Golok Halilintar 3

Golok Halilintar Karya Khu Lung Bagian 3


jar ilmu dengan teraling tirai). "Ikuti lah kehendaknya," sahut seseorang yang tadi,
"Sebaiknya sute bawa anak itu kepada Cie Kong, setelah itu
perintahkan pengurus dapur mengantarkan hidangan ke ruang
Lip-soat teng, Biar bagaimanapun, Tie-kong tianglo adalah
seorang pemimpin dari sebuah partai besar, dan kita tidak
boleh tidak berlaku hormat." Sementara itu Thio Sin Houw terus berlagak pulas. setelah
lewat sekian lama barulah datang seorang pendeta kecil yang
membawakan makanan dan setelah selesai bersantap,
pendeta kecil itu lalu berkata: 137 "Siauw-sicu, ikutlah aku."
"Ke mana?" tanya Sin Houw.
"Hong-thio memerintahkan aku membawamu kepada
seseorang." jawabnya. "Kepada siapa?" tanya lagi Sin Houw.
"Hong-thio memesan supaya aku jangan banyak bicara."
Thio Sin Houw mengeluarkan suara dihidung, Diam-diam
dia mentertawai Cie-goan Taysu, karena diluar tahu pendeta
itu ia telah mengetahui bakal dibawa kepada Cie-kong.
Tanpa mengajukan pertanyaan lain Sin Houw lalu
mengikuti pendeta kecil itu. Sesudah melewati belasan
bangunan dan pekarangan, akhirnya mereka tiba disebuah
bangunan kecil yang dikurung dengan pohon-pohon Siong dan
Pek. Sambil berdiri didepan tirai pintu, pendeta kecil itu
berseru: "Siauw-sicu telah tiba!" "Masuk!" terdengar suara seseorang memberikan jawaban.
Thio Sin Houw lalu mendorong daun pintu dan bertindak
masuk, sedang si pendeta kecil mengunci pintu itu.
Thio Sin Houw mengawasi kesekitarnya, Kamar itu
ternyata sebuah kamar kosong, kecuali terdapat sehelai tikar
ditengah-tengah, tidak terdapat apapun juga.
Sesudah mendengar bahwa Cie-kong Taysu akan
memberikan pelajaran secara "Kay-tiang Coan-tang," ia
menduga bahwa didalam kamar itu dipasang semacam tirai.
Diluar dugaan, kamar itu bukan hanya kosong tiada isi, tetapi
juga tidak mempunyai lain pintu. 138 Sehingga tak dapat diduga entah dari mana datangnya
suara manusia yang tadi mengundang masuk. Tetapi selagi ia
sedang merasa heran, tiba-tiba terdengar lagi suara itu:
"Duduk! Dengarkan aku menghafal Siauw-lim Kiu-yang
kang, Aku hanya menghafal satu kali, Terserah kepadamu,
berapa banyak yang dapat diingat olehmu. Hong-thio telah
memerintahkan aku memberi pelajaran itu kepadamu dan aku
menurut perintahnya, Tetapi apakah kau mengerti atau tidak
adalah urusanmu sendiri." Thio Sin Houw memasang telinga, Kini barulah ia
mengetahui, bahwa suara itu datang dari tembok sebelah dan
Cie-kong taysu berdiam di kamar sebelah. Pada hakekatnya,
mengirim suara dari alingan tembok bukan kepandaian luar
biasa, siapapun juga dapat melakukannya, Apa yang luar
biasa adalah suara Cie-kong Taysu terdengar tegas sekali,
seperti juga ia bicara saling berhadapan.
"Tenaga dalam pendeta itu sungguh dahsyat," kata Sin
Houw di dalam hati. Sesaat kemudian, orang itu berkata dengan suara
perlahan: "Tubuh berdiri tegak, kedua tangan dirangkapkan dan di
tempatkan di dada, Hawa tenang, semangat dipusatkan. Hati
tenteram, paras muka mengunjuk sikap menghormat. inilah
jurus pertama yang dinamakan Wie-hok Yan-couw, ingatlah
baik-baik!" (Wie-hok Yan-couw = Wie-hok mempersembahkan gada).
Orang itu berdiam sejenak, kemudian berkata pula:
"Kedua tumit kaki ditancapkan di atas bumi, kedua tangan
139 di rentangkan keluar dengan, rata, Hati tenang, hawa
tenteram, Mata membelalak mengawasi ke depan, mulut
terbuka, ini jurus kedua, Hoen-tan Hang-mo couw, Kau
ingatlah baik-baik!" (Hoen-tan Hang-mo couw ~ Memikul gada untuk menaluki
siluman). Seterusnya ia menghafal jurus ke tiga, keempat, kelima ...
sampai pada jurus kedua belas. Mengenai jurus ke dua belas
itu ia berkata: "Jurus ini dinamakan Tiauw-wie Yauw-tauw(Mengibas
ekor, menggoyang kepala), dengan Kouw-koat seperti berikut:
Iutut lurus, lengan dilonjorkan, Mendorong dengan tangan
sehingga menjadi kena bumi, Mata membelalak,
menggoyangkan kepala, semangat perlu dipusatkan sehingga
menjadi satu. Sesudah itu, luruskan tubuh dan menjejak tanah
dengan kaki, mengendurkan bahu, memanjangkan lengan,
Menyabat tujuh kali kekiri-kanan dan selesai. ilmu Kiu-yang lekin,
di kolong langit tiada tandingannya."
Hampir berbareng dengan perkataan "dikolong langit tiada
tandingannya, ia membentak: "Siapa mencuri mendengar diluar" Masuk!"
"Brakkk!" Pintu terpental dan sesosok tubuh terlempar jatuh masuk.
Orang itu ternyata adalah si pendeta kecil yang tadi mengantar
Sin Houw ke kamar itu. Dia terjatuh meringkuk, kedua
matanya meram dan pada mukanya terlihat rasa sakit yang
hebat. Sin Houw terkejut, cepat-cepat ia mendekati untuk
mem-bangunkannya. "Kau urus saja dirimu sendiri," kata orang dikamar sebelah.
"Sekarang kau memerlukan semua kemampuan otakmu untuk
140 menghafal Kouw-koat yang baru saja kuberitahukan tadi ,
tidak dapat kau memecah perhatianmu."
"Ke-duabelas jurus itu sudah di ingat olehku seluruhnya,"
sahut Sin Houw. "Benarkah begitu, coba kau sebutkan." kata Cie-kong taysu
disebelah sana, Di dengar dari nada suaranya, ia merasa
heran sekali. Thio Sin Houw lantas menghafal Kouv-koat yang
dimaksud, dari jurus pertama sampai pada jurus yang kedua
belas, tak satupun yang salah. Untuk sesaat Cie-kong taysu di tembok sebelah tak dapat
mengeluarkan suara apa-apa, Ketika menerima perintah dari
Cie-goan taysu untuk mengajarkan Kiu-yang kang kepada
orang luar, ia mendongkol dan kalau boleh ia tentu sudah
menolak. Akan tetapi peraturan didalam kuil Siauw-lim sie
selalu dipegang teguh dan perintah seorang Hong-thio
merangkap Ciang- bunjin tak boleh dilanggar, Disamping itu,
perintah Cie-goan Taysu hanya mengatakan "mengajar anak
itu" dan bukan "mengajar anak itu sampai paham". Oleh
karena itu, menurut anggapannya apabila ia menghafal Kouwkoat
cepat-cepat, paling banyak si bocah akan ingat satu-dua
perkataan. Tetapi diluar perhitungannya, ternyata Thio Sin Houw
berhasil memasukkan Kouw-koat selengkapnya ke dalam
otaknya, ia merasa kagum bukan main, karena kecerdasan
dan bakat yang begitu luar biasa sungguh jarang terdapat
dalam dunia ini. Sementara itu, melihat si pendeta kecil terus meringkuk di
lantai, Sin Houw merasa tidak tega dan lalu bertanya:
"Siansu, dosa apakah yang telah dilakukan oleh siauwsuhu
ini?" 141 "Dia mencuri dengar pelajaran tadi dari luar pintu,"
jawabnya dengan suara tawar. "Aku telah menggunakan Kimkong
Sian-ciang untuk menghajar adat kepadanya, jangan
kuatir, dalam beberapa saat ia akan sembuh kembali." ia
berdiam sejenak dan kemudian berkata lagi:
"Aku tak tahu, mengapa Hong-thio memerintahkan aku
memberikan pelajaran Kiu-yang Sin-kang kepadamu. Aku
tidak tahu siapa namamu dan kaupun tak usah menanyakan
namaku, Aku tidak tahu, ilmu apa yang telah atau pernah
dipelajari olehmu, akan tetapi aku merasa kagum akan
kecerdasanmu. Dikemudian hari, kau mempunyai harapan
yang tidak terbatas. Maka itu, aku bermaksud membantu kau
untuk membuka Kie-keng Pat-meh (pembuluh darah) di
seluruh tubuhmu, supaya kalau nanti kau berlatih dengan Kiuyang
Sin-kang- kau tidak perlu mengalami banyak kesukaran."
Sebelum Thio Sin Houw memberikan jawaban, mendadak
tembok berlubang dan dua lengan muncul dari lubang itu ...!
Sin Houw kaget bukan kepalang, ia mencelat dari tempat
duduknya dan berseru dengan suara tertahan :
"Kau ... kau ...!" itulah kenyataan yang terlalu mustahil!
Tetapi dengan matanya sendiri ia menyaksikan bahwa tembok
yang "tebal itu sudah berlubang karena sodokan tangan Ciekong
Taysu, seakan-akan tembok itu tidak lebih daripada tahu
yang lunak. Sementara itu Cie-kong Taysu telah berkata kepada Sin
Houw: "Tempelkan kedua telapak tanganmu dengan telapak
tanganku, Aku tidak mengetahui she dan namamu, akupun
tidak tahu kau muridnya siapa, Hari ini kita bertemu dan jodoh
kita akan habis sampai disini."
Melihat maksud orang yang sangat baik, pandangan Thio
142 Sin Houw terhadap Cie Kong Taysu segera berubah:
"Terima kasih atas bantuan Sian-su," katanya sambil
meluruskan kedua tangannya dan menempelkan telapakannya
ke tangan pendeta yang di anggap-nya aneh itu.
"Kendurkan tulang-tulang dan otot-otot didalam tubuhmu,
dan bebaskan pikiranmu dari segala ingatan," kata pula Ciekong
Taysu, "Baiklah," sahut Sin Houw.
Sesaat kemudian dari kedua telapak tangan Cie-kong
Taysu keluar semacam hawa hangat yang terus menembus
kedalam telapak tangan Sin Houw, terus naik ke lengan dan
bahu. Hawa itu halus bagaikan sutera, tetapi terasa nyata
sekali dan perlahan-lahan hawa itu masuk ke dalam pembuluh
darah. Apabila menemui rintangan dan tidak dapat segera
menembus, hawa itu berubah panas dan menerjang
berulangkali sehingga rintangan dapat ditembus, sesudah
delapan pembuluh darah besar ditembuskan, hawa itu jadi
semakin cepat jalannya sehingga Sin Houw merasakan
matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing sehingga ia
bagaikan mau jatuh terguling. Akan tetapi dari telapak tangan pendeta aneh itu keluar
semacam tenaga menyedot, sehingga telapak tangan Sin
Houv melekat keras yang membuat Thio Sin Houw tidak
sampai terjatuh, Dilain saat, Sin Houw merasakan seluruh
badannya seperti dibakar. Kalau mungkin, ia tentu sudah lari
keluar dan membuka baju untuk terjun ke dalam telaga,
setelah lewat sekian lamanya, hawa panas itu meninggalkan
tubuhnya dan kembali ke telapak tangan Cie-kong Taysu.
Sesudah menarik pulang kedua lengannya dari lubang itu,
Cie-kong Taysu berkata dengan suara dingin:
143 "Kau pergilah!" Thio Sin Houw menjenguk ke lubang itu, tetapi yang
dilihatnya hanya kegelapan. Mengingat budi pendeta yang
dianggapnya aneh itu, ia lantas saja berkata:
"Terima kasih banyak atas budi siansu yang sangat besar."
Setelah berkata demikian, ia berlutut. Tetapi mendadak
lengan Cie-kong Taysu muncul lagi di lubang itu dan
mengibasnya, Hampir berbareng, tubuh Sin Houw terpental
dan jatuh di luar pintu. Pendeta yang dianggapnya aneh itu
ternyata tak ingin menerima kehormatan tadi. .
"Pergi kau beritahukan,. kepada Hong-thio, bahwa
pelajaran Kiu-yang Sin-kang telah diturunkan semua kepada
Siauwsiecu, juga bahwa Siauw siecu memiliki daya ingat yang
sangat kuat dan semua pelajaran itu telah di ingat dengan baik
olehnya." "baiklah," sahut si pendeta kecil yang telah tersadar dari
pingsannya. Thio Sin Houw kemudian mengikuti, dan pendeta kecil itu
mengantarkan ke ruangan Lip~soat teng, di mana Tie-kong
tianglo telah menulis tiga puluh halaman lebih, tetapi masih
kelihatan terus menulis dengan tekun.
Melihat kerelaan dan pengorbanan kakek guru itu, Thio Sin
Houw merasa sangat terharu, dengan butir-butir air mata
berlinang ia berseru: "Thay-suhu! Kiu-yang Sin-kang telah seluruhnya
diturunkan kepadaku oleh siansu. "
Sang kakek guru girang. 144 "Bagus!" katanya dengan menyertai tawa.
Tie-kong tiangLo kemudian menulis lagi sampai beberapa
saat kemudian ia telah menyelesaikan pekerjaannya.
Hasil tulisannya itu kemudian diserahkan kepada si
pendeta kecil yang mengantarkan Thio Sin Houw dengan
pesan untuk disampaikan kepada Cie-beng Taysu yang
menunggu di ruangan lain, Disepanjang perjalanannya pendeta kecil itu memeriksa
dan membaca tulisan Tie-kong tianglo, sementara Tie-kong
tianglo yang mengetahui kejadian itu tidak menghiraukan.
Karena menurut jalan pikirannya, ia telah menyerahkan
rahasia ilmu sakti miliknya kepada pihak Siauw-lim secara
sukarela sebagai "penukar" nyawa Thio Siu Houw. Dari itu
siapa saja yang membacanya, baginya sama saja.
Ketika telah berada dihadapan Cie beng Taysu, pendeta
kecil itu menyerahkan naskah tulisan Tie-kong tianglo sambil
berkata: "Susiok, ilmu kepandaian sakti yang dikatakan milik Taysuhu
dari Boe-tong pay itu, sebenarnya adalah asli kepunyaan
golongan Siauw-lim. Apa yang ditulis oleh Tay-suhu itu, sudah
pernah siauwtit pelajari." "Omong kosong!" bentak Cie-beng Taysu, "Thay-kek Koenhoat
adalah ilmu yang digubah oleh Tie-kong tianglo sendiri,
bagaimana mungkin kau mengatakan sudah pernah belajar
ilmu itu?" Tetapi wajah muka pendeta kecil itu tenang-tenang saja,


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil menuding kepada tumpukan naskah yang dipegang
oleh Cie-beng Taysu ia berkata lagi:
"Jika susiok tidak percaya kepada siauwtit, silahkan paman
145 memeriksa bunyi naskah itu, dan siauwtit akan
mengucapkannya secara di luar kepala."
Setelah berkata demikian, pendeta kecil yang bernama Ku
Cie Tat itu terus mengucapkan bunyi naskah Tie-kong tianglo
diluar kepala, Mula-mula Cie-beng Taysu yang tetap
didampingi oleh Cie-keng dan Cie-goan Taysu bersikap dingin
terhadap perkataan Ku Cie Tat, tetapi setelah mendengar
pendeta kecil itu dapat mengucapkan kata-kata bunyi naskah
Tie-kong tianglo pada halaman satu dan dua dengan lancar,
tertariklah mereka, Terus saja mereka seakan-akan berebutan
membalik-balik halaman-halaman naskah, untuk kemudian
saling mengangsurkan, memeriksa dan membaca secara
bergantian serta mencocokkan dengan ucapan-ucapan Ku Cie
Tat diluar kepala, sejenak kemudian Cie-keng Taysu berkata
kepada Cie-beng Taysu: "Benar , benar!" katanya. "Memang apa yang ditulis oleh
Tie-kong tianglo adalah kalimat-kalimat yang terdapat didalam
Kiu-im Cin-keng," Tidaklah mudah Cie-beng Taysu mempercayai pernyataan
itu. Akan tetapi Ku Cie Tat dapat membuktikan, dan apa yang
diucapkannya diluar kepala, sepatah kata saja tiada yang
salah atau terlampaui, Mau tak mau ia harus percaya penuh.
setelah menimbang-nimbang sebentar, kemudian ia
mengambil keputusan untuk menemui Tie-kong tianglo.
Setelah berhadapan dengan pemimpin golongan Boe-tong
pay itu, maka Cie-beng Taysu yang membuka bicara:
"Ilmu silat Boe-tong bersumber dari Siauw-lim, benar saja,
apa yang ditulis oleh Tianglo tidak banyak bedanya dari ilmu
silat kami." dan Cie-beng Taysu menyudahi perkataannya
sambil mengembalikan naskah hasil tulisan Tie-kong tianglo.
Tie-kong tianglo tertawa. 146 "Apa yang telah ditulis oleh siauwto, sedikitpun aku tidak
merasa menyesal," katanya, "Aku mengerti bahwa ilmuku itu
sangat cetek dan tidak berharga, Apabila samwie tidak
memer-lukannya, sebaiknya dibuang saja," Ia tidak
menyambuti tumpukan kertas yang diangsurkan kepadanya.
"Dari kata-katamu, Tianglo. Agak-nya kau tidak percaya
akan pengutaraan kami itu," kata Cie-keng ynng ikut bi-cara,
Lalu ia berpaling kepada Cie Tat dan menyambung
perkataannya: "Cie Tat - coba kau hafal isi kitab Kiu-im
cinkeng yang pernah kau pelajari."
"Baiklah," jawab pendeta kecil itu yang lantas saja
membaca di luar kepala, semua hasil tulisan Tie-kong tianglo
yang dilihatnya tadi. Tiba-tiba Thio Sin Houw menyelak bicara:
"Thay-suhu, orang itu menghafal dengan membaca hasil
tulisan dari Thay suhu, dan sekarang mereka mengatakan ilmu
itu tiada berbeda dengan ilmu mereka, sungguh tak mengenal
malu!" Tie-kong tianglo juga menyadari hal itu, ia tertawa sambil
mengawasi pendeta kecil itu. Lalu berkata :
"Selagi pinto minta bantuanmu mengantarkan naskah itu
untuk di sampaikan kepada Cie-beng Taysu, siauw suhu pasti
sudah menghafalkan hasil tulisan pinto itu, Kepintaran dan
kecerdasanmu itu tidak dimiliki oleh pinto, bolehkah pinto
mengetahui she dan namamu?" "Thay-suhu jangan memuji begitu tinggi," jawab pendeta
kecil itu, yang kemudian menambahkan lagi: "Boanpwee she
Ku, bernama Cie Tat." "Ku siauwtit," kata pula guru besar itu dengan suara
sungguh-sungguh2. 147 "Dengan kecerdasanmu, apapun juga yang dipelajari
olehmu pasti akan berhasil. Pinto hanya mengharap, kau jangan mengambil jalan yang
salah, Dengan mempergunakan kesempatan ini, pinto ingin
mempersembahkan kata-kata seperti berikut: Dengan
kejujuran memperlakukan orang lain, dengan kerendahan hati
membatasi diri." Melihat sinar mata guru benar itu yang tajam bagaikan
pisau, Ku Cie Tat bergidik. Tetapi dengan hati mendongkol ia
berkata: "Terima kasih atas petunjuk Thay suhu, tetapi boanpwee
adalah murid Siauw-lim, dan mempunyai supeh, suhu, dan
susiok untuk mendidik boanpwee."
"Benar," kata Tie-kong tianglo sambil tertawa. "memang
aku si orang tua terlalu rewel."
Waktu itu Cie-keng Taysu telah mengangsurkan lagi
tumpukan kertas yang ditulisnya tadi. Kali ini Tie-kong tianglo
menyambut sambil mengirim tenaga dalam dengan
perantaraan kertas itu, Hampir berbareng sipendeta terhuyung
dan Ku Cie Tat yang berdiri di sampingnya, segera berusaha
memeluknya tetapi tenaga bertahan Cie-keng Tay-su besar
sekali dan pendeta kecil yang kena didorong, lantas saja
terpental keluar ruangan dan jatuh di tanah.
Ketika mengirim tenaga dalamnya itu, Tie-kong tianglo
hanya menggunakan sebagian tenaganya dan ia memang
tidak bermaksud jahat. Maka itu, begitu mengerahkan tenaga
dalam kebagian kakinya, Cie-keng Taysu sudah bisa berdiri
tegak. Sambil bersenyum maka ia berkata:
"Itu tadi adalah salah-satu jurus dari ilmu Thay-kek KoenKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/ *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***
148 hoat, dan kini terbukti bahwa meskipun kalian berdua paham
akan ilmu itu - tetapi kalian belum mempunyai kesempatan
untuk berlatih. Selamat tinggal!"
Dengan sekali mengibas tangan diudara berterbanganlah
kepingan-kepingan kertas yang halus. Kertas berisi ilmu Thaykek
Koen-hoat yang ditulisnya tadi, Sambil menuntun sebelah
tangan Sin Houw, tanpa menoleh lagi Tie-kong tianglo
meninggalkan gunung Siauw-sit san. Pihak Cie-beng Taysu saling mengawasi dengan mulut
terbentang. Mereka merasa kagum dan takluk akan
kepandaian orang tua-itu. Disamping itu, merekapun merasa
agak menyesal. "llmu itu sangat lihay," kata Cie-keng Taysu didalam hati,
"Apakah Cie Tat sudah menghafalkan seluruhnya" Apabila
satu huruf saja yang terlupa, Siauw-lim akan menderita
kerugian besar . .." ***** DALAM PADA ITU, Tie-kong tianglo berdua Thio Sin Houw
telah meninggalkan gunung Siauw-sit san. Setelah
memperoleh tempat penginapan, Tie-kong tianglo segera
memerintahkan Sin Houw melatih diri menurut ajaran-ajaran
ilmu sakti yang diperolehnya dari Cie-kong Taysu di kuil
Siauw-lim sie. Karena tak ingin melihat gaya latihan Thio Sin Houw yang
bersumber dari rumah perguruan lain, sengaja Tie-kong
tianglo mengambil dua kamar yang letaknya berpisahan.
Namun demikian, karena ilmu sakti Tie-kong tianglo telah
mencapai puncaknya walaupun tidak mendengar isti.lahistilahnya
akan tetapi dengan melihat cara duduk Thio Sin
Houw dan cara mengatur pernapasannya, dengan sendirinya
ia dapat menangkap inti rahasianya, Apalagi dia melihat pula
caranya menjalankan peredaran darahnya. inilah yang tidak
149 dikehendakinya. sebagai seorang yang memegang tampuk
pimpinan suatu aliran tersendiri, tak boleh ia berbuat demikian.
itulah sebabnya pula, betapa cara Thio Sin Houw memperoleh
kemajuan melalui ajaran Cie-kong Taysu, tak pernah
ditanyakan pula. Tie-kong tianglo memang seorang petapa yang saleh dan
jujur hati, Karena kejujurannya, ia mengukur keadaan hati
orang lain dengan keadaan hatinya sendiri. Maka ia percaya
benar kepada para pendeta pemimpin kuil Siauw-lim sie, ia
yakin, mereka pasti memegang janji. walaupun mereka agak
sempit pikiran dalam menghadapi persoalan harga diri
mengenai rumah perguruannya - akan tetapi, betapapun juga
mereka adalah tokoh-tokoh tertinggi dari suatu partai yang
tertinggi pula. Kata-katanya seumpama undang-undang. Karena itu, apa
yang mereka katakan tentulah dapat dipercaya, Kalau sudah
berjanji mengajarkan ilmu kepada Thio Sin Houw, pasti pula
tidak akan melakukan tipu muslihat atau berdusta.
Tie-kong tianglo menjadi girang tatkala disepanjang jalan ia
melihat wajah Thio Sin Houw makin hari semakin cerah dan
bersemu merah. itulah suatu tanda bahwa bocah itu telah
memperoleh kemajuan. Diam-diam ia berpikir , bila Thio Sin
Houw telah mendapat ajaran asli dari ilmu golongan Boe-tong
dan Siauw-lim sehingga bisa saling mengisi kekurangannya
masing-masing, tentu daya gunanya dikemudian hari akan
banyak bertambah. Dengan berbekal dua bagian ilmu sakti Kiu-im Cin-kang
dan Kiu-yang Cin-kang, pastilah racun Hian-beng Sin-ciang
yang mengeram didalam sungsumnya akan bisa terhapus
sirna. Di hari keempat mereka telah tiba ditepi sungai Han-sui.
Untuk mengurangi lelah, mereka menumpang sebuah perahu
dagang, sedang kuda mereka dijual sebagai penambah bekal.
150 Disepanjang perjalanan itu Tie-kong tianglo terkenang
pada masa mudanya ketika ia masih merupakan seorang
pendekar, seringkali ia dikejar kejar lawan, dan kebanyakan
tertolong oleh perahu-perahu yang berada ditepi sungai.
Tatkala itu ia masih muda belia, dan sama sekali tidak pernah
di duganya sendiri - bahwa pada hari itu ia menjadi tokoh
utama dari golongan Boe-tong yang derajatnya sama besar
dan sama tinggi dengan golongan Siauw-lim-pay. sedangkan
pada hari ini Thio Sin Houw malah sudah berhasil merangkap
ilmu kepandaian dua golongan itu. Maka sudah dapat
dibayangkan, bahwa masa depan bocah itu pasti akan lebih
gemilang daripada dirinya sendiri. Oleh rasa puas itu, ia
mengelus-elus jenggotnya yang telah putih seluruhnya.
Selagi ia mengelus-elus jenggotnya sambil tersenyum
sendiri,tiba-tiba Thio Sin Houw berteriak dengan suara
gemetar: "Thay-suhu ... aku ... aku ..."
Dan wajah muka-anak itu berubah hebat. Merah membara
seperti dibakar. Dan diantara warna merah membakar
tersembullah warna hijau semu pula.
Rasa terkejut Tie-kong tianglo tidak terkirakan, setengah
menjerit ia bertanya: "Kau... kenapa?" "Aduh ... aduh ... sakit! Tak tahan aku ..." sahut Thio Sin
Houw dengan tubuh menggigil. setelah berkata demikian,
tubuhnya bergeliat dan terlempar lah ia keluar perahu.
Cepat-cepat Tie-kong tianglo mengulurkan tangan kirinya
menyambar pergelangan tangan Sin Houw, sedangkan tangan
kanannya terus menahan punggungnya. segera ia
151 menyalurkan tenaga dalamnya membantu Thio Sin Houw,
melawan hawa berbisa yang mengamuk di dalam tubuh.
Tak disangka tenaga sakti Tiekong tianglo yang disalurkan
lewat punggungnya, ternyata menembus seluruh bagian urat
nadi pada detik itu juga sehingga Thio Sin Houw menjerit
tinggi dan jatuh pingsan. Tie-kong tianglo menjadi sangat terkejut tidak kepalang,
Dengan cepat kesepuluh jari-jari tangannya bekerja menutup
aliran darah yang penting, Di dalam hati ia menjadi heran,
Pikirnya: "Mengapa seluruh urat nadinya dapat kutembus dengan
mendadak, padahal seluruh tubuhnya terkena gumpalan
gumpalan hawa berbisa yang luar biasa dahsyatnya, Betapa
mungkin urat nadinya yang penting-penting dapat tertembus
dengan sekaligus! Kalau urat-urat nadinya menjadi begini
lancar, hawa berbisa yang mengeram dalam sumsumnya akan
segera merangsang jantung. Hai,sekarang dan untuk selamalamanya
hawa berbisa yang sudah meruap begini hebat
terang sekali tidak dapat dihilangkan lagi".
Menghadapi keadaan demikian, walaupun Tie-kong tianglo
sudah berusia sembilanpuluh tahun lebih, kesadaran dan
ketenangannya sudah terlatih sampai ke puncaknya, namun
tidak urung ia merasa bingung juga hingga keringat dingin
membasahi jidatnya, Sama sekali tak pernah disangkanya
bahwa ilmu sakti Kiu-yang Cin-kie dari Siauw-lim pay begitu
hebat luar biasa. Tak pernah pula diduganya bahwa seseorang yang baru
saja terlatih beberapa hari saja sudah dapat terbuka seluruh
urat nadinya, Menurut pendapatnya, hal itu tidak mungkin
terjadi. sedangkan murid-muridnya sendiri yang sudah berlatih
belasan tahun lamanya, belum tentu dapat juga menembus
urat nadinya sampai aliran darahnya menjadi lancar. Masakan
ilmu sakti pihak Siauw lirn lebih mujijat daripada ilmu sakti
152 milik Boe-tong" Harus diketahui, apabila Tie-kong tianglo mau membantu
dengan tenaga saktinya kepada murid-muridnya, sudah tentu
bukan soal sulit untuk menembus seluruh urat nadi peredaran
darah mereka. Tetapi tenaga bantuan yang datangnya dari
luar, betapa baikpun tidaklah sebaik dan sesempurna tenaga
yang timbul dari badan sendiri yang sesungguhnya jauh lebih
kuat, jauh lebih murni dan dapat diandalkan, itulah sebabnya
Tie-kong tianglo tak mau membantu murid-muridnya
menghimpun tenaga saktinya. ia berharap murid muridnya
akan mencapai kemajuannya sendiri, setindak demi setindak
dengan berbekal kemauannya masing-masing, walaupun hal
itu terjadi sangat lambat. Tatkala itu perahu mereka telah melaju sampai ditengah
sungai.Baik arus maupun gelombangnya tidak terlalu keras.
Meskipun demikian perahu kecil mereka tetap tergoyanggoyang.
sebaliknya hati Tie-kong tianglo tergon-cang jauh
lebih hebat, daripada ombak-ombak kecil yang
menggoncangkan perahunya. Setelah lewat beberapa waktu, perlahan-lahan Thio Sin
Houw memperoleh kesadarannya kembali. Kedua belas


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat peredaran darahnya sudah tertutup. Hawa berbisa
Hian-beng Sin-ciang untuk sementara dapat tertahan,
sehingga tidak sampai menjalar ke jantung, Tetapi tangan dan
kaki Thio Sin Houw tak bisa berkutik lagi,dalam keadaan
demikian Tie-kong tianglo tak perduli lagi akan pandang orang.
ia pun tidak menghiraukan bahwa gerak-gerik maupun
perkataannya dapat menimbulkan kecurigaan orang. Segera
ia bertanya kepada Thio Sin Houw: "Sin Houw, ilmu yang kau peroleh dari kuil Siauw-lim itu,
sesungguhnya, bagaimana macamnya" Apa sebab seluruh
urat nadimu dan peredaran darahmu menjadi lancar
semuanya, seolah-olah ada tenaga besar yang telah
menembusnya?" 153 "Thay-suhu," sahut Thio Sin Houw, "Yang menembus jalan
darahku itu adalah Cie-kong Taysu, Dia berkata akan dapat
membantu aku mempercepat meyakinkan ilmu Kiu-yang Cinkie
golongan Siauw-lim." "Bagaimana cara dia menolongmu?" Tie-kong tianglo
minta keterangan. Maka berceritalah Thio Sin Houw tentang semua
pengalamannya di dalam pertapaan Siauw-lim sie. Bagaimana
mula pertama ia dibawa sampai dia mengetahui nama
seorang sakti yang bersembunyi dibalik dinding. Menurut kata
yang didengarnya, orang sakti itu bernama Cie-kong Taysu,
Diterangkan pula bagaimana cara Cie-kong Taysu
melancarkan seluruh peredaran darahnya.
Mendengar keterangan Thio Sin Houw beberapa saat
lamanya Tie-kong tianglo termangu-mangu. setelah
bermenung dia berkata: "Jika demikianlah syarat untuk mempercepat peresapan
ilmu Kiu-yang Cin-khie, masakan aku tak bisa" sebenarnya
menurut perasaanmu orang yang menamakan diri Cie-kong
Taysu bermaksud baik atau buruk?"
"Beberapa kali ia berkata kepadaku begini: Aku tak kenal
kau bernama siapa" Thio Sin Houw memberikan keterangan .
"Akupun tidak tahu kau datang dari aliran atau golongan apa.
sebaliknya kaupun tak perlu mengetahui namaku, juga tidak
perlu mengenal wajahku! Akupun tidak perlu mengenal
wajahmu pula." Tie-kong Tianglo menjadi heran mendengar penjelasan itu,
sejenak kemudian ia bicara bagaikan pada dirinya sendiri :
"Cie-kong Taysu! Cie-kong Taysu! Agaknya aku belum
154 pernah mengenal nama seorang tokoh Siauw-lim seperti itu...
dia mau menolong kau tanpa mengenal namamu, tanpa
mengetahui pula dari golongan atau aliran apa kau datang,
Jika begini, rasanya ia memang tidak mengetahui
hubunganmu dengan aku. untuk menolong dirimu, dia harus
mengorbankan tenaga murni yang di himpunnya paling tidak
sepuluh sampai dua puluh tahun lamanya. Kalau pengorbanan
ini tidak timbul dari hati nuraninya yang bersih, mustahil dia
rela berkorban?" Setelah itu Tie-kong tianglo minta kepada Thio Sin Houw
agar mengucapkan kembali kalimat-kalimat sakti ilmu yang
diperoleh Thio Sin Houw di dalam kuil Siauw-lim.
Thio Sin Houw segera mengucapkan kalimat-kalimat sakti
yang pertama sampai yang ketiga diluar kepala, sebagai
seorang yang berkepandaian tinggi , dengan sekali
mendengar saja Tie-kong tianglo segera mengetahui betapa
hebat intisari ilmu itu. Cepat-cepat ia memutus:
"Sudahlah, tak usah kau teruskan.
Maksudku tadi hanya ingin menguji palsu atau tidaknya
ilmu sakti yang diajarkan kepadamu, itulah sebabnya aku
minta kau membacakannya, selanjutnya ilmu itu janganlah kau
kabarkan kepada siapapun juga, ingatlah sumpah yang
pernah kau ucapkan. seorang ksatria sejati pantang
melanggar sumpah yang telah diucapkan!"
"Ya, Thay-suhu." sahut Thio Sin Houw.
Ketika dilihatnya suara sang kakek guru agak bergemetar,
apalagi kedua matanya basah berkaca-kaca, tahulah Thio Sin
Houv menebak keadaan hati orang tua itu. ia seorang anak
yang dianugerahi alam suatu kepintaran luar biasa, cerdik dan
cerdas bukan main. Pada saat itu sadarlah dia, bahwa hidupnya hanya tinggal
155 sisa waktu yang singkat saja, sehingga walaupun tidak
mengucapkan sumpah kepada pihak para pendeta Siauw-lim
sie artinya sama saja. ia tidak mempunyai waktu lagi, untuk
mengajarkan ilmu yang diperolehnya dari kuil Siauw-lim
kepada orang lain, Sejenak kemudian pikirannya bergerak ,
dan ia berkata kepada Tie-kong tianglo:
"Thay-suhu, apakah jiwaku tidak dapat dipertahankan lagi,
sampai aku bisa pulang ke Boe-tong san?"
"Janganlah kau berkata seperti itu, Betapapun hebatnya
lukamu, aku pasti berusaha menolongmu" sahut Tie-kong
tianglo yang berusaha membendung air matanya.
"Sucouw, aku tidak mengharapkan apa-apa lagi, asal saja
aku bisa melihat supeh Cia Sun Bie untuk sekali saja." kata
Thio Sin Houw. "Apa sebab?" tanya Tie-kong tiang lo heran.
"Sucouw, Cia supeh adalah satu-satunya orang yang
mengetahui bahwa aku masih mempunyai seorang kakak
perempuan. Aku ingin membeberkan rahasia ilmu sakti Kiuyang
Cin-kang golongan Siauw-lim kepadanya lewat Cia
supeh. Dengan berbekal ilmu kepandaian ayah dan dilengkapi
dengan ilmu sakti Kiu-yang Sin-kang golongan Siauw-lim, dia
akan menjadi seorang pendekar perempuan yang kelak dapat
menuntut balas sakit hati ayah dan ibu. Aku sendiri, setelah
mengabarkan ajaran ilmu sakti itu kepada Cia supeh, segera
akan bunuh diri, Dengan demikian aku bertanggung jawab
atas pelanggaran janjiku ini kepada pihak para pendeta Siauwlim
sie. Maka sedikit banyak aku tidak terlalu mengecewakan
pesan ayah dan ibu." Mendengar perkataan Thio Sin Houw, Tie-kong tianglo
156 terperanjat bukan kepalang. Kemudian kagum dan terharu.
Sama sekali tak terlintas dalam benaknya, bahwa anak sekecil
itu ternyata sudah pandai menjangkau hari depan begitu jauh,
oleh rasa kagetnya, kagum dan terharu, maka Tie-kong tianglo
menyahut sejadi-jadinya. Katanya: "Sin Houw, janganlah kau berkata yang bukan-bukan."
"Tay-sucouw, tiap kali aku membuka mata dan setiap kali
aku tertidur lelah, serasa aku mendengar suara ayah dan ibu
yang selalu memperingatkan aku agar aku menuntut balas
kepada lawan sebenarnya, Juga aku selalu mendengar
teriakan koko Sin Han yang begitu menyayatkan hati, ketika ia
mati terjungkal ke dalam jurang entah berapa ribu meter
dalamnya." kata Thio Sin Houw dengan suara gemetar.
Perkataan Thio Sin Houv itu membuat hati Tie-kong tianglo
terasa hancur luluh. Tanpa dikehendakinya sendiri, maka
terbayanglah wajah muka Thio Kim San, almarhum ayahnya
Thio Sin Houw. Untuk urusannya Lim Tiauw Kie yang menghilang tanpa
jejak,pada suatu hari pernah Tie-kong tianglo memerintahkan
melakukan perjalanan ke Kanglam guna mengadakan
penyelidikan. Sebelum berangkat, pada malam harinya Thio Kim San
keluar dari kamarnya dengan hati gelisah, Ketika tiba di
ruangan tempat berlatih ilmu silat, dari jauh ia melihat
kehadirannya gurunya, Untuk sesaat Thio Kim San berdiri
dibelakang suatu tiang tanpa bergerak, sampai tiba-tiba ia
melihat gurunya mengangkat tangan kanannya dan menulis
huruf-huruf ditengah udara. Dengan memperhatikan gerakan tangan gurunya, Thio Kim
mengetahui bahwa yang ditulis gurunya adalah dua huruf
"Songloan" ( = kesedihan , kekalutan) . setelah mengulangnya
beberapa kali, guru itu menulis dua huruf lain, yakni "To tok" (-
157 penganiayaan hebat, melakukan pengrusakan). Segera Thio
Kim San menyadari, bahwa gurunya sedang menulis "Songloan
tiap" dari Ong Hie Cie, Tetap sambil bersembunyi di belakang tiang, Thio Kim San
terus memperhatikan gerakan tangan gurunya yang menulis
seperti berikut: "Hie Cie toen-sioe, song-loan oie kek3 sian-bok aay-lie to
tok3 toei-wie kouv seng, " (= Hie Cie memberi hormat , kesedihan dan kekalutan
melampaui batas. Kuburan leluhur diubrak-abrik, kalau diingat
sungguh hebat perasaan duka.) Lewat beberapa saat, Thio Kim San merasakan bahwa
setiap coretan yang dibuat oleh gurunya mengandung
kedukaan dan secara mendadak, ia berhasil menyelami
perasaan Ong Cie Hie sendiri pada waktu menulis Song-loan
tiap itu. Ong Hie Cie adalah seorang sasterawan besar pada
zaman kerajaan Cin Timur, Pada waktu itu, negara Cina kacau
balau dan bangsa asing menentang kekuasaannya, Dalam
kesedihan dan kekalutan hebat (song-loan), murid-murid Ong
Hie Cie telah melarikan diri ke wilayah Cina sebelah selatan.
Bukan saja manusia, tetapi makam-makam pun turut dirusak
sehingga dapatlah dibayangkan, kedukaan dan kegusaran
rakyat yang sangat menghormati makam leluhur mereka,
penderitaan yang hebat itu, semuanya dilukiskan dalam Songioan
tiap itu. Dalam keadaan biasa selagi diliputi suasana gembira, Thio
Kim San tak bisa memahami maksud yang sebenarnya dari
"tiap" itu. Tetapi kini selagi ia sendiri dalam keadaan duka
berhubung ulah Liam Tiauw Kie yang bahkan telah
menghilang tanpa meninggalkan jejak, maka secara
mendadak ia dapat menyelami arti "Song-loan" dan "To-tok".
158 Sementara itu setelah menulis beberapa kali, Tie-kong
tianglo menarik napas panjang lalu masuk ke ruangan tengah
dimana ia duduk termenung beberapa saat lamanya, Tiba-tiba
ia mengangkat pula tangan kanannya dan menulis huruf-huruf
ditengah udara. Kali ini huruf-huruf itu berbeda dengan hurufhuruf
Song-loan tiap, Huruf-huruf pertama adalah "Boe"
sedangkan yang kedua "Lim" (Boe-lim = Rimba persilatan). ia
menulis terus sampai mencapai duapuluh empat huruf.
Dengan memperhatikan gerakan tangan gurunya, Thio Kim
San mengetahui bahwa yang ditulisnya adalah Boe-lim aieooen,
po-sun... Tiba-tiba Thio Kim San menyadari bahwa apa yang sedang
ditulis oleh gurunya itu, sebenarnya beliau sedang
memahamkan serupa ilmu silat yang sangat tinggi. Setiap
huruf yang ditulisnya, berarti setiap pukulan yang sangat
dahsyat! Thio Kim San yang bersembunyi di balik tiang, menjadi
semakin tertarik perhatiannya dan memusatkan segala
kemampuannya untuk diam-diam menghafal semua gerakan
yang dilakukan oleh gurunya. Hampir dua jam lamanya Tiekong
tianglo berlatih terus, sampai kemudian ia bersiul
nyaring. Telapak tangannya menyabat dari atas ke bawah.
Bagaikan menyambarnya sehelai sinar pedang. Sabetan
yang dahsyat itu merupakan coretan terakhir dari huruf yang
ditulisnya. Sehabis menyabat, guru itu menoleh kearah Kim San dan
berkata: "Kim San, bagaimana pendapatmu mengenai Soe-hoat
ini?" 159 (Soe-hoat = seni menulis huruf indah).
Thio Kim San terkejut. Tidak disangkanya bahwa
kehadirannya telah diketahui oleh gurunya, Cepat-cepat ia
mendekati sambil menjawab: "Hari ini teecu bernasib baik karena sempat melihat ilmu
silat suhu yang luar biasa, apakah boleh teecu memanggil
Toa-suko dan yang lainnya supaya merekapun bisa ikut
menyaksikan?" Tie-kong tianglo menggelengkan kepalanya, Katanya :
"Kegembiraanku telah sirna, sehingga mungkin sekali aku
tak dapat menulis lagi, Disamping itu mereka tidak menyukai
sastra, belum tentu mereka bisa menarik banyak manfaatnya."
Setelah berkata demikian, sambil mengibaskan lengan
bajunya Tie-kong tianglo berjalan masuk ke ruangan dalam.
Thio Kim San tak berani tidur karena khawatir ia akan
melupakan ilmu silat itu, Oleh karenanya segera ia bersilat dan
menjernihkan pikirannya, untuk mengingat-ingat setiap coretan
yang baru saja dilihatnya, Entah berapa lamanya ia berlatih
terus dengan amat tekunnya, sampai akhirnya ia berhasil
menguasai seluruh ilmu silat itu yang digubah berdasarkan
huruf-huruf yang dibuat oleh gurunya tadi.
***** TERINGAT dengan kenangan lama tanpa terasa air mata
Tie-kong tianglo berlinang keluar dan membasahi mukanya
bahkan terus menetes jatuh ke jubahnya. Cepat-cepat orang
tua itu memutar tubuh supaya jangan terlihat oleh Thio Sin
Houw, dan ia membentak dengan suara parau:
"Sin Houw, Tak boleh lagi kau berpikir yang bukan-bukan!"
160 Orang tua itu kemudian berusaha tenangkan diri, setelah
berhasil memperoleh ketenangannya, kembali ia memutar
tubuh menghadapi Sin Houw dan berkata :
"Seorang ksatria sejati, harus bersih hati dan jujur kepada
diri sendiri, ia harus memperlihatkan dadanya pada saat apa
saja, dimanapun ia berada dan dalam keadaan betapa
sulitpun juga, Kau telah berjanji kepada para pendeta Siau-lim,
bahwa kau tidak bakal mengajarkan ilmu yang diberikannya
kepadamu pada lain orang. Maka sejak saat itu pula, kau
harus dapat memegang teguh janjimu sendiri sampai detik
terakhir. Sebab saksinya adalah hidupmu sendiri!"
Kata-kata Tie-kong tianglo terdengar penuh semangat dan
berwibawa, sehingga Thio Sin Houw menjadi tertegun, Tanpa
merasa ia mengangguk. Sebenarnya semenjak ia sadar hidup diantara ayah-bunda
dan kedua saudaranya, ia terlatih menjadi seorang ksatria
sejati. Namun didalam pengalaman hidupnya akhir-akhir ini,
iamenghadapi manusia-manusia licik yang demi tujuan


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka banyak menggunakan berbagai tipu-daya licik yang
bertentangan dengan angan-angan jiwa ksatria, janji belum
tentu harus ditepati, semuanya tergantung pada keadaan.
Baru setelah berada di kuil Boe-tong pay, semua pamanpaman
gurunya memberikan contoh bagaimana sepak-terjang
seorang ksatria sejati. Dan bahwasanya janji bagi seorang
ksatria harus dipegang teguh sampai mati barulah untuk yang
pertama kalinya didengarnya lewat mulut kakek gurunya.
Walaupun demikian, kata-kata Thio Sin Houw itu telah
menusuk kalbu Tie-kong tianglo. Pikir orang tua itu di dalam
hatinya: "Anak ini tahu bahwa beberapa hari lagi, jiwanya akan
melayang, Akan tetapi sama sekali ia tak gentar atau menjadi
kecil hati, malahan lantas teringat dengan pesan ayahKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/ *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***
161 bundanya bahwa ia harus bisa membalas dendam terhadap
musuhnya yang benar. Demi baktinya kepada ayah-bundanya,
ia rela membunuh diri setelah mengalihkan rahasia suatu ilmu
sakti yang dianggapnya bisa mencapai angan-angannya itu
kepada Cia Sun Bie, agar Cia Sun Bie diharapkan
meneruskan kepada kakaknya perempuan.
Kalau dipertimbangkan, sesungguhnya hal itu sesuai
dengan panggilan jiwa ksatria, Akh, mengapa Tuhan tidak
melindungi seorang yang memiliki jiwa demikian besar ini?"
Selagi orang tua ini memuji jiwa Thio Sin Houw didalam
hati, tiba-tiba terdengarlah suatu kumandang suara di
kejauhan sana. Nyaring benar suara itu terdengarnya:
"Heeeeyyy! Kau serahkan saja bocah itu! Dan kau akan
kami ampuni... kalau membangkang, janganlah mengutuk
kami dengan mengatakan kami seorang makhluk yang kejam
dan bengis!" Suara itu terbawa oleh angin, tiap patah kata-katanya
terdengar sangat jelas, itulah suatu tanda, bahwa pemilik
suara itu pastilah memiliki tenaga dalam yang tinggi. Dan
mendengar bunyi kata-kata itu, Tie-kong tianglo tertawa
didalam hati, Katanya kepada dirinya sendiri:
"Entah siapa dia, sampai berani memerintah aku agar
menyerahkan bocah ini kepadanya ..."
Kata-kata itu diucapkan sangat perlahan, sehingga telinga
Thio Sin Houw tidak mendengar. Dengan perlahan-lahan ia
memutar badannya, Dan pada saat itu ia melihat sebuah
perahu kecil tengah meluncur sangat deras. Penumpangnya
seorang laki-laki berberewok lebat, usianya kira-kira baru
mencapai duapuluh tahunan. ia berada diantara dua kanakkanak
yang melindungi diri didepan dadanya, sedang pemuda
berberewok lebat itu, dengan semangat menyala-nyala
162 mendayung perahu kecilnya bagaikan kalap.
Hebat perawakan pemuda berberewok itu. Tubuhnya
tegap, dadanya bidang sehingga dapat melindungi dua bocah
yang bersembunyi di depannya. Tie-kong tianglo segera
memperhatikan dua bocah itu, yang satu laki-laki dan yang
lain seorang perempuan berwajah cantik mungil.
Perahu yang ditumpangi Tie-kong tianglo berada diluar
tikungan,sehingga setiap perahu yang datang harus muncul
terlebih dahulu dari balik tikungan . Demikianlah setelah
perahu pemuda berberewok lebat itu masuk ke dalam
tikungan, muncullah sebuah perahu lagi.
Perahu yang memasuki tikungan ini berukuran besar,
sehingga jalannya agak lambat. Penumpangnya berjumlah
delapan orang, mereka mengenakan pakaian seragam tentara
Mongol, perahu ini agaknya hendak mengejar perahu si
berewok. Dengan berteriak-teriak nyaring, seorang laki-laki yang
berada di depan mengancam dan memperingatkan. Akan
tetapi pemuda berberewok itu tidak mengindahkan. Dengan
suatu tenaga yang luar biasa kuatnya, ia menggayuh cepat
sekali, sebentar saja, perahunya sudah hampir melewati
perahu Tie-kong tianglo. Melihat perahu pemuda itu semakin lama makin menjadi
jauh, pengejarnya lantas menghujani anak panah. Diantara
puluhan anak panah yang menyambar pemuda berberewok
itu, terdengarlah sebatang yang mendesing sangat tajam
itulah suatu tanda, bahwa pembidiknya bertenaga kuat.
"Akh!" kata Tie-kong tianglo di dalam hati, "Kiranya mereka
memerintahkan pemuda itu meninggalkan atau menyerahkan
kedua bocah yang dilindungi. Kukira seruan tadi ditujukan
kepadaku . . . " 163 Sebenarnya Tie-kong tianglo hanya sebagai penonton
belaka.Akan tetapi, sejak masa mudanya ia membenci
terhadap gerombolan tentara Mongol.
Apalagi, manakala mereka sedang melakukan perbuatan
sewenang-wenang menindas rakyat jelata yang lemah tidak
berdaya, Maka Tie-kong tianglo bermaksud hendak menolong
pemuda berberewok itu. Tetapi selagi hatinya gergerak hendak memberikan
pertolongan, tiba-tiba teringatlah dia kepada masalahnya
sendiri. Thio Sin Houw yang tidur di sampingnya, sedang
terancam pula jiwa-nya, Meskipun jiwanya tidak bakal terengut
oleh suatu senjata, tetapi bila tidak memperoleh pertolongan
dengan segera, ia akan mati pula. Teringat akan hal itu, hati Tie-kong tianglo menjadi terharu
dan berduka, ia jadi merasa bimbang hendak menolong
pemuda berberewok yang terancam keselamatannya.
Dalam pada itu, pemuda berberewok yang melindungi
kedua bocah didepannya, menangkis hujan anak panah yang
menyambar kearahnya, dengan tangan kanannya, Gerakgeriknya
tangkas dan berani, sehingga diam-diam Tie-kong
jadi menaruh perhatian lagi. pikirnya didalam hati:
"llmu kepandaian pemuda itu tidak rendah, ia berani dan
tenang menghadapi ancaman bahaya, Apakah aku akan tetap
berpeluk tangan, menyaksikan dia mati tertembus panah?"
memperoleh pikiran demikian, segera ia memberi perintah
kepada pemilik perahu: "Siauwko! Potong perjalanan mereka ..."
Pemilik perahu itu sudah tentu menjadi kaget, mendengar
kehendak penyewanya, Memotong jalan kedua perahu itu,
berarti bunuh diri. Sebab perahu besar yang berada
dibelakangnya sedang menghujani anak panah bagaikan
164 hujan turun, mengarah perahu pemuda berberewok yang
berada didepannya, Maka dengan Suara gemetar ia berkata:
"Tianglo, apakah maksudmu hanya bergurau saja?"
Sebenarnya Tie-kong tianglo ingin mengesankan, bahwa ia
bermaksud menolong pemuda berberewok itu. Akan tetapi
sebagai seorang pendekar yang sudah kenyang makan
garam, tahulah dia bahwa pemilik perahu dalam ketakutan,
Tatkala ia menoleh, keadaan pemuda berberewok itu berada
dalam bahaya. Sedikit terlambat, jiwanya takkan tertolong lagi,
Maka tanpa bicara lagi, Tie-kong tianglo merebut penggayuh
dan terus meluncurkan perahunya memotong perjalanan. Lalu
ia berputar menyongsong kedatangan perahu besar.
Tepat pada saat itu, ia mendengar suatu pekik melengking
yang menyayatkan hati. Anak laki-laki yang berlindung
didepan dada pemuda berberewok kena terbidik, sebatang
anak panah yang kuat luar biasa, menembus punggungnya
dengan amat dalamnya, bukan main kagetnya pemuda
berberewok itu, dengan gugup ia menelungkup hendak
melindungi berbareng memeriksa. Akan tetapi pada saat itu
pula, beberapa batang anak panah menancap pada lengan
dan pundaknya, ia tak menghiraukan sama sekali.
Sayang, ketika ia hendak meraih anak laki-laki yang
dilindungi, penggayuhnya jatuh terkulai didalam permukaan
air, seketika itu juga, perahunya yang sudah berada di depan
perahu Tie-kong tianglo berputar-putar bagaikan sebuah
gangsingan Dalam sekejap saja, perahu besar yang
mengejarnya sudah berhasil mendekati.
Empat tentara Mongolia melompat ke dalam perahunya,
akan tetapi pemuda bermuka berewokan itu tak sudi menyerah
mentah-mentah. Walaupun tidak bersenjata, ia melawan
dengan tinju dan kakinya. 165 Tie-kong tianglo terhenyak sebentar ketika mendengar
pekik teriak bocah itu yang mati tertembus anak panah, ia
sampai lupa kepada tujuannya semula, setelah perahu besar
lewat di sampingnya dan kemudian merahu perahu pemuda
berewokan itu, barulah ia tersadar Terus saja ia berseru
nyaring: "Siauw enghiong, jangan berkecil hati! Aku akan
menolongmu!" Tanpa berpikir lagi, ia mengangkat dua papan dari dalam
perahunya lalu dilemparkan kedalam air. Begitu dua papan
terapung diatas permukaan air, Tie-kong tianglo melompat
turun. Jarak antara perahunya dan perahu mereka yang sedang
bertempur tidak begitu jauh, maka setelah Tie-kong Tianglo
melompat-lompat dari papan ke papan bagaikan mengembah
papan jembatan sampailah dia diburitan perahu. Ia lantas
melompat tinggi keudara, jubahnya berkibar-kibar tak ubah
sepasang sayap burung rajawali. Dua tentara penjajah yang berada didalam perahu, kaget
melihat kedatangannya, mereka lantas melepaskan anak
panah. Akan tetapi dengan sekali mengebaskan lengan
bajunya, Tie-kong tianglo mementalkan dua batang anak
panah itu runtuh ke dalam sungai, dan begitu mendarat di atas
geladak perahu tangannya memukul. seorang tentara yang
berperawakan tinggi besar terpental kena pukulannya dari
jauh, dan dengan berjungkir-balik tentara yang sial itu tercebur
didalam sungai! Kedatangan Tie-kong tianglo benar-benar tak ubah
malaikat turun dari langit. Dengan sekali bergerak, ia bisa
mementalkan dua batang panah dan melontarkan seorang
tentara penjajah yang berperawakan tinggi besar, inilah suatu
kepandaian yang sukar dibayangkan, maka tak mengherankan
tujuh tentara yang berada didalam perahu itu, tertegun seperti
166 kena pukau. Sejenak kemudian, seorang tentara yang mengenakan
pakaian perwira, berteriak keras: "Hei, kakek ! Tiada geledek tiada angin, apa sebab kau
mencampuri urusan ini" Pergi sebelum kasep!"
"Hemm ..." gerendeng Tie-kong tianglo. "Kau anjing
penjajah,berani benar membuka mulut besar didepanku...
entah sudah berapa kali, kalian mencelakai rakyat jelata,
Hayo, perintahkan kawan-kawanmu pergi secepat mungkin!"
"Eh, kakek! Hatimu sebenarnya mulia - akan tetapi kau
salah alamat... Tahukah kau, siapa mereka bertiga itu"
Mereka adalah anak-anaknya si penghianat Ciu Kong Bie!"
Mendengar disebutnya nama Ciu Kong Bie, hati Tie-kong
tianglo tercekat.. Serentak ia berpaling mengamat-amati
pemuda berberewok dengan dua bocah yang dilindunginya,
pikirnya didalam hati: "Benarkah mereka anak-anaknya Ciu
Kong Bie?" Ciu Kong Bie adalah pembantu Thio Su Seng yang sedang
giat melakukan gerakan menentang kaum penjajah bangsa
Mongolia di daratan Cina. sebelah utara, jasanya sudah
banyak terdengar di kalangan kaum rimba persilatan maupun
rakyat jelata, Oleh karena itu Tie-kong tianglo semakin
bertekad hendak memberikan pertolongan.
"Perlu apa kalian begitu kejam?" tanya Tie-kong tianglo
kepada si perwira tentara Mongolia itu.
"Siapa kau" Mengapa kau berani mencampuri urusan
kami?" balik tanya si perwira dengan aseran.
Tie-kong tianglo tertawa. 167 "Siapa yang bisa menolong sesama manusia, haruslah dia
menolong," jawabnya . "Segala urusan dikolong langit boleh
dicampuri oleh manusia dikolong langit!"
Perwira itu melirik kawan-kawannya, tetapi bertanya lagi
kepada Ti e-kong tianglo: "Siapakah nama Totiang, dan dimana letak kuilmu?"
Mendadak dua orang perwira lain mengangkat golok
mereka, dan membacok pundak Tie-kong tianglo. Kedua
senjata itu menyambar bagaikan kilat dan di atas perahu yang
sempit. sungguh sukar untuk mengelakannya, tetapi dengan
sekali miringkan badan guru besar itu sudah dapat
menghindar dari sambaran senjata musuh. Hampir berbareng,
Tie-kong tianglo mengeluarkan kedua tangannya yang lalu
ditempelkan di punggung kedua penyerang itu.
"Pergilah!" bentaknya sambil mendorong, dan tubuh kedua
perwira itu lantas saja "terbang" dan jatuh diatas perahu
mereka sendiri. Sudah puluhan tahun Tie-kong tianglo tidak pernah
bergebrak. Kini dengan menguji kepandaiannya kembali,
ternyata segala-galanya dapat dilakukannya dengan sesuka
hati, Meskipun para perwira tentara penjajah itu merupakan
jago-jago pilihan, akan tetapi menghadapi ilmu sakti Tie-kong
tianglo yang tiada bandingnya itu, boleh dikatakan mereka
mati kutu, Oleh rasa terkejutnya, perwira itu sampai termangu,
Kemudian ia berkata dengan suara tidak lancar:
"Apakah kau ... kau ..." Tetapi pada saat itu Tie-kong tianglo sudah mengebaskan
lengan bajunya lagi. bentaknya: "Selama hidupku, aku paling gemar membunuh kaum
168 penjajah!" Berbareng dengan perkataannya dua orang perwira
merasa sesak dadanya. Untuk sejenak mereka tak dapat bernapas .
Apabila Tie-kong tianglo menarik kembali pukulannya,
wajah mereka menjadi pucat lesi, Terus saja mereka
berebutan mencari penggayuh. Dan dengan cepat-cepat
menjauhkan perahu mereka, sedangkan kawan-kawan
mereka yang tercebur di sungai segera ditolongnya, sebentar
lagi perahu mereka hilang di kelokan sungai.
Melihat panah-panah yang menembus pemuda berewokan
dan anak perempuan itu, Tie-kong tianglo segera
mengeluarkan obat pemunah racun. Setelah ditelankan


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemulut mereka, ia menolong mencabut panah-panah itu.
Segera ia mendayung perahu kecil itu untuk mendekati perahu
tambangannya, setelah berdempetan, ia lalu membungkuk
hendak memayang pemuda itu pindah ke perahunya.
Tak terduga, pemuda itu ternyata seorang yang luar biasa.
Tiba-tiba ia bangkit, sebelah tangannya memondong mayat
anak laki-laki tadi dan yang satunya lagi mengempit anak
perempuan. Dengan satu lompatan enteng, ia sudah menyeberang
keperahu Tie-kong tianglo. Diam-diam Tie-kong tianglo memuji didalam hati, pemuda
itu terluka parah, tetapi masih begitu setia terhadap
majikannya. Benar-benar seorang lelaki sejati. Menimbang
kegagahannya, pantaslah rasanya ia memberikan
pertolongannya. Tie-kong tianglo kemudian melompat kembali kedalam
perahunya. Setelah memeriksa luka panah pemuda itu dan
169 anak perempuan yang dibawanya, segera ia membubuhi obat
luar, Dalam pada itu perahunya telah menepi diseberang.
Sekilas terpikir oleh Tie-kong tianglo didalam hati:
"Seluruh tubuh Thio Sin Houw sekarang dalam keadaan
lumpuh, ia sama sekali tidak dapat menggerakkan kakinya.
Jika aku meneruskan perjalanan, rasanya kurang
menguntungkan. Pemuda bermuka berewok dan kedua anak
yang dibawanya kini menjadi buronan pihak pemerintah
penjajah , jika aku harus melindungi mereka bertiga rasanya
agak sukar juga." Ia merenung sejenak, Kemudian ia memberikan uang sewa
kepada pemilik perahu, dan berkata:
"Siecu, apakah kau masih sanggup membawa kami pada
suatu tempat yang kira-kira terdapat sebuah rumah
penginapan?" Tukang perahu itu tadi menyaksikan betapa tangkasnya
Tie-kong tianglo menghajar dan mengusir tentara penjajah
yang bersenjata, Hatinya kagum luar biasa, dengan sendirinya
ia menaruh hormat sekali. Kini ia mendapat uang sewa,
jumlahnya terlalu banyak pula. Maka tak mengherankan, ia
segera memanggut dan cepat-cepat meneruskan perjalanan.
Dalam pada itu sipemuda bermuka berewok kemudian
berlutut didepan Tie-kong tianglo sebagai pernyataan terima
kasih, katanya dengan suara haru: "Atas budi pertolongan totiang, dengan ini aku
menghaturkan terima kasih. Totiang, aku bernama Cie siang
Gie. Sejak hari ini, aku bersumpah kepada Tuhan bahwa
selama hidupku takkan kulupakan budi Tianglo."
Cepat-cepat Tie-kong tianglo membangunkannya,
sahutnya: 170 "Akh, kau tak perlu berlutut begini terhadapku ..." tiba-tiba
ia menyentuh telapak tangan pemuda itu, ia menjadi kaget.
Telapak tangan pemuda itu terasa sangat dingin bagaikan es,
maka cepat-cepat ia bertanya: "Apakah kau mendapat luka
juga di dalam tubuhmu?" "Benar, tianglo. Aku membawa ke dua anak majikanku ini.
Di sepanjang perjalanan aku harus bertempur sampai empat
kali berturut-turut, aku kena terhajar punggung dan dadaku.
Apakah aku terluka berat?" Dengan berdiam diri Tie-kong tianglo memegang urat nadi
pemuda itu. Denyutnya terasa sangat lemah. Dengan hati bercekat Tiekong
tianglo membuka baju pemuda itu dan memeriksa
lukanya. Begitu melihat luka yang di deritanya, orang tua itu makin
bercekat hatinya. Bekas-bekas pukulan nampak bengkak hebat, itulah suatu
tanda bahwa luka pemuda itu bukan luka enteng. Apabila
orang lain yang kena pukulan demikian, pastilah sudah tidak
tahan lagi. Tetapi nyatanya pemuda ini masih kuat melarikan
diri sejauh itu dengan membawa dua kanak-kanak, dan di
sepanjang jalan ia melakukan perlawanan dengan sekuat
tenaga, Benar-benar harus dipuji ketangkasan dan jiwanya
yang penuh keperwiraan, maka ia tidak mengajak berbicara
lagi kepadanya, ia hanya mempersilahkan agar pemuda itu
merebahkan diri di dalam perahu untuk beristirahat.
Kira-kira menjelang tengah malam, sampailah perahu
tambangan itu di sebuah kota kecil. Tie-kong tianglo mencoba
mencari ramuan obat, setelah itu ia kembali ke perahu.
Anak perempuannya Ciu Kong Bie yang dibawa oleh
171 pemuda bermuka berewokan itu, berumur kurang lebih
sembilan tahun. ia sangat cantik jelita.
Waktu itu ia duduk disamping mayat kakaknya tanpa
bergerak. Menyaksikan hal itu, hati Tie-kong tianglo tersayatsayat.
Lalu ia bertanya dengan suara lembut:
"Siapa namamu, anak manis?"
"Ciu Sin Lan," jawab anak perempuan itu sambil berdiri
dengan sopan. "Apakah titlie boleh mengetahui nama Tay-suhu?"
Heran dan kagum Tie-kong tianglo mendengar pertanyaan
gadis cilik itu, yang dapat dikatakan belum cukup umur, Akan
tetapi didalam keadaan yang begini kusut, masih dapat ia
berlaku sopan dan beradat. Tiba-tiba saja terbersitlah rasa
sayang dalam dada Tie-kong tianglo, sahutnya sambil
tersenyum: "Siauw-to bernama Tie-kong."
"Ha?" seru gadis cilik itu dengan terkejut.
"Ha?" seru pemuda bermuka berewokan itu dengan
terkejut. Waktu itu ia masih rebah diatas geladak perahu,
Mendadak saja ia bangkit, meneruskan dengan suara
setengah berseru: "Jadi tianglo adalah Tie-kong tianglo, guru-besar dari Boetong
pay" Pantaslah thay-suhu sangat sakti tiada tandingnya.
Hari ini siauwtit benar-benar sangat berbahagia, dapat
bertemu dan berhadap-hadapan dengan Thay-suhu."
Tie-kong tianglo tertawa dan berbasa-basi merendahkan
diri. Didalam hati ia merasa senang sekali, melihat Cie Siang
Gie berdua Ciu Sin Lan amat sopan santun.
172 "Kalian terluka berat. Lebih baik jangan berbicara lagi. Nah,
beristirahatlah selagi ada kesempatan yang baik." akhirnya
kata Tie Kong tianglo. ***** PADA WAKTU makan malam, pemilik perahu sudah
selesai memasak, Tie-kong tianglo mempersilahkan Cie Siang
Gie dan ciu Sin Lan makan dahulu, karena ia hendak
menyuapi Thio Sin Houw yang tak dapat bergerak itu.
"Sebenarnya ia menderita penyakit apa?" Cie Siang Gie
minta keterangan dengan penuh perhatian.
Segera Tie-kong tianglo memberi keterangan, bahwa Thio
Sin Houw kena racun jahat yang kini menyerang bagian perut.
itulah sebabnya, ia terpaksa menghentikan peredaran
darahnya untuk menyelamatkan jiwanya.
Thio Sin Houw ikut mendengarkan keterangan kakek
gurunya itu, ia makin menyadari, bahwa jiwanya takkan
tertolong lagi. Diam-diam ia menjadi terharu dengan jerihpayah
kakek gurunya itu yang berjuang untuk menyelamatkan
jiwanya, Oleh rasa haru, ia tak sanggup makan lagi,
Kerongkongannya terasa tersumbat. Tatkala Tie-kong tianglo
hendak memasukkan suapan yang ketiga kalinya, ia
menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba Ciu Sin Lan yang selama itu menaruh perhatian
kepadanya, datang mendekati. ia mengambil mangkok nasi
yang berada ditangan Tie-kong tianglo, dan berkata dengan
lemah lembut: "Thay-suhu, biarlah aku yang menyuapinya, Sejak petang
tadi, Thay-suhu telah bekerja keras, silahkan makan dahulu."
Tercengang hati Tie-kong tianglo melihat sikap gadis cilik
173 itu, yang begitu pandai membawa diri, Tatkala itu ia
mendengar Thio Sin Houw menyanggah kepada Ciu Sin Lan:
"Terima kasih. Aku sudah kenyang. Tak bisa aku makan
lagi." Ciu Sin Lan menoleh kepada Tie-kong tianglo, minta
keterangan: "Thay-suhu, siapakah namanya?"
Dengan bersenyum Tie-kong tianglo menjawab:
"Thio Sin Houw." Setelah mendengar nama Thio Sin Houw, maka Ciu Sin
Lan menoleh kepadanya, berkata dengan suara halus.
"Sin Houw koko, jika kau tidak mau makan, pastilah Thaysuhu
akan bersedih hati, dan Thay-suhu pun tidak akan
bernapsu makan pula, Bukankah kau membuat Thay-suhu
lapar?" Thio Sin Houw diam menimbang-nimbang, Pikirnya, benar
juga alasan anak perempuan itu, Maka, tatkala Ciu Sin Lan
menyuapkan nasi kemulutnya, ia lantas menelannya.
Ciu Sin Lan ternyata sangat telaten menyuapi. sebelum
menyuapkan, ia membuangi tulang-tulang ikannya dahulu dan
setiap suapan ditambaninya dengan sedikit kuah. Oleh
pelayanan yang begitu sempurna, Thio Sin Houw menjadi
makan secara lahap. Tanpa disadarinya sendiri, ia telah
menghabiskan semangkok nasi. Selama itu Tie-kong tianglo menaruh perhatian kepada
mereka. Melihat Thio Sin Houw dapat menghabiskan
semangkok besar nasi, ia menjadi agak lega, pikirnya didalam
174 hati: "Sin Houw ini benar-benar anak yang bernasib malang, ia
tidak hanya ditinggalkan kedua orang tuanya, tetapipun oleh
kedua saudaranya pula, sekarang ia menderita sakit begini
berat memang, untuk menghibur dirinya seharusnya ada
seorang perawat yang sebaya dengan umurnya."
Ia menoleh kepada Cie Siang Gie, Meskipun sedang terluka parah, akan tetapi pemuda itu
makan dengan lahap dan bernapsu, Dalam sekejap saja, ia
telah menghabiskan tiga mangkok nasi penuh-penuh. Kena
pandang Tie-kong tianglo, pemuda itu berhenti mengunyah,
menengadah sambil berkata: "Akh, hampir saja aku menghabiskan persediaan makan
Thay-suhu. silahkan Thay-suhu makan."
"Tidak, Aku mempunyai persediaan sendiri. Aku senang
melihat kau dapat menghabiskan tiga mangkok nasi dengan
sekaligus, hal itu perlu sekali untuk menjaga kesehatanmu
Kulihat tenagamu hebat sekali, dikemudian hari kau bisa
mengembangkan tenagamu itu." Cie Siang Gie meletakkan mangkok-nya, menyahuti:
"Akh, Thay-suhu, sekalipun andaikata aku mempunyai
tenaga sebesar gajah, kurasa tiada gunanya, Sebab aku ini
orang yang kasar." Dengan pandang penuh perhatian, Tie-kong tianglo
menatap wajahnya, Kemudian berkata sambil mengurut
jenggotnya: "Cie siauwhiap, berapa umurmu?"
Dengan cepat Cie Siang Gie menjawab:
175 "Duapuluh tahun tepat." Dibandingkan dengan usia Tie-kong tianglo, umur Cie
Siang Gie baru seperlimanya, Akan tetapi karena ia
memelihara berewok, maka nampaknya seram luar biasa,
Apabila dilihatnya sekilas pandang, kesannya seperti sudah
berumur tiga puluh tahun lebih. Dalam pada itu Tie-kong
tianglo mengangguk-angguk dan berkata dengan hati lapang:
"Hm, kau masih sangat muda, siauw hiap, Hari depanmu
masih sangat panjang , semoga kelak kau bisa bergaul lebih
luas lagi untuk mengangkat nama sendiri."
Cie siang Gie mengucapkan terima kasihnya, Dan esok
harinya Tie-kong tianglo bermaksud hendak melanjutkan
perjalanannya, dengan mengambil jalan darat. Maka ia segera
memondong Thio Sin Houw dan berkata kepada Cie Siang
Gie: "Baiklah kita berpisah sampai di sini saja, mudah-mudahan
kau dapat mencapai tujuan dengan selamat." setelah berkata
demikian, ia melompat ke darat hendak meninggalkan perahu.
Dengan berdiri tegak, berulangkali Cie Siang Gie dan Ciu
Sin Lan mengucapkan terima kasih tak terhingga. Sedang Ciu
Sin Lan sempat berkata dengan lemah lembut kepada Sin
Houw: "Siri Houw koko, tiap hari kau harus makan yang kenyang.
Dengan demikian kau tidak akan membuat sedih Thay suhu."
Terharu hati Thio Sin Houw mendengar perkataan Sin Lan,
entah apa sebabnya tiba-tiba saja air matanya mengalir di
kedua pipinya. sahutnya dengan suara tak lancar:
"Terima kasih atas perhatianmu, Tetapi ... tetapi beberapa
hari lagi aku akan tidak bisa makan nasi, atau meneguk air ..."
176 Mendengar perkataan itu hati Tie-kong tianglo seperti
tersayat. Dengan terharu ia mengusap air mata bocah itu.
"Apa katamu" Kau . . . kau . . . kenapa?" tanya Sin Lan
kaget. Thio Sin Houw tak kuasa menjawab pertanyaan Sin Lan,
dan Tie-kong tiang lo ganti menjawab:
"Anak manis, hati nuranimu sangat baik. Mudah-mudahan
Tuhan memilihkan jalan yang benar bagimu. Aku sendiri selalu
berdoa, agar kau jangan terjerumus ke jalan yang sesat."
"Terima kasih, Thay-suhu," sahut Ciu Sin Lan dengan
tulus. Tiba-tiba Cie siang Gie ikut bicara:
"Thay-suhu, ilmu saktimu sangat tinggi. walaupun ribuan
macam racun berada dalam tubuh adik kecil ini, pastilah Thaysuhu
dapat menyembuhkan." "Ya, tentu ..." sahut Tie-kong tianglo singkat. Akan tetapi
sebelah tangan yang berada dibawah tubuh Thio Sin Houw
nampak digoyang-goyangkan beberapa kali. Terang sekali
maksudnya bahwa luka yang diderita Thio Sin Houw terlalu
berat, sehingga tiada harapan untuk dapat disembuhkan
kembali. Hanya saja, tak pernah ia memberitahukan hal itu
kepada Thio Sin Houw. Melihat goyangan tangan Tie-kong tianglo yang dimaksud
sebagai aba-aba itu, maka Cie Siang Gie menjadi kaget.


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Katanya lagi: "Thay-suhu, luka yang kuderita tidak ringan pula, Aku
bermaksud mencari salah-seorang pamanku yang pandai
177 mengobati, ia terkenal sebagai seorang tabib sakti. Tidakkah
lebih baik apabila adik kecil ini pergi bersama sama aku, untuk
menemui pamanku itu?" Tie-kong tianglo mendengarkan perkataan Cie Siang Gie
dengan penuh perhatian, tetapi sesaat kemudian ia
menggelengkan kepalanya, Sahutnya: "Urat-urat nadinya sudah tertembus, sehingga bisa racun
yang jahat meresap ke dalam perutnya, Kurasa obat dewa
sekalipun sukar sekali menyembuhkannya, Diseluruh dunia ini
tiada seorangpun yang sanggup menyembuhkannya,
sehingga..." "Tetapi pamanku mempunyai kepandaian menghidupkan
orang mati!" Cie Siang Gie memutus dengan sungguhsungguh.
Tie-kong tianglo tercengang. Mendadak teringatlah dia
kepada seseorang, lalu katanya mencoba:
"Apakah nama pamanmu itu Tiap-kok le-sian?"
"Benar, memang dia!" seru Cie Siang Gie girang. "Kiranya
Thay-suhu kenal nama pamanku itu."
Tie-kong tianglo diam termenung, ia nampak bimbang.
Memang pernah didengarnya nama Tiap-kok le-sian yang
aneh dan sakti itu, dan yang namanya disegani oleh orangorang
Rimba persilatan. Akan tetapi dia adalah dari golongan
"Beng-kauw" yang menurut anggapan orang banyak
merupakan agama sesat. Oleh karena itu kalau orang yang sakit atau terluka
merupakan orang dari golongannya, ia segera menolongnya
dengan sepenuh tenaga tanpa mau menerima bayaran
apapun juga, sebaliknya kalau yang memerlukan pertolongan
bukan pengikut golongannya, biarpun dibayar dengan jutaan
178 tail emas ia tidak akan sudi menolongnya.
Melihat Tie-kong tianglo berbimbang-bimbang, segera Cie
Siang Gie dapat menebak. Katanya membujuk:
"Thay-suhu, Pamanku itu meskipun selamanya tidak sudi
mengebati orang-orang diluar golongannya, akan tetapi Thaysuhu
sudah menanam budi demikian luhur menolong jiwa
kami, Kurasa paman ku akan melanggar kebiasaan sendiri.
Aku sendiri sebenarnya bukan merupakan pembantu dari
gerakan Ciu Kong Bie sebaliknya ayahkulah yang merupakan
salah-seorang pembantu setia dari Thio Su Seng dan
diperbantukan kepada Ciu Kong Bie. Tatkala ayah meninggal, beliau berpesan kepadaku
hendaklah aku membawa dua putera-puteri Ciu Kong Bie
untuk diselamatkan dari kejaran pihak tentara penjajah,
Karena aku sudah menyanggupkan diri, maka aku
membawanya pergi ke tempat pamanku yang sekaligus
merupakan atasanku, Beliau, adalah Han Sam Tong, yang
menentang pemerintah penjajah dibawah Panji Beng-kauw..."
Sejenak Cie Siang Gie menunda bicara sambil menatap
muka Tie-kong tianglo, lalu ia berkata lagi:
"Thay-suhu adalah seorang pemimpin besar dari suatu
perguruan yang juga maha-besar, dan juga merupakan
seorang yang memuliakan agama, sebagai seorang beragama
yang saleh, betapa mungkin Thay-suhu membiarkan diri
memohon bantuan kepada pamanku yang digolongkan dari
aliran sesat. Tabiat pamanku memang aneh pula, belum tentu
ia bisa menerima kedatangan Thay-suhu dengan semestinya,
Apabila terjadi demikian, kedua-duanya akan susah. Maka
biarlah adik kecil ini aku yang membawanya seorang diri saja.
Namun aku tahu, Thay-suhu menyangsikan nilai budi
golongan kami, karena itu aku mohon kepada Thay-suhu,
biarlah Ciu kouwnio. 179 Siauw-kouwnio ini mengantarkan Thay-suhu pulang ke
gunung Boe-tong sebagai jaminan. Kelak apabila adik kecil ini
sudah sembuh, akan aku menjemputnya kembali."
Selama hidupnya Tie-kong tianglo belum pernah
mencurigai seseorang. Tetapi mengingat Thio Sin Houw
adalah keturunan satu-satunya dari murid kesayangannya,
Thio Kim San - maka ia bersikap sangat hati-hati. Sebab jika
keturunan anak muridnya itu di kemudian hari sampai masuk
ke dalam aliran sesat, bagaimana ia mempertanggung
jawabkan kepada arwah ayahnya, itulah sebabnya masih saja
ia ragu-ragu. Akan tetapi bisa racun yang mengamuk didalam tubuh Thio
Sin Houw sudah terlalu hebat. Betapapun juga akhirnya kalau
tidak hidup ya mati. Bahaya yang bakal mengancam dirinya,
apa perlu diperpanjang dan dipertimbangkan berkepanjangan"
Olah pertimbangan itu, segera Tie-kong tianglo menjawab:
"Cie siauwhiap, baiklah, Kita saling berjanji, aku akan
merawat Ciu siauw kouwnio ini baik-baik. Dan tolong kau
rawat Sin Han baik-baik pula, kelak apabila racun yang
mengamuk di dalam dirinya sudah sirna, hendaklah kau
membawanya sendiri ke Boe-tong san."
"Memperoleh kepercayaan seseorang apalagi mendapat
tugas demikian mulia, aku harus bersedia," sahut Cie Siang
Gie. "Thay-suhu, legakan hatimu, Aku akan menjaganya
dengan mempertaruhkan nyawaku sendiri."
Setelah berkata demikian, ia melompat ke darat. ia
menggali liang kubur dengan sebatang golok, liang itu berada
dibawah pohon besar. setelah selesai ia menghampiri mayat
anak laki-laki yang menjadi kakaknya Sin Lan.
Mayat itu kemudian ditelanjangi bulat-bulat, kemudian
ditaruhnya dengan hati-hati ke dalam liang kubur. Cara
180 meletakkannya ditengkurapkan sehingga hidungnya mencium
bumi, setelah selesai, dengan penuh baru mayat itu mulai
ditimbuni tanah. Ciu Sin Lan menangisi kuburan kakaknya dengan
sedihnya, Sedang Cie Siang Gie hanya berdiri tegak tanpa
berkata sepatah katapun. ia tidak berdoa atau
bersembahyang. Demikianlah, setelah puas menyatakan rasa
duka-citanya, perlahan-lahan mereka memutar badannya dan
menghampiri Tie-kong tianglo. Kala itu pagi hari nampak cerah, Tie-kong tianglo hendak
segera meneruskan perjalanannya pulang ke gunung Boetong
san dengan membawa Ciu Sin Lan, arahnya tepat ke
timur. sedangkan Cie Siang Gie membawa Thio Sin Houw ke
selatan. Setelah tiada berayah-bunda lagi, Thio Sin Houw
menganggap Tie-kong tianglo seperti kakeknya sendiri. itulah
sebabnya perpisahan pada pagi hari itu sangat mengharukan
hatinya, sehingga air matanya-bercucuran. sebelum
berangkat, Tie-kong tianglo mencoba membesarkan hati Sin
Houw. Katanya: "Sin Houw, aku percaya penyakitmu akan sembuh. Apabila
penyakitmu sudah sembuh kembali, pastilah kakakmu Cie
Siang Gie membawamu pulang kembali ke gunung Boe-tong
san. Kita hanya berpisah hanya beberapa bulan saja, karena
itu tak perlu kau bersedih hati."
Thio Sin Houw belum dapat menggerakkan anggauta
badannya. ia hanya mengangguk, namun air matanya
mengucur semakin deras. Tiba-tiba saja Ciu Sin Lan kembali
ke perahunya, lalu balik kembali dengan membawa
saputangan bersulam sekuntum bunga Mawar, Saputangan itu
dimasukkan kedalam baju Sin Houw, lalu menghampiri Tiekong
tianglo dan siap untuk berangkat. 181 Tergerak hati Tie-kong tianglo menyaksikan perbuatan Ciu
Sin Lan. pikirnya: "Gadis kecil ini begini cantik, Kelak apabila telah dewasa,
pastilah akan tumbuh menjadi seorang gadis yang elok luar
biasa, Apabila Sin Houw dapat disembuhkan, aku wajib tidak
akan mengijinkan pertemuannya dengan gadis ini. Sebab
apabila kedua-duanya sampai saling jatuh cinta, bukankah Sin
Houw akan dapat terseret memasuki golongan sesat?"
Catatan: Yang dimaksud dengan golongan sesat oleh Tiekong
tianglo pada waktu itu, adalah golongan Beng-kauw yang
bahkan dikemudian hari dapat mengusir tentara penjajah dan
membangun kerajaan "Beng" (Ming) dengan Cu Goan Ciang
yang menjadi kaisar pertama kerajaan Beng).
Demikianlah dengan pandang mata yang berat, Thio Sin
Houw menyaksikan Tie-kong tianglo membawa pergi Sin Lan.
Tiada hentinya dara cilik itu menoleh dan melambaikan
tangan, sampai tubuhnya hilang teraling pohon-pohon yang
lebat. ***** PADA WAKTU ITU, terasa di dalam hati Thio Sin Houw,
bahwa dirinya hidup sebatang kara, Alangkah sunyi dan
hampa rasanya, oleh karena itu kembali ia menangis sedih,
"Sin Houw. Berapa umurmu sekarang?" tanya Cie Siang
Gie tiba-tiba sambil mengerutkan kening.
"Mungkin duabelas tahun," sahut Thio Sin Houw.
"Bagus, seorang yang sudah berumur dua belas tahun
tidak boleh dibilang anak kecil lagi, Masakan kau menangis
demikian rupa, hanya disebabkan suatu perpisahan saja" Apa
kau tidak malu?" kata Siang Gie sungguh-sungguh.
182 "Dahulu, ketika aku berumur duabelas tahun, entah sudah
berapa ratus kali aku kena dihajar orang, Akan tetapi selama
itu setetespun tak pernah aku mengeluarkan air mata,
Seorang laki-laki sejati, hanya mengalirkan darah tidak air
mata. Jika kau terus menangis lagi begini manja, aku akan
segera menghajarmu!" Pandang wajah Cie Siang Gie bersungguh-sungguh,
sehingga kelihatan sangat bengis. Hati Sin Houw merasa
gentar juga, pikirnya diam-diam: "Huh, baru saja Thay-suhu berangkat, kau sudah berlagak
terhadapku. Apalagi di kemudian hari, entah penderitaan
bagaimana lagi yang akan ku-tanggung."
Meskipun hatinya gentar dan takut, akan tetapi tak sudi Sin
Houw mengalah, sahutnya: "Aku menangis sebab berpisah
dengan Thay-suhu. Tetapi kalau dipukul orang, tidak bakal aku
menangis. Kau hendak memukul aku, hayo pukullah aku. Hari
ini boleh kau memukul aku, akan tetapi satu kali kau
memukulku, di kemudian hari aku akan memukulmu kembali
sepuluh kali ..." Cie Siang Gie tercengang, sejenak kemudian ia tertawa
terbahak-bahak dengan mata berseri-seri, kemudian ia
berkata penuh syukur: "Adikku yang baik, Beginilah kau baru dapat disebut
seorang laki-laki sejati. Kau begini hebat, terus terang saja aku
tidak berani memukulmu!" "Kau tahu aku tak dapat bergerak sama sekali, kenapa kau
bilang aku hebat" Hayo, pukullah aku!" seru Sin Houw dengan
kalap. "Jika sekarang aku memukulmu, aku takut akan
183 pembalasanmu di kemudian hari. Sebab dengan berbekal ilmu
sakti Thay-suhumu tadi, bagaimana aku sanggup
melawanmu?" sahut Cie Siang Gie, dengan tertawa.
Mendengar dan melihat Cie Siang Gie terus tertawa, mau
tak mau Sin Houw terpaksa turut tertawa geli juga.
Sekarang tahulah dia, meskipun kakak ini berwajah bengis,
tetapi sesungguhnya hatinya baik sekali. ia nampak bengis,
karena mukanya penuh berewok tebal.
Karena pertolongan orang-orang kampung, Cie Siang Gie
memperoleh seekor kuda, Dengan menunggang kuda ia
membawa Thio Sin Houw mengarah ke selatan. Siang dan
malam Siang Gie meneruskan perjalanan itu, hampir-hampir
boleh dikatakan tidak mengenal istirahat.
Untuk sekian lamanya, Sin Houw pernah mengikuti orang
tuanya berkuda dari satu tempat ke tempat lainnya.
Walaupun selalu diancam bahaya, hatinya selalu tegar
karena ditengah-tengah keluarga. sekarang, benar ia masih
hidup - tetapi ia tak dapat menggerakkan anggauta tubuhnya.
Lagipula dibawa oleh seseorang yang baru saja dikenalnya.
Tak mengherankan, hatinya terasa menjadi hampa dan sedih
luar biasa. Sebenarnya ingin ia menangis, akan tetapi takut kena
marah Cie Siang Gie. Setiap hari , diwaktu matahari berada di titik-tengah, bisa
racun yang berada didalam tubuhnya mengamuk hebat.
Dan diwaktu kumat, rasa deritanya luar biasa, ia harus
mempertahankan diri dan menguatkan hatinya kurang lebih
setengah jam lamanya. Untuk mengenyahkan rasa sakit, ia
selalu menggigit bibir, setelah setengah Jam mati-matian,
sedikit demi sedikit rasa sakit itu berkurang. Kemudian ia
184 melepaskan gigitannya, akan tetapi bibirnya sudah terlanjur
matang biru, Tak setahunya, serangan racun itu makin lama
semakin sering dirasakan. Malahan tidak hanya selama
setengah jam, kadang-kadang sampai hampir mencapai satu
jam. Sepuluh hari kemudian, sampailah Cie Siang Gie di Kwanpo,
sebelah bawah Cip-keng. Di kota ini ia menjual kudanya
yang sudah kelelahan, kemudian menyewa sebuah kereta
besar yang lebih kokoh dan sentausa, Beberapa hari lagi
sampailah mereka di Beng-kong, sebelah timur Hong-yang.
Cie Siang Gie cukup mengenal tabiat pamannya yang
sangat aneh, pamannya adalah seorang tabib sakti yang tidak
senang apabila diketahui tempat ,tinggalnya, itulah sebabnya,
pada waktu kereta berada dalam jarak kira-kira dua puluh li
dari Lie-san ouw, ia segera turun dari kereta dan sambil
menggendong Sin Houw, ia meneruskan perjalanan dengan
jalan kaki. Diluar dugaan, baru saja ia berjalan kurang-lebih satu li,
mendadak langkahnya makin lama semakin menjadi perlahan.
seluruh badannya merasa linu dan napasnya tersengalsengal,
"Mengapa jadi begini?" pikirnya.
Thio Sin Houw walaupun masih berumur dua belas tahun,
akan tetapi kaya dalam pengalaman, segera ia mengetahui
apa yang menyebabkan langkah-kaki Cie Siang Gie makin
lama semakin perlahan. Dengan lesu ia berkata:
"Cie toako, tak apa kau berjalan perlahan. Apa perlu kau
berkutat untuk berjalan secepat-cepatnya" Bukankah dengan


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian dirimu akan cepat lelah pula?"
Cie Siang Gie ternyata seorang pemuda yang mudah
sekali tersinggung kehormatannya. ia menjadi gopoh, katanya
mengandung gusar: 185 "Sehari aku sanggup berjalan sejauh duaratus li, dan
sedikitpun tak pernah aku merasa letih. Masakan karena cuma
kena dua kali pukulan pendeta bangsat itu, bisa membuat
langkahku makin lama semakin pendek?"
Oleh rasa penasarannya ia mencoba mempercepat
langkahnya dengan mengerahkan seluruh tenaga penuhpenuh.
Tetapi sebenarnya hal itu merupakan pantangan besar
bagi seseorang yang mendapat luka dalam, ia tidak boleh
menjadi gopoh atau marah, apalagi sampai mengerahkan
seluruh tenaga secara berlebih-lebihan, Apabila hal itu sampai
terjadi, maka luka dalam yang dideritanya akan menjadi lebih
parah lagi. Tak mengherankan, baru saja ia alangkah seratus meter,
seluruh sendi-sendi tulangnya terasa seakan-akan mau lepas,
namun masih saja ia tak sudi menyerah. Tak sudi pula ia
beristirahat dahulu, dan selangkah demi selangkah ia
memaksa diri untuk maju terus. Dengan demikian perjalanannya jadi lambat sekali. Cuaca
sudah mulai gelap akan tetapi belum juga ia mencapai
setengah perjalanan. Sedangkan jalan pegunungan yang
berada di depannya, nampak melingkar-lingkar penuh dengan
batu tajam. Hal itu membuat hati Cie Siang Gie jadi semakin
gugup. Sekali lagi ia memaksa dan memaksa untuk berjalan
secepat-cepatnya, Apabila malam hari tiba, sampailah ia di
tepi sebuah rimba. Segera ia memasukinya dengan tak ragu-ragu lagi, lalu
meletakkan Thio Sin Houw ke tanah dengan hati-hati. Dan
barulah ia beristirahat, untuk meluruskan napasnya, sambil
mengunyah bekal makanan, ia segera memberi keterangan
kepada Thio Sin Houw bahwa seorang yang menyandang
sebagai pendeta telah memukulnya dua kali berturut-turut.
186 Yang pertama pada dadanya, yang kedua menghantam
punggungnya. Tatkala bertempur, ia tidak memikirkan akibat
pukulan itu, ia menganggap sebagai suatu pukulan yang
lumrah. Tak tahunya kini benar-benar menyita tenaganya.
Setelah beristirahat kira-kira satu jam lamanya, Cie Siang
Gie bermaksud hendak melanjutkan perjalanan, akan tetapi
Thio Sin Houw segera menyanggahnya. ia menyarankan agar
bermalam saja dalam rimba itu, esok pagi setelah matahari
muncul diudara barulah melanjutkan perjalanan.
Cie Siang Gie mempertimbangkannya saran Thio Sin
Houw, Benar, meskipun malam ini mereka dapat mencapai
tempat tujuan, akan tetapi tabiat pamannya terlalu aneh.
Jangan-jangan karena gusar, ia lalu memutuskan tidak mau
menolong, Apabila dia sudah bilang tidak, bukankah persoalan
akan menjadi runyam" Dari menuruti pikiran demikian, ia
menerima saran Thio Sin-Houw. Demikianlah mereka
menginap pada sebuah pohon dan tidur dengan aman dan
tenteram. Kira-kira, tengah malam, Jam tiga penyakit Sin Houw
kumat tiada hentinya, Khawatir kalau membuat kaget Cie
Siang Gie, ia " mempertahankan diri dengan membungkam
mulut sambil menggigil bibir agar tidak sampai mengeluarkan
suara. Pada saat-saat itulah dari jauh terdengar beradunya
senjata tajam, kemudian, teriakan beberapa orang...
"Hayo Kalian Iari kemari" "Cegat di sebelah timur". "kurung
dia di dalam rimba itu!" Jaga dia dan jangan beri kesempatan melarikan diri!"
Hampir berbareng dengan hilangnya kumandang suarasuara
itu, terdengarlah langkah kaki seseorang yang cepat
sekali, Kemudian beberapa orang memasuki rimba. oleh suara
berisik itu Cie siang Gie terbangun. segera ia menghunus
187 goloknya. Dengan sebelah tangan membopong Sin Houw, ia
bersiaga bertempur. "Cie toako, agaknya bukan kita yang diarah." bisik Sin
Houw. Cie Siang Gie mengangguk. Akan tetapi didalam hati ia
sudah mengambil keputusan, hendak melindungi jiwa Sin
Houw meskipun dengan mempertaruhkan nyawa sendiri.
Hanya saja, ia dalam keadaan luka parah. Tiba-tiba terasalah
bahwa ilmu kepandaiannya sudah punah semua, maka ia
menjadi gugup dan khawatir. Dengan cepat ia membawa Sin Hong bersembunyi di
belakang pohon besar. Dengan mata penuh kecemasan, ia
mengintip segala yang bergerak di depannya.
Dan terlihatlah berkelebatnya tujuh atau delapan sosok
bayangan sedang mengepung orang yang mengenakan jubah
abu-abu. Dalam cuaca gelap, wajah mereka semua tidak
nampak dengan jelas, dengan demikian baik Sin Hong
maupun Cie Siang Gie tidak segera dapat mengetahui siapa
mereka sebenarnya. Yang mereka ketahui dengan jelas adalah orang yang
berada di tengah-tengah mereka. Tanpa bersenjata orang itu
mempertahankan diri dari pengeroyokan terhadap dirinya.
Kedua tangannya bergerak cepat luar biasa, sehingga para
pengepungnya tidak berani bertindak sembarangan.
Tak lama kemudian, pertarungan mereka makin lama
semakin mendekati pohon tempat bersembunyi Cie Siang Gie
dan Sin Houw, Kebetulan sekali pada saat itu cahaya bulan
menembus mega-mega putih. sinarnya yang- cerah memasuki
celah-celah mahkota daun, sehingga Siang Gie berdua Sin
Houw kini dapat melihat dengan jelas seperti penglihatan
mereka yang pertama, orang yang dikepung itu menyandang
sebagai pendeta, berjubah warna abu-abu.
188 Perawakannya tinggi kurus, kira-kira berusia limapuluh
tahunan. Sedangkan para pengepungnya terdiri dari
bermacam-macam golongan. Ada yang seperti pendeta,
adapula yang mengenakan pakaian serba ketat - dan ada pula
dua orang wanita. Sesudah memperhatikan pertarungan sengit itu, Cie Siang
Gie nampak terkejut. Segera ia mengetahui bahwa para
pengepung itu ternyata memiliki ilmu kepandaian sangat
tinggi, yang berada diatasnya, Dua orang yang menyandang
sebagai pendeta, menggunakan senjata tongkat dan golok.
Dua orang lainnya bersenjata seutas rantai panjang dan
penggada, Dua orang ini bergulingan diatas tanah, mungkin
sekali mereka hendak menyerang kaki orang berjubah abuabu
itu. Hebat gerak gerik mereka, semua pukulan-pukulan
mereka, membawa angin keras yang menggoncangkan daundaun
kering sehingga rontok berguguran. Salah seorang pengeroyok yang bersenjata pedang, gesit
luar biasa. Kecuali cepat, gerakannya aneh pula.
Kadang-kadang ia melesat ke kanan, kadang kekiri.
pedangnya berkeredep diantara cahaya bulan. Sedang kedua
wanita yang bersenjata pedang pula berperawakan langsing.
ilmu pedangnya ternyata sangat ringat dan gesit. Dalam
pertarungan semakin sengit, tiba-tiba salah seorang wanita itu
memalingkan kepalanya. wajahnya kena sinar cahaya bulan
yang terang benderang. Dan melihat wajah wanita itu, hampir saja Sin Houw
memanggil. "Hoa kouwnio!" Memang wanita muda itu adalah Hoa Kie Lian. Dia
merupakan salah seorang murid partai Go-bie yang pernah
189 berkunjung ke Boe tong-san, karena dia adalah tunangannya
Tan Boen Kiat, murid keempat dari Tie-kong Tianglo.
Mula-mula tatkala melihat tujuh delapan orang mengeroyok
seorang yang menyandang jubah abu-abu, Sin Houw diamdiam
mengutuk di dalam hati. Inilah suatu pertempuran yang
tidak adil. Maka ia berdoa, mudah-mudahan orang berjubah abu-abu
itu dapat membobolkan kepungan mereka, dan segera
melarikan diri. Akan tetapi setelah melihat bahwa salah
seorang pengepungnya adalah Hoa Kie Lian, ia jadi berpikir
lain. Dua tahun yang lalu, ketika tersiar berita bahwa Thio Kim
San dan keluarganya berhasil mendaki gunung Boe-tong san
walaupun dalam keadaan sudah menjadi mayat, Hoa Kie Lian
ikut pula mendaki gunung Boe-tong san bersama guru dan
sekalian saudara seperguruannya. Mereka ternyata juga bermaksud memperoleh keterangan
dimana Golok Halilintar berada! walaupun demikian Hoa Kie
Lian yang diketahuinya menjadi tunangannya Tan Bun Kiat,
maka Sin Houw berkesan baik terhadap nona yang gagah
perkasa itu, inilah sebabnya, kini ia berada dipihaknya.
Dalam pada itu, Cie Siang Gie juga penasaran melihat
suatu pertempuran yang tidak adil itu. Perlahan-lahan ia
menggerendeng: "Heran, delapan orang mengeroyok seorang, benar-benar
memalukan. Entah siapa mereka ini,"
Thio Sin Houw mendengar gerendeng Siang Gie, segera ia
membisiki: "Dua wanita itu adalah dari golongan Go-bie pay, dan dua
pendeta itu pastilah orang-orang Siauw-lim pay."
190 Setelah mengamat-amati sebentar, ia berkata lagi: "Dan
orang yang bersenjata pedang itu mungkin sekali dari
golongan Kun-lun pay, lihatlah betapa keji tipu-tipu
serangannya, Akan tetapi tiga orang lainnya entahlah, mereka
entah dari golongan mana ..." "Apakah mereka bukan dari Khong-tong pay?" tanya Siang
Gie. "Bukan," jawab Sin Houw, Mereka menggunakan ilmu silat
Tee-tong To-hoat, Didalam Tee-tong To-hoat Khong- tong pay,
orang harus menggunakan sebatang golok yang dipegang di
tangan kanan, dan sebatang toya di tangan kiri. Orang itu
menggunakan sepasang golok." Mendengar keterangan dari Sin Houw yang sangat nalar
itu, diam-diam Cie Siang Gie kagum bukan main, pikirnya
didalam hati: "Anak macan, pasti melahirkan macan pula, Dia
cucu murid Tie-kong tianglo, tidak mengherankan bahwa
pengetahuannya tidak mengecewakan ."
Akan tetapi sebenarnya pengetahuan Thio Sin Houw
bukan diperoleh dari rumah perguruan Tie-kong tianglo.
Itulah berkat pengalamannya selama dibawa merantau
ayah-bundanya, dari tempat ke tempat. Dan selama itu, entah
sudah beberapa puluh kali ia dibawa bertempur sehingga
secara wajar ia paham serta mengenal baik segala tipu
serangan musuh-musuh ayah-bundanya.
Itulah sebabnya pula, dengan yakin ia memberi kisikan
kepada Siang Gie bahwa tiga orang yang bersenjata rantai
serta penggada bukanlah orang-orang Khong-tong pay.
Mereka bertempur belasan jurus lagi, dan tiba-tiba
kawannya Hoa Kie Lian menjadi gelisah. Maklumlah, sekian
lamanya mereka berdelapan mengepung seorang lawan, akan
191 tetapi belum juga berhasil. Bahkan tenaga pukulan orang
berjubah abu-abu itu makin lama menjadi semakin dahsyat,
perubahannya sukar sekali diduga, Kadang-kadang cepat,
kadang-kadang pula lambat. Sewaktu cepat, telapak tangannya seakan akan tidak
kelihatan. sebaliknya apabila bergerak lambat, mereka semua
merasakan seperti tertindih sebuah batu sebesar gunung.
Sejenak kemudian terdengarlah salah seorang berseru:
"Serang saja dengan senjata rahasia!"
Dua orang laki-laki lantas keluar gelanggang. Pada saat
itu, nampak berkeredepnya berpuluh-puluh golok terbang
(hoei-to) menghantam orang berjubah abu-abu itu,
Menghadapi serangan ini, orang berjubah abu-abu itu nampak
repot juga, sedangkan orang yang bersenjata pedang lantas
membentak: "Siangkoan Hong! Kami bukan bermaksud hendak
mengambil jiwamu. Mengapa kau berkelahi mati-matian" Asal
saja kau sudi menyerahkan anak perempuan yang kau bawa
dua tahun lalu, bernama Thio Sin Lan - segera kami akan
pergi. Bukankah urusan lantas saja menjadi beres?"
Mendengar orang itu menyebut nama Siangkoan Hong,
Cie Siang Gie kaget. Bisiknya perlahan:
"Oh, jadi dialah supeh Siangkoan Hong?"
Thio Sin Houw mendengar bisik Cie Siang Gie, tetapi ia
sibuk dengan pikirannya sendiri, itulah disebabkan orang
menyerukan nama Thio Siu Lan. Kalau begitu, Thio Siu Lan masih hidup. Thio Siu Lan
adalah kakak perempuannya, yang dahulu masih nampak
192 berkelahi mati-matian mempertahan diri.
"Jadi dia masih hidup!" seru Sin Houw dalam hati,
Pada saat itu berbagai pikiran menusuk benaknya. pikirnya
lagi di dalam hati: "Benar, Waktu itu aku melihat seseorang
mengenakan jubah abu-abu, apakah dia" Cie toako menyebut
dia sebagai "soepeh", jelas dia kenal. Apakah Siangkoan
Hong itu orang Beng-kauw?" Segera terdengar Siangkoan Hong menjawab dengan
suara lantang: "Keluarga Thio Kim San yang kalian kejar-kejar, telah mati
semua. Mengapa kau menyebut-nyebut seorang yang
bernama Thio Siu Lan" Siapa dia?"
"Akh, jangan kau berlagak pilon!" bentak orang itu.
"Bukankah perempuan yang kau bawa bernama Thio Siu Lan"
Dialah anak satu-satunya dari Thio Kim San yang masih
hidup!" Siangkoan Hong tertawa terbahak-bahak, serunya dengan
suara tetap lantang: "Benar-benar kalian ini sudah kalap. Aku tahu, aku tahu,
Kalian menghendaki jiwa anak perempuan Thio Kim San,
bukankah kalian berharap dapat mengompes mulutnya
tentang dimana adanya golok mustika itu" Bah! Kalian yang
menamakan diri orang-orang dari golongan lurus, sebenarnya
berhati iblis!" Mendengar orang-orang itu mengungkat-ungkat nama


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayahnya, dan menyebut juga nama saudara perempuannya,
hati Sin Houw jadi berduka. ia belum tahu pasti bagaimana
kedudukan orang berjubah abu-abu itu yang menyebut dirinya
Siangkoan Hong, Akan tetapi, hatinya tiba-tiba berpihak
kepadanya, Katanya didalam hati: 193 "Dahulu aku melihat dia muncul didekat jembatan
penyeberangan. Menilik pembicaraan para pengepungnya ini,
agaknya dia membawa Siu Lan cici. Kalau cici berada
ditangannya, agaknya lebih terjamin keselamatan Jiwanya."
Tanya-jawab itu tidak membuat mereka berhenti
bertempur. Tetap dengan gesit, Siangkoan Hong melayani
mereka, Gerakan tangannya tidak pernah ayal, Lawannya
yang bersenjata pedang itu, sengaja mengajak berbicara
dengan maksud memecahkan perhatiannya. Tak terduga, ilmu
kepandaian Siangkoan Hong memang sangat tinggi.
Kecerdasannya juga melebihi orang lain, Kalau hanya karena
tipu-tipu semacam itu, betapa bisa menjebaknya, Hanya saja
para pengepungnya itu adalah jago-jago terkemuka dari
berbagai golongan. Beberapa kali ia berusaha menerjang
keluar, akan tetapi masih saja gagal.
Tiba-tiba dua orang yang berada diluar gelanggang
berteriak kaget dengan berbareng: "Aduh, celaka! senjata rahasia habis !"
Mendengar seruan mereka, ke enam rekan lainnya lantas
menelungkupkan badan serata tanah, Dan pada detik itu, lima
sinar berkeredepan menyambar di udara. itulah lima pisauterbang
yang dengan kecepatan luar biasa membidik
Siangkoan Hong, Kiranya seruan senjata rahasia habis
merupakan kata-kata sandi mereka, itulah sebabnya mereka
lantas saja mendekam serata tanah begitu kedua temannya
menyerukan tanda tanda sandi. Kelima pisau terbang menyambar dengan cepatnya,
sasarannya membidik dada Siangkoan Hong. Dalam keadaan
biasa, asal Siangkoan Hong membungkukkan badannya,
mendoyongkan badan ke belakang, pisau-pisau itu akan dapat
dihindarinya, Akan tetapi dia harus memperhitungkan keenam
lawannya yang berada diatas tanah. Mereka semua
194 menyerang berbareng mengarah kaki. Maka tak dapat ia
bergerak dengan leluasa. Hati Thio Sin Houw cemas bukan kepalang. Tiba-tiba ia
melihat Siangkoan Hong melompat tinggi diudara, dan lima
pisau terbang yang menyambar padanya lewat dibavah kaki.
Akan tetapi, pada saat itu tongkat dan golok kedua pendeta
Siauw-lim menyerang dengan berbareng. Juga pedang orang
dari Kun-lun pay sudah menikam kedua kakinya.
Dalam keadaan terapung di udara, terpaksalah Siangkoan
Hong mengeluarkan gerak tipu untung-untungan. Telapak
tangannya lantas menghantam kepala seorang pendeta
Siauw-lim dengan tepat sekali, kemudian tangan kanannya
menyambar golok. Setelah dapat merampas senjata itu ia
menangkis tongkat. Dan dengan meminjam tenaga pentalan ia
melesat menjauhi. Pendeta Siauw-lim sie yang kena terhantam kepalanya,
mati seketika itu juga, Tentu saja kawan-kawannya yang lain
berteriak-teriak penuh kegusaran, terus saja mereka melesat
merubung dengan berbareng. Mendadak pada saat itu nampak langkah Siangkoan Hong
tidak wajar lagi, ia seperti kena terkait sesuatu, Hampir-hampir
ia terpeleset jatuh, karena itu ketujuh lawannya kembali dapat
mengepungnya rapat-rapat. Yang paling kalap adalah sisa pendeta Siauw-lim sie yang
seorang, ia bertempur bagaikan kerbau edan.
Tongkatnya menyambar-nyambar tak hentinya sambil
berteriak-teriak. "Siangkoan Hong! Kau berani membunuh adikku, karena
itu malam ini aku hendak mengadu jiwa denganmu!"
195 Dalam pada itu berkali-kali orang dari Kun-lun pay juga
berteriak: "Kakinya kena tikaman pedangku! Kawan-kawan,
pedangku ini beracun, sekejap lagi racunnya tentu menjalar ke
seluruh tubuhnya, Dan dia akan mampus terjengkang."
Benar saja, Tidak lama kemudian langkah Siangkoan Hok
nampak sempoyongan. Pukulan-pukulannya lantas menjadi
kacau. Terdengar Cie Siang Gie berteriak tertahan:
"Celaka! Supeh Siangkoan adalah tokoh penting dalam
Beng-kauw, bagaimana aku dapat menolongnya?"
Thio Sin Houw tahu, bahwa Siang Gie berhati mulia,
Meskipun dirinya sendiri terluka parah, namun nampaknya ia
hendak menerjang keluar untuk menolong paman gurunya,
Apabila hal ini sampai terjadi, kecuali jiwanya sendiri bakal
melayang, guna faedahnya pun tak ada, Tiba-tiba pikiran
bocah ini tergerak. Katanya cepat: "Cie toako! Kau hendak menolong paman gurumu?"
"Benar, dia harus ditolong, Lihatlah, dia kena pedang
beracun. sebentar lagi dia bakal... akh... aku sendiri... rasanya
tidak mampu menggerakkan tanganku..."
"Legakan hatimu, aku mempunyai akal," ujar Sin Houw,
"Begini, maukah kau kuajarkan salah satu ilmu ajaran Thaysuhu"
ilmu itu gunanya untuk memulihkan tenaga yang hilang
karena luka. Tenagamu akan menjadi berlipat ganda, akan
tetapi setelah itu keadaan tubuhmu akan menjadi rusak. itulah
sebabnya Thay-suhu melarang jangan sekali-kali
menggunakan ilmu tersebut. Bagaimana" Kau mau
menggunakan ilmu itu atau tidak?"
Tadi Cie Siang Gie mengagumi kepandaian Sin Houw,
karena dapat mengenal berbagai tipu muslihat dalam suatu
196 pertempuran cepat. ia percaya, bahwa semuanya itu berkat
ilmu warisan Tie-kong tianglo. sekarang iapun yakin, bahwa
ilmu kepandaian yang dikatakan itu pastilah bukan ilmu isapan
jempol belaka, Thio Sin Houw menerangkan, bahwa setelah
menggunakan ilmu tersebut badannya akan menjadi rusak.
pikirnya - tak apalah demi menolong jiwa paman gurunya,
Bukankah paman gurunya jauh lebih berharga dari pada
dirinya sendiri" Memperoleh pikiran demikian, dengan girang
ia menyahut: "Akh, adikku yang baik, Katakanlah dengan cepat.
Menolong orang paling perlu, sekalipun badan sendiri bakal
rusak." "Kalau begitu, carilah sepotong batu yang berujung tajam!"
kata Thio Sin Houw. Segera Siang Gie meraba-raba bentuk batu itu, kemudian
menyahut: "Coba pegang, apakah batu ini cukup?" tanyanya.
Thio Sin Houw meraba-raba bentuk batu itu, kemudian
menyahut: "Dapat! Nah, sekarang kau totoklah kedua pinggangmu
sendiri dengan ujung batu itu, Letaknya diatas kedua paha."
"Apakah disini?" tanpa berpikir Siang Gie minta keterangan
sambil menunjuk paha bagian atas. "Turun lagi sedikit!" ujar Sin Houw, "Nah, disitulah! Ke kiri
sedikit! Bagus! Nah, sekarang totoklah. Satu -dua - tiga, Yang
keras!" Cie Siang Gie bukanlah seorang bodoh, dia sudah berumur
dua puluh tahun. Selama itu entah sudah berapa kali ia
memperoleh pengalaman dalam suatu pertempuran. Sedikit
197 banyak ia tahu juga ilmu menotok. Didalam hati ia
menyangsikan perkataan Sin Houw. Seseorang yang kena tertotok urat nadi di atas pahanya,
akan bisa melumpuhkan kedua kakinya, Akan tetapi, ia terlalu
percaya kepada Sin Houw, pikirnya waktu itu:
"llmu sakti Tie-kong tianglo tidak dapat dipersamakan
dengan ilmu ilmu sakti lainnya, pastilah ilmu menotok urat di
atas paha ini merupakan salah satu ilmu simpanan aliran Boetong
yang hebat. "Dan tanpa menimbang nim-bang lagi, ia
lantas menghantam urat di atas pahanya sendiri dengan
sekuat tenaga. "Dukkkk!" Tetapi ia kaget bukan kepalang, Begitu pahanya terhantam
batu, seketika itu juga kedua kakinya lantas lumpuh. Tepat
pada saat itu ia melihat Siangkoan Hong melompat sepuluh
langkah jauhnya, akan tetapi segera terbanting roboh keatas
tanah. Keruan saja hati Siang Gie gugup bukan kepalang.
Segera ia bermaksud hendak menerjang memberi
pertolongan, akan tetapi kedua kakinya tak dapat berkutik.
Bertanya dengan cemas kepada Sin Houw :
"Hai, kenapa jadi begini?"
Diam-diam Thio Sin Houw tertawa geli didalam hati.
Pikirnya: "Aku telah menipumu, toako. Tentu saja kau tak dapat
bergerak karena urat nadimu kini tergeser dari tempatnya."
Akan tetapi ia berpura-pura kaget dan heran. sahutnya tak
jelas: "Hai, mungkin sekali kau salah menotoknya, Tenaga yang
kau gunakan kurang tepat, baiklah jangan kuatir. Tunggu saja
198 barang setengah jam, pastilah kau bisa berjalan kembali."
Tentu saja Cie Siang Gie mendongkol bukan main, ia kena
ditipu bocah cilik dengan mata membelalak. Tetapi ia
menyadari akan maksud baik Sin Houw - dalam khawatir dan
gugup, terbintik rasa geli juga. Dalam pada itu Siangkoan Hong menggeletak di atas
tanah, racun yang berada dalam tubuhnya mulai bekerja.
Kemudian ia tak bergerak, tetapi ketujuh lawannya belum
juga berani mendekat. "Saudara Lok, jangan maju dulu! Biar rekan Kang
menikamnya dari jauh." kata orang dari Kun-lun pay yang
menggenggam pedang panjang. Orang yang disebut "rekan Kang" lantas mengayunkan
tangannya, dan pundak kiri serta paha kanan Siangkoan Hong
tertancap dua pisau tajam. Kena tikaman pisau itu tubuh
Siangkoan Hong tidak bergerak, itulah suatu tanda bahwa ia
sudah mati karena racun. "Sayang, sayang ... dia terlanjur mati," kata orang dari Kunlun
pay mengeluh, "Sekarang kita tidak tahu dimana ia
menyembunyikan Thio Sin Lan. Eh , nanti dulu. Biasanya ia selalu disertai kacungnya yang
bernama Sie Ah Piang, Hayolah kita cari orang itu, pasti dia
berada tak jauh dari sini.." Akan tetapi kawan-kawannya menghampiri mayat
Siangkoan Hong, maka terpaksa orang Kun-lun pay itu ikut
pula menghampiri. Baik Sin Houw maupun Cie Siang Gie merasa sedih
menyaksikan kematian dari Siangkoan Hong.
199 Mendadak saja, terdengarlah suara benda jatuh lima kali,
Dan pada saat itu lima orang yang merubung mayat
Siangkoan Hong, terpental dan terbanting keatas tanah.
setelah itu dengan gagah perkasa Siangkoan Hong bangkit
berdiri dengan pundak dan pahanya masih menancap dua
pisau tajam. Kiranya, kakinya tadi memang kena tikaman pedang
beracun. ia sadar bahwa tenaganya tidak akan dapat
mempertahankan diri, maka ia berpura-pura mati untuk
memancing ketujuh lawannya, Begitu mereka mendekat, ia
lantas melontarkan pukulan Ngo-heng ciang.
Ngo-heng elang adalah semacam ilmu pukulan sakti yang
dipergunakan apabila menghadapi lawan banyak. Dahsyatnya
tak dapat diperkirakan, maka tak mengherankan lawanlawannya
lantas saja roboh dengan memuntahkan darah.
Hanya dua orang saja yang ketinggalan. itulah dua wanita
murid Go-bie pay, Hoa Kie Lian dan sucinya yang bernama
Kwee Lian Cie. Dalam kagetnya, kedua murid Go-bie itu melompat
mundur, Tatkala menoleh, mereka melihat kelima kawannya
menyemburkan darah segar. Malahan dua diantara mereka
yang berkepandaian lebih rendah, roboh menggeletak ditanah,
sebaliknya, karena mengeluarkan tenaga yang berlebihlebihan,
Siangkoan Hong nampak terhuyung-huyung,
Berdirinya tidak tegak lagi. "Kwee kouwnio dan Hoa kouwnio ... tikam saja dengan
pedang kalian...!" seru orang dari Kun-lun pay yang menderita
luka parah. Sembilan orang yang bergebrak itu, yang satu mati, Dialah
sipendeta dari Siauw-lim sie. Kini Siangkoan Hong dan kelima
musuhnya juga terluka parah dengan berbareng, Hanya
tinggal Kwee Lian Cie dan Hoa Kie Lian yang masih segarKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/ *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***
200 bugar. Tatkala mendengar seruan rekan dari Kun-lun pay itu,
maka di dalam hati Kwee Lian Cie berkata:
"Apakah kau anggap aku sendiri tak bisa membunuhnya"
Mengapa aku harus menunggu perintahmu?"
Pedangnya lantas bergerak hendak memotong betis
Siangkoan Hong. Pada saat itu Siangkoan Hong tidak dapat
berkutik lagi. Melihat berkelebatnya pedang, ia hanya dapat
menghela napas panjang, Katanya didalam hati:
"Karena kalian berdua adalah wanita, maka aku tidak
sampai hati memukul dada kalian, itulah sebabnya kalian
berdua selamat tak kurang suatu apa, Eh, sama sekali tak
kuduga bahwa kebajikan ini justru mengakibatkan malapetaka
sendiri." Dengan kata hati itu, ia memejamkan mata menunggu
nasibnya, Mendadak saja ia terkejut berbareng heran, tatkala
mendengar suara nyaring beradunya dua senjata. Segera ia
menjenakkan matanya, masih sempat ia menyaksikan pedang
Kwee Lian Cie di tangkis oleh pedang Hoa Kie Lian.
Kwee Lian Cie tercengang melihat kelakuan adik
seperguruannya. Bertanya dengan heran:
"Sumoay, kau kenapa?" "Sucie! Siangkoan Hong tidak menghendaki kita berdua
mati, bahkan ia tak mau melukai kita, Karena itu kitapun
jangan keterlauan." sahut Hoa Kie Lian.
"Aku tidak akan membunuhnya, aku hanya ingin


Golok Halilintar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menahannya disini agar ia menerangkan dimana Thio Sin Lan
201 berada ..." kata Kwee Lian Cie dengan suara tajam.
"la terkena tikaman senjata berbisa, lukanya sudah cukup
berat. Lebih baik kita mengobati dahulu, dengan demikian kita
bisa mendapat keterangan lebih leluasa lagi." Hoa Kie Lian
memberi saran, setelah berkata demikian, ia mendekati
rekannya dari Khong-tong pay, berkata kepadanya:
"See tayhiap, dia kena pedang beracunmu, Berilah dia
obat pemunahnya dengan demikian siauwmoay bisa
mengharapkan keterangannya lebih leluasa."
Orang dari Khong-tong pay itu bernama See Cu Leng, ia
memberikan jawaban: "Ringkus dia dahulu, agar tidak bisa melarikan diri. orangorang
dari Beng-kauw banyak tipu muslihatnya. Kita harus
berjaga-jaga terhadap manusia iblis itu!"
See Cu Leng berkata dengan napas tersengal-sengal,
setelah berkata demikian, ia menyemburkan darah segar lagi
dari rongga dadanya, Pukulan Ngo-heng ciang Siangkoan
Hong benar-benar melukai dadanya cukup berat.
Hoa Kie Lian merenung sejenak, menimbang-nimbang
perkataan See Cu Leng, Kemudian menunduk, setelah
melepaskan ikat pinggangnya, ia mendekati Siangkoan Hong
dan berkata dengan suara lemah lembut:
"Siangkoan Hosiang, maaf, Terpak-sa aku mengikatmu
sebentar." Kedua kaki Siangkoan Hong terasa pegal luar biasa, ia
menyadari, apabila tidak segera mendapat obat pemunahnya,
sebentar lagi tentulah jiwanya melayang, Pada saat itu ia
berpikir: "Daripada kena tabasan pedang Kwee Lian Cie, lebih
baik kena ringkus Hoa Kie Lian, Kalau mau, ia bisa membunuh
Hoa Kie Lian dengan sekali pukul, akan tetapi disana masih
202 berdiri seorang yang segar bugar. Dialah Kwee Lian Cie yang
tadi hendak menabas kedua kakinya - maka apabila ia
membunuh Hoa Kie Lian, sudah tentu Kwee Lian Cie itupun
bakal menabas kakinya juga, Terpaksa sekarang ia
membiarkan dirinya kena diringkus Hoa Kie Lian dengan
tersenyum getir. Melihat Siangkoan Hong sudah kena diringkus, barulah
See Cu Leng mengeluarkan obat pemunahnya. Dengan napas
tersengal-sengal ia memberi tahu Hoa Kie Lian, bagaimana
menggunakan obat tersebut. Mula-mula Hoa Kie Lian harus
mencabut kedua pisau yang menancap pada punggung dan
paha Siangkoan Hong, setelah kedua pisau itu kena dicabutnya
barulah ia membubuhi obat pemunah. Kwee Lian Cie yang selama itu mengawasi perbuatan adik
seperguruannya, segera berseru kepada Siangkoan Hong:
"Siangkoan Hong, lihatlah! Hati adik seperguruanku penuh
cinta kasih, itulah sebabnya kini jiwamu tertolong.
Maka bukankah sudah pada tempatnya apabila engkau
membalas budi dengan menerangkan dimana kau
sembunyikan Sin Lan?" Sebagai jawaban, Siangkoan Hong tertawa terbahakbahak.
sahutnya: "Kwee kouwnio. Kau benar-benar terlalu memandang
rendah padaku, Aku Siangkoan Hong meskipun terkenal
sebagai anggauta aliran iblis, akan tetapi aku tidaklah
serendah sangkamu, lihatlah, Thio Kim San tayhiap, murid
Tie-kong tianglo. Dengan rela ia mengorbankan anak-isterinya
karena ia tidak mau dipaksa orang-orang seperti dirimu untuk
memberikan keterangan dimana Golok Halilintar berada,
walaupun aku tidak bisa menyamai sifat ksatria Thio tayhiap,
akan tetapi ingin aku mencontohnya."
203 Kata-kata Siangkoan Hong membuat darah Thio Sin Houw
bergolak hebat. Seketika itu juga, rasa simpati kepada Siangkoan Hong
menjadi bertambah, selama bertahun-tahun ia menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, betapa ayahnya dikejar-kejar
orang dari berbagai aliran dan golongan. Dan setiap
pengejarnya selalu memaki-maki dan mengumpat-caci,
sekarang ia mendengar seorang bernama Siangkoan Hong
memuji dan mengagumi ayahnya, keruan saja ia menjadi
terharu. Pada saat itu terdengarlah Kwee Lian Cie berkata dengan
nada mengejek: "Hm ... Thio Kim San! Apakah ada harganya untuk
dibicarakan" Apalagi untuk ditiru! Cih! ia mampus akibat
kebodohannya!" "Sucie!" potong Hoa Kie Lian.
"Jangan khawatir, sumoay," kata Kwee Lian Cie dengan
mengulum senyum, "Aku tidak akan merembet kepada Tan
Bun Kiat dan sekalian saudara seperguruannya."
Setelah berkata demikian, Dengan pedangnya Kwee Lian
Cie menuding mata kanan Siangkoan Hong. Lalu mengancam:
"Hei, iblis! Jika kau tidak sudi mengaku, pada saat ini juga
kedua matamu akan kubutakan, Mula-mula akan kutembus
mata kananmu, kemudian mata kirimu, setelah itu telingamu
akan ku-pangkas. Mula-mula telinga kanan, kemudian telinga
kiri, Lalu aku akan memotong hidungmu, pendek kata aku
akan membuat dirimu seperti iblis benar-benar."
Ujung pedang Kwee Lian Cie kini sudah berada satu senti
didepan mata kanan Siangkoan Hong, akan tetapi Siangkoan
204 Hong sama sekali tidak nampak gentar. Kedua matanya
bahkan dipentangnya lebar-lebar tanpa berkedip sekejappun.
sahutnya dengan suara tawar: "Sudah lama aku mendengar sepak terjang Go-bie pay
yang berhati keji dan bertangan gapah, Kau adalah salah
seorang muridnya, tentu saja kau serupa benar dengan
gurumu. Pada malam ini aku Siangkoan Hong, jatuh
ditanganmu, Nah, coba tunjukkanlah kebesaranmu, Hayo,
butakan mataku, tidak akan aku berkedip sedikitpun!"
"Bangsat gundul!" maki Kvee Lian Cie dengan suara
bengis. "Kau berani mengolok-olok guruku?" setelah berkata
demikian, pedangnya didorong dan seketika itu juga mata
kanan Siangkoan Hong menjadi buta! Setelah mata kanannya tertikam pedang, mata kirinya
segera terancam pula. Akan tetapi lagi-lagi Siangkoan Hong tertawa bergelakgelak,
Mata kirinya dibelalakkannya leba-lebar, memelototi
Kwee Lian Cie sehingga gadis itu bergidik bulu kuduknya,
Untuk mengatasi rasa ngeri, Kwee Lian Cie berkata
membentak: "Kau bukan pengikut Thio Su Seng, bukan pula budak Cu
Goan Ciang atau menantunya Tie-kong tianglo. Apa sebab
kau melindungi Thio Sin Lan sampai kau rela mengorbankan
Jiwamu?" "Aku adalah seorang laki-laki..!" sahut Siangkoan Hong,
"Perbuatan seorang laki-laki sejati, sekalipun aku terangkan
kepadamu, kaupun tidak bisa memahami karena kau seorang
perempuan." Bukan main gagahnya perkataan Siangkoan Hong,
sehingga membuat gadis itu mendongkol. Betapa tidak,
Siangkoan Hong sudah tidak berdaya lagi, mata kirinya sudah
205 buta pula, sekalipun demikian, mulutnya masih tajam,
sehingga masih mampu menghina dan merendahkan dirinya.
Maka dengan kalap ia menu Bara Naga 14 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Bara Naga 13
^