Pencarian

Peristiwa Bulu Merak 1

Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Bagian 1


"Peristiwa Bulu Merak
Karya Gu Long (Khu Lung)
Disadur Oleh Gan KH
Judul Asli : Tian Ya, Ming Yue, Dao
Pertama kali dicetak tahun 1975
Judul Barat : The End of the World atau The Bright Moon
atau The Sabre Prolog "Jauhkah ujung langit?"
"Tidak jauh!"
"Manusia berada di ujung langit, mana mungkin ujung langit
jauh?" "Apa warna bulan purnama?"
"Biru. Sebiru lautan."
"Bulan purnama berada dimana?"
"Berada dalam hatinya, hatinya adalah bulan purnama."
"Bagaimana dengan goloknya?"
"Golok berada dalam genggamannya!"
"Golok seperti apakah itu?"
"Goloknya begitu luas, begitu sunyi bagai ujung langit,
begitu suci, begitu murung bagai bulan purnama, terkadang
sewaktu goloknya menyambar, seolah yang ada hanya
kekosongan!"
"Kekosongan?"
"Kosong, halus, melayang seolah ada seolah tak ada,
seakan tak berwujud namun seakan berada dimana pun."
"Tapi goloknya seperti tak terlampau cepat."
"Golok yang tak cepat mana mungkin bisa tiada tandingan
di kolong langit?"
"Karena kecepatan goloknya telah melampaui batas
kecepatan yang pernah ada!"
"Bagaimana dengan manusianya?"
"Manusianya seperti belum kembali, tapi perasaannya telah
hancur-lebur."
"Berada dimana jalan kembalinya?"
"Jalan kembali berada di depan mata."
"Dia tidak melihatnya?"
"Dia memang tidak melihat."
"Karena itu tidak menemukannya?"
"Walaupun sekarang tidak menemukan, cepat atau lambat
suatu pasti akan menemukannya!"
"Pasti dapat menemukan?"
"Pasti!"
Bab 1. Di Ujung Langit
Magrib telah mendatang. Pho Ang-soat berdiri dibawah
cahaya mentari kemuning yang hampir terbenam
diperaduannya. Hanya dia seorang yang berada dipancaran
cahaya mentari, seolah-olah tinggal dia seorang saja yang
ketinggalan hidup di mayapada ini.
Tanah tegalan belukar sepanjang ribuan li, karena
kesunyian yang mencekam ini sehingga terasa rona
mentaripun telah berubah, berubah menjadi warna kelabu
yang hampa dan telantar.
Demikian pula orangnya. Tangannya menggengam sebilah
golok. Tangan yang memucat putih, golok yang hitam legam.
Bukankah warna putih dan hitam itu perlambang kehidupan
yang mendekati kematian" Bukankah kematian itu terasa
hampa dan kesuyian yang kelewat batas"
Sorot mata nan lengang bola mata yang hampa dan
kesepian, seolah-olah dia sudah melihat bayangan kematian,
apakah kematian itu sendiri sudah berada didepan matanya"
Pho Ang-soat berjalan kedepan. Langkahnya perlahan,
namun tidak pernah berhenti, umpama kematian sedang
menanti disebelah depan dia juga tidak akan pernah berhenti.
Gayanya berjalan memang aneh juga lucu, kaki kiri
melangkah dulu setapak kedepan, kaki kanan lalu diseretnya
maju mendekat, setiap langkahnya kelihatan amat susah dan
berat. Tapi jalanan yang pernah ditempuhnya tak terukur
panjangnnya, namun setiap langkah adalah hasil dari
gerakkan kedua kakinya.
Berjalan dengan cara demikian, entah kapan baru dia akan
berhenti. Pho Ang-soat sendiri tidak tahu, hakikatnya dia tidak
mau dan tidak pernah memikirkannya. Sekarang dia sudah
berjalan sampai disini. Bagaimana didepan" Apa betul
didepan ada kematian"
Memang benar, tatapan matanya sudah menandakan
bayangan kematian itu, apa yang digenggam ditangannya
juga kematian, karena goloknya itu perlambang kematian.
Golok hitam, gagangnya juga legam, demikian pula
serangkanya juga hitam. Kalau golok ini perlambang
kematian, golok ini justru adalah jiwanya pula.
ooooOOoooo Cuaca makin guram, memandang jauh ke depan sudah
kelihatan bentuk sebuah bayangan kota yang samar-samar.
Dia tahu itulah Hong-hong-kip, kota kecil yang cukup makmur
ditengah tanh belukar diluar perbatasan. Pho Ang-soat tahu
letak dari Hong-hong-kip ini, karena kota itulah tempat dimana
bayangan kematian sedang dicarinya. Tapi dia tidak tahu,
bahwa Hong-hong-kip sekarang sudah mati, sudah runtuh
sudah sepi. Jalan raya dalam kota kecil ini tidak panjang, tidak lebar,
namun ada puluhana toko dan warung berderet disepanjang
jalan raya itu. Tidak sedikit kota-kota kecil seperti ini dalam
dunia, keadaannya seperti itu juga, bobrok dan reyot, warung
yang jorok, harga barang yang murah, keluarga sederhana
dengan yang jujur dan bajik.
Sekarang keadaan sudah berbeda, karena Hong-hong-kip
walau ada warung dan toko, namun sudah tiada penghuni,
seorang manusiapun tidak terlihat dalam kota ini.
Pintu atau jendela rumah-rumah disepanjang jalan raya ini
ada yang terbuka ada pula yang tertutup rapat, namun
semuanya sudah kotor berdebu dan lapuk, luar dalam rumah
bertumpuk selapis debu tebal, gelagasi malah sudah
menghias berbagai pelosok rumah-rumah itu.
Seekor kucing hitam terkejut oleh derap langkah yang
mendatangi, kucing ini bergerak lamban dan malas, tidak
selincah dan cekatan seperti kucing umumnya yang
kelaparan, dengan dengus napasnya yang berat dia beranjak
menyebrang jalan, bentuknya sudah tidak mirip seekor kucing
lumrah. Kelaparan memang mampu merubah bentuk segalanya"
Mungkinkah kucing kering itulah satu-satunya jiwa yang
ketinggalan hidup dalam kota kecil ini"
Hati mulai dingin jari-jari tangan Pho Ang-soat juga mulai
dingin, lebih dingin dari mata golok yang dipegangnya.
Kini dia sudah berdiri ditengah jalan raya, menyaksikan
dengan mata kepalanya sendiri. Tapi dia masih belum bisa
percaya, tidak berani percaya dan tidak tega untuk percaya.
Bencana apakah yang menimpa tempat ini" Bagaimana pula
terjadinya bencana itu"
Angin menghembus lalu, papan merek dari sebuah toko
melambai dengan suaranya berkeriut ditiup angin, lapat-lapat
masih kelihatan bekas tulisannya yang sudah luntur oleh hujan
dan terik matahari. "Warung tua keluarga Tan, arak wangi
simpanan lama." Semula merek warung ini adalah reklame
termegah dikota kecil ini, namun sekarang sudah luntur dan
kropos kayunya, tak ubahnya gigi orang tua yang sudah
ompong. Ternyata keadaan warung arak itu sendiri jauh lebih
menyedihkan dari papan reklame yang terpampang didepan
pintu. Pho Ang-soat berdiri diam tak bergerak, matanya
canang mengawasi papan reklame yang terombang-ambing
ditiup angin, bila angin berhenti menghembus, baru dia
beranjak perlahan, mendorong pintu melangkah masuk
kewarung arak ini, tak ubahnya memasuki sebuah kuburan
morat-marit setelah dikeduk oleh kawanan perampok.
Dulu Pho Ang-soat pernah datang ketempat ini. Arak
tempat ini meski tidak terlalu enak, tapi juga tidak jelek, jelas
tidak menyerupai cuka, tempat ini dahulu juga tidak mirip
kuburan. Setahun yang lalu tepat. Setahun yang lalu, warung arak ini
yang ramai dalam kota kecil ini, pedagang atau pelancongan
yang hilir-mudik keutara atau keselatan pulang pergi pasti
melewati Hong-hong-kip, bila masuk kekota kecil ini siapapun
pasti mampir dikedai arak ini minum beberapa cawan baru
melanjutkan perjalanan.
Bila air kata-kata sudah masuk perut, mulutpun akan
ngobrol panjang lebar, adalah pantas kalau kedai arak ini
menjadi ramai dan ribut, manusia mana yang tidak suka
berada ditempat yang ramai.
Karena itu kedai arak ini merupakan rumah terbesar
disepanjang jalan raya ini, tidak sedikit orang yang menjamu
para sahabatnya dengan hidangan paling mahal menurut
ukuran tarip dikota kecil ini maka pemilik kedai selalu berseri
tawa menyambut langganannya.
Tapi pemilik kedai yang biasanya murah senyum itu kini
tidak kelihatan, meja-meja yang semula bersih mengkilap kini
berdebu, guci dan mangkok berserakan dilantai semuanya
sudah pecah dan hancur, bau wangi arak yang merangsang
semangat berganti bau apek, bau busuk yang memualkan.
Percakapan dan kelakar yang ramai disertai gebrakan meja
para tamu dan penjudi yang mujur diruang depan, sementara
bendo yang merajang daging dan sayur-sayuran didapur,
bunyi daging yang digoreng diatas wajan yang mendidih
minyaknya, kini sudah tidak terdengar pula, bila angin lalu
menghembus santer menimbulkan suara "ber", kedengaran
seperti getaran sayap kelelawar yang terbang dari neraka.
Hari sudah petang.
Perlahan Pho Ang-soat beranjak kesana, menuju
kepojokan, membelakangi dinding menghadap kepintu,
perlahan dia berduduk. Setahun lalu waktu dia datang
ketempat ini, juga duduk disini. Tapi tempat ini sekarang
sudah mirip kuburan, tempat yang sudah tidak meninggalkan
kesan dan patut ditinggali lagi. Tapi kenapa justru dia duduk
ditempat lama" Apa dia ingin mengenang masa lalu" Atau
sedang menunggu"
Jikalau sedang mengenang masa lalu, lalu apa yang terjadi
setahun lalu sehingga patut dia mengenangnya" Umpama
menunggu, apa pula yang sedang dinantikan" Apakah
kematian" Ya, memang kematian.
ooooOOoooo Malam akhirnya menyelimuti alam semesta. Tiada lampu
tidak ada lilin, tidak ada api hanya ada kegelapan. Dia
membenci kegelapan, sayang kegelapan itu mirip kematian,
siapapun takkan bisa menghindarinya. Kalau kegelapan sudah
tiba, bagaimana dengan kematian"
Dia duduk tak bergeming, tangannya tetap menggenggam
goloknya, mungkin dia masih bisa melihat tangannya yang
pucat, namun takkan bisa melihat goloknya lagi. Golok yang
hitam sudah terlebur didalam kegelapan. Apakah goloknya itu
juga merupakan kegelapan itu" Apakah setiap kali goloknya
terayun, siapapun takkan mampu menghindarinya"
Kegelapan yang membeku diam, keheningan yang
mencekam, dari jauh sayup-sayup terdengar irama musik
yang kalem mengalun terbawa angin. Dalam keadaan seperti
ini, situasi yang mencengkam, irama musik itu kedengarannya
seperti lagu-lagu dewa yang kumandang dari langit.
Begitu mendengar irama musik ini, sorot mata yang semula
hampa, mendadak seperti mengunjuk suatu mimik yang ganjil,
peduli mimik ganjil serupa apa, yang jelas mimik itu bukan
membayangkan rasa senang atau riang.
Irama musik makin keras dan dekat, ditengah alunan musik
itu, terdengar pula sebuah kereta yang mendatangi. Kecuali
dirinya, apa benar masih ada orang lain yang sengaja menuju
kekota kecil yang sudah hancur ini" Sorot matanya sudah
pulih sedia kala, kaku dingin, tanpa ekspresi, tapi genggaman
jari-jarinya digagang golok ternyata lebih kencang.
Mungkinkah dia sudah tahu siapa yang bakal datang"
Apakah orang ini yang sedang dia tunggu" Apakah orang itu
pula jelmaan dari kematian itu"
Apakah itu lagu dewa" Tiada manusia pernah
mendengarnya. Tapi bila seorang mendengar sehingga
sanubarinya terbuai, malah jiwa raganya seperti terbaur
didalam irama musik itu, maka mereka akan beranggapan
musik itulah lagu dewa.
Tapi Pho Ang-soat tidak terpengaruh lagu ini, dia tidak
terlena atau terbaur didalamnya. Dia masih tetap duduk
tenang ditempatnya, mendengar dengan tenang. Mendadak
delapan lelaki baju hitam perawakan kekar melangkah cepat
dan lebar masuk kedalam kedai, setiap orang membawa
sebuah keranjang bambu besar, dalam keranjang berisi
berbagai macam barang yang aneh-aneh, diantaranya
termasuk sapu, kemoceng dan kain untuk membersihkan.
Jangan kata menyapa, melirikpun tiada yang memandang
kearah Pho Ang-soat, begitu memasuki kedai, mereka lantas
sibuk bekerja, tiada yang bicara, tanpa komando, tapi kedai
arak ini telah mereka bersihkan dengan rapi. Bukan saja
cekatan, merekapun bekerja tekun dan rajin. Seperti kejadian
ajaib saja, kedai yang berdebu dan morat-marit, dalam
sekejap, telah dibikin bersih, rajin seperti serba baru.
Bila kedelapan lelaki itu usai bekerja dan mundur keluar
pintu serta berdiri jajar diambang pintu, muncul empat gadis
jelita berpakaian kembang, mereka juga membawa keranjang
bambu, cuma bentuknya berbeda, lebih kecil dan enteng.
Mereka menata kembang, mengeluarkan arak, piring,
mangkok dan berbagai hidangan lezat serta mengisi cangkir
dengan arak. Kecuali pojokan dimana Pho Ang-soat sedang duduk,
setiap pelosok kedai arak ini telah dibersihkan, dinding dihiasi
lukisan, kerai kerang menjuntai dipintu, meja juga sudah diberi
taplak, sampai lantaipun digelari babut merah menjurus
panjang keluar pintu.
Maka muncul pula rombongan pemain musik yang terdiri
dari gadis-gadis jelita sambil menari lenggang-lenggok mereka
memetik harpa, meniup seruling, menabuh kecapi, begitu
gemulai mereka memasuki kedai pula. Ditengah alunan musik
merdu itu mendadak terdengar suara kentong ditabuh sekali,
ternyata kentongan pertama sudah tiba, dari lubang jendela
memandang jauh keluar, tampak seorang berbaju putih


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang memeluk kentongan, bagai bayangan setan berdiri
menyepi ditengah kegelapan. Dari mana pula datangnya
tukang kentong ini" Bukankah dia sedang memberi peringatan
kepada orang yang menghadapi kematian" Lalu siapa yang
dia peringati"
Ketika kentongan berbunyi, maka gadis-gadis jelita itupun
mulai menyanyi pula sambil menari. Sebelum nyanyian
berakhir, ditengah gerak gemulai gadis-gadis jelita itu, tampak
Yan Lam-hwi sedang beranjak masuk, waktu dia memasuki
kedai arak ini, keadaannya seperti orang mabuk.
ooooOOoooo Bab 2. Mawar Dari Ujung Langit
Apa benar Yan Lam-hwi sudah mabuk"
Dia sudah duduk, duduk disamping kembang semerbak,
duduk dikelilingi gadis-gadis jelita, duduk menghadapi meja
perjamuan dengan secangkir arak wangi. Araknya warna
kuning, sekuning bunga mawar yang segar. Setangkai bunga
mawar berada ditangannya, cangkir arak juga dipegangnya,
harum bunga menyejuk badan, bau arak memabukkan.
Akhirnya dia mabuk dan meloso jatuh didepan lutut gadis
jelita, arak kuning dalam cangkir mengalir membasahi
pakaian. Gadis itu juga seperti mabuk, cekikik tawanya
semerdu kicau kenari, wajahnya nan jelita tersenyum cerah
dan mekar. Yan Lam-hwi masih terlalu muda, muda gagah, tampan dan
kaya-raya, hidup dikelilingi gadis-gadis cantik, kembang mekar
semerbak dengan arak wangi nomor satu, betapa rianggembira
kehidupan ini" Tapi kenapa dia justru menikmati
kesenangan hidup ini dikota yang sudah mati ini" Memangnya
kedatangannya juga lantaran Pho Ang-soat"
Sejak masuk dia juga tidak pernah melirik kearah Pho Angsoat,
seolah-olah tidak merasakan bahwa ditempat ini masih
ada seorang Pho Ang-soat yang juga hidup. Demikian pula
sikap Pho Ang-soat seperti tidak melihat kehadiran mereka.
Tiada kembang mekar, tiada perempuan cantik dan tiada arak
didepan matanya, seperti ada pagar tembok tinggi yang
menutupi pandangannya sehingga dia terisolir dari kehidupan
riang-gembira ini. Memang kenyataan sudah lama Pho Angsoat
terisolir dari kehidupan riang-gembira itu.
ooooOOoooo Kentongan berbunyi pula, sudah kentongan kedua. Makin
banyak arak tertenggak keadaan semakin payah, suasana
riang inipun bertambah, seolah-olah mereka sudah melupakan
duka cita kerisauan hati dan penderitaan dalam kehidupan
umum ini. Didalam cangkir masih ada arak, kembang mawar masih
berada ditangannya, seorang gadis cantik bertanya sambil
memeluk lengannya: "Kenapa kau menyukai bunga mawar?"
"Karena mawar ada durinya."
"Kau suka duri?"
"Ya, aku suka duri untuk menusuk orang, menusuk
hatinya." Gadis itu menarik tangannya yang sakit karena tertusuk
duri, hatinyapun ikut tertusuk, dengan mengerut alis dia
berkata menggeleng: "Alasanmu tidak baik, aku tidak suka
dengar." "Memangnya apa yang suka kau dengar?" Yan Lam-hwi
tertawa, "mau kau mendengar sebuah kisah?"
"Sudah tentu mau."
"Konon pada jaman dahulu kala, waktu kembang mawar
pertama mekar disuatu tempat yang jauh letaknya, ada seekor
burung yang elok, karena menyukainya, sampai dia rela mati
dari pucuk dahan kecemplung keair dan mati tenggelam."
"Indah benar ceritanya," merah bola mata gadis cantik itu,
"tapi terlalu menyedihkan."
"Kau keliru," Yan Lam-hwi tertawa riang, "mati bukan suatu
tragedi yang menyedihkan, asal kau bisa mati dengan gagah,
mati sebagai ksatria, apa salahnya mati?"
Si gadis mendelong mengawasi mawar ditangannya,
mawar itu seperti sedang tersenyum kepadanya, lama dia
menjublek, mengawasi tanpa berkedip, akhirnya dia menghela
napas, katanya: "Pagi hari ini, akupun ingin memberi beberapa
kuntum mawar kepadamu, memakan banyak waktu baru aku
berhasil mengikatnya diikat pinggangku, sayang ikat
pinggangku kendor, mawarpun runtuh. Kelopak kembangnya
bertaburan dihembus angin melayang jatuh kedalam air. Air
mengalir kearah timur, menghanyutkan kelopak mawar untuk
tidak kembali lagi. Alunan air sungai berubah merah menyala,
namun lengan bajuku terasa masih berbau harum," lalu dia
angkat lengan bajunya. "Coba kau cium, kau harus
menciumnya, sebagai tanda kenangan kami yang terakhir
kali." Yan Lam-hwi mengawasi lengan bajunya, perlahan dia
menggenggam tangannya. Pada saat itulah kentongan
berbunyi pula. Kentongan ketiga.
Mendadak Yan Lam-hwi mengipatkan tangannya, irama
musikpun berhenti mendadak. Mendadak pula Yan Lam-hwi
mengulap tangan: "Pergi."
Suaranya laksana kutukan iblis, suasana yang semula
riang penuh semangat kehidupan mendadak berubah sepi
lengang, tinggal dua orang saja, penabuh kentong
dikegelapan itupun sudah tidak kelihatan bayangannya.
Demikian gadis yang tertusuk oleh duri mawar juga telah
pergi, kalau tangannya tertusuk, hatinyapun tertusuk lebih
parah. Kereta semakin jauh, alam semesta kembali diliputi
keheningan. Tinggal sebuah dian yang masih menyala dalam kedai,
sinarnya redup, menerangi sepasang bola mata Yan Lam-hwi
yang mencorong bagai sepasang lampu senter. Mendadak dia
angkat kepala, dengan kedua bola matanya yang menyala dia
menatap lurus kepada Pho Ang-soat. Umpama betul orangnya
sudah mabuk, ternyata tatapan matanya tidak kelihatan
mabuk. Pho Ang-soat masih tetap duduk diam, tidak mendengar,
tidak melihat, tidak bergerak.
Yan Lam-hwi malah berdiri. Setelah dia berdiri baru terlihat
dipinggangnya menyoren sebatang pedang, gagangnya
berwarna merah, kerangkanya juga merah, merah menyala,
lebih merah dari bunga mawar, lebih merah dari warna darah.
Kedai yang baru saja diliputi kegembiraan, mendadak
berubah sepi diliputi hawa membunuh. Dia mulai melangkah
menghampiri Pho Ang-soat. Umpama dia sudah mabuk,
pedangnya yakin tidak mabuk. Tangan sudah memegang
pedang, tangan yang putih, pedang yang merah.
Golok Pho Ang-soat juga terpegang kencang, goloknya itu
tidak pernah terlepas dari tangannya. Golok hitam lambang
kematian, pedang merah bagai darah, maka jarak antara
golok dan pedang itu semakin dekat. Demikian pula jarak
kedua orang itu makin dekat. Nafsu membunuh makin tebal.
Akhirnya Yan Lam-hwi berada didepan Pho Ang-soat,
mendadak dia mencabut pedang, sinar pedang laksana sinar
mentari yang cemerlang, semarak laksana warna mawar yang
ditimpa cahaya mentari. Hawa pedang menyambar diantara
kedua alis Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat tetap tidak melihat, tidak mendengar dan
tidak bergerak. Dimana hawa pedang menyambar, kerai
monte yang terurai diatas pintu rontok berjatuhan, bak
umpama tetesan air mata si cantik-jelita.
Maka sinar pedangpun lenyap mendadak. Pedang masih
berada ditangan Yan Lam-hwi, dengan kedua tangan dia
memegang pedang lalu diangsurkan kedepan Pho Ang-soat.
Itulah pedang tajam yang tiada bandingannya dikolong langit.
Yang dilancrkan juga ilmu pedang yang tiada tandingan
diseluruh jagat. Kenapa sekarang dia serahkan pedang itu
kepada Pho Ang-soat" Dia datang dari jauh, berpesta-pora,
minum sepuasnya, dia mencabut pedang, mengayun dan
mengangsurkan pedang, lalu apa sih maksud dan tujuannya"
Tangan itu kelihatan putih, pedang yang sudah keluar dari
serangkanya juga kelihatan pucat dibawah sinar dian yang
redup. Tapi rona muka Pho Ang-soat lebih pucat lagi. Akhirnya dia
bergerak perlahan, dia angkat kepala menatap tajam pedang
ditangan Yan Lam-hwi. Wajahnya tidak menunjukkan
perubahan mimik, hanya pelupuk matanya yang mulai
menyipit. Yan Lam-hwi juga menatapnya lekat-lekat, bola matanya
yang bercahaya menampilkan perasaan yang ganjil, entah itu
rasa senang karena sudah mendekati kebebasan" Atau duka
lara karena apa boleh buat.
Kembali kepala Pho Ang-soat terangkat, kini dia menatap
bulat bola matanya, seperti baru sekarang dia melihatnya.
Begitu sorot mata mereka bentrok, seolah-olah menerbitkan
percikan kembang api.
"Kau sudah datang," mendadak Pho Ang-soat bersuara.
"Ya, aku sudah datang."
"Aku tahu kau pasti datang."
"Sudah tentu aku datang, kau tentu tahu, kalau tidak buat
apa setahun yang lalu kau bebaskan aku?"
Pandangan Pho Ang-soat melorot turun menatap pula
pedang ditangannya, perlahan dia bersuara: "Sekarang sudah
setahun menjelang."
"Ya, setahun tepat."
"Setahun yang panjang."
"Setahun yang pendek."
Jangka setahun, sebetulnya panjang atau pendek"
Mendadak Yan Lam-hwi tertawa-tawa, nada tawa yang
membawa sindiran tajam, katanya: "Kau merasa setahun
panjang karena kau selalu menanti, menanti pertemuan hari
ini." "Dan kau?"
"Aku tidak pernah menunggu," ucap Yan Lam-hwi tertawa
tawar, "walau aku tahu hari ini aku pasti mati, tapi aku bukan
manusia yang takut mati, bukan orang yang menunggu
kematian."
"Ya, karena banyak pekerjaan yang harus kau bereskan,
maka kau merasa setahun ini terlalu pendek bagimu?"
"Ya, kenyataan memang terlalu pendek."
"Sekarang apakah urusanmu sudah beres" Apakah
keinginanmu sudah tercapai?"
ooooOOoooo Cahaya pedang bertaburan diangkasa, pedang bergerak
laksana kilat. Golok itu justru seperti amat lamban. Tapi
sebelum cahaya pedang tiba, golok it sudah menembus
kedalam tabir cahaya pedang dan menindasnya. Maka golok
itu sudah berada didepan tenggorokan, golok milik Pho Angsoat,
tenggorokan Yan Lam-hwi.
ooooOOoooo Sekarang golok berada ditangan, tangan diatas meja. Lama
Yan Lam-hwi menatap golok hitam legam itu, lalu berkata
perlahan: "Setahun yang lalu, aku kalah oleh golokmu."
"Mungkin kau tidak pantas kalah, sayang sekali kau masih
terlalu muda, namun permainan pedangmu justru sudah
terlalu tua."
Yan Lam-hwi diam saja, seperti sedang mengunyah dua
patah kata tadi, agak lama kemudian baru dia berkata pula
perlahan: "Waktu itu kau pernah tanya kepadaku, apakah ada
persoalan hati yang belum tercapai."
"Ya, aku pernah tanya hal itu."
"Waktu itu pernah kuberitahu kepadamu, umpama benar
ada persoalan yang belum tercapai juga adalah urusan
pribadiku, urusan pribadiku selamanya aku sendiri yang
menyelesaikan."
"Ya, aku ingat."
"Waktu itu akupun memberitahu kepadamu, setiap saat kau
boleh membunuhku, tapi jangan harap kau dapat mengeduk
rahasia hatiku, supaya aku menjelaskan persoalan yang
kuidam selama ini."
"Dan sekarang ?"
"Sekarangpun demikian."
"Tetap tidak mau kau jelaskan?"
"Kau meminjamkan waktu setahun supaya aku
menyelesaikan persoalan yang ingin kubereskan, sekarang
setahun sudah tiba aku ?"
"Kau mengantar kematian ?"
"Benar, aku mengantar kematian," pedang digenggamnya
kencang, "maka sekarang kau boleh membunuhku."
Dia mengantar kematian. Dia datang dari Kanglam,
menempuh ribuan li perjalanan ternyata hanya untuk
mengantar jiwa untuk dibunuh. Bahwa dia bermabukan,
bermain perempuan lacur, berdendang dan bernyanyi, tidak
lain hanya untuk menikmati kesenangan hidup terakhir
sebelum ajal. Kematian seorang kesatria, mati secara indah.
ooooOOoooo "Setahun yang lalu, ditempat ini, seperti sekarang, aku bisa
membunuhmu."
"Kau menunda setahun lamanya, karena kau percaya aku
pasti akan datang."
"Kalau kau tidak datang, selamanya mungkin aku tidak
akan bisa menemukan kau."
"Mungkin sekali."
"Tapi kau datang juga."
"Ya, aku pasti datang."
"Bila cita-citamu belum terlaksana, aku masih bisa memberi
kelonggaran setahun."
"Tidak usah."
"Tidak usah, katamu?"
"Bahwa hari ini aku sudah kemari, aku sudah bertekad
menerima kematian."
"Kau tidak ingin hidup setahun lagi?"
Mendadak Yan Lam-hwi tertawa besar sambil mendongak,
katanya: "Seorang lelaki sejati hidup didunia ini, jikalau tidak
mampu memberantas kelaliman, membalas dendam, umpama
hidup sepuluh tahun lebih lama juga sia-sia, lebih baik mati
saja." Dia tertawa, namun nada tawanya lebih mirip raung
tangisan yang menyedihkan, tangis penderitaan.
Pho Ang-soat mengawasi, setelah orang berhenti tertawa,
baru dia berkata: "Tapi cita-citamu belum terlaksana.:
"Siapa bilang?"
"Aku yang bilang. Aku dapat melihatnya."
Yan Lam-hwi menyeringai dingin. "Umpama benar citacitaku


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum terlaksana, kan tiada sangkut-pautnya dengan
kau." "Tapi kau ?"
"Kau bukan orang yang cerewet, akupun tidak ingin banyak
bicara dengan kau."
"Jadi kau ingin lekas mati" Sampai matipun kau tidak mau
membeber cita-citamu yang belum tercapai itu?"
"Ya," tegas dan berat, laksana golok membacok paku,
agaknya tiada seseorang didunia ini yang mampu merubah
tekadnya. Punggung jari Pho Ang-soat yang menggenggam golok
sudah memutih, otot hijau merongkol. Bila golok ini
meninggalkan sarungnya, kematianpun akan datang, tiada
seorangpun didunia ini yang mampu melawannya. Apakah
sekarang goloknya siap keluar dari sarungnya?"
Dengan kedua tangan Yan Lam-hwi pegang pedang,
katanya: "Aku lebih senang mati dibawah pedangku sendiri."
"Aku tahu."
"Tapi kau tetap ingin menggunakan golokmu."
"Kau punya persoalan yang tidak mau kau bereskan,
demikian pula aku."
Yan Lam-hwi menepekur, katanya perlahan: "Setelah aku
mati, sudikah kau merawat pedangku ini?"
Dingin suara Pho Ang-soat: "Pedang ada orangnya hidup,
orang mati pedangpun lenyap, bila kau mati, pedang ini akan
tetap mendampingi kau."
Yan Lam-hwi menghela napas panjang perlahan, memejam
mata serta berkata: "Silahkan, silahkan turun tangan."
Golok Pho Ang-soat sudah bergerak, sebelum
meninggalkan kerangka, mendadak dari luar terdengar suara
gemuruh seperti roda raksasa menggelinding dijalan berbatu,
disusul "Blang" yang menggetar seisi rumah. Daun pintu yang
memang sudah keropos mendadak semplak berhamburan,
sebuah benda menggelinding masuk laksana roda kereta,
itulah sebuah bola bundar berwarna kuning emas kemilau.
Pho Ang-soat tidak bergerak, Yan Lam-hwi juga tidak
berpaling. Bila bola emas itu menggelundung dibelakangnya,
sekejap lagi bakal menumbuk punggungnya.
Tiada seorangpun yang kuat menahan terjangan bola emas
ini, terjangan yang tidak mungkin bisa ditahan oleh tenaga
manusia yang berdarah daging.
Pada saat itulah golok Pho Ang-soat tercabut. Hanya sekali
sinar golok berkelebat lalu berhenti. Segala suara, semua
gerakan, berhenti seluruhnya. Bola emas yang menerjang
datang dengan dahsyat, hanya sekali tutul dengan tajam
goloknya, lantas berhenti bergerak. Pada saat yang sama
itulah, dari dalam bola emas itu mendadak melesat keluar tiga
belas batang ujung tombak runcing menusuk punggung Yan
Lam-hwi. Yan Lam-hwi tetap tidak bergerak, kembali Pho Ang-soat
yang bertindak. Dimana sinar golok menyambar, ujung tombak
rontok seluruhnya. Bola emas yang kelihatannya berat ribuan
kati itu sekilas telah dibacoknya menjadi empat potong.
Bola emas ini ternyata kosong, laksana kelopak bunga saja
empat potongan bola itu merekah keempat penjuru, lalu
muncullah seseorang. Seorang kate, manusia kerdil duduk
bersimpuh diatas tanah, bila kelopak bola itu jatuh perlahan
menyentuh bumi, orang kerdil ini tetap duduk diam tidak
bergerak sedikitpun.
Sambaran golok sekali tadi, sekaligus membabat kutung
tiga belas batang tombak, sekalian membelah bola emas itu
menjadi empat potong, maka dapat dibayangkan betapa besar
tenaga dan kecepatan samberan golok itu, seolah-olah sudah
membaur dengan kekuatan gaib yang ada di dunia ini, boleh
dikata itu sudah termasuk segala perobahan ilmu pedang
yang paling top di dunia ini, cukup ampuh untuk
menghancurkan apa saja di dunia ini.
Tapi setelah tombak putus bola terbelah, manusia kerdil ini
tetap bersimpuh di tanah, bukan saja tidak bergerak, mimik
mukanya juga kaku tidak menunjukkan perobahan, tak
ubahnya manusia kayu, seperti pinokio.
Daun pintu jebol, genteng juga runtuh, sekeping genteng
kebetulan jatuh mengenai manusia kerdil itu "Klotak" suaranya
keras, ternyata dia memang betul adalah manusia kayu.
Namun Pho Ang-soat tidak pernah lepas pandang. dia tidak
bergerak, diapun diam.
Benarkah manusia kayu bisa bergerak" Kenyataan
manusia kayu ini memang bergerak. Malah bergerak cepat
bagai kilat, gerakannyapun aneh dan ganjil, mendadak
dengan tubuhnya yang kecil itu nyeruduk kepunggung Yan
Lam-hwi. Tidak memakai senjata, dengan badan sendiri sebagai
gaman, seluruh badan termasuk kaki tangan adalah gaman.
Gaman apapun yang paling dahsyat di dunia ini pasti
digunakan manusia, karena gaman itu sendiri adalah benda
mati. Tapi gaman yang satu ini justru adalah gaman hidup.
Pada saat yang sama, lantai kedai yang kering keras itu
mendadak merekah, sepasang tangan mendadak
menyelonong keluar merogoh sepasang kaki Yan Lam-hwi.
Aksi yang tak terduga dan luar biasa inipun mengejutkan.
Umpama Yan Lam-hwi ingin berkelit juga sudah tidak mampu
bergerak lagi. Sepasang tangan yang keluar dari tanah manusia kayu
yang mendadak bergerak, serangan atas dan bawah, kaki
manusia kayu menjepit pinggang, sepasang tangan sudah
siap mencekik tenggorokkan. Serangan serentak dari atas dan
bawah ini bukan saja aneh bin ajaib, jelas telah direncanakan
secara sempurna pula, mereka yakin sekali gebrakan pasti
tidak akan gagal.
Sayang sekali mereka lupa, bahwa disamping Yan Lam-hwi
masih ada sebilah golok. Golok Pho Ang-soat. Golok yang
tiada tandingan di langit maupun di bumi. Kembali golok hanya
berkelebat sekali, sekalipun cukup berlebihan. Empat tangan
seketika tergores luka berdarah, tangan manusia kayu
ternyata juga mengeluarkan darah. Darah yang merah namun
raut mukanya yang kelam dan kering tampak mulai berkerut.
Pegangan terlepas, empat tangan telah melepas
pegangannya, seorang menerobos keluar dari dalam tanah,
sekujur badan berdebu, bentuk seperti manusia tanah diapun
seorang kate. Gerakan kedua orang kate ini serasi dan mirip
satu dengan yang lain. Ditengah udara mereka bersalto dan
jatuh kearah pojokan yang sama lalu mengkeret seperti
trenggiling. Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke dalam kerangkanya,
orangnya tetap diam. Demikian pula Yan Lam-hwi, hakikatnya
dia tidak bergerak atau berpaling.
Manusia tanah mendekap tangan yang terluka, mendadak
dia mengomel: "Gara-garamu hingga aku terluka, kau terlalu
yakin bahwa sergapan kita pasti tidak akan gagal."
Manusia kayu menjawab: "Ya, perhitunganku meleset."
Manusia tanah mendesis gemas: "Perhitungan meleset,
maka kau harus mati."
"Bahwa tugas ini tidak terlaksana, pulang juga dihukum
mati, lebih baik mati sekarang saja."
"Mati dengan cara apa yang kau inginkan?"
"Aku ini manusia kayu, sudah tentu harus dibakar."
"Bagus, lebih baik kalau terbakar sampai jadi abu."
Manusia kayu menghela napas, entah darimana dia
keluarkan ketikan api, terus menyulut badan sendiri. Api lekas
menyala, manusia kayu lantas ditelan kobaran api yang
semakin besar. Manusia tanah sudah menyingkir kesamping, mendadak
dia membentak keras: "Jangan sekarang kau belum boleh
mati, kau masih menyimpan tiga ribu tahil uang kertas kalau
terbakar, uangmu takkan berguna lagi."
"Kemarilah kau mengambilnya." terdengar sahutan dari
tengah kobaran api.
"Aku takut kebakar." sahut manusia tanah.
Terdengar helaan napas dari dalam kobaran api,
mendadak sejalur air menyembur keluar dari gugusan api
yang menyala, laksana hujan saja menciprat kemana-mana,
kebanyakan jatuh ditengah kobaran api sehingga
menimbulkan suara mendesis yang ramai, maka mengepullah
asap tebal. Kobaran api besar itu seketika padam hanya oleh
siraman sejalur air putih, kini berganti kepulan asap putih yang
semakin tebal. Manusia kayu terbungkus di dalam kepulan
asap tebal, siapapun tiada yang melihat bagaimana bentuknya
sekarang setelah terbakar.
Bahwasanya Pho Ang-soat tidak pernah perhatikan
kejadian sekelilingnya, yang diperhatikan hanya seorang. Yan
Lam-hwi sendiri seolah-olah tidak ambil peduli akan apa yang
terjadi disekitarnya. Lekas sekali asap tebal itu makin meluap
sehingga seluruh kedai arak ini ditelannya, asap terus
merembes keluar melalui celah-celah pintu, lobang jendela
dan atap genteng. Angin menghembus lalu diluar, asap yang
keluar seketika buyar tertiup angin.
Kucing yang kurus kering bermalas-malas di luar tadi
sedang menyebrang jalan pula kearah kedai, sambil
merunduk dia sembunyi dibelakang sebuah saka. Kebetulan
angin menghembus lalu membawa segumpal asap lewat
disekitar tubuhnya. Kucing itu seketika roboh, setelah
kelejetan terus tak bergerak lagi. Setelah mengalami banyak
penderitaan, kelaparan yang tidak mungkin kuat ditahan oleh
manusia. Kucing ini masih bertahan hidup, tapi hanya
hembusan asap lalu cukup membuatnya mati dan mayatnya
pun luluh tinggal kerangka saja.
ooooOOoooo Bab 3. Bulan Terang Di Atas Loteng
Waktu itu Pho Ang-soat dan Yan Lam-hwi juga sedang
berdiri ditengah asap tebal itu.
Akhirnya asap itu buyar. Asap yang dapat mencabut
nyawa, entah betapa banyak kaum ksatria yang gugur oleh
asap ini" Bila asap telah buyar, sepasang mata manusia kayu
tampak bersinar, dia percaya bahwa kedua orang itu pasti
sudah roboh. Terbayang dalam benaknya mereka sedang
meregang jiwa. Meronta dan merintih, merayap kedepannya
mohon diberi obat penawarnya. Demikian pula halnya Ciok
Pa-thian dan Tang Hou juga berlutut di depannya meratap
minta belas kasihan. Padahal mereka adalah orang kuat yang
gagah berani di dunia persilatan, namun dikala menghadapi
elmaut, seorang yang pemberani sekalipun juga berobah
lemah dan penakut. Penderitaan dan keputusasaan orang lain
dianggapnya sebagai hiburan yang menyenangkan.
Tapi sekali ini dia yang putus asa dan kecewa.
Pho Ang-soat dan Yan Lam-hwi ternyata tidak roboh,
mereka tetap tegak ditempatnya, mata merekapun
memancarkan cahaya.
Sinar yang terpancar dari bola mata manusia kayu sudah
padam seperti kobaran api diatas badannya. Pakaiannya yang
terbakar hangus juga sudah lenyap tertiup angin lewat tinggal
badannya yang hangus hitam itu mirip kepingan baja yang tak
meman api, tapi juga mirip seonggok kayu yang terbakar jadi
arang. Mendadak Yan Lam-hwi berkata: "Kedua orang ini adalah
Ngo-heng-siang-sat."
Pho Ang-soat hanya mendengus sekali.
"Dalam emas tersembunyi kayu, api dan air satu sumber.
Menghilang meminjam bumi tangan setan menangkap kaki,
merupakan sergapan yang susah dijaga sebelumnya. Nga
heng siang sat adalah salah satu dari pembunuh bayaran
yang memperoleh honor tinggi, konon sekarang mereka sudah
menjadi kaya raya, harta miliknya sudah laksaan tahil emas.
Sayang sekali banyak hartawan didunia ini, dalam pendangan
kebanyakan orang ternyata tidak berharta sepeserpun.
Lekas manusia tanah unjuk tawa dipaksakan, katanya: "Dia
inilah emas, kayu, api dan air, aku hanya tanah belaka, aku ini
mirip keledai dungu, mirip kacang tanah, mirip ajning kurap"
dia mengawasi golok ditangan Pho Ang soat, golok itu sudah
berada dalam serangka, golok hitam. setelah menghela napas
dia tertawa getir, "Umpama kami tidak kenal Pho Tay hiap,
juga harus kenal golokmu itu "
Manusia kayu berkata: "Soalnya kami tidak menduga
bahwa Pho Tayhiap akan membelanya"
Pho Ang soat berkata dingin: "Jiwanya ini sudah menjadi
milikku. tahu"
"Ya." Manusia kayu mengiakan. Kecuali aku, siapapun tak
boleh mengganggu seujung rambutnya"
Manusia tanah mengiakan. Lalu katanya: "Asal Pho tayhiap
sudi mengampuni jiwa kami, kami akan segera enyah dari sini"
"Enyah" Pho Ang soat segera menghardik.
Segera kedua orang itu memang menggelundung keluar,
menggelundung mirip bola.
Yan Lam-hwi tertawa, katanya: "Aku tahu kau pasti takkan
membunuh mereka"
"O, apa alasannya?" tanya Pho Ang soat. "Karena mereka
tidak setimpal"
Pho Ang soat menatap golok ditangannya, mimik wajahnya
menampilkan kesepian yang tak terperikan. Tidak banyak dia
punya kawan, hingga sekarang musuhnyapun tidak banyak
lagi. Memang berapa banyak pula manusia dalam kolong
langit ini yang setimpal untuk dirinya mencabut golok"
Perlahan Pho Ang soat berkata: "Aku pernah dengar,
mereka membunuh Ciok Pa thian, honornya tiga belas
laksaan tahil"
"Memang benar."
"Nilai jiwamu sudah tentu jauh lebih tinggi dibandingkan
Ciok Pa-thian."
"Sudah tentu lebih mahal."
"Tidak banyak orang yang mampu membayar honor tinggi
kepada mereka untuk membunuhmu."
Terkancing mulut Yan Lam-hwi.
"Kau tidak bersuara lagi, karena kau sudah tahu siapa
orang itu."
Yan Lam-hwi tetap bungkam tidak memberi tanggapan.
"Cita-citamu yang belum tercapai, yaitu untuk menghadapi
orang yang satu ini?"
Mendadak Yan Lam-hwi tertawa dingin, jengeknya, "Terlalu
banyak yang kau tanyakan."
"Tidak kau jelaskan?"


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak."
"Baiklah, silakan pergi."
"Aku tidak boleh pergi."
"Jangan lupa kau pinjam setahun kepadaku, dalam jangka
setahun ini, kau tetap hutang terhadapku."
"Kau ingin aku membayar" Bagaimana aku harus
membayar?"
"Selesaikan dulu apa yang harus kau selesaikan."
"Tapi aku?"
"Kalau kau seorang laki-laki sejati, umpama benar ingin
mati juga harus gugur secara jantan," demikian desis Pho
Ang-soat seraya menatapnya tajam, kalau dia angkat
kepalanya, Yan Lam-hwi justru tertunduk, seolah-olah dia
tidak ingin memperlihatkan mimik mukanya. Mimik muka yang
tidak bisa dimengerti oleh siapapun, entah itu duka dan
penasaran, ataukah penderitaan" Atau ketakutan"
"Pedang masih lengkap, jiwamu juga belum layu, kenapa
tidak berani kau menghadapi kenyataan ini?"
Mendadak Yan Lam-hwi angkat kepalanya, kedua tangan
menggenggam kencang pedang, katanya tegas, "Baik, akan
kulakukan, tapi setahun kemudian aku pasti datang."
"Aku tahu," ujar Pho Ang-soat.
Arak masih ada di atas meja, mendadak Yan Lam-hwi
mencengkeram guci arak, katanya, "Kau tetap tidak minum?"
"Tidak minum," jawaban Pho Ang-soat tetap lantang dan
tegas. Kini ganti Yan Lam-hwi yang menatapnya, katanya, "Apa
benar orang yang tidak pernah minum arak pikirannya selalu
jernih?" "Belum tentu," pendek jawaban Pho Ang-soat.
Yan Lam-hwi terloroh-loroh sambil menengadah, sisa
setengah guci arak dia tenggak sampai habis lalu melangkah
lebar keluar pintu. Guci dilempar seenaknya.
Langkahnya lebar jalannya cepat. Karena dia tahu jalan
yang harus ditempuhnya terbentang panjang dan lebar di
depan, bukan saja penuh aral rintang juga tak berujung jauh
dan jauh sekali.
Kota mati, jalan raya yang sudah menjadi belukar. Dunia
menjadi lengang oleh kesunyian yang beku seolah-olah tiada
kehidupan lagi di keremangan malam ini.
Malam ini kebetulan bulan purnama, bulan bundar, jikalau
hati manusia sudah cedera, memangnya kenapa kalau bulan
purnama" Yan Lam-hwi melangkah lebar di bawah bulan
purnama, bukan saja langkahnya lebar juga kokoh dan cepat.
Tapi Pho Ang-soat tetap mengintil dari kejauhan,
betapapun dia melangkah lebar, betapa cepatnya, setiap kali
dia menoleh segera dia melihat si cacad yang sebatangkara
ini, dengan langkahnya yang berat dan gayanya yang lucu,
tetap mengintil di belakang dalam jarak tertentu.
Bintang-bintang bertaburan di angkasa raya, bulan sudah
condong ke barat, malam ini sudah akan menjelang. Fajar
telah tak jauh lagi, namun dia masih berada di belakang dalam
jarak yang sama, dengan langkah dan gaya yang sama pula.
Akhir kali menoleh Yan Lam-hwi tidak tahan lagi, segera dia
berseru keras, "Apakah kau ini bayanganku?"
"Bukan," sahut Pho Ang-soat.
"Kenapa kau menguntit aku?"
"Karena aku tidak menghendaki kau mati di tangan orang
lain." Yan Lam-hwi tertawa dingin, katanya, "Tak usah kau
berjerih payah, selamanya aku pandai menjaga diriku sendiri."
"Betulkah kau mampu?" tanya Pho Ang-soat. Sebelum Yan
Lam-hwi menjawab dia sudah menambahkan, "Hanya seorang
yang tidak kenal cinta kasih baru dia dapat menjaga dirinya
sendiri, kau ini seorang pemuda romantis."
"Dan kau?"
"Umpama aku tahu adanya cinta, juga sudah kulupakan,
sudah sejak lama sekali."
Roman mukanya tetap pucat kaku, lalu siapa dapat meraba
di belakang sikapnya yang kaku ini menyembunyikan
pengalaman hidup merana" Kenangan yang membawa siksa
derita" Bila seseorang benar-benar sudah tidak memiliki
hatinya, cinta sudah pudar, lalu siapa pula dalam dunia ini
yang mampu melukai hatinya, melukai lahir batinnya"
Yan Lam-hwi menatapnya bulat-bulat, katanya perlahan,
"Bila kau berpendapat kau mampu menjaga dirimu sendiri,
kukira kaupun keliru."
"Kenapa keliru?"
"Paling sedikit masih ada seorang yang mampu melukai
kau." "Siapa?"
"Kau sendiri."
ooooOOoooo Fajar menyingsing. Matahari telah terbit. Cahaya surya
telah menerangi mayapada, menyinari batu pilar di pinggir
jalan, di atas batu itu terukir tiga huruf besar yang berbunyi
Hong-hong-kip. Hanya batu pilar itu dengan tiga ukiran huruf
yang sama, tidak berbeda sejak setahun yang lalu.
Sebenarnya Pho Ang-soat bukan lelaki yang gampang
menunjukkan suka dukanya, tapi waktu dia melewati batu pilar
itu, tak betahan dia menoleh dan melirik beberapa kali.
Memangnya tiada sesuatu ayng abadi didunia ini, demikian
pula kehidupan manusia mengalami banyak perobahan hanya
tempat saja ini saja yang tidak mengalami banyak perobahan.
Ternyata Yan Lam hwi dapat meraba isi hatinya, mendadak
dia tanya: "Kau tidak mengira?"
Pho Ang soat manggut manggut, katanya "Aku tidak
mengira, kau justru tahu bahwa tempat ini sudah menjadi kota
mati, maka kau membawa rombongan musik dan pelacur
serta hidangan lezat itu kemari"
Ternyata Yan Lam hwi tidak menyangkal.
"Tentunya kau juga sudah tahu kenapa tempat ini berobah
menjadi kota mati?"
"Sudah tentu aku tahu"
"Apa sebabnya?"
Terpancar perasaan derita dan amarah yang bercampur
baur pada sorot mata Yan Lam hwi, agak lama kemudian baru
dia berkata perlahan: "Karena aku"
"Karena engkau" Bagaimana kau bisa membikin kota yang
makmur menjadi kota mati?"
Yan Lam Hwi tutup mulut. Bila dia menutup mulut, bentuk
bibirnya kelihatan tebal kaku dan kedutan, seolah olah
mendekati kejam dan buas. Oleh kerana itu bila dia sudah
bungkam, siapaun sudah harus tahu bahwa dia menolak
diajak bicara karena itu Pho Ang soat pun menutup mulutnya.
Akan tetapi mata mereka tidak boleh terpejam, waktu
mereka menoleh pula kearah depan bersamaan mereka
melihat seekor kuda mencongklang pesat dari cabang jalan
bebelaj kiri yang bertanah tandus kearah sini, kusa itu
memang berlari bagai terbang.
Kudanya bagus, penunggangnya juga cekatan dan cukup
ahli, begitu mereka menoleh melihat kuda itu. kuda dan
penunggangnyapun sudah berasa didepan mata.
Mendadak Yan Lam hwi memburu maju sambil menjejak
kaki, tubuhnya melejit bersalto diudara, melesat lewat diatas
kepala kuda, bila dia sudah menginjak kakinya dibumi pula tali
kekang kuda itupun sudah dipegangnya dan ditariknya
kencang. selama tubuhnya berdiri kokoh, sekokoh tonggak
yang terpendam didalam tanah, hanya dengan sebelah
tangannya dia berhasil menguasai kuda binal ini. Kuda itu
meringkik sambil berjingktak berdiri dengan kaki belakang.
Karuan penunggang kuda membentak gusar, pecut ditangan
terayun menghajar kepala Yan lam hwi. Tapi pecutnya itu juga
kena ditangkap, kontan penunggangnya tertarik jatuh
jumpalitan, wajahnya kelihatan basah oleh keringat, saking
murka dan menahan takut, kulit dagingnya tampak kedutan
dan berkerut kerut, dengan terbeliak dia mengawasi Yan Lam
hwi. Yan Lam hwi tersenyum, katanya: "Kenapa kau buru buru
menempuh perjalanan?"
Penunggang kuda itu menahan sabar, setelah melihat
kepandaian Yan Lam Hwi yang mengejutkan, tak bisa tidak
dia harus bersabar, tak berani dia menjawab; "Aku hendak
melayat" "Apakah familimu ada yang mati?"
"Ya, pamanku yang kedua."
"Bila kau memburu kesana, apakah kau mampu menolong
jiwanya?" "Tidak bisa, jelas tidak mungkin."
"Kalau kau tidak bisa menghidupkannya lagi, kenapa pula
kau membedal kuda sekencang itu?"
Penuggang kuda itu bertanya: "Sebetulnya apa
kehendakmu?"
"Aku ingin membeli kudamu ini."
"Tidak kujual."
Sekenanya Yan Lam hwi merogoh sekeping emas dilempar
kedepan orang itu, ujarnya: "Mau tidak menjualnya?"
Penunggang kuda terbelalak kaget, lama dia menjublek
mengawasi kepingan emas itu, akhirnya dia menarik napas
panjang dan menggumam: "Orang mati tak bisa hidup lagi,
buat apa aku buru buru menempuh perjalanan"
Yan Lam hwi tertawa, dia mengelus bulu suri sikuda jantan
yang gagah ini, katanya kepada Pho Ang soat dengan
tersenyum: "Aku tahu aku takkan mampu meninggalkan
ungkau, tapi sekarang aku sudah memiliki enam kaki"
Pho Ang soat diam saja.
Yan Lam hwi tertawa besar, serunya mengulap tangan:
"Selamat bertemu, setahun lagi kita bertemu" kudanya kuda
pilihan, penalanya juga terbikin oleh tukang yang ahli, baru
saja dia hendak melompat kepunggung kuda mendadak sinar
golok berkelebat. Pho Ang saot telah memcabut goloknya
namun hanya sekali berkelebat, golok itu sudah kembali
kedalam selangkanya, kuda itu tidak terkejut kerananya,
orangpun tiada yang terluka, semberan sinar golok tadi seperti
bintang jatuh diangkasa raya, membawakan harapan dan
keindahan bagi umat manusia, jadi bukan lagi rasa ketakutan,
kaget atau ngeri.
Akan tetapi Yan Lam hwi justru teramat kaget, matanya
menatap golok digenggaman tangannya, katanya: "Aku tahu
biasianya jarang kau mencabut pedang. Golokmu itu bukan
untuk dipamerkan kepada orang kali ini kenapa tanpa sebab
kau justru mencabut golok?"
"Karena pahamu"
"Karena pahaku?"
"Jangan kira kau punya enam kaki, begitu kau naik
kepunggung kuda ini, maka kau tidak akan punya kaki lagi,
sebuah kakipun tiada "
Memicing ngeri mata Yan Lam hwi, mendadak dia
menoleh, segera dia melihat darah.
Darah kental itu mengalir, bukan mengalir dari tubuh
manusia, juga bukan keluar dari badan kuda. Tapi darah itu
mengalir dari dalam pelana. Penunggang kuda yang sudah
duduk dipinggir jalan mendadak melompat, laksana anak
panah dia menerobos jauh kesana.
Ternyata Pho Ang soat tidak merintangi, demikian pula Yan
Lam hwi tidak mengudak, malah menolehpun tidak. Matanya
terus menatap pelana, perlahan dia ulur dua jarinya menarik
pelana ternyata yang dijinjingnya hanya bagian atas. Pelana
yang terbuat secara antik ini sekali bocah ternyata terbelah
menjadi dua. Kenapa pelana bisa mengalirkan darah" Jelas tidak
mungkin. Darah itu dingin, karena darah itu mengalir dari
tubuh ular, dan ular itu berada didalam pelana. Empat ekor
ular beracun, empat ekor ular itupun terbacok putus oleh
selarik sinar golok tadi.
Jikalau seseorang duduk diatas pelana. jikalau pelana itu
berlobang hingga kepala ular bisa menongol keluar, jikalau
seseorang telah membuka tutup lobang itu.
Jikalau empat ekor uler itu sekaligus mengigit paha
penunggang kuda. Apakah penunggang kuda itu masih
mampu mempertahankan pahanya" Terbayang semua hal ini,
mau tidak mau berkeringat dingan telapak tangan Yan Lam
hwi. Tapi sebelum dia mencucurkan keringat dingin. kupingnya
sudah mendengar jeritan yang mengerikan, seperti dana
manusia yang mendadak ditusuk pedang. Penunggang kuda
yang melarikan diri tadi sudah mengembangkan ginkang Yan
cu sam jau cui melesat tujuh tombak jauhnya. Tapi waktu dia
melompat untuk keempat kalinya, mendadak mulutnya
menjerit panjang, tubuh yang sudah terapung diudara seketika
terjungkal jatuh.
Samberan sinar golok tadi bukan saja membelah pelana,
memotong ular, ternyata juga melukai hatinya, waktu dia
terjungkal roboh, lalu meringkel dan kelejetan seperti ular yang
sekarat. Tiada orang menoleh menyaksikan keadaannya.
Perlahan Yan Lam-hwi menurunkan pelana yang berada di
tangannya, waktu dia angkat kepala, matanya menatap tajam
wajah Pho Ang-soat.
Tangan Pho Ang-soat menggenggam golok, golok di dalam
sarungnya. Lama Yan Lam-hwi merenung, akhirnya menarik nafas
panjang, katanya, "Sayang aku dilahirkan terlambat, belum
pernah aku melihatnya."
"Apa kau pernah melihat pisau Yap Kay?" tanya Pho Angsoat.
"Sayang aku tidak berjodoh, aku?"
"Kau tidak berjodoh, tapi beruntung dulu ada juga orang
yang melihat pisaunya menyamber?"
"Tapi orang yang pernah melihat pisaunya itu semua sudah
mati?" "Umpama orangnya belum mati, hatinya pasti sudah
mampus." "Hatinya mampus?"
"Siapa saja, asal pernah melihat pisaunya itu menyerang,
maka selama hidup dia tidak akan berani memakai pisau lagi."
"Tapi Yap Kay menggunakan pisau terbang."
"Pisau terbang juga pisau."
Yan Lam-hwi mengakui, hanya mengakui. Pisau memang
banyak jenisnya, pisau jenis apapun dia tetap pisau, pisau
jenis apapun dapat untuk membunuh orang.
"Kau pernah menggunakan pisau?" tanya Pho Ang-soat.


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak," sahut Yan Lam-hwi pendek.
"Pernah kau melihat orang yang benar-benar mahir
menggunakan pisau?"
"Ya, hanya beberapa gelintir saja."
"Kalau begitu kau tidak setimpal bicara soal pisau."
Yan Lam-hwi tertawa, ujarnya, "Betul mungkin aku tidak
setimpal bicara soal pisau, mungkin golokmu juga bukan tiada
tandingan di kolong langit ini, hal ini aku tidak bisa pastikan,
aku hanya bisa memastikan satu hal."
"Satu hal apa?"
"Sekarang aku punya enam kaki, kau sebaliknya hanya dua
saja," di tengah gelak tawanya kembali dia mencemplak ke
punggung kuda. Meski pelana sudah rusak, ular sudah mati
tapi kuda itu tetap segar bugar. Lari kuda seperti berlomba
dengan angin meninggalkan kepulan debu di belakangnya.
Pho Ang-soat menunduk, mengawasi kaki sendiri, sorot
matanya memancarkan perasaan yang sukar dilukiskan, entah
itu mencemooh atau menyindir, "Kau keliru, aku bukan hanya
dua kaki, aku hanya punya satu."
ooooOOoooo Setiap kota tentu ada restoran, setiap restoran tentu
berusaha dalam jangka panjang tentu mempunyai pelayanan
yang istimewa, masakan yang khas.
Tapi tidak demikian dengan Ban-siu-kou ini,
keistimewaannya adalah mahal, mau apapun yang tersedia
disini, meski hanya sepiring nasi putih dan segelas teh juga
harganya jauh lebih mahal dari restoran lain di manapun.
Manusia memang banyak cirinya, menghamburkan uang,
bermuka-muka, menjaga gengsi merupakan salah satu ciri
terlemah dari watak manusia. Oleh karena itu, suatu tempat
yang memasang tarif tinggi, usaha dagangnya justru maju.
Waktu Yan Lam-hwi keluar dari Ban-siu-lou, melihat
kudanya yang terikat di luar pintu, tak tertahan dia berteriak.
Dua kaki betapapun tak lebih unggul dari enam kaki. Siapapun
asal dia manusia pasti punya keinginan untuk membebaskan
diri dari bayangan sendiri, bukankah inipun salah satu ciri dari
manusia. Tapi waktu dia menarik tali kekang kuda sebelum
berbuat lebih banyak, matanya tawanya seketika kuncup.
Karena begitu dia angkat kepala, matanya sudah melihat
Pho Ang-soat. Pho Ang-soat berdiri di seberang jalan,
mengawasinya dingin. Wajah yang pucat, sorot mata dingin,
golok yang hitam.
Yan Lam-hwi tertawa. Pantat kuda dipukulnya sekali, kuda
lari pergi. Dia tetap berdiri di situ, dengan tersenyum dia
mengawasi Pho Ang-soat. Lari kuda meninggalkan kepulan
debu, bila debu sudah buyar tertiup angin baru dia
menyeberang jalan menghampiri Pho Ang-soat, katanya
tersenyum, "Akhirnya kau toh menyusulku juga. Karena siapa
pun yang ingin kau kuntit, maka jangan harap orang itu dapat
lolos." Pho Ang-soat hanya bersuara dalam mulut.
Yan Lam-hwi menghela nafas, katanya, "Untung aku ini
bukan cewek, kalau dikuntit seketat ini, tidak ingin kawin
dengan kau juga tidak mungkin."
Wajah yang pucat itu mendadak menampilkan rasa jengah,
warna merah yang menakutkan, ternyata pelupuk matanya
pun berkerut dan kedutan seperti menahan derita yang luar
biasa. Entah ada derita apa yang menjadi kenangan dalam
benaknya" Hanya sepatah kata kelakar yang tidak disengaja
kenapa bisa membuatnya begitu merana"
Yan Lam-hwi segera tutup mulut, selamanya dia tidak suka
melukai hati orang. Bila tanpa sengaja dia melukai hati orang,
sanubarinya sendiripun akan ikut merasa sedih.
Maka kedua orang ini berdiri berhadapan di emper depan
sebuah toko roti.
Di dalam toko kebetulan ada seorang nenek tua kurus
kering yang membawa dua bocah laki perempuan sedang
memilih roti. Belum keluar pintu, kedua bocah itu sudah ribut
minta makan roti, di mulut nenek itu berkata, "Di jalanan tidak
boleh makan." Tak urung dia membuka bungkusan, merogoh
keluar dua potong roti dan dibagikan kepada kedua cucunya.
Tak nyata setelah menerima roti kedua bocah itu malah
makin ribut. Yang laki mencak-mencak dan berteriak, "Kenapa
Siau Bing diberi roti yang lebih besar" Aku minta tukar."
Sudah tentu bocah perempuan itu tidak mau, bocah laki itu
lantas memburu hendak merebut, yang perempuannya berlari
kejar mengejar mengelilingi si nenek, mau mencegah juga
kalah gesit, terpaksa si nenek hanya berkaok-kaok, menghela
nafas serta geleng-geleng.
Anak perempuan larinya sudah tentu kalah gesit dan cepat,
karena kewalahan berputar di sekitar badan sang nenek,
akhirnya dia berlari ke belakang Yan Lam-hwi, menarik lengan
baju Yan Lam-hwi seraya berseru, "Paman yang baik,
tolonglah aku, dia ini perampok cilik."
Anak lelaki itu berteriak, "Mana bisa paman ini membantu
kau, kita kan sama-sama laki, biasanya lelaki membantu
lelaki." Yan Lam-hwi tertawa, walau nakal tapi kedua anak ini
kelihatan pintar dan lincah jenaka. Yan Lam-hwi juga pernah
mengalami masa kanak-kanak, masa kanak-kanak adalah
masa keemasan, masa yang tiada arti duka-lara dan masa
kanak-kanak takkan pernah kembali lagi, teman bermain sejak
kecil yang tak pernah terlupakan dalam benaknya, entah
sekarang sudah menikah dengan siapa.
Dari kenakalan kedua bocah laki perempuan ini, seolaholah
dia melihat masa lampau waktu dirinya juga masih kanakkanak
dulu, mendadak hatinya diliputi rasa hangat, mesra tapi
juga mendelu, tanpa sadar dia menarik kedua bocah itu serta
berkata lembut, "Kalian jangan ribut, biar paman membelikan
roti pula untuk kalian, setiap orang sepuluh buah."
Berseri wajah kedua bocah itu, seri tawa jenaka yang riang,
berebut kedua orang ini memeluknya, Yan Lam-hwi juga
mengulur tangan, seorang satu hendak dipeluknya.
Pada saat itulah sinar golok berkelebat, Pho Ang-soat yang
selamanya tidak sembarangan mengeluarkan senjatanya,
mendadak mencabut goloknya. Begitu sinar golok
menyambar, roti yang dipegang kedua bocah itu sudah
tertabas jatuh di tanah menjadi dua potong.
Kejadian yang mendadak itu keruan membuat kedua anak
itu kaget terpana, dengan menangis keras mereka berlari balik
ke samping sang nenek.
Yan Lam-hwi sendiri juga tertegun, dengan kaget dia
mengawasi Pho Ang-soat.
Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke sarungnya,
wajahnya tidak memperlihatkan perubahan perasaan apa-apa.
Yan Lam-hwi menyeringai dingin, katanya, "Sekarang baru
aku mengerti, kecuali untuk membunuh orang golokmu itu
masih ada pula gunanya."
"Hm," Pho Ang-soat hanya mendengus dalam tenggorokan.
"Golokmu inipun berguna untuk menakuti bocah."
"Ya, tapi aku hanya menakuti satu macam bocah."
"Bocah macam apa?"
"Bocah yang berani membunuh orang."
Kembali Yan Lam-hwi melengak, perlahan dia menoleh,
dilihatnya si nenek sedang menyurut mundur sambil memeluk
kedua anak itu. Kedua bocah itu tidak menangis lagi, matanya
terbeliak, dengan penuh kebencian mereka melotot kepada
Yan Lam-hwi. Terpancar cahaya kebencian dan dendam
kesumat dari sinar matanya.
Yan Lam-hwi menundukkan kepala, hatinya juga seperti
tenggelam, dari dalam roti yang tertabas jatuh di tanah
ternyata memancarkan cahaya gemerlap. Waktu dia
memungut setengah potong di antaranya, segera dia
mendapatkan di dalam roti ternyata berisi sebuah bumbung
kecil berisi jepretan jarum, itulah Ngo-tok-hwi-ciam, jarum
terbang yang mengandung panca bisa. Laksana burung
terbang, mendadak dia melesat ke depan dan berdiri di depan
nenek itu, katanya, "kau inikah Kwi-gwa-po?"
Nenek itu tertawa, wajahnya yang kecil dan tirus itu
mendadak berubah bengis menyeringai, katanya, "Sungguh
tak nyana ternyata kau tahu juga tentang diriku."
Yan Lam-hwi menatapnya lama, katanya kemudian, "Tentu
kau juga tahu aku punya semacam kebiasaan?"
"Kebiasaan apa?"
"Selamanya tidak pernah membunuh perempuan."
"Itu kebiasaan baik."
"Walau kau sudah tua, jelek-jelek kau juga perempuan."
Kwi-gwa-po menghela napas, katanya, "Sayang kau tidak
pernah melihat tampangku waktu masih muda, kalau tidak ..."
"Kalau tidak, aku tetap akan membunuhmu," desis Yan
Lam-hwi. "Masih segar dalam ingatanku, barusan kau bilang
selamanya tidak pernah membunuh perempuan."
"Tapi kau boleh dikecualikan."
"Kenapa aku harus dikecualikan?"
"Anak-anak masih berjiwa polos dan bersih, tak pantas kau
memperalat mereka, kau menyia-nyiakan masa depan
mereka." Kwi-gwa-po tertawa lagi, tawa yang menakutkan, katanya,
"Nenek yang baik sayang kepada cucunya, anak-anak itu juga
senang mengerjakan sesuatu untuk neneknya, memangnya
apa sangkut-pautnya dengan kau."
Yan Lam-hwi bungkam, dia segan membicarakan soal ini,
dia sudah menggenggam gagang pedang. Pedang yang
merah, merah bagai darah segar.
Kwi-gwa-po menyeringai, katanya, "Orang lain takut
terhadap Jio-hwi-kiam, aku...."
Ternyata dia tidak meneruskan ucapannya, mendadak
sebungkus roti yang dipegang dibantingnya ke tanah dengan
gregetan. "Blam", ledakan cukup keras menimbulkan kepulan asap
dan debu, dibarengi sinar bintik-bintik.
Yan Lam-hwi bersalto di tengah udara, mundur dua tombak
jauhnya. Setelah asap dan debu buyar tertiup angin, bayangan Kwigwa-
po dan kedua bocah itu sudah tidak kelihatan lagi, tanah
dimana tadi mereka berpijak sudah berlubang besar. Orangorang
merubung maju, lekas sekali mereka pun bubar, tiada
tontonan yang bisa mereka saksikan di sini.
Yan Lam-hwi masih berdiri menjublek, lama sekali baru dia
berputar ke arah Pho Ang-soat. Pho Ang-soat tetap bersikap
dingin laksana es.
Akhirnya Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, "Kali ini
kau tidak meleset juga."
"Jarang sekali aku meleset."
"Tapi anak-anak itu tidak berdosa, pasti sejak kecil mereka
telah diculik dan dididik oleh Kwi-gwa-po ... dengan berbagai
daya-upaya dia menggembleng kedua bocah itu, jadi sejak
kecil mereka sudah diajar berbuat jahat, menanam dendam
dan dosa."
"Karena itu sepantasnya kau tidak memberi ampun
kepadanya."
"Aku tidak menyangka dalam bungkusan roti di tangannya
disembunyikan granat tangan buatan Pi-lik-tong dari
Kanglam." "Seharusnya kau sudah menduga, jika jarum bisa
disembunyikan di dalam roti, maka mungkin saja juga bisa
dimasuki granat tangan itu."
"Jadi kau sudah menduga sebelumnya?"
Pho Ang-soat tidak menyangkal.
"Bahwa kau juga berpendapat tidak pantas membiarkan dia
pergi, kenapa kau tidak turun tangan."
"Karena dia bukan hendak membunuh aku, aku pun tidak
mengira bahwa kau begini goblok."
Yan Lam-hwi menatapnya, mendadak dia tertawa, tertawa
getir. "Mungkin bukan aku yang goblok, tapi karena kau terlalu
cerdik sampai sekarang aku masih belum mengerti racun
dalam asap, ular dalam pelana, cara bagaimana kau bisa
mengetahui?"
Pho Ang-soat membungkam agak lama, akhirnya berkata
dengan perlahan, "Cara membunuh orang banyak macamnya,
membokong adalah salah satu cara di antaranya, malah cara
ini paling menakutkan?"
"Aku tahu."
"Tahukah kau berapa macam pula cara membunuh secara
membokong."
"Aku tidak tahu."
"Tahukah kau selama tiga ratusan tahun ini, berapa banyak
orang mati terbunuh karena dibokong."
"Tidak tahu."
"Sedikitnya ada lima ratus tiga puluh delapan orang."
"Kau pernah menghitung?"
"Aku pernah menghitung, menghabiskan waktu tujuh tahun
baru jelas seluruhnya."
"Kenapa kau membuang waktu dan tenaga hanya untuk
menghitung jumlah orang mati?"
"Karena kalau aku tidak pernah menghitungnya, sekarang
paling sedikit aku sudah mati belasan kali dan kau juga sudah
mati tiga kali."
Perlahan Yan Lam-hwi menghembuskan napas, ingin
membuka mulut namun dibatalkan pula.
"Lima ratus tiga puluh delapan orang yang kumaksud,
semua adalah jago kosen kelas wahid di Bu-lim, orang yang
membunuh semestinya bukan tandingan mereka."
"Soalnya cara orang-orang itu membunuh lawannya
teramat keji dan lihai, maka mereka berhasil dengan baik."
Pho Ang-soat mengangguk, katanya, "Yang mati terbunuh
ada lima ratus tiga puluh delapan, tapi pembunuhnya ternyata
hanya empat ratus delapan puluh tiga."
"Karena di antara korban terbunuh di tangan orang yang
sama." "Caranya membunuh korbannya juga ada beberapa di
antaranya yang sama."
"Itu bisa kuduga."
"Seluruhnya mereka menggunakan dua ratus tujuh puluh
dua cara."
"Dua ratus tujuh puluh dua cara membunuh orang, sudah
tentu adalah cara yang paling ganas, paling lihai dan hebat."
"Sudah tentu."


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tahu berapa di antaranya?"
"Dua ratus tujuh puluh dua macam."
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya dengan
menggeleng kepala, "Sebetulnya satu cara pun aku tiada yang
tahu." "Sekarang paling sedikit kau sudah tahu tiga di antaranya."
"Kukira tidak terbatas tiga macam saja."
"Tidak terbatas?"
"Tahukah kau selama setengah tahun ini berapa kali aku
pernah dibokong orang?"
Pho Ang-soat menggeleng.
"Tidak termasuk yang pernah kau saksikan, seluruhnya tiga
puluh sembilan kali."
"Cara yang mereka gunakan berbeda?"
"Bukan saja berbeda, malah semuanya tidak pernah
kuduga, tapi sampai sekarang aku masih hidup."
Kali ini giliran Pho Ang-soat yang bungkam.
Di tengah tawa lebarnya Yan Lam-hwi berputar beranjak
pergi, membelok ke sebuah jalan melintang di seberang sana,
di jalan ini terdapat sebuah gedung berloteng, di atas loteng
terdapat kembang wangi, aroma kembang apakah itu"
Apakah kembang mawar"
Loteng itu tinggi, di atas loteng ada jendela, rembulan
bergantung di luar jendela, di bawah rembulan kembang
mekar. Kembang bunga mawar, bulannya bulan purnama. Di
sini tiada lampu, sinar bulan menyorot masuk lewat jendela,
menyinari bunga mawar di samping Yan Lam-hwi. Bukan saja
di sampingnya terdapat bunga mawar, ada pula seorang yang
pernah tertusuk duri mawar.
Malam telah larut. Manusia pantas mabuk, tapi Yan Lamhwi
tidak mabuk, sepasang matanya tetap cemerlang laksana
rembulan, namun mimik mukanya seperti orang yang
tangannya tertusuk duri mawar, kalau mawar ada durinya,
bagaimana dengan Bing-gwat (bulan purnama)" Bing-gwat
punya hati, maka dia bernama Bing-gwat-sim.
Malam makin kelam, cahaya bulan lebih jernih, wajahnya
juga lebih molek, namun rona mukanya kelihatan amat
menderita. Lama dia memandangnya dari dekat, akhirnya
menghela napas, tanyanya, "Apa yang sedang kau pikirkan?"
Agak lama juga Yan Lam-hwi termenung, lalu menjawab
lirih, "Aku sedang memikirkan dua orang."
Makin lembut suara Bing-gwat-sim, "Satu di antara kedua
orang yang sedang kau pikirkan adakah aku di antaranya?"
"Tidak," ujar Yan Lam-hwi, suaranya dingin. "Bukan kau."
Si cantik tertusuk pula, namun dia tidak kenal mundur,
tanyanya pula, "Bukan aku, lalu siapa?"
"Seorang jelas adalah Pho Ang-soat."
"Pho Ang-soat" Orang yang menunggumu di Hong-hongkip"
Bukankah dia musuhmu?"
"Bukan."
"Jadi temanmu?"
"Juga bukan," mendadak Lam-hwi tertawa sendiri.
"Selamanya kau tidak akan menduga, kenapa dia mau
menungguku di Hong-hong-kip?"
"Ya, kenapa?"
"Dia menungguku di sana untuk membunuh aku."
"Tapi kenyataan dia tidak membunuhmu."
"Bukan saja tidak membunuhku, malah tiga kali pula dia
menyelamatkan jiwaku."
"Apa yang dilakukan lelaki seperti kalian, kaum hawa
seperti aku ini selamanya takkan tahu."
"Memang kalian tidak akan mengerti."
Bing-gwat-sim memandang keluar, menatap bulan
purnama di luar jendela.
"Siapa pula seorang lagi yang kau pikirkan?"
Sorot mata yang mengandung sindiran kini berubah
menjadi tekanan derita, perlahan suaranya, "Seorang yang
ingin kubunuh, sayang aku sendiri tahu, selamanya aku tidak
akan bisa membunuhnya."
Mengawasi betapa besar derita batinnya, sorot mata Binggwat-
sim ikut guram, demikian pula cahaya rembulan di luar
jendela juga seperti redup, segumpal mega melayang
menutupi bulan purnama.
Tiba-tiba dia berbisik, "Kau sudah harus tidur, aku pun
harus berlalu."
"Pergilah kau," ucap Yan Lam-hwi tanpa mengangkat
kepala. Bing-gwat-sim berkata pula, "Aku maklum akan
perasaanmu sekarang, seharusnya aku tetap di sini
menemani kau, tapi..."
"Tapi kau harus berlalu, karena meski kau berada dalam
lingkunganmu ini, di sini tak pernah kau menerima tamu,
apalagi sampai menginap, bahwa aku bisa menginap
semalam di sini terhitung kau sudah memberi muka
kepadaku."
Bing-gwat-sim menatapnya, lama-lama sorot matanya
menampilkan penderitaan, mendadak dia berputar, katanya
rawan dan sendu, "Mungkin aku tidak pantas menahanmu di
sini atau mungkin kau tidak patut kemari."
Bulan purnama sudah tidak terlihat lagi, mega mendung,
hujan pun turun amat lebat.
Mawar yang mekar di jendela pun rontok tertimpa air hujan.
Tapi di bawah dinding di depan sana ada seorang yang tak
pernah rontok. Bukan saja tidak dapat merontokkan orangnya,
juga tak akan bisa merontokkan hatinya.
Waktu Yan Lam-hwi mendorong jendela, dia melihat orang
itu. "Dia masih di situ," demikian mulutnya menggumam, "hujan
makin deras, tapi orang itu masih berdiri tegak tak bergerak,
umpama titik air hujan yang berlaksa banyaknya itu berubah
menjadi laksaan pisau, orang itu juga tidak akan menyurut
barang setapak pun."
Yan Lam-hwi tertawa getir, "Pho Ang-soat, Pho Ang-soat,
kenapa kau adalah manusia bukan kebanyakan manusia?"
Angin berhembus santer, air hujan memukul mukanya,
dinginnya menyentuh sanubari. Rasa dingin ini justru
membakar darah panasnya, entah darimana timbul hasratnya,
mendadak dia menerobos keluar jendela, menerobos hujan
lebat yang dingin, dia melompati tembok, melayang ke depan
Pho Ang-soat. Sukma Pho Ang-soat seperti berada di tempat jauh, tidak
merasakan datangnya hujan lebat ini, juga tidak melihat
kedatangannya. Hanya sekejap Yan Lam-hwi sudah berdiri di
tengah hujan lebat itu, sekujur badannya juga sudah basah
kuyup. Tapi bila Pho Ang-soat tidak buka suara, dia pun tidak
buka mulut. Untunglah sorot mata Pho Ang-soat akhirnya berputar ke
arahnya, suaranya dingin, "Di luar sedang hujan, hujan lebat."
"Aku tahu."
"Seharusnya kau tidak keluar."
Yan Lam-hwi tertawa, katanya, "Kalau kau boleh kehujanan
di luar, kenapa aku tidak?"
"Boleh saja," kata Pho Ang-soat, lalu dia mengalihkan sorot
matanya, jelas dia siap mengakhiri percakapan ini.
Tapi Yan Lam-hui tidak mau mengakhiri, katanya pula,
"Sudah tentu aku boleh kehujanan, setiap orang bebas untuk
berdiri di tengah hujan."
Sorot mata Pho Ang-soat lurus lengang, seolah-olah
sukmanya pergi ke tempat nan jauh.
Yan Lam-hwi menambah keras suaranya, "Tapi aku bukan
sengaja keluar untuk berdiri di tengah hujan." Suaranya
mendekati jeritan, jauh lebih keras dari suara hujan deras.
Betapapun Pho Ang-soat tidak tuli, akhirnya dia bertanya
tawar, "Lalu untuk apa kau keluar?"
"Aku ingin memberitahu sebuah persoalan, sebuah
rahasia." Sorot mata Pho Ang-soat seketika memancarkan cahaya,
katanya, "Jadi kau sudah siap memberitahu kepadaku
sekarang?"
Yan Lam-hwi mengangguk.
"Semula bukankah mati pun kau tidak mau menjelaskan
kepadaku?"
"Ya, sebetulnya aku sudah bertekad bulat, kepada siapa
pun tidak akan kujelaskan."
"Kenapa sekarang mau kau jelaskan kepadaku?"
Yan Lam-hwi menatap mukanya, menatap air hujan yang
mengalir di mukanya, muka yang pucat, katanya, "Sekarang
aku mau memberitahu kepadamu, karena mendadak aku
menemukan satu kenyataan."
"Kenyataan apa?"
Yan Lam-hwi menyeringai tawa, suaranya tawar, "Kau
bukan manusia, hakikatnya bukan."
ooooOOoooo Bab 4. Ibu Jari Tangan Hitam
Bukan manusia lalu apa" Binatang" Setan" Kayu" Batu"
Atau malaikat" Dewa" Mungkin semuanya bukan. Cuma
sepak terjangnya, apa yang dia lakukan selalu melampaui
batas kemampuan orang kebanyakan, melampui daya tahan
dan kesabaran orang awam umumnya. Dalam hal ini Yan
Lam-hwi mempunyai alasan, 'Umpama kau ini manusia, paling
juga termasuk manusia yang bukan manusia'.
Pho Ang-soat tertawa, ternyata dia masih bisa tertawa.
Umpama dia tidak tertawa benar-benar, tertawa lebar
umpamanya, sorot matanya sudah menampilkan rona yang
tajam. Hal ini jarang terjadi dan merupakan kejadian luar
biasa, bagaikan di tengah hujan lebat di antara mega
mendung mendadak terbersit selarik sinar surya.
Yan Lam-hwi mengawasinya, mendadak dia menghela
napas, katanya, "Yang membuatku di luar dugaan adalah
manusia yang bukan manusia macammu ini ternyata juga bisa
tertawa." "Bukan saja bisa tertawa, juga pandai mendengar," ujar
Pho Ang-soat. "Kalau begitu marilah ikut aku."
"Kemana?"
"Ke tempat yang tak bakal kehujanan, ke tempat yang ada
arak." Di atas loteng kecil itu ada arak, juga ada lentera, di malam
nan dingin ini, terasa lebih hangat dari senyum tawa Pho Angsoat.
Tapi Pho Ang-soat hanya menengadah sekilas, rona
tawa dalam matanya seketika membulat dingin, katanya,
"Itulah tempat tujuanmu, bukan tempatku."
"Kau tidak mau?"
"Pasti tidak."
"Kalau aku boleh ke sana, kenapa kau tidak?"
"Karena kau bukan aku, dan aku bukan kau."
Justru karena kau bukan aku, maka kau pasti takkan tahu
duka-lara dan penderitaanku. Hal ini tidak dia ucapkan, juga
tidak perlu diucapkan.
Tapi Yan Lam-hwi sudah melihat penderitaannya, karena
menderita hingga kulit mukanya tampak berkerut dan kedutan.
Tempat itu hanyalah sarang pelacur, tempat setiap lelaki
mencari hiburan, kenapa justru memancing reaksi
penderitaannya" Mungkinkah di tempat seperti ini dia
mempunyai kenangan lama yang menyebabkan dia
menderita"
Mendadak Yan Lam-hwi bertanya, "Adakah kau melihat
orang yang menemani aku pergi ke Hong-hong-kip" Orang
yang memetik harpa itu?"
Pho Ang-soat menggeleng tanpa bersuara.
"Aku tahu kau tidak melihatnya, karena kau tidak minum
arak, selamanya juga tidak melihat perempuan." Wajah Pho
Ang-soat ditatapnya, lalu melanjutkan dengan perlahan,
"Apakah lantaran arak dan perempuan yang membuat hatimu
terluka?" Pho Ang-soat tidak bergerak, juga tidak buka suara, namun
setiap inci kulit daging mukanya seperti mengejang. Karena
setiap patah pertanyaan Yan Lam-hwi setajam jarum menusuk
sanubarinya. Di tempat hiburan, kenapa tidak mungkin terjadi kenangan
yang penuh derita" Tanpa hiburan darimana datangnya
sengsara" Yan Lam-hwi tutup mulut, dia tidak ingin bertanya lagi, tidak
tega mengajukan pertanyaan lagi.
Pada saat itulah dari belakang tembok mendadak melesat
terbang dua orang, "Bluk", seorang di antaranya jatuh di tanah
untuk tidak bergerak lagi, seorang lagi menggunakan Yan-cusam-
jau-cui, Ginkang tingkat tinggi untuk meluncur ke loteng
di seberang sana.
Waktu Yan Lam-hwi keluar, jendela sudah terbuka, lentera
juga menyala. Di bawah sinar lentera yang menyorot keluar
hanya terlihat sesosok bayangan langsing yang lincah cekatan
berkelebat sekali, terus menerobos masuk jendela.
Yang roboh di atas tanah adalah seorang kakek tua berbaju
hitam, memelihara jenggot pendek seperti jenggot kambing,
wajahnya kurus kering berwarna kuning. Begitu badan
menyentuh tanah, napasnya lantas putus.
Tahu napas orang sudah putus, segera Yan Lam-hwi
melompat, terbang ke atas dengan kecepatan tinggi,
menerobos ke dalam loteng lewat jendela. Ketika dia sudah
berada di atas loteng, dilihatnya Pho Ang-soat juga sudah
berdiri di dalam rumah. Tiada bayangan orang di dalam
kecuali bekas tapak kaki yang masih basah.
Tapak kakinya amat enteng dan kecil, bayangan orang
seringan burung walet tadi jelas adalah seorang perempuan.
Yan Lam-hwi mengerut kening, gumamnya, "Mungkinkah
dia?" "Dia siapa?" tanya Pho Ang-soat.
"Bing-gwat-sim."
Dingin suara Pho Ang-soat, "Di langit tiada bulan, bulan
tiada hati, darimana datangnya Bing-gwat-sim?"
"Kau keliru," ujar Yan Lam-hwi dengan menghela napas,
"sebetulnya aku juga keliru, sampai sekarang baru aku tahu
bahwa Bing-gwat-sim itu punya hati."
Yang tidak punya hati adalah mawar, maka mawar di ujung
langit, di tempat yang amat jauh.
"Jadi Bing-gwat-sim adalah penghuni tempat ini?" tanya
Pho Ang-soat. Yan Lam-hwi mengangguk tidak bersuara, dari luar
terdengar ketukan pintu.


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Daun pintu hanya dirapatkan saja, nona cilik dengan mata
bundar berpakaian sutra hijau, wajahnya bersemu merah,
tangan kiri membawa cangkir, tangan kanan memeluk sebuah
guci arak kecil yang masih disegel tutupnya, dengan malumalu
dia beranjak masuk, matanya yang jeli lincah berputar
mengawasi Pho Ang-soat sekian lamanya. Tiba-tiba dia
berkata, "Apakah dia ini tamu agungmu yang dikatakan nona
kami?" Pho Ang-soat tidak mengerti, demikian pula Yan Lam-hwi
juga tidak habis mengerti.
Nona cilik ini berkata pula, "Nona kami bilang, ada tamu
agung bertandang, maka menyuruhku menyiapkan santapan,
tapi kulihat kau ini tidak mirip tamu agung." Seperti malas
melihat Pho Ang-soat lagi, mulut selesai bicara segera ia
membalik ke sana membersihkan meja, lalu menata hidangan.
Bayangan orang tadi ternyata memang benar Bing-gwatsim
adanya. Kakek tua berbaju hitam memang hendak membunuh Yan
Lam-hwi, sayang pembunuh gelap ini telah terbunuh lebih dulu
oleh Bing-gwat-sim, namun dia tidak ingin segera unjuk diri,
mungkin hendak memancing Pho Ang-soat masuk ke atas
loteng itu. Yan Lam-hwi tertawa, katanya, "Gelagatnya dia lebih mahir
dari aku dalam hal mengundang tamu."
Pho Ang-soat menarik muka, katanya, "Sayang sekali aku
ini bukan tamu agung seperti yang dibayangkan olehnya."
"Betapapun kau sudah berada di sini, setelah datang
kenapa tidak tinggal di sini?"
"Kalau aku sudah berada di sini, kenapa kau masih tidak
bicara?" Yan Lam-hwi tertawa, dia tepuk tutup guci arak serta
menyobek segelnya, bau arak segera merangsang hidung.
"Arak bagus," pujinya dengan tertawa, "sejak aku kemari,
belum pernah aku mencicipi arak sebagus ini."
Nona cilik itu sedang mengangkat guci menuang arak ke
dalam poci, dari poci dia mengisi arak ke dalam cangkir.
Yan Lam-hwi berkata, "Agaknya bukan saja dia
mengenalmu, orang macam apa kau ini, dia pun sudah tahu
jelas." Arak secangkir penuh segera ditenggaknya habis, lalu dia
berputar ke arah Pho Ang-soat, katanya pula perlahan, "Citacitaku
belum terlaksana, lantaran ada seorang belum mati."
"Siapakah dia?"
"Seorang yang patut dibunuh."
"Kau ingin membunuhnya?"
"Setiap hari setiap malam aku ingin membunuhnya."
Lama Pho Ang-soat berdiam diri, lalu berkata dingin,
"Orang yang patut mati, cepat atau lambat pasti akan mati,
kenapa harus kau sendiri yang turun tangan?"
"Karena kecuali aku, tiada orang yang tahu bahwa dia patut
dibunuh." "Lalu siapa dia?"
"Dia bernama Kongcu Gi."
Ruangan itu mendadak hening, nona cilik yang menuang
arak itupun berdiri melenggong, lupa mengisi cangkir yang
kosong. ooooOOoooo Kongcu Gi. Nama ini seolah-olah membawa daya magis yang dapat
menyedot sukma orang.
Pho Ang-soat menatap keluar jendela, lama sekali
mendadak dia berkata, "Ingin aku bertanya kepadamu, selama
empat puluhan tahun mendatang ini, ada berapa orang yang
betul-betul dapat diagulkan menjadi pendekar besar?"
"Ada tiga orang."
"Hanya tiga orang saja?"
"Kau tidak kuhitung, kau
"Aku tahu aku bukan, aku hanya bisa membunuh orang,
tidak bisa menolong orang."
"Aku tahu kau memang bukan, karena hakikatnya kau tidak
ingin jadi pendekar."
"Jadi yang kau maksud adalah Sim Long, Li Sun-hoan dan
Yap Kay?" Yan Lam-hwi mengangguk, katanya, "Ya, hanya mereka
bertiga yang setimpal."
Setiap insan persilatan tiada yang berani menyangkal akan
kebenaran ini. Sepuluh tahun pertama adalah zamannya Sim
Long, sepuluh tahun kedua Siau-li si pisau terbang Li Sunhoan
malang melintang di kolong langit, sepuluh tahun ketiga
adalah kejayaan Yap Kay.
"Lalu sepuluh tahun terakhir ini?" tanya Pho Ang-soat.
Yan Lam-hwi menyeringai dingin, katanya, "Dunia Kangouw
sekarang berada di bawah kekuasaan Kongcu Gi." Cangkir
penuh arak, sekali tenggak dia habiskan, "Bukan saja dia
orang berbakat, kaya raya dan berkuasa, dia pula satusatunya
ahli-waris Sim Long, bukan saja seorang gagah
romantis, juga seorang pendekar besar yang memiliki kungfu
tinggi." "Tapi kau justru ingin membunuhnya."
"Aku ingin membunuhnya, bukan lantaran ingin berebut
nama, juga bukan untuk menuntut balas."
"Memangnya apa tujuanmu?"
"Demi keadilan dan kebenaran, karena aku tahu
rahasianya, hanya aku ..." waktu dia mengangkat cangkir
ketiga kalinya, mendadak terdengar "Plak", cangkir itu remuk
di tangannya. Seketika rona mukanya berubah, berubah putih
mulus dan mengkilap.
Hanya sekilas Pho Ang-soat melihat wajahnya, mendadak
dia maju, tangan bekerja bagai angin, sepasang sumpit dia
jejalkan ke dalam mulutnya, sekaligus dia menutuk pula
delapan Hiat-to di sekitar urat nadinya.
Yan Lam-hwi mengertak gigi sekerasnya, tapi tak mampu
menggigit putus sepasang sumpit itu, di antara dua baris gigi
atas bawah terdapat celah-celah lubang. Lekas sekali Pho
Ang-soat sudah mencekok sebotol puyer obat ke dalam
mulutnya, begitu kedua jarinya memegang dagu dan memijat
gerahamnya, mulutnya lantas terpentang lebih lebar, sumpit
jatuh obat pun tertelan.
Nona cilik itu sudah berdiri kaku ketakutan, diam-diam dia
menggeremet mundur hendak ngacir, tiba-tiba dilihatnya
sepasang mata dingin setajam pisau sedang mendelik
kepadanya. Poci arak dan cangkir terbuat dari perak, segel dan tutup
guci jelas belum pernah disentuh orang. Tapi kenyataan Yan
Lam-hwi terkena racun, hanya tiga cangkir, tapi racun yang
bekerja ternyata sudah segawat ini, lalu darimana datangnya
racun dalam arak.
Segera Pho Ang-soat angkat guci itu lalu dibalik, arak
tumpah, sinar lentera yang benderang menyinari pantat guci,
tampak setitik sinar gemerdep. Begitu guci dia tepuk pecah,
maka ditemukan sebatang jarum putih beracun di dalam guci.
Jarum panjang satu setengah dim, tebal guci itu hanya satu
dim, bila jarum ditusukkan dari bawah, racun di ujung jarum
segera akan terendam di dalam arak.
Lekas sekali Pho Ang-soat sudah memperoleh
jawabannya, tapi persoalan tidak sederhana, racun memang
dari ujung jarum, lalu dari mana asalnya jarum ini"
Setajam pisau tatapan mata Pho Ang-soat, tanyanya
dingin, "Kau yang membawa guci arak ini?"
Nona cilik itu mengangguk, pipinya yang merah seperti
buah apel kini sudah pucat-lesi.
"Darimana kau mengambilnya?"
Gemetar suara nona cilik itu, "Guci arak ini tersimpan di
kamar bawah loteng ini."
"Bagaimana kau bisa memilih guci arak yang satu ini?"
"Bukan aku yang memilih, nona kami bilang supaya
meladeni tamu agung dengan arak yang paling bagus, arak
dalam guci ini adalah yang paling bagus."
"Dimana dia sekarang?"
"Dia sedang berganti pakaian, karena ..."
"Karena waktu aku kembali tadi, seluruh pakaianku juga
sudah basah kuyup," seorang tiba-tiba menyambung dari luar
pintu. Suaranya merdu, senyumannya lebih elok, sikapnya
begitu anggun dan ramah, dandanannya juga sederhana tapi
asri. Mungkin dia tidak terhitung perempuan paling cantik di
seluruh negeri ini, tapi waktu dia melangkah masuk,
seumpama suatu malam di musim semi, cahaya rembulan
menyorot masuk dari jendela, sehingga setiap orang akan
merasa betapa elok dan permai, betapa senang dan bahagia
serta tenteramnya. Kerlingan matanya pun selembut cahaya
rembulan, tapi begitu dia melihat jarum di tangan Pho Angsoat,
sorot matanya seketika berubah tajam bersinar.
"Bahwa kau bisa menemukan jarum itu pasti kau tahu asalusulnya,"
suaranya berubah tajam tegas, "itu kan Am-gi
tunggal keluarga Tong di Sujwan, orang tua yang mati di luar
itu adalah satu-satunya sampah persilatan dari keluarga Tong,
bernama Tong In, dia pernah kemari, tempat ini tidak terlarang
dan tidak pernah dijaga ketat, kamar bawah tanah dimana
arak ini disimpan juga tidak pernah dikunci."
Bahwasanya sikap Pho Ang-soat seperti tidak mendengar
uraiannya, dia hanya memandangnya kosong, mendelong
seperti orang linglung, wajah yang semula pucat mendadak
berubah merah, dengus napasnya juga bertambah berat dan
sesak, air hujan di mukanya baru saja kering, kini mukanya
basah pula oleh keringat dingin.
Waktu Bing-gwat-sim mengangkat kepala, baru dia
menemukan perubahan ganjil di wajah Pho Ang-soat, serunya
gugup, "Apa kau juga keracunan?"
Kedua tangan Pho Ang-soat saling cengkeram, tapi tak
bertahan masih juga tubuhnya menggigil, mendadak dia
membalik tubuh terus menerobos keluar jendela.
Nona cilik terbelalak kaget mengawasi bayangan orang
lenyap di luar, katanya sambil mengerut alis, "Agaknya orang
ini tidak normal."
"Ya," ucap Bing-gwat-sim. "Penyakitnya memang sudah
parah." "Penyakit apa?"
"Sakit di hati."
Berkedip mata si nona cilik, "Bagaimana mungkin sakit bisa
di hati?" Bing-gwat-sim diam cukup lama, lalu menghela napas,
"Karena dia pun seorang yang selalu dirundung kesedihan."
Hujan ritik-rintik, angin bertiup kencang.
Di sini tiada lampu, diliputi kegelapan, bagai berada di
tegalan belukar.
Pho Ang-soat sudah terjungkal jatuh ke selokan di pinggir
jalan, tubuhnya meringkuk dan berkelejetan, mulutnya
muntah-muntah. Kemungkinan tiada isi perut yang
ditumpahkannya, dia hanya ingin menumpahkan rasa sedih,
rasa kecut dan penderitaan batinnya.
Pho Ang-soat memang sakit. Bagi Ang-soat, bukan saja
penyakit merupakan derita yang tak mungkin dihindarkan, juga
merupakan ciri yang memalukan, setiap kali amarah dan
deritanya memuncak tak tertahankan, penyakitnya itu lantas
saja kumat, maka dia harus menyembunyikan diri, seorang diri
bersembunyi di tempat yang tidak diketahui orang, dengan
cara yang paling sadis menyiksa diri sendiri. Karena dia
membenci dirinya sendiri, membenci kenapa dirinya bisa
dihinggapi penyakit seperti ini"
Hujan masih turun, tetesan air hujan seperti cambuk yang
melecut tubuhnya, hatinya sedang berdarah, tangannya pun
berdarah, kedua tangannya mencengkeram bumi, dengan
kencang dia mencomot tanah, tanah yang berlumur darah itu
dia jejalkan ke dalam mulut. Dia kuatir dalam keadaan
penyakit kumat ini, dirinya akan mengerang, merintih dan
berteriak seperti binatang yang sekarat. Dia lebih suka
mengucurkan darah daripada keadaannya yang memalukan
ini terlihat orang lain.
Tapi gang sempit yang jorok dan gelap ini sekarang justru
telah dikunjungi orang.
Bayangan semampai dengan langkah gemulai, seorang
tengah menghampiri pelan-pelan dan langsung berhenti di
depannya. Dia tidak melihat orangnya, hanya melihat
sepasang kakinya.
Sepasang kaki yang mulus, mengenakan sepatu sulam
yang lemas, serasi dengan warna pakaiannya. Warna
pakaiannya ternyata kalem dan muda, semuda cahaya
rembulan yang cemerlang.
Dari tenggorokan Pho Ang-soat mendadak mengeluarkan
raungan rendah seperti binatang buas, bagai seekor harimau
yang perutnya disembelih. Dia lebih suka orang-orang di dunia
ini memergoki keadaannya yang menderita dan memalukan
ini, tapi jangan orang yang satu ini.
Sekuatnya dia meronta dan melompat, sayang sekujur
badannya hanya bisa mengejang, tulang seperti dicopot dari
ruasnya, tenaga pun susah dikerahkan.
Terdengar si dia menghela napas, perlahan ia
membungkuk badan.
Pho Ang-soat mendengar helaan napasnya, terasa jari-jari
halus nan dingin mengelus mukanya, lalu mendadak dia
kehilangan kesadaran dan jatuh pingsan, seluruh derita yang
dialami seperti bebas meninggalkan badan kasarnya.
Waktu dia siuman, dirinya sudah berada di atas loteng pula.
Si dia duduk di ujung ranjang sedang mengawasi, pakaiannya
selembut cahaya bulan, sementara matanya gemerlapan
laksana bintang kejora. Melihat sepasang mata ini, dari relung
hatinya yang paling dalam segera bergema suatu perasaan
ganjil, bagai getaran senar harpa yang dipetik terus tanpa
berhenti. Si dia tampak dingin, katanya tawar, "Apa pun tak usah kau
katakan, aku membawa dirimu pulang karena aku ingin
menolong Yan Lam-hwi, dia keracunan, keadaannya amat
parah." Pho Ang-soat memejamkan mata, entah untuk menghindari
tatapan matanya atau karena tidak ingin melihat derita hatinya
dari sorot matanya sendiri.
Bing-gwat-sim berkata, "Aku tahu di kalangan Kangouw,


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paling hanya tiga orang yang dapat menawarkan racun
keluarga Tong dan kau adalah satu di antaranya."
Pho Ang-soat tidak memberikan reaksi, tapi mendadak dia
berdiri, berdiri ke arah jendela dan membelakangi si dia.
Pakaian yang dikenakan tetap pakaiannya yang dulu, golok
masih berada di tangan, kedua hal ini jelas menenteramkan
hatinya, maka kali ini dia tidak lagi menerobos jendela, namun
hanya bertanya dingin, "Dimana dia?"
"Masih di sini, di kamar sebelah."
"Aku akan ke sana, kau tunggu di sini."
Bing-gwat-sim berdiri di sana, mengawasi dia yang pelanpelan
masuk ke dalam, melihat gayanya berjalan, sorot
matanya seketika mengalirkan perasaan sedih, pilu serta
derita yang tak bisa dijelaskan.
Lama sekali baru terdengar suaranya berkata dari balik
kerai, "Obat penawar di atas meja." Suaranya kaku dingin,
sambungnya, "Keadaannya sudah tidak menguatirkan, tiga
hari lagi pasti siuman, tujuh hari kemudian sudah sembuh
seluruhnya."
"Sekarang kau belum boleh pergi."
Bing-gwat-sim bicara cepat, seperti tahu bahwa dia hendak
pergi. "Umpama kau tidak ingin melihatnya lagi, betapapun
sekarang janganlah kau pergi?"
"Aku menyelami keadaanmu, aku dapat merasakan dukalara
masa lalumu, orang yang membuatmu sedih pasti
berwajah seperti diriku," suara Bing-gwat-sim tegas dan
mantap, "tapi kau harus maklum, dia tetap dia, bukan aku,
juga bukan orang lain. Karena itu kau tidak boleh menyingkir,
lari dari kenyataan ini, kepada siapa pun kau tidak perlu
menyingkir."
Angin masih menghembus, kerai juga tertiup berderai,
ternyata dia belum pergi, Bing-gwat-sim mendengar helaan
napasnya, segera dia berkata pula, "Jika kau ingin dia hidup
setahun lagi, maka kau harus melakukan dua hal."
"Dua hal apa?" akhirnya Pho Ang-soat bersuara.
"Dalam tujuh hari ini kau tidak boleh pergi," Bing-gwat-sim
mengedipkan mata, lalu melanjutkan, "tengah hari nanti, kau
harus menemani aku berjalan-jalan, akan kutunjukkan
beberapa orang kepadamu."
"Siapakah mereka?"
"Orang-orang yang tidak akan memberi kesempatan hidup
kepada Yan Lam-hwi."
ooooOOoooo Lohor. Sebuah kereta berhenti di sebuah pintu kecil di belakang
kebun, kerai diturunkan rendah hingga penumpang tidak
kelihatan dari luar. "Kenapa harus naik kereta?"
"Karena kuingin kau dapat melihat mereka, tapi mereka
tidak dapat melihat engkau," Bing-gwat-sin mendadak tertawa.
"Aku tahu kau pun tidak ingin melihatku, karena itu aku sudah
siap mengenakan kedok."
Topeng yang dipakainya berbentuk Mi-to-hud yang sedang
tertawa, pipinya gemuk, bibirnya tebal, begitu mungil laksana
orok kecil, padahal perawakannya ramping semampai serta
menggiurkan, jadi kelihatannya agak ganjil dan lucu.
Jangankan melihat, melirik pun Pho Ang-soat tidak, jari-jari
tangannya yang pucat dengan otot hijau merongkol menghias
punggung tangannya yang menggenggam kencang golok
hitamnya. Dalam pandangan Pho Ang-soat, di dunia ini seakan-akan
tiada sesuatu persoalan yang patut membuatnya tertawa.
Sepasang mata Bing-gwat-sim justru tengah menatapnya
dari balik kedok jenaka itu, tanyanya tiba-tiba, "Apakah kau
tidak ingin tahu siapa orang pertama yang ingin kutunjukkan
kepadamu?"
Pho Ang-soat tidak menjawab.
"Dia bernama Toh Lui, It-to-tang-hong-lui Toh Lui."
Pho Ang-soat tetap tidak memberi reaksi.
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya pula, "Agaknya
sudah lama kau meninggalkan percaturan dunia persilatan,
ternyata Toh Lui yang sekali menggerakkan golok
mengguncang angin dan geledek juga tidak kau kenal."
Akhirnya Pho Ang-soat buka suara, "Mengapa aku harus
tahu?" "Karena dia termasuk salah seorang dalam daftar."
"Daftar apa?"
"Daftar nama-nama orang terkenal kaum persilatan."
Semakin pucat muka Pho Ang-soat.
Dia tahu, siapa pun bila dia sudah angkat nama di kalangan
Kangouw, maka dia tidak akan mau tunduk kepada orang lain.
Dahulu waktu Pek-hiau-sing membuat daftar senjata,
menilai dan menimbang jago-jago kosen seluruh jagat, meski
daftar nama yang tercantum di dalamnya cukup adil dan
obyektif, toh masih juga menimbulkan huru-hara yang cukup
gawat bagi dunia persilatan, belakangan ada orang menuduh
dia sengaja ingin menimbulkan onar sehingga kaum persilatan
saling bunuh. Sekarang entah darimana asal mulanya, tahutahu
ada pula daftar nama tokoh terkenal dunia persilatan"
Apakah tidak mempunyai maksud tertentu"
Bing-gwat-sim memberi uraian, "Konon daftar nama itu
adalah buah karya Kongcu Gi sendiri, di dalam daftar hanya
tercantum tiga belas nama orang."
Mendadak Pho Ang-soat tertawa dingin, jengeknya,
"Namanya sendiri tentu juga tercantum di dalam daftar itu."
"Dugaanmu memang benar."
Jelalatan sinar mata Pho Ang-soat, tanyanya, "Yap Kay"
Apakah juga tercantum?"
"Nama Yap kay justru tidak tercantum, mungkin karena
sudah lama dia meninggalkan dunia Kangouw, sebagai orang
di luar garis percaturan."
Pho Ang-soat diam, sorot matanya seperti mendadak
sudah berada di tempat jauh.
"Aku tahu Yap Kay adalah kawanmu satu-satunya, apakah
kau pun tidak pernah mendapat kabar beritanya?"
Sorot mata Pho Ang-soat mendadak berubah kaku dingin
dan tajam, suaranya mendesis, "Aku tidak punya kawan, satu
pun tidak punya."
Bing-gwat-sim menghela napas panjang, segera dia alihkan
pembicaraan, "Kenapa kau tidak bertanya padaku, apakah
namamu juga tercantum di dalam daftar itu?"
Pho Ang-soat tidak bertanya, karena dia tahu bahwasanya
tidak perlu dia bertanya.
"Mungkin kau memang tidak usah bertanya, dalam daftar
itu memang ada namamu. Nama Yan Lam-hwi juga tercantum
di dalamnya," seperti memikirkan sesuatu, lalu dia
meneruskan, "Di dalam daftar memang sudah diberi catatan
bahwa urutan nama itu tidak ditentukan tinggi rendah atau
besar kecil nama seseorang, namun di atas secarik kertas
terdaftar tiga belas nama orang betapapun harus diberi nomor
urut." Akhirnya Pho Ang-soat bertanya, "Nama siapa yang
tercantum paling atas?"
"Yan Lam-hwi."
Gemetar tangan Pho Ang-soat yang menggenggam golok,
namun lambat-laun mengendor pula.
"Kenapa selama dia berkelana di Kangouw selalu tidak
pernah aman, selalu menghadapi bahaya, sekarang tentu kau
sudah maklum sebabnya."
Pho Ang-soat tidak bersuara.
Kereta sudah berhenti, berhenti di seberang sebuah
gedung berloteng, Hwe-ping-lau itu tingginya ada puluhan
tombak. "Aku tahu setiap hari Toh Lui makan siang di sini, setelah
makan, cukup lama dia berdiam di atas loteng, kira-kira pada
saat seperti ini baru akan pulang," Bing-gwat-sim
menerangkan, "menu yang dimakan setiap hari terdiri empat
macam hidangan, dua mangkuk nasi dan sepoci arak, jenis
keempat hidangan itupun tidak pernah berubah."
Wajah pucat Pho Ang-soat kelihatan tetap tidak
menunjukkan perasaan, namun kedua matanya sudah mulai
memicing. Dia tahu kali ini dirinya bakal berhadapan dengan
seorang lawan yang amat menakutkan.
Jago dalam dunia persilatan memang tidak terhitung
banyaknya, namun yang terdaftar justru hanya tiga belas
orang, maka dapatlah dibayangkan bahwa tiga belas orang itu
pasti adalah tokoh-tokoh yang menakutkan.
Bing-gwat-sim sedikit menyingkap kerai mengintip keluar,
katanya mendadak, "Nah, itu dia keluar."
Mentari tepat bercokol di tengah angkasa.
Waktu Toh Lui beranjak keluar dari Hwe-ping-lau,
bayangan tubuhnya kebetulan terinjak di bawah telapak kaki
sendiri. Kakinya memakai sepasang sepatu beludru, selop
tinggi beralas karet yang lunak, harga sepatu ini delapan belas
tahil, baru kemarin dibelinya.
Setiap kali dia memakai sepatu barunya menginjak
bayangan sendiri, selalu timbul gejolak perasaan aneh di
dalam sanubarinya, ingin dia mencopot sepatunya, mencopot
seluruh pakaian yang dipakainya hingga telanjang bulat, lalu
berlari di jalanan sambil berteriak-teriak, Namun jelas dia tidak
akan berbuat demikian, karena sekarang dia sudah menjadi
orang ternama, seorang yang terkenal, setiap persoalan yang
dikerjakan pasti beres, tepat dan adil. Dimana pun dia berada,
berapa lama dia akan di sana, setiap hari dia pasti
menggunakan waktu yang sama untuk makan minum, dan
yang dimakan adalah menu yang itu-itu juga.
Ada kalanya dia sendiri merasa hampir gila karena
kebiasaannya itu, namun dia tetap bandel, tidak mau merubah
kebiasaan ini, karena dia ingin dan mengharap orang lain
menganggap dirinya punya disiplin keras dan hidup terpimpin,
dia tahu manusia umumnya akan menaruh hormat terhadap
orang sejenis ini. Dan itulah hal yang paling menggembirakan
dan dianggapnya sebagai suatu kenikmatan.
Setelah mengalami gemblengan tujuh belas tahun,
perjuangan lima tahun, empat puluh tiga pertarungan besar
kecil, jerih-payahnya agaknya tidak mengecewakan, dan apa
yang diharapkan memang adalah yang itu pula, maka dia
berpedoman supaya diri sendiri percaya, sekarang dia bukan
lagi anak miskin yang sepanjang tahun bertelanjang kaki.
Gagang goloknya yang dihiasi mutiara tampak kemilau
ditimpa sinar mentari, banyak orang di jalanan menatap tajam
ke arah goloknya itu.
Dua pasang mata tersenyum di balik kerai di dalam kereta
di seberang jalan juga seperti sedang mengintip golok itu.
Beberapa tahun belakangan ini, dia sudah biasa ditatap
dan diawasi orang banyak di tengah jalan, maklum setiap
orang ternama harus berani menghadapi kebiasaan ini. Tapi
entah mengapa hari ini dia seperti merasa risi dan kikuk, bagai
seorang gadis rupawan yang bertelanjang bulat di hadapan
banyak orang laki-laki.
Apakah ini lantaran dua pasang mata yang mengintipnya
dari dalam kereta hitam di seberang jalan, sudah menembusi
rahasia dirinya bahwa hanya kerangka luar badannya saja
yang disepuh emas, terbayang pula akan seorang anak miskin
yang telanjang kaki.
Sekali tabas membelah kabin kereta itu dan mengorek
keluar kedua pasang mata itu. Sebetulnya emosi ini sudah
menggelitik hatinya, namun tidak dia lakukan, karena
kedatangannya kemari bukan untuk mencari kesulitan.
Beberapa tahun belakangan ini dia sudah pandai
mengendalikan diri, menahan sabar.
Dia tidak menoleh ke arah seberang, langkahnya
menyusuri jalan raya panjang yang diterangi sinar matahari,
beranjak ke hotel dimana dia menginap. Setiap langkah
kakinya diperhitungkan dan pas satu dengan yang lain,
sejengkal pun tidak berbeda. Dia pun mengharap orang lain
juga maklum bahwa goloknya juga selalu tepat.
Bing-gwat-sim menurunkan kerai perlahan, lalu menghela
napas pula, katanya, "Bagaimana pendapatmu tentang orang
ini?" Dingin reaksi Pho Ang-soat, "Dalam tiga tahun kalau dia
masih hidup, pasti menjadi gila."
"Sayang, sekarang dia belum gila."
Kereta itu berhenti pula di seberang It-ping-hiang, sebuah
restoran yang amat besar. Umumnya restoran dikunjungi
berbagai macam manusia, semakin besar restorannya
semakin banyak pengunjungnya.
Bing-gwat-sim menyingkap kerai sedikit supaya Pho Angsoat
bisa mengintip cukup lama, lalu dia bertanya, "Apa yang
kau lihat?"
"Manusia," sahut Pho Ang-soat pendek.
"Berapa?"
"Tujuh orang."
Sekarang adalah saatnya restoran itu paling ramai,
waktunya makan siang, ada seratus lebih tamu yang sedang
gegares di dalam restoran besar ini, kenapa dia hanya bilang
melihat tujuh orang"
Ternyata Bing-gwat-sim tidak menyatakan heran, sorot
matanya malah memancarkan rasa kagum, tanyanya pula,
"Tujuh orang yang mana yang kau lihat?"
Tujuh orang yang dilihat Pho Ang-soat adalah dua orang
yang sedang main catur, seorang makan kacang kulit,
seorang Hwesio, seorang burikan, seorang nona yang menjual
suara nyanyian, satu lagi adalah seorang gendut yang
mengantuk mendekam di meja. Ketujuh orang ini ada yang
duduk di pojok, ada yang duduk di tengah kerumunan orang,
tampang mereka juga tiada yang istimewa, kenapa orang lain
tidak memperhatikan, justru yang dia lihat hanya ketujuh orang
ini" Bukan saja tidak merasa heran sikap, Bing-gwat-sim malah
kelihatan kagum, katanya dengan menghela napas perlahan,
"Aku hanya tahu golokmu cepat, tak nyana pandangan
matamu lebih cepat lagi."
"Sebetulnya asal aku hanya melihat seorang juga sudah
cukup/' ujar Pho Ang-soat, memang sekarang dia sedang
mengawasi satu orang.
Si gendut yang mendekam ngantuk di meja sekarang
sedang menggeliat dan menegakkan badan, lalu menuang
secangkir teh untuk kumur, "Crot", mendadak dia semburkan
air teh di mulut ke lantai dan menyemprot basah kaki dan


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

celana satu orang, bergegas dia memburu maju, membungkuk
badan membersihkan kaki orang serta munduk-munduk dan
tertawa minta maaf.
Seseorang bila badannya terlalu tambun setiap melakukan
sesuatu pasti kelihatan agak dungu dan menggelikan, tapi
waktu Pho Ang-soat mengawasi si gendut ini, rona matanya
justru prihatin, seperti waktu dia mengawasi Toh Lui tadi.
Apakah dia berpendapat bahwa si gendut ini juga seorang
lawan tangguh yang menakutkan"
"Kau kenal orang ini?" tanya Bing-gwat-sim.
Pho Ang-soat menggeleng kepala.
"Tapi kau justru memperhatikan dia."
Pho Ang-soat mengangguk.
"Kau sudah melihat sesuatu yang istimewa pada dirinya?"
Lama Pho Ang-soat tidak bersuara, lalu sepatah demi
sepatah dia berkata, "Orang ini membawa hawa membunuh."
"Hawa membunuh?" Bing-gwat-sim menegas.
Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya, katanya,
"Hanya seorang kosen yang pernah membunuh orang tak
terhitung banyaknya, pada tubuhnya baru akan timbul hawa
membunuh."
"Tapi kelihatannya dia tidak lebih hanya seorang gendut
yang lamban, si gendut yang dungu."
"Itu hanya sebagai tabir untuk menutupi keaslian dirinya,
bagai sarung pedang atau golok itulah."
"Agaknya matamu lebih tajam dari golokmu," Bing-gwat-sim
menghela napas. Agaknya dia kenal baik orang ini, malah
tahu asal-usulnya.
"Siapakah dia?" Pho Ang-soat bertanya
"Dia itu Bok-cay (ibu jari)."
"Ibu jari?"
"Tahukah kau belakangan ini di kalangan Kangouw muncul
suatu sindikat rahasia yang menakutkan?"
"Apa nama sindikat itu?"
"Hek-jiu (tangan hitam)."
Belum pernah Pho Ang-soat mendengar nama ini, namun
dalam pendengarannya terasa adanya suatu tekanan yang tak
bisa dilukiskan.
"Sejauh ini belum banyak orang persilatan yang tahu
tentang sindikat rahasia itu, karena mereka bekerja di bawah
tanah, melakukan pekerjaan yang takut dilihat matahari."
"Apa tugas kerja sindikat rahasia itu?"
"Merampok, merampas dan pembunuhan gelap."
Setiap orang mempunyai lima jari tangan, maka sindikat ini
dipimpin lima orang. Dan si gendut ini adalah Bok-cay alias
Ibu jari, ibu jari dari tangan hitam itu.
Kereta itu bergerak lagi ke depan, kerai pun diturunkan
pula. Mendadak Bing-gwat-sim bertanya, "Pada sebuah tangan,
jari manakah yang memiliki tenaga paling besar?"
"Sudah tentu ibu jari."
"Yang paling lincah jari mana?"
"Jari telunjuk."
"Dalam sindikat gelap tangan hitam ini, tugas Ibu jari dan
Jari telunjuk adalah menjadi pembunuh gelap."
Yang paling menakutkan pada Ibu jari adalah dia
meyakinkan Cap-sah-thay-po, ilmu weduk yang harus
dilandasi dengan Thong-cu-kang, kekebalan badan yang tak
mungkin bisa diyakinkan orang lain."
Karena Ibu jari adalah seorang Thay-kam (sida-sida), sejak
kecil dia sudah menjadi sida-sida, beberapa jago kosen dalam
istana raja pernah mengajar silat kepadanya, ilmunya tinggi
dan menakutkan.
Asal-usul jari telunjuk lebih aneh dan luar biasa, konon
bukan saja dia pernah menjadi petugas penerima tamu di
Siau-lim-si, di dalam Kay-pang dia pernah menggendong
enam karung, pernah pula menjadi Sing-tong Tongcu dari
Cap-ji-lian-hoan-ou yang dikuasai Hong-bwe-pang di
Kanglam. Anak buah mereka merupakan kelompok tersendiri,
setiap orang memiliki kepandaian khas yang luar biasa, malah
sudah biasa bekerja sama. Karena itu aksi pembunuhan yang
mereka lakukan, selamanya tidak pernah gagal.
"Tapi orang yang paling menakutkan di dalam sindikat itu
bukan kedua orang ini," ucap Bing-gwat-sim.
"Siapa?"
"Yaitu Bu-bing-cay (jari tak bernama, jari manis)." Bu-bingcay
memang adalah jari yang tak berguna, jari yang lamban
dan goblok di tangan manusia.
"Kenapa Bu-bing-cay menakutkan?"
"Karena dia tidak bernama."
Pho Ang-soat manggut-manggut, hal ini memang betul.
Jago Bu-Iim yang memiliki kepandaian hebat pasti
menyimpan kungfu khas yang menakutkan, akan tetapi ada
sementara orang yang tidak punya nama ada kalanya justru
lebih menakutkan. Karena biasanya kau menunggu setelah
goloknya menusuk jantungmu, baru kau sadar akan
kelihaiannya, tahu betapa dia menakutkan.
Bing-gwat-sim berkata, "Tiada orang dalam dunia persilatan
yang tahu siapa sebenarnya Jari tak bernama itu, tiada
seorang pun yang pernah melihatnya."
"Dan kau pun tidak tahu?"
"Mungkin setelah goloknya menusuk hulu hatiku baru aku
tahu siapa dia."
Bing-gwat-sim tertawa getir.
Lama Pho Ang-soat berdiam pula, lalu bertanya, "Sekarang
kau hendak membawa aku melihat siapa pula?"
Bing-gwat-sim tidak langsung menjawab pertanyaan ini,
katanya, "Kota kecil ini sebetulnya bukan tempat yang ramai,
tapi beberapa hari belakangan ini mendadak berdatangan
orang-orang asing dari kaum persilatan, terhadap tamu-tamu
yang tidak diundang ini dia tidak merasa asing lagi, karena dia
sudah mencari tahu asal-usul serta latar belakang mereka."
Ternyata Pho Ang-soat juga tidak kaget atau heran. Sejak
bertemu pertama kali Pho Ang-soat sudah merasakan
perempuan yang satu ini kelihatannya tidak seperti gayanya
yang lemah lembut dan sederhana. Pada kedua tangannya
yang terpelihara baik itu, jelas menggenggam suatu kekuatan
besar dari yang pernah dibayangkan oleh siapa pun.
Bing-gwat-sim berkata, "Boleh dikata aku sudah mencari
tahu sejelasnya tentang asal-usul kedua orang itu, hanya satu
orang terkecuali."
"Siapa?"
Bing-gwat-sim belum bersuara, mendadak kuda kekar
penarik kereta meringkik dan berjingkrak kaget seraya
melompat berdiri dengan kaki belakang, keruan kereta tertarik
miring hampir terbalik.
Sebat sekali Bing-gwat-sim sudah berada di luar kereta,
dilihatnya seorang laki-laki setengah umur berpakaian hijau
celana putih jatuh di bawah kaki kuda. Bila kaki depan kuda
yang berjingkrak berdiri ini menginjak turun, umpama dia tidak
mati juga pasti terluka parah. Kejap lain kaki kuda itu jelas
sudah hampir menginjak, bukan saja Bing-gwat-sim tidak
berusaha menolong, ternyata bergerak dari tempatnya pun
tidak. Matanya mengawasi Pho Ang-soat, ternyata Pho Angsoat
sudah berada di atas kereta, mukanya yang pucat tidak
memperlihatkan perasaan hatinya, ternyata sikapnya tidak
menunjukkan bahwa dia bermaksud turun tangan menolong
orang yang rebah miring memeluk lutut itu.
Orang-orang di pinggir jalan menjerit ngeri, akhirnya kaki
kuda itu anjlok ke bawah, lelaki yang jatuh di bawah kaki kuda
jelas meringkal memeluk lutut, siapa pun melihat dengan jelas,
tapi kenyataan dia tidak terinjak oleh sang kuda. Ketika sang
kusir berhasil menenteramkan kuda itu, baru pelan-pelan dia
merangkak bangun, napasnya nampak tersengal.
Walau wajahnya berubah karena ketakutan, namun
kelihatannya tetap biasa saja. Memang dia seorang yang
biasa, seorang sederhana,
tiada tanda-tanda istimewa yang melekat pada tubuhnya.
Tapi waktu Pho Ang-soat mengawasinya, tatapan matanya
kelihatan dingin dan sadis. Dia pernah melihat orang ini, orang
yang kaki dan celananya disembur air teh si gendut alias si Ibu
jari bukan lain adalah lelaki ini.
Tiba-tiba Bing-gwat-sim tertawa, katanya, "Agaknya
nasibmu hari ini kurang baik, tadi celanamu dibuat basah,
sekarang jatuh di jalan raya lagi hingga badan kotor berdebu."
Orang itu juga tertawa tawar, katanya, "Hari ini nasibku
memang jelek, tapi yang bernasib lebih jelek dari aku entah
masih berapa banyak" Hari ini aku sial, besok entah berapa
banyak pula orang yang akan lebih sial dari aku, begitulah
kehidupan umat manusia, kenapa nona menganggap
persoalan ini begitu serius?"
ooooOOoooo Bab 5. Burung Merak
Kuda tidak melukai orang, kereta itupun tidak terbalik.
Laki-laki yang berdandan secara umum inipun lekas sekali
telah lenyap di kerumunan orang banyak, bagaikan buih yang
lenyap di tengah samudra, yang jelas orang lain tidak akan
menaruh perhatian padanya.
Pelan-pelan Pho Ang-soat mengangkat kepala, Bing-gwatsim
sedang tersenyum sambil mengawasi, senyum yang aneh
tapi juga manis. Namun dia justru seperti dipecut rubuhnya,
mendadak dia putar tubuh masuk kembali ke dalam kabin
kereta. Bukan saja Bing-gwat-sim sudah melihat jelas rasa kaget
dan deritanya, dia pun merasakan betapa duka-lara yang tak
tersembuhkan di dalam relung hatinya. Kenangan lama yang
sudah lanjut terbawa masa, sudah buyar laksana segumpal
asap di tengah udara, kenapa sekarang kembali muncul di
hadapannya"
Tanpa sadar Bing-gwat-sim mengangkat tangan mengelus
muka sendiri. Topeng jenaka yang dipakainya itu sudah dia tanggalkan
waktu melompat keluar dari kereta, sehingga untuk kedua
kalinya dia melihat wajah aslinya.
Mendadak Bing-gwat-sim merasa benci terhadap diri
sendiri, kenapa wajahnya mirip perempuan itu" Kenapa
memberi penderitaan sedalam itu kepadanya" Sesama
manusia kenapa sering terjadi harus saling menyalahkan dan
saling melukai, semakin besar rasa cinta, semakin besar pula
luka yang dideritanya.
Waktu ujung jarinya mengucek pelupuk matanya, baru dia
sadar bahwa air matanya telah berlinang. Untuk siapa" Untuk
umat manusia yang dungu" Atau untuk pria asing yang
sebatangkara ini" Diam-diam dia mengusap air mata, waktu
dia masuk ke dalam kabin kereta pula, topeng itu sudah
dipakainya lagi, dalam hati dia mengharap dirinya selalu bisa
tersenyum ramah dan jenaka seperti topeng gendut ini, bisa
Suling Emas Dan Naga Siluman 2 Neraka Hitam Seri Bara Maharani Karya Khu Lung Pedang Golok Yang Menggetarkan 14
^