Golok Yanci Pedang Pelangi 1

Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Bagian 1


di http://cerita-silat.mywapblog.com
Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu long Disadur oleh : Gan KL Setiap orang tentu pernah bermimpi.
Mimpi memang sesuatu yang aneh. Banyak
peristiwa yang tak mungkin terjadi dalam kehidupan
nyata sering kali dapat dialami dalam mimpi. Anganangan
yang sukar terwujud dalam kehidupan nyata
dapat dialami dalam mimpi. Macam ragam pula orang bermimpi. Ada mimpi
yang seram, mimpi yang sedih, mimpi gembira, yang
menakutkan dan menggusarkan. Akan tetapi, siapapun pasti tidak pernah mengalami
"mimpi aneh" yang akan kita ceritakan seperti
berikut ini. Malam kelam, kabut tebal menyelimuti bumi.
Berjalan di tengah kabut yang mengambang itu, Ho Leng-hong merasa bagaikan
sedang berjalan di tengah awan, tubuh terasa enteng dan seakan-akan hendak
melayang-layang sehingga dia kelihatan lebih cakap dan bergairah.
Bila dalam sakunya waktu itu tidak diganduli dengan lima puluh tahil perak, bisa jadi
dia akan benar-benar melayang-layang terbawa kabut.
Orang kuno bilang: Kalau rejeki sudah nomplok, gunung pun tak dapat
mengalanginya. Dan malam ini Ho Leng-hong benar-benar telah meresapi kebenaran
pepatah tersebut. Ambil contoh seperti apa yang baru saja dialaminya di rumah perjudian keluarga
Him sana, dia bermain Pay-kiu. Kartu yang dipegang selalu bagus dan mengherankan.
Bila orang lain menjadi "Ceng" (bandar), kartu yang dipegangnya selalu mati dan
pasti tombok. Sebaliknya jika giliran Ho Leng-hong yang menjadi bandar, maka kartu
yang dipegangnya pasti bagus, andaikan tidak menang, paling sedikit juga seri. Bila
pemain atau pemasang mendapat kartu "Te kiu", maka dia mendapat kartu "Thiankiu".
Jika pemain memegang kartu "Thian-tui" dan "Te tui", dia mendapat kartu "Cicun"
yang merupakan kartu yang tak terkalahkan. Maklum, Ci-cun sendiri berarti
yang maha besar. Begitu bagus kartu yang dipegangnya sehingga membikin lawan-lawannya sama
mendelik dan kheki setengah mati, berulang-ulang mengusap keringat dan susul
menyusul merogoh saku ... akhirnya, semua isi saku lawan-lawannya berpindah
tempat ke saku Ho Leng-hong. Rumah perjudian keluarga Him itu berformat kecil, tapi uang "tong" cukup
besar.Bukanlah pekerjaan gampang jika ingin menang lima puluh tahil perak di sini.
Demi merayakan "panen" yang baru saja terjadi, Ho Leng-hong tidak mau menyiksa
dirinya sendiri, maka begitu meninggalkan rumah judi itu, segera ia masuk ke restoran
Lau-muacu (si burik Lau) di penggaulan jalan sana.
Keluar dari restoran Lau si burik, sedikitnya delapan bagian di terpengaruh oleh
minuman keras. Tapi, biarpun mabuk, dia tak lupa daratan sama sekali, sedikitnya dia
masih ingat ke mana dia harus "mendarat".
Dia masih ingat janjinya dengan Siau Cui yang lagi menunggu kedatangannya. Ia pun
tidak lupa di mana letak "Go-tong-kang" (gang waru), maka ke arah gang itulah dia
menuju. Waktu masuk ke lorong yang sudah apal baginya itu, tiba-tiba timbul semacam
rangsangan yang sukar dijelaskan. "Uang adalah nyali", atau uang sama dengan
keberanian. 50 tahil perak memang bukan suatu jumlah yang terlalu besar, tapi kalau digunakan
mengiming-iming di depan hidung kawanan budak germo itu, sedikitnya dapat
membuat mata anjing mereka melotot.
Maklum, biasanya Ho Leng-hong dianggap langganan "kurus", bersaku kosong,
sehingga kurang mendapat pelayanan yang layak. Sekarang sakunya berisi 50 tahil
perak, ia ingin berlagak "Cukong" supaya kawanan budak itu tidak lagi menghinanya.
Begitulah, sambil menepuk sakunya yang berisi itu, ia berdehem sekali, lalu
membusungkan dada dengan lagak "dunia ini aku punya", lalu dengan langkah
berlenggang ia masuk ke rumah pelacuran "Hong-hong-wan" atau Villa burung Hong,
di mana Siau Cui sedang menanti kedatangannya.
Meski sudah jauh malam, namun pintu gerbang Hong-hong-wan masih terbuka lebar,
seorang pesuruh rumah pelacuran itu menyambut kedatangan Ho Leng-hong dengan
senyuman dikulum. "Ho-ya (tuan Ho), kau datang!" sapanya.
"Kenapa" Aku dilarang datang?" Ho Leng-hong menengadah dengan gaya
menantang. "Ai Ho-ya ini, masa aku bermaksud begitu" Sengaja mengundang Ho-ya saja belum
tentu bisa...." "Ya, lantaran undak-undakan pintu Hong-hong-wan terlalu tinggi, jadi orang yang
tak punya fulus tak dapat masuk."
Merasakan gelagat tak enak, cepat pesuruh berteriak, "Ho-ya datang, nona Siau Cui
siap menerima tamu!" Teriakan itu secara beruntun disampaikan ke ruang dalam, sepanjang jalan pegawai
itu menyingkapkan tirai dan mempersilakan Ho Leng-hong masuk ke dalam.
Sebenarnya Ho Leng-hong ingin "mendamprat" lagi orang-orang itu, tapi lantas
terpikir olehnya bahwa "tuan besar" yang banyak uang biasanya enggan ribut dengan
orang bawahan, sebab hal ini hanya akan menurunkan derajat sendiri, maka ia lantas
masuk saja dengan tertawa tak acuh.
"Cepat benar berita yang diterima orang-orang ini," demikian pikirnya sambil
melangkah masuk, "mereka tentu sudah tahu aku berhasil menang besar di rumah
perjudian keluarga Him, maka sikap mereka jadi lain daripada biasanya."
Baru masuk ke kamar, kontan Siau Cui menggerutu, "Kenapa sekarang baru muncul"
Kau sudah berjanji mau datang sebelum tengah malam, bisa gila orang menunggu
dirimu." "Sejak tadi aku mau kemari," sahut Ho Leng-hong dengan tertawa, "tapi apa mau
dikatakan kalau dewa rejeki menahanku terus. Maka aku datang terlambat."
Sebuah bungkusan kecil yang berat dikeluarkan dan dijejalkan ke tangan Siau-Cui,
lalu bisiknya dengan lembut. "Nih, ambillah!"
"Apa ini?" "Buka saja, segera tahu."
"Uang?" tanya Siau Cui sambil menimang-nimang bobot bungkusan itu.
"Benar, itulah yang kita butuhkan, lima puluh tahil, persis!"Ho Leng-hong tertawa
bangga. Ia mengira Siau Cui pasti akan terkejut bercampur gembira dan tentu akan buru-buru
membuka serta menghitungnya, atau mungkin saking girangnya dirinya akan dipeluk
dan diberi hadiah kecupan hangat . . . .
Siapa tahu, Siau Cui tidak kaget, atau melonjak kegirangan, iapun tidak membuka
bungkusan itu serta menghitung jumlahnya, bungkusan kecil itu malah dibuang begitu
saja ke meja. "tidak tahukah kau bahwa aku ada urusan penting hendak berunding denganmu?"
katanya sedih, "ai, mengapa kau hanya tahu minum arah dan berjudi" Selain
pekerjaan itu tak pernahkah kau memikirkan soal lain?"
"Siau Cui, aku berbuat demikian demi kau, bukankah ibumu sakit dan membutuhkan
uang?" "Sekalipun membutuhkan uang, bukan berarti harus mendapatkannya lewat berjudi,
kukira uang demikian bisa dijagakan?"
"Tentu saja, coba lihat! Aku berhasil menangkan uang itu seperti makan kacang
goreng saja, coba kalau tidak kangen padamu, sampai fajar nanti dua-tiga ratus tahil
perak pasti bisa kukeruk. Siau Cui, tahukah kau betapa anehnya kartu-kartu itu . . . ."
"Ah, enggan kudengarkan soal kartu, aku ada urusan penting hendak kurundingkan
denganmu." "Soal penyakit ibumu?" Siau Cui menggeleng, "Penyakit ibu sudah agak baikan, yang hendak kurundingkan
adalah urusan mengenai dirimu sendiri."
"Urusanku?" Ho Leng-hong melengak, "urusan apa?"
Siau Cui tidak menjawab, ia menuju keluar dan celingukan ke sekeliling situ, lalu
dengan hati-hati menutup pintu menguncinya dan menggandeng tangan Ho Lenghong
menuju ke pembaringan. Ho Leng-hong merasa tangannya begitu dingin, basah, sedikit gemetar, ini semua
membuatnya tercengang. "Ada urusan apa sebenarnya" Jangan terlalu panik," ia berbisik.
"Leng-hong," kata Siau Cui serius, "aku ingin menanyakan suatu persoalan, dan aku
harap kau suka menjawab sejujurnya, bersedia bukan?"
"Baik, katakanlah!" "Ai, sudah cukup lama kita berkenalan," Siau Cui menghela napas. "dan selama ini
tak pernah kauanggap diriku sebagai pelacur, akupun tidak menganggapmu sebagai
lelaki iseng, hal ini penting artinya bagimu maupun bagiku, anggaplah sebagai
permohonanku kepadamu jangan menganggap ucapku ini sebagai gurauan belaka . . .
." Terpaksa Ho Leng-hong menarik kembali senyumannya dan bersikap sungguhsungguh.
Ia tahu, semakin serius seorang perempuan berbicara, semakin besar pula
kemungkinan persoalannya yang akan dikemukakan Cuma urusan sepele, dalam
keadaan begitu, paling baik bagi seorang lelaki adalah banyak mendengar dan sedikit
bicara, walau dalam hati meremehkan, tapi di luar harus menunjukkan sikap serius.
Begitu lirih suara Siau Cui, bibirnya hampir menempel di tepi telinga Ho Leng-hong,
ucapnya, "Leng-hong, kau masih muda dan lagi memiliki ilmu silat yang bagus,
mengapa kau selalu bergaul dengan kaum penganggur" Tidak inginkah kau
menciptakan suatu pekerjaan besar di dunia persilatan?"
Ho Leng-hong membungkam meski diam-diam keheranan, "Aneh benar budak ini,
obat apa yang dia makan hari ini" Kenapa tiba-tiba saja menyinggung soal tetekbengek
ini?" "Eh, dengar tidak apa yang kukatakan?" tiba-tiba Siau Cui menggoncangkan
tubuhnya. "Sudah dengar!" "Kenapa diam saja kalau sudah dengar?"
"Persoalan inikah yang kau maksudkan sebagai urusan serius?" tanya Ho Leng-hong
setelah berpikir sebentar. "Benar, memangnya kauingin hidup luntang-lantung begini selamanya, tidak
pernahkah memikirkan soal masa depanmu?"
Ho Leng-hong tertawa "Lantas apa yang harus kulakukan" Mencuri" Merampok
dengan mengandalkan ilmu silatku" Atau membunuh orang untuk mempopulerkan
namaku di mata masyarakat?" "Tidak, aku tidak berharap kau berbuat begitu, tapi kau kan bisa mengemban tugas
suci sebagai seorang pendekar untuk menolong yang lemah dan menumpas yang
jahat, menegakkan keadilan dan kebenaran bagi kaum kecil . . . ."
"O, itu bukan tugasku," Ho Leng-hong mengangkat bahu, "hanya ada dua macam
manusia di dunia ini yang melakukan hal-hal begitu, pertama adalah keturunan orang
kaya yang ingin mencari nama, dan kedua adalah manusia miskin yang ingin
menggunakan kesempatan itu untuk mencari popularitas dan memperbaiki keadaan
sosial pribadinya. Hah, jelasnya yang dicari juga nama dan harta."
"Kalau begitu, apakah mereka yang mengemban tugas suci sebagai seorang pendekar
juga manusia munafik?" "Aku tidak memaki mereka sebagai munafik, juga tidak mengakui mereka sebagai
seorang Kuncu, sebab kalau mengemban tugas suci tanpa mencari nama, dari mana
pula datangnya nama-nama besar para pendekar itu" Kalau bukan lantaran harta,
semua Hiap-kek (pendekar) di dunia ini tentu sudah pada mampus kelaparan,
memangnya mereka hanya makan nasi sendiri dan harus mengurusi persoalan orang
lain?" "Bukan maksudku untuk mengajak kau berdebat persoalan ini, aku hanya ingin
bertanya, sekalipun tidak kaupikirkan tentang dirimu, seharusnya kau berpikir
untukku, apakah kau senang melihat aku bercokol terus di tempat semacam ini?"
"Bukankah sudah kukatakan padamu, Siau Cui" Asal aku punya uang, pasti kau akan
kutebus." "Tapi aku harus menunggu sampai kapan?"
"Ehm, kalau kulihat suasana malam ini, rasanya kau tak perlu menunggu terlalu lama
. . . ." Ho Leng-hong tertawa.
"Tidak! Aku tak dapat menunggu, seharipun tak sudi aku menunggu lagi. Leng-hong,
kalau kau masih menginginkan diriku, bawalah aku pergi sekarang juga."
"Sekarang" Detik ini juga?" seru Ho Leng-hong tercengang.
"Ya, detik ini juga kita harus pergi jauh dari sini, makin jauh makin baik, kita cari
suatu tempat yang tak seorang pun kenal kita, sekalipun kehidupan kita lebih susah
juga aku rela . . . ." "Siau Cui, kau sedang mengigau" Kau mabuk?" kata Ho Leng-hong meraba jidat si
nona, "Sesungguhnya kau yang mabuk atau aku yang mabuk?"
Tiba-tiba Siau Cui memeluk pemuda itu erat-erat, lalu berbisik dengan suara gemetar,
"Kumohon kepadamu Leng-hong, semua perkataanku benar-benar timbul dari
sanubariku, cepatlah bawa aku pergi, kalau terlambat mungkin tak sempat lagi . . . ."
"Siau Cui, ada apa kau hari ini?" Ho Leng-hong berkerut kening, "hari kita masih
panjang, siapa bilang tak sempat lagi . . . ."
Sebelum perkataannya berlanjut, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.
Bagaikan seekor kelinci yang ketakutan, Siau Cui mendorong tubuh Ho Leng-hong,
lalu melompat bangun sambil menutupi mulutnya dengan rasa kaget dan takut luar
biasa. "Siapa?" tegurnya kemudian.
"Aku enso Go!" jawab orang di luar. "Buka pintu nona, aku mengantar kuah
penghilang mabuk untuk Ho-ya."
Tiba-tiba air muka Siau Cui berubah menjadi pucat, dengan sedih ia melirik Ho
Leng-hong sekejap, lalu sambil menarik napas panjang ia membuka palang pintu.
Tahun ini Go So atau enso (kakak ipar) Go berusia tiga puluhan, dia adalah babu
Hong-hong-wan yang khusus untuk pekerjaan kasar, tinggi besar seperti kuda teji,
badannya berotot seperti kerbau, meski mukanya berbedak tebal dan bergincu,
tampangnya dipandang dari sudut manapun tidak mirip seorang perempuan.
Dengan tangan sebelah membawa baki dan tangan yang lain mendorong pintu, lebih
dulu ia melongo ke dalam kamar, lalu katanya kepada Ho Leng-hong sambil tertawa,
"Ho-ya, kau memang orang yang paling sibuk, bila malam ini kau tidak datang,
sungguh nona Cui kita bisa terserang penyakit rindu."
Ho Leng hong enggan melayani perempuan macam banci ini, ia tidak menjawab.
Go So melirik sekejap wajah Siau Cui, lalu tertawa lagi, "Mama kita mendengar Hoya
lagi-lagi minum sampai mabuk, maka beliau menyuruh orang membuatkan
semangkuk kuah penyadar mabuk untukmu, Ho-ya, minumlah cepat mumpung masih
panas." "Terima kasih, letakkan saja di meja!"
"Kuah penyadar mabuk makin panas semakin manjur," desak Go So lagi sambil
mengangsurkan bakinya ke depan pemuda itu, "apalagi sudah larut malam, minum
saja dulu kemudian baru beristirahat, kalau masih ada urusan besok kan masih ada
waktu." "Baik, letakkan dulu di situ, nanti akan kuminum sendiri," kata Leng-hong.
Tapi Go So mendesak terus, kepada Siau-Cui ia berkata, "Nona, jangan kauanggap
aku cerewet, biasanya orang mabuk itu cepat lelah, kau harus mengajak Ho-ya
beristirahat lebih dulu, jangan bicara yang bukan-bukan, berilah kesempatan kepada
Ho-ya untuk menenangkan diri."
"Aku tahu," bisik Siau-Cui.
"Bagus kalau sudah tahu, nona muda memang harus lebih banyak belajar menghibur
tuan sekalian, apalagi hari esok kan masih panjang, sekalipun masih ada persoalan
segudang juga dapat diselesaikan . . . ."
Ho Leng-hong berharap orang ini lekas pergi, maka dia ambil kuah tadi dan sekali
tenggak menghabiskan isinya, lalu sambil mengulapkan tangan ia berkata, "Sudahlah
Go So, kau harus beristirahat pula, kalau kau tidak pergi mana kami bisa
beristirahat?" "O, rupanya tuan mengusir aku" Kuatir waktumu yang berharga hilang" Baiklah, aku
akan pergi, aku segera pergi!"
Di mulut ia berkata akan pergi, tapi badannya tak bergeser, ia malah memandang Ho
Leng-hong sambil tertawa. Sikapnya seperti lagi menantikan sesuatu, tapi apa yang
ditunggu" Atau mungkin sedang menunggu tip atau persen"
Muak rasanya Ho Leng-hong menyaksikan tampang orang, dia ingin mengambil
uang supaya orang lekas pergi, tapi empat anggota badannya tiba-tiba menjadi lemas
tak bertenaga, kelopak matanya menjadi berat, rasa mengantuk yang sukar ditahan
tahu-tahu menyerangnya. Ya, orang yang mabuk arak memang sangat lelah.
Ho Leng-hong betul-betul lelah, saking lelahnya sampai badan lemas tak bertenaga,
pikiranpun terasa kosong . . . . Hanya satu keinginannya waktu itu, yakni memejamkan mata dan tidur sepuasnya.
Soal Go So sudah pergi atau tidak" Kuah penyadar mabuk kenapa tidak manjur" Ia
malas untuk memikirkannya lagi. Dalam keadaan lamat-lamat ia pejamkan matanya, tidur lelap dan terbuai di alam
mimpi . . . . --------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***----
Berapa lama ia tertidur" Ia tak tahu.


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan sekarang ia masih tidurkah" Atau sadarkah" Ia sendiripun tak tahu.
Ia cuma tahu, sebelum matanya terbuka, terenduslah bau harum sayup-sayup.
Bau harum itu seperti datang dari bawah bantal, seperti juga timbul dari seprei,
sampai kelambu, pembaringan . . . . pokoknya seluruh kamar dipenuhi bau harum.
Bau harum itu amat sedap dan juga asing baginya, sudah jelas bukan bau harum yang
biasa terendus dari bada nona-nona penghuni Hong-hong-wan, bau harum itu jelas
bau harum tingkat tinggi. Dia menggeliat lalu membuka matanya perlahan, pertama yang dilihatnya adalah
seorang genduk cilik berbaju hijau berusia antara 13-14 tahun berdiri di depan
pembaringan sambil mengulum senyum.
Ia mengkucak-kucak matanya serta memandang sekeliling ruangan itu, ternyata ia
sedang berbaring di sebuah villa yang dibangun di tengah kolam.
Empat sisi ruang ada daun jendela, air nan hijau mengelilingi villa tersebut, di tepi
kolam di depan sana kelihatan aneka warna bunga tumbuh dengan indahnya . . .
rupanya bau harum yang terendus tadi berasal dari bau bunga yang tumbuh di
sekeliling tempat itu. Hanya di surgaloka terdapat pemandangan seindah ini, atau mungkin ia sudah
kesasar ke surgaloka seperti halnya dalam dongeng"
Sementara ia tercengang, genduk berbaju hijau itu telah menyapa sambil tertawa,
"Kau sudah sadar Tuanku?"
Ho Leng-hong melenggong "Aku . . ."
"Nyenyak benar tidur Tuanku ini, sudah dua kali nyonya menjenguk kemari tapi
Tuan belum bangun juga, bir hamba segera memberitahu kepada Hujin (Nyonya). . . .
." "Eh . . . eh . . . tunggu sebentar, bolehkah kutanya, tempat manakah ini" Kenapa aku
bisa tertidur di sini?" Seru Ho Leng-hong.
Mula-mula genduk cilik itu tertegun, lalu sambil menutup mulutnya ia tertawa geli,
dan berkata, "Toa-ya, tampaknya mabukmu belum hilang dan masih mengigau."
"Tidak! Aku tidak mabuk, aku segar bugar, aku benar-benar tidak tahu tempat
manakah ini." "O, Tuanku, jangan-jangan engkau sakit?" dayang itu tertawa cekikikan. "Masa
rumah sendiri tidak kenal lagi"!"
"Rumah" Rumahku sendiri?"
"Tentu saja, siapa yang tidak tahu tempat ini adalah Thian-po-hu yang tersohor di
kolong langit ini. Dan villa ini adalah Kiok-hiang-sia di belakang taman yang paling
disukai Tuan?" "Thian-po-hu . . . Kiok-hiang-sia . . . ." gumam Ho Leng-hong, tiba-tiba ia berseru
tertahan, "Hah, kaumaksudkan tempat ini adalah istana Thian-po-hu di Kiu-ci-shia
(benteng liku sembilan)?" "Terima kasih kepada langit dan bumi, syukurlah Tuan sudah ingat kembali."
"Lantas, siapakah aku?" "Tuan, masa siapakah dirimu sendiri juga lupa?"
Ho Leng-hong menggeleng, "Bukannya lupa, kutahu benar siapakah diriku, pada
hakikatnya aku tak mempunyai hubungan apapun dengan Thian-po-hu, kenapa aku
bisa tidur di sini?" Genduk cilik itu tak bisa tertawa lagi, matanya terbelalak lebar.
"Tuan, apa yang kaukatakan?" ia berteriak. "Masa kau mengatakan dirimu tak ada
hubungannya dengan Thian-po-hu?"
"Ya, aku memang tak ada hubungan apa-apa dengan kalian, aku she Ho dan tinggal
di Lok-yang, sekalipun sudah lama kudengar kebesaran nama Thian-po-hu, sayang
selama ini tidak ada berhubungan."
"Apa" Kau she Ho?" kembali dayang cilik itu menjerit.
"Ya, betul!" "Kau.... kau bilang tak pernah berhubungan Thian-po-hu..."
"Benar!" "Kau.... kau..., siapakah dirimu sendiri juga tidak ingat lagi?"
"Tidak, aku ingat dengan sangat jelas, aku Ho......"
Dengan mata terbelalak dayang itu menyurut mundur beberapa langkah, tiba-tiba ia
menjerit kaget, lalu angkat langkah seribu, seakan-akan mendadak ia lihat di atas
kepala Ho Leng hong tumbuh sepasang tanduk.....
Baru beberapa langkah ia lari keluar villa itu, hampir saja ia bertumbukan dengan dua
orang yang muncul dari depan. Kedua orang itu adalah majikan dan pelayan, yang satu memakai baju berwarna
kuning telur berdandan pelayan, sedang yang lain adalah seorang nyonya muda jelita,
mereka sedang menyeberangi jembatan dan masuk ke villa air tersebut.
Dengan suatu gerak cepat pelayan baju kuning itu menyambar lengan si genduk cilik
tadi dan menegurnya, "He, Siau Lan, apa-apaan kau" Kenapa lari seperti diuber
setan?" "O, nyonya, enci Bwe, kebetulan sekali kedatangan kalian," seru Siau Lan dengan
napas tersengal, "Cepat masuk dan tengoklah keadaan Tuan, dia . . . dia . . . ."
"Tuan kenapa?" tanya nyonya cantik itu dengan kuatir.
"Dia . . . entah sebab apa Tuan selalu mengatakan tidak kenal tempat ini . . . . dia
mengaku she Ho, katanya tak ada hubungannya dengan Thian-po-hu . . . . . ."
"Ah, masa begitu?" seru si nyonya terperanjat.
"Hujin jangan percaya obrolannya," hibur Bwe-ji cepat, "tentu Tuan sengaja
menggodanya setelah sadar dari mabuknya, dan budak cilik ini menganggapnya
sebagai kejadian serius." "Tidak, Tuan tidak bergurau, semuanya adalah kejadian nyata, Tuan bicara dengan
serius, tidak seperti bergurau, kalau tidak percaya masuklah dan periksa sendiri."
Nyonya cantik itu berkerut kening, ia tidak banyak bertanya lagi dan cepat-cepat
masuk ke dalam rumah. Tatkala dilihatnya Ho Leng-hong duduk di atas pembaringan dengan tenang, ia
mengembus napas lega. "Huh, Siau Lan si budak ini memang harus digebuk, coba lihat, Tuan kan baik-baik
saja, bikin kaget hatiku saja."
"Betul, Siau Lan suka gila-gilaan, mulutnya suka ngaco-belo," Bwe-ji menimpali.
"Tapi sungguh-sungguh aku tidak bohong, Tuan yang berkata begitu kepadaku," kata
Siau Lan dengan penasaran. "Huh, masih membantah" Coba lihat, Tuan segar bugar, masa ia mengucapkan katakata
gila begitu...." omel Bwe-ji. "Eh nona, jangan kau salahkan dia, apa yang dikatakannya memang benar dan bukan
kata-kata gila," seru Ho Leng-hong tiba-tiba. "Aku memang she Ho dan tak pernah
datang ke Thian-po-hu, mungkin terjadi kesalah-pahaman di antara kita."
"Kesalah-pahaman" Kesalahan-pahaman apa?" tanya Bwe-ji dengan melengak.
"Kukira mungkin kalian telah salah menganggap diriku sebagai seorang lain."
Dengan bingung Bwe-ji memandang nyonya muda itu, sungguh ia tidak percaya pada
apa yang didengarnya barusan. Nyonya cantik itu kaget bercampur heran, sesudah tercengang sejenak barulah
katanya dengan serius. "Jit-long, jangan bergurau macam begitu dengan para dayang,
sekalipun mau bergurau, tahu diri sedikitlah. Gurauannya tidak apa-apa, kalau sampai
tersiar keluar, bagaimana dengan nama baik Thian-po-hu?"
"Aku tidak bergurau, aku bicara sesungguhnya!" kembali Ho Leng-hong menegas.
Sekilas perasaan bingung dan ragu menghias wajah nyonya muda itu, "Jadi
kauanggap dirimu she Ho?" "Bukan menganggap, sesungguhnya aku memang she Ho"
"Kalau begitu, kenalkah kau siapa diriku?"
"Maaf, sebelum perjumpaan ini tak pernah kita bertemu, tapi dari panggilan kedua
nona cilik ini, agaknya nyonya inilah isteri Nyo-tayhiap dari Thian-po-hu yang
tersohor itu, betul bukan?" Nyonya muda itu merasa geli dan juga mendongkol, ia menengok ke arah Bwe-ji dan
bertanya, "Coba dengar, perkataan manusiakah itu" Masa siapa diriku tidak
dikenalinya lagi." "Ya, mungkin semalam tuan mabuk keras, sampai sekarang mabuknya belum hilang .
. . . " kata Bwe-ji. "Tidak, aku tidak mabuk, aku merasa segar," kata Leng-hong cepat, "Setiap kalimat,
setiap perkataanku semuanya kuucapkan dengan pikiran yang sehat."
Mata nyonya itu mulai berkaca-kaca karena sedih, katanya dengan mendongkol,
"Semua ini gara-gara Lo-ya (tuan Lo) sekalian. Hmm, setiap kali mereka selalu
mengantarmu pulang dalam keadaan mabuk. Coba lihat, sampai nama sendiri tak tahu
lagi, sanak keluarga juga terlupakan semua."
"Hujin, bagaimana kalau kita undang Lo-ya kemari?" bisik Bwe-ji.
Nyonya itu berpikir sebentar, lalu manggut-manggut. "Betul, aku haru minta
pertanggung-jawab mereka . . . ."
Ia berpaling sambil memberi pesan, "Siau Lan, kau saja yang ke sana dan sekalian
beri kabar kepadanya, semua orang yang semalam ikut minum harap datang kemari,
seorang pun tak boleh berkurang. Hm, Siapa berani tak datang, hati-hati kalau
kulabrak ke rumahnya." Siau Lan mengiakan dan buru-buru berlalu.
Tiba-tiba Ho Leng-hong bertanya, "Apakah Lo-ya yang hendak diundang Hujin itu
ialah Kwan-lok-kiam-kek (jago pedang dari Kwan-lok) Lo Bun-pin yang tinggal di
kota Lok-yang?" "Betul, mendingan kau masih ingat nama satu orang ini," jawab si nyonya jelita.
Ho Leng-hong menarik napas panjang, "Aku kenal orang ini, baik sekali kalau dia
diundang kemari." "Hm, semoga iapun kenal padamu, kuharap pula dia masih ingat siapakah dia."
Perkataan itu bernada marah, tapi Ho Leng-hong Cuma tertawa dan tidak
membantah. Ia percaya, kalau Kwan-lok-kiam-kek Lo Bun-pin kenal padanya dan kenal juga Nyo
Cu-wi, pemilik istana Thian-po-hu, jika ia sudah datang, maka duduknya perkara akan
menjadi jelas. Tapi masih ada satu persoalan yang membuatnya tidak mengerti, ia masih ingat benar
semalam dirinya tertidur di kamar Siau Cui di rumah pelacuran Hong-hong-wan,
kenapa secara tiba-tiba bisa muncul di Thian-po-hu"
Apa yang terjadi memang sungguh-sungguh ataukah dalam mimpi"
Kalau dalam mimpi, tak bisa disangkal lagi impian ini adalah mimpi aneh yang tak
masuk di akal . . . . --------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***----
Suara langkah kaki berkumandang di luar Kiok-hiang-sia, agaknya tak sedikit orang
yang datang. Orang pertama yang masuk adalah Lo Bun-pin, sedang di belakangnya mengikut
empat lima orang laki-laki berbaju perlente, mereka semua adalah jago-jago kenaman
dari sekitar Kwan-liok, wajah mereka tampak kaget.
Rupanya Lo Bun-pin sudah diberitahu garis besar peristiwa yang terjadi oleh Siau
Lan, wajahnya tampak gelisah dan bingung. Begitu melangkah masuk ia lantas
berteriak, "Saudara Cu-wi, kenapa kau?"
Ho Leng-hong sedang duduk di kursi setelah berganti pakaian, ia melengak
mendengar panggilan itu . . . . . Sebelum ia menjawab, Lo Bun-pin telah menjura kepada Nyo-hujin seraya bertanya,
"Enso, apa gerangan yang terjadi" Bukankah saudara Cu-wi duduk segar di sini"
Kenapa Siau Lan bilang ia gila?"
"Hm, aku sendiri juga tak tahu ia sudah gila atau waras," sahut Nyo-hujin,
"pokoknya sebelum keluar rumah semalam ia masih segar bugar, tapi setelah sadar
pagi ini, ia telah berubah menjadi seorang yang lain, tak kenal lagi akan diri sendiri,
sanak keluarga sendiri juga tak dikenal, ia selalu mengatakan dirinya she Ho . . . . . "
"Ah, masa begitu?" Lo Bu-pin terkesiap, "tapi . . . . ketika pulang semalam, saudara
Cu-wi tidak menunjukkan gejala apa-apa, semua sobat yang ikut minum semalam kini
pun hadir di sini, semua orang menyaksikannya dengan mata kepala sendiri!"
"Ya, ya, aku tahu, kalian adalah sahabat karib, kenapa tidak kautanya sendiri
padanya?" kata Nyo-hujin. Lo Bun-pin manggut-manggut sambil berpaling ke arah Ho Leng-hong, katanya,
"Saudara Cu-wi permainan apa yang kaulakukan" Jangan bergurau dengan sobat
lama, hah!" Betapa kesal Ho Leng-hong karena berulang dipanggil "Saudara Cu-wi", setelah
merenung sejenak lalu berkata, "Coba kau teliti lagi saudara Lo, benarkah aku ini Nyo
Cu-wi dari Thian-po-hu?" "Kenapa?" Lo Bun-pin tertawa."Masa Nyo-heng tidak mengakui?"
"Tak sedikit orang di dunia ini yang mirip wajahnya, mungkin mata Lo-heng kabur
dan salah melihat orang." "Hahaha . . . mana mungkin" Seandainya mataku sudah lamur, tak mungkin sobatsobat
lainnya juga lamur, kenapa Nyo-heng tidak tanya sendiri kepada mereka . . . ."
"Betul, betul!" sahut semua orang, "sudah bertahun-tahun kita bergaul dengan Thianpo-
hu, siapa yang tidak kenal Nyo-heng?"
"Tapi kalian telah salah melihat orang!"
"Ah, tak mungkin!" kembali semua orang menganggapi, "kita kan kenalan lama,
mana mungkin salah lihat?" "Aku berani bertaruh kalian pasti salah lihat, sebab aku sendiri tahu siapakah diriku,
hakikatnya aku bukan Nyo Cu-wi."
Semua orang sama melengak, siapapun bisa merasakan keseriusan Ho Leng-hong,
mereka tahu orang ini tidak bergurau, tapi bicara sungguh-sungguh.
"Aku ingin cari tahu kabar seseorang, entah saudara Lo masih ingat atau tidak?" kata
Ho Leng-hong lagi. "Siapa?" tanya Lo Bun-pin.
"Suatu hari, ketika saudara Lo sedang berburu di luar kota, pernahkah kau berebut
seekor kelinci liar yang terluka dengan seorang laki-laki miskin" Akhirnya terjadi adu
kepandaian dan dilanjutkan dengan persahabatan, kalian bersama-sama
menyelenggarakan pesta daging kelinci panggang di bukit itu serta menamai santapan
lezat nomor satu di dunia. . . ."
"O, kaumaksudkan Ho Leng-hong yang hidup menganggur itu?"
"Benar, masih ingatkah Lo-heng padanya?"
"Tentu saja masih ingat, ilmu silatnya tidak berada di bawah kita, sayang ia lebih
suka hidup konyol bersama kaum penganggur."
"Seandainya Ho Leng-hong duduk di sini sekarang, dapatkah Lo-heng
mengenalinya?" "Pasti bisa, meski kami hanya berjumpa sekali saja, namun kesan yang diberikan
kepadaku terlalu dalam, sampai kini aku masih ingat pada wajahnya . . . . . Ai! Sayang
sepotong batu kemala yang tak pernah diasah harus terjerumus di pencomberan,
sungguh bikin orang menyesal."
"Masih inginkah saudara Lo bertemu lagi dengannya?"
"Sekalipun ingin, mau apa lagi?" Lo Bun-pin menggeleng, "sayang selamanya tak
dapat bertemu lagi dengannya."
"Kenapa?" Kembali Lo Bun-pin menghela napas, "Sebab Ho Leng-hong itu sudah mati!"
Ho Leng-hong melengak, cepat ia duduk tegak dan berseru, "Siapa yang bilang?"
"Siau Thian yang membawa kabar ini barusan," sahut Lo Bun-pin sambil menuding
seorang di belakang. Siau Thian atau Thian cilik bukan lagi anak kecil, lengkapnya ia bernama Thian Pektat,
tahun ini usianya sudah mencapai empat puluh tahun lebih, Cuma bila kau
perhatikan kepalanya yang kecil dengan sepasang mata tikusnya dan kumisnya yang
serupa kumis tikus, tak sulit bagimu untuk menghubungkan orang ini dengan
kepandaian "kecil" yang pasti sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Sejak dilahirkan orang ini mempunyai wajah yang selalu tersenyum, dia pandai
bicara dan pintar menyanjung, ia selalu bergaul dengan kalangan atas, matatelinganya
tajam, sebab itu orang menjulukinya sebagai Tiang-ni-siau-thian atau
Thian kecil si telinga panjang. Kini Thian Pek-tat berdiri di belakang Lo Bun-pin, ia segera melangkah ke depan
demi mendengar perkataan itu. "Benar!" demikian tukasnya, "baru pagi ini kudengar kabar tersebut."
Sungguh Ho Leng-hong ingin persen beberapa tempelengan untuk orang ini, tapi
sedapatnya ia menahan emosinya. "Bagaimana kabarnya?" ia bertanya.
"Konon Ho Leng-hong baru saja menang banyak di meja perjudian semalam, setelah
minum arak ia main perempuan di gang Waru, siapa tahu keesokan harinya ia
ditemukan tewas di kamar tidur Siau Cui, pelacur langganannya, ada orang bilang ia
mampus karena perampokan, ada pula yang mengatakan dia kehabisan . . . . "
Ia melirik sekejap wajah Nyo-hujin, kemudian sambil menampar muka sendiri,
katanya, "Aku memang pantas mampus dan harus digebuk, aku lupa Hujin berada di
sini hingga telanjur bicara yang bukan-bukan."
Ho Leng-hong tertawa dingin, "Hm, jadi kau sendiri juga Cuma mendengar dari
orang lain dan bukan melihat dengan mata kepala sendiri."
"Tapi berita ini dapat dipercaya, semua orang di Lok-yang telah mengetahui kejadian
ini, malah jenazahnya masih terbaring di rumah pelacuran Hong-hong-wan."
"Ya, Siaute pun ikut menyesal atas musibah yang menimpa Ho Leng-hong itu, maka
telah kuutus orang untuk menyelidiki sebab kematiannya serta mengurusi juga
layonnya. Eh, omong-omong kenapa saudara Cu-wi menyinggung orang ini" Kau pun
kenal padanya?" tanya Lo Bun-pin.
Ho Leng-hong tertawa, "Bukan cuma kenal, malah aku tahu kalau dia sampai saat ini
masih hidup hakikatnya dia tidak mati."
"Dari mana kau tahu?" tanya lagi Lo Bun-pin
"Sebab akulah Hong Leng-hong!" sahut pemuda itu sekata demi sekata.
Tentu saja semua orang terkejut dan saling pandang dengan air muka berubah.


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lo Bun-pin coba meraba jidat Ho Leng-hong kemudian mengamati wajahnya dengan
saksama, lalu dengan penuh perhatian ia bertanya. "Saudara Cu-wi, kau tidak sakit
bukan?" "Apakah aku mirip orang sakit," jawab Ho Leng-hong.
Lo Bun-pin menyengir, "Aku pernah melihat Ho Leng-hong, dia adalah dia dan kau
adalah kau, mana bisa kalian dipersamakan menjadi satu?"
"Akupun lagi keheranan, jelas-jelas aku ini Ho Leng-hong, kenapa kalian berkeras
menganggap aku adalah Nyo Cu-wi" Aku jelas masih hidup, tapi kalian ngotot
mengatakan aku sudah mati?" Lo Bun-pin terbelalak dengan mulut melongo dan tak tahu bagaimana harus
menjawab. Nyo-hujin lantas menangis, dengan tersengguk dia berkata, "Coba lihat, semua ini
gara-gara minum arak, kalianlah yang membuat dia menjadi begini, Ayo, apa yang
hendak kaukatakan sekarang...."
"Jangan panik dulu enso, tenanglah," bujuk Lo Bun-pin, "Menurut pendapatku,
mungkin saudara Cu-wi kemasukan roh jahat, mungkin diganggu setan..."
"Roh dan setan jahat apa" Hm, justru kalian inilah setan-setan arak yang
membuatnya jadi begini," teriak Nyo-hujin, "coba kalau kalian tidak mengajaknya
minum arak, masa dia jadi begini" Pokoknya kalian harus bertanggung-jawab kepada
ku hari ini, kalau tidak, siapapun jangan harap dapat meninggalkan Thian-po-hu."
Malu sekali Lo Bun-pin menerima dampratan itu, ia menunduk dengan wajah merah,
setelah termenung sebentar ia bertanya kepada Thian Pek-tat, "Siau Thian, dapat
dipercaya tidak beritamu itu?"
"Tanggung bisa dipercaya, aku berani tanggung dengan batok kepalaku," jawab
Thian Pek-tat. "Kalau begitu kita harus berusaha memperlihatkan bukti kepadanya, sekarang juga
Siau Thian berangkat ke Lok-yang serta mengangkat jenazah Ho Leng-hong ke Kiucui-
shia sini, biar dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri untuk membuyarkan
khayalan dalam benaknya, otomatis sakitnya akan sembuh."
"Benar!" Sungguh gagasan yang bagus" seru semua orang sambil manggut-manggut.
"Enso, terpaksa kita harus mengangkut jenazah itu kemari, tentunya kau tidak
keberatan bukan?" kata Lo Bun-pin kemudian.
"Manjur tidak?" tanya Nyo-hujin.
"Kukira hanya dengan cara inilah kita akan membuyarkan khayalan dalam benaknya,
supaya dia percaya bahwa dirinya bukan Ho Leng-hong."
Nyo-hujin menghela napas panjang. "Ai, baiklah, asal Jit-long bisa disadarkan, tentu
saja aku setuju." "Akupun setuju," sambung Ho Leng-hong sambil tertawa, "bahkan aku berani
bertaruh, batok kepala Thian kecil si telinga panjang perlu dicarikan cadangannya."
Lo Bu-pin tidak menggubris ocehannya, buru-buru ia perintahkan orang mengantar
Thian Pek-tat ke Lok-yang. Semua orang yang mengelilingi tempat tidur hanya memandang Ho Leng-hong
dengan perasaan kasihan, tidak ada yang mengajak bicara padanya.
Dalam anggapan mereka, Ho Leng-hong sudah gila, penyakitnya betul-betul sudah
gawat. Maklum, kalau identitas sendiripun sampai keliru, kalau bukan orang gila lantas apa
namanya" Sebaliknya menurut pandangan Ho Leng-hong Lo Bun-pin dan lain-lain itulah yang
goblok dan menggelikan sekali. Bagaimana tidak" Seorang yang masih hidup segar bugar mereka anggap sudah mati,
Ho Leng-hong yang mereka hadapi dikatakan sebagai Nyo Cu-wi, terutama nyonya
rumah Thian-po-hu ini, orang asing dianggap sebagai suami sendiri . . . .
Kalau kejadian ini sampai tersiar ke luar bukankah akan bikin orang tertawa hingga
copot giginya" Semakin dibayangkan Ho Leng-hong makin geli.
Melihat dia tertawa sendiri tanpa sebab, orang semakin yakin ia sudah gila.
Sebaliknya karena semua orang makin menganggapnya gila, Ho Leng-hong juga
tambah gila. Maka suasana dalam Kiok-hiang-sia berubah menjadi kacau-balau, ada yang
menangis, ada yang tertawa, ada yang berbisik-bisik, ada pula yang menggeleng
kepala sambil menghela napas . . . .
--------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***----
Thian Pek-tat telah kembali. Ia pulang bersama dua orang laki-laki yang menggotong sebuah pembaringan butut,
di atas pembaringan membujur sesosok mayat yang dibungkus kain kafan.
"Siau Thian, bikin repot dirimu!" kata Lo Bun-pin menyambut kedatangannya.
"Repot sih tidak," jawab Thian Pek-tat sambil membesut keringat, "Cuma sepanjang
jalan kereta berjalan terlalu lambat, kalau bisa aku ingin membawanya terbang pulang
kemari." "Sudah kau selidiki sebab-sebab kematiannya" Apa yang dikatakan mak germo
Hong-hong-wan?" "Sudah kutanyakan langsung kepada Siau-Cui. Konon waktu masuk ke sarang
pelacuran semalam, Ho Leng-hong sudah dalam keadaan mabuk, begitu masuk kamar
dia lantas tidur, semalaman tidurnya nyenyak sekali, pagi-pagi baru diketahui
badannya sudah membujur kaku dan dingin....."
"Kalau begitu ia mati karena mabuk?"
"Keadaan yang sesungguhnya belum bisa kukatakan, tapi yang pasti lima puluh tahil
perak itu masih berada di kamar Siau Cui, setahilpun tidak berkurang, jadi tak
mungkin mati lantaran perampasan harta."
Lo Bun-pin menghela napas panjang, "Ai, sayang benar! Seorang lelaki perkasa
harus mati tanpa diketahui sebab musababnya . . . . ."
Kepada Ho Leng-hong ia berkata, "Nyo-heng kau berkeras mengatakan dirimu
adalah Ho Leng-hong tapi kenyataan telah membuktikan Ho Leng-hong telah mati di
kota Lok-yang, bahkan jenazahnya sekarang sudah diangkut kemari, tidak inginkah
kau memeriksanya sendiri?" "Tentu saja harus kuperiksa," Ho Leng-hong tertawa, "aku tidak percaya di dunia ini
terdapat dua orang Ho Leng-hong yang mempunyai bentuk wajah yang sama."
"Baik. Tapi kurasa mukanya tentu sudah tak sedap dipandang, harap enso menyingkir
dulu," kata Lo Bun-pin. Nyo-hujin dan sekalian dayangnya lantas memutar badan dan menghadap ke arah
lain, Lo Bun-pin segera menggapai kepada kedua laki-laki itu agar menggotong
masuk mayat tersebut. Perlahan Thian Pek-tat membuka kain kafan yang menutupi wajah jenazah.
Tiba-tiba senyuman Ho Leng-hong menjadi beku . . . siapa lagi yang berbaring itu
kalau bukan Ho Leng-hong" "Sekarang kau sudah percaya bukan, saudara Nyo?" tanya Lo Bun-pin kemudian.
Kecurigaan seketika menyelimuti benak Ho Leng-hong, tiba-tiba ia mencengkeram
urat nadi pada pergelangan tangan Thian Pek-tat, bentaknya "Dari mana kaudapat
mayat palsu itu" Hayo lekas jawab!"
"Tidak! Tidak ada mayat palsu . . . ini . . . ini jenazah Ho Leng-hong, jenazah asli
bukan palsu...." jawab Thian Pek-tat dengan tergagap.
"Tenang, tenang dulu saudara Nyo, jangan emosi . . . ." seru semua orang sambil
maju melerai. "Ya, lepaskan dulu Siau Thian, kalau ada persoalan boleh kita bicarakan secara baikbaik."
"Betul! Lepaskan dulu, semua kan sahabat sendiri . . . . "
Ho Leng-hong coba meraba muka sendiri, tiba-tiba timbul perasaan merinding dari
lubuk hatinya, sambil membentak ia menggentakkan Thian Pek-tat ke samping, lalu
disambarnya pembaringan butut itu dan dilemparkan ke luar . . . .
Kedua laki-laki itu tak dapat berdiri tegak dan terlempar keluar berikut pembaringan
tersebut. Ho Leng-hong manfaatkan kesempatan itu untuk menerjang keluar villa itu, ia coba
melongok ke luar pagar jembatan . . . .
"Cepat alangi, dia mau melompat ke air bunuh diri."
"Tutuk dulu jalan darahnya, tangkap!"
"Dia sudah gila, cepat cepat! . . ."
Padahal Leng-hong tidak gila, iapun tidak bermaksud terjun ke air untuk bunuh diri,
dia hanya ingin bersandar di tepi jembatan dan menggunakan air kolam untuk melihat
raut wajahnya sendiri. Dan sekarang ia dapat melihat jelas, seketika ia melongo.
Bukan wajah Ho Leng-hong yang muncul di permukaan air, tapi seraut wajah tampan
seorang laki-laki setengah umur yang berkulit putih.
Tak bisa disangsikan lagi, laki-laki setengah umur yang ganteng ini bukan lain adalah
Nyo Cu-wi, pemilik istana Thian-po-hu.
Ho Leng-hong belum pernah berjumpa dengan Nyo Cu-wi, tapi ia merasa seperti
pernah kenal bayangan orang yang muncul di permukaan air itu.
Ia menjadi bingung dan ragu-ragu . . . jangan-jangan dia memang sudah mati"
Benarkah dirinya sudah berubah menjadi Nyo Cu-wi" Tak sempat ia berpikir lagi, tak
sempat ia memandang lebih teliti, sebab Lo Bun-pin dan lain-lain sudah keburu maju
merubungi, ada yang menarik tangannya, ada yang memegang kakinya, bahkan ada
pula yang menutuk jalan darahnya, kemudian beramai-ramai mereka menggotongnya
masuk kembali ke Kiok-hiang-sia . . . .
--------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***----
Pepatah kuno berkata: Sekali masuk rumah bangsawan, dalamnya melebihi samudra.
Artinya rumah kediaman orang besar tidak gampang dikunjungi atau ditinggalkan.
Meskipun Thian-po-hu di Kiu-ci-shia bukan istana kaum bangsawan atau tempat
orang berpangkat, tapi tempat ini merupakan tempat tinggal jago persilatan yang
ternama, baik luasnya bangunan, kemewahan, dan kemegahan perabot maupun
ketatnya penjagaan, tidak kalah dengan gedung orang berpangkat.
Bila Ho Leng-hong ingin kabur dari Thian-po-hu, hal ini jauh lebih sukar daripada
naik ke langit. Sekalipun demikian, setiap saat ia selalu berusaha melarikan diri dari sana.
Hal ini tidak berarti ia meremehkan kenikmatan hidup yang di terimanya di Thianpo-
hu, juga tidak berarti ia enggan tinggal dalam gedung yang megah melebihi istana
ini, tapi dia harus mencari jawaban terlebih dahulu tentang siapakah dia yang
sebenarnya" Sebab ia sendiripun mulai bingung.
Semenjak melihat mayat "Ho Leng-hong", sejak melihat tampang "Nyo Cu-wi" yang
muncul di permukaan air, ia mulai ragu, ia mulai sangsi dan bingung.
Jenazah itu tidak palsu, baik perawakan, panca indera, raut wajah, semuanya persis
Ho Leng-hong, sedikitpun tiada tanda-tanda yang mencurigakan.
Raut wajah Nyo Cu-wi juga tidak palsu, bukan saja semua orang menganggap
demikian, bahkan Nyo-hujin sendiripun tidak curiga, bagaimanapun ia menggosok
dan mencuci mukanya, semuanya membuktikan bahwa wajahnya bukan berubah
lantaran dirias dengan obat-obatan.
Tapi, ia masih ingat dengan jelas bahwa dia adalah Ho Leng-hong dari Lok-yang,
kenapa secara tiba-tiba bisa berubah menjadi Nyo Cu-wi dari Thian-po-hu di Kiu-cishia"
Daya ingat serta cara berpikirnya dimiliki orang ini, sebaliknya raut wajahnya,
bentuk lahiriah adalah milik orang yang lain, hal ini suatu kejadian yang cukup
menyiksa batin. Maka dari itu, Ho Leng-hong ingin melarikan diri, bukan Cuma ingin menghindari
penderitaan saja, tapi yang penting adalah ingin menemukan dirinya sendiri.
Ia pikir, hanya seorang yang mungkin tahu duduk perkara yang sesungguhnya . . . . .
Siapakah dia" --- Siau Cui. Karena ia telah kehilangan pribadinya di pembaringan Siau Cui, bahkan dia masih
ingat, ketika terjadi "musibah" tersebut, Siau Cui pernah mohon kepadanya agar
mengajaknya kabur sejauh-jauhnya, kabur ke suatu tempat yang tak seorangpun
mengenali diri mereka . . . . Bila dibayangkan kembali sekarang, bukankah ucapan itu suatu pertanda bahwa
segera akan terjadi sesuatu" Ho Leng-hong bertekad akan meninggalkan Thian-po-hu secara diam-diam dan satusatunya
jalan untuk mewujudkan cita-citanya adalah merebut kepercayaan Nyo-hujin
dan Lo Bun-pin sekalian, bila sudah dipercaya, otomatis ia dapat bergerak bebas lagi.
Dan untuk mendapatkan kepercayaan mereka, satu-satunya cara adalah mengakui
dirinya adalah Nyo Cu-wi untuk sementara waktu.
Padahal keadaan telah memaksanya mau-tak-mau harus mengakui kenyataan
tersebut. Sudah tiga hari Ho Leng-hong dipaksa berbaring dalam Kit-hiang-sia, Lo Bun-pin
sekalian secara bergilir mendapat tugas untuk menjaga siang dan malam, sekalipun
alasan mereka untuk menemani, padahal yang benar adalah untuk mengawasinya,
kuatir penyakit gilanya angot lagi.
Enam-tujuh rombongan Hwesio dan Tosu siang malam secara bergilir membacakan
kitab di luar villa air, mereka berdoa untuk mengusir setan dan menundukkan roh
jahat, suara tetabuhan yang dibunyikan sangat berisik dan membuat orang tak bisa
beristirahat dengan tenang. Suara gaduh dan ribut macam begini jangankan bisa mengusir setan atau roh jahat,
sekalipun orang yang tidak gila, lama kelamaan malah akan menjadi gila sungguhsungguh.
Tapi ada satu kesulitan bagi Ho Leng-hong untuk mengakui dirinya sebagai Nyo Cuwi,
sebab selama ini ia selalu berkeras mengatakan dirinya bukan Nyo Cu-wi.
Untuk ini, sedikitnya dia harus mencari suatu "alasan" yang tepat.
Tapi alasan apa yang dapat digunakannya" Ah, ada akal . . . . .
Saat itu suatu rombongan Tosu sedang membunyikan alat tetabuhan, berdoa sambil
mengelilingi villa itu. Sebagai pemimpin rombongan adalah seorang Hoatsu (pendeta agama To) yang
bertubuh kurus kering dengan kumis tikus, tampangnya rada mirip Siau Thian.
Sejak semula Ho Leng-hong jemu melihat tampangnya, sebab Tosu kecil ini bukan
saja suaranya tinggi melengking, caranya berdoa pun seperti jeritan setan, bahkan
beberapa kali jeritannya menyadarkan dia dari tidurnya. Kini tiba kesempatan yang
baik untuk memberi "hajaran" kepadanya.
Begitulah, tatkala Hoatsu itu tiba di pintu villa dan siap menggoyangkan pedang
kayunya sambil membaca mentera pengusir setan, mendadak Ho Leng-hong
melompat bangun, lalu berteriak keras, "Ada setan! Hai, kalian cepat kemari, tangkap
setan itu! Tangkap!" Kebetulan Lo Bun-pin yang mendapat giliran berjaga, buru-buru ia menghampirinya
seraya bertanya, "Saudara Cu-wi, apa yang kau lihat?"
"Setan! Setan bertubuh ceking, bertangan empat dan kaki tiga! Cepat! Cepat tangkap!
. . . . . " "Di mana?" tanya Lo Bun-pin dengan melenggong.
Sambil menuding Hoatsu itu kembali Ho Leng-hong berteriak, "Itu dia! Di depan
pintu kamar, itu yang memakai jubah Pat-kwa sambil membawa pedang kayu . . . . .
dia itulah setan . . . . . dia setan! . . . . . ."
"Keliru besar saudara Cu-wi, orang itu bukan setan, dia Ku-gwat Hoatsu dari Gioksiu-
koan yang sengaja di undang untuk menangkap setan . . . . . "
"Tidak! Dialah setannya!" teriak Ho Leng-hong lagi, "dengan mata kepalaku sendiri
kulihat ada setan menyusup ke tubuhnya, kalian cepat menangkapnya, cepat
menangkapnya! . . . . . . Sementara itu Nyo-hujin yang beristirahat di balik ruangan serta para Busu (pesilat)
yang berjaga di sekitar villa itu sama berdatangan karena mendengar suar ribut itu.
"Jit-long, benarkah kau melihat setan?" tanya Nyo-hujin dengan penuh perhatian.
"Siapa bilang tidak" Setan itulah yang selama tiga hari mencekik leherku,
mengganggu ketenanganku sehingga tak bisa beristirahat dengan baik, cepat kalian
tangkap setan itu!" Nyo-hujin memandang Lo Bun-pin, lalu bisiknya, "Apa yang terjadi?"
"Kejadian ini memang agak aneh, sudah tiga hari ia membungkam, tapi begitu buka
suara ia menganggap Ku-gwat Hoatsu sebagai setan . . . . ."
"Hei, jangan biarkan dia kabur, cepat kalian tangkap setan itu," terdengar Ho Lenghong
masih berteriak, "nyawaku telah tertelan ke perutnya, kalau dia kabur dari sini,
habislah riwayatku." "Kukira kejadian ini agak mencurigakan," kata Nyo-hujin kemudian sambil berkerut
kening, "lebih baik kita turuti permintaan Jit-long, tangkap dulu Tosu tersebut."
"Tapi . . . tapi . . . rasanya kurang baik . . . ."Lo Bun-pin ragu-ragu.
"Tidak menjadi soal, kita utamakan si sakit daripada Tosu tersebut, sekalipun harus
menyakitinya, paling-paling kita beri saja uang yang lebih banyak, dan urusan akan
beres dengan sendirinya." Sambil berkata nyonya Nyo lantas memberi tanda kepada
para Busu. Begitu mendapat perintah, serentak para Busu itu menyerbu maju dan menangkap
Ku-gwat Hoatsu. Tentu saja para Tosu yang sedang membaca mantra pengusir setan tidak mengerti
apa yang terjadi, mereka menjadi panik saking kagetnya.
Lebih-lebih Ku-gwat Hoatsu, ia tidak habis mengerti dengan kejadian yang menimpa
dirinya, dengan gelagapan ia bertanya, "He, apa-apaan ini . . . aku datang untuk
menangkap setan . . . . kenapa kalian malah menangkap diriku! . . . ."
"Kaulah setannya, berani betul kau berpura-pura menangkap setan?" hardik Ho
Leng-hong. "Aku . . . aku . . . ." Ku-gwat Hoatsu betul-betul jadi bingung, dan tak sanggup
berbicara. "Mengaku sajalah, hayo cepat muntahkan keluar nyawaku, kalau tidak . . . jangan
menyesal bila kuberi ganjaran yang setimpal," teriak Leng-hong.
Mulut Ku-gwat Hoatsu melongo lebar-lebar dan tak tahu apa yang mesti dikatakan.
"Pengawal, lolohkan kotoran manusia ke dalam mulutnya, perintahkan kepadanya
untuk memuntahkan nyawaku, cepat lakukan!" teriak Ho Leng-hong lagi.
Karena Nyo-hujin tidak menunjukkan rasa keberatan, serta-merta para Busu itu


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerjakan apa yang diperintahkan, segentong kotoran manusia segera dipikul
datang, lalu Ku-gwat Hoatsu ditelentangkan di tanah dan dicekoki kotoran itu.
Kasihan Ku-gwat Hoatsu, mau menolak tak bisa, melawan juga tak kuat, tak menolak
perutnya tak tahan . . . Akhirnya ia tumpah-tumpah hebat, isi perutnya nyaris ikut
tertumpah keluar. Sesudah Tosu itu tumpah-tumpah, Ho Leng-hong menarik napas lega, ia
memejamkan mata dan berbaring kembali di atas pembaringan . . . .
Lo Bun-pin menyuruh para Busu membawa pergi Ku-gwat Hoatsu yang "setengah
mati" sesudah diberi uang lebih banyak.
Setelah kawanan Tosu dienyahkan, Ho Leng-hong lantas sadar kembali, kata pertama
yang diucapkan setelah membuka matanya adalah, "Aku lapar, apakah ada makanan
enak?" Kalau orang sakit sudah tahu lapar, itu berarti penyakitnya sudah sembuh.
Saking gembiranya hampir saja Nyo-hujin melelehkan air mata, buru-buru ia titahkan
orang untuk menyiapkan makanan, lalu tanyanya, "Jit-long, bagaimana perasaanmu
sekarang" Sudah mengerti bukan?"
"Aku baik sekali! Apakah yang tidak mengerti?"
"Sudah tahu siapa dirimu" Tempat apakah ini?"
"Lucu, tempat ini kan Kiok-hiang-sia, terletak di taman belakan istana Thian-po-hu
di Kiu-ci-sia, inilah rumahku sendiri, kenapa tidak tahu?"
"Lalu siapa namamu . . . ."
"Aku Nyo Cu-wi, memangnya kalian kira aku ini siapa?"
Nyo-hujin menarik napas lega, "Terima kasih kepada langit dan bumi, akhirnya kau
sadar kembali." "Eh, apakah terjadi sesuatu?" tanya Leng-hong.
"O, tidak . . . . tidak . . . . . ." buru-buru Lo Bun-pin menanggapi sambil tertawa,
"terlalu banyak arak yang diminum Nyo-heng sewaktu ada di rumahku tempo hari
hingga mabuk hebat, enso terus menerus mengomeli Siaute, untunglah sekarang
sudah beres, dapatlah kumohon diri . . . . "
"Eh jangan pergi dulu, jangan pergi dulu, apa salahnya kalau mabuk bila sobat lama
berkumpul. Kau kan tahu tabiat ensomu, masa masih marah padanya?"
"Ah, mana berani," kata Lo Bun-pin.
"Nah, begitulah," kata Ho Leng-hong sambil tertawa, "kita harus berkumpul
beberapa hari lagi, jangan pergi, kita boleh bercakap-cakap sepuasnya."
"Bercakap-cakap boleh saja, tapi ingat, jangan minum sampai mabuk lagi," Nyohujin
memperingatkan. "Kalau Cuma mabuk sedikit kan tidak apa, asal tidak kelewat takaran," ujar Ho
Leng-hong, "kenapa kau mesti menghilangkan kegembiraan orang banyak?"
"Betul!" Thian Pek-tat menanggapi sambil tertawa, "Nyo-hujin, bukannya aku Siau
Thian rakus dan ingin minum arak, tapi pada umumnya barang siapa baru sadar dari
mabuk hebat dia harus minum beberapa cawan arak lagi, dengan begitu baru badan
takkan terganggu, arak ini namanya Hoan-hun-ciu (arak pengembali sukma)."
"Betul, memang begitu," kata semua orang, "kalau tidak minum Hoan-hun-ciu, orang
akan merasa pusing-pusing kepala selama beberapa hari, setiap peminum sama
mempunyai pengalaman seperti ini."
"Hahaha! Siau Thian memang selalu menarik dalam soal-soal begini," kata Ho Lenghong
sambil tertawa, "rupanya Hoan-hun-ciu mau-tak-mau harus kuselenggarakan."
Di tengah gelak tertawa orang ramai, Nyo-hujin tak bisa menolak lagi, terpaksa ia
menyuruh orang menyiapkan arak. Ho Leng-hong bukanlah seorang yang gemar minum arak, ia berbuat demikian hanya
untuk mencari kesempatan agar lebih memahami keadaan Thian-po-hu.
Terlampau sedikit yang diketahuinya tentang Thian-po-hu ini, bahkan siapa nama
kecil Nyo-hujin pun tidak diketahui, kalau kurang lancar dalam soal panggil
memanggil bisa mengakibatkan rahasianya ketahuan dan sulit lagi untuk
mendapatkan kepercayaan orang. Betul juga, setelah "arak pengembali sukma" diselenggarakan, semua kesulitan yang
dikuatirkan berhasil diatasi dengan mudah.
Bukan saja ia mengetahui Nyo-hujin bernama Pang Wan-kun, bahkan mengetahui
juga dia adalah adik kandung It-kiam-keng-thian (pedang sakti menuding langit) Pang
Goan, pemilik istana Cian-sui-hu dari Liat-liu-shia yang ilmu silatnya tidak di bawah
Nyo Cu-wi. Thian-po-hu dari Kiu-ci-shia, Cian-sui-hu dari Liat-liu-shia ditambah Hiang-in-hu
dari Hu-yong-shia di wilayah Leng-lam disebut orang sebagai Bu-lim-sam-hu (tiga
istana dunia persilatan) mereka semua merupakan keluarga persilatan yang tersohor di
dunia. Sebab itulah selain menaruh "hormat dan sayang", Nyo Cu-wi juga merasa "jeri"
terhadap istrinya yang cantik bak bidadari dari kahyangan ini.
--------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***----
Nyo Cu-wi terkenal sebagai laki-laki yang takut bini, terpaksa Ho Leng-hong tak
dapat terlampau menunjukkan kejantanannya.
Karenanya ketika malam itu Pang Wan-kun minta ia pindah dari Kiok-hiang-sia ke
kamar tidur mereka, ia tak berani membantah melainkan hanya menurut saja.
Tapi sekarang muncul masalah baru. Apabila suami isteri tidur bersama dalam satu kamar, tentunya akan melakukan
"tugas dan kewajiban", hal inilah yang menyulitkan Ho Leng-hong.
Sebenarnya soal "begituan" bukan hal baru bagi Ho Leng-hong, yang merisaukan dia
adalah dalam bermesraan antara suami-isteri tentu ada sesuatu "rahasia" yang
menyangkut diri pribadi, untuk ini jelas tak bisa "diwakilkan" kepada orang lain,
karena bila rahasianya ketahuan, akibatnya pasti akan runyam.
Sejak kakinya melangkah masuk ke dalam kamar tidur, Ho Leng-hong merasa
hatinya berdebar keras . . . . Ia tak dapat menolak untuk tidur sekamar, maka satu-satunya jalan untuk
menghindari segala kemungkinan hanya main "mengulur waktu", diambilnya sejilid
buku, lalu duduk di tepi jendela sambil membaca.
Apa isi buku itu tak sehuruf pun yang masuk dalam benaknya, ia hanya berharap
Pang Wan-kun cepat-cepat tertidur, itulah sebabnya meski mata memandang buku,
tapi telinganya memperhatikan suara gerak-gerik dalam kamar.
Bwe-ji telah membereskan pembaringan, menutup pintu dan mengundurkan diri, apa
mau dikata, Pang Wan-kun justru tidak mau tidur, seorang diri ia gemerasak dalam
kamar, entah apa yang dilakukannya.
Tak terlukiskan rasa gelisah Ho Leng-hong, terpaksa ia harus berpura-pura menaruh
perhatian, katanya, "Wan-kun, tidurlah dulu, beberapa hari ini kau tentu kepayahan."
"Dan kau?" tanya Pang Wan-kun.
"Aku belum ngantuk, biar kuselesaikan dulu beberapa halaman buku ini, tak usah
tunggul lagi." Langkah kaki tiba-tiba berkumandang makin dekat, dan Pang Wan-kun malah
muncul dari dalam. "Hei, buku apa yang kaubaca?" tegurnya sambil tertawa, "tampaknya asyik benar,
sampai lupa tidur?" Ah, buku . . . . . . ." tiba-tiba muka Ho Leng-hong menjadi merah dan urung bicara,
buku itu cepat-cepat ditutup, kalau ada lubang ingin sekali buku itu segera
disembunyikan. Sayang terlambat sebab Pang Wan-kun telah merampas buku itu.
"Buku baik biar akupun ikut baca, kenapa disembunyikan . . . . ." ia mengomel. Tapi
sebelum lanjut ucapannya, mendadak pipinya berubah merah jengak, sambil
membanting buku itu, serunya, "Sialan! Buku beginian yang kaubaca!"
Rupanya buku yang diambil Ho Leng-hong sekenanya dari rak buku itu bukan lain
adalah buku porno. Adalah wajar bila di kamar tidur suami-isteri muda tersimpan buku macam begini,
celakanya Ho Leng-hong mengeluarkan buku demikian dalam suasana seperti ini, hal
ini ibaratnya api disiram minyak, tambah merangsang nafsu . . . . .
Tampaknya sulit bila malam ini hendak dilewatkan dengan "aman dan tenteram".
Terpaksa Ho Leng-hong pura-pura bergelak untuk menutupi rasa jengahnya, ia
berbangkit, katanya, "Baiklah, tidak membaca lagi, bagaimana kalau jalan-jalan di
taman saja?" Wan-kun tidak menyatakan setuju, juga tidak menolak, dia hanya menundukkan
kepala sambil memainkan ujung bajunya.
Ho Leng-hong membuka pintu yang menghubungkan villa itu dengan taman, lalu
menarik napas panjang, katanya, "Betapa indahnya bulan purnama, sayang bila
malam seindah ini dilewatkan begitu saja."
Pang Wan-kun masih belum bersuara, dengan lembut ia merangkul bahu pemuda itu
dan bersandar mesra di dadanya yang bidang.
Bulan purnama bersinar terang di angkasa, bau harum bunga semerbak, membuat
orang terlena, kedua "suami isteri" berangkulan dengan mesra di tengah keheningan
malam yang jernih, sungguh suasana yang romantis.
Ho Leng-hong tak dapat meresapi keindahan alam dan suasana romantis itu, apa yang
dirasakan hanya keresahan, pikirannya tak tenang, ia hanya berdoa semoga malam ini
dapat dilewatkan dengan selamat. Di bawah sinar bulan purnama, kedua "suami isteri" itu berjalan-jalan di tengah
taman yang sepi, rupanya Pang Wan-kun merasa dingin karena bajunya tipis, ia
bersandar dalam pelukan Ho Leng-hong dengan manja.
Ho Leng-hong bukan laki-laki yang alim, hampir saja ia tak sanggup mengendalikan
diri, terpaksa mereka duduk di sebuah bangku batu.
Begitu duduk, Pang Wan-kun lantas berbaring dalam pangkuan sang "suami" sambil
menghela napas panjang, bisiknya lirih, "Jit-long, masih ingatkah kau pada musibah
yang menimpamu tahun yang lalu?"
Ho Leng-hong melenggong dan tak dapat menjawab.
Untung Wan-kun tidak menanti jawabannya, ia bergumam sendiri, "Musim semi
tahun yang lalu, keadaannya seperti juga sekarang, malam sunyi dengan bulan
purnama yang indah sekali, waktu itu kitapun berdua, duduk di tepi telaga Siau-thianti
di puncak Lu-san sambil menikmati keindahan rembulan...."
Ah, kiranya begitulah kejadiannya! Buru-buru Ho Leng-hong tertawa, "Siapa bilang aku lupa" Pemandangan alam Lusan
memang lain daripada yang lain, sebab itulah dalam syair kuno tercantum katakata
yang berbunyi: Sekalipun tidak kenal wajah Lu-san yang sebenarnya,
berjodohlah bila berada di gunung tersebut...."
"Bukan keindahan alam Lu-san yang kumaksudkan," tukas Wan-kun cepat, "aku
berbicara tentang kau digigit ulat beracun itu."
Sekali lagi Ho Leng-hong tertegun, ia tidak tahu Nyo Cu-wi pernah digigit ulat
beracun, terpaksa sahutnya secara samar-samar, "Ya.... Lu-san memang tempat yang
menarik sayang serangga beracunnya terlalu banyak, menjemukan...."
"Salah siapa?" Wan-kun menutup mulutnya sambil cekikikan, "siapa suruh kau
membayangkan hal yang bukan-bukan" Tanpa sebab tiba-tiba kau ingin menggaet
rembulan dalam kolam" Itulah akibatnya, rembulan tak berhasil kaudapat,
punggungmu malah disengat makhluk beracun, esoknya luka ini bengkak besar dan
akhirnya terpaksa harus dioperasi dan meninggalkan bekas luka. Masih ingatkah kau
akan kejadian itu?" "Masih ingat, masih ingat," Ho Leng-hong tertawa getir, "Ai, waktu itu aku hanya
ingin main-main, siapa tahu bisa jadi sial begitu."
Dengan lembut Wan-kun meraba pipi sang "suami", dengan penuh menyesal ia
berkata, "Padahal akulah yang menerbitkan gara-gara itu, akulah yang menyuruh kau
mengambilkan rembulan itu di telaga segala. Ya, ketika itu kita memang sedikit agak
mabuk." "Ya, memang begitulah," sambung Ho Leng-hong cepat, "kalau tidak mabuk, siapa
yang akan melakukan perbuatan sebodoh itu."
"Padahal waktu itu aku cuma bergurau, siapa tahu kau menganggapnya
sungguhkan?" "Mana aku berani tidak anggap sungguhkan perkataanmu" Sekalipun kau
menginginkan bintang di langit juga akan kucarikan tangga untuk naik ke langit dan
memetiknya bagimu." "O, Jit-long, sungguhkah kau begitu menurut pada perkataanku?" bisik Wan-kun
lembut. "Tentu saja,..." tapi begitu jawaban diucapkan, segera Leng-hong merasakan gelagat
tak baik. Jelas apa yang diucapkan Pang Wan-kun ini hanya kata-kata "pengantar" belaka,
sebab tangannya sudah mulai merosot dari pipi ke tengkuk Ho Leng-hong, bahkan
terus turun ke bawah, meraba dadanya, pinggangnya . . . terus . . . .
Tangan yang halus itu bagaikan seekor ular kecil yang merayap masuk ke balik
bajunya. Kini Ho Leng-hong bersetatus sebagi "suami" tentu saja ia tak dapat menolak belaian
cinta sang "isteri", tapi ia sadar bila adegan panas yang merangsang ini berlangsung
terus, "akibatnya"nya sukarlah dilukiskan.
Terpaksa ia berpura-pura takut geli, sambil menggeliat ke sana kemari ia menangkap
tangan itu dari luar baju. "Jangan begini Wan-kun," bisiknya sambil tertawa, "kalau dilihat para pelayan, kita
bisa ditertawakan . . . ." "Hm, semua pelayan sudah tidur, lepaskan bajumu Jit-long, biar kuraba bekas luka di
tubuhmu itu, mau?" Sungguh gawat, sebab punggungnya hakikatnya tidak terdapat codet seperti apa yang
dimaksudkan, kalau sampai diraba, bukankah urusan bisa runyam"
"Ah, paling-paling Cuma sebuah codet belaka, apa enaknya diraba?" kata Leng-hong
cepat. "Marilah Wan-kun, kita bicara soal lain saja . . . ."
"Tidak, aku suka merabanya, selama ini kau selalu mengizinkan aku merabanya,
kenapa sekarang kautolak permintaanku?"
"Bukannya menolak, kukuati dilihat para pelayan yang kebetulan masuk kemari."
"Kan sudah kukatakan, semua pelayan sudah tidur, tak nanti ada orang yang masuk
kemari." "Sekalipun tak ada orang, siapa tahu kalau di sini ada ulat beracunnya" Kalau sampai
kena disengat lagi, wah bisa celaka."
"Jit-long," kata Wan-kun seraya merayu, "selamanya kau menuruti kehendakku,
kenapa sekarang sikapmu berubah?"
"Aku . . . aku . . . . " Leng-hong gelagapan.
"Pokoknya aku tak mau tahu, aku tetap akan merabanya."
Apa yang diucapkan segera dilaksanakan, ia merangkul leher Ho Leng-hong dengan
tangan kiri, sedang tangan kanan dengan cepat merogoh ke balik bajunya, lewat di
bawah ketiak dan meraba punggungnya . . . .
Ho Leng-hong tak bisa menghindar lagi, peluh dingin sampai membasahi dahinya,
dalam hati ia mengeluh, "Habis, tamatlah lelakonku kini, semua rahasiaku bakal
terbongkar . . . ." Tapi apa yang terjadi" Ketika tangan Pang Wan-kun berhenti di punggungnya, ia
tidak menunjukkan sesuatu reaksi yang "di luar dugaan", malah dia merabanya
dengan penuh kasih sayang. "O, codet yang menawan hati," gumamnya dengan rasa puas, "Inilah kenangan yang
kauberikan kepadaku akibat ingin mengambil rembulan di kolam, sepanjang hidup
akan kubelai terus dengan kasih sayang, tak akan kubiarkan kenangan itu
meninggalkan jari-jari tanganku untuk selamanya. . . ."
Ho Leng-hong menjadi kaget tercampur bingung, seketika ia terkesima.
Mimpipun ia tak menyangka di punggungnya terdapat codet, sebuah codet yang
persis seperti codet yang dimiliki Nyo Cu-wi.
Ia tak pernah menggaet rembulan di telaga Siau-thian-ti di Lu-san, iapun tak pernah
disengat ulat beracun, tapi darimana datangnya codet" Apakah dirinya memang Nyo
Cu-wi yang sesungguhnya" Jangan-jangan Ho Leng-hong benar-benar sudah mati"
Atau mungkin . . . . . . Tidak! Tak mungkin, untuk membuktikan kejadian yang sesungguhnya, ia harus
mencari Siau Cui" --------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***----
Siau Cui adalah pelacur yang terdaftar di rumah pelacuran Hong-hong-wan, pelacur
resmi, siapapun boleh mencarinya. Tapi tidak berlaku bagi Ho Leng-hong.
Sebab statusnya kini adalah pemilik Thian-po-hu yang tersohor dan terhormat di Kiuci-
shia, tentu saja ia tak dapat sembarangan mengunjungi rumah pelacuran dan
menemui seorang pelacur. Untuk menyembunyikan identitasnya, sengaja Ho Leng-hong mengenakan sebuah
mantel hitam serta sebuah topi lebar, sebagian besar wajahnya hampir tertutup oleh
tepian topi yang lebar itu. Ketika kentungan pertama baru lewat, dengan kepala tertunduk ia melangkah masuk
ke dalam Hong-hong-wan. Melihat ada tamu datang, pesuruh rumah pelacuran segera berteriak lantang, "Ada
tamu!" Baru sepatah kata meluncur keluar, tiba-tiba mulutnya tersumbat oleh sepotong
benda keras. Sekeping uang perak yang berkilauan.
"Jangan berteriak, jangan berisik," desis Ho Leng-hong sambil merangkul leher
pesuruh itu. "Beritahu kepadaku, Siau Cui ada atau tidak?"
Mula-mula pegawai itu kaget, tapi setelah memuntahkan benda itu dari mulutnya dan
mengetahui benda apakah itu, dengan kejut bercampur girang sahutnya cepat, "Ada!
Ada! Ada!" "Dalam kamarnya ada tamu?"
"Ada! Ada! Ada . . . ." mendadak ia merasakan perkataannya tidak tepat, cepat
sambungnya lagi "Tuan, yang kautanyakan adalah . . . . ."


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nona Siau Cui yang tinggal di kamar serambi barat."
"O, rupanya engkau menanyakan Siau Cui?" pesuruh itu menyengir, "tidak ada, tidak
ada tamu, nona Siau Cui sudah tidak menerima tamu lagi, sekarang iapun tidak
tinggal di kamar sebelah barat."
"Oya" Kenapa?" "Tuan, besar kemungkinan engkau datang dari luar daerah, bukan" Masa engkau
tidak tahu Siau Cui tertimpa musibah?"
"Musibah apa?" "Sebenarnya urusan semacam ini tidak pantas kukatakan kepada Tuan," ujar pelayan
itu berlagak rahasia, "cuma lantaran hamba lihat Tuan adalah orang baik, hamba tidak
tega untuk mengelabuimu. Tuan, menurut pendapat hamba, Hong-hong-wan kami
masih banyak nona cantik yang lain, mau pilih yang macam apapun ada, yang lebih
hebat dari Siau Cui pun ada, tapi jangan sekali-kali kau mencarinya lagi."
"Kalau mencarinya kenapa?"
"Terus terang kuberitahu kepadamu, Tuan, belakangan ini Siau Cui lagi sial, seorang
buaya she Ho yang mabuk kedapatan mati dalam kamar Siau Cui, sejak itulah
siapapun tak berani masuk ke kamarnya, sebab itulah Mama menyuruh dia berhenti
bekerja untuk sementara waktu, sekarang ia sudah pindah ke kamar bagian belakang .
. . ." "Kenapa secara tiba-tiba orang she Ho itu mati?"
"Siapa yang tahu" Pokoknya setiap hari bocah itu kerjanya Cuma keluyuran, ya
minum arak, ya berjudi, jelas bukan manusia baik-baik. Menurut pendapatku, kalau
bukan mampus karena luka akibat berkelahi, tentu mampus keracunan arak lantaran
terlalu banyak minum, orang luar sih tidak peduli, mereka hanya tahu dia mampus di
sini, yang celaka adalah Siau Cui, gara-gara kejadian ini ia nyaris diseret ke
pengadilan." "Ah, orang yang mengatakan begitu sungguh keterlaluan, sekalipun dia mati secara
mendadak, itu kan bukan salah Siau Cui?"
"Betul juga perkataanmu, tapi dia kan seorang nona penghibur, kalau sampai
mengalami kejadian sial semacam ini, siapa lagi yang berani masuk ke kamarnya?"
"Kalau begitu, jadi gara-gara orang she Ho itulah Siau Cui ikut tertimpa sial?" jengek
Leng-hong. "Bukan Siau Cui saja yang tertimpa malang, usaha kampiun ikut terpengaruh.Ai,
bocah she Ho itu sungguh bikin celaka orang saja."
Kalau bisa Leng-hong ingin memberi beberapa kali tempelengan pada pesuruh yang
lancang mulut ini, tapi sedapatnya ia tahan perasaannya.
"Siau Cui tinggal di halaman belakang sebelah mana?" tanyanya kemudian, "jangan
kuatir, bawa saja diriku ke sana, dan uang perak itu untuk minum arak bagiku."
"Tuan, kau tidak takut?" tanya orang itu dengan suara parau.
Ho Leng-hong menggeleng kepala sambil tertawa, "Jangan kuatir, jika akupun ikut
mampus di halaman belakang, anggap saja aku yang mencari kematian sendiri, tak
nanti kubikin susah kepadamu."
Pesuruh tersebut ingin mendapatkan hadiah, cepat dia celingukan ke sekeliling
tempat itu, lalu bisiknya sambil memberi tanda, "Baik, ikutlah padaku."
Mereka berdua masuk lewat pintu samping lalu mengitari ruang dan halaman tengah
terus masuk ke halaman belakang. Sambil menuding sebuah rumah papan di sudut pekarangan sana, bisik pesuruh itu,
"Di sanalah nona Siau Cui berdiam, Tuan jangan berdiam terlalu lama di situ, kalau
ketahuan Mama, hamba bisa celaka."
Ho Leng-hong menyuruh pergi orang itu, kemudian mengawasi rumah kayu itu
dengan saksama. Rumah kayu itu jelek, sudah tua dan dekat dinding pekarangan, bagian sampingnya
adalah tempat menyimpan barang-barang tak terpakai, tentu saja bedanya bagaikan
langit dan bumi bila dibandingkan kamar Siau Cui di serambi barat sana.
Meskipun Siau Cui hanya seorang pelacur yang hina dina, tapi terhadap Leng-hong
dia memang jatuh cinta dengan tulus dan murni, Leng-hong menyesal karena tak
dapat memenuhi harapan kekasihnya, apalagi setelah menyaksikan penderitaan yang
dialaminya sekarang, ia menjadi malu hati.
Tapi, sesungguhnya salah siapakah itu"
Siapa yang telah "mencelakai" Ho Leng-hong"
Siapa yang membuat Ho Leng-hong "berubah" menjadi Nyo Cu-wi"
Apakah kejadian inilah yang disebut "roh masuk pada raga orang lain?"
--------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***----
Ho Leng-hong jelas tidak mengakui dirinya telah "mati", iapun tidak percaya setan
iblis segala, apalagi tentang roh masuk ke tubuh orang lain.
Oleh sebab itu ia harus tanya langsung persoalan ini kepada Siau Cui.
Cahaya redup tampak bersinar di balik jendela rumah kayu itu, di dalam terdengar
suara batuk seorang yang berat. Itulah suara batuk Siau Cui, paru-parunya memang lemah, sering kali dia terbatukbatuk
sebelum tidur, terutama bila ada persoalan yang mengganjal dalam hatinya, ia
akan mengalami kesulitan untuk tidur.
Tiba-tiba Ho Leng-hong merasa terharu, ia menghela napas perlahan lalu mengetuk
pintu. "Siapa?" suara Siau Cui berkumandang dari dalam.
"Aku! Buka pintu, Siau Cui!"
"Siapa kau?" "Ho Leng-hong......" Celaka! Ketika nama itu disebutkan, Ho Leng-hong segera tahu urusan bakal runyam,
tapi mau ditarik kembali sudah tak keburu lagi.
Benarlah, dari balik ruangan berkumandang jeritan kaget, disusul suara pembaringan
kayu yang bergetar keras.... Mungkin Siau Cui sedang berbaring ketika mendengar jawabannya, sebab itu saking
kagetnya, ia melompat turun dari pembaringan.
"Aku datang untuk persoalan yang menyangkut Ho Leng-hong," cepat Leng-hong
memberi penjelasan, "Bukalah pintu, Siau Cui, mau bukan?"
"Krek!" pintu terbuka sedikit.
Dengan suatu gerakan cepat Ho Leng-hong menyelinap masuk ke dalam, lalu
menutup kembali pintu kamar. Suasana dalam rumah remang-remang, hanya sebuah lentera menerangi tempat itu,
keadaannya sangat sederhana, hanya terdapat sebuah pembaringan dan sebuah meja
kecil. Siau Cui meringkuk di pojok ruangan dengan muka pucat dan badan gemetar,
wajahnya memancarkan perasaan takut.
"Siapa.... siapa kau?" tegurnya dengan tergagap.
Perlahan Ho Leng-hong menanggalkan topi lebarnya, lalu berkata, "Siau Cui, aku
adalah Leng-hong, Sungguh! Meskipun mukaku telah berubah, tapi aku betul-betul
adalah Ho Leng-hong, kau harus percaya kepadaku..."
Mata Siau-Cui terbelalak, lalu menggeleng berulang, "Tidak! Tidak! Kumohon
kepadamu, jangan menakuti diriku! Ho Leng-hong telah mati, siapa kau sebenarnya?"
"Siau-Cui, tak perlu omong kosong, kau tahu jelas bahwa aku tidak mati."
Tidak, Ho Leng-hong benar-benar sudah mati, ia mati di kamar sebelah barat sana,
dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan ia digotong keluar ...."
"Aku tak peduli, siapa yang mereka gotong keluar, pokoknya aku benar-benar adalah
Ho Leng-hong, sekarang aku masih hidup segar-bugar, Siau Cui, kau harus percaya
kepadaku." "Tidak, akut tidak percaya! Aku tidak percaya!" Siau Cui menggeleng kepala, "aku
tidak kenal dirimu, aku hanya tahu Ho Leng-hong sudah mati."
Leng-hong sadar bila keadaan begini berlangsung terus, persoalan akan sukar selesai,
maka ia berubah taktik, katanya, "Baiklah, kalau kau berkeras tak mau percaya
kepadaku, akupun tak akan memaksa. Sekarang perhatikan diriku baik-baik,
pernahkah kau melihat diriku sebelum ini?"
Dengan seksama Siau Cui mengamati wajahnya, lalu menggeleng, "Belum pernah!"
"Coba pikir lagi, pernahkah kenal denganku di suatu tempat?" desak Leng-hong pula.
"Tidak pernah!" "Jadi kita baru pertama kali bertemu sekarang?"
"Benar!" "Tapi aku tahu di sebelah kiri perutmu, di bawah pusar, terdapat setitik tahi lalat, di
sebelah kanan belakang pinggangmu juga terdapat sebuah toh hitam, benar tidak?"
kata Leng-hong sambil tertawa. Siau Cui melengak, sampai sekian lama ia melongo, lama sekali baru bertanya
dengan tergegap, "Kau dengar dari siapa?"
"Kulihat dengan mata kepalaku sendiri," Leng-hong tertawa, "Seandainya kita tak
pernah kenal sebelum ini dan baru bertemu untuk pertama kalinya, darimana kutahu
akan tanda rahasia di atas tubuhmu?"
Perlahan Siau Cui menghela napas panjang, "Kenapa heran" Kami orang-orang yang
melakukan pekerjaan semacam ini sudah biasa buka pakaian di depan setiap pria yang
berkunjung kemari, soal itu sudah bukan rahasia lagi."
"Baiklah, bila kau anggap tanda rahasia di tubuhmu sudah bukan rahasia lagi, katakata
pribadimu dengan Ho Leng-hong tentu tak diketahui orang lain bukan" Sebagai
contoh kata-kata yang kau bicarakan malam menjelang kejadian itu, bukankah kau
minta kepada Ho Leng-hong untuk membawamu kabur sejauh-jauhnya dari sini . . . .
" Belum habis perkataan itu, air muka Siau Cui sudah berubah hebat, tukasnya, "Apa
yang kau katakan" Sungguh aku tidak paham, aku tak pernah kenal padamu, akupun
tak ada waktu untuk mengobrol denganmu, kuminta sekarang juga kau keluar dari
sini, keluar! . . . ." Dengan tajam Ho Leng-hong mengawasinya tanpa berkedip, katanya perlahan, "Siau
Cui, kau takut bukan" Waktu itu kau sudah tahu bakar terjadi sesuatu maka kau
mohon kepadaku untuk membawamu pergi, kaupun tahu dalam kuah penyadar mabuk
itu . . . ." Air muka Siau Cui semakin pucat, sebelum pemuda itu menyelesaikan kata-katanya
ia sudah membentak, "Aku tidak mengerti akan perkataanmu, kuminta segera kau
tinggalkan tempat ini, kalau tidak, segera aku akan memanggil orang."
"Kau tidak akan memanggil orang, Siau Cui, kutahu kau tak akan berbuat demikian
karena kau tahu siapa diriku, kaupun tahu apa yang telah terjadi, hanya kau tak berani
mengatakannya." "Tidak tahu, aku tidak tahu . . . . apapun aku tidak tahu, sungguh aku tidak tahu apaapa,"
Seru Siau Cui sambil menggeleng kepala berulang kali dan menutup telinganya
dengan tangan. "Siau Cui, apa yang kau takuti" Kau diancam siapa" Kenapa tidak berani bercerita?"
Dengan suara yang hampir menangis Siau Cui berkata, "Kumohon padamu,
janganlah mendesakku terus menerus, sungguh aku tidak tahu, kalian telah
mencelakaiku hingga seperti ini, apakah masih belum cukup?"
"Siapa yang mencelakaimu?" seru Leng-hong sambil menarik lengannya, "Siau Cui,
beri tahukan padaku, siapa yang mencelakai . . . . "
Siau Cui tak bisa menjawab, dia hanya menangis tersedu-sedu.
"Bicaralah Siau Cui, cepat katakan kepadaku," pinta Leng-hong sambil
mengguncang-guncangkan tubuh si nona, "aku adalah Leng-hong . . . ."
"Blang!" tiba-tiba pintu kamar didobrak orang secara paksa.
Dua sosok bayangan tubuh yang tinggi besar berdiri tegak di depan pintu, seorang
pria berbaju serba hitam, bertubuh kekar dan berdandang sebagai tukang pukul,
sedang yang lain adalah perempuan, dia lebih tegap daripada pria tersebut, ia bukan
lain adalah Go So. Entah sejak kapan kedua orang itu tiba di luar kamar, ternyata Ho Leng-hong tidak
mengetahui kehadiran mereka. Agaknya Go So tidak kenal lagi pada Ho Leng-hong, sambil menuding pemuda itu,
bentaknya, "Keparat, apa yang kau lakukan" Berani betul menerbitkan keonaran
dalam Hong-hong-wan" Hm. Tampaknya tulang-tulang badanmu sudah gatal dan
minta digebuk!" "Hm, kalian membuka rumah pelacuran ini untuk mencari uang, asal Toaya punya
uang, siapa yang berani melarang kedatanganku?"
"Kalau bermain perempuan sepantasnya di ruang depan, apa maksudmu tarik
menarik dengan nona yang beristirahat di ruang belakang" Mengapa kau datang
kemari secara diam-diam" Keparat, tidak lekas lepas tangan, memangnya kau ingin
digebuk?" Sambil berkata ia menggulung lengan bajunya dan siap berkelahi.
"Tunggu sebentar!" tiba-tiba si baju hitam di sampingnya mencegah, "rasanya
kukenal wajah tamu kita ini, seperti pernah bertemu di suatu tempat?"
"Hm, kau kenal aku?" jengek Ho Leng-hong ketus.
Laki-laki berbaju hitam itu tidak menjawab, ia mengamati lawannya dengan cermat,
mendadak ia memberi hormat, "Ah, kukira siapa, rupanya Nyo-tayhiap dari Thian-pohu
yang berkunjung kemari. Maaf! Maaf!"
"Kau ini . . . . ." melengak juga Leng-hong.
"Hamba she Tan, anak buah Thian-toaya, orang menjuluki diriku sebagai Thi-tausiau
Tan (Tan kecil kepala baja)." "O, jadi Hong-hong-wan ini termasuk wilayah kekuasaan?"
"Ah, tidak berani, tidak berani," Thi-tau Tan menyengir, "hamba hanya menjalankan
perintah Thian-ya, lantaran Ho Leng-hong kedapatan mati di sini, maka aku
diperbantukan selama beberapa hari di sini, sungguh tak nyana Nyo-tayhiap bisa
berkunjung kemari.Bila kami berbuat kesalahan karena tidak mengenal Nyo-tayhiap,
harap suka dimaafkan . . . ." Kepada Go So segera ia membentak, "Kenapa tidak cepat-cepat berlutut dan minta
ampun! Beliau inilah Nyo-tayhiap, pemilik Thian-po-hu yang tersohor, biar sengaja
diundang juga belum tentu tamu agung kita ini mau datang kemari, kau si goblok ini
benar-benar anjing betina yang buta . . . . .
Dengan cepat Go So berubah sikap, dengan lemas ia bertekuk lutut.
"Nyo-tayhiap," demikian ujarnya, "maafkanlah aku si tua bangka yang punya mata
tapi buta, engkau adalah orang besar, tentu tak akan ingat kesalahan orang kecil,
anggap saja mulutku si tua bangka tadi hanya kentut busuk dan janganlah marah
kepadaku" Tiba-tiba Ho Leng-hong teringat kembali pada kuah penyadar mabuk malam itu. Go
So inilah yang mengatar kuah itu baginya, seandainya dalam kuah terdapat sesuatu
yang mencurigakan berarti Go So juga mengetahui persoalan ini sebelumnya . . . . . .
Sementara ia masih melamun, Go So merangkak bangun sambil berkata, "Tidak
sepantasnya menyambut kedatangan tamu agung di tempat sejelek ini, nona Siau Cui,
baik-baiklah melayani Nyo-tayhiap, segera akan kuberi tahukan hal ini kepada Mama
. . . ." "Tidak usah," seru Leng-hong, "sebentar saja aku akan pergi."
"Mana boleh jadi?" kata Go So, "Nyo-tayhiap tertarik oleh Siau Cui kami, hal ini
merupakan rejeki besar baginya, sekalipun tidak menginap, paling sedikit harus
minum arak lebih dulu agar ia menemani Nyo-tayhiap bercakap-cakap."
"Betul, biar hamba undang juga Thian-ya," sambung Thi-tau Tan, "Lo-ya sekalian
juga akan kuundang kemari, Wah suasana nanti pasti akan bertambah meriah . . . . ."
Ho Leng-hong melirik Siau Cui sekejap, ia tahu tiada harapan baginya untuk mencari
keterangan pada malam ini, ia menghela napas dan melepaskan tangannya.
Diambilnya sekeping uang perak dan diserahkan kepada Thi-tau Tan, lalu pesannya,
"Aku masih ada urusan dan harus segera berangkat. Nih, terimalah sebagai ongkos
minum arak, tapi jangan sekali-kali kausiarkan kedatanganku ini di luaran, mengerti?"
"Apakah terhadap Thian-ya sekalian juga . . . "
"Ya, terhadap mereka juga harus dirahasiakan, sebab aku tak ingin seorang pun
mengetahui kejadian malam ini."
Berputar biji mata Thi-tau Tan, katanya dengan tertawa, "Ah, pahamlah hamba
sekarang. Padahal Nyo-tayhiap tak usah kuatir, Thian-ya kan sahabat karib Nyotayhiap,
tentang soal ini tak mungkin mereka akan . . . ."
Ho Leng-hong tidak banyak bicara lagi, sambil mengulap tangan ia meninggalkan
rumah kayu itu. Siau Cui hanya menunduk sambil menangis, ia membungkam seribu bahasa, tidak
mendongak juga tidak mengantar. Tapi Go So mengantar sampai di luar pintu, katanya dengan nada minta maaf, "Nyotayhiap,
tentunya kau tidak marah padaku bukan" Kalau malam ini tak ada waktu,
kapan-kapan silakan datang lagi" Nyo-tayhiap . . . ."
Ho Leng-hong berlalu dengan langkah lebar hakikatnya seperti orang lari, dia
mengambil langkah seribu meninggalkan rumah hiburan itu . . . .
Jilid 2 Kejadian baik tak nanti keluar pintu, kejadian "busuk" justru tersiar sampai ke manamana,
pepatah ini memang terbukti. Sekeping uang perak yang dikorbankan Ho Leng-hong semalam tidak berhasil
menutup mulut Thi-tau Tan, sebab keesokan harinya, pagi-pagi sekali, si telinga
panjang Siau Thian sudah mendapat kabar dan muncul di Thian-po-hu.
Bagaimanapun Thian Pek-tat bersumpah bahwa ia tidak akan membocorkan rahasia
itu kepada orang lain, akhirnya toh peristiwa ini diketahui juga oleh Pang Wan-kun.
Kalau menuruti adat Ho Leng-hong, bila ketahuan ya sudahlah, mau apa lagi.
Yang sulit justru pada saat ini ia berstatus sebagai Nyo Cu-wi.
Dan justru pula Nyo Cu-wi terkenal sebagai laki-laki takut bini.
Jika Ho Leng-hong sudah mengakui dirinya ialah Nyo Cu-wi, mau-tak-mau dia harus
mewarisi tabiat Nyo Cu-wi itu. Apa boleh buat, terpaksa ia harus tabahkan hati untuk
menerima dampratan ....... ------------------ Air muka Pang Wan-kun tampak sedingin es, Cuma bagaimanapun juga dia adalah
wanita yang berasal dari keluarga terhormat, jadi tak sampai terjadi pertengkaran


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sengit yang mengakibatkan piring terbang dan bakiak naik kepala.
Ia hanya bertanya dengan suara dingin, "Kudengar semalam kau mencari kesenangan
di luar hem, mau jadi pemuda romantis lagi?"
Ho Leng-hong tak dapat mengatakan apa-apa ia hanya menyengir saja.
Kembali Wan-kun berkata, "Kukira nona-nona di sana pasti pandai, menyenangkan
hati kaum pria, kenapa tidak sekalian menginap saja" Nikmatilah surga dunia
sepuasnya, buat apa pulang ke rumah?"
"Wan-kun, dengarkan dulu penjelasanku . . . . ." pinta Hong Leng-hong sambil
tertawa getir. "Apa lagi yang hendak kau jelaskan?" suara Pang Wan-kun lebih dingin daripada air
mukanya, tapi nada bicaranya penuh rasa sedih seperti minta dikasihani.
Ia berkata lagi, "Jangan kau artikan aku cemburu, kutahu setiap lelaki sekali tempo
suka iseng, kejadian semacam itu sudah lumrah, tapi tidak sepantasnya kau pergi
seorang diri, lebih-lebih tak pantas pergi secara sembunyi-sembunyi, bukankah
caramu itu justru menunjukkan kau berbuat karena mempunyai maksud tertentu"
Kalau sampai tersiar di dunia persilatan, tidaklah nama baik Thian-po-hu akan
tercemar?" Leng-hong manggut-manggut, "Ya, aku tahu perkataanmu memang benar, tapi
tahukah kau apa yang hendak kulakukan di sana?"
"Huh, memangnya perbuatan apa yang kau lakukan di tempat rendah dan kotor
semacam itu?" "Wan-kun, kau salah menuduhku, kudatang ke Hong-hong-wan bukan untuk mencari
kepuasan, aku ke situ untuk mengenang seseorang, atau anggaplah sebagai suatu
tanda simpatiku terhadap seseorang."
"Siapa orang itu?" tanya Wan-kun dengan melengak.
"Kau masih ingat ketika sedang sakit tempo hari, bukankah aku mengaku she Ho?"
"Ya, betul, kau terus menerus mengaku dirimu bukan she Nyo, tapi she Ho . . . Ho
apa begitu!..." "Tepat sekali...Nah, kedatanganku ke Hong-hong-wan semalam justru demi orang
she Ho itu." "Bukankah orang she Ho itu sudah mati?"
"Justru karena dia sudah mati, maka secara diam-diam aku datang ke sana untuk
menyatakan belasungkawa atas kematiannya. Wan-kun, tahukah kau sewaktu aku
tidak sadar tempo hari, aku telah mendapat impian yang aneh sekali . . . . ."
"Impian aneh apa?" tanya Pang Wan-kun keheranan.
"Belum pernah aku berkunjung ke tempat semacam Hong-hong-wan, tapi dalam
impian tersebut seakan-akan aku telah berubah menjadi orang she Ho, bukan saja
sering berkunjung ke sana, bahkan apal benar keadaan tempat itu, malah beberapa
nama dari orang-orang yang ada di situ dapat kupanggil secara tepat, semua perabot,
letak pintu dan sebagainya dapat kuingat semua dengan jelas. Maka setelah sadar,
makin kupikir makin heran, akhirnya kuputuskan untuk secara diam-diam menyelidiki
tempat itu." "Dan bagaimana hasilnya?"
"Setelah kusaksikan sendiri semalam, dan kubuktikan bahwa apa yang kulihat dalam
impian itu persis kenyataannya, di mana ada pintu, di mana ada undak-undakan,
semuanya tepat dan persis. Coba bayangkan aneh tidak?"
"Ah, masa begitu?" saking terperanjatnya mata Pang Wan-kun sampai terbelalak
lebar. "Tidak aneh kalau Cuma ingat saja pada keadaan dalam Hong-hong-wan, yang lebih
mengherankan lagi adalah aku ternyata kenal semua orang di sana, aku dapat pula
menyebutkan nama mereka satu persatu, Cuma tak seorang pun di antara mereka
kenal pada diriku...." "Cukup, cukup, jangan bicara lagi, jangan bicara lagi, bikin bulu kudukku berdiri
saja," teriak Wan-kun sambil menutup telinganya.
Sesungguhnya aku Cuma ingin membuktikan impianku saja," Leng-hong berusaha
menakuti lagi, "siapa tahu setelah berada di Hong-hong-wan, mendadak kurasakan
suasana yang mengerikan, seakan-akan di situ tersembunyi bahaya besar."
"Maksudmu di sana ada setannya?"
"Bukan, kucurigai tempat itu dipakai sebagai tempat persembunyian orang-orang
golongan hitam, akupun curiga mereka sedang menyusun suatu rencana jahat yang
tidak menguntungkan Thian-po-hu."
"Hei, mengapa kau mempunyai jalan pikiran seaneh ini?" seru Pang Wan-kun
terkejut. "Aku sendiri juga tak bisa mengatakan alasannya, yang pasti timbul firasat tak enak
dalam hatiku, misalnya saja, dalam keadaan baik-baik kenapa aku bisa mendapat
impian seaneh itu" Orang she Ho itu mati dalam keadaan tak jelas duduk
persoalannya, mungkinkah lantaran dia penasaran, maka sukmanya menciptakan
suatu impian kepadaku dengan maksud memberi peringatan...."
Makin didengar Pang Wan-kun makin terperanjat, hawa amarahnya terbang entah ke
mana, sebagai gantinya adalah rasa kaget dan ngeri.
"Jit-long," dia mengeluh, "kaupun percaya sukma bisa memberi impian segala?"
"Kenapa tidak percaya" Manusia terdiri dari raga dan sukma, orang mati wajar
sukmanya akan buyar mengikuti badan kasarnya yang musnah, sebaliknya bila orang
mati itu penasaran, walaupun badan kasarnya membusuk, tapi sukmanya tidak akan
buyar, dia akan gentayangan ke sana kemari mengikuti embusan angin, terkadang
berkumpul dan membentuk menjadi roh jahat, bila penasarannya sudah hilang dan
dendam terbalas, dia baru membuyar dan lenyap...."
"Sudah, sudahlah, jangan kaulanjutkan ceritamu," tukas Pang Wan-kun, "sekalipun
roh jahat benar-benar ada, asal kita tak pernah melakukan perbuatan jahat, buat apa
kita mempedulikannya?" "Jika urusannya menyangkut diri kita, mana boleh kita berdiam diri saja?"
"Apa sangkut pautnya dengan kita?"
"Sukma orang she Ho itu tidak mendatangi orang lain tapi justru memberi impian
kepadaku, itu berarti urusan kemungkinan besar ada sangkut pautnya dengan kita."
"Jit-long, maksudmu . . . . ."
"Aku tetap mencurigai kematian yang menimpa orang she Ho itu, sudah pasti di
dalam rumah pelacuran Hong-hong-wan tersembunyi marabahaya besar, kita tak bisa
berpeluk tangan menghadapi kejadian ini, kita harus menyelidikinya hingga duduk
perkaranya menjadi jelas." "Bukankah Thian Pek-tat sedang melakukan penyelidikan atas kematian orang she
Ho itu!" "Siau Thian secara terang-terangan menaruh orangnya di Hong-hong-wan, mana
mungkin bisa menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya" Kukira kita harus
mengadakan penyelidikan secara diam-diam dengan begitu baru akan mendatangkan
hasil." "Kalau begitu, beri tahu saja kepadanya, agar Siau Thian ganti taktik dan melakukan
penyelidikan secara diam-diam."
"Tidak, Wan-kun kita harus bekerja sendiri dan tak dapat minta bantuan orang lain,
sebab kemungkinan besar persoalan ini ada pengaruhnya bagi Thian-po-hu kita."
"Apa yang hendak kaulakukan?"
"Malam ini kita bersama-sama mengunjungi Hong-hong-wan serta melakukan
penyelidikan." "Apa" Kausuruh aku mengunjungi tempat kotor itu?" seru Wan-kun tidak senang.
Ho Leng-hong tahu sang "istri" tak bakalan mau mengunjungi tempat semacam itu,
maka ia berkata pula dengan sungguh-sungguh, "Wan-kun, kau harus pergi, bila
kaukuati menjumpai sesuatu yang tak pantas, tunggu saja aku di luar, kita adalah
suami-isteri yang saling mencintai, aku tak mau menimbulkan salah-pahammu
terhadapku." Tiba-tiba Wan-kun tertawa, katanya dengan gembira, "Rupanya kau mengajak aku ke
situ hanya untuk menghindari tuduhan."
"Ya, daripada dicurigai orang kan lebih baik aku bersiap-siap lebih dulu, seperti
kejadian semalam, seharusnya lebih dulu kuberitahukan rencanaku ini kepadamu,
dengan demikian kan takkan terjadi kesalahpahaman seperti ini."
Wan-kun tersenyum, "Padahal, masakah aku benar-benar berprasangka padamu"
Aku hanya ingin mengetahui apakah kau jujur atau tidak kepadaku, malam ini kau
boleh pergi dengan hati tenang, dengan izinku ini kau bisa bekerja lebih leluasa...."
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Tetapi, sekembalinya dari sana harus
kauceritakan kejadian yang sebenarnya kepadaku, sepatah katapun tak boleh
ketinggalan, kalau berani merahasiakan sebagian saja dari kisahmu, hmm, jangan
salahkan aku bila kutindak menurut hukum rumah tangga."
"Terima perintah!" sahut Ho Leng-hong sambil tertawa.
"Jangan keburu senang dulu," kata Wan-kun lagi, "bisa jadi kau di depan dan aku
akan mengintil secara diam-diam dari belakang, sedikit kau menyeleweng, rasakan
nanti!" Walaupun di mulut Ho Leng-hong mengatakan "tidak berani", tapi secara diam-diam
ia sangat gembira. Setelah mendapatkan "izin" tersebut, ia dapat mengunjungi Hong-hong-wan secara
terang-terangan dan menanyai Siau Cui hingga jelas.
Cuma, ia tetap memutuskan untuk pergi ke sana secara diam-diam, sebab dari cara
serta sikap Siau Cui waktu bicara, tampaknya ia mempunyai kesulitan untuk bercerita,
bila ditanyai secara langsung jelas dia tak akan bicara sejujurnya.
Selain itu masih ada lagi Go So, orang itu harus dihindari, sebab gerak-geriknya
sangat mencurigakan, setiap kali bila keadaan genting, ia selalu muncul secara
mendadak, tampaknya ia bertugas untuk mengawasi gerak-gerik Siau Cui.
Begitulah, setelah mengambil keputusan, malam itu ia berkunjung lagi ke Honghong-
wan.... --------------------- *** (file google dokumen published by Saiful Bahri ...situbondo seletreng )***-
Tampaknya peristiwa "kematian" orang she Ho dalam Hong-hong-wan tidak
mempengaruhi keramaian tempat itu, suasana masih diliputi kegembiraan, irama
musik, suara nyanyian dan gelak tertawa masih bergema seperti biasa.
Setelah pengalaman semalam, Ho Leng-hong tak berani masuk secara gegabah, ia
minum arak lebih dulu di sebuah kedai arak dekat sarang pelacuran itu, lewat tengah
malam, menurut perkiraannya tamu yang masih ada tentu sudah masuk kamar, yang
tidak bermalam tentu sudah pulang, ia membayar rekening minum dan perlahan
memasuki gang Waru. Mula-mula ia mengitari dulu lorong tersebut, ketika dilihatnya pintu sudah tertutup
dan lampu telah padam, barulah ia mempercepat langkahnya menuju ke dinding
perkarangan sebelah belakang. Untuk menghindari kepergok orang hingga statusnya sebagi pemilik Thian-po-hu
diketahui orang, ia mengenakan sehelai kain yang menutupi sebagian besar wajahnya,
kemudian tarik napas dan melompati tembok pekarangan itu.
Di mana ia melayang turun hanya beberapa tombak jauhnya dari rumah kayu
tersebut. Suasana dalam halaman itu sunyi senyap, rumah kayu itupun gelap gulita tak
bercahaya, tampaknya Siau Cui sudah tidur.
Dengan langkah hati-hati Ho Leng-hong mendekati pintu, mencoba dulu pintu
tersebut, ternyata baik pintu maupun daun jendela dipalang dari dalam.
Perlahan ia mengetuk pintu, namun tiada jawaban yang terdengar, suasana tetap
hening. Ho Leng-hong tak mau bersuara hingga mengejutkan orang lain, ia mencari sepotong
kayu tipis, lalu dimasukkan lewat celah-celah pintu dan perlahan membuka pantekan
palang pintu.... "Krek" pintu terbuka.... Ho Leng-hong menyusup ke dalam kamar sambil memanggil dengan suara tertahan,
"Siau Cui, Siau....." Tiba-tiba suaranya seperti tersumbat dalam tenggorokkan, hawa dingin ngeri
membuat bulu romanya sama berdiri. Sesosok tubuh manusia tergantung mengapung di belandar, itulah Siau Cui.
Menurut perkiraan, paling sedikit ia sudah putus nyawa pada satu jam berselang.
Atau dengan perkataan lain, tatkala suasana di halaman depan sedang ramairamainya
dikunjungi tamu, secara diam-diam Siau Cui telah menggantung diri di
kamar belakang. Mengapa ia bunuh diri" Kenapa kejadian ini tidak dilakukan dulu-dulu atau nanti,
tapi justru dilakukan setelah Ho Leng-hong mengunjunginya semalam" Untuk
menghindari kesulitan" Atau dibunuh untuk menghilangkan saksi hidup....."
Saking kagetnya Ho Leng-hong sampai lupa bersedih, buru-buru ia menurunkan
jenazah Siau Cui, lalu dibaringkan di atas dipan. Ia periksa dulu keadaan mayat,
kemudian memeriksa pula keadaan dalam ruangan itu....
Tapi ia tidak berhasil menemukan apa-apa.
Kecuali bekas jeratan pada leher jenazah, tidak ditemukan luka lain.
Kamar itupun berada dalam keadaan teratur dan bersih, sama sekali tidak terlihat
tanda-tanda kacau atau bekas pergulatan.
Tampaknya Siau Cui memang betul-betul membunuh diri, cukup tenang dan teguh
tekadnya untuk bunuh diri, sebab itulah sepatah kata pesanpun tidak ditinggalkannya.
Tapi, mengapa dia harus bunuh diri"
Hanya disebabkan seorang "Ho Leng-hong" yang lain kedapatan mati di atas
pembaringannya" Atau karena isi hatinya di yang penuh rahasia tak dapat dilampiaskan keluar itu"
Baik kematian lantaran yang pertama maupun yang kedua, jelas ia mati karena Ho
Leng-hong, sayang cinta kasihnya ini hanya meninggalkan kebingungan, kecurigaan
serta kecemasan bagi Ho Leng-hong. Bila ia mempunyai keberanian untuk mati, mengapa tidak memiliki keberanian untuk
mengungkapkan rahasia dalam hatinya . . . . . .
Kegelapan mencekam keadaan rumah kayu itu, tak ada lampu, tak ada suara, suasana
seram, sepi! Ho Leng-hong berdiri kaku di depan pembaringan, dia mengawasi mayat yang
membujur di pembaringan itu dengan termangu, tidak bergerak dan tidak bicara,
seperti patung. Yang terlihat olehnya seolah-olah bukan sesosok mayat yang dingin dan kaku,
melainkan kekasih yang mencintainya dan menyayanginya yang berada dalam
pelukannya. Kenangan lama seperti terbayang kembali di depan mata. Tak mungkin lagi ia
merasakan kehangatan dan kemesraan seperti dulu.
Tiba-tiba pandangan Ho Leng-hong terasa kabur, pipi terasa gatal dan cairan hangat
perlahan meleleh masuk ke ujung mulutnya.
Selama ini belum pernah ia kenal kesedihan atau kemurungan, ia selalu hidup bebas
tak terbelenggu, tapi sekarang, untuk pertama kalinya ia merasakan getirnya
kehidupan . . . . "Tok! Tok! Tok!" Tiba-tiba berkumandang suara ketukan pintu.
Dengan terkejut Ho Leng-hong memutar badannya dan membentak dengan suara
tertahan, "Siapa?" "Aku!" dengus seorang perempuan, "Apa belum cukup masuk" Hayo pulang!"
Ho Leng-hong kenal suara Pang Wan-kun, cepat ia membuka pintu seraya berkata,
"Wan-kun, kebetulan sekali kedatanganmu, lekas masuk kemari..."
Pang Wan-kun mengenakan baju ringkas warna hitam, dua pedang tersandang di
punggungnya, ia tampak gagah dan menawan, jauh berbeda dengan dandanannya
selama berada di Thian-po-hu. Cuma air mukanya sekarang kurang sedap dipandang, mukanya cemberut dan alis
matanya berkernyit, dengan suara dingin ia berkata, "Leluasakah bagiku untuk masuk
ke situ?" "Wan-kun, jangan salah paham di sini telah terjadi sesuatu."
"Ah" Terjadi apa?" "Masuk dulu kemari, kalau berdiri di depan pintu niscaya jejak kita akan ketahuan
orang." Baru sebelah kaki Wan-kun melangkah masuk ke dalam kamar, tiba-tiba ia raguragu,
cepat ia menarik kembali kakinya. "Pasang lampu dulu, aku tak suka masuk ke tempat gelap dan kotor begini . . . . ."
Tapi sebelum selesai ucapannya, Ho Leng-hong telah menariknya masuk secara
paksa dan cepat-cepat menutup pintu.
"Nyonya besar," demikian bisiknya, "turunkan sedikit gengsimu, dalam kamar ada
mayat, mana boleh memasang lampu?"
"Mayat" Siapa yang mati?" tanya Wan-kun terkesiap.
"Nona Siau Cui, Hong Leng-hong yang memberi impian kepadaku itu mati di
kamarnya." "Kenapa dia mati" Jangan-jangan seperti juga orang she Ho itu, barusan kalian . . . ."
"Jangan sembarangan menduga, mayat itu berada di pembaringan, periksalah
sendiri." Wan-kun mengawasi pembaringan tersebut, lalu dengan terkejut katanya, "He,
gejalanya seperti mati tercekik. Jit-long, kau yang melakukan perbuatan keji ini?"
Leng-hong tertawa getir, "Kenapa kau selalu menduga yang bukan-bukan, ia mati
menggantung diri, sewaktu aku tiba di sini ia sudah lama putus nyawa."
"Kalau begitu, kita harus cepat-cepat tinggalkan tempat ini daripada nanti dicurigai
orang sebagai pembunuh, mau apa lagi kau bersembunyi di sini?"
"Hendak kuperiksa sebab-sebab kematiannya."
"Apa lagi yang perlu diperiksa" Seorang nona rumah pelacuran bunuh diri kan bukan
suatu peristiwa besar, bila pemilik Thian-po-hu yang tersohor kedapatan berada di
kamar pelacur yang bunuh diri, inilah yang menggemparkan orang."
"Tapi kurasakan kematiannya sangat mencurigakan, siapa tahu kalau di balik
peristiwa ini tersembunyi suatu rencana jahat yang berbahaya....."


Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu kan urusannya, apa sangkut-pautnya dengan kita?"
"Sebetulnya memang tiada sangkut-pautnya dengan kita, tapi berhubung orang she
Ho itu sudah memberi mimpi kepadaku, dan lagi secara kebetulan kita telah melihat
peristiwa ini, urusan yang menyangkut jiwa dua orang, apakah kita bisa berpeluk
tangan belaka?" "Aduh Tuanku, kenapa kau sebodoh itu?" kata Wan-kun sambil menggentakkan kaki
ke atas tanah, "sekalipun persoalan ini hendak kita selidiki, paling tidak tempat yang
tidak menguntungkan kita ini harus ditinggalkan lebih dulu, besok kita bisa suruh
Thian-ya sekalian melakukan penyelidikan secara terbuka. Bayangkan saja, bila jejak
kita ketahuan orang sekarang, kalau mereka bertanya untuk apa di tengah malam buta
kau menyusup ke sarang pelacuran" Nah, coba, cara bagaimana akan kaujawab?"
"Soal ini....." "Jangan lupa, meski kau tidak takut ditertawakan orang, aku masih membutuhkan
muka untuk bertemu dengan sanak keluargaku. Hayo cepat pulang!"
Ho Leng-hong segera ditariknya keluar dari situ secara paksa.
Sebenarnya Ho Leng-hong enggan meninggalkan tempat itu, tapi sukar melawan
Pang Wan-kun, demi menjaga kebiasaan "takut bini", terpaksa ia mengikuti keinginan
sang "isteri" dan kembali ke Thian-po-hu.
Sementara fajar telah menyingsing, Ho Leng-hong tidak sabar menunggu lagi, ia
segera menyuruh orang mengundang Thian Pek-tat.
Thian si telinga panjang memang seorang yang pandai melayani kehendak orang,
pada saat kau perlu bertemu dengan dia, ia selalu akan muncul di hadapanmu tepat
pada waktunya. Sebelum orang yang disuruh mengundangnya berangkat, tahu-tahu Thian Pek-tat
sudah muncul lebih dulu di Thian-po-hu.
Begitu bertemu, tanpa menggunakan basa-basi lagi langsung mengemukakan maksud
kedatangannya. "Saudara Nyo, sudah kaudengar berita di luar dugaan" Kembali ada orang kedapatan
mati di rumah pelacuran Hong-hong-wan," demikian tuturnya.
Ho Leng-hong melengak, ia pura-pura bertanya dengan heran, "Apa" Siapa lagi yang
mati?" Thian Pek-tat celingukan sekejap sekeliling tempat itu, lalu bisiknya. "Dia bukan lain
adalah Siau Cui yang pernah Nyo-heng temui dua malam yang lalu, entah kenapa
tiba-tiba ia menggantung diri semalam."
"Hah" Tanpa sebab kenapa mendadak bunuh diri?" kembali Ho Leng-hong pura-pura
kaget. "Ya, kalau dibicarakan, mungkin kejadian ini akan mempengaruhi pula nama baik
Nyo-heng, sebab itulah begitu mendapat kabar segera kuberangkat kemari."
"Tapi apa sangkut-pautnya dengan diriku?"
"Nyo-heng, maaf bila Siaute bicara agak kasar, semestinya kau tidak boleh secara
diam-diam menemuinya di halaman belakang kemarin malam dengan jalan menyaru,
mau ketemu dengan di boleh saja, tapi tidak semestinya diketahui oleh Go So,
pelayan rumah pelacuran itu. Kini secara tiba-tiba Siau Cui diketahui mati
menggantung diri, sedang Go So adalah perempuan berlidah panjang yang tak bisa
menyimpan rahasia, bila ia menyiarkan kabar yang bukan-bukan di luaran, sedikit
banyak urusan ini akan menyangkut diri Nyo-heng."
"Apa yang dia katakan?" "Hmm, perempuan kasar macam dia, mana bisa mengucapkan kata-kata yang baik"
Tentu saja ngaco-belo ke sana sini dan dibumbu-bumbui, dia bilang antara Nyo-heng
dengan Siau Cui ada hubungan gelap, lantaran orang she Ho kedapatan mati di
kamarnya, Nyo-heng datang ke rumah pelacuran itu dan menanyai Siau Cui, karena
kaudesak, akhirnya ia menggantung diri."
"Biarkan saja apa yang akan dikatakannya, masa orang akan percaya" Masa pemilik
Thian-po-hu yang tersohor bisa mencintai seorang pelacur dan memaksanya sampai
mati?" "Nyo-heng persoalannya tidak sesederhana itu," kata Thian Pek-tat dengan serius,
"Betapa kebesaran nama Thian-po-hu dalam dunia persilatan, masa kita biarkan
dinodai orang seenaknya" Bila perkataan semacam itu sampai tersiar keluar, bagi
nama baik Thian-po-hu hal ini tentu merupakan pukulan yang cukup berat."
"Siapa bersih dia selalu bersih, siapa kotor dia akan kelihatan kotor. Bila ia berani
menyiarkan kabar bohong, memangnya aku tak bisa menjahit bibirnya dengan
benang?" "Tak perlu Nyo-heng repot-repot, Siaute telah mengaturkan segala sesuatunya
bagimu." "Apa yang kau atur?" "Bawa masuk!" seru Thian Pek-tat tiba-tiba sambil memberi tanda keluar pintu.
Bersama suatu sahutan dari luar, muncul Thi-tau Tan yang pernah dilihat Ho Lenghong
di rumah pelacuran kemarin dulu itu. Dia masuk sambil membawa sebuah kotak
kayu panjang persegi, setelah memberi hormat, kotak kayu itu ditaruh di depan Ho
Leng-hong. "Barang apakah ini?" tanya Leng-hong.
"Silakan Nyo-heng periksa sendiri!" sambil berbisik Thian Pek-tat membuka tutup
kotak tersebut. Dua buah batok kepala yang masih berpelepotan darah terletak berjajar dalam kotak
itu. Yang sebuah adalah batok kepala Go So, sedang yang lain adalah batok kepala
pesuruh rumah pelacuran yang bertugas menjaga pintu itu.
Dengan perasaan bergetar dan wajah berubah Ho Leng-hong berkata, "Siau Thian,
mana boleh kau lakukan perbuatan sekejam ini?"
Thian Pek-tat tertawa licik, "Orang yang berjiwa kecil bukan seorang Kuncu, orang
yang tidak kejam bukan lelaki sejati. Demi mempertahankan nama baik serta martabat
Thian-po-hu di mata masyarakat, demi melenyapkan bibit bencana di kemudian hari,
terpaksa harus bertindak cepat dan tegas . . . ."
"Tapi sebelum bertindak seharusnya kaurundingkan dulu persoalan ini denganku."
"Waktu sudah tidak mengizinkan lagi, begitu Siaute mendapat kabar, Go So telah
s Bukit Pemakan Manusia 7 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bukit Pemakan Manusia 10
^