Pendekar Sakti Suling Pualam 7

Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 7


kepala. "Jangan membohongiku, itu tidak baik lho!"
"Aku tidak membohongimu"
"Soat Lan, aku tahu"
"Tahu apa?"
"Engkau sangat tertarik kepada Kam Hay Thian, namun
pemuda itu tidak begitu menaruh perhatian kepadamu,
bahkan mendekati Siang Koan Goat Nio."
"Ai Ling! Engkau...."
"Semua itu tidak terlepas dan mataku," Lie Ai Ling
menghela nafas panjang dan melanjutkan. "Kelihatannya Lu
Hui San pun tertarik kepada Kam Hay Thian, itu cukup
mencemaskanku"
"Ai Ling...." Lam Kiong Soat Lan memandangnya.
"Kita semua adalah kawan baik yang harus bersatu dan
bahu-membahu. Jangan dikarenakan urusan ini kita menjadi
terpecah belah," ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh.
"Aku tahu itu...." Lam Kiong Soat Lan tersenyum "Kita
semua tidak akan terpecah belah, percayalah!"
"Syukurlah kalau begitu!" Lie Ai Ling manggut-manggut
"Kita semua pun harus ingat akan satu hal."
"Hal apa?"
"Cinta tidak bisa dipaksa dan tidak boleh sepihak, sebab itu
akan menimbulkan penderitaan."
"Heran?" ujar Lain Kiong Soat Lan seakan bergumam.
"Engkau bersifat periang dan lincah, tapi Justru berpikiran
begitu jauh dan cermat"
"Kakak Bun Yang selalu menasihatiku," Lie Ai Ling
memberitahukan sambil tersenyum "Aku sangat
menghormatinya, sebab dia adalah pemuda yang sangat
baik." "Maksudmu anak Paman Cie Hiong?"
"Betul" Lie Ai Ling mengangguk dan menambahkan. "Terus
terang, di? dan Siang Koan Goat Nio merupakan pasangan
yang serasi."
"Mereka berdua sudah bertemu?"
"Belum"
"Kalau belum, dari mana engkau tahu bahwa mereka
berdua merupakan pasangan yang serasi?"
"Kakak Bun Yang sangat baik, penuh pengertian dan
berperasaan halus, juga berhati bajik. Sedangkan Siang Koan
Goat Nio lemah lembut, cantik manis dan berpengertian pula.
Oleh karena itu, ak? yakin bahwa mereka berdua merupakan
pasangan yang serasi."
"Ooooh!" Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut dan
berkata. "Engkau besar bersama dia, kenapa engkau tidak
mencintainya?"
"Aku sangat mencintainya, tapi itu merupakan cinta
terhadap seorang kakak, bukan terhadap seorang kekasih."
Lie Ai Ling tersenyum. "Lagi pula aku tahu diri, maka tidak
berani memikirkan itu. Apabila aku berpikir begitu, tentu akan
membuat diriku menderita sekali."
"Ai Ling!" Lam Kiong Soat Lan menatapnya kagum, "Engkau
sungguh luar biasa sekali?"
"Tidak juga," Lie Ai Ling tersenyum dan menambahkan.
"Kalau kita tahu itu akan membuat kita menderita, kenapa
masih mau memikirkannya, bukan?"
"Betul, betul." Lam Kiong Soat Lan tersenyum.
"Terimakasih atas petunjukmu yang sangat berharga ini!"
"Seharusnya engkau berterimakasih kepada kakak Bun
Yang, sebab dia sering memberi pengertian kepadaku."
"Oooh!" Lam Kiong Soat Lan manggut~manggut, walau ?a
tidak pernah bertemu Tio Bun Yang, tapi ta telah merasa
kagum kepadanya dalam hati
-oo0dw0oo- Mereka berenam melanjutkan perjalanan lagi menuju
markas pusat Kay Pang. Namun terjadi keanehan pada
mereka, sebab masing-masing membungkam, kecuali Lie Ai
Ling, yang masih tampak riang gembira.
"Hei!" serunya sambil tertawa-tawa. "Kenapa kalian
berempat berubah menjadi bisu" Jangan begitu ah! Tidak
enak nih!"
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. "Kenapa aku" Semula kita melakukan perjalanan sambil
mengobrol, tapi kini kalian berempat berubah menjadi bisu.
Tidak baik begitu, sebab kita semua adalah kawan baik yang
harus bersatu. Ada apa-apa jangan disimpan dalam hati,
sebab akan membuat kita terpecah belah."
"Ha-ha!" Toan Beng Kiat tertawa. "Tidak ada apa-apa di
antara kami berempat. Kami diam karena memikirkan musuh."
"Musuh dalam selimut?" tanya Lie Ai Ling sambil tertawa.
"Jangan lho! Itu akan membuat kita celaka...."
Belum juga Lie Ai Ling selesai berbicara, mendadak
terdengar suara tawa kemudian melayang turun belasan orang
berpakaian hijau. Mereka ternyata para anggota Seng Hwee
Kauw, yang dikepalai oleh Pat Pie Lo Koay dan Tok Chiu Ong.
"Ha-ha-ha!" Tok Chiu Ong tertawa gelak. "Sungguh
kebetulan bertemu kalian disini!"
"Hmm!" dengus Kam Hay Thian dingin. "Memang sungguh
kebetulan sekali, jadi kami pun tidak perlu mencari kalian!"
"Oh?" Tok Chiu Ong mengerutkan kening. "Siapa engkau?"
"Chu Ok Hiap!"
"Apa?" Tok Chiu Ong tampak tersentak. "Jadi engkau yang
membunuh para anggota kami?"
"Tidak salah!" sahut Kam Hay Thian sambil tertawa dingin.
"Aku pun akan membunuh kalian semua hari ini!"
"He-he-he!" Tok Chiu Ong tertawa terkekeh. "Jangan sok
omong besar, sebentar lagi engkau akan terkapar jadi mayat!"
"Jangan banyak omong!" bentak Kam Hay Thian. "Mari kita
bertarung, lihat siapa yang akan terkapar jadi mayat!"
"He-he-he!" Tok Chiu Ong terus tertawa terkekeh.
Sedangkan Kam Hay Thian sudah menghunus pedangnya,
begitu pula yang lain, mereka sudah siap bertarung.
"Serang mereka!" Tok Chiu Ong memberi perintah kepada
para anggota Seng Hwee Kauw itu.
Seketika juga belasan anggota tersebut menyerang Kam
Hay Thian dan lainnya, dan terjadilah pertarungan sengit. Tok
Chiu Ong dan Pat Pie Lo Koay terus memperhatikan
pertarungan itu, dengan kening berkerut-kerut.
Belasan jurus kemudian, Kam Hay Thian telah berhasil
membunuh dua anggota Seng Hwee Kauw, sedangkan Toan
Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, Siang Koan Goat Nio dan Lie
Ai Ling juga telah berhasil melukai beberapa anggota Seng
Hwee Kauw lainnya, begitu pula Lu Hui San.
"Kalian mundur!" bentak Tok Chiu Ong.
Para anggota Seng Hwee Kauw segera mundur. Tok Chiu
Ong dan Pat Pie Lo Koay melesat ke depan sambil
mengeluarkan senjata masing-masing. Tok Chiu Ong
bersenjata aneh berbentuk seperti clurit, sedangkan Pat Pie Lo
Koay bersenjata pedang bergerigi.
"Hm!" dengus Tok Chiu Ong dingin. "Kepandaian kalian
cukup tinggi, tapi kami berdua pasti dapat membunuh kalian!"
"Kalian berdua yang akan mati!" sahut Kam Hay Thian.
"He-he-he!" Tok Chiu Ong tertawa terkekeh dan mendadak
menyerangnya laksana kilat.
Kam Hay Thian berkelit dan balas menyerangnya
menggunakan Pak Kek Kiam Hoat. Tok Chiu Ong terkejut
karena merasa ada hawa dingin menyerangnya.
"Pantas engkau berani omong besar, ternyata
kepandaianmu tinggi j?ga!"
"Sebentar lagi engkau akan terkapar jadi mayat!" sahut
Kam Hay Thian dan langsung menyerangnya.
Lie Ai Ling dan Lam Kiong Soat Lan segera membantu Kam
Hay Thian, sementara Pat Pie Lo Koay juga sudah mulai
menyerang Toan Beng Kiat, Siang Koan Goat Nio dan Lu Hui
San. Terjadilah pertarungan yang amat seru dan dahsyat. Tok
Chiu Ong mengeluarkan ilmu andalannya. Sedangkan Kam
Hay Thian menggunakan Pak Kek Kiam Hoat, Lie Ai Ling
menggunakan Hong Hoang Kiam Hoat, dan Lam Kiong Soat
Lan menggunakan Thian Liong Kiam Hoat.
Puluhan jurus kemudian, Tok Chiu Ong mulai berada di
bawah angin, itu sungguh mengejutkannya.
Toan Beng Kiat menyerang Pat Pie Lo Koay dengan Thian
Liong Kiam Hoat, Siang Koan Goat Nio menggunakan Giok Li
Kiam Hoat, dan Lu Hui San menggunakan Ie Hoa Ciap Bok
Kiam Hoat. Puluhan jurus kemudian, Pat Pie Lo Koay juga
mulai berada di bawah angin.
Ada satu hal yang tidak dimengerti Toan Beng Kiat, yakni
Pat Pie Lo Koay tidak begitu bersungguh-sungguh
menyerangnya. Sudah barang tentu hal itu membuat pemuda
itu terheran-heran. Oleh karena itu ia pun tidak begitu
menyerangnya. Sementara pertarungan antara Tok Chiu Ong dengan Kam
Hay Thian, Lie Ai Ling dan Lam Kiong Soat Lan semakin
dahsyat. Lam Kiong Soat Lan menyerangnya dengan jurus
Thian Liong Cioh Cu (Naga Kahyangan Merebut Mutiara), Lie
Ai Ling mengeluarkan jurus Hong Hoan Seng Thian (Burung
Phoenix Terbang ke Langit), sedangkan Kam Hay Thian
mengeluarkan jurus Hoan Thian Liak Te (Membalikkan Langit
Meretakkan Bumi).
Betapa terkejutnya Tok Chiu Ong menghadapi ketiga
serangan itu. Ia cepat-cepat memutarkan senjatanya untuk
menangkis, tetapi....
Crass! Cesss.... Bahunya telah tersabet pedang Lam Kiong
Soat Lan, pahanya tertusuk pedang Kam Hay Thian,
sedangkan pedang Lie Ai Ling merobek bajunya, dan darahnya
pun mulai mengucur.
"Ha-ha!" Kam Hay Thian tertawa dingin. "Kini ajalmu telah
tiba!" Ketika Kam Hay Thian baru mau menyerangnya, mendadak
Tok Chiu Ong melempar sesuatu ke bawah, dan seketika
tampak asap mengepul membuat mata mereka merasa pedas
sekali. "Cepat tahan nafas!" seru Lam Kiong Soat Lan, yang
khawatir kalau-kalau asap tersebut mengandung racun.
Tapi tidak, ternyata asap itu tidak mengandung racun.
Setelah asap itu buyar, Tok Chiu Ong, Pat Pie Lo Koay dan
para anggota Seng Hwee Kauw itu sudah tidak tampak lagi.
Ternyata mereka melarikan diri di saat asap mengepul.
Akan kukejar mereka," ujar Kam Hay Thian.
"Jangan!" cegah Toan Beng Kiat. "Percuma, mereka sudah
jauh sekali."
"Hm!" dengus Kam Hay Thian. "Aku penasaran kalau tidak
dapat membunuh mereka."
"Sudahlah!" kata Toan Beng Kiat. "Mari kita melanjutkan
perjalanan!"
Mereka berenam melanjutkan perjalanan lagi menuju
markas pusat Kay Pang, namun Kam Hay Thian masih tampak
penasaran karena tidak berhasil membunuh Tok Chiu Ong, Pat
Pie Lo Koay dan para anggota Seng Hwee Kauw itu.
"Sudahlah!" ujar Lu Hui San. "Kenapa masih terus
penasaran?"
"Aku..." Kam Hay Thian menggeleng-gelengkan kepala.
"Tenang!" Lie Ai Ling tersenyum. "Masih ada kesempatan
lain. Para anggota Seng Hwee Kauw begitu banyak, tidak akan
habis dibunuh."
Kam Hay Thian diam, sementara Toan Beng Kiat
bergumam dengan kening berkerut-kerut.
"Heran" Kenapa orang tua berpedang gerigi itu tidak begitu
bersungguh-sunggUh menyerangku?"
"Benar." Lu Hui San manggut-manggut. "Diapun tidak
begitu bersungguh-sunggUh menyerangku."
"Sama," sambung Siang Koan Goat Nio. "Kenapa begitu?"
"Memang mengherankan," ujar Toan Beng Kiat.
"Mungkinkah dia kenal orang tua kita, maka tidak bersungguhsungguh
menyerang kita?"
"Mungkin," Siang Koan Goat Nio mengangguk.
"Aku yakin dia tidak kenal orang tuaku, kenapa...." Lu Hui
San tidak habis berpikir.
"Mungkin karena... engkau bersama kami," sahut Siang
Koan Goat Nio. "Memang mungkin begitu," Lu Hui San manggut-manggut.
"Sebaliknya orang tua bersenjata aneh itu malah matimatian
menyerang kami, kelihatannya dia sangat bernafsu
melukai kami, padahal aku dan Soat Nio tidak kenal orang tua
itu," ujar Lie Ai Ling.
"Mungkin karena kalian berdua membantuku," sahut Kam
Hay Thian. "Mungkin," Lie Ai Ling manggut-manggut.
"Tidak mungkin," sela Lam Kiong Soat Lan. "Sebab para
anggota Seng Hwee Kauw pernah menyerangku dan Beng
Kiat." "Oh?" Lie Ai Ling terbelalak. "Kenapa mereka menyerang
kalian?" "Hingga saat ini, kami masih tidak habis pikir tentang itu,"
sahut Lam Kiong Soat Lan. "Bahkan mereka pun kenal kami.
Bukankah sangat mengherankan?"
"Jangan-jangan..." ujar Lie Ai Ling setelah berpikir sejenak.
"Ketua Seng Hwee Kauw punya dendam terhadap orang tua
kita." "Aku dan Soat Nio memang berpikir demikian," ujar Toan
Beng Kiat. "Karena itu, kami ingin menyelidikinya.
"Memang penasaran sekali," ujar Kam Hay Thian sambil
mengepal tinju. "Aku tidak berhasil membunuh mereka.
-oo0dw0oo- Seng Hwee Sin Kun duduk dengan kening berkerut-kerut,
kemudian menatap Tok Chiu Ong dan Pat Pie La Koay seraya
bertanya. "Betulkah kalian berdua tidak sanggup melawan
mereka berenam?"
"Betul," Tok Chiu Ong dan Pat Pie LoKoay mengangguk.
"Kepandaian mereka berenam sungguh tinggi, bahkan mampu
melukaiku."
"Bagaimana lukamu?" tanya Seng Hwee Sin Kun.
"Tidak apa-apa," sahut Tok Chiu Ong. "Hanya luka luar,
dan tadi sudah kuobati."
"Hmm!" dengus Seng Hwee Sin Kun. "Kelihatannya harus
aku yang turun tangan sendiri."
"Tidak perlu," Pat Pie Lo Koay menggelengkan kepala.


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukankah masih ada Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui dan Hek
Sim Popo" Kami berlima pasti dapat melukai mereka."
"Betul," Hek Sim Popo mengangguk. "Kauwcu tidak perlu
turun tangan, biar kami saja yang turun tangan."
"Ngmmm!" Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut dan
berkata. "Kepandaian Tio Cie Hiong paling tinggi, tapi... aku
masih sanggup melawannya. Bahkan kemungkinan besar aku
pun dapat mengalahkannya."
"Kami tahu..." ujar Pat Pie Lo Koay sambil tertawa.
"Kepandaian Kauwcu memang tinggi sekali, tentunya dapat
mengalahkan Tio Cie Hiong."
"Ha-ha-ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Aku tidak
omong besar, namun yakin itu!"
"Tapi...." Pek Bin Kui mengerutkan kening. "Masih ada Sam
Gan Sin Kay, Kim Siauw Suseng, Kou Hun Bijin dan Tio Tay
Seng, majikan Pulau Hong Hoang To. Mereka semua
berkepandaian sangat tinggi, terutama Kou Hun Bijin."
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa, kemudian berkata
sungguh-sungguh. "Pokoknya aku sanggup melawan mereka,
kalian tidak perlu khawatir tentang itu."
"Oh?" Pat Pie Lo Koay dan lainnya kelihatan kurang
percaya. Mereka saling memandang dengan kening berkerutkerut.
"Tentu kalian tidak percaya," ujar Seng Hwee Sin Kun.
"Namun perlu kalian ketahui, aku masih menyimpan sebutir
Seng Hwee Tan (Pil Api Suci). Apabila aku makan Seng Hwee
Tan yang tersisa sebutir itu, maka lweekangku akan
bertambah tinggi, dan diriku pun akan menjadi jago tanpa
tanding di kolong langit."
"Kalau begitu, kenapa Kauwcu tidak memakannya
sekarang?" tanya Pek Bin Kui mendadak.
"Belum waktunya," sahut Seng Hwee Sin Kun. "Kalau sudah
waktunya, aku pasti memakannya."
"Kauwcu!" Wajah Pek Bin Kui berseri. "Kalau begitu, Seng
Hwee Kauw pasti bisa merajai rimba persilatan."
"Itu sudah pasti," sahut Seng Hwee Sin Kun sambil tertawa
terbahak-bahak, "Ha ha ha...!"
-oo0dw0oo0\- Bagian 25 Agama Lima Racun
Tio Bun Yang telah kembali ke Tionggoan. Beberapa hari
kemudian, ia tiba di kota Kang Shi, lalu memasuki sebuah
kedai teh untuk melepaskan dahaga. Setelah duduk, ia
memesan teh pada pelayan.
Kedai teh itu cukup ramai. Tampak para tamu sedang
membicarakan sesuatu dengan wajah Serius.
"Sungguh tak disangka, para hartawan akan terkena
penyakit aneh itu. Muncul pula seorang tabib sakti
menyembuhkan penyakit mereka, tapi biayanya mahal bukan
main." "Betul. Kalau mereka sanggup membayar lima ratus tael,
tabib sakti itu baru mengobati mereka."
"Kini yang kasihan adalah hartawan Kwee. Beliau juga
terkena penyakit aneh itu. Tabib sakti
tersebut bersedia mengobatinya, asal hartawan Kwee
bersedia membayar seribu tael emas! Sudah barang tentu
hartawan Kwee berkeberatan, sehingga kini mulai sekarat."
"Kenapa hartawan Kwee berkeberatan membayar seribu
tael emas?"
"Sebab para hartawan lain cuma membayar lima ratus tael
emas, sedangkan dia diharuskan membayar seribu taei emas.
Itulah yang membuatnya berkeberatan. Dia seorang hartawan
yang sangat baik hati, selalu mendong orang namun malah
tertimpa musibah."
"Putri kesayangannya lumpuh, hingga kini masih belum
sembuh. Dia malah terkena penyakit aneh itu. Kita pernah
menerima budi kebaikannya, tapi justru tidak bisa berbuat
apa-apa di saat dia menderita sakit."
Tio Bun Yang yang mendengar itu menjadi tergerak
hatinya, sebab ia pun mahir ilmu pengobatan. Karena itu, ia
mendekati mereka sambil memberi hormat dan berkata
dengan sopan. "Maaf, Paman-paman, aku mengganggu sebentar!"
"Tidak apa-apa," sahut salah seorang sambil
memandangnya dan terkesan baik.
"Silakan duduk, anak muda!"
"Terimakasih, Paman!" Tio Bun Yang duduk.
"Anak muda, engkau membutuhkan bantuan kami?" tanya
orang itu. "Aku ingin bertanya, penyakit aneh apa yang diderita
hartawan Kwee?" jawab Tio Bun Yang.
"Engkau bukan orang sini?"
"Bukan.."
"Aaaaah...!" Orang itu menghela nafas panjang. "Bulan ini,
mendadak para hartawan terserang penyakit aneh. Mereka
yang terkena penyakit itu, mulut mengeluarkan buih, wajah
pucat dan kehijau-hijauan, sekujur badan menggigil
kedinginan"
Tio Bun Yang manggut-mangg?t. "Lalu siapa yang
mengobati para hartawan itu?"
"Muncul seorang tabib sakti, dan hanya dia yang mampu
mengobati mereka. Namun pembayarannya mahal sekali..."
Orang itu menggeleng-gelengkan kepala. "Lima ratus tael
emas?" "Oh" Bagaimana keadaan hartawan Kwee sekarang?" tanya
Tio Bun Yang. "Sudah mulai sekarat. Karena beliau berkeberatan
membayar seribu tael emas." Orang itu menghela nafas
panjang. "Dia seorang hartawan yang baik hati?"
"Betul. Tapi malah tertimpa musibah."
"Kalau begitu...." Tio Bun Yang bangkit berdiri. "Tolong
antar aku ke rumahnya!"
"Anak muda..." Orang itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Mau apa engkau ke sana" Kalau engkau mau minta bantuan,
kini bukan saatnya."
"Paman!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku ingin mencoba
mengobatinya?"
"Anak muda, engkau...." Orang itu terbelalak, begitu pula
yang lain. Tio Bun Yang masih begitu muda, bagaimana
mungkin mampu mengobati hartawan Kwee" Pikir mereka.
"Aku mahir ilmu pengobatan, maka apa salahnya kalian
antar aku ke sana untuk mencoba mengobatinya" Lagipula
hartawan Kwee sudah mulai sekarat. Kalau terlambat,
tentunya hartawan Kwee akan menemui ajalnya."
Beberapa orang itu saling memandang, kemudian
mengangguk. "Baik, kami antar engkau ke sana!"
"Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang.
Mereka segera mengantar Tio Bun Yang kerumah hartawan
Kwee. Banyak orang mengikutinya dari belakang, karena
mendengar bahwa Tio Bun Yang akan mencoba mengobati
hartawan Kwee. Berselang beberapa saat sampailah mereka dirumah
hartawan Kwee. Rumah itu cukup besar, indah, halamannya
luas dan terdapat taman bunga yang indah. Nyonya Kwee
menyambut mereka dengan mata basah. Mereka segera
memberitahukan tentang maksud kedatangan mereka.
"Oh?" Nyonya Kwee langsung memandang Tio Bun Yang.
"Tabib muda, suami saya sudah Sekarat."
"Bibi!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku bukan tabib, tapi
mengerti ilmu pengobatan, maka ingin mencoba mengobati
hartawan Kwee."
"Mari ikut aku ke dalam!" ujar Nyonya Kwee. Ia lalu
berjalan ke dalam, dan Tio Bun Yang mengikutinya.
Sedangkan yang lain duduk di ruang depan dan menunggu di
situ, karena ingin tahu bagaimana hasilnya.
Tio Bun Yang telah memasuki kamar hartawan Kwee.
Nyonya Kwee mendekati suaminya yang berbaring di tempat
tidur. Wajah hartawan Kwee pucat pias agak kehijau-hijauan,
nafasnya lemah dan sekujur badannya menggigil kedinginan.
"Suamiku...." Nyonya Kwee memandangnya dengan air
mata bercucuran.
"Is... isteriku...." Hartawan Kwee menatap isterinya dengan
mata redup, kemudian memandang Tio Bun Yang. "Kalau
pemuda itu membutuhkan... sesuatu, bantu... bantulah dia!"
katanya l?mah. Ucapan itu membuat Tio Bun Yang terharu. Dalam keadaan
sakit, hartawan Kwee masih memikirkan kepentingan orang
lain. Betapa bajik, luhur dan mulianya hati hartawan itu.
"Suamiku, pemuda itu bermaksud mencoba mengobatimu."
Nyonya Kwee memberitahukan.
"Oooh?" Hartawan Kwee menghela nafas panjang. "Aaaah!
Bagaimana mungkin dia bisa mengobatiku?"
"Paman!" Tio Bun Yang segera mendekatinya, sekaligus
memeriksanya dengan intensif, lalu manggut-manggut.
"Bagaimana?" tanya Nyonya Kwee cepat. "Apakah suamiku
bisa ditolong?"
"Harap Bibi tenang!" sahut Tio Bun Yang, kemudian
memasukkan sebutir pil pemunah racun ke dalam mulut
hartawan Kwee. Setelah itu, ia berkata kepada Nyonya Kwee.
"Bibi, tolong ambilkan sebuah baskom!"
Nyonya Kwee segera mengambil sebuah baskom, Tio Bun
Yang menerima lalu ditaruhnya dilantai.
Ia membangunkan hartawan Kwee untuk duduk di pinggir
tempat tidur. Sesudah itu ia menempelkan telapak tangannya
di punggung hartawan Kwee lalu mengerahkan Pan Yok Hian
Thian Sin Kang.
Tak seberapa lama kemudian, hartawan Kwee mulai
memuntahkan cairan kehijau-hijauan. Berselang sesaat,
hartawan Kwee berhenti muntah, dan seketika wajahnya
tampak agak segar.
"Paman sudah sembuh sekarang," ujar Tio Bun Yang sambil
tersenyum. "Apa"!" hartawan Kwee tertegun. Kini suaranya tidak begitu
lemah lagi. "Aku... aku sudah sembuh?"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Suamiku...." Nyonya Kwee langsung memeluknya sambil
menangis girang. "Suamiku...."
"Oooh, isteriku!" Hartawan Kwee tersenyum. "Aku... aku
tidak jadi mati...."
"Anak muda...." Nyonya Kwee segera memberi hormat.
"Terimakasih atas pertolonganmu!"
"Anak muda...." Hartawan Kwee bangkit berdiri sekaligus
memberi hormat. "Terimakasih...."
"Paman, dan Bibi tidak usah mengucapkan tenimakasih,"
ujar Tio Bun Yang. "Berterimakasihlah kepada Thian (Tuhan)!"
"Isteriku, siapa pemuda ini" tanya hartawan Kwee.
"Dia...." Nyonya Kwee menggelengkan kepala.
"Aku belum bertanya namanya."
"Namaku Tio Bun Yang, Bibi."
"Ha ha!" Hartawan Kwee tertawa gelak dan tampak sudah
sembuh. "Engkau rnasih muda, namun sudah mahir ilmu
pengobatan. Sungguh luar biasa dan mengagumkan. Ha ha
ha...!" "Bun Yang, siapa yang mengajarmu ilmu pengobatan?"
tanya Nyonya Kwee sambil memandangnya.
"Ayahku."
"Kalau begitu, ayahmu pasti seorang tabib terkenal," ujar
hartawan Kwee, yang semakin kagum.
"Paman!" Tio Bun Yang tersenyum. "Ayahku memang mahir
ilmu pengobatan, namun bukan tabib."
"Oh?" hartawan Kwee tercengang. "Itu...."
"Ayahku sering menolong orang-orang yang menderita
sakit, tapi tidak pernah mau menerima pembayaran." Tio Bun
Yang memberitahukan. "Kini ayahku tinggal mengasingkan diri
di sebuah pulau."
"Kalau begitu...." Hartawan Kwee manggut-manggut
mengerti. "Ayahmu pasti seorang pendekar yang berhati
bajik." "Tapi sudah belasan tahun ayahku tidak mau mencampuri
urusan rimba persilatan lagi," ujar Tio Bun Yang. "Hidup
tenang, damai dan bahagia bersama ibuku di pulau itu."
"Oooh!" Hartawan Kwee manggut-manggut. "Oh ya,
sebetulnya aku m?ngidap penyakit apa?"
"Bukan penyakit, melainkan terkena racun."
"Oh" Kalau begitu para hartawan lain juga terkena racun?"
tanya hartawan Kwee terkejut.
"Ya," Tio Bun Yang mengangguk. "Menurutku, ada orang
tertentu yang menyebarkan racun itu."
"Heran?" gumam hartawan Kwee. "Siapa yang
menyebarkan racun itu?"
Sebetulnya Tio Bun Yang telah mencurigai tabib sakti yang
menyembuhkan para hartawan lain, namun ia tidak mau
memberitahukan karena tiada bukti.
"Oh ya!" Nyonya Kwee memberitahukan. "Ada belasan
orang menunggu di ruang depan, mari kita ke depan menemui
mereka!" Hartawan Kwee dan Tio Bun Yang mengangguk, lalu segera
berjalan ke ruang depan. Terbelalaklah orang-orang itu ketika
melihat hartawan Kwee sudah sembuh, kemudian mereka
memandang Tio Bun Yang dengan mulut ternganga lebar.
"Terimakasih!" ucap hartawan Kwee. "Kalian telah
mengantar pemuda ini ke mari, kalau tidak, mungkin aku
sudah mati."
"Jadi...." tanya salah seorang yang bercakap-cakap dengan
Tio Bun Yang di kedai teh. "Anak muda ini menyembuhkan
Tuan?" "Betul." Hartawan Kwee mengangguk sambil tersenyum.
"Itu... sungguh diluar dugaan, tapi syukurlah Tuan telah
sembuh! Kami turut gembira."
"Terima kasih! Ha ha ha!" Hartawan Kwee tertawa.
"Berhubung kalian yang mengantar pemuda ini kemari
mengobatiku, maka aku akan menghadiahkan kalian sepuluh
tael perak setiap orang.
"Tidak usah, Tuan!" ujar mereka yang memang sering
menerima bantuan hartawan Kwee.
"Kalian harus menerima kalau tidak...." Hartawan Kwee
memandang mereka. "Aku akan marah."
"Kalau begitu, kami mengucapkan banyak-banyak
terimakasih kepada Tuan," ucap mereka semua.
Sementara Nyonya Kwee telah masuk ke dalam, tak lama


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah kembali keruangan itu sekaligus membagi-bagikan uang
perak kepada mereka. Mereka mengucapkan terima kasih lagi,
lalu mohon pamit.
Kini di ruang itu hanya tinggal hartawan Kwee bersama
isterinya dan Tio Bun Yang. Hartawan Kwee memandang Tio
Bun Yang dan kemudian menghela nafas panjang.
"Kenapa Paman menghela nafas panjang?" tanya Tio Bun
Yang dengan rasa heran.
"Kini aku telah sembuh, namun putriku...." Hartawan Kwee
menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku telah mendengar
tentang putri Paman, yang menderita penyakit lumpuh. Sudah
berapa lama putri Paman menderita penyakit itu?"
"Sudah lima tahun." Hartawan Kwee memberitahukan
dengan wajah muram. "Tiada seorang tabib pun yang mampu
menyembuhkannya."
"Kalau begitu..." ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh. "Aku
akan mencoba mengobatinya."
"Oh!" Wajah hartawan Kwee dan isterinya langsung berseri
"Mari ikut kami ke kamar putri kami!"
Tio Bun Yang mengangguk, lalu mengikuti mereka menuju
kamar Kwee Hui Khim, putri hartawan Kwee.
Kamar tersebut sungguh indah sekali, begitu pula tempat
tidurnya Sosok yang kurus berbaring di tempat tidur itu, yang
ternyata putri hartawan Kwee.
"Ayah" Ibu "panggil Kwee Hui Khim.
"Nak!" Nyonya Kwee segera membelainya dengan penuh
kasih sayang dan memberitahukan. "Ayahmu s?dah sembuh,
pemuda itu yang menyembuhkan ayahmu."
"Oh" Kwee Hui Khim memandang Tio Bun Yang,
"Terimakasih, Kak!"
"Sama-sama," sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum dan
mendekatinya. "Adik, bolehkah aku tahu namamu?"
"Namaku Hui Khim, nama Kakak?"
"Namaku Tio Bun Yang."
"Kakak Bun Yang bisa menyemb?hkan ayah, apakah juga
akan bisa menyembuhkan penyakitku?" tanya gadis berusia
lima belasan itU.
"Mudah-mudahan!" sahut Tio Bun Yang dengan tersenyum
lembut. Kemudian ia menjulurkan tangannya untuk memeriksa
gadis itu, namun mendadak ditarik kembali sambil
memandang hartawan Kwee dan Nyonya Kwee.
"Tidak apa-apa," sahut mereka berdua Serentak dan
manggut-manggut. "Silakan periksa Hui Khim!"
"Kakak Bun Yang," Kwee Hui Khim heran. "Kenapa tidak
berani memeriksa penyakitku" Takut menular ya?"
"Bukan." Tio Bun Yang tersenyum. "Hanya karena aku
harus menyentuhmu, maka aku merasa tidak enak."
"Sebetulnya tidak apa-apa," Kwee Hui Khim tersenyum.
"Kakak Bun Yang menyentuhku karena ingin memeriksa
penyakitku, bukan berbuat yang tidak-tidak. Jadi jangan
mempermasalahkan itu."
Tio Bun Yang manggut-manggut, lalu mulai memeriksa nadi
gadis itu. Keningnya tampak berkerut-kerut, setelah itu ia
manggut-manggut seakan telah mengetahui sumber penyakit
itu. "Bagaimana" Apakah putriku bisa disembuhkan?" tanya
hartawan Kwee seusai Tio Bun Yang memeriksa putrinya.
"Maaf!" ucap Tio Bun Yang sungguh-sungguh. "Bukan aku
omong besar, kecuali aku, memang tabib yang mana pun
tidak akan mampu mengobatinya."
"Oh?" Wajah hartawan Kwee dan isterinya berseri. "Kenapa
putri kami bisa terserang penyakit lumpuh?"
"Sebetulnya merupakan penyakit bawaan lahir. Setelah ia
berusia sekitar sepuluh tahun, peredaran darahnya mulai tidak
lancar, lagi pula...." Tio Bun Yang menjelaskan mengenai
penyakit tersebut.
"Kalau begitu...." Hartawan Kwee mengerutkan kening.
"Jangan cemas, paman!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku
sanggup menyembuhkannya. Tapi...."
"Kenapa?"
"Telapak tanganku harus menyentuh punggungnya."
"Lakukan saja!" Hartawan Kwee tersenyum. Ia tidak
menyangka Tio Bun Yang begitu menjaga tata kesopanan.
Tio Bun Yang mengangguk, lalu memandang Kwee Hui
Khim seraya berkata, "Adik, engkau harus duduk."
"Ya." Kwee Hui Khim berusaha bangun lalu duduk.
"Tolong menghadap ke dalam!" ujar Tio Bun Yang.
Kwee Hui Khim mengangguk, lalu memutarkan badannya
menghadap ke dalam. Sedangkan Tio Bun Yang tetap berdiri.
Ia menumpukkan telapak tangannya di punggung gadis itu,
kemudian mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang kedalam
tubuh gadis tersebut.
Berselang sesaat tampak uap putih mengepul diubun-ubun
gadis itu. Terbelalaklah hartawan Kwee dan isterinya
menyaksikan itu. Mereka berdua saling memandang dengan
wajah berseri. Beberapa saat setelah itu, Tio Bun Yang menarik kembali
lweekangnya. "Adik," ujarnya dengan tersenyum sambil menggandeng
tangan Kwee Hui Khim. "Mari turun!"
"Turun?" gadis itu tertegun. "Aku tidak kuat berdiri.
Bagaimana mungkin turun?"
"Percayalah!" Tio Bun Yang tersenyum lagi. "Engkau pasti
kuat berdiri."
"Oh?" Kwee Hui Khim kurang percaya. Namun ia menurut
dan turun. Justru mengherankan, gadis itu kuat berdiri. "Aku
sudah kuat berdiri! Aku sudah kuat berdiri!"
"Sekarang cobalah engkau melangkah!" ujar Tio Bun Yang
sambil memandangnya. "Jangan ragu, cobalah melangkah!"
Kali ini Kwee Hui Khim sudah percaya, maka ia melangkah
dan berhasil. Bayangkan, betapa gembiranya gadis itu.
"Aku sudah bisa jalan! Aku sudah bisa jalan!"
"Nak!" Nyonya Kwee langsung memeluknya dengan mata
bersimbah air saking girangnya. "Anakku, engkau sudah
sembuh." Sementara hartawan Kwee terus memandang Tio Bun Yang
dengan mata terbelalak, kelihatannya ia masih tidak percaya
akan apa yang dilibatnya Sebab dalam waktu begitu singkat,
Tio Bun Yang mampu menyembuhkan penyakit.
"Bun Yang, sebetulnya engkau manusia atau. . . . ."
"Paman!" Tio Bun Yang tersenyum "Aku manusia biasa,
jangan menganggapku dewa, lho!"
"Bukan main! Sungguh luar biasa! Aku tak habis pikir"
gumam hartawan Kwee, kemudian tertawa gembira, "Ha ha
ha. . . .!"
"Ayah!" Kwee Hui Khim juga tertawa dengan air mata
bercucuran saking gembiranya "Aku sudah sembuh"
"Adik!" Tio Bun Yang memandangnya dan ikut tertawa
"Cobalah engkau berjalan ke ruang depan"'
"Kakak Bun Yang?" gadis itta tertegun "Apakah aku
sekarang mampu berjalan ke ruang depan?"
"Cobalah!" sahut Tio Bun Yang sambil tersenyUm
"Baik" Kwee Hui Khim mengangguk, lalu berjalan perlahanlahan,
dan akhirnya sampai juga ke ruang depan lalu duduk,
hanya nafasnya tampak agak memburu "Aku betul-betul
sudah sembuh Kakak Bun Yang, aku berhutang budi
kepadamu "Adik, engkau jangan berkata begitu!" ujar Tio Bun Yang
"Aku mengerti ilmu pengobatan, maka aku harus menolong
orang-orang yang sakit. Karena itu, engkau sama sekali tidak
berhutang budi kepadaku."
"Kakak Bun Yang. . ." Kwee Hui Khim menatapnya kagum
"Engkau sungguh baik, aku beruntung sekali bisa bertemu
engkau" "Bun Yang...." Mendadak hartawan Kwee memegang
bahunya, "Entah harus bagaimana aku harus berterima kasih
kepadamu" "Itu tidak perlu, yang penting Hui Khim sudah sembuh,"
sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Bun Yang..." Betapa terharunya hartawan Kwee.
Tio Bun Yang tersenyum lagi, kemudian membuka resep
untuk Kwee Hui Khim. Diserahkannya resep itu kepada
hartawan Kwee seraya bertanya.
"Kondisi badan Hui Khim masih lemah, maka harus makan
obat. Beli tiga bungkus obat berdasarkan resep obat ini di toko
obat. Percayalah, beberapa hari kemudian Hui Khim pasti
pulih!" "Terima kasih!" Hartawan Kwee menerima resep itu, lalu
cepat-cepat menyuruh salah seorang pembantu untuk pergi
membeli obat itu.
"Paman, Bibi, aku mohon pamit!" Tio Bun Yang
memberitahukan.
"Apa?" hartawan Kwee dan isterinya terbelalak. "Kok begitu
cepat?" "Maaf!" ucap Tio Bun Yang "Aku masih harus meneruskan
perjalanan, jadi tidak bisa lama-lama disini"
"Bun Yang..." Hartawan Kwee menghela napas, kemudian
memberi isyarat pada isterinya, yang kemudian berjalan ke
dalam. "Kakak Bun Yang!" Kwee Hui Khim memandangnya dengan
mata basah. "Kenapa engkau begitu cepat mau pergi"
"Adik!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku masih harus
meneruskan perjalanan, tidak bisa lama-lama di sini. Harap
Adik maklum...."
"Kakak Bun Yang?" Kwee Hui Khim terisak-isak "Kapan
Kakak Bun Yang akan ke mari lagi?"
Tio Bun Yang tersenyum sambil membelainya, setelah itu
barulah menjawab. "Apabila ada k?sempatan, aku pasti ke
mari menengokmu."
"Jangan bohong, Kakak Bun Yang!"
"Aku tidak pernah membohongimU, namun kalau aku
sempat lho!"
"Kakak Bun Yang " Mendadak Kwee Hui Khim mendekap di
dadanya "Biar bagaimana pun, Kak?k Bun Yang harus ke mari
kelak." "Ya." Tio Bun Yang membelainya lagi.
Nyonya Kwee telah kembali ke ruang depan dengan
membawa sebuah bungkusan dari kain. Setelah putrinya
melepaskan dekapan di dada Tio Bun Yang, Nyonya Kwee
memberikan bungkusan itu kepada Tio Bun Yang.
"Bibi..." Tio Bun Yang tahu bahwa bungkusan itu berisi
uang perak atau uang emas. "Aku tidak akan menerima
pemberian ini."
"Bun Yang," desak hartawan Kwee. "Engkau harus
menerimanya!"
"Paman!" Tio Bun Yang tersenyum. "Mengobati Paman dan
Hui Khim bukan demi suatu imbalan, aku cuma menolong."
"Kalau begitu..." Hartawan Kwee tersenyum pula.
"Terimalah ini, wakili aku menolong fakir miskin!"
"ini...." Tio Bun Yang menggelengkan kepala.
"Bun Yang," ujar hartawan Kwee sungguh-sungguh.
"Engkau masih harus meneruskan perjalanan, tentunya
engkau akan bertemu dengan orang susah. Bantulah mereka
dengan uang yang kuberikan ini!"
"Kalau begitu... baiklah." Tio Bun Yang menerimanya, lalu
berpamit. Hartawan Kwee dan isterinya dan Kwee Hui Khim
mengantarkannya sampai di depan rumah. Setelah Tio Bun
Yang tidak kelihatan, barulah mereka masuk ke dalam dan
Kwee Hui Khim pun menangis terisak-isak.
-oo0dw0oo- Tio Bun Yang telah meninggalkan rumah hartawan
Kwee,namun mendadak muncul dua orang yang berpakaian
warna-warni mendekatinya. Kedua orang itu memberi hormat
seraya berkata.
"Maaf. Kami diutus ke mari untuk menjemput Anda!"
"Oh?" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku mau dijemput ke
mana?" "Menemui Kauwcu kami."
"Aku tidak kenal Kauwcu kalian, maka aku tidak perlu
menemuinya."
"Maaf! Kalau kami tidak berhasil mengundang Anda ke
sana, kami pasti dihukum. Kami harap Anda maklum dan
menaruh kasihan pada kami."
Tio Bun Yang berpikir, sejenak kemudian mengangguk.
"Baiklah. Antarlah aku pergi menemui Kauwcu kalian!"
"Terimakasih, terimakasih !" Kedua orang itu menarik nafas
lega. "Silakan ikut kami!"
Tio Bun Yang mengikuti kedua orang itu. Beberapa saat
kemudian mereka sudah sampai ditempat yang sepi, di mana
tampak sebuah bangunan besar.
Kedua orang tersebut terus berjalan menuju Bangunan itu.
Mendadak muncul beberapa orang berpakaian warna warni
lainnya. Ketika mereka melihat kedua orang itu kembali
bersama Tio Bun Yang, berserilah wajah mereka.
"Untung kalian berdua berhasil mengundang siauwhiap ini
ke mari. Kalau tidak, kalian berdua pasti dihukum."
Kedua orang itu menarik nafas lega, kemudian yang satu
bertanya. "Dimana Kauwcu?"
"Di ruang tengah, sedang menunggu kalian. Cepatlah
kalian masuk!"
"Terimakasih!" ucap kedua orang itu, lalu mengajak Tio
Bun Yang masuk.
Begitu memasuki bangunan itu, kening Tio Bun Yang
langsung berkerut. Apalagi ketika memasuki sebuah lorong
yang agak gelap. Ternyata ?a mencium bau racun.
Berselang beberapa saat, sampailah ?a di ruang tengah.
Belasan orang berpakaian warna warni berbaris di sisi kiri
kanan. Tampak seorang wanita duduk di situ, dan di sisi kiri
kanannya berdiri dua orang tua berpakaian hitam dan putih.
Kedua orang tua itu adalah Hek Pek Siang Sat (Sepasang
Algojo Hitam Putih).
Tio Bun Yang tidak dapat menaksir berapa usia wanita itu.
sebab wanita itu memakai cadar.
"Kauwcu, kami telah berhasil mengundang siauw hiap ini ke
mari." ujar seorang yang mengundang Tio Bun Yang.
"Bagus! Kalian telah melaksanakan tugas kalian dengan
baik, maka kedudukan kalian akan dinaikkan." sahut Ngo Tok
Kauwcu.

Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih, Kauwcu!" ucap kedua orang itu dengan
wajah berseri. "Sekarang kalian boleh kembali ke tempat." ujar Ngo Tok
Kauwcu sambil mengibaskan tangannya.
"Ya" Kedua orang itu memberi hormat, lalu meninggalkan
ruang itu. Sementara Tio Bun Yang menengok ke sana ke mari, dan
melihat begitu banyak binatang beracun merayap di ruang itu,
yaitu ular, kalajengking, laba-laba dan lain sebagainya.
"Silakan duduk, siauwhiap!" ucap Ngo Tok Kauwcu.
Tio Bun Yang duduk.
"Aku adalah Ngo Tok Kauwcu (Ketua Agama Lima Racun)!"
Wanita bercadar itu memberitahukan. "Bolehkah aku tahu
siapa siauwhiap?"
"Namaku Tio Bun Yang," sahut pemuda itu, lalu bertanya.
"Ada keperluan apa Kauwcu mengundangku ke mari?"
"Aku tidak menyangka, engkaupun kebal terhadap berbagai
macam racun," ujar Ngo Tok Kauwcu sambil menatapnya.
Bagaimana perubahan wajah Ngo Tok Kauwcu, Tio Bun
Yang tidak mengetahuinya, karena berada di balik cadar.
"Bahkan telah memunahkan racun yang mengidap di tubuh
hartawan Kwee. Secara tidak langsung, engkau telah merusak
semua rencanaku."
"Kauwcu!" Tio Bun Yang mengerutkan kening. "Aku tidak
tahu Kauwcu mempunyai rencana apa pun. Yang kuketahui
Kauwcu telah melakukan kejahatan, karena menyebarkan
racun yang jahat itu."
"Tio siauwhiap, engkau harus tahu. Aku berbuat begitu
karena sangat membutuhkan uang. Dalam hal ini aku harap
siauw hiap maklum," ujar Ngo Tok Kauwcu memberitahukan.
"Tapi itu merupakan perbuatan yang tak terpuji, karena
menyangkut nyawa orang. Kauwcu tidak memikirkan itu"
Kalau aku terlambat sampai di rumah hartawan Kwee,
nyawanya pasti melayang."
"Benar." Ngo Tok Kauwcu mengangguk sambil tertawa.
Merdu dan nyaring suara tawanya, membuktikan bahwa
wanita itu masih muda. "Seandainya engkau tidak ke sana,
Hek Sat (Algojo Hitam) pasti ke sana menyembuhkannya."
"Oh?" Tio Bun Yang tertegun.
"Kami cuma membutuhkan uang, sama sekali tidak ingin
membunuh orang," ujar Ngo Tok Kauwcu dan menambahkan.
"Karena kelancanganmu mengobati hartawan Kwee, kami
menderita kerugian besar."
"Kauwcu, bolehkah aku bertanya sesuatu?"
"Silakan!"
"Kenapa Kauwcu begitu membutuhkan uang?"
"Sebetulnya itu merupakan rahasia perkumpul?n kami, tapi
siauwhiap yang bertanya, maka akan kujawab agar siauw hiap
tidak menganggap kami sebagai penjahat," sahut Ngo Tok
Kauwcu. "Belasan tabun yang lalu, ayahku mati dibunuh teman
baiknya. Pada waktu itu, aku sedang belajar ilmu silat di
tempat guruku. Setahun lalu, aku pulang dan barulah
mengetahui bahwa ayahku telah mati dibunuh teman baiknya,
otomatis Ngo Tok Kauw pun bubar. Cuma tersisa beberapa
anggota dan Hek Pek Siang Sat yang amat setia kepada
almarhum. Oleh karena itu, aku bersumpah mencari
pembunuh ayahku, sekaligus membangun kembali Ngo Tok
Kauw. Tapi aku membutuhkan biaya yang cukup besar...."
"Jadi dengan. cara itu engkau memeras para hartawan"
tanya Tio Bun Yang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa boleh buat." Ngo Tok Kauwcu menghela nafas
panjang. "Karena tiada jalan lain untuk memperoleh uang, lagi
pula para hartawan itu sangat kaya. Akan tetapi aku tidak
akan membuat mereka habis-habisan."
"Kalau begitu, mengapa engkau minta pembayaran seribu
tael emas kepada hartawan Kwee" Pada hal hartawan lain
cuma membayar lima ratus tael emas, itu dikarenakan apa?"
"Karena aku hanya membutuhkan seribu tael emas lagi,
maka aku meminta pembayaran sebesar itu. Siauwhiap harus
tahu, tidak mungkin aku akan minta kepada hartawan yang
telah kami sembuhkan. Lagi pula sudah tiada lagi hartawan
lain yang mampu membayar lima ratus tael emas, maka kami
minta pembayaran seribu tael emas pada hartawan Kwee,"
"Ka1ian memang agak keterlaluan" Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala.
"Siauwhiap, sesungguhnya kami tidak keterlaluan." sahut
Ngo Tok Kauwcu. "Ka1au kami memeras orang miskin, itu
baru boleh dikatakan keterlaluan."
"Kalian membutuhkan uang untuk membangun kembali
Ngo Tok Kauw, tapi telah menyusahkan para hartawan." ujar
Tio Bun Yang, dan menambahkan, "Bukankah sementara ini,
Ngo Tok Kauw tidak dibangun kembali dulu?"
"Siauwhiap harus tahu, pembunuh ayahku itu kini telah
mendirikan Seng Hwee Kauw. Kalau aku tidak membangun
kembali Ngo Tok Kauw, tentunya sulit bagiku menuntut
balas." Ngo Tok Kauwcu memberitahukan. "Maka aku harap
Siauwhiap mengerti!"
"Aaaah...!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Balas
membalas, bunuh membunuh dan dendam mendendam!
Kenapa harus begitu" Kapan akan berakhir semuanya itu?"
"Siauwhiap tergolong kaum rimba persilatan, tentunya tahu
di rimba persilatan tidak akan terlepas dan semua itu," ujar
Ngo Tok Kauwcu. "Yang sangat kusesalkan adalah pembunuh
itu, karena dia adalah teman baik almarhum!"
"Oh ya! Kenapa ayahmu bisa dibunuh teman baiknya?"
tanya Tio Bun Yang mendadak.
"Belasan tahun yang lalu, ayahku memperoleh sebuah peta
penyimpanan kitab Pusaka Seng Hwee Cin Keng Ayahku
terlampau baik hati. Ketika mau berangkat, ayahku mengajak
teman baiknya itu. Ayahku memperoleh kitab pusaka tersebut,
sedangkan teman baik ayahku memperoleh pil Seng Hwee Tan
Karena itu, timbulah niat jahat dalam hati teman baik ayahku
itu. Dia mengusulkan lebih baik bersama mempelajari kitab
pusaka itu, dan ayahku setuju! Akan tetapi, disaat itulah dia
turun tangan jahat terhadap ayahku. Ayahku masih berhasil
meloloskan diri, namun akhirnya mati juga di tangan orang
itu. Bahkan orang itu pun membunuh seseorang yang
menolong ayahku, maka kitab pusaka itu jatuh ketangannya.
Kini orang itu telah mendirikan Seng Hwee Kauw, dia adalah
Seng Hwee Sin Kun"
"Ooooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Kok engkau
begitu jelas tentang kejadian itu?"
"Hek Pek Siang Sat yang memberitahukan kepadaku,"
sahut Ngo Tok Kauwcu, "Oleh karena itu, aku harus
membangun kembali Ngo Tok Kauw agar dapat melawan Seng
Hwee Kauw."
"Ternyata begitu..." Tio Bun Yang manggut-manggut,
kemudian menaruh bungkusan yang dibawanya ke atas meja
seraya berkata. "ini hadiah dari hartawan Kwee. Sebetulnya
aku tidak mau terima, tapi hartawan Kwee terus mendesak,
maka aku terpaksa menerimanya dengan maksud
dipergunakan untuk menolong orang miskin. Berhubung
Kauwcu sangat membutuhkan uang, jadi kuberikan kepada
Kauwcu saja. Isinya berupa uang perak atau uang emas, aku
sama sekali tidak tahu karena tidak memeriksanya."
"Oh?" Ngo Tok Kauwcu kelihatan tertegun. Begitu pula Hek
Pek Siang Sat, yang berdiri di sisi kiri kanannya. Mereka sama
sekali tidak menyangka, Tio Bun Yang akan memberikan uang
itu. "Nah!" Tio Bun Yang bangkit berdiri seraya berkata.
"Sekarang aku mohon diri!"
"Terimakasih atas kebaikan siauwhiap, tapi...?"
"Kenapa?"
"Peraturan Ngo Tok Kauw, apabila ada tamu yang
diundang, sebelum pergi harus dijajal kepandaiannya?"
"Kauwcu!" Tio Bun Yang menggelengkan kepala. "Itu tidak
perlu." "Harus," sahut Ngo Tok Kauwcu. Sesungguhnya tidak ada
peraturan tersebut, tapi wanita itu ingin menjajal kepandalan
Tio Bun Yang. "Kalau tidak, siauwhiap tidak bisa meninggalkan tempat
ini." "Kauwcu!" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa harus merusak suasana?"
"Itu sudah merupakan peraturan." sahut Ngo Tok Kauwcu
sambil tertawa, kemudian berkata kepada Hek Sat. "Ambilkan
kecapiku!"
"Kauwcu...." Hek Sat tampak ragu.
"Cepat ambilkan!" bentak Ngo Tok Kauwcu.
"Ya, Kauwcu." Hek Sat segera pergi mengambil kecapi
tersebut, kemudian ditaruh di atas meja.
"Kalian semua boleh meninggalkan ruang ini," ujar Ngo Tok
Kauwcu dan berpesan. "Bawa juga semua binatang beracun
yang ada di ruang ini!"
"Ya, Kauwcu." Hek Pek Siang Sat mengangguk, lalu
mengibaskan tangannya. Para anggota Ngo Tok Kauw yang
berdiri di situ langsung meninggalkan ruang itu. Barulah Hek
Pek Siang Sat berjalan pergi sambil bersiul dan seketika
semua binatang beracun yang ada di situ merayap pergi
mengikuti mereka.
"Tio siauwhiap!" Ngo Tok Kauwcu memandang monyet bulu
putih yang duduk diam dibahu Tio Bun Yang. "Bagaimana
monyet itu?"
"Tidak apa-apa." Tio Bun Yang tersenyum. "Biar kauw-heng
tetap duduk di bahuku."
"Baiklah." Ngo Tok Kauwcu mengangguk.
Ketika Tio Bun Yang berada di rumah hartawan Kwee,
monyet bulu putih tetap duduk dibahunya. Begitu pula di saat
Tio Bun Yang mengobati hartawan Kwee dan putrinya.
Hartawan Kwee dan isterinya memang tahu aturan, sama
sekali tidak bertanya tentang monyet bulu putih itu.
"Kauwcu ingin memainkan kecapi itu?" tanya Tio Bun Yang
sambil memandang alat musik yang ada di atas meja.
"Betul Sahut Ngo Tok Kauwcu "Tio siauwhiap harus tahu,
aku akan memainkan Mi Hun Mo Im (Suara Iblis Menyesatkan
Sukma), maka Siauwhiap harus berhati-hati Kalau tidak kuat
bertahan, jangan memaksa diri karena siauwhiap akan terluka
dalam." "Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Kalau begitu..." Jari tangan Ngo Tok Kauwcu menyentuh
tali senar kecapi itu. "Aku akan mulai."
Cring! Cring! Cring...! Jari tangan Ngo Tok Kauw mulai
bergerak memetik tali senar alat musik itu. Perlu diketahui, tali
senar itu berjumlah empat. Kini Ngo Tok Kauwcu hanya
memetik dua di antaranya, namun cukup mengejutkan Tio
Bun Yang, sebab ia m?lai terpengaruh oleh Mi Hun Mo Im itu.
Segeralah ia mengerahkan ilmu PenakLuk Iblis. Barulah ia
terbebas dan pengaruh itu, otomatis wajahnya berseri.
Bukan main kagumnya Ngo Tok Kauwcu, tapi juga merasa
penasaran karena Tio Bun Yang tidak terpengaruh Karena itu,
ia mulai memetik tali senar ke tiga, sehingga suara kecapi itu
semakin tajam dan meninggi.
Akan tetapi, Tio Bun Yang tetap tidak terpengaruh,
sebaliknya wajahnya malah bertambah berseri.
Ngo Tok Kauwcu semakin kagum, namun juga semakin
penasaran dan membuatnya jadi nekat. Ia mulai memetik tali
senar ke empat. Itu sungguh mengejutkan Tio Bun Yang,
sebab pemuda itu tahu akhirnya Ngo Tok Kauwcu akan
mengalami luka dalam, apabila ia kuat bertahan.
Oleh karena itu, Ia cepat-cepat mengeluarkan suling
pualamnya, sekaligus meniupnya. Terdengarlah suara suling
yang amat halus menekan suara kecapi itu. Tio Bun Yang
memang menggunakan suara suling pualamnya untuk
menekan suara kecapi agar Ngo Tok Kauwcu akan berhenti
memainkan kecapinya jadi tidak akan mengalami luka dalam.
Itu memang benar. Ngo Tok Kauwcu telah memetik tali senar
ke empat, maka tidak bisa berhenti mendadak. Apabila ia
berhenti mendadak, pasti mati terserang oleh Mi Hun Mo Im
itu. Di saat ia dalam keadaan gugup dan panik, dilihatnya Tio
Bun Yang mengeluarkan suling pualamnya. Tak lama
terdengarlah suara suling pualam yang amat halus, dan
seketika dadanya jadi lega.
Suara suling pualam itu berhasil menekan suara kecapi,
karena Tio Bun Yang mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin
Kang untuk meniup suling pualamnya itu.
Berselang beberapa saat kemudian, Ngo Tok Kauwcu pun
berhenti, lalu memandang Tio Bun Yang sambil menarik nafas
dalam-dalam. Tio Bun Yang pun berhenti meniup suling pualamnya, lalu
memandang Ngo Tok Kauwcu sambil tersenyum lembut.
"Terima kasih Tio siauwhiap!" ucapnya sambil memberi
hormat. "Kauwcu," ujar Tio Bun Yang berpesan. "Jangan
sembarangan memetik tali senar ke empat itu, sangat
membahayakan dirimu."
"Aku terlampau penasaran," sahut Ngo Tok Kauwcu sambil
menundukkan kepala. "Karena itu aku lalu nekat."
"Tiada artinya kan?" Tio Bun Yang tersenyum lagi. "Untung
aku memiliki suling pualam ini. Kalau tidak, bukankah Kauwcu
akan celaka?"
"Ya," Ngo Tok Kauwcu manggut-manggut. "Tio siauwhiap,
engkau memang merupakan pendekar yang berhati bajik. Aku
kagum sekali kepadamu."
"Terima kasih!" ucap Tio Bun Yang sambil menyimpan
suling pualamnya kedalam bajunya. "Oh ya! Kenapa Kauwcu
memakai cadar?"
"Karena...." Ngo Tok Kauwcu menghela nafas panjang.
"Karena wajahku telah rusak oleh racun. Sedangkan aku dan
Hek Pek Siang Sat tak dapat membuat obat pemunahnya."
"Oh?" Tio Bun Yang mengerutkan kening. "Kauwcu,
bolehkah aku melihat wajahmu?"
"Jangan!" Ngo Tok Kauwcu menggelengkan kepala.
"Karena akan mengejutkan Tio siauw hiap, wajahku...
sungguh menakutkan."
"Tidak apa-apa," ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh. "Aku
ingin memeriksa wajah Kauwcu."
"Tapi...." Ngo Tok Kauwcu tampak ragu.
"Jangan ragu, Kauwcu!" desak Tio Bun Yang. "Mudahmudahan


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku bisa mengobati wajahmu."
"Baiklah" Perlahan-lahan Ngo Tok Kauwcu melepaskan kain
cadarnya. Tio Bun Yang terbelalak sebab wajah Ngo Tok Kauwcu
memang sungguh menakutkan. Membengkak dan bernanah,
bahkan berlubang-lubang kecil.
"Kenapa wajah Kauwcu bisa jadi begitu?"
"Aaaah " Ngo Tok Kauwcu menghela nafas panjang, "Aku
meramu semacam racun, khususnya untuk membunuh Seng
Hwee Sin Kun. Namun ak? tidak berhasil meramu racun itu,
sebaliknya malah membuat wajahku jadi keracunan begini."
"Ooooh!" Tio Bun Yang manggut-manggUt. "Kauwcu,
bolehkah aku memerika wajahmu?"
"Silakan!" sahut Ngo Tok Kauwcu, Namun wanita itu tidak
yakin Tio Bun Yang dapat menyembuhkan wajahnya.
Tio Bun Yang mengeluarkan sebatang jarum perak, setelah
itu mulailah memeriksa wajah Ngo Tok Kauwcu dengan jarum
perak itu secara intensif sekali.
Berselang beberapa saat kemudian, barulah ia manggutmanggut,
sambil membersihkan jarum perak itu, yang lalu
disimpan ke dalam bajunya.
"Bagaimana" Bisakah engkau mengobati Wajahku?" tanya
Ngo Tok Kauwcu sambil memandangnya.
"Mudah-mudahan!" sahut Tio Bun Yang dengan tersenyum
lalu bertanya. "Oh ya, disini tersimpan Coa Cih Cauw (Daun
Lidah Ular) dan...?"
"Ada!" Ngo Tok Kauwcu mengangguk. Ia memang
menyimpan beberapa macam daun dan rumput obat tersebut.
"Tolong ambilkan!" ujar Tio Bun Yang.
Ngo Tok Kauwcu menepuk tangan tiga kali, kemudian
muncullah Hek Pek Siang Sat, yang lalu memberi hormat
kepada Ngo Tok Kauwcu.
"Ada perintah apa, Kauwcu?"
"Ambilkan daun dan rumput obat...." Ngo Tok Kauwcu
menyuruh mereka mengambil daun dan rumput obat tersebut.
"Ya, Kauwcu." Hek Pek Siang Sat segera pergi mengambil
daun dan rumput obat itu.
Tak seberapa lama, mereka sudah kembali kesitu dengan
membawa daun dan rumput obat itu, yang lalu ditaruhnya di
atas meja. "Kauwcu," ujar Tio Bun Yang. "Tolong tumbuk sampai halus
daun dan rumput obat itu!"
Ngo Tok Kauwcu mengangguk, lalu menumbuk daun dan
rumput obat itu sampai halus, setelah itu ditaruh ke dalam
sebuah mangkok tembaga.
Tio Bun Yang mengambil dua butir obat pemunah racun,
lalu dihancurkannya sekaligus dimasukkan ke dalam mangkok
tembaga itu, dan diaduknya.
Sementara Hek Pek Siang Sat saling memandang. Mereka
berdua tahu Tio Bun Yang mencoba mengobati wajah Kauwcu
mereka. Namun mereka berdua tidak yakin Tio Bun Yang akan
berhasil. "Maaf!" ucap Tio Bun Yang. "Aku akan mengoleskan obat
ini diwajahmu, boleh kan?"
Ngo Tok Kauwcu manggut..manggut.
Dengan hati-hati sekali Tio Bun Yang mengoleskan obat itu
di wajah Ngo Tok Kauwcu. Itu membuat Ngo Tok Kauwcu
berterima kasih dan terharu.
"Harus tunggu sebentar," ujar Tio Bun Yang sambil
tersenyum. Mudah-mudahan wajahmu akan sembuh!"
Ngo Tok Kauwcu manggut-manggut, Tio Bun Yang duduk
diam, sedangkan Hek Pek Siang Sat berdiri mematung di sisi
kiri kanan Ngo Tok Kauwcu, mereka berdua berharap wajah
Kauwcu bisa sembuh.
Tak lama kemudian, Tio Bun Yang menyuruh Hek Sat
mengambil sebaskom air hangat. Hek Sat mengangguk dan
segera pergi mengambil sebaskom air hangat lalu ditaruh di
atas meja. "Terima kasih!" ucap Tio Bun Yang. Kemudian ia
memandang Ngo Tok Kauwcu seraya berkata. "Silakan
Kauwcu mencuci muka sekarang!"
"Mencuci muka?" Ngo Tok Kauwcu tertegun. "Tapi. . . ."
"Jangan ragu, cucilah mukamu!" sahut Tio Bun Yang
mendesaknya sambil tersenyum lembut.
Ngo Tok Kauwcu menatapnya sejenak, setelah itu barulah
mulai mencuci mukanya. Berselang sesaat, Ia mendongakkan
kepalanya. Seketika Hek Pek Siang Sat berseru kaget dengan
mata terbelalak lebar.
"Haaah. . . .?"
"Kenapa?" tanya Ngo Tok Kauwcu dengan rasa heran.
"Wajah Kauwcu! Wajah Kauwcu!"
"Kenapa wajahku?" tanya Ngo Tok Kauwcu tegang.
"Wajah Kauwcu sudah sembuh," sahut Hek Pek Siang Sat
serentak dengan wajah berseri. "Wajah Kauwcu sudah
sembuh." "Apa"!" Ngo Tok Kauwcu kurang percaya. "Wajahku telah
sembuh?" "Benar." Tio Bun Yang manggut-manggut sambil
tersenyum. "Cobalah Kauwcu raba!"
Dengan tangan agak bergemetar Ngo Tok Kauwcu merabaraba
wajahnya Ternyata wajahnya sudah berubah halus.
Betapa terkejut dan gembiranya Ngo Tok Kauwcu. Mulut
ternganga lebar dan matanya terbelalak menatap Tio Bun
Yang. "Wajahku. . . wajahku. . . ."
Tio Bun Yang hanya tersenyum. Sedangkan Hek Sat segera
mengambil sebuah kaca, lalu diberikan kepada Ngo Tok
Kauwcu. Ngo Tok Kauwcu langsung mengaca, dan begitu melihat
wajahnya ?a langsung menangis terisak-isak. Memang
sungguh di luar dugaan, karena wajahnya sudah sembuh,
sehingga tampak cantik.
"Selamat, Kauwcu!" ucap Tio Bun Yang.
"Tio siauwhiap...." Gadis berusia dua puluhan itu langsung
berlutut di hadapan Tio Bun Yang.
Ketika melihat Ngo Tok Kauwcu berlutut, Hek Pek Siang Sat
pun ikut berlutut di hadapan Tio Bun Yang.
"Bangunlah!" Tio Bun Yang mengangkat bangun Ngo Tok
Kauwcu. "Tidak usah begini!"
Ngo Tok Kauwcu terus menangis terisak-isak sambil bangkit
berdiri, begitu pula Hek Pek Siang Sat.
"Tio siauwhiap," ujar gadis itu dengan air mata berderaiderai
sambil duduk. "Namaku Phang Ling Cu. Aku... aku telah
berhutang budi kepadamu."
"Jangan berkata begitu!" Tio Bun Yang tersenyum. "ini
cuma kebetulan saja.."
"Tio siauwhiap, bolehkah aku tahu siapa ayahmu?" tanya
Ngo Tok Kauwcu mendadak.
"Ayahku bernama Tio Cie Hiong."
"Hah" Apa?" Phang Ling Cu dan Hek Pek Siang Sat tampak
terkejut sekali. "Pek Ih Sin Hiap adalah ayahmu?"
"Ya."
"Aaaah. . . ." Ngo Tok Kauwcu Phang Ling Cu menghela
nafas panjang,"Pantas engkau dapat menyembuhkan
wajahku, karena Sok Beng Yok Ong adalah guru ayahmu"
"Kok Kauwcu tahu?" tanya Tio Bun Yang
"Hek Peng Siang Sat yang memberitahukan," sahut Ngo
Tok Kauwcu Phang Ling Cu. "Sungguh beruntung aku bertemu
engkau!" "Tao siauwhiap," ujar Hek Sat, "Kami sama sekali tidak
menyangka, bahwa engkau adalah putera Pek Ih Sin Hiap
yang sangat kesohor itu. Maafkan kami, yang telah berlaku
kurang hormat terhadapmu, Tio siauwhiap!"
"Jangan berkata begitu," ujar Tao Bun Yang
"Sesungguhnya kalian sangat baik terhadapku."
"Tio siauwhiap!" Ngo Tok Kauwcu tersenyum. "Usiaku lebih
tua darimu, bagaimana kalau aku memanggilmu adik, dan
engkau memanggilku kakak?"
"Baik."Tio Bun Yang tersenyum.
"Adik Bun Yang." Ngo Tok Kauwcu tertawa gembira, begitu
pula Hek Pek Siang Sat.
"Kakak Ling Cu, aku sudah harus mohon diri." Tio Bun Yang
bangkit berdiri. "Karena harus meneruskan perjalanan."
"Adik Bun Yang...." Wajah Ngo Tok Kauwcu berubah
muram. "Bagaimana kalau engkau tinggal di sini beberapa
hari?" "Maaf Kakak Ling Cu!" ucap Tio Bun Yang. "Aku harus
segera meneruskan perjalanan, lain kali aku akan ke mari lagi.
"Baiklah," Ngo Tok Kauwcu manggut-manggut, lalu
menyerahkan bungkusan yang diambilnya di atas meja kepada
Tio Bun Yang. "Jangan lupa membawa bungkusan ini!"
"Kakak Ling Cu!" Tio Bun Yang tersenyum. "Engkau sangat
membutuhkan uang, jadi itu untukmu saja."
"Adik Bun Yang...."
"Kakak Ling Cu, sampai jumpa!" Tio Bun Yang melangkah
pergi. Ngo Tok Kauwcu dan Hek Pek Siang Sat mengantarnya
sampai di depan, dan setelah Tio Bun Yang hilang dan
pandangan mereka, barulah mereka kembali masuk.
"Aaaah...." Ngo Tok Kauwcu menghela nafas panjang.
"Sungguh tak disangka, dia malah menyembuhkan wajahku!"
"Ternyata Pek Ih Sin Hiap Tio Cie Hiong adalah ayahnya!"
ujar Hek Sat memberitahukan. "Ketika ayahmu masih hidup,
ingin sekali ayahmu bertemu Pek Ih Sin Hiap, namun...."
"Ayahmu keburu mati," sambung Pek Sat sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Kini malah putranya yang
menyembuhkan wajahmu. Sungguh hebat ilmu
pengobatannya!"
"Maklum," ujar Hek Sat. "Ayahnya pernah ikut Sok Beng
Yok Ong, maka Bun Yang pun mahir ilmu pengobatan."
"Aaaah....!" Ngo Tok Kauwcu menghela nafas lagi. "Yang
jelas Ngo Tok Kauw telah berhutang budi padanya."
-oo0dw0oo- Bagian 26 Menolong seorang Tua
Tio Bun Yang telah meninggalkan kota Kang Shi, dan kini
memasuki sebuah hutan. Tiba-tiba ia mendengar suara
rintihan. Segeralah ia melesat ke sana. Dilihatnya seorang tua
berusia enam puluhan duduk bersandar di sebuah pohon
sambil merintih-rintih. Nafasny? memburu, dan wajahnya
pucat pias. "Paman...." Tio Bun Yang mendekatinya.
"Anak muda..." sahut orang tua itu lemah. "Kakiku terpagut
ular beracun."
"Oh?" Tio Bun Yang cepat-cepat memeriksa kaki orang tua
itu. Memang terdapat bekas pagutan ular di betisnya.
Tio Bun Yang segera menotok beberapa jalan darah di
dada orang tua itu, agar racun ular tidak menjalar ke jantung.
Setelah itu, ia mengeluarkan jarum peraknya, kemudian
mengorek bekas pagutan ular.
Sementara orang tua itu terus menatapnya dengan mata
redup. Usai mengorek bekas pagutan ular itu, Tio Bun Yang
memasukkan sebutir obat pemunah racun ke dalain mulut si
orang tua. Tak seberapa lama, tampak darah hitam mengalir ke luar
dan bekas pagutan ular. Berselang sesaat, yang keluar
berganti darah merah, Tio Bun Yang segera menotok jalan
darah di kaki orang tua itu. Seketika darah merah berhenti
mengalir dan Tio Bun Yang menarik nafas lega.
Nafas orang tua itu tidak memburu lagi, dan wajahnya pun
tampak agak segar. Betapa gembiranya orang tua itu,
kemudian ucapnya. "Terimakasih anak muda, engkau telah
menyelamatkan nyawaku!"
"Paman. . ." Tio Bun Yang tersenyum "Dimana rumah
Paman" Aku akan mengantar Paman pulang."
"Tidak jauh dan sini," sahut orang tua itu sambil menunjuk
ke arah timur. Tio Bun Yang menggendong orang tua itu, lalu melesat ke
arah timur menuju rumah orang tua tersebut.
Tak seberapa lama, sampailah ia di rumah orang tua itu.
Ditaruhnya orang tua itu ke tempat duduk, kemudian ia pun
duduk di hadapannya".
"Kenapa Paman berada di hutan itu?"
"Aku mencari daun obat-obatan, tapi tanpa sengaja aku
menginjak ular beracun, dan kemudian ular itu memagut
betisku." "Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Paman seorang
diri tinggal di rumah ini?"
"Ya." Orang tua itu mengangguk lalu bertanya. "Anak
muda, bolehkah aku tahu siapa engkau?"
"Namaku Tio Bun Yang, Paman."
"Aku Sie Kuang Han!" Orang tua itu memberitahukan. "Aku
mempunyai seorang anak, namanya Sie Keng Hauw."
"Kok tidak kelihatan anak paman itu?"
"Dia berada di tempat gurunya, mungkin tidak lama lagi
akan pulang." Sie Kuang Han menatapnya. "Anak muda,
terimakasih atas pertolonganmu."
"Tidak usah berterimakasih, Paman!" Tio Bun Yang
tersenyum. "Kebetulan aku lewat di hutan itu, dan mendengar
suara rintihan Paman."
"Oooh?" Sie Kuang Han manggut-manggut, "Engkau masih
muda, tapi mahir ilmu pengobatan. Aku yakin, engkau pasti
berkepandaian tinggi."
Tio Bun Yang hanya tersenyum. Mendadak Sie Kuang Han
menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Paman kenapa?" tanya Tio Bun Yang heran.
"Sudah belasan tahun aku tinggal di sini, tidak sangka hari
ini engkau yang menyelamatkan nyawaku."
"Selama belasan tahun, Paman tidak pernah meninggalkan
tempat ini?"
"Tidak pernah." Sie Kuang Han menghela napas panjang
lagi "Aku memang mengasingkan diri disini Karena di luar sana
sudah tidak karuan."
"Tidak karuan" Maksud paman?"
"Kerajaan kacau balau, Thay Kam yang berkuasa di istana.
Kelihatannya Dinasti Beng tidak bertahan lebih lama lagi"
"Paman mantan pembesar?"
-oo0dw0oo- Jilid 6 "Aku memang mantan pengawal seorang jenderal," sahut


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sie Kuang Han sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Jenderal itu saudara Kandungku, namanya Sie Kuang Weng.
Belasan tahun lalu, Lu Thay Kam memfitnah saudaraku.
Karena itu, kaisar langsung menghukum mati kami sekeluarga.
Aku membawa putraku melarikan diri, namun saudaraku
sekeluarga...."
"Dihukum mati semua?" sambung Tio Bun Yang.
"Ya." Sie Kuang Han mengangguk dengan mata basah.
"Saudaraku mempunyai seorang putri bernama Sie Hui San,
entah bagaimana nasibnya" mudah-mudahan ada orang
menolongnya!"
"Kalau Sie Hui San selamat, kira-kira berapa usianya
sekarang?" tanya Tio Bun Yang.
"Sekitar tujuh belas." Sie Kuang Han memberitahukan. "Di
lehernya terdapat sebuah tanda merah. Akan tetapi,
bagaimana mungkin dia bisa selamat?"
"Oh ya! Sudah berapa lama putra Paman berada di tempat
gurunya?" "Sudah hampir sepuluh tahun. Apabila dia berhasil
menguasai kepandaian tinggi, dia harus pergi membunuh Lu
Thay Kam itu."
"Paman...." Tio Bun Yang menggeleng-geleng kan kepala.
"Apa gunanya bunuh-membunuh" Tiada artinya sama sekali."
"Anak muda!" Sie Kuang Han menatapnya "Lu Thay Kam
itu memfitnah saudaraku ingin memberontak, akhirnya kaisar
menghukum mati saudaraku sekeluarga, bahkan isteriku pun
di hukum mati. Itu merupakan dendam kesumat, maka Lu
Thay Kam harus dibunuh!"
"Paman...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala
lagi, kemudian bangkit berdiri. "Paman, aku mohon pamit!"
"Kenapa begitu cepat?"
"Aku masih harus meneruskan perjalanan Sampai jumpa,
Paman!" "Anak muda...." Sie Kuang Han menghela nafas panjang.
Sedangkan Tio Bun Yang terus berjalan meninggalkan rumah
itu. -oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Ketika matahari mulai condong ke ufuk barat, Bun Yang
telah sampai di sebuah kota kecil, mendadak ia mendengar
suara pertempuran, dan segera melesat ke tempat itu.
Ternyata pasukan kerajaan sedang bertempur dengan para
pemberontak, korban pun berjatuhan.
Menyaksikan pertempuran itu, Tio Bun Yang menggelenggelengkan
kepala. Para pemberontak bertempur mati matian,
dan pasukan kerajaan yang berjumlah ratusan orang itu terus
menyerang para pemberontak yang tersisa puluhan orang,
sebab sudah banyak vang mati dan terluka.
"Habiskan mereka semua!" seru pemimpin pasukan
kerajaan. "Jangan sampai ada yang meloloskan diri!"
Sebetulnya Tio Bun Yang tidak mau mencampuri urusan
itu. Namun ia merasa tidak tega melihat para pemberontak
dibantai oleh pasukan kerajaan.
"Kauw heng, aku terpaksa harus menolong para
pemberontak itu," ujarnya kepada monyet putih yang duduk di
bahunya. Monyet bulu putih bercuit sambil manggut-manggut,
seakan menyetujuinya. Tio Bun Yang menarik nafas dalam
dalam, setelah itu mendadak melesat ke depan, lalu beijungkir
balik ke arah pemimpin pasukan kerajaan itu.
Betapa terkejutnya pemimpin pasukan kerajaan ketika
melihat sosok bayangan melesat ke ....
Jilid 6 Halaman 6-7 ga ada
..... itu sambil memberi hormat. "Silakan masukk!."
Tio Bun Yang memandang kedua orang yang
mengantarnya, dan kedua orang itu segera berkata
"Silakan masuk, siauw hiap! Kami menunggu di luar saja."
Tio Bun Yang manggut-manggut, lalu melangkah memasuki
tenda itu. Dilihatnya seorang lelaki berusia empat puluh, yang
gagah dan berwibawa duduk di situ.
"Oh, siauw hiap!" Lelaki itu tertawa gembira sambil bangkit
berdiri. "Silakan duduk!"
"Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang lalu duduk
"Siauw hiap!" Lelaki itu memandangnya sambil
memperkenalkan diri. "Aku Lie Tsu Seng, terima kasih atas
pertolonganmu!".
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut" Ternyata Paman
adalah Lie Tsu Seng yang di sanjung rakyat! Kebetulan aku
lewat di kota kecil itu. Karena menyaksikan pertempuran yang
tak seimbang maka aku turun tangan menolong para
pemberontak itu."
"Mereka para anak buahku" Lie Tsu Seng memberitahukan.
"Kalau siauw hiap tidak segera muncul, mereka pasti mati.
Sekali lagi kuucapkan terimakasih kepada siauw hiap!"
"Paman tidak usah mengucapkan terima kasih kepadaku.
Paman ingin membebaskan penderitaan rakyat, maka wajar
aku membantu mereka" ujar Tio Bun sambil tersenyum.
"Oh ya, nama siauw hiap ?"
"Namaku Tio Bun Yang "
"Tio siauw hiap masih sangat muda, tapi berkepandaian
begitu tinggi. Itu sungguh di luar dugaan dan mengagumkan!
Ha..ha..ha!"
"Paman!" Tio Bun Yang memandangnya. "Ada sesuatu
penting Paman mengundangku kemari?"
"Begini, kini kerajaan sudah bobrok. Para Thay Kam dan
menteri saling merebut kekuasaan, sedangkan kaisar cuma
tahu bersenang-senang, sehingga membuat rakyat menderita
sekali. Tio Sauw hiap berkepandaian begitu tinggi, bagaimana
kalau bergabung dengan kami?"
"Maaf, Paman!" Tio Bun Yang menggelengkan kepala. "Aku
tidak mau mencampuri urusan politik kerajaan."
"Aaaah...." Lie Tsu Seng menghela nafas panjang "Sungguh
sayang sekali! Padahal saat ini tenagamu sangat dibutuhkan
rakyat." "Maaf, Paman!" ucap Tio Bun Yang sambil bangkit berdiri.
"Aku tidak mau mencampuri urusan pemberontakan."
"Tio siauw hiap...." Lie Tsu Seng tampak kecewa sekali.
"Paman, banyak pemberontakan di sana sini. Paman harus
menyatukan mereka, agar kuat. Kalau tidak. Paman tidak akan
berhasil," ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh.
"Usul yang tepat!" Lie Tsu Seng tertawa gernbira. "Aku
pasti berupaya menyatukan mereka!!
"Oh ya!" Tio Bun Yang memberitahukan. "Kalau aku
bertemu Bibi Suan Hiang, aku akan berunding dengan dia
supaya dia mau bergabung dengan Paman."
"Siapa dia?" tanya Lie Tsu Seng tertarik.
"Bibi Suan Hiang adalah ketua Tiong Ngie Pay." Tio Bun
Yang memberitahukan. "Mungkin Bibi Suan Hiang akan
bergabung dengan Paman"
"Ketua Tiong Ngie Pay?" Wajah Lie Tsu berseri.
"Perkumpulan itu khususnya menentang Hiat Ih Hwe, kan"'
"Betul."
"Bagus, bagus!" Lie Tsu Seng tertawa gelak. "Sudah lama
aku ingin menemui ketua Tiong Ngie Pay itu, namun tidak
mempunyai waktu. Kebetulan engkau ingin bicara kepadanya,
itu sungguh bagus sekali. Tolong sampaikan salamku
kepadanya, dan semoga mereka bersedia bergabung dengan
kami!" "Pasti kuusahakan," ujar Tio Bun Yang berjanji.
"Terimakasih!" ucap Lie Tsu Seng sambil tertawa gembira.
"Ha ha ha...!"
"Paman, aku mohon pamit!"
"Baiklah." Lie Tsu Seng mengangguk, lain mengantar Tio
Bun Yang sampai di luar tenda.
"Sampai jumpa, Paman!" ucap Tio Bun Yang ambil memberi
hormat, kemudian melesat pergi laksana kilat,
"Bukan main!" seru Lie Tsu Seng kagum. "Masih begitu
muda tapi berkepandaian begitu tinggi"
---ooo0dw0ooo---
..... itu sambil memberi hormat. "Silakan masukk!."
Tio Bun Yang memandang kedua orang yang
mengantarnya, dan kedua orang itu segera berkata
"Silakan masuk, siauw hiap! Kami menunggu di luar saja."
Tio Bun Yang manggut-manggut, lalu melangkah memasuki
tenda itu. Dilihatnya seorang lelaki berusia empat puluh, yang
gagah dan berwibawa duduk di situ.
"Oh, siauw hiap!" Lelaki itu tertawa gembira sambil bangkit
berdiri. "Silakan duduk!"
"Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang lalu duduk
"Siauw hiap!" Lelaki itu memandangnya sambil
memperkenalkan diri. "Aku Lie Tsu Seng, terima kasih atas
pertolonganmu!".
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut" Ternyata Paman
adalah Lie Tsu Seng yang di sanjung rakyat! Kebetulan aku
lewat di kota kecil itu. Karena menyaksikan pertempuran yang
tak seimbang maka aku turun tangan menolong para
pemberontak itu."
"Mereka para anak buahku" Lie Tsu Seng memberitahukan.
"Kalau siauw hiap tidak segera muncul, mereka pasti mati.
Sekali lagi kuucapkan terimakasih kepada siauw hiap!"
"Paman tidak usah mengucapkan terima kasih kepadaku.
Paman ingin membebaskan penderitaan rakyat, maka wajar
aku membantu mereka" ujar Tio Bun sambil tersenyum.
"Oh ya, nama siauw hiap ?"
"Namaku Tio Bun Yang "
"Tio siauw hiap masih sangat muda, tapi berkepandaian
begitu tinggi. Itu sungguh di luar dugaan dan mengagumkan!
Ha..ha..ha!"
"Paman!" Tio Bun Yang memandangnya. "Ada sesuatu
penting Paman mengundangku kemari?"
"Begini, kini kerajaan sudah bobrok. Para Thay Kam dan
menteri saling merebut kekuasaan, sedangkan kaisar cuma
tahu bersenang-senang, sehingga membuat rakyat menderita
sekali. Tio Sauw hiap berkepandaian begitu tinggi, bagaimana
kalau bergabung dengan kami?"
"Maaf, Paman!" Tio Bun Yang menggelengkan kepala. "Aku
tidak mau mencampuri urusan politik kerajaan."
"Aaaah...." Lie Tsu Seng menghela nafas panjang "Sungguh
sayang sekali! Padahal saat ini tenagamu sangat dibutuhkan
rakyat." "Maaf, Paman!" ucap Tio Bun Yang sambil bangkit berdiri.
"Aku tidak mau mencampuri urusan pemberontakan."
"Tio siauw hiap...." Lie Tsu Seng tampak kecewa sekali.
"Paman, banyak pemberontakan di sana sini. Paman harus
menyatukan mereka, agar kuat. Kalau tidak. Paman tidak akan
berhasil," ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh.
"Usul yang tepat!" Lie Tsu Seng tertawa gernbira. "Aku
pasti berupaya menyatukan mereka!!
"Oh ya!" Tio Bun Yang memberitahukan. "Kalau aku
bertemu Bibi Suan Hiang, aku akan berunding dengan dia
supaya dia mau bergabung dengan Paman."
"Siapa dia?" tanya Lie Tsu Seng tertarik.
"Bibi Suan Hiang adalah ketua Tiong Ngie Pay." Tio Bun
Yang memberitahukan. "Mungkin Bibi Suan Hiang akan
bergabung dengan Paman"
"Ketua Tiong Ngie Pay?" Wajah Lie Tsu berseri.
"Perkumpulan itu khususnya menentang Hiat Ih Hwe, kan"'
"Betul."
"Bagus, bagus!" Lie Tsu Seng tertawa gelak. "Sudah lama
aku ingin menemui ketua Tiong Ngie Pay itu, namun tidak
mempunyai waktu. Kebetulan engkau ingin bicara kepadanya,
itu sungguh bagus sekali. Tolong sampaikan salamku
kepadanya, dan semoga mereka bersedia bergabung dengan
kami!" "Pasti kuusahakan," ujar Tio Bun Yang berjanji.
"Terimakasih!" ucap Lie Tsu Seng sambil tertawa gembira.
"Ha ha ha...!"
"Paman, aku mohon pamit!"
"Baiklah." Lie Tsu Seng mengangguk, lain mengantar Tio
Bun Yang sampai di luar tenda.
"Sampai jumpa, Paman!" ucap Tio Bun Yang ambil memberi
hormat, kemudian melesat pergi laksana kilat,
"Bukan main!" seru Lie Tsu Seng kagum. "Masih begitu
muda tapi berkepandaian begitu tinggi"
---ooo0dw0ooo---
Tio Bun Yang terus melanjutkan perjalanan. Di saat saat
memasuki sebuah rimba, mendadak muncul belasan orang
berpakaian hijau dengan berbagai macam senjata di tangan.
Belasan orang berpakaian hijau itu langsung mengurungnya,
dan Tio Bun Yang memandang mereka dengan kening
berkerut. "Siapa kalian?" tanyanya. "Kenapa mengurungku?"
"Engkau adalah Giok Siauw Sin Hiap - Tio Bun Yang,
bukan?" tanya salah seorang, yang rupanya pemimpin belasan
orang berpakaian hijau itu.
"Betul." Tio Bun Yang manggut-manggut.
"Kami para anggota Seng Hwee Kauw! Hari ini engkau
harus mampus di tangan kami!"
"Oh?" Tio Bun Yang tersenyum. "Kita tidak bermusuhan,
kenapa kalian ingin membunuhku?"
"Ini perintah dari ketua kami!"
"Siapa ketua kalian?"
"Seng Hwee Sin Kun!"
"Apakah Seng Hwee Sin Kun punya dendam denganku?"
"Kami tidak tahu! Yang jelas ketua perintahkan kami
membunuhmu! Bersiap-siaplah engkau untuk mati!"
"Aaaah...!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Kenapa
kalian mematuhi perintahnya yang bukan-bukan ini?"
"Seng Hwee Sin Kun adalah ketua kami sudah barang tentu
kami harus mematuhi semua perintahnya!"
"Sudahlah!" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Lebih baik kalian membiarkan aku pergi."
'Tidak bisa! Pokoknya kami harus membunuhmu!" sahut
orang itu. "Kalian semua betul-betul cari penyakit," ujar Tio Bun Yang
sambil mengeluarkan suling pualam nya. Sedangkan monyet
bulu putih tetap duduk di bahunya.
"Serang dia!" seru pemimpin para anggota Seng Hwee
Kauw itu. Orang-orang itu langsung menyerang Tio Bun Yang dengan


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbagai macam senjata. Tio Bun Yang segera berkelit
menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou, kemudian balas
menyerang dengan ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Khi dan
mengeluarkan jurus Hai Lang Thau Thau (Ombak Laut
Menderu-Deru), Hoan Thian Coan Te (Membalikkan Langit
Memutarkan Bumi) dan jurus Han In Giok Siauw (Ribuan
Bayangan Suling Kumala).
Ketiga jurus itu berhasil memutuskan urat para anggota
Seng Hwee Kauw, sehingga kepandaian mereka musnah.
Mereka terkapar sambil merintih-rintih dengan mulut
mengeluarkan darah segar.
"Engkau... engkau...." Pemimpin para anggota Seng Hwee
Kauw menunjuknya dengan tangan bergemetar.
"Kalian yang cari penyakit, bukan aku berhati kejam," ujar
Tio Bun Yang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kini
kepandaian kalian telah musnah, aku harap kalian menjadi
orang baik-baik!"
"Hmm!" dengus pemimpin para anggota Seng Hwee Kauw.
"Ketua kami pasti mencarimu untuk menuntut balas!"
"Oh?" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku memang ingin
bertemu ketua kalian. Di mana markas kalian?"
"Di Lembah Kabut Hitam!"
"Di mana Lembah itu?"
"Dekat kaki Gunung Batu Hitam!"
"Terimakasih atas kesediaanmu memberitahukan
kepadaku, sampai jumpa!" ucap Tio Bun Yang lalu melesat
pergi ---ooo0dw0ooo---
Bagian ke dua puluh tujuh
Hiat Ih Hwe dan Seng Hwee Kauw bekerja sama.
Seng Hwee Sin Kun memukul meja dengan wajah merah
padam. Dia sangat gusar setelah menerima laporan bahwa
belasan anggotanya gagal membunuh Tio Bun Yang, dan
sebaliknya kepandaian mereka malah musnah.
"Aku harus membunuh Tio Bun Yang!" ujar Seng Hwee Sin
Kun sambil mengepal tinju.
"Jangan gusar, Ketua!" ujar Leng Bin Hoatsu. "Sebab para
anggota kita itu berkepandaian rendah, tentunya tidak bisa
melawan Giok Siauw Sin Hiap."
"Kalau begitu, perlukah aku yang turun tangan membunuh
Giok Siauw Sin Hiap, Chu Ok Hiap dan lainnya?"
"Tidak perlu, Ketua," sahut Pek Bin Kui dan menambahkan.
"Apabila perlu, kami akan turun tangan."
"Betul," sambung Pat Pie Lo Koay. "Biar kami yang turun
tangan, dan itu sudah cukup."
Mendadak terdengar suara seruan di luar, yang susulmenyusul,
dan seketika mereka pun berhenti berbicara.
"Gak Cong Heng, wakil ketua Hiat Ih Hwe berkunjung!"
"Gak Cong Heng wakil ketua Hiat Ih Hwe berkunjung..'"
"Undang dia masuk!" sahut Seng Hwee Sin Kun.
"Undang dia masuk!
"Undang dia masuk...." terdengar suara yang susulmenyusul
sampai di luar.
Berselang beberapa saat, tampak seseorang berjalan
masuk, yang tidak lain Gak Cong Heng, wakil ketua Hiat Ih
Hwe, yang lalu memberi hormat kepada Seng Hwee Sin Kun
dan lainnya. "Selamat datang, Saudara Gak!" ucap Seng Hwee Sin Kun
sambil tertawa gembira. "Ha ha ha...!"
"Selamat bertemu, ketua!" sahut Gak Cong Heng sambil
tertawa gelak. "Silakan duduk!" ucap Seng Hwee Sin Kun.
"Terimakasih!" Gak Cong Heng duduk.
"Mari kuperkenalkan! Ini adalah Leng Bin Hoat, wakil ketua
Seng Hwee Kauw dan...." Seng Hwee Sin Kun
memperkenalkan mereka satu-persatu.
Gak Cong Heng dan mereka saling memberi hormat sambil
tertawa-tawa, setelah itu Seng Hwe Sin Kun bertanya.
"Ada sesuatu penting Saudara Gak ke mari?"
"Ya," Gak Cong Heng mengangguk. "Ketua mengutusku ke
mari untuk mengundang Hwee Sin Kun ke markas kami."
"Oh?" Seng Hwee Sin Kun menatapnya sambil tertawa.
"Ketua Hiat Ih Hwe ingin merundingkan sesuatu denganku?"
"Betul." Gak Cong Heng mengangguk.
"Kalau begitu...." Seng Hwee Sin Kun diam sejenak,
kemudian barulah manggut-manggut. "Baik, aku akan ke
sana." "Terimakasih, Sin Kun!" ucap Gak Cong Heng gembira.
"Harap Sin Kun bersedia ikut aku kesana"
"Sekarang?" ujar Seng Hwee Sin Kun.
"Ya."
Baiklah," Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. "Mari kita
berangkat, jadi tidak usah membuang-buang waktu."
"Betul," Lu Thay Kam manggut-manggut.
"Terimakasih!" ucap Gak Cong Heng, dan mereka berdua
lalu berangkat Wajah Gak Cong Heng tampak berseri, karena berhasil
mengundang Seng Hwee Sin Kun ke markasnya.
---ooo0dw0ooo---
Di dalam markas Hiat Ih Hwe, tampak beberapa orang
sedang duduk sambil tertawa gembira, dan terus bersulang
dengan wajah berseri-seri.
"Ketua "Ha ha ha!" Ketua Hiat Ih Hwe tertawa gembira.
"Sin Kun mau ke mari, sungguh merupakan suatu kehormatan
bagi Hiat Ih Hwe."
"Sama-sama," sahut Seng Hwee Sin Kun sambil tertawa
gelak. "Lu Kong Kong mengundangku kemari, juga merupakan
kehormatan bagiku."
"Ha ha ha!" Ketua Hiat Ih Hwe atau Lu Thay Kam tertawa
terbahak-bahak. "Mari kita bersulang lagi!"
Mereka bersulang, setelah itu mulailah mereka mengarah
pada pokok pembicaraan,
"Lu Kong Kong mengundangku ke mari, tentunya ada
sesuatu penting. Silakan terbuka saja!" ujar Seng Hwee Sin
Kun "Betul" Lu Thay Kam manggut-manggut "Terus terang, aku
ingin berunding dengan Sin Kun."
"Mengenai apa?"
"Maksudku, Hiat Ih Hwe ingin bekerja sama dengan Seng
Hwee Kauw. Bagaimana menurut. Sin Kun?"
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa. "Itu memang baik
sekali. Tentunya aku setuju."
"Bagus, bagus! Ha ha ha...!" Lu Thay Kam tertawa
gembira. "Namun hal ini sudah pasti ada persyaratannya,
bukan?" "Betul." Seng Hwee Sin Kun mengangguk
"Kira-kira apa persyaratannya?"
"Bagaimana kalau Sin Kun yang mengajukannya dulu?"
"Lu Kong Kong tentunya tahu bahwa Se Hwee Kauw kian
hari kian bertambah besar dan kuat, namun____" Lanjut Seng
Hwee Sin Kun sambil memandangnya. "Mengenai keuangan
Seng Hwe Kauw, otomatis mengalami kesulitan."
"Maksud Sin Kun ingin minta bantuanku! tanya Lu Thay
Kam. "Ya." Seng Hwee Sin Kun mengangguk.
"Itu gampang. Kapan Sin Kun membutuhkan, aku pasti
menyediakannya," ujar Lu Thay Kan sambil tertawa.
"Terimakasih, Lu Kong Kong!" Seng Hwei Kam Sin Kun juga
tertawa. "Lalu bagaimana syarat Lu Kong Kiam- Kong Kong?"
"Tentunya Sin Kun tahu, kini yang berani menentang Hiat
Ih Hwe adalah Tiong Ngie Pay Jadi syaratku hanya
menghendaki agar Seng Kauw membasmi Tiong Ngie Pay
Apakah Sin Kun sanggup"
"Sanggup," Seng Hwee Sin Kun manggul-manggut.
"Kalau begitu, mari kita bersulang atas kc sepakatan kita
untuk bekerja sama! Ha ha ha...!" Lu Thay Kam tertawa
gembira. "Mari!" Seng Hwee Sin Kun juga tertawa terbahak-bahak.
Mereka berdua bersulang dengan wajah ber-ri, dan sesaat
kemudian mereka mulai bercakap-cakap lagi.
"Oh ya!" Lu Thay Kam teringat sesuatu. "Kini istriku sedang
merantau. Aku menghadiahkan pedang pusaka Han Kong
Kiam kepadanya. Harap Sin Kun perintahkan kepada para
anggota, agar jangan mengganggu gadis yang memiliki
pedang tersebut."
"Baik." Seng Hwee Sin Kun mengangguk.
"Tapi bagaimana bentuk Pedang Pusaka itu?"
"Pedang pusaka itu dapat memancarkan cahaya yang
mengandung hawa dingin. Lu Thay Kam memberitahukan.
"Itulah pedang pusaka Han Kong Kiam"
"Nama putri Lu Kong Kong?"
"Kuberitahukan kepada Sin Kun, tapi harus dirahasiakan!"
pesan Lu Thay Kam dan memberitahukan. "Namanya Lu Hui
San!" "Aku pasti merahasiakan identitasnya, ujar Seng Hwee Sin
Kun berjanji. "Pokoknya para anggotaku tidak akan
mengganggu putri Lu Kong Kong itu."
"Terimakasih!" ucap Lu Thay Kam. "Oh ya, Sin Kun
membutuhkan berapa banyak uang emas?"
Seng Hwee Sin Kun memberitahukan berapa jumlahnya.
"Cukupkah?" tanya Lu Thay Kam sambil tertawa
"Cukup."
"Kalau kurang, kapan pun Sin Kun bok minta kepadaku,"
ujar Lu Thay Kam.
"Terimakasih, Lu Kong Kong!" ucap Seng Hwee Sin Kun
dengan gembira. "Oh ya, kapan uang itu akan dikirimkan ke
markasku?"
"Beberapa hari ini." Lu Thay Kam memberitahukan. "Aku
akan mengutus Gak Cong Heng dan beberapa orang untuk
mengantar uang tersebut ke markas Sin Kun!"
"Terimakasih!" ucap Seng Hwee Sin Kun dengan wajah
berseri. "Setelah menerima uang itu aku pasti memerintahkan
para anggotaku pergi menyerang Tiong Ngie Pay."
"Bagus, bagus! Pokoknya Tiong Ngie Pay harus dibasmi,"
ujar Lu Thay Kam sambil tertawa "Setelah Tiong Ngie Pay
dibasmi, Seng Hwe Kauw pun harus membantuku membasmi
para pemberontak."
"Itu urusan kecil," sahut Seng Hwee Sin kun sambil
tertawa. "Baiklah, aku mau mohon pamit!
"Selamat jalan!" ucap Lu Thay Kam "Sampai jumpa Lu
Kong Kong!" ucap Seri
Hwee Sin Kun, yang lalu meninggalkan markj Hiat Ih Hwe
sambil tertawa gembira.
Sementara itu, Toan Beng Kiat dan lainnya terus melakukan
perjalanan menuju markas pusat Kay Pang. Dalam perjalanan,
mereka terus bercakap-cakap, terutama Lie Ai Ling. Dia tak
henti-hentinya membicarakan ini dan itu, ada saja yang
dibicarakannya.
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. "Kenapa mulutmu tidak bisa diam sih?"
"Memangnya aku tidak boleh bicara?" sahut Ai Ling sambil
tersenyum. "Aku suka bicara, jadi mulutku tidak bisa diam."
"Kalau engkau terus begitu, mana ada pemuda yang akan
jatuh hati kepadamu?" ujar Siang Koan Goat Nio.
"Hi hi hi!" Lie Ai Ling tertawa. "Kalau tidak jada pemuda
jatuh hati kepadaku yah sudahlah! Aku sama sekali tidak
kalut, sebaliknya engkau sudah rindu pada Kakak Bun Yang,
bukan?" "Engkau mulai menggoda ya?" Siang Koan Goat Nio
mengerutkan kening dan wajahnya agak kemerah-merahan.
"Jadi..." sela Kam Hay Thian mendadak. "Goat Nio
menyukai Bun Yang" Kapan mereka bertemu?"
"Mereka berdua belum pernah bertemu," sahut Lie Ai Ling.,
"Namun aku yakin Goat Nio pasti menyukai Kakak Bun Yang."
"Bagaimana mungkin?" Kam Hay Thian menggelenggelengkan
kepala. "Sebab mereka berdua belum pernah
bertemu, kalau pun bertemu belum tentu... "
"Maksudmu Goat Nio belum tentu akan menyukai Kakak
Bun Yang?" tanya Lie Ai Ling.
"Ya." Kam Hay Thian mengangguk.
"Lho?" Lie Ai Ling menatapnya terbelalak "Kok engkau...."
"Dia telah jatuh hati kepada Goat Nio, maka tidak
menghendaki Goat Nio menyukai Bun Yang" sela Lu Hui San
mendadak. "Oh?" Mulut Lie Ai Ling ternganga lebati "Betulkah begitu?"
"Memang begitu." Lu Hui San manggut-manggut. "Kalau
tidak...."
"Hui San!" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. "Jangan omong yang bukan- bukan, sebab akan
merusak persahabatan kita semua!"
"Goat Nio!" Lu Hui San tersenyum. "Aku omong
sesungguhnya."
"Hui San, sudahlah!" Toan Beng Kiat mende katinya. "Kita
semua adalah teman baik yang harus bersatu, jadi____"
"Aku tahu." Lu Hui San manggut-manggul "Baiklah. Mulai
sekarang aku tidak akan banyak bicara."
"Aku yang akan banyak bicara." sela Lie Ai Ling sambil
tersenyum. "Kalau tidak, semuanya pasti membisu. Itu jadi
tidak enak dan tiada Kesemarakan. Ya, kan?"
"Engkau memang banyak mulut." Siang Koan Goat Nio
menggeleng-gelengkan kepala dan menghela nafas. "Anak
gadis, sebaiknya jangan banyak mulut."
"Hi hi hi!" Lie Ai Ling tertawa geli. "Mulutku cuma satu, kok
engkau bilang mulutku banyak sih?"
"Engkau____" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. "Sssst!" Lu Hui San memberi isyarat. "Kalian dengar, ada
suara pertempuran di depan."
Toan Beng Kiat, Kam Hay Thian, Lie Ai Ling, Siang Koan
Goat Nio dan Lam Kiong Soat Lan mendengarkan dengan
penuh perhatian.
"Betul," ujar Kam Hay Thian. "Ada suara pertarungan di
depan. Mari kita ke sana!"
Mereka berenam langsung melesat ke tempat itu. Tampak
belasan orang berpakaian merah mengeroyok gadis berusia
dua puluhan. "Eeeeh?" Lie Ai Ling terbelalak menyaksikannya. "Gadis itu
menggunakan Hong Hoang Kiam hoat (Ilmu Pedang Burung
Phoenix), tapi belum begitu mahir. Siapa yang mengajarnya
ilmu pedang itu ?"


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heran?" gumam Siang Koan Goat Nio. "Dia pun
menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou untuk berkelit. Kok dia
mengerti kedua ilmu itu?"
"Sungguh mengherankan!" sahut Lie Ai Ling. "Kenapa
kalian berdua?" tanya Toan Beng Kiat.
"Gadis itu menggunakan Ilmu pedang Hong Hoang Kiam
Hoat," jawab Lie Ai Ling. "Bahkan juga berkelit dengan ilmu
Kiu Kiong San Tian Pou. Mungkinkah dia ada hubungan
dengan ayah* ku?"
"Kenapa engkau berkata begitu?" tanya Lam Kiong Soat
Lan. "Sebab ayahku juga mahir ilmu pedang itu," sahut Lie Ai
Ling. "Ayahmu juga mahir Kiu Kiong San Tian Pou?" tanya Lam
Kiong Soat Lan.
"Setahuku tidak." Lie Ai Ling menggelengkan kepala.
"Paman Cie Hiong memang mengajarku dan Goat Nio ilmu
langkah kilat itu, namun gadis itu____"
"Kita bantu gadis itu, kemudian kita tanya Bukankah kita
akan tahu" Jadi tidak perlu menerka membuang-buang
waktu," sela Kam Hay Thian yang sudah timbul nafsu
membunuhnya. "Baik." Toan Beng Kiat mengangguk. "Mari kita bantu gadis
itu!" Mereka berenam langsung melesat ke sana, dan tentunya
sangat mengejutkan orang-orang berpakaian merah itu.
"Kami adalah anggota Hiat Ih Hwe! Siam kalian?" bentak
kepala para anggota Hiat Ih Hwe itu.
"Hmm!" dengus Kam Hay Thian. "Aku adalah Chu Ok Hiap,
jadi aku akan membasmi kalian semua hari ini!"
"Apa"!" Para anggota Hiat Ih Hwe mundur beberapa
langkah. "Pendekar Pembasmi Penjahat?"
"Betul!" Kam Hay Thian menghunus pedangnya.
"Serang dia!" seru pemimpin para anggota Hiat Ih Hwe,
yang kemudian ikut menyerang Kam Hay Thian.
Ketika Kam Hay Thian diserang, Toan Beng Kiat dan lainnya
langsung turun tangan membantunya. Terjadilah pertarungan
yang tak seimbang, sebab Kam Hay Thian dan lainnya
berkepandaian tinggi, sebaliknya kepandaian para anggota
Hiat Ih Hwe tidak begitu tinggi.
Oleh karena itu, belasan jurus kemudian para anggota Hiat
Ih Hwe sudah terkapar berlumuran darah. Tampak beberapa
anggota Hiat Ih Hwe masih merintih-rintih, ternyata mereka
hanya terluka. Kam Hay Thian mendekati mereka lalu mendadak
menggerakkan pedangnya. Tak lama orang-orang yang
terluka itu pun tewas dengan dada berlubang. Kam Hay Thian
betul-betul tidak memberi ampun kepada mereka, sehingga
membuat Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala.
Jilid 6 hal.26-27 ga ada
.........kan kepala. "Lagi pula dia tidak begitu lama berada di
rumahku. Setelah mengajarku ilmu-ilmu itu, dia berpamit."
"Aaah____" Lie Ai Ling menghela nafas panjang. "Sayang
sekali! Kenapa begitu Sulit bertemu dia?"
"Kakak Giok Lan!" Siang Koan Goat Nio memandangnya.
"Apa rencanamu sekarang?"
"Aku tidak mempunyai rencana apa-apa." Air mata Tan
Giok Lan mulai meleleh. "Aku pun tidak tahu mau ke mana."
"Aku mempunyai usul," ujar Toan Beng Kiai sambil
tersenyum. "Bagaimana kalau kita ajak nona ini ke markas
Tiong Ngie Pay?"
"Usul yang jitu," sahut Lie Ai Ling sambil tertawa gembira.
"Memang lebih baik Kakak Giok Lan bergabung dengan Bibi
Suan Hiang. Dia pasti aman di markas itu."
"Betul." Siang Koan Goat Nio manggut-manggut, kemudian
memperkenalkan mereka.
Tan Giok Lan segera memberi hormat, dan mengucapkan
terimakasih dengan air mata berderai-derai.
"Nah!" ujar Lie Ai Ling. "Kita jangan membuang-buang
waktu lagi, mari kita berangkat ke markas Tiong Ngie Pay!"
-ooo0dw0ooo- Dua hari kemudian, mereka bertujuh sudah sampai di
markas Tiong Ngie Pay. Kedatangan rreka tentunya sangat
menggembirakan Yo Suan liang, Tan Ju Liang, Lim Cin An dan
Cu Tiang lim. Beberapa anggota Tiong Ngie Pay segera menyuguhkan
arak wangi. Yo Suan Hiang mengajak mereka bersulang,
sehingga suasana pun menjadi semarak.
"Aku tidak menyangka sama sekali, kalian akan ke mari,"
ujar Yo Suan Hiang sambil memandang Lie Ai Ling, Siang
Koan Goat Nio dan Tan Giok Lan.
"Mari kuperkenalkan!" Lie Ai Ling tertawa. Aku adalah?"
"Engkau... engkau____" Mendadak Yo Suan Hiang
terbelalak. "Engkau Ai Ling?"
"Bibi Suan Hiang masih mengenaliku, padahal aku tadi aku
diam saja." Lie Ai Ling tertawa geli.
"Ai Ling...." Yo Suan Hiang memandangnya dengan mata
basah. "Aku tak menyangka engkau sudah besar dan cantik.
Oh ya, bagaimana ayah-mu?"
"Ayahku sudah kembali ke Pulau Hong Hoang to," sahut Lie
Ai Ling, lalu memperkenalkan Siang Koan Goat Nio. "Bibi Suan
Hiang, dia Goat Nio. putri kesayangan Kim Siauw Suseng dan
Kou Jun Bijin."
"Oh?" Yo Suan Hiang menatapnya dengan penuh perhatian.
"Bukan main!"
"Apanya yang bukan main?" tanya Lie Ai Ling sambil
tertawa kecil. "Sungguh cantik dan lemah lembut," sahut Yo Suan Hiang
kagum. "Betul-betul cantik sekali!"
"Bibi Suan Hiang," ujar Lie Ai Ling mendadak. "Dia sangat
serasi dengan Kakak Bun Yang, bukan?"
"Benar." Yo Suan Hiang manggut-manggut dan
menambahkan, "Tapi tergantung jodoh mereka juga. Oh ya,
kalian sudah bertemu Bun Yang?"
"Belum." Lie Ai Ling menggelengkan kepala, kemudian
memperkenalkan Tan Giok Lan, yang duduk diam itu. "Bibi
Suan Hiang, dia Tan Giok Lan. Kedua orang tuanya dibunuh
oleh para anggota Hiat Ih Hwe. Dia pernah bertemu Kakak
Bun Yang. Untung Kakak Bun Yang pernah mengajarnya ilmu
silat, maka dia dapat melolos kan diri."
"Oh?" Yo Suan Hiang menatapnya serayu bertanya, "Siapa
ayahmu?" "Ayahku bernama Tan Thiam Song, mantan pembesar di
kota Keng Ciu," jawab gadis itu dan mulai terisak-isak.
"Ooh!" Yo Suan Hiang manggut-manggul. "Tan Tayjin
sangat jujur, adil dan bijaksana! Bahkan sering menentang
perintah Lu Thay Kam. Maka tidak heran pihak Hiat Ih Hwe
membunuhnya"
Tiba-tiba Lu Hui San mengerutkan kening, Karena ayah
angkatnya disinggung dalam ucapan Yo Suan Hiang.
"Bibi Suan Hiang!" tanyanya heran. "Apakah Lu Thay Kam
mempunyai hubungan dengan perkumpulan Hiat Ih Hwe?"
"Lu Thay Kam adalah ketua Hiat Ih Hwe," sahut Yo Suan
Hiang memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Lu Thay Kam memang jahat sekali, sering membunuh
jenderal dan menteri yang setia."
Lu Hui San diam saja.
Lie Ai Ling memandang Yo Suan Hiang seraya berkata,
"Bibi Suan Hiang, kami ke mari justru dikarenakan Kakak
Giok Lan. Kini dia sudah tidak mempunyai orang tua dan
dikejar-kejar pihak Hiat lh Hwe. Maka kami ajak dia ke mari
untuk bergabung dengan Bibi."
"Bagus!" Yo Suan Hiang tertawa gembira. Tentunya
kuterima dengan senang hati."
"Terimakasih, Bibi!" ucap Tan Giok Lan.
"Giok Lan!" Yo Suan Hiang memandangnya "ambil
tersenyum. "Mulai sekarang engkau tinggallah di sini!"
"Ya, Bibi." Tan Giok Lan mengangguk.
"Oh ya, engkau harus ingat," pesan Yo Suan Hiang.
"Jangan lupa melatih ilmu silatmu, itu sangat penting sekali!"
"Aku mohon petunjuk Bibi!" ujar Tan Giok Lan.
"Itu sudah pasti." Yo Suan Hiang manggm manggut. "Aku
pasti memberi petunjuk padamu "
"Terimakasih, Bibi!" ucap Tan Giok Lan tci haru.
"Nah!" Lie Ai Ling tersenyum. "Urusan ini sudah beres,
maka kami mau mohon pamit!"
"Apa"!" Yo Suan Hiang terbeliak. "Kalian sudah mau pergi"
Kenapa begitu cepat?"
"Kami masih harus melanjutkan perjalanan kami markas
pusat Kay Pang." Lie Ai Ling memberitahukan.
"Tidak bisa!" Yo Suan Hiang menggelengkan kepala.
"Pokoknya kalian harus bermalam di sini. dan besok baru
berangkat."
"Bibi Suan Hiang...."
"Baiklah." sela Toan Beng Kiat. "Kami akan bermalam di
sini." "Eh?" Lie Ai Ling melototi Toan Beng Kiat "Kenapa harus
bermalam di sini" Bukankah akan merepotkan Bibi Suan
Hiang?" "Cuma satu malam," sahut Toan Beng Kiat sambil
tersenyum. "Lagi pula kita semua masih capek, apa salahnya
kita bermalam di sini?"
"Tapi akan merepotkan Bibi Suan Hiang."
"Tidak, tidak merepotkan," ujar Yo Suan Hiang sambil
tersenyum. "Sebaliknya aku malah merasa gembira sekali."
"Betul," sambung Tan Ju Liang dan Lim Cin An. "Kami
sungguh merasa gembira sekali."
"Yang benar?" Tanya Lie Ai Ling sambil tersenyum.
"Tentu benar." Yo Suan Hiang tertawa kecil. 'Ingat! Sudah
berapa lama kita tidak bertemu" , Maka malam ini harus
mengobrol sampai pagi."
"Wuah!" Lie Ai Ling tertawa. "Kalau begitu, harus
begadang! Terus terang, aku tidak bisa begadang."
"Sekali-kali boleh, kan?" Yo Suan Hiang tertawa lagi. "Tentu
engkau tidak berkeberatan."
"Baik." Lie Ai Ling mengangguk. "Malam ini kita semua
harus begadang."
-ooo0dw0ooo- Bagian ke dua puluh delapan
Tiong Ngie Pay diserang
Malam harinya, suasana di markas Tiong Ngie Pay tampak
semarak- Sebab Yo Suan Hiang mengibarkan pesta
perjamuan, dan mereka bersantap sambil bersulang.
Akan tetapi, di saat mereka sedang bersulang, seorang
anggota berlari masuk dan melapor.
"Celaka! Seng Hwee Kauw menyerang!"
"Apa?" Betapa terkejutnya Yo Suan Hiang "Seng Hwee
Kauw menyerang ke mari?"
"Ya."
"Berapa jumlah mereka?"
"Puluhan orang, dan ada dua orang tua yang
berkepandaian tinggi sekali."
"Siapa kedua orang tua itu?"
"Pat Pie Lo Koay dan Tok Chiu Ong."
"Baik." Yo Suan Hiang manggut-manggut. Kemudian
berkata kepada Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him.
"Mari kita sambut mereka"
"Hmm!" dengus Kam Hay Thian mendadak "Bagus, bagus!
Malam ini aku pasti tidak akan melepaskan mereka."
"Maaf, Chu Ok Hiap!" ujar Yo Suan Hiang. "Ini urusan Tiong
Ngie Pay, maka...."
"Aku pasti turut campur." sahut Kam Hay Thian. "Sebab
Seng Hwee Sin Kun pembunuh ayahku."
Kam Hay Thian langsung melesat ke luar, dan yang lainnya
pun mengikutinya. Begitu sampai di luar markas, mereka
melihat Pat Pie Lo Koay. Tok Chiu Ong dan puluhan anggota
Seng Hwee Kauw berdiri dengan tangan memegang senjata.
Pat Pie Lo Koay dan Tok Chiu Ong tampak terkejut ketika
melihat Kam Hay Thian dan lain nya berada di situ. Mereka
berdua saling memandang sekaligus memberi isyarat,
kemudian meloncat ke belakang. "Serang mereka!"
Seketika para anggota Seng Hwee Kauw menyerang pihak
Tiong Ngie Pay. Kam Hay Thian bersiul panjang sambil
menggerakkan pedangnya, menggunakan Pak Kek Kiam Hoat
menangkis dan alas menyerang. Dalam beberapa jurus, lima
anggota Seng Hwee Kauw sudah roboh berlumuran darah.
Sementara Toan Beng Kiat dan lainnya juga mulai balas
menyerang, kemudian terjadilah pertarungan yang amat seru
dan sengit. Akan tetapi, bagaimana mungkin para anggota Seng Hwee
Kauw itu dapat melawan, sebab kepandaian mereka masih
rendah. "Tok Chiu Ong," bisik Pat Pie Lo Koay. "Bagaimana
baiknya?" "Kita berdua tidak mampu melawan Chu Ok Hiap dan
teman-temannya," sahut Tok Chiu Ong. Lebih baik kita suruh
para anak buah kita mundur, dan kita pun harus kabur."
"Benar." Pat Pie Lo Koay mengangguk. Mereka berdua lalu
melesat pergi sambil berseru sekeras-kerasnya.
"Kalian semua cepat mundur!" Para anggota Seng Hwee
Kauw langsung melarikan diri. Kam Hay Thian terus mengejar
dan membantai mereka. Namun ketika ia hendak mengejar
Pat Pie Lo Koay dan Tok Chiu Ong, Toan Beng Kiat cepatcepat
mencegahnya. "Hay Thian! Mereka sudah pergi jauh, percuma kau
mengejar mereka!"
"Malam ini mereka berdua masih dapat meloloskan diri, aku
sungguh penasaran sekali!" sahut Kam Hay Thian dingin.
"Mereka berdua sungguh licik, hanya menyuruh para anak
buahnya maju, tapi mereka berdua berada di belakang!"
"Sudahlah! Mari kita kembali ke markas!" ajak Toan Beng
Kiat. Mereka berdua lalu melesat ke markas. Lie Ai Ling dan
lainnya sudah berada di situ. Mereka semua lalu masuk ke
markas. "Sungguh tak disangka..." ujar Yo Suan Hiang setelah
duduk. "Pihak Seng Hwee Kauw menyerang ke mari,
seharusnya pihak Hiat Ih Hwe!"
"Memang mengherankan," Tan Ju Liang menggelenggelengkan
kepala. "Selama ini kita tidak bermusuhan dengan


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pihak Seng Hwee Kauw kenapa mendadak Seng Hwee Kauw
menyerang kemari?"
"Mungkinkah..." ujar Lim Cin An setelah ber pikir sejenak.
"Seng Hwee Kauw dan Hiat Ih Hwi sudah bekerja sama?"
"Itu memang mungkin," sahut Cu Tiang Him "Kalau tidak,
tentunya mereka tidak akan melakukan penyerangan
mendadak."
"Mungkinkah dikarenakan kehadiran kami di sini?" ujar
Toan Beng Kiat. "Sebab pihak Seng Hwee Kauw memang ingin
membunuh kami."
"Tidak masuk akal," Tan Ju Liang menggelengkan kepala.
"Karena tadi Pat Pie Lo Koay dan Tok Chiu Ong malah
meloncat ke belakang ketika melihat kalian berada di situ. Jadi
sasaran mereka kemari bukan kalian, melainkan kami."
"Benar," Yo Suan Hiang manggut-manggut. "Lagi pula
sebelum bertarung, mereka berdua sudah kabur."
"Kami pernah bertarung dengan mereka." Kam Hay Thiari
memberitahukan. "Pada waktu itu mereka berdua berhasil
kabur, malam ini pun berhasil kabur pula. Itu sungguh
membuat aku jadi penasaran sekali!"
"Oh?" Yo Suan Hiang menatapnya seraya bertanya.
"Mereka berdua tak sanggup melawan kalian?"
"Benar." Lie Ai Ling mengangguk. "Bahkan kami berhasil
melukai lengan Tok Chiu Ong."
"Oooh!" Yo Suan Hiang manggut-manggut. 'Pantas mereka
segera meloncat mundur begitu melihat kalian!"
"Aku masih penasaran, kenapa Pat Pie Lo Koay dan Tok
Chiu Ong dapat kabur malam ini," ujar Kam Hay Thian.
"Walau begitu..." ujar Yo Suan Hiang memberitahukan.
"Hampir tiga puluh anggota Seng Hwee Kauw menjadi korban
di sini, aku yakin itu merupakan pukulan berat bagi ketua
mereka." "Hmm!" dengus Kam Hay Thian dingin. "Pokoknya aku
harus membunuh Seng Hwee Sin Kun!"
"Hay Thian!" Toan Beng Kiat mengingatkan. "Seng Hwee
Sin Kun berkepandaian tinggi sekali, kita semua bukan
lawannya."
"Bukan lawannya juga aku harus melawan," sahut Kam Hay
Thian dan menambahkan. "Pokoknya dia harus mati di
tanganku."
Toan Beng Kiat menghela nafas panjang, sedangkan Yo
Suan Hiang menggeleng-gelengkan kepala.
"Padahal malam ini kita akan mengobrol sampai pagi, tapi
karena adanya kejadian itu, maka alangkah baiknya kita
semua beristirahat saja," ujar Yo Suan Hiang sambil bangkit
berdiri. "Maaf, aku mau ke kamar!"
Yo Suan Hiang berjalan masuk, sedangkan Tan Ju Liang,
Lim Cin An dan Cu Tiang Him masih duduk di situ.
"Maaf!" ucap Tan Ju Liang. "Kalau kalian tidak mau tidur,
boleh duduk-duduk di halaman. Kami harus pergi mengontrol
pos-pos penjagaan."
"Tidak apa-apa," sahut Toan Beng Kiat sambil manggutmanggut.
Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him segera
melangkah ke luar, sedangkan Toan Beng Kiat dan lainnya
saling memandang.
Siang Koan Goat Nio melangkah ke halaman, dan tak lama
Kam Hay Thian pun pergi menyusulnya.
Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San mengerutkan kening,
itu membuat Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala. Toan
Beng Kiat menghela nafas panjang, kemudian ia melangkah ke
luar. "Celaka!" gumam Lie Ai Ling sambil berjalan mondarmandir
di ruang itu. Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San memandangnya
sejenak, setelah itu mereka berdua pun melangkah ke luar.
"Mudah-mudahan mereka mengerti tentang cinta, jadi tidak
akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan," gumam Lie Ai Ling
lagi, kemudian memandang Tan Giok Lan yang duduk
termangu-mangu. "Kakak Giok Lan, jangan melamun! Lebih
haik masuklah menemui Bibi Suan Hiang untuk mengobrol!"
Tan Giok Lan mengangguk, lalu melangkah ke dalam. Lie Ai
Ling menggeleng-gelengkan kepala, kemudian barulah
melangkah ke luar.
Dilihatnya Toan Beng Kiat berdiri seorang diri sambil
memandang langit yang tak berbintang. Sedangkan Lam Kiong
Soat Lan dan Lu Hui San duduk melamun di dekat sebuah
pohon. Kemudian ia tercengang karena Siang Koan Goat Nio
dan Kam Hay Thian tidak tampak di situ.
"Beng Kiat!" Lie Ai Ling mendekatinya. "Bukan malam
purnama, kenapa engkau terus-menerus memandang langit?"
"Oh, Ai Ling!" Toan Beng Kiat tersenyum getir. "Langit
sedang merana karena tiada bulan."
"Langit atau engkau yang sedang merana?" tanya Lie Ai
Ling sambil tertawa. "Engkau anak lelaki, jangan terlampau
berperasaan terhadap urusan itu!"
"Urusan apa?" tanya Toan Beng Kiat.
"Biasa," sahut Lie Ai Ling sambil tertawa lagi. "Kita semua
adalah teman baik. Jangan dikarenakan urusan percintaan,
kita jadi terpecah belah lho!"
"Itu tidak akan terjadi," Toan Beng Kiat tersenyum. "Sebab
aku masih bisa mengendalikan perasaanku."
"Bagus! Tapi____" Lie Ai Ling mengerutkan kening.
"Kenapa?" Toan Beng Kiat memandangnya. "Kelihatannya
engkau mengkhawatirkan sesuatu, bukan?"
"Ng!" Lie Ai Ling mengangguk.
"Apa yang engkau khawatirkan?"
"Kam Hay Thian," Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan
kepala. "Dia sangat emosionil. Kelihatannya dia sangat
menyukai Goat Nio, namun Goat Nio bersikap acuh tak acuh
kepadanya."
"Ya," Toan Beng Kiat manggut-manggut.
"Sedangkan Soat Lan dan Lu Hui San menyukai Kam Hay
Thian, itu____" Lie Ai Ling menghela nafas panjang.
"Ai Ling!" Toan Beng Kiat tersenyum. "Engkau tidak usah
khawatir, tidak akan terjadi suatu apa pun. Percayalah!"
"Engkau yakin itu?"
"Yakin."
"Syukurlah!"
Sementara di balik sebuah pohon, tampak Siang Koan Goat
Nio duduk bersandar, dan Kam Hay Thian berdiri di
sampingnya. "Goat Nio!" panggil Kam Hay Thian dengan suara rendah.
"Hay Thian!" sahut Siang Koan Goat Nio. "Aku tahu
bagaimana perasaanmu, namun____"
"Kenapa?" Kam Hay Thian duduk sambil memandangnya.
"Terus terang, aku merasa tidak cocok denganmu," ujar
Siang Koan Goat Nio perlahan. "Dari pada berlarut-larut dan
memberikanmu harapan, lebih baik aku berterus terang."
"Engkau... engkau...." Kam Hay Thian menghela nafas
panjang. "Engkau sama sekali tidak menaruh hati kepadaku?"
"Ya." Siang Koan Goat Nio mengangguk.
"Apakah dikarenakan Bun Yang, yang belum engkau
ketemukan itu?" tanya Kam Hay Thian dengan wajah berubah.
"Bukan," sahut Siang Koan Goat Nio.
"Kalau begitu karena apa?" tanya Kam Hay Thian
penasaran. "Aku harap engkau mau menjelaskannya!"
"Sudah kukatakan tadi, aku merasa tidak cocok denganmu.
Jadi engkau harus mengerti," sahut Siang Koan Goat Nio dan
menambahkan. "Kita semua sebagai teman baik, jangan
karena ini lalu kita semua terpecah belah!"
"Baik." Kam Hay Thian manggut-manggut "Aku memang
harus mengerti, terimakasih atas penjelasanmu!"
"Aku mohon maaf!" ucap Siang Koan Goat Nio.
Kam Hay Thian menghela nafas panjang, lalu melangkah
pergi dengan kepala tertunduk.
"Hay Thian!" panggil Lam Kiong Soat Lan sambil
menghampirinya.
"Oh, Soat Nio!" Kam Hay Thian memandangnya. "Kok
engkau belum tidur?"
"Aku tidak bisa tidur," sahut Lam Kiong Soat Lan. "Hay
Thian, bagaimana kalau kita mengobrol sebentar?"
Kam Hay Thian mengangguk, lalu mereka duduk di situ.
Lam Kiong Soat Lan menengadahkan kepalanya memandang
ke langit seraya berkata.
"Aku melihat engkau bersama Goat Nio. Kalian berdua
membicarakan sesuatu yang penting?"
"Ya." Kam Hay Thian mengangguk. "Aku mencurahkan isi
hatiku, namun dia menolak."
"Apa alasannya?"
"Dia mengatakan tidak cocok denganku."
"Oooh!" Lam Kiong Soat Lan manggut-mang-Igut.
"Kelihatannya kalian berdua memang tidak cocok, maka
janganlah engkau memaksakan diri."
"Tentu tidak." Kam Hay Thian tertawa getir. "Aku tidak
akan memaksakan diri dan harus tahu diri, dan mulai sekarang
aku tidak akan mendekatinya lagi."
"Hay Thian," ujar Lam Kiong Soat Lan lembut. "Kita semua
adalah teman baik. Jangan dikarenakan itu kita semua lalu
terpecah belah."
"Jangan khawatir!" Kam Hay Thian tertawa. "Aku bukan
pemuda yang berhati begitu sempit."
"Syukurlah!" ucap Lam Kiong Soat Lan.
Sementara Lu Hui San terus berdiri seorang diri, sosok
bayangan mendekatinya lalu memegang bahunya.
"Jangan terus melamun di sini, tidak baik!" Terdengar suara
yang amat lembut, yang ternyata suara Toan Beng Kiat.
"Oh, Beng Kiat!" Lu Hui San tersenyum. "Aku tidak
melamun, melainkan sedang memikirkan sesuatu."
"Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku sedang memikirkan diriku sendiri."
"Kenapa dirimu?"
"Aaaah...!" Lu Hui San menghela nafas panjang. "Itu
urusanku, percuma kuberitahukan kepadamu."
"Hui San," ujar Toan Beng Kiat sambil tersenyum. "Kita
adalah teman baik, jadi harus membagi rasa dan pikiran yang
memberatkan, agar pikiranmu tidak tertekan."
"Beng Kiat!" Lu Hui San terharu. "Terima-kasih atas
kebaikanmu, namun____"
"Aku tahu____" Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan
kepala. "Engkau jatuh hati kepada Kam Hay Thian, tapi Kam
Hay Thian malah jatuh hati kepada Goat Nio. Itu yang
membuat pikiranmu tertekan, bukan?"
"Tidak juga," Lu Hui San tersenyum. "Pikiranku tidak akan
tertekan oleh masalah itu."
"Syukurlah!" ucap Toan Beng Kiat. "Hui San, di sini sangat
dingin, lebih baik ke dalam saja."
Lu Hui San manggut-manggut, kemudian berjalan ke dalam
dan diikuti Toan Beng Kiat.
Sementara Siang Koan Goat Nio tetap duduk di situ, sosok
bayangan mendekatinya, yang tidak lain Lie Ai Ling.
"Goat Nio..." panggilnya dengan suara rendah,
"Ai Ling!" sahut Siang Koan Goat Nio. "Duduklah!"
"Aku memang ingin duduk di sini," kata Lie Ai Ling dengan
tersenyum lalu duduk. "Tadi Kam Hay Thian duduk di sini,
bukan?" Siang Koan Goat Nio mengangguk.
"Kalian membicarakan apa?"
"Dia mencurahkan isi hatinya, namun kutolak angsung,"
jawab Siang Koan Goat Nio dan menambahkan. "Itu agar tidak
terus berlarut-larut. Kalau aku tidak menolak, tentu dia masih
berharap."
"Betul." Lie Ai Ling mengangguk, kemudian menghela nafas
panjang. "Aaah! Janganlah kita dibutakan cinta, itu sangat
berbahaya!"
"Aku tahu, maka aku harus berterus terang kepadanya.
Kalau tidak, tentu akan kacau balau."
"Aku yang menyaksikannya pun jadi pusing, sebab
kelihatannya Soat Lan dan Hui San jatuh hati kepada Kam Hay
Thian, sedangkan Toan Beng Kiat justru jatuh hati kepada Lu
Hui San." "Lalu engkau jatuh hati kepada siapa?" tanya Siang Koan
Goat Nio setengah bergurau.
"Pemuda idaman hatiku belum muncul," sahut Lie Ai Ling
sambil tersenyum. "Maka aku tidak memikirkan soal cinta!"
"Tidak memikirkan tapi membayangkannya, bukan?"
"Itu kadang-kadang." Lie Ai Ling mengangguk. "Kita
Harpa Iblis Jari Sakti 14 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Pendekar Super Sakti 9
^