Bukit Pemakan Manusia 7

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 7


berkata: "Hamba mengucapkan salam dan hormat untuk Sancu !" Sedang delapan orang
jago lihay dibelakang itupun turut membungkukkan badan member hormat, namun mereka tidak berkata
apa apa. Sancu itu tak lain adalah si kakek berjubah abu-abu berjenggot hitam
tersebut. Sementara itu dengan wajah sedingin es dia sedang mengulapkan
tangannya kepada ke delapan orang jago ihay itu sambil berkata:
"Kalian segera kembali ke pos nya masing-masing, sebelum mendapat
perintah dilarang meninggalkan tempat masing-masing"
Delapan orang jago lihay itu segera mengiakan, setelah memberi
hormat, mereka segera berlalu meninggalkan tempat itu.
Sik Phu berkedudukan cukup tinggi dalam bukit itu, dengan cepat dia
lantas bertanya: "Sancu, kapan kau kembali ke bukit" Malam ini..." "Sik Phu, sejak
kapan kau meninggalkan istana Pat tek-kiong?"
sekali Sancu menukas. Sik Phu berangkat sangat awal, dia belum tahu
kalau Pat tek-patlo dan beberapa orang pelayan roboh tak sadarkan diri, berada dalam
keadaan yang sangat seperti begini ini, asal ia salah berbicara maka
akibatnya sukar dibayangkan dengan kata-kata.
Tapi, Sik Phu adalah seorang yang berpengalaman dalam waktu singkat,
secara ringkas ia telah membayangkan kembali semua persoalan yang
telah terjadi pada malam ini. Setelah ada garis besar alasan yang bisa di-pakai, diapun memberi
hormat seraya menyambut. "Pada kentongan pertama tadi, hamba mendapat mgas untuk meronda
untuk setiap bagian istana mendadak hamba menyaksikan ada dua
orang lelaki perempuan yang melompat keluar dari istana dan kabur
menuju ke arah belakang bukit sana, maka hamba..."
Belum habis dia berkata, kembali Sancu telah menukas: "Apakah
sudah kau lihat jelas paras muka orang itu?" Sik Phu tampak ragu
ragu, ia tidak segera menjawab pertanyaan
tersebut. "Hayo jawab !" bentak Sancu dengan paras muka dingin
seperti es. "Hamba tidak berani menjawab pertanyaan Sancu lantaran
hamba masih ragu-ragu...." "Ehmm,
bagaimana ragu ragunya?" "Perempuan itu mirip sekali dengan nona Siu..." ?"Aaah"!" Sancu
menjerit tertahan, "dan yang lelaki?" "Yang lelaki mirip sekali dengan
Khong sau sancu . . ." Khong sau sancu yang mana?" bentak Sancu.
"Khong It-hong, Khong sau-sancu!" Sancu segera menggertak
bibirnya menahan diri, serunya kemudian. "Siapa yang mengatakan kalau dia adalah Sau-sancu?"
"Setiap kali Sancu keluar rumah, Khong sau sancu yang
mengurusi semua tugas dibukit ini. setiap kali memberi perintah, dia
selalu membahasai diri sebagai Sau sancu, oleh karena itu...."
Sancu menjadi tersudut, tukasnya kemudian: "Ada urusan apa Khong
It-hong dan nona Siu dibelakang bukit sana?"
"Hamba hanya mengatakan lelaki perempuan itu seperti mirip nona Siu
dan Khong sau . ." "Khong It hong yaa Khong It hong, mulai se karang kau tak boleh
menyebutnya lagi sebagai sau sancu !"
"Baik," sahut Sik phu, hamba tidak melihat jelas apakah betul mereka
atau bukan !" "Apakah jaraknya amat jauh?" "Betul. Waktu itu hamba sedang
meronda di loteng Kok bong lo, sedangkan bayangan manusia itu muncul dari antara ruang Keng, hi, ia
dan to empat ruangan, oleh sebab itu hamba tidak melihat jelas"
Jawaban dari Sik Phu ini sebetulnya memang cukup beralasan
Sewaktu berada di gua Sam seng tong, dengan mata telinga
sendiri ia mendengar pembicaraan antara nona Siu dengan JChong It
hong, tapi ia tak tahu kalau nona Siu sedang membopong Khong It
hong, dia mengira "Siau see lo" benar benar telah terbakar.
Tapi dengan pengalamannya yang luas, ia tak mau secara gegabah
mempercayai semua kejadian yang tidak disaksikan dengan mata kepala
sendiri, tapi dia pun kuatir loteng Liau see lo benar benar sudah
terbakar, maka diapun lantas menggunakan loteng Pak bong lo sebagai
alasannya. Siapa tahu, alasannya itu secara kebetulan sekali justru persis cocok
dengan kejadian yg menimpa Pat lo dalam See sian, itulah sebab nya
semua kecurigaan yang semula menyelimuti hati Sancu,kini tersapu
lenyap hingga tak berbekas. "Apakah kau telah memperingatkan Pat lo?" tanya Sancu kemudian.
Pertanyaan ini segera memberi kesempatan Sik Phu untuk memberi
jawaban yang lebih sempurna lagi. Dengan cepat dia menggelengkan kepalanya berulang kali. "Hamba
sama sekali tidak mengganggu ketenangan Pat lo"
katanya. "Mengapa ?" "Waktu itu, walaupun hamba tidak melihat jelas
siapakah pihak lawan.." Sekalipun tak dijelaskan lebih jauh, sebagai orang yang cerdik,
Sancu segera dapat memahami kata-kata selanjutnya. Maka diapun
mengangguk. "Benar, katanya, "kalau memang mereka ber dua,
memang tidak seharusnya mengganggu ketenangan Pat-lo" "Benar, hambapun lantas
menguntil mereka, tapi tiba dibelakang
bukit sana ternyata terjadi peristiwa diluar dugaan, aku telah diserang
oleh dua orang manusia berkerudung setelah bertarung sampai lama,
akhirnya mereka berhasil melarikan diri."
Seharusnya Sancu akan terkejut setelah mendengar perkataan itu, siapa
tahu dia malah tertawa hambar. "Aku sudah tahu" Setelah berhenti sejenak, kembali dia melanjutkan:
"Manusia berbaju kuning itu sudah melewati telaga itu?" "Benar,
hamba membuntuti dibelakang delapan orang jago lihay
tersebut, sebenarnya bermaksud..." San-cu segera mengulapkan
tangannya sambil menukas: "Maksud hatimu telah kupahami" Setelah berhenti sejenak, dia
meneruskan. "Sekarang kembalilah kau ke Sin kiong dan kumpulkan
segenap jago lihay yang kita miliki untuk menntup semua jalan tembus yang
ada, kecuali Pat lo, siapa saja dilarang berjalan melewati tempat itu
setelah persoalanku selesai nanti, akan kuutus kau untuk melakukan
pekerjaan yang lainnya...." Sik Phu mengiakan dan segera mengundurkan diri dari situ. Sancu
sendiri tertawa dingin, sambil mengulapkan tangannya dia
langsung meluncur ke arah tengah perkampungan Ketika tubuhnya
melambung di udara, diantara kilatan cahaya
yang tajam, ditengah udara kembali muncul sebuah lentera kecil yang
berbentuk aneh, cahaya itu bersinar cukup lama sebelum akhirnya
menimbulkan suara ledakan yang keras dan berubah menjadi kabut
berwarna kuning. Itulah lencana Si teng hoa yu-leng yang melambangkan kekuasaan dan
kedudukannya sebagai seorang Sancu.
Begitu lenteran dilepaskan, dia sendiri lang sung meluncur menuju
kearah perkampungan keluarga Beng. Ditengah lapangan diluar gedung besar tersebut entah sejak kapan
telah berkumpul hampir mendekati seratus orang jago lihay.
Ketika Sancu tiba, ratusan orang jago, itu segera menyambut
kedatangannya dengan hormat. Sancu memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu secara ringkas
berkata. "Aku akan pergi ke loteng impian, Ki Thian sik pergi mengundang nona
untuk bertemu denganku, cepat! sisanya segera menutup semua jalan
keluar yang ada dibukit ini, mulai besok lakukan perondaan secara
bergilir, dari luar menuju ke dalam setiap jengkal tanah geledah semua
dengan teliti !" Selesai berkata, dia lantas menggerakkan tubuhnya dan meluncur ke
arah loteng impian. Tentu saja dia mempunyai alasan alasan tertentu sehingga memutuskan
untuk berkunjung ke loteng impian. Pertama, sebelum dia berangkat meninggalkan bukit tempo hari,
terhadap Sun Tiong lo sudah mempunyai suatu perasaan aneh.
Kedua, Sancu menaruh curiga kalau manusia berbaju kuning yang
menampakkan diri dalam Pat tek sin kiong tadi, kemungkinan besar
adalah tamu agungnya yang berdiam di dalam loteng impian.
Ketiga, setelah tidak berhasil meraih kemenangan dalam bentrokannya
dengan manusia berbaju kuning tadi, sepeninggal manusia baju kuning
tadi dia telah membangunkan Pat lo dan sekalian anak muridnya.
Setelah melakukan serentetan pemeriksaan terburu2 banyak persoalan
yang ingin dia ketahui, termasuk diantaranya penghianatan Khong It
hong dan lenyapnya Nona Siu secara tiba- tiba, ditambah gerak gerik
manusia misterius dalam istana tersebut.
Tamu agung yang berada di bukit sekarang hanya terdiri dari dua orang
Sun kongcu yang berdiam dalam loteng impian, salah seorang
diantaranya, besok akan berubah statusnya dari tamu agung menjadi
buronan, sedang yang lainnya, yaitu orang yang dicurigai, masih
mempunyai waktu selama dua hari lamanya.
Menurut penilaiannya terhadap pakaian baju kuning yang dikenakan
serta kepandaiannya untuk menyeberangi telaga, bisa
dibuktikan bahwa orang itu adalah salah satu diantara kedua orang ini,
hal mana membuatnya bertambah waspada.
Pakaian kuning yang dikenakan orang itu cukup dikenal olehnya,sebab
diatasnya terdapat tanda rahasia khusus, dan pakaian itu memang
khusus diberikan untuk para tamu agung yang secara tak disengaja atau
tidak sengaja telah memasuki bukit pemakan manusia.
Oleh karena itu, dia peilu untuk mengunjungi loteng impian guna
melakukan pemeriksaan. Bagaimanapun juga kedudukannya sangat terhormat, pengalamannya pun
luas sekali, maka setibanya dibawah loteng, ia tidak masuk secara
sembunyi-sembunyi, melainkan naik ke atas dengan terbuka dan terang
terangan. Ketika tiba ditengah tengah bangunan loteng itu, mendadak dia
berhenti dan menegur dengan suara keras:
"Apakah Sun Kongcu sudah tidur?" Aneh, ternyata tiada jawaban!
Dengan kening berkerut sekali lagi dia berseru lantang: "Siapa yang
bertugas disekitar tempat ini?" Kali ini ada jawaban, seseorang
segera melayang datang dari suatu tempat sejauh tiga puluh kaki lebih dari loteng itu dengan
gerakan yang cepat sekali. Setibanya didepan loteng, dengan hormat orang itu berkata. "Hamba
siap mendengarkan perintah!" "Tahukah kau, siapa yang bertugas
untuk merondai loteng ini pada malam hari ini?" "Lapor sancu, tempat ini tiada orang yang
melakukan perondaan ?" "Ooooh... kenapa ?"
"Nona yang menurunkan periutah, katanya perondaan untuk loteng ini
dibatalkan." "Oooh. kiranya begitu." Setelah berhenti sejenak, dan berpikir
beberapa saat, dia berkata lebih jauh: "Baik, sekarang naiklah keloteng dan beritahu kepada dua
orang tamu agung kita bahwa lohu datang berkunjung." Orang itu mengiakan
dan naik ke loteng, tak lama kemudian
jendela dibuka dan Sun Tiong lo melongokkan kepalanya keluar. Hal ini
memang tak salah, teriakan sancu tadi cukup keras dan
ketukan pintu orang itu pun cukup nyaring, seandainya dalam loteng
impian benar-benar ada orangnya, niscaya suara tersebut akan
terdengar dengan jelas, oleh karena itu Sun Tiong-lo segera membuka
jendela dan menampakkan diri. Setelah melongok sekejap keluar, dengan sikap yang amat sungkan Sun
Tiong-lo berkata: "Tidak berani merepotkan anda, aku telah bangun dari tidur, silahkan
masuk !" Sewaktu sancu menyaksikan daun jendela di buka dan Sun Tiong-lo
menampakkan diri tadi diam-diam hatinya terkesiap.
Ternyata sancu telah mencurigai siorang berbaju kuning yang dapat
melewati empang tadi tak lain adalah Sun Kongcu yang selalu
mengatakan dirinya tak bisa bersilat itu, maka dia sengaja datang
kesana untuk melakukan pemeriksaan.
Siapa sangka ternyata Sun Tiong lo masih berada didalam ruangan
lotengnya. kejadian ini benar-benar mengherankan sekali.
Sebab jalan yang ditempuh bayangan kuning itu sepeninggal empang
tersebut adalah perkampungan ini, padahal jalan yang ditempuh dari
empang menuju ke perkampungan harus melewati suatu jalan yang
jauh sekali. Secepat-cepatnya gerakan tubuh bayangan kuning itu, ia yakin dirinya
masih sanggup untuk mencapai loteng impian lebih dulu.
Tapi sekarang terbukti kalau Sun Tiong lo tetap berada dalam loteng
itu, hal ini menjadikan ia tertegun.
Dengan beradanya Sun Tiong lo dalam loteng itu, maka terbuktilah
sudah kalau manusia berbaju kuning adalah orang lain.
Maka sewaktu Sun Tiong lo melongokan kepalanya tadi, Sancu
merasakan hatinya bertambah berat. Kini, Sun Tiong lo menyambut kedatangan nya, terpaksa Sancu harus
menarik kembali semua kecurigaannya.
Kepada Sun Tiong lo yang berada di jendela ia tertawa, lalu katanya.
"Tak ada peraturan semacam ini, lohu tak berani merepotkan kongcu
untuk datang menyambut kedatanganku."
Seraya berkata dia lantas memberi tanda kepada anak buahnya sambil
berpesan. Perintahkan untuk memasang lampu diseluruh bukit ini." Selesai
berkata dengan langkah lebar dia lantas melangkah naik
kedalam loteng. Orang itu segera berlalu untuk melaksanakan tugasnya.
Sementara itu pintu loteng sudah dibuka dan Sun Tiong lo
menyambut kedatangan Sancu. Setelah memberi hormat, pemuda itu
berkata. "Sancu telah kembali tampaknya, aku.,." Sancu menyongsong
maju kedepan, lalu berlagak sungkan dia
menggenggam sepasang tangan Sun Tiong lo erat-erat, kemudian
katanya. "Oleh karena aku mempunyai janji dengan kong cu, maka begitu
urusan selesai aku segera kembali kerumah."
Sambil berkata, dia lantas mengerahkan tenaga dalamnya kedalam
sepasang tangannya. Sun Tiong lo segera menjerit kesakitan, saking sakitnya paras mukapun
turut berubah hebat. Menyaksikan keadaan tamunya itu, diam-diam Sancu menyesali
kegegabahannya, dengan cepat dia mengendorkan tangannya, lalu
dengan tiada minta maaf ia berseru:
"Aaah, lantaran kelewat senang lohu sampai menggenggam tangan
kongcu." Sun Tiong lo tertawa rikuh, sahutnya. "Wah, apabila sancu
mengerahkan tenaga lebih besar lagi,
niscaya sepasang tanganku ini sudah hancur tak karuan lagi bentuknya
!" Sancu tertawa. "Mari ! Mari... kita berbicara didalam ruangan loteng
saja ." Maka merekapun memasuki ruang loteng impian. Setelah
kedua belah pihak duduk, Sun Tiong lo segera bertanya: "Sancu,
sejak kapan kau kembali ke gunung?" "Belum lama berselang" jawab
sancu sambil tertawa. Setelah berhenti sejenak, kembali dia ber


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata. "Bila aku datang berkunjung ditengah malam buta, harap
kau suka memaafkan ?" "Aaah, mana, mana. ." sahut sang pemuda sambil
tertawa pula. Pelan-pelan Sancu mengalihkan sinar matanya
memperhatikan sekejap seluruh ruangan loteng itu, kemudian sambil berseru katanya:
"Hei, dimanakah, Sun kongcu yang satunya lagi."
Sun Tiong lo segera menggelengkan kepalanya berulang kali, tukasnya
dengan cepat: "Orang itu aneh sekali, dan sukar untuk di ajak bergaul, sudah tiga hari
dia datang kemari, namun tak sampai lima patah kata yang dia ucapkan
dengan diriku !" "Oooh, bagaimana sih ceritanya" Dimana sekarang orangnya ?" Sun
Tiong lo segera mengangkat bahu sambil menggelengkan
kepalanya berulang kali. "Darimana aku bisa tahu!" setiap kentongan
pertama malam hari dia pasti keluar rumah, sampai hampir fajar baru kembali" "Apakah
setiap malam dia berbuat demikian?" tanpa terasa
tergerak hati Sancu. "Tiga malam ini dia selalu berbuat demikian."
Sancu menundukkan kepalanya dan berpikir sebentar, kemudian
ujarnya kambali. -ooo0dw0oo- Jilid 14 "APAKAH KONGCU tidak bertanya ke mana dia telah
pergi?" "Sudah, sudah kutanyakan, tapi dia cuma melotot gusar
kepadaku, kemudian mendengus dingin, tak sepatah katapun yang dia
katakan." Sancu segera berkerut kening puIa, kemudian dia mendengus pula
dengan suara dingin. Untuk sesaat suasana menjadi hening, sepi dan tak kedengaran sedikit
suarapun. Kemudian diapun berkata lagi: "ToIong tanya kongcu, pakaian
apakah yang dia kenakan selama beberapa malam ini?" Sun Tiong lo kembali tertawa getir.
"Dia memang aneh sekali dan lagi sama sekali tak tahu aturan, sewaktu
aku salah masuk ke bukit ini bukankah bajuku robek robek dan kotor"
Atas kemurahan hati Beng cengcu, aku telah diberi dua stel pakaian
panjang, satu berwarna biru dan satu berwarna kuning.
"Tapi kemudian, setelah dia tiba disini bila pagi hari dia mengenakan
pakaian sendiri, tapi bila malam sudah tiba, maka diapun selalu
meminjam pakaian kuning kudapatkan dari Beng Cengcu itu, coba Sancu
bayangkan..." Mendadak Sancu bangkit berdiri sambil menukas: "Apakah dia tidur
diatas ranjang ini ?" Sun Tiong lo manggutmanggut.
"Ya, dia tidur di bagian luar !" Dengan langkah lebar Sancu
segera berjalan ke depan pembaringan itu, kemudian dengan tangannya meraba disekitar
pembaringan tersebut. Betul juga, separuh bagian ranjang tersebut yakni bagian terasa hangat,
hal ini menunjuk kan kalau Sun Tiong lo memang tidak meninggalkan
loteng tersebut, sebaliknya tidur disana, sedangkan bagian luar terasa
dingin, ini membuktikan kalau tempat itu tidak ditiduri orang.
Sewaktu Sancu memeriksa permukaan pembaringan itu, Sun Tiang lo
yang berada dibelakangnya diam diam tertawa geli.
Menyusul kemudian, dengan berlagak seakan akan tidak habis
mengerti, Sun Tiong lo bertanya: "Sancu apa yang sedang kau lakukan?" "Ooh, tidak apa apa" sahut
Sancu sambil tertawa. Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan:
"Silahkan duduk kongcu, lohu ada persoalan hendak memohon petunjukmu..." Sun Tiong
lo mengiakan dan duduk disebelah kanannya,
kemudian bertanya: "Boleh aku tahu, persoalan apakah yang hendak ditanyakan sancu?""
"Kongcu berasal dari mana. ." Belum habis pertanyaan itu diajukan,
Sun Tiong lo telah menukas dengan cepat: "Aku sebenarnya berasal dari ibu kota, sayang . .." Dia
menghentikan sendiri perkataannya, lalu setelah memandang
sekejap ke arah Sancu, ujarnya: "Adakah sesuatu alasan yang
mendorong Sancu untuk mengajukan pertanyaan semacam itu kepadaku ?" Sancu segera
tertawa. "Tentu saja ada" dia menjawab, "kalau dibicarakan mungkin
kongcu sukar untuk mempercayainya, kongcu mempunyai wajah yang
mirip sekali dengan seorang sahabat karibku !"
"Oya" Apakah sahabat Pancu itupun she Sun" Sancu agak tertegun,
kemndian sahutnya: "Benar !" Sun Tionglo mengerdipkan matanya
berulang kali, kemudian ujarnya kembali: "Bolehkah sancu terangkan siapa nama sahabatmu itu
?" Sancu termenung beberapa saat lamanya, seperti lagi
mempertimbangkan apakah harus mengatakannya keluar atau tidak.
Sebelum ia sempat menjawab, Sun Tiong lo telah berkata lebih jauh:
"Sudah tiga hari lamanya aku berdiam di tempat ini sebagai seorang
tamu agung, tapi belum sempat kuketahui nama dari sancu..."
"Lohu she Mou . ...!" "Oooh . .. boleh aku tahu siapa
nama lengkap nya ?" Belum sempat sancu menjawab, dari luar loteng telah terdengar suara
nona Kim berkumandang datang. Mendengar suara itu, sancu segera menukas: "Anak Kim kah disitu"
Ayah berada di-sini " Tampaknya selama berada dihadapan Sancu
nona Kim selalu menjaga peraturan yang berlaku, terdengar ia bertanya: "Bolehkah aku
naik keatas loteng ?" "Naiklah" sahut Sancu sambil tertawa. Setelah
berhenti sebentar, tiba tiba dia merubah pikirannya dan
berkata kembali: "Tidak usah, sekarang malam sudah larut, lebih baik
kita jangan mengganggu ketenangan Sun kongcu beristirahat, sebentar ayah turun
kebawah, lebih baik kita berbincang-bincang diruang belakang saja,
harap kau tunggu saja." Berbicara sampai disitu, Sancu telah bangkit berdiri. Walaupun Sun
Tionglo sudah tahu kalau tujuan sancu
mengundang kedatangan nona Kim kesana adalah untuk menyelidiki
pelbagai kejadian yang telah berlangsung didalam istana Pat-tek sinkiong,
namun dia berlagak pilon, sambil tersenyum katanya:
"Mo sancu, sekarang aku sudah tidak ngantuk lagi, mengapa tidak
berdiam agak lama disini ?" "Aaah, hari sudah larut malam, lagi pula lohu masih ada banyak
persoalan pribadi yang hendak dibicarakan dengan putriku. aku tak
berani mengganggu lebih lama lagi, besok pasti akan kuutus orang
untuk mengundang kedatanganmu, nah saat itulah kita bisa
berbincang-bincang sampai puas ?"
Setelah mendengar perkataan itu, Sun Tiong lo pun tak bisa berkata
apa-apa lagi, maka merekapun saling berpisah.
-ooo0dw0oooDALAM ruangan Hian-ki-lo, Mao sancu duduk saling berhadapan
dengan putrinya dalam jarak tiga depa, setelah mengundurkan semua
orang dari sana, dengan wajah serius mereka segera terlibat dalam
suatu pembicaraan yang serius. Pertama-tama Mou Sancu yang berkata lebih dulu dengan wajah dingin
seperti es. "Aku hanya tiga hari tidak berada dirumah, tapi peristiwa besar yang
terjadi ditempat ini banyak sekali, anak Kim..."
Dengan cepat nona Kim menukas. "Biar kuberikan laporan yang
selengkapnya!" Maka secara ringkas nona Kim menceritakan semua
peristiwa yang terjadi ditempat ini, tentu saja dia merahasiakan pembicaraannya
dengan nona Siu tersebut. Ketika selesai mendengarkan penuturan tersebut, dengan kening
berkerut Mou Sancu lantas berkata. "Dimanakah Siu pay yang dicuri Kong It-hong itu sekarang?" "Sudah
kusimpan kembali didalam peti besi..." "Sedang salinan kitab pusaka
itu." "Kusimpan jadi satu." Mou Sancu manggut-manggut setelah
hening sejenak, tiba tiba ia berkata lagi. "Tahukah kau nona Siu ... Su nio mengapa Khong It hong
dan membawanya kabur bersama..." Nona Kim menggelengkan kepala ber
kali2. "Sampai saat inipun aku sendiri tidak habis mengerti." sahutnya.
Mo Sancu mengerutkan dahinya semakin kencang, kembali dia
berkata. "Tahukah kau siapa nama bocah keparat she-Sun yang lain itu?"
"Dia sendiri mengatakan sejak kecil sudah kehilangan ayah dan
ibunya, dia hanya tahu she-sun tanpa nama, tapi dia masih ingat
sewaktu masih kecil dulu ibunya sering memanggilnya dengan nama
kecil .." "Oooh... apakah itu?" tukas Mou Sancu. "Dia bernama Bau-ji" Begitu
mendengar nama tersebut, dengan paras muka berubah
hebat, tiba-tiba Mou Sancu melompat bangun. Nona Kim yang
menyaksikan kejadian itu menjadi terkejut sekali,
cepat-cepat katanya: "Kau kenal dengannya ?" Mo Sancu sama sekali
tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya
sambil menarik muka dia berkata: "Cepat perintahkan keseluruh bukit
untuk memperketat penjagaan pada setiap jalan ke luar yang ada dibukit ini, sebelum fajar
nanti, aku akan melakukan penggeledahan sendiri seinci demi seinci
sampai dia ditemukan ?" Nona Kim tidak tahu kalau Bau ji telah hilang dari tempatnya semula,
maka cepat-cepat dia bertanya. "Dia " Siapa vang ayah maksudkan sebagai dia ?" "Siapa lagi ! Tentu
saja Sun Bau ji !" "Aaah ! Bukankah Bauji berada didalam loteng
impian ?" Mou Sancu mendengus dingin, dia melirik sekejap
kearahnya dan tak berkata apa-apa. Nona Kim merasakan gelagat tidak beres, maka
katanya lebih lanjut dengan suara lirih. "Ayah, maksudmu manusia berbaju kuning
yang semalam menampakkan diri dibanyak tempat itu adalah Sun Bau ji."
Mou Sancu manggut-manggut. "Bukan hanya semalam saja,
beberapa hari berselang orang yang memasuki istana Pat tek sin kiong tanpa penghadang serta
mempermainkan Pat-tek-pat-lo tak lain adalah dia juga !"
"Aaah, tidak benar !" seru nona Kim tanpa terasa, Tapi begini ucapan
tersebut diutarakan gadis itu segera merasa menyesal sekali.
Sampai detik ini, diantara orang-orang Bukit Pemakan Manusia, boleh
dibilang hanya nona Kim seorang yang dapat menebak siapa gerangan
manusia berbaju kuning itu, dan hanya dia seorang yang tahu kalau
orang tersebut bukan Bau ji. Paling tidak orang berkunjung kedalam istana Pat rek sin kiong kemarin
malam bukan Bau ji, sebab ketika itu Bau-ji berada bersamanya
semalam suntuk dan mereka tak pernah meninggalkan ruangan barang
selangkahpun, itulah sebabnya ketika terbayang sampai ke situ tanpa
terasa dia menjerit tertahan dan mengatakan tidak benar.
Dengan suara dalam Mou Sancu menegur, "Bagaimana tidak benarnya?"
Nona Kim tidak bisa mengatakan apfl-apa kecuali tertegun dan tak tahu
apa yang mesti dilakukan. Terdengar Mou Sancu kembali bertanya: "Kenapa tidak buka suara"
Apakah kaupun akan merahasiakan sesuatu dihadapanku?" Diam diam nona Kim merasa terkesiap, untung
saja satu ingatan segera melintas didalam benaknya, cepat sahutnya: "Ketika datang
kemari untuk pertama kalinya dulu, bukanlah ilmu
silatnya tidak pandai" Buktinya dia kena dibekuk..."
Mou Sancu segera mendengus dingin, tukas nya:
"Benar benar jalan pemikiran seorang anak perempuan, kalau toh dia
memang datang dengan membawa maksud tertentu, mana mungkin ia
sudi mengeluarkan kepandaian silat yang sebenarnya" justru dengan
pura pura kena di bekuk, maka sekali tepuk ia akan memperoleh tiga
hasil sekaligus?" Melihat perkataannya itu dapat memancing Mou Sancu untuk
memperbincangkan masalah lain, nona Kim merasa gembira sekali.
"Bagaimanakah yang di maksudkan sebagai sekali tepuk dapat tiga hasil
sekaligus?" "Dia bermaksud akan datang kemari, tetapi tak mengetahui keadaan
yang sebenarnya dari bukit ini dan tak di ketahui sampai dimanakah
keliehayan dari jebakan kita, maka diapun berlagak kena di bekuk
sehingga tak usah menempuh mara bahaya yang tak diperlukan, ini
merupakan hasil pertama yang bisa dia raih.
"Dengan terbekuknya dia, maka ia hendak memperlihatkan kalau
kepandaian silat yang dimilikinya tidak hebat, otomatis kitapun tak akan
terlalu menaruh perhatian khusus kepadanya, dalam kelonggaran ini,
otomatis dia bisa melakukan penyelidikannya dengan lebih leluasa. inilah
keuntungan kedua yang diraihnya. Seperti misalnya peristiwa yang terjadi semalam, setelah kejadian itu
bahkan ayah sendiri pun tidak menaruh curiga kepadanya, sudah pasti
orang lain lebih lebih tak akan menaruh curiga kepadanya, inilah
keuntungannya yang ke tiga !" Setelah mendengar penjelasan tersebut no na Kim baru menunjukkan
sikap seakan akan baru memahami, katanya kembali:
"Seandainya apa yang dikatakan ayah me ruang benar, bukankah
sekarang dia sudah kabur dari sini ?"
"Tidak mungkin, sebelum apa yang diharapkan tercapai, tak nanti dia
akan pergi !" "Jadi ayah menduga kalau dia masih berada diatas bukit ini ?"
"Ehmmm...tak bakal salah lagi"
Setelah berhenti sejenak, kembali dia melanjutkan: "Sekarang,
turunkan perintah kepada semua orang agar
bertindak lebih berhati hati lagi, jika menemukan tempat
persembunyiannya, laporkan dulu kepada ayah dan nantikan perintah
ayah sebelum mengambil sesuatu tindakan!"
Nona Kim mengiakan, lalu katanya pula. "Ayah, aku sudah lelah . . .. "
Mou Sancu memandang sekejap kearahnya, kemudian
menjawab. "Sampaikan dulu perintah tersebut, kemudian kau boleh
pergi beristirahat!" Nona Kim mengiakan dan siap berlalu dari situ. Mendadak
Mou Sancu berkata lagi. "Sudahkah kau selidiki, Su-nio kabur melalui
jalan yang mana ?" "Dia kabur lewat gua Sam-seng-tong bagian tengah
dibelakang bukit situ." jawab gadis itu berterus terang. Ucapan itu kembali
membuat Mou Sancu merasakan hatinya
terperanjat dia lantas mengulapkan tangannya sambil berkata: "Segera
turunkan perintah kilat, aku hendak melakukan
pemeriksaan sendiri atas gua Sam seng tong tersebut !" Mendengar
ucapan itu, diam diam nona Kim merasa amat girang,
cepat dia memberi hormat dan mengundurkan diri. Setelah
menyampaikan perintah dan menyaksikan Mou Sancu
berangkat menuju ke bukit bagian belakang nona Kim segera
menjejakkan tubuhnya melayang ke tengah udara, ia tidak kembali ke
tempat tinggalnya, sebaliknya langsung menuju keloteng impian.
-oo0dw0oooDalam ruangan loteng impian, nona Kim dan Sun Tiong lo sedang
duduk saling berhadapan muka. Dengan wajah dingin seperti es, nona Kim berkata: "Bagaimana" Mau
bicara atau tidak ?" Sun Tiong io segera
tertawa sahutnya: "Asal usulku apa baiknya dibicarakan..." "Aku
menanyakan asal usul dari kalian bersaudara, kau harus


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bercerita apa adanya." tukas si nona dingin. "Saat ini bukan saat yang
tepat, bila nona percaya kepadaku..." Sambil menggelengkan
kepalanya kembali nona Kim menukas. "Dulu boleh saja menunggu,
tapi sekarang tak bisa kupenuhi, aku
tetap menuntut seperti apa yang kukatakan tadi, bicaralah terus terang
dan aku akan menjaga rahasia ini rapat rapat, kalau tidak..."
"Kalau tidafc, nona benar benar akan membeberkan rahasia ini kepada
Sancu?" sambung Sun Tiong lo. "Betul" jawab nona Kim dengan wajah serius, "aku dan kau sama sama
tiada pilihan lain !" "Sungguh ?" paras muka Sun Tiong lo segera berubah menjadi serius
pula. "Benar" sahut sinona dingin, ?"selain itu aku harap apa yang telah
disampaikan kakakmu kepadamu juga kau sampaikan kepadaku!"
Sun Tiong lo berlaga menghela napas panjang dengan perasaan apa
boleh buat, padahal sesungguhnya dia memang berniat untuk
menerangkan segala sesuatunya tanpa diminta, sehingga dengan
demikian, tujuan mereka sebenarnya sama.
Maka diapun lantas membeberkan kejadian yang sebenarnya...
-oo0dw0ooSuatu malam yang gelap dengan angin yang berhembus kencang,
malam itu salju turun dengan derasnya.
Kentongan ketiga telah menjelang tiba, suara kentongan tersebut
berkumandang dari balik gedung Kwik Wangwee yang letaknya
berhadapan dengan kuil Kwan ya bio dikota Tong ciu
Tiba-tiba dari belakang dinding tinggi gedung Kwik Wangwee tersebut
melayang datang sesosok bayangan manusia, ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki orang itu amat sempurna sekali sehingga kelincahannya
mirip seekor burung walet. Tapi begitu kakinya menempel diatas tanah, tiba tiba ia tak sanggup
berdiri tegak, dengan sempoyongan dia mundur sejauh tiga langkah
lebih dan akhirnya jatuh terjungkal diatas tanah.
Tampaknya bantingan tersebut cukup keras, buktinya sampai cukup
lama orang itu terduduk ditanah sambil mengaduh, tapi kemudian ia
meronta bangun dan celingukan ke sana ke mari.
Dengan cepat perasaan gelisah dan cemas menyelimuti wajah orang itu
. . Sejauh mata memandang, ujung jalan yang terbentang tiga puluh kaki
lebih itu berakhir diujung sebuah tembok kota yang tinggi, jalan lain
menuju ke arah kuil Kwan ya-bio, sedangkan jalan terakhir menuju ke
belakang gedung Kwik Wangwee. Kecuali jalan jalan tadi, disana hampir tak nampak jalanan lainnya lagi-
Pada hal dia harus cepat cepat melarikan diri, sedang musuh makin
mendekati orang itu menjadi kebingungan setengah mati dan tidak tahu
apa yang harus dilakukan. Dalam gugup dan gelisah, mendadak sorot matanya di alihkan kepada
pintu gerbang kuil Kwan ya bio itu.
Setelah menundukkan kepala dan berpikir sebentar, akhirnya sambil
menggigit bibir dia melompat naik keatas undak-undakan kuil itu.
Sekarang keadaan orang itu baru tampak lebih jelas, terlihat sebuah
bungkusan berada di atas punggungnya, besarnya tidak mencapai tiga
depa, terbuat dari kulit kambing warna hitam gelap.
Ketika memandang kearah bahu kiri dan kaki kirinya, tampak seakan
akan menderita luka parah sehingga hal mana membuat langkahnya tak
selincah semula. Tak heran kalau tubuhnya menjadi sepoyongan setelah melayang turun
ditengah jalan tadi. Setibanya diatas undak kuil, ia baru melihat jelas suasana dalam ruangan
tersebut, keningnya segera berkerut dan kepalanya digelengkan
berulang kali. Dalam pada ini suara pekikan nyaring berkumandang secara tiba- tiba
dengan amat nyaringnya. Dia segera mendepakkan kakinya ke tanah, lalu dengan cepat
melepaskan buntelan yang ada dipunggungnya, setelah itu dia
bergumam. "Kalau aku sampai mati, hal ini tak menja di masalah, tapi In-cu
(majikan) hanya mempunyai seorang putra, padahal aku sudah terkena
senjata rahasia beracun, tampaknya aku harus menyembunyikan majikan
kecil lebih dahulu..." Bergumam sampai disitu dia lantas menerobos masuk ke dalam
ruangan, ketika dijumpainya ada beberapa buah karung yang tergeletak
disana, dengan cepat dia masukkan bocah itu ke dalam karung-karung
tersebut. Begitu selesai menyembunyikan bocah ini ke dalam karung dengan
cepat dia telah menggembol kembali bungkusan kulit kambing itu diatas
punggungnya, tak bisa disangkal lagi dia sedang menggunakan siasat
guna mengelabuhi lawannya. Begitu selesai menyembunyikan majikan kecilnya, dengan perasaan lega
dia berpikir sejenak, lalu lari ke tengah jalan dan berencana untuk
melakukan perlawanan lagi sampai titik darah penghabisan.
Siapa tahu baru saja dia hendak melangkah pergi, tiba tiba muncul
sebuah tangan yang kurus kering mencengkeram tungkai kakinya,
menyusul kemudian muncul seorang pengemis tua yang rambutnya
telah memutih semua sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Sambil menggelengkan kepalanva berulang kali, pengemis tua itu
berkata sambil tertawa cekikikan: "Sobat, kau tak boleh berbuat begitu, aku si pengemis tua kerjanya
hanya meminta-minta, belum pernah kulakukan pekerjaan berdagang
manusia." Mendengar perkataan itu, dengan cemas seorang itu segera berseru.
"Bukan... bukan begitu, dia adalah majikan kecilku, karena rumahnya
telah musnah dan musuh mengejar amat ketat, sedang akupun sudah
terkena senjata rahasia beracun."
Belum habis ucapan tersebut diutarakan, kembali pengemis tua iiu
menggelengkan kepalanya sambil menukas:
"Tak usah menggunakan alasan sebanyak itu, jika kau larikan anak
orang, tentu saja orang tuanya akan mengejar dirimu, sekarang kau
sembunyikan bocah itu ke dalam sarang kami, tahukah kau dosa apa
yang bakal dipikul oleh diriku?"
Dalam pada itu suara pekikan nyaring tadi sudah semakin mendekat,
bahkan dari kejauhan sana telah berkumandang pula suara sahutan.
Ketika orang itu melihat keterangannya tak bisa diterima orang,
mendadak timbul niatnya untuk membunuh pengemis tersebut, dengan
cepat dia merogoh ke dalam sakunya siap mencabut keluar sebelah
pisau belati. Tapi pengemis itu dengan cepat telah berkata lagi: "Sobat, bila kau
berati menggunakan kekerasan untuk membunuhku, maka sekalipun
aku harus pertaruhkan nyawa, aku akan kuteriakkan tempat
persembunyianmu, waktu itu orang orang yang mengejarmu pasti akan
berdatangan kemari, sedang rekan rekanku yang berada
dalam ruangan inipun akan terbangun semua, lebih baik jangan berbuat
bodoh." Orang itu menjadi tertegun untuk sesaat lamanya, dalam gelisah
bercampur gusar akhirnya dia berkata lagi:
"Aku tidak membohongi dirimu, bocah ini mempunyai asal usul yang
besar, dia adalah satu-satunya keturunan keluarga Sun dari loteng
tamnur yang hidup, aku bernama . . . "
Belum habis dia berkata, pengemis tua itu lelah mengendorkan
tangannya sambil menukas "Apakah kau maksudkan Sun Toa-wangwee dan bi-jin-tong (ruang
pengumpul kebajikan ) ?" Buru-buru orang itu mengangguk "Benar, dalam saku bocah itu
terdapat tanda pengenal yang akan membuktikan kebenaran itu, cuma sekarang aku tak ada waktu lagi
untuk diperlihatkan kepadamu, setelah melewati malam ini, kau akan
segera mengetahui jika aku tidak berbohong kepadamu!"
Pengemis tua itu berpikir sejenak, lalu katanya sambil tertawa: "Sun
toa-wangwee memang seorang yang baik, dan kau . . . aku
lihat kaupun tidak mirip orang jahat, baiklah, aku percaya dengan
perkataanmu itu, benar atau tidak. besok pagi kita bicarakan lagi,
sekarang kau boleh pergi dari sini !"
Selesai berkata, pengemis tua itu kembali menerobos masuk ke dalam
karungnya. Setelah majikan kecilnya disembunyikan orang itupun merasa hatinya
setengah lega, dengan langkah lebar dia lantas berjalan menuju ke
tengah jalan. Mendadak pengemis tua itu bangkit kembali seraya berseru: "Hei,
hei, hei, kau hendak kemana?" Sambil menuding ke ujung jalan
sebelah timur, jawab orang itu: "Aku hendak memancing musuh !" "Huuh . . . kata kata macam
kentut, orang lain sudah mengurung rapat-rapat semua jalan disana, bila kau berani ke tempat itu, tanggung
tak sampai setengah jalan, dirimu sudah kena dibekuk oleh mereka,
waktu itu bila golok mengorek tulang, mulutmu pasti terpentang lebar
lebar dan berkata apa adanya, akibatnya kau pasti mampus, bocah itu
akan mampus, kami pun turut menjadi korban."
Mendengar perkataan itu ada benarnya juga, tanpa terasa orang itu
bertanya: "Lantas aku harus ke mana . ." Belum selesai perkataan itu, si
pengemis tua tersebut sudah menuding ke dalam ruangan sambil berkata: "Kalau ingin kabur lebih
baik kabur ke barat, paling tidak bisa
memancing perginya para pengejarmu itu, cepat !" Orang itu segera
menyahut, tanpa banyak berbicara lagi dia
lantas kabur menuju ke dalam ruangan. Siapa tahu pengemis tua itu
berbisik lagi secara tiba tiba: "Waah ... sudah tidak keburu,
orang-orang yang mengejar mu itu berilmu silat sangat tinggi, mereka telah tiba disini, cepat sedikit masuk
ke dalam karungku, cuma kau harus ingat, bertindaklah sedikit pintar,
bilamana tidak amat penting jangan bersuara !?"
Dalam keadaan begini, dia tak sempat memikirkan perkataan dari
pengemis tua itu lagi, dengan cepat dia menerobos masuk ke dalam
karung dan menyembunyikan diri. Siapa tahu pengemis tua itu memang aneh, ternyata ia menarik keluar
kepalanya dari dalam karung dan menarik bajunya keluar, hingga
dengan demikian meski tak nampak wajah-nya, namun kelihatan kepala
dan sebagian dari tengkuknya. Baru saja dia menyembunyikan diri, terdengarlah suara ujung baju yang
hembus angin bergema dari luar pintu kuil Kwan ya-bio, dalam waktu
singkat disana telah muncul belasan orang manusia
berbaju hitam, bahkan raut wajah mereka ditutup oleh kain kerudung
hitam. Kemudian manusia berbaju hitam itu berdiri berjajar dengan rapi,
namun sama sekali tak bergerak, scakan-akan ada sesuatu yang
dinantikan. Tak lama kemudian, sesosok bayangan putih melayang turun dari
tengah udara, ketika mencapai tanah ternyata tidak menimbulkan suara
apa-apa, ternyata dia adalah seorang manusia berbaju perak
berkerudung hitam yang mempunyai perawakan jangkung.
Kain kerudung ril persis menutupi hidung dan mulutnya, dengan
demikian hanya sepasang matanya yang tajam saja tampak dengan
jelas. Setibanya disana, dengan sorot mata setajam sembilu dia awasi
sekeliling kuil, lalu tegurnya dengan suara dalam:
"Apakah orang itu berada didalam sana ?" Seorang manusia baju
hitam yang berkerudung dan berdiri di
ujung segera menyahut: "Menurut jejak kaki yang berada diatas
permukaan salju, ia telah masuk kedalam kuil Kwan Yao bio." "Ehmm...." orang yang berbaju
perak itu manggut-manggut, lalu sambil ulapkan tangan ia melanjutkan "Geledah! Tapi jangan sampai
membangunkan kawan-kawan pengemis, cara kerja kalian harus cepat,
ringan matapun harus jeli!" Kawanan manusia berkerudung hitam mengiakan lirih, dan seringan
kapas menyelinap masuk sedalam kuil, sementara ditengah jalan raya
hanya tinggal simanusia berbaju perak seorang.
Setelah menyaksikan anak buahnya menyebarkan diri untuk melakukan
penggeledahan dalam kuil itu, pelan pelan manusia berbaju perak itu
melangkah naik keatas undak undak batu, sorot matanya yang tajam
memandang sekejap keatas undakan batu tadi, kemudian berhenti.
Menvusul kemudian manusia berbaju perak itu menendang sebuan
karung goni yang paling panjang. Sipengemis tua yang berada dalam karung goni itu cepat melompat
bangun, kemudian sambil memicingkan matanya dia mengawasi orang
berbaju perak itu dengan wajah tertegun.
Orang berbaju perak itu segera tertawa terkekeh-kekeh, ujarnya:
"Aku tahu, kau belum tidur !" Tampaknya pengemis tua itu
berangasan sekali, kontan saja dia meludah sambil menyumpah: "Sialan, betui-betul ketemu setan kepala
besar, mau tidur kek, mau melotot kek, apa sangkut pautnya dengan
dirimu " Kau tahu baru saja aku mau tidur, badanku sudah ditendang
orang, aku ingin menggeliat, kau tendang pantatku lagi, huuuh, kalau
ditendang melulu hanya kentut anjing yang bisa meram !"
Orang berbaju perak itu tidak marah, dia manggut-manggut lalu
bertanya pelan: "Ooh, jadi tadipun kau kena ditendang orang sampai terbangun dari
tidurmu ?" "Hmm, siapa bilang tidak?" sahut pengemis tua itu dengan wajah
marah bercampur kesal. Kembali orang berbaju perak itu manggut-manggut, tanyanya
kemudian: "Macam apa orang yang menginjakmu tadi?" pengemis tua itu cuma
melotot saja, tak sepatah katapun yang
dijawab, kemudian tubuh nya ditarik masuk kembali kedalam karung
goninya dan siap-siap untuk tidur lagi.
Orang berbaju perak itu tertawa seram, sekali lagi dia menyepak tubuh
pengemis itu, malah kali ini menyepaknya keras keras.
"Aduh mak biyung," jerit sipengemis sambil melompat bangun,
"maknya, apa apaan kau ini."
"Jawab dulu pertanyaanku yang kuajukan tadi!" seru orang berbaju
perak itu dingin. Pengemis tua itu mengerdipkan mata, kemudian mendengus dingin.
"Hmm . . .! Enak betul kalau perintah orang huh apa yang kau
andalkan?" "Aku mengandalkan apa yang ingin kuketahui !" suara orang berbaju
perak itu kedengaran mengerikan sekali.
"Jadi kau ingin tahu .. . ?" tiba-tiba pengemis tua itu berkata lebih jauh.
Belum sampai berbaju perak itu menjawab, pengemis tua itu sudah
mengulurkan tangannya kedepan seraya berkata:
"Bawa kemari!" "Apanya bawa kemari?" orang itu tertegun. "Pepatah
kuno berkata: Sebuas buasnya sang Kaisar, dia tidak
akan mengutus tentara yang sedang kelaparan, aku adalah seorang
peminta-minta, bukan si pengantar warta kepada toaya sekalian, maka
dari aku minta uang nya lebih dulu sebelum buka mulut!"
Tampaknya orang berbaju perak itu segan untuk banyak ribut, ia
segera merogoh sakunya dan mengeluarkan sekeping perak.
Setelah menerima uang perak itu dan menyimpannya kedalam saku,
pengemis tua itu baru tertawa terkekeh-kekeh.
"Heeh .. . heeeh . . . heeh paling tidak uang perak ini seberat dua tahil,
baiklah, aku bersedia meajawab dua pertanyaanmu."


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang berbaju perak itu mendengus dingin: "Sekarang
jawab dulu pertanyaan yang aku ajukan tadi!" pengemis
tua itu terkekeh kekeh. Orang yang menginjak tubuhku tadi berperawakan tinggi, mengenakan
baju warna biru dan membopong sebuah bungkusan kulit kambing yang
besar, berwarna hitam!" - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
BAB DELAPAN BELAS DIA telah lari kemana ?" kembali orang tua itu bertanya. "ltu dia,
masuk kedalam sana !" jawab si pengemis tua itu sambil
menuding kedalam ruangan. Berkilat sepasang mata orang berbaju
perak itu, kembali dia bertanya : "Masuk kedalam ruang kuil atau..." Belum habis pertanyaan
itu diajukan, pengemis tua itu sudah
menukas lebih dulu: "Mana uangnya !" Manusia berbaju perak itu
menjadi tertegun mencorong sinar buas dari balik matanya. Tapi pengemis tua itu berlagak seakan akan
tidak merasakan hal itu, kembali dia berkata: "Aku toh sudah bilang, setiap potong perak
hanya akan kujawab dua kali, oleh karena itu bila tuan ingin bertanya yang lain, maaf,
terpaksa kau mesti memberi uang lagi padaku !"
Orang berbaju perak itu mendengus dingin. "Hm ! Memangnya kau
anggap uang perak bisa dicari dengan
cara begini mudah ?" Kembali pengemis tua itu menggelengkan
kepalanya berulang kali, katanya lebih jauh: "Terus terang kukatakan tuan, hidup sampai
hari ini, baru kali ini aku si pengemis tua mendapat keuntungan seperti ini, kalau tidak,
mana mungkin aku berani minta kepadamu ?"
"Oooh, jadi kau anggap aku adalah seseorang yang gampang diperas "
Maka kau mencoba untuk memeras aku ?"
Kembali sipengemis tua itu menggelengkan kepala berulang kali.
"Tuan, kau jangan menuduh aku yang bukan-bukan, aku sama
sekali tak berniat untuk memerasmu, terus terang saja aku hanya
memandang tuan sebagai orang yang royal, maka aku hendak
manfaatkan kesempatan ini untuk mencari keuntungan."
Mendengar perkataan itu, si orang berbaju perak tersebut baru tertawa,
betul juga dia lantas mengeluarkan sekeping uang perak dan
dilemparkan kearah pengemis tua itu.
Begitu uang diterima, pengemis tua itupun segera berkata: Orang itu
tidak masuk ke ruang tengah, melainkan berbelok
kekanan lalu menuju ke- belakang." "Heeeh heee heeh sudah aku
duga, dia pasti..." "Betul, isi bungkusan kulit kambing hitamnya juga
bukan mutiara atau barang berharga, melihat seorang bocah cilik, seorang bocah yang
meringis terus tiada hentinya!"
Mencorong sinar tajam dari balik mata orang berbaju perak itu, dengan
wajah berseri dia menegaskan: "Apakah kau lihat kesemuanya itu dengan jelas?" Sekali lagi
pengemis tua itu menyodorkan tangannya sambil
tertawa-tawa terkekeh-kekeh. "Harap tuan memberi persen lagi!" Lama
kelamaan orang yang berbaju perak itu menjadi naik darah
juga, dengan gusar bentaknya. "Aku toh belum menanyakan apa-apa"
Masa kau ingin minta uang lagi" Apa-apaan kau ini?" Agaknya pengemis tua itu mempunyai
alasan yang amat tepat, segera sahutnya. "Tuan, sekalipun kau tidak bertanya, tapi aku kan telah memberitahukan
kepadamu kalau dia membopong seorang bocah " Bukan hal ini sama
artinya memberitahukan kepadamu?"
"Kau banyak bicara kan atas kerelaanmu sendiri, sudah barang tentu
tak bisa dibilang sa ma" seru orang itu makin gusar.
Pengemis tua itu sama sekali tidak meng-gubris, malah seperti seekor
ikan belut saja dia menerobos masuk ke dalam karungnya, jelas
pengemis tua uu merasa kata katanya ini sangat menggusarkan orang
berbaju perak itu, sambil menghentakkan kakinya dia menyepak
pengemis tua itu dengan keras-keras.
Kali ini pengemis tua itu menjerit kesakitan dan melompat bangun
sambil memegangi kakinya yang kesakitan itu.
Hanya Thian yang tahu, bahwa tiga kali tendangan tersebut, ia sama
sekali tidak merasakan apa-apa, yang sial adakah lelaki yang berada
disampingnya dan sedang bersembunyi itu, meski kena ditendang
terpaksa harus menahan diri sebisanya.
Sementara itu, orang berbaju perak telah menyeringai menyeramkan,
sorot mata memancar cahaya merah yang penuh dengan hawa napsu
membunuh. Setelah mengaduh tadi, pengemis tua itu segera berteriak dengan suara
lantang: "Atas dasar apa kau menyepak tubuhku ?" Orang berbaju perak itu
mendengus dingin. "Hmm . .. ! pengemis busuk, kuperingatkan
kepadamu, bila kau berani membungkam tanpa menjawab pertanyaanku bila sampai kau
bangkitkan amarahku, mungkin sekali akan kutebas batok kepalamu
dengan sekali tebasan pedang!"
Rupanya pengemis tua itu tidak takut mati, ia segera menjulurkan
tengkuknya sambil berteriak: "Kau hendak main gertak " Hmm ... aku si pengemis tua sudah terlalu
banyak menjumpai kejadian besar di dunia ini, terus terang
kukatakan kepadamu, kecuali mampus tiada bencana yang lebih besar
didunia ini, bila aku si peminta-minta tidak miskin, aku sudah hidup
makmur sedari dulu-dulu.... mengerti ?"
"Pengemis busuk, berani berteriak-teriak?" bentak orang berbaju perak
itu gusar. "Kenapa tak berani berteriak" Sungguh menggelikan, kalau aku pingin
berteriak, aku segera berteriak, bukankah kau punya pedang" Mari,
mari, incar yang jitu dan tusuk lah tengkukku ini, jangan sampai
meleset, hayo bacok saja cepat, jangan dianggap aku takut pada
pedangmu itu." Karena teriak-teriakannya itu, kontan saja kawanan pengemis lainnya
yang berada dalam ruangan itu terbangun semua dari tidurnya, se
rentak mereka merangkak bangun dari atas tanah.
Dalam keadaan demikian, sekalipun orang berbaju perak itu merasa
mendongkol bercampur benci, namun dia benar-benar dibikin apa boleh
buat. Ketika pengemis tua itu menyaksikan rekan rekannya sudah pada
bangun semua, ia berteriak makin keras lagi, serunya.
"Teman teman sekalian dalam ruang ini masih ada belasan orang bocah
yang mengenakan kain kerudung hitam masih berkeliaran mari kita
robek kain kerudungnya, coba dilihat adakah diantara mereka yang kita
kenal..." Anjurannya ini benar-benar merupakan senjata yang ampuh, kontan
saja orang berbaju perak itu bersuit nyaring lalu mengajak belasan
orang manusia berkerudung hitam itu untuk mengundurkan diri dari
sana, sekejap kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan mata. Begitu orang-orang itu kabur, pengemis tua itu segera berseru kepada
rekan-rekannya: "Nah, sekarang orangnya sudah pada kabur, kalian harus tidur lagi
dengan baik, siapa be rani bangun, lihat saja kalau aku si pengemis tua
akan menghukumnya, selama tiga bulan tidak diberi
makan selain itu, jangan menyulut lilin, mesti menghemat tahu " Hayo
matikan semua !" Pengemis tua itu benar benar hebat, ternyata segenap pengemis yang
berada dalam ruangan itu pada takut kepadanya, begitu perintah
diberikan, serentak mereka masuk ke dalam karung goni masing-masing
untuk tidur, sedang lilin pun segera dipadamkan.
Beberapa waktu kemudian, kawanan pengemis itupun telah tertidur
kembali dengan nyenyaknya. Menunggu semua orang sudah tidur, pengemis tua itu baru menarik
keluar lelaki yang menyembunyikan diri tadi sambil berbisik.
"Hei, jangan tidur sungguhan, orang yang mengejarmu itu sudah kabur
semua, mumpung ada kesempatan baik, cepatlah melarikan diri."
Lelaki itu mengiakan, tapi setelah meronta sekian lama, dia baru duduk
dilantai. Dengan kening berkerut pengemis tua itu segera menegur. "Hei,
kenapa kau" Merasa keberatan untuk pergi dari sini!" "Bukannya
keberatan untuk pergi, aku sudah tak mampu untuk
berjalan lagi...!" jawab lelaki itu sambil tertawa getir. "Haahh . .. haahh
. . . haahh . .. bagus sekali, gara-gara ingin
menolongmu aku telah pertaruhkan nyawa tuaku untuk ribut dengan
kawanan manusia pembunuh yang membunuh orang tak berkedip itu,
sekarang setelah orangnya pergi, kau malah ingin memeras aku..."
Buru-buru lelaki itu menggoyangkan tangannya berulang kali, katanya
dengan cemas: "Bukan, bukan begitu, sesungguhnya racun yang mengeram dalam
bahu kiri dan kaki kiri ku akibat serangan senjata rahasia beracun itu
sudah kambuh, kini aku benar benar tak sanggup untuk berjalan lagi"
"Oooh . . . . berbahayakah keadaanmu?" Lelaki itu tertawa sedih,
sahutnya lirih: "Terus terang saja, aku
sudah tak dapat hidup lebih lama lagi..." "Aaaah...! Masa sampai
sehebat itu?" seru pengemis tua tersebut
sambil mengerdipkan matanya berulang kali. Lelaki itu
manggut-manggut, sambil menyunggih lengan kirinya
yang sudah mati rasa, dia berkata: "Jika kau orang tua tidak percaya,
silahkan memeriksa bahu kiriku ini, tanggung delapan puluh persen lenganku ini sudah berubah
menjadi hitam pekat?" "Oooh . .. kalau begitu, kau sudah pasti akan mati?" Lelaki itu tidak
menjawab, dia hanya tertawa sedih belaka. Tampaknya pengemis
tua itu tidak percaya dia segera turun
tangan sendiri untuk memeriksa luka di atas bahunya itu, tapi setelah
menyaksikan keadaan yang sebenarnya, dia segera menghela napas
panjang. Pengemis tua itu memang amat aneh, setelah menghela napas
panjang, diapun tertawa terkekeh kekeh, katanya:
"Sudah banyak perjalanan yang kulakukan, banyak juga barang yang
aku jumpai, tampaknya telah terluka oleh senjata rahasia yang dibauri
dengan obat racun yang dinamakan Thio ko tin, lewat satu dua jam lagi
kau pasti akan mati kekeringan dengan mulut terpentang lebar!"
Lelaki itu tidak banyak berbicara, dia hanya menundukkan kepalanya
sambil membelai anak yang berada didalam karung goni tersebut.
Mendadak pengemis tua itu berkata lagi. "Hei, bagaimana kalau kita
merundingkan sesuatu ?" "Bagaimanapun juga, nyawaku dan nyawa
majikanku telah ditolong kau orang tua pada malam ini, sebagai seorang lelaki
sejati, ada budi harus dibalas ada dendam tak boleh dilupakan, bila kau orang
tua ada pesan, silahkan saja disampaikan, asalkan aku masih sanggup
untuk melakukannya, tak nanti aku akan menggelengkan kepalaku !"
Pengemis tua itu segera tertawa terkekeh-kekeh. "Waaah . .. setelah
kau berkata begitu, aku menjadi agak rikuh
sendiri untuk buka suara" katanya. "Haaah... haah... haah.... sudah
sepantasnya kalau aku bersikap demikian, silahkan kau orang tua untuk mengucapkannya keluar." Sekali
lagi pengemis tua itu tertawa terkekeh-kekeh. "Heeh... heh... heeh...
begini maksudku, kalau toh kau sudah
pasti akan mati, maka aku ingin meminjam mayatmu itu untuk..." Belum
habis ucapan itu diutarakan, lelaki itu telah menukas
dengan cepat: "Boleh!" "Apakah tak kau tanya kegunaan mayat itu
bagiku?" tanya sang pengemis tua agak tertegun. Lelaki itu segera tertawa getir. "Kalau
orang sudah mati maka dia tidak akan merasakan apa-apa
lagi, perduli amat hendak diapakan mayatku itu, apalagi akupun bisa
menggunakan mayatku ini unmk membalas budi kebaikanmu pada
malam ini.." Belum habis perkataan itu, kembali pengemis tua itu menukas.
"Sahabat, kamu benar-benar mengagumkan aku pengemis
tuapun tidak ingin membohongi dirimu, baiklah sekarang terus terang
kukatakan padamu, Aku mempunyai seorang murid yang memelihara
ular kecil, sayang kami tak mempunyai makanan untuk memeliharanya,
oleh karena itu..." Paras muka lelaki itu segera berubah hebat, serunya tanpa terasa:
"Maksudmu, kau hendak menggunakan mayat ku untuk memelihara ular
kecil tersebut?" pengemis tua itu cuma manggut- manggut.
Tiba-tiba lelaki itu menghela napas panjang-panjang, katanya
kemudian: Terserah kepadamu, toh setelah mati aku tak akan merasakannya apa,
mau diberikan pada ular kek, harimau, terserah kamu..."
"Tidak, tidak, tidak, kau mesti mendengar yang jelas lebih dulu", seru
pengemis tua itu lagi sambil menggelengkan kepala berulang kali, "ular
kecil kami itu tidak suka makan daging mayat yang telah kaku!"
Setelah mendengar perkataan itu, lelaki itu baru merasa terkejut,
dengan wajah berubah teriaknya: "Sekarang juga kau hendak..." pengemis tua itu manggut- manggut.
"Yaa... mumpung kau belum mati, lebih baik cepat-cepat kuberikan
badanmu padanya." Mendengar perkataan itu, lelaki tersebut menjadi amat gusar, sambil
menuding kewajah pengemis tua itu bentaknya:
"Jangan mimpi..." Beru dia bersuara, pengemis tua itu telah
mendengus dingin seraya berseru: "Kau toh sudah mengabulkan permintaanku lebih dulu,
sulit bila kauhendak menyesalinya kembali, nah sekarang, berbaringlah baikbaik
di sini..." Begitu selesai berkata, jari telunjuk tangan kanan pengemis tua itu
segera menotok diatas tubuhnya. Kontan saja lelaki itu jatuh tak sadarkan diri.
Kemudian pengemis tua itupun mengambil keluar sebuah tongkat
penggebuk anjing yang tipis dan panjang iiu, lalu diputar dan di tarik,
ternyata tongkat penggebuk anjing itu telah berubah menjadi dua
bagian, yang satu panjang sedangkan yang lain pendek.
Setelah itu dengan cepat dia melepaskan pakaian yang dikenakan lelaki
tadi, tongkat penggebuk anjing yang agak pendek itu digertakan keras,
seekor ular berwarna perak yang panjangnya cuma lima inci segera
menyusup masuk ke dalam karung goni.
Tak lama kemudian, pengemis tua itu mendesis lirih dengan suara yang
aneh. tengah suara desisan itulah ular kecil berwarna perak tadi
merambat keluar dengan ogah-ogahan, seakan-akan merasa keberatan
untuk merambat balik ke dalam tongkat pendek itu.
Setelah tongkat penggebuk anjing itu disambung kembali menjadi satu,
ia baru mengetuk diatas sebuah karung goni pendek yang berada
disisinya sambil membentak: "Hei setan malas, hayo cepat menggelinding keluar !" Tak lama
kemudian dari balik karung goni itu merangkak keluar
seorang bocah yang berambut awut-awutan, bermuka merah, berhidung
mancung dan memiliki sepasang mata yang besar dan jeli.
Belum lagi berbicara, bocah itu sudah tertawa lebih dahulu, katanya
kemudian sambil tertawa cekikikan. "Suhu, lebih baik kau urusi persoalanmu dan tecu tidur menurut


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesenangan tecu sendiri, kan enak begitu?"
"Cuuh, kentut busuk" damprat pengemis tua itu, "kalau suhu tertimpa
halangan maka murid mesti menghadapinya, apa kau tak pernah
mendengar, ayah berhutang anak yang membayar. Hayo cepat
menggelinding keluar!" Pengemis cilik itu segera menjulurkan lidahnya, kemudian mengomel.
"Suhu, berbuatlah kebaikan, baru saja aku mimpi kejatuhan rembulan,
aku lihat uang yang besar sebatu lagi bergelinding datang, lalu ke
lihatan ada gadis cantik memelukku, kemudian Thi wangwe, Li wangwe
dan orang kaya lain nya datang berlutut melihat aku datang.
Belum habis obrolan itu, kepalanya sudah di ketok dengan tongkat
penggebuk anjing itu, kontan saja pengemis kecil itu teriak kesakitan.
Cepat-cepat dia merangkak keluar dari karungnya sambil berseru.
"Ampun ..., ampun . .. jangan digebuk lagi aku toh sudah
menggelinding keluar" Aaai .. . kasihan betul dengan gadis cantik itu,
entah sampai kapan kita baru akan bersua lagi dalam impian" Oooh . ..
maklumlah, suhuku memang berhati keras bagai baja, dia paling gemar
mengganggu orang yang lagi pacaran."
Mendengar obrolan muridnya yang makin lama makin melantur, tidak
tahan lagi pengemis tua itu segera tertawa terkekeh.
"Kau betul betul pengemis tak becus, kehebatanmu cuma melantur
belaka padahal waktu benar-benar ketemu nona cakep, belum lagi
didekati tangan sudah gemetar muka sudah merah, mulut tidak bisa
membuka... betul-betul memalukan."
"Bukan begitu suhu" kata sang pengemis cilik sambil terkekeh kekeh,
"aku cuma kuatir, kalau nona itu sampai lengket dengan kita macam
permen karet, waah... bisa lebih mengerikan daripada rambut yang ada
kutunya." "Hmm, sudah, kau tutup dulu bacot kecilmu" tukas pengemis tua itu
kemudian sambil mendengus, "cepat kau bopong bocah itu, bopong saja
dengan kulit kambing hitam, kita mesti buru-buru kabur dari sini."
Kali ini pengemis cilik itu penurut sekali, dengan cepat dia telah
menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan pengemis tua itupun telah
melemparkan orang yang tak sadarkan diri tadi kebelakang papan nama
kuil Kwan ya-bio diatas pintu gerbang tersebut.
Setelah itu sambil merogoh keluar dua keping perak yang baru
diperolehnya dari orang berbaju perak itu, ia bergumam:
"Anggap saja kau lagi mujur, baiklah uang ini buat kau hidup lebih
jauh...." Selesai berkata, kedua keping perak itu segera dilemparkan pula ke
belakang papan nama. Kemudian setelah mengikat karung goninya ke belakang punggung dan
mengempit tongkat penggebuk anjingnya bersama pengemis cilik itu
mereka melompat keluar dari kuil itu dan lenyap dibalik kegelapan sana.
Suasana menjadi hening, sepi... kentongan ke empat telah tiba.
Tiba-tiba dari empat arah delapan penjuru sekitar kuil Kwan ya
hio bermunculan puluhan sosok bayangan manusia. Ternyata mereka
adalah siorang berbaju perak beserta manusia
berkerudung hitam anak buahnya. Ketika orang berbaju perak itu
menyaksikan undak-undakan batu itu telah kosong tak bermanusia, sambiI mendepak-depakan kakinya
ketanah, ia mendengus penuh rasa dongkol.
Pada saat itulah kembali tampak cahaya emas berkelebat lewat, tahu
tahu di atas undak-undakan kuil Kwan ya bio telah bertambah dengan
seorang mannsia yang tinggi besar berbaju emas yang mengenakan
kain kerudung muka berwarna kuning emas pula.
Kain kerudung mukanya rapat sekali sehingga yang nampak hanya sinar
matanya yang tajam, Manusia berbaju emas itu segera mendengus
dingin, tanpa berpaling tegurnya: "Bagaimana" orangnya sudah kabur bukan?" "Benar" jawab orang
berbaju perak itu dengan sikap yang serius
dan menaruh hormat, "hamba benar-benar pantas untuk
mati!" Orang berbaju emas itu mendengus dingin, sambil menunjuk ke arah
mangkuk gumpil yang tak sempat dibawa oleh pengemis tua itu, dia
berkata: "Bagaimanapun juga, sudah cukup lama kau berkelana dalam dunia
persilatan, pelbagai badai dan kejadian besar pernah kau jumpai,
kenapa kali ini bisa salah melihat" Masa lambang si makhluk tua yang
begitu termashur pun tidak bisa kau kenali ?"
Orang berbaju perak itu hanya menundukkan---kepalanya tanpa
mengucapkan sepatah katapun, agaknya dia tak berani bersuara lagi.
Tiba tiba manusia berbaju emas itu tertawa, kembali dia berkata
dengan nada yang jauh lebih lembut:
"Padahal kejadian inipun merupakan suatu kemujuran bagimu,
seandainya kau berhasil mengenalinya, dengan wataknya, sekarang
sudah pasti kau tak bisa berdiri lagi dihadapanku !"
Orang berbaju perak itu merasa sangat tidak puas setelah mendengar
perkataan itu, katanya: "Penghinaan dan sakit hati pada hari ini hamba bersumpah pasti akan
kubalas suatu waktu, siapa tahu kalau dikemudian hari hamba akan
bersua lagi dengannya dalam dunia persilatan ?"
"Lebih baik urungkan saja niatmu itu?" jengek manusia berbaju emas itu
sambil tertawa dingin, "sepanjang hidupmu jangan harap kau bisa
mengusik seujung rambutnya, maka ku anjurkan kepadamu, andaikata
kau sampai bersua lagi dengannya dikemudian hari, lebih baik milihlah
jalan yang lain, daripada mencari kematian untuk diri sendiri, hayo
berangkat." Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan berlalu dari sana.
Manusia berbaju perak dan puluhan orang manusia berkerudung hitam
itu segera mengikuti dibelakangnya tanpa mengucapkan sepatah
katapun juga. Dalam waktu singkat mereka telah lenyap dikejauhan sana. Tempat
ini masih tetap di kota Tong-ciu, tepatnya didepan kuil
Kwan-ya-bio. Kejadiannya berlangsung pada suatu siang hari pada lima
tahun kemudian, waktu itu kuil Kwan ya bio telah berubah sama sekali, karena
kuil tersebut telah dijual kepada sebuah yayasan pencari derma pada
dua tahun berselang hingga bangunan kuil itu dirombak dan di bangun
lagi dengan amat megahnya. Dcngan bangunan yang megah seperti itu, tentu saja para pengemis tak
dapat tinggal dalam kuil itu lagi, sekarang mereka hanya bisa berdiri
dibawah kuil tanpa bisa masuk keruang dalam.
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
Bab kesembilan belas TAPI pihak yayasan pencari dermapun tidak melupakan para kaum
miskin itu, tiap bulan tiga tanggal tiga, bulan enam tanggal eram,
mereka selalu membagikan dermanya untuk mereka.
Hari ini kebetulan adalah bulan enam tanggal enam, oleh karena itu
sejak fajar sampai mendekati tengah hari, para pengemis berbaris
memanjang bagaikan naga didepan kuil Kwan ya-bio, dengan tertib
mereka menanti giliran nya untuk mendapatkan derma.
Tengah hari tepat, pihak panitiapun mulai membagikan uang dan
pakaian untuk para fakir miskin itu.
Pada saat inilah, dari belakang kuil Kwan ya-bio muncul dua orang
manusia, seorang tua yang lain muda, yang seorang memakai baju dekil
sedangkan yang lain mengenakan pakaian bersih.
Yang memakai baju dekil adalah pengemis tua yang rambutnya awut
awutan tak karuan tangan kirinya memegang mangkuk gumpil sedang
tangan kanannya memegang tongkat bambu yang kecil dan panjang.
Bocah yang berpakaian bersih itu berusia sepuluh tahun, rambutnya
disisir rapi, bajunya biru dan baru, ia mengenakan sepatu yang bersih
dan kaos kaki berwarna putih. Waktu itu sibocah sedang memegang ujung baju sipengemis tua itu
sambil cemberut. Sedang pengemis tua itu tertawa terkekeh-kekeh dengan wajah berseri,
seakan-akan baru-saja menemukan sekeping uang perak yang besar.
Setibanya dibelakang dinding kuil kwan ya bio sebelah kanan, pengemis
tua itu berhenti. Kepada bocah cilik itu katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Segera kita akan berpisah, jangan lupa semua perkataan yang
kupesankan kepadamu tadi, sebentar aku..." Bocah itu menggelengkan
kepalanya berulang kali sambil menukas: "Aku ingin mengikuti dirimu saja" "Tidak boleh" tukas
pengemis tua itu sambil menggeleng. "garagara
kau, sudah lima tahun aku tidak keluar rumah untuk memintaminta,
sekarang tanganku sudah gatal, perutku juga sudah gatal,
penyakit lama sudah mulai kambuh bagaimanapun juga toh tak akan
merenggut jiwa tua ku hanya gara gara kau bukan?"
"Tapi aku ingin menemanimu untuk meminta-minta" rengek bocah itu
seperti mau menangis. "Huuh, tak ada semangat" damprat sipengemis tua sambil melotot
besar-besar, "aku minta-minta karena sudah berhutang kepada Cousu
ya, hutang ini mesti kubayar lunas, sedang kau... hutangpun tidak,
kenapa mesti ingin meminta-minta" Ngaco belo tidak karuan!"
"Aku tidak perduli, pokoknya aku tak mau pergi dari sini..."
Pengemis tua itu segera menyandarkan tongkat bambunya ke dinding
kuil dan berhenti, kemudian sambil memegangi bahu bocah itu katanya.
"Baiklah, gunakan kesempatan ini nian kita bicara blak-blakan, selama
lima tahun, aku pengemis tua telah mencucikan tulangmu, mengganti
semua persediaan otot mu menembusi jalan darah jin meh dan tok meh
dalam tubuhmu bahkan semua tenaga murniku sudah kuberikan
kepadamu, apa lagi yang belum cukup" Benda apa lagi yang kau
inginkan dariku sipengemis tua?"
Jilid 15 - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
AKU tak mau apa-apa, aku hanya mau kau !" jawab bocah itu sambil
mengerdipkan matanya yang besar. Kembali pengemis tua itu tertawa. "Semuanya telah kuberikan
kepadamu, hanya aku tak bisa diberikan kepadamu !" Bocah itu segera mengerdipkan matanya
berulang kali, air mukanya berubah, matanya turut menjadi merah, agaknya sebentar
bakal menangis. Melihat itu, si pengemis tua tersebut menjadi tak tega, sambil menghela
napas katanya kemudian. "Nak bukankah aku telah memberitahukan kepadamu, aku sipengemis
tuapun punya banyak musuh, sekarang mereka telah menemukan diriku,
betul masih ada beberapa hari aku mesti membuat persiapan" itulah
sebabnya aku tak dapat membawa serta dirimu lagi !"
"Tapi, kau toh membawa Siau-hou!" sambung bocah itu cepat dengan
wajah cemberut. Begitu menyebut "Siau-hou" dihadapan mereka telah bertambah satu
orang, dia tampaknya masih berumur tujuh delapan belas tahun, tetapi
perawakannya jauh lebih tinggi daripada pengemis tua itu.
Begitu kekar pemuda itu ibarat seekor harimau buas dari atas bukit,
diapun memakai baju butut dengan sepatu rumput, rambutnya kusut,
tapi wajahnya ganteng. Begitu dia menampakkan diri, bocah itu segera menubruk keatas
badannya sambil mengadu: "Engkoh Siau-hou, dia tidak mau aku lagi,
mau toh kau bilangkan untukku ?"
Siau-hou segera tertawa terkekeh kekeh. "Kau bernama Siau liong
dan aku bernama Siau hou, tiap kali
orang membicarakan soal kita berdua, pasti mereka bilang : "Eeh, itu
Liong hou kenapa, tak pernah ada yang mengatakan: Eeeh... itu Hou
liong kenapa, kenapa.... maka bicara yang sebetulnya kedudukan mu
lebih tinggi dari pada aku, kau naga dan aku cuma harimau, maka
menghadap persoalan semestinya kau yang busungkan dada, tegakkan
badan dan sampai ketimur pergi ketimur, sampai barat menuju ke barat,
sebagai lelaki sejati semestinya orang yang menggantungkan dirimu,
masa kau yang menggantungkan orang lain " Kan malu..."
Bocah itu berpikir sebentar, lalu berkata. "Tapi engkoh Siau hou, aku
suka dengannya." "Tentu saja kau suka dia" tukas Siau hou lagi
sambil tertawa, "akupun tahu kalau kaupun suka padaku, cuma Siau liong, kau mesti
tahu, kau suka kepada kami adalah satu persoalan, kau mesti
menempuh jalan mu sendiri adalah persoalan lain, sebagai anak yang
pintar, aku percaya kau pasti paham dengan perkataanku ini !"
Setengah mengerti setengah tidak, bocah itu termenung beberapa saat
lamanya. Sambil tertawa cekikikan, kembali Siau-hou berkata.
"Hei, Siau-liong ! begini saja, sekarang kau turuti perkataannya dan kita
berpisah dulu sementara waktu, tapi aku berjanji, menanti kau sudah
berumur lima belas tahun, kita bersua lagi disini, mau bukan ?"
"Siau hou ko, benarkah itu?" Siau-liong mendongakkan kepalanya.
"Asal kau bersedia menuruti perkataannya pada hari ini, menanti bulan
enam tanggal enam dikala kau berumur tujuh belas tahun nanti, aku
pasti akan menantikan kedatangan mu disudut dinding kuil sebelah
kanan belakarg sana !" Sekulum senyuman segar tersungging diujung bibir Siau liong yang
mungil, katanya kemudian: "Baik, cuma dia mesti ikut !" Pengemis tua itu turut tertawa
cekakakan, "Jangan kuatir," katanya, "asal aku belum mampus, pasti
datang pada waktunya." Siau liong berpikir sebentar tiba tiba ia bertanya:
"Berapa umurku tahun ini ?" Pengemis tua ini memandang sekejap
kearah Siau hou, dan Siau hou segera menjawab: "Tahun ini kau berumur sepuluh, termasuk shio
naga !" "Wah . . . aku mesti menunggu tujuh tahun lagi?" teriak Siau
liong dengan mulut ternganga, "Betul, apa kau tak pernah mendengar
orang berkata kepada teman atau sanak kerabatnya: Oh, waktu berlalu dengan cepat, tanpa
terasa tujuh tahun sudah lewat.."
Dengan perasaan apa boleh buat, Siau liong segera manggutmanggut,
"Baiklah, aku pasti akan menanti selalu."
Siau hou tertawa, dia baru berpaling kearah pengemis tua itu sambil
berkata. "Suhu, Kwik wangwee telah tiba!" Pengemis tua itu mengiakan,
sambil ulapkan tangannya dia lantas berkata pada Siau hou. "Pergilah dengan tugasmu, selesai
dengan persoalan nanti kita bertemu lagi ditempat lama." Siau hou manggut-manggut, lalu sambil
memeluk Siau liong katanya. "Siau liong, kita berjumpa tujuh tahun lagi, entah apapun yang
kau lakukan setelah ini, jangan lupa dengan permainan yang suhu ujar
kan kepadamu itu, mesti dilatih setiap hari, siang malam melatihnya
dengan tekun, tapi hati-hati, jangan beritahu siapa saja!"
Siau liong manggut-manggut. "Aku akan menuruti perkataan Siau
Hou cu, akupun akan selalu menantikan kedatanganmu." Siau hoa menggigit bibirnya sambil
menurunkan Siau liong, kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun dia membalikkan bakan
dan kabur dari situ . . . Sekalipun demikian, namun tak bisa mengelabui si pengemis tua yang
sedang mengawasi tanah, ketika Siau hou cu menurunkan Siau liong
tadi, ada dua tetes air mata telah jatuh ke tanah.
Pengemis tua itu segera menggosok hidung-nya menahan rasa sedih
dihati, kemudian sambil menarik tangan siau liong ji, katanya.
"Mari kitapun pergi, pergi berbaris, kalau tidak, kita tak akan kebagian
pakaian dan uang."

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil berkata, pengemis tua itu mengambil kembali tongkat bambunya
dan berbelok kekuil belakang. Tiba disana, ternyata kedatangan pengemis tua dan Mau liong ji telah
terlambat, papan nomor sudah menunjukkan angka ke
duaratus sembilan puluh empat, sedang yang masih antri ada enam
orang, menurut peraturan, sekali pun turut antri juga percuma.
Tatkala pengemis tua itu mengajak siau liong berbaris, hal ini segera
mengejutkan Dermawan saleh dari panitia derma tersebut, Kwik Seng
tiong, Kwik wangwee yang berdiri diafas pintu kuil.
Tatkala nomor urut mencapai tiga ratus, uang telah habis terbagi,
pakaianpun ikut habis, pengemis tua itu segera berteriak keras keras.
"Eeh . .. masih ada dua orang, masih ada dua orang." Dengan
kening berkerut, panitia umat itu segera maju seraya
menegur: "Teman miskin, tidakkah kau saksikan nomor yang
tergantung sudah mencapai angka tiga ratus" itu berarti sudah tidak akan dibagikan
derma lagi..." Tapi pengemis tua itu segera berseru. "Tapi kami berdua kan belum
kebagian" Sudi lah kau orang tua
berbaik hati, gantungkanlah dua angka lebih baik, biar aku yang akan
mengguntungkan angka tersebut"
"Hei, sudah setua ini, tahu urusan tidak?" bentak panitia itu dengan
wajah dingin. Pada saat itulah dari arah kuil Kuan ya hio telah muncul "Liong tua"
toako dari kaum pengemis yang dihormati anggotanya, Liong tua toako
ini berumur empat puluh tahunan, berwajah kekar dan hitam pekat
seperti sebuah pagoda baja. Sambil berjalan mendekat, katanya kepada pengemis tua itu: "Hei,
kau datang dari mana?" "Aku datang dari Shoa tang, jauh perjalanan
yang telah kutempuh" sahut pengemis tua itu sambil tertawa tawa. "Ooh .. tak
heran kalau kau tidak tahu dengan peraturan kami
disini, kalau begitu kuberitahukan kepadamu, tempat ini
hanya membagikan tiga ratus nomor saja, tak boleh kurang, tak boleh lebih,
dan sekarang sudah pas angka nya maka tak bisa ditambah lagi,
mengerti." "Mengerti sih mengerti, tapi bagaimana dengan kami?" tanya pengemis
tua itu seperti mau menangis. Dengan kening berkerut sahut Liong tua toako itu: "Sobat tua, aku
adalah Liong tua untuk daerah sekitar tempat ini,
aku dapat memahami kesulitanmu, tapi akupun tak bisa menyuruh
pihak panitia melanggar kebiasaan demi kau, dan lagi akupun tidak
punya muka sebesar itu, begini saja, biarlah bagian yang kuperoleh itu
ku berikan untuk kalian ayah dan anak berdua.."
Tentu saja pengemis tua ini enggan untuk menerima bagian orang lain,
sebab bila sampai diterimanya, bukankah berarti semua rencana yang
telah disusunnya itu akan berantakan"
Oleh karena itu segera tukasnya. "Liong tao lotoa, kau jangan salah
paham, kami bukan ayah dan anak, juga bukan guru dan murid, dia adalah seorang anak yatim piatu,
hanya kuketahui kalau dia she Sun, sudah lima tahun ikut aku,
bagaimanapun juga aku tak bisa membiarkan dia seorang bocah yang
begitu baik mengikuti jejakmu sebagai peminta-minta, kalau tak
percaya, coba kau perhatikan kami berdua, apakah..."
Walaupun ucapan tersebut belum selesai di utarakan, namun rupanya
sudah menarik perhatian Kwik Wangwee, kedengaran Kwik Wang wee
telah menyela dari samping: "Sobat tua, siapa namamu ?" Begitu Kwik Wangwee buka suara,
panitia amal itu segera menjilat pantat dan turut berkata pula kepada pengemis tua itu: "Hei,
tua bangka, rejeki telah datang, Kwik Wnngwee ini adalah
orang kaya nomor satu ditempat ini, juga merupakan seorang
dermawan yang saleh, asal jawabanmu berkenan di hatinya.."
Kwik Wangwee meski kaya, rupanya paling segan mendengar kata kata
umpakan, tiba tiba tegurnya dengan kening berkerut:
"Hei, orang she Thio, kalau aku sedang menanyai orang, lebih baik kau
jangan turut menimbrung, kalau caramu suka menukas, sampai kapan
orang baru bisa menjawab" Kalau toh pekerjaan sudah selesai, kaupun
boleh pergi beristirahat !" Karena ketanggor pada batunya, dengan wajahnya yang tersipu sipu
panitia orang she Thio itu segera mengundurkan diri dari sini, Kepada
Liong-tau toako itupun Kwik wangwe berkata:
"Kaupun boleh pergi dari sini !" Liong-tau toako itu segera memberi
hormat kepada Kwik Wangwe dan berlalu dengan langkah lebar.
Menanti semua orang sudah pergi, pengemis tua itu baru tertawa
terkekeh kekeh seraya berkata: "Tuan Wangwe, kalau aku si pengemis tua tidak melaporkan nama juga
tak apa bukan ?" "Baik, baik, aku tak akan menanyakan soal namamu lagi." sahut Kwik
Wangwe sambil tertawa. "Terima kasih banyak . .. . " Kwik Wangwee mengalihkan sinar
matanya memperhatikan sekejap tubuh Siau-liong-ji, ka tanya: "Betulkah bocah cilik she Sun ini
adalah seorang anak yatim piatu ?" Kembali pengemis tua itu tertawa. "Wangwee, harap kau tahu, lima
tahun berselang aku berhasil menemukannya diwilayah Shoa tang, dia tak tahu dimana rumahnya
dan anak siapa, hanya diketahui dia dari marga Sun, sekalipun bukan
anak yatim piatu, sekarang juga telah menjadi anak yatim piatu"
Mendengar itu. Kwik Wangwee menghela napas panjang.
"Aaaai.... betul juga perkataanmu itu, cuma aku lihat bocah ini tidak
mirip seorang pengemis, aku rasa kalau dibiarkan mengikuti dirimu
terus..." "Wangwee, terus terang kukatakan kalau bisa aku benar-benar ingin
sekali bertemu dengan seorang Dermawan yang saleh yang mau
menerima bocah ini, bayangkan saja, kalau mengikuti aku terus,
nantinya dia mana bisa ber hasil besar?"
"0ooh... sungguhkah perkataanmu itu?" "Tuan Wangwee!" kata
pengemis itu dengan wajah serius,"
kalaukau tidak percaya, silahkan carikan orang tua angkat buat bocah
ini, kalau aku si pengemis tua sampai mengucapkan dua patah kata,
anggaplah aku bukan dilahirkan oleh ayah ibuku"
Dengan kepala tertunduk Kwik wangwee ter menung dan berpikir
beberapa saat lamanya, lewat sejenak kemudian, rupanya wangwee itu
sudah mengambil keputusan, katanya lagi. "Apakah bocah ini mengerti
tulisan?" "Kenal sih kenal, cuma tidak terlalu banyak" sahut pengemis tua itu
sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Semisalnya aku bersedia untuk menerima-nya .. ." Belum habis
perkataan itu diutarakan, dengan wajah berseri
pengemis tua itu telah berkata kepada Siau liong ji. "Nak, kenapa tidak
kau ucapkan terima kasih" Cepat memberi
hormat kepada tuan wang wee !" "Eeeh ... nanti dulu, harap tunggu
sebentar, biar aku selesaikan dulu perkataanku." cegah Kwik wangwee "Wangwe tak usah kuatir."
tukas pengemis tua itu cepat, mulai
sekarang bocah ini sudah menjadi milikmu, dia bernama Siau liong, dan
mulai detik ini aku sudah tak akan mengurusi nya lagi !"
Selesai berkata, pengemis tua itu segera melepaskan tangan Siau liong
ji, menggape-gape kan tangannya, dan sambil membalikkan badan, dia
kabur menuju ke balik kerumunan orang banyak.
Sejak saat itulah Siau liong ji telah menjadi kacung cilik dalam gedung
hartawan Kwik, tentu saja dalam pandangan orang lain, dia seperti
mencapai langit dalam sekali melangkah saja.
Ketika sudah berada dalam kerumunan orang banyak pengemis tua itu
baru diam diam membesut air matanya.
Kalau dibilang ia tak punya perasaan terhadap Siau liong, hal ini tak
masuk diakal, cuma perasaan tetap tinggal perasaan, dia meninggal kan
Siau liong itu untuk melakukan pekerjaan lain baru merupakan persoalan
yang terpenting. Suasana disekeliling kuil hari ini sungguh ramai sekali, berada ditengah
kerumunan orang banyak, pengemis tua itu tak mampu menggunakan
kepandaiannya, maka dia meski berjalan pelan-pelan untuk bertemu
dengan Siau hao ji. Berputar kekiri, membelok kesanan, akhirnya orang yang berjubel makin
berkurang tanpa terasa dia sampai dijalan sebelah barat, mendadak ia
mendongakkan kepalanya dan menunduk kembali, kemudian sambil
berbelok, ia menuju kearah lorong kecil.
Sambil berjalan, dalam hati berpikir. "Aaai... dunia ini serasa begitu
sempit, kenapa mesti bersua lagi dengan orang ini" Tampaknya keparat itu telah melihat kehadiranku
moga-moga saja dia memang pikun dan tidak mengenali diriku lagi!"
Baru saja berpikir sampai disitu, mendadak dari belakang punggungnya
sudah terdengar ada orang berkata: "Jalan ini buntu!" Pengemis tua itu berlagak seperti tidak mendengar
apa-apa, dia melanjutkan terus perjaIanannya. Kemudian
orang dibelakang itu berkata lagi. "Ku tayhiap,
harap berhenti dulu!" Dalam keadaan begini terpaksa pengemis tua itu tidak bisa berlagak tuli
lagi, pelan-pelan ia membalikan badan.
Tapi sambil berlagak tidak kenal, katanya. "Maaf kalau aku
sipengemis tua tidak mengenali dirimu kau..." Orang tua itu segera
tertawa terkekeh-kekeh mendadak ia melemparkan sekeping uang perak kedepan kaki pengemis tua itu,
kemudian menukas. "Sekeping uang perak untuk dua jawaban, ini peraturan!" Ternyata si
orang ini adalah simanusia berbaju perak yang
pernah dijumpainya pada malam bersalju lima tahun berselang. Malam
itu, simanusia berbaju perak itu menutupi sebahagian
mukanya dengan kain kerudung, sedangkan hari ini sama sekali tidak di
tutupi apa-apa.. Kalau malam itu dia mengenakan pakaian ringkas berwarna perak, maka
hari ini dia memakai jubah lebar berwarna perak pula.
Ternyata orang berbaju perak itu memiliki paras muka yang cukup
tampan, hanya sayang dari atas alis matanya sebelah kanan sampai
telinga sebelah kanan terdapat sebuah codet bekas bacokan golok yang
memanjang, kulit muka yang tidak merapat membuat wajahnya
kelihatan menyeringai seram... Sekarang, pengemis tua itu sudah tak dapat berlagak terus, dengan
wajah dingin seperti salju dia lantas menegur:
"Oooh . . . rupanya kau." Mencorong sinar buas dari balik mata orang
berbaju perak itu, katanya tiba tiba.
"Aku tahu kalau Ku tayhiap pasti masih teringat akan diriku, sejak
berpisah lima tahun sudah lewat, baik-baikkah Ku tayhiap selama ini ?"
"Kenapa kau bertanya melulu" Apakah kau datang untuk bertanya
belaka ...!" tukas pengemis tua itu dingin.
"Aku datang untuk Cui Tong yang sebetulnya Lu Cu peng serta bocah
she Sun itu." Pengemis tua itu tertawa hambar, "Lohu tidak kenal dengan mereka !"
Orang berbaju perak itu manggut manggut, "Soal ini aku percaya, cuma
pada malam bersalju lima tahun berselang toh kau yang telah menolong
mereka dari kuil Kwan ya bio, maka hari ini akupun terpaksa harus
menagih orang itu darimu !" "Ooh ... seandainya aku tak ada orangnya?" "Terpaksa Ku tayhiap
mesti memaafkan, aku akan mati dirimu !" "Laporkan dulu siapa
namamu?" seru pengemis tua itu dengan
kening berkerut "Ku tayhiap toh memiliki sepasang mata yang sakti"
Konon siapa saja yang menutupi wajah-nya dengan kain kerudung, asal
ada sedikit luang kosong, kau dapat menebak asal usulnya, aku adalah
orang yang berkerudung pada malam itu.
"Tahu orangnya tahu mukanya sukar tahu hatinya" tukas pengemis tua
itu cepat, "Hm, kau adalah manusia berbaju perak pada malam itu dan
kaupun tak akan lolos dari ketajaman mataku, tapi sekarang aku sedang
menanyakan siapa namamu?" Sambil, menggigit bibir orang itu menyahut. "Gin-ih-siusu Kim Kiam
khek (sastrawan berbaju perak jago pedang emas).. Belum habis perkataan itu, sipengemis tua itu telah
menukas: "Oooh.. rupanya kaulah Pit It kiam yang selama sepuluh
tahun terakhir ini termashur dalam dunia persilatan?" "Betul, itulah saya!" "Pit
lt-kiam, andaikata kau masih ingat dengan suasana pada
malam itu, maka tentu-nya kau masih ingat dengan perkataan Tongkeh
kalian bukan" Kuanjurkan kepadamu lebih baik pergi saja dari sini, dari
pada menyesal sepanjang masa!"
Agak tertegun juga Pit li kiam setelah mendengar perkataan itu,
tampaknya dia itu sudah tak ingat lagi perkataan apakah yang
dimaksudkan lawan. Dengan cepat pengemis tua itu mengingatkannya: Walaupun ucapan
Tan Tiang ho amat takebur, namu dia masih
merupakan seorang manusia yang tahu diri, dengan mengandalkan
kemampuanmu inginkan batok kepala aku ini si pengemis tua .. . Hm,
masih terlampau jauh." Pit It kiam segera tertawa seram.
"Heeeh... heeh... orang she Ku, kembali kau keliru besar, Tan Tiang hoa
tak lebih cuma salah satu perkumpulan dibawah pimpinan Sancu kami,
dia masih belum berhak menjadi seorang tangkeh."
Pit It-kiam tanpa sengaja telah membocorkan rahasia besar, begitu
ucapan diutarakan dia menjadi menyesal setengah mati.
Sebaliknya si pengemis tua itu nampak ter peranjat sekali setelah
mendengar perkataan itu. Kim ih tok-siu (kakek beracun baju emas) Tan Tiong hoa yang begitu
termashur dan menggetarkan dunia persilatan ternyata hanya seorang
congkoan belaka, lalu siapakah Sancu mereka itu?"
Begitu ingatan tersebut melintas lewat, dia mendapat sebuah akal
bagus, katanya kemudian kepada Pit It kiam sambil tertawa
terkekeh-kekeh: "Pit It kiam, turutilah nasehat lohu, lebih baik kau cepat cepat
menyelamatkan dirimu sendiri !"
Pit It kiam mendengus dingin. "Aku orang she Pit tidak percaya kalau
kau sanggup membunuh aku !" Kembali pengemis tua itu melanjutkan sambil tertawa: "Kau
pintar, sejak lohu melakukan sesuatu kesalahan dimana
yang lalu, sejak saat itu pula aku telah bersumpah tak akan
membunuh orang lagi, tentu saja sekarangpun aku tak akan
membunuhmu !" "Orang she Ku, dengan mengandalkan kepandaian silatmu itu jangan
harap bisa membinasakan diriku !" seru Pit It-kiam amat gusar.
Pengemis tua itu tertawa, rupanya dia mak sudkan lain dengan
perkataannya itu, kembali dia melanjutkan:
"Sekarang, kau sudah dapat dipastikan akan mati, kenapa aku pengemis
tua mesti banyak bertingkah" Barusan kau telah membocorkan rahasia
perkumpulanmu, aku pikir sekalipun kau tidak ingin matipun hal ini
merupakan sesuatu yang teramat sulit!"
Dengan suara dalam Pit It kiam segera membentak: "Ketika aku
orang she Pit datang ke kota Tong-ciu, orang lain tak
ada yang tahu.." Pengemis tua itu segera tertawa terkekeh-kekeh.
"Heeh... heeeh... ucapanmu itu memang benar, tapi ada
s e s e o r a n g y a n g j u s t r u t e r k e c u a l i , P i t I t k i a m ,
s i a p a y a n g t e l a h m e n g i r i m m u k e m a r i " A p a k a h d i a


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

t i d a k d a p a t m e n g u t u s o r a n g l a i n p u l a u n t u k
kMeenmdeanrgia"r "p erkataan itu Pit It kiam berubah hebat, tak terasa dia
berpaling kebelakang. Ternyata di belakang tubuhnya tak nampak sesosok bayangan
manusiapun menantikan dia berpaling lagi, ternyata pengemis tua itupun
sudah lenyap tak berbekas, kejadian ini kontan saja membuat Pit It kiam
mencak mencak karena gusar, hampir meledak rasa dadanya.
Lorong itu adalah sebuah lorong buntu, terkecuali kabur dengan
melewati dinding pekarangan rumah, mustahil pengemis tua itu bisa
menemukan jalan yang lain. Pit It kiam enggan berlepas tangan dengan begitu saja, sepasang
kakinya segera menjejak ke tanah untuk melakukan pengejaran
Tapi, pada saat itulah dari arah belakang telah kedengaran seseorang
berseru: "Pit tongcu harap berhenti!" Begitu mendengar suaranya Pit It kiam
segera tahu siapa orangnya, hancur lebur perasaannya saat itu juga, terpaksa dia
melayang ke tanah, kemudian sambil membungkukkan badan memberi
hormat, katanya. "Hamba siap menerima perintah!" Orang itu mendengus dingin.
"Hmm.. ! Pit tongcu, dengakkan kepalamu!" Paras muka Pit It kiam
berubah hebat, tapi dia tetap menundukkan kepalanya rendah. "Hamba...." Belum habis perkataan
itu, dengan tidak sabaran orang itu
menukas lagi: "Aku suruh kau mendongakkan kepalamu, harap kau
segera mendongakkan kepalamu, coba perhatikan baik baik siapakah lohu !"
Padahal pit It-kiam sudah tahu siapa gerangan orang itu, tapi dibawah
perintah yang keras, terpaksa dia mesti mendongakkan kepalanya.
Orang inipun mengenakan pakaian berwarna emas, cuma perawakannya
kurus kecil, jelas bukan Tan Tiang-hoa.
Sementara itu orang tersebut sudah mendengus sambil menegur:
"Sudah melihat jelas !" Dengan sikap sangat menghormat Pit It kiam
membungkukkan badan sambil memberi hormat: "Hamba tidak tahu kalau Hu
pangcu yang telah datang." Orang itu masih tetap tidak membiarkan Pit It kiam menyelesaikan
kata-katanya, sekali lagi dia menukas:
"Coba kau perhatikan lebih sesama lagi Lohu adalah Hu-pangcu (wakil
ketua), tak bakal salah bukan?"
Ucapan tersebut membuat Pit li kiam kelabakan setengah mati dan tak
tahu bagaimana mesti menjawab, terpaksa dia hanya membungkam diri
dalam seribu bahasa. Sambil tertawa terkekeh-kekeh, orang berbaju emas itu berkata lebih
jauh: "Kau telah membocorkan rahasia bukit kita, menurut peraturan kau
harus dijatuhi hukuman mati, apa lagi yang kau katakan ?"
Dengan ketakutan buru-buru Pit It kiam menyahut: "Hamba sama
sekali tidak sengaja, hanya secara kebetulan saja
berjumpa dengan Ku Gwat cong, dan lagi teringat dengan dendamku
pada lima tahun berselang, maka tanpa sengaja, aku telah..."
"Peraturan perkumpulan harus dilaksanakan dengan tegas, percuma saja
kau banyak berbicara !" bentak orang berbaju emas itu lantang.
Pit It kiam segera berkerut kening, tapi dengan cepat wajahnya pulih
kembali seperti sedia kala, ujarnya kemudian:
"Apakah hamba dapat berbuat pahala untuk menebus kesalahan ini?"
"Hm.... apakan hukiman yang lohu jatuhkan padamu kurang adil."
jengek orang yang berbaju emas itu sambil tertawa dingin.
Untuk kesekian kalinya Pit It kiam berkerut kening, tetapi sekuat tenaga
dia berusaha untuk menekan pergolakan perasaan hatinya, kembali
ujarnya: "Ang Hu paugcu, hamba mendapat tugas khusus dari pangcu untuk
kemari, sekarang hambapun perlu melaporkan semuanya
tugas yang hamba lakukan pada kongcu pribadi, sekalian akan
kulaksanakan hukuman dihadapannya."
"Di terangkan kepada lohu pun sama saja!" tukas Ang Hu pangcu
dengan suara dalam. Habis juga kesabaran Pit It kiam, dengan suara menentang dia
berteriak keras: "Hamba bukan berniat melarikan diri dari hukuman, tapi minta
keringanan hukuman juga bukan permintaan berlebihan, Hu pangcu,
sekalipun kau merasa senang setelah dapat membunuh aku, rasanya
juga tak perlu begitu bernapsunya!"
"Pit It kam!" bentak Ang Hu pangcu amat gusar, "kau berani
membocorkan rahasia perkumpulan kita, menurut peraturan harus
dijatuhi hukuman mati, sedang lohu hanya melaksanakan tugas belaka,
ini urusan dinas diharap kau mengerti."
"Heeh... heeeh..." Pit It kiam menjengek sinis, "maksud hati Suma Ciau
sudahlah jelas, orang jalan pun tahu..."
Ang Hu pangcu segera menyeringai seram, teriaknya amat gusarnya.
"Pit It kiam amat besar nyalimu, rupanya kau memang ada maksud
untuk menghianati perkumpulan.. jika tidak kenapa kau begitu berani
mencemooh lohu" Baik, kalau begitu, lohu ingin saksikan sampai di
manakah kepintaran ilmu pedangmu."
Seraya berkata, dengan langkah lebar dia segera berjalan mendekati Pit
It kiam. Oleh karena itu, dalam waktu singkat Pit It-kiam dapat merasakan
untung ruginya maka sambil tersenyum kembali ujarnya:
"Ang hu pangcu, bolehkah hamba berkata beberapa patah kata."
Ang hu pangcu mendengus dingin. Sepasang alis mata Pir It kiam
segera berkerut, bekas bacokan itu pun memancarkan cahaya merah, ini menandakan kalau
dia sudah dilipiti hawa marah yang membara, juga merupakan pertanda
sebelum dia melancarkan serangan untuk membunuh orang.
Cuma saja, Pir It kiam cukup mengetahui posisinya sendiri berbicara soal
kedudukan, dia memang masih kalah dibandingkan Ang hu pangcu,
berbicara soal kepandaian silat dan tenaga dalam, dia lebih kalah
setingkat dari lawannya. Apa lagi pada saat ini Ang hu pangcu telah memergoki dia sedang
membocorkan rahasia perkumpulan, seandainya dia benar- benar
membunuhnya, sekalipun hal ini dilaporkan, pangcu juga tak bakal
menegur atau menyusahkannya. "Katakan saja apa yang hendak kau ucapkan, lohu ingin mendengarkan
belaka." Wauaupun dia menyatakan akan mendengarkan, namun langkahnya
sama sekali tidak berhenti.. setindak demi setindak dia maju ke depan.
Agaknya Pit It-kiam dapat menebak maksud hati lawannya itu,selangkah
demi selangkah pula dia mundur terus ke belakang, sambil mundur
katanya lebih jauh. "Ketika hamba berjumpa dengan Ku Gwat cong tadi, telah berhasil hamba
selidiki persoalan yang diwanti-wantikan oleh pangcu pada waktu itu, oleh
karena itu, hamba telah mempergunakan Kiam leng coan sim (Lencana
pedang menyampaikan surat) untuk memberi laporan kepada pangcu..."
Berbicara sampai, disini, Pit It kiam sengaja berhenti sebentar untuk
menyelidiki sikap lawannya. BetuI juga, Ang hu pangcu segora menghentikan langkahnya, dia
seperti nampak agak takut setelah mendengar perkataan itu.
Mendapat angin, Pit It kiam segera berkata lebih jauh. "Ang hu
pangcu, sekarang apakah kau bersedia untuk
menggusur hamba pulang dahulu kemarkas kemudian baru menerima
hukuman" "Dari mana aku bisa mempercayai perkataanmu itu?" dengus Ang Hu
pangcu ketus. "Jika aku berbohong belaka, bukankah hamba sama halnya dengan
mengantar diri masuk perangkap?"
Ang Hu pangcu berpikir sebentar, kemudian katanya: "Persoalan itu
sudah lenyap dan hilang selama beberapa tahun,
kalau di bilang kau berhasil menemukannya pada saat ini, apakah hal
tersebut tidak terlalu kebetulan?" Pit It kiam segera tertawa.
"Hal ini rasanya tidak jauh lebih kebetulan dari pada kemunculannya Hu
pangcu di sini bukan?" jengeknya.
Diam-diam Ang Hu pangcu termenung dan berpikir berapa saat
lamanya, kemudian ia bertanya: "Darimanakah sumber berita itu?" Pit It kiam segera menggelengkan
kepalanya sambil tertawa, jawabnya pelan: "Hu pangcu, itulah satu satunya pelindung keselamatan
bagi hamba sekarang, kita toh sama-sama sudah bukan anak kecil lagi,
tentunya cukup tahu bukan, bagaimana melindungi diri secara baikbaik."
Ang Hu pangcu tertawa seram. "Heeh... heeh... heeh... Pit It kiam,
kau pun seharusnya mengerti, seandainya hal ini memang benar, hari ini juga Kiam leng
dari pangcu sudah akan sampai disini!"
"Tentu saja" kata pit It kiam sambil mengangguk, "menurut perkiraan
hamba, besok lencana Kim leng dari pangcu pasti sudah sampai disini,
cuma segala sesuatunya masih memerlukan penampilan hamba pribadi
untuk memberikan laporannya!" Agaknya Ang Hu pangcu sudah memperoleh siasat bagus, dia lantas
manggut-manggut. "Bagus sekali. Kalau begitu lohu akan menantikan kedatangan Kim leng
dari pangcu, nah ikutilah aku !"
Pit It kiam segera menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya.
"Harap Hu pangcu menentukan waktu dan tempat pertemuan saja,
sampai saatnya hamba pasti akan datang"
"Pit It kiam." kata Ang hu pangcu sambil tertawa, "oleh karena kau-kata
kebetulan berhasil menemukan jejak dari persoalan itu, maka kau baru
berhasil mendapatkan pengecualian, tapi bukan berarti kau sudah bebas
sama sekali" "Tentang soal ini, hamba cukup mengetahuinya, cuma menurut
peraturan perkumpulan, pada saat ini hamba masih bebas merdeka
tanpa ikatan apa-apa, hambapun wajib melakukan tugas dari pangcu ini
dengan sepenuh tenaga..." Ang-hu pangcu mendengus dingin, agaknya dia merasa apa boleh buat,
ujarnya kemudian. "Hmm... Tampaknya kau hapal sekali dengan peraturan dalan
perkumpulan kita. Baik, aku tinggal dirumah penginapan Tong keh,
jangan lupa, besok tengah hari. setelah waktu bersantap siang, bila kau
tidak datang menghadap berarti kau ada maksud untuk berhianat..."
"Semenjak empat tahun, berselang hamba sudah tahu kalau Hu pangcu
amat memperhatikan hamba, dan sudah kuduga kalau hari seperti ini
pasti akan datang juga maka hamba tak akan sampai membiarkan diri
hamba masuk perangkap!" "Lihat saja, lohu toh masih mempunyai banyak waktu," jengek Ang hu
pangcu sambil tertawa sinis. "Hamba akan selalu berhati-hati, baik-siang malam, hari bulan dan
tahun hamba akan selalu waspada!"
Ang hu pangcu mendengus dingin, dia lantas membalikkan badan dan
berlalu dari situ dengan langkah lebar.
Menanti bayangan tubuh orang sudah lenyap tak berbekas, Pit It kiam
baru menyeka butiran keringat yang membasahi jidat seraya
menghembuskan napas panjang, kemudian biji matanya berputar
kesana kemari dan menggelengkan kepala berulang kali, rasa gelisah
bercampur cemas membayangi wajahnya.
Diapun cukup tahu, sekalipun dia telah mengucapkan kata-kata bohong
yang memaksa musuh bebuyutannya Ang Beng liang terpaksa harus
mengurungkan niat jahatnya kepadanya, tapi dengan adanya peristiwa
ini maka posisi nya menjadi semakin berbahaya.
Esok dengan cepatnya akan tiba, terkecuali kalau didalam jangka waktu
ini dia berhasil mendapat bantuan atau memproleh pengampunan dari
pangcu, kalau tidak, maka nasib yang tragis sudah pasti akan dialaminya.
Pit It kiam tidak ingin berkhayal dengan mengharapkan bantuan dari
langit, maka satu-satunya jalan yang bisa di tempuh olehnya sekarang
adalah berusaha untuk mendapatkan pengampunan dari pangcunya,
maka tanpa berayal lagi dia lantas lari menuju ke mulut gang.
Ketika masih ada tiga langkah sebelum mencapai mulut gang,
mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, sayang baru saja itu
ingatan melintas di dalam benaknya, tahunya jalan darah di atas
sepasang bahu dan jalan darah bisunya sudah ditotok orang.
Kemudian munculah Ang Hu pangcu dengan wajah menyeringai seram,
dia berdiri dihadapannya dengan wajah sinis, dan kemudian dengan
menggunakan suara yang hanya bisa didengar oleh Pit It kiam seorang,
katanya: "Pit It kiam kau harus mengerti, bukan cuma sehari ini saja lohu ingin
membunuhmu, keponakanku itu hanya sedikit tertegun saja, tapi kau
telah turun tangan keji kepadanya, dan kemudian kau memberi pula
dosa yang besar kepadanya membuat ia ternoda sepanjang masa...
Hmm! Pit It kiam, lohu teramat benci padamu, kalau bila aku ingin
melahap dagingmu dan menghirup darahmu,
aku hendak menyayat kulitmu, kemudian membakarnya agar menjadi
abu!" Kini segenap tenaga dalam yang dimiliki Pit it kiam telah punah,
walaupun ada mulut juga sukar di buat bicara hanya codet di atas
wajahnya saja yang bersinar terang dan matanya memancarkan sinar
buas. Ang hu pangcu tertawa terkekeh-kekeh, dari sakunya dia mengeluarkan
sarung tangan khusus yang segera dikenakan.
Kemudian sambil memperlihatkan sarung tangan itu dihadapan Pit
kiam, katanya sambil menyeringai seram:
"Sekalipun apa yang kau katakan tentang persoalan itu adalah suatu
kenyataan, lohu juga akan menjagal dirimu lebih dulu, cuma kau tak
usah kuatir, lohu tak akan mempergunakan ilmu dan kepandaian khasku
untuk membinasakan dirimu!" Sembari berkata, Ang beng liang telah memasang sarung tangan tadi
ditangan kanannya sekarang Pit It kiam dapat melihat dengan jelas,
itulah sebuah sarung tangan khusus yang dilapisi lima buah cakar
serigala yang kuat seperti baja dan tajam bagaikan kaitan.
Sekali cengkeram, Ang beng liang telah mencakar wajah Pit It
kiam,yang tampan itu, kemudian katanya:
"Bukankah pangcu amat menyukai tampangmu ini. Sekarang, akan
kulihat apakah dia masih menyukainya lagi atau tidak ?"
Ketika cengkeraman itu diperkeras, diatas wajah Pit It kiam segera
muncul lima buah bekas darah memanjang dan dalamnya beberapa inci,
seketika itu juga paras muka Pit It kiam-yang tampan berubah menjadi
hancur tak karuan lagi bentuknya. Menyusul kemudian, tangan Ang Beng liang diayunkan berulang kali
seperti orang memukul tambur, kepala, muka dan dada Pit lt- kiam
seketika itu juga hancur tak berbentuk lagi, kulitnya mengelupas semua,
darah segar jatuh bercucuran membasahi seluruh tanah.
Ang Beng liang menyeringai seram, sekali lagi tangannya diayunkan ke
depan dan menghantam empat lima kali, sepasang lutut sepasang sikut
Pit It kiam segera hancur remuk tak berbentuk lagi, sedang orangnya
sudah jatuh tak sadarkan diri karena kesakitan.
Ang Beng liang tertawa bangga, terhadap Pit It kiam yang tergeletak tak
sadarkan diri itu katanya: "Lohu akan menyuruh kau mati karena kehabisan darah, silahkan
penderitaan tersebut dirasakan sebelum mampus nanti!"
Selesai berkata begitu dia cengkeram tubuh Pit It kiam dan
membawanya kedalam gang buntu itu, kemudian melayang masuk
kerumah orang, meletakkan tubuh Pit It kiam ditumpukkan kayu,


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membebaskan jalan darahnya dan berlalu dari sana.
Sekarang Pit lt-kiam dapat bersuara namun tidak sanggup mengucapkan
sepatah katapun, bisa membuka matanya namun tidak dapat ia melihat
apa apa, juga bisa bergerak tapi tak tertenaga.
Darah mengalir terus tiada hentinya, luka yang dideritanya cukup parah,
apalagi dibulan enam yang panas menyengat badan begini, paling
banternya setengah jam lagi, malaikat elmaut pasti akan datang
merenggut selembar jiwanya. Pada saat itulah mendadak melayang masuk sseseorang kedalam rumah
itu, kemudian dengan menggunakan selimut yang tebal untuk
membungkus Pit It kiam diam-diam berlalu pula dari sana.
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng *** KWIK WANGWEE sedang menuding sebuah gudang
yang besar dihadapannya dan berkata kepada siau liong ji sambil tertawa. "lnilah
gudang buah, berkeranjang keranjang buah disimpan
dalam gudang ini siap dibuat sari buah dan manisan, atau biasanya di
kirim pula ke daerah lain." Dengan sikap mengerti tak mengerti Siau liong ji manggut- manggut.
Kwik Wangwee segera menepuk kepalanya sambil berkata lagi:
"Usaha ini sudah kulakukan tiga generasi mulai sekarang kau
adalah pegawai yang akan mengawasi gudangku ini, tak usah kuatir,
barang disini tak akan dicuri orang, tapi mesti ada orang yang
menjaganya." Kwik wangwee memandang sekejap lagi ke arahnya, kemudian sambil
membelai kepalanya dan berkata dengan lembut.
"Kertas jendela dalam gudang banyak yang sudah hancur, sekalipun
ditambal baik-baik belum tentu bisa menahan kucing dan anjing yang
akan masuk kedalam, terutama sekali nyamuk dan lalat yang
menjemukan, semuanya ini mesti kau perhatikan baik-baik"
Sekarang Siau liong ji baru mengerti, rupanya tugas yang diberikan
kepadanya adalah mengusir kucing, menggebuk anjing, apalagi nyamuk
dan lalat, sejak kecil Siau liong ji benci dengan binatang binatang itu.
Sementara dia masih termenung, Kwik wangwee segera berkata sambil
tertawa: "Siau liong, aku lihat kau bukan bocah sembarangan, suatu hari kelak,
kau pasti akan berhasil mencapai kedudukan yang tinggi, bagaimana
kuberi nama "Tiong lo" kepadamu?"
Diam-diam Siau liong ji merasa terkesiap, bukankah hal ini merupakan
suatu kebetulan" setelah berpikir sejenak, dia pun manggut-manggut
tanda setuju dengan nama "Sun Tiong lo" itu.
Saat itulah Kwik Wangwee berkata lagi: "Letak kamar bacaku tentu
sudah kau ketahui bukan" Nah, aku
ijinkan kepadamu untuk meminjam buku dalam kamar bacaku, kalau
hendak bersantap pergilah kedapur depan sana kita makan bersama,
setiap bulan aku mendapat uang gaji, uang itu boleh ditanamkan dalam
usahaku, sehingga bila suatu ketika kau hendak
pergi, aku dapat memberikan uang dan keuntunganmu itu kepadamu,
siapa tahu kalau ada keuntungannya kelak."
Siau liong ji ... aah, tidak, Sun Tiong lo manggut-manggut tanda
menyet Bara Naga 2
^