Pencarian

Peristiwa Bulu Merak 6

Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Bagian 6


senjata di tangannya ternyata sudah lenyap.
Sebat sekali orang itu sudah duduk kembali di kursinya,
perlahan dia taruh kelima batang senjata itu di atas meja, lalu
berkata dengan tersenyum, "Aku bukan orang persilatan, tentu
aku boleh turut campur."
Pemuda berpedang itu mendamprat gusar, "Siapa kau?"
"Namaku biasanya tidak kuberitahu kepada orang mati."
"Siapa orang mati?" semprot pemuda itu.
"Kau," jawab orang itu tegas. Sebetulnya dia masih berdiri
diam di tempatnya, tapi begitu lenyap suaranya, kelima orang
itu mendadak berubah pucat air mukanya, darah sekujur
badannya mendadak mengalir kering, tulang belulangnya pun
seperti dibetot. Laki-laki yang masih segar dan kuat,
mendadak berubah menjadi kuyu dan kering, mendadak roboh
semuanya. Ternyata Pho Ang-soat seperti tidak melihat kejadian ini.
Orang itu menghela napas, katanya, "Kuwakili kau
membunuh orang-orang ini, umpama kau tidak merasa
berhutang budi dan tidak mengucap terima kasih kepadaku,
paling tidak kau harus memuji tindakanku."
"Kenapa aku harus memuji?"
"Memangnya kau tidak tahu dengan kungfu apa aku
membunuh mereka?"
"Aku tidak tahu."
"Itulah salah satu dari dua jenis ilmu yang masih diwarisi
umat persilatan dari Thian-te-kiau-ceng-im-yang-toa-pi-jiu."
"O" Masa?"
"Inilah Thian-coat-te-biat Toa-siu-hun-jiu."
"O?" "Masih ada sejenis lagi, ialah yang sudah kau yakinkan,
yaitu Thian-ih-te-coan Toa-ih-hiat-hoat," dengan tertawa dia
lalu meneruskan, "kau bisa menggeser Hiat-to satu dim dari
tempat semula, sedikitnya kau sudah sembilan puluh persen
meyakinkan ilmu ini, sudah mendekati kesempurnaan."
"Dan kau" Kau siapa?" tanya Pho Ang-soat.
Orang itu menjawab, "Aku adalah To-jing-jin dari Sing-siokhay
barat, paling tidak aku lebih punya cinta daripada kau."
Akhirnya Pho Ang-soat mengangkat kepala, menatapnya,
seperti baru sekarang dia tahu di depannya duduk satu orang.
Senyum orang ini lembut dan ramah, wajahnya alim, alisnya
tegak berdiri, kelihatannya memang seorang yang romantis,
laki-laki yang gampang menanam cinta dimana dia berada.
"To-jing-jin (orang yang kebanyakan cinta) juga membunuh
orang?" "Bila cinta sudah kental cinta akan luntur, lantaran cintaku
terlalu banyak terlalu kental, maka sekarang lebih tipis dari
kertas," To-jing-jin tersenyum, "tapi selamanya belum pernah
aku membunuh orang tanpa alasan. Kubunuh mereka, karena
aku tidak ingin kau mati di tangan mereka."
"Kenapa?" tanya Pho Ang-soat.
"Karena aku mengharap kau mati di tanganku saja."
"Apa benar itu keinginanmu?"
"Begitu besar keinginanku sampai aku sendiri ingin mati."
Perempuan yang berdiri jauh di depan meja kasir
mendadak buka suara, "Karena bila dia bisa membunuhmu,
maka aku akan kawin dengan dia."
"Coba lihat," ucap To-jing-jin, "usiaku sudah tiga puluh lima,
sampai sekarang belum punya bini, sudah tentu belum punya
anak, ajaran leluhur mengatakan tidak punya keturunan tanda
tak berbakti terhadap orangtua, yakin kau tidak ingin aku ini
menjadi laki-laki yang tidak berbakti bukan?"
"Dia pasti membantu usahamu," seru gadis muda itu.
"Bagaimana kau tahu?" tanya To-jing-jin.
Gadis itu bilang, "Aku pernah melihat dia turun tangan tiga
kali, goloknya semula memang seperti dihuni oleh setan."
"Tapi sekarang?" To-jing-jin menegas.
"Setan di goloknya itu sekarang sudah pindah ke
sanubarinya." Sengaja To-jing-jin bertanya, "Bagaimana bisa
pindah?" "Karena dua hal."
"Karena arak dan perempuan maksudmu?"
Gadis itu mengangguk, "Karena kedua hal ini, dahulu
agaknya dia pernah hampir mati sekali."
"Tapi kenyataan sekarang dia masih hidup."
"Karena dia punya seorang kawan."
"Yap Kay?"
"Sayang, sekarang Yap Kay entah berada dimana?"
"Kalau begitu bukankah keadaannya sekarang amat
berbahaya?"
"Bahaya sekali!"
"Menurut penilaianmu apakah aku mampu melawan
goloknya?"
"Toa-siu-hun-jiu bila kau lancarkan, setan pun dapat kau
tangkap, apalagi sebatang golok yang tidak dihuni setan."
"Umpama aku mampu menangkap goloknya, bukankah
tanganku akan tertabas buntung?"
"Tidak mungkin."
"Kenapa tidak mungkin?"
"Karena caramu menangkap berbeda, bahwasanya
tanganmu tidak usah menyentuh goloknya."
"Berapa lama aku bisa menangkapnya?"
"Tak usah lama-lama, karena waktu itu sebelah tanganmu
yang lain sudah merenggut nyawanya."
"Kalau begitu bukankah orang ini sudah tamat?"
"Dia masih punya setitik harapan."
"Harapan apa?"
"Asal dia mau memberitahukan dua hal kepada kita, kita
tidak usah menyentuhnya."
"Dua hal apa?"
"Dimana bulu merak sekarang" Dimana Thian-te-kiauceng-
im-yang-toa-pi-jiu?"
"Jika dia memiliki bulu merak, kalau sudah meyakinkan ilmu
di dalam Toa-pi-jiu itu, bukankah kita sendiri yang bakal
tamat?" "Mungkin tangannya sekarang sudah tidak setenang dulu,
sudah tidak mampu menggunakan Khong-jiok-ling (bulu
merak), walau dia sudah meyakinkan Toa-ih-hiat-hoat, tapi
sudah tidak sempat atau tidak mampu meyakinkan ilmu yang
lain." "Dilihat keadaannya memang jelas tak mungkin dia
meyakinkan ilmu yang lain."
"Ya, hanya minum arak saja satu-satunya kepandaian yang
masih dia pelajari."
"Pelajaran minum arak agaknya cukup baik latihannya."
"Sayang sekali manfaat satu-satunya dari kungfu ini adalah
merubah dia menjadi setan arak, setan arak yang mampus."
Setiap patah kata pembicaraan kedua orang ini laksana
jarum yang menusuk hulu hatinya, seolah-olah mereka ingin
sekaligus menusukkan jarum sebanyak itu ke hulu hatinya
supaya dia tersiksa, menderita, makin lemah, supaya
semangatnya runtuh.
Sayang jarum-jarum tajam itu justru seperti menusuk di
atas permukaan batu, karena Pho Ang-soat tidak memberi
reaksi sedikitpun. Pho Ang-soat sudah pati rasa. Maksud pati
rasa adalah sudah tidak jauh dari runtuh total, tidak jauh dari
kematian. To-jing-jin menghela napas, katanya, "Gelagatnya dia
sudah bertekad tidak mau buka mulut?"
Gadis itu menghela napas, katanya, "Mungkin dia ingin
menunggu setelah jiwa menjelang mangkat baru mau buka
mulut." "Apakah sekarang belum tiba saatnya?"
"Bila kau turun tangan, maka tibalah saatnya."
Maka To-jing-jin turun tangan, tangannya putih dan lencir,
mirip jari-jari tangan perempuan. Gerakan tangannya pun
gemulai dan lembut, seperti gadis yang sedang memetik
kembang, kembang kecil yang segar namun gampang rontok.
Betapapun perkasanya seorang, di bawah tangannya dia
akan berubah selemah kembang yang rontok ini. Kelihatan
tangannya bergerak lamban, namun laksana sorotan sinar
yang lembut, bila sudah melihatnya ternyata dia sudah tiba.
Tapi tidak demikian kali ini, sebelum tangannya tiba, golok
sudah keluar dari sarangnya. Sinar golok berkelebat, maka
tangannya seperti juga kelopak kembang yang rontok tadi,
ternyata dia betul-betul menangkap golok itu. Apakah sebelah
tangannya akan segera merenggut nyawa Pho Ang-soat"
Seperti tadi dia merenggut sukma dan mengeringkan darah
orang-orang itu tadi"
Jari-jari tangan rontok seperti kelopak kembang, tangan
yang merenggut sukma. Golok yang tak mampu dipegang
oleh manusia, tapi terpegang oleh tangan yang satu ini.
Sayang sekali tangan menakutkan macam apa pun, berada di
bawah golok ini, maka dia akan menjadi lemah dan mudah
rontok seperti kelopak kembang itu.
Sinar golok berkelebat, darah pun muncrat. Tangan sudah
terbelah menjadi dua, batok kepala juga terbelah menjadi dua.
Mata gadis itu terbelalak besar membundar, pelupuk
matanya kedutan, mulut pun terkancing.
Bahwasanya dia tidak melihat golok itu, tahu-tahu golok
sudah kembali ke sarungnya, seperti kilat berkelebat lenyap
ditelan kegelapan, tiada orang dapat melihatnya. Dia hanya
melihat wajah Pho Ang-soat yang pucat bening.
Pho Ang-soat sudah berdiri, melangkah pergi, gaya
jalannya masih kelihatan kaku dan berat. Langkahnya
kelihatan sempoyongan, ternyata dia sudah mabuk. Segala
sesuatu dari gerak-geriknya, sikap dan keadaannya yang
mabuk ternyata tampak amat menakutkan.
Saking takut terasa darah sendiri seperti hampir beku, tapi
dia mendadak tertawa, katanya, "Apa kau tidak mengenalku"
Aku adalah Ni-jisiocia, Ni Hwi, bukankah kita teman baik?"
Pho Ang-soat tidak menghiraukan dia, hanya menatapnya
canang, mengawasi orang lewat di depannya, sorot matanya
dibayangi rasa ketakutan. Apa pun yang terjadi dia tidak bisa membiarkan
laki-laki ini hidup di dunia ini, selama laki-laki ini hidup, dia
akan mati, mati di tangannya.
Keputusannya ini mungkin tidak tepat, tidak benar, padahal
gadis ini berotak cerdik pandai, tapi rasa takut kadang kala
bisa menyebabkan kesadaran orang pudar, seorang bisa
kehilangan pikiran jernih karena takut, tapi dia tidak pernah
lupa bahwa dirinya adalah Thian-hoa-li. Kecuali dirinya, tiada
orang kedua di dunia Kangouw yang bisa menggunakan
senjata rahasia yang ampuh dan ganas ini.
Senjata rahasia itu disambitkan, bukan saja kelopak
kembang dapat melukai orang, di dalam kelopak kembang
ternyata tersembunyi pula jarum-jarum beracun yang
mematikan. Seluruhnya Ni Hwi hanya membawa tiga belas
kuntum Thian-hoa-li, dia tidak membawa terlalu banyak Am-gi.
Dengan senjata rahasianya ini seluruhnya dia baru pernah
memakainya tiga kali, setiap kali memakai hanya
menggunakan sekuntum. Sekuntum sudah lebih dari cukup
untuk menamatkan jiwa musuh.
Tapi sekarang tiga belas kuntum itu dia timpukkan
seluruhnya, lalu tubuhnya melejit mundur ke belakang,
umpama serangannya gagal, paling tidak dia bisa
mengundurkan diri. Selama ini dia amat bangga akan
Ginkangnya sendiri, sayang sekali golok sudah keluar saat itu
juga. ooooOOoooo Bab 19. Sang Algojo
Sinar golok berkelebat, darah pun muncrat.
Ni Hwi melihat berkelebatnya sinar golok ini, malah dia pun
melihat muncratnya darah, darah yang menyembur dari
tengah-tengah kedua matanya. Melihat semburan darah ini,
seperti melihat setan, seperti seorang menyaksikan kedua
kakinya mendadak copot dari badannya, dan kaki itu
menendang awak sendiri. Malahan dia seperti merasakan
mata kirinya sudah melihat mata kanan sendiri. Memangnya
siapa yang meresapi perasaannya ini"
Tiada seorang pun.
Hanya orang hidup yang mempunyai perasaan, kepala
yang sudah terbelah menjadi dua pasti takkan bisa punya
perasaan lagi. Seorang yang batok kepalanya sudah terbelah
menjadi dua sebetulnya takkan bisa melihat apa pun di dunia
ini. Jika bukan lantaran sambaran golok itu teramat cepat, di
kala golok tajam itu membacok tiba, daya pandangnya juga
belum mati, maka dia masih sempat melihat sesuatu yang
terjadi dalam sekejap itu, sekejap yang terakhir.
Berapa lamakah sekejap itu" Tragisnya, umumnya
manusia sebelum meninggal dalam sekejap itu, ternyata dapat
memikirkan banyak persoalan yang biasanya takkan terpikir
habis sehari semalam. Sekarang apakah Ni Hwi telah
memikirkannya" Juga tiada orang tahu. Sudah tentu dia sudah
tidak mungkin menjelaskan.
Ni Ping, tiga puluh tahun.
Putra kedua Cong-tin-kek-cu Ni Po-hong, bergaman
pedang panjang, salah seorang tunas muda di kalangan
Kangouw yang berpedang paling cepat dan ternama.
Seorang diri, belum menikah.
Setelah Ni-keh-tay-wan bubar dan terobrak-abrik, sering
menetap di Giok-hiang-wan, di tempat Pek-ji-giok, pelacur
terkenal. Tanggal 19 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Ni
Ping. ooooOOoooo Ni Hwi, 20 tahun
Putri kedua Cong-tin-kek-cu, cerdik pandai, banyak
akalnya, Ginkangnya juga amat tinggi, Thian-hoa-li adalah
Am-gi tunggal keluarganya yang teramat jahat, pernah
membunuh tiga orang sekali serang.
Seorang diri, belum menikah.
Malam tanggal 18 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Ni
Hwi. ooooOOoooo To-jing-jin, 35 tahun.
Semula she Oh, riwayatnya tidak jelas, sejak kecil masuk
perguruan Sing-siok-hay di bilangan Barat, sejak remaja
kungfunya sudah kelihatan menonjol, ilmu Thian-coat-te-biat
Toa-siu-hun-jiu merupakan salah satu dari ilmu pusaka Bu-lim,
korban yang jatuh di tangannya tak terhitung banyaknya.


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang diri, belum menikah.
Bulan 3 masuk ke perbatasan, memperkosa dan
membunuh enam wanita.
Tanggal 19 bulan 4 malam, Pho Ang-soat membunuh Tijing-
jin. Lo Siau-hou, 42 tahun.
Begal tunggal yang malang melintang di Ho-say, bergaman
golok, amat sombong dan suka mengagulkan diri,
menganggap dirinya sebagai golok tercepat di seluruh
Kangouw. Seorang diri, tidak menikah.
Tanggal 21 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Lo Siau-hou.
ooooOOoooo Nyo Bu-li, 44 tahun.
Adik sepupu Pek-hun Koancu Nyo Bu-ki, murid Kun-lun,
Hwi-liong-cap-pwe-sek adalah kemahirannya, berjiwa sempit
berhati culas, dendam pasti dibalas, punya tabiat seperti
engkohnya, Nyo Bu-ki, membunuh orang tidak usah takut.
Sejak muda sudah Jut-keh (menjadi Tosu), belum menikah.
Tanggal 22 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Nyo Bu-li.
Im-jip-te, 30 tahun dan Kim-jip-bok, 33 tahun.
Korban yang dibunuh kedua orang ini tak terhitung
banyaknya, julukannya Ngo-hing-siang-sat, kungfunya aneh
dan penuh misteri.
Watak kedua orang ini kikir, tamak dan loba, sepeser pun
tak mau rugi, beberapa tahun belakangan sudah menjadi kaya
raya. Im-jip-te kemaruk paras ayu, hidung belang.
Kim-jip-bok impoten.
Tanggal 23 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Im-jip-te dan
Kim-jip-bok. ooooOOoooo Cukat Toan, 50 tahun.
Ahli waris Lo It-to dari Koan-say, dingin dan mudah curiga,
kegemarannya membunuh orang. Sudah lama membujang.
Pernah kawin tiga kali, ketiga isterinya mati di ujung
goloknya sendiri.
Tidak punya keturunan.
Tanggal 24 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Cukat Toan.
It-cu-hoa-jian-li-hiang, 29 tahun.
Begal pemetik kembang (pemerkosa), ahli Ginkang dan
obat bius. Belum menikah. Tanggal 25 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Jian-li-hiang.
ooooOOoooo Di dalam buku tebal itu masih banyak bahan keterangan,
itu hasil kerja dua orang yang berdiri di depannya, merekalah
yang mengumpulkan bahan-bahan itu dari berbagai pihak dan
tempat. Dia hanya membalik beberapa lembar, lalu enggan
membaca lagi. Kedua orang yang berdiri itu seorang berpakaian putih kaos
putih, dia bukan lain adalah Ku Ki, seorang lagi berjubah
kelabu bersih dan rapi, dia bukan lain adalah si Hwesio gila
yang menjaga Thian-liong-si, sekarang sikapnya tidak seperti
orang gila lagi.
Sikap kedua orang ini tampak ramah dan hormat, namun
sikapnya terhadap mereka juga lembut, seperti menteri yang
setia terhadap junjungannya.
Walaupun mereka berdiri di depan, tapi di antara mereka
terpaut sebuah meja yang lebar. Memang dimana dan kapan
saja, dia selalu terpaut dalam jarak tertentu dengan orang lain.
Walau senyumannya ramah dan kalem, namun selamanya
tiada orang berani menyinggung dan menyalahi dirinya,
karena dia adalah tokoh yang paling kaya di Bu-lim, dia adalah
Kongcu Gi. Dalam rumah terasa nyaman dan tenteram, setiap perabot
yang ada di dalam rumah ini semuanya adalah barang pilihan
dan berkualitas, di pajang di tempat yang cocok dan serasi.
Barang-barang yang ada di atas meja ternyata tidak
banyak, kecuali buku tebal berisi laporan, hanya ada sebilah
pedang panjang yang dibungkus dengan sutra kuning.
Kembang mekar semerbak di luar jendela, tiada suara
orang, dalam rumah hanya mereka bertiga. Di kala dia tidak
bicara, bernapas pun mereka tidak berani keras-keras,
mereka tahu Kongcu Gi suka ketenangan.
Buku laporan itu sudah tertutup lagi.
Akhirnya Kongcu Gi menghela napas, katanya, "Kenapa
kalian selalu ingin aku melihat barang-barang itu?" Dengan
dua jarinya dia dorong buku laporan itu ke depan mereka,
seolah-olah takut kecipratan noda darah dan hawa membunuh
di atas buku itu, lalu dia menambahkan, "Kenapa tidak kalian
laporkan langsung kepadaku saja, selama beberapa hari ini
dia sudah membunuh berapa orang?"
Ong Hoat mengawasi Ku Ki.
Ku Ki menjawab, "Dua puluh tiga orang."
Kongcu Gi mengerut kening, katanya, "Tujuh belas hari
membunuh dua puluh tiga orang?" Ku Ki mengiakan.
Kongcu Gi menghela napas, katanya, "Apakah orang yang
dia bunuh tidak terlalu banyak?"
"Ya, terlalu banyak."
"Kabarnya kawan main caturmu, Nyo Bu-ki, juga terpenggal
tangannya olehnya?"
"Ya," sahut Ku Ki.
"Nyo Bu-li ingin menuntut balas sakit hati engkohnya, maka
dia mencari Pho Ang-soat"."
"Ya," kembali Ku Ki mengiakan.
"Lo Siau-hou pasti merasa dirinya lebih hebat, untuk
berebut nama, maka dia menantangnya bertanding kecepatan
mencabut golok."
"Betul"
"Kenapa Cukat Toan membunuh ketiga bininya?"
"Karena ketiga bininya itu tertawa dengan lelaki lain."
"Kedua orang ini, seorang tidak tahu dirinya, yang lain
terlalu cemburu, orang-orang macam mereka takkan mampu
bekerja, bukan mustahil hanya akan meninggalkan urusan,
selanjutnya kalian jangan menarik orang-orang sejenis mereka
ke dalam perkumpulan kita."
Ku Ki dan Ong Hoat mengiakan bersama.
Sikap Kongcu Gi kelihatan lebih kalem, katanya, "Tapi aku
juga tahu ilmu golok mereka memang tidak lemah."
"Benar."
"Toa-siu-hun-jiu dari Sing-siok-hay, boleh terhitung suatu
kungfu yang amat lihai. Konon beberapa hari belakangan ini
keadaan Pho Ang-soat semakin lesu dan pesimis, hampir
setiap hari dia tenggelam dalam mabuk araknya."
"Ya."
"Tapi para algojo yang kalian undang ini, justru segebrak
pun tidak mampu melawannya."
Ku Ki tidak berani buka suara, mengiakan pun tidak berani.
Kongcu Gi justru menunggu jawabannya, setiap pertanyaan
yang diajukan, jawabannya harus tegas dan jelas dan harus
dijawab. Tanpa jawaban berarti pertanyaan tidak patut
diperhatikan. Akhirnya Ku Ki menjawab, "Walau dia banyak minum, tapi
tangannya teramat kokoh dan tenang."
"Jadi arak tidak membawa pengaruh terhadapnya?"
"Hanya sedikit."
"Apa pengaruhnya?"
"Serangannya malah lebih kejam dan beringas."
Kongcu Gi menepekur sejenak, katanya perlahan, "Kupikir
dia pasti amat marah, maka goloknya lebih menakutkan."
Ku Ki tidak bertanya kenapa, di hadapan Kongcu Gi dia
hanya menjawab, tidak boleh bertanya.
Kongcu Gi melanjutkan, "Karena amarah adalah sejenis
kekuatan, kekuatan yang dapat mendorong manusia
melakukan banyak urusan."
Ku Ki mengawasinya, sorot matanya diliputi rasa kagum
dan hormat. Memang dia tidak pernah memandang ringan musuhnya.
Analisa dan keputusannya pasti benar dan tepat.
Seluk-beluk musuh, mungkin dia lebih jelas dari musuh itu
tahu akan seluk-beluk sendiri.
Maka dia sukses, suksesnya jelas bukan lantaran nasib
baik. Kongcu Gi menghela napas, katanya, "Hal itulah yang
paling menakutkan."
Ku Ki tidak bertanya, hanya mendengarkan.
Kongcu Gi berkata pula, "Bergerak belakangan
menundukkan lawan lebih dulu, jelas mutlak lebih menakutkan
daripada bergerak dulu merobohkan musuh."
"Betul."
"Kau tahu kenapa demikian?"
"Karena bila jurus serangan sudah dilancarkan, di saat
serangan akan dilancarkan dan belum dilancarkan, tenaganya
paling lemah, di saat sekejap itulah goloknya sudah memutus
jiwa lawan."
"Orang lain mampu tidak berbuat demikian?"
"Tidak."
"Kenapa?"
"Sekejap itu lekas sekali sudah lenyap, kecuali dia, jarang
ada yang bisa menangkap dan memanfaatkan kesempatan
sekejap itu."
Kongcu Gi tersenyum, katanya, "Kelihatannya kungfunya
ada kemajuan."
"Ya, maju sedikit," sahut Ku Ki, dia tidak berani merendah
atau berpura-pura, siapa pun di hadapannya harus bicara
jujur. Senyum Kongcu Gi tampak riang, katanya, "Apa kau tidak
ingin mencoba betapa cepat goloknya itu?"
"Tidak ingin."
"Kau insyaf bukan tandingannya?"
"Menurut apa yang kulihat dan kutahu, di kolong langit ini
hanya ada dua orang mampu menundukkan dia."
"Satu di antaranya sudah tentu adalah Yap Kay."
"Benar."
"Seorang lagi adalah aku."
"Betul."
Pelan-pelan Kongcu Gi berdiri melangkah ke depan
jendela, mendorong daun jendela, bau kembang yang
semerbak di taman segera merangsang hidung. Dia berdiri
diam dan tenang, tidak bergerak tidak bersuara.
Ku Ki dan Ong Hoat tidak berani bergeming.
Lama kemudian baru dia berkata perlahan, "Ada satu hal
mungkin kalian tidak tahu."
Ku Ki tidak berani bertanya.
"Aku tidak suka membunuh orang, selama hidup ini, belum
pernah membunuh orang dengan kedua tanganku."
Ku Ki tidak perlu heran, ada sementara orang membunuh
orang tidak perlu turun tangan sendiri.
Kongcu Gi berkata, "Tiada orang yang mampu
menundukkan dia, paling aku juga hanya dapat
membunuhnya."
Karena dia mirip sebatang golok, golok baja, kau bisa
memutuskannya, tapi takkan bisa membuatnya bengkok.
Kongcu Gi berkata pula, "Tapi aku sekarang belum ingin
melanggar kebiasaan membunuh orang."
Karena masih ada segi-segi yang dia kuatirkan.
Dia adalah seorang laki-laki, pendekar ternama yang
terkenal sebagai laki-laki budiman, setia dan penuh cinta kasih
kepada sesamanya, kebesaran namanya itu tidak mudah
diperoleh, maka dia perlu berhati-hati.
Karena itu dia tidak membunuh orang, tidak boleh
membunuh Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat bukan manusia durjana, bukan manusia yang
harus dibunuh menurut anggapan kebanyakan orang.
Kongcu Gi berkata, "Oleh karena itu sekarang aku biarkan
dia membunuh orang, makin banyak yang dibunuh makin
baik." "Sampai kapan dia harus membunuh?"
"Membunuh dan membunuh sampai kebanyakan orang
merasa perlu membunuhnya, biar saja membunuh sampai dia
menjadi gila sendiri."
Kongcu Gi berkata, "Karena itu sekarang kita masih bisa
memberi dorongan supaya dia membunuh lebih banyak orang
lagi." Dia berpaling mengawasi mereka, "Malah kita harus
berusaha mencari orang supaya dibunuh olehnya."
"Biar aku yang mengatur," sahut Ku Ki.
"Siapa kira-kira yang akan kau cari supaya dia bunuh?"
tanya Kongcu Gi.
"Orang pertama adalah Siau Si-bu," sahut Ku Ki. "Kenapa
kau memilih orang ini?"
"Karena sekarang dia sudah berubah."
"Kukira kau pasti masih bisa berusaha mencari orang yang
lebih menarik untuk dibunuhnya," dengan tersenyum dia
menambahkan lebih kalem, "sekarang aku sudah menemukan
salah satu yang paling menarik."
ooooOOoooo Harum semerbak bau kembang itu memenuhi taman,
Kongcu Gi menggendong tangan sedang berjalan-jalan di
dalam taman, di antara rumpun kembang yang mekar
bersolek. Hatinya sedang riang, dia percaya anak buahnya
pasti dapat melaksanakan tugas yang dia perintahkan,
perintah untuk membunuh orang. Tapi dia sendiri tidak pernah
turun tangan, tidak pernah membunuh orang.
Malam tenang, malam sudah larut.
Pho Ang-soat tidak bisa pulas, tidak bisa tidur memang
cukup merisaukan, tapi bila tidur dia akan lebih menderita.
Seorang bila tidur di atas ranjang papan yang keras dan
dingin, di dalam kamar dipenuhi bau apek, bau busuk yang
menyesakkan napas, dengan mata mendelong mengawasi
langit-langit yang mulai keropos dan kotor, bolak-balik
memikirkan kenangan masa lalu yang semestinya tidak perlu
dibayangkan lagi.
Para gelandangan yang tidak punya akar di suatu tempat,
duka-lara dan derita mereka siapa mau memahami, mau
meresapi" Maka dia lebih suka menjadi gelandangan di
kegelapan malam seperti setan gentayangan.
Ada sementara rumah yang masih menyala lampunya, apa
yang dilakukan orang-orang di dalam rumah itu selarut malam
ini" Kenapa tidak tidur" Apakah suami isteri sedang makan


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengah malam, makan sisa makanan yang masih ada sore tadi
setelah mereka kecapaian mengecap surga dunia" Atau
mereka terjaga oleh tangis sang orok, ayah atau bunda
sedang mengganti pakaiannya karena basah oleh ompol"
Kehidupan ini meski biasa bagi orang-orang awam, namun
kesenangan dan bahagia yang mereka resapi, takkan
mungkin bisa dinikmati oleh orang seperti Pho Ang-soat.
Mendengar jerit tangis bayi, hatinya mulai sakit, seperti
diiris-iris. Dia ingin minum arak lagi, walau arak tidak dapat
mengobati segala derita, paling tidak dapat membuat
seseorang sementara melupakan siksa derita itu.
Di ujung jalan kecil di tengah kegelapan sana, ada sebuah
lampu gantung bergoyang-goyang. Seorang tua kelihatan
sedang duduk malas di bawah lampu remang-remang itu
sambil menikmati araknya.
Sudah tiga puluh lima tahun dia berjualan mi di sini, dari
pagi dia sudah mulai sibuk ke pasar membeli tulang yang
murah untuk kuah sayur, mi dan segala keperluan untuk
campuran masakan mi yang dijualnya, saat magrib dia sudah
mulai berjualan hingga esok pagi.
Selama tiga puluh lima tahun, kehidupannya ini tidak
berubah. Kegemaran satu-satunya ialah bila malam telah
larut, setelah yang datang makan semakin jarang, baru dia
punya kesempatan minum arak seorang diri. Setelah minum
arak, baru dia merasa dirinya telah masuk ke dalam dunianya
sendiri. Dunia nan damai dan indah, dunia yang bersih dan
suci, di sini tiada manusia makan manusia. Walau dunia ini
penuh khayal, namun baginya sudah terasa cukup, merasa
puas, seseorang asal dia bisa mempertahankan sedikit
khayalan, maka dia sudah cukup puas.
Pho Ang-soat sekarang sudah di bawah lampu gantung
dengan cahayanya yang redup itu.
"Berikan aku dua kati arak," asal bisa mabuk, minum arak
sembarangan pun tidak jadi soal.
Di pinggir pikulan mi, terdapat tiga meja yang dibuat
sederhana dari papan, setelah dia duduk, baru dia sadar
bukan dia seorang yang sedang duduk di tempat penjual mi
ini. Di meja yang lain masih ada seorang lelaki kekar, semula
dia sedang melahap mi panas dalam mangkuk besar, minum
arak dengan mangkuk besar pula, kini ternyata berhenti,
dengan kaget dia mengawasi Pho Ang-soat. Dia kenal setan
penyakitan yang bermuka pucat ini, karena dia pernah dihajar
oleh setan penyakitan sialan ini. Kejadian di rumah reyot di
lokasi pelacuran kelas rendah, di rumah gadis berkalung
kembang melati itu.
Arak yang sudah masuk perutnya agaknya tidak sedikit,
dengan tertawa menyengir setengah sinting mendadak dia
berdiri, lalu menghampirinya dan berkata, "Tak nyana kau pun
suka minum, sudah selarut ini, seorang diri keluar mencari
arak, maka takaran minummu tentu besar."
Pho Ang-soat tidak peduli.
Laki-laki kekar itu berkata, "Aku tahu kau membenciku, tapi
aku mengagumimu, kelihatannya kau memang mirip setan
penyakitan, yang benar adalah seorang laki-laki sejati, laki-laki
gagah." Pho Ang-soat tetap tidak mempedulikannya, betapapun
tebal mukanya, terpaksa dia menyengir kuda, lalu berputar
hendak balik ke tempatnya. Siapa tahu saat itulah mendadak
Pho Ang-soat berkata, "Duduk!"
Seseorang umpama dia sudah biasa hidup sebatangkara
dan kesepian, ada kalanya dia akan merasa jemu, tersiksa
dan tak tahan lagi. Mendadak timbul keinginannya supaya
seseorang duduk di sampingnya menemani dia, peduli siapa
dia dan macam apa, laki-laki dungu berotak kerbau juga tidak
jadi soal, karena hanya orang dungu yang berotak kerbau saja
tidak akan dapat menyentuh penderitaannya yang tersekam
sekian lama di relung hatinya yang paling dalam.
Lelaki itu kegirangan, segera dia duduk serta berseru
lantang, "Kasih sepiring buntut babi lagi dan dua kepala
bebek." Lalu dengan tertawa dia menyambung, "Sayang sekali
kepala bebek itu sebelumnya sudah dipotong orang, kalau aku
sendiri yang memotongnya, pasti lebih beres dan sedap."
Penjual mi yang tua usia itu agaknya juga terpengaruh oleh
kerasnya arak, matanya melirik, katanya, "Kau sering
memotong kepala bebek?"
Laki-laki itu menjawab, "Kepala bebek atau kepala manusia
sering kupotong." Lalu dia tepuk dada, "Bukan aku membual,
soal memotong kepala, dalam daerah seluas ratusan li di sini
mungkin aku nomor satu."
"Apa kerjamu?" tanya si orang tua.
"Aku ini algojo. Algojo nomor satu di kota ini dan tiga belas
karesidenan. Ada orang mengundang aku untuk memenggal
kepala, sedikitnya harus mengupah aku seratus tahil perak
padaku." "Kau mau memenggal kepala orang, dia harus bayar uang
kepadamu malah?" si orang tua bertanya dengan melotot.
"Kalau diberi sedikit aku tidak mau mengerjakan."
"Berdasar apa kau bekerja?"
Laki-laki itu mengulur jari-jari tangannya yang gede,
katanya, "Berdasar kedua tanganku dengan Kui-thau-to
milikku yang berat bobotnya." Lalu dia menirukan cara dan
gaya orang memenggal, "Sekali penggal, orang yang
terpenggal kepalanya ada yang tidak tahu kalau kepalanya
sudah berpisah dari lehernya."
"Ulur kepala dipenggal, mengkeret kepala juga dipenggal,
berdasar apa pula orang harus memberi uang kepadamu?"
"Karena daripada lama tersiksa, lebih baik lekas mati, kalau
aku yang memenggal kepalanya, paling tidak dia mati tanpa
merasakan jiwanya telah melayang."
"Memangnya orang lain tidak mampu sekali penggal kepala
orang terpental jatuh?"
"Kau masih ingat tidak anak muda yang tempo hari kuajak
jajan mi di sini?"
"Dia kenapa?"
"Dia juga seorang algojo, untuk mencari duit, dia berlatih
beberapa tahun dengan semangka, setelah yakin dirinya
sudah cukup mahir, waktu datang kemari dia pandang sebelah
mata kepadaku."
"Lalu?"
"Waktu pertama kali dia maju ke tengah gelanggang, baru
dia insyaf adanya sesuatu yang tidak beres."
"Apanya yang tidak beres?"
"Di tengah arena ada hawa membunuh dan
kewibawaannya sendiri, mungkin mimpi pun kau tak pernah
memikirkannya, setiba di tengah arena kaki lemas lutut goyah,
setelah mengayun golok delapan kali, kepala orang masih
belum mau putus dari lehernya, saking kesakitan pesakitan itu
berkelejetan dan meronta-ronta tak keruan," setelah menghela
napas dia meneruskan, "coba kau bayangkan, seorang yang
terbacok delapan kali belum mati, bagaimana rasanya?"
Pucat muka lelaki tua itu, katanya, "Bila kau yang
memenggal, cukup sekali bacok saja."
"Tanggung hanya sekali bacok, bersih dan beres."
"Memenggal kepala apakah memerlukan kepandaian?"
"Ilmu kepandaian yang diperlukan memang teramat besar."
Laki-laki tua itu mengangkat cawan arak dan pocinya ke
meja sini, duduk di sampingnya, katanya, "Coba kau
ceritakan."
Laki-laki kekar berkata, "Bukan saja harus berpandangan
tajam, gerakan golok itupun harus cepat, sebelum turun
tangan harus dibikin jelas lebih dulu, siapakah orang yang
akan kau penggal lehernya."
"Lho, kenapa?"
"Karena ada sementara orang pembawaannya punya nyali
besar, di waktu kepalanya terpenggal, pinggangnya masih
tegak berdiri, lehernya juga tidak mengkeret, memenggal
kepala orang seperti ini paling mudah." Setelah memperoleh
pendengar, ceritanya makin bernafsu, lebih senang, "Tapi ada
pula orang yang bernyali kecil, setiba di gelanggang,
tulangnya menjadi lemas, celananya pun basah dan bau,
ditarik pun tidak mudah."
"Kalau dia merangkak di tanah, apakah kau tidak mampu
memenggal kepalanya?"
"Tidak bisa dipenggal."
"Kenapa?"
"Karena tulang di bagian belakang leher lebih keras, kau
harus menemukan dulu letak sela-sela ruas tulangnya, baru
sekali bacok akan memenggal putus kepalanya," lalu dia
menambahkan, "kalau aku sudah tahu pesakitan yang harus
kupenggal kepalanya seorang jahat maka aku harus
mempersiapkan diri lebih dulu."
"Mempersiapkan apa?"
"Biasanya aku mencekok dulu beberapa cangkir arak,
untuk membesarkan nyalinya, tapi tidak boleh mencekoknya
sampai mabuk, maka sebelumnya aku pun harus mencari
tahu apa dia suka minum arak."
"Lalu?"
"Setiba di tengah gelanggang, bila dia tetap tak berani
mengulur lehernya, maka aku akan menendang pinggangnya,
begitu kepalanya bergerak, golokku segera menyambar,
bergegas aku harus mengeluarkan bakpao yang sudah
kusiapkan sebelumnya."
"Untuk apa kau membawa bakpao?"
"Begitu kepala terpenggal jatuh, bakpao itu harus segera
kugunakan untuk menyumpal lubang lehernya."
"Untuk apa?"
"Karena aku harus mencegah darah yang menyembur dari
lehernya mengotori badanku, besar atau kecil bakpao itu
adalah sama karena dia bisa menghisap darah, bila penonton
sudah bubar, bakpao itu tetap hangat, mumpung masih panas
aku lantas melahapnya."
Bertaut alis laki-laki tua, tanyanya, "Kenapa harus makan
bakpao itu?"
"Karena makan bakpao berdarah dapat menambah nyali,"
setelah menenggak dua teguk arak dia meneruskan dengan
tertawa, "pekerja seperti kami ini, bila terlalu banyak
membunuh orang, akhirnya bisa bernyali kecil juga, mula
pertama malamnya tidak bisa tidur, akhirnya ada yang menjadi
gila malah."
"Gila sungguhan?" tanya laki-laki tua.
"Suhuku sendiri juga gila. Dua puluh tahun dia menjadi
algojo, ternyata gila. Mulutnya selalu mengigau katanya ada
setan yang datang membuat perhitungan dengan dia, mau
memenggal kepalanya. Suatu hari, dia masukkan kepala
sendiri ke dalam tungku yang membara."
Laki-laki tua menatapnya, akhirnya menghela napas,
katanya, "Arak yang kau minum hari ini biar aku yang traktir."
"Kenapa?"
"Karena tidak mudah kau peroleh uangmu itu, kelak kau
pasti juga akan menjadi gila."
"Kau mau mentraktir, kalau aku tidak mau, sia-sia aku
minum, tapi aku pasti tidak akan gila."
"Kenapa?"
"Karena aku senang dengan pekerjaanku."
"Kau benar-benar suka?"
"Orang lain membunuh orang berarti melanggar hukum,
aku membunuh orang malah terima bayaran, tugas ringan dan
menguntungkan seperti ini, kemana pula aku bisa
mendapatkannya?" mendadak dia menoleh ke arah Pho Angsoat,
katanya, "Dan kau" Bidang apa kerjamu?"
Pho Ang-soat tidak menjawab, perutnya seperti mengkeret,
seperti diplintir, seperti mau muntah.
Dari tempat gelap mendadak seorang berkata dingin, "Dia
seperti kau, dia pun seorang algojo."
Malam panjang sudah akan berakhir. Sebelum fajar akan
tiba saatnya paling gelap, orang itu berdiri di tempat yang
paling gelap sana.
Laki-laki kekar itu terperanjat, serunya, "Maksudmu dia juga
seorang algojo?"
Bayangan orang di tempat gelap itu manggut-manggut,
katanya, "Cuma dia belum bisa menandingi kau."
"Dalam hal apa dia tidak bisa menandingi aku?"
"Bagimu, membunuh orang adalah tugas sepele, pekerjaan
enteng, kau mendapat upah lagi."
"Dan dia?"
"Setelah membunuh orang dia malah amat menderita,
sekarang dia sudah tidak bisa tidur."
Mula pertama menjalankan tugas, malamnya tidak bisa
tidur, akhirnya bisa jadi gila.
"Dia pernah membunuh banyak orang."
"Yang dulu tidak dihitung, dalam tujuh belas hari ini dia
sudah membunuh dua puluh tiga orang."
"Dia membunuh memperoleh duit tidak?"
"Tidak."
"Tidak mendapat duit, menderita lagi, tapi dia masih ingin
membunuh?"
"Benar."
"Selanjutnya dia masih ingin membunuh?"
Bayangan di tempat gelap itu berkata, "Bukan saja kelak
masih ingin membunuh, sekarang juga dia mau membunuh."
Tegang laki-laki kekar itu, tanyanya, "Sekarang dia mau
membunuh siapa?"
"Membunuh aku," suara orang di tempat gelap menjawab.
ooooOOoooo Bab 20. Taysu Dan Kacung Pembawa Kecapi
Tampak orang itu mulai melangkah keluar dari tempat
gelap, melangkah perlahan ke bawah penerangan lampu.
Raut mukanya juga pucat, hampir sepucat Pho Ang-soat,
pucat bening. Matanya bersinar, namun membayangkan
kehampaan. Dengan terbelalak laki-laki kekar itu mengawasinya,
tanyanya, "Kau tahu dia hendak membunuhmu, kau masih
berani kemari?"
"Aku harus kemari."
"Kenapa?"
"Karena aku pun ingin membunuhnya."
"Juga harus membunuhnya?"
Orang itu manggut-manggut, katanya, "Setiap orang
selama hidupnya pasti pernah melakukan sesuatu yang tidak


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin dia lakukan, karena dia tidak diberi pilihan lain."
Laki-laki kekar mengawasinya, lalu mengawasi Pho Angsoat,
kelihatan amat heran, kaget dan bingung, persoalan
seperti ini memang sukar dimengerti oleh orang seperti
dirinya. Tapi dia sudah merasakan adanya hawa membunuh.
Tanah lapang di dalam jalan sempit di depan warung lakilaki
tua ini mendadak seperti berubah jadi ajang pembunuhan.
Hawa membunuh yang dia resapi di sini sekarang ternyata
lebih keras dibanding hawa membunuh di gelanggang
hukuman, dimana dia sering menjadi algojo.
Pandangan orang yang keluar dari tempat gelap kini sudah
beralih ke arah Pho Ang-soat, rona matanya begitu hambar
dan sendu. Seorang yang tidak punya rasa cinta, tidak
selayaknya memiliki perasaan serawan itu.
Siau Si-bu adalah orang yang tidak punya cinta, mendadak
dia menghela napas, katanya, "Kau harus tahu semestinya
aku tidak ingin kemari."
Pho Ang-soat tetap bungkam.
Agaknya dia sudah mabuk, sudah sinting, beku dan pati
rasa, malah jari-jari tangannya yang memegang golok itupun
tidak setenang semula. Tapi tangannya masih memegang
golok, golok hitam. Golok itu tak pernah berubah, golok itu
abadi. Siau Si-bu mengawasi goloknya, katanya, "Aku yakin akan
datang suatu hari pasti dapat mematahkan golokmu."
Pho Ang-soat pernah berkata, "Aku akan menunggumu."
Siau Si-bu berkata pula, "Sebetulnya aku pun ingin
menunggu hari itu baru akan kucari kau."
Mendadak Pho Ang-soat bersuara, "Maka tidak layak kau
datang sekarang."
"Tapi aku sudah datang."
"Kalau sudah tahu tidak pantas kau datang, kenapa tetap
kemari?" Siau Si-bu tertawa, tawa yang mencemooh, tawa sindiran,
"Apa kau tidak pernah melakukan sesuatu yang kau tahu,
tidak pantas kau lakukan sesuatu itu?"
Pho Ang-soat tutup mulut. Dia pernah melakukan.
Ada sementara persoalan kau tahu tidak pantas kau
lakukan, namun kau justru harus melakukan, kau sendiri pun
tidak mungkin mengekang dirimu sendiri.
Karena persoalan itu seolah-olah mempunyai daya tarik
yang tak mungkin bisa kau lawan.
Kecuali itu ada sementara persoalan yang tidak pantas kau
lakukan sudah kau kerjakan, tapi lantaran situasi dan kondisi
memaksamu, untuk menyingkir atau lari dari kenyataan itupun
sudah tidak mampu lagi."
"Sudah tiga kali aku mencarimu, tiga kali aku akan
membunuhmu, tiga kali pula kau melepas aku pergi."
Pho Ang-soat membungkam pula.
"Aku tahu sejak mula kau tidak ingin membunuhku."
Pho Ang-soat mendadak bertanya, "Kau juga tahu kenapa
aku tidak ingin membunuhmu?"
"Karena sudah lama kau belum ketemu tandingan, kau pun
ingin menunggu akan datang suatu hari yang menentukan itu,
ingin membuktikan apakah aku mampu mematahkan
golokmu." Pho Ang-soat diam.
Malang melintang tiada tandingan ternyata bukan sesuatu
yang menggembirakan seperti yang dibayangkan kebanyakan
orang, seseorang bila dia sudah tidak ketemu tandingan lagi,
dia akan lebih kesepian daripada seorang yang tidak punya
teman. Siau Si-bu berkata, "Tapi aku tahu sekarang, kau sudah
tidak sabar menanti lagi, kali ini kau harus membunuhku."
"Kenapa?" Pho Ang-soat menegas.
"Karena kau sudah tidak mampu mengendalikan dirimu
sendiri." Pandangannya kosong hampa, kelihatannya seperti mata
orang mati, namun senyumannya masih mengandung
cemoohan, "Karena sekarang kau bukan lagi Pho Ang-soat
yang dahulu."
Sekarang kau tidak lebih hanya seorang algojo.
Beberapa patah kata ini tidak dia ucapkan, karena pisau
terbangnya sudah melesat, cepat, telak dan mematikan.
Walau dia tahu timpukan pisau terbangnya ini dapat
dipatahkan oleh Pho Ang-soat, waktu turun tangan dia
kerahkan seluruh kekuatannya.
Karena dia setia, paling tidak, dia setia terhadap pisaunya.
Arti dari kesetiaan ini adalah semangat yang luhur, semangat
yang tidak pernah luntur, tidak pernah goyah, bila tidak
kepepet dan memang tiada harapan sama sekali takkan
membuang kesempatan terakhir. Takkan mengabaikan usaha
terakhir meski itu hanya setitik saja. Untuk melakukan hal ini
memang tidak mudah.
Siapa pun asal dia bisa melakukan hal ini, apa pun yang
dia lakukan pasti berhasil, pasti sukses. Sayang sekali dia
sudah tidak punya kesempatan, karena dia menempuh jalan
yang tidak harus dia lalui, karena Pho Ang-soat sudah melolos
goloknya. Sinar golok berkelebat, batok kepala menggelundung jatuh
di tanah, darah segar menyembur bagai kabut merah
berkembang di bawah lampu yang guram, sinar lampu
menjadi merah, tapi muka orang menjadi pucat, menjadi hijau
malah. Sekujur badan laki-laki kekar itu menggigil, darah dalam
tubuhnya seperti membeku, napas pun seperti berhenti. Dia
juga menggunakan golok, tidak sedikit pula orang yang pernah
dibunuhnya. Tapi sekarang setelah dia melihat tabasan golok Pho Angsoat
ini, baru dia menyadari gaman yang digunakannya
selama ini hakikatnya bukan golok. Malah dia merasakan
dahulu dirinya belum pernah membunuh orang, tidak terhitung
membunuh orang.
Cahaya lampu menguning lagi. Waktu dia mengangkat
kepala, Pho Ang-soat sudah tidak di bawah lampu lagi, tempat
yang tidak terjangkau oleh penerangan lampu tetap gelap.
"Sebenarnya aku bisa tidak membunuhnya, kenapa aku
membunuhnya juga?" Pho Ang-soat mengawasi golok di
tangannya, mendadak dia sadar kenapa Siau Si-bu harus
datang. Karena dia tahu Pho Ang-soat sudah tidak bisa
mengendalikan diri sendiri, dia mengira bisa memperoleh
kesempatan untuk mengalahkan Pho Ang-soat.
Dia ingin lekas mencoba, maka dia sudah tidak tahan untuk
menunggu hari yang pernah dijanjikan dulu.
Menunggu memang amat menyiksa perasaan, apalagi dia
masih muda, masih berjiwa panas.
Analisa Pho Ang-soat memang tidak salah, dia pun tahu
bahwa dirinya tidak salah, lalu siapakah yang salah"
Peduli siapa yang salah, tekanan jiwanya dan beban yang
harus dipikulnya sudah tidak bisa menjadi ringan, karena
orang yang dia bunuh sebelum ini tidak ingin dia bunuh.
"Apakah betul aku sudah tidak mampu mengendalikan
diriku sendiri" Apakah betul aku sudah menjadi algojo
picisan" Apakah akhirnya aku betul-betul akan menjadi gila?"
Meja sebesar itu ternyata mengkilap, tidak berdebu
sedikitpun, dalam rumah yang besar ini juga tiada sedikitpun
suara. Kongcu Gi sedang termenung.
"Siau-si-bu sudah pergi?" tadi dia bertanya demikian. "Ya."
"Dengan cara apa kalian menganjurkan dia pergi?"
"Kami memberi gambaran supaya dia merasa punya
kesempatan untuk membunuh Pho Ang-soat."
"Akhirnya?"
"Akhirnya Pho Ang-soat telah membunuhnya."
"Dia turun tangan lebih dulu?"
"Ya."
Sekarang Kongcu Gi sedang termenung, yang menjadi
persoalan pemikirannya sudah tentu adalah Pho Ang-soat,
memang hanya seorang Pho Ang-soat yang setimpal dibuat
pikiran oleh Kongcu Gi. Kecuali Pho Ang-soat, sekarang boleh
dikata hampir tiada orang lain yang bisa menarik
perhatiannya. Hari sudah petang, aroma kembang yang semerbak
terbawa angin, akhirnya Kongcu Gi tertawa, katanya, "Dia
masih membunuh orang, tetap sekali tabas menamatkan jiwa
orang, tapi dia sendiri sudah hampir tamat." Lalu dia bertanya,
"Kau tahu kenapa dia bakal lekas tamat?"
Yang dipandang bukan Ku Ki yang berdiri di depannya, tapi
orang yang berdiri di belakangnya. Tiada yang memperhatikan
orang ini, karena dia terlalu pendiam, terlalu awam, mirip
bayangan atau duplikat Kongcu Gi. Tiada orang mau
memperhatikan bayangan, tapi pertanyaan Kongcu Gi tadi
tidak ditujukan kepada Ku Ki, tapi ditujukan kepada orang ini.
Apakah persoalan yang tidak mampu dijelaskan oleh Ku Ki,
orang ini mampu menjelaskan" Apakah yang dia tahu lebih
banyak dari Ku Ki"
"Seseorang bila sudah tiba saatnya hampir tamat, maka dia
pasti akan memperlihatkan lubang kelemahannya."
"Lubang kelemahan?"
"Ya, lubang seperti yang terdapat di tanggul sebelum jebol."
"Jadi Pho Ang-soat sudah memperlihatkan lubang
kelemahannya?" Kongcu Gi bertanya.
"Sebetulnya dia tidak ingin membunuh Siau Si-bu, dia
pernah mengampuni jiwa Siau Si-bu tiga kali, kali ini ternyata
dia sudah tidak mampu mengendalikan diri."
"Itulah kelemahannya?"
"Betul!"
Tawa Kongcu Gi amat riang, "Sekarang apakah kita masih
perlu mengantar orang supaya dibunuh olehnya?"
"Boleh diantar satu lagi."
"Siapa?"
"Dia sendiri," bahasa yang digunakan bayangan itu
memang khas, "Di kolong langit ini, hanya dia sendiri yang
mampu membunuh Pho Ang-soat, dan hanya Pho Ang-soat
yang mampu membunuh dirinya sendiri."
Kejadian apa yang lebih kejam dari membunuh orang"
Memaksa orang bunuh diri lebih kejam dari membunuh orang,
karena untuk itu memerlukan proses yang lebih panjang, lebih
menyiksa. Malam amat panjang, amat menakutkan. Tapi malam
panjang pun ada akhirnya.
Pho Ang-soat berhenti, mengawasi kabut pagi nan putih
bagai sari, mulai mengepul di antara rumpun kembang dan
bambu. Malam nan panjang ini, akhirnya dilewatinya begitu
saja. Berapa lama lagi dia kuat bertahan" Lelah, lapar dan
dahaga, kepala sakit seperti hampir pecah, bibirnya pun sudah
merekah saking keringnya.
Bahwasanya dia sendiri tidak tahu dimana sekarang dirinya
berada" Tidak tahu pagar bambu keluarga siapakah itu"
Kebun atau taman kembang milik siapa"
Sudah lama dia berjalan, di sini dia berhenti, karena dia
mendengar petikan kecapi. Suara kecapi yang kedengaran
kosong mendengung di udara, suara yang datang dari alam
gaib. Sebetulnya dia tidak ingin berhenti di sini, entah kenapa
tahu-tahu dia sudah berhenti sendiri. Alunan kecapi yang
mengambang itu seperti panggilan sanak-kadang di tempat
nan jauh. Dia tidak punya sanak tiada kadang, tapi waktu
mendengar kecapi ini, nuraninya seperti terketuk oleh suatu
kekuatan yang gaib. Lalu dia merasakan dirinya seperti
terbaur dan bersenyawa dengan alunan kecapi itu, perkara
pembunuhan dan kejadian darah mengalir dalam sekejap ini
telah berubah jauh, sudah sirna.
Sejak dia membunuh kakak beradik keluarga Ni, belum
pernah dia merasa longgar seperti ini meski hanya sekali saja.
"Creng", mendadak suara kecapi terputus, dari dalam kebun
cilik berkumandang suara seorang, "Sungguh tak nyana di luar
pintu ada seorang yang juga gemar musik, kenapa tidak
silakan masuk dan duduk di dalam sambil menikmati suara
kecapi?" Tanpa pikir Pho Ang-soat segera mendorong pintu terus
beranjak masuk. Kembang tidak terlalu banyak di dalam
taman, pohon pun jarang-jarang, gubuk pun hanya dibangun
tiga petak. Seorang tua beruban dengan pakaian kain kasar
sudah berdiri menyambut kedatangannya sambil bersoja.
Pho Ang-soat balas menjura, katanya, "Tamu tidak
diundang, mana berani mendapat sambutan Lotiang sendiri?"
Orang tua itu tersenyum, "Tamu agung gampang diperoleh,
kawan sekegemaran susah didapat, jika tidak menyambut
sendiri, bukankah tidak sopan dan kurang hormat" Hanya
orang yang tidak tahu sopan santun dan tata kehormatan,
mana boleh dia belajar memetik kecapi?"
"Betul," ucap Pho Ang-soat.
"Silakan."
Di dalam gubuk terdapat ranjang tinggi, meja pendek di
atasnya, di atas meja pendek itulah tergeletak sebuah kecapi.
Kecapi yang berbentuk kuno, kelihatannya sudah berusia
ribuan tahun, ujung buntut kecapi kelihatan gosong seperti
bekas terbakar.
"Bukankah ini Kiau-bwe-khim, kecapi nomor satu di dunia
yang turun-temurun sejak zaman dahulu kala?"
Orang tua itu tersenyum, katanya, "Tajam benar
pandangan tuan."
"Kalau begitu tentu Lotiang adalah Ciong-taysu?"
"Losiu memang she Ciong."
Kembali Pho Ang-soat membungkuk badan. Sejak hidup di
rantau, baru pertama kali ini dia bersikap hormat terhadap
orang, namun yang dia hormati bukan orangnya, tapi adalah
kepandaiannya memetik kecapi yang tiada bandingan di
seluruh jagat. Seni khusus yang bernilai tinggi, watak kemanusiaan yang
tunggal dan luhur, keduanya patut dihormati oleh setiap insan
manusia. Meja pendek itu mengkilap bersih, Ciong-taysu membuka
sepatu, lalu naik ke atas ranjang, duduk bersimpuh, lalu
berkata, "Silakan duduk."
Pho Ang-soat tidak duduk.
Kotoran dan noda darahnya sudah cukup lama tidak


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibersihkan. Ciong-taysu berkata, "Walau hanya ada meja dan kecapi ini
di dalam kamarku, tapi orang yang bisa masuk ke sini bisa
dihitung dengan sebelah jariku." Dia menatap Pho Ang-soat,
"Tahukah kau kenapa aku mengundangmu masuk?"
Pho Ang-soat menggeleng.
"Karena aku dapat melihat, meski pakaianmu dekil, hatimu
justru bersih bagai kaca, lalu kenapa pula kau harus
merendahkan dirimu?" Maka Pho Ang-soat pun berduduk.
Ciong-taysu tersenyum, jari-jarinya mulai bergerak memetik
senar, "Cring", suara kecapi yang mengambang kosong
kembali merasuk ke dalam sanubari Pho Ang-soat.
Tangannya masih menggenggam goloknya, tapi mendadak
dia merasa golok yang dipegangnya sudah tiada artinya lagi
bagi dirinya. Baru pertama kali ini hatinya dirangsang oleh
perasaan yang ganjil seperti ini.
Suara kecapi seakan-akan membuainya ke alam lain,
dimana tidak ada golok, tiada arti sial. Manusia kenapa harus
membunuh manusia" Bukan saja awak sendiri membunuh,
juga memaksa orang lain membunuh orang: Jari-jari Pho Angsoat
yang menggenggam gagang golok sudah mengendor.
Sebetulnya ketahanan Pho Ang-soat sudah mendekati
keruntuhan, namun di tengah irama kecapi ini dia sudah
memperoleh kebebasan. Pada saat itulah, di kejauhan
mendadak juga terdengar suara "cring" sekali, kedengarannya
juga suara kecapi. Walau suaranya jauh, namun jelas
terdengar. Jari-jari Ciong-taysu yang sedang memetik kecapi
mendadak bergetar, "krak", lima senar putus bersama.
Air muka Pho Ang-soat berubah seketika.
Alam semesta mendadak berubah hening lelap seperti
tiada kehidupan, Ciong-taysu duduk mematung tidak
bergerak, semangatnya kelihatan luluh, seakan kehilangan
sesuatu, tampangnya kelihatan mendadak lebih tua sepuluh
tahun. Maka Pho Ang-soat bertanya, "Taysu apakah kau
mendengar firasat jelek?"
Ciong-taysu diam saja, seperti tidak mendengar, juga tidak
bersuara, dari jauh kembali terdengar suara "Cring" sekali lagi,
keringat dingin seketika berketes-ketes di jidatnya, ketika
suara kecapi berbunyi lagi, orang tua yang semula tabah dan
tenang serta saleh ini mendadak melompat bangun, hanya
dengan sepasang kaos putih saja dia terus menerjang keluar.
Pho Ang-soat ikut keluar.
Keluar dari gang panjang ini, tiba di jalan raya yang
panjang pula, di ujung jalan raya ini ada sebuah pasar. Saat
itu sedang ramainya orang berbelanja, hari masih pagi. Di
dalam pasar berkumpul berbagai jenis orang, penuh berbagai
suara yang berpadu.
Orangnya adalah orang awam, suaranya juga suara biasa,
lalu untuk apa Ciong-taysu yang tidak biasa ini ke tempat ini,
apa yang dicarinya"
Sepasang kaos kakinya yang putih, yang biasanya tidak
pernah kena debu sekarang sudah kotor, dia berdiri
melenggong celingukan ke kanan-kiri, seperti nyonya muda
yang kehilangan dompet uangnya.
Khim-sin (kecapi sakti) yang terkenal di dunia ini, kenapa
berubah begini rupa"
Pho Ang-soat bukan orang yang cerewet, kini tak tahan dia
bertanya, "Taysu, apakah yang kau cari?"
Ciong-taysu membesi mukanya, wajahnya menampilkan
mimik yang aneh, agak lama baru dia menjawab, "Aku hendak
mencari seorang, aku harus menemukan orang ini."
"Siapa dia?"
"Seorang kosen yang tiada bandingan di zaman ini."
"Dia kosen dalam hal apa?"
"Kecapi."
"Permainan kecapinya lebih tinggi dari Taysu?"
Ciong-taysu menghela napas panjang, katanya rawan,
"Sekali kecapinya berkumandang, cukup membuatku tidak
berani bicara tentang kecapi seumur hidup."
Pho Ang-soat terkesiap, katanya, "Taysu sudah tahu
dimana orang ini?"
"Suara kecapi terdengar dari sini, maka orangnya juga pasti
di sini." "Di sini kan pasar."
"Justru di sini pasar baru dapat memperlihatkan
kelihaiannya."
"Kenapa?"
Pandangan Ciong-taysu menatap jauh ke depan, seperti
kehilangan tapi juga seperti memperoleh sesuatu, "Karena
meski raganya berada di dunia fana, tapi batinnya berada jauh
di luar lapisan mega, segala benda segala persoalan di dunia
fana ini sudah tiada yang bisa mempengaruhi ketenangan
hatinya bak permukaan air bening."
Pho Ang-soat termenung, pelan-pelan dia mengangkat
kepala, mendadak berkata keras, "Apakah yang Taysu
maksud adalah dia?"
Di dalam pasar ada tempat khusus yang menjual daging,
pasar besar kecil dan dimana saja pasti ada yang menjual
daging. Ada yang menjual daging pasti ada jagal. Dimana saja
seorang jagal pasti beranggapan dirinya luar biasa, merasa
daging yang dijajakan lebih baik dan mahal dari milik orang
lain. Karena dia bisa memotong sendiri, karena dia tidak takut
darah mengalir.
Sekarang jagal itu sedang memotong daging, memotong
daging di atas bangku besar dan tinggi, di bawah bangku
itulah duduk menggelendot miring seseorang. Seorang
berbaju putih yang bermalas-malasan di situ. "
Padahal tempat itu kotor dan basah, nyonya yang
berbelanja semua mengenakan sepatu tinggi, tapi orang ini
tidak peduli, begitu saja dia mendeprok di tanah sambil
merem-melek. Di atas pangkuannya menggeletak sebuah
kecapi, gelagatnya dia sedang memetik kecapi, tapi senar
kecapinya tidak berbunyi.
Ciong-taysu langsung mendekat ke depan orang sambil
berdiri tegak penuh hormat, lalu membungkuk sembilan puluh
derajat. Sementara orang itu sedang mengawasi jari tangan
sendiri, angkat kepala pun tidak.
Sikap Ciong-taysu ramah dan hormat, dia mengaku diri
sebagai murid, "Tecu Ciong Le."
Si baju putih berkata tawar, "Bukankah si kecapi sakti
Ciong-taysu?"
Keringat dingin membasahi jidat Ciong-taysu pula, katanya
dengan suara tersendat, "Petikan senar kecapi Kuncu
berkumandang sudah tiada bandingan di kolong langit,
kenapa tidak diulang sekali lagi?"
"Aku takut," ujar si baju putih. Ciong-taysu melongo,
"Takut" Takut apa?"
"Aku takut bila kau mati membenturkan kepalamu di atas
Kiau-bwe-khim."
Ciong-taysu menundukkan kepala, keringat dingin
mengucur deras, namun dia masih bertanya, "Kuncu datang
darimana?"
"Datang dari jauh, namun tak tahu kemana harus pergi."
"Mohon tanya she dan nama besarmu?"
"Tak usah bertanya, aku hanyalah seorang Khim-thong
(kacung kecapi) saja."
Khim Thong" Orang selihai ini terima menjadi kacung
orang lain" Lalu siapa yang setimpal punya kacung kecapi
seperti dia"
Ciong-taysu tidak percaya, kenyataan ini membuat otaknya
butek dan tak bisa membayangkan duduk perkara
sebenarnya, tak tahan dia bertanya pula, "Dengan bakat dan
kemampuan Kuncu, kenapa harus menjadi orang bawahan?"
Tawar suara orang baju putih, "Karena aku memang bukan
tandingannya."
"Siapa dia?" mendadak Pho Ang-soat bertanya.
Orang baju putih tertawa tawar, katanya, "Kalau aku sudah
tahu siapa kau, pasti kau pun sudah tahu siapa aku."
"Kongcu Gi?" desis Pho Ang-soat, tangannya
menggenggam kencang gagang goloknya.
"Ternyata kau memang tahu," ujar orang baju putih tertawa.
Secepat kilat mendadak Pho Ang-soat turun tangan, dia
pegang tangan orang, siapa tahu mendadak Ciong-taysu
menubruk datang, dengan kencang dia memeluk lengan Pho
Ang-soat, teriaknya, "Jangan kau melukai tangan ini, inilah
tangan yang tiada bandingannya di seluruh jagat."
Orang baju putih bergelak tertawa.
Si jagal yang sedang memotong daging mendadak
mengayun parang di tangannya membacok kepala Pho Angsoat.
Di sebelah penjual daging adalah penjual sayuran,
dengan timbangan dia menutuk Ki-bun, Ciang-tay dan Hian-ki,
tiga Hiat-to besar di tubuh Pho Ang-soat.
Seorang nyonya yang menjinjing keranjang belanja juga
angkat keranjangnya mengepruk kepala Pho Ang-soat.
Kebetulan di sebelah belakang lewat seorang yang memikul
dua keranjang ayam hidup, dengan pikulannya dia menyapu
pinggang Pho Ang-soat.
Mendadak sinar golok berkelebat, "Klak", pikulan putus,
keranjang hancur, timbangan terpotong jadi dua, parang besar
itu mencelat terbang, kurungan tangan masih memegang
kencang gagang parang itu. Unggas yang ada di dalam
keranjang besar beterbangan, pasar yang biasa tenang kini
menjadi ribut dan gempar. Kejadian hanya sekejap, tapi orang
baju putih yang duduk santai di bawah bangku itu ternyata
sudah menghilang.
Orang-orang di pasar merubung maju, semua ingin tahu
apa yang terjadi di sini, tapi tukang jagal, penjual sayur,
penjual ayam berbareng menyelinap hilang di kerumunan
orang banyak. Suara kecapi terdengar berkumandang di tempat jauh.
Pho Ang-soat menyibak orang banyak dan beranjak pergi,
ternyata terlampau banyak orang di pasar yang berkerumun
ini hingga susah bagi Pho Ang-soat untuk menemukan orang
yang ingin dicari, tapi dia mendengar pula suara kecapi itu.
Darimana arah datangnya suara kecapi ke sana dia
melangkah, langkahnya tidak cepat.
Suara kecapi yang mengambang di udara susah dibedakan
darimana datangnya, siapa pun susah menentukan arah, lalu
apa gunanya berjalan cepat" Tapi Pho Ang-soat tidak
berpeluk tangan, asal di depan masih terdengar suara kecapi,
maka dia melangkah ke depan.
Ternyata Ciong-taysu mengintil di belakangnya, kaos
kakinya yang putih sudah sobek, malah telapak kakinya pun
sudah lecet dan melepuh, entah berapa lama mereka putarkayun
tanpa tujuan. Sang surya merambat semakin tinggi, mereka sudah lama
meninggalkan pasar, keluar kota, hembusan angin bertiup di
musim semi, sawah ladang yang menghijau dengan padi yang
belum masak tampak menari dan melambai, gununggemunung
di kejauhan seperti bernapas turun naik, mayapada
selembut dada seorang dara yang lembut, mereka maju terus
masuk ke dalam pelukannya.
Gunung menghijau tampak di empat penjuru, sebuah
sungai mengalir tenang, suara kecapi seolah-olah
berkumandang dari dasar air yang dalam.
Mereka sudah menjelajah gunung melampaui sungai,
tibalah di pinggir sebuah danau kecil, di pinggir danau berdiri
sebuah rumah kecil.
Di dalam rumah terdapat sebuah meja dan kecapi, senar
kecapi seperti masih mengumandangkan sisa getaran
suaranya, di bawah kecapi tertindih secarik kertas, di atasnya
tertulis, "Golok gumpil kecapi putus, bulan purnama kembang
layu, Kongcu bagai nama, terbang melayang ke langit
sembilan".
Ciong-taysu menghadap ke alam semesta yang terbentang
luas di depannya, lama dia menepekur, akhirnya perlahan
berkata, "Tempat ini sungguh amat baik, orang yang bisa
tinggal di sini lebih baik menetap saja, bagi yang tidak bisa,
kenapa harus pergi?"
Pho Ang-soat mengawasinya dari kejauhan, menunggu dia
bicara lebih lanjut.
Ciong-taysu menepekur lagi, kemudian katanya pula, "Aku
sudah tidak akan pergi lagi."
"Tidak ingin pergi atau tidak boleh pergi?" tanya Pho Angsoat.
Ciong-taysu tidak menjawab, tapi dia berbalik
menghadapinya, tanyanya, "Menurut penglihatanmu, berapa
usiaku?" Rambut kepalanya sudah ubanan, raut mukanya juga
sudah dipenuhi kerut-merut tanda ketuaan, hidup menderita
serba kekurangan, maka dia menjawab pertanyaannya
sendiri, "Sejak muda aku sudah berhasil angkat nama, tahun
ini aku baru berusia tiga puluh enam."
Pho Ang-soat menatap wajahnya yang penuh keriput dan
rambutnya yang ubanan, walau tidak berkomentar apa pun,
namun tidak menampilkan rasa kaget atau heran.
Ciong-taysu tertawa, katanya, "Aku tahu, kelihatannya aku
pasti sudah amat tua, sejak lama aku memang sudah
beruban." Senyumnya penuh kegetiran hidup, lanjutnya,
"Karena keringat dan darahku sudah kering, walau dalam
permainan kecapi aku memperoleh keahlian yang tidak
mungkin dicapai orang lain, meski dalam mimpi memperoleh
ketenteraman hidup dan mahkota kebesaran, namun kecapi
itu sendiri juga telah menghisap seluruh jerih-payahku, darah,
keringat dan tulang sumsumku."
Pho Ang-soat mengerti apa yang diartikan dalam
ucapannya. Seseorang bila hidupnya sudah tenggelam di dalam suatu
persoalan atau kegemaran, maka dia seperti menjalin suatu
hubungan kental dengan iblis.
Apa yang kau inginkan, aku bisa berikan seluruhnya
kepadamu, maka apa yang kau miliki seluruhnya juga harus
kau berikan kepadaku, termasuk jiwa raga dan sukmamu.
Ciong-taysu berkata, "Sebetulnya itu merupakan timbalbalik
yang cukup adil, maka tiada yang perlu kusesalkan, tapi
sekarang...." Dia menatap Pho-ang-soat dan melanjutkan,
"Kau belajar ilmu golok, jika kau pun seperti diriku, demi
golokmu kau telah mempertaruhkan segala milikmu,
mendadak kau menyadari bahwa orang lain hanya dalam


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jangka sekejap mampu merobohkan engkau, lalu bagaimana
sikapmu" Apa yang akan kau lakukan?"
Pho Ang-soat tidak menjawab.
Ciong-taysu menghela napas, katanya pula perlahan,
"Soal-soal begini tentu kau tidak akan paham, bagimu
sebatang golok tetap sebatang golok, tiada makna lain."
Pho Ang-soat ingin tertawa, tertawa terbahak-bahak, tapi
dia tidak bisa tertawa.
Sebatang golok tetap sebatang golok, lalu siapa bisa
meresapi makna dan manfaat golok itu terhadap dirinya"
Bukankah dia sudah punya hubungan intim dengan iblis,
bukankah berarti dia juga harus mempertaruhkan segala
miliknya" Lalu apa yang telah diperolehnya"
Mungkin tiada orang kedua di dunia ini yang lebih paham
tentang persoalan ini daripadanya, tapi dia tidak mengatakan
apa-apa, karena air getirnya telah meresap ke dalam
tulangnya, ditumpahkan keluar juga tidak bisa lagi.
Ciong-taysu tertawa, katanya, "Bagaimanapun juga kau
bisa bertemu denganku, terhitung ada jodoh juga, biarlah
kupetik sebuah lagu untukmu."
"Selanjutnya?"
"Jika kau ingin pergi, silakan kau pergi."
"Kau tidak mau pergi?"
"Aku" Aku bisa kemana lagi?"
Akhirnya Pho Ang-soat tahu apa maksud seluruhnya, di sini
tempat baik, dia sudah siap menguburkan jazadnya di tempat
ini. Bagi dirinya, kehidupan ini sudah bukan lagi kebebasan,
gengsi dan ketenaran, sebaliknya adalah penghinaan, suatu
yang memalukan, maka hidupnya sudah tidak ada artinya lagi.
"Creng", senar kecapi mulai bergema lagi.
Tabir malam sudah menyelimuti jagat raya, menyelimuti
lembah pegunungan ini.
ooooOOoooo Suara kecapinya sendu dan memilukan, seperti seorang
dayang tua yang sudah kenyang hidup dalam belenggu
sedang menceritakan kehidupan yang penuh derita ini kepada
manusia, meski kehidupan itu terselip rasa senang dan
gembira, namun hanya sekejap seperti sirnanya mega, hanya
duka-lara saja yang melekat abadi pada dirinya. Begitulah
kehidupan manusia yang pendek, siapa pun pada akhirnya
pasti akan mati.
Lalu apa artinya manusia hidup"
Kenapa harus berjuang, bergelut dan ulet" Kenapa harus
sakit dan menderita" Kenapa susah dimengerti bahwa hanya
kematianlah yang bisa mencapai ketenteraman nan abadi"
Suara kecapi membuat pikiran orang tenggelam ke alam
yang berbeda, menceritakan bagaimana damai dan indahnya
kematian itu, keadaan damai dan keindahan yang tidak
mungkin bisa dilukiskan dengan rangkaian kata-kata, hanya
irama kecapinya inilah yang bisa melimpahkan.
Karena dia kini sudah tenggelam di alam mimpi kematian,
malaikat kematian seakan membantu dia memetik kecapinya
itu, membujuk orang untuk meninggalkan dunia fana ini,
meninggalkan segala kerisauan dan keduniawian, pergi
keimpian kematian dan memperoleh ketenteraman dan damai
abadi. Di sana tiada siksa derita, tak usah pula bergelut, berjuang
dan berkelahi, bertarung dengan sesama manusia. Di sana
tiada pembunuhan, tiada yang memaksa orang untuk
membunuh. Jelas hal semacam ini takkan mungkin dilawan
oleh manusia umumnya.
Tangan Pho Ang-soat sudah bergetar, bajunya sudah
basah-kuyup oleh keringat dingin.
Kalau kehidupan memang begini memilukan, kenapa harus
bertahan hidup"
Jari-jarinya menggenggam gagang golok makin
mengencang, apakah dia sudah siap mencabut golok"
Mencabut golok untuk membunuh siapa"
Hanya dia sendiri yang dapat membunuh Pho Ang-soat dan
hanya Pho Ang-soat yang mampu membunuh dirinya sendiri.
Suara kecapi makin memilukan, lambat-laun
gunung itu makin gelap, tiada penerangan, tiada harapan.
Suara kecapi seperti memanggil, seolah-olah dia melihat Binggwat-
sim dan Yan Lam-hwi. Apakah mereka sedang
membujuknya untuk menikmati keindahan nan damai.
ooooOOoooo Bab 21. Lolos Dari Kurungan
Akhirnya Pho Ang-soat mencabut goloknya. Sinar golok
berkelebat, yang dipenggal bukan kepala orang, tetapi kecapi
itu. Kenapa kecapi ini harus dibacok"
Ciong-taysu mengangkat kepala, mengawasinya dengan
pandangan kaget, bukan saja heran dan bingung, juga amat
marah. Golok sudah kembali ke sarungnya.
Pho Ang-soat sudah duduk, wajahnya yang pucat di
kegelapan seperti diukir dari batu kali, keras, kekar, dingin
namun agung. Ciong-taysu berkata, "Umpama permainan kecapiku tidak
patut dinikmati, tapi kecapi ini kan tidak bersalah, mengapa
kau tidak memenggal kepalaku sekalian?"
"Kecapi tidak berdosa, orangnya pun tidak berdosa,
daripada manusia mati, biarlah kecapi yang jadi korban."
"Aku tidak mengerti."
"Kau harus mengerti, tapi memang banyak persoalan yang
tidak kau ketahui," dengan dingin dia meneruskan, "kau hanya
tahu kehidupan manusia yang pendek saja, akhirnya juga
akan mati, tapi kau tidak tahu, untuk mati juga ada berbagai
cara." Mati seperti kembali ke tempat asalnya, mati secara ksatria,
mati akan menjadi kenangan sepanjang masa, sudah tentu
hal-hal begini juga dimengerti oleh Ciong-taysu.
Pho Ang-soat berkata, "Seseorang dilahirkan dan harus
hidup, umpama harus mati, maka matilah secara gemilang,
mati dengan hati tenteram dan damai."
Seseorang hidup bila tidak mampu melaksanakan
pekerjaan yang harus dikerjakan, mana mungkin dia bisa mati
dengan tenteram" Makna dari kehidupan, yaitu perjuangan
dan harus berjuang sampai titik darah penghabisan, asal
paham akan hal ini, maka kehidupan ini bukanlah tiada
artinya. ooooOOoooo Duka dan kesedihan hidup manusia memang diserahkan
kepada manusia itu sendiri untuk mengatasinya.
"Tapi hidupku ini hanya semacam kenistaan."
"Karena itu kau harus berusaha melakukan sesuatu yang
berarti, cucilah segala kenistaanmu itu, kalau tidak, umpama
sekarang kau mati, kau tetap mati dalam kenistaan."
Mati bukan suatu cara yang baik untuk menyelesaikan
segala persoalan, hanya lelaki berjiwa lemah, berjiwa kerdil
saja yang tidak kuat mengalami pukulan, menghadapi ujian
hidup, maka larilah dia dari kehidupan ini, kematian itulah cara
yang ditempuhnya untuk membebaskan diri.
"Imbalan yang kupertaruhkan di atas golokku ini pasti tidak
lebih ringan, lebih sedikit darimu, tapi aku tidak pernah
memperoleh hiburan, ketenangan, kebesaran dan ketenaran
seperti yang kau miliki, yang kudapatkan hanyalah
permusuhan dan penghinaan, dalam pandangan orang lain
kau adalah seorang sakti dalam permainan kecapi, bagiku
tidak beda dengan seorang algojo."
"Tapi kau masih ingin bertahan hidup?"
"Asal aku masih bisa hidup, maka aku harus hidup, orang
lain ingin aku mati, maka aku harus berjuang untuk hidup,"
demikian kata Pho Ang-soat, "hidup ini bukan suatu yang
memalukan, bukan kenistaan, hanya mati sajalah yang
memalukan."
Wajahnya yang pucat memancarkan cahaya, kelihatan
lebih gagah, kereng, lebih agung. Kini dia tidak lagi mirip
algojo yang seluruh badannya berlepotan darah dan jorok.
Sekarang dia telah memperoleh kehidupan yang murni,
puncak kehidupan yang sejati, diperoleh dari siksa derita dan
"pukulan lahir batin yang tidak mungkin diterima dan ditahan
oleh manusia lain. Karena semakin besar pukulan yang
diterimanya, semakin besar pula daya perlawanannya.
Tenaga perlawanan ini akhirnya berhasil membebaskan
dirinya dari belenggu yang pernah dia ciptakan sendiri. Satu
hal ini jelas tidak pernah diduga dan dipikirkan oleh Kongcu
Gi. Ciong-taysu pun tidak menduga, tapi waktu dia mengawasi
Pho Ang-soat, rona matanya tidak lagi mengandung rasa
kaget, heran dan marah, tapi menampilkan rasa hormat. Tak
tahan dia bertanya, "Apakah kau pun ingin melakukan seuatu
yang berguna untuk mencuci penghinaan dan rasa malumu."
"Sekuat tenaga aku sedang berusaha melakukannya."
"Kecuali membunuh orang, apa pula yang sudah kau
lakukan?" "Paling sedikit aku sudah melakukan satu hal," suaranya
penuh keyakinan, "paling tidak aku sudah memperlihatkan
satu bukti kepadanya, aku tidak pernah takluk, juga tidak
mudah terpukul roboh olehnya."
"Dia, dia siapa?"
"Kongcu Gi."
Ciong-taysu menghela napas panjang, ujarnya, "Seseorang
bisa punya seorang kacung kecapi seperti itu, pasti dia
seorang yang luar biasa."
"Memang demikian."
"Tapi kau ingin membunuhnya?"
"Betul."
"Apakah membunuh orang termasuk suatu pekerjaan yang
berguna?" "Jika orang itu hidup, orang lain akan menderita,
mengalami penindasan, penyiksaan. Jika aku membunuhnya,
maka aku sudah melakukan sesuatu pekerjaan yang
bermanfaat, sesuatu yang mulia."
"Kenapa kau belum melaksanakan keinginanmu itu?"
"Karena aku tidak bisa menemukan dia."
"Kalau dia seorang luar biasa, pasti dia seorang ternama,
bagaimana kau tidak dapat menemukan dia?"
"Walau namanya terkenal di seluruh dunia, namun jarang
ada orang melihat wajah aslinya."
Inipun suatu hal yang aneh, seseorang semakin ternama,
orang yang melihatnya semakin jarang, makin sedikit.
Hal ini sepantasnya juga dimaklumi oleh Ciong-taysu,
karena dia pun seorang yang terkenal di jagat ini, orang yang
bisa bertemu dengan dia juga amat sedikit. Tapi dia tidak
berkomentar apa-apa, Pho Ang-soat juga tidak mau banyak
bicara, apa yang perlu dia katakan sudah habis diucapkannya.
Pho Ang-soat berdiri, "Aku hanya ingin supaya kau tahu,
walau tempat ini amat baik, tapi bukan tempat yang tepat bagi
kita untuk tinggal terlalu lama."
Meskipun di luar amat gelap, dia tetap tidak mau tinggal di
situ. Asal lahir batin bersih, kenapa harus takut kegelapan"
Perlahan dia beranjak keluar, gaya jalannya masih kelihatan
kaku, berat dan sukar, namun pinggangnya lurus, badannya
tegak dan dada membusung.
Ciong-taysu mengawasi punggungnya, mendadak dia
berseru, "Tunggu sebentar!"
Pho Ang-soat berhenti.
Ciong-taysu berkata, "Apa betul kau ingin bertemu dengan
Kongcu Gi?"
Pho Ang-soat mengangguk.
"Kalau begitu kau harus tinggal di sini, biar aku yang pergi."
"Kenapa" Kau tahu dia akan kemari?"
Ciong-taysu tidak menjawab, namun mendahului
melangkah pergi.
"Darimana kau tahu" Siapa kau sebenarnya?"
Mendadak Ciong-taysu berpaling, katanya sambil tertawa,
"Kau kira siapa aku" Mimik tawanya aneh misterius, badannya
mendadak telah lenyap ditelan kegelapan, seperti sudah
bersenyawa dengan tabir malam. Terdengar suaranya
berkumandang di kejauhan, "Asal kau bersabar dan mau
menunggu di sini, pasti kau dapat bertemu dengan dia."
"Kau kira siapa aku?" Memangnya dia bukan Ciong-taysu"
Apakah dia Khim-thong yang tulen" Kalau tidak, mana
mungkin dia tahu dimana dan kemana jejak Kongcu Gi.
Pho Ang-soat tidak berani memastikan, karena dia tidak
pernah melihat wajah asli Ciong-taysu, tidak pernah melihat
Khim-thong. Apakah betul Kongcu Gi akan datang kemari" Inipun tidak
berani dia pastikan, namun dia sudah berkeputusan untuk
tinggal di sini, hanya inilah kesempatan satu-satunya bagi
dirinya, sumber yang mungkin dapat untuk menemukan
jejaknya. Malam sudah larut, di pegunungan yang sunyi tiada
terdengar suara apa pun. Mutlak tiada suara atau sesuatu
suara yang menakutkan, seseorang yang dicekam keheningan
seperti ini pasti sudah tidur.
Pho Ang-soat sudah tidur, sudah tidur bukan berarti sudah
nyenyak, sudah pulas dibuai impian.
Lampu tidak terpasang di dalam rumah kecil ini, kecuali
sebuah kecapi, satu meja, dan sebuah ranjang, dalam rumah
ini tiada benda lain lagi.
Pho Ang-soat kelaparan, juga lelah, dia ingin tidur, selama
beberapa tahun ini, derita bagi seorang yang susah tidur
teramat menyiksa, bila dapat tidur pulas, meski hanya
sekejap, sudah merupakan keberuntungan dan itu memang
menjadi keinginannya yang terbesar.
Kenapa sesunyi ini" Kenapa nagin pun tiada" Terpaksa dia
sengaja terbatuk-batuk beberapa kali, hampir tak tertahan dia
ingin bergumam, bicara kepada diri sendiri.
Pada saat itulah mendadak dia mendengar suara "Cring,
ering". Itulah suara kecapi. Kecapi di atas ranjang, kecuali
dirinya, di rumah ini tiada orang lain, tiada orang memetik
senar kecapi, bagaimana mungkin kecapi itu bisa berbunyi"
Terasa oleh Pho Ang-soat rasa dingin yang tiba-tiba
muncul di punggungnya, tak tahan dia membalik tubuh
mengawasi kecapi di atas ranjang. Di bawah penerangan
sinar bintang yang redup dingin, senar kecapi kelihatan cukup
jelas dalam jarak yang tidak begitu jauh.


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Senar kecapi berbunyi lagi, beruntun beberapa nada suara,
seperti seorang pemusik yang sedang menyetel alat
musiknya. Lalu siapakah yang sedang memetik senar kecapi"
Siluman kecapi atau setan penunggu gunung ini"
Pho Ang-soat melompat secara mendadak, maka dilihatnya
di luar jendela ada sesosok bayangan samar-samar.
Bayangan manusiakah" Atau bayangan setan" Orang di luar
jendela mana bisa memetik senar kecapi di dalam rumah, di
atas ranjang"
"Tenaga jari yang hebat," jengek Pho Ang-soat dingin.
Bayangan hitam di luar jendela seperti kaget, sebat sekali
dia mundur ke belakang.
Pho Ang-soat lebih cepat, boleh dikata tanpa persiapan
atau membuat ancang-ancang, orangnya sudah menerobos
keluar bagai anak panah menyambar.
Bayangan hitam di luar melambung ke udara, terus bersalto
seperti gerakan setan, seperti segumpal asap pula, dan
mendadak sirna di tengah kegelapan.
Gunung sunyi sepi, sinar rembulan terasa dingin.
Pho Ang-soat maju lebih jauh, tiada seorang pun dilihatnya,
waktu dia menoleh, matanya tertumbuk pada sebuah lampu
yang menyala. Sinar lampu bagi api setan yang bergoyanggoyang.
Lampu berada di dalam rumah, siapakah yang berada di
dalam rumah menyulut lampu"
Pho Ang-soat tidak mengembangkan Ginkang, perlahan dia
beranjak balik, lampu tidak padam, lampu berada di atas meja
ternyata sudah putus, putus rata seperti diiris pisau layaknya.
Di dalam rumah tetap tiada orang, di bawah kecapi tertindih
secarik kertas yang berisi tulisan berbunyi: "Kalau sekarang
tidak pergi, orang putus bagai kecapi ini". Gaya tulisannya
amat baik, amat elok dan enak dipandang, dengan gaya
tulisan yang tertindih di kertas di bawah kecapi tadi, jelas hasil
tulisan satu orang. Lalu dimana orangnya"
Pho Ang-soat duduk menghadapi lampu yang
memancarkan cahayanya, mendadak sorot matanya
memancarkan cahaya. Hanya setan atau dedemit yang bisa
pergi datang bagai angin tanpa meninggalkan bekas, padahal
dia tidak percaya bahwa di dunia ini ada setan segala. Jika di
dunia ini tiada setan, maka di dalam rumah ini pasti ada lorong
bawah tanah atau dinding lain, kemungkinan sekali letaknya di
sekitar ranjang batu ini.
Dalam menyelidiki soal beginian, Pho Ang-soat bukan
terhitung seorang ahli, tapi dia amat mahir. Akal bulus yang
sering digunakan orang-orang Kangouw kebanyakan diketahui
dengan baik, alat-alat rahasia dengan berbagai perangkap
yang rumit juga diketahuinya, maka untuk mencari lorong
bawah tanah atau adanya alat rahasia di balik dinding dan
sebagainya bukan pekerjaan yang sulit bagi dirinya.
Apakah Kongcu Gi sudah datang" Datang dari lorong
bawah tanah"
Pho Ang-soat memejamkan mata, mengatur pernapasan,
dia benamkan perasaannya supaya tenang dan longgar,
hanya dengan ketenangan baru panca-indranya lebih tajam,
daya tangkap dan serap otaknya akan lebih runcing .
Maka dia mulai mencari, tapi tidak menemukan apa-apa.
Kalau sekarang tidak pergi, orang putus seperti kecapi.
Kalau aku tidak bisa menemukan kau, akhirnya juga pasti
kau yang mencariku. Kenapa tidak kutunggu kau di sini saja,
mari buktikan cara bagaimana kau akan memutus badanku
seperti putusnya senar kecapi ini"
Perlahan Pho Ang-soat duduk, sumbu lampu dia bersihkan
dan nyala api menjadi lebih terang, penerangan selalu
membawa semangat dan membangkitkan gairah orang, tidur
seperti tidak punya jodoh dengan dirinya.
Suatu waktu dia ingin tidur, namun tidak bisa tidur. Orang
yang memutus senar kecapi setiap saat bisa keluar dari lorong
bawah tanah atau dari balik dinding, lalu memenggal tubuhnya
menjadi dua seperti senar kecapi.
Apakah betul orang itu Kongcu Gi adanya" Orang macam
apakah sebetulnya Kongcu Gi itu" Sambil menerawang Pho
Ang-soat menggenggam goloknya, dengan menunduk dia
mengawasi golok yang dipegangnya, terasa dirinya seperti
makin lemas, makin lunglai dan lelah, makin tenggelam dan
terbenam ke dalam sarung goloknya. Mendadak dia tertidur.
Malam makin kelam, lampu menyala, lidah api tidak lagi
bergerak, menyala tenang.
Dunia dalam keadaan damai tenteram, tiada bencana, tiada
pertumpahan darah, juga tiada suara brengsek.
Waktu Pho Ang-soat tersadar, dia tetap duduk di atas kursi.
Entah berapa lama dia pulas di atas kursi. Namun begitu dia
membuka mata, yang terlihat pertama kali adalah goloknya,
golok masih tergenggam di tangannya, sarung golok yang
hitam legam, tampak mengkilap ditimpa sinar pelita. Mungkin
dia hanya terlena sekejap saja, karena pelupuk matanya
terasa amat berat, betapapun dia adalah manusia biasa,
bukan robot, manusia perkasa matanya pun pasti akan
mengalami kelelahan dan terlena meski hanya sekejap.
Namun bila golok tetap di tangan, apapun dia tidak perlu
gentar. Tapi begitu dia mengangkat kepala, hatinya seketika
tenggelam, seperti tenggelam di dasar danau yang dingin. Dia
masih duduk di kursi semula, golok masih terpegang di
tangannya, tapi dirinya sekarang tidak duduk di dalam rumah
gubuk di tengah puncak gunung yang belukar itu.
Pandangan pertama yang terlihat olehnya adalah sebuah
gambar lukisan, lukisan panjang melintang empat tombak
tujuh kaki yang digantung pada dinding di depannya.
Panjang dinding atau luas rumah ini sudah tentu tidak
hanya empat tombak tujuh kaki, kecuali gambar lukisan itu,
dinding yang dikapur bersih putih laksana salju tergantung
berbagai jenis alat senjata, di antaranya ada sebuah kampak
batu raksasa dari zaman purba, ada pula tombak panjang
beronce ungu milik Soa Jeng di zaman Ciankok yang selalu
digunakan merobohkan musuh di medan laga. Ada pula Cengliong-
yam-gwat-to, gaman yang digunakan Bu-seng Koan-tekun
di zaman Sam Kok, ada pula Cwa-hou-lan dan Hou-singkiam
gaman luar biasa yang jarang terlihat di kalangan
Kangouw. Di antara senjata yang tergantung di atas dinding itu, paling
banyak adalah golok. Golok tunggal, golok rangkap Yan-hapto,
Kui-thau-to, Kim-pwe-gan-san-to, Sia-to, Kui-hoan-to, Jikkim-
hi-ling-to ... malah ada juga sebtang Thian-ong-cam-kui-to
yang panjangnya setombak lebih.
Tapi yang paling mengejutkan Pho Ang-soat adalah sebilah
golok hitam, golok yang mirip dengan yang di genggaman
tangannya. Beratus jenis senjata dari zaman dahulu sampai
zaman mutahir ternyata digantung di atas dinding seluruhnya,
maka dapatlah dibayangkan, betapa besar dan luas rumah ini.
Padahal seluruh lantai rumah ini dilembari permadani tebal
buatan negeri Persia, hingga terasa rumah sebesar ini hangat
dan nyaman. Agaknya setiap benda yang terpajang di dalam rumah ini
sudah diseleksi, diperiksa secara teliti, selama hidup Pho Angsoat
tak pernah terbayang dan belum pernah berkunjung ke
tempat semewah ini.
Dia tidak habis mengerti, cara bagaimana dirinya bisa
berada di tempat ini" Jelas ini bukan mimpi, tapi jauh lebih
seram, lebih aneh, lebih ajaib dan brutal dari mimpi yang
sesungguhnya. Tangan yang menggenggam golok sudah terasa dingin,
gagang goloknya sudah basah oleh keringat dingin yang
merembes di telapak tangannya. Tapi dia tidak menjerit kaget,
tidak berlari keluar, dia tetap duduk tenang dan diam di
kursinya, bergerak pun tidak.
Bahwa orang itu mampu membawanya ke tempat ini tanpa
diketahui setan dan malaikat, maka amat mudah
membunuhnya kalau mau. Bahwa kenyataan dirinya masih
hidup kenapa harus lari dari kenyataan ini" Kenapa harus
bersusah-payah beraksi"
Mendadak seorang bergelak tertawa di luar pintu, katanya,
"Pho-kongcu sungguh amat tabah dan tenang."
Ketika pintu terbuka, di tengah gelak tawanya, yang
beranjak masuk ternyata adalah Ciong-taysu.
Tapi keadaan Ciong-taysu sekarang sudah agak berubah,
jubah belacu yang biasa dipakainya sekarang berganti jubah
sutra, rambut ubannya juga sudah disemir hitam, demikian
pula kerut-mukanya agak jarang, sehingga wajahnya kelihatan
lebih muda dua puluh tahun.
Dingin-dingin saja Pho Ang-soat menatapnya sekilas,
ternyata reaksi kaget atau mimik heran pun tidak diperlihatkan
olehnya, seolah-olah dia sudah menduga di tempat ini dia
akan bertemu dengan dia.
Ciong-taysu menyembah dan menjura, katanya, "Cayhe Ji
Khim, menyampaikan sembah hormat kepada Pho-kongcu."
Jadi orang inilah Ji Khim yang tulen, dia pulalah kacung
harpa Kongcu Gi, jadi kacung harpa yang muncul di dalam
pasar itu tidak lain hanyalah figuran yang membantu dia
menyelesaikan permainan sandiwaranya.
Tujuan permainan sandiwara itu hanya ditujukan kepada
Pho Ang-soat seorang, padahal macam apa tampang Ji Khim
asli hakikatnya Pho Ang-soat tidak pernah melihatnya, maka
sandiwara di pasar itu betul-betul diperankannya dengan baik
dan amat memuaskan.
Apakah permainan sandiwara itu hanya untuk membuat
Pho Ang-soat terlena dan tenggelam dalam alam pikirannya
setelah mendengar alunan lagu yang menyedihkan itu"
Sehingga dia merasa kecewa dan putus-asa, lalu menggorok
leher sendiri dengan goloknya"
Sekarang bila golok ini tercabut pula, yakin yang digorok
pasti bukan lehernya sendiri. Melihat dia memegang golok
hitamnya, di kejauhan Ji Khim sudah menghentikan
langkahnya, katanya mendadak, "Tempat apakah ini" Kenapa
aku bisa berada di sini?" Dia tertawa, lalu menyambung,
"Seharusnya Pho-kongcu yang mengajukan pertanyaan ini,
tapi Pho-kongcu tidak buka suara, terpaksa biar aku saja yang
bertanya." Pertanyaannya sendiri, memang pantas kalau dia
pula yang menjawab.
Tak nyana mendadak Pho Ang-soat buka suara dingin,
"Inilah tempat baik, bahwa aku sudah berada di sini, kenapa
harus bertanya bagaimana aku bisa kemari"
Ji Khim melengak, serunya, "Apa betul Pho-kongcu tidak
ingin bertanya?"
"Tidak," cepat jawaban Pho Ang-soat.
Ji Khim mengawasinya sekian lama, lalu katanya bimbang,
"Apakah Pho-kongcu ingin membunuhku dengan sekali tabas"
Lalu menerjang keluar pintu."
"Tidak."
"Apakah Pho-kongcu tidak ingin pergi?"
"Tidak gampang aku kemari, kenapa harus pergi?"
Ji Khim kembali melenggong. Waktu dia masuk tadi, dia
mengira Pho Ang-soat pasti kaget dan gugup, tak nyana yang
kaget dan gugup sekarang justru dia sendiri.
"Duduk!" bentak Pho Ang-soat.
Ji Khim lantas duduk.
Di atas sebuah meja kecil panjang pendek berukir
kembang, permukaan meja dilapisi batu jade, terdapat sebuah
kecapi, itulah Kiau-bwe-khim yang tiada bandingan di kolong
langit sejak zaman dulu sampai sekarang.
"Silakan petik satu lagu untuk kudengar," pinta Pho Angsoat.
"Ya," Ji Khim mengiakan.
"Tring, creng," senar kecapi mulai dipetik
mengumandangkan suara yang merdu, lagu yang dipetik kali
ini sudah tentu bukan lagi melankolik yang mendatangkan
rasa perih dan kepedihan sehingga mengundang putus asa,
namun irama kecapi sekarang bernada riang gembira dalam
suasana kemewahan dan kemegahan, seumpama seorang
yang sekarat dekat ajalnya, bila mendengar lagu ini pasti tidak
ingin mati, demikian pula pemetiknya, sudah tentu dia tidak
ingin mati. Mendadak Pho Ang-soat bertanya, "Apakah Kongcu Gi
juga berada di sini?"
Ji Khim tidak langsung menjawab, namun irama kecapinya
mendadak merendah lembut dengan tekukan suara yang
seolah-olah menjawab, "Ya, benar."
"Apakah dia pun ingin bertemu dengan aku?" tanya Pho
ang-soat pula. "Ya, benar," kembali suara kecapi mewakili Ji Khim
menjawab. Pho Ang-soat juga cukup ahli dalam mendengar nada lagu,
baru saja dia hendak bertanya, di luar mendadak
berkumandang suara yang aneh dan ganjil, nadanya
sumbang, cepat dan cekak, runcing dan seram, meski
terputus-putus tapi suara itu berbunyi terus.
Ji Khim tampak bergetar, mendadak senar harpanya putus
dua utas. Suara nyaring melengking yang pendek dan cepat
itu ternyata seperti membawa tenaga sedot yang luar biasa.
Siapa pun yang mendengar suara ini seketika akan merasa
tenggorokan kering, jantung berdebar lebih keras, perut
seperti kejang dan mengkeret.
Pho Ang-soat pun tidak terkecuali.
Berubah rona muka Ji Khim, mendadak dia berjingkrak
berdiri terus melangkah lebar keluar.
Pho Ang-soat tidak mencegah, selamanya dia tidak
melakukan sesuatu yang tidak perlu, dia harus tumplek
seluruh perhatian dan semangatnya, sedapat mungkin untuk
mempertahankan ketenangannya.
Senjata-senjata yang tergantung di atas dinding seperti
memancarkan cahaya yang dingin, gambar lukisan sepanjang
empat tombak tujuh kaki itu jelas adalah sebuah lukisan yang
antik dan tak ternilai harganya. Tapi jangankan melihat, melirik
sekali lagi pun tidak, dia harus mengkosentrasikan seluruh
semangat, pikirannya tak boleh lena atau terpengaruh oleh
keadaan sekelilingnya.
Tapi seolah-olah dia susah mengkosentrasikan diri, suara
nyaring pendek dan runcing itu masih terus berbunyi, bagai
sebuah palu besi sedang memukul urat syarafnya.
Ketika gelang pintu berbunyi karena tersentuh, baru Pho
Ang-soat memperhatikan, di belakang masih terdapat sebuah
pintu, seorang perempuan baju putih yang cantik tengah
berdiri di luar pintu mengawasi cirinya, raut wajahnya kelihatan
mirip dengan Coh Giok-cin, tapi dia bukan Coh Giok-cin.


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia lebih cantik, lebih rupawan dari Coh Giok-cin,
kecantikannya seperti agung dan segar, senyumannya welas
asih dan lembut, gayanya lebih mempesona, tak urung Pho
Ang-soat yang tidak doyan perempuan inipun melirik dua kali
ke arahnya. Kini dia sudah beranjak masuk, lalu menutup daun pintu
dengan hati-hati, lewat di samping Pho Ang-hoat, lalu
melangkah ke tengah ruangan. Baru kemudian membalik
menghadapnya, katanya sambil tersenyum, "Aku tahu, kau
inilah Pho Ang-soat. Tapi kau tidak tahu siapa aku adanya?"
Suaranya seperti orangnya, agung dan lembut, namun katakata
yang dilontarkan ternyata sederhana dan terus terang.
Jelas dia bukan perempuan yang suka bermuka-muka,
perempuan yang banyak tingkah.
Pho Ang-soat memang tidak tahu siapa perempuan ini.
Perempuan itu memperkenalkan diri, "Aku she Coh, boleh
terhitung majikan perempuan tempat ini, maka kau boleh
memanggilku Coh-hujin, kalau kau merasa panggilan ini
berlebihan, boleh kau panggil aku apa saja, meja atau kursi
juga tidak jadi soal." Dia tersenyum lebih manis, "Meja
memang adalah gelaranku, setiap teman baikku suka
memanggil aku dengan gelaran itu."
"Coh-hujin," dingin suara Pho Ang-soat. Dia bukan teman
perempuan ini, dia tidak pernah punya teman.
Sudah tentu Coh-hujin tahu maksudnya, tawanya tetap
gembira, "Makanya orang sering bilang kau ini orang aneh,
kau memang demikian."
Pho Ang-soat diam saja, diam adalah pengakuan. Cohhujin
mengerling tajam, katanya, "Apa kau tidak ingin tanya
kepadaku, pernah apa Coh Giok-cin dengan aku?"
"Tidak perlu aku bertanya."
"Apa betul tiada sesuatu urusan di dunia ini yang dapat
menyentuh sanubarimu?"
Pho Ang-soat tutup mulut, bila dia menolak menjawab
suatu pertanyaan, biasanya dia bungkam, bibirnya dikatupkan
rapat. Coh-hujin menghela napas, katanya, "Semula kupikir paling
tidak kau pasti meneliti senjata-senjata yang ada di sini, bagi
mereka yang pernah kemari, tiada satu pun yang tidak tertarik
oleh koleksi senjata yang sekian banyaknya ini." Memang
jarang ada kesempatan sebaik ini bagi kaum persilatan
umumnya. Mendadak Coh-hujin membalik dan beranjak ke depan
dinding, menarik sebatang pedang yang berbentuk kuno
sederhana, warna hitam legam yang terbuat dari besi,
katanya, "Kau kenal tidak siapakah yang menggunakan
pedang ini?"
Hanya sekilas Pho Ang-soat melirik, segera menjawab
pula, "Inilah pedang milik Kwe Siong-yang." Sebetulnya dia
tidak ingin bersuara, entah kenapa tak tertahan akhirnya dia
bicara, karena dia tidak mau dianggap orang yang tidak punya
pengetahuan. "Memang kau berpandangan tajam," puji Coh-hujin. Nada
pujian lebih banyak dan merasa kagum, dahulu Siong-yangthi-
kiam malang melintang di kolong langit, di dalam daftar alat
senjata tercantum nomor empat, memang hanya sedikit kaum
persilatan yang tidak kenal pedang besi hitam ini.
Coh-hujin berkata, "Walau ini hanya pedang tiruan yang
mirip dengan aslinya, tapi bentuk, bobot, panjang pendek dan
ukuran tebalnya, malah bahan bukunya juga terbuat dari
bahan yang sama, boleh dikata hampir seratus persen mirip
dengan Siong-yang-thi-kiam." Senyumannya menampilkan
rasa bangga, "Sampai pun ronce pedang ini, juga dibuat
sendiri oleh nyonya besar keluarga Kwe yang masih hidup
sampai sekarang, kecuali pedang besi warisan keluarga
mereka, di kolong langit ini mungkin takkan bisa ditemukan
pedang kedua tiruan seperti ini."
Dia gantung pedang besi itu di tempat asalnya, lalu
menurunkan sebuah cambuk panjang, cambuk yang juga
hitam mengkilap laksana seekor ular sakti.
Pho Ang-soat sudah bersuara sebelum ditanya, "Itulah
gaman Sebun Yo, Pian-sin-coa-pian, dalam daftar senjata
tercantum nomor tujuh."
Coh-hujin tertawa, katanya, "Kalau kau mengenal cambuk
ular ini, sudah tentu kau pun kenal Kim-kong-tho-koay milik
Cukat Kong." Dia kembalikan cambuk panjang, lalu
mengambil sepasang Lui-sing-tui dari pinggir Kim-kong-thikoay.
"Hong-bi-siang-liu-sing," seru Pho Ang-soat, "dalam daftar
senjata tercantum nomor tiga puluh empat."
"Pandangan tajam," puji Coh-hujin. Nada pujiannya
bertambah tebal pula, mendadak dia beranjak ke pojok
dinding mengambil sepasang gelang besi, katanya, "Dahulu
Kim-ci-pang menggetarkan dan merajai Bu-lim. Sang Pangcu
Siangkoan Kim-hong merajai dunia, inilah Liong-hong-sianghoan
miliknya."
"Bukan," seru Pho Ang-soat.
"Bukan?" Coh-hujin melengak kaget.
"Itulah Te-jing-hoan (gelang banyak cinta), senjata tunggal
dari murid Thi-hoan-bun dari barat laut."
"Senjata peranti membunuh orang, kenapa dinamakan
gelang banyak cinta?"
"Karena begitu dia melilit atau menggantol senjata lawan,
maka tidak akan terlepas lagi, bagai seorang dimabuk
asmara." Wajahnya yang pucat mendadak menampilkan
mimik yang ganjil, lalu melanjutkan, "Lantaran cinta,
seseorang bisa gila, umpama laut kering batu membusuk,
cinta ini takkan berubah hingga ajal. Bukankah seorang yang
dimabuk asmara juga sering membunuh orang."
Coh-hujin menghela napas, katanya, "Cinta memang abadi,
sebelum ajal cinta takkan padam, ada kalanya cinta bukan
saja membinasakan orang lain, juga membunuh diri sendiri."
"Kukira biasanya membunuh diri sendiri lebih besar
kemungkinannya."
Coh-hujin mengangguk perlahan, katanya, "Betul, biasanya
memang sering membunuh diri sendiri."
Keduanya berhadapan sekian lamanya, akhirnya Coh-hujin
tersenyum lebar, katanya, "Adakah senjata yang tidak kau
kenal di sini?"
"Tiada," sahut Pho Ang-soat.
"Setiap senjata yang ada di sini semua punya riwayat
sendiri-sendiri, dahulu pernah menggemparkan dunia
persilatan, untuk mengenal mereka memang bukan suatu hal
yang sukar."
"Memangnya tiada sesuatu persoalan yang sulit di dunia
ini?" "Sayang sekali ada sementara gaman yang sudah
pernah menggetar dunia, membunuh orang tak terhitung
banyaknya, namun belum pernah ada seorang yang pernah
melihat bentuk asli senjata itu, umpamanya..."
"Pisau terbang milik Li Sun-hoan."
"Betul, pisau terbang milik Siau-li, selama disambitkan tak
pernah luput, Siangkoan Kim-hong yang diagulkan tiada
bandingan di kolong langit inipun akhirnya mampus oleh pisau
terbang itu, memang patut diagulkan sebagai pisau nomor
satu sejagat," setelah menghela napas, dia menambahkan,
"sayang sekali sampai detik ini tiada orang yang pernah
melihat bentuk asli pisau itu."
Pisau hanya berkelebat sekali, tahu-tahu sudah menancap
di tenggorokan, lalu siapa dapat melihat bentuk pisau itu,
entah panjang, pendek, tebal atau tipis bila jiwa orang itu
sudah ajal oleh tusukan pisau itu"
Coh-hujin menghela napas, katanya, "Oleh karena itu,
sampai sekarang hal ini masih merupakan teka-teki terbesar di
kalangan Bu-lim, kami sudah berjerih-payah, mengorbankan
banyak tenaga, pikiran dan harta benda, tetap tak berhasil
membuat pisau terbang yang mirip aslinya, sungguh harus
disesalkan."
"Di antara sekian banyak senjata, kurasa masih kurang
satu jenis senjata lagi."
"Khong-jiok-ling (bulu merak) maksudmu?"
"Betul."
"Tiada sesuatu yang sempurna seratus persen di dunia ini,
syukur akhirnya kami memiliki golok ini," mendadak dia meraih
sebatang golok hitam legam dari dinding.
Sinar berkelebat, golok itu sudah keluar sarung, bukan saja
bentuk panjang, lebar dan bobotnya sama, sisi tajam goloknya
pun terdapat tiga gumpilan.
Coh-hujin tersenyum lebar, katanya, "Aku tahu golok ini
bukan untuk pameran, mungkin kau sendiri pun jarang melihat
atau memeriksanya."
Saking pucatnya, kulit muka Pho Ang-soat menjadi bening
seperti tembus cahaya, katanya dingin, "Aku tahu, ada
kalanya sementara orang pun demikian."
"Orang maksudmu?" Coh-hujin menegas.
"Sementara orang walau sudah menggetarkan Kangouw,
membunuh orang tak terhitung banyaknya, namun selamanya
tiada orang pernah melihat wajah aslinya, umpamanya ..."
"Kongcu Gi?"
"Betul, Kongcu Gi."
Coh-hujin tertawa pula, katanya, "Apa betul selamanya kau
tidak pernah melihatnya?"
Tawanya seperti amat ganjil, amat misterius.
Tapi jawaban Pho Ang-soat ternyata amat cekak dan
sederhana, "Tidak pernah."
Coh-hujin tertawa, katanya, "Sekarang kau sudah berada di
sini, cepat atau lambat pasti akan bertemu dengan dia,
kenapa tergesa-gesa?"
"Sampai kapan baru dia mau menemui aku?"
"Segera."
"Kalau sudah menjelang, kenapa sampai sekarang dia
masih sibuk berlatih mencabut golok?" demikian jengek Pho
Ang-soat dingin. Suara yang sumbang, pendek dan nyaring
menusuk itu masih terus berbunyi, sekali dan sekali terus
berulang. Apakah itu suara golok tercabut dari sarung"
Pho Ang-soat berkata pula, "Permainan golok mempunyai
ribuan perubahan dan laksaan variasi, mencabut golok tidak
lebih hanya gerakan sederhana di antara permainan golok itu."
"Gerakan itu berapa lama kau melatihnya?" tanya Cohhujin.
"Tujuh belas tahun," jawab Pho Ang-soat.
"Hanya satu gerakan yang mudah dan sederhana itu, kau
meyakinkan tujuh belas tahun?"
"Aku amat gegetun kenapa tidak bisa berlatih lebih lama
lagi." "Kalau kau boleh meyakinkan selama tujuh belas tahun,
kenapa dia tidak boleh latihan seperti itu?"
"Karena umpama kau dapat berlatih satu dua hari lebih
lama juga tak berguna."
Dengan tersenyum Coh-hujin menarik kursi, lalu duduk
berhadapan dengan Pho Sng-soat, katanya, "Kali ini kau
keliru." "Keliru?"
"Dia bukan sedang mencabut golok."
"Bukan?"
"Dia sedang mencabut pedang," ujar Coh-hujin kalem.
"Selama seratus tahun belakangan ini, ahli pedang di
kalangan Kangouw sekarang selebat hutan, ilmu pedang yang
baru diciptakan ada sembilan puluh tiga macam, ribuan
perubahan laksaan variasi, masing-masing memiliki kelihaian
dan keampuhannya sendiri, betapa aneh dan ganjil gerak
permainannya, boleh dikata sukar dibayangkan dengan akal
sehat, tapi gerakan mencabut pedang, kenyataan hanya ada
satu macam."
"Bukan hanya satu macam, tapi hanya satu macam yang
paling cepat."
"Tapi untuk menemukan yang paling cepat itulah yang
bukan pekerjaan gampang."
"Gerakan yang paling sederhana adalah jenis yang tercepat
itu." "Tapi harus melalui gemblengan ribuan perubahan dan
laksaan variasi hingga akhirnya dibulatkan menjadi
sederhana."
Seluruh perubahan dalam permainan ilmu silat memang
sukar untuk menelurkan perubahan yang tercepat itu.
Coh-hujin berkata, "Sudah lima tahun dia menggembleng
diri, baru menemukan satu cara, hanya satu gerakan yang
paling gampang, dia pun sudah berlatih selama tujuh belas
tahun, sampai sekarang dia masih berlatih, setiap hari paling
sedikit pasti berlatih tiga jam."
Jari-jemari Pho Ang-soat menggenggam kencang gagang
goloknya, matanya mulai memicing sipit.
Coh-hujin menatapnya tajam, kerlingannya yang lembut
dan hangat tadi kini berubah setajam pisau, katanya tegas,
"Tahukah kau untuk apa dia menggembleng diri dengan
latihan seberat itu?"
"Untuk menghadapi aku?"
"Kau keliru lagi."
"Oh?"
"Dia bukan harus menghadapimu, jadi bukan melulu untuk
menghadapi kau seorang saja."
Akhirnya Pho Ang-soat mengerti, katanya, "Ya, dia akan
menghadapi seluruh jago-jago kosen di seluruh jagat ini."
Coh-hujin manggut-manggut, katanya, "Betul, karena dia
bertekad ingin menjadi orang nomor satu di seluruh jagat ini."
Pho Ang-soat tertawa dingin, katanya, "Memangnya dia
berpendapat asal aku dikalahkan, maka dia bakal menjadi
orang nomor satu di jagat ini?"
"Sejauh ini dia memang berpendapat demikian."
"Dia pasti keliru dan akan menyesal."
"Kukira dia tidak salah."
"Di kalangan Kangouw tak terhitung jago-jago kosen,
terutama orang-orang pandai berjiwa aneh yang
mengasingkan diri di atas pegunungan, entah betapa banyak
di antara mereka yang memiliki kungfu lebih tinggi dari aku
"Tapi kenyataan sampai sekarang belum ada satu pun di
antara mereka yang dapat mengalahkan engkau ..."
Terkatup mulut Pho Ang-soat, ini memang kenyataan.
"Aku tahu, untuk mengalahkan kau memang bukan tugas
yang mudah, dari sekian banyak orang yang pernah datang
kemari, kau adalah satu yang paling istimewa."
Tak tahan Pho Ang-soat bertanya, "Sudah berapa banyak


Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang pernah datang kemari?"
Coh-hujin mengesampingkan pertanyaan ini, katanya,
"Koleksi senjata yang tergantung di atas dinding, bukan saja
dikumpulkan secara lengkap, semua adalah barang murni,
bagi setiap insan persilatan, siapa takkan memandangnya
beberapa kali, hanya kau seorang yang kelihatannya tidak
tertarik sama sekali." Setelah menghela napas, dia pun
menyambung, "Dan anehnya, gambar lukisan inipun tidak kau
pandang barang sekejap."
"Kenapa aku harus melihatnya?"
"Bila kau mau melihatnya, kau akan paham sendiri."
"Kalau akhirnya dia pasti akan melihatnya, kenapa harus
terburu nafsu?" mendadak seorang menyeletuk.
Suara yang wajar dan sopan, menandakan bahwa orang ini
berpendidikan dan tahu adat. Terlalu banyak adat adalah
munafik, atau boleh dikata sebagai sikap yang berlebihan,
suara ini justru kedengarannya membawa nada hangat penuh
persahabatan yang simpati, dan simpati itu hampir mendekati
kekejaman. Jika dalam
mayapada ini terdapat suatu kekuatan yang mampu
menghancurkan segala kehidupan dan benda yang ada, maka
dapat dipastikan kekuatan itu akan timbul dari persahabatan
yang simpati itu.
Hanya manusia macam Kongcu Gi saja yang mungkin
mempunyai rasa simpati yang menakutkan ini. Jelas dia pun
amat mengharapkan bertemu dengan Pho Ang-soat, dia tahu
saat-saat pertemuan itu adalah saat-saat kehancuran pula,
satu di antara kedua orang ini pasti akan runtuh dan hancur.
Sekarang dia sudah berada di belakang Pho Ang-soat, bila
tangannya memegang pedang, sembarang waktu dia bisa
menusuk ke tempat mematikan di tubuh Pho Ang-soat.
ooooOOoooo Bab 22. Kongcu Gi
Orang macam apakah Kongcu Gi sebenarnya" Apakah
tangannya memegang pedang"
Pho Ang-soat tidak menoleh, juga tidak bergeming. Dia
tidak boleh bergerak.
Karena dia sudah merasakan adanya hawa membunuh
yang kuat tak terlawankan, tiada lubang yang bisa
dimasukinya. Maka bila dia bergerak, entah dengan gerak
apa, kemungkinan lawan akan memperoleh kesempatan untuk
turun tangan. Umpama gerakkan mengejang dari urat daging
di badannya sekalipun, juga kemungkinan akan mengundang
kesalahan yang fatal.
Walaupun dia tahu manusia macam Kongcu Gi pasti takkan
sudi menyerang lawan dari belakang, tapi dia tidak bisa tidak
harus bersiaga.
Mendadak Kongcu Gi tertawa, nada tawanya pun sopan
dan ramah, katanya, "Memang tidak malu sebagai jago kosen
tiada bandingan di kolong langit."
Pho Ang-soat mempertahankan ketenangan, dia tetap
bersikap kalem dan diam.
Coh-hujin mengedipkan kedua matanya, katanya,
"Bergeming pun tidak, darimana kau bisa menilai bahwa dia
seorang kosen?"
"Justru karena dia tidak bergeming, maka dia adalah orang
kosen yang tiada bandingan di dunia ini."
"Apakah tidak bergerak lebih sukar dari bergerak?", tanya
Coh-hujin. "Jauh lebih sukar."
"Aku tidak mengerti."
"Kau harus tahu, kalau kau menjadi Pho Ang-soat,
mendadak tahu aku sudah berada di belakangmu, lalu
bagaimana reaksimu?"
"Aku pasti amat kaget."
"Kaget jelas akan mengurangi kesiap siagaan, maka dia
pasti akan bergerak."
"Ya, memang."
"Begitu kau bergerak, maka kau pasti mati."
"Lho, kenapa?"
"Karena hakikatnya kau tidak tahu dari arah mana aku akan
turun tangan, oleh karena itu kemana pun kau bergerak, kau
akan melakukan kesalahan yang mengundang kematian."
"Seorang lawan seperti dirimu, bila mendadak berada di
belakang orang, siapa pun orang itu pasti akan merasa
tegang, umpama dia tidak bergerak, kulit daging di
punggungnya juga pasti akan mengejang."
"Tapi dia tidak. Walau aku sudah lama berdiri di
belakangnya, sekujur badannya tiada menunjukkan
perubahan apa-apa."
Akhirnya Coh-hujin menghela napas, katanya, "Sekarang
aku betul-betul paham, tidak bergerak memang lebih sukar
daripada bergerak."
Jika kau tahu ada musuh setangguh Kongcu Gi berdiri di
belakangmu, sekujur badanmu masih longgar dan tiada
perubahan sedikitpun, maka urat syarafmu pasti lebih dingin
daripada salju.
Mendadak Coh-hujin bertanya pula, "Dia tidak bergerak,
apakah kau tidak punya peluang untuk menyerangnya?"
"Tidak bergerak berarti bergerak, titik terakhir dari segala
perubahan gerak itu adalah tidak bergerak."
"Terlalu banyak lubang kelemahan, akhirnya berubah tiada
lubang kelemahan, karena bila sekujur badan seperti sudah
kosong, hampa tanpa isi, maka kau takkan tahu darimana kau
harus turun tangan."
Kongcu Gi tertawa, katanya, "Aku yakin akhirnya kau pasti
tahu akan hal ini."
"Aku juga tahu kau pasti takkan turun tangan, kalau kau
mau membunuhnya dari belakang, banyak peluang lebih baik
daripada kesempatan yang kau peroleh sekarang ini," dengan
tersenyum dia melanjutkan, "karena tujuanmu bukan ingin
membunuhnya, tapi mengalahkan dia."
Mendadak Kongcu Gi menghela napas, katanya, "Untuk
membunuhnya gampang, mau mengalahkan dia jauh lebih
sukar." Akhirnya dia beranjak ke depan lewat samping Pho Angsoat.
ooooOOoooo Langkahnya tenang, enteng dan mantap.
Hanya sekejap itu, mendadak Pho Ang-soat merasa dirinya
seperti bebas merdeka, keringat dingin ternyata sudah
membasahi sekujur badan. Hal ini tidak boleh diketahui oleh
Kongcu Gi, maka mendadak dia berkata, "Kenapa
kesempatan baik kau abaikan, malah mencari kesulitan?"
Tajam suara Kongcu Gi, "Karena kau adalah Pho Ang-soat
dan aku adalah Kongcu Gi."
Sekarang akhirnya Kongcu Gi berhadapan dengan Pho
Ang-soat, namun Pho Ang-soat tetap belum melihat wajahnya
yang asli. Dipandang dari arah punggung, gaya dan perawakannya
kelihatan tegap dan gagah, tiada lubang sasaran untuk
diserang. Tapi dia justru mengenakan topeng hijau yang
beringas, seram dan jelek.
Dingin suara Pho Ang-soat, "Ternyata Kongcu Gi adalah
seorang yang tidak berani memperlihatkan tampang aslinya di
depan orang."
Coh-hujin menimbrung, "Kau keliru lagi."
Pho Ang-soat menyeringai dingin.
"Yang kau lihat sekarang adalah wajah asli dari Kongcu Gi,"
ucap Coh-hujin.
"Tapi yang kulihat tak lain adalah sebuah topeng belaka."
"Memangnya aku tidak mengenakan topeng di mukaku"
Memangnya sejak dilahirkan kau sudah berwatak dingin kaku
dengan muka pucat seperti itu" Apakah itu bukan kedok
mukamu?" Terkatup pula mulut Pho Ang-soat.
"Sebetulnya kau mengerti, bagaimanapun tampangnya
tidak penting, cukup asal kau tahu dia adalah Kongcu Gi, hal
inilah yang terpenting."
Ini memang kenyataan, Pho Ang-soat pun tak bisa tidak
harus mengakui, karena dia tidak bisa tidak bertanya kepada
diri sendiri. Keadaanku sekarang, sebetulnya apakah wajah asliku"
Lalu seperti apa sebetulnya wajah asliku"
Tawar suara Kongcu Gi, "Aku tidak ingin melihat wajah
aslimu, cukup asal aku tahu bahwa kau adalah Pho Ang-soat."
Pho Ang-soat menatapnya lekat-lekat, cukup lama
kemudian baru dia berkata tandas, "Sekarang kau sudah tahu
kalau aku adalah Pho
Ang-soat, aku tahu kau adalah Kongcu Gi."
"Karena itu ada satu hal harus kami bereskan sekarang."
"Soal apa?"
"Di antara kami berdua, hanya ada satu orang boleh tetap
hidup." Walau suaranya berubah dingin kaku, tapi nadanya
masih sopan, agaknya terlalu percaya kepada diri sendiri,
"Siapa kuat, maka dia akan tetap hidup."
"Kelihatannya hanya ada satu cara untuk membereskan
persoalan ini."
"Betul, hanya ada satu cara, sejak dulu memang hanya ada
satu cara." Dia mengawasi golok di tangan Pho Ang-soat,
"Oleh karena itu dengan tanganku sendiri aku harus
mengalahkan engkau."
"Kalau sebaliknya, maka kau rela mati."
Mendadak sorot mata Kongcu Gi menampilkan perasaan
sedih yang memilukan, katanya, "Ya, kalau sebaliknya, maka
aku harus mampus."
"Aku tidak paham," ujar Pho Ang-soat.
"Kau harus mengerti, aku tidak ingin orang lain
membunuhmu, karena aku ingin membuktikan bahwa aku
lebih kuat dari kau. Aku harus menjadi manusia terkuat di
dunia, kalau gagal aku rela mati." Suaranya bernada
menyindir dan mencemooh, "Bu-lim seumpama sebuah
kerajaan yang berdiri tunggal, hanya boleh ada satu raja yang
berkuasa, kalau bukan aku adalah kau."
"Kali ini, kukira kau yang salah."
"Aku tidak salah, banyak persoalan dapat dibuktikan,
kecuali aku, kau adalah orang yang memiliki kungfu
tertangguh di dunia ini." Mendadak dia membalik tubuh
menghadap gambar lukisan besar yang tergantung di atas
dinding, perlahan dia melanjutkan, "Kau dapat masuk ke
rumah ini dengan tetap segar bugar, bukan suatu kejadian
kebetulan, bukan kenyataan yang mudah dilakukan, juga
bukan nasibmu mujur."
"Ya, memang bukan," ucap Coh-hujin menghela napas.
Orang atau tokoh-tokoh yang tergambar dalam lukisan itu
cukup banyak, setiap orangnya dilukis dengan hidup dan
bagus, yang digambar seperti petilan-petilan cerita.
Di setiap petilan cerita pasti terdapat seorang yang sama,
orang itu adalah Pho Ang-soat. Begitu dia berhadapan dengan
gambar lukisan itu, maka pandangan pertama lantas melihat
dirinya. Cuaca mendung, sebuah kota kecil di pinggir perbatasan,
di tengah jalan raya ada dua orang sedang bertempur sengit.
Kedua orang berpakaian putih laksana salju, tangan mereka
memegang sebatang pedang merah laksana darah, seorang
memegang golok hitam legam.
"Tentu kau masih ingat, itulah di Hong-hong-kip," kata
Kongcu Gi. Sudah tentu Pho Ang-soat ingat, waktu itu Hong-hong-kip
Pendekar Pengejar Nyawa 16 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Golok Halilintar 8
^