Pencarian

Perjodohan Busur Kumala 7

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 7


untuk memberi hormat!"
Kim Sie Ie pun tertawa.
"Kau juga baru dapat menebak separuhnya!"
dikembalikannya. "Pergiku ke gunung Binsan itu, di samping
aku hendak menjenguk kuburan gurumu, di dalam hatiku, aku
ingin sekali dapat bertemu denganmu..."
Sinar mata sepasang muda-mudi ini kembali beradu, dan
sama-sama mereka jadi semakin saling mengerti.
"Nona Kok!" tanya Kim Sie le kemudian, "setelah
meninggalkan gunung Binsan, kemana saja kau hendak
pergi?" "Kemana saja, menuruti rasa hatiku, tidak ada tempat
tujuanku yang tertentu," jawab si nona.
"Apakah kau mempunyai kegembiraan untuk mengikuti
angin dan menempuh gelombang laut?" tanya Sie Ie.
"Bagaimana jikalau kita berdua pesiar di laut?" Kok Cie Hoa
tertawa. "Adakah kau menghendaki kita berdua pergi mencari
pulau Kiauw Pak Beng itu?" ia menegaskan. "Benar!" jawab
Kim Sie Ie. "Hanya kau dan aku berdua saja?" si nona
menegaskan lagi.
Cie Hoa adalah orang Rimba Persilatan, ia polos dan bebas,
hatinya lapang, akan tetapi ketika ia ingat, bahwa ia akan naik
perahu berdua saja dengan Kim Sie Ie sedangkan ialah
seorang gadis, dan Sie Ie seorang pemuda, ia toh merasa...
tidak merdeka, ia likat sendirinya. Ingin ia menampik, maka
itu, ia menegaskan.
Ketika Kim Sie Ie mendengar pertanyaan itu, ia terkejut di
dalam hatinya. Dengan mendadak bayangan Le Seng Lam
berpeta di depan matanya, dengan sendirinya pikirannya
menjadi kusut. Ketika ia mengangkat kepalanya, ia melihat
paseban teh di depannya, tanpa berkata-kata, ia memasuki
paseban itu. Kok Cie Hoa merasa aneh, ia lantas mengintil masuk.
"Kenapa kau berdiam saja?" tanya ia, tertawa.
"Aku haus, aku ingin cari arak," menyahut Sie Ie.
Di tengah jalan seperti itu ada beberapa paseban atau
kedai teh yang berbareng menjual arak, setelah mengambil
tempat duduk, Kim Sie Ie memanggil pelayan untuk minta
disediakan tiga kati arak.
"Aku tidak minum arak," kata Cie Hoa, yang minta sepoci
teh wangi. Begitu arak disajikan, Kim Sie Ie lantas mulai menenggak
secawan demi secawan. Ia benar nampak berdahaga sekali.
Dengan lekas araknya habis, maka ia memanggil pelayan,
akan minta lagi tiga kati. Belum lama, arak itu sudah ludas,
maka ia lantas meminta pula.
Pelayan kedai menjadi heran. Belum pernah dia menemui
tetamu yang demikian kuat minum, hingga dia mengawasi
dengan matanya di pentang lebar.
"Tuan, kau minum cepat sekali!" katanya.
Menyaksikan kelakuan kenalan itu, Cie Hoa menjadi
masgul. "Kim Sie Ie seorang cerdas," pikirnya, "dia mendengar
pertanyaanku, rupanya dia mendapat kesan aku tidak suka
menemani dia berlayar, dari itu dia menjadi bersusah hati. Ah,
mengapa dia tidak memikir sebaliknya, dari sudutku" Memang
di antara kita kaum Rimba Persilatan, wanita dan pria sama
saja, kita tidak usah terlalu mengukuhi adat istiadat, akan
tetapi seorang pria dan seorang wanita, yang bukan sanak
dan bukan kadang, mana dapat mereka berdiam berdua saja
di dalam sebuah perahu dan berlayar bersama" Tidakkah itu
bakal menimbulkan kecurigaan?"
Cie Hoa menyangka keliru. Kim Sie le justeru memikirkan
janji pertemuan di antara ia dan Le Seng Lam, hal ia telah
menjanjikan suka berlayar bersama nona she Le itu, guna
mencari kitabnya Kiauw Pak Beng. Ia sudah menjanjikan Seng
Lam, bagaimana ia bisa mengajak Cie Hoa pergi bersama"
Bukankah pada Seng Lam ia telah berjanji tidak akan
membocorkan rahasia" Itu artinya Seng Lam pasti tidak
mengijinkan seorang lain, yang tidak dikenal, berlayar
bersama-sama mereka berdua.
Sie Ie berandalan tetapi ia bukan seorang sembrono.
Kenapa, tanpa memikir lagi, ia mengajak Cie Hoa" Nyata ia
telah dilibat sang cinta. Cinta itu kegaiban. Ia ketarik pada Cie
Hoa, ia jatuh hati. Merasa, nona itu cocok untuknya. Maka itu,
ia seperti melupakan Seng Lam. Hanya sekarang, mendadak
bayangan Nona Le berkelebat di depan matanya. Ia menyesal
sesudah kasip. Syukur untuknya, Cie Hoa tidak tahu apa yang
ia pikirkan itu, si nona menyangka ia lagi ruwet pikiran saja...
Sie Ie sudah menenggak tujuh cawan ketika dengan roman
masgul dan suara perlahan ia kata: "Kau tidak suka turut pun
tidak apa. Mungkin aku dapat mengajak lain orang pergi
bersama..."
"Tetapi untuk mencari kitab ilmu silat yang luar biasa itu,
mana dapat kau mengajak sembarang orang?" berkata Nona
Kok. "Apakah benar kau kualirkan di pulau itu ada sesuatu
yang luar biasa?"
Di waktu mengatakan demikian, Cie Hoa telah berpikir. Ia
baru saja mendapat semacam pemecahan. Andaikata Sie Ie
mengulangi mengajak ia, akan ia menerima baik. Ia bakal
menggunai sebuah perahu lain. Jadi mereka bakal pergi
dengan masing-masing sebuah perahu. Tapi ia melihat Kim Sie
le minum sambil berdiam saja.
"Aku tidak takut," sahutnya kemudian, "aku cuma, cuma..."
"Cuma... cuma apa?" si nona menegaskan.
"Aku cuma takut pada diriku sendiri!" sahut Sie Ie,
mendadak suaranya keras.
Itulah aneh, akan tetapi, mendengar itu, Cie Hoa tertawa.
"Apakah artinya ini?" ia menanya.
Kim Sie Ie mengangkat cawannya.
"Mari minum!" ia mengajak. Lantas ia menenggak araknya
itu, yang berbunyi di kerongkongannya.
Nona Kok tertawa.
"Bukankah aku telah mengasih tahu aku tidak minum
arak?" tanyanya. Ia lantas menatap, untuk menambahkan
dengan perlahan dan halus: "Baiklah kau mengurangi
meminum arak..."
Kim Sie Ie sangat berduka, ia bukannya menyahuti, hanya
ia bernyanyi dengan nada tinggi. Ia menyanyikan syairnya Sin
Sie Kie dari jaman Song, yang ia ubah:
"Inilah arak!
Hari ini aku si tua menjadi
berandalan! Tahun ketemu tahun aku
berdahaga, kerongkonganku menjadi kering,
maka hari ini, aku minum hingga sinting!
Apakah halangan habis minum lalu mabuk,
lalu mati, lalu dikubur" "
"Engko, kau sudah mabuk!" kata Cie Hoa.
"Jikalau kita minum bersama sahabat kekal, seribu cawan
masih kekurangan!" berkata Kim Sie Ie. "Beberapa kati arak
ini mana dapat membuat aku mabuk" Pelayan tambah lagi
tiga kati!"
"Engko, dengar aku!" kata Cie Hoa. "Sudah, jangan minum
pula!" Dengan mata guram, Kim Sie Ie mengangkat kepalanya.
Kebetulan di tengah jalan ada beberapa orang berlalu. Ia
melihat mereka, agaknya ia terkejut.
"Bukankah mereka itu Ciong Tian dan Bu Teng Kiu?"
katanya. Ia lantas mengawasi lalu mendadak, ia menepuk
meja dan berbangkit untuk berkata sembari tertawa: "Dicari
sampai sepatu besi pecah, tidak dapat, sekalinya ketemu,
gampang saja! Ha, kiranya kedua bocah, kamu ada disini!-
Nona Kok, tolong kau tunggu sebentar, aku pergi dulu, nanti
aku kembali untuk minum pula!"
Cie Hoa heran. "Engko Kim, jangan terbitkan onar!" katanya.
"Aku hendak menanyakan sesuatu kepada bocah itu!"
menjawab Sie Ie. "Kau jangan perdulikan aku! Pasti aku tidak
mengacau!"
Memang rombongan itu Ciong Tian bersama Bu Teng Kiu,
yang turut mengambil bagian dalam pertemuan di Binsan.
Mereka mempunyai dua kawan, ialah Louw Too In dan Lim
Seng, masing-masing murid-muridnya Co Jin Hu dan Louw Bin
Ciam. Mereka ini belum muncul ketika Thia Ho membacakan
nama-nama tetapi Thia Ho memberitahukan Co Kim Jie bahwa
masih ada dua orang, yang bakal hadir. Itulah mereka ini. Dan
masih ada seorang kawan lain, murid bukan pendeta dari
Siauwlim Sie, ialah Khu Goan Ka, muridnya Pek Toat Siangjin,
kamsie dari Siauwlim Sie. Ciong Tian dan Bu Teng Kiu bertemu
mereka bertiga di tengah jalan, maka itu, mereka lantas
berjalan bersama-sama.
Berlima mereka berjalan sambil memasang omong dengan
asyik, ketika mendadak mereka mendengar bentakan: "Eh,
dua bocah, berhentilah kamu!"
Teng Kiu kaget ketika ia sudah lihat orang yang
membentak itu, yang berdiri di sebelah depan mereka. Ia
mengenali Kim Sie Ie.
Ciong Tian pun kaget tetapi ia dapat menguasai dirinya. Ia
lantas menghunus pedang.
"Jalanan ini bukan jalananmu, mengapa kau melarang
kami?" ia membentak.
Kim Sie Ie tertawa. "Bocah-bocah, apakah kau belum cukup
menderita?" ia tanya. "Bagaimana kamu berani menggunai
senjata tajam terhadap aku" Mari, mari! Hendak aku
menanyakan satu urusan kepada kamu, jikalau kamu sudah
memberikan keterangan jelas, baru aku ijinkan kamu lewat!"
Teng Kiu menetapkan hati. Ia berkawan banyak, ia menjadi
berani. "Di kaki gunung Binsan, mana dapat kau dibiarkan banyak
lagak!" katanya bengis. "Kau hendak membuka jalan atau
tidak?" Sengaja Teng Kiu menyebut "di kaki gunung Binsan", untuk
membangkitkan kemurkaan kawan-kawannya. Ia berhasil,
hanya mereka itu, lantaran belum tahu duduknya hal, dan
mereka pun belum tahu Kim Sie Ie siapa, mereka menahan
sabar, ingin mereka mendengari terlebih jauh.
Kim Sie le tertawa besar.
"Kalau di kaki gunung Binsan, kenapa?" tanyanya,
menantang. "Aku mempunyai urusan, aku menanya kamu, jika
kamu berani tidak memberikan keterangan, akan kuhajar kaki
kamu sampai patah, supaya kamu mendaki gunung Binsan
sambil merayap!"
Lim Seng muridnya Louw Bin Ciam tak dapat menahan
sabar lagi. "Tuan, kau dari kalangan apa?" tanyanya- "Apa itu yang
kau hendak tanyakan" Silahkan! Buat apa kau berlaku begini
galak?" Mata Kim Sie le mencilak dan berputar.
"Namaku?" dia membaliki. "Kau baiklah tak usah
mengetahui itu! Aku menanya mereka, kenapa mereka tidak
mau bicara" Kenapa mereka mengatakan aku galak" Taruh
kata benar aku galak, habis mau apa"'"
Sie Ie bicara dengan suara keras, selain bau arak, pula ia
membiarkan ludahnya menyembur keluar.
Lim Seng mundur setindak.
"Binatang ini tentunya sudah sinting," pikirnya. Tapi ia kata
pada kawannya: "Ciong Toako, coba dengar dulu
pertanyaannya. Di kaki Binsan ini, aku menjadi tuan rumah,
tidak nanti aku membiarkan kau mendapat kesukaran."
Ciong Tian lebih sabar, ia melirik kepada Bu Teng Kiu untuk
mencegah saudara separtai itu berlaku sembrono. Ia pun
maju setindak. "Tuan Kim, kau hendak menanya apa?" ia menanya. Ia
dididik Tong Siauw Lan untuk banyak tahun, pula ia ingat
selama di Beng keechung orang telah diam-diam membantu
pihaknya, maka ia berlaku sabar.
"Bagus, dibanding sama bocah she Bu itu, kau lebih
mengerti urusan!" sahut Kim Sie Ie. "Aku ingin menanyakan
kau tentang Lie Kim Bwee. Dia pergi kemana" Kenapa dia
tidak bersama kau?"
"Oh, kau menanyakan tentang sumoay-ku itu?" kata Ciong
Tian. "Dia... dia..."
"Dia kenapa?" Tokciu Hongkay memotong.
"Aku... aku tidak tahu..."
"Kau tampaknya lebih jujur kenapa di depanku kau
berpura-pura" Setelah lolos dari ancaman bahaya di Beng
keechung, bukankah Lie Kim Bwee pergi ke dusun Sin-an
mencari kamu" Mustahil kamu tidak bertemu dengannya?"
Selagi menanya begini, Sie Ie pikir: "Kalau bukan Ciong Tian
yang mendusta tentulah Le Seng Lam."
Habis mengacau di Beng keechung, Seng Lam pernah
menggunai namanya Lie Kim Bwee memancing Kim Sie Ie
datang ke puncak Kimkee Hong di Thayheng San, ketika Sie Ie
minta penjelasan, dia kata dia sengaja berbuat demikian, agar
Lie Kim Bwee bertemu sama suheng-nya, si kakak
seperguruan, maka itu, melihat Ciong Tian dan Bu Teng Kiu,
Sie Ie lantas minta keterangan mereka ini.
Sebenarnya Le Seng Lam tidak mendusta. Karena
pengunjukannya, Lie Kim Bwee dapat bertemu sama Ciong
Tian dan Bu Teng Kiu itu. Ciong Tian berniat memberitahukan
Kim Bwee halnya Kim Sie Ie, tetapi Teng Kiu mendongkol, dia
membenci Kim Sie Ie, dia sengaja membilang bahwa "Kim Sie
Ie telah dilukai Siulo Imsat Kang dari Beng Sin Thong",
keadaannya berbahaya, mungkin Sie Ie sudah mati. Teng Kiu
ingin memadamkan pengharapannya Lie Kim Bwee mengenai
Kim Sie Ie, supaya Kim Bwee mau pulang ke Thiansan. Kim
Bwee percaya keterangan itu, ia menjadi sangat berduka. Tapi
ia ingin memperoleh kabar pasti, ia penasaran, maka ia
justeru lantas berpisah dari suheng-nya itu, ia lantas pergi
mencari Kim Sie Ie. Ciong Tian tidak dapat membujuk atau
mencegah, bahkan ia tidak bisa menyusul nona itu, maka juga
ia menyesalkan Bu Teng Kiu. Tapi sekarang, di depan Kim Sie
Ie, tidak dapat ia omong dari hal yang benar.
Menampak orang bersangsi, Sie Ie menjadi semakin curiga.
"Eh, bocah, kau kiranya berpura-pura jujur!" bentaknya.
"Lie Kim Bwee dimana" Kau mau omong atau tidak?"


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bu Teng Kiu tidak puas. Ia tertawa dingin.
"Kim Sie Ie, Lie Kim Bwee itu pernah apa dengan kau?" dia
tanya, mendahului Ciong Tian. "Kenapa kau memaksa mau
mengetahui tentang dia?"
Kim Sie le gusar sekali, ketika ia hendak membentak, ia
didahului anak muda itu, yang dengan dingin berkata: "Nanti
aku beritahu! Lie Kim Bwee itu tunangan dari ini pamanku
yang muda! Jadi jangan kau memperhatikan pula padanya!"
Mukanya Ciong Tian menjadi merah, tetapi di depan
banyak orang itu, tidak dapat ia menegur Teng Kiu.
Sebenarnya ia menyayangi Lie Kim Bwee sebagai adik
seperguruannya, tetapi Tong Siauw Lan pernah melamar nona
itu kepada Phang Lim untuknya, melainkan Lie Kim Bwee tidak
mau menerima lamaran itu.
Kim Sie le tercengang, ia berdiri menjublak. Hanya sejenak,
ia menegur: "Eh, bocah, usiamu masih sangat muda,
mengapa hatimu busuk sekali" Kim Bwee dengan aku mirip
dengan kakak dan adik, aku tahu dia lagi mencari aku, maka
itu, kenapa aku tidak dapat mencari dia?"
"Saudara apa!" kata Teng Kiu, mengejek, tertawanya
dingin. "Kim Bwee masih muda, dia belum tahu apa-apa,
justeru kau yang hendak memperdayakan padanya! Kalau kau
mau cari dia, mengapa kau tidak pergi ke Thiansan" Sekarang,
selagi dia merantau seorang diri, lantas kau kau mencari
padanya!" Sebenarnya Kim Sie Ie sudah mencoba untuk menyingkir
dari libatan asmara, tidak mau ia mencari Lie Kim Bwee, tetapi
ia telah mendengar pembicaraan di dalam hotel di antara Bu
Teng Kiu dan Ciong Tian, maka ia mengetahui Lie Kim Bwee
bersumpah tidak mau menikah kecuali dengannya, hatinya
menjadi bangun pula. Inilah di luar dugannya. Ia pikir,
bukanlah cara yang baik untuk ia selalu menyingkir dari nona
itu. Ini pula sebabnya kenapa ia mendongkol karena Le Seng
Lam mendustainya. Maka itu, sebelum mendaki gunung
Binsan, buat beberapa hari ia sudah mencari Lie Kim Bwee di
sekitar dusun Sinan tin ini. Sekarang ia mendengar ejekan Bu
Teng Kiu, dan anak muda itu seperti menduga ia berniat jelek
terhadap si nona, ia menjadi gusar.
Ketika itu tiga kawan seperjalanan dari Bu Teng Kiu dan
Ciong Tian gusar mendengar disebut-sebutnya nama Kim Sie
Ie, semua mereka mengawasi si pengemis edan.
"Saudara Bu," bertanya Lim Seng, "adakah orang ini Kim
Sie Ie yang dunia Kangouw menyebutnya Tokciu Hongkay?"
Ia heran karena ia melihat orang baru berumur dua puluh
lebih sedang tadinya ia menduga, dengan mempunyai nama
kesohor, sedikitnya Kim Sie le berusia pertengahan.
"Benar dia Tokciu Hongkay!" Bu Teng Kiu menjawab keras.
"Inilah sebabnya kenapa dia menjadi begini kurang ajar! -Eh,
Kim Sie Ie, di lain tempat kau boleh banyak lagak, tetapi kaki
gunung Binsan ini bukan tempatnya kau bertingkah! Tentang
tunangan orang, baiklah kau jangan tanya-tanya! Sekarang
kita sudah bicara habis, kau mau membagi jalan atau tidak?"
Sepasang matanya Kim Sie le seperti terbalik. Ia berada di
bawah pengaruh air kata-kata, hawa amarahnya meluap.
Mendadak ia tertawa nyaring, sambil mendelik terhadap Bu
Teng Kiu, ia kata sengit: "Di mulut anjing tidak dapat tumbuh
caling gajah! Apakah kau masih hendak merasakan pula sari
luar biasa?"
Bu Teng Kiu mundur tiga tindak. Ia berada di antara
banyak kawan, ia membesarkan nyalinya.
"Kau berani?" ia menantang.
Kim Sie le tertawa bergelak.
"Baiklah!" katanya. "Dengan memandang hari ini kau
datang ke Binsan untuk menghunjuk hormat kepada
Locianpwee Lu Su Nio, suka aku tidak menyuapi lumpur lagi
padamu, sekarang aku hendak mengundang kau minum
arak!" Habis berkata begitu, dengan mengempos tenaga
dalamnya, Kim Sie Ie lantas memuntahkan beberapa kati arak
yang tadi telah masuk ke dalam mulutnya, lantas arak itu
meluncur bagaikan air mancur.
Bu Teng Kiu masih hendak mencaci pula, baru ia membuka
mulutnya, arak sudah menyemprot ke mulutnya itu, lekaslekas
ia menutupnya pula, meski begitu, arak toh sudah
masuk juga dan ada yang mengenai mata dan hidungnya,
hingga ia kelabakan. Ia tidak doyan arak, inilah hebat
untuknya. Ia merasakan arak itu perih dan bau, sedang arak
pun keluar dari dalam mulut! Tidak ampun lagi, ia tumpahtumpah
hingga mengudal isi perutnya.
Kim Sie Ie tertawa melengak.
Bu Teng Kiu menjadi sangat gusar. Ia terhina dan malu.
Maka ia menghunus pedangnya, untuk segera menikam, la
lantas diturut oleh Ciong Tian. Ia ini kecipratan muntahan arak
itu hingga hatinya menjadi panas.
Ciong Tian berada lebih dekat, maka itu, meski ia
menyerang belakangan, pedangnya sampai terlebih dulu.
Serangannya pun dengan tipu silat "Burung elang menyerbu
ke tengah udara".
Kim Sie le ketahui ilmu silat pedang orang ini sudah terlatih
cukup, ia tidak berani memandang enteng, dengan
tongkatnya, ia menangkis. Ia menggunai tenaga lima bagian.
Habis itu ia putar terus tongkatnya, guna menangkis
serangannya Bu Teng Kiu, justeru pedangnya orang she Bu ini
tiba dan masuk dalam lingkaran tongkatnya itu. Karena kena
terlilit dan tertarik, pedang Teng Kiu itu terlepas dari
cekalannya, kena dibikin terpental.
Melihat demikian, Ciong Tian menyerang pula, untuk
menghalangi Teng Kiu nanti didesak.
Bu Teng Kiu berlompat, untuk menyambuti pedangnya
yang lagi jatuh turun. Ia mendongkol tidak terkira hingga ia
berteriak-teriak. Ia sesumbar: "Tokciu Hongkay! Hari ini kalau
bukan kau yang mampus tentulah aku yang terbinasa!"
Lantas ia maju pula.
Kim Sie Ie tertawa dan kata: "Baru kamu dua orang bocah,
tidak dapat kamu melukai walaupun selembar rambutku! Aku
pun belum menginginkan jiwamu!" Lalu dengan tongkatnya ia
menangkis terus ia membalas menyerang. Saban-saban ia
menyerang ke jalan darah, tetapi saban-saban juga ia tidak
melanjuti mengenai. Dengan caranya itu ia membuatnya
kedua lawan menjadi repot.
Menampak demikian Louw Too In, dengan memutar tiat
piepee, atau piepee besi, yang menjadi senjatanya, lantas
maju untuk membantui. Sebagai murid Binsan Pay, tidak
dapat ia menonton saja.
Louw Too In murid kepala dari Co Jin Hu, Co Jin Hu ialah
salah satu dari Kanglam Cithiap, Tujuh Jago dari Kanglam,
dengan Co Kim Jie dia pernah saudara seperguruan, maka itu
di dalam generasi ketiga dari Binsan Pay, ilmu silatnya cuma
kalah sedikit daripada Co Kim Jie. Ek Tiong Bouw ialah yang
ketiga. Mulanya Too In tidak niat mengepung, tetapi melihat
gelagat tidak baik bagi Bu Teng Kiu dan Ciong Tian, ia
terpaksa turun tangan juga. Ia tidak tahu bahwa Kim Sie Ie
lagi mempermainkan Teng Kiu dan Ciong Tian, ia hanya
ketarik dan berkuatir karena liehaynya tongkat Kim Sie Ie itu.
Ia pikir: "Dua orang ini murid-murid Thiansan Pay, jikalau
mereka terluka di
ujung tongkat Kim
Sie Ie, bagaimana
pihak Binsan Pay
dapat memberi pertanggungan jawab" Kim Sie Ie
ternama buruk dalam dunia Kangouw, kalau sekarang aku membantu pihak Thiansan Pay membinasakan dia,
pasti kaum Rimba
Persilatan tidak
akan mencela aku." Kim Sie Ie melihat orang bersenjatakan piepee besi, dia
membentak: "Inilah bukan urusan kamu kaum Binsan Pay,
lekas kau mundur!"
Louw Too In tidak mau mengerti, ia menjawab dengan
bentaknya: "Mereka orang-orang Thiansan Pay tetapi mereka
datang menjenguk dan mengunjuk hormatnya kepada
kuburan sucouw, mana mereka tidak ada sangkutannya
dengan pihak kami" Tokciu Hongkay, kau suka malang
melintang main gila, kau mungkin dapat melakukannya di lain
tempat, akan tetapi disini, di kaki gunung Binsan, aku tidak
dapat membiarkannya!"
Kim Sie Ie tertawa lebar. "Jikalau begitu, baiklah, kau boleh
maju!" Sambil berkata begitu, habis berkelit, mendadak Sie Ie
menotok ke dada orang Binsan Pay itu.
Too In terkejut. Ia tidak menyangka orang demikian gesit.
Ia lantas berkelit dengan melengak dalam tipu silat "Tiatpoan
kio" atau Jembatan Besi, hingga tongkat lewat di atasan
dadanya. "Bagus!" Sie Ie memuji, tertawa. "Di dalam Binsan Pay, kau
tidak dapat dicela, hanyalah caramu ini untuk menolong diri
bukan cara yang tepat! Tidak seharusnya kau menggunai
Tiatpoan kio! Tiatpoan kio kuat di bawah tapi kurang lincah,
jikalau aku mengubah siasat, batok kepalamu bisa dihajar
hancur!" Sie Ie mengoceh tetapi tongkatnya tidak didiamkan, ia
mendesak Ciong Tian dan Teng Kiu, hingga mereka menemui
saat-saat yang membahayakan, dengan susah payah baru
mereka dapat menolong diri mereka.
Too In sendiri, mukanya menjadi merah. Ia malu untuk
penjelasannya Kim Sie Ie itu. Maka ketika ia menyerang pula,
ia berlaku telengas. Ia menekan alat rahasia pada senjatanya,
hingga dari situ melesat keluar tiga batang Touwkut teng,
Paku Menembusi Tulang. Itulah senjata rahasia yang ia
umpatkan di dalam piepee-nya itu. Itu pula senjata rahasianya
Co Jin Hu, senjata yang telah memperoleh nama dalam dunia
Kangouw, cuma Co Kim Jie, yang sudah menjadi ketua Binsan
Pay, tidak ingin menggunai, ia menganggap itu kurang tepat
dengan kedudukannya. Kim Jie pun merasa, tenaga dalamnya
bertambah maju dari itu ia tidak membutuhkan senjata
rahasia lagi. Begitulah, senjata rahasia itu diwariskan pada
Too In yang sudah meyakinkannya lebih dari sepuluh tahun.
Jarak di antara Louw Too In dan Kim Sie le cuma setombak
lebih, tidak selayaknya Tokciu Hongkay lolos dari bokongan
paku rahasia itu, yang menyerang di tiga jurusan, yang
sasarannya semua ialah jalan darah. Itu waktu ia pun lagi
dibarengi diserang Ciong Tian dan Teng Kiu, hingga ia mesti
menggunai tongkatnya menghalau senjata-senjatanya kedua
lawan itu. Tapi toh, di saat ketiga paku hampir mampir di jalan
darah, mendadak Kim Sie Ie berseru, lantas ketiga paku
runtuh sendirinya! Louw Too In heran hingga ia melengak,
tetapi segera ia ingat cerita orang banyak tentang
keistimewaannya Tokciu Hongkay, lantas tanpa merasa, ia
menggigil sendirinya.
Kim Sie le tidak menjadi gusar, sebaliknya, dia tertawa
lebar. "Aku beri ingat kepadamu untuk kau jangan menggunai lagi
senjata rahasia!" ia mengancam. "Jikalau kau tetap
menggunai itu, jikalau aku terbangun kegembiraanku, aku
juga dapat menggunai senjata rahasiaku! Apabila itu sampai
terjadi, hebatlah penderitaanmu nanti! Barusan aku
menggunai kepandaianku yang tidak berarti meruntuhkan tiga
biji pakumu, dari itu, apabila kau memakai pula pakumu, nanti
jarumku masuk ke semua liang dalam tubuhmu - mata,
hidung, mulut dan kuping!"
Louw Too ln terkejut. Memang barusan, pakunya kena
dirobohkan jarumnya Tokciu Hongkay. Ia kaget hingga ia
mengeluarkan keringat dingin. Di dalam hatinya, ia kata:
"Tadinya aku menganggap ceritera itu dongeng belaka,
sekarang baru aku menyaksikan sendiri. Dia benar-benar
liehay!..." Karena ini, ia benar-benar tidak berani menggunai
pula pakunya itu, terpaksa ia terus menggunai piepee besi.
Tentu sekali ia menggunai seantero kepandaiannya. Nyata ia
bisa bekerja sama Ciong Tian dan Teng Kiu, dengan begitu,
meski mereka bertiga tak dapat mengimbangi Kim Sie Ie,
mereka tidak serepot semula
Tengah bertempur itu, Kim Sie Ie tertawa dan berseru:
"Kamu kaum Binsan Pay, benar-benar kamu tidak dapat
membedakan yang baik dari yang buruk! Ketua kamu masih
berhutang budi kepadaku, belum lagi dia membayarnya,
sekarang kamu menggunai senjata rahasia menyerang aku!
Sebenarnya dengan memandang kepada Lu Su Nio, tidak ingin
aku berurusan dengan kamu, tetapi sekarang kamu ngotot,
kalau dipikirkan, hatiku menjadi panas! Baiklah, sekarang aku
memberi hukuman enteng kepada kau, hendak aku menghajar
kempolanmu!"
Kata-kata ini ditutup sama gerakan tongkat menyerang
kepala Too In. Dia ini berkelit dengan terpaksa menggunai
tipu silat "Menekuk pinggang, mematahkan cabang yangliu",
tubuhnya membungkuk. Tapi ini justeru yang dikehendaki Sie
Ie. "Duk!" demikian satu suara ketika Tokciu Hongkay
berlompat maju menyusuli lawan yang berkelit itu, ujung
tongkatnya mampir di kempolan si orang she Louw, syukur
kempolannya kuat dan serangan tidak keras, walaupun
demikian dia menjerit teraduh-aduh!
Lim Seng gusar melihat kakak seperguruannya
dipermainkan secara demikian, ia maju untuk menyerang.
Ialah murid kesayangan Louw Bin Ciam. Louw Bin Ciam ini,
dalam Kanglam Cithiap, namanya tersohor sama seperti
tersohornya Pek Tay Koan. Muridnya ini telah memperoleh
kepandaian yang sempurna. Sekarang Lim Seng tengah
sangat bergusar, meski begitu, ia bisa berlaku tenang seperti
gurunya. Cuma di waktu menyerang, lantas ia menggunai ilmu
totoknya. Dalam generasi ketiga dari Binsan Pay, ia orang
yang ke empat. Kim Sie Ie tertawa.


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

' Bagus! Ini ada artinya juga sedikit!" katanya, bergurau.
"Disana masih ada seorang lagi, kenapa dia tidak maju
sekalian?" Ia maksudkan Khu Goan Ka, muridnya. Kamsie,
hwesio penilik, dari Siauwlim Sie.
Goan Ka menjadi tetamu, ia tidak memikir untuk
mencampur tangan, tetapi melihat empat kenalan itu terdesak
sedang ia ditantang, walaupun ia sabar, ia habis sabarnya,
maka itu, ia lantas berkata: "Kim Sie Ie, karena kau sangat
bertingkah, mari belajar kenal sama ilmu silat dari murid
Siauwlim Sie!" Lalu, tanpa menggunai senjata, ia berlompat
maju, guna menyerang.
Ilmu silat gereja Siauwlim Sie, atau partai Siauwlim Pay,
ada sangat kesohor, terutama ilmu pukulannya yang disebut
"Lohan Ngo-heng Kun!" atau "Panca Benda Arhat", yang ada
ciptaannya Bodhidharma, ialah Tat-mo Couw-su, si pendeta
suci, ilmu mana sejak seribu tahun lalu terus menerus
memperoleh perubahan oleh muridnya, atau cucu-cucu
muridnya, yang terpandai. Demikian Khu Goan Ka, murid
pandai dari Siauwlim Kamsie, penilik Siauwlim Sie. Begitu dia
bergerak, dia mengasih dengar suara angin, kepalannya
meluncur. Kim Sie le menangkis seraya membangkol, ia merasakan
tenaga lawan yang keras. Segera ia menggunai siasat
menarik, guna meminjam tenaga lawan. Nyata ia tidak
berhasil. Sebaliknya, ia telah memberikan ketika untuk
lawannya itu meninju pula. Terpaksa ia mengenjot diri, untuk
lompat berjingkrak, sambil berlompat, sebelah kakinya
mendupak ke atas. Itulah tendangan yang dinamakan "Ceebie
kiak", atau "Kakinya rata dengan alis". Tepat tendangan ini
mengenai tangan lawan.
Atas itu, kedua-duanya sama mencelat mundur.
Tapi Kim Sie Ie tidak dapat diberikan ketika untuk
beristirahat. Biar bagaimana, ia telah kena tertinju satu kali
oleh Khu Goan Ka, sedang dengan tongkatnya, ia mesti
membikin terpental pedangnya Bu Teng Kiu, dan Ciong Tian,
sambil berkelit ia menyingkir dan totokannya Lim Seng, serta
dengan pukulan Pekkhong ciang, ia paksa mundur kepada
Louw Too In. "Saudara Khu, jangan kasih dia lolos!" berseru Bu Teng Kiu
berempat. Mereka ini nampaknya bersemangat sekali.
Maka berlima, mereka mengambil tempat di lima penjuru,
untuk mengurung.
"Kim Sie Ie, kau mengertilah sekarang!" kata Louw Too In.
"Binsan Pay tidak dapat mengijinkan kau main gila! Kau mau
mengaku salah atau tidak" Apakah kau tidak mau
menghaturkan maaf?"
Kim Sie Ie tertawa.
"Baiklah, kau tunggulah!" ia kata, "Nanti aku matur maaf
kepada kamu!..."
Belum berhenti kata-katanya itu, Tokciu Hongkay sudah
berlompat ke depan Too In, terus ia menjura dan
mengangguk"menjura dan mengangguk dalam gerakan
"Hong Tiamtauw," atau "Burung hong mengangguk".
Menyusuli itu pemberian hormat, Too In menjadi kaget dan
merasa sakit sekali. Di luar dugaannya, di antara suara
membeletuk, jidatnya telah kena terhajar hingga jidat itu
menjadi bertelur. Ia merasa begitu sakit hingga air matanya
keluar mengalir. Terpaksa ia mencelat mundur.
Kim Sie Ie tertawa pula.
"Aku menghaturkan maaf kepadamu, kenapa kau tidak
terima?" ia menanya. Lantas mendadak ia memutar tubuh ke
arah Bu Teng Kiu, sambil berputar, ia berlompat dengan
sebelah tangannya menyambar, untuk menyengkeram ke arah
pundak, dan sambil menyerang itu, ia menanya keras: "Kau
mau memberitahukan halnya Lim Kim Bwee atau tidak?"
Ciong Tian melihat kawannya terancam bahaya, ia
menyerang dengan pedangnya " pedang Cengkong kiam-dan
dengan jurusnya "Lie Kong memanah batu", sasarannya ialah
punggung si pengemis edan.
Kim Sie Ie melihat serangan itu.
"Kau juga harus mendapat pengajaran!" katanya seraya ia
berkelit dengan memiringkan tubuhnya, sambil sebelah
tangannya terayun, untuk menghajar kuping, hanya sebab si
orang she Ciong berkelit, pundaknya yang kena terhajar.
Kim Sie Ie tertawa pula seraya berkata: "Bagus! Karena
sebatnya kau berkelit, lantaran memandang kepada sumoaymu,
sukalah aku menitipkan dulu gaplokanku sekali ini!"
Selagi Kim Sie Ie berbicara, ia diserang Khu Goan Ka, yang
menggunai pukulan dari "Liong Kun", atau "Kuntauw Naga".
Melihat datangnya serangan itu, si pengemis edan tidak
menangkis atau berkelit, sebaliknya ia menyambuti dengan
cengkeramannya, ia memegang keras kepalan penyerangnya
itu, untuk membikin habis tenaga orang.
Syukur untuk Khu Goan Ka, Lim Seng menolong ia dengan
jalan menyerang menotok Kim Sie Ie, hingga ia ini terpaksa
melepaskan cengkeramannya, tetapi ia melepaskannya sambil
mendorong, karena mana tubuhnya orang she Khu itu
terhuyung beberapa tindak.
Sambil mempertahankan diri, supaya dia tidak roboh, Khu
Goan Ka menginsyafi bahwa, melayani dia, Kim Sie Ie belum
mengeluarkan semua tenaganya.
Lim Seng gagal menotok Kim Sie Ie, lekas-lekas ia mundur,
tetapi meski begitu, ia masih kurang gesit, ketika Kim Sie Ie
menyambar padanya, ujung bajunya kena tersambar hingga
robek! Ciong Tian penasaran karena kepungannya gagal.
"Mari maju rapat!" ia menyerukan kawan-kawannya.
"Jangan kita memisahkan diri!" Ia pun lantas mulai
menyerang, dengan ilmu pedang "Tay Siebie Kiamsie" dari
Thiansan Kiamhoat, ilmu pedang Thiansan Pay. Inilah
penyerangan sambil membela diri, untuk membikin kawankawannya
dapat memernahkan diri, hingga mereka mirip
merupakan "Tiangcoa Tin", barisan Ular Panjang.
Umpama kata Ciong Tian bersilat sendiri dengan ilmu silat
pedangnya, ia masih sukar melayani Kim Sie Ie, tetapi ia
membantu kawan-kawannya dengan kawan-kawan itu seperti
membantu padanya, kedudukan mereka jadi kuat. la bersilat
tetap dengan pedangnya itu, demikian kawan-kawannya
dengan masing-masing senjatanya, seperti Louw Too In
dengan thie piepee, Lim Seng dengan seruling kemalanya.
Tidak gampang untuk mereka melukai Kim Sie Ie tetapi orang
toh dibikin repot. Sedang Khu Goan Ka, yang paling liehay di
antaranya, saban-saban menyerang dengan Lohan Ngoheng
Kun yang anginnya menderu-deru. Dia ini lebih banyak
membantu Ciong Tian, untuk memperkuat pembelaan diri
mereka. Dikepung secara demikian, Kim Sie Ie jadi berimbang
kekuatannya dengan mereka itu. Akan tetapi ia tidak menjadi
kecil hati. Ia melihat orang lebih kuat dalam pembelaan diri
daripada dalam penyerangan. Berselang tidak lama, ia tertawa
bergelak-gelak.
"Pertempuran ini menarik hati!" katanya gembira. Katakatanya
ini disusuli dengan permainan tongkatnya yang
melebihkan yang sudah-sudah. Lawan ada di lima penjuru, ia
pun menyerang ke pelbagai penjuru itu, bergantian ke timur
ke barat, ke selatan dan utara. Ia mencoba mendesak.
Dalam mengepung itu, menampak perubahan serangannya
si pengemis edan, Ciong Tian berlima gentar hatinya. Kalau
mereka berlaku tabah terus, mereka masih dapat bertahan,
tetapi sekarang, mereka kalah hati. Dengan perlahan-lahan
mereka mulai terdesak, hingga barisan mereka kena dibikin
bergerak. Di antara lima orang itu, Lim Seng yang paling cerdik. Ia
melihat gelagat kurang baik, ia lantas memikir untuk
meloloskan dirinya. Segera matanya celingukan, guna melihat
jalan mundur. Justeru begitu, ia melihat di bawah sebuah
pohon ada seorang nona yang menyoren pedang. Dengan
lantas ia berpikir: "Pernah aku mendengar pembilangan Ek
Suheng, katanya Susiok Lu Su Nio mempunyai seorang murid
penutup, nona itu membekal pedang, pedangnya rada luar
biasa, kalau tidak salah itulah pedang Songhoa Kiam dari Lu
Susiok itu, maka mungkin sekali, dialah ahli warisnya
susiok!..."
Dugaannya Lim Seng ini tidak salah. Nona itu memang Kok
Cie Hoa. Si nona tidak dapat menenangkan diri, walaupun Kim
Sie Ie menyuruh dia menanti di paseban teh, diam-diam ia toh
mengikuti, hingga ia mendapat dengar tegas perselisihan dan
bentrokan di antara Kim Sie Ie dan Bu Teng Kiu. Gurunya
bersahabat kekal dengan Phang Eng dan Phang Lim, sudah
tentu ia ketahui yang Lie Kim Bwee itu gadisnya Phang Lim.
Maka berkatalah ia di dalam hatinya: "Jadi urusan yang
dikatakan penting oleh Kim Sie le adalah urusan mencari-tahu
dimana adanya Lie Kim Bwee itu! Kenapa dia belum pernah
menyebutnya padaku?"
Baru ia berpikir demikian, atau ia sudah menegur dirinya
diri: "Hus! Kau pernah apa dengan Kim Sie Ie" Kenapa dia
beritahukan kau segala urusannya" Kau toh sahabatnya
dengan siapa kau baru pernah bertemu hanya dua kali?"
Ada pepatah kuno yang membilang "Pek tauw jie sin, Keng
kay jie kouw", artinya, "Kepala putih seperti baru. Tenda
kereta seperti sediakala". Atau jelasnya: Ada orang yang
bersahabat seumurnya, mereka tetap bagaikan sahabatsahabat
yang belum kenal baik satu dengan lain, bagaikan
sahabat-sahabat baru; bagaikan sahabat-sahabat yang baru
bertemu di tengah jalan, kereta mereka dihentikan, untuk
saling bertanya, untuk itu tenda kereta mereka dimiringkan,
disingkap, untuk mereka berbicara sebentar, tetapi dalam
waktu sebentar, lantas mereka menjadi sahabat-sahabat lama.
Jadi persahabatan itu tidak selamanya dapat diukur dengan
sang waktu perkenalan. Demikian dengan Kok Cie Hoa dan
Kim Sie le ini, yang guru-gurunya mempunyai hubungan yang
luar biasa. Sudah diketahui, sebelumnya Cie Hoa mengenal
Kim Sie Ie pribadi, ia sudah mengetahui Kim Sie Ie itu orang
macam apa, sedang di hatinya Kim Sie Ie, Lu Su Nio ada
orang satu-satunya yang dia puja. Berhubung dengan
peristiwa di atas gunung Binsan itu, meski mereka saling
bertemu tidak sering, tidak banyak kali, persahabatan mereka
bukan lagi persahabatan baru. Maka itu, meski Cie Hoa sadar
dan ia dapat menegur dirinya sendiri, ia tetap belum dapat
mententeramkan diri...
Kapan Lim Seng telah melihat Nona Kok dan telah
menduga siapa si nona itu, ia lantas berpikir pula, guna
mengambil keputusan. Mendadak saja ia melakukan
penyerangan, ketika Kim Sie Ie menangkis, mendadak juga ia
lompat mundur, untuk keluar dari dalam gelanggang.
Menyaksikan sikap orang itu, Kim Sie Ie tertawa lebar.
"Memang juga aku tidak menggubris urusan kamu kaum
Binsan Pay!" katanya. "Maka siapa yang cerdas baiklah dia
lekas-lekas mengangkat kaki!"
Ciong Tian dan Bu Teng Kiu menjadi tidak puas. Mereka
menyangka Lim Seng bukanlah sahabat sejati. Demikian juga
anggapannya Louw Too In, yang seperti yang lainnya, tidak
mendapat lihat Kok Cie Hoa.
Ketika itu, Kim Sie Ie mendesak lebih jauh, maka ia
membuat barisan orang menjadi goncang.
Kok Cie Hoa sedang menyaksikan pertempuran itu ketika ia
mendapatkan Lim Seng mengundurkan diri dan terus lari ke
arahnya. Ia menjadi heran, hingga ia melengak mengawasi
orang. Napas Lim Seng tersengal-sengal, ia berhenti di depan si
nona, untuk lantas menanya: "Nona, bukankah kau Kok
Sumoay'' Aku Lim Seng, aku murid nomor tujuh belas dari
generasi ketiga dari Binsan Pay..."
"Oh, jadi kaulah muridnya Louw Supee?" kata si nona Ia
sebenarnya mau memanggil "Lim Suheng", tapi segera ia
dapat membatalkan itu, karena ia ingat ia sudah diusir oleh
Tio Kim Jie, sang suci, atau kakak seperguruan, yang sikapnya
keras. Maka ia lantas menyahuti dengan suaranya yang tawar:
"Benar, aku Kok Cie Hoa..."
Lim Seng heran atas sikap orang yang tawar itu.
"Sumoay, kau lihat atau tidak?" katanya. "Kami orangorang
Binsan Pay, kami tengah diperhina Kim Sie Ie! Jikalau
kami kena dikalahkan di atas gunung Binsan ini, sungguh
muka terang kami tidak dapat dieuci bersih..."
"Oh, ya, aku melihat'" berkata si nona, agaknya dia
terperanjat. Lim Seng menduga nona itu belum tahu siapa adanya Kim
Sie le, maka ia berkata pula, menjelaskan: "Di dalam dunia
Kangouw ada seorang hantu yang dinamakan Tokciu
Hongkay, nah, dialah Kim Sie Ie itu! Dia sekarang mau
merampas tunangannya si orang she Ciong dari Binsan Pay,
dia berani mati sekali sudah memegat di tengah jalan, dia
melarang orang mendaki gunung Binsan! Maka urusan itu
tidak dapat kita tidak mengurusnya! Kim Sie Ie itu sangat
menyebalkan, dia tetap tidak mau mengerti, dia telah
menyerang kami! Siapa termasuk saudara seperguruan, dia
harus membantu kami, oleh karena itu, sumoay, aku minta
sukalah kau lekas memberikan bantuanmu!"
Tepat Lim Seng berkata demikian, kuping mereka
mendengar suara bentrokan senjata yang keras, lalu
tertampak tongkatnya Kim Sie Ie membuat terpental
pedangnya Bu Teng Kiu dan Ciong Tian, hingga pedang
mereka itu terbang ke udara. Louw Too In kaget sekali, dia
mau berkelit, tetapi sudah tidak keburu. Kim Sie le pun
tertawa nyaring dan berkata: "Piepee besi kau ini bagus untuk
dibuat permainan, mari kasih aku lihat!" Dan dengan satu
jambretan, ia telah berhasil merampas gegaman orang itu,
terus dia ketok dengan tongkatnya, hingga terdengar suara
tingting-tongtong.
"Benar, benar, sungguh sedap didengarnya!" kata pula Sie
Ie, berguyon. Harus dikasihani adalah Louw Too In, senjatanya itu yang
ia sangat sayang, karena diadu sama tongkat besi, lantas
menjadi bengkok melengkung bagaikan bulan sisir!
Khu Goan Ka melihat bahaya mengancam pihaknya, dia
terpaksa maju, dengan dua kepalannya, dia menyerang,
tangan kirinya dengan tipu silat "Chongliong cuthay" atau
"Naga keluar dari laut", dan dengan tangan kanan dengan tipu
silat "Pauwhouw kwiesan" atau "Memondong harimau pulang
ke gunung". Itulah serangan mati-matian.


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim Sie Ie tertawa pula.
"Sudah setengah harian kau berkelahi, kau pasti sudah
sangat letih!" katanya, "maka kau beristirahatlah!"
Tengah orang nekat, ia justeru bergurau. Dan tengah ia
diserang mati-matian itu, ia berkelit ke samping, lalu
merapatkan diri, sebelah tangannya diajukan ke ketiak Goan
Ka! Oleh karena ia maju secara nekat itu, Goan Ka terlepas dari
perlindungannya Ciong Tian, maka juga tidak perduli dia
gagah, dia tidak dapat membebaskan diri, tak dapat dia
berkelit. Sekonyong-konyong saja dia merasakan tubuhnya
gatal luar biasa, sampai tidak dapat dilawan, setelah mana,
seluruh tubuhnya menjadi lemas, meskipun dia tertawa, dia
toh lantas roboh terkapar!
Begitulah di dalam tempo yang pendek, Kim Sie Ie telah
membikin kabur dan roboh tiga jago dari Binsan Pay. Ia
menjadi puas sekali, maka tidak berhentinya ia tertawa.
Kendati demikian, ia tidak mau lantas berhenti bertindak, oleh
karena ia masih mempunyai urusannya. Maka ia berlompat
maju, dengan niatnya membekuk Ciong Tian dan Bu Teng Kiu,
guna mengorek keterangan dari mulut mereka.
Tepat di saal dia hendak bertindak, mendadak:
"Kim Toako, tahan!"
Itulah satu suara tajam, suaranya Kok Cie Hoa!
Dengan terperanjat, Kim Sie Ie menoleh. Ia lantas melihat
datangnya Cie Hoa diikuti Lim Seng, keduanya berlari-lari. Ia
menjadi heran. "Eh! bagaimana kau hendak mencampuri urusanku ini?" ia
bertanya. Kok Cie Hoa tidak memberikan keterangan hanya ia bilang:
"Di kaki gunung Binsan ini, aku minta sukalah kau memberi
muka padaku!"
Sie Ie bertambah heran.
"Apakah kau belum cukup dibikin penasaran oleh Co Kim
Jie?" tanyanya pula. "Kenapa kau masih hendak melindungi
muka dia?"
Cie Hoa menyahuti, dengan romannya sungguh-sungguh:
"Walaupun aku bukan lagi orang Binsan Pay akan tetapi
kuburannya guruku tetap berada di gunung Binsan ini. Kedua
tuan ini datang kemari untuk mengunjuk hormatnya pada
guruku, oleh karena itu, jikalau kau hendak menanyakan
sesuatu dari mereka, selayaknya itu ditunggu sampai mereka
sudah turun dari gunung ini."
Mendengar perkataannya Cie Hoa itu, Lim Seng terkejut.
Kok Cie Hoa bukan orang Binsan Pay lagi"
Kok Cie Hoa bisa melihat keheranan orang, ia lantas
berkata: "Kim Toako ini pernah membantui ciangbun suci
kamu selama mereka berada di gunung Binsan, jikalau
sebentar kamu menanyakan itu kepada suci kamu itu, akan
kamu mendapat keterangan yang jelas. Maka itu aku memberi
nasihat kepada kamu agar kamu tidak menganggap dia
sebagai musuh."
Lim Seng berempat saling mengawasi.
"Kau melakukan perlanggaran apa maka Co Suci memecat
kau?" tanya Louw Too In.
"Tentang itu pergi kau tanya saja Co Suci kamu,"
menjawab Cie Hoa. "Aku sendiri tidak mendapat tahu apa
kesalahanku."
Kim Sie Ie tidak mau mendengar pembicaraan orang.
"Dengan memandang kepada Nona Kok, hari ini suka aku
mengalah membiarkan kamu pergi!" ia kata bengis. "Apa
perlunya kamu masih banyak rewel, main tanya-tanya?" Ia
tahu Cie Hoa berduka karena itu, ia tidak ingin soal itu
ditimbulkan pula.
Too In tidak enak hati karena teguran itu, tetapi dia jeri,
maka dia lantas memungut senjatanya, piepee besinya, untuk
mengangkat kaki.
Bu Teng Kiu dan Ciong Tian pun sudah lantas turut berlalu.
Khu Goan Ka.tidak puas, maka ia berkata: "Aku menyesal
karena kepandaianku tidak sempurna hari ini aku telah
membikin malu perguruanku, dari itu jikalau lain hari kita
dapat bertemu pula, aku masih hendak memohon pengajaran
dari kau, tuan."
Kim Sie Ie tertawa.
"Kepandaianmu Lohan Ngo-heng Kun sudah tidak ada
kecelaannya," ia berkata, "maka itu dengan roboh di
tanganku, jangan kau anggap itu sebagai satu kehinaan! Akan
tetapi, jikalau kau memangnya hendak menuntut balas untuk
kejadian hari ini, baiklah, aku nanti menunggu sampai
latihanmu sudah sempurna, aku akan menerima pengajaran
dari kau!"
Tokciu Hongkay menyangka orang berbicara untuk
menutup malu saja, sama sekali ia tidak pernah menyangka
bahwa di belakang hari orang benar-benar mengajak saudarasaudara
perguruannya untuk menyeterukan padanya.
Seberlalunya empat orang itu, juga Kok Cie Hoa, dengan
membungkam, lantas mengangkat tindakan kakinya
meninggalkan Kim Sie Ie.
Si pengemis edan heran, ia menyusul.
"Eh, kau kenapakah?" ia tanya.
"Kau mempunyai tempat ke mana kau dapat pergi,
demikian juga aku sendiri, dari itu, buat apa kau tanya lagi?"
menyahut si nona.
"Bukankah tadi kau membilang kau belum mempunyai
tempat tujuanmu?" tegaskan Kim Sie Ie.
"Tapi sekarang aku telah mengingatnya. Semenjak ayah
angkatku menutup mata, aku belum lagi menjenguk
kuburannya, maka hendak aku pergi kesana. Aku minta kau
maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau pergi berlayar,
tidak dapat aku mengawani kau pergi mencari orang."
Kim Sie Ie melengak.
"Eh, mengapa dia mendadak menjadi bersikap dingin
terhadapku?" pikirnya.
"Sampai disini, sudah seharusnya kita berpisah jalan,"
berkata Cie Hoa kemudian. "Mengapa kau masih mengikuti
aku?" Kim Sie Ie heran tetapi ia tertawa.
"Apakah kau gusar karena peristiwa barusan?" ia menanya.
Mukanya si nona menjadi merah.
"Alasan apakah aku mempunyai untuk menggusari kau?"
katanya, balik bertanya. "Perkenalan kita bukannya perkenalan
dari banyak hari, hari ini kau justeru telah membantu padaku,
buat itu aku malah bersyukur tidak habisnya, maka, kenapa
aku mesti gusar terhadapmu?"
Mendengar demikian, Kim Sie Ie menjadi bertambah heran.
Ia tidak dapat menduga urusan Lie Kim Bwee, hanya ia
menyangka peristiwa barusan. Ia melihat roman orang yang
berubah tak wajar.
"Kenapa dia bermuka merah?" pikirnya pula. Ia menerkanerka,
lalu ia mau menduga sebabnya hal. Lantas ia
bersenyum. Ia kata: "Nona Kok, tentang diriku kau
mengetahuinya dengan jelas, hanya ada satu urusan, yang
kau masih belum tahu. Aku ada berhutang kepada satu orang,
hutang itu belum aku dapat lunaskan, maka itu aku merasa
kurang tenteram hatiku."
Cie Hoa heran berbareng tertarik hati, hingga ia batal
bertindak ke lain arah, untuk mereka berpencaran disitu. Ia
berhenti berjalan dan menoleh.
"Apakah itu yang membuatmu tidak puas?" ia tanya. "Kau
mengingat kepada hutangmu itu, mestinya itulah hutang luar
biasa! Apakah hutang itu" Kepada siapakah kau
berhutangnya?"
"Aku berhutang kepada seorang nona kecil, namanya Lie
Kim Bwee," Kim Sie Ie menyahuti, memberitahu.
Mendengar disebutnya nama itu, hati Cie Hoa bercekat.
"Nona itu juga mengetahui baik sekali tentang diriku," Kim
Sie Ie menjelaskan terlebih jauh. "Mungkin disebabkan dia
berkasihan atas diriku yang sebatang kara ini, ia
memandangnya aku sebagai kakaknya. Sudah beberapa tahun
ia melihat diriku, ia mengetahui ilmu silat yang diyakinkanku
tidak sempurna, jalannya tidak tepat, ia kuatir aku tersesat,
maka ia berniat mencegah, untuk menolongi aku. Untuk itu ia
telah bekerja keras, sampaipun jiwanya ia tidak harga-kan
lagi, ia bersedia mengorbankannya untukku."
Tanpa melupakan segala apa, Kim Sie Ie, lalu menuturkan
hal perkenalannya sama Lie Kim Bwee sampai untuk mencari
dia, nona itu telah mendaki gunung Himalaya menempuh
bahaya. Sebagai seorang jujur dan baik hatinya, Kok Cie Hoa
terharu, hingga air matanya mengembeng.
"Sungguh seorang nona yang harus disayangi," ia memuji.
Sekarang ia mengertilah "hutang" luar biasa dari Tokciu
Hongkay itu. Ini pula menyebabkan ia semakin menghargai
orang yang dijuluki pengemis edan yang tangannya beracun
ini... Kim Sie Ie memandang si nona, ia berkata pula dengan
perlahan: "Dia memandang aku sebagai kakaknya, maka aku
pun menganggap dia sebagai adikku, hanyalah sayang,
kedudukan kami berlainan. Aku telah ditakdirkan mesti hidup
merantau seorang diri di dalam dunia Kangouw, dia masih
terlalu muda usianya, dia belum menginsyafi, dia belum
mengerti sedalam-dalamnya tentang diriku. Dia pula dari
partai lurus, yang berkenamaan dan ayah dan ibunya sangat
menyayangnya, maka haruslah dia tinggal dan hidup dengan
aman dan berbahagia. Dengan mengikuti aku, dia tidak bakal
mengicipi ketenteraman dan kebahagiaan itu. Mengertikah kau
sekarang?"
Kok Cie Hoa mengerti.
"Apakah nona itu sampai sekarang masih tetap mencari
kau?" ia tanya. "Benarkah" Ah, tidak dapat kau membuatnya
menjadi bersusah hati..."
"Dia sekarang masih berusia terlalu muda," berkata pula
Kim Sie Ie, "kalau nanti usianya bertambah, dia akan mengerti
dan insyaf bahwa aku cuma dapat menjadi kakaknya, tidak
dapat... tidak dapat..."
Cie Hoa mengerti, Sie Ie pasti maksudkan "menjadi suami
yang baik", maka ia lantas tertawa sendirinya.
"Itulah belum tentu!" katanya.
"Tetapi itulah benar," bilang Kim Sie Ie, sungguh-sungguh.
"Akulah seorang yang hatinya paling gampang tergerak. Dunia
memandang aku sangat aneh, maka itu aku, aku juga ingin
mencari sesuatu yang luar biasa sekali. Ada saatnya yang aku
mendapat anggapan bahwa dunia ini memandang diriku
sangat tidak tepat, aku merasa itulah aneh sekali. Kau
mengerti tidak?"
"Aku mengerti," sahut Cie Hoa. "Aku sebaliknya bukan
orang yang hatinya gampang dibikin tergerak, hanya di saat
sekarang ini, aku seperti mendapat serupa pandangan seperti
pandanganmu itu."
Tidak aneh nona itu mengatakan demikian sebab ia pun
baru mengalami peristiwa yang menggoncang-kan hatinya
yang muda dan polos.
Kim Sie Ie mencekal tangan orang, erat-erat.
"Dibanding dengan aku, kau jauh terlebih gagah," katanya.
"Jikalau aku mendapat pengalaman seperti kau, seperti
perbuatannya Co Kim Jie terhadap dirimu, mungkin aku
menjadi gila benar-benar!"
Hatinya Cie Hoa tergerak. Memang ia telah menderita
pukulan yang hebat sekali. Bahwa ia masih dapat bertahan,
itulah terutama disebabkan dia telah memperoleh didikannya
Kok Ceng Peng dan Lu Su Nio, ayah angkat dan guru yang
bijaksana itu, dan sekarang, ia mendengar suaranya Kim Sie
le, yang cocok benar dengan perasaannya, hingga hatinya
menjadi terbangun, hingga keberaniannya menjadi bertambah
sendirinya. Ia pula merasakan cekalan erat dari si pengemis
edan, hawa hangat dari si pengemis bagaikan tersalurkan ke
dalam dirinya. "Kim Toako," katanya kemudian, perlahan, "aku mengerti
kau. Tapi ingatlah olehmu, tidak seharusnya kau melukai
hatinya seorang nona muda belia."
"Itu pun sebabnya mengapa selama beberapa tahun ini aku
senantiasa menyingkir dari ianya," Kim Sie Ie bilang, "hanya
sekarang aku ingin lekas-lekas dapat menemui ia. Kau
tetapkan hatimu, tidak nanti aku melukai hati dia. Seumurku,
aku nanti menjadi seperti kakaknya untuk menyayangi dan
melindunginya. Dia masih muda sekali, maka itu hendak aku
membuatnya insyaf bahwa dia haruslah mencari
kebahagiaan."
Di dalam hatinya, Cie Hoa menghela napas, di dalam
hatinya itu juga ia berkata. "Kau mengerti dirimu sendiri, kau
juga mengerti dia, hanya kau tidak mengerti perasaannya
seorang wanita muda di saat si wanita mengagumi seorangorang,
bahwa untuknya itu, laut kesengsaraan berubah
menjadi taman hiburan dan neraka berubah menjadi nirwana.
Kau membilangnya tentang kebahagiaannya, mana dia
mengerti itu?"
Kim Sie Ie mengawasi nona itu, menatap sinar matanya.
"Nona Kok, kau memikirkan apa?" ia tanya.
"Oh," kata si nona. "Aku merasa nona itu harus dikasihani.
Kapan kau akan mulai berlayar?"
Kata-kata itu tiada hubungannya satu dengan lain. Maka
mendengar itu, Kim Sie Ie tercengang. Ia kata di dalam
hatinya: "Mungkinkah si nona telah merubah pikirannya?" Ia
lantas menyahut: "Mungkin lagi dua bulan."
"Dari mana kau akan mulai berangkat?" si nona bertanya
pula. "Aku pikir mulai dari pelabuhan bukit Lauwsan di Cenghay,"
Kim Sie Ie memberitahu. "Bagaimana" Apakah kau sudi
berangkat bersama-sama aku?"
Kok Cie Hoa bersenyum.
"Tidak," jawabnya. "Aku memikir buat membantu kau
mencari tahu tentang Lie Kim Bwee. Umpama kata di dalam
tempo dua bulan ini aku dapat mengetahuinya, aku dapat
pergi menyusul kau di Cenghay. Hanya pengharapan itu
sangat samar-samar, hingga ada kemungkinan aku harus
menanti sampai kau sudah pulang kembali..."
Dengan perlahan nona ini meloloskan tangannya dari
cekalan Tokciu Hongkay.
"Di kolong langit ini tidak ada pesta yang tidak bubar,"
katanya pula, perlahan. "Maka sekarang ini, haruslah kita


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpisahan. Apakah kau hendak membilang apa-apa lagi?"
Kim Sie Ie merasakan hatinya berat sekali. Sebenarnya
hendak ia mengatakan, banyak yang ia hendak bicarakan,
mungkin itu tak habis dalam tiga hari dan tiga malam, akan
tetapi, apa ia bisa mengatakannya" Sudah terang tidak dapat
ia mengajak si nona pergi berlayar. Ia masih mempunyai
janjinya dengan Le Seng Lam. Kalau nona ini mengikut ia,
mungkin ada kesulitannya kelak. Bukankah di dalam
urusannya dengan Le Seng Lam itu ia telah memberikan
janjinya bahwa urusan itu tidak dapat ia memberitahukan lain
orang" Kalau mengenai Lie Kim Bwee ia menyebut berhutang,
maka terhadap Le Seng Lam ia berhutang juga. Bedanya
ialah: Lie Kim Bwee itu orang dari siapa ia berhutang tetapi ia
ingin sangat menemukannya, dari Le Seng Lam ia ingin
menyingkirkan diri tetapi tak dapat ia menyingkirnya!
Tokciu Hongkay menghela napas.
"Nona Kok," katanya selang sesaat, "nah, kau jagalah
dirimu baik-baik. Tentang urusan lain orang, itu dapat
dimengerti atau tidak, bolehlah kau tidak usah
memikirkannya..."
"Baiklah, kata-katamu ini benar sekali!" berkata si nona,
menyahuti. "Kata-katamu melebihkan selaksa atau seribu
kata-kata, dapat aku mengingatnya..."
Dua orang itu merasa berat untuk berpisahan tetapi
mereka toh berpisahan juga.
Seberpisahnya dari Kim Sie Ie, Kok Cie Hoa berjalan
dengan hati masgul. Ia menginsyafi bahwa dirinya sendiri
senasib sama dirinya Kim Sie le. Kim Sie Ie tidak mempunyai
sanak atau kadang, demikianpun ianya. Benar ia mempunyai
ayah tetapi ayah itu mirip tidak ada, bahkan ayahnya luar
biasa buruk. Semenjak masih kecil ia sudah sebatang kara,
maka sekarang ia merasai benar hidup seorang diri ini...
Dalam kemasgulan, nona ini berjalan buat beberapa puluh
lie. Syukur untuknya, ketika sang matahari turun ke barat,
tandanya sang sore lagi mendatangi, di depannya ada sebuah
kota kecil, maka lekas-lekas ia menuju kesana, untuk mencari
pondokan. Di tempat itu cuma ada sebuah rumah penginapan, yang
kamarnya, bagian luar dan dalam, cuma enam. Maka itu,
ruang tetamu berbareng dijadikan ruang kantor dan tempat
bersantap. Ketika itu sudah ada tujuh atau delapan orang
tengah berdahar. Maka juga tertarik hati mereka itu
mendadak melihat tibanya seorang nona, yang bersendirian
saja. Semua lantas mengawasi dengan mata dipentang lebar.
Tuan rumah seorang yang usianya sudah lanjut, kecil
hatinya ketika ia mendapatkan tetamu wanita ini, bersendirian
tetapi menyoren pedang di pinggangnya.
"Hotelku ini sudah... sudah..." katanya, perlahan, raguragu.
Ia mau membilang hotelnya "sudah penuh" tetapi disitu
cuma ada beberapa tetamu, ia takut untuk mendusta, tapi ia
mesti melanjuti. Katanya: "...semua kamar sudah ada yang
pesan..." Kota kecil ini bukan kota hidup, yang ramai hubungannya
dengan tempat-tempat lain, nyata sekali tuan rumah itu bicara
tak benar. Cie Hoa sudah berpengalaman juga, ia bisa
menebak hatinya tuan rumah itu, maka ia bersenyum dan
berkata: "Kalau baru pesanan, malam ini belum tentu si
pemesan tiba, maka itu coba tolong sediakan untukku sebuah
kamar..." "Tidak bisa, nona," kata tuan rumah, agaknya bingung.
"Jikalau si pemesan tiba, aku bakal mengganti kerugian tiga
lipat..." Cie Hoa tertawa.
"Aku akan membayar kau tiga lipat!" katanya, lantas ia
merogoh ke sakunya, atau sekonyong-konyong ia kaget di
dalam hatinya. Tadi ia lupa bahwa ia berangkat dengan
kesusu, bukan cuma uang, bahkan buntalannya pun ia telah
melupakannya. Apa yang sekarang ada di tubuhnya ialah
beberapa biji kancing emas, yang tadinya ia mau pakai untuk
kutangnya, kancing mana ia simpan di dalam sakunya.
Terpaksa, ia mengeluarkan satu biji, seraya memberikan itu
kepada tuan rumah, ia kata: "Kau terimalah ini. Kau
menyediakan sebuah kamar untukku, lalu membikin matang
beberapa rupa sayur untuk aku berdahar. Kelebihannya ini kau
boleh ambil untukmu."
Kancing itu berat satu cie lebih, artinya seharga lima tahil
lebih. Si tuan rumah juga mengerti barang, maka ia tahu
itulah emas tulen. Ia sebenarnya bercuriga tetapi ia
terpengaruh oleh benda yang berkilauan itu, maka lantas ia
mengasih lihat wajah yang gembira.
"Baik, baiklah!" katanya cepat. "Nanti aku berikan kau
sebuah kamar yang dipesan Ong Toakoan-jin!"
Kelakuan si nona ada kelakuan yang tak biasanya, maka
itu, ia menarik perhatiannya beberapa tetamu itu, yang lantas
bicara kasak-kusuk. Bukankah Cie Hoa bersendirian saja dan
romannya cantik"
Lantas terdengar kata-kata dalam bahasa rahasia kaum
Kangouw: "Toasuheng, kau lihat wanita ini dari kalangan apa?"
"Ah, perduli apa, dia bukannya orang yang kita lagi cari!"
"Tidak banyak wanita yang mengerti silat. Siapa tahu kalau
dia ini ada hubungannya dengan orang yang kita cari itu?"
Cie Hoa menoleh dan mengawasi orang ketika kawannya
menyahuti pula, tak tedas. Ia melihat dua orang itu beroman
luar biasa. Yang satu tinggi besar, pempiling-annya munjul.
Yang lainnya gemuk, matanya bersinar tajam. Teranglah
sudah, mereka itu pandai ilmu silat. Pula ia mendapatkan
roman tak wajar dari si gemuk itu. Inilah sebab dia itu lagi
memikir: "Toasuheng terlalu berhati-hati. Kita berbicara
perlahan, kita juga menggunai bahasa rahasia, mustahil nona
itu mendapat tahu?" Ia tidak tahu, mahir ilmu dalam si nona,
maka biar mereka bicara dengan perlahan, kata-kata mereka
terdengar nyata sekali.
Tanpa memperdulikan dua orang itu, Cie Hoa masuk ke
kamarnya. Ia cuma tahu, sikap dua orang itu mencurigai.
Nyata sekali mereka itu hendak mencari seorang nona. Entah
siapa nona itu, yang agaknya mereka tidak kenal baik.
Teranglah nona itu musuh mereka. Kenapa terjadi begitu"
Kalau si nona tidak dikenal, kenapa dia dianggap sebagai
musuh" Atau mungkinkah mereka lagi bekerja untuk musuh si
nona" Cie Hoa lantas memikir-mikir, siapa nona itu. Sedikit wanita
yang mengerti ilmu silat. Ia tahu Phang Eng dan Phang Lim
dua saudara yang liehay, tetapi mereka berdiam di gunung
Thiansan. Umpama kata mereka mempunyai musuh, tidak
nanti musuhnya berani sembarang mencari mereka. Juga tidak
nanti musuh menyuruh orang-orang yang kenal kedua wanita
itu mencari secara sembrono seperti mereka ini. Mereka pasti
bukannya tandingan dua saudara Phang itu.
Kecuali kedua wanita itu, ada lagi Pengcoan Thianlie dan
Co Kim Jie. Juga mereka ini pasti bukannya lawan mereka itu.
Ada pula Tong Say Hoa dan menantunya, akan tetapi mereka
sudah berusia lanjut, bahkan si nona mantu sudah berumur
lima puluh lebih dan mereka pun tinggal menyendiri serta
sudah menutup pintu, seandainya mereka mempunyai musuh,
tidak nanti musuh baru mencarinya sekarang untuk menuntut
balas, dan juga tidak perlu mereka dicari putar-putaran.
Sia-sia Kok Cie Hoa memikirkan, siapa si nona yang lagi
dicari mereka ini. Di Kalangan Putih, juga di Jalan Hitam, ia
tidak ingat wanita lainnya. Baru paling belakang ia ingat Lie
Kim Bwee. Mengenai nona ini, ia pun bersangsi. Ia tahu nona
itu masih terlalu muda dan berada di bawah perlindungan
ayah dan ibunya. Nona itu belum pernah mengacau di dalam
dunia Kangouw, mustahil dia mempunyai musuh" Sesudah
lelah memikir tanpa hasil, akhirnya Cie Hoa tertawa
sendirinya. "Urusanku sendiri masih belum beres, mengapa aku mesti
mencapaikan hati urusan lain orang?" kata ia dalam hatinya.
Oleh karena ingat akan urusannya sendiri, ia lantas menjadi
berduka. Di luar kesalahannya ia diusir dari Binsan Pay. Ia
memang yatim piatu, maka itu sekarang, kemana ia mesti
pergi" "Bukankah Kim Sie Ie pun senasib seperti aku?" kemudian
ia ingat. "Bukankah Kim Sie Ie dapat hidup merantau" Kenapa
aku tidak?"
Toh ia tetap berduka. Ia mendapatkan pukulan batin yang
hebat sekali. Maka sambil rebah, otaknya bekerja terus. Ia
bergulak-gulik, tidak dapat ia tidur pulas. Karena itu kupingnya
mendengar beberapa kali tindakan kaki mundar-mandir di
depan pintu kamarnya. Ia tidak takut. Ia percaya, ia menarik
perhatian karena tadi ia menggunai kancing emasnya sebagai
alat pembayaran.
Dengan sendirinya tibalah sang malam. Masih Cie Hoa
belum dapat pulas. Kupingnya lantas mendengar suara orang
bicara. Ialah dari dua orang tadi, si tubuh besar dan si gemuk.
Rumah penginapan itu kecil, tidak heran kalau ia dapat
mendengar suara orang walaupun orang berada di lain kamar.
Ia memasang kupingnya.
"Kabarnya kemarin ialah hari ulang tahun matinya Tokpie
Sinnie dan katanya banyak orang Rimba Persilatan yang
datang bersembahyang, apa tidak mustahil wanita she Lie itu
pun hadir disana?"
"Jikalau dia benar pergi ke Binsan, kita tidak perlu
menyusul ke gunung itu, kita tunggu saja dia disini."
Orang yang pertama bicara itu tertawa.
"Lu Su Nio sudah mati, buat apa jeri terhadap Binsan Pay!"
Kok Cie Hoa berpikir. Orang menyebut-nyebut Binsan Pay
dan si wanita she Lie. Ia menduga-duga. Ia mendengari terus.
Setelah itu, orang bicara perlahan sekali, suara mereka tidak
terdengar tegas, la penasaran, ingin ia mengetahuinya.
Maka ia turun dari pembaringannya, ia keluar dari
kamarnya, dengan berindap-indap ia pergi ke kamar mereka
itu, untuk memasang kuping diluar jendela.
"Toasuheng, katanya kau pernah melihat si nona she Lie?"
katanya seorang, yang suaranya serak.
Orang yang dipanggil toasuheng itu, kakak seperguruan
yang sulung, menyahuti: "Ketika malam itu suhu menawan
wanita itu, aku berada bersama." (Suhu ialah guru, atau
pangilan untuk guru).
"Jikalau begitu, kalau nanti kau bertemu dengannya, kau
pasti akan mengenal dia?"
"Pasti!" sahut pula si toasuheng, tertawa. "Jikalau tidak,
mustahil suhu menugaskan aku?"
"Tapi, aku dengar, Thiansan Pay mempunyai obat untuk
mengubah warna kulit muka..."
"Sebenarnya itulah obat kepunyaan Kam Hong Tie dari
Binsan Pay," kata si toasuheng, memotong. "Kebiasaan
membuat obat itu kemudian diturunkan kepada Tong Siauw
Lan dari Thiansan Pay."
"Luas pengetahuan kau, toasuheng, aku kalah. Sekarang
sudah terang, Thiansan Pay juga mempunyai obat menyalin
rupa itu..."
Si toasuheng tertawa.
"Aku tahu hati kau..." katanya.
"Sebenarnya kau ketarik dengan si nona di kamar depan
itu. Kau ingin main-main dengannya, kau takut aku
merintangi. Benarkah?"
"Bukan begitu, toasuheng. Karena nona she Lie itu dari
Thiansan Pay, siapa berani pastikan dia tidak mengubah kulit
mukanya" Nona di kamar depan itu, aku lihat, umurnya baru
dua puluh tahun lebih kurang, dia membekal pedang, dia pun
menggunai emas perhiasan sebagai uang, maka aku percaya
dialah nona yang belum ada pengalamannya. Tidakkah,
dengan begitu, dia mirip dengan si nona she Lie itu" Mungkin
dialah nona yang kita sedang cari."
"Kau ngaco!" kata si toasuheng. "Taruh kata dia mengubah
kulit mukanya, aku toh mengenali dia! Mustahil dia mengubah
juga potongan tubuhnya" Apakah kau kira orang pun dapat
mengubah sinar matanya dari mana bisa dapat diketahui
mahir dan tidaknya ilmu silat orang" Kau tidak melihat, tetapi
aku dapat. Bukan, dia bukan si nona yang kita lagi cari maka
janganlah kau menimbulkan yang tidak-tidak!"
Si sutee, adik seperguruan, mengasih dengar suara tidak
puas. "Umpama kata aku menerbitkan yang tidak-tidak, suheng,
janganlah kau begini galak!" katanya. "Di dalam partai kita
tidak ada semacam larangan!"
Hati Cie Hoa panas mendengar perkataan orang ini.
"Baiklah, aku nanti yang mengajar adat padamu!" pikirnya.
"Aku bilang, kau buta matamu!" berkata si toasuheng,
menegur. "Wanita di depan itu jauh terlebih liehay daripada si
wanita she Lie. Aku tidak berani mengganggu dia, apakah kau
sebaliknya berani" Jikalau dia dapat dibuat permainan,
mustahil aku menanti kau?"
Mulanya Kok Cie Hoa menganggap si toasuheng lurus
hatinya, maka ia menyesal bahwa sangkaannya itu keliru,
meski demikian, ia mengagumi juga ketajaman matanya, yang
melihat dari roman dan sinar mata saja, dia mengetahui orang
pandai ilmu silat.
Sutee itu berdiam, agaknya dia mendongkol sekali. Tapi
tidak lama, dia sudah berkata pula: "Semenjak Kim Sie le
mengacau, toasuheng, kelihatannya hatimu menjadi jauh
terlebih kecil. Bukankah Kim Sie le yang liehay itu toh terluka
di tangan guru kita" Suhu bilang, kalau Kim Sie le tidak mati,
sedikitnya dia bakal bercacad seumur hidupnya. Dunia jeri
terhadap Kim Sie le, Kim Sie le sebaliknya takut pada guru
kita! Maka kau, mengapa kau jadi begini takut?"
"Sebenarnya telah berapa lama kau belajar silat sama
guru?" si kakak menegaskan. "Kau benar tidak menginsyafi
berapa tingginya langit dan berapa tebalnya bumi! Di kolong
langit ini ada berapa orang yang dapat melebihkan liehaynya
guru kita" Sekalipun Kim Sie le, aku sangsi yang dia bakal
bercacad! Bahkan aku percaya, wanita she Lie itu dialah yang
membawa lari..."
"Ah, kau menjadi tidak percaya perkataan suhu" Apakah
suhu mendusta?"
"Kau tidak tahu. Aku pernah mencoba sendiri
kepandaiannya Kim Sie le, aku pernah terkena senjata
rahasianya. Syukur senjatanya itu tidak dipakaikan racun.
Sampai sekarang ini, apabila aku ingat itu, aku masih jeri..."


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kok Cie Hoa terus memasang kuping. Ia tidak tahu bahwa
si toasuheng itu ialah murid kepala dari Beng Sin Thong,
namanya Hang Hong, dan si sutee, adik seperguruan, ialah Kie
Siu, murid nomor sebelas. Ketika itu hari Kim Sie le mengacau
di Beng keechung, rumahnya Beng Sin Thong, benar Sie le
telah terlukakan Siulo Imsat Kang, tetapi Beng Sin Thong
sendiri juga terkena Tokliong ciam, jarum Naga Beracun.
Kemudian ketika Kim Sie le bersama kawan-kawannya berlalu,
Beng Sin Thong juga berlalu dari kampungnya itu, yang ia
bakar habis. Ia terluka, tempat kediamannya itu ketahuan,
maka perlu ia mencari lain tempat bersembunyi. Selagi terluka
ia kuatir kaum Kaypang nanti menyateroni pula. Dengan
mengajak murid-muridnya, ia pergi ke kaki gunung Thayheng
San dimana di dalam sebuah lembah ia mempunyai suatu
tempat sembunyinya. Ia sudah pikir, setelah sembuh dari
lukanya, ia mau menyingkir terlebih jauh ke gurun Utara,
untuk disana meyakinkan terlebih jauh Siulo Imsat Kang.
Menurut dugaan Beng Sin Thong, Kim Sie Ie itu mesti
terbinasa atau bercacad, ia jadi tidak berkuatir lagi. Ia pun
tidak berkuatir untuk Le Seng Lam, sebab meski benar nona
ini musuhnya, orang masih berusia sangat muda
kepandaiannya tidak dibuat takut. Yang membuatnya
berkuatir ialah buron atau lenyapnya Lie Kim Bwee. Semenjak
meninggalnya Lu Su Nio, maka Tong Siauw Lan dari Thiansan
Pay ialah pemimpin utama dari kalangan Bu Lim, atau Rimba
Persilatan. Umpama kata Lie Kim Bwee dapat pulang ke
Thiansan, dia pasti akan membuatnya Tong Siauw Lan, Phang
Eng dan Phang Lim muncul untuk memu-suhkannya, dan hal
itu akan membuatnya makan tak bernapsu, tidur tidak
nyenyak. Mungkin Lie Kim Bwee tidak lari pulang ke Thiansan
guna meminta ayah dan ibunya mencari balas, tetapi Thiansan
Pay itu luas pergaulannya, Lie
Kim Bwee dapat pergi meminta bantuannya setiap tertua
orang Rimba Persilatan guna memusnahkan dia. Benar Beng
Sin Thong jeri cuma terhadap beberapa orang, tetapi kalau
setiap tertua menentang dia, itu artinya pusing kepala dan
bahaya. Oleh karena itu, sambil menyembunyikan diri di dalam
lembah di Thayheng San, di satu pihak Beng Sin Thong
meyakinkan terus dengan sungguh-sungguh ilmu silatnya
yang liehay, di lain pihak ia menitahkan adik seperguruannya,
Yang Cek Hu, bersama Hang Hong si murid kepala dan Gouw
Bong si muridnya nomor tiga, dan lainnya, dengan
berpencaran, pergi mencari Lie Kim Bwee. Hang Hong
berkawan dengan Kie Siu, kebetulan sekali mereka bertemu
Kok Cie Hoa di rumah penginapan itu.
Kok Cie Hoa tidak mendapat tahu halnya Beng Sin Thong
mengurung Lie Kim Bwee. Kim Sie le tidak mau
menuturkannya karena ia kuatir urusan cuma membikin si
nona berduka saja. Ia juga tidak sudi banyak bicara tentang
Beng Sin Thong, ayahnya nona ini.
Akan tetapi tentang Kim Sie Ie mengacau di Beng
keechung, Kok Cie Hoa pernah mendengar. Maka sekarang
mendengar pembicaraan Hang Hong berdua halnya si nona
she Lie orang Thiansan Pay seraya menyebut-nyebut Kim Sie
Ie, ia menjadi heran, ia diam tercengang. Siapa nona itu kalau
bukan Lie Kim Bwee" Ia dapat menduga tetapi ia tidak berani
memikirnya, ia tidak berani juga menyebut nama Lie Kim
Bwee itu... Oleh karena pikirannya kacau, Cie Hoa membuat
tindakannya bersuara.
Mendadak Hang Hong membuka jendela, dengan
mendadak juga dia menyerang dengan sebelah tangannya.
Cie Hoa kaget bukan main. Ia merasakan hawa dingin
menyerang dirinya. Tanpa merasa ia berseru: "Siulo Imsat
Kang!" Kepandaiannya Hang Hong baru sampai di tingkat kedua,
Cie Hoa tidak takut, kalau ia terkejut, itulah sebab kepastian
Hang Hong ini muridnya Beng Sin Thong. Yang membuatnya
jeri ialah ayahnya sendiri, ayah dengan siapa ia belum pernah
bertemu muka, ayah yang menjadi hantu atau iblis!
Menyusul serangannya yang tidak berhasil itu, Hang Hong
berlompat keluar dari jendela dengan diikut Kie Siu, dan Hang
Hong terus menanya, bengis: "Kau juga kenal Siulo Imsat
Kang?" Pertanyaan ini dibarengi dua serangan pula saling
susul! Serangannya Hang Hong belum dapat menyebabkan
kematian orang dengan lantas, akan tetapi angin kepalannya
sudah mendatangkan hawa dingin luar biasa, hawa yang
dapat melukai orang pada goankhie atau resam tubuh, sedang
siapa tenaga dalamnya belum mahir, hawa dingin itu akan
membikin lemas otot-otot dan tulang-tulang hingga orang
dapat gampang dibekuk, Hang Hong lantas dapat melihat
tenaga dalam si nona mahir, maka ia mengerti, seranganserangannya
tidak akan melukai, akan tetapi ia ingin
mencecar, mendesak nona itu. Hanya, di luar dugaannya,
bukan nona itu menyingkir, berkelit atau kabur, sebaliknya, dia
sengaja maju merangsak, menyambut serangan Siulo Imsat
Kang. Orang berada di depannya, ketika ia menyerang, ia pun
menghajar tempat kosong!
Cie Hoa bahkan tertawa, sambil tertawa, sebat luar biasa,
dia merangsak, sebelah tangannya diluncurkan. Sebab dengan
tipu silat Siauwkimna, atau Tangkapan Kecil, dia menjambak
ke arah pundak, di bagian yang colong dan lemas.
Jikalau Nona Kok telengas, dia dapat menyambar tulang
piepee orang untuk dipencet keras, buat dibikin patah atau
remuk, tetapi dia murah hati, tidak pernah ia memikir kejam.
Ia cuma berniat membikin Hang Hong terbekuk, guna ia minta
keterangan dari hal Lie Kim Bwee. Tapi Hang Hong murid
kepala Beng Sin Thong, dia tidak dapat dipandang enteng,
begitu dia merasa gelagat jelek, lekas-lekas dia meloloskan diri
dengan tipu silatnya "Toatpauw kaykah", atau "Meloloskan
jubah, melepaskan baju perang". Dengan mendak tubuh, dia
lolos, cuma bajunya kena terjambret robek. Dia menjadi
gusar, sebat sekali dia membalas menyerang, sebelah
tangannya melayang.
Inilah tidak disangka Cie Hoa, jalan darah kioktie hiat di
lengannya kena tertekan ujung jari tangan, hingga biar
bagaimana, ia merasakan lengannya kesemutan dan kaku,
hingga ia menjadi kaget sekali, tubuhnya menggigil sendirinya.
Kie Siu melihat kakaknya berhasil, ia girang. Ia mau
percaya, walaupun si nona mengerti ilmu menutup jalan
darah, totokan kakaknya toh mesti berbahaya sekali, maka
sambil tertawa lebar, ia kata: "Kami tidak mengganggu kau,
kenapa kau justeru mengganggu kami" Karena kau
mengantarkan diri, aku tidak mau sungkan lagi! Haha! Nona
manis begini dimana hendak dicari lagi?"
Kata-kata itu ditutup sama lompatan maju, guna menubruk
si nona. Belum berhenti tertawanya orang ceriwis ini, atau
mendadak sebelah mukanya kena digaplok nyaring oleh si
nona, yang menyerang dengan tiba-tiba, hingga dia menjerit
kesakitan, mukanya menjadi mengok, dua bocah giginya
copot! Hang Hong terkejut, dia berlompat maju, guna membantu
saudaranya. "Kau juga rasai tanganku!" berseru si nona, yang
menggeraki dua tangannya saling susul, tangan kiri dengan
pukulan "Bunga yang menyambar muka", dan tangan kanan
dengan "Bulir bunga liu beterbangan". Itulah dua jurus dari
ilmu silat Hian Lie Cianghoat, Tangan Dewi Hian Lie Nionio.
Hang Hong terkejut, ia berkelit, ia mundur, atas mana, ia
dirangsak. Ia juga kaget karena ia tidak menyangka si nona
demikian tangguh, sudah tertotok tetapi tidak kurang suatu
apa. Ia heran si nona tidak takut pada Siulo Imsat Kang.
Lu Su Nio mengetahui dengan baik bahwa di pihaknya tidak
ada orang yang dapat melawan Siulo Imsat Kang, maka ia
mengurung diri selama sepuluh tahun meyakinkan ilmu
ciptaannya, Siauwyang Sinkang, yang diutamakan untuk
menandingi ilmunya Beng Sin Thong itu. Ilmu itu tidak dapat
memecah tetapi bisa mempertahankan diri dari angin jahat.
Maka kalau ada dua atau tiga orang saja yang mengerti
Siauwyang Sinkang itu, mereka dapat bekerja sama
mengepung Beng Sin Thong. Mulanya ia cuma mengharapi Co
Kim Jie bersama Ek Tiong Bouw dan Cia In Cin dari partai
Ngobie Pay, maka itu ia memesan Kok Cie Hoa menyerahkan
kitab "Siauwyang Hiankong Pitkoat", kepada Co Kim Jie. Ini
sebabnya selama di Binsan, meski ia telah diusir, Cie Hoa toh
menyampaikan kitab itu. Semasa hidupnya, Lu Su Nio tidak
mengajar muridnya ini ilmu itu dan juga tidak melarang
muridnya mempelajari. Cie Hoa juga tidak ketahui maksud
gurunya itu, tetapi setelah gurunya meninggal dunia, ia
mempelajari itu sendiri. Tentu saja lantaran waktunya singkat,
ia belum sempat memahirkannya.
Ada maksudnya mengapa Cie Hoa meyakinkan juga
Siauwyang Sinkang itu. Inilah sebab ia beranggapan, untuk
dapat melindungi Binsan Pay, bertambah satu orang ada
kebaikannya tidak ada kejelekannya. Untuk mengepung Beng
Sin Thong, tambah satu orang berarti tambahan besar. Tapi
setelah asal-usul dirinya terbeber dan Co Kim Jie mengusir ia
dari Binsan Pay, ia menjadi heran hingga ia mau menduga,
mungkin gurunya sudah mengetahui tentang riwayatnya itu,
karena ia anaknya Beng Sin Thong. ia jadi tidak diajari
Siauwyang Sinkang, dan pastilah ini disebabkan guna
mencegah ia tak usah turut mengepung ayahnya sendiri. Ia
mau percaya gurunya tentu beranggapan bahwa rahasia
dirinya itu akan terus tertutup seumur hidupnya. Siapa tahu,
rahasia itu terbuka dalam tempo begini cepat.
Baru dua tahun Cie Hoa meyakinkan Siauwyang Sinkang.
Perya-kinan itu tidak ada artinya untuk dipakai melawan Beng
Sin Thong, tetapi lain guna menghadapi Hang Hong, yang
baru mendapatkan Siulo Imsat Kang tingkat kedua. Demikian,
mereka bertempur baru belasan jurus, maka pundak Hang
Hong sudah kena dihajar satu kali hingga kelabakan.
Ketika itu semua penghuni hotel telah pada mendusin
dengan kaget, tetapi tidak ada satu yang muncul untuk datang
sama tengah, guna memisahkan. Adalah si tuan rumah yang
berteriak-teriak dari dalam kamarnya: "Tuan-tuan! Kalau tuanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tuan mau berkelahi, silahkan pergi keluar! Penginapanku ini
kecil, kalau barang-barangku rusak, aku tidak dapat
menggantinya..."
Belum habis suara ini atau terdengar suara brak-brik-bruk
hebat. Itulah karena Hang Hong menyambar meja dengan apa
ia menyerang Cie Hoa, kemudian dia ditiru Kie Siu. Dia ini,
untuk membantui kawannya, menggunai kursi dan bangku
dan meja kecil untuk menghajar si nona.
Nona Kok repot juga, terutama disebabkan ruang sempit.
Dengan tenaga tangannya ia dapat me-nyampok semua meja
kursi dan bangku itu hingga semuanya rusak, tetapi ini ia tidak
lakukan. Ia menyayangi barang dan berkasihan terhadap si
tuan rumah, maka ia main berkelit. Ketika ini digunai Hang
Hong dan Kie Siu, untuk kabur keluar dengan terus melompati
tembok pekarangan yang kate. Adalah dari luar, mereka
mementang bacot: "Budak tidak tahu mampus, jikalau nyalimu
besar, mari kejar kami!"
Pada saat itu, Cie Hoa berpikir keras. Tahulah ia dua orang
itu siapa adanya. Ia bersangsi. Ia tahu sekarang yang Sin
Thong itu ayahnya tetapi tidak dapat ia berpandangan seperti
Kim Sie Ie, untuk menganggap si ayah tidak berarti sama
sekali. Ada saatnya ia memikir untuk jangan bertemu sama
ayahnya itu, ada saatnya juga ia ingin menemuinya...
Demikian terhadap Hang Hong berdua, ingin ia tidak
mengejar, ingin juga ia mengejarnya. Ingin ia menanyakan
mereka tentang ayahnya... Ia mau percaya, dengan
munculnya Hang Hong berdua, mungkin sekali ayahnya
berada di tempat yang berdekatan. Binsan Pay memusuhkan
ayahnya itu, sudah pasti, ayahnya pun akan memusuhkan
Binsan Pay. Urusan mereka berdua mestinya timbal balik.
Untuk Binsan Pay, berarti ancaman bencana apabila benar
Beng Sin Thong bersembunyi di dekat-dekat sini. Ia sudah
diusir Co Kim Jie, toh hatinya tidak bisa melepaskan Binsan
Pay. Maka karena itu, perlu ia mengetahui hal ikhwalnya Beng
Sin Thong. Masih ada satu sebab lain kenapa Cie Hoa ingin membekuk
Hang Hong berdua. Ialah buat guna Kim Sie Ie, ia hendak
menanyakan mereka tentang Lie Kim Bwee, si nona yang
mereka itu buat pembicaraan. Maka di akhirnya, setelah raguragu
sekian lama, lantas ia mengambil keputusan mengejar
Hang Hong dan Kie Siu.
Dua orang itu sebaliknya memang lagi memancing nona ini.
Hang Hong tertawa mengejek.
"Budak liar, apakah kau tidak berani mengejar aku?" dia
menantang. Kok Cie Hoa baru berhenti satu tindak ketika orang
menoleh kepadanya dan, "Ser!" sebatang anak panah
menyambar ke arahnya. Ia bisa berkelit akan tetapi anak
panah itu lewat di sampingnya, hidungnya mencium bau
bacin. Maka teranglah senjata rahasia itu telah dipakaikan
racun. Walaupun serangan itu tidak mengenakan padanya, Cie
Hoa menjadi gusar, maka ia menguber pula. Ia dapat
mendekati. Hang Hong terpaksa, untuk membela diri, ia menyerang
dengan Siulo Imsat Kang. Dengan begini, ia berhasil membuat
dirinya tidak kena terbekuk. Si nona kewalahan melayani
pukulannya itu yang mendatangkan hawa dingin luar biasa.
Dengan kelicikannya, Hang Hong melayani nona itu. Setiap
kali ia tercandak, ialah terdesak, baru ia menyerang dengan
Siulo Imsat Kang, habis itu, dia lari pula. Cara licik ini digunai
terus menerus. Maka itu, mereka terus main kejar-kejaran.
Tanpa merasa, mereka telah mensia-siakan waktu setengah
jam. Pula, segera mereka tiba di kaki bukit Giokliong San,
tidak jauh dari dusun Sin-an tin. Selama itu, tiga kali Hang
Hong meluncurkan ke udara anak panahnya, panah Coa-yam
cian, yang menjadi tanda rahasia. Anak panah itu meluncur
naik dengan mengasih lihat sinar api.
Kok Cie Hoa menjadi mendongkol sekali, hingga ia berpikir:
"Jikalau aku tidak berlaku telengas, ini artinya
mempermainkan ketika, dan kawan-kawannya bisa keburu
datang, itu artinya dia tidak bisa dibekuk!" Maka kali ini, tidak


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menanti menyandak orang dekat seperti tadi-tadinya, ia
menjejak tanah, tubuhnya lantas mencelat, bagaikan terbang
menyambar, di waktu mana dengan pedang di tangan kanan
ia menikam membabat, dengan tangan kirinya, ia menyerang
dengan jurusnya "Siauw-thian chee" atau "Bintang Kecil",
menotok jalan darah taytwie hiat.
Di dalam ilmu ringan tubuh, Cie Hoa mahir sekali, dari itu,
tubuhnya melesat sangat cepat. Penyerangannya ini
membuatnya Hang Hong kaget dan bingung, hingga dia
menyerang dengan Siulo Imsat Kang tanpa persiapan lagi.
Tapi di saat sangat berbahaya dari si licik ini, mendadak Cie
Hoa merasai sambaran angin yang dingin luar biasa, hingga
mau atau tidak, ia terus berjumpalitan untuk menyingkirkan
diri. Ketika ia sudah lantas menginjak tanah, ia menoleh ke
arah mana serangan datang. Maka ia melihat seorang tua
dengan kumis jenggot panjang berdiri di depannya, orang tua
mana lantas menanya ia dengan suaranya yang dingin:
"Siapakah gurumu" Mengapa kau menurunkan tangan jahat
terhadap keponakan muridku ini?"
"Sebab dia yang terlebih dulu hendak mencelakai aku
dengan Siulo Imsat Kang!" menyahut Cie Hoa. "Mengapa kau
menyalahkan aku" Sebenarnya aku tidak berniat melukai dia!"
Cie Hoa tidak tahu bahwa orang tua ini ialah Yang Cek Hu,
sutee atau adik seperguruan dari Beng Sin Thong. Dia ini
terkejut mengetahui si nona mengenal ilmu silatnya yang
istimewa itu. Dengan sinar mata tajam dia lantas mengawasi
nona di hadapannya itu.
"Kau toh tidak terluka, mengapa kau berniat merampas
jiwa orang?" dia tanya. "Kau telah menurunkan tangan jahat,
apakah itu bukan berarti kau hendak membinasakan dia?"
"Aku melainkan hendak membekuk dia, untuk ditanyakan
suatu urusan."
Nona Kok tidak dapat menjawab. Ia ingin ketahui tentang
dimana adanya Beng Sin Thong serta juga urusannya Lie Kim
Bwee. Mana bisa ia mengutarakan itu"
"Dia telah mengetahui rahasia kami!" Hang Hong menyelak.
"Susiok, jangan kasih dia lolos!"
Yang Cek Hu menatap.
"Jadinya kau mau mencari tahu urusan Lie Kim Bwee murid
Thiansan Pay?" dia menegaskan.
Cie Hoa tahu bahwa ia tidak bakal bebas dari satu
pertarungan seru, maka ia tidak mau mendusta.
"Tidak salah!" sahutnya. "Apakah salahnya dia terhadap
kamu" Kenapa kamu lancang menawan dan mengurung dia?"
Yang Cek Hu tertawa dingin.
"Lie Kim Bwee sudah kabur!" katanya. "Kebetulan kau
datang, kau boleh mengambil kedudukannya, menggantikan
dia! Bukankah kau mau mencari tahu tentangnya" Baiklah,
kau boleh tanya pada suheng-ku yang menjadi ketua kami!"
Cie Hoa heran. Justeru begitu,
Yang Cek Hu sudah maju untuk membekuk padanya.
Tangannya orang tua itu dipentang.
Yang Cek Hu pikir nona ini mesti dibekuk- Bukan saja ia
telah mengetahui halnya Lie Kim Bwee, ia pun mengerti ilmu
mempertahankan diri dari Siulo Imsat Kang. Siapa mengerti
ilmu itu, dialah lawan untuk pihaknya.
Di dalam kepandaian Siulo Imsat Kang itu, Cek Hu sudah
mencapai tingkat ke lima, maka itu, dia ada beda jauh
daripada Hang Hong.
Satu suara keras dan berisik sekali ada akibatnya serangan
Yang Cek Hu ini. Disebabkan Kok Cie Hoa berkelit dengan
tepat, ia lolos dari serangan yang dahsyat itu, maka sebuah
pohon cemara di belakangnya menalanginya sebagai korban.
Pohon itu terhajar patah dan roboh seketika.
Yang Cek Hu berlompat, guna memegat si nona. Ia mau
bikin nona itu tidak bisa menyingkir ke belakang pohon.
Dengan cepat ia mengulangi serangannya yang kedua, disusul
dengan yang ketiga. Karena lagi-lagi si nona bisa berkelit, lagilagi
ada pohon yang runtuh.
Tanpa terhalang, Cie Hoa bisa menyingkir ke jalanan di tepi
pepohonan itu. "Kemana kau hendak mabur?" membentak Yang Cek Hu,
yang mengulangi serangannya. Dua tangannya bergerak ke
kiri dan kanan, guna menghalangi si nona berkelit ke kedua
arah. Nona Kok mengeluarkan napas untuk melegakan hatinya, la
berlompat mengapungi diri menyingkir dari serangan hebat
itu. Sekarang ia sempat menghunus pedangnya -pedang
Songhoa kiam. Maka selagi tubuhnya turun, ia melakukan penyerangan
membalas. Ia menggunai tipu silat "Pengpok kiusiauw", atau
"Burung garuda menyerbu ke angkasa".
"Eh," berseru si orang tua, yang berlompat mundur hingga
tiga tindak. "Kiranya kaulah muridnya Lu Su Nio dari Binsan
Pay!" "Kau sudah ketahui nama guruku, maka kenapa kau masih
berani main gila di sekitar gunung Binsan?" Cie Hoa menegur.
Yang Cek Hu tertawa dingin.
"Umpama kata Lu Su Nio masih hidup, mungkin aku jeri
terhadapnya!" katanya. "Sekarang dia sudah mati, maka
kenapa kau masih berani menggunai nama Binsan Pay untuk
menggertak aku?"
Yang Cek Hu tahu baik Beng Sin Thong musuh dari Binsan
Pay, maka itu dia tidak mau melepaskan nona ini. Kembali dia
menyerang, selalu dengan pukulan-pukulan dari Siulo Imsat
Kang, yang tenaganya senantiasa dia empos bertambah.
Kok Cie Hoa pernah meyakinkan "Siauwyang Sinkang"
tetapi tempo peryakinannya pendek sekali, ia belum mencapai
puncak kemahiran, dari itu sesudah bertempur kira-kira tiga
puluh jurus, ia merasai dadanya sesak, napasnya tidak wajar
lagi, walaupun demikian, ilmu pedangnya masih belum kalut.
Mau atau tidak, Yang Cek Hu menjadi heran sekali.
"Mustahilkah Lu Su Nio telah mewariskan suatu ilmu
kepandaian yang istimewa?" pikirnya. "Dia masih berusia
sangat muda, sekarang dia dapat mempertahankan diri dari
pelbagai seranganku, sudah lewat tiga puluh jurus, dia masih
belum kelihatan gelagatnya bakal kalah!..."
Juga Kok Cie Hoa berpikir keras.
"Siulo Imsat Kang dari tua bangka ini benar liehay,"
demikian pikirnya. "Semasa hidupnya suhu, aku telah
diberitahukan dia baru mencapai tingkat ke lima, dia kalah
jauh dari Beng... Beng Sin Thong... Pantas dulu hari itu
pangcu dari Kaypang di Kanglam telah terbinasa di tangannya
Beng... Beng Sin Thong!..."
Nona ini tidak sudi mengakui Beng Sin Thong sebagai
ayahnya, maka itu setiap kali memikir atau menyebut nama
orang, ia ragu-ragu, ia mesti menguati hati melawan rasa sakit
di hatinya itu...
Yang Cek Hu masih kalah dari Biat Hoa Hwesio, maka itu
dengan Siulo Imsat Kang tidak dapat ia membuatnya Kok Cie
Hoa roboh, dan si nona, dengan mengandal pada ilmunya
ringan tubuh dan pedangnya yang tajam, sanggup melakukan
perlawanan terus sampai dua ratus jurus atau lebih, cuma
disebabkan kekuatiran-nya Beng Sin Thong nanti muncul
disitu, pikirannya sudah kacau sendirinya, hilang niatnya untuk
bertempur terus, ia cuma pikir jalan untuk mengangkat kaki.
Jikalau seorang liehay lagi bertempur, yang paling penting
tidaklah dapat pemusatan pikirannya terganggu, demikian
dengan Cie Hoa, semakin dia memikir untuk berlalu, semakin
dia kena terdesak, sedang itu waktu, Yang Cek Hu sudah
menggunai kepandaiannya sampai di tingkat ke lima, tingkat
penghabisan untuknya, dengan begitu dapat dia menguasai,
memegat jalan mundurnya lawan.
Di saat sangat genting itu sekonyong-konyong Yang Cek Hu
berseru keras sekali, sebelah tangannya menggempur sangat
hebat, maka tanpa merasa Kok Cie Hoa roboh tak sadarkan
diri. Ketika kemudian ia mendusin, ia sudah berada di dalam
sebuah kamar batu di dalam lembah di Thayheng San itu,
tempat sembunyinya Beng Sin Thong.
Begitu lekas ia membuka kedua matanya, Cie Hoa melihat
dirinya terkurung dan Hang Hong bersama Kie Siu menjagai ia
di luar pintu kamar batu itu. Ia mau berbangkit, apamau
tangan dan kakinya lemas, tangan dan kaki itu tidak mau
menuruti kehendak hatinya.
Hang Hong mengawasi sambil tertawa.
"Apakah sampai disini kau masih memikir untuk lari?" dia
mengejek. Belum berhenti suaranya orang she Hang ini, jauh di luar
terdengar suara batuk-batuk atau berdehem-dehem yang
terputus-putus, lalu terdengar juga suara tindakan kaki.
"Bagus! Suhu datang!" berkata Kie Siu, separuh berseru.
Cie Hoa terkejut hingga ia merasakan di atasan kepalanya
ada guntur menggelegar, setelah mana dengan samar-samar
ia menampak sebuah tubuh yang tinggi besar, yang rada
bongkok, sedang muka orang merah warnanya. Itulah
seorang tua, yang masuk terus ke dalam kamar. Itulah
ayahnya sendiri, ayah yang ia belum pernah ketemukan, ayah
yang menjadi musuh besar dari Binsan Pay: Beng Sin Thong!
"Apakah suhu sudah baik?" tanya Hang Hong sambil
mengasih turun kedua tangannya, tanda menghormat.
"Hm!" menyahuti orang tua itu, "Jarum beracun dari Kim
Sie Ie itu bisa mencelakai lain orang, tidak aku! Buat apa kau
menguatirkan aku" Bagaimana dengan urusan yang aku
tugaskan kepada kamu" Apakah kamu masih belum mendapat
kabar tentang dimana adanya Lie Kim Bwee sekarang"..."
Lagi-lagi dia batuk-batuk, suatu tanda dia belum sembuh
seanteronya dari sakitnya.
"Tentang Lie Kim Bwee masih belum didapat keterangan,"
Hang Hong menjawab. "Syukurnya ialah kami telah
mendapatkan ini wanita muda. Hebat dia ini, dia dapat
melawan Siulo Imsat Kang, jikalau susiok tidak keburu datang,
tentulah teecu berdua telah kena dilukai dia."
Kata-katanya Hang Hong ini mempunyai dua maksud.
Pertama-tama ialah ia mau menunjuki jasanya, dan kedua ia
ingin gurunya itu nanti mengompes si nona. la memang tahu
baik sekali, guru ini paling membenci ada lain orang yang bisa
melawan Siulo Imsat Kang, ilmu kepandaiannya yang paling
diandalkan itu.
"Hm!" bersuara guru itu. "Makhluk tidak berguna! seorang
budak cilik saja kau tidak mampu lawan! Dan kau masih
mempunyai muka untuk menemukan aku!"
Di mulut dia mengatakan demikian, di dalam hati dia
berpikir, bahkan dia berkuatir. Pikirnya: "Hang Hong baru
meyakinkan sampai di tingkat kedua, bahwa dia kena
dikalahkan, masih tidak apa. Tetapi Yang Sutee! Bukankah
Yang Sutee sudah mencapai tingkat ke lima" Kenapa ia cuma
dapat merobohkan, tidak dapat melukai budak cilik ini" Inilah
aneh! Dia ini masih berusia sangat muda, dia sudah dapat
bertahan dari tingkat ke lima, jikalau nanti dia telah mencapai
peryakinannya sendiri, bagaimana?"
Dengan mementang mata lebar-lebar, Beng Sin Thong
mengawasi Kok Cie Hoa.
"Katanya Lu Su Nio mempunyai seorang murid kwanbun
teecu, adakah murid itu kau adanya?" ia menanya dingin.
Muka si nona pucat pasi, ia menutup mulutnya, tidak ia
menjawab. "Hm!" Beng Sin Thong bersuara pula. "Kecewa kau menjadi
muridnya Lu Su Nio, kau tidak mempunyai nyali barang sedikit
juga! Asal kau omong terus terang, tidak nanti aku
membinasakanmu. Kau jangan takut!"
Mendadak Cie Hoa membuka mulutnya.
"Aku bukan takut untuk diriku sendiri, aku takut untuk
dirimu!" sahutnya.
"Ah, inilah heran!" kata Sin Thong. "Sungguh kau baik
sekali berkuatir untuk diriku... Apakah yang kau takutkan itu?"
"Kau mempunyai kepandaian liehay tetapi belum pernah
kau melakukan perbuatan-perbuatan baik!" menyahut si nona.
"Kau... kau..."
Beng Sin Thong tertawa bergelak memotong kata-kata
orang. "Kau seperti mau membilang bahwa aku ini ialah hantu
yang jahat tak terkirakan!" katanya. "Mengapa kau tidak mau
bicara langsung?"
Cie Hoa merasakan hatinya sakit seperti disayat.
"Kau telah mengetahui kejahatanmu sendiri, apakah kau...
kau tidak takut bahwa kelak di kemudian hari akan datang
pembalasan atas dirimu" Aku... aku berkuatir untuk dirimu,
aku kuatir kau nanti menemui akhir yang tidak baik..."
Kembali Beng Sin Thong tertawa tergelak.
"Seumurku aku tidak percaya pembalasan kelak di
kemudian hari!" katanya nyaring. "Maka tak usahlah kau
berkuatir untuk diriku..."
Baru ia mengucap demikian atau mendadak merasa heran
sekali, la tahu benar, sepanjang hidupnya belum pernah ada
orang yang bicara begini rupa terhadapnya. Bukankah orang
ini musuhnya" Mengapa musuh justeru memperhatikan
dirinya, seperti menaruh belas kasihan"
Maka ia lantas memandangi pula si nona, dari atas ke
bawah dan sebaliknya.
"Nona kecil, kau rada aneh," katanya kemudian. "Hm! Hm!
Dengan mengasihani aku, kau tidak akan memperoleh
kebaikan! Tidak suatu halangannya untuk memberitahukan
kau! Dengan kepandaian yang aku miliki sekarang, sekarang
ini cuma dua atau tiga orang yang dapat mengalahkan aku,
akan tetapi nanti, setelah aku selesai meyakinkan hingga di
tingkat ke sembilan, maka di kolong langit ini yang luas, tidak
ada orang lainnya lagi yang dapat melawan aku! Apa yang aku
buat kuatir" Kenapa aku bakal tak memperoleh akhir yang
baik?" "Apakah orang dapat menjagoi cuma dengan
mengandalkan ilmu silatnya saja?" Cie Hoa tanya. "Apakah
kau belum pernah mendengar kata-kata tua bahwa siapa
melakukan banyak kejahatan dia bakal mati celaka sendirinya"
Lagi pun di dalam dunia yang begini luas mana kau ketahui
pasti tidak ada orang yang sanggup melawan Siulo Imsat
Kang yang kau miliki itu" Lainnya aku tidak tahu tetapi guruku
telah meninggalkan semacam ilmu yang bisa dipakai untuk
menindas kepandaianmu itu!"
Beng Sin Thong tertawa dingin.
"Sudah sepuluh tahun aku hidup bersembunyi di gunung


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thayheng San, selama itu belum pernah aku mengganggu
dia!" katanya. Ia maksudkan Lu Su Nio. "Siapa tahu dia
justeru memikir untuk membikin celaka padaku! Lu Su Nio, oh
Lu Su Nio, kau memandang aku terlalu enteng! Di masa
hidupmu kau tidak datang untuk mencm-pur aku, setelah
mampus kau suruh seorang bocah datang menyeteru-kan
padaku, maka mana dapat kau mencelakai aku?"
Kok Cie Hoa berkata, juga dengan dingin: "Memang
sekarang aku bukanlah tandingan kau, tetapi nanti, di dalam
tempo lima tahun, nanti ada orang yang bakal meyakinkan
sempurna kepandaian peninggalannya guruku itu dan orang
itu pasti bakal datang mencari kau! Maka kalau dari sekarang
kau mengubah hatimu yang jahat, selama lima tahun yang
mendatang kau mengumpul kebaikan, bila saatnya tiba,
mungkin musuhmu itu dapat memberi maaf kepadamu!"
Beng Sin Thong tertawa lebar.
"Selama beberapa puluh tahun, cuma ada orang yang
datang kepadaku untuk memohon ampun!" katanya jumawa.
"Sebaliknya, mana dapat aku bertekuk lutut terhadap orang
lain" Sekalipun gurumu, di masa hidupnya, dia tidak berani
datang mencari aku! Maka aku tidak percaya, sesudahnya
mati, dia dapat meninggalkan kepandaian yang liehay luar
biasa! Kau bicara demikian rupa tentang ilmu warisan gurumu
itu, coba kau membacakannya untuk aku dengar!"
"Oleh karena kau tidak takut, buat apa aku
membacakannya untukmu?" berkata si nona.
Mukanya Beng Sin Thong menjadi merah. Ia batuk-batuk.
"Eh, budak cilik, kau benar-benar tidak tahu langit tinggi
dan bumi tebal!" katanya. "Apakah kau kira karena aku takut
maka aku menyuruh kau membacakannya" Sebaliknya aku
hendak menunjuki ngebraholnya gurumu itu, supaya kau, si
katak di dalam tempurung, dapat mementang matamu lebarlebar!
Supaya kau menginsyafi Iiehaynya Siulo Imsat Kang,
ilmu yang jauh diluar terkaan gurumu itu!"
Kok Cie Hoa juga tertawa dingin.
"Justeru kau sendiri si katak di dalam tempurung!" ia
mengejek balik. "Apakah kau kira kau dapat menerka
kepandaiannya guruku" Hm! Sebenarnya, tanpa kau
menyebutkannya aku sudah ketahui hatimu! Yang benar ialah
kau jeri terhadap guruku, dan kau juga takut ada orang lain
yang nanti dapat memunahkan Siulo Imsat Kang! Maka juga
kau memancing kemurkaanku, supaya aku mau
memberitahukan kau kepandaiannya guruku itu, supaya
dengan begitu kau jadi dapat bersedia-sedia untuk
melawannya!"
Air mukanya Beng Sin Thong berubah. Nona itu telah
membeher rahasia hatinya.
"Kau sekarang berada dalam tanganku, kau masih berani
ngaco belo," katanya dingin, bengis. "Kau berani berlaku
kurang ajar terhadap aku! Apakah kau menyangka aku benarbenar
takut pada Binsan Pay kamu hingga aku tidak berani
berbuat sesuatu atas dirimu" Lekas kau membacakan!
Mungkin aku nanti memberi keringanan terhadapmu!"
Cie Hoa berlaku bandel. "Meski kau meminta sehingga
selaksa kali, tidak nanti aku suka membacakannya di luar
kepala!" katanya pasti.
Beng Sin Thong menjadi sangat mendongkol, ia murka
tidak kepalang.
"Kau menyayangi jiwamu atau tidak?" ia membentak.
Kok Cie Hoa mengangkat kepalanya, untuk mengawasi
ayahnya itu, yang tidak mengenalnya.
"Aku tahu kau memang si raja iblis yang biasa membunuh
orang dengan mata tidak berkesip!" katanya nyaring. "Aku
justeru penasaran sekali untuk mereka yang telah terbinasa di
tanganmu! Tetapi aku, jikalau aku mesti terbinasa di
tanganmu, aku puas sekali! Itulah kehendakku!"
Cie Hoa bicara dari hal yang benar, la telah mengatakan di
dalam hatinya: "Kau melahirkan aku, maka kau juga dapat
membinasakan aku! Dengan begitu kau akan dapat
mengakhirkan perhubungan kita ayah dan anak! Memangnya
aku tidak ingin mempunyai ayah semacam kau, dan aku juga
tidak menghendaki yang kau mengetahui akulah anakmu!"
Nona ini berlaku berani tetapi tenang, ia bersiap sedia
menanti ayah itu membunuhnya. Tapi sikapnya ini justeru
membuat herannya ayah itu. Bukankah Sin Thong telah
melihat seorang nona yang tidak takut mati"
Sin Thong menatap nona di depannya itu. Ia heran, ia tidak
mengerti sekali. Dengan tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang
aneh. Ia merasa bahwa ia pernah melihat nona ini, bahwa ia
pernah mengenalnya...
"Ya, siapakah dia" Mengapa dia seperti aku telah kenal
baik?" demikian pertanyaan yang timbul berulang-ulang dalam
hati sanubarinya.
"Suhu," berkata Hang Hong, ketika ia menampak sikapnya
guru itu. Ia pernah dihajar Cie Hoa selama di rumah
penginapan, ia bersakit hati, ia membenci sangat si nona. Ia
pikir sekaranglah saatnya untuk ia mencari kepuasan. "Suhu,
ini macam manusia tulang rendah, tanpa dihajar, tidak nanti
dia suka bicara! Jikalau dia lantas dibinasakan, untuknya
sangat menyenangkan, maka itu baiklah suhu tunggu
sebentar, nanti aku mengambil cambuk Pekliong pian, dengan
cambuk itu dia dihajar! Lihatlah, apakah tulangnya jauh
terlebih kuat daripada cambuk itu!"
Beng Sin Thong berpaling kepada muridnya itu, matanya
mendelik. "Siapa menghendaki kau banyak mulut?" bentaknya. "Lekas
pergi!" Hang Hong menepuk-nepuk kempolan kuda tetapi kena
menepuk kakinya binatang itu, ia menjadi jengah, dengan
mengangguk-angguk dan menyahuti "ya" berulang-ulang, ia
mengundurkan diri. Ia heran bukan kepalang. Bukankah si
nona berlaku kasar sekali dan bahkan kurang ajar" Mengapa
gurunya tidak menjadi gusar sebaliknya seperti orang yang
merasa kasihan"
Tentu sekali murid ini tidak dapat menebak hati gurunya
itu. Pada detik itu dengan tiba-tiba Beng Sin Thong ingat
isterinya. "Tidak salah, tidak salah!" demikian pikirnya. "Inilah gerakgerik
isteriku! Beginilah biasanya sikap isteriku setiap kali aku
berbuat sesuatu yang busuk! Inilah sinar matanya! Ah, dia
telah meninggal selama dua puluh tahun, aku hampir lupa,
atau sekarang aku melihat pula sikapnya ini..."
Seumurnya Beng Sin Thong tidak pernah takut kepada apa
juga, hanya entah kenapa, sesaat ini ia menggigil sendirinya,
tubuhnya gemetaran, hingga ia lekas-lekas menyingkir dari
tatapan Cie Hoa.
"Kau... kau siapa?" ia tanya, cepat, gelisah.
"Bukankah kau telah mengetahuinya dari siang-siang?" si
nona balik menanya. "Akulah muridnya Lu Su Nio dari Binsan
Pay!" "Aku tanya kau-kau she apa dan apa namamu?" Sin Thong
menjelaskan. Hatinya Cie Hoa sakit sekali, maka ia mesti
mengeraskannya untuk menahan kesedihannya.
"Aku Kok Cie Hoa..." sahutnya perlahan.
"Siapakah ayahmu?" Beng Sin Thong tanya pula.
"Ayah... ayahku ialah..."
"Lekas bilang!" Sin Thong mendesak, makin bergelisah
hatinya tegang sendirinya.
"Ialah... ialah..." menyahut si nona, susah.
"Ialah siapa?" desak pula jago tua itu.
"Ialah Liang Ouw Tayhiap Kok Ceng Peng..." menyahut Cie
Hoa akhirnya. Sin Thong menghela napas, ia berlega hati.
"Jadinya kaulah anaknya Kok Ceng Peng," dia mengulangi.
"Eh, mengapa kau mengeluarkan air mata?"
Ia heran. Ia melihat nona itu menangis.
Tak tahan lagi Cie Hoa akan kedukaannya. Ia menangis
sesenggukan. "Aku teringat akan ayahku," ia menyahut. "Ayahku itu...
ayahku itu... ia telah meninggal dunia. Mana ayahku ketahui
penderitaanku hari ini"..."
Sin Thong tidak tahu bahwa di matanya, di hatinya,
puterinya ini, dia telah dianggapnya sudah mati...
"Sudah, jangan menangis, jangan kau menangis," kata Sin
Thong, seperti membujuk. "Kau tidak suka bicara, sudahlah.
Aku tidak akan membunuh kau, aku tidak akan memukulmu,
jangan kau takut..."
Habis mengatakan demikian, kembali Sin Thong merasa
aneh sekali. Untuk pertama kalinya, inilah perasaan kasihan
pertama yang timbul di dalam lubuk hatinya yang keras,
terutama terhadap seorang yang "tidak dikenal".
Kok Cie Hoa menyusuti air matanya.
"Apakah kau akan membiarkan aku berlalu?" katanya.
Tapi Beng Sin Thong menggeleng kepala.
"Tidak bisa!" sahutnya, cepat dan keras. Atau mendadak,
kembali ia ingat suatu apa. Ia lantas menanya: "Tahun ini
berapa usiamu?"
"Dua puluh tahun," sahut Cie Hoa sebenar-benarnya.
Tubuhnya Sin Thong bagaikan terhuyung, ia seperti tak
kuat berdiri tetap. Hanya, lagi-lagi dapat ia segera menguati
hati. Ia kata di dalam hatinya: "Di kolong langit ini mustahil
ada kejadian yang begini kebetulan" Dulu hari itu tidak
sempat aku menolongi dia... dia terluka parah... Mereka, ibu
dan anak, tertinggalkan di tegalan belukar. .. Anak umur
setahun itu, tidak ada yang rawati, apa mungkin dia dapat
hidup seorang diri" Tetapi dia ini, dia mengapa menatap aku
dengan sinar matanya ini" Dia pun berumur dua puluh tahun!"
Lagi-lagi tubuh jago tua ini menggigil sendirinya.
"Kau tidak mau membunuh aku, juga kau tidak mau
melepaskan," kata Cie Hoa. "Habis buat apakah aku berada
disini?" Sin Thong mengawasi. Ia lantas ingat pula bahwa orang
ialah muridnya Lu Su Nio. Ia lantas seperti sadar pula.
Katanya di dalam hatinya: "Lu Su Nio mewariskan ilmu
kepandaian yang dapat menaklukkan aku, dia ini ialah
muridnya, mana dapat aku gampang-gampang membebaskan
dia" Ah, mungkin karena aku terlalu memikirkan isteriku dan
mendapatkan dia mirip sifatnya dengan sifat isteriku, hatiku
menjadi lemah, hingga aku menjadi bersangsi... Bukankah di
dalam dunia ini tak terhitung banyaknya nona-nona usia dua
puluh tahun" Mustahilkah ada begini kebetulan bahwa dialah
anakku perempuan?"
Ia memandang pula si nona, kembali mata mereka bentrok.
Kembali ia melihat sinar mata isterinya, hingga ia bergemetar
pula. Lekas-lekas ia menyingkir dari sinar mata nona itu.
"Aku hendak membiarkan kau berada di dampingku!"
katanya kemudian, suaranya dalam. "Seumurku, kau mesti
mendampingi aku!"
Hati Cie Hoa terkesiap.
"Mendampingi kau seumur hidupmu?" katanya. "Jikalau
begitu, aku lebih suka kau binasakan saja padaku!"
"Jikalau tidak demikian, kau mesti menuliskan semua
kepandaian yang diwariskan gurumu itu!" kata Sin Thong.
Cie Hoa berdiam, hatinya berpikir. Kepandaian yang
diwariskan gurunya itu memang diperuntukkan menaklukkan
Beng Sin Thong, kalau kepandaian itu ia ajarkan pada Sin
Thong percuma ia ketolongan dan hidup terus. Dengan
membuka rahasia, ia seperti menolong Sin Thong. Siapakah
Sin Thong itu" Dialah si raja hantu tetapi dia pun ayahnya
sendiri! Tegakah ia membiarkan ayahnya dibinasakan orang"
Hanya, kalau ia membuka rahasia, bagaimana ia terhadap
gurunya yang telah berada di alam baka itu" Bagaimana ia
terhadap semua saudara asal seperguruan, atau sesama
kaumnya dari Binsan Pay" Bukankah ia menjadi berdurhaka,
murtad terhadap partainya"
Maka bimbanglah nona ini.
"Tidak, tidak!" pikiran sejenak kemudian. "Tidak dapat aku
memberitahukannya! Memang benar aku tidak berjanji suatu
apa pada sekalian saudara partai akan tetapi di depan kuburan
suhu telah aku mengangkat sumpah"aku telah mengangkat
sumpah akan tidak mengakui pula dia sebagai ayahku!..."
Bukan main bingung dan berdukanya Cie Hoa maka air
matanya lantas mengucur deras
"Eh, kenapa kau menangis pula?" tanya Beng Sin Thong
heran. "Dengan memastikan kau mendampingi aku, adalah
maksudku untuk mewariskan semua kepandaianku kepadamu!
Apakah tidak bagus untuk menjadi muridku" Buat orang lain,
meminta juga masih belum dapat!"
Cie Hoa membungkam, ia menggeleng kepala.
Melihat keragu-raguan orang itu, Beng Sin Thong menjadi
heran dan bercuriga karenanya, la mau menanya pula nona
itu, atau mendadak ia melihat munculnya muridnya yang
nomor dua, Gouw Bong.
"Cianciu Sintouw Kie Siauw Hong minta bertemu sama
suhu!" kata murid itu.
"Suruh dia pergi!" kata Sin Thong, keras dan mendadak,
"Hari ini aku tidak mau menemui siapa juga!"
"Tetapi, suhu," kata murid itu, heran, "dia bilang dia datang
untuk urusan yang sangat penting. Dia datang dengan
tubuhnya telah terluka berat!"
"Apa sangkutannya denganku kalau dia hidup atau
mampus?" Sin Thong kata. "Biar urusan perlu bagaimana
juga, aku tidak mau campur tahu!"
Belum lagi Gouw Bong berkata pula, di luar pintu sudah
terdengar suara yang parau: "Beng Sin Thong, tahukah kau
kenapa aku terluka" Aku terluka karena untuk kau, tahu"
Jikalau hari ini kau tidak menolongi aku, maka di lain ketika
kau pasti bakal terbinasa di tangan orang Binsan Pay!"
Sin Thong heran, ia tercengang.
"Baiklah, Cianciu Sintouw!" katanya kemudian. "Kau berani
lancang masuk kemari, baik, aku memberi ijin kau masuk!
Jikalau kau bicara dusta, akan aku hajar kau setengah
mampus!" Habis berkata begitu, Sin Thong menguncikan Cie Hoa di
kamar samping, lalu ia membuka pintu mengasih masuk
kepada Kie Siauw Hong, orang yang dijuluki Cianciu Sintouw,
ialah si Malaikat Pencopet Tangan Seribu. Orang itu lantas
bertindak masuk, tubuhnya berlumuran darah, sebelah


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya tergantung.
Begitu melihat luka orang itu, Beng Sin Thong kata: "Tidak
salah! Kau telah terlukakan Tangan Piepee Besi dari Co Kim
Jie! Kenapa kau bentrok dengannya?"
"Aku datang dari Binsan dimana aku memperoleh kabar
penting selama mereka itu membuat rapat besar," Kie Siauw
Hong menyahut. Ia tidak menjawab langsung. "Aku mendapat
tahu, lagi lima tahun maka Co Kim Jie bersama Ek Tiong Bouw
bakal membunuh kau! Buat guna kau, aku menaruhkan
jiwaku, aku telah curi barangnya mereka itu!"
"Perlahan, perlahan!" kata Sin Thong, walaupun ia merasa
heran. "Orang dengan derajatmu ini, dapatkah kau turut
menghadiri rapat besar Binsan Pay itu?"
"Apakah tidak dapat aku minta keterangan dari lain orang?"
Kie Siauw Hong membalik. "Ciang Lok Ciauw menjadi saudara
angkatku, ketika dibuat rapat besar Binsan Pay itu, dari
mulanya hingga akhirnya dia terus turut hadir, maka apa pun
yang dibicarakan dan terjadi disana, dia ketahui semua. Dan
Dendam Iblis Seribu Wajah 6 Elang Pemburu Karya Gu Long Pendekar Bayangan Setan 11
^