Pencarian

Perjodohan Busur Kumala 8

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 8


aku, aku mengetahui segala apa dengan jelas dari mulutnya
Lok Ciauw itu!"
Kok Cie Hoa berada di kamar samping, ia mendengar nyata
semua pembicaraannya dua orang itu. Ia menjadi kaget dan
heran. Ia kata di dalam hatinya: "Dengan kedatangannya
orang ini, bukankah dia... dia bakal mengetahui siapa aku
sebenarnya-bahwa akulah anaknya?" Hanya sejenak ia
berpikir pula: "Ciang Lokeiauw ialah seorang ahli pedang
partai lurus dari Hoolam, Kie Siauw Hong sebaliknya seorang
pencuri kecil yang dibenci oleh semua orang Rimba Persilatan,
mengapa mereka berdua dapat mengangkat saudara"
Mungkinkah dia omong begini melulu untuk mengabui Beng
Sin Thong?"
"Ha, kiranya Ciang Lok Ciauw pun hadir dalam rapat itu!"
terdengar pula suaranya Beng Sin Thong. "Aku mengerti
sekarang! Eh, mengapa kau tidak bicara terus?"
Mendengar suaranya Beng Sin Thong itu Cie Hoa bercekat
hati. Lagu suara orang menyatakan Sin Thong tidak
menyangsikan pula Kie Siauw Hong.
Tentu sekali Nona Kok tidak ketahui hubungannya di antara
Ciang Lok Ciauw, seorang ahli pedang, atau kiamkek, dan Kie
Siauw Hong, seorang setan tangan-tangan yang liehay.
Persahabatan itu sudah terjadi karena peristiwa sebagai
berikut: Untuk sebuah piauwkiok, kantor perusahaan mengantar
dan melindungi barang angkutan, yang minta pertolongannya,
Ciang Lok Ciauw sudah bentrok sama Pui Kun Hiong, seorang
begal tunggal yang kenamaan di Hoolam. Dalam satu
pertempuran, Kun Hiong kena ditabas sebelah lengannya,
sebaliknya Lok Ciauw, kena dihajar dengan pukulan Tiatce
ciang, Tangan Pasir Besi, hingga ia terluka parah. Lantas
datang pertolongan dari Kie Siauw Hong, yang berhasil
mencuri obat dari istana raja muda Siauw Ong. Itulah obat
siu-ouw yang umurnya sudah seribu tahun. Lukanya Lok
Ciauw sembuh karena obat itu. Ia ingat budi orang, ia lantas
suka bergaul dengan Siauw Hong. Tentang pengangkatan
saudara ini, sedikit orang kaum Kangouw yang
mengetahuinya. Sin Thong ketahui itu semenjak sekian lama.
Mendadak tubuh Kie Siauw Hong terhuyung, dia mencoba
mengulur tangannya ke tembok tetapi kepalanya sudah
membentur terlebih dulu, hingga benturan itu
memperdengarkan suara nyaring.
Beng Sin Thong lantas mengulur tangannya, untuk
menolongi raja copet itu. Segera dia menotok ke pelbagai
jalan darah, seperti soan-kie, giokheng, honghu, kwie-chong,
wietoo, kieliauw dan hong-bwee. Itulah totokan penutupan,
untuk menghentikan mengalir keluarnya darah terus menerus.
"Lekas kau ambil dua butir pel Siauwhoan Tan, habis itu,
kau sambung tangannya!" Beng Sin Thong kata pada
muridnya, ialah Gouw Bong, ia sendiri terus memeriksa luka
orang. Di akhirnya, ia tertawa dan kata: "Syukur Co Kim Jie
telah menyerahkan senjatanya, Tiat piepee, kepada Louw Too
In yang menjadi adik seperguruannya, dan kepandaiannya
dalam ilmu Tangan Besi masih belum terlatih sempurna, kalau
kau terlukakan senjata, mana dapat kau hidup sampai detik
ini?" Cepat sekali Gouw Bong telah kembali bersama pel yang
diminta. Itulah obat mujarab buatan Beng Sin Thong, maka
juga, sekira lamanya sehirupan teh, wajah pucat dari Kie
Siauw Hong lantas berubah menjadi bersemu merah. Maka
dengan dipakaikan obat, lengannya lantas ditolong,
disambung pula.
Begitu lekas dia dapat bangun berdiri, bukan Kie Siauw
Hong menghaturkan terima kasih pada tuan rumah,
sebaliknya Beng Sin Thong yang mengucap syukur
terhadapnya. Kata jago tua ini: "Bagus, kau benar-benar telah berkorban
untukku! Bilanglah, dengan cara apa kau ingin aku membalas
budimu ini?"
"Emas dan perak, asal aku mengulurkan tanganku, aku
dapat memiliki," menjawab Siauw Hong. "Maka tak usahlah
kau memberikan itu padaku! Apa yang aku minta dari kau,
loojinkee, ialah kau mengambil aku sebagai muridmu!"
Dengan lantas pencopet itu menyebut "loojinkee", orang
tua yang dihormati.
"Mengapa kau ingin menjadi muridku?" Beng Sin Thong
tanya. "Kekuranganku sekarang ini ialah ilmu silat yang liehay,"
menyahut Kie Siauw Hong. "Jikalau aku dapat tambahan
sejumlah kepandaian dari loojinkee, apabila aku pergi mencuri
pula, maka terjaminlah bahwa aku tidak bakal kena orang
hajar hingga terluka! Haha! Sampai itu waktu maka aku nanti
mencuri barang-barang mustika dari istana dan keraton kaisar
untuk dihaturkan kepada loojinkee sebagai guruku!"
Sin Thong tertawa lebar. Agaknya dia girang sekali.
"Baiklah!" katanya. "Kau omong terus terang, suka aku
menerima kau sebagai muridku!"
Kie Siauw Hong lantas berlutut, untuk mengangguk tiga
kali. la pun memanggil: "Suhu!" Kemudian, sambil tertawa
riang, ia berkata: "Suhu, aku telah mencuri barang untuk
suhu, benar aku telah dihajar Co Kim Jie akan tetapi aku
anggap itu ada harganya!"
"Sekarang kau tuturkan padaku tentang rapat Binsan Pay
serta pencurianmu itu," berkata Beng Sin Thong. "Kau
tuturkanlah biar jelas jangan bikin ada yang kelompatan."
"Baik, suhu, akan aku menutur dari mulanya," menyahut
murid itu. "Lu Su Nio telah mempunyai seorang murid
penutup, ialah murid kwanbun teecu. Apakah suhu tahu?"
Hatinya Cie Hoa berdebaran mendengar perkataan orang
itu. Ia berkuatir sekali rahasianya nanti terbuka.
"Oh, begitu" Apakah namanya murid itu?"
Itulah suaranya Beng Sin Thong, suaranya yang sedikit
bergemetar. "Dia bernama Kok Cie Hoa," menyahut Kie Siauw Hong.
Kembali Cie Hoa kaget.
"Tahukah kau siapa ayah dan ibunya Kok Cie Hoa itu?"
Beng Sin Thong tanya.
"Kabarnya dialah anak perempuan dari Liang Ouw Tayhiap
Kok Ceng Peng."
Sin Thong menghela napas. Ia tidak bilang suatu apa,
cuma di dalam hatinya ia berkata: "Anak itu benar, dia tidak
mendustakan aku."
Cuma sebentar, hati Cie Hoa pun menjadi sedikit lega. Ia
kata di dalam hatinya. "Dia membilang bahwa saudara
angkatnya menghadiri rapat Binsan Pay, mengapa dia tidak
mendapat tahu akulah anaknya Beng Sin Thong" Mungkinkah
dia hendak menyembunyikan sesuatu untukku" Kita tidak
kenal satu dengan lain, apa maksudnya dia menyembunyikan
apa-apa itu" Apakah dia mau menanti sampai kata-katanya
yang terakhir baru ia hendak membuka rahasiaku?"
Karena ini, si nona mulai berkuatir pula. la memasang
kupingnya,. Kie Siauw Hong melanjuti keterangannya: "Sebenarnya Lu
Su Nio telah mendapat tahu dari siang-siang yang loojinkee
tinggal berdiam di gunung Thayheng San ini. Sebabnya
mengapa Lu Su Nio tidak lantas mencari kau, loojinkee, itulah
karena ia belum memperoleh kepastian yang ia bakal dapat
mengalahkan kau. Selama itu Lu Su Nio telah meyakinkan
semacam kepandaian, di dalam tempo sepuluh tahun ia telah
berhasil menciptakannya. Ilmu itu dipanggil Siauwyang
Sinkang. Katanya ilmu itu diperuntukkan memunahkan Siulo
Imsat Kang dari loojinkee."
"Lu Su Nio meyakinkan kepandaiannya itu secara rahasia,
mengapa kau bisa mendapat tahu?" Beng Sin Thong tanya.
"Sebab hal itu diterangkan oleh murid wanita itu di dalam
rapat Binsan Pay tersebut. Dia yang bicara sendiri pada kakak
separtainya yang menjadi ketua partainya itu."
"Itulah semacam kepandaian rahasia, yang penting sekali
untuk partainya, kenapa dia membicarakannya di muka rapat,
di depan banyak orang?" Beng Sin Thong tanya pula.
"Tindakan itu sangat tidak beralasan?"
"Sampai sebegitu jauh, itulah aku tidak tahu," menjawab
Siauw Hong. "Hanya aku mengetahui pasti, kakak angkatku itu
tidak biasanya omong dusta. Pula tidak ada alasannya
mengapa dia mesti mendustakan aku."
Beng Sin Thong menanya demikian karena dia tidak ketahui
ketika itu Cie Hoa sudah terdesak sangat oleh Co Kim Jie,
sebab setelah ia membeber hal asal-usul dirinya, Kim Jie
hendak mengusir ia dari kalangan partai, terpaksa ia bicara di
muka rapat, la juga berkuatir, karena ia bakal diusir, jikalau ia
tidak lantas menutur tentang Siauwyang Sinkang itu, lantas
bakal tidak ada ketikanya lagi akan ia bertemu pula sama
kakak separtai yang bengis itu. Sekarang, mendengar
pembicaraan di antara Siauw Hong dan Sin Thong, ia
menyesal yang dulu hari itu ia bicara di muka umum, hingga
rahasia menjadi bukan rahasia lagi. Ia menyesalkan dirinya,
yang dikatakan kurang pengalamannya dalam dunia Kangouw.
"Hanya aneh," pikirnya lebih jauh, "mengapa Kie Siauw
Hong masih belum juga membeber rahasiaku pribadi" Apakah
benar-benar ia tidak mengetahui itu" Dia tahu aku telah
membuka rahasia tentang ilmu silat itu, kenapa dia tidak
mengetahui juga akulah anaknya Beng Sin Thong ini?"
Kembali Kie Siauw Hong menutur pula: "Suhu, jikalau suhu
tidak percaya, muridmu masih mempunyai bukti kenyataan.
Kitab Siauwyang Sinkang dari Lu Su Nio itu terdiri dari tiga
jilid, kitab itu oleh Kok Cie Hoa telah diserahkan kepada Co
Kim Jie, tetapi kitab itu sekarang telah dapat dicuri olehku."
Sinar matanya Beng Sin Thong jelilatan.
"Mari kasih aku lihat!" katanya, cepat dan keras. "Hm! Hm!
Sungguh aku ingin mengetahui apa benar-benar Lu Su Nio
mempunyai kepandaian untuk melawan aku!"
Kok Cie Hoa sebaliknya kaget dan menyesal, di dalam
hatinya, ia mengeluh. Kitab itu telah lenyap! Benar lenyapnya
bukan di tangannya sendiri, hanya di tangan Co Kim Jie, akan
tetapi kalau bukannya ia yang membeber rahasia di depan
banyak orang, cara bagaimana Kie Siauw Hong mendapat
tahu dan dapat mencurinya" Jadi tetap ialah biang celaka...
Kie Siauw Hong menyerahkan kitab curiannya itu dan Beng
Sin Thong lantas membeber dan memeriksa. Mulanya dia ini
berulang kali mengasih dengar tertawa dingin, agaknya dia
memandang enteng, hingga Siauw Hong menjadi heran dan
berpikir: "Apa mungkin Lu Su Nio bicara secara berlebihan,
bahwa kitabnya tidak berarti banyak hingga Beng Sin Thong
tidak melihat mata" Ah, kalau benar begitu, tidak perlunya aku
memperbahayakan jiwaku untuk mencurinya..."
Tidak lama, berhentilah tertawa menghina dari Beng Sin
Thong. Sebaliknya, wajahnya tampak muram, lalu
bersungguh-sungguh. Hingga, melihat demikian, hati si
pencopet menjadi lega.
Sudah diketahui ilmu silat Siulo Imsat Kang dari Beng Sin
Thong adalah ilmu yang asalnya asing, yang kalangannya
kalangan sesat. Pastilah itulah ilmu yang liehay nomor satu. Lu
Su Nio boleh liehay akan tetapi ia pun tidak mengetahui
tentang ilmu sesat itu, maka ia memikirkan jalan untuk
menaklukinya. Karena ia tidak tahu asal-usulnya ilmu itu, sulit
untuk ia mencari daya penaklukkannya. Maka tidak ada jalan
lain. Lu Su Nio lantas memperhatikan tanda-tanda dari
korban-korbannya pukulan ilmu yang liehay itu. Ia berhasil
menciptakan Siauwyang Sinkang, tetapi itu baru untuk
perlawanan saja, bukan untuk memecahkannya. Jadi ilmunya
itu masih ada cacatnya. Maka tidaklah heran mulanya Sin
Thong senantiasa tertawa dingin. Baru kemudian, jago tua itu
jadi berpikir keras.-
Bunyinya lebih jauh dari kitab Siauwyang Sinkang itu
menjelaskan cara-cara untuk bertahan. Itulah hebat. Dengan
dapat dilawan, Siulo Imsat Kang jadi kurang artinya. Bukankah
percuma kalau Siulo Imsat Kang tidak dapat merobohkan
perlawanannya Siauwyang Sinkang itu"
"Benar-benar Lu Su Nio jauh terlebih liehay daripada aku,"
pikir Sin Thong akhirnya.
"Dia belum tahu tentang Siulo Imsat Kang toh dia dapat
mendaya-kan perlawanannya, untuk bertahan. Sungguh dia
harus dikagumi. Kalau ada seorang yang sama liehaynya
dengan aku, lantas dia mengerti Siauwyang Sinkang. Apa aku
bisa bikin terhadapnya jikalau aku tidak sanggup merobohkan
dia" Bagaimana kalau ada dua atau tiga orang yang pandai
Siauwyang Sinkang, yang bekerja sama mengepung aku"
Bukankah artinya aku bakal terbinasa di tangan mereka itu?"
Inilah pikiran yang membikin si jago tua berhenti tertawa.
"Suhu, bagaimana suhu melihat kitabnya Lu Su Nio ini?"
tanya Siauw Hong, yang tidak dapat menebak hati gurunya.
Beng Sin Thong ada seorang yang liehay dan telah banyak
pengalamannya, ia tahu bagaimana harus membawa dirinya.
Ia lantas tertawa terbahak-bahak. Ia merasa lucu juga tadi ia
mendesak Cie Hoa sia-sia, sekarang ia mendapatkan
Siauwyang Sinkang dengan gampang sekali.
"Kitab ini masih ada harganya dicuri kau!" ia menjawab
muridnya itu. Sebagai seorang cerdas, yang otaknya kuat, Beng Sin
Thong sudah lantas mengerti maksudnya kitabnya Lu Su Nio
itu. Ia juga lantas dapat mengambil keputusan-nya. Dengan
kedua tangannya ia memegang ketiga jilid kitab Siauwyang
Sinkang itu, ia mengerahkan tenaganya, ketika sedetik
kemudian ia membuka kedua tangannya, kitab itu sudah
pecah hancur dan jatuh belarakan! Ia tertawa pula dan kata
dengan nyaring: "Hebat Lu Su Nio, sesudah mati, dia masih
memusuhkan aku! Hm! Hm! Sekarang aku membuatnya dia
mati tidak dapat meram matanya!"
Hebat kata-kata itu. Kok Cie Hoa merasai seperti terpukul
dahsyat, hatinya bagaikan tertusuk jarum. Ia berduka karena
kitab gurunya dirusak Sin Thong dalam sekejab saja. Ia
merasa bahwa selanjutnya cuma ia sendiri yang mengetahui
Siauwyang Sinkang. Sama sekali ia tidak menduga, bahwa
Beng Sin Thong telah menyimpannya di dalam otaknya!
"Beng Sin Thong tidak dapat dikendalikan kecuali aku
menulis pula kitab itu," pikirnya terlebih jauh. "Aku mesti
menulis pula dan menyerahkannya pada Suci Co Kim Jie, atau
aku sendiri yang mesti mempelajarinya untuk melawan Beng...
Beng Sin Thong... Hanya biar langsung atau tidak langsung,


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku toh tetap mesti memusuhkan ayahku sendiri..."
Pusing kepalanya Cie Hoa. Dapatkah ia memusuhkan
ayahnya sendiri itu" Dapatkah ia menurunkan tangan jahat
terhadap ayahnya" Dalam pusingnya itu, yang membuat
hatinya pepat, mendadak Cie Hoa dapat ingatan untuk
menghabiskan jiwanya sendiri! Buat apa hidup sulit seperti ini"
Benar pedangnya telah dirampas Beng Sin Thong tetapi
dengan tenaga dalamnya, ia bisa memutuskan nadinya
sendiri. Tapi cuma sekejap ia berpikir demikian, atau segera ia
ingat gurunya. Bukankah telah sepuluh tahun lebih ia dididik
Lu Su Nio"
"Bukankah suhu cuma mempunyai aku satu muridnya?"
demikian pikiran baru, yang menyan-dingi padanya. "Dalam
tempo sepuluh tahun suhu mencapaikan hati mendidik aku,
adalah pengharapannya supaya aku dapat mewariskan
kepandaiannya, agar aku bisa menggunai kepandaian itu
mengusir musuh bangsa asing, atau sedikitnya menjadi
seorang yang mulia, yang dapat menolong kepada
sesamanya. Mana dapat aku mensia-siakan pengharapan suhu
itu" Mana bisa aku mati secara begini kecewa"..."
Setelah mengingat gurunya, Cie Hoa lantas ingat juga Kim
Sie Ie, bayangan siapa bagaikan berkelebat di depan matanya.
Ia seperti mendengar suaranya Tokciu Hongkay, yang berkata
di kupingnya: "Teratai itu keluar dari dalam lumpur tetapi
tidak menjadi kotor! Yang bersih tetap bersih, yang kotor
tetap kotor-dia ialah dia, kau ialah kau, ada hubungan apakah
di antara dia dengan kau" Kau boleh menganggap saja bahwa
kau tidak mempunyai ayah semacam itu! Mengapa kau boleh
menyusahkan diri karenanya?"
Mengingat pengajaran gurunya dan nasihatnya Kim Sie Ie,
semangat Cie Hoa menjadi terbangun. Katanya di dalam
hatinya: "Benar! Kecuali dia yang hendak membunuh aku,
dalam hal mana aku tidak dapat berbuat apa-apa, aku sendiri,
tidak dapat aku mengakhirkan penghidupanku dengan
tanganku sendiri!" Walaupun demikian ia tetap bersusah hati.
la tengah dikurung, ia lagi menghadapi urusan sulit.
"Mengenai rapat Binsan Pay itu, ada kabar apa lagi?" Beng
Sin Thong melanjuti menanya Kie Siauw Hong.
"Masih ada satu urusan lainnya yang penting," menjawab
murid itu. "Muridnya Liauw In Hwesio, yaitu Biat Hoa Hwesio,
juga telah muncul pula."
"Ha!" kata Sin Thong heran. "Sudah beberapa puluh tahun
dia menyembunyikan diri, sekarang dia muncul lagi" Mungkin
dia mendapat tahu Lu Su Nio sudah meninggal dunia maka
hatinya menjadi besar pula..."
"Benar. Dia telah datang ke Binsan dimana dia mengacau.
Katanya dia hendak merampas kedudukan ciangbunjin Binsan
Pay dari tangannya Co Kim Jie. Hanya di akhirnya, dia telah
kena diusir pergi oleh Kim Sie Ie dan Kok Cie Hoa..."
Hal yang benar ialah Kim Sie Ie tidak sampai turun tangan.
Tentang ini, Ciang Lok Ciauw tidak omong jelas, raja pencopet
ini jadi bicara sembarangan saja.
Toh Beng Sin Thong terperanjat.
"Jadi Kim Sie Ie telah datang ke Binsan dan telah
membantu Binsan Pay mengusir Biat Hoa Hwesio?" katanya.
Ia heran sebab ia menyangka Kim Sie le bercelaka akibat
serangannya dengan Siulo Imsat Kang: pengemis itu mati atau
bercacad seumur hidupnya. Siapa tahu, dia masih hidup dan
tetap gagah seperti sediakala!
Tapi cuma sejenak, dia lantas tertawa dan kata: "Kembali
Binsan Pay mendapatkan seorang musuh tangguh! Haha! Aku
sekarang boleh melegakan hati!..."
Kok Cie Hoa juga heran sekali. Ia heran mengapa Kie Siauw
Hong tetap tidak memberitahukan halnya ialah anaknya Beng
Sin Thong ini. Ia sama sekali tidak pernah menyangka yang
Ciang Lok Ciauw tidak sudi membeber halnya itu. Lok Ciauw
seorang ahli pedang kaum lurus, dia bersimpati terhadap si
nona, maka itu, selagi dia suka membicarakan urusan Binsan
Pay, urusan si nona dia membiarkannya saja. Dia menganggap
urusan si nona ialah urusan pribadi.
Selagi Cie Hoa kalut pikiran itu, ia mendengar Beng Sin
Thong berkata-kata pula.
"Siauw Hong," katanya, "begitu kau masuk dalam partaiku,
kau telah membuat satu jasa besar, maka aku pasti tidak akan
mensia-siakan padamu. Sekarang pergi kau belajar silat pada
toasuheng-mu, guna memulai dengan pokok dasarnya, nanti
berselang tiga bulan, aku sendiri yang akan mulai
mendidikmu. Aku akan lantas mengajari kau Siulo Imsat Kang.
Haha! Lewat lagi beberapa tahun, sesudah aku berhasil
mencapai tingkat ke sembilan, pastilah aku menjadi orang tak
tandingan di kolong langit ini, sedang kau, kaulah si nabi
pencopet di dalam dunia!"
Kie Siauw Hong girang sekali, kembali ia berlutut, untuk
mengangguk-angguk beberapa kali, guna menghaturkan
terima kasihnya, setelah mana ia pergi mengundurkan diri.
Beng Sin Thong segera membuka pula kamar samping.
Begitu daun pintu terpentang, begitu ia melihat muka Cie Hoa
sangat pucat, seperti wajahnya seorang mayat. Ia tidak
menjadi kaget atau heran, sebaliknya, ia tertawa puas.
"Kau telah mendengar semua, bukan?" katanya. "Nah,
sekarang baru kau tahu takut, bukan" Aku justeru mengingini
kau ketahui, ilmu silat Siauwyang Sinkang gurumu itu,
sekarang ini cuma kau dan akulah yang mengetahuinya!"
Cie Hoa mengawasi muka orang, ia terkejut di dalam hati.
"Ah, kali ini mungkin benar-benar dia bakal membunuh
aku..." ia menduga-duga.
Kembali terdengar suaranya Beng Sin Thong: "Bukankah
kau puas sekarang" Di jaman ini, kecuali kau, maka tidak ada
seorang lain lagi yang dapat menggunai Siauwyang Sinkang
untuk mempersulit aku!" Mendadak dia berubah sikapnya,
sinar matanya menjadi bengis sekali. Dia meneruskan, dengan
suaranya yang dingin: "Sekarang terbuka hanya dua jalan
untuk kau pilih! Yang pertama-tama ialah kau masuk dalam
partaiku, kau ikhlas mengangkat aku menjadi gurumu! Itu
artinya, satu hari yang aku masih hidup di dalam dunia ini,
satu hari juga tidak dapat kau berpisah dari aku! Jikalau kau
tetap hendak menuntut balas untuk Binsan Pay, untukmu
terbuka jalan yang nomor dua itu, ialah jalan kematian! Aku
hendak menyiksa kau, supaya kau keracunan hawa dingin,
supaya kau matinya perlahan-lahan! Jikalau itu sampai terjadi,
jangan kau menyesalkan aku ganas atau kejam! Siapa suruh
kaulah muridnya Lu Su Nio dan sekarang ini, kecuali aku,
melainkan kau yang mengetahui Siauwyang Sinkang" Baiklah,
sekarang aku beri tempo satu hari padamu, untuk kau pikir
baik-baik. Besok pada jam seperti ini, mesti kau memberikan
jawabanmu! Nah, kau telah mendengar nyata, bukan?"
Beng Sin Thong telah mendengar keterangannya Kie Siauw
Hong barusan bahwa Kok Cie Hoa gadisnya Liang Ouw
Tayhiap Kok Ceng Peng. Keterangan itu cocok sama
keterangan si nona. Maka mengertilah ia, dan ia tidak meraguragukan
pula, maka ia sudah lantas mengambil keputusannya:
Jikalau Cie Hoa tidak mau menyerah, hendak ia
membinasakannya!
Cie Hoa melawan sebisa-bisa kepada kesedihan hatinya, ia
menatap matanya ayah itu, dengan roman jumawa, ia
berkata: "Kenapa mesti menanti sampai besok" Sekarang juga
aku berikan jawabanku! Sekarang juga kau boleh turun
tangan!" Beng Sin Thong heran.
"Apa?"'dia tanya, tegas. "Apakah pikiranmu itu?"
"Biarnya aku mati, tidak sudi aku menjadi muridmu!"
menjawab si nona.
"Kau begini muda, kau tidak takut mati?" Sin Thong tanya
pula. "Bukan, aku bukannya takut mati," sahut Cie Hoa terus
terang. "Hanya jikalau kau tetap menghendaki aku menjadi
muridmu, maka itu akan menyebabkan kesengsaraan yang
jauh lebih hebat daripada kematian!"
Sin Thong mendongkol tidak kepalang.
"Apakah karena kau mengandal dirimu asal partai lurus
maka kau jadi memandang enteng padaku?" ia bertanya
sambil tertawa mengejek. "Baiklah, jikalau kau ingin mati,
nanti aku bikin maksudmu kesampaian!"
Kata-kata ini disusul sama diangkatnya tangan, yang
dikerahkan dengan tenaga Siulo Imsat Kang. Maka juga
telapakan tangan jago tua ini lantas berubah menjadi hitam,
dan tangan itu turun dengan perlahan-lahan ke arah batok
kepala si nona.
Ketika itu dua orang ini berdiri berhadapan, maka mereka
saling mengawasi. Beng Sin Thong melihat si nona tidak
menggeraki tubuh atau kaki tangannya, cuma kedua matanya
mengalirkan air yang deras. Ia tidak tahu apa yang dipikir si
nona. Cie Hoa tidak takut, dia hanya-dia hanya merasakan
hatinya sangat sakit. Inilah dia lakon sedih dahsyat antara
ayah dan gadisnya! Inilah lakon dari satu ayah, yang
membinasakan anak sendiri di luar tahunya!...
Tetapi Beng Sin Thong bukan tidak tahu Cie Hoa ialah
anaknya. Sekarang dia tidak menyangsikan lagi nona itu ialah
gadisnya. Maka itu, ketika dia melihat air mata si anak,
hatinya lemah sendirinya. Dia berhati keras, kalau dia
membunuh orang, dia memandangnya perbuatan itu seperti
dia membabat rumput, matanya tidak pernah berkesip, tidak
pernah dia merasa kasihan. Tapi sekarang, inilah kejadian
yang luar biasa.
Kok Cie Hoa merapatkan kedua matanya. Ia tidak menatap
terlebih jauh. Ia cuma merasakan dari embun-embunannya
keluar hawa dingin, seperti juga ada sepotong besar es yang
menindih kepalanya itu. Ia menanti, menanti sekian lama. Ia
tidak merasakan turunnya tangan dari kematian! Lama-lama ia
menjadi heran, maka ia membuka pula matanya, ia berkata
tajam: "Jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah! Mengapa,
ayal-ayalan?"
Sin Thong mengertak giginya. Ia mengerahkan pula
tenaganya. Tapi ia merasakan tangannya seperti terjaga oleh
suatu tenaga yang kuat sekali. Tangannya itu terpisah tiga
dim dari batok kepala si nona, lantas tak dapat turun lebih
jauh... Tepat di saat itu, Gouw Bong, murid yang nomor dua,
datang masuk dengan tiba-tiba.
"Suhu," katanya, memberi-tahu, "di luar, di mulut lembah,
ada seorang hwesio tua yang luar biasa! Dia datang tetapi dia
menunjuk suhu, untuk suhu sendiri yang menyambutnya!"
Sin Thong heran, ia menarik pulang tangannya.
"Di mulut kau membilang tidak takut, di hatimu sebenarnya
kau takut sekali!" dia kata pada bakal mangsanya. "Jangan
kau mendustakan aku lagi! Sekarang aku mau berlaku murah
kepadamu, aku menguatkan kata-kataku tadi, aku beri tempo
satu hari padamu!"
"Perlu apa kau dengan lebih banyak satu hari untuk
menyiksa aku?" kata Cie Hoa. "Jawabanku besok tidak bakal
berubah sekalipun setengah huruf! Jikalau kau hendak
membunuh aku, lekaslah bunuh!"
Tetapi Beng Sin Thong sudah keluar dari kamarnya, dia
berpura-pura tidak mendengar suara tantangan itu. Cuma
pintu yang menggabruk keras, tertutup dan terkunci, hingga
gelaplah kamar itu. Pintu memang pintu batu yang tebal dan
berat. Cie Hoa mendengar tindakan kaki Sin Thong pergi makin
jauh, ia juga mendengar suara orang yang bergusar: "Siapa
itu yang bernyali demikian besar memastikan aku yang
menyambut padanya?"
Tidak heran kalau Sin Thong bergusar dan mengatakan
demikian. Dialah seorang jago!
Cie Hoa berduka dan letih, ia tidak mau mendengari lebih
lama lagi, maka ia menyenderkan diri pada tembok kamar,
yang menjadi penjaranya itu, akan selang sesaat, ia tidur
pulas... Di luar sana, muridnya Sin Thong menyahuti gurunya,
dengan hatinya terpengaruh rasa takut. Katanya: "Sebenarnya
aku tidak berani mengganggu kau, suhu, tetapi hwesio tua itu
luar biasa. Dia rupanya bukan sembarang hwesio, karena
mana aku tidak dapat mencegah dia..."
Belum berhenti suaranya murid ini, mereka mendengar
suara tongkat besi membentur tanah berulang-ulang,
suaranya nyaring dan berisik. Di kupingnya Sin Thong, orang
mestinya terpisah jauh dari ia sekira satu lie, atau sejenak
kemudian, suara itu sudah datang dekat sekali, atau segera
orang telah tiba di depan pintu!
Bercekat hatinya jago tua ini.
"Tidak salah!" katanya. "Dia benar bukan orang sembarang,
pasti kau tidak dapat menghalang-halangi dia!"
Tiba di luar pintu, dimana ada cahaya rembulan terang,
disana nampaklah si tetamu pendeta tua yang katanya luar
biasa itu. Dia bertubuh besar dan kekar, alis dan kumisnya
telah putih semua. Dia sudah tua tetapi wajahnya bercahaya
segar, warnanya merah. Itulah tanda dari tenaga dalam yang
mahir, bahkan dari tenaga dalam yang lurus, yang dasarnya
kuat. Mau atau tidak, Sin Thong tercengang.
"Di dalam kalangan lurus belum pernah aku mendengar
orang semacam dia ini," pikirnya. "Mungkinkah dia seorang
tiangloo dari ruang Tatmo Ih dari Siauwlim Sie?"
Sin Thong menduga demikian karena ia tidak kenal pendeta
ini. Apa yang ia dengar ialah pendeta-pendeta tertua dari
Siauwlim Sie biasa mengeram diri di dalam ruang Tatmo Ih
dan tidak pernah muncul hingga puluhan tahun.
Di lain pihak, anehnya, pendeta ini tidak beroman sebagai
seorang pendeta suci. Pada mukanya itu terlihat dagingdaging
yang berenjul, dan pada alisnya seperti bersembunyi
apa yang dinamakan "hawa pembunuhan". Pula dandanannya
luar biasa juga. Dia menggendol sebuah kantung yang besar
sekali dan tongkatnya, tongkat sianthung, mirip sebesar
mangkok. Beng Sin Thong mengawasi pendeta itu sekian lama, baru
ia membuka mulutnya.
"Toasuhu," katanya, "tengah malam begini kau datang
berkunjung, entah ada pengajaran apakah dari kau?"
Belum lagi menjawab, pendeta itu sudah tertawa berkakak.
"Tanpa urusan tidak nanti aku datang berkunjung!"
katanya. "Pasti sekali ada maksudku maka aku datang kemari!
Beng Laojie, sudah lama aku mendengar namamu yang besar,


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

marilah kita bersahabat!"
Pendeta ini lantas menyebut "Beng Laojie", artinya si
"orang tua she Beng". Itulah sebutan dari suatu sahabat
kekal. Dia lantas meletaki kantungnya di lantai, dia bertindak
maju-lebar tindakannya, sedang sebelah tangannya diulur,
untuk berjabat tangan sama tuan rumah. Tangannya itu besar
dan lebar! Beng Sin Thong seorang Kangouw kawakan, tahulah ia
maksud orang. Ia hendak diuji! Tentu sekali, ia menjadi
mendongkol. Di dalam hatinya ia berkata: "Apakah karena kau
menyangka kau telah mempelajari ilmu tenaga dalam yang
lurus maka aku jeri terhadapmu?" Tapi ia pun tidak berani
memandang enteng, maka ketika kedua tangan saling
memegang, ia mengerahkan tenaga dalam dari Siulo Imsat
Kang tingkat ke tujuh. Ia merasakan satu dorongan tenaga
yang besar, hingga ia mundur tiga tindak!
Pendeta itu mundur tiga tindak juga! Hanya tubuhnya
terhuyung, dan tubuhnya itu dia rasakan dingin mendadak!
Maka itulah tanda bahwa dia sudah kalah.
Beng Sin Thong hendak membuka mulut, atau ia didulukan
pendeta itu, yang tertawa lebar seraya terus berkata: "Benarbenar
nama Beng Laokoay bukan nama kosong belaka, ada
harganya aku menghadiahkan kau bingkisan yang berarti!"
Beng Sin Thong heran, ia mele-ngak. Kali ini orang pun
menyebut ia Beng Laokoay atau si siluman tua she Beng!"
Katanya di dalam hati: "Kiranya orang datang untuk
menghadiahkan sesuatu padaku... Di pihak lain, ia kagum
pendeta itu sanggup bertahan dari tenaga Siulo Imsat Kang,
dia tidak terluka.
"Di kolong langit ini tidak seberapa gelintir orang yang
dapat bertahan dari Siulo Imsat Kang," ia berkata, "kau dapat
melayani aku, ada harganya aku keluar sendiri menyambut
padamu! Sekarang aku minta taysu sudi menyebutkan gelaran
sucimu yang besar!"
Pendeta itu kembali tertawa lebar.
"Kau hendak mengetahui gelaran suciku, baiklah!"
sahutnya. "Aku Biat Hoa Hwesio!"
Mendengar nama itu, Beng Sin Thong melengak.
"Jadinya kaulah Biat Hoa Hwesio?" katanya. "Pantas aku
tidak mengenali kau! Sebenarnya kita sudah lama mendengar
nama masing-masing!"
Biat Hoa itu, semenjak matinya gurunya, telah
menyembunyikan diri, maka itu meskipun Beng Sin Thong
pernah mendengar namanya, mereka belum pernah bertemu
satu dengan lain.
"Kau benar!" Biat Hoa berkata. "Memang sudah lama kita
saling mendengar nama kita! Dan aku, sudah sekian lama aku
memikir untuk mencari padamu, baru sekarang aku datang
kemari. Lebih dulu aku hendak mengantarkan suatu hadiah
yang berarti kepadamu, sebagai tanda dari pertemuan kita ini.
Aku percaya, begitu melihat hadiah itu, kau bakal menjadi
sangat girang!"
Adalah luar biasa, orang yang mengantar hadiah,
menyebutnya sendiri hadiahnya itu berarti. Sekalipun seorang
Kangouw berandalan, tidak nanti dia berani berbuat demikian.
Maka anehlah pendeta ini.
Di dalam hatinya, Beng Sin Thong juga berkata: "Baiklah
aku lihat dulu hadiahnya hadiah apa! Mustahilkah itu jauh
lebih berharga daripada kitab Siauwyang Sinkang dari Kie
Siauw Hong?"
Biat Hoa Hwesio lantas bekerja, la menarik kantung
besarnya yang tadi ia letaki di atas batu, ia balik itu untuk
mengeluarkan isinya. Maka sekejab itu juga, disitu muncul
satu orang, ialah seorang wanita muda. Lantas ia bekerja
terlebih jauh, ialah ia menotok si nona, hingga nona itu lantas
berlompat bangun bagaikan ikan gabus meletik! Hanya begitu
bangun berdiri, dia memandang si pendeta sambil mencaci:
"Keledai gundul, kita tidak bermusuh, mengapa kau menghina
aku begini rupa?" Kata-kata itu disusul dengan dihunusnya
pedang, untuk dipakai menyerang si pendeta.
Pendeta itu tertawa.
"Kau lihatlah, siapa itu di depan kau?" katanya.
Nona itu mengangkat kepalanya, maka ia melihat Beng Sin
Thong. la kaget hingga ia berseru. Roman Beng Sin Thong, ia
melihat, seperti roman hantu. Justeru itu, mendadak, dengan
kesehatannya luar biasa, Biat Hoa menotok, hingga ia kembali
menjadi tidak berdaya!
Beng Sin Thong benar-benar girang alang tak kepalang!
Nona itu bukan lain daripada Lie Kim Bwee! Dia sudah
mengirim beberapa muridnya mencari ke delapan penjuru,
guna menawan si nona, semua tidak ada hasilnya, siapa
sangka, Biat Hoa sekarang menghadiahkan dia nona itu!
Lantas dia tertawa.
"Benar-benar hadiah yang aku paling menyenanginya!"
katanya, mengaku terus terang. "Bagaimana kau ketahui
bahwa aku menghendaki dia?"
"Ketika aku berada di dekat-dekat gunung Binsan, aku
bertemu salah seorang muridmu," Biat Hoa menjawab.
"Muridmu itu menanya aku kalau-kalau aku pernah bertemu
seorang nona mirip dia ini. Lantas aku bisa menduga, nona
yang kau cari itu mesti puterinya Phang Lim."
Mendengar itu, Sin Thong menduga tentulah muridnya
menyangka Biat Hoa pendeta biasa. Ia tidak bisa menebak,
muridnya itu murid yang mana. Pasti sekali perbuatan murid
itu sembrono sekali. Syukur dia bertemu Biat Hoa, coba dia
bertemu lain hwesio, yang ada dari partai lurus, dia bisa
celaka, atau sedikitnya rahasia bocor bahwa ia mengarah Lie
Kim Bwee. Tapi ia telah mendapatkan nona itu, tak perlu ia
menegaskan lagi Biat Hoa, muridnya itu bernama apa.
"Nona kecil ini benar-benar bernyali besar," Biat Hoa
berkata, melanjuti keterangannya. "Semenjak dua tahun yang
lalu, dia sudah merantau seorang diri, karenanya telah aku
ketahui tentangnya. Dulu hari itu dia belum mempunyai
musuh, tidak apa dia merantau sendiri saja. Aku tidak
menduga sekali, dia justeru menanam permusuhan dengan
pihakmu, seorang musuh yang liehay sekali. Juga aku tidak
menyangka yang dia memikir turut hadir dalam rapat di
Binsan itu."
Sebenarnya Lie Kim Bwee datang ke Binsan guna mencari
Kim Sie Ie, hanya tidak beruntung untuknya, di gunung itu ia
bertemu Biat Hoa dan bahkan kena tertawan si pendeta.
Beng Sin Thong lantas memanggil muridnya yang nomor
dua. "Gouw Bong," perintahnya, "kau bawa dan penjarakan dulu
padanya!" "Apakah dia pun mesti dikurung di dalam rumah batu?"
sang murid tanya.
Beng Sin Thong berpikir sebentar.
"Baiklah, kau kurung mereka berdua menjadi satu,"
katanya. "Kau mesti menjaga dengan hati-hati, jangan nanti
dia lolos seperti baru ini."
"Suhu boleh legakan hati, kali ini meskipun ada sayapnya
tidak nanti dia dapat terbang pergi!" berkata Gouw Bong.
Beng Sin Thong mengangguk, hatinya girang meluap-luap.
la merasa sangat beruntung. Kie Siauw Hong telah datang
dengan membawa kitab Siauwyang Sin kang. Sekarang Biat
Hoa membawakan ia Lie Kim Bwee. Inilah seumpama sulaman
yang ditambahkan bunga indah. Hanya kemudian, ia berpikir:
"Kie Siauw Hong datang untuk minta aku mengajari ia ilmu
silat, untuk itu dia berani menempuh bahaya mencuri kitabnya
Co Kim Jie. Biat Hoa ialah seorang pendeta yang pandai ilmu
silat, yang termasuk golongan kelas utama, mengapa dia
datang untuk berbuat baik terhadap aku" Dia pun menempuh
bahaya karena dengan tindakannya ini dia tidak menghiraukan
bakal bermusuhan dengan Thiansan Pay..."
Biat Hoa dapat menerka hatinya tuan rumah. Tanpa
menanti orang menanyakan keterangan, ia mendahului
memberikannya. "Aku datang hari ini buat tiga urusan, aku ingin dapat
memasang omong sama Beng Kiesu selama satu malaman,"
demikian katanya.
"Bagus, Bagus!" menyambut Sin Thong girang. "Mari,
silahkan masuk ke dalam!"
Tuan rumah ini mengundang tetamunya ke kamar
samedhinya. Lebih dulu ia memerintahkan seorang muridnya
menyeduh teh wangi dari Bu-ie San.
"Aku mohon tanya tentang tiga urusan itu," ia berkata
setelah keduanya berduduk.
"Yang pertama itu aku datang untuk mengantarkan hadiah
dan hadiahnya sudah dihaturkan," berkata Biat Hoa,
menyahuti. "Kau pun telah menerimanya."
"Aku berterima kasih untuk hadiahmu yang berarti itu,
taysu," berkata Beng Sin Thong. "Aku tidak tahu bagaimana
nanti membalasnya."
"Aku tahu musuhmu banyak," berkata pula Biat Hoa tanpa
menyentuh hal pembalasan budi yang disebutkan tuan
rumahnya itu. "Buat bicara terus terang, di antara musuhTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
musuhmu itu ada dua orang yang juga bermusuh denganku.
Yang satu Co Kim Jie, yang satu lagi Kim Sie le."
Beng Sin Thong lantas ingat keterangannya Kie Siauw Hong
bahwa Biat Hoa sudah mengacau di gunung Binsan, maka ia
berpikir: "Mungkinkah dia datang untuk mengajak aku untuk
berserikat dengannya?" Lantas ia mendengar lanjutan
perkataannya Biat Hoa itu: "Kita mempunyai musuh yang
sama, sudah seharusnya kita saling membantu. Maka itu,
tentang pembalasan budi, baiklah kita jangan buat sebutan."
"Aku mengenal baik Co Kim Jie serta Ek Tiong Bouw dari
Binsan Pay itu," berkata Beng Sin Thong. "Sekarang mereka
itu dibantu Tokciu Hongkay Kim Sie le. Di antara mereka
bertiga, cuma Kim Sie Ie yang dapat bertempur sama aku,
dua yang lainnya tidak berarti apa-apa. Maka jikalau aku dapat
bekerja sama dengan kau, taysu, pasti mereka bertiga akan
dapat disingkirkan secara mudah. Hanyalah di pihakku, aku
masih mempunyai satu kesulitan. Untuk sementara ini aku
belum mau terlalu muncul di muka umum. Aku mau minta
taysu suka menanti sampai lima tahun. Ialah, sesudah aku
selesai meyakinkan Siulo Imsat Kang, nanti aku membantu
taysu membalas sakit hatimu. Bagaimana pendapat taysu?"
Beng Sin Thong jeri terhadap Tong Siauw Lan suami isteri
dari Thiansan Pay, maka itu ingin ia menyempurnakan dulu
pelajarannya yang istimewa itu. la telah menyampaikan
tingkat yang ke tujuh, ia ingin manjat ke tingkat ke sembilan,
tingkat terakhir, untuk ia menjadi jago satu-satunya. Ia pun
jeri terhadap PekToat Siangjin dari Siauwlim Sie. Dengan
musuhnya demikian banyak, ia jadi tidak mau sembarangan
memperlihatkan diri di hadapan khalayak ramai, supaya ia
tidak mengundang penyerangan musuh-musuhnya itu. Tanpa
menamatkan Siulo Imsat Kang, ia masih kurang tetap hatinya.
Biat Hoa Hwesio tertawa.
"Memang," katanya, "untuk satu kuncu, membalas sakit
hati sampai sepuluh tahun masih belum terlambat, hanya aku
menguatirkan, Siulo Imsat Kang kau nanti tidak dapat
dipelajari sampai kepada ke tingkat ke sembilan itu..."
Hati Sin Thong bercekat. Itulah justeru yang ia buat pikiran
siang dan malam, yang belum ia dapat pemecahannya. Ia
heran mengapa Biat Hoa mendapat tahu "penyakitnya" itu.
Bukankah itu rahasia dari Siulo Imsat Kang"
"Taysu," katanya, sengaja, "apakah taysu menyangka Siulo
Imsat Kang aku ini masih ada kekurangannya" "
"Bukan," menyahut pendeta itu. "Siulo Imsat Kang kau ini
sudah sampai di tingkat kemahirannya. Aku hanya mau
menduga bahwa kau, pada belum lama berselang, mestinya
sudah bertempur sama salah seorang liehay dan karenanya,
kau mendapat luka di dalam. Jikalau kau bukannya seorang
tangguh, mungkin kau sudah tidak dapat bertahan lagi..."
Beng Sin Thong terkejut di dalam hatinya. Ia pikir:
"Pendeta ini masih kalah dari aku dalam hal tenaga dalam
tetapi matanya sangat tajam." Ia tidak mau mendusta, maka
ia berkata: "Kau benar. Aku telah terlukakan Kim Sie Ie, yang
telah menggunai jarum beracunnya terhadap aku. Masih perlu
lagi dua hari barulah aku sembuh seluruhnya."
Biat Hoa pun terkejut mendengar orang telah terlukakan
Kim Sie Ie, hingga ia berkata di dalam hatinya: "Sekalipun
Beng Laokoay telah terlukakan Kim Sie Ie, maka beruntunglah
aku di atas gunung Binsan itu aku tidak sampai bertempur
dengannya..."
Biat Hoa tidak ketahui, bahwa Kim Sie Ie juga terluka,
bahkan terlebih hebat, daripada lukanya Beng Sin Thong,
hanya syukur untuk Tokciu Hongkay, dia bertemu Le Seng
Lam dan telah diobati nona itu, hingga dia taklah sampai mesti
bercacat. "Taysu," Beng Sin Thong bertanya, "barusan taysu
membilang kau kuatir aku tidak akan mencapai tingkat ke
sembilan, dapatkah kau menjelaskan alasan atau sebabnya
kata-katamu itu?"
"Aku belum pernah mempelajari Siulo Imsat Kang akan
tetapi semasa hidupnya guruku, guruku itu pernah
membicarakan tentang ilmu itu," menyahut Biat Hoa. "Guruku
memberitahukan, meski Siulo Imsat Kang ada sangat liehay,
tetapi setelah orang mencapai tingkat ke delapan, dia sukar
lolos dari kesesatan. Menurut guruku, semenjak dahulu kala
hingga sekarang ini, cuma pada tiga ratus tahun yang lampau
pernah ada seorang yang berhasil meyakinkan itu hingga
tamat ialah Kiauw Pak Beng. Dia telah menyampaikan tingkat
ke sembilan tetapi sekarang ini telah lenyap rahasia peryakinannya
itu. Guruku juga mempunyai keinginan untuk
mempelajari Siulo Imsat Kang, dia sampai memikir pergi ke
Cenghay, guna belajar pada salah seorang Lhama Putih, akan
tetapi akhirnya dia tidak mewujudkan cita-citanya itu. Beng
Kiesu, sekarang ini kau telah mencapai tingkat ke berapa?"
Sebelum menjawab, Beng Sin Thong menghela napas.
"Sayang aku terlahir terlambat," katanya, "hingga aku
menjadi tidak mempunyai ketika untuk bertemu sama gurumu
itu, taysu, jikalau tidak, pasti aku telah berkunjung kepadanya
untuk memohon pengajaran. Sebenar-benarnya aku sekarang
baru menyampaikan tingkat ke tujuh."
Biat Hoa tertawa.
"Demikian adanya, aku tiba pada waktunya yang tepat!" ia
berkata gembira. "Baiklah aku omong terus terang! Di hari


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuanya itu, guruku pernah membilangi aku bahwa meskipun ia
tidak tahu rahasianya Siulo Imsat Kang, kalau ia
mempelajarinya, dengan mengandal pada tenaga dalamnya, ia
tidak bakal menjadi tersesat." Ia berhenti sejenak, ketika ia
melanjuti, ia tidak bersenyum lagi, romannya menjadi sangat
bersungguh-sungguh. "Sayang belum lama habis guruku
berkata begitu, di dalam partai kami telah terbit perubahan
yang besar sekali, lantas guruku itu terbinasa di tangannya Lu
Su Nio si budak perempuan bangsat itu! Tentang ini tentulah
kau sudah mendengarnya hingga tidak usah aku
menjelaskannya lebih jauh."
Seharusnya, kapan Beng Sin Thong mendengar hal
kebinasaannya gurunya Biat Hoa itu, ia mesti mengutarakan
kedukaannya, akan tetapi sebaliknya, ia sudah lantas
berjingkrak bangun dan sambil menepuk batok kepalanya
sendiri ia berkata dengan nyaring: "Kau lihat, bukankah aku
tolol sekali" Gurumu ialah murid kepala dari Tokpie Sinnie, apa
yang dia pelajari ialah ilmu tenaga dalam sejati, yang tak ada
di bawahan tenaga dalam dari suami isteri Keluarga Tong dari
partai Thiansan Pay, maka kenapa aku mesti melepaskan yang
dekat untuk mencari yang jauh" Seharusnya aku mencari kau,
taysu!" Jago tua ini mengatakan demikian tanpa ia berpikir panjang
lagi. Sebelumnya Lu Su Nio meninggal dunia, mana Biat Hoa
berani muncul dalam dunia Kangouw" Dengan Lu Su Nio
masih hidup, mana Biat Hoa berani berserikat dengannya"
Tapi Biat Hoa tertawa.
"Dan sekarang akulah yang mencari kau!" katanya. "Tanpa
kau mencari, aku telah datang sendiri! Jikalau aku
mengajarkan kau ilmu dalamku yang sejati, lalu kau mengajari
aku Siulo Imsat Kang, bukankah itu berarti kita sama-sama
memperoleh kebaikan" Beng Laokoay, bagaimana pikiranmu,
kau setujui ini cara jual beli atau tidak" Inilah maksudku yang
kedua kenapa aku mencari kau."
Beng Sin Thong girang melewatkan batas, dengan keras ia
jabat tangannya Biat Hoa. Ia tertawa puas. Maka tak usah
menanti dia berkata-kata, Biat Hoa tahu orang menyetujui
sarannya itu. Hanya, dalam kegirangannya itu, tiba-tiba Beng Sin Thong
ingat: "Dia suka mengajari ilmu tenaga dalamnya yang sejati
kepadaku, memang hal itu ada kebaikannya untuk kedua
belah pihak, cuma dengan begitu maka kepandaianku yang
istimewa aku mesti wariskan kepada lain orang! Pula ia
mempunyai kepandaian tenaga dalam yang sejati, maka ada
kemungkinan dia bakal berhasil terlebih lekas dari aku, dia
akan menang dari aku, dengan begitu, meskipun aku
mencapai Siulo Imsat Kang tingkat ke sembilan, aku tidak
dapat menjagoi sendiri di kolong langit ini..." Tapi ia cepat
berpikir lainnya. Pikirnya pula: "Akan tetapi ini ketika yang
baik tidak dapat aku kasih lewat! Mengapa aku tidak mau
mengajari dia dengan mengubah sedikit dari ilmuku itu" Mana
dia mendapat tahu" Dengan begitu, kepandaiannya tidak nanti
dapat melebihi kepandaianku..."
Sebagai seorang cerdik dan berpengalaman, meski ia
berpikir demikian, Beng Sin Thong tidak mengasih kentara
sesuatu pada paras mukanya. Ia dapat bersenyum wajar.
"Beng Laoko, sekarang urusan yang nomor tiga," lantas ia
mendengar pula suaranya si pendeta. "Aku tanggung, setelah
kau mendengar, kau bakal menjadi terlebih girang lagi!"
Hebat Biat Hoa. Ia memanggil Sin Thong dengan pelbagai
sebutan. Mulanya ia menyebut Beng "Kiesu". Itulah tanda
menghormat. Lalu Beng "Laokoay", artinya, si "Siluman Tua".
Tentu sekali, inilah ejekan. Tapi sekarang ia memanggil Beng
"Laoko", itulah berarti "kakak". Panggilan yang terakhir ini
menandakan mereka lebih akrab satu dengan lain.
Beng Sin Thong sendiri melengak.
"Apakah yang lebih menggirangkan pula?" ia menerkanerka.
Seumurnya, Sin Thong mengutamakan Siulo Imsat
Kang, ia meyakinkan itu, ia memikirkan tak hentinya. Ia
memikirkan bagaimana untuk mencapai tingkat terakhir, yang
ada ancaman bahayanya ia nanti tersesat. Sekarang ia
mendengar saran Biat Hoa, untuk saling mengajari, atau
saling menukar kepandaian. Inilah hal yang paling
menggirangkan ia di sampingnya ia mendapatkan Lie Kim
Bwee. Sekarang Biat Hoa menyebut hal yang lebih
menggirangkan lagi! Apakah itu"
Biat Hoa membiarkan orang berdiam.
"Beng Laoko," katanya, "lebih dulu hendak aku memberi
selamat padamu!"
"Pemberian selamat untuk apakah itu?" tanya Sin Thong. Ia
heran tetapi ia mencoba berlaku sabar.
Kali ini Biat Hoa tidak mau lantas cepat-cepat membuka
mulutnya, sebaliknya, ia berlaku ayal-ayalan.
"Beberapa hari yang lalu aku telah mengacau di gunung
Binsan, bukankah kau telah mendengar itu?" dia tanya.
Beng Sin Thong telah mendengar dari Kie Siauw Hong
halnya pendeta ini sudah diusir pihak Binsan Pay serta Kim Sie
Ie, maka ditanya demikian, dengan orang roman heran, ia
pikir: "Itulah kejadian yang memalukan untuknya, kenapa dia
agaknya gembira sekali?" la mengangguk, ia menjawab:
"Benar, ada orang yang mengatakannya itu kepadaku,
katanya kau bersama Co Kim Jie memperebuti kedudukan
Ciangbunjin. Sebenarnya jikalau kita berdua bekerja sama,
sesudah kita berlatih beberapa tahun, siapakah yang dapat
melawan kau atau aku" Apakah artinya kedudukan seorang
ciangbunjin?"
Dengan kata-katanya ini, Sin Thong hendak menghibur si
pendeta. Tapi Biat Hoa berkata padanya: "Aku tidak pikirkan
kedudukan ciangbunjin itu! Benar aku telah menampak
kekalahan di gunung Binsan tetapi aku girang sekali! Coba
bade, aku dirobohkan di tangan siapa?"
Sin Thong si licik berpura-pura heran.
"Siapakah yang demikian kosen yang dapat merobohkan
kau?" ia tanya. "Bukankah Pek Toat Siangjin dari Siauwlim Sie
telah datang ke Binsan" Ah, tak mungkin! Tidak, aku tidak
dapat menerka!"
Sin Thong merasa tidak enak hati untuk menyebut
namanya Kim Sie Ie. Benar Kim Sie Ie telah membuat nama
akan tetapi dialah orang tingkat lebih muda bila dibandingkan
dengan Biat Hoa.
"Jikalau aku dikalahkan Pek Toat Siangjin dari Siauwlim Sie,
itulah tidak aneh," berkata Biat Hoa. "Mengapa kau tidak
dapat menerka" Orang yang merobohkan aku itu ialah
muridnya Lu Su Nio!"
Benar-benar Beng Sin Thong menjadi heran.
"Apakah kau maksudkan Kok Cie Hoa?" ia menegaskan.
"Dia... dia... benar-benar demikian liehay?"
Biat Hoa tertawa terbahak-bahak.
"Inilah sebabnya mengapa aku hendak memberi selamat
kepadamu!" ia berkata, gembira.
Beng Sin Thong heran bukan kepalang. Dia bagaikan
seorang yang tercemplung ke dalam kabut.
"Saudaraku, apakah artinya kata-katamu ini?" akhirnya dia
tanya. "Eh, apakah kau masih belum mengerti?" si pendeta balik
menanya. "Kau tahu, muridnya Lu Su
Nio itu, ialah murid penutup-dialah anak perempuanmu
sendiri! Dia masih demikian muda tetapi dia telah
mendapatkan kepandaian yang tinggi sekali! Tidakkah itu ada
harganya untuk kau menjadi girang luar biasa?"
Demikian rupa cara bicaranya Biat Hoa Hwesio, dia
membuatnya Beng Sin Thong seperti mendapat gempuran
yang hebat sekali, tidak perduli orang she Beng ini seorang
yang banyak pengalamannya. Dengan tubuh bergemetar, dia
berjingkrak bangun.
"Apakah kau omong benar-benar?" dia menegaskan- Dia
bukan heran karena kegagahannya Kok Cie Hoa hanya karena
nona itu, katanya, puterinya sendiri.
Biat Hoa tertawa bergelak.
"Beng Laoko!" katanya. "Lihat, bagaimana kau girangnya!
Mustahil aku mendustakan padamu" Mustahil aku tengah
bergurau" Aku juga bukannya hendak mengambil hatimu!
Benar-benar muridnya Lu Su Nio itu puterimu sendiri!"
Beng Sin Thong berdiam, ia menenangkan hatinya.
"Bagaimana kau ketahui itu?" ia masih menanya.
"Ketika aku tiba di Binsan, disana justeru Co Kim Jie lagi
memeriksa perkara puterimu itu. Itulah sebab dia ada sangkut
pautnya dengan kau."
"Bagaimanakah duduknya itu?"
"Sebab dialah puterimu, Co Kim Jie telah mengusir dia
keluar dari Binsan Pay!"
"Oh, dia diusir Co Kim Jie..." kata Sin Thong di dalam hati.
Ia masih bersangsi meskipun yang bicara itu Biat Hoa.
"Turut apa yang aku dengar," ia bilang, "murid-penutup
dari Lu Su Nio itu anaknya Liang Ouw Tayhiap Kok Ceng Peng.
Apakah itu kabar dusta belaka?"
"Tidak! Kok Ceng Peng cuma menjadi orang yang
memungut anakmu itu. Mari aku tanya kau. Ketika dulu hari
itu kau membinasakan Ciu Kie, ketua dari Kaypang, bukankah
kau telah kena orang kepung?"
"Benar. Itulah benar."
"Setelah itu kamu suami isteri, karena kamu sangat
dikepung-kepung, kamu menjadi tercerai berai, bukankah?"
Beng Sin Thong mengertak gigi. Ia gusar sekali kapan ia
ingat peristiwa dulu hari itu.
"Tatkala itu isteriku terluka parah, aku tidak berdaya menolongi
dia," ia berkata. "Sampai sekarang hal itu masih
membuatnya aku sakit hati. Isteriku itu, selainnya terluka,
juga berada bersama anakku yang baru berumur satu tahun.
Aku telah menyangka mereka ibu dan anak sudah tidak ada di
dalam dunia itu..."
"Dugaanmu itu keliru. Ketika itu Kok Ceng Peng bersama
muridnya, yang bernama Liu Heng Som, turut dalam
rombongan yang mengepung kamu."
"Aku ketahui itu guru dan murid. Tapi mereka itu tidak
dapat menyandak aku, maka aku tidak sampai bertempur
sama Kok Ceng Peng."
"Itu pun benar. Baiklah kau ketahui, segala urusan ini
diterangkan oleh Liu Heng Som kepada Co Kim Jie,
diterangkannya di atas gunung Binsan."
Keterangan ada demikian jelas, tidak dapat Beng Sin Thong
menyangsikannya pula. Sekian lama ia berdiam, kumisnya
bergerak-gerak.
Biat Hoa mengawasi, ia heran, mendapatkan Sin Thong
girang tetapi pada itu tercampur rasa takut atau bingung.
Kenapakah"
Pendeta ini belum ketahui yang Kok Cie Hoa telah terjatuh
di tangannya jago Siulo Imsat Kang itu. Dan dalam
berdiamnya itu, Beng Sin Thong justeru lagi membayangi
tatapan matanya si nona terhadapnya, tatapan mata yang luar
biasa. "Jadi dialah anakku sendiri..." dia berpikir. "Dan dia, lebih
suka dia mati daripada berdiam di dampingku!... Ah, anak,
kenapa kau sangat membenci aku, aku ayahmu sendiri?"
Memikir sampai disitu, tanpa merasa Beng Sin Thong
mengucurkan air mata. Inilah air mata yang ia keluarkan
untuk yang kedua kali selama hidupnya. Yang pertama kali
ialah pada dua puluh tahun dulu ketika ia terpisah dari isteri
dan anaknya. "Eh, Beng Laoko, kau kenapakah?" tanya Biat Hoa heran.
"Aku girang sampai mengeluarkan air mata," menyahut Sin
Thong. Ia tidak mau membeber rahasia hatinya. Tidak dapat
ia menuturkan sikap apa ia telah ambil terhadap Cie Hoa. Ia
paksakan diri untuk tertawa. "Terima kasih untuk kabarmu
ini." Ia lantas ingat apa-apa, maka ia menanya: "Apakah Co
Kim Jie tidak mempersulit lainnya terhadap anak itu?"
"Mulanya Co Kim Jie hendak memaksa minta kitab ilmu
pedangnya," Biat Hoa menjawab, "kemudian dia mengubah itu
sebab dia ingat anakmu sudah berjasa terhadap Binsan Pay.
Meski demikian, dengan diusir saja, anakmu telah cukup
menderita."
Sin Thong berdiam, hatinya bekerja pula. Ia heran.
Pikirnya: "Tidak salah, Biat Hoa ini telah dikalahkan Cie Hoa,
maka itu, Cie Hoa menjadi berjasa terhadap Binsan Pay.
Hanya, bagaimana Cie Hoa dapat mengalahkan Biat Hoa?"
Biat Hoa tidak tahu apa yang orang pikir. Ia tertawa dan
berkata: "Beng Laoko, aku memberi selamat padamu yang
kau mempunyai puteri yang gagah perkasa! Sekarang tibalah
saatnya aku hendak memohon sesuatu daripadamu!"
"Apakah itu?" tanya Sin Thong, yang hatinya masih
bekerja. "Inilah untuk kau, untuk aku juga! Semoga kamu, ayah dan
anak, dapat lekas berkumpul! Lao Beng, aku mau minta
supaya kau lantas mencari puterimu itu!" berkata si pendeta
akhirnya. "Itulah pasti!" menjawab Sin Thong, yang agak tergugu.
"Tapi aku masih kurang jelas. Apakah maksudmu dengan
kata-katamu, buat aku dan juga buat kau itu?"
Biat Hoa mengawasi, ia memberikan penyahutannya.
"Lu Su Nio mewariskan tiga bocah kitab Siauwyang
Sinkang. Isi, atau pelajaran yang didapatkan di dalam kitab
itu, diperantikan utama untuk menghadapi kau. Di samping
itu, Lu Su Nio telah mempunyai ilmu silat pedangnya Hian Lie
Kiamhoat. Ilmu pedang itu diperuntukkan melawan guruku
almarhum. Kasihan guruku, yang terbinasa secara hebat itu.
Dengan begitu, dengan sendirinya, ilmu pedang itu pun
berupa ancaman bahaya untukku. Dasar manusia tidak dapat
melebihkan Thian, maka telah terjadi sesuatu yang luar biasa!
Siapa suruh ahli warisnya Lu Su Nio itu ialah puterimu sendiri!"
Baru sekarang Sin Thong dapat menebak maksudnya si
pendeta. Katanya: "Jadi kau mengharap aku mencari anakku
supaya aku bisa mendapatkan kitab Siauwyang Sinkang itu
untuk aku sendiri sedang kitab ilmu pedang Hian Lie Kiamhoat
itu untukmu?"
"Puterimu itu telah diusir Binsan Pay," menjawab Biat Hoa,
"maka itu kalau kau berhasil mencari dia dan lalu bicara dalam
hubungan ayah dengan anak, dia tentu sekali akan
meluluskan permintaanmu meminta kitab ilmu pedangnya itu.
Baiklah aku jelaskan, kitab itu aku cuma mau pinjam untuk
aku menyalinnya, kitab aslinya akan aku memulangkan


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali." "Bagus sekali pikiranmu," kata Sin Thong dalam hatinya.
"Kau datang padaku untuk membaiki aku, untuk minta diajari
Siulo Imsat Kang. Tapi inilah maksudmu yang kedua.
Nyatanya, maksudmu yang utama ialah untuk meminjam
tanganku, guna kau mendapatkan kitab ilmu pedang anakku
itu!" Terkaannya Sin Thong ini tepat.
Gurunya Biat Hoa, yaitu Liauw In Hwesio, telah lama sekali
mengikuti gurunya, Tokpie Sinnie. Maka itu, Liauw In pandai
segala macam kepandaian gurunya kecuali ilmu pedang Hian
Lie Kiamhoat itu. Inilah disebabkan, ilmu pedang itu diciptakan
Tokpie Sinnie sesudah usianya lanjut dan diwariskan hanya
kepada Lu Su Nio seorang. Biat Hoa ingin menjadi ciangbunjin,
sudah sepantasnya saja ia harus memiliki kepandaian ilmu
pedang itu, hingga ilmu pedang itu lebih penting daripada
Siulo Im Sat Kang. Ia hanya tidak mendapat tahu, meskipun
dipaksa Sin Thong, Cie Hoa tidak suka menyerahkan kitab
Siauwyang Sinkang, apapula kitab pedang itu. Tentu sekali,
biar bagaimana, Sin Thong menjadi merasa sulit. Pikirnya: "Cie
Hoa sudi mengakui aku sebagai ayahnya atau tidak, masih
menjadi soal sukar, sekarang kau ingin aku menggunai
pengaruh sebagai ayah terhadap anaknya untuk menipu kitab
ilmu pedangnya itu! Tidakkah kau memikir yang tidak-tidak?"
Biat Hoa mengharap terlalu banyak. Meski umpama kata
Sin Thong berhasil mendapatkan kitab ilmu pedang itu dari
tangan anaknya, belum tentu ia suka menyerahkannya kepada
si hwesio. Bukankah Sin Thong telah mendapatkan kitab
Siauwyang Sinkang itu" Mana sudi ia bekerja untuk Biat Hoa,
guna membikin Biat Hoa menjadi jauh terlebih gagah
daripadanya"
Sin Thong tidak dapat berdiam lama-lama. Ia mesti
mengambil putusan, untuk memberi jawaban kepada Biat
Hoa. Tapi kepu-tusannya ialah ia pikir lebih baik ia terus
menutup rahasia yang Cie Hoa itu telah dapat diketemukan
olehnya. Bagaimana sekarang" Sin Thong pikir lebih jauh. Ia
membutuhkan ilmu dalam sejati dari Biat Hoa. Biar
bagaimana, ia harus membuat senang hatinya pendeta itu.
"Baik," katanya kemudian. "Mulai sekarang ini kita berdua
harus menjadi seperti sebuah tubuh, maka itu, saudara, kau
harus melegakan hatimu. Jikalau ada sesuatu padaku, tidak
nanti aku melupakan kau. Baiklah, besok nanti kita pasang
omong lebih jauh."
Biat Hoa masih ingin bicara pula tetapi Sin Thong, dengan
kecerdikannya, menyilahkan dia beristirahat, hingga, biarnya
dia tidak puas, dia tidak bisa memaksa lagi. Dia cuma
mengharap orang tidak nanti menyangkal janjinya. Dia pikir,
sang waktu toh masih panjang...
Kok Cie Hoa di dalam rumah batu lagi tidur layap-layap
tatkala mendadak ia merasakan di sampingnya ada suara
napas orang. Ia menjadi kaget. Dengan lantas ia bergerak
bangun seraya dengan sebelah tangannya meraba-raba. Ia
kena pegang rambut yang halus, hingga ia mengetahui orang
itu seorang wanita. Tentu sekali ingin ia melihat orang itu.
Dari rambutnya, ia mencabut tusuk kondenya yang ditabur
dengan sebutir mutiara ya-beng-cu, mutiara mana dapat
mengeluarkan sinar terang yang lemah. Maka terlihatlah
olehnya seorang wanita yang terlebih muda daripadanya, yang
mukanya potongan kwaci dan menarik hati, membuatnya
orang berkasihan dan menyukainya. Ia lantas mengangkat
tubuh nona itu tetapi si nona berdiam saja, dari itu ia lantas
mendapat tahu bahwa orang tertotok jalan darahnya. Ia
segera memeriksa.
"Hebat!" pikirnya, la mendapatkan, yang ditotok itu ialah
dua jalan darah: koatpun hiat di punggung, dan pekhwee hiat
di embun-embunan. Itulah dua jalan darah yang dinamakan
"jalan darah kematian". Cuma orang Binsan Pay yang liehay
yang dapat menotok kedua jalan darah itu tanpa
menyebabkan matinya si korban. Siapa kena tertotok ilmu itu,
meski tenaga dalamnya liehay, dia tidak nanti dapat
membebaskan diri, dia mesti ditolong orang Binsan Pay juga.
Cie Hoa menjadi heran sekali.
Ia lantas menduga-duga: "Orang Binsan Pay siapakah
sudah menotok nona ini" Yang dapat melakukan ini mestinya
cuma Co Kim Jie dan Ek Tiong Bouw... Kalau mereka, atau
salah satunya, yang melakukannya, kenapa dia ini sekarang
terjatuh di tangannya... Beng... Beng Sin Thong"..."
Meskipun ia bersangsi, Cie Hoa toh lantas menotok nona
itu, untuk membebaskannya.
Lie Kim Bwee, demikian nona itu, juga menjadi heran
sekali, la sadar untuk segera mengingat segala apa.
"Kau pernah apa dengan si bangsat tua she Beng?" ia
lantas menanya orang di depannya itu.
Cie Hoa berduka sekali. Ia mesti mendengar sendiri orang
mencaci ayahnya.
"Akulah yang senasib denganmu, yang terkurung di dalam
ini rumah batu," ia menyahut perlahan, terpaksa.
"Kau siapa?" begitu pertanyaan Kim Bwee.
"Kau siapa?" begitu juga pertanyaan Cie Hoa
Mereka saling menanya, mereka pun saling menatap.
"Aku Lie Kim Bwee," si nona Lie menjawab. "Aku dari
Thiansan Pay. Kau?"
Cie Hoa terkejut, hingga bukannya menjawab, dia lantas
menanya: "Kenapa kau kembali terjatuh ke dalam tangan dia"
"Eh, kenapa kau ketahui aku pernah terjatuh ke dalam
tangannya?" Kim Bwee balik menanya. Ia heran bukan main.
"Kau siapa?"
"Aku Kok Cie Hoa, dari Binsan Pay," Cie Hoa
memperkenalkan diri.
"Ah, mungkin Ek Tiong Bouw pernah berbicara denganmu,"
kata Kim Bwee. "Aku telah ditolongi seorang nona she Le, dia
mengatakan bahwa si bangsat tua she Beng bermusuh besar
dengan kamu dari Binsan Pay. Tepat di itu malam Nona Le
menolongi aku, Ek Tiong Bouw bersama Cia In Cin justru
datang mengacau di Beng keechung. Sayang aku tidak dapat
bertemu dengan mereka itu..."
Sebenarnya Cie Hoa mendapat tahu Lie Kim Bwee dikurung
di rumah batu dari keterangannya Kim Sie Ie akan tetapi ia
tidak mau lantas memberikan keterangannya kepada Nona Lie
ini. "Enci Lie," kemudian Cie Hoa tanya, "siapakah yang telah
menawan kau?"
"Dialah seorang pendeta tua," menyahut Kim Bwee. "Dia
bersenjatakan sebatang tongkat sianthung yang besar,
romannya bengis sekali, tubuhnya gemuk."
Cie Hoa kaget. "Kalau begitu dialah Biat Hoa Hwesio!" katanya, suaranya
parau. "Dia... dia... apakah dia datang ke mari?"
"Apakah kau ketahui hal ikhwalnya hwesio jahat itu?" Kim
Bwee tanya. "Justeru dialah yang membawa aku kemari dan
menyerahkannya pada si bangsat tua she Beng! Ah, enci,
mengapa kau nampaknya takut sekali! Memang dia jahat
tetapi apakah bukan si bangsat tua she Beng terlebih jahat
pula" Kita sekarang telah terjatuh ke dalam tangan mereka
itu. Yang satu hantu, yang lain hantu juga, bukankah mereka
sama saja" Paling-paling kita bakal dibunuh mereka!..."
Nona ini tidak ketahui sebab dari ketakutannya Cie Hoa itu.
"Biat Hoa datang, Biat Hoa datang," demikian hatinya Nona
Kok bekerja. "Ah, dia tentu membuka rahasiaku kepada...
kepada ayahku yang aku tidak sudi mengakuinya..."
la masih berdiam ketika ia merasa Kim Bwee menyekal
tangannya erat-erat, dan nona she Lie itu mendapatkan
tangannya itu dingin seperti es.
"Ah, enci, kau kenapakah?" tanya Kim Bwee, kaget.
"Tidak apa-apa," Cie Hoa menjawab. "Aku bukannya takut.
Kau jangan kuatir..."
"Tanganmu dingin sekali," kata si Nona Lie. "Apakah
pakaianmu terlalu tipis" Memang hawa di dalam gua ini sangat
dingin! Maukah kau memakai baju lapis?"
Sembari berkata, Kim Bwee berniat meloloskan baju
luarnya. Sebenarnya Cie Hoa sangat berduka, tetapi melihat
kelakuan ini sahabat baru, mau atau tidak, ia tertawa.
"Kau baik sekali, terima kasih!" ia kata. "Aku tidak dingin."
Dengan tertawa ini, benar-benar Nona Kok menjadi terbuka
hatinya, hingga kaki dan tangannya pun lantas tidak dingin
lagi sebagai barusan.
Mengetahui itu, hati Kim Bwee lega.
Mendapatkan hati orang demikian baik, Cie Hoa berpikir:
"Pantas Kim Sie Ie sangat menyukai dia, kiranya dia berhati
sangat baik dan polos. Sungguh dia pantas disayangi..."
Karena ini ia lantas pikirkan, baik atau tidak ia
memberitahukan halnya Kim Sie Ie. Sebelum ia dapat
mengambil keputusan, Nona Lie sudah berkata pula.
"Pernah ibuku membilangi aku bahwa Lu Su Nio
mempunyai seorang murid penutup ialah anaknya Liang Ouw
Tayhiap Kok Ceng Peng," kata nona itu. "Bukankah nona itu
ialah enci sendiri?"
"Tidak salah," Cie Hoa membenarkan. "Aku pun pernah
mendengar guruku menyebut-nyebut kau dan suhu sangat
memuji kecerdasanmu."
Kim Bwee girang sekali.
"Sungguh aku tidak pernah menyangka bahwa kita dapat
bertemu disini!" katanya. "Di masa hidupnya, gurumu itu
sangat baik dengan ibuku, maka itu, kau pun seperti kakakku
saja. Apakah enci suka aku menjadi adikmu" Berapa usia enci
sekarang?"
"Dua puluh satu tahun," Cie Hoa menjawab.
"Aku lebih muda dua tahun," kata Kim Bwee. "Maka pantas
aku memanggil enci."
Cie Hoa girang untuk kepolosan nona di depannya ini. Ia
tertawa, terus ia memeluk erat-erat.
"Adik kecil, aku juga sangat menyukai kau!" ia kata.
"Baiklah, mulai hari ini, kita menjadi saudara-saudara angkat!"
Benar-benar keduanya, dengan menggunai tanah seperti
hio, lantas mengangkat saudara.
"Kapannya kau ditangkap si bangsat tua she Beng?"
kemudian Lie Kim Bwee tanya.
"Juga ini hari," menyahut Kok Cie Hoa.
"Mungkin bangsat tua she Beng itu hendak memaksa kau
mengajari dia ilmu tenaga dalam Laykang Simhoat," kata Kim
Bwee. "Dia pun pernah memaksa demikian terhadap aku.
Biarpun mesti mati, kita tidak dapat membantu orang jahat
melakukan kejahatannya. Bukankah begitu, enci?"
"Benar," Cie Hoa menjawab.
"Enci kena ditangkap ini hari. Apakah enci hadir dalam
rapat Binsan Pay itu?"
Cie Hoa ingat apa-apa.
"Apakah kau bukan hendak menanyakan hal seorang-orang
kepadaku?" ia balik menanya.
Kim Bwee berjingkrak bangun.
"Enci, mengapa kau ketahui itu?" tanyanya heran. "Apakah
kau mengerti ilmu meramalkan maka kau lantas dapat
menebak hatiku?"
Cie Hoa tertawa.
"Siapakah orang yang kau hendak mencari-tahu itu?"
Kim Bwee merasa likat.
"Orang itu namanya di dalam dunia Kangouw kurang
bagus..." sahutnya, terpaksa. "Dia pula mempunyai gelaran
yang tidak sedap didengar telinga, ialah Tokciu Hongkay, si
Pengemis Edan Tangan Beracun. Akan tetapi hati dia baik
sekali. Dia..."
Kok Cie Hoa tertawa.
"Jadi yang kau tanyakan itu ialah Kim Sie Ie!" katanya
berpura pilon. "Apakah kau pernah bertemu dengannya?" tanya Kim Bwee
cepat. "Bahkan dia telah berbicara denganku!"
"Apakah yang dia bicarakan itu?"
"Dia justeru membicarakan tentang kau, adikku. Dia minta
bantuanku mencari kau!"
"Oh, kiranya dia pun ketahui aku lagi mencari padanya!
Sayang kita sekarang lagi dikurung si bangsat tua she Beng di
dalam sini! Habis apa daya untuk membuatnya ketahui hal kita
ini?" "Apakah kau sangat memikirkan Kim Sie Ie?" tanya Cie
Hoa. "Enci, tidak niatku mendustai kau," kata Kim Bwee.
"Memang aku sangat memikirkan dia. Aku merasa dia harus
sangat dikasihani. Dia tidak mempunyai orang tua lagi dan
juga tidak mempunyai orang yang paling berdekatan
dengannya... bahkan dia pun tidak mempunyai sahabat yang
mengerti hatinya. Aku ingin sekali menemani dia. Di dalam hal
ini, aku tidak takut orang luar nanti mentertawai aku."
Cie Hoa berkasihan terhadap nona polos ini.
"Sebenarnya kau belum mengerti hati Kim Sie Ie," katanya
dalam hatinya. Lantas ia kata. "Adikku, kau jangan kuatir, asal
bisa lolos dari sini, pasti aku akan membantu kau mencari
dia." Kim Bwee memegang keras kedua tangannya itu enci
angkat. "Enci, kau baik sekali!" ia kata bersyukur. Lantas ia
menambahkan: "Katanya Kim Sie le telah terlukakan si
bangsat tua she Beng, entah lukanya itu sudah sembuh atau
belum?" Ditanya begitu, Cie Hoa heran.
"Aku lihat dia sehat, tidak miripnya orang lagi terluka,"
jawabnya. "Sebaliknya di atas gunung Binsan itu dia sudah
memberi hajaran hebat kepada dua muridnya Biat Hoa
Hwesio. Dari siapakah kau dengar kabar itu?"
"Si nona she Le dan Siauw Bu pun membilang demikian.
Mustahilkah mereka itu membohongi aku" Siauw Bu ialah
keponakan muridku, usianya lebih tinggi sedikit daripada aku,
dia bahkan berbicara dengan terlebih sungguh-sungguh. Dia
kata dia melihat sendiri Kim Sie le sudah terkena tangannya
bangsat tua she Beng itu, ia terlukakan Siulo Imsat Kang,
hingga katanya, walaupun tidak mati, ia mungkin akan
bercacat..."
Mendengar itu, Kok Cie Hoa berpikir: "Tenaga dalam dari


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim Sie Ie memang lebih mahir daripada aku tetapi, jikalau dia
benar terlukakan pukulan Siulo Imsat Kang, tidak nanti dia
demikian lekas sembuh. Kalau begitu, perlu apa si nona she Le
dan pemuda she Bu itu mendustakan Kim Bwee?" Maka ia
merasa pada ini ada halnya yang aneh. Tapi tidak dapat ia
menanyakan jelas tentang nona Le dan pemuda she Bu itu,
yang ia tidak kenal, ia merasa kurang leluasa meskipun
sekarang ia sudah jadi saudara angkat dari nona ini.
"Apakah Kim Sie Ie pernah beritahukan kau, enci, kemana
dia mau pergi?" kemudian Lie Kim Bwee menanya pula.
"Ya," menyahut Cie Hoa. "Ia mengutarakan niatnya pergi
ke sebuah pulau untuk mencari warisan kitab rahasia dari
Kiauw Pak Beng, itu jago Siulo Imsat Kang pada tiga ratus
tahun yang lampau. Ia mau percaya di dalam kitab warisan itu
mungkin ada ilmu untuk memunahkan Siulo Imsat Kang."
Kim Bwee menghela napas.
"Ini dia yang dibilang, air yang jauh tak dapat menolong api
yang dekat..." katanya masgul. "Dia mana ketahui kita
sekarang lagi dikurung di dalam ini kamar batu" Aku kuatir,
untuk seumur kita, kita tidak bakal bertemu pula
dengannya..."
"Janganlah bicara demikian," Cie Hoa menghibur. "Di dalam
dunia ini sering terjadi hal-hal yang di luar dugaan. Bukankah
kau pernah lolos dari sini?"
Selagi menghibur itu, Cie Hoa sudah memikirkan daya
bagaimana harus menolong lolos ini saudara angkat yang
polos. Bagaimana anak kecil, dihiburkan begitu, Kim Bwee lantas
dapat pulang kegembiraannya, hingga ia bisa tertawa.
"Biar bagaimana," katanya, "kali ini aku dikurung ada jauh
lebih menyenangkan daripada yang bermula kali! Yang semula
itu aku berada bersendirian saja disini tetapi kali ini aku ada
bersama kau, enci. Enci, sesungguhnya aku sangat girang
dapat berkenalan dengan kau!"
Cie Hoa pun girang, ia merangkul adik angkat itu.
"Adik, aku pun sangat girang!" ia kata.
Mereka hening sejenak.
"Enci," tiba-tiba si adik tanya, "enci, apakah kau menyukai
Kim Sie Ie?"
Cie Hoa terkejut. Inilah ia tidak sangka. Ia tidak dapat
lantas menjawab langsung.
"Gerak-geriknya Kim Sie Ie itu tidak wajar," berkata pula
Lie Kim Bwee, "bahkan dia mirip orang yang otaknya miring,
akan tetapi jikalau kau baik terhadapnya, dia pun dapat
berbuat baik terhadapmu. Tidakkah enci pun merasa
demikian?"
Baru sekarang Cie Hoa mengerti. Kiranya Kim Bwee bukan
maksudkan soal cinta.
"Aku merasa dialah bukan seorang buruk," ia menjawab,
tertawa. Kim Bwee berdiam, ia agak berpikir. Kemudian ia berkata
pula. "Enci menyukai dia atau tidak, aku tidak tahu," demikian
katanya. "Tapi aku tahu benar, dia tentunya menyukai kau!"
Hati Cie Hoa tadi tegang, lalu tenang, tetapi sekarang,
hatinya itu tegang pula. Hebat pertanyaannya anak polos ini.
"Bagaimana kau ketahui itu?" ia balik menanya,
memaksakan diri.
"Dialah seorang sangat besar kepala!" menjawab Kim
Bwee. "Jikalau bukan terhadap orang yang dia sukai, atau
takluk terhadapnya, dia pasti tidak sembarang mau memohon
bantuan. Demikian halnya terhadapmu ini. Dia bukan saja
telah sudi omong banyak bahkan dia juga telah minta kau
membantui dia mencari aku. Jikalau dia tidak menganggap
kau sebagai sahabat yang mengenal hatinya, tidak nanti dia
berlaku demikian. Maka itu aku berani bilang, dia tentu suka
padamu, sangat suka padamu, enci! Aku girang sekali, orang
yang aku sukai, dia pun menyukainya, dari itu sekarang aku
makin menyukai kau!"
Cie Hoa menghela napas di dalam hatinya.
"Sungguh seorang nona yang dadanya putih bersih!"
pikirnya. Maka ia merangkul nona itu semakin keras. Hanya,
selagi merangkul itu, tanpa merasa, ia berduka sendirinya, la
menjadi bimbang: Ia mengasihani Kim Bwee atau Sie Ie"
Ataukah ia mengasihani dirinya sendiri"... Tanpa merasa, air
matanya mengetes turun, jatuh ke muka putih halus dari Kim
Bwee. "Eh, enci, mengapa kau menangis?" si Nona Lie tanya,
heran. "Aku tidak tahu kenapa, aku jadi ingin menangis,"
menyahut orang yang ditanya.
"Aku juga pernah menangis hanya di saat aku berada
sendirian dan kesepian," kata Kim Bwee, mengaku sendirinya.
"Ah, sudahlah, jangan menangis! Nah, enci dengar, enci
dengar, suara apa itu?"
Tiba-tiba mata mereka menjadi terang. Nyata pintu kamar
telah dibuka dan sinar api mencorong masuk.
Kim Bwee berlompat bangun, hanya belum lagi ia bersuara,
ia sudah roboh pula. Sebab orang yang datang itu dan masuk
ke dalam kamar, sudah menotok padanya tanpa ia berdaya.
Dialah Beng Sin Thong!
Cie Hoa kaget dan bingung, hingga ia merasakan bagaikan
dunia berputar. Tubuhnya limbung dan terhuyung.
"He, kau bikin apa?" dia berteriak.
Beng Sin Thong memegang tubuh orang, agar tidak jatuh.
"Jangan kau takut," katanya, "aku cuma menghendaki dia
pingsan lamanya satu jam, supaya kita dapat bicara dengan
leluasa. Aku tidak ingin ada orang luar yang mengganggu
pembicaraan kita."
Cie Hoa mengerahkan tenaganya, untuk melepaskan diri
dari tangan Sin Thong. Meski begitu, air matanya turun deras
sekali. Hebat pertentangan di dalam hatinya menghadapi ini
ayah yang ia segan mengakuinya. Di matanya, ayah inilah
seorang sangat busuk.
"Baiklah, jikalau kau mau menangis, kau menangislah!"
kata Sin Thong. "Kau boleh menangis sepuasnya! Habis kau
menangis, baru kita bicara..."
Cie Hoa menggigit giginya atas dan bawah.
"Tidak dapat aku menunjuki kelemahanku di depannya!" ia
berpikir Ia menguati hati, ia menahan keluarnya air matanya.
"Jikalau kau mau, kau bunuhlah aku!" katanya keras. "Kau
tentu tidak mempunyai keinginan lain! Ada apakah yang
hendak dibicarakan?"
Sin Thong menghela napas.
"Apakah sampai hari ini kau tetap tidak mau mengakui aku
sebagai ayahmu?" ia tanya.
"Aku tidak punya ayah!" kata Cie Hoa. "Ayahku sudah lama
mati! Dia mati ketika umurku satu tahun!"
Sin Thong mengusap-usap rambut orang.
"Oh, begini rupa kau membenci aku?" katanya. "Tapi tidak
heran kau membenci aku... Aku tidak mempunyai kemampuan
melindungi kau, aku seperti membiarkan ibumu mati sengsara
dan kau sendiri, kau telah terlunta-lunta selama dua puluh
tahun!... Hanyalah, semua penderitaan itu sudah lewat, dan
sekarang ini- berterima kasih kepada Thian Yang Maha Kuasa,
yang telah melindunginya, akhir-akhirnya kau kembali ke
sisiku! Maka selanjutnya kau akan hidup dalam kebahagiaan!"
"Tidak!" kata Cie Hoa. "Selama dua puluh tahun itu, aku
hidup sangat beruntung, sedikitpun tidak kumenderita
kesengsaraan seperti yang kau pikir itu! Ayah angkatku sangat
menyayangi aku, dan guruku telah memelihara dan merawat
aku sampai aku dewasa! Merekalah orang-orang yang lurus,
aku sangat menghormati mereka, meski mereka sudah
meninggal dunia, mereka tetap hidup di dalam hatiku!"
Mukanya Sin Thong menjadi pucat sekali.
"Aku masih hidup di dalam dunia ini tetapi kau
menganggapnya aku sudah mati..." katanya perlahan.
"Aku tidak tahu, selama hidupmu, kau pernah melakukan
perbuatan baik atau tidak," berkata Cie Hoa pula. "Hanya
ketika aku berumur satu tahun itu, kau telah membuang aku,
maka itulah satu perbuatan yang sangat baik! Tidak dapat aku
memikirkan bahwa aku mempunyai seorang ayah yang
demikian dibenci orang banyak! Jikalau kau menghendaki aku
hidup bersama-sama kau, maka itulah baru hidup yang
sengsara yang penuh penderitaan!"
"Baik atau buruk, itulah ada di pandangan setiap orang,"
kata Sin Thong. "Di mataku, itu orang-orang yang menyebut
dirinya orang-orang berhati mulia, merekalah bangsa tolol!
Akan tetapi tentang ini, baik di belakang hari saja kita
bicarakannya. Biar apa pun, aku tetap ayahmu!"
"Biar apa pun, aku tidak sudi tinggal bersama kau!" kata si
nona. Beng Sin Thong tertawa dingin.
"Apakah karena aku musuh kamu kaum Binsan Pay?" dia
tanya. "Co Kim Jie telah mengusirmu, apakah kau masih tetap
membelai partainya itu" Apakah kau merasa Co Kim Jie itu
lebih dekat kau daripada ayahmu ini?"
"Baik atau jelek Co Kim Jie memperlakukan aku, itulah satu
urusan lain," Cie Hoa bilang. "Biarnya dia bertabiat jelek, dia
tetap orang dari partai lurus! Memang tidak bagus perlakuan
Co Kim Jie terhadap aku, tetapi guruku, guruku itu sangat
besar budinya terhadap aku, bagaikan gunung!"
"Maka itu kau jadi menghendaki gurumu yang telah jadi
setan yang mati daripada ayahmu yang telah menghidupkan
dirimu!" katanya. "Sayang, bulumu belum tumbuh, kau tidak
dapat melindungi Binsan Pay kamu itu! Meski juga aku tidak
turun tangan sendiri, toh ada lain orang yang hendak
membongkar kuburan gurumu itu, guna merusak peti
matinya! Orang itu pun bakal merampas kedudukannya Co
Kim Jie sebagai ciangbunjin dari Binsan Pay!"
"Aku tahu siapa manusia jahanam itu!" kata Cie Hoa.
"Dialah Biat Hoa Hwesio si busuk dan dia sekarang berada
bersama kau di dalam rumahmu ini! Dia hendak membongkar
kuburan guruku" Hm! Itu tak nanti terjadi kecuali matahari
muncul dari barat!"
"Apakah kau mengira benar-benar kau dapat mengalahkan
dia?" Sin Thong tanya.
"Aku cuma ketahui bahwa satu kali aku beruntung dapat
mengalahkan dia! Tapi akulah seorang Binsan Pay yang belum
masuk hitungan, maka umpama kata dia dapat mengalahkan
aku, itu tidak ada artinya apa-apa!"
"Bukan cuma kau," kata Sin Thong, "di dalam Binsan Pay,
siapa pun tidak dapat mengalahkan dia! Bagaimana kau berani
bilang, kalau mau merusak kuburan gurumu, dia tidak dapat
melakukannya kecuali matahari muncul dari barat?"
"Apakah di kolong langit ini orang dapat malang melintang
cuma dengan mengandalkan kepandaian silat?" Cie Hoa balik
menanya. "Guruku itu, semasa hidupnya ialah pemimpin
orang-orang gagah, dan setelah menutup mata, ia dipuja
kaum Rimba Persilatan, maka itu, jikalau dia berani
mengganggu kuburan guruku itu, sekalipun cuma selembar
rumput atau sebatang pohon, aku kuatir, tak usahlah orang
Binsan Pay yang nanti membelai, hingga dia bakal
mendapatkan kematian tanpa ada tempat untuk mengubur
mayatnya!"
Hati Sin Thong tergetar juga mendengar perkataan
anaknya ini. la justeru jeri terhadap orang-orang gagah dari
kaum Rimba Persilatan, orang-orang dari kalangan lurus.
Hebat kalau sampai mereka itu bersatu menentang padanya.
Ini pula sebabnya kenapa ia belum berani muncul secara
terbuka. Benar sekarang ini Cie Hoa cuma menyebut Biat Hoa
Hwesio, tetapi itu pun dapat ditujukan terhadapnya. Meskipun
demikian, cuma sebentar kekuatirannya itu, lantas ia tertawa
dingin dan berkata pula: "Di dalam dunia ini cuma si kuat
hidup dan si lemah musnah, tidak ada perbedaan si benar dan
si salah, yang hitam dan yang putih! Jikalau orang dapat
mempunyai kepandaian sampai tak ada lawan, aku tidak
percaya orang tidak dapat malang melintang di kolong langit
ini!" "Kalau nanti tiba saatnya kau percaya, sudah kasip!" kata
sang anak. "Baiklah, kita jangan bicarakan urusan lain orang.
Man kita omong tentang urusanmu. Kau bersama Biat Hoa
sama-sama jahatnya, mana dapat aku turut bersama kamu?"
Matanya Sin Thong mencilak.
Tapi ketika ia bicara, suaranya sabar.
"Jikalau kau suka mengakui aku sebagai ayahmu dan kau
suka berdiam di dampingku, nanti aku usir Biat Hoa," demikian
katanyp "Aku juga tidak nanti memusuhkan Binsan Pay.
Bagaimana, pikiranmu?"
Sin Thong mengandal betul kepada Biat Hoa Hwesio, maka
itu bisa dimengerti, dengan berkata-kata demikian ia sudah
mengalah banyak sekali
"Jikalau benar kau berbuat demikian, terhadapmu aku akan
bersikap lebih manis," kata Cie Hoa. "Tetapi tetap aku tidak
dapat berdiam di dampingmu serta tidak bisa segera
mengakui kau sebagai ayah, kecuali nanti, sesudah kau
memberi bukti bahwa kau sudah mengubah perbuatanmu
yang jahat dan berbalik menjadi baik. Sampai itu waktu, tanpa
kau memanggilnya, aku nanti pulang sendiri."
"Kau hendak bukti sampai bagaimana?" tanya Sin Thong
dingin. "Sedikitnya kau lebih dulu mesti menghaturkan maaf
kepada semua tertua Rimba Persilatan," berkata Cie Hoa.
"Yang lainnya boleh dibuktikan belakangan."
Beng Sin Thong tertawa bergelak.
"Kau menghendaki aku menghaturkan maaf pada Co Kim
Jie semua" Ah, pikiranmu benar luar biasa!" katanya. "Selama
beberapa tahun ini aku justeru menghendaki mereka semua
bertunduk di depan kakiku! Mana dapat aku minta maaf dari
mereka!" Muka Cie Hoa pucat. Ia mengerti, untuk membikin ayah itu
tobat, sama sukarnya seperti orang naik ke langit...
Beng Sin Thong tertawa dingin pula. Ia kata: "Aku lihat,
walaupun kaulah anakku, kau sebenarnya bermusuh
denganku! Oleh karena ini, tidak dapat aku merdekakan
kau!..." Berbareng sama kata-kata ini, dengan suara berkontrang,
serupa barang jatuh ke tanah. Nyata itulah sebuah tusuk
konde, yang terlepas dari tangannya Cie Hoa, sebab anak ini
terkejut mendengar kata-kata ayahnya itu.
Beng Sin Thong lantas menjemput perhiasan rambut itu,


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika ia telah melihatnya, ia menjadi berdiri menjublak. Ia
kenal baik tusuk konde isterinya. Dalam sekejab itu, lenyap
hawa amarahnya terhadap puterinya ini. Sebaliknya, ia
merasakan kepalanya pusing dan sakit.
Tusuk konde itu bertaburkan sebutir yabengcu, ialah
mutiara yang di waktu malam, atau di tempat gelap, dapat
mengeluarkan cahaya terang. Cie Hoa mendapatkan itu dari
Kok Ceng Peng, yang menyerahkan kepadanya di saat ia
diantar ke gunung Binsan. Hanya Cie Hoa tidak tahu, tusuk
konde itu warisan ibunya. Ia melihat air muka ayahnya
berubah, lantas barang itu diselipkan ke rambutnya. Ia kata di
dalam hatinya: "Tidak perduli dia bersikap keras atau lunak,
aku tidak sudi turut padanya!"
Sejenak itu, hati Sin Thong menjadi lunak banyak. Ia dapat
berpikir bagaikan ngelamun: "Anakku ini telah terhilang
selama dua puluh tahun, kecuali dia aku telah tidak rrrmpunva
sanak yang terdekat... Sekarang ini beruntung sekali, ayah
dan anak telah dapat bertemu pula, karena itu, mana dapat
aku melepaskan dia pergi kembali?" Tapi segera ia berpikir
pula: "Tapi dia tidak sudi mengakui aku sebagai ayahnya...
Apakah artinya andaikata aku paksa ia tinggal bersama-sama
aku jikalau hatinya tidak rela" Juga, jikalau Biat Hoa ketahui
dia ada bersama aku, pasti Biat Hoa akan memaksa minta
kitab ilmu pedangnya itu" Mana aku dapat meluluskan
permintaannya" Jikalau dia sudi mengakui aku sebagai
ayahnya, masih ada harganya untuk aku mengusir Biat Hoa...
Sekarang dia menganggap aku sebagai musuh, jikalau
karenanya aku bentrok sama Biat Hoa, maka seumurku tak
usahlah aku mengharap akan berhasil dapat meyakinkan
sempurna Siulo Imsat Kang hingga di tingkat ke sembilan!" Ia
hening sejenak, lantas ia berpikir pula: "Tapi mengenai
Siauwyang Sinkang dari Lu Su Nio, di dalam dunia ini cuma dia
orang satu-satunya yang mengetahuinya, apabila aku
melepaskan dia pergi, siapa dapat menjamin yang kepandaian
itu dia tidak bakal mempersembahkannya kepada sekalian
saudara seperguruannya" Tidakkah itu tetap bahaya
untukku?" Mengingat kepada bahaya itu, walaupun itu baru ancaman
saja, Sin Thong menjadi bimbang. Ia bersangsi: Kalau ia
menahan Cie Hoa, ia takut Biat Hoa memaksa meminta kitab
pedang. Kalau ia melepaskan anak itu, ia kuatir Siauwyang
Sinkang nanti tersiar luas dalam Binsan Pay. Menahan salah,
melepas salah juga, habis, bagaimana" Coba Cie Hoa lain
orang, gampang saja, ia mengayun goloknya dan
membunuhnya, habis perkara! Nyatanya sekarang, Cie Hoa
puterinya satu-satunya!...
Ayah ini berpikir bulak-balik, akhirnya ia kata: "Cie Hoa, aku
tahu, di matamu akulah seorang buruk! Akan tetapi, macan
tidak makan anaknya, sebagaimana juga anak tidak nanti
mencelakai orang tuanya, maka sekarang, hendak aku
mengambil keputusanku: Aku hendak melepaskan padamu!
Jikalau hatimu kejam, nah, kau lanjutilah memusuhi ayahmu!"
Mendengar perkataan ayahnya itu, Cie Hoa merasai hatinya
ditusuk anak panah. Ia mau menangis tetapi ia mengeraskan
hati, mencegah turunnya air matanya. Ia kata: "Jikalau kau
melepaskan aku, untuk selama-lamanya aku nanti menyingkir
dari kau, aku tidak bakal melihat pula padamu!"
"Bagaimana dengan Siauwyang Sinkang yang kau telah
pelajarkan" Apakah kau tetap bakal menyerahkan itu kepada
ciangbunjin dari Binsan Pay" Sebenarnya apakah itu
Siauwyang Sinkang?"
"Meskipun aku telah dikeluarkan dari Binsan Pay, guruku
tetap pendiri partai itu, maka itu mengenai Siauwyang
Sinkang, yang menjadi warisannya, jikalau Co Kim Jie
memintanya, sulit untuk aku menolaknya."
Wajahnya Sin Thong guram. Ia mengerti, ia benar-benar
terancam. Cie Hoa melihat air muka orang, ia kata: "Kau pernah
membilang bahwa kau tidak takut Siauwyang Sinkang! Kenapa
sekarang kau agaknya takut?"
Disenggapi begitu, terbangun kejumawaannya Sin Thong.
la tertawa lebar.
"Kau suka omong terus terang, aku juga suka omong terus
terang padamu!" ia kata. "Memang Siauwyang Sinkang dapat
melawan Siulo Imsat Kang tetapi tidak dapat
memecahkannya! Orang-orang sebagai Co Kim Jie dan Ek
Tiong Bouw, yang kepandaiannya masih rendah, taruh kata
mereka dapat meyakinkan Siauwyang Sinkang, mereka
membutuhkan sedikitnya lima tahun, sedang selama itu, Siulo
Imsat Kang dari aku pasti aku telah meyakinkannya
sempurna! Sampai itu waktu, apa perlunya aku jeri terhadap
mereka" Hanya ada kemungkinan, ada sedikit sulit untuk aku
dapat mengalahkan mereka itu. Baik, biarlah kau terhadap aku
tidak mempunyai keeintaan anak terhadap ayahnya, tetapi
aku sebagai ayah, aku tetap menganggap kau sebagai
anakku. Nah, kau pergilah!"
Cie Hoa memandang ayahnya itu. Sekarang ia tidak
membenci seperti bermula tadi. Tapi ia berdiri tanpa berkutik.
Sin Thong mengibas dengan tangannya.
"Aku mengasih ijin kau pergi, kenapa kau tidak mau lantas
pergi?" dia tanya. "Jikalau kau tidak lantas pergi, apabila
sebentar Biat Hoa Hwesio mendapat tahu kau ada disini,
sekalipun kau mau pergi, tentulah sulit. Pergilah, lekas pergi!"
Cie Hoa mengasih bangun kepada Kim Bwee.
"Kau melepaskan aku, kau lepaskan ia ini bersama," ia
kata. Ilmu totoknya Sin Thong luar biasa, ilmu itu dihubungi
sama Siulo Imsat Kang, maka itu, tidak berdaya Cie Hoa
menolongi saudara angkatnya itu.
Sin Thong menggelengkan kepala.
"Tidak bisa!" katanya.
"Kau sekarang telah mendapatkan Biat Hoa Hwesio, perlu
apa kau tidak mau melepaskan ia ini?" sang anak tanya.
Sin Thong mengawasi anaknya itu, ia kata dingin: "Siapa
yang memusuhkan aku dan dia dapat berlari dari hadapanku,
berlalu dengan masih hidup, itulah cuma kau orang yang
pertama. Apakah kau, sesudah mendapatkan tanah Long,
masih mengharap pula tanah Siok!"
"Nona kecil ini baik hatinya, dia polos, dia belum pernah
mengganggu lain orang, mengapa kau memandang dia
sebagai musuhmu?" tanya Cie Hoa.
"Telah dua kali dia kena ditangkap aku, maka itu, meskipun
dia bukan musuhku, sendirinya dia menjadi musuh juga," Sin
Thong bilang. "Itulah kesalahanmu, ada apakah sangkutannya dengan
dia?" (bersambung) CATATAN 1) halaman 20. Hubungan antara Thian Oe dan Shanpii
dapat dibaca di cerita Peng Coan Thian Lie (Bidadari Dari
Sungai Es). 2) halaman 41. Peristiwa ini terjadi dalam cerita Peng Coan
Thian Lie (Bidadari Dari Sungai Es).
3) halaman 94. Kisah Kiauw Pak Beng dapat diikuti dalam
cerita Lian Kiam Hong In (Kisah Pedang Bersatu Padu).
4) halaman 141. Kelak, dalam cerita-cerita selanjutnya
putera Kang Lam yang bernama Kang Hay Thian menjadi
murid Kim Sie Ie. Kisahnya dapat diikuti di Kisah Pedang di
Sungai Es, Geger Dunia Persilatan dan Pendekar Jembel.
5) halaman 213. Kisah akhir riwayat Le Khong Thian dapat
dibaca dalam cerita Khong Ling Kiam (Pendekar Pemetik
Harpa). Jilid 2 "Oh, aku tidak berebut omong denganmu tentang benar
atau salah!" kata ayah itu yang tertawa dingin. "Aku hanya
maksudkan tentang bencana di belakang hari. Peribahasa pun
membilang, menangkap harimau itu gampang, melepaskannya
sukar. Dapat aku memberi ampun kepadanya tetapi
pemimpin-pemimpin dari Thiansan Pay, dapatkah mereka
memberi ampun padaku?"
"Kau merdekakan dia, aku nanti tanggung dia tidak bakal
membuka rahasiamu," Cie Hoa mendesak
"Hati manusia sukar dibade!" kata Sin Thong, kembali
tertawa dingin. "Orang yang menjadi ayah dan ibu masih
dapat menjamin anak-anaknya lelaki atau perempuan,
bagaimana kau dapat menjamin dia ini! Seumurku, aku tidak
percaya lain orang, dari itu jangan kau banyak omong lagi!"
"Aku tahu dia mau pergi berlayar bersama-sama Kim Sie Ie,
aku rasa sedikitnya lagi beberapa tahun baru dia pulang," kata
Cie Hoa pula, "maka itu umpama kata kau tidak percaya dia
akan tetapi itu waktu kau pastilah sudah selesai meyakinkan
Siulo Imsat Kang sampai pada tingkat ke sembilan! Andaikata
ketua Thiansan Pay ketahui tentang kau, kau toh tak usah
takut lagi, bukan?"
Kata-kata itu tepat mengenai kelemahannya Beng Sin
Thong. Itulah soal yang dibuat jeri jago Siulo Imsat Kang ini.
Hanya keliru Cie Hoa, dia menyebut-nyebut nama Kim Sie Ie.
Ayah itu menjadi bercuriga.
"Kau benar!" berkata ayah itu tertawa. "Sesudah lewat lagi
beberapa tahun, sekalipun Tong Siauw Lan suami isteri
ditambah dengan Phang Lim, mereka itu tidak ada di mataku!
Tapi kau menyebutkan Kim Sie Ie mau pergi berlayar serta
bahwa lagi beberapa tahun baru dia kembali. Kenapakah dia
mau pergi berlayar?"
Ditanya begitu, Cie Hoa menjadi sangat menyesal. Kenapa
barusan ia membawa-bawa nama Kim Sie le" Bagaimana ia
bisa memberi keterangan bahwa Kim Sie Ie mau pergi mencari
kitab rahasia warisannya Kiauw Pak Beng. Maka itu, ia lantas
mengangkat ayahnya ini.
"Aku juga tidak tahu kenapa Kim Sie Ie mau pergi
berlayar," ia menyahut, "akan tetapi mungkin dia menginsyafi
bahwa dia telah bersalah kepadamu dan menjadi ketakutan
kau nanti mencari dia buat menuntut balas, maka dia mau
menyingkir ke pulau-pulau."
Beng Sin Thong tertawa bergelak.
"Kiranya sedikit juga kau tidak ketahui sifatnya Kim Sie Ie!"
kata dia. "Aku pernah bertempur sama dia, aku tahu dia sama
dengan aku, ialah kita ada orang-orang bangsa tidak takut
Langit tidak takut Bumi! Aku merasa pasti dia mau pergi
keluar lautan bukan disebabkan dia takut padaku, dia tentulah
hendak meyakinkan sesuatu ilmu atau dia mau mencari kawan
untuk menghadapi aku! Tentu sekali aku tidak takut
kepadanya, aku hanya tidak ingin mencari kesulitan, maka itu,
anak ini lebih-lebih tidak dapat dilepaskan!"
Cie Hoa menyesal sekali, ia masgul dan berkuatir. Mana
bisa ia meninggalkan saudara angkat ini di tangan ayahnya
yang hatinya keras itu" Ia masih hendak berkata pula ketika
ayahnya, dengan suara pasti, berkata lagi: "Kau ingin aku
melepaskan dia, sekali-kali tidak dapat! Jikalau kau masih
tidak mau pergi, maka kau pun aku akan tahan sekalian!"
Cie Hoa terkejut, lekas ia berpikir: Daripada ia ditahan
bersama Kim Bwee, lebih baik ia pergi, untuk ia mencoba
berpikir dan berdaya bagaimana baiknya. Maka ia
mengangguk. "Baiklah kalau begitu, akan aku pergi," ia kata. "Sekarang
aku ingin majukan dua permintaan."
"Apakah itu?"
"Pertama-tama aku minta kau jangan perlakukan kejam
padanya!" berkata anak itu. "Yang kedua ialah supaya
selanjutnya kau jangan berbuat jahat lagi."
"Yang pertama itu dapat aku terima baik," menjawab Beng
Sin Thong. "Tentang yang kedua, pandanganmu beda dari
pandanganku, maka tak usahlah kau banyak bicara lagi. Ini
pedangmu, kau boleh bawa pergi!"
Pedang itu dirampas ketika Cie Hoa kena ditawan Yang Cek
Hu dan Yang Cek Hu serahkan kepada Sin Thong sebagai
suheng, kakak seperguruannya. Sebenarnya Sin Thong
menyayangi pedang itu hingga tak suka ia melepaskannya,
tetapi karena sekarang ia ketahui Cie Hoa ialah puterinya,
hatinya tidak tega, ia mengembalikannya kepada anaknya itu.
Cie Hoa menyambuti pedangnya itu, lantas air matanya
turun menetes, air mata yang sekian lama ia telah mencoba
mencegah mengalir keluarnya. Dengan pedangnya itu ia
menjura kepada ayahnya dan berkata: "Bencana dan
keberuntungan itu tidak ada pintunya, terserah kepada
manusia sendiri memilihnya, maka itu aku harap kau... kau
pilihlah sendiri baik-baik..."
Pintu kamar batu itu sudah dipentang, Beng Sin Thong
mengangkat tangannya dan berkata: "Tidak usah kau
menguatirkan tentang diriku! Kau pergilah!"
Keras nadanya ayah ini, yang mengantarkan punggung
anaknya sampai di luar pintu, setelah mana, hatinya menjadi
lemah, tak sanggup ia mencegah keluarnya air matanya...
Sudah beberapa tahun Beng Sin Thong tinggal di dalam
lembah, disitu banyak rumahnya, untuk keluar dari situ, Cie
Hoa memerlukan waktu, la ikuti petunjuk ayahnya itu, ia
keluar dari taman di belakang. Ia baru keluar dari pintu
pekarangan ketika mendadak ia mendengar bentakan:
"Berhenti!" Tentu sekali ia menjadi kaget apapula segera ia
mendapat kenyataan, orang itu ialah Biat Hoa Hwesio, si
pendeta liehay yang menjadi musuhnya.
Biat Hoa ini, setelah ditinggal masuk oleh Beng Sin Thong,
merasa heran untuk sikap Sin Thong, yang ia lihatnya kurang
wajar, ia memikirkannya, ia menjadi tidak dapat tidur pulas.
Dengan tidak tidur, telinga dan matanya menjadi tajam sekali.
Ia memang mempunyai latihan tenaga dalam puluhan tahun,
yang mahir, suara yang bagaimana perlahan juga, sukar lolos
dari telinganya itu. Demikian, meskipun ilmu ringan tubuh dari
Cie Hoa mahir, suara tindakannya yang enteng masih
terdengar juga pendeta yang liehay itu, hingga dia ini menjadi
bertambah curiga.
"Siapakah yang bernyali demikian besar berani datang ke
rumah Beng Sin Thong?" demikian pikirnya, heran. Lantas ia
berbangkit dan pergi keluar, untuk mencari tahu, hingga ia
melihat si nona dan menyusulnya, menyandak.
Sebelum Cie Hoa mengambil sesuatu tindakan, si pendeta
sudah berlompat tinggi ke atasan kepalanya, melewati ia,
hingga di lain detik ia sudah kena dirintangi. Dengan
tongkatnya yang besar, pendeta itu menghadang di depan


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang. Hanyalah ia terperanjat sekali ketika ia telah mengenali
nona itu. "Eh, apakah kau datang mencari ayahmu?" ia tanya.
"Aku datang mencari kau!" membentak Cie Hoa,
menjawab. Lagi-lagi si hwesio terperanjat, herannya bukan buatan. Ia
melengak. "Kau mencari aku?" ia menanya tegas.
"Ya!" membentak pula Cie Hoa. "Siapa menyuruh kau
hendak membongkar kuburan guruku?"
Kata-kata ini segera disusuli tikaman pedang!
Biat Hoa kaget. Tempat ini bukan gunung Binsan, tempat
ini tempat kediamannya Beng Sin Thong, maka itu
menghadapi Kok Cie Hoa, sebelum ia mengetahui maksud
orang, tidak berani ia bertindak sembrono. Karena ini, ia
menjadi tidak bersiap sedia, dari itu sedang serangan si nona
mendadak dan luar biasa, jubahnya kena ter-sontek pedang!
Syukur untuknya, ia masih keburu menyedot diri, hingga
ujung pedang tidak sampai melukai padanya. Akan tetapi ia
tidak menjadi gusar, sebaliknya, ia tertawa lebar.
"Ini dia yang dinamakan air banjir menyerbu kuilnya si raja
laut!" katanya. "Inilah yang disebut, orang sendiri tidak
mengenali orang sendiri! -"Eh, apakah kau tidak tahu bahwa
ayahmu justru tinggal disini" Aku justru sahabat karib dari
ayahmu itu! Kenapa kau menyerang aku?"
Pendeta ini tidak menyangka si nona berada disini, ia pun
tidak menduga orang berani datang ke sarangnya Beng Sin
Thong. Sudah begitu, sikapnya Cie Hoa seperti juga si nona
tidak tahu hal rumah ayahnya ini.
Cie Hoa membawa terus aksinya itu.
"Fui!" ia berludah. "Kau ngaco belo! Ayahku sudah lama
mati!" Sembari berkata begitu, nona ini mainkan terus pedangnya,
ia merangsak dengan tikaman dan tabasannya berulangulang,
hingga Biat Hoa mesti main mundur. Ia sengaja
berbuat demikian, supaya ia bisa membuka jalan, untuk lekaslekas
menyingkir. "Mungkinkah dia benar-benar tidak ketahui inilah rumah
ayahnya?" Biat Hoa berpikir heran, ia bersangsi. "Ataukah ia
sengaja tidak mau mengakui ayahnya" Atau ia memikir
menebus dosanya, sekarang dia membantui Co Kim Jie
mencari aku hingga ia tiba disini?"
Oleh karena kesangsiannya itu, pendeta ini juga tidak
berani menempur sungguh-sungguh, la masih memandang
kepada Beng Sin Thong. Lantaran ini, di waktu didesak itu, ia
membuatnya si nona dapat melewatkan padanya. Ia tidak
menjadi gusar, bahkan sebaliknya, ia tertawa berkakak.
"Kau sudah sampai disini, apakah kau tidak mau menemui
ayahmu?" ia tanya. Lantas ia berseru panjang, lantas ia
menjejak tanah, maka tempo tubuhnya melesat pesat, ia
lantas menyusul hingga di belakang nona itu.
Cie Hoa mengerti maksudnya seruan panjang itu. Itulah
pertanda atau isyarat untuk Beng Sin Thong. Ia tidak takut,
tetapi ia sangat ingin tidak menemui pula ayahnya itu, maka ia
mendongkol sekali Biat Hoa merintangi padanya. Pendeta Itu
pun sudah lantas menyerang ia, karena maksudnya dia ialah
untuk merintangi padanya. Dengan terpaksa ia menyerang
juga, guna memaksa jalan lolos. Ia lantas mendapat
merasakan, aneh serangannya Biat Hoa. Si pendeta
menyerang keras, hanya tiba saat tongkat bakal mengenai
sasarannya, serangan itu lantas diperlunak. Karena ini, hatinya
Cie Hoa menjadi besar. Ia menyerang dengan hebat, ia
mengeluarkan ilmu pedang Hian tie Kiamhoat, hingga bisalah
ia mendesak pendeta itu.
Hian Lie Kiamhoat ada ilmu pedang istimewa dari Tokpie
Sinnie. Lu Su Nio mendapat ilmu itu tintuk dapat mengalahkan
Liauw In. Cie Hoa mewariskan itu, benar melatihnya hingga sempurna, tetapi dengan Biat Hoa
berkelahi setengah hati, ia bisa membikin si pendeta repot. Ia
sendiri, sebaliknya, menyerang hebat hingga ia seperti
melupakan pembelaan dirinya.
Lagi satu kali, jubah Biat Hoa kena dirobek ujung pedang! "
Maka kagetlah muridnya Liauw In, hingga ia menggertak gigi.
"Biarnya aku bersalah terhadap Beng Sin Thong, tidak
dapat aku membiarkan dia ini lolos," pikirnya. "Terpaksa,
biarlah aku membikin dia terluka sedikit!"
Dengan keputusannya ini, Biat Hoa lantas melawan keras
dengan keras, mendesak dengan sianthung, tongkatnya yang
besar dan berat itu.
Segera setelah itu, Cie Hoa merasai dirinya seperti
terkurung tembok besi, beberapa kali ia mencoba menoblos,
saban-saban ia gagal. Di lain pihak, beberapa kali juga hampir
tubuhnya menjadi sasaran senjata lawan, syukur ia gesit dan
matanya celi. Diam-diam ia mengeluarkan hawa dingin.
Sekarang ia insyaf benar liehaynya si pendeta. Kalau
selama di Binsan ia bisa menang unggul, itu waktu ia
mengandal kepada Kim Sie Ie, yang mengganggu pendeta itu,
yang telah dicurangi.
Lantas Cie Hoa menggunai "Thianlie sanhoa", atau Bidadari
Menyebar Bunga. Inilah satu pukulan dari Hian Lie Kiamhoat
untuk dapat menyerang tujuh jalan darah. Untuk ini
dibutuhkan tenaga dalam yang sempurna, sebab tikaman
diarahkan ke tujuh bagian anggauta tubuh musuh. Ia dapat
menggunai itu, sayang tenaga dalamnya masih kurang. Di
samping itu, ia mesti menghadapi Biat Hoa yang liehay itu.
Maka ketika si pendeta menangkis, hingga senjata mereka
beradu keras, pedangnya itu kena ditempel lawannya.
"Nona Beng, kau lepaskan pedangmu!" berkata pendeta itu
tertawa. "Marilah kau turut aku pergi menemui ayahmu!"
Tepat itu waktu, sebelum Cie Hoa menjawab terdengar
suara nyaring dari Beng Sin Thong, yang menanya: "Biat Hoa
Hweshio, apakah katamu" Siapakah itu yang ada
bersamamu?"
"Beng Laokoay, lekas!" Biat Hoa menjawab. "Lekas! Inilah
puterimu datang!"
Dengan berkata begitu, pendeta ini memecah
perhatiannya. Ia pun telah menjadi lenyap kekuatirannya si
nona lolos dari cegatannya, sebab Beng Sin Thong sudah
datang. Pula, di depan sahabat itu, ia tidak mau mengunjuki
sikap terlalu mendesak anak gadis orang. Justeru itu, Cie Hoa
menggunai ketikanya yang baik Dengan jurus "Yacee tamhay",
atau "Hantu malam menyelidiki laut", dengan lincah ia
meloloskan pedangnya dari tempelan, lantas ia berlompat,
untuk lari! Biat Hoa tidak kaget, ia bahkan tertawa.
"Nona Beng, ini ayahmu datang!" ia kata. "Apakah kau
tidak percaya aku?"
Ketika itu, Beng Sin Thong sudah sampai di depannya.
Maka pendeta itu pikir sesudah ada ayahnya, tak usah dikuatir
lagi anak itu dapat kabur terus...
Beng Sin Thong lantas beraksi. Agaknya ia heran.
"Kau menyebut anakku!" katanya. "Benarkah itu?"
Biat Hoa tertawa.
"Sedikit pun tidak salah!" jawabnya. "Lao Beng, aku
memberi selamat padamu! Kamu ayah dan anak, hari ini kamu
berkumpul!"
Tanpa menanti orang berhenti berkata-kata itu, tubuh Sin
Thong sudah lompat mencelat, demikian pesat hingga segera
ia dapat menyandak anaknya, selagi mendekati, ia mengasih
dengar seruan kegirangan.
"Lihatlah, Lao Beng girang tidak terkira!" kata Biat Hoa
seorang diri. Ia dapat mendengar seruan sahabatnya itu.
"Hanya entahlah anaknya-anak itu suka mengakui ia atau
tidak..." Sebenarnya pendeta ini ingin menyaksikan bagaimana cara
bertemunya itu ayah dan anak, akan tetapi kapan ia ingat,
mereka itu tentulah bakal omong banyak sekali, ia mengubah
niatnya. Ia mengerti, kalau ia datang pada mereka itu, mereka
akan menjadi kurang merdeka, apapula ialah seorang suci.
Karena ini, ia lalu berdiri berdiam di depan pintu, akan
menantikan kembalinya mereka...
Disusul ayahnya itu, Kok Cie Hoa menghentikan
tindakannya. Ia masih belum tahu sikapnya ayah itu. la
masuki pedangnya ke dalam sarungnya, dengan mengasih
turun kedua tangannya, ia berkata: "Sahabat kekalmu itu tidak
mau melepaskan aku, maka kau tangkaplah aku, untuk
dibawa pulang!"
Mendadak Beng Sin Thong menolak dengan tangannya,
begitu keras hingga tubuh si anak mencelat jumpalitan kiratiga
tombak. Tapi itulah tolakan yang bagus sekali, karenanya
anak itu tidak roboh terguling, hanya ketika dia tiba di tanah,
dia dapat berdiri dengan kedua kakinya.
Cie Hoa heran hingga ia melengak. Atau ia mendengar
suara ayahnya itu: "Lekas pergi! Lekas kau panggil kawanmu!"
"Eh, mana aku mempunyai kawan?" pikir si anak heran,
hingga ia tercengang.
Beng Sin Thong tidak mengasih kesempatan anaknya itu
berpikir, mendadak dia mengayun sebelah tangannya ke arah
belakang maka disana terdengar satu suara menggebus atau
menjerujus, lantas terlihat sinarnya api menyala.
Hanya sekejab itu, mengertilah Cie Hoa maksud ayahnya
itu. Terang ayah itu hendak melepaskan ia. Kalau tidak, tidak
nanti ia dapat lolos. Terang ayah itu hendak mengelabui Biat
Hoa Hwesio, maka dia melepaskan pertandanya itu, senjata
rahasia yang merupakan api. Sebagai juga tanda si anak
memanggil kawan.
"Maju semua!" Cie Hoa mendadak berseru. Ia mengerti
maksud ayahnya, maka ia turut main sandiwara.
Beng Sin Thong mengulangi aksinya itu, ia menimpuk pula
ketiga penjuru, hingga disana sini terdengar suara menjerujus
itu dan api terlihat menyala, bahkan yang sebuah jatuh di atas
genting sebuah rumah yang terdekat, menyusuli mana dengan
suara yang menyatakan gusarnya ia berteriak: "Bagus ya,
budak, kau berani membakar rumahku! Tidak, kau tidak dapat
lari dari sini!"
Cie Hoa juga berseru: "Kau gila! Ayahku sudah lama mati'
Kenapa kau berani mengaku menjadi ayahku?" Tapi sambil
berseru, ia lari.
Di lain pihak, Beng Sin Thong lantas berlari mundar-mandir
ke pelbagai jurusan, sengaja ia mengasih dengar tindakan
kakinya, hingga disitu seperti ada beberapa orang yang lagi
berlari-lari. Dengan mahirnya ilmu ringan tubuhnya, ia bisa
berlari-lari bulak-balik itu dengan sangat cepat.
Demikian ayah dan anak, seperti orang yang sudah
berjanji, bermain sandiwara, hingga Cie Hoa dapat menyingkir
jauh, hingga ketika Biat Hoa datang kepada Sin Thong, ia
tidak dapat melihat lagi si nona.
Biat Hoa muncul karena ia terperanjat melihat api
menyambar ke rumah. Ia juga dapat mendengar orang
berlari-lari ke segala penjuru itu.
"Lekas padamkan api! Lekas pulang!" begitu terdengar
teriakannya Sin Thong berulang-ulang, memerintahkan orangorangnya,
yang lantas pada muncul, karena mereka itu
mendengar suara jerujusan dan api menyambar rumah,
hingga mereka kaget dan berkuatir.
Biat Hoa heran.
"Api tidak berkobar besar, mengapa Sin Thong begini
bingung?" ia berpikir. Ia heran akan tetapi ia tidak bercuriga
bahwa ia tengah dipermainkan sahabat itu yang sempurna
sekali sandiwaranya.
Senjata rahasia Sin Thong itu terbuat dari belirang, apinya
itu dapat membikin kulit lawan melepuh atau hangus, tetapi
untuk membakar rumah, tidaklah gampang, apinya terlalu
kecil dan bekerjanya lambat. Demikian sudah terjadi,
meskipun orang kacau, api yang menyala di atas rumah
dengan cepat dapat dipadamkan. Meski begitu, ia berpurapura
gusar, ia menegur orang-orangnya itu, ialah muridmuridnya,
yang dikatakan alpa dengan penjagaan hingga
musuh dapat menyerbu...
Tengah ia menegur itu, Sin Thong melihat munculnya Hang
Hong serta beberapa murid yang lain, yang menggotong dua
muridnya yang luka. Ia lantas mengenali dua murid itu, ialah
Gouw Bong serta Thio Yam. Ia menjadi heran, di dalam
hatinya ia kata: "Ah, budak itu benar-benar tidak tahu
tingginya langit dan tebalnya bumi! Aku meloloskan dia, dia
sebaliknya melukai murid-muridku!" Ia memikir demikian
karena ia menduga Cie Hoa, yang ia namakan "budak" itu.
Setelah Gouw Bong dan Thio Yam dibawa datang, hingga
terlihat muka pucat dari mereka berbayang hitam, Sin Thong
kaget dan ia berseru: "Celaka!" Lantas ia merobek bajunya
mereka itu, dengan begitu ia jadi mendapatkan sebatang tokkielee
di punggung mereka masing-masing.
Itulah senjata rahasia mirip duri yang beracun.
"Ah, benar-benar ada musuh!" pikirnya kemudian.
Biat Hoa Hwesio melihat bersama, ia pun heran. Ia tahu
betul, orang Binsan Pay tidak menggunai senjata rahasia yang
beracun. "Mustahilkah orang-orangnya Keluarga Tong dari Sucoan
datang kemari?" kata pendeta ini, yang bercuriga. "Lao Beng,
apakah kau pun bermusuh sama Keluarga Tong itu?"
"Bukan, inilah bukan senjata rahasia Keluarga Tong!" kata
Sin Thong. "Cara melepaskan pun lain. Keluarga itu biasa
menyerang jalan darah."
Sambil berkata, Sin Thong bekerja. Dengan menekan
dagingnya Gouw Bong dan Thio Yam, ia mengeluarkan
senjata-senjata rahasia itu, ia mengeluarkan juga darahnya
yang beracun, sesudah mana ia menyuruh Hang Hong
membawa mereka itu ke dalam, untuk beristirahat.
Biat Hoa kagum menyaksikan kepandaian Sin Thong
menyingkirkan racun di tubuh murid-muridnya itu. Tapi,
mengenai si penyerang gelap, ia kata di dalam hatinya:
"Penyerang itu, walaupun dia bukan dari pihak Keluarga Tong,
dia berbahaya! Ah, bagaimana Kok Cie Hoa dapat mengajak
Pendekar Laknat 8 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Pendekar Super Sakti 13
^