Pencarian

Peristiwa Bulu Merak 3

Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Bagian 3


keenam orang itu pasti adalah pengkhianat."
"Siapa yang kau maksud?" tanya Bing-gwat-sim.
Pho Ang-soat tidak menjawab, malah bertanya pada Jiu
Cui-jing, "Yang membuka kunci pertama apakah Kongsun
To?" Jiu Cui-jing mengangguk, mulutnya mengiakan.
Baru sekarang Bing-gwat-sim bertanya, "Apakah Put-si-sineng
(elang sakti yang tidak pernah mati) Kongsun To yang
sudah hampir mati beberapa kali itu?"
Jiu Cui-jing mengiakan saja.
Yan Lam-hwi bertanya, "Lawan duelnya yang terakhir
bukankah Kongcu Gi?"
"Betul," sahut Jiu Cui-jing.
Yan Lam-hwi memandang Bing-gwat-sim, Bing-gwat-sim
menatap Pho Ang-soat, ketiga orang ini terkancing mulutnya.
Soal ini tidak perlu ditanyakan lagi.
Bahwa Kongsun To lolos dari tangan Kongcu Gi, kejadian
itu memang sudah dianggap kejadian ajaib dunia persilatan.
Baru sekarang mereka sadar kejadian itu bukan lagi ajaib,
karena Kongcu Gi sengaja mengampuni jiwa Kongsun To,
sekaligus merangkulnya untuk dijadikan kambrat di dalam
melaksanakan tipu dayanya.
Sekarang persoalan terpenting satu-satunya adalah adakah
jalan keluar kedua dari tempat ini"
"Tidak ada," jawaban Jiu Cui-jing cekak tapi jelas, gudang
harta mana mungkin dibuatkan pintu kedua"
Setelah menghela napas panjang pula, sekujur tubuh Binggwat-
sim terasa lemas lunglai, arwahnya seolah-olah
meninggalkan jazad kasarnya.
Kamar ini ditutup oleh daun pintu besi setebal tiga kaki
dengan dinding tebal enam kaki, peduli manusia mana pun
yang terkurung di dalam kamar batu seperti ini, satu hal yang
masih bisa mereka lakukan adalah menunggu kematian.
Mendadak Yan Lam-hwi bertanya pula, "Apakah di sini ada
arak?" "Ada," sahut Jiu Cui-jing. "Hanya seguci, seguci arak
beracun." "Arak beracun juga mending daripada tiada arak?" ujar Yan
Lam-hwi tertawa. Bagi seorang yang kerjanya hanya
menunggu kematian, apa salahnya minum arak beracun"
Maka Yan Lam-hwi menemukan guci arak itu, dengan
bernafsu dia membuka tutupnya yang tersegel, mendadak
sinar golok berkelebat, guci arak itupun hancur.
Pho Ang-soat berkata dingin, "Jangan lupa jiwamu ini
milikku, mau mati akulah yang harus turun tangan."
"Kapan kau akan turun tangan?" tanya Yan Lam-hwi.
"Kalau betul-betul sudah putus asa," sahut Pho Ang-soat.
"Sekarang masih adakah harapan hidup bagi kita?"
"Bila manusia masih hidup, maka harapan itu tetap ada."
Yan Lam-hwi tertawa lebar, serunya, "Bagus, baiklah, selama
aku masih hidup, tidak akan kulupakan nasehatmu ini."
Pho Ang-soat tidak banyak bicara lagi, perhatiannya tertuju
ke rak-rak senjata yang berada di empat penjuru itu, entah
apa sebabnya dia kelihatan tertarik sekali. Perlahan dia
beranjak ke sana, setiap senjata pasti diperiksa dan ditelitinya
dengan seksama.
ooooOOoooo Kamar batu yang lembab basah ini lambat-laun terasa
pengap dan gerah, Jiu Cui-jing meniup padam tiga lentera,
mendadak dilihatnya Pho Ang-soat menarik keluar sebatang
Cu-coat-pian (ruyung ruas bambu) dari rak senjata. Ruyung
tiga ruas seperti bambu ini terbuat dari baja murni, bobotnya
teramat berat, namun bentuknya kelihatan tidak seberat
bobotnya. Lama Pho Ang-soat menimang-nimang ruyung itu,
tanyanya kemudian, "Darimanakah senjata ini?"
Jiu Cui-jing tidak lantas menjawab, dari dalam almari dia
mencari sejilid buku catatan yang cukup tebal, setelah meniup
debunya, mulai dia membalik halaman demi halaman sampai
belasan lembar, baru perlahan dia bersuara, "Itulah
peninggalan Hay Tang-kay."
"Hay Tang-kay dari Pi-lik-tong di Kanglam?" Pho Ang-soat
menegas. Jiu Cui-jing mengangguk, katanya, "Senjata api dari Pi-liktong
menjagoi segala macam senjata rahasia di dunia ini,
namun sejak Khong-jiok-ling muncul dalam percaturan dunia
persilatan, perbawa mereka semakin pudar dan menurun,
karena itu Hay Tang-kay mengumpulkan kambrat-kambratnya
menyerbu kemari, maksudnya hendak menghancurkan
Khong-jiok-san-ceng, sayang sekali sebelum dia bertindak,
jiwanya sudah melayang oleh bulu merak."
Mendadak bercahaya mata Pho Ang-soat, tanyanya
menegas, "Dia belum turun tangan sudah mati di bawah
Khong-jiok-ling."
Jiu Cui-jing manggut-manggut, katanya, "Kejadian meski
sudah seratus tahun yang lampau, namun di dalam buku ini
peristiwa itu dicatat dengan jelas."
Bing-gwat-sim berkata, "Pernah juga aku mendengar
tentang Bu-lim Cianpwe ini, kuingat nama julukannya adalah
Pi-lik-pian (ruyung geledek)."
Perlahan Pho Ang-soat mengangguk, kembali dia mulai
beranjak menyusuri dinding. Tangan kanan memegang golok,
tangan kiri menggenggam ruyung, namun matanya terpejam,
gayanya berjalan meski lucu, rona mukanya justru setenang
padri agung yang sedang semadi. Semua menahan napas,
mengawasi gerak-geriknya, keheningan mencekam seluruh
kamar batu ini.
Mendadak sinar golok berkelebat pula, cahayanya
kelihatan lebih terang dari tabasan di waktu menghancurkan
guci di tangan Yan Lam-hwi tadi. Jelas untuk bacokan kali ini
Pho Ang-soat telah mengerahkan tenaga sepenuhnya, walau
matanya terpejam, goloknya ternyata tepat menusuk celahcelah
batu di atas dinding. Dia tidak melihat dengan mata,
namun melihat dengan hati, dengan perasaan, dengan insting.
Sekali tusuk, seluruh batang goloknya ternyata amblas ke
dalam dinding. Pho Ang-soat menarik napas panjang, golok segera
dicabut, setelah dia ganti Cu-coat-pian di tangan kirinya
sekarang yang menusuk, amblas pula ke lubang dimana tadi
goloknya membuat lubang di atas dinding.
Pada saat itulah terdengar ledakan menggelegar, Cu-coatpian
ternyata meledak di dalam celah-celah dinding. Dinding
yang dibangun dengan batu-batu persegi sebesar enam kaki
itu ternyata berguguran dan ambruk oleh getaran dahsyat dari
ledakan itu. Lekas sekali keadaan kembali menjadi tenang, sepi
lengang, dinding yang semula rapi kini sudah ambrol dan
bolong. Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke sarungnya, dengan
suara tawar dia berkata, "Senjata api buatan Pi-lik-tong dari
Kanglam memang nyata tiada bandingannya di dunia."
Jiu Cui-jing, Bing-gwat-sim dan Yan Lam-hwi
mengawasinya diam saja, sorot mata mereka diliputi rasa
kagum dan hormat.
"Darimana kau tahu kalau di dalam Cu-coat-pian ada
tersimpan bahan peledak?"
"Aku tidak tahu," sahut Pho Ang-soat. "Aku hanya merasa
bobotnya tidak semestinya seringan itu, oleh karena itu aku
menduga di dalamnya tentu kosong, kebetulan aku teringat
pula pada nama Hay Tang-kay."
Pertempuran besar yang terjadi waktu Hay Tang-kay
bersama kawan-kawannya menyerbu Khong-jiok-san-ceng
memang terkenal sebagai pertempuran paling besar di Bu-lim
kala itu. Seluruhnya ada tujuh puluh dua pertempuran dahsyat
yang terkenal di kalangan persilatan masa itu, paling sedikit
ada tujuh kali terjadi di Khong-jiok-san-ceng.
Kenyataan sampai sekarang Khong-jiok-san-ceng masih
berdiri sampai sekarang, masih jaya dan digdaya. Akan tetapi
begitu mereka keluar dari lubang bekas ledakan itu, segera
mereka melihat Khong-jiok-san-ceng yang tak pernah ambruk
meski sudah mengalami beberapa kali bencana ini sekarang
sudah menjadi puing-puing yang rata dengan bumi, sembilan
lapis bangunan beruntun, tiga puluh enam gedung berloteng
seluas delapan puluh li, seluruhnya sudah terbakar habis
tinggal puing-puing saja yang masih mengepulkan asap.
Aliran darah masih belum kering, Jiu Cui-jing sekarang
sedang berdiri di antara genangan darah tak jauh dari puingpuing
itu. Bangunan seluas delapan puluh li jauhnya yang sudah
bertahan selama tiga puluh turunan dengan lima ratus jiwa
manusia, kini sudah hancur lebur. Hancur secara aneh, lenyap
secara mesterius.
Jiu Cui-jing tidak bergerak, juga tidak mengucurkan air
mata, dendam kesumat ini sudah tidak bisa ditawarkan
dengan hanya cucuran air mata. Sekarang yang terpikir
hanyalah ingin mengucurkan darah.
Sayang dia tidak melihat dan tidak tahu siapa penyebab
bencana ini. Cuaca buruk, tanah seluas ribuan li kecuali mereka
berempat, seolah-olah tiada kehidupan lain.
Yan Lam-hwi berdiri jauh di sana, sikapnya kelihatan lebih
menderita dan duka daripada Jiu Cui-jing.
Sudah lama Pho Ang-soat menatapnya, katanya dingin,
"Kau sedang menyesal dan bertobat, semua adalah garagaramu
sehingga bencana ini terjadi?"
Yan Lam-hwi manggut-manggut, beberapa kali ingin bicara
namun selalu batal, kontradiksi dalam sanubarinya sedang
bergelut dengan batinnya sehingga dia merasa amat
menderita. Akhirnya dia tidak tahan dan tercetuslah
perkataannya, "Inilah yang ketiga."
"Yang ketiga?" Pho Ang-soat menegas.
"Pertama di Hong hong-kip, kedua, di taman kembang
keluarga Ni dan sekarang adalah yang ketiga," Yan Lam-hwi
bicara cepat karena dia sudah berkeputusan untuk
membeberkan segala rahasia ini secara terbuka.
"Di dunia sekarang ini, orang yang memiliki kungfu paling
tinggi bukan kau, tapi adalah Kongcu Gi," dia bicara secara
jujur, "golokmu memang sudah hampir mencapai tiada
taranya, tapi ini mempunyai satu ciri."
"Dan kau?" Pho Ang-soat balas bertanya.
"Yang kuyakinkan adalah Sim-kiam (hati pedang), Gi-kiam
(arti pedang), dimana hati mempunyai selera, apa pun tiada
yang dapat membendungnya. Itulah salah satu jenis puncak
kesempurnaan dari ilmu pedang, jika latihan berhasil
mencapai taraf yang tiada taranya, maka ilmunya itu tidak
akan mendapat tandingan di seluruh jagat."
"Dan kau gagal melatihnya?"
"Ilmu pedang itu laksana sebuah pintu yang mempunyai
tiga belas kunci... jelas aku sudah memperoleh seluruh
kuncinya, tapi setelah aku membuka kunci kedua belas, kunci
terakhir justru tidak kutemukan," dengan tertawa getir Yan
Lam-hwi berkata lebih lanjut, "oleh karena itu, setiap kali turun
tangan, aku selalu merasa tenaga tidak memadai dengan
hasrat keinginan. Ada kalanya sekali tusuk jelas telak
mengenai sasaran, namun pada detik terakhir ternyata
meleset hampir satu dim."
"Bagaimana dengan Kongcu Gi?" tanya Pho Ang-soat.
"Bukan saja kungfunya sudah sempurna, malah tiada titik
kelemahan yang dapat dibuat sasaran. Di kolong langit ini,
mungkin hanya ada dua benda yang dapat menandingi dia."
"Pertama ialah Khong-jiok-ling?" Pho Ang-soat menegas.
"Kedua ialah Thian-te-kiau-ceng-im-yang-tay-pi-bu."
Dalam buku ini tercatat tujuh jenis kungfu yang paling
hebat, jahat dan lihai sejak zaman dulu hingga sekarang.
Konon waktu buku ini selesai ditulis, dari langit hujan darah,
tengah malam setan pun menjerit tangis, penulisnya setelah
mengakhiri huruf terakhir juga mati dengan tumpah darah.
Sudah tentu Pho Ang-soat juga pernah mendengar legenda
ini. "Tapi setelah buku itu berhasil ditulis lantas lenyap tak
keruan parannya, bahwasanya tiada kaum persilatan di
Kangouw yang pernah melihat atau membacanya."
Yan Lam-hwi berkata, "Memang sudah lama buku ini putus
turunan, artinya tidak keruan parannya, tapi belakangan ini
memang betul-betul telah muncul."
"Muncul dimana?" Pho Ang-soat menegas.
"Di Hong-hong-kip."
Setahun yang lalu dia pun pernah ke Hong-hong-kip untuk
mencari buku itu, kebetulan waktu itu Pho Ang-soat juga
berada di sana.
"Waktu itu aku juga mengira kehadiranmu di sana juga
lantaran buku itu, maka aku beranggapan bahwa kau juga
sudah mau diperalat serta menjadi antek Kongcu Gi, maka
aku tidak segan turun tangan kepadamu."
Tapi dia yang kalah, kalau dia ingin membunuh Pho Angsoat,
Pho Ang-soat justru tidak membunuhnya, karena itu
terjadilah rangkaian cerita yang berkepanjangan ini.
"Setelah pertempuran dengan kau itu, hati luluh semangat
lumpuh, dua jam kemudian baru aku putar balik ke Honghong-
kip." Waktu itu Hong-hong-kip ternyata sudah menjadi kota mati,
Kongcu Gi telah menyikat dan membantai seluruh penghuni
kota kecil itu, agaknya dia pun tidak berhasil, sehingga
terjadilah peristiwa kedua yang mengerikan.
"Pagi hari itu, empat di antara Ni-si-jit-kiat (tujuh ksatria
keluarga Ni) juga berada di Hong-hong-kip, mereka datang
secara terburu-buru dan pergi dengan tergesa-gesa,
sebetulnya tidak menarik perhatian orang lain, namun aku
tidak tahan untuk tidak menemui mereka, ingin aku mencari
berita, tak nyana karena kedatanganku, terjadi perubahan
pada taman besar yang tersohor sejak tiga belas turunan
kakek-moyang mereka, taman itu telah hancur-lebur menjadi
tempat yang tak berguna lagi." Sesaat dia berpikir, lalu
menambahkan, "Pada hari itu juga, pertama kali aku bertemu
dengan Bing-gwat-sim, waktu itu dia baru pindah ke sana
belum genap lima hari."
Mengepal kedua tinju Pho Ang-soat, agak lama kemudian
dia berkata perlahan, "Walau sampai sekarang kau sendiri
belum pernah melihat buku Tay-pi-bu itu, namun akibatnya


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

justru teramat fatal, entah berapa jiwa dan harta telah hancur
karenanya."
Yan Lam-hwi juga mengepal tinju, desisnya geram, "Oleh
karena itu aku harus mengganyang Kongcu Gi, untuk
membalaskan sakit hati para korban itu."
"Karena itu pula dia pun harus membunuhmu."
Mereka tidak melanjutkan pembicaraan ini, karena Jiu Cuijing
sudah beranjak perlahan mendekat. Wajahnya tetap tidak
menunjukkan perasaan apa-apa, demikian pula sepasang
matanya yang semula tajam berkilat kelihatan hambar dan
lengang. Berdiri di hadapan mereka, lama dia diam saja seperti
patung, lalu dengan suara seperti mengigau berkata, "Seluruh
warga keluarga Jiu sudah mati, namun mayat mereka
seluruhnya lengkap, hanya kurang satu saja."
"Kongsun To?" Pho Ang-soat menegas.
Jiu Cui-jing mengangguk, katanya, "Untuk menyikat habis
keluarga Jiu bukan pekerjaan yang gampang, pihak mereka
juga pasti akan jatuh korban, namun korban musuh
seluruhnya sudah disingkirkan."
Yan Lam-hwi menyelutuk, "Sepak terjang mereka memang
bersih dan cekatan, tidak meninggalkan bekas dan jejak."
"Tapi orang sebanyak itu tak mungkin bisa lenyap begitu
cepat, peduli dengan cara apa pun mereka menyingkir, sedikit
banyak pasti akan meninggalkan jejak, jejak itulah sumber
penyelidikan kita," demikian Pho Ang-soat mengutarakan
pendapatnya. Jiu Cui-jing menatapnya, sorot matanya menampilkan rasa
kagum, katanya mendadak, "Istriku sering sakit, di dalam kota
ada pula seorang biniku, sekarang dia sedang hamil, jika dia
melahirkan seorang putra, maka dialah keturunan keluarga Jiu
kami satu-satunya." Perlahan dia melanjutkan, "Dia she Co
bernama Giok-cin, ayahnya bernama Co Tong-lay, seorang
Piausu." Pho Ang-soat diam mendengarkan, setiap patah kata
didengarnya dengan penuh perhatian.
Setelah menghela napas panjang Jiu Cui jing berkata pula,
"Persoalan ini sepantasnya kubereskan sendiri, tapi aku sudah
tidak mampu lagi, bila aku harus bertahan hidup, kelak di alam
baka aku tetap malu bertemu dengan para leluhur Jiu kita."
Yan Lam-hwi segera meraung galak, serunya beringas,
"Kau tidak boleh mati, memangnya kau tidak ingin menuntut
balas?" Mendadak Jiu Cui-jing tertawa, tawa yang lebih
mengenaskan dari tangisan, "Menuntut balas" Kau suruh aku
menuntut balas" Tahukah kau orang macam apa Kongcu Gi
sebetulnya" Tahukah kau berapa kekuatan yang tergenggam
di tangannya?"
Sudah tentu Yan Lam-hwi tahu, tiada orang lain yang tahu
sejelas dirinya.
Kecuali Jit-toa-kiam-pay yang sudah punya sejarah
keemasan, mereka bersama Kay-pang dalam kalangan
Kangouw, masih ada tiga puluh sembilan organisasi yang
mempunyai kekuatan besar. Paling sedikit separo di
antaranya mempunyai ikatan atau hubungan erat dengan
Kongcu Gi, di antaranya pula sedikitnya ada sembilan
organisasi yang langsung berada di bawah kekuasaan Kongcu
Gi. Jago-jago kosen dalam Bu-lim, entah betapa banyak yang
telah diperalat dan sudi menjadi anteknya. Di antara para
pengawal pribadinya, ada dua orang yang memiliki kungfu
yang susah diukur.
Sudah siap Yan Lam-hwi menuturkan apa yang dirinya
ketahui, namun Jiu Cui-jing sudah tidak ingin mendengar. Dia
masih berdiri tidak bergerak, namun dari tujuh lubang panca
indranya mendadak mengucurkan darah segar.
Waktu dia terjungkal roboh, kebetulan di kejauhan
berkumandang kokok ayam yang pertama.
Letak Khong-jiok-san-ceng diapit dua gunung, sungai lebar
terbentang luas di belakangnya. Gunung cukup tinggi,
keadaan belukar jelas tidak mungkin dilalui mereka yang
menggotong para korban, arus sungai juga jelas, ombak
bergolak, perahu tak mungkin bisa menyeberang.
Perkampungan merak terjaga ketat dan keras, semuanya
berkepandaian tinggi, untuk mengganyang mereka
seluruhnya, paling sedikit memerlukan lima puluhan tenaga
jago-jago silat kelas wahid. Umpama benar orang-orang itu
datang dari arah gunung dan menyeberang sungai, untuk
mengundurkan diri jelas hanya arah depan paling leluasa.
Di depan adalah hutan lebat, jalan raya lapang dan lebar,
namun kenyataan tiada bekas tapak kaki kuda atau bekas
tergilasnya roda kereta, tapak kaki manusia juga tidak
kelihatan. Bing-gwat-sim mengertak gigi, katanya, "Apa pun hari ini
kita harus dapat menemukan orang ketiga."
"Kecuali Co Giok-cin dan Kongsun To, masih ada siapa
lagi?" tanya Pho Ang-soat.
"Merak," sahut Bing-gwat-sim, "dia sudah tunduk kepadaku,
kusuruh dia kembali menjadi agen rahasia pihak kita, dia pasti
dapat memberi sedikit keterangan kepada kita."
Yan Lam-hwi menjengek, katanya, "Sayang sekali setiap
keterangan yang.dia berikan bukan mustahil merupakan
perangkap."
"Perangkap?" Bing-gwat-sim menegas.
"Kau bilang dia jeri terhadapmu, tapi aku berani bertaruh
dia pasti lebih takut terhadap Kongcu Gi, jika bukan dia yang
membocorkan rahasia kami, bagaimana mungkin Kongcu Gi
secepat ini tahu kami berada di Khong-jiok-san-ceng,
mungkinkah serbuan mereka juga begini kebetulan."
Bing-gwat-sim menggreget gemas, desisnya, "Bila
analisamu benar, lebih besar hasratku untuk mencarinya."
"Tapi orang pertama yang kita cari bukan dia?" ujar Pho
Ang-soat, "tapi Co Giok-cin."
Tiada orang kenal Co Giok-cin, tapi Co Tang-lay justru
seorang yang terkenal sebagai setan arak.
Saat itu dia sedang mabuk, tubuhnya meringkuk di bawah
pohon yang rindang dalam pekarangan, namun begitu
mendengar nama Jiu Cui-jing, mendadak dia berteriak dan
memaki, "Bintang tua itu, kuanggap dia sebagai teman.
Sekarang diam-diam dia justru malah menggremet putriku..."
Mereka tidak menyumbat mulutnya, makin kotor cacimakinya,
makin membuktikan bahwa persoalan ini memang
benar terjadi, asal dapat mempertahankan anak keturunan Jiu
Cui-jing ini, umpama dia harus mencaci tiga hari tiga malam
juga tidak jadi soal.
Tapi putrinya justru tidak betah tinggal di rumah lagi, dia
minggat tak keruan parannya, secarik kertas dia taruh di atas
meja riasnya, seorang nona cilik yang menguncir rambut
panjangnya sedang mendekap meja menangis terisak-isak.
Surat di atas kertas itu berbunyi: "Putrimu tidak berbakti,
membikin kotor nama baik keluarga, demi orok yang
kukandung ini, tak mungkin aku menebus dosa dengan
kematian ....".
Nona cilik itu memberi keterangan, "Terpaksa Siocia
minggat, aku tak berhasil menahannya."
"Kau tahu dia pergi kemana?"
"Kalau aku tahu, sudah tentu aku menyusulnya, buat apa
aku berada di sini sendirian."
Kalau dalam rumah ada setan arak, siapa pun takkan sudi
tinggal di sana, maka terpaksa mereka meninggalkan rumah
itu. Tapi mereka harus menemukan Co Giok-cin, dunia seluas
ini kemana mereka harus mencari seorang"
Mendadak Bing-gwat-sim berkata, "Ada satu tempat pasti
dapat menemukan dia."
Yan Lam-hwi segera bertanya, "Di tempat mana?"
"Kalau ayahnya tidak tahu tentang hubungan gelap ini, Jiu
Cui-jing tentu sudah menyediakan suatu tempat untuk
pertemuan mereka secara tetap."
Kalau majikan sebuah toko kain yang berdagang kecilkecilan
dapat memelihara seorang gundik yang cantik, masih
muda lagi apalagi seorang Cengcu Khong-jiok-san-ceng.
Sayang sekali tempat pertemuan gelap itu pasti amat
rahasia, Jiu Cui-jing biasanya juga bekerja amat teliti dan hatihati,
kecuali mereka sendiri yang tahu, lalu siapa pula yang
mengetahui"
"Pasti ada orang lain yang tahu."
"Siapa?"
"Nona cilik berkuncir itu," Bing-gwat-sim bicara dengan
penuh keyakinan. "Hubungan antara Siocia dengan pelayan
pribadinya ada kalanya seperti hubungan kakak beradik yang
intim, kalau aku yang melakukan perbuatan itu, jelas tidak
akan bisa mengelabui Sing-song." Sing-song adalah nama
nona cilik berkuncir itu.
"Dilihat wajahnya serta lirikan matanya, kelihatan bahwa
nona cilik itu cerdik pandai, tadi dia hanya bersandiwara dan
sengaja ditunjukkan di depan kita, dalam jangka setengah
jam, secara diam-diam dia pasti akan pergi menemuinya.
Inilah rekaan Bing-gwat-sim dalam hati, jadi pikirannya ini
tidak dia utarakan.
Kenyataan memang demikian, setengah jam kemudian
nona cilik itu diam-diam menyelinap keluar dari pintu
belakang, secara sembunyi-sembunyi berlari memasuki
sebuah gang sempit di sebelah kiri. Diam-diam Bing-gwat-sim
menguntitnya, Pho Ang-soat dan Yan Lam-hwi juga menguntit
Bing-gwat-sim. "Seorang gadis perawan apa pun tidak leluasa bergerak,
oleh karena itu tempat dimana dia sering mengadakan
pertemuan gelap dengan kekasihnya pasti tempat yang tak
jauh dari rumahnya," dugaan Bing-gwat-sim memang tidak
keliru, tempat itu memang terletak di sebuah gang sempit
yang terletak di ujung jalan raya sebelah timur, tembok tinggi
pintu sempit, dimana ada sebuah pekarangan kecil yang sepi
bersih, di dalam pekarangan tumbuh sepucuk pohon murbai,
di pinggir tembok sana berderet belasan vas kembang dengan
bunga beraneka warna yang sedang mekar.
Pintu sempit itu tidak terkunci atau terpalang dari dalam,
hanya dirapatkan saja seperti sengaja menunggu kedatangan
nona cilik ini, setelah longak-longok ke sekelilingnya, lalu
mendorong pintu menyelinap masuk, dari sebelah dalam dia
tutup serta dipalang lagi.
Kembang yang mekar itu seperti berlomba kecantikan
memancarkan bau harum semerbak, daun pohon gemersik
ditiup angin, tiada bayangan orang di dalam pekarangan
bersih ini. "Kau masuk dulu, kami menunggu di luar."
Bing-gwat-sim tahu kedua lelaki ini pasti tidak mau ikut
terobosan di kamar seorang gadis, karena mereka adalah
lelaki sejati, lelaki tulen, lelaki di antara lelaki.
Mereka mengawasi Bing-gwat-sim melompati tembok terus
masuk ke dalam, menunggu sekian lamanya, harum kembang
merangsang hidung menyegarkan badan.
Pekarangan ini sepi dan lengang, namun mendadak
terdengar sebuah jeritan, itulah jeritan Bing-gwat-sim.
Bing-gwat-sim bukan jenis perempuan yang mau
sembarangan menjerit kecuali menghadapi sesuatu yang
mengerikan. Penerangan dalam rumah agak guram, nona cilik yang
menguncir rambutnya tampak mendekam di meja, kuncir
rambutnya yang panjang dan legam itu melingkar di lehernya,
menjerat tenggorokannya, kaki tangannya sudah dingin.
Kaki tangan Bing-gwat-sim juga dingin berkeringat, katanya
gegetun, "Kita datang terlambat."
Nona cilik itu sudah mati terjerat lehernya, Co Giok-cin pun
tidak kelihatan bayangannya. Tiada orang yang bisa bunuh diri
dengan menjerat leher dengan kuncir rambutnya sendiri, lalu
siapakah pembunuhnya"
Kedua tangan Yan Lam-hwi saling genggam, desisnya,
"Hubungan rahasia Jiu Cui-jing dengan Co-Giok-cin agaknya
bukan rahasia yang tidak diketahui orang lain."
Karena itu anak buah Kongcu Gi bertindak selangkah lebih
cepat dari mereka.
Wajah Pho Ang-soat masih pucat, namun matanya mulai
membara, dengan teliti dia mencari, dia berharap pembunuh
itu meninggalkan bekas atau sesuatu yang tidak disengaja
karena tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Sedikit
kelalaian musuh merupakan sumber penyelidikan yang
berharga dan itu cukup sebagai bekal yang tidak akan
diabaikan oleh Pho Ang-soat, kali ini hampir saja dia
mengabaikan kesempatan itu, karena kelalaian musuh atau
sumber penyelidikan itu terlampau nyata, seperti sengaja
dipaparkan di depan mata.
Di atas meja rias berdiri sebuah cermin berbentuk hati,
seseorang menggores tiga huruf yang ditulis dengan gincu di
permukaan kaca, tulisannya terlalu kasar, jelas Co Giok-cin
meninggalkan tulisan itu dalam keadaan gugup dan terburuburu,
sementara penculiknya juga tidak memperhatikan tulisan
tangan di kaca itu.
Kenapa sesuatu yang nyata justru jarang diperhatikan oleh
orang" Padahal gincu itu berwarna merah, merah seperti
darah, tiga huruf itu berbunyi "Jik-yang-koan".
Jik-yang-koan adalah nama yang terlalu umum, banyak
biara yang dihuni kawanan Tosu bernama Jik-yang-koan,
kebetulan di kota ini hanya ada satu Jik-yang-koan.
"Darimana dia bisa tahu kalau mereka hendak
membawanya ke Jik-yang-koan?"
"Mungkin secara tidak sengaja dia mencuri dengar
percakapan musuh, atau di antara penculiknya itu ada Tosu
dari Jik-yang-koan, dia dilahirkan di sini, sejak kecil dan
tumbuh dewasa di sini pula, tidak heran kalau dia betul kenal
mereka. Betul atau tidak, mereka harus ke sana, umpama musuh
mengatur jebakan di sana, mereka juga harus coba meluruk
ke sana. Di pekarangan luar Jik-yang-koan ternyata juga tumbuh
sepucuk pohon yang rindang, pohon yang sama yang tumbuh
di pekarangan kecil itu, sama tinggi sama besar dan sama
rimbunnya. Asap dupa tampak mengepul di ruang pemujaan, tiada
bayangan orang, tapi mereka tiba di pekarangan belakang,
mereka mendengar percakapan orang.


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pekarangan yang sepi, suara orang yang dingin, hanya
mengucap dua patah kata, "Silakan masuk."
Suara itu berkumandang dari kamar semadi di sebelah kiri,
orang yang di dalam kamar seperti sengaja sedang menunggu
kedatangan mereka. Agaknya di sini memang ada perangkap,
namun kapan mereka pernah gentar menghadapi perangkap
musuh" Tanpa pikir Pho Ang-soat langsung beranjak ke sana,
pintu setengah dirapatkan, hanya sekali dorong lantas
terbuka. Di dalam kamar ada empat orang.
Asal dia berpendapat harus melakukan tugasnya, asal
golok berada di tangannya, meski di depan ada barisan
berkuda laksaan jumlahnya juga dia tidak akan mundur
selangkah pun, apalagi hanya empat orang.
Keempat orang itu, seorang sedang minum arak, dua orang
sedang main catur, seorang lagi pemuda berbaju merah darah
dengan sebilah pisau kecil sedang mengerik dan
membersihkan kuku jarinya.
Dalam kamar tidak dinyalakan lampu, rona muka pemuda
ini mirip pisau di tangannya, putih semu hijau, warna hijau
itulah yang mengerikan.
Salah satu dari dua orang yang bermain catur, ternyata
memang seorang Tosu, rambut dan jenggotnya sudah
ubanan, namun raut mukanya ternyata masih segar dan
memerah seperti wajah anak kecil. Lawan bermainnya
berpakaian hijau berkaos kaki putih, dandanannya sederhana,
sebentuk cincin yang dipakai di jarinya ternyata adalah sebuah
batu jade dengan permata yang tak ternilai harganya.
Mendadak Pho Ang-soat memicingkan mata, ujung
matanya kedutan, wajahnya yang pucat mendadak bersemu
merah yang ganjil. Karena orang yang sedang minum arak
sambil menundukkan kepala sekarang perlahan mengangkat
kepalanya. Melihat wajah orang ini, kaki tangan Bing-gwat-sim
seketika dingin berkeringat.
Seraut wajahnya yang penuh codet bekas bacokan senjata
tajam, mata elang hidung betet, siapa lagi kalau bukan Put-sisin-
eng Kongsun To. Kongsun To juga sedang mengawasi
mereka, mata elangnya yang mencorong seperti
membayangkan senyum sinis yang sadis, serunya, "Silakan
duduk." Dalam kamar semadi ini ternyata masih ada tiga kursi
kosong, Pho Ang-soat juga tidak sungkan, langsung dia
berduduk. Menjelang pertempuran antara mati hidup, kalau bisa
menyimpan sedikit tenaga juga pasti bermanfaat sekali.
Karena itu Yan Lam-hwi dan Bing-gwat-sim juga duduk,
mereka juga insyaf sekarang sudah tiba saatnya detik-detik
yang bakal menentukan antara mati dan hidup.
ooooOOoooo Bab 9. Satu Bacokan Mempertaruhkan Nyawa
Keheningan mencekam, hanya terdengar hembusan angin
lalu di pekarangan, pemuda yang sedang membersihkan kuku
jarinya tetap berdiri tidak memperlihatkan perubahan mimik
mukanya, yang sedang main catur juga asyik dengan biji-biji
caturnya, jangan kata melirik, mengangkat kepala pun tidak.
Bing-gwat-sim tidak sabar lagi, serunya, "Kedatangan kami
bukan ingin menonton orang main catur."
Kongsun To menjadi juru bicara mereka, katanya, "Aku
tahu kalian mencari diriku, akulah yang mencuci bersih Khongjiok-
san-ceng dengan darah, kalian tidak salah mencariku."
Jari tangan Bing-gwat-sim menggenggam kencang, kuku
jarinya sudah amblas ke kulit dagingnya, katanya, "Dan
mereka bertiga?"
Kongsun To tidak menjawab langsung, tapi dia
memperkenalkan dulu pemuda yang sedang membersihkan
kuku jarinya, "Inilah Si-bu Kongcu dari keluarga Siau di Lokyang."
Seperti sengaja mau pamer, dia menjelaskan lebih
terperinci, "Maksud dari Si-bu (empat tanpa) adalah pisau
terbangnya tanpa tandingan, membunuh orang tanpa
hitungan, bila sudah bermusuhan tanpa kenal belas kasihan."
"Masih ada satu lagi, tanpa apa?"
"Umpama tidak bermusuhan juga tanpa kenal kasihan,"
Kongsun To menjelaskan lebih lanjut, "dia masih punya
julukan aneh yang cukup panjang yaitu, naik ke langit masuk
ke bumi mencari Siau Li, bertekad bulat membunuh Yap Kay."
Dahulu Li cilik si pisau terbang Li Sun-hoan pernah
menggetarkan dunia, setiap kali pisau terbangnya
disambitkan, selamanya tidak pernah ditimpukkan sia-sia,
kebesaran jiwanya, kecemerlangan namanya, sampai
sekarang belum ada orang yang bisa melampaui, Yap Kay
memperoleh ajaran murninya, mewarisi kepandaianya,
malang melintang di Bu-lim selama tiga puluh tahun, walau
tidak pernah salah membunuh seorang pun, tapi tiada orang
yang berani mengusiknya.
Bing-gwat-sim berkata, "Pemuda yang berdarah dingin ini
bukan saja yakin dapat membunuh Yap Kay, malah dia pun
ingin bertanding dengan Li Sun-hoan?"
"Agaknya memang demikian," ujar Kongsun To.
"Besar juga pambeknya," ucap Bing-gwat-sim tertawa.
"Orang yang pambeknya besar, umumnya tidak berkecil
hati." "Agaknya memang demikian," giliran Bing-gwat-sim
mengiakan. "Sebetulnya keliru," kata Kongsun To sambil tertawa.
Bing-gwat-sim tertawa, katanya, "Makin besar mulut
kepandaiannya makin rendah, bukankah banyak orang-orang
kerdil seperti itu di kalangan Kangouw?"
Gelak tawa Kongsun To seperti bernada mengadu domba,
namun tawa Bing-gwat-sim justru bernada menantang,
ucapannya itu sengaja dia lontarkan kepada Siau Si-bu.
Pemuda jumawa itu justru seperti tidak mendengar
ucapannya, wajahnya tetap dingin kaku seperti tidak ambil
peduli akan ocehan orang lain. Pisau di tangannya bergerak
amat lamban, setiap gerakan dilakukan teramat hati-hati,
seperti kuatir pisau yang tajam itu mengiris luka jari
tangannya. Tangannya kelihatan bersih dan tenang, jarijarinya
tumbuh panjang terpelihara dan mantap.
Selamanya tidak pernah Pho Ang-soat memperhatikan
tangan orang lain, sekarang dia justru sedang memperhatikan
jari-jari orang, setiap gerakan jari orang diperhatikan dengan
seksama. Mengiris dan membersihkan kuku bukan suatu yang
menarik, tidak patut dibuat tontonan.
Tapi Siau Si-bu kelihatan menjadi tidak tenang karena
diawasi, mendadak dia. berkata dingin, "Melihat orang
mengiris kuku, mendingan kau melihat orang bermain catur."
Kongsun To tertawa lebar, serunya, "Apalagi yang sedang
bermain catur adalah juara catur di seluruh negeri periode
tahun ini."
Bing-gwat-sim mengedipkan mata, katanya, "Apakah
Totiang ini pemilik Jik-yang-koan?"
Kongsun To seperti ingin mengadu domba pula, sengaja
dia bertanya, "Dalam biara mana ada Toa-lopan (jurangan)
segala?" Bing-gwat-sim tertawa, katanya, "Koancu (pemimpin biara)
di dalam sebuah biara adalah Toa-lopan, mucikari adalah Toalopannya
para pelacur. Nama Toa-lopan, siapa pun boleh saja
menggunakannya."
Tojin rambut putih sedang memegang sebuah biji catur,
sebelum meletakkan biji caturnya, mendadak dia mengangkat
kepala, tertawa kepadanya, katanya, "Betul aku adalah Toalopan
tempat ini."
Bing-gwat-sim tertawa manis, katanya, "Bagaimana
dagangan di sini belakangan ini?"
"Ya, masih mending, cukup lumayan, sembarangan waktu
selalu ada saja nyonya-nyonya pikun atau lelaki goblok
bergerombol atau perseorangan yang datang bersembahyang
di sini, tidak jarang mereka memberi derma untuk keperluan
biara kami, terutama setiap hari raya di musim semi, wah,
keuntungan yang masuk sungguh luar biasa," nada bicaranya
betul-betul mirip seorang juragan.
Bing-gwat-sim tertawa riang, katanya, "Toa-lopan umumnya
memang suka berkelakar, suka humor, siapa nyana Toa-lopan
yang satu ini juga amat jenaka."
Tojin ubanan berkata, "Yah, aku ini memang seorang yang
tidak punya pantangan." Dia pun tertawa riang.
Tawa Bing-gwat-sim justru mendadak seperti dipaksakan,
"Tanpa pantangan" Toa-lopan, kau she apa?"
"Aku she Nyo," sahut Tojin ubanan.
"Nyo Bu-ki?" seru Bing-gwat-sim.
"Agaknya benar."
Bing-gwat-sim tidak bisa tertawa lagi. Dia tahu tentang
orang ini. Tiga puluh tahun yang lalu, Nyo Bu-ki pernah sejajar
dengan Butong Ciangbun, dan ternama bersama Pa-san
Tocu, sebagai salah satu dari Jit-toa-khiam-khek (tujuh jago
besar ilmu pedang) tanpa aliran. Dia juga tahu empat kata
pameo untuk menjuluki Tojin yang satu ini, pertama berbunyi
'tanpa pantangan' dan diakhiri dengan 'tanpa pantangan' pula.
Jarang orang tahu keempat patah pameo itu. 'Tanpa
pantangan, tertawa membunuh orang, kalau ingin membunuh
orang, tanpa pantangan'.
Konon bila orang ini bersikap dingin kepadamu, dia malah
menganggap kau sebagai sahabat, bila dia ramah-tamah dan
tertawa sopan kepadamu, umumnya hanya ada satu maksud,
yaitu dia hendak membunuhmu. Konon bila dia mau
membunuh orang, bukan saja tanpa pantangan, peduli famili
atau saudara kandung sendiri juga tidak terkecuali, umpama
naik ke langit masuk ke bumi juga kau akan dikejar sampai
jiwamu melayang.
Tadi dia sudah tertawa, sekarang juga masih tertawa. Lalu
kapan dia siap turun tangan" Maka Bing-gwat-sim
mengawasinya, sekejap pun tidak berani lena.
Tak nyana Nyo Bu-ki malah menoleh pula, "Tak", biji catur
yang dipegangnya itu ditaruh di papan catur, namun begitu biji
catur itu dia taruh, lekas sekali dia mengebaskan lengan
bajunya menyapu minggir semua biji-biji catur itu, serunya
sambil menghela napas, "Kenyataan kau memang seorang
juara, Pinto mengaku kalah saja."
Lelaki setengah umur berbaju hijau dan berkaos putih
berkata, "Permainan kali ini karena terpencar perhatianmu
oleh gangguan orang, mana boleh mengaku kalah begitu
saja?" Nyo Bu-ki berkata, "Sekali salah langkah, seluruhnya
berantakan, kenapa tidak boleh dianggap kalah?" Lalu dia
menghela napas serta menambahkan, "Apalagi main catur
seperti juga latihan pedang, pikiran harus konsentrasi, tidak
boleh membagi perhatian, bila pikiran terpencar, mana boleh
diagulkan sebagai jago kosen?"
Kongsun To tertawa, katanya, "Untunglah meski Totiang
waktu main catur dapat diganggu konsentrasinya, namun di
kala main pedang pasti akan penuh keyakinan."
Nyo Bu-ki berkata tawar, "Syukurlah memang demikian,
maka Pinto sampai sekarang masih dapat mencari hidup di
dunia ini."
Laki-laki baju hijau menghela napas, katanya, "Celakanya
meski dalam bermain catur aku dapat mencurahkan seluruh
perhatian, bila bertanding pedang justru pikiranku tidak
keruan." Bing-gwat-sim bertanya, "Kau she apa?"
"Tidak boleh tahu, tidak boleh tahu," kata orang baju hijau.
"Kenapa tidak boleh dikatakan?" Bing-gwat-sim menegas.
"Karena aku sebenarnya seorang keroco, aku hanya
seorang kacung catur belaka."
"Kacung catur" Kacung catur siapa?"
Yan Lam-hwi tertawa, selanya, "Majikan kacung sudah
tentu adalah Kongcu."
Orang baju hijau itu seperti baru melihatnya, segera dia
tertawa, katanya sambil menjura, "Kiranya Yan-kongcu."
"Sayang aku bukan Kongcumu."
"Apakah belakangan ini Kongcu masih sering bermain
catur?" "Menyelamatkan jiwa juga masih terburu-buru, mana ada
tempo bermain catur?"
"Cayhe justru ingin main catur, jiwa pun boleh dikorbankan,
buat apa harus melarikan diri?"
Yan Lam-hwi tertawa lebar, orang baju hijau tersenyum,
ternyata kedua orang ini sebelumnya sudah kenal satu
dengan yang lain. Kalau begini tampang si kacung, lalu orang
macam apa pula sang majikan (Kongcu)"
"Apakah kongcumu belakangan ini masih sering main
catur?" Yan Lam-hwi bertanya.
"Sudah tidak pernah lagi."
"Dia tidak main catur lagi, tentu bukan untuk
menyelamatkan jiwa, sebaliknya dia menuntut jiwa orang lain."
Orang baju hijau tertawa lebar, Yan Lam-hwi tersenyum,
apakah orang yang mereka perbincangkan ini Kongcu Gi"
Apakah Yan Lam-hwi dan Kongcu Gi sebetulnya juga teman"
Orang baju hijau menjura pula, katanya, "Silakan Kongcu
duduk lagi, Cayhe mohon diri."
"Kenapa kau tidak duduk lagi?"
"Aku datang untuk main catur, bila catur tidak bisa
dimainkan, buat apa aku tinggal?"
"Buat membunuh orang?"
"Membunuh orang" Siapa yang mau membunuh orang?"
"Aku," mendadak Yan Lam-hwi menarik muka, matanya
menatap dingin kepada Kongsun To, "Orang yang ingin
kubunuh adalah kau."
Sedikitpun Kongsun To tidak merasa di luar dugaan, dia
menghela napas malah, katanya, "Kenapa setiap orang ingin
membunuh aku?"
"Karena terlalu banyak manusia yang jadi korban
keganasanmu."
"Orang yang ingin membunuh aku juga tidak sedikit, namun
sampai sekarang aku masih hidup, masih segar bugar, masih
panjang umur."
"Ya kau sudah terlalui tua, mungkin hari inilah saat tibanya
kematianmu."
"Hari ini memang saat kematian, namun entah saat
kematian siapa?" Kongsun To bicara dengan nada memelas,
sikapnya tetap tenang, namun nada bicaranya mengandung


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hasutan, membakar amarah orang, membangkitkan emosi
lawan, sengaja menyakiti hati orang. Mungkin karena dia
pandai membawa diri dan berbuat demikian, maka sampai
sekarang dia masih hidup. Atau mungkin pula dia seorang
yang semestinya sudah mati puluhan kali, tapi tetap hidup,
maka dalam menghadapi kematian dia tetap berlaku tenang
dan tabah. Jelas Yan Lam-hwi bukan tandingannya dalam hal ini,
perlahan dia melolos pedang dari balik bajunya. Jong-hwikiam
(Pedang mawar).
Pedang mawar adalah pedang lemas, biasanya melilit
pinggang di dalam balik pakaiannya, sarung pedangnya yang
juga lemas entah terbuat dari anyaman apa dan diwarnai
dengan apa pula" Yang jelas warnanya juga merah, merah
seperti sekuntum mawar merah yang mekar, merah laksana
darah musuh. Melihat pedang ini, terunjuk rasa kagum dan hormat
Kongsun To dari sinar matanya, katanya, "Aku tahu tentang
pedang ini, digembleng ratusan kali, ditempa ribuan kali pula,
bisa lemas dapat kaku, senjata tajam yang jarang ada di
dunia." "Aku juga tahu gantolanmu," ucap Yan Lam-hwi.
Cakar elang memang menakutkan, namun senjata elang
yang paling ampuh justru bukan cakarnya, tapi paruhnya.
Gantolan yang dipakai Kongsun To dinamakan paruh elang,
entah bentuk, bobot dan cara penggunaannya jauh berbeda
dengan gantolan yang sering terlihat di kalangan Kangouw.
Yan Lam-hwi tahu orang bersenjata paruh elang, namun
dia belum pernah melihatnya.
"Mana gantolanmu?" tanyanya.
Kongsun To tertawa, katanya, "Kapan kau pernah melihat
seorang memetik kembang dengan gantolan?"
"Memetik kembang?" Yan Lam-hwi menegas. "Apakah
mawar bukan kembang?"
Orang baju hijau mendadak menyelutuk, "Jika kau ingin
memetik mawar, maka jangan kau lupa kalau mawar ada
durinya, bukan saja dapat menusuk tangan, juga dapat
menusuk hati orang."
Kongsun To berkata, "Aku sudah tidak punya hati untuk
ditusuk." "Tapi tanganmu masih ada dan tanganmu boleh ditusuk,"
orang baju hijau mendesak.
"Kalau dia melukai tanganku, akan kulukai hatinya."
"Dengan apa kau hendak melukai hatinya?"
"Dengan orang."
"Orang" Siapa?"
"Co Giok-cin."
"Jadi kalau dia melukai kau, kau akan membunuh Co Giokcin?"
Kongsun To mengangguk, katanya, "Co Giok-cin tidak
boleh mati, maka aku pun belum saatnya mampus, hanya dia
saja yang boleh mati."
Orang baju hijau berkata, "Dalam duel nanti, kau sudah
menempatkan diri pada posisi yang tidak terkalahkan?"
"Memangnya perlu diragukan?" ujar Kongsun To sambil
mengawasi Yan Lam-hwi dengan tersenyum, "Oleh karena itu
sekarang kau harus mengerti, hari ini saat kematian siapa?"
"Saat kematianmu," bentak Yan Lim-hwi, suaranya lebih
dingin, "Orang mati takkan bisa membunuh orang, aku ingin
mempertahankan jiwa Co Giok-cin, maka jiwamu harus
melayang lebih dulu."
Kongsun To menghela napas, katanya, "Agaknya kau
belum jelas duduk persoalannya, karena tadi aku sudah
mengucapkan sepatah kata, kau tidak mendengar."
"Aku sudah mendengar," orang baju hijau berkata.
"Apa yang kukatakan?" tanya Kongsun To.
"Tadi kau bilang, begitu kau melihat darah, Co Giok-cin
akan segera kau bunuh," orang baju hijau menjelaskan.
"Kepada siapa tadi aku bilang?"
"Aku tidak kenal siapa dia, hanya tahu kau memanggilnya
Jari telunjuk."
"Dimana dia sekarang?"
"Sudah pergi membawa Co Giok-cin."
"Kemana mereka?"
"Aku tidak tahu."
"Siapa yang tahu?"
"Agaknya tiada yang tahu," ujar orang baju hijau.
"Memang tiada seorang pun yang tahu," Kongsun To
tersenyum mengawasi Yan Lam-hwi. "Sekarang apakah kau
sudah paham seluruhnya."
Yan Lam-hwi mengangguk, ternyata sikapnya tetap tenang
dan wajar. Maka Kongsun To bertanya, "Hari ini saat kematian siapa?"
"Saat kematianmu," Yan Lam-hwi menjawab tegas.
Kongsun To menggeleng kepala dengan tersenyum getir,
"Agaknya bukan saja orang ini keras kepala, kukuh dan juga
goblok, ternyata sejauh ini dia masih belum mengerti."
"Kaulah yang belum mengerti, karena dihitung seribu kali,
diulang selaksa kali, kau tetap melupakan satu hal."
"Ah, apa begitu?"
"Kau lupa aku tidak boleh mati dan tidak ingin mati, apalagi
jika aku mati, Co Giok-cin tetap tidak bisa tertolong, karena itu
kenapa aku harus mandah kau bunuh" Kenapa tidak aku saja
yang membunuhmu?"
Kongsun To melenggong, katanya kemudian, "Kalau kedua
pihak sama-sama tidak boleh mati, coba katakan, lalu
bagaimana baiknya?"
"Keluarkan gantolanmu, lawanlah pedangku, dalam
sepuluh jurus, jika aku tidak bisa mengalahkan engkau, akan
kuserahkan satu jiwa kepadamu."
"Jiwa siapa?"
"Jiwaku."
"Bagus, kalau kau dapat mengalahkan aku, aku berikan
berikan satu jiwa kepadamu?"
"Sudah tentu, imbalan harus setimpal."
"Jiwa siapa yang kau kehendaki" Jiwa Co Giok-cin?"
"Akan kusaksikan kau menyerahkan dia di hadapanku
dengan laku hormat dan sopan."
Kongsun To menepekur sebentar, lalu tanyanya kepada
orang baju hijau, "Apakah perkataan ini langsung diucapkan
oleh mulut Yan Lam-hwi?"
Orang baju hijau mengangguk sambil mengiakan. "Apakah
Yan Lam-hwi seorang yang dapat dipercaya?"
"Sepatah katanya senilai ribuan tahil emas, mati pun dia
tidak menyesal."
Tiba-tiba Kongsun To tertawa, tertawa lebar, "Sebenarnya
obrolan panjang lebarku ini memang menunggu
pernyataannya ini." Ketika gelak tawanya terhenti, gantolan
pun sudah berada di tangannya.
Gantolan yang mengkilap terang, seterang mata elang,
setajam paruh elang, walau bobotnya cukup berat, namun
gerak perubahannya teramat lincah dan enteng.
Kongsun To tersenyum, katanya, "Tahukah kau dimana
kegunaan gantolanku ini?"
"Coba terangkan," tantang Yan Lam-hwi.
Kongsun To mengelus pucuk gantolannya yang runcing,
katanya, "Walau bobot gantolan ini cukup berat, di dalam
rumah juga dapat dimainkan secara wajar, entah bagaimana
dengan pedangmu?"
"Jika aku terdesak keluar kamar ini, anggaplah aku yang
kalah." Kongsun To tertawa lebar, serunya, "Bagus, tidak lekas kau
cabut pedangmu, mau tunggu apa lagi?"
"Tidak perlu."
"Tidak perlu?"
"Pedang di dalam sarung juga dapat membunuh orang, lalu
kenapa harus dicabut" Setelah tercabut, kemungkinan malah
tidak bisa untuk membunuh orang."
"Lho, kenapa?"
"Karena letak yang paling menakutkan dari pedang ini
bukan pada mata pedangnya, tapi terletak pada sarung
pedangnya."
Kongsun To tidak mengerti, "Apakah sarung pedang lebih
tajam dari mata pedang?"
Yan Lam-hwi mengelus sarung pedangnya yang merah,
katanya, "Tahukah kau dengan apa aku mewarnai sarung
pedangku ini?"
Kongsun To tidak tahu.
"Dengan getah mawar darah."
Agaknya Kongsun To juga tidak tahu apa itu mawar darah,
bahwasanya belum pernah dia mendengar jenis kembang ini.
Maka Yan Lam-hwi menerangkan, "Mawar darah adalah
kembang mawar yang selalu kusiram dengan lima jenis darah
beracun." "Lima jenis darah beracun" Jenis panca bisa apakah itu?"
"Jit-jun-im-coa, Pek-coat-bu-siong, Jian-lian-ham-hian, Jikhwe-
tok-koat."
"Dan satu lagi?"
"Satu lagi ialah darah dari durjana yang khianat."
Kali ini Kongsun To ternyata tidak bisa tertawa lagi.
Yan Lam-hwi berkata lebih lanjut, "Lima jenis kejahatan
itulah yang akan ditumpas oleh pedang mawar, jika
berhadapan dengan orang yang berbakti, pembesar setia,
ksatria dan pahlawan bangsa, pedang ini justru tidak mampu
dikembangkan."
"Lalu perbawa sarung pedang?" tanya Kongsun To.
Yan Lam-hwi tidak menyangkal, "Bila berhadapan dengan
kelima bisa, sukma kembang dari mawar darah akan hidup di
atas pedang." Dia menatap Kongsun To, lalu meneruskan,
"Bila kau salah satu dari panca bisa itu, kau akan mencium
suatu aroma wangi secara aneh, maka sukma kembang dari
mawar darah secara di luar sadarmu akan mencabut
sukmamu." Kongsun To tertawa lebar, codet bekas bacokan di
mukanya tampak berkerut laksana ulat yang meringkel, seperti
ular yang saling lilit.
"Kau tidak percaya?" Yan Lam-hwi mengancam.
"Kalau pedangmu ada sukma kembang, gantolanku juga
ada." "Ada apa?"
"Setan gentayangan perenggut sukma," gelak tawanya
berderai seram, wajahnya menyeringai sadis, "Entah berapa
banyak setan gentayangan hasil gantolanku ini, kini
seluruhnya sedang menunggu aku mencarikan korban
pengganti mereka, supaya mereka lekas menitis kembali."
"Aku percaya, aku pun bisa membayangkan, yang paling
mereka harapkan untuk ditemukan adalah sukmamu."
"Kenapa tidak segera kau turun tangan?" tantang Kongsun
To. "Sekarang aku sudah turun tangan."
Tawa Kongsun To seketika sirna, ular-ular di kulit mukanya
itu seperti mendadak dicekik lehernya, dan sekali betot
jiwanya seketika melayang.
Pedang Yan Lam-hwi memang sudah mulai bergerak,
gerakannya amat lambat, gerakannya seperti membawa irama
yang aneh menakjubkan, seolah-olah kelopak kembang
mawar yang bertaburan ditiup angin musim semi.
Gerakan pedang ini bukan saja tidak tepat, juga tidak
punya kecepatan yang menggiriskan, seluruhnya tidak
memperlihatkan setitik pun perbawanya yang mampu
membunuh jiwa orang.
Kongsun To tertawa dingin, gantolannya menyerang,
serangannya cepat dan tepat. Pertempuran besar kecil
menentukan mati-hidup selama beberapa tahun ini
menjadikan dia menyederhanakan gantolannya, maka setiap
kali menyerang dia yakin berhasil.
Tapi sekali ini, serangan gantolannya itu justru tergulung ke
dalam irama pedang mawar yang mengandung nada aneh
mengalun, seumpama kulit kerang yang tajam tergulung
ombak dan tenggelam di dalam lautan. Bila ombak menyurut,
maka perbawa serangannya pun sirna tak berbekas. Maka
hidungnya lantas mengendus serangkum bau wangi yang
magis, pandangannya mendadak berubah serba merah segar,
kecuali warna merah yang menyala itu, tiada warna lain,
seperti tabir merah yang mendadak terbentang di depan
matanya. Jantungnya bergetar, dengan gantolan di tangan, dia
menyingkap tabir merah itu, lalu menusuknya agar berlubang
bolong, namun reaksinya sudah terlalu lamban, gerakannya
berat. Ketika tabir merah itu sirna, pedang mawar sudah
mengancam tenggorokannya.
Baru sekarang dia merasa tenggorokannya mendadak
kering, mulutnya getir, rasa letih juga merangsang sekujur
badan, begitu lelahnya sampai badan lemas dan hampir
muntah-muntah. "Trang", gantolannya jatuh di tanah.
Nyo Bu-ki menarik napas panjang, jelas barusan dia pun
seperti mengalami sendiri apa yang dirasakan oleh Kongsun
To, akan tekanan misterius yang terpancar dari pedang
mawar. Empat puluh tahun dia belajar dan meyakinkan
pedang, ternyata tidak tahu dan tak mampu melihat jelas ilmu
pedang apa yang dikembangkan Yan Lam-hwi.
Orang baju putih juga menghembus napas pendek,
gumamnya, "Inikah Sin-kiam (pedang hati)" Betul-betul
tumbuh sukma kembang di atas pedang?"
Yan Lam-hwi berkata, "Belum lagi tumbuh, hanya siuman
sekilas saja," ujar Yan Lam-hwi.
"Jika betul-betul tumbuh?" tanya orang baju hijau.
Sikap Yan Lam-hwi tampak serius, katanya perlahan,
"Sukma kembang hidup, keinginan pun pasti tercapai,
umpama harus mati, aku pun boleh berlega hati."
Orang baju hijau berkata, "Bila sukma kembang tumbuh,
pasti ada orang mati?"
"Ya, pasti mati."
"Siapa yang mati?"
"Sedikitnya ada dua orang, yang satu aku, seorang lagi
adalah dia tidak melanjutkan, orang baju hijau juga tidak
mendesak. Kedua orang ini mendadak menampilkan rona aneh di
muka mereka, mendadak keduanya tertawa bersama.
Yan Lam-hwi tertawa gembira, pedang mawar tetap
mengancam tenggorokan Kongsun To, dia tahu, segera dia


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan bertemu dan melihat Co Ciok-cin.
"Siapkan kereta dan kedua, suruh orangmu mengantar
nona Co naik kereta, lalu antar kami keluar."
Syarat yang diajukan diterima oleh Kongsun To.
Dengan tersenyum lebar Bing-gwat-sim berdiri, dalam hati
dia menghela napas, syukur sekali mereka tidak gagal.
Siau Si-bu tetap membersihkan kuku jarinya, jari-jari
tangannya tetap tenang, tidak goyah, sorot matanya yang
semula dingin ternyata sudah menampilkan rasa gelisah.
Karena Pho Ang-soat terus mengawasinya, di waktu Yan
Lam-hwi bergebrak, sorot matanya tidak berkedip, berpaling
pun tidak. Kecuali sepasang tangan pemuda ini, seolah-olah
tiada sesuatu persoalan di dunia ini yang patut dipandangnya.
Otot hijau sudah merongkol di punggung tangan Siau Si-bu,
seakan-akan dia sudah mengerahkan banyak tenaga baru
mempertahankan ketenangan kedua tangannya itu. Gerakhttp://
cerita-silat.co.cc/
geriknya masih lamban, gayanya pun tidak berubah, bisa
berbuat seperti apa yang dilakukan sekarang sebetulnya juga
bukan soal sepele.
Mendadak Pho Ang-soat berkata, "Tanganmu amat tenang
dan mantap."
"Selamanya tidak pernah goyah," tawar suara Siau Si-bu.
"Gerakanmu pasti juga cepat, dan lagi begitu pisau lepas dari
tangan, kemampuan pisau itu sendiri masih mengandung
perubahan."
"Kau bisa melihatnya?"
"Kulihat kau melempar pisau dengan tiga jari tanganmu,
maka di atas mata pisaumu itu kau tinggalkan tenaga pusaran,
aku juga dapat melihat kau melempar pisau dengan tangan
kiri mengarah ke samping baru menyerang sasaran."
"Bagaimana kau bisa melihatnya?"
"Ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah tangan kirimu amat
besar tenaganya."
"Pandangan tajam, patut dipuji," dingin nada Siau Si-bu,
namun wajahnya tampak kelam.
"Pisau bagus," puji Pho Ang-soat.
"Memang pisau bagus," jumawa sikap Siau Si-bu.
"Walau pisaumu bagus, tapi masih bukan tandingan Yap
Kay." Gerak-gerik Siau Si-bu mendadak berhenti.
Akhirnya Pho Ang-soat pun berdiri, katanya, "Bila pisau
terbang Yap Kay disambitkan, di dunia ini paling hanya
seorang yang dapat menggagalkannya."
Merongkol pula otot di punggung tangan Siau Si-bu,
desisnya tajam, "Bagaimana pisauku?"
Tawar suara Pho Ang-soat, "Dalam rumah ini sedikitnya
ada tiga orang yang dapat menggagalkan serangan pisaumu."
"Kau salah satu di antaranya?"
"Sudah tentu, memangnya harus disangsikan?" tegas
jawaban Pho Ang-soat, perlahan dia membalik badan, tanpa
berpaling dia beranjak keluar.
Siau Si-bu mengawasi dia keluar, ternyata dia tidak
bergerak, juga tidak bicara. Pisau masih berada di tangan,
namun pisaunya pasti tidak sembarangan disambitkan.
Dia tertawa dingin sambil mengawasi tapak kaki di atas
tanah. Tapak yang ditinggalkan kaki Pho Ang-soat cukup dalam,
waktu dia melangkah keluar dari pintu itu, seluruh kekuatan
badannya telah terpusatkan. Karena dia harus memusatkan
seluruh tenaganya, bersiap menyambut timpukan pisau Siau
Si-bu, tapi pisau Siau Si-bu tidak disambitkan.
Ketika Pho Ang-soat berada di luar pintu, dia menengadah
menghela napas panjang, kelihatannya dia amat kecewa,
bukan saja kecewa, juga mendelu.
Mendadak disadarinya bahwa pemuda ini jauh lebih
menakutkan dari musuh mana pun yang pernah dihadapinya.
Tadi dia sudah tahu gaya mempermainkan pisau orang, maka
dia memancingnya supaya pemuda ini turun tangan. Kalau
sekarang dia turun tangan, dia yakin dirinya masih mampu
menyambut serangannya.
Siapa tahu ketenangan pemuda ini ternyata jauh lebih
mantap dari pisau di tangannya itu, lebih menakutkan pula.
"Tiga tahun lagi, bila dia turun tangan, apakah aku masih
mampu menyambut serangannya?" batin Pho Ang-soat.
Di depan berkumandang ringkik kuda, pekarangan kecil ini
masih dalam suasana tenang, mendadak gemuruh emosi Pho
Ang-soat, ingin rasanya dia berbalik membunuh pemuda itu.
Tapi dia tidak berpaling, perlahan dia melangkah keluar.
Yang berjalan paling depan adalah Yan Lam-hwi dan
Kongsun To, pedang mawar masih mengancam tenggorokan
Kongsun To, Yan Lam-hwi menghadap, ke arahnya,
selangkah demi selangkah mundur ke belakang.
Kongsun To justru tidak mau berhadapan muka, matanya
dipejamkan, keadaannya seperti seorang yang menggiring si
buta dengan sebatang bambu.
Tapi si buta yang satu ini sungguh amat berbahaya, sedikit
lena pun tidak boleh, karena sekilas saja akibatnya bisa fatal,
maka dia tidak boleh mengendorkan kewaspadaan.
Yang terakhir keluar dari kamar semadi adalah Bing-gwatsim,
baru saja hendak mempercepat langkah menyusul Pho
Ang-soat, mendadak Nyo Bu-ki muncul di sampingnya,
katanya, "Tahukah kau tempat apa di belakang tembok itu?"
Bing-gwat-sim menggeleng.
Nyo Bu-ki tertawa, katanya, "Segera juga kau akan tahu."
Melihat orang ini tertawa, tangan Bing-gwat-sim berkeringat
dingin. Nyo Bu-ki malah menyurut mundur, dengan tersenyum dia
mengangguk, pada saat itulah dari balik tembok pendek sana
sekaligus muncul sembilan orang. Sembilan orang tiga belas
jenis Am-gi, setiap jenis sedikitnya ada tiga buah, suara
jepretan gendewa atau bekerjanya alat-alat rahasia seperti
berpadu, tiga puluhan bintik sinar dingin selebat hujan
memberondong datang.
Reaksi Bing-gwat-sim tidak lamban, begitu jepretan
gendewa berbunyi, dia pun sudah mengembangkan
Ginkangnya. Tabir cahaya golok datang laksana kilat cepatnya telah
membantu merontokkan sebagian besar Am-gi yang
menyerang. Bing-gwat-sim kembangkan gerakannya berkelit
ke kiri, sehingga sisa Am-gi yang masih menyambar tiada
yang mengenai tubuhnya, baru saja dia menghela napas lega,
sebilah pedang tahu-tahu sudah menusuk ketiak kanannya,
hampir dia tidak merasakan sakit sama sekali.
Mata pedang dingin dan runcing, dia hanya merasa
tubuhnya mendadak menjadi dingin, dilihatnya Pho Ang-soat
yang pucat itu mendadak menampilkan mimik yang aneh dan
lucu, mendadak tangannya diulur menarik dirinya. Kejap lain
dia sudah jatuh ke dalam pelukan Pho Ang-soat.
Nyo Bu-ki menggunakan sebatang pedang Siong-bun-kokiam,
pedangnya itu sekarang sudah terlolos dari sarungnya,
ujung pedang masih meneteskan darah. Matanya menatap
darah di ujung pedangnya, wajahnya mendadak berubah tidak
berekspresi sama sekali.
Sekali sergap pasti kena.
Dia sudah memperhitungkan bahwa Pho Ang-soat pasti
mencabut golok sudah diperhitungkan ke arah mana Binggwat-
sim akan menyingkir, maka di sanalah pedangnya sudah
menunggu, setiap gerakan, setiap posisi yang paling ruwet
sekalipun sudah berada dalam perhitungannya yang cermat,
dia sudah memperhitungkan satu kali tusuk pasti kena.
Sembilan orang yang barusan muncul dari balik tembok
pendek kini sudah tidak kelihatan lagi, Pho Ang-soat tidak
mengejar mereka, hanya memandang dingin kepada Nyo Buki.
Yan Lam-hwi juga sudah berhenti, tangannya yang
memegang pedang tampak gemetar.
Mendadak Nyo Bu-ki berkata, "Lebih baik kau berhati-hati,
jangan kau melukainya, jika dia mati, Co Giok-cin juga pasti
akan mati."
Yan Lam-hwi mengertak gigi, desisnya, "Kau ini seorang
jago pedang yang kenamaan, tempat ini adalah biara
tetirahmu, dengan cara keji dan kotor kau membokong serta
melukai seorang perempuan, sebetulnya kau ini barang apa?"
Tawar suara Nyo Bu-ki, "Aku adalah Nyo Bu-ki, aku ingin
membunuhnya."
Orang baju hijau berdiri jauh di samping pintu kamar
semadi, katanya setelah menghela napas, "Jika ingin
membunuh orang, selalu tanpa pantangan, Nyo Bu-ki ternyata
memang Nyo Bu-ki."
Kata Nyo Bu-ki pula, "Kalau sekarang aku tidak
membunuhnya, kesempatan baik ini terabaikan begini saja,
kelak mungkin tiada kesempatan kedua."
Pho Ang-soat menatapnya, satu tangan menggenggam
golok, tangan yang lain memeluk Bing-gwat-sim yang pingsan,
terasa olehnya badan Bing-gwat-sim sudah mulai dingin.
"Kalian ingin menuntut balas kematiannya?" Nyo Bu-ki
menantang. Sepatah kata pun Pho Ang-soat tidak bicara, dia mulai
mundur ke belakang.
Yan Lam-hwi mengawasi Bing-gwat-sim dalam pelukan
Pho Ang-soat, lalu menatap Kongsun To yang terancam di
ujung pedangnya.
Kongsun To tetap memejamkan mata, mukanya yang
penuh codet mirip selembar topeng.
Mendadak Yan Lam-hwi juga mulai mundur.
Ternyata Nyo Bu-ki tidak merasa heran, katanya tawar,
"Kereta kuda sudah disiapkan, Co Giok-cin sudah menunggu
di atas kereta, semoga kalian selamat sepanjang jalan."
Yan Lam-hwi berseru, "Kau tidak kuatir setelah naik kereta
aku akan membunuh Kongsun To?"
Nyo Bu-ki berkata, "Kenapa aku harus takut" Mati hidup
Kongsun To ada sangkut-paut apa dengan diriku?" Mendadak
dia membalik tubuh terus beranjak ke arah kamar semadi,
waktu tiba di depan pintu dia menarik orang baju hijau,
katanya pula, "Hayolah kita bermain catur lagi."
Orang baju hijau segera mengangguk, katanya sambil
tersenyum, "Aku kemari memang ingin main catur."
Kereta kuda memang sudah lengkap tersedia.
Seorang nyonya muda yang hamil, tengah duduk di pojok
sambil menunduk sesenggukan.
Pho Ang-soat membawa Bing-gwat-sim naik ke atas kereta,
pedang mawar masih mengancam tenggorokan Kongsun To.
"Buka matamu," hardik Yan Lam-hwi beringas.
Kongsun To segera membuka mata.
Yan Lam-hwi menatapnya, katanya penuh kebencian,
"Sebetulnya ingin aku membunuhmu."
"Tapi kau tidak akan turun tangan," kalem suara Kongsun
To, "karena kau adalah Yan Lam-hwi yang boleh dipercaya."
Lama Yan Lam-hwi menatapnya pula, mendadak kakinya
melayang menendang perutnya.
"Huk", Kongsun To segera meliuk badan, perlahan
badannya menjungkir roboh seperti udang kepanasan. Air
mata, ingus dan keringat dingin bercucuran bersama.
Tanpa memandangnya lagi Yan Lam-hwi berputar
menghadap sais kereta, katanya, "Lajukan kereta ke depan,
sekejap pun tidak boleh berhenti, jika kau berani main gila,
jangan kau lupa bahwa pedangku berada di belakangmu."
Kabin kereta besar dan luas, tempat duduknya juga empuk,
sais yang pegang kendali juga ahli pada bidangnya, kereta
kuda ini memang cukup menyenangkan, siapa pun yang
duduk di dalam kereta ini akan merasa nyaman, tapi sekarang
mereka yang berada di dalam kereta tiada yang merasa
gembira. Mendadak Pho Ang-soat berkata, "Seharusnya aku sudah
membunuh Siau Si-bu."
"Tapi kau tidak turun tangan," kata Yan Lam-hwi. "Karena
aku agak kuatir, maka "Maka kau terlambat."
Pho Ang-soat mengangguk, katanya, "Kalau mau
membunuh orang, tanpa pantangan kesempatan diabaikan,
selamanya takkan kembali pula." Perkataannya perlahan,
setiap patah katanya seperti dikunyah lebih dulu.
Lama Yan Lam-hwi menepekur, baru kemudian dia
berkata, "Kesempatanku untuk membunuh Kongsun To
mungkin juga susah kucari lagi."
"Untung Bing-gwat-sim belum mati, nona Co juga selamat
tidak kurang apa-apa."
Co Giok-cin yang duduk di pojok tiba-tiba menyeka air
mata, menatapnya, lalu berkata, "Kau inikah Pho Ang-soat?"
Pho Ang-soat manggut-manggut.
Co Giok-cin terharu, "Aku belum pernah melihatmu, tapi
sering kudengar Jiu ... Jiu-toako bicara tentang dirimu, dia
sering bilang kau adalah teman satu-satunya yang dapat
dipercaya, dia pun sering bilang
"Bilang apa?"
"Selalu dia berpesan wanti-wanti, bila aku tertimpa suatu
bencana di saat dia tidak mampu melindungi diriku, aku
disuruh mencarimu, maka wajahmu dia lukiskan amat
terperinci." Kepalanya tertunduk serta terisak lagi, "Yang tidak
terduga, sekarang aku masih hidup, dia malah Sampai di sini
isak tangisnya makin keras, lalu mendekam di tempat duduk
dan menangis tergerung-gerung.
Dia seorang perempuan cantik, kecantikannya termasuk
anggun, lembut dan lemah, perempuan jenis inilah yang
gampang menarik belas kasihan orang lain. Walaupun Binggwat-
sim pintar dan keras hati, kalau Pho Ang-soat tidak
segera menutuk Hiat-tonya mencegah darah mengalir terlalu
banyak, sekarang mungkin jiwanya sudah melayang.
Mengawasi mereka, Yan Lam-hwi menghela napas, "Apa
pun yang terjadi, jelek-jelek kita sudah bekerja sekuat tenaga
sebagai pertanggungan jawab kita kepada Jiu-cengcu."
"Tiada pertanggungan jawab," tiba-tiba Pho Ang-soat
berkata. "Tiada?" Yan Lam-hwi berteriak setengah tidak percaya.
Setajam pisau Pho Ang-soat menatap perempuan di
sampingnya, suaranya dingin, "Nona ini bukan Co Giok-cin,
pasti bukan."
ooooOOoooo Bab 10. Perubahan
Isak tangis mendadak berhenti, Co Giok-cin mengangkat


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala memandang Pho Ang-soat dengan pandangan kaget,
"Aku bukan Co Giok-cin" Kenapa kau bilang aku bukan Co
Giok-cin?"
Pho Ang-soat tidak menjawab pertanyaannya, malah
bertanya tentang persoalan yang tidak pantas dia ketahui,
"Sudah berapa bulan kau hamil?"
Co Giok-cin ragu-ragu, akhirnya menjawab, "Tujuh bulan."
"Kau sudah hamil tujuh bulan, tapi ayahmu baru tahu
hubungan gelapmu ini, memangnya dia buta?"
"Dia tidak buta, dia bukan ayah kandungku," suaranya
mengandung rasa benci dan penasaran. "Aku sudah lama
tahu akan hal ini, aku kenal Jiu Cui-jing juga dia yang
mengatur, karena Jiu Cui-jing adalah tokoh besar dalam
kalangan Kangouw, Cengcu dari Khong-jiok-san-ceng,
seorang yang paling dikagumi oleh Lau-congpiauthau."
"Lau-congpiauthau?" Yan Lam-hwi menimbrung, "Lau Tinkok
dari Tin-wan Piaukiok" Apakah ayahmu Piausu Tin-wan
Piaukiok?"
"Semula memang betul," sahut Co Giok-cin.
"Dan sekarang?" Yan Lam-hwi mendesak.
"Dia terlalu banyak minum arak, Piaukiok mana pun pasti
tidak mau mempunyai Piausu yang sering mabuk seperti dia."
"Jadi Lau Tin-kok telah memecatnya?" Yan Lam-hwi
bertanya. Co Giok-cin mengangguk, katanya, "Lau-congpiauthau sih
tidak melarang anak buahnya minum arak, tapi setelah minum
arak seorang Piausu sejawatnya dianggap perampok yang
mau membegal, sebelah tangannya dibacok buntung lagi,
bukankah perbuatannya keterlaluan."
"Jadi hendak memperalat hubunganmu dengan Jiu Cui-jing,
untuk memulihkan kedudukannya di Tin-wan Piaukiok?" tanya
Yan Lam-hwi. "Memang besar keinginannya sampai hampir gila, umpama
aku ini putri kandungnya juga tidak segan-segan dia berbuat
demikian."
"Sayang Jiu Cui-jing tidak sudi berbuat demikian, Lau Tinkok
juga bukan manusia yang cupat pikiran, mementingkan
hubungan tidak memikirkan kepentingan umum."
"Oleh karena itu walau setiap bulan Jiu Cui-jing menyokong
seratus tahil perak untuk beli arak, dia masih belum puas,
setiap kali mabuk, selalu berusaha menyiksa aku."
"Hingga pagi hari ini kau betul-betul tidak tahan lagi?"
"Aku ini seorang perempuan, namanya saja adalah
putrinya, apa pun yang dia lakukan terhadapku, aku harus
menerima dan menelan kegetiran ini, tapi pagi hari ini..."
"Pagi hari ini apa yang dilakukannya?"
"Dia hendak memukul anak dalam kandunganku supaya
gugur, dia melarang aku melahirkan anak Jiu Cui-jing karena
... karena dia sudah mendengar berita buruk dari Khong-jioksan-
ceng." Yan Lam-hwi terkesiap, katanya dengan mata terbeliak,
"Peristiwa itu terjadi semalam, tidak mungkin dia bisa tahu
secepat itu."
"Tapi kenyataan dia sudah tahu."
Masam muka Yan Lam-hwi, lebih pucat dari muka Pho
Ang-soat. Hanya sejenis orang yang bisa memperoleh berita dengan
cepat, berita kilat. Umpama semalam dia tidak ikut meluruk ke
Khong-jiong-san-ceng, tidak menjadi algojo, pasti juga ikut
penjaga atau kurir."
"Jika aku melihat orang sebanyak itu dibantai secara kejam,
setelah pulang pasti juga ingin minum arak sampai mabuk,"
demikian kata Yan Lam-hwi.
Sejak tadi Pho Ang-soat diam saja, mendadak dia
bertanya, "Kau kenal Lau Tin-kok" Dia orang macam apa?"
"Usaha Tin-wan Piaukiok makin besar, cabangnya juga
luas, untuk menjadi seorang Piausu Tin-wan Paukiok
diperlukan ujian yang cukup berat."
"Dia pandai memilih orang."
"Pegawainya semua pilihan, jago-jago kelas satu," sahut
Yan Lam-hwi. Mengepal jari-jari Pho Ang-soat.
Co Giok-cin berkata, "Kungfu ayah angkatku tidak lemah,
jikalau arak tidak membuatnya rusak, bukan mustahil suatu
ketika dia bisa diangkat menjadi Congpiauthau."
Dingin perkataan Pho Ang-soat, "Menjadi Congpiauthau
sukar, membunuh orang mudah."
"Kau kira dia juga salah seorang pembunuhnya?" tanya
Yan Lam-hwi. "Kalau bukan pembunuh juga pembantu kejahatan."
"Kalau begitu, marilah kita mencarinya."
"Waktu naik kereta tadi sudah kuberi pesan, jalan yang kita
tempuh sekarang juga menuju ke sana," ujar Pho Ang-soat,
lalu dipandangnya Co-Giok-cin, "Karena itu aku harap apa
yang kau katakan semuanya benar."
Co Giok-cin balas menatapnya, pembohong tidak akan
berani balas menatap matanya, juga tidak akan
memperlihatkan sikap yang wajar begini.
Yan Lam-hwi menatapnya, lalu menatap Pho Ang-soat,
seperti ada pendapat yang ingin dia kemukakan. Sebelum dia
buka suara, seorang sudah berkata dengan keras, "Sekarang
jangan kita pulang ke rumah keluarga Co."
Ternyata Bing-gwat-sim sudah siuman, dia terlalu banyak
mengeluarkan darah, badannya teramat lemah, kelihatannya
dia harus mengerahkan sisa tenaganya untuk melontarkan
perkataannya tadi.
Yan Lam-hwi meletakkan badannya supaya tidur lebih
enak, lalu bertanya, "Kenapa kita tidak boleh pulang ke rumah
keluarga Co?"
Napas Bing-gwat-sim memburu, katanya, "Karena di sana
sekarang pasti sudah ada perangkap keji." Besar hasratnya
mengemukakan apa yang terkandung dalam hatinya,
sehingga wajahnya yang pucat bersemu merah, "Kongsun To
tentu tidak berpeluk tangan, tentu dia juga menduga bahwa
kita pasti akan pergi ke rumah Co Tang-lay, orang mereka
banyak, semuanya jago-jago lihai, aku sendiri sudah terluka
parah." Yan Lam-hwi mencegahnya banyak bicara, "Aku mengerti
maksudmu, Pho Ang-soat juga pasti maklum."
"Kalian tidak mengerti," kata Bing-gwat-sim ngotot, "bukan
demi diriku, aku juga tahu dengan kekuatan kalian berdua
mungkin kuat menghadapi mereka, tapi bagaimana dengan
nona Co" Kalian harus menghadapi pedang Nyo Bu-ki,
gantolan Kongsun To, harus waspada pula pada pisau
terbang Siau Si-bu, mana punya kesempatan untuk
melindunginya?"
Pho Ang-soat tidak bersuara, juga tidak memberi reaksi.
Bing-gwat-sim mengawasinya, katanya, "Kali ini kau harus
tunduk pada usulku, sekarang kau harus lekas menghentikan
kereta ini dan putar balik."
"Tidak perlu," pendek jawaban Pho Ang-soat.
"Dan ... kenapa tidak kau dengar usulku?" Bing-gwat-sim
amat menyesal. Wajah Pho Ang-soat tetap kaku, katanya tawar, "Karena
jalan raya ini bukan menuju ke rumah keluarga Co."
Bing-gwat-sim melengak, serunya, "Bukan" Bagaimana
bisa bukan?"
"Karena aku suruh dia membawa kereta ini keluar kota,
mana berani dia menempuh jalan lain?"
Lega hati Bing-gwat-sim, katanya, "Ternyata jalan
pikiranmu sama dengan aku."
Dingin dan keras tegas suara Pho Ang-soat, "Selamanya
aku tidak pernah mempertaruhkan jiwa orang untuk
menempuh bahaya."
"Tapi tadi kau......"
"Tadi aku bilang demikian hanya untuk mencoba dan
menjajaki hati nona Co saja."
Sebelum dia bicara habis, kereta mendadak berhenti, sang
kusir melongok ke belakang dan berkata dengan mengunjuk
tawa berseri, "Sekarang sudah berada di luar kota, kemana
lagi Pho-tayhiap akan pergi?"
Dengan dingin Pho Ang-soat mengawasi wajah orang yang
berseri itu, tiba-tiba dia bertanya, "Bukankah yang kau latih
kungfu dari Sian-thian-bu-kek-pay?"
Tawa si kusir mendadak kaku, sahutnya, "Hakikatnya
hamba tidak pernah latihan kungfu segala."
Pho Ang-soat tidak menghiraukan jawabannya, tanyanya
pula, "Tio Bu-kek, Tio Bu-liang bersaudara apakah ayah dan
pamanmu" Atau gurumu?"
Si kusir menatapnya dengan terbelalak kaget, seperti
mendadak melihat setan yang menakutkan. Dia memang
mahir sebagai kusir, sejak tadi duduk tenang memegang
kendali, bukan saja tidak melakukan gerakan apa pun, dia pun
tunduk pada perintah, sungguh dia tidak habis mengerti,
makhluk aneh yang bermuka pucat ini, bagaimana bisa
membongkar asal-usulnya.
Pho Ang-soat berkata, "Kulit dagingmu mengkilap, poriporimu
kelihatan lembut berhimpit, sehingga mirip sesuatu
barang yang direndam dalam minyak, hanya seorang yang
pernah meyakinkan Khikang tunggal dari Sian-thian-bu-kekpay
saja baru memperlihatkan gejala-gejala kulit tangan yang
berbeda." Tajam benar pandangan makhluk aneh ini, akhirnya si kusir
menghela napas, katanya tertawa getir, "Cayhe Tio Ping, Tio
Bu-kek adalah ayahku."
"Bukankah kau masih punya nama lain dan biasa dipanggil
Jari telunjuk?" tanya Pho Ang-soat pula.
Terpaksa Tio Ping mengangguk, dia insyaf di hadapan
makhluk aneh ini hakikatnya dia tidak bisa berbohong lagi.
Pho Ang-soat berkata, "Menilai keluarga dan asal-usulmu,
ternyata kau melakukan kejahatan yang memalukan,
sepantasnya aku mewakili Sian-thian-bu-kek membersihkan
nama baik perguruannya."
Berubah air muka Tio Ping, katanya tergagap, "Tapi
aku".."
Pho Ang-soat tidak memberi kesempatan dia bicara, "Jika
kau bukan putra tunggal Tio Bu-kek, sekarang kau sudah
mampus di bawah kereta."
Dia duduk di dalam kereta, tidak bergerak. Jari-jari yang
paling lincah pada tangan setiap orang adalah jari telunjuk.
Seorang yang duduk di dalam kereta tidak bergerak,
bagaimana mungkin bisa membunuh Tio Ping yang lincah
seperti Jari telunjuk" Akhirnya Tio Ping insyaf akan hal ini,
maka tubuhnya sudah siap melambung.
Pho Ang-soat berkata, "Hari ini aku tidak membunuhmu,
aku hanya menuntut supaya kau tinggalkan jari tanganmu
yang sering kau gunakan membunuh orang."
Mendadak Tio Ping tertawa lebar, katanya, "Maaf saja, jari
tanganku masih berguna, mana bisa kuberikan kepadamu."
Mendadak sinar golok berkelebat, darah pun muncrat.
Berbareng tubuh Tio Ping juga melambung pergi,
mendadak dilihatnya sebuah tangan berlompatan darah
melayang jatuh dari tengah udara.
Dia masih belum tahu bahwa kurungan tangan itu adalah
tangannya sendiri, sambaran golok teramat cepat, dia masih
belum merasakan sakit, dia malah sedang tertawa.
Bila tangan itu sudah jatuh di tanah, baru dia sadar bahwa
tangannya sudah kurang satu. Gelak tawa berubah jeritan,
orangnya juga terbanting keras.
Sinar golok lenyap, golok sudah masuk ke sarung, Pho
Ang-soat tetap duduk di dalam kereta, tidak tampak bergerak.
Pergelangan tangan yang buntung dimasukkan ke dalam
lengan baju, dengan tangan yang masih utuh Tio Ping
berpegang pada sisi kereta serta meronta berdiri, lalu
menatapnya. "Tidak lekas kau enyah," desis Pho Ang-soat.
Tio Ping mengertak gigi, katanya, "Aku tidak akan pergi,
aku ingin melihat golokmu."
"Golokku bukan untuk tontonan."
"Tanganku sudah buntung, berilah kesempatan padaku
untuk melihat golokmu."
Lama Pho Ang-soat menatapnya, mendadak dia pun
berkata, "Baik, lihatlah."
Golok berkelebat, rambut bertebaran. Itulah rambut Tio
Ping. Setelah dia melihat rambut itu berserakan di tanah, sinar
golok pun telah lenyap. Golok sudah kembali ke dalam
sarung, dia tetap tidak melihat golok itu.
Saking ketakutan, kulit daging mukanya mendadak berkerut
dan kedutan, dia menyurut mundur dengan sempoyongan,
mulutnya memekik histeris, "Kau bukan manusia, kau iblis
laknat, yang kau pakai juga golok setan..."
Golok yang hitam, mata yang hitam pula.
Co Giok-cin juga sedang mengawasi golok itu, lama dia
melamun, sorot matanya menampilkan ketakutan dan ngeri.
Golok hitam ini seolah-olah sudah bersenyawa dengan Pho
Ang-soat, seperti salah satu anggota badannya saja.
Co Giok-cin coba bertanya, "Pernahkah kau meletakkan
golokmu ini?"
"Tidak."
"Bolehkah aku melihatnya?"
"Tidak boleh."
"Pernah kau perlihatkan kepada orang lain?" tanya Co
Giok-cin. "Apa betul itu golok iblis?"
Pho Ang-soat berkata, "Iblisnya tidak di dalam golok, tapi di
dalam hati, hanya orang yang hatinya ada iblis, maka dia tidak
akan luput dari sambaran golokku ini."
Tiada orang bergerak, kereta itupun berhenti.
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, "Agaknya
sekarang kita tiada tempat tujuan tertentu lagi."
"Ada saja," sahut Pho Ang-soat.
"Kemana?"
"Kembali ke Khong-jiok-san-ceng."
Yan Lam-hwi tercengang, katanya, "Kembali ke Khong-jioksan-
ceng" Masih ada apa di sana?"
"Masih ada kamar rahasia di bawah tanah."
Yan Lam-hwi segera maklum, katanya, "Maksudmu Binggwat-
sim harus bersembunyi di sana untuk menyembuhkan
luka-lukanya?"
"Tiada orang menyangka dia berada di sana, di sana hanya


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada jalan buntu, tempat yang mematikan."
"Ya, tempat yang mematikan untuk bertahan hidup?"
"Begitulah."
"Kita tetap naik kereta ini?"
"Kereta kuda tidak akan membocorkan rahasia, juga tidak
akan menjual jiwa kita."
"Benar, hanya manusia menjual manusia, maka kau
mengusir Tio Ping. Sekarang siapa yang akan pegang
kendali?" "Engkau."
Dinding kamar bawah tanah itu meski berlubang oleh
ledakan dahsyat itu, tempat lain masih tetap kokoh dan kuat,
masih rapi dan tiada perubahan.
"Sekarang jalan keluar masuk satu-satunya kamar rahasia
hanyalah lubang ini."
"Ya, hanya boleh keluar, tidak boleh masuk."
"Lho, kenapa?" tanya Lam-hwi.
"Karena Bing-gwat-sim masih punya Khong-jiok-ling."
"Khong-jiok-ling miliknya masih berguna?"
"Siapa bilang tidak berguna."
"Asal dia memegang Khong-jiok-ling dan berjaga di sini,
siapa pun takkan berani masuk."
"Ya, pasti tidak ada yang berani."
"Bagaimanapun aku tetap mengharap tiada orang lain
kemari." Co Giok-cin tidak tahan, dia bertanya, "Apakah kalian
hendak meninggalkan dia di sini seorang diri?"
"Tidak," sahut Pho Ang-soat pendek. "Siapa yang akan
menemani dia?"
"Kau."
"Dan Kalian" Kalian mau pergi kemana?"
"Pergi membunuh orang," desis Pho Ang-soat.
"Membunuh orang-orang yang membunuh orang itu?"
tanya Co Giok-cin.
"Kongsun To pasti akan menuntut balas, aku pun tidak
akan membiarkan dia hidup."
Co Giok-cin mengawasi golok di tangannya, katanya,
"Orang yang membunuh orang bukankah di dalam hatinya
juga dirangsang iblis?"
"Benar."
"Apakah dia pasti tidak akan mampu terhindar dari
sambaran golokmu?"
"Pasti tidak."
Mendadak Co Giok-cin berlutut, air matanya bercucuran,
"Aku mohon kepadamu, bawalah jantung hatinya kembali, aku
ingin bersembahyang kepada arwah ayah anak yang berada
dalam kandunganku."
Pho Ang-soat menatapnya, katanya mendadak, "Aku bisa
melaksanakan hal itu, kau sebaliknya tidak pantas berkata
demikian."
"Kenapa?"
"Karena omongan itupun mengandung hawa membunuh."
"Kau kuatir orok dalam kandunganku ketularan hawa
membunuh itu?"
Pho Ang-soat mengangguk, katanya, "Bocah yang punya
hawa membunuh, setelah dewasa pasti gemar membunuh
orang." Gemeratak gigi Co Giok-cin, katanya pula, "Kuharap dia
bisa membunuh orang, membunuh kan lebih baik daripada
dibunuh." "Kau lupa satu hal."
"Katakan!"
"Orang yang membunuh orang, cepat atau lambat akhirnya
juga dibunuh orang."
ooooOOoooo Kamar batu di bawah tanah itu bukan saja gelap, juga
lembab, meja kursi terbuat dari batu, keras dan dingin.
Bing-gwat-sim ternyata duduk dengan enak, karena
sebelum pergi, kasur bantal di dalam kereta sudah
dipindahkan ke dalam kamar baru ini. Co Giok-cin juga
kebagian tempat duduk yang empuk.
Setelah Pho Ang-soat pergi, tak tertahan dia menghela
napas, "Sungguh tak nyana dia adalah seorang yang teliti dan
cermat." Bing-gwat-sim berkata, "Dia memang orang aneh, Yan
Lam-hwi juga aneh, tapi mereka adalah manusia, manusia
jantan, laki-laki sejati."
"Kelihatannya mereka amat baik terhadapmu," tanya Co
Giok-cin. Bing-gwat-sim tertawa dipaksakan, katanya, "Aku juga baik
terhadap mereka."
"Tapi akhirnya kau harus menentukan pilihanmu, seorang
perempuan tak mungkin sekaligus menikah dengan dua lakilaki."
"Aku sudah memilih."
"Siapa yang kau pilih?"
"Aku memilih diriku sendiri," tawar suara Bing-gwat-sim,
seorang perempuan memang tidak boleh sekaligus kawin
dengan dua pria, tapi kan boleh tidak kawin dengan
keduanya."
Co Giok-cin segera tutup mulut, dia tahu Bing-gwat-sim
tidak ingin membicarakan soal jodoh lagi.
Bing-gwat-sim mengelus Khong-jiok-ling di tangannya, jarijari
tangannya dingin, lebih dingin dari bumbung emas itu,
hatinya sedang dirundung gejolak perasaan. Apakah karena
percakapannya dengan Co Giok-cin barusan sehingga
mengorek isi hatinya"
Agak lama kemudian mendadak Co Giok-cin bertanya,
"Apakah yang kau pegang itu benar-benar Khong-jiok-ling?"
"Bukan yang asli."
"Bolehkah aku melihatnya?"
"Tidak boleh."
"Kenapa?"
"Walau Khong-jiok-ling ini bukan yang asli, tapi dia juga alat
untuk membunuh orang, tetap punya hawa untuk membunuh
orang, aku tidak ingin orok dalam kandunganmu ketularan
hawa membunuh."
Co Ciok-cin mengawasinya, mendadak tertawa, katanya,
"Kau kenapa aku tertawa?"
"Entahlah."
"Mendadak kusadari nadamu bicara amat mirip Pho Angsoat,
maka...." "Maka kenapa?"
"Jika kau harus menikah, kupikir kau pasti menikah dengan
dia." Bing-gwat-sim tertawa, katanya, "Untung aku tidak pasti
harus menikah."
"Tapi aku harus menikah."
"Kenapa?"
"Karena anak dalam kandunganku, aku aku tidak akan
membiarkan dia lahir tanpa ayah."
"Siapa yang kau pilih untuk menjadi ayahnya?"
"Sudah tentu harus seorang lelaki sejati, seorang lelaki
yang mampu melindungi kami."
"Lelaki seperti Pho Ang-soat begitu?"
Ternyata Co Giok-cin tidak menyangkal.
"Tahukah kau, dia itu tidak punya belas kasihan."
Co Giok-cin tertawa sendu, katanya, "Punya atau tidak
belas kasihan, memangnya siapa yang dapat membedakan?"
"Kita tetap naik kereta ini?"
"Ya."
"Siapa pegang kendali?"
"Engkau."
"Kenapa aku lagi?"
"Karena aku tidak bisa."
"Kenapa setiap patah katamu selalu membuatku
melenggong?"
"Karena aku selalu bicara jujur."
Terpaksa Yan Lam-hwi naik ke atas kereta, mengayun
cemeti, katanya, "Coba saksikan ini, bukan tugas berat atau
sukar. Siapa pun bisa, kenapa kau tidak belajar?"
"Kalau setiap orang bisa, setiap orang bisa pegang kendali
keretaku, buat apa aku belajar."
Kembali Yan Lam-hwi melenggong, "Ucapanmu memang
selalu jujur, selalu masuk akal, aku jadi ingin suatu ketika
berbohong ala kadarnya."
"Kenapa?"
"Karena omongan jujur kedengarannya tidak seenak dan
senikmat omongan bualan."
Kereta itu bergerak maju, lama sekali menempuh
perjalanan, Pho Ang-soat masih terus terpekur, mendadak dia
bertanya, "Kau kenal orang yang menemani Nyo Bu-ki
bermain catur itu?"
Yan Lam-hwi manggut-manggut, katanya, "Dia bernama Ku
Ki (catur sewaan), salah seorang panglima besar Kongcu Gi."
"Konon pembantunya ada empat tokoh besar, yaitu yang
dinamai dengan harpa, catur, menulis dan menggambarkan."
"Bukan empat, tapi lima orang tokoh besar, yaitu Gi Khim,
Ku Ki, Ong Su, Go Hoat dan Siau Kiam."
"Kau pernah melihat kelima orang itu?"
"Pernah kulihat tiga, waktu itu Kongcu Gi belum
menemukan Gi Khim dan Siau Kiam."
"Waktu itu kapan?"
Yan Lam-hwi tutup mulut.
"Bukankah di saat kau sering bertemu dengan Kongcu Gi?"
Yan Lam-hwi tetap tutup mulut.
"Kau tahu rahasianya, siapa-siapa jago kosen yang
dikuasainya kau juga hapal, jadi sebelum ini kalian sering
berhubungan?"
Yan Lam-hwi tidak menyangkal, memang tidak bisa
menyangkal. "Sebetulnya pernah apa di antara kalian?"
"Orang lain selalu bilang setiap patah katamu bagai emas,
kenapa hari ini aku menjadi bosan mendengar ocehanmu."
"Karena kau tidak bisa berbohong, juga tidak berani bicara
jujur." "Sekarang yang ingin kubicarakan adalah kau, bukan aku."
"Yang ingin kubicarakan justru dirimu."
"Apakah kita tak bisa berbincang persoalan lain" Sampai
sekarang aku masih belum tahu kemana tujuanmu?"
"Kau tahu, untuk membunuh manusia, sudah tentu harus
mencarinya ke tempat dimana dia mengatur perangkapnya."
"Maksudmu ke rumah Co Tang-lay?"
"Dahulu memang."
"Sekarang bukan?"
"Orang yang sudah mati takkan punya rumah."
"Jadi Co Tang-lay sekarang sudah mati?"
"Oleh karena itu tempat itu hanyalah sebuah perangkap
belaka." "Aku jadi mengharap semoga orang-orang buruan itu
sekarang masih berada di sana."
"Pantasnya mereka belum pergi, untuk menjadi seorang
pemburu, pelajaran pertama yang harus dihapalkan adalah
bersabar."
Co Tang-lay memang sudah mati, mayatnya sudah kaku,
sudah dingin. Ini bukan kejadian di luar dugaan, bila membunuh untuk
mencari sesuap nasi, pelajaran pertama yang harus diresapi
adalah menutup mulutnya. Bila kau pernah sekali ikut aksi
mereka, sembarang waktu kemungkinan mulutmu bakal
ditutup oleh mereka.
Dalam anggapan mereka, jiwa seseorang tidak lebih
berharga dari seekor anjing liar. Begitulah keadaan Co Tanglay
sekarang, keadaannya lebih mengenaskan dari kematian
seekor anjing liar di bawah pohon.
Pho Ang-soat mengawasi dari kejauhan, sorot matanya
diliputi rasa duka dan kasihan. Nyawa memang berharga,
kenapa manusia justru banyak yang tidak bisa menghargai
nyawa" Dia merasa simpati kepada orang yang menjadi korban ini,
mungkin karena dahulu dia pun hampir musnah karena "arak".
Arak itu tidak jelek, persoalannya terletak pada awakmu
sendiri, jika kau suka tenggelam dalam air kata-kata yang
berlimpah, tak bisa membangkitkan semangat juang sendiri,
maka tiada manusia di dunia ini yang bisa menolongmu.
Kesan sanubari Yan Lam-hwi mungkin tidak sedalam dia,
dia masih muda, hatinya masih diliputi cita-cita, angan-angan
muluk. Maka dia ingin bertanya, "Perangkapnya di sini, mana
pemburunya?"
Pho Ang-soat masih diam.
Dari pojok rumah mendadak terdengar sebuah bentakan,
"Lihat pisau!"
Selarik sinar pisau laksana sambaran kilat meluncur lurus
ke punggungnya.
Pho Ang-soat tidak berkelit, tidak bergerak. Yang bergerak
hanya goloknya. "Ting", kembang api pun berpijar, selarik
sinar pisau melambung tinggi ke angkasa, kelihatannya
seperti menembus tiga lapis mega dan lenyap ditelan
angkasa. Golok Pho Ang-soat kembali ke sarungnya.
Yan Lam-hwi menghela napas lega, katanya, "Gelagatnya
paling sedikit masih kurang seorang."
"Aku sudah tahu, dia telah belajar bersabar."
Setelah berlangsung percakapan ini, maka tampak sinar
golok melayang jatuh, waktu jatuh, sinar yang semula satu
berubah menjadi dua, seperti batu meteor jatuh di tanah.
Itulah sebilah pisau, pisau terbang.
Mata pisau beradu dengan mata golok, kekuatan benturan
yang keras menyebabkan pisau kecil itu mencelat ke udara
mencapai puluhan tombak. Pisau terbang sepanjang empat
dim sekarang telah putus menjadi dua keping.
Siapa dapat membayangkan atau mengukur betapa
dahsyat kekuatan dan kecepatan luncuran pisau terbang itu"
Tapi Pho Ang-soat mengayun golok ke belakang, pisau
terbang itu telah dipukulnya mencelat dan jatuh. Pisau terbuat
baja yang tajam luar biasa ternyata telah ditabasnya putus
menjadi dua. Di belakang rumah seorang menghela napas, katanya,
"Memang ilmu golok yang tiada keduanya di dunia, kau
memang tidak membual."
Perlahan Pho Ang-soat membalik badan, katanya, "Kenapa
kau belum pergi?"
Begitu dia membalik, lantas melihat Siau Si-bu, Siau Si-bu
beranjak keluar dengan tangan kosong, katanya dingin, "Di


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

antara empat 'tanpa' Siau-kongcu, tiada 'tanpa tahu malu',
umpama aku harus pergi juga aku akan pergi secara terangterangan."
Tangannya sudah tidak memegang pisau, bagai
gadis belia yang mendadak bertelanjang bulat, sehingga
tangannya kerepotan bergerak naik turun entah harus
diletakkan dimana. Akan tetapi dia tidak lari.
Pho Ang-soat menatapnya, katanya, "Kau hanya punya
sebatang pisau?"
"Hari ini yang kuhadapi adalah kau, maka aku hanya
membawa sebatang pisau."
"Kenapa?"
"Karena aku tahu pisau pertama juga pisau terakhir, maka
serangan pisauku tadi harus menggunakan seluruh
kemampuan, setakar tenagaku."
"Terlebih dulu kau menempatkan dirimu pada posisi yang
mematikan, sehingga waktu turun tangan tidak menghiraukan
segala akibatnya?"
"Ya, demikian," kata Siau Si-bu, "apalagi serangan pisauku
itu pasti dan harus mengenai sasaran, jika sekali tidak kena,
diulang seribu kali juga tidak berguna."
Pho Ang-soat menatapnya, mendadak dia mengulap
tangan, katanya, "Ucapanmu memang bagus, baiklah, kau
boleh pergi."
"Kau membebaskan aku?" tanya Siau Si-bu.
"Kali ini aku tidak akan membunuhmu, karena kau
mengucapkan dua patah kata."
"Dua patah kata apa?"
"Lihat pisau."
Sebelum pisau terbang disambitkan, bersuara memberi
peringatan jelas ini bukan sepak terjang menusia rendah,
manusia hina dina.
"Golokku hanya membunuh manusia yang hatinya disetir
iblis, pisaumu juga ada setannya, tapi hatimu bersih."
Tangan Siau Si-bu mendadak saling genggam, sorot
matanya mendadak menampilkan rona aneh, agak lama
kemudian baru dia berkata perlahan, "Jika aku tidak
mengatakan kedua patah kata tadi, apakah kau mampu
mematahkan pisau terbangku tadi?"
"Kau menyesal?"
"Bukan menyesal, tapi hanya ingin tahu duduk perkara
sebenarnya saja."
Pho Ang-soat menatapnya pula, pandangannya penuh
selidik, katanya dingin, "Kalau kau tidak mengucap kedua
patah kata tadi, sekarang kau sudah mati."
Sepatah kata tidak bicara lagi, Siau Si-bu segera putar
badan beranjak pergi, bukan saja langkahnya cepat, dia pun
tidak menoleh. Di pojok belakang rumah seorang menghela napas,
katanya, "Umpama dia tidak menyesal, kau justru yang akan
menyesal."
Seorang berjalan keluar dengan langkah perlahan, berbaju
hijau berkaos kaki putih, siapa lagi kalau bukan Ku Ki.
"Aku harus menyesal" Apa yang harus kusesalkan?"
Ku Ki berkata, "Menyesal karena kau tidak membunuhnya."
Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam kencang. Dua
kesempatan dia dapat membunuh pemuda angkuh itu, tapi
dua kesempatan baik itu dia abaikan begitu saja.
Ku Ki berkata, "Kesempatan baik diabaikan, selamanya
tidak akan terulang lagi, jika ingin membunuh orang,
sebaiknya tidak tanpa pantangan." Setelah tertawa dia
menambahkan, "Kali ini kau tidak membunuhnya, lain kali
mungkin kau yang akan mati di tangannya."
Pho Ang-soat mengawasinya, katanya tertawa dingin, "Dan
kau" Pantas tidak sekali ini aku membunuhmu?"
"Itu harus dinilai. Aku akan melihat apakah kau akan
menggasak bagian tanganku atau ingin mencaplok naga di
pojok kananku" Kunilai pula kau pegang biji putih atau biji
hitam?" Pho Ang-soat tidak paham, dia tidak pernah main catur.
Hanya orang yang suka iseng saja yang suka main catur, bila
iseng Pho Ang-soat selalu mencabut golok.
Maka Ku Ki terpaksa tertawa sendiri, katanya, "Maksudku,
kau tidak akan bisa membunuhku, kau hanya bisa membunuh
caturku, karena aku hanya pandai main catur, apalagi
permainan inipun sudah kalian mainkan sebelumnya,
hakikatnya kau tidak mampu mencaplok biji-biji caturku."
Dengan tersenyum dia menjura hormat, lalu berjalan
lenggang-kangkung lewat di samping Pho Ang-soat. Dia tahu
Pho Ang-soat tidak akan membunuhnya, karena sedikit pun
dia tidak bersiaga, siapa pun bisa membunuhnya, tapi Pho
Ang-soat tidak termasuk "siapa pun", Pho Ang-soat tetap Pho
Ang-soat. Yan Lam-hwi mengawasi dia berlalu, mendadak dia
tertawa, katanya, "Agaknya langkahmu kali ini tidak meleset."
"Tapi hari ini beruntun aku dikalahkan tiga babak," ujar Ku
Ki. "Dikalahkan Nyo Bu-ki?" tanya Yan Lam-hwi.
"Hanya dia yang dapat mengalahkan aku."
"Kenapa?"
"Karena main catur dia pun mirip membunuh manusia,
tanpa pantangan, aku sebaliknya punya ganjalan hati, ada
sesuatu yang kukuatirkan."
"Apa yang kau kuatirkan?"
"Aku kuatir kalah."
Hanya orang yang takut kalah saja setiap main catur akan
selalu kalah dengan penasaran, makin kuatir kalah makin
sering kalah, semakin kalah semakin takut main.
Hanya orang yang hatinya diliputi ketakutan baru akan
membunuh orang yang tidak pantas dibunuh, takut terhadap
keadilan, takut terhadap kebenaran.
ooooOOoooo Malam telah larut.
Malam selalu datang tanpa terasa, tabir malam tahu-tahu
telah menyelimuti jagat raya.
Ku-ki beranjak keluar pintu, mendadak dia menoleh,
katanya, "Kuanjurkan kalian tidak usah lama-lama di sini."
"Di sini sudah tiada orang?" tanya Yan Lam-hwi.
"Yang hidup sudah tiada, yang mati ditinggalkan."
"Kongsun To dan lain-lain tidak berada di sini?"
"Bahwasanya mereka tidak pernah kemari, karena mereka
tergesa-gesa hendak pergi ke suatu tempat."
"Kemana?"
"Darimana tadi kalian datang, ke sanalah mereka pergi."
Yan Lam-hwi masih ingin bertanya, dia sudah keluar pintu,
Yan Lam-hwi mengejar keluar pintu, bayangannya sudah tidak
kelihatan. Terdengar suaranya berkumandang di kejauhan, "Konon di
kala Merak mati, Bing-gwat-sim juga akan mengiringinya
tenggelam, tenggelam ke dalam bumi, tenggelam ke lautan ..."
ooooOOoooo Bab 11. Dimana-Mana Terang Bulan
Larut malam, jagat raya gelap gulita.
Malam ini tiada rembulan (Bing-gwat), apakah Bing-gwat
telah mati malam ini"
Yan Lam-hwi membedal kudanya, Pho Ang-soat justru
duduk diam di sampingnya. Kereta yang bagus, kabin kereta
yang berat. "Kenapa kita harus naik kereta."
"Karena kita punya kereta."
"Kudanya sudah letih, kuda yang sudah lelah tak kuat
ditunggangi dua orang, tapi masih kuat menarik kereta."
"Karena kereta pakai roda?"
"Betul."
"Kita juga punya kaki, kenapa tidak lari?"
"Karena kita juga sudah lelah, tenaga kita harus
dipertahankan."
"Dipertahankan untuk membunuh orang?"
"Asal ada orang yang patut dibunuh, tidak asal bunuh
orang." Merak memang sudah mati.
Khong-jiok-san-ceng bukan lagi Khong-jiok-san-ceng yang
dulu. Malam kelam masih dihiasi beberapa kerlipan bintang
yang jarang-jarang, sinar bintang itulah yang menyinari puingpuing
itu, kelihatannya sunyi dan seram.
Kuda yang dilarikan kencang sejauh ratusan li akhirnya
roboh. Kamar batu di bawah tanah itu sudah kosong, tidak dihuni
seorang pun, kosong melompong, barang-barang yang bisa
bergerak di sini seluruhnya telah diangkut.
Cahaya api tanpa bergerak, karena tangan Yan Lam-hwi
yang memegang obor gemetar.
Konon di waktu Merak mati. Bing-gwat-sim pun akan
mengiringnya tenggelam.
Yan Lam-hwi mengertak gigi, katanya, "Bagaimana mereka
bisa tahu" Darimana tahu kalau orangnya ada di sini?"
Tangan Pho Ang-soat yang memegang golok tidak
gemetar, kulit mukanya justru kedutan, wajah yang pucat
merah membara, merah yang aneh, merah menakutkan.
"Waktu kita kemari, di belakang pasti tidak ada yang
menguntit, siapakah..."
"Keluar," mendadak Pho Ang-soat meraung.
"Kau suruh aku keluar," Yan Lam-hwi terbeliak.
Pho Ang-soat tidak bicara lagi, ujung mulutnya sudah
berkerut-merut.
Yan Lam-hwi mengawasinya dengan kaget, mundur
selangkah demi selangkah.
Pho Ang-soat sudah terkapar, begitu roboh sekujur
badannya lantas mengejang dan menggelepar seperti dihajar
cambuk yang tidak kelihatan, menghajar dan menghajar terus,
karena kesakitan, tubuhnya itu sudah meringkel dan meronta
seperti cacing kepanasan, seperti udang kering,
tenggorokannya mengeluarkan gerangan rendah seperti
binatang buas yang sekarat sebelum ajal, "Aku salah, akulah
yang salah?"
Sebelah tangannya mencengkeram dan mencakar tanah,
bagai seorang yang hampir mati tenggelam berusaha
menangkap sebatang kayu terapung yang hakikatnya tidak
ada. Tanah itu dilapisi batu, kukunya pecah, tangannya sudah
mulai mengeluarkan darah. Tangannya yang satu lagi tetap
memegang kencang goloknya, golok masih tetap golok, golok
tidak kenal balas kasihan, maka golok itu abadi.
Yan Lam-hwi tahu dia pasti pantang keadaannya yang
menderita dan penyakit anehnya ini diketahui orang lain. Tapi
Yan Lam-hwi tidak keluar, karena dia tahu, walau golok masih
tetap golok, namun Pho Ang-soat dalam keadaan seperti ini
bukan lagi Pho Ang-soat biasanya.
Sekarang siapa pun yang masuk kemari, sekali bacok
dengan mudah dapat membunuhnya. Kenapa yang Maha
Kuasa harus menyiksanya sedemikian rupa" Kenapa manusia
seperti dia harus mengidap penyakit seaneh ini"
Sekuat Yan Lam-hwi menekan emosinya supaya air mata
tidak meleleh. Obor sudah padam, karena dia tidak tega menyaksikan
keadaannya. Tangannya sudah menggenggam pedang di
bawah bajunya. Lubang di atas dinding itu kelihatannya seperti mata
tunggal binatang buas yang jahat di kegelapan seperti dalam
dongeng. Dia bersumpah, sekarang siapa pun yang berani
menerjang masuk dari lubang itu, maka dia harus mampus di
bawah pedangnya, dia yakin dapat melakukan hal ini.
Tiada orang masuk dari lubang itu, namun di tengah
kegelapan mendadak terbit sinar api. Darimana datangnya
sinar api"
Yan Lam-hwi mendadak menoleh, bara sekarang dilihatnya
pintu besi yang terkunci tiga belas itu entah sejak kapan tanpa
mengeluarkan suara telah merenggang. Sinar api menyorot
masuk dari luar pintu, perlahan pintu terbuka lebar, maka
muncullah lima orang.
Dua orang mengangkat dua obor berdiri di luar pintu, tiga
orang yang lain beranjak masuk dengan langkah lebar.
Orang pertama pergelangan kanannya dibalut kain putih,
dengan kain sutra menggantungnya di depan dada, tangan kiri
memegang terbalik sebatang Hou-sing-kiam, sorot matanya
memancarkan dendam dan kebencian. Seorang di sebelahnya
mengenakan jubah Tosu dan bertopi keagamaan, langkahnya
mantap dan tegap, jelas hatinya dilembari keyakinan. Orang
terakhir mukanya dihiasi codet bekas bacokan, ujung
mulutnya mengulum senyum, namun kelihatannya culas dan
kejam. Serasa tenggelam hati Yan Lam-hwi, rasa getir dan pahit
bergolak dalam perutnya seperti hendak muntah.
Seharusnya dia ingat orang lain tidak mungkin bisa
membuka tiga belas kunci di pintu besi itu, namun Kongsun To
pasti bisa, jadi lubang di atas dinding itu bukan lagi jalan
keluar masuk satu-satunya di kamar batu ini. Mereka tidak
memikirkan hal ini, mereka terlalu terburu-buru oleh keyakinan
sehingga melalaikan titik kelemahan ini, melakukan kesalahan
yang amat fatal.
Mendadak Kongsun To mengulur sebelah tangannya,
pelan-pelan membuka telapak tangannya, maka tampak
Khong-jiok-ling yang mengkilap kuning itu di telapak
tangannya. Khong-jiok-ling terjatuh di tangannya, bagaimana
dengan Bing-gwat-sim" Sekuatnya Yan Lam-hwi menahan diri
supaya tidak muntah.
Kongsun To tersenyum, katanya, "Tidak pantas kalian
suruh dia memegang Am-gi ini menghadap ke lubang di atas
dinding, kami manusia bukan tikus, bukan saja tidak bisa
membuat lubang, juga tidak akan menerobos dari lubang."
Tawanya amat riang, lalu melanjutkan, "Jika dia tumplekkan
seluruh perhatiannya menghadap ke lubang, mungkin tidak
mudah bagi kami untuk masuk kemari."
Tak tahan Yan Lam-hwi menghela napas, katanya
menyesal, "Aku yang salah."
"Kau memang salah, seharusnya kau sudah membunuhku,"
jengek Kongsun To.
Nyo Bu-ki berkata tawar, "Karena itu selanjutnya kau harus
selalu ingat nasehatku. Jika ingin membunuh orang harus
tanpa pantangan."
"Kenapa kau memberi nasehat kepadanya malah, kalau dia
punya kesempatan lagi, bukankah aku bakal mampus."
"Apa mungkin dia memperoleh kesempatan kedua?" sinis


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara Nyo Bu-ki.
"Tidak, pasti tidak."
Nyo Bu-Ki menggeleng kepala, katanya, "Sekarang orang
yang bisa dia bunuh hanyalah dirinya sendiri, tapi dia juga
masih bisa membunuh Pho Ang-soat."
Kongsun To berkata, "Pho Ang-soat bagian Tio Ping, dia
bergerak saja tidak bisa."
Yan Lam-hwi mengawasi mereka, terasa suara mereka
seperti berkumandang di tempat yang jauh. Seharusnya dia
memusatkan seluruh perhatian dan tenaga untuk menghadapi
mereka. Dia harus tahu detik-detik kritis yang menentukan
mati hidup ini, musuh jelas tidak akan memberi kelonggaran
dan mengampuni jiwanya, dia sendiri juga tidak boleh mundur,
tidak boleh menyerah. Umpama ada kesempatan mundur, dia
pasti tidak akan mau mundur.
Mendadak dia justru merasa amat lelah, apakah lantaran
dia sendiri insyaf bahwa kemampuannya sendiri jelas bukan
tandingan kedua lawan tangguh ini"
Bing-gwat-sim sudah tenggelam, malaikat golok yang tidak
pernah kalah kini juga sudah roboh, rebah dalam keadaan
sekarat, adakah harapan yang dapat diraihnya"
Kongsun To sedang bertanya pada Tio Ping, "Siapakah
yang memotong tanganmu?"
"Pho Ang-soat," desis Tio Ping penuh dendam.
"Ingin tidak kau menuntut balas?"
"Ingin sekali."
"Dengan cara apa kau ingin menghadapinya?"
"Aku punya caraku sendiri?"
"Kenapa sekarang tidak lekas kau turun tangan"
Memangnya kau tidak tahu bahwa sekarang adalah
kesempatan paling baik?" desak Kongsun To.
Nyo Bu-Ki berkata, "Kesempatan hanya datang sekali dan
tidak akan terulang selamanya, bila Pho Ang-soat sudah
siuman dan sadar berarti kau sudah terlambat bertindak."
"Sekarang kau tidak perlu kuatir terhadap Yan Lam-hwi,"
Kongsun To menghasut.
"Kenapa?" Tio Ping percaya.
"Karena bila dia berani bergerak, Pho Ang-soat akan
segera berubah jadi merak," ujar Kongsun To. "Jadi merak?"
"Bulu merak sebumbung penuh ini peduli menancap di
badan siapa saja, maka orang itu akan segera menjadi merak,
merak yang mati tentunya."
Tio Ping tertawa, ujarnya, "Tapi aku tidak ingin dia lekas
mati." "Ya, aku pun demikian."
Mendadak Tio Ping meletakkan Hou-sing-kiam di
tangannya terus menerjang maju, sekali jambak dia renggut
rambut Pho Ang-soat, dengan lutut terangkat dia hajar jidat
orang, menyusul telapak tangannya terayun membacok
tengkuknya, begitu kepala Pho Ang-soat terkulai, kaki Tio Ping
pun menendang Pho Ang-soat, bentaknya bengis, "Buka
matamu dan lihat siapa aku."
Otot hijau di atas jidat Pho Ang-soat tampak merongkol,
bukan saja dia tidak bisa melawan, napasnya pun megapmegap.
Tio Ping menyeringai dingin, "Kau memotong tanganku,
dengan tanganku ini akan kucekik putus lehermu."
Otot hijau di jidat Yan Lam-hwi juga merongkol,
keadaannya juga hampir susah bernapas.
Kongsun To menyeringai sadis katanya, "Kenapa tidak kau
tolong temanmu" Apakah kau ingin berdiri saja menonton
kematiannya?"
Yan Lam-hwi tidak bergerak.
Yan Lam-hwi tahu kalau dia bergerak, Pho Ang-soat akan
lebih cepat mati. Tapi dia tidak boleh tidak harus bertindak.
Dengan sebelah tangannya yang utuh Tio Ping sedang
menghajar muka Pho Ang-soat pergi datang, agaknya tidak
akan segera mencabut jiwanya, tapi penghinaan ini akan
terasa lebih menyiksa daripada mati.
Yan Lam-hwi menggenggam pedang di balik bajunya,
keringat mengucur di mukanya, mendadak dia berkata,
"Umpama kalian bisa membunuh dia, belum tentu mampu
membunuhku."
"Apa kehendakmu?"
"Kalian harus membebaskan dia."
"Dan kau?"
"Biar aku yang mati."
"Bukan saja kami ingin kau pun mampus, dia pun tidak
boleh hidup."
"Kalau mau membunuh orang, tanpa pantangan," jengek
Nyo Bu-ki. Lenyap seringai sadis Kongsun To, mendadak dia
menghardik, "Tio Ping, bunuh dia sekarang juga."
Tio Ping mengertak gigi, seluruh tenaga dia kerahkan ke
sikunya. Pada saat itulah mendadak sinar golok berkelebat. Itulah
golok Pho Ang-soat, golok yang tiada bandingan di kolong
langit. Mereka mengira adu otak kali ini mereka pasti menang,
karena mereka melupakan satu hal. Tangan Pho Ang-soat
masih menggenggam kencang goloknya.
Pada saat yang hampir sama, Yan Lam-hwi juga mendadak
menyayun tangan, cahaya pedang yang merah menyala
langsung mengulung ke arah Kongsun To.
Pedang Nyo Bu-Ki juga sudah keluar dari sarung, cara dia
mencabut pedang sangat mahir dan lincah, serangannya telak
dan manjur, pedangnya menusuk sasaran mematikan di tubuh
Yan Lam-hwi. Umpama Yan Lam-hwi dapat membunuh
Kongsun To dengan pedangnya, dia sendiri juga pasti mati di
bawah pedang Nyo Bu-ki. Terpaksa dia harus membalikkan
pedang menyelamatkan jiwa sendiri.
Sigap sekali Kongsun To, setelah lolos dari tabir cahaya
pedang yang lebat bagai hujan darah, dia melambung ke
udara bersalto beberapa kali kemudian meluncur keluar pintu.
Pedang panjang Nyo Bu-ki dituntun keluar, badan bergerak
mengikuti gerak pedang, dia pun ikut melesat keluar.
Sudah tentu Yan Lam-hwi tidak membiarkan musuh merat,
baru saja dia bergerak hendak mengudak keluar, mendadak
didengarnya sebuah jeritan disusul bentakan bengis,
"Sambut."
Sesosok bayangan orang menubruk terbang ke dalam,
rambut awut-awutan, mukanya berlepotan darah, siapa lagi
kalau bukan Co Giok-cin.
Walau pedang Yan Lam-hwi secepat kilat, pandangannya
pun tajam, baru saja pedangnya menusuk, segera dia
kendorkan tenaga menarik tangan.
Setengah menjerit Co Giok-cin sudah menubruk badannya.
"Biang", pintu besi tebal itupun tertutup rapat. Di luar segera
terdengar suara "klik, klik, klik" beruntun, tiga belas kunci telah
dikunci seluruhnya, kecuali Kongsun To, tiada orang di dunia
ini yang mampu membuka pintu besi itu.
Yan Lam-hwi membanting kaki, tidak menghiraukan Co
Giok-cin yang roboh di tanah, dia membalik tubuh terus
menerobos ke lubang dinding.
"Jagalah nona Co, akan kupenggal kepala Kongsun To dan
kuserahkan kepadamu," katanya.
Kalau golok Pho Ang-soat sudah keluar sarung, apa pula
yang perlu dia kuatirkan di sini. Sekarang hanya satu
tekadnya, membunuh orang, membunuh orang yang
membunuh. Darah masih menetes dari ujung golok.
Tio Ping terkapar di bawah goloknya, Co Giok-cin rebah di
sampingnya, asal dia mengangkat kepala, akan melihat darah
yang menetes di ujung goloknya. Darah segar menetes di atas
batu, muncrat menjadi ceceran yang menggiriskan.
Pho Ang-soat berdiri tidak bergerak, mengawasi darah
menetes di ujung goloknya, kali ini golok ternyata tidak
langsung kembali ke sarungnya.
Co Giok-cin meronta bangun dan duduk di sampingnya,
matanya lengang mengawasi goloknya. Sungguh sangat
besar keinginannya untuk melihat dimanakah letak
kemujizatan golok ini" Waktu gokok ini membunuh orang,
seolah sudah diberi tuah oleh para malaikat di langit, tapi juga
seperti pernah dikutuk oleh para iblis di neraka.
Tapi dia kecewa, batang pedang yang panjang sempit
sedikit melengkung, mata golok yang tajam dan mengkilap
dengan jalur lekukan darah yang tidak begitu dalam, kecuali
gagang goloknya yang hitam, bentuk dari golok ini
kelihatannya tiada beda dengan golok umumnya.
Co Giok-Cin menghela napas, katanya, "Bagaimanapun
juga, akhirnya aku toh melihat golokmu. Apakah aku harus
berterima kasih kepada orang yang mati di bawah golokmu
ini?" Perkataannya kelam dan perlahan, seperti sedang
menggumam sendiri.
Dia hanya ingin supaya Pho Ang-soat maklum, apa yang
ingin dia lakukan, pasti bisa dilaksanakan dengan baik. Tapi
setelah dia melontarkan kata-katanya, segera dia sadar
bahwa dirinya telah berbuat salah, karena dia sudah melihat
mata Pho Ang-soat.
Sebelum ini sepasang mata ini kelihatannya amat lelah,
amat berduka, sekarang ternyata berubah lebih tajam dan
dingin dari mata pisau. Tanpa sadar Co Giok-cin menurut
mundur, tanyanya dengan suara memelas, "Ada yang salah
dengan ucapankanku?"
Pho Ang-soat menatapnya, seperti harimau kumbang
menatap mangsanya, setiap saat akan menerkamnya. Tapi
setelah semua merah di mukanya sirna, dia hanya menghela
napas, katanya, "Kita salah semua, kesalahanku lebih
menakutkan dari kau, kenapa aku harus menyalahkanmu?"
"Kau pun salah?" Co Giok-cin memancing keterangan.
"Kau salah omong, aku salah membunuh orang."
Co Giok-cin mengawasi mayat di tanah, "Kau tidak pantas
membunuhnya" Bukankah dia hendak membunuhmu?"
"Kalau dia benar ingin membunuh, yang menggeletak jadi
mayat sekarang adalah aku." Kepalanya tertunduk, sorot
matanya diliputi duka dan sesal.
"Dia tidak membunuhmu, apakah membalas budi
kebaikanmu, karena tempo hari kau tidak membunuh dia?"
Pho Ang-soat menggeleng.
Jelas ini bukan jawaban, peduli tangan siapa pun bila kau
potong, cara yang tepat untuk membalas budi kebaikan orang
itu terhadapmu adalah memotong buntung tanganmu.
Mungkin ini hanya suatu perasaan terima kasih yang ganjil,
terima kasih kepadamu lantaran kau telah membuatnya sadar
dan meresapi sesuatu yang sebelum ini tidak atau belum
pernah dia pikirkan, berterima kasih kepadamu karena telah
mempertahankan gengsi, harga dirinya.
Pho Ang-soat dapat meresapi perasaan hatinya, namun tak
kuasa dia utarakan, sering terjadi adanya ikatan batin yang
aneh dan ruwet, namun siapa pun sukar menjelaskan dimana
anehnya, bagaimana pula ruwetnya.
Darah di ujung golok sudah kering.
Mendadak Pho Ang-soat berkata, "Inilah yang pertama,
juga yang terakhir."
"Aku tahu," ucap Co Giok-cin. "Pertama kali ini kau salah
membunuh orang, juga yang terakhir."
"Kau keliru lagi, orang yang sering membunuh orang, setiap
saat mungkin saja salah membunuh."
"Jadi maksudmu ..."
"Inilah pertama kali kau melihat golokku, juga yang
terakhir," ucap Pho Ang-soat tegas.
Golok akhirnya masuk ke sarung.
Co Giok-cin memberanikan diri berkata dengan tertawa,
"Golok itu tidak bagus, tidak lebih hanyalah sebatang golok
biasa saja."
Pho Ang-soat tidak ingin bicara lagi, baru saja membalik
tubuh, mukanya yang pucat mendadak berkerut dan kedutan
lagi, "Bagaimana kau bisa melihat golokku?"
Co Gok-cin segera menjawab, "Golokmu berada di depan
mataku, aku toh tidak buta kenapa tidak bisa melihatnya?"
Jawaban yang masuk akal, tapi dia melupakan satu hal.
Kamar batu ini hakikatnya gelap gulita, tiada setitik sinar api
pun, gelap pekat.
Sejak umur lima tahun Pho Ang-soat sudah mulai latihan
Lencana Pembunuh Naga 9 Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung Panji Sakti 7
^