Panji Wulung 6

Panji Wulung Karya Opa Bagian 6


kemudian bertanya:
"Mengapa siangkong kembali?"
Touw Liong menggapai kepada orang tua itu, lalu
memberikan bambu dan daun bambu yang telah ditulisnya
tadi seraya berkata:
"Tolong bapak sampaikan kepada tuan Kang, suruh ia
berusaha memberitahukan kepada Ko Hong, jikalau berani
menimbulkan onar di perkampungan Hui-liong-chung, aku
si orang she Touw nanti akan minta pertanggungan jawab
kepada tuan Kang."
Kakek tua itu menyambuti bambu dan daun bambu,
setelah itu Touw Liong mengucapkan terima kasih
kepadanya dan berjalan balik menuju ke tepi sungai.
Dengan alis berdiri, ia berkata kepada diri sendiri:
"Sebaiknya aku segera berangkat ke gunung Tiam-congsan."
Bab 22 Dari kota Lok Yang, Touw Liong mengambil jalan
menuju ke kota Lam-yang, setelah melalui kota King-siang,
kemudian lalu membelok menuju ke barat.
Sepanjang jalan, hampir tidak ada waktu untuk
beristirahat, tetapi ia masih tidak berhasil mengejar gadis
baju kuning dari perkampungan Pak-bong-san.
Hari itu cuaca cerah, perahu besar yang ditumpangi
Touw Liong melalui tiga selat di bawah kaki bukit Bu-san,
lalu tiba di pelabuhan Hong-ciat.
Hong-ciat merupakan satu kota pelabuhan yang cukup
besar, di kota itu terdapat manusia berbagai golongan dan
berbagai tingkat, tukang perahu berkata, bahwa perahunya
harus berhenti di pelabuhan itu untuk menunggu muatan
barang, kira-kira satu hari lagi baru bisa diberangkatkan.
Penumpang dalam perahu itu tidak banyak kira-kira
sepuluh orang lebih, karena masih ada waktu satu hari,
siapapun tidak mau berdiam di dalam perahu, maka
masing-masing naik ke darat dan memasuki kota pelabuhan
untuk pesiar. Touw Liong juga terdapat di antara orang-orang itu;
mulai masuk ke dalam kota. Di sebelah barat bagian kota
yang dekat sungai ada sebuah rumah minum yang bernama
Sam-gi-yan, rumah minum itu kabarnya merupakan satusatunya
rumah minum arak yang sangat terkenal di daerah
itu. Rumah minum itu bukan saja terkenal dengan araknya,
tetapi terkenal pula dengan masakannya, Touw Liong tidak
gemar minuman arak, tetapi oleh karena rumah minum itu
merupakan suatu rumah minum yang terkenal, maka ia
tidak mau lewatkan kesempatan begitu saja.
Masuk di dalam rumah minum itu, ia mencari tempat
duduk yang dekat dengan permukaan sungai, di sebelah
tempat duduknya dua laki-laki sedang bercakap-cakap
dengan suara perlahan, tetapi yang satunya lagi suaranya
bukan saja keras, tapi juga agak serak.
Dua orang itu semua membicarakan orang-orang di
jaman Sam-Kok, katanya Kwan Kong yang segagah itu
oleh karena terkepung di gunung Lu-san sehingga hatinya
merasa cemas dan kemudian jatuh sakit di kota Hong-ciat
bahkan mati di tempat itu. Tapi kemudian orang yang
suaranya serak tadi tiba-tiba berkata: "Kota Hong-ciat
merupakan kota bersejarah, di sini pernah ditanam jenasah
Lao Pie, raja dari jaman Sam-Kok, aku heran, mengapa
sancu kita tidak memilih tempat di kota ini untuk
pertemuan besar, sebaliknya memilih tempat gunung Lusan?"
Touw Liong yang mendengar perkataan "sancu" hatinya
tergerak. Ia berpaling mengawasi kepada dua orang yang
sedang asyik berbicara itu. Dua laki-laki yang sedang asyik
bicara tadi, dari wajah mereka menunjukkan sudah mulai
agak mabuk, terutama orang yang suaranya serak dan kasar
tadi otot-ototnya pada menonjol dan bergerak-gerak
sehingga tampak sikapnya yang sangat lucu. Kawannya
yang bermuka merah terdengar berkata: "Danau Siao-thianti
di gunung Lu-san merupakan suatu tempat yang
mempunyai pemandangan alam sangat indah, sudah tentu
sancu kita memilih tempat itu untuk mengadakan
pertemuan."
Sang kawan yang suaranya serak itu berkata: "Kita
orang-orang Sucwan memiliki gunung Ngo-li-san yang
puncaknya sangat terkenal juga indahnya, rasanya tidak
kalah dengan danau Siao-thian-ti."
Kawannya yang bermuka merah itu agaknya tidak mau
bertengkar dengan kawannya, maka mengalihkan
permbicaraannya ke lain soal, ia berkata dengan suara
pelahan: "Apakah benar, sancu kalian kali ini mengirim surat
undangan" Kabarnya sangat luas sekali, hampir setiap
orang yang terkenal dalam rimba persilatan tidak ada satu
yang tidak diundang?"
Kawannya yang bersuara serak tadi mukanya
celingukan, kemudian berkata dengan suara yang agak
pelahan: "Belum dapat dikatakan luas, umpama kata, Kiuhwa
Lojin dari gunung Kiu-hwa-san, tidak dapat
undangan."
Touw Liong yang mendengar perkataan ini, sikapnya
berubah seketika, namun ia berusaha untuk mengendalikan
perasaannya. Karena ia tahu, bahwa Kiu-hwa Lojin di dalam rimba
persilatan merupakan seorang yang sangat terkenal tinggi
kedudukannya ia sungguh tidak menyangka bahwa ada
orang yang hendak mengadakan pertemuan besar, sudah
mengeluarkan suatu undangan, tetapi tidak mengundang
suhunya. Berapa kali ia ingin berdiri untuk menanyakan
keterangan kepada orang itu, tetapi akhirnya ia kembalikan
dirinya untuk bersabar.
Orang yang bermuka merah itu dengan suara berbisikbisik
bertanya pada kawannya: "Kenapa?"
Sang kawan yang suaranya serak tadi menunjukkan
tertawanya yang misteri, kemudian berkata: "Tidak apaapa,
hanya karena Kiu-hwa Lojin pada tiga puluh tahun
berselang pernah mengeluarkan perkataan bahwa ia tidak
akan terjun ke dunia Kang-ouw lagi ...."
Touw Liong menarik napas lega, lelaki bermuka merah
agaknya tidak setuju atas perkataan kawannya tadi, maka ia
memotong dan berkata: "Kiu-hwa juga merupakan suatu
partai besar dan ternama, pertemuan besar semacam ini,
meskipun Kiu-hwa Lojin tidak bisa datang sendiri, setidaktidaknya
juga harus mengirim anak buahnya untuk hadir,
sancumu agaknya tidak pantas kalau mengabaikan hak-hak
mereka itu."
Touw Liong sementara itu bertanya-tanya kepada diri
sendiri. "Pertemuan apakah yang akan diadakan oleh
sancu itu?"
Sementara itu terdengar pula suaranya orang yang
suaranya serak tadi. "Sudah tentu, sudah tentu sancu kita
mencari jalan untuk memperbaikinya, sekalipun
undangannya tidak disampaikan langsung kepada Kiu-hwa
Lojin, tetapi kepada anak muridnya juga diberikan sebuah
undangan!"
Kawannya yang bermuka merah menggeleng-gelengkan
kepala, kemudian berkata:
"Tindakan ini agaknya kurang tepat, juga agak aneh, aku
sesungguhnya tidak setuju."
Kawannya yang bersuara serak tadi berkata: "Justru
karena surat undangan itu yang menyulitkan diriku, di
dunia yang sangat luas ini kemana aku harus mencarinya?"
"Mencari siapa?"" demikian kawannya yang bermuka
merah tadi bertanya.
"Mencari muridnya yang bernama Touw Liong."
Touw Liong yang mendengar kata-kata orang itu, karena
tadi merasa terhina, sehingga agak marah, dari mulutnya
mengeluarkan suara gerutuan.
Dua laki-laki yang bercakap-cakap tadi ketika mendengar
suara gerutuan Touw Liong lantas berhenti bicara, dengan
serentak berpaling memandang kepada Touw Liong.
Touw Liong mengerti, bahwa pada tempat dan saat
seperti itu, ia tidak boleh bertengkar dengan dua orang itu,
karena ia masih perlu mendengar percakapan selanjutnya
dua orang itu, dan selain daripada itu, karena pembicaraan
dua orang itu dilakukan sangat pelahan dan hanya dari lakilaki
yang suaranya serak itu yang bisa didengar olehnya, ia
mengharap dari mulut orang itu dapat keterangan lebih
jauh, maka ia tetap berlaku sabar.
Sebelum dua orang tadi memandang ke arahnya, ia buruburu
alihkan pandangannya keluar jendela.
Dua laki-laki tadi ketika melihat sikap Touw Liong yang
agaknya tidak menghiraukan pembicaraan mereka, lalu
melanjutkan percakapannya.
Orang yang bermuka merah itu berkata: "laote! Biarlah
saja kalau tidak menemukan orang she Touw itu, kau
antarkan saja undangannya ke gunung Kiu-hwa ...."
Orang yang suaranya serak itu menjawab dengan tegas:
"Tidak bisa! Itu tidak boleh! Sancu muda kita telah
memberi pesan wanti-wanti minta aku sampaikan sendiri
kepada orang she Touw itu."
"Oo ....!" demikian sang kawan yang bermuka merah itu
menyahut sambil mengangguk-anggukkan kepala, agaknya
merasa simpati terhadap tindakan kawannya.
Sementara itu wajah Touw Liong berkali-kali berubah,
tangannya memegang cawan arak, namun otaknya bekerja,
ia sedang memikirkan dengan jalan bagaimana untuk
mengambil surat undangan dari orang itu.
Ia tidak suka mengagungkan dirinya, juga tidak suka
merampas dengan menggunakan kekerasan, ia pun tidak
mau mencuri secara menggelap, satu-satunya cara ialah
mengambil dengan terus-terang, namun dengan memakai
akal, tetapi pakai apa" Bagaimana supaya dapat
mengambilnya tanpa disadari oleh orang lain, juga janga
sampai orang itu mengetahui kalau ia yang mengambil.
Pada saat itu, ia sudah menduga pasti bahwa sancu yang
dimaksudkan oleh orang yang suaranya serak dan keras itu
pasti adalah sancu dari gunung Cit-phoa-san, Pek Thian
Hiong. Ia tujukan pandangan matanya ke permukaan air sungai,
mengawasi bergulungnya ombak air sungai, tiba-tiba
alisnya berdiri, dalam otaknya menemukan suatu akal,
sambil menepuk-nepuk jidatnya sendiri ia berkata: "Orang
itu tadi mengeluarkan kata-kata yang kurang ajar,
seharusnya diberikan sedikit hajaran."
Ini bukan menunjukkan Touw Liong berjiwa sempit,
sebetulnya nama Touw Liong yang sudah dikenal di
seluruh rimba persilatan, tidak seharusnya orang itu
menggunakan kata-kata yang tidak sopan terhadapnya.
Ia alihkan pandangan matanya kepada dua laki-laki tadi,
yang saat itu masih bercakap-cakap dengan asyiknya,
tampaknya, dalam waktu singkat tidak akan berlalu dari
tempat itu, maka ia segera bangkit dari tempat duduknya
dan berjalan menuju ke meja kasir.
Touw Liong minta disediakan kertas dan alat tulis,
kemudian menulis di atas kertas:
"Undangan sudah kuterima, kata-katamu tadi kurang sopan,
seharusnya kuberi peringatan. Kepada sancu muda,
Tertanda, Touw Liong"
Setelah menulis sampulnya, ia masukkan surat itu ke
dalam sampul itu, lalu ditutup rapat-rapat, di muka sampul
dialamatkan kepada Sancu Muda dari gunung Cit-phoasan,
sedang di bawahnya ditulis namanya sendiri.
Sehabis melakukan pekerjaannya itu, ia masukkan surat
ke dalam sakunya, lalu kembali lagi ke tempat duduknya
semula, dan dengan seenaknya minum lagi araknya.
Sementara itu, matanya sebentar-sebentar memandang
ke arah dua laki-laki di dekat mejanya, kini tampak olehnya
muka dua orang itu tambah merah, saat itu sudah tidak
memperbincangkan urusan surat undangan itu lagi,
sebaliknya mereka membicarakan persoalan rimba
persilatan. Touw Liong anggap saatnya sudah tiba, dengan tenang
ia bangkit lagi, lalu menjura kepada lelaki yang suaranya
serak dan kasar, seraya berkata:
"Apakah saudara berasal dari Propinsi Sucoan?"
Lelaki yang ditegur itu tampak tercengang, kemudian
menjawab. "Benar, saudara ada keperluan apa?"
"Aku telah mengganggu kesenangan saudara berdua,
lebih dulu minta maaf sebesar-besarnya, aku hendak minta
keterangan tentang suatu tempat, harap saudara ...."
"Tidak apa, asal aku tahu, aku pasti akan memberitahu
kepadamu, katakanlah segera."
Touw Liong membungkukkan badan mengucapkan
terima kasih lagi, akhirnya berkata pula:
"Aku hendak numpang tanya. Kemana jalannya yang
menuju ke gunung Cit-phoa-san?"
"Gunung Cit-phoa-san?" berkata laki-laki itu, matanya
berputaran mengawasi Touw Liong, kemudian ia balas
bertanya dengan perasaan terheran-heran.
"Saudara hendak mencari siapa di gunung Cit-phoasan?"
"Siaote hanya membawa tugas untuk mengantarkan
surat ke gunung Cit-phoa-san."
Laki-laki itu semakin terkejut, ia bertanya pula.
"Saudara datang dari mana?"
"Dari gunung Kiu-hwa-san."
"Gunung Kiu-hwa-san?"
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala.
Lelaki itu pelahan-lahan bangkit dari tempat duduknya,
dengan sikap baik, balik bertanya:
"Saudara mendapat perintah dari siapa?"
"Dari seorang pendekar yang namanya sangat terkenal
pada dewasa ini ...."
"Apakah pendekar itu Touw tayhiap?"
Touw Liong kembali mengangguk-anggukkan kepala.
Napas laki-laki itu mendadak sesak, lalu bertanya dengan
suara gemetaran:
"Surat itu ditujukan kepada siapa?"


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Touw Liong memandang kanan kirinya sejenak, dengan
pura-pura berlaku misterius telunjuk jari tangan kanannya
menuding. Lelaki itu memandang sekilas sampul yang berada di
tangan Touw Liong, ia lalu membacanya dengan suara
pelahan: "Sancu muda?"
"Ya...." menjawab Touw Liong dengan pelahan,
"Saudara bicara harus hati-hati sedikit."
"Ha ...." tertawa laki-laki itu, matanya dibuka lebar dan
berkata pula. "Kedatangan saudara sangat kebetulan, bolehkah aku
bertanya, saudara ada hubungan apa dengan Touw
tayhiap?" "Saudara seperguruan," menjawab Touw Liong dengan
suara pelahan. "Ai ...!!" berseru laki-laki itu sambil menyoja, "Boleh aku
numpang tanya nama saudara yang mulia?"
"Kim Yan!" menjawab Touw Liong dengan
menggunakan nama adik seperguruannya.
"Kim Yan .... Oh! Benar! Menurut keterangan sancu
muda, murid golongan Kiu-hwa ada salah satu yang
bernama Kim Yan."
Kembali lelaki itu memandang Touw Liong dari atas
sampai ke bawah, kemudian mengulurkan tangan sambil
berkata pula: "Saudara Kim, bolehkah aku lihat sebentar surat itu?"
"Tidak boleh! Suheng telah pesan berwanti-wanti,
jikalau tidak bertemu sendiri dengan sancu muda, surat ini
harus kubawa kembali," menjawab Touw Liong sambil
mengeleng-gelengkan kepala.
"Begitu penting?" tanya lelaki itu sambil mengerutkan
alisnya. Touw Liong kembali mengangguk-anggukkan kepala.
Lelaki itu celingukan mengawasi keadaan di sekitarnya,
tampak olehnya di salah satu ruangan keadaannya agak
sepi, di situ tidak terdapat seorangpun juga, maka lalu
memberi hormat kepada Touw Liong seraya berkata,
"Kim tayhiap, aku ada urusan penting hendak minta
pertolonganmu, sudikah kiranya saudara membuang sedikit
waktu untuk bicara denganku?"
Touw Liong nampak sangsi sejenak, akhirnya ia
menganggukkan kepala, lelaki itu lalu memutar tubuhnya
dan berjalan lebih dulu ke ruangan yang kosong itu.
Touw Liong mengikuti di belakangnya dengan berjalan
lambat. Kawan lelaki itu yang bermuka merah menganggukanggukkan
kepala sambil berkata kepada diri sendiri,
"Mereka berdua sungguh kebetulan, masing-masing
menemukan apa yang dicari. Tampaknya urusan itu nanti
akan berjalan lancar!"
Sebentar kemudian, dua orang itu melakukan
pembicaraan serius di ruangan kosong itu, masing-masing
masukkan tangannya ke dalam saku, lalu mengeluarkan
sepucuk sampul, kemudian dua orang itu kembali lagi ke
tempat duduk masing-masing.
Lelaki yang suaranya serak itu nampaknya sangat
gembira, ia berjalan menuju ke kasir membayar uang,
setelah itu berjalan keluar dengan diikuti oleh kawannya
yang bermuka merah.
Setelah dua laki-laki itu tadi berlalu, Touw Liong
mengeluarkan surat undangan yang diberikan oleh lelaki
tadi, karena saat itu keadaan agak sepi, ia lalu membaca
surat undangan, sehabis membaca alisnya lantas berdiri.
Kiranya dalam surat undangan itu telah ditulis demikian:
"Diberitahukan dengan hormat, bahwa orang yang
menamakan diri Panji Wulung itu, sebetulnya bukan seorang
yang sifatnya gaib, melainkan seorang yang sangat kejam dan
jahat; perbuatannya pada seratus tahun berselang, mengacau di
beberapa daerah Tiong-goan, dan perbuatannya yang
membinasakan dua belas tokoh rimba persilatan, sehingga saat ini
masih merupakan suatu perbuatan terkutuk yang tidak dapat
diampuni oleh siapapun juga. Dan kini seratus tahun kemudian,
ia telah muncul lagi, maksudnya hendak menyebarkan bencana
dalam rimba persilatan. Aku Thian Hiong sungguh beruntung,
merupakan orang pertama-tama yang dijadikan sasaran. Anakku
Giok Hwa, ketika pesiar di kota Keng-siang, telah menerima
sebuah panji wulung, tetapi perbuatan Panji Wulung itu yang
tidak berani berlaku terang-terangan, entah apa yang dimaksud
olehnya" Kemudian aku dengar bahwa tiga jago dari partai
Kiong-lay-pay, tokoh-tokoh dari gunung Thay-san dan
perkampungan Hui-liong-chung, masing-masing telah binasa dan
terluka di bawah tangan Panji Wulung. Jikalau perbuatan itu
dibiarkan begitu ...
halaman 59 " 62 R O B E K !!!
dua kakinya seolah-olah tidak menginjak tanah, dengan
cepat sekali sudah berada di hadapan Touw Liong.
"Aaa...." demikian seruan yang tercetus dari mulut Panji
Wulung, kemudian berkata pula dengan nada suara dingin.
"Manusia di mana saja selalu bertemu. Anak busuk, kali
ini kita kembali bertemu di sini! Hari ini aku ingin lihat
dengan apa kau hendak mengelabui diriku lagi!"
Setelah berkata demikian, ia menghampiri Touw Liong
semakin dekat. Alis Touw Liong berdiri, entah apa sebabnya dengan
mendadak dalam pikirannya timbul perasaan hormat dan
halus terhadap Panji Wulung. Touw Liong
membungkukkan badan memberi hormat, mulutnya
berkata. "Ya, manusia memang dimana saja selalu bisa bertemu.
Apakah selama ini locianpwee baik-baik saja?"
Panji Wulung ternyata tidak mau menerima hormatnya,
ia berkata dengan nada suara dingin.
"Aku si orang tua masih bisa makan enak, masih bisa
tidur nyenyak, mengapa tidak baik?"
Touw Liong merasa kecele, tetapi ia tidak marah,
bahkan masih membungkukkan badan memberi hormat
seraya berkata:
"Ada keperluan apa cianpwee berkunjung ke gunung Busan
ini?" "Ada dua urusan. Pertama, aku hendak mencari setan
tua dari Gunung Bu-san untuk membuat perhitungan
dengannya, dan kedua, hendak mencari kau untuk
menanyakan sesuatu hal," jawab Panji Wulung dengan
nada suara dingin.
"Mencari aku?" bertanya Touw Liong terkejut,
sementara dalam hatinya berpikir: "ada urusan apa mencari
aku?" "Benar! Aku hendak mencari kau!"
Biji mata Touw Liong berputaran, pikirannya bekerja
keras, sementara itu Panji Wulung tiba-tiba perdengarkan
suara tertawa dingin, kemudian berkata pula:
"Panji Wulung ada dua, bahkan orang yang berani
terang-terangan mengaku sebagai Panji Wulung itu adalah
kamu sendiri!"
Bukan kepalang terkejutnya Touw Liong sehingga saat
itu ia berdiri tertegun.
JILID 9 Dengan nada suara dingin Panji Wulung berkata sepatah
demi sepatah: "Dalam kolong langit ini hanya ada satu Panji Wulung,
itulah aku sendiri, aku tidak mengijinkan adanya orang
kedua yang mengaku-aku sebagai Panji Wulung. Tetapi
hari ini aku tidak akan ngurusi soal ini, aku tidak peduli kau
betul ataukah tidak keturunan Panji Wulung yang satu itu,
hari ini kau harus mati."
Ucapan Panji Wulung itu sebetulnya sangat jumawa,
hingga Touw Liong yang mendengarkan lantas naik pitam,
ia bertanya: "Dari siapa cianpwee dengar bahwa aku adalah
muridnya Panji Wulung?"
"Setan tua dari gunung Bu-san."
"Anak sakti dari gunung Bu-san?"
Panji Wulung menganggukkan kepala membenarkan
pertanyaan Touw Liong.
Touw Liong lalu berpikir: "Tentang diriku yang menjadi
keturunan Panji Wulung, hanya suhu yang tahu, Anak
Sakti dari gunung Bu-san di dalam rimba persilatan
mempunyai kedudukan baik dan nama harum, sudah tentu
tidak suka melakukan perbuatan yang bersifat mengadu
domba atau mencuri dengar rahasia orang lain."
"Oo?" Demikian Touw Liong berseru dan tiba-tiba
ingat diri seseorang.
Panji Wulung miringkan kepalanya dan bertanya:
"Anak busuk, mengapa kau masih berlagak?"
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala, seolah-olah
berkata kepada diri sendiri, juga seperti memberitahukan
kepada Panji Wulung, katanya:
"Aku teringat dirinya seseorang!"
"Siapa?"
"Kakek Seribu Muka, caranya ia menyamar menjadi
Anak Sakti dari gunung Bu-san sesungguhnya sulit
dibedakan, mana yang tulen dan mana yang palsu, orang
tua itu menyiarkan perkataan yang bukan-bukan di luaran,
maka aku hendak berkata bahwa cianpwee sudah kesalahan
mencari orang."
Panji Wulung mengeleng-gelengkan kepala dan berkata:
"Aku tidak peduli itu semua, juga tidak peduli, siapa
yang kata, aku hanya ingin tanya kau, kau mau mengaku
sebagai keturunan Panji Wulung yang lain itu atau tidak?"
Touw Liong mengerti, bahwa jikalau ia berkata terus
terang pasti akan dibunuh oleh nenek itu, tetapi ia masih
berkata secara terus terang, katanya sambil menganggukanggukkan
kepalanya: "Boanpwee sesungguhnya adalah murid Panji Wulung
yang cianpwee maksudkan."
Panji Wulung mendadak terbenam dalam lamunannya,
tidak mengambil tindakan dengan segera, sebaliknya
berkata dengan suara dingin:
"Bocah, kau mempunyai bukti apa, yang dapat
membuktikan bahwa kau adalah murid keturunan Panji
Wulung?" Touw Liong tercengang, mata Panji Wulung mendadak
memancarkan sinar yang buas, lalu berkata dengan nada
suara tetap dingin:
"Muridnya Panji Wulung, memiliki dua belas panji kecil
warna hitam, jikalau kau tidak dapat mengeluarkan panjipanji
itu, itu berarti kau hanya mengaku-aku saja."
Beberapa kali Touw Liong hendak mengeluarkan surat
dari dalam sakunya yang ditinggalkan si Dewa Arak Taysu
Gila, untuk membuktikan bahwa dirinya adalah pewaris
Panji Wulung, akan tetapi ia batalkan maksud itu, dan
berkata sambil tertawa getir:
"Boanpwee kini justru sedang mencari dua belas panji
itu." "Akal busuk, jikalau kau bukan karena butek pikiranmu,
tentunya otakmu sudah miring. Siapa saja kau boleh
menyaru, hanya Panji Wulung tidak. Apa kiramu boleh
kau tiru begitu saja" Baiklah! Hari ini aku tidak akan
berlaku kejam terhadapmu, aku akan memberi kau suatu
kematian yang paling baik."
Setelah berkata demikian ia benar-benar terus
mengangkat tongkatnya, perlahan-lahan disodorkan,
langsung mengarah jalan darah di bagian dada Touw
Liong. Sebelum ujung tongkat tiba kepada sasarannya, dari situ
menghembuskan hawa dingin, yang menyusup ke dalam
kulit daging dan bagian jalan darah, sehingga sekujur badan
Touw Liong dirasakan dingin. Di dalam keadaan
demikian, jika ia ingin lari, sudah tentu percuma saja, satusatunya
jalan hanya menantikan kematian sambil
memejamkan matanya.
Henbusan hawa dingin yang keluar dari ujung tongkat
Panji Wulung semakin lama semakin hebat, tampaknya,
asal tangan Panji Wulung bergerak, Touw Liong segara
akan binasa. Akan tetapi tongkat itu masih tetap dalam
keadaan demikian, hanya kekuatan tenaganya perlahanlahan
ditambah semakin hebat.
Hati Touw Liong merasa sangat cemas, akan tetapi sikap
dan wajahnya masih tetap biasa, tidak menunjukkan rasa
takut selagi menghadapi bahaya maut.
"Bocah!" Berkata Panji Wulung dengan nada agak
lunak, dengan tiba-tiba tongkatnya ditarik kembali. Touw
Liong agak terkejut, ketika ia membuka mata, sikap bengis
Panji Wulung ternyata telah lenyap seketika, ujung tongkat
berhenti di tempat sejarak setengah kaki di hadapan
dadanya. Touw Liong tidak tahu, mengpa Panji Wulung
tidak membunuh dirinya, sementara itu Panji Wulung
sudah berkata lambat-lambat:
"Tentang bakat, keberanian dan kecerdasanmu, memang
benar seperti apa yang dikatakan oleh adik seperguruanmu,
merupakan suatu bakat yang luar biasa selama seratus
tahun ini. Oleh karena itu, aku ingin menjadikan kau orang
sempurna. Bocah, kau ?"
Biji mata Touw Liong berputaran, ia tidak mengerti apa
maksudnya Panji Wulung. Sementara itu Panji Wulung
sudah berkata lagi:
"Aku akan manjadikan kau Panji Wulung yang sebenarbenarnya."
"Budi kebaikan cianpwee, boanpwee mengucapkan
terima kasih, akan tetapi?" berkata Touw Liong sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Bocah! Apa kau hendak mengatkan bahwa kau adalah
Panji Wulung yang sebenarnya" Betul tidak?" Demikian
Panji Wulung memotong ucapan Touw Liong sambil
memperdengarkan suara tertawanya yang bengis dan aneh.
Touw Liong tidak berkata apa-apa, hanya
menganggukkan kepala sebagai jawaban.
"Heh! Heh!" demikian Panji Wulung mengeluarkan
suara dua kali dari hidung, sinar matanya yang buas tampak
berkobar, biji matanya berputar-putaran, dua tangannya


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nampak gemetar, tetapi ia tidak mengambil tindakan apa.
Menunjukkan bahwa ia sedang berpikir keras
memikirkan suatu persoalan yang memusingkan kepalanya
itu. Touw Liong tak menunjukkan sikap apa-apa, ia hanya
menantikan terjadinya perubahan selanjutnya.
Dengan tiba-tiba Panji Wulung memperdengarkan suara
tertawanya yang menyeramka, kemudian berkata dengan
nada suara dingin:
"Aku berikan kesempatan padamu untuk hidup terus,
aku ingin melihat dengan cara bagaimana kau hendak
bersaing denganku?"
Touw Liong seolah-olah mendapatkan keampunan
besar, baru saja ia menarik nafas lega, ujung tongkat Panji
Wulung sudah disodorkan lagi kepadanya, tempat yang
menjadi sasaran masih tetap jalan darah di bagian dadanya.
Perbuatan Panji Wulung itu sesungguhnya di luar
dugaannya, wajahnya berubah seketika, perasaan khawatir
akan datangnya bahaya maut sesaat telah memenuhi
otaknya. Namun demikian ia masih berdiri tegak tidak bergeser
sedikitpun dari tempatnya, ia sangat menyesalkan ucapan
panji Wulung yang tidak dapat dipercaya, maka ia menarik
nafas panjang. Sementara itu Panji Wulung sudah berkata
dengan suara dingin:
"Mengapa kau menghela nafas" Jangan kau membikin
malu orang saja! Kalau muridnya Panji Wulung seperti kau
ini yang tidak mempunyai nyali, bukankah akan membikin
malu nama baik suhumu yang dipupuk sejak seratus tahun
berselang?"
Selama bicara, ujung tongkat berhenti di hadapan dada
Touw Liong sekira satu dim, hawa dingin menghembus
keluar dari ujung tongkatnya, pelahan-lahan menyusup
melalui jalan darah Hian-kie-hiat Touw Liong.
Mempertahankan hidupnya adalah kodrat pembawaan
setiap manusia, Touw Liong adalah manusia biasa, sudah
tentu tidak terlepas dari kodrat itu. Maka sesaat itu, ia telah
mengerahkan ilmunya "membuka pintu langi" untuk
menutup depan dadanya, hembusan angin yang keluar dari
ujung tongkat Panji Wulung seperti kebentur dengan
kekuatan tenaga, hingga ia mengeluarkan suara tertawa
dingin, dengan tiba-tiba ia memperhebat serangannya,
hembusan angin telah dapat menembus pertahanan
kekuatan tenaga dalam Touw Liong, terus menyusup ke
dalam tubuhnya.
Wajah Touw Liong pucat pasi, badannya jatuh terguling
di tanah tanpa bisa bergerak.
Dengan sikap bangga Panji Wulung menarik kembali
tongkatnya, mulutnya mengeluarkan suaru siulan
kemenangan, kemudian badannya bergerak menghilang ke
balik bukit. Angin gunung meniup kencang, awan putih
menggumpal di tengah udara, keadaan dan cuaca di puncak
Sin-lie-hong tampak tenang, sedang Touw Liong yang
rebah menggeletak di tanah, tidak diketahui masih hidup
atau mati. Ia membiarkan dirinya ditiup oleh angin gunung
yang dingin, sedikitpun tidak bergerak.
OOOOO Ketika Touw Liong sadar kembali, ia telah mendapatkan
dirinya rebah di sebuah tempat tidur yang hangat. Ketika
matanya memandang keluar jendela, tampak salju turun
bagaikan kapas, suara angin gunung menderu-deru, apa
yang dilihat hanya putihnya salju yang menutupi seluruh
jagad, ia tidak tahu berada di mana.
Ia merasakan sekujur badannya ngilu dan lemas,
kepalanya berat, bergerak saja merasa susah. Ia
memandang langitan dalam kamar, dengan perasaan
banyak tanda tanya, ia mengenangkan kembali semua
kejadian sehingga yang terakhir, ia masih ingat seperti ia
telah dirobohkan oleh serangan tongkat Panji Wulung dan
akhirnya apa yang terjadi selanjutnya, ia tidak tahu
semuanya. Suatu perasaan takut timbul dalam otaknya, lalu
bertanya-tanya kepada diri sendiri: "Apakah aku terluka
parah dalam badanku?"
Dengan tumbuhnya kekuatiran itu, ia buru-buru
mengerahkan kekuatan tenaganya untuk memeriksa
keadaan diri sendiri.
Dua kali ia coba dengan usahanya itu, tetapi semuanya
gagal. Ia kini telah mengetahui bahwa dirinya sendiri
sudah tidak memiliki tenaga, dengan tiba-tiba wajahnya
menjadi pucat, air matanya berlinang-linang memandang
turunnya salju dari luar jendela, kemudian berkata kepada
diri sendiri: "Aku.... aku.... ai! Aku telah hilang semua
kekuatan dan kepandaian ilmu silatku!"
Bagi orang yang melatih ilmu silat, jikalau ilmu silatnya
dimusnahkan, keadaannya tidak beda sebagai manusia
biasa, apakah artinya"
Kalau ia berpikir ke bagian yang menyedihkan, perasaan
sedihnya tidak dapat dikendalikan lagi, sehingga air
matanya bercucuran membasahi bantalnya.
Lama sekali, di luar kamar riba-tiba terdengar suara kaki
orang yang sangat pelahan. Touw Liong terkejut, buruburu
menghapus air matanya. Ketika matanya berpaling ke
pintu kamar, pintu kamar itu didorong dengan pelahan, dan
orang yang muncul di hadapannya ternyata adalah Lo Yu
Im. Bagaikan bertemu dengan keluarganya sendiri Touw
Liong lantas berseru: "Enci!!" Air matanya mengucur lagi
dengan derasnya, sehingga tidak dapat mengeluarkan katakata
lagi. Keadaan Lo Yu Im masih tetap seperti dahulu kala,
hanya agak kurus sedikit.
Dengan suara lemah lembut gadis itu menyahut, air
matanya juga mengalir keluar. Ia mengeluarkan perkataan:
"Adik Liong!" Kemudian dengan cepat berjalan menuju ke
tempat tidur Touw Liong dan berkata dengan suara lemah
lembut: "Adik Liong! Kuhaturkan selamat kepadamu, kau kini
sudah sembuh kembali!"
Berkata sampai di situ, gadis itu menundukkan kepala,
air matanya mengalir semakin deras.
"Sudah sembuh..." Benarkah aku sudah sembuh...?"
bertanya Touw Liong sambil menghela napas. "Orang
yang sudah kehilangan kepandaian ilmu silat, apa artinya
aku hidup?"
Lo Yu Im juga tidak tahu bagaimana harus menghiburi
pemuda itu, maka ia berdiri diam saja.
Touw Liong berkata pula dengan nada suara sedih:
"Ilmu untuk memusnahkan kepandaian ilmu silat orang
adalah ilmu tunggal Panji Wulung yang terampuh."
Lo Yu Im sedikitpun tidak merasa heran, ia seolah-olah
sudah memeriksa dan mengetahui luka-luka Touw Liong,
yang disebabkan oleh serangan siapa.
Dalam keadaan demikian, mau tak mau ia terpaksa
hanya dapat menghiburi saja.
"Adik Liong, keadaanmu lemah benar, bagaimanapun
juga kita harus berusaha memikirkan suatu cara yang
sebaik-baiknya!"
"Berusaha mencari daya upaya?" berkata Touw Liong
sambil menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepala,
kemudian ia alihkan kepada pertanyaan lain soal:
"Ini tempat apa?"
"Kan-ling, dahulu bernama King-ciu."
"Oo...! Masih jauhkah berpisah dengan Gunung Lusan?"
"Aku sudah melihat surat undanganmu, kita dari
golongan Kun-lun-pay juga mendapat sebuah, tetapi aku
perlu harus merawat dan menjaga kau, maka aku sudah
mengambil keputusan tidak akan turut hadir dalam
pertemuan itu."
"Tidak! Kita harus pergi," kata Touw Liong tegas.
"Sekarang ini hari apa?" bertanya Touw Liong
selanjutnya. "Tanggal empat belas bulan dua belas, terpisah dengan
hari pertemuan itu kira-kira masih setengah bulan," jawab
Lo Yu Im. "Aa...! Kalau begitu aku sudah setengah bulan berada
dalam keadaan sakit seperti ini!"
"Benar! Setengah bulan. Bagaimana cepat berlalunya
sang waktu" Waktu itu aku mendaki gunung Bu-san untuk
mencari itu orang yang meninggalkan diriku, hari itu di
waktu senja, aku telah menemukan kau rebah menggeletak
di puncak gunung Sin-lie-hong, maka aku lalu menolongmu
dan bawa kau turun dari gunung."
Touw Liong berusaha hendak bangun, untuk
mengucapkan terima kasih kepada Lo Yu Im.
Ia agaknya mengingat sesuatu, maka berkata dengan
suara pelahan: "Enci, aku akan beritahukan padamu, suatu berita baik!"
"Tentang sahabat encimu itu...?"
Muka Lo Yu Im mendadak menjadi merah, dengan agak
kemaluan ia tersenyum, matanya menatap Touw Liong,
agaknya menantikan keterangan selanjutnya.
"Dia adalah murid golongan Pak-bong nomor tiga, yang
berjulukan 'Pelajar Seribu Muka'. Nama julukan Siauwsiang-
seng-chiu yang dahulu pernah enci sebutkan itu
adalah sebuah julukan samarannya." Demikian Touw
Liong melanjutkan keterangannya.
"Dan, di mana orangnya?"
"Sejak ia mendapatkan batu Khun-ngo-giok, lantas
sembunyikan diri di gunung Tiam-cong-san, hendak
membuat pedang Khun-ngo-kiam."
"Gunung Tiam-cong-san?" tanya Lo Yum Im dengan
nada marah. Touw Liong mengganggukkan kepala dan berkata:
"Dengannya aku juga mengadakan perjanjian, setengah
bulan lagi aku hendak mendaki gunung Tiam-cong-san.
Sayang, tenagaku mungkin tidak mengijinkan kemauanku."
Lo Yu Im menghela napas pelahan. Ia tidak tahu,
bagaimana harus menghiburi Touw Liong, maka cuma
berkata: "Adik Liong, asal kau mau pergi, encimu bersedia
mengawani kau."
"Tidak!" berkata Touw Liong sambil menggelenggelengkan
kepala, "Mungkin aku akan membatalkan
janjiku, dan tindakan itu kuambil bukan lantaran karena
ilmu kepandaianku yang sudah dimusnahkan, melainkan
lantaran enci...."
"Kita pergi untuk Khun-ngo-giok, bukan untuk
keperluan pribadiku," berkata Lo Yu Im dengan kemalumaluan.
"Enci ternyata sudah salah paham, siaote sedikitpun
tidak ada maksud untuk menertawakan enci, maksud
siaotee yang sebenarnya ialah dengan seorang diri enci ke
gunung Tiam-cong-san sudah cukup untuk minta kembali
batu Khun-ngo-giok, tetapi jika berjalan bersama-sama
dengan siaote, barangkali malah akan menjadi perintang
bagi usaha enci."
Mendengar keterangan itu Lo Yu Im baru paham, ia
mengangguk-anggukkan kepala. Dua orang itu setelah
bercakap-cakap agak lama, Lo Yu Im lalu keluar dari
kamarnya, supaya Touw Liong bisa beristirahat dengan
tenang. Mereka berdiam di suatu rumah penginapan besar, maka
Touw Liong setelah agak sembuh, tiga hari lagi mereka lalu
siap-siap hendak mendaki gunung Lu-san.
Oleh karena seluruh kepandaian ilmu silat Touw Liong
sudah dimusnahkan dan untuk keselamatannya, Lo Yu Im
mempersiapkan sebuah pakaian kulit, terpaksa harus
menyaru sebagai seorang tua yang berusia lima puluh lebih,
sedangkan ia sendiri menyaru menjadi seorang muda
tampan. Touw Liong setelah musnah kepandaian ilmu silatnya,
keadaannya tidak beda seperti orang biasa, ditambah lagi
karena gunung Lu-san itu sangat tinggi dan dingin sekali,
apalagi Lo Yu Im sebagai seorang gadis yang belum
bersuami, dengan sendirinya merasa kurang pantas untuk
menggandeng padanya. Maka selama beberapa hari
melakukan perjalanan mendaki gunung itu, baru tiba di kuil
Thian-ti-si. Waktu itu tepat malaman tahun baru, esok hari
justru hari pertemuan besar. Akan tetapi di kuil Thian-ti-si
kecuali beberapa anggota yang diutus oleh golongan Citphoa-
san yang berlaku sebagai tuan rumah, orang-orang
atau tokoh-tokoh rimba persilatan yang datang pada hari itu
jumlahnya sedikit sekali.
Orang-orang utusan dari Cit-phoa-san yang
mempersiapkan tempat pertemuan itu, jumlahnya tidak
sedikit, mereka berlalu-lalang dan keluar-masuk ke dalam
kuil. Satu di antaranya terdapat Shoa Lie, Kokcu dari
Lembah Siau-tian-kok, di samping itu masih ada seorang
tua yang usianya sudah lebih dari setengah abad.
Touw Liong sengaja tidak mau menyapa Shoa Lie,
dengan sendirinya Shoa Lie juga tidak mengenali Touw
Liong lagi. Malam itu, hawa di gunung itu meskipun luar biasa
dinginnya, tetapi langit terang dan angin tidak meniup,
sehingga pemandangan di gunung Lu-san nampak sangat
indah. Ketika kentongan berbunyi tiga kali, entah dari
mana datangnya kegembiraan Touw Liong, ia mengajak Lo
Yu Im berjalan-jalan ke danau Thian-ti.
Lo Yu Im yang tidak tega menolak permintaannya, lalu
menerima baik, hingga kedua berjalan keluar dengan
melalui jalanan yang penuh salju. Tibalah ke jembatan
yang terdapat di belakang kuil Thian-ti-si, mereka
mendongakkan kepala memandang puncak gunung yang
menjulang ke langit, dan lengan Lo Yu Im membimbing
Touw Liong mendaki ke atas puncak gunung.
Di tengah-tengah puncak gunung terdapat seuah danau
luasnya lima pal. Danau itu biasa disebut danau Siauwthian-
ti. Malam itu airnya sudah beku dan tertutup oleh
salju yang amat tebal. Touw Liong di bawah bimbingan Lo


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yu im berjalan di atas danau Siauw-thian-ti sambil
menikmati pemandangan alam yang indah.
Suasana sangat sunyi, di bawah sinar terang bintangbintang
di langit, air danau yang sudah beku seolah-olah
sebuah cermin yang terbentang di tanah.
Touw Liong mengepalkan tangannya dan berkata
pelahan: "Besok, siapapun tidak akan dapat menduga bahwa
tempat sepi sunyi ini akan menjadi pertemuan besar tokohtokoh
persilatan dari pelbagai tempat, mungkin akan terjadi
suatu pertempuran sengit."
Lo Yu Im diam saja, ia menarik Touw Liong, melompat
sembunyi ke belakang pohon cemara. Dengan suara
pelahan ia mencegah Touw Liong mengeluarkan suara.
Touw Liong dapat melihat perubahan sikap Lo Yu Im
yang aneh. Ia mengerti, perubahan itu pasti ada sebab,
maka ia buru-buru mengikutinya dan memperhatikan
keadaan sekitarnya.
Di lain ujung danau Thian-ti, tampak berkelebatnya
sesosok bayangan manusia. Bayangan itu adalah seorang
tua berbaju kelabu. Orang tua itu celingukan memandang
keadaan sekitarnya, kemudian dengan langkah pelahanlahan
berjalan menuju ke sebuah kupel yang terdapat di
bagian timur danau itu.
Touw Liong dengan jari tangannya menulis beberapa
perkataan di telapak tangannya dan menunjukkan kepada
Lo Yu Im. Kata-kata itu berbunyi: "Siapa?" Apakah enci
kenal dengannya?"
Lo Yu Im menggeleng-gelengkan kepala. Dua orang itu
terpaksa berdiam menahan napas, mata mereka ditujukan
kepada orang tua yang berada di dalam kupel itu.
Orang tua itu berjalan mondar-mandir, tiba-tiba
mendongakkan kepala, seolah-olah menantikan kedatangan
seseorang. Tak lama kemudian, di bawah danau Thian-ti terdengar
suara siulan pelahan. Setelah suara siulan itu berhenti, dari
situ tampak seorang tua lagi, dengan tegak berjalan menuju
ke kupel tadi. Touw Liong kembali mengajukan pertanyaan dengan
isyarat: "Siapa lagi?"
Lo Yu Im menggeleng-gelengkan kepala, tetapi
kemudian ia menuliskan beberapa kata di atas telapak
tangannya dengan jarinya: "Kau diam di sini, jangan
kemana-mana. Aku hendak pergi memeriksa sebentar."
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala.
Lo Yu Im bergerak, lantas menghilang dari depan mata
Touw Liong. Sesaat kemudian, Lo Yu Im balik kembali ke tempat
Touw Liong. Touw Liong yang sudah tidak sabar lagi,
mengajukan pertanyaannya:
"Siapa?"
Lo Yu Im menjelaskan di telapak tangannya, nama: Lie
Hu San dan Cui Hui. Alis Touw Liong berdiri, juga dengan
menggunakan tulisan di tangan, ia menulis: "Entah apa
maksudnya mereka datang kemari?"
Lo Yu Im lalu berbisik-bisik di telinganya:
"Entah dari mana Lie Hu San mendapatkan lambang
kepercayaan batu giok si Dewa Arak, dia hendak
mengumumkan maksudnya akan mempersatukan golongan
pengemis daerah selatan dengan golongannya sendiri. Cui
Hui juga akan menggunakan kesempatan itu mendirikan
partainya yang dinamakan partai Kiu-im-pay. Mereka
berdua sedang berunding, bagaimana satu sama lain harus
bekerja sama."
Touw Liong tercengang, dalam otaknya segera terbayang
lambang batu giok golongan pengemis, sementara dalam
hatinya berkata sendiri: "Lambang batu giok itu adalah
milik Taysu Gila, bagaimana bisa berada di dalam
tangannya?"
Selama itu Lo Yu Im tiba-tiba terkejut. Touw Liong
buru-buru angkat muka memandang ke depan. Dua orang
tua yang berada di dalam kupel itu ternyata sudah lompat
melesat ke atas pohon cemara yang terdapat di belakang
kupel. Baru saja mereka sembunyikan diri, di permukaan danau
Thian-ti dari jurusan yang baru dilalui oleh Lie Hu San
berdua, tampak seorang sasterawan berwajah cakap
tampan. Di punggung sasterawan itu menggendong sebuah
kantongan besar. Ia berjalan di atas danau Thian-ti.
Matanya celingukan memandang keadaan di sekitarnya,
kemudian dengan lambat menuju ke tengah-tengah danau.
Munculnya sasterawan itu, membuat sekujur badan Touw
Liong gemetaran, demikian pun dengan Lo Yu Im.
Dengan perasaan yang meluap-luap, Touw Liong
mengulurkan jari tangannya menunjuk ke danau Thian-ti.
Lo Yu Im buru-buru mencegahnya, menggelengkan
kepala mencegah Touw Liong mengeluarkan suara,
kemudian berbisik-bisik di telinganya:
"Jangan bergerak! Lihat saja apa yang dilakukan
olehnya!" Touw Liong menulis kata-kata: "Enci, lekas, minta batu
Khun-ngo-giok daripadanya!"
Lo Yu Im menunjuk tempat sembunyinya Lie Hu San
dan Cui Hui, kemudian berkata dengan suara berbisik-bisik:
"Jangan sembrono! Di sana masih ada dua iblis yang
mengintai. Sebaiknya kita jangan bertindak apa-apa, lihat
saja apa yang dilakukan oleh mereka!"
Orang-orang yang muncul secara mendadak pada malam
itu, dilihat dari luarnya, sasterawan muda tampan dan
cakap itu, rupanya mirip benar dengan Touw Liong, seolaholah
saudara kembar. Tetapi Lo Yu Im dan Touw Liong
yang sembunyi di belakang pohon, mereka mengerti bahwa
pemuda itu adalah Si Pelajar Seribu Muka yang sedang
membuat pedang Khun-ngo-giok di atas gunung Tiamcong-
san. Apa yang membuat terkejut Touw Liong adalah
gerak-gerik dan segala-galanya mirip benar dengan dirinya
sendiri. Pelajar Seribu Muka itu seolah-olah menganggap bahwa
dirinya berada di tempat yang tidak ada orangnya. Ia
berjalan menuju ke tengah-tengah danau, setelah tiba di
tengah danau, ia menurunkan kantongan besar yang berada
di atas punggungnya, lalu dibukanya dan mengeluarkan
isinya. Apa yng dikeluarkan dari dalam kantongan itu,
ternyata adalah sebuah kepala manusia yang masih
berlumuran darah. Kepala itu diletakkan di permukaan
danau, kemudian berkata kepada diri sendiri:
"Liao Hwan, kalian orang-orang dari golongan Siao-limpay
selalu mengagungkan diri sebagai pemimpin golongan
rimba persilatan, baiklah! Sekarang aku letakkan kepalamu
di tempat terdepan...."
Kemudian ia mengeluarkan lagi dua buah kepala
manusia dan berkata lirih sambil ketawa besar: "Kepala
murid pemimpin Bu-tong-pay seharusnya menduduki
tempat ke dua...."
Lo Yu Im dan Touw Liong dua-duanya terkejut dan
terheran-heran, karena paderi Liao Hwan dari gereja Siaolim-
si bukan seorang sembarangan, dia adalah paderi kepala
dalam bagian Lo Han Tong, kecuali ketua gereja Siao-limsi,
ia merupakan salah seorang yang menduduki kedudukan
ke satu dalam hirarki paderi Siao-lim-si. Dan Hian Cing
Cu, murid kepala ketua partai Bu-tong, juga merupakan
seorang yang bakal menduduki jabatan ketua partai Butong-
pay di kemudian hari, dengan sendirinya juga bukan
seorang sembarangan.
Dengan beruntun Pelajar Seribu Muka mengeluarkan
sebelas buah batok kepala manusia, dengan sangat rapi
dijejer berbaris di tengah-tengah danau Thian-ti yang sudah
membeku itu, kemudian ia berkata beberapa patah dengan
suara sangat pelahan kepada orang-orang yang hanya
tinggal kepalanya itu, setelah itu dia mengeluarkan suara
tertawa nyaring. Lalu, dari dalam sakunya ia
mengeluarkan sebelas buah panji warna hitam sebesar kirakira
setengah kaki, setiap kepala ditancap sebuah panji.
Selesai melakukan pekerjaannya itu, kembali ia ketawa
nyaring, setelah itu ia lantas berlalu dengan perasaan puas.
Touw Liong tak dapat mengendalikan perasaannya lagi, ia
berkata dengan suara pelahan dan gemetaran:
"Panji Wulung! Itu adalah sebelas buah panji wulung
yang lainnya."
Bab 24 Touw Liong mengeluarkan perkataan itu bukan karena
ia terkejut melihat kepala-kepala manusia itu, atau melihat
Pelajar Seribu Muka yang mukanya mirip dengan dirinya
sendiri, melainkan terkejut karena telah melihat itu sebelas
buah panji wulung yang sedang dicari-carinya, di luar
dugaannya sebelas panji itu berada di tangan Pelajar Seribu
Muka. Lo Yu Im tahu, apa sebabnya ia terkejut sehingga
berseru, maka ia tidak mencegah. Tetapi wajahnya dengan
tiba-tiba menunjukkan sikap terkejut, matanya ditujukan ke
atas pohon cemara belakang kupel.
Dua orang yang sembunyikan diri di atas pohon itu tidak
tampak ada gerakan apa-apa. Selagi Touw Liong
mendekati Lo Yu Im hendak mengatakan apa-apa, matanya
telah melihat Lo Yu Im memberi isyarat dengan mulutnya,
maka ia buru-buru membatalkan maksudnya.
Dari belakang kupel, telah muncul seorang aneh
berpakaian jubah warna putih. Orang itu tongolkan
kepalanya memandang keadaan di sekitarnya sebentar.
Ketika menampak tidak ada apa-apa yang mencurigakan,
barulah tangannya menggapai ke belakang pohon cemara,
setelah itu baru tampak Lie Hu San muncul.
Orang aneh berjubah putih tadi, bukan lain daripada Cui
Hui. Keduanya kini berdiri di tangga kupel, tidak berani
mengawasi sebelas buah kepala manusia dan sebelas buah
panji hitam. Lie Hu San mengerutkan alisnya, dari situ ia menjura ke
tempat sembunyi Lo Yu Im dan Touw Liong berdua, seraya
berkata: "Di seberang sana masih ada sahabat siapa" Sudikah
kiranya keluar untuk bertemu denganku?"
Alis Lo Yu Im bergerak-gerak beberapa kali, ia berkata
dengan suara pelahan kepada Touw Liong.
"Adik Liong, kau jangan kemana-mana, aku hendak
keluar untuk menghadapi mereka!"
Touw Liong mengerti bahwa persoalan telah menjadi
gawat, sedang ia sendiri sudah musnah seluruh
kepandaiannya, maka ia terpaksa menganggukkan kepala,
membiarkan Lo Yu Im pergi menghadapi dua orang itu.
Lo Yu Im dengan tindakan kakinya yang luwes
semampai, berjalan ke tempat di mana ada berjejeran
sebelas kepala manusia. Ia berlaku seolah-olah seperti
orang yang tidak tahu, berkata ke arah kupel:
"Sahabat dari mana tadi yang memanggil aku" Di sini
aku menunggu kedatanganmu."
Saat itu ia mengenakan pakaian laki-laki, maka mau tak
mau suaranya harus dibesarkan seperti suara laki-laki.
Cui Hui memberi isyarat dengan mata kepada Lie Hu
San, keduanya lalu lompat melesat ke tengah-tengah danau,
mereka mengamat-amati Lo Yu Im sejenak, ketika melihat
Lo Yu Im menghadap sebelas kepala manusia yang masih
berlumuran darah, dan sebelas buah panji warna hitam
yang dikenalnya sebagai tanda maut, namun sedikitpun
tidak menunjukkan sikap terkejut atau takut, sehingga
mengherankan mereka. Keduanya saling memberi isyarat
dengan pandangan mata, mereka mengerti bahwa pemuda
itu bukanlah seorang sembarang.
Lie Hu San yang lebih licik, lalu menjura memberi
hormat dan bertanya:
"Bolehkah aku si orang tua menanyakan nama saudara
yang mulia?"
"Lo Hie Siu," jawabnya Lo Yu Im singkat.
Lie Hu San lalu memperkenalkan dirinya sendiri:
"Aku si orang tua adalah Lie Hu San...."
"Oh, kiranya adalah pangcu dari daerah golongan
pengemis daerah utara yang namanya sangat kesohor. Kita
orang rasanya pernah bertemu muka di rumah sancu muda
di luar kota Lam-yang," menjawab Lo Yu Im sambil
membalas hormat.
Lie Hu San terkejut, karena urusan dirinya yang sudah
masuk menjadi anggota Cit-phoa-san, di kalangan Kangouw,
jarang sekali orang mengetahui, tetapi pemuda di
hadapan matanya yang usianya ditaksir belum ada dua
puluh tahun bukan saja mengetahui dirinya adalah pangcu
dari golongan pengemis daerah utara, bahkan mengejek
dirinya sebagai ketua golongan pengemis, namun sudi
mengabdi kepada orang lain, bukan hanya itu saja ia
bahkan dapat menunjukkan tempatnya di mana ia pernah
melihat dengan mata kepala sendiri. Akan tetapi, walau
pun ia memutar otak, bagaimanapun juga tidak bisa ingat
lagi, di mana ia pernah bertemu muka dengan pemuda di
hadapan matanya itu.
Semakin berpikir, semakin bimbang perasaannya!
Dalam keadaan sangat mendongkol ia perkenalkan Cui Hui
kepada pemuda itu.
"Saudara ini adalah...."
Belum sampai menyebutkan namanya, Lo Yu Im sudah
memotong dan berkata:
"Tidak salah lagi, tuan ini adalah calon ketua partai Kiuim-
pay yang akan dibentuk. Kita agaknya pernah...."
Cui Hui dengan sikapnya yang dingin menggerutu
sendiri, matanya memandang Lo Yu Im dengan sikap
menghina, dengan tenang menantikan keterangan Lo Yu
Im lebih lanjut.
Lo Yu Im tanpa tedeng aling-aling melanjutkan
ucapannya. "Ya, benar! Kita pernah bertemu muka, juga di kota
Lam-yang, di dalam kuil, entah apa nmanya, waktu itu di
tangan tuan ada membawa batok kepala Siauw Su In, betul


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak?" Ucapan itu agaknya tidak mengejutkan Cui Hui, yang
membuat heran padanya adalah pemuda itu ternyata dapat
menyebutkan nama orang yang kepalanya berada di
tangannya. Dengan demikian, orang she Cui ini juga tidak berani
memandang rendah kepada Lo Yu Im lagi.
Padahal, dua peristiwa itu, satu pernah disaksikan sendiri
oleh Lo Yu Im, sedang yang lainnya pernah mendengar
dari mulut Touw Liong.
Maka sekarang setelah ia terangkan dua persoalan itu,
boleh dikata tepat pada tempatnya. Maka sesaat itu muka
Lie Hu San sebentar pucat, putih, sebentar biru, muka itu
dilihatnya sangat tidak enak sekali, sedang apa yang
dikandung dalam hatinya, hanya ia sendiri yang mengerti.
Ia sesungguhnya merasa malu terhadap diri sendiri, karena
pemuda itu dalam usia yang begitu muda sudah dapat
mengenali dirinya sendiri dan apa yang dilakukan olehnya,
sedang ia sendiri yang merupakan orang Kang-ouw
kawakan, sedikitpun tidak mengetahui siapa adanya
pemuda itu. Namun sebagai seorang Kangouw kawakan, ia tidak
kehabisan akal, sesaat itu ia lantas robah sikapnya demikian
ramah, ia berkata sambil memberi hormat.
"O, kiranya adalah Lo tayhiap!"
Dalam hati Lo Yu Im merasa geli, sementara itu Lie Hu
San dengan mukanya yang licik, tangannya menunjuk
kepala manusia dan panji hitam di permukaan danau,
seraya bertanya:
"Saudara banyak pengetahuan, aku si orang tua
sesungguhnya merasa sangat kagum. Apakah saudara tahu,
siapakah yang melakukan pembunuhan terhadap sebelas
orang ini?"
Mata Lo Yu Im menyapu sebelas kepala manusia itu,
kemudian berkata sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya: "Dengan sebetulnya Tuan-tuan berdua dalam hati juga
sudah tahu siapa orangnya yang melakukan perbuatan itu,
mengapa masih pura-pura tanya kepadaku..." Sudah tentu,
aku sendiri juga menduga dia yang melakukan...."
"Siapa?" bertanya Lie Hu San.
"Orang yang Tuan-tuan berduga duga bukankah Touwtayhiap
Touw Liong?"
Cui Hui balas menanya dengan alis berdiri:
"Apakah yang saudara duga bukanlah dia?"
Lo Yu Im nampak berpikir sejenak, setelah itu baru
berkata sambil mengangkat pundak:
"Semula aku juga mencurigai dia, tetapi setelah
mengingat keadaan Touw-tayhiap yang mengalami suatu
kejadian yang mengenaskan, tidak mungkin ia dapat
melakukan perbuatan itu. Lagipula, waktu dan perangai
dia di waktu yang lalu, juga tak mungkin ia melakukan
perbuatan yang serendah itu, karena perbuatan itu berarti
menentang secara terang-terangan terhadap sepuluh partai
besar di rimba persilatan."
"Dalam hal ini saudara sudah salah melihat orang! Lain
dengan mata kita berdua, yang tidak bisa salah lagi.
Menurut apa yang tersiar dalam rimba persilatan, bocah itu
karena disukai oleh susiokku, telah diberi petunjuk olehnya
pergi ke gunung Bu-san mengambil barang-barang
peninggalan Liu-tayhiap pada zaman dahulu, termasuk dua
belas buah panji hitam. Oleh karena itu, maka perbuatan
itu sudah pasti dia yang melakukan," berkata Lie Hu San
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Lo Yu Im tidak mau membantah, ia hanya angkat
pundak dan menunjukkan sikap yang sangat misteri. Ia
hanya berkata dengan sikap seenaknya:
"Besok pagi, urusan ini sudah pasti akan terbuka sendiri,
siapa sebetulnya yang melakukan."
Berkata sampai di situ, ia sengaja mendongakkan kepala
memandang keadaan cuaca, kemudian berkata kepada diri
sendiri: "Sudah hampir subuh!"
Cui Hui juga mendongakkan kepala mengawasi bintang
di langit, kemudian memberi isyarat dengan mata kepada
Lie Hu San, seraya berkata:
"Mari kita jalan!"
Lie Hu San minta diri kepada Lo Yu Im, kemudian
meninggalkan padanya bersama-sama Cui Hui.
Setelah dua orang itu berlalu dari hadapan matanya, Lo
Yu Im mengambili sebelas panji hitam yang ditancapkan di
dekat sebelas kepala manusia itu, kemudian dengan
menggunakan jari tangan, ia menulis dua baris tulisan di
atas air danau yang sudah membeku, setelah itu ia berjalan
kembali ke tempat persembunyian Touw Liong. Sementara
itu Touw Liong yang sudah menunggu dengan perasaan
tidak tenang, telah menyambut kedatangannya dengan
perasaan agak heran:
"Enci mengambil panji itu, apakah tidak takut...?"
Dengan cepat Lo Yu Im memotong ucapannya dan
berkata: "Takut apa" Apa kau masih takut ada orang lain yang
meneropong perbuatanku" Sebelas panji ini seharusnya
adalah milikmu!"
Sehabis berkata demikian, ia menyerahkan panji itu
kepadanya, minta ia yang menyimpan.
Touw Liong menerima baik pemberian itu. Setelah
diperiksanya satu persatu, benar saja itu adalah panji yang
ia sedang cari, tetapi ia masih belum dapat memahami
perbuatan Lo Yu Im itu, maka bertanya pula:
"Apabila Pelajar Seribu Muka itu besok datang dan
menanyakan tentang panji itu, siapa yang akan menyambut
kedatangannya, atau menjawab pertanyaannya?"
"Engkau jangan kuatir! Besok dia pasti tidak akan
datang!" "Kenapa?"
"Tidak apa-apa! Itu hanya pikiranku saja, di waktu ini.
Ia ibarat seekor burung yang sayapnya belum tumbuh
cukup banyak, ia pasti tidak akan berani menghadapi Panji
Wulung yang satu lagi. Maka malam ini ia berbuat
demikian untuk menggertak kepada Panji Wulung itu."
"Maksud Enci apakah meskipun ia sudah mendapatka
sebelas panji hitam ini, akan tetapi ia masih belum memiliki
kepandaian dari Panji Wulung yang asli?"
Lo Yu Im mengangguk-anggukkan kepala sebagai
jawaban. Touw Liong bertanya pula:
"Seandainya Panji Wulung yang satu lagi, ialah
perempuan tua yang memakai kerudung muka itu besok
datang kemari mencari keterangan tentang sebelas buah
panji ini, apakah di danau ini tidak akan terjadi keonaran
besar?" "Aku sudah merencanakan suatu rencana yang sangat
baik, dengan meminjam senjata orang lain untuk
melakukan pembunuhan, tentang sebelas panji ini sudah
tentu ada orang lain nanti yang akan maju mewakili
dirimu." Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala, sebagai
tanda tidak dapat menyetujui rencana Lo Yu Im. Ia
berkata: "Membunuh orang dengan meminjam senjata orang
lain, perbuatan itu kurang bagus. Siaote...."
Lo Yu Im menatap wajah Touw Liong sejenak, lalu
memotong perkataannya:
"Sungguh tak kusangka kau masih memiliki pikiran dan
berhati baik demikian rupa, akan tetapi kebaikanmu itu
merupakan suatu kesalahan, karena itu berarti kau merasa
simpati dan kasihan kepada orang-orang jahat dalam rimba
persilatan!"
Touw Liong mengerti bahwa urusan malam itu, Lo Yu
Im hendak timpahkan dosanya kepada Cui Hui dan Lie Hu
San berdua, maka dalam hati merasa kurang enak. Dalam
anggapannya, perbuatan semacam itu, agaknya bukanlah
suatu perbuatan yang harus dilakukan oleh seorang yang
berjiwa jantan. Namun demikian, perasaan itu ia tidak
unjukkan di mukanya.
Lo Yu Im agak tidak sabar, ia menarik napas pelahan,
kemudian berkata:
"Aku bukanlah tidak tahu bahwa perbuatannya kurang
jujur, akan tetapi orang-orang semacam Lie Hu San dan
Cui Hui, adalah orang-orang yang berhati tamak dan jahat.
Lie Hu San yang hendak menggunakan pertemuan besok
pagi untuk mencapai maksudnya yang hendak menelan
pengaruh golongan pengemis daerah selatan. Sedangkan
Cui Hui orang yang sejahat dan sekejam itu bagaimanapun
juga kita tidak akan membiarkan barisannya Ngo-im-cuihun-
tin yang sangat ganas itu nanti membuat bencana besar
bagi rimba persilatan. Aku memang ada pikiran hendak
meminjam tangan Panji Wulung untuk mencegah atau
menyingkirkan bahaya besar bagi sahabat-sahabat kita di
rimba persilatan. Jikalau kau anggap perbuatanku ini agak
keterlaluan, maka aku nanti akan menghapus tulisan-tulisan
yang kutulis di atas salju itu."
Touw Liong berpikir sejenak, akhirnya ia mengambil
keputusan tidak akan merintangi maksud gadis itu, maka ia
lalu tertawa dan menganggukkan kepala kemudian berkata:
"Baiklah, manusia jahat semacam itu, siapa pun yang
membunuh sama juga, hanya...."
Ia miringkan kepala untuk berpikir, sementara itu Lo Yu
Im menatap wajahnya, menunggu kata-kata selanjutnya.
Touw Liong tersenyum, dan berkata lambat-lambat:
"Lie Hu San meskipun jahat, juga tak sejahat sampai
demikian rupa sehingga kita perlu meminjam tangan Panji
Wulung untuk menyingkirkannya, karena dengan demikian
barangkali akan menimbulkan kericuhan di dalam golongan
pengemis sendiri."
Lo Yu Im tahu bahwa Touw Liong memperhatikan
keselamatan golongan pengemis, maka ia segera tertawa
dan berkata: "Aku bukan seorang yang tidak mengerti persahabatan.
Orang yang kusingkirkan dengan meminjam tangan Panji
Wulung, hanya Cui Hui seorang, tentang Lie Hu San aku
tahu, karena ada hubungan dengan tugasmu, maka
kubiarkan saja supaya di kemudian hari kau saja yang
memperhitungkan dosanya."
Touw Liong merasa puas dan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Keduanya lalu berjalan lagi menuju ke gereja
Thian-tie-sie. Mereka mencari sebuah gua untuk melewatkan malam
itu. Waktu mereka sadar, ternyata sudah hampir subuh.
Setelah bangun, mereka makan sedikit makanan kering. Lo
Yu Im kini tidak mengenakan pakaian yang dikenakan
kemarin hari. Ia menyamar menjadi seorang kacung,
selangkah demi selangkah mengikuti jejak Touw Liong dan
berjalan menuju ke danau Thian-tie lagi.
Pagi hari, suasana cerah. Tak lama berselang, sekitar
danau itu sudah dipenuhi oleh banyak manusia dari
pelbagai golongan. Mereka mengenakan pakaian ruparupa,
namun masing-masing pada membawa senjata yang
berlainan jenis-jenisnya. Di antara para pendatang ada
yang menunjukkan wajah marah, ada pula yang bisik-bisik,
entah apa yang dibicarakan. Ketika Touw Liong dan Lo
Yu Im tiba di tempat itu, di kupel sudah terdengar suara
genta. Waktu itu masih kurang tiga perempat menunjukkan
jam satu tengah hari. Danau Thian-tie yang luasnya kirakira
lima bau, di tengah-tengahnya masih berbaris sebelas
kepala manusia, tetapi di permukaan danau itu tidak ada
seorangpun manusia yang hidup.
Touw Liong dengan sikapnya yang acuh tak acuh,
selangkah demi selangkah berjalan menuju ke kupel.
Ketika ia tiba di depan kupel, genta sudah berbunyi dua
kali. Touw Liong monyongkan mulutnya ke arah salah
seorang yang berada di belakang kupel, dan tangannya
menyentuh Lo Yu Im. Lo Yu Im segera tujukan
pandangan matanya ke arah pandangan mata Touw Liong
sambil bertanya dengan suara pelahan.
"Itu siapa?"
Karena ia telah menampak seorang pemuda tampan
berpakaian hitam yang berusia belum cukup dua puluh
tahun, dengan kedua tangannya dibalikkan ke belakang
berjalan mondar-mandir sambil mengerutkan alisnya.
Di belakang pemuda itu diikuti oleh Lie Hu San,
berbicara dengan suara pelahan dengan pemuda itu,
agaknya sedang melaporkan apa-apa.
Lo Yu Im tahu bahwa Touw Liong minta dirinya untuk
memperhatikan pemuda tampan itu, tetapi gadis itu setelah
memandangnya beberapa kali, lalu angkat pundak dan
bertanya kepada Touw Liong lagi.
"Siapakah pemuda itu?"
Touw Liong mengulurkan tangannya dan mengguratgurat
di telapak tangan dengan tiga huruf PEK GIOK
HWA. Lo Yu Im terkejut mengetahui nama itu, menulis
pertanyaan: "Dulu bukankah kau mengatakan bahwa Pek
Giok Hwa itu adalah seorang wanita?"
Touw Liong anggukkan kepalanya, ia juga menulis
perkataan: "Seperti juga dengan keadaanmu, seorang
wanita yang menyamar sebagai pria."
Beberapa ratus pasang mata, saat itu ditujukan ke arah
kupel. Pek Giok Hwa dengan wajah cemas mendongakkan
kepala memandang gunung Swat Hong yang tinggi
menjulang ke langit, lalu menghela napas pelahan dan
berjalan mondar-mandir di dalam kupel.
Dalam kupel itu, seorang tua bermuka hitam yang
kakinya tinggal satu, dengan tangan membawa tongkat, dan
seorang tua lain yang berwajah merah dan berpakaian jubah
warna kuning, kedua-duanya sikapnya agak murung.
Mereka berjalan menuju ke bawah, menghampiri orang
banyak. Usia dua orang tua itu semuanya di sekitar tujuh


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puluh tahun. Dari sikap dua orang tua itu, mereka agaknya tidak
sanggup menjelaskan apa yang sedang dihadapi oleh
mereka. Keduanya berjalan turun dari kupel dan terus
menuju ke tengah-tengah danau.
Pek Giok Hwa mengikuti di belakang orang tua itu,
sementara itu orang tua berkaki satu sambil berjalan
bertanya kepada Pek Giok Hwa dengan suara keras:
"Giok Hwa, kau kata bahwa ayahmu tadi malam telah
mengejar Panji Wulung naik ke puncak Thian-ti-hong,
siapakah yang menyaksikan?"
"Lie Hu San telah menyaksikan dengan mata kepala
sendiri," jawab Pek Giok Hwa dengan sikap menghormat.
"Ouw...!"
Dua orang tua itu bersama Pek Giok Hwa berjalan
menuju ke tengah-tengah danau. Ketika berada di tempat
di mana ada berbaris sebelas kepala manusia, lalu berhenti
dan mengangkat tangan memberi hormat kepada orangorang
di sekitar danau, sementera itu orang tua berkaki satu
tadi angkat bicara dengan suara nyaring:
"Tuan-tuan tentunya semua sudah tahu bahwa jenasah
sebelas orang yang kepalanya di sini ini telah dibunuh oleh
Panji Wulung...."
Ketika orang tua itu baru bicara sampai di situ, dari
empat penjuru terdengar suara gemuruh.
Alis Lo Yu Im berdiri, ia menunjukkan sikap terkejut,
kemudian berkata kepada dirinya sendiri: "Bagaimana ia
tahu bahwa orang-orang itu telah dibunuh oleh Panji
Wulung?" Ia merasa heran karena tadi malam ketika ia turun
tangan mengambil panji hitam yang ditancapkan di sisi
kepala sebelas orang itu, di atas permukaan air danau yang
sudah membeku menjadi salju itu telah ditulis dengan katakata:
Siapa yang ingin tahu pembunuhnya, tanya saja kepada
Cui Hui dari Kiu Im, tiada yang tahu kecuali Touw Liong.
Di situ juga sudah dinyatakan dengan jelas, bahwa orang
yang melakukan pembunuhan itu adalah Cui Hui. Jikalau
Panji Wulung melihat tulisan itu, pasti akan marah besar
dan akan mencari Cui Hui untuk membuat perhitungan,
bahkan mungkin akan ditanyakan bagaimana ia dengan
lancang mengambil panji hitam itu.
Di samping dirinya terdengar suara kata-kata yang
diucapkan dengan nada suara dingin:
"Kawan, mengapa kau tidak melihat dulu apa yang
tertulis di tengah danau itu?" Lo Yu Im lalu tujukan
pandangannya ke tengah-tengah danau, dan orang yang
berkata tadi adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar
empat puluh tahun.
Lo Yu Im agak marah, ia juga berkata dengan nada
suara dingin: "Aku tidak melihat tulisan itu, apakah Tuan pernah
melihatnya?"
Laki-laki muka merah itu angkat pundak, dan berkata
acuh tak acuh: "Aku datang lebih pagi, bukan saja sudah menyaksikan
tulisan itu, bahkan aku sudah memeriksanya satu persatu
sebelas kepala manusia itu." Ia berhenti sejenak, kemudian
berkata pula dengan nada keras dan mengacungkan ibu
jarinya. "Tulisan itu ditulis dengan ilmu jari tangan Kim-kong-ci.
Salju di permukaan danau ini sifatnya keras bagaikan baja,
apalagi di waktu musim dingin seperti ini, tetapi orang itu
menggunakan jari tangannya di atas salju yang keras hingga
sedalam kira-kira setengah dim. Dapat diduga bahwa
kekuatan tenaga dalam orang itu sudah sempurna."
Lo Yu Im diam-diam merasa girang ada orang yang
memuji kekuatannya, sementara itu Touw Liong bertanya
kepada laki-laki itu:
"Apakah saudara tahu, siapakah yang menulis huruf
itu?" "Sudah tentu Pek Thian Hiong sendiri," menjawab lakilaki
itu sambil tertawa.
"Pek Thian Hiong?" bertanya Lo Yu Im yang
menunjukkan sikap terkejut.
"Bagaimana saudara tahu?" tanya Touw Liong.
"Sahabat, apakah kau tidak melihat apa yang ditulisnya
di atas salju itu?"
Touw Liong menunjukkan sikap terkejut. Ia tahu bahwa
urusan ini agak rumit, maka ia berkata sambil menggelenggelengkan
kepala. "Oleh karena kedatanganku agak terlambat, benar-benar
tidak tahu apa yang ditulis oleh Pek Sancu. Sudikah
kiranya saudara menceritakan kepadaku?"
"Pek Sancu menulis sepuluh kata-kata...."
Lo Yu Im terperanjat dalam hati ketika mendengar
perkataan itu. Selagi hendak menanya, laki-laki bermuka
merah itu sudah berkata lagi:
"Tulisan itu berbunyi: Orang yang melakukan pembunuhan
ialah Panji Wulung, sedang yang mencabut panjinya adalah Pak
Thian Hiong...."
Wajah Lo Yu Im dan Touw Liong berubah seketika,
mereka saling berpandangan, dan laki-laki muka merah itu
memperdengarkan suara ketawa dingin. Touw Liong buruburu
mengucapkan terima kasih kepadanya, lalu
mengarahkan pandangan matanya kepada orang tua
berkaki satu. Orang tua berkaki satu itu ketika melihat sikap orang
banyak, segera memperdengarkan suara batuk-batuknya
yang keras, sehingga menimbulkan suara di dalam telinga
masing-masing. Sebentar kemudian suara gemuruh itu
sirap kembali. Orang tua berkaki satu itu ketika menyaksikan usahanya
untuk menenangkan suasana tadi telah berhasil, kini
ratusan pasang mata itu ditujukan kepadanya. Ia lalu
menyapu semua wajah orang-orang sejenak, dan tongkat di
tangannya dilemparkan di atas salju.
Tongkat yang dilemparkan itu hampir setengahnya
nancap di permukaan salju itu hingga semua orang yang
menyaksikannya pada kagum atas kekuatan tenaga
dalamnya orang tua itu.
Orang tua itu kembali mengangkat tangan dan memberi
hormat kepada orang-orang di sekitarnya, kemudian
berkata: "Aku si orang tua adalah Lo Thian Piu. Jabatanku
adalah wakil sancu dari Cit-phoa-san. Sancu kini sedang
mengejar Panji Wulung, hingga saat ini belum kembali.
Urusan di danau ini semua adalah menjadi tanggung
jawabku." Ia berhenti sejenak, kemudian berkata pula
sambil menunjuk dua baris kata-kata di permukaan danau
tadi. "Tuan-tuan tentu sudah menyaksikan tulisan yang
ditinggalkan oleh sancu di permukaan danau ini. Orangorang
atau tokoh-tokoh kuat dari rimba persilatan yang
kepalanya kini berada di sini, semuanya telah dibunuh oleh
Panji Wulung, sedangkan sancu kita yang setia kawan yang
senantiasa membela kebenaran, telah mengambil sebelas
buah panji kecil hitam yang ditinggalkan oleh Panji
Wulung. Dan mengenai hutang darah Panji Wulung
kepada sebelas tokoh rimba persilatan ini, telah dioper
tanggung jawabnya oleh golongan Cit-phoa-san yang
hendak membuat perhitungan dengan Panji Wulung.
Siaotee yakin, belum sampai sore nanti, sancu kita
barangkali sudah berhasil menangkap hidup-hidup diri
Panji Wulung. Siaote harap Tuan-tuan yang kini berada di
sini supaya nanti malam jam tiga tepat, kiranya suka
membuang waktu untuk datang ke sini lagi, untuk
membicarakan bagaimana untuk mengambil tindakan
terhadap Panji Wulung."
Dari suara dan sikap orang tua itu menunjukkan
bagaimana jumawanya, sehingga Touw Liong yang
mendengarkan tampak mengerutkan alisnya, dan di dalam
hatinya sendiri berkata: "Ditilik dari kekuatan tenaga dan
kepandaiannya, orang ini memang benar bukan dari
golongan sembarangan, tetapi sikapnya yang sangat
jumawa ini dan agaknya sedikitpun tidak memiliki
kesadaran atas keadaan orang lain, bukan saja
menjemukan, tetapi juga tidak mungkin dapat melakukan
pekerjaan besar. Entah siapa adanya orang tua itu?"
Pada saat itu Lo Yu Im memandang kepadanya, hingga
dua mata saling beradu. Dua pemuda itu agaknya
mempunyai pandangan yang sama, hingga keduanya saling
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara itu terdengar pula suara Lo Thian Piu:
"Di antara Tuan-tuan, siapa yang ingin mengutarakan
pikiran?" Dari sebelah timur di antara rombongan orang-orang itu
terdengar suara seorang yang mengenakan jubah putih
berkata: "Siaote ingin mengutarakan sedikit pikiran...."
Touw Liong terkejut ketika mendengar perkataan itu,
karena orang itu adalah Cui Hui sendiri.
Sementara itu Cui Hui sudah melanjutkan kata-katanya
dengan sikap tenang:
"Siaote tidak setuju dengan pendapat Hu Sancu."
"Saudara siapa?" demikian Lo Thian Piu bertanya
dengan sikap tidak senang.
"Aku yang rendah, adalah Cui Hui," menjawab Cui Hui
sambil membongkokkan badan.
"Aku kira siapa, ternyata adalah ketua golongan Kiu-impay
yang akan datang," berkata Lo Thian Piu dengan sikap
menghina. Cui Hui merasa tidak senang hingga wajahnya
saat itu semakin pucat pasi bagaikan mayat.
"Saudara ada pikiran apa?" bertanya Lo Thian Piu
dengan nada suara dingin.
Cui Hui sebelum menjawab telah tertawa lebih dahulu.
Ia mendongakkan kepala sambil tertawa terbahak-bahak,
hingga suara tertawanya itu menggema di udara dan
menusuk telinga tiap orang.
Ia sengaja menunjukkan kekuatan tenaga dalamnya,
sehingga semua orang dikejutkan oleh sikapnya orang itu.
Begitupun dengan Touw Liong yang saat itu sudah hilang
kekuatan dan kepandaiannya, sehingga wajahnya menjadi
pucat pasi dan keringat dingin mengucur keluar. Buru-buru
ia menggunakan kedua tangan untuk menutup telinganya.
Lama sekali, suara tertawa Cui Hui itu baru sirap, mata
orang aneh itu menyapu kepada orang-orang di seputarnya
sejenak, kemudian berkata dengan suara berat:
"Tuan-tuan jangan salah paham, orang yang melakukan
pembunuhan terhadap sebelas tokoh kuat ini, bukanlah
orang seperti apa yang dikatakan oleh Lo sancu tadi, yang
dibunuh oleh Panji Wulung."
Bab 25 Lo Thian Piu sangat marah mendengar perkataan Cui
Hui tadi. Dengan suaranya yang menggelegar ia berkata:
"Coba kau sebutkan, siapa yang melakukan
pembunuhan itu?"
Seperti juga tadi Cui Hui sebelum menjawab telah
tertawa lebih dulu, kemudian menunjuk kepada Lie Hu San
yang berada di belakang Lo Thian Piu, dan berkata:
"Jikalau tuan ingin tahu keadaan yang sebenarnya,
tanyalah kepada Lie pangcu!"
Semua mata lalu ditujukan kepada Lie Hu San.
Lo Thian Piu dengan sikapnya yang masih marah
bertanya kepada Lie Hu San:
"Lie pangcu! Siapakah yang melakukan perbuatan itu?"
Lie Hu San maju selangkah, dan menjawab sambil
membungkukkan badan:
"Hu sancu, kepala dari sebelas tokoh kuat ini adalah...."
Ia memandang kepada orang-orang di sekitarnya, kemudian
berkata lagi dengan suara nyaring:
"Touw Liong yang membunuh dan meletakkan di sini."
"Touw Liong!"
"Touw Liong!"
"Touw tayhiap!"
"Touw Liong murid dari Kiu-hwa!"
Demikian terdengar suara riuh dari empat penjuru.
Semua orang yang berada di situ agaknya dikejutkan oleh
keterangan Lie Hu San tadi. Seorang pendekar kenamaan
seperti Touw Liong yang saat itu sedang mendapat nama
baik, dapatkah melakukan perbuatan rendah yang
menimbulkan amarah semua orang rimba persilatan seperti
itu, benar-benar suatu perbuatan yang tidak habis
dimengerti. Sementara itu Touw Liong sendiri yang dalam samaran,
ketika mendengar perkataan itu sekujur badannya
gemetaran. Ia memandang kepada Lo Yu Im dan memberi
isyarat kepadanya, maksud Lo Yu Im supaya ia berlaku
sabar untuk menantikan perubahan selanjutnya.
Lo Thian Piu berpaling kepada Lie Hu San dan
menggapai kepadanya. Lie Hu San lalu berjalan dengan
sikap menghormat ke depan Lo Thian Piu.
"Lie pangcu, apakah kata-katamu ini semua benar?"
Lie Hu San bersangsi sejenak, kemudian menjawab
dengan suara agak gelagapan:
"Menurut pikiran biasa, urusan yang ditinggalkan oleh
sancu itu tentunya tidak bisa salah, akan tetapi... tadi
malam yang sebenarnya kami telah menyaksikan dengan
mata kepala sendiri."
Lie Hu San ketika mengucapkan kata-kata itu hatinya
merasa tidak tenang.
"Siapa yang kau lihat?" bertanya Lo Thian Piu dengan
suara keras. Lie Hu San menunjuk kepada sebelas kepala manusia
dan mengucapkan perkataan: "Touw Liong".
"Ouw...! Touw Liong!" demikian terdengar suara riuh
pula dari empat penjuru. Semua agaknya merasa sayang
dan terheran-heran atas perbuatan Touw Liong.
Lo Thian Piu maju selangkah dan bertanya kepada Lie
Hu San dengan suara pelahan:
"Lie pangcu, tahukah kau apa dosanya bagi orang yang


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi laporan palsu?"
"Hukuman mati!" jawab Lie Hu San tegas.
Oleh karena jawaban yang tegas itu, mau tak mau Lo
Thian Piu harus percaya. Orang tua itu memijat kepada
jidatnya sendiri dan agaknya sedang berpikir keras. Ia tidak
habis mengerti sebab musababnya, karena urusan yang
sedang dihadapi itu, sebetulnya membingungkan
perasaannya. Suasana di danau Thian-tie penuh ketegangan. Dengan
keterangan Lie Hu San itu, tak ubahnya seperti
mengumumkan Touw Liong sebagai pembunuh, yang juga
berarti menjadi musuh besarnya 10 partai besar.
Terdengarlah banyak orang berseru:
"Lo Sancu, kau tadi pernah kata bahwa hutang darah
sebelas korban itu menjadi tanggung jawabmu, bahwa
kaulah yang akan membereskan. Sekarang sudah diketahui
siapa pembunuhnya, harap supaya kau segera mengambil
tindakan."
Saat itu Touw Liong gemetaran, ia berpikir: "Aku yang
selama hidupku tidak pernah melakukan sesuatu kejahatan,
bagaimana harus menanggung dosa sebesar itu?"
Lo Thian Piu tiba-tiba angkat muka, dan mengacungkan
tongkatnya, hingga suara riuh di lapangan lantas sirap
kembali. Orang tua itu berkata dengan suara lantang:
"Baiklah! Aku sangat menghargai pikiran Tuan-tuan.
Sekarang aku minta supaya Tuan-tuan dari pelbagai
golongan yang ada bersangkutan dengan para korban itu
agar lebih dulu mengenali kepala mereka masing-masing
dan menguburkannya seperti biasa, setelah itu aku akan
minta izin kepada sancu untuk membawa semua anak buah
golongan Cit-phoa-san pergi ke gunung Kiu-hwa-san
mencari Kiu-hwa Lojin guna membereskan persoalan ini."
Menurut kebiasaan dalam rimba persilatan apabila
seorang murid dari sesuatu golongan menimbulkan huruhara
di luaran dan menyangkut nama baik perguruannya,
perbuatannya itu adalah suatu perbuatan dan suatu
kejahatan yang sangat besar sekali. Oleh karena ucapan
Kiu-hwa Lojin pada tiga puluh tahun berselang yang telah
memberikan janji kepada Tiga Dewa dari golongan
pengemis bahwa ia tidak akan terjun ke dunia Kang-ouw
lagi, kini harus menghadapi peristiwa berdarah yang
menyangkut diri orang-orang dari sepuluh partai besar,
tampakya golongan Cit-phoa-san pasti akan mengerahkan
seluruh kekuatan tenaganya, dengan alasan hendak
menuntut balas para korban, mungkin akan menyapu bersih
kekuatan dari golongan Kiu-hwa.
Touw Liong berpikir bolak-balik, ia anggap bahwa
bencana yang akan menimpa golongan Kiu-hwa timbul atas
dirinya, bagaimanapun juga ia tidak boleh sampai hal itu
membuat perguruannya mendapat nama buruk. Ia
mengepal-ngepal kedua tangannya. Selagi hendak keluar
untuk memberi keterangan, ternyata sudah ditarik oleh Lo
Yu Im, dan minta ia jangan berlaku gegabah.
Touw Liong agaknya merasa tidak senang atas sikap Lo
Yu Im itu. Pada saat itu tiba-tiba terdengar pula suara orang dari
tengah-tengah danau: "Pek Giok Hwa lebih dulu minta
maaf kepada locianpwe." Orang tua itu mengerutkan
alisnya seraya berkata:
"Sudahlah! Kau ingin bicara apa" Katakanlah!"
Pek Giok Hwa memutar tubuhnya dan memberi hormat
kepada para hadirin di seputar telaga, kemudian berkata
dengan suara lantang:
"Touw tayhiap seorang pendekar kenamaan, bagaimana
dapat melakukan perbuatan terkutuk semacam itu" Apakah
ia tidak syang kepada dirinya dan nama baiknya sendiri...?"
Ucapan gadis itu jelas sangat berlainan dengan pikiran
Lo Thian Piu, juga berarti sudah menolak keputusannya.
Lo Thian Piu merasa kehilangan muka, dengan wajah
agak merah ia memotong perkataan Pek Giok Hwa.
"Hian-tit, karena sancu tidak di sini, urusan ini
seharusnya akulah yang bertanggung jawab. Ucapanmu
tadi berarti membela Touw Liong, apakah menganggap
bahwa tindakan yang kuambil itu keliru?"
Pek Giok Hwa buru-buru minta maaf seraya berkata:
"Mana tit-jie berani! Ketahuilah olehmu ji-siok, tit-jie
tidak mintakan ampun buat Touw Liong, juga tidak
mempunyai keberanian begitu besar menentang keputusan
jisiok." Lo Thian Piu tercengang, ia bertanya:
"Kalau begitu, apa maksudmu?"
"Ditilik dari tulisan tangan yang ada di atas salju, jelas
merupakan tulisan ayah. Kalau ayah sudah memastikan
bahwa pembunuh sebelas orang itu adalah Panji Wulung,
tit-jie percaya bahwa anggapan ayah itu pasti mempunyai
dasar yang kuat."
"Hal ini...." Lo Thian Piu hanya berkata demikian saja,
tidak dapat melanjutkan lagi.
Orang tua berbaju kuning yang selama itu diam saja
ketika menyaksikan terjadi pertentangan pikiran antara
orang-orang sendiri, buru-buru menyela ucapan orang tua
berkaki satu. "Jieko, ucapan Hwa-jie juga ada benarnya, tetapi
kedudukan jieko pada saat ini juga harus bersikap demikian.
Menurut pikiranku, kedatangan Touw Liong ialah atas
undangan Hwa-jie, maka urusan ini harus diselesaikan
sendiri oleh Hwa-jie, barulah kita nanti menyampaikan
kepada sepuluh partai besar."
Lo Thian Piu sejenak tampak berpikir, kemudian
menganggukkan kepala, jelas bahwa ia sudah menerima
baik usul kawannya.
Touw Liong sangat berterima kasih kepada Pek Giok
Hwa. Tapi Cui Hui yang bermaksud hendak mengadu domba
Lo Thian Piu lantas berkata sambil tertawa dingin:
"Tulisan di atas salju itu bukan hanya Pek sancu seorang
yang dapat menulisnya. Dalam rimba persilatan dewasa ini
orang yang memiliki kepandaian menulis tulisan di atas
benda keras dengan jari tangan, jumlahnya banyak sekali."
Lo Thian Piu yang masih mendongkol, lantas berkata
dengan suara keras:
"Tutup mulut!"
Kemudian bertanya dengan nada suara dingin:
"Coba sebutkan, siapa-siapa yang memiliki ilmu
kepandaian itu?"
"Tidak perlu jauh-jauh, menurut apa yang aku tahu,
pada dewasa ini di samping sancumu sendiri, masih ada
Touw Liong sendiri, Panji Wulung dan lain-lainnya,
semuanya memiliki kepandaian semacam itu."
Lo Thian Piu seolah-olah ingat sesuatu, ia berpaling
mengawasi tulisan di atas salju, kemudian bertanya:
"Maksudmu, apakah orang she Touw itu setelah
mengantar sebelas kepala manusia itu dengan
menggunakan nama Panji Wulung, lalu meninggalkan
tulisan yang ditulis dengan jari tangan di atas salju,
melimpahkan dosanya kepada Panji Wulung, supaya
sepuluh partai besar rimba persilatan anggap Panji Wulung
sebagai musuh besar mereka" Dan Panji Wulung yang
tidak bersalah, sudah tentu akan marah dengan demikian
akan terjadi pembunuhan besar-besaran dalam rimba
persilatan?"
Cui Hui menyahut sambil menepuk pahanya sendiri:
"Tepat! Ini adalah rencana bagus, yang dinamakan
membunuh orang dengan meminjam senjata orang lain...."
"Sungguh kejam!"
"Suatu rencana keji yang terkutuk!"
Demikian terdengar suara caci maki dari para hadirin.
Touw Liong tak dapat mengendalikan perasaannya lagi,
ia membuka kedoknya dan pakaian samarannya, kemudian
tertawa tergelak-gelak dan berkata dengan suara nyaring.
"Orang she Touw ada di sini, apakah Tuan-tuan sekalian
mau dengar keteranganku?"
Semua orang terkejut, suasana menjadi sunyi. Semua
mata ditujukan kepadanya, dan Touw Liong yang sudah
balik dalam keadaan asalnya, di bawah pandangan mata
orang banyak, berjalan menuju ke danau.
Orang banyak pada terheran-heran, mereka saling
bertanya: "Mengapa suaranya tidak bertenaga" Suara itu mirip
dengan suara orang biasa, mana mirip dengan orang yang
meiliki kepandaian tinggi?"
Lo Yu Im tidak merintangi perbuatan Touw Liong,
bahkan mengikuti di belakangnya memberi perlindungan.
Touw Liong terus berjalan menuju ke tengah danau. Ia
memberi hormat kepada orang tua berkaki satu, kemudian
menyoja kepada Pek Giok Hwa setelah itu baru memberi
hormat kepada semua orang yang berada di sekitarnya,
seraya berkata:
"Tuan-tuan tadi telah memperbincangkan diriku
mengenai pembunuhan sebelas orang yang kepalanya
berada di sini, hal ini aku orang she Touw tidak akan
memberi penjelasan. Jikalau Tuan-tuan akan tetap
menganggap aku sebagai pembunuhnya, aku bersedia
menerima hukuman. Tetapi jikalau Tuan-tuan tidak
mencurigai diriku melakukan perbuatan itu, aku minta
dengan hormat supaya Tuan-tuan suka menunggu sampai
kembalinya Pek sancu, supaya mendapat keterangan, akan
kita lihat bersama-sama siapakah pembunuh yang
sebetulnya?"
Semua orang yang ada di situ pada terkejut, tiada
satupun yang buka suara.
Pek Giok Hwa tiba-tiba mengerutkan alisnya dan
bertanya: "Saudara Touw... kau agaknya sudah kehilangan semua
kekuatan dan kepandaianmu...!"
Touw Liong tertawa menyeringai, kemudian menjawab:
"Memang benar! Semua kepandaian dan kekuatan
tenagaku kini telah musnah."
Mendengar jawaban itu, orang-orang yang pada berdiri
di sekitar telaga, kembali memperdengarkan suara kasakkusuk,
semua mata juga ditujukan kepadanya, agaknya
sangat menyayangkan kepandaian dan ilmu silatnya yag
dimiliki dahulu.
Pek Giok Hwa dengan penuh perhatian bertanya:
"Kepandaian dimusnahkan oleh siapa?"
"Panji Wulung...."
"Panji Wulung?""
"Panji Wulung?"" demikian dari empat penjuru
terdengar suara ribut.
Lo Yu Im dalam hatinya berkata sendiri: Ditilik dari
kekuatan tenaga orang tua ini, memang benar, bukanlah
orang dari golongan sembarangan.
Kemudian ia melangkah maju dan bertanya kepada Lie
Hu San: "Lie pangcu, kau lihat biar jelas, apa dia mirip dengan
seorang berkepandaian tinggi yang dapat membunuh
sebelas orang itu?"
Bukan kepalang terkejutnya Lie Hu San, ditanya
demikian ia tidak dapat menjawab. Matanya berputaran ke
atas diri Touw Liong, untuk sesaat mulutnya bungkam.
Hanya dalam hatinya berpikir: "Tadi malam jelas kulihat
adalah bocah ini, mengapa bisa berubah dengan mendadak"
Jikalau benar kekuatan dan kepandaiannya lenyap
seluruhnya, bukankah ini suatu kejadian yang sangat aneh"
Pek Giok Hwa yang merasa benci kepada Cui Hui tidak
mau membiarkan begitu saja. Dengan nada suara
mengejek, ia berkata:
"Tuan Cui barangkali sudah ingin lekas-lekas menduduki
kursi ketua partainya yang hendak dibentuk, sehingga perlu
mengarang cerita yang bukan-bukan untuk menarik
perhatian orang. Dengan Lie pangcu sengaja mengarang
berita yang menggemparkan, supaya orang tahu bahwa dia
adalah seorang tokoh hebat."
Cui Hui dengan suara marah membantah:
"Dalam peristiwa ini ada beberapa hal yang sangat
mencurigakan, percaya atau tidak terserah kepadamu. Tadi
malam orang yang kusaksikan dengan mata kepalaku
sendiri memang betul adalah pemuda she Touw itu."
Sementara itu Lo Thian Piu dengan sikap dingin
menyemprot Lie Hu San:
"Lie pangcu, kau tadi sudah mengatakan sendiri, jikalau
memberikan laporan palsu, kau harus menerima dosanya,
golongan kita yang baru didirikan harus memegang keras
semua aturan dalam golongan sendiri, sekarang apa
katamu?" "Penasaran!" demikian Lie Hu San berteriak dengan
suara nyaring. "Bagaimana yang kau maksudkan dengan penasaran?"
"Tanya kepada Panji Wulung, siapakah pembunuhnya?"
"Sayang Panji Wulung kini tidak ada di sini."
Lo Thian Piu tiba-tiba menutup mulutnya, buru-buru
memasang telinga, karena dari jauh di bawah bukit tiba-tiba
terdengar suara nyanyian Panji Wulung yang menusuk
telinga. Semula, hanya beberapa orang saja yang
memperhatikan, tetapi lambat laun tidak sedikit orang yang
mencurahkan perhatiannya. Ketika mendengar suara
nyanyian itu makin lama makin menggema, sehingga Touw
Liong yang sudah seperti orang biasa juga dapat
mendengarnya. Sungguh cepat gerakan orang itu! Begitu suara nyanyian
berhenti, lalu berkelebat bayangan orang. Seorang
perempuan tua berambut putih yang mengenakan kerudung
muka kain hitam, di bawah semua mata yang menyaksikan
dengan terheran-heran, telah muncul di permukaan danau.
Perempuan itu begitu menginjakkan kakinya di atas
permukaan danau, lalu dikebut-kebutkan lengan jubahnya,
dan sesaat itu di permukaan danau tampak bayangannya
seolah-olah bergerak-gerak bagaikan naga.


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kibasan lengan jubah itu menimbulkan angin di seputar
danau, sehingga menimbulkan hawa dingin. Semua orang
yang ada di situ wajahnya berubah seketika, mereka buruburu
mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk
menyelamatkan diri masing-masing.
Sesaat kemudian, perempuan tua berkerudung itu berdiri
tegak di tengah danau, dengan suara yang nyaring dan
lantang, bertanya kepada para hadirin yang saat itu masih
menunjukkan sikap terheran-heran:
"Kalian semua sudah melihat dengan tegas atau belum,
siapakah adanya aku si nenek ini?"
Semua orang yang ada di situ pada tercengang dan
terheran-heran, tiada satupun yang berani membuka mulut.
Di antara mereka meskipun ada yang merasa jeri
mendengar nyanyian itu, akan tetapi tiada satupun yang
berani menyebutkan namanya, mereka khawatir akan
mendatangkan bencana kematian.
Tokoh-tokoh kuat rimba persilatan yang jumlahnya
ratusan orang, saat itu semua diliputi oleh perasaan takut,
hingga tidak seorangpun yang berani membuka suara.
JILID 10 Perempuan tua itu memperdengarkan suara tertawa
dingin, kemudian mengulurkan tangannya, dari dalam
sakunya mengeluarkan sebuah panji kecil warna hitam,
panji itu dikibarkan di hadapan Pek Giok Hwa, kemudian
disambitkan ke permukaan danau, batangnya menancap
sedalam dua dim, lalu berkata sambil menunjuk panji kecil
itu: "Apakah mata kalian semua sudah buta, hingga tidak
mengenali siapa adanya orang yang memiliki panji kecil
ini?""
"Panji Wulung !!!" demikian terdengar suara nyaring dari
empat penjuru, akan tetapi mereka semua hanya dapat
mengeluarkan ucapan itu saja, selanjutnya tidak berani
bersuara lagi. Panji Wulung mendongakkan kepala dan mengeluarkan
suara tertawanya yang aneh, suara tertawa itu menggema di
udara sehingga menusuk telinga setiap orang, sedangkan
Touw Liong yang saat iu sudah seperti manusia biasa tidak
sanggup mendengar/menerima goncangan itu, sehingga
menutup telinga dengan kedua tangannya.
Ketika suara itu sirap, Panji Wulung lalu berkata sambil
mengangguk-anggukkan kepala:
"Manusia di mana saja senantiasa bertemu. Bocah, hari
ini kita kembali berjumpa di sini, apakah kau juga ingin
mencampuri persoalan ini?"
Touw Liong diam saja, hanya dengan sikap marah
memandang kepada Panji Wulung. Panji Wulung tidak
menghiraukan keadaan Touw Liong, pelahan-lahan
menggeser kakinya berjalan mendekati Pek Giok Hwa yang
berdiri tegak, kemudian berhenti sejarak satu tombak di
hadapannya. Orang tua berkaki satu dengan menggunakan dua jari
tangannya, hendak mencabut panji yang menancap di
permukaan danau, bersama orang tua berbaju kuning
berjaln ke samping Pek Giok Hwa, mereka siap melindungi
gadis itu. Pek Giok Hwa dengan alis berdiri dan dengan suara
lantang bertanya kepada Panji Wulung:
"Panji Wulung, kau mau apa?"
Perempuan tua itu menjawab sambil tertawa dingin:
"Aku tidak akan berbuat apa-apa. Ayahmu hendak
menjagoi rimba persilatan, hingga mengambil sebelas buah
panji hitam itu. Aku mengiringi kehendak ayahmu, biarlah
ia dapat mencapai maksudnya. Sekarang kuberikan yang
sebuah ini lagi kepadamu, supaya cukup menjadi dua belas
buah." Suara itu penuh misteri juga penuh ancaman.
Maksudnya ialah hari itu Pek Giok Hwa sudah pasti akan
dibinasakan, dan Pek Thian Hiong bukan saja akan
mendapatkan sebuah panji kecil warna hitam itu, tetapi juga
akan mendapatkan puterinya yang sudah menjadi mayat.
Touw Liong mengerti, asal Panji Wulung bergerak, hari
itu Pek Giok Hwa sudah pasti akan binasa di tangannya,
tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, juga tidak mengerti
mengapa sebabnya, ia agaknya merasa berterima kasih atas
ucapan gadis tadi yang telah membela dirinya, maka tanpa
memikirkan keadaannya sendiri, dengan cepat ia mencoba
mencabut gagang panji hitam yang menancap di atas salju.
Perbuatan Touw Liong itu tak ubahnya seperti bercanda
dengan maut, hingga mengejutkan semua orang yang ada di
situ. Perempuan tua itu yang menyaksikan Touw Liong
dengan wajah dan sikap tenang mencabut panji yang berada
di tangannya, sebaliknya malah tercengang. Dalam
terkejutnya ia mengeluarkan suara pelahan, dari sinar
matanya yang tajam, ia terus menatap Touw Liong dan
berkata: "Bocah, apakah kau sudah bosan hidup?"
Ia hanya bertanya demikian, tetapi tidak mengambil
tindakan apa-apa.
Beberapa ratus tokoh rimba persilatan satu persatu
berdiri. Bagaikan patung mereka berdiri, agaknya tidak
seorang pun yang berani memikirkan tentang nasib Touw
Liong. Touw Liong dengan tenang memandang semua orang di
sekitarnya, kemudian alihkan pandangan matanya kepada
perempuan tua itu, setelah itu ia baru berkata lambatlambat:
"Hari ini adalah hari pertemuan semua tokoh rimba
persilatan, untuk membuka pertemuan besar di tempat ini,
kita sebagai orang-orang rimba persilatan, bagaimanapun
juga harus mengindahkan peraturan. Mengenai soal
kepandaian ilmu silat, orang-orang yang berada di sini,
tiada satupun yang dapat mengimbangi kepandaianmu.
Oleh karena itu, maka kau sudah dapat menjagoi dan boleh
berbuat sesukamu! Tetapi orang di jaman dahulu ada
meninggalkan suatu pepatah yang sangat berharga:
Seseorang jikalau mengandalkan kegagahan dan kekerasan,
sudah pasti akan mendatangkan bencana kepada diri
sendiri. Maka itu, manusia harus dapat menaklukkan
sesama manusia dengan kebijaksanaan dan budi pekerti.
Dahuu ketika di gunung Bu-san di puncak gunung Sin-lihong,
kau dengan mudah telah memusnahkan semua
kepandaian ilmu silatku, hari ini jikalau kau hendak
mengambil kepalaku, juga lebih mudah daripada
mengambil barang dari dalam sakumu sendiri, sebetulnya
tidak berarti apa-apa. Tetapi kita lebih dahulu harus
berbicara tentang aturan, supaya semua orang yang ada di
sini mendengar dan menyaksikan untuk melihat siapa yang
benar dan yang salah?"
Perempuan itu terkejut, ia berkata sambil tertawa dingin:
"Hari ini kau berani turun tangan mencabut panji yang
kulemparkan di atas danau ini, itu sudah berarti kau
melanggar peraturan dalam rimba persilatan, apa salah
kalau aku mengatakan bahwa kau sudah bosan hidup?"
Touw Liong tertawa terbahak-bahak, ia mengibarkan
panji yang berada di tangannya seraya berkata:
"Sungguh hebat! Tetapi aku tidak tahu kata-katamu ini
apakah memang tidak tahu dengan sejujurnya, ataukah
pura-pura tidak tahu?"
Kembali perempuan tua itu dikejutkan oleh pertanyaan
itu. Touw Liong mengawasi panji kecil di tangannya, lalu
berkata dengan suara nyaring:
"Panji kecil ini sebetulnya adalah milikku, tetapi
dirampas orang dan ditukar gagangnya. Sekarang barang
ini telah kembali kepada pemiliknya, coba Tuan-tuan pikir,
aku yang salah ataukah orang yang merampas milikku itu
yang bersalah?"
Perempuan tua itu bungkam tak dapat menjawab. Ia
kini berada di kedudukan yang serbasalah, hingga tak tahu
bagaimana harus berbuat.
Touw Liong semakin besar nyalinya. Ia menunjuk
sebelas kepala yang baris berjejer di permukaan danau
Thian-tie, dan kemudian bertanya:
"Apakah kau yang melakukan pembunuhan kepada
orang-orang ini?"
Perempuan tua itu menggeleng-gelengkan kepala,
kemudian mengetukkan tongkatnya dan berkata dengan
suara marah. "Siapa yang menggunakan namaku melakukan
pembunuhan secara serampangan ini" Aku Panji Wulung
akan menangkapnya! Hem! Akan kurobek-robek kulitnya,
biarlah ia merasakan betapa hebat hajaranku."
Touw Liong mengerutkan alisnya, dan bertanya pula
kepadanya: "Apakah kau sudah pernah bertemu muka dengan Pek
Sancu?" Perempuan tua itu menggelengkan kepala, hingga
menimbulkan perasaan curiga Touw Liong. Ia berkata
kepada diri sendiri: "Kalau begitu, siapakah yang usil
menuliskan sebarisan huruf ini?"
Mata perempuan tua itu berputaran, dan bertanya
kepada Touw Liong dengan suara bengis:
"Anak busuk! Siapa yang mencabut sebelas panji kecil
hitam itu?"
"Itu adalah aku sendiri!" jawab Touw Liong sambil
menyoja. "Aaa!!" demikian dari para hadirin terdengar suara
seruan sangat riuh.
Perempuan itu bertanya pula:
"Siapa yang mengantarkan kepala orang-orang ini
kemari?" Touw Liong bersangsi sejenak, kemudian menjawab
dengan tegas: "Wajah orang itu mirip benar dengan wajahku."
"Aaa..." demikian dari empat penjuru terdengar suara
seruan terkejut.
"Kau?" bertanya perempuan tua itu sambil menuding
Touw Liong dengan tongkatnya.
"Bukan aku!" menjawab Touw Liong sambil
menggelengkan kepala.
"Semua kekuatan tenaga dan kepandaianmu sudah
kumusnahkan dengan ilmu tunggalku. Di kolong langit ini,
kecuali Hui-thian Giok-liong Liu cianpwee hidup lagi,
seumur hidupmu ini habislah pamormu. Aku dapat
menduga dengan pasti, bahwa kau tidak memiliki kekuatan
tenaga seperti itu untuk melakukan pembunuhan terhadap
sebelas orang itu. Anak busuk, katakanlah lekas! Siapa
orangnya itu?"
"Wajah orang itu mirip dengan wajahku, nama
julukannya adalah Pelajar Seribu Muka...."
"Pelajar Seribu Muka?"" demikian perempuan tua itu
berkata seperti menjerit, kemudian tampak berkelebat
bayangannya. Sesaat kemudian perempuan tua itu sudah
menghilang dari hadapan mata Touw Liong dan hadapan
mata orang banyak.
Bab 26 Panji Wulung sudah menghilang dari depan mata orang
banyak, namun semua tokoh rimba persilatan yang berada
di situ semua sudah dapat menyaksikan bagaimana
macamnya orang yang menamakan diri Panji Wulung itu!
Siapapun boleh merasa beruntung bahwa batok kepala
mereka masih utuh dan masih tetap di atas badannya.
Ketika para tokoh rimba persilatan itu hendak
meninggalkan tempat itu, semua masih berkesan sangat
dalam terhadap sikap Touw Liong yang begitu berani
menghadapi orang ganas seperti Panji Wulung, hingga
mereka memandangnya dengan rasa hormat terhadap
pemuda itu yang kini sudah musnah kepandaian dan
kekuatan tenaganya.
Tiada suatu perjamuan yang tidak akan berakhir.
Demikian dengan pertemuan para tokoh ini, semua tokoh
rimba persilatan kini telah tiba saatnya untuk bubaran.
Golongan Cit-phoa-san merasa kehilangan muka,
terutama orang tua berkaki satu dan orang tua berbaju
kuning yang hari itu bertindak mewakili tuan rumah.
Ketika berhadapan dengan Panji Wulung agaknya
bernapaspun tidak berani. Oleh karena itu, mereka dengan
diam-diam turut menghilang di antara orang banyak.
Selagi Pek Giok Hwa hendak meninggalkan tempat
pertemuan itu, lebih dulu ia memandang Touw Liong
dengan perasaan bersyukur.
Orang-orang dari golongan sepuluh partai besar masingmasing
membawa pulang kepala manusia dari golongannya
sendiri-sendiri, siapapun tidak berani membicarakan soal
menuntut balas.
Di tengah-tengah danau Thian-tie yang sudah membeku,
kini hanya tinggal sebuah kepala manusia yang penuh
berewok, tiada seorang pun yang merawat, sehingga semua
orang sudah berlalu habis, kepala orang itu tidak ada yang
mengakui. Touw Liong yang sementara itu masih belum pergi,
bertanya kepada Lo Yu Im sambil menunjuk kepada kepala
orang itu: "Apakah enci tahu, orang itu dari golongan mana?"
Tetapi Lo Yu Im hanya angkat pundak sebagai jawaban
bahwa ia tidak tahu.
Touw Ling mengerutkan alisnya sambil berpikir,
kemudian berkata:
"Orang ini pasti salah seorang tokoh kuat dalam rimba
persilatan pada dewasa ini."
"Tetapi siapakah orang itu?" demikian dua orang itu
bertanya-tanya dalam hati masing-masing. Sebab di antara
tokoh kuat dalam rimba persilatan yang mereka kenal,
belum pernah melihat orang itu, juga belum pernah dengar
ada orang mengatakan tentang diri orang itu.
Keadaan danau Thian-tie kini sudah sunyi kembali,
hanya tinggal sebuah kepala itu, dan Touw Liong bersama
Lo Yu Im berdua yang menghadapi kepala itu, merasa
serbasalah. Jikalau mereka tinggalkan begitu saja, rasanya


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak enak, tetapi jikalau mau mengurusinya, tetapi cara
bagaimana mengurusi orang yang belum dikenalnya"
Dua orang itu berunding sebentar, lalu mengambil
kepala manusia itu, untuk sementara oleh Lo Yu Im kepala
itu dibawa dan disimpan ke dalam pagoda yang terdapat di
puncak gunung Thian-ti-hong. Touw Liong lalu berusaha
untuk menghapus tulisan-tulisan yang terdapat di atas
danau yang telah membeku itu, sehingga keadaannya pulih
seperti biasa. Pertemuan besar itu, oleh karena tidak hadirnya Pek
Thian Hiong sehingga menjadi gagal, golongan Cit-phoasan
mau tak mau harus kembali ke tempat asalnya, dan Lie
Hu San kini telah menghilang dari rimba persilatan.
Dauau Thian-tie kini kembali seperti sediakala, sunyi
senyap. Touw Liong meskipun sudah kehilangan seluruh
kepandaiannya, tetapi oleh karena tindakannya yang berani
dalam pertemuan besar itu, telah menunjukkan jiwa
jantannya, hingga namanya semakin kesohor.
Kemanakah sebetulnya Pek Thian Hiong pergi"
Mengapa hingga saat itu ia belum unjuk muka" Tiga wakil
ketuanya ialah orang tua berkaki satu, orang tua berbaju
kuning dan Pek Giok Hwa, semuanya menjadi bingung.
Diam-diam mereka mengirim anak buahnya untuk mencari
jejak ketuanya. Sementara itu di rimba persilatan terjadi
suatu keheranan, karena yang hilang bukan hanya Pek
Thian Hiong saja. Di samping ia masih ada Anak Sakti
dari gunung Bu-san dan Sepasang Burung Hong, yang juga
dikabarkan sudah hilang.
Sementara itu Touw Liong dan Lo Yu Im yang
merupakan orang terakhir meninggalkan danau Thian-tie,
kini hendak melanjutkan perjalanannya ke gunung Oey-san,
setelah itu lalu ke perkampungan Pak-bong-san, hendak
mencari tahu tentang segala keganjilan yang terjadi di
danau Thian-tie.
Selagi mereka turun gunung, di suatu jalanan sempit
telah berpapasan dengan Cui Hui dan semua pengikutnya.
Cui Hui lalu berkata:
"Bocah, hari ini kau telah menggagalkan usahaku,
bahkan membuat aku kehilangan muka. Sekarang semua
anak buahku ada di sini, kau harus tinggalkan batok
kepalamu!"
Lo Yu Im menggeleng-gelengkan kepala, dan berkata
kepada Cui Hui:
"Menggunakan kesempatan selagi orang dalam keadaan
terjepit lalu main keroyok dengan mengandalkan jumlah
orang yang banyak, adakah itu suatu perbuatan yang harus
dilakukan oleh seorang calon ketua satu partai seperti
dirimu itu" Jikalau kau berani, mari kita bertempur satu
lawan satu, baik dengan senjata atau dengan tangan
kosong, aku seorang she Lo bersedia mengiringi
kehendakmu."
"Baik! Baik! Baik! Aku si orang she Cui mendapat
keberuntungan untuk melayani nona bermain-main sejenak,
juga merupakan suatu kehormatan bagiku," berkata Cui
Hui sambil tertawa cengar-cengir.
"Orang she Cui, kau tak perlu banyak bicara, jikalau kau
berani jawablah dengan tegas supaya nonamu dapat
mengambil jiwamu."
"Baiklah! Aku ada maksud hendak bertanding dengan
ilmu serulingmu yang sudah menggemparkan rimba
persilatan itu."
Lo Yu Im tahu bahwa orang she Cui itu sengaja hendak
menghina dirinya dengan kata-kata yang mesum, tetapi
ketika ia menyaksikan keadaan Touw Liong, dalam hatinya
merasa sedih. Ia tidak menjawab perkataan Cui Hui, dari
dalam sakunya mengeluarkan seruling batu gioknya lalu
berkata sambil menganggukkan kepala:
"Aku ingin belajar kenal lebih dahulu dengan
kepandaianmu!"
Touw Liong memberi pesan kepada Lo Yu Im dengan
suara pelahan: "Enci, berlakulah hati-hati. Cui Hui itu sifatnya sangat
kejam dan ganas sekali."
Lo Yu Im menganggukkan kepala. Tiba-tiba ia ingat
bahwa dengan seorang diri ia harus menghadapi Cui Hui,
siapakah yang melindungi Touw Liong"
Sikap itu telah dilihat oleh Cui Hui, maka lalu
memerintahkan kepada empat pengawalnya:
"Pergi! Kalian baik-baik menjaga keselamatan Touw
tayhiap!" Para pengikutnya menurut, mereka segera mengurung
ketat Touw Liong dan Lo Yu Im dengan senjata terhunus.
Pendekar Laknat 9 Golok Halilintar Karya Khu Lung Pukulan Si Kuda Binal 2
^