Bukit Pemakan Manusia 5

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 5


upanya kau kurang bisa menangkap nada suara orang." Dengan wajah serius orang itu berkata:
"Kakek Tiong, aku tidak puas dengan perkataanmu itu, sekarang
aku berani bertaruh dengan kakek Tiong, bila dibelakang tirai tidak
terdapat dua orang perempuan cantik, aku rela mengaku kalah."
Belum habis perkataan itu diucapkan, dari balik tirai telah terdengar
serentetan suara merdu sedang berkumandang:
"Kau berani mempertaruhkan apa?" "Bagaimana kalau nona yang
menentukan?" orang itu balik bertanya sambil tertawa. Perempuan dibalik tirai itu mendengus.
"Hmmm, setiap pertaruhan harus adil, bila kau menang apa
permintaan yang hendak kau ajukan?" "ltu tergantung keputusan nona,
jika kalah apa pula yang hendak kau berikan kepadaku!" Perempuan cantik dibalik tirai itu tampak-nya
agak tertegun, lalu katanya: "Sekarang aku telah memutuskan, bila kau yang kalah maka
kau harus menjadi budak harpaku untuk selamanya!" Orang itu tertawa
tergelak. "Haaahnh.... haaahhh.... haaahhh... kalau memang
bersungguh hati, aku cuma kuatir dicemooh orang!"
Begitu ucapan tersebut diucapkan, paras muka pat-lo segera berubah
hebat. Tapi ucapan dari orang itu belum selesai, kembali katanya: "Sebagai
budak harpa, pekerjaan apa yang harus kukerjakan ?" "Siang
memetik harpa, malam memetik harpa, kami kakak
beradik pergi ke timur, kalian ke timur, kami ke barat kalian juga turut
kebarat!" "Kalau bisa begitu, kalah lebih menguntungkan dari menang, lebih baik
mengaku kalah saja, tak perlu bertaruh lagi!"
Perempuan dibalik tirai itu menjadi terbungkam, Pat-lo juga tak berkata
apa-apa lagi. Sesaat kemudian, dari balik tirai berkumandang suara helaan nafas
panjang, katanya. "Kalau memang tak ingin bertaruh lagi, maaf kalau akupun hendak
mohon diri !" Orang itu menjadi agak gelisah, serunya dengan cepat. "Nona, harap
tunggu sebentar !" "Apa lagi yang hendak kau katakan" "Apabila
pertaruhan ini harus dilakukan juga, aku bersedia untuk
bertarung." Perempuan cantik dibalik tirai itu segera tertawa dingin,
katanya kemudian. "Kalau begitu, katakan dulu, bagaimana jika kau yang
menang ?" "Nona pernah bilang, bila aku kalah, maka selama hidup
harus menjadi budak harpa, bukankah begitu ?" "Betul, aku percaya kau tak
akan secepat itu untuk melupakannya !" Orang itu segera tertawa,
katanya lagi. "Aku tak punya harpa tapi punya pedang, bila nona kalah, bersediakah
kau menjadi budak pedangku ?" Perempuan cantik dibalik tirai bambu itu tidak menjawab, mendengar itu
orang tersebut segera mendesak lebih jauh.
"Dapatkah hal ini diterima, harap nona bersedia memberi jawaban."
Belum juga ada jawaban dari balik tirai bambu itu. Orang tersebut
segera berpaling kearah kakek Tiong segera
berseru dengan suara keras. "Kakek Tiong, nona belum juga
menjawab...?" "Kau suruh nona menjawab apa?" tanya kakek Tiong
sambil berkerut kening. "Menjawab soal pertaruhan itu!" "Haaahhh.... haahhh...
haaahhh... aku lihat kau terlampau seriusl" "Untuk bertaruh tentu saja harus bersikap serius!" ujar orang
itu setelah tertegun. Kakek Tiong menggelengkan kepalanya berulang kali,
katanya: "Apa yang dikatakan nona tak lebih hanya suatu siasat untuk
mengundurkan diri." "Siasat untuk mengundurkan diri" Apakah nona
sudah pergi?" "Yaa, sudah pergi sedari tadi!" sahut kakek Peng. Dengan
cepat orang itu menunjukkan wajah kecewa, katanya: "Kejadian ini
benar benar diluar dugaanku." Kakek Peng tertawa. "Urusan dari nona
Siu memang tak pernah bisa diduga orang
selain Sancu seorang." Suasana menjadi hening untuk beberapa saat lamanya, tiba tiba orang
itu mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya:
"Tolong tanya kakek Peng, apakah Ngo siu terdiri dari dua orang."
Belum habis orang itu berkata, kakek Peng sudah menukas: "Soal ini,
maaf kalau aku tak dapat mengatakannya."
Dengan perasaan apa boleh buat orang itu menggelengkan kepalanya
berulang kali, katanya. "Tak bisa bertemu dengan perempuan cantik, betul-betul merupakan
suatu kejadian yang membuat kecewanya hatiku!"
Kakek Tiong segera tertawa terbahak bahak. "Haaahhh.... haaahhh...
haaahhh.... hanya seorang enghiong yang bisa mengetahui pentingnya perempuan, ucapan anda tidak bisa
kupahami dengan begitu saja." Orang itu kembali menggeleng, sambil beranjak katanya.
"Kegembiraanku sudah hilang, maaf kalau terpaksa aku harus
memohon diri !" Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan siap
berlalu dari situ. Sambil tertawa kakek Tiong segera merentangkan tangannya
menghalangi jalan pergi orang itu, serunya. "Saudara, harap tunggu
sebentar !" "Kakek Tiong masih ada petunjuk apa lagi?" Sambil mempersilankan
tamunya duduk, kakek Tiong berkata. "Sekalipun ada urusan juga
harus diperbincangkan sambil duduk,
silahkan !" Agaknya orang itu dibuat apa boleh buat, terpaksa dia balik
kembali ketempat duduknya. Setelah air teh dipersembahkan
kakek Tiong lantas berkata. "Silahkan meneguk air teh dulu, kemudian lohu akan mengajukan
beberapa persoalan kepadamu." Orang itu memandang sekejap ke arah kakek Tiong, kemudian sambil
menunjuk cawan air teh dihadapannya dia berseru:
"Apakah harus di minum ?" Kakek Tiong tertegun, kemudian
serunya: "Aku lihat ucapanmu itu mengandung maksud lain,
bolehkah aku mengetahuinya ?" Orang itu segera tertawa dingin, ejeknya: "Betulkah
kakek Tiong tidak tahu?" Kakek Tiong segera menggelengkan kepala nya berulang
kali, dengan serius katanya: "Saudara, harap kau katakan dengan berterus
terang." Orang itu tertawa, dia lantas mengambil cawan dan pelan
pelan menuang isinya ke atas lantai. Suatu kejadian yang mengerikan segera
berlangsung didepan mata, segulung asap berwana hijau segera mengepul ke angkasa,
seketika itu juga lantai loteng tersebut terbakar dan berubah menjadi
hangus. Menyaksikan kejadian itu. paras muka kedelapan orang kakek itu
berubah hebat, hawa amarah dengan tepat menyelimuti seluruh wajah
mereka. Sambil mendepak-depakkan kaki keatas lantai, kakek Tiong segera
berteriak keluar ruangan. "Malam ini, siapa yang bertugas meronda dalam istana ?"
"Hamba Sik Puh !" seseorang menyahut dari luar ruangan.
Kakek Tiong segera mendengus. "Kemari !" bentaknya.
Sik Puh mengiakan dan segera muncullah sesosok bayangan berwarna
biru, begitu sampai ditempat tampaklah seorang lelaki kekar berusia
pertengahan yang berwajah tampan muncul didepan mata.
Dia adalah Sik Puh, petugas yang mendapat giliran menjaga dalam
istana Sin-kiong, ketika mengetahui kalau Pat-tek-Pat-lo sedang
menjamu tamunya didalam istana Teng-hong-sian maka dia secara
khusus melakukan penjagaan yang lebih ketat.
Ketika menyaksikan gerakan tubuh Kik Puh ketika melayang naik keatas
loteng orang itu merasa hatinya tergerak dan segera manggut2.
Sebaliknya ketika Sik Puh melirik ke arah orang itu hatinya juga merasa
tergerak. Pada saat itulah, kakek Tiong telah menuding ke papan loteng yang
hangus itu, serunya, "Coba kau perhatikan tempat itu!"
Menyaksikan keadaan dari lantai loteng itu, di paras muka Sik Puh
berubah hebat, namun dia tidak berkata apa-apa.
"Sudah kau lihat dengan jelas?" kembali kakek Tiong membentak
"Hamba sudah melihat jelas !" "Bawa kemari orang tersebut !"
bentak kakek Tiong lagi. Sik Puh agak tertegun, sebelum dia
berkata, kakek Peng dengan wajah sedingin es telah berkata. "Bagaimana " Merasa susah ?" Sik Puh
segera menundukkan kepalanya rendah-rendah, setelah
memberi hormat sahutnya: "Harap Tionglo maklum, jumlah orang yang
berada dalam istana Sin kiong banyak sekali...." "Goblok" tukas kakek Peng segera. "orang
yang turut hadir di atas Teng-hong sian malam ini cuma sepuluh orang."
"Maaf Tianglo, hamba telah salah berbicara" buru-buru Sik Puh meralat
kata-katanya. Kemudian setelah berhenti sebentar, sekali lagi dia memberi hormat
seraya berkata: "Hamba memohon, Tianglo bersedia mem beri batas waktu satu
kentongan kepada hamba." Kakek Peng segera memandang ke arah kakek Tiong segera
mendengus dingin, serunya: "Untuk mencari seorang anjing laknat yang melepaskan racun saja,
masa membutuhkan satu kentongan ?"
"Hamba harus membongkar kasus ini sampai tuntas." Kakek Ho
memang berhati bijaksana, cepat dia berseru. "Baik, baiklah, cepat
laksanakan tugas ini!" Bagaikan mendapat
ampunan, Sik Puh segera mengiakan dan mengundurkan diri dari situ
Tiba-tiba kakek Tiong menambahkan "Lohu mengharapkan yang hidup,
bila dia sampai mati, membiarkan kau tetappun tak ada gunanya !"
Mendengar perkataan itu Sik Puh segera berhenti, jawabnya. "Hamba
pasti akan melaksanakan sedapat mungkin !" "Kalau begitu bagus
sekali, cepat pergi !" seru kakek Tiong
sambil mengulapkan tangan nya. Kali ini Sik Puh tidak menanti lagi, dia
segera membalikkan badan dan berlalu dari situ. Setelah Sik Puh pergi, kakek Tiong baru
mengambil cawan teh yang dipergunakan orang itu, mengendusnya sebentar, gelengkan
kepala dan mengeluarkan hendak, kemudian membungkus daun teh itu
dan meletakkannya diatas meja. Setelah itu dengan nada minta maaf dia ber kata kepada orang sambil
tertawa rikuh. "Saudara, apa yang harus kukatakan ?" "Tampaknya orang itu
memang pelupa." sambil tertegun
katanya, "Kakek Tiong, apa yang kau maksudkan ?" Sekali lagi kakek
Tiong tertawa rikuh. "Aah, kau ini memang pandai berlagak !"
gumamnya. Setelah berhenti sejenak dia lantas mengalihkan pokok
pembicaraan ke soal lain, katanya. "Aku percaya kau tentunya tak akan
menuduh kami delapan bersaudara bukan ?" Sekarang orang itu baru berseru tertahan. Sambil
menuding kearah daun teh yang berada dalam handuk,
katanya. "Apakah itu kakek Tiong maksudkan permainan itu?" "Kan,
hanya permainan ini saja yang membuat lohu bersaudara
menjadi rikuh." Belum habis dia berkata, orang itu sudah tertawa,
serunya. "Perkataan apakah itu" Masa aku akan menaruh curiga kepada
kalian berdelapan ?" Kakek Tiong menghembuskan rasa mangkel dan
kesal didalam hati, kemudian katanya. "Saudara, ucapan dari Sik Puh tadi..." "Aku
telah mendengarnya semua !" sahut orang itu cepat. Kakek Tiong
tertawa. "Kalau begitu bagus sekali, bagaimana kalau seandainya kau
menanti satu kentongan lagi disini?" "Menurut pendapatku rasarya tak
usah di tunggu lagi !" ucap orang itu sambil tertawa. Mendengar jawaban tersebut paras muka delapan arang kakek itu
berubah hebat. Pertama-tama kakek Peng yang berkata lebih dulu: "Kenapa "
Apakah kau tidak percaya kalau kami delapan
bersaudara tak sanggup untuk menemukan pembunuh yang telah
melepaskan racun itu ?" BAB DUA BELAS - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
"KAKEK BERDELAPAN!" ucap orang itu sambil tersenyum, "Bukannya aku
gemar bertaruh tapi dalam peristiwa ini."
"Baik, aku akan bertaruh denganmu!" cepat kakek Peng menyela,
Orang itu memandang sekejap kearah kakek Peng dan ujarnya:
"Kakek Peng pribadi yang akan bertaruh denganku atau kalian
berdelapan?" Kakek Peng akan menjawab, tetapi kakek Tiong segera
mengulapkan tangannya tukasnya. "Tolong tanya, apakah taruhan ini
dapat diperjelaskan?" "Aku rasa, walaupun kalian berdelapan sangat
berhasrat untuk menemukan pembunuh itu, sekalipun Sik Puh tayhiap telah
mengerahkan segenap tenaganya untuk melakukan penyelidikan aku
kuatir pada akhirnya cuma hasil yang nihil belaka!"
"Ooya" kalau, toh kau berani berkata demikian itu berarti kau sudah
mempunyai dasar-dasar alasan yang kuat, apakah kami boleh
mengetahuinya?" "Maaf, soal ini tak dapat kukatakan!" "Jadi kalau begitu, kau
bersikeras untuk bertaruh?" tak tahan
kakek Peng berseru. "Haaahhh .... haaahhh ... . haaah .. .. kalau cuma kau seorang, tentu
saja pertaruhan ini tak akan bisa dilangsungkan."
Kakek Tiong beikerut kening, setelah termenung sebentar, akhirnya dia
berkata: "Baik, kita bertaruh!" Dengan wajah serius orang itu lantas berkata:
"Kakek Tiong, aku hendak mengatakannya lebih dulu, bila ingin
bertaruh maka aku hanya akan bertaruh dengan pat tek patlo, kecuali
itu siapa pun tidak berlaku!" "Bertaruh, bertaruh, bertaruh, lohu berdelapan sudah bertekad untuk
mengikat tali persahabatan denganmu!"
"Aku bilang, kalian berdelapan tak akan berhasil menemukan pembunuh
tersebut !" kata orang itu bersungguh-sungguh.
"Lohu bersaudara beranggapan pembunuh itu tak bakal lolos !"
Orang itu segera tertawa dingin, katanya. "Batas waktunya adalah
satu kentongan, kentongan keempat nanti menang kalah bisa ditentukan !" "Baik, kua tetapkan dengan
sepatah kata, bila sebelum kentongan ke empat pembunuh itu berhasil ditemukan maka kau yang
kalah, sebaliknya jika selewatnya kentongan keempat pembunuh itu
belum juga ditemukan, maka kau lah yang menang !"
Orang itu memandang sekejap ke arah delapan kakek itu, kemudian
katanya. "Kakek Tiong, apakah perkataanmu itu bagaikan hitam diatas putih....
?" "Apa yang telah lohu bersaudara ucapkan, sampai matipun tak pernah
disesali!"

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Haa... haa... haaa... haaaa bagus-bagus sekali, kalau begitu kita
tetapkan begitu saja, sekarang sudah seharusnya kalau kita bicarakan
soal taruhannya!" Kakek Tiong melirik sekejap kearah orang itu, dan kemudian katanya.
"Kaulah yang bersikeras menantang kami untuk bertaruh, mengapa tidak
kau katakan dulu taruhannya yang sudah kau siapkan itu?"
Sekali lagi orang itu terbahak bahak, "Haaa.... haa... haaa.... sungguh
hebat!" Sesudah berhenti sejenak, lanjutnya. "Seandainya aku menang,
mulai besok aku berhak menjadi tamu
istana Sinkiong, setiap saat, dikala aku menjadi tamu, maka kalian
berdelapan berkewajiban untuk .... melindungi keselamatan jiwaku!"
Mendengar perkataan tersebut, ke delapan orang kakek itu saling
berpandangan sekejap. Kakek Jin dan kakek Tiong segera tertawa terbahak-bahak serunya.
"Suatu perhitungan yang amat jitu, cuma lohu bersaudara bersedia
meluluskan permintaanmu itu!" Orang itu segera tertawa, ucapnya: "Harap kakek Jin dan kakek Tiong
jangan sembarangan menjawab, karena masalah ini besar sekali artinya!" Kakek Jin kembali
tertawa terbahak-bahak "Cukup saudara,
dengan mengandalkan keberanianmu itu, bahkan lohu bersaudara pun
dianggap remeh, apalagi kebetulan Sancu tak ada dirumah, lohu tidak
percaya kalau ada orang yang sanggup menghalangi dirimu"
"Kakek Jin, taruhanku toh belum kuucapkan."
"Ooooh.. sungguh menarik, apapun yang kau ajukan, lohu bersaudara
pasti meluluskan!" Mendadak orang itu berubah menjadi amat serius, katanya: "Selama
aku menjadi tamu kehormatan dari kalian berdelapan,
aku berhak menampik terhadap orang-orang yang tak ingin kujumpai"
"Baik, masih ada yang lain?" kata kakek Jin sambil manggut- manggut.
Orang itu segera menggelengkan kepalanya. "Sekarang giliran aku
yang meminta petunjuk dari kalian berdelapan, taruhan apakah yang hendak kalian ajukan." Kakek Jin
segera memandang sekejap kearah kakek Tiong, ketika
kakek Tiong mengangguk kakek Jin baru berkata. "Tarunan yang akan
kami ajukanpun terdiri dari dua bagian,
pertama kau harus melayani kami selama satu tahun didalam istana Sin
kiong, kedua kau harus memperlihatkan wajah aslimu serta
menyebutkan nama serta maksud kedatanganmu !"
Orang itu segera mengangguk. "Baik, apakah masih ada syarat
sampingan lainnya?" dia bertanya, Kakek Jin menggeleng.
"Cuma dua itu saja, tanpa syarat sampingan lainnya lagi." "Maaf
kakek berdelapan, aku mempunyai sarat sampingan yang
hendak kuajukan !" ujar orang itu sambil tertawa. Kakek Tiong segera
berkerut kening katanya. "Apakah kau tidak merasa kebangetan ?"
Sahut orang itu dengan serius. "Syarat sampingan ini harus kuterangkan
lebih dulu !" "Baik.... baik," seru kakek Jin sambil tertawa, "silahkan kau
utarakan kepada kami!" "Andaikata orang yang melepaskan racun itu baru ditemukan
selewatnya kentongan ke empat, bagaimana pula keputusannya ?"
"Selewatnya kentongan ke empat, tentu saja kau yang dianggap
menangkap peraturan ini" Orang itu segera menggelengkan kepalanya berulang kali. "Soal
menang kalah sudah kita bicarakan, sekarang aku hendak
menanyakan apa yang hendak dilakukan terhadap orang yang
melepaskan racun itu?" "Hal itu merupakan urusan dari lohu bersaudara!" Orang itu segera
tertawa. "Aku rasa seandainya orang itu mengakui sendiri, sudah
sepantasnya kalau ia memperoleh pengampunan !" "Harus mendapat
pengampunan ?" kakek Tiong agak tertegun
setelah mendengar perkataan itu, "kau...." "Kakek Tiong, yang menjadi
korban adalah aku, maka aku merasa berhak untuk mengajukan permintaan ini !" Kakek Tiong berpikir
sejenak, akhirnya dia menjawab: "Maksudmu, apakah lohu ber saudara tak usah mempersoalkan
kesalahannya itu ?" "Ehmm,... atau lebih tegasnya, entah siapa saja orang itu, tidak
seharusnya kalian memberi hukuman kepadanya !"
Setelah mendengar perkataan itu, seakan-akan menyadari akan sesuatu,
mendadak kakek Jin bertanya: "Apakah kau telah mengetahui siapa
gerangan orang itu ?" "Yaa, dan sekarang maaf kalau aku tak dapat memberitahukan kepada
kalian !" Merah padam selembar wajah kakek Tiong katanya: "Lohu amat
takluk kepadamu, baiklah syarat inipun akan lohu
sekalian luluskan !" "Kakek Tiong segera tertawa ter-bahak2. "Haahh... haah... haaa...
lohu sudah memahami perkataanmu itu,
dan aku meluluskan !" "Haah... haah.... kalau begitu, kuwakili orang itu
mengucapkan banyak terima kasih dulu ke pada kakek Tiong !" Selesai berkata, dia
lantas memberi hormat kepada kakek Tiong, Diam-diam kakek Tiong
menggelengkan kepalanya beruang kali,
sedangkan Kakek Jin yang berada disampingnya segera berkata:
"Saudara, untuk menunggu tibanya saat, rasanya masih ada
waktu yang teramat panjang, kalau cuma menunggu melulu bukankah
tindakan ini terlalu bodoh ?" Tiba-tiba orang itu mengusulkan kembali. "Kakek Jin adalah seorang
yang pandai sekali, aku usulkan bagaimana kalau kita undang kehadiran
Ngo siu ?" Kakek Tiong segera berkerut kening, selanya. "Terus terang saja
kukatakan, kedudukan mereka teramat
istimewa, kami tak berani menganggunya !" Orang itu melirik sekejap
kearah kakek Tiong, kemudian katanya, "Kakek Tiong, beranikah kau
bertaruh lagi!" Kakek Tiong segera tertegun. "Hei tampaknya kau
benar-benar keracunan bertaruh !" serunya. "Haah... haah... haah...
ucapan dari kakek Tiong benar-benar
membuat diriku merasa jengah !" Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba
katanya. "Taruhan ini boleh tak usah diselanggarakan tapi apa salahnya
kalau kakek Tiong mencoba." Kakek Tiong
segera menggeleng, katanya. "Saudara, kau tidak mengerti, untuk mengundang kehadiran mereka
memerlukan adanya lencana kemala, padahal..."
Sambil menggeleng orang itu segera menukas. "Aku percaya, asal
kita mengutus orang untuk menyampaikan
beberapa patah kata saja, sudah pasti dia akan datang kemari !"
Mendengar perkataan itu, Pat tek pat lo menjadi tertegun. Kakek Hoo
segera menggelengkan kepalanya berulang kali,
katanya. "Kau toh bukan dewa." !Apa salahnya kalau kita coba?" kata
orang itu dengan keyakinan yang besar, "andaikata dia bersedia datang, bukankah kita akan
memperoleh teman lebih banyak ?"
"Apakah kau sangat yakin dengan ucapanmu itu ?" tanya kakek Kim
sambil beranjak. Orang itu mengangguk. "Bila kakek Kim tidak puas, silahkan
mengundang seorang utusan datang kemari, lihat saja hanya mengandalkan dua tiga patah kata,
dapat mengundang datang dirinya ditempat itu?"
Kakek Sim segera berpaling ke arah kakek Tiong, lalu katanya:
"Toako, apakah kau percaya dengan perkataannya itu ?" Kakek Tiong
menggeleng. "Benar-benar sukar dipercaya, apalagi..." Orang itu
segera menukas sambil tertawa. "Kakek Tiong, bila
persoalan ini tidak sukar, tak akan dianggap sesuatu yang aneh !"
Kakek Tiong mengerutkan dahinya rapat-rapat, dia tetap tidak
meluluskan untuk melakukan percobaan. Melihat itu, orang tersebut
memutar biji matanya, lalu berkata.
"Bila kakek Tiong mempunyai kesulitan, anggap saja hal ini sebagai
suatu bahan cerita saja." Kakek Tiong memandang orang itu sekejap, agaknya dia telah
mengambil keputusan, ujar nya kemudian: "Tak ada gunanya kau
berusaha untuk membakar hatiku, cuma lohu memang ingin sekali
menyaksikan kehebatanmu itu !"
Kakek Sim dan kakek Peng segera memahami ucapan toakonya,
mereka hanya tersenyum tidak menjawab.
Terdengar kakek Tiong berkata lagi. "Kau bilang, hanya
mengandalkan tiga lima patah kata, mereka
sudah dapat kau undang kemari ?" "Yaaa, sekalipun tidak diundang
dengan lencana giok-pay, aku jamin dia pasti datang !" Kakek Tiong mengerling sekejap kearah orang
itu, kemudian berkata: "Seandainya bisa begitu, lohu pasti akan merasa puas dan
benar-benar takluk "!" Berbicara sampai disitu, kakek Tiong lantas memberi tanda kepada
kakek Sim. Kakek Sim pun segera berseru ke arah luar ruangan "Yu kim, di mana
kau ?" Seseorang mengiakan dan masuk ke dalam ruangan Teng-hong- sian.
Yu kim berusia empat puluh tahunan, tampaknya cukup banyak
pengalamannya. Sambil menuding ke arah orang itu, kakek Sim berkata kemudian.
"Dia adalah tamu agung kami pada malam ini, beri hormat dulu
kepadanya!" Yu Kim memberi hormat yang segera dibalas orang itu, maka kakek Kim
berkata lebih lanjut. "Yu Kim, kau harus dengarkan baik-baik beberapa patah kata yang
hendak disampaikan tamu agung ini, kemudian sampaikan kepadai
"Ngo-siu", apa yang dikatakan tamu agung ini, katakan pula kepada
Ngo-siu tanpa ditambah atau dikurangi, mengerti !"
"Hamba mengerti." Sambil tertawa kakek Sim lantas berkata. "Kalau
begitu, dengarkan baik-baik perkataan dari tamu agung
ini!" Sementara itu, orang tadi sudah memberi hormat kepada Yu Kim
sambil berkata. "Sobat Yu, kali ini terpaksa aku harus merepotkan
dirimu." "Silahkan tamu agung memberi perintah sudah menjadi
kewajiban hamba untuk melaksanakannya." Orang itu segera tertawa,
ujarnya. "Sahabat Yu,setelah berjumpa dengan nona nanti, harap
beritahu kepada nona bahwa seorang tamu agung yang di jumpainya dalam
ruang Teng-hong-sian dengan sebuah tirai bambu sebagai batasnya
tadi sudah diracuni orang." "Kini sobat Sik Puh mendapat perintah untuk melacaki pembunuhnya,
kata tamu itu pembunuh sebetulnya sukar ditemukan, oleh sebab itu
tolong sobat Yu bersedia memberitahu kepadanya, harap dia datang
untuk menyelidiki peristiwa itu !"
"Hanya kafa-kata itu saja ?" tanya Yu Kim. "Benar, beberapa patah
kata itupun sudah lebih dari cukup !" Yu Kim tidak berbicara lagi,
kepada kakek Sim dia lantas berkata:
"Hamba memohon agar kakek Sim menyerahkan lencana Giok-pay !"
Sebelum kakek Sim memberi penjelasan orang itu telah berkata lebih
duluan: "Sobat Yu, untuk kali ini tak perlu diundang dengan lencana Giok- pay,
percayalah dia pasti akan datang !"
Mendengar perkataan itu Yu Kim tertegun, sorot matanya segera
dialihkan ke wajah kakek Sim. Dengan kening berkerut kakek Sim berkata: "Pergilah, lakukan saja
apa yang telah dikatakan oleh tamu agung kita itu !" Yu Kim tak berani bertanya lagi, dengan hormat dia
mengiakan Ialu mengundurkan diri. Menanti Yu kim mengundurkan diri, ke delapan
orang kakek itu lalu saling berpandangan sekejap. Kepada orang itu, kakek Tiong
berkata: "Saudara, kau mempunyai keyakinan berapa bagian?" Orang
itu tertawa, dia segera bertanya: "Kakek Tiong dan kau yakin berapa?"
Setelah mengelus jenggotnya, sahut kakek Tiong, "Berbicara
terus terang, dalam sepuluh bagian aku yakin sembilan bagian tidak!"
Sekali lagi orang itu tertawa. "Kakek Tiong, jika kau sudah meyakini
sembilan bagian, dan sudah sepantasnya kalau berani bertaruh denganku!" "Tidak, aku tak
mau bertaruh" kata kakek Tiong sambil
menggeleng, "kecuali aku yakin sepuluh bagian, kalau tidak tak
nantinya lohu akan bertaruh lagi denganmu!"
"Oooh...! Mengapa demikian?" Kakek Tiong mengerling sekejap ke
arah orang itu, lalu sahutnya: "Tahu diri tahu orang lain seratus kali
bertarung seratus kali barulah menang, sekarang lohu masih belum mencapai
ketaraf itu" Tiba-tiba paras muka orang itu berubah menjadi amat serius, katanya:
"Kakek Tiong, dengan sepatah katamu itu sudah cukup buat diriku
untuk mengubah diri." Kakek Gi yang selama ini tak pernah berbicara, tiba-tiba menimbrung
dari samping. "Engkoh cilik, bagaimana kalau kita berbincang-bincang?" "Bila kau
orang tua bersedia membuka suara dengan senang hati
aku sedia mendengarnya." Dua orang ini sangat aneh, kakek Gi tidak
menyebut orang ini sebagai "Saudara", dan orang itupun tidak menyebut kakek itu sebagai
kakek Gi, sejak awal pembicaraan sikapnya terasa lebih jauh, mesra dan
akrab. Sambil tertawa kakek Gi berkata lagi: "Engkoh cilik, sampai kapankah
topeng kulit manusia yang kau pakai itu baru bisa kau lepas" "Terus terang saja orang tua, aku ini
sedang menyamar, tapi tidak mengenakan topeng kulit apapun!" Merah padam selembar wajah
kakek Gi karena jengah, katanya kemudian. "Aaai. . aku memang sudah tua, baru babak pertama sudah
kena dibikin keok oleh engkoh cilik ini" Orang itu segera menggelengkan
kepalanya dan berkata.. "Menang atau kalah adalah suatu hal biasa,
sepantasnya kalau kau orang tua naik kembali keatas kuda untuk berduel lebih jauh" "Haa...
haa... haaa bagus sekali engkoh cilik, sambutlah
seranganku yang kedua ini" Setelah
berhenti sebentar, lanjutnya: "Engkoh cilik, sekarang apakah kau sedang menjadi tamu agungnya
perkampungan Beng-keh san ceng?"
"Hei orang tua, harap berhenti dulu, kau sepantas-nyalah memberi
kesempatan kepadaku untuk naik kuda lebih dulu!"
Mendengar ucapan tersebut, delapan orang kakek itu segera tertawa
tergelak-gelak. Setelah tertawa, kakek Gi berkata. "Bagaimana dengan kuda
tunggangan engkoh cilik ?" "Yaa, masih bisa dipakai bertempur!"
"Yaa, enghiong memang muncul dimasa muda!" seru kakek Gi.
Setelah berhenti sebentar, lanjutnya: "Apakah nama marga engkoh
cilik berada pada posisi "ketiga?"" (perlu diterangkan, dalam urutan
nama marga maka pada urutan ketiga adalah nama dari marga SUN. jadi yang dimaksud kakek
Gi diatas, adalah, apa kau dari marga Sun?")
Orang itu segera tertawa terbahak-bahak. "Haa... haa.... ha... kali ini
aku betul-betul kena terjebak, selain
kudaku hilang, akupun terbanting dari atas pelana kuda." Kakek Gi


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera menepuk paha, berseru: "Aaaah, rupanya engkoh cilik! Mari,
mari bersihkan dulu kotoran di wajahmu itu!" Tapi orang itu segera menggeleng. "Secara beruntun
aku sudah kena di banting dari atas kuda
sebanyak dua kali, kali ini aku harus membalas dariku.." "Aku telah
mempersiapkan diri, cuma takutnya engkoh cilik harus
mundur dengan nihil!" "Aah, belum tentu demikian." kata orang itu-sambil
memancarkan sinar mata yang tajam. Tiba tiba sambil menuding kearah kakek yang bernama Gi, katanya
kembali: "Sebelum sancu pergi dari sini, tentu ia telah mengatakan sesuatu
kepada kalian ber delapan bukan ?"
Kakek Gi memandangi orang itu sekejap, kemudian tertawa
terbahak-bahak. "Haaah... haaaahhh... haaaahh... benar kita sudah
bertanding empat babak dengan hasil seri, bagaimana kalau kita
menarik pasukan sekarang ?" "Memang cocok dengan suara hatiku" jawab orang itu sambil tersenyum
hangat, "dan pada nantinya kita terperosok dalam keadaan yang lebih
runyam lagi!" Baru selesai dia berkata, kakek Gi telah berkata kepada kakek Tiong:
"Toako, apakah engkoh cilik ini yang dimaksud sancu sebagai orang
yang perlu kita awasi ?" Kakek Tiong mengangguk. "Dalam tanya jawab tadipun aku sudah
mengetahui akan hal ini !" Belum habis dia berkata, tiba tiba terdengar suara Yu Kim telah
berkumandang datang dari luar ruangan: "Nona Siu tiba !" Ucapan itu
dengan cepat membuat ke delapan orang kakek itu
menjadi kaget bercampur tertegun. Orang itulah yang tiba-tiba
menyadarkan mereka: "Kakek Tiong, jangan tertegun meluIu, cepat menyambut
kedatangannya !" Ia berkata demikian, tapi orang yang sudah beranjak menuju kemulut
loteng sebelah depan. Kakek Tiong segera melangkah kedepan sambil berseru:
"Saudara, kau hendak kemana ?"
"Menurut pendapat kakek Tiong, aku hendak kemana ?" Kakek Tiong
segera menggelengkan kepala nya berulang kali,
katanya: "Lohu tak ingin menduga secara ngawur, lebih baik kau sendiri
saja yang menjawab !" Sambil menuding keluar ruangan, orang itu berkata: "Kedatangan
nona Siu ini toh bukan diundang oleh lencana Giok
pay ....?" "Lohu tahu tapi kenapa pula?" "Tidak apa apa, masa kita tidak
seharusnya menyambut kedatangannya?" Sambil tertawa kembali kakek Tiong menggelengkan
kepalanya berulang kali. "Kau adalah tamu agung, kami tidak berani terlalu
merepotkan dirimu." "Aaaah! Kakek Tiong tindak seharusnya berkata demikian,
bagaimanapun juga kedatangan nona Siu adalah lantaran diriku, mana
boleh aku bersikap karang hormat."
Kakek Tiong bungkam seribu bahasa, dan sesungguhnya dia memang
mempunyai kejutan sehingga tak dapat membiarkan orang ini pergi
menyambut kedatangan nona itu. Tiba-tiba muncul sebuah akal cerdik didalam benaknya, dia lantas
memberi tanda kepada tujuh orang kakek lainnya sambil berkata:
"Adik Siau, wakililah aku untuk menyambut kedatangannya !" Setelah
terhenti sejenak, dia baru berkata kepada orang itu:
"Silahkan saudara, mari kita pergi berdua !" Orang itu benar-benar
sangat aneh, tiba-tiba dia menggelengkan
kepalanya seraya berkata: "Sudahlah, lebih baik kakek Tiong saja yang
menyambut kedatangannya." Selesai berkata, sambil bergendong tangan dia lantas balik kembali
ketempat semula dan duduk. Kakek Tiong mengerutkan dahinya sambil menaruh curiga, sementara
Kakek Siau telah - turun dari ruangan itu.
Tak lama kemudian, kakek Siau telah muncul seorang diri, sambil
menuding kearah orang itu, serunya: "Saudara, kau... Kau..."
Ternyata dia tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Dengan
perasaan tidak habis mengerti, kakek Tiong lantas
berbisik dengan suara lirih: "Sebenarnya apa yang telah terjadi?" "Nona
Siu telah melalui jalanan yang lain, sekarang dia sudah
duduk di belakang tirai bambu itu!" Mendengar perkataan itu, dengan
perasaan terkesiap kakek Tiong mendengus, bisiknya lagi: "Adik Siau, maksudmu dia sudah tahu
akan hal ini, maka dia tidak bersikeras pergi menyambut?" "Yu Kim yang mewakili nona Siu
menyampaikan perkataan, katanya... katanya..." "Apa yang dia katakan?" tukas kakek Tiong amat
gelisah. Kakek Siu melirik sekejap kearah orang itu, kemudian
bisiknya: "Nona Siu bilang, orang itu memiliki tenaga dalam yang
benarbenar luar biasa hebatnya!" "Aaaah, begitukah, lantas..." Sementara
kakek beradik itu bercakap-cakap dimulut loteng,
orang itupun sudah melangsungkan pembicaraan rahasia dengan nona
Siu dengan sebuah tirai bambu sebagai penyekatnya.
Kakek Tiong dan kakek Siau saling bertukar pandangan sekejap,
kemudian merekapun balik ke tempat duduknya.
Waktu itu, kebetulan nona Siu sedang berkata.
"Kecerdasanmu benar benar luar biasa sekali darimana-kau bisa
menduga kalau aku pasti akan datang kemari?"
Orang itu segera bangkit memberi hormat dan menjawab dengan
lembut. "Oleh karena nona mempunyai hati pousat, hati yang bajik." "Kalau
begitu, adalah karena atas kemauanku sendiri?" kata nona
Siu sambil tertawa. "Setelah nona mendapat laporan yang mengatakan
aku sudah keracunan, sudah sewajar nya bila kau datang menengok." "Oooh... aku
rasa kau telah salah menduga, selama berada
dalam istana Sin-kiong, aku hanya bertugas untuk menyelenggarakan
pesta musik, soal tanggung jawab untuk melacaki orang yang melepaskan
racun itu merupakan tugas dari delapan kakek !"
Orang itu tertawa, kembali katanya: "Aku tidak ingin mendebat
kata-kata nona, apalagi nonapun tak akan bisa melepaskan diri dengan
begitu saja !" "Oooh... cocokkah dengan kata kata tersebut ?" "ltu tergantung pada
nona sendiri !" "Hmmm ! Kini aku ingin bertanya kepada saudara..."
"Aku rasa penggunaan kata kataku tadi sudah paling cocok
sekali." "Kau benar-benar amat tekebur !" bentak nona Siu. Orang itu
segera tertawa. "Aku sebagai tami agungnya Pat-lo, ternyata ada orang
yang bermaksud untuk mencelakai diriku secara diam-diam, bahkan air tehku
dicampuri racun, bila Pat-lo merasa sulit untuk menemukan siapa
pembunuhnya, apakah nona bisa melepaskan diri dengan begitu saja ?"
Agaknya nona Siu merasa sulit untuk menjawab pertanyaan itu, maka
dia terbungkam dalam seribu bahasa.
Kebetulan sekali, pada saat itulah dalam ruang loteng berkumandang
suara kentongan yang menandakan kentongan keempat.
Orang itu segera menatap sekejap kearah kakek Tiong, lalu ujarnya
sambil tertawa: "Kakek Tiong, sudah kentongan kempat bukan "!" Paras muka kakek
Tiong berubah, sahutnya: "Benar, kau berhasil menangkan
pertaruhan ini, lohu bersaudara pasti akan memegang janji" Kembali orang itu tertawa. "Mengapa kakek
Tiong tidak mengundang sobat Sik datang
kemari untuk ditanyai keadaan yang sebenarnya?" Baru saja kakek
Tiong akan memanggil Sik Puh, nona Siu telah
berkata lagi. "Kakek Tiong, pertaruhan apakah yang sedang kalian
langsungkan?" Dengan paras muka merah padam karena jengah, kakek
Tiong segera menceritakan pengalamannya secara ringkas. Selesai
mendengar kisah tersebut, tiba tiba nona Siu menghela
napas panjang, katanya: "Benar-benar kekalahan yang tragis, taruhan
yang kalian pertaruhkan pun terlalu besar!" Mendengar perkataan itu, delapan
kakek tersebut agak tertegun, kakek Tiong segera berkata. "Kenapa bisa dibilang kekalahan yang
tragis" dia toh tamu agung yang sedang berkunjung didalam istana Sin kiong dari kami berdelapan,
tapi kenyataannya ada orang yang berani bermain gila
dihadapan kami semua, andaikata peristiwa ini tidak diselidiki sampai
tuntas, harus ditaruh kemanakah wajah lohu berdelapan?"
Sekali lagi nona Siu menghela napas panjang. "Aaai... menyelidiki
peristiwa itu sampai tuntas memang merupakan kewajiban kalian, tapi kalian toh tak perlu bertaruh sambil
memberi janji-janjinya." "Tapi keadaan mendesak kami, bagaimana mungkin kami berdelapan
bisa menampiknya?" "Kalau begitu, aku ingin bertanya kepada kakek Tiong, apa yang
hendak kau lakukan sekarang?" Kakek Tiong mengerutkan dahinya rapat rapat, lalu menjawab:
"Sederhana sekali, apa yang telah kami ucapkan, harus
dilaksanakan dengan sungguh hati, apalagi kami ada dipihak yang
kalah, tentu saja kami harus..."
"Kakek Tiong, kau hanya berpikir satu tapi melupakan dua, betul kalian
tak bisa menahan diri ketika itu, tapi tahukah kalian, justru dengan
pertaruhan itu maka kekalahan yang kalian alami semakin tragis !"
tukas nona Siu. Setelah berhenti sebentar dan menghela napas, dia melanjutkan:
"Sekarang urusan sudah menjadi begini, banyak berbicarapun tak ada
gunanya." Mencorong sinar tajam dari balik mata kakek Tiong, katanya kemudian.
"Nona toh mengetahui watak dari lohu bersaudara, sekalipun yang
dipertaruhkan adalah batok kepala sendiri, bila kalah kami akan tetap
membayar batok kepala kami ini, dan orang itu harus dicari terus sampai
ketemu !" "Kakek Tiong, sudah kau temukankah orang itu ?" nona Siu kembali
bertanya. -ooo0dw0oooJilid 10 SEPATAH DEMI SEPATAH sahut kakek Tiong: "Sekarang
memang masih belum, cuma lohu bersaudara yakin
pasti dapat menemukannya!" "Oh... bolehkah aku bertanya kepada
kakek Tiong, dengan cara apakah kau hendak mencapai tujuanmu itu ?" "Orang yang masuk ke
dalam ruang Teng hong sian pada malam
ini tidak banyak, kita kuliti mereka satu persatu..." "Betul, cara ini
memang bagus sekali" sela nona Siu, setelah
berhenti sebentar, tiba tiba tanyanya lebih lanjut: "Tahukah kakek
Tiong, dengan cara ini berapa orang yang bakal
mati terbunuh?" Kakek Tiong berkerut kening, lalu sahutnya: "Lohu tak
bisa memperhitungkan sampai sejauh itu!" "Sekalipun kakek Tiong tidak
akan mempersoalkan berapa banyak yang bakal menjadi korban, tapi tolong tanya, dapatkah tujuan
itu di capai ?" "Seharusnya dapat!" "Seharusnya?" jengek nona Siu sambil tertawa
dingin, "tidak! Kakek Tiong harus mengucapkan kata-kata yang tegas!" Kakek Tiong
berpikir sebentar, kemudian jawabnya: "Kalau seorang demi seorang
musti diperiksa, lohu percaya tak mungkin ia bisa melarikan diri dari cengkeraman! Sekali lagi nona itu
tertawa dingin. "Bagus, bagus, andaikata kakek Tiong memutuskan
untuk mempergunakan cara ini, maka kau harus memperhitungkan juga
mereka yang bekerja didapur!" "Yaa, harus diperhitungkan juga!" sahut kakek Tiong sambil
memperkeras hatinya. Dengan nada mendongkol bercampur setengah menghardik nona Siu
berkata lagi: "Bagus sekali, kalau begitu kalian berdelapan pun harus termasuk juga
diantaranya !" Sementara Kakek Tiong tertegun dan belum menjawab, nona Siu telah
melanjutkan lebih jauh: "Selain itu, aku dan adik Sian juga masuk hitungan !" Paras muka
kakek Tiong segera menunjukkan sikap tersipu-sipu
yang belum pernah terlihat sebelumnya, dia tak menyangka kalau nona
Siu bakal mengucapkan kata-kata semacam itu, sementara ia masih
serba salah dibuatnya, sang tamu tersebut telah mengucapkan
serangkaian perkataan yang amat menggetarkan perasaan.
Terdengar orang itu tertawa terbahak-bahak kemudian berkata:
"Nona, aku yang muda mengundang kehadiran nona bukanlah
disebabkan persoalan ini". Ternyata sikap nona Siu dengan cepat dapat
berubah, dengan suara yang lemah lembut dia berkata: "Oooh, lantas maksudmu adalah,
. ." "Apalah sudah tahu masih pura-pura bertanya, Nona Siu segera
tertawa lebar. "Tampaknya kau memang hebat sekali!" Sudah berhenti
sebentar, dia melanjutkannya. "Bolehkah aku bertanya, darimana kau
bisa tahu kalau didalam air teh itu ada racunnya?"
"Haaahh... haaahh. . haaahh. . . lagi-lagi sudah tahu pura-pura
bertanya, maaf kalau aku tak akan menjawab."
Senyum manis masih menghiasi bibir nona Siu, katanya kemudian
dengan lembut: "Baiklah akupun tak akan bertanya lagi, tolong jelaskan apa maksudmu
mengundang kedatanganku kemari?"
Sang tamu memandang sekejap wajah kedelapan orang kakek itu,
kemudian sahutnya: "Sederhana sekali, aku minta kesediaan nona agar jangan membuat
kedelapan orang kakek itu memperoleh noda karena ketidak setiaan
kawan. . ." Nona Siu tidak segera menjawab, sebaliknya kedelapan orang kakek im
segera merasakan hatinya amat terperanjat.
Akhirnya kakek Hoo tak kuasa menahan diri, dia segera menibrung:
"Sebetulnya apa yang kau maksudkan dengan perkataanmu itu?"
"Kakek Hoo tak usah gugup, nona Siu segera akan memberikan
jawabannya. . .!" sahut tamu itu sambil menuding kebelakang tirai
bambu tersebut ! Nona Siu yang berada dibalik tirai bambu itu segera tertawa dingin,
ujarnya: "Hmm, kau hanya menuju.i suara hatimu saja, kenapa kau tidak
tanyakan dulu bagaimana pendapatku?"
Tamu itupun tertawa dingin. "Aku tidak percaya kalau nona tega
untuk menampik maksudku dengan begitu saja" "Tiada yang bisa kukatakan lagi, maaf. ." Belum
sempat nona itu menyelesaikan kata-katanya, mendadak
dengan sinar mata memancarkan cahaya tajam orang itu sudah
menukas dengan suara dalam: "Bila nona beranggapan bahwa kecepatanmu bisa melebihi diriku,
silahkan saja!" Untuk sesaat lamanya nona Siu yang berada dibalik tirai bambu itu
terbungkam dalam seribu bahasa, kenyataan ini membuat ke delapan
orang kakek tersebut merasa terperanjat sekali.
Sampai lama, lama kemudian nono Siu ber kata: "Mungkin


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anda lupa, dimanakah kau sekarang berada. . ."
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
BAB TIGA BELAS "AKU tidak lupa." Tukas Tamu itu ketus, "tempat ini adalah istana Pat
tek sin kiong dalam bukit pemakan manusia !"
Nona Siu segera mendengus dingin. "Hmm, selama berada dalam
istana sin kiong, aku tidak percaya
kalau kau berani bertindak secara sembarangan"!" "Kalau kau tak
percaya, kenapa tidak dicoba saja?" jengek tamu
itu sambil tertawa hambar. "lngat, bila kau berani bergerak secara
sembarangan kedelapan orang kakek itu tak akan berpeluk tangan belaka!" "Heeeee. . .heeeh...
heeehh... kedelapan orang kakek itu jauh
berbeda bila dibandingkan dengan nona, meski selalu pegang janji,
apalagi dalam pertaruhan tadi akulah yang menang, betul diriku hanya
seorang tamu agung, namun aku sudah memiliki hak untuk masuk ke
luar istana ini, apalagi..." Pada saat itulah, nona Siau yang berada di balik tirai telah berseru
kepada kakek Tiong: "Kakek Tiong, sudah kau dengar perkataan orang ?" Sementara itu
kakek Tiong sudah mulai menaruh rasa curiga,
namun ia belum memahami duduk persoalan yang sesungguhnya,
maka setelah mendengar perkataan itu, katanya:
"Nona Siu, sebenarnya apa yang telah terjadi ?" "Apa yang terjadi "
Hmm ! Apalagi kalau bukan gara-gara
"pertaruhan" kalian dengan dirinya !" Kakek
Tiong semakin tidak habis mengerti.
"Tapi apa sangkut pautnya antara persoalan ini dengan peraturan
tersebut ?" "Kenapa kau masih juga tidak mengerti ?" bentak nona Siu, "tahukah
kau, dia telah mengandalkan kemenangannya atas pertaruhan tersebut
untuk mengancam keselamatanku ?"
Kakek Tiong semakin tertegun, tanpa terasa ia berpaling kearah tamu
itu sambil berseru: "Saudara, benarkah perkataanmu itu ?" Orang itu segera tertawa.
"Kakek Tiong, inginkah kau temukan pembunuh yang telah
meracuni minumanku tadi ?" Kakek Tiong segera mengangguk. "Tentu
saja ingin, tapi apa sangkut pautnya..." "Kakek Tiong, bila kau ingin
menyelesaikan persoalan apa saja yang ada didunia ini, aku rasa semuanya pasti ada pengorbanan nya
bukan ?" "Sudah barang tentu !" untuk sekian kalinya kakek Tiong manggut
berulang kali. Orang itu segera tertawa. "Kalau memang begitu, aku mohon kakek
berdelapan untuk menjadi penonton saja untuk sementara waktu ." "Perhitungan siepoa
anda betul-betul bagus sekali" ejek nona Siu
dengan cepat, "cuma sayang kau telah lupa, siapakah tuan rumah
istana Sin-kiong yang sesungguhnya !"
"Ooh... masa tuan rumah istana ini bukan kedelapan kakek, melainkan
nona ?" Selagi nona Siu mendengus dingin. "Hmm! Dihadapan orang yang bersangkutan kau ingin menjalankan
siasat mengadu domba, menurut anggapanmu siasat macam itu akan
mendatangkan hasil ?" Orang itu segera tertawa. "Justeru karena tak berguna, maka kakek
berdelapan baru percaya kalau aku memang bukan lagi mempraktekan siasat mengadu
domba !" Pada saat itulah kakek Tiong telah berkata lagi: "Saudara,
sebenarnya apa yang telah terjadi " Kenapa tidak kau
katakan secara berterus terang...." Belum habis perkataan itu diucapkan,
tiba-tiba tamu itu mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Suara
tertawanya itu sangat keras menggetarkan sukma,
sekalipun Pat-lo memiliki tenaga dalam yang amat sempurna, tak urung
harus menggerahkan juga tenaga dalamnya untuk melindungi pusar.
Setelah berhenti tertawa, orang itu baru berseru kembali kearah balik
tirai bambu itu dengan suara keren:
"Nona Siu, apakah kau ingin pergi dengan begitu saja "!" Nada suara
nona Siu berubah hebat, agak gemetar dia berkata: "Anggap saja
kau memang hebat,, tapi ingin kulihat kau bisa
mengembangkan kehebatanmu itu sampai kapan !" Orang itu segera
tersenyum. "Nona, aku sebagai tamu dari istana ini mana berani
berbicara kasar ?" "Aku hanya ada dua permintaan yang mengharapkan
kesediaan nona untuk memenuhinya, untuk itu aku merasa berterima kasih sekali.
Nona Siu segera menghimpun tenaganya dan berseru:
"Dapatkah aku menolak permintaanmu itu " Coba kau katakan i"
Sekali lagi orang itu tertawa. "Tampaknya nona memang cukup
dapat memahami perasaan orang, terlebih dulu kuucapkan banyak terima kasih." Setelah berhenti
sebentar, sambungnya lebih jauh: "PersoaIan yang pertama, adalah
dipersilahkan nona keluar dari baik tirai untuk bertemu !" Nona Siu segera mendengus. "Bisa
kululuskan, lantas apa permintaanmu yang kedua ?" Dengan cepat
orang itu menggelengkan kepalanya berulang kali. "Lebih baik kita
laksanakan persoalan ini gatu demi satu saja"
katanya cepat, "Silahkan kau laksanakan persoalan yang pertama !"
Sementara itu nona Siu telah berpaling ke arah Pat-lo seraya
berseru dengan suara nya yang lantang... "Pat-lo, harap ingat baik-baik
setiap perbuatan yang terjadi pada malam ini !" "Nona tak usah menggertak Pat-lo dengan kata-kata,"
dengus orang itu dingin, dan terlebih dahulu aku akan mengucapkan sesuatu
kepada nona, yang ingin kujumpai adalah Sancu kalian, jadi sebelum dia
pulang, tak nanti aku akan pergi dari sini!"
Nona Siu tak bisa berkata apa-apa lagi, tampak tirai bambu digulung
dan nona itupun munculkan diri. Nona itu mempunyai paras muka yang amat cantik, pipinya putih halus
dengan bibir yang kecil, matanya jeli namun sikapnya keren dan amat
serius.. Ketika orang itu bertemu dengan nona Siu, tiba tiba sepasang alis
matanya berkenyit, lalu berpikir: "Aaah, tidak benar, tidak benar, rupanya dia bukan orang yang sedang
kucari!" Namun perasaan tersebut tak sampai diungkapkan diatas wajahnya,
malahan sekulum senyum segera disunggingkan diujung bibirnya.
Sementara itu, ketika Pat-lo melihat kemunculan nona Siu, merekapun
saling berpandangan sekejap, sikap mereka sukar untuk dilukiskan
dengan kata-kata. Sudah barang tentu, keadaan tersebut tak lolos dari ketajaman mata
orang itu, namun ia tidak memberi komentar ataupun reaksi apa apa.
"Sekarang aku telah menampakkan diri, katakanlah persoalan yang
kedua . . . !"seru nona tiu kemudian.
"Tolong nona jelaskan kepadaku, apa sebab nya dalam air teh ku bisa
ada racunnya"!" Begitu pertanyaan ini diutarakan keluar, paras muka Pat-lo segera
berubah hebat, mereka hanya bisa duduk tertegun dengan sinar mata
keheranan. Nona Siu segera tertawa hambar. "Oooh... kau mengatakan aku
yang telah mencampuri racun itu?" "Nona, harap jangan salah
mendengar, aku hanya minta kepada nona untuk menerangkan apa sebabnya dalam cawanku bisa ada racun
nya, aku toh tidak menuduh nona yang telah melepaskan racun itu!"
"Hmm! Heran, kalau toh yang meracuni bukan aku, mana mungkin aku
bisa menjelaskan persoalan tadi"!".
"Haahh .haaha....haha...benar, benar, kalau memang begitu, terpaksa
aku harus mengundang keluar seorang yang lain untuk memberi
penjelasan." Sambil-berkata, mendadak orang itu merentangkan kelima jari tangan
kanannya ke arah tirai bambu itu dan mencengkeramnya ke udara
kosong. Gerak serangan dari orang itu cepat sekali, namun gerakan tubuh nona
Siu pun tidak kalah cepatnya, apalagi dia memang sedang berdiri
didepan orang itu, maka hanya sejangkauan tangannya yang lentik
sudah dapat mencapai sepasang mata lawannya..
Mata, merupakan pusat dari semua indera manusia, sudah barang tentu,
seorang itu tak berani bertindak gegabah, diapun tak mengira kalau nona
Siu yang berada hanya tiga langkah dihadapannya itu bisa melepaskan
serangan maut ke arahnya. Dalam keadaan demikian, tentu saja dia harus mengambil keputusan
untuk melindungi keselamatan dirinya lebih dulu, mendadak ke lima jari
tangan kanannya di tarik kembali, kemudian menyambar ke atas
pergelangan tangan nona Siu, sedangkan tangan kirinya tetap
melanjutkan cengkeraman udara kosongnya
Angin menyambar tirai bambu yang rapat itu.. Tirai itu segera p ltus
dan terjatuh kebawah, ternyata semuanya
terdiri dari tiga lapis, tak heran kalau orang-itu hanya bisa melihat raut
wajah orang-dibalik tirai itu secara lamat-lamat saja, kendatipun dia telah
menghimpun tenaga dalamnya untuk melihat dengan ilmu "mata sakti"
nya. Jeritan tertahan segera berkumandang bersamaan dengan suara
putusnya tirai bambu itu ke atas tanah, sedangkan pergelangan tangan
nona Siu pun kena di totok sehingga terpental sejauh lima depa lebih
dari tempat semula sambil mengaduh-aduh tiada hentinya.
Dengan terlepasnya tirai bambu itur mereka-semua pemandangan dibalik
tirai tersebut pun dapat terlihat dengan jelas,
Semua orang dapat melihat jelas ada sesosok bayangan punggung dari
seorang gadis yang cantik luar biasa sedang menyelinap masuk ke balik
sebuah pintu rahasia dibawah tanah sana.
sementara itu, sang tamu sudah berdiri mem belakangi Pat-lo, tapi
saling berhadapan muka dengan nona Siu yang masih memegangi
pergelangan tangannya sambil mengaduh.
Sambil tertawa lembut, orang itu segera berkata: "Maaf seribu kali
maaf nona, jika aku telah membuat nona
kesakitan...!" Dengan gusar nona Siu melototi wajah orang itu, dia
hanya mendengus dingin tanpa mengucapkan sepatah katapun. Kembali orang
itu tersenyum, ujarnya: "Nona, sudah baik-baik
memangku jabatanmu sebagai nona "sian", mengapa kau mesti
menuruti perkataan orang lain dan menyaru sebagai nona Siu"!"
Ketika mendengar perkataan itu, kakek Tiong memandang sekejap ke
arah rekan-rekannya, namun wajahnya diliputi pula oleh perasaan heran
bercampur curiga. Setelah berhenti sebentar, terdengar orang itu berkata lagi kepada
kakek Tiong. "Bukannya aku hendak menegur Pat-lo, aku hanya heran, kalau toh Pat
lo mengetahui akan hal ini, mengapa kalian tidak menjelaskannya
kepadaku?" Dengan perasaan menyesal bercampur malu, kakek Tiong menundukkan
kepalanya rendah-rendah. "Aaai, terus terang saja kukatakan, kedudukan nona Siu sesungguhnya
luar biasa sekali....." "Jadi Tiong-lo (kakek Tiong) mengira aku masih belum tahu tentang
kedudukan nona Siu?" tukas orang itu dengan wajah serius.
Kakek Tio-ng tertawa jengah. "Bila kau sudah tahu, hal ini lebih baik
lagi.." "Siapa tahu, pada saat itulah orang tersebut telah
mengucapkan kembali kata kata yang segera mengejutkan semua orang.
"Kakek Tiong, bila dugaanku tidak salah, nona Siu yang sekarang sudan
bukan nona Siu yang sesungguhnya lagi."
Ketika mendengar perkataan itu, baik Pat-lo maupun nona Sian yang
menyaru sebagai nona Siu sama-sama berubah hebat raut wajahnya.
"Saudara, apa yang kau maksudkan dengan perkataanmu itu?", tegur
kakek Tiong dengan kening berkerut.
"Terus terang kukatakan kakek Tiong, walaupun ilmu silat yang kumiliki
biasa saja, tenaga dalamku juga belum mencapai puncak kesempurnaan
akan tetapi semenjak kecil aku telah memperoleh warisan dari seorang
tokoh silat yang melatih sepasang mataku untuk melihat dari kejauhan."
"Oleh karena itu, ketika nona Siu dan nona Sian menemani minum arak
tadi, kerdatipun teraling oleh tirai bambu, namun tak bisa mengelabui
sepasang mataku, itulah sebab nya aku bisa mengatakan kepada kakek
Tiong kalau dibalik tirai ada dua orang."
"ltulah sebabnya ketika nona Siu dan nona Sian muncul sekali lagi,
walaupun terhalang oleh tirai bambu, aku masih dapat mengenali kalau
nona Sian tetap masih nona Sian, sebaliknya nona Siu mesti masih tetap
merupakan nona Siu..." "Sudah barang tentu demikian-!" tukas nona Sian dengan cepat, "buat
apa kau mesti banyak berbicara lagi "!"
Orang itu tersenyum, katanya: "Jangan terburu nafsu nona, harap
dengarkan dulu perkataanku hingga selesai. ." "Sayang aku tak punya waktu untuk berce-loceh terus
dengan orang macam dirimu itu!" kembali nona Sian menimbrung. Orang itu
segera mendengus dingin, "Hm, nona Sian, mari kita
berbicara sejujur nya, bukankah enci Siu mu itu telah berubah menjadi
seseorang yang lain" Aku dapat melihat kalau diatas
wajahnya telah mengenakan selembar topeng kulit manusia yang mirip
sekali dengan nona Siu!" "Anak, apakah kau telah melihat jelas?" Kakek Tiong segera menjerit
tertahan. Orang itu tidak menjawab pertanyaan tersebut, kepada nona Sian
kembali katanya. "Aku yakin setelah nona Sian berbalik ke tempat tinggalmu sesudah
berlalu dari sini, tentunya kau tak bertemu dengan nona Siu dalam
suatu jangka waktu yang tidak terhitung pendek bukan?"
Agaknya kakek Tiong dapat memahami arti kata dan ucapan orang itu,
paras mukanya segera berubah, kepada nona Sian segera tanyanya.
"Nona Sian, ketika itu kentongan ketiga sudah lewat, kenapa kalian
tidak pergi tidur?" "Enci Siu bilang, dia teringat masih ada satu persoalan yang belum di
selesaikan . .." Belum sampai nona Sian selesai berbicara, orang itu telah menukas
kembali: "Tolong tanya nona Sian, setelah balik kembali ke kamarnya, bukankah
mimik wajahnya menunjukkan sikap anak gugup dan agak gelagapan?"
Nona Sian kembali berpikir sebentar, lalu sahutnya: "Be.... betul,
dalam perjalanan pulang ke ruang belakang,
sepanjang jalan dia tidak ber kata apa-apa, wajahnya tampak gelisah
sekali, jauh berbeda dengan tabiatnya dimasa-masa yang lalu !"
Sementara itu enam belas buah mata dari Pat-lo telah ditujukan ke
wajah orang itu, agaknya mereka sedang menantikan jawabannya.
Orang itu mendengus dingin, tiba-tiba ia berpaling kearah Pat-lo
sembari berkata: "Pat-lo, dengan kunjunganku yang gegabah ke dalam istana Sin- kiong
pada malam ini, semestinya harus di jatuhi dengan hukuman apa?"
Kakek Tiong menjadi tertegun menghadapi penanyataan tersebut,
katanya kemudian:

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa maksudmu mengucapkan perkataan itu" Lohu bersaudara telah
menjelaskan dengan seterang-terangnya, kau adalah tamu agung kami,
sekarangpun kita sedang membicarakan urusan yang amat serius,
kenapa kau malahan..." Sambil tertawa orang itu segera menukas: "Jangan gelisah kakek
Tiong, aku bisa mengajukan pertanyaan
ini, sudah barang tentu ada alasannya !" "Ooooh... apakah alasannya ?"
"Kalau toh aku adalah tamu agung dari Pat lo, lagi pula dengan
segenap anggota istana ini dari atas sampai kebawah tiada permusuhan
ataupun dendam kesumat, tolong tanya kakek Tiong, kenapa orang itu
hendak meracuni aku sampai mati ?"
"Benar!" seru kakek Tiong dengan mata terbelalak, "sampai
sekarangpun lohu masih belum memanami sebab musababnya !"
"Tapi aku mengetahui hal ini dengan jelas sekali !" kata orang itu cepat
sambil tertawa. "Ooh" Kalau begitu tolong berilah petunjuk kepada kami semua."
"Yang meracuni diriku adalah nona Siu" kata orang itu! Kemudian
setelah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh: "Harap kalian
dengarkan lebih seksama lagi, yang kumaksudkan
sebagai orang yang telah meracuni diriku itu adalah nona Siu gadungan
yang mengenakan topeng kulit manusia sehingga gerak geriknya mirip
sekali dengan nona Siu yang asli."
"Soal kenapa ia sampai meracuni diriku " Alasannya hanya ada satu,
yakni dia sudah tahu kalau penyaruannya itu tak nanti bisa
mengelabuhi ketajaman matamu !"
Kakek Tiong memandang sekejap ke arah kawanan kakek lainnya, kakek
Ay segera manggut-manggut seraya berkata.
"Toako tampaknya memang demikian." "Sobat-sobat tua sekalian,
duduknya persoalan bukan hanya sampai disitu saja !" kata orang itu lebih jauh. Kembali Pat-lo dibikin
terkejut oleh perkataan itu. "Tolong utarakanlah dengan jeIas, apa lagi
yang berhasil kau lihat didalam peristiwa ini." pintanya hampir bersamaan Orang itu
memandang sekejap ke arah delapan orang kakek itu,
kemudian menjawab: "Sudah pasti nona Siu gadungan ini mempunyai
tujuan yang jahat atau bahkan ada dendam kesumat dengan partai kalian, dendam
tersebut pasti berat dalam bagaikan lautan, itulah sebabnya ia baru
menyamar dikala Sancu sedang turun gunung."
Tapi akupun dapat memastikan bahwa nona Siu yang asli pasti
mempunyai hubungan yang luar biasa intimnya dengan Sancu kalian,
itulah sebabnya ia menyamar sebagai nona Siu dengan tujuan untuk
mengancam Sancu agar menuruti keinginannya!"
Paras muka Pat lo serta si nona Siang segera berubah hebat, tanpa
mengucapkan sepatah katapun kegelapan orang kakek itu segera
membalikkan badan dan berlalu dari sana.
"Mau kemana kalian berdelapan ?" orang itu segera mencegah.
"Saudara benar-bcnar cukup bersahabat, buat kebaikan ini tentu
akan lohu bersaudara belas bila urusan telah selesai nanti, sebagaimana
yang dikatakan anda tadi, lohu bersaudara harus segera membekuknya
hidup-hidup." Belum habis perkataan itu diukapkan, sang tamu telah
menukas: "Harap kakek Tiong jangan bertindak gegabah, bagaimana kalau
dengarkan dulu sepatah dua patah kataku."
"Baik, baik, lohu akan mendengarkan dengan seksama." Kakek Tiong
benar-benar sudah takluk kepada orang itu
sekarang, bahkan apa yang diucap kan segera dituruti tanpa
membantah. Dengan sorot mata yang tajam orang itu menatap sekejap wajah Pat
lo, kemudian katanya: "Setiap tindakan yang akan kalian lakukan harus disertai dengan suatu
perencanaan yang matang, walaupun aku yakin kalau dugaanku ini
delapan sembilan puluh persen pasti benar, tapi bagaimana pun juga kita
harus berjaga-jaga terhadap "seandainya"!"
"Masih ada seandainya apa lagi" Masa akan terjadi perubahan yang
lainnya?" Kakek Tiong tidak habis mengerti.
"Yaa, tentu saja, malah banyak sekali, misalnya saja andaikata
dugaanku itu keliru, bagai mana jadinya"!"
Kakek Tiong menjadi berdiri bodoh, ia hanya termangu-mangu tanpa
bisa menjawab. Orang itu lantas tertawa seraya berkata lagi: "Apalagi sekalipun
dugaanku tidak salah, nona Siu yang asli toh
masih berada ditangan nona gadungan, sebelum kita berhasil
membekuknya hidup-hidup, bagaimana jadinya bila ia
mempergunakannya sebagai sandera untuk memaksa kalian" Urusankan
bisa menjadi berabe?" Sekali lagi Kakek Tiong dibuat tertegun "Saudara, lohu benar benar
mengagumi dirimu." setelah berhenti sebentar, kembali berkata:
"Katakanlah saudara, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Pertama-tama kita harus kerahkan dulu pat lo sekalian, tapi yang boleh
menampakkan diri hanya kakek Tiong seorang bersama nona Sian,
kakek Tiong mempunyai "giok pay " jadi apa ia asli atau gadungan, tak
mungkin kau bisa disalahkan." "Setelah itu, kakek Tiong harus bertanya kepadanya secara sungkan
mengapa dia mencampuri air teh dengan racun kakek Tiong harap
mengingatnya baik baik, pertanyaan tersebut tak lebih hanya suatu
alasan yang penting adalah mengawasinya agar ia jangan meninggalkan
tempat itu. "Pada saat itulah, para kakek yang lain boleh membagi tugas, ada
diantaranya berjaga jaga disekitar situ agar dia tak sampai kabur,
sedangkan lima orang lainnya segera manfaatkan kesempatan itu untuk
mencari nona Siu yang asli!" "Hebat betul akalmu itu, baik kita lakukan begini saja!" seru kakek Tiong
sambil mengacungkan jempolnya. Kemudian kepada nona Sian serta kakek lain nya, dia berseru: "Hayo
berangkat, persoalan ini harus segera diselesaikan ... !?" "Kakek
Tiong, aku akan menantikan kabar baik darimu ditempat
ini.. . ." seru orang itu lagi. "Tak usah kuatir saudara, maaf lohu
sekalian akan mohon diri terlebih dahulu !" Dia lantas memberi tanda, kemudian bersama Jit-lo
dan nona sian berangkat meninggalkan tempat itu, Dalam waktu singkat semua
orang sudah berlalu, dalam istana Teng-hong sian pun tinggal orang itu seorang diri. Tampak dia tertawa
geli sambil bergumam. "Namanya saja Pat tek sin kiong, huuh...! Pada
hakekatnya tak lebih cuma istana gua orang-orang pikun, tidak sia sia perjalananku
pada malam ini, sekarang aku harus segera pergi dari sini!"
Walaupun ia berkata demikian, namun tubuhnya sama sekali tidak
bergerak dari posisinya semula. Belum lama sehabis dia berguman, terasa ada angin lembut berhembus
lewat, tahu tahu hadapannya telah bertambah dengan seseorang.
Orang itu tak lain adalah peronda dari istana Sin-kiong, Sik Phu adanya.
Tampak Sik Phu dengan sinar mata yang tajam bagaikan sembilu
sedang berdiri lebih kurang delapan depa dihadapannya, dengan suara
dingin ia lantas menegur. "Apakah kau hendak pergi?" Orang itu menatap sekejap wajah Sik
Phu, lalu tersenyum. "Pergi sih belum pergi, aku lagi menantikan
kedatanganmu !" "Hmm! Benarkah kau masih mempunyai keberanian
untuk menunggu kedatanganku "!" "Betul, aku memang memiliki keberanian
ini !" "Huuh, apakah kau sudah menduga kalau aku pasti datang ?"
Sambil mengangkat bahu orang itu tertawa. "Bukankah sekarang kau
telah berdiri dihadapanku ?" jawabnya. Sik Phu segera menggigit bibir
menahan diri, katanya. "Tiada artinya hanya bersilat lidah belaka, aku
orang she Sik ingin menanyakan maksud kedatanganmu yang sebenarnya !" Orang
itu kembali tertawa. "Apakah sahabat Sik lupa kalau aku adalah tamu
agung dari Pat lo kalian ini?" "Hmm ! Kalau mereka memang gampang di-tipu, tapi
jangan harap kau bisa menipu aku orang she Sik."
"Oooh... kalau begitu, baik kepandaian silat, kecerdasan maupun
kedudukan seorang peronda dari istana Sin kiong agaknya jauh melebihi
Pat tek pat lo"!" Sik Phu amat terperanjat setelah mendengar perkataan itu, serunya
dengan cepat: "Soal soal semacam ini tak perlu kau risaukan."
Terbahak bahaklah orang itu sehabis mendengar ucapan tersebut.
"Haaahhh... haaahh... haaahh... sahabat Sik keliru besar" bagaimanapun
juga aku pasti akan merasa risau sekali."
"Saudara, lebih baik kita buka jendela lebar lebar dan berbicara
blak-blakan saja?" seru Sik Phu dengan kening berkerut.
"Memang inilah keinginanku, silahkan!" Dengan sorotan mata yang
tajam dan keren Sik Phu menatap wajah orang itu lekat-lekat kemudian katanya. Orang itu tidak
menjawab, sebaliknya malah bertanya: "Kenapa tidak
memperbincangkan dulu tentang sahabat Sik
sendiri?" Sekali lagi Sik Phu merasa terkesiap. "Apa yang bisa
diperbincangkan tentang aku orang she Sik?" Dengan wajah serius
orang itu berkata: "sahabat Sik, berada
didepan orang lebih baik jangan berbohong, memangnya wajahmu
yang sekarang ini adalah wajah aslimu ?"
Paras muka Sik Phu berubal hebat, setelah mundur selangkah serunya.
"Omong kosong, sejak dilahirkan aku orang she Sik telah berwajah
demikian !" "Haaahh. . . haaahh... haaaaah... kalau begitu anggap saja sewaktu
berada dalam perkampungan Jin-gi ceng tempo hari, aku telah salah
melihat orang !" Selesai berkata orang itu tertawa dingin dan melanjutkan perjalanannya
keluar dari istana tersebut. Dengan perasaan bergetar keras Sik Phu segera berseru: "Berhenti
kau, aku orang she Sik belum selesai berbicara !" Orang itu sama
sekali tidak berhenti, berpalingpun tidak, katanya
dengan lantang: "Sahabat Sik, seandainya aku tidak berhasrat untuk
menantikan kedatanganmu buat apa aku musti berguman untuk memancing
kedatanganmu" Kau tidak berterima kasih malahan."
Sik Phu segera menyelinap ke depan dan menghadang dihadapan orang
itu, ujarnya dengan suara rendah. "Saudara, tempat ini bukan tempat untuk ber-bincang, silahkan
mengikuti aku !" Tapi dengan cepat orang itu menggeleng. "Sahabat Sik, tahukah kau
akan ketiga buah gua dipinggang bukit bagian belakang sana ?" Mendengar ucapan itu, Sik Phu terperanjat
lalu sahutnya. Tahu, tahu... tempat itu adalah... tapi apa maksudmu
menyinggung tentang ke tiga buah gua tersebut "!" "Sahabat Sik,
berada di tempat ini kau lakukan saja tugasmu,
tapi hati-hati, waIau Pat lo jujur dan baik, nona Siu lihaynya luar biasa
dan lagi amat cerdik, kau harus perhatikan dengan serius!"
"Seandainya kau benar benar ada persoalan yang hendak
diperbincangkan malam ini sudah tak sempat lagi, besok pada
kentongan pertama sampai kentongan ke dua, silahkan datang kedalam
gua tengah dari ketiga buah gua tersebut, akan kunantikan
kedatanganmu di situ!" Selesai berkata, si orang itu segera berkelebat ke udara dan menerobos
keluar lewat jendela di sudut kiri.
"Tunggu sebentar saudara, aku orang she Sik masih ada persoalan yang
hendak di bicarakan." bisik Sik Phu.
Seraya berkata dia ikut menyusul keluar, namun suasana di sekeling
istana itu sunyi sepi, tak kelihatan sesosok bayangan manusiapun, cepat
cepat dia melompat naik keatas atap rumah, apa yang terlihatnya
membuat orang ini merasakan hatinya bergetar keras.
Dalam waktu yang teramat singkat, orang itu sudah berada beberapa li
jauhnya dari tempat semula. Sik Phu menggelengkan kepalanya berulang kali, mendadak ia seperti
merasakan sesuatu, cepat kakinya menjejak permukaan atap dan
menyelinap ke bawah. Belum lama dia meninggalkan atap rumah, serombongan bayangan
hitam telah meluncur datang dari dalam istana, kemudian langsung
menuju keruang tengah. Yang baru saja menampakkan diri itu ternyata tak lain adalah Pat lo,
nona Sian serta seorang nona lain yang bermata tajam.
Dengan sorot mata yang tajam kakek Tiong memandang sekejap
sekeliling ruangan itu, kemudian bentaknya keluar istana dengan suara
yang dalam dan berat: "Mana pengawal " Cepat ke mari !" Menyusul seruan itu, dari
kejauhan sana terdengar seseorang berkata: "Kalian sudah mendengar belum" Kakek Tiong sedang
memanggil kalian semua?" Berbareng dengan teriakan itu, sesosok
bayangan manusia meluncur masuk ke dalam ruang istana dengan kecepatan tinggi, orang
itu tak lain adalah Sik Phu. Sambil memberi hormat kepada kakek Tiong, dia lantas berseru:
Hamba sedang menyelidiki siapa yang melepaskan racun . . ."
Tiba-tiba kakek Tiong mengulapkan tangannya mencegah Sik
Phu melanjutkan kata-kata-nya, lalu menegur: "Apakah kau melihat
orang itu?" Walaupun Sik Phu tahu kalau yang di maksudkan adalah
tamu tadi, namun ia tetap berlagak pilon. "Orang itu" Orang yang mana?"
Kakek Tiong menjadi gemas sekali, sambil mendepak-depakan
kakinya dia berseru: "Siapa lagi, tentu saja bocah keparat yang berada
di sini tadi!" "Bukankah dia adalah tamu agung Pat lo"!" seru Sik Phu
dengan mata terbelalak. Merah padam selembar wajah kakek Tiong karena
jengah. "Tamu agung kentut!" dampratnya. Tetapi begitu ucapan
tersebut di ucapkan, dia baru tahu salah,
cepat-cepat lanjutnya: "Lohu bertanya, sudah kau lihatkah dirinya atau
tidak?" "Hamba sedang mendapat tugas untuk menyelidiki soal
keracunan tadi dan baru saja kembali . ." Kakek Tiong segera
mendengus, kepada nona berwajah keren itu
katanya kemudian dengan wajah tersipu-sipu: "Nona Siu, ternyata
dugaanmu memang tepat, dia telah kabur!" Ternyata nona yang
bermata tajam dan berwajah keren itu tak
lain adalah nona Siu. Dan sementara itu noa Siu telah mendengus dingin
sambil mendamprat. "Kakek Tiong, bukannya aku berani mencaci maki dirimu, tetapi kali ini
kau betul seorang manusia pikun yang amat bodoh!"
Api amarah terpancar keluar dari balik mata kakek Tiong, kepada rekan
rekannya dia segera berseru dengan suara dalam:
"Hayo berangkat, kita segera mencari bocah keparat itu sampai sampai
dapat. .. !" "Kalian hendak mencarinya di mana?" cegah nona Siu. "Bukankah
bocah kerarat itu menjadi tamu dalam
perkampungannya" Masa ia dapat kabur." "Sekalipun tak bisa kabur,
kau bisa apa ?" tukas nona Siu. "Tangkap dia !" Nona Siu segera
tertawa dingin. "Mampukah kalian untuk menangkapnya"!" Asal bocah
keparat itu masih berada diatas bukit, tentu saja
dapat menangkapnya kembali !" sahut kakek Tiong sambil mengamuk.


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nona Siu memutar biji matanya sebentar, kemudian sebelum senyuman
segera tersungging di ujung bibirnya, ia berkata kemudian.
"Betul, kalau tidak, bila Sancu sampai pulang bagaimana cara kalian
untuk mempertanggung jawabkan diri ?"
Kakek Tiong segera menghela nafas panjang, kepada ke tujuh orang
rekannya dia berseru: "Saudara sekalian, hayo berangkat !" Kali ini nona Siu tidak
menghalangi lagi, begitu selesai berkata,
Pat-lo segera berangkat menuju ke perkampungan. Nona Sian hendak
menyusul dari belakang, tetapi nona Siu
segera menarik tangannya sambil berkata:
"Mau apa kau ?" "Tentu saja pergi membekuk bocah keparat itu "!" sahut nona Sian
agak tertegun. Nona Siu segera tertawa cekikikan. "Cukup adikku, biarkan saja
delapan orang tua bangka itu menerima sedikikit pelajaran, hayo, kitapun harus pulang !" Kembali
nona Sian tertegun, baru saja dia akan buka suara, Nona
Siu telah melanjutkan. "Adikku, kau anggap bocah keparat itu seorang
musuh yang sederhana..." "Masa dia sudah kabur?" "Kabur sih ... mungkin tidak"
kata nona Siu menggeleng kepala. Nona Sian tidak habis mengerti.
"Kalau toh dia masih ada di perkampungan ini, memangnya tidak
mungkin bila kita bekuk batang lehernya?" "Hmm! Bila ia tidak sampai
kabur, itu berarti dia sudah mempunyai pegangan yang kuat dan tidak kuat dan tak kuatir kalau
sampai ketangkap Pat lo!" Nona Sian mengerdipkan sepasang matanya berulang kali, tapi dia
masih tetap saja tidak habis mengerti.
Dengan sepasang matanya yang jeli itu nona Siu mengerling sekejap
matanya ke arah nona Sian, kemudian kembali ia berkata:
"Bodoh amat kau adikku, memangnya dia itu bisa mengaku berterus
terang bahwasanya perbuatan itu adalah merupakan hasil karya nya
sendiri"!" "Banyak saksi mata yang menyaksikan hal ini, kalau ada sepuluh orang
menuduhnya demikian, masa ia tidak mengaku"!"
Nona Siu segera tertawa dingin tiada henti nya, "Heeh heh heh jangan
lupa adikku, tadi kakek Tiong telah berkata, ia sendiri telah mengaku
kalau datang dengan wajah menyaru"!"
Nona Sian barulah mengerti, iapun menggelengkan kepalanya berulang
kali sambil ber-gumam: "Licik dan hebat sekali orang ini!" Selintas senyuman dingin yang
menyeramkan itu segera menyungging di bibirnya si-nona Siu, katanya: "Hmm ! Sekarang,
biarkan saja dia bermain setan, yang
bagaimanapun juga, . .." Belum habis perkataan itu diucapkan dia
sudah menarik nona Sian untuk diajak pergi. X X X SEMANGAT Nona Kim hari ini sangat
baik, selewatnya kentongan ke empat ia baru meninggalkan ruangan tengah. Bau-ji sudah dua kali
berusaha mohon diri ditengah jalan, tapi
selalu ditahan kembali oleh nona Kim, padahal Bau ji sendiripun tidak
sungguh-sungguh ingin kembali keloteng, dia memang sengaja berlagak
demikian saja. Dan kini semua persoalan yang hendak di bicarakan telah selesai
dibicarakan nona Kim pun bermaksud hendak pergi, tentu saja Bau- ji
tiada alasan untuk tetap tinggal disana.
Sesudah keluar dari ruangan, Bau-ji lantas menjura kepada nona Kim
sambil katanya: "Nona, maaf kalau aku tak akan menghantar nona..." Belum habis ia
berkata, sambil tertawa nona Kim telah berkata: "Kongcu adalah
tamu, sudah sepantasnya kalau kuhantar dirimu
pulang keloteng, silahkan ?" Tertegun Bau-ji menghadapi keadaan ini,
dengan gelagapan dia lantas berseru lagi: "Aaaaah... mana aku berani merepotkan nona "
Harap nona sudi menghentikan langkah...." "Kongcu tak usah sungkan-sungkan" nona Kim menggeleng "toh tak
jauh letaknya dari sini, mari kita berangkat !"
Bauji kuatir kalau Sun Tiong lo belum pulang ke loteng, tentu saja dia
enggan dihantar oleh nona itu, maka diapun mengalihkan perkataannya
kesoal lain: "Aku adalah seorang laki laki sejati, mari mrri, biar aku yang
menghantar nona." "Kongcu benar-benar seorang yang jujur," nona Kim tertawa, "baiklah,
terus terang aku akan mengatakan sejujurnya, sesungguhnya aku bukan
berniat untuk menghantar Kongcu, tapi yang penting adalah untuk
menengok keadaan nya adikmu!" Setelah si nona berterus terang, tentu saja Bauji tak dapat menampik
lagi, terpaksa dia harus mencari alasan lain.
"Kini malam telah larut, aku rasa apa tidak kurang leluasa"l" "Aaah,
omong kosong, buat anggota persilatan peraturan macam
itu tidak berlaku lagi. Selain itu, akupun tahu kalau adikmu sengaja
hendak menghindari aku pada malam ini, aku harus menanyakan
persoalan ini sampai jelas!" Selesai berkata, dia lantas membalikkan badannya dan berjalan menuju
kearah loteng Bong lo. "Nona !" seru Bau ji kemudian dengan kening berkerut, "kau telah salah
paham adikku..." Nona Kim segera tertawa, tukasnya: "Aku tidak salah paham, juga
aku dengar kau mengatakan bahwa kepalanya tiba tiba menjadi pening..." "Benar" segera Bau ji
menyambung. "oleh sebab itu, lebih baik
kalau nona..." Kembali nona Kim tertawa, tukasnya: "Oleh sebab itu
lebih baik kalau aku pergi menengoknya sebentar
bukan..."!" Bau-ji menjadi mendongkol sekali, tanpa banyak berbicara lagi dia
lantas berjalan lebih duhulu dengan langkah lebar.
Nona Kim tersenyum, diapun segera menyusul dari belakang dengan
langkah cepat. Loteng impian telah berada di depan mata. sambil menggigit bibir
Bau-ji segera berhenti, kemudian kepada
si nona katanya: "Nona, walaupun kita adalah anggota dunia persilatan
yang tidak terikat oleh adat dan segala tetek bengek peraturan, namun adikku
sudah beristirahat sekarang, orang lelaki yang lagi tidur pasti tak sedap
dipandang, aku kuatir..." "Tak usah kuatir Kongcu" tukas nona Kim dengan cerdik, "aku tak usah
masuk ke dalam, tapi cukup memanggilnya beberapa kali didepan
loteng, bila ia benar-benar sudah tertidur, aku segera pulang, kalau dia
masih sadar atau belum tidur, aku baru masuk ke dalam."
Setelah lawannya berkata demikian, sudah barang tentu Bau ji tak bisa
berkata apa apa lagi, sambil melangkah naik ke atas loteng, diam-diam
ia berdoa dalam hatinya, kalau bisa saudaranya telah kembali ke dalam
loteng impian. Bagaimanapun Bau ji memperlambat langkahnya, namun undakundakan
yang begitu pendek itu tak mungkin bisa dipertahankan terlalu
lama, akhirnya sampai juga mereka diatas Loteng.
Dalam keadaan begini, ia sudah kehilangan akal sama sekali.
Diam-diam ia berpikir lagi: "Lebih baik aku jangan membuka pintu
lebih dahulu, tapi memanggil dari luar, bila ia sudah pulang niscaya panggilanku akan
mendapat sahutan, bila tiada yang menyahut berarti dia belum pulang."
Maka waktu itu aku mesti menutupi pandangan mata si nona itu.
kemudian membuka pintu sedikit dan melongok ke dalam, setelah itu
akan kukatakan kepadanya sambil tertawa:
"Ooh maaf, adikku sudah tidur..." Makin membayangkan ia
merasakan makin gembira, sehingga tanpa terasa dia mulai memanggil: "Jite... Jite... Jite..." Tiada jawaban
dari dalam loteng itu, Bau ji segera membuka
pintu sedikit dan menengok lewat celah-celah pintu, kemudian sambil
berpaling katanya: "Aaaah, maaf, dia benar-benar telah tidur!" "Oooh, benarkah dia
sudah tertidur "!" seru nona Kim tiba-tiba
sambil tertawa cekikikan. "Masa aku membohongimu "!" jawab Bau-ji
pura-pura berlagak amat serius. Belum habis dia berkata, nona Kim telah berkata lagi
sambil tertawa merdu: "Pembaringan itu berada disebeiah kiri pintu, sedang
pintu yang dibuka kongcu pun yang berada disebeiah kiri, bila ingin melongok lewat
celah pintu, tak mungkin kau bisa melihat pembaringan tersebut,
apalagi dalam ruangan loteng tiada cahaya lampu, kecuali bila kongcu
memiliki mata yang jauh berbeda dengan orang lain".
"Celaka, rupanya Bau-ji tak pernah berpikir kesitu, kontan saja merah
padam selembar wajahnya karena jengah.
Nona-Kim sedikitpun tidak bermaksud untuk mengampuni lawannya,
sambil tersenyum dia lantas berkata:
"Menurut penglihatanku, adikku hanya pura-pura tidur, tapi betul betul
berpenyakit..." "Yaa, dia memang sedang sakit !" sambung Bauji dengan
cepat. Nona Kim segera mengerling sekejap wajah Bau ji, setelah itu katanya
lagi: "Dia pasti sudah mengidap penyakit tak berani bertemu denganku, tapi
aku akan tetap memaksanya untuk berjumpa denganku !"
Dalam pembicaraan tersebut, tiba-tiba nona itu menyentilkan jari
tangannya ke depan, pintu loteng tersebut seketika itu juga terpentang
lebar. Bau ji menjadi amat gelisah, baru saja dia siar menegurnya dengan
paras muka berubah, nona Kim telah menjerit kaget.
Menyusul teriakan itu, Bau ji segera mengalihkan pula sorot matanya ke
atas pembaringan dalam ruangan tersebut yang kemudian terlihat
seketika itu juga membuat hatinya sedang tenggelam.
Sun Tiong lo sedang berbaring di atas ranjangnya, waktu itu ia tampak
tersentak bangun dari tidurnya. Dengan adanya kenyataan tersebut, Bau ji menjadi punya alasan untuk
berbicara lagi, sambil menarik muka dia berseru:
"Nona, apa apaan ini ?" Sebenarnya nona Kim menyangka kalau Sun
Tiong lo tidak berada diatas loteng, itulah sebabnya dia membuka pintu dan memaksa
melakukan pemeriksaan, siapa tahu orangnya ada di tempat ini
membuat mukanya menjadi merah padam dan segera menundukkan
kepalanya rendah-rendah. "Apakah toako dan nona?" terdengar Sun Tiong lo segera menegur.
Bau ji mengiakan dan maju dengan langkah lebar, pertama-tama dia
memasang lampu lebih dulu, kemudian baru, ujarnya:
"Jite, bagaimana dengan kepalamu" Masih sakit tidak ?"
Sudah jelas ia sedang memberi bisikan kepada Sun Tiong-lo, sehingga
tak sampai salah berbicara nanti. "Setelah tidur sebentar, badanku terasa menjadi segar kembali" sahut
Sun Tiong-lo. Setelah berhenti sejenak, segera lanjutnya: "Nona, maafkan kalau
aku tidak keluar untuk menyambut kedatanganmu soalnya..." Waktu itu wajah nona Kim masih berwarna
semu merah karena jengah, ia segera menyingkir ke samping sambil ujarnya: "Kalau
memang kongcu tidak terganggu kesehatannya yaa
sudahlah, kini malam sudah melarut, maaf kalau aku tak akan
mengganggu lebih lanjut". Selesai berkata, si nona sudah bersiap-siap akan turun dari loteng itu.
Tiba-tiba Sun Tiong-lo berkata lagi: "Kedatangan nona sungguh
kebetulan sekali, setelah tertidur sebentar, mustahil aku bisa tertidur lebih lanjut, mengapa tidak masuk
dulu untuk berbincang bincang ?"
Baru saja nona Kim masih termenung dan belum sempat menjawab,
Bau-ji kembali telah menimbrung: "Tadi kukatakan kepada nona kalau adikku sudah tidur, tapi kau tidak
percaya dan sangat menaruh perhatian untuk datang menjenguk nya,
kini nona telah berada disini, mengapa tidak masuk dulu untuk
berbincang-bincang sebentar ?"
Nona Kim merasa gemas sekali, akhirnya dia masuk juga kedalam
ruangan loteng impian dan sekalian menutup pintunya.
Sambil mempersilahkan tamunya duduk, Sun Tiong lo segera berkata
lagi: "Nona, maafkan daku, aku tak dapat turun dari
pembaringan..." "Bagaimana dengan keadaan penyakit kongcu, sudahkah sembuh
kembali?" terpaksa nona Kim harus berlagak menaruh perhatian.
Sun Tiong lo sesungguhnya memang cuma berlagak sakit belaka,
dengan kening berkerut segera sahutnya:
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
Jilid 11 AKU RASA KEADAANKU sudah tidak apa apa lagi !"
"Bagaimana kalau aku panggilkan tabib untuk memeriksa
keadaan penyakitmu itu?" Sambil tertawa getir kembali Sun Tiong lo
berkata: "Nona sedang bergurau saja, di tengah pegunungan yang sepi
dan terpencil seperti ini, dari mana datangnya seorang tabib ?"
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
BAB EMPAT BELAS MENDENGAR perkataan itu, nona Kim baru sadar kalau telah salah
berbicara, biji matanya segera berputar, kemudian katanya lagi:
"Beng cengcu mempunyai ilmu pertabiban yang lumayan juga..."
"Sudahlah, aku rasa dia tak akan bersedia untuk melakukan
tugasnya itu dengan baik !" "Apa maksudmu berkata demikian?" tanya
nona Kim dengan wajah agak tertegun. "Sewaktu nona sedang marah marah di luar
ruangan tadi, tiba tiba aku merasakan kepalaku pusing sekali, waktu itu Beng cengcu juga
hadir di hadapanku seandainya ia bersedia menolongku, bukankah
waktu itu dia tak akan berdiam diri belaka ?"
Paras muka nona Kim kembali berubah menjadi merah padam karena
jengah, tapi dia masih tetap berusaha mempertahankan pendiriannya,
katanya kemudian: "Waah, aneh benar kejadian ini, besok akan kutanyakan hal ini
kepadanya !" Sun Tiong lo segera menggelengkan kepalannya berulang kali. "Kini
aku sudah merasa sehat kembali, dari pada banyak urusan
mengapa nona tidak mengurangi urusan?" Setelah diberi kesempatan
untuk mengundurkan diri secara terhormat, buru buru Kim mengangguk. "Ya, kalau memang begitu, ya
sudahlah" Kemudian setelah berhenti sejenak, dia mengalihkan kembali
pokok pembicaraannya kesoal lain, katanya: "Apakah Kongcu telah
mendengar semua pembicaraanku sewaktu berada diruang tengah tadi?" Sun Tiong lo segera mengangguk
"Suara nona seperti geledek, masa suara se keras itu tidak kudengar" Lucu bukan?" "Bila Kongcu
dapat mendengarnya sih tak menjadi soal, tapi aku
harap kau jangan membicarakannya lagi kepada orang lain" kata nona
Kim dengan wajah serius. Baru saja Sun Tiong lo hendak membuka suara, tiba tiba dari luar


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

loteng kedengaran ada orang sedang berseru!
"Coba lihat, disitu ada lampu, delapan puluh persen bocah keparat itu
pasti berada disana" Mendengar suara itu, nona Kim menjadi tertegun sehingga tanpa
terasa dia membuka jendela dan melongo keluar.
Pada saat itulah, Sun Tiong lo telah berbisik kepada Bau ji dengan ilmu
menyampaikan suaranya: "Toako, bila sebentar ada orang datang ke mari, harap Toako jangan
berkata apa apa, ingatlah, dan ingatlah !"
Baru selesai dia memberikan peringatannya, kedengaran nona Kim telah
menjerit kaget: "Haaahh, mengapa bisa mereka"!" Begitu selesai berseru
keheranan, dia segera meninggalkan daun
jendela dan menuju ke pintu loteng. Walaupun ia tidak bergerak pelan,
namun orang yang berada diiuar sana jauh lebih cepat dari padanya, secara kebetulan mereka
menjadi saling berpapasan muka. Mendadak nona Kim mundur ke belakang sementara orang orang
itupun segera menghentikan langkahnya, untung saja mereka tak
sampai bertumbukan satu sama lainnya.
Ketika pihak lawan mengetahui kalan orang itu adalah nona Kim,
langsung saja mereka menjerit kaget.
"Aaaah... nona, rupanya kau!" Ditengah seruan tersebut, tampak
bayangan manusia berkelebatan lewat, tahu-tahu Pat tek pat lo telah berjalan masuk
kedalam loteng impian tersebut. Dengan wajah dingin seperti es, nona Kim segera menegur dengan
suara dingin. "Lonceng emas belum dibunyikan, mengapa Pat lo sudah keluar dari
istana Sin kiong"!" Orang yang hampir saja saling bertumbukan dengao nona Kim tadi tak
lain adalah kakek Tiong, segera sahutnya setelah mendengar perkataan
itu. "Nona, maafkanlah kami, duduk persoalan yang sebenarnya akan lohu
utarakan nanti!" Dalam pada itu, sepasang matanya yang tajam bagaikan sembilu itu
telah dialihkan ke-wajah Bau ji serta Sun Tiong lo.
Begitu memandang kedua orang tersebut, segera dia berseru tertahan
lagi. "Aneh, kenapa bisa berubah." Nona Kim segera berkerut kening,
kembali tegurnya: "Kakek Tiong, sebetulnya apa yang terjadi?"
Untuk kesekian kalinya kakek Tiong memandang sekejap wajah
Bau ji dan Sun Tiong lo kemudian sambil menggelengkan kepalanya
berulang kali, ia berseru: "Betul betul aneh sekali, sungguh aneh sekali. . . sungguh aneh sekali .
.!" Sun Tiong lo segera berkerut kening pula, kepada nona Kim diapun
bertanya: "Tolong tanya nona, apakah kedelapan orang tua inipun khusus datang
untuk menjenguk penyakitku?" Nona Kim mendengus, kepada kakek Tiong tegurnya: "Kakek Tiong,
jawab semua pertanyaan yang kuajukan!" "Jangan terburu nafsu
nona, sebentar lohu pasti akan memberi
keterangan dengan sejelas-jelasnya !" Sesuai bsrkata, dengan langkah
lebar ia lantas berjalan mendekati Bau-ji. Dengan cepat nona Kim merentangkan tangannya ke
depan, serunya. "Kakek Tiong, apakah kau sudah melupakan peraturan dari
bukit kita ini...?" Kakek Tiong tidak menjawab pertanyaan itu, sambil
menuding kearah Bau-ji bersaudara, katanya. "Nona, apakah kedua orang ini
adalah dua bersaudara she Sun?" "Benar!" jawab Bau ji tidak tahan,
"siapa namamu, dan siapa pula dirimu itu?" Kakek Tiong tidak memperdulikan dirinya, tapi kepada tujuh orang
kakek lainnya dia berseru: "Miripkah yang ini?" Kakek Jin segera menggelengkan kepalanya
berulang kali, katanya: "Toako, bocah keparat itu dua inci lebih pendek daripada
dirinya, bukan dia!" Tlba-tiba kakek Tiong menghadap ke arah Sun Tiong lo,
setelah itu bentaknya: "Hei, berdiri kau, coba berdiri diatas lantai!" Sun Tiong lo
sengaja berlagak tertegun, serunya dengan cepat: "Hei orang tua,
apa-apaan kau ini?" "Tak usah banyak bicara" bentak kakek Tiong,
"lohu menyuruh kau berdiri, lebih baik kau berdiri!" Nona Kim yang menyaksikan
kejadian itu segera berubah wajah, dengan cepat ia menegur. "Kakek Tiong, kau harus tahu bahwa Sun
kongcu adalah tamuku"!" "Nona, sudah lohu katakan tadi, selesai persoalan disini pasti
akan kuungkapkan duduknya persoalan.." kata kakek Tiong serunya.
Melihat kesemuanya itu, nona Kim menjadi naik pitam, katanya:
"Kakek Tiong, apakah aku tidak berhak untuk mengetahui
dubuknya perkara sebelum kalian melakukan sesuatu tindakan?" Kakek
itu juga kakek Jin merasakan gelagat yang tidak baik
dengan cepat katanya: "Nona, kau tidak tahu, seorang diantara mereka
berdua telah berkunjung kedalam istana Sin kiong, bahwa mempermainkan semua
istana Sin kiong dari yang atas sampai paling bawah.."
?"Aaaah, sungguhkah itu ?" nona Kim menjerit kaget. "Memangnya
kami akan sembarangan berbicara dalam hal ini?" Nona Kim segara
berpaling dan memandang sekejap kearah Sun
Tiong lo, diam-diam ia dapat meraba juga apa gerangan yang terjadi.
Tapi entah mengapa, ternyata ia mendengus lagi dengan dingin.
"Darimana kakek Tiong bisa tahu kalau orang itu adalah salah
seorang diantara mereka?" "Dalam bukit ini tiada tamu lain, kecuali
mereka berdua..." Belum habis ucapan tersebut diutarakan, mendadak
dari luar jendela sana telah bergema suara tertawa yang amat nyaring. Pat lo,
nona Kim serta Bau ji bersaudara menjadi tertegun di
buatnya. Dengan suara lantang kakek Jin segera menegur. "Siapa yang
berada diluar"!" Orang yang berada diluar jendela itu besar amat
nyalinya, dia segera menyahut: "Diatas bukit ini tiada tamu lain, aku adalah orang
sendiri" Setelah berhenti sejenak dan tertawa sinis, lanjutnya sambil
tertawa mengejek. "Pat tek pat lo apaan itu" Pada hakekatnya tak lebih
cuma delapan orang kakek pikun yang ketolol-tololan!" Pat tek pat-lo yang
mendengar ejekan itu merasa malu, gemas,
marah, enam belas ujung baju dikebaskan berbareng dan meluncur
keluar dari ruang loteng sambil bergerak ke arah mana asalnya suara
tadi. Setelah kepergian mereka, Sun Tiong lo segera menggelengkan
kepalanya berulang kali sambil menghela napas panjang, gumannya:
"Apa maksud dari kesemuanya ini?" Nona Kim hanya terdiri
termangu-mangu saja ditempat itu, tak
sepatah katapun yang di ucapkan. Sewaktu Pat-lo menerangkan bahwa
ada orang telah melakukan pengacauan dalam istana Sin-kiong, nona Kim segera menyadari kalau
alasan Sun Tiong lo yang mengatakan sakit kepala hanya merupakan
alasan untuk menutupi kepergiannya ke istana Sin- kiong.
Siapa tahu pada saat yang bersamaan, dari luar ruangan telah
berkumandang lagi suara lain, hal ini membuktikan kalau apa yang
diduganya itu keliru besar. Kalau hanya salah menduga sih bukan urusan penting, yang paling
penting sekarang adalah mengapa kedatangan orang asing tersebut
sama sekali tidak diketahui mereka " Bukankah dengan begitu rahasia
dari bukit mereka akan ketahui orang....
Pat-lo telah kembali, ternyata orang itu tidak berhasil disusul mereka.
Nona Xim segera menegur: "Bagaimana" Mana orangnya ?" Merah
padam selembar wajah kakek Tiong karena jengah,
dengan kepala tertunduk sahutnya. "Nona pada malam ini kami
bersaudara benar-benar jatuh kecundang ditangan orang !" Menyusul kemudian diapun lantas
mengisahkan kedatangan sang tamu tak diundang dalam istana Sin kiong, lalu bagaimana Pat lo tertipu
untuk pergi menangkap nona Siu, Sebagai akhir kata dia menambahkan
"Barusan nona telah mendengarkan dengan telinga sendiri, betapa
jumawa dan takabumya orang diluar jendela itu, namun sewaktu lohu
bersaudara menyusul keluar, ternyata tak sesosok bayangan
manusiapun yang berhasil kutemukan."
Nona Kim segera berkerut kening, setelah berpikir sejenak, katanya:
"Aku dengan mempergunakan "Kim Ieng" menitahkan kakek Peng
segera pulang ke istana sin-kiong untuk mengundang nona Siu dalam
loteng Hian ki lo untuk berbicara, sedang lainnya harap mengikuti
diriku..." Begitu selesai berkata, kakek Peng telah beranjak pergi, sementara si
nonapun sudah bersiap siap meninggalkan tempat itu.
Sun Tiong lo yang sedang berbaring sakit di atas pembaringan tiba tiba
berkata: "Tunggu sebentar nona, saudara yang lainnya juga harap tunggu
sebentar. .." Nona Kim segera berhenti sambil bertanya. "Ada urusan apa
Kongcu?" Dengan wajah dingin bagaikan salju, Sun Tiong lo
menuding ke arah kakek Tiong sekalian, kemudian katanya. "Bukan aku yang ada
urusan, seharusnya mereka yang ada persoalan untuk disampaikan kepadaku !" Tentu saja nona Kim
memahami apa yang dimaksudkan, katanya
kemudian dengan cepat: "Kongcu, dalam bukit kami secara tiba tiba
telah teijadi suatu peristiwa besar...." "Nona, maaf jika aku akan berterus terang" tukas
Sun Tiong-lo dengan dingin, "walaupun aku telah salah masuk ke bukit anda dan
harus mentaati peraturan disini, asal saatku menjadi tamu itu telah
habis, tak urung aku pun tak akan lolos dari kematian."
"ltulah sebabnya terhadap peristiwa besar yang telah terjadi dibukit
kalian atau tidak, aku sama sekali tidak tertarik, akan tetapi terhadap
orang-orang kalian yang telah merusak peraturan sancu kalian, mau tak
mau aku harus menegurnya!" Nona Kim segera berkerut kening, katanya: "Kongcu, setiap manusia
pasti ada kesalahan, kuda pun kadang kala bisa salah melangkah..."
Sua Tiong lo menggelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya dengan
wajah serius: "Nona, terus terang saja persoalan ini sama sekali tak ada sangkut
pautnya dengan diriku!" "Kongcu, kami telah mengakui kesalahan ini, harap kau sudi bermurah
hati." Kembali Sun Tiong-lo mendengus dingin seraya menukas: "Nona,
soal keadilan tak bisa dibiarkan berlalu dengan begitu
saja, sewaktu aku salah memasuki bukit ini, bagaimanapun kujelaskan
dan kumohon, yang diperoleh hanya jawaban yang sama, peraturan
tetap tinggal peraturan, apapun yang kuminta, peraturan tetap berjalan
sebagaimana mestinya." "Sekarang, kejadian yang sama telah menimpa saudara saudara kalian
sendiri, tapi kalian turut aku jangan mempersoalkan peraturan nona,
bukan saja semacam ini tidak tahu aturan, juga sangat tidak adil
sekali..." Pat lo tak kuasa menahan rasa mangkel di dalam hatinya lagi, dengan
suara dalam kakek Gi segera berseru:
"Sahabai muda, lantas apa yang kau kehendaki ?" "Sobat tua, kau
keliru, bukan aku menginginkan bagaimanabagaimana,
melainkan peraturan yang telah ditetapkan oleh Sancu
kalian tetap merupakan peraturan yang berlaku, sebab itu apa yang
diharuskan oleh peraturan, harus di lakukan pula oleh kalian semua !"
Kakek Gi menjadi tertegun, setelah memandang sekejap kearah Sun
Tiong lo, katanya: "Maaf, kebetulan sekali diantara peraturan yang di tetapkan Sancu, tak
sebuahpun yang memuat tentang hal ini !"
Baru selesai dia berkata, Sun Tiong lo telah merogoh ke bawah
bantahnya dan mengeluarkan selembar kertas, lalu sambil dilemparkan
ke depan, katanya sambil tertawa dingin.
"Masih untung saja aku menyimpan bukti ini, kertas tersebut aku
dapatkan dari atas dinding diruang depan sana, kini dipersilahkan kau
untuk memeriksanya, coba kau lihat adakah peraturan yang
mencantumkan tentang hal itu"!"
Pat lo menjadi berdiri bodoh, sedangkan nona Kim juga berdiri tertegun
disisinya tanga sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Sun Tiong lo tertawa dingin, katanya lagi: "Bila pada malam ini Pat lo
tidak di beri hukuman seperti apa yang tercantum dalam peraturan bukit ini, jangan salahkan kepadaku
bila persoalan ini akan kuadukan kepada Sancu bila ia telah kembali
nanti !" Nona Kim sama sekali tidak mengira kalau Sun Tiong lo yang
kelihatannya lemah lembut itu ternyata memiliki watak yang begitu
keras. Lebih-lebih ke delapan orang kakek itu, mereka merasa malu, menyesal,
dan untuk sesaat tak tahu apa apa yang mesti dilakukan.
Nona Kim memegang lencana Kim leng yang merupakan benda paling
berkuasa diatas bukit pemakan manusia itu, dia cukup memahami jalan
pemikiran dari Sun Tiong-lo, maka setelah berpikir sebentar, katanya:
"Kongcu, katakanlah, sebenarnya apa yang kau inginkan ?" "Harap
nona memaklumi apakah mereka tak berani meminta
maaf saja kepadaku"!" Setelah mendengar perkataan ini, si nona baru
merasa hatinya lega, kepada delapan orang kakek itu ujarnya:
"Orang sudah mengajukan persyaratannya!"
Dengan perasaan apa daya kakek Tiong segera maju melangkah
kedepan, kemudian sambil menjura kepada Sun Tiong-lo ujarnya:
"Kongcu, lohu bersaudara benar-benar amat gegabah, harap Kongcu
suka memaafkannya !" Ternyata Sun Tiong lo juga sama sekali tidak melupakan sopan
santunnya, buru buru ia menjura dan balas memberi hormat.
"Kalian orang tua harap memaafkan diriku, setelah mendengar
penuturan kau orang tua tentang dipermainkan orang, telah kuduga
kalau cara kerja kalaian berdelapan pasti gegabah sekali."
"Kini kalian berdelapan telah mendatangi loteng impian, seharusnya
kalian toh bisa me nanyai aku dan Sun kongcu ini dengan sikap yang
halus dan lembut, tapi kenyataannya kalian telah menegur secara kasar
dan ketus, tindakan semacam ini tidaklah pantas dilakukan..."
Berkedip sepasang mata nona Kim dan mengerling sekejap kearah Sun
Tiong-lo kemudian menyela: "Bagaimanapun persoalan ini bisa disudahi sampai disini saja bukan ?"
Sun Tiong-lo segera tertawa. "Kalau berada dirumah yang rendah,
mau tak mau aku mesti tundukkan juga kepalaku, kalau tidak, apa pula yang bisa kulakukan
lagi ?" Nona Kim segera berkerut kening, katanya lagi: "Aku akan pergi


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dulu, tengah hari nanti..." "Sekarang sudah mendekati kentongan ke
lima, aku dan saudara Sun juga rasanya tak mungkin bisa tidur lagi" tukas Sun Tiong-lo,
dapatkah kurepotkan nona untuk memberitahukan kepada Chin
congkoan, bahwa setelah fa jar menyingsing nanti, dia bisa datang
kemari untuk menemani kami berjalan jalan mengelilingi seluruh bukit
?" "Aaaah hampir saja aku melupakan kejadian ini." seru nona Kim sambil
tertawa, "tak usah sigoblok itu menemani kalian, setelah urusan selesai
nanti akan kutemani kalian berdua"
Selesai berkata dia lantas meninggalkan loteng impian lebih dulu,
diikuti kedelapan kakek tersebut dibelakangnya.
Setelah mereka pergi, Bau ji baru tak tahan untuk bertanya dengan
suara Iirih: "Jite, apakah kau yang memasuki istana Pat tek sin kiong tersebut?"
Sun Tiong lo segera tertawa. "Toako, tentu saja akulah orangnya"
Bau ji tertawa, kemudian sambil menggelengkan kepalanya
berulang kali, ujarnya lagi. "Sudah kuduga kalau kau, cuma siapa pula
orang yang barusan berseru dari luar jendeia itu." "Terus terang kukatakan toako, orang itu
adalah...." -oo0dw0ooo- DALAM Loteng Hian ki lo, nona Kim duduk
ditengah ruangan dengan wajah dingin membesi. Delapan orang kakek itu mengiringi
dikedua belah sisinya, sedangkan nona Sian berdiri di belakang nona Kim. Hanya nona Siu
seorang yang berdiri di depan meja besar dan
menjawab setiap pertanyaan yang diajukan dengan sikap yang sangat
menghormat. Dengan tangan kiri memegang lencana Kim leng yang mempunyai
kekuasaan sangat besar nona Kim berkata:
"Nona Siu, kau harus menjawab semua pertanyaan yang kuajukan
dengan sejujur-jujurnya." Nona Siu melirik sekejap kearah nona Kim lalu menjawab: "Hamba
akan melaksanakah perintah dengan sebaik-baiknya."
"Pertama-tama ingin kutanyakan dulu kepadamu, apa sebabnya
kau mencampuri air teh dengan racun " sewaktu berada dibalik tirai
bambu, orang itu berada satu kaki delapan depa jauhnya darimu,
bagaimana caramu melepaskan racun itu ?"
"Hamba mencampuri racun itu menggunakan kesempatan dikala
dayang hendak menyeduh air teh."
"Kau berani tidak jujur ?" bentak nona Kim dengan suara yang dalam
dan berat. Sekulum senyum licik yang menyeramkan segera tersungging diujung
bibir nona Siu, sahutnya: "Aku berbicara dengan sejujurnya, sebelum dayang menghantarkan air
teh untuk tamu menurut kebiasaan yang berlaku dalam istana, maka air
teh itu harus dihantar dulu kehadapan hamba, sengaja hamba membuka
poci air teh itu, kemudian menitahkan kepada dayang untuk menghormati
tamu..." "Oooh... lantas, mengapa kau sampai turun tangan untuk meracuninya?"
tanya nona Kim. "Dari pembicaraan yang dilangsungkan antara orang itu dengan Pat lo
dengan cepat dapat hamba simpulkan bahwa dia seorang tamu yang
yang tak diundang dan memasuki istana secara paksa, tentunya nona
juga tahu bukan, semua orang asing dilarang memasuki istana untuk
melakukan penyelidikan dengan dasar ini, mengapa aku mesti
membiarkan dia tetap hidup segar bugar?"
Nona Kim segera mendengus dingin. "Oooh... kalau begitu,
perbuatanmu tersebut hanya semata-mata
untuk menjaga keamanan dari istana Sin kiong?"
Nona Siu tertawa hambar. "Hal ini merupakan tugas dan kewajiban yang harus hamba laksanakan,
hamba tak berani berbuat gegabah dengan membiarkan ia berbuat
semena-mena dalam istana." "Oooh... lantas apa pula sebabnya kau tidak memberitahukan hal ini
kepada Pat lo sebelum meracuni air teh itu, dan setelah kejadian
mengapa pula tidak memberi keterangan kepada mereka?"
"Hamba sudah tahu kalau perasaan Pat lo telah digerakan oleh ucapan
manis orang itu sehingga timbul perasaan simpatik kepadanya, aku
kuatir Pat lo tidak menyetujui tindakanku ini bila kusampaikan secara
berterus terang, maka sebelum kuambil tindakan tersebut, hal ini sama
sekali tak kulaporkan dulu kepadanya."
Setelah kejadian itu berlangsung, hambapun tahu kalau usahaku untuk
meracuninya gagal total, maka aku lantas memutuskan untuk
membekuknya dihadapan Pat-lo dengan mengandalkan ilmu silat yang
sesungguhnya, kemudian memaksakan dia untuk mengakui asal usul
yang sebenarnya, sayang terjadi keteledoran..."
"Masa orang-orang ini teledor dalam melakukan perbuatan." seru nona
Kim dengan suara dalam. "Ada sementara persoalan memang tak dapat dihindari lagi, misalkan
saja dengan perbuatan pat-lo yang menyambut kedatangan orang itu
serta menganggapnya sebagai tamu agung, akhirnya mereka termakan
sendiri oleh perbuatan orang itu, tentu saja dalam hal ini terdapat unsur
keteledoran." "Apakah Pat-lo teledor atau tidak, aku dapat memutuskan sendiri" tukas
nona Kim dengan suara dalam, "sekarang, yang kutanya kan adalah soal
kau sendiri !" Nona Siu menggertak giginya menahan diri, kemudian sahutnya:
"Hamba pun mengakui telah melakukan keteledoran, hamba
sedia terima hukuman sesuai dengan peraturan."
Nona Kim kembali mendengus dingin. "Hmm . . Aku tahu kau ingin mengandalkan rasa sayang Sancu padamu,
kemudian mengandalkan pula kedudukanmu yang hanya bisa diundang
datang dengan lencana kemala, maka kau lantas kau memandang remeh
orang lain, menganggap aku tak dapat menghukummu?"
"Ucapan semacam itu hanya nona yang mengatakannya sendiri, belum
pernah hamba berpendapatan demikian" ucap nona Siu dingin, "apalagi
nona sekarang memegang lencana Kim leng di tangan, jangankan baru
menghukum, sekalipun membunuh hamba, juga hamba tidak akan
berani membantah." "Aku nasehati kepadamu, lebih baik jangan mencoba-coba kesabaranku
lagi.. . kau bakal rugi besar, mengerti?" seru nona Kim dengan kening
berkerut kencang. Paras muka nona Siu berubah hebat, dia lantas menundukkan
kepalanya dan tidak berbicara lagi.
Nona Kim mendengus dingin, katanya lebih jauh. "Khong It hong
jauh lebih dipercaya oleh Sancu daripadamu tapi
nyatanya dibawah bunyi lonceng emas sama yang mengundang
kehadiran Pat lo, dia sudah disekap di dalam gua Im hong tong,
sekalipun lebih garang juga harus menunggu setahun kemudian baru
bisa keluar lagi dari tempat penyekapannya..."
Mendengar perkataan itu, nona Siu menundukkan kepalanya semakin
rendah lagi, dia lebih tak berani banyak berbicara.
Nona Kim segera tertawa dingin, katanya lebih jauh: "Seandainya kau
sampai menggusarkan diriku, hmmm..!
ketahuilah, gua Liat hwee-tong (gua panasnya api) telah menantikan
dirimu untuk mencicipinya !" Sekujur badan nona Siu gemetar keras sekali, buru-buru bisiknya:
"Hamba tidak berani!" "Hmm...! Sudah kuduga kau tak berani" dengus Nona Kim dengan wajah
dingin, "bila kau sampai disekap dalam gua Liat hwee tong, maka
sebelum seratus hari jangan harap bisa ke luar dari situ, menanti kau
keluar dari sekapan paras mukamu pasti sudah berubah hebat, aku tidak
percaya kalau sancu masin bisa menyayangi dirimu."
Tiba-tiba nona Siu menjatuhkan diri berlutut diatas tanah, kemudian
rengeknya dengan ketakutan: "Nona ampuni Bentrok Para Pendekar 14 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bentrok Para Pendekar 7
^