Panji Wulung 12

Panji Wulung Karya Opa Bagian 12


Satu jam, dua jam, tiga jam telah berlalu.
Kira-kira empat jam hampir subuh, ketika irama kecapi
itu sedang menanjak tinggi dan hampir menembus ke awan,
dengan tiba-tiba terdengar suara siulan aneh yang
memecah. Begitu suara siulan aneh itu timbul, Touw Liong
bagaikan burung terbang, melesat ke sebuah bukit, lalu
menuju ke puncak gunung yang lebih rendah.
Pek Giok Hoa juga bersiap dengan pedang Hok-mokiamnya,
ia cepat berdiri di belakang ayahnya untuk
menghadapi segala kemungkinan ...
Pek Thian Hiong sendiri, ketika mendengar suara siulan
itu juga kaget, dengan jari tangannya masih tetap menarinari
di atas senar kecapi tanpa berhenti, suara iramanya
yang tinggi tetap menggema di angkasa.
Suara siulan terus timbul lagi di puncak gunung agak
rendah dari seberang sana, suara siulan itu kedengarannya
masih demikian kuat tenaganya.
Pek Thian Hiong kembali dikejutkan oleh suara itu, akan
tetapi ia sedikitpun tidak berani berlaku gegabah, ia
menenangkan hati dan pikiran seluruh perhatiannya
ditumpahkan ke dalam kecapi kunonya. Sedang Pek Giok
Hoa yang berada di belakangnya, matanya mengawasi
keadaan di sekitarnya, ia baru tahu bahwa Touw Liong
sudah tidak tampak bayangannya, sehingga sekujur
badannya tergetar, alisnya berdiri, wajahnya menunjukkan
sikap cemas. Touw Liong yang berada di puncak gunung seberang
sana, dengan menerobos awan-awan tipis di atas suatu batu
gunung, matanya kembali ditujukan ke puncak yang lebih
rendah, samar tampak dua bayangan orang yang
mengenakan dandanan imam, dua imam itu yang satu
sudah lanjut usianya, sedang yang lain masih agak muda,
yang tua rambutnya sudah putih seluruhnya dan yang
agakh muda tulang-tulangnya kelihatan menonjol.
Touw Liong yang memiliki pandangan mata luar biasa,
meskipun di waktu malam, dan terpisah agak jauh, tetapi
begitu melihat segera dapat mengenali bahwa imam yang
tubuhnya kurus itu adalah Ngo-yang Tojin, salah satu dari
tiga jago golongan Kiong-lay.
Dalam hati Touw Liong timbul pertanyaan, "Ketua
partai Kiong-lay sudah binasa di tangan Panji Wulung
Wanita di kota Lam-yang, orang yang sudah mati tidak
mungkin hidup kembali, dengan lain perkataan, imam tua
berambut putih itu juga tidak mungkin ketua partai Kionglay."
Akan tetapi siapakah dia"
Dengan tiba-tiba ia teringat kepada diri seseorang, orang
itu ... seharusnya sute atau saudara muda seperguruan ketua
partai Kiong-lay, yang bernama San Hong Tojin, salah
seorang kuat dari sepuluh partai besar.
Lain pikiran timbul dengan mendadak, orang ini pada
dua puluh tahun berselang pernah ikut mengepung tiga jago
rimba persilatan di kota Gak-yang, teringat akan itu, hawa
amarah Touw Liong lantas meluap, maka sesaat itu lantas
lompat melesat menuju ke puncak gunung di seberang sana.
Di atas puncak gunung itu hanya terdapat pohon cemara
yang daunnya rindang, ketika Touw Liong tiba di tempat
itu, imam tua berambut putih itu memperdengarkan suara
tertawa dinginnya, kemudian bertanya kepada Touw Liong,
"Kau bocah inikah yang main gila di atas sana?"
Ngo-yang Tojin di atas wajahnya yang kurus nampak
sangat dingin, dengan hati gemas memandang Touw Liong,
sikap itu jauh berbeda sewaktu berada di kota Gak-yang.
Dalam hati Touw Liong diam-diam merasa heran, tetapi
dia sebagai orang keluaran dari golongan ternama, biarpun
menghadapi musuh besar, juga tidak lupa tentang adat
istiadat, maka lalu memberi hormat kepada Ngo-yang Tojin
seraya berkata,
"Sudah lama tidak berjumpa, kiranya adalah Ngo-yang
Totiang." Wajah Ngo-yang yang kurus tampak berkerenyit, lalu
miringkan kepala, dan berkata dengan nada suara dingin,
"Susiokku sedang bertanya kepadamu!"
Dalam hati Touw Liong merasa mendelu, pikirnya imam
ini mengapa dengan mendadak berubah demikian congkak"
Touw Liong sebagai seorang tinggi hati, maka ketika
mendengar pertanyaan itu, lalu tertawa terbahak-bahak,
kemudian balas bertanya,
"Kalau begitu, susiokmu ini adalah San-hong Totiang
yang pada dua puluh tahun berselang namanya sangat
terkenal di tiga daerah."
Imam berambut putih itu mengangguk-anggukkan
kepala, dan berkata dengan nada suara dingin.
"Ucapanmu ini sedikitpun tidak salah."
Wajah Touw Liong berubah dengan segera ia bertanya
dengan bengis, "San-hong Tojin, apakah dalam pertempuran yang
mengepung tiga jago rimba persilatan di kota Gak-yang
pada dua puluh tahun berselang, kau juga ambil bagian?"
"Sudah tentu, pinto yang waktu itu merupakan salah
seorang kuat dari sepuluh partai, dengan sendirinya
diharuskan turut ambil bagian dalam pengepungan tiga jago
itu," menjawab San-hong Tojin sambil menganggukkan
kepala. Touw Liong mendongakkan kepala dan tertawa,
kemudian berkata,
"Malam ini keinginanku telah tercapai, musuhku
kembali telah kutemukan lagi seorang!"
Setelah itu ia maju menghampiri beberapa langkah.
Pada waktu itu Touw Liong sudah tidak dapat
mengendalikan perasaan sedih, gemas dan marah dalam
hatinya, maka kedua tangannya lantas diangkat, sudah
akan turun tangan.
Dengan tiba-tiba Lo-yang Tojin sudah bergerak dan
berada di hadapan San-hong Tojin untuk menghalangi
Touw Liong, dengan nada sangat marah ia bertanya sambil
menuding Touw Liong,
"Apakah suhuku dan Kian-goan Tojin dari gereja Kiangoan-
koan, semua mati di bawah serangan ilmu Thian-sengjiauw."
"Mereka binasa di bawah serangan ilmu Thay-it Sinjiauw
Panji Wulung wanita, dengan cara bagaimana kau
menuduh orang secara sembarangan?" berkata Touw Liong
marah. Ilmu Thian-seng dan Thay-it, keduanya merupakan satu
aliran, kemarin Pek-bie Hwesio dari Ngo-bie ada kata,
kematian suhengku pernah disaksikan olehnya dengan mata
kepala sendiri memang benar mati di bawah serangan ilmu
Thian-seng-jiauw."
Agak sulit bagi Touw Liong untuk memberi keterangan,
tetapi ia mengerti keadaan yang dihadapinya, maka lalu
berkata sambil tertawa terbahak-bahak.
"Barangkali kau dimasukkan dalam barisan dua belas
penasihat hukum dari perkumpulan Hok-hong. Pek-bie
Hwesio pasti sudah menerima perintah Kaucunya untuk
minta kau supaya menjadi anggota perkumpulan tersebut,
maka itu ia sampai perlu memutar balik perkara yang
sebenarnya, dengan sengaja hendak membakar hatimu, ha
ha ha, kematian suhengmu di bawah tangan Panji Wulung
Wanita adalah suatu kenyataan, maka itu Lo-yan totiang
jangan sampai salah alamat, dan tentang kau San-hong ....
hutang darah harus membayar dengan darah, permusuhan
yang timbul di Gak-yang-low pada 12 tahun berselang, aku
tidak perlu banyak bicara lagi, hari ini biar bagaimana harus
dibereskan."
San-hong Tojin menghunus pedang panjangnya, sambil
tertawa dingin, ia melakukan serangan, untuk
mengelambaikan pedangnya, sesaat kemudian dari dalam
rimba yang lebat itu muncul ssebelas imam yang masingmasing
pada membawa pedang panjang.
Touw Liong menyapu kawanan imam itu sejenak,
ternyata adalah imam-imam yang dahulu pernah
mengurung dirinya dengan barisan 12 pedang di atas
jembatan kuno di kota Lam-yang.
San-hong tojin menggerakkan pedang di tangannya dan
sepuluh imam itu lantas mulai maju mengurung, begitupun
Ngo-yang tojin juga tidak mau ketinggalan, ia juga sudah
turut ambil bagian.
Touw Liong tidak berani berlaku gegabah, di atas
jembatan kuno di kota Lam-yang dahulu, ia pernah
merasakan sendiri hebatnya barisan pedang itu, maka ia
lalu memotes sebatang ranting pohon, dicobanya sebentar,
ternyata cukup baik untuk dijadikan senjata.
Ketika 12 pedang dalam barisan itu digerakkan, sudah
menimbulkan hembusan angin sangat hebat, Touw Liong
dapat merasakan bahwa barisan pedang ini jauh lebih hebat
daripada barisan pedang yang dahulu pernah dihadapinya,
dan ujung pedang Lo-yang tojin sendiri, juga bisa
menimbulkan hembusan angin hebat, yang dahulu belum
pernah bisa melakukan seperti itu.
San-hong tojin berdiri di samping sambil menggenggam
pedangnya, kemudian memberi perintah kepada Ngo-yang,
"Bocah ini adalah musuh besar yang membinasakan
suhumu, kau boleh hadapi dengan sepenuh tenaga, sekalikali
jangan sampai terlolos dari barisan pedang ini!"
Ngo-yang dengan sikapnya yang sangat hormat
menerima baik perintah susioknya, kemudian ia berkata
kepada Touw Liong,
"Serahkan jiwamu!"
Setelah itu ia mengeluarkan aba-aba, 12 batang pedang
bergerak dengan serentak, di bawah sinar rembulan
purnama, bergeraknya 12 pedang itu menimbulkan sinar
berkilauan yang mengurung diri Touw Liong.
Touw Liong mengeluarkan siulan panjang, ia
menggerakkan batang pohon di tangannya, sungguh aneh,
senjata yang terdiri dari batang kayu yang tidak berapa
besarnya itu dengan mudah dapat mendesak mundur 12
pedang. Di dalam rimba persilatan, jarang ada orang yang berani
menggunakan batang pohon sebagai pedang, ketujuh orang
itu memiliki kekuatan tenaga dalam yang sudah tidak ada
taranya. Dan malam itu Touw Liong hanya dengan
sebatang kayu kecil, untuk menghadapi barisan pedang
yang sudah terkenal ampuhnya dalam rimba persilatan, hal
ini sudah tentu membuat San-hong tojin yang menyaksikan
pertempuran di samping, harus mempertimbangkan baikbaik
tentang diri anak muda itu.
San-hong tojin kembali menggerakkan pedangnya, dan
barisan pedang itu lantas berpencar, setelah itu, ia lompat
masuk ke dalam barisan pedang, selanjutnay, barisan
pedang itu kembali merapat dan mengurung Touw Liong
dan San-hong tojin dalam barisan pedang, dengan
menggerakkan pedang masing-masing.
Touw Liong berdiri dengan sikap gagah di dalam barisan
pedang, sedikitpun tidak bergerak.
San-hong tojin berkata dengan nada suara dingin sambil
menuding Touw Liong dengan pedangnya,
"Bocah, kau tampaknya memang benar memiliki
kepandaian yang cukup berarti, kemarin Pek-bie Hwesio
pernah berkata kepadaku, waktu itu aku masih belum mau
percaya, tapi aku lihat ketika kau membuka seranganmu,
aku segera mengetahui bahwa kau memang benar memiliki
kepandaian yang berarti, namamu ternyata bukan hanya
nama kosong belaka. Aku San-hong sejak berkelana, belum
pernah menemukan tandingan, juga jarang ada orang yang
berani mengucapkan perkataan besar di hadapannya, mari!
Mari! Aku San-hong malam ini dapat belajar kenal dengan
kepandaianmu yang hebat, sesungguhnya merasa puas."
Touw Liong tertawa dingin, matanya melihat 12 pedang
panjang. Ia mengerti maksud San-hong tidak
mengundurkan barisan pedangnya, dengan lain perkataan,
malam itu ia sudah dimaui betul-betul oleh San-hong, maka
memerintahkan orang-orangnya tidak boleh melepaskan
dirinya, apabila nasib baik bisa memecahkan barisan itu,
San-hong masih dapat menggunakan barisan pedang itu
sebagai pelindung untuk melarikan diri, tetapi apabila ia
sendiri yang kalah, pasti akan dicincang oleh 12 pedang
tersebut. Perasaan sakit hati, gemas, marah, malam itu sudah
terkumpul dalam hati Touw Liong, semua itu harus
dikeluarkan baru merasa puas, senjata kayunya itu diangkat
tinggi, kemudian digerakkan dan ujungnya mencecar Sanhong
lojin, sedang mulutnya sudh berseru,
"Sambut seranganku!"
San-hong tojin mengeluarkan suara terkejut, lalu mundur
dua langkah, pedangnya juga digerakkan untuk menyambut
serangan Touw Liong.
Dalam waktu sekejab mata, sinar pedang dari tangan
San-hong tojin bergerak-gerak demikian hebat, pertempuran
itu berlangsung dengan sengitnya.
Touw Liong yang sudah mendapat pengalaman dalam
pertempuran tadi malam, kini tidak berani lagi
menggunakan dua macam ilmunya dan ilmu jari tangannya
Kim-kong-sian-ci, sebab ia tahu benar bahwa tiga macam
ilmu itu paling menghamburkan kekuatan tenaga dalam,
kalau ia berbuat lagi seperti itu, inilah merupakan suatu
perbuatan yang sangat bodoh.
Gerakan Touw Liong luar biasa anehnya, pertempuran
baru berlangsung beberapa jurus, San-hong sudah mulai
keteter, tidak sanggup menahan, maka ia lalu bersiul
nyaring, sehingga sesaat kemudian, 12 imam yang
mengurung di bagian luar dengan cepat menggerakkan
pedangnya menyerang Touw Liong.
Touw Liong dapat merasakan serangan itu, ia seperti
terancam oleh 12 ujung pedang, maka ia harus
menggunakan senjata kayunya demikian rupa, ujung
kayunya digunakan untuk menikam San-hong tojin, dan
lima jari tangan kirinya bergerak dengan berbareng,
hembusan angin yang keluar dari lima jari itu dapat
menahan serangan 12 pedang tadi.


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu serangan pedang itu tertahan, tekanan dari
barisan pedang tadi mulai reda. Touw Liong menggunakan
kesempatan itu, ia menggunakan ilmunya Thian-seng-jiauw
untuk menghajar San-hong tojin.
Tidak ampun lagi, San-hong tojin mengeluarkan suara
jeritan tertahan, mulurnya menyemburkan darah segar,
dengan terhuyung-huyung lari keluar dari barisan pedang.
Dua belas barisan pedang itu memencarkan diri, tetapi
kemudian rapat lagi. Kini 12 barisan pedang itu telah
mengurung Touw Liong semakin ketat.
Touw Liong dengan jari tangan kiri dan pedang di
tangan kanan dengan secara nekad menghadapi 12 imam
yang masing-masing menggunakan senjata pedang, sedang
mulutnya berseru nyaring,
JILID 18 "Ngo-yang totiang, suhumu benar-benar mati di tangan
Panji Wulung Wanita! Jikalau kau tidak mau mengerti
lagi, jangan salahkan kalau nanti aku turun tangan kejam."
Walaupun mulutnya mengatakan demikian, tetapi
sebagai seorang yang baik hati, ia tidak tega menurunkan
tangan jahat. Ngo-yang totiang tidak menghiraukan seruan itu, masih
dengan caranya sendiri menggerakkan barisan pedangnya,
bahkan mengurung Touw Liong semakin ketat lagi.
Touw Liong perlahan-lahan merasakan tekanan semakin
hebat, sambil mengerutkan alisnya ia berkata dengan suara
marah, "Totiang, kalau kau masih membandel seperti ini, jangan
sesalkan kalau aku nanti akan turun tangan jahat!"
Ucapan itu disusul dengan gerakan senjata kayunya.
Senjata itu diputar sedemikian rupa dibantu dengan
serangannya ilmu Thian-seng-jiauw dan ilmu jari tangan
Kim-kong-ci, sehingga tidak lama kemudian, lima imam
telah terpukul jatuh dan bergulingan di tanah.
Touw Liong mendongakkan kepalanya bersiul panjang,
kemudian sepasang kakinya menjejak tanah, secepat sudah
melesat empat tombak lebih. Senjata di tangan kanannya
dikibaskan untuk menggunakan kesempatan itu melesat lagi
sejauh sepuluh tombak dan jatuh di atas sebuah pohon
besar. Touw Liong di atas tempat tinggi itu mulai pasang mata,
tetapi tempat di sekitarnya ternyata sepi sunyi, kecuali 12
barisan pedang, tidak tampak lagi bayangan seorangpun
juga. Touw Liong terheran-heran, sebab San-hong tojin yang
terpukul setengah mati olehnya, ternyata dalam waktu
sekejab mata saja bisa kabur tanpa meninggalkan bekas,
bukankah suatu kejadian yang sangat gaib"
Tetapi kemudian ia sudah dapat mengambil keputusan
dengan segera. Musuh besarnya itu kemanapun juga
kaburnya, ia hendak mengejarnya sampai diketemukannya.
Ia sudah mengambil keputusan, hari itu bagaimanapun
juga ia harus bisa mencari sampai ketemu kepada San-hong
Tojin. Sebab imam itu merupakan salah seorang dari
musuh besarnya yang dahulu turut mengambil bagian
dalam pengeroyokan terhadap ayah-bundanya. Ia sudah
mengambil keputusan pula, dalam batas waktu tiga hari itu,
sedapat mungkin hendak membunuh satu persatu setiap
musuh besar yang diketemukannya.
Sebelumnya ia turun dari tempat sembunyinya di atas
pohon, tujuh pedang dari tangan imam yang mencari
padanya, sudah ditebarkan pada pohon tua di mana tadi ia
berdiri. Pohon besar itu tanpa ampun lagi lantas rubuh. Tetapi
Touw Liong dengan kecepatan kilat sudah lompat melest ke
atas puncak gunung lagi.
Di atas puncak gunung yang tinggi itu ia menengok ke
bawah. Keadaan di bawah ternyata sepi sunyi, sudah tidak
dapat bayangan San-hong Tojin lagi.
Untuk kedua kalinya ia diherankan oleh kejadian yang
dihadapinya hari ini. Dalam hati bertanya pada diri sendiri,
"Apakah imam itu sudah bisa mengubah diri?"
Pada saat itu, dengan tiba-tiba terdengar suara
melengking tinggi yang keluar dari mulut Pek Giok Hoa.
Hati Touw Liong tergerak segera melepaskan maksudnya
hendak mencari San-hong Tojin, terus melesat ke tempat di
mana Pek Giok Hoa berada.
Tiba di tempat Pek Giok Hoa, matanya segera
menampak seorang tua berbadan bongkok, berwajah
kuning, namun sepasang matanya memancarkan sinar
sangat tajam. Orang tua itu rambutnya panjang menutupi
kedua bahunya, sedang di tangannya memegang sebatang
tongkat yang hitam jengat. Tongkat itu digunakan sebagai
senjata untuk bertempur dengan Pek Thian Hiong.
Pada waktu itu Pek Thian Hiong menggerakkan pedang
kuno Hok-mo-kiam. Ketika senjata pedang dan tongkat
saling beradu, menimbulkan suara nyaring juga
menimbulkan hembusan angin yang sangat hebat.
Bab 47 SEDANG PEK GIOK HOA sendiri dengan kecapi kuno
di atas punggungnya, berdiri dengan mata memandang
tanpa berkedip, keadaan medan petempuran sangat gawat,
perasaan cemas tampak nyata pada wajahnya.
Touw Liong dengan ilmunya meringankan tubuh yang
sudah mahir sekali, dalam waktu sekejab mata sudah
berada di dekat diri Pek Giok Hoa. Ketika Pek Giok Hoa
mengetahui disampingnya ada orang, Touw Liong sudah
berdiri berdampingan dengannya memperhatikan jalannya
pertempuran. Pek Giok Hoa lalu menggeser kakinya mendekati Touw
Liong, bertanya kepadanya dengan sikap cemas,
"Kau lihat apakah ayah bisa kalah?"
"Mungkin tidak! Sebab ...," menjawab Touw Liong
dengan ucapannya yang masih agak ragu-ragu.
"Kenapa?"
"Sebab ... orang ini bukanlah Ngo-gak Lokoay yang
sebenarnya."
Pek Giok Hoa heran lalu bertanya,
"Apakah Ngo-gak Lokoay ada yang memalsukan?"
Touw Liong menganggukkan kepala dan menjawab,
"Orang tua yang tadi siang aku kejar itu adalah Ngo-gak
Lokoay yang palsu."
"Siapakah orang yang memalsukan dia itu?"
Selagi Touw Liong hendak menjawab pertanyaanya
dengan tiba-tiba berseru kaget, kemudian berkata,
"Oh, aku keliru! Orang ini justru Ngo-gak Lokoay yang
tulen!" Pek Giok Hoa kembali dikejutkan oleh ucapan itu, tetapi
dia adalah seorang yang sangat cerdik, begitu lihat ia sudah
dapat mengetahui bahwa setiap serangan yang dilontarkan
orang tua bongkok itu demikian hebat, gerakannya juga
mengandung gerak tipu sangat aneh. Kalau bukan Ngo-gak
Lokoay yang tulen, bagaimana memiliki kekuatan tenaga
dalam demikian hebat"
Dua lawan yang sedang bertempur itu, boleh dikata
lawan yang berimbang benar-benar. Kedua orang samasama
memiliki kekuatan tenaga dalam yang sangat hebat.
Tongkat Ngo-gak Lokoay memang berat, tetapi dengan
pedang di tangan, Pek Thian Hiong tampak sangat gagah.
Dua lawan itu apabila bertempur benar-benar, tiga hari
tiga malam barangkali juga belum selesai. Touw Liong
yang menyaksikan jalannya pertempuran, mengerutkan
alisnya, ttapi dalam hatinya lalu mendapat suatu akal.
Dengan langkah lebar ia berjalan mengahmpiri dua orang
yang sedang bertempur sengit, kemudian memusatkan
seluruh pikiran dan kekuatan tenaganya dari tangan
kanannya mengeluarkan tenaga lunak untuk menarik ke
samping pedang Pek Thian Hiong seiring mulutnya berkata,
"Pek cianpwe, harap cianpwe serahkan lokoay ini
kepadaku, karena boanpwe masih ada sedikit perselisihan
dengannya."
Pek Thian Hiong menggunakan ilmunya Thay-it sinjiauw,
menyambut serangan tongkat Ngo-gak Lokoay yang
berat. Ngo-gak Lokoay adalah seorang jago tua yang banyak
pengalamannya. Begitu Touw Liong dapat menyambut
serangannya, ia sudah merasakan gelagat kurang baik.
Tongkatnya lalu diputar kembali, sedang kakinya digeser
mundur. Dengan demikian, ia tidak sampai terpukul oleh
ilmu Thay-it sin-jiauw dari Touw Liong. Setelah berhasil
berdiri lagi ia bertanya kepada Touw Liong,
"Bocah, kau berani campur tangan?"
Touw Liong mengangguk dan berkata,
"Benar. Aku orang she Touw hari ini bukan saja hendak
campur tangan, bahkan ...."
Sejenak ia berdiam diri untuk mengendalikan emosinya,
kemudian baru berkata lagi,
"Akan mengambil batok kepalamu."
Ngo-gak Lokoay tertawa terbahak-bahak, kemudian
berkata, "Aku orang tua ini sejak terjun di dunia kangouw pada
50 tahun berselang belum pernah ada orang yang berani
mengucapkan omongan demikian besar terang-terangan di
hadapanku. Bocah! Kau sudah berani mengeluarkan
omong besar, kepandaian dan kekuatan tenagamu tentunya
sudah mendapat banyak kemajuan selama setengah tahun
ini. Mari! Mari! Kalau kau memang ingin aku bantu kau
lekas menghadap pada raja akhirat aku juga tidak
keberatan."
"Hutang darah kepada Hui-eng locianpwe, hari ini juga
harus diperhitungkan sekalian," demikian Touw Liong
menambah keterangannya.
Ngo-gak Lokoay yang sudah arah benar-beanr lalu
berkata dengan suara keras,
"Bocah! Mengapa tidak lekas mengeluarkan senjatamu"
Ketahuilah olehmu, senjata di tanganku ini selamanya tidak
mau menghadapi orang dengan tangan kosong."
Touw Liong mengangkat kepala mengawasi ranting
pohon cemara yang menurunke bawah. Pek Thian Hiong
agaknya mengerti maksudnya, maka lalu memberikan
pedang panjangnya. Touw Liong segera menyambuti
pedang itu. Sambil tertawa nyaring ia berkata kepada Ngogak
Lokoay, "Aku masih ada suatu urusan yang sangat penting sekali
hendak bertanya kepadamu."
"Urusan apa?" demikian Ngo-gak Lokoay balas
bertanya. "Setelah kau meninggalkan gunung Pak-bong hari itu,
apakah terus ke gunung Kiu-hoa?"
Ngo-gak Lokoay mengangguk-anggukkan kepala dan
berkata, "Kudengar kabar bahwa gurumu memiliki pil Kiu Hoantan,
maka aku pergi mencarinya."
Mendengar itu Touw Liong sangat marah. Pedangnya
segera diputar mengancam Ngo-gak Lokoay, sehingga Ngogak
Lokoay diam-diam bergidik.
"Hutang darahmu kepada suhu, sekarang hendak
kuperhitungkan sekalian!"
Ngo-gak Lokoay mendelikkan matanya, kemudian
berkata, "Kau mengoceh! Gurumu bukan binasa di tanganku.
Orang yang turun tangan jahat kepadanya masih ada orang
lain lagi."
"Siapakah orangnya?"
"Ketika aku tiba di gunung Kiu-hoa, gurumu sudah
menutup mata. Waktu itu aku menampak berkelebatnya
sesosok bayangan orang melarikan diri ke belakang
gunung..." berkata Ngo-gak Lokoay sambil menggelenggelengkan
kepala. "Coba kau pikir baik-baik, orang itu dalam anggapanmu
siapa kira-kiranya?"
Ngo-gak Lokoay bersangsi sejenak, kemudian berkata,
"Kalau dilihat dari bagian belakang, orang itu ada mirip
dengan ..."
Touw Liong tak sabar segera membentak dengan suara
bengis, "Mirip siapa?"
Ngo-gak Lokoay yang adatnya sangat sombong belum
pernah diperlakukan orang demikian rupa apalagi oleh
seseorang pemuda sebaya Touw Liong.
Oleh karenanya, maka sikap dan ucapan Touw Liong itu
sedikit banyak telah menyinggung juga perasaan. Kembali
ia pendelikkan matanya memandang kepada Touw Liong
sejenak, kemudian berkata dengan tegas,
"Aku justru tak mau menyebutkan namanya!"
Touw Liong tertawa terbahak-bahak, kemudian sikapnya
berubah, katanya dengan sikap marah-marah,
"Jikalau kau tidak mau bicara terus terang, hutang darah
ini terpaksa kuperhitungkan kepadamu sekalian.
Bagaimanapun juga aku sudah menerima baik permintaan
Hui-eng locianpwe untuk mencari kau guna menuntut balas
atas kematiannya."
"Bocah, kalau demikian katamu, urusan mudah
dibereskan. Marilah! Semua tantanganmu kuterima baik!"
Touw Liong waktu itu sudah marah benar-benar,
sepasang matanya merah membara, sudah tentu tidak
menghiraukan ucapan Ngo-gak Lokoay.
Pedang di tangan kanannya segera bergerak, dengan
menggunakan ilmunya Tay-lo-kim-kong-sin-kiam, secepat
kilat sudah melancarkan tiga kali serangannya yang sangat
ampuh. Ngo-gak Lokoay harus mengerahkan sekuat tenaganya
untuk menyambut serangan Touw Liong yang sangat hebat
itu, dalam waktu sekejab mata sekitar medan pertmpuran
sudah seolah-olah terkurung oleh hembusan angin yang
keluar dari dua jenis senjata itu, sehingga baju Pek Thian
Hiong dan Pek Giok Hoa juga tampak berkibar-kibar oleh
hembusan angin itu.
Pek Thian Hiong yang menyaksikan itu, lalu berkata
kepada anaknya sambil berkata,


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jikalau ditilik dari jalannya pertempuran ini, ilmu
kepandaian Touw Liong sudah mencapai taraf yang sangat
tinggi sekali, betapapun kuatnya Lokoay barang kali juga
tidak sanggup bertahan sampai sepuluh jurus."
Pek Giok Hoa yang menyaksikan jalannya pertempuran
yang demikian hebat, matanya menjadi kabur. Selama
hidupnya, benar-benar ia belum pernah menyaksikan
pertempuran yang demikian hebat, maka waktu itu diamdiam
sudah bersumpah kepada diri sendiri ia pasti akan
mempelajari ilmunya dengan tekun supaya dikemudian hari
juga mencapai kepandaian seperti Touw Liong yang dapat
menghadapi tokoh-tokoh kuat rimba persilatan.
Pertempuran itu berlangsung sangat cepat, dalam waktu
sekejab mata tujuh-delapan jurus sudah dilalui,
pertempuran semakin hebat, sehingga bayangan mereka tak
tampak lagi. Pek Thian Hiong dan Pek Giok Hoa
menonton di luar garis. Apa yang dilihat oleh mereka
hanya sinar pedang Touw Liong dan sinar tongkat Lokoay
yang hitam jengat, selain itu, hanya merasakan hembusan
angin yang menderu-deru yang berputaran dari dua senjata
itu. Benar seperti apa yang diduga oleh Pek Thian Hiong,
sewaktu pertempuran itu menanjak kejurus kesepuluh, tibatiba
terdengar suara krak, tongkat Ngo-gak Lokoay terpapas
sepotong! Touw Liong mengeluarkan siulan panjang, bentaknya
dengan suara nyaring,
"Apakah kau masih membandel, tidak mau menyebut
nama orang itu?"
Ngo-gak Lokoay tertawa keras, kemudian
menyambitkan tongkatnya yang tinggal sepotong ke arah
Touw Liong. Sambitan itu hebat sekali. Sudah tentu Touw Liong
tidak berani menyambut, ia buru-buru mengelak ke samping
dan gerakan itulah justru yang dikehendaki oleh Ngo-gak
Lokoay, sebab ketika Touw Liong mengelak, ia sudah
mengibaskan kedua lengan bajunya, dan badannya bergerak
secepat kilat lari ke bawah gunung sambil mengeluarkan
suara tertawa terbahak-bahak, diantara kegelapan itu
terdengar suaranya,
"Bocah, kau kini telah tertipu olehku! Aku mana ada
begitu banyak waktu melayani kau" Jikalau kau ingin tahu
musuh yang membunuh mati gurumu, kau boleh pergi ke
gunung Hok-hong-san, dengan cara setiap berjalan tiga
langkah kau harus mengutuk satu kali, di sana kau nanti
akan dapat tahu siapa orangnya."
Touw Liong tidak mau tinggal diam, ia mengembalikan
pedang Hok-mo-kiam kepada Pek Thian Hiong, setelah
mengucapkan selamat tinggal kepada jago tua itu dan Pek
Giok Hoa, dengan secepat kilat badannya bergerak
mengejar Ngo-gak Lokoay.
Dua orang itu sama-sama memiliki kepandaian yang
sangat tinggi. Lari mereka bagaikan bintang-bintang yang
meluncur dari langit. Mereka berkejar-kejaran demikian
pesat, dalam waktu sekejab mata, sudah menghilang di
bawah kaki gunung.
Ngo-gak Lokoay yang bergerak lebih dahulu, telah
berada di muka, terpisah sejarak beberapa puluh tombak
dengan Touw Liong, sedangkan Touw Liong masih terus
membuntutinya dengan sekuat tenaga.
Touw Liong di samping mengejar, dalam hatinya
berpikir, Lokoay itu kata, suruh aku pergi ke gunung Hek
Hong-san" Begitu bertanya akan segera mengetahui
sendiri" Apakah artinya ucapan itu" Apakah Panji Wulung
Wanita yang turun tangan jahat terhadap suhu" ....
Yang pernah berkata, waktu itu Panji Wulung wanita
sedang dihinggapi penyakit lumpuh oleh karena salah jalan
dalam mempelajari ilmunya Hek Hong im-kang, Kim yan
yang setiap hari tidak berpisah dengannya, sudah tentu
perempuan tua itu tidak bisa meninggalkan dan pergi ke
tempat yang letaknya sejauh ribuan paal itu untuk
membunuh suhu! Akan tetapi siapakah orang itu" Apakah itu ada
hubungan erat dengan Panji Wulung Wanita, maka Lokoay
menyuruh aku bertanya ke gunung Hek hong-san....
Oh ya! Orang itu pasti salah satu dari 12 orang
pelindung hukumnya ...
Demikianlah dalam hati Touw Liong terus berputaran
dengan berbagai pertanyaan, namun gerakan kakinya,
sedikitpun tidak terlambat. Setelah melalui beberapa
puncak gunung, menyelusuri rimba-rimba dalam hutan
yang jarang dilalui oleh manusia, tetapi jarak antara dua
orang itu masih tetap begitu saja.
Perlahan-lahan cahaya malam telah berubah menjadi
terang, gunung di tempat jauh dan pohon-pohon di
sekitarnya kini tampak semakin nyata.
Keluar dari daerah gunung dan rimba, tibalah di atas
jalan raya. Jalan raya itu lurus menuju ke sebuah benteng kota yang
hitam jengat, di pagi hari yang masih diliputi oleh halimun,
jalan raya itu masih sepi sunyi, tidak tampak orang yang
lalu-lalang. Di atas jalan raya yang terbuka itu, sudah tentu tidak ada
tempat yang dapat digunakan oleh Lokoay itu untuk
menghilangkan dirinya dari incaran Touw Liong, hingga
dalam hati Ngo-gak Lokoay menjadi gelisah, ia takut
kecandak oleh Touw Liong, sehingga makin susah
meloloskan diri.
Touw Liong juga masih mulai cape, tetapi ia berusaha
mengejar terus.
Pintu benteng kini telah tampak nyata, dengan tiba-tiba
dari dalam benteng kota itu muncul sekelompok orang.
Orang-orang itu seperti juga dengan mereka berdua,
datangnya demikian pesat.
Karena dua pihak sama-sama pesatnya, sehingga dalam
waktu sekejab mata sudah hampir berbentrokan. Touw
Liong mengeluarkan suara seruan kaget, lalu berkata
kepada diri sendiri.
"Mengapa demikian kebetulan" Hari ini telah kujumpai
semua!" Touw Liong mulai pasang mata. Kelompok orang yang
lari mendatangi ialah: pertama Panji Wulung Wanita.
Berturut-turut adalah: It-tim dari Butong, Thian-sim dari
Ceng-shia, Pek-bie hwesio dari Ngo-bie. Bu-sim hwesio
dari Siao-lim. Hanya, dalam rombongan itu tidak tampak
adik seperguruannya, Kim yan.
Pada saat dan tempat seperti ini, munculnya Panji
Wulung Wanita dengan beberapa padri dan imam jahat itu,
benar-benar mengherankan dan mengejutkan Touw Liong.
Perasaan heran dan terkejut tidak sampai di situ saja.
Ngo-gak Lokoay yang dikejar olehnya, ternyata sudah
menggabungkan diri ke dalam rombongan orang-orang itu,
dan berdiri di hadapan Panji Wulung Wanita dengan
berdiri tegak dan begitu hormat.
Serentetan kejadian itu, membuat Touw Liong yang
menyaksikan, benar-benar telah terheran-heran, sehingga
saat itu ia melengak dan menghentikan langkahnya.
Belum hilang semua rasa herannya, Pek-bie Hwesio yang
berkepala besar, sudah mengacungkan tongkat rotannya,
dan membentak dengan suara bengis,
"Hek Hong Kim-liong, kau sungguh berani sekali. Di
hadapan Kauwcu, kau masih belum mau berlutut?"
Touw Liong kembali terkejut, dalam hati bertanya-tanya
sendiri, "Siapakah Hek Hong Kim Liong?"
Dalam hatinya bertanya demikian sementara mulutnya
bertanya, "Siapakah Hek Hong Kim Liong yang kau maksudkan?"
Pek-bie Hwesio kembali mengeluarkan suaranya yang
bengis, berkata,
"Touw Liong, sungguh besar sekali nyalimu. Kauwcu
merasa sayang dan dapat menghargai kepandaianmu,
apakah kau benar-benar begitu bodoh tidak tahu maksud
baik orang?"
Touw Liong mendongakkan kepala dan tertawa
terbahak-bagahk, setelah puas tertawa ia berkata,
"Aku sesungguhnya merasa sangat malu tehadap kalian
kawanan manusia bejat rimba persilatan, mengenai
tindakanmu yang mengabdi kepada musuh tidak perlu
dibicarakan, yang sangat menggelikan dan memalukan
semua kaum laki-laki adalah perbuatanmu yang meminta
perlindungan terang-terangan kepada seorang wanita."
Ucapan itu sangat pedas, sehingga kelima orang itu juga
merasa sangat terhinga, tak heran Pek-bie Hwesio yang
adatnya keras sampai berjingkrak-jingkrak dan berteriakteriak,
katanya, "Bocah, kau jangan banyak mulut! Seorang laki-laki
yang hendak melakukan pekerjaan, masing-masing boleh
memilih jalannya sendiri-sendiri. Kami yang tidak diijinkan
berdiam dalam perguruannya sendiri sehingga harus
mengembara di luaran, tetapi sekarang atas budi kebaikan
kauwcu, telah menerima kami sebagai anggotanya, bukan
di kemudian hari hendak membantu kami untuk balik ke
dalam perguruan semula, hal ini merupakan suatu tindakan
bijaksana yang menguntungkan.
"Perlu apa kau harus campur mulut?"
Panji Wulung Wanita yang mendengarkan perdebatan
itu diam saja, bahkan merasa sangat girang dan bangga.
Matanya terus mengawasi Touw Liong seolah-olah hendak
menjajaki reaksi pemuda itu. Lama ia baru berkata,
"Anak, kau jangan tertawakan mereka. Masih ada dua
hari, itu terserah kepadamu sendiri. Dikemudian hari
bukankah juga akan mengandalkan belas kasihan dari
golonganku?"
Touw Liong tiba-tiba ingat dua urusan, ia bertanya
kepada Panji Wulung Wanita,
"Urusan di kemudian hari biar diurus lain hari, sekarang
ini aku masih perlu tanya ..."
Berbeda dengan sikap biasanya, Panji Wulung Wanita
hari itu tampaknya sabar sekali, katanya sambil tertawa
hambar, "Anak, katakanlah!"
Dari nada suara dan sikap bicara Panji Wulung Wanita
pada waktu itu dapat kita menarik kesimpulan, bahwa Panji
Wulung Wanita ini benar-benar suka sekali terhadap Touw
Liong. Ia rupanya sudah pandang Touw Liong sebagai
keturunan ahli warisnya. Sikap itu jauh berbeda kalau
dipandang pada sikapnya pada setengah tahun berselang,
ketika pertama ketemu dengan Touw Liong di kota Lamyang
pun Tiao yang-lie.
Tetapi Touw Liong yang mendapat perlakuan mania itu
sebaliknya malah merasa sangat mendongkol, jawabnya,
"Kesatu adalah urusan yang mengenai diri adik
perguruanku Kim Yan. Di mana sekarang ia berada"
Kedua adalah urusan yang mengenai kematian suhuku.
Sebab kematian suhu sangat mencurigakan, dan menurut
keterangan Ngo-gak Lokoay, katanya asal aku datang ke
gunung Hek-hong-san mencari keterangan, segera
mengetahui siapa orangnya yang mencelakakan suhu itu."
Setelah itu ia menunjuk kepada Ngo-gak Lokoay yang
berdiri di samping Panji Wulung Wanita sambil
meluruskan kedua tangannya.
Kain tutup muka Panji Wulung Wanita tampak
bergerak-gerak, dari mulutnya mengeluarkan seruan
terkejut, kemudian baru menjawab,
"Adik seperguruanmu sedang menjalankan perintahku,
menolong San-hong Tojin, yang mengantarkan padanya
pulang ke gunung Hek-hong-san lebih dahulu sementara
mengenai urusan kematian suhumu ..."
Perkataan terakhir itu diucapkan dengan nada suara
rendah dan dalam, seolah-olah mengeluh dan matanya
ditujukan kepada Ngo-gak Lokoay dengan memancarkan
sinarnya yang tajam bagaikan pisau belati.
Ketika pandangan mata Ngo-gak Lokoay beradu dengan
sinar mata Panji Wulung Wanita itu, dalam hatinya
bergidik. Ia berkata dengan suara agak ketakutan,
"Hamba memang tahu siapa orangnya yang membunuh
mati suhumu, karena hamba ada maksud hendak
mempersulit dirinya, maka suruh ia datang ke gunung Hekhong-
san dengan cara tiap berjalan tiga langkah harus
berlutut satu kali, kalau sudah tiba di gunung Hek-hong-san
barulah hamba beritahukan keadaan yang sebenarnya."
Panji Wulung Wanita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sementara itu Touw Liong sudah bertanya dengan suara
bagaikan geledek,
"Kau katakan! Siapa orangnya?"
Panji Wulung Wanita mengulurkan tangannya
mencegah Ngo-gak Lokoay bergerak, katanya,
"Tunggu dulu! Sekarang kau jangan sebutkan. Tunggu
lagi dua hari ... he he he! Kalau ia benar-benar ingin tahu
siapa pembunuh suhunya, pasti akan berkunjung ke gunung
Hek-hong-san. Apa bila waktu itu ia tidak minta ampun
padaku, bukan saja aku tidak mau memusnahkan bisa dari
ilmu Hek-hong-im-kang, juga tidak akan kuberitahukan
siapa yang membunuh gurunya!"
Touw Liong mendongakkan kepala dan tertawa
terbahak-bahak, kemudian berkata,
"Seorang lelaki tidak perlu takut mati. Meskipun aku
sudah terkena seranganmu berbisa Hek-hong-im-kang,
namun aku masih dapat memusnahkan sendiri, tidak perlu
kau capaikan hati. Mengenai musuh yang mencelakakan
diri suhu, suatu hari aku pasti dapat mengorek keterangan
dari mulutnya."
"Baik, dua hari kemudian kita lihat saja siapa sebetulnya
yang lebih kuat."
Setelah itu ia mengibaskan lengan bajunya dan
mengeluarkan perintah kepada rombongannya untuk
berjalan. Selagi hendak berlalu, tiba-tiba Touw Liong
membentak,

Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tunggu dulu!"
"Anak, kau masih ada keperluan apa?" bertanya Panji
Wulung Wanita sambil mengawasi Touw Liong.
"Siapa yang harus ditinggalkan?" bertanya Panji Wulung
Wanita terkejut.
"Tinggalkan mereka berdua!" berkata Touw Liong
sambil menunjuk It-tim dan Ngo-gak.
"Kau mau aku meninggalkan mereka?" bertanya Panji
Wulung Wanita sambil tertawa dingin.
Ia berdiam dan berpikir sejenak kemudian berkata,
"Kita enam orang semua akan tinggal di sini. Kulihat
kau bocah ini bisa berbuat apa?"
Dengan mendadak Touw Liong bergerak, dengan tangan
kiri menghantam It-tim, sedng lima jari dari tangan
kanannya menyerang Ngo-gak Lokoay, sementara
mulutnya berseru,
"Hutang darah harus membayar dengan darah. Aku
minta supaya mereka meninggalkan jiwanya!"
"Coba-coba ..." berkata Panji Wulung Wanita dengan
nada suara dingin. Belum lagi Panji Wulung itu menutup
mulutnya, It-tim yang dihantam secara mendadak oleh
Touw Liong, telah jatuh terguling dan membentur diri
Thian-sim. Mulutnya sudah menyemburkan banyak darah.
Ngo-gak Lokoay yang sudah melihat gelagat jelek, sudah
berhasil mengelakkan serangan jari tangan Touw Liong.
It-tim terkena serangan tidak ringan, hingga Panji
Wulung Wanita yang menyaksikan, kerudung kain
mukanya sampai tergoyang-goyang. Jelas bahwa Panji
Wulung itu merasa turut tercemar namanya.
Dengan cepat ia melintangkan tongkat dalam tangannya,
untuk mencegah Touw Liong yang hendak menyergap Ittim
dan Ngo-gak Lokoay, sementara mulutnya berkata,
"Bocah. Ada aku di sini, sudah tentu tidak mengijinkan
kau berbuat sesukamu hendak turun tangan kejam terhadap
anak buahku! Kalau kau ingin mati, masih ada waktu dua
hari kau boleh tunggu dengan tenang!"
Touw Liong diam-diam merasa sayang, katanya,
"Sayang hantamanku tadi tidak sampai menghancurkan
tulang-tulangnya."
Ia memang tau bahwa It-tim memiliki kekuatan tenaga
dalam yang sangat tinggi. Serangannya yang hebat tadi,
paling-paling hanya dapat melukai It-tim. Bagaimanapun
parahnya, dalam waktu beberapa hari, It-tim pasti dapat
menyembuhkan sendiri dan sekarang, It-tim meskipun
sudah terluka parah, tetapi dengan adanya Panji Wulung
Wanita yang melindungi dirinya, sudah tentu sulit untuk
mengambil jiwanya lagi.
Tentang Ngo-gak, sedikitpun tidak terluka. Orang tua
bongkok itu kali ini masuk menjadi anggota golongan Panji
Wulung, kalau membinasakan dirinya, tampaknya lebih
sulit lagi. Touw Liong mengerti bahwa keadaan di hadapan
matanya sangat tidak menguntungkan pada diri sendiri,
akan tetapi ia masih menyanggupi dan menerima baik
permintaan Panji Wulung Wanita. Katanya,
"Baiklah! Dua hari, dalam waktu dua hari aku pasti
akan pergi ke tempatmu di gunung Hek-hong-san untuk
belajar kenal dengan dua belas anak buahmu yang menjadi
anggota pelindung hukum, sekalian untuk belajar kenal
sekali lagi dengan ilmumu berbisa dengan Hek-hong-imkang."
"Begitu saja! Aku masih ada lain keperluan, tidak ada
waktu untuk bicara banyak denganmu. Kita tetapkan
begitu saja, dua hari," berkata Panji Wulung Wanita dengan
nada suara dingin.
Setelah itu, ia berjalan lebih dahulu menuju kembali ke
kota kuno itu. Lima orang yang lainnya, mengikuti di belakangnya.
Touw Liong dengan perasaan diliputi oleh kebencian
dan kemarahan, berdiri di tengah jalan sambil mengawasi
berlalunya rombongan orang-orang itu ke pintu kota.
Setelah rombongan orang-orang itu menghilang dari kota,
baru tampak banyak orang yang berjalan dengan keperluan
masing-masing. Dengan pikiran lesu ia berjalan kembali. Ia tak tahu
harus pergi kemana. Dengan menyusuri jalan raya ia
berjalan sepagian, tanpa dirasa sudah tiba di bawah sebuah
bukit kecil. Di atas bukit tampak tiga buah pohon yang
sudah sangat tua usianya. Di bawah pohon yang rindang
itu ada sebuah kelenteng kecil. Touw Liong yang sudah
letih, lantas berjalan masuk ke kelenteng kecil itu untuk
beristirahat. Tiba di tempat itu, ia lalu duduk di bawah pohon tu itu
sambil pejamkan mata untuk memulihkan tenaganya.
Seorang seperti dia, yang sudah memiliki kekuatan
tenaga dalam yang sangat sempurna, setelah pikirannya
tenang dan bisa mengumpulkan semua tenaganya, daya
pendengarannya pasti sangat tajam. Belum lama ia
memejamkan matanya, dri jauh tiba-tiba terdengar suara
seperti jeritan orang.
Bab 48 TOUW LIONG yang mendengar suara itu diam-diam
terkejut. Dengan cepat ia lompat bangun. Matanya
celingukan memandang jauh keadaan di sekitarnya.
Daerah itu ternyata diputari oleh puncak gunung yang
menjulang tinggi tetapi keadaan sunyi senyap, suara jeritan
orang tadi sudah tidak terdengar lagi.
Karenanya maka ia diam-diam merasa heran sendiri.
Ia berpikir lagi, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya
sendiri. Setelah itu ia tersenyum sendiri dan berkata kepada
diri sendiri, "Ini barangkali karena pikiranku sendiri yang terganggu
..." Sehabis berkata, kembali ia duduk bersila untuk
menenangkan pikirannya kembali.
Seperti juga tadi, baru saja ia memejamkan matanya,
kembali terdengar suara seruan perlahan, untuk kedua
kalinya Touw Liong lompat bangun, kini perasaannya
menjadi tegang, karena tadi ia sudah memperhatikan maka
kini ia lantas dapat mengenali dari mana asal suara tadi,
lalu lari menuju ke sebelah barat daya.
Kali ini, ia sudah dapat dengar dengan tegas, itu adalah
suara yang keluar dari mulut seorang wanita, ia coba
memperkirakan jaraknya, suara itu barang kali timbul dari
tempat sejarak sepuluh pal jauhnya.
Dalam hati Touw Liong timbul suatu pikiran aneh,
pikirnya: Orang kata, hati dan pikiran bisa bergabung,
apakah keadaanku benar-benar seperti kata orang itu"
Berpikir sampai di situ, hati Touw Liong berdebaran,
mukanya juga merasa panas. Namun ia juga tidak tahu apa
sebabnya dengan mendadak timbul perasaan penuh
perhatian terhadap Pek Giok Hoa" Apakah suara itu keluar
dari mulutnya"
Barang kali karena ia benar-benar terlalu perhatikan
keselamatan gadis itu, gerakan kakinya tampak luar biasa
pesatnya. Dalam waktu sekejab mata, ia sudah berlari
sejauh enam atau tujuh pal, kemudian lompat ke sebuah
puncak gunung tinggi. Dari atas puncak itu ia memandang
keadaan di bawah yang diliputi oleh awan tipis dan
halimun. Puncak gunung di seberang sana, ada tampak
sepuluh lebih kawanan imam sedang mengurung dan
bertempur dengan seorang wanita berbaju hijau.
Touw Liong yang menyaksikan keadaan demikian,
dadanya dirasakan mau meledak. Ia tahu apakah artinya
itu. Ia juga mengerti siapakah adanya kawanan penjahat
itu. Pada saat dan tempat seperti itu, ia benar-benar
menyesalkan dirinya sendiri yang tidak bersayap sehingga
tidak dapat segera terbang melayang ke udara.
Ia angkat kepala dan mengawasi rombongan imam itu,
lalu dari mulutnya mengeluarkan suara siulan nyaring, yang
menggema di udara yang sunyi itu.
Begitu mendengar suara siulan itu, semangat wanita
berbaju hijau itu lantas terbangun. Pedangnya bergerak
demikian rupa, dengan secara nekad menyerang dan
menikam kawanan imam yang mengerubut dirinya.
Touw Liong dengan mementang dua tangannya,
melayang melesat ke tempat itu untuk memberi bantuan
kepada wanita berbaju hijau itu.
Sebentar kemudian, ia sudah berada di bagian tengah
puncak gunung itu. Ia sudah dapat mendengar suara
beradunya senjata tajam dengan sangat nyata. Touw Liong
berusaha melesat ke atas lagi, ketika tiba di puncak gunung,
badannya sudah basah kuyup. Ia tidak bisa ambil perduli,
dengan satu gerakan ia sudah menyerbu ke gelanggang
pertempuran. Sementara itu mulutnya sudah berseru,
"Adik Yan, jangan kaget, saudaramu datang
membantu."
Kiranya wanita berbaju hijau itu adalah adik
seperguruannya sendiri Kim Yan.
Kim Yan pada saat itu nafasnya sudah tersengal-sengal.
Terhadap kedatangan dan panggilan Touw Liong yang
demikian mesra, tampaknya sangat terkejut. Pedang
panjang di tangannya diputar semakin kencang untuk
menangkis dua bilah pedang imam yang mengurung
dirinya. Matanya melirik kepada Touw Liong sejenak,
mulutnya hanya dapat mengeluarkan suara perlahan.
Touw Liong yang mendapat sambutan dingin dari Kim
Yan dalam hati merasa bergidik, tetapi ia tetap berusaha
untuk kendalikan perasaannya sendiri.
Sesaat kemudian, ia teringat kepada perkataan Panji
Wulung Wanita yang pernah diucapkan kepadanya: "Nanti
kalau kalian berjumpa lagi, sumoaymu tidak akan anggap
kau sebagai lawan."
Touw Liong mengawasi ke-12 pedang imam itu. Ia
segera dapat mengenali bahwa 12 imam itu ternyata 12
imam dari partai Kiong-lay dengan barisan pedangnya yang
sangat ampuh. Kecuali 12 imam dengan 12 batang pedang panjangnya,
salah seorang dari 3 jago dari golongan Kiong-lay, ialah
Ngo-yang tojin yang kurus kering, juga berada di situ,
sedang membimbing susioknya ialah San-hong tojin, saat
itu berdiri menyender di bawah pohon besar.
Ngo-yang tojin dengan sinar mata marah memandang
Touw Liong, kemudian mengeluarkan suara dari hidung
dan berkata dengan nada suara dingin,
"Hari ini sudah merupakan bukti, bahwa suhu telah mati
di bawah tanganmu."
"Dengan cara bagaimana totiang bisa mengatakan,
bahkan membuktikan bahwa suhumu mati di tanganku?"
tanya Touw Liong heran.
"Tanyakan sendiri kepada sumoaymu ini!" berkata Ngoyang
tojin sambil menunjuk Kim Yan.
Wajah Touw Liong berubah hebat, kepalanya digelenggelengkan.
Pada saat dan tempat seperti ini, dapatkan ia
bertanya kepadanya"
Sejak Kim Yan dihilangkan sifat baiknya oleh ilmu Hekhong-
im-kang Panji Wulung Wanita terhadap Touw Liong
banyak berubah. Ia bukan saja sudah tidak menganggap
Touw Liong sebagai suheng, bahkan pada waktu itu ia
tunduk dan menurut benar kepada Panji Wulung Wanita.
Panji Wulung kata bahwa Touw Liong adalah
musuhnya. Kim Yan bisa pandang Touw Liong sebagai
musuh. Apabila Panji Wulung menyatakan sebagai
saudaranya, ia juga menunjukkan sikapnya yang sangat
mesra. Dan kini, Kim Yan tidak anggap Touw Liong sebagai
suheng, sebaliknya memperlakukannya demikian dingin.
Bagaimana kalau Touw Liong tidak merasa sedih"
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala dan menarik
nafas. Pada saat seperti itu, ia tak perlu berbantahan
dengan sumoaynya, sebab ia tahu banyak bicara juga tak
ada gunanya. Ia memperhatikan keadaan Kim Yan, tampak sumoay
itu dapat melawan 12 imam dengan barisan pedang itu
masih tunjukkan permainannya yang lebih unggul, maka
untuk sementara ia tidak perlu membantu kepadanya, sebab
ia juga mengerti, membantu padanya toh tidak akan
membawa akibat lebih baik. Maka ia lalu berpaling dan
berkata kepada Ngo-yang tojin,
"Susiokmu dengan aku ada mempunyai permusuhan
besar karena ia pernah turut ambil bagian dalam
pertempuran melawan ayah bundaku. Maka aku terpaksa
bertindak terhadapnya, untuk itu, perlu aku minta maaf
kepada totiang."
Ngo-yang tojin pendelikkan matanya, dengan sinar mata
menghina memandang kepada Touw Liong, kemudian
dengan nada suara dingin jawabnya,
"Kau, Touw tayhiap, denganku juga mempunyai hutang,
karena kau membunuh suhuku. Hari ini aku tahu bahwa
kekuatan dan kepandaianku tidak seberapa, tetapi aku lebih
suka kau bunuh bersama susiok, tidak bisa menyaksikan
susiok mati begitu saja ..."
Ia berdiam sejenak, kembali dengan sinar mata yang
tajam mengawasi Touw Liong, kemudian berkata dengan
nada suara mengejek,
"Susiok sudah kau serang dengan ilmu Thian-seng-jiauw,
mungkin sudah tidak ada harapan bisa hidup lagi. Apakah
kau masih hendak menurunkan tangan kejam" Hai! Kau
mengaku sebagai seorang pendekar, tetapi nyatanya masih
bisa sekali berbuat demikian rendah! Aku benar-benar
menyesal, nama pendekar yang kau dapatkan itu, entah
sesuai atau tidak dengan kenyataannya?"
Ucapan itu bagi Touw Liong sesungguhnya merupakan
sustu hinaan besar, maka Touw Liong yang mendengar itu
lalu mengeleng-gelengkan kepala dan menghela nafas,
akhirnya ia berkata dan mengulapkan tangannya kepada
imam kurus itu,
"Totiang, sekarang silahkan pergi bersama susiokmu!
Tetapi permusuhan antara susiokmu dengan aku masih ada,
di lain waktu apabila berjumpa kembali, aku pasti tidak


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat mengampuni padanya."
Dengan sikap sedih ia melirik kepada Kim Yan sejenak,
kemudian memutar tubuh hendak berlalu.
Selagi ia hendak turun gunung, Ngo-yang tojin tiba-tiba
berkata kepada Kim Yan yang sedang bertempur,
"Nona Kim, kita suka ikut kau pergi ke gunung Hekhong-
san, hanya ... asalkan kau berkata beberapa patah
kata di hadapan Touw tayhiap, kita akan ikut kau dengan
segera!" Barisan pedang itu ketika mendengar ucapan Ngo-yang
tojin, dengan cepat berhenti bergerak. Touw Liong yang
mendengar ucapan Ngo-yang tojin, lalu bertanya-tanya
dengan nada suara marah,
"Kau suruh sumoayku berkata apa?"
"Aku minta ia memberitahukan kepadamu, siapa yang
membunuh mati suhuku!" menjawab Ngo-yang tojin
dengan suara sedih.
Kim Yan telah menunjuk Touw Liong dengan
pedangnya, kemudian berpaling dan berkata kepada Ngoyang
tojin, "Suhumu adalah ..."
Dengan tiba-tiba ia batalkan maksudnya untuk
mengeluarkan perkataan yang hendak mengatakan Touw
Liong. Touw Liong waktu itu merasa sedih dan marah,
maka lalu membentaknya,
"Sumoy ..."
Ketika dibentak demikian, Kim yan lantas melanjutkan
ucapannya. "Memang benar, suhumu adalah dia yang
membinasakannya!"
"Sumoy!"
Demikian Touw Liong berseru dengan hati pilu, dengan
mata berkaca-kaca memandang Kim Yan. Tidak sepatah
katapun keluar lagi dari mulutnya.
Perubahan sikap Kim Yan ini sungguh menyedihkan
bagi Touw Liong, selagi mengusut musuh-musuhnya yang
membinasakan ayah bundanya sendiri dan gurunya sendiri,
kini Kim Yan telah berbalik muka terhadapnya. Sejak
suhunya menutup mata, dalam dunia hanya ia bersama
sumoynya berdua yang harus berusaha untuk
mempertahankan kedudukan partai Kiu-hoa, tetapi
sekarang Kim Yan telah berubah pikiran, maka hal itu
sesungguhnya merupakan pukulan batin yang hebat bagi
Touw Liong. Namun, sekarang apa daya" Maka ia hanya dapat
mendongakkan kepala dan dengan suara sedih sekali ia
meratap, "Ya Tuhan!"
Kim Yan terkejut ketika mendengar suara seruan itu,
alisnya dikerutkan, dengan perasaan bingung memandang
Touw Liong sejenak, tetapi itu hanya sekilas lintas saja,
kemudian dengan wajah dan nada dingin ia berkata
kepadanya, "Tinggal dua hari, jikalau kau benar-benar mau datang
ke gunung Hek-hong-san, maka aku akan tetap anggap kau
sebagai suhengku, tetapi selewatnya dua hari itu nanti
apabila bertemu lagi jangan sesalkan kalau aku bertindak
kejam!" Kata-kata diucapkan dengan sungguh-sungguh dan tegas,
sedikitpun tidak memberi kesampatan bagi Touw Liong
untuk mempertimbangkannya.
Touw Liong terpaksa meninggalkan Kim Yan dengan
pikiran tidak karuan.
Waktu itu orang-orang yang berada di puncak gunung
sudah berlalu semua, keadaan sepi kembali. Tiga belas
orang dari golongan Kiong-lay, dengan mengikuti jejak Kim
Yan, pergi menuju ke gunung Hek-hong-san.
Di tempat itu, kini hanya tinggal Touw Liong seorang
diri. Dengan suara serak dan sangat perlahan sekali ia
bertanya kepada dirinya sendiri,
"Sekarang apa yang harus aku perbuat?"
"Terutama aku harus berusaha untuk memunahkan
pengaruh racun Hek-hong-im-kang yang ada pada dirinya,
supaya pikiran dan sifatnya boleh kembali. Demikian
dalam otaknya terlintas satu pikiran.
Tetapi kemudian ia mengeleng-gelengkan kepala dan
berkata sendiri dengan suara sedih,
"Tetapi ini adalah suatu hal yang tidak mungkin.
Hidupku sendiri juga hanya tinggal dua hari saja, dua hari
kemudian masih belum tahu bagaimana nasibku sendiri?"
Kemudian dengan tiba-tiba ia mendapat suatu pikiran,
saat itu perasaannya mulai lega, matanya memandang ke
arah depan dimana tadi Kim Yan dan teman-temannya
telah menghilang kemudian berkata lagi seorang diri,
"Benar! Aku hanya bertindak demikian saja, dengan
demikian barulah dapat menolong kesulitanku. Tindakan
itu meskipun kurang jujur, tetapi bisa menolong Kim Yan
dan menolong diri sendiri, bisa menuntut balas sakit hati
suhu dan juga bisa menunntut balas kematian ayah
bundaku, juga bisa menolong sahabat-sahabat rimba
persilatan dari ancaman bencana."
Setelah mengambil keputusan tetap, Touw Liong
mencoba mengendalikan perasaan sedihnya.
Ia makan rangsum kering yang dibawanya dan minum
air gunung, kemudain duduk di bawah pohon untuk
menenangkan pikirannya.
Selagi matahari sudah mulai mendoyong ke barat Touw
Liong mulai turun gunung dengan mengikuti jejak Kim
Yan. Ia bisa lari sangat pesat, dalam waktu kira-kira dua jam,
telah berhasil melalui dua buah kota kuno, dan berjalan di
atas jalan raya yang menuju ke selatan. Di waktu petang, ia
sudah bisa melanjutkan perjalanannya menuju ke sebuah
gunung yang diliputi oleh kabut malam. Gunung itu
menjulang tinggi ke langit, yang paling tinggi samar-samar
tertutup oleh awan. Touw Liong yang memandang puncak
gunung tinggi itu, dengan perasaan terheran-heran bertanya
pada dirinya sendiri,
"Puncak gunung ini ada sedikit mirip dengan puncak
Siao-swat-hong di gunung Thay-swat-san. Aku harus
meneruskan perjalananku menuju ke selatan untuk pergi ke
gunung Hek-hong-san. Dengan cara bagaimana, bisa
datang ke puncak Siao-wat-hong ini?"
Touw Liong dengan cepat melanjutkan langkahnya,
matanya memandang puncak Siao-wat-hong. Selagi
hendak naik menuju ke selatan tiba-tiba hatinya tergerak.
"Apa salahnya kalau aku berkunjung ke gunung Tayswat-
san" Di dalam partai Swat-san juga terdpat tokoh
kuatnya yang dahulu turut campur tangan pengepungan
ayah bundaku," demikian pikirnya.
Ia tidak mau memikir lebih jauh lagi, sebab kalau ia
teringat peristiwa berdarah yang membawa kematian ayah
bundanya itu, hanya menambah sedih pikirannya saja.
Di daerah gunung Tay-swat-san itu ia mengerahkan
ilmunya meringankan tubuh. Berjalan kira-kira dua jam,
sudah tiba di suatu lembah yang terkurung oleh salju yang
membeku. Dengan memperhatikan salju yang membeku
bagaikan dinding timah yang kekar kokoh itu, ia berusaha
masuk ke dalam lembah.
Sementara itu dalam hatinya berpikir: Inilah barangkali
tempat yang dinamakan Hui-in-hiat-ing yang menjadi pintu
gerbang partai Swat-san-pay.
Selagi masih berpikir-pikir, dari dalam lembah tiba-tiba
terdengar suara bentakan keras,
"Siapa yang bernyali demikian besar, berani menerjang
masuk pintu hiat?"
Dari jauh tampak dua titik bayangan hitam seolah-olah
nempel di atas salju yang putih sedang menuju ke arah
Touw Liong. Touw Liong mengamat-amati terus dengan pandangan
matanya. Karena malam yang agak gelap, susah dikenali
dua titik bayangan hitam itu sebetulnya orang bagaimana.
Tetapi karena teguran tadi, maka ia lalu menjawab,
"Orang yang datang berkunjung! Ada urusan penting,
perlu menghadap ketua partai kalian!"
Atas jawaban Touw Liong tadi, dibalas dengan
pertanyaan yang kedua kalinya, masih tetap dengan
suaranya yang kaku,
"Di waktu malam tidak mengurus pekerjaan kalau ada
urusan penting mengapa tidak mau menunggu sampai
pagi?" Sesaat kemudian, dua titik hitam tadi yang merupakan
dua orang berpakaian hitam sudah berada di depan Touw
Liong. Yang berjalan di muka adalah seorang laki-laki
setengah umur berpakaian ringkas warna hitam, di
punggungnya menyoren sebuah golok tanto. Yang berjalan
di belakang ternyata adalah seorang tua berbadan bongkok
yang rambutnya panjang sekali sehingga menutupi kedua
pundaknya. Begitu melihat orang tua itu, sekujur tubuh Touw Liong
menggetar, dari hidungnya mengeluarkan suara dan dengan
cepat segera menghentikan kakinya.
Laki-laki berpakaian hitam itu ketika berhadapan dengan
Touw Liong, dengan sinar matanya yang tajam, menyapu
beberapa kali ke wajah Touw Liong, sikapnya sangat
jumawa. Orang tua berambut panjang yang berada di
belakangnya, begitu melihat Touw Liong sekilas tampak
terkejut, kemudian tertawa dingin, wajahnya tampak
berkerenyit, dan berkata kepada laki-laki berpakaian hitam,
"Baru kita bicarakan, orangnya sudah tiba. Bocah ini
adalah ..."
"Ah ..." demikian laki-laki berpakaian hitam membuka
mulutnya yang lebar mengeluarkan suara tertawa terbahakbahak.
Mendengar suara tertawa orang itu, dalam hati Touw
Liong terkejut, sebab kekuatan tenaga dalam orang tersebut
tidak di bawah Pek Thian Hiong.
Orang tua berambut panjang itu bukan lain daripada
Ngo-gak Lokoay.
Pada saat itu Ngo-gak Lokoay memperdengarkan suara
tertawa dinginnya, mengawasi Touw Liong tanpa berkata
apa-apa. Laki-laki berpakaian hitam itu seolah-olah hendak
memberi ancaman kepada Touw Liong. Begitu suara
tertawanya berhenti, lantas bertanya sambil mendelikkan
matanya, "Ada urusan apa kau datang ke gunung Tay-swat-san
ini" Bicaralah terus terang!"
Touw Liong tidak menjawab pertanyaan itu. Lebih
dahulu matanya memandang Ngo-gak Lokoay, lalu
mengangguk-anggukkan kepala, baru kemudian berkata,
"Satu komplotan mana ada orang baik" Kau juga harus
bicara terus terang! Cukup dengan sepatah kata! Dalam
pengepungan terhadap jago rimba persilatan di loteng Gaklao
pada 20 tahun berselang, apa kau juga turut ambil
bagian?" Laki-laki berpakaian hitam itu dengan tiba-tiba
mengangkat tangannya menepuk-nepuk kepalanya sendiri,
kemudian dengan tertawa bangga dia akhirnya baru
menjawab, "Bocah, suatu pertanyaan yang tepat. Dua puluh tahun
berselang orang yang membunuh mati ibumu adalah aku
Kow Thaya sendiri."
Touw Liong seperti disambar geledek, pikirannya untuk
sesaat dirasakan gelap, diam-diam ia menyebut ibunya,
kemudian kedua tangannya bergerak bagaikan kilat, sesaat
kemudian tampak darah muncrat, laki-laki berpakaian
hitam itu tanpa mengeluarkan suara dari mulutnya, sudah
dipukul hancur kepalanya oleh tangan Touw Liong
sehingga otaknya dan darahnya pada berantakan. Hal itu
bisa terjadi karena lelaki itu terlalu jumawa, kedua karena
Touw Liong sudah marah sekali, maka begitu turun ia
mengeluarkan serangannya yang mematikan. Laki-laki
berpakaian hitam itu tadi, dalam keadaan tidak berjagajaga,
maka menemui kematiannya demikian cepat di tangan
Touw Liong. Serangan Touw Liong yang sekali pukul telah
membinasakan laki-laki berpakaian hitam itu telah
mengejutkan Ngo-gak Lokoay, dan siluman tua itu melihat
gelagat tidak beres, lantas angkat kaki.
Sayang ia tidak kabur keluar sebaliknya malah menuju
ke dalam lembah.
Touw Liong yang masih marah, dengan lima jari
tangannya menyerang Ngo-gak Lokoay, sedang mulutnya
membentak, "Jangan lari!"
Serangan itu telak mengenai sasarannya.
Ngo-gak Lokoay rubuh tersungkur di tanah.
Touw Liong berjalan menghampiri, kembali dengan
menggunakan jari tangan menotok belakang punggung
Ngo-gak Lokoay, hingga siluman tua itu menjerit dan jatuh
pingsan seketika.
Hawa amarah Touw Liong masih belum reda, sambil
menggertak gigi, ia berkata,
"Sepantasnya kau harus kubunuh mati, untuk menuntut
balas sakit hati Hui-eng locianpwe, akan tetapi ..."
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, hanya
mendongakkan kepala sambil berpikir,
"Kesatu, aku tidak boleh turun tangan berat terhadap
orang sudah terluka, sebab dengan demikian itu berarti
perbuatan seorang rendah. Kedua, sekalipun Ngo-gak
harus mati, tetapi seharusnya diserahkan kepada orang
golongan Pak-bong yang turun tangan sendiri. Aku sekalikali
tidak boleh membunuhnya."
Totokannya tadi ternyata membawa akibat fatal bagi
Ngo-gak Lokoay, sebab seluruh kepandaian ilmu silatnya
sejak saat itu telah musnah sama sekali.
Touw Liong mengulurkan tangan dan menepuk kepala
Ngo-gak Lokoay, kemudian di depan dadanya menotok tiga


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kali. Ngo-gak Lokoay perlahan-lahan menjadi sadar.
Touw Liong berkata pula sambil menunjuk bangkai lakilaki
berbaju hitam, "Siapa orang ini?"
"Dia adalah sute dari ketua partai Swat-san yang
sekarang, namanya Kow Cin Seng."
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepalanya dan
berkata, "Seorang yang membunuh harus balas dibunuh. Ia telah
mengaku sendiri dahulu pernah membunuh mati ibuku ..."
"Kau jangan bangga dahulu, hari ini kau berhasil
membinasakan Kow Cin Seng, tetapi kau sendiri juga
jangan pikir bisa berlalu dari gunung Swat-san dalam
keadaan hidup," berkata Ngo-gak Lokoay sambil tertawa
dingin. "Harapanku hanya satu, ialah supaya bisa membunuh
musuh-musuhku dengan tangan sendiri. Walaupun mati,
juga tidak menyesal," berkata Touw Liong sambil tertawa
kecil, selanjutnya ia berdiam sebentar dan berkata pula,
"Kalau aku mati, kau juga tidak bisa hidup apalagi aku
sudah berjanji kepada Hui-eng locianpwe hendak menuntut
balas atas kematiannya."
Ia benar-benar sudah mengangkat tangan kanannya
hendak menyerang Ngo-gak Lokoay.
Wajah Ngo-gak Lokoay pucat pasi, matanya yang sudah
tidak bersinar menunjukkan perasaan minta dikasihani,
bibirnya gemetaran, tidak sepatah katapun keluar dari
mulutnya. Kekuatiran dan ketakutan dari seorang yang menghadapi
kematian, saat itu terlintas jelas pada diri Ngo-gak Lokoay.
Touw Liong perlahan-lahan meletakkan kembali
tangannya, dengan nada suara agak lunak akhirnya berkata,
"Aku boleh tidak membinasakan kau, tetapi apa
imbalanmu?"
Ngo-gak Lokoay buru-buru mengangguk-anggukkan
kepala dan berkata,
"Touw tayhiap katakan saja."
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,
"Sudahlah, sebaiknya aku bunuh mati kau saja, supaya
habis segala-galanya."
Ketika Touw Liong hendak mengangkat kembali
tangannya dengan gemetaran, sedang mulutnya berkata,
"Touw tayhiap, janganlah ..."
Touw Liong berpikir sejenak, kemudian berkata,
"Aku ingin tanya padamu sepatah kata saja, tapi aku
takut kau tidak mau bicara terus terang."
Dengan sikap minta dikasihani Ngo-gak Lokoay
mengangguk-anggukkan kepala dan berkata,
"Aku akan bicara terus terang!"
Ia berhenti sejenak untuk mengatur pernafasannya,
kemudian balik bertanya kepada Touw Liong.
"Apakah Touw tayhiap ingin tahu orang yang
membinasakan suhumu?"
"Siapa yang membinasakan suhu?"
Ngo-gak Lokoay terbenam dalam pikirannya sendiri,
kemudian berkata dengan suara gelagapan,
"Ia ... ia ... pasti ia ..."
"Ia siapa?" tanya Touw Liong marah.
"Aku dalam sekelebatan dapat mengenali bahwa orang
itu adalah Hian Kie Cu, salah satu dari 7 jago golongan
Butong," berkata Ngo-gak Lokoay tegas.
"Hian Kie Cu?" Touw Liong berseru kaget. Sepasang
matanya memancarkan sinar berkilauan mengawasi Ngogak
Lokoay yang berada di dalam keadaan ketakutan.
Katanya pula, "Tidak mungkin! Tidak mungkin itu ada perbuatan
Hian Kie Cu cianpwe, sebab Hian Kie Cu cianpwe pada 50
tahun berselang, sudah binasa dalam pertempuran dengan
tiga garuda dari golongan Pak-bong. Orang yang sudah
mati, masa bisa hidup kembali?"
"Percaya atau tidaknya, itu terserah kepada Touw
tayhiap sendiri. Dalam dunia ini kadang-kadang ada
banyak kejadian aneh yang tidak dapat kita duga, ada
beberapa hal yang orang anggap tidak mungkin bisa
berubah menjadi mungkin," berkata Ngo-gak Lokoay
dengan suara lemah.
Touw Liong yang menyaksikan sikap Ngo-gak Lokoay
seperti dengan sejujurnya, dalam keadaan demikian,
terpaksa ia setengah percaya setengah tidak. Apa ia bisa
kata lagi" Bagaimanapun juga, kematian suhunya sudah
mulai tampak sedikit titik terang.
Ia berkata dengan tandas,
"Baiklah, aku akan pergi mengadakan penyelidikan,
apabila kau membohongi aku, kita toh masih ada waktu
akan bertemu lagi."
"Baiklah kau berdiam di sini, kalau mereka nanti datang
mencari bangkai, tentu bisa memberi pertolongan kepada
dirimu." Ngo-gak Lokoay mengangguk-anggukkan kepala.
Touw Liong mendongakkan kepala dan bersiul nyaring,
suara siulan itu menggema di gunung yang sunyi sepi itu,
setelah itu ia membalikkan diri dan keluar dari lembah
gunung Swat-san.
Bab 49 GUNUNG HEK HONG SAN, letaknya di kabupaten
Chek-sui, daerah perbatasan antara propinsi Su-cwan dan
In-lam. Letaknya sangat strategis dan berbahaya, ditambah
lagi puncak gunungnya yang menjulang tinggi dan hawanya
yang lembab, maka gunung itu sangat jarang didatangi
manusia. Touw Liong yang melakukan perjalanan satu hari satu
malam, hari itu pada waktu petang sudah tiba di tepi sungai
Chek-sui. Ia tanpa mengaso terus melanjutkan perjalanannya
menuju ke barat dengan mengikuti sungai Chek-sui. Di
daerah pegunungan yang sepi sunyi ini tidak tampak
bayangan orang. Ia mondar-mandir seorang diri,
maksudnya ialah hendak menyelidiki markasnya Panji
Wulung Wanita. Daerah pegunungan yang sangat luas, setidak-tidaknya
juga ada beberapa ratus pal persegi. Dahulu Touw Liong
belum pernah datang ke tempat itu, sedang di gunung Hekhong-
san itu juga bukanlah suatu tempat terkenal yang ada
banyak peninggalan jaman kuno, maka untuk mencari
seseorang sesungguhnya tidaklah mudah.
Touw Liong berputar-putaran di daerah pegunungan itu
kalau benar digunakan untuk menyimpan kitab ilmu
pedang Hek-mo-kiam, juga digunakan oleh Panji Wulung
Wanita sebagai markasnya, sudah tentu merupakan tempat
yang paling berbahaya di daerah gunung Hek-hong-san itu.
Touw Liong diam-diam memperhatikan situasi daerah
pegunungan itu. Ia telah menganggap, suatu tempat yang
di sebelah kirinya terdapat sungai dan di sebelah kanan
terdapat deretan gunung tinggi, kemungkinan besar gua
Hek-hong-tong itu letaknya di daerah itu, maka ia lalu
menuju ke salah satu puncak tertinggi yang terdapat di
daerah itu. Di puncak gunung tinggi itu terdapat banyak batu cadas
yang bentuknya aneh-aneh, pohon-pohon kuno menjulang
tinggi ke langit. Touw Liong memutari puncak itu hampir
satu jam lamanya telah mendapat lihat di belakang puncak
itu, di suatu tempat yang agak rindang dan penuh banyak
rumput tinggi, seperti terdapat bekas bangunan rumah.
Dengan adanya penemuan itu semangat Touw Liong mulai
bangun. Lagi, ia memutari batu bekas reruntuhan
bangunan rumah itu. Lalu ia menarik kesimpulan, bahwa
gua Hek-hong-tong barangkali tidak jauh dari tempat ini.
Soalnya hanya terletak pada suatu pertanyaan, ialah di
mana letak sebetulnya gua itu.
Touw Liong masih belum putus asa, terus dan terus
melakukan penyelidikannya. Tak lama kemudian, angin
malam yang meniup membawa suara gemuruh dari air
terjun. Touw Liong nampak pasang telinga. Air itu tidak
menggemuruhkan, hanya gelombang sungai kecil. Sebab,
air yang mengalir dari suatu sungai kecil, tentu mengalirnya
cukup santer. Sedang suara air yang didengarnya itu,
tidaklah segemuruh daripada suara air yang mengalir di
sungai. Oleh karenanya, maka ia menarik kesimpulan bahwa
suara itu adalah suara air terjun yang turun dari tempat
terlalu tinggi, atau keluar dari suatu mata air.
Dengan adanya penemuan itu, ia lalu mempercepat
langkah kakinya. Setelah melalui sebuah lembah dan
menikung ke sebelah puncak tinggi, di hadapan matanya
terbentang sebuah pemandangan yang menakjubkan! Air
yang terjun dari tempat setinggi sepuluh tombak, terus
meluncur ke bawah ditampung oleh sebuah danau.
Air danau itu jernih sekali!
Kalau diperhatikan secara cermat, danau itu tidak ada
jalan keluar. Air yang turun deras dari tempat setinggi itu,
kemana dibuangnya"
Apakah di dasar danau itu masih ada tempat yang dapat
menampung air terjun tersebut" Kalau tidak demikian
mengapa air itu tidak meluap keluar; membuat suatu
pembuangan"
Touw Liong tidak mau menduga-duga berapa dalamnya
danau itu, karena tujuannya ialah hendak mencari gua Hekhong-
tong, dan ia tidak perlu memikirkan soal itu. Ia
memutari danau yang lebarnya seratus tombak lebih itu.
Tetapi gua Hek-hong-tong masih belum juga dapat
diketemukan. Touw Liong membalikkan badan, ia lalu
lompat melesat ke atas setinggi sepuluh tombak untuk
mencari ke bagian atas dari air terjun itu.
Pada malam itu rembulan purnama sedang
memancarkan sinar matanya yang terang benderang. Tepat
jam 2 tengah malam, dari atas tebing tinggi itu tampak
sebuah sungai di suatu tempat sekitar situ bagaikan ular
panjang menyusuri jalan di atas gunung yang terdapat
banyak pohon tua.
Touw Liong dengan menyusuri tepi sungai itu terus pergi
mencari. Berjalan kira-kira 20 pal lebih, keadaannya
tampak semakin sunyi. Tempat itu penuh dengan semak
belukar, tetapi di sepanjang jalan ia tidak menemukan
tempat yang kira-kira sedang dicarinya.
Ia terus berjalan. Waktu itu sudah mulai subuh.
Sekarang berpikir hendak balik kembali, matanya telah
tertumbuk pada suatu pemandangan tidak jauh di depan
matanya, ada sebuah batu yang tinggi sekali bentuknya.
Sekitar batu itu tidak tampak ada tumbuh-tumbuhan.
Berdiri tegak di tepi sungai. Hal itu menarik perhatian
Touw Liong, maka ia berjalan menghampiri.
Memang sebenarnya, batu itu benar-benar menonjol di
tempat yang sepi seperti itu. Tidaklah mengherankan jika
menjadi perhatian Touw Liong.
Tetapi ketika ia tiba di batu itu, ia semakin merasa
kecewa. Sebab batu itu tidak ada hal yang luar biasa, hanya
seperti batu biasa yang dipindahkan oleh tenaga orang ke
tepi sungai itu.
Touw Liong tidak dapat mengerti, mengapa ada orang
yang memindahkan batu besar itu ke tempat ini" Ia
memperhatikan keadaan itu sekian lama dengan penuh
tanda tanya. Sesungguhnya tidak dapat menemukan apa
maksud batu itu diletakkan di tempat tersebut.
Ia berjalan memutari batu besar itu, lalu menarik nafas.
Dengan perasaan kecewa ia mendongak ke atas, maka ia
dapat menghalau sedikit perasaan itu, tangannya dengan
tak disengaja telah bergerak membentur batu besar itu.
Pukulan itu ternyata sedemikian hebatnya. Batu sebesar
itu telah jatuh roboh ke dalam sungai!
Sungguh aneh. Batu besar yang rubuh ke sungai itu
jatuh demikian hebat, dan terus membendung sungai kecil!
Air mengalir yang telah terbendung, dengan sendirinya
lantas mencari jalan lain. Dengan cepat air sungai itu
meluap mengalir ke kedua sisi batu itu, dan disitulah mulai
tampak dasarnya air terjun itu!
Bagian atas air terjun itu telah tertutup oleh pohonpohon
yang bergelantungan, apalagi tempatnya tinggi, tidak
dapat dilihat dengan mata dan airnya yang terbendung itu
kini telah mengalir ke bagian lainnya.
Atas perubahan yang terjadi secara tiba-tiba itu,
membuat Touw Liong terheran-heran.
Ia lompat ke atas sebuah batu besar, mengawasi air yang
mengalir turun dari atas itu, kemudian matanya menengok
ke air yang telah terbendung tadi di mana tampak nyata
dasarnya danau, sedang pikirannya terus bekerja keras.
Ia angkat kepala, di atasnya ternyata tingginya 10
tombak lebih, tetapi bagian bawah yang tadi tertutup oleh
air terjun, kini tampak nyata batu-batunya, airnya tinggal
sedikit. Touw Liong semakin heran. Dengan tiba-tiba ia
menepuk kepalanya sendiri dengan perasaan kaget. Sesaat
kemudian ia melayang turun ke bawah.
Tiba di bawah di mana tempat air terjun itu, ternyata di
situ merupakan suatu tempat yang berpemandangan alam
sangat indah. Tempat sekitar air terjun yang sangat dalam, kini sudah
tidak tampak airnya. Air yang keluar memenuhi bagian
kolam tadi entah mengalir kemana" Tempat itu kini telah
berubah sebagai sumur tua yang sangat dalam.
Sekitar tempat itu gelap gulita, sulit baginya untuk turun
ke bawah, hanya air yang mengalir dari tempat itu, karena
ditimpa oleh sinar rembulan itu, tampak bagaikan kaca.
Touw Liong yang memiliki pandangan mata sangat
tajam, memusatkan perhatiannya untuk mencari keadaan di
bawah. Tiba-tiba, mata Touw Liong terbuka lebar, dan
mengawasi ke sebuah lubang yang letaknya di sebelah kiri
permukaan air. Pada saat itu, mengalirnya air sudah terhenti dan tidak


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

turun lagi. Touw Liong segera mengerti, pintu gua yang
lebarnya kira-kira 5 kaki itu pasti merupakan tempat keluar
dari air yang berada di dalam danau itu.
Ia lalu lompat turun ke tebing sana. Perasaan herannya
semakin tebal. Ia coba mencari sebatang rotan, lalu diikat
kepada sebuah pohon yang terdapat di tepi danau itu.
Dengan alat itu ia mulai merambat turun.
Di sekitar tempat itu tampak licin. Sudah tentu tidak
mudah untuk menanjak lagi. Di dalam danau itu hawanya
juga sangat dingin, hingga diam-diam Touw Liong berpikir,
apabila aku turun ke bawah, lalu di bagian atas orang ada
memotong rotan ini, bukankah aku nanti jadi terkurung di
dalam danau dan tidak bisa pulang lagi.
Ia juga telah merasakan, semakin turun ke bawah,
terpisahnya jadi semakin jauh, dengan lain perkataan,
danau itu ternyata keadaannya di bagian atas sempit dan
bawah luas, maka sekalipun seorang yang memiliki
kepandaian ilmu meringankan tubuh, apabila tidak ada
tambang atau rotan yang dapat digunakan untuk pegangan,
orang itu setelah jatuh ke bawah, sudah tentu tidak bisa
lompat naik lagi.
Apa yang dikhawatirkan oleh Touw Liong ternyata
benar-benar telah menjadi kenyataan.
Ketika Touw Liong baru turun ke tengahnya danau tadi,
di atas benar-benar telah terjadi sesuatu yang
membahayakan dirinya.
Telinganya waktu mendengar suara perlahan, dan rotan
yang ia pegang itu sudah diputuskan oleh tangan jahat!
Dengan demikian, Touw Liong jadi terjun ke dalam sambil
memegang sisa rotannya.
Di bagian bawah danau itu ternyata airnya tidak dalam,
hanya sebatas lutut saja. Setelah berada di bawah, Touw
Liong melongok ke atas. Di dekat pohon tadi, tampak
melongok ke bawah dua kepala manusia. Dua orang tadi
mengeluarkan suara tertawa dingin. Satu di antaranya
berkata dengan nada suara dingin pula,
"Bocah, kau boleh berdiam di bawah danau ini saja.
Untuk selanjutnya, kau jangan pikirkan bisa naik ke atas
lagi!" Bukan kepalang marahnya Touw Liong ketika
mendengar suara itu, ia berkata dengan nada suara gusar,
"Thian-sim imam biadab. Aku si orang she Touw
apabila berhasil naik ke atas lagi, terlebih dahulu aku
hendak mencari kau untuk membuat perhitungan!"
Dari atas terdengar pula suara tertawa, kemudian disusul
oleh kata-katanya,
"Jangan lupa masih ada Hud-ya!"
"Sudah tentu Pek-bie, kau si padri bangsat juga tidak
akan kulepaskan kau!"
"Kau boleh maki-maki sepuasmu. Bagaimanapun juga
kau toh tidak bisa keluar lagi dari sini," berkata Thian-sim
tojin, kemudian melemparkan dua buah batu ke arah Touw
Liong yang berada di bagian bawah.
Touw Liong mengelak dan lompat dari mulut gua yang
lebarnya hanya 5 kaki saja itu.
Batu itu terjatuh ke dalam air, hingga menimbulkan
suara, kemudian disusul oleh suara tertawa bangga dari
atas, dan dua kepala orang tadi telah menghilang dari situ.
Segala-galanya, seolah-olah sudah ditakdirkan oleh
Tuhan. Touw Liong seolah-olah sudah ditakdirkan harus
mati di situ. Ia waktu itu mulai bergidik, dalam hati berkata sendiri,
"Celaka. Apa bila dua manusia jahat itu tadi
mengalirkan air dari atas ke dalam danau, aku pasti akan
mati ..." Karena memikir akan ancaman maut itu, maka Touw
Liong lalu mulai berusaha untuk mencari jalan keluar,
sementara di dalam hatinya ia sudah bertekad, bahwa biar
bagaimanapun juga ia tidak boleh mati dengan begitu saja."
Ia mulai menenangkan pikirannya sendiri. Matanya
dicelingukkan ke daerah sekitarnya untuk mencari jalan
keluar. Ketika matanya tertuju ke atas gua, ada suatu
pemandangan aneh yang dilihatnya. Kiranya di bagian atas
gua itu terdapat sederet tulisan di atas batu. Tulisan itu
terdiri dari empat huruf yang berbunyi:
"Leng-coan-bit-hu."
Begitu empat huruf itu masuk ke mata Touw Liong,
jantungnya segera berdebaran keras. Sebab tempat itulah
justru merupakan tempat di mana menurut petunjuk empat
huruf ukiran di atas pedang, merupakan tempat yang
digunakan untuk menyimpan kitabnya ilmu pedang Hokmo-
kiam. Dengan adanya penemuan sekali ini, sesaat Touw Liong
malah tercengang. Kemudian bertanya-tanya kepada
dirinya sendiri,
"Di mana letaknya gua Hek-hong-tong?"
Sebab asal ia dapat menemukan gua itu, tak sulit baginya
untuk menemukan kitab ilmu pedang Hok-mo-kiam.
Tetapi, di manakah letak gua itu sebetulnya"
Perjalanannya ke gunung Hek-hong-san sebenarnya
sudah terpikir sejak lama sekali selagi Panji Wulung Wanita
tidak ada, dengan diam-diam ia berkunjung ke gunung itu,
dengan pengharapan dapat menemukan cara-cara untuk
menolong orang yang terkena serangan ilmu Hek-hong-imkang,
tetapi tak berhasil. Siapa duga, kini dengan
tindakannya yang tidak karuan juntrungannya, ternyata
sudah menemukan tempat yang digunakan untuk
menyimpan kitab ilmu pedang Hok-mo-kiam-hoat.
Touw Liong memperhatikan sejenak keadaan dalam
mulut gua itu, lalu memusatkan kekuatan tenaganya ke
tangan kanan untuk menggempur bagian atas yang terdapat
tulisan tadi. Gempuran itu berhasil. Empat huruf tadi ternyata tidak
meninggalkan bekas.
Di dalam gua keadaannya gelap gulita. Touw Liong
terpaksa harus meraba-raba untuk masuk ke dalam. Ia
buru-buru mengeluarkan korek api, dengan cepat
dinyalakan. Ia kini dapat melihat di dalamnya. Kira-kira
sejarak tiga tombak, tampak perubahan.
Kira-kira lima enam tombak di hadapannya, tampak ada
undak-undakan batu yang begitu banyak jumlahnya.
Undakan batu itu terus menurun ke dalam gua.
Kiranya gua yang lebar hanya kira-kira 5 tombak persegi,
di bagian dalamnya lebih sempit hanya seluas kira-kira 2
kaki saja. Tampaknya mulut gua yang sempit itu hanya
khusus untuk mengalirkan keluar air yang terjun dari atas.
Orang sudah tentu tidak mudah berjalan ke dalamnya.
Hanya tangga yang menurun ke bawah itu, tetap luasnya
lima kaki persegi.
Touw Liong berjalan ke tempat iut, dan mulai berjalan
mendaki tangga.
Ia juga tidak tahu berapa jauh sudah berjalan, hanya
dalam ingatannya saja kira-kira sudah menuruni dua ratus
undakan lebih. Di dinding gua sebelah depan ada terdapat
dua batang obor.
Touw Liong mengulur tangannya dan mengambil
sebatang, sedang sebatang yang lainnya tidak ditinggal,
melainkan ditenteng di tangan satunya. Ia melongok lebih
jauh ke depan. Tangga batu rupanya sudah habis sampai di
situ. Sebuah lorng buatan manusia setinggi tujuh kaki dan
selebar 3 kaki, tampak terbentang luas di depan matanya
menuju ke tempat jauh. Dari tempatnya ia tidak dapat
melihat ujung lorong itu di mana sebenarnya.
Hati Touw Liong yang sudah bertekad hendak
menyelidiki tempat tersebut, telah mengerti bahwa di
tempat terakhir lorong itu pasti terdapat benda apa-apa yang
aneh. Dengan membawa obor di tangan, ia berjalan maju lagi
ke depan. JILID 19 Baru ia berjalan kira-kira lima langkah, dan baru saja
kakinya menginjak jalanan baru itu, di belakang dirinya
tiba-tiba terdengar suatu suara yang bergemuruh. Touw
Liong terkejut. Waktu ia berpaling, tanpa terasa keringat
dinginnya telah mengucur deras. Sebab, jalan yang
dilaluinya tadi ternyata sudah tertutup!
Touw Liong mengulurkan tangannya meraba-raba
dinding batu yang menutup tangga tadi. Ia telah mencoba
mendorongnya dengan sekuat tenaga, tetapi dinding yang
menutup jalan tadi sedikitpun tidak bergeming.
Ia lalu menggunakan dua jari tangannya untuk
mengetuk-ngetuk. Dinding batu itu ternyata tebal sekali. Ia
nampak berpikir, lalu tertawa kecil dan berkata pada dirinya
sendiri. "Dinding ini kira-kira ada lima kaki tebalnya. Rasanya,
aku hanya bisa maju ke depan, tidak boleh mundur lagi.
Untuk selanjutnya, sedikit harapan bisa keluar dari tempat
ini." Saat itu matanya mencari-cari ke sekitar gua batu itu,
tetapi tidak menemukan pintu atau lubang untuk keluar.
Yang dapat ia gunakan untuk mendongkel batu besar itu
juga tidak ada.
Dengan sangat hati-hati Touw Liong maju terus sambil
membawa obor. Ia sendiri juga tidak tahu sudah berapa
jauh berjalan. Sampai obor yang pertama itu padam
sendiri, ia masih belum mengakhiri perjalanan.
Jalanan batu itu ada kalanya lurus lempang beberapa pal
jauhnya, tetapi kadang-kadang juga membelok ke kiri atau
ke kanan; ada pula jalanan mendaki ke atas, atau menurun
ke bawah. Pendek kata, di dalam jalanan bawah tanah itu ia sudah
berjalan kira-kira satu jam lamanya. Dua batang obor di
tangannya juga sudah padam, tapi untung dia sudah keluar
dari gua batu itu.
Di luar gua, kelihatan awan-awan di langit dengan
bintang-bintangnya yang bertaburan.
Ia coba-coba menghitung-hitung waktunya saat itu
barang kali sudah hampir jam tiga dekat pagi. Touw Liong
mendongakkan kepala dan menarik nafas, kemudian
menyedot hawa segar, barulah melepaskan pandangan
matanya ke keadaan di sekitarnya ....
Di sebelah kiri, tampak gumpalan awan. Suatu tempat
yang terbuka! Sebelah kanan, puncak-puncak gunung berderetan.
Tetapi puncak-puncak gunung itu semuanya seolah-olah
berada di bawah kakinya. Jadi tempat di mana ia berdiri
kini, adalah suatu tempat yang tertinggi di gunung Hekhong-
san itu! Tempat di mana Touw Liong berpijak, ternyata adalah
sebuah tempat yang penuh pohon cemara dan bunga-bunga
serta rumput halus, tempat itu cukup luas. Di samping
tanaman yang menghijau juga terdapat banyak batu yang
besar-besar dan aneh bentuknya.
Di belakang dirinya, air dari gunung mengalir turun ke
mulut gua, seolah-olah tirai sutera yang menutup pintu.
Tampaknya, tanah luas yang seperti kebun itu terletak di
atas puncak gunung yang tertinggi, dan puncak gunung itu
oleh karena begitu tingginya dengan jalan yang terjal dan
berbahaya sekali, sehingga tidak dapat didaki dengan
mudah. Kiranya satu-satunya jalan untuk dapat mencapai
tempat ini adalah cuma satu, yakni jalanan lorong batu
yang baru saja dilalui oleh Touw Liong.
Touw Liong coba menengok ke arah gua, tanpa dirasa
saat itu sekujur badannya gemetaran, sepasang matanya
terbuka lebar. Ia berdiri terpaku di tempat itu.
Apa yang dilihatnya"
Kiranya, di atas gua itu, ada terdapat tiga deretan hurufhuruf
besar yang rupanya karena sudah terlalu tua sehingga
nampak pudar, tetapi masih dapat terbaca,
"HEK HONG TONG" (tepat di tengah-tengah) !
Touw Liong kini menujukan pandangan matanya ke
dalam gua, kini telah menemukan pula suatu kejadian aneh.
Kiranya ketika ia tadi sedang mengagumi tempat yang
bagaikan kebun pohon cemara itu, di dalam gua sudah
terjadi suatu perubahan besar. Entah sejak kapan, sebuah
dinding telah menghalang di tengah-tengah gua itu. Gua
itu kini telah berubah menjadi sebuah gua buntuk yang
dalamnya lima tombak. Tetapi ada satu hal yang perlu
diceritakan, mulut gua itu sangat luas, barangkali ada dua
tombak persegi luasnya.
Keanehan bukan cuma pada itu saja. Touw Liong yang
kini sudah turun lagi ke dalam gua dengan obor di tangan,
di dalam gua itu, ternyata sudah ada meja kursi, komplet
dengan alat-alat rumah tangga lainnya, yang semuanya
terbuat daripada batu. Di samping itu, masih ada pula dua
buah lemari yang menempel di dinding.
Lemari di sebelah dinding kiri dalam keadaan sudah
terbuka, di dalamnya ada sinar perak berkilauan. Sebilah
pedang panjang yang sangat aneh bentuknya, terletak di
dalam lemari tersebut. Pedang itu seperti tidak asing lagi
bagi Touw Liong, sebab bentuk pedang itu justru sangat
mirip sekali dengan pedang Hok-mo-kiam milik Pek Thian
Hiong. Mata Touw Liong terbuka lebar, dengan tindakan
perlahan-lahan ia menghampiri. Selagi hendak
mengulurkan tangannya mengambil pedang itu, tiba-tiba
tampak sepotong kertas di bawah pedang. Kertas itu lalu
diambilnya, dan dibacanya di bawah penerangan api
obornya. Tulisan di atas kertas itu tampaknya sudah lama
sekali ditulis, huruf-hurufnya kecil-kecil dan ditulis dengan
singkat. Dalam baris pertama diterangkan bahwa pedang itu
pedang Hok-mo-kiam, pedang jenis jantan. Baris kedua
menerangkan riwayat dari pedang tersebut. Kiranya, orang
tua yang membuat sepasang pedang Hok-mo-kiam ini,
adalah kakek moyang Pek Thian Hiong, yang pernah
mendapat nama julukan Hok-mo Lojin, atau orang tua
penakluk iblis. Hok-mo Lojin dengan penghuni gua itu
adalah saudara seperguruan. Dua orang itu di dalam rimba


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan pada 200 tahun berselang, merupakan dua orang
kuat yang memiliki kepandaian sangat tinggi, yang
namanya pernah menggemparkan dunia persilatan.
Pada suatu hari, Hok-mo Lojin dengan sangat gembira
memberitahukan kepada suhengnya, ialah Hek-hong Lojin,
dikatakannya bahwa ia hendak membuat sepasang pedang
panjang yang sangat tajam.
Suhengnya di waktu itu sudah tentu menyetujui
kehendak sutenya, bahkan memberitahukan kepadanya,
apabila pedang itu sudah jagi dibuat, sang suheng akan
menciptakan suatu ilmu pedang yang akan diberi nama
Hok-mo-kiam-hoat.
Kedua suheng dan sute itu setelah berunding masakmasak,
lantas mulai dengan rencana mereka. Satu orang
membuat pedang dan yang lain mulai melatih ilmu pedang
yang baru itu. Dalam waktu beberapa puluh tahun lamanya, mereka
hampir menggunakan waktu dan tenaganya, Hok-mo Lojin
berhasil membuat sepasang pedang pusaka. Ia berikan
sebilah pedang yang dinamakan Hok-mo kiam yang jantang
kepada Hek-hong Lojin, dan yang betina dipakainya
sendiri. Sementara itu ilmu pedang Hok-mo-kiam-hoat
yang diciptakan oleh Hek-hong Lojin juga sudah berhasil,
tetapi ia tidak membawa pergi hanya di atas pedang betina
itu dibuatnya suatu tanda sebagai peringatan.
Akan tetapi, setelah pedang itu jadi, ia merasa sangat
menyesal. Sebab di antara murid-murid mereka, tiada
seorangpun yang cocok untuk memakai pedang itu.
Sebab, pedang pusaka yang luar biasa itu apabila orang
yang membawanya tidak jujur atau berhati serong, atau
kepribadiannya tidak baik dan tidak memiliki kepandaian
ilmu sangat tinggi, tidak sesuai untuk membawa-bawa
pedang pusaka yang dianggap barang yang sangat sakti itu.
Bila terpaksa juga dibawanya, bisa membawa bencana
kematian bagi dirinya. Ia mengerti benar tentang ini,
kebetulan waktu itu dalam dunia kangouw muncul 8 iblis
yang sangat lihay, mereka telah mengacau rimba persilatan
demikian hebat, sehingga menimbulkan suasana tidak
aman. Waktu itu, oleh karena ia sendiri usianya sudah
lanjut bahkan karena dalam hidupnya telah memusatkan
semua pikiran tenaga dan waktu untuk membuat pedang
itu, maka meskipun ia ada pikiran hendak membasmi 8 iblis
itu, namun tidak mempunyai tenaga untuk melaksanakan
cita-citanya. Oleh karena mengingat apabila pedang pusaka itu
terjatuh di tangan salah satu di antara delapan iblis itu bisa
membahayakan rimba persilatan, maka setelah dipikirnya
bolak-balik, jalan yang sebaik-baiknya ialah untuk mencari
tokoh kuat dari golongan kebenaran dan dapat dipercaya.
Pedang itu akan diserahkan kepadanya dan minta supaya
diselesaikan cita-citanya untuk membasmi 8 iblis itu.
Waktu itu, seorang pendekar yang mempunyai nama
julukan Thian-lam tayhiap bernama Cukat Ciam, namanya
sudah sangat kesohor di seluruh daerah selatan.
Kepandaian ilmu silatnya sangat tinggi. Justru yang dipuji
oleh Hok-mo Lojin.
Hok-mo Lojin memberitahukan kepada Cu-kat Ciam
kewajiban dan tugas apa yang harus dilakukan, tetapi belum
diberitahukan bahwa pedang itu masih ada rahasia lain,
dengan lain perkataan, untuk selamanya Cu-kat Ciam tidak
akan mendapatkan kitab ilmu pedang dari pedang pusaka
tersebut. Hok-mo Lojin masih menaruh sedikit pengharapan
bahwa di antara anak muridnya sendiri, satu hari kelak bisa
mendapatkan kembali pedangnya yang diserahkan kepada
Cu-kat Ciam itu, lalu menurut petunjuk yang
disembunyikan di atas pedang tersebut, dapat pula dicari
dengan petunjuk rahasia, tempat itu adalah gua Hek-hongtong
di atas gunung Hek-hong-san itu. Maka sebelum ia
menutup mata, ia telah memberitahukan kepada muridmuridnya,
bahwa pedangnya telah tercuri di tengah jalan,
tetapi pedang itu supaya dicarinya kembali dan untuk
mengenalinya, supaya diperiksa rahasia di atas pedang
tersebut. Ia berbuat demikian, sudah tentu ada alasannya. Ia tahu
murid-muridnya sendiri setelah ia sendiri menutup mata,
apabila pada suatu hari mereka dapat menemukan Thianlam
tayhiap Cu-kat Ciam, sudah tentu Cu-kat Ciam tidak
akan mengembalikan pedang kepada mereka, dan mungkin
bisa membantu mereka untuk mencari kitab ilmu
pedangnya. Tidak demikian dengan Hek-hong Lojin. Jago tua ini
dengan susah payah membuat tempat persembunyiannya di
gua Hek-hong-tong yang letaknya di bawah air mancur.
Dan di situlah ia mengubur dirinya hingga menutup mata.
Dia juga ada memungut seorang murid, tetapi murid itu
tidak baik kelakuannya, sesudah berhasil mendapat warisan
gurunya ilmu Hek-hong-hian-kang telah berlalu dengan
diam-diam dan selanjutnya tidak pernah datang ke gunung
Hek-hong-san lagi.
Hek-hong Lojin mencari muridnya itu beberapa tahun
lamanya, tetapi tidak berhasil menemukannya. Karena rasa
kecewa, barulah membuat tempat kediaman yang
dirahasiakan itu.
Setelah ia menutup mata, pedang Hok-mo-kiam yang
jantan dan kitab ilmu pedangnya juga berada di dalam gua,
selama 200 tahun, belum pernah muncul di dunia.
Tak disangka-sangka Touw Liong pada hari itu dengan
secara tidak terduga-duga telah tiba dan masuk ke tempat
tersebut, hingga mendapatkan pedang Hok-mo-kiam yang
jantan. Di baris ketiga ditulis beberapa peraturan seperti berikut:
Pertama ialah: Barang siapa yang mendapatkan pedang
pusaka itu, harus tanya kepada diri sendiri, apakah kiranya
sanggup dengan pedang pusaka itu untuk melakukan
perbuatan baik guna kepentingan rimba persilatan" Orang
yang mendapatkan pedang itu dipersilahkan duduk di atas
bangku batu selama satu jam, untuk memikirkan masakmasak,
setelah dipikirnya baik-baik, maka boleh mengambil
kitab ilmu pedangnya di dalam lemari lain.
Kedua ialah: Murid Hek-hong Lojin itu berkelakuan
tidak baik. Di kemudian hari, mungkin akan
membahayakan masyarakat, maka dari itu, barang siapa
yang mendapatkan pedang tersebut, harus berusaha untuk
mencegah agar murid itu tidak melakukan kejahatan yang
bisa membahayakan nasib orang banyak.
Ketiga, ilmu Hek-hong-hian-kang sudah merupakan ilmu
yang tidak ada tandingan dalam dunia, apabila tidak
beruntung kitab ilmu tersebut terjatuh di tangan seorang
wanita, maka wanita yang melatih ilmu itu, Hek-hong-hiankang
akan berubah menjadi ilmu Hek-hong-im-kang, yang
mengandung hawa sangat dingin. Barang siapa yang
terkena serangan ilmu Hek-hong-im-kang, sudah tidak ada
obatnya untuk memunahkan. Maka dari itu, harus berjagajaga
dan mencegah agar ilmu Hek-hong-hian-kang ini
jangan sampai diturunkan kepada seorang wanita.
Keempat, ialah: Barang siapa yang mendapatkan pedang
Hok-mo kiam jantan ini, tidak boleh melakukan tindakan
keras terhadap anak murid golongan Hek-hong.
Touw Liong setelah membaca habis tulisan-tulisan di
atas kertas itu, dengan langkah lesu berjalan ke bangku batu
untuk duduk. Dengan bertopang dagu ia duduk sambil
berpikir. Ia pikir: mendapatkan kitab ilmu pedang dan pedang
Hok-mo-kiam ini apa faedahnya" Aku sudah terkena
serangan ilmu Hek-hong-im-kang. Menurut keterangan
dalam tulisan ini, di kolong langit ini, sudah tidak ada obat
lain yang dapat memunahkannya. Hari ini, yah hari ini asal
lewat tengah hari, begitu racun dingin itu bekerja,
kepandaian ilmu silatku perlahan-lahan akan lenyap,
beberapa jam kemudian seluruh ilmu kepandaianku akan
musnah.... Lemari yang lain sedikitpun tidak dihiraukan lagi. Ia
hanya duduk sambil berpikir. Suasana dalam gua itu sunyi
sekali. Di luar gua, angin gunung meniup santer hingga daundaun
cemara pada jatuh beterbangan.
Dalam gua, terdengar menggericiknya air mancur. Air
yang menetes dari lubang gua, setetes demi setetes mengalir
turun. Tempat di mana air itu jatuh menjadi sebuah lubang
semacam mangkok, hingga menimbulkan suara bagaikan
irama musik. Entah dari mana datangnya perasaan Touw Liong, tibatiba
ia mengangkat mangkok batu yang berisi tetesan air
dari lubang gua tadi, lalu diminumnya hingga kering. Aneh
bin ajaib! Setelah minum air dingin itu, semangatnya
dirasakan terbangun, pikirannya mendadak menjadi jernih,
dalam otaknya segera timbul suatu pikiran, tetapi kemudian
ia menggeleng-gelengkan kepala membantahnya sendiri:
Tidak benar, tidak benar! Jikalau orang yang terkena
serangan ilmu Hek-hong-im-kang itu bisa tertolong, apa
sebabnya Panji Wulung Wanita itu suruh aku hari ini
datang mencari dia" Jikalau aku mau menjadi muridnya, ia
baru bersedia menghilangkan racun dingin dalam tubuhku.
Touw Liong telah menarik kesimpulan. Panji Wulung
Wanita itu adalah salah seorang murid dari golongan Hekhong
bun, dan kalau begitu ilmu Hek-hong-im-kang juga
masih bisa tertolong.
Tetapi siapakah yang dapat menolong" Panji Wulung
Wanita sudah tentu bisa. Pek Thian Hiong yang
mempelajari ilmu gaib dari cerita adalah pendekar tersebut,
dengan demikian, pedang pusaka itu jadi diserahkan
kepadanya. Tetapi sayang! Sungguhpun Pek Thian Hiong harus
menunggu hingga ia dapat memahami irama dalam kecapi
kuno itu baru dapat digunakan.
Sudah tentu selamanya tidak akan memberitahukan di
mana adanya pedang pusaka itu berada.
Ini benar-benar merupakan suatu yang tidak mudah
dijawab. Lama Touw Liong berpikir, tiba-tiba ia angkat kepala
memandang gumpalan awan di luar gua, kemudian berkata
kepada dirinya sendiri,
"Tay-lo-kim-kong-sim-kang adalah ilmu tertinggi dari
golongan kaum Budha. ..... kang juga merupakan ilmu
terampuh dalam golongan Hian-bun, dua jenis ilmu itu
sekarang berada dalam tubuhku seorang, selain itu, aku
bahkan dapat menggunakan ilmu batin Liang-gi-sin-hoat,
kalau semua ilmu itu aku gunakan baik-baik, boleh dikata
di dalam kolong langit ini tiada seorang yang sanggup
menghadapi aku, tetapi mengapa, ya mengapa aku tidak
sanggup menghilangkan ilmu Hek-hong-im-kang di dalam
tubuhku?" Kemudian ia berpikir lagi: Apabila racun dari Hek-hongim-
kang itu bisa menyusup ke dalam urat-urat tubuhku, aku
percaya dengan kedua jenis ilmuku itu, asal aku sekaligus
juga menggunakan ilmu batin Liang-gie-sin-hoat, betapa
pun berat racun yang ada di dalam tubuhku, juga dapat
dipunahkan. Dengan timbulnya pikiran semacam itu, membuat Touw
Liong buru-buru bersemedi untuk memeriksa sendiri setiap
bagian jalan darahnya.
Begitu ia habis bersemedi, ternyata seluruh bagian
darahnya tidak terdapat gangguan apa-apa dan ia juga tidak
merasakan bahwa racun dalam tubuhnya masih belum
bekerja, hingga diam-diam ia merasa girang, karena
waktunya masih ada, maka ia pikir apabila ia sembuhkan
dengan caranya tadi, mungkin masih bisa tertolong.
Ia lalu duduk bersemedi menurut ajaran ilmu batin
Liang-gie-sin-hoat. Ia mulai memusatkan pikirannya untuk
mengusir segala godaaan.
Bab 50 ENTAH berapa lama Touw Liong duduk bersemedi,
berusaha mengusir racun Hek-hong-im-kang dari dalam
tubuhnya. Tatkala ia mendusin dan membuka mata, hari
sudah terang. Keadaan udara di luar gua sangat cerah,
deretan gunung di tempat jauh dan pohon-pohon di
sekitarnya tampak dengan nyata merupakan suatu
pemadangan alam yang begitu indah menawan hati.
Ia merasakan badannya sudah segar kembali. Ketika ia
mencoba menjalankan pernafasannya, ternyata sedikitpun
tidak mendapatkan gangguan apa-apa hingga ia tahu bahwa
usahanya telah berhasil!
Mengusir racun dalam tubuhnya dengan ilmu batin
Liang-gie-sin-hoat, telah berhasil dengan gilang-gemilang!
Racun Hek-hong-im-tok yang dikatakan oleh Panji Wulung
Wanita tiada orang yang dapat menyembuhkan, kini
ternyata sudah dibasmi olehnya. Saat itu ia benar-benar
sudah mendapat kesan demikian.
Walaupun racun itu masih belum bersih seluruhnya
tetapi setidak-tidaknya juga sudah hilang sebagian besar.
Ia merasa sangat gembira, lalu bangkit dan berpaling
mengawasi lemari dinding tembok. Sinar perak
berkilauanlah yang pertama-tama masuk ke dalam
matanya. Sementara pedang Hok-mo-kiam yang jantan,
masih terletak di tempatnya semula.
Touw Liong berjalan menghampiri, lalu mengulurkan
tangannya mengambil pedang tersebut. Lama ia
memandangnya dan menggosok-gosoknya lalu
menundukkan kepala mengawasi sepotong kertas yang ada
tulisannya: "peninggalan Hek-hong Lojin", kembali ia
membaca bagian yang ketiga, bagian itu ditulis : Barang
siapa yang mendapatkan pedang Hok-mo-kiam jantan,
harus berpikir dengan tenang selama satu jam, kemudian
pergi ke lemari dinding yang lain untuk mengambil kitab
pedangnya Hok-mo-kiam.
Kini hati Touw Liong telah bergerak. Pikirnya : Kitab
ilmu pedang ini seharusnya menjadi milik Pek Thian Hiong
dan puterinya, dan lagi, aku sudah berjanji dengan mereka
untuk membawanya untuk mengembalikan kepadanya...


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perlahan-lahan ia palingkan kepalanya, untuk
memandang kearah lemari yang lain.
Semul ia tidak mempunyai pikiran apa-apa, tetapi kali
ini, setelah pandangan matanya tertuju ke dalam lemari itu,
sekalipun ia seorang pemberani, saat itu juga dikejutkan
oleh pemandangan di hadapan matanya, hingga hampir
lompat menyingkir dan menarik nafas.
Kiranya lemari dinding yang berada di hadapannya itu
kini telah terbuka lebar-lebar, di dalam lemari batu yang
luasnya kira-kira hanya tiga kaki persegi itu tampak sinar
perak berkilauan. Di dalam lemari itu terdapat
perlengkapan 100 batang lebih anak panah pendek yang
memancarkan sinar berkilauan.
Setiap ujung anak panah itu tertuju kepada Touw Liong,
hingga untuk sesaat Touw Liong agak kelabakan tidak
berani menggeser kakinya. Ia berdiri terpaku, sedikitpun
tidak berani bergerak. Diam-diam ia telah mengerahkan
ilmunya Tay-lo-kim-kong-sian-kang ke sekujur tubuhnya
untuk melindungi jalan darahnya, menjaga-jaga apabila
anak panah itu tertuju kepada dirinya.
Sepasang matanya terus ditujukan kepada anak panah
itu, sementara dalam hatinya memikirkan dengan cara
bagaimana menyingkirkan ancaman itu"
Kapankah pintu lemari itu terbuka"
Apakah pintu lemari itu baru saja terbukanya"
Tetapi rasanya tidak benarlah demikian, sebab ia sendiri
yang memiliki daya pendengaran sangat tajam, dengan cara
bagaimana tidak mendengar suara pintu lemari itu terbuka"
Kalau begitu, pintu itu pasti terbuka tatkala ia sedang
duduk bersemedi untuk mengusir racun dari dalam
tubuhnya. Kalau benar lemari dinding itu bisa terbuka sendiri, dan
ratusan batang anak panah itu juga ditujukan kepadanya,
mengapa anak panah itu tidak dilepaskan"
Apakah oleh karena terlalu lama di dalam situ hingga
pesawatnya sudah tidak bisa berjalan lancar lagi"
Ataukah ...."
Bagaimanapun juga Touw Liong tidak dapat menduga
sebab-sebabnya. Ia terus berdiri memandangnya tanpa
berani bergerak. Ia mengerti, pada saat dan tempat seperti
itu, tidak boleh berlaku gegabah. Ia tahu bahwa dalam gua
Hek-hong-tong itu mungkin terdapat banyak perlengkapan
pesawat rahasia, apabila kurang hati-hati atau agak
gegabah, mungkin bisa menjadi sasaran anak panah itu.
Kalau benar demikian halnya, ini bisa menimbulkan
suatu akibat yang akan membawa penyesalan seumur
hidup. Ia sedikitpun tidak berani berlaku gegabah. Pandangan
matanya kembali ditujukan kepada tulisan di atas sepotong
kertas peninggalan Hek-hong Lojin untuk membaca barisan
yang lain yang berbunyi :
"Orang yang mendapatkan pedang, harus duduk tenang
selama satu jam, pikirkan dulu baik-baik dapatkah dengan
pedang itu di kemudian hari melakukan pebuatan baik bagi
kepentingan dunia kangouw" Apabila sudah dipikir masakmasak,
satu jam kemudian boleh datang ke lemari dinding
yang lain. Touw Liong masih mengerutkan alisnya dan bertanyatanya
kepada dirinya sendiri : Mengapa harus tunggu satu
jam kemudian"
Apakah dengan waktu setengah jam tidak cukup juga ..."
Dipikirnya soal itu bolak-balik, perlahan-lahan mulai
sadar, ia telah membuat suatu analisa demikian :
Pedang dengan anak panah itu ada hubungannya satu
sama lain. Panah pendek itu sedikitpun belum kehilangan
khasiatnya. Sewaktu orang menggeser gagang pedang yang
di dalam lemari lain, satu jam kemudian, lemari yang
diperlengkapi dengan anak panah itu terbuka sendiri, dan
anak panah di dalamnya juga dengan sendirinya tidak
berguna lagi, karena tidak bisa bergerak untuk melukai
orang. Apabila orang yang mendapatkan pedang itu tidak sabar
buat menunggu satu jam, lalu berjalan dan membuka pintu
lemaari, maka akibatnya pasti hebat. Sebab begitu pintu
lemari itu terbuka, anak panah yang berada di dalamnya
segera akan melesat keluar dan orang yang membuka
lemari itu sudah tentu akan menjadi sasaran anak-anak
panah. Setelah mengadakan analisa demikian, pikiran Touw
Liong agak lega sedikit. Dengan sangat hati-hati ia
mencoba berjalan mendekati.
Setiap maju selangkah, hatinya bergoncang semakin
Pendekar Sadis 6 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Amanat Marga 4
^