Dewi Ular 6

Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


lah menyelamatkannya dari aib dan malapetaka dan kini Si Kedok Hitam bertanding melawan Kwan Lok. Ia merasa tidak enak sekali. Ia mencari-cari Si Kedok Hitam untuk membalas kekalahan ayahnya dan kini Si Kedok Hitam muncul sebagai penyelamatnya! Bahkan Si Kedok Hitam membelanya dan kini bertanding mati-matian melawan Kwan Lok. Pertandingan itu memang hebat sekali. Mereka saling desak dan ternyata Si Kedok Hitam itu mampu mengimbangi permainan sepasang pedang dari Ouw Kwan Lok dengan seimbang.
Merasa tidak enak kalau berdiam saja membiarkan Si Kedok Hitam mewakilinya, juga merasa malu untuk maju mengeroyok Kwan Lok, Lee Cin lalu berkata dengan suara nyaring, "Kedok Hitam, mundurlah dan akulah yang akan membunuh jahanam keparat ini!" Lee Cin meloncat ke depan dan menyerang Kwan Lok dengan kecepatan seperti kilat menyambar. Kwan Lok terkejut bukan main karena serangan itu benar-benar merupakan serangan maut. Dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan segera melarikan diri secepatnya. Baru melawan Si Kedok Hitam saja dia tidak mampu menang, apalagi kalau Lee Cin datang mengeroyoknya. Amat berbahaya kalau dia harus menghadapi dua lawan tangguh itu, maka dia mengambil jalan yang paling menguntungkan, yaitu melarikan diri.
Lee Cin mengejar, mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari cepat sambil berseru, "Jahanam Ouw Kwan Lok, hendak lari ke mana engkau?" Akan tetapi Kwan Lok sudah melompat jauh dan berlari menyusup di antara semak belukar. Lee Cin yang masih asing dengan hutan itu mengejar dengan hati-hati karena khawatir kalau-kalau ia akan terperangkap seperti tadi. Karena berhati-hati, maka larinya tersendat-sendat dan akhirnya ia kehilangan bayangan dan jejak Ouw Kwan Lok. Ia merasa menyesal sekali, dan sambil membanting-banting kakinya ia lalu kembali ke tempat tadi. Akan tetapi alangkah kecewanya karena Si Kedok Hitam sudah tidak berada di situ lagi. Ia merasa menyesal mengapa tadi mengejar Kwan Lok dan meninggalkan Si Kedok Hitam. Kalau orang itu masih ada, tentu ia dapat mengajaknya bercakap-cakap. Setelah Si Kedok Hitam menyelamatkannya dari bencana hebat diperkosa Kwan Lok, ia tidak mungkin lagi dapat memusuhinya. Si Kedok Hitam melukai ayahnya dalam sebuah pertandingan yang adil, bahkan hanya melukai tidak membunuh, dan kini Si Kedok Hitam telah menolongnya, telah menyelamatkan nyawanya, maka pertolongan itu sudah dapat menebus kesalahannya melukai ayahnya. Tak mungkin lagi ia membalas dendam itu. Si Kedok Hitam hanya berhutang melukai ayahnya, akan tetapi telah membayar dengan menyelamatkan nyawanya.
Ia merasa penasaran sekali. "Siapakah engkau?" pertanyaan ini kini menindih hatinya. Kalau ia tahu siapa Si Kedok Hitam, tentu ia akan dapat menemukannya dan mengucapkan terima kasihnya. Akan tetapi Si Kedok Hitam sudah pergi dan agaknya akan sukar sekali baginya untuk dapat menemukannya. Besar kemungkinannya keluarga Cia mengetahui siapa Si Kedok Hitam itu, bahkan dugaannya masih condong kepada Cia Tin Siong. Mengingat ini, ia lalu berlari kembali ke arah kota Hui-cu untuk menemui keluarga Cia!
Ketika tiba di pekarangan rumah keluarga Cia, Lee Cin disambut lagi oleh pelayan yang membersihkan halaman. "Ah, Nona Souw, engkau kembali ke sini?" kata pelayan itu dengan wajah gembira.
"Cepat laporkan kepada Cia-kongcu yang pertama atau yang ke dua bahwa aku datang untuk membicarakan urusan penting," kata Lee Cin yang ingin bertemu dengan Tin Siong.
"Baik, Nona. Silakan duduk menunggu sebentar karena saya melihat mereka semua sedang mengadakan pertemuan menyambut tamu."
Lee Cin bertanya-tanya dalam hatinya siapa gerangan tamu yang disambut oleh mereka sekeluarga itu, akan tetapi merasa tidak enak untuk bertanya-tanya, maka ia mengangguk lalu duduk di atas kursi dalam ruangan depan untuk menanti. Pelayan itu lalu berjalan masuk ke dalam gedung.
Yang keluar menyambutnya adalah Cia Tin Han! Agaknya begitu pelayan melaporkan bahwa di luar ada Lee Cin, Tin Han sudah mendahului semua orang dan cepat keluar. Wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dengan senyumannya yang khas sehingga mau tidak mau Lee Cin terbawa dalam kegembiraan. Akan tetapi, untuk urusan saat itu, Tin Han merupakan orang terakhir yang diharapkannya muncul. Ia akan minta disampaikan maafnya kepada Si Kedok Hitam, maka kalau dapat, ia mengharapkan Tin Siong sendiri yang muncul. Kalau tidak pemuda itu, ia dapat menitip pesan itu kepada Nenek Cia atau Cia Kun, atau setidaknya kedua orang paman pemuda itu. Akan tetapi bukan Tin Han!
"Cin-moi......!" Ah, usiamu akan panjang sekali karena selagi aku sedang terkenang kepadamu, mendadak engkau muncul! Akan tetapi tidak ada kegembiraan yang lebih dari pada ini, Cin moi!"
"Han-ko, aku mempunyai suatu urusan yang penting sekali untuk kubicarakan dengan ayahmu atau Nenek Cia," kata Lee Cin yang tidak mau menyebut nama Tin Siong karena hal itu tentu akan menjadi bahan bagi Tin Han untuk menggodanya!
"Ah, itu mudah sekali. Mereka sedang berkumpul di dalam, Cin-moi. Mari masuk saja, engkau dapat langsung menemui mereka, bahkan engkau akan kuperkenalkan kepada seorang badut yang lucu sekali di dalam. Marilah!" tanpa ragu-ragu lagi Tin Han yang sedang bergembira itu memegang tangan Lee Cin dan menariknya masuk dalam rumah besar itu. Kembali Lee Cin merasa heran kepada dirinya sendiri. Diperlakukan demikiam akrab oleh Tin Han, ia tidak menjadi marah dan membiarkan tangannya dipegang dan ditarik ke dalam! Kalau pemuda lain yang berani melakukan hal itu, tentu sudah ia damprat habis-habisan.
Ternyata pemuda itu membawanya ke dalam ruangan makan yang luas. Dan benar saja, mereka semua berada di situ. Cia Tin Siong, ayah ibunya, kedua orang pamannya, bahkan Nenek Cia, semua duduk menghadapi meja yang penuh hidangan dan seorang laki-laki pendek tegap duduk berhadapan dengan mereka. Begitu melihat pria cebol yang usianya kurang lebih empat puluh tahun ini Lee Cin segera mengenalnya. Itulah Yasuki, orang Jepang yang ia lihat bercakap-cakap dengan kedua orang paman Tin Han pada malam hari itu! Dan Tin Han mengatakan bahwa ia hendak diperkenalkan kepada seorang badut yang lucu sekali. Karena di situ tidak ada orang asing lain kecuali Jepang itu, maka tentu orang itulah yang dimaksudkan sebagai seorang badut besar oleh Tin Han.
Semua orang, kecuali Jepang itu, bangkit berdiri ketika Lee Cin masuk bersama Tin Han.
"Nona Souw......!" Semua orang berseru girang.
Agaknya Yasuki tidak mau ketinggalan. Dia memang berulah seperti seorang yang pandai, seperti seorang jagoan nomor satu. Dia mengamati dengan penuh perhatian kepada gadis yang baru masuk dan segera terdengar seruannya,
"Po-kiam (Pedang Pusaka) yang baik sekali! Nona manis, lebih baik pedang itu dijual saja kepadaku. Tidak baik bagi seorang gadis cantik untuk membawa pedang, bisa melukai diri sendiri! Berapakah engkau mau menjualnya?"
Semua orang menengok kepada Yasuki dan orang Jepang ini sudah bangkit berdiri dan menuding ke arah pinggang Lee Cin di mana Ang-coa-kiam membelit pinggangnya. Tentu saja ucapan itu lancang sekali, akan tetapi Yasuki agaknya bangga dengan kepandaiannya bicara dalam bahasa Han yang kaku dan lucu kedengarannya.
Tentu saja Lee Cin menjadi marah mendengar ucapan itu. Ucapan yang sungguh memandang rendah kepadanya. Maka dengan alis berkerut ia memandang kepada orang Jepang itu dan menjawab dengan suara ketus,
"Aku tidak menjual pedangku!"
Akan tetapi Yasuki agaknya tidak tahu bahwa gadis itu marah sekali. Dia masih juga membujuknya. "Ah, jual saja kepadaku, Nona. Aku berani membayar dengan harga tinggi. Seorang gadis secantik Nona sebaiknya mempunyai benda lain untuk menjadi permainan. Bukan karena aku suka sekali kepada Po-kiam itu. Dibandingkan dengan samuraiku, tentu saja pedang itu tidak ada artinya, baik ketajamannya maupun kekuatannya. Aku hanya ingin membeli karena pedangmu itu cantik sekali, Nona."
Sebelum Lee Cin menjawab, Tin Han sudah mendahuluinya, "Yasuki - san (Tuan Yasuki), kau bilang pedang pusaka nona ini tidak ada artinya dibandingkan pedang samuraimu itu" Hayo, kita bertaruh! Kalau engkau dapat mengalahkan Nona Souw dengan pedangnya, menggunakan pedang samuraimu itu, aku berani bertaruh seratus tail emas! Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus minta maaf kepada Nona Souw atas kelancanganmu bicara. Bagaimana?"
"Tin Han......!" Nenek Cia menegur cucunya.
"Aih, Nek. Ini hanya main-main saja. Tentu mereka tidak bertanding sungguh-sungguh, hanya untuk membuktikan keampuhan pedang dan kepandaian bermain pedang masing-masing. Biar Tuan Yasuki yang ahli pedang samurai itu tidak memandang rendah kepada gadis-gadis pendekar kita." Kemudian dia memandang kepada Yasuki. "Bagaimana, Tuan Yasuki, beranikah engkau bertanding pedang dengan Nona Souw?"
Tentu saja Yasuki tidak merasa takut. Dia tidak tertarik oleh hadiah seratus tail emas, akan tetapi dia merasa malu kalau dikatakan tidak berani melawan seorang gadis! Dia lalu bangkit dan sambil menepuk-nepuk pedang samurainya dia menjawab, "Tentu saja aku berani! Akan tetapi aku sangsi apakah nona ini berani melawan aku?"
"Siapa takut melawanmu" Biar ada sepuluh orang seperti engkau maju bersama, aku tidak akan takut!" jawab Lee Cin yang sudah marah.
Tin Han bertepuk tangan gembira. "Bagus, kedua pihak telah setuju! Ruangan ini pun cukup luas untuk kalian bertanding pedang dan bersiaplah engkau untuk minta maaf kepada Nona Souw, Yasuki-san."
"Engkau yang harus bersiap menyediakan seratus tail emas!" jawab Yasuki sambil tertawa memperlihatkan deretan gigi yang rusak. Dia bangkit berdiri, meninggalkan kursinya sambil mengangkat dada, lalu melangkah ke tengah ruangan yang luas itu. Lee Cin juga melangkah menghadapinya, dengan sepasang mata bersinar tajam.
Nenek Cia mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke atas lantai. "Terlalu engkau Tin Han! Eh, Tuan Yasuki dan Lee Cin, ingat bahwa ini hanya merupakan adu kepandaian saja, bukan perkelahian, maka jangan saling melukai!"
"Ha-ha-ha, Nyonya Tua Cia, jangan khawatir! Aku tidak akan melukai nona manis ini, hanya akan mengalahkannya dalam waktu singkat!" kata Yasuki menyombong. Tin Han memandang sambil tersenyum gembira.
"Nona manis, engkau boleh mulai menggerakkan pedang mainanmu itu!" kata Yasuki.
"Lihat serangan!" Lee Cin sudah menyerang dengan amat cepatnya. Yang nampak hanya sinar merah mencuat dari tangannya, menusuk ke arah dada Yasuki. Orang Jepang ini terkejut sekali. Tak disangkanya nona itu dapat menyerang sedemikian cepatnya. Akan tetapi dia sudah dapat mengelak dengan loncatan ke belakang, kemudian dengan kedua tangannya dia mengayun pedang samurainya yang panjang agak melengkung itu.
"Singggg......!" Pedangnya berdesing saking kuatnya dia rengayun. Akan tetapi dengan mudah saja Lee Cin mengelak dari sambaran pedang itu. Gadis ini selanjutnya hanya mengelak saja. Ia hendak mempelajari dulu ilmu pedang yang aneh dari lawannya. Yasuki menggerakkan samurainya dengan kedua tangan, mengandalkan tenaga dan kecepatan. Namun, dengan gerakan seperti itu, perubahan menjadi lambat karena dia harus mengikuti ayunan pedangnya kalau tidak mengenai sasaran. Setelah mempelajari kekuatan dan kelemahan lawan bermain pedang, Lee Cin mulai membalas. Setiap kali serangan Yasuki tidak mengenai dirinya, ia langsung membalas selagi orang Jepang itu masih melanjutkan ayunan pedangnya yang kuat. Dengan cara ini, setelah berlangsung dua puluh lima jurus, ia mampu mendesak lawannya yang menjadi sibuk sekali setelah gadis itu membalas dengan serangan bertubi-tubi. Yasuki terpaksa memutar samurainya untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan.
Pada suatu saat, ketika melihat kesempatan, Lee Cin berseru nyaring dan membentak, "Lepaskan pedang!" dan seperti orang yang mentaati perintah ini, Yasuki benar-benar melepaskan samurainya yang jatuh berkerontangan di atas lantai. Ternyata kedua punggung tangannya tergores pedang sehingga mengeluarkan sedikit darah dan terasa perih. Yasuki berdiri terbelalak dan ternganga, ketika Lee Cin sudah melompat mundur dan menyimpan kembali pedangnya. Sama sekali Yasuki tidak mengerti bagaimana kedua punggung tangannya terluka sehingga dia terpaksa melepaskan pedangnya.
"Heii, Yasuki-san! Engkau sudah melepaskan samuraimu, berarti engkau sudah kalah dan yang harus kau lakukan sekarang adalah membayar kekalahanmu dan minta maaf kepada Nona Souw!" teriak Tin Han dengan gembira sekali. Semua anggauta keluarga Cia yang lain hanya memandang dengan alis berkerut, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata. Yasuki menjadi merah sekali mukanya. Dia mengambil samurainya yang tergeletak di lantai, memasang kembali ke punggungnya, dan dia lalu menjura sangat dalam terhadap Lee Cin sambil berkata dengan suara yang lirih,
"Saya Yasuki minta maaf sebesar-besarnya kepada Nona Souw!" Dia membungkuk sampai dalam.
"Sudahlah, lupakan semua itu!" kata Lee Cin yang tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga di rumah itu. Kedatangannya untuk minta maaf, malah dia yang dimintai maaf!
"Saya berpamit dari keluarga Cia, biar lain kali saja kita bertemu dan bicara!" Setelah berkata demikian, kembali dia membungkuk lalu pergi dari situ dengan cepat.
Setelah orang Jepang itu pergi, Tin Han tertawa gembira, "Hemm, baru tahu rasa dia, meremehkan Cin-moi!"
"Tin Han, engkau tukang mencari urusan Si Berandal yang hanya membikin ribut!" Nenek Cia berseru. "Hayo minggir kau, dan biarkan kami bicara dengan Nona Souw!"
Tin Han tersenyum dan melangkah mundur, mengambilkan sebuah kursi untuk Lee Cin, lalu mundur kembali dan duduk di atas kursinya yang tadi.
"Silakan duduk, Nona Souw!"
"Terima kasih, kedatanganku ini hanya untuk bicara sedikit kepada keluarga Cia, terutama kepada Saudara Cia Tin Siong."
"Mau bicara apakah. Silakan, kami semua adalah anggauta keluarga Cia, tidak ada orang lain."
"Saya ingin minta maaf kepada semua keluarga Cia, terutama kepada saudara Cia Tin Siong, bahwa saya pernah menuduh dia sebagai Si Kedok Hitam yang tadinya saya cari. Saya hanya ingin agar keluarga Cia dapat menyampaikan kepada Si Kedok Hitam, siapa pun dia, bahwa mulai saat ini saya tidak lagi mencari dan memusuhinya, dan saya telah memaafkan perbuatannya melukai ayah saya. Nah, saya telah cukup bicara. Permisi, saya harus segera melanjutkan perjalanan saya."
"Eh-eh, nanti dulu, Cin-moi. Setelah permusuhan dengan Si Kedok Hitam tidak ada lagi berarti kecurigaanmu terhadap keluarga kami juga sudah tidak ada, mari silakan duduk dan kita rayakan ini dengan makan bersama. Nenek, Ayah Ibu dan para paman sudah tentu setuju."
Semua anggauta keluarga itu mengangguk setuju. Mereka tidak dapat berbuat lain! Akan tetapi Lee Cin tetap tidak mau duduk dan ia memandang kepada Cia Tin Siong dengan perasaan bersalah. "Maafkan, biarlah undangan ini kuterima untuk lain kali saja. Aku harus pergi, selamat tinggal!" Lee Cin cepat pergi dari ruangan makan itu, terus keluar rumah dan hendak meninggalkan kota Hui-cu.
Akan tetapi, baru saja ia tiba di pintu gerbang kota itu, terdengar seruan orang dari belakangnya, "Cin-moi..... tunggu......!!"
Siapa lagi kalau bukan Tin Han yang mengejarnya. Dengan napas terengah-engah Tin Han lari menghampirinya. "Cin-moi, sebelum engkau benar-benar pergi jauh, aku ingin bicara sedikit denganmu. Mari kuantar engkau keluar kota sambil bicara."
Sikap pemuda itu demikian sungguh-sungguh sehingga tidak ada alasan lagi bagi Lee Cin untuk menampik. Mereka berjalan keluar dari pintu gerbang, dan setelah tiba di tempat yang sunyi, Lee Cin bertanya, "Apa yang hendak kau bicarakan, Han-ko?"
"Aku hanya ingin menyatakan kepuasan hatiku karena engkau telah menghajar kepada Jepang sombong itu! Benar-benar hatiku girang sekali karena aku amat tidak suka kepadanya."
Lee Cin berhenti melangkah dan memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian dan keheranan. "Mengapa begitu" Bukankah keluargamu, amat menghormati dia bahkan menerimanya sebagai tamu terhormat dan menjamu makanan" Kenapa engkau tidak suka kepadanya?"
"Bukan hanya tidak suka, bahkan aku benci kepadanya."
"Hemm, benarkah itu, Han-ko" Terus terang saja, tanpa kusengaja aku sudah mendengar bahwa keluarga Cia bersekutu dengan Yasuki, juga dengan seorang perwira bernama Phoa-ciangkun. Bukankah begitu?"
Kini Tin Han. yang terbelalak mengamati wajah gadis itu. "Bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Cin-moi?"
"Tanpa kusengaja, aku mendengar percakapan antara kedua orang pamanmu di taman dan Yasuki serta Phoa-ciangkun, bahkan mereka merencanakan untuk menyingkirkan atau membunuh Ji-taijin dan Un-ciangkun. Benarkah itu?"
Pemuda itu masih memandang kepada Lee Cin dengan mata terbelalak, kemudian menghela napas panjang dan berkata, "Kuakui bahwa keluargaku memang bersahabat dengan Yasuki dan Phoa-ciangkun, akan tetapi tentang rencana itu, baru sekarang aku mendengar darimu. Itulah yang membuat aku merasa tidak senang kepada Yasuki dan Phoa-ciangkun."
"Kenapa tidak senang" Bukankah keluarga Cia sudah bersekutu dengan mereka, berarti engkau pun sudah bersahabat baik dengan mereka?"
"Justeru karena persekutuan itu maka aku membenci mereka! Aku setuju dengan semangat perjuangan nenekku, akan tetapi aku benci kalau mereka mengadakan persekutuan dengan para bajak kaut Jepang itu dan dengan panglima kerajaan yang hendak memberontak. Aku menghendaki perjuangan yang murni, hanya mengerahkan tenaga rakyat jelata yang terjajah, bukan bersekutu dengan segala perkumpulan orang jahat dan dengan pengkhianat. Karena itulah, maka aku sengaja mengadu antara Yasuki dan engkau karena aku yakin bahwa engkau tentu akan dapat mengalahkan dia."
"Hemm, permintaanmu berbahaya sekali, Han-ko. Bagaimana seandainya aku yang kalah?"
"Aku tidak akan mengadu engkau dengan dia kalau aku tidak yakin bahwa engkau pasti menang."
"Bagaimana engkau dapat memastikan hal itu" Engkau tidak mengenal tingkat ilmu silat."
Pemuda itu tersenyum lebar. "Apa kau kira aku sebodoh itu, Cin-moi" Aku yakin engkau dapat menang karena sebelumnya aku bertanya kepada Nenek tentang tingkat kepandaian Yasuki di bandingkan dengan tingkatmu dan tingkat Kakak Tin Siong. Kata Nenek, melawan Siong-ko saja belum tentu Yasuki akan dapat menang, apalagi melawan engkau."
"Ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu, Han-ko, dan kuharap engkau suka berterus terang kepadaku!"
"Tanyalah dan akan kujawab sedapat mungkin."
"Dapatkah engkau memberitahu, siapa sebetulnya Si Kedok Hitam itu" Aku yakin bahwa dia adalah seorang di antara anggauta keluarga Cia."
"Eh" Bukankah engkau katakan bahwa engkau sudah tidak hendak menyelidiki atau mencari dia lagi, bahkan engkau sudah memaafkannya ketika dia melukai ayahmu dan sudah tidak ada permusuhan lagi?"
"Benar, kata-kataku itu masih berlaku. Akan tetapi aku sungguh ingin tahu sekali siapa sebenarnya dia yang begitu lihai. Dia pasti anggauta keluarga Cia, bukan?"
"Kenapa engkau dapat menduga begitu, Cin-moi?"
"Keluarga Cia merencanakan untuk menyingkirkan Ji-taijin dan Un-ciangkun, dan dua kali aku melihat Si Bayangan Hitam hendak memasuki gedung tempat Ji-taijin pada malam hari. Bukankah hal itu sudah cocok sekali" Tentu dia akan melaksanakan rencana itu!"
Tin Han mengerutkan alisnya dan menggosok-gosok dahinya. "Cin-moi, di antara keluarga Cia, orang yang paling tinggi kepandaiannya adalah Nenek Cia dan Kakak Tin Siong. Engkau sudah pernah bertanding dengan keduanya dan engkau pernah pula bertanding dengan Si Kedok Hitam. Nah, siapa di antara kakak dan nenekku itu yang kepandaiannya setingkat dan mirip dengan kepandaian Si Kedok Hitam?"
"Tidak satu pun di antara keduanya. Aku percaya bahwa Si Kedok Hitam bukan nenekmu dan bukan pula kakakmu. Akan tetapi lalu siapakah?"
"Ha-ha-ha, jangan-jangan engkau menyangka aku orangnya! Tidak lucu kalau begitu, Cin-moi, kalau engkau sudah menghilangkan permusuhanmu dengan Si Kedok Hitam, kenapa engkau masih saja bertanya-tanya siapa dia" Jelas dia tidak ingin kau kenal, kenapa engkau masih penasaran?"
Wajah Lee Cin berubah merah. "Aku hanya ingin tahu, Han-ko. Aku ingin sekali mengenal orang yang telah menolongku. Akan tetapi sudahlah kalau engkau tidak tahu. Benar pula katamu. Dia tidak ingin kukenal, mengapa aku mendesaknya?" Gadis itu menghela napas panjang, lalu berkata kepada Tin Han, suaranya menjadi riang kembali, "Nah, sekarang selamat tinggal, Han-ko. Terima kasih atas segala kebaikanmu padaku."
"Selamat jalan, Cin-moi. Baik-baiklah engkau menjaga dirimu dan kalau engkau kebetulan lewat di daerah ini, jangan lupa untuk singgah di rumah kami."
"Tentu saja, Han-ko. Selamat berpisah." Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan pemuda itu cepat-cepat. Agaknya kalau ia dekat dengan pemuda itu, tidak akan habis-habisnya percakapan di antara mereka. Pemuda itu amat ramah dan merupakan seorang kawan bercakap yang menyenangkan sekali. Ia harus mengakui kepada dirinya sendiri bahwa ia lebih tertarik kepada Tin Han daripada kepada Tin Siong. Berdekatan dengan Tin Han mendatangkan rasa gembira dan tenteram, sebaliknya kalau is teringat akan ancaman Tin Siong kepada Tin Han agar tidak mendekatinya, membuat ia merasa tidak suka kepada Tin Siong yang tampan, lembut dan lihai itu. Akan tetapi ia pun sadar bahwa ia tidak akan dapat serasi dengan Tin Han. Ia seorang pesilat yang kasar, sedangkan Tin Han seorang terpelajar yang demikian lembut, sopan dan gembira walaupun kadang nampak ugal-ugalan. Bahkan kalau Tin Han bersikap akrab dan agak mesra, ia tidak akan tersinggung karena pemuda itu melakukannya dengan sewajarnya, tidak dibuat-buat untuk menarik hatinya, juga ia melihat keberanian yang luar biasa pada diri Tin Han yang tak pandai silat itu.
oood0wooo Souw Hwe Li memandang kepada pemuda itu dengan mata bersinar-sinar menunjukkan kemarahannya. Akan tetapi, Siangkoan Tek, pemuda itu, hanya tersenyum saja.
"Sekali lagi kumohon dengan sangat, marilah kita pergi ke Poa-ting dan kuperkenalkan engkau kepada orang tuaku, Tek-ko," kata Hwe Li dengan suara memohon.
"Dan sekali lagi kukatakan kepadamu bahwa sekarang belum tiba saatnya bagiku untuk berkenalan dengan ayahmu. Bersabarlah dulu, Li-moi. Kelak kalau saatnya sudah tiba tentu aku akan datang menghadap ayah ibumu."
"Sampai kapan lagi, Tek-ko?" tanya Hwe Li penasaran. "Selama hampir setahun aku ikut denganmu, menuruti segala keinginanmu. Sudah semestinya kalau sekarang engkau ikut aku menghadap orang tuaku dan mengajukan pinangan secara resmi."
"Tunggu, kataku! Sekarang aku sama sekali belum memikirkan soal perjodohan!"
"Akan tetapi kita telah berjodoh, Tek-ko! Bukankah aku telah menjadi isterimu walaupun belum resmi" Aku telah menyerahkan segalanya kepadamu, dan sampai sekarang, hampir setahun aku melayani semua kehendakmu, dan belum pernah engkau memperkenalkan aku kepada orang tuamu dan engkau selalu menolak kalau kuajak menghadap orang tuaku. Sebetulnya, apa sih kehendakmu atas diriku, Tek-ko?"
Siangkoan Tek mengerutkan alisnya. Memang tidak ada sedikitpun juga keinginannya untuk memperisteri Hwe Li. Ia hanya ingin mendapatkan Hwe Li, bersenang-senang dengannya tanpa harus menikahinya. Kalau dia hendak menikah tentu dia akan memilih seorang wanita yang benar-benar pantas untuk menjadi isterinya, yang selain cantik tentu juga yang memiliki ilmu silat tinggi dan seorang wanita yang tidak begitu mudah menyerahkan kehormatannya seperti yang dilakukan Hwe Li. Dia tidak mau mempunyai seorang isteri gadis murahan.
"Apa kehendakku, Li-moi" Engkau sudah tahu akan kehendakku dan kehendakmu. Kita saling mencinta, bukan" Aku tidak pernah memaksamu untuk ikut dengan aku. Engkau menyerahkan diri dengan sukarela. Mengapa sekarang banyak menuntut" Kalau engkau sudah bosan denganku dan hendak pulang ke Pao-ting, pulanglah, aku tidak akan menahanmu."
Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan muka yang cantik itu menjadi pucat. "Apa..... apa maksudmu.....?"
"Maksudku sudah jelas. Selama ini, kita saling mencinta dan saling memberi kenikmatan, engkau mau apa lagi" Hubungan antara kita adalah hubungan yang sukarela, tidak ada yang dipaksa atau memaksa. Karena itu, kalau seorang di antara kita menghendaki perpisahan, ia boleh melakukan sesuka hatinya. Kalau engkau sudah tidak suka lagi padaku, pergilah tinggalkan aku."
"Siangkoan Tek, omongan apa yang kau keluarkan ini" Selama setahun aku menyerahkan diri dengan segala kerelaan kepadamu, dan sekarang, setelah engkau puas mempermainkan aku, engkau hendak mengusir aku" Jadi engkau tidak mau bertanggung jawab dan tidak mau mengawini aku?"
"Aku tidak pernah bicara tentang perkawinan, tidak pernah menjanjikan apa-apa padamu. Ingat ini! Dan sekarang diamlah, jangan ribut. Engkau tinggal pilih satu antara dua. Kita tetap berkumpul seperti ini, atau kita menghambil jalan masing-masing. Kalau engkau masih ribut, aku bisa kehilangan kesabaran dan engkau akan kupukul!"
Bukan main terkejut dan marahnya hati Hwe Li. Ia merasa hatinya seperti ditusuk-tusuk. Selama hampir setahun ini ia telah melayani segala keinginan Siangkoan Tek, sebagai seorang kekasih, bahkan sebagai seorang isteri, dengan penuh cinta kasih. Sekarang, setelah hampir setahun ia dipermainkan, bagaikan setangkai bunga yang dihisap madunya oleh seekor lebah, tiba-tiba akan ditinggalkan begitu saja melayu oleh lebah yang sudah kekenyangan madu! Ia meninggalkan ayah ibunya, keluarganya untuk mengikuti pria ini dan sekarang ia hendak dicampakkan begitu saja.
"Siangkoan Tek, keparat kau!!" teriaknya dan ia pun melompat ke depan sambil menusukkan pedangnya yang ia cabut dari pinggangnya. Akan tetapi, sekali tangkis pedang itu terlepas dari pegangan Hwe Li dan di lain saat Hwe Li sudah terjatuh ke dalam pelukannya tanpa dapat meronta lagi!
Setelah dibelai dan dicumbu Siangkoan Tek, Hwe Li tidak berkutik lagi! Telah beberapa kali ia membujuk kekasihnya untuk pergi menghadap orang tuanya, akan tetapi selalu berakhir dengan kekalahannya, berakhir di dalam dekapan pemuda itu dan telah menjadi lemah lunglai semua syaraf dan semangatnya.
Akan tetapi mulai mengertilah ia betapa dirinya telah terjatuh ke dalam cengkeraman pemuda yang berhati iblis. Ia sama sekali tidak berdaya dan ia maklum bahwa pemuda itu tidak pernah mau berjodoh dengannya. Hal ini mulai ia rasakan dan hatinya menjadi panik dan gelisah. Bagaimana kalau tiba-tiba Siangkoan Tek meninggalkannya begitu saja" Ke mana ia harus mencarinya, dan andaikata ia dapat mencarinya, apa yang dapat ia lakukan" Ia telah menyerahkan diri dan ia sama sekali tidak dapat memaksa pemuda itu untuk menikahinya. Ia hanya dijadikan benda permainan dan pemuas nafsu belaka. Teringat akan semua ini, barulah Hwe Li sadar akan semua kesalahannya. Barulah ia menyesal, akan tetapi penyesalannya tidak akan menolongnya. Sedikit demi sedikit rasa sakit hati memenuhi hatinya. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan" Kepandaiannya kalah jauh sehingga ia tidak mampu berbuat apa-apa untuk memaksa pemuda itu menikahinya. Beberapa kali timbul niat di hatinya untuk membunuh Siangkoan Tek. Akan tetapi, niat itu selalu gagal. Pertama, ia memang telah tergila-gila kepada pemuda itu dan ke dua, apa keuntungannya kalau ia membunuhnya" Ia telah ternoda dan jalan satu-satunya baginya hanyalah bahwa ia harus menikah dengan Siangkoan Tek. Akan tetapi Siangkoan Tek selalu mengingkarinya dan ia juga selalu tunduk kepada pemuda itu. Sikap dan tindakan pemuda itu membuatnya selalu merasa lemah, walaupun kalau diingat amat menyakitkan hatinya.
Hati Hwe Li sakit dan menyesal sekali. Agaknya sudah tidak ada pilihan lain baginya kecuali menuruti semua kehendak Siangkoan Tek. Kalau ia meninggalkan pemuda itu, ke mana ia hendak pergi" Pulang ke rumah orang tuanya seorang diri dengan membawa noda. Ia merasa malu sekali. Terpaksa ia harus menuruti segala kehendak pemuda itu kepada siapa ia kini menumpangkan dirinya. Ia hanya dapat menangis. Akan tetapi ia tahan sedu-sedannya dan hanya air matanya yang mengalir turun di sepanjang kedua pipinya. Ia bangkit duduk dan memandang wajah Siangkoan Tek yang tertidur pulas di sampingnya. Wajah yang tampan dan gagah, namun wataknya tidak setampan wajahnya.
Kalau ia mengamati wajah itu, hatinya luluh dan harus ia akui bahwa ia amat mencinta Siangkoan Tek. Akan tetapi kalau mengingat betapa ia dipermainkan, dijadikan pemuas nafsu tanpa pemuda itu mau bertanggung jawab, hatinya seperti ditusuk-tusuk pedang beracun. Ingin sekali ia tusuk dada Siangkoan Tek untuk membalas sakit hatinya. Tangannya sudah dijulurkan ke atas meja dekat pembaringan di mana pedangnya berada. Pada saat itu, ingin ia membunuh Siangkoan Tek lalu nekat pulang ke Pao-ting. Kota itu tidak begitu jauh dari rumah tinggal sementara mereka. Siangkoan Tek membeli pondok itu dan sudah selama dua bulan mereka tinggal di pondok sunyi di lereng bukit itu. Ia tahu bahwa kota Pao-ting tidak jauh lagi, hanya perjalanan sehari saja dari situ.
Tangannya sudah dijulurkan, akan tetapi jari-jari tangannya gemetar, menggigil karena perasaannya yang tegang dan serba salah. Rasa cinta dan benci membuatnya bingung, ditambah rasa takut karena pemuda itu lihai bukan main. Ia tidak dapat menentukan apakah pemuda itu pulas ataukah masih sadar.
Suara angin di luar rumah berdesir seolah berbisik-bisik agar ia cepat melaksanakan kehendaknya. Rumah itu sunyi sekali, jauh dari tetangga, bahkan di siang hari itu suasana amat sunyi. Hwe Li masih menjulurkan tangannya tanpa menyentuh gagang pedangnya. Tidak, ia menarik kembali tangannya. Ia tidak tega membunuh pria yang sesungguhnya telah membuat tergila-gila ini, akan tetapi yang sekaligus membuat hatinya tersiksa. Saking jengkelnya terhadap diri sendiri, ia lalu memukuli kepala Siangkoan Tek dengan kedua tangannya!
Siangkoan Tek terkejut dan terbangun dari tidurnya. Melihat Hwe Li sambil menangis memukuli kepalanya, dia melompat dan cepat menangkap kedua pergelangan tangan Hwe Li sambil membentak, "Apa engkau sudah gila?"
"Engkau laki-laki jahanam, berhati palsu Hwe Li meronta-ronta dan memaki-maki seperti gila. Siangkoan Tek lalu melepaskan tangan kanannya, menyambar rambut Hwe Li dan menyeret gadis itu keluar dari pondok. Dengan menjambak rambut yang panjang itu, dia setengah mengangkat setengah menyeret tubuh gadis itu sampai agak jauh dari pintu pondok, lalu dihempaskan tubuh itu ke atas tanah.
"Huh, engkau seperti seekor kelenci dan aku seekor garuda! Apa yang dapat kau lakukan padaku" Akan tetapi, garuda ini sudah kekenyangan, maka engkau boleh pergi ke mana pun engkau suka. Pergi, tinggalkan aku! Aku sudah muak padamu!" Setelah berkata demikian, Siangkoan Tek dengan marah membalikkan tubuhnya hendak kembali ke pondok.
Hwe Li bangkit merangkak lalu mengejar, terhuyung-huyung. "Tek-ko, jangan tinggalkan aku......! Aku tidak dapat hidup tanpa engkau......!" Ia dapat menyusul Siangkoan Tek lalu memegang tangan pemuda itu. Siangkoan Tek membalik lalu mendorong tubuh Hwe Li sehingga terjengkang dan roboh kembali.
"Tek-ko......!" Hwe Li kembali merangkak dan mengejar.
Siangkoan Tek menggerakkan kakinya menendang. "Desss......!" Bagaikan sebuah bola tubuh Hwe Li kembali terguling-guling.
"Tek-ko, bunuhlah aku...... akan tetapi jangan usir aku......" Hwe Li bangkit, menghapus darah dari tepi bibirnya dan menangis.
Sepasang mata yang tajam berapi seperti mata seekor rajawali melihat semua peristiwa di luar pondok itu. Ketika memperhatikan wajah Hwe Li, mata itu terbelalak dan mengeluarkan sinar kilat.
-oo0dw0oo- Jilid: 11 "HWE LI?"!" bisiknya.
Pemilik mata yang tajam berapi itu adalah seorang gadis cantik yang berpakaian sederhana. Dan ia bukan lain adalah Lui Ceng atau Ceng Ceng! Seperti telah kita ketahui, Ceng Ceng pernah tertawan oleh Ouw Kwan Lok yang tertarik kepadanya dan hendak memaksa gadis itu menjadi kekasihnya. Dalam keadaan yang gawat terancam itu, muncul Thian-tok Gu Kiat Seng, datuk besar dari barat itu yang menolongnya dan berhasil mengusir Ouw Kwan Lok. Dan semenjak saat itu, Ceng Ceng menjadi murid Thian-tok Gu Kiat Seng, datuk yang berusia lima puluh dua tahun itu, Biarpun baru digembleng selama setahun, akan tetapi karena Ceng Ceng sudah memiliki dasar gemblengan pamannya, Souw Can, dan karena gadis itu berbakat baik dan bersemangat besar tekun berlatih, maka dalam waktu sependek itu ia telah memperoleh kemajuan pesat sekali, terutama mengenai sin-kang yang amat kuat dan gin-kang yang membuat ia mampu bergerak cepat. Ia masih merantau bersama gurunya ketika pada hari itu secara kebetulan ia tiba di bukit itu dalam perjalanannya menuju ke Pao-ting untuk menjenguk keadaan pamannya. Ketika mendengar suara ribut-ribut di dalam pondok, ia tertarik dan cepat mendekati lalu bersembunyi di balik semak-semak. Ketika Siangkoan Tek menjambak rambut Hwe Li dan menyeretnya keluar, ia melihatnya dan pandang matanya tak pernah melepaskan kedua orang itu sehingga ia melihat apa yang dilakukan Siangkoati Tek kepada gadis itu. Akan tetapi baru setelah ia mengamati wajah gadis itu dan mengenalnya sebagai Hwe Li, ia terkejut sekali dan cepat ia meloncat dari tempat sembunyi-nya dan membentak nyaring,
"Keparat busuk, berani engkau menghina saudaraku Hwe Li?" sambil membentak Ceng Ceng menggerakkan kebutannya, senjata yang dipelajarinya dari Thian Tok. Kebutan berbulu merah ini menyambar dengan dahsyat, mengeluarkan suara bersuitan ketika menyambar ke arah kepala Siangkoan Tek.
"Suiiit?"!" Siangkoan Tek terkejut juga melihat serangan yang dahsyat itu. Dia cepat melompat ke belakang untuk melihat dengan jelas siapa orangnya yang menyerangnya. Dia melihat seorang gadis yang berwajah manis sekali, memegang sebatang kebutan dan memandang dengan mata yang tajam bersinar. Dia tersenyum dan segera berkata dengan suara lembut,
"Wahai nona manis, mengapa engkau menyerangku tanpa sebab" Rasanya aku belum pernah mendapatkan kebahagiaan untuk berkenalan denganmu. Siapakah namamu, nona manis, dan mengapa engkau menyerangku?"
Hwe Li yang terkejut melihat munculnya Ceng Ceng merasa khawatir akan keselamatan saudara misannya itu, maka cepat berseru, "Ceng Ceng, jangan hiraukan dial Cepat engkau pergi dari sini!"
Ceng Ceng tidak merasa heran mendengar ucapan itu. Ia sudah terbiasa diperintah dan dibentak-bentak saudara misannya. Akan tetapi sekali ini ia melihat sendiri betapa Hwe Li dijambak, dihina, dipukul dan ditendang. Bagaimana mungkin ia dapat tinggal diam saja"
"Aha, namamu Ceng Ceng, Nona" Nama yang indah, seindah orangnya!" kata Siangkoan Tek merayu.
"Hwe Li, jangan khawatir, aku akan membantumu bebas dari manusia keparat ini!" Ceng Ceng sudah membentak dan kembali ia menyerang dengan kebutannya.
Siangkoan Tek terpaksa cepat mengelak dan harus ia akui bahwa gadis bernama Ceng Ceng ini memiliki gerakan yang sangat cepat dan dari suara angin sambaran kebutan itu dia pun dapat menilai bahwa gadis itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat.
Ceng Ceng menyerang terus bertubitubi akan tetapi semua serangannya dapat dielakkan oleh Siangkoan Tek. Pemuda ini maklum bahwa gadis ini harus dapat ditundukkan, karena ilmunya lebih tinggi daripada tingkat Hwe Li. Akan tetapi dia pun mengalami kesulitan untuk dapat menundukkan Ceng Ceng dengan cepat. Kebutan itu lihai bukan main.
Dengan gerakan cepat sekali, tangan kanan Siangkoan Tek berhasil menangkap ujung kebutan. Selagi dia hendak menariknya untuk merampas kebutan itu, tiba-tiba Ceng Ceng menotokkan gagang kebutan ke arah pergelangan tangannya.
"Hyaaat......!" Kebutan yang ujung bulunya sudah ditangkap tangan kanan Siangkoan Tek itu, tiba-tiba meluncur dengan cepat menotok pergelangan tangan pemuda itu. Tentu saja Siangkoan Tek menjadi terkejut sekali.
"Ehhh?"!!" Terpaksa dia melepaskan pegangannya dan memutar lengannya untuk menangkis totokan gagang kebutan itu.
"Dukk......!" Pertemuan lengan dengan gagang kebutan membuat Siangkoan Tek terhuyung dan tangannya tergetar, sebaliknya Ceng Ceng juga terdorong ke belakang. Maklumlah keduanya bahwa lawan memiliki tenaga sin-kang yang kuat.
Ilmu kepandaian Ceng Ceng memang sudah maju pesat sekali selama satu tahun ini, namun dibandingkan dengan Siangkoan Tek, ia masih kalah. Apalagi ketika Siangkoan Tek yang mengetahui akan kelihaian kebutan itu kini mencabut pedangnya. Terjadilah pertandingan yang hebat sekali namun setelah lewat tiga puluh jurus, mulailah Ceng Ceng terdesak hebat. Pedang Siangkoan Tek berubah menjadi sinar yang menyilaukan mata, bergulung-gulung dan menyambar-nyambar. Ceng Ceng mencoba untuk mengimbanginya dengan gerakan kebutannya yang menjadi gulungan sinar merah. Akan tetapi perlahan-lahan sinar nnerah itu menjadi semakin kecil dan gerakannya hanya untuk melindungi diri saja.
"Nona manis, menyerahlah sebelum pedangku melukaimu! Sayang kalau kulitmu yang halus itu sampai tergores pedangku!" Siangkoan Tek mengejek sambil merayu.
"Ceng Ceng, larilah!" kata lagi Hwe Li dan dengan nekat ia menubruk ke arah Siangkoan Tek. Pemuda itu menyambutnya dengan sebuah tendangan yang membuat Hwe Li terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Maklum bahwa ia tidak akan menang, Ceng Ceng meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri. Ia harus mencari bala-bantuan kalau ingin berhasil menolong Hwe Li.
Gurunya berada di puncak bukit itu menunggunya. Ia berpamit dari gurunya untuk berkunjung ke Pao-ting sebentar dan gurunya akan menunggu sampai tiga hari di sana. Tempat gurunya itu tidak berapa jauh dari lereng itu, akan tetapi watak gurunya amat aneh. Belum tentu gurunya mau membantu untuk menolong gadis yang sama sekali tidak dikenalnya. Kalau gurunya menolak, siapa pun tidak dapat memaksanya. Maka sebaiknya kalau ia minta bantuan ke Pao-ting saja. Dengan pikiran ini, Ceng Ceng lalu berlari cepat menuju ke kota Pao-ting. Demikian cepat ia berlari sehingga menjelang sore ia sudah tiba di pekarangan rumah pamannya, yaitu Souw Can Ketua Kim-liong-pang.
Beberapa orang anggauta Kim-liong-pang yang berada di pekarangan itu menyambut kedatangan Ceng Ceng dengan gembira. Mereka semua sudah mendengar bahwa Nona Liu Ceng telah menjadi murid seorang datuk besar, maka kini kedatangan Ceng Ceng setelah setahun rnereka meninggalkan rumah pamannya, disambut dengan gembira.
"Nona Liu datang!" teriak mereka dan segera berita ini sampai ke dalam rumah induk.
Dari dalam muncul Souw Can dan isterinya, juga Lai Siong Ek. Mereka bertiga muncul dan dapat dilihat betapa wajah ketiganya murung. Tentu ini ada hubungannya dengan keadaan Hwe Li.
"Paman dan Bibi!" Ceng Ceng berseru lirih sambil memandang wajah mereka.
"Ceng Ceng engkau baru kembali?" tanya pula Lai Siong Ek sarnbil memandang gadis itu dengan sinar mata kagum. Dalam pandangannya, sikap gadis itu berubah, tidak lagi merendahkan diri seperti dulu, melainkan ada sikap tegak dan anggun seperti penuh kepercayaan kepada diri sendiri.
"Ceng Ceng, tahukah engkau bahwa Hwe Li !" kata Nyonya Souw sambil menangis.
Ceng Ceng merangkul tubuh bibinya dan berkata menghibur, "Aku sudah tahu, mari kita bicara di dalam, Paman." Ia menuntun bibinya memasuki rumah itu, diikuti oleh Souw Can dan Lai Siong Ek.
Setelah mereka tiba di ruangan dalam, Souw Can bertanya, "Ceng Ceng, engkau sudah tahu akan keadaan Hwe Li" Di manakah ia sekarang?"
"Aku justeru datang untuk bicara tentang Hwe Li. Aku hendak minta bantuan Paman untuk merampas kembali Hwe Li dari tangan pemuda jahat itu."
"Merampas Hwe Li dari tangan pemuda jahat itu" Apa yang telah terjadi dengan Hwe Li" Cepat ceritakan!" teriak Lai Siong Ek dengan gelisah.
"Ceritakan, Ceng Ceng. Apa yang telah terjadi dengan Hwe Li dan di mana ia sekarang?"
"Tidak begitu jauh dari sini, Paman. Harap persiapkan bala bantuan karena Hwe Li berada di tangan seorang pemuda yang sangat lihai. Aku telah mencoba untuk membebaskan Hwe Li, akan tetapi aku tidak dapat menandingi pemuda itu?"
"Pemuda yang menculiknya itu" Di mana dia dan Hwe Li" Biar aku menyiapkan pasukan!" kata Lai Siong Ek.
"Tenanglah, Siong Ek. Engkau pergilah cepat untuk mempersiapkan pasukan, lalu bawa ke sini agar kita dapat mengikuti Ceng Ceng yang akan menunjukkan tempatnya," kata Souw Can dengan tenang walaupun hatinya juga gelisah dan tegang. Sudah hampir setahun Hwe Li lenyap diculik orang dan tidak pernah ada kabar berita darinya. Sekarang, tiba-tiba muncul Ceng Ceng yang tahu di mana puterinya itu berada, tentu saja dia menjadi tegang dan gelisah.
Siong Ek cepat keluar, melapor kepada ayahnya dan minta disediakan pasukan seratus orang. Dulu ketika membawa pasukan dan mengejar pemuda yang menculik Hwe Li, pemuda itu dapat membebaskan diri dari kepungan sambil melarikan gadis itu dan sejak itu, tidak ada lagi beritanya tentang Hwe Li walaupun ayahnya sudah mengirim banyak anak buah pasukan untuk mencari.
Selagi Siong Ek keluar dan mereka menanti datangnya pasukan, Souw Can minta kepada Ceng Ceng untuk menceritakan tentang Hwe Li. Ceng Ceng tidak tega untuk menceritakan seluruhnya, betapa Hwe Li disiksa oleh pemuda liha itu. Ia hanya menceritakan bahwa ia melihat Hwe Li dikeram dalam sebuah pondokan di lereng bukit oleh seorang pemuda yang amat lihai.
"Karena aku tidak mampu menandinginya, maka terpaksa aku melarikan diri ke sini untuk minta bala bantuan," demikian Ceng Ceng menutup ceritanya.
Tak lama kemudian, Lai Siong Ek muncul kembali membawa seratus orang perajurit berkuda, dipimpin oleh seorang perwira tinggi. Setelah membuat persiapan, berangkatlah seratus orang perajurit itu dipimpin oleh Sang Perwira, Souw Can, Lai Siong Ek, dan Ceng Ceng sendiri. Mereka semua menunggang kuda dan sore hari itu juga mereka melakukan perjalanan menuju ke bukit di mana Hwe Li dikeram oleh Siangkoan Tek.
Menjelang pagi, rombongan tiba di kaki bukit itu dan Ceng Ceng memberi keterangan agar pasukan dibagi empat dan mereka menghampiri pondok di lereng itu dari empat jurusan. Setelah tiba dekat pondok, para perajurit itu ber-sembunyi dan menanti perintah selanjut-nya. Kuda mereka ditinggalkan di kaki bukit dan dijaga selosin orang perajurit.
Ceng Ceng yang tidak ingin pemuda yang menawan Hwe Li itu dapat meloloskan diri, menanti sampai terang tanah, barulah ia memberi isyarat kepada Souw Can untuk mengikutinya. Lai Siong Ek juga mengikuti untuk membantu dan per-wira memimpin pasukan yang sudah siap.
Setelah cuaca terang benar dan tidak ada suara atau gerakan apa pun di dalam pondok itu, Ceng Ceng berseru sambil mengerahkan khi-kangnya sehingga suara-nya terdengar melengking tinggi dan terdengar sampai jauh.
"Penculik keparat! Menyerahlah, pondokmu telah dikepung ketat dan engkau tidak dapat meloloskan diri!"
Terdengar gerakan di dalam pondok dan ini dapat didengar karena semua pengepung berdiam diri dan memperhatikan suara dari pondok yang mereka kepung. Terdengar jerit lirih dan tak lama kemudian pintu pondok terbuka lebar dan muncullah Hwe Li yang sebelah tangannya dipegang oleh Siangkoan Tek dan dengan tangan yang lain pemuda itu menempelkan pedangnya di leher gadis itu. Dia sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan tersenyum dan berkata lantang,
"Kalian buka jalan untuk aku keluar dari kepungan, atau Nona Souw Hwe Li ini akan kubunuh di depan kalian sebelum aku mengamuk dan membunuh kalian semua!"
Melihat wajah puterinya yang pucat dan rambut serta pakaiannya yang awuta: awutan hati Souw Can seperti diremas. Dia lalu berteriak lantang, "Orang muda, siapakah engkat. Di antara kita tidak ada permusuhan, mengapa engkau menculik anak kami?"
Siangkoan Tek hanya menyeringai dan mengulangi permintaannya,
"Hayo, buka kepungan kalau tidak ingin melihat gadis ini kusembelih di depan kalian!"
Mendengar ini dan melihat sikap pemuda yang tersenyum mengerikan itu, Souw Can minta kepada perwira komandan pasukan untuk membuka kepungan.
"Kami membuka kepungan, akan tetapi engkau harus melepaskan Hwe Li!"
Siangkoan Tek mendorong Hwe Li sampai tiba di tempat di mana kepungan itu terbuka, dan dia lalu berkata, "Hwe Li, engkau boleh pergi sekarang, aku sudah bosan denganmu!" Dan dia mendorong Hwe Li sehingga gadis itu terpelanting. Siangkoan Tek lalu melompat jauh dan melarikan diri.
"Kejar! Kejar jahanam itu!" teriak Ceng Ceng dan ia sendiri ikut mengejar bersama para perajurit. Akan tetapi Siangkoan Tek telah menghilang ke dalam hutan di lereng bukit.
Souw Can lari menghampiri puterinya. Dia membantu puterinya bangkit sambil memeluknya.
"Hwe Li......!" "Ayah". Ayah......!" Hwe Li merangkul ayahnya dan menangis tersedu-sedu. Demikian sedih hatinya, demikian hancur perasaannya sehingga ia menangis mengguguk kemudian pingsan dalam rangkulan ayahnya.
Souw Can memondong tubuh puterinya dan membawa masuk ke dalam pondok yang sudah ditinggalkan pemiliknya itu. Dia merebahkan tubuh puterinya di atas pembaringan dan dia sendiri duduk di tepi pembaringan, menunggu puterinya siuman dari pingsannya. Dia tahu bahwa Hwe Li pingsan karena kedukaan, maka dia mendiamkannya saja karena tangis dan pingsan merupakan pencurahan dan kesedihan yang mendalam.
Akhirnya, setelah lama Souw Can menunggui puterinya yang kelihatan kurus dan agak pucat itu, Hwe Li siuman dari pingsannya. Bagaikan baru bangun tidur ia mengeluh, "Jangan tinggalkan aku......!" Ayahnya lalu memegang kedua pundaknya dan mengguncangnya perlahan.
"Hwe Li, ingat, ini ayahmu."
Hwe Li membuka matanya dan ketika ia melihat ayahnya, ia lalu bangkit duduk. "Ayah".. Ayah"..!" Ia menangis lagi, mengguguk.
"Hwe Li, tenanglah, diamlah jangan menangis. Semua itu telah lewat dan engkau telah kembali kepadaku."
Akan tetapi Hwe Li teringat betapa dirinya sudah ternoda, selama setahun ia telah menjadi benda permainan dan pemuas nafsu Siangkoan Tek. Hal itu dianggapnya bukan siksaan kalau saja Siangkoan Tek mau mengawininya karena ia pun tergila-gila kepada pemuda itu. Akan tetapi kenyataannya, Siangkoan Tek membuangnya sebagai barang bekas yang tidak dibutuhkannya lagi! Teringat demikian, ia merasa tidak berharga lagi untuk kembali menjadi puteri ayahnya. Melihat pedangnya menggeletak di atas meja, ia cepat meloncat dan menyambar pedangnya.
"Hwe Li, jangan?"!" Souw Can berteriak nyaring sarnbil berusaha merebut pedang itu dari tangan puterinya. Pada saat itu, Lai Siang Ek dan Ceng Ceng memasuki pondok dan melihat Hwe Li sudah mengayun pedang untuk menyerang lehernya sendiri, Ceng Ceng meloncat bagaikan burung terbang dan sekali sambar ia telah berhasil merampas pedang dari tangan Hwe Li.
Melihat ulah Hwe Li yang hendak membunuh diri, Lai Siong Ek lupa keadaan saking haru dan sedihnya. Dia langsung merangkul Hwe Li dan berkata, "Sumoi, jangan engkau membunuh diri".. aku".. aku cinta padamu, Sumoi."
Hwe Li dengan mata sayu memandang wajah suhengnya. Sejak dahulu ia tahu bahwa suhengnya ini amat mencintanya, akan tetapi selama itu tidak ditanggapi. "Suheng, aku bukan sumoimu yang dulu lagi".. aku".. aku telah ternoda".. aku tidak berharga untukmu dan tidak berharga menjadi puteri Ayah......" Gadis itu rnenangis lagi.
"Tidak peduli, Sumoi. Engkau tetap Sumoi Souw Hwe Li untukku dan aku ingin engkau menjadi isteriku. Betapa selama setahun ini hatiku tersiksa dan sekarang setelah kami dapat menemukan engkau, jangan..... jangan putus asa seperti itu, Sumoi."
Hwe Li merasa betapa tulus cinta kasih dari suhengnya itu. Biarpun sudah mendengar pengakuan bahwa ia telah ternoda, tetap saja suhengnya ingin memperisterinya!
"Suheng......!" Ia menangis dalam rangkulan Lai Siong Ek yang merasa bahagia bagaikan menemukan kembali sebuah mustika yang hilang.
Setelah tangis puterinya reda dan agaknya Hwe Li sudah tenang kembali, Souw Can bertanya kepada puterinya, "Sebetulnya siapakah jahanam itu?"
"Dia bernama Siangkoan Tek, dia adalah putera dari datuk besar Siangkoan Bhok, majikan Pulau Naga yang berjuluk Tung-hai-ong, datuk besar timur," kata Hwe Li lirih.
"Ah, pantas dia lihai sekali!" kata Ceng Ceng. "Akan tetapi aku akan tekun memperdalam ilmu silatku dan kelak kalau bertemu dengannya aku pasti akan membalas sakit hatimu, Hwe Li."
"Terima kasih, engkau telah berbuat banyak untukku, Ceng Ceng," kata Hwe Li dan baru ia menyadari betapa dulu, ia dan Siong Ek telah terlalu memandang rendah kepada gadis itu. Ternyata sekarang, yang menyelamatkannya adalah Ceng Ceng. Kalau tidak ada gadis itu, tentu sekarang ia masih menjadi tawanan Siangkoan Tek dan diperlakukan sebagai budak belian!
Setelah Hwe Li tenang kembali, mereka lalu pergi dikawal pasukan kembali ke Pao-ting, di mana Hwe Li disambut dengan rangkulan dan tangisan ibunya. Juga Ceng Ceng diterima dengan baik, apalagi kalau keluarga itu mengingat akan jasanya yang amat besar.
Akan tetapi Ceng Ceng hanya tinggal semalam di rumah pamannya.
"Suhu menanti di puncak bukit, aku harus cepat ke sana seperti yang kujanjikan," kata Ceng Ceng ketika keluarga itu hendak menahannya.
"Ah, mengapa engkau tidak mengajak suhumu datang ke sini, Ceng Ceng" Kami ingin sekali bertemu dan memberi hormat kepadanya," kata Souw Can.
"Suhu berwatak aneh, Paman. Dia tidak ingin bertemu dan berkenalan dengan siapa pun. Nah, Paman dan Bibi, aku mohon diri sekarang, Hwe Li dan Lai-suheng, selamat tinggal."
Hwe Li merangkul Ceng Ceng dan berbisik, "Maafkanlah sikapku yang dahulu amat buruk kepadamu, Ceng Ceng."
Ceng Ceng balas merangkul dan mencium pipi saudara misannya. "Aku sudah melupakan segala masa laluku, Hwe Li. Kuharap engkau juga sudah melupakan semua masa lalumu dan hidup baru dengan penuh kebahagiaan."
Kemudian Ceng Ceng meninggalkan pamannya, melakukan perjalanan secepatnya menuju ke bukit di mana Thian-tok Gu Kiat Seng menunggunya selama tiga hari. Setelah bertemu gurunya, ia menceritakan semua pengalaman yang telah dialaminya dan betapa ia masih kalah dalam menandingi Siangkoan Tek, putera datuk besar Siangkoan Bhok yang berjuluk Tung-hai-ong.
Thian-tok tersenyum. "Tingkat kepandaian Siangkoang Bhok seimbang dengan tingkatku, maka aku disebut Datuk Barat dan dia disebut Datuk Timur. Karena engkau baru setahun menjadi muridku, tentu saja tingkatmu masih kalah dibandingkan tingkat puteranya. Akan tetapi kalau engkau tekun berlatih, aku akan menurunkan ilmu-ilmu simpananku kepadamu dan kalau engkau sudah menguasai ilmu-ilmu itu, kiranya tidak akan mudah putera Siangkoan Bhok itu mengalahkanmu."
Ceng Ceng menjadi gembira dan ia lalu melanjutkan perantauannya bersama gurunya sampai mereka menemukan sebuah bukit yang cocok untuk mereka jadikan sebagai tempat tinggal sementara.
oood0wooo Panglima Song Thian Lee segera menghadap Kaisar Kian Liong ketika Kaisar mengundangnya untuk menghadap ke istana. Setelah tiba di ruangan sidang di istana itu, dia melihat bahwa dua orang panglima lain, yaitu Panglima Tua Bouw Kin Sek dan wakilnya yang bernama Coa Kun telah hadir pula menghadap Kaisar. Kiranya bukan hanya dia seorang yang diundang, akan tetapi dua orang panglima besar lainnya sehingga mudah diduga bahwa Kaisar tentu akan membicarakan soal keamanan. Panglima Tua Bouw Kin Sek adalah seorang Mancu, akan tetapi seperti juga Kaisar Kian Liong, dia telah menyesuaikan diri dengan kehidupan rakyat dijajahnya sehingga sampai ke dalam keluarganya di rumah mereka hidup seperti keluarga bangsawan bangsa Han saja. Panglima Tua Bouw Kin Sek selain pandai mengatur pasukan dan cerdik dalam siasat perang, juga dia lihai dalam ilmu silat bercampur ilmu gulat bangsa Mancu. Tenaganya besar sekali dan biarpun usianya sudah lima puluh tahun, namun sukar dicari orang yang mampu menandinginya. Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya penuh brewok membuat penampilannya penuh wibawa dan membuat lawan-lawannya menjadi gentar. Wakilnya, Panglima Coa Kun adalah seorang peranakan Han Mancu yang berusia empat puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya agak kepucatan. Biarpun penampilannya tidak mengesankan, namun sesungguhnya Panglima Coa Kun ini seorang yang amat cerdik. Siasatnya dalam perang banyak yang berhasil sehingga Kaisar Kian Liong menghargainya dan mengangkatnya menjadi wakil dari Panglima Bouw Kin Sek. Juga Panglima Coa Kun ini lihai ilmu silatnya, biarpun tidak selihai tingkat Panglima Bouw Kin Sek, akan tetapi dia terkenal sebagai seorang yang memiliki lwee-kang (tenaga dalam) yang kuat sekali.
Setelah memberi hormat kepada Kaisar Kian Liong dan dipersilakan duduk, Panglima Song Thian Lee yang masih amat muda, baru berusia dua puluh tiga tahun, mengambil tempat duduk di sebelah kiri Panglima Bouw Kin Sek. Dia adalah panglima muda yang kedudukannya sebagai panglima besar, walaupun jauh lebih muda dari Panglima Bouw Kin Sek, akan tetapi kedudukannya lebih tinggi.
"Bagus, engkau sudah datang, Song-ciangkun." kata Kaisar Kian Liong sambil memandang kepada panglimanya ini dengan sinar mata gembira.
"Hamba siap siaga untuk melaksanakan segala perintah Paduka," kata Song Thian Lee dengan sikap hormat.
"Kami mengundangmu untuk mengajak bicara tentang pergolakan yang terdapat di daerah pantai timur. Kami mendapat keterangan dari Bouw-ciangkun bahwa keadaan di sana sudah gawat dan sewaktu-waktu dapat timbul pemberontakan besar. Biarlah Bouw-ciangkun sendiri yang menceritakan kepadamu tentang berita yang didapatkannya itu."
Thian Lee menoleh dan memandang kepada Bouw Kin Sek dengan pandang mata bertanya. Dalam kedudukan mereka, kekuasaan mereka terbagi. Bouw-ciangkun menguasai pasukan yang melakukan penjagaan di timur sampai ke laut, sedangkan Thian Lee mengepalai sisa pasukan yang terpencar di utara, barat dan selatan yang tentu saja dipimpin oleh masing-masing panglimanya sebagai pembantu-pembantu Thian Lee. Karena bagian timur bukan bagian kekuasaannya, maka dia tidak mendengar akan pergolakan yang dimaksudkan Kaisar itu.
"Begini, Souw-ciangkun." Panglima Bouw mulai memberi keterangan. "Kami menerima berita dari Un-ciangkun yang bertugas di timur dan bertempat tinggal di kota Hui-cu bahwa ada gerak-gerik rahasia yang menjurus ke arah pemberontakan. Beberapa kali ada usaha gelap untuk membunuhnya setelah dia tidak pernah menghiraukan surat-surat gelap yang diterimanya dan mengajaknya untuk memberontak. Un-ciangkun adalah seorang perwira yang setia maka tentu saja dia tidak menanggapi ajakan itu. Akan tetapi dia melihat banyak mata-mata berbangsa Jepang berkeliaran di sepanjang pantai timur. Orang-orang Jepang itu rata-rata berkepandaian tinggi sehingga tidak pernah ada yang dapat tertangkap. Kami khawatir sekali bahwa di antara para perwira pembantu kami ada yang melakukan hubungan dengan orang-orang Jepang itu, dan ini berbahaya sekali. Melihat gerak-gerik mereka, menurut Un-ciangkun, terdapat banyak orang pandai di antara mereka dan dia merasa seolah selalu dibayangi orang sehingga ia harus melindungi dirinya dengan pasukan pengawal yang menjaga ketat keselamatannya. Karena itulah, dia memberi kabar kepada kami dan kami melapor kepada Sri Baginda Kaisar."
Song Thian Lee mengerutkan alisnya. Dia teringat akan pemberontakan yang pernah dilakukan Pangeran Tua Tang Gi Lok yang dibantu oleh tokoh-tokoh sesat dunia kang-ouw dan perkumpulan-perkumpulan jahat. Ketika pemberontakan itu terjadi tiga tahun yang lalu, dia membantu pemerintah untuk menghancurkan pemberontakan itu sehingga dia berjasa besar dan diberi kedudukan panglima besar oleh Kaisar. Kini dia dihadapkan dengan gejala-gejala pemberontakan yang lain lagi. Setiap pemberontakan hanya merugikan rakyat dan mengacaukan keadaan. Pemberontakan-pemberontak itu bermaksud mengambilalih kekuasaan untuk mengangkat diri sendiri menjadi penguasa, tidak seperti gerakan perjuangan rakyat yang memang membenci pemerintah penjajah.
"Nah, demikianlah keadaannya. Karena gejala pemberontakan itu memperlihatkan gerakan banyak orang-orang lihai, maka tidak ada jalan lain kecuali menyelidiki keadaan mereka yang sesungguhnya. Dan untuk melakukan penyelidikan, harus dilakukan orang yang berkepandaian tinggi. Maka kami ingat padamu, Song-ciangkun. Agaknya hanya engkaulah orangnya yang tepat untuk melaksanakan penyelidikan itu, kemudian mengambil tindakan kalau terdapat bukti bahwa mereka hendak memberontak. Engkau boleh mengerahkan pasukan berapa pun yang kau butuhkan."
Song Thian Lee berpikir. Dia harus rnenyelidiki lebih dulu siapakah yang berada balik gejala-gejala pemberontakan itu, melihat apakah itu hanya pemberontakan biasa ataukah perjuangan para patriot. Kalau hanya perjuangan kecil-kecil saja dia akan berusaha untuk memperingatkan para patriot bahwa usaha mereka akan sia-sia dan hanya mengorbankan nyawa anak buah saja dan mengacaukan kehidupan rakyat jelata. Kalau itu merupakan gerakan bawah tanah dari mereka yang hendak memberontak, dia harus menumpasnya.
"Hamba siap melakukan tugas itu, Yang Mulia."
"Engkau boleh membawa pasukan untuk menyertaimu."
"Hamba kira hal itu tidak perlu, Yang Mulia. Untuk melakukan penyelidikan, harus hamba lakukan sendiri dan menyamar sehingga mereka tidak tahu bahwa ada penyelidikan dari kota raja. Kalau hamba membutuhkan bantuan pasukan, tentu hamba dapat menghubungi Un-ciangkun di Hui-cu."
Kaisar mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada Bouw-ciangkun. "Bagaimana pendapatmu, Bouw-ciangkun?"
"Hamba kira pendapat Song-ciangkun itu benar sekali. Dan hamba juga akan mengirim penyelidik, yaitu Coa-ciangkun, hamba akan memberi sebuah surat untuk Un-ciangkun sehingga sewaktu-waktu dia membutuhkan bantuan, akan mendapatkan bantuan itu dengan mudah."
Kaisar mengangguk-angguk setuju. "Baiklah, sekarang juga engkau harus bersiap dan berangkat ke timur, Song-ciangkun."
"Hamba siap, Yang Mulia."
Persidangan itu dibubarkan dan Panglima Bouw Kin Sek segera menulis sesampul surat untuk Panglima Un di Huicu dan memberikan surat itu kepada Thian Lee. Setelah memesan agar Thian Lee berhati-hati dan panglima muda itu pergi meninggalkannya, Panglima Bouw Kian Sek lalu memanggil wakilnya, yaitu Coa-ciangkun.
"Coa-ciangkun. Sri Baginda Kaisar telah mengutus Thian Lee untuk melakukan penyelidikan di timur. Akan tetapi hatiku masih kurang puas. Aku menghendaki agar engkau pun diam-diam melakukan penyelidikan ke sana, siapa tahu engkau dapat berhasil lebih baik daripada Song-ciangkun."
Perwira yang menjadi wakilnya itu bernama Coa Kun dan dia seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang cerdik sekali. Biarpun atasannya hanya berkata demikian, namun Coa Kun sudah dapat menduga apa isi hati atasannya itu. Dia tahu bahwa atasannya itu, sebagai Panglima tua, tentu merasa iri kepada Song-ciangkun yang disebut Panglima Muda akan tetapi yang kedudukannya lebih tinggi darinya. Daerah timur sampai ke pantai adalah daerah kekuasaannya, di mana dia yang bertanggung jawab. Akan tetapi kini Kaisar mengutus Thian Lee untuk melakukan penyelidikan, seolah tidak percaya kepadanya! Maka, Coa Kun tersenyum dan mengangguk.
"Baiklah, Ciangkun. Akan saya usahakan agar saya dapat mendahului Song-ciangkun dalam membongkar pemberontakan ini dan memadamkannya."
"Bagus. Song-ciangkun akan mendapat bantuan anak buah dari Un-ciangkun secara terbatas, akan tetapi engkau sebagai atasan Un-ciangkun dapat menggunakan pasukannya, berapa saja yang kau kehendaki. Juga kalau perlu engkau dapat menggerakkan pasukan pesisir yang dipimpin oleh Phoa-ciangkun. Kedua perwira itu adalah bawahanmu langsung, maka engkau tentu akan lebih mereka taati daripada Song-ciangkun."
Setelah menerima banyak pesan dan nasihat, Coa Kun lalu berangkat seorang diri menuju ke timur. Dia menanggalkan pakaiannya sebagai seorang perwira tinggi dan menyamar sebagai penduduk biasa. Dengan menggunakan seekor kuda yang baik, Coa-ciangkun ini mendahului Song Thian Lee menuju ke timur.
Sementara itu, Song Thian Lee segera pulang ke gedungnya. Setibanya di rumah, dia langsung membuka pakaian dinasnya dan mengenakan pakaian biasa. Baru saja dia selesai berganti pakaian, isterinya memasuki ruangan itu.
Dengan senyum cerah dan sikap lembut penuh kasih sayang Tang Cin Lan, isterinya, berkata, "Lee-ko, kenapa engkau nampak tergesa-gesa berganti pakaianmu?" Wanita cantik jelita itu mengamati wajah suaminya dengan penuh perhatian. "Ada berita apakah dari Sri Baginda Kaisar?" Biarpun Kaisar Kian Liong masih saudara misan ayahnya, Cin Lan selalu menyebutnya dengan Sri Baginda Kaisar seperti orang lain untuk menghormati Kaisar itu.
Thian Lee balas memandang, lalu memegang pundak isterinya dengan penuh kasih sayang. "Aku mendapatkan tugas yang teramat penting. Di mana Hong San?" Dia menanyakan putera mereka yang kini sudah berusia dua tahun dan sedang lucu-lucunya.
"Dia baru saja tidur siang di kamarnya, dijaga oleh pengasuh," jawab Cin Lan yang disambung pertanyaan, "Tugas apakah yang begitu penting, Lee-ko?"
"Agaknya kita harus berpisah, aku harus meninggalkan rumah beberapa waktu lamanya, entah berapa lama dan mudah-mudahan saja segera tugas itu dapat kuselesaikan sehingga aku dapat segera pulang."
Mereka duduk di ruangan dalam, berhadapan. Cin Lan menatap wajah suaminya dan alisnya yang hitam melengkung indah itu berkerut. "Pergi ke manakah dan apakah tugas itu?"
"Sri Baginda Kaisar mendengar berita bahwa di pantai timur dan daerahnya terdapat gejala-gejala pemberontakan, bahkan mungkin para pemberontak itu bersekutu dengan orang-orang Jepang yang biasanya menjadi bajak laut dan merampok di sepanjang pantai. Karena kabarnya orang-orang Jepang itu banyak yang pandai, bahkan sudah ada usaha pembunuhan terhadap Panglima Un di sana, maka Baginda Kaisar mengutus aku sendiri untuk melakukan penyelidikan ke sana dan memadamkan pemberontakan."
"Kau membawa pasukan?" "Tidak. Bagaimana aku akan dapat melakukan penyelidikan kalau aku berangkat membawa pasukan" Kita belum tahu siapa yang hendak memberontak, siapa yang terlibat dan siapa yang memimpin. Nanti, kalau aku sudah berhasil dengan penyelidikanku dan bahwa di sana benar-benar terjadi usaha pemberontakan, baru aku akan minta bantuan Un-ciangkun untuk memberi pasukannya guna membasmi pemberontak itu."
"Jadi engkau hendak melakukan penyelidikan seorang diri saja, Lee-ko?" Cin Lan memandang dengan khawatir.
Thian Lee tersenyum dan memegang tangan isterinya di atas meja. "Kenapa, Lan-moi" Bukankah sudah biasa bagiku untuk melakukan tugas seorang diri saja" Menempuh bahaya dalam tugas adalah biasa, tidak perlu dirisaukan."
"Bukan begitu, Lee-ko. Dahulu engkau adalah seorang biasa, seorang pendekar yang merantau dan malang-melintang di dunia kang-ouw. Akan tetapi sekarang engkau adalah seorang penglima besar yang mengepalai banyak sekali pasukan, kenapa pergi seorang diri" Bukankah banyak anak buahmu yang cakap untuk melaksanakan tugas itu" Engkau dapat menyebar ratusan orang mata-mata untuk menyelidiki keadaan di pantai timur saja."
"Tidak mungkin hal itu kulakukan, isteriku. Itu berarti bahwa aku kurang bertanggung jawab terhadap tugas ini. Sri Baginda Kaisar mengutus aku sendiri untuk menyelidiki karena di sana terdapat banyak orang pandai, bagaimana aku dapat tinggal diam di rumah dan menyuruh para pembantuku melakukan tugas yang panting ini?"
"Akan tetapi engkau adalah seorang panglima besar, Lee-ko. Aku khawatir bahwa banyak orang diam-diam memusuhimu karena iri. Kalau engkau nekat untuk pergi seorang diri, biarlah aku akan menemanimu!"
Thian Lee bangkit dari tempat duduknya, menghampiri isterinya dan merangkulnya. "Cin Lan, mengapa engkau begini" Aku adalah suamimu yang akan melaksanakan tugas, bagaimana engkau dapat ikut denganku" Engkau seharusnya berada di rumah, menjaga dan merawat Hong San, anak kita yang baru dua tahun usianya. Kalau dia mencari ayah ibunya yang keduanya tidak ada, apakah hal itu tidak akan membuat dia bersedih dan rewel?"
"Akan tetapi aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Lee-ko!"
"Sejak kapan isteriku yang tercinta meragukan kemampuanku" Aku tidak akan mudah tertimpa malapetaka, Lan-moi. Engkau tahu benar bahwa aku dapat menjaga dan membela diri dari marabahaya. Apa akan kata orang kalau mereka mengetahui bahwa isteri seorang panglima besar mengkhawatirkan keselamatan suaminya dan mengawal suaminya yang sedang bertugas" Tentu kita akan menjadi bahan olok-olok. Jangan khawatir. Aku pasti akan kembali membawa kemenangan. Kau tahu, di Hui-cu sana terdapat pasukan kerajaan sehingga aku dapat memperoleh bantuan mereka."
Akhirnya Cin Lan menyadari kesalahan dan ia tidak mampu membantah lagi. Bagaimanapun juga, perintah Kaisar tidak boleh dianggap ringan begitu saja. Ia telah bersikap sebagai seorang isteri yang cengeng dan penakut!
"Baiklah, Lee-ko. Engkau boleh pergi seorang diri, akan tetapi dengan janji bahwa setelah seratus hari engkau sudah harus pulang atau setidaknya memberi kabar. Kalau lewat seratus hari engkau belum pulang, aku pasti akan menyusul dan membantumu."
Terpaksa Thian Lee berjanji kepada isterinya. "Mudah-mudahan saja sebelum lewat seratus hari akan selesailah tugasku itu. Jangan khawatir, Lan-moi."
"Dan kapan engkau akan berangkat?"
"Besok, pagi-pagi sekali karena aku akan pergi dengan menyamar, agar jangan ada orang mengenalku."
Demikianlah, semalam itu Cin Lan tidak pernah mau melepaskan rangkulannya, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum sinar matahari menerangi bumi, Thian Lee sudah berangkat, memakai pakaian seperti seorang pemuda pelajar biasa dan membawa buntalan pakaian, tidak lupa membawa Jit-goat-kiam (Pedang Matahari dan Bulan) yang disembunyikan dalam buntalan pakaiannya. Dia membiarkan kuncir rambutnya tergantung lepas di punggungnya dan kepalanya memakai sebuah topi lebar. Tak seorang pun tahu bahwa pemuda sederhana ini adalah Panglima Besar Kerajaan.
oood0wooo Un-ciangkun atau Un Kiong, panglima yang tinggal di kota Hui-cu sudah beberapa kali didatangi penjahat yang hendak membunuhnya. Dia tahu bahwa ada persekutuan rahasia di daerahnya. Dia mendengar bahwa sering kali kelihatan orang Jepang berkeliaran di kota Hui-cu dan sekitarnya. Karena itu, dia pun menaruh curiga dan menyebar mata-mata untuk mengamati gerak-gerik orang-orang Jepang itu. Bahkan dia mengutus beberapa orang perwira memimpin seregu perajurit mengadakan perondaan di sekeliling kota Hui-cu dan menangkap kalau ada orang Jepang yang mencurigakan, bahkan memeriksa orang-orang asing yang lewat di daerah itu.
Pada saat pagi, serombongan perajurit yang dipimpin perwiranya mengadakan perjalanan di bukit di sebelah timur Hui-cu. Mereka berjumlah dua losin orang perajurit dan seorang perwira ini adalah satu di antara regu-regu pasukan yang dikirim, oleh Un-ciangkun untuk melakukan perondaan di sekitar wilayah Hui-cu. Para perajurit yang menjadi anggauta regu ini, seperti juga regu-regu yang lain, merupakan perajurit pilihan yang pandai ilmu silat dan bertubuh kuat.
Bukit di mana regu ini meronda nampak sunyi sekali. Pagi itu udara cerah dan para perajurit berjalan sambil bicara. dengan gembira. Kecerahan udara pagi itu membuat hati mereka cerah gembira pula. Mereka semua berjalan kaki, meninggalkan kuda mereka di kaki bukit karena di bukit itu sempit dan berjalan kaki lebih leluasa daripada naik kuda.
Tiba-tiba dari arah depan datang seorang pemuda yang menarik perhatian mereka. Pemuda itu bertubuh tegap dan mengenakan pakaian serba putih, wajahnya tampan dan mulutnya terhias senyum dingin.
Perwira yang memimpin pasukan itu memandang dengan curiga. Memang aneh dan mencurigakan melihat seorang pemuda berpakaian sebagai seorang tuan muda berkeliaran di tempat sunyi seperti itu. Apalagi melihat gagang sepasang pedang berada di punggungnya.
"Sobat, berhenti dulu!" perwira itu menegur ketika mereka berhadapan. Pemuda itu adalah Ouw Kwan Lok. Hatinya sedang tidak senang karena dia mengenang dua peristiwa yang amat membuatnya penasaran dan kecewa. Pertama ketika dia menawan Ceng Ceng untuk dijadikan kekasihnya akan tetapi terpaksa dia melepaskan korbannya ketika datang Thian-tok yang datang menolong gadis itu. Peristiwa itu terjadi setahun yang lalu, akan tetapi kalau dia teringat masih saja hatinya merasa penasaran dan kecewa. Kedua kalinya ketika dia bertemu dengan Souw Lee Cin. Dengan bantuan dua orang perarnpok dia berhasil menjebak Lee Cin sehingga gadis itu terbius dan pingsan, lalu oleh dua orang pembantunya gadis yang pingsan itu dibawa kepadanya. Bagaikan daging sudah berada di bibir, tiba-tiba daging itu terlepas ketika Lee Cin ternyata hanya pura-pura pingsan dan bahkan hampir mengalahkan dalam perkelahian. Kalau teringat akan kedua peristiwa itu, hati Kwan Lok menjadi tidak senang, penasaran dan kecewa. Di pagi hari itu, dia sedang teringat akan kegagalan-kegagalan itu dan biarpun mulutnya tersenyum, sebenarnya hatinya sedang mengkal.
Itulah sebabnya ketika perwira kepala regu itu menegur dan menyuruhnya berhenti, hati yang sedang mengkal itu menjadi semakin marah. Biarpun suaranya masih lembut dan mulutnya masih tersenyum, namun di dalam ucapannya terkandung kemarahan.
"Aku tidak ada urusan dengan kalian, mengapa kalian menyuruhku berhenti?"
Komandan regu itu menjadi marah karena dia menganggap pemuda itu congkak, walaupun ucapannya lembut. "Hayo katakan siapa engkau dan apa keperluanmu berkeliaran di sini, di mana tempat tinggalmu dan mau apa engkau membawa-bawa pedang!" bentaknya.
Kwan Lok tersenyum lebar dengan pandang mata mengejek. "Namaku Ouw Kwan Lok, tempat tinggalku tidak tetap maka aku merantau dan sampai di tempat ini. Pedang ini kubawa untuk mengusir anjing-anjing yang hendak mengganggu aku dalam perjalananku!"
Komandan regu itu menjadi semakin marah karena dia menganggap bahwa dia bersama anak buahnya yang dimaki anjing-anjing! "Tidak tahukah engkau akan aturan kami bahwa orang biasa tidak diperbolehkan membawa senjata" Hayo berikan sepasang pedang itu kepadaku dan engkau boleh melanjutkan perjalanan."
"Ini adalah sepasang pedangku sendiri, mengapa engkau minta?"
"Kami harus merampas senjata tajam siapa pun, siapa tahu senjata tajam itu akan kau pergunakan untuk merampok!"
"Perwira bermata buta! Apakah engkau tidak dapat membedakan antara perampok dan orang baik-baik" Aku bukan perampok dan sepasang pedang ini tidak akan kuberikan kepada siapa pun."
"Engkau akan melawan pasukan pemerintah?"
"Kau kira aku takut menghadapi serombongan anjing yang hanya pandai menyalak?" jawab Kwan Lok dengan pertanyaan yang menghina.


Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perwira itu menjadi marah dan dia memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menyerang pemuda berpakaian serba putih yang berani dan kurang ajar itu.
Para perajurit yang juga sudah marah melihat sikap Kwan Lok yang menantang dan menghina, sudah mencabut golok masing-masing dan mengeroyok pemuda itu. Serangan mereka bagaikan gelombang datangnya, bertubi-tubi banyak golok menyambar ke arah tubuh Kwan Lok. Pemuda ini cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan berloncatan ke sana sini. Karena pengeroyoknya berjumlah dua puluh lima orang dan rata-rata mereka memiliki ilmu golok yang lumayan, maka Kwan Lok terpaksa mencabut sepasang pedangnya dan mengamuk.
Akan tetapi, perwira itu pun memiliki ilmu pedang yang lumayan dan dibantu pengeroyokan dua losin perajurit, mereka mendesak Kwan Lok. Pemuda ini menjadi marah. Tangan kirinya berkali-kali bergerak dan ada sinar menyambar dari tangan kirinya, merobohkan empat orang perajurit yang terkena sambitan pisau terbangnya. Kemudian dia memutar sepasang pedangnya dan mengamuk. Pedangnya bergerak demikian hebatnya sehingga kembali empat operajurit roboh oleh sambaran sepasang pedangnya.
Tiba-tiba datang pula dua losin perajurit. Mereka adalah regu lain yang mengadakan perondaan di bawah bukit dan mereka melihat betapa rekan-rekan mereka sedang bertempur di lereng bukit itu. Maka, komandan regu mereka cepat memimpin mereka mengejar ke lereng bukit dan melihat betapa regu pertama mengeroyok seorang pemuda .berpakaian putih yang amat lihai, regu dua tanpa diminta segera menyerbu dan ikut pula mengeroyok!
Betapa lihainya Kwan Lok, dikeroyok oleh empat puluh orang lebih itu dia menjadi terdesak. Dua orang perwira itu memberi perintah kepada anak buah mereka sehingga mereka mengepung ketat dan menyerang dari semua jurusan. Kwan Lok terpaksa memutar kedua pedangnya untuk menyelimuti tubuhnya agar terlindung dari hujan bacokan golok. Untuk melarikan diri, sukar baginya karena perajurit yang banyak jumlahnya itu telah mengepungnya secara berlapis-lapis.
Pada saat itu, muncul seorang pemuda lain yang juga tampan dan gagah, berpakaian mewah. Dia muncul bersama seorang yang bertubuh pendek kokoh berusia sekitar empat puluh tahun dan ada sebatang pedang bengkok tergantung di punggungnya. Pemuda tampan berpakaian mewah itu bukan lain Siangkoan Tek, sedangkan orang katai itu adalah Yasuki, orang Jepang yang ahli bermain pedang samurai itu. Ketika Yasuki bertemu dengan Siangkoan Tek di jalan, Yasuki segera mengenal pemuda itu. Memang Siangkoan Bhok, majikan Pulau Naga itu amat dikenal oleh semua bajak laut, terutama lagi oleh para bajak laut Jepang yang harus mengakui kehebatan orang-orang Pulau Naga, maka para bajak laut Jepang itu dengan cerdik bersikap sebagai sahabat dengan Pulau Naga, bahkan mereka selalu mengirim barang berharga sebagai tanda persahabatan dan sebagai bagi hasil bajakan mereka. Demikianlah, begitu bertemu Siangkoan Tek, Yasuki mengenalnya dan menghormatinya. Mereka becakap-cakap dan Yasuki mulai membujuk Siangkoan Tek untuk membantu persekutuan mereka untuk menentang pemerintah Mancu.
Siangkoan Tek segera menyatakan persetujuan. Ayahnya sendiri pun tidak suka kepada Pemerintah Mancu, dan mereka sudah sering bentrok dengan pasukan Mancu. Bahkan ketika dia menawan Hwe Li, dia diserbu pasukan kerajaan dan dia sendiri menganggap kerajaan Mancu sebagai pihak pihak yang harus ditentang dan dimusuhi.
Yasuki lalu mengajak Siangkoan Tek untuk pergi ke Hui-cu dan dalam perjalanan itu mereka melihat Ouw Kwan Lok dikeroyok empat puluh lebih perajurit kerajaan. Mereka berdua kagum melihat sepak terjang Ouw Kwan Lok yang menghadapi pengeroyokan itu.
"Pemuda itu lihai sekali," kata Yasuki, "dan dia dikeroyok oleh pasukan pemerintah. Kalau dia dapat ditarik menjadi sekutu, tentu akan baik sekali dan memperkuat keadaan kita. Mari kita bantu dia, Siangkoan-kongcu."
Siangkoan Tek setuju karena dia pun tertarik kepada pemuda berpakaian putih yang tampan dan juga lihai itu. Mereka berdua lalu menerjang dari luar kepungan. Dengan terjunnya dua orang ini dalam pertempuran, pihak pasukan menjadi kocar-kacir. Kekuatan mereka terpecah-pecah untuk mengeroyok tiga orang lihai itu.
Akan tetapi ketika pihak pasukan sedang terdesak, muncul Lee Cin! Gadis perkasa ini segera mengenal tiga orang yang dikeroyok para perajurit itu. Ouw Kwan Lok pernah menawannya sampai dua kali dengan cara curang sekali. Pemuda berpakaian putih itu tentu saja menjadi musuh besarnya, Siangkoan Tek juga bukan pemuda baik-baik, ia mengenal putera datuk besar majikan Pulau Naga itu. Adapun orang ke tiga adalah Yasuki yang pernah bertanding dengannya di rumah keluarga Cia. Maka, melihat mereka bertiga dikeroyok pasukan, mudah saja ia mengambil keputusan untuk membantu pihak mana.
"Tiga orang itu penjahat-penjahat besar, jangan sampai lobos!" teriaknya dan dia sudah mencabut Ang-coa-kiam dan menerjang ke dalam pertempuran, langsung saja ia menyerang Ouw Kwan Lok yang paling dibencinya di antara tiga orang itu.
Ouw Kwan Lok terkejut sekali melihat sinar merah menyambarnya, apalagi ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah Souw Lee Cin yang kelihaiannya sudah dia rasakan. Dia cepat menangkis dengan pedang kanannya, sedangkan pedang kiri menahan senjata para pasukan yang mengeroyoknya.
"Keryok yang lain, biar yang satu ini aku yang menghajarnya!" teriak Lee Cin kepada para perajurit. Maklum bahwa mereka mendapat bantuan seorang gadis cantik yang amat lihai, para perajurit yang tadinya mengeroyok Kwan Lok segera berbalik dan membantu teman-teman yang mengeroyok Siangkoan Tek den Yasuki. Bantuan Lee Cin membuat keadaan berimbang kembali, bahkan ia sendiri sudah mendesak Ouw Kwan Lok yang sudah jerih terhadapnya.
Karena Lee Cin maklum bahwa dua orang yang lain itu juga lihai dan belum tentu pengeroyokan para perajurit dapat mengalahkan mereka, dikerahkan tenaganya dapat segera mengalahkan Kwan Lok. Ia bukan saja memainkan Ang-coa-kiamsut yang dahsyat, akan tetapi juga menggunakan tangan kirinya untuk menyelingi serangan serangan dengan totokan It-yang-ci yang amat hebat itu.
Yasuki terkejut juga melihat munculnya Lee Cin karena ia pun pernah dirobohkan oleh pendekar wanita yang cantik itu. Niatnya bukan untuk mengalahkan pasukan itu, melainkan lebih untuk menarik hati Kwan Lok agar mau dibujuk untuk bersekutu dengan pihaknya. Maka karena khawatir kalau Kwan Lok akan celaka di tangan Lee Cin, dia pun berteriak dengan keras,
"Kita lari! Tiada gunanya dilanjutkan!"
Agaknya Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok juga mengerti bahwa pihak mereka akan menderita kerugian kalau pertempuran itu dilanjutkan, terutama sekali Kwan Lok. Maka mendengar seruan ini, dia lalu membalik dan menyerang para pengeroyok untuk membuka jaian. Demikian pula Siangkoan Tek. Akhirnya, dalam keadaan para pengeroyok menjadi kacau sehingga Lee Cin juga terhalang oleh gerakan mereka, tiga orang itu meloncat dan melarikan diri.
Lee Cin merasa penasaran sekali. Ia sudah hampir dapat merobohkan dan membunuh Ouw Kwan Lok yang jahat, akan tetapi pemuda itu dapat membebaskan diri melalui kekacauan para pengeroyok. Karena merasa bahwa ia mampu mengengejar, ia lalu meloncat dan melakukan pengejaran dengan cepat sambil berseru, "Penjahat cabul, engkau hendak lari ke mana?"
Tiga orang itu berlari cepat, akan tetapi gerakan Lee Cin lebih cepat lagi. Para perajurit lalu melakukan pengejaran, akan tetapi mereka tertinggal jauh. Hanya Lee Cin sendiri yang masih terus mengejar ketika tiga orang itu menyusup ke dalam hutan kecil.
Ketika Lee Cin meloncat pula ke hutan dan melakukan pengejaran sampai ke tengah hutan, tiba-tiba tiga orang yang dikejarnya itu berhenti dan membalikkan tubuh, langsung menyambut Lee Cin dengan serangan mereka! Lee Cin menggerakkan pedangnya dan ia lalu dikeroyok tiga. Barulah dara perkasa ini terkejut setelah menghadapi pengeroyokan tiga orang itu. Ia telah masuk perangkap! Akan tetapi sama sekali ia tidak menjadi jerih dan dengan cepat menggerakkan pedangnya melawan mereka.
Dibandingkan dengan Ouw Kwan Lok atau Siangkoan Tek, ilmu kepandaian Lee Cin lebih menang sedikit. Melawan seorang di antara mereka saja, biarpun mampu menang akan tetapi akan makan waktu cukup banyak. Kini ia harus menghadapi pengeroyokan mereka, masih ditambah lagi dengan Yasuki yang menggunakan pedang samurainya! Tentu saja Lee Cin segera terdesak. Akan tetapi ia tidak menyesal dan tak takut sedikit pun juga. Ia akan melawan sampai mati!
"Tangkap ia, jangan bunuh!" teriak Ouw Kwan Lok kepada dua orang yang membantunya.
"Ya, jangan bunuh!" kata pula Siangkoan Tek yang sejak lama telah tergila-gila kepada Lee Cin. Bahkan di dalam hatinya dia sudah mengambil keputusan untuk memperisteri Lee Cin. Hanya gadis inilah yang dipilih, yang dirasa cocok untuk menjadi isterinya.
Mendengar teriakan mereka, Yasuki ingin menyenangkan hati kedua orang pemuda yang diharapkan membantu gerakannya itu. Dia lalu mengambil sebuah benda bulat sebesar telur ayam dari saku bajunya dan membantingnya di depan Lee Cin. Terdengar ledakan keras dan asap tebal bergulung-gulung di depan Lee Cin dan membuat gadis itu tidak dapat melihat dengan jelas. Kesempatan itu dipergunakan oleh tiga orang pengeroyoknya untuk menerjang dan mengirim serangan dengan tangan kosong agar tidak melukainya.
"Dukkkk!!" Lee Cin mencoba untuk mengelak, akan tetapi sebuah totokan dari tangan Siangkoan Tek mengenai pundaknya dan ia pun roboh terpelanting dan pedangnya terlepas dari tangannya.
Siangkoan Tek menyambar tubuh gadis itu dan segera dipondongnya, sedangkan Ouw Kwan Lok mengambil pedang ular merah yang terlepas dari tangan gadis itu.
"Yasuki, kelak saja kita bicara, sekarang aku hendak pergi dulu!" kata Siangkoan Tek sambil melangkah hendak membawa pergi Lee Cin yang sudah tak berdaya dan dipondongnya. Akan tetapi sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Ouw Kwan Lok sudah berada di depannya dengan alis berkerut.
"Hendak kau bawa ke mana gadis itu?" bentak Ouw Kwan Lok.
"Ia calon isteriku!" jawab Siangkoan Tek.
"Enak saja kau bicara. Gadis itu adalah musuh besarku. Tidak boleh engkau membawanya pergi. Serahkan kepadaku!"
"Serahkan kepadamu" Apakah engkau gila, sobat?" kata Siangkoan Tek sambil mengerutkan alisnya.
"Gadis itu adalah Souw Lee Cin, ia milikku!" kata pula Ouw Kwan Lok sambil menatap tajam wajah Siangkoan Tek.
"Siapa bilang ia milikmu" Ia calon isteriku!"
Melihat kedua orang pemuda itu sudah saling melotot dengan marah, Yasuki segera melompat ke depan. "Aih, kenapa kalian saling berebutan" Melihat gadis ini menyerang kita, jelas ia bukan sahabat siapa pun di antara kita. Karena itu, daripada kalian berebutan, sebaiknya diambil jalan yang ditempuh orang-orang gagah. Biar kalian bertanding dengan taruhan gadis ini. Siapa yang menang boleh memilikinya, dan yang kalah tidak boleh menuntut. Beranikah kalian bertanding dan saling mengalahkan untuk mendapatkan gadis ini?"
"Tentu saja aku berani!" kata Ouw Kwan Lok.
"Siapa yang takut?" kata pula Siangkoan Tek.
"Bagus, biar aku yang menjaga agar gadis itu tidak kabur." Setelah berkata demikian, Yasuki mengambil tubuh Lee Cin dari pondongan Siangkoan Tek dan merebahkan tubuh yang lemas tak berdaya itu ke atas tanah. "Akan tetapi sebelum bertanding, sebaiknya kalau engkau memperkenalkan dirimu terlebih dulu, sobat!" kata lagi Yasuki sambil memandang kepada Ouw Kwan Lok. "Kita sudah bekerja sama melawan pasukan tadi, berarti kita sudah sepatutnya menjadi sahabat. Namaku sendiri adalah Yasuki, dan Kongcu ini adalah Kongcu Siangkoan Tek, putera dari majikan Pulau Naga." Dia memperkenalkan dirinya dan juga Siangkoan Tek.
Mendengar nama majikan Pulau Naga, Kwan Lok diam-diam terkejut dan memandang Siangkoan Tek penuh perhatian. Pemuda itu lebih muda dua tahun darinya, pakaiannya mewah, gerak-geriknya lembut, wajahnya amat tampan dan sinar matanya menunjukkan kecerdikan. Dia terkejut akan tetapi tidak takut, dan dia pun memperkenalkan dirinya, mengaku siapa guru-gurunya karena dia tahu bahwa di depannya adalah seorang putera datuk sesat.
"Namaku Ouw Kwan Lok. Guruku yang pertama adalah mendiang Pak-thian-ong dan guruku ke dua adalah Mo-ong." Sengaja dia menyebut nama kedua orang gurunya yang keduanya juga datuk-datuk besar untuk mengimbangi kebesaran nama datuk Siangkoan Bhok majikan Pulau Naga!
Benar saja dugaannya. Mendengar nama-nama kedua orang guru itu, Siangkoan Tek tampak kaget. Dia bertemu dengan orang segolongan! Akan tetapi bagaimana mungkin dia mau mengalah kalau itu mengenai diri Lee Cin, gadis yang membuatnya tergila-gila sejak lama" Dia benar-benar hendak memperisteri Lee Cin, bukan sekedar mempermainkannya seperti para wanita lain yang pernah didapatkannya. Dia merasa bahwa ada dua orang wanita yang cocok dan pantas menjadi isterinya, yaitu Tang Cin Lan telah menjadi isteri Song Thian Lee, maka tinggal Souw Lee Cin inilah yang harus menjadi isterinya! Maka, siapa pun yang akan menghalanginya, akan dianggap musuhnya. Akan tetapi dia pun maklum bahwa pemuda seperti Ouw Kwan Lok ini amat menguntungkan kalau dijadikan sekutu, persekutuan untuk menggulingkan Kerajaan Ceng. Siapa tahu usaha itu berhasil dan kelak dia akan mendapat kesempatan untuk menjadi raja baru! Atau setidaknya menjadi bangsawan tinggi. Hal ini tidak kalah pentingnya Souw Lee Cin yang akan dia peristeri.
"Ah, kiranya engkau adalah murid kedua datuk itu! Pantas engkau lihai dan pemberani. Akan tetapi sekali lagi kuberitahukan kepadamu, sobat bahwa Souw Lee Cin ini adalah wanita yang sudah lama kuidam-idamkan menjadi isteriku."
"Saudara Siangkoan Tek, aku pun mengenal nama besar ayahmu. Maafkanlah kalau terpaksa aku tidak mau mengalah karena aku pun tergila-gila kepada Souw Lee Cin, di samping ia adalah musuh besar guru-guruku yang harus kubalaskan dendamnya kepadanya."
"Kalau begitu kita bertanding untuk memperebutkan gadis ini?" tanya Siangkoan Tek.
Ouw Kwan Lok menghela napas panjang. "Aku menyesal sekali. Akan tetapi agaknya tidak ada lain jalan bagi kita kecuali mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih berhak memilikinya."
"Karena kalian bertanding bukan karena permusuhan, aku mengusulkan agar diadakan pertandingan dengan tangan kosong saja," kata Yasuki.
Dua orang pemuda itu saling pandang lalu menganggukkan kepala tanda setuju. Siangkoan Tek memasang kuda-kuda yang gagah sebagai pembukaan ilmu silatnya. Dia hendak memainkan ilmu silat Kui-liong-kun (Silat Naga Iblis) yang diajarkan ayahnya, lalu berkata, "Silakan, saudara Ouw, aku sudah siap!"
Ouw Kwan Lok juga segera memasang kuda-kuda ilmu silat Hek-wan-kun (Silat Lutung Hitam) yang merupakan ilmu silat utara yang bercampur dengan ilmu gulat. Ilmu ini dia pelajari dari mendiang Pak-thian-ong Dorhai, datuk besar dari utara itu.
"Lihat serangan!" bentak Ouw Kwan Lok dan kedua tangannya bergantian mencengkeram dan memukul ke depan dengan dahsyat, bertenaga besar dan cepat sekali. Akan tetapi Siangkoan Tek sudah siap dengan ilmu silat Kui-liong-kun. Dia membuat gerakan melebar ke kiri menghindarkan dua serangan kedua tangan itu dan membalas dengan sodokan tangan ke arah lambung lawan. Akan tetapi Kwan Lok juga dapat mengelak dengan cepat, kemudian kembali dia menyerang, sekali ini kaki kanannya menendang dan ketika tubuh lawan condong ke kanan untuk mengelak, tangan kirinya menyambar untuk menangkap pundak lawan. Kalau tangan kiri itu dapat menangkap pundak, tentu akan dilanjutkan dengan tarikan dan bantingan. Akan tetapi, kembali Siangkoan Tek merendahkan pundaknya untuk mengelak dan tangan kanannya sudah menghantam ke arah kepala lawan. Pukulan ini cepat sekali datangnya sehingga terpaksa Kwan Lok yang tidak keburu mengelak itu memutar lengan kirinya dan menangkis pukulan itu.
"Dessss......!!" Dua lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang. Keduanya terkejut karena mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka seimbang. Karena maklum bahwa tenaga lawannya tidak kalah kuatnya, Siangkoan Tek mengubah caranya bersilat. Kini dia bersilat dengan lembut gemulai seperti seorang wanita menari dan inilah Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) yang amat hebat dari Siangkoan Bhok!
Ketika merasakan betapa kedua tangan lawannya menyambar-nyambar dan mendatangkan hawa panas, maklumlah Ouw Kwan Liok bahwa lawannya menggunakan pukulan beracun. Dia pun mengubah silatnya, kini dia bersilat dengan ilmu silat Pek-swat-tok-ciang (Tangan Beracun Salju Putih). Kedua tangannya berubah pucat seperti tangan mayat dan dari kedua tangannya menyambar hawa dingin sekali. Perkelahian itu semakin seru dan Yasuki yang menonton dari samping itu merasa bulu tengkuknya meremang menyaksikan betapa kedua orang muda itu menggunakan pukulan yang demikian dahsyatnya. Yang satu mengeluarkan hawa panas dan yang lain mengeluarkan hawa dingin.
-oo0dw0oo- Jilid: 12 SAMPAI seratus jurus mereka saling serang namun belum tampak siapa yang lebih unggul. Sementara itu, Lee Cin yang melihat kedua orang muda itu bertanding merasa mendapat kesempatan. Diam-diam ia mencoba untuk mengerahkan tenaganya agar totokannya terbuka Namun, ia belum berhasil sehingga dahinya penuh keringat, hanya kedua kakinya saja yang dapat bergerak-gerak sedikit. Sebelum ia berhasil membuat seluruh tubuhnya bergerak, Yasuki menoleh kepadanya. Orang Jepang ini melihat gadis itu menggerak-gerakkan kakinya. Dia segera meloncat mendekati, melolos sabuknya yang berwarna merah dan segera mengikat kedua kaki tangan Lee Cin agar gadis itu tidak dapat meloloskan diri. Yasuki tidak pandai ilmu totok, akan tetapi dia mengerti bahwa kalau totokan itu sudah punah, gadis lihai itu tentu dapat bergerak kembali. Maka sebelum totokan itu punah, dia mengikat kaki tangannya sehingga gadis itu benar-benar tak berdaya!
Lee Cin benar-benar merasa tidak berdaya sekarang. Totokannya saja belum berhasil ia buka, kini kaki tangannya malah diikat dengan tali sutera yang amat kuat. Akan tetapi biarpun ia tidak berdaya bukan berarti bahwa ia putus asa. Gadis perkasa ini tidak akan putus asa selagi ia masih bernapas! Pedangnya dirampas Ouw Kwan Lok. Yang ada hanya sulingnya yang terselip di pinggang. Akan tetapi ia pun tidak dapat mengambil sulingnya karena kedua tangannya diikat ke belakang tubuhnya. Andaikata dapat juga, untuk apa" Memanggil ular" Kedatangan banyak ular tidak akan mampu membebaskannya, apalagi tiga orang itu amat lihai, tentu tidak takut akan ular. Bahkan andaikata ia dapat memegang sulingnya, benda itu tidak dapat ia pergunakan untuk melepaskan tali yang mengikat kaki tangannya. Ia maklum bahwa siapapun juga yang menang dalam pertandingan itu, tetap saja ia akan celaka. Hanya agaknya malapetaka yang akan menimpa dirinya apabila terjatuh ke tangan Ouw Kwan Lok akan lebih mengerikan. Ia tahu akan niat pemuda itu. Pemuda itu hendak membalaskan sakit hati guru-gurunya, tentu akan menyiksa dan membunuhnya setelah mempermainkannya sebagai pemuas nafsunya. Mengerikan! Kalau terjatuh ke dalam tangan Siangkoan Tek mungkin masih ada harapan untuk lolos, karena pemuda itu menghendaki ia menjadi isterinya, dan tentu akan senang kalau ia menyerahkan diri dengan sukarela daripada dengan paksaan. Ia melirik ke arah mereka.
Lebih dari seratus jurus mereka bertanding akan tetapi belum ada yang menang dan kalah. Siangkoan Tek melompat ke belakang sambil berseru, "Tahan dulu!"
Ouw Kwan Lok menghentikan gerakannya. Keduanya sudah berkeringat. Pertandingan yang seimbang itu menguras tenaga. "Mengapa berhenti?" tanya Kwan Lok.
"Kita sudah bertanding lebih dari seratus jurus dan tidak ada yang mendesak atau terdesak. Kita seimbang dalam ilmu silat tangan kosong. Untuk menentukan kemenangan, bagaimana kalau kita menggunakan senjata?"
"Bagus, aku pun pikir lebih baik begitu!" kata Ouw Kwan Lok. Dia lalu mencabut pedang Ang-coa-kiam yang terselip di ikat pinggang, lalu menyerahkan pedang itu kepada Yasuki. "Biarlah pedang ini menjadi tambahan taruhan pertandingan ini!" Setelah Yasuki menerima Ang-coa-kiam dan meletakkannya di dekat Lee Cin seolah-olah gadis dan pedang itu yang menjadi taruhan di antara kedua orang pemuda itu, Ouw Kwan Lok lalu mencabut sepasang pedangnya dan memasang kuda-kuda di depan Siangkoan Tek.
Pemuda itu juga mencabut pedang tunggalnya dan kembali mereka berhadapan sambil memasang kuda-kuda dan saling pandang dengan sinar mata tajam, seolah dua ekor ayam jantan yang siap berlagak dan bertanding. Diam-diam Yasuki yang mengerutkan alis dan merasa khawatir, maka kembali dia memperingatkan karena dia tidak ingin kehilangan seorang di antara dua pemuda itu.
"Harap kalian ingat bahwa ini hanya pertandingan adu silat, bukan permusuhan. Kita berada di antara orang-orang sendiri!"
Siangkoan Tek tersenyum. Ouw Kwan Lok juga tersenyum. Keduanya mengerti dan tidak merasa khawatir karena mereka yang telah menguasai ilmu pedang dengan baik, tentu saja dapat menguasai gerakan pedang mereka dan dapat menahan kalau pedang akan melukai atau membunuh lawan.
"Silakan, Saudara Ouw!" Tantang Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok juga tidak ragu-ragu lagi, menggerakkan sepasang pedangnya di atas kepala dan di depan dada.
"Lihat serangan pedangku!" dia berteriak dan cepat sekali sepasang pedangnya bergerak dan menyerang. Namun Siangkoan Te k juga sudah siap, dengan mudah dia mengelak dan pedangnya membalas dengan sambaran ke arah leher lawan.
"Tranggg....!" Dua batang pedang bertemu dan bunga api berpijar. Keduanya mundur untuk memeriksa pedang masing-masing. Ternyata pedang mereka tidak rusak, maka mereka menerjang maju lagi dan terjadilah pertandingan yang lebih hebat daripada tadi karena kini yang menyambar-nyambar dahsyat adalah tiga batang pedang yang membentuk lingkaran-lingkaran sinar yang menyilaukan mata.
Lee Cin masih berusaha untuk memunahkan totokan yang membuat ia tidak mampu bergerak. Kalau tadi ia mengharapkan bahwa kedua orang itu akan saling serang dan saling bunuh, harapannya itu menghilang ketika dara ini melihat cara mereka bertanding. Baik tadi maupun sekarang menggunakan pedang, ia tahu bahwa mereka tidak akan saling melukai atau membunuh. Dengan demikian, harapan untuk dapat lolos dari bahaya makin jauh lagi darinya. Betapapun juga, kalau saja ia dapat membebaskan diri dari totokan dan ikatan sabuk sutera itu, tentu ia dapat berusaha untuk meloloskan diri dari ancaman bahaya.
Yasuki yang amat tertarik oleh pertandingan pedang antara kedua orang pemuda itu yang kini terlibat dalam pertandingan yang amat seru. Jago dari Jepang ini kagum sekali dan dia tahu benar bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi seorang di antara kedua orang pemuda itu. Saking tertarik dan asyiknya dia menonton pertandingan, sampai dia tidak menyadari bahwa ada bayangan orang mengintai tak jauh di belakangnya, di balik sebatang pohon. Akan tetapi Lee Cin yang menghadap ke arah itu, dapat melihat ini dan jantungnya berdebar penuh harapan. Ia tidak tahu siapa bayangan itu dan apa maunya, akan tetapi ia seperti dapat firasat bahwa orang itu tentu akan menolongnya.
Debar jantungnya makin menguat dan harapannya semakin menebal ketika akhirnya ia melihat bahwa bayangan itu adalah seorang berpakaian serba hitam dan memakai kedok hitam yang hanya memperlihatkan sepasang mata yang mencorong tajam. Si Kedok Hitam! Kembali orang aneh itu akan menolongnya!
Si Kedok Hitam menyelinap dari pohon ke pohon dan akhirnya tiba dekat sekali dengan tempat itu. Tiba-tiba dia meloncat ke dekat Lee Cin, tangan kirinya menotok jalan darah membebaskan Lee Cin dari totokan yang membikin ia tak mampu bergerak dan sekali pedangnya berkelebat, ikatan kaki tangan pada tubuh Lee Cin juga putus. Gadis itu cepat menggulingkan tubuhnya ke arah pedangnya dan menyambar pedang itu lalu melompat berdiri.
Setelah Lee Cin bebas, agaknya baru Yasuki mendengar gerakannya. Dia menoleh dan kaget bukan main melihat Lee Cin sudah berdiri dengan Ang-coa-kiam di tangan dan di sebelahnya terdapat seorang berkedok hitam yang matanya mencorong bersinar-sinar!
"Celaka! Ada musuh datang!" teriaknya kepada dua orang pemuda yang sedang bertanding sambil cepat mencabut samurainya dan menyerang ke arah Si Kedok Hitam karena untuk menyerang Lee Cin, dia merasa jetih. Akan tetapi, Si Kedok Hitam dengan amat mudahnya mengelak dari sambaran samurai dan biarpun samurai itu terus mengejarnya, dia tetap mengandalkan kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini. Kemudian, ketika dia mendapat kesempatan, kakinya menendang dengan cepat seperti kilat menyambar dan tubuh Yasuki terlempar ke belakang bagaikan daun kering ditiup angin. Yasuki terkejut sekali dan dadanya terasa nyeri ketika dia terbanting kemudian mencoba untuk cepat berdiri lagi, akan tetapi dia menyeringai karena dadanya terasa sesak.
Pada saat itu, Ouw Kwan Lok dan Siangkoan Tek berlompatan ke belakang dan memutar tubuh. Mereka kaget bukan main melihat Yasuki terlempar dan terbanting, sedangkan Lee Cin sudah berdiri bebas dengan pedang di tangan di samping seorang berkedok hitam. Yang lebih terkejut adalah Kwan Lok karena dia pernah bertemu dengan Si Kedok Hitam dan mengenal kelihaiannya.
Lee Cin tidak membuang waktu lagi. Cepat ia melompat ke depan dan menyerang Kwan Lok dengan Ang-coa-kiam yang bersinar merah. Di antara kedua orang pemuda itu, Kwan Lok yang paling dibencinya, maka langsung ia menyerang pemuda itu dengan pedangnya. Terpaksa Kwan Lok menangkis dan segera keduanya bertanding dengan seru.
Siangkoan Tek juga kaget melihat Lee Cin sudah bebas. Melihat Si Kedok Hitam, maklumlah dia bahwa orang ini yang telah menolong Lee Cin. Maka dia pun cepat menyerang Si Kedok Hitam dengan pedangnya dan segera kedua orang ini pun terlibat dalam perkelahian yang seru. Ketika Si Kedok Hitam menangkis pedangnya, barulah Siangkoan Tek terkejut karena tangannya yang memegang pedang tergetar hebat, tanda bahwa Si Kedok Hitam itu memiliki tenaga sakti yang kuat sekali. Dia mempercepat serangannya dan kini mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Kui-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Iblis). Namun, Si Kedok Hitam dapat mengimbanginya dengan ilmu pedangnya yang cepat dan mengandung tenaga.
Yasuki menjadi gelisah sekali. Dia tahu bahwa Si Kedok Hitam juga memiliki kepandaian tinggi sehingga belum tentu Siangkoan Tek dapat menang. Terutama sekali dia melihat betapa Lee Cin mengamuk dan mendesak terus kepada Kwan Lok sehingga biarpun pemuda itu menggunakan sepasang pedang, dia terpaksa banyak main mundur.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini, Yasuki mengambil dua buah benda seperti bola dari saku bajunya dan berseru kepada dua orang pemuda itu. "Mari, cepat kita pergi!" Dan dia lalu membanting kedua buah bola itu. Terdengar dua kali suara ledakan dan tampak asap putih mengepul tebal. Melihat ini, Lee Cin teringat betapa tadi dia dapat tertawan juga karena Si Jepang itu mempergunakan alat peledak. Maka ia cepat berseru kepada Si Kedok Hitam.
"Cepat menghindar ke belakang!" Ia sendiri melompat dengan cepat menjauhi asap tebal yang mengaburkan pandangan mata itu. Ternyata Si Kedok Hitam juga sudah melompat ke belakang. Ketika kemudian mereka mencari-cari tiga orang itu sudah tidak berada di situ lagi, telah melarikan diri dengan bantuan asap tebal sehingga tidak tampak oleh Lee Cin dan Si Kedok Hitam.
Lee Cin membanting-banting kaki dengan hati kesal. "Mereka dapat melarikan diri lagi!"
"Mereka sudah pergi, tidak dapat dikejar lagi. Dua orang itu memang lihai sekali."
"Sobat, kembali engkau telah menyelamatkan aku dari malapetaka yang hebat. Dua kali engkau menolongku. Akan tetapi bagaimana mungkin aku akan dapat membalas budi kebaikanmu itu kalau aku tidak tahu engkau ini siapa" Karena itu, kumohon kepadamu, perkenalkanlah wajah dan namamu kepadaku."
Si Kedok Hitam menghela napas panjang. "Aku mempunyai alasan yang kuat untuk menyembunyikan wajahku di balik kedok ini, Nona. Karena itu maafkan kalau aku belum dapat memperkenalkan diri kepadamu. Dan tentang pertolongan itu, tidak perlu dipikir apalagi dibalas. Semua itu kulakukan sebagai kewajibanku dan aku yakin engkaupun juga akan menolong siapa saja tanpa pamrih sedikit pun untuk diingat atau dibalas."
Khawatir kalau Si Kedok Hitam segera meninggalkannya, cepat Lee Cin berkata, "Baiklah, kalau engkau tidak mau memperkenalkan diri, aku pun tidak dapat memaksamu. Akan tetapi perlu kuperingatkan kepadamu bahwa keluarga Cia berada dalam bahaya besar."
Si Kedok Hitam memandang dan sinar matanya yang tajam itu penuh selidik. "Apa maksudmu, Nona?"
"Aku tahu bahwa keluarga Cia mengadakan hubungan persekutuan dengan orang Jepang bernama Yasuki itu. Kini Yasuki berada bersama dua orang pemuda itu, maka hal itu berarti bahwa ke luarga Cia juga mengadakan hubungan dengan mereka. Inilah sebabnya kukatakan bahwa keluarga Cia berada dalam bahaya besar."
"Siapakah kedua orang muda yang lihai itu, Nona?"
"Engkau tidak mengenal mereka" Yang bertanding denganrnu tadi adalah Siangkoan Tek, putera dari majikan Pulau Naga Siangkoan Bhok yang juga berjuluk Tung-hai-ong, datuk besar dari timur. Adapun orang ke dua yang bertanding denganku tadi bernama Ouw Kang Lok dan dia adalah murid mendiang Pak-thian-ong dan Thian-te Mo-ong, datuk dari utara dan selatan."
"Ah, pantas saja ilmu silat mereka demikian lihail" kata Si Kedok Hitam.
"Itulah sebabnya mengapa kukatakan bahwa keluarga Cia terancam bahaya besar kalau mereka mengadakan hubungan dengan dua orang dari golongan sesat itu. Tentu keluarga Cia akan dimusuhi oleh pemerintah dan juga oleh para pendekar."
"Akan tetapi mengapa engkau ceritakan hal itu kepadaku?"
"Karena aku harap engkau akan dapat memperingatkan keluarga Cia. Karena aku yakin bahwa engkau tentulah seorang anggauta keluarga itu. Akan tetapi mengapa engkau memusuhi Yasuki, padahal orang Jepang itu adalah sekutu keluarga Cia. Sobat, engkau membingungkan aku. Setidaknya katakanlah apakah dugaanku benar, bahwa engkau anggauta keluarga Cia?"
"Tidak dapat kukatakan, Nona, dan selamat tinggal!" Si Kedok Hitam berkelebat cepat sekali dan lenyap dari situ. Lee Cin hendak mengejar, akan tetapi ia merasa tidak ada gunanya membujuk Si Kedok Hitam itu untuk membuka rahasia siapa dirinya. Terpaksa ia pun meninggalkan hutan di bukit itu dan di sepanjang perjalanan, kenangan akan Si Kedok Hitam tak pernah dapat ia lupakan. Ada dua hal yang berlawanan mengenai diri orang aneh itu. Ia mengira bahwa Si Kedok Hitarn tentulah anggauta keluarga Cia, mungkin Cia Tin Siong yang juga berilmu tinggi, tampan dan lemah lembut namun gagah perkasa. Mungkin dia tidak menggunakan suling peraknya karena hal itu tentu akan membuka rahasia penyamarannya dan dia mempergunakan sebatang pedang. Akan tetapi andaikata benar, dia itu Cia Tin Siong, kenapa memusuhi Yasuki yang ia tahu sendiri bersekutu dengan keluarga Cia"
Lee Cin menjadi bingung. Hatinya tertarik dan terkesan sekali dengan kepribadian Si Kedok Hitam yang telah dua kali membebaskannya dari ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut. Ingin rasanya selalu berdekatan dan bercakap-cakap dengan Si Kedok Hitam. Akan tetapi ia tidak dapat membayangkan bagaimana wajahnya. Mungkin Cia Tin Siong, atau mungkin orang lain sama sekali yang tidak ada hubungannya dengan keluarga Cia. Yang jelas, dia memiliki bentuk tubuh yang sedang dan lembut namun kokoh seperti tubuh Tin Siong. Lee Cin menjadi bimbang dan penasaran.
Oood-wooO Karena merasa penasaran dan ingin sekali mengetahui siapa adanya Si Kedok Hitam, Lee Cin lalu mengambil lain jalan. Si Kedok Hitam pernah berkunjung ke rumah Ji-taijin, agaknya mempunyai niat untuk membunuh pembesar yang setia kepada kerajaan itu. Sudah jelas bahwa pembesar itu dimusuhi oleh keluarga Cia dan Yasuki serta panglima yang disebut Phoa-ciangkun seperti yang pernah ia dengar dari percakapan mereka di taman keluarga Cia. Kalau Ji-taijin dimusuhi, besar kemungkinan Ji-taijin mengetahui siapa Si Kedok Hitam yang memusuhi itu. Pikiran ini membuat Lee Cin kembali lagi ke kota Hui-cu.
Hari masih pagi ketika Lee Cin mengunjungi gedung besar tempat tinggal Ji-taijin, kepala daerah Hui. Para perajurit yang berjaga di gardu depan, memandang kepadanya dengan heran. Jarang atau bahkan hampir tak pernah terjadi ada seorang gadis cantik berkunjung dan minta bertemu dengan Ji-taijin. Melihat pakaian gadis cantik itu yang serba ringkas dan suling yang terselip di pinggang, para penjaga itu dapat menduga bahwa Lee Cin tentu seorang gadis kang-ouw, maka timbul kecurigaan mereka.
"Siapakah namamu, Nona dan dari mana engkau datang?" tanya kepala jaga.
"Namaku Souw Lee Cin dan aku datang dari pegunungan Hong-san. Aku ingin bertemu dan bicara dengan Ji-taijin untuk sesuatu urusan yang penting sekali."
Para perajurit itu semakin curiga. "Nona harus memberitahukan lebih dulu urusan apakah yang hendak Nona bicarakan dengan Tai-taijin," kata pula kepala jaga yang mukanya brewok dan tubuhnya tinggi besar.
Lee Cin menjadi hilang kesabarannya. Akan tetapi ia teringat betapa pembesar itu sudah siap siaga untuk menghadapi kunjungan Si Kedok Hitam, maka tentu peraturan ini untuk menjumpainya diperketat karena para penjaga harus berhati-hati menjaga keselamatannya.
"Apakah itu merupakan suatu keharusan dan kenapa?" Lee Gin berbalik tanya kepada kepala jaga itu.
"Tentu saja, Nona. Kalau kami melapor ke dalam tentu kami akan ditanya dengan sejelasnya. Tanpa dapat memberi keterangan yang jelas tentang orang yang ingin bertemu, kami tentu akan dipersalahkan."
Lee Cin berpikir bahwa alasan itu benar juga. Yang hendak dikunjungi adalah seorang pembesar, orang terpenting di Hui-cu karena Ji-taijin adalah kepala daerah, maka tentu saja sebelum menemuinya, pembesar itu tentu ingin tahu lebih dulu apa yang menjadi maksud kunjungannya.
"Katakan bahwa aku datang untuk bicara dengannya tentang Si Kedok Hitam yang pernah mengganggunya."
Benar saja. Ketika mendengar ini, semua penjaga yang jumlahnya kurang lebih lima belas orang itu terbelalak dan segera mengepung Lee Cin!
"Nona Souw, apa yang kau ketahui tentang Si Kedok Hitam" Tahukah engkau di mana dia sekarang bersembunyi" Kami harus menangkapnya!"
"Aku tidak tahu di mana dia bersembunyi. Akan tetapi ketika malam itu dia berkunjung ke gedung ini, di atas atapnya aku pernah bertemu dengannya dan kami sampai bertanding. Akan tetapi dia dapat meloloskan diri dan lari. Karena itulah hari ini aku ingin bicara dengan Ji-taijin tentang dia. Nah, sudah jelaskah" Jangan mengira bahwa aku bermaksud buruk terhadap Ji-taijin. Aku tahu bahwa beliau adalah seorang pembesar yang bijaksana, aku bahkan hendak melindunginya!"
"Kalau begitu, duduklah dulu, Nona Souw. Akan kami kabarkan ke dalam dan kalau Ji-taijin sudah menyatakan bersedia bertemu denganmu, tentu engkau akan kami hadapkan beliau."
Lee Cin mengangguk lalu duduk di atas bangku dalam gardu itu. Para penjaga memandangnya dari luar gardu dengan sinar mata kagum mendengar bahwa gadis itu pernah bertanding dengan Si Kedok Hitam! Kepala jaga itu lalu pergi ke gedung untuk melaporkan maksud kunjungan Lee Cin kepada para pengawal di dalam gedung untuk disampaikan kepada Ji-taijin.
Pembesar kepala daerah Hui-cu itu bernama Ji Kian, berusia empat puluh lima tahun dan dia seorang pejabat pemerintah yang bijaksana dan mencinta rakyatnya. Karena itu semua rakyat di Hui-cu, terutama kaum miskinnya, amat menghormatinya dan menyukainya. Dia seorang dermaw
Bukit Pemakan Manusia 18 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Bara Naga 3
^