hiap - Kam
Hay Thian."
"Tapi dia anak angkat kalian, maka kalian pun berjasa
dalam hal ini. Di sini aku mohon maaf kepada kalian!"
"Cungcu jangan berkata begitu, sebab membuat kami
merasa malu!"
"Tadi Kam Hay Thian tetah berpesan, aku harus menaruh
perhatian kepada kalian. Nah, apa permintaan kalian"~
"Tidak ada." Ayah Tan In Ngo menggelengkan kepala.
"Kami tidak meminta apa pun. Kita semua bersyukur karena
para penjahat berikut pemimpinnya telah dibasmi, kini desa
kita ini sudah aman."
"Aku tahu kalian bidup melarat, maka.... Tan In Ngo akan
kuangkat sebagai anak angkat, bahkan aku pun akan
menghadiahkan beberapa bidang sawah untuk kalian."
"Cungcu...." Ayah dan ibu Tan In Ngo terbelalak. Begitu
pula Tan In Ngo sendiri, yang tidak menyangka kalau Cungcu
yang kaya raya itu akan mengangkatnya sebagai anak.
"Kalian Jangan menolak, sebab kalau kalian menolak, aku
akan merasa tidak enak terhadap Kam Hay Thian," ujar
Cungcu sambil tertawa, kemudian berseru memberitahukan
kepada para penduduk yang telah usai mengubur mayatmayat
para penjahat. "Kalian semua dengar baik-baik, mulai
hari ini Tan In Ngo adalah putri angkatku! Oleh karena itu, aku
akan mengadakan pesta besar-besaran hari ini, harap kalian
semua hadir!"


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih, Cungcu!" sahut para penduduk, lalu berkata
kepada Tan In Ngo yang berdiri mematung di tempat.
"Selamat, In Ngo!"
Saking girangnya, Tan In Ngo nyaris menangis seketika. Ia
semakin terharu dan berterima kasih kepada Kam Hay Thian,
sebab semua itu berkat jasa pemuda tersebut.
-oo0dw0oo- Sementara itu, di halaman istana Tayli, tampak Lam Kiong
Bie Liong, Toan Pit Lian, Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng
duduk melamun. "Aaaah.!" Lam Kiong Bie Liong menghela nafas panjang.
"Sudah tujuh tahun lebih, k?napa Soat Lan dan Beng Kiat
masih belum pulang?"
"Aku yakin tidak lama lagi mereka akan pulang," sahut
Toan Wie Kie. "Aku ingat akan ucapan Tayli Lo Ceng ketika
itu, padri tua itu bilang tujuh delapan tahun, Soat Lan dan
Beng Kiat pasti pulang"
"Benar." Gouw Sian Eng manggut-manggut. "Aku pun
masih ingat akan ucapan Tayli Lo Ceng itu."
"Tapi.." Toan Pit Lian ingin mengatakan sesuatu, namun
terputus mendadak karena melihat dua sosok bayangan
berkelebat ke arah mereka
"Ayah! Ibu!" Terdengar pula suara seruan.
"Soat Lan?" Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian
terbelalak. "Beng Kiat?" Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng juga
terbelalak. Kedua sosok bayangan itu ternyata Lam Kiong Soat Lan
dan Toan Beng Kiat, yang tidak mereka duga sama sekali.
"Ayah, Ibu!" Lam Kiong Soat Lan langsung mendekap di
dada Toan Pit Lian.
"Ayah, Ibu!" Toan Beng Kiat bersujud dihadapan kedua
orang tuanya. "Soat Lan...." Toan Pit Lian memeluknya erat-erat,
sedangkan Lam Kiong Bie Liong tidak henti-hentinya membelai
putrinya. "Nak!" Gouw Sian Eng segera membangunkan Toan Beng
Kiat dengan mata basah. "Engkau...engkau sudah pulang...."
"Ibu, aku sudah pulang."
"Nak!" Toan Wie Kie membelainya. tidak menyangka
engkau sudah besar."
"Ayah...." Toan Beng Kiat tersenyum.
"Oh ya!" tanya Toan Wie Kie. "Kok Tayli Lo Ceng tidak
kemari?" "Guru mengantar kami sampal di daerah Tayli, lalu pergi,"
jawab Toan Beng Kiat memberitahukan.
Sementara Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian juga tak
henti-hentinya bercakap-cakap dengan putri mereka.
"Soat Lan!" Toan Pit Lian menatapnya sambil tersenyum.
"Engkau sudah besar dan cantik sekali, ibu merasa puas dan
bangga. "Soat Lan!" ujar Lam Kiong Bie Liong sambil tersenyum.
"Ayah yakin, kepandaianmU pasti sudah tinggi sekali"
"Kira-kira begitulah, Ayah," sahut Lam Kiong Soat Lan
sambil tersenyum manis dan melanjutkan.
"Kini aku dan Beng Kiat telah menguasai seluruh ilmu yang
dimiliki guru. "Syukurlah!" Lam Kiong Bie Liong tertawa gembira
kemudian berseru, "Wie Kie, mari kita ajak mereka menemui
Hong Ya!" "Baik." Toan Wie Kie mengangguk.
Mereka semua lalu memasuki ruang tengah. Kebetulan
Toan Hong Ya dan Hujin sedang duduk di situ sambil
bercakap-cakap. Ketika melihat Lam Kiong Soat Lan dan Toan
Beng Kiat, mereka terbelalak.
"Soat Lan" Beng Kiat?" gumam Toan Hong Ya.
"Kakek, Nenek!" Lam Kiong Soat Lan dan Beng Kiat segera
bersujud. Betapa gembiranya Toan Hong Ya dan Hujin. Mereka
berdua terus tertawa gembira.
"Kalian bangunlah!" ujar Toan Hong Ya.
"Ya," Lam Kiong Soat Lan dan Toang Beng Kiat segera
bangkit berdiri.
"Ayohlah! Kalian semua duduk saja, jangan terus berdiri!"
ujar Toan Hong Ya sambil tertawa-tawa.
Mereka segera duduk. Toan Beng Kiat menengok kesanakemari
seakan sedang mencari sesuatu.
"Dimana kakek tua" Kok tidak berada disini?" tanyanya.
"Nak," sahut Gouw Sian Eng sambil menghela nafas
panjang. "Kakek tuamu telah meninggal!"
"Apa?" Toan Beng Kiat terkejut dan matanya mulai basah.
"Kapan kakek tua meninggal?"
"Dua tahun yang lalu," sahut Gouw Sian Eng.
"Aaaakh...!" keluh Toan Beng Kiat. "Tak disangka aku tidak
akan bertemu kakek tua!"
Sementara Lam Kiong Soat Lan juga menengok kesana
kemari dengan penuh rasa heran, karena dan tadi tidak
melihat Lam Kiong hujin, neneknya.
"Ayah, di mana nenek" Kok tidak muncul?" tanya gadis itu.
"Nenekmu telah meninggal," sahut Lam Kiong Bie Liong
sanibil menghela nafas panjang.
"Haah...?" Lam Kiong Soat Lan langsung menangis terisakisak.
"Kapan nenek meninggal?"
"Dua tahun yang lalu," Lam Kiong Bie Liong
memberitahukan dengan wajah murung.
"Nenek meninggal karena sakit?" tanya Lam Kiong Soat
Lan. Lam Kiong Bie Liong, Toan Pit Lian, Toan Wie Kie dan
Gouw Sian Eng segera memandang Toan Hong Ya.
"Beritahukanlah kepada mereka!" ujar Toan Hong Ya.
Lam Kiong Bie Liong mengangguk, lalu memberitahukan
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Soat Lan, nenekmu dan Tui Hun Lojin meninggal karena
dibunuh orang."
"Apa?" Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat terkejut
bukan main, dan wajah pun tampak sedih. "Siapa pembunuh
itu?" "Entahlah," Lam Kiong Bie Liong menggelengkan kepala.
"Ayah," tanya Toan Beng Kiat. "Bagaimana kejadian itu"
Bolehkah Ayah menuturkannya?"
"Kejadian itu...." Toan Wie Kie menutur dan menambabkan.
"Kakekmu yang kemari memberitahukan."
"Ayah! Aku barus membalas dendam!" ujar Toan Beng Kiat
dengan berkertak gigi.
"Aku juga!" sambung Lam Kiong Soat Lan.
"Kalian...." Toan Hong Ya menggeleng-gelengkan kepala.
"Bagaimana mungkin kalian membalas dendam, sebab tidak
tahu siapa pembunuhnya?"
"Kami akan menyelidikinya," ujar Toan Beng Kiat sungguhsungguh.
"Nak!" Toan Wie Kie menggeleng-gl!engkan kepala. "Kalian
berdua masih kecil, lagi pula belum berpengalaman dalam
rimba persilatan."
"Kalau begitu, apakab kita harus diam saja?" tanya Toan
Beng Kiat dengan kening berkerut.
"Ayah, kami sudab tidak kecil, usia kami sudah enam belas,
lagi pula kepandaianku cukup tinggi."
"Nak," ujar Gouw Sian Eng. "Kalian tidak boleh pergi
menuntut balas, sebab semua itu urusan kami."
"Juga urusanku," Toan Beng Kiat berkeras.
"Sama," sambung Lam Kiong Soat Lan. "Beng Kiat, biar
bagaimana pun kita harus pergi menyelidiki pembunuh Itu."
"Betul," Toan Beng Kiat mengangguk.
"Eh?" Toan Hong~Ya menatap mereka tajam. "Kenapa
kalian berdua tidak mau menuruti perkataan orang tua?"
"Kakek, kami" Toan Beng Kiat menundukkan kepala.
"Nak," ujar Toan Wie Kie lembut. "Tentang ini akan kita
bicarakan lagi nanti, karena kalian berdua baru pulang hari
ini." "Ya, Ayah," Toan 8eng Kiat mengangguk.
"Beng Kiat!" Lam Kiong Soat Lan teringat sesuatu.
Bukankah guru menitip sepucuk surat untuk kakek"
"Ya," Toan Beng Kiat segera mengeluarkan sepucuk surat
lalu diberikan kepada Toan Hong Ya.
Toan Hong Ya menerima surat itu, lalu dibacanya. Surat
tersebut berbunyi demikian.
"Toan Hong Ya: 'Semua urusan harus diserahkan kepada
kedua muridku, biar mereka ke Tionggoan. Namun ingat, yang
lain tidak boleh ikut, sebab akan membahayakan nyawa
mereka' Tayli Lo Ceng."
"Ayah," tanya Toan Wie Kie. "Apa yang ditulis Tayli Lo
Ceng?" "Bacalah sendiri!" sahut Toan Hong Ya sambil memberikan
surat itu kepada putranya.
Toan Wie Kie menenima surat itu, kemudian dibacanya
dengan kening berkerut-kerut.
"Kakak" Toan Pit Lian menatapnya "Bagaimana bunyi surat
itu?" "Bacalah!" Toan Wie Kie memberikan surat itu kepada
adiknya. Lam Kiong Bie Liong juga ikut membaca, dan
keningnya pun berkerut-kerut.
"Siapa yang dimaksudkan "Yang lain" itu?" tanyanya.
"Tentunya kita berempat," sebut Toan Wie Kie.
"Heran?" gumam Toan Pit Lian. "Kenapa padri tua itu
menyuruh Soat Lan dan Beng Kiat ke Tionggoan, sedangkan
kita dilarang ikut?"
"Kalian dengar baik-baiki" ujar Toan Hong Ya. "Berhubung
Tayli Lo ceng menulis begitu, hatiku pun jadi lega."
"Jadi Ayah mengijinkan Beng Kiat dan Soat Lan berangkat
ke Tionggoan untuk menyelidiki pembunuh itu?" tanya Toan
Wie Kie. "Ya," Toan Hong Ya manggut-manggut. "Sebab ayah
mempercayai padri tua itu, maka kalian pun barus menuruti
pesannya" "Tapi...." Toan Wie Kie mengerutkan kening.
"Engkau tidak mempercayai Tayli Lo Ceng?" Toan Hong Ya
menatapnya tajam sambil melanjutkan. "Kita tahu jelas,
bahwa padri tua itu ahli dalam hal meramal. Jadi kalian
berempat tidak boleh ragu."
Mereka berempat saling memandang, lama sekali barulah
Toan Pit Lian membuka mulut.
"Ayah telah mengambil keputusan, bahwa Soat Lan dan
Beng Kiat boleh berangkat ke Tionggoan menyelidiki
pembunuh itu?"
"Betul"
"Kami...."
"Kalian berempat tidak boleh ikut," tegas Toan Hong Ya.
"Padri tua telah berpesan demikian, maka kalian berempat
harus mentaatinya."
"Ayah...." Toan Wie Kie mengernyitkan kening.
"Kalau kalian betempat berani melanggar pesan layli Lo
ceng, maka selamanya jangan memanggilku ayah lagi!" ujar
Toan Hong Ya sungguh-sungguh.
"Ya, Ayah." Toan Wie Kie mengangguk Sedangkan Gouw
Sian Eng, Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian diam saja.
"Ayah, bagaimana kematian kakek tua?" tanya Toan Beng
Kiat. "Sama seperti Lam Kiong hujin," Toan Wie Kie
memberitahukan. "Sekujur badan mereka hangus terkena
semacam ilmu pukulan yang mengandung api.
"Kalau begitu, tidak suilt bagi kami menyelidiki pembunuh
itu," ujar Toan Beng Kiat. "Ayah, kami akan tinggal di sini
sebulan, lalu berangkat ke Tionggoan."
"Tapi...." Toan Wie Kie menggeleng-gelengkan kepala.
"Ayah, itu adalah pesan dan guru kami. Maka aku harap
Ayah jangan melanggarnya!" ujar Toan Beng Kiat.
"Benar," sela Lam Kiong Soat Lan. "Itu adalah pesan guru
kami, jadi kami barus mentaatinya"
"Baik," Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong manggutmanggut.
"Kalian boleh berangkat ke Tionggoan, asal kalian
mampu mengalahkan kami berdua."
"Ayah...." Toan Beng Kiat terbelalak, begitu pula Lam Kiong
Soat Lan. "Kenapa harus begitu?"
"Kami harus menguji kepandaian kalian. Apabila kalian
mampu mengalahkan kami, pertanda kalian memang telah
berkepandaian tinggi," sahut Toan Wie Kie sungguh-sungguh.
"Maaf, Ayah!" ucap Toan Beng Kiat. "Terus terang, kami
takut salah tangan. Lebih baik kami mempertunjukkan
kepandaian kami saja."
"Itu memang baik sekali," sahut Toan Hong Ya sambil
tertawa. "Nah, kalian berdua boleh mulai?"
"Soat Lan," ujar Toan Beng Kiat sambil bangkit berdiri. "Aku
duluan mempertunjukkan kepandaianku."
"Silakan!" Lam Kiong Soat Lan tersenyum.
Toan Beng Kiat berjalan ke tengah-tengah ruangan.
Kemudian setelah memberi hormat, Ia mulai mengerahkan
Kim Kong Sin Kang (Tenaga Sakti Cahaya Emas), dan seketika
sekujur badannya memancarkan cahaya keemasan. Toan
Hong Ya dan lainnya terbelalak. Di saat bersamaan mulailah
Toan Beng Kiat mempertunjukkan Kim Kong Cap Sah Ciang
(Tiga Belas Jurus Pukulan Cahaya Emas). Sepasang tangannya
berkelebat laksana kilat, dan memancarkan cahaya kekuningkuningan.
Betapa kagumnya Toan Hong Ya dan lainnya ketika
menyaksikan ilmu pukulan itu. Mereka terbelalak dengan
mulut ternganga lebar.
"Sungguh di luar dugaan!" bisik Toan Wie Kie kepada Lam
Kiong Bie Liong. "Kelihatannya kepandaian Beng Kiat jauh di
atas kita."
"Benar," Lam Kiong Bie Liong manggut-manggut. "Heran!
ilmu pukulan apa itu" Kok memancarkan cahaya kekuningkuningan?"
"Entahlah!" Toan Wie Kie menggelengkan kepala.
Sementara Gouw Sian Eng dan Toan Pit Lan menyaksikan
sambil manggut-manggUt, dan wajahnya pun tampak berseri.
Berselang beberapa saat, barulah Toan Beng Kiat berhenti,
dan kembali ke tempat duduknya.
Menyusul adalah giliran Lam Kiong Soat Lan
mempertunjukkan kepandaiannya, dengan mempertunjukkan
Kim Kong Cap Sah Ciang.
Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian menyaksikannya
sambil tersenyum-senyUm, mereka kelihatan gembira sekali.
Setelah Lam Kiong Soat Lan berhenti, Lam Kiong Bie Liong


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera bertanya sambil tertawa gembira.
"Soat Lan, ilmu pukulan apa itu?"
"Itu adalah ilmu pukulan Kim Kong Cap Sah Ciang," Lam
Kiong Soat Lan memberitahukan. "Ilmu simpanan guru kami."
"Oooh!" Lam Kiong Bie Liong manggut-manggut. "Oh ya,
kenapa kalian berdua tidak menggunakan senjata?"
"Kata guru, kami tidak perlu menggunakan pedang," jawab
Lam Kiong Soat Lan melanjutkan. "Sebab ilmu pukulan itu
dapat menangkis senjata apa pun."
"Oh?" Lam Kiong Siok Liong terbelalak. "Kalian tidak belajar
ilmu lain lagi kepada guru kalian?"
"Guru juga mengajar kami Thian Liong Kiam Hoat dan
Ciang Hoat," Lam Kiong Soat Lan memberitahukan. "Bahkan
juga mengajar kami berbagai macam ilmu pedang dan
pukulan." "Oooh!" Lam Kiong Bie Liong manggut-manggut.
"Kami belajarHud Bun Pan Yok Sin Kang," tambah Toan
Beng Kiat. "Setelah itu barulah belajar Kim Kong Sin Kang."
"Kata guru, apabila Kim Kong Sin Kang kami telah
mencapai tingkat teratas, maka kami pun tidak mempan
dibacok dan tidak takut racun apa pun," sambung Lam Kiong
Soat Lan. "Itu... itu adalah Kim Kong Put Huai," ujar Lam Kiong Bie
Liong terbelalak dan melanjutkan. "Sungguh beruntung kalian
memperoleh ilmu itu!"
"Ayah!" Lam Kiong Soat Lan bertanya sambil tersenyum.
"Tentunya Ayah tidak akan melarang kami ke Tionggoan,
bukan?" "Ya." Lam Kiong Bie Liong mengangguk.
"Ayah...." Toan Beng Kiat memandang ayahnya.
"Tentunya ayah juga tidak berkeberatan," sahut Toan Wie
Kie cepat. "Namun biar bagaimanapun, kami harus membekali
kalian masing-masing sebilah pedang."
"Terima kasih, Ayah!" ucap Toan Beng Kiat girang.
"Oh ya!" Lam Kiong Soat Lan teringat sesuatu dan
memberitahukan. "Guru tidak mengajar Kim Kong Sin Kang
dan Kim Kong Cap Sah Ciang pada Lie Man Chiu."
"Oh?" Lam Kiong Bie Liong dan Toan Wie Kie saling
memandang. "Kenapa begitu?"
"Kata guru, Lie Man Chiu...." Lam Kiong Soat Lan tertawa
kecil. "Maaf, aku telah melupakan apa yang dikatakan guru!"
"Beng Kiat, engkau ingat?" tanya Toan Wie Kie.
"Aku pun telah lupa, Ayah," jawab Toan Beng Kiat.
"Sudahlah!" Lam Kiong Bie Liong tersenyum. "Itu tidak
perlu diingat. Mulai sekarang kami akan menceritakan pada
kalian mengenai rimba persilatan, sebab sebulan kemudian,
kalian berdua akan berkecimpung dalam rimba persilatan
Tionggoan."
"Terima kasih, Ayah!" ucap Lam Kiong Soat Lan.
Sebulan kemudian, barulah Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lan berangkat ke Tionggoan menuju markas pusat Kay
Pang. -oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Bagian ke Lima belas
Bertemu ketua Tiong Ngie Pay
Setelah meninggalkan markas pusat Kay Pang, Tio Bun
Yang terus melanjutkan perjalanannya dengan tujuan mencari
pembunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.
Dua hari kemudian, di saat ia sedang melangkah perlahan
di jalan yang sepi, mendadak muncul beberapa orang, yang
kemudian memberi hormat kepadanya.
"Maaf!" ucap salah Seorang dan mereka dengan ramah.
"Kami telah mengganggu perjalananmu, Giok Siauw Sin Hiap!"
"Kalian...." Tio Bun Yang memandang mereka. "Ada urusan
apa?" "Ketua kami mengundang Anda ke markas!"
"Siapa ketua kalian?"
"Setelah bertemu, Anda pasti mengetahuinya. Kami adalah
anggota Tiong Ngie Pay."
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut.
"Harap Anda ikut kami!"
"Baik," Tio Bun Yang lalu mengikuti mereka.
Berselang beberapa saat kemudian, mereka sudah sampai
di suat? tempat yang sangat sepi, dan di sana tampak sebuah
bangunan tua berdiri kokoh.
"Harap Anda mengikuti langkah kami!" kata orang itu.
"Sebab di tempat ini telah dipasang berbagai macam jebakan."
"Ooooh!" Tio Bun Yang menengok ke sana ke mari. Ia
memang mengerti tentang jebakan, sebab Tio Cie Hiong,
ayahnya pernah memberitahukan kepadanya. Mendadak ia
mendengar suara seruan yang sambung menyambung.
"Giok Siauw Sin Hiap telah tiba! Giok Siauw Sin Hiap telah
tiba! Giok Siauw Sin Hiap telah tiba!"
Kemudian muncul beberapa orang tua, yang kemudian
menyambut Tio Bun Yang dengan hormat.
"Silakan masuk, Giok Siauw Sin Hiap!" ujar mereka
serentak. "Terima kasih!" Tio Bun Yang melangkah kedalam Ketika
sampai di ruang tengah, ia melihat seorang wanita duduk di
situ ia terbelalak dan berseru tak tertahan. "Bibi Suan Hiang!"
"Bun Yang." Yo Suan Hiang segera mendekatinya, "Giok
Siauw Sin Hiap ternyata adalah engkau, bahkan engkau pun
pernah menolong belasan anggotaku pula"
"Tidak salah dugaan kakekku," ujar Tio Bun Yang, "Ketua
Tiong Ngie Pay adalah Bibi"
"Bun Yang!" Yo Suan Hiang menatapnya dengan rasa
kagum "Tujuh tahun lebih bibi tidak melihatmu, sungguh tak
disangka kini engkau telah besar dan sangat tampan pula."
"Bibi "Wajah Tio Bun Yang kemerah-merahan
"Kauw-heng," tanya Yo Suan Hiang kepada monyet bulu
putih yang duduk di bahu Tio Bun Yang, "Apa kabar" Baik-baik
saja, bukan?"
Monyet bulu putih bercuit tiga kali sambil manggutmangggut.
"Oooh! Kauw-heng baik-baik saja!" ujar Yo Suan Hiang
sambil tersenyum, kemudian memperkenalkan orangorangnya
kepada Tio Bun Yang, "Mereka adalah Tan Ju Liang
wakil ketua Lim Cin An pelaksana hukum dan Cu Tiang Him
kepala para anggota Tiong Ngie Pay"
"Oooh!" Tio Bun Yang segera memberi hormat kepada
mereka, dan seketika mereka pun balas memberi hormat
kepadanya. "Perlu kalian ketahui, Bun Yang adalah putra kesayangan
Pek Ih Sin Hiap Tio Cie Hiong, sedangkan ibunya adalah putri
kesayangan Lim Peng Hang, ketua Kay Pang." Yo Suan Hiang
memberitahukan.
Betapa terkejutnya Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang
Him, dan mereka memandang Tio Bun Yang dengan mata
terbelalak. "Oh ya! Kalian pun harus memanggil Kauw-heng kepada
monyet bulu putih itu." Yo Suan Hiang memberitahukan lagi.
"Kauw heng telah berusia tiga ratusan tahun lho!"
"Haaah?" Mereka tersentak dengan mulut ternganga lebar.
"Monyet bulu putih itu sudah berusia tiga ratusan tahun?"
Monyet bulu putih segera manggut-manggut, tentunya
mencengangkan mereka.
"Ketua! Apakah Kauw-heng mengerti bahasa manusia?"
"Mengerti." Yo Suan Hiang mengangguk. "Bahkan
kepandaiannya pun sangat tinggi."
"Oh?" Mereka bertiga kelihatan kurang percaya.
"Aku tidak bohong," ujar Yo Suan Hiang sungguh-sungguh
dan menambahkan. "Kalian bertiga tidak mampu
melawannya."
"Benarkah begitu?" tanya Lim Cin An.
"Benar." Tio Bun Yang mengangguk. "Bibi Suan Hiang tidak
bohong, kauw-heng memang berkepandaian tinggi."
"Bukan main!" Lim Cin An menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh ya!" Yo Suan Hiang memandang Tio Bun Yang dengan
penuh perhatian seraya bertanya. "Bun Yang, bagaimana
kepandaianmu" tentunya sudah tinggi sekali, bukan?"
"Lumayan," sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum dan
memberitahukan. "Aku berlatih lweekang dua tahun di
Gunung Thian San bersama kauw-heng."
"Kalau begitu, lweekangmu pasti sudab mencapai tingkat
tinggi, bukan?" tanya Yo Suan Hiang.
"Cukup lumayan," jawab Tio Bun Yang merendah.
"Bun Yang!" Yo Suan Hiang tersenyum. "Agar mereka
bertiga tidak merasa ragu, sudikah engkau mempertunjukkan
sedikit kepandaianmu?"
"Bun Yang," desak Yo Suan Hiang. "Jangan menolak!"
"Baiklah," Tio Bun Yang mengangguk. "Kauw-heng, engkau
turun dulu! Aku terpaksa harus mempertunjukkan sedikit
kepandaianku."
Monyet bulu putih manggut-manggut, lalu meloncat ke atas
meja. Sedangkan Tio Bun Yang berjalan ke tengah-tengah
ruangan, kemudian duduk bersila sambil memejamkan
matanya. Itu membuat Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him
saling memandang. Sedangkan Yo Suan Hiang tersenyumsenyum.
karena tahu Tio Bun Yang akan mempertunjukkan
lweekangnya. Berselang beberapa saat kemudian, mendadak badan Tio
Bun Yang melambung ke atas dalam keadaan bersila. Itu
sungguh mengejutkan Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang
Him. Yo Suan Hiang pun terbelalak menyaksikannya, karena
sama sekali tidak menyangka kalau lweekang Tio Bun Yang
telah mencapai tingkat yang begitu tinggi.
Sementara monyet bulu putih pun menyaksikannya dengan
penuh perhatian, setelah itu ia mengambil dua buah cangkir
dan atas meja, lalu disambitnya ke arah Tio Bun Yang.
Perbuatan monyet bulu putih itu tentunya mengejutkan
Semua orang. Yo Suan Hiang ingin mencegah, tapi sudah
terlambat. Dua buah cangkir itu meluncur secepat kilat ke arah Tio
Bun Yang yang berhenti di udara, akan tetapi terjadilah suatu
keanehan. Mendadak kedua buah cangkir itu berhenti, lalu
berbalik menyambar ke arah monyet bulu putih. Segeralah
monyet bulu putih menangkap kedua buah cangkir itu,
sekaligus ditaruhnya di atas meja, kemudian bertepuk-tepuk
tangan. Apa yang terjadi barusan, sungguh membuat kagum yang
menyaksikannya. Yo Suan Hiang pun terbelalak, karena tidak
menyangka lweekang Tio Bun Yang telah menyamai lweekang
ayahnya, Tio Cie Hiong.
Tiba-tiba badan Tio Bun Yang berputar, dan makin lama
makin cepat sehingga membuat mata semua orang jadi
berkunang-kunang. Bahkan mereka pun mendengar suara
yang menderu-deru.
Berselang sesaat, badan Tio Bun Yang berhenti berputar,
lalu, melayang turun dalam keadaan tetap bersila.
Setelah menyentuh lantai, barulah Tio Bun Yang membuka
matanya, dan kemudian sambil tersenyum ia kembali ke
tempat duduknya.
Suasana di ruangan itu berubah menjadi hening seketika.
Mulut Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him ternganga
lebar saking kagumnya, dan mereka pun tidak tahu harus
bagaimana memujinya.
"Bun Yang...." Yo Suan Hiang menatapnya terbelalak. "Bibi
tidak menyangka lweekangmu telah mencapai tingkat setinggi
itu?" "Itu berkat latihanku di Gunung Thian San," Tio Bun Yang
memberitahukan. "Bahkan aku pun telah memakan buah ajaib
pemberian kauw-heng."
"Oooh!" Yo Suan Hiang manggut-manggut. "Kalau begitu,
buah ajaib itu pasti berkhasiat menambah lweekangmu!"
"Ya," Tio Bun Yang mengangguk.
"Oh ya!" tanya Yo Suan Hiang. "Bagaimana keadaan di
Hong Hoang To?"
"Bibi Suan Hiang," j?wab Tio Bun Yang. "Aku belum pulang
ke sana, namun... tujuh tahun yang lalu Paman Man Chiu
meninggalkan anak isterinya."
"Apa?" Bukan main terkejutnya Yo Suan Hiang. "Kenapa
Man Chiu meninggalkan anak isterinya?"
"Kata ayah, dia ingin mengangkat namanya dirimba
persilatan," Tio Bun Yang memberitahukan dan bertanya.
"Apakah Bibi pernah mendengar tentang dirinya?"
"Tidak pernah," Yo Suan Hiang menggelengkan kepala.
"Heran!" gumam Tio Bun Yang."Paman Man Chiu berada di
mana" Kenapa tiada kabar beritanya sama sekali?"
"Mungkinkah dia tidak datang di Tionggoan?" sahut Yo
Suan Hiang. "Tidak mungkin." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Sebab Paman Man Chiu berambisi mengangkat
namanya di rimba persilatan, tentunya harus berada di
Tionggoan."
"Benar," Yo Suan Hiang manggut-manggut, kemudian
menghela nafas panjang. "Sungguh tak disangka, hanya
karena ingin mengangkat nama, Man Chiu begitu tega
meninggalkan anak isterinya! Padahal dia murid Tayli Lo Ceng
yang sakti, namun...."
"Bibi Suan Hiang!" Tio Bun Yang tersenyum. "Murid dewa
pun masih bisa berubah jahat, itu bergantung pada sifat dan
watak seseorang, jadi tiada kaitannya dengan guru?"
"Ngmm!" Yo Suan Hiang manggut-manggut lagi. "Benar
juga apa yang kau katakan. Seandainya engkau berubah
jahat, itu pun tiada kaitannya dengan kedua orang tuamu"
"Benar." Tio Bun Yang tersenyum, kemudian teringat akan
suatu hal. "Oh ya! Mungkin Bibi belum tahu, kalau Tui Hun
Lojin dan Lam Kiong hujin telah mati."
"Apa"!" Betapa terkejutnya Yo Suan Hiang. "Bagaimana
mereka mati" Apakah...."
"Mereka mati dibunuh." Tio Bun Yang memberitahukan.
"Kakek yang menceritakan kepadaku, karena anggota Kay
Pang yang menemukan mayat mereka,"
"Siapa yang membunuh mereka?"
"Aku justru sedang menyelidiknya. Tui Hun Lojin dan Lam
Kiong hujin mati dengan sekujur badan hangus. Itu bukan
dibakar, melainkan terkena semacam ilmu pukulan yang
mengandung api?"
"Siapa yang memiliki ilmu pukulan itu?" gumam Yo Suan


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hiang. "Padahal Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin
berkepandaian tinggi, tidak gampang membunuh mereka
berdua?" "Itu membuktikan bahwa kepandaian pembunuh itu sangat
tinggi," ujar Tio Bun Yang dan bertanya. "Apakah Bibi tahu
mengenai pukulan itu?"
"Sama sekali tidak tahu" Yo Suan Hiang menggelengkan
kepala. "Bun Yang, mungkin agak sulit menyelidiki pembunuh
itu." "Aku yakin, pembunuh itu pasti akan muncul," ujar Tio Bun
Yang "Oh ya, kakek Gouw memberitahukan bahwa putera
Paman Toan dan putri Paman Lam Kiong telah diangkat murid
oleh Tayli Lo Ceng"
"Oh" Kalau begitu sungguh beruntung putra Toan Wie Kie
dan putri Lam Kiong The Liong itu?"
"Ya," Tio Bun Yang mengangguk "Mereka memang
beruntung Bibi Suan Hiang, sudah berapa lama Tiong Ngie Pay
ini didirikan?"
"Kurang lebih tujuh tahun."
"Bagaimana keadaannya sekarang" Apakah sudah maju
pesat?" "Memang telah maju." Yo Suan Hiang tersenyum, "Ketika
baru berdiri, Tiong Ngie Pay ini cuma beranggotakan dua
puluhan orang, tetapi kini sudah mencapai hampir seratus,
dan setiap orang yang ingin bergabung jadi anggota, pasti
diseleksi dan diselidiki asal-usulnya."
"Oh! Mema?g harus begitu."
"Tapi "Yo Suan Hiang menggeleng-gelengkan kepala.
"Belum lama ini telah terjadi sesuatu dalam Tiong Ngie Pay."
"Apa yang tel?h terjadi" tanya Tio Bun Yang heran.
"Sudah belasan anggotaku mati secara aneh. Itu
membuatku tidak habis berpikir." Yo Suan Hiang menghela
nafas panjang. "Mereka mati dalam tugas atau mati. di markas ini?"
"Mati di markas."
"Kalau begitu..." ujar Tio Bun Yang dengan kening
berkerut. "Sudah pasti ada orang-orang tertentu menyusup di
dalam Tiong Ngie Pay"
"Benar." Yo Suan Hiang mengangguk. "Namun tiada
seorang pun yang mencurigakan."
Tio Bun Yang berpikir, sejenak kemudian membuka mulut
sambil tersenyum.
"Bibi Suan Hiang, aku bisa membantu dalam hal ini."
"Oh?" Yo Suan Hiang menatapnya seraya bertanya.
"Betulkah engkau bisa membantu dalam hal ini?"
"Ya." Tio Bun Yang tersenyum.
"Bagaimana caranya?" Yo Suan Hiang tampak agak ragu.
"Bibi harus mengumpulkan semua anggota, setelah itu Bibi
akan mengetahuinya," jawab Tio Bun Yang dan tersenyum
lagi. "Pasti ada kejutan nanti"
"Baiklah" Yo Suan Hiang memandang Tan J? Liang.
"Paman, perintahkan semua anggota berkumpul di sini"
"Ya, Ketua." Tan Ju Liang mengangguk, kemudia? berkata
kepada Cu Tiang Him. "Tiang Him, cepatlah perintahkan
semua anggota berkumpul di sini!"
"Ya, Guru." Cu Tiang Him segera melangkah pergi. Tak
lama kemudian ia telah balik dan memberi hormat kepada Yo
Suan Hiang seraya berkata. "Ketua, dalam wakt? singkat
semua anggota akan berkumpul di sini."
"Terima kasih," sahut Yo Suan Hiang sambil manggutmanggut.
Berselang sesaat, mulailah para anggota itu berkumpul di
ruang itu, dan setelah semuanya berkumpul, Yo Suan Hiang
berkata. "Bun Yang, semua anggota telah berkumpul di sini."
Tio Bun Yang manggut-manggut, lalu berkata kepada
monyet bulu putih. "Kauw-heng, di antara para anggota itu
terdapat orang jahat Engkau harus mencari orang jahat itu"
Monyet bulu putih mengangguk, kemudian melesat ke arah
para anggota Tiong Ngie Pay itu.
"Bun Yang, apakah kauw heng dapat diandalkan?" tanya Yo
Suan Hiang sambil menatapnya
S?mentara Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him
saling memandang, kelihatannya mereka ragu sekali terhadap
monyet bulu putih.
"Bibi Suan Hiang," sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Tentunya Bibi tahu, kauW-heng memiliki naluri yang kuat
sekali." "Benar," Yo Suan Hiang manggut~manggut.
"Mudah~mUdahan kauw ~eng dapat mengetahui mata-mata
itu!" "Percayalah! Kauw-heng memiliki kemampuan itu."
Mendadak terjadi sedikit kekacauan pada para anggota
Tiong Ngie Pay. Ternyata monyet bulu putih itu menyeret dua
orang ke hadapan Tio Bun Yang. Kedua orang itU tidak bisa
bergerak, karena jalan darah mereka telah tertotok oleh
monyet bulu putih.
Setelah berada di hadapan Tio Bun Yang, monyet bulu
putih bercuit-cuit sambil menggerak-gerakkan sepasang
tangannya. "Ngmmm!" Tio Bun Yang manggut-manggut setelah itu
berkata kepada Yo Suan Hiang. "Mereka berdua adalah matamata."
"Oh?" Yo Suan Hiang mengerutkan kening. "Kita tidak
punya bukti, kalau langsung menghukumnya, tentunya para
anggota lain akan merasa tidak puas."
"Betul. Tapi bukankah Bibi boleh bertanya kepada mereka?"
sahut Tio Bun Yang tidak ragu terhadap monyet bulu putih itu.
"Kalian berdua!" bentak Yo Suan Hiang. "Lebih baik kalian
mengaku!" "Itu adalah monyet sialan, sembarangan menuduh kami!"
sahut kedua orang itu. Walau tidak bisa bergerak tapi mereka
tetap bisa berbicara.
"Tiang Him!" tanya Yo Suan Hiang. "Sudah berapa lama
mereka berdua bergabung disini jadi anggota Tiong Ngie
Pay?" "Baru satu bulan, Ketua." Cu Tiang Him memberitahukan.
"Mereka berdua berasal dan mana?"
"Dari ibu kota."
"Siapa yang mengajak mereka bergabung disini?"
"Mereka datang sendiri."
"Nama mereka?"
"Lim Cih Song dan Lie Bok Weng."
"Ngmmm!" Yo Suan Hiang manggut-manggut, kemudian
memandang kedua orang itu. "Jadi kalian masih tidak mau
mengaku?" "Ketua," sahut Lim Cih Song. "Kami berdua telah
bersumpah setia terhadap Tiong Ngie Pay, bagaimana
mungkin kami adalah mata-mata?"
Yo Suan Hiang mengerutkan kening, dan memandang Tio
Bun Yang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Bun Yang," ujarnya. "Tiada bukti, maka tidak bisa
menuduh mereka mata-mata."
"Benar." Tio Bun Yang tersenyum. "Tapi aku dapat
membuat mereka mengaku."
"Oh?" Yo Suan Hiang kurang percaya. "Bagaimana
caranya?" "Tentunya aku mempunyai cara untuk membuat mereka
mengaku," Tio Bun Yang tersenyum lagi, kemudian menatap
kedua orang itu dengan tajam, dan makin lama makin tajam.
Ternyata Tio Bun Yang mengerahkan ilmu Penakiuk Iblis.
Kedua orang itu terus memandang Tio Bun Yang. Berselang
sesaat mereka mulai terpengaruh, sehingga membuat pikiran
mereka tak terkendalikan.
"Kalian berdua harus menjawab dengan jujur," ujar Tio Bun
Yang dengan suara berwibawa.
"Ya." Kedua orang itu mengangguk.
"Sebetulnya siapa kalian berdua" Jawablah dengan jujur!"
Tio Bun Yang terus menatap mereka.
"Kami berdua memang dan ibu kota, kami berdua adalah
anggota Hiat Ih Hwe, yang mengutus kami ke mari adalah Gak
Cong Heng, kepala para anggota Hiat Ih Hwe."
"Kenapa Gak Cong Heng mengutus kalian kemari?"
"Untuk membunuh para anggota Tiong Ngie Pay secara
diam-diam, agar para anggota Tiong Ngie Pay saling
mencurigai dan terpecah belah."
"Kalian menjawab dengan jujur?"
"Kami menjawab dengan Jujur," sahut Lim Cih Song dan
menambahkan, "Semua anggota Hiat Ih Hwe pasti
mempunyai sebuah tanda merah dilengan"
"Pelihatkan tanda itu!"
"Ya," Lim Cih Song dan Lie Bok Weng mengangguk, lalu
menyingkap lengan baju masing-masing memperlihatkan
tanda merah. "Terima kasih, karena kalian berdua telah menjawab
dengan jujur, "Tio Bun Yang tersenyum sambil menarik nafas
dalam-dalam membuyarkan ilmu Penakiuk Iblis
Seketika Lim Cih Song dan Lie Bok Weng tersentak sadar,
lalu memandang Yo Suan Hiang seraya berkata
"Ketua, kami adalah anggota Tiong Ngie Pay yang setia,
harap Ketua melepaskan kami."
"Benarkah kahan berdua sangat setia terhadap Tiong Ngie
Pay7" tanya Yo Suan Hiang dingin
"Benar," Lim Cih Song dan Lie Bok Weng mengangguk
"Ehmm!" dengus Yo Suan Hiang, "Aku sudah tahu, kalian
berdua adalah anggota Hiat Ih Hwe!"
"Bukan, bukan..." Wajah mereka berdua tampak berubah.
"Masih tidak mau mengaku?" bentak Yo Suan Hiang
"Bukankah Gak Cong Heng yang mengutus kalian kemari?"
"Bu... bukan."
"Kalian masih tidak mau mengaku?" Yo Suan Hiang tampak
gusar sekali. "Lebih baik kalian mengaku saja. Mungkin aku
akan mengampuni nyawa kalian!"
"Ketua, kami memang bukan anggota Hiat Ih Hwe."
"Oh?" Yo Suan hang tertawa dingin. "Bukankah di lengan
kalian terdapat sebuah tanda merah" Nah, tanda apa itu?"
"Itu... itu adalah...." kedua orang itu tergagap.
"Ketua," ujar Tan Ju Liang. "Kalau mereka masih tidak mau
mengaku, lebih baik kita siksa saja"
"Ketua," sambung Lim Cin An. "Mereka memang harus
disiksa." "Bagaimana cara menyiksa mereka?" tanya Yo Suan Hiang.
"Lengan dan kaki mereka harus dipotong," sahut Lim Cin
An dan menambahkan. "Sepasang mata mereka pun harus
dicungkil keluar"
"Kalian berani?" bentak Lim Cih Song tanpa sadar. "Ketua
kami pasti ke mari membasmi kalian!"
"Nah, engkau sudah mengaku kan?" ujar Yo Suan Hiang
sambil tersenyum.
"Haaah..."! Betapa terkejutnya Lim Cih Song, ia menghela
nafas panjang seraya berkata. "Tidak salah, kami memang
anggota Hiat Ih Hwe yang diutus kemari. Kami berdua telah
berada ditangan kalian, silakan menghukum kami!"
"Bagus!"~ Yo Suan Hiang manggut-manggut. "Paman Lim,
harus dengan cara apa menghukum mereka"
"Sesuai dengan peraturan yang berlaku di sini, maka
mereka harus dihukum dengan cara mengutungkan sebelah
lengan mereka," jawab Lim Cin An memberitahukan sungguhsungguh.
"Laksanakan!" Yo Suan Hiang memberi perintah.
"Ya, Ketua," sahut Lim Cin An sambil mengangguk.
"Tunggu!" ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Tidak
perlu dengan cara itu, biar aku yang menghukum mereka."
"Silakan!" sahut Yo Suan Hiang.
"Kauw-heng," ujar Tio Bun Yang. "Musnahkan kepandaian
mereka!" Monyet bulu putih mengangguk, lalu bergerak cepat
memusnahkan kepandaian kedua orang itu.
"Aaakh! Aaaaakh..." jerit mereka dengan mulut
mengeluarkan darah.
"Kauw-heng, bebaskan totokan mereka!" ujar Tio Bun Yang
lagi. Monyet bulu putih menurut dan langsung membebaskan
jalan darah mereka yang tertotok itu, lalu meloncat ke atas
bahu Tio Bun Yang.
"Giok Siauw Sin Hiap!" bentak Lim Cih Song penuh
dendam. "Tunggu pembalasan dari ketua kami!"
"Oh?" Tio Bun Yang tersenyum. "Jadi kalian masih ingin
kembali ke markas Hiat Ih Hwe?"
"Ya," Lim Cih Song dan Lie Bok Weng mengangguk.
"Menurutku...." Tio Bun Yang menatap mereka sambil
melanjutkan. "Lebih baik kalian jangan kembali ke sana."
"Kenapa?"
"Mungkin ketua Hiat Ih Hwe akan membunuh kalian."
"Itu...." Lim Cih Song dan Lie Bok Weng saling memandang
dengan wajah muram. Kini kepandaian mereka telah musnah,
berarti sudah tiada gunanya bagi Hiat Ih Hwe, maka
kemungkinan besar ketua Hiat Ih Hwe akan membunuh
mereka. "Lebih baik kalian hidup tenang di tempat yang sepi, jangan
kembali ke markas Hiat Ih Hwe."
"Baiklah. Kami akan ke tempat yang sepi," ujar Lim Cih
Song. "Terima kasih atas kemurahan
hatimu tidak membunuh kami!"
"Kalian berdua boleh pergi sekarang," ujar Tio Bun Yang
sambil mengibaskan tangannya, agar mereka segera pergi.
Kedua orang tersebut segera meninggalkan ruang itu.
Seketika Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him
memandang Tio Bun Yang dengan kagum.
"Giok Siauw Sin Hiap, apakah tadi engkau menggunakan
ilmu hipnotis atau semacam ilmu sihir?" tanya Tan Ju Liang.
"Bukan," Tio Bun Yang memberitahukan. "Itu adalah Ilmu
Penakluk Iblis, yang justru merupakan ilmu penangkal bagi
ilmu hipnotis atau ilmu sihir lainnya."
"Oooh!" Tan Ju Liang manggut-manggut. "Giok Siauw Sin
Hiap, engkau memang hebat sekali!"
"Tidak juga," Tio Bun Yang merendah.
"Bun Yang, ayahmu yang mengajar ilmu itu kepadamu?"
tanya Yo Suan Hiang sambil memandangnya.
"Ya," Tio Bun Yang mengangguk dan menambahkan.
"Bahkan aku juga sudah mahir ilmu pengobatan.
"Bukan main!" Yo Suan Hiang menghela nafas panjang.
"Padahal usiamu baru tujuh belas, namun kepandaianmu itu


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah begitu tinggi dan mahir ilmu pengobatan pula."
"Kalau mau belajar dengan sungguh-sungguh, tentu akan
mencapai kesuksesan," ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Tapi harus mempunyai bakat juga," sahut Yo Suan Hiang
dan tertawa. "Ketua," ujar Tan Ju Liang mendadak. "Kita harus
mengadakan pesta untuk menjamu Giok Siauw Sin Hiap."
"Benar," Yo Suan Hang manggut-manggut "Kita memang
harus mengadakan pesta"
"Bibi Suan Hiang," potong Tio Bun Yang cepat. "Itu tidak
perlu, cukup kita bersulang bersama saja."
"Bun Yang..."
"Bibi Suan Hiang!" Bun Yang tersenyum, "Jangan
menghambur-hamburkan uang, karena Tiong Ngie Pay sangat
membutuhkan biaya"
"Baiklah," Yo Suan Hiang mengangguk "Mari kita bersulang
bersama saja!"
Cu Tiang Him segera menyuruh beberapa orang
menyuguhkan arak wangi Mereka lalu bersulang bersama, dan
monyet bulu putih juga ikut minum.
Beberapa hari kemudian, barulah Tio Bun Yang
meninggalkan markas Tiong Ngie Pay. Ia melanjutkan
perjalanannya tanpa arah, namun mempunyai tujuan tertentu
yakni mencari jejak pembunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong
hujin -oo0dw0oo- Tio Bun Yang terus melanjutkan perjalanan. Dua hari
kemudian ketika ta melewati jalan yang sepi, mendadak ia
melihat beberapa orang berpakaian merah sedang mengurung
sebuah kereta kuda.
segeralah Ia melesat ke sana, ternyata mereka adalah para
anggota Hiat Ih Hwe, yang sedang berusaha membunuh
orang yang ada di dalam kereta itu.
"Berhenti!" bentak Tio Bun Yang.
"Haah...?" Terkejutlah para anggota Hiat Ih Hwe itu. "Giok
Siauw Sin Hiap...."
"Cepatlah kalian enyah!" bentak Tio Bun Yang lagi.
"Giok Siauw Sin Hiap!" Salah seorang dan mereka
menatapnya. "Kenapa engkau selalu menentang kami?"
"Aku tidak menentang kalian, melainkan menentang
kejahatan!" sahut Tio Bun Yang. "Ayoh, cepatlah kalian enyah
dan sini!"
"Hm!" dengus orang itu lalu berseru. "Mari kita serang dia!"
Para anggota Hiat Ih Hwe itu langsung menyerang Tio Bun
Yang, sementara orang yang didalam kereta memberanikan
diri mengintip keluar. Siapa yang berada di dalam kereta itu"
Ternyata Tan Tayjin bersama isteri dan putrinya.
Tio Bun Yang bersiul panjang. Badannya bergerak laksana
kilat kemudian hilang dan pandangan para Hiat Ih Hwe.
"Eeeh?" mereka tercengang. "Kemana dia?"
"Aku berada di belakang kalian!" sahut Tio Bun Yang sambil
tersenyum, sekaligus mengeluarkan suling pualamnya.
Betapa terkejutnya para Hiat Ih Hwe itu. Namun walau
terkejut, mereka tetap menyerangnya. Di saat bersamaan, Tio
Bun Yang menggerakkan suling pualamnya. Tampak suling
pualam itu berkelebat ke sana ke mari secepat kilat, dan
seketika terdengar suara jeritan. Para anggota Hiat Ih Hwe itu
telah terkapar dengan mulut mengeluarkan darah segar.
Ternyata Tio Bun Yang menggunakan ilmu Giok Siauw Bit
Ciat Kang Khi (Ilmu Suling Kumala Pemusnah Kepandaian),
mengeluarkan jurus San Pang Te Liak (Gunung Runtuh Bumi
Retak). "Aduuuh! Aduuuh...!" Para anggota Hiat Ih Hwe itu
merintih-rintih.
"Hm!" dengus Tio Bun Yang. "Aku tidak akan membunuh
kalian, hanya memusnahkan kepandaian kalian saja. Ayoh,
cepatlah kalian enyah dari sini!"
Para anggota Hiat Ih Hwe itu berjalan pergi dengan
sempoyongan. Di saat bersamaan, Tan Tayjin turun dan
kereta, kemudian memberi hormat kepada Tio Bun Yang.
"Terima kasih, siauw-hiap!" ucapnya.
"Tidak usah mengucapkan terima kasih, Paman." Tio Bun
Yang tersenyum. Senyumannya itu membuat Tan Giok Lan
yang baru turun dan kereta menjadi terpukau.
"Mari kuperkenalkan!" ujar Tan Tayjin sambil menunjuk
Tan Giok Lan. "Dia adalah putriku bernama Tan Giok Lan,
yang di dalam kereta adalah isteriku."
"Nona Giok Lan!" Tio Bun Yang segera memberi hormat.
"Siauw-hiap." Tan Giok Lan balas memberi hormat dengan
wajah kemerah-merahan. "Jangan memanggilku nona, panggil
saja namaku!"
-oo0dw0oo- Jilid 4 "Ha ha-ha!" Tan Tayjin tertawa "Oh ya, bolehkah kami tahu
nama Siauw-hiap?"
"Namaku Tio Bun Yang."
"Ternyata Tio siauw hiap!" Tan Tayjin manggut-manggut.
"Engkau masih muda, tapi sudah berkepandaian tinggi.
Sungguh mengagumkan!"
"Maaf, Paman!" Tio Bun Yang memandangnya seraya
bertanya. "Sebetulnya siapa Paman, kenapa pihak Hiat Ih Hwe
ingin membunuh Paman?"
"Namaku Tan Thiam Song, mantan pembesar di kota Keng
Ciu." Tan Thiam Song memberitahukan sambil menghela nafas
panjang dan melanjutkan. "K?rena itu, pihak Hiat Ih Hwe
berusaha membunuhku."
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggUt. "Ternyata
Paman mantan pembesar yang jujur, adil dan bijaksana!"
"Aaaah!" Tan Thiam Song menghela nafas lagi. "Aku telah
mengundurkan diri dan jabatan, tapi Lu Thay Kam masih tidak
mau melepaskan diriku."
"Sekarang Paman mau ke mana?"
"Mau pulang ke kampung."
"Kira-kira kapan akan sampai di sana?"
"Mungkin sore ini. Oh ya, Tio siauw-hiap mau kemana?"
"Aku sedang mengembara, jadi tiada arah yang tetap,"
jawab Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Kalau begitu...." Tan Thiam Song menatapnya.
"Bagaimana kalau Tio siauw-hiap ikut kekampungku?"
Tio Bun Yang berpikir sejenak, lalu mengangguk.
"Baiklah."
"Terima kasih, Tio siauw-hiap!" ucap Tan Thiam Song.
Yang paling gembira adalah Tan Giok Lan. Wajahnya
tampak berseri-seri. Maklum Tio Bun Yang merupakan
pemuda yang sangat tampan, gadis mana yang tidak akan
tertarik padanya"
Mereka melanjutkan perjalanan bersama, namun Tio Bun
Yang berlari cepat di sisi kereta kuda itu. Ia tidak mau duduk
di dalam kereta karena merasa tidak enak.
Kusir kereta itu kagum sekali, kemudian mendadak ia
mencambuk kudanya agar berlari lebih cepat.
Kuda tersebut meringkik lalu berlari kencang sekali. Kusir
itu tertawa dalam hati karena yakin bahwa Tio Bun Yang pasti
ketinggalan. Ia menoleh ke belakang, dan seketika juga
terbelalak, karena Tio Bun Yang masih tetap berlari cepat
laksana kilat di sisi kereta itu Bukan main kagumnya kusir
tersebut. Sementara Tan Thiam Song sekeluarga yang duduk di
dalam kereta, juga mengintip keluar. Mereka tahu kusir itu
mencambuk kudanya agar berlari lebih kencang, namun Tio
Bun Yang tetap berlari di sisi kereta, maka mereka semakin
kagum. "Bukan main!" Tan Thiam Song menggeleng-gelengkan
kepala. "Kepandaian pemuda itu masih jauh di atas
kepandaian kedua gadis yang pernah menyelamatkan
nyawaku!" "Ayah, dia masih begitu muda, tapi kenapa kepandaiannya
sudah begitu tinggi?" tanya Tan Giok Lan.
"Ayah mana tahu" Lebih baik nanti engkau bertanya
kepadanya," sahut Tan Thiam Song sambil tersenyum.
"Pemuda itu...~" ujar Nyonya Tan dengan suara rendah.
"Sungguh tampan sekali, bahkan juga sopan, ramah dan halus
gerak geriknya."
"Benar," Tan Thiam Song mengangguk. "Sulit ketemu
pemuda lain yang seperti dia."
"Rasanya senang sekali...." ujar Nyonya Tan sambil melirik
putrinya. "Apabila Giok Lan menjadi jodohnya."
"Ibu...." Wajah Tan Giok Lan langsung memerah, namun
bergirang dalam hati, karena ibunya mengatakan begitu.
"Memang!" Tan Thiam Song manggut-manggut. "Tapi
kelihatannya dia lebih muda dan Giok Lan."
"Tidak jadi masalah," sahut Nyonya Tan.
"Kita tidak bisa memaksa, bagaimana jodoh putri kita saja,"
ujar Tan Thiam Song sungguh-sungguh.
"Mudah-mudahan dia tertarik kepada putri kita!" kata
Nyonya Tan sambil mengintip ke luar. Dilihatnya Tio Bun Yang
berlari di sisi kereta sambil tersenyum-senyum, sama sekali
tidak kelihatan lelah. "Bukan main!"
-oo0dw0oo- Ketika hari mulai sore, sampailah mereka dikampung yang
dituju. Kereta kuda itu berhenti di depan sebuah rumah yang
cukup besar tapi sederhana, dan Tio Bun Yang juga berhenti.
Tan Thiam Song turun, disusul oleh Nyonya Tan dan
putrinya. Pada saat bersamaan, tampak beberapa orang
berhambur ke luar dari rumah itu.
"Tuan besar, Nyonya besar dan Nona sudah pulang!" seru
mereka gembira.
"Paman," ujar Tio Bun Yang. "Kini Paman telah sampai di
rumah, maka aku mau mohon pamit."
"Biar bagaimana pun Tio siauw-hiap harus mampir dulu!"
sahut Tan Thiam Song memaksa.
Tio Bun Yang berpikir sejenak lalu mengangguk. "Baiklah."
"Ha ha-ha!" Tan Thiam Song tertawa gembira. Tan Giok
Lan menarik nafas lega, sedangkan Nyonya Tan tersenyumsenyum
sambil melirik putrinya.
Tan Thiam Song mengajak Tio Bun Yang kedalam,
kemudian mereka duduk di ruang depan dan para pelayan
segera menyuguhkan minuman.
"Silakan minum, Tio siauw-hiap!" ucap Tan Thiam Song.
"Terima kasih?" sahut Tio Bun Yang lalu menghirup teh
yang masih hangat Sementara entah sudah berapa kali Tan
Giok Lan meliriknya, tapi Tio Bun Yang tidak tahu sama sekali,
membuat gadis itu agak kecewa.
"Tio siauw-hiap...."
"Paman," potong Tio Bun Yang. "Jangan memanggilku
siauw-hiap, lebih baik panggil namaku saja."
"Baiklah." Tan Thiam Song manggut-manggut sambil
tersenyum. "Oh ya, engkau berasal dari mana?"
"Pulau Hong Hoang To." Tio Bun Yang memberitahukan.
"Pulau Hong Hoang To?" Tan Thiam Song saling
memandang dengan isteri dan putrinya. "Rasanya aku pernah
dengar nama pulau itu."
"Oh?" Tio Bun Yang tercengang.
"Aku ingat, Ayah," ujar Tan Giok Lan. "Bukankah kedua
gadis itu datang dan pulau Hong Hoang To?"
"Maksudmu Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling?" tanya
Tan Thiam Song.
"Benar," Tan Giok Lan mengangguk.
"Lie Ai Ling" Lie Ai Ling...?" gumam Tio Bun Yang dengan
kening berkerut-kerut.
"Bun Yang!" Tan Thiam Song menatapnya seraya bertanya.
"Apakah engkau kenal mereka?"
"Aku kenal Lie Ai Ling." Tio Bun Yang memberitahukan "Dia
adikku." "Adikmu?" Tan Thiam Song terbelalak. "Tentunya bukan
adik kandung kan?"
"Benar. Tapi kami boleh dikatakan kakak beradik kandung."
Tio Bun Yang tersenyum. "Dia putri bibiku."
Kuda Putih 3 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Sepasang Pedang Iblis 11
^