Pencarian

Perjodohan Busur Kumala 21

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 21


serta senjata-senjata rahasia, dia juga sangat cerdas, meski
tenaganya sedang berkurang, tak sembarang orang kelas satu
dapat merobohkan padanya! Habis, ke manakah dia" Tak
mudah untuk mencelakakan dia! Atau kalau dia tidak sanggup
melawan, dia tentu dapat menyingkir pergi! Dia pun dapat
minta pertolonganku dengan teriakannya menurut ilmu Thiantun
Toan-im. Dari sini ke pasar cuma kira lima lie, pasti aku
akan dapat mendengar teriakannya itu. Sekarang, kemana
perginya dia?"
Sie Ie berpengalaman dan nyalinya besar, toh ia bingung.
Ia menjadi ingat Kok Cie Hoa, yang lenyap mirip cara
lenyapnya Nona Le ini.
Selagi Sie Ie berpikir, ia mendengar suara berisik di luar.
"Si penjahat tentu masih ada di dalam! Pasti dia lagi
bersembunyi" demikian suara orang. "Ati-ati! Ati-ati!'
"Penjahat, keluar!" lain orang berteriak.
Sie le dapat menerka siapa yang datang, tanpa ayal lagi, ia
melompat keluar, maka itu ia lantas melihat orang
berkerumun di depan warung teh itu. Merekalah penduduk
kampung serta kepalanya bersama orang-orangnya.
Orang melengak melihat yang muncul ialah seorang opsir.
Tidak ada seorang juga yang berani lancang maju untuk
melakukan penangkapan.
Sie Ie mengawasi orang banyak itu, ia melihat dua orang
tani yang tadi ia ketemukan di tengah jalan. Ia menduga
merekalah tentu yang mendatangkan orang banyak itu. Maka
mendadak ia berlompat ke arah mereka itu, untuk mencekuknya,
untuk segera menanya dengan bengis: "Apakah kamu
melihat romannya si penjahat yang membunuh orang disini?"
"Kita tidak melihat sendiri..." menjawab mereka itu
bingung. "Toh tadi kamulah yang menjerit-jerit ada penjahat dan
pembunuhan!"
"Itu benar," yang satu menjawab. "Kita masuk ke warung
dengan berniat minum teh, lantas kita melihat mayatmayatnya
pemilik warung serta isterinya itu. Kita menjadi
kaget, maka kita lantas menduga mereka tentulah dibunuh
orang jahat!"
Sie Ie tertawa dalam hati. Ia merasa lucu bahwa ia pun
menjadi tegang tak keruan. Karena ia percaya ia tidak bakal
memperoleh keterangan dari mereka itu, ia melepaskannya,
lantas ia berlalu dengan cepat. Ia naiki kudanya dan
mengambil jalan yang ia belum ambil tadi. Di belakangnya ia
mendengar orang banyak itu bicara dengan berisik, mungkin
ada yang menduga ialah si penjahat. Akan tetapi tidak ada
orang yang mengejarnya. Disana ada dua orang tani itu yang
dapat menjelaskan bahwa tadi ia datang dari jurusan mana.
Sesudah mengaburkan kudanya sepuluh lie lebih, Sie Ie
memanggil-manggil Seng Lam dengan menggunai suara dan
ilmu Thiantun Toan-im. la tidak memperoleh jawaban. Disitu
pula ia tidak menemui orang lain, ia tak menampak apa-apa
yang dapat mendatangkan kecurigaan. Ia menjadi heran
sekali. Maka ia pergi ke jalan yang lain. Kembali ia memanggilmanggil
tanpa ada hasilnya.
Dengan cepat sang magrib tiba, cuaca mulai menjadi
remang-remang. "Heran!" kata Sie Ie dalam hati. Ia bingung sekali. Sia-sia
saja ia pergi ke empat penjuru di sekitar tempat itu, Seng Lam
terus tak kedapatan. Ia lantas menjadi putus asa. Hanya
berbareng dengan itu, ia merasa lega juga...
"Seng Lam bukan wanita biasa," demikian ia mendapat
pikiran. "Dia gagah dan pintar, tak sembarang orang bisa
mengalahkannya. Atau sekalipun dia kena ditawan, asal orang
tidak segera membinasa-kannya pasti dia bakal mempunyai
jalan untuk meloloskan dirinya dari bahaya."
Inilah yang membikin lega hati Tokciu Hongkay. Ia juga
sangsi kalau si nona terjatuh dalam tangannya Beng Sin
Thong. Itu waktu, pikirnya, Sin Thong sudah terbinasa atau
terluka parah di tangannya Tong Siauw Lan.
Kemudian lagi Sie Ie ingat Kok Cie Hoa.
"Cie Hoa lenyap tidak keruan paran. Tapi dia masih
mempunyai rumah di Siangyang dan disana juga ada Thia Ho
dan Lim Seng, maka itu, asal aku dapat menemui dua orang
itu, asal mereka dapat disalurkan pasti aku akan memperoleh
keterangan tentang dia."
Oleh karena ini, tidak bersangsi lagi, malam-malam ia
mengaburkan kudanya untuk pergi ke kota Siangyang. Celaka
kudanya, binatang itu telah menjadi sangat lelah hingga tak
dapat berlari keras lagi. Terpaksa Sie Ie turun dari kudanya, ia
meninggalkannya, untuk berlari-lari dengan ilmu ringan tubuh.
Maka dalam satu malam itu, ia bisa melalui perjalanan kirakira
tiga ratus lie. Di waktu terang tanah, ia berhenti sebentar,
untuk beristirahat. Ia pun pergi membeli seekor kuda, guna
mewakilkan kakinya berjalan cepat. Siang hari seperti itu ia
tidak berani berlari-lari seperti di waktu malam. Adalah setelah
malam tiba, ia tinggalkan pula kudanya, untuk berlari-lari lebih
jauh. Demikian seterusnya, ia berlari-lari dan menunggang
kuda bergantian, tak ada hentinya kecuali untuk menangsal
perut dan beristirahat seketika.
Tak lewat dari tiga belas hari tibalah Sie Ie di kota
Siangyang, tempat tujuannya itu.
Kok Ceng Peng telah menutup mata semenjak lima tahun
yang lalu, tetapi dia seorang kenamaan, dialah Liang Ouw
Tayhiap, orang gagah dari Liang Ouw, tak sulit untuk mencari
keterangan tentang tempat kediamannya. Demikian mudah
saja Sie Ie mendapat tahu Keluarga Kok tinggal di sebuah
dusun kira-kira sepuluh lie di luar kota barat.
Maka tanpa ayal lagi, ia mengeprak kudanya lari keluar
kota. Hanya ketika ia tiba di rumah Cie Hoa, ia mendapatkan
pintu pekarangan tertutup rapat dan temboknya tumbuh
lumut, tandanya tak ada yang rawat. Ia toh menghampirkan
pintu pekarangan itu, buat memegang gelangnya, untuk dtarik
dibunyikan. Beberapa kali ia mengetuk pintu, baru ia melihat
daunnya yang sebelah dibuka, hingga ia menampak juga di
sebelah dalam itu ada jeruji besinya. Seorang budak
perempuan muda berdiri di belakang jeruji seraya terus
menegur: "Siapa kau?"
"Aku she Kam, akulah sahabatnya nonamu," sahut Sie Ie.
"Aku sengaja datang untuk menjenguk nonamu itu."
"Kau datang dari mana?" budak itu tanya pula. Dia tak
lantas menjawab.
"Aku datang dari kuil Siauwlim Sie di Siongsan," Sie Ie
jawab sabar. Ia sengaja menggunai alasannya ini karena
Keluarga Kok keluarga yang mengerti ilmu silat maka
sekalipun budaknya mesti mengenal baik nama Siauwlim Sie.
Kalau ia mengggunai alasan lain, ia kuatir budak itu, atau
Nyonya Kok, nanti tak sudi menerima kunjungannya ini.
Banyak orang ternama lagi berkumpul di Siauwlim Sie, dengan
menyebut nama kuil itu, mungkin Nyonya Kok menyangka
orang datang buat urusan penting.
Budak itu mengawasi sekian lama, lalu dia menjawab acuh
tak acuh: "Nyonya majikan kami lagi keluar. Jikalau membawa
kartu nama, tinggalkan saja disini."
Sie Ie mengasih lihat roman menyesal
"Apa" Nyonya majikanmu juga keluar?" katanya.
"Kapankah dia perginya?"
"Sudah kira-kira satu bulan yang lalu."
Itulah waktu tak lama dari peristiwanya Kok Cie Hoa.
"Habis, kapankah nyonya bakal pulang?" ia tanya pula.
"Mana aku tahu" Nyonya mau pergi kemana dan untuk
berapa lama, kami yang menjadi budak mana berani
menanyakannya?"
Sie Ie berpikir, terus ia menanya pula: "Kalau begitu,
dapatkah aku bertemu dengan dua sahabat yang menumpang
singgah di rumah majikanmu ini" Merekalah dua murid Binsan
Pay, namanya Thia Ho dan Lim Seng. Kabarnya mereka
berdiam disini tengah berobat. Mereka itu menjadi sahabatsahabatku,
aku minta kau perkenankan aku bertemu dengan
mereka itu" Boleh, bukan?"
Budak itu mengerutkan alis.
"Kau maksudkan itu kedua tuan yang pingsan terus tak
dapat sadar-sadar, yang menjadi saudara-saudara perguruan
nona kami?" dia balik bertanya.
Kim Sie Ie menunjuki roman girang sekali.
"Benar! Benar!" sahutnya berulang-ulang. "Apakah sampai
sekarang mereka masih belum juga mendusin" Tak apa! Aku
mengerti sedikit ilmu ketabiban, mungkin aku dapat menolongi
mereka!" "Tapi kedua tuan itu sudah berangkat dari sini," kata budak
itu. Dia tetap tenang.
Sie Ie menunjuki roman heran.
"Kau bilang mereka tak sadarkan diri, kenapa mereka bisa
berlalu dari sini?" ia tanya.
"Tentu saja ada orang yang menyambutnya!"
"Siapakah orang itu?"
Sekarang si budak memperlihatkan roman tak sabaran.
"Eh, mengapa kau menanya begini melit?" dia tanya. "Mana
aku tahu dia siapa" Kalau bukan sahabat mereka tentulah
saudara seperguruannya!" Dia berhenti sebentar, terus dia
menambahkan: "Di rumah ini tinggal kami beberapa pegawai,
karena orang yang kau cari tidak ada dan kau juga tidak
membawa kartu nama untuk ditinggal disini, baiklah nanti saja
setelah nyonya majikan pulang, aku sampaikan warta tentang
datangmu ini."
Lalu "Bruk!" dia menggabruki daun pintu.
"Tunggu sebentar!" kata Sie Ie cepat. "Masih ada satu hal
yang hendak kutanyakan. Kapannya orang itu menyambut
kedua kenalanku itu?"
Budak itu belum berlalu, dia terdengar menjawab dengan
suara tak puas: "Aku sudah tidak ingat! Kira-kira sepuluh hari
yang lalu!"
Habis itu terdengarlah tindakan kakinya.
Benar-benar Sie Ie tidak gembira. Ia ngeloyor kembali.
Belum jauh ia berjalan, sekonyong-konyong ia ingat suatu
apa. "Tak benar seluruhnya apa yang dikatakan budak itu,"
pikirnya. "Dia kata Nyonya Kok pergi sudah hampir sebulan,
sebaliknya Thia Ho dan Lim Seng katanya dibawa pergi kirakira
sepuluh hari yang lalu! Dua orang itu tengah pingsan
pula. Isterinya Kok Ceng Peng yaitu Hansie, bersama-sama
suaminya terkenal gagah dan mulia, mustahil dia dapat
membiarkan dua orang itu ditinggal pergi lama-lama?"
Coba Sie Ie masih beradat seperti dulu-dulu, pasti sudah ia
kembali untuk mendapat kepastian, sekarang ia telah
memperoleh pengalaman banyak, ia pun dipengaruhi
perkenalannya dengan Cie Hoa, tabiatnya telah berubah jauh.
Ia pula ingat Hansie menjadi ibu tiri Cie Hoa, apabila ia masuk
dengan paksa dan nyonya itu sebenarnya berada di rumah, ia
bisa mendapat malu. Walaupun demikian, ia toh pikir: "Biarlah
aku datang sebentar malam, secara diam-diam. Sekarang aku
pergi dulu ke kota mencari pondokan, untuk beristirahat..."
Maka ia berjalan terus, walaupun ia lesu.
Selagi keluar dari desa itu, Sie Ie melihat beberapa bocah
pengemis mundar-mandir, kelihatannya mereka itu diam-diam
memperhatikan padanya. Diam-diam iapun heran.
"Mungkinkah karena aku orang asing disini?" ia menerka. Ia
mengawasi mereka itu.
Melihat mereka diawasi, beberapa pengemis cilik itu datang
menghampirkan, buat minta uang.
Tokciu Hongkay heran dan bercuriga, tetapi karena ia
mempunyai urusannya, ia tidak memperhatikan mereka lebih
jauh, ia membagi sedikit uang, terus ia ngeloyor pergi.
Ketika Sie Ie mendekati tembok kota, hari sudah mulai
magrib. Di pojokan pintu kota, ia melihat seorang pengemis
tua lagi duduk bersender sambil mencari tuma. Ia melihat
punggung orang, ia bersenyum dan kata sendirinya: "Kenapa
hari ini aku senantiasa bertemu dengan bangsa tukang mintaminta?"
Ia mengawasi pengemis itu, tempo ia mendapatkan
orang menoleh ke arahnya, begitu melihat mukanya, ia
terperanjat. "Ah, kiranya dia Ek Tiong Bouw, pangcu dari Kaypang
Selatan!" katanya dalam hati.
Sie Ie sudah salin pakaian, tidak lagi ia berseragam opsir,
tetapi ia belum kembali kepada wajah asalnya. Ek Tiong Bouw
melihat tapi ia tidak mengenali, meski rasanya dia kenal, dia
tidak memperhatikannya.
Sie Ie sengaja bertindak perlahan, sembari jalan ia
mengasah otaknya.
"Mau apa Ek Tiong Bouw datang ke Siangyang ini?" ia
tanya didalam hati.
Ketika itu terlihat tiga orang muncul dari dalam kota.
Mereka berjalan bersama. Yang di depan bertubuh gemuk,
kepalanya gede, telinganya besar. Melihat dandanannya, dia
mirip seorang hartawan. Dua yang lain mirip pengiring.
Selagi mendekati Ek Tiong Bouw, orang itu mengawasi
tajam kepada ketua Kaypang, lalu dia kata seorang diri, sengit
suaranya: "Darimana datangnya si tukang minta-minta
menghalang di tengah jalan sambil mengemis" Kenapa orang
polisi tak mengurusnya" Sungguh dia membikin malu kita
penduduk Siangyang!"
Ek Tiong Bouw mendengar itu, dia kata acuh tak acuh:
"Aku lagi mencari tuma disini, apakah halangannya bagimu"
Aku toh tidak mengemis padamu?"
Orang hartawan itu menjadi gusar.
"Pengemis bau, banyak bacot!" bentaknya.
Ek Tiong Bouw membatasi, tawar: "Aku pun dapat
mencium bau kau, ternyata jauh terlebih bau daripada aku!"
"Kurang ajar! Kurang ajar!" hartawan itu berkaok-kaok.
Segera juga dua pengikutnya berlompat ke arah si
pengemis, yang satu sambil membentak: "Orang polisi tidak
mengurus kau, akulah yang mengurusnya!" Yang lainnya
berkata bengis: "Kau main gila terhadap Cee toaya, hendak
aku mengeset kulitmu!"
Sie Ie melihat dan mendengar itu, ia diam saja, cuma di
dalam hatinya, ia kata: "Dua kaki anjing ini mau mengicipi
penderitaan!..."
Ketika itu kedua orang itu sudah lantas menyerang, yang
satu dengan tangannya, dengan tipu silat
"Hunkin Cokut Ciu", guna membikin tangan orang keseleo


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau patah, yang lain menendang dengan dupakan "Wan-yoh
Lian-hoan Twie". Hebat kaki orang itu, gerakan kakinya
sampai mengeluarkan suara angin.
Tiong Bouw duduk menyender secara malas-malasan,
tubuhnya tersorotkan sisa sinar matahari, tak ia sangka atas
datangnya serangan, walaupun demikian, ia lantas mendapat
lihat dan tidak menjadi gugup. Ia gesit sekali. Ia lantas
mengangkat tubuhnya, untuk berduduk tegak, untuk segera
diputar mirip gerakan sang keong, selagi mutar itu tangannya
diulur dipakai menangkap kaki orang. Tepat tangkapannya itu!
Di saat itu datang serangan yang lain, yang tak kalah
hebatnya. Sie Ie melihat kegesitan dua orang itu, ia percaya mereka
bukan orang sembarang, akan tetapi ia kenal Tiong Bouw, ia
tahu ketua ketua pengemis itu liehay, ia percaya tak nanti dia
dapat dikalahkan. Karena ini, ia tidak mau campur tangan.
Sebaliknya, ia memperhatikan si hartawan, hingga ia melihat
orang menyentil ke arah Tiong Bouw. Ia terkejut, itulah bukan
sembarang sentilan, itulah bagaimana matanya melihat
sentilan jarum rahasia, sesuatu benda kecil berkelebat
berkeredep. Ia tahu itulah jarum Bweehoa ciam.
Senjata rahasia jarum senjata rahasia biasa, sebenarnya
Sie Ie tidak memperhatikannya, tapi yang menarik
perhatiannya ialah jarak di antara Ek Tiong Bouw dan
hartawan itu. Keduanya terpisah kira-kira tujuh tombak satu
dari lainnya. Biasanya jarum rahasia cuma dapat dipakai
dalam jarak kira-kira tiga tombak. Sekarang jarak itu dua lipat
lebih jauh. Tak sembarang orang dapat menyentilkan jarum
sejarak itu. Maka itu berbahayalah Tiong Bouw, yang lagi
melayani dua pegawai orang. Mana sanggup dia melayani tiga
musuh secara berbareng itu" Oleh karena itu ia lantas
berludah sambil mencaci: "Tiga orang menghina seorang
pengemis tua, sungguh tak punya muka!" Berbareng dengan
itu, dari mulutnya melesat sebuah sinar mengkilap, hingga
sinar pihak sana itu lenyap. Sebab jarum Bweehoa ciam itu
terhajar jarum liehay si Pengemis Edan...
Tiong Bouw juga sudah bergerak gesit dan lincah. Ia tidak
berkelit atau menangkis, ia hanya menarik tubuh orang yang
dicekal kakinya, untuk menolak ke arah si penyerang. Ia
menolak di saat yang tepat, maka orang itu menyambar
lengan kawannya tanpa dia sempat membatalkan
serangannya itu.
Bentrokan terjadi tanpa dapat dicegah. Orang yang tadi
menendang itu menjerit kesakitan, tubuhnya roboh bersama
kawannya yang menyerang dengan tangan itu, tangan siapa
menangkap tepat lengan kawan ini hingga dia kesakitan. Ia
tidak dapat mempertahankan diri, keduanya roboh bersama,
saling tumpuk! Si hartawan terkejut, lantas dia menegur dengan
pertanyaan: "Sahabat dari golongan mana itu" Marilah maju
tuan!..." Cuma sebegitu saja dia bisa mengasih dengar
suaranya, atau dia berhenti dengan tiba-tiba dengan
gelagapan! Di luar tahunya, tanpa dia berdaya, segumpal
lumpur masuk ke dalam mulurnya yang lagi dipentang dipakai
mencaci itu! Berbareng dengan itu telinganya juga
mendengar: "Jikalau kau menghina pula pengemis tua itu,
akan aku jejalkan kau dengan tiga kati lumpur solokan yang
bau! Kau bangsa hina yang sangat rendah, kalau kau mau
menempur aku, kau mesti belajar lagi sepuluh tahun!"
Hartawan itu bingung, telinganya mendengar, matanya tak
melihat apa-apa. Untuk mementang ba-cot, iapun tidak bisa,
sebab mulutnya tersumpel, hingga dia mesti repot dulu
membuang lumpur itu. Cuma hatinya yang panas seperti mau
meledak! Ek Tiong Bouw lantas menginsyafi bahwa ia dibantu
seorang yang liehay, ia cuma tidak melihat orangnya. Tidak
bisa lain, dia memberi hormat ke langit untuk menghaturkan
terima kasih. Ia kata: "Sahabat yang baik, tak usahlah kau
bergusar! Aku si pengemis tua, sudah biasa aku menerima
hinaan!-Ah, tuan, jikalau kau tidak mengijinkan aku mencari
tuma disini, baiklah, nanti aku menyingkir sedikit lebih jauh!
Orangmu itu menghajar orangmu sendiri, urusan mereka tidak
sangkut pautnya dengan aku! Tuan-tuan bertiga, maafkan
aku, maaf"
Sembari berkata itu, ia berlalu dengan tongkatnya yang
senantiasa berbunyi berketrokan di batu jalanan. Sampai di
lain pojok, dia duduk numprah pula, untuk mulai lagi mencari
tuma pada bajunya, terus dia membawa sikapnya si orang
malas... Hartawan itu tidak berdaya. Ia telah buang lumpur di
mulutnya, yang ia bikin bersih. Ia tidak berani berlagak lagi.
Tapi ia mendongkol, maka itu ia menghampirkan dua
orangnya, untuk masing-masing dipersen satu kali gaplokan,
habis mana dia ngeloyor pergi. Masih dia mendumal tetapi tak
berani dia memandang sekalipun kepada Ek Tiong Bouw.
Kim Sie Ie menyaksikan semua itu, puas hatinya. Kata ia di
dalam hati: "Sayang aku mempunyai urusan jikalau tidak,
tentulah akan aku cari tahu tentang tiga manusia galak ini!
Mereka beruntung sebab mereka cuma menderita sedikit!"
Sampai di jalan besar kota Siangyang, Sie Ie melihat dua
orang pengemis lagi mendatangi dari arah depannya. Pikirnya:
"Mengerti aku sekarang kenapa saban-saban bertemu bangsa
pengemis. Ketua mereka tiba, sebagai anggauta, mereka
tentu ingin menjumpai ketua mereka itu..."
Selagi sang malam mulai tiba, jalan besar menjadi ramai
dengan orang-orang yang berlalu lintas. Tapi Sie Ie, yang
tertarik hatinya, terus memperhatikan kedua pengemis itu.
Maka itu ia mendapat lihat tempo ada seorang lewat cepat di
sampingnya kedua pengemis itu, orang itu seperti membentur
tubuh mereka. Si pengemis sendiri tak merasa atau curiga
apa-apa, keduanya berjalan terus dengan tetap dan tenang...
Hanya sekelebatan, Sie Ie lantas ingat siapa orang itu, yang
tadinya ia rasa kenal. Dialah Kie Siauw Hong. Ia jadi heran.
"Kenapa Kie Siauw Hong berada disini" Kedua pengemis itu
membawa barang apa yang menarik perhatiannya raja copet
ini hingga dia memperlihatkan kepandaian setan tangantangannya
itu?" Kie Siauw Hong sudah lantas bercampuran di antara orang
banyak. Sie Ie lantas menyusul raja copet itu. Karena orang
berdesakan, terpaksa ia menggunai tenaganya mencoba
membuka jalan, tetapi ia berbuat demikian rupa hingga tak
kentara dialah yang mendesak mereka itu. Dengan cepat ia
telah mendekati Siauw Hong, ia menyambar lengan orang
seraya kata dengan perlahan: "Sahabat, kau ikut aku!"
Sebagai muridnya Beng Sin Thong, Kie Siauw Hong sudah
liehay sekali, dia masuk hitungan orang Kangouw kelas satu,
akan tetapi dicekal Kim Sie Ie, dia merasakan tenaganya
lenyap hingga dia tak dapat meronta. Dia kaget sekali.
Terpaksa dia diam saja ditarik, untuk diajak pergi.
Beberapa orang heran melihat kejadian itu, akan tetapi
mereka menyangka itulah dua sahabat, mereka tidak curiga
apa-apa. Yang membuat mereka heran ialah ketika tanpa
sebab tubuh mereka tergeser ke samping, guna memberi jalan
kepada dua orang itu...
Sie le membawa Siauw Hong ke pinggiran, ia berbisik di
telinga orang: "Lekas kau keluarkan barang yang kau copet
dari dua pengemis tadi!" Ia berbisik tetapi suaranya itu
berpengaruh. Kie Siauw Hong mengawasi orang. Dia bermata sangat
tajam, ingatannya juga kuat. Tak percuma dia menjadi si
Malaikat Pencuri. Segera dia mengenali orang ini, orang yang
di Pakkhia pernah bertempur dengan gurunya. Dia lantas
menganggap dirinya lagi lacur... Kata dia dingin: "Hitunghitung
aku bertemu dengan pencopet leluhurku... Baiklah,
akan aku serahkan padamu... Tolong kau kendorkan dulu
cekalanmu..."
Kim Sie Ie menurut.
Siauw Hong merogoh keluar satu bungkusan. Sie le
sambuti itu. Itulah sebuah kotak kecil persegi empat.
"Cuma ini?" ia tanya. "Disini suka aku memberi muka
padamu! Jikalau kau perdayakan aku, kau nanti dapat
bagianmu!"
Siauw Hong kata, agak terpaksa: "Kau liehay tetapi kaulah
orang baru. Adalah aturan kaum kami, jikalau kami
menghadapi lawan tukang hitam makan hitam yang terlebih
liehay, apa juga yang dia minta, kami harus persembahkan
dengan kedua tangan, tak ada aturannya untuk mendustakan
atau mengelabui."
Sie Ie banyak pendengarannya dan luas pengetahuannya,
ia memang pernah dengar aturan semacam itu dari kawanan
panca longok, maka itu ia mau percaya keterangan Siauw
Hong ini. Kalau terjadi demikian, pencopet yang mati daya itu
harus menyerah atau kalau dia mau menuntut balas, dia mesti
lakukan itu di lain ketika.
Maka Tokciu Hongkay masuki benda itu ke dalam sakunya.
"Tapi tunggu dulu," ia kata,. "Aku masih hendak
menanyakan kau."
Kie Siauw Hong dapat menduga apa yang orang bakal
tanyakan, mendadak ia melejit berlompat minggir, untuk terus
lompat lebih jauh naik ke atas genteng!
Sie Ie terkejut, ia menyambar, sayang ia terlambat.
Di atas genteng itu, Siauw Hong lantas berteriak-teriak:
"Copet! Copet! Tangkap! Tangkap!"
Jalan besar lagi ramai, teriakan itu lantas menarik perhatian
umum. Orangpun berteriak-teriak: "Copet! Copet! Mana
copet" Itu dia! Itu dia!"
Justeru orang membuat banyak berisik itu, Siauw Hong
menghilang. Sie Ie tidak mau menarik perhatian orang banyak, ia tidak
susul Siauw Hong, hanya diam-diam ia menyingkir lekas.
Sebenarnya ia niat menanya si pencopet dimana adanya Beng
Sin Thong, karena orang kabur, ia mesti batalkan itu. Ia cuma
pikir: "Siauw Hong datang kemari, dia tentu lagi dititahkan
gurunya, guna menyelidiki Cie Hoa. Rupanya hantu itu dapat
lolos dari tangan Tong Siauw Lan."
Lantas si Pengemis Edan mencari sebuah pondokan yang
rada sepi, untuk menyewa sebuah kamar. Disitu ia membuka
kotak dari Siauw Hong, yang ada sebuah kotak kartu nama.
Itulah kartu nama Ek Tiong Bouw untuk Hansie, janda Kok
Ceng Peng atau ibu pungut dari Cie Hoa.
"Baik juga aku mendapatkan kartu nama ini," pikir Sie Ie.
"Kaum pengemis paling pandai mencari kabar, telinga mereka
liehay sekali. Jikalau Hansie tidak ada disini, tidak nanti Ek
Tiong Bouw datang kemari untuk mencari dia. Dari sini
teranglah budak perempuan itu sudah mendustai aku. Pastilah
selainnya Hansie tak pernah meninggalkan rumahnya, Thian
Ho dan Lim Seng juga tentu masih ada di rumahnya itu. Inilah
urusan yang membikin Ek Tiong Bouw datang kemari..."
Masih ada satu hal, yang Sie Ie tak dapat menerka. Itulah
keterangan palsu si budak mendusta menuruti pesan nyonya
majikannya, tak mungkin dia membohong karena bisanya
sendiri. Kalau begitu perlu apa Hansie seperti
menyembunyikan diri" Mustahil nyonya itu tahu ia bakal
datang" Atau ada kemungkinan lainnya, yaitu Cie Hu yang
memberitahukan ibu pungutnya itu bahwa ia belum mati.
Mungkinkah Cie Hoa tak ingin bertemu dengannya" Rupanya,
meski Cie Hoa telah lenyap, Hansie tak ingin ia menjenguk
anak pungutnya itu.
Pikir punya pikir, pikiran Sie Ie menjadi kacau. Tak dapat ia
pemecahannya. Maka ia mengambil putusan: "Tidak perduli
bagaimana malam ini aku mesti pergi menyelidiki ke rumah
Kok Ceng Peng!"
Ketika dulu hari itu Sie Ie berada di kuil Hianbiauw Koan di
Binsan, disana ia telah bertemu dengan Ku Leng Cu dan Tie
Too An dan telah mempermainkan mereka itu, ia ingat topeng
itu dan ingin pakai buat pergi ke rumah Hansie, supaya orang
tak mengenalinya. Begitulah ia merogoh ke sakunya. Tiba-tiba
ia terperanjat. Topengnya itu tinggal satu! Inilah heran,
hingga ia melengak.
"Ah, aku tahu!" pikirnya kemudian, tertawa. "Pasti tadi,
selagi aku memaksa Kie Siauw Hong, diapun mencopet aku!
Syukur dia cuma dapat mengambil satu lembar!"
Lantas Sie Ie menantikan sang waktu. Kira-kira jam dua, ia
merapikan pakaiannya, terutama ia mengenakan topeng
kulitnya. Secara diam-diam ia berlalu dari hotel. Tanpa
setengah jam tempo, sampailah ia sudah di rumah Cie Hoa. Ia
berlaku waspada. Tepat ia menghampirkan tembok
pekarangan, ia melihat dua bayangan orang berkelebat di
pojok sebelah utara.
"Hebat ilmu ringan tubuh mereka!" ia memuji. "Lebih-lebih
yang di depan itu, dia tak mengasih dengar suara sama sekali.
Bicara dari halnya ilmu ringan tubuh saja, Beng Sin Thong
masih kalah!"
Sie Ie menyembunyikan diri antara daun-daun lebat, ia
memasang mata. Segera ia kenali orang yang di sebelah
belakang itu justeru si hartawan gemuk yang dipermainkan Ek
Tiong Bouw. Karena ini, ia terus memperhatikan orang yang
lainnya, yang wajahnya kering mirip wajah hantu. Ia tak
mengawasi lama ketika ia tertawa di dalam hatinya dan pikir:
"Kiranya dia Kie Siauw Hong! Pantas dia mencopet topengku,
kalau begitu, dia mau menyamar jadi hantu untuk menakutnakuti
Nyonya Kok!"
Tengah Sie Ie berpikir, ia melihat munculnya dua orang
lain. Mereka itu rendah ilmu ringan tubuhnya, sebab selain
terdengar suara anginnya juga suara napasnya. Untuk
berlompat turun, merekapun mesti dihantui Siauw Hong. Ia
lantas mengenali, merekalah dua kawannya si hartawan
gemuk. Siauw Hong memasang mata kelilingan, lalu ia mengangkat
tangan mengisyaratkan bahwa disitu tidak ada orang. Raja
pencopet ini liehay sekali, dia dapat dengar andaikata orang
bernapas. Karena itu, Sie Ie tak berkutik dan tak bernapas
juga. Siauw Hong masih menunjuk ke rumah di tengah, baru ia
pergi seorang diri ke rumah besar.
Sie Ie mengerti isyarat tangan itu. Itulah berarti: "Kamu
pergi melihat si nyonya tua, aku pergi mencari orang." Karena
itu, ia lantas memikir untuk menguntit si raja pencopet. Atau
mendadak ia pikir: "Ah, lebih baik aku tengok dulu si nyonya


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tua. Si gemuk ini lebih liehay daripada Kie Siauw Hong, ada
kemungkinan Hansie tak dapat melawan dia. Biar bagaimana,
Siauw Hong bakal berkumpul lagi bersama mereka ini dari itu,
sebentar dapat aku cari dia. Buat sekarang, tak apa dia
berhasil mencuri barang-barangnya keluarga Kok..."
Si gemuk sudah lantas berlalu bersama dua kawannya itu.
Mereka naik ke wuwungan. Sie Ie mengikuti seraya
memasang matanya.
Dari dalam rumah itu molos cahaya api.
Si gemuk gesit dan lincah. Dia menggantung kakinya pada
payon, dengan begitu dia dapat mengintai ke dalam rumah.
Dua kawannya sebaliknya mengintai dari atas genteng.
Sie Ie merayap ke sisi mereka itu. Ia menyingkap genteng,
untuk mengintai ke dalam. Dua orang itu tidak mendengar
apa-apa. Sejak tadi Sie Ie sudah mendengar suara orang main catur
di dalam rumah itu, dengan mengintai, sekarang ia melihat
orangnya. Hanya sebelum itu ia mentertawa-kan Hansie,
katanya dalam hati: "Hansie gagah, kenapa dia tak tahu ada
dua manusia dogol lagi mengintainya" Bagaimana dia dapat
berhati lega main catur terus?" Kapan ia telah melihatnya, ia
sebaliknya menjadi terperanjat, ya, kaget sekali!
Kawan Hansie bermain catur itu justeru Phang Lim, si
nyonya gagah! Inilah sangat di luar dugaan Tokciu Hongkay.
Ia sampai men-jublak dan mencoba menenangkan hatinya.
Kemudian ia kata dalam hatinya itu: "Pantas Hansie tidak
bersiap sedia, kiranya ada Phang Lim disini!"
"Enci Han, tindakan kau kali ini sangat membahayakan!"
terdengar Phang Lim kata sambil tertawa. "Tak ada jalan
bagiku untuk menolong diri kecuali aku mesti mengadu biji!
Kau makan aku, akan aku membalas makan kau!"
"Mana ada bijiku yang dapat kau makan?" tanya Hansie.
"Sabar, sabar!" kata Phang Lim. "Akan aku cari dulu! Nah,
sekarang aku berhasil mendapatkannya! Kau lihat, akan aku
menghajarnya!"
Tangan Phang Lim memegang biji catur, berbareng dengan
kata "hajar" itu, ia mengayun tangannya itu ke atas.
Dalam hal ilmu "Huihoa Tek-yap" atau "Menerbangkan
bunga, memetik daun", Phang Lim liehay sekali, maka itu,
kalau dengan bunga atau daun ia dapat menimpuk, tak heran
dengan menggunai biji catur, timpukannya menjadi liehay luar
biasa. Demikian dengan satu suara nyaring, dua biji catur
melesat ke atas, mengenai dua orang yang lagi mengintai itu,
hingga keduanya jatuh terbanting di saat itu juga.
Si gemuk kaget, ia menjadi gusar, ia lantas lompat turun,
masuk ke dalam rumah. Satu biji catur menyambut ia,
mengenai pahanya, tetapi ia tidak roboh, bahkan ia jadi
semakin gusar. "Perempuan kejam!" dia mendamprat. "Akan aku adu
jiwaku dengan kau!"
Si gemuk ini menggunai ikat pinggang yang merupakan
rantai emas putih, dengan itu ia terus menyerang Phang Lim.
Itulah senjata luar biasa, sebab ikat pinggang itu menjadi juga
pedang lunak. Phang Lim tertawa apabila ia sudah melihat tegas orang
itu. "Aku sangka siapa, tak tahunya Ok Siangkee Siang Ho!"
katanya. "Kali ini kau bakal berdagang rugi!"
Sembari berkata begitu, si nyonya lantas meloloskan ikat
pinggangnya sendiri, untuk mendahului menyerang, sembari
menyerang, ia tertawa pula dan kata: "Ikat pinggang sutera
ditukar dengan ikat pinggang emas, itulah keuntungan berikut
bunganya yang setimpal!"
Memang si gemuk itu bernama Siang Ho dan gelarannya
Ok Siang-kee, si Saudagar Jahat. "Siang" atau "siangkee"
berarti "saudagar", dan she-nya itu justeru she Siang dari
"siang = saudagar". Di dalam dunia Kangouw, dia muncul
sebagai hartawan, karena dia jahat, orang berikan gelaran
"Saudagar" dengan ditambahkan kata "Ok = jahat" itu. Dua
orang lainnya itu ialah pengikutnya. Dia rupanya tak kenal si
nyonya liehay, siapa sebaliknya tahu dia siapa.
Segera juga terlihat, meskipun Siang Ho bertenaga besar
dan dia berkelahi dalam kemurkaan besar, dia lantas tak
berdaya. Ikat pinggangnya itu tajam dan liehay tetapi dia
terkekang ikat pinggangnya Phang Lim. Dengan lantas dia
terdesak hingga cuma dapat membela diri saja.
Sie le tidak ingin dirinya terlihat Phang Lim, maka itu,
melihat si nyonya menang di atas angin, ia pikir: "Di dalam
tempo sepuluh jurus, Phang Lim tentu bakal dapat membikin
tunduk si gemuk ini, maka itu baiklah sekarang aku pergi
melihat Kie Siauw Hong, untuk mencari tahu dia sebenarnya
mau cari apa." Ia berpikir demikian lantas pergi menyingkir,
mengambil arah yang diambil si raja pencopet tadi.
Sampai di rumah besar, Sie Ie melihat pintu sudah
terpentang, begitupun pintu-pintu kamar. Hampir di setiap
pintu ada berdiri seorang budak perempuan dengan tubuh tak
berkutik dan matanya guram, mereka semua mirip patung
hidup. Tak salah lagi, merekalah korban-korban totokannya
Siauw Hong. "Benar-benar Siauw Hong penjahat liehay," pikir Sie Ie.
"Inilah akal yang bagus sekali! Tentu dia memikir, kalau
Hansie dan Phang Lim datang kemari, mereka tentu sekali
repot menyadarkan dulu sekalian budak ini, dia sendiri jadi
mendapat tempo untuk bekerja. "
Karena memikir demikian serta tahu siapa yang menotok
itu sedang totokan bukan totokan maut, Sie Ie tidak mau
menolongi budak-budak itu, ia hanya menuju ke dalam, untuk
mencari si pencuri. Dengan lekas ia mendengar suara Siauw
Hong di dalam sebuah kamar: "Sungguh sial! Disini aku tidak
menemui sumoay hanya ini dua setan penyakitan!"
Heran juga Sie Ie, hingga ia memikir: "Dia menyebut
sumoay, tentu dia maksudkan Cie Hoa. Inilah aneh. Beng Sin
Thong toh sudah mengirim Hang Hong dan CekHo kemari.
Mustahil dia belum mendengar hal lenyapnya Cie Hoa itu"
Kenapa suaranya Siauw Hong ini menunjuk Cie Hoa seperti
juga berada di rumahnya ini?"
Di dalam kamar itu ada dua bocah pembaringan. Di kiri
rebah Thia Ho, di kanan Lim Seng. Seorang budak perempuan
lagi berdiri mematung. Dialah budak yang tadi membukai
pintu dan mendustai Sie Ie.
Siauw Hong melihat ke sekitar kamar, dia masih mengoceh
seorang diri: "Masih mending juga, aku tidak dapat orang, aku
dapat barang. Ini artinya aku pulang tidak dengan tangan
kosong!" Dia terus meraba-raba tubuhnya si budak
perempuan. Dia menarik sehelai sapu tangan untuk dibeber,
hingga dia mendapat cium bau yang harum.
"Sungguh sedap!" kata dia, girang. "Sungguh harum!"
Budak perempuan itu ketakutan, tubuhnya menggigil.
Inilah tak heran, sebab Siauw Hong memakai topeng yang
romannya bengis. Budak itu pun malu, mukanya menjadi
merah. "Pantas juga kau menderita!" kata Sie Ie dalam hati. "Siapa
suruh tadi kau menjual aku!"
Mendadak Siauw Hong berpaling. Karena Sie Ie berpikir, dia
mendapat dengar suara napas yang perlahan, hingga dia
menjadi curiga.
"Siapa?" tanya si raja pencuri. Atau dia lantas berdiam.
Sie Ie sudah berlompat masuk pesat bagaikan kilat dan
tangannya menyambar membikin raja pencopet itu mati
kutunya. "Bagus betul!" kata Tokciu Hongkay. "Kau curi barangku,
lalu kau datang kemari mempermainkan budak orang! Biarlah
aku pun membuat kau merasai pahit getir!"
Sie Ie menotok, habis mana ia meloloskan topeng orang,
kemudian ia menghampirkan Thia Ho, mulut siapa mengasih
dengar suara ah-ah-uh-uh sedang matanya sayu. Demikian
juga keadaannya Lim Seng. Keduanya nampak tolol.
Habis memeriksa, Sie Ie terkejut. Dua orang itu ditotok
dengan ilmu totok yang ia tidak kenal, hingga tak sanggup ia
menotok bebas, untuk menolongi. Pasti totokan itu berbahaya,
sebab setelah berjalan lebih daripada sepuluh hari, akibatnya
dapat merusak tenaga dalam. Hanya aneh, nadi mereka tidak
memberikan tanda-tanda yang luar biasa...
"Mungkinkah ini dia ilmu totok kaum Agama Merah dari
Tibet?" pikir Sie Ie kemudian. Di dalam kitabnya Kiauw Pak
Beng ada termuat catatan pelbagai macam ilmu totok, cara
menotoknya, cara menolongnya, dan gejala-gejalanya siapa
terkena pelbagai totokan itu, hanya tak jelas adalah ilmu totok
Agama Merah itu, yang termasuk ilmu Biteong. Rupanya
Kiauw Pak Beng sendiri belum berhasil memahamkan cara
pertolongannya. Gejala yang nampak pada dua orang ini ada
sedikit miripnya.
"Kalau benar inilah totokan ilmu Biteong, ini pun aneh," Sie
Ie berpikir lebih jauh. "Ahli Biteong biasa tak menghiraukan
urusan di luar kalangannya sedang Thia Ho dan Lim Seng ini
bukannya orang-orang ternama..."
Tengah berpikir begitu, Sie le mendengar suara apa-apa
dari arah luar. Ia terkejut. Karena tak keburu menyingkir, ia
lantas lompat untuk menyembunyikan diri di belakang
kelambu. Yang datang itu Phang Lim bersama Hansie. Begitu melihat
Siauw Hong, yang ia kenali, Phang Lim mendamprat: "Aku kira
siapa, tak tahunya kau, bangsat cilik!"
Phang Lim ingat baik sekali sepak terjang Siauw Hong
ketika nyonya itu dan puterinya tahun lalu berkunjung ke
istana es. Siauw Hong datang sebagai pesuruh Ben Sin Thong
membawa surat menantang Tong Keng Thian dan isterinya
datang ke Binsan, lalu sambil lalu di depan mata si nyonya
sendiri, dia mencopet tusuk konde kemala kepunyaan Lie Kim
Bwee. Maka itu selainnya mendamprat, nyonya ini pun
menggaplok. Kie Siauw Hong berdiam saja. Totokannya Sie Ie membikin
dia tak dapat berkutik. Hingga dia melainkan menyesalkan
dirinya yang apes.
Phang Lim heran mendapatkan orang digaplok bengap
tetapi diam terus. Segera ia mengerti bahwa orang tengah
tertotok. Tentunya saja ia menjadi terkejut, maka lantas ia
melihat kelilingnya.
Sie Ie menahan napas. Saban saat ia dapat dipergoki.
Nyonya itu pasti curiga di dalam kamar itu ada orang lain lagi.
Tidak ada lain jalan daripada menotok bebas pada Siauw Hong
untuk mengorek pengakuannya. Tapi ia menemui kesulitan,
yang membuatnya bertambah heran Siauw Hong tak dapat
ditotok bebas. Totokan Sie Ie totokan istimewa dari Tokliong
Cuncia, tak dapat dipunahkan.
Phang Lim mengerti menotok bebas menurut ilmu Biteong
tetapi ilmu itu ia tidak berani sembarang gunai. Cara itu dapat
mengakibatkan orang bercelaka. Dulu pun di Binsan, ketika
Cie Hoa tertotok ayahnya, Beng Sin Thong, Phang Lim tidak
berani lancang menolong membebaskannya.
Phang Lim mengerutkan alis setelah beberapa kali
percobaannya gagal, ia jadi mendongkol, maka dengan sengit
ia kata pada si raja pencopet: "Baiklah! Kau cuma satu pencuri
cilik, tak ada halangannya andaikata kau menjadi bercacad!
Aku tidak menghendaki jiwamu, aku melainkan mau membikin
kau tidak dapat mencuri lagi!"
Sie Ie terkejut. Karena habis daya, nyonya itu mau
menotok celaka pada Kie Siauw Hong. Itulah berbahaya
untuknya. Kalau si pencopet bebas, dia akan membuka
rahasia bahwa ia lagi bersembunyi di belakang kelambu. Ia
juga merasa sayang bagi orang she Kie itu, yang tak jahat
seberapa. Bocah itu berbakat baik, kalau dia dapat pendidikan
benar di belakang hari dia akan mendapat kemajuan. Aneh
sifat Tokciu Hongkay, ia anggap dunia Kangouw ramai dengan
adanya si raja copet ini...
Hansie sementara itu sudah lantas menotok bebas pada
budaknya. Budak itu, dengan tubuh menggigil, kata sukar:
"Dalam kamar ini... masih... masih... masih ada seorang lain
lagi..." Phang Lim lagi mau menggeraki tangannya menotok Siauw
Hong ketika ia mendengar kata-kata si budak. Kembali ia
terkejut. Tepat itu waktu, Sie Ie berlompat keluar dari tempat
sembunyinya, dengan kesehatan luar biasa ia menyentil
telapakan tangan Phang Lim, lalu sambil lari, terus ia menotok
bebas pada Siauw Hong, di kuping siapa ia berbisik dengan
ilmu Thiantun Toan-im: "Bangsat cilik, lekas kabur!"
Phang Lim terkejut, ia merasakan tangannya kaku. Justeru
itu ia melihat sesosok tubuh melesat di sampingnya. Ia masih
sempat melihat muka orang, yang bengis seperti muka hantu,
hingga ia kaget. Hanya sekejab itu, orang sudah lantas lari
keluar kamar, disusul Siauw Hong yang gesit.
Si raja copet, begitu dia merdeka, begitu dia lompat lari,
menyusul Sie Ie, yang kisikannya dia dengar.
Tak dapat Phang Lim menyusul. Dua orang itu memiliki
ilmu ringan tubuh yang luar biasa.
Lega hati Sie Ie mendapatkan Phang Lim tidak mengejar
padanya. Ia pun tidak mau mengejar Kie Siauw Hong. Ia
terbenam dalam keheranan. Sesudah mengasah otak sekian
lama, diam-diam ia lari balik. Ia mau mengintai Phang Lim dan
Hansie, untuk melihat apa yang dilakukan kedua nyonya itu,
atau mencuri dengar pembicaraan mereka.
Phang Lim heran bukan main, pengalamannya ini luar biasa
sekali, benar-benar di luar dugaan. Segera ia memperoleh
keterangan dari mulutnya si budak bahwa orang yang
membekuk Kie Siauw Hong ialah orang yang bersembunyi di
belakang pembaringan itu,- ialah orang yang menolong Siauw
Hong kabur lolos! Ia heran hingga ia menjadi bingung.
Kim Sie Ie terus mengintai nyonya liehay itu.
Phang Lim jalan mundar-mandir.
"Mungkinkah dia?" katanya seorang diri. "Mungkinkah
benar dia masih hidup?"
Nyonya ini sangat cerdas, pelbagai peristiwa membuatnya
berpikir banyak. Lantas ia ingat Kim Sie Ie, tak perduli ia tidak
melihat wajah orang. Menempur Can Bit Hoatsu, ia menang,
tapi kemenangannya itu mendatangkan kecurigaannya. Kim
Sie Ie membantu ia secara diam-diam, dari kalah ia menjadi
menang. Hanya tak pernah ada dalam benak pikirannya
dugaan bahwa di detik itu Kim Sie Ie justeru berada di
dekatnya, lagi mengintai setiap gerik-geriknya!


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hansie sudah lantas menyingkap kelambu untuk melihat
Thia Ho dan Lim Seng. Ia menarik napas lega.
"Syukur tidak apa-apa!" katanya. "Kejadian barusan
sungguh membuat aku kaget sekali!"
Nyonya ini menguatirkan sangat keselamatannya dua orang
itu, ia senang mendapatkan mereka tak kurang suatu apa.
"Kau kaget, enci Han!" berkata Phang Lim tertawa. "Mereka
itu tak kaget sama sekali. Selama mereka belum ditotok sadar,
walaupun langit ambruk dan bumi gempa, tak nanti mereka
merasakan sesuatu."
"Menurut dugaan kau," berkata Hansie, "apakah
maksudnya orang aneh barusan itu" Mungkinkah dia orang
yang menyamar yang dikirim Co Kim Jie kemari" Bukankah dia
datang kemari untuk melihat rahasia kita" Kalau benar begitu,
sungguh tak enak rasanya..."
"Tak mungkin!" sahut Phang Lim tertawa. "Orang-orangnya
Binsan Pay terhitung Co Kim Jie sendiri tidak memiliki
kepandaian seperti orang yang barusan. Lagi-nya, taruh kata
mereka curiga, mereka harus menggunai aturan kaum
Kangouw untuk membuat kunjungan terhadapmu, tak dapat
dia berbuat sembarangan seperti aku."
Kim Sie Ie heran. Ia mendengar Hansie menyebut
"rahasia", atau sekarang Phang Lim mengatakan dia datang
secara sembarangan. Secara sembarangan apakah itu"
Bagaimana nyonya jenaka ini mengacau atau bergurau"
Justeru itu seorang budak perempuan muncul. Dia
membawa laporan, katanya: "Pangcu Ek Tiong Bouw dari
Kaypang Selatan datang berkunjung, dia mohon bertemu
dengan nyonya. Kartu namanya sudah dihaturkan."
"Aku mengerti," kata Sie Ie dalam hati. "Kartu nama Ek
Tiong Bouw sudah dicopet Kie Siauw Hong, baru sekarang dia
tiba, rupanya dia mesti menyiapkan dulu kartu yang baru..."
Hansie kata: "Baru kita bicara tentang Co Coh, Co Coh telah
datang! Enci Phang, kau menerka tepat, benar-benar Co Kim
Jie telah mengutus adik seperguruannya datang kemari
memohon bertemu denganku, bahkan dia tak dapat bersabar
lagi, dia tak dapat menunggu, malam-malam dia datang juga!
Pastilah itu untuk urusan sutee dan sumoay-nya. Aku kuatir
tak dapat aku mendustai dia..."
"Jangan kuatir," kata Phang Lim. "Buat sementara, tak mau
aku menemui dia. Apabila terpaksa, kau boleh tumplakkan
segala apa padaku. Bilang bahwa akulah yang menotok dua
adik seperguruannya itu. Apabila dia tidak mau mengerti,
suruh dia sendiri bicara denganku. Aku percaya Ek Tiong
Bouw dan Co Kim Jie tidak akan berani berbuat apa-apa
terhadapku."
Mendengar itu, segala apa jelas sudah bagi Kim Sie Ie.
Pembicaraan kedua nyonya itu telah membuka tabir, yang
tadinya masih menjadi rahasia. Sambil tertawa dalam hatinya,
Sie Ie kata dalam hati kecilnya: "Aku tolol sekali! Aku tak
menyangka yang Phang Lim juga mengerti ilmu totok Biteong
dari Agama Merah."
Sebenarnya bukan Sie le yang tolol, ia hanya tidak
menduga sama sekali Phang Lim pandai ilmu totok lain kaum
itu, bahwa dialah yang menotok Thia Ho dan Lim Seng.
Sekarang masih ada satu teka-teki bagi Sie Ie. Ialah:
Kenapa Phang Lim menotok kedua murid Binsan Pay itu dan
kenapa ditotok-nya dengan itu ilmu totok asing" Benar nyonya
itu jenaka dan gemar bergurau akan tetapi adalah di luar
dugaan sama sekali dia bergurau begini rupa. Kenapa"
Phang Lim kembali memesan Hansie: "Jikalau Ek Tiong
Bouw tidak bercuriga, apabila tidak sangat terpaksa, jangan
kau sebut-sebut aku!"
"Aku tahu!" Hansie menjawab, tertawa.
Maka Phang Lim berdiam terus di dalam. Hansie, sebagai
nyonya rumah lantas bertindak keluar untuk menemui
tetamunya. Sie le sudah lantas mengambil keputusan. Ia hendak
menonton sandiwara apa yang bakal dipertun-juki di
depannya. Katanya di dalam hati: "Lebih baik aku tengok Ek
Tiong Bouw! Dia datang kemari, apa dia mau?" Diam-diam ia
mengikuti nyonya janda Kok Ceng Peng.
Hansie menerima kartu nama, dia menemui Ek Tiong Bouw
di ruang tetamu. Setelah saling menghunjuk hormat, dia
tanya: "Malam-malam Ek Pangcu datang berkunjung, entah
ada pengajaran apakah untuk aku?"
"Ada dua urusan dalam hal mana aku memohon sangat
nyonya suka menghaturkan dan membantu kami," sahut ketua
Partai Pengemis itu. "Karena itu tengah malam ini aku
terpaksa datang juga. Inilah perbuatan yang tidak mengenal
aturan tetapi aku minta sukalah nyonya memaafkannya."
"Pangcu terlalu sungkan!" kata nyonya rumah. "Entah
apakah adanya dua urusan itu?"
Ek Tiong Bouw menjawab cepat. Katanya: "Yang pertamatama
yaitu aku hendak menyampaikan pesan dari Tong Sian
Siangjin, yang meminta aku mencari Phang Liehiap untuk
liehiap lekas berangkat pulang."
Hansie terkejut mendengar Phang Lim diminta pulang oleh
Tong Sian Siangjin.
"Apakah ada terjadi sesuatu lagi mengenai Siauwlim Sie?"
ia tanya. "Ya," menyahut Ek Tiong Bouw. "Beng Sin Thong telah
menantang Tong Siauw Lan ketua Thiansan Pay untuk lain
bulan tanggal lima belas melakukan pertandingan di dalam
kuil Siauwlim Sie. Warta diterima oleh anggauta partai kami di
Pakkhia, yang melaporkannya dengan jalan melepas burung
dara. Beng Sin Thong berani menantang Siauwlim Pay, pasti
dia telah siap sedia, maka itu Tong Sian Siangjin juga ingin
bersiap-siap dengan mendatangkan wakil-wakil pelbagai partai
guna menyambut tantangan itu. Sekarang ini kakak dari
Phang Liehiap, yaitu Liehiap Phang Eng, sudah berada di kuil
Siauwlim Sie dimana ia menantikan liehiap guna membuat
pertemuan."
Mendengar perkataan Tiong Bouw itu, Kim Sie Ie kata
dalam hatinya: "Kalau begitu dalam pertempuran di Pakkhia
itu di antara Tong Siauw Lan dan Beng Sin Thong belum ada
keputusannya. Sekarang ini batas tempo tinggal tujuh belas
hari lagi, tidak heran jikalau Ek Tiong Bouw nampak begini
kesusu. Syukur pihak Kaypang pandai mendapat kabaran dan
bisa mengirim warta cepat dengan perantaraan burung dara,
dengan begitu mereka dapat dengan lekas mengirim
undangan ke pelbagai penjuru..."
Ek Tiong Bouw mengawasi nyonya rumah, hening sejenak,
ia menyambungi: "Kabarnya Phang Liehiap telah datang
kepada nyonya disini, oleh karena itu apa aku boleh mohon
bertemu dengannya?"
Hansie heran. Kata ia dalam hati: "Phang Lim membilang
aku bahwa dia datang kemari tanpa memberitahukan lagi
orang-orang Siauwlim Sie, laginya ia datang sekalian mencari
puterinya, mengapa sekarang Ek Tiong Bouw tahu ia berada
sama aku disini?"
Ek Tiong Bouw datang atas nama Tong Sian Siangjin, tidak
dapat Hansie tidak omong terus terang. Maka ia lantas
menjawab: "Tidak salah, Phang Liehiap ada bersamaku disini.
Harap kau suka menanti sebentar, nanti aku menyuruh
bujangku mengundangnya keluar. Phang Liehiap gemar ramairamai,
kalau ia ketahui urusan ini, besok pasti ia akan turut
kau berangkat ke Siauwlim Sie! Masih ada urusan yang kedua.
Apakah itu" Adakah itu urusan sangat penting?"
"Mengenai urusan yang kedua ini, aku menerima
perintahnya ketua kami," Ek Tiong Bouw menjawab. "Aku
diberi tugas untuk sebisa-bisanya mencari Kok Sumoay serta
untuk minta dia segera berangkat pulang, jikalau dia tidak
lantas pulang sekarang, mungkin dia tidak bakal bertemu pula
ketua kami itu..."
Hansie heran. "Apa artinya perkataanmu ini" Apakah suci kamu belum
tahu Kok Cie Hoa sudah lenyap?"
"Suci kami baru saja pulang dari Pakkhia dimana dia telah
berhasil lolos dari ancaman bahaya maut. Dia mendengar
kabar hal lenyapnya Kok Sumoay, dia menjadi sangat bingung
dan berkuatir, siang dan malam dia mengharap-harapnya adik
seperguruan itu, supaya mereka bisa bertemu satu dengan
lain. Ketua kami kuatir dia tak dapat menanti terlalu lama
lagi!" Suaranya Tiong Bouw menjadi perlahan, tandanya dia
berduka. Romannya pun menjadi lesu.
Hansie heran. "Apakah kesehatan suci kamu itu terganggu?" ia tanya.
"Benar. Suci kami lolos dari bahaya berkat pertolongannya
Tong Tayhiap. Habis itu dia menderita sakit parah. Dia sudah
berusia lanjut, selama di dalam penjara tahanan, dia tersiksa,
lalu sekeluar-nya dari penjara, dia menghadapi urusan yang
besar dan penting ini, pikirannya menjadi pepat, maka itu dia
terus jatuh sakit, sampai dia tak dapat bangun lagi dari
pembaringan."
Tiong Bouw berhenti sebentar, guna menghela napas
melegakan hati.
"Dengan terpenjarakan di kota raja, suci kami jadi
mendapat tahu bahwa partai kami terancam bahaya besar," ia
menambahkan. "Binsan Pay dianggap pemerintah sebagai
musuh besar. Maka itu kami kuatir, umpama kata kami lolos
dari bahaya ancamannya Beng Sin Thong, bahaya selanjutnya
masih belum bebas, bahaya itu masih mengancam terus! Di
dalam partai kami, dalam angkatan ketiga, Kok Sumoay murid
yang menjadi ahli waris dari mendiang Lu Susiok, bekas ketua
kami terdahulu, maka itu walaupun ia anggauta termuda,
pengetahuannya terutama ilmu silatnya, melebihkan semua
saudara-saudara seperguruannya. Begitulah maka suci kami
berniat mengangkat dia menjadi pengganti ketua apabila suci
nanti telah mengundurkan diri. Belum lama ini kedua adik
seperguruan kami, Thia Ho dan Lim Seng, telah diutus dengan
membawa kimpay partai kami, itulah dengan maksud meminta
Kok Sumoay menyambungi menjadi ketua kami..."
Hansie mengerti, ia mengangguk
"Aku mengerti sudah maksud, suci kamu itu," katanya.
"Sayang sekali semenjak Cie Hoa lenyap, sampai sekarang tak
ada kabar ceritanya lagi..."
Aneh Ek Tiong Bouw. Dia tidak menghiraukan apa katanya
nyonya rumah, atau ibu angkat Cie Hoa itu, seorang diri dia
berkata pula: "Suci kami kuatir sekali Kok Sumoay nanti masih
ingat peristiwa baru-baru ini, ialah halnya dia dipecat dan
diusir keluar dari Partai kami. Maka berulang kali suci
mengutarakan penyesalannya terhadap aku, dan ia memesan
sangat agar aku suka memberi penjelasan kepada Kok
Sumoay, supaya Kok Sumoay mendapat tahu dan tak akan
menyimpan kejadian itu di dalam hatinya.-Kok Sumoay, oh,
Kok Sumoay, jikalau kau tidak kembali, pasti suci menganggap
bahwa kau terus menyesalkan ia. Sumoay, aku kuatir sekali,
kalau nanti suci menutup mata, ia bakal tak mati meram...
Suci pun bilang, sekalipun sumoay tak sudi menjadi ketua, ia
tetap minta suka pulang dulu, untuk menemui suci, untuk kita
berdamai, guna berdaya menghalau bencana yang
mengancam dari luar, buat membereskan urusan di dalam.
Partai tak dapat tak ada ketuanya. Co Suci bilang, cita-citanya
Lu Susiok dulu hari ialah menentang kerajaan Ceng untuk
membangun pula kerajaan Beng, ketika Lu Susiok meninggal
dunia, suci yang menggantikan menjadi ketua. Sekarang ini Co
Suci malu dan menyesal sekali, sebagai ketua ia tak dapat
mewujutkan atau melanjuti cita-cita leluhur partai kami.
Karena Kok Sumoay menjadi murid tunggal dari Lu Susiok, Co
Suci menumplak harapannya "kepada kau, sumoay. Co Suci
mengatakan juga, 'Taruh kata Kok Sumoay tetap penasaran
terhadapku, tetapi aku minta sukalah dia memandang kepada
guru kita, dan mengingat juga halnya sekarang partai lagi
menghadapi ancaman bahaya keruntuhan dan kemusnahan,
supaya Kok Sumoay suka menyingkirkan pertentangan pribadi
itu, supaya Kok Sumoay suka pulang, agar kita semua sama
berdaya melindungi partai kita!' Co Suci memesan wanti-wanti
supaya aku dapat menyampaikan pesannya kepada Kok
Sumoay!--Nyonya Han, aku mohon sukalah kau membantu
kami mencari Kok Sumoay, sukalah kau membiarkan dia
menemui aku..."
Hansie belum sempat menjawab ketua Kaypang itu ketika
dari dalam terdengar suara orang menangis sambil berkata:
"Co Suci, aku yang salah, aku yang salah! Sama sekali aku
tidak menyalahkan atau menyesalkan kau, suci!"
Tangisan itu disusul munculnya orang yang menangis
sendiri, yang menyingkap kere. Dan dialah Kok Cie Hoa, si
sumoay, atau adik seperguruan, yang dibuat omongan!
Kim Sie Ie tak terkejut tetapi dia heran dan girang. Dia
sudah lantas mengenali suara orang. Maka tahulah dia yang
Cie Hoa benar-benar bersembunyi di rumahnya itu. Tapi dia
terharu mengawasi nona itu. Saking girang, hampir dia lompat
keluar dari tempatnya sembunyi. Syukur dia masih ingat
malang kepada Hansie dan Ek Tiong Bouw.
Roman Cie Hoa pias dan kucai. Dia seperti orang yang baru
sembuh dari sakit. Maka itu, melihat roman orang perok itu,
Sie Ie menjadi sangat terharu.
Ek Tiong Bouw juga berduka sekali, tetapi dia lantas
berkata: "Kok Sumoay, aku minta sukalah kau melupakan
segala apa yang sudah lewat. Co Suci merasa sangat
menyesal dan berduka. Kau memang telah dibuatnya
penasaran sekali. Co Suci minta aku menghaturkan maafnya
kepadamu. Bukankah barusan kau telah dengar semua
perkataanku?"
Cie Hoa menepas air matanya. Ia mengangguk.
"Co Suci sangat baik hati, aku sangat bersyukur
terhadapnya," katanya, perlahan.
Ketika itu Phang Lim muncul. Ia melihat Cie Hoa menangis,
lantas ia menyangka sebabnya itu pastilah karena si nona
ditegur kakak seperguruannya, yaitu Ek Tiong Bouw, ia lantas
menjadi tidak puas. Dengan roman guram ia kata pada ketua
Kaypang itu: "Pengemis bangkotan, semua-semua disini
akulah yang melakukannya! Aku juga yang menotok Thia Ho
dan Lim Seng! Aku pula yang mengajari Cie Hoa supaya dia
tidak menghiraukan kimpay kamu, supaya dia menentang
perintahnya Co Kim Jie! Semua itu tidak ada sangkut pautnya
dengan Cie Hoa! Jikalau kau hendak menegur, kau tegurlah
aku! Tak dapat aku membiarkan kau menghina dia!"


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Phang Lim datang ke Siangyang untuk kepentingan
puterinya. Ketika Lie Kim Bwee lolos dari bahaya sebelum dia
pulang ke Siauwlim Sie, di tengah jalan dia bertemu dengan
ibunya ini. Sementara itu, Kim Bwee sangat memikirkan Cie
Hoa. Dia menduga Cie Hoa tentu--setelah lenyapnya--pulang
ke Siangyang, ke rumah ibu angkatnya, maka dia mau pergi
ke Siangyang. Kapan Phang Lim mendapat tahu niat puterinya
itu, ia malang di tengah, ia kata biarlah ia yang menggantikan
si anak pergi. Ia kata ia kuatir anak itu nanti bertemu pula
dengan Beng Sin Thong. Itulah berbahaya. Ketika Phang Lim
mau berangkat, ia pesan anaknya akan tak memberitahukan
siapa juga perihal keberangkatannya ke Siangyang itu. Di lain
pihak, Phang Lim telah mendapat dugaan bahwa Kim Sie le
masih hidup. Ia bercuriga sangat. Ia menyangka bahwa Kim
Sie Ie adalah orang yang secara diam-diam membantui ia di
gunung Binsan, bahwa Kim Sie Ie juga yang membawa kabur
Cie Hoa. Karenanya ia menerka, Kim Sie Ie dan Kok Cie Hoa
mestinya telah berada di Siangyang.
Terhadap Kim Sie Ie, Phang Lim mempunyai kesan yang
tak manis. Ia tidak puas melihat sendiri sikap akrab di antara
Sie Ie dengan Seng Lam dan Sie Ie dengan Cie Hoa. Di lain
pihak ia senang sekali mendapat kenyataan pergaulan Kim
Bwee dengan Ciong Tian bertambah rapat, hingga ia percaya
segera bakal datang harinya yang muda-mudi itu bakal
melangsungkan pernikahannya. Di matanya, Ciong Tian jauh
terlebih baik daripada Kim Sie Ie. Maka ia ingin sangat
puterinya menjadi isterinya pemuda she Ciong itu. Sebab ini,
ia sangat berkuatir nanti terbit penghalang untuk perangkapan
jodoh mereka itu. Umpama kata Kim Bwee ketahui Sie Ie
masih hidup atau puterinya itu bertemu dengan Kim Sie Ie di
Siangyang, pasti jodohnya dengan Ciong Tian bisa batal dan
gagal. Bahkan ia tidak berani memikirkan bakal terjadi
peristiwa apa lagi sebagai akibatnya pertemuan itu!
Beginilah ibu ini suka mewakilkan anaknya pergi ke
Siangyang. Ia telah pikir, apabila ia dapat bertemu dengan
Kim Sie Ie, hendak ia menegur atau mencacinya, hendak ia
mengancam agar Sie Ie tidak mengganggu pula puterinya.
Atau kalau ia tidak bertemu Kim Sie le, hanya cuma bertemu
dengan Kok Cie Hoa, ingin ia memberi nasihat kepada nona
itu. Phang Lim bersama kakaknya, Phang Eng, bertiga dengan
Lu Su Nio, terkenal sebagai "Kangouw Sam Liehiap", tiga
wanita gagah perkasa, dan Lu Su Nio pernah kakak, dari itu
mengingat Kok Cie Hoa menjadi murid tunggal dari Lu Su Nio,
ia berhak memberi nasihat pada nona itu, ingin ia membeber
cinta palsunya Sie Ie, supaya nona itu tak terpedayakan
Tokciu Hongkay.
Ketika Phang Lim tiba di Siangyang, ia tidak bertemu Kim
Sie le, ia cuma bertemu dengan Kok Cie Hoa, sebelum mereka
sempat bicara banyak, di hari kedua datanglah Thia Ho dan
Lim Seng, juga Louw Eng Ho dan Pek Eng Kiat, hingga
kesudahannya pikiran Cie Hoa menjadi ruwet sekali.
Karena urusan ayahnya, karena kegagalannya
mendamaikan di Binsan itu, Cie Hoa menjadi tawar hati. Ia
pulang ke Siangyang dengan pikiran sudah tetap akan
merawat saja ibu angkatnya, siapa tahu, sebelum pikirannya
tenang, sekarang datang utusan Co Kim Jie, kakak
seperguruan yang menjadi ketuanya, yang mendesaknya
pulang ke Binsan, atau lebih benar ke Siauwlim Sie, bahkan
Lim Seng dan Thia Ho datang dengan membawa kimpay,
lencana emas itu. Bukan main sukarnya ia melihat kimpay itu,
ia sangat berduka. Thia Ho dan Lim Seng belum menjelaskan
halnya Co Kim Jie berniat mengangkat ia menjadi ketua, ia toh
sudah dapat menerka maksudnya Kim Jie itu. Inilah yang
sangat menyulitkan padanya. Benar ia telah memutuskan
hubungan ayah dan anak dengan Beng Sin Thong, meski
begitu Sin Thong tetap ayahnya, maka kalau ia menjadi ketua
Binsan Pay, terang sudah ia mesti menganggap ayahnya itu
sebagai musuh besar! Mana itu bisa terjadi" Ia boleh tak
menghiraukan urusan ayahnya, umpama ayahnya itu
terbinasakan orang, tak perduli oleh siapa, pantas ayah itu
menerima kebinasaannya, ia boleh tak mem-perdulikan, tetapi
kapan ia sendiri mesti mimpin semua anggauta Binsan Pay
menempur mati hidup ayahnya itu, tak dapat tak tega ia
melakukannya! Hansie tidak mempunyai anak baik laki-laki maupun
perempuan, ia menyintai Cie Hoa seperti anak kandungnya
sendiri, tentu sekali ia mengharapi sangat anak angkat ini
menemani ia seumur hidupnya, tetapi menghadapi urusan
anak angkatnya itu, ia berduka, Cie Hoa menjadi murid Binsan
Pay, sekarang Binsan Pay-yaitu Co Kim Jie-memanggil
anaknya itu dengan menggunakan kimpay, tak dapat ia
mencegah. Untuk kalangan Bulim, atau Rimba persilatan, guru
adalah orang yang paling dihormati, inilah Hansie ketahui baik
maka itu, ia menjadi tak berdaya untuk mencegah
keberangkatan anak angkatnya itu.
Demikian malam itu, Cie Hoa dan Hansie-anak dan ibu ituberdamai
tanpa ada keputusan. Dua-duanya mengerti
keadaan akan tetapi dua-duanya merasa berat dan bersangsi,
tak dapat mereka mengambil keputusan.
Phang Lim mendapat tahu keruwetan pikiran ibu dan anak
angkat itu. Ialah orang yang paling usilan, yang sangat gemar
mencampur tahu urusan lain orang, ia lantas mengajukan
dirinya. Dalam hal itu, ada dua kepentingannya. Kesatu buat
kebaikan Kim Bwee dan kedua guna memecahkan kesulitan
mereka itu. Buat guna anaknya ialah sebab ia tak ingin Kim
Bwee dan Cie Hoa bertemu muka sebelum Kim Bwee menikah
dengan Ciong Tian. Pertemuan di antara kedua nona
memungkinkan Cie Hoa bicara mengenai Sie Ie, hingga Kim
Bwee ketahui Sie Ie masih hidup. Itulah berbahaya. Untuk
menolongi Cie Hoa dan ibunya, ia mempunyai satu daya, yang
luar biasa. Ialah ia menotok Thia Ho dan Lim Seng dan Kok
Cie Hoa dibikin menjadi "lenyap" tidak keruan paran.
Cie Hoa tidak berdaya, ia menerima baik akalnya Phang Lim
itu. Lebih-lebih nyonya ini, setelah memikir matang, sudah
lantas bekerja tanpa memperdulikan apa bakal menjadi
akibatnya. Setelah itu, Phang Lim bekerja terlebih jauh. Ia
menggunai tempo satu malam membujuki Cie Hoa jangan
perdulikan lagi pada Sie Ie.
Dalam hal yang belakangan ini, Phang Lim bekerja
berlebihan. Memang, tanpa bujukan atau nasihatnya, hati Cie
Hoa terhadap Sie Ie sudah tawar. Ketika terjadi peristiwa di
kuil Hianbiauw Koan, dimana Seebun Bok Ya datang
menyerbu, hingga Kim Sie Ie menolongi Cie Hoa, yang dibawa
ke dalam gua, disana Seng Lam telah muncul secara tiba-tiba.
Ketika itu Cie Hoa melihat sendiri, karena Seng Lam, Sie Ie
berhenti mengikuti ia dan Seng Lam telah terjatuh ke dalam
rangkulan Sie Ie. Hanya mengenai ini, Cie Hoa tidak tahu Seng
Lam sudah menggunai siasatnya yang liehay melukai nadinya
sendiri. Tapi kata-katanya Phang Lim menambah dugaan Cie
Hoa bahwa Sie Ie benar-benar tipis cintanya. Saking berduka,
di hari kedua Cie Hoa roboh sakit.
Ketika Ek Tiong Bouw datang, sakitnya Cie Hoa sudah
sembuh banyak, hanya belum sembuh seluruhnya. Cie Hoa
mendengar dari budaknya hal kedatangannya ketua Kaypang,
dengan paksakan diri, diam-diam ia keluar, untuk mendengari
pembicaraan orang. Kesudahannya ia cuma mendengar
separuh saja, ialah pembicaraan yang paling belakang. Ia
terkejut mendengar Co Kim Jie sakit dan keadaannya
berbahaya dan Kim Jie ingin menemui ia sebelum ajalnya tiba.
Begitulah, sambil menangis, ia keluar menemui Tiong Bouw,
suheng itu. "Kok Sumoay," kata Tiong Bouw, "kau tentu telah
mendengar semua perkataanku, maka itu sekarang
bagaimana pikiran kau" Dapatkah kau berangkat besok
bersama-sama aku?"
"Aku akan turut kau, suheng," sahut adik seperguruan itu.
"Akan tetapi ingin aku menjelaskan terlebih dahulu: Aku
sangat bersyukur untuk keeintaannya Co Suci, meski begitu,
tak dapat aku diangkat menjadi ketua. Aku minta hal ini
suheng jelaskan pada Co Suci!"
"Sumoay jangan kuatir!" Tiong Bouw kata bersenyum. "Aku
percaya Co Suci tak akan membuat kau merasa sulit. Tentang
kau menerima atau menolak menjadi ketua, itu baiklah
dibicarakan kemudian."
Baru sekarang Phang Lim mendapat tahu Tiong Bouw
bukan menegur adik seperguruan itu, bahwa dia cuma
menyampaikan titahnya Co Kim Jie, kakak seperguruan atau
ketua mereka itu, guna menyambut Cie Hoa pulang sebagai
calon ketua. Sebaliknya ia merasa kurang senang mendengar
Cie Hoa berjanji akan turut kakak seperguruan itu.
"Kiranya kau berdua sudah bicara sempurna," katanya
tawar. "Kalau begitu aku jadi banyak bicara saja..." Ia berhenti
sejenak, lalu ia kata pada Kok Cie Hoa: "Urusan kau menjadi
ketua partai kamu tak begitu penting, yang penting ialah
kesehatanmu yang belum pulih seluruhnya. Kalau tiba
saatnya, mana bisa kau menempur musuh?"
Cie Hoa melengak.
"Pertempuran apakah?" ia tanya.
"Oh, kau jadinya belum tahu?" Phang Lim tegaskan. "Beng
Sin Thong sudah menjanjikan bahwa pada tanggal lima belas
bulan yang mendatang ini dia bakal datang ke Siauwlim Sie
untuk melakukan pertempuran memutuskan dengan pihak
kita! Sekarang ini Co Suci kamu tengah menantikan di kuil itu,
maka dengan perjalananmu ini, kau bakal tiba tepat pada
waktunya disana."
Cie Hoa kaget, hatinya tergerak, mukanya menjadi pucat.
Ek Tiong Bouw sudah lantas berkata: "Urusan pertempuran
itu diurus oleh Tong Tayhiap sendiri, kita pasti bakal
memperoleh kemenangan! Co Suci lagi sakit, tidak nanti dia
turut bertempur. Umpama kata kau tak suka turut mengambil
bagian, di waktunya pertempuran kau boleh menjauhkan
dirimu. Atau mungkin kita akan tiba terlebih dulu, setelah kau
bertemu dengan suci, kau dapat lantas berangkat lebih dulu
pulang ke Binsan. Too In dan yang lainnya berada disana
melindungi kuburan kakek guru dan gurumu, baik juga apabila
kau membantu mereka itu."
Cie Hoa merasa hatinya sakit. Ia berpegangan pada meja,
baru ia dapat pertahankan dirinya.
Kim Sie Ie dari tempat sembunyinya di atas pohon telah
menyaksikan semua itu, ia sangat terharu untuk Cie Hoa. Di
dalam hati ia mengutuk Phang Lim, yang dikatakan banyak
rewel. Di lain saat, ia menganggap Phang Lim benar. Sebab,
kalau sekarang Cie Hoa tidak mendapat tahu hal itu dan dia
berangkat ke Siauwlim Sie, setibanya disana dia baru tahu,
pasti dia akan mendapat pukulan yang terlebih hebat.
Sekarang ini, setelah ketahui hal itu, Cie Hoa dapat mengambil
putusan: Pergi atau jangan.
Dalam otaknya Cie Hoa berpeta dua pemandangan: Yang
satu yaitu Co Kim Jie lagi rebah di atas pembaringannya
dengan napasnya tinggal satu kali demi satu kali, dengan
mata melek karena suci itu lagi menanti dan mengharap-harap
kedatangannya. Yang lainnya ialah Beng Sin Thong lagi
berlagak dengan kejumawaannya dan semua orang pelbagai
partai lurus tengah mencaci dan mengutuknya. Pemandangan
yang pertama itu membuat ia sangat berduka dan tak tega,
yang lainnya membikin ia merasa sangat berduka dan malu. Ia
menjadi serba salah: Pergi atau jangan"
Ketika itu, tengah Cie Hoa ber-susah hati ia mendengar Ek
Tiong Bouw menyebut nama gurunya, maka seketika juga di
depan matanya berbayang wajahnya guru itu, yang
bersenyum manis terhadapnya. Ia menjadi ingat bahwa
gurunya itu, seumurnya, tak ingat akan dirinya, cuma ingat
urusan partai dan negara. Mengingat gurunya itu, Cie Hoa
menjadi mendapat semangat. Begitulah ia mengangkat
kepalanya dan berkata: "Partai kita lagi menghadapi ancaman
bahaya dan Co Suci lagi sakit, sudah selayaknya aku mesti
turut suheng! Baiklah, sampai disana aku akan dengar kau, Ek
Suheng!" Tiong Bouw mengeluarkan napas dari leganya hati. Ia terus
berpaling kepada Phang Lim, ia mengawasi dengan sikap
tawar. "Buat apa kau mementang matamu?" kata si nyonya,
mendongkol. "Apakah kau hendak menegur aku?"
"Tidak, itulah aku tidak berani," sahut Ek Tiong Bouw, "aku
hanya mohon bertanya, dalam urusan apa kedua saudaraku,
Thia Ho dan Lim Seng, sudah bersalah terhadap liehiap. Aku
mohon keterangan supaya aku mendapat tahu dan dapat aku
menegur mereka itu!"
Di antara Phang Lim dan Binsan Pay ada hubungan yang
erat, tetapi ia telah menotok Thia Ho dan Lim Seng, dua
anggauta penting dari partai itu, itulah suatu pantangan besar.
Maka itu Ek Tiong Bouw menjadi menegur, sebab adalah
keinginannya supaya Phang Lim menghaturkan maaf untuk
itu. Tak kecewa Tiong Bouw menjadi ketua sebuah partai, dia
dapat omong dengan hormat tetapi tajam. Dia bukan menegur
langsung si nyonya hanya dia menyatakan ingin menegur
kedua adik seperguruannya. Kalau Phang Lim tidak dapat
memberi keterangan, nyonya itu pastilah bersalah.
Phang Lim tidak menyangka ketua Kaypang itu
bersungguh-sungguh demikian. Ia menjadi tercengang.
Di saat genting itu mendadak Cie Hoa menjatuhkan diri,
berlutut di depan suheng-nya sembari mengangguk berulangulang,
ia kata: "Semua ini karena salahku. Aku tidak memikir
pulang, dari itu aku minta Bibi Phang mengatur semua akal
ini. Aku yang bertanggung jawab, suka aku menerima
hukuman menurut partai kita."
Sebenarnya semua-semua adalah Phang Lim yang
mengatur dan Nona Kok melainkan menurut ia, tetapi
sekarang Cie Hoa yang mengatakan ialah yang memikul
tanggung jawab itu.
Ek Tiong Bouw mengerti baik sekali maksud adik
seperguruan itu, yang hendak menyingkirkan atau mencegah
ketegangan karena itu, tak mau ia bersikap kukuh, untuk
menyalahi terus pada orang luar partai. Hanya karena itu, ia
menjadi merasa sulit sendiri.
Hansie lantas turut bicara. Kata ia: "Tentang
keselamatannya kedua saudara Thia dan Lim, tak usah Pangcu
buat kuatir benar mereka telah ditotok lamanya hampir satu
bulan, kesehatannya tidak terganggu sama sekali, begitu


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditotok bebas, begitu mereka akan pulih seperti biasa. Mereka
itu menjadi tetamu-tetamuku, jikalau Pangcu hendak
menegur, tegurlah aku sebagai nyonya."
Kata-katanya Nyonya Kok ada baiknya.
Tiong Bouw lantas memimpin bangun adik seperguruannya
itu. Ia kata: "Dengan memandang kepada ibumu, suka aku
menganggap urusan sudah beres." Ia terus menoleh kepada
Phang Lim, untuk memohon: "Phang Liehiap, sekarang tolong
kau menotok bebas kedua sutee-ku itu yang tidak punya
guna!" Phang Lim jengah.
"Hm!" terdengar suaranya tawar.
Justeru di saat tak menyenangkan itu, dari luar rumah
mereka mendengar satu suara yang perlahan. Mendengar itu
Phang Lim yang lagi pusing kepala sudah lantas berseru:
"Kembali ada maling cilik yang datang mencari mampusnya!"
Ia mengambil seraup biji catur dengan apa ia terus menimpuk
keluar dengan tipu silat "Thianlie Sanhoa". Atau "Bidadari
menyebar bunga".
Menyambuti serangan biji catur itu, dari luar terdengar satu
suara tertawa nyaring serta kata-kata dalam dan dingin ini:
"Nyonya Han, secara begini kau menyambut tetamu, kau
benar keterlaluan!"
Phang Lim dan Hansie terkejut, dengan berbareng
keduanya pergi keluar. Maka di antara sinar rembulan mereka
melihat tiga orang lagi berdiri berbaris. Yang di kiri ialah Yang
Cek Hu, adik seperguruannya Beng Sin Thong, yang di kanan
Leng Siauw Cu, dan yang di tengah Tuu Hu Lie Ciat, pemilik
atau ketua dari Pulau Touw-liong To.
Ketika itu angin malam meniup berhamburan bubuk halus,
ialah bubuk dari biji caturnya Phang Lim, yang disambut dan
dihajar hancur lebur oleh sampokan "Hangliong Hokhouw
Ciang", atau tipu silat "Menakluki Naga dan Menundukkan
Harimau" dari ketua pulau Touwliong To itu.
Hansie cuma kenal Hu Lie Ciat, sahabatnya Beng Sin
Thong. Pada dua puluh tahun dulu, ketika orang-orang Rimba
Persilatan untuk pertama kali menyerang Beng Sin Thong, Kok
Ceng Peng dan isterinya ini turut mengambil bagian, mereka
telah bertemu dengan Hu Lie Ciat. Kok Ceng Peng telah
bentrok tangan dengan tuu ini, ia keteter, setelah Hansie
membantu, baru musuh dapat dikalahkan. Semenjak itu,
selama dua puluh tahun, Hu Lie Ciat tak terdengar kabar
ceritanya lagi, siapa tahu, sekarang dia muncul dengan
mendadak. Yang benar Hu Lie Ciat, karena kegagalannya, sudah
menyingkir ke sebuah pulau kecil di
Tanghay, Laut Timur. Disana ia hidup menyendiri sambil
meyakinkan terus ilmu silatnya. Dengan berdiam di pulau itu,
ia tidak tahu halnya Beng Sin Thong sudah pergi berlayar
mencari kitab silatnya Kiauw Pak Beng.
Tiga tahun lamanya Beng Sin Thong pergi itu, dia juga
tidak ada warta beritanya, maka dia dicari Yang Cek Hu. Yang
Cek Hu tahu dimana berdiamnya Hu Lie Ciat, ia mengunjungi
sahabat itu, lalu ia minta Hu Lie Ciat mengirim beberapa orang
dengan naik perahu mencari kakak seperguruannya itu.
Beng Sin Thong mengalami kesukaran di gunung berapi, la
tidak mampu membikin perahu, ia juga tidak pandai
mengemudikan kendaraan air, maka syukur sekali, ia dapat
dicari oleh salah sebuah perahunya Hu Lie Ciat itu dan dapat
ditolong, hingga ia dapat kembali ke Tionggoan.
Ketika itu, Hu Lie Ciat belum berhasil menyelesaikan
semacam ilmu silat yang ia ciptakan, Sin Thong merasa
berhutang budi padanya, maka dia membantu
menyempurnakannya. Kebetulan, dalam kitab silatnya Kiauw
Pak Beng ada keterangan mengenai ilmunya Hu Lie Ciat itu.
Beng Sin Thong memberi pinjam kitabnya. Dia cuma pesan,
kalau Hu Lie Ciat berhasil, ia harus datang ke Tionggoan untuk
bekerja sama. Demikian sudah terjadi.
Beng Sin Thong banyak kaki tangannya, dia lantas
mendapat tahu anaknya, yaitu Kok Cie Hoa, berada di
Siangyang di rumah ibu angkatnya. Pertama kali dia mengutus
Hang Hong, murid kepalanya, serta Cek Ho, murid nomor
empat, pergi kepada anaknya itu. Kedua utusan itu pulang
dengan tangan kosong. Karena itu sekarang dia sengaja minta
bantuannya Hu Lie Ciat. Buat itu Hu Lie Ciat dibantu oleh Yang
Cek Hu, sang sutee, adik seperguruan, Kie Siauw Hong, sang
murid yang menjadi raja setan tangan panjang, juga Leng
Siauw Cu jago dari Khongtong Pay dan Ok Siangkee Siang
Hoo, si Saudagar Jahat. Beng Sin Thong telah menduga
mungkin gadisnya tak mau datang, maka ia membekali
kimlong, yaitu surat rahasia, surat mana menunjuki jalan
supaya Hansie, ibu angkat Cie Hoa, diculik. Ayah ini percaya,
kalau Hansie diculik, dijadikan tanggungan, tak nanti Cie Hoa
tak datang padanya.
Rombongannya Siangkee menjadi rombongan yang
pertama, apa lacur Siangkee bertemu dengan Phang Lim dan
Kie Siauw Hong bertemu dengan Kim Sie Ie. Keduanya gagal.
Siangkee kena dibekuk, begitu juga Siauw Hong, hanya
untung si raja pencopet mendapat belas kasihannya Sie Ie,
hingga ia memperoleh pula kemerdekaannya. Siauw Hong
tidak berani datang pula, ia cuma menjelaskan rumahnya
mendiang Kok Ceng Peng. la malu, ia tak memberitahukan
Yang Cek Hu bahwa ia telah kena ditotok Sie Ie.
Demikian duduknya maka Hu Lie Ciat bertiga muncul di
rumah Hansie di saat tibanya Ek Tiong Bouw. Mereka dapat
mendengar suara ramai di rumah Hansie, mereka dapat
mencari tanpa susah-susah lagi. Hanya Hansie bercekat hati,
ia menyangka Hu Lie Ciat datang guna membalas dendamnya
dulu hari. Dulu hari itu Hu Lie Ciat kena terpanah.
"Hu Tuu, apa maksudmu datang kemari?"Han-sie tanya
dengan hormat. Ia menggunai aturan kaum Kangouw.
Pemilik pulau Touwliong To itu tertawa.
"Kami sengaja datang kemari untuk minta suatu!"
menjawab dia. "Kenapa kau menyembunyikan anak dara
orang?" "Angin busuk!" Phang Lim mendamprat. "Anak itu anak
Nyonya Han sendiri, kenapa dia mesti menyembunyikannya?"
"Kaulah yang mengeluarkan angin busuk!" Hu Lie Ciat
mem-baliki. "Siapakah yang tidak tahu anak angkat dia
asalnya anak kandung Beng Loosianseng" Sudahlah, aku tidak
mau bicara denganmu! Sebentar saja kita main-main!"
Yang Cek Hu turut bicara. Dia kata: "Kakak seperguruanku
ingat bahwa kau telah memelihara anaknya itu buat banyak
tahun, dia tidak berniat membikin susah padamu, karena itu
jikalau kau tahu gelagat, lekas kau suruh dia keluar untuk ia
ikut kami pulang!"
Hansie menjadi gusar.
"Apakah kau pakai namanya Beng Sin Thong si siluman tua
buat menggertak aku?" dia tanya keras. "Hm! Jangan kata
baru kau, sekalipun suheng-mu sendiri yang datang kemari,
tidak nanti aku membiarkan dia menculik anak ini!"
"Hm!" Hu Lie Ciat tertawa dingin. "Kau mempunyai nyali
untuk berkata begini macam! Baik aku minta kau pergi bicara
sendiri dengan Beng Sianseng!"
Belum berhenti suaranya jago dari Tanghay ini, sebelah
tangannya sudah meluncur pesat dan lima bocah jerijinya
bagaikan gaetan menyambar pada nyonya rumah. Sambil
berbuat begitu, dia bertindak maju.
Phang Lim sudah siap sedia, begitu tangan orang bergerak,
begitu ia maju, guna menyambuti. Mereka bergerak sama
gesitnya, tangan lantas bentrok keras.
Nyonya itu menggunai ilmu silat "Liu-in Tiatsiu" atau
"Tangan baju besi bagaikan awan melayang". Tangan bajunya
itu lunak tetapi dikerahkan tenaganya lantas menjadi kaku dan
keras mirip toya besi. Tepat sekali sambutan itu mengenai
telapakan tangan penyerang garang itu.
Hu Lie Ciat berseru, tubuhnya melesat ke samping
beberapa tindak. Dia terjerunuk hingga lima jari tangannya tak
dapat dicegah lagi, terus menghajar tembok memperlihatkan
lima lubang dan pasir kapurnya jatuh meluruk. Dengan lantas
dia memutar tubuh, untuk berseru bengis: "Baiklah, lebih dulu
aku akan bereskan ini perempuan tua! Kau hunus pedangmu!"
dia menantang. "Dengan sepasang tanganku yang berdarah
daging ini, aku akan melayani ilmu pedang Thiansan Pay
kamu!" Phang Lim tertawa dingin.
"Untuk melayani kau, bangsat tua, tak perlu aku memakai
pedang!" ia kata, mengejek. Dengan lantas ia meloloskan ikat
pinggangnya, begitu ia menggeraki itu, ujungnya lantas
menyambar seperti menyambarnya pedang.
Hu Lie Ciat telah terhajar telapakannya sampai dia
merasakan nyeri, turut pantas dia mesti insyaf, tak boleh dia
terus memandang enteng kepada pihak lawan, akan tetapi dia
penasaran. Phang Lim pun biasa membawa tabiatnya sendiri,
meski ia tahu lawannya tangguh, karena barusan ia menang
angin, ia tidak takut, bahkan ia mendongkol orang hendak
melawannya dengan tangan kosong. Maka ia menggunai ikat
pinggangnya itu, yang ia telah pelajari sebagai senjata selama
hampir sepuluh tahun. Sudah sekian lama, tak pernah ia
menggunai pedang, kecuali ia menghadapi lawan yang sudah
ternyata sangat tangguh, sebagai gantinya ialah ikat
pinggangnya itu. Dengan senjata lunak ini, yang dapat dibikin
menjadi keras, ia biasa melibat senjata musuh atau menusuk
dengan ujungnya. Hanya mengenai Hu Lie Ciat, ia sudah salah
duga. Menghadapi Hansie barusan, pemilik pulau Touwliong To
cuma menggunai tenaganya tujuh bagian. Sebabnya ialah ia
ingin menangkap hidup pada nyonya janda Kok Ceng Peng.
Sekarang melayani Phang Lim, ia perlihatkan kepandaiannya.
Ia memiliki tenaga dalam yang mahir sekali. Kalau Phang Lim
melawan dengan pedang, mungkin mereka sama imbangannya,
tapi sekarang, setelah belasan jurus, nyonya itu merasa
ia mulai terdesak.
Kalau Hu Lie Ciat menyam-pok, sampokannya itu
mendatangkan siuran angin keras. Karena itu, ikat pinggang
jadi tersampok menjadi melayang-layang, ikat pinggang itu
tidak dapat mengenakan sasarannya. Sebaliknya, ketika ke
lima jeriji tangan membentur ikat pinggang, ujungnya itu kena
tersambar hingga pecah!
Begitulah, satu kali dia berhasil, dengan berani Hu Lie Ciat
merangsak maju, untuk kedua kalinya ia menyambar pula ikat
pinggang si nyonya, terus menjambak ke dada.
Phang Lim liehay. Ia meloloskan diri dengan tipu silat huruf
"Lolos". Ikat pinggangnya bebas, terus ia menggunainya guna
melibat lengan lawan. Berbareng dengan itu, dengan tangan
kirinya, ia menotok dengan ilmu totok Biteong dari Angkauw,
partai Agama Merah, yang liehay. Dua jerijinya, telunjuk dan
tengah, menjurus ke jalan darah kioktie.
Hu Lie Ciat tidak pernah menyangka si nyonya pandai ilmu
totok Biteong itu, ilmu yang tak biasanya diwariskan kepada
orang luar. Karena ini, ia menjadi korban kealpaannya. Ia
kena tertotok. Syukur untuknya, ia paham ilmu Tay Ngoheng
Hian-yang Khie-kang, serta Thayceng Khiekang ajarannya Kim
Kong Taysu, dua ilmu lurus dan sesat. Maka juga ketika jalan
darahnya itu tertotok, jalan darah itu telah tertutup. Walaupun
demikian, karena liehaynya si nyonya, lengannya menjadi
kaku dan sesemutan, hampir tak dapat ia geraki. Terpaksa ia
menepuknya dengan tangan kirinya sambil ia lompat melesat
tiga tindak, guna menjauhkan diri dari lawan, agar ia tidak
dirangsak. Phang Lim heran mendapatkan totokannya tidak
merobohkan lawan. Ia tidak tahu bahwa lengan lawan yang
sebelah seperti mati. Coba ia merangsak terus, tentu celaka
Hu Lie Ciat, dia tentu tak keburu memulihkan kebebasan
tangannya itu. Karena ia tidak mendesak, lawan dapat
kesempatan mengerahkan tenaga dalamnya, guna menolongi
lengannya itu. Setelah mendapat pengalaman itu, berkelahi lebih lanjut,
Hu Lie Ciat berlaku cerdik dan waspada. Tidak mau ia
mendesak secara sembrono seperti semula. Untuk mendesak
lawan, ia menyerang dengan pukulan udara kosong, satu kali
dengan satu kali. Itulah desakan teratur. Setiap menyerang,
tangannya mengasih dengar suara angin yang keras.
Phang Lim merasakan desakan itu, walaupun perlahan
sekali. Syukur untuknya, Hu Lie Ciat berlaku sabar. Maka
kesudahannya, mereka seimbang satu dengan lain.
Leng Siauw Cu bersama Yang Cek Hu menyaksikan
pertempuran itu, dia menjadi tidak sabaran.
"Nyonya Han!" dia menegur, "kau bilang mutiaranya Beng
Sianseng tidak ada disini, karena itu, maafkan pintoo untuk
sikap pintoo yang kurang ajar, hendak pintoo masuk ke dalam
untuk menggeledah!"
Parasnya Nyonya Kok menjadi padam.
"Meskipun Kok Ceng Peng sudah meninggal dunia,
keluarganya tak dapat diperhina orang!" dia berseru nyaring.
"Mari golokku!"
Dua orang budak perempuan, yang hadir bersama disitu,
masing-masing sudah lantas melemparkan sebilah golok
Liuyap too yang dicekal mereka, dan nyonya mereka dengan
lincah menyambutnya. Lalu dengan sepasang goloknya di
tangan, nyonya itu menghadang di muka pintu yang
menembus ke pedalaman seraya ia kata keras: "Jikalau kau
mau masuk, silahkan tanya dulu sepasang golok mustikaku
ini!" Leng Siauw Cu tertawa.
"Memang aku memikir meminta pengajaran nyonya tentang
ilmu golok Ngobie Pay!" katanya, memandang enteng. Lalu
dengan menggeraki hudtim, kebutannya, ia menyerang
nyonya itu, yang goloknya hendak dilibat.
Hansie menjadi muridnya Bu Siang Sinnie, bhikshuni dari
Ngobie Pay, di masa mudanya, dengan mengandal sepasang
goloknya itu, bersama-sama suaminya-Kok Ceng Peng, ia
menjadi jago Kangouw, belum pernah ia dikalahkan orang.
Kok Ceng Peng mendapati julukannya yang terkenal itu, Liang
Ouw Tayhiap, karena dia mendapat bantuan tak sedikit dari
isterinya itu. Sekarang si nyonya sudah berusia lanjut, tetapi ia
tetap bernyali besar, ilmu silatnya tak menjadi lenyap.
Begitulah ia melayani Leng Siauw Cu, hingga mereka lantas
menjadi bertarung.


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Imam itu mengandali benar kepandaiannya, maka juga
begitu bergebrak, di jurus yang pertama itu, ia mau melibat
golok si nyonya, guna ditarik terlepas dari cekalan-nya. Ia
seperti tidak mau memikir bahwa musuhnya, nyonya itu,
bukan sembarang orang.
Hansie pun tidak senang. Ia mengelit goloknya untuk terus
dibaliki, dipakai memapas. Luar biasa sehatnya perlawanan
itu. Maka terdengarlah suara: "Sret!" Maka kutunglah
beberapa helai ujungnya kebutan lawan! Memang, goloknya
itu golok Biantoo yang tajam luar biasa.
Kebutan Leng Siauw Cu juga benda mustika, karena
dibuatnya dari kawat emas hitam atau campuran tembaga
dengan emas murni, melulu sebab barusan ujungnya buyar,
senjata itu jadi kena dibabat kutung, kalau tidak, belum tentu
mempan dibacok. Kejadian itu membuatnya terkejut, dengan
lantas dia bikin kebutannya berkumpul menjadi satu, hingga
kuatnya mirip ruyung.
Di antara kawan-kawannya Beng Sin Thong, Leng Siauw Cu
termasuk kelas satu, dan dalam halnya tenaga dalam, dia
menang tiga bagian dibanding Hansie, karena itu, ketika
senjata mereka beradu buat kedua kalinya, nyonya itu
terperanjat, hampir sepasang goloknya terlepas mental. Ia
pun mesti mundur beberapa tindak, hingga ia mesti bergeser
dari ambang pintu dimana ia mengambil kedudukan, guna
mencegah orang menerjang masuk.
Begitu si nyonya bergeser, begitu Yang Cek Hu bergerak,
untuk nycplos masuk. Dia lantas tertawa berkakak dan berkata
nyaring: "Pengemis tua, sahabat bangkotan, mari maju!
Kenapa kau main sembunyi saja di dalam, tak sudi menemui
orang" Baiklah, jikalau kau tidak mau menemui aku, aku yang
masuk menemui kau!"
Ek Tiong Bouw terus berdiam di dalam karena ia hendak
melindungi Kok Cie Hoa, yang baru sembuh dari sakitnya dan
tenaganya belum pulih seluruhnya. Sebenarnya si nona tak
menghiraukan kesehatannya, hendak ia pergi membantui ibu
angkatnya, tetapi si pengemis, sebagai kakak seperguruannya,
mencegah padanya, dari itu, ia tak dapat keluar, meski begitu,
ia tidak menyingkirkan diri, ia cuma masuk ke kamar samping.
Disitu ada sebuah pintu rahasia, kapan perlu ia bisa masuk ke
dalam itu pintu guna mengangkat kaki.
Berdiri tegak bagaikan gunung kokoh kuat, Ek Tiong Bouw
menghadang di muka pintu rahasia, tangannya mencekal
thiekoay, tongkat besinya. Melihat datangnya musuh yang
sangat terkebur itu, yang menghinanya, ia berseru: "Yang Cek
Hu, jangan berjuma-wa! Kau harus ketahui, sekarang
keselamatan kakak seperguruanmu sudah tak terjamin lagi!
Apakah kau hendak mendapatkan nama buruk seperti dianya"
Baiklah siang-siang kau mengurangi kejahatan, supaya dapat
kami berlaku murah terhadapmu dan membiarkan kau lolos
dari bahaya!"
Yang Cek Hu menjadi seorang yang berhati-hati tindaktanduknya,
meski benar dia pernah membantui kakak
seperguruan itu berbuat jahat, kejahatannya tidak terlalu
besar. Inilah sebabnya kenapa Ek Tiong Bouw suka memberi
nasihatnya itu. Akan tetapi sekarang ini dia sudah lain
daripada dulu-dulu. Setelah Beng Sin Thong memperoleh
kitabnya Kiauw Pak Beng dia belajar terus dengan rajin,
kepandaiannya menjadi bertambah, maka dia percaya
bersama kakak seperguruan itu, dia dapat merajai Rimba
Persilatan, untuk menjadi jago dunia. Karena ini, dia telah
membakti seluruhnya kepada sang suheng. Karena ini juga,
tak sudi dia mendengar nasihatnya si kepala pengemis.
Sambil tertawa, Yang Cek Hu menjawab Tiong Bouw: "Aku
menolongi Beng Suheng mencari puterinya buat diajak pulang,
mengapa kau membilang aku berbuat kejahatan bersamanya"
Pengemis tua, bukankah usia kita sama lanjutnya, mengapa
kau justeru linglung" Justeru aku yang harus memberi nasihat
padamu supaya kau jangan mencampuri urusan ini, supaya
kau jangan usilan, dengan begtu dapat aku membukai jalan
lolos untukmu!"
"Baiklah!" kata Ek Tiong Bouw. "Oleh karena kau tidak sudi
dengar nasihat baik, marilah kita mengadu kepandaian kita!"
"Bagus!" menyambut Yang Cek Hu. "Pada lima tahun dulu
selama dalam pertempuran di Beng Keechung kita belum
memperoleh keputusan, sekarang mari kita coba pula untuk
melihat, selama beberapa tahun ini siapa yang beroleh
kemajuan terlebih jauh!"
Begitu ia berhenti berkata, begitu ia mulai dengan
penyerangannya.
Yang Cek Hu menerima pengajaran Beng Sin Thong, benarbenar
dia maju pesat. Di antaranya dalam Siulo Imsat Kang,
dia sudah mencapai tingkat ke tujuh. Inilah yang dia buat
andalan. Dia ingin dengan satu hajaran saja Tiong Bouw
roboh binasa. Kesudahannya di luar dugaannya.
Tiong Bouw cuma berseru "Hm!" lantas tongkatnya bekerja
menyambutnya. Di dalam Binsan Pay, di dalam angkatan ketiga Ek Tiong
Bouw murid yang terliehay, baik ilmu silatnya maupun tenaga
dalamnya, sampai Co Kim Jie juga kalah daripadanya. Karena
dia bersifat tulus dan sabar, oleh Co Kim Jie dia dipilih masuk
dalam rombongan yang mempelajari Siauwyang Hiankang.
Disini juga dia membuktikan diri sebagai pelajar yang
terpandai. Maka itu, menyambut Siulo Imsat Kang dari Yang
Cek Hu, walaupun dia merasakan serangan hawa dingin, dia
tidak roboh, dia cuma merasakan sedikit tak nyaman...
Yang Cek Hu juga heran menyaksikan pengemis tua itu tak
terobohkan pukulannya yang dahsyat, tetapi dia tetap
bersikap jumawa, sambil tertawa, dia kata: "Pengemis tua,
kiranya kau bukan lagi si pengemis dulu hari itu! Baiklah, mari
terus kita uji kepandaian kita!"
Dengan satu tindakan Thianlo Pou, Yang Cek Hu
menyingkir dari ujung toya Tiong Bouw yang menyerang
selagi ia mementang mulutnya, setelah itu ia maju pula, guna
mengulangi serangannya kembali dengan Siulo Imsat Kang,
cuma sekarang dia menjambak dengan dua-dua tangannya.
Ek Tiong Bouw membuat perlawanan, meskipun tongkatnya
kena disampok mental.
Kembali Cek Hu mendesak, tangannya menyambar pula ke
dada lawannya. Jikalau dia berhasil, isi perut si pengemis
pastilah bakal kena dijambak keluar!
Melihat datangnya ancaman bahaya itu, Ek Tiong Bouw
menyelamatkan diri dengan ia memutar tubuhnya, habis mana
mendadak ia menjatuhkan diri, untuk duduk bersila di lantai,
sedang tongkatnya diluncurkan ke atas, menotok jalan darah
jiekhie di dada si orang jumawa.
Hebat serangan membalas ini, yang mirip dengan suatu
tipu menjatuhkan diri dari atas kuda. Kalau Cek Hu memburu
dengan membungkuk tubuhnya, tak ampun lagi, dia bakal
kena tertusuk. Atau keduanya akan terluka atau terbinasa
bersama. Yang Cek Hu tidak mau menempuh bahaya, dia berkelit
dengan tindakan Thianlo Pou yang gesit dan lincah.
Setelah itu Ek Tiong Bouw memutar tongkatnya, ia
membuatnya tongkat itu bagaikan tembok tangguh yang
menghadang di depannya, sia-sia belaka lawannya menyerang
ia berulangkah dengan gencar, tak dapat pertahanannya itu
ditembuskan. Setelah dua kali menangkis itu
Ek Tiong Bouw menginsyafi Iiehaynya musuh ini. Ia merasa
sukar untuknya melawan terus. Maka itu ia menukar siasat. Ia
mengambil sikap bertahan. Demikian ia menjatuhkan diri dan
menutupnya dengan tipu silatnya yang istimewa itu. Ia
menggunai "Hokmo Thunghoat", yaitu ilmu tongkat "Menakluki
Hantu", salah satu warisan dari Tokpie Sinnie, pendiri dari
Binsan Pay, sedang kemudian, ilmu itu dibikin bertambah
sempurna oleh Liauw In Hwesio, Kam Hong Tie, Lu Ceng dan
lainnya menjadi jumlahnya seratus delapan jurus berikut
perubahan setiap jurusnya. Dua-dua ujung dan gagang
tongkat dapat dipakai sebagai sebagai alat menotok.
Cacadnya ialah ilmu silat ini membutuhkan tenaga dalam yang
mahir luar biasa, kalau tidak, orang akan cepat lelah.
Demikianlah sudah terjadi dengan Tiatkoay Sian ketika
Tiatkoay Sian menempur guru negara dari Nepal di dalam
Keraton Es, benar guru negara itu terbinasakan tetapi
Tiatkoay Sian pun terbinasa sendirinya disebabkan muntah
darah. Inilah sebabnya maka ilmu silat tongkat itu tak
sembarang digunakan. .
Yang Cek Hu melihat tongkat lawan liehay, dia mengubah
siasat, seterusnya tak mau ia mendesak hebat seperti semula,
bahkan dia mundur beberapa tindak supaya dari jarak sedikit
jauh dia dapat menyerang dengan pukulan udara kosong yang
dicampur dengan Siulo Imsat Kang membikin setiap
pukulannya mendatangkan serangan hawa dingin.
Ek Tiong Bouw menghadapi kesukaran, Hokmo Thunghoat
membuatnya mengeluarkan banyak tenaga, sudah begitu ia
juga mesti menggunai Siauwyang Hiankang guna menangkis
hawa dinginnya musuh itu, hawa mana meresap ke tulangtulangnya.
Lama-lama ia menjadi letih, sedang keringatnya
yang sebesar-besar kacang mulai mengetel turun, giginya
bercatruk-an, tubuhnya menggigil.
Tiba di saat ia menggunai Hokmo Thunghoat bagian kedua
jurus ketiga puluh enam, Tiong Bouw telah memakai banyak
tenaga dalamnya yang kaum Laykee, atau Ahli Dalam
menyebutnya tenaga asli, sedang di pihak sana, Cek Hu
menyerangnya tetap sama dahsyatnya. Maka itu, berisiklah
suara pertempuran mereka, sampai tembokan pun meluruk
jatuh... Kok Cie Hoa mentaati pesan kakak seperguruannya itu, ia
berdiam di dalam kamar dengan pikirannya kusut dan hatinya
tegang, ia berdiam saja, akan tetapi setelah berdiam sekian
lama itu, ia tidak mendapat tahu bagaimana kesudahannya
pertempuran, di akhirnya ia keluar juga hingga ia menyaksikan
suasana yang gawat itu.
Ek Tiong Bouw terperanjat melihat munculnya si sumoay,
adik seperguruan itu.
"Sumoay!" serunya. "Lekas pergi!"
Berbareng dengan suaranya ketua Kaypang itu, Cie Hoa
pun mendengar ini suara halus tetapi tegas, yang cuma
terdengar telinganya sendiri: "Cie Hoa, jangan kuatir! Biarlah
aku yang membereskan bangsat tua itu!"
Mendengar suara, yang ia kenali itu, Cie Hoa terkejut
hingga ia menjadi berdiri menjublak saja.
Justeru itu, Ek Tiong Bouw terancam bahaya. Karena ia
terkejut itu melihat sang sumoay keluar dari dalam kamar,
perhatiannya menjadi terbagi. Yang Cek Hu yang cerdik
melihat itu, dia lantas menggunai ketikanya yang baik. Dengan
tindakan Thianlo Pou yang pesat, dia maju untuk mendekati
lawannya, untuk mengirim pukulan tangannya yang liehay.
Baru saja Tiong Bouw menyampok ketika serangan itu tiba,
dengan begitu tak sempat ia menarik pulang tongkatnya guna
menangkis. Maka serangan musuh meluncur ke arah batok
kepalanya! Ia pun tak dapat berkelit lagi. Jalan satu-satunya
ialah menangkis dengan tangan kirinya. Tangan kiri itu, yang
membantui tangan kanannya, sempat diangkat. Inilah
perbuatan terpaksa, sebab ia tahu betul pukulan Siulo Imsat
Kang dari Yang Cek Hu ialah pukulan dari kematian!
Di saat ketua Kaypang itu menghadapi ancaman maut, di
saat itulah terdengar satu suara nyaring yang keras sekali,
suara dari beradunya dua tangan, menyusul mana terlihat
tubuhnya Yang Cek Hu bergerak, tubuh itu terangkat dan
mental keluar pintu bagaikan bola tertendang. Sebaliknya
tubuh Tiong Bouw tetap bersila di lantai. Tiong Bouw numprah
melongo, sebab ia mendapat kemenangan tanpa ia mengerti
sebabnya. Ia merasakan hawa dingin menyerangnya, tetapi ia
tidak kurang suatu apa! Tak mungkin Cek Hu terpental karena
tangan kirinya itu...
Ketika itupun dari luar terdengar seruan Hansie.
Tiong Bouw dapat lekas menetapkan hati, ia lantas lompat
bangun dan lari keluar. Ia menduga tentulah nyonya janda
Kok Ceng Peng lagi dikepung hebat oleh Leng Siauw Cu dan
Yang Cek Hu. Sesampainya di luar, ia mendapat kenyataan
Yang Cek Hu tak nampak bayangannya juga, sedang Leng
Siauw Cu lagi menggulung kebutannya dan kabur tanpa
bersuara sama sekali, sebab diapun telah terkalahkan sebagai
Cek Hu. Hansie terlihat seperti ia tadi, berdiri menjublak
dengan ngoceh sendirian: "Bagaimana ini" Bagaimana ini,
ha?" Hebat pertarungan di antara Leng Siauw Cu dan Hansie.
Setelah mendekati seratus jurus, nyonya janda Kok Ceng Peng
kalah ulet dibanding dengan si imam, repot ia melayani
kebutan musuhnya itu, tak perduli goloknya sendiri golok yang
tajam luar biasa. Itu waktu Leng Siauw Cu sudah mulai dapat
menguasai si nyonya, hingga nyonya itu tak dapat bergerak
lagi dengan leluasa. Bukan main girangnya Leng Siauw Cu, dia
tinggal menanti mengirim pukulannya yang terakhir. Justeru
itu telinganya mendengar suara: "Hidung kerbau, imam bau!
Kau tidak lekas menggelinding pergi, apakah kau hendak
menanti sampai aku menggaplok pula kupingmu?"
Itulah suara yang membikin kaget, yang menciutkan hati.
Leng Siauw Cu lantas teringat akan pertempurannya di tepi
Giehoo, kali lingkaran istana. Itu waktu dia ada bersama Beng
Sin Thong, dia ingin membekuk Le Seng Lam, tetapi disitu dia
dirintangi Kim Sie Ie, yang menghajarnya dengan satu
gaplokan. Sekarang dia mendengar suara itu, kagetnya tidak
terkirakan. Karena kaget, pemusatan pikirannya menjadi
terganggu. Karena itu, dia terkejut tempo Hansie sambil
berseru menyerang pundaknya. Tak ampun lagi, pundaknya
itu kena tergores, sebab dia tak sempat berkelit sempurna
atau menangkis. Tidak ayal lagi dia mengangkat kaki, untuk
kabur! Pada saat itu, jangan kata dia sudah terluka, biarnya
belum, karena mendengar suara ancaman itu dia pasti akan
segera mengangkat langkah panjang.
Maka itu waktu tinggallah Phang Lim yang masih terus
melayani Hu Lie Ciat. Sahabatnya Beng Sin Thong ini
terperanjat melihat dua-dua kawannya kalah dan kabur. Selagi
ia terperanjat itu, Phang Lim menyerang ia dengan ikat
pinggang yang liehay itu. Tak sempat ia menangkis, maka ia
menjejak tanah, untuk lompat berkelit. Tepat ia menurunkan
kakinya, untuk menginjak lantai, tepat ada sepotong batu
menggelinding ke arahnya, maka kakinya itu kena menginjak


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu itu. Yang bentrok cuma jeriji kakinya, tetapi
kesudahannya itu hebat sekali. Mendadak ia merasakan sakit
sampai ke uluhatinya, kakinya tak dapat dipertahankan lagi
tubuhnya terhuyung, terpeleset mau jatuh.
Phang Lim tidak menyangka apa-apa, ia tidak menduga
bahwa ada orang yang sudah membantui ia secara diam-diam,
justeru lawannya terpeleset, ia mengirim tendangannya, yang
mengenai kem-polan. Tidak ampun lagi, tubuh Hu Lie Ciat
terpental sampai tiga tombak lebih!
Tapi Hu Lie Ciat benar liehay.
Begitu ia memegang tanah, begitu ia meletik bangun.
Cuma karena hatinya sudah jadi ciut, tanpa memutar tubuh
lagi, ia terus lari ke tembok pekarangan, buat berlompat
melewatinya, guna terus kabur mengangkat kaki. Ia
penasaran, selagi berlompat itu, ia kata sengit: "Kau
menggunai akal, kemenangan yang mentereng! Jikalau kau
mempunyai nyali, nanti di Siauwlim Sie kita bertemu pula!"
Phang Lim tertawa dan kata: "Kalah ialah kalah! Buat apa
kau menggunai alasan akan menutupi malumu" Siapa yang
mencurangi kau" Haha! Sungguh lucu! Bukankah semua orang
melihatnya kau kena tendang mental" Kenapa kau masih tidak
puas?" Habis mengucap begitu, Phang Lim menoleh kepada Hansie
dan Ek Tiong Bouw, mendadak ia menjadi heran. Ia melihat
dua orang itu berdiri menjublak saling mengawasi, tidak ada
satu jua yang menyambuti kata-katanya itu. Karenanya, ia
berhenti tertawa. Ia pun lantas mengawasi saja kedua kawan
itu. Tiong Bouw yang sadar terlebih dulu.
"Aku lihat malam ini aneh sekali..." katanya seorang diri.
Phang Lim cerdas luar biasa. Ia lantas dapat memikir.
Benar juga kemenangannya luar biasa. Kenapa Hu Lie Ciat
terpeleset tanpa sebab" Mendadak ia menjadi kaget sekali.
"Lekas!" serunya. "Mari kita lihat anakmu!" la terus lari
dengan menyambar tangan nyonya rumah, untuk ditarik
diajak lari ke dalam.
Sie Ie sendiri berlaku sangat cepat. Sesudah memberikan
bantuannya secara tersembunyi membikin Yang Cek Hu, Leng
Siauw Cu dan Hu Lie Ciat kabur, ia lari ke dalam, guna
menghampirkan Kok Cie Hoa! Ia membuka pintu samping dan
memburu ke dalamnya sambil memanggil-manggil: "Cie Hoa!
Cie Hoa! Kenapa kau diam saja" Apakah kau gusar
kepadaku?"
Begitu ia tiba di dalam kamar, Sie Ie menjadi berdiri
tertegun. Ia melihat seorang nona yang baru saja mengangkat
kepala. Nona itu bukannya Kok Cie Hoa, hanya Le Seng Lam!
Lekas-lekas Tokciu Hongkay menetapkan hati.
"Kau!... kau kenapa datang kemari?" ia tanya.
"Hm!" menyahut si nona tawar. "Kau dapat datang kemari,
kenapa aku tidak?"
"Hari itu bagaimana sebenarnya" Aku menyangka kau
lenyap..."
"Ya, lenyap! Lain orang lenyap, kau bingung tidak keruan,
jauh-jauh kau menyusul sampai di Siangyang ini! Aku hilang,
perduli apa, bukan?"
Tak sempat Sie Ie mengadu mulut. Itu pula tak ia suka.
Maka ia hampirkan nona itu, untuk menjambaknya.
"Mana Nona Kok?" ia tanya.
Seng Lam tertawa dingin.
"Hm, Nona Kok!..." sahutnya perlahan.
"Ya, mana dia" Dia kenapa-kah?" tanya lagi Sie Ie,
bernapsu. "Pergi kau cari sendiri!" sahut Seng Lam.
Sie Ie memandang nona itu, ia merasa jeri.
Seng Lam nampak penasaran sekali, hingga dia menjadi
bengis. "Apakah kau bunuh dia?" tanya Sie Ie. Mendadak dia kaget.
Dia mencekal keras sekali lengan si nona.
Nona Le menahan nyeri, dia diam saja.
Sesaat itu, sunyi keduanya. Karena itu, tiba-tiba Sie Ie
mendengar suara terisak perlahan sekali di luar kamar. Tanpa
pikir lagi, ia sempar Seng Lam, ia lompat ke arah pintu, guna
menggempur. Hebat terjangannya, tembok disitu roboh, maka
ia melihatlah pintu rahasia. Bagaikan orang kalap, Sie Ie
lompat meninggalkan Nona Le.
Pintu rahasia itu menjurus ke kebun di belakang. Sinar
rembulan guram tetapi Sie le melihat seorang nona lagi
berjalan limbung di antara pohon-pohon bunga. Ia kenal baik
nona itu, maka ia lompat menyusul, untuk menaruh kaki di
depannya. Ia memutar tubuhnya sambil segera berkata: "Cie
Hoa! Cie Hoa! Kau tak kurang suatu?"
Tokciu Hongkay juga memegang tangan baju si nona.
Mendadak terdengar "Sret!" maka Cie Hoa menghunus
pedangnya, dengan apa ia menabas kutung ujung bajunya
yang dicekal pemuda itu.
Sie Ie heran dan kaget. Mulanya ia hendak menyentil
pedang si nona, atau ia membatalkan niatnya, karena ia kuatir
nona itu menjadi semakin gusar.
Cie Hoa tidak menyerang, hanya sambil mengancam
dadanya dengan pedangnya, ia kata keras: "Jikalau kau
sentuh tubuhku, aku akan lantas mati di depanmu ini!"
Sie Ie melongo. Saking bingung, tak tahu ia mesti
mengatakan atau berbuat apa.
Cie Hoa lantas berkata: "Mulai saat ini dan seterusnya,
kaulah kau, akulah aku! Kita tidak punya kepentingan lagi satu
dengan lain! Anggap saja bahwa dulu hari kita tidak pernah
berkenalan!"
Suara itu keras, tetap dan dingin.
"Apa... apakah artinya ini?" tanya Sie Ie bingung. "Kau
dengar dulu aku, kau dengar dulu aku..."
"Apa juga yang kau bilang, aku tidak dapat percaya!" si
nona menyela. Sie Ie bingung bukan main. Otot-otot di dahinya sampai
terlihat biru. "Cie Hoa, kau pasti salah paham!" kata dia. "Dia... dia..."
Dengan "dia", Sie Ie maksudkan "dia" wanita, ialah Le Seng
Lam. Tentang hubungannya dengan Nona Le, tak dapat itu
diterangkan dengan dua tiga patah kata saja. Maka itu, baru
mengucapkan "dia" ia sudah kehabisan kata-kata.
Sebaliknya, mendengar kata-kata "dia" itu, hati Cie Hoa
menjadi semakin panas. Katanya singkat: "Dia telah
mengatakannya padaku! Tak usah kau menjelaskannya lagi!
Jikalau kau tidak pergi sekarang, nanti aku menteriaki ada
penjahat!"
Meski ia baru mengancam, benar-benar Cie Hoa berteriak:
"Ibu! Ada orang jahat disini! Tangkap! Tangkap!"
Tadi itu, Hansie dan Phang Lim telah mendengar suara
tembok gempur. Mereka kaget dan heran. Mereka lari
memburu terlebih cepat pula. Tiba-tiba mereka bersomplok-an
dengan Seng Lam, yang lari keluar. Nona itu riap-riapan
rambutnya, dia tak terlihat tegas, dia asing.
Hansie menyerukan suara heran dan kagetnya, sebelum dia
sempat menanya, dia dibikin kaget pula oleh sikap Seng Lam.
Si nona menghunus pedang Cay-in Kiam dengan apa ia
memapas! Bukan kepalang kagetnya nyonya rumah. Kedua goloknya
kena terpapas kutung pedang nona itu!
Phang Lim gusar, ia menyerang dengan ikat pinggangnya.
Ia mau menggulung kedua kaki si nona.
Seng Lam tak menghiraukan serangan itu. Dengan berani,
dengan sebat, ia menyambut dengan tabasannya. Pedangnya
pedang mustika yang terlebih tajam dari pedang Yuliong Kiam,
maka itu ikat pinggang si nyonya tak berdaya menghadapinya.
Kontan ikat pinggang itu kena dibabat kutung, tak perduli
Phang Lim mencoba menolongnya dengan tipu silat huruf
"Lolos". Maka ikat pinggang itu tinggal sepotong!
Ek Tiong Bouw sudah lantas mengenali si nona sebagai si
wanita muda yang mengacau Beng Keechung, sarangnya
Beng Sin Thong, ia lantas berteriak: "Inilah kenalan!"
Phang Lim sendiri sudah siap dengan seraup biji catur
dengan apa ia telah menimpuk dengan tipu silat "Thianlie
Sanhoa". Biji catur jauh lebih berat daripada bunga atau daun,
tak heran jikalau serangannya ini berbahaya luar biasa. Seng
Lam melindungi diri dengan pedangnya, tak urung dia kena
terhajar pada jalan darahnya, honghu di punggung, kinceng di
pundak kiri, dan tekma di kaki kanan, syukur ia telah melatih
diri dengan ilmu silatnya Kiauw Pak Beng yaitu "Na-ie Hiattoo",
maka meski ia merasakan nyeri, ia masih dapat bertahan
hingga tak usahlah ia sampai roboh. Phang Lim mendapat
dengar suaranya Tiong Bouw itu, ia menunda menyerang lebih
jauh. Di tangannya masih ada sisa lima atau enam biji
caturnya. Seng Lam menggunai orang berhenti menyerang,
dia lompat melewati tembok pekarangan, untuk
menyingkirkan diri.
Ketika itu ialah saatnya Kok Cie Hoa berteriak-teriak ada
penjahat, maka Hansie dan Phang Lim tak menghiraukan Seng
Lam, keduanya lari ke arah suaranya Cie Hoa itu, hingga
Nyonya Phang dan Sie Ie telah bersomplokan. Phang Lim
heran sampai ia melengak, begitu pun Hansie. Sie Ie tidak
dapat dikenali ibunya Kim Bwee lantaran ia memakai topeng,
sedang Cie Hoa mengenali Tokciu Hongkay dari suara orang.
Cie Hoa lari pada ibu angkatnya tanpa dapat menahan diri
lagi, ia roboh di dalam rangkulan ibu itu, tubuhnya menjadi
lemas, hingga Hansie mesti memeluknya dengan keras.
Hansie kaget dan heran.
"Cie Hoa! Cie Hoa! Kau kenapa?" tanya si ibu.
Dengan suaranya tak tegas, tetapi cepat, Cie Hoa kata:
"Ibu, mari kita lekas berlalu dari sini!"
Menyusul kata-katanya Nona Kok, dari tempat yang dekat
terdengar suara tertawa dingin dari Seng Lam: "Hm! Hm!
Haha!" Dengan kecerdasannya Phang Lim lantas menduga pasti
orang tadi Kim Sie Ie adanya. Sikapnya Cie Hoa ini luar biasa
sekali, sikap itu mendatangkan kecurigaannya hingga ia lantas
menerka. Ia menjadi mendongkol sekali, maka dengan sisa biji
caturnya ia lantas menyerang sambil ia berseru: "Bagus kau
masih ada muka menemui aku!"
Kim Sie Ie yang belum mengangkat kaki berseru dengan
tubuhnya berbareng melesat ke atas tembok pekarangan
untuk melewatinya. Ia berduka karena urusannya yang ruwet
dan sulit sekali itu, terpaksa ia mesti mengangkat kaki dulu.
Biji-biji catur mengenai tubuhnya tetapi ia tidak
menghiraukannya, benar semua biji itu terpental balik, ia toh
merasakan nyeri, cumalah itu tak senyeri luka di hatinya
karena sikapnya Cie Hoa itu. Ia menyingkir untuk menyusul
Seng Lam, yang kabur ke jalanan kecil di samping gunung. Ia
dapat menyandak, lantaran Seng Lam berhenti lari, bahkan
nona ini kata dengan dingin: "Jauh-jauh kau datang ke kota
Siangyang ini, mengapa kau tidak berdiam lebih lama dengan
kekasihmu itu" Kenapa kau menguber aku" Mau apakah kau?"
Sie Ie mendongkol hingga ia seperti lupa akan dirinya.
Sepasang matanya melotot. Kata ia dengan nyaring:
"Sebenarnya apakah yang kau omongkan dengan dia?"
Dengan tawar Seng Lam menjawab: "Aku tidak omong apaapa!
Orang yang kau kasihi itu, menempel dia aku tak
sanggup, cara bagaimana aku dapat berbuat salah
terhadapnya?"
"Sebenarnya kau omong apa dengannya?" Sie Ie
membentak. Dengan acuh tak acuh, Seng Lam menjawab: "Kau
kelihatannya begini bernapsu, mengapa kau tidak tanyakan
Pedang Tanpa Perasaan 8 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Harpa Iblis Jari Sakti 34
^