Pencarian

Dendam Iblis Seribu Wajah 5

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Bagian 5


kipun dia sudah hapal luar kepala kitab yang ditemukannya, tapi
tanpa adanya pengarahan dari seorang guru, dia pun tidak mempunyai kesempatan untuk
melatihnya. Saat ini, lewat penjelasan Liang Fu Yong, kesadarannya menjadi terbangun. Tanpa
dapat ditahan lagi, bibirnya terus tersenyum. Otaknya bagai disengat aliran listrik, banyak
bagian yang tadinya kurang paham menjadi terang seketika. Begitu terharunya Tan Ki
sampai air matanya menetes dengan deras.
Liang Fu Yong mengeluarkan sapu tangan dari saku pakaiannya. Dengan penuh
perhatian, dia mengusap air mata yang membasahi pipi pemuda tersebut.
"Tidak ada hujan tidak ada angin malah menangis, memangnya tidak takut menjadi
bahan tertawaan kalau sampai ada yang melihatnya."
Dengan rasa haru Tan Ki menyahut"
"Cici, kunci pelajaran Lwe Kang dan pernafasan ini mempunyai kaitan yang erat dengan
diriku. Aku ingin menggunakannya untuk membalaskan dendam ayahku. Aku" aku"
terlalu bahagia." Jari jemari Liang Fu Yong yang lentik segera menutup mulutnya dengan lembut Dia
mencegah Tan Ki berkata lebih lanjut. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman yang
manis. "Aku tahu kau pasti ingin mengungkit segala budi, kasih, membuat orang yang
mendengarnya menjadi salah tingkah. Lebih baik kau hemat saja tenagamu itu." berkata
sampai di sini, dia langsung teringat keadaannya sendiri yang terkenal jalang dan rendah.
Bahkan keadaan yang memalukan inilah yang membuat dirinya menjadi terkenal. Mana
berani dia mengharap cinta kasih dari adiknya, Tan Ki"
Berpikir sampai di sini, segulungan perasaan yang pedih segera menyelimuti hatinya.
Tanpa dapat ditahan lagi, air mata kepiluan mengalir dengan deras. Dengan tersendatsendat
dia melanjutkan kata-katanya" "Cici juga tidak mengharapkan balasan darimu. Asal di sanubarimu masih terselip
bayangan Cici, hati ini sudah puas sekali?"
Melihat Liang Fu Yong tiba-tiba menangis dengan terisak-isak dan sebelumnya tertawa
senang, dia malah menjadi kalang kabut. Dengan termangu-mangu Tan Ki
memandangnya lekat-lekat. Dia tidak berani mengajukan pertanyaan apapun.
Setelah puas menangis, kesedihan hati Liang Fu Yong bagai sudah terlampias semua.
Dia mengusap sisa air matanya sambil tersenyum.
"Adik, kalau kau masih mempunyai kesulitan lain yang belum kau mengerti, cepat
katakan. Jangan sampai?" Belum lagi perkataannya selesai, tiba-tiba telinga mereka menangkap suara tertawa
yang panjang. Keduanya jadi terkejut setengah mati. Mereka segera memalingkan
wajahnya. Entah sejak kapan, di depan pintu sudah berdiri Sam-jiu San Tian-sin Oey Kang.
Ilmu orang ini sudah mencapai taraf tertinggi. Gerakan tubuhnya bagai hembusan
angin. Kedatangannya tidak menimbulkan suara sedikitpun. Meskipun ilmu Tan Ki sendiri
sudah termasuk lumayan dan indera pendengarannya sangat tajam, dia juga tidak tahu
kapan orang ini muncul di kamar tersebut.
Terdengar Oey Kang tertawa terbahakbahak. Dia melangkahkan kakinya masuk ke
dalam. "Rupanya kalian sudah saling mengenal. Hal ini malah kebetulan, aku tidak
mengakukan lidahku ini untuk memperkenalkan kalian." katanya sambil cengar-cengir.
Pertama kali dia melihat Tan Ki, yakni ketika dia membawa pergi Liang Fu Yong. Namun
saat itu Tan Ki merias dirinya menjadi laki-laki setengah baya. Sekarang Tan Ki sudah
kembali pada wajah aslinya. Oleh karena itu, dia tidak mengetahui bahwa kedua orang
yang pernah ditemuinya itu merupakan orang yang sama.
Tan Ki tertawa dingin. Baru saja dia ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba dia melihat
tubuh Liang Fu Yong bergetaran, mimik wajahnya menyiratkan perasaan takut yang
dalam. Kepalanya tertunduk, tangannya terkulai. Bahkan bernafaspun tidak berani kuatkuat.
Tampaknya dia takut sekali melihat orang ini. Hati Tan Ki merasa heran bukan
kepalang, kata-kata yang tadinya sudah siap dilontarkan jadi tertelan kembali. Dengan
wajah datar dia melihat perkembangan yang akan dihadapi.
Begitu matanya beralih, tiba-tiba wajah Oey Kang berubah garang. Suaranya pun
dingin sekali. "Untuk apa kau berdiri di situ" Barusan aku membawa seseorang, sekarang ada di
ruangan sebelah. Cepat ke sana dan layani dia!" bentaknya dengan suara keras.
Mendengar ucapannya, wajah Liang Fu Yong berubah hebat. Hawa amarahnya hampir
meledak, tetapi dia seperti teringat akan sesuatu hal, sehingga hatinya menjadi bimbang.
Kemudian dia mengangkat kepalanya perlahan-lahan dan melirik ke arah Tan Ki. Dengan
perasaan berat dia melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu.
Lirikan mata menjelang kepergiannya seakan mewakili ribuan kata-kata yang ingin
diucapkan. Juga tersirat cinta kasihnya yang dalam. Semuanya tertera jelas dalam sinar
matanya. Tan Ki sendiri seakan menemukan sesuatu rahasia dengan tidak diduga-duga.
Hatinya bergetar, nyeri dan ngilu. Tanpa sadar, dia memperhatikan bayangan punggung
Liang Fu Yong dengan termangu-mangu. Rasanya dia ingin mengucapkan beberapa patah
kata untuk menghibur hati perempuan itu, tetapi kata-kata yang sudah sampai di ujung
lidah, akhirnya ditariknya kembali.
Bayangan tubuh berkelebat, sesosok bayangan yang mengenaskan menghilang di balik
pintu. Oey Kang menunggu sampai Liang Fu Yong pergi jauh, lalu bibirnya pun
mengembangkan seulas senyuman yang licik.
"Bagaimana" Apakah kau sudah merubah keputusanmu?"
Tan Ki menggertakkan giginya erat-erat.
"Kalau kau mengharapkan aku menuruti kemauanmu, maka kau sedang bermimpi."
sahutnya dengan nada penuh kebencian.
Oey Kang tertawa dingin. "Sungguh kata-kata yang congkak. Kau sudah menelan pil pembuyar hawa murni
milikku, seluruh tenaga dalammu lenyap. Kalau suatu hari kau tidak meminum obat
penawarnya, berarti satu hari kau kehilangan kebebasanmu. Biarpun dua tokoh sakti di
dunia ini bergabung, mereka juga belum tentu dapat menyembuhkan dirimu. Kecuali kalau
kau membuka mulut memohon kepadaku. Tetapi kalau ditilik dari adatmu, mungkin kau
lebih suka menerima penderitaan ini. Tiga atau lima hari kemudian, aku akan
menjengukmu kembali. Pertimbangkanlah baik-baik." selesai berkata, dia mendongakkan
wajahnya dan tertawa terbahak-bahak. Tanpa menunggu jawaban dari Tan Ki, dia
langsung membalikkan tubuhnya dan meninggalkan kamar tersebut. Saking jengkelnya,
sepasang mata Tan Ki sampai mendelik lebar-lebar kemudian membuka mulut mencaci
maki. Hari lambat laun mulai menggelap. Ruangan itu tidak mempunyai penerangan
setitikpun. Sekitar sunyi senyap, tidak tampak bayangan seorangpun. Tanpa sadar Tan Ki
menarik nafas panjang. Berulang kali dia menyalahkan nasib yang seakan
mempermainkannya. Di benaknya terlintas sebuah ingatan. Tiba-tiba penjelasan Liang Fu Yong tentang kunci
ilmu pernafasan dan Lwe Kang terngiang kembali di telinga. Timbul secercah harapan
dalam hatinya. "Penjelasan ini berisi ilmu tingkat tinggi dari kitab yang kutemukan. Mengapa aku tidak
mencobanya" Siapa tahu di dalam kesalahan malah terselip kebenaran yang mana dapat
menyembuhkan penyakit aneh yang reaksinya lambat ini?" katanya kepada diri sendiri.
Dengan membawa pikiran demikian, cepat-cepat dikosongkannya pikiran dan ia memejamkan
mata untuk berlatih. Begitu perasaannya tenang, indera mata maupun
pendengarannya menjadi tajam. Entah kapan, tiba-tiba telinganya menangkap suara tawa
cekikikan yang terpancar sayup-sayup dari ruangan sebelah.
Setelah didengarkan dengan seksama, Tan Ki segera tahu bahwa suara tawa tadi
berasal dari ruangan sebelah kiri. Jumlahnya tidak lebih dari dua orang. Untuk sesaat dia
jadi tertegun. Dia merasa suara itu tidak asing dalam pendengarannya, tetapi dalam
keadaan panik, dia malah tidak dapat mengingatnya kembali.
Sementara hatinya masih terkejut dan terpana, tiba-tiba dia mendengar Liang Fu Yong
menarik nafas panjang. "Moay Moay, setelah sampai di tempat seperti ini, kau masih mempunyai
kegembiraan?" Dari ruangan sebelah kiri sayup-sayup terdengar suara tawa yang merdu, disusul
dengan suara sahutan seorang gadis.
"Ketika paman berpakaian hijau itu membawa aku ke mari, memang aku merasa agak
takut. Kemudian dia mengatakan bahwa tempat ini bagai istana, di dalamnya banyak
permata serta taman yang indah-indah. Pokoknya penuh dengan pemandangan fantasi
seperti istana para dewata. Dia juga mengatakan bahwa di sini banyak permainan yang
aneh-aneh, maka aku tidak merasa takut lagi."
"Kau percaya pada ucapannya?"
"Paman berpakaian hijau itu memperlakukan aku dengan lembut. Mengapa aku harus
tidak percaya?" Terdengar lagi suara helaan nafas Liang Fu Yong.
"Tidak kusangka pembawaanmu demikian polos dan menawan hati."
Mendengar sampai di sini, Tan Ki segera tahu bahwa orang yang mereka katakan
adalah Sam-jiu San Tian-sin Oey Kang.
Diam-diam dia berpikir" "Gadis ini sungguh lugu. Diri sendiri sudah terperangkap dalam sarang harimau,
ternyata masih belum sadar. Tampaknya dia masih belum tahu bahwa Oey Kang
merupakan manusia yang licik dan berhati keji".
Nalurinya mengatakan bahwa akan terjadi bencana yang dahsyat, hal itu membuat
perasaannya jadi bergidik. Hatinya tergetar, emosinya pun terbangkit, hampir saja dia
tidak dapat mempertahankan diri. Dengan panik dia segera menghembuskan nafas
panjang dan menghimpun hawa murninya. Setelah sibuk sekian lama, akhirnya dia
berhasil menekan perasaannya yang gundah. Keadaannya menjadi normal kembali. Tetapi
tubuhnya sudah dibasahi oleh keringat dingin.
Kurang lebih sepeminum teh kemudian, dia merasa hawa murninya kembali berjalan
dengan lancar. Segulung demi segulung mengaliri seluruh tubuhnya. Di dalam urat
darahnya seakan terdapat sebuah selang yang mengalir kian ke mari sesuka hati.
Perasaannya jadi nyaman seketika. Entah kapan, dari ruangan sebelah kiri terdengar lagi suara si gadis"
"Betul. Ketika aku dibawa, aku mendengar sendiri dia mengatakan, berlatih ilmu Tou Li
Mi-hun Toa Ceng." "Itu dia. Tujuannya membawa kau ke mari justru karena barisan Gadis Pengait Sukma
ini. Setahu Cici, barisan ini memang kekurangan seorang anggota. Mungkin dia bermaksud
menjadikan dirimu sebagai pelengkap barisan tersebut. Siapa sangka kau malah percaya
penuh dengan segala omong kosongnya?"
Tampaknya gadis itu mulai mempercayai kata-kata Liang Fu Yong. Hatinya mulai di
serang rasa takut. Dengan nada gugup dia berkata"
"Cici, bagaimana baiknya" Ketika aku diculiknya, meskipun ada Ciong San Suang-siu
yang melihat, tetapi mereka mana tahu kalau aku terperangkap di tempat ini. Cici yang
baik, kalau kau bersedia membantu, tunjukkanlah sebuah jalan keluar yang baik agar aku
dapat melarikan diri dari tempat ini. Dengan demikian kau sudah berbuat kebaikan."
Berkata sampai di sini, ruangan sebelah menjadi hening kembali. Mungkin Liang Fu
Yong sedang mengasah otaknya. Lama sekali dia tidak berkata apa-apa. Keheningan yang
berlangsung lama ini membuat perasaan orang menjadi tertekan.
Pada saat itu, Tan Ki yang berbaring di atas tempat tidur terkejut setengah mati.
Wajahnya berubah hebat. Dia sudah mengenali suara tadi sebagai suara gadis pujaan
hatinya, Liu Mei Ling. Hatinya menjadi panik, hampir saja dia membuka suara berteriak agar mendapat
perhatian dari kedua orang yang ada di ruangan sebelah. Namun karena saat itu,
latihannya sedang sampai pada masa kritis, biarpun ingin berteriak, tetap saja tidak ada
suara yang keluar. Saking gelisahnya, mata Tan Ki yang membelalak terasa berkunangkunang
dan tubuhnya basah oleh keringat. Tepat pada saat itu, telinganya menangkap lagi suara Liang Fu Yong yang bertanya
dengan lirih" "Moay Moay, apakah kau masih seorang gadis yang suci?"
Pertanyaan ini diajukan, ruangan sebelahpun menjadi hening kembali. Di depan mata
Tan Ki seperti muncul bayangan selembar wajah yang polos kekanak-kanakan dan sering
tersenyum tersipu-sipu dengan kepala tertunduk dalam-dalam. Hampir saja dia tertawa
keras-keras. Pertanyaan yang diajukan Liang Fu Yong ini rasanya terlalu bodoh" Biar
bagaimanapun Tan Ki adalah seorang pemuda yang cerdas, ketika otaknya masih
berputar, tiba-tiba kesadarannya tersentak. Pertanyaan Liang Fu Yong ini tidak mungkin
tanpa sebab musabab. Mungkin kediaman Mei Ling bagi Liang Fu Yong merupakan suatu jawaban. Terdengar
dia menarik nafas panjang sekali lagi.
"Hal ini semakin mencurigakan. Barisan Gadis Pengait Sukma itu justru membutuhkan
para perempuan yang sudah tidak suci lagi. Kalau kau masih perawan, kemungkinan Oey
Kang akan mengambil keuntungan lebih dahulu sebelum menggunakan engkau sebagai
pelengkap barisannya." Hati Tan Ki semakin kelam, dia semakin panik. Rasanya ia ingin dipunggungnya tibatiba
tumbuh sayap dan terbang ke samping Mei Ling agar dapat menghiburnya beberapa
patah kata. Tiba-tiba terdengar suara tertawa Mei Ling yang merdu.
"Tidak mungkin. Kalau Siau Moay memilih mati daripada menuruti kehendaknya, dia
juga tidak bisa berbuat apa-apa."
Liang Fu Yong menghentakkan kakinya sambil menarik nafas dalam-dalam.
"Aduh, orang sudah kebingungan setengah mati, kau masih tenang-tenang saja bahkan
bicara yang bukan-bukan. Kau percaya ilmu silatmu bisa menandinginya" Kau kira bisa
dengan mudah melarikan diri dari tempat ini" Orang ini tampangnya ramah hatinya licik.
Dia juga pandai menggunakan ratusan macam racun. Dapat membuat orang tertipu dalam
situasi apapun. Sejenis obat yang tampaknya biasa-biasa saja sudah dapat membuat
pikiranmu menjadi kehilangan akal sehat dan menuruti apa saja yang dikatakan olehnya.
Atau pikiran tetap sadar namun seluruh anggota tubuh tidak mempunyai tenaga sama
sekali sehingga tidak dapat bergerak serta lemas?"
Baru Liang Fu Yong berkata sampai di sini, Mei Ling sudah membuka mulut dan
menangis tersedu-sedu. Dia adalah seorang gadis yang lincah dan polos. Walaupun
pernah mempelajari ilmu silat yang lumayan tingginya, tapi bagaimanapun dia belum
melihat dunia yang luas. Nyalinya kecil, baru mendengar Liang Fu Yong mengucapkan
beberapa patah kata, dia sudah begitu terkejut sehingga ketakutan setengah mati. Apalagi
berpikir tentang urusan cinta kasih antara laki-laki dan perempuan, apabila dia benarbenar
diperkosa, bagaimana dia harus menghabiskan sisa hidupnya di kemudian hari"
Semakin dibayangkan hatinya semakin takut, suara tangisnya pun semakin keras dan air
matanya tercurah bagai hujan. Tan Ki juga panik sekali sampai kening serta dahinya basah oleh keringat. Tubuhnya
terbaring di atas tempat tidur, matanya mendelik menatap langit-langit kamar. Hatinya
gelisah dan perih. Di benaknya seperti muncul bayangan-bayangan. Dia mulai
membayangkan yang bukan-bukan. Dia seperti melihat tubuh Mei Ling yang telanjang
bulat berdiri di hadapannya. Sesosok bayangan manusia berwarna hitam sedang
memaksakan kehendak setan di bathinnya"
Tanpa dapat ditahan lagi, Tan Ki menguraikan air mata. Dia seperti melihat orang itu
sedang memperkosa Mei Ling. Tiba-tiba dia merasa aliran darahnya seperti bergejolak dan
hampir saja termuntah dari mulutnya.
Untuk sesaat tenggorokannya menjadi dingin dan matanya gelap. Nyaris dia jatuh tidak
sadarkan diri. Sayup-sayup dia seakan mendengar suara ratapan Mei Ling yang menusuk
hatinya dalam-dalam. Justru ketika perasaannya gundah dan hatinya gelisah, telinganya menangkap suara
langkah kaki seseorang yang menuju ke ruangan sebelah. Kemudian terdengar pula suara
tawa Oey Kang yang seperti orang gila.
"Fu Yong, apakah kau sudah menasehati-nya?"
"Aih, Locianpwe sebagai seorang angkatan tua di dunia Bulim, untuk apa memaksa
seorang gadis yang masih suci bersih?"
Oey Kang tertawa seram. "Kau berani mengajari aku?"
"Tidak, tidak berani?" Tan Ki mendengar suara sahutannya setiap kali selalu agak gemetar. Hal ini benarbenar
di luar dugaannya. "Kalau berani membantah perbuatannya, serta bermaksud menolong Mei Ling, mengapa
setelah bertemu dengan iblis ini, dia begitu ketakutan?" pikirnya dalam hati.
Tiba-tiba terdengar suara Mei Ling yang merdu"
"Biar matipun, Kouwnio tidak akan menuruti kata-katamu!"
"Moay Moay jangan menimbulkan masalah." kata Liang Fu Yong gugup.
Suara bentakan dan gerakan kedua orang itu terdengar hampir dalam waktu yang
bersamaan. Mungkin dalam hati Mei Ling timbul rasa benci sehingga dia nekat menerjang
akhirnya malah ditotok oleh Oey Kang.
Justru karena hal ini pula, kemarahan dalam dada Oey Kang jadi terbangkit.
"Fu Yong, ikat dia!" teriaknya.
Liang Fu Yong panik sekali. "Apa yang akan kau lakukan?"
Oey Kang tersenyum simpul. Senyumnya tersirat keinginan hatinya yang menakutkan.
"Malam ini rembulan bersinar indah. Kau keluarlah, aku tidak memerlukan pelayananmu
lagi di sini." Liang Fu Yong mengalihkan pandangannya. Mei Ling terkulai di atas tanah dalam
keadaan tertotok, dia tidak bergerak sama sekali. Namun orangnya masih sadar.
Wajahnya yang cantik tampak murung, dua bulir air mata membasahi pipinya.
Kecantikannya semakin mempesona, bak bunga-bunga yang mekar di pagi hari. Tanpa
dapat ditahan lagi, Liang Fu Yong menarik nafas panjang.
"Usia Locianpwe sudah cukup tua, ternyata masih tidak tahu malu bisa menyimpan
keinginan untuk merusak sekuntum bunga yang baru mekar?"
Liang Fu Yong sudah mendapat nasehat dari Tan Ki. Walaupun hanya beberapa hari,


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi sudah mampu membedakan antara kebaikan dengan kejahatan. Hatinya menjadi
sadar. Maka ketika mengucapkan kata-kata tadi. Suaranya terdengar tegas dan
mengandung kemuliaan hatinya. Tampaknya Oey Kang merasa sindiran Liang Fu Yong barusan benar-benar di luar
dugaan. Dia jadi tertegun sekian lama kemudian membentak dengan nada marah. "Tutup
mulutmu!" Lengan kirinya terangkat, dengan gerakan secepat kilat, dia menggerakkan tangannya
menggampar. Kaki Liang Fu Yong sampai goyah terkena pukulannya, dia tergetar mundur
dua langkah. Pipi sebelah kirinya langsung merah membengkak dan terlihat bekas guratan
telapak tangan. Sejak dilahirkan oleh ibunya, Liang Fu Yong mana pernah ditampar orang. Kali ini
mendapat pukulan Oey Kang, dia jadi tertegun beberapa saat. Hatinya terasa perih dan
tanpa ditahan lagi, air matanya mengalir turun dengan deras membasahi pipinya.
Tetapi dengan keras hati dia menggertakkan giginya, dia berusaha untuk tidak
mengeluarkan suara ratapan atau isak tangis sedikit juga. Malah dia memberanikan dirinya
berkata. "Adik ini masih muda. Hatinya polos dan lugu. Jiwanya masih belum mengerti
kekotoran manusia yang licik seperti dirimu. Kalau kau sampai mencemarkan kesucian
dirinya, bukankah berarti kau menghancurkan kebahagiaannya seumur hidup" Kalau kau
memang menginginkannya, mengapa tidak mengincar diriku saja?"
"Kau kira aku tidak berani!" bentak Oey Kang. Tubuhnya berkelebat, sembari
melangkahkan kaki, lengannya terulur. Sekali loncat dia langsung memeluk pinggang Liang
Fu Yong yang ramping dan menatapnya lekat-lekat.
Dari sinar matanya terpancar kebuasan serta kekalapan seekor binatang yang
kelaparan. Sinar itu demikian menakutkan"
Liang Fu Yong merasa hatinya tercekat, kaki tangannya menjadi dingin seketika.
Hatinya sadar bahwa segelombang badai topan akan melanda dirinya. Tidak mungkin
baginya untuk menghindarkan diri. Dengan panik dia memejamkan matanya erat-erat.
Dua butir air mata bak mutiara justru berderai lagi pada saat seperti ini.
Mei Ling dalam keadaan tertotok, tubuhnya terasa lemas dan ngilu. Dia tidak dapat
bergerak sama sekali. Matanya melibat Oey Kang memeluk Cici yang dia tidak tahu siapa
namanya itu. Baru saja dia membuka mulut dengan maksud ingin mencaci maki, tiba-tiba
dia melihat Oey Kang menundukkan wajahnya dan mencium Cici tersebut dengan buas.
Hatinya terperanjat sekali, cepat-cepat dia memalingkan wajahnya ke tempat lain.
Wajahnya mendadak menjadi panas. Dia merasa jengah sekaligus benci.
Begitu dia memalingkan wajahnya, tiba-tiba terasa serangkum angin yang kuat
menerjang ke arahnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah ditendang oleh Oey Kang sehingga
menggelinding keluar dari kamar. Terdengar suara alat rahasia menimbulkan bunyi yang
berderak-derak. Dua bilah pintu rahasia yang terbuat dari besi merapat perlahan-lahan.
Mei Ling jadi tergetar oleh perubahan yang mendadak ini. Untuk sesaat dia menjadi
bingung tidak karuan. Ketika lambat laun dia mengerti maksud serta keinginan Oey Kang,
bayangan Liang Fu Yong sudah lenyap di balik pintu besi tersebut. Tanpa dapat ditahan
lagi, dia segera menangis meraung-raung.
Tiba-tiba terlihat bayangan berkelebat, Tan Ki sudah menerjang ke tempat itu. Tampak
mimik wajahnya menyiratkan penderitaan yang luar biasa. Dia sama sekali tidak
memperdulikan Mei Ling. Menghambur sampai di depan pintu, dia langsung mengulurkan
tangannya mendorong. Jangan kata terbuka, bergeming saja tidak. Pada saat itu dia baru
merasa tangannya terasa dingin. Tentu saja dia terkejut setengah mati. Sekarang dia baru
melihat kalau pintu itu terbuat dari besi yang kokoh dan tebal.
Dalam waktu yang bersamaan, harapannya yang menggebu-gebu untuk menolong
Liang Fu Yong hampir surut secara keseluruhan. Hidungnya terasa perih, air matanya pun
berderai" Rupanya Tan Ki berhasil menghilangkan pengaruh obat yang diberikan Oey Kang
dengan ilmu pernafasan yang kuncinya diberitahukan oleh Liang Fu Yong. Mula-mula dia
mengalami kesulitan. Beberapa kali dia mencoba namun tidak terlihat hasilnya. Justru
pada saat itulah dia mendengar jeritan Liang
Fu Yong. Dia segera tahu sesuatu yang tidak beres sedang berlangsung, juga tidak
tahu dari mana datangnya kekuatan, dia memberontak sekuatnya dan langsung
menerjang keluar. Sayangnya pengaruh obat yang diberikan Oey Kang tidak hilang secara
tuntas. Tenaganya hanya cukup kuat untuk berlari.
Dia tahu apa yang dilakukan oleh Liang Fu Yong adalah pengorbanan dirinya untuk
menolong Mei Ling dari aib. Perbuatannya ini membuat orang menaruh hormat padanya.
Tetapi memikirkan perempuan itu yang masih terkurung di dalam kamar dan apa yang
akan dilakukan Oey Kang kepadanya, darah dalam tubuh Tan Ki seakan bergejolak.
Hatinya terasa sedih dan sakit. Dia juga merasa kebencian memenuhi kalbunya. Meskipun
Mei Ling adalah gadis pujaannya, tetapi pada saat ini dia tidak memperdu-likannya lagi.
Setelah mengetahui bahwa kedua belah pintu tersebut terbuat dari bahan besi, dia
tertegun sejenak, tiba-tiba dia membuka mulut dan berteriak sekeras-kerasnya."
"Cici, cici, apakah kau mendengar perka-taannku?"
Dalam keadaan panik serta sakit hati, suara teriakannya menjadi semakin keras dan
nyaring, memecahkan keheningan seluruh ruangan dan bahkan bergema ke mana-mana.
Setelah berteriak satu kali, suasana di dalam kamar itu tetap sunyi senyap. Tidak
terdengar sahutan dari Liang Fu Yong.
Semacam firasat buruk melintas di hati kecil Tan Ki. Tanpa terasa tubuhnya jadi
menggigil. Dia berteriak sekali lagi:
"Cici, jawablah" aku Tan Ki"!"
Tetap tidak ada sahutan dari dalam kamar. Tiba-tiba Mei Ling juga merasa telah terjadi
sesuatu yang tidak beres, air matanya tidak tertahankan lagi. Dia menangis tersedu-sedu.
Ratapan isak tangis menambah kepedihan suasana di luar kamar. Hati Tan Ki semakin
panik. Dengan kalap dia terus berteriak:
"Cici, Cici, dengarlah ucapanku! Jangan biarkan tua bangka itu menghinamu"!"
nafasnya mulai tersengal-sengal. Namun dia tidak berhenti. Dia seakan takut Liang Fu
Yong tidak mendengarkan kata-katanya. "Cici, apakah kau mendengarkan kata-kataku"
Cici, apakah kau dengar?" Air mata mengiringi suara teriakannya. Dia menggerakkan sepasang kepalan tangannya
dan memukuli pintu besi tersebut. Blamm! Blamm! Blammm! Suara gedoran itu bagai irama kepedihan yang menyayat hati Mei Ling. Pintu besi itu
juga menjadi batas antara dua alam. Tan Ki menjadi kalap. Tingkah lakunya seperti orang
yang tidak waras lagi. Dia terus berteriak, menggedor, meraung-raung"
"Cici, jangan biarkan tua bangka itu menghinamu"! Cici, jangan biarkan tua bangka itu
melakukan hal yang tidak senonoh kepadamu"!"
Dalam keadan yang kacau dan bising itu, sayup-sayup terdengar isak tangis
berkumandang dari dalam kamar. Tan Ki merasa hatinya pedih tidak terkira. Keringat dan
air mata membaur menjadi satu membasahi pipinya. Suaranya semakin lama semakin
parau, tetapi dia terus meneriakkan kata-kata yang sama.
"Jangan biarkan dia menghinamu"! Jangan biarkan dia menghinamu"!"
Dia sudah kehilangan ilmu silatnya. Tenaga dalamnya hampir lenyap. Sepasang kepalan
tangannya yang terus menggedor pintu besi tersebut hanya timbul dari emosinya yang
meluap-luap. Sampai saat itu, sepasang kepalan tangannya sudah merah membengkak,
tetapi perasaan Tan Ki seakan menjadi kebal. Dia tidak merasa sakit sedikitpun.
Hatinyalah yang sakit. Akhirnya dia terkulai dan duduk di atas tanah. Tampangnya
kusut. Penderitaannya tersirat jelas di wajah. Dia juga tampak lelah sekali, perlahan-lahan
dia menyandar pada pintu besi dan mengalirkan air mata kepedihan.
Tiba-tiba" serangkum suara tawa yang keras dan panjang berkumandang dari dalam
kamar. Kemudian disusul dengan jeritan histeris Liang Fu Yong. Setelah itu hening
kembali. Setelah mendengar suara jeritan Liang Fu Yong barusan, benak Tan Ki bagai
disengat aliran listrik. Otaknya seperti pecah berhamburan seiring dengan suara tersebut.
Untuk sesaat dia menjadi termangu-mangu, habislah sudah.
BAGIAN XIII Tan Ki tahu kali ini semuanya sudah selesai. Segulung api kemarahan seakan berkobarkobar
dalam hatinya! Tampangnya yang terlongong-longong berbaur dengan kepedihan hatinya. Penasaran,
kecewa semuanya campur aduk menjadi satu. Dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya
berdiam diri sambil menguraikan air mata. Sampai saat ini, apalagi yang dapat
dikatakannya" Dia menyalahkan dirinya sendiri yang tidak berguna, tidak mempunyai kesanggupan
untuk menolong Cicinya. Telinganya menangkap suara ratapan dan isak tangis yang
terputus-putus terpancar dari dalam kamar. Suara itu bagai sebilah golok, sebatang
pedang yang tajam menusuk dan menyayat kalbunya. Yang mana membuat air matanya
mengalir tambah deras. Sekitar ruangan tersebut masih sunyi senyap seperti sebelumnya. Gedung ini sangat
besar tetapi seakan tidak ada penghuni lainnya. Tidak ada seorang pun yang menyusul ke
tempat tersebut untuk melihat apa yang telah terjadi. Atau" mereka sudah terbiasa
dengan situasi seperti ini. Juga tidak terdengar suara seorangpun" hanya ratap tangis dari
bibir Mei Ling. Kurang lebih satu kentungan telah berlalu. Hati Tan Ki masih dilanda kesedihan. Tibatiba
dia mendengar suara alat rahasia yang berderak-derak. Setelah berbunyi sesaat, baru
pikiran Tan Ki tergugah, tahu-tahu kedua belah pintu besi telah bergerak dan menyusut ke
dalam dinding. Begitu matanya memandang, dia melihat Liang Fu Yong duduk di ujung tempat tidur
tanpa bergerak sedikitpun. Dia menundukkan kepalanya dalam-dalam karena malu.
Rambutnya acak-acakkan, pakaiannya tidak karuan. Tampangnya kusut serta terlihat letih.
Seakan badai topan yang baru melanda dirinya telah menguras habis tenaganya.
Wajahnya juga pucat pasi, dia telah kehilangan kecemerlangan yang terpancar dari kedua
pipinya tadi. Oey Kang sendiri entah kabur ke mana. Dia tidak berada di dalam kamar.
Setelah menatap sejenak, perasaan Tan Ki menjadi sedih dan iba. Dia memanggil
dengan suara sekeras-kerasnya. "Cici"!" Sambil merangkak dan menggelinding, dia menerjang ke dalam kamar. Liang Fu Yong
yang melihat Tan Ki seperti orang kalap menghambur ke dalam kamar hanya
menganggukkan kepalanya sedikit. Bibirnya mengembangkan senyuman yang pilu.
Belum lagi dia sempat mengucapkan sepatah katapun, air matanya sudah berderai
dengan keras. Di bagian sebelumnya telah diceritakan tentang pengorbanan Liang Fu Yong demi aib
yang akan dialami oleh Mei Ling. Begitu melihat perempuan itu, Tan Ki segera menerjang
ke dalam kamar. Liang Fu Yong yang melihat Tan Ki menerjang bagai orang kalap, tidak bergerak sama
sekali. Dia hanya menganggukkan kepalanya sambil tertawa sumbang. Badai topan yang
melandanya kali ini seperti membuat dirinya menjadi tua beberapa tahun dalam waktu
yang sekejap. Butiran air matapun tidak sekilau kemarin-kemarinnya.
Tan Ki menghambur ke dalam kamar. Dia tidak memperdulikan lagi batas antara lakilaki
dan perempuan, sekali loncat dia langsung menyusup ke dalam pelukan Liang Fu Yong
dan menangis dengan sedih. "Cici, mengapa kau begitu ceroboh, mengapa bersedia mengorbankan diri sendiri
sehingga menyerahkan tubuhmu?"" kata-katanya belum selesai, tenggorokannya seperti
tercekat, dia tidak sanggup melanjutkan kembali. Air matanya mengalir semakin deras.
Sekali lagi Liang Fu Yong tertawa sumbang.
"Laki-laki di kolong langit ini, entah sudah berapa banyak yang pernah berhubungan
badan denganku. Ditambah satu lagi tidak ada artinya. Buat apa kau menangis meraungraung
seperti anak kecil?" sahutnya dengan mengeraskan hati.
Tampaknya kata-kata Liang Fu Yong benar-benar di luar dugaan Tan Ki. Dia menjadi
termangu-mangu untuk beberapa saat.
"Apakah penghinaan semacam ini tidak membuat hatimu menjadi pedih?" tanyanya
penasaran. Wajah Liang Fu Yong agak berubah. Tangan yang tadinya hampir terulur untuk
membelai kepala Tan Ki ditariknya kembali. Perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya
dan berdiam diri. Penerangan di dalam kamar bagai dihimpit oleh kegelapan malam. Cahaya semakin
mere-mang. Tapi Tan Ki dapat melihat jelas sepasang alis Liang Fu Yong yang terus
mengerut. Isak tangis yang lirih menyusupi indera pendengarannya. Untuk sesaat dia
menjadi maklum akan isi hati perempuan itu. Kata-kata yang diucapkannya tadi pasti
bermaksud meringankan beban hatinya. Akhirnya Tan Ki menatapnya sambil menarik
nafas panjang. "Sebetulnya kau juga tidak dapat disalahkan. Kalau ada yang harus disalahkan, Thianlah
yang mengatur sampai semua ini terjadi. Sayangnya aku juga tidak mempunyai kebisaan
apapun, benar-benar manusia yang tidak berguna!" gerutunya kepada diri sendiri.
Liang Fu Yong tertawa getir. "Anak bodoh, Oey Kang sudah meninggalkan tempat ini lewat jalan rahasia" buat apa
kau menyalahkan dirimu sendiri?"
"Aku benci" benci kepada diriku yang tidak bisa memberi pertolongan kepada Cici!" dengan
kalap dia meninju ujung tempat tidur sekeras-kerasnya. Sekejap saja tangannya
sudah merah membengkak. Liang Fu Yong menangkap pergelangan tangannya dan mencegah Tan Ki meneruskan
perbuatan tolol itu. "Meskipun telapak tanganmu sampai hancur, tidak akan ada orang yang perduli. Lagi
pula kau juga tidak dapat mengubah apa yang telah terjadi. Tenangkanlah hatimu dan
dengarkan ucapan Cici ini." Tangannya terulur dan diangkatnya bantal bersulam di sisinya. Di bawah bantal
tersebut terdapat sebuah bungkusan kertas. Kelihatannya biasa-biasa saja. Tidak ada
keistimewaannya sama sekali. Tetapi Liang Fu Yong malah memandangnya seperti barang
pusaka, dia mengambilnya dengan hati-hati.
"Pertemuan beberapa hari, meskipun belum membuat aku mendapatkan apa-apa,
tetapi kesungguhan hatimu yang ingin mengubah aku menjadi orang baik-baik serta
kembali ke jalan yang lurus, aku menyadari sekali. Bahkan kau tidak menganggap aku
hina serta bersedia memanggil Cici kepadaku. Di antara laki-laki yang pernah kukenal, aku
tidak pernah bertemu dengan seorangpun yang hatinya lebih mulia dari padamu"!" tibatiba
Liang Fu Yong merasa, apabila kata-katanya diteruskan hanya menambah kepedihan
hatinya saja. Dan apa yang diharapkannya, mungkin akan diketahui oleh Tan Ki. Oleh
karena itu dia menarik nafas panjang dan memadamkan kobaran api dalam hatinya.
"Sekali bertemu, kita terhitung memiliki jodoh. Obat penawar ini anggaplah sebagai hadiah
perpisahan. Semoga kelak namamu akan menjulang tinggi di dunia Kangouw dan
mempunyai masa depan yang cerah."
Hati Tan Ki terkesiap. "Apa, hadiah perpisahan?"
"Tidak salah. Aku sudah mengambil keputusan untuk tetap menetap di sini. Mungkin
sepanjang hidupku, aku tidak akan keluar lagi ke dunia ramai. Mengingat persaudaran kita
yang meskipun baru terjalin dalam beberapa hari, tunggulah sejenak, nanti ada orang
yang mengantarmu keluar dari perkampungan ini. Pergilah ke depan sana."
Kata-katanya yang terakhir, walaupun diucapkan dengan nada yang kaku serta tegas,
namun dia juga tidak sanggup menutupi kepiluan hatinya menjelang perpisahan ini.
Perasaannya semakin tertekan. Di kelopak matanya kembali menggenang air mata yang
siap berderai setiap waktu. Tanpa disangka-sangka, Tan Ki mengibaskan tangannya dan melempar bungkusan obat
itu ke atas tanah. Dia tertawa sumbang dua kali. Saking kesalnya, air matanya ikut
mengalir turun. "Rupanya kau mengorbankan diri, hanya"
untuk menolong aku. Kata-kata apa yang kau ucapkan barusan" Meskipun obat ini
dapat merubah aku menjadi dewa, aku juga tidak mau meminumnya!"
Mendengar perkataannya yang tulus dan air matanya yang berderai deras, tanpa dapat
ditahan lagi, serangkum rasa pedih menyusup dalam sanubarinya. Tetapi dia menguatkan
hatinya agar air matanya jangan menetes. Berulang kali dia mengibaskan tangannya dan
sengaja berkata dengan suara yang dingin serta ketus.
"Pergilah, pergilah! Di sini bukan tempat yang baik untuk berdiam lama-lama!"
Tiba-tiba terlihat Tan Ki mengangkat lengan bajunya untuk mengusap air mata yang
membasahi pipinya, kemudian dia memeluk Liang Fu Yong erat-erat.
"Cici, katakanlah terus terang. Apakah kau mengorbankan diri hanya untuk memohon
obat penawar ini" Katakanlah, aku ingin mendengarnya dari mulutmu sendiri"!"
Liang Fu Yong tetap berdiam diri. Dia tidak menyahut sepatah katapun. Namun
kepedihan hatinya tidak tertahankan lagi. Dua butir air mata berurai ke bawah. Tan Ki
semakin panik melihatnya. Dia mengguncang tubuh
Liang Fu Yong keras-keras" "Katakanlah!"
"Jangan memaksa aku mengatakan apa-apa! Jangan memaksa aku"!" suaranya
semakin parau dan tiba-tiba dia mengulurkan "sepasang lengannya serta memeluk Tan Ki
erat-erat. Dengan wajah bersandar pada pundaknya, dia menangis tersedu-sedu.
Air mata kepedihan terus mengalir"
Bukan kerena takut atau terkejut, tetapi air mata yang berderai karena curahan kasih
dalam hati. Penerangan dalam kamar semakin lama semakin suram. Suasana dingin
mencekam. Hanya terlihat sepasang pemuda-pemudi yang saling berpelukan sambil
terisak-isak" sungguh suatu pemandangan yang menyentuh hati.
Setelah menangis beberapa saat, perasaan Tan Ki menjadi agak tenang.
"Cici, terima kasih?" baru mengucapkan sepatah kata, hidungnya terasa pedih kembali.
Kata-kata selanjutnya tidak sanggup ia lanjutkan kembali.
Perlahan-lahan Liang Fu Yong mendorong tubuhnya. Dia mengeluarkan sehelai sapu
tangan dan diusapnya bekas air mata yang membasahi pipi Tan Ki. Gerakannya sangat
lembut dan penuh perhatian. Persis seperti seorang ibu yang menghibur putranya yang
sedang bersedih hati. "Orang sebesar ini masih menangis meraung-raung?" tiba-tiba dia teringat bahwa
dirinya sendiri juga tidak berbeda, wajahnya menjadi merah dan cepat-cepat kata-katanya
dihentikan. Tan Ki tersenyum lembut. Dia tidak langsung menyahut kata-kata perempuan itu.


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Delipan mata yang memancarkan perasaan penuh kasih, dia menatap Liang Fu Yong lekatlekat.
"Cici, maukah kau menikah denganku?" tanyanya kemudian.
"Apa?" Liang Fu Yong terkejut sekali. Sepasang matanya memandang terpana. Hampir saja dia
tidak berani mempercayai pendengarannya sendiri, padahal dia mendengarnya dengan
jelas. "Jangan sembarang mengoceh, mana boleh?"
"Ucapan yang kukatakan tadi bukan gurauan. Malah aku sudah mempertimbangkannya
matang-matang. Sekarang kita sudah mendapatkan obat penawar, ilmu silatku dapat pulih
kembali. Walaupun tidak ada yang mengantar kita keluar dari Pek Hun Geng ini, dengan
asal terjang aku yakin kita bisa menemukan jalan keluarnya. Pada waktu itu, samudera
luas dan batas langit kapan saja dapat kita datangi. Kau hanya perlu menunggu aku
membalaskan dendam ayahku, kemudian kita cari pegunungan yang sunyi dan
berpemandangan indah sebagai tempat tinggal kita di hari tua?"
"Tidak bisa?" Tan Ki tertawa lebar.
"Bukan masalah bisa atau tidak, tetapi kau bersedia atau tidak?"
"Aku adalah seorang perempuan yang penuh dosa, mana pantas aku bersanding?"
Tiba-tiba Tan Ki mengangkat tangannya dan menutup bibir perempuan itu.
"Jangan berkata apa-apa lagi. Aku tahu sebetulnya kau bersedia. Hanya perasaan
harga dirimu yang mencegah kau mengatakannya."
Mendengar ucapan Tan Ki, Liang Fu Yong tahu isi hatinya telah terbongkar oleh anak
muda tersebut. Dengan tersipu-sipu dia menundukkan kepalanya, jari jemarinya
mempermainkan ujung pakaian. Dia tidak berani menatap sinar mata Tan Ki. Sedangkan
jantungnya berdegup semakin keras. Ketika perasaannya masih malu dan wajahnya tersipu-sipu, dia mendengar Tan Ki melanjutkan
kata-katanya. "Kau duduk saja di sini, tunggulah aku sebentar. Aku akan bersemedi sesaat untuk memulihkan
tenaga dalamku, setelah itu, kita bersama-sama melarikan diri dari tempat ini."
Tan Ki langsung membalikkan tubuh dan memungut bungkusan obat yang tadi dilemparkannya
di atas tanah. Dia segera membuka bungkusan obat itu dan menelannya
sekaligus. Sejenak kemudian terasa serangkum hawa yang sejuk mengalir di dalam
tubuhnya, dia merasa nyaman sekali.
Setelah itu, Tan Ki duduk bersila di atas tanah. Dia mengembangkan seulas senyuman
lembut kepada Liang Fu Yong. Kemudian matanya dipejamkan rapat-rapat dan mulai
bersemedi. Mata Liang Fu Yong memandang wajah tampan Tan Ki lekat-lekat. Dia sendiri
tidak tahu apa yang terasa dalam hatinya. Sakitkah" Pedihkah" Terkejut" Atau gembira"
Mendengar lamaran Tan Ki yang dinyatakan secara langsung. Sejenak dia tertegun tanpa
tahu keputusan apa yang harus diambilnya.
Beberapa hari menempuh perjalanan bersama, membuat hati Liang Fu Yong jadi
memiliki semacam perasaan yang aneh terhadap pemuda di hadapannya ini. Tetapi masa
lalunya terlalu suram sehingga dia tidak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan
perasaan yang terkandung di dalam hatinya.
Apalagi setelah dia membandingkannya, ketampanan, keceriaan, kegagahan Tan Ki
membuat Liang Fu Yong merasa dirinya semakin rendah dan hina. Sedangkan pada saat
seperti ini, tiba-tiba Tan Ki melamarnya, tentu saja hati perempuan ini menjadi curiga.
Berdasarkan pengalamannya selama bertahun-tahun bergaul dengan kaum laki-laki,
Liang Fu Yong dapat melihat bahwa tindakan anak muda itu hanya lampiasan emosinya
sesaat. Dia belum mempertimbangkannya dengan matang-matang. Seandainya ada orang
yang mengatakan bahwa pernikahan semacam ini dapat membawa kebahagiaan, maka di
dunia tidak ada tragedi lagi. Meskipun demikian, bayangan Tan Ki sudah terpatri dalam hatinya. Dia tahu perasaan
ini ajaib sekali. Biar bagaimanapun sulit baginya untuk menghapuskan bayangan tersebut,
tetapi dia tidak tahu mengapa. Perasaannya saat ini seperti bercampur
aduk, asam manis, pahit, pedas, semuanya bersatu di dalam kalbu. Air matanya bagai
untaian mutiara yang jatuh berderai. Hati kecilnya ingin sekali menerima lamaran Tan Ki,
namun perasaan rendah dirinya seperti mencegah. Dia menjadi serba salah.
Burung-burung kecil yang berkeliaran di atas jendela tidak hentinya mencuit-cuit.
Suaranya terputus-putus seakan menambah di dalam kamar itu menjadi semakin
mengenaskan. Entah berapa lama sudah berlalu, di atas ubun-ubun kepala Tan Ki terlihat uap putih
yang mengepul ke atas. Perlahan-lahan memenuhi ruangan. Tampaknya semedi anak
muda itu sudah hampir mencapai puncaknya dan sebentar lagi akan selesai.
Liang Fu Yong sadar bahwa sejenak lagi Tan Ki akan membuka matanya. Dia menggertakkan
giginya erat-erat dan menarik nafas panjang dengan wajah yang muram.
Dirapikannya pakaiannya yang tidak karuan. Matanya yang mengandung kasih sayang dan
penyesalan diri terus menatap Tan Ki lekat-lekat. Dia seperti khawatir Tan Ki tiba-tiba akan
menghilang dari pandangannya. Dia tidak mengedipkan matanya sama sekali. Tetapi
langkah kakinya perlahan-lahan bertindak menuju pintu.
Tan Ki sedang bersemedi, dia seperti meragakan kalau Liang Fu Yong akan meninggalkannya.
Tiba-tiba sepasang matanya membuka dan melihat ke arah perempuan itu. Saat
itu keadaannya sedang pada puncak krisis. Mulutnya tidak boleh bicara sama sekali.
Melihat Liang Fu Yong melangkah perlahan-lahan dengan maksud pergi dari situ, dia
hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan keras, wajahnya menunjukkan kepanikan.
Dua pasang mata saling pandang, hati Liang Fu Yong menjadi tertekan. Wajahnya
berubah hebat. Dia merasa dari sinar mata Tan Ki terpancar semacam kekuatan yang
memaksa dirinya untuk kembali. Untuk sesaat tubuhnya terasa lemas. Dia tidak
mempunyai tenaga untuk melangkah. Cepat-cepat dia memejamkan matanya dan
bersandar pada daun pintu. Dia mengatur nafasnya beberapa saat.
Ketika Liang Fu Yong memaksa diri untuk membuka matanya. Tampak dua bulir air
mata telah membasahi wajah Tan Ki. Air mata yang mengalir dari cinta kasih dalam hati
pemuda itu membuat pikiran Liang Fu Yong seakan mendapat pukulan bathin yang hebat.
Dia berteriak sekeras-kerasnya dan menghambur keluar dari tempat tersebut.
Rupanya di dalam hati perempuan itu telah tertanam semacam perasaan rendah diri
yang dalam. Dia menganggap dirinya sebagai perempuan jalang dan rendah, sama sekali
tidak pantas bersanding dengan Tan Ki. Melihat air mata kepedihan yang keluar dari
sepasang kelopak mata Tan Ki, hatinya semakin menderita. Dua arus perasaan yang
berbeda, yakni sesat dan lurus berkecamuk di dalam bathin-nya. Untuk sesaat dia menjadi
kehilangan akal sehat dan menerjang keluar seperti orang yang kerasukan setan.
Hati Tan Ki sendiri bertambah panik. Dengan kalap dia melonjak bangun dan
bermaksud mengejar. Siapa nyana saat itu semedinya sedang mencapai puncak krisis,
hawa murninya sedang mengalir mengelilingi seluruh tubuh. Mendadak dia melonjak
bangun, otomatis hawa murni yang sedang mengalir itu seperti kehilangan kendali dan
buyar seketika. Malah secara perlahan-lahan menyerang isi perutnya sendiri. Ketika
kakinya baru berdiri tegak, dia sudah merasakan sesuatu yang tidak beres. Dia langsung
menjerit keras-keras dan terkulai di atas tanah.
Agak lama kemudian, lambat laun dia mulai tersadar dari pingsannya. Dia merasa
kepalanya seperti digelayuti beban yang berat dan terasa pusing tujuh keliling. Tubuhnya
seperti terserang penyakit yang parah serta tidak bertenaga sama sekali. Tanpa dapat
mempertahankan diri lagi, dia memuntahkan darah segar beberapa kali berturut-turut.
Tan Ki juga tidak memperdulikan bercak darah yang membasahi pakaiannya, dia juga
tidak menghapus sisa darah di ujung bibirnya. Matanya mengedar ke sekeliling.
Penerangan sudah padam. Ruangan tersebut menjadi gelap gulita. Untung saja
penglihatannya sangat tajam. Biarpun malam gelap sekali, dalam jarak tiga depa dia masih
dapat melihat dengan jelas. Tetapi dia tidak berhasil menemukan bayangan Liang Fu
Yong. Meja maupun kursi di dalam ruangan tersebut masih sama dengan sebelumnya.
Tanpa sadar dia menarik nafas dalam-dalam. Dia memaksakan dirinya untuk bangun.
Sepasang tangannya bertumpu pada dinding ruangan. Setindak demi setindak dia berjalan
keluar dari kamar tersebut. Karena emosi sesaat, hawa murni dalam tubuhnya malah berbalik arah melukai isi
perutnya sendiri. Meskipun tenaga dalamnya dapat pulih kembali, tapi dia sudah
mendapatkan kerugian yang besar. Setelah berjalan sejenak, dia keluar dari halaman lewat koridor yang panjang. Dia
sudah kelelahan. Keningnya berkeringat. Dihentikannya langkah kakinya, wajahnya didongakkan
dan menatap rembulan. "Meskipun dapat keluar dari tempat ini, tapi dalam waktu tiga kentungan, luka ini
mungkin dapat mengakibatkan kematian." katanya kepada diri sendiri.
Berkata sampai di sini, gambaran dirinya menjelang kematian seakan membayang di
depan pelupuk mata. Tanpa sadar dia menarik nafas dengan tampang mengenaskan!
Angin bertiup rumputpun melambai-lambai, daun serta ranting pepohonan
menimbulkan suara yang gemerisik. Seakan mengalunkan irama yang menyayangkan
umur Tan Ki yang pendek. Tiba-tiba terdengar suara kibasan baju yang terpancar dari
empat penjuru. Meskipun hati Tan Ki dalam keadaan gundah dan sedih, tetapi
pendengarannya justru semakin peka. Begitu mendengar sedikit suara, dia langsung
tersentak. Matanya segera mengedar dengan seksama. Justru dalam waktu yang sekejap
ini, di bagian depan dan belakangnya telah berdiri tiga puluh enam lakilaki berpakaian
hitam. Mimik wajah mereka masing-masing sangat kaku. Mata mereka membelalak,
seperti manusia yang tidak mempunyai sukma. Mereka juga tidak bergerak. Ketika angin
malam berhembus, perasaan Tan Ki seperti sedang dikelilingi oleh sekumpulan hantu
gentayangan. Dalam hati timbul firasat yang buruk. Diam-diam dia berpikir"
"Kalau ditilik dari gerakan mereka, tentunya semua orang ini tergolong tokoh tingkat
tinggi. Tapi mengapa tampang mereka lebih mirip dengan mayat hidup, berdiri termangumangu
dengan mata membelalak. Sehingga perasaan orang yang melihatnya jadi tidak
karuan". Baru saja pikiran ini melintas dalam benaknya, tiba-tiba matanya terasa berkunangkunang,
gulungan tenaga yang kuat dalam jumlah yang tidak terkira telah mendesak ke
arahnya. Begitu kerasnya sehingga tubuh Tan Ki berputaran beberapa kali dan hampir
tidak dapat tegak kembali. Pekarangan ini luasnya sedang-sedang saja. Dikatakan besar tidak, dibilang kecil juga
tidak. Laki-laki berpakaian hitam yang berdiri di sana ternyata tidak merasa sesak, tetapi
apabila bertambah satu orang lagi, malah terasa seperti tidak ada tempat lagi untuk
berdiri. Tan Ki justru berdiri di tengah-tengah pekarangan. Dalam keadaan seperti ini, dengan
hadirnya sedemikian banyak laki-laki berpakaian hitam, di tambah lagi dengan dirinya
seorang, seakan terasa berlebihan. Seperti sebutir abu di dalam mata, yang mana terasa
menusuk dan menimbulkan perasaan tidak enak.
Sejak tadi dia sudah menghimpun tenaga dalam untuk melindungi dirinya. Secara tibatiba
dia didesak oleh rangkuman tenaga dalam dari kiri kanan depan belakang, tentu saja
timbul serangkum tenaga tolakan yang membuat tenaga yang mendesaknya seperti buyar
seketika. Setelah itu, dengan kecepatan kilat dia mengirimkan dua pukulan ke arah lawannya.
Terdengar suara bentakan yang menggelegar. Empat rangkum angin pukulan yang
dahsyat menerjang ke arahnya. Rupanya para laki-laki berpakaian hitam ini merupakan Barisan Jenderal Langit yang
dididiknya sendiri. Ketiga puluh enam orang ini terbagi dalam sembilan kelompok. Setiap
kelompok mempunyai keahlian masing-masing yang berbeda. Ada yang menggunakan
pukulan untuk melancarkan serangan, ada yang menggabungkan tenaga dalam meraih
kemenangan. Hal ini membuat pihak lawannya sulit meraba bagaimana cara bekerjanya
barisan itu dan mengadakan persiapan sejak semula.
Sedikit saja kurang berhati-hati, hampir saja Tan Ki terjerat dalam perangkap. Dengan
panik dia menghimpun tenaga dalamnya ke arah telapak tangan dan dengan posisi
menahan di depan dada, dia mendorong ke depan.
Meskipun serangan ini dilancarkan dalam keadaan terluka, tetapi kekuatannya tidak
dapat dipandang ringan. Gagahnya bukan main, meskipun manusia berpakaian hitam itu
menyerangnya dengan cara menggabungkan tenaga dalam empat orang sekaligus, tetapi
dia berhasil menahannya. Mengadu pukulan dengan kekerasan yang hanya berlangsung satu jurus itu, tubuh Tan
Ki hanya terhuyung-huyung sedikit kemudian tegak kembali. Telinganya menangkap suara
desiran angin, serangan kelompok ketiga sudah menerjang tiba. Serangan kali ini tentu
saja berbeda dengan yang sebelumnya. Empat orang itu memencarkan diri menjadi dua
orang di kiri dan duanya lagi di kanan. Suara yang terpancar dari kepalan tangan dan
bayangan telapak menerjang ke arahnya.
Diam-diam sepasang alis Tan Ki mengerut dengan ketat. Mulutnya mengeluarkan suara
bentakan yang keras. Sepasang telapak tangannya ditekapkan di bawah ketiak kemudian
dihantamkan kedua arah yang berlawanan.
Baru saja dia berhasil mendesak mundur orang-orang dari kelompok ketiga, orangorang
dari kelompok keempat sudah menyerbu ke arahnya. Serangan demi serangan
dilancarkan dengan gencar. Semuanya memiliki keahlian yang berbeda-beda. Apalagi
serangan mereka semakin lama semakin kuat dan juga semakin membahayakan.
Dengan berturut-turut dia menyambut serangan sembilan kelompok dari barisan
tersebut. Diam-diam hatinya menjadi gelisah.
"Mereka menyerang dengan cara bergiliran. Tampaknya tidak ada henti-hentinya. Kalau
begini terus, sampai kapan aku harus bertarung, sampai kapan baru berhenti" Tenagaku
yang seorang ini melawan tenaga mereka yang menggunakan cara bergilir, kalaupun tidak
terpukul mati, lambat laun pasti akan mati lemas. Apalagi luka dalamku sangat parah,
apabila dipaksakan, malah bisa-bisa mempercepat kematian. Lebih baik himpun seluruh
tenaga dan menerjang keluar. Siapa tahu benar-benar berhasil keluar dari kepungan
barisan ini." katanya kepada diri sendiri.
Baru saja pikirannya tergerak, dia langsung mengumpulkan seluruh tenaganya dan
bersiap-siap melancarkan beberapa pukulan yang dahsyat. Dia berniat menggunakan
siasat menggertak terlebih dahulu, kemudian menerjang. Tiba-tiba telinganya menangkap
suara siulan yang nyaring dan berkumandang dari kejauhan. Laki-laki berpakaian hitam itu
mendadak menghentikan gerakannya dan mundur ke tempat semula.
Tampak sebelah telapak tangan mereka menahan di depan dada dan berdiri dengan
termangu-mangu. Wajah mereka tidak menunjukkan perasaan sedikitpun. Empat orang
dalam setiap kelompoknya berbaris dengan rapi. Apabila diperhatikan, barisan itu tampak
angker sekali. Hati Tan Ki terkejut setengah mati.
"Mungkin kali ini, seluruh barisan akan bergerak serentak." pikirnya dalam hati.
Suatu ingatan melintas di benaknya. Cepat-cepat dia maju dua langkah, telapak
tangannya mengambil posisi menahan di depan dada, seakan-akan dia ingin melancarkan
sebuah serangan ke arah kelompok yang berjarak satu depa di depannya.
Ilmu silat Tan Ki sudah tergolong jago kelas satu dalam dunia Kangouw. Meskipun
sedang terluka parah dan hawa murninya telah terhambur banyak, tetapi kecepatan
gerakannya ini bukan alang kepalang. Lawannya baru melihat jelas kakinya melangkah
maju dua tindak, tahu-tahu dirinya sudah kembali pada posisi semula.
Ternyata di bagian belakang punggungnya terasa melanda tiba sebuah kekuatan yang
besar. Kekuatan itu demikian besar laksana ombak yang bergulung-gulung. Tan Ki
menggertakkan giginya erat-erat. Secepat kilat dia membalikkan tubuhnya dan
menghantamkan sepasang telapak tangannya.
Begitu matanya memandang, tanpa terasa dia jadi tertegun. Ternyata dibelakangnya
tidak ada orang yang mengejar, hanya sekelompok orang-orang dari barisan yang berdiri
berbaris. Masing-masing mengulurkan telapak tangan kanannya dengan gaya mendorong
ke depan. Jarak mereka kira-kira setengah depa dari tempat Tan Ki, tapi ternyata
gulungan tenaga yang terpencar dari pukulan mereka sudah sampai di belakang punggung
anak muda tersebut. Kumpulan laki-laki berpakaian hitam itu merupakan tokoh-tokoh dari dunia Bulim yang
dipaksa dengan berbagai macam cara oleh Oey Kang untuk mengikuti perintahnya.
Mereka juga mendapat didikan langsung dari iblis tersebut. Kekuatannya tidak dapat
dipandang ringan, setiap orang memiliki keahlian tersendiri. Begitu gabungan tenaga
dalam mereka dilancarkan, otomatis kekuatannya jadi melipat ganda. Tadinya Tan Ki
berpikir, apabila orang yang mengejar di belakangnya tiba, dengan tidak terduga-duga dia
akan melancarkan sebuah serangan yang mengandung seluruh kekuatannya agar
kelompok itu dapat terdesak mundur. Dengan demikian, dia bisa merebut posisi
menyerang duluan kemudian menerjang keluar. Tetapi kenyataannya berbeda dengan apa
yang dibayangkan. Justru dia yang terkejut setengah mati.
Kalau diceritakan memang panjang, kejadiannya sendiri berlangsung dengan cepat
sekali. Tenaga dalam yang terpancar dari telapak tangannya baru beradu dengan
kekuatan gabungan empat orang tersebut, tiba-tiba dia membentak marah, lengannya
tergetar dan tubuhnyapun mencelat ke tengah udara. Dia merasa tenaga hantaman
keempat orang itu terus meluncur di bawah kakinya, kalau saja dia tidak bersiap sedia
dengan menghimpun tenaga dalamnya, akibatnya sulit diba-yangkan. Sungguh detik-detik
yang menegangkan! Begitu terpental, dia segera melambungkan tubuhnya sampai setinggi tiga depa,
kepalanya menoleh ke bawah. Ternyata barisan ini memang hebat sekali. Gerakan mereka
sangat kompak. Di dalamnya juga terkandung kekuatan yang dahsyat.
Pada saat ini, kesembilan kelompok dari barisan itu sudah bergerak serentak ke arah
pusat. Tampak bayangan manusia berkelebat ke sana ke mari, tetapi kibaran pakaian
mereka tidak menimbulkan suara sedikitpun.
Sementara itu, tubuhnya pun sedang meluncur ke bawah. Entah mengapa, tenyata
orang-orang dari barisan itu tidak ada satupun yang mendongakkan kepala
memandangnya. Hati Tan Ki segera tergerak, dia meliukkan pinggangnya dan merubah
gerakan jurusnya, sebuah pukulan ia lancarkan ke arah seseorang yang di bagian penutup
kepalanya tertancap sekuntum bunga merah.
Apabila pukulan ini mencapai sasarannya, orang itu pasti akan terkapar mati seketika.
Siapa nyana orang itu sama sekali tidak ambil perduli, dia tetap melangkahkan kakinya ke
pusat barisan. Ketika pukulan Tan Ki hampir mencapai sasarannya, tiba-tiba serangkum
tenaga dari samping menyampoknya sehingga angin pukulannya menghantam ke bawah
tanah. Saat itu dia sudah kehabisan akal dan kehilangan tenaga, dia tidak tahu apa lagi yang


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus diperbuatnya. Dia merasa tenaga dalam tersebut sedemikian kuat sehingga
tubuhnya tergeser ke samping dan kecepatannya semakin bertambah ketika menukik ke
bawah. Dia sudah kehilangan banyak hawa murni dalam tubuhnya. Dengan mengandalkan kekerasan
hati dan kenekatannya dia tidak sampai rubuh dan dapat mempertahankan diri
beberapa saat. Tetapi setelah mengadu kekerasan beberapa kali dengan pihak lawan,
tenaga dalamnya sudah banyak terkuras, tubuhnya sudah basah oleh keringat. Dia sadar,
apabila mengadu kekerasan dua kali lagi dengan pihak lawan, dia pasti tidak kuat lagi dan
pasti rubuh. Apalagi saat ini tubuhnya sedang menukik ke bawah, tentu saja sulit baginya
untuk mengedarkan hawa murni guna melindungi badannya. Terdengar suara gubrakan
yang keras, Tan Ki pun terjatuh di atas tanah dalam posisi duduk.
Beberapa perubahan yang mendadak ini terjadinya begitu cepat. Begitu terjatuh di atas
tanah, Tan Ki langsung merasa kepalanya pusing tujuh keliling, matanya sampai
berkunang-kunang. Belum lagi kesadarannya pulih semua, tiba-tiba terlihat orang-orang
yang dari kelompok di hadapannya sudah mengulurkan telapak tangan dan berjalan
menghampirinya. Dari jauh saja kekuatan tenaga dalam yang terpancar dari pukulan mereka sudah
terasa. Herannya gerakan mereka sangat kompak dan barisan itu begitu rapi seperti
barisan para prajurit yang sudah terlatih.
Kali ini, siapa yang lemah dan siapa yang kuat sudah terlihat jelas. Keadaan sungguh
membahayakan. Tan Ki sudah tidak bisa menghindar lagi. Semacam perasaan yang
merupakan harapan mencari kehidupan di ambang kematian tiba-tiba menyusup dalam
hatinya. Dia meraung sekeras-kerasnya. Telapak tangannya terulur ke depan dan
dipaksakannya untuk melancarkan beberapa pukulan sekaligus. Kedua pukulan ini
dilancarkan dalam keputusasaan. Hampir seluruh kekuatan dalam tubuhnya dihimpun
sekaligus. Tampak deruan angin yang bergulung-gulung, kehe-batannya malah seperti
berlipat ganda. Tenaga dalam yang merupakan gabungan dari kelompok tersebut ternyata
berhasil ditolaknya. Begitu kerasnya benturan itu sehingga tubuh keempat orang itupun
terpental dan melayang ke belakang. Namun setelah melancarkan dua buah pukulan
tersebut, Tan Ki pun tidak dapat mempertahankan diri lagi. Mulutnya membuka dan
segumpal darah segar terlihat muncrat dari mulutnya.
Baru saja Tan Ki meghantam.empat orang yang sebelumnya sehingga terpental ke
belakang dan dirinya sendiripun memuntahkan segumpal darah segar, satu kelompok yang
lain telah tiba di sampingnya. Tinju dan pukulan bagai curahan hujan menerpa di atas
tubuhnya. Terdengar suara bentakan Tan Ki, sepasang lengannya bergerak dengan kalap. Dengan
memberontak dia melonjak bangun, ditangkisnya serangan tinju dan pukulan dari keempat
orang tersebut. Tiba-tiba kepalanya terasa pening, langkah kakinya menjadi goyah
kemudian ia terpaksa mundur dua tindak.
Tepat pada saat itu juga, otaknya langsung diasah, kalau dia tidak mengerahkan jurus
yang ampuh melukai orang-orang ini, malah dirinya sendiri yang akan rubuh dan mati
tanpa kuburan. Dengan tujuan mencari hidup, pikirannya pun bekerja keras. Suatu ingatan mendadak
melintas di benaknya. Dia seperti melihat bayangan-bayangan yang keadaan posisinya
berbeda-beda. Ada yang berdiri, ada yang membungkuk, ada lagi yang pahanya
direntangkan ke depan dan ada yang tangannya diangkat ke atas. Semuanya berputaran
di depan pelupuk matanya. Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan ingatannya, secara kilat kedua
tangannya terulur dan tahu-tahu dia sudah berhasil mencekal dua orang lawannya.
Dengan bertumpu pada kedua orang tersebut, sepasang kakinya dihentakkan
meninggalkan tanah dan dua orang manusia berpakaian hitam lainnyapun tertendang
jatuh. Gerakannya ini merupakan salah satu jurus dari Te Sa Jit-sut, yakni Si Goat-liu Sing
(Malam Purnama Bintang Kejora). Apabila telah terlatih sampai mencapai kesempurnaan,
begitu tangan terulur untuk mencekal, pasti tidak akan luput. Meskipun baru kali ini Tan Ki
menggunakannya, tetapi rumus ilmu itu sendiri sudah dihapalnya luar kepala. Di saat
ilhamnya datang, tiba-tiba dia mengerahkan jurus yang ampuh tersebut. Begitu tangan
terulur dan kaki menendang, empat orang sekaligus rubuh olehnya.
Seandainya pikiran dan kesadaran orang-orang ini masih ada, tentu mereka, akan
terkejut mengetahui bahwa dalam waktu yang singkat ilmu silat Tan Ki seakan bertambah
tinggi. Sayangnya orang-orang ini telah dice-coki semacam obat oleh Oey Kang, sehingga
kesadarannya hilang. Mereka seakan tidak mempunyai perasaan lagi. Meskipun melihat
dengan mata kepala sendiri keempat rekan mereka terluka oleh pihak lawan, tidak ada
satupun yang menerjang datang atau melampiaskan kemarahannya.
Tan Ki memperdengarkan suara tawa yang dingin. Diam-diam dia mengedarkan hawa
murninya agar jalan darah yang terguncang tadi dapat pulih kembali. Kemudian telapak
tangannya kembali bergerak, dia melancarkan sebuah jurus lain dari Te Sa Jit-sut. Dalam
waktu yang singkat dia sudah berhasil menotok tujuh manusia berpakaian hitam.
Ketujuh manusia berpakaian hitam yang tertotok urat nadinya, tetap berdiri tanpa
bergeming sedikitpun. Tan Ki mengulurkan tangannya dan mencekal bagian punggung
orang tersebut. Dikerahkannya tenaga dalam sambil membentak keras. Orang itu
dilemparkan pada kelompok orang-orang yang paling dekat dengannya. Baru tangannya
bergerak, kembali dia mencekal manusia berpakain hitam lainnya dan dilemparkannya
kembali ke sebelah kiri. Dua kelompok manusia berpakaian hitam itu tampaknya tidak bersiap siaga. Melihat
rekannya sendiri melayang datang, keraguan sempat menyelinap dalam hati mereka.
Sebelum sempat mengambil tindakan apa-apa, tubuh rekannya sudah membentur keras
ke arah mereka. Terdengar suara bentakan dan seruan terkejut. Dua manusia berpakaian hitam segera
terhantam ke belakang dan bergulingan di atas tanah. Seluruh bentuk barisan menjadi
kacau balau. Seandainya saat itu Tan Ki membangkitkan keberaniannya untuk terus menyerang,
serta menggunakan kekuatan tenaga dalamnya untuk membuka jalan, meskipun belum
tentu dapat memecahkan barisan tersebut tetapi ada kemungkinan untuk meloloskan diri.
Tetapi, justru pada saat ini luka dalamnya kambuh. Keringat dingin membasahi seluruh
tubuhnya. Bukan saja dia tidak dapat menggerakkan kakinya untuk melangkah, bahkan
untuk berdiri tegak mengatur nafas saja sulitnya bukan main. Dia merasa keringatnya
menetes terus dan matanya berkunang-kunang. Tubuhnya bergetar hebat. Rasanya dia
ingin membaringkan tubuhnya di atas tanah. Dengan demikian mungkin keadaannya lebih
lumayan. Penderitaan di masa kecilnya membuahkan semacam watak pada dirinya. Dia sama
sekali tidak membiarkan tubuhnya terkulai. Bayangan di benaknya melintas secepat kilat.
Dia sedang merenungkan jurus lain dari Te Sa Jit-sut. Pikirannya terpusat. Dia sampai lupa
bahwa dirinya berada dalam kepungan musuh-musuh yang tangguh. Dia malah berdiri
termangu-mangu. Justru ketika pikirannya terpusat penuh, Tiba-tiba dia merasa bagian punggungnya
tergetar. Tahu-tahu dia sudah termakan sebuah pukulan. Pukulan ini mengandung
kekuatan yang dahsyat. Jantungnya serasa membalik. Tubuhnya terhuyung-huyung dan
diapun terjatuh sejauh empat lima langkah.
Begitu tubuhnya terjatuh di atas tanah, kembali ada sekelompok orang yang menerjang
ke arahnya. Kecepatan gerakan mereka bagai kilat. Begitu melesat langsung sampai.
Delapan buah lengan dari empat orang tersebut menyerang bagian berbahaya di tubuh
Tan Ki dalam waktu yang bersamaan. Tiga empat rangkum tenaga yang kuat secara bergulungan menerpa tiba. Kalau sampai
terhantam telak, meskipun tubuhnya terbuat dari baja, tetap saja dia tidak sanggup
mempertahankan diri. Terdengar suara angin yang menderu-deru. Keadaannya sungguh
membahayakan. Tanpa sadar dia menarik nafas panjang kemudian memejamkan matanya
menunggu kematian. Tiba-tiba telinganya mendengar suara teriakan yang memecahkan keheningan. Entah
apa sebabnya, serangan telapak tangan, tinju maupun pukulan yang gencar menjadi
terhenti seketika. Tan Ki jadi termangu-mangu diserang rasa terkejut yang di luar dugaannya. Cepatcepat
dia mengalihkan matanya memandang. Dia segera melonggo, wajahnya jadi berseriseri
seketika. Entah sejak kapan, Liang Fu Yong sudah berdiri di sampingnya.
Tampak tangannya mengibarkan sebuah bendera merah, dia sedang mengatur barisan
manusia berpakaian hitam tersebut. Bendera merah itu panjangnya kira-kira tiga mistar,
kalau diperhatikan seperti biasa-biasa saja. Tidak ada keistimewaan apa-apa. Entah
mengapa, manusia berpakaian hitam yang tadinya berwajah kaku menyeramkan, begitu
melihat bendera ini, tampang mereka seperti setan kecil di hadapan iblis besar. Mimik
wajah mereka yang tidak menunjukkan perasaan apa-apa, tiba-tiba juga menunjukkan
kilasan rasa ketakutan setengah mati. Dengan ber-pencaran mereka mengundurkan diri.
Setelah mengatur beberapa saat, Liang Fu Yong menggebah orang-orang itu seperti
gembala yang menggebah kambing-kambing pulang ke kandang. Dalam waktu yang
singkat, pekarangan itu langsung bersih dan hanya tersisa mereka berdua. Perlahan-lahan
dia membalikkan tubuhnya sembari menyimpan kembali bendera merah tersebut. Matanya
beralih menatap Tan Ki. Setelah memperhatikan beberapa saat, dia tetap tidak mengucapkan sepatah katapun.
Wajahnya yang cantik masih tersirat kepedihan, membuat orang yang memandangnya
menaruh rasa iba kepadanya. Dalam waktu yang kurang lebih sepena-nakan nasi itu, Tan Ki sudah mengatur hawa
murninya kembali. Tenaga dalamnya pun sudah pulih walaupun lukanya masih belum
sembuh. Tiba-tiba dia melonjak bangun dengan bibir tersenyum.
"Cici, kembali kau menolongku. Sekarang aku tidak akan membicarakan masalah balas
budi segala, tetapi kali ini aku juga tidak akan membiarkan kau pergi lagi."
Liang Fu Yong mendengar Tan Ki mengungkit masalah tadi, wajahnya jadi merah
padam seketika. Bibirnya mengembangkan tertawa yang getir.
"Aku memang dilahirkan dengan nasib yang buruk, tidak pantas merasakan
kebahagiaan, mengapa kau mendesak aku sedemikian?"
Wajah Tan Ki langsung berubah. "Asal aku masih mempunyai sedikit nafas, tetap aku tidak membiarkan kau berdiam di
tempat seperti ini dan menjadi permainan tua bangka itu. Kecuali kalau dirimu sendiri
senang melakukannya!" katanya kesal.
Tanpa menunggu jawaban dari Liang Fu Yong, tubuhnya tiba-tiba bergerak, jurus Bulan
Purnama Bintang Kejora kembali dikerahkan, tahu-tahu pergelangan tangan perempuan
itu sudah tercekal olehnya dan langsung diseret meninggalkan pekarangan tersebut.
Hati Liang Fu Yong jadi panik. "Mana boleh begini?" Meskipun mulutnya menolak, tetapi karena tangannya ditarik oleh Tan Ki, mau tidak
mau langkah kakinya jadi terseret mengikuti gerakan Tan Ki yang menghambur secepat
kilat. Para manusia berpakaian hitam yang berada di luar pekarangan seperti menyandang
beban bathin yang berat, mata mereka melihat kedua orang itu meninggalkan tempat
tersebut, tetapi tidak ada satupun yang mencegah. Wajah mereka masih kaku seperti
sebelumnya dan berdiri tegak tanpa bergerak sedikitpun.
Di bawah cahaya rembulan yang remang-remang, tampak dua sosok bayangan yang
berlari dengan kecepatan tinggi, gerakan mereka seakan tidak menginjak tanah. Setelah
melewati taman bunga, mereka sudah keluar dari
Pek Hun Ceng (Komplek Awan Putih, nama tempat tinggal Oey Kang). Begitu mata memandang,
seluruh permukaan bumi seperti samar-samar, sulit menentukan mana Barat
dan mana sebelah Timur. Tiba-tiba Tan Ki menghentikan langkah kakinya dan berulang
kali mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.
Rupanya karena keadaannya masih letih dan hawa murninya banyak berkurang dan
sekarang malah memaksakan diri untuk berlari, lukanya menjadi kambuh kembali.
Keadaannya saat ini hampir seperti lampu yang kehabisan minyak. Baru saja langkah
kakinya berhenti, dia segera menyandarkan kepalanya pada bahu Liang Fu Yong, dia tidak
mempunyai tenaga lagi untuk bergerak. Tapi tangan-nya yang mencekal pergelangan
tangan perempuan itu semakin erat, seakan takut Liang Fu Yong akan kabur
meninggalkan dirinya. BAGIAN XIV Begitu kulit tubuh mereka saling menyentuh, Liang Fu Yong baru merasakan suhu
badan Tan Ki panas membara. Tangannya seperti menyentuh api yang berkobar-kobar.
Hatinya terkesiap, dia segera menundukkan kepalanya untuk melihat. Tampak bola mata
Tan Ki yang menerawang telah kehilangan sinarnya yang cemerlang. Wajahnya pucat pasi,
seluruh tubuhnya penuh dengan bercak darah. Hatinya terasa pedih sekali. Dia
mengulurkan tangannya mengambil sapu tangan dari dalam saku, dengan hati-hati dia
menghapus noda darah yang membasahi wajahnya. Gerakannya begitu lembut dan sangat
terlatih. Pada saat itu juga, dari seorang perempuan jalang serta rendah, tiba-tiba dia berubah
menjadi wanita lemah lembut dan berhati mulia. Baik mimik wajah maupun gerak-geriknya
menunjukkan daya pikat seorang wanita yang lembut serta penuh perhatian.
Di bawah cahaya rembulan, angin malam berhembus semilir, di sini hanya terdapat dua
anak manusia yang saling berangkulan"
Tepat sepeminuman teh kemudian, Tan Ki baru mengeluarkan suara yang lemah dan
ter-sendat-sendat, tampaknya dia sedang menahan rasa sakit yang amat sangat.
"Tadinya aku berpikir untuk mengajak Cici meninggalkan tempat ini, kemudian mencari
tempat yang tenang untuk hidup sampai hari tua. Namun manusia memang hanya bisa
berharap, semuanya Thian yang menentukan, ternyata umurku demikian pendek?"
Hati Liang Fu Yong menjadi perih mendengarnya. Air matanya turun bagai curahan
hujan. Cepat-cepat dia mengulurkan tangannya dan mendekap mulut anak muda itu.
"Jangan mengucapkan kata-kata yang putus asa. Lebih baik hemat tenagamu agar
tubuhmu dapat bertahan. Setelah mendengar kata-katamu tadi, Cici pasti akan mati
meram." Tan Ki dapat mendengar suaranya yang pilu. Di dalamnya seakan terkandung
penderitaan yang tidak kepalang. Hampir saja dia tidak dapat menahan air matanya yang
akan mengalir. Cepat-cepat dia menarik nafas dalam-dalam dan mengulurkan tangannya
menghapus air mata Liang Fu Yong. Kemudian dia membelai rambut perempuan itu
dengan kasih sayang. Mulutnya bergerak-gerak, tampaknya seperti ingin mengatakan
sesuatu, tetapi sepatah katapun tidak sanggup ia cetus-kan keluar.
Menghadapi belaian Tan Ki yang demikian mesra, seluruh urat darah di dalam tubuh
Liang Fu Yong seakan berdesir aneh. Apalagi mereka berdiri berhadapan dengan wajah
saling menempel, jaraknya tidak sampai setengah inci, masing-masing dapat mendengar
denyut jantung yang lainnya. Perasaan nyaman serta indah yang mereka alami, bukan suatu hal yang dapat
diuraikan dengan kata-kata. Rasanya Liang Fu Yong ingin waktu yang beredar di seluruh
dunia ini berhenti pada saat itu juga. Dia berharap waktu berhenti berputar, tetapi begitu
teringat akan nama busuknya di masa lalu, harapannya yang menggebu-gebu langsung
surut seketika. Air matapun tidak tertahankan lagi.
Akhirnya Liang Fu Yong menarik nafas panjang.
"Tempat ini masih dalam lingkungan Pek Hun Ceng, meskipun kita sudah berhasil
melarikan diri, tapi keadaan belum aman. Mumpung tidak ada seorangpun, kita harus
berlari lebih jauh sedikit." katanya.
Tan Ki menggelengkan kepalanya perlahan.
"Aku tidak sanggup berjalan lagi," sahutnya lirih.
Liang Fu Yong merasa kata-katanya memang beralasan. Setelah merenung sejenak,
akhirnya dia mengambil keputusan. Tiba-tiba dia menggertakkan giginya erat-erat
kemudian dibopongnya tubuh Tan Ki. Dengan menghimpun hawa murni ia bergerak
secepat kilat dan melesat meninggalkan tempat tersebut.
Ketika Liang Fu Yong membungkukkan tubuhnya ingin menggendong Tan Ki, anak
muda tersebut tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia segera mengecup pipinya yang
harum dan manis itu. Bibirnya malah tersenyum simpul.
"Cici, usiamu hanya bertaut tiga tahun denganku. Meskipun kau lebih besar daripada
aku, hal ini bukan berarti bahwa kita tidak boleh membicarakan masalah perkawinan. Tadi
waktu masih di dalam kamar, mengapa kau sengaja menghindarkan diriku" Apakah kau
benar-benar tidak sudi menikah denganku?"
Liang Fu Yong meliriknya sekilas. Wajahnya menjadi merah padam.
"Ini" ini?" perempuan itu menjadi gugup sekali.
Setelah beberapa saat, dia tetap tidak sanggup memberikan jawaban. Padahal, hati perempuan
itu memang sudah jatuh cinta kepada Tan Ki, tetapi dia sendiri belum
menyadarinya. Dia hanya merasa, apabila dapat menemani Tan Ki seumur hidup, sudah
merupakan suatu kebahagiaan tersendiri dalam ba-thinnya. Sedangkan ucapan Tan Ki
barusan, datangnya terlalu mendadak, di tambah lagi dengan penyesalannya terhadap
masa lampaunya. Mendapat kasih sayang dari Tan Ki malah membuat dirinya merasa
serba salah. Untuk sesaat dia tidak berani menerima lamaran itu, sekian lama dia
termenung akhirnya mengembangkan senyuman yang pahit.
"Lebih baik kita tinggalkan dulu tempat ini. Masalah lainnya kita bicarakan kemudian."
katanya seakan mengelak dari pokok pembicaraan.
Tubuhnya melesat seperti terbang. Dia terus menghambur ke depan karena ingin
cepat-cepat meninggalkan tempat yang penuh bahaya itu. Sebentar saja dia sudah berlari
cukup jauh. Tiba-tiba mulutnya mengeluarkan suara mengaduh. Langkah kakinya pun
terhenti, tubuhnya agak meringkuk seperti menahan sa-kit.
Tan Ki terkejut sekali. "Ada apa?" tanyanya panik.
"Bagian bawah perutku?" wajahnya menjadi merah padam dan langsung bungkam.
Tan Ki menggulingkan tubuhnya ke atas tanah dan diapun melorot turun dari bopongan
Liang Fu Yong. Matanya segera mengalih, tampak Liang Fu Yong setengah meringkuk
seperti sedang menahan sakit. Kedua tangannya terus meremas bagian bawah perutnya
dan tidak bisa berdiri tegak. Sepasang alis Tan Ki terjungkit ke atas.
"Apakah perutmu terasa sakit?"
Liang Fu Yong menganggukkan kepalanya. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun.


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hanya wajahnya tampak muram. Di bawah cahaya rembulan yang remang-remang,
tampangnya sungguh mengibakan. Tan Ki tidak tahu bahwa Liang Fu Yong diperkosa habis-habisan oleh Oey Kang. Lakilaki
itu meminum semacam obat perangsang yang membuat gairahnya menggebu-gebu
dan seperti tidak terpuaskan. Pertama-tama dia hanya merasa letih dan lemas. Tetapi
karena barusan dia memaksa diri membopong Tan Ki sambil berlari, tiba-tiba dia merasa
bagian bawah perutnya perih sekali bagai disayat pisau.
Itulah sebabnya dia mengaduh kesakitan. Sedangkan Tan Ki hanya mengira perempuan
itu sakit perut. Dengan gugup dia menggosok-gosokkan telapak tangannya.
"Pada saat seperti ini tiba-tiba ribut sakit perut. Aku malah tidak bisa memberi
pertolongan apa-apa. Bagaimana baiknya sekarang?" katanya gugup.
Dia segera mengedarkan matanya memandang daerah sekitar. Kemudian jari
tangannya menunjuk ke arah hutan. "Kita sembunyi saja di sana untuk sementara. Meskipun Oey Kang mempunyai
kemampuan menembus langit, dalam waktu yang singkat belum tentu dapat menemukan
kita." Liang Fu Yong menggelengkan kepalanya.
"Tidak bisa. Hutan ini tampaknya biasa-biasa saja. Tetapi sebetulnya telah dirancang
sedemikian rupa dengan unsur Pat Kwa oleh Oey Kang. Orang yang masuk ke dalamnya
laksana terombang-ambing di tengah lautan, memandang ke manapun sama saja. Yang
terlihat hanya pepohonan yang rimbun. Untuk selamanya tidak bisa menemukan jalan
keluar." Sembari berkata, perlahan-lahan dia menegakkan badannya. Bibirnya tersenyum.
"Sekarang tidak terasa sakit lagi. Tetapi, kita tidak bisa berjalan cepat-cepat."
Tan Ki menjadi bingung. "Bukankah kau mengatakan bahwa semakin cepat kita tinggalkan tempat ini semakin
baik, mengapa tidak berlari saja" Masa kita mau merayap seperti seekor siput serta
menunggu sampai si tua bangka berhasil menyusul kita?"
Wajah Liang Fu Yong semakin merah. "Jangan tanya macam-macam. Urusan perempuan biar aku katakan, kau juga belum
tentu mengerti. Hayo jalan!" Kedua orang itu saling membimbing mengambil jalan memutari balik hutan. Tiba-tiba,
dari lembah sebelah Timur, terdengar suara suitan yang panjang dan perlahan-lahan suara
itu semakin jelas seakan sedang menuju ke arah mereka.
Kedua orang itu saling lirik sekilas. Wajah mereka tampak sama-sama terkejut. Entah
tokoh kelas tinggi dari mana yang tiba-tiba berkunjung ke Pek Hun Ceng. Liang Fu Yong
menarik tangan Tan Ki. Dia bermaksud mengajaknya menyembunyikan diri di balik semaksemak
yang rimbun, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang dingin terpancar dari lebatnya
dedaunan yang ada di sebelah kiri. "Berhenti!" suara bentakan pun menyusul tiba.
Suara bentakan yang tidak diduga-duga itu membuat orang tersebut menghentikan
langkah kakinya secara otomatis. Tan Ki segera mengedarkan pandangannya, tidak
terlihat bayangan seorangpun, yang ada hanya dedaunan yang melambai-lambai. Tetapi
dari nada suaranya, Tan Ki tahu bahwa orang itu bukan si iblis Oey Kang.
Dari dalam hutan berkumandang lagi suara orang itu yang datar dan dingin.
"Sebelum masuk ke wilayah ini, apakah kalian tidak membaca papan peringatan yang
tertancap di dekat kaki kalian itu?"
Kedua orang itu langsung menolehkan kepalanya mencari-cari. Ternyata dalam jarak
kurang lebih sepuluh langkah dari kaki mereka, terdapat sebuah papan peringatan yang
bertuliskan: - Sebelum masuk ke wilayah ini, urus dulu masalah penguburan -
Begitu mata Liang Fu Yong memandang jelas, dia merasa tulisan ini membawa
keangkeran yang menggidikkan hati. Tanpa terasa tubuhnya gemetar dan wajahnya
berubah hebat. Sedangkan Tan Ki hanya tertawa dingin, diam-diam dia berpikir dalam
hati: "Sungguh kata-kata yang congkak. Kalau keadaanku tidak sedang terluka parah, aku
justru ingin masuk dan melihat apa gerangan yang ada di dalamnya".
Sementara itu, orang yang bersembunyi dalam kegelapan seakan mempunyai suatu
ganjalan dalam hatinya. Terdengar dia menarik nafas panjang.
"Di sini ada sebungkus obat bubuk, berikan pada sahabat itu. Walaupun tidak dapat
sembuh dalam sekejap mata, tetapi mempunyai khasiat membantu memulihkan tenaga
dalam. Apabila Kouwnio sudah membawanya keluar dari tempat ini, jangan sekali-kali
kembali lagi ke sini. Ingat baik-baik! Ingat baik-baik!" katanya berulang kali.
Baru kata-katanya selesai, tiba-tiba terdengar suara desiran di tengah udara, seperti
suatu benda yang melayang ke arah mereka. Menggunakan cara menyambut senjata
rahasia, Liang Fu Yong mengangkat tangannya menangkap benda tersebut. Begitu sampai
di tangannya, dia segera melihat bahwa benda itu ternyata merupakan bungkusan obat.
Belum juga dibuka, baunya sudah menusuk hidung. Bau itu harum sekali. Orang yang
menghirupnya merasa nyaman seketika.
Tiba-tiba terdengar Tan Ki menarik nafas panjang sambil memuji.
"Ilmu ginkang orang ini hebat sekali. Tampaknya tidak berada di bawahku."
"Apakah kau berhasil melihat orangnya?" tanya Liang Fu Yong.
"Lihat jelas sih tidak. Tetapi aku mendengar kibaran pakaiannya begitu lembut dan
seperti ada dan tiada. Dari gerakan ini saja, dapat dibayangkan bahwa ilmu silat orang ini
sama sekali tidak lemah." dia berhenti sejenak, kemudian menarik nafas lagi. "Tetapi,
mengapa dia bermaksud menolong aku?" tanyanya tidak mengerti.
Liang Fu Yong tersenyum. "Orang sengaja mengantarkan obat, bagaimanapun bermaksud baik. Kau tidak perlu
berpikir yang bukan-bukan, cepat minum obat ini."
Tan Ki seperti masih ingin mengucapkan sesuatu. Tetapi Liang Fu Yong sudah
membuka bungkusan obat itu dan menjejalkannya ke dalam mulut anak muda tersebut.
Tiba-tiba sepasang alis Tan Ki mengerut ke atas.
"Obat ini pahit sekali. Ada air tidak, aku tidak bisa menelannya, obat ini masih tercekat
dalam tenggorokan." Wajah Liang Fu Yong menjadi muram. "Tengah malam buta seperti ini, di mana aku harus mencari air."
Tan Ki sengaja memperlihatkan tampangnya yang sedih.
"Kalaupun ada, Cici juga belum tentu bersedia memberikannya, buat apa banyak
bicara?" dia mengulurkan tangannya dan mengelus-elus tenggorokan, seakan hendak
mengurut obat itu agar tertelan ke dalam perut, tetapi tetap saja tidak ada hasilnya.
Liang Fu Yong menjadi panik. "Kalau memang ada air, masa Cici tidak mau memberikan kepadamu. Masa Cici tega
melihat obat itu tercekat di tenggorokanmu dan tidak bisa tertelan" Cepat katakan, di
mana air itu?" Tan Ki tersenyum simpul. "Tempat di mana ada air, ya di mulutmu itu."
Pertama-tama dia tertegun mendengar ucapan Tan Ki, kemudian dia seperti tersentak.
Wajahnya tertunduk tersipu-sipu. Kakinya goyah sehingga mundur dua langkah. Rasanya
ada segulungan perasaan yang aneh berkecamuk dalam hatinya. Tahu-tahu air mata
sudah membasahi kelopak matanya. "Rupanya kata-katamu yang manis hanya karena masa laluku yang suram. Kau
menganggap aku perempuan rendah dan hanya ingin mempermainkan cinta kasihku."
Selesai berkata, tubuhnya berkelebat, sekejap saja dia sudah mencapai jarak tujuh
delapan mistar. Sekali lagi kakinya menutul, orangnya sudah mencapai dua belas depaan, sejenak
kemudian menghilang dalam kegelapan.
Tan Ki sama sekali tidak menduga akibatnya akan seperti ini. Hatinya terkejut sekaligus
panik. Dia tidak mengira ucapannya yang merupakan gurauan tadi membuat perasaan
perempuan itu tersinggung dan meninggalkannya. Hatinya menjadi sedih seketika. Dia
berteriak sekeras-kerasnya" "Cici, jangan lari. Aku bukan"!"
Tiba-tiba dia merasakan serangkum hawa dingin menyerang dirinya. Bahkan sebentar
saja sudah menjalar sampai keempat anggota tubuhnya. Dia segera sadar bahwa reaksi
obatnya sudah bekerja. Cepat-cepat dia memutuskan ucapannya dan diam-diam duduk
bersila serta bersemedi. Dia menghimpun hawa murninya yang kemudian dialirkan ke
tujuh puluh dua urat darah dalam tubuhnya. Dia sudah hapal luar kepala isi kitab yang
tertuliskan ilmu pernafasan dan Lwe Kang, Lewat penjelasan Liang Fu Yong, meskipun
tidak bisa maju lebih jauh lagi, sehingga mencapai taraf kesempurnaan, namun terhadap
ilmu pernafasan yang biasa-biasa saja, dia sudah dapat memanfaatkannya.
Begitu menenangkan diri bersemedi, pikirannya langsung terasa kosong. Dipusatkannya
reaksi obat dengan bagian yang terluka agar kerjanya lebih cepat. Dia merasa di dalam
tubuhnya mengalir hawa murni yang lancar dan menimbulkan perasaan nyaman.
Dalam waktu yang singkat, kesehatannya sudah lebih pulih. Tampangnya tidak begitu
kusut seperti orang yang baru saja bekerja keras. Rasa sakitnya juga jauh berkurang.
Perlahan-lahan dia membuka matanya memandang, rembulan bersinar dengan indah.
Cahayanya berwarna keperakan. Sungguh suatu, alam yang romantis. Tiba-tiba
perasaannya jadi tersentuh. Tanpa sadar dia menarik nafas panjang.
"Seandainya dapat duduk bersama kekasih hati di bawah pancaran rembulan, tentunya
segala keruwetan hidup ini dapat terlupakan sejenak. Bersama-sama menikmati indahnya
rembulan yang memancarkan cahaya berkilauan, meskipun waktu segera berlalu, dan
masa remaja sebentar sudah lenyap. Tapi rasanya sudah menikmati kehidupan seperti
para dewata." katanya kepada diri sendiri.
Setelah pikirannya melayang-layang sejenak, dia merasa hatinya seperti terlena. Tibatiba
dari kejauhan berkumandang suara beradunya senjata tajam. Di susul dengan suara
bentakan kemarahan. Dia menjadi tertegun untuk sesaat.
"Tempat ini tidak jauh dari Pek Hun Ceng, siapa yang nyalinya begitu besar, beraniberanian
memasuki sarang harimau?" tanyanya dalam hati.
Berpikir sampai di sini, hatinya semakin bingung. Tangannya mengetuk-ngetuk batok
kepalanya sendiri dan merenung beberapa saat. Kemudian seperti teringat akan suatu
urusan. Liang Fu Yong baru meninggalkan tempat ini, mungkinkah dia bertemu dengan
musuh dan terjadi pertarungan diantara mereka"
Untuk sesaat hatinya menjadi khawatir sekali. Semakin dibayangkan rasanya semakin
tepat. Perasaannya menjadi tercekat. Sepasang alisnya terjungkit ke atas. Dia menoleh ke
arah sumber suara dan menghentakkan kakinya untuk menghambur ke sana.
Kurang lebih sepenanakan nasi, secara berturut-turut dia sudah melalui dua celah
pegu-nungan dan sampai di sebuah lembah yang kosong. Di sana dia menghentikan
langkah kakinya. Hatinya sedang khawatir, cara larinya tadi seperti orang kesetanan. Orang biasa pasti
tidak dapat melihat kalau dia sedang berlari. Kakinya seperti tidak menginjak tanah, seolah
terbang saja. Begitu matanya memandang, tenyata dugaannya tidak salah. Tiga orang berdandanan
tosu, sedang menggerakkan pedang menyerang Liang Fu Yong. Tampak perempuan itu
tidak menggunakan senjata apapun. Dengan sepasang tangan kosong, dia menerobos ke
kanan dan melesat ke kiri. Dia baru saja menghindarkan diri dari tiga serangan pedang
yang gencar. Tampaknya perempuan itu sudah kewalahan. Dia tidak mempunyai
kesempatan untuk membalas menyerang setengah juruspun. Keadaannya sungguh
berbahaya. Hawa amarah dalam dada Tan Ki jadi meluap seketika.
"Menghina seorang perempuan, kalian masih punya muka?" bentaknya keras.
Tubuhnya langsung melayang, jaraknya masih kurang lebih dua depaan, dia melesat ke
tengah udara. Ketika sepasang kakinya mendarat di atas tanah, dirinya tepat berada di
bagian belakang punggung tosu sebelah kiri. Dengan membentak keras, dia langsung
menghantamkan dua buah pukulan. Begitu kedua pukulannya dilancarkan, segera terasa ada serangkum tenaga yang mengandung
hawa panas menerpa datang. Tampaknya ketiga tosu tadi terkejut sekali
melihat gerakannya yang begitu cepat, serta tenaga dalamnya yang mengandung
kekuatan dahsyat. Serentak mereka terdesak ke samping seiring dengan suara deruan
angin pukulan Tan Ki. Pertarungan yang menegangkan tiba-tiba ditambah oleh serangkum tenaga kuat yang
membawa hawa panas. Suasana semakin mencekam. Kejadian di luar dugaan ini
menyebabkan dada mereka terasa sesak.
Sinar mata Tan Ki perlahan-lahan menyapu wajah ketiga tosu tersebut. Terdengar
suara tawa dingin dari bibirnya. Kemudian dia menoleh ke arah Liang Fu Yong dengan
pandangan khawatir. "Apakah kau terluka?" tanyanya penuh perhatian.
Liang Fu Yong tersenyum simpul. "Tidak?"
Tan Ki melihat beberapa bagian bajunya telah terkoyak di sana-sini, tetapi tidak ada
bekas darah sedikitpun. Tampaknya perempuan itu memang belum mendapatkan luka
apa-apa. Hanya dari bagian bajunya yang koyak, tersembul kulitnya yang putih mulus.
Hatinya terasa pedih dan kasihan. Cepat-cepat dia melepaskan jubah panjangnya dan
disodorkan kepada perempuan itu. "Cici, tadi aku hanya bergurau. Siapa sangka kalau kau malah jadi tersinggung. Cici,
maafkanlah aku kali ini. Lain kali aku pasti tidak akan mengulanginya kembali." ucapannya
ini terdengar lucu sekali. Seperti anak usia tiga tahun yang memohon pengampunan dari
ibunya. Hati Liang Fu Yong menjadi pedih. Air matanya langsung mengalir turun.
"Aku tidak marah, hanya merasa agak sedih saja."
Dengan hati-hati Tan Ki menghapus air matanya. Baru saja dia ingin mengucapkan
beberapa patah kata untuk menghibur hatinya, tiba-tiba dia melihat tosu yang ada di
sebelah kirinya menggenggam pedang dengan kedua tangannya, serta menegakkan
tubuhnya dan berjalan ke depan. "Rupanya perempuan jalang ini sudah mempunyai kekasih hati. Maaf kalau Pinto belum
menyatakan selamat." selesai berkata, dia benar-benar menjura dalam-dalam kepada Tan
Ki. Mendengar ucapannya, pertama-tama Tan Ki tertegun. Sepasang alisnya bertaut erat.
Dia hampir mengira pendengarannya kurang beres. Oleh karena itu dia bertanya sekali
lagi. "Apa yang kau katakan?" Tosu tersebut mendonggakkan wajahnya dengan angkuh.
"Siau Yau Sian-li jalangnya bukan main. Orang-orang dunia Kangouw, siapa yang tidak
tahu, siapa yang belum dengar. Eh" entah dari mana tahu-tahu bisa menggaet seorang
pemuda gigolo?" Sepasang alis Tan Ki langsung mengerut mendengar sindirannya yang tajam ini. Dia
merasa ada serangkum hawa panas berkobar dalam tubuhnya. Untuk sesaat wajahnya
jadi berubah hebat. Dia tidak menunjukkan kemarahan, tetapi malah tertawa.
"Dia adalah perempuan jalang, aku adalah gigolo. Sungguh paduan kata-kata yang
tepat sekali, tepat sekali!" selesai berkata, dia mendongakkan wajahnya dan tertawa
terbahak-bahak tanpa henti-hentinya.
Suara tawanya yang panjang dan mengandung kemarahan besar ini, tinggi dan nyaring
sekali. Di dalamnya terkandung kepedihan yang tidak terkira, namun kegagahannya tetap
terlihat jelas. Getarannya sampai membuat dedaunan di dalam hutan jatuh berguguran.
Seluruh lembah kosong itupun bergema dengan suara tawanya.
Mendengar suara tawanya yang hebat itu, ketiga orang tosu jadi terkesiap dan berubah
hebat wajahnya. Mereka segera mempersiapkan diri, berjaga-jaga apabila diserang oleh
lawannya secara mendadak. Tapi hati mereka mempunyai pikiran yang sama: "Tidak
disangka usianya masih begitu muda, ternyata mempunyai
tenaga dalam yang demikian hebat. Apabila kita tiga bersaudara tidak memiliki
ilmu yang lumayan, mungkin suara tawanya saja dapat menggetarkan isi perut kami
sehingga terluka parah." Baru saja pikiran mereka terhenti, suara tawa Tan Ki yang panjang pun sirap pada saat
yang hampir bersamaan. Wajah anak muda itu berubah kelam sekali.
"Biar kalian rasakan dulu sampai di mana tingginya ilmu silat gigolo ini!" katanya
dengan nada ketus. Kakinya langsung maju, tubuhnya melesat, tepat pada saat kata-katanya yang terakhir
terucap, terdengar suara deruan angin, sebuah pukulanpun dilancarkan ke depan.
Serangan ini dilancarkan dalam kegusaran, hampir seluruh tenaga dalamnya
dikerahkan. Sungguh pukulan yang keji dan datangnya bagai badai topan yang melanda.
Tosu itu sudah tahu kalau Tan Ki bukan tokoh sembarangan. Tentu saja dia tidak
berani memandang ringan. Pedang panjang dikibaskan. Timbul rangkaian cahaya yang
memenuhi angkasa. Kemudian berubah menjadi serangan yang gencar.
Tan Ki tertawa dingin. "Anak murid Go Bi Pai memang lain dari yang lain. Sambutlah seranganku sekali lagi!"
pergelangan tangannya memutar perlahan-lahan. Lima jarinya membentuk cakar, secepat
kilat dia mencengkeram ke arah lawannya.
Perubahan jurus ini sedemikian cepat. Belum lagi jurusnya dilancarkan dengan
sempurna, gulungan anginnya sudah menerpa badan. Tentu saja tosu itu terkejut sekali.
Pedang panjangnya segera digerakkan untuk menyambut datangnya cengkeraman lawan.
Terdengar suara bentakan dari mulut Tan
Ki. "Enyah!" Diiringi suara bentakan, pedang panjang tosu itupun sudah tiba di hadapannya untuk
menyambut serangan Tan Ki. Tiba-tiba tubuh anak muda itu melesat ke depan.
Kecepatannya bagai pancuran air terjun. Tahu-tahu dia sudah sampai di hadapan tosu
tersebut, tangannya yang terulur, dengan perlahan-lahan menepuk di dada lawan.
Tampaknya seperti tidak mengandung tenaga sama sekali. Namun kecepatannya bukan
alang kepalang, tahu-tahu dada tosu itu telah terhantam telak.
Terdengar suara jeritan ngeri dari mulut tosu tersebut. Pedangnya merenggang dan
terjatuh di atas tanah. Tubuhnya yang tinggi besar pun segera melejit di udara. Tosu
muda yang berdiri di sebelah kanan, melihat suheng-nya terjungkal di tangan lawan tidak
sampai tiga jurus, dia merasa terkejut sekali karena kejadian itu benar-benar di luar
dugaannya. Tanpa dapat ditahan lagi mulutnya mengeluarkan seruan terkejut.
Aduh!"

Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu matanya memandang, Ji Suhengnya sudah mengulurkan lengan dan tubuhnya
pun melesat ke tengah udara. Dia menyambut tubuh Toa Suhengnya yang sedang
melayang turun. Tubuh tosu itu tidak goyah dan turun dengan mulus meskipun tangannya
membopong seseorang. Gerakannya sungguh indah. Tanpa memperdulikan hal yang
lainnya lagi, dia segera menundukkan kepalanya melihat keadaan Toa Suheng tersebut.
Tampak darah mengalir dari ke tujuh lubang panca indera Toa Suhengnya itu. Ternyata
Toa Suhengnya sudah melayang jiwanya.
Melihat perkembangan yang terjadi, tosu muda itu merasa hatinya pedih sekali. Air
matanya mengalir dengan deras. Mulutnya mengeluarkan suara raungan yang histeris dan
dengan kalap dia menerjang ke arah Tan Ki.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan dari tosu yang satunya. "Berhenti!"
Mendengar suara bentakan tersebut, tosu muda itupun menghentikan langkah kakinya.
Wajahnya basah oleh air mata, cepat-cepat dia menoleh kepada Suhengnya yang satu.
"Apakah Suheng memanggil aku?"
Dengan menahan rasa pilu di hatinya tosu
tersebut berkata, "Kalau kau menerjangnya, sama saja mengorbankan nyawa dengan
sia- sia." matanya segera beralih kepada Tan Ki. Dia memperhatikan anak muda itu dari
atas kepala sampai ke bawah kaki. "Ilmu silat Sicu ternyata tinggi sekali."
Tan Ki tertawa dingin. "Totiang hanya memuji." sahutnya datar
Sepasang mata tosu itu mendelik lebar-lebar. Dari dalamnya terpancar sinar kepedihan
dan kebencian yang tidak terkirakan.
"Mohon tanya siapa julukan Sicu yang mulia. Apabila Pinto bertemu lagi denganmu
kelak, tentu lebih mudah meminta pelajaran."
"Kau ingin membalas dendam" Ini, akulah yang disebut Cian bin mo-ong!"
Mendengar keterangannya, kedua tosu langsung terkesiap. Karena tiba-tiba mendengar
empat kata Cian bin mo-ong mereka terkejut setengah mati. Tanpa dapat ditahan lagi,
keduanya memperhatikan Tan Ki sekali lagi.
Liang Fu Yong yang sejak tadi berdiri di samping juga tidak kurang terkejutnya. Benarbenar
keterangan yang di luar dugaannya dan rasa pedih diantara kegembiraan. Hal ini
malah membuat perempuan itu jadi termangu-mangu dan menatap Tan Ki dengan
terpesona. Untuk sesaat, suasana di tempat itu jadi hening. Setiap orang mempunyai renungan
masing-masing. Kurang lebih sepeminum teh kemudian, tosu yang tua itu baru membuka
suara dengan perlahan-lahan" "Gunung tetap menghijau, lain kali kita akan berjumpa lagi!" tanpa menunggu sahutan
dari Tan Ki, dia langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi. Tampaknya si tosu
muda merasa, kurang senang. "Masa kita lepaskan orang ini begitu saja?" katanya.
Dengan menahan kepedihan hatinya, tosu yang lebih tua membentak, "Jangan banyak
bicara! Suheng sudah mempunyai rencana tersendiri!" tiba-tiba dia mempercepat
langkahnya dan dia melesat ke arah sebuah jalan tapak di samping sungai.
Tosu muda itu tampaknya masih tidak sanggup menenangkan hawa amarah dalam
dadanya. Dia membalikkan tubuhnya dan menuding hidungnya sendiri.
"Ingat baik-baik, aku bergelar Ceng Hong Tojin, murid Bu Tong Pai. Malam ini kami.
melepaskan dirimu. Pada suatu hari, kalau sampai bertemu lagi, meskipun aku tidak dapat
menandingimu, aku juga akan berusaha membokongmu dari belakang!"
Selesai berkata, tubuhnya langsung menjungkir balik di udara dan melesat sejauh tujuh
langkah. Kemudian dia menghimpun tenaga dalamnya dan melesat ke depan mengejar Ji
Suhengnya. Dalam waktu yang singkat dia sudah menghilang dari pandangan.
Liang Fu Yong memperhatikan sampai keduanya tidak terlihat lagi. Barulah dia
menghela nafas lega. Tampaknya pikirannya yang tegang ikut terhembus keluar. Matanya
segera dialihkan, dia melihat Tan Ki sedang mendongakkan kepalanya menatap langit
dengan termangu-mangu. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
Tiba-tiba sepasang matanya dipejamkan. Dia mengangkat tangannya dan mengetuk
batok kepalanya perlahan-lahan. Dia termenung beberapa saat. Tiba-tiba dia mengulurkan
kepalan tangannya dan meninju beberapa kali. Kemudian kakinya menendang. Setelah itu
tampak dia menggelengkan kepalanya beberapa kali dan menarik nafas panjang berulang
kali. Gerak-gerik yang aneh, membuat Liang Fu Yong yang melihatnya jadi tertegun. Tetapi
pikiran perempuan ini memang amat peka. Melihat sebentar saja, dia sudah dapat
menduga bahwa saat ini Tan Ki sedang merenungkan semacam ilmu silat tingkat tinggi.
Untuk sesaat dia tidak berani menegurnya dan terpaksa berdiam diri serta berdiri tegak di
samping. Kembali Tan Ki merenung dengan pikiran terpusat. Tiba-tiba telapak tangannya
diangkat ke atas dan menepuk kepalanya satu kali. Tahu-tahu air matanya telah mengalir
dengan deras. "Rupanya aku orang yang begini bodoh, masih memikirkan soal balas dendam segala!"
keluhnya kesal. "Kau sama sekali tidak bodoh." sahut Liang Fu Yong.
"Masih bilang tidak bodoh. Kalau saja aku bisa menggabungkan Tian Si Sam Sut dan Te
Sa Jit Sut, sekarang juga aku bisa mencari Oey Kang untuk membalaskan sakit hatimu.
Sayangnya aku terlalu bodoh, malah melupakan kesempatan yang langka ini."
Liang Fu Yong tertawa lebar. "Renungkan saja perlahan-lahan, toh sama saja. Saat ini kau dilanda keputusasaan dan
sakit hati, mana bisa mengingatnya. Lebih baik cari suatu tempat yang tenang dan
renungkan kembali. Siapa tahu, kalau perasaan tenang, otakmu pasti akan lebih
cemerlang." dia mengulurkan tangannya dan menarik tangan Tan Ki serta mengajaknya ke
padang rumput di tengah pegunungan.
Untuk sesaat Tan Ki juga tidak mempunyai pertimbangan apa-apa. Begitu ditarik oleh
Liang Fu Yong, otomatis langkah kakinya pun mengikuti. Liang Fu Yong mengajaknya
berjalan beberapa langkah. Mereka sudah sampai di padang rumput yang ditumbuhi
ilalang tinggi-tinggi. Dia mengedarkan pandangannya ke kiri dan kanan. Tampaknya
tempat ini cukup aman dan tersembunyi. Dia mengajak Tan Ki rebah di sana.
Padang rumput ini ditumbuhi ilalang yang tinggi serta lebat. Luasnya kurang lebih
sepuluh depaan. Apabila bersembunyi di dalamnya, orang yang ada di luar tentu tidak
mudah menemukannya. Hanya saja malam agak dingin dan kabut tebal. Sehingga tanah
di atasnya agak basah karena endapan embun.
Baru saja Liang Fu Yong merebahkan tubuhnya, dia merasa air embun membasahi
punggungnya. Rasanya dingin sekali, tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya agak gemetar.
"Dingin betul!" katanya. Tubuhnya perlahan-lahan meringkuk, hatinya ingin sekali merapat pada tubuh Tan Ki
agar terasa hangat. Tan Ki tersenyum lembut. Dia juga tidak mengatakan apa-apa.
Tubuhnya bergeser sedikit, lalu ditariknya Liang Fu Yong. Sepasang lengannya bagai
ranting pohon yang kokoh dan memeluknya erat-erat. Perlahan-lahan dia memejamkan
sepasang matanya kemudian menghimpun hawa murni sambil mengatur pernafasan.
Cahaya rembulan terasa sejuk. Malam dingin belum berlalu. Di dalam rumpun ilalang
yang lebat ini, terbaring sepasang pemuda-pemudi. Kepala mereka saling bersandar
dengan mata terpejam. Pada zaman yang kolot dan peradaban manusia belum seterbuka
sekarang, apa yang mereka lakukan merupakan hal yang jarang terlihat dan dapat
menimbulkan kesan yang bukan-bukan dalam tafsiran orang lain.
Cukup lama telah berlalu, Tan Ki membuka matanya menatap cahaya rembulan dan
berkata dengan nada terharu: "Dalam sepuluh tahun ini, dari seorang bocah cilik aku tumbuh menjadi pemuda
dewasa. Sejak pertama berlatih ilmu silat sampai berkecimpung di dunia Kangouw, dari
awal sampai akhir, rasanya aku belum pernah merasakan apa yang disebut santai. Kau
lihat, walau bagaimana redupnya sinar rembulan, cahayanya masih dapat menerangi
tempat sekitar sepuluh depaan. Walaupun tempat ini sunyi senyap, tetapi masih ada
engkau dan aku yang terbaring di sini. Bukankah hal ini merupakan hal yang
membangkitkan semangat" Selama sepuluh tahun ini, untuk pertama kalinya aku
merasakan malam yang tenang dan syahdu?"
Setelah berkata panjang lebar, dia tetap tidak mendengar sahutan dari Liang Fu Yong.
Dia merasa heran, wajahnya segera dipalingkan. Begitu memandang, hatinya jadi
terperanjat. Entah sejak kapan, tahu-tahu ujung mata Liang Fu Yong telah mengalir dua
bulir air mata yang cahayanya berkilauan.
"Tidak hujan tidak angin, kok tiba-tiba menangis lagi?"
Liang Fu Yong tertawa sumbang. "Cepat-cepat dia mengangkat tangannya dan
menghapus air mata yang masih mengalir.
"Siapa yang menangis, justru karena terlalu bahagia?"
Tan Ki tak membiarkan dia meneruskan kata-katanya.
"Aku tahu kau mengingat terus ocehan Tojin tadi, jadi merasa sedih."
Mendengar Tan Ki langsung bisa menebak isi hatinya, wajah Liang Fu Yong jadi merah
padam. Air mata yang mulai mengering kembali mengalir lagi. Setelah beberapa saat dia
baru menyahut: "Aku yang dulu hanya tahu mengejar kesenangan. Ke mana-mana mencari laki-laki
untuk dipermainkan. Aku tidak pernah tahu hal yang lainnya kecuali melampiaskan hasrat.
Oleh karena itu, para sahabat di dunia Kangouw menjuluki aku Siau Yau Sian-li. Mereka
bahkan memaki aku sebagai perempuan jalang. Sejak mengenal dirimu, baru aku
menyesal atas kelakuanku di masa lalu. Aku berniat merubah kebiasaanku yang buruk dan
menjadi orang baik-baik. Tidak terduga muncul ketiga murid Bu Tong Pai tadi yang
langsung membuka mulut mencaci maki diriku. Mereka mengatakan bahwa di dunia ini
tidak ada lagi perempuan yang lebih rendah daripada diriku. Dengan menggabungkan diri,
mereka ingin menghukum mati diriku. Untung saja kau datang tepat pada waktunya
sehingga aku belum sempat terluka sedikit-pun. Akupun terhindar dari kematian."
"Kalau Cici masih merasa benci terhadap mereka. Lain kali aku akan naik ke gunung Bu
Tong untuk mengobrak-abrik perguruan mereka. Biar rasa sakit hatimu terlampiaskan,
bagaimana?" tanya Tan Ki. Liang Fu Yong tertawa sumbang. "Tidak perlu melakukan hal itu. Perguruan Bu Tong Pai terkenal sebagai golongan putih
yang paling membenci segala macam kejahatan. Bertemu dengan manusia busuk seperti
aku ini, tentu saja mereka tidak sudi melepaskan. Kalaupun tadi aku sempat terbunuh,
mereka juga tidak dapat disalahkan. Tetapi karena masalah ini, aku teringat sebuah
pepatah yang mengatakan, "Sekali maling, selamanya tetap maling! Meskipun aku sudah
berniat menjadi orang baik-baik, tetapi pandangan orang lain terhadapku tetap sebagai
Siau Yau Sian-li, si perempuan jalang. Siapa yang mau tahu kesusahan dalam hatiku
bahwa aku telah berubah?" kata-katanya diucapkan dengan ke-pedihan yang tidak terkira.
Dua butir air mata diiringi suara yang gemetar terus mengalir turun.
Seumur hidupnya, baru kali ini Tan Ki melanggar tata susila dengan rebah bersama
seorang perempuan di atas rerumputan. Bersama-sama menikmati cahaya rembulan. Dia
juga baru kali ini menghadapi perempuan yang menangis dengan tersedu-sedu. Akibatnya
dia jadi kelabakan, tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Setelah termangu-mangu beberapa saat, cepat-cepat dia mengulurkan tangannya
menghapus air mata Liang Fu Yong. Bibirnya tersenyum lembut.
"Untuk apa kau berpikir banyak-banyak" Sama saja mencari kesulitan sendiri. Urusan
orang lain kita tidak perlu turut campur, demikian pula urusan kita sendiri. Biar mereka
mencerca dirimu, asal kau tetap berada di jalan yang lurus, suatu hari nanti, mereka pasti
akan mengerti sendiri." "Bicara memang mudah. Tetapi biar bagaimana sulit rasanya mencuci bersih dosaku di
masa lampau." Liang Fu Yong menarik nafas dalam -dalam. Di wajahnya tersirat
penderitaan yang tidak terperikan. Mendengar nada suaranya, Tan Ki menyadari bahwa Liang Fu Yong hampir merasa
putus asa menyongsong masa depannya yang tidak menentu. Lambat laun dia semakin
tertegun. Tiba-tiba teringat olehnya bahwa kaum wanita maupun anak gadis, apabila
mengalami suatu hal yang merupakan pukulan bathin, sering mengambil jalan pendek,
umpamanya masuk biara untuk menjadi biarawati atau bunuh diri agar terlepas dari
segala kesulitan. Hatinya menjadi terkesiap. Tangannya memeluk tubuh Liang Fu Yong
erat-erat. Seakan merasa takut kalau perempuan itu akan melarikan diri dari sampingnya.
Dia memaksakan dirinya untuk tersenyum.
"Tunggu sampai kita sudah menikah, aku ingin lihat siapa yang berani mencaci dirimu.
Hm, hm" kalau sampai terdengar oleh telingaku, jangan salahkan apabila aku merobek
mulutnya!" Mendengar kata-kata Tan Ki, hati Liang Fu Yong diliputi perasaan bahagia yang tidak
ter-kirakan. Wajahnya yang muram jadi berseri-seri. Bibirnya pun tersenyum.
"Pernikahan adalah masalah seumur hidup. Bukan semacam permainan. Perkataanmu
seperti yakin sekali bahwa bagaimanapun kau harus menikah dengan Cici. Apakah kau
memang sudah mempertimbangkannya matang-matang atau karena perasaan iba yang
timbul sesaat?" Mendapat pertanyaan yang mendadak itu, Tan Ki jadi terpana.
"Betul, mengapa aku tidak pernah memikirkan masalah ini. Apakah aku memang
mencin-tainya atau hanya kasihan kepadanya?" tanyanya dalam hati.
Hatinya berpikir, otaknya bagai tersengat aliran listrik. Dia merasa kedua macam
pemikiran itu sama-sama memungkinkan. Tapi kalau dipertimbangkan kembali, keduaduanya
juga seperti benar namun juga salah. Untuk sesaat dia tidak tahu bagaimana
harus menjawab pertanyaan itu. Liang Fu Yong dapat melihat tampangnya yang serba salah. Tiba-tiba hatinya seperti
ter-tusuk puluhan jarum. Semacam kesedihan yang aneh menyelinap dalam hatinya.
Perasaannya seperti hancur lebur. Tetapi dia berusaha untuk tidak memperlihatkan
perasaan tersebut pada mimik wajahnya. Bibirnya malah tersenyum lembut.
"Urusan sepenting ini saja tidak kau pikirkan baik-baik. Jangan ceroboh asal comot
sehingga merusakkan kebahagiaanmu seumur hidup."
Setelah mempertimbangkan sesaat, tiba-tiba dia seperti telah mengambil keputusan
yang tepat. "Apapun yang kau katakan, aku tetap ingin hidup bersamamu sampai hari tua!" katanya
tegas. Mata Liang Fu Yong mengerling ke kiri dan kanan. Kemudian tampak dia tersenyum
lem-but. "Apabila kau ingin aku menerimanya, boleh saja. Tapi ada syaratnya." sahutnya
kemudian. "Apa syaratnya" Coba kau katakan, biar
aku pertimbangkan baik-baik." "Syaratku ini aneh sekali. Belum tentu kau dapat mengabulkannya." dia berhenti
sejenak. Tiba-tiba sepasang matanya terpejam. Dengan penuh rasa haru dia berkata.
"Ciumlah aku?" Mendengar ucapannya, mula-mula Tan Ki agak tertegun. Kemudian dia malah tertawa
lebar. "Aku kira urusan sebesar apa, rupanya begitu. Cici sengaja memutar arah pembicaraan
sehingga aku jadi bingung. Kalau itu keinginanmu, Siaute terpaksa menurut."
Tangan kirinya segera mengangkat dagu Liang Fu
Bukit Pemakan Manusia 1 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Bara Naga 7
^