Pencarian

Peristiwa Bulu Merak 4

Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Bagian 4


golok, kamar gelap yang rapat, pengap dan panas, sinar dupa
yang menyala berkelap-kelip, berhari-hari hingga bertahuntahun.
Dia giat berlatih sepuluh tahun baru bisa melihat semut
yang merambat di kamar gelap, sekarang walaupun dia
melihat jelas wajah Co Giok-cin, karena dia pernah latihan,
maka dia pun tahu hal ini jelas bukan pekerjaan yang
gampang. Lalu bagaimana mungkin Co Giok-cin bisa melihat
goloknya" Tanpa terasa tangan Pho Ang-soat menggenggam
kencang goloknya.
Mendadak Co Giok-cin tertawa, katanya, "Mungkin belum
pernah kau pikir, ada sementara orang sejak lahir sudah
dibekali mata malam."
"Dan kau satu di antaranya?"
"Bukan saja mataku dapat melihat di tempat gelap, aku pun
bisa menembus rongga dada orang melihat apa isi hatinya,"
senyumannya berubah pudar. "Sekarang dalam hatimu tentu
sedang berpikir, aku ini bukan Co Giok-cin asli, sudah tentu
kau tidak menganggap aku ini siluman, tapi kemungkinan
adalah mata-mata Kongsun To, bukan mustahil pula seorang
pembunuh perempuan yang lihai dan terkenal, kemungkinan
besar pula Bing-gwat-sim telah aku jual, karena tiada orang
tahu kami berdua bersembunyi di sini."
Pho Ang-soat diam saja, berarti sependapat.
Co Giok-cin mengawasinya, matanya berkaca-kaca,
katanya, "Kenapa kau selalu tidak percaya kepadaku"
Kenapa?" Lama Pho Ang-soat berdiam diri, katanya, "Mungkin kau
tidak pantas sepandai ini."
"Kenapa tidak pantas" Lagi-lagi seperti Jiu Cui-jing, mana
bisa mencari bini yang bodoh untuk melahirkan
keturunannya?"
Terkatup mulut Pho Ang-soat.
Sebaliknya Co Giok-cin tak berhenti bicara, "Anak yang
kulahirkan pasti juga pintar, oleh karena itu aku tidak ingin
begitu dia lahir sudah tidak punya ayah, aku tidak bisa
membuatnya merana dan menderita, penuh penyesalan
seumur hidupnya kelak."
Muka Pho Ang-soat kedutan pula. Dia maklum pula apa
maksud perkataannya, karena sejak dilahirkan dia pun tidak
pernah punya ayah. Seorang bocah pandai yang tidak punya
ayah itu sudah merupakan tragedi, setelah dia tumbuh
dewasa pasti akan membuat orang lain melakukan banyak
peristiwa tragis. Karena dendam dan kebencian yang
bersemayam dalam sanubarinya jauh lebih besar dari rasa
kasih sayang. Akhirnya Pho Ang menghela napas, katanya, "Kau bisa
mencari seorang ayah untuk anakmu."
"Aku sudah menemukan."
"Siapa?"
"Engkau."
Kamar batu itu makin gelap, di tempat gelap pekat ini
jawaban itu kedengarannya berkumadang di tempat yang
teramat jauh. "Hanya kau yang setimpal menjadi ayah anakku, hanya kau
mampu melindungi bocah ini hingga tumbuh dewasa, kecuali
kau tiada orang lain lagi yang setimpal."
Pho Ang-soat berdiri kaku ditelan kegelapan, terasa setiap
jengkal kulit dagingnya seperti mengeras kaku.
Ternyata Co Giok-cin melakukian tindakan yang amat
mengejutkan sanubarinya pula, mendadak dia meraih Housing-
kiam milik Tio Ping, katanya, "Kalau kau menolak, lebih
baik anak dalam kandunganku ini mati dalam perut."
"Sekarang?" pekik Pho Ang-soat tertahan.
"Ya, sekarang juga, karena aku sudah merasakan dia akan
segera lahir," walau dia berusaha menahan diri, namun
wajahnya sudah kelihatan pucat dan berkerut-kerut menahan
sakit. Derita seorang perempuan di kala melahirkan, memang
merupakan salah satu derita yang tidak mungkin ditahan
dalam kehidupan manusia.
Pho Ang-soat lebih kaget, serunya, "Tapi kau pernah
bilang, kandunganmu baru tujuh bulan, kan belum genap."
Co Giok-cin tertawa getir dengan menahan napas, katanya,
"Anak biasanya memang nakal dan tidak mau mendengar
nasehat, apalagi anak yang masih dalam kandungan, bila dia
mau lahir, siapa pun takkan bisa mencegahnya." Tawa
getirnya berubah menjadi seringai kesakitan, namun diliputi
rasa hangat dan kasih sayang ibunda yang sukar dilukiskan.
Dengan suara perlahan dia menyambung, "Mungkin karena
dia ingin lekas melihat dunia atau mungkin juga aku
diguncangkan oleh orang-orang itu, maka...."
Dia tidak kuat meneruskan ucapannya, rasa sakit yang
bergelombang di perutnya membuatnya merinding dan
menggelepar. Tangannya masih memegang kencang Housing-
kiam, seperti Pho Ang-soat waktu menggenggam
goloknya tadi. Agaknya dia sudah bertekad bulat.
Pho Ang-soat tergagap, "Aku ... aku boleh menjadi ayah
angkatnya." Seolah-olah dia sudah mengerahkan seluruh
tenaga dan keberaniannya melontarkan kata-kata itu,
suaranya pun serak.
"Ayah angkat tidak bisa mewakili ayah, jelas tidak bisa?"
"Lalu apa kehendakmu?"
"Aku ingin supaya kau mempersunting aku jadi istrimu.
Anakku baru resmi menjadi anakmu," rasa sakit merangsang
pula. Dengan mengertak gigi dia unjuk tawa dipaksakan. "Jika
kau tidak setuju, aku juga tidak akan menyalahkan kau, cuma
aku mohon kau kubur mayat kami di pekuburan Khong-jioksian-
ceng." Apakah ini pesan terakhir" Jika Pho Ang-soat menolak
lamarannya, dia akan segera mati"
Pho Ang-soat tertegun, dia sering berhadapan dengan
musuh yang paling menakutkan, menghadapi bahaya besar
yang hampir merenggut nyawanya, tapi belum pernah dia
mengalami kesulitan seperti sekarang.
Kematian Jiu Cui-jing boleh dikata lantaran dirinya, Co
Giok-cin boleh dianggap sebagai istri Jiu Cui-jing. Tapi dilihat
dari sudut lain, bahwa kematian Jiu Cui-jing juga lantaran
dirinya hingga Khong-jiok-san-ceng yang sudah berdiri selama
hampir empat ratus tahun hancur-lebur dalam sekejap, kini Jiu
Cui-jing hanya meninggalkan satu keturunan, apa pun
pengorbanannya adalah pantas kalau dia melindungi Co Giokcin,
biarlah dia melahirkan secara wajar dan lancar,
melindunginya hingga bocah tumbuh dewasa. Mungkinkah dia
menolaknya"
Gelombang sakit semakin sering dan pendek, rasa sakit itu
juga makin parah, mata tajam Hou-sing-kiam sudah mengiris
robek baju luarnya.
Akhirnya Pho Ang-soat mengambil keputusan yang
menyiksa hatinya, "Baiklah, aku terima."
"Kau bersedia manjadi suamiku."
"Ya, aku mau menjadi suamimu."
Apakah tetap keputusannya" Tiada orang dapat
memastikan, dia sendiri pun tidak bisa, namun dalam keadaan
seperti itu dia sudah tidak punya pilihan lain.
Dengus napas, rintihan dan jerit kesakitan ... mendadak
seluruhnya berhenti, menjadi hening lelap seperti tiada
kehidupan. Selanjutnya meledaklah tangisan nyaring dan merdu dari
jabang bayi yang memecah kesunyian, membawa kehidapan
baru di jagat raya ini.
Tangan Pho Ang-soat berlepotan darah, namun darah
kehidupan. Kali ini dia membawa dengan tangannya,
membawa kehidupan, bukan kematian, kehidupan yang
menyala. Mengawasi tangan sendiri, terasa hatinya pun melonjaklonjak
menyambut kehidupan baru yang baru tumbuh.
Mayat Tio Ping masih di pinggir, dia mati di bawah golok
Pho Ang-soat, hanya dalam sekejap dia sudah merenggut jiwa
orang. Tapi sekarang tumbuh pula jiwa baru, jiwa segar yang
lebih bergairah. Derita dan duka-lara seketika sirna setelah
pecahnya tangis jabang bayi. Bau darah yang penuh dosa
tadi, sekarang sudah tercuci oleh darah kehidupan yang baru.
Dalam jangka yang pendek ini, dia mengantar jiwa seorang
mangkat, namun lekas sekali menyambut pula datangnya
nyawa baru di dunia ini.
Pengalaman serba aneh ini membawa reaksi yang keras
dan segar dalam sanubarinya sehingga jiwanya sendiri juga
jelas menampakkan perubahan, berubah lebih semangat,
hidup dan bergairah. Karena dia sudah mengalami suatu
pencurian darah seumpama seekor merak yang sudah
mengalami pencurian api dan memporeleh kehidupannya
yang baru untuk kedua kalinya. Walau pengalaman ini cukup
menyiksa, namun merupakan proses pertumbuhan jiwa dan
nyawa, merupakan syarat yang paling mahal, tak ternilai dan
tidak boleh kurang. Karena itulah kehidupan manusia.
Patah tumbuh hilang berganti, yang tua mati yang muda
tumbuh, begitulah kehidupan. Sampai detik ini baru Pho Angsoat
terhitung paham, baru mengerti akan pengalamannya
yang baru ini, meresapi betul-betul.
Mendengarkan tangis nyaring serta jiwa kecil yang meronta
di tangannya, mendadak dia merasakan ketenangan jiwa dan
rasa gembira yang selama ini belum pernah dia rasakan.
Akhirnya dia sadar bahwa keputusannya memang benar, tiada
persoalan apa pun di dunia ini yang lebih penting dari lahirnya
jiwa. Makna kehidupan seseorang, bukankah merupakan
penyambung kehidupan jiwa di mayapada ini"
Dengan suaranya yang lemah Co Giok-cin bertanya, "Lelaki
atau perempuan?"
"Lelaki juga perempuan," sahut Pho Ang-soat, suaranya
terdengar gembira, nadanya aneh. "Kuhaturkan selamat
kepadamu, kau melahirkan sepasang bayi dampit."
Co Giok-cin menghela napas puas dan lega, wajahnya
yang lelah kelihatan rona bahagia, katanya dengan
tersenyum, "Aku pun harus memberi selamat kepadamu,
jangan lupa kau adalah ayah mereka." Ingin dia mengulur
tangan membopong putra-putrinya, namun kondisinya masih
terlalu lemah, tangan pun tak mampu diangkatnya.
Pada saat itulah terdengar suara gemuruh disertai getaran
dahsyat seperti gunung ambruk, batu sebesar gajah
berdentam memukul lantai kamar batu ini, pecahan batu
laksana anak panah muncrat kemana-mana dari lubang
dinding, satu-satunya jalan untuk keluar ternyata sudah
tersumbat rapat dari luar.
Hampir tidak tahan Pho Ang-soat akan meraung keras.
Bayi baru lahir, jiwanya yang baru sedang tumbuh, apakah
mereka harus ikut menyambut datangnya kematian.
ooooOOoooo Bab 12. Antara Mati-Hidup
Gelap pekat, sunyi senyap, tiada sinar tiada suara, semua
ini tiada menakutkan, yang betul-betul amat menakutkan
adalah tiada harapan. Mereka suah terjeblos ke dalam jurang
kematian. Kedua bayi itu tidak menangis lagi, mereka sedang minum
susu, hanya di saat mereka menetek, terasa betapa besar
gairah hidupnya. Akan tetapi berapa lama hidup mereka bisa
bertahan" Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya pula,
namun menghadapi jurang kematian yang penuh jebakan ini,
goloknya itu takkan mampu berbuat apa-apa, dalam keadaan
seperti ini sepantasnya dia menghibur Co Giok-cin, namun dia
tidak tahu apa yang harus diucapkan, pikirannya ruwet.
Biasa pandangannya terlalu tawar akan perbedaan mati
dan hidup, namun dia tidak tega melihat kedua bayi kecil itu.
Walau dia bukan ayah kandung mereka, namun dalam
sekejap tadi antara mereka sudah terjalin suatu ikatan yang
aneh, ikatan yang lebih erat, lebih intim dan mesra dari
hubungan ayah dan anak kandung sendiri, perasaan itu serba
ruwet dan ganjil, lantaran perasaan itu yang hanya dimiliki
manusia, maka dunia ini bisa tumbuh, bisa berkembang.
Mendadak Co Giok-cin berkata, "Dari Bing-gwat-sim aku
dengar kalian juga pernah terkurung di sini" Kalau dahulu kau
punya akal untuk meloloskan diri, sekarang pasti kau punya
akal untuk keluar." Matanya memancarkan sinar, diliputi sinar
harapan. Pho Ang-soat tidak tega membuat harapannya padam,
namun dia pun tidak ingin supaya dia tahu akan kenyataan
sebenarnya. "Tempo hari kami dapat lolos, karena di dalam sini ada alat
untuk merobohkan dinding," batinnya.
Sekarang kamar batu ini sudah kosong, kecuali mereka
berempat, ditambah sesosok mayat. Mayat itu sudah kaku
dingin, cepat atau lambat, mereka juga akan menjadi mayat
juga. Pandangan Co Giok-cin masih menampilkan setitik
harapan, katanya, "Sering aku dengar orang bilang, golokmu
adalah senjata paling tajam dan ampuh di jagat ini."
Mengawasi golok di tangan sendiri, suara Pho Ang-soat
mengandung kebencian, "Inilah senjata untuk membunuh
orang, bukan untuk menolong orang." Yang dibencinya bukan
orang lain tapi diri sendiri, asal kedua bayi cilik itu bisa
bertahan hidup, dia rela mengorbankan apa pun, melakukan
apa saja. Tapi dia justru tidak bisa berbuat apa-apa.
Setitik harapan yang terkandung dalam benak Co Giok-cin
terpaksa pudar, namun dia masih berusaha tertawa meski
dipaksakan, katanya, "Sedikitnya kita masih punya satu
harapan." Malah dia yang menghibur Pho Ang-soat, "Yan
Lam-hwi suruh kau menunggunya di sini, dia pasti kembali ke
sini." "Jika dia mau pulang, tentu sudah pulang sejak tadi,
umpama sekarang dia sudah kembali, tentu beranggapan
bahwa kita sudah tidak berada di sini."
Co Giok-cin tutup mulut, dia tahu apa yang dikatakan Pho
Ang-soat memang kenyataan, Yan Lam-hwi pasti tidak
menduga bahwa mereka cukup lama berada di dalam kamar
batu ini, lebih tidak menduga bahwa Pho Ang-soat akan
terkubur hidup-hidup di sini.
Ketajaman telinga Pho Ang-soat serta reaksinya memang
hebat, siapa pun bila melakukan suatu aksi di sebelah atas,
pasti tidak dapat mengelabuinya. Lalu siapa bakal menduga


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa saat itu dia sedang sibuk menyambut kelahiran dua
nyawa cilik mungil sekaligus" Siapa pula yang mau
memikirkan bahwa di dalam sini ada jerit tangis orok yang
baru lahir" Banyak kejadian di dunia ini memang jarang
terduga sebelumnya, kejadian nyata kadang-kadang justru
lebih menakjubkan daripada dongeng.
Anak-anak mulai menangis lagi.
Telapak tangan Pho Ang-soat berkeringat, mendadak dia
teringat dia bisa melakukan sesuatu untuk mereka. Sesuatu
yang sebetulnya tidak sudi dia lakukan meski jiwanya harus
berkorban. Tapi sekarang dia harus melakukan, dia dipaksa
oleh keadaan untuk melakukan.
Tio Ping seorang kawakan Kangouw, setiap orang kawakan
yang sering berkelana di Kangouw pasti banyak membekal
barang-barang penting untuk memberikan pertolongan
darurat. Menguras barang milik seorang yang sudah mati, bila
dipikir sebetulnya Pho Ang-soat sudah muntah-muntah,
apalagi sekarang dia sendiri yang harus melakukan, tapi
kenyataan sekarang dia sedang melakukannya.
Dia mengeluarkan sebuah obor kecil, segulung tali panjang,
sekeping belerang untuk mengusir setan atau ular, sebotol
obat untuk luka pukulan dan bacokan, Jinsom yang sudah
pernah dikunyah, serenceng kunci, sekuntum kembang
mutiara, beberapa keping uang emas, beberapa lembar cek
dan sepucuk surat.
Mutiara dan emas adalah benda-benda berharga yang
sering diperebutkan secara tidak halal oleh manusia
umumnya, malah tidak segan-segan sementara orang
mempertaruhkan jiwa raga sendiri untuk merebut barangbarang
itu, namun sekarang benda berharga ini tidak berharga
lagi. Bukankah inipun semacam sindiran"
Kondisi yang lemah setelah kelahiran, bayi-bayi itupun
perlu air susu ibu, siapa pun pasti tahu Co Giok-cin sekarang
memerlukan Jinsom itu Tanpa bicara Pho Ang-soat melolos
golok memotong bagian yang sudah terkunyah. Pertama kali
ini dia mencabut goloknya hanya untuk suatu benda yang
tidak bernyawa, namun untuk kedua kalinya Co Giok-cin
melihat goloknya
Agaknya sekarang dia tidak peduli lagi, garis pemisah
antara hubungannya dengan Co Giok-cin agaknya sudah
putus sejak terjadinya kelahiran dua insan di dunia ini.
Sekarang antara kedua orang ini sudah terjalin suatu ikatan
batin yang tak teraba, tak terlihat.
Co Giok-cin tidak menyinggung hal ini, tanpa bersuara dia
terima Jinsom itu, matanya menatap kembang mutiara itu.
Itulah sekuntum Bo-tan, setiap mutiara mulus dan bercahaya,
berkat keahlian si pembuat, meski di tempat gelap juga
kelihatan betapa indah dan antiknya.
Matanya bercahaya pula, betapapun dia seorang
perempuan. Daya tarik mutu manikan memang tak bisa
ditahan oleh perempuan mana pun.
Sesaat Pho Ang-soat bimbang, akhirnya dia
mengangsurkan kepadanya.
Mungkin dia tidak harus berbuat demikian, tapi dalam
keadaan seperti sekarang kenapa dia tidak memberi
kesempatan supaya dia merasakan ketenteraman, riang dan
senang" Meski rasa senang itu hanya sedikit, hanya sekejap.
Co Giok-cin tertawa lebar, tawanya mirip tawa bocah
mendapat permen yang sudah lama dia dambakan.
Di tengah isak tangisnya, kedua orok itu akhirnya tertidur
pula. "Kau pun harus tidur," bujuk Pho Ang-soat.
"Aku tidak mengantuk."
"Asal kau pejamkan mata, pasti bisa tertidur."
Pho Ang-soat tahu dia amat lelah, lelah dalam kondisi yang
lemah, dia banyak kehilangan darah, mengalami berbagai
kejadian yang menakutkan lagi.
Akhirnya pelupuk matanya terpejam juga, dia tenggelam
dalam tidur pulas di kegelapan yang manis dan tenteram.
Diam-diam Pho Ang-soat mengawasi mereka, ibu dan
anaknya yang sedang tidur nyenyak, adalah gambaran
bahagia yang amat mengesankan, lukisan yang indah, tapi
sekarang .... Dia menggigit bibir, bertekad untuk tidak
mengucurkan air mata.
Dia memasang obor, pemandangan yang terlihat pertama
adalah tulisan di sampul surat itu.
"Kepada yang terhormat, Yan Lam-hwi adikku, dari Gi."
Gi" Kongcu Gi" Apakah Kongcu Gi titip surat ini supaya
diserahkan kepada Yan Lam-hwi"
Adikku" Sebetulnya ada hubungan apakah di antara
mereka" Pho Ang-soat menekan keinginannya, melempit surat dan
disimpan dalam kantong bajunya.
Tio Ping tidak punya kesempatan menyerahkan surat ini,
selanjutnya dia mengharap dirinya masih ada kesempatan
bertemu dengan Yan Lam-hwi. Namun dia juga tahu harapan
ini terlalu kecil.
Bagi Pho Ang-soat, kecuali surat dan Jinsom itu, barangbarang
yang dia temukan dari badan Tio Ping hakikatnya tidak
berharga. Karena dia melalaikan satu hal dari badan lelaki
seperti Tio Ping, semestinya tidak pantas menemukan
kembang mutiara, bila dia teringat akan hal ini, ternyata sudah
terlambat. Ibu dan kedua anaknya masih tidur nyenyak, dalam
kegelapan mendadak terdengar suatu suara yang aneh, suara
gaib. Lekas Pho Ang-soat menyalakan obor, maka tampak
olehnya beberepa ekor ular menerobos ke pojok kiri yang
gelap sana, agaknya mereka tidak tahan mencium bau
belerang. Kamar batu di bawah tanah ini sudah pasti tiada lubang
anginnya lagi, maka hawa di sini makin pengap dan kotor,
sehingga bau belerang terlalu menusuk hidung.
Seketika Pho Ang-soat menemukan satu hal yang
menakutkan, mungkin sebelum mereka mati kelaparan,
mereka sudah mati tercekik karena kehabisan hawa.
Terutama anak-anak, anak-anak belum mempunyai daya
tahan untuk menyesuaikan diri dalam keadaan seperti ini.
Pada saat itu pula mendadak dia menemukan sesuatu
kejadian, kejadian yang mengobarkan semangatnya.
Beberapa ekor ular itu setelah menerobos ke pojok kiri sana
lantas lenyap, berarti di tempat ini pasti ada jalan keluar.
Di atas dinding batu di pojok kiri sana ternyata memang
ada celah-celah retakan dinding, entah sebelum ini memang
sudah ada atau retak karena terjadinya getaran dahsyat tadi"
Dia bukan ular, dia tidak tahu bagian luar dinding ini di
permukaan tanah atau terpendam di dalam bumi. Tapi setelah
ada setitik harapan, maka dia tidak akan mengabaikannya,
maka dia mencabut goloknya.
Waktu Co Giok-cin bangun, sudah lama Pho Ang-soat
menggali dinding, lubang di dinding sudah semakin besar,
umpama seekor kucing besar juga sudah bisa keluar masuk.
Sayang sekali mereka bukan kucing juga bukan tikus.
Anak-anak bangun dan menangis, setelah menangis, pulas
pula. Co Giok-cin membuka baju luarnya dan digelar di lantai,
perlahan dia turunkan kedua anaknya yang pulas, lalu
meronta berdiri secara diam-diam.
Pho Ang-soat sedang istirahat, napasnya agak memburu,
pakaiannya basah-kuyup, bagi orang yang sudah tidur
mungkin tidak merasakan, tapi tenaganya sudah terkuras terlalu banyak,
udara yang pengap membuat napasnya megap-megap,
hampir dia tidak tahan lagi.
Dia harus lekas meloloskan diri, maka dia kerahkan tenaga,
bekerja lebih keras dan cepat, mendadak "Trang", goloknya
gumpil sedikit karena terbentur batu. Golok ini sudah menjadi
salah satu anggota badannya, salah satu bagian dari jiwa
raganya, tapi kedua tangannya tidak pernah berhenti.
Co Giok-cin menggigit sekerat Jinsom, tanpa bersuara dia
angsurkan ke depannya.
Pho Ang-soat menggeleng, katanya, "Anak-anak harus
menetek, kau lebih memerlukan dari aku."
Pilu suara Co Giok-cin, "Tapi jika kau ambruk, siapa pula
yang bisa hidup?"
Pho Ang-soat mengertak gigi, goloknya gumpil pula. Air
mata Co Giok-cin bercucuran.
Semula senjata ini tiada bandingannya di seluruh jagat,
cukup membuat siapa pun berubah air mukanya, nyali
pendekar ciut, tapi sekarang kenyataan dia tidak lebih kuat
dari pacul atau linggis. Sungguh tragedi yang amat kejam,
tragedi yang mengenaskan" Sudah tentu Pho Ang-soat
merasakan hal ini, kenyataan memang sudah hampir ambruk.
Tiba-tiba kedua tangan Co Giok-cin terulur maju, di kedua
telapak tangannya berisi sumber air abadi. Pho Ang-soat
membuka mulut, air abadi lantas meluncur ke dalam perutnya,
rasa harum dan manis yang tak bisa dilukiskan merasuk ke
dalam sanubarinya. Air abadi itu adalah air susu Co Giok-cin.
Padahal Pho Ang-soat sudah bersumpah tidak akan
mengucurkan air mata, namun sekarang air matanya sudah
tidak terbendung lagi.
Pada saat itulah, dari celah-celah lubang itu ada sesuatu
benda menjulur masuk, ternyata itulah sebilah pedang,
pedang merah segar. Di ujung pedang terikat secarik kain, di
atasnya tertulis huruf darah, "Aku belum mati, kau pun tak
boleh mati".
Kedua orok itu menangis lagi, suara tangisnya yang keras
bergema, melambangkan kehidupan yang menggelora.
ooooOOoooo Sinar surya menerangi jagat raya.
Akhirnya kedua orok itu melihat sinar matahari.
Terbit secercah harapan dalam benak Pho Ang-soat,
semoga anak yang hidup dalam kegelapan bisa tumbuh
dewasa di bawah cahaya matahari.
"Sebetulnya aku sudah pergi, aku sudah pergi tiga kali."
"Tapi tiga kali pula kau kembali."
"Aku sendiri tidak tahu kenapa aku kembali, semula aku
kira kalian tidak mungkin berada di dalam," Yan Lam-hwi
tertawa, "tak pernah terbayang olehku meski dalam mimpi,
bahwa suatu ketika Pho Ang-soat juga akan terkubur hiduphidup."
Tawanya ramah dan riang, bukan tawa sinis, karena
hatinya benar-benar sedang gembira. Katanya pula, "Terakhir
kali sebenarnya aku sudah bertekad akan pergi."
"Kenapa kau tidak segera pergi?"
"Karena mendadak aku mendengar suatu suara yang amat
aneh, suara seperti seorang yang lagi tersedak."
"Suara golok gumpil yag beradu dengan batu di dalam
tanah." "Golok siapa?"
"Golokku."
Berdiri alis Yan Lam-hwi, mulutnya ternganga, dengan
terbelalak kaget dia mengawasi Pho Ang-soat, lebih kaget bila
mendadak dia melihat bumi di bawah kakinya merekah.
Pho Ang-soat malah tertawa, katanya, "Golokku kan juga
sama seperti golok lain, golok biasa."
"Bagaimana tanganmu?" tanya Yan Lam-hwi.
"Tanganku masih utuh," sahut Pho Ang-soat.
"Asal tanganmu masih utuh, golok yang gumpil sekalipun
tetap dapat membunuh orang."
Seketika sirna tawa Pho Ang-soat, "Orangnya?"
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya tertawa getir,
"Orangnya masih ada, sayang aku tidak tahu dimana mereka."
Di kejauhan sana ada sebuah kereta kuda, namun tiada
orang. "Kau datang naik kereta itu?" tanya Pho Ang-soat.
"Tiga kali aku mondar-mandir naik kereta. Aku tidak suka
jalan kaki, kalau bisa naik kereta, aku pasti tak pernah jalan."
"Hanya karena tidak suka jalan, bukan karena kakimu?"
tanya Pho Ang-soat.
Yan Lam-hwi menatapnya, tiba-tiba menghela napas,
"Kenapa aku selalu tak bisa mengelabui engkau?"
Kedua orok itu dibungkus dengan baju luar Pho Ang-soat,
sejauh ini Yan Lam-hwi tetap menekan rasa ingin tahunya, dia
tidak bertanya hal ini, karena Pho Ang-soat juga tidak
menyinggungnya. Dia tahu watak Pho Ang-soat, suatu hal bila
tak ingin atau pernah dia singgung kepadamu, lebih baik kau
pura-pura tidak tahu saja.
Dengan tersenyum manis Co Giok-cin menyapa
kepadanya, "Paman Yan, kenapa kau tidak melihat anak
kami?" Sungguh Yan Lam-hwi tidak tahan lagi, tanyanya bingung,
"Anak kalian?"
Co Giok-cin melirik ke arah Pho Ang-soat, katanya,
"Apakah dia tidak memberitahu kepadamu?"
"Memberitahu apa kepadaku?"
Makin manis senyum Co Giok-cin, katanya, "Anak ini yang
satu she Jiu, yang lain she Pho, yang laki mewarisi marga
keluarga Jiu, bernama Jiu Sian-jing. Yang perempuan ini lahir
lebih dulu, dia bernama Pho Siau-an." Sorot matanya
menampilkan rasa bangsa dan puas, hal ini sudah kami
bicarakan bersama-sama, kami sudah..." Dengan jengah
akhirnya dia menunduk malu.
Yan Lam-hwi menatapnya, lalu mengawasi Pho Ang-soat
pula, rasa kaget yang terbayang di wajahnya lebih besar
dibanding waktu dia mendengar suara golok gumpil tadi.
Dengan kalem Pho Ang-soat menoleh, lalu menarik
kencang popok orok-orok itu, katanya, "Kenapa kalian tidak
naik kereta lebih duhulu."
Co Giok-cin sudah naik dan duduk di dalam kereta, Yan
Lam-hwi dan Pho Ang-soat baru berjalan menghampiri. Kedua
orang ini cukup lama tidak buka suara, akhirnya Pho Ang-soat
bertanya, "Kau tidak mengira bukan?"
Terpaksa Yan Lam-hwi mengunjuk tawa, katanya, "Masih
banyak kejadian di dunia ini yang sering membuatku tidak
mengira." "Kau menentang?"
"Kurasa kau punya alasan, mungkin ..."
"Jika sang waktu bisa berputar balik, aku akan tetap
berbuat demikian, anak-anak itu tidak boleh tidak punya ayah,
apa pun seseorang harus menjadi ayahnya."


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lebar tawa Yan Lam-hwi, katanya, "Kecuali kau, sungguh
tak bisa terpikir olehku, siapa yang setimpal menjadi ayah
kedua orok ini." Langkahnya lambat, gaya berjalannya seperti
berubah mirip Pho Ang-soat, malah sering terbatuk-batuk.
Mendadak Pho Ang-soat berhenti, menatap dengan tajam,
lalu katanya, "Ada berapa banyak lukamu?"
"Tidak banyak."
Mendadak Pho Ang-soat turun tangan menarik pakaiannya,
dadanya yang bidang dan kekar, ternyata terdapat dua jalur
luka. Luka merekah berwarna ungu, mirip gores lukisan yang
dibubuhi warna.
Memicing mata Pho Ang-soat, katanya, "Inilah Thian-coatte-
biat Toa-jik-yang-jiu?"
"Oya," Yan Lam-hwi bersuara dalam mulut.
"Pahamu terkena Toh-kut-ting atau Soh-hun-ciam?"
Yan Lam-hwi tertawa getir, ujarnya, "Jika Soh-hun-ciam,
apakah sekarang aku masih bisa berdiri?"
"Ada orang Sing-siok-hay barat datang kemari?"
"Hanya datang satu."
"Yang datang To-jing-cu atau Bu-jing-cu?" tanya Pho Angsoat.
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, "Terluka di tangan
To-jing-cu akhirnya pasti mampus."
"Toh-ku-ting itu masih menancap di pahamu?"
"Sekarang pahaku hanya bolong satu," ujar Yan Lam-hwi,
waktu tangannya merogoh kantong, sebuah senjata rahasia
yang kemilau sudah berada di telapak tangannya, kalau
seluruh senjata rahasia yang ada di dunia ini dipilih sepuluh di
antaranya yang paling ganas dan menakutkan, maka Toh-kutting
ini pasti satu di antaranya.
Ternyata Yan Lam-hwi masih tertawa-tawa, katanya,
"Untung nasibku masih mujur, dia menimpukkan tiga belas
Toh-kut-ting, aku hanya kena satu, untungnya aku hanya
terluka kulit daging, tidak mengenai Hiat-to atau sendi tulang,
maka lariku masih lebih cepat dari
mereka, kalau tidak, umpama To-jing-cu tidak
membunuhku, Nyo Bu-ki juga pasti merenggut nyawaku."
Ternyata tawanya masih kelihatan riang, "Boleh kuberitahu
satu rahasia kepadamu, kemampuan untuk membunuh orang
memang aku bukan tandinganmu, tapi kepandaian untuk
melarikan diri, aku yakin nomor satu di dunia ini."
Tangan Pho Ang-soat juga sedang merogoh saku, setelah
dia bicara habis, di ujung jarinya terselip sepucuk surat,
katanya, "Bacalah setelah duduk di dalam kereta."
"Siapa pegang kendali?"
"Aku."
Yan Lam-hwi tertawa, katanya, "Seingatku dulu kau tidak
pernah menjadi kusir."
"Sekarang aku sudah pandai."
"Kapan kau belajar menjadi kusir?"
Pho Ang-soat menatapnya, lalu balas bertanya, "Apakah
dulu kau sudah pandai melarikan diri?"
Yan Lam-hwi berpikir sejenak, lalu menggeleng kepala.
"Sejak kapan kau belajar melarikan diri?"
"Bila dipaksa untuk melarikan diri."
Pho Ang-soat menutup rapat mulutnya, dia yakin Yan Lamhwi
sudah maklum akan maksudnya. Seorang bila keadaan
memaksa harus melakukan sesuatu, maka dia bisa
melakukannya. ooooOOoooo Surat itu cukup panjang, semuanya ada tiga lembar.
Sebelum naik kereta Yan Lam-hwi sudah merobek sampul
suratnya, biasanya dia memang terburu napsu.
Ternyata Pho Ang-soat amat tabah dan sabar, dia tidak
bertanya apa yang tertulis dalam surat itu.
Agaknya surat itu membawa berita yang amat menarik,
karena sambil membaca, Yan Lam-hwi tertawa riang Tawa
riang yang mengandung cemoohan. Mendadak dia berkata,
"Agaknya Kongcu Gi seorang yang amat baik, perhatiannya
terhadapku teramat besar."
Pho Ang-soat hanya bersuara dalam mulut.
"Dia membujukku supaya lekas meninggalkan engkau,
karena sekarang kau sudah dipandang sebagai penyakit
menular yang amat jahat, siapa pun tersentuh olehmu pasti
dia tertimpa bencana dan akhirnya sekarat." Yan Lam-hwi
tertawa lebar, "Malah dia pun mencantumkan sebuah daftar."
"Sebuah daftar?"
"Daftar nama-nama orang yang ingin membunuh kita,
dalam daftar ini, orang-orang yang ingin membunuh kau satu
orang lebih banyak dari yang ingin membunuh aku."
"Hanya seorang kan tidak banyak."
"Umumnya memang tidak dianggap banyak, tapi juga tidak
sedikit, cuma harus dilihat siapa seorang yang kelebihan ini,"
mimik tawanya kelihatan tidak senang, "Kalau kunilai secara
obyektif, orang yang ingin membunuh kau ini bahwasanya
tidak boleh dihitung satu."
"Dihitung berapa?"
"Sedikitnya dihitung sepuluh orang."
"Apakah Bu-jing-cu dari Sing -siok-hay?"
"Kalau dibanding dengan orang yang satu ini, paling
banyak Bu-jing-cu hanya boleh dianggap bocah yang baru
pandai membunuh orang."
"Siapakah orang itu?"
Yan Lam-hwi sudah duduk di atas kereta, pintu ditutup
seperti takut dirinya terjungkal jatuh, katanya, "Orang ini juga
menggunakan golok, golok istimewa."
"Golok apa?" tanya Pho Ang-soat.
Yan Lam-hwi menutup pintu lebih rapat, lalu sepatah demi
sepatah dia menyebut nama golok itu, "Thian-ong-cam-kui-to."
Kabin kereta itu cukup lebar, Co Giok-cin merebahkan
putrinya dipangkuannya, putranya dia peluk dengan kedua
tangan, mata menatap Yan Lam-hwi, akhirnya tak tahan dia
bertanya, "Sebetulnya golok macam apakah Thian-ong-camkui-
to itu!" Yan Lam-hwi tertawa paksa, katanya, "Terus terang,
bahwasanya golok itu tidak boleh dianggap sebatang golok."
"Dianggap sepuluh batang?" Co Giok-cin menegas.
Yan Lam-hwi tidak langsung menjawab, dia malah balas
bertanya, "Kau pernah melihat pisau Siau Si-bu?"
Co Giok-cin berpikir sejenak, katanya sambil mengangguk,
"Aku pernah melihat orangnya, dia selalu membersihkan kuku
jarinya dengan pisau."
"Sidikitnya harus ada lima ratus batang pisau seperti itu,
baru bisa dibuat sebatang Thian-ong cam-kui-to."
Co Giok-cin merinding, serunya, "Lima ratus batang pisau?"
"Kau tahu," tanya Yan Lam-hwi, "berapa banyak orang
yang mati dalam segebrak oleh goloknya?"
"Dua" Tiga" Lima?" tanya Co Giok cin.
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, "Dalam segebrak
pernah sekaligus dia membunuh dua puluh tujuh orang, batok
kepala setiap korbannya terbelah dua."
Berubah air muka Co Giok-cin, orok dipeluknya lebih
kencang, sorot matanya menatap keluar jendela, katanya
dengan tersenyum menyengir, "Apakah kau sengaja hendak
menakuti aku?"
Yan Lam-hwi tertawa getir, katanya, "Jika kau pernah
melihat golok itu, pasti kau akan maklum apakah aku sengaja
membuatmu takut atau tidak." Mendadak dia menoleh,
katanya pula dengan tertawa, "Tapi kau pasti tidak akan bisa
melihatnya, semoga Thian yang Maha kuasa melindungimu,
apa pun jangan sampai kau melihatnya."
Co Giok-cin tidak bertanya lagi, karena dia sudah melihat
suatu kejadian aneh, katanya, "Coba lihat di sana, ada sebuah
roda kereta."
Roda kereta sebetulnya tiada yang lucu atau
mengherankan, tapi kenapa roda kereta yang satu ini bisa
menggelinding sendiri ke depan"
Tak tahan Yan Lam-hwi melongok keluar, seketika berubah
air mukanya, serunya, "Itu roda kereta ini."
Belum habis dia bicara, kereta sudah mendoyong ke
pinggir, terus menerjang miring keluar jalan raya.
Kembali Co Giok-cin menjerit, "Coba lihat. Kenapa di depan
ada kuda buntung?"
Kuda buntung" Mana ada kuda buntung di dunia ini, aneh
bin ajaib, kenyataan yang mengerikan, karena kuda buntung
itu masih terus berlari ke depan, lari hanya dengan dua kaki
depannya. Mendadak darahnya menyembur dan muncrat
bagai sambaran panah, setelah lari tujuh langkah baru kuda
buntung itu ambruk, isi perutnya tercecer dan terseret di jalan
raya. "Awas!" teriak Yan Lam-hwi. Belum lenyap suaranya, tahutahu
kereta itu sudah terpental mumbul ke udara dan terbalik
seperti berakrobatik.
Yan Lam-hwi menubruk maju sambil memeluk seorang
anak Co Giok-cin, berbareng sebelah kakinya menendang
terbuka pintu kereta. Sebuah tangan terulur ke dalam,
didengarnya suara Pho Ang-soat berkata, "Tarik kencang."
Dua tangan saling gendong dan tarik, Pho Ang-soat
menarik Yan Lam-hwi, sementara Yan Lam-hwi memeluk Co
Giok-cin dan seorang anaknya.
Di tengah bentakan nyaring, mereka sudah mencelat
terbang keluar. "Biang", suara keras menggetar bumi, kereta
itu sudah hancur menubruk sebatang pohon.
Lohor. Cuaca cerah, sinar matahari cemerlang.
Sinar mentari yang menyegarkan menerangi jalan raya
besar itu, mendadak segumpal mega tiba, sehingga cahaya
mentari tertutup, seolah-olah sang surya pun tidak tega
melihat peristiwa yang baru saja terjadi di jalan raya.
Kereta itu sudah remuk, kuda penarik kereta pun terpotong
menjadi dua, bagian belakang bangkai kuda itu masih terikat
di depan kereta, bagian kepalanya ternyata sudah
menggeletak di tengah jalan raya.
Sebetulnya apakah yang telah terjadi"
Dengan kencang Co Giok-cin memeluk kedua anaknya
supaya tidak menangis. Walau dia masih bingung, tidak tahu
apa yang telah terjadi, tapi sungguh dia teramat takut, begitu
takutnya sehingga lupa sakit. Padahal sekujur badan dan
tulang-tulangnya seperti dibetot dan copot, tapi rasa takut
telah membuatnya pati rasa, maka selanjutnya dia mulai
muntah-muntah. Seorang laki-laki penebang kayu yang masih muda sedang
berdiri di pinggir jalan di bawah pohon, mendadak dia pun ikut
muntah-muntah. Tadi dia pun sedang melangkah keluar dari
dalam hutan, hendak menyeberang jalan raya ini, namun
segera dia menyurut mundur dan menunggu, karena
dilihatnya sebuah kereta berkuda sedang berlari kencang
mendatangi. Yang memegang kendali adalah seorang bermuka pucat,
seolah-olah begitu besar keinginannya supaya kereta kuda ini
dalam sekejap menempuh delapan ratus li perjalanan.
"Memangnya orang ini buru-buru hendak melayat,"
demikian gerutu penebang kayu muda itu dalam hati, namun
sebelum dia bergerak lagi, mendadak dilihatnya sinar golok
berkelebat. Sebetulnya dia tidak melihat jelas dan tidak bisa
membedakan apakah yang berkelebat barusan sinar golok
atau kilat menyambar. Tapi dia melihat selarik sinar terang
melesat terbang dari dalam hutan di seberang sana, jatuh di
punggung kuda yang menarik kereta.
Kuda gagah yang sedang berlari kencang menarik kereta,
mendadak terpotong menjadi dua. Bagian kepalanya ternyata
berpisah dengan bagian pantatnya, bagian kepala masih bisa
berlari dengan kedua kaki depannya. Lalu apa pula yang
terjadi selanjutnya hakikatnya penebang kayu ini tidak melihat,
dia berdiri menjublek tidak percaya bahwa apa yang barusan
disaksikan adalah kejadian nyata. Dia hanya mengharap apa
yang disaksikannya ini hanya sebuah impian, impian buruk.
Tapi dia sudah mulai muntah-muntah.
ooooOOoooo Bab 13. Golok Raja Langit Pemenggal Setan
Sekali bacok tepat membelah seekor kuda menjadi dua,
golok apakah itu" Tiada orang melihat. Yang jelas sinar golok
melesat keluar dari dalam hutan, padahal kereta sudah berlari
sejauh tiga puluhan tombak, dipandang dari sini ke arah sana,
tiada bayangan orang, juga tidak terlihat adanya golok.
Pho Ang-soat menghadang di depan Co Giok-cin dan
kedua anaknya, matanya menatap hutan lebat di sebelah kiri,
kulit wajahnya yang pucat seolah-olah menjadi bening.
Setelah menenangkan napas, segera Yan Lam-hwi
bertanya, "Kau lihat golok itu?"
Pho Ang-soat menggeleng.
"Tapi kau pasti sudah tahu golok macam apakah itu?" Pho
Ang-soat mengangguk
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, "Agaknya Kongcu
Gi cukup cepat menyerap berita, Biau-thian-ong ternyata
sudah tiba."
Golok milik Biau-thian-ong sudah tentu adalah Thian-ongcam-
kui-to. Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam kencang, katanya
dingin, "Yang datang mungkin tidak sedikit."
Pada saat itulah dari utara dan selatan jalan raya, dua
kereta dilarikan sejajar mendatangi. Jalan mundur atau maju
sudah tersumbat.
Di atas kereta pertama sebelah kiri yang datang dari utara,
dua orang sedang duduk bersimpul menghadapi meja sedang
bermain catur. Kereta kedua juga diduduki dua orang, seorang
sedang membersihkan kuku, seorang lagi sedang minum
arak. Agaknya keempat orang ini sedang khusuk menghadapi
pekerjaan masing-masing, siapa pun tiada yang mengangkat
kepala atau menoleh ke depan.
Kereta pertama yang datang dari selatan tampak beberapa
perempuan di dalamnya, ada tua ada muda, ada yang senang
menyulam ada yang sedang makan kwaci, ada pula yang
menyisir rambut.
Perempuan yang paling tua itu ternyata bukan lain adalah
Kui-gwa-po. Di atas kereta kedua menggeletak sebuah peti mati besar
dan baru, di depannya tergantung sebuah wajan raksasa yang
terbuat dari tembaga, kuping gelang sebanyak empat buah
dari wajan ini terpasang di empat kaki besi.
Konon wajah terbesar di seluruh jagat ini adalah milik Siaulim-


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

si, wajan untuk memasak nasi. Maklum Hwesio Siau-lim-si
banyak jumlahnya, sepanjang tahun tak pernah makan barang
berjiwa, namun setiap hari mereka harus bekerja rajin, maka
selera makannya pun amat besar. Umpama saja setiap
Hwesio setiap makan menghabiskan lima mangkuk nasi, lima
ratus Hwesio menghabiskan berapa mangkuk" Lalu untuk
memberi makan sampai kenyang lima ratus Hwesio, berapa
besar wajan yang harus digunakan untuk memasak nasi"
Yan Lam-hwi pernah bertamu ke Siau-lim-si, sengaja dia
ingin menyaksikan wajan raksasa itu, karena dia memang
seorang yang selalu tertarik akan sesuatu yang luar biasa.
Wajan tembaga di atas kereta ini ternyata tidak lebih kecil
dari wajan Siau-lim-si itu. Dan anehnya di dalam wajan
ternyata ada dua orang, kepala besar kuping lebar, wajahnya
bundar, di atas jidatnya terdapat codet merah bekas bacokan
golok yang menggelantung ke bawah, dari atas alis menggaris
turun sampai ujung mulut, sehingga wajah bundar gemuk
yang kelihatan jenaka dan lucu ini mendadak berubah menjadi
seram dan kejam.
Kereta dilarikan perlahan, wajah di atas kereta ternyata
bergontai pergi datang, seperti mereka duduk di atas ayunan.
Mega sudah tertiup pergi, sang surya merayap makin
tinggi, namun hati Yam lam-hwi justru makin tenggelam. Tapi
dia harus mengunjuk tawa meski dipaksakan, gumamnya,
"Tak nyana To-jing-cu ternyata tidak datang."
"Sekali sergap tidak berhasil, harus segera mundur,"
demikian kata Pho Ang-soat dingin, itulah aturan lama pihak
Sing-siok-hay mereka.
Tawa Yan Lam-hwi seperti amat riang katanya, "Kecuali
dia, yang pantas datang agaknya sudah tiba, yang tidak patut
datang ternyata juga sudah tiba." Mengawasi si gembrot
dengan codet di mukanya dalam wajan itu dia tersenyum,
katanya, "Koki Dol, kenapa kau pun datang?"
Codet di muka si gendut bergerak seperti ular. Dia sedang
tertawa, tapi mimik tawanya kelihatan menjijikkan dan
misterius, katanya, "Kali ini aku datang mengerjai mayat."
"Mengerjai mayat siapa?" tanya Yan Lam-hwi.
"Mayat apa saja kukerjai!" dengan bergontai dia berdiri dan
keluar dari wajan besar itu. "Kuda mati dimasukkan ke perut,
orang mati dimasukkan ke layon."
Kereta sudah berhenti seluruhnya. Yang bermain catur
tetap saja main catur, yang minum arak masih memegang
cangkir, yang menyisir juga tetap menyisir rambut, masingmasing
masih sibuk dengan tugasnya.
Koki Dol tertawa, "Agaknya semua orang hari ini akan
dapat rezeki mujur, kalian akan bisa berpesta sampai
kenyang, daging kuda panca wangi yang diolah Koki Dol, tidak
sembarang orang dapat menikmatinya."
Yan Lam-hwi berkata, "Masakan keahlianmu kurasa bukan
daging kuda panca wangi, betul tidak?"
"Bahan-bahan untuk membuat masakan keahlianku sukar
dicari, bolehlah hari ini kalian menikmati daging kuda panca
wangi saja," sembari bicara badannya yang gendut itu tahutahu
sudah menyelinap keluar dari bawah wajan, terus
melompat turun, bagi yang tidak menyaksikan sendiri sungguh
sukar percaya bahwa si gendut yang beratnya ratusan kati itu,
gerak-geriknya ternyata enteng dan lincah. Dan ternyata dia
juga membawa pisau, pisau pendek tapi lebar, pisau untuk
merajang sayur, pisau yang biasa digunakan koki di setiap
restoran. Tak tahan Co Giok-cin bertanya, "Apa benar Koki Dol
seorang koki?"
"Palsu," sahut Yan Lam-hwi. "Kenapa orang memanggilnya
koki?" "Karena dia senang memasak dan suka pakai golok sayur."
"Paling ahli dia masak apa?"
"Panggang jantung orang, dicampur saos daging
panggang."
Penebang kayu itu sudah tidak muntah lagi, baru saja dia
mengangkat kepala, menegakkan badan, seketika dia berdiri
menjublek pula.
Tak pernah terbayang dalam benaknya bahwa tempat ini
bakal ramai. Pagi tadi dia hanya makan dua bakpao hangat
dengan beberapa tangkai sayur asin, semula dia menyangka
isi perutnya sudah terkuras habis, tiada yang bisa
dimuntahkan lagi. Tapi hanya sekejap dia melihat ke sana, tak
tertahan dia memeluk perut muntah-muntah lagi, lebih keras
dan banyak. Sementara itu Koki Dol sudah mengeluarkan pisaunya
membacok daging kuda, kulit daging bercampur tulangnya
sekalian, dia membacok segumpal besar, seenaknya saja
tangannya terayun melemparkan gumpalan daging itu ke
dalam wajan besar itu.
Tangan kanan mengerjakan pisau, tangan kiri melempar
daging, kedua tangannya naik turun secara cepat, gerakgeriknya
cekatan dan amat mahir, kuda itu dalam sekejap
telah diirisnya menjadi seratus tiga puluhan kerat daging.
Daging kuda sudah berada di dalam wajan, mana bahan
panca wanginya"
Darah yang berlepotan di atas pisaunya dibersihkan
dengan alas sepatu Koki Dol, lalu dia melangkah balik
menghampiri peti mati besar dan tebal itu. Di dalam peti mati
ternyata tersimpan berbagai bahan masakan, minyak, garam,
kecap, cuka, lada, jahe dan banyak lagi, tidak ketinggalan juga
penyedap rasa, bahan-bahan masakan yang terpikir olehmu
pasti dibawa oleh Koki Dol.
Koki Dol menggumam, "Kereta bobrok ini kebetulan untuk
bahan bakar, bila kereta ini terbakar habis, yakin dagingnya
juga sudah empuk, sudah matang."
Nyo Bu-ki yang sedang main catur tiba-tiba berseru,
"Bagianku jangan terlalu empuk, gigiku masih utuh."
Koki Dol berkata dengan nada tinggi, "Tosu yang beribadah
juga berani makan daging?"
"Jangan kata daging kuda, daging manusia juga pernah
kumakan." Koki Dol bergelak tertawa, katanya, "Jika Tosu ingin makan
daging manusia, sebentar boleh kubikinkan, bahan-bahan
sudah lengkap tersedia di sini."
"Memangnya aku sedang menunggu, biasanya aku tidak
tergesa-gesa."
Koki Dol bergelak tawa, matanya melirik ke arah Pho Angsoat,
katanya, "Daging manusia untuk tambah darah, siapa
mau makan sedikit daging orang, mukanya tanggung tidak
pucat lagi." Di tengah gelak tawanya, cukup dengan sebelah
tangan dia mengangkat wajan raksasa seberat tiga ratusan
kati itu bersama kaki besinya ke tengah jalan raya, lalu
dengan pecahan kayu kereta dia mulai menyulut api di bawah
wajan. Lekas sekali api telah menyala, asap mengepul, kayu yang
terjilat api meletup-letup lirih.
Orok di pelukan Co Giok-cin menangis, terpaksa Co Giokcin
menarik bajunya, memberi minum air teteknya.
Kongsun To yang masih memegangi cangkir arak
mendadak berseru, "Waduh putihnya."
"Daging yang empuk dan gurih," sela Koki Dol tertawa.
Kwi-gwa-po yang sedang makan kwaci mendadak
menghela napas, katanya, "Orok yang harus dikasihani."
Terasa oleh Pho Ang-soat, perutnya seperti mengkeret, tak
tertahan hampir saja dia pun muntah-muntah. Otot hijau sudah
merongkol di punggung tangannya yang memegang golok,
agaknya sudah siap mencabut goloknya.
Tapi Yan Lam-hwi memegang pundaknya, katanya lirih,
"Sekarang tidak boleh bergerak."
Sudah tentu Pho Ang-soat juga tahu situasi sekarang
belum mengizinkan dia beraksi. Beberapa orang itu kelihatan
bersikap santai, padahal hati mereka juga gugup, gelisah
sepeti semut di dalam kuali yang panas, sedikit lena dan
bergerak tanpa perhitungan, akibatnya pasti susah
dibayangkan. Lalu bagaimana kalau tidak beraksi" Apakah harus diam
begini saja sampai mereka habis gegares daging kuda, lalu
makan daging manusia.
Dengan merendahkan suaranya, Yan Lam-hwi bertanya,
"Kau kenal tidak Toh Cap-jit yang punya delapan nyali dan
delapan sukma?"
Pho Ang-soat geleng kepala.
"Orang ini bukan Tayhiap, bukan ksatria, tapi mempunyai
jiwa pendekar melebihi para pendekar dan ksatria yang
pernah kukenal. Aku sudah berjanji dengan dia untuk bertemu
di kedai minum Thian-hiang-lau di kota sebelah depan, asal
dapat menemukan dia, persoalan apa pun pasti dapat
dibereskan, hubunganku dengan dia amat baik."
"Itu kan urusanmu."
"Tapi sekarang urusanku adalah urusanmu pula."
"Aku tidak mengenalnya."
"Tapi dia mengenalmu."
Yang main catur tetap asyik dengan permainannya, setiap
orang masih tekun melakukan tugas masing-masing,
hakikatnya tidak memperhatikan mereka, seolah-olah mereka
sudah dianggap sebagai orang mati.
"Apakah kau ini seorang yang kenal aturan?" tanya Yan
Lam-hwi. "Kadang kala saja," sahut Pho Ang-soat.
"Sekarang apakah sudah tiba saatnya kita tidak usah kenal
aturan?" "Agaknya memang demikian."
"Bolehkah Co Giok-cin dan kedua anaknya mati di sini?"
"Tidak boleh."
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, "Syukurlah kalau
kau selalu ingat perkataanku tadi, marilah pergi."
"Pergi" Pergi bagaimana?"
"Begitu kau mendengar aku mengucap 'anjing kecil',
bawalah Co Giok-cin dan kedua anaknya ke atas kereta itu,
sembunyikan ke dalam peti mati, urusan selanjutnya serahkan
kepadaku." Lalu dengan tertawa Yan Lam-hwi menambahkan,
"Jangan lupa kepandaianku melarikan diri nomor satu di
seluruh jagat ini."
Terkancing mulut Pho Ang-soat, sudah tentu dia maklum
apa maksud Yan Lam-hwi, sekarang dia tidak punya pilihan
lain. Apa pun yang akan terjadi dia harus berjuang dan
berusaha supaya Co Giok-cin dan kedua anaknya tidak
terjatuh ke tangan orang-orang itu.
Kereta dimana Kwi-gwa-po duduk seluruhnya berisi orang
perempuan, kecuali nenek peyot ini, empat yang lain berwajah
tidak jelek. Tidak jelek maksudnya ayu jelita, yang paling jelita
sedang menyisir rambut, rambutnya yang panjang terurai
mayang dan hitam mengkilap.
Mendadak Yan Lam-hwi berkata, "Konon dari yang tua
sampai yang paling muda, Biau-thian-ong seluruh mempunyai
delapan puluh bini."
"Ya, tepat delapan puluh, dia suka angka genap," sahut
Kwi-gwa-po. "Kabarnya peduli kemana pun dia, paling sedikit akan
membawa empat lima bininya, karena sembarang waktu dia
memerlukan hiburan," kata pula Yan Lam-hwi.
"Dia memang laki-laki yang selalu fit tenaganya, maka
setiap bininya pasti merasa ketiban rezeki," ujar Kwi-gwa-po.
"Apakah kau salah satu di antaranya?"
Kwi-gwa-po menghela napas, katanya,"Aku memang ingin,
sayang dia menganggap aku terlalu tua."
"Siapa bilang kau sudah tua, menurut pandanganku, kau
lebih muda sepuluh tahun dibanding nenek yang sedang
menyisir rambut itu."
Kwi-gwa-po tertawa lebar, gadis yang sedang menyisir
rambut berubah air mukanya, menatapnya dengan mata
melotot. Yan Lam-hwi malah tertawa menyengir padanya, katanya,
"Sebetulnya kau belum terhitung tua, kecuali Kwi-gwa-po, kau
terhitung yang paling muda."
Sekarang orang banyak sudah tahu kalau dia sengaja
mencari setori, mencari kesulitan, tapi mereka tak habis
mengerti, orang-orang sengaja tidak memperhatikan dia,
sekarang terpaksa melirik atau menoleh ke arahnya.
Maka Yan Lam-hwi langsung menemui Koki Dol, katanya,
"Kecuali membacok daging mengiris sayur, pisaumu ini apa
pula gunanya?"
"Untuk membunuh orang pula," sahut Koki Dol. Codet di
mukanya mulai bergerak pula, "Membunuh seorang dengan
golok antik yang dihiasi mutiara dan mutu manikam, apa
bedanya dengan golok sayurku ini?"
"Kurasa ada sedikit perbedaannya."
"Dimana perbedaannya?"
Yan Lam-hwi tidak menghiraukan dia, setelah memutar
tubuh dia membuka tutup peti mati, mulutnya menggumam,
"Eh, di sini juga ada bawang merah, ada merica, apa ada
lombok?" "Dimana perbedaannya?" teriak Koki Dol.
Yan Lam-hwi tetap tidak mempedulikan dia, katanya, "Ha,
di sini memang ada lombok. Agaknya peti mati ini cukup untuk
dibuat dapur."
Semula Koki Dol mendemprok di tanah, sekarang dia
berdiri, katanya, "Kenapa tidak kau jelaskan" Sebetulnya
dimana letak perbedaannya?"
Akhirnya Yan Lam-hwi menoleh, katanya dengan tertawa,
"Sebetulnya dimana perbedaannya aku sendiri juga tidak tahu.
Aku hanya tahu supaya daging kuda panca wangi terasa
sedap, harus banyak dicampur lombok." Lalu dia mencomot
segenggam lombok, menghampiri wajan besar itu, katanya
pula, "Kukira di sini tiada orang yang tidak doyan lombok, yang
tidak makan lombok adalah anjing cilik."
Saking gusar selebar muka Koki Dol yang gembrot sudah
pucat-pias, pada saat itulah terdengar ringkik kuda disertai
bentakan nyaring. Pho Ang-soat sudah mengangkat Co Giokcin,
Co Giok-cin memeluk kedua anaknya, dua orang besar
dan dua orok meluncur pesat merebut kereta. Co Giok cin
langsung memasukkan kedua anaknya ke dalam peti mati,
sementara Pho Ang-soat mengayun cambuk mengeprak kuda,
pada waktu yang sama Yan Lam-hwi memegang kaki wajan,
terus diangkatnya ke atas.
"Awas!" Kongsun To berseru, menimpukkan cangkir seraya
berjingkrak berdiri.


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebelum hilang suaranya, Co Giok-cin sudah melompat
masuk ke dalam peti mati serta menutup rapat tutupnya dari
dalam. Sementara Yan Lam-hwi mengayun wajan besar itu
terus dilempar ke arah dua kereta di depan sana.
Kuah panas muncrat, daging kuda beterbangan, kuda
berjingkrak kaget ketakutan, potongan daging kuda laksana
hamburan senjata rahasia, sipaa pun yang terkena pasti kulit
dagingnya melepuh kepanasan.
Orang-orang di atas kereta berlompatan turun sambil
menutup muka dan kepala dengan kedua lengan bajunya.
Tangan kanan Pho Ang-soat memegang golok, tangan kiri
mengayun cambuk, keretanya sudah menerobos pergi lewat
tengah-tengah kedua kereta yang ambruk di kedua sisi jalan.
Tubuh Siau Si-bu terapung di udara, mendadak dia
bersalto, seluruh kulit daging dan otot tangan kanannya penuh
dilandasi kekuatan dalamnya, pisau terbang sudah terpegang
di jari-jarinya.
Di sebelah sana Nyo Bu-ki juga melambung ke atas,
tangannya juga memegang gagang pedang.
Pisau Siau Si-bu sudah disambitkan, kali ini sedikitpun tidak
mengeluarkan suara, timpukannya itu menggunakan setaker
tenaga, yang diincar adalah punggung Pho Ang-soat.
Punggung adalah sasaran paling empuk dan nyata, paling
sukar dihindari.
Walau kedua kereta sudah ambruk ke pinggir, namun
peluangnya juga tidak lebar. Pho Ang-soat harus
mencurahkan perhatian mengendalikan kuda keretanya,
supaya kereta ini tidak menabrak atau terbalik. Punggungnya
juga tidak tumbuh mata, hakikatnya tidak tahu sambaran pisau
yang melesat bagai kilat menyambar itu, umpama dia tahu
juga tidak mampu berkelit. Umpama dia berhasil meluputkan
diri dari timpukan pisau, kereta tidak terkendali lagi dan pasti
menumbuk kereta yang lain.
Di saat genting itulah, goloknya mendadak menyelonong
keluar dari bawah ketiak, "Ting", sarung goloknya yang hitam
gelap itu memercikkan lelatu api, pisau terbang sepanjang
empat dim jatuh berkerontang di atas kereta.
Pedang Nyo Bu-ki sudah keluar dari sarungnya, dengan
jurus Giok-li-jeng-so (gadis cantik menyusup benang)
menyerang sambil menukik turun.
Sarung golok masih terkempit, Pho Ang-soat mencabut
golok secara terbalik, dimana sinar goloknya berkelebat dia
sambut kedatangan cahaya pedang, Golok dan pedang tidak
beradu, namun gerak sinar golok lebih cepat lagi, ujung
pedang Nyo Bu-ki sudah hampir menembus leher Pho Angsoat,
jaraknya tinggal satu dim, tapi satu dim ini justru
merupakan jarak yang menentukan.
Terdengar jeritan mengalun di angkasa, darah pun
berhamburan, dari udara melayang jatuh sebelah lengan
orang, jari-jarinya masih memegang kencang gagang pedang,
itulah Siong-bun-thi-kiam yang kuno dan antik.
Waktu badan Nyo Bu-ki melayang turun, kebetulan dia
kecemplung ke dalam wajan besar itu, masih ada sisa kuah
dan daging kuda yang panas. Itulah kali pertama selama
hidupnya berkesempatan membunuh Pho Ang-soat, kali ini
pedangnya hampir menusuk tenggorokan Pho Ang-soat,
hanya terpaut satu dim saja.
Kuda meringkik panjang, kereta itu sudah dibawanya lari
jauh meninggalkan kepulan asap. Cahaya pedang yang
menyala bagai warna darah, terbang mendatang mencegat
jalan di belakang kereta.
Pho Ang-soat tidak menoleh, dia mendengar suara batuk
Yan Lam-hwi, gerak pedang Yan Lam-hwi yang mencegat
para musuhnya itu jelas sudah mengerahkan seluruh
kekuatannya. Pho Ang-soat tidak berani menoleh, dia kuatir bila dirinya
melihat ke belakang, pasti akan putar balik, berjuang
berdampingan dengan Yan Lam-hwi sampai titik darah
penghabisan. Sayang sekali ada sementara orang tidak boleh
mati, pasti tidak boleh.
Malam larut, hawa dingin. Di tanah pekuburan.
Kereta itu akhirnya berhenti di tengah pekuburan. Bintang
berkelap-kelip di angkasa, di tanah pekuburan yang belukar
dengan batu-batu nisan berserakan, tiada tampak bayangan
orang. Mendadak seorang bangun berduduk dari dalam peti mati
di atas kereta itu, rambutnya panjang menyentuh pundak,
sorot matanya bening laksana air. Umpama dia ini setan, pasti
setan yang paling ayu di jagat ini. Sorot matanya mengerling
kian kemari, agaknya dia sedang celingukan, entah apa yang
dicarinya. Yang dicari bukan setan, bukan dedemit, tapi
seorang yang memegang golok.
Kemanakah Pho Ang-soat" Kenapa dia ditinggal seorang
diri di sini" Sorot matanya menampilkan rasa ngeri dan takut,
untunglah Pho Ang-soat sudah muncul di depannya.
Kabut mulai menyelimuti tanah pekuburan itu, tabir malam
kelihatan pucat, sepucat muka Pho Ang-soat.
Walau Co Giok-cin menghela napas lega setelah melihat
wajah pucat ini, namun dia kaget dan curiga, "Kenapa kita
harus berada di sini?"
Tidak menjawab malah balas bertanya, "Sebutir beras,
sembunyi dimana paling aman?"
Co Giok-cin berpikir sejenak, sahutnya, "Sembunyi di
tumpukan beras."
"Sebuah peti mati harus disembunyikan dimana supaya
tidak menarik perhatian orang."
Akhirnya Co Giok-cin mengerti maksudnya, kalau sebutir
beras sembunyi di dalam tumpukan beras, maka peti mati
harus disembunyikan di tanah pekuburan. Tapi dia masih
kurang jelas, tanyanya, "Kenapa kita tidak mencari Toh Capjit,
teman Yan Lam-hwi itu?"
"Tidak boleh kita ke sana."
"Kau tidak mempercayainya?"
"Orang yang dipercaya Yan Lam-hwi aku pun mau percaya
kepadanya."
"Lalu kenapa tidak mencarinya?"
"Thian-hiang-lau adalah sebuah restoran besar, Toh Cap-jit
adalah seorang terkenal, kalau hendak mencarinya, dalam
jangka tiga jam, Kongsun To dan kambrat-kambratnya pasti
segera tahu."
Co Giok-cin menghela napas, katanya lembut, "Sungguh
tak nyana, langkah kerjamu lebih teliti dari aku."
Pho Ang-soat menghindar dari kerlingan matanya, dari
dalam bajunya dia merogoh keluar sebuah buntalan kertas
minyak, katanya, "Inilah panggang ayam yang sempat kubeli
di tengah jalan, tak perlu kau bagikan kepadaku, aku sudah
makan." Tanpa bersuara Co Giok-cin menerima buntalan kertas itu
serta membukanya, air matanya menetes di atas panggang
ayam. Pho Ang-soat pura-pura tidak melihat, katanya, "Aku sudah
memeriksa daerah sekitar sini, dalam jarak tiga li di sini tidak
berpenduduk, di belakang juga tiada orang yang menguntit
kita, kau harus tidur, bila terang tanah aku ingin kau
melakukan sesuatu untukku."
"Tugas apa?"
"Mencari tahu kalau malam dimana Toh Cap-jit menginap"
Bila aku mencarinya, seorang pun tidak boleh tahu."
"Jadi aku harus mencarinya?"
"Tampangku gampang menarik perhatian orang, orang
yang kenal kau amat sedikit, aku sedikit menguasai tata rias."
"Jangan kau kuatir, aku bukan perempuan lemah, aku bisa
menjaga diriku sendiri."
"Kau bisa naik kuda?"
"Ya, pernah belajar sebentar."
"Baiklah, besok pagi kau boleh berangkat dengan naik
kuda, setiba di tempat yang banyak orang, segera kau
lepaskan kuda ini. Di tengah jalan kau mencegat kereta, bila
pulang boleh kau membeli seekor keledai."
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat di sebelah utara,
tidak sedikit perempuan yang naik keledai.
"Aku pasti dapat bekerja hati-hati, cuma kedua bocah ini..."
"Serahkan kepadaku, teteki dulu sampai kenyang baru kau
berangkat, karena itu malam ini kau harus tidur."
"Dan kau?"
"Jangan kau kuatirkan aku, bila perlu ada kalanya aku
berjalan pun bisa tidur."
Co Giok-cin menatapnya, pandangannya lembut mesra,
terbayang pula rasa iba, seperti banyak persoalan ingin dia
bicarakan, ingin mencurahkan hati. Namun Pho Ang-soat
sudah putar tubuh, menghadapi tabir malam yang telah
menyelimuti jagat raya, sekarang dia seperti sudah tidur.
Tepat tengah hari.
Kedua orok kecil itu akhirnya tertidur pulas, Co Giok-cin
sudah pergi tiga jam lalu.
Pho Ang-soat duduk di tempat gelap di belakang gundukan
tanah kuburan, dengan terlongong dia mengawasi tanah
membukit di depan matanya, sudah lama dia tidak bergerak.
Pho Ang-soat lantas berpikir, siapa-siapa saja yang
dikebumikan di kuburan ini" Di antaranya ada berapa banyak
orang-orang gagah, pahlawan bangsa yang tidak ternama"
Berapa banyak kaum gelandangan yang hidup terluntaterlunta"
Manusia yang hidupnya kesepian, apakah setelah
mati dia tetap kesepian" Setelah dia mati adakah sesama
manusia mau mengebumikan dia" Dikubur dimana" Siapa
yang mampu menjawab semua pertanyaan ini" Tiada seorang
pun. Pho Ang-soat menarik napas panjang, perlahan dia
bergerak berdiri, dilihatnya seekor keledai sedang menuruni
tanah gundukan di kejauhan sana.
Seekor keledai yang kurus kelihatan amat letih, langkahnya
bergontai seperti sudah kelaparan beberapa hari,
penunggangnya adalah nyonya yang kurus dan pucat.
Dari kejauhan Pho Ang-soat sudah mengawasinya, dalam
hati dia merasa puas akan tata rias buah tangannya. Akhirnya
Co Giok-cin kembali dengan selamat, tiada yang
mengenalnya, juga tiada yang menguntit dia.
Begitu melihat Pho Ang-soat dan kedua anaknya, matanya
lantas memancarkan cahaya seperti lazimnya seorang ibu
yang bijaksana dan bijak terhadap putra-putrinya, dia
memburu ke arah kedua anaknya, satu per satu dia cium
pipinya yang montok, lalu mengeluarkan buntalan kertas
minyak, katanya, "Inilah panggang ayam dan daging sapi yang
kubeli di dalam kota, kau tidak usah bagikan padaku, aku
sudah makan."
Tanpa bersuara Pho Ang-soat mengulur tangannya
menerima. Waktu ujung jari Co Giok-cin menyentuh tangan
Pho Ang-soat, terasa tangannya sedemikian dingin.
Seorang yang kepanasan tiga jam di bawah terik matahari,
kalau telapak tangannya masih terasa dingin, maka hatinya
pasti dirundung persoalan, pikirannya tidak tenteram.
Co Giok-cin mengawasinya, katanya lembut, "Aku tahu kau
pasti amat kuatir menungguku, akan begitu aku berhasil
memperoleh berita, aku lantas pulang."
"Jadi kau sudah mencari tahu Toh Cap-jit..."
"Tiada orang yang tahu dimana Toh Cap-jit tidur kalau
malam?" tukas Co Giok-cin, "umpama ada orang tahu, dia
juga tidak mau mengatakan."
Toh Cap-jit adalah seorang yang supel, orang yang suka
berkawan dengan banyak teman, maka temannya tersebar
dimana-mana. "Tapi aku mendapat sebuah berita," ucap Co
Giok-cin. Pho Ang-soat dengan serius mendengarkan.
"Temannya memang banyak, tapi musuhnya juga tidak
sedikit, satu di antaranya yang paling lihai bernama Ma Gun,
setiap penduduk kota tiada yang tidak tahu, bahwa pada
tanggal tujuh belas bulan yang akan datang, Ma Gun sudah
siap membunuh Toh Cap-jit. Dan lagi agaknya dia sudah
punya persiapan, kelihatannya yakin usahanya itu pasti
berhasil."
"Hari ini kalau tidak salah sudah tanggal 8," ucap Pho Angsoat.
Co Giok-cin mengangguk, katanya, "Maka aku pikir, dalam
beberapa hari ini, dimana jejak Toh Cap-jit, pasti hanya Ma
Gun saja yang tahu."
Jika kau ingin mencari jejak seseorang, daripada mencari
temannya, lebih baik kau mencari musuhnya. "Kau sudah
menemui Ma Gun?"
"Aku tidak menemuinya," ujar Co Giok-cin tertawa, "tapi kau
boleh pergi mencarinya, menemuinya secara terang-terangan,
tak usah takut diketahui Kongsun To dan kambrathttp://
cerita-silat.co.cc/
kambratnya, bila mereka tahu, bukan mustahil keedaan malah
menguntungkan kita." Senyumannya lembut dan juga manis.
Pho Ang-soat menatapnya sesaat, mendadak dia sadar,
dia tahu apa maksudnya, sorot matanya lantas memancarkan
makna memuji dan kagum.
"Restoran tersebar di kota depan itu bukan Thian-hiang-lau,
tapi adalah Teng-sian-lau."
"Ma Gun sering ke sana?"
"Setiap hari dia pasti ke sana, malah setiap pagi hingga
malam dia pasti di sana, karena Teng-sian-lau adalah
miliknya."
Malam telah tiba.
Pho Ang-soat meninggalkan Co Giok-cin dan anaknya di
tengah tanah pekuburan, di antara gundukan tanah yang
lembab, semak belukar yang lebat, gelap dan menyeramkan.
Bagaimana dia tega dan lega meninggalkan mereka di sini"
Karena tempat ini terlalu sepi, belukar lebat, gelap dan
jarang dijelajahi manusia, maka dia yakin tiada orang mengira
mereka bersembunyi di sini, maka dia boleh berlega hati. Tapi
apakah hatinya lega"
Tidak! Tapi banyak persoalan harus dia bereskan dan atur
untuk mereka, supaya bisa bertahan hidup dengan tenteram
dan selamat. Karena dia tahu dirinya takkan bisa selamanya
mendampingi mereka.
Tiada seorang pun di dunia ini selamanya dapat
mendampingi seorang yang lain. Betapapun lama pergaulan
antar sesama manusia, akhir dari pertemuan atau pergaulan
itu pasti berpisah. Kalau bukan berpisah untuk selamanya,
maka berpisah untuk mencari jalan hidup sendiri.
Mendadak dia terkenang kepada Bing-gwat-sim.


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejauh mana dia sudah berusaha menekan emosinya
untuk tidak mengenangnya lagi, tapi di lereng nan sepi, di
malam nan hening seperti ini, persoalan yang tidak ingin kau
pikirkan, justru paling gampang kau pikirkan.
Karena itu bukan saja dia terkenang kepada Bing-gwat-sim,
dia pun teringat kepada Yan Lam-hwi, terbayang olehnya
waktu mereka berpisah. Bing-gwat-sim menatap dengan
kerlingan matanya, terbayang akan suara batuk-batuk kering
Yan Lam-hwi di tengah cahaya pedangnya yang merah.
Sekarang dimana mereka berada" Di ujung langit" Atau di
dalam tungku"
Pho Ang-soat tidak tahu, malah dia sendiri juga bingung,
entah dimana sekarang dirinya berada" Di ujung langit" Atau
di dalam tungku"
Golok tergenggam kencang di tangan, dia tahu goloknya itu
pernah digembleng dari dalam tungku. Bukankah sekarang
jiwa raganya mirip goloknya yang tergembleng di dalam
tungku dulu"
ooooOOoooo Bab 14. Bayar Dulu Bunuh Kemudian
Ma Gun berdiri di pinggir pagar berukir di atas loteng,
terhadap sesuatunya kelihatan amat puas. Tempat itu adalah
gedung megah yang mcnterang dengan panjang dan hiasan
yang cukup mewah dan antik. Perabotnya serba kuno dan
bernilai tinggi, setiap meja kursi terukir dari k.iyu pilihan,
pecah-belah yang dipakai di sini seluruhnya terbuat dari pabrik
keramik yang terkenal di kota King-tek-tin.
Tamu-tamu yang makan minum di sini semua adalah
pejabat tinggi, hartawan atau orang-orang terkenal yang
punya pengaruh. Padahal tarip di restoran ini satu kali lipat
lebih mahal dari restoran termahal manapun dalam kota ini,
tapi Ma Gun tahu tamu-tamunya itu tidak memikirkan tarip
tinggi, karena kemewahan adalah kegemaran mereka, foyafoya
adalah kenikmatan hidup bagi mereka yang kantongnya
tebal, asal mereka puas oleh service memuaskan, tidak
sayang mereka merogoh kantong membayar mahal.
Seperti biasanya dia memang paling suka berdiri di tempat
itu, mengawasi orang-orang yang kelihatannya berduit, punya
pangkat dan terpandang mondar-mandir di bawah kakinya,
sehingga selalu dia merasakan dirinya jauh berada di atas
mereka. Padahal perawakannya tidak genap lima kaki, namun
perasaan bangga itu selalu membuatnya mabuk kepayang,
beranggapan bahwa dirinya satu kepala lebih tinggi dari orang
lain, karena dia suka menikmati perasaannya ini.
Ternyata Ma Gun juga senang melakukan tindakan atau
perbuatan yang dipandang luhur dan disegani, seumpama dia
amat senang memegang kekuasaan. Tapi satu hal yang
membuatnya selalu risau adalah Toh Cap-jit yang tidak mau
mampus itu. Bila Toh Cap-jit sudah minum arak, seperti tidak
menghiraukan jiwanya lagi, bila dia berjudi, dia pun seperti
tidak peduli akan raganya, apalagi bila berkelahi, jiwa raga
pun dipertaruhkan seolah-olah dia punya jiwa rangkap
sembilan. "Umpama betul dia punya jiwa rangkap sembilan, aku tidak
akan membiarkannya hidup lewat tanggal tujuh belas," Ma
Gun sudah bertekad bulat, untuk melaksanakan tekadnya ini
dia sudah mengatur rencana secara cermat. Cuma sayang dia
sendiri tidak punya pegangan bahwa rencana ini yakin pasti
berhasil. Bila memikirkan hal ini, selalu hatinya risau, masgul.
Untunglah pada saat itu, orang yang dinantikannya sudah
datang. Orang yang ditunggunya ini bernama To Ceng, untuk
memanggil To Ceng dari kotaraja dia berani merogoh kantong
sebanyak tiga laksa tahil perak, To Ceng diundang untuk
membunuh Toh Cap-jit.
Nama To Ceng tidak begitu terkenal di kalangan Kangouw,
karena terkenal merupakan pantangan besar bagi tugas dan
profesinya. Memang yang dikejarnya bukan terkenal, bukan
nama, tapi kekayaan.
To Ceng adalah pembunuh bayaran, imbalan untuk setiap
tugas yang harus dia lakukan paling rendah adalah tiga laksa
tahil perak. Pembunuh bayaran adalah suatu usaha misterius
yang sudah menjadi tradisi sejak dahulu kala, bagi setiap
pembunuh yang berprofesi dalam bidangnya ini, dia pun
pantang publikasi atau mengagulkan diri di depan umum.
Maka di dalam kalangan mereka sendiri, To Ceng adalah
orang yang ternama, seorang jagoan, maka tuntutan
imbalannya jauh lebih tinggi dari orang lain, karena belum
pernah dia gagal membunuh orang.
Perawakan To Ceng tujuh kaki, kulitnya hitam kurus,
sepasang matanya bercahaya seperti tajamnya mata elang.
Baju yang dipakainya selalu dari bahan mahal, bikinan tukang
jahit terkenal, namun warnanya tiada yang segar. Sikapnya
dingin tabah, tangannya menjinjing sebuah buntalan panjang
berwarna kelabu. Jari-jari tangannya kering bersih dan
mantap, semua persyaratan ini amat mencocoki profesinya,
sehingga orang akan merasa lega dan mantap meski
megeluarkan tarip yang tinggi sebagai imbalannya.
Terhadap persoalan ini kelihatan Ma Gun juga amat puas.
To Ceng sudah mencari tempat duduk di sudut sana,
jangan kata mengangkat kepala, melirik pun tidak.
Gerak-geriknya selalu dirahasiakan, pantang bagi dirinya
bila orang tahu bahwa antara dirinya dengan Ma Gun sudah
terikat oleh suatu kerja sama, maka besar pantangannya,
supaya tiada orang tahu untuk apa dia datang kemari.
Ma Gun menghela napas lega, namun dengan napasnya
yang berat. Baru saja dia mau putar tubuh, pikirnya hendak
kembali ke kamar kerjanya untuk minum dua cangkir,
mendadak matanya tertumbuk pada bayangan seseorang
yang sedang melangkah masuk, seorang yang berwajah
pucat, gaya langkahnya amat aneh, jari tangannya
menggenggam sebilah golok.
Golok yang hitam, golok masih berada di dalam sarungnya,
namun kedatangannya sudah terasa mengancam dada
setajam golok yang kemilau. Sorot matanya pun setajam mata
golok, sekilas matanya melirik, akhirnya menatap ke arah To
Ceng, To Ceng sedang menunduk minum teh.
Orang asing ini menyeringai dingin, lalu duduk di kursi yang
berada di dekatnya. "Pletak", mendadak kursi yang terbuat
kayu pilihan telah patah karena tidak kuat ditindih pantatnya.
Dia mengerut alis sambil berdiri, sebelah tangannya meneken
meja, mendadak terdengar suara "pletak" pula, meja ukir dari
kayu pilihan seharga dua puluh tahil perak itu ternyata
merekah tepat di tengah.
Sekarang siapa pun sudah tahu bahwa si timpang ini
sengaja membuat gara-gara.
Mata Ma Gun mulai mengkerut.
Apakah orang ini jago kosen yang diundang Toh Cap-jit
dari tempat lain untuk menghadapi dirinya" Pengawal dan
tukang pukul sudah siap bertindak, tapi Ma Gun mencegah
aksi mereka dengan ulapan tangannya.
Kalau To Ceng sudah berada di sini, kenapa tidak mencoba
berapa tinggi kungfunya"
Sebagai pedagang, apalagi pedagang yang berhasil,
pedagang yang pandai berhitung, maka dia selalu
berpedoman satu tahil uang perak yang kukeluarkan harus
dapat aku mengeruk sepuluh tahil perak.
Apalagi kedatangan orang asing yang timpang ini agaknya
bukan melulu dirinya, tapi yang dihadapinya adalah To Ceng.
Orang asing ini sudah tentu adalah Pho Ang-soat.
To Ceng masih menunduk menikmati tehnya.
Mendadak Pho Ang-soat menghampirinya, katanya dingin,
"Bangun!"
To Ceng tetap tak bergeming, juga tidak bersuara, tapi
tamu-tamu yang lain diam-diam sudah kabur dari tempat itu.
Pho Ang-soat mengulangi, "Berdiri!"
Akhirnya To Ceng mengangkat kepala, lagaknya seperti
baru melihatnya, lalu sahutnya, "Duduk lebih enak daripada
berdiri, kenapa aku harus berdiri?"
"Karena aku ingin duduk di kursimu itu."
To Ceng menatapnya, perlahan dia turunkan cangkirnya,
pelan-pelan mengulur tangan mengambil buntalan di atas
meja. Sudah jelas di dalam buntalan itulah gamannya.
Jari-jari Ma Gun mengepal, jantungnya berdebar lebih
cepat lagi. Dia senang melihat orang membunuh, senang
melihat darah orang mengalir. Belakangan ini jarang ada
kejadian apa pun yang menarik perhatiannya, perempuan
tidak membangkitkan seleranya lagi, hanya membunuh orang
yang selalu dapat membangkitkan rasa puas, peristiwa yang
mendebarkan hati.
Tapi hari ini dia kecewa, To Ceng sudah berdiri memegangi
buntalannya itu, dia menyingkir tanpa bersuara. Biasanya dia
bekerja amat teliti, tdak mau sembarangan turun tangan di
hadapan banyak orang.
Mendadak Ma Gun berkata, "Hari ini restoran akan ditutup
sebelum waktunya, kecuali yang ada perlu dengan aku, yang
lain boleh silakan pergi."
Mereka yang ingin menonton keramaian juga terpaksa
mengundurkan diri, ruang besar itu kini tinggal dua orang saja.
To Ceng menunduk minum teh, Pho Ang-soat mengangkat
kepalanya, menatap Ma Gun yang berdiri di pinggir lankan
berukir naga. "Ada urusan apa kau mencariku?" tanya Ma Gun. "Kau ini
Ma Gun?" Ma Gun mengangguk, katanya sambil tertawa dingin, "Jika
Toh Cap-jit menyuruhmu kemari untuk membunuhku, maka
orang yang kau cari betul adalah diriku."
"Jika kau ingin mencari orang untuk membunuh Toh Cap-jit,
kau pun tepat berhadapan dengan orangnya."
"Kau?" seru Ma Gun di luar dugaan.
"Apa aku tidak mirip pembunuh?" tanya Pho Ang-soat.
"Kalian bermusuhan?"
"Membunuh orang bukan pasti harus bermusuhan."
"Biasanya kau membunuh lantaran apa?"
"Lantaran senang."
"Cara bagaiamana baru kau bisa senang."
"Beberapa tahil perak biasanya cukup membuatku senang."
Bercahaya mata Ma Gun, katanya, "Aku bisa membuatmu
senang, maukah kau pergi membunuh Toh Cap-jit?"
"Kabarnya kau seorang cukong yang tidak kikir."
"Kau yakin dapat membunuh dia?"
"Aku berani tanggung dia tidak akan hidup lewat tanggal
tujuh belas."
"Dapat membuat para kawan senang, aku sendiri pun ikut
riang, sayang kau datang terlambat."
"Kau sudah memilih pembunuh lain?"
Ma Gun melirik ke arah To Ceng, sambil tersenyum dia
mengangguk. "Jika orang ini yang kau panggil, maka kau salah pilih
orang." "O, masa?"
"Orang mati mana bisa membunuh orang."
"Maksudmu dia orang mati?"
"Jika bukan orang mati, sekarang dia sudah membunuhku."
"Kenapa?"
"Karena bila kau tidak bisa membuatku senang, maka aku
pasti akan mencari Toh Cap-jit."
"Jika kau mencari Toh Cap-jit maka kau akan suruh dia
berhati-hati terhadap orang ini?"
"Aku akan membela Toh Cap-jit membunuhnya."
"Membunuhnya lalu membunuh aku."
"Selama Toh Cap-jit hidup, maka kau harus mati."
"Karena itu sekarang dia harus membunuhmu?"
"Sayang sekali orang takkan bisa membunuh lagi." Ma Gun
menghela napas, dia berputar ke arah To Ceng, katanya, "Apa
yang dikatakannya sudah kau mendengarkan bukan?"
"Aku tidak tuli."
"Kenapa kau tidak membunuhnya?"
"Aku sedang tidak senang."
"Bagaimana supaya kau senang?"
"Lima laksa tahil perak."
Ma Gun seperti terkejut, katanya, "Membunuh Toh Cap-jit
taripnya hanya tiga laksa tahil, membunuh dia kenapa lima
laksa?" "Toh Cap-jit tidak kenal aku, dia tahu aku."
"Karena itu kau bisa membokong Toh Cap-jit, namun harus
berhadapan langsung dengan dia."
"Dan lagi dia membawa golok, bahaya yang kuhadapi lebih
besar." "Tapi kau tetap punya keyakinan dapat membunuhnya."
Dingin suara To Ceng, "Selamanya aku membunuh orang
belum pernah gagal."
Ma Gun menghamburkan napasnya, katanya, "Baik,
bunuhlah dia, kubayar lima laksa!"
"Bayar kontan sebelum membunuh."
Itulah lembaran uang kertas yang masih baru, setiap
lembar bernilai seribu tahil, seluruhnya berjumlah lima puluh
lembar. Dua kali To Ceng menghitung lima puluh lembar uang baru
itu, seperti ini lazimnya para penagih hutang, dua kali dia
basahi jarinya dengan ludah, menghitung dua kali, lalu
membungkusnya rapi, dia simpan buntalan uang itu ke dalam
dompet uang di sabuk kulitnya.
Uang yang diperoleh dari jerih-payah mengucurkan
keringat umumnya dipandang amat berharga, lain halnya
dengan To Ceng, mencari uang biasanya dia jarang
mengucurkan keringat, namun sering mengalirkan darah.
Sudah tentu darah jauh lebih berharga daripada keringat.
Pho Ang-soat memandangnya dingin, mukanya tidak
menampilkan perasaan apa-apa, namun Ma Gun sedang
tersenyum, katanya, "Kau pasti sudah mempunyai banyak
uang." To Ceng tidak menyangkal.
"Kau sudah menikah?" tanya Ma Gun.
To Ceng menggeleng.
Makin ramah dan bersahabat senyum Ma Gun, katanya,
"Kenapa tidak kau titipkan uangmu kepadaku, kuberi bunga,
setiap bulan tiga persen."


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

To Ceng geleng-geleng kepala.
"Kau tidak mau" Memangnya kau tidak percaya
kepadaku?"
Dingin To ceng, "Yang kupercaya hanya diriku sendiri." Lalu
dia tepuk dompet uangnya, "Seluruh harta milikku ada di sini,
hanya ada satu cara untuk mengambilnya."
Sudah tentu ma Gun tidak berani bertanya, namun sorot
matanya seperti sedang menunggu penjelasan, "Dengan cara
apa?" "Bunuhlah aku," desis To Ceng, lalu dia menatap Ma Gun,
"Siapa bisa membunuhku, dompet ini akan menjadi miliknya,
karena itu kau pun boleh mencobanya."
Ma Gun tertawa, tawa yang dipaksakan, ujarnya, "Kau tahu
aku takkan bisa mencoba, karena
"Karena kau tidak punya keberanian, nyalimu kecil," jengek
To Ceng. "Dan kau?" Mendadak dia berputar menghadap Pho
Ang-soat, jengeknya pula, "Jika aku membunuhmu, apa yang
kau tinggalkan untukku?"
"Hanya satu pelajaran."
"Pelajaran apa?"
"Jangan kau bungkus alatmu untuk membunuh dalam
buntalan, seorang akan membunuh dan orang yang menjadi
korban biasanya tidak sabar lagi menunggu, orang tidak akan
memberi kesempatan kepadamu untuk membuka buntalan."
"Pelajaran yang bagus sekali, selanjutnya aku pasti akan
selalu mengingatnya," ucap To Ceng, mendadak dia tertawa,
"Sebetulnya aku sendiri pun tidak sabar membunuh orang,
pasti hatiku juga gelisah setengah mati."
Akhirnya dia bekerja, mulai membuka bungkusan. Gaman
apakah yang dia sembunyikan dalam buntalannya itu"
Ma Gun ingin sekali melihat gaman apa yang dipakainya
untuk membunuh, maka matanya menatap buntalan itu. Siapa
tahu sebelum buntalan terbuka, To Ceng sudah turun tangan.
Cuma gaman untuk membunuh orang ternyata tidak tersimpan
di dalam buntalan, setiap anggota badannya ternyata
merupakan gaman untuk membunuh orang.
Terdengar "Tak" sekali, dari sabuk kulit dan dari lengan
bajunya berbareng melesat tujuh titik sinar dingin, dari kerah
baju di belakang lehernya juga meluncur tiga batang panah
bergantol, sepasang tangannya menimpukkan dua genggam
biji teratai besi, ujung kakinya juga menendang keluar dua
bilah pisau runcing.
Begitu Am-gi ditimpukkan, orangnya pun melompat ke atas,
kedua kakinya menendang beruntun dengan gaya bebek
berenang, hanya dalam sekejap, sekaligus dia menyerang
dengan empat macam senjata rahasia berbeda yang
mematikan. Sementara buntalan yang menarik perhatian itu
masih berada di atas meja.
Aksinya itu memang di luar dugaan, Ma Gun pun terkejut
dibuatnya, dalam hati dia mengakui, dengan bekal kepandaian
orang ini, dia rela membayar lima laksa perak. Dia percaya
kali ini To Ceng pasti berhasil, dia pun bilang tidak pernah
gagal. Tapi dugaannya keliru, karena dia tidak tahu orang asing
yang bermuka pucat ini adalah Pho ang-soat. Pho Ang-soat
sudah mencabut goloknya, golok yang tiada keduanya di
kolong langit, permainan golok yang luar biasa.
Betapapun banyak dan jahat serta keji senjata rahasia
musuh, muslihat dan perangkap lihai macam apa pun bila
berhadapan dengan golok yang satu ini, pasti lumer seperti
salju atau es di bawah terik matahari.
Dimana sinar golok berkelebat, terdengarlah dering
nyaring, senjata rahasia yang berhamburan di udara satu per
satu rontok berjatuhan, setiap Am-gi terkurung menjadi dua,
tepat tertabas di tengah, umpama seorang tukang pahat juga
tidak akan mampu memotong menjadi dua persis seperti itu,
apalagi sedemikian rajin dan rapi.
Setelah sinar golok lenyap, baru kelihatan darah. Darah
yang mengalir di muka, muka To Ceng. Sebuah jalur luka
berdarah dimulai dari tengah kedua alisnya, menggores turun
lewat hidung dan berakhir di atas bibirnya, bila tabasan golok
itu sedikit maju dan ditambah tiga bagian tenaganya, batok
kepalanya jelas pasti akan terbelah menjadi dua juga.
Golok sudah kembali ke dalam sarungnya, darah segar
menetes dari ujung hidungnya, mengalir ke dalam mulut,
panas, getir dan asam. Kulit daging di muka To Ceng
berkerut-merut saking menahan sakit, namun badannya tidak
bergeming sedikitpun.
Dia tahu modalnya untuk membunuh orang sudah
bangkrut, kehidupannya sebagai pembunuh bayaran
selanjutnya sudah berakhir. Usaha yang serba rahasia,
membunuh tanpa bersuara dan pantang dibuat ramai-ramai,
kini tanpa bersuara pula telah berakhir, lenyap tanpa bekas.
Siapa pun bila mukanya sudah dihiasi bekas luka yang
jelas dan nyata begitu, pasti tidak sesuai lagi melakukan
usaha di bidang itu.
Mengawasi buah karyanya di muka orang, mendadak Pho
Ang-soat mengulap tangan, katanya, "Pergilah kau."
Gemetar bibir To Ceng, tanyanya, "Kemana?"
"Asal bukan pergi membunuh orang, terserah kemana saja
boleh." "Kau ... kenapa tidak kau bunuh aku saja?"
"Kau menuntut imbalan lima laksa tahil baru membunuhku,
kalau aku harus membunuhmu, sedikitnya aku pun menuntut
lima laksa," lalu dengan nada lebih dingin dia menyambung,
"biasanya aku tidak pernah membunuh orang secara gratis."
"Tapi milikku yang terbawa di dalam dompet ini nilainya
lebih dari lima laksa, bila kau membunuhku, semua milikku
menjadi milikmu."
"Itu lain soal, prinsip kerjaku juga harus bayar dulu baru
pergi membunuh."
Prinsip adalah aturan, tata tertib kerja. Dalam segala
bidang, setiap usahawan yang berhasil pasti punya prinsip
kerja yang ketat dan disiplin.
To Ceng tidak bicara lagi, perlahan dia keluarkan dua
tumpuk uang kertas dari dalam dompetnya, satu tumpuk lima
puluh lembar. Dengan teliti dia menghitung dua kali, lalu menaruh di atas
meja, lalu angkat kepala menoleh ke arah Ma Gun, katanya,
"Ini tetap milikmu." Ma Gun sedang berbatuk.
To Ceng berkata, "Boleh kau membayar kontan lima laksa,
suruh dia membunuhku."
Akhirnya Ma Gun menghentikan batuknya, tanyanya,
"Masih berapa banyak yang kau simpan?"
To Ceng tutup mulut.
Ma Gun menatapnya, lambat-laun sorot matanya
bercahaya. To Ceng sudah menjinjing buntalan yang ditaruh di meja,
perlahan dia melangkah keluar.
Mendadak Ma Gun berteriak, "Bunuh dia, aku bayar lima
laksa." Dingin jawaban Pho Ang-soat, "Mau membunuh orang ini,
boleh kau turun tangan sendiri."
"Kenapa?" teriak Ma Gun.
"Karena dia sudah terluka, sudah tidak mampu melawan."
Kedua tangan Ma Gun menggenggam kencang lankan di
kedua sampingnya, mendadak didengarnya "Trap", tiga
batang pisau terbang menancap di lankan. Pisau terbang
melesat keluar dari dalam buntalan, di dalam buntalan itu juga
tersimpan gaman untuk membunuh.
Dingin suara To Ceng, "Belum pernah aku membunuh
secara gratis, demi kau, aku boleh melanggar kebiasaanku,
kau ingin mencoba?"
Wajah Ma Gun sudah pucat lesi, sungguh susah dia
membayangkan ada berapa banyak gaman tersimpan di
dalam buntalan itu, masih berapa banyak pula yang berada di
badan To Ceng, tapi dia ragu, gaman macam apa saja, satu di
antaranya sudah cukup menamatkan jiwanya.
Akhirnya To Ceng melangkah keluar, tiba di ambang pintu
mendadak dia menoleh menatap Pho Ang-soat, menatap
golok di tangan Pho Ang-soat, seolah-olah belum pernah dia
melihat orang ini, belum pernah melihat golok itu, mendadak
dia bertanya, "Kau she apa?"
"She Pho," sahut Pho Ang-soat tegas.
"Pho Ang-soat?" To Ceng menegas.
"Betul."
To Ceng menghela napas, katanya, "Seharusnya sejak
mula aku sudah menduga siapa kau."
"Tapi kau tidak menduganya?"
"Aku tidak berani menduga."
"Tidak berani?"
"Seorang bila memikirkan banyak persoalan, maka dia tidak
akan bisa membunuh orang."
Malam sudah pekat di luar, tiada bintang tiada rembulan,
begitu To Ceng melangkah keluar, dia lenyap ditelan tabir
malam. Ma Gun menghela napas panjang, perlahan mulutnya
menggumam, "Kenapa tidak kau bunuh dia" Apa kau tidak
takut dia membocorkan rahasiamu."
"Aku tidak punya rahasia."
"Memangnya kau tidak ingin membunuh Toh Cap-jit?"
"Membunuh orang bagiku bukan rahasia."
Ma Gun menghela napas, katanya, "Di atas meja ada
delapan laksa tahil, setelah kau bunuh Toh Cap-jit, semua itu
milikmu." "Bayar dulu baru membunuh," tegas suara Pho Ang-soat.
Ma Gun tertawa menyengir, katanya, "Sekarang boleh kau
mengambilnya."
Pho Ang-soat mengambil uang kertas itu, dia pun
menghitung dua kali, lalu bertanya dengan kalem, "Kau tahu
dimana Toh Cap-jit sekarang?"
Sudah tentu Ma Gun tahu, "Untuk mencari jejaknya, aku
sudah menghabiskan lima belas ribu tahil."
Tawar suara Pho Ang-soat, "Membunuh orang memang
termasuk kerja yang mewah."
Ma Gun menghela napas, mengawasi Pho Ang-soat
menghitung uang, lalu menyimpannya ke dalam kantong, tibatiba
dia bertanya, "Membunuh orang bukan rahasia bagimu?"
"Bukan."
"Kau berani membunuh orang di hadapan orang banyak?"
"Dimana pun aku bisa dan berani membunuh orang." Ma
Gun tertawa, sekarang tawa yang segar, "Kalau demikian,
sekarang juga boleh kau pergi mencarinya."
"Dimana dia?"
"Dia sedang mengadu nasib."
"Mengadu nasib?"
"Dia sedang berjudi, sedang minum sepuas-puasnya, aku
hanya mengharap belum ludes uang dan seluruh miliknya,
juga belum mampus karena mabuk."
Bukan saja Toh Cap-jit menang, malah dia segar bugar.
Seorang di kala menang, otaknya pasti tetap jernih dan dingin,
hanya pihak yang kalah saja yang butek pikiran dan luluh
semangatnya. Sekarang dia sedang mengocok kartu Pay-kiu yang terbuat
dari kayu hitam, seluruhnya berjumlah tiga puluh dua keping,
setiap keping seperti dapat dia kuasai sesenang hati, sampai
pun dadu yang dilemparkan juga seperti patuh kepadanya.
Dalam berjudi dia tidak menggunakan akal, tidak nakal atau
pat?gulipat, seorang bila mujur di meja judi, hakikatnya dia
tidak perlu pura-pura atau curang.
Tadi dia memegang sepasang kartu Tiang-sam, makan
seluruhnya, sekarang sudah hampir dua laksa tahil uang yang
digaruknya, sebetulnya dia masih bisa menang lebih banyak
Sayang orang-orang yang bertaruh makin sedikit, taruhannya
juga makin kecil, kantong para penjudi lawannya boleh dikata
sudah hampir kosong.
Dia harap ada pendatang baru yang berkantong padat ikut
terjun ke arena, pada saat itulah dia melihat seorang asing
berwajah pucat melangkah masuk dengan gayanya yang lucu.
Pho Ang-soat berdiri diam, mengawasi dia mengocok kartu,
jari-jari tangannya yang besar dan kuat.
Kembali Toh Cap-jit membagikan kartu, kali ini dia garuk
pula seluruh pasangan uang, tapi yang ditarik hanya tiga ratus
tahil saja. Orang-orang yang pasang sudah kelihatan lesu. Di dalam
sarang judi, uang adalah darah, orang yang tidak punya
darah, siapa takkan menjadi lesu"
Entah orang asing yang pucat mukanya ini sakunya tebal
tidak" Tiba-tiba Toh Cap-jit mengangkat kepala, tertawa
kepadanya dan katanya, "Saudara ini apakah ingin main
juga?" "Boleh, bertaruh sekali saja," ucap Pho Ang-soat dingin.
"Sekali taruhan" Taruhan menentukan kalah menang?"
"Begitulah."
"Baik," ucap Toh Cap-jit. "Berjudi cara demikian baru benarbenar
menyenangkan."
Tiba-tiba dia meluruskan badan hingga bersuara keretekan,
badannya yang kekar dengan daging yang merongkol tampak
bergerak turun naik di balik bajunya, itulah hasil latihan selama
delapan belas tahun.
Perawakannya tinggi tujuh kaki dua dim, pundak lebar,
pinggang kecil, kabarnya dengan sebelah tangan dia pernah
memelentir putus kepala kerbau. Siapa saja yang melihat
dirinya, pasti menampilkan rasa kagum dan hormat, seperti
para menteri mengawasi sang raja.
Delapan puluh lembar uang kertas sudah dikeluarkan, uang
kertas baru, dengan jari-jari yang pucat memutih.
"Berapa duitmu?" tanya Toh Cap-jit.
"Delapan puluh ribu tahil."
Toh Cap-jit bersiul sekali, sorot matanya mencorong seperti
lampu senter, "Delapan puluh ribu tahil sekali taruhan?"
"Kalah menang hanya sekali taruhan."
"Sayang aku tidak punya uang sebanyak itu."
"Tidak jadi soal."
"Tidak jadi soal artinya aku boleh bertaruh sebanyak uang
yang kumiliki sekarang?"
Pho Ang-soat mengangguk.
"Memangnya uangmu ini hasil cucuian" Maka kau tidak
merasa sayang."
"Bukan hasil curian, tapi untuk membeli nyawa."


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Membeli nyawa siapa?"
"Nyawamu."
Tawa Toh Cap-jit seketika kaku, jari-jari tangan orangorang
di sekitarnya mulai mengepal, ada yang mengacungkan
tinju, ada yang menggenggam senjata.
Pho Ang-soat ternyata tidak peduli, katanya, "Kalau aku
kalah, delapan laksa tahil ini milikmu, kalau kau kalah, kau ikut
padaku." "Kenapa aku harus ikut kau?"
"Karena aku tidak ingin membunuhmu di sini."
Toh Cap-jit tertawa pula, tawanya dipaksakan, "Kalau kau
kalah, kau juga akan membunuhku?"
"Menang atau kalah aku harus membunuhmu."
"Maksudmu jika bukan aku membunuhmu, pasti kau yang
membunuhku, peduli siapa kalah atau menang, yang pasti aku
harus berani mempertaruhkan nyawa, di sini terlalu banyak
orang, mereka adalah orang-orangku, maka kau tidak ingin
turun tangan di sini."
"Aku tidak ingin membunuh satu orang lebih banyak."
"Agaknya kau punya keyakinan membunuhku?"
"Kalau tidak yakin, kenapa aku kemari?"
Toh Cap-jit tertawa lebar.
"Delapan puluh ribu tahil perak cukup untuk melakukan
banyak urusan, setelah kau mati, kawan dan para saudaramu
masih bisa menggunakannya."
Mendadak sebatang golok membacok tiba dari belakang,
membelah belakang lehernya. Ternyata Pho Ang-soat tidak
bergerak, tahu-tahu Toh Cap-jit sudah menarik tangan orang
yang memegang gook.
"Ting", golok runcing itu jatuh, "Cras", ujung golok terpelintir
putus. Toh Cap-jit menarik muka, bentaknya beringas, "Soal ini
tiada sangkut-pautnya dengan kau, kalian hanya boleh melihat
tidak boleh turun tangan."
Tiada seorang pun yang berani bergerak.
Toh Cap-jit tertawa, katanya, "Kalian adalah saudaraku
yang baik, kalian boleh saksikan, biar aku rebut kemenangan
dan memiliki delapan laksa tahil ini." Lalu dia membuka
bajunya, hingga dadanya yang kekar bidang berotot
terpampang di hadapan orang banyak, lalu katanya,
"Bagaimana kita akan bertaruh?"
"Katakan saja."
"Main kecil-kecilan saja, sekali terbalik mata melotot
menentukan kalah menang, begitu paling menyenangkan."
"Boleh."
"Menggunakan kartu ini?" Pho Ang-soat mengangguk.
Berkedip mata Toh Cap-jit, katanya, "Kau tahu berapa kali
aku menang dengan kartu ini?"
Pho Ang-soat menggeleng kepala.
"Aku sudah menang enam belas kali beruntun, main
dengan kartu ini rezekiku selalu mujur."
"Betapapun mujur seseorang ada kalanya akan bernasib
sial." "Membunuh orang kau yakin akan berhasil, berjudi apa kau
juga yakin akan menang?"
"Kalau tidak yakin, mana berani berjudi?"
"Kali ini kau salah, berjudi berbeda dengan permainan lain,
malaikat pun belum tentu yakin pasti menang, dahulu pernah
aku melihat seorang yang punya keyakinan seperti dirimu, tapi
karena kalah, akhirnya dia mati gantung diri."
Tiga puluh dua kartu dijajar menjadi empat baris, satu baris
delapan lembar.
Toh Cap-jit mendorong satu baris, katanya, "Kita berjudi
satu lawan satu, maka kiri kanan menjadi kosong."
"Aku mengerti."
"Karena itu lebih baik kita mengadu empat lembar."
"Boleh." -
Dengan dua jarinya Toh Cap-jit mendorong empat
kartunya, katanya, "Hasil lemparan dadu adalah tunggal, kau
boleh ambil yang pertama."
"Kartu kau yang mengocok, dadu ini biar aku yang
melempar."
"Boleh," sahut Toh Cap-jit.
Pho Ang-soat jemput dadu, lalu dibuang seenaknya.
Angka tujuh, tunggal.
"Bagus, sekarang aku ambil yang kedua."
Dua lembar Pay-kiu warna hitam, "Plak", diketukkan lalu
didorong perlahan.
Mata Toh Cap-jit memancarkan cahaya terang, ujung mulut
menyungging senyum, saudara-saudaranya juga menghela
napas lega. Hadirin tahu bahwa kartu yang dipegangnya
menunjukkan angka yang cukup baik.
Tapi Pho Ang-soat berkata dingin, "Kau kalah."
"Bagaimana kau tahu bila aku kalah?" protes Toh Cap-jit,
"kau tahu kartu apa yang kupegang?"
"Satu langit, satu lagi orang dan yang ketiga timbangan."
Toh Cap-jit menatapnya kaget dengan terbelalak, katanya,
"Kau sudah memeriksa kartu yang kau pegang belum?"
Pho Ang-soat geleng-geleng kepala, katanya, "Tak usah
kulihat, kartuku campur lima."
Toh Cap-jit seperti tidak terima, segera dia membalik kartu
orang, ternyata memang betul campur lima. Campur lima
kebetulan lebih unggul dari timbangan.
Toh Cap-jit melongo, hadirin pun menjublek, lalu terjadi
keributan. "Bocah ini membawa setan, bocah ini pasti mengenal
kartu." Pho Ang-soat menyeringai dingin, jengeknya, "Ini kartu
siapa?" "Kartuku."
"Aku pernah menyentuh kartu ini?"
"Tidak."
"Kenapa dikatakan aku punya setan?"
Toh Cap-jit menghela napas, katanya tertawa getir, "Kau
tidak membawa setan, aku ikut kau saja."
Hadirin gempar, yang memegang golok atau pedang sudah
siap bertindak, yang mengepal tinju juga sudah siap
menghajar. Toh Cap-jit membentak bengis, "Bertaruh uang aku kalah,
adu jiwa aku belum tentu kalah, kenapa kalian ribut?"
Suasana kembali hening, tiada orang berani bersuara.
Maka Toh Cap-jit tertawa pula, tawanya tetap riang,
katanya, "Sebetulnya kalian harus tahu, adu jiwa pasti tidak
akan kalah."
"Kau yakin?"
"Umpama aku tidak yakin, aku punya sembilan jiwa,
sebaliknya kau hanya punya satu."
Tiada bintang, tiada bulan, tiada lampu.
Lorong panjang sempit itu gelap gulita, malam ini hawa
memang agak dingin.
Mendadak Toh Cap-jit menghela napas, katanya,
"Sebetulnya aku tidak punya sembilan jiwa, bahwasanya satu
jiwa pun aku sudah tidak punya. Karena jiwa ragaku ini
sekarang milik Yan Lam-hwi."
"Kau tahu aku siapa?"
Toh Cap-jit mengangguk, ujarnya, "Aku hutang satu jiwa
padanya, dia hutang jiwa pula kepadamu, maka aku boleh
menebus jiwanya kepadamu." Setelah berhenti, wajahnya
masih dihiasi senyuman. "Kuharap kau bisa membuatku
paham satu hal."
"Satu hal apa?"
"Bagaimana kau bisa mengenal kartu-kartu itu?"
Pho Ang-soat tidak menjawab, malah balas bertanya,
"Tahukah kau, setiap manusia pasti punya sidik jari?"
"Aku tahu, jari setiap orang pasti ada sidik jarinya."
"Tahukah kau, tiada manusia di dunia ini yang mempunyai
sidik jari sama?"
Toh Cap-jit tidak tahu.
Perihal sidik jari pada zaman dulu memang tidak dikenal
orang, maka dia hanya tertawa getir, "Aku jarang melihat
tangan orang, terutama tangan laki-laki."
"Umpama setiap hari kau melihat tangan orang juga takkan
bisa membedakan, karena perbedaan sidik jari satu dengan
yang lain kecil sekali."
"Tapi kau dapat membedakan?"
"Umpama dua kerat roti yang keluar bersama dari satu
cetakan, selintas pandang aku tahu perbedaannya."
"Agaknya kau berbakat."
"Betul, ini memang bakat, cuma bakat yang kumiliki ini
harus kulatih di dalam kamar yang gelap gulita."
"Berapa lama kau latihan?"
"Tidak lama, cuma tujuh belas tahun, setiap hari hanya
latihan tiga sampai lima jam saja."
"Mencabut golokmu itu juga kau latih secara demikian?"
"Di waktu kau berlatih ketajaman mata, latihan mencabut
golok harus berhenti, kalau tidak, kau akan tidur."
"Sekarang baru kusadari apa arti bakat itu."
Arti bakat adalah tekun belajar, berlatih secara rajin,
menggembleng diri.
"Kartu Pay-kiu itu terbikin dari kayu, kayu ada seratnya,
serat setiap kartu berbeda, aku sudah saksikan kau mengocok
kartu dua kali, tiada satu pun dari tiga puluh dua kartu hitam
itu tidak kukenal."
"Bila dadu tadi menunjuk angka genap, bukankah kau pun
akan kalah?"
"Lemparan dadu itu pasti tidak mungkin angka genap."
"Ah, masa bisa begitu?"
Tawar suara Pho Ang-soat, "Karena melempar dadu aku
pun berbakat."
Akhirnya mereka tiba di ujung lorong, jalan raya di sebelah
luar ternyata lebih luas, lebih gelap lagi. Sekarang malam
telah larut. Mendadak Pho Ang-soat melompat naik ke wuwungan,
wuwungan yang paling tinggi, setiap pelosok gelap di
sekitarnya tidak lepas dari pengawasannya. Memang untuk
membunuh dia tidak ingin ditonton orang, maka kali ini siapa
pun pantang menyaksikan.
Ternyata Toh Cap-jit juga mengikutinya. "Sebetulnya apa
kehendakmu akan diriku?" tanya Toh Cap-jit.
"Kau harus mati."
"Apa betul aku harus mati?"
"Sekarang juga kau harus mati."
Toh Cap-jit tidak mengerti.
"Sejak sekarang, paling sedikit kau harus mati setahun."
Toh Cap-jit berpikir sejenak, agaknya dia mulai mengerti,
namun belum jelas seluruhnya.
"Layonmu juga sudah kusediakan, sekarang kusimpan di
tanah pekuburan di luar kota sana."
Toh Cap-jit mengedipkan mata, katanya, "Apakah di dalam
peti mati masih terdapat barang-barang lain?"
"Masih ada tiga orang."
"Orang hidup?"
"Tapi banyak orang tidak ingin mereka hidup."
"Apakah kau ingin supaya mereka tetap hidup."
Pho Ang-soat mengangguk, katanya, "Oleh karena itu
harus dicarikan suatu tempat rahasia yang menjamin
keselamatan mereka, siapa pun tidak boleh menemukan
mereka." Makin bercahaya mata Toh Cap-jit, katanya, "Lalu aku
harus menggotong peti mati itu, dan mengatur segala
keperluannya?"
"Kau harus mati, karena siapa pun takkan berpikir mencari
orang yang sudah mati, untuk mencari tahu jejak mereka."
"Apalagi aku mati di tanganmu, orang pasti menduga itulah
hasil pertukaran syaratmu dengan Ma Gun, kau membunuh
aku lantaran mendapat bayaran, lalu dia membantu kau
menyembunyikan tiga orang." Akhirnya dia mengerti,
sebetulnya persoalan ini amat sederhana, namun di dalam
melaksanakan rencana kerjanya Pho Ang-soat sengaja
membuatnya ruwet.
"Tidak bisa tidak aku harus hati-hati, soalnya cara kerja
mereka terlalu kejam."
"Siapakah mereka sebenarnya?"
"Nyo Bu-ki, Siau Si-bu, Kongsun To dan Thian-ong-camkui-
to," Pho Ang-soat tidak menyebut nama Kongcu Gi, dia
tidak ingin Toh Cap-jit kaget. Tapi nama keempat orang itu
sudah cukup membuat seorang yang punya delapan nyali
kaget. Toh Cap-jit menatapnya, katanya, "Mereka hendak
mengeroyok kau, maka kau pun tidak akan memberi ampun
kepada mereka."
Pho Ang-soat tidak menyangkal.
Mendadak Toh Cap-jit menghela napas, katanya, "Bukan
aku takut terhadap mereka, karena aku kini sudah mati, orang
mati tidak pernah takut terhadap siapa pun, tapi kau
Pho Ang-soat tidak memberi tanggapan.
Setelah kau beres mengatur tugasmu di sini, apakah kau
hendak mencari mereka?" dia mengawasi Pho Ang-soat, lalu
mengawasi pula golok hitam itu, akhirnya tertawa lebar, "Yang
harus kuatir mungkin bukan kau, tapi mereka, setahun yang
akan datang mungkin sudah menjadi orang mati."
Pho Ang-soat menatap ke tempat jauh, orangnya juga
sudah di ujung langit. Di ujung langit hanya ada kegelapan
melulu. Dia menggenggam goloknya. Agak lama baru dia
berkata perlahan, "Ada kalanya aku pun ingin punya sembilan
jiwa, untuk menghadapi orang-orang seperti mereka, satu
nyawa memang tidak cukup."
Lembah yang belukar, tanah nan subur.
Dusun di atas gunung itu hanya dihuni belasan keluarga, di
bawah kaki bukit sana terdapat sebuah gubuk yang berdinding
gedek beratap alang-alang, di samping rumah tumbuh
beberapa rumpun kembang kuning.
Dari kejauhan Toh Cap-jit mengawasi kembang-kembang
kuning di bawah pagar bambu sana, sorot matanya
menampilkan kelembutan hatinya. Di sini tiada bedanya
dengan orang-orang dusun lainnya, dia pun berubah menjadi
orang desa yang hidup sederhana dan bersahaja.
Agaknya hati Pho Ang-soat juga dirundung berbagai
perasaan. Dia baru saja keluar dari gubuk kecil itu, waktu dia
keluar, Co Giok-cin dan anak-anaknya sudah pulas.
"Kalian boleh menetap di sini dengan tenteram, tiada orang


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari ke sini."
"Dan kau" Kau mau pergi?"
"Sekarang aku tidak akan pergi, aku akan menetap di sini
beberapa hari."
Jarang dia berbohong, tapi kali ini dia terpaksa harus
berbohong. Tidak bisa tidak dia harus berbohong, karena tidak
bisa tidak dia harus pergi, kalau mau pergi, kenapa harus
meninggalkan banyak kedukaan.
Pho Ang-soat menghela napas, katanya, "Inilah tempat
yang baik, bisa hidup aman dan tenteram selama hidup di sini,
pasti dia seorang yang bahagia."
Toh Cap-jit tertawa menyengir, katanya, "Di sinilah aku
tumbuh dewasa, sebetulnya tenteram dan hidup bahagia."
"Lalu kenapa kau harus pergi?"
Lama Toh Cap-jit membungkam, akhirnya berkata, "Apa
kau tidak melihat kembang kuning di bawah bambu itu?" Pho
Ang-soat mengangguk.
"Kembang itu ditanam seorang gadis cilik, gadis berkuncir
panjang, bermata besar, bundar dan jeli."
"Dimana dia sekarang?"
Toh Cap-jit tidak menjawab juga tidak perlu menjawab, air
mata yang berlinang akhirnya menetes di pipinya, air matanya
itu sudah menjelaskan segalanya.
Kembang kuning itu masih tumbuh subur, namun penanam
kembang sudah tiada. Berselang lama baru dia berkata
perlahan, "Sebetulnya sejak dulu aku sudah harus
menemaninya di sini, beberapa tahun ini dia pasti amat
kesepian." Seorang setelah mati, apakah juga akan merasa
kesepian" Pho Ang-soat mengeluarkan lempitan uang kertas itu, dia
serahkan kepada Toh Cap-jit, katanya, "Inilah uang untuk
membeli jiwamu yang kuterima dari Ma Gun, terserah
bagaimana kau akan menggunakannya, tak perlu kau merasa
rikuh atau menyesal."
"Kenapa tidak langsung kau serahkan kepadanya" Apakah
sekarang juga kau mau pergi?"
Pho Ang-soat mengangguk.
"Jadi kau tidak pamitan kepadanya?"
"Kalau memang mau pergi, kenapa harus pamitan segala."
"Untuknya kau banyak melakukan tugas mulia, maka sudah
pasti dia adalah orang yang amat dekat dengan kau,
sedikitnya kau harus
"Kau banyak membantu kesulitanku, tapi kau bukan sanakkadangku,"
tukas Pho Ang-soat.
"Tapi kita kan sahabat," ujar Toh Cap-jit.
"Aku tidak punya sanak-kadang, aku pun tidak pernah
punya teman."
Mentari sudah mendoyong ke barat, pada saat matahari
merambat ke barat, Pho Ang-soat beranjak di bawah sinar
mentari yang menguning, langkahnya tidak berhenti, tapi lebih
lambat, seolah-olah kali ini pundaknya dibebani pikulan yang
berat. Apa benar dia tidak punya sanak-kadang" Tidak punya
teman?" Toh Cap-jit menatap bayangan yang manunggal semakin
jauh, mendadak dia berseru lantang, "Hampir aku lupa
memberitahu kepadamu, Ma Gun sudah mati, ia mati
digantung orang dengan seutas tali di atas Teng-sian-lau."
"Siapa yang membunuhnya?" tanya Pho Ang-soat tidak
menoleh. "Tidak tahu, tiada orang tahu, aku hanya tahu orang yang
membunuhnya meninggalkan dua patah kata, dua kalimat
yang ditulis dengan darah segar, 'Inilah pertama kali aku
membunuh orang secara gratis, mungkin juga terakhir kali'."
Magrib sudah menjelang, cuaca makin gelap, sorot mata
Pho Ang-soat ternyata mencorong terang malah. Sudah tentu
dia tahu siapa pembunuh Ma Gun, hanya dia saja yang tahu.
Karena dua kalimat itu sengaja ditinggalkan untuk dirinya.
Akhirnya To Ceng meletakkan goloknya, golok penjagal
manusia. Orang sejenis dirinya bila sudah bertekad dan keputusan,
maka selama hayat pasti tidak akan berubah, tapi bagaimana
dengan aku" Bukankah golok di tanganku inipun golok jagal"
Sampai kapan aku harus menunggu untuk meletakkan golok
ini" Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya, sinar
terang di kedua matanya mulai guram. Sekarang dia belum
bisa meletakkan goloknya, bila di dunia ini masih ada manusia
sejenis Kongsun To yang masih hidup, maka dia pantang
meletakkan golok. Apa pun yang akan terjadi, dia tidak akan
meletakkan goloknya.
ooooOOoooo Bab 15. Kuil Kuno Naga Langit
Tengah hari, sinar surya memenuhi jagat.
Waktu Pho Ang-soat beranjak keluar dari dalam hotel,
terasa semangatnya bergelora, cukup sebagai bekal untuk
menghadapi setiap tantangan, kesulitan dan mara bahaya.
Dia tidur sehari penuh, bangun tidur berendam satu jam di
dalam air panas, rasa penat kantuknya selama beberapa hari
ini telah tercuci bersih dan lenyap bersama debu dan dekil
yang melekat di badannya.
Tahun-tahun belakangan ini dia sendiri menyadari sudah
jarang mencabut golok, sekarang dia menyadari, dengan
golok membereskan persoalan ternyata bukan cara yang baik.
Tapi cara berpikirnya sekarang sudah banyak berubah,
karena itu dia perlu membangkitkan semangat. Karena
membunuh orang bukan saja merupakan tugas yang
melampui batas, untuk melaksanakan tugas itupun
memerlukan semangat, tenaga jasmani dan kekuatan batin.
Sekarang walau dia belum tahu, dimana orang-orang itu, dia
percaya akan datang suatu ketika dapat menemukan jejak
mereka. The Kiat adalah seorang penebang kayu, usianya baru dua
puluh satu, perjaka yang hidup seorang diri, menetap di
sebuah rumah kayu kecil di tengah hutan. Setiap hari hanya
turun gunung sekali, menukar beras, garam dan keperluan
makan lainnya dengan kayu-kayu kering. Daging dan arak
setiap minggu dibelinya sekali, kadang dia pun mampir ke
dalam gang sempit yang terletak di ujung kota yang jorok itu,
mencari hiburan dengan perempuan yang banyak terdapat di
sana. Kayu-kayu bakar yang dia tebang selalu dia jual ke restoran
yang banyak terdapat di sepanjang jalan raya kota itu, kayu
yang dia jual murah harganya, ditanggung kayu kering. Maka
pemilik restoran banyak yang senang mengundangnya minum
barang secangkir dua cangkir teh wangi, yang baik hati dan
murah hati ada yang menyuguh secangkir arak kepadanya.
Takaran minumnya tidak besar, minum tiga cangkir saja
mukanya tentu sudah merah, biasanya dia jarang buka mulut,
memang The Kiat bukan lelaki cerewet.
Tapi dua tiga hari ini ternyata dia senang bercerita, cerita
yang sama sedikitnya sudah pernah dia ceritakan dua tiga
puluh kali. Setiap kali mulai ceritanya, selalu dia menekankan,
"Inilah kejadiannya nyata, kejadian yang kusaksikan dengan
mata kepalaku sendiri, kalau tidak, aku sendiri pun tidak mau
percaya." Peristiwa terjadi pada tiga hari yang lalu menjelang lohor,
dimulai waktu dia melihat berkelebatnya sinar golok di dalam
hutan. "Mimpi pun kalian pasti tidak menduga di dunia ini ada
golok seperti itu, hanya terlihat sinar golok berkelebat, seekor
kuda kekar besar, segar bugar tahu-tahu terbelah menjadi
dua. "Seorang pemuda yang bermuka cakap seperti pemain
opera di atas panggung, ternyata bersenjata pedang merah
menyala laksana darah, siapa saja yang membentur
pedangnya pasti segera rebah.
"Dia punya seorang teman, wajahnya pucat lesi, pucat
mengkilat seperti tembus cahaya. Orang ini lebih menakutkan
Cerita yang sama sudah dikisahkan tiga puluh kali, yang
bercerita menghayati dengan rasa ngeri, takjub dan bernapsu,
pendengarnya juga asyik dan tertarik.
Tapi kali ini sebelum habis ceritanya, mendadak dia
menutup mulut, karena mendadak dia melihat seorang
bermuka pucat berdiri di depannya, sepasang mata yang
menatap seperti ujung golok mengawasinya.
ooooOOoooo Golok yang hitam, sinar golok yang menyambar bagai kilat,
hujan darah yang berhamburan seperti panah rontok ....
Perut The Kiat seperti dipuntir, seperti mengkeret, hampir
tak tahan dia ingin muntah-muntah lagi. Dia ingin lari, tapi
kedua lututnya terasa lemas dan goyah.
Dingin Pho Ang-soat menatapnya, mendadak bersuara,
"Teruskan!"
The Kiat menyengir kuda, katanya tergagap, "Apa ...
apanya yang teruskan?"
"Setelah aku pergi hari itu, apa pula yang kau saksikan?"
The Kiat menyeka keringat di mukanya, katanya, "Aku
melihat banyak kejadian, tapi semuanya tak kulihat jelas." Dia
memang tidak bohong, maklum waktu itu dia sudah hampir
gila, hampir semaput karena ngeri dan ketakutan.
Hanya satu yang ingin diketahui Pho Ang-soat, "Bagaimana
nasib orang yang berpedang merah itu?"
Jawaban The Kiat ini cukup cepat, "Dia sudah mati."
Mengencang genggaman jari-jari Pho Ang-soat, hatinya
seperti tenggelam, sekujur badan berkeringat dingin, lama
kemudian baru dia buka suara, "Bagaimana dia bisa mati"
Siapa yang membunuhnya?"
"Sebetulnya dia tidak mati. Setelah kau pergi membawa
kereta itu, dia merintangi tiga orang yang berusaha mengudak
kereta orang lain, agaknya takut tersentuh pedangnya, maka
dia pun mencari kesempatan melarikan diri, begitu cepat dia
pergi, boleh dikata seperti angin puyuh." Mulut bercerita,
benaknya membayangkan kejadian waktu itu, maka mimik
Pendekar Super Sakti 18 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bukit Pemakan Manusia 18
^